Analisis dan Evaluasi UU Berdasarkan Putusan MK

Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi: Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum / 01-12-2022

Dalam kurun waktu 5 (lima) tahun keberlakuan UU Pemilu (Tahun 2017-2022), UU Pemilu pernah dilakukan pengujian materiil di Mahkamah Konstitusi (MK). Dimana terdapat 2 (dua) putusan yang mengabulkan, diantaranya Putusan Nomor 55/PUU-XVIII/2020 dan Putusan Nomor 32/PUU-XVIII/2021.

1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap
pasal atau ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat oleh MK?
2. Apa akibat hukum terhadap pasal atau ayat suatu undang-undang
yang dinyatakan MK sebagai konstitusionalitas/inkonstitusional
bersyarat?
3. Apakah terjadi disharmoni norma dalam suatu undang-undang jika
suatu pasal, ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat oleh MK berimplikasi terhadap norma pasal ayat lain yang
tidak diujikan?

Selengkapnya dapat dilihat pada Ebook (terlampir)

Selengkapnya dapat dilihat pada Ebook (terlampir)

Selengkapnya dapat dilihat pada Ebook (terlampir)

1. Ketentuan Pasal 173 ayat (1) sebelum adanya putusan MK No 55/PUU-XVIII/2020 pada dasarnya mengatur baik partai politik yang telah lolos Parliamentary Threshold pada Pemilu 2019 maupun tidak lolos Parliamentary Threshold pada Pemilu 2019 (hanya memiliki atau tidak memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota) sama-sama akan dikenakan verifikasi faktual dan verifikasi administrasi. Hal ini kembali dikuatkan dengan adanya Putusan MK Nomor 53/PUU-XV/2017 yang membatalkan frasa “telah ditetapkan” dalam Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu dan juga membatalkan Pasal 173 ayat (3) UU Pemilu. Artinya original intent dari Pasak 173 ayat (1) UU Pemilu adalah mengenakan verifikasi administrasi dan faktual sekaligus terhadap semua partai politik, tanpa membeda-bedakan.

2. Sementara itu, implikasi yuridis dari Putusan MK No 55/PUUXVIII/2020 justru sebaliknya, sangat menguntungkan bagi partai politik yang pada Pemilu 2019 tetah lolos Parliamentary Threshold hanya cukup melakukan verifikasi administrasi saja. Sementara bagi partai politik yang tidak lolos Parliamentary Threshold pada Pemilu 2019 (hanya memiliki atau tidak memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/ Kabupaten/ Kota) akan dikenakan verifikasi faktual dan verifikasi administrasi.
3. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XIX/2021 pada dasarnya memiliki maksud yang sama Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-VI/2013, tetapi lebih menegaskan bahwa Putusan DKPP merupakan satu kesatuan dengan keputusan Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu sebagai tindak lanjut dari Putusan DKPP tersebut yang dapat dijadikan objek gugatan di Pengadilan TUN.

1. Terhadap Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu yang menyatakan “Partai Politik Peserta Pemilu merupakan partai politik yang telah lulus verifikasi oleh KPU”, perlu ditindaklanjuti dan dilakukan perubahan oleh pembentuk undang-undang sebagai akibat dari adanya Putusan MK dalam perkara Nomor 55/PUU-XVIII/2020. Perubahan tersebut dengan merujuk pada Putusan MK Nomor 55/PUU-XVIII/2020 harus dimaknai “Partai Politik yang telah lulus verifikasi Pemilu 2019 dan lolos/memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold pada Pemilu 2019 tetap diverifikasi secara administrasi namun tidak diverifikasi secara faktual, adapun partai politik yang tidak lolos/tidak memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold, partai politik yang hanya memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota dan partai politik yang tidak memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, diharuskan dilakukan verifikasi kembali secara administrasi dan secara faktual, hal tersebut sama dengan ketentuan yang berlaku terhadap partai politik
baru”. Dengan demikian Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagaimana dimaksud dalam amar putusan MK Nomor 55/PUUXVIII/2020. Hal tersebut sesuai dengan amanat dari ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf d UU Pembentukan PUU yang menyatakan bahwa, “Materui muatan yang harus diatur dengna Undang-Undang berisi tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi.” Perubahan terhadap UU Pemilu dituangkan dalam rencana perubahan UU Pemilu baik dalam daftar kumulatif terbuka maupun dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas tahunan.
2. Terhadap Pasal 458 ayat (13) UU Pemilu perlu ditindaklanjuti dan
dilakukan perubahan oleh pembentuk undang-undang sebagai akibat
dari adanya Putusan MK dalam perkara Nomor 32/PUU-XIX/2021.
Perubahan tersebut dengan merujuk pada Putusan MK Nomor 32/PUU-XIX/2021 yakni “Pasal 458 ayat (13) UU Pemilu harus dimaknai “Putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (10) mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu adalah merupakan keputusan pejabat TUN yang bersifat konkret, individual, dan final, yang
dapat menjadi objek gugatan di peradilan TUN”. sehingga pasal-pasal
tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak
dimaknai sebagaimana dimaksud dalam amar putusan MK Nomor
32/PUU-XIX/2021. Hal tersebut sesuai dengan amanat dari ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf d UU PPP.
3. Perubahan terhadap UU Pemilu dituangkan dalam rencana perubahan UU Pemilu baik dalam daftar kumulatif terbuka maupun dalam prolegnas prioritas tahunan.

Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi: Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentag Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara / 01-12-2022

File terlampir.

File terlampir.

File terlampir.

File terlampir.

File terlampir.

File terlampir.

File terlampir.

Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi: Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi / 01-12-2022

File Terlampir.

File Terlampir.

File Terlampir.

File Terlampir.

File Terlampir.

File Terlampir.

File Terlampir.

Analisa dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi: Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa / 01-09-2022

File Terlampir.

File Terlampir.

File Terlampir.

File Terlampir.

File Terlampir.

File Terlampir.

File Terlampir.

Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi: Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan / 01-09-2022

File Terlampir.

File Terlampir.

File Terlampir.

File Terlampir.

File Terlampir.

File Terlampir.

File Terlampir.

Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi: Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial / 01-09-2022

File Terlampir.

File Terlampir.

File Terlampir.

File Terlampir.

File Terlampir.

File Terlampir.

File Terlampir.

Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi: Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris Jo. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi / 02-11-2020

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UU Jabatan Notaris) telah beberapa kali diujikan ke Mahkamah Konstitusi, dan terdapat satu putusan yang telah dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi, yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-X/2012.

1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal atau ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK?
2. Apa akibat hukum terhadap pasal, ayat suatu undang-undang yang dinyatakan MK sebagai konstitusionalitas/inkonstitusional bersyarat?
3. Apakah terdapat disharmoni norma dengan adanya putusan MK yang menyatakan suatu pasal dan/atau ayat dinyatakan tidak berkekuatan hukum mengikat baik terhadap pasal dan/atau ayat lain dalam Undang-Undang yang sama maupun ketentuan dalam Undang-Undang yang lain?
4. Apakah putusan MK tersebut memiliki dampak atau akibat hukum terhadap peraturan perundang-undangan terkait?

Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam UUD Tahun 1945 memiliki dua fungsi ideal, yaitu MK dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi dan berfungsi untuk menjamin, mendorong, mengarahkan, membimbing, dan memastikan bahwa UUD Tahun 1945 dijalankan dengan sebaik-baiknya oleh penyelenggara negara agar nilai-nilai yang terkandung didalamnya dijalankan dengan benar dan bertanggung jawab; dan MK harus bertindak sebagai penafsir karena MK dikonstruksikan sebagai lembaga tertinggi penafsir UUD Tahun 1945.
Secara harfiah, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat memiliki makna hukum tersendiri. Frasa “final” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “terakhir dalam rangkaian pemeriksaan” sedangkan frasa mengikat diartikan sebagai “mengeratkan”, “menyatukan”. Bertolak dari arti harfiah ini maka frasa final dan frasa mengikat, saling terkait sama seperti dua sisi mata uang artinya dari suatu proses pemeriksaan telah memiliki kekuatan mengeratkkan atau menyatukan semua kehendak dan tidak dapat dibantah lagi. Makna harfiah di atas, bila dikaitkan dengan sifat final dan mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi artinya telah tertutup segala kemungkinan untuk menempuh upaya hukum.
Sifat dari putusan Mahkamah Konstitusi yaitu final yang artinya bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). Konsep ini mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni secara sederhana dan cepat sebagaimana diuraikan dalam penjelasan UU MK. Menurut Maruarar Siahaan Putusan Mahkamah Konstitusi sejak diucapkan dihadapan sidang terbuka umum mempunyai 3 kekuatan yaitu: kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian, dan kekuatan eksekutoarial.

Dalam Putusan MK No. 49/PUU-X/2012, Pemohon mengajukan pengujian ketentuan Pasal 66 ayat (1) UU Jabatan Notaris sepanjang frasa/kalimat “dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah”. Pemohon beranggapan bahwa hak konstitusionalnya sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 berupa persamaan kedudukan dalam hukum dan perlindungan dan kepastian hukum yang adil telah dirugikan dengan berlakunya Pasal 66 ayat (1) UU Jabatan Notaris. Hak konstitusional Pemohon jelas-jelas nyata telah dirugikan dikarenakan Penyidik Kepolisian (Kepolisian Daerah Metro Jaya) telah mengalami kendala dalam melakukan proses Penyidikan Laporan Polisi yang dibuat Pemohon sehubungan dengan dugaan tindak pidana membuat keterangan palsu ke dalam akta autentik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 266 KUHP dikarenakan Penyidik tidak mendapatkan ijin/persetujuan dari Majelis Pengawas Daerah Notaris Cianjur.

Bahwa terhadap notaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) UU Jabatan Notaris perlakuan yang berbeda dapat dibenarkan sepanjang perlakuan itu berkaitan dengan tindakan dalam lingkup kode etik yaitu yang berkaitan dengan sikap, tingkah laku, dan perbuatan notaris dalam melaksanakan tugas yang berhubungan dengan moralitas. Menurut Mahkamah perlakuan yang berbeda terhadap jabatan notaris tersebut diatur dan diberikan perlindungan dalam Kode Etik Notaris, sedangkan notaris selaku warga negara dalam proses penegakan hukum pada semua tahapan harus diberlakukan sama di hadapan hukum sebagaimana dimaksud dan dijamin oleh Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Oleh karena itu, keharusan persetujuan Majelis Pengawas Daerah bertentangan dengan prinsip independensi dalam proses peradilan dan bertentangan dengan kewajiban seorang notaris sebagai warga negara yang memiliki kedudukan sama di hadapan hukum.
Pada sisi lain, Mahkamah juga memahami pentingnya menjaga wibawa seorang notaris selaku pejabat umum yang harus dijaga kehormatannya sehingga diperlukan perlakuan khusus dalam rangka menjaga harkat dan martabat notaris yang bersangkutan dalam proses peradilan, termasuk terhadap notaris, diperlukan sikap kehati-hatian dari penegak hukum dalam melakukan tindakan hukum, namun perlakuan demikian tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum yang antara lain adalah persamaan kedudukan di hadapan hukum dan prinsip independensi peradilan.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan atas dalil Pemohon tersebut, Mahkamah menilai bahwa pengujian konstitusionalitas Pasal 66 ayat (1) sepanjang frasa “dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah” UU Jabatan Notaris terhadap UUD 1945 beralasan menurut hukum.

Putusan MK No. 49/PUU-X/2012 dalam amar putusannya mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Putusan tersebut menyatakan bahwa frasa “dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah” dalam Pasal 66 ayat (1) UU Jabatan Notaris bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa adanya keharusan persetujuan Majelis Pengawas Daerah bertentangan dengan prinsip independensi dalam proses peradilan dan juga bertentangan dengan kewajiban seorang notaris sebagai warga negara yang memiliki kedudukan sama di hadapan hukum. Akibat hukum Putusan MK No. 49/PUU-X/2012 adalah telah menciptakan keadaan hukum baru berupa hilangnya kewenangan Majelis Pengawas Daerah dalam memberikan persetujuan terhadap penyidik, penuntut umum, atau hakim untuk kepentingan proses peradilan, terkait pengambilan fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris serta pemanggilan Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris. Selain itu, syarat dan tata cara yang diatur secara teknis dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Permenkumham RI) Nomor: M.03.HT.03.10 Tahun 2007 tentang Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris menjadi tidak berlaku lagi.

Berdasarkan implikasi dari Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, jika dilakukan perubahan terhadap UU Jabatan Notaris oleh pembentuk undang-undang, maka harus dilakukan sesuai dengan putusan Mahkamah yang bersifat final dan mengikat. Setelah dua tahun putusan MK tersebut, dalam perkembangannya pada tahun 2014 telah dilakukan perubahan UU Jabatan Notaris melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UU Perubahan Jabatan Notaris). Ketentuan Pasal 66 ayat (1) berubah dan dilengkapi dengan dua ayat lainnya, yaitu ayat (3) dan (4). UU Perubahan Jabatan Notaris mensyaratkan persetujuan majelis Kehormatan Notaris dalam pengambilan minuta akta dan pemanggilan notaris, dengan jangka waktu tertentu.

a. Terdapat 1 (satu) putusan MK, yaitu Putusan MK No. 49/PUU-X/2012 yang menyatakan frasa/kalimat “dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah” dalam Pasal 66 ayat (1) UU Jabatan Notaris bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
b. Putusan MK No. 49/PUU-X/2012 telah menciptakan keadaan hukum baru, yaitu hilangnya kewenangan Majelis Pengawas Daerah dalam memberikan persetujuan terhadap penyidik, penuntut umum, atau hakim untuk kepentingan proses peradilan, terkait pengambilan fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris serta pemanggilan Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.
c. Putusan MK No. 49/PUU-X/2012 berdampak pada Permenkumham RI Nomor: M.03.HT.03.10 Tahun 2007 tentang Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris menjadi tidak berlaku lagi.
2. Berdasarkan implikasi dari Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, jika dilakukan perubahan terhadap UU Jabatan Notaris oleh pembentuk undang-undang, maka harus dilakukan sesuai dengan putusan Mahkamah yang bersifat final dan mengikat. Setelah dua tahun Putusan MK No. 49/PUU-X/2012, dalam perkembangannya pada tahun 2014 telah dilakukan perubahan UU Jabatan Notaris. UU Perubahan Jabatan Notaris memasukkan kembali perlindungan Notaris melalui frasa “dengan persetujuan majelis kehormatan Notaris”. Ketentuan Pasal 66 ayat (1) berubah dan dilengkapi dengan dua ayat lainnya, yaitu ayat (3) dan (4). Terkait ketentuan Pasal 66 UU Perubahan Jabatan Notaris, ternyata pasal a quo juga beberapa kali diuji kembali ke Mahkamah Kontitusi namun ditolak.
3. Melalui Putusan MK No. 22/PUU-XVII/2019 yang menjawab Permohonan Pemohon atas pengujian Pasal 66 UU Perubahan Jabatan Notaris, MK lebih mengedepankan prinsip perlindungan hukum bagi Notaris dan pembinaan Majelis Kehormatan Notaris, serta dengan memperhatikan adanya penambahan ketentuan Pasal 66 ayat (3) dan ayat (4) UU Perubahan Jabatan Notaris. Dengan demikian, MK berpendapat tidak ada pertentangan dengan maksud Putusan MK No. 49/PUU-X/2012.

1. Berdasarkan Putusan MK No. 22/PUU-XVII/2019, MK memiliki menggunakan pertimbangan hukum yang berbeda sehingga tetap mempertahankan dan memperkuat ketentuan Pasal 66 UU Perubahan Jabatan Notaris yang dibentuk oleh Pembentuk UU. Namun dalam praktiknya, terdapat hambatan yang dialami oleh beberapa pihak, khususnya oleh penegak hukum yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya dalam menjalankan tugas dan fungsi jabatannya untuk melakukan kepentingan proses peradilan. Hal ini juga terbukti bahwa hingga saat ini masih terdapat Permohonan Pengujian Materiil UU Perubahan Jabatan Notaris yang belum diputuskan oleh MK, yaitu Perkara Nomor: 16/PUU-XVIII/2020 yang kembali mengajukan permohonan terkait Pasal 66 ayat (1) UU Perubahan Jabatan Notaris. Oleh karena itu, perlu dilakukan sosialisasi oleh Pembentuk UU bahwa UU Perubahan Jabatan Notaris telah sesuai dengan Putusan MK No. 49/PUU-X/2012, dengan tetap memperhatikan adanya penambahan ketentuan Pasal 66 ayat (3) dan ayat (4) UU Perubahan Jabatan Notaris.
2. Bahwa diperlukan pemahaman utuh semua pihak, baik dari penyidik, penuntut umum, hakim, Notaris, dan masyarakat untuk melaksanakan masing-masing tugas dan wewenangnya, serta memenuhi hak dan kewajibannya dengan baik agar proses penegakan hukum tetap berjalan dengan adil.
3. Bahwa dalam pelaksanaanya Notaris harus bekerja sesuai kode etik dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, dengan adanya perubahan Pasal 66 dan penambahan ayat (3) dan ayat (4) UU Perubahan Jabatan Notaris, maka proses peradilan berlarut diharapkan tidak akan terjadi lagi. Diperlukan objektivitas dan profesionalitas Majelis Kehormatan Notaris dalam menjalankan tugasnya.

Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi: Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan / 02-11-2020

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Ototritas Jasa Keuangan dalam kurun waktu 9 (sembilan) tahun (2011-2020) keberlakuannya telah beberapa kali dilakukan uji materiil terhadap beberapa pasal/ayat dalam UU OJK ke Mahkamah Konstitusi. Dalam kurun waktu keberlakuannya tersebut, terdapat 1 (satu) putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan sebagian dari beberapa pasal yang diuji, yaitu Putusan Nomor 25/PUU-XII/2014. Adapun pasal-pasal yang diuji diantaranya Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34 dan Pasal 37 ayat (1) sampai dengan ayat (4) serta frasa “tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan” sebagaimana termaktub dalam ketentuan Pasal 6 huruf a, Pasal 7, Pasal 55 ayat (2), Pasal 64 ayat (1) huruf b, Pasal 65 ayat (1) huruf a dan Pasal 66 ayat (1) huruf a dan ayat (3) huruf a UU OJK yang dianggap bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), Pasal 23A, Pasal 23D, Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945. Namun dari beberapa pasal tersebut hanya terdapat 1 (satu) pasal yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi yaitu pada frasa “dan bebas dari campur tangan pihak lain” pada Pasal 1 angka 1 UU OJK.

1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi tehadap pasal atau ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi?
2. Apa akibat hukum terhadap pasal atau ayat suatu undang-undang yang dinyatakan Mahkamah Konstitusi sebagai konstitusional/inkonstitusional bersyarat?
3. Apakah terdapat disharmoni norma dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan suatu pasal dan/atau ayat dinyatakan tidak berkekuatan hukum mengikat baik terhadap pasal dan/atau ayat lain dalam Undang-Undang yang sama maupun ketentuan dalam Undang-Undang yang lain?
4. Apakah putusan Mahkamah Konstitusi tersebut memiliki dampak atau akibat hukum terhadap peraturan perundang-undangan terkait?

Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam UUD Tahun 1945 memiliki dua fungsi ideal, yaitu MK dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi dan berfungsi untuk menjamin, mendorong, mengarahkan, membimbing, dan memastikan bahwa UUD Tahun 1945 dijalankan dengan sebaik-baiknya oleh penyelenggara negara agar nilai-nilai yang terkandung didalamnya dijalankan dengan benar dan bertanggung jawab; dan MK harus bertindak sebagai penafsir karena MK dikonstruksikan sebagai lembaga tertinggi penafsir UUD Tahun 1945.
Secara harfiah, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat memiliki makna hukum tersendiri. Frasa “final” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “terakhir dalam rangkaian pemeriksaan” sedangkan frasa mengikat diartikan sebagai “mengeratkan”, “menyatukan”. Bertolak dari arti harfiah ini maka frasa final dan frasa mengikat, saling terkait sama seperti dua sisi mata uang artinya dari suatu proses pemeriksaan telah memiliki kekuatan mengeratkkan atau menyatukan semua kehendak dan tidak dapat dibantah lagi. Makna harfiah di atas, bila dikaitkan dengan sifat final dan mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi artinya telah tertutup segala kemungkinan untuk menempuh upaya hukum.
Sifat dari putusan Mahkamah Konstitusi yaitu final yang artinya bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). Konsep ini mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni secara sederhana dan cepat sebagaimana diuraikan dalam penjelasan UU MK. Menurut Maruarar Siahaan Putusan Mahkamah Konstitusi sejak diucapkan dihadapan sidang terbuka umum mempunyai 3 kekuatan yaitu: kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian, dan kekuatan eksekutoarial.

Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 25/PUU-XII/2014
1. Pendapat Hukum Mahkamah Konstitusi
Dalam perkara ini, Para Pemohon mengajukan pengujian konstitusionalitas Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, dan Pasal 37 ayat (1) sampai dengan ayat (4) serta frasa “tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan” sebagaimana termaktub dalam ketentuan Pasal 6 huruf a, Pasal 7, Pasal 55 ayat (2), Pasal 64 ayat (1) huruf b, Pasal 65 ayat (1) huruf a dan Pasal 66 ayat (1) huruf a dan ayat (3) huruf a UU OJK yang dianggap Para Pemohon bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), Pasal 23A, Pasal 23D, Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945.
Majelis Hakim dalam pertimbangannya menyebutkan bahwa isu utama permohonan Para Pemohon secara umum berkaitan dengan pengaturan, wewenang, independensi OJK, koordinasi OJK dan BI, serta sumber pendanaan dan pungutan OJK.
Mahkamah berpendapat bahwa pembentukan OJK sebagai lembaga yang independen merupakan perintah dari Pasal 34 UU BI yang menyatakan bahwa, Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang”. Meski tidak diperintahkan oleh UUD 1945 hal tersebut tidak serta merta pembentukan OJK adalah inkonstitusional, karena pembentukan OJK atas perintah Undang-Undang yang dibentuk oleh lembaga yang berwenang. Dalam Pasal 10 ayat (1) UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dinyatakan bahwa materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang. Mahkamah berpendapat bahwa persoalan pengaturan dan pengawasan di bidang perekenomian dan sektor keuangan baik yang bersifat macroprudential maupun microprudential dengan tujuan untuk menjaga kestabilan dan pertumbuhan ekonomi yang semula disatukan dalam kewenangan bank sentral dan saat ini dilaksanakan oleh dua lembaga, in casu BI dan OJK, merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pembentuk Undang-Undang. Dengan demikian pemisahan ataupun penggabungan kewenangan lembaga yang menyangkut macroprudential dan microprudential tersebut bukanlah merupakan persoalan konstitusionalitas. Dengan demikian menurut Mahkamah, dalil Para Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum. Terhadap dalil Para Pemohon yang mendalilkan kata “independen” dalam Pasal 1 angka 1 UU OJK yang tidak ditemukan pembenarannya secara konstitusional karena hanya bank sentral yang dilekatkan oleh Pasal 23D UUD 1945 yang memiliki independensi, sedangkan konsiderans UU OJK yang mendasarkan pada Pasal 33 UUD 1945 yang mengharuskan terintegrasi dengan sistem perekonomian menjadikan OJK tidak mungkin independen, Mahkamah berpendapat bahwa kata “independen” yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 UU OJK merupakan amanat Pasal 34 ayat (1) UU BI yang merupakan penjabaran dari Pasal 23 UUD 1945 sehingga tidak menyalahi apabila pembentuk Undang-Undang melekatkan kata “independen” kepada OJK. Selan itu, kata “independen” yang terdapat dalam Pasal 23D UUD 1945 pada dasarnya memiliki makna dan tujuan yang sama dengan kata “mandiri” sebagaimana yang diberikan kepada suatu komisi pemilihan umum [Pasal 22E ayat (5) UUD 1945]. Lagi pula pada hierarki Undang-Undang, juga terdapat lembaga yang diberikan kata “independen” tanpa dikaitkan dengan pasal dalam UUD 1945, seperti Komisi Persaingan Usaha [Pasal 30 ayat (2) UU5/1999], Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi [Pasal 3 UU 30/2002], dan Komisi Penyiaran Indonesia [Pasal 7 ayat (2) UU 32/2002. Oleh karena independensi OJK merupakan penjabaran dari UU BI, sedangkan independensi bank sentral berasal dari Pasal 23D UUD 1945 maka untuk memahami independensi OJK harus dikaitkan dengan independensi Bank Indonesia sebagai bank sentral.
pemaknaan “independen” bagi OJK sudah secara jelas dan tegas dinyatakan dalam UU OJK sehingga menurut Mahkamah, frasa “dan bebas dari campur tangan pihak lain” yang mengikuti kata “independen” dalam Pasal 1 angka 1 UU OJK tidak diperlukan lagi karena maknanya sudah tercakup dalam kata “independen” sebagaimana dijelaskan di atas.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XII/2014 yang telah membatalkan frasa “dan bebas dari campur tangan pihak lain” yang mengikuti kata “independen” dalam Pasal 1 angka 1 UU OJK tentunya membawa implikasi pada pengaturan UU OJK kedepan. Menurut Mahkamah dalam pertimbangannya menguraikan bahwa kata “independen” yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 UU OJK merupakan amanat dari Pasal 34 ayat (1) UU BI yang merupakan penjabaran dari Pasal 23D UUD NRI Tahun 1945 sehingga tidak menyalahi apabila pembentuk Undang-Undang melekatkan kata “independen” kepada OJK. Sehingga pemaknaan “independen” bagi OJK sudah secara jelas dan tegas dinyatakan dalam UU OJK. Dengan demikian menurut Mahkamah, frasa “dan bebas dari campur tangan pihak lain” yang mengikuti kata “independen” dalam Pasal 1 angka 1 UU OJK tidak diperlukan lagi dikarenakan maknanya sudah tercakup dalam kata “independen”. Terhadap permohonan Para Pemohon tersebut, Majelis Hakim memberikan putusan dengan mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk sebagian atau dengan kata lain bahwa frasa “dan bebas dari campur tangan pihak lain” yang mengikuti kata “independen” dalam Pasal 1 angka 1 UU OJK dianggap bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan mengikat. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut telah menimbulkan implikasi yuridis (akibat hukum) atau dengan kata lain putusan ini telah meniadakan keadaan hukum dan sekaligus menciptakan keadaan hukum baru. Implikasi yuridis dengan dibatalkannya frasa “dan bebas dari campur tangan pihak lain” yang mengikuti kata “independen” dalam Pasal 1 angka1 UU OJK tersebut yaitu frasa “dan bebas dari campur tangan pihak lain” tidak diperlukan lagi karena sudah tercakup dalam kata “independen” dan independensi yang diberikan kepada OJK bukan merupakan suatu hal yang menyalahi karena merupakan pengejawantahan amanat dari Pasal 34 ayat (1) UU BI.

Merujuk pada semangat pembentukan UU OJK sebagaimana tergambar dalam Konsiderans Menimbang dan Penjelasan Umum UU OJK dapat terlihat bahwa pada prinsipnya UU OJK lahir dengan pertimbangan bahwa terjadinya proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang teknologi informasi serta inovasi finansial telah menciptakan sistem keuangan yang sangat kompleks, dinamis, dan saling terkait antar-subsektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan. Di samping itu, adanya lembaga jasa keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan di berbagai subsektor keuangan (konglomerasi) telah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antarlembaga jasa keuangan di dalam sistem keuangan.
Banyaknya permasalahan lintas sektoral di sektor jasa keuangan, yang meliputi tindakan moral hazard, belum optimalnya perlindungan konsumen jasa keuangan, dan terganggunya stabilitas sistem keuangan semakin mendorong diperlukannya pembentukan lembaga pengawasan di sektor jasa keuangan yang terintegrasi.
Selain pertimbangan-pertimbangan tersebut, dalam UU BI, juga mengamanatkan pembentukan lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang mencakup perbankan, asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat.
Pengujian beberapa pasal di dalam UU OJK telah menimbulkan implikasi yuridis khususnya terhadap frasa “dan bebas campur tangan pihak lain” pada Pasal 1 angka 1 UU OJK yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi atau dengan kata lain pada saat yang bersamaan putusan tersebut telah meniadakan keadaan hukum dan menciptakan keadaan hukum yang baru.

1. Terdapat ketidakcermatan dalam perumusan Pasal 1 angka 1 UU OJK yang kemudian menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya dikarenakan frasa “dan bebas dari campur tangan pihak lain” yang mengikuti kata “independen” dalam Pasal 1 angka 1 UU OJK memiliki pemaknaan yang sama sehingga tidak diperlukan lagi. Dasar tersebut yang menjadi landasan pemikiran yang kuat bagi Majelis Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan ketentuan a quo inkonstitusional.
2. Dibatalkannya ketentuan a quo dalam Putusan Nomor 25/PUU-XII/2014 menimbulkan implikasi yuridis bahwa frasa “bebas dari campur tangan pihak lain” tidak diperlukan lagi dan independensi OJK bukan merupakan suatu hal yang menyalahi karena merupakan pengejawantahan amanat Pasal 34 ayat (1) UU BI yang merupakan penjabaran dari Pasal 23D UUD NRI Tahun 1945.
3. Dibatalkannya frasa “dan bebas dari campur tangan pihak lain” pada Pasal 1 angka 1 UU OJK juga membawa dampak pada materi muatan UU OJK lainnya yakni Pasal 2 ayat (2) UU OJK yang dalam rumusannya juga terdapat kata “independen” yang kemudian diikuti juga dengan “frasa “bebas campur tangan pihak lain”.

1. Terhadap Pasal 1 angka 1 UU OJK perlu dilakukan reformasi ulang akibat dari adanya Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 25/PUU-XII/2014. Reformasi ulang tersebut juga dilakukan terhadap Pasal 2 ayat (2) UU OJK yang juga merumuskan kata “independen” yang diikuti dengan frasa “bebas dari campur tangan pihak lain”
2. Keharusan pembentuk undang-undang untuk segera menindaklanjuti hasil putusan Mahkamah Konstitusi sesuai dengan amanat dari ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf d UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
3. Perubahan terhadap UU OJK dituangkan dalam rencana perubahan UU OJK baik sebagai daftar kumulatif terbuka maupun dalam prolegnas prioritas tahunan.

Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi: Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri / 01-11-2019

Makna dan arti pentingnya pekerjaan bagi setiap orang tercermin dalam Pasal 27 ayat (2) UUD Tahun 1945 yang menyatakan bahwa setiap Warga Negara Indonesia berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Namun pada kenyataannya, keterbatasan kesempatan kerja di dalam negeri menyebabkan banyaknya warga Negara Indonesia/TKI mencari pekerjaan keluar negeri.
Dalam perjalanannya, ada 2 (dua) permohonan uji materiil yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap UU Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri yaitu Perkara Nomor 019/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 50/PUU-XI/2013. Dalam Perkara Nomor 019/PUU-III/2005, permohonan diajukan oleh Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (APJATI), Asosiasi Jasa Penempatan Asia Pasific (AJASPAC), dan Himpunan Pengusaha Jasa Tenaga Kerja Indonesia (HIMSATAKI) yang Kesemuanya memberi kuasa kepada Sangap Sidauruk, S.H, Harison Malau, S.H, dan Ferry Simanjuntak,S.H. Pasal yang diuji yaitu :
Pasal 35 huruf d UU PPTKILN bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) UUD Tahun 1945.

Dalam Perkara Nomor 50/PUU-XI/2013 diajukan oleh Arni Aryani Suherlan Odo, Siti Masitoh BT Obih Ading, dan Ai Lasmini BT Enu Wiharja yang ketiganya memberikan kuasa kepada Sondang Tampubolon, S.H., dkk. Pasal yang di uji yaitu:
Pasal 59 UU Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD Tahun 1945.

Permohonan Pemohon dalam uji materiil Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri hanya dikabulkan untuk sebagian, Pasal yang di kabulkan hanya pengujian terhadap Pasal 59, sedangkan Pasal yang lainnya di tolak dan masih tetap berlaku. disimpulkan bahwa dengan dikabulkannya permohonan Pemohon untuk seluruhnya dan sebagian uji materiil UU PPTKILN terhadap UUD Tahun 1945 membawa implikasi dan akibat hukum serta menciptakan keadaan hukum baru sebagai implikasi dikabulkannya permohonan uji materiil pasal-pasal a quo, sehingga perlu dilakukan evaluasi dan analisis terhadap kedua Putusan MK tersebut.

1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK?
2. Apa akibat hukum terhadap pasal dan ayat suatu UU yang dinyatakan MK sebagai inkonstitusionalitas/inkonstitusionalitas bersyarat?
3. Apakah terjadi disharmoni norma dalam suatu UU jika suatu pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK berimplikasi terhadap norma pasal ayat lain yang tidak diujikan?

Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam UUD Tahun 1945 memiliki dua fungsi ideal, yaitu MK dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi dan berfungsi untuk menjamin, mendorong, mengarahkan, membimbing, dan memastikan bahwa UUD Tahun 1945 dijalankan dengan sebaik-baiknya oleh penyelenggara negara agar nilai-nilai yang terkandung didalamnya dijalankan dengan benar dan bertanggung jawab; dan MK harus bertindak sebagai penafsir karena MK dikonstruksikan sebagai lembaga tertinggi penafsir UUD Tahun 1945.
Secara harfiah, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat memiliki makna hukum tersendiri. Frasa “final” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “terakhir dalam rangkaian pemeriksaan” sedangkan frasa mengikat diartikan sebagai “mengeratkan”, “menyatukan”. Bertolak dari arti harfiah ini maka frasa final dan frasa mengikat, saling terkait sama seperti dua sisi mata uang artinya dari suatu proses pemeriksaan telah memiliki kekuatan mengeratkkan atau menyatukan semua kehendak dan tidak dapat dibantah lagi. Makna harfiah di atas, bila dikaitkan dengan sifat final dan mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi artinya telah tertutup segala kemungkinan untuk menempuh upaya hukum.
Sifat dari putusan Mahkamah Konstitusi yaitu final yang artinya bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). Konsep ini mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni secara sederhana dan cepat sebagaimana diuraikan dalam penjelasan UU MK. Menurut Maruarar Siahaan Putusan Mahkamah Konstitusi sejak diucapkan dihadapan sidang terbuka umum mempunyai 3 kekuatan yaitu: kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian, dan kekuatan eksekutoarial.

1. Putusan MK Nomor 019/PUU-III/2005
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa hak asasi manusia mengakui hak-hak yang penting bagi kehidupan manusia. Demikian pentingnya hak untuk hidup dimaksud, sehingga Pasal 28I ayat (1) UUD Tahun 1945 menegaskan hak untuk hidup sebagai salah satu hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Hak untuk bekerja yang berkait secara langsung dengan hak untuk mencari nafkah sangatlah erat hubungannya dengan hak untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya.

Ketentuan tentang syarat tingkat pendidikan bagi seseorang yang akan bekerja di luar negeri, sebagaimana tercantum dalam Pasal 35 huruf d UU PPTKI, harus juga dilihat dari sudut pandang adanya jaminan hak untuk bekerja menurut Pasal 27 ayat (2) yang berkait erat dengan Pasal 28A, terutama hak atas kehidupan, Pasal 28H ayat (1) hak atas hidup sejahtera lahir batin dari UUD Tahun 1945. Pasal 35 huruf d UU PPTKI yang diajukan para Pemohon untuk diuji secara materiil adalah salah satu syarat bagi calon TKI yang “wajib” direkrut oleh pelaksana penempatan TKI swasta, yaitu bahwa calon TKI tersebut sekurang-kurangnya lulus Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) atau sederajat, selain syarat yang lain: (a) berusia sekurang-kurangnya 18 (delapan belas) tahun kecuali bagi TKI yang akan diperkerjakan pada Pengguna perseorangan sekurang-kurangnya berusia 21 (duapuluh satu) tahun; (b) sehat jasmani dan rohani; (c) tidak dalam keadaan hamil bagi calon tenaga kerja perempuan.

Pembatasan tingkat pendidikan di luar persyaratan yang ditentukan oleh pekerjaan sebagaimana tercantum dalam Pasal 35 huruf d UU PPTKI justru tidak mempunyai dasar alasan pembenar (rechtsvaardigingsgrond) menurut Pasal 28J ayat (2) UUD Tahun 1945 guna menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan tidak bertentangan dengan tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, serta tidak mengganggu keamanan dan ketertiban umum. Dengan demikian, pembatasan tingkat pendidikan SLTP yang terdapat dalam pasal UU PPTKI bertentangan dengan hak atas pekerjaan seseorang yang dijamin oleh Pasal 27 ayat (2), hak untuk mempertahankan hidup dan kehidupan Pasal 28A, serta hak untuk hidup sejahtera berdasarkan Pasal 28H ayat (1) UUD Tahun 1945. Dengan demikian, dalil para Pemohon sepanjang menyangkut Pasal 35 huruf d UU PPTKI cukup beralasan, sehingga oleh karenanya harus dikabulkan.

- Dissenting Opinion
1. Prof. H.A.S. Natabaya, S.H., LL.M
Pada intinya Prof Natabaya berpendapat bahwa pengertian diskriminasi harus diartikan setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang di dasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama (religion), ras (race), warna (colour), jenis kelamin (sex), bahasa (language), kesatuan politik (political opinion). Dari uraian tersebut Pasal 35 huruf d UU PPTKI sama sekali tidak mengandung sifat diskriminatif.
2. H. Achmad Roestandi, S.H
Persyaratan lulus pendidikan SLTP atau sederajat yang tercantum dalam Pasal 35 huruf d undang-undang a quo berlaku terhadap setiap orang. Dengan demikian, tidak ada diskriminasi yang terkandung dalam Pasal 35 huruf d undang-undang a quo. Kalaupun ada perbedaan perlakuan terhadap lulusan SLTP dan bukan lulusan SLTP, hal itu justru didasarkan pada asas keadilan yang memberikan “perlakuan yang berbeda terhadap hal yang memang berbeda”.

Persyaratan tersebut bukan merupakan permasalahan konstitusionalitas, tetapi merupakan pilihan kebijakan (policy) pembuat undang-undang (DPR dan Presiden).

2. Putusan MK Nomor 50/PUU-XI/2013
Para Pemohon pada pokoknya mendalilkan bahwa ketentuan Pasal 59 UU UU PPTKILN yang menyatakan, “TKI yang bekerja pada pengguna perseorangan yang telah berakhir perjanjian kerjanya dan akan memperpanjang perjanjian kerja, TKI yang bersangkutan harus pulang terlebih dahulu ke Indonesia.” Menurut para pemohon Pasal 59 a quo yang mengharuskan TKI bersangkutan untuk pulang terlebih dahulu ke Indonesia, adalah tidak efektif dan tidak efisien, serta berpotensi menghilangkan kesempatan TKI untuk bekerja pada majikan yang sama dan karenanya bertentangan dengan UUD Tahun 1945.

Menurut Mahkamah pengguna jasa TKI menurut Pasal 1 angka 7 UU UU PPTKILN adalah instansi Pemerintah, Badan Hukum Pemerintah, Badan Hukum Swasta, dan/atau perseorangan. TKI yang bekerja pada instansi pemerintah, badan hukum pemerintah, dan/atau badan hukum swasta ditempatkan oleh Pemerintah dengan dasar perjanjian tertulis antara Pemerintah dengan Pemerintah negara Pengguna TKI atau Pengguna berbadan hukum di negara tujuan, sedangkan TKI yang bekerja pada pengguna perseorangan ditempatkan oleh PPTKIS melalui mitra usaha di negara tujuan.
Jika perbedaan tata cara penempatan tersebut dikaitkan dengan ketentuan Pasal 59, akan memunculkan kesan diskriminasi karena TKI yang bekerja pada pengguna perseorangan diwajibkan pulang terlebih dahulu ke Indonesia jika perjanjian kerjanya berakhir dan TKI bersangkutan akan memperpanjang perjanjian kerja. Sementara bagi TKI yang bekerja selain pada pengguna perseorangan tidak terkena kewajiban untuk pulang terlebih dahulu ke Indonesia jika perjanjian kerjanya berakhir dan TKI bersangkutan akan memperpanjang perjanjian kerja. Menurut Mahkamah adalah kontraproduktif jika ketentuan yang mengharuskan pulang terlebih dahulu ke Indonesia yang dimaksud oleh pasal tersebut ternyata justru menyulitkan TKI bersangkutan untuk kembali bekerja pada majikan yang sama, atau setidaknya memperoleh kembali pekerjaan dengan kualitas yang sama.
Bahwa jika Pasal 59 UU UU PPTKILN dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada TKI, menurut Mahkamah pada kenyataannya norma pasal tersebut dan implikasinya justru mengikat TKI. Tentu tidak tepat disebut sebagai norma perlindungan hukum jika Pasal 59 UU UU PPTKILN justru menghilangkan atau setidaknya berpotensi menghilangkan kesempatan bagi TKI untuk memperpanjang perjanjian kerja yang sesuai.
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, mahkamah berpendapat ketentuan Pasal 59 UU UU PPTKILN telah menghalangi hak para Pemohon untuk diperlakukan sama di hadapan hukum serta melanggar hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Dengan demikian, menurut mahkamah permohonan para Pemohon mengenai pengujian konstitusional Pasal 59 UU UU PPTKILN tidak beralasan menurut hukum.

Dalam Perkara Nomor 019/PUU-III/2005 bahwa persyaratannya berpendidikan sekurang-kurangnya lulus Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) atau yang sederajat maka sekalipun seseorang telah dewasa (cukup usia) tidak dapat ditempatkan oleh para Pemohon untuk bekerja di luar negeri sekalipun lapangan pekerjaan di dalam negeri telah tertutup (tidak ada) jelas merupakan hambatan yang mengakibatkan kerugian bagi hak konstitusional para Pemohon sehingga persyaratannya berpendidikan sekurang-kurangnya lulus Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) atau yang sederajat untuk bekerja keluar negeri adalah inkonstitusional sebagaimana diamanatkan UUD Tahun 1945 dalam Pasal 28H ayat (2). Begitupula dalam perkara Nomor 50/PUU-XI/2013, ketentuan Pasal 59 UU UU PPTKILN telah menghalangi hak para Pemohon untuk diperlakukan sama di hadapan hukum serta melanggar hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Dengan demikian pengujian konstitusionalitas Pasal 59 UU UU PPTKILN inkonstitusional dan tidak beralasan menurut hukum, sehingga berdasarkan Pasal 10 huruf d Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai salah satu isi dari materi muatan undang-undang merupakan tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi, maka terhadap Pasal 35 huruf d dan Pasal 59 UU UU PPTKILN, yang menciptakan keadaan hukum baru maka perlu dilakukan revisi terhadap UU PPTKI, meskipun ada pendapat lain yang menyatakan bahwa suatu putusan dapat berlaku secara self-executing dimana suatu putusan akan langsung efektif berlaku tanpa diperlukan tindak lanjut lebih jauh dalam bentuk kebutuhan implementasi perubahan undang-undang.

UU Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri mengatur mengenai penempatan dan perlindungan tenaga kerja indonesia yang bekerja di luar negeri agar mereka dapat memperoleh pelayanan penempatan tenaga kerja secara cepat dan mudah dengan tetap mengutamakan keselamatan tenaga kerja baik fisik, moral maupun martabatnya. UU PPTKILN juga mengatur mengenai perizinan serta persyaratannya untuk dapat bekerja di luar negeri.
Terhadap 2 (dua) pengujian materiil UU PPTKILN yang di ajukan ke Mahkamah Konstitusi, terhadap kedua permohonan (Perkara Nomor 019/PUU-III/2005 dan perkara Nomor 50/PUU-XI/2013) Putusan MK hanya mengabulkan sebagian permohonan saja, namun demikian putusan tersebut telah menciptakan keadaan hukum yang baru atau meniadakan keadaan hukum sehingga perlu dilakukan revisi terhadap UU PPTKI, meskipun ada pendapat lain yang menyatakan bahwa suatu putusan dapat berlaku secara self-executing dimana suatu putusan akan langsung efektif berlaku tanpa diperlukan tindak lanjut lebih jauh dalam bentuk kebutuhan implementasi perubahan undang-undang.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bahwa materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi materi muatan mengenai tindak lanjut Putusan MK. Oleh karena itu, perlu segera dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan Dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri yang dituangkan dalam rencana perubahan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan Dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri baik sebagai daftar kumulatif terbuka maupun dalam Prolegnas Prioritas Tahunan.

Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi: Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Jo. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 Jo. Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Peradilan Umum / 01-11-2019

Berdasarkan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945), Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kemudian, Pasal 24 ayat (2) UUD Tahun 1945 mengatur bahwa Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Salah satu bentuk pelaksanaan kekuasaan kehakiman sesuai UUD Tahun 1945 diwujudkan dengan pembentukan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 (UU No. 2 Tahun 1986) Jo. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 (UU No. 8 Tahun 2004) Jo. Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 (UU No. 49 Tahun 2009) tentang Peradilan Umum (selanjutnya secara keseluruhan ketiganya UU tersebut disebut UU Peradilan Umum). UU Peradilan Umum telah mengalami perubahan sebanyak dua kali yaitu melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009. UU No. 49 Tahun 2009 telah beberapa kali diujikan ke Mahkamah Konstitusi, dan terdapat dua putusan yang telah dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi. Kedua putusan tersebut di antaranya Putusan No. 37/PUU-X/2012 dan Putusan No. 43/PUU-XIII/2015.

1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal atau ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi?
2. Apa akibat hukum terhadap pasal atau ayat suatu undang-undang yang dinyatakan Mahkamah Konstitusi sebagai konstitusionalitas/ inkonstitusional bersyarat?
3. Apakah terjadi disharmoni norma dalam suatu undang-undang jika suatu pasal atau ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi berimplikasi terhadap norma pasal atau ayat lain yang tidak diujikan?

Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam UUD Tahun 1945 memiliki dua fungsi ideal, yaitu MK dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi dan berfungsi untuk menjamin, mendorong, mengarahkan, membimbing, dan memastikan bahwa UUD Tahun 1945 dijalankan dengan sebaik-baiknya oleh penyelenggara negara agar nilai-nilai yang terkandung didalamnya dijalankan dengan benar dan bertanggung jawab; dan MK harus bertindak sebagai penafsir karena MK dikonstruksikan sebagai lembaga tertinggi penafsir UUD Tahun 1945.
Secara harfiah, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat memiliki makna hukum tersendiri. Frasa “final” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “terakhir dalam rangkaian pemeriksaan” sedangkan frasa mengikat diartikan sebagai “mengeratkan”, “menyatukan”. Bertolak dari arti harfiah ini maka frasa final dan frasa mengikat, saling terkait sama seperti dua sisi mata uang artinya dari suatu proses pemeriksaan telah memiliki kekuatan mengeratkkan atau menyatukan semua kehendak dan tidak dapat dibantah lagi. Makna harfiah di atas, bila dikaitkan dengan sifat final dan mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi artinya telah tertutup segala kemungkinan untuk menempuh upaya hukum.
Sifat dari putusan Mahkamah Konstitusi yaitu final yang artinya bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). Konsep ini mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni secara sederhana dan cepat sebagaimana diuraikan dalam penjelasan UU MK. Menurut Maruarar Siahaan Putusan Mahkamah Konstitusi sejak diucapkan dihadapan sidang terbuka umum mempunyai 3 kekuatan yaitu: kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian, dan kekuatan eksekutoarial.

1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-X/2012
Pokok permohonan Pemohon adalah pengujian materiil frasa “diatur dengan peraturan perundang-undangan” dalam:
• Pasal 25 ayat (6) UU No. 51 Tahun 2009
• Pasal 24 ayat (6) UU No. 50 Tahun 2009
• Pasal 25 ayat (6) UU No. 49 Tahun 2009
Mahkamah berpendirian tidaklah dapat ditemukan kaitan secara langsung antara norma yang diuji dan adanya prinsip independensi peradilan dan independensi hakim, sebagaimana yang didalilkan oleh Pemohon, karena pengaturan gaji pokok, tunjangan dan hak-hak lainnya beserta jaminan keamanan bagi ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan hanya dinyatakan akan diatur lebih lanjut dengan peraturan perundang-undangan, sehingga substansi norma yang diuji tidak berarti akan mengurangi atau mempengaruhi independensi peradilan ataupun independensi hakim.
Mahkamah Konstitusi berpandangan bahwa frasa “diatur dengan peraturan perundang-undangan” dalam Pasal 25 ayat (6) UU No. 51 Tahun 2009, Pasal 24 ayat (6) UU No. 50 Tahun 2009, dan Pasal 25 ayat (6) UU No. 49 Tahun 2009 merupakan bentuk dari delegasi kewenangan yang dibentuk dari Undang-Undang kepada peraturan perundang-undangan. Akan tetapi, sebuah bentuk delegasi harus memenuhi syarat-syarat kejelasan kewenangan apa saja yang didelegasikan dan kepada apa atau siapa delegasi kewenangan tersebut diberikan. Mengingat Pasal 25 ayat (6) UU No. 51 Tahun 2009, Pasal 24 ayat (6) UU No. 50 Tahun 2009, dan Pasal 25 ayat (6) UU No. 49 Tahun 2009 mengatur agar ketentuan lebih lanjut mengenai gaji pokok, tunjangan dan hak-hak lainnya beserta jaminan keamanan bagi ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan diatur dengan peraturan perundang-undangan tanpa menjelaskan jenis peraturan perundang-undangan dimaksud secara tegas untuk mengatur hal tersebut, padahal jenis-jenis peraturan perundang-undangan sudah ditentukan secara tegas, menurut Mahkamah, hal demikian merupakan pelanggaran terhadap prinsip kepastian hukum yang adil yang dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945.
Bahwa dalam rangka meluruskan ketidakjelasan frasa “diatur dengan peraturan perundang-undangan” dalam Pasal 25 ayat (6) UU No. 51 Tahun 2009, Pasal 24 ayat (6) UU No. 50 Tahun 2009, dan Pasal 25 ayat (6) UU No. 49 Tahun 2009, Mahkamah berpedoman pada Pasal 5 ayat (2) UUD Tahun 1945 yang menyatakan, “Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya”. Dengan demikian, frasa “diatur dengan peraturan perundang-undangan” dalam Pasal 25 ayat (6) UU No. 51 Tahun 2009, Pasal 24 ayat (6) No. 50 Tahun 2009, dan Pasal 25 ayat (6) UU No. 49 Tahun 2009, adalah bertentangan dengan UUD Tahun 1945 secara bersyarat.
Atas Pendapat Hukum Mahkamah Konstitusi tersebut, telah ditegaskan kembali bahwa dalam pendelegasian kewenangan dalam sebuah undang-undang harus memenuhi kejelasan kewenangan apa saja yang didelegasikan dan kepada apa atau siapa delegasi kewenangan tersebut diberikan. Dikarenakan tidak disebutkan mandatory kewenangan secara jelas, maka Mahkamah Konstitusi menyelaraskan hierarkisitas peraturan perundang-undangan sebagaimana ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011 yaitu UU No. 49 Tahun 2009 dilaksanakan melalui Peraturan Pemerintah.

2. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015
Para Pemohon mendalilkan kata “bersama” dan frasa “dan Komisi Yudisial” dalam Ketentuan Pasal 14A ayat (2), dan ayat (3) UU tentang Peradilan Umum, Pasal 13A ayat (2), dan ayat (3) UU tentang Peradilan Agama, Pasal 14A ayat (2), dan ayat (3) UU tentang Peradilan Tata Usaha Negara bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1), Pasal 24B ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945.
1. Keterlibatan Komisi Yudisial dalam proses seleksi pengangkatan hakim pada Peradilan Umum, Peradilan Agama dan Peradilan Tata Usaha Negara adalah inkonstitusional, karena bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1), Pasal 24B ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945;
2. Bahwa “kekuasaan kehakiman yang merdeka” tidak hanya dalam konteks pelaksanaan kewenangan hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara, melainkan juga untuk melakukan proses seleksi dan perekrutan hakim yang berkualitas secara independen dan mandiri. Dengan berlakunya pasal a quo akan dapat menjadi pintu masuk bagi intervensi suatu lembaga terhadap lembaga lain yang akan merusak mekanisme checks and balances yang dibangun. Adanya keterlibatan Komisi Yudisial dalam seleksi pengangkatan hakim pengadilan negeri, pengadilan agama, dan pengadilan tata usaha negara akan merusak sistem kekuasaan kehakiman yang dijamin oleh konstitusi karena adanya “segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain diluar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam UUD Tahun 1945”;
3. Bahwa rumusan menyangkut keterlibatan Komisi Yudisial dalam proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan negeri, pengadilan agama dan pengadilan tata usaha negara, sebagaimana yang tercantum dalam ketentuan pasal-pasal a quo,menimbulkan implikasi ketidakpastian hukum dan menimbulkan persoalan konstitusionalitas.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah ketentuan Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) UU tentang Peradilan Umum, Pasal 13A ayat (2) dan ayat (3) UU tentang Peradilan Agama, Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) UU tentang Peradilan Tata Usaha Negara sepanjang kata "bersama" dan frasa "dan Komisi Yudisial" adalah bertentangan dengan Pasal 24B ayat (1) UUD Tahun 1945. Bahwa atas Putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa Komisi Yudisial bukanlah pelaku kekuasaan kehakiman, namun perannya sebagai pengawas pelaksanaan kekuasaan kehakiman dari sisi etik perorangan hakim tanpa melakukan intervensi terhadap kemerdekaan hakim dalam membuat sebuah putusan.
Dengan demikian, berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum.

Dissenting Opinion
Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna berpendapat, keterlibatan Komisi Yudisial dalam proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan negeri, hakim pengadilan agama, dan hakim pengadilan tata usaha negara yang dilakukan bersama-sama dengan Mahkamah Agung tidaklah mengganggu administrasi, organisasi, maupun finansial pengadilan sepanjang dipahami (dan terbatas pada) bahwa keterlibatan Komisi Yudisial itu konteksnya adalah keterlibatan dalam memberikan pemahaman kode etik dan pedoman perilaku hakim bagi para calon hakim yang telah dinyatakan lulus dalam proses seleksi sebagai calon pegawai negeri sipil. Sesungguhnya, mekanisme yang sudah dipraktikkan selama ini, sebelum adanya permohonan a quo dimana Komisi Yudisial dilibatkan dalam pemberian materi ajar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, melakukan pengawasan pelaksanaan pendidikan dan latihan calon hakim, serta melakukan monitoring pelaksanaan proses magang para calon hakim hingga turut serta dalam rapat penentuan kelulusan para peserta pendidikan dan latihan calon hakim, menurut Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna adalah penafsiran sekaligus implementasi yang tepat terhadap pengertian “wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim” yang diberikan oleh UUD Tahun 1945 kepada Komisi Yudisial. Mahkamah seharusnya memutus dan menyatakan norma Undang-Undang yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo konstitusional bersyarat (conditionally constitutional), yaitu sepanjang frasa “bersama Komisi Yudisial” dalam proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan negeri, hakim pengadilan agama, dan hakim pengadilan tata usaha negara sebagaimana diatur dalam ketiga Undang-Undang a quo dimaknai sebagai diikutsertakannya Komisi Yudisial dalam proses pemberian materi kode etik dan pedoman perilaku hakim bagi para calon hakim pengadilan negeri, calon hakim pengadilan agama, dan calon hakim pengadilan tata usaha negara dalam proses seleksi tersebut.

Setelah dilakukan dua kali perubahan UU tentang Peradilan Umum, ternyata dalam implementasinya masih terdapat pengujian materil UU tersebut melalui Mahkamah Konstitusi. Evaluasi UU No. 49 Tahun 2009 dilakukan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 37/PUU-X/2012 dan No. 43/PUU-XIII/2015. Ketentuan Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) UU No. 49 Tahun 2009 tersebut bertentangan dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 yaitu asas dapat dilaksanakan, bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis. Bahwa secara filosofis dan yuridis, seharusnya tidak ada keterlibatan wewenang Komisi Yudisial yang terbatas pada pengawasan etik hakim saja.
Berdasarkan Pasal 10 UU No. 12 Tahun 2011 diatur bahwa materi muatan yang harus diatur dengan undang-undang salah satunya adalah tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi dan dilakukan oleh DPR atau Presiden untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum sehingga dibutuhkan perubahan/penggantian UU No. 49 Tahun 2009 untuk menyesuaikan dengan Putusan Nomor 37/PUU-X/2012 dan Putusan Nomor 43/PUU-XIII/2015.

1. Bahwa berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi yang telah mengubah makna pasal/ayat UU yang diuji, maka telah menciptakan keadaan hukum baru, yaitu:
a. Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-X/2012, Pasal 25 ayat (6) UU No. 49 Tahun 2009 sepanjang frasa “diatur dengan peraturan perundang-undangan” bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “diatur dengan Peraturan Pemerintah.” Isi ketentuan Pasal 25 ayat (6) UU No. 49 Tahun 2009 menjadi dimaknai: Ketentuan lebih lanjut mengenai gaji pokok, tunjangan dan hak-hak lainnya beserta jaminan keamanan bagi ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
b. Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi 43/PUU-XIII/2015, Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) sepanjang kata “bersama” dan frasa “dan Komisi Yudisial” UU No. 49 Tahun 2009 bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Isi ketentuan Pasal 14A menjadi:
ayat (2): “Proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan tata usaha negara dilakukan bersama oleh Mahkamah Agung.”
ayat (3): Ketentuan lebih lanjut mengenai proses seleksi diatur bersama oleh Mahkamah Agung.
2. Bahwa dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-X/2012 dan 43/PUU-XIII/2015 yang menyatakan Pasal 25 ayat (6), Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) UU No. 49 Tahun 2009 bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, maka telah menciptakan keadaan hukum baru.
Berdasarkan implikasi dari kedua Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, jika dilakukan perubahan terhadap UU No. 49 Tahun 2009 oleh pembentuk undang-undang, maka harus dilakukan sesuai dengan putusan Mahkamah yang bersifat final dan mengikat. Perlu dilakukan reformulasi materi muatan atas beberapa hal yang telah diputus Mahkamah Konstitusi agar penyelenggaraan peradilan oleh peradilan umum berjalan sesuai UUD Tahun 1945. Selain itu, UU terkait yaitu UU No. 18 Tahun 2011 juga perlu melakukan penyesuaian materi dengan Putusan No. 43/PUU-XIII/2015.

1. Secara umum, terdapat beberapa ketentuan di dalam No. 49 Tahun 2009 yang diperlukan reformulasi ulang akibat dari adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-X/2012 dan 43/PUU-XIII/2015.
2. Bahwa pembentuk undang-undang perlu untuk segera menindaklanjuti dengan mengubah ketentuan-ketentuan Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3), serta Pasal 25 ayat (6), UU No. 49 Tahun 2009 yang terkena dampak dari putusan Mahkamah Konsitusi.
3. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pembentuk undang-undang perlu untuk segera menindaklanjuti hasil putusan Mahkamah Konsitusi tersebut dengan segera melakukan penyesuaian atau perubahan UU No. 49 Tahun 2009 dan segera menetapkan dalam Program Legislasi Nasional Kumulatif Terbuka.

Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi: Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara / 01-11-2019

Dalam rangka mencapai tujuan nasional sebagaimana tercantum dalam alinea ke-4 Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945), diperlukan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang profesional, bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat dan mampu menjalankan peran sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan UUD Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) selama ini telah diajukan beberapa kali diajukan pengujian ke Mahkamah Konstitusi, namun yang dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi sampai dengan saat ini tercatat ada 3 (tiga) putusan yaitu Putusan Perkara Nomor 41/PUU-XII/2014, Putusan Perkara Nomor 8/PUU-XIII/2015, dan Putusan Perkara Nomor 87/PUU-XVI/2018.

1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal atau ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi?
2. Apa akibat hukum terhadap pasal atau ayat suatu undang-undang yang dinyatakan Mahkamah Konstitusi sebagai konstitusionalitas/ inkonstitusional bersyarat?
3. Apakah terjadi disharmoni norma dalam suatu undang-undang jika suatu pasal atau ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi berimplikasi terhadap norma pasal atau ayat lain yang tidak diujikan khususnya?

Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam UUD Tahun 1945 memiliki dua fungsi ideal, yaitu MK dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi dan berfungsi untuk menjamin, mendorong, mengarahkan, membimbing, dan memastikan bahwa UUD Tahun 1945 dijalankan dengan sebaik-baiknya oleh penyelenggara negara agar nilai-nilai yang terkandung didalamnya dijalankan dengan benar dan bertanggung jawab; dan MK harus bertindak sebagai penafsir karena MK dikonstruksikan sebagai lembaga tertinggi penafsir UUD Tahun 1945.
Secara harfiah, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat memiliki makna hukum tersendiri. Frasa “final” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “terakhir dalam rangkaian pemeriksaan” sedangkan frasa mengikat diartikan sebagai “mengeratkan”, “menyatukan”. Bertolak dari arti harfiah ini maka frasa final dan frasa mengikat, saling terkait sama seperti dua sisi mata uang artinya dari suatu proses pemeriksaan telah memiliki kekuatan mengeratkkan atau menyatukan semua kehendak dan tidak dapat dibantah lagi. Makna harfiah di atas, bila dikaitkan dengan sifat final dan mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi artinya telah tertutup segala kemungkinan untuk menempuh upaya hukum.
Sifat dari putusan Mahkamah Konstitusi yaitu final yang artinya bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). Konsep ini mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni secara sederhana dan cepat sebagaimana diuraikan dalam penjelasan UU MK. Menurut Maruarar Siahaan Putusan Mahkamah Konstitusi sejak diucapkan dihadapan sidang terbuka umum mempunyai 3 kekuatan yaitu: kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian, dan kekuatan eksekutoarial.

1. Putusan Perkara Nomor 41/PUU-XII/2014
Dalam perkara ini, Para Pemohon yang semuanya berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil mengajukan pengujian ketentuan Pasal 119 dan Pasal 123 ayat (3) UU ASN . Pasal 119 UU ASN menyatakan, “Pejabat pimpinan tinggi madya dan pejabat pimpinan tinggi pratama yang akan mencalonkan diri menjadi gubernur dan wakil gubernur, bupati/walikota, dan wakil bupati/wakil walikota wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis dari PNS sejak mendaftar sebagai calon”.
Pasal 123 ayat (3) UU ASN menyatakan, “Pegawai ASN dari PNS yang mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi Presiden dan Wakil Presiden; ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat; ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah; gubernur dan wakil gubernur; bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS sejak mendaftar sebagai calon”. Pertanyaan yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam hubungan ini adalah apakah adil dan sekaligus memberi kepastian hukum apabila seorang PNS yang hendak mencalonkan diri sebagai pejabat publik yang mekanisme pengisiannya dilakukan melalui pemilihan harus menyatakan pengunduran dirinya secara tertulis sebagai PNS sejak saat ia mendaftar sebagai calon? Apabila syarat pengunduran diri PNS tersebut dimaknai seperti yang tertulis dalam ketentuan UU ASN di atas maka seorang PNS akan segera kehilangan statusnya sebagai PNS begitu ia mendaftar sebagai pejabat publik yang mekanisme pengisiannya dilakukan melalui pemilihan. Pemaknaan atau penafsiran demikian memang telah memberi kepastian hukum namun mengabaikan aspek keadilan. Dengan kata lain, pemaknaan demikian hanyalah memenuhi sebagian dari jaminan hak konstitusional yang dinyatakan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945, yaitu hanya aspek kepastian hukumnya. Padahal, Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945 tegas menyatakan bahwa hak dimaksud bukanlah sekadar hak atas kepastian hukum melainkan hak atas kepastian hukum yang adil. Dalam UU 8/2015 juga terdapat ketentuan yang mempersyaratkan PNS mengundurkan diri sejak mendaftar sebagai calon kepala daerah atau wakil kepala daerah, sementara bagi anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD hanya dipersyaratkan memberitahukan kepada pimpinannya jika hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah. Hal itu diatur dalam Pasal 7 huruf s dan huruf t UU 8/2015.
Kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah jabatan publik atau jabatan politik yang mekanisme pengisiannya juga dilakukan melalui pemilihan. Oleh karena itu syarat pengunduran diri bagi PNS yang hendak mencalonkan diri menjadi kepala daerah atau wakil kepala daerah tidaklah bertentangan dengan UUD Tahun 1945, sebagaimana telah ditegaskan dalam putusan-putusan Mahkamah yang telah dijelaskan dalam paragraf [3.13] di atas. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah mengapa syarat yang sama tidak berlaku bagi anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD? Oleh karena itu, agar proporsional dan demi memenuhi tuntutan kepastian hukum yang adil, baik PNS maupun anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD haruslah sama-sama dipersyaratkan mengundurkan diri apabila hendak mencalonkan diri guna menduduki jabatan publik atau jabatan politik lainnya yang mekanismenya dilakukan melalui pemilihan (elected officials). Namun, demi memenuhi tuntutan kepastian hukum yang adil pula, pengunduran diri dimaksud dilakukan bukan pada saat mendaftar melainkan pada saat yang bersangkutan telah ditetapkan secara resmi sebagai calon oleh penyelenggara pemilihan dengan cara membuat pernyataan yang menyatakan bahwa apabila telah ditetapkan secara resmi oleh penyelenggara pemilihan sebagai calon dalam jabatan publik atau jabatan politik yang mekanismenya dilakukan melalui pemilihan itu maka yang bersangkutan membuat surat pernyataan pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali, yaitu pada saat mendaftarkan diri dan berlaku sejak ditetapkan secara resmi sebagai calon. Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa Pasal 119 dan Pasal 123 ayat (3) UU ASN bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat.

2. Putusan Perkara Nomor 8/PUU-XIII/2015
Dalam perkara ini, Para Pemohon yang berjumlah 3 (tiga) orang semuanya berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil dan diberhentikan dengan tidak hormat dari pekerjaan Pemohon sebagai PNS karena menjadi anggota salah satu partai politik mengajukan pengujian ketentuan Pasal 87 ayat (4) huruf c UU ASN, Pasal 119 UU ASN beserta Penjelasannya, Pasal 123 ayat (3) UU ASN beserta Penjelasannya, dan Pasal 124 ayat (2) UU ASN. UU ASN mengembangkan sistem merit secara terintegrasi dalam kebijakan dan manajemen ASN. Hal ini sebagai upaya mencapai cita-cita reformasi birokrasi membenahi ASN secara struktural dan kultural, membangun aparatur negara lebih berdaya guna dan berhasil guna dalam mengemban tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional. Menurut Mahkamah untuk mewujudkan reformasi birokrasi yang mendasarkan pada sistem merit, maka setiap pegawai ASN harus memiliki jabatan. Konsekuensi dari adanya jabatan adalah kinerja yang di dalamnya mengandung tugas dan tanggung jawab yang harus dijalankan, yang selanjutnya kinerja tersebut menjadi tolok ukur dalam penggajian, serta reward dan punishment. Sebagai konsekuensi dari prinsip bahwa setiap pegawai ASN harus memiliki jabatan, maka jika yang bersangkutan tidak memiliki jabatan dalam dua tahun maka akan diberhentikan dengan hormat.
Oleh karena itu menurut Mahkamah jika seorang PNS tidak menjabat lagi sebagai pejabat negara, apabila hendak kembali berkarir sebagai pegawai ASN, maka yang bersangkutan harus menduduki jabatan, baik Jabatan Pimpinan Tinggi, Jabatan Administrasi, atau Jabatan Fungsional (vide Pasal 124 ayat (1) UU ASN), sehingga yang bersangkutan memiliki tugas dan tanggung jawab yang melekat pada jabatannya tersebut. Jika yang bersangkutan tidak menduduki jabatan maka tidak ada kinerja yang dilakukan, dengan kata lain yang bersangkutan hanya menerima gaji tanpa melakukan pekerjaan. Hal demikian tentu tidak sesuai dengan sistem merit, dan terlebih lagi tidak memberi rasa keadilan bagi pegawai ASN lainnya yang kinerjanya dijadikan tolok ukur untuk sistem penilaian dan penggajian. Untuk itu menurut Mahkamah akan lebih memberi rasa keadilan dan kemanfaatan jika seorang PNS yang tidak lagi menjabat sebagai pejabat negara, namun tidak menduduki Jabatan Pimpinan Tinggi, Jabatan Administrasi atau Jabatan Fungsional, baik atas kehendaknya sendiri ataupun karena tidak tersedia lowongan jabatan, diberhentikan dengan hormat.
Mahkamah berpendapat bahwa jika jangka waktu yang diberikan kepada PNS untuk menduduki jabatan setelah tidak menjabat lagi sebagai pejabat negara hanya 2 (dua) tahun sebagaimana ditentukan Pasal 124 ayat (2) UU ASN, hal ini tidak proporsional jika dihubungkan dengan ketentuan Pasal 117 ayat (1) UU ASN yang menyatakan bahwa jabatan pimpinan tinggi hanya dapat diduduki paling lama 5 (lima) tahun. Menurut Mahkamah jangka waktu untuk menduduki jabatan setelah tidak menjabat lagi sebagai pejabat negara harus disesuaikan dengan masa menduduki Jabatan Pimpinan Tinggi sebagaimana diatur dalam Pasal 117 ayat (1) UU ASN yaitu 5 (lima) tahun. Sehingga PNS yang tidak menjabat lagi sebagai pejabat negara dapat lebih leluasa untuk mendapat kesempatan menduduki Jabatan Pimpinan Tinggi, dan jika dalam jangka waktu 5 tahun yang bersangkutan tetap tidak menduduki jabatan, baik Jabatan Pimpinan Tinggi, Jabatan Administrasi Umum, atau Jabatan Fungsional, barulah yang bersangkutan diberhentikan dengan hormat.

3. Putusan Perkara Nomor 87/PUU-XVI/2018
Pemohon bernama Hendrik, B.Sc. berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil mengajukan pengujian ketentuan Pasal 87 ayat (2) dan ayat (4) huruf b dan huruf d UU ASN. Pasal 87 ayat (4) UU ASN secara keseluruhan adalah mengatur tentang alasan-alasan yang menyebabkan seorang PNS diberhentikan tidak dengan hormat.
Bagaimana halnya dengan keberadaan frasa “dan/atau tindak pidana umum” yang dijadikan sebagai bagian tak terpisahkan dari norma dalam Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN. Persoalannya bukanlah terletak pada adanya frasa “dan/atau tindak pidana umum” itu sendiri melainkan kaitannya dengan norma lain dalam pasal yang sama, yaitu norma dalam Pasal 87 ayat (2) UU ASN. Jika norma yang tertuang dalam Pasal 87 ayat (4) huruf b dihubungkan dengan norma yang termaktub dalam Pasal 87 ayat (2), persoalan yang timbul adalah apa yang akan dilakukan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian jika seorang PNS melakukan tindak pidana umum yang dijatuhi pidana penjara dua tahun berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, apakah akan melakukan tindakan dengan memberlakukan Pasal 87 ayat (2) UU ASN, yaitu memberhentikan dengan hormat atau tidak memberhentikan PNS yang bersangkutan, ataukah akan memberlakukan Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN, yaitu memberhentikan tidak dengan hormat PNS yang bersangkutan karena adanya frasa “dan/atau pidana umum” dalam Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN tersebut. Keadaan demikian, di samping menimbulkan ketidakpastian hukum juga membuka peluang bagi Pejabat Pembina Kepegawaian untuk melakukan tindakan berbeda terhadap dua atau lebih bawahannya yang melakukan pelanggaran yang sama.
keberadaan frasa “dan/atau pidana umum” dalam Pasal 87 ayat (4) huruf b telah menimbulkan ketidakpastian hukum serta membuka peluang lahirnya ketidakadilan sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945. Karena itu, meskipun Pemohon tidak secara khusus mendalilkan pertentangan Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN dikaitkan dengan frasa “dan/atau pidana umum” namun oleh karena frasa dimaksud merupakan satu kesatuan dengan norma Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN dan oleh karena telah terbukti bahwa frasa “dan/atau pidana umum” dimaksud telah menimbulkan ketidakpastian hukum maka dalil Pemohon yang terkait dengan norma pasal a quo adalah beralasan menurut hukum sepanjang berkenaan dengan frasa “dan/atau pidana umum”.

Bahwa UU ASN telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Perkara Nomor 41/PUU-XII/2014, Perkara 8/PUU-XIII/2015, dan Perkara 87/PUU-XVI/2018. Dalam putusan perkara Nomor 41/PUU-XII/2014, Mahkamah Konstitusi memutus bahwa:
• Pasal 119 dan Pasal 123 ayat (3) UU ASN bertentangan dengan UUD Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS harus dilakukan bukan sejak mendaftar sebagai calon melainkan pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS dilakukan sejak ditetapkan sebagai calon peserta Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dan Pemilu Presiden/ Wakil Presiden serta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”;
• Pasal 119 dan Pasal 123 ayat (3) UU ASN tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS harus dilakukan bukan sejak mendaftar sebagai calon melainkan pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS dilakukan sejak ditetapkan sebagai calon peserta Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dan Pemilu Presiden/ Wakil Presiden serta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”;
Kemudian dalam Putusan Perkara 8/PUU-XIII/2015, Mahkamah Konstitusi memutus bahwa:
• Pasal 124 ayat (2) UU ASN bertentangan dengan UUD Tahun 1945 sepanjang mengenai frasa “2 (dua) tahun” dalam ketentuan tersebut tidak dimaknai “5 (lima) tahun”;
• Pasal 124 ayat (2) UU ASN tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang mengenai frasa “2 (dua) tahun” dalam ketentuan tersebut tidak dimaknai “5 (lima) tahun”;
• Pasal 124 ayat (2) UU ASN selengkapnya menjadi “Dalam hal tidak tersedia lowongan jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam waktu paling lama 5 (lima) tahun PNS yang bersangkutan diberhentikan dengan hormat”;
Selanjutnya dalam Putusan Perkara Nomor 87/PUU-XVI/2018, Mahkamah Konstitusi memutus bahwa:
• Menyatakan frasa “dan/atau pidana umum” dalam Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN menjadi berbunyi, “dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan”;
Bahwa setelah dilakukan evaluasi terhadap putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan pengujian UU ASN tersebut, maka selanjutnya pembentuk Undang-Undang segera melakukan perubahan atau penyesuaian materi muatan UU ASN berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi.

1. Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PUU-XII/2014, isi ketentuan Pasal 119 UU ASN menjadi : “Pejabat pimpinan tinggi madya dan pejabat pimpinan tinggi pratama yang akan mencalonkan diri menjadi gubernur dan wakil gubernur, bupati/walikota, dan wakil bupati/wakil walikota wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis dari PNS sejak mendaftar sebagai calon.” dan ketentuan Pasal 123 ayat (3) UU ASN yang mengatur: “Pegawai ASN dari PNS yang mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi Presiden dan Wakil Presiden; ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat; ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah; gubernur dan wakil gubernur; bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS sejak mendaftar sebagai calon” menjadi bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS harus dilakukan bukan sejak mendaftar sebagai calon melainkan pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS dilakukan sejak ditetapkan sebagai calon peserta Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dan Pemilu Presiden/ Wakil Presiden serta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”;
2. Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 8/PUU-XVI/2015, isi ketentuan Pasal 124 ayat (2) UU ASN menjadi: “Dalam hal tidak tersedia lowongan jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun PNS yang bersangkutan diberhentikan dengan hormat.” menjadi bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang mengenai frasa “2 (dua) tahun” dalam ketentuan tersebut tidak dimaknai “5 (lima) tahun”; Selanjutnya, Pasal 124 ayat (2) UU ASN selengkapnya menjadi “Dalam hal tidak tersedia lowongan jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam waktu paling lama 5 (lima) tahun PNS yang bersangkutan diberhentikan dengan hormat”;
3. Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 87/PUU-XVI/2018, isi ketentuan Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN menjadi :“PNS diberhentikan tidak dengan hormat karena: b. dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan dan/atau pidana umum; menjadi bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN menjadi berbunyi, “dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan”
4. Bahwa dengan adaya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PUU-XII/2014, Nomor 8/PUU-XIII/2015, 87/PUU-XVI/2018 yang menyatakan Pasal 119, Pasal 123 ayat (3), Pasal 124 ayat (2), dan Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara konstitusional bersyarat telah menciptakan keadaan hukum baru.

1. Bahwa pembentuk undang-undang perlu untuk segera menindaklanjuti dengan mengubah Pasal 119, Pasal 123 ayat (3), Pasal 124 ayat (2), dan Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN.
2. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pembentuk undang-undang perlu untuk segera menindaklanjuti hasil putusan Mahkamah Konsitusi tersebut dengan segera melakukan penyesuaian atau perubahan UU ASN dan segera menetapkan dalam Program Legislasi Nasional Kumulatif Terbuka.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Jo. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara / 01-11-2019

Berdasarkan Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945) bahwa kekuasaan untuk menyelenggarakan peradilan dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan tata usaha negara serta oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman, dalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 jo Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004, ditegaskan bahwa Kekuasaan Kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan yang berada dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) merupakan lingkungan peradilan yang terakhir dibentuk, yang ditandai dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986. UU PTUN selama ini telah diajukan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi, akan tetapi yang dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi sampai dengan saat ini ada 3 putusan yaitu Putusan Perkara Nomor 17/PUU-IX/2011, Putusan Perkara Nomor 37/PUU-X/2012 dan Putusan Perkara Nomor 43/PUU-XIII/2015.

1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal atau ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi khususnya terhadap UU Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN)?
2. Apa akibat hukum terhadap pasal atau ayat suatu undang-undang yang dinyatakan Mahkamah Konstitusi sebagai konstitusionalitas/inkonstitusional bersyarat khususnya dalam UU Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN)?
3. Apakah terjadi disharmoni norma dalam suatu undang-undang jika suatu pasal atau ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi berimplikasi terhadap norma pasal atau ayat lain yang tidak diujikan khususnya dalam UU Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN)?

Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam UUD Tahun 1945 memiliki dua fungsi ideal, yaitu MK dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi dan berfungsi untuk menjamin, mendorong, mengarahkan, membimbing, dan memastikan bahwa UUD Tahun 1945 dijalankan dengan sebaik-baiknya oleh penyelenggara negara agar nilai-nilai yang terkandung didalamnya dijalankan dengan benar dan bertanggung jawab; dan MK harus bertindak sebagai penafsir karena MK dikonstruksikan sebagai lembaga tertinggi penafsir UUD Tahun 1945.
Secara harfiah, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat memiliki makna hukum tersendiri. Frasa “final” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “terakhir dalam rangkaian pemeriksaan” sedangkan frasa mengikat diartikan sebagai “mengeratkan”, “menyatukan”. Bertolak dari arti harfiah ini maka frasa final dan frasa mengikat, saling terkait sama seperti dua sisi mata uang artinya dari suatu proses pemeriksaan telah memiliki kekuatan mengeratkkan atau menyatukan semua kehendak dan tidak dapat dibantah lagi. Makna harfiah di atas, bila dikaitkan dengan sifat final dan mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi artinya telah tertutup segala kemungkinan untuk menempuh upaya hukum.
Sifat dari putusan Mahkamah Konstitusi yaitu final yang artinya bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). Konsep ini mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni secara sederhana dan cepat sebagaimana diuraikan dalam penjelasan UU MK. Menurut Maruarar Siahaan Putusan Mahkamah Konstitusi sejak diucapkan dihadapan sidang terbuka umum mempunyai 3 kekuatan yaitu: kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian, dan kekuatan eksekutoarial.

1. Putusan Perkara Nomor 17/PUU-XII/2011
Menurut Mahkamah, Pemohon telah merujuk pada pasal yang tidak lagi berlaku dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, dimana UU PTUN telah diubah dua kali. Pengertian “Keputusan Tata Usaha Negara” sebagaimana diatur pada Pasal 1 angka 3 UU PTUN mengalami perubahan menjadi Pasal 1 angka 9 UU 51 Tahun 2009, sehingga dalil Pemohon yang meminta Mahkamah untuk membatalkan Pasal 1 angka 3 UU PTUN yang mengatur mengenai pengertian “Keputusan Tata Usaha Negara” adalah tidak tepat karena adanya kesalahan mengenai objek permohonan. Bahwa Pemohon juga mendalilkan Pasal 77 ayat (1) UU PTUN telah merugikan hak konstitusional Pemohon karena tidak merumuskan secara pasti mengenai waktu bagi pengadilan untuk memutus eksepsi tentang kewenangan absolut. Secara umum, huum acara PTUN tidak menyinggung mengenai batas waktu untuk menjatuhkan putusan eksepsi tentang kompetensi absolut. Menurut Mahkamah, dalil Pemohon pada Pasal 226 ayat (1) KUHAP bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (2) UUD Tahun 1945, kekuasaan kehakiman memiliki asas untuk menyelenggarakan peradilan cepat, sederhana dan berbiaya ringan yang diadopsi dalam UU Kekuasaan Kehakiman, namun dalam praktiknya penerapan prinsip peradilan tersebut tidaklah sama. Oleh sebab itu, norma dalam Pasal 226 ayat (1) KUHAP merupakan kebijakan hukum yang bersifat terbuka (opened legal policy) dari pembentuk UU berdasarkan asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan, serta kepentingan para pencari keadilan. Dengan demikian permohonan Pemohon tidak beralasan hukum.
Dalam Pasal 109 ayat (3) UU PTUN, menurut Mahkamah, untuk menghindari ketidakpastian hukum maka diberlakukan asas lex posteriori derogate lex priori, artinya Pasal 109 ayat (3) UU PTUN sebagai lex posteriori yang telah ada lebih dahulu dinyatakan tidak berlaku dengan adanya ketentuan Pasal 51A ayat (2) UU 51 Tahun 2009. Dan tidak ada kaitannya terhadap Pasal 28H ayat (2) UUD Tahun 1945. Dengan demikian, dalil Pemohon sepanjang pengujian Pasal 109 ayat (3) UU PTUN terhadap Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945 beralasan menurut hukum.

2. Putusan Perkara Nomor 37/PUU-XII/2012
Terhadap dalil Pemohon yang menyatakan frasa “diatur dengan peraturan perundang-undangan” dalam Pasal-Pasal a quo yang mengakibatkan tidak dapat dilaksanakannya hak-hak konstitusional hakim sebagai pejabat pelaksana kekuasaan kehakiman dalam Undang-Undang tersebut, untuk dapat menjalankan tugas dan kewajiban mengadili perkara, serta menjaga kemerdekaan dan independensi peradilan, Mahkamah telah berpendirian dalam Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006 bertanggal 23 Agustus 2006 yang pada intinya tidak dapat ditemukan kaitan secara langsung antara norma yang diuji dan adanya prinsip independensi peradilan dan independensi hakim, sebagaimana yang didalilkan oleh Pemohon, karena pengaturan gaji pokok, tunjangan dan hak-hak lainnya beserta jaminan keamanan bagi ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan hanya dinyatakan akan diatur lebih lanjut dengan peraturan perundang-undangan, sehingga substansi norma yang diuji tidak berarti akan mengurangi atau mempengaruhi independensi peradilan ataupun independensi hakim.
Mahkamah berpandangan bahwa frasa “diatur dengan peraturan perundang-undangan” dalam Pasal 25 ayat (6) UU PTUN, Pasal 24 ayat (6) UU Peradilan Agama, dan Pasal 25 ayat (6) UU Peradilan Umum merupakan bentuk dari delegasi kewenangan yang dibentuk dari Undang-Undang kepada peraturan perundang-undangan. Akan tetapi, sebuah bentuk delegasi harus memenuhi syarat-syarat kejelasan kewenangan apa saja yang didelegasikan dan kepada apa atau siapa delegasi kewenangan tersebut diberikan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (selanjutnya disebut UU 12/2011), terdapat berbagai jenis peraturan perundang-undangan sesuai dengan hierarkinya, yaitu: UUD Tahun 1945, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; Peraturan Daerah Provinsi; dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Mengingat Pasal 25 ayat (6) UU PTUN, Pasal 24 ayat (6) UU Peradilan Agama, dan Pasal 25 ayat (6) UU Peradilan Umum mengatur agar ketentuan lebih lanjut mengenai gaji pokok, tunjangan dan hak-hak lainnya beserta jaminan keamanan bagi ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan diatur dengan peraturan perundang-undangan tanpa menjelaskan jenis peraturan perundang- undangan dimaksud secara tegas untuk mengatur hal tersebut, padahal jenis-jenis peraturan perundang-undangan sudah ditentukan secara tegas, menurut Mahkamah, hal demikian merupakan pelanggaran terhadap prinsip kepastian hukum yang adil yang dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
Mahkamah menilai, belum jelasnya peraturan perundang-undangan yang akan dipergunakan untuk mengatur lebih lanjut mengenai gaji pokok, tunjangan dan hak-hak lainnya beserta jaminan keamanan bagi ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan pada praktiknya menyebabkan terjadinya beraneka ragam peraturan perundang-undangan yang mengatur gaji pokok, tunjangan, dan hak-hak lainnya bagi para hakim dalam lingkungan peradilan tata usaha negara, peradilan agama.
dalam rangka meluruskan ketidakjelasan frasa “diatur dengan peraturan perundang-undangan” dalam Pasal 25 ayat (6) UU PTUN, Pasal 24 ayat (6) UU Peradilan Agama, dan Pasal 25 ayat (6) UU Peradilan Umum, Mahkamah berpedoman pada Pasal 5 ayat (2) UUD Tahun 1945 yang menyatakan, “Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya”. Dengan demikian, frasa “diatur dengan peraturan perundang-undangan” dalam Pasal 25 ayat (6) UU PTUN, Pasal 24 ayat (6) UU Peradilan Agama, dan Pasal 25 ayat (6) UU Peradilan Umum adalah bertentangan dengan UUD Tahun 1945 secara bersyarat.
Atas Pendapat Hukum Mahkamah Konstitusi tersebut, telah ditegaskan kembali bahwa dalam pendelegasian kewenangan dalam sebuah undang-undang harus memenuhi kejelasan kewenangan apa saja yang didelegasikan dan kepada apa atau siapa delegasi kewenangan tersebut diberikan. Dikarenakan tidak disebutkan mandatory kewenangan secara jelas, maka Mahkamah Konstitusi menyelaraskan hierarkisitas peraturan perundang-undangan sebagaimana ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011 yaitu UUPA dilaksanakan melalui Peraturan Pemerintah.

3. Putusan Perkara Nomor 43/PUU-XII/2015
Mahkamah berpandangan bahwa untuk menjamin terwujudnya independensi hakim memerlukan kelembagaan yang independen pula sebagaimana amanat Pasal 24 ayat (1) UUD Tahun 1945 yaitu, “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.
Bahwa menurut Mahkamah seleksi dan pengangkatan calon hakim pengadilan tingkat pertama menjadi kewenangan Mahkamah Agung karena Pasal 24 UUD Tahun 1945 tidak menyebutkan secara tersurat mengenai kewenangan Mahkamah Agung dalam proses seleksi dan pengangkatan calon hakim dari lingkungan peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan tata usaha negara, akan tetapi dalam ayat (2) dari Pasal 24 UUD Tahun 1945 telah secara tegas menyatakan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara berada dalam lingkungan kekuasaan kehakiman dengan sistem peradilan “satu atap” di bawah Mahkamah Agung.
Oleh karena itu, Mahkamah menimbang bahwa Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) UU UU Peradilan Umum, Pasal 13A ayat (2) dan ayat (3) UU Peradilan Agama, Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) UU PTUN sepanjang kata "bersama" dan frasa "dan Komisi Yudisial" adalah bertentangan dengan Pasal 24B ayat (1) UUD Tahun 1945.
Bahwa atas Putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa Komisi Yudisial bukanlah pelaku kekuasaan kehakiman, namun perannya sebagai pengawas pelaksanaan kekuasaan kehakiman dari sisi etik perorangan hakim tanpa melakukan intervensi terhadap kemerdekaan hakim dalam membuat sebuah putusan.

b. Dissenting Opinion
Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna berpendapat, keterlibatan Komisi Yudisial dalam proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan negeri, hakim pengadilan agama, dan hakim pengadilan tata usaha negara yang dilakukan bersama-sama dengan Mahkamah Agung tidaklah mengganggu administrasi, organisasi, maupun finansial pengadilan sepanjang dipahami (dan terbatas pada) bahwa keterlibatan Komisi Yudisial itu konteksnya adalah keterlibatan dalam memberikan pemahaman kode etik dan pedoman perilaku hakim bagi para calon hakim yang telah dinyatakan lulus dalam proses seleksi sebagai calon pegawai negeri sipil. Sesungguhnya, mekanisme yang sudah dipraktikkan selama ini, sebelum adanya permohonan a quo dimana Komisi Yudisial dilibatkan dalam pemberian materi ajar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, melakukan pengawasan pelaksanaan pendidikan dan latihan calon hakim, serta melakukan monitoring pelaksanaan proses magang para calon hakim hingga turut serta dalam rapat penentuan kelulusan para peserta pendidikan dan latihan calon hakim adalah penafsiran sekaligus implementasi yang tepat terhadap pengertian “wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim” yang diberikan oleh UUD Tahun 1945 kepada Komisi Yudisial.
menurut Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna Mahkamah seharusnya memutus dan menyatakan norma Undang-Undang yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo konstitusional bersyarat (conditionally constitutional), yaitu sepanjang frasa “bersama Komisi Yudisial” dalam proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan negeri, hakim pengadilan agama, dan hakim pengadilan tata usaha negara sebagaimana diatur dalam ketiga Undang-Undang a quo dimaknai sebagai diikutsertakannya Komisi Yudisial dalam proses pemberian materi kode etik dan pedoman perilaku hakim bagi para calon hakim pengadilan negeri, calon hakim pengadilan agama, dan calon hakim pengadilan tata usaha negara dalam proses seleksi tersebut.

Bahwa UU PTUN telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Perkara Nomor 17/PUU-IX/2011, Putusan Perkara Nomor 37/PUU-X/2012, Putusan Perkara Nomor 43/PUU-XIII/2015, dan Putusan Perkara Nomor 43/PUU-XIII/2015. Dalam Putusan Perkara Nomor 17/PUU-IX/2011 Mahkamah Konstitusi memutus bahwa:
“Menyatakan Pasal 109 ayat (3) UU PTUN bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.”
Kemudian dalam putusan Perkara Nomor 37/PUU-X/2012, Mahkamah Konstitusi memutus bahwa
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
2. Menyatakan Pasal 25 ayat (6) sepanjang frasa “diatur dengan peraturan peraturan perundang-undangan” tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “diatur dengan Peraturan Pemerintah”;
Selanjutnya dalam Putusan Perkara Nomor 43/PUU-XIII/2015, Mahkamah Konstitusi memutus bahwa:
1. Menyatakan Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) sepanjang kata “bersama” dan frasa “dan Komisi Yudisial” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
2. Menyatakan Pasal 14A ayat (2) UU PTUN selengkapnya berbunyi, “Proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan tata usaha negara dilakukan oleh Mahkamah Agung”, dan Pasal 14A ayat (3) UU PTUN selengkapnya berbunyi, “Ketentuan lebih lanjut mengenai proses seleksi diatur oleh Mahkamah Agung”.
Bahwa setelah dilakukan evaluasi terhadap putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan pengujian UU PTUN tersebut, maka selanjutnya pembentuk Undang-Undang segera melakukan perubahan atau penyesuaian materi muatan UU PTUN berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi.

1. Bahwa berdasarkan Putusan Perkara Nomor 17/PUU-IX/2011 Mahkamah Konstitusi memutus bahwa Pasal 109 ayat (3) UU PTUN bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.”
2. Bahwa berdasarkan Putusan Perkara Nomor 37/PUU-X/2012, Mahkamah Konstitusi memutus bahwa Pasal 25 ayat (6) UU PTUN sepanjang frasa “diatur dengan peraturan peraturan perundang-undangan” tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “diatur dengan Peraturan Pemerintah”;
3. Bahwa berdasarkan Putusan Perkara Nomor 43/PUU-XIII/2015, Mahkamah Konstitusi memutus bahwa Pasal 14A ayat (2) UU PTUN selengkapnya berbunyi, “Proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan tata usaha negara dilakukan oleh Mahkamah Agung”, dan Pasal 14A ayat (3) UU PTUN selengkapnya berbunyi, “Ketentuan lebih lanjut mengenai proses seleksi diatur oleh Mahkamah Agung”.
4. Bahwa berdasarkan putusan-putusan Mahkamah

1. Bahwa pembentuk undang-undang perlu untuk segera menindaklanjuti dengan menghapus Pasal 109 ayat (3) dan mengubah ketentuan Pasal 25 ayat (6), dan Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) UU PTUN.
2. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pembentuk undang-undang perlu untuk segera menindaklanjuti hasil putusan Mahkamah Konsitusi tersebut dengan segera melakukan penyesuaian atau perubahan UU PTUN dan segera menetapkan dalam Program Legislasi Nasional Kumulatif Terbuka.

Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi: Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak / 01-11-2019

Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD Tahun 1945) sebagai norma hukum tertinggi telah menggariskan bahwa: “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”
Anak dalam konteks hukum pidana, dapat menduduki subjek hukum, sebagai pelaku (offenders) maupun sebagai korban (victim). Pembicaraan posisi anak yang demikian itu berdampak pada implikasi pendekatan penal yang berbeda. Anak sebagai pelaku memerlukan pendekatan hukum pidana dalam posisinya yang demikian dan baginya diperlakukan Sistem Peradilan Pidana Anak. Sementara kedudukan anak sebagai korban dalam konteks pembicaraan hukum pidana akan merambah dalam pembicaraan hukum anak (hukum perlindungan anak) dan hukum pidana orang dewasa, hukum pidana yang mengatur perilaku orang dewasa yang melukai hak-hak anak di masyarakat. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) mengatur bahwa Sistem Peradilan Pidana Anak merupakan keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak yang berhadapan dengan hukum, mulai dari tahapan penyelidikan sampai dengan tahapan pembimbingan setelah menjalani pidana. UU SPPA pernah dilakukan pengujian di Mahkamah Konsitusi, dimana terdapat 2 (dua) putusan yang telah dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi, yaitu Putusan Perkara Nomor 110/PUU-X/2012 dan Putusan Perkara Nomor 68/PUU-XV/2017. Dengan dikabulkannya permohonan pengujian terhadap beberapa pasal/ayat dalam UU SPPA tersebut, berdampak terhadap substansi dalam UU SPPA

1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi tehadap pasal atau ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi khususnya terhadap UU SPPA?
2. Apa akibat hukum terhadap pasal atau ayat suatu undang-undang yang dinyatakan Mahkamah Konstitusi sebagai konstitusionalitas/inkonstitusionalitas bersyarat khususnya dalam UU SPPA?
3. Apakah terjadi disharmoni norma dalam suatu undang-undang jika suatu pasal atau ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi berimplikasi terhadap norma pasal atau ayat lain yang tidak diujikan khususnya dalam UU SPPA?

Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam UUD Tahun 1945 memiliki dua fungsi ideal, yaitu MK dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi dan berfungsi untuk menjamin, mendorong, mengarahkan, membimbing, dan memastikan bahwa UUD Tahun 1945 dijalankan dengan sebaik-baiknya oleh penyelenggara negara agar nilai-nilai yang terkandung didalamnya dijalankan dengan benar dan bertanggung jawab; dan MK harus bertindak sebagai penafsir karena MK dikonstruksikan sebagai lembaga tertinggi penafsir UUD Tahun 1945.
Secara harfiah, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat memiliki makna hukum tersendiri. Frasa “final” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “terakhir dalam rangkaian pemeriksaan” sedangkan frasa mengikat diartikan sebagai “mengeratkan”, “menyatukan”. Bertolak dari arti harfiah ini maka frasa final dan frasa mengikat, saling terkait sama seperti dua sisi mata uang artinya dari suatu proses pemeriksaan telah memiliki kekuatan mengeratkkan atau menyatukan semua kehendak dan tidak dapat dibantah lagi. Makna harfiah di atas, bila dikaitkan dengan sifat final dan mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi artinya telah tertutup segala kemungkinan untuk menempuh upaya hukum.
Sifat dari putusan Mahkamah Konstitusi yaitu final yang artinya bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). Konsep ini mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni secara sederhana dan cepat sebagaimana diuraikan dalam penjelasan UU MK. Menurut Maruarar Siahaan Putusan Mahkamah Konstitusi sejak diucapkan dihadapan sidang terbuka umum mempunyai 3 kekuatan yaitu: kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian, dan kekuatan eksekutoarial.

1. Putusan Perkara Nomor 110/PUU-X/2012
Para Pemohon dalam permohonannya mengajukan pengujian konstitusionalitas Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 UU SPPA yang menurut Para Pemohon bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD Tahun 1945. Pasal-pasal yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya tersebut pada pokoknya merupakan ketentuan yang memberikan ancaman pidana terhadap subjek hukum dalam penyelenggaraan Sistem Peradilan Pidana Anak yang tidak melaksanakan kewajibannya, yaitu (i) penyidik, penuntut umum, dan hakim yang dengan sengaja tidak mengupayakan diversi pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara; (ii) hakim, baik hakim pada tingkat pertama, hakim pada tingkat banding, maupun hakim pada tingkat kasasi, yang dengan sengaja belum memberikan putusan dan tidak mengeluarkan anak dari tahanan dalam hal jangka waktu perpanjangan penahanan terhadap anak yang dimintanya telah berakhir; dan (iii) pejabat pengadilan yang dengan sengaja tidak memberikan petikan putusan kepada para pihak atau tidak memberikan Salinan putusan kepada para pihak dalam jangka waktu 5 (lima) hari. Terhadap pengujian pasal a quo Mahkamah berpendapat bahwa sesuai dengan rumusan pengertian Sistem Peradilan Pidana Anak merupakan sebuah proses penyelesaian perkara yang didalamnya terdapat penyidik, penuntut umum, dan hakim sebagai pejabat khusus Sistem Peradilan Pidana Anak yang merupakan satu kesatuan sistem yang bagian-bagian di dalamnya tidak dapat dipisahkan satu dari yang lain. Mahkamah berpendapat bahwa sesuai dengan rumusan pengertian Sistem Peradilan Pidana Anak merupakan sebuah proses penyelesaian perkara yang didalamnya terdapat penyidik, penuntut umum, dan hakim sebagai pejabat khusus Sistem Peradilan Pidana Anak yang merupakan satu kesatuan sistem yang bagian-bagian di dalamnya tidak dapat dipisahkan satu dari yang lain. Sebagai satu kesatuan sistem, hakim dalam penyelenggaraan Sistem Peradilan Pidana Anak sangat terkait dengan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik dan penuntutan yang dilakukan oleh penuntut umum dalam perkara pidana anak. Kemerdekaan kekuasaan kehakiman, selain mewajibkan hakim untuk mengimplementasikannya sebagaimana diuraikan di atas, melarang setiap kekuasaan ekstra yudisial memengaruhi atau lebih-lebih lagi turut campur kepada pengadilan sebagai institusi pelaku dan kepada hakim sebagai pejabat pelaksana kekuasaan kehakiman.
Mahkamah berpendapat bahwa ketentuan konstitusional sebagaimana dipertimbangkan di atas mewajibkan pembentuk undang-undang untuk merumuskannya secara normatif dalam undang-undang dalam rangka memberikan jaminan secara hukum bagi terselenggaranya peradilan dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan. Sistem Peradilan Pidana Anak dalam posisinya sebagai pengadilan khusus di lingkungan peradilan umum dengan pejabat-pejabat khusus sebagai penyelenggaranya, antara lain, hakim, pejabat pengadilan, penyidik, dan penuntut umum sebagaimana dipertimbangkan di atas merupakan sistem peradilan pidana dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan terhadap anak yang menghadapi permasalahan hukum. Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 undang-undang a quo yang menentukan ancaman pidana kepada pejabat khusus dalam penyelenggaraan Sistem Peradilan Pidana Anak, yaitu hakim, pejabat pengadilan, penyidik, dan penuntut umum, menurut Mahkamah, bukan saja tidak merumuskan ketentuan-ketentuan konstitusional mengenai kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan independensi pejabat khusus yang terkait (hakim, penuntut umum, dan penyidik anak), yakni memberikan jaminan hukum bagi penyelenggaraan peradilan yang merdeka, tetapi lebih dari itu juga telah melakukan kriminalisasi terhadap pelanggaran administratif dalam penyelenggaraan Sistem Peradilan Pidana Anak yang tentu memberikan dampak negatif terhadap pejabat-pejabat khusus yang menyelenggarakan Sistem Peradilan Pidana Anak. Mahkamah berpendapat pengujian konstitusionalitas Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 undang-undang a quo terhadap UUD Tahun 1945 beralasan menurut hukum.
Putusan majelis tersebut telah menimbulkan implikasi yuridis (akibat hukum) atau dengan kata lain putusan ini telah meniadakan keadaan hukum dan sekaligus menciptakan keadaan hukum baru. Implikasi yuridis (akibat hukum) dengan dibatalkannya Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 UU SPPA, maka Pertama, terhadap Pasal 96 UU SPPA maka setiap Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim tidak dapat dikenakan sanksi pidana apabila tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) UU SPPA. Kedua, terhadap Pasal 100 UU SPPA maka Hakim tidak dapat dikenakan sanksi pidana apabila tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3) dan Pasal 37 ayat (3), dan Pasal 38 ayat (3) UU SPPA. Ketiga, terhadap Pasal 101 UU SPPA maka pejabat pengadilan tidak dapat dikenakan sanksi pidana apabila tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 UU SPPA. Dibatalkannya pengenaan sanksi pidana tersebut dikarenakan ketentuan-ketentuan tersebut telah mengkriminalisasikan pelanggaran-pelanggaran yang sifatnya administratif dan sudah cukup dikenakan sanksi administratif sebagaimana yang diatur dalam Pasal 95 UU SPPA.

2. Putusan Perkara Nomor 68/PUU-XV/2017
Para Pemohon mengajukan permohonan pengujian Pasal 99 UU SPPA yang bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD Tahun 1945. Mahkamah menegaskan bahwa prinsip independensi pejabat khusus yang dimaksudkan dalam pertimbangan putusan tersebut harus dibedakan antara independensi hakim, penuntut umum, dan penyidik dalam pemaknaan independensi pada pengertian yang universal.
...

Bahwa pengujian beberapa pasal di dalam UU SPPA telah menimbulkan akibat hukum atau dengan kata lain pada saat yang bersamaan putusan tersebut telah meniadakan keadaan hukum dan menciptakan keadaan hukum baru. Seperti halnya dalam Putusan Nomor 110/PUU-X/2012 telah menimbulkan implikasi yuridis yaitu dengan dibatalkannya Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 UU SPPA, maka Pertama, terhadap Pasal 96 UU SPPA maka setiap Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim tidak dapat dikenakan sanksi pidana apabila tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) UU SPPA. Kedua, terhadap Pasal 100 UU SPPA maka Hakim tidak dapat dikenakan sanksi pidana apabila tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3) dan Pasal 37 ayat (3), dan Pasal 38 ayat (3) UU SPPA. Ketiga, terhadap Pasal 101 UU SPPA maka pejabat pengadilan tidak dapat dikenakan sanksi pidana apabila tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 UU SPPA. Putusan tersebut juga berdampak pada ketentuan-ketentuan lain dalam UU SPPA, seperti Pasal 99 UU SPPA yang kemudian dijadikan objek permohonan pengajuan uji materiil dalam perkara Nomor 68/PUU-XV/2017.
Sedangkan dalam Putusan Nomor 68/PUU-XV/2017 yang telah membatalkan ketentuan Pasal 99 UU SPPA telah menimbulkan implikasi yuridis yakni penuntut umum tidak dapat dikenakan sanksi pidana apabila tidak mengeluarkan anak setelah jangka waktu perpanjangan penahanan berakhir. Namun, meskipun ketentuan Pasal 99 UU SPPA telah dinyatakan inkonstitusional dan telah menimbulkan implikasi yuridis yang demikian, Mahkamah tetap berpandangan bahwa hal tersebut tidak berarti memperbolehkan pejabat yang melakukan tugas untuk mengeluarkan tahanan anak dari RUTAN melanggar batas waktu yang telah ditentukan, sebab hal yang demikian sama halnya dengan sengaja merampas kemerdekaan seseorang.
Bahwa pengaturan sebagaimana yang diatur dalam ketentuan-ketentuan a quo yang menjadi objek pengajuan uji materiil oleh Para Pemohon juga telah tidak sesuai dan sejalan dengan semangat dalam UU SPPA. Sehingga, terhadap pengujian beberapa pasal dalam UU SPPA sebagaimana yang diputus dalam Putusan Nomor 110/PUU-X/2012 dan Putusan Nomor 68/PUU-XV/2017, perlu kiranya ditindaklanjuti dan dievaluasi oleh pembentuk undang-undang yang dalam hal ini DPR RI dengan fungsi legislasi nya. , DPR sebagai positive legislator harus menindaklanjuti hasil putusan Mahkamah Konstitusi terhadap beberapa pasal dalam pengujian materiil UU SPPA sesuai dengan fungsi dan kewenangannya. Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dimaksudkan agar tidak menimbulkan kekosongan hukum.

1. Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 110/PUU-X/2012 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-XV/2017, ketentuan Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 UU SPPA dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dan bertentangan dengan UUD Tahun 1945.
2. Bahwa dengan dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat terhadap ketentuan Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 UU SPPA dalam Putusan Nomor 110/PUU-X/2012 dan Putusan Nomor 68/PUU-XV/2017 telah menciptakan keadaan hukum baru.

1. Bahwa pembentuk undang-undang perlu untuk segera menindaklanjuti dengan melakukan perubahan Pasal 96, Pasal 99, Pasal 100 dan Pasal 101 UU SPPA.
2. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pembentuk undang-undang perlu untuk segera menindaklanjuti hasil putusan Mahkamah Konsitusi tersebut dengan segera melakukan penyesuaian atau perubahan UU SPPA dan segera menetapkan dalam Program Legislasi Nasional Kumulatif Terbuka.

Analisis dan Evaluasi Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi: Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional / 01-11-2019

Indonesia merupakan negara hukum yang demokratis dan konstitusional, yang tercermin dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945). Guna menjamin tegaknya konstitusi, Indonesia membentuk Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan yang berfungsi mengawal konstitusi (the guardian of constitution). Pada tahun 2004, diundangkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) yang pernah pula diuji konstitusionalitasnya oleh Mahkamah Konstitusi. Pembentukan sistem jaminan sosial nasional merupakan amanat ketentuan Pasal 34 ayat (2) UUD Tahun 1945 yang menyatakan “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan” sekaligus sebagai upaya memenuhi hak konstitusional warga negara Indonesia yang diatur dalam ketentuan Pasal 28H ayat (3) UUD Tahun 1945 yang mengatur bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. UU SJSN setidaknya telah diuji sebanyak 7 (tujuh) kali, yakni pada perkara nomor 007/PUU-III/2005, perkara nomor 50/PUU-VIII/2010, perkara nomor 51/PUU-IX/2011, perkara nomor 71/PUU-IX/2011, perkara nomor 9/PUU-X/2012, perkara nomor 90/PUU-X/2012 dan perkara nomor 101/PUU-XI/2013. 2 (dua) perkara dinyatakan dikabulkan sebagian, yaitu: Perkara Nomor 007/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 70/PUU-IX/2011.

Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal atau ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK?
2. Apa akibat hukum terhadap pasal, ayat suatu undang-undang yang dinyatakan MK sebagai konstitusionalitas/inkonstitusional bersyarat?
3. Apakah terdapat disharmoni norma dengan adanya putusan MK yang menyatakan suatu pasal dan/atau ayat dinyatakan tidak berkekuatan hukum mengikat baik terhadap pasal dan/atau ayat lain dalam Undang-Undang yang sama maupun ketentuan dalam Undang-Undang yang lain?

Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam UUD Tahun 1945 memiliki dua fungsi ideal, yaitu MK dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi dan berfungsi untuk menjamin, mendorong, mengarahkan, membimbing, dan memastikan bahwa UUD Tahun 1945 dijalankan dengan sebaik-baiknya oleh penyelenggara negara agar nilai-nilai yang terkandung didalamnya dijalankan dengan benar dan bertanggung jawab; dan MK harus bertindak sebagai penafsir karena MK dikonstruksikan sebagai lembaga tertinggi penafsir UUD Tahun 1945.
Secara harfiah, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat memiliki makna hukum tersendiri. Frasa “final” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “terakhir dalam rangkaian pemeriksaan” sedangkan frasa mengikat diartikan sebagai “mengeratkan”, “menyatukan”. Bertolak dari arti harfiah ini maka frasa final dan frasa mengikat, saling terkait sama seperti dua sisi mata uang artinya dari suatu proses pemeriksaan telah memiliki kekuatan mengeratkkan atau menyatukan semua kehendak dan tidak dapat dibantah lagi. Makna harfiah di atas, bila dikaitkan dengan sifat final dan mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi artinya telah tertutup segala kemungkinan untuk menempuh upaya hukum.
Sifat dari putusan Mahkamah Konstitusi yaitu final yang artinya bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). Konsep ini mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni secara sederhana dan cepat sebagaimana diuraikan dalam penjelasan UU MK. Menurut Maruarar Siahaan Putusan Mahkamah Konstitusi sejak diucapkan dihadapan sidang terbuka umum mempunyai 3 kekuatan yaitu: kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian, dan kekuatan eksekutoarial.

1. Putusan MK Perkara Nomor 007/PUU-III/2005
Dalam perkara ini, ketentuan yang dimohonkan pengujian adalah ketentuan Pasal 5 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) dan Pasal 52 UU SJSN terhadap ketentuan Pasal 18 ayat (1), ayat (2), ayat (5) dan ayat (7), Pasal 18A ayat (1) dan ayat (2), Pasal 34 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) UUD Tahun 1945.


Bahwa dengan adanya pertimbangan hukum majelis hakim Mahkamah Konstitusi yang menyatakan “Mahkamah tidak sependapat dengan pendirian Pemerintah maupun Dewan Perwakilan Rakyat yang menyatakan bahwa kewenangan untuk menyelenggarakan sistem jaminan sosial tersebut secara eksklusif merupakan kewenangan Pemerintah (Pusat), sebagaimana tercermin dari ketentuan dalam Pasal 5, khususnya ayat (4), UU SJSN. Sebab, jika diartikan demikian, hal itu akan bertentangan dengan makna pengertian negara yang di dalamnya mencakup Pemerintah (Pusat) maupun Pemerintahan Daerah sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18 ayat (5) UUD 1945, yang kemudian dijabarkan dalam UU Pemda” maka jelas dalam pembentukan sistem jaminan sosial nasional harus terdapat peran-peran pemda dan kewenangan-kewenangan tertentu. Dengan digantinya UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dengan UU Nomor 32 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan dengan diubahnya pengaturan mengenai kewenangan Pemerintah Daerah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat maka perlu dilihat kembali, apakah pendapat hukum majelis hakim Mahkamah Konstitusi masih relevan untuk diterapkan? Dan apabila diterapkan sesuai dengan pertimbangan hukum tersebut, apakah tidak menimbulkan permasalahan hukum yang berupa disharmoni pengaturan dalam undang-undang? Apabila dilihat kembali, Mahkamah Konstitusi tidak semata-mata memperhatikan ketentuan dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dalam memutus ketentuan Pasal 5 UU SJSN, namun lebih mempertimbangkan ketentuan Pasal 18 UUD Tahun 1945. Peran Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan tugas dan kewajiban negara mendapatkan perhatian dari Mahkamah Konstitusi dengan dijadikannya ketentuan Pasal 18 UUD Tahun 1945 sebagai salah satu dasar pertimbangan dalam memutus perkara 007/PUU-III/2005. Selain itu, hal ini ditujukan untuk menghargai kekhasan daerah yang beragam di wilayah Indonesia dan kemampuan daerah dalam pelaksanaan jaminan sosial dalam rangka meningkatkan kesejahteraan warga di daerahnya. Perlu adanya suatu mekanisme yang melibatkan negara dalam rangka pelaksanaan sistem jaminan sosial yang menyeluruh dan mencakup seluruh warga negara Indonesia mengingat kemampuan daerah yang beragam untuk menyelengarakan sistem jaminan sosial yang mencakup masyarakat di wilayahnya maupun masyarakat yang berada diluar wilayahnya. Dengan pertimbangan MK, maka kewenangan Pemerintah Daerah tidak hanya melaksanakan program pemerintah pusat ataupun BPJS di tingkat pusat melainkan daerah dapat mengatur bagaimana penerapan dan cakupan sistem jaminan sosial di daerah yang sesuai dengan pengaturan yang terdapat dalam UU SJSN maupun pengaturan dalam peraturan pelaksanaannya apabila daerah telah mampu. Menimbang, sejalan dengan pendapat Mahkamah bahwa pengembangan sistem jaminan sosial adalah bagian dari pelaksanaan fungsi pelayanan sosial negara yang kewenangan untuk menyelenggarakannya berada di tangan pemegang kekuasaan pemerintahan negara, di mana kewajiban pelaksanaan sistem jaminan sosial tersebut, sesuai dengan Pasal 18 ayat (5) UUD Tahun 1945 sebagaimana dijabarkan lebih lanjut dalam UU Pemda (UU Nomor 32 Tahun 2004) khususnya Pasal 22 huruf h, bukan hanya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat tetapi dapat juga menjadi kewenangan Pemerintahan Daerah, maka UU SJSN tidak boleh menutup peluang Pemerintahan Daerah untuk ikut juga mengembangkan sistem jaminan sosial. Pembentukan BPJS yang ketika ditetapkan melalui UU SJSN pada tahun 2004 masih mengacu pada PP sebagai dasar hukum pembentukannya sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 52 ayat (1) UU SJSN harus disesuaikan dengan ketentuan yang terdapat dalam UU SJSN sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan Pasal 52 ayat (2).
Apabila mengikuti pertimbangan hukum dalam Putusan Nomor 007/PUU-III/2005 maka pembentukan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan dimuat dalam undang-undang yang berbeda. Setiap BPJS di tingkat pusat harus dibentuk dengan undang-undang, yang berarti setiap BPJS diatur pembentukannya dalam undang-undang yang berbeda dan terpisah satu sama lain dan bukan dalam satu naskah undang-undang. Hal ini harus diperhatikan oleh Pemerintah dan DPR RI selaku pembentuk undang-undang dalam menyusun naskah penetapan suatu lembaga tertentu menjadi BPJS maupun pembentukan BPJS baru.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 007/PUU-III/2005 ketentuan Pasal 5 UU SJSN sangat berpeluang menimbulkan multi-interpretasi yang bermuara pada ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) yang oleh karena itu bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945 apabila tidak segera dilakukan perubahan.

2. Perkara Nomor 70/PUU-IX/2011
Dalam perkara ini, ketentuan yang dimohonkan pengujian adalah ketentuan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja dan Pasal 13 ayat (1) UU SJSN terhadap ketentuan Pasal 28H ayat (3) UUD Tahun 1945.
Pernyataan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya menyatakan “Menimbang bahwa demikian juga Pasal 13 ayat (1) UU SJSN yang menyatakan, “Pemberi kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, sesuai dengan program jaminan sosial yang diikuti” bertentangan dengan UUD 1945 dan oleh sebab itu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat bila dimaknai meniadakan hak pekerja untuk mendaftarkan diri sebagai peserta jaminan sosial atas tanggungan pemberi kerja apabila pemberi kerja nyata-nyata tidak mendaftarkan pekerjanya pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Oleh sebab itu, pasal tersebut harus dinyatakan konstitusional bersyarat sehingga selengkapnya harus dibaca, “Pemberi kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, sesuai dengan program jaminan sosial yang diikuti dan pekerja berhak untuk mendaftarkan diri sebagai peserta program jaminan sosial atas tanggungan pemberi kerja apabila pemberi kerja telah nyata-nyata tidak mendaftarkan pekerjanya pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial”;” telah mengubah penafsiran terhadap ketentuan Pasal 13 ayat (1) UU SJSN yang memberikan kemudahan dalam upaya perluasan cakupan jaminan sosial di bidang ketenagakerjaan dan kejelasan bagi setiap pekerja bahwa pekerja dapat menuntut haknya atas jaminan sosial ketenagakerjaan dengan mendaftarkan dirinya sendiri apabila pemberi kerja tidak mendaftarkannya dalam program jaminan sosial nasional.
Putusan Mahkamah Konstitusi ini telah memunculkan akibat hukum baru yang memberikan kewenangan kepada individu yang seorang pekerja untuk mendaftarkan dirinya pada program jaminan sosial ketenagakerjaan apabila pemberi kerja tidak mendaftarkan pekerjanya tersebut, yang mana hukum baru ini berpotensi bertentangan dengan pengaturan yang terdapat dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Berdasarkan Pasal 167 UU Ketenagakerjaan, mengenai pemutusan hubungan kerja, diatur mengenai kompensasi yang harus diberikan oleh pengusaha terhadap pekerja/buruh yang didaftarkan dalam program jaminan pensiun maupun yang tidak didaftarkan dalam jaminan pensiun. Hal ini membuka peluang bagi pemberi kerja untuk tidak mendaftarkan pekerjanya sehingga pelaksanaan kepesertaan wajib jaminan sosial nasional tidak dapat berjalan secara optimal. Tidak hanya itu, kepesertaan jaminan sosial ketenagakerjaan bagi pekerja yang ditanggung oleh pemberi kerja tentunya harus memperhatikan kondisi dan kemampuan pemberi kerja/pengusaha.

Ketentuan Pasal 5 UU SJSN dan Pasal 13 ayat (1) UU SJSN telah mengalami perubahan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 007/PUU-III/2005 dan 70/PUU-IX/2011. Namun sejauh ini, belum ada tindakan pembuat undang-undang untuk melakukan perubahan UU SJSN sesuai dengan pertimbangan hukum dan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 007/PUU-III/2005 menunjukkan adanya penguatan kepastian hukum dalam pengaturan Pasal 5 ayat (1) bahwa BPJS harus dibentuk dengan Undang-Undang. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-IX/2011 telah membentuk hukum baru dengan adanya hak pekerja untuk mendaftarkan dirinya dalam program jaminan sosial apabila pemberi kerja tidak mendaftarkannya dalam program tersebut.
Bahwa setelah dilakukan evaluasi terhadap putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan pengujian UU SJSN tersebut, maka selanjutnya pembentuk Undang-Undang segera melakukan perubahan atau penyesuaian materi muatan UU SJSN berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi.

1. Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 007/PUU-III/2005 menyatakan bahwa ketentuan Pasal 5 ayat (2), (3), dan (4) UU SJSN bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
2. Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-IX/2011 menyatakan bahwa Pasal 13 ayat (1) UU SJSN yang menyatakan “Pemberi kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, sesuai dengan program jaminan sosial yang diikuti” bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat jika dimaknai meniadakan hak pekerja untuk mendaftarkan diri sebagai peserta program jaminan sosial atas tanggungan pemberi kerja apabila pemberi kerja telah nyata-nyata tidak mendaftarkan pekerjanya pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;
3. Bahwa dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 007/PUU-III/2005 yang menyatakan Pasal 5 ayat (2), (3), dan (4) UU SJSN bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat serta putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-IX/2011 dalam Pasal 13 ayat (1) UU SJSN yang menyatakan Pemberi kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, sesuai dengan program jaminan sosial yang diikuti” bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat jika dimaknai meniadakan hak pekerja untuk mendaftarkan diri sebagai peserta program jaminan sosial atas tanggungan pemberi kerja apabila pemberi kerja telah nyata-nyata tidak mendaftarkan pekerjanya pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial telah menciptakan keadaan hukum baru.

1. Bahwa pembentuk undang-undang perlu untuk segera menindaklanjuti dengan mengubah ketentuan Pasal 5 ayat (2), (3), dan (4), dan Pasal 13 ayat (1) UU SJSN.
2. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pembentuk undang-undang perlu untuk segera menindaklanjuti hasil putusan Mahkamah Konsitusi tersebut dengan segera melakukan penyesuaian atau perubahan UU SJSN dan segera menetapkan dalam Program Legislasi Nasional Kumulatif Terbuka.

Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi: Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Jo. Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama / 01-11-2019

Perubahan mendasar terkait penyelenggaraan kekuasaan kehakiman terjadi pada Perubahan Ketiga UUD Tahun 1945 yang disahkan dalam Sidang Tahunan MPR tahun 2001 tanggal 1-9 November 2001, dimana Pasal 24 UUD Tahun 1945 diubah menjadi dua ayat, dan satu ayat tambahan dilakukan pada amandemen keempat dalam Sidang Tahunan MPR tahun 2002 tanggal 1-11 Agustus 2002. Berdasarkan Pasal 24 ayat (2) UUD Tahun 1945 bahwa kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan peradilan dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan tata usaha negara serta oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Sebelum Perubahan Ketiga UUD Tahun 1945, sejak tahun 1970 Peradilan Agama memiliki dualisme pembinaan yaitu pembinaan peradilan agama dalam aspek organisasi, administrasi dan finansial yang dilakukan oleh Departemen Agama, dan pembinaan dalam aspek yustisial dilakukan oleh Mahkamah Agung RI. Ketentuan tentang penyelenggaraan peradilan agama dituangkan pertama kali dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UU 7/1989). Sejak UUD Tahun 1945 perubahan ketiga, UU 7/1989 telah mengalami dua kali perubahan yaitu dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 (UU 3/2006) dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 (UU 50/2009) tentang Peradilan Agama (selanjutnya secara keseluruhan ketiga undang-undang tersebut disebut sebagai UU Peradilan Agama). UU Peradilan Agama selama ini telah beberapa kali diajukan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi, namun yang dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi sampai dengan saat ini tercatat ada 2 (dua) putusan yaitu Putusan Perkara Nomor 37/PUU-X/2012 dan Putusan Perkara Nomor 43/PUU-XIII/2015.

1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal atau ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi khususnya terhadap UU Peradilan Agama?
2. Apa akibat hukum terhadap pasal atau ayat suatu undang-undang yang dinyatakan Mahkamah Konstitusi sebagai konstitusionalitas/ inkonstitusional bersyarat khususnya dalam UU Peradilan Agama?
3. Apakah terjadi disharmoni norma dalam suatu undang-undang jika suatu pasal atau ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi berimplikasi terhadap norma pasal atau ayat lain yang tidak diujikan khususnya dalam UU Peradilan Agama?

Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam UUD Tahun 1945 memiliki dua fungsi ideal, yaitu MK dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi dan berfungsi untuk menjamin, mendorong, mengarahkan, membimbing, dan memastikan bahwa UUD Tahun 1945 dijalankan dengan sebaik-baiknya oleh penyelenggara negara agar nilai-nilai yang terkandung didalamnya dijalankan dengan benar dan bertanggung jawab; dan MK harus bertindak sebagai penafsir karena MK dikonstruksikan sebagai lembaga tertinggi penafsir UUD Tahun 1945.
Secara harfiah, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat memiliki makna hukum tersendiri. Frasa “final” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “terakhir dalam rangkaian pemeriksaan” sedangkan frasa mengikat diartikan sebagai “mengeratkan”, “menyatukan”. Bertolak dari arti harfiah ini maka frasa final dan frasa mengikat, saling terkait sama seperti dua sisi mata uang artinya dari suatu proses pemeriksaan telah memiliki kekuatan mengeratkkan atau menyatukan semua kehendak dan tidak dapat dibantah lagi. Makna harfiah di atas, bila dikaitkan dengan sifat final dan mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi artinya telah tertutup segala kemungkinan untuk menempuh upaya hukum.
Sifat dari putusan Mahkamah Konstitusi yaitu final yang artinya bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). Konsep ini mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni secara sederhana dan cepat sebagaimana diuraikan dalam penjelasan UU MK. Menurut Maruarar Siahaan Putusan Mahkamah Konstitusi sejak diucapkan dihadapan sidang terbuka umum mempunyai 3 kekuatan yaitu: kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian, dan kekuatan eksekutoarial.

1. Putusan Perkara Nomor 37/PUU-X/2012
Pemohon memohonkan pengujian Pasal 24 ayat (6) yang berketentuan “Ketentuan lebih lanjut mengenai gaji pokok, tunjangan dan hak-hak lainnya beserta jaminan keamanan bagi ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan diatur dengan peraturan perundang-undangan.”. Ketentuan tersebut dianggap bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 25, dan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945.
Mahkamah berpandangan bahwa frasa “diatur dengan peraturan perundang-undangan” dalam Pasal 25 ayat (6) UU 51/2009, Pasal 24 ayat (6) UU 50/2009, dan Pasal 25 ayat (6) UU 49/2009 merupakan bentuk dari delegasi kewenangan yang dibentuk dari Undang-Undang kepada peraturan perundang-undangan. Akan tetapi, sebuah bentuk delegasi harus memenuhi syarat-syarat kejelasan kewenangan apa saja yang didelegasikan dan kepada apa atau siapa delegasi kewenangan tersebut diberikan. Mengingat Pasal 25 ayat (6) UU 51/2009, Pasal 24 ayat (6) UU 50/2009, dan Pasal 25 ayat (6) UU 49/2009 mengatur agar ketentuan lebih lanjut mengenai gaji pokok, tunjangan dan hak-hak lainnya beserta jaminan keamanan bagi ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan diatur dengan peraturan perundang-undangan tanpa menjelaskan jenis peraturan perundang- undangan dimaksud secara tegas untuk mengatur hal tersebut, padahal jenis-jenis peraturan perundang-undangan sudah ditentukan secara tegas, menurut Mahkamah, hal demikian merupakan pelanggaran terhadap prinsip kepastian hukum yang adil yang dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Bahwa dalam rangka meluruskan ketidakjelasan frasa “diatur dengan peraturan perundang-undangan” dalam Pasal 25 ayat (6) UU 51/2009, Pasal 24 ayat (6) UU 50/2009, dan Pasal 25 ayat (6) UU 49/2009, Mahkamah berpedoman pada Pasal 5 ayat (2) UUD Tahun 1945 yang menyatakan, “Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya”. Dengan demikian, frasa “diatur dengan peraturan perundang-undangan” dalam Pasal 25 ayat (6) UU 51/2009, Pasal 24 ayat (6) UU 50/2009, dan Pasal 25 ayat (6) UU 49/2009 adalah bertentangan dengan UUD Tahun 1945 secara bersyarat. Atas Pendapat Hukum Mahkamah Konstitusi tersebut, telah ditegaskan kembali bahwa dalam pendelegasian kewenangan dalam sebuah undang-undang harus memenuhi kejelasan kewenangan apa saja yang didelegasikan dan kepada apa atau siapa delegasi kewenangan tersebut diberikan. Dikarenakan tidak disebutkan mandatory kewenangan secara jelas, maka Mahkamah Konstitusi menyelaraskan hierarkisitas peraturan perundang-undangan sebagaimana ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011 yaitu UUPA dilaksanakan melalui Peraturan Pemerintah.
Berdasarkan pertimbangan Mahkamah Konstitusi diatas, bahwa yang dimaksud dengan independensi hakim adalah jaminan bagi tegaknya hukum dan keadilan yang harus terbebas dari berbagai tekanan dan intervensi dari siapapun, terlebih dari pihak yang memiliki kekuasaan politik dan administrasi. Konsep independensi hakim yang demikian secara norma tidak ada kaitannya dengan dalil kerugian Pemohon. Pemohon sebagai perseorangan hakim tetap berhak atas hak keuangan dan hak administrasi yang melekat pada jabatan hakim sebagai pejabat negara, sementara yang memiliki kewenangan administrasi untuk mengatur hak keuangan dan hak administrasi hakim adalah Pemerintah. Sehingga dengan demikian, independensi hakim tidak akan terganggu ataupun terhalangi jika hak keuangan dan hak administrasinya dikelola oleh Pemerintah.
Yang menarik untuk diperhatikan dalam Putusan Perkara Nomor 37/PUU-X/2012 ini adalah Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon atas pengujian Pasal 25 ayat (6) UU 51/2009, Pasal 24 ayat (6) UU 50/2009, dan Pasal 25 ayat (6) UU 49/2009 terkait frasa “diatur dengan peraturan perundang-undangan” tidak dengan batu uji yang diajukan Pemohon yaitu Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 25, dan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945. Mahkamah menyatakan Pasal 25 ayat (6) UU 51/2009, Pasal 24 ayat (6) UU 50/2009, dan Pasal 25 ayat (6) UU 49/2009 sepanjang frasa “diatur dengan peraturan perundang-undangan” adalah bertentangan dengan Pasal 5 ayat (2) UUD Tahun 1945 sebagai bentuk koreksi atas ketidaksinkronan dalam bentuk peraturan pelaksanaan turunan langsung dari Undang-Undang a quo. Namun demikian, isi amar putusan sudah sama dengan petitum Pemohon untuk mengartikan frasa “diatur dengan peraturan perundang-undangan” harus dimaknai dengan “diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi yang mengharuskan Pasal a quo dimaknai “diatur dengan Peraturan Pemerintah” ini berimplikasi menciptakan hukum baru (conditionally constitutional) dimana dalam norma sebelumnya hanya diperlukan pelaksanaan Pasal a quo dengan peraturan perundang-undangan, tetapi Mahkamah memerintahkan pengaturan Pasal a quo dengan Peraturan Pemerintah. Namun disaat yang bersamaan, Putusan tersebut juga meniadakan hukum sebelumnya yang pengaturan Pasal a quo melalui Kepres Nomor 89/2001 dan Perpres 19/2008 yang jika disesuaikan dengan amar Putusan tersebut, maka Kepres Nomor 89/2001 dan Perpres 19/2008 menjadi bertentangan dengan hukum dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sehingga hal ini berimplikasi pada adanya kekosongan hukum atas pelaksanaan Pasal a quo. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan sebuah pembentukan hukum baru, dimana Mahkamah Konstitusi sebagai negative legislator dalam putusannya akan menimbulkan akibat hukum yang mempengaruhi satu keadaan hukum atau hak dan/atau kewenangan. Akibat hukum yang timbul dari putusan tersebut sejak putusan tersebut diucapkan dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi yang dinyatakan terbuka untuk umum. Artinya akibat hukum yang timbul dari berlakunya suatu undang-undang, yaitu sejak diundangkannya undang-undang tersebut sampai dengan diucapkannya putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan pasal/ayat dari undang-undang tersebut dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

2. Putusan Perkara Nomor 43/PUU-XIII/2015
Para Pemohon mengajukan pengujian terhadap Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) UU 49/2009 juncto Pasal 13A ayat (2) dan ayat (3) UU 50/2009 juncto Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) UU 51/2009. Mahkamah berpandangan bahwa untuk menjamin terwujudnya independensi hakim memerlukan kelembagaan yang independen pula sebagaimana amanat Pasal 24 ayat (1) UUD Tahun 1945.
Mahkamah Konstitusi menegaskan peran dan posisi Komisi Yudisial melalui Putusan Nomor 43/PUU-XIII/2015 dan Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006 bahwa meskipun Komisi Yudisial masuk dalam kekuasaan kehakiman, sebagaimana ketentuan dalam Bab IX Kekuasaan Kehakiman UUD Tahun 1945, namun Komisi Yudisial bukanlah merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman, melainkan sebagai supporting element atau state auxiliary organ yang membantu atau mendukung pelaku kekuasaan kehakiman.
Mahkamah Konstitusi juga berpendapat bahwa kewenangan pengawasan etik oleh Komisi Yudisial, secara sadar atau tidak telah ditafsirkan dan dipraktikan sebagai pengawasan terkait justisial dengan cara memeriksa putusan. Atas pendapat Mahkamah Konstitusi tersebut dapat dikaitkan dengan Pasal 12F UU 50/2009 yang juga memberikan kewenangan Komisi Yudisial untuk dapat menganalisis putusan pengadilan yang selengkapnya sebagai berikut:
“Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, Komisi Yudisial dapat menganalisis putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagai dasar rekomendasi untuk melakukan mutasi hakim.”

Dalam hubungannya dengan ketentuan Pasal 12F UU 50/2009, pendapat Mahkamah Konstitusi tersebut yang mengkoreksi pengawasan Komisi Yudisial pada wilayah analisis putusan pengadilan sudah sepatutnya berimplikasi pula pada legal reasoning norma Pasal 12F UU 50/2009. Analisis putusan pengadilan yang diperiksa Komisi Yudisial sebagaimana dimaksu d Pasal 12F UU 50/2009 dimaksudkan sebagai dasar rekomendasi melakukan mutasi hakim meliputi promosi dan demosi hakim, hal ini yang dimaksudkan oleh Mahkamah Konstitusi seharusnya tidak menjadi dasar Komisi Yudisial melakukan pengawasan putusan pengadilan sebagai bentuk independensi kehakiman yang dipersempit dan disalahartikan menjadi objek penilaian dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Pasal 13 UU KY tidak memberikan wewenang kepada Komisi Yudisial untuk dapat memberikan rekomendasi pengangkatan hakim pada badan peradilan di bawah Mahkamah Agung, dan dalam menegakkan kehormatan hakim dilakukan dengan pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim (Pasal 20 UU KY). Kode etik jabatan hakim yang menjadi salah satu fokus Komisi Yudisial telah ditetapkan secara bersama-sama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial dalam Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor 047/KMA/SKB/IV/ 2009 dan 02/SKB/P.KY/IV.2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang harus dijadikan dasar perilaku dan tindakan profesi hakim. Kode etik tersebut dirumuskan dengan maksud untuk melakukan pembinaan dan pembentukan karakter serta untuk mengawasi tingkah laku hakim.
Mahkamah Konstitusi berpandangan bahwa norma pengawasan yang berlaku universal di semua sistem hukum yang dikenal di dunia terhadap putusan pengadilan adalah bahwa putusan pengadilan tidak boleh dinilai oleh lembaga lain kecuali melalui proses upaya hukum (rechtsmideller) sesuai dengan hukum acara. Sehingga dengan demikian, implikasi atas Putusan perkara nomor 43/PUU-XIII/2015 menyebabkan hilangnya kewenangan Komisi Yudisial untuk ikut serta dalam melakukan seleksi hakim badan peradilan dibawah Mahkamah Agung di lingkungan peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan tata usaha negara. Selain itu, meskipun Putusan perkara nomor 43/PUU-XIII/2015 hanya membatalkan Pasal 13A ayat (2) dan ayat (3) UU 50/2009, tetapi penalaran hukum (legal reasoning) yang diambil oleh Mahkamah Konstitusi juga seharusnya berimplikasi pada Pasal 12F UU 50/2009 yang memiliki norma berkaitan dengan pasal/ayat yang telah dibatalkan. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut berimplikasi secara langsung meniadakan hukum atas kewenangan Komisi Yudisial dalam melakukan seleksi hakim badan peradilan dibawah Mahkamah Agung di lingkungan peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan tata usaha negara. Khusus pada norma Pasal 12F UU 50/2009 meskipun memiliki legal reasoning yang terkait dengan pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 43/PUU-XIII/2015, namun karena tidak masuk dalam amar putusan maka Pasal 12F UU 50/2009 masih dinyatakan berlaku dan memiliki kekuatan hukum mengikat. Berdasarkan amar dari kedua Putusan Nomor 37/PUU-X/2012 dan Putusan Nomor 43/PUU-XIII/2015 di atas, dapat dilihat bahwa sifat dari amar putusan Mahkamah Konstitusi tersebut memiliki sifat declaratoir constitutief, artinya putusan Mahkamah Konstitusi meniadakan satu keadaan hukum lama atau membentuk hukum baru sebagai negative legislator.

Oleh karena itu, Mahkamah menimbang bahwa Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) UU UU 49/2009, Pasal 13A ayat (2) dan ayat (3) UU 50/2009, Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) UU 51/2009 sepanjang kata "bersama" dan frasa "dan Komisi Yudisial" adalah bertentangan dengan Pasal 24B ayat (1) UUD Tahun 1945.
Bahwa atas Putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa Komisi Yudisial bukanlah pelaku kekuasaan kehakiman, namun perannya sebagai pengawas pelaksanaan kekuasaan kehakiman dari sisi etik perorangan hakim tanpa melakukan intervensi terhadap kemerdekaan hakim dalam membuat sebuah putusan.
....

Dissenting Opinion
Dalam Putusan 43/PUU-XIII/2015, terdapat satu hakim yang memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion) atas Putusan a quo yaitu Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna. Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna berpendapat, keterlibatan Komisi Yudisial dalam proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan negeri, hakim pengadilan agama, dan hakim pengadilan tata usaha negara yang dilakukan bersama-sama dengan Mahkamah Agung tidaklah mengganggu administrasi, organisasi, maupun finansial pengadilan sepanjang dipahami (dan terbatas pada) bahwa keterlibatan Komisi Yudisial itu konteksnya adalah keterlibatan dalam memberikan pemahaman kode etik dan pedoman perilaku hakim bagi para calon hakim yang telah dinyatakan lulus dalam proses seleksi sebagai calon pegawai negeri sipil. Sesungguhnya, mekanisme yang sudah dipraktikkan selama ini, sebelum adanya permohonan a quo dimana Komisi Yudisial dilibatkan dalam pemberian materi ajar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, melakukan pengawasan pelaksanaan pendidikan dan latihan calon hakim, serta melakukan monitoring pelaksanaan proses magang para calon hakim hingga turut serta dalam rapat penentuan kelulusan para peserta pendidikan dan latihan calon hakim adalah penafsiran sekaligus implementasi yang tepat terhadap pengertian “wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim” yang diberikan oleh UUD Tahun 1945 kepada Komisi Yudisial.
Penafsiran demikian dipandang konstitusional di samping karena tidak mengganggu kemerdekaan kekuasaan kehakiman (baik secara organisasi, administrasi, maupun finansial) juga kontekstual dengan tujuan utama pembentukan Komisi Yudisial yaitu mengusulkan pengangkatan hakim agung. Sayangnya, buruknya hubungan antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung dalam mengimplementasikan gagasan mulia konstitusi itu, sebagaimana tampak nyata dari fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan maupun melalui sebaran berita di media massa, telah menyebabkan penafsiran dan implementasi yang sungguh memberi harapan besar bukan hanya bagi tegaknya kemerdekaan kekuasaan kehakiman tetapi juga bagi terjaganya kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim itu menjadi sirna.
Berdasarkan uraian di atas menurut Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna Mahkamah seharusnya memutus dan menyatakan norma Undang-Undang yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo konstitusional bersyarat (conditionally constitutional), yaitu sepanjang frasa “bersama Komisi Yudisial” dalam proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan negeri, hakim pengadilan agama, dan hakim pengadilan tata usaha negara sebagaimana diatur dalam ketiga Undang-Undang a quo dimaknai sebagai diikutsertakannya Komisi Yudisial dalam proses pemberian materi kode etik dan pedoman perilaku hakim bagi para calon hakim pengadilan negeri, calon hakim pengadilan agama, dan calon hakim pengadilan tata usaha negara dalam proses seleksi tersebut.

Ketentuan tentang penyelenggaraan peradilan agama dituangkan dalam 3 undang-undang yaitu UU 7/1989 yang telah mengalami dua kali perubahan yaitu dengan UU 3/2006 dan UU 50/2009. Putusan perkara nomor 37/PUU-X/2012 dan Putusan perkara nomor 43/PUU-XIII/2015 hanya membatalkan pasal/ayat dalam UU Peradilan Agama perubahan ketiga yaitu UU 50/2009. DPR RI sebagai pembentuk undang-undang perlu melihat keseluruhan norma yang ada dalam UU Peradilan Agama baik dari UU 7/1989, hingga ke undang-undang perubahannya UU 3/2006 dan UU 50/2009. Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 menentukan bahwa, “Pengujian materiil adalah pengujian Undang-Undang yang berkenaan dengan materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian Undang-Undang yang dianggap bertentangan dengan UUD NRI 1945”, pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 tidak hanya dilakukan terhadap pasal/ayat tertentu dalam UUD Tahun 1945, tetapi juga melihat pada UUD Tahun 1945 sebagai satu kesatuan utuh yang terdiri dari pembukaan dan batang tubuh. Begitupun dalam melihat suatu undang-undang tidak boleh hanya terpaku pada pasal/ayat tertentu yang dibatalkan saja, namun harus melihat juga pada bagian Konsideran, pasal/ayat lain, dan bagian Penjelasan sebagai satu kesatuan utuh undang-undang yang dibentuk oleh pembentuk undang-undang dengan maksud tertentu yang saling berhubungan satu dengan yang lain.
Perlu juga dipertimbangkan bahwa hukum merupakan produk politik sebagai formalisasi atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan bersaingan. Hukum harus juga dilihat berdasarkan proses pembentukan hukum tersebut, sehingga dapat dipahami kehendak politik yang ingin dicapai oleh pembentuk undang-undang.
Sebagaimana amanat Pasal 20 UUD Tahun 1945 yang memberikan kewenangan kepada DPR RI sebagai pemegang kekuasaan membentuk undang-undang, maka segala perubahan undang-undang harus dilakukan oleh DPR RI sebagai legislator. Adapun Mahkamah Konstitusi sebagai negative legislator menurut Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, Mahkamah Konstitusi hanya bisa memutus sebuah norma dalam undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi, tanpa boleh memasukkan norma baru ke dalam undang-undang itu. Dengan demikian, maka Putusan Perkara Nomor 37/PUU-X/2012 dan Putusan Perkara Nomor 43/PUU-XIII/2015 perlu ditindaklanjuti oleh DPR RI dalam sebuah undang-undang.

1. Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 37/PUU-X/2012, Pasal 24 ayat (6) UU Peradilan Agama sepanjang frasa “diatur dengan peraturan perundang-undangan” adalah bertentangan dengan UUD Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “diatur dengan Peraturan Pemerintah”;
2. Bahwa berdasarkan Putusan Perkara Nomor 43/PUU-XIII/2015, Pasal 13A ayat (2) UU Peradilan Agama selengkapnya berbunyi, “Proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan agama dilakukan oleh Mahkamah Agung”, dan Pasal 13A ayat (3) UU Peradilan Agama selengkapnya berbunyi, “Ketentuan lebih lanjut mengenai proses seleksi diatur oleh Mahkamah Agung”;
3. Bahwa dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 37/PUU-X/2012 yang menyatakan bahwa Pasal 24 ayat (6) UU Peradilan Agama sepanjang frasa “diatur dengan peraturan perundang-undangan” adalah bertentangan dengan UUD Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “diatur dengan Peraturan Pemerintah; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015 yang menyatakan Pasal 13A ayat (2) UU Peradilan Agama selengkapnya berbunyi “Proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan agama dilakukan oleh Mahkamah Agung”; dan menyatakan Pasal 13A ayat (3) UU Peradilan Agama selengkapnya berbunyi, “Ketentuan lebih lanjut mengenai proses seleksi diatur oleh Mahkamah Agung” telah menciptakan keadaan hukum baru.

1. Bahwa pembentuk undang-undang perlu untuk segera menindaklanjuti dengan mengubah khususnya ketentuan Pasal 13A ayat (2), Pasal 13A ayat (3), dan Pasal 24 ayat (6) UU Peradilan Agama.
2. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pembentuk undang-undang perlu untuk segera menindaklanjuti hasil putusan Mahkamah Konsitusi tersebut dengan segera melakukan penyesuaian atau perubahan UU Peradilan Agama dan segera menetapkan dalam Program Legislasi Nasional Kumulatif Terbuka.

Analisis Dan Evaluasi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi / 01-11-2019

Hubungan industrial merupakan hubungan kerja yang didasarkan pada kepentingan antara pekerja/buruh dengan pengusaha. Hubungan industrial erat kaitannya dengan hak warga Negara untuk memperoleh pekerjaan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD Tahun 1945) yang menyatakan “Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Selain itu hubungan industrial juga merupakan bentuk pelaksanaan kebebasan warga Negara dalam menetukan pekerjaan yang telah dijamin dalam Pasal 28D ayat (2) UUD Tahun 1945 yang menyatakan “setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.” Dalam perkembangannya timbul perubahan yang bersifat fundamental dalam permasalahan kerja yang berkaitan dengan penetapan dan pengaturan hubungan industrial. Pelaksanaan hubungan industrial berpotensi menimbulkan perbedaan pendapat, bahkan perselisihan antara kedua belah pihak. Perselisihan hubungan industrial yang terjadi disebabkan, pertama adanya perbedaan pendapat atau kepentingan keadaan ketenagakerjaan yang belum diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama atau peraturan perundang-undangan. Kedua, kelalaian atau ketidakpatuhan salah satu atau para pihak dalam melaksanakan ketentuan normatif yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama atau peraturan perundang-undangan. Ketiga, pengakhiran hubungan kerja. Keempat, perbedaan pendapat antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan mengenai pelaksanaan hak dan kewajiban keserikatpekerjaan.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan IndustriaI (UUPPHI) berupaya menyediakan alternatif penyelesaian sengketa yang terbaik bagi para pihak untuk menentukan bentuk penyelesaian. Sebagai peraturan perundang-undangan yang menyelesaikan perselisihan hubungan industrial, UUPPHI seringkali menjadi objek gugatan uji materil, baik oleh pekerja, pengusaha, maupun hakim PHI.

1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK?

2. Apa akibat hukum terhadap pasal dan ayat suatu UU yang dinyatakan MK sebagai inkonstitusionalitas/inkonstitusionalitas bersyarat?

3. Apakah terjadi disharmoni norma dalam suatu UU jika suatu pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK berimplikasi terhadap norma pasal ayat lain yang tidak diujikan?

Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam UUD Tahun 1945 memiliki dua fungsi ideal, yaitu MK dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi dan berfungsi untuk menjamin, mendorong, mengarahkan, membimbing, dan memastikan bahwa UUD Tahun 1945 dijalankan dengan sebaik-baiknya oleh penyelenggara negara agar nilai-nilai yang terkandung didalamnya dijalankan dengan benar dan bertanggung jawab; dan MK harus bertindak sebagai penafsir karena MK dikonstruksikan sebagai lembaga tertinggi penafsir UUD Tahun 1945.
Secara harfiah, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat memiliki makna hukum tersendiri. Frasa “final” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “terakhir dalam rangkaian pemeriksaan” sedangkan frasa mengikat diartikan sebagai “mengeratkan”, “menyatukan”. Bertolak dari arti harfiah ini maka frasa final dan frasa mengikat, saling terkait sama seperti dua sisi mata uang artinya dari suatu proses pemeriksaan telah memiliki kekuatan mengeratkkan atau menyatukan semua kehendak dan tidak dapat dibantah lagi. Makna harfiah di atas, bila dikaitkan dengan sifat final dan mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi artinya telah tertutup segala kemungkinan untuk menempuh upaya hukum.
Sifat dari putusan Mahkamah Konstitusi yaitu final yang artinya bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). Konsep ini mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni secara sederhana dan cepat sebagaimana diuraikan dalam penjelasan UU MK. Menurut Maruarar Siahaan Putusan Mahkamah Konstitusi sejak diucapkan dihadapan sidang terbuka umum mempunyai 3 kekuatan yaitu: kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian, dan kekuatan eksekutoarial.

1. Putusan Perkara Nomor 68/PUU-XIII/2015
MK berpendapat bahwa perlu ditinjau lebih lanjut tentang apa yang dimaksud dengan anjuran tertulis dan tentang apa yang dimaksud dengan risalah penyelesaian mediasi atau konsiliasi dihubungkan dengan utilitas penyelesaian sengketa di Pengadilan Hubungan Industrial. Anjuran tertulis ini sendiri diatur dalam Pasal 13 ayat (2), Pasal 14 ayat (1), Pasal 23 ayat (2), Pasal 24 ayat (1), dan Pasal 117 ayat (1) UUPPHI.
Dari beberapa pengaturan tersebut, MK berpendapat anjuran tertulis bukan syarat formil dalam pengajuan gugatan di Pengadilan hubungan Industrial, sedangkan risalah penyelesaian mediasi atau konsiliasi merupakan syarat formil dalam pengajuan gugatan di Pengadilan Hubungan Industrial, oleh karena itu menurut Mahkamah petitum permohonan para pemohon yang memohonkan pemaknaan Pasal 13 ayat (2) huruf a UU PPHI setelah frasa “anjuran tertulis” ditambahkan frasa “sebagai bentuk risalah penyelesaian melalui mediasi” dan pemaknaan Pasal 23 ayat (2) huruf a UU PPHI sehingga setelah frasa “anjuran tertulis” ditambahkan frasa “ sebagai bentuk risalah penyelesaian melalui konsiliasi” dipandang beralasan. Namun oleh karena format dan substansi risalah penyelesaian dalam mediasi atau konsiliasi tidak diatur dalam Undang-Undang a quo, maka Mahkamah perlu mempertimbangkan lebih lanjut mengenai format dan substansi risalah tersebut. Oleh karena format dan substansi risalah dalam penyelesaian mediasi atau konsiliasi tidak diatur, Mahkamah berpendapat format dan substansi yang dapat digunakan sebagai pedoman adalah ketentuan yang mengatur tata cara penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui bipartit yang terdapat dalam Pasal 6 UUPPHI.

2. Putusan Perkara Nomor 114/PUU-XIII/2015
Bahwa oleh karena ketentuan Pasal 171 UU Ketenagakerjaan telah dinyatakan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, serta keberadaan Pasal 82 UU PPHI mempunyai makna dan muatan materi yang sama dengan ketentuan Pasal 171 UU Ketenagakerjaan, maka alasan-alasan permohonan yang diajukan dalam pengujian Pasal 171 UU Ketenagakerjaan secara mutatis mutandis menjadi alasan-alasan permohonan dalam pengujian Pasal 82 UU PPHI. Dalam judicial review berkenaan Pasal 82 UUPPHI tersebut Mahkamah juga telah menyatakan pendiriannya sebagaimana tertuang dalam dalam Putusan Mahkamah Nomor 012/PUU-I/2003 bertanggal 28 Oktober 2004. Dalam Putusan Mahkamah Nomor 012/PUU-I/2003 yang membatalkan dan menyatakan Pasal 159 UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, Mahkamah Konstitusi menilai bahwa Pasal 82 UUPPHI yang juga mengatur tentang keberadaan Pasal 159 UU Ketenagakerjaan maka pertimbangan hukum dalam pengujian Pasal 159 UU Ketenagakerjaan berlaku pula terhadap pengujian Pasal 82 UUPPHI. Sehingga dengan demikian dalam amar putusan Nomor 114/PUU-XIII/2015 Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 82 UUPPHI bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang anak kalimat “Pasal 159”.

3. Putusan Perkara Nomor 49/PUU-XIV/2016
Mahkamah berpendapat bahwa keberdaan hakim ad hoc tidak dapat dipisahkan dengan sistem peradilan di Indonesia. Hakim ad hoc diadakan untuk memperkuat peran dan fungsi kekuasaan kehakiman di dalam menegakkan hukum dan keadilan yang keberadaannya berada dalam peradilan yang bersifat khusus. Hakim ad hoc merupakan hakim yang diangkat dari luar hakim karir yang memenuhi persyaratan mempunyai keahlian dan pengalaman, profesional, berdedikasi, dan berintegrasi tinggi, menghayati cita-cita Negara hukum dan Negara kesejahteraan yang berintikan keadilan, serta memahami dan menghormati hak asasi manusia serta persyaratan lain yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.
Mahkamah Konstitusi juga menimbang dan mendasarkan putusannya pada putusan Mahkamah sebelumnya mengenai keberadaan hakim ad hoc, yakni putusan MK Nomor 56/PUU-X/2012 dan putusan MK Nomor 32/PUU-XII/2014. Putusan MK Nomor 56/PUU-X/2012 menyatakan “..., sehingga hakim ad hoc diperlukan hanya untuk mengadili kasus-kasus tertentu. Oleh karena itu seharusnya hakim ad hoc hanya berstatus hakim selama menangani perkara yang diperiksa dan diadilinya.”. Selanjutnya putusan MK Nomor 32/PUU-XII/2014 menyatakan “bahwa dibentuknya hakim ad hoc pada dasarnya karena adanya faktor kebutuhan akan keahlian dan efektivitas pemeriksaan perkara di pengadilan yang bersifat khusus. Pengangkatan hakim ad hoc dilakukan melalui serangkaian proses seleksi yang tidak sama dengan proses rekrutmen dan pengangkatan hakim sebagai pejabat negara pada umumnya.” Atas dasar putusan tersebut, menurut Mahkamah Konstitusi pengangkatan kembali hakim ad hoc yang telah habis masa jabatannya namun masih memiliki kompetensi, kapasitas, dan profesionalisme dipandang memenuhi syarat untuk dicalonkan kembali sebagai hakim ad hoc pada pengadilan hubungan industrial.
Namun demikian, sebagai pengadilan yang bersifat khusus, tata cara pengangkatan hakim ad hoc sesuai dengan UU PPHI didasarkan atas usul organisasi serikat pekerja atau serikat buruh dan organisasi pengusaha dimana yang bersangkutan harus menguasai pengetahuan hukum dan pengalaman khususnya penanganan di bidang perburuhan atau ketenagakerjaan dan kepengusahaan. Sebagai konsekuensi adanya keterikatan Pengadilan Hubungan Industrial yang merupakan representasi dari unsur lembaga pengusul maka hal ini tidak dapat dilepaskan dari keberadaan hakim ad hoc yang dalam proses perekrutannya meninggalkan keterlibatan dari masing-masing lembaga pengusul, sehingga meskipun jabatan hakim ad hoc Pengadilan Hubungan Industrial yang telah habis masa jabatannya maka pengusulannya kembali haruslah mendapat persetujuan atau rekomendasi dari lembaga pengusul.

Berdasarkan putusan MK atas perkara Nomor 68/PUU-XIII/2015, 114/PUU-XIII/2016, dan 49/PUU-XIV/2016 yang kesemuanya bersifat declatoir contitutief dimana MK telah meniadakan suatu keadaan hukum dan/atau menciptakan suatu keadaan hukum yang baru yang bersyarat (conditionally constitusional atau conditionally inconstitutional), maka pasal-pasal dalam UUPPHI yang dinyatakan batal (null and void) dan tidak berlaku lagi ataupun amarnya terdapat perumusan norma, keberlakuannya tidak dapat langsung dieksekusi (nonself executing/implementing).
Sehubungan dengan ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf d dan ayat (2), pasal-pasal UUPPHI yang diuji dan diputuskan oleh MK dalam perkara Nomor 68/PUU-XIII/2015, 114/PUU-XIII/2016, dan 49/PUU-XIV/2016 termasuk pasal-pasal yang memerlukan tindak lanjut melalui perubahan undang-undang yang memuat norma pasal yang diuji dan dinegasikan tersebut. Perubahan undang-undang yang memuat norma pasal-pasal UUPPHI yang telah diputus tersebut dapat dilakukan baik melalui legislatif review atau eksekutif review.

1. Bahwa dalam putusan perkara nomor 68/PUU-XIII/2015 frasa “anjuran tertulis” dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a dan Pasal 23 ayat (2) huruf a UUPPHI bertentangan dengan UUD tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi, maka mediator mengeluarkan anjuran tertulis dalam bentuk risalah penyelesaian melalui mediasi.” (Pasal 13 ayat (2) huruf a) dan “dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui konsiliasi, maka konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis dalam bentuk risalah penyelesaian melalui konsiliasi.” (Pasal 23 ayat (2) huruf a).

2. Bahwa dalam putusan perkara nomor 114/PUU-XIII/2015 mahkamah memutus Pasal 82 UUPPHI sepanjang anak kalimat “Pasal 159” bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

3. Bahwa dalam putusan perkara 49/PUU-XIV/2016 mahkamah memtuskan Pasal 67 ayat (2) UUPPHI bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “Masa tugas Hakim Ad-Hoc adalah untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali setiap 5 (lima) tahun yang diusulkan oleh Ketua Mahkamah Agung dengan terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari lembaga pengusul yang prosesnya sesuai dengan undang-undang yang berlaku.”

4. Amar putusan MK dari ketiga perkara tersebut bersifat declatoir constitutief, artinya MK dengan putusan tersebut telah meniadakan hukum dan mengubah makna pasal-pasal dalam UUPPHI yang diuji sehingga menciptakan hukum baru. Meskipun dalam amar putusannya MK membatalkan dan merumuskan norma baru namun pembatalan dan perumusan norma baru tersebut bersifat bersyarat (conditionally constitusional atau conditionally inconstitusional). Dengan demikian putusan MK dalam ketiga perkara tersebut merupakan putusan yang tidak dapat langsung dieksekusi (non-self executing/implementing) dan memerlukan tindak lanjut perubahan undang-undang melalui legislatif review atau eksekutif review yang memuat norma rumusan putusan MK.

1. Bahwa pembentuk undang-undang perlu untuk segera melakukan perubahan dan reformulasi terhadap pasal-pasal dalam UU PPHI berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi yakni perubahan dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a dan Pasal 23 ayat (2) huruf a) mengenai format dan substansi risalah, Perubahan Pasal 82 mengenai penghapusan anak kalimat “Pasal 159”, perubahan Pasal 67 ayat (2) mengenai masa tugas hakim ad hoc dan pengangkatannya kembali.

2. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pembentuk undang-undang perlu untuk segera menindaklanjuti hasil putusan Mahkamah Konsitusi tersebut dengan segera melakukan penyesuaian atau perubahan UU PPHI dan segera menetapkan dalam Program Legislasi Nasional Kumulatif Terbuka.

Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP) Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi / 01-12-2018

Sejak berdirinya MK hingga saat ini sudah banyak UU yang dimohonkan untuk dilakukan pengujian terhadap UUD Tahun 1945. Salah satunya adalah pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP). Dalam perjalanannya, KUHP telah beberapa kali mengalami pengujian oleh beberapa pihak dengan dasar alasan yang bervariasi. Dari sekitar 14 (empat belas) permohonan uji materil

Dari uraian di atas dirumsukan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK?
2. Apa akibat hukum terhadap pasal dan ayat suatu UU yang dinyatakan MK sebagai inkonstitusionalitas/inkonstitusionalitas bersyarat?
3. Apakah terjadi disharmoni norma dalam suatu UU jika suatu pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK berimplikasi terhadap norma pasal ayat lain yang tidak diujikan?

A. Konstitusionalitas Undang-Undang
Pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 yang menjadi kewenangan MK merupakan wujud prinsip atau asas konstitusionalitas undang-undang (constitutionality of law) yang menjamin bahwa undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang itu tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Kewenangan pengujian undang-undang menimbulkan sebuah kewenangan yang mutatis mutandis (dengan sendirinya) ada, yaitu kewenangan menafsirkan konstitusi. Apabila dalam konstitusi tidak terdapat ketentuan yang ekplisit mengenai kewenangan menafsir konstitusi kepada lembaga negara yang diberikan kewenangan constitutional review, maka harus dipahami bahwa kewenangan menafsirkan konstitusi menyertai kewenangan constitutional review tersebut. Oleh sebab itu, sering dinyatakan bahwa Constitutional Court itu merupakan “the guardian of constitution and the sole interpreting of constitution”, disebut sebagai penjaga konstitusi berdasarkan kewenangan dalam memutus apakah sebuah produk perundang-undangan telah sesuai dengan konstitusi atau tidak.

B. Putusan Mahkamah Konstitusi Bersifat Final dan Mengikat
Mahkamah Konstitusi yang diadopsi dalam UUD Tahun 1945 memiliki dua fungsi ideal yaitu MK dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi dan berfungsi untuk menjamin, mendorong, mengarahkan, membimbing, dan memastikan bahwa UUD Tahun 1945 dijalankan dengan sebaik-baiknya oleh penyelenggara negara agar nilai-nilai yang terkandung didalamnya dijalankan dengan benar dan bertanggung jawab; dan MK harus bertindak sebagai penafsir karena MK dikonstruksikan sebagai lembaga tertinggi penafsir UUD Tahun 1945. Melalui fungsi ini maka Mahkamah Konstitusi dapat menutupi segala kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam UUD Tahun 1945.
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya maka Mahkamah Konstitusi diberikan kewenangan untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD Tahun 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Tahun 1945; memutus pembubaran partai politik; memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana tercantum dalam Pasal 24C UUD Tahun 1945, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 29 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

C. Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi
Akibat hukum yang timbul dari satu putusan hakim jika menyangkut pengujian terhadap undang-undang diatur dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang pada intinya menyatakan undang-undang yang diuji tetap berlaku sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Ketentuan ini juga berarti bahwa putusan hakim Mahkamah Konstitusi yang menyatakan satu undang-undang bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat tidak boleh berlaku surut.

1. Putusan MK Nomor 013 - 022/PUU-IV/2006
Pada dasarnya, setiap pengaturan yang mengkriminalisasikan suatu perbuatan adalah satu kesatuan sistem yang saling terkait dan memiliki pola yang jelas. Demikian pula dalam mengkriminalisasikan perbuatan menghina yang ada di dalam KUHP, tentunya terdapat pola dan sistem tersendiri sebagai bagian dari keseluruhan sistem yang utuh. bahwa tindak pidana penghinaan dalam KUHP menganut adanya gradasi nilai dari setiap subjek hukum (korban) yang ingin dilindungi. Tiap subjek hukum yang berbeda memiliki besaran ancaman pidana yang berbeda pula. Sebagai contoh, KUHP membedakan status antara Presiden atau Wakil Presiden dengan masyarakat biasa. Ancaman pidana penjara bagi seseorang yang melakukan penghinaan kepada Presiden atau Wakil Presiden lebih besar dibandingkan ancaman pidana bagi penghinaan kepada masyarakat biasa. Adalah hal wajar ketika seorang Presiden atau Wakil Presiden yang notabene sebagai seorang kepala negara diberikan perlakuan dan perlindungan khusus terkait dengan jabatan, kewenangan, hak – kewajibannya dan statusnya. Melihat kedudukannya yang begitu penting di dalam suatu negara, sudah sepantasnya Presiden atau Wakil Presiden “dibedakan” dari masyarakat biasa.
Selain itu, KUHP juga membedakan pengaturan pasal mengenai penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden dengan raja atau kepala negara sahabat maupun wakil negara asing di Indonesia. Walaupun sebenarnya Presiden dan Wakil Presiden memiliki kedudukan dan status yang sama dengan raja atau kepala Negara sahabat, yakni sama-sama pimpinan suatu Negara. Akan tetapi KUHP membedakan besaran ancaman pidana bagi kedua tindak pidana tersebut. Ancaman pidana penjara bagi seseorang yang melakukan penghinaan kepada Presiden atau Wakil Presiden lebih besar dibandingkan dengan melakukan penghinaan terhadap seorang raja atau kepala Negara sahabat maupun wakil negara asing di Indonesia.
Ketika salah satu pasal dalam sistem ini dicabut secara parsial dan tidak konsisten, maka tentunya akan memberikan dampak juridis yang cukup besar terhadap keutuhan sistem tersebut.
Dampak yuridis dari pencabutan pasal penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden juga terlihat pada penegakan hukum itu sendiri, dengan masih tercantumnya pasal penghinaan terhadap raja atau kepala negara sahabat maupun wakil negara asing di Indonesia. Tidak ikut dicabutnya pasal penghinaan terhadap raja atau kepala negara sahabat maupun wakil negara asing di Indonesia menunjukkan bahwa pencabutan pasal terhadap Presiden atau Wakil Presiden tidak memperhatikan sistem dan pola yang digunakan dimana KUHP bersandar pada gradasi nilai terhadap pihak – pihak yang berusaha untuk dilindungi. Hal ini memiliki konsekuensi bahwa seolah – olah KUHP hanya memberikan perlindungan khusus terhadap raja atau kepala Negara sahabat maupun wakil negara asing di Indonesia dari tindak pidana penghinaan sedangkan Presiden atau Wakil Presiden Indonesia tidak memperoleh perlindungan khusus selakyaknya raja atau kepala negara sahabat maupun wakil negara asing di Indonesia. Dalam hal ini Presiden atau Wakil Presiden bangsa Indonesia disamaratakan dengan masyarakat biasa. Hal ini tidaklah wajar, karena seharusnya KUHP diberlakukan di Indonesia digunakan sepenuhnya untuk melindungi masyarakat Indonesia secara umum. Jadi sudah seharusnya Presiden atau Wakil Presiden Indonesia memperoleh “prioritas” perlindungan dibandingkan seorang raja atau kepala negara sahabat maupun wakil negara asing di Indonesia. Ketika hanya seorang raja atau kepala negara sahabat maupun wakil negara asing di Indonesia yang hanya dilindungi oleh KUHP, tentu saja konsep ini telah melenceng jauh dari sistem dan pola gradasi nilai yang dianut oleh KUHP. Selain itu masih diaturnya mengenai penodaan terhadap bendera dan lambang negara Republik Indonesia serta bendera negara asing, juga seolah – olah memberikan gambaran bahwa pencabutan pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden merupakan hal yang tidak wajar. Hal berdampak bahwa seolah – olah KUHP hanya memberikan perlindungan khusus terhadap bendera dan lambing negara Republik Indonesia bahkan lambang negara lain dari tindak pidana penghinaan sedangkan Presiden atau Wakil Presiden Indonesia tidak memperoleh perlindungan khusus seperti bendera dan lambang negara Republik Indonesia serta lambang negara lain. Hal ini bukanlah sesuatu yang wajar, karena seharusnya Presiden dan Wakil Presiden bersama dengan bendera dan lambang negara Republik Indonesia merupakan simbol kenegaraan yang tidak bisa saling dipisahkan. Pada saat bendera dan lambang negara Republik Indonesia masih diberi pengaturan secara khusus, maka sudah sepantasnya Presiden dan Wakil Presiden juga diberi perlindungan dan pengaturan secara khusus, sehingga tercipta keseimbangan diantara ketiganya.
Setelah adanya Putusan MK ini, bukan berarti masyarakat yang melakukan penghinaan Presiden lepas dari jerat hukum. Masyarakat yang melakukan penghinaan terhadap Presiden masih bisa dijerat hukum pidana melalui mekanisme Pasal 310 KUHP. Saat ini penghinaan terhadap Presiden dianggap sama dengan penghinaan terhadap masyarakat biasa. Pihak yang merasa dihina, dalam hal ini Presiden, harus menyampaikan aduan kepada polisi agar penghinaan tersebut dapat diproses pidana. Pihak ketiga saat ini tidak mempunyai hak untuk melakukan pelaporan atas penghinaan yang dilakukan oleh seseorang terhadap Presiden. Ancaman hukuman bagi penghina presiden pun saat ini maksimal hanya pidana penjara selama 9 (sembilan) bulan, bukan lagi pidana penjara maksimal selama 6 (enam) tahun yang selama ini diatur dalam Pasal 134 KUHP.

2. Putusan MK Nomor 6/PUU-V/2007
Penerapan Pasal 154 dan Pasal 155 KUHP atau dikenal dengan pasal haatzaai artikelen mempunyai akibat negatif bagi keberlangsungan reformasi, proses demokratisasi, dan penegakan hak asasi manusia di Indonesia. Lebih spesifik, bahwa praktik penerapannya, secara substansial, bisa melanggar hak-hak sipil dan politik warganegara sebagaimana tercantum dalam Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM), dan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenan on Civil and Political Rights/ICCPR). Dengan dicabutnya Pasal 154 dan Pasal 155 KUHP oleh MK melalui putusan Perkara Nomor 6/PUU-V/2007 kemerdekaan masyarakat untuk menyatakan pikiran dan sikap serta kemerdekaan untuk menyampaikan pendapat tidak lagi merasa dihalang-halangi.
Akan tetapi, pada saat ini di dalam rancangan KUHP yang sedang dibahas bersama antara DPR dengan Pemerintah, terdapat rumusan yang serupa dengan ketentuan Pasal 154 dan Pasal 155 KUHP. Ketentuan dalam Pasal 284 RKUHP tersebut hampir sama dengan ketentuan Pasal 154 KUHP, hanya saja di dalam Pasal 284 RKUHP, tindak pidana penghinaan terhadap pemerintah yang sah merupakan delik materil. Delik materil adalah delik yang dianggap telah selesai dengan ditimbulkannya akibat yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang. Rumusan delik yang terdapat dalam Pasal 284 RKUHP tersebut sejalan dengan pertimbangan hakim MK yang menyatakan bahwa kualifikasi delik atau tindak pidana yang dirumuskan dalam Pasal 154 dan 155 KUHP adalah delik formil yang cukup hanya mempersyaratkan terpenuhinya unsur adanya perbuatan yang dilarang (strafbare handeling) tanpa mengaitkan dengan akibat dari suatu perbuatan. Akibatnya, rumusan kedua pasal pidana tersebut menimbulkan kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan karena secara mudah dapat ditafsirkan menurut selera penguasa.

3. Putusan MK Nomor 1/PUU – XI/2013
Perbuatan tidak menyenangkan yang diatur dalam pasal 335 KUHP sering disebut sebagai pasal karet. Hal ini dikarenakan unsur-unsur dari pasal ini dapat digunakan untuk menjerat hampir semua perbuatan yang dirasa menyinggung perasaan orang atau dirasa tidak menyenangkan secara subjektif (personal). Pasca Putusan MK Nomor 1/PUU – XI/2013, Pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP tetap berlaku, hanya saja bunyi pasal tersebut telah berubah menjadi “Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain”
Dalam Pasal 335 KUHP, sebelum adanya Putusan MK, perbuatan tidak menyenangkan merupakan suatu unsur, bukan merupakan suatu akibat dari perbuatan tersangka atau terdakwa yang dapat mengakibatkan keadaan yang tidak menyenangkan. Hilangnya frasa ”sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan” dalam Pasal 335 KUHP ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum seperti yang tercantum dalam UUD 1945 khususnya pasal 28D. Dengan demikian, diharapkan penyidik dan penuntut umum sebagai garda depan penegak hukum bisa lebih objektif dalam menerapkan Pasal 335 KUHP tersebut.
Menurut Wakapolri Komjen Oegroseno, dengan menghilangkan frasa “perbuatan tidak menyenangkan” yang terdapat pada Pasal 335 KUHP, bukan berarti pasal perbuatan tidak menyenangkan dihilangkan. Akan tetapi berubah menjadi perbuatan lain yang menjadikan tidak menyenangkan. Artinya, jika ada perkara yang berkaitan dengan frasa yang mengambang atau tidak jelas, harus dibuktikan terlebih dahulu. Selain itu, harus ada unsur kekerasan dan ancaman kekerasan. Kalau tidak ada unsur kekerasan dan ancaman kekerasan, maka delik (proses penegakan hukumnya) tidak bisa diteruskan. Sebaliknya, jika ada unsur kekerasan atau ancaman kekerasan, maka delik (proses penegakan hukumnya) dapat diteruskan.
Penekanan delik pada unsur kekerasan atau ancaman kekerasan yang ada dalam pasal 335 KUHP yang baru merupakan mutlak sebagai implikasi yuridis dari putusan MK Nomor: 1/PUU-XI/2013 tentang penghapusan frase perbuatan tidak menyenangkan pada Pasal 335 KUHP. Hal ini sangat berbeda dengan rumusan pasal 335 KUHP yang lama dimana penekanan hanya ada pada unsur “paksaan” untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu hal. Unsur dalam Pasal 335 KUHP yang telah diubah MK merupakan satu kesatuan. Unsur dalam pasal tersebut berlaku secara kumulatif yang berarti merupakan satu kesatuan dan harus terpenuhi semua. Berbeda dengan pasal 335 KUHP sebelum diubah MK, dimana unsur di dalam pasal tersebut bersifat alternatif yang mana hanya harus memenuhi unsur “memaksa” disana.

4. Putusan MK Nomor 31/PUU – XIII/2015
Dengan dinyatakannya Pasal 319 KUHP sepanjang frasa “kecuali berdasarkan Pasal 316” bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengingat, maka tindak pidana penghinaan yang dilakukan terhadap pegawai negeri saat ini merupakan delik aduan. Delik aduan hanya bisa diproses jika ada pengaduan atau laporan dari orang yang menjadi korban tindak pidana.
Penuntutan tindak pidana yang termasuk ke dalam delik aduan digantungkan pada kemauan dan kehendak dari yang terkena tindak pidana atau yang berkepentingan. Dengan kata lain yang terkena tindak pidana mempunyai peran menentukan apakah pelaku delik itu dilakukan penuntutan atau tidak. Oleh karena penuntutan diserahkan kepada kemauan dan kehendak dari yang terkena kejahatan atau yang berkepentingan maka dengan demikian terbuka kemungkinan bagi penyelesaian secara kekeluargaan antara yang terkena kejahatan atau yang berkepentingan dengan pelaku tindak pidana sebagai penyelesaian perkara di luar campur tangan penegak hukum.
Mengenai ancaman pidananya, terkait penghinaan terhadap pegawai negeri masih berlaku Pasal 316 KUHP, yakni ditambah sepertiga dari ancaman pidana tindak pidana penghinaan terhadap masyarakat biasa.

Pada dasarnya Putusan MK dalam perkara No. 013 - 022/PUU-IV/2006 dan No. 6/PUU – V/2007 yang mengabulkan permohonan pemohon dan menyatakan Pasal 134, Pasal 136bis, Pasal 137, Pasal 154, dan Pasal 155 KUHP bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, telah melahirkan suatu keadaan hukum baru terkait dengan tindak pidana penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden serta tindak pidana pernyataan perasaan permusuhan kebencian atau penghinaan terhadap Pemerintah yang sah. Dengan dibatalkannya ketentuan pasal mengenai penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden, maka saat ini tindak pidana penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden diproses dengan menggunakan pasal tindak pidana penghinaan biasa yang ada di dalam Pasal 310 KUHP. Akan tetapi sebenarnya, penerapan delik penghinaan terhadap pejabat negara, yakni Presiden dan Wakilnya masih sangat relevan untuk dipertahankan, karena Presiden dan Wakilnya merupakan pencerminan seluruh rakyat dan negara yang harus dilindungi martabat dan jabatannya dari tindakan pelecehan dengan sewenang-wenang untuk merendahkan jabatan itu.
Sedangkan, untuk pasal pernyataan permusuhan kebencian atau penghinaan terhadap Pemerintah yang sah yang terdapat dalam Pasal 154 dan Pasal 155 KUHP, dengan dibatalkannya pasal tersebut oleh MK diharapkan lebih menjamin adanya kepastian hukum bagi masyarakat dalam menyatakan pikiran dan pendapatnya. Warganegara yang ingin menyampaikan pendapatnya kepada pemerintah tidak perlu merasa takut karena saat ini kebebasan berekspresi telah benar-benar dijamin oleh Pasal 28 UUD Tahun 1945. Akan tetapi, telah terjadi suatu kekosongan hukum pidana, khususnya mengenai pasal yang akan dikenakan terhadap warganegara yang melakukan kegiatan penyebaran pernyataan perasaan permusuhan, kebencian, ataupun penghinaan terhadap pemerintah. Kekosongan hukum disebabkan karena Makamah Konstitusi tidak memberikan suatu alternatif hukum atau jalan keluar setelah mencabut ke dua pasal tersebut. Disisi lain, perangkat hukum yang sudah ada pun tidak mengatur secara jelas sanksi yang akan diberikan terhadap warga negara yang melakukan penghinaan terhadap pemerintah.
Adapun terkait dengan Pasal 335 ayat (1) butir (1) dan Pasal 319 KUHP, kedua pasal dalam KUHP tersebut masih tetap berlaku. Hanya saja pencabutan sebagian frasa dalam kedua pasal tersebut mengakibatkan suatu keadaan hukum baru. Unsur “sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang menyenangkan” sudah seharusnya dihapuskan dari rumusan Pasal 335 ayat (1) ke 1 KUHP sehingga pasal tersebut tinggal mencakup unsur menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memaksa orang lain melakukan, tidak melakukan atau mengabaikan sesuatu. Sedangkan, ketentuan mengenai penghinaan terhadap pegawai negeri berdasarkan Putusan MK No. 31/ PUU – XIII/2015 kini merupakan sebuah delik aduan.
Pada dasarnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan telah mengatur mengenai tindaklanjut dari putusan MK dalam pengujian peraturan perundang-undangan yang dituangkan dalam daftar kumulatif terbuka program legislasi nasional. Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 menyatakan bahwa:
Dalam Prolegnas dimuat daftar kumulatif terbuka yang terdiri atas:
a. pengesahan perjanjian internasional tertentu;
b. akibat putusan mahkamah konstitusi;
c. anggaran pendapatan dan belanja negara;
d. pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah provinsi dan/atau kabupaten/kota; dan
e. penetapan/pencabutan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.
Dengan adanya ketentuan pasal ini maka DPR perlu menindaklanjuti putusan MK dalam daftar kumulatif terbuka program legislasi nasional. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum yang diakibatkan dari pembatalan norma pasal dalam undang-undang sehingga perlu dilakukannya legislative review.

Sampai dengan tahun 2017, kurang lebih telah ada 14 (empat belas) permohonan uji materiil terkait KUHP ke MK. Akan tetapi, hanya 5 (lima) permohonan yang dikabulkan oleh MK, yakni melalui Putusan MK No. 013 – 022/PUU-IV/2006, Putusan MK No. 6/PUU –V/2007, Putusan MK No. 1/PUU – XI/ 2013, dan Putusan MK No. 31/ PUU – XIII/2015. Berdasarkan Putusan No. 013 – 022/PUU-IV/2006 dan Putusan MK No. 6/PUU –V/2007, perlu dilakukan pembatalan atau pencabutan terhadap ketentuan dalam Pasal 134, Pasal 136bis, Pasal 137, Pasal 154 dan Pasal 155 KUHP.
Sementara itu berdasarkan Putusan MK No. 1/PUU – XI/ 2013 dan Putusan MK No. 31/ PUU – XIII/2015 perlu dilakukan perubahan atau revisi terhadap Pasal 335 ayat (1) dan Pasal 319 KUHP, sehingga nantinya substansi pasal a quo tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bahwa materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi materi muatan mengenai tindak lanjut Putusan MK. Oleh karena itu, perlu segera perlu dilakukan perubahan terhadap KUHP yang dituangkan dalam rencana penggantian KUHP baik sebagai daftar kumulatif terbuka maupun dalam Prolegnas Prioritas Tahunan.
Apabila pembuat undang-undang memutuskan untuk melakukan perubahan/penggantian KUHP, maka perlu memperhatikan keempat Putusan MK yang menguji pasal dalam KUHP yang telah memberikan putusan terhadap Pasal 134, Pasal 136bis, Pasal 137, Pasal 154, Pasal 155, Pasal 335 sepanjang frasa “sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan”, dan Pasal 319 sepanjang frasa “kecuali berdasarkan Pasal 316” KUHP.

Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi / 01-12-2018

Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 termasuk pula kewenangan untuk memberikan penafsiran suatu ketentuan undang-undang agar bersesesuaian dengan nilai-nilai konstitusi. Pengujian undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi tersebut harus senantiasa ditujukan untuk menjamin agar ketentuan konstitusi dilaksanakan dalam praktik kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pada Tahun 1974, diundangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) yang pernah pula diuji konstitusionalitasnya oleh Mahkamah Konstitusi. Adanya putusan MK yang untuk pelaksanaannya membutuhkan aturan lebih lanjut, yaitu putusan membatalkan suatu norma yang mempengaruhi norma-norma lain, atau untuk melaksanakannya diperlukan aturan yang lebih operasional. Namun demikian, belum adanya peraturan yang menindaklanjuti putusan MK tidak mengurangi kekuatan mengikat yang telah melekat sejak dibacakan. Setiap pihak yang terkait harus melaksanakan putusan tersebut.
Berdasarkan perkara-perkara pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi tentang dengan UU Perkawinan, setidaknya telah dilakukan pengujian sebanyak 5 perkara, yakni pada Perkara Nomor 12/PUU-V/2007, Nomor 46/PUU-VIII/2010, Nomor 38/PUU-IX/2011, Nomor 68/PUU-XII/2014 dan Nomor 30-74/PUU-XII/2014. Dari perkara-perkara tersebut, dua diantaranya dinyatakan dikabulkan sebagian, yakni perkara Nomor 46/PUU-VIII/2010 dan Nomor 69/PUU-XIII/2015, sehingga dari keduanya akan dikaji bagaimana pengaturan UU Perkawinan agar tidak inkonstitusional.

Berdasarkan pada latar belakang sebagaimana tersebut di atas, permasalahan yang akan dijawab dalam kajian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK?
2. Apa akibat hukum terhadap pasal, ayat suatu undang-undang yang dinyatakan MK sebagai konstitusionalitas/inkonstitusional bersyarat?
3. Apakah terdapatdisharmoni norma dalam suatu UU jika suatu pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK berimplikasi terhadap norma pasal ayat lain yang tidak diujikan?

A. Konstitusionalitas Undang-Undang
Terkait dengan wewenang melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 yang secara umum disebut judicial review, bahwa pengertian judicial review dipahami baik secara umum maupun praktik di MK. Dalam praktik peradilan umum di Indonesia judicial review mencakup pemeriksaan tingkat banding, kasasi, dan Peninjauan Kembali (PK). Sedangkan pemahaman terhadap proses pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 disebut sebagai constitutional review. Dikaitkan dengan program legislasi nasional (Prolegnas), Mahfud MD menyebutkan bahwa judicial review dapat dilakukan oleh MK untuk menjamin konsistensi Undang-Undang terhadap UUD Tahun 1945 serta menjamin ketepatan prosedur sesuai dengan Prolegnas.

B. Putusan Mahkamah Konstitusi Bersifat Final dan Mengikat
Menurut Sri Soemantri, putusan yang bersifat final harus bersifat mengikat dan tidak dapat dianulir oleh lembaga manapun. Pengertian yuridis final dan mengikat itu selalu bersatu yaitu final and binding. Dengan demikian jika bersifat final harus diikuti dengan mengikat sehingga sah memiliki kepastian hukum. Dengan sifat final serta mengikat maka berakibat tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh terhadap putusan dimaksud sehingga tertutup segala kemungkinan untuk menempuh upaya hukum.
Kedudukan norma mempengaruhi amar putusan pada dasarnya mempengaruhi amar putusan. Amar putusan berdampak pada status norma yang diuji. Dalam hal norma konkret yang diuji maka akibat hukumnya apabila dikabulkan terlindunginya hak konstitusional pemohon dan MK menerapkan penafsiran yang luas terhadap norma konkret. Akibat hukum terhadap norma konkret semuanya bermuara pada sifat putusan yang erga omnes. Putusan MK Tetap berlaku umum meskipun setelah amar dijatuhkan yang mendapatkan perlindungan hak-hak konstitusional terlindungi adalah hak konstitusional pemohon. Akan tetapi putusan tersebut tetap berlaku untuk pemohon dengan kasus yang sama di masa mendatang. Akibat hukum pengujian norma konkret dalam hal dikabulkan adalah merupakan bentuk penafsiran luas dari sifat putusan yang erga omnes.
Kewenangan MK dalam melakukan pengujian Undang-Undang terhadap konstitusi didasari dengan pertimbangan hukum disamping juga melakukan dinamisasi interpretasi untuk memenuhi keadilan. Adapun putusan MK masuk ke dalam jenis putusan declaratoir constitutief. Putusan declaratoir yaitu “putusan yang hanya menyatakan suatu keadaan tertentu sebagai keadaan yang sah menurut hukum” . Putusan declaratoir tidak memerlukan eksekusi, tidak mengubah atau menciptakan suatu hukum baru, melainkan hanya memberikan kepastian hukum semata terhadap keadaan yang telah ada. Sedangkan constitutief adalah “suatu putusan yang menciptakan/menimbulkan keadaan hukum baru”. Putusan constitutief selalu berkenaan dengan status hukum seseorang atau hubungan keperdataan satu sama lain, selain itu putusan constitutief tidak memerlukan eksekusi.

1. Putusan MK Perkara Nomor 46/PUU-VIII/2010
Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengubah penafsiran ketentuan Pasal 43 ayat (1) yang semula menyatakan “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” dan ditafsirkan sebagaimana yang tertulis dalam ketentuan tersebut, yang kalau diperhatikan, ketentuan ini lebih merujuk pada ketentuan dalam hukum Islam, tepatnya dalam fiqh munakahat. Ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyatakan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan . Meskipun demikian, pengaturan perkawinan dalam UU Perkawinan ini tidak hanya mengatur bagi kelompok tertentu tetapi seluruh warga negara Indonesia dengan segala keberagaman keyakinannya. Sehingga pada ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang menjelaskan tentang definisi perkawinan menekankan sahnya perkawinan adalah menurut hukum agama dan kepercayaannya. Mengingat bahwa tidak hanya masyarakat beragama Islam saja yang terikat ketentuan dalam UU Perkawinan, maka hal tersebut harus diperhatikan dengan seksama.
Berdasarkan penjelasan Pasal 37 dan ketentuan Pasal 10 UU Perkawinan, maka jelas bahwa hal-hal dalam perkawinan tidak harus tunduk pada ketentuan dalam UU Perkawinan tetapi lebih kepada ketentuan agama dan kepercayaan masing-masing . Namun dalam hal rujukan hukum, ketentuan dalam UU Perkawinan, melalui ketentuan Pasal 10 UU Perkawinan mengatur tentang pernikahan kembali pasangan suami isteri yang telah bercerai sebanyak dua kali adalah dilarang, yang mana ketentuan yang diikuti dikembalikan pada ketentuan agama dan kepercayaan masing-masing, dan dalam ketentuan Pasal 37 UU Perkawinan yang mengatur tentang harta bersama, rujukan hukum tidak hanya dikembalikan pada ketentuan agama dan kepercayaan masing-masing tetapi juga hukum adat dan hukum lainnya yang berlaku.
Selain itu, putusan ini dibuat agar tercipta perlakuan yang adil antara perempuan yang merupakan ibu si anak dan laki-laki yang terbukti merupakan ayah biologis anak tersebut dalam hal pemenuhan kewajiban dan tanggung jawab orang tua terhadap anak. Hal ini juga untuk menekankan adanya tanggung jawab seorang ayah untuk memenuhi hak-hak anak atas dirinya yang merupakan ayah dari anak tersebut. Meski demikian, hal ini tentunya tidak akan mengubah stigma masyarakat terhadap anak di luar kawin dan ketentuan agama dan kepercayaan yang hidup dalam masyarakat dalam hal hukum mengenai anak di luar kawin.

2. Putusan MK Perkara Nomor 69/PUU-XIII/2015
Putusan Mahkamah Konstitusi atas Perkara Nomor 69/PUU-XIII/2015 menyatakan bahwa hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dimusyawarahkan dan diputuskan bersama antara keduanya. Kesepakatan atau perjanjian yang dilakukan dengan cara musyawarah tersebut dapat dilakukan sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan, yakni pada waktu atau sebelum perkawinan berlangsung. Kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris.
Ketentuan yang ada saat ini hanya mengatur perjanjian perkawinan yang dibuat sebelum atau pada saat perkawinan berlangsung, padahal dalam kenyataannya ada fenomena pasangan suami isteri baru merasakan adanya kebutuhan untuk membuat Perjanjian Perkawinan selama dalam ikatan perkawinan karena ada suatu hal tertentu. Oleh karenanya, frasa "pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan" dalam Pasal 29 ayat (1), frasa "...sejak perkawinan dilangsungkan" dalam Pasal 29 ayat (3) dan frasa "selama perkawinan berlangsung" dalam Pasal 29 ayat (4) UU Perkawinan dinyatakan telah membatasi kebebasan 2 orang individu untuk melakukan "perjanjian" dengan memberikan pembatasan waktu. Putusan MK menyatakan bahwa :
1. Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "Pada waktu sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut";
2. Pasal 29 ayat (3) UU Perkawinan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan";
3. Pasal 29 ayat (4) UU Perkawinan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "Selama perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dapat mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan umtuk mengubah atau mencabut, dan perubahan atau pencabutan itu tidak merugikan pihak ketiga".
Dengan adanya putusan MK, maka pelaksanaan perjanjian telah sesuai dengan ketentuan dalam KUHPer tentang Perjanjian. Suatu perjanjian dibuat berdasarkan kebutuhan para pihak dengan isi sesuai dengan kebutuhan para pihak juga, yang tentunya tidak boleh bertentangan dengan hal-hal yang menjadi azas perjanjian. Ada beberapa azas yang dapat ditemukan dalam Hukum Perjanjian, namun ada dua diantaranya yang merupakan azas terpenting dan karenanya perlu untuk diketahui, yaitu:
1. Azas Konsensualitas, yaitu bahwa suatu perjanjian dan perikatan yang timbul telah lahir sejak detik tercapainya kesepakatan, selama para pihak dalam perjanjian tidak menentukan lain. Azas ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata mengenai syarat-syarat sahnya perjanjian.
2. Azas Kebebasan Berkontrak, yaitu bahwa para pihak dalam suatu perjanjian bebas untuk menentukan materi/isi dari perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan kepatutan. Azas ini tercermin jelas dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Tujuan perkawinan dalam UU Perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal . Adanya permasalahan yang muncul sepanjang perkawinan dan membutuhkan penyelesaian agar perkawinan tetap berlangsung, biasanya diselesaikan dengan membuat suatu kesepakatan atau perjanjian antara suami dan istri, selain itu, hal ini dilakukan agar tidak berakhir dengan adanya perceraian. Sehingga Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap ketentuan perjanjian perkawinan tersebut telah sesuai dengan ketentuan KUHPer yang saat ini masih menjadi rujukan ketentuan perikatan atau perjanjian di Indonesia secara umum, dan telah sesuai dengan ketentuan dalam UUD Tahun 1945 dan tujuan perkawinan dalam UU Perkawinan.

1. Akibat Hukum Terhadap Pasal Dan/Atau Ayat Suatu Undang-Undang Atas Putusan MK
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang menyatakan adanya hubungan perdata anak diluar nikah dengan ibu dan keluarga ibunya serta laki-laki yang terbukti sebagai ayahnya dan keluarga ayahnya secara keperdataan dalam rangka melindungi anak dan memberikan keadilan pada perempuan atau ibu anak di luar kawin tidaklah bertentangan dengan ketentuan KUHPer, UU Perlindungan Anak, UU HAM dan UU Administrasi Kependudukan. Namun ketentuan ini membuka pengakuan hukum terhadap kedua orang tua dari anak diluar kawin melalui adanya pembuktian secara ilmu pengetahuan dan teknologi dan bukti-bukti lainnya.
Pemohon dalam Perkara Nomor 46/PUU-VIII/2010 menyampaikan permasalahan tentang pernikahannya yang tidak dicatatkan yang menimbulkan ketidakjelasan status pernikahan dan anaknya dihadapan hukum, sehingga Pemohon mengajukan pengujian ketentuan "wajib dicatatkan" sedangkan menurut Pemohon, pernikahannya telah sah menurut ketentuan agama karena telah memenuhi rukun-rukun nikah. Ketidakjelasan status hukum anak karena pernikahan yang tidak dicatatkan tersebut dianggap sebagai anak tidak sah atau anak diluar nikah yang kepadanya diberlakukan ketentuan Pasal 43 ayat (1) dimana hubungan keperdataan anak hanya terhadap ibu kandungnya. Hal ini juga menimbulkan kesulitan bagi Pemohon untuk proses akta lahir anak karena ketentuan Pasal 55 UU Perkawinan tentang Pembuktian Asal Usul Anak.
Dalam pertimbangannya Mahkamah Konstitusi menyampaikan bahwa pencatatan dilakukan untuk kepentingan administrasi negara yang akan berakibat hukum secara luas atas segala sesuatu yang timbul karena perkawinan . Namun yang menjadi concern MK dari permohonan tersebut adalah permasalahan status anak. Belakangan ini, telah banyak terjadi kasus diskriminasi terhadap anak yang mana masyarakat memperlakukan anak-anak secara berbeda karena status anak, sedangkan menurut ketentuan UUD Tahun 1945 pada Pasal 28B ayat (2) dinyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi , sehingga hak-hak anak harus dipenuhi. Demikian juga dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga mengatur hak-hak asasi yang dilindungi dan tidak dapat dikurangi apapun.
Perubahan pemaknaan terhadap ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan tentunya bertentangan dengan ketentuan hukum Islam yang mengatur bahwa anak-anak diluar nikah hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Bahkan apabila ada pengakuan dari pihak ayah dan keluarganya, maka hak-hak sebagai ayah tidak diperoleh secara penuh, seperti hak memberikan warisan maupun menjadi wali nikah . Namun perlu diingat kembali bahwa Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden yang berlaku mengikat bagi seluruh komponen masyarakat di Indonesia dalam rangka mewujudkan suatu sistem hukum nasional .
Putusan MK yang mengubah pemaknaan ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan menjadi “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya” tentunya harus ditindaklanjuti dengan memperjelas hubungan keperdataan yang timbul antara anak di luar perkawinan dengan laki-laki yang terbukti sebagai ayahnya. Dikaitkan dengan ketentuan pengeluaran akta lahir anak tersebut, ketentuan Pasal 55 UU Perkawinan mengatur bahwa :
"(1) Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang autentik, yang dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang.
(2) Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada, maka Pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat.
(3) Atas dasar ketentuan Pengadilan tersebut ayat (2) pasal ini, maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akte kelahiran bagi anak yang bersangkutan."
Oleh karenanya akta dapat dikeluarkan dengan pembuktian-pembuktian tertentu, yakni melalui pembuktian berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya.
Perlu diperhatikan, bahwa putusan MK atas Perkara Nomor 46/PUU-VIII/2010 tidak menyebut tentang akta kelahiran anak luar kawin maupun akibat hukum putusan tersebut terhadap akta kelahiran anak luar kawin. Implikasi putusan MK ini berkaitan dengan status hukum dan pembuktian asal usul anak luar kawin. Hubungannya dengan akta kelahiran adalah karena pembuktian asal-usul anak hanya dapat dilakukan dengan adanya akta kelahiran otentik yang dikeluarkan oleh pejabat berwenang sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 55 ayat (1) UU Perkawinan.
Dengan adanya putusan MK tersebut, maka ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang teknis pembuatan akta kelahiran khususnya bagi anak diluar kawin perlu diperbarui. Terkait dengan perjanjian perkawinan, Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan menegaskan bahwa perjanjian perkawinan hanya dapat dibuat sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan. Perjanjian perkawinan ini dikenal sebagai pre-nuptial agreement atau pre-marital agreement (dikenal singkat sebagai pre-nupt). Namun Putusan Mahkamah Konstitusi atas Perkara Nomor 69/PUU-XIV/2015 telah sesuai dengan ketentuan dalam KUHPer yang masih menjadi rujukan dalam hukum perikatan nasional. Sedangkan ketentuan Pasal 1320 KUHPer menyatakan :
"Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat;
1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. suatu pokok persoalan tertentu;
4. suatu sebab yang tidak terlarang."
Terhadap putusan dapatnya pasangan menikah membuat perjanjian perkawinan maka ketentuan nomor 1 dan ketentuan nomor 2 telah terpenuhi mengingat ketentuan dalam UU Perkawinan telah menyebutkan tentang adanya kesepakatan antara suami. Adanya pernikahan antara keduanya, maka keduanya telah memenuhi ketentuan batas usia tertentu yang diatur dalam perundang-undangan di Indonesia. Maka dalam rangka menjaga kelangsungan perkawinan dan tercapainya tujuan perkawinan, maka hal tersebut telah turut mendukung upaya menciptakan perkawinan yang kekal. Dalam mensolusikan permasalahan dalam yang muncul dalam perkawinan dan dalam rangka mencegah sampainya perkawinan tersebut pada perceraian, maka pasangan kawin dapat melakukan kesepakatan-kesepakatan tertentu untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul tersebut dengan tetap berpegang pada ketentuan Pasal 29 ayat (2) UU Perkawinan.

2. Permasalahan Disharmonisasi Norma Pasca Putusan Mk
Putusan Perkara Nomor 46/PUU-VIII/2010 tidak menimbulkan disharmonisasi terhadap ketentuan lain di dalam UU Perkawinan maupun UU lain, seperti UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang telah diubah dengan UU Nomor 35 Tahun 2014 dan UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang telah diubah dengan UU Nomor 24 Tahun 2013. Namun Putusan ini menimbulkan permasalahan terhadap pengaturan hubungan di luar kawin sebagai implikasi pengaturan pembuktian hubungan darah antara anak di luar kawin dengan laki-laki yang dianggap ayah kandungnya dan adanya hak-hak keperdataan atas hubungan anak dan ayah berikut keluarga ayah tersebut.
Meski tidak ada permasalahan dengan pengaturan dalam UU Administrasi Kependudukan, namun peraturan pelaksana ketentuan UU Administrasi Kependudukan masih merujuk pada ketentuan dalam UU Perkawinan yang belum diubah berdasarkan putusan MK tersebut, sehingga ketentuan pelaksanaan tersebut, perlu diubah dengan terlebih dahulu mengubah ketentuan dalam UU Perkawinan dengan disesuaikan dengan putusan MK.
Putusan Perkara Nomor 69/PUU-XIII/2015 yang menyatakan Pasal yang diujikan merupakan inkonstitusional bersyarat, telah mengubah penafsiran ketentuan Pasal 29 ayat (1), ayat (3) dan ayat (4) UU Perkawinan dengan putusan berupa :
1. Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "Pada waktu sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut";
2. Pasal 29 ayat (3) UU Perkawinan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan";
3. Pasal 29 ayat (4) UU Perkawinan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "Selama perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dapat mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan umtuk mengubah atau mencabut, dan perubahan atau pencabutan itu tidak merugikan pihak ketiga"
Secara umum, Putusan tersebut mengatur tentang mekanisme Perjanjian Perkawinan yang dibuat sebelum perkawinan tersebut berlangsung, mulai berlakunya Perjanjian Perkawinan dan ketentuan mengenai perubahan atau pencabutan kesepakatan dalam Perjanjian Perkawinan.





Ketentuan Pasal-Pasal UU Perkawinan yang telah ditafsirkan oleh MK telah bersinggungan dengan ketentuan dalam KUHPer yang telah dicabut dengan diundangkannya UU Perkawinan. Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan perlu ditinjau ulang berdasarkan kepercayaan umat beragama yang ada di Indonesia mengingat dasar perkawinan sendiri berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan dimana sahnya perkawinan apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Dalam rangka memberikan kepastian hukum, perlindungan dan keadilan kepada masyarakat dan dalam upaya mendukung tercapainya tujuan pengaturan perkawinan dalam UU Perkawinan, maka putusan MK telah mencapai tujuan-tujuan tersebut.
Adanya perubahan penafsiran Pasal-Pasal tersebut, maka perlu diperhatikan hal-hal yang mungkin timbul dari perubahan tersebut yang berpotensi menjadi permasalahan di kemudian hari dalam rangka menjaga keamanan, kestabilan dan ketertiban dalam masyarakat.

Dengan adanya perubahan penafsiran pasal-pasal dalam UU Perkawinan yang berimplikasi pada pengaturan pada peraturan perundang-undangan lain maka UU Perkawinan perlu diubah dengan menyesuaikan pada Putusan Mahkamah Konstitusi dengan memperhatikan kondisi kemasyarakatan di Indonesia.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bahwa materi muatan yang harus diatur dengan UU berisi materi muatan mengenai tindak lanjut Putusan MK. Oleh karena itu, perlu segera disusun Perubahan UU Perkawinan dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2019 untuk dibahas bersama-sama antara DPR dan Pemerintah agar tidak terjadi kekosongan hukum dan terjamin kepastian hukum.

Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi / 01-12-2018

Merujuk pada Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, menyatakan bahwa salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir putusan yang bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Artinya bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding).
Pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara merupakan pengujian yang cukup penting karena telah dua kali diuji oleh Mahkamah Konstitusi. Pengujian Pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara terhadap UUD Tahun 1945 dilakukan oleh pemohon yang merupakan pihak yang dirugikan atas berlakunya Undang-Undang tersebut dengan latar belakang yang bervariasi. Dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dinyatakan bahwa pada intinya terhadap pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, maka kepadanya diberikan hak untuk mengajukan pengujian undang-undang (dalam hal ini adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara) tersebut kepada Mahkamah Konstitusi.

Dari uraian di atas, dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK?
2. Apa akibat hukum terhadap pasal dan ayat suatu UU yang dinyatakan MK sebagai konstitusionalitas/inkonstitusionalitas bersyarat?
3. Apakah terjadi disharmoni norma dalam suatu UU jika suatu pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK berimplikasi terhadap norma pasal ayat lain yang tidak diujikan?

A.Konstitusionalitas Undang-Undang
Pemberian wewenang menguji undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 kepada Mahkamah Konstitusi juga dinilai sesuai dengan paham konstutisionalisme, dimana Undang-Undang Dasar kedudukannya adalah sebagai bentuk peraturan yang tertinggi. Hakim Mahkamah Konstitusi harus memiliki wewenang untuk membatalkan setiap tindakan Presiden dan juga setiap undang-undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Selain itu, judicial review merupakan proses judicialization of politic terhadap produk legislatif. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa undang-undang merupakan produk politik yang sering kali lebih mengedepankan kepentingan politik suara mayoritas dan cenderung mengabaikan aspek kebenaran dalam proses pengambilan keputusan.
Dengan demikian, esensi dari produk putusan Mahkamah Konstitusi dalam menguji undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 ditempatkan dalam bingkai mekanisme check and balances antara lembaga negara. Hubungan untuk saling mengontrol ini, pada akhirnya dimaksudkan untuk melahirkan suatu produk hukum yang adil dan betul-betul berorientasi pada kepentingan rakyat. Sehingga, pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 dapat juga dilihat sebagai bagian dari koreksi terhadap produk yang dihasilkan oleh DPR RI dan Presiden.

B.Putusan Mahkamah Konstitusi Bersifat Final dan Mengikat
Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Dengan demikian, terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tidak dapat dilakukan upaya hukum dan putusan tersebut langsung mengikat sebagai hukum sejak diucapkan di persidangan. Selain itu, berdasarkan Pasal 60 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, terhadap materi muatan undang-undang yang telah diuji oleh Mahkamah Konstitusi tidak dapat dimohonkan pengujian kembali. Oleh karena itu, apabila Pemerintah atau lembaga negara lain tidak mematuhi putusan tersebut dan justru masih tetap memberlakukan undang-undang yang telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, hal tersebut merupakan tindakan yang pengawasannya ada dalam mekanisme hukum dan tata negara itu sendiri. Adapun perbuatan yang dilakukan atas dasar undang-undang yang telah dinyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat adalah perbuatan melawan hukum dan demi hukum batal sejak semula (ab initio).

C.Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan dalam peradilan merupakan perbuatan hakim sebagai pejabat negara berwenang yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dibuat secara tertulis untuk mengakhiri sengketa yang dihadapkan para pihak kepadanya. Sebagai perbuatan hukum yang akan menyelesaikan sengketa yang dihadapkan kepadanya, maka putusan hakim tersebut merupakan tindakan negara di mana kewenangannya dilimpahkan kepada hakim baik berdasarkan UUD Tahun 1945 maupun undang-undang.
Dari sudut pandang hukum tata negara, putusan Mahkamah Konstitusi termasuk dalam keputusan negara yang mengandung norma hukum sama halnya dengan putusan pembentuk undang-undang yang bersifat pengaturan (regeling). Putusan Mahkamah Konstitusi dapat membatalkan suatu undang-undang atau materi muatan dalam undang-undang, sedangkan pembentuk undang-undang menciptakan norma hukum dalam bentuk materi muatan dalam suatu undang-undang.
Putusan Mahkamah Konstitusi terutama dalam pengujian undang-undang kebanyakan jenisnya adalah bersifat declaratoir constitutief. Artinya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menciptakan atau meniadakan satu keadaan hukum baru atau membentuk hukum baru sebagai negative legislature. Hal lain yang perlu dicermati lebih lanjut adalah adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) maupun inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional). Varian putusan Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan putusan yang menyatakan bahwa suatu ketentuan undang-undang tidak bertentangan dengan konstitusi dengan memberikan persyaratan pemaknaan dan keharusan kepada lembaga negara dalam pelaksanaan suatu ketentuan undang-undang untuk memperhatikan penafsiran Mahkamah Konstitusi atas konstitusionalitas ketentuan undang-undang yang sudah diuji tersebut. Dengan demikian, terdapat penafsiran sendiri dari Mahkamah Konstitusi agar suatu norma undang-undang tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945.

1. Putusan MK Nomor 15/PUU-XIV/2016
Secara umum putusan Mahkamah Konstitusi bersifat declaratoir dan constitutief. Declaratoir artinya putusan dimana hakim sekedar menyatakan apa yang menjadi hukum, tidak melakukan penghukuman. Constitutief artinya suatu putusan yang menyatakan tentang ketiadaan suatu keadaan hukum dan/atau menciptakan suatu keadaan hukum yang baru. (revisi UU menyesuaikan dengan Putusan MK). Kekuatan mengikat putusan MK mengikat bagi semua orang, lembaga negara dan badan hukum dalam wilayah NKRI. Putusan MK berlaku sebagai hukum sebagaimana hukum diciptakan pembuat undang-undang/negative legislator yang putusannya bersifat erga omnes.
Putusan Mahkamah Konstitusi berisikan pernyataan apa yang menjadi hukum dan sekaligus dapat meniadakan keadaan hukum dan menciptakan suatu keadaan hukum baru. Dalam perkara pengujian undang-undang atau judicial review, putusan yang mengabulkan bersifat declaratoir karena menyatakan apa yang menjadi hukum dari suatu norma undang-undang, yaitu bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Pada saat bersamaan, putusan ini meniadakan keadaan hukum berdasarkan norma yang dibatalkan dan menciptakan keadaan hukum baru (constitusief).

2. Putusan MK Pkr.No. 18/PUU-XV/2017
Secara umum putusan Mahkamah Konstitusi bersifat declaratoir dan constitutief. Declaratoir artinya putusan dimana hakim sekedar menyatakan apa yang menjadi hukum, tidak melakukan penghukuman. Constitutief artinya suatu putusan yang menyatakan tentang ketiadaan suatu keadaan hukum dan/atau menciptakan suatu keadaan hukum yang baru. (revisi UU menyesuaikan dengan Putusan MK). Kekuatan mengikat putusan MK mengikat bagi semua orang, lembaga negara dan badan hukum dalam wilayah NKRI. Putusan MK berlaku sebagai hukum sebagaimana hukum diciptakan pembuat undang-undang/negative legislator yang putusannya bersifat erga omnes.
Putusan Mahkamah Konstitusi berisikan pernyataan apa yang menjadi hukum dan sekaligus dapat meniadakan keadaan hukum dan menciptakan suatu keadaan hukum baru. Dalam perkara pengujian undang-undang atau judicial review, putusan yang mengabulkan bersifat declaratoir karena menyatakan apa yang menjadi hukum dari suatu norma undang-undang, yaitu bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Pada saat bersamaan, putusan ini meniadakan keadaan hukum berdasarkan norma yang dibatalkan dan menciptakan keadaan hukum baru (constitusief).
Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XV/2017, yang memutuskan bahwa Pasal 40 Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai diberlakukan terhadap jaminan pensiun dan jaminan hari tua. Meski demikian, Putusan Hakim Mahkamah Konstitusi yang menyatakan satu UU bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, tidak boleh berlaku surut.Akibat hukum yang timbul dari putusan itu dihitung sejak putusan tersebut diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Oleh karena itu, akibat hukum yang timbul dari berlakunya satu undang-undang sejak diundangkan sampai diucapkannya putusan yang menyatakan undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, tetap sah dan mengikat.

Dalam kaitannya dengan praktik terhadap putusan Mahkamah Konstitusi, DPR RI sebagai pembentuk undang-undang bersama dengan Presiden memiliki peran yang krusial terhadap putusan yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi. Peran DPR RI dan Presiden menjadi sangat penting dalam merespon putusan Mahkamah Konstitusi, karena putusannya yang bersifat final dan mengikat wajib dijadikan rujukan dalam proses pembentukan undang-undang yang menjadi kewenangan DPR RI. Selain itu, merujuk pada Pasal 10 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyatakan “materi muatan yang harus diatur dengan undang-undang salah satunya berisi tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi.” Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum. Oleh karena itu, diperlukan keseriusan dan kecermatan untuk menangkap maksud atau makna norma suatu undang-undang yang telah diuji oleh Mahkamah Konstitusi dalam melakukan perubahan terhadap materi atau substansi undang-undang. Hal tersebut perlu dilakukan agar norma suatu undang-undang sesuai dengan jiwa yang terkandung dalam konstitusi dan tidak lagi bertentangan dengan UUD Tahun 1945.
Substansi atau norma undang-undang yang tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945 juga sesuai dengan teori Hans Kelsen yang menyatakan suatu norma hukum negara selalu berjenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan), yakni norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi dan begitu seterusnya sampai pada suatu norma yang tertinggi yang disebut norma dasar. Dalam konteks Indonesia, UUD Tahun 1945 merupakan peraturan perundang-undangan tertinggi yang wajib menjadi acuan bagi peraturan perundang-undangan di bawahnya. Selain itu, pada hakikatnya suatu undang-undang dibuat untuk melaksanakan UUD Tahun 1945.

Pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 (Judicial Review) merupakan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menyelidiki dan menilai apakah materi suatu undang-undang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu, atau bahkan apakah peraturan perundang-undangan tersebut terdapat cacat formal dalam pembentukannya. Pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 merupakan wujud dari prinsip atau asas konstitusionalitas undang-undang (constitutionality of law) yang menjamin bahwa undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945.
Meski putusan Mahkamah Konstitusi bisa langsung dilaksanakan tanpa harus menunggu perubahan undang-undang, namun untuk menghindari kekacauan hukum dalam masyarakat akibat tidak terkompilasinya putusan MK dalam satu naskah yang utuh maka Pemerintah dan DPR perlu menindaklanjuti dengan membuat usulan perubahan atas UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara sebagaimana telah diputuskan oleh MK.

Memperhatikan beberapa simpulan di atas maka terdapat beberapa hal yang direkomendasikan, yaitu:
1. Sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bahwa materi muatan yang harus diatur dengan UU berisi materi muatan mengenai tindak lanjut Putusan MK. Oleh karena itu, perlu direformulasi kembali materi muatan atas beberapa hal yang telah diputus MK dalam UU Perbendaharaan Negara dengan status perubahan undang-undang.
2. DPR bersama Pemerintah menindaklanjuti rancangan perubahan tersebut termasuk muatan Putusan MK tersebut kedalam RUU tentang perubahan UU Perbendaharaan Negara, dan menjadikan RUU tersebut kedalam prioritas tahunan untuk dibahas bersama-sama agar terjamin kepastian hukum dan tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945.
3. Mengusulkan revisi rumusan Pasal 40 Ayat (1), yang menyatakan “Hak tagih mengenai utang atas beban negara/daerah kadaluwarsa setelah 5 (lima) tahun sejak utang tersebut jatuh tempo, kecuali ditetapkan lain oleh undang-undang”, menjadi “Hak tagih mengenai utang atas beban negara/daerah kadaluwarsa setelah 5 (lima) tahun sejak utang tersebut jatuh tempo, kecuali terhadap jaminan pensiun dan jaminan haritua”;
4. Mengusulkan revisi rumusan Pasal 40 ayat (2) yang menyatakan ”Kedaluwarsaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertunda apabila pihak yang berpiutang mengajukan tagihan kepada negara/daerah sebelum berakhirnya masa kedaluwarsa”, menjadi ”Kedaluwarsaan terhadap jaminan pensiun dan jaminan hari tua sebagaimana dikecualikan pada ayat (1) tertunda apabila pihak yang berpiutang mengajukan tagihan kepada negara/daerah sebelum berakhirnya masa kedaluwarsa”.

Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi / 01-12-2018

Keimigrasian merupakan bagian dari perwujudan pelaksanaan penegakan kedaulatan atas wilayah Indonesia dalam rangka menjaga ketertiban kehidupan berbangsa dan bernegara menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945). Perkembangan global dewasa ini mendorong meningkatnya mobilitas penduduk dunia yang menimbulkan berbagai dampak yang menguntungkan dan merugikan bagi kehidupan bangsa dan negara Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (UU Keimigrasian) menjamin kepastian hukum yang sejalan dengan penghormatan, pelindungan, dan pemajuan hak asasi manusia. Dalam perjalanannya, ada 2 (dua) permohonan uji materiil yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap UU Keimigrasian yaitu Perkara Nomor 40/PUU-IX/2011 dan Perkara Nomor 64/PUU-IX/2011.

1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK?
2. Apa akibat hukum terhadap pasal dan ayat suatu UU yang dinyatakan MK sebagai inkonstitusionalitas/inkonstitusionalitas bersyarat?
3. Apakah terjadi disharmoni norma dalam suatu UU jika suatu pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK berimplikasi terhadap norma pasal ayat lain yang tidak diujikan?

A. Konstitusionalitas Undang-Undang
Pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 yang menjadi kewenangan MK merupakan wujud prinsip atau asas konstitusionalitas undang-undang (constitutionality of law) yang menjamin bahwa undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang itu tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Kewenangan pengujian undang-undang menimbulkan sebuah kewenangan yang mutatis mutandis (dengan sendirinya) ada, yaitu kewenangan menafsirkan konstitusi. Apabila dalam konstitusi tidak terdapat ketentuan yang ekplisit mengenai kewenangan menafsir konstitusi kepada lembaga negara yang diberikan kewenangan constitutional review, maka harus dipahami bahwa kewenangan menafsirkan konstitusi menyertai kewenangan constitutional review tersebut. Oleh sebab itu, sering dinyatakan bahwa Constitutional Court itu merupakan “the guardian of constitution and the sole interpreting of constitution”, disebut sebagai penjaga konstitusi berdasarkan kewenangan dalam memutus apakah sebuah produk perundang-undangan telah sesuai dengan konstitusi atau tidak.

B. Putusan Mahkamah Konstitusi Bersifat Final dan Mengikat
Mahkamah Konstitusi yang diadopsi dalam UUD Tahun 1945 memiliki dua fungsi ideal yaitu MK dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi dan berfungsi untuk menjamin, mendorong, mengarahkan, membimbing, dan memastikan bahwa UUD Tahun 1945 dijalankan dengan sebaik-baiknya oleh penyelenggara negara agar nilai-nilai yang terkandung didalamnya dijalankan dengan benar dan bertanggung jawab; dan MK harus bertindak sebagai penafsir karena MK dikonstruksikan sebagai lembaga tertinggi penafsir UUD Tahun 1945. Melalui fungsi ini maka Mahkamah Konstitusi dapat menutupi segala kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam UUD Tahun 1945.
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya maka Mahkamah Konstitusi diberikan kewenangan untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD Tahun 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Tahun 1945; memutus pembubaran partai politik; memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana tercantum dalam Pasal 24C UUD Tahun 1945, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 29 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

C. Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan dalam peradilan merupakan perbuatan hakim sebagai pejabat negara berwenang yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dibuat secara tertulis untuk mengakhiri sengketa yang dihadapkan para pihak kepadanya. Sebagai perbuatan hukum yang akan menyelesaikan sengketa yang dihadapkan kepadanya, maka putusan hakim tersebut merupakan tindakan negara di mana kewenangannya dilimpahkan kepada hakim baik berdasarkan UUD Tahun 1945 maupun undang-undang.
Dari sudut pandang hukum tata negara, putusan Mahkamah Konstitusi termasuk dalam keputusan negara yang mengandung norma hukum sama halnya dengan putusan pembentuk undang-undang yang bersifat pengaturan (regeling). Putusan Mahkamah Konstitusi dapat membatalkan suatu undang-undang atau materi muatan dalam undang-undang, sedangkan pembentuk undang-undang menciptakan norma hukum dalam bentuk materi muatan dalam suatu undang-undang.
Putusan Mahkamah Konstitusi terutama dalam pengujian undang-undang kebanyakan jenisnya adalah bersifat declaratoir constitutief. Artinya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menciptakan atau meniadakan satu keadaan hukum baru atau membentuk hukum baru sebagai negative legislature. Hal lain yang perlu dicermati lebih lanjut adalah adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) maupun inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional). Varian putusan Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan putusan yang menyatakan bahwa suatu ketentuan undang-undang tidak bertentangan dengan konstitusi dengan memberikan persyaratan pemaknaan dan keharusan kepada lembaga negara dalam pelaksanaan suatu ketentuan undang-undang untuk memperhatikan penafsiran Mahkamah Konstitusi atas konstitusionalitas ketentuan undang-undang yang sudah diuji tersebut. Dengan demikian, terdapat penafsiran sendiri dari Mahkamah Konstitusi agar suatu norma undang-undang tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945.

1. Putusan MK Nomor 40/PUU-IX/2011
Dalam Perkara MK Nomor 40/PUU-IX/2011, para Pemohon yang berprofesi sebagai Advokat, dalam permohonannya mengemukakan bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan dengan berlakunya ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf b UU Keimigrasian, pada adanya kata “penyelidikan”, selengkapnya menyatakan “Pejabat Imigrasi menolak orang untuk keluar Wilayah Indonesia dalam hal orang tersebut: a....; b. diperlukan untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan atas permintaan pejabat yang berwenang.” Bahwa pada frasa yang menyatakan menolak “orang”, dengan tidak membatasi kepada siapa orang tersebut maka dapat ditarik kesimpulan orang yang dimaksud adalah setiap orang yaitu setiap orang dengan sendirinya yang dapat menjadi objek penyelidikan. Oleh karena itu pasal ini sangat potensial dikenakan kepada para Pemohon Apabila suatu saat para Pemohon dalam proses penyelidikan, maka para Pemohon akan mengalami kerugian konstitusional, hak para Pemohon untuk hidup dan mempertahankan hidup dan kehidupannya, serta berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, dapat terenggut dengan berlakunya ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf b UU Keimigrasian tersebut.
Penyelidikan merupakan tahapan untuk menentukan ada atau tidaknya suatu tindak pidana dan untuk mencari bukti awal menentukan siapa pelakunya. Penyelidikan berpotensi dikenakan kepada siapapun tanpa ada peristiwa hukum pidana terlebih dahulu, cukup dengan adanya dugaan tindak pidana. Setelah dilakukan proses penyelidikan, belum tentu akan dilakukan proses penyidikan sehingga penolakan untuk keluar wilayah Indonesia terhadap orang yang berada dalam proses penyelidikan itu tidak dapat dilakukan, karena pada tahap penyelidikan seseorang tersebut pun belum mengetahui jika dirinya itu berada dalam proses penyelidikan. Mencegah seseorang untuk ke luar negeri dalam tahap tersebut akan dapat disalahgunakan untuk kepentingan di luar kepentingan penegakan hukum. Penolakan terhadap seseorang untuk keluar wilayah Indonesia ketika statusnya belum pasti menjadi tersangka dalam suatu tindak pidana karena masih dalam tahap penyelidikan akan mudah dijadikan alasan untuk menghalangi gerak seseorang untuk ke luar negeri.
Dalam tahap penyelidikan belum ada kepastian disidik atau tidak disidik, belum dilakukan pencarian dan pengumpulan bukti, tetapi hanya tahap mengumpulkan informasi. Sedangkan dalam tahap penyidikan karena memang dilakukan pencarian dan pengumpulan bukti, wajar bila bisa dilakukan penolakan untuk berpergian keluar negeri, karena ada kemungkinan tersidik membawa bukti-bukti yang berkaitan dengan tindak pidana keluar negeri sehingga mempersulit penyidik melakukan pencarian dan pengumpulan bukti untuk membuat terang tentang pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya. Sehingga ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf b UU Keimigrasian lebih tepat mengatur pencegahan seseorang untuk ke luar wilayah Indonesia hanya apabila orang tersebut diperlukan untuk kepentingan penyidikan, tidak untuk kepentingan penyelidikan.
Putusan MK Perkara Nomor 40/PUU-IX/2011 mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya, Majelis Hakim memutuskan bahwa kata “penyelidikan dan” yang tertera dalam Pasal 16 ayat (1) huruf b UU Keimigrasian bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

2. Putusan MK Nomor 64/PUU-IX/2011
Dalam Perkara MK Nomor 64/PUU-IX/2011, Pemohon dalam permohonannya mengemukakan bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan dengan berlakunya ketentuan Pasal 97 ayat (1) UU Keimigrasian, pada adanya frasa “setiap kali” , selengkapnya menyatakan “Jangka waktu Pencegahan berlaku paling lama 6 (enam) bulan dan setiap kali dapat diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan.” Hal ini menyebabkan Pemohon kehilangan hak untuk bepergian ke negara lain dalam jangka waktu pencegahan tersebut tanpa ada kepastian atas berakhirnya masa pencegahan, karena Pemohon pada saat permohonan diajukan sedang terkena perpanjangan masa pencegahan untuk meninggalkan wilayah negara Indonesia selama 6 bulan berdasarkan Keputusan Jaksa Agung Nomor Kep-201/D/Dsp.3/06/2011 tanggal 27 Juni 2011, dengan alasan “untuk kepentingan operasi yustisi di bidang penyidikan”. Menurut Pemohon, adanya frasa tersebut dapat menyebabkan terjadinya perpanjangan pencegahan ke luar negeri terhadap seorang warga negara pada masa penyidikan tanpa kepastian batas waktu, sehingga menciptakan ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945 dan bertentangan dengan hak warga negara untuk memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta hak untuk kembali sebagaimana dijamin oleh Pasal 28E ayat (1) UUD Tahun 1945.
Putusan MK Perkara Nomor 64/PUU-IX/2011 mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian, Majelis Hakim memutuskan Pasal 97 ayat (1) UU Keimigrasian, sepanjang frasa “setiap kali” bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, Pasal 97 ayat (1) UU Keimigrasian menjadi “Jangka waktu pencegahan berlaku paling lama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan.”

Pengujian undang-undang yang dilakukan oleh suatu peradilan pada dasarnya akan berakhir dalam suatu putusan yang merupakan pendapat tertulis hakim konstitusi tentang perselisihan penafsiran satu norma atau prinsip yang ada dalam UUD. Jika satu amar putusan menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau ayat bagian undang-undang bahkan undang-undang secara keseluruhan bertentangan dengan UUD Tahun 1945, maka materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang diuji tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Bunyi putusan demikian mengandung arti bahwa ketentuan norma yang termuat dalam satu undang-undang dinyatakan batal (null and void) dan tidak berlaku lagi. Putusan yang demikian sudah barang tentu memiliki implikasi hukum yang luas. Selain memberi kemanfaatan pada para pencari keadilan, seringkali putusan tersebut dinilai berpotensi menyebabkan terjadinya kekosongan hukum (legal vacuum), kekacauan hukum (legal disorder), bahkan politik beli waktu (buying time) pembentuk undang-undang. Karena itu menurut Maruarar Siahaan, dibutuhkan mekanisme prosedural tentang bagaimana tindak lanjut dari pembatalan pemberlakukan suatu ketentuan tersebut. Persoalan yang selalu dikaitkan dengan sulitnya implementasi eksekusi putusan Mahkamah Konstitusi adalah sifat putusannya yang final, dengan kata mengikat (binding). Karena, putusan Mahkamah Konstitusi mengikat umum, pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan ketentuan undang-undang yang telah diputus harus melaksanakan putusan itu.
Namun demikian, mengingat norma dalam undang-undang adalah satu kesatuan sistem, ada pelaksanaan putusan yang harus melalui tahapan-tahapan tertentu, bergantung pada substansi putusan. Dalam hal ini, ada putusan yang dapat dilaksanakan langsung tanpa harus dibuat peraturan baru atau perubahan, ada pula yang memerlukan pengaturan lebih lanjut terlebih dahulu. Tatkala suatu putusan akan langsung efektif berlaku tanpa diperlukan tindak lanjut lebih jauh dalam bentuk kebutuhan implementasi perubahan undang-undang yang diuji, maka putusan ini dapat dikatakan berlaku secara self-executing. Dalam artian, putusan itu terlaksana dengan sendirinya.
Ini terjadi karena norma yang dinegasikan tersebut mempunyai ciri-ciri tertentu yang sedemikian rupa dapat diperlakukan secara otomatis tanpa perubahan atau perubahan undang-undang yang memuat norma yang diuji dan dinegasikan tersebut, ataupun tanpa memerlukan tindak lanjut dalam bentuk perubanan undang-undang yang diuji tersebut. Secara umum putusan-putusan yang bersifat self-executing/implementing dapat ditelusuri dari sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi baik amarnya menyatakan batal (null and void) dan tidak berlaku lagi ataupun amarnya terdapat perumusan norma.
Implementasi putusan-putusan Mahkamah Konstitusi dapat dilihat dari model putusannya. Implementasi model putusan yang secara hukum membatalkan dan menyatakan tidak berlaku dan model putusan yang merumuskan norma baru bersifat langsung dapat dieksekusi (self executing/self implementing), sedangkan baik model putusan konstitusional bersyarat maupun model putusan inkonstitusional bersyarat tidak dapat secara langsung dieksekusi (non-self executing/implementing).
Keimigrasian mengatur mengenai hal ikhwal lalu lintas orang yang masuk atau keluar wilayah Indonesia serta pengawasannya dalam rangka menjaga tegaknya kedaulatan negara. Setiap orang yang masuk atau keluar wilayah Indonesia wajib melalui pemeriksaan yang dilakukan oleh Pejabat Imigrasi. Seiring perkembangan di dunia internasional, telah terjadi perubahan yang membawa pengaruh besar terhadap terwujudnya persamaan hak dan kewajiban bagi setiap warga negara Indonesia (WNI) sebagai bagian dari hak asasi manusia. Dengan adanya perkembangan tersebut, setiap WNI memperoleh kesempatan yang sama dalam menggunakan haknya untuk keluar atau masuk Wilayah Indonesia. Terhadap prinsip bahwa setiap WNI berhak untuk keluar atau masuk wilayah Indonesia. Akan tetapi berdasarkan alasan tertentu dan untuk jangka waktu tertentu, terhadap WNI dapat dilakukan pencegahan untuk keluar dari wilayah Indonesia.
Pencegahan merupakan larangan sementara terhadap seseorang untuk ke luar wilayah Indonesia. Pasal 16 ayat (1) UU Keimigrasian mengatur bahwa apabila seseorang berada dalam daftar pencegahan maka Pejabat Imigrasi dapat menolak orang tersebut untuk keluar Wilayah Indonesia. Selain itu, pencegahan diatur di dalam Pasal 91 sampai dengan Pasal 97 UU Keimigrasian. Menteri Hukum dan HAM mempunyai kewenangan dan tanggungjawab dalam melakukan pencegahan. Pencegahan dilakukan berdasarkan hasil pengawasan Keimigrasian, Keputusan Menteri Keuangan dan Jaksa Agung, permintaan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, perintah Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, permintaan Kepala Badan Narkotika Nasional, dan keputusan, perintah, atau permintaan pimpinan kementerian/ lembaga lain yang berdasarkan Undang-Undang memiliki kewenangan pencegahan. Setiap orang yang dikenai pencegahan dapat mengajukan keberatan kepada pejabat yang mengeluarkan keputusan pencegahan. Akan tetapi pengajuan keberatan tersebut tidak menunda pelaksanaan pencegahan.
Hak untuk meninggalkan wilayah negara pun telah dijamin oleh konstitusi maupun norma HAM universal. Akan tetapi dapat dibatasi dalam hal-hal tertentu, sebagaimana diatur dalam Pasal 28J ayat (2) UUD Tahun 1945 yang menyatakan, “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”. Jadi tindakan pelaksanaan pencegahan seseorang ke luar negeri merupakan tindakan yang sah secara hukum, bukan penyalahgunaan wewenang.
Pengujian beberapa pasal dalam UU Keimigrasian sebagaimana telah dipaparkan pada sub bab sebelumnya, telah mengabulkan putusan untuk seluruhnya maupun sebagian. Terhadap pengujian beberapa pasal tersebut, perlu kiranya untuk dilakukan evaluasi guna melihat keadaan hukum baru ataupun kekosongan hukum yang mungkin terjadi akibat putusan MK tersebut.
Berdasarkan kedua Putusan MK yang telah dipaparkan di atas yaitu Perkara Nomor 40/PUU-IX/2011 dan Perkara Nomor 64/PUU-IX/2011 yang melakukan pengujian terhadap Pasal 16 ayat (1) huruf b dan Pasal 97 ayat (1) UU Keimigrasian, kedua Pasal tersebut terkait dengan pencegahan seseorang untuk keluar wilayah Indonesia. MK telah mengabulkan permohonan para pemohon dalam Perkara Nomor 40/PUU-IX/2011 bahwa pencegahan yang dilakukan terhadap seseorang untuk keluar wilayah Indonesia saat mereka sedang melakukan penyelidikan atas suatu kasus adalah inkonstitusional. Jika pencegahan dilakukan bagi seseorang tersebut sementara kasusnya masih dalam tahap penyelidikan, bisa disalahgunakan untuk kepentingan di luar kepentingan penegakan hukum. Hal tersebut berpotensi melanggar hak konstitusi warga negara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28E.

UU Keimigrasian mengatur mengenai persyaratan untuk keluar atau masuk wilayah Indonesia, namun mengatur pula mengenai pembatasan yaitu pencegahan/larangan sementara seseorang untuk ke luar wilayah Indoensia berdasarkan alasan tertentu dan untuk jangka waktu tertentu. Dari 2 (dua) pengujian materiil UU Keimigrasian yang diajukan di MK, Putusan MK Perkara Nomor 40/PUU-IX/2011 mengabulkan seluruh permohonan dan Putusan MK Perkara Nomor 64/PUU-IX/2011 mengabulkan sebagian permohonan. Putusan tersebut telah menciptakan keadaan hukum yang berbeda.
Berdasarkan Putusan Perkara Nomor 40/PUU-IX/2011, pencegahan yang dilakukan terhadap seseorang untuk keluar wilayah Indonesia saat berada dalam proses penyelidikan adalah inkonstitusional. Jadi seseorang yang berada dalam proses penyelidikan tidak dapat dikenakan pencegahan. Pencegahan terhadap seseorang untuk ke luar wilayah Indonesia yang dilakukan oleh pejabat imigrasi adalah hanya terhadap seseorang yang berada dalam proses penyidikan. Hal ini berarti tujuan pencegahan yaitu untuk kepentingan penyidikan agar menjamin tidak terganggunya proses hukum dalam suatu kasus tertentu.
Berdasarkan Putusan Perkara Nomor 64/PUU-IX/2011, jangka waktu pencegahan hanya bisa dilakukan untuk jangka waktu 6 bulan dan bisa diperpanjang satu kali saja yaitu 6 bulan. Berbeda dengan rumusan sebelumnya yang multi tafsir yaitu setiap kali dapat diperpanjang paling lama 6 bulan, hal ini tidak ada batasan yang jelas mengenai berapa kali perpanjangannya.
Adapun perubahan dimaksud adalah terhadap pasal-pasal yang telah diputus oleh MK sebagai berikut:
• Pasal yang dibatalkan oleh MK yaitu Pasal 16 ayat (1) huruf b UU Keimigrasian sepanjang kata “penyelidikan dan”. Pasal 16 ayat (1) huruf b semula berbunyi
“Pejabat Imigrasi menolak orang untuk keluar Wilayah Indonesia dalam hal orang tersebut:
b. diperlukan untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan atas permintaan pejabat yang berwenang ”.
sehingga menjadi:
“Pejabat Imigrasi menolak orang untuk keluar Wilayah Indoensia dalam hal orang tersebut:
b. diperlukan untuk kepentingan penyidikan atas permintaan pejabat yang berwenang;

Pasal yang dibatalkan oleh MK yaitu Pasal 97 ayat (1) UU Keimigrasian sepanjang frasa “setiap kali”. Pasal 97 ayat (1) semula berbunyi:
“Jangka waktu Pencegahan berlaku paling lama 6 (enam) bulan dan setiap kali dapat diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan”.
sehingga menjadi:
“Jangka waktu Pencegahan berlaku paling lama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan.”

Sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bahwa materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi materi muatan mengenai tindak lanjut Putusan MK. Oleh karena itu, perlu segera perlu dilakukan perubahan terhadap UU Keimigrasian yang dituangkan dalam rencana perubahan UU Keimigrasian baik sebagai daftar kumulatif terbuka maupun dalam Prolegnas Prioritas Tahunan.
Perlu direformulasi kembali dan diperjelas rumusan ketentuan/pasal mengenai “ke luar wilayah Indonesia”, batasan siapa saja “orang” yang dikenakan penolakan/pencegahan untuk ke luar wilayah Indonesia. Serta sebaiknya pengaturan “ke luar wilayah Indonesia” dimasukkan dalam satu bab/bagian dengan pengaturan “pencegahan” karena pada intinya pengaturan hal tersebut adalah sama yaitu mengenai penolakan/pencegahan orang untuk ke luar wiayah Indonesia.
UU Keimigrasian juga belum mengatur mengenai konsekuensi apabila masa pencegahan seseorang telah habis, namun imigrasi masih melakukan pencegahan terhadap orang tersebut, yang diatur dalam UU Keimigrasian hanya mengenai durasi pencegahan yaitu selama 6 bulan dan hanya bisa diperpanjang satu kali saja.

Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Jo Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi / 01-12-2018

Amandemen ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945) dapat dikatakan sebagai tonggak awal perubahan kekuasaan kehakiman di Indonesia. Pasal 24 Ayat (2) UUD Tahun 1945 menegaskan “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.” Sebagai cabang kekuasaan kehakiman yang melaksanakan fungsi penegakan hukum terhadap pelaksnaan konstitusi dan aspek kehidupan kenegaraan, peranan Mahkamah Konstitusi menempati posisi yang cukup signifikan dalam sistem peradilan Indonesia.
Selanjutnya dalam Pasal 24C UUD Tahun 1945 diatur mengenai kewenangan dari Mahkamah Konstitusi yaitu mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang (UU) terhadap Undang-Undang Dasar (UUD), memutus sengketa kewenagan lembaga negara yang kewenangnnya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum serta memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. Sebagai langkah penguatan kelembagaan Mahkamah Konstitusi kemudian dibentuklah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK).
Telah dikemukakan di awal bahwa salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara. Secara historis, gagasan untuk melakukan pengujian UU terhadap UUD sudah mulai muncul dalam rapat-rapat BPUPKI pada tahun 1945 ketika menyusun UUD Tahun 1945. Dapat diujinya suatu UU terhadap UUD berasal dari teori jenjang norma hukum Hans Kelsen, menurut teori tersebut norma hukum yang berada di bawah tidak boleh bertentangan dengan norma hukum diatasnya. Oleh karena norma hukum yang lebih tinggi merupakan sumber bagi norma hukum yang berada di bawah. Disamping itu, pengujian UU terhadap UUD bermakna pula dalam upaya perlindungan hak asasi manusia dari kemungkinan pelanggaran hukum yang terjadi baik secara materil maupun formil pada saat UU itu dibuat dan berlaku. Perlindungan hukum oleh negara terhadap rakyatnya salah satunya dengan dibukanya jalan untuk mengajukan permohonan pengujian UU terhadap UUD Tahun 1945. Pemohon yang merasa dirugikan hak-hak konstitusionalnya dapat melakukan permohonan pengujian kepada Mahkamah Konstitusi, hal ini sejalan dengan apa yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK.
Dalam dinamikanya, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Jo. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) telah 7 (tujuh) kali diajukan permohonan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun demikian, hanya 2 (dua) permohonan yang dikabulkan baik sebagian maupun seluruhnya. Adapun ketentuan dalam UU ITE yang telah dimohonkan kepada MK dan dikabulkan baik sebagian maupun sepenuhnya adalah Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 31 ayat (4), dan Pasal 44 huruf (b).

1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal dan ayat UU ITE yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK?
2. Apa akibat hukum terhadap pasal dan ayat UU ITE yang dinyatakan MK sebagai konstitusionalitas/inkonstitusionalitas bersyarat?
3. Apakah terjadi disharmoni norma dalam suatu UU jika suatu pasal dan ayat dalam UU ITE yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK berimplikasi terhadap norma pasal ayat lain yang tidak diujikan?

A. Konstitusionalitas Undang-Undang
Pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 yang menjadi kewenangan MK merupakan wujud prinsip atau asas konstitusionalitas undang-undang (constitutionality of law) yang menjamin bahwa undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang itu tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Kewenangan pengujian undang-undang menimbulkan sebuah kewenangan yang mutatis mutandis (dengan sendirinya) ada, yaitu kewenangan menafsirkan konstitusi. Apabila dalam konstitusi tidak terdapat ketentuan yang ekplisit mengenai kewenangan menafsir konstitusi kepada lembaga negara yang diberikan kewenangan constitutional review, maka harus dipahami bahwa kewenangan menafsirkan konstitusi menyertai kewenangan constitutional review tersebut. Oleh sebab itu, sering dinyatakan bahwa Constitutional Court itu merupakan “the guardian of constitution and the sole interpreting of constitution”, disebut sebagai penjaga konstitusi berdasarkan kewenangan dalam memutus apakah sebuah produk perundang-undangan telah sesuai dengan konstitusi atau tidak.
Kewenangan menafsirkan itu sesungguhnya timbul dari sebuah tafsir Pasal 24C UUD Tahun 1945 bahwa “MK menguji undang-undang terhadap UUD” sebagai ketentuan pemberian kewenangan constitutional review kepada MK, ketentuan tersebut tidak mengandung kewenangan MK untuk melakukan penafsiran terhadap konstitusi, namun sangatlah tidak mungkin dapat melakukan penilaian pertentangan norma sebuah undang-undang apabila tidak menggunakan penafsiran konstitusi, dalam hal ini MK sebagai penafsir sah terhadap undang-undang dasar atau konstitusi (the legitimate interpreter of the constitution).
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD Tahun 1945, salah satu kewenangan dari Mahkamah Konstitusi adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan wujud dari prinsip atau asas konstitusionalitas undang-undang (constitutionality of law) yang menjamin bahwa undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang itu tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945.

B. Putusan Mahkamah Konstitusi Bersifat Final dan Mengikat
Mahkamah Konstitusi yang diadopsi dalam UUD Tahun 1945 memiliki dua fungsi ideal yaitu MK dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi dan berfungsi untuk menjamin, mendorong, mengarahkan, membimbing, dan memastikan bahwa UUD Tahun 1945 dijalankan dengan sebaik-baiknya oleh penyelenggara negara agar nilai-nilai yang terkandung didalamnya dijalankan dengan benar dan bertanggung jawab; dan MK harus bertindak sebagai penafsir karena MK dikonstruksikan sebagai lembaga tertinggi penafsir UUD Tahun 1945. Melalui fungsi ini maka Mahkamah Konstitusi dapat menutupi segala kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam UUD Tahun 1945.
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya maka Mahkamah Konstitusi diberikan kewenangan untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD Tahun 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Tahun 1945; memutus pembubaran partai politik; memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana tercantum dalam Pasal 24C UUD Tahun 1945, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 29 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

C. Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan dalam peradilan merupakan perbuatan hakim sebagai pejabat negara berwenang yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dibuat secara tertulis untuk mengakhiri sengketa yang dihadapkan para pihak kepadanya. Sebagai perbuatan hukum yang akan menyelesaikan sengketa yang dihadapkan kepadanya, maka putusan hakim tersebut merupakan tindakan negara di mana kewenangannya dilimpahkan kepada hakim baik berdasarkan UUD Tahun 1945 maupun undang-undang.
Dari sudut pandang hukum tata negara, putusan Mahkamah Konstitusi termasuk dalam keputusan negara yang mengandung norma hukum sama halnya dengan putusan pembentuk undang-undang yang bersifat pengaturan (regeling). Putusan Mahkamah Konstitusi dapat membatalkan suatu undang-undang atau materi muatan dalam undang-undang, sedangkan pembentuk undang-undang menciptakan norma hukum dalam bentuk materi muatan dalam suatu undang-undang.
Putusan Mahkamah Konstitusi terutama dalam pengujian undang-undang kebanyakan jenisnya adalah bersifat declaratoir constitutief. Artinya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menciptakan atau meniadakan satu keadaan hukum baru atau membentuk hukum baru sebagai negative legislature. Hal lain yang perlu dicermati lebih lanjut adalah adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) maupun inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional). Varian putusan Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan putusan yang menyatakan bahwa suatu ketentuan undang-undang tidak bertentangan dengan konstitusi dengan memberikan persyaratan pemaknaan dan keharusan kepada lembaga negara dalam pelaksanaan suatu ketentuan undang-undang untuk memperhatikan penafsiran Mahkamah Konstitusi atas konstitusionalitas ketentuan undang-undang yang sudah diuji tersebut. Dengan demikian, terdapat penafsiran sendiri dari Mahkamah Konstitusi agar suatu norma undang-undang tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945.
Akibat hukum yang timbul dari satu putusan hakim jika menyangkut pengujian terhadap undang-undang diatur dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang pada intinya menyatakan undang-undang yang diuji tetap berlaku sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Ketentuan ini juga berarti bahwa putusan hakim Mahkamah Konstitusi yang menyatakan satu undang-undang bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat tidak boleh berlaku surut.

1. Putusan MK Nomor 5/PUU-VIII/2010
Dalam Perkara Nomor 5/PUU-VIII/2010, Pasal 31 ayat (4) bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan Pemohon, sehingga putusan Mahkamah Konstitusi ini berimplikasi pada UU ITE terutama dalam Pasal 31 ayat (4).

2. Putusan MK Nomor 20/PUU-XIV/2016
Dalam Perkara Nomor 20/PUU-XIV/2016, frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 44 huruf (b) bertentangan dengan UUD Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai khususnya frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian sehingga hal ini tentu berimplikasi pada UU ITE.

Dalam Perkara Nomor 5/PUU-VIII/2010, Pasal 31 ayat (4) UU ITE bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan Pemohon seluruhnya, sehingga putusan Mahkamah Konstitusi ini berimplikasi pada UU ITE. Oleh sebab itu, diperlukan perubahan UU ITE khususnya pada Pasal 31 ayat (4) UU ITE yang sebelumnya “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah” menjadi “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan undang-undang.”
Dalam Perkara Nomor 20/PUU-XIV/2016, frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 44 huruf b UU ITE bertentangan dengan UUD Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai khususnya frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) UU ITE. Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian sehingga hal ini tentu berimplikasi pada perubahan UU ITE.
Menindaklanjuti dari beberapa Putusan MK tersebut terutama yang terkait dengan UU ITE, DPR dan Pemerintah menyusun Perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik disampaikan bahwa salah satu perubahan UU ITE tersebut untuk mengakomodir beberapa putusan MK yaitu:
1. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-VIII/2010, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa kegiatan dan kewenangan penyadapan merupakan hal yang sangat sensitif karena di satu sisi merupakan pembatasan hak asasi manusia, tetapi di sisi lain memiliki aspek kepentingan hukum. Oleh karena itu, pengaturan (regulation) mengenai legalitas penyadapan harus dibentuk dan diformulasikan secara tepat sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Di samping itu, Mahkamah berpendapat bahwa karena penyadapan merupakan pelanggaran atas hak asasi manusia sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sangat wajar dan sudah sepatutnya jika negara ingin menyimpangi hak privasi warga negara tersebut, negara haruslah menyimpanginya dalam bentuk undang-undang dan bukan dalam bentuk peraturan pemerintah.
2. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa untuk mencegah terjadinya perbedaan penafsiran terhadap Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU ITE, Mahkamah menegaskan bahwa setiap intersepsi harus dilakukan secara sah, terlebih lagi dalam rangka penegakan hukum. Oleh karena itu, Mahkamah dalam amar putusannya menambahkan kata atau frasa “khususnya” terhadap frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik”. Agar tidak terjadi penafsiran bahwa putusan tersebut akan mempersempit makna atau arti yang terdapat di dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU ITE, untuk memberikan kepastian hukum keberadaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagai alat bukti perlu dipertegas kembali dalam Penjelasan Pasal 5 UU ITE.
Pasal-Pasal yang mengalami perubahan dalam UU ITE berdasarkan Putusan MK Nomor 5/PUU-VIII/2010 dan Nomor 20/PUU-XIV/2016 adalah Penjelasan Pasal 5 ayat (1) dan (2) dan Pasal 31 ayat (4).
Dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU ITE yang sebelumnya “Cukup jelas” berubah menjadi “Bahwa keberadaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik mengikat dan diakui sebagai alat bukti yang sah untuk memberikan kepastian hukum terhadap Penyelenggaraan Sistem Elektronik dan Transaksi Elektronik, terutama dalam pembuktian dan hal yang berkaitan dengan perbuatan hukum yang dilakukan melalui Sistem Elektronik.” Sedangkan untuk Penjelasan Pasal 5 ayat (2) yang sebelumnya “Cukup jelas” berubah menjadi “Khusus untuk Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik berupa hasil intersepsi atau penyadapan atau perekaman yang merupakan bagian dari penyadapan harus dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi lainnya yang kewenangannya ditetapkan berdasarkan undang-undang.”
Pasal 31 ayat (4) UU ITE yang sebelumnya “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah” menjadi “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan undang-undang.”
Sedangkan Pasal 44 huruf (b) UU ITE tidak mengalami perubahan karena merujuk kepada alat bukti lain berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3). Dimana Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) sudah diberikan penjelasannya.
Selain hal tersebut, dalam dua putusan MK di atas, MK menyatakan adanya kebutuhan untuk segera membentuk rancangan undang-undang tentang penyadapan. perlu adanya sebuah Undang-Undang khusus yang mengatur penyadapan pada umumnya hingga tata cara penyadapan untuk masing-masing lembaga yang berwenang. Undang-Undang ini amat dibutuhkan karena hingga saat ini masih belum ada pengaturan yang sinkron mengenai penyadapan sehingga berpotensi merugikan hak konstitutional warga negara pada umumnya. Bahwa Peraturan Pemerintah seperti yang disebutkan dalam Pasal 31 ayat (4) UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang ITE tidak dapat mengatur pembatasan hak asasi manusia. Bentuk Peraturan Pemerintah hanya merupakan pengaturan administratif dan tidak memiliki kewenangan untuk menampung pembatasan atas HAM. DPR dalam hal ini Komisi I telah menjawab Putusan MK tersebut dengan memasukkan RUU Penyadapan dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2018 untuk segera dibahas bersama dengan Pemerintah.

Dalam dinamikanya, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Jo. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang UU ITE telah 7 (tujuh) kali diajukan permohonan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun demikian, hanya 2 (dua) permohonan yang dikabulkan baik sebagian maupun seluruhnya. Adapun ketentuan dalam UU ITE yang telah dimohonkan kepada MK dan dikabulkan baik sebagian maupun seluruhnya adalah Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 31 ayat (4), dan Pasal 44 huruf (b).
Meskipun UU ITE telah mengalami perubahan pada tahun 2016 dan mengakomodasi putusan MK Nomor 5/PUU-VIII/2008 dan Nomor 20/PUU-XIV/2016, namun dalam dua putusan tersebut MK memberikan pertimbangan untuk segera dibuat UU tentang Penyadapan. Adapun pertimbangan dari Mahkamah Konstitusi agar segera dibuat UU tentang Penyadapan adalah karena UU ini amat dibutuhkan sebab hingga saat ini masih belum ada pengaturan yang sinkron mengenai penyadapan sehingga berpotensi merugikan hak konstitutional warga negara pada umumnya. Bahwa Peraturan Pemerintah seperti yang disebutkan dalam Pasal 31 ayat (4) UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang ITE tidak dapat mengatur pembatasan hak asasi manusia. Bentuk Peraturan Pemerintah hanya merupakan pengaturan administratif dan tidak memiliki kewenangan untuk menampung pembatasan atas HAM.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bahwa materi muatan yang harus diatur dengan UU berisi materi muatan mengenai tindak lanjut Putusan MK. Oleh karena itu, perlu segera disusun UU tentang Penyadapan yang sebenarnya telah ada dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2018 untuk dibahas bersama-sama antara DPR dan Pemerintah agar tidak terjadi kekosongan hukum, terjamin kepastian hukum, dan penyelenggaraan penyadapan yang tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945.

Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi : Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak Dan Gas Bumi / 01-12-2018

Minyak dan gas bumi (migas) merupakan sumber daya alam strategis tak terbarukan yang dikuasai oleh negara dan merupakan komoditas vital yang memegang peranan penting dalam penyediaan bahan baku industri, penghasil devisa negara yang penting, dan pemenuhan kebutuhan energi di dalam negeri untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Kerangka hukum pengelolaan migas harus didasarkan kepada ketentuan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945). Di dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD Tahun 1945 menegaskan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.
Selanjutnya, Pasal tersebut juga menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Berdasarkan hal ini maka migas sebagai salah satu sumber daya alam strategis tidak terbarukan dan merupakan komoditas vital yang menguasai hajat hidup orang banyak, harus dikuasai oleh negara dengan pengelolaan yang dilakukan secara optimal guna memperoleh manfaat sebesar-besar bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Sebagai kekayaan alam yang dapat digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, maka pengelolaan minyak dan gas bumi tunduk pada sistem penyelenggaraan perekonomian nasonal yaitu diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 33 ayat (4) UUD Tahun 1945.
Dalam pemanfaatan migas sebagai sumber alam yang sangat vital dan penting bagi negara dan masyarakat, maka perlu pengaturan dalam pengelolaannya agar tidak menimbulkan permasalahan serta dapat memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Saat ini pengaturan mengenai migas diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU tentang Migas).

1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK?
2. Apa akibat hukum terhadap pasal dan ayat suatu Undang-Undang yang dinyatakan MK sebagai konstitusional/inkonstitusional bersyarat?
3. Apakah terjadi disharmoni norma dalam suatu Undang-Undang jika suatu pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK berimplikasi terhadap norma pasal ayat lain yang tidak diujikan?

Pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 yang menjadi kewenangan MK merupakan wujud prinsip atau asas konstitusionalitas undang-undang (constitutionality of law) yang menjamin bahwa undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang itu tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Kewenangan pengujian undang-undang menimbulkan sebuah kewenangan yang mutatis mutandis (dengan sendirinya) ada, yaitu kewenangan menafsirkan konstitusi. Apabila dalam konstitusi tidak terdapat ketentuan yang ekplisit mengenai kewenangan menafsir konstitusi kepada lembaga negara yang diberikan kewenangan constitutional review, maka harus dipahami bahwa kewenangan menafsirkan konstitusi menyertai kewenangan constitutional review tersebut. Oleh sebab itu, sering dinyatakan bahwa Constitutional Court itu merupakan “the guardian of constitution and the sole interpreting of constitution”, disebut sebagai penjaga konstitusi berdasarkan kewenangan dalam memutus apakah sebuah produk perundang-undangan telah sesuai dengan konstitusi atau tidak.

1. Putusan MK Nomor 002/PUU-I/2003
Terhadap putusan ini mengakibatkan implikasi bahwa Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral menetapkan badan usaha dan bentuk usaha tetap yang melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi. Dengan menhilangkan frasa diberi wewenang, mengharuskan dibentuk peraturan pelaksana sampai dibentuknya perubahan UU tentang Migas. Selanjutnya terhadap Putusan MK Nomor 002/PUU-I/2003 yang memutuskan Pasal 22 ayat (1) sepanjang mengenai kata-kata “paling banyak”. Dari bunyi pasal tersebut bahwa Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib menyerahkan paling banyak 25% (dua puluh lima persen) bagiannya dari hasil produksi migas untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, dapat mengakibatkan pihak Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap tidak melaksanakan tanggung jawabnya untuk turut memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri sebagaimana diamanatkan Pasal 1 angka 19 dalam rangka penjabaran Pasal 33 ayat (3) yaitu prinsip sebesar-besar kemakmuran rakyat dengan mengutamakan kebutuhan dalam negeri. Dengan ketentuan Pasal 22 ayat (1) undang-undang a quo yang mencantumkan kata-kata “paling banyak” maka hanya ada pagu atas (patokan persentase tertinggi) tanpa memberikan batasan pagu terendah, hal ini dapat saja digunakan oleh pelaku usaha sebagai alasan yuridis untuk hanya menyerahkan bagiannya dengan persentase serendah-rendahnya (misalnya hingga 0,1%). Dengan demikian implikasi terhadap Putusan MK menghapus frasa paling banyakterdapat kekosongan hukum sehingga perlu membuat atau mengubah pengaturan mengenai pelaksanaan penyerahan 25% bagiannya yang dimaksud yaitu dalam Pearturan Pemerintah sebelum dibentuk perubahan UU tentang Migas.
Putusan MK Nomor 002/PUU-I/2003 yang memutuskan Pasal 28 ayat (2) dan (3) yang berbunyi “(2) Harga Bahan Bakar Minyak dan harga Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar; (3) Pelaksanaan kebijaksanaan harga sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak mengurangi tanggung jawab sosial Pemerintah terhadap golongan masyarakat tertentu”. Ketentuan tersebut di samping akan menimbulkan perbedaan harga antar daerah/pulau dapat memicu disintegrasi bangsa dan kecemburuan sosial, juga bertentangan dengan praktik kebijaksanaan harga BBM di setiap negara di mana Pemerintah ikut mengatur harga BBM sesuai dengan kebijaksanaan energi dan ekonomi nasional setiap negara, karena komoditas BBM tidak termasuk dalam agenda WTO.
Terhadap Putusan MK ini memberikan implikasi perlunya campur tangan Pemerintah dalam kebijakan penentuan harga untuk cabang produksi yang penting dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak khususnya harga Bahan Bakar Minyak dan harga Gas Bumi dalam negeri ditetapkan oleh Pemerintah dengan memperhatikan kepentingan golongan masyarakat tertentu dan mempertimbangkan mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar. Dengan demikian implikasinya memberikan kepastian hukum terhadap harga Bahan Bakar Minyak dan harga Gas Bumi dalam negeri.

2. Putusan MK Nomor 36/PUU-X/2012
Putusan MK Nomor 36/PUU-X/2012 yang memutuskan Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3), Pasal 41 ayat (2), Pasal 44, Pasal 45, Pasal 48 ayat (1), Pasal 59 huruf a, Pasal 61, dan Pasal 63 serta frasa “dengan Badan Pelaksana” dalam Pasal 11 ayat (1), frasa “melalui Badan Pelaksana” dalam Pasal 20 ayat (3), frasa “berdasarkan pertimbangan dari Badan Pelaksana dan” dalam Pasal 21 ayat (1), frasa “Badan Pelaksana dan” dalam Pasal 49 UU tentang Migas. Implikasi terhadap Putusan MK ini terdapat kekosongan hukum pengaturan terhadap pengganti BP Migas. Sehingga perlu ditentukan tata kelola kelembagaan migas dan model kelembagaan migas yang sesuai dengan amanah Putusan MK ini.
Kemudian untuk mencegah kekosongan hukum setelah Badan Pelaksana Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) dibubarkan oleh MK, Pemerintah menetapkan Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2012 tentang Pengalihan dan Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas. Peraturan presiden ini menyebutkan pelaksanaan tugas, fungsi, dan organisasi BP Migas dialihkan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang minyak dan gas bumi, sampai dengan diterbitkannya peraturan yang baru.
Pembentukan Peraturan Presiden ini dilakukan untuk menaati dan menjalankan putusan tersebut, agar pelaksanaan fungsi pengawasan dalam industri perminyakan harus tetap berjalan dan mengembalikan seluruh fungsi BP Migas ke Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM).
Selama masa transisi hingga disahkannya UU Migas baru, tata kelola migas dialihkan ke Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2013 tentang penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan gas Bumi. Dalam Peraturan Presiden tersebut ditegaskan bahwa Menteri ESDM membina, mengoordinasikan, dan mengawasi penyelenggaraan pengelolaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi. Penyelenggaraan pengelolaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi tersebut, sampai dengan diterbitkannya undang-undang baru di bidang minyak dan gas bumi, dilaksanakan oleh satuan kerja khusus pelaksana kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi dan untuk selanjutnya dalam Peraturan Presiden ini disebut SKK Migas. Dalam rangka pengendalian, pengawasan, dan evaluasi terhadap pengelolaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi oleh SKK Migas, dibentuk Komisi Pengawas.

Berdasarkan Putusan MK Nomor 002/PUU-I/2003 terhadap Pasal 12 ayat (3) sepanjang mengenai kata-kata “diberi wewenang”, Pasal 22 ayat (1) sepanjang mengenai kata-kata “paling banyak”, serta Pasal 28 ayat (2) dan ayat (3) setelah dievaluasi maka perlu dibentuk perubahan UU tentang Migas atau dilakukan penghaturan melalui peraturan pelaksananya yang membutuhkan waktu lebih singkat supaya tidak terjadi kekosongan hukum dan menjamin adanya kepastian hukum bagi pelaku usaha di sektor migas.
Berdasarkan Putusan MK Nomor 36/PUU-X/2012 yang memutuskan Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3), Pasal 41 ayat (2), Pasal 44, Pasal 45, Pasal 48 ayat (1), Pasal 59 huruf a, Pasal 61, dan Pasal 63 serta frasa “dengan Badan Pelaksana” dalam Pasal 11 ayat (1), frasa “melalui Badan Pelaksana” dalam Pasal 20 ayat (3), frasa “berdasarkan pertimbangan dari Badan Pelaksana dan” dalam Pasal 21 ayat (1), frasa “Badan Pelaksana dan” dalam Pasal 49 UU tentang Migas. Setelah dilakukan evaluasi, mengingat dalam pembangunan ekonomi nasional migas memberikan kontribusi yang signifikan maka diperlukan tata kelola kelembagaan dalam pengelolaan hulu migas yang dapat memenuhi akuntabilitas publik dan efektif dalam mengemban amanat UUD Tahun 1945.
Selanjutnya, karena putusan ini menyangkut status hukum BP Migas yang oleh Undang-Undang a quo diposisikan sangat penting dan strategis, maka Mahkamah perlu menentukan akibat hukum yang timbul setelah putusan ini diucapkan dengan pertimbangan bahwa putusan yang diambil oleh Mahkamah jangan sampai menimbulkan ketidakpastian hukum yang dapat mengakibatkan kekacauan dalam kegiatan usaha minyak dan gas bumi.
Apabila keberadaan BP Migas secara serta merta dinyatakan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan pada saat yang sama juga dinyatakan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka pelaksanaan kegiatan usaha minyak dan gas bumi yang sedang berjalan menjadi terganggu atau terhambat karena kehilangan dasar hukum. Hal demikian dapat menyebabkan kekacauan dan menimbulkan ketidakpastian hukum yang tidak dikehendaki oleh UUD Tahun 1945. Oleh karena itu, Mahkamah harus mempertimbangkan perlunya kepastian hukum organ negara yang melaksanakan fungsi dan tugas BP Migas sampai terbentuknya aturan yang baru. Dengan demikian segala KKS yang telah ditandatangani antara BP Migas dan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap, harus tetap berlaku sampai masa berlakunya berakhir atau pada masa yang lain sesuai dengan kesepakatan.
Untuk mengisi kekosongan hukum karena tidak adanya lagi BP Migas maka Mahkamah perlu menegaskan organ negara yang akan melaksanakan fungsi dan tugas BP Migas sampai terbentuknya aturan yang baru. Menurut Mahkamah, fungsi dan tugas tersebut harus dilaksanakan oleh Pemerintah selaku pemegang kuasa pertambangan dalam hal ini Kementerian yang memiliki kewenangan dan tanggung jawab dalam bidang Migas. Segala hak serta kewenangan BP Migas dalam KKS setelah putusan ini, dilaksanakan oleh Pemerintah atau Badan Usaha Milik Negara yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Untuk mendapatkan model tata kelola kelembagaan dalam pengelolaan kegiatan usaha hulu migas, perlu mempertimbangkan peran migas dalam pembangunan ekonomi suatu Negara, hakekat alami industri migas, model/fiscal terms kontrak migas, praktik dan kematangan kelembagaan dalam suatu negara, dan formulasi kelembagaan tersebut agar dapat memenuhi akuntabilitas publik, dan efektif dalam mengemban misi konstitusi.
Dalam UU Migas sebelum Putusan MK, Pertamina difokuskan kepada fungsi komersial, agar berkembang dan dapat bersaing di tingkat global. Adapun Kuasa Pertambangan dikembalikan ke Pemerintah, dan Pemerintah membentuk Lembaga BP Migas untuk mengemban fungsi manajemen pengelolaan kegiatan hulu secara keseluruhan. Kehadiran lembaga tersebut juga dimaksudkan sebagai tameng/buffer agar Pemerintah sebagai pemegang kedaulatan publik tidak terekspose secara langsung terhadap commercial risk and legal disputes yang lumrah terjadi dalam pelaksanaan contractual agreement (perjanjian kontraktual komersial).
Sebagaimana diuraikan sebelumnya tata kelola kelembagaan pengelolaan hulu minyak dan gas bumi didasarkan kepada pertama, penguasaan atas sumber daya alam minyak dan gas bumi (mineral right) berada pada Negara. Kedua, kuasa pertambangan (mining right) dipegang oleh Pemerintah. Dan ketiga, memberikan hak pengelolaan dan pengusahaan (economic right) kepada lembaga/otoritas minyak dan gas bumi. Dalam konstruksi UU Migas economic right tersebut berada pada kontraktor/investor bukan pada Pemerintah atau BPMigas.
Dalam skema tiga kaki itu ada 3 fungsi kunci. Pertama, policy (kebijakan), yang saat ini dipegang Kementerian ESDM dan DPR. Kedua operational, yang dulu pernah dipegang Pertamina lalu terbentuk BP Migas, dan yang sekarang menjadi SKK Migas. Dan ketiga adalah bisnis.
Dengan demikian penafsiran dalam Putusan MK tersebut dapat diartikan bahwa intinya pengelolaan migas bukan pengurusan atau pengaturan, maka harus dikelola oleh badan usaha. Kerangka kelembagaan yang sesuai dengan amanah UUD Tahun 1945 kelembagaan dalam pengelolaan hulu migas dapat dilakukan oleh badan usaha milik negara, atau dibentuk dalam Revisi UU Migas. Hal yang terpenting bahwa otoritas atau lembaga tersebut dapat melakukan kegiatan usaha seperti halnya badan usaha.
Pengelolaan sumber daya alam harus dilakukan dengan badan usaha, karena ada kepentingan pembukuan, bagaimana menghitung cadangan migas yang bisa dijadikan aset, sehingga bisa menjadi jaminan untuk meminjam dana investasi, menerbitkan obligasi sehingga perlu neraca perusahaan. Apabila kemudian cadangan itu dikuasai pemerintah akan menjadi menganggur karena pemerintah tidak bisa diuangkan. Ilustrasinya apabila kita punya aset minyak banyak kemudian dikelola oleh BUMN, jika aset tersebut dibukukan, maka bisa digunakan sebagai underlying untuk menerbitkan bond sebagai jaminan. Aspek-aspek tersebut hanya bisa dilakukan dalam bentuk badan usaha.

Penyelenggaraan pengelolaan migas selain harus mengandung prinsip dikuasai oleh negara dan prinsip sebesar-besarnya kemakmuiran rakyat juga harus dapat terjamin kepastian hukum melalui peraturan perundang-undangan yakni UU tentang Migas. Dalam dinamika perkembangan hukum dan penerapannya, UU tentang Migas telah dilakukan beberapa kali judicial review yaitu Putusan MK terhadap Perkara Nomor 002/PUU-I/2003 pada tanggal 21 Desember 2004 menyangkut sistem pengelolaan minyak dan gas bumi yang menurut MK bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Putusan MK terhadap Perkara Nomor 002/PUU-I/2003 telah membatalkan Pasal 12 ayat (3), Pasal 22 ayat (1), serta Pasal 28 ayat (2) dan ayat (3) UU tentang Migas, karena bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD Tahun 1945, sehingga pasal-pasal yang dibatalkan tersebut tidak lagi memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Kemudian dengan Putusan MK terhadap Perkara Nomor 20/PUU-V/2007 tanggal 17 Desember 2007 tetapi dalam Putusan MK ini dinyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterima karena para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing). Selanjutnya pada 13 November 2012, dengan Putusan MK terhadap Perkara Nomor 36/PUU-X/2012 yang menyatakan bahwa beberapa pasal dan penjelasan yang berkaitan dengan Badan Pelaksana bertentangan UUD Tahun 1945, dengan Putusan MK No. 36/PUU-X/2012 telah membatalkan Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3), Pasal 41 ayat (2), Pasal 44, Pasal 45, Pasal 48 (1), Pasal 59 huruf a, Pasal 61, Pasal 63 UU Minyak dan gas bumi. MK juga membatalkan frasa “dengan Badan Pelaksana” dalam Pasal 11 ayat (1), frasa “melalui Badan Pelaksana” dalam Pasal 20 ayat (3), frasa “berdasarkan pertimbangan dari Badan Pelaksana dan” dalam Pasal 21 ayat (1), frasa “Badan Pelaksana dan” dalam Pasal 49 dari UU tentang Migas
Berdasarkan Putusan MK tersebut, terjadi kekosongan hukum atas ketentuan yang inkonstitusional, kekosongan hukum terhadap pengaturan mengenai kewajiban menyerahkan bagiannya dari hasil produksi minyak bumi dan/atau gas bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri oleh badan usaha atau bentuk usaha tetap, penetapan harga bahan bakar minyak dan harga gas bumi, dan tata kelola kelembagaan migas pengganti BP Migas.
Untuk itu, perlu dilakukan reformulasi materi muatan atas beberapa hal yang telah diputus MK agar penyelenggaraan kegiatan usaha migas sesuai dengan amanah UUD Tahun 1945.

1. Sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan bahwa materi muatan yang harus diatur dengan UU berisi materi muatan mengenai tindak lanjut Putusan MK. Oleh karena itu, perlu direformulasi kembali materi muatan atas beberapa hal yang telah diputus MK dalam UU tentang Migas dengan status perubahan atau penggantian.
2. Berdasarkan Putusan MK maka DPR RI bersama Pemerintah harus menetapkan perubahan atau penggantian UU tentang Migas ini ke dalam Program Legislasi Nasional Prioritas setiap Tahunnya, mengingat sudah 2 periode keanggotaan DPR RI perubahan UU tentang Migas belum selesai. Sehingga perubahan UU ini dapat dibahas bersama agar tidak terjadi kekosongan hukum, terjamin kepastian hukum, dan pengelolaan migas tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945.

Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi: Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Jo Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Administrasi Kependudukan / 01-12-2018

Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 (UU Administrasi Kependudukan), khususnya Pasal 32, Pasal 61 dan Pasal 64 merupakan salah satu putusan Mahkamah Konstitusi yang krusial, dan membutuhkan tindak lanjut yang segera, untuk memutus mata rantai administrasi kependudukan yang mengakibatkan munculnya kondisi yang mengakibatkan sebagian penduduk Indonesia terlanggar haknya secara konstitusional.

1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal atau ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK ?
2. Apa akibat hukum terhadap pasal, ayat suatu UU yang dinyatakan MK sebagai konstitusionalitas/inkonstitusional bersyarat?
3. Apakah terjadi disharmoni norma dalam suatu UU jika suatu pasal, ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK berimplikasi terhadap norma pasal ayat lain yang tidak diujikan.

A. Konstitusionalitas Undang-Undang
Pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 yang menjadi kewenangan MK merupakan wujud prinsip atau asas konstitusionalitas undang-undang (constitutionality of law) yang menjamin bahwa undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang itu tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945.Kewenangan pengujian undang-undang menimbulkan sebuah kewenangan yang mutatis mutandis (dengan sendirinya) ada, yaitu kewenangan menafsirkan konstitusi.Apabila dalam konstitusi tidak terdapat ketentuan yang ekplisit mengenai kewenangan menafsir konstitusi kepada lembaga negara yang diberikan kewenangan constitutional review, maka harus dipahami bahwa kewenangan menafsirkan konstitusimenyertai kewenangan constitutional review tersebut.Oleh sebab itu, sering dinyatakan bahwa Constitutional Court itu merupakan “the guardian of constitution and the sole interpreting of constitution”, disebut sebagai penjaga konstitusi berdasarkan kewenangan dalam memutus apakah sebuah produk perundang-undangan telah sesuai dengan konstitusi atau tidak.

B. Putusan Mahkamah Konstitusi Final dan Mengikat
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya maka Mahkamah Konstitusi diberikan kewenangan untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD Tahun 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Tahun 1945; memutus pembubaran partai politik; memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana tercantum dalam Pasal 24C UUD Tahun 1945, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 29 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

C. Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi
Akibat hukum yang timbul dari satu putusan hakim jika menyangkut pengujian terhadap undang-undang diatur dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang pada intinya menyatakan undang-undang yang diuji tetap berlaku sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Ketentuan ini juga berarti bahwa putusan hakim Mahkamah Konstitusi yang menyatakan satu undang-undang bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat tidak boleh berlaku surut.

1. Putusan MK Nomor 18/PUU-XI/2013
Putusan Mk merupakan jenis putusan declaratoir contitutief. Declaratoir artinya putusan dimana hakim sekedar menyatakan apa yang menjadi hukum, tidak melakukan penghukuman. Constitutief artinya suatu putusan yang menyatakan tentang ketiadaan suatu keadaan hukum dan/atau menciptakan suatu keadaan hukum yang baru. (revisi UU menyesuaikan dengan Putusan MK)
Kekuatan mengikat putusan MK mengikat bagi semua orang, lembaga negara dan badan hukum dalam wilayah NKRI. Putusan MK berlaku sebagai hukum sebagaimana hukum diciptakan pembuat undang-undang/negative legislator yang putusannya bersifat erga omnes. Oleh karenanya, putusan MK agar dapat dilaksanakan secara efektif, perlu ditindaklanjuti dengan mengubah UU yang Pasalnya dinyatakan tidak memiliki kekutan mengikat oleh MK. Hal ini diperlukan mengingat beberapa kemungkinan yang dapat terjadi pada Pasal-pasal yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum oleh MK di antaranya:
- Terjadi kekosongan hukum;
- Praktek di lapangan ketentuan pasal yang sudah dibatalkan masih diberlakukan, mengingat peraturam pelaksanaannya masih berlaku/belum dicabut atau direvisi. Oleh karenanya, putusan MK ini juga harus ditindaklanjuti oleh peraturan pelakasanaan di bawa UU yang berkaitan dengan pasal yang dibatalkan oleh MK;
- Kondisi hukum atau melingkupi pelaksanaan ketentuan pasal yang dibatalkan oleh MK, tidak dapat di operasionalkan;
- Pertimbangan hukum dari Putusan MK pada hakekatnya merupakan ius constituendum bagi ketentuan pasal yang dinyatakan dibatalkan. Namun seringkali jiwa dari pertimbangan tersebut tidak menjadi pertimbangan dalam perubahan UU yang pasalnya telah dibatalkan, sehingga dapat terjadi apa yang sudah diputuskan MK, jiwanya muncul kembali dalam ketentuan pasal UU yang baru. Contoh: Pasal 55 jo.107 dalam UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, yang memunculkan kembali jiwa Pasal 21 JO. 47 UU 18/2004 tentang Perkebunan yang sudah dibatalkan oleh MK. Pasal 107 ini pun telah dibatalkan kembali oleh Putsan MK (dan beberapa pasal lainnya (Ps. 27 (3), Ps. 29, Ps. 30, Ps. 42, yang jiwanya sama dengan ketentuan Pasal dalam UU No.12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman yang telah dibatalkan oleh MK).

2. Putusan MK Nomor 97/PUU-XIV/2016
Dalam hal putusan MK terhadap Pasal 32 ayat (2), Pasal 61 ayat (1), (2), dan Pasal 64 ayat (1), (5), pelaksanaannya dapat langsung diimplementasikan, mengingat ketiga ketentuan pasal tersebut tidak diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaan dari UU tersebut. Namun demikian, khusus terhadap implementasi dari putusan MK terhadap Pasal 61 ayat (1), (2) dan Pasal 64 ayat (1), (5) tetap diperlukan rencana tindakan selanjutnya dari instansi terkait dalam mengimplementasikan putusan MK tersebut. Misalnya terhadap KTP para penganut kepercayaan yang sudah terlanjur dikosongkan, atau yang karena kondisi tertentu ‘terpaksa’ mencantumkan salah satu agama resmi yang diakui, pihak pencatatan sipil membuka pelayanan pemutihan atau revisi KTP-el dan KK secara gratis, dsb. Selain itu perlu disusun juklak, juknis dan SOP bagi instansi pelayanan terkait khusus pelayanan bagi masyarakat yang melakukan pencatatan kelahiran lebih dari 1 tahun setelah kelahiran.

Dalam kaitannya dengan praktik terhadap putusan Mahkamah Konstitusi, DPR RI sebagai pembentuk undang-undang bersama dengan Presiden memiliki peran yang krusial terhadap putusan yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi. Peran DPR RI dan Presiden menjadi sangat penting dalam merespon putusan Mahkamah Konstitusi, karena putusannya yang bersifat final dan mengikat wajib dijadikan rujukan dalam proses pembentukan undang-undang yang menjadi kewenangan DPR RI. Selain itu, merujuk pada Pasal 10 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyatakan “materi muatan yang harus diatur dengan undang-undang salah satunya berisi tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi.”Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum. Oleh karena itu, diperlukan keseriusan dan kecermatan untuk menangkap maksud atau makna norma suatu undang-undang yang telah diuji oleh Mahkamah Konstitusi dalam melakukan perubahan terhadap materi atau substansi undang-undang. Hal tersebut perlu dilakukan agar norma suatu undang-undang sesuai dengan jiwa yang terkandung dalam konstitusi dan tidak lagi bertentangan dengan UUD Tahun 1945.
Substansi atau norma undang-undang yang tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945 juga sesuai dengan teori Hans Kelsen yang menyatakan suatu norma hukum negara selalu berjenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan), yakni norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi dan begitu seterusnya sampai pada suatu norma yang tertinggi yang disebut norma dasar. Dalam konteks Indonesia, UUD Tahun 1945 merupakan peraturan perundang-undangan tertinggi yang wajib menjadi acuan bagi peraturan perundang-undangan di bawahnya.Selain itu, pada hakikatnya suatu undang-undang dibuat untuk melaksanakan UUD Tahun 1945.

Pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 (Judicial Review) merupakan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menyelidiki dan menilai apakah materi suatu undang-undang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu, atau bahkan apakah peraturan perundang-undangan tersebut terdapat cacat formal dalam pembentukannya. Pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 merupakan wujud dari prinsip atau asas konstitusionalitas undang-undang (constitutionality of law) yang menjamin bahwa undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945.
Meski putusan Mahkamah Konstitusi bisa langsung dilaksanakan tanpa harus menunggu perubahan undang-undang, namun untuk menghindari kekacauan hukum dalam masyarakat akibat tidak terkompilasinya putusan MK dalam satu naskah yang utuh maka Pemerintah dan DPR perlu menindaklanjuti dengan membuat usulan perubahan atas UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, sebagaimana telah diputuskan oleh MK.

Memperhatikan beberapa simpulan di atas maka terdapat beberapa hal yang direkomendasikan, yaitu:
1. Mengusulkan alternative terhadap revisi rumusan Pasal 32 ayat (2)UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dihapus (ayat ini telah dihapus oleh UU No. 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan);
2. Mengusulkan revisi rumusan Pasal 61 ayat (1) yang menyatakan “KK memuat keterangan mengenai kolom nomor KK, nama lengkap kepala keluarga dan anggota keluarga, NIK, jenis kelamin, alamat, tempat lahir, tanggal lahir, agama, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, status hubungan dalam keluarga, kewarganegaraan, dokumen imigrasi, nama orang tua”menjadi “KK memuat keterangan mengenai kolom nomor KK, nama lengkap kepala keluarga dan anggota keluarga, NIK, jenis kelamin, alamat, tempat lahir, tanggal lahir, agama atau kepercayaan, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, status hubungan dalam keluarga, kewarganegaraan, dokumen imigrasi, nama orang tua”.
3. Mengusulkan agar rumusan Pasal 61 ayat (2) yang menyatakan “Keterangan mengenai kolom agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database Kependudukan”dihapus;
4. Mengusulkan revisi rumusan Pasal 64 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang menyatakan “KTP-el mencantumkan gambar lambang Garuda Pancasila dan peta wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, memuat elemen data penduduk, yaitu NIK, nama, tempat tanggal lahir, laki-laki atau perempuan, agama, status perkawinan, golongan darah, alamat, pekerjaan, kewarganegaraan, pas foto, masa berlaku, tempat dan tanggal dikeluarkan KTP-el, dan tandatangan pemilik KTP-el” menjadi“KTP-el mencantumkan gambar lambang Garuda Pancasila dan peta wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, memuat elemen data penduduk, yaitu NIK, nama, tempat tanggal lahir, laki-laki atau perempuan, agama atau kepercayaan, status perkawinan, golongan darah, alamat, pekerjaan, kewarganegaraan, pas foto, masa berlaku, tempat dan tanggal dikeluarkan KTP-el, dan tandatangan pemilik KTP-el”;
5. Mengusulkan agar rumusan Pasal 64 ayat (5) UU No. 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang menyatakan “Elemen data penduduk tentang agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan” dihapus.

Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi : Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah / 01-12-2018



Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” pada lambang Garuda Pancasila merupaka potret Indonesia sesungguhnya sebagai sebuah negara kebangsaan. Setiap daerah atau wilayah di Indonesia memiliki karakteristik yang berbeda-beda baik dari segi etnis, budaya, agama, potensi ekonomi, dan sebagainya, tetapi tetap merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Republik Indonesia, sehingga memiliki hak yang sama untuk memperoleh atau menciptakan kemajuan pembangunan dan kesejahteraan masyarakatnya. Bahwa pembentuk Undang-Undang Dasar sejak awal telah menyadari bahwa NKRI dengan wilayah yang sangat luas tidak mungkin dapat dilaksanakan oleh pemerintah pusat, sehingga diperlukan juga pemerintahan di daerah, yaitu pemerintahan daerah provinsi dan kabupaten/kota.

1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK?
2. Apa akibat hukum terhadap pasal dan ayat suatu UU yang dinyatakan MK sebagai inkonstitusionalitas/inkonstitusionalitas bersyarat?
3. Apakah terjadi disharmoni norma dalam suatu UU jika suatu pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK berimplikasi terhadap norma pasal ayat lain yang tidak diujikan?

A. Konstitusionalitas Undang-Undang
Pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 yang menjadi kewenangan MK merupakan wujud prinsip atau asas konstitusionalitas undang-undang (constitutionality of law) yang menjamin bahwa undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang itu tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Kewenangan pengujian undang-undang menimbulkan sebuah kewenangan yang mutatis mutandis (dengan sendirinya) ada, yaitu kewenangan menafsirkan konstitusi. Apabila dalam konstitusi tidak terdapat ketentuan yang ekplisit mengenai kewenangan menafsir konstitusi kepada lembaga negara yang diberikan kewenangan constitutional review, maka harus dipahami bahwa kewenangan menafsirkan konstitusi menyertai kewenangan constitutional review tersebut. Oleh sebab itu, sering dinyatakan bahwa Constitutional Court itu merupakan “the guardian of constitution and the sole interpreting of constitution”, disebut sebagai penjaga konstitusi berdasarkan kewenangan dalam memutus apakah sebuah produk perundang-undangan telah sesuai dengan konstitusi atau tidak.

B. Putusan Mahkamah Konstitusi Bersifat Final dan Mengikat
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya maka Mahkamah Konstitusi diberikan kewenangan untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD Tahun 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Tahun 1945; memutus pembubaran partai politik; memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana tercantum dalam Pasal 24C UUD Tahun 1945, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 29 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

C. Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi
Akibat hukum yang timbul dari satu putusan hakim jika menyangkut pengujian terhadap undang-undang diatur dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang pada intinya menyatakan undang-undang yang diuji tetap berlaku sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Ketentuan ini juga berarti bahwa putusan hakim Mahkamah Konstitusi yang menyatakan satu undang-undang bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat tidak boleh berlaku surut.

1. Putusan MK Perkara Nomor 137/PUU-XIII/2015
Secara umum putusan Mahkamah Konstitusi bersifat declaratoir dan constitutief. Declaratoir artinya putusan dimana hakim sekedar menyatakan apa yang menjadi hukum, tidak melakukan penghukuman. Constitutief artinya suatu putusan yang menyatakan tentang ketiadaan suatu keadaan hukum dan/atau menciptakan suatu keadaan hukum yang baru. Berdasarkan Putusan MK Nomor 137/PUU-XIII/2015 dan Nomor 56/PUU-VIX/2016 secara nyata menghapus kewenangan menteri dalam negeri dan gubernur untuk membatalkan peraturan daerah, baik itu perda provinsi dan perda kabupaten/kota. Dengan adanya dua putusan tersebut berimplikasi bahwa pembatalan perda hanya bisa dilakukan melalui mekanisme judicial review di Mahkamah Agung. Putusan MK yang bersifat final and binding berpotensi menciptakan kekosongan pengaturan soal mekanisme pengawasan terhadap perda yang bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan, kepentingan umum, dan kesusilaan. Mendagri ataupun gubernur sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat tak lagi punya kewenangan untuk membatalkan Perda yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan atau dalam tataran implementasi dirasa bermasalah serta bertentangan dengan kepentingan umum. Mengingat, potensi kepedulian masyarakat terhadap pembentukan dan pelaksanaan suatu peraturan daerah masih sangat kurang. Namun di sisi lain, putusan MK tersebut juga dapat mempengaruhi iklim investasi di Indonesia, karena salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi iklim investasi di suatu negara adalah faktor kepastian hukum, selain faktor politik dan ekonomi. Apabila ada kepastian hukum, maka ada kepastian bagi sektor usaha dan perlindungan hukum bagi investor, baik investor asing maupun investor dalam negeri.

2. Putusan MK Perkara Nomor 56/PUU-XIV/2016
Berdasarkan Putusan a quo, maka berimplikasi meskipun tidak didalilkan oleh para Pemohon, namun Pasal 251 ayat (5) UU Pemda menjadi kehilangan relevansinya karena Pasal 251 ayat (5) UU Pemda di dalamnya mengatur mengenai tata cara penghentian dan pencabutan Perda yang berkait langsung dengan Pasal 251 ayat (4) UU Pemda dimana frasa ”Perda Provinsi” telah dinyatakan bertentangan dengan UUD Tahun 1945, sehingga Pasal 251 ayat (5) UU Pemda juga harus dinyatakan bertentangan dengan UUD Tahun 1945.

Pengujian undang-undang yang dilakukan oleh suatu peradilan pada dasarnya akan berakhir dalam suatu putusan yang merupakan pendapat tertulis hakim konstitusi tentang perselisihan penafsiran satu norma atau prinsip yang ada dalam UUD. Jika satu amar putusan menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau ayat bagian undang-undang bahkan undang-undang secara keseluruhan bertentangan dengan UUD Tahun 1945, maka materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang diuji tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Bunyi putusan demikian mengandung arti bahwa ketentuan norma yang termuat dalam satu undang-undang dinyatakan batal (null and void) dan tidak berlaku lagi. Putusan yang demikian sudah barang tentu memiliki implikasi hukum yang luas. Selain memberi kemanfaatan pada para pencari keadilan, seringkali putusan tersebut dinilai berpotensi menyebabkan terjadinya kekosongan hukum (legal vacuum), kekacauan hukum (legal disorder), bahkan politik beli waktu (buying time) pembentuk undang-undang. Karena itu menurut Maruarar Siahaan, dibutuhkan mekanisme prosedural tentang bagaimana tindak lanjut dari pembatalan pemberlakukan suatu ketentuan tersebut. Persoalan yang selalu dikaitkan dengan sulitnya implementasi eksekusi putusan Mahkamah Konstitusi adalah sifat putusannya yang final, dengan kata mengikat (binding). Karena, putusan Mahkamah Konstitusi mengikat umum, pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan ketentuan undang-undang yang telah diputus harus melaksanakan putusan itu.
Namun demikian, mengingat norma dalam undang-undang adalah satu kesatuan sistem, ada pelaksanaan putusan yang harus melalui tahapan-tahapan tertentu, bergantung pada substansi putusan. Dalam hal ini, ada putusan yang dapat dilaksanakan langsung tanpa harus dibuat peraturan baru atau perubahan, ada pula yang memerlukan pengaturan lebih lanjut terlebih dahulu. Tatkala suatu putusan akan langsung efektif berlaku tanpa diperlukan tindak lanjut lebih jauh dalam bentuk kebutuhan implementasi perubahan undang-undang yang diuji, maka putusan ini dapat dikatakan berlaku secara self-executing. Dalam artian, putusan itu terlaksana dengan sendirinya.
Dalam melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, kepala daerah dan DPRD selaku penyelenggara pemerintahan daerah membuat perda sebagai dasar hukum bagi Daerah dalam menyelenggarakan otonomi daerah sesuai dengan kondisi dan aspirasi masyarakat serta kekhasan dari daerah tersebut. Perda yang dibuat oleh daerah hanya berlaku dalam batas-batas yurisdiksi daerah yang bersangkutan. Walaupun demikian perda yang ditetapkan daerah tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan. Disamping itu, Perda sebagai bagian dari sistem peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum sebagaimana diatur dalam kaidah penyusunan Perda.
Daerah melaksanakan otonomi daerah yang berasal dari kewenangan Presiden yang memegang kekuasaan pemerintahan. Mengingat tanggung jawab akhir penyelenggaraan pemerintahan ada di tangan Presiden, maka konsekuensi logisnya kewenangan membatalkan Perda ada di tangan Presiden. Adalah tidak efisien Presiden yang langsung membatalkan Perda, untuk itu Presiden melimpahkan kewenangan pembatalan perda provinsi kepada menteri sebagai pembantu Presiden yang bertanggung jawab atas otonomi daerah. Sedangkan untuk pembatalan perda kabupaten/kota, Presiden melimpahkan kewenangannya kepada gubernur selaku wakil pemerintah pusat di daerah. Sebagian urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab menteri tersebut yang sesungguhnya diotonomikan ke daerah. Konsekuensi menteri sebagai pembantu presiden adalah kewajiban menteri atas nama presiden untuk melakukan pembinaan dan pengawasan agar penyelenggaraan pemerintahan daerah berjalan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Agar tercipta sinergi antara pemerintah pusat dan daerah, kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian berkewajiban membuat norma, standar, prosedur, dan kriteria untuk dijadikan pedoman bagi daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang diserahkan ke daerah dan menjadi pedoman bagi kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian untuk melakukan pembinaan dan pengawasan.
Pengawasan perda provinsi oleh menteri dalam negeri dan perda kabupaten/kota oleh gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, pada dasarnya disusun dengan alasan praktis untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengawasan sesuai prinsip yang dikandung dalam UU Pemda, hal ini masuk akal mengingat jumlah kabupaten/kota lebih banyak dibanding jumlah provinsi. Pendelegasian kewenangan tersebut dilakukan dalam upaya mengawasi jalannya otonomi melalui jalur dekonsentrasi dan atau urusan pemerintahan umum. Berdasarkan pada penjelasan UU Pemda, ditegaskan bahwa pemerintah pusat mempunyai kewenangan untuk melakukan pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sebab meskipun negara Indonesia mengakui otonomi daerah yang seluas-luasnya, namun harus tetap dilaksanakan berdasarkan prinsip negara kesatuan. Salah satu bentuk dari pengawasan Pusat terhadap daerah adalah dengan adanya executive review terhadap peraturan daerah, serta peraturan kepala daerah. Dalam ketentuan Pasal 236 UU Pemda menentukan bahwa materi muatan peraturan daerah adalah penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, serta penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain itu sutu Perda dapat memuat materi muatan lokal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kewenangan pemerintah daerah dalam menetapkan peraturan daerah dalam menetapkan peraturan daerah dan peraturan lain telah diakui secara konstitusional. Akan tetapi, pembentukan suatu oeraturan daerah tidak dapat disandarkan pada kewenangannya sendiri, karena daerah berada pada kuasa lingkungan hukum publik nasional.
Berdasarkan kedua putusan MK yang sudah disampaikan diatas, menteri dalam negeri maupun gubernur tidak lagi berwenang membatalkan peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah kabupaten/kota. Putusan ini tidak serta merta menyelesaikan permasalahan konstitusionalitas kewenangan pengujian terhadap produk hukum daerah yang notabene secara hierarkis berada di bawah undang-undang. Hal ini karena menteri dalam negeri masih dapat membatalkan peraturan gubernur dan gubernur masih dapat membatalkan peraturan bupati/walikota. Karena secara hierarki berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang berbunyi:
“Jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Wali kota, Kepala Desa atau yang setingkat.”

Hal ini menunjukkan inkonsistensi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi itu sendiri, yang pada akhirnya menimbulkan ketidakjelasan tafsir pada suatu undang-undang. Sudah seharusnya, pembatalan peraturan gubernur maupun peraturan bupati/wali kota dilakukan juga melalui mekanisme judicial review di MA. Dalam bentuk negara kesatuan memang sudah sepatutnya pemerintah yang tingkatannya lebih tinggi diberikan kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap regulasi yang lahir di daerah. Implementasi dari pengawasan tersebut dapat dilakukan dengan melakukan pembinaan kepada daerah melalui penguatan terhadap mekanisme exevutive preview atau pengujian terhadap suatu rancangan peraturan hukum sebelum sah menjadi peraturan dan mengikat secara umum. Hal ini penting mengingat proses pembentukan suatu produk hukum daerah membutuhkan waktu, biaya, dan tenaga yang tidak sedikit. Sehingga jauh lebih efektif dan efisien apabila pengujian dilakukan oleh pemerintah pada saat produk hukum daerah tersebut disahkan. Penguatan mekanisme executive review juga akan memiminalisir jumlah peraturan perundang-undangan yang dilakukan judicial review¬-nya di MA. Selain itu, hal ini akan sejalan dengan ruh ketentuan Pasal 24A UUD Tahun 1945 yang sama sekali tidak memberikan delegasi kewenangan pengujian terhadap peraturan daerah maupun peraturan kepala daerah kepada lembaga eksekutif. Di dalam Pasal 245 UU Pemda, evaluasi rancangan perda hanya terbatas kepada Perda provinsi yang mengatur tentang RPJPD, RPJMD, APBD, perubahan APBD, pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, pajak daerah, retribusi daerah dan tata ruang daerah. Untuk itu, evaluasi rancangan perda dalam bentuk mekanisme executive review seharusnya lebih diperkuat dengan mengamanatkan kepada pemerintah pusat untuk melakukan evaluasi terhadap seluruh rancangan peraturan daerah baik itu peraturan daerah provisi atau kabupaten/kota. Sehingga diharapkan dapat mencegah atau setidaknya mengurangi kasus perda yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau bertentangan dengan kepentingan umum.

Pemerintahan Daerah merupakan suatu bagian dari hierarki pemerintahan yang berpusat pada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi di Indonesia. Sejak awal, pembentuk Undang-Undang Dasar sejak awal telah menyadari bahwa NKRI dengan wilayah yang sangat luas tidak mungkin dapat dilaksanakan sendiri oleh pemerintah pusat, sehingga diperlukan pemerintahan yang berada di daerah, yaitu pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota. Telah terdapat 2 (dua) pengujian materiil UU Pemda yang diajukan di MK dengan Putusan mengabulkan sebagian, yakni Putusan MK Nomor 137/PUU-XIII/2015 dan Putusan MK Nomor 56/PUU-XIV/2016. Dikabulkan sebagiannya Pasal 251 UU Pemda dalam permohonan perkara tersebut telah menciptakan keadaan hukum yang berbeda. Pencabutan kewenangan menteri dalam negeri dan gubernur untuk membatalkan peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah kabupaten/kota seharusnya juga berlaku dengan dicabutnya kewenangan untuk membatalkan peraturan kepala daerah baik itu gubernur maupun bupati/wali kota.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bahwa materi muatan yang harus diatur dengan UU berisi materi muatan mengenai tindak lanjut putusan MK. Untuk itu diperlukan perubahan UU Pemda untuk mengakomodir putusan MK nomor 137/PUU-XIII/2015 dan Putusan MK nomor 56/PUU-XIV/2016. Selain itu perlu dipertimbangkan untuk penguatan mekanisme executive prview yang dimiliki oleh menteri dalam negeri atau gubernur di dalam UU Pemda untuk mencegah semakin banyaknya peraturan daerah yang diajukan judicial reviewnya di MA. Dalam negara dengan bentuk kesatuan memang sudah sepatutnya pemerintah yang tingkatannya lebih tinggi diberikan kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap regulasi (termasuk peraturan daerah dan peraturan kepala daerah) yang lahir di daerah. Implementasi dari mekanisme pengawasan tersebut melalui penguatan executive preview atau pengujian terhadap suatu norma hukum sebelum sah mengikat secara umum. Hal ini juga mengingat proses pembentukan suatu produk hukum daerah membutuhkan waktu, biaya dan tenaga yang tidak sedikit, sehingga jauh lebih efektif dan efisien apabila pengujian dilakukan oleh pemerintah pada saat sebelum produk hukum tersebut diundangkan. Untuk itu, kewenangan executive preview yang dimiliki oleh Kemendagri sebagai wakil pemerintah pusat sebaiknya berlaku tidak hanya terhadap rancangan peraturan daerah yang mengatur tentang RPJPD, RPJMD, APBD, perubahan APBD, pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, pajak daerah, retribusi daerah, dan tata daerah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 245 UU Pemda.

Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi : Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Jo. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Mahkamah Konstitusi / 01-12-2018

Bahwa visi, misi, dan tujuan dibentuknya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 24C ayat (6) UUD Tahun 1945 adalah untuk mengatur pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara, serta ketentuan lainnya tentang MK. Oleh karena itu, dapat dibenarkan secara legal jika Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK Perubahan) juncto Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) mengatur secara lebih detail segala ketentuan terkait MK.

1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK?
2. Apa akibat hukum terhadap pasal dan ayat suatu UU yang dinyatakan MK sebagai inkonstitusionalitas/ inkonstitusionalitas bersyarat?
3. Apakah terjadi disharmoni norma dalam suatu UU jika suatu pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK berimplikasi terhadap norma pasal ayat lain yang tidak diujikan?

A. Konstitusionalitas Undang-Undang
Pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 yang menjadi kewenangan MK merupakan wujud prinsip atau asas konstitusionalitas undang-undang (constitutionality of law) yang menjamin bahwa undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang itu tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Kewenangan pengujian undang-undang menimbulkan sebuah kewenangan yang mutatis mutandis (dengan sendirinya) ada, yaitu kewenangan menafsirkan konstitusi. Apabila dalam konstitusi tidak terdapat ketentuan yang ekplisit mengenai kewenangan menafsir konstitusi kepada lembaga negara yang diberikan kewenangan constitutional review, maka harus dipahami bahwa kewenangan menafsirkan konstitusi menyertai kewenangan constitutional review tersebut. Oleh sebab itu, sering dinyatakan bahwa Constitutional Court itu merupakan “the guardian of constitution and the sole interpreting of constitution”, disebut sebagai penjaga konstitusi berdasarkan kewenangan dalam memutus apakah sebuah produk perundang-undangan telah sesuai dengan konstitusi atau tidak.

B. Putusan Mahkamah Konstitusi Bersifat Final dan Mengikat
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya maka MK diberikan kewenangan untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD Tahun 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Tahun 1945; memutus pembubaran partai politik; memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana tercantum dalam Pasal 24C UUD Tahun 1945, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) UU MK Perubahan, dan Pasal 29 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

C. Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi
Akibat hukum yang timbul dari satu putusan hakim jika menyangkut pengujian terhadap undang-undang diatur dalam Pasal 58 UU MK Perubahan, yang pada intinya menyatakan undang-undang yang diuji tetap berlaku sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Ketentuan ini juga berarti bahwa putusan hakim MK yang menyatakan satu undang-undang bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat tidak boleh berlaku surut.

1. Putusan MK Nomor 066/PUU-II/2004
Putusan Nomor 066/PUU-II/2004 telah memutuskan bahwa Pasal 50 UU MK bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Akibat Putusan MK ini maka semua undang-undang baik yang sebelum maupun yang sesudah perubahan UUD Tahun 1945 dapat diujikan ke MK, jika dianggap merugikan hak konstitusional.

2. Putusan MK Nomor 34/PUU-X/2012
Putusan Nomor 34/PUU-X/2012 telah memutuskan bahwa Pasal 7A ayat (1) UU MK Perubahan tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang disertai frasa “dengan usia pensiun 62 tahun bagi Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti”. Akibat Putusan MK ini maka batas usia pensiun Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti adalah 62 tahun.

3. Putusan MK Nomor 7/PUU-XI/2013
Putusan Nomor 7/PUU-XI/2013 telah memutuskan bahwa Pasal 15 ayat (2) huruf d UU MK Perubahan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Berusia paling rendah 47 (empat puluh tujuh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada saat pengangkatan pertama”. Akibat Putusan MK ini maka ketentuan pasal a quo hanya diberlakukan pada pengangkatan hakim pertama saja. Pasal a quo tidak berlaku bagi hakim konstitusi yang saat ini sedang menjabat dan hendak mencalonkan diri menjadi calon hakim konstitusi periode berikutnya untuk dua kali masa jabatan, artinya pasal ini hanya berlaku bagi calon hakim konstitusi baru saja. Dengan demikian, calon hakim baru tidak boleh lebih dari 65 tahun, tapi bagi calon yang pernah menjadi hakim konstitusi boleh lebih dari 65 tahun.

Evaluasi terhadap Putusan Nomor 066/PUU-II/2004 adalah perlunya merevisi Pasal 50 UU MK, sehingga tidak sekedar dihapus saja, namun dinyatakan dengan tegas dalam perubahan UU MK bahwa “Undang-Undang yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah undang-undang yang diundangkan sebelum dan/atau setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Dengan demikian Pemohon yang dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang baik sebelum maupun sesudah perubahan UUD Tahun 1945 dapat mengujikan ke MK, sehingga tidak ada hak konstitusional yang terlanggar.
Selanjutnya evaluasi terhadap Putusan Nomor 34/PUU-X/2012 adalah dengan merevisi frasa Pasal 7A ayat (1) UU MK Perubahan sesuai dengan bunyi putusan MK, yaitu “Kepaniteraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 merupakan jabatan fungsional yang menjalankan tugas teknis administratif peradilan Mahkamah Konstitusi dengan usia pensiun 62 tahun bagi Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti.” Dengan demikian ada suatu kepastian hukum pada batas usia pensiun kepaniteraan MK sebagaimana yang diatur juga dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, dan PTUN.
Sementara itu, evaluasi terhadap Putusan Nomor 7/PUU-XI/2013 adalah dengan merevisi frasa Pasal 15 ayat (2) huruf d UU MK Perubahan sesuai dengan bunyi putusan MK, yaitu “Untuk dapat diangkat menjadi hakim konstitusi, selain harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), seorang calon hakim konstitusi harus memenuhi syarat: ...d. berusia paling rendah 47 (empat puluh tujuh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada saat pengangkatan pertama.” Dengan demikian batas usia paling tinggi 65 tahun hanya untuk calon hakim MK yang belum pernah menjabat dan tidak diperuntukkan bagi calon hakim MK yang sedang menjabat untuk kemudian diusulkan periode masa jabatan kedua.

UU MK dan UU MK Perubahan dalam implementasinya pernah beberapa kali dilakukan uji materiil ke MK, namun hanya 3 (tiga) permohonan yang dikabulkan. Putusan MK Nomor 066/PUU-II/2004 yang isinya mengabulkan permohonan sebagian, Putusan MK Nomor 34/PUU-X/2012 yang isinya mengabulkan permohonan seluruhnya, dan Putusan MK Nomor 7/PUU-XI/2013 yang isinya mengabulkan permohonan seluruhnya. Terhadap ketiga Putusan MK tersebut perlu dilakukan revisi frasa pasal agar isi ketentuan sesuai dengan putusan MK, yaitu:
1. Putusan MK Nomor 066/PUU-II/2004 harus menegaskan bahwa dalam Pasal 50 UU MK dinyatakan pengujian UU di MK dapat diperuntukkan bagi undang-undang sebelum dan sesudah perubahan UUD Tahun 1945.
2. Putusan MK Nomor 34/PUU-X/2012 harus menegaskan bahwa dalam Pasal 7 ayat (1) UU MK Perubahan mengatur batas usia pensiun kepaniteraan MK yaitu 62 tahun.
3. Putusan MK Nomor 7/PUU-XI/2013 harus menegaskan bahwa dalam Pasal 15 ayat (2) UU MK Perubahan mengatur batas usia calon hakim MK minimal 47 tahun dan paling tinggi 65 tahun hanya untuk pengangkatan pertama saja.

1. Sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bahwa materi muatan yang harus diatur dengan UU berisi materi muatan mengenai tindak lanjut Putusan MK. Oleh karena itu, perlu direformulasi kembali dan diharmonisasi materi muatan atas beberapa hal yang telah diputus MK.
2. Berdasarkan Putusan MK maka DPR bersama Pemerintah harus menetapkan perubahan/penggantian UU MK ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dan menjadikan prioritas tahunan untuk dibahas bersama-sama agar tidak terjadi kekosongan hukum, terjamin kepastian hukum, dan pengaturan MK tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945.

Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi : Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal / 01-12-2018

Dalam rangka mewujudkan iklim penanaman modal yang berdaya saing global tersebut, Pemerintah bersama-sama dengan DPR mengesahkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM), yang memperbaharui peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal sebelumnya. Tujuan dibentuknya UUPM adalah untuk dapat mengakomodir berbagai kepentingan yang ada di masyarakat, dan bertindak lebih adil kepada semua golongan penanam modal tanpa mengorbankan kepentingan nasional . Selain itu, UUPM diundangkan pada masa Indonesia sedang berada di tengah semangat otonomi daerah yang memberi kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menyelenggarakan urusan penanaman modal yang harus didasarkan pada kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi pelaksanaan kegiatan penanaman modal.
Pemerintah menyadari bahwa tujuan penyelenggaraan penanaman modal hanya dapat tercapai bila faktor penunjang yang menghambat iklim penanaman modal dapat diatasi, antara lain melalui: perbaikan koordinasi antara instansi pemerintah pusat dan daerah, penciptaan birokrasi yang efisien, kepastian hukum dibidang penanaman modal, biaya ekonomi yang berdaya saing tinggi, iklim usaha yang kondusif dibidang ketenaga kerjaan dan keamanan berusaha. Oleh karena itu, pemerintah bersama dengan DPR membentuk UUPM untuk mengantisipasi hal-hal tersebut.

1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK?
2. Apa akibat hukum terhadap pasal dan ayat suatu UU yang dinyatakan MK sebagai inkonstitusionalitas/inkonstitusionalitas bersyarat?
3. Apakah terjadi disharmoni norma dalam suatu UU jika suatu pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK berimplikasi terhadap norma pasal ayat lain yang tidak diujikan?

A. Konstitusionalitas Undang-Undang
Pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 yang menjadi kewenangan MK merupakan wujud prinsip atau asas konstitusionalitas undang-undang (constitutionality of law) yang menjamin bahwa undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang itu tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Kewenangan pengujian undang-undang menimbulkan sebuah kewenangan yang mutatis mutandis (dengan sendirinya) ada, yaitu kewenangan menafsirkan konstitusi. Apabila dalam konstitusi tidak terdapat ketentuan yang ekplisit mengenai kewenangan menafsir konstitusi kepada lembaga negara yang diberikan kewenangan constitutional review, maka harus dipahami bahwa kewenangan menafsirkan konstitusi menyertai kewenangan constitutional review tersebut. Oleh sebab itu, sering dinyatakan bahwa Constitutional Court itu merupakan “the guardian of constitution and the sole interpreting of constitution”, disebut sebagai penjaga konstitusi berdasarkan kewenangan dalam memutus apakah sebuah produk perundang-undangan telah sesuai dengan konstitusi atau tidak.

B. Putusan Mahkamah Konstitusi Bersifat Final Dan Mengikat
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya maka Mahkamah Konstitusi diberikan kewenangan untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD Tahun 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Tahun 1945; memutus pembubaran partai politik; memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana tercantum dalam Pasal 24C UUD Tahun 1945, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 29 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

C. Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi
Akibat hukum yang timbul dari satu putusan hakim jika menyangkut pengujian terhadap undang-undang diatur dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang pada intinya menyatakan undang-undang yang diuji tetap berlaku sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Ketentuan ini juga berarti bahwa putusan hakim Mahkamah Konstitusi yang menyatakan satu undang-undang bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat tidak boleh berlaku surut.

Amar putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, Pasal, dan/atau bagian dari undang-undang yang bertentangan dengan UUD Tahun 1945 mengandung muatan yang bersifat Constitutief yaitu melahirkan suatu keadaan hukum yang baru berupa menghilangkan keberlakuan norma hukum yang dinyatakan tidak berkekuatan hukum mengikat. Sifat konstitutif putusan Mahkamah Konstitusi ini tercermin pada Pasal 57 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat constitutif juga dapat mempengaruhi secara signifikan suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku baik karena adanya kekosongan hukum (rechtsvacuum) maupun karena berubahnya pengertian atau makna satu norma berdasarkan tafsiran Mahkamah Konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi memiliki dampak yang sangat luas bukan saja bagi para pihak pembentuk hukum dan penegak hukm tetapi juga bagi masyarakat pada umumnya.
Putusan Mahkamah Konstitusi dengan amar yang menyatakan bagian dari undang-undang, pasal atau ayat tertentu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak diumumkan dalam sidang terbuka untuk umum. Namun sebagai syarat untuk diketahui secara umum putusan tersebut diumumkan dalam Berita Negara dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak putusan diucapkan. Tidak dibutuhkan adanya satu aparat khusus untuk melaksanakan putusan tersebut karena sifatnya declaratoir.
Dengan dinyatakannya Pasal 22 UU Penanaman Modal bertentangan dengan Pasal 33 UUD Tahun 1945, ketentuan yang berlaku terhadap pemberian kemudahan dan/atau pelayanan kepada perusahaan penanaman modal untuk memperoleh hak atas tanah adalah ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan lainnya sepanjang berkaitan langsung dengan penanaman modal. Khusus mengenai pemberian, perpanjangan, dan pembaruan hak-hak atas tanah (HGU, HGB, dan Hak Pakai) berlaku ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah. Selanjutnya, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, akibat hukum terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi harus ditindaklanjuti dengan segera melakukan perubahan terhadap UU Penanaman Modal.

Berdasarkan Putusan MK Nomor 21,22/PUU-V/2007, terhadap norma pasal 22 UU Penanaman Modal menimbulkan keadaan hukum baru. Pasal 22 UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal pasca Putusan MK menjadi berketentuan:
(1) Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a dapat diberikan dan diperpanjang dan dapat diperbarui kembali atas permohonan penanam modal.
(2) Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dapat diberikan dan diperpanjang untuk kegiatan penanaman modal, dengan persyaratan antara lain:
a. penanaman modal yang dilakukan dalam jangka panjang dan terkait dengan perubahan struktur perekonomian Indonesia yang lebih berdaya saing;
b. penanaman modal dengan tingkat risiko penanaman modal yang memerlukan pengembalian modal dalam jangka panjang sesuai dengan jenis kegiatan penanaman modal yang dilakukan;
c. penanaman modal yang tidak memerlukan area yang luas;
d. penanaman modal dengan menggunakan hak atas tanah negara; dan
e. penanaman modal yang tidak mengganggu rasa keadilan masyarakat dan tidak merugikan kepentingan umum.
(3) Hak atas tanah dapat diperbarui setelah dilakukan evaluasi bahwa tanahnya masih digunakan dan diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian hak.
(4) Pemberian dan perpanjangan hak atas tanah yang diberikan dan yang dapat diperbarui sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat dihentikan atau dibatalkan oleh Pemerintah jika perusahaan penanaman modal menelantarkan tanah, merugikan kepentingan umum, menggunakan atau memanfaatkan tanah tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pemberian hak atas tanahnya, serta melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan.
Sebagai akibat dinyatakan inkonstitusionalnya sebagian ketentuan tersebut, maka, terhadap pemberian kemudahan dan/atau pelayanan kepada perusahaan penanaman modal untuk memperoleh hak atas tanah, sepanjang berkaitan langsung dengan penanaman modal, ketentuan yang berlaku adalah ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan lainnya.

Pemberian dan perpanjangan hak atas tanah yang diberikan sekaligus di muka dan yang dapat diperbarui dapat dihentikan atau dibatalkan oleh pemerintah jika perusahaan penanaman modal menelantarkan tanah, merugikan kepentingan umum, menggunakan atau memanfaatkan tanah tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pemberian hak atas tanahnya, serta melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan. Sebagaimana pendapat Mahkamah Konstitusi (MK) dalam persidangan ini, Selasa 25 Maret 2007 mengenai review Pasal 22 UU No. 25 Tahun 2007 menyatakan bahwa sebagian ketentuan pasal tersebut tentang Penanaman Modal (UU PM) bertentangan dengan konstitusi. Hal ini disampaikan dalam sidang pengucapan putusan perkara 21-22/PUU-V/2Q07. Pasal 22 UU No. 25 Tahun 2007 melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan.
Menurut MK bagian dari Pasal 22 UU PM yang bertentangan dengan UUD Tahun 1945, yaitu Pasal 22 ayat (1) sepanjang menyangkut kata-kata "di muka sekaligus" Selain itu, Pasal 22 ayat (2) sepanjang menyangkut kata-kata "di muka sekaligus" dan Pasal 22 ayat (4) sepanjang menyangkut kata-kata "sekaligus di muka" juga dinyatakan bertentangan dengan UUD Tahun 1945.

1. Sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bahwa materi muatan yang harus diatur dengan UU berisi materi muatan mengenai tindak lanjut Putusan MK. Oleh karena itu, perlu direformulasi kembali materi muatan atas beberapa hal yang telah diputus MK dalam UU Penanaman Modal dengan status perubahan undang-undang.
2. Untuk menyesuaikan dengan Putusan MK, sebaiknya Pasal 22 UU Penanaman modal direformulasi diusulkan perubahan rumusan yang berketentuan sebagai berikut:
(1) Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a dapat diberikan dan diperpanjang dan dapat diperbarui kembali atas permohonan penanam modal.
(2) Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dan diperpanjang untuk kegiatan penanaman modal, dengan persyaratan antara lain:
a. penanaman modal yang dilakukan dalam jangka panjang dan terkait dengan perubahan struktur perekonomian Indonesia yang lebih berdaya saing;
b. penanaman modal dengan tingkat risiko penanaman modal yang memerlukan pengembalian modal dalam jangka panjang sesuai dengan jenis kegiatan penanaman modal yang dilakukan;
c. penanaman modal yang tidak memerlukan area yang luas;
d. penanaman modal dengan menggunakan hak atas tanah negara; dan
e. penanaman modal yang tidak mengganggu rasa keadilan masyarakat dan tidak merugikan kepentingan umum.
(3) Hak atas tanah dapat diperbarui setelah dilakukan evaluasi bahwa tanahnya masih digunakan dan diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian hak.
(4) Pemberian dan perpanjangan hak atas tanah yang diberikan dan yang dapat diperbarui sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat dihentikan atau dibatalkan oleh Pemerintah jika perusahaan penanaman modal menelantarkan tanah, merugikan kepentingan umum, menggunakan atau memanfaatkan tanah tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pemberian hak atas tanahnya, serta melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan.


3. Rencana RUU perubahan UU Penanaman Modal ini telah menjadi Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2015-2019. Untuk itu sebaiknya DPR bersama Pemerintah menindaklanjuti rancangan perubahan tersebut termasuk muatan Putusan MK tersebut kedalam RUU tentang perubahan UU Penanaman Modal, dan menjadikan RUU tersebut kedalam prioritas Tahunan untuk dibahas bersama-sama agar terjamin kepastian hukum, dan praktik penanaman modal yang tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945.

Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi : Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah / 01-12-2018

UU 28/2009 ini mempunyai tujuan untuk memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah dalam perpajakan dan retribusi sejalan dengan semakin besarnya tanggung jawab daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat, meningkatkan akuntabilitas daerah dalam penyediaan layanan dan penyelenggaraan pemerintahan dan sekaligus memperkuat otonomi daerah, serta memberikan kepastian bagi dunia usaha mengenai jenis-jenis pungutan daerah dan sekaligus memperkuat dasar hukum pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah.

Adapun permasalahan dalam evaluasi atas pengujian UU 28/2009 terhadap UUD Tahun 1945 yaitu:
1. Bagaimanakah akibat hukum yang timbul dari dari dikabulkannya permohonan pengujian beberapa pasal UU 28/2009 terhadap UUD Tahun 1945?
2. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal atau ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi?

A. Konstitusionalitas Undang-Undang
Pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 yang menjadi kewenangan MK merupakan wujud prinsip atau asas konstitusionalitas undang-undang (constitutionality of law) yang menjamin bahwa undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang itu tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Kewenangan pengujian undang-undang menimbulkan sebuah kewenangan yang mutatis mutandis (dengan sendirinya) ada, yaitu kewenangan menafsirkan konstitusi. Apabila dalam konstitusi tidak terdapat ketentuan yang ekplisit mengenai kewenangan menafsir konstitusi kepada lembaga negara yang diberikan kewenangan constitutional review, maka harus dipahami bahwa kewenangan menafsirkan konstitusi menyertai kewenangan constitutional review tersebut. Oleh sebab itu, sering dinyatakan bahwa Constitutional Court itu merupakan “the guardian of constitution and the sole interpreting of constitution”, disebut sebagai penjaga konstitusi berdasarkan kewenangan dalam memutus apakah sebuah produk perundang-undangan telah sesuai dengan konstitusi atau tidak.

B. Putusan Mahkamah Konstitusi Bersifat Final dan Mengikat
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya maka Mahkamah Konstitusi diberikan kewenangan untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD Tahun 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Tahun 1945; memutus pembubaran partai politik; memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana tercantum dalam Pasal 24C UUD Tahun 1945, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 29 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

C. Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi
Akibat hukum yang timbul dari satu putusan hakim jika menyangkut pengujian terhadap undang-undang diatur dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang pada intinya menyatakan undang-undang yang diuji tetap berlaku sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Ketentuan ini juga berarti bahwa putusan hakim Mahkamah Konstitusi yang menyatakan satu undang-undang bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat tidak boleh berlaku surut.

1. Putusan MK Nomor 52/PUU-IX/2011
Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi ini terdapat beberapa hal yang perlu dipahami, antara lain yaitu, Mahkamah Konstitusi berpandangan bahwa kewenangan negara memungut pajak kepada warga negaranya memang telah diatur berdasarkan Pasal 23A UUD Tahun 1945 namun dalam hal memungut pajak tersebut tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip yang dianut oleh UUD Tahun 1945 dalam pasal-pasal lainnya antara lain: prinsip keadilan, kepastian hukum, dan kesamaan kedudukan dalam hukum. Hal ini sejalan dengan prinsip perpajakan yang melakukan pemungutan pajak selalu berdasarkan asas keadilan (equality), disiplin, transparansi, efisiensi, dan efektivitas.
Pasal 42 ayat (2) huruf g UU 28/2009 menyatakan bahwa gof merupakan objek pajak hiburan yang merupakan pajak daerah dengan tarif yang ditetapkan paling tinggi sebesar 35%. Subjek pajaknya adalah penyelenggara permainan golf dan nantinya akan dibebani kepada orang pribadi atau Badan yang menikmati permainan golf tersebut.
Menurut Mahkamah, golf merupakan kegiatan fisik yang dapat mendorong, membina dan mengembangkan jasmani, rohani, dan sosial, seperti cabang olahraga lainnya. Golf merupakan olahraga yang melembaga, yang berada di bawah organisasi International Golf Federation (IGF) untuk golf amatir, dan Professional Golf Association (PGA) untuk golf profesional, dan juga merupakan salah satu cabang olahraga prestasi binaan KONI. Hal ini juga telah sejalan dengan definisi olahraga dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional (selanjutnya disebut UU 3/2005) yang menyebutkan bahwa olahraga adalah segala kegiatan yang sistematis untuk mendorong, membina, serta mengembangkan potensi jasmani, rohani, dan sosial.
Mahkamah juga berpandangan bahwa setiap olahraga memliki sifat menghibur, baik menghibur pemain yang bermain maupun penonton yang menyaksikan. Oleh karenanya sifat hiburan dari olahraga tidak saja terbatas pada cabang olahraga golf sebagaimana diatur dalam Pasal 42 ayat (2) huruf g UU 28/2009, tetapi sifat tersebut terdapat pula dalam semua cabang olahraga. Berdasarkan hal itu maka pengenaan pajak hiburan pada olahraga golf tidak semata-mata karena sifat hiburannya, tetapi karena menyesuaikan dengan kemampuan membayar dari subjek pajak hiburan (dalam hal ini pelaku olahraga golf). Menurut Mahkamah dasar pengenaan pajak termasuk pajak daerah tidak dapat dilakukan hanya karena adanya kebutuhan untuk pembangunan demi kemaslahatan umum sehingga mencari orang-orang atau bidang pelayanan jasa yang memiliki kemampuan membayar. Pengenaan pajak harus mempertimbangkan segala aspek, termasuk jenis usaha atau kegiatan yang dapat dikenai pajak serta aspek keadilan bagi wajib pajak. Pengenaan pajak atas permainan golf dapat mengakibatkan hilangnya peminat olahraga ini, sehingga tidak adanya pencapaian prestasi yang memberi semangat dan kebanggaan nasional bagi suatu bangsa. Pengenaan pajak hiburan pada olahraga golf juga mengakibatkan adanya perlakuan tidak adil antara olahraga golf dan olahraga lainnya, karena sifat hiburan tidak hanya ada pada olahraga golf, tetapi juga ada pada semua jenis olahraga.
Mahkamah juga berpandangan bahwa mengenai pengenaan pajak ganda terjadi terhadap penyelenggaraan olahraga golf. Hal ini dapat dilihat berdasarkan konsep pengenaan pajak ganda yang merupakan pengenaan pajak terhadap objek pajak yang sama kepada satu subjek pajak, yang dilakukan oleh pemungut pajak (fiscus). Berdasarkan Pasal 42 ayat (1) UU 28/2009 yang dimaksud objek pajak hiburan adalah jasa penyelenggaraan hiburan dengan dipungut bayaran, sementara subjek Pajak Hiburan adalah orang pribadi atau Badan yang menikmati hiburan. Dengan demikian objek pajak permainan golf adalah jasa penyelenggaraan fasilitas olahraga golf dan subjek pajaknya adalah orang pribadi atau Badan yang bermain golf, yang dipungut oleh pemerintah daerah di tiap-tiap daerah kabupaten/kota. Di sisi lain, UU PPN dan PPnBM mengatur bahwa objek dan subjek PPN diatur dalam Peraturan Pemerintah dan sampai saat ini berlaku PP 144/2000 tentang Jenis Barang dan Jasa yang tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai yang menjelaskan bahwa penyelenggaraan olahraga golf tidak termasuk dalam negative list PPN yang artinya terhadap penyelenggaraan olahraga golf telah dikenakan PPN. Apabila dikenakan lagi Pajak Hiburan terhadapnya maka telah terjadi pengaturan pengenaan pajak ganda untuk objek pajak yang sama. Oleh karenanya Mahkamah berpandangan bahwa pengenaan pajak hiburan atas objek pajak jasa penyelenggaraan sarana olahraga golf potensial dikenai pajak ganda yang bertentangan dengan prinsip kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum yang dijamin oleh konstitusi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945.
Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas maka Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa kata “golf” dalam Pasal 42 ayat (2) huruf g UU 28/2009 bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat.
Akibat hukum yang ditimbulkan dari satu putusan mahkamah konstitusi yang menyatakan satu undang-undang bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat berlaku sejak putusan tersebut diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan tidak berlaku surut. Oleh karena itu akibat hukum yang timbul dari berlakunya satu undang-undang sejak diundangkan sampai diucapkannya putusan yang menyatakan undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, tetap sah dan mengikat.
Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat declaratoir constitutief. Bersifat declaratoir artinya putusan dimana hakim sekedar hanya menyatakan apa yang menjadi hukum, tidak melakukan penghukuman. Hal ini bisa terlihat dari amar putusan pengujian undang-undang yang menyatakan bahwa materi muatan, ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, serta tidak dibutuhkan adanya satu aparat khusus untuk melaksanakan putusan tersebut karena sifatnya declaratoir. Sedangkan bersifat constitutief artinya suatu putusan yang menyatakan tetang ketiadaan suatu keadaan hukum dan/atau menciptakan satu keadaan hukum yang baru.
Berdasarkan sifat putusan Mahkamah Konstitusi diatas maka akibat hukum atas pembatalan kata “golf” dalam norma Pasal 42 ayat (2) huruf g adalah tidak dapat diberlakukan lagi pemungutan pajak hiburan terhadap objek pajak penyelenggara olahraga golf terhitung sejak Putusan Mahkamah Konstitusi ini dibacakan. Hal ini merupakan suatu penegasan bahwa negara memiliki tanggung jawab untuk memberikan jaminan atas keadilan dan kepastian dalam pemungutan pajak di Indonesia, khusunya pemungutan pajak hiburan terhadap penyelenggara olahraga golf.
Mengingat bahwa pajak hiburan merupakan pajak daerah yang kewenangan memungutnya diberikan kepada daerah kabupaten/kota sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan daerah kabupaten/kota masing-masing. Mekanisme pemungutannya diatur melalui peraturan daerah kabupaten/kota masing-masing. Akibat hukum putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-IX/2011 yang tidak diberlakukan lagi pemungutan pajak hiburan terhadap objek pajak permainan golf memberikan implikasi hukum terhadap peraturan daerah (perda) yang menyatakan golf sebagai objek pajak hiburan haruslah direvisi atau dibatalkan. Hal ini sudah dilakukan oleh beberapa daerah yang melakukan revisi atau perubahan peraturan daerahnya tentang pajak hiburan, antara lain Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 3 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2010 Tentang Pajak Hiburan dan Peraturan Daerah Batu Bara Nomor 10 Tahun 2017 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kabupaten Batu Bara Nomor 9 Tahun 2010 Tentang Pajak Daerah. Hal ini perlu diikuti oleh seluruh daerah yang mengatur pengenaan pajak hiburan terhadap permainan golf sehingga terbentuk sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan. Berdasarkan hal ini pula sudah seharusnya para pembentuk undang-undang segera melakukan perubahan materi muatan UU 28/2009 sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi ini.


2. Putusan MK Nomor 46/PUU-XII/2014
Salah satu kewenangan baru bagi daerah yang diatur dalam UU 28/2009 adalah Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi yang termasuk dalam jenis retribusi jasa umum, sebagaimana disebutkan dalam Ketentuan Umum bahwa Retribusi Daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Sementara pengertian jasa umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan. Jasa umum merupakan jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan masyarakat umum. Bentuk jasa umum yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintahan Daerah kepada masyarakat umum diwujudkan dalam jasa pelayanan. Dengan demikian, Retribusi Jasa Umum adalah pelayanan yang disediakan atau diberikan Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan. Jenis retribusi jasa umum dapat tidak dipungut, apabila potensi penerimaannya kecil dan/atau atas kebijakan nasional/daerah untuk memberikan pelayanan tersebut secara cuma-cuma.
Objek Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi adalah pemanfaatan ruang untuk menara telekomunikasi dengan memperhatikan aspek tata ruang, keamanan dan kepentingan umum. Dalam Penjelasan Pasal 124 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 disebutkan bahwa mengingat tingkat penggunaan jasa pelayanan yang bersifat pengawasan dan pengendalian sulit ditentukan serta untuk kemudahan perhitungan, tarif retribusi ditetapkan paling tinggi 2% (dua persen) dari nilai jual objek pajak yang digunakan sebagai dasar perhitungan pajak bumi dan bangunan menara telekomunikasi, yang besarnya retribusi dikaitkan dengan frekuensi pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi tersebut . Tata cara perhitungan retribusi ditentukan bahwa besarnya retribusi yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa dengan tarif retribusi. Tingkat penggunaan jasa merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan. Apabila tingkat penggunaan jasa tersebut sulit untuk diukur maka tingkat penggunaan jasanya dapat ditaksir berdasarkan rumus yang dibuat oleh Pemerintah Daerah dan rumus tersebut harus mencerminkan beban yang dipikul oleh Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan jasa tersebut. Tarif retribusi merupakan nilai rupiah atau dapat berupa persentase tertentu yang ditetapkan untuk menghitung besarnya retribusi yang terutang dan dapat ditentukan seragam atau bervariasi menurut golongan sesuai dengan prinsip dan sasaran penetapan tarif retribusi.
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi jasa umum termasuk retribusi menara telekomunikasi ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, seperti biaya operasi dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal, dan dalam hal penetapan tarif sepenuhnya memperhatikan biaya penyediaan jasa maka penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya. Selain itu prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif juga harus memperhatikan kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut. Tarif retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali, dan peninjauan ini dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian.
Dalam penerapan ketentuan Pasal 124 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pada umumnya pemerintah daerah menerapkan perhitungan retribusi berdasarkan NJOP, yaitu sebesar 2% (dua persen) dari NJOP. Hal ini didasarkan pada penafsiran yang dituangkan dalam ketentuan penjelasan Pasal 124 yang digunakan sebagai dasar perhitungan pajak bumi dan bangunan menara telekomunikasi. Dampak dari hal ini, ketentuan penerapan tarif yang diatur pada Pasal 151 dan Pasal 152 tidak digunakan, sehingga menjadi poin pokok dari permohonan PT. Kame Komunikasi Indonesia dalam Perkara Nomor 46/PUU-XII/2014 dan pada putusannya Mahkamah Konstitusi menyatakan mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya yaitu penjelasan Pasal 124 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak punyai kekuatan hukum mengikat.
Menurut Mahkamah Konstitusi, sebagaimana hakikat retribusi, maka retribusi haruslah dapat diperhitungkan, memiliki ukuran yang jelas atas tarif yang akan dikenakan. Jika perhitungan retribusi tidak jelas maka beban retribusi bisa jadi akan dialihkan kepada konsumen. Hal demikian menurut Mahkamah Konstitusi akan menimbulkan ketidakpastian hukum, apalagi jika dikaitkan dengan tujuan retribusi untuk mengendalikan pembangunan menara telekomunikasi. Dengan pengalihan beban retribusi maka pengenaan retribusi pengendalian menara telekomunikasi tidak akan membuat pembangunan menara telekomunikasi terkendali.
Menurut Mahkamah Konstitusi bahwa di satu sisi penetapan tarif maksimal bertujuan agar tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi tidak berlebihan dan memberatkan penyedia menara dan penyelenggaraan telekomunikasi, namun di sisi lain jika penerapan di setiap daerah sama tanpa memperhatikan frekuensi pengawasan dan pengendalian, maka akan menimbulkan ketidakadilan. Ketentuan batas maksimal 2% dari NJOP menyebabkan pemerintah daerah mematok harga tertinggi yaitu 2% dari NJOP tanpa perhitungan yang jelas merupakan ketentuan yang tidak memenuhi rasa keadilan.
Batas maksimal 2% bukan hanya ditujukan agar besaran retribusi tidak terlalu tinggi, namun memang diakui adanya kesulitan perhitungan. Dalam pengenaan pajak, hal yang tidak bisa dihitung dan penerapannya akan sulit seharusnya tidak menjadi objek pungutan karena akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Sebagai konsekuansi dari kebijakan yang telah diambil, pemerintah seharusnya dapat menemukan formula yang tepat untuk menetapkan tarif retribusi. Formula demikian dapat diatur dalam peraturan yang lebih teknis. Adanya kesulitan dalam menghitung besaran retribusi yang mengakibatkan ketidakjelasan dalam penentuan tarif menjadikan penetapan tarif maksimal hanya bertujuan untuk mengambil jalan pintas dan itu merupakan tindakan yang tidak adil.
Meskipun menurut Mahkamah Konstitusi penetapan besaran tarif dalam bentuk persentase ataupun jumlah rupiah merupakan kebijakan yang terbuka bagi pemerintah untuk menentukannya (open public policy) namun kepastian hukum yang adil harus tetap diperhatikan. Karena pengenaan pungutan baik retribusi, pajak atau pungutan lainnya harus memperhatikan prinsip pemungutan pajak (fiscal justice) yang meliputi kepastian hukum, keadilan, kemudahan dan efisiensi. Maka pengenaan tarif retribusi yang menetapkan maksimal 2% dari NJOP tanpa disertai dengan perhitungan yang jelas justru tidak memberikan kepastian hukum yang menyebabkan ketidakadilan dalam penerapannya. Kepastian hukum dalam mengenakan pungutan yang bersifat memaksa seharusnya meliputi kepastian subjek, objek, besarnya tarif dan waktu pembayarannya. Penjelasan Pasal 124 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 menegaskan bahwa tingkat pengunaan jasa yang bersifat pengawasan dan pengendalian sulit ditentukan perhitungannya, karena itulah ditentukan persentase 2% sebagai batas maksimal penetapan tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi. Menurut Mahkamah Konstitusi penjelasan demikian menggambarkan tidak terpenuhinya prinsip pemungutan pajak baik prinsip kepastian hukum, keadilan, kemudahan dan efisiensi, padahal pemerintah dalam memperluas objek pajak dan retribusinya seharusnya mempertimbangkan prinsip-prinsip pemungutan pajak, sehingga dalam pelaksanaannya tidak menimbulkan ketidakjelasan dalam perhitungan dan kesulitan penentuan tarif. Dengan demikian menurut Mahkamah Konstitusi Penjelasan Pasal 124 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945.
Pertimbangan dari sisi pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, maka penjelasan pasal seharusnya tidak memuat norma karena penjelasan berfungsi sebagai tafsir resmi pembentuk peraturan perundangundangan atau norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu penjelasan hanya memuat uraian terhadap kata, frasa, kalimat atau padanan kata/istilah asing dalam norma yang dapat disertai dengan contoh. Penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma dalam batang tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dimaksud. Rumusan penjelasan pasal demi pasal memperhatikan hal sebagai berikut :
1. tidak bertentangan dengan materi pokok yang diatur dalam batang tubuh;
2. tidak memperluas, mempersempit atau menambah pengertian norma yang ada di batang tubuh;
3. Tidak melakukan pengulangan atas materi pokok yang diatur dalam batang tubuh;
4. Tidak mengulangi uraian kata istilah frase atau pengertian yang telah dimuat di dalam ketentuan umum; dan/atau
5. Tidak memuat rumusan pendelegasian.
Penjelasan Pasal 124 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 justru mengatur norma yang menentukan tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi yaitu “paling tinggi 2% dari NJOP”. Selain itu norma yang terkandung dalam penjelasan Pasal 124 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 justru membuat ketidakjelasan norma yang terkandung dalam Pasal 124 Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009, sebagian besar pemerintah daerah justru mematok 2% dari NJOP, tanpa menghitung dengan jelas berapa sesungguhnya tarif retribusi yang layak dikenakan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemapuan masyarakat, aspek keadilan dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut [vide Pasal 152 Undang-Undang 28/2009]. Dengan demikian menurut Mahkamah Konstitusi Penjelasan Pasal 124 Undang-Undang 28 Tahun 2009 tidak bersesuaian dengan pembentukan peraturan perundangundangan yang baik.
Akibat hukum dari Putusan Nomor 46/PUU-XII/2014 adalah meniadakan hukum terkait dengan dasar perhitungan tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi, dan oleh karenanya Pemerintah harus membuat formulasi/rumus perhitungan yang jelas terhadap tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi yang sesuai dengan layanan dan pemanfaatan ruang untuk menara telekomunikasi yang telah diterima oleh wajib retribusi, juga dengan memperhatikan biaya penyedia jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan dan efektifitas pengendalian atas pelayanan tersebut, sehingga tujuan pengendalian menara telekomunikasi untuk minimalisasi eksternalitas negatif dapat tercapai. Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 151 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, apabila tingkat penggunaan jasa sulit diukur maka tingkat penggunaan jasa dapat ditaksir berdasarkan rumus yang dibuat oleh Pemerintah Daerah dan rumus yang dimaksud harus mencerminkan beban yang dipikul oleh Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan jasa tersebut.
Dengan adanya akibat hukum terhadap putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-XII/2014 tersebut diatas maka terdapat implikasi hukum terhadap Peraturan Daerah yang mengatur tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi. Legalitas Peraturan Daerah yang mengatur penetapan tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi menjadi hilang dan oleh karenanya perlu dilakukan pembatalan atau revisi/perubahan.
Pasca Putusan Nomor 46/PUU-XII/2014, Pemerintah melalui Dirjen Perimbangan Keuangan telah meneribitkan 3 (tiga) surat edaran kepada seluruh Gubernur dan Bupati/Walikota di seluruh Indonesia, yaitu S-439/PK/2015 tanggal 9 Juni 2015, S-743/PK/2015 tanggal 18 November 2015, dan S-209/PK.3/2016 tanggal 9 September 2016 (“Surat Edaran”). Dengan adanya Surat Edaran ini diharapkan agar seluruh Gubernur/Bupati/Walikota dalam perhitungan tarif Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi yang telah dan akan diatur dalam Peraturan daerah berpedoman pada tata cara perhitungan tarif retribusi sebagaimana diatur dalam Pasal 151, Pasal 152 dan Pasal 161 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dan terkait dengan hal tersebut agar Gubernur selaku wakil Pemerintah Pusat di Daerah untuk melakukan koordinasi dan evaluasi atas pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.
Adapun formulasi perhitungan tarif retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi yang dijelaskan dalam Surat Edaran tersebut adalah sebagai berikut:
• Besarnya Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi dihitung dengan formula: RPMT = Tingkat Penggunaan Jasa x Tarif Retribusi.
• Tingkat penggunaan jasa dihitung berdasarkan frekuensi pengendalian dan pengawasan.
• Perhitungan tarif retribusi didasarkan pada biaya operasional pengendalian dan pengawasan, dengan komponen biaya: honorarium petugas ke lapangan, transportasi, uang makan, dan alat tulis kantor (ATK).
• Satuan biaya masing-masing komponen biaya tersebut disesuaikan dengan standar biaya yang ditetapkan oleh Kepala Daerah.
• Besaran Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi dapat memperhitungkan variabel/faktor zonasi, ketinggian menara, jenis menara, dan jarak tempuh.
Surat edaran merupakan salah satu produk legislasi semu (pseudowetgeving) dalam bentuk peraturan kebijakan (beleidregel). Dalam praktek pelaksanaan pemerintahan seharihari, seringkali dijumpai produk peraturan kebijakan (beleidregel, policy rule) yang memiliki karakteristik berbeda peraturan perundang-undangan. Produk peraturan kebijakan tidak terlepas dari penggunaan Freies Ermessen, yaitu badan atau pejabat tata usaha negara yang bersangkutan merumuskan kebijaksanaannya dalam berbagai bentuk “juridische regels” seperti peraturan, pedoman, pengumuman, surat edaran dan mengumumkan kebijaksanaan itu.
Freies Ermessen merupakan kebebasan administrasi negara melakukan suatu tindakan (dengan berbuat atau tidak berbuat) untuk mencapai tujuan atau manfaat tertentu (doelmatigheid) di luar batas ketentuan yang berlaku. Namun demikian, tidak berarti dapat dilakukan secara atau untuk sesuatu yang melawan hukum. Kendali terhadap asas Freies Ermessen adalah asas-asas umum penyelenggaraan administrasi negara yang baik (algemene beginselen van behoorlijk bestuur). Freies Ermerssen dalam pelaksanaannya memperhatikan kepantasan atau kepatutan sesuai dengan keadaan faktual yang dihadapi pejabat administrasi.
Kebebasan bertindak (Freies Ermessen) tersebut dilaksanakan untuk menyelesaikan suatu permasalahan konkrit yang pada dasarnya:
• belum atau tidak peraturan perundang-undangan yang mengatur penyelesaian masalah tersebut, padahal masalah tersebut menuntut segera untuk diselesaikan;
• peraturan perundang-undangan telah memberikan kebebasan untuk bertindak penuh; dan
• adanya delegasi dari suatu peraturan perundang-undangan.
Surat Edaran sebagai respon Putusan Nomor 46/PUU-XII/2014 dikeluarkan dengan dasar belum atau tidak adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai formulasi penetapan tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi pasca Putusan Nomor 46/PUU-XII/2014. Menurut Bagir Manan, sebagai peraturan yang bukan merupakan peraturan perundang-undangan, peraturan kebijakan tidak secara langsung mengikat secara hukum tetapi mengandung relevansi hukum.
Hal ini tentu bersifat responsif apabila dilihat dari sudut pandang teknis pelaksanaan, namun dari sudut pandang tatanan peraturan perundangan-undangan dan sistem hukum di Indonesia maka sudah seharusnya pedoman yang diberikan melalui Surat Edaran tersebut dibentuk dalam sebuah peraturan perundangan-undangan bukan peraturan kebijakan semata, sehingga dapat bersifat mengikat secara langsung. Salah satu bentuk peraturan perundang-undangan yang telah diatur secara jelas dalam hukum positif Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan adalah Undang-Undang/ Peraturan Pengganti Undang-Undang.
Berdasarkan hal ini maka sudah seharusnya para pembentuk undang-undang segera melakukan perubahan materi muatan UU 28/2009 sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi dan memberikan formulasi perhitungan tarif Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi.

3. Putusan MK Nomor 15/PUU-XV/2017
Dalam Putusan Nomor 15/PUU-XV/2017, Mahkamah Konstitusi dalam amar putusannya menyatakan mengabulkan Permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Kemudian Mahkamah juga menyatakan bahwa Pasal 1 angka 13 sepanjang frasa “termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar yang dalam operasinya menggunakan roda dan motor dan tidak melekat secara permanen”, Pasal 5 ayat (2) sepanjang frasa “termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar”; Pasal 6 ayat (4), dan Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan adanya putusan MK tersebut maka memberikan akibat hukum meniadakan dasar hukum pengenaan pajak kendaraan bermotor terhadap alat berat, oleh karena telah diputuskan bahwa alat berat bukan objek kendaraan bermotor dan oleh karenanya juga bukan merupakan objek Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), sehingga para pemilik alat berat tidak bisa ditagihkan PKB dan BBNKB. Implikasi hukum yang terjadi atas akibat hukum ini adalah legalitas Peraturan Daerah yang mengatur pengenaan pajak kendaraan bermotor terhadap alat berat menjadi hilang dan oleh karenanya perlu dilakukan pembatalan atau revisi/perubahan. Hal ini menjadi penting untuk segera ditindaklanjuti oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya.
Sebelumnya, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-XIII/2015 juga telah menyatakan hal yang sama yaitu alat berat bukan kendaraan bermotor, dan menurut Pemohon Putusan ini bersifat erga omnes yang artinya final dan mengikat secara umum tidak saja terhadap para pihak yang berperkara, akan tetapi juga berlaku bagi peraturan perundang-undangan lainnya, termasuk undang-undang. Putusan MK pada dasarnya melahirkan norma hukum yang setara dengan undang-undang, sehingga implikasi hukum yang terjadi dengan adanya Putusan MK No. 3/PUU-XIII/2015 yang memutuskan alat berat bukan kendaraan bermotor adalah norma lain yang bertentangan dengan putusan tersebut menjadi batal demi hukum termasuk pengertian kendaraan bermotor yang tidak meliputi alat berat serta pungutan PKB dan BBNKB terhadap alat berat sebagaimana disebutkan dalam UU 28/2009.
Namun Mahkamah juga berpandangan bahwa terhadap pengertian kendaraan bermotor yang tidak meliputi alat berat, bukan berarti bahwa terhadap alat berat tidak boleh dikenakan pajak. Apalagi para Pemohon baik dalam permohonannya maupun di persidangan juga berkali-kali menyatakan bahwa pengujian pasal-pasal a quo sama sekali tidak bermaksud menghindar dari kewajiban membayar pajak. Dengan demikian, terhadap alat berat tetap dapat dikenakan pajak. Namun dasar hukum pengenaan pajak terhadap alat berat itu bukan karena alat berat merupakan bagian dari kendaraan bermotor. Oleh karena itu, berarti dibutuhkan dasar hukum baru dalam peraturan perundang-undangan untuk mengenakan pajak terhadap alat berat yang antara lain dapat dilakukan dengan melakukan perubahan terhadap UU Nomor 28 Tahun 2009 (UU 28/2009) sepanjang berkenaan dengan pengaturan pengenaan pajak terhadap alat berat.
Selanjutnya, dengan menimbang bahwa proses melakukan perubahan UU 28/2009 membutuhkan waktu yang cukup, Mahkamah memandang penting untuk memberikan tenggang waktu kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perubahan undang-undang, dan tenggang waktu yang diberikan adalah 3 (tiga) tahun. Tenggang waktu tersebut dimaksudkan untuk menghindari kekosongan hukum tentang pengenaan pajak terhadap alat berat selama belum diundangkannya perubahan undang-undang. Terhadap alat berat tetap dapat dikenakan pajak berdasarkan ketentuan undang-undang yang lama. Sebaliknya, apabila tenggang waktu untuk melakukan perubahan undang-undang tersebut telah terlampaui dan undang-undang yang baru belum juga diundangkan, maka terhadap alat berat tidak boleh lagi dikenakan pajak berdasarkan undang-undang yang lama.
Pengaturan demikian, menurut Mahkamah, tidaklah bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum. Sebab, tenggang waktu dimaksud memberikan kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Di lain pihak, menurut Pasal 23A UUD Tahun 1945, negara hanya dibenarkan mengenakan pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang. Selanjutnya menjadi urgensi bagi pembentuk undang-undang untuk melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, khususnya berkenaan dengan pengenaan pajak terhadap alat berat, selama kurun waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak Putusan Nomor 15/PUU-XV/2017 dibacakan.

Hukum yang dijelmakan dalam sebuah produk legislasi dianggap sebagai implementasi kesadaran hukum. Hukum ditaati karena manusia memiliki akal untuk memikirkan mengenai hukum dan konsekwensinya. Menurut Hugo Krabbe, bahwa hukum berasal dari perasaan hukum yang ada pada sebagian besar dari anggota masyarakat oleh karenanya negara seharusnya negara hukum (rechtsstaat). Tiap tindakan negara harus dapat dipertanggung jawabkan dalam hukum. Konsepsi negara hukum itu menjadi cita-cita kenegaraan pada zaman modern.
Dalam konteks penelitian ini, Putusan MK yang dalam hal ini putusan dalam perkara pengujian undang-undang terhadap UUD memiliki kekuatan hukum mengikat. Putusan MK dalam proses pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar adalah merupakan pernyataan pengadilan yang mengakhiri dan menyelesaikan perselisihan yang diajukan tentang penafsiran satu norma atau prinsip yang ada dalam Undang-Undang Dasar yang dikonkretisasi dalam ketentuan undang-undang sebagai pelaksanaan tujuan bernegara yang diperintahkan konstitusi. Dengan demikian putusan MK merupakan penyelesaian sengketa yang lebih merupakan kepentingan umum meskipun diajukan oleh perseorangan.
Mengenai sifat final putusan MK ini ditegaskan pada Pasal 24C ayat (1) UUD Tahun 1945. Dengan ketentuan-ketentuan tersebut maka, Putusan MK bersifat final yang berarti (1) secara langsung memperoleh kekuatan hukum, (2) karena telah memperoleh kekuatan hukum tetap maka putusan MK memiliki akibat hukum bagi semua pihak yang berkaitan dengan putusan. Hal ini karena putusan MK berbeda dengan putusan peradilan umum yang hanya mengikat para pihak berperkara (interparties). Semua pihak wajib mematuhi dan melaksanakan putusan MK, (3) karena merupakan pengadilan pertama dan terakhir, maka tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh. Sebuah putusan apabila tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh, berarti telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) dan memperoleh kekuatan mengikat (resjudicata pro veritate habeteur). Tegasnya, putusan MK yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dengan serta merta memiliki kekuatan hukum mengikat untuk dilaksanakan.
Dalam Putusan MK terkait dengan pengujian undang-undang, manakala MK memutus suatu UU bertentangan dengan UUD dan menyatakannya memiliki kekuatan mengikat maka putusan tersebut UU tidak hanya mengikat pihak yang mengajukan perkara (inter partes) di MK, melainkan juga mengikat juga semua warga negara seperti halnya UU mengikat secara umum bagi semua warga negara. Dalam perkara pengujian UU misalnya, yang diuji adalah norma UU yang bersifat abstrak dan mengikat umum. Meskipun dasar permohonan pengujian adalah hak konstitusional pemohon yang dirugikan, namun tindakan tersebut pada dasarnya adalah mewakili kepentingan hukum seluruh masyarakat, yaitu tegaknya konstitusi. Oleh karena itu, yang terikat oleh putusan MK tidak hanya dan tidak harus selalu pembentuk UU, tetapi semua pihak yang terkait dengan ketentuan yang diputus oleh MK. Atas dasar itulah, maka putusan MK bersifat erga omnes. Hal tersebut membawa implikasi atau akibat hukum yang sama dengan diundangkannya satu undang-undang yaitu bersifat erga omnes. Itu berarti bahwa putusan tersebut mengikat seluruh warga negara, pejabat negara, dan lembaga negara.
1. Kewajiban Menaati Putusan MK
Hukum memiliki karakter mengatur kepentingan yang bersifat relasional antar manusia. Tujuannya untuk mencapai dan melindungi kepentingan bersama. Kepentingan yang sifatnya relasional antara manusia ini akan menimbulkan permasalahan dan konflik apabila diserahkan kepada kaidah yang sifatnya subyektif. Keinginan individu dan kelompok yang akan menonjol. Mengabaikan kepentingan dan tujuan bersama. Oleh karena itu, kaidah hukum harus dijaga agar mendapatkan kepercayaan sebagai pengatur kepentingan bersama. Oleh karena itu, agar hukum mencapai tujuan-tujuan tersebut, maka hukum dibuat untuk ditaati.
Ketaatan terhadap hukum akan mengimplikasikan terjadinya ketertiban dalam masyarakat, dan sebaliknya ketidaktaatan terhadap hukum akan mengakibatkan kekacauan. Ketaatan hukum tidak lepas dari kesadaran hukum, dan kesadaran hukum yang baik adalah ketaatan hukum, dan ketidaksadaran hukum yang baik adalah ketidak taatan. Pernyataan ketaatan hukum harus disandingkan sebagai sebab dan akibat dari kesadaran dan ketaatan hukum. Pada kenyataannya, ketaatan terhadap hukum tidaklah sama dengan ketaatan sosial lainnya, ketaatan hukum merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan dan apabila tidak dilaksanakan akan timbul sanksi, tidaklah demikian dengan ketaatan sosial, ketaatan sosial manakala tidak dilaksanakan atau dilakukan maka sanksi-sanksi sosial yang berlaku pada masyarakat inilah menjadi hakim. Tidaklah berlebihan bila ketaatan di dalam hukum cenderung dipaksakan.
Ketaatan sendiri dapat dibedakan dalam tiga jenis, mengutip H.C Kelman (1966) dan L. Pospisil (1971) dalam buku “Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Achmad Ali mengutarakan: (1) Ketaatan yang bersifat compliance, dan (2) Ketaatan yang bersifat identification, yaitu jika seseorang menaati suatu aturan, hanya karena takut hubungan baiknya dengan pihak lain menjadi rusak; serta (3) Ketaatan yang bersifat internalization, yaitu jika seseorang menaati suatu aturan, benar-benar karena merasa bahwa aturan itu sesuai dengan nilai-nilai intrinsik yang dianutnya.
Dalam kaitan dengan kewajiban menaati Putusan MK, maka perlu dikemukakan pendapat Jutta Limbach mengenai 3 (tiga) ciri utama yang menandai prinsip supremasi konstitusi, yaitu: (1) Pembedaan antara norma hukum konstitusi dan norma hukum yang lainnya; (2) Terikatnya pembuat undang-undang oleh undang-undang dasar; dan (3) Adanya satu lembaga yang memiliki kewenangan untuk menguji konstitusionalitas tindakan hukum Pemerintah atau pembentuk undang-undang.
Sebagai the supreme law of the land bagi negara dan bangsa Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 haruslah dipedomani dan dilaksanakan oleh seluruh elemen negara bangsa ini, baik penyelenggara negara maupun warga negara dalam menunaikan tugas masing-masing. Dalam posisi semacam itu pula, konstitusi haruslah dapat ditegakkan dan difungsikan sebagai rujukan dalam menemukan solusi untuk menyelesaikan problem-problem kenegaraan dan kebangsaan yang timbul.
Dalam hal ini, termasuk dalam upaya membangun kesetiaan terhadap konstitusi adalah ketaatan terhadap putusan MK karena setiap putusan MK merupakan cerminan dari konstitusi yang sedang berlangsung. Gejala ketidaktaatan terhadap putusan MK mulai marak. Meskipun belum terbukti benar, gejala tersebut misalnya tampak dari adanya kehendak pembuat undang-undang untuk memasukkan kembali pasal-pasal yang sebelumnya telah dibatalkan MK.
2. Model Implementasi Putusan MK
Maruarar Siahaan menyebutkan bahwa sifat dari amar putusan MK memiliki sifat declaratoir, condemnatoir, dan constitutif. Suatu putusan dikatakan condemnatoir kalau putusan tersebut berisi penghukuman terhadap tergugat atau termohon untuk melakukan satu prestasi (tot het verrichten van een prestatie). Akibat dari putusan condemnatoir ialah diberikannya hak kepada penggugat/pemohon untuk meminta tindakan eksekutorial terhadap penggugat/termohon. Sifat putusan condemnatoir ini dapat dilihat dalam putusan perkara sengketa kewenangan lembaga negara.
Sedangkan putusan declaratoir adalah putusan dimana hakim menyatakan apa yang menjadi hukum. Putusan hakim yang menyatakan permohonan atau gugatan ditolak merupakan satu putusan yang bersifat declaratoir. Putusan yang bersifat declaratoir dalam pengujian undang-undang oleh MK nampak jelas dalam amar putusannya. Tetapi setiap putusan yang bersifat declaratoir khususnya yang menyatakan bagian undang-undang, ayat dan/atau pasal bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat juga sekaligus merupakan putusan yang bersifat constitutief.
Putusan constitutief adalah putusan yang menyatakan satu keadaan hukum atau menciptakan satu keadaan hukum baru. Menyatakan suatu undang-undang tidak memiliki kekuatan hukum mengikat karena bertentangan dengan UUD Tahun 1945 adalah meniadakan keadaan hukum yang timbul karena undang-undang yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Putusan MK dalam pengujian undang-undang bersifat declaratoir constitutief. Artinya putusan MK meniadakan satu keadaan hukum lama atau membentuk hukum baru sebagai negative-legislator. Dengan kata lain, putusan MK tersebut mengandung pengertian hapusnya hukum yang lama dan sekaligus membentuk hukum yang baru. Dalam kenyataanya, hakim MK dengan putusan tersebut, sesungguhnya diberikan kekuasaan membentuk hukum untuk menggantikan hukum yang lama, yang dibuat oleh pembuat undang-undang dan oleh konstitusi secara khusus diberi wewenang untuk itu.
Putusan MK sebagai jenis putusan pengadilan yang bersifat deklaratif-konstitutif tidak memerlukan pelaksana/eksekutor, karena dengan diucapkannya putusan tersebut dalam sidang pleno MK yang terbuka untuk umum secara langsung sudah memperoleh kekuatan mengikat terhadap semua pihak yang terkait. Hal ini membawa keharusan bagi addresat putusan MK untuk membentuk norma hukum baru yang bersesuaian dengan UUD Tahun 1945 ataupun meniadakan satu norma hukum yang lama dalam ketentuan undang-undang yang diuji.
Menurut Maruarar Siahaan, terdapat putusan MK dalam perkara pengujian undang-undang yang bersifat self-implementing dan non-self implementing. Putusan yang bersifat self implementing diartikan bahwa putusan akan langsung efektif berlaku tanpa memerlukan tindak lanjut lebih jauh dalam bentuk kebutuhan berupa langkah-langkah implementasi perubahan undang-undang yang diuji. Dalam hal ini, dengan diumumkannya putusan MK dalam sidang terbuka untuk umum dan diumumkan dalam Berita Negara sebagaimana norma hukum baru, dapat segera dilaksanakan.
Sementara, ada putusan MK yang bersifat non-self implementing, karena implementasi kebijakan publik yang baru tersebut membutuhkan dasar hukum yang baru sebagai dasar pelaksanaan kebijakan publik yang ditetapkan dalam putusan MK. Perubahan hukum yang terjadi dengan putusan atas undang-undang yang diuji MK yang mengharuskan proses pembentukan undang-undang yang baru sesuai dengan politik hukum yang digariskan dalam Putusan MK, dalam putusan yang bersifat non-self implementing, akan mengambil langkah-langkah hukum untuk menindaklanjuti putusan MK.
Putusan yang bersifat non-self implementing tidak selalu mudah untuk diimplementasikan. Putusan MK yang telah membentuk hukum atau instrument hukum baru dengan menyatakan satu undang-undang, pasal, ayat, dan/atau bagian dari undang-undang tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat, tidak didukung dengan suatu instrumen yang dapat memaksakan bahwa putusan tersebut harus dilaksanakan, baik melalui kekuatannya sendiri maupun dengan cara-cara lain yang berada di bawah kendali MK.
Pada intinya, perlu dikemukakan mengenai substansi ketiga Putusan MK terhadap UU 28/2009, yaitu:
a) Inkonstitusionalitas kata “golf” dalam Pasal 42 ayat (2) huruf g UU 28/2009;
b) Inkonstitusionalitas Penjelasan Pasal 124 UU 28/2009; dan
c) Inkonstitusionalitas Pasal 1 angka 13 sepanjang frasa “termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar yang dalam operasinya menggunakan roda dan motor dan tidak melekat secara permanen, Pasal 5 ayat (2) sepanjang frasa “termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar”, Pasal 6 ayat (4), dan Pasal 12 ayat (2) UU 28/2009.
Ketiga substansi Putusan MK diatas memberikan implikasi yang paling jelas dan tidak terhindarkan adalah hapusnya dasar hukum bagi: (1) pengenaan pajak hiburan terhadap objek pajak penyelenggaraan golf sebagai objek pajak hiburan; (2) perhitungan tarif Retribusi Pegendalian Menara Telekomunikasi dengan tarif maksimal 2% dari NJOP; dan (3) pengenaan pajak kendaran bermotor terhadap objek pajak alat berat.
Sebagaimana halnya Putusan MK dalam perkara pengujian undang-undang, maka pertama, Putusan MK bersifat declaratoir constitutief, yaitu meniadakan satu keadaan hukum lama atau membentuk hukum baru sebagai negative-legislator. Dengan kata lain, putusan MK tersebut mengandung pengertian hapusnya hukum yang lama dan sekaligus membentuk hukum yang baru. Hal ini membawa keharusan bagi addresat putusan MK untuk membentuk norma hukum baru yang bersesuaian dengan putusan MK. Kedua, Putusan MK bersifat final dan mengikat dan langsung memperoleh kekuatan mengikat terhadap semua pihak yang terkait sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno MK yang terbuka untuk umum. Putusan MK merupakan putusan tingkat pertama dan terakhir, maka tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh. Oleh karena itu, dengan dibacakan suatu putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap maka putusan MK memiliki implikasi hukum bagi semua pihak yang berkaitan dengan putusan tersebut.
Merujuk pada ketentuan normatif-imperatif tersebut, ketiga Putusan MK tersebut menjadikan: kata “golf” dalam Pasal 42 ayat (2) huruf g; Penjelasan Pasal 124; Pasal 1 angka 13 sepanjang frasa “termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar yang dalam operasinya menggunakan roda dan motor dan tidak melekat secara permanen, Pasal 5 ayat (2) sepanjang frasa “termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar”, Pasal 6 ayat (4), dan Pasal 12 ayat (2) UU 28/2009 tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak Putusan tersebut diucapkan. Dengan demikian, sejak saat itu pula, semua, peraturan perundangan, kebijakan program dan kegiatan yang terkait dengan pengenaan pajak hiburan terhadap objek pajak penyelenggaraan golf sebagai objek pajak hiburan; (2) perhitungan tarif Retribusi Pegendalian Menara Telekomunikasi dengan tarif maksimal 2% dari NJOP; dan (3) pengenaan pajak kendaran bermotor terhadap objek pajak alat berat, dengan serta merta kehilangan dasar hukumnya. Konsekuensinya, pemungutan pajak hiburan terhadap objek pajak penyelenggaraan golf; pemungutan retribusi pegendalian menara telekomunikasi dengan perhitungan tarif maksimal 2% dari NJOP; dan pemungutan pajak kendaran bermotor terhadap objek pajak alat berat harus dihentikan, tanpa dalih dan alasan apapun. Manakala masih dijumpai pemungutan tersebut masih dilakukan, dapat dipastikan tindakan tersebut merupakan tindakan yang melawan putusan pengadilan, dalam hal ini putusan MK.
Atas dasar itu pula, Putusan MK mengimplikasikan kewajiban pembentuk peraturan perundang-undangan untuk membuat peraturan perundang-undangan atau kebijakan baru sebagai tindak lanjut putusan MK. Khusus bagi Pemerintah, dalam hal ini Menteri Keuangan untuk membuat kebijakan baru sebagai tindak lanjut Putusan MK, termasuk melakukan tindakan hukum mencabut atau merevisi segala jenis peraturan di bawah Undang-Undang yang merupakan peraturan pelaksana teknis dalam pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah di Indonesia, untuk disesuaikan dengan substansi Putusan MK.
Selanjutnya, Pasal 10 ayat (1) huruf d jo Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 juga menyatakan bahwa DPR dan Pemerintah perlu menindaklanjuti putusan mahkamah konstitusi dalam daftar kumulatif terbuka program legislasi nasional dan bersama-sama mengatur kembali materi muatan Undang-Undang tersebut guna untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum yang diakibatkan dari pembatalan norma pasal dalam suatu Undang-Undang.
Kekosongan hukum ini merupakan akibat dari Putusan MK Nomor 46/PUU-XII/2014 yang memberikan implikasi terhadap tidak adanya dasar perhitungan tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi, serta Putusan MK Nomor 15/PUU-XV/2017 yang memberikan implikasi terhadap tidak dapat dikenakannya pajak kendaraan bermotor terhadap alat berat meskipun MK berpandangan bahwa alat berat masih dapat dikenakan pajak namun bukan menjadi objek pajak kendaraan bermotor lagi. Kedua Putusan ini menjadi bersifat non-self implementing, dikarenakan dalam hal memberikan formulasi/rumus perhitungan yang tepat terhadap tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi dan pengenaan pajak terhadap alat berat haruslah diatur dalam peraturan perundang-undangan, khususnya undang-undang sebagai dasar hukum pelaksanaan pemungutannya. Dengan adanya kekosongan hukum ini mengharuskan segera dilakukannya proses pembentukan undang-undang yang baru sesuai dengan politik hukum yang digariskan dalam Putusan MK. Oleh karena itu, pembentuk Undang-Undang untuk segera mengatur kembali materi muatan UU 28/2009 baik itu melalui perubahan atau penggantian UU 28/2009 sehingga terdapat kejelasan dasar hukum dalam pelaksanaan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah di Indonesia. Terhadap perubahan/penggantian UU 28/2009, paling sedikit terdapat 3 (tiga) materi muatan yang perlu diatur ulang, yaitu:
a. Menghapus pengenaan pajak hiburan terhadap objek pajak penyelenggaraan golf sebagai objek pajak hiburan;
b. Memberikan formulasi/rumus perhitungan tarif Retribusi Pegendalian Menara Telekomunikasi yang lebih tepat dan adil dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan; dan
c. Menghapus pengenaan pajak kendaran bermotor terhadap objek pajak alat berat, dan apabila alat berat “perlu” dikenakan pajak maka diberikan pengaturan terhadap pengenaan pajak alat berat secara tersendiri.

Adapun simpulan dari analisis dan evaluasi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-IX/2011, Putusan Nomor 46/PUU-XII/2014, dan Putusan Nomor 15/PUU-XV/2017 terhadap UU 28/2009 adalah sebagai berikut:
1. Golf merupakan salah satu jenis olahraga yang dikenakan pajak hiburan terhadapnya, bukan karena sifat menghiburnya karena semua olahraga pada dasarnya menghibur siapapun yang menonton, namun lebih hanya karena menyesuaikan dengan kemampuan membayar dari subjek pajak hiburan (dalam hal ini pelaku olahraga golf). Selain itu terhadap penyelenggaraan fasilitas olahraga golf juga telah terjadi pengenaan pajak ganda karena disatu sisi penyelenggaraan golf merupakan objek PPN dan di sisi lain juga merupakan objek Pajak Hiburan. Dengan pertimbangan hukum ini maka Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa kata “golf” dalam Pasal 42 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, dalam Putusan Nomor 52/PUU-IX/2011. Putusan ini memberikan akibat hukum tidak dapat diberlakukan lagi pemungutan pajak hiburan terhadap objek pajak penyelenggara olahraga golf terhitung sejak Putusan Mahkamah Konstitusi ini dibacakan. Mengingat bahwa pajak hiburan merupakan pajak daerah yang kewenangan memungutnya diberikan kepada daerah kabupaten/kota dan mekanisme pemungutan diatur melalui peraturan daerah maka terdapat implikasi hukum terhadap peraturan daerah yang menyatakan golf sebagai objek pajak hiburan haruslah direvisi atau dibatalkan berdasarkan Putusan ini.
2. Penetapan tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi maksimal 2% dari NJOP dalam Penjelasan Pasal 124 UU 28/2009 menyebabkan pemerintah daerah mematok harga tertinggi yaitu 2% dari NJOP tanpa perhitungan yang jelas mengingat setiap daerah dengan karakteristik yang sesungguhnya berbeda. Penjelasan Pasal 124 UU 28/2009 ini juga membuat ketidakjelasan norma yang terkandung dalam Pasal 124 UU 28/2009, karena sebagian besar pemerintah daerah justru mematok tarif 2% dari NJOP tanpa menghitung dengan jelas berapa sesungguhnya tarif retribusi yang layak dikenakan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut dan oleh karenanya Penjelasan Pasal 124 UU 28/2009 ini tidak bersesuaian dengan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut maka Mahkamah menyatakan bahwa Penjelasan Pasal 124 UU 28/2009 bertentangan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dalam Putusan Nomor 46/PUU-XII/2014. Putusan ini memberikan akibat hukum meniadakan hukum terkait dengan dasar perhitungan tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi, dan oleh karenanya Pemerintah harus membuat formulasi/rumus perhitungan yang jelas terhadap tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi yang sesuai dengan layanan dan pemanfaatan ruang untuk menara telekomunikasi yang telah diterima oleh wajib retribusi, juga dengan memperhatikan biaya penyedia jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan dan efektifitas pengendalian atas pelayanan tersebut, sehingga tujuan pengendalian menara telekomunikasi untuk minimalisasi eksternalitas negatif dapat tercapai. Akibat hukum ini memberikan implikasi hukum terhadap legalitas Peraturan Daerah yang mengatur penetapan tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi menjadi hilang dan oleh karenanya perlu dilakukan pembatalan atau revisi/perubahan.
3. Terhadap definisi alat berat bukan merupakan kendaraan bermotor sudah diputuskan sebelumnya melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-XIII/2015 yang menyatakan alat berat bukan kendaraan bermotor dengan membatalkan norma hukum yang ada dalam Penjelasan Pasal 47 ayat (2) huruf e UU LLAJ. Putusan MK ini bersifat erga omnes yang menyebabkan putusan MK memiliki derajat setara dengan Undang-Undang, maka norma hukum baru yang lahir dari putusan itu adalah berlaku umum sehingga norma undang-undang lain yang mengandung materi muatan yang sama dengan norma Undang-Undang yang oleh Mahkamah Konstitusi telah dinyatakan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 harus mengacu pada putusan MK dimaksud. Oleh karena itu maka pengenaan pajak terhadap alat berat sebagai kendaraan bermotor sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 13, pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (4), dan Pasal 12 ayat (2) UU 28/2009 menjadi kehilangan landasannya. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut maka Mahkamah menyatakan bahwa Pasal 1 angka 13 sepanjang frasa “termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar yang dalam operasinya menggunakan roda dan motor dan tidak melekat secara permanen”, Pasal 5 ayat (2) sepanjang frasa “termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar”, Pasal 6 ayat (4), dan Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah bertentangan dengan UUD Tahun 1945, dalam Putusan Nomor 15/PUU-XV/2017. Putusan ini memberikan akibat hukum meniadakan dasar hukum pengenaan pajak kendaraan bermotor terhadap alat berat, oleh karena telah diputuskan bahwa alat berat bukan objek kendaraan bermotor dan oleh karenanya juga bukan merupakan objek Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), sehingga para pemilik alat berat tidak bisa ditagihkan PKB dan BBNKB. Implikasi hukum yang terjadi atas akibat hukum ini adalah legalitas Peraturan Daerah yang mengatur pengenaan pajak kendaraan bermotor terhadap alat berat menjadi hilang dan oleh karenanya perlu dilakukan pembatalan atau revisi/perubahan. Hal ini menjadi penting untuk segera ditindaklanjuti oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya. Selain itu, dalam pandangannya Mahkamah juga menegaskan bahwa terhadap alat berat tetap dapat dikenakan pajak namun dasar hukum pengenaan pajak terhadap alat berat itu bukan karena alat berat merupakan bagian dari kendaraan bermotor. Oleh karena itu, berarti dibutuhkan dasar hukum baru dalam peraturan perundang-undangan untuk mengenakan pajak terhadap alat berat yang antara lain dapat dilakukan dengan melakukan perubahan terhadap UU 28/2009 sepanjang berkenaan dengan pengaturan pengenaan pajak terhadap alat berat.
4. Terhadap ketiga putusan MK tersebut diatas perlu ditindaklanjuti pembentuk undang-undang dengan melakukan perubahan/penggantian UU 28/2009, dengan (paling sedikit) 3 (tiga) materi muatan yang perlu diatur ulang, yaitu:
a. Menghapus pengenaan pajak hiburan terhadap objek pajak penyelenggaraan golf sebagai objek pajak hiburan;
b. Memberikan formulasi/rumus perhitungan tarif Retribusi Pegendalian Menara Telekomunikasi yang lebih tepat dan adil dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan; dan
c. Menghapus pengenaan pajak kendaran bermotor terhadap objek pajak alat berat, dan apabila alat berat “perlu” dikenakan pajak maka diberikan pengaturan terhadap pengenaan pajak alat berat secara tersendiri.

1. Pembentuk undang-undang perlu untuk segera menindaklanjuti pengaturan materi muatan UU 28/2009 berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-IX/2011, Putusan Nomor 46/PUU-XII/2014, dan Putusan Nomor 15/PUU-XV/2017.
2. Pengaturan kembali materi muatan UU 28/2009 ini dapat dilakukan melalui penempatan penyusunan perubahan atau penggantian UU 28/2009 dalam Program Legislasi Nasional sebagai daftar kumulatif terbuka maupun skala prioritas tahunan.

Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi : Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum / 01-12-2017

Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU No. 12 Tahun 2011) secara tegas menyatakan bahwa “Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi”. Hal ini sejalan dengan kewenangan yang diberikan konstitusi kepada Mahkamah Konstitusi dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945) yakni “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”. Adapun untuk dapat menguji suatu undang-undang terhadap konstitusi atau UUD Tahun 1945, seseorang tersebut harus dapat haruslah subjek hukum yang memenuhi persyaratan menurut undang-undang untuk mengajukan perkara konstitusi terkait kerugian konstitusionalnya atas keberlakukan undang-undang tersebut.
Adapun terkait dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1911 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (UU No. 15 Tahun 2011, terdapat 8 (delapan) Putusan/Ketetapan Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah menguji UU No. 15 Tahun 2011. Putusan/Ketetapan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Pkr.No.80/PUU-IX/2011;
2. Pkr.No.81/PUU-IX/2011;
3. Pkr.No.10/PUU-XI/2013;
4. Pkr.No.74/PUU-XI/2013;
5. Pkr.No.31/PUU-XI/2013;
6. Pkr.No.48/PUU-XIV/2016;
7. Pkr.No.65/PUU-XIV/2016; dan
8. Pkr.No.90/PUU-XIV/2016.
Sebagian besar permohonan tersebut tidak dikabulkan (kecuali 3 perkara pengujian) yakni Pkr.No.80/PUU-IX/2011, Pkr.No.81/PUU-IX/2011, dan Pkr.No.31/PUU-XI/2013, dengan variasi amar putusan berupa: 1 (satu) Putusan menyatakan bahwa pasal-pasal yang diajukan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 sehingga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, 1 (satu) Putusan menyatakan bahwa pasal-pasal yang diajukan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan menyatakan tidak konstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional), serta 1 (satu) Putusan tidak konstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional).

1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK?
2. Apa akibat hukum terhadap pasal dan ayat suatu UU yang dinyatakan MK sebagai inkonstitusionalitas bersyarat?
3. Apakah terjadi disharmoni norma dalam suatu UU jika suatu pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK berimplikasi terhadap norma pasal ayat lain yang tidak diujikan?

A. Konstitusionalitas Undang-Undang
Terkait dengan wewenang melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 yang secara umum disebut judicial review, bahwa pengertian judicial review dipahami baik secara umum maupun praktik di MK. Dalam praktik peradilan umum di Indonesia judicial review mencakup pemeriksaan tingkat banding, kasasi, dan Peninjauan Kembali (PK). Sedangkan pemahaman terhadap proses pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 disebut sebagai constitutional review. Dikaitkan dengan program legislasi nasional (Prolegnas), Mahfud MD menyebutkan bahwa judicial review dapat dilakukan oleh MK untuk menjamin konsistensi Undang-Undang terhadap UUD Tahun 1945 serta menjamin ketepatan prosedur sesuai dengan Prolegnas.

B. Putusan Mahkamah Konstitusi Final Dan Mengikat
Putusan Mahkamah Konstitusi dengan amar yang menyatakan bagian undang-undang, pasal, atau ayat tertentu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat maka putusan tersebut telah mempunyai kekuatan mengikat sejak diumumkan dalam sidang terbuka untuk umum. Makna final juga dapat diartikan bahwa putusan yang diambil dapat menjadi solusi terhadap masalah konstitusi yang dihadapi meskipun hanya bersifat sementara (eenmalig) yang kemudian akan diambil-alih oleh pembuat undang-undang.

C. Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi
Dari sudut pandang hukum tata negara, putusan Mahkamah Konstitusi termasuk dalam keputusan negara yang mengandung norma hukum sama halnya dengan putusan pembentuk undang-undang yang bersifat pengaturan (regeling). Putusan Mahkamah Konstitusi dapat membatalkan suatu undang-undang atau materi muatan dalam undang-undang, sedangkan pembentuk undang-undang menciptakan norma hukum dalam bentuk materi muatan dalam suatu undang-undang.


1. Putusan MK No.80/PUU-IX/2011

Pasal yang diuji dalam UU No. 15 Tahun 2011 ini adalah Pasal 27 ayat (1) huruf b terutama frasa “...dengan alasan yang dapat diterima” dan ayat (3). Norma inilah yang oleh Pemohon dalam perkara tersebut dipersoalkan karena dianggap merugikan hak-hak konstitusionalnya, apalagi jika kita telisik lebih jauh penjelasan Pasal 27 ayat (1) huruf b UU No. 15 Tahun 2011 tersebut yang menyatakan “Yang dimaksud mengundurkan diri karena alasan yang dapat diterima ialah mengundurkan diri karena alasan kesehatan dan/atau karena terganggu fisik dan/atau jiwanya untuk menjalankan kewajibannya sebagai anggota KPU, KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota”.
Dengan adanya norma tersebut Pemohon meyakini bahwa agar pengunduran diri Pemohon dapat diterima Pemohon harus dalam keadaan sakit, terganggu fisik dan/atau jiwanya terlebih dahulu. Selain itu syarat mengundurkan diri yang mewajibkan harus dengan alasan yang dapat diterima seperti ini berbeda dengan syarat pengunduran diri pejabat pada umumnya seperti Hakim Mahkamah Konstitusi, Ketua dan Wakil Ketua dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan, Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda Mahkamah Agung, hakim agung, komisioner KPK, dan komisioner Komisi Yudisial.
Adapun pendapat hukum MK dalam perkara ini adalah menurut MK ada perbedaan dan ketidaksamaan di hadapan hukum mengenai hak pengunduran diri dari pekerjaan antara anggota KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota di satu pihak, dan pejabat pada umumnya di pihak lain, padahal, Pasal 27 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menegaskan, ”Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”, dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan, ”Setiap orang berhak atas pengakuan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Hal itu berarti bahwa perlakuan berbeda dalam hal pengunduran diri sebagaimana dipertimbangkan di atas, bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Dengan demikian frasa ”dengan alasan yang dapat diterima” dalam Pasal 27 ayat (1) huruf b UU No. 15 Tahun 2011 beserta Penjelasannya adalah bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Selanjutnya dikarenakan pasal tersebut telah dimaknai demikian maka menurut MK pula hal ini selaras dengan tidak diperlukannya lagi ayat (3) dalam Pasal 27 UU No. 15 Tahun 2011.
Putusan MK pada akhirnya mengabulkan pemohonan dari Pemohon sehingga seharusnya untuk Pasal 27 ayat (1) huruf b UU No. 15 Tahun 2011 harus dimaknai, ”Anggota KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota berhenti antarwaktu karena: a. … b. mengundurkan diri”, begitu pula ayat (3) pun tidak diperlukan. Implikasinya adalah pengunduran dari Anggota KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota serupa dengan dengan pengaturan pada pejabat lainnya.



2. Putusan MK No.81/PUU-IX/2011

Pasal yang diuji Pemohon dalam UU No. 15 Tahun 2011 ini adalah Pasal 11 huruf i dan Pasal 85 huruf i UU No. 15 Tahun 2011, sepanjang frasa “mengundurkan diri dari keanggotaan partai politik … pada saat mendaftar sebagai calon” bertentangan dengan Pasal 22E ayat (5) UUD NRI Tahun 1945. Pemohon juga menguji terkait dengan pengisian Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), yaitu Pasal 109 ayat (4) huruf c, huruf d, dan huruf e sepanjang bagian kalimat “4 (empat) orang tokoh masyarakat dalam hal jumlah utusan partai politik yang ada di DPR berjumlah ganjil atau ... dalam hal jumlah utusan partai politik yang ada di DPR berjumlah genap” UU No. 15 Tahun 2011 bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) dan ayat (5) UUD NRI Tahun 1945.
Mahkamah Konstitusi terkait dengan perkara ini membenarkan bahwa permohonan pemohon karena mandiri, jika merujuk pada latar belakang historis proses perubahan UUD NRI Tahun 1945, terkait erat dengan konsep non-partisan. Artinya, kemandirian yang dimiliki oleh komisi pemilihan umum, sebagaimana dimaksud oleh Pasal 22E ayat (5) UUD NRI Tahun 1945 adalah kemandirian yang tidak memihak kepada partai politik atau kontestan manapun karena komisi pemilihan umum adalah lembaga penyelenggara pemilihan umum dan partai politik adalah peserta pemilihan umum.
Adapun sebagai upaya menjaga kemandirian komisi pemilihan umum dari upaya-upaya pragmatis partai politik peserta pemilu, Mahkamah Konstitusi berpendapat syarat pengunduran diri dari keanggotaan partai politik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini harus diberi batasan waktu. Tenggang waktu pengunduran diri dari partai politik, menurut Mahkamah adalah patut dan layak jika ditentukan sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebelum yang bersangkutan mengajukan diri sebagai calon anggota komisi pemilihan umum. Lima tahun dinilai patut dan layak oleh Mahkamah karena bertepatan dengan periodisasi tahapan pemilihan umum. Ketentuan 5 (lima) tahun juga diakomodasi oleh Undang-Undang Penyelenggara Pemilihan Umum sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.
Pendapat MK tersebut juga terkait konsep mandiri yang menegaskan bahwa penyelenggara pemilihan umum (komisi pemilihan umum) tidak boleh berpihak kepada salah satu peserta pemilihan umum. Sehingga Komisi Pemilihan Umum (dengan huruf besar), Bawaslu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, menurut Mahkamah, adalah bagian dari suatu komisi pemilihan umum (dengan huruf kecil) yang dimaksud oleh Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 memiliki sifat mandiri, sebagaimana juga telah diuraikan dalam Putusan Nomor 11/PUU-VIII/2010 bertanggal 18 Maret 2010 pada paragraf [3.18] poin 5. Sehingga pola pengisian anggota DKPP dalam Pasal 109 ayat (4) huruf c, huruf d, dan huruf e UU No. 15 Tahun 2011 yang banyak dikatakan bahwa diisi oleh partai politik harus disesuaikan dengan konsep mandiri tersebut.
Alhasil putusan perkara ini menyatakan bahwa penyelenggara Pemilu sebaiknya bersih dari keterkaitan dari partai politik sehingga harus ada jeda selama 5 tahun bilamana dia berasal dari partai politik. Sedangkan untuk anggota DKPP RI dalam pasal yang digugat semula oleh Pemohon semula masih memungkinkan ada perwakilan partai politik dalam DKPP. Oleh karena itu sesuai dengan prinsip kemandirian yang sejalan dengan amanah konstitusi maka norma yang mengatur mengenai unsur keanggotaan DKPP tersebut dalam UU No. 15 Tahun 2011 khususnya Pasal 109 ayat (4) selengkapnya dibaca, “DKPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari: a. 1 (satu) orang unsur KPU; b. 1 (satu) orang unsur Bawaslu; e. 5 (lima) orang tokoh masyarakat.” Begitu juga Pasal 109 ayat (11) diubah menjadi ”Setiap anggota DKPP dari setiap unsur dapat diganti antarwaktu sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Implikasinya terkait dengan pengisian penyelenggara pemilu baik itu KPU, Bawaslu, DKPP beserta jajarannya harus memperhatikan putusan MK ini.

3. Putusan MK No.31/PUU-XI/2013

Pasal yang diuji Pemohon dalam UU No. 15 Tahun 2011 ini adalah terkait dengan DKPP terutama mengenai Putusan DKPP dalam Pasal 112 ayat (12) UU No. 15 Tahun 2011 dinyatakan bersifat final dan mengikat. Pemohon dalam hal ini bernama Ramdansyah yakni Ketua Panwaslu DKI Jakarta yang diberhentikan oleh DKPP RI. Pemohon dijatuhi hukuman pemberhentian tetap melalui putusan DKPP RI dan Pemohon merasa apa yang dilakukan oleh DKPP itu adalah salah.
Dalam pertimbangan putusannya MK menyatakan bahwa Putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (12) UU No. 15 Tahun 2011 dapat menimbulkan ketidakpastian hukum apakah final dan mengikat yang dimaksud dalam Undang-Undang tersebut adalah sama dengan final dan mengikatnya putusan lembaga peradilan. Untuk menghindari ketidakpastian hukum atas adanya ketentuan tersebut, Mahkamah perlu menegaskan bahwa putusan final dan mengikat DKPP tidak dapat disamakan dengan putusan final dan mengikat dari lembaga peradilan pada umumnya oleh karena DKPP adalah perangkat internal penyelenggara Pemilu yang diberi wewenang oleh Undang-Undang. Sifat final dan mengikat dari putusan DKPP haruslah dimaknai final dan mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, maupun Bawaslu dalam melaksanakan putusan DKPP. Adapun keputusan Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, maupun Bawaslu adalah merupakan keputusan pejabat TUN yang bersifat konkrit, individual, dan final yang dapat menjadi objek gugatan di peradilan TUN. Apakah peradilan TUN akan memeriksa dan menilai kembali putusan DKPP yang menjadi dasar keputusan Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, maupun Bawaslu, hal tersebut adalah merupakan kewenangan peradilan TUN. Dengan demikian putusan final dan mengikat yang dimaksud dalam Undang-Undang a quo haruslah dimaknai final dan mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, maupun Bawaslu yang melaksanakan Putusan DKPP. Adapun karena inti permohonan Pemohon mengenai Putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat telah diberi makna tertentu oleh Mahkamah sehingga tidak menghilangkan frasa final dan mengikat secara keseluruhan.

Analisis

Ketiga putusan ini pada prinsipnya belum dieksekusi dalam bentuk UU Penyelenggara Pemilu yang baru, sebelum adanya RUU Penyelenggaraan Pemilu yang baru saja disetujui bersama kemarin tanggal 20 Juli 2017 yang lalu. RUU ini adalah suatu gagasan untuk mengkodifikasi/mengompilasikan berbagai UU yang terkait dengan Pemilu ke dalam satu naskah (UU Penyelenggara Pemilu yang terakhir ini UU No. 15 Tahun 2011 adalah salah satu diantaranya). Penyatuan UU Pemilu kedalam satu naskah bersama ini pun didasari atas Putusan MK No 14/PUU-XI/2013 yang memerintahkan pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden serta Pemilu DPR, DPD, dan DPRD padat tahun 2019 dilaksanakan secara serentak (Pemilu serentak tahun 2019). Hal inilah yang kemudian mendasari dorongan bahwa jika waktu penyelenggaraan pemilu disederhanakan menjadi dua peristiwa pemilu, maka undang-undangnya juga harus disederhanakan (dikodifikasikan).
Hadirnya RUU Penyelenggara Pemilu ini adalah momentum yang sangat tepat untuk mengeksekusi ketiga putusan MK tersebut karena UU No. 15 Tahun 2011 yang dikoreksi MK melalui 3 putusan MK tersebut termasuk UU yang dilebur dalam RUU Penyelenggaraan Pemilu ini. Hal ini adalah yang paling tepat karena negara kita adalah negara yang menganut sistem civil law yang menitikberatkan pada pengaturan yang bersifat tertulis dalam peraturan perundang-undangan, sehingga perlu implikasi perubahan makna yang timbul dari ketiga putusan MK ini untuk dieksekusi segera.

-

Pada konteks pengujian terhadap UU No. 15 Tahun 2011, sampai saat ini, terdapat 3 (tiga) putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan pengujian undang-undang dengan menyatakan materi atau substansi UU No. 15 Tahun 2011 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pada dasarnya Putusan yang mengabulkan permohonan pengujian undang-undang ini perlu diformalkan dalam bentuk undang-undang karena implikasi amar Putusan MK tersebut.
Meski putusan Mahkamah Konstitusi bisa langsung dilaksanakan tanpa harus menunggu perubahan undang-undang, namun untuk menghindari kekacauan hukum dalam masyarakat akibat tidak terkompilasinya putusan MK dalam satu naskah yang utuh maka pembentuk undang-undang perlu untuk menindaklanjuti berbagai putusan MK tersebut dengan membuat usulan perubahan atas UU No. 15 Tahun 2011 sebagaimana telah diputuskan oleh MK.
Selain menyatakan materi atau substansi UU No. 15 Tahun 2011 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, terdapat beberapa putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan suatu norma bersifat conditionally, yakni conditionally unconstitutional dan tidak ditemukan yang bersifat conditionally constitutional.

Memperhatikan beberapa simpulan di atas maka terdapat beberapa hal yang direkomendasikan, yaitu:
1. Presiden dan DPR RI sebagai pembentuk undang-undang perlu segera berinisiatif untuk melakukan penyempurnaan terhadap materi UU No. 15 Tahun 2011 sesuai dengan amar putusan MK dalam 3 (tiga) perkara MK terkait UU No. 15 Tahun 2011 yang amar putusannya mengabulkan permohonan Pemohon tersebut.
2. Adapun pada saat ini adalah saat yang paling tepat untuk mengeksekusi ketiga putusan MK tersebut. Hal ini dikarenakan bahwa pada saat ini sedang dilakukan pembahasan tentang Rancangan Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Pemilu. RUU ini sejatinya telah dimuat dalam Daftar Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2016, yaitu pada nomor 26 dengan judul RUU Kitab Hukum Pemilu (dalam Prolegnas Tahun 2015-2019 tertulis RUU tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum). Dalam kolom keterangan, draft dan RUU Kitab Hukum Pemilu disiapkan oleh Pemerintah. RUU Kitab Hukum Pemilu adalah satu gagasan untuk mengkodifikasi/mengompilasikan berbagai UU yang terkait dengan Pemilu ke dalam satu naskah. Penyatuan UU Pemilu kedalam satu naskah bersama ini pun didasari atas Putusan MK No 14/PUU-XI/2013 yang memerintahkan pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden serta Pemilu DPR, DPD, dan DPRD padat tahun 2019 dilaksanakan secara serentak (Pemilu serentak tahun 2019). Hal inilah yang kemudian mendasari dorongan bahwa jika waktu penyelenggaraan pemilu disederhanakan menjadi dua peristiwa pemilu, maka undang-undangnya juga harus disederhanakan (dikodifikasikan). Oleh karena itu, hal ini adalah momentum yang sangat tepat untuk mengeksekusi ketiga putusan MK tersebut karena UU No. 15 Tahun 2011 yang dikoreksi MK melalui 3 putusan MK tersebut termasuk UU yang dilebur dalam RUU Penyelenggaraan Pemilu ini. Hal ini adalah yang paling tepat karena negara kita adalah negara yang menganut sistem civil law yang menitikberatkan pada pengaturan yang bersifat tertulis dalam peraturan perundang-undangan, sehingga perlu implikasi perubahan makna yang timbul dari ketiga putusan MK ini untuk dieksekusi segera.

Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi : Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat / 01-12-2017

Pengujian materiil terhadap Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) telah dilakukan beberapa kali. Dari beberapa kali pengujian tersebut Mahkamah Konstitusi telah mengabulkan beberapa permohonan para pemohon dalam beberapa perkara baik seluruhnya maupun sebagian, yakni dalam perkara dalam perkara Nomor 06/PUU-II/2004, No. 101/PUU-VII/2009, No.26/PUU-XI/2013 No. 112/PUU-XII/2014 dan No. 36/PUU-XIII/2015. Pasal- pasal yang diuji antara lain Pasal 4 ayat (1) dan dayat (3), Pasal 16, dan Pasal 31 terhadap UUD Tahun 1945.
Adapun kerugian konstitusional yang didalilkan para pemohon dalam dalam perkara nomor 06/PUU-II/2004 yang menguji Pasal 31 UU Advokat yakni bahwa dengan berlakunya Pasal a quo, para pemohon telah kehilangan hak konstitusionalnya sebagai LBH dalam memberikan bantuan hukum diluar kepada masyarakat yang membutuhkan bantuan hukum khususnya masyarakat yang kurang mampu. Kemudian Kerugian konstitusional yang didalilkan para pemohon dalam perkara nomor 101/PUU-VII/2009 adalah karena para pemohon yang merupakan calon advokat merasa hak konstitusional dirugikan akibat pengambilan sumpah yang dilakukan oleh pengadilan tinggi yang hanya dilakukan untuk organisasi advokat tertentu.
Kerugian konstitusional dalam perkara nomor 26/PUU-XI/2013 yakni bahwa para pemohon merasa hak konstitusional dirugikan oleh Pasal a quo karena para pemohon sebagai advokat merasa hak imunitas nya untuk membela klien diluar sidang tidak dilindungi dengan berlakunya pasal a quo. Dan yang terakhir, kerugian konstitusional yang didalilkan para pemohon dalam perkara nomor 112/PUU-XII/2014 dan perkara nomor 36/PUU-XIII/2015 yaitu bahwa hak konstitusional para pemohon sebagai calon advokat telah dirugikan karena pengambilan sumpah oleh pengadilan tinggi hanya dapat dilakukan pada organisasi advokat tertentu. Selain itu belum terbentuknya wadah tunggal organisasi advokat dalam jangka waktu 2 tahun sebagaimana diputuskan dalam perkara nomor 06/PUU-II/2004 menjadi penyebab kerugian konstitusional yang didalilkan para pemohon.
Adapun Putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian Pasal 31 UU Advokat dalam perkara 06/PUU-II/2004 adalah mengabulkan permohonan para pemohon. Kemudian putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian Pasal 4 ayat (1) dalam perkara nomor 101/PUU-VII/2009, Pasal 16 dalam perkara nomor 26/PUU-XI/2013, dan Pasal 4 ayat (1) dalam perkara nomor 112/PUU-XII/2014 dan perkara nomor 36/PUU-XIII/2015, MAHKAMAH KONSTITUSI memutuskan conditionally unconstitusional atau tidak konstitusional secara bersyarat. Sementara itu implikasi yang timbul terhadap putusan Mahkamah Konstitusi diatas, bahwa implikasi yuridis dengan dibatalkannya Pasal 31 UU Advokat tersebut, maka setiap tindakan advokasi atau pemberian jasa hukum dapat dilakukan oleh lembaga bantuan hukum dan sejenisnya, dan seseorang atau lembaga yang memberikan informasi, konsultasi hukum kepada pihak yang membutuhkan bantuan hukum dengan demikian tidak dapat dipidana berdasarkan pasal a quo.
Dengan diputuskan secara bersyarat terhadap Pasal 4 ayat (1) UU Advokat, maka terdapat implikasi yuridis terhadap berlakunya pasal a quo, yaitu pertama, bahwa pengadilan wajib melakukan sumpah terhadap calon advokat selama memenuhi syarat pengangkatan sesuai aturan yang ada di dalam UU Advokat tanpa mengaitkan keanggotaan organisasi advokat. Kedua, dengan adanya putusan conditionally constitutional terhadap pasal a quo tersebut, maka hakim baik dipengadilan negeri mapun pengadilan tinggi dapat menyimpangi Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor 052/KMA/V/2009. Dengan diputus secara bersyaratnya terhadap pengujian Pasal 16 UU Advokatimplikasi yuridis, yaitu bahwa pemberi bantuan hukum baik yang berprofesi sebagai advokat maupun bukan advokat (lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan bantuan hukum) tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan. Selain itu implikasi yuridis yang juga timbul akibat diputus secara bersyaratnya Pasal 4 ayat (1), pertama, tetap mewajibkan pengadilan tinggi untuk melakukan sumpah terhadap calon advokat tanpa melihat keterkaitan keanggotaan organisasi secara de facto yang ada saat ini yaitu KAI dan Peradi. Kedua, dengan dihilangkannya jangka waktu 2 Tahun untuk membentuk organisasi advokat, maka putusan ini tetap terus berlaku sehingga tidak perlu dilakukan pengujian ulang kembali.
Dengan Dikabulkannya Pasal 4 ayat (1), Pasal 16, Pasal 31 UU Advokat dalam 5 permohonan perkara di Mahkamah Konstitusi telah menciptakan keadaan hukum baru. Keadaan hukum baru yang tercipta akibat putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 4 ayat (1) UU Advokat intinya terkait dengan kewajiban bagi Pengadilan Tinggi untuk mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat. Kemudian, Pasal 16 terkait dengan perlindungan bahwa Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan. Dan terakhir terkait pengujian Pasal 31, keadaan hukum baru yang tercipta akibat putusan Mahkamah Konstitusi terhadap pengujian pasal a quo bahwa setiap orang atau lembaga yang memberikan bantuan pemberian informasi dan bantuan konsultasi hukum terhadap pihak yang membutuhkan bantuan hukum tidak dapat dipidana.
Rekomendasi terhadap pengujian beberapa Pasal dalam UU Advokat yang telah diputus Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah dijelaskan diatas antara lain perlu dilakukannya perubahan terhadap UU Advokat yaitu terhadap Pasal 4 ayat (1), Pasal 16, dan Pasal 31 yang dituangkan dalam rencana perubahan UU Advokat baik sebagai daftar kumulatif terbuka maupun dalam prolegnas prioritas Tahunan.

1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap Pasal 4 ayat (1), Pasal 16, Pasal 31 UU Advokat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi?
2. Apa akibat hukum terhadap Pasal 4 ayat (1), Pasal 16, Pasal 31 UU Advokat yang dinyatakan Mahkamah Konstitusi sebagai konstitusionalitas /Inkonstitusional bersyarat ?
3. Apakah terjadi disharmoni norma dalam Pasal 4 ayat (1), Pasal 16, Pasal 31 UU Advokat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi berimplikasi terhadap norma pasal ayat lain yang tidak diujikan?

A. KONSTITUSIONALITAS UNDANG-UNDANG
Pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi merupakan wujud prinsip atau asas konstitusionalitas undang-undang (constitutionality of law) yang menjamin bahwa undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang itu tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Kewenangan pengujian undang-undang menimbulkan sebuah kewenangan yang mutatis mutandis (dengan sendirinya) ada, yaitu kewenangan menafsirkan konstitusi. Apabila dalam konstitusi tidak terdapat ketentuan yang ekplisit mengenai kewenangan menafsir konstitusi kepada lembaga negara yang diberikan kewenangan constitutional review, maka harus dipahami bahwa kewenangan menafsirkan konstitusi menyertai kewenangan constitutional review tersebut. Oleh sebab itu, sering dinyatakan bahwa Constitutional Court itu merupakan “the guardian of constitution and the sole interpreting of constitution”, disebut sebagai penjaga konstitusi berdasarkan kewenangan dalam memutus apakah sebuah produk perundang-undangan telah sesuai dengan konstitusi atau tidak.
Kewenangan menafsirkan itu sesungguhnya timbul dari sebuah tafsir Pasal 24C UUD Tahun 1945 bahwa “Mahkamah Konstitusi menguji undang-undang terhadap UUD Tahun 1945” sebagai ketentuan pemberian kewenangan constitutional review kepada Mahkamah Konstitusi, ketentuan tersebut tidak mengandung kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk melakukan penafsiran terhadap konstitusi, namun sangatlah tidak mungkin dapat melakukan penilaian pertentangan norma sebuah undang-undang apabila tidak menggunakan penafsiran konstitusi, dalam hal ini Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir sah terhadap undang-undang dasar atau konstitusi (the legitimate interpreter of the constitution).
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD Tahun 1945, salah satu kewenangan dari Mahkamah Konstitusi adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan wujud dari prinsip atau asas konstitusionalitas undang-undang (constitutionality of law) yang menjamin bahwa undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang itu tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945.
Menurut Sri Soemantri, dalam praktiknya dikenal adanya dua macam hak menguji yaitu :
a. Hak menguji formil (formale toetsingsrecht);
Hak menguji formil adalah wewenang untuk menilai, apakah suatu produk legislatif seperti undang-undang misalnya terjelma melalui cara-cara (procedur) sebagaimana telah ditentukan/diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku ataukah tidak. Dalam pengujian formal ini tampak jelas bahwa yang dinilai atau diuji adalah tatacara (procedur) pembentukan suatu undang-undang, apakah sesuai ataukah tidak dengan yang telah ditentukan/digariskan dalam peraturan perundang-undangan.
b. Hak menguji material (materiele toetsingsrecht).
Hak menguji material adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu pertauran perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Hak menguji material ini berkenanan dengan isi dari suatu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya. Jika suatu undang-undang dilihat dari isinya bertentangan dengan undang-undang dasar maka undang-undang tersebut harus dinyatakan tidak mempunyai daya mengikat.
Menurut pandangan Jimly Asshiddiqqie, dalam praktiknya dikenal adanya tiga macam norma hukum yang dapat diuji atau yang biasa disebut norm control mechanism. Ketiganya sama-sama merupakan bentuk norma hukum sebagai hasil dari proses pengambilan keputusan hukum yaitu keputusan normatif yang berisi dan bersifat pengaturan (regeling), keputusan normatif yang berisi dan bersifat penetapan administratif (beschikking), dan keputusan normatif yang berisi dan bersifat penghakiman (judgement) yang biasa disebut vonis. Mekanisme pengujian norma hukum ini dapat dilakukan dengan mekanisme pengujian yang dilakukan oleh lembaga peradilan yang dikenal dengan istilah judicial review. Terdapat beberapa jenis pengujian yaitu legislative review(pengujian tersebut diberikan kepada parlemen), executive review (pengujian tersebut diberikan kepada pemerintah), dan judicial review (pengujian yang diberikan kepada lembaga peradilan). Ketiga bentuk norma hukum ada yang merupakan individual and concret norms, dan ada pula yang merupakan general and abstract norms. Vonis dan beschikking selalu bersifat individualand concrete sedangkan jika yang diuji normanya bersifat umum dan abstrak maka norma yang diuji itu adalah produk regeling. Pengujian norma hukum yang bersifat konkret dan individual termasuk dalam lingkup peradilan tata usaha negara.
Dalam pengujian undang-undang, terdapat dua istilah yakni judicial review dan constitutional review. Constitutional review yang dapat diartikan sebagai pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar yang pada saat ini menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi, judicial review dapat diartikan sebagai pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang yang pada saat ini dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Pada dasarnya banyak yang menyamakan istilah judicial review dan constitutional review, padahal kedua istilah ini berbeda. Jika constitutional review maka ukuran pengujiannya dilakukan dengan menggunakan konstitusi sebagai alat ukur, namun jika norma yang diujikan tersebut menggunakan batu ujinya adalah undang-undang maka dapat dikatakan sebagai judicial review. Konsep constitutional review berkembang dari gagasan modern tentang sistem pemerintahan demokratis yang didasarkan atas ide-ide negara hukum (rule of law), prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power), serta perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia (the protection of fundamental rights). Dalam constitutional review terdapat dua tugas pokok yakni :
a. Untuk menjamin berfungsinya sistem demokrasi dalam hubungan perimbangan peran atau interplay antar cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Dengan perkataan lain constitutional review dimaksudkan untuk mencegah terjadinya pendayagunaan kekuasaan oleh satu cabang kekuasaan lainnya; dan
b. Untuk melindungi setiap individu warga negara dari penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga negara yang merugikan hak fundamental warga negara yang dijamin dalam konstitusi.
Dengan adanya keberadaan Mahkamah Konstitusi juga telah menciptakan pembagian kekuasaan atau pemisahan kekuasaan yang memungkinkan adanya proses saling mengawasi dan saling mengimbangi di antara cabang-cabang kekuasaan negara yang ada atau lazim disebut dengan mekanisme checks and balances. Hal itu tampak terutama dari salah satu kewenangan yang dilimpahkan kepada Mahkamah Konstitusi untuk menguji undang-undang terhadap UUD Tahun 1945.
Dengan demikian, esensi dari produk putusan Mahkamah Konstitusi dalam menguji undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 ditempatkan dalam bingkai mekanisme check and balances antara lembaga negara. Hubungan untuk saling mengontrol ini, pada akhirnya dimaksudkan untuk melahirkan suatu produk hukum yang adil dan betul-betul berorientasi pada kepentingan rakyat. Sehingga, pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 dapat juga dilihat sebagai bagian dari koreksi terhadap produk yang dihasilkan oleh DPR RI dan Presiden.
Terkait putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 06/PUU-II/2004, No. 101/PUU-VII/2009, No.26/PUU-XI/2013 No. 112/PUU-XII/2014 dan No. 36/PUU-XIII/2015 yang menguji Pasal 4 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 16, dan Pasal 31 UU Advokat terhadap UUD Tahun 1945, majelis mengabulkan permohonan Pemohon baik secara bersyarat maupun tidak bersayarat terhadap Pasal 4 ayat (1), Pasal 16 dan Pasal 31 UU Advokat. Maka terhadap kedua putusan Mahkamah Konstitusi tersebut yang pada intinya mengabulkan permohonan adalah bentuk pengujian secara materiil berkenanan dengan isi dari suatu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya. Jika suatu undang-undang dilihat dari isinya bertentangan dengan undang-undang dasar maka undang-undang tersebut harus dinyatakan tidak mempunyai daya mengikat. Dalam hal ini mahkamah menganggap terjadi pertentangan antara norma yang lebih rendah dengan norma yang lebih tinggi, yakni pertentangan antara Pasal 4 ayat (1), Pasal Pasal 16, dan Pasal 31 UU Advokat terhadap UUD Tahun 1945.

B. PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI FINAL DAN MENGIKAT
Mahkamah Konstitusi yang diadopsi dalam UUD Tahun 1945 memiliki dua fungsi ideal yaitu Mahkamah Konstitusi dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi dan berfungsi untuk menjamin, mendorong, mengarahkan, membimbing, dan memastikan bahwa UUD Tahun 1945 dijalankan dengan sebaik-baiknya oleh penyelenggara negara agar nilai-nilai yang terkandung didalamnya dijalankan dengan benar dan bertanggung jawab; dan Mahkamah Konstitusi harus bertindak sebagai penafsir karena Mahkamah Konstitusi dikonstruksikan sebagai lembaga tertinggi penafsir UUD Tahun 1945. Melalui fungsi ini maka Mahkamah Konstitusi dapat menutupi segala kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam UUD Tahun 1945.
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya maka Mahkamah Konstitusi diberikan kewenangan untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD Tahun 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Tahun 1945; memutus pembubaran partai politik; memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana tercantum dalam Pasal 24C UUD Tahun 1945, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) UU Mahkamah Konstitusi, Pasal 29 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disebut UU Kekuasaan Kehakiman).
Dari uraian diatas maka diketahui bahwa sifat dari putusan Mahkamah Konstitusi yaitu final yang artinya bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). Konsep ini mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni secara sederhana dan cepat sebagaimana diuraikan dalam penjelasan UU Mahkamah Konstitusi yang secara utuh menjelaskan bahwa Mahkamah Konstitusi dalam menyelenggarakan peradilan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tetap mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni dilakukan secara sederhana dan cepat. Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat tersebut, tidak dapat dilepaskan dengan asas erga omnes yang diartikan dengan mengikat secara umum dan juga mengikat terhadap obyek sengketa. Apabila suatu peraturan perundang‐undangan oleh hakim menyatakan tidak sah, karena bertentangan dengan peraturan perundang‐undangan yang lebih tinggi, berarti peraturan perundang‐undangan tersebut berakibat menjadi batal dan tidak sah untuk mengikat setiap orang.
Secara harfiah, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat memiliki makna hukum tersendiri. Frasa “final” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “terakhir dalam rangkaian pemeriksaan” sedangkan frasa mengikat diartikan sebagai “mengeratkan”, “menyatukan”. Bertolak dari arti harfiah ini maka frasa final dan frasa mengikat, saling terkait sama seperti dua sisi mata uang artinya dari suatu proses pemeriksaan telah memiliki kekuatan mengeratkkan atau menyatukan semua kehendak dan tidak dapat dibantah lagi. Makna harfiah di atas, bila dikaitkan dengan sifat final dan mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi artinya telah tertutup segala kemungkinan untuk menempuh upaya hukum. Tatkala putusan tersebut diucapkan dalam sidang pleno, maka ketika itu lahir kekuatan mengikat (verbindende kracht).
Secara Substansial makna hukum dari putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat dibagi dalam beberapa bagian yaitu:
a. Menjaga konstitusi (The Guardian of Constitution), menafsirkan konstitusi (The Interpreteur of Constitution), menjaga demokrasi, menjaga persamaan di mata hukum, dan koreksi terhadap undang-undang.
Kehadiran Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan tidak lain berperan sebagai pengawal konstitusi (The Guardian of Constitution), agar konstitusi selalu dijadikan landasan dan dijalankan secara konsisten oleh setiap komponen negara dan masyarakat. Mahkamah Konstitusi berfungsi mengawal dan menjaga agar konstitusi ditaati dan dilaksanakan secara konsisten, serta mendorong dan mengarahkan proses demokratisasi berdasarkan konstitusi. Dengan adanya Mahkamah Konstitusi , proses penjaminan demokrasi yang konstitusional diharapkan dapat diwujudkan melalui proses penjabaran dari empat kewenangan konstitusional (constitusionally entrusted powers) dan satu kewajiban (constitusional obligation). Mahkamah Konstitusi bertugas melakukan penyelesaian persengketaan yang bersifat konstitusional secara demokratis.
Putusan-putusan yang final dan mengikat 
 yang ditafsirkan sesuai dengan konstitusi sebagai hukum tertinggi, dimana pelaksanaannya harus bertanggungjawab, sesuai dengan kehendak rakyat (konstitusi untuk rakyat bukan rakyat untuk konstitusi), dan cita‐cita demokrasi, yakni kebebasan dan persamaan (keadilan).Artinya Mahkamah Konstitusi tidak hanya sebagai penafsir melalui putusan‐putusannya melainkan juga sebagai korektor yang aplikasinya yang tercermin dalam undang‐undang yang dibuat oleh DPR dan Presiden dengan batu uji konstitusi melalui interprestasinya dengan kritis dan dinamis.Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat merupakan refleksi dari fungsinya sebagai penjaga konstitusi, penjaga demokrasi, penjaga persamaan dimata hukum, penafsir konstitusi dan korektor undang‐undang agar disesuaikan dengan UUD.
b. Membumikan prinsip-prinsip negara hukum;
Filosofi negara hukum adalah negara melaksanakan kekuasaannya, tunduk terhadap pengawasan hukum. Artinya ketika hukum eksis terhadap negara, maka kekuasaan negara menjadi terkendali dan selanjutnya menjadi negara yang diselenggarakan berdasarkan ketentuan hukum tertulis atau tidak tertulis (konvensi).14
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pengawas tertinggi, tatkala putusannya yang final dan mengikat, makna hukumnya adalah membumikan negara hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila sebagaimana dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon. Dimana, melalui putusan Mahkamah Konstitusi mengadili dan memutus hal‐hal yang berkaitan dengan kewenangan adtribusi yang diberikan kepadanya untuk menjaga, keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan.
c. Membangun sebuah penegakkan hokum
Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan yaitu kepastian hukum (rechissicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan keadilan (gerechtigkeit). Selanjutnya ditegaskan bahwa kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang‐wenang, yang berarti bahwa seseorang akan memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib, karena hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan untuk ketertiban masyarakat. Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat dapat dimaknai sebagai penegakan hukum tata negara. Khususnya menyangkut pengontrolan terhadap produk politik yaitu undang‐undang yang selama ini tidak ada lembaga yang dapat mengontrolnya. Pada sisi lain, juga dapat menegakkan hukum dimana memutuskan tentang benar salahnya Presiden atau Wakil Presiden yang dituduh oleh DPR bahwa melakukan perbuatan melanggar hukum. Demikian juga dapat memutuskan tentang sengketa‐sengketa khusus yang merupakan kewenangannya termasuk memutuskan untuk membubarkan partai politik. Dengan demikian, hal ini sangat diharapkan sebagai wujud perlindungan hak‐hak masyarakat dan juga menempatkan semua orang sama di mata hukum (equality before the law).
d. Perekayasa Hukum
Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat ( final dan banding) merupakan suatu bentuk rekayasa hukum. Frasa “rekayasa” diartikan sebagai penerapan kaidah‐kaidah ilmu dalam pelaksanaan seperti perancangan, pembuatan konstruksi, serta pengoperasian kerangka, peralatan, dan sistem yang ekonomis dan efisien.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat sebagai sebuah bentuk rekayasa hukum yang diwujudkan dalam bentuk norma atau kaidah yang sifatnya membolehkan, mengajurkan, melarang, memerintahkan untuk berbuat atau tidak berbuat. Nilai mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi yang final adalah sama dengan nilai mengikat dan sebuah undang‐undang hasil produk politik, yang berfungsi sebagai alat rekayasa sosial politik, alat kontrol terhadap masyarakat dan penguasa serta memberikan perlindungan hukum terhadap seluruh komponen bangsa.
Terkait putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 06/PUU-II/2004 , No. 101/PUU-VII/2009, No.26/PUU-XI/2013 No. 112/PUU-XII/2014 dan No. 36/PUU-XIII/2015 yang menguji Pasal 4 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 16, dan Pasal 31 UU Advokat terhadap UUD Tahun 1945, majelis mengabulkan permohonan Pemohon baik secara bersyarat maupun tidak bersyarat terhadap Pasal 4 ayat (1), Pasal 16 dan Pasal 31 UU Advokat, maka terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tersebut yang pada intinya mengabulkan permohonan para Pemohon adalah berlaku final dan mengikat. Artinya bahwa putusan Mahkamah Konstitusi tersebut langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Selain itu, maka sejak diucapkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut memiliki kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian dan kekuatan eksekutorial.

C. AKIBAT HUKUM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Putusan dalam peradilan merupakan perbuatan hakim sebagai pejabat negara berwenang yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dibuat secara tertulis untuk mengakhiri sengketa yang dihadapkan para pihak kepadanya. Sebagai perbuatan hukum yang akan menyelesaikan sengketa yang dihadapkan kepadanya, maka putusan hakim tersebut merupakan tindakan negara di mana kewenangannya dilimpahkan kepada hakim baik berdasarkan UUD Tahun 1945 maupun undang-undang.
Dari sudut pandang hukum tata negara, putusan Mahkamah Konstitusi termasuk dalam keputusan negara yang mengandung norma hukum sama halnya dengan putusan pembentuk undang-undang yang bersifat pengaturan (regeling). Putusan Mahkamah Konstitusi dapat membatalkan suatu undang-undang atau materi muatan dalam undang-undang, sedangkan pembentuk undang-undang menciptakan norma hukum dalam bentuk materi muatan dalam suatu undang-undang.
Putusan Mahkamah Konstitusi terutama dalam pengujian undang-undang kebanyakan jenisnya adalah bersifat declaratoir constitutief. Artinya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menciptakan atau meniadakan satu keadaan hukum baru atau membentuk hukum baru sebagai negative legislature. Hal lain yang perlu dicermati lebih lanjut adalah adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) maupun inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional). Varian putusan Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan putusan yang menyatakan bahwa suatu ketentuan undang-undang tidak bertentangan dengan konstitusi dengan memberikan persyaratan pemaknaan dan keharusan kepada lembaga negara dalam pelaksanaan suatu ketentuan undang-undang untuk memperhatikan penafsiran Mahkamah Konstitusi atas konstitusionalitas ketentuan undang-undang yang sudah diuji tersebut. Dengan demikian, terdapat penafsiran sendiri dari Mahkamah Konstitusi agar suatu norma undang-undang tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945.
Putusan Mahkamah Konsitusi sejak diucapkan di hadapan sidang terbuka untuk umum dapat mempunyai 3 (tiga) kekuatan, yaitu:
1. Kekuatan mengikat
Kekuatan mengikat putusan Mahkamah Konstitusi berbeda dengan putusan pengadilan biasa, tidak hanya meliputi pihak-pihak berperkara (interpartes), yaitu pemohon, pemerintah, DPR/DPD, ataupun pihak terkait yang diizinkan memasuki proses perkara, tetapi juga putusan tersebut mengikat bagi semua orang, lembaga negara, dan badan hukum dalam wilayah republik Indonesia.
Putusan tersebut berlaku sebagai hukum sebagaimana hukum diciptakan pembuat undang-undang. Dengan demikian, Hakim Mahkamah Konstitusi dikatakan sebagai negative lagislator yang putusannya bersifat erga omnes, yang ditujukan pada semua orang.
2. Kekuatan pembuktian
Dalam perkara konstitusi yang putusannya bersifat erga omnes, maka permohonan pengujian yang menyangkut materi yang sama yang sudah pernah diputus tidak dapat lagi diajukan untuk diuji oleh siapapun. Putusan Mahkamah Konstitusi yang telah berkekuatan hukum tetap demikian dapat digunakan sebagai alat bukti dengan kekuatan pasti secara positif bahwa apa yang diputus oleh hakim itu dianggap telah benar. Selain itu, pembuktian sebaliknya tidak diperkenankan.
3. Kekuatan eksekutorial
Putusan Mahkamah Konstitusi berlaku sebagai undang-undang dan tidak memerlukan perubahan yang harus dilakukan dengan amandemen atas undang-undang yang bagian tertentu dinyatakan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Eksekusi putusan Mahkamah Konstitusi telah dianggap terwujud dengan pengumuman putusan tersebut dalam Berita Negara sebagaimana diperintahkan dalam Pasal 57 ayat (3) UU Mahkamah Konstitusi.
Akibat hukum yang timbul dari satu putusan hakim jika menyangkut pengujian terhadap undang-undang diatur dalam Pasal 58 UU Mahkamah Konstitusi, yang pada intinya menyatakan undang-undang yang diuji tetap berlaku sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Ketentuan ini juga berarti bahwa putusan hakim Mahkamah Konstitusi yang menyatakan satu undang-undang bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat tidak boleh berlaku surut.
Terkait putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 06/PUU-II/2004 , No. 101/PUU-VII/2009, No.26/PUU-XI/2013 No. 112/PUU-XII/2014 dan No. 36/PUU-XIII/2015 yang menguji Pasal 4 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 16, dan Pasal 31 UU Advokat terhadap UUD Tahun 1945, majelis mengabulkan permohonan Pemohon baik secara bersyarat maupun tidak bersyarat terhadap Pasal 4 ayat (1), Pasal 16 dan Pasal 31 UU Advokat, maka terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tersebut yang pada intinya mengabulkan permohonan para Pemohon memiliki akibat hukum bahwa putusan mahkamah konstitusi tersebut meniadakan satu keadaan hukum atau menciptakan hak atau kewenangan tertentu. Dengan kata lain bahwa putusan tersebut akan membawa akibat tertentu yang mempengaruhi satu keadaan hukum atau hak dan/atau kewenangan tertentu, dalam hal ini adalah terkait pelaksanaan tugas profesi advokat dan pengambilan sumpah calon advokat.

1. Pendapat Hukum Mahkamah Konstitusi
1.1 Pendapat Hukum Mahkamah Konstitusi Dalam Perkara Nomor 006/PUU-II/2004.

Dalam perkara ini Pasal yang diujikan adalah Pasal 31 UU Advokat yang menyebutkan:
“Setiap orang yang dengan sengaja menjalankan pekerjaan profesi Advokat dan bertindak seolah-olah sebagai advokat, tetapi bukan Advokat sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) Tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000 000,00 (lima puluh juta) rupiah”.

Pasal a quo menurut anggapan pemohon bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) UUD Tahun 1945 yang berbunyi:
Pasal 28D ayat (1)
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yangs ama dihadapan hukum.
Pasal 28D ayat (3)
Setiap warga Negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Pasal 28I ayat (2)
Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatiif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
Terhadap pengujian Pasal a quo mahkamah berpendapat bahwa Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945 secara tegas menyatakan Indonesia adalah negara hukum yang dengan demikian berarti bahwa hak untuk mendapatkan bantuan hukum, sebagai bagian dari hak asasi manusia, harus dianggap sebagai hak konstitusional warga negara, kendatipun undang-undang dasar tidak secara eksplisit mengatur atau menyatakannya, dan oleh karena itu negara wajib menjamin pemenuhannya. Dalam rangka menjamin pemenuhan hak untuk mendapatkan bantuan hukum bagi setiap orang sebagaimana dimaksud, keberadaan dan peran lembaga-lembaga nirlaba semacam LKPH UMM, yang diwakili Pemohon, adalah sangat penting bagi pencari keadilan, teristimewa bagi mereka yang tergolong kurang mampu untuk memanfaatkan jasa penasihat hukum atau advokat profesional. Oleh karena itu, adanya lembaga semacam ini dianggap penting sebagai instrumen bagi perguruan tinggi terutama Fakultas Hukum untuk melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi dalam fungsi pengabdian kepada masyarakat. Di samping itu, pemberian jasa bantuan hukum juga dimasukkan sebagai bagian dari kurikulum pendidikan tinggi hukum dengan kategori mata kuliah pendidikan hukum klinis dan ternyata membawa manfaat besar bagi perkembangan pendidikan hukum dan perubahan sosial, sebagaimana ditunjukkan oleh pengalaman negara-negara Amerika Latin, Asia, Eropa Timur, Afrika Selatan, bahkan juga negara yang sudah tergolong negara maju sekalipun seperti Amerika Serikat, seperti dikatakan McClymont & Golub, “...university legal aid clinics are now part of the educational and legal landscape in most regions of the world. They have already made contributions to social justice and public service in the developing world, and there are compelling benefits that recommend their consideration in strategies for legal education and public interest law...” [vide lebih jauh Mary McClymont & Stephen Golub, Many Roads to Justice, 2000, hal. 267- 296). Namun, peran demikian menjadi tidak mungkin lagi dijalankan oleh LKPHUMM atau lembaga-lembaga lain sejenis, sebagaimana telah ternyata dari pengalaman dan keterangan Para Kuasa Pemohon di hadapan persidangan tanggal 30 September 2004, dan diperkuat oleh keterangan pihak terkait dari lembaga Biro Bantuan Hukum Universitas Padjadjaran yaitu Eva Laela, S.H. dan Dedi Gozali, S.H. pada persidangan tanggal 30 September 2004, yang menyatakan keduanya telah disidik oleh penyidik dengan sangkaan telah melanggar ketentuan Pasal 31 UU Advokat, meskipun penyidikan kemudian dihentikan. Namun penghentian penyidikan tersebut dilakukan bukan karena alasan yang bersangkutan tidak memenuhi unsur-unsur Pasal 31 UU Advokat, melainkan peristiwa yang disangkakan tersebut terjadi sebelum berlakunya undang-undang a quo.
Bahwa dalam praktik, rumusan Pasal 31 UU Advokat dimaksud bukan hanya mengakibatkan tidak memungkinkan lagi berperannya lembaga-lembaga sejenis LKPH UMM memberikan bantuan dan pelayanan hukum kepada pihak-pihak yang kurang mampu, melainkan ketentuan dalam pasal dimaksud juga dapat mengancam setiap orang yang hanya bermaksud memberikan penjelasan mengenai suatu persoalan hukum, hal mana dikarenakan pengertian Advokat sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 angka 1 UU Advokat adalah “orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan dalam undang-undang ini”, sehingga seseorang yang memberikan penjelasan tentang suatu persoalan hukum kepada seseorang lainnya dan kemudian sebagai ucapan terima kasih orang yang disebut terdahulu menerima suatu pemberian, yang sesungguhnya tidak dimaksudkan sebagai honorarium oleh pihak yang memberi, dapat dituduh telah melakukan perbuatan “bertindak seolah-olah sebagai advokat” dan karenanya diancam dengan pidana yang sedemikian berat.
Pasal 31 undang-undang a quo mengancam pidana kepada seseorang yang menjalankan profesi advokat dan bertindak seolah-olah sebagai advokat tetapi bukan advokat sebagaimana dimaksud dalam undang- undang a quo. Sedangkan yang dimaksud dengan profesi advokat adalah orang yang berprofesi memberikan jasa hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 UU Advokat. Sementara itu pada angka 2-nya dinyatakan bahwa jasa hukum adalah memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien.
Berdasarkan argumen Pemohon sebagaimana telah dijelaskan diatas Mahkamah memberikan pendapatnya sebagai bahwa Dalam Pasal 28F UUD Tahun 1945 setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Seseorang yang memerlukan jasa hukum di luar pengadilan pada hakikatnya adalah ingin memperoleh informasi hukum dan dijamin oleh Pasal 28F UUD Tahun 1945. Adalah menjadi hak seseorang untuk memilih sumber informasi yang dipandangnya tepat dan terpercaya.
Pasal 31 jo Pasal 1 angka 1 undang-undang a quo membatasi kebebasan seseorang untuk memilih sumber informasi karena seseorang yang melakukan konsultasi hukum di luar pengadilan oleh undang- undang a quo hanya dibenarkan apabila sumber informasi tersebut adalah seorang advokat. Jika seseorang bukan advokat memberikan informasi hukum, terhadapnya dapat diancam oleh Pasal 31 undang-undang a quo. Pencari informasi akan sangat terbatasi dalam memilih sumber informasi karena yang bukan advokat terhalang untuk memberikan informasi dengan adanya Pasal 31 undang-undang a quo.
UU Advokat adalah undang-undang yang mengatur syarat-syarat, hak dan kewajiban menjadi anggota organisasi profesi advokat, yang memuat juga pengawasan terhadap pelaksanaan profesi advokat dalam memberikan jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Oleh karena itu, tujuan undang-undang advokat, di samping melindungi advokat sebagai organisasi profesi, yang paling utama adalah melindungi masyarakat dari jasa advokat yang tidak memenuhi syarat-syarat yang sah atau dari kemungkinan penyalahgunaan jasa profesi advokat. Sebagai undang-undang yang mengatur profesi, seharusnya UU Advokat tidak boleh dimaksudkan sebagai sarana legalisasi dan legitimasi bahwa yang boleh tampil di depan pengadilan hanya advokat karena hal demikian harus diatur dalam hukum acara, padahal hukum acara yang berlaku saat ini tidak atau belum mewajibkan pihak-pihak yang berperkara untuk tampil dengan menggunakan pengacara (verplichte procureurstelling). Oleh karena tidak atau belum adanya kewajiban demikian menurut hukum acara maka pihak lain di luar advokat tidak boleh dilarang untuk tampil mewakili pihak yang berperkara di depan pengadilan. Hal ini juga sesuai dengan kondisi riil masyarakat saat ini di mana jumlah advokat sangat tidak sebanding, dan tidak merata, dibandingkan dengan luas wilayah dan jumlah penduduk yang memerlukan jasa hukum.
Mahkamah juga berpandangan bahwa dalam persidangan Mahkamah tanggal 30 September 2004, sejarah lahirnya perumusan undang-undang a quo, pasal tersebut memang dimaksudkan agar yang boleh tampil beracara di hadapan pengadilan hanya advokat, yang dengan demikian berarti undang-undang a quo telah mengatur materi muatan yang seharusnya menjadi materi muatan undang- undang yang mengatur hukum acara. Bahkan, andaikatapun maksud demikian tidak ada, sebagaimana diterangkan wakil Pemerintah (c.q. Dirjen Hukum dan Perundang-undangan) pada persidangan tanggal 23 Agustus 2004, rumusan Pasal 31 undang-undang a quo dapat melahirkan penafsiran yang lebih luas daripada maksud pembentuk undang-undang (original intent) yang dalam pelaksanaannya dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan bagi banyak anggota masyarakat yang membutuhkan jasa pelayanan dan bantuan hukum karena Pasal 31 UU Advokat dimaksud dapat menjadi hambatan bagi banyak anggota masyarakat yang tak mampu menggunakan jasa advokat, baik karena alasan finansial maupun karena berada di wilayah tertentu yang belum ada advokat yang berpraktik di wilayah itu, sehingga akses masyarakat terhadap keadilan menjadi makin sempit bahkan tertutup. Padahal, akses pada keadilan adalah bagian tak terpisahkan dari ciri lain negara hukum yaitu bahwa hukum harus transparan dan dapat diakses oleh semua orang (accessible to all), sebagaimana diakui dalam perkembangan pemikiran kontemporer tentang negara hukum. Jika seorang warga negara karena alasan finansial tidak memiliki akses demikian maka adalah kewajiban negara, dan sesungguhnya juga kewajiban para advokat untuk memfasilitasinya, bukan justru menutupnya (vide Barry M. Hager,The Rule of Law, 2000, hal. 33).
Jika pun benar maksud perumusan Pasal 31 Advokat tersebut adalah untuk melindungi kepentingan masyarakat dari kemungkinan penipuan yang dilakukan oleh orang-orang yang mengaku-aku sebagai advokat, kepentingan masyarakat tersebut telah cukup terlindungi oleh ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana, sehingga oleh karenanya ketentuan Pasal 31 undang-undang a quo harus dinyatakan sebagai ketentuan yang berlebihan yang berakibat pada terhalanginya atau setidak-tidaknya makin dipersempitnya akses masyarakat terhadap keadilan, yang pada gilirannya dapat menutup pemenuhan hak untuk diadili secara fair (fair trial), terutama mereka yang secara finansial tidak mampu, sehingga kontradiktif dengan gagasan negara hukum yang secara tegas dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945.
Menimbang pula bahwa, sebagai perbandingan, akses terhadap keadilan dalam rangka pemenuhan hak untuk diadili secara fair adalah melekat pada ciri negara hukum (rule of law), dan karenanya dinilai sebagai hak konstitusional, sudah merupakan communis opinio sebagaimana terlihat antara lain dalam putusan Pengadilan Inggris dalam kasus R v Lord Chancellor ex p Witham (1998) yang di antaranya menyatakan, “... the right to a fair trial, which of necessity imports the right of access to the court, is as near to an absolute right as any which I can envisage... It has been described as constitutional right, though the cases do not explain what that means” (vide Helen Fenwick & Gavin Phillipson, Text, Cases & Materials on Public Law & Human Rights, 2nd edition, 2003, hal. 142).
Menimbang bahwa dengan pertimbangan-pertimbangan sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat, Pasal 31 UU Advokat bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28F UUD Tahun 1945 dan karenanya permohonan Pemohon a quo harus dikabulkan.

1.2 Pendapat Hukum Mahkamah Konstitusi Dalam Perkara Nomor 101/PUU-VII/2009.

Dalam perkara ini para pemohon mengajukan permohonan pengujian Pasal 4 ayat (1) UU Advokat mengatur bahwa “Sebelum menjalankan profesinya, Advokat wajib bersumpah menurut agamanya di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya”.
Para Pemohon beranggapan bahwa Pasal a quo bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) juncto Pasal 28D ayat (1) juncto Pasal 28I ayat (2), ayat (4), dan ayat (5) UUD Tahun 1945 yang berbunyi:
Pasal 27 ayat (2)
Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Pasal 28D ayat (1)
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yangs ama dihadapan hukum.
Pasal 28I ayat (2)
Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatiif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
Pasal 28I ayat (4)
Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab Negara, terutama pemerintah.
Pasal 28 ayat (5)
Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip Negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.
Terhadap pengujian pasal a quo mahkamah berpendapat bahwa isu hukum utama permohonan para Pemohon adalah apakah norma hukum yang terkandung dalam Pasal 4 ayat (1) UU Advokat bertentangan dengan UUD Tahun 1945, dan dari isu hukum utama tersebut melahirkan dua pertanyaan hukum, yaitu 1) apakah keharusan para Advokat mengambil sumpah sebelum menjalankan profesinya konstitusional; dan 2) apakah keharusan bersumpah di depan sidang Pengadilan Tinggi konstitusional.
Bahwa sebelum mempertimbangkan isu hukum yang kemudian diderivasi menjadi dua pertanyaan hukum tersebut di atas, Mahkamah lebih dahulu mengemukakan hal-hal berikut:
1. UUD Tahun 1945 sebagai hukum tertinggi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia telah memberikan jaminan dan perlindungan bagi setiap warga negara hak untuk bekerja dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan [Pasal 27 ayat (2) juncto Pasal 28D ayat (2)]; hak untuk hidup serta mempertahankan hidup dan kehidupannya (Pasal 28A); hak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya [Pasal 28C ayat (1); serta hak atas perlindungan dan jaminan kepastian hukum yang adil [Pasal 28D ayat (1)]. Oleh karena itu, tidak boleh ada ketentuan hukum yang berada di bawah UUD Tahun 1945 yang langsung atau tidak langsung menegasi hak untuk bekerja yang dijamin oleh Konstitusi tersebut atau memuat hambatan bagi seseorang untuk bekerja, apa pun bidang pekerjaan dan/atau profesi pekerjaannya, agar bisa memenuhi kebutuhan hidupnya yang layak bagi kemanusiaan;
2. Pasal 1 angka 1 UU Advokat menyatakan, “Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini”.Selanjutnya Pasal 3 ayat (1) UU Advokat menentukan 9 (sembilan) persyaratan untuk dapat diangkat menjadi Advokat, sedangkan Pasal 3 ayat (2) menyatakan, “Advokat yang telah diangkat berdasarkan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjalankan praktiknya denganmengkhususkan diri pada bidang tertentu sesuai dengan persyaratan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan”. Pasal 5 ayat (1) UU Advokat memberikan status kepada Advokat sebagai penegak hukum yang bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang- undangan.
3. Dengan demikian, seseorang yang menjadi Advokat pada dasarnya adalah untuk memenuhi haknya sebagai warga negara untuk bekerja dan memenuhi kehidupan yang layak bagi kemanusiaan, serta yang bersangkutan sudah dapat menjalankan profesi pekerjaannya setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh Pasal 3 ayat (1) UU Advokat [Pasal 3 ayat (2) UU Advokat].
4. Mengenai sumpah atau janji yang harus ducapkan dan/atau diikrarkan oleh seseorang yang akan menjalankan pekerjaan, jabatan, dan/atau suatu profesi tertentu merupakan hal yang lazim dalam suatu organisasi atau institusi yang pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku bagi organisasi/institusi yang bersangkutan dan/atau peraturan perundang- undangan yang berlaku.
Bahwa terkait dengan dua isu hukum yang kemudian diderivasi menjadi dua pertanyaan hukum di atas, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:
1. Keharusan bagi Advokat mengambil sumpah sebelum menjalankan profesinya merupakan kelaziman dalam organisasi dan suatu jabatan/ pekerjaan profesi yang tidak ada kaitannya dengan masalah konstitusionalitas suatu norma in casu norma hukum yang dimohonkan pengujian, sehingga tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945.
2. Ketentuan bahwa pengambilan sumpah bagi Advokat harus di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah hukumnya merupakan pelanjutan dari ketentuan yang berlaku sebelum lahirnya UU Advokat yang memang pengangkatannya dilakukan oleh Pemerintah in casu Menteri Kehakiman/Menteri Hukum dan HAM. Setelah lahirnya UU Advokat yang menentukan bahwa pengangkatan Advokat dilakukan oleh Organisasi Advokat [vide Pasal 2 ayat (2) UU Advokat], bukan lagi oleh Pemerintah, memang seolah-olah pengambilan sumpah yang harus dilakukan di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya tidak lagi ada rasionalitasnya. Akan tetapi, mengingat bahwa profesi Advokat telah diposisikan secara formal sebagai penegak hukum (vide Pasal 5 UU Advokat) dan dalam rangka melindungi para klien dari kemungkinan penyalahgunaan profesi Advokat, maka ketentuan yang tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) UU Advokat tersebut juga konstitusional.
3. Meskipun demikian, ketentuan yang mewajibkan para Advokat sebelum menjalankan profesinya harus mengambil sumpah sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU Advokat, tidak boleh menimbulkan hambatan bagi para advokat untuk bekerja atau menjalankan profesinya yang dijamin oleh UUD Tahun 1945. Lagi pula Pasal 3 ayat (2) UU Advokat secara expressis verbis telah menyatakan bahwa Advokat yang telah diangkat berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan oleh UU Advokat dapat menjalankan praktiknya sesuai dengan bidang-bidang yang dipilih.
Bahwa dengan demikian, keharusan bagi Advokat untuk mengambil sumpah sebelum menjalankan profesinya tidak ada kaitannya dengan persoalan konstitusionalitas norma, demikian juga mengenai keharusan bahwa pengambilan sumpah itu harus dilakukan di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya, sepanjang ketentuan dimaksud tidak menegasi hak warga negara in casu para calon Advokat untuk bekerja yang dijamin oleh UUD Tahun 1945.
Terjadinya hambatan yang dialami oleh para Pemohon untuk bekerja dalam profesi Advokat pada dasarnya bukan karena adanya norma hukum yang terkandung dalam Pasal 4 ayat (1) UU Advokat, melainkan disebabkan oleh penerapan norma dimaksud sebagai akibat adanya Surat Mahkamah Agung yang melarang Pengadilan Tinggi mengambil sumpah para calon Advokat sebelum organisasi advokat bersatu.
Bahwa penyelenggaran sidang terbuka Pengadilan Tinggi untuk mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum menjalankan profesinya sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) UU Advokat merupakan kewajiban atributif yang diperintahkan oleh Undang-Undang, sehingga tidak ada alasan untuk tidak menyelenggarakannya. Namun demikian, Pasal 28 ayat (1) UU Advokat juga mengamanatkan adanya Organisasi Advokat yang merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat, sehingga para Advokat dan organisasi- organisasi Advokat yang saat ini secara de facto ada, yaitu Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) dan Kongres Advokat Indonesia (KAI), harus mengupayakan terwujudnya Organisasi Advokat sebagaimana dimaksud Pasal 28 ayat (1) UU Advokat.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, Pasal 4 ayat (1) UU Advokat adalah konstitusional sepanjang frasa “di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya” harus dimaknai sebagai kewajiban yang diperintahkan oleh Undang-Undang untuk dilaksanakan oleh Pengadilan Tinggi tanpa mengaitkannya dengan adanya dua organisasi Advokat yang secara de facto ada dan sama-sama mengklaim sebagai organisasi Advokat yang sah menurut UUAdvokat.
Bahwa untuk mendorong terbentuknya Organisasi Advokat yang merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28 ayat (1) UU Advokat, maka kewajiban Pengadilan Tinggi untuk mengambil sumpah terhadap para calon Advokat tanpa memperhatikan Organisasi Advokat yang saat ini secara de facto ada sebagaimana dimaksud pada huruf g di atas yang hanya bersifat sementara untuk jangka waktu selama 2 (dua) Tahun sampai terbentuknya Organisasi Advokat yang merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat melalui kongres para Advokat yang diselenggarakan bersama oleh organisasi advokat yang secara de facto saat ini ada. Bahwa apabila setelah jangka waktu dua Tahun Organisasi Advokat sebagaimana dimaksud Pasal 28 ayat (1) UU Advokat belum juga terbentuk, maka perselisihan tentang organisasi Advokat yang sah diselesaikan melalui Peradilan Umum.

1.3 Pendapat Hukum Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 26/PUU-XI/2013.

Dalam perkara ini para pemohon mengajukan permohonan pengujian Pasal 16 UU Advokat. Didalam Pasal 16 UU Advokat dinyatakan bahwa:
“Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk
kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan”.
Para Pemohon berpandangan bahwa Pasal a quo bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28H ayat (2) UUD Tahun 1945 yang berbunyi:
Pasal 28D ayat (1)
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yangs ama dihadapan hukum.
Pasal 28G ayat (1)
Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
Pasal 28H ayat (2)
Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.

Terhadap pengujian pasal a quo mahkamah berpandangan bahwa ketentuan Pasal 1 angka 1 UU Advokat menyatakan, “Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini”. Pengertian jasa hukum adalah jasa yang diberikan advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien [vide Pasal 1 angka 2 UU Advokat]. Berdasarkan ketentuan tersebut, menurut Mahkamah, peran advokat berupa pemberian konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien dapat dilakukan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Peran advokat di luar pengadilan tersebut telah memberikan sumbangan berarti bagi pemberdayaan masyarakat serta pembaruan hukum nasional, termasuk juga dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
Selain advokat, pemberian jasa hukum juga dilakukan oleh Pemberi Bantuan Hukum. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5248, selanjutnya disebut UU 16/2011) menyatakan, “Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum secara cuma-cuma kepada Penerima Bantuan Hukum”. Pemberi Bantuan Hukum berdasarkan UU 16/2011 adalah lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan Bantuan Hukum berdasarkan Undang-Undang ini [vide Pasal 1 angka 3 UU 16/2011]. Persyaratan lebih lanjut mengenai Pemberi Bantuan Hukum diatur dalam Pasal 8 ayat (2) UU 16/201.
Bahwa pembentukan UU 16/2011 merupakan upaya negara untuk memenuhi dan sekaligus sebagai implementasi negara hukum yang mengakui dan melindungi serta menjamin hak asasi warga negara akan kebutuhan akses terhadap keadilan (access to justice) dan kesamaan di hadapan hukum (equality before the law). Dengan demikian UU 16/2011 menjamin hak semua orang untuk memperoleh perlindungan hukum, yang salah satu bentuk perlindungan hukum bagi semua orang adalah dengan memberikan perlindungan hukum bagi Pemberi Bantuan Hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 11 UU 16/2011 yang menyatakan, “Pemberi Bantuan Hukum tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana dalam memberikan Bantuan Hukum yang menjadi tanggungjawabnya yang dilakukan dengan iktikad baik di dalam maupun di luar sidang pengadilan sesuai Standar Bantuan Hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau Kode Etik Advokat”. Terhadap Pasal 11 UU 16/2011 tersebut, Mahkamah dalam Putusan Nomor 88/PUU-X/2012, tanggal 19 Desember 2013 telah memberikan pertimbangan mengenai siapa yang dimaksud dengan Pemberi Bantuan Hukum yang tidak dapat dituntut secara perdata dan pidana dalam memberikan bantuan hukum, antara lain, mempertimbangkan,

“...menurut Mahkamah, yang menjadi subjek yang mendapatkan jaminan perlindungan hukum dengan hak imunitas dalam menjalankan tugasnya memberi bantuan hukum dalam UU Bantuan Hukum ditujukan kepada baik pemberi bantuan hukum yang berprofesi sebagai advokat maupun bukan advokat (lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan bantuan hukum). Hal demikian adalah wajar agar baik advokat maupun bukan advokat dalam menjalankan tugasnya memberi bantuan hukum dapat dengan bebas tanpa ketakutan dan kekhawatiran...”.

Berdasarkan hal tersebut, yang tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana dalam memberikan bantuan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang dilakukan dengan iktikad baik di dalam maupun di luar sidang pengadilan adalah Pemberi Bantuan Hukum yang berprofesi sebagai advokat maupun bukan advokat dengan tujuan agar Pemberi Bantuan Hukum dalam menjalankan tugasnya memberi bantuan hukum dapat dengan bebas tanpa ketakutan dan kekhawatiran;
Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, antara UU Advokat dengan UU 16/2011 terdapat perbedaan mengenai perlindungan advokat dan Pemberi Bantuan Hukum dalam menjalankan profesinya. Perbedaan dimaksud telah menimbulkan perlakuan yang berbeda antara advokat dan Pemberi Bantuan Hukum yang bermuara pada timbulnya ketidakpastian hukum yang adil diantara kedua profesi tersebut. Keadaan yang demikian bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”; yang juga bertentangan dengan prinsip negara hukum sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945. Dengan demikian menurut Mahkamah, untuk menghindari terjadinya ketidakpastian hukum, bersamaan dengan itu dimaksudkan pula untuk mewujudkan keadilan bagi kedua profesi tersebut, Mahkamah perlu menegaskan bahwa ketentuan Pasal 16 UU Advokat harus dimaknai advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan.

1.4 Pendapat Hukum Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 112/PUU-XII/2014 dan Perkara Nomor 36/PUU-XIII/2015.

Dalam perkara ini para pemohon kembali menguji Pasal 4 ayat (1) sepanjang frasa “di sidang terbuka Pengadilan Tinggi” dan ayat (3) sepanjang frasa “oleh Panitera Pengadilan Tinggi yang bersangkutan” UU Advokat yang masing-masing selengkapnya menyatakan:
Pasal 4 ayat (1)
“Sebelum menjalankan profesinya, Advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya.”
Pasal 4 ayat (3)
“Salinan berita acara sumpah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) oleh Panitera Pengadilan Tinggi yang bersangkutan dikiriMahkamah Konstitusi an kepada Mahkamah Agung, Menteri, dan Organisasi Advokat.”
Pasal a quo menurut anggapan para pemohon telah bertentangan dengan Pasal 28A, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (2) Pasal 28D ayat (3), Pasal 28E ayat (2), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (2) dan Pasal 28I ayat (1) UUD Tahun 1945 yang berbunyi:
Pasal 28A
Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.
Pasal 28C ayat (2)
Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.
Pasal 28D ayat (1)
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yangs ama dihadapan hukum.
Pasal 28D ayat (2)
Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
Pasal 28D ayat (3)
Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Pasal 28E ayat (2)
Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
Pasal 28G ayat (1)
Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
Pasal 28H ayat (2)
Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
Pasal 28I ayat (1)
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Terhadap pengujian pasal a quo, mahkamah telah memutus dalam Putusan Nomor 71/PUU-VIII/2010, bertanggal 27 Juni 2011 dan Putusan Nomor 79/PUU-VIII/2010, bertanggal 27 Juni 2011 yang pertimbangan hukum kedua putusan tersebut mengacu pada pertimbangan hukum dan amar putusan Mahkamah dalam Putusan Nomor 101/PUU-VII/2009 a quo yang antara lain menyatakan Pasal 4 ayat (1) UU Advokat adalah bertentangan dengan UUD Tahun 1945 sepanjang tidak dipenuhi syarat bahwa frasa “di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya” tidak dimaknai bahwa “Pengadilan Tinggi atas perintah Undang-Undang wajib mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat yang pada saat ini secara de facto ada, dalam jangka waktu 2 (dua) Tahun sejak amar putusan ini diucapkan”.
Bahwa berdasarkan Pasal 60 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi juncto Pasal 42 ayat (1) Mahkamah Konstitusi 06/2005 dan Pasal 60 ayat (2) UU Mahkamah Konstitusi juncto Pasal 42 ayat (2) Mahkamah Konstitusi 06/2005, pengujian terhadap Pasal 4 ayat (1) UU Advokat seharusnya tidak dapat diajukan permohonan lagi, sebab pada hakikatnya diajukan berdasarkan alasan pokok yang sama dan materi muatan dalam UUD Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian juga sama dengan permohonan sebelumnya. Namun, dengan mendasarkan pada: (1) petitum para Pemohon yang juga memohon kepada Mahkamah untuk memberikan putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono); (2) permohonan dan fakta persidangan bahwa pasca Putusan Nomor 101/PUU-VII/2009 a quo, hingga saat ini, para Pemohon selaku advokat dari KAI tidak dapat beracara di pengadilan karena Pengadilan Tinggi tidak bersedia menyumpah advokat dari KAI; (3) fakta persidangan bahwa Mahkamah Agung bersifat tidak berpihak dan tidak dalam posisi mengakui atau tidak mengakui kedua organisasi yang bertikai (PERADI dan KAI), bahkan Mahkamah Agung juga tidak mempermasalahkan jika tidak berwenang menyumpah advokat; (4) tenggat waktu 2 (dua) Tahun sebagaimana amar Putusan Nomor 101/PUU-VII/2009 telah terlewati dan tetap terdapat kebuntuan konstitusionalitas yang sangat merugikan para Pemohon khususnya, dan pada umumnya para Advokat yang tidak dapat disumpah; (5) Mahkamah sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan serta sebagai satu-satunya lembaga peradilan yang berwenang menegakkan dan menafsir konstitusi dalam rangka melindungi dan menjamin hak-hak konstitusional warga negara; (6) penegakan hukum tidak hanya ditujukan untuk menjamin terpenuhinya keadilan, terlaksananya kepastian hukum, namun termasuk pula menghadirkan kemanfaatan (kemaslahatan); maka Mahkamah perlu mempertimbangkan lebih lanjut perkara a quo, sebagai berikut:
a. bahwa para Pemohon berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya [vide Pasal 28A UUD Tahun 1945] dengan bekerja sebagai advokat; berhak memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya [vide Pasal 28C ayat (2) UUD Tahun 1945] melalui pengajuan permohonan a quo; berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum [vide Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945] untuk dapat beracara di pengadilan; berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja [vide Pasal 28D ayat (2) UUD Tahun 1945] dengan menjadi advokat; berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan [vide Pasal 28D ayat (3) UUD Tahun 1945] dengan menjadi advokat sebagai salah satu pelaku penegakan hukum yang bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan perundang-undangan [vide Pasal 5 ayat (1) UU Advokat]; berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, dan martabatnya [vide Pasal 28G ayat (1) UUD Tahun 1945] dengan diakui serta disumpahnya mereka sebagai advokat.
b. bahwa, sebagaimana telah dinyatakan oleh Mahkamah dalam putusan-putusan sebelumnya, wadah tunggal advokat yaitu PERADI, adalah konstitusional. Namun, sebagai satu-satunya wadah profesi Advokat yang memiliki wewenang untuk melaksanakan pendidikan khusus profesi Advokat [Pasal 2 ayat (1) UU Advokat], pengujian calon Advokat [Pasal 3 ayat (1) huruf f UU Advokat], pengangkatan Advokat [Pasal 2 ayat (2) UU Advokat], membuat kode etik [Pasal 26 ayat (1) UU Advokat], membentuk Dewan Kehormatan [Pasal 27 ayat (1) UU Advokat], membentuk Komisi Pengawas [Pasal 13 ayat (1) UU Advokat], melakukan pengawasan [Pasal 12 ayat (1) UU Advokat], dan memberhentikan Advokat [Pasal 9 ayat (1) UU Advokat] (vide Putusan Nomor 66/PUU-VIII/2010 bertanggal 27 Juni 2011), PERADI tidak memiliki wewenang untuk menyumpah calon Advokat. Meskipun Mahkamah Agung dalam persidangan perkara a quo telah menyatakan tidak masalah jika pengambilan sumpah tidak harus dilakukan di hadapan sidang Pengadilan Tinggi karena Mahkamah Agung bersifat tidak berpihak dan penyumpahan diserahkan kepada profesi Advokat itu sendiri, Mahkamah tetap mengacu dan konsisten pada pertimbangan hukum Putusan Nomor 101/PUU-VII/2009 a quo yang menjadi landasan hukum pentingnya penyumpahan calon advokat dilakukan oleh Pengadilan Tinggi, antara lain, karena profesi Advokat telah diposisikan secara formal sebagai penegak hukum (vide Pasal 5 UU Advokat) dan dalam rangka melindungi para klien dari kemungkinan penyalahgunaan profesi Advokat. Selain itu, penyumpahan calon advokat oleh Pengadilan Tinggi adalah guna melindungi kemuliaan profesi advokat itu sendiri, sebagaimana nilai penting perihal pelantikan advokat tersebut telah dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam Putusan Nomor 103/PUU-XI/2013, bertanggal 11 September 2014, yang menyatakan bahwa “...pengangkatan dan pelantikan advokat merupakan perwujudan untuk peningkatan kualitas profesi advokat yang menjalankan profesi mulia (officium nobile), yang pada akhirnya ke depan para Advokat dapat membangun keadilan di tengah-tengah masyarakat dalam peranannya pada proses penegakan hukum di Indonesia...”, sehingga ketentuan yang tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) UU Advokat tersebut adalah konstitusional.

Bahwa dalam Putusan Nomor 101/PUU-VII/2009 tersebut pula, Mahkamah menyatakan bahwa ketentuan yang mewajibkan para Advokat sebelum menjalankan profesinya harus mengambil sumpah sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU Advokat, tidak boleh menimbulkan hambatan bagi para advokat untuk bekerja atau menjalankan profesinya yang dijamin oleh UUD Tahun 1945. Oleh karenanya, dengan mendasarkan pada pertimbangan hukum tersebut, Amar Putusan Nomor 101/PUU-VII/2009 menyatakan, Pengadilan Tinggi atas perintah Undang-Undang wajib mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat yang pada saat ini secara de facto ada, dalam jangka waktu 2 (dua) Tahun sejak amar putusan tersebut diucapkan. Selain itu, Mahkamah juga menyatakan apabila setelah jangka waktu dua Tahun Organisasi Advokat sebagaimana dimaksud Pasal 28 ayat (1) UU Advokat belum juga terbentuk, maka perselisihan tentang organisasi Advokat yang sah diselesaikan melalui Peradilan Umum.
c. Meskipun pasca Putusan Nomor 101/PUU-VII/2009 a quo telah ada piagam perdamaian/nota kesepahaman antara PERADI dan KAI bertanggal 24 Juni 2010 yang piagam tersebut juga diketahui dan ditandatangani pula oleh Ketua Mahkamah Agung saat itu, Dr. H. Arifin A. Tumpa, S.H., M.H. dan proses penandatanganan piagam tersebut dihadiri dan diketahui pula oleh Menteri Hukum dan HAM saat itu, Patrialis Akbar (vide alat bukti tertulis bertanda PT-8 dan PT-10) yang menandai bersatunya para advokat dalam satu wadah organisasi, namun para Pemohon pada faktanya masih mengalami kesulitan beracara di pengadilan karena Pengadilan Tinggi tidak bersedia menyumpah para advokat yang bukan berasal dari PERADI.
Terhadap permasalahan tersebut, dengan mendasarkan pada pernyataan Mahkamah Agung dalam persidangan perkara a quo yang menyatakan tidak ingin lagi terseret pada konflik serta tidak dalam posisi mengakui atau tidak mengakui kedua organisasi (PERADI dan KAI) yang bertikai, Mahkamah berpendapat, demi terwujudnya asas kemanfaatan (kemaslahatan) hukum dan terjaminnya asas keadilan serta terlaksananya asas kepastian hukum khususnya bagi para calon advokat, bahwa dengan telah lewatnya masa dua Tahun sebagaimana amar putusan Mahkamah dalam Perkara Nomor 101/PUU-VII/2009, Mahkamah perlu memperkuat kembali amar putusan tersebut dan mempedomani kembali ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU Advokat sebagaimana telah diputus Mahkamah dalam Putusan Nomor 101/PUU-VII/2009 a quo, yaitu bahwa Pasal 4 ayat (1) UU Advokat sepanjang frasa “di sidang terbuka Pengadilan Tinggi” bertentangan dengan UUD Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “Pengadilan Tinggi atas perintah Undang-Undang wajib mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat yang pada saat ini secara de facto ada” dan Mahkamah tidak perlu lagi memberikan jangka waktu penyelesaian konflik internal organisasi advokat yang terus muncul karena pada dasarnya persoalan eksistensi kepengurusan yang sah dari lembaga advokat tersebut adalah menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari lembaga tersebut selaku organisasi yang bebas dan mandiri yang dibentuk dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi advokat [vide Pasal 28 ayat (1) UU Advokat] yang dapat dimaknai pula bahwa nilai profesionalitas tersebut mencakup pula kemampuan para advokat untuk menyelesaikan konflik internal lembaga tersebut. Dalam kaitannya untuk mewujudkan asas kemanfaatan hukum, keharusan mengambil sumpah para advokat oleh Pengadilan Tinggi tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat yang pada saat ini secara de facto ada, adalah supaya tidak mengganggu proses pencarian keadilan (access to justice) bagi masyarakat yang membutuhkan jasa advokat dan tidak pula menghalang-halangi hak konstitusional para advokat sebagaimana telah diuraikan. Selain itu, yang dimaksud dengan frasa “Organisasi Advokat yang pada saat ini secara de facto ada” dalam Putusan Nomor 101/PUU-VII/2009 di atas, konteksnya adalah merujuk pada Organisasi PERADI dan KAI.

d. Mahkamah Agung menegaskan tidak memiliki kepentingan untuk mempertahankan pasal mengenai advokat tergabung dalam wadah tunggal (singlebar) atau multibar dan menyerahkan sepenuhnya persoalan tersebut kepada Mahkamah. Terhadap hal tersebut, Mahkamah berpendapat, meskipun pada pertimbangan hukum Mahkamah dalam putusan sebelumnya pada pokoknya menyatakan bahwa wadah tunggal organisasi adalah konstitusional, namun hal tersebut esensinya menjadi bagian dari kebijakan hukum yang terbuka yang menjadi kewenangan bagi pembentuk Undang-Undang (Presiden dan DPR) beserta pemangku kepentingan (para advokat dan organisasi advokat) untuk menentukan apakah selamanya organisasi advokat akan menjadi organisasi tunggal atau berubah menjadi multi organ. Oleh karenanya, masih terdapat upaya hukum lainnya yaitu melalui proses legislative review yang juga menjadi bagian dari tindakan konstitusional yang dapat dilakukan oleh para advokat untuk menentukan solusi yang terbaik bagi eksistensi organisasi advokat serta untuk menjamin dan melindungi hak-hak konstitusional para advokat dalam menjalankan profesinya.

Berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, Mahkamah juga berpendapat bahwa permohonan para Pemohon terhadap ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU Advokat sepanjang frasa “di sidang terbuka Pengadilan Tinggi” UU Advokat adalah beralasan menurut hukum;
Terhadap dalil Pemohon khususnya Pasal 4 ayat (3) UU Advokat yang meminta Mahkamah menyatakan sepanjang frasa “oleh Panitera Pengadilan Tinggi yang bersangkutan” adalah bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dengan mendasarkan pada pertimbangan hukum di atas yang pada pokoknya menyatakan permohonan para Pemohon terhadap Pasal 4 ayat (1) UU Advokat sepanjang frasa “di sidang terbuka Pengadilan Tinggi” adalah beralasan menurut hukum maka dengan sendirinya tindakan yang dilaksanakan oleh Panitera Pengadilan Tinggi sebagai tindak lanjut dari proses pengambilan sumpah Advokat di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya adalah menyesuaikan dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU Advokat yang menjadi landasan hukum bagi dilasanakannya tugas Panitera Pengadilan Tinggi yang diatur dalam Pasal 4 ayat (3) UU Advokat. Oleh karenanya, menurut Mahkamah, dalil Pemohon a quo tentang Pasal 4 ayat (3) UU Advokat sepanjang frasa “oleh Penitera Pengadilan Tinggi yang bersangkutan” adalah tidak beralasan menurut hukum.

2. DISSENTING OPINION
Dalam perkara Nomor Perkara Nomor 006/PUU-II/2004 terdapat dissenting opinon oleh beberapa hakim Mahkamah Konstitusi , yaitu Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki, SH, Prof. H.A.S. Natabaya, SH, LL.M, dan H. Achmad Roestandi, SH yang mempunyai pendapat berbeda sebagai berikut:
Secara tekstual, Pasal 31 UU Advokat berbunyi :

Setiap orang yang dengan sengaja menjalankan pekerjaan profesi Advokat dan bertindak seolah-seolah sebagai Advokat, tetapi bukan Advokat sebagaimana diatur dalam undang-undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) Tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).

Pasal 31 UU Advokat merupakan een wet artikel gedeelte dari UU Advokat, yang secara khusus diperuntukkan mengatur profesi advokat. UU Advokat adalah undang-undang profesi, dalam hal ini undang-undang profesi advokat. Pasal 31 UU Advokat dibuat guna melindungi profesi advokat, suatu pengaturan beroepsbescherming bagi advokat. Manakala seseorang yang dengan sengaja menjalankan pekerjaan profesi Advokat dan bertindak seolah-olah sebagai Advokat, tetapi bukan Advokat maka hal dimaksud merupakan strafbare sanctie (sanksi pidana) yang ditujukan kepada non profesi advokat, atau orang lain (profesi lain) di luar advocat beroep.
Penolakan hakim atau pihak lain terhadap orang lain yang bukan advokat beracara di pengadilan (atau di luar pengadilan) tidak dapat dijadikan alasan guna pengujian (apalagi membatalkan) Pasal 31 UU Advokat karena hal dimaksud berpaut dengan salah penerapan Pasal 31 UU Advokat, tidak terletak pada substansi normatif yang dimaksud pembuat undang-undang. Kesalahan penerapan Pasal a quo terungkap pula dari keterangan dan kesaksian dalam persidangan. Memang di tempat-tempat tertentu, dalam hal ini di Bandung dan Malang, pemberian kuasa kepada LBH Perguruan Tinggi pernah dipersoalkan oleh Polisi atau Pengadilan dengan mendasarkan pada Pasal a quo, tetapi di tempat-tempat lain pemberian kuasa semacam itu tidak pernah dipersoalkan, artinya tetap berjalan seperti yang dilakukan sebelum pasal a quo berlaku. Lagipula proses penanganan perkara tersebut baik di Bandung maupun di Malang pada akhirnya tidak dilanjutkan.
Dengan demikian ketentuan Pasal 31 UU Advokat tidak ada kaitannya dengan perlakuan diskriminatif yang didalilkan Pemohon sehingga bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD Tahun 1945. Adapun bunyi Pasal 28C ayat (1) adalah:
“Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”. Sedangkan ayat (2) berbunyi “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya”. Selanjutnya Pasal 28 D ayat (1) menegaskan “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
Sedangkan pada ayat (3) menyebutkan:
“Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”.
Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 31 UU Advokat, jika dibaca sepintas memang seolah-olah memberikan perlindungan yang berlebihan kepada advokat. Tetapi jika dipahami secara cermat, perlindungan terhadap advokat itu, pada dasarnya dimaksudkan untuk melindungi kepentingan masyarakat. Kerugian yang mungkin diderita oleh masyarakat sebagai akibat ulah dari mereka yang mengaku-aku sebagai advokat, dapat berpengaruh lebih luas dan lebih besar daripada akibat yang ditimbulkan oleh penipuan biasa, sehingga wajar saja jika diberikan ancaman pidana khusus selain ancaman pidana umum yang terdapat dalam KUHP.
Perlindungan itupun tidak berarti menutup pintu bagi Perguruan Tinggi untuk memberikan pelatihan praktis kepada para mahasiswa Fakultas Hukum, bahkan pelatihan itu akan berlangsung lebih terarah, lebih realistis dan lebih sejalan dengan Pasal 13 UU a quo, jika misalnya dilakukan melalui kerjasama antara Perguruan Tinggi dengan Asosiasi (Perkumpulan) advokat, sebagaimana yang dilakukan oleh Perguruan Tinggi dengan Rumah Sakit dalam rangka pelatihan mahasiswa Fakultas Kedokteran.
Adapun dalil Pemohon yang menyatakan dengan munculnya ketentuan Pasal 31 UU Advokat telah dipengaruhi oleh ketakutan akan berkurangnya atau sedikitnya lahan rezeki Advokat adalah bersifat tendensius dan berburuk sangka karena berdasarkan hasil Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Advokat di DPR (Ketetapan DPR dan Pemerintah) pernyataan Pemohon tidak benar. Pemohon sebagai anggota Civitas Academica Universitas Muhammadiyah Malang yang bukan merupakan institusi Pemerintah (tidak berstatus Pegawai Negeri) dapat mendaftarkan diri untuk menjadi Advokat asal saja memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU Advokat, dengan catatan bahwa setiap profesi sudah seharusnya dituntut untuk bekerja secara profesional di bidangnya masing- masing, termasuk advokat hendaknya bekerja profesional di bidangnya, demikian pula tenaga pengajar hendaknya juga profesional dan tidak berdwifungsi.
Adapun dalil Pemohon yang menyatakan UU Advokat bukan undang-undang yang baik karena tidak ada aturan pengecualiannya, tidak tepat, karena tidak selalu harus suatu undang-undang mempunyai pasal atau ketentuan pengecualian (escape clausule). Oleh karena itu, kami berpendapat dalil yang dikemukakan oleh Pemohon bahwa Pasal 31 UU Advokat adalah bertentangan (tegengesteld) dengan UUD Tahun 1945, tidak terbukti. Sebagai penutup, izinkanlah kami menutup pendapat berbeda ini dengan mengutip pepatah Melayu “awak tak pandai menari dikatakan lantai terjungkit” dan “buruk muka cermin dibelah”.

3. IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Secara umum putusan Mahkamah Konstitusi bersifat declaratoir dan constitutief. Declaratoir artinya putusan dimana hakim sekedar menyatakan apa yang menjadi hukum, tidak melakukan penghukuman. Constitutief artinya suatu putusan yang menyatakan tentang ketiadaan suatu keadaan hukum dan/atau menciptakan suatu keadaan hukum yang baru. (revisi UU menyesuaikan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi). Kekuatan mengikat putusan Mahkamah Konstitusi mengikat bagi semua orang, lembaga negara dan badan hukum dalam wilayah NKRI. Putusan Mahkamah Konstitusi berlaku sebagai hukum sebagaimana hukum diciptakan pembuat undang-undang/negative legislator yang putusannya bersifat erga omnes.
Putusan Mahkamah Konstitusi berisikan pernyataan apa yang menjadi hukum dan sekaligus dapat meniadakan keadaan hukum dan menciptakan suatu keadaan hukum baru. Dalam perkara pengujian undang-undang atau judicial review, putusan yang mengabulkan bersifat declaratoir karena menyatakan apa yang menjadi hukum dari suatu norma undang-undang, yaitu bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Pada saat bersamaan, putusan ini meniadakan keadaan hukum berdasarkan norma yang dibatalkan dan menciptakan keadaan hukum baru (constitusief).
3.1 Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 006/PUU-II/2004.

Pasal 31 UU Advokat menurut anggapan pemohon telah bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) UUD Tahun 1945. Selain itu menurut pemohon, rumusan Pasal 31 UU Advokat juga bertentangan dengan bagian Penjelasan UU Advokat. Pada alinea ketiga bagian Umum Penjelasan UU Advokat menyebutkan: “Selain dalam proses peradilan, peran Advokat juga terlihat di jalur profesi di luar pengadilan”.
Pemohon juga berpandangan bahwa kebutuhan jasa hukum Advokat di luar proses peradilan pada saat sekarang semakin meningkat, sejalan dengan semakin berkembangnya kebutuhan hukum masyarakat terutama dalam memasuki kehidupan yang semakin terbuka dalam pergaulan antar bangsa. Melalui pemberian jasa konsultasi, negoisasi maupun dalam pembuatan kontrak-kontrak dagang, profesi Advokat ikut memberi sumbangan berarti bagi pemberdayaan masyarakat serta pembaharuan hukum nasional khususnya di bidang ekonomi dan perdagangan, termasuk dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan”.
Rumusan Pasal 31 UU Advokat yang berisi ancaman pidana tersebut sangat diskriminatif dan tidak adil, serta merugikan hak-hak konstitusional Pemohon. Bahwa dengan lahirnya UU Advokat tersebut, pihak Laboratorium Konsultasi dan Pelayanan Hukum UMM, tidak dapat menyelenggarakan lagi aktivitasnya di bidang pelayanan hukum kepada masyarakat, baik dalam bentuk litigasi maupun non litigasi. Oleh karena Undang-undang Advokat tidak mengakomodasi realitas empiris mengenai peran perguruan tinggi hukum yang memberikan kemudahan akses kepada masyarakat untuk memperoleh bantuan hukum secara murah. Jelasnya Undang-undang Advokat ini hanya mengakui profesi Advokat an-sich yang memiliki otoritas di dalam pelayanan hukum baik di dalam dan di luar pengadilan.
Terhadap permohonan pemohon tersebut Majelis memberikan Putusan dengan mengabulkan permohonan pemohon atau dengan kata lain bahwa Pasal 31 UU Advokat dianggap bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan mengikat. Putusan majelis tersebut telah menimbulkan implikasi yuridis, bahwa dengan dibatalkannya Pasal 31 UU Advokat tersebut, maka setiap tindakan advokasi atau pemberian jasa hukum dapat dilakukan oleh lembaga bantuan hukum dan sejenisnya, dan seseorang atau lembaga yang memberikan informasi, konsultasi hukum kepada pihak yang membutuhkan bantuan hukum dengan demikian tidak dapat dipidana berdasarkan pasal a quo.

3.2 Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 101/PUU-VII/2009.
Pengajuan permohonan pengujian terhadap Pasal 4 ayat (1) UU Advokat dilatarbelakangi oleh keluarnya surat Keputusan Mahkamah Agung Nomor 52/KMA/V/2009 juncto Nomor 064/KMA/V/2009 yang dikeluarkan oleh Ketua MA-RI sebagai akibat timbulnya perseteruan antar organisasi advokat dalam mencari keabsahan. Adapun isi dari KMA Nomor 52/KMA/V/2009:
“Ketua Mahkamah Agung meminta kepada ketua Pengadilan Tinggi untuk tidak terlibat secara langsung atau tidak langsung terhadap perselisihan didalam organisasi advokat berarti Ketua Pengadilan tinggi tidak mengambil sumpah advokat baru sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 4 UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Walaupun demikian, Advokat yang telah diambil sumpahnya sesuai Pasal 4 tersebut diatas tidak bisa dihalangi untuk beracara di Pengadilan terlepas dari organisasi manapun ia berasal, apabila ada advokat yang diambil sumpahnya menyimpang dari ketentuan pasal tersebut (bukan oleh Ketua Pengadilan Tinggi) maka sumpahnya dianggap tidak sah sehingga yang bersangkutan tidak dibenarkan beracara di Pengadilan”.

Menurut para Pemohon timbulnya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon oleh berlakunya Pasal 4 ayat (1) UU Advokat dikarenakan terbitnya Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor 052/KMA/V/2009 bertanggal 01 Mei 2009 yang intinya meminta kepada para Ketua Pengadilan Tinggi untuk tidak mengambil sumpah para Advokat baru dan apabila ada Advokat yang diambil sumpahnya menyimpang dari ketentuan Pasal 4 UU Advokat dianggap tidak sah, sehingga yang bersangkutan tidak dibenarkan beracara di Pengadilan. Hal ini berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan bagi para Pemohon, sehingga para Pemohon tidak bisa bekerja.
Dalam putusannya, majelis hakim memutuskan secara bersyarat bahwa Pasal 4 ayat (1) UU Advokat adalah bertentangan dengan UUD Tahun 1945 sepanjang tidak dipenuhi syarat bahwa frasa “di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya” tidak dimaknai bahwa “Pengadilan Tinggi atas perintah Undang-Undang wajib mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat yang pada saat ini secara de facto ada, dalam jangka waktu 2 (dua) Tahun sejak Amar Putusan ini diucapkan”. Jika dalam waktu 2 Tahun organiasi advokat belum terbentuk, maka perselisihan antar organisasi advokat diselesaikan melalui peradilan umum.
Dengan diputuskan secara bersyarat tersebut, maka terdapat implikasi yuridis terhadap berlakunya pasal a quo, yaitu pertama, bahwa pengadilan wajib melakukan sumpah terhadap calon advokat selama memenuhi syarat pengangkatan sesuai aturan yang ada di dalam UU Advokat tanpa mengaitkan keanggotaan organisasi advokat. Kedua, dengan adanya putusan conditionally constitutional terhadap pasal a quo tersebut, maka hakim baik dipengadilan negeri mapun pengadilan tinggi dapat melantik tanpa memperhatikan Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor 052/KMA/V/2009.
3.3 Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 26/PUU-XI/2013.

Berlakunya Pasal 16 UU Advokat menurut anggapan para pemohon tidak memberikan perlindungan yang sesuai dengan lingkup profesi para Pemohon. meskipun para Pemohon dalam menjalankan profesi di luar persidangan dengan iktikad baik yaitu dalam membela, mempertahankan, dan melindungi hak klien, namun para Pemohon rentan untuk dijerat dengan pasal-pasal pidana yang diatur dalam KUHP dan digugat secara perdata dengan alasan melakukan perbuatan melawan hukum.
Dalam pertimbangan sebagaimana telah dijelaskan dalam subab mengenai pendapat hukum, bahwa dengan merujuk pada Putusan Perkara Nomor 88/PUU-X/2012 terkait UU16/2011 menurut Mahkamah, yang menjadi subjek yang mendapatkan jaminan perlindungan hukum dengan hak imunitas dalam menjalankan tugasnya memberi bantuan hukum dalam UU Bantuan Hukum ditujukan kepada baik pemberi bantuan hukum yang berprofesi sebagai advokat maupun bukan advokat (lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan bantuan hukum). Hal demikian adalah wajar agar baik advokat maupun bukan advokat dalam menjalankan tugasnya memberi bantuan hukum dapat dengan bebas tanpa ketakutan dan kekhawatiran.
Dengan pertimbangan diiatas, majelis pun memutuskan secara bersyarat bahwa Pasal 16 UU Advokat bertentangan dengan UUD Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan”.
Terhadap putusan tersebut menimbulkan implikasi yuridis, yaitu bahwa pemberi bantuan hukum baik yang berprofesi sebagai advokat maupun bukan advokat (lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan bantuan hukum) tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan.




4.
3.4 Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 112/PUU-XII/2014 dan Perkara Nomor 36/PUU-XIII/2015.

Terkait permohonan pengujian Pasal 4 ayat (1) dan ayat (3) UU Advokat terhadap UUD Tahun 1945, sebagaimana telah dipaparkan diatas bahwa mahkamah memberikan pertimbangan meskipun pasal a quo pernah diujikan dalam Perkara Nomor 101/PUU-VII/2009. Namun demikian, majelis memandang perlu untuk tetap memeriksa karena beberapa alasan sebagaimana telah dijelaskan pada sub bab mengenai pendapat hukum Mahkamah Konstitusi, yang secara garis besar menjelaskan bahwa tetap diperiksanya pasal a quo karena pengadilan tidak melaksanakan putusan dalam Perkara Nomor 101/PUU-VII/2009, yang mewajibkan pengadilan tinggi untuk tetap melakukan sumpah kepada calon advokat tanpa memandang keterkaitan organisasi. Kemudian, juga dikarenakan tidak terlaksananya pembentukan organisasi advokat selama jangka waktu 2 Tahun yang diberikan sejak putusan untuk dalam Perkara Nomor 101/PUU-VII/2009, sehingga seolah dianggap bahwa putusan dalam perkara Nomor 101/PUU-VII/2009 tidak berlaku lagi.
Terhadap pengujian ulang pasal a quo majelis dalam amar putusannya mengabulkan sebagian permohonan yang memutuskan bahwa Pasal 4 ayat (1) sepanjang frasa “di sidang terbuka Pengadilan Tinggi” Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat sepanjang tidak dimaknai bahwa “Pengadilan Tinggi atas perintah Undang-Undang wajib mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat yang secara de facto ada yaitu PERADI dan KAI”. Pasal yang dikabulkan tersebut menguatkan putusan majelis dalam perkara perkara Nomor 101/PUU-VII/2009.
Adapun implikasi yuridis yang timbul akibat diputus secara bersyaratnya pasal a quo, pertama, tetap mewajibkan pengadilan tinggi untuk melakukan sumpah terhadap calon advokat tanpa melihat keterkaitan keanggotaan organisasi secara de facto yang ada saat ini yaitu KAI dan Peradi. Kedua, dengan dihilangkannya jangka waktu 2 Tahun untuk membentuk organisasi advokat, maka putusan ini tetap terus berlaku sehingga tidak perlu dilakukan pengujian ulang kembali.

Pengujian undang-undang yang dilakukan oleh suatu peradilan pada dasarnya akan berakhir dalam suatu putusan yang merupakan pendapat tertulis hakim konstitusi tentang perselisihan penafsiran satu norma atau prinsip yang ada dalam UUD. Jika satu amar putusan menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau ayat bagian undang-undang bahkan undang-undang secara keseluruhan bertentangan dengan UUD Tahun 1945, maka materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang diuji tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Bunyi putusan demikian mengandung arti bahwa ketentuan norma yang termuat dalam satu undang-undang dinyatakan batal (null and void) dan tidak berlaku lagi. Putusan yang demikian sudah barang tentu memiliki implikasi hukum yang luas. Selain memberi kemanfaatan pada para pencari keadilan, seringkali putusan tersebut dinilai berpotensi menyebabkan terjadinya kekosongan hukum (legal vacuum), kekacauan hukum (legal disorder), bahkan politik beli waktu (buying time) pembentuk undang-undang. Karena itu menurut Maruarar Siahaan, dibutuhkan mekanisme prosedural tentang bagaimana tindak lanjut dari pembatalan pemberlakukan suatu ketentuan tersebut. Persoalan yang selalu dikaitkan dengan sulitnya implementasi eksekusi putusan Mahkamah Konstitusi adalah sifat putusannya yang final, dengan kata mengikat (binding). Karena, putusan Mahkamah Konstitusi mengikat umum, pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan ketentuan undang-undang yang telah diputus harus melaksanakan putusan itu.
Namun demikian, mengingat norma dalam undang-undang adalah satu kesatuan sistem, ada pelaksanaan putusan yang harus melalui tahapan-tahapan tertentu, bergantung pada substansi putusan. Dalam hal ini, ada putusan yang dapat dilaksanakan langsung tanpa harus dibuat peraturan baru atau perubahan, ada pula yang memerlukan pengaturan lebih lanjut terlebih dahulu. Tatkala suatu putusan akan langsung efektif berlaku tanpa diperlukan tindak lanjut lebih jauh dalam bentuk kebutuhan implementasi perubahan undang-undang yang diuji, maka putusan ini dapat dikatakan berlaku secara self-executing. Dalam artian, putusan itu terlaksana dengan sendirinya.
Ini terjadi karena norma yang dinegasikan tersebut mempunyai ciri-ciri tertentu yang sedemikian rupa dapat diperlakukan secara otomatis tanpa perubahan atau perubahan undang-undang yang memuat norma yang diuji dan dinegasikan tersebut, ataupun tanpa memerlukan tindak lanjut dalam bentuk perubanan undang-undang yang diuji tersebut. Secara umum putusan-putusan yang bersifat self-executing/implementing dapat ditelusuri dari sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi baik amarnya menyatakan batal (null and void) dan tidak berlaku lagi ataupun amarnya terdapat perumusan norma.
Implementasi putusan-putusan Mahkamah Konstitusi dapat dilihat dari model putusannya. Implementasi model putusan yang secara hukum membatalkan dan menyatakan tidak berlaku dan model putusan yang merumuskan norma baru bersifat langsung dapat dieksekusi (self executing/self implementing), sedangkan baik model putusan konstitusional bersyarat maupun model putusan inkonstitusional bersyarat tidak dapat secara langsung dieksekusi (non-self executing/implementing).
Pengujian beberapa pasal di dalam UU Advokat sebagaimana telah dipaparkan pada sub bab sebelumnya, telah mengimplementasikan beberapa model putusan, ada yang membatalkan atau mengabulkan yang bersifat langsung dapat di eksekusi maupun yang tidak dapat langsung di eksekusi atau diputus secara bersyarat, sehingga membutuhkan tindak lanjut terhadap putusan tersebut. Terhadap pengujian beberapa pasal tersebut, perlu kiranya untuk dilakukan evaluasi guna melihat keadaan hukum baru ataupun kekosongan hukum yang mungkin terjadi akibat putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.
Adapun keadaan hukum baru yang terjadi akibat pengujian beberapa pasal dalam UU Advokat sebagaimana telah dipaparkan diatas. Secara garis besar ada 3 Pasal yang dikabulkan dari sejumlah permohonan pengujian terhadap UU Advokat sebagaimana telah dipaparkan diatas, yaitu Pertama, terkait pengujian Pasal 4 ayat (1) dalam Perkara Nomor 101/PUU-VII/2009 pada intinya mengabulkan permohonan pemohon dimana majelis memutus secara conditionally unconstitutional sepanjang frasa “di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya” tidak dimaknai bahwa “Pengadilan Tinggi atas perintah Undang-Undang wajib mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat yang pada saat ini secara de facto ada, dalam jangka waktu 2 (dua) Tahun sejak Amar Putusan ini diucapkan.
Pasal a quo kembali di uji dalam perkara Perkara Nomor 112/PUU-XII/2014 dan Perkara Nomor 36/PUU-XIII/2015 dan diputus secara conditionally unconstitutional bahwa sepanjang frasa “di sidang terbuka pengadilan tinggi” sepanjang tidak dimaknai bahwa “Pengadilan Tinggi atas perintah Undang-Undang wajib mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat yang secara de facto ada yaitu PERADI dan KAI”. Keadaan hukum baru yang terjadi dari diputuskannya secara bersyarat terhadap Pasal 4 ayat (1) adalah bahwa pengadilan wajib mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat yang secara de facto ada saat ini yaitu Peradi dan KAI.
Kedua, terkait pengujian Pasal 16 ayat (1) dalam perkara Perkara Nomor 26/PUU-XI/2013 pada intinya mengabulkan permohonan para Pemohon, dimana majelis memutus dengan merumuskan norma baru bahwa Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan”. Keadaan hukum baru yang terjadi adalah bahwa pemberi bantuan hukum yang berprofesi sebagai advokat yang memberi layanan bantuan hukum) tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan.
Ketiga, terkait pengujian terhadap Pasal 31 UU Advokat dalam perkara Nomor 006/PUU-II/2004 pada intinya mengabulkan permohonan Pemohon agar setiap tindakan advokasi atau pemberian jasa hukum dapat dilakukan oleh lembaga bantuan hukum dan sejenisnya, dan seseorang atau lembaga yang memberikan informasi, konsultasi hukum kepada pihak yang membutuhkan bantuan hukum dengan demikian tidak dapat dipidana berdasarkan pasal a quo. Keadaan hukum baru yang terjadi akibat dibatalkannya Pasal 31 UU Advokat adalah bahwa setiap tindakan advokasi yang dilakukan seseorang dan lembaga bantuan hukum berupa konsultasi hukum dan sejenisnya diluar sidang pengadilan tidak dapat dipidana. Sehingga setiap orang yang bukan berprofesi advokat dapat memberikan jasa hukum di luar pengadilan.
Sedangkan kekosongan hukum yang muncul akibat putusan Mahkamah Konstitusi dalam beberapa perkara sebagaimana telah dijelaskan diatas adalah kekosongan yang mungkin akan timbul terkait dengan pembentukan organisasi advokat. Bahwa berdasarkan paparan sebelumnya, bahwa telah diajukan beberapa kali pengujian terhadap Pasal 4 ayat (1) UU Advokat yakni dalam perkara Perkara Nomor 101/PUU-VII/2009, Perkara Nomor 112/PUU-XII/2014 dan Perkara Nomor 36/PUU-XIII/2015 yang pada intinya mempermasalahkan keorganisasian advokat yang sah. Perlu ada penegasan aturan mengenai keorganisasian advokat yang legitimate agar memberikan kepastian hukum. Kemudian perlu adanya penegasan aturan terkait lingkup tindakan apa saja yang dapat dilakukan oleh seorang advokat untuk kepentingan klien baik didalam maupun diluar sidang pengadilan. Hal ini guna memberikan kepastian hukum bagi advokat dalam melaksanakan profesinya.


Dikabulkannya Pasal 4 ayat (1), Pasal 16, Pasal 31 UU Advokat dalam 5 permohonan perkara di Mahkamah Konstitusi telah menciptakan keadaan hukum baru. Keadaan hukum baru yang tercipta akibat putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 4 ayat (1) UU Advokat intinya terkait dengan kewajiban bagi Pengadilan Tinggi untuk mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat. Kemudian, Pasal 16 terkait dengan perlindungan bahwa Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan. Dan terakhir terkait pengujian Pasal 31, keadaan hukum baru yang tercipta akibat putusan Mahkamah Konstitusi terhadap pengujian pasal a quo bahwa setiap orang atau lembaga yang memberikan bantuan pemberian informasi dan bantuan konsultasi hukum terhadap pihak yang membutuhkan bantuan hukum tidak dapat dipidana.
Dari beberapa putusan diatas ada beberapa putusan yang diputus secara bersyarat, sehingga perlu dilakukan perubahan terhadap rumusan norma yang telah diputus secara bersyarat tersebut dan juga penyesuaian beberapa undang-undang terkait terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Hal ini guna lebih memberikan kepastian hukum atas berlakunya norma akibat dari putusan Mahkamah Konstitusi.

Perlu dilakukan perubahan terhadap UU Advokat yang dituangkan dalam rencana perubahan UU Advokat baik sebagai daftar kumulatif terbuka maupun dalam prolegnas prioritas Tahunan. Adapun perubahan dimaksud adalah terhadap pasal-pasal yang telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi sebagai berikut:
No
Perkara Mahkamah Konstitusi
Pasal yang dibatalkan Putusan

1
Pkr.No.06/PUU-II/2004
Pasal 31 UU Advokat

Pasal 31

“Setiap orang yang dengan sengaja menjalankan pekerjaan profesi Advokat dan bertindak seolaholah sebagai Advokat, tetapi bukan Advokat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) Tahun dan denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta)”.

Mengabulkan permohonan para pemohon.

2
Pkr.No.101/PUU-VII/2009
Pasal 4 ayat (1) UU Advokat.

Pasal 4 ayat (1)

“Sebelum menjalankan profesinya, Advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau
berjanji dengan sungguh-sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya”.

Pembatalan secara bersyarat

3
Pkr.No.26/PUU-XI/2013
Pasal 16 UU Advokat

Pasal 16
“Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan”.

Pembatalan secara bersyarat

4
Pkr.No.112/PUU-XII/2014 dan Pkr. No. 36/PUU-XIII/2015

Pasal 4 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat

Pasal 4 ayat (1)

“Sebelum menjalankan profesinya, Advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau
berjanji dengan sungguh-sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya”.


Pembatalan secara bersyarat



Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi : Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) / 01-12-2017

Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat. Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi, jumlah kerugian negara, maupun bentuk korupsi yang semakin sistematis. Korupsi yang terjadi hingga saat ini mengancam kehidupan bernegara, merugikan perekonomian nasional dan keuangan negara, menurunkan kepercayaan publik terhadap negara, dan berdampak terhadap kemiskinan, keadilan masyarakat, serta dapat merusak budaya jujur bermasyarakat. Dampak tersebut timbul karena tindak pidana korupsi terus mengalami peningkatan dan perkembangan seiring dengan pertumbuhan ekonomi negara. Untuk itu diperlukan konsistensi negara dalam upaya pemberantasan korupsi melalui penegakan hukum. Korupsi telah merusak setiap sendi kehidupan bernegara sehingga kebijakan politik dari negara untuk memberantasnya diwujudkan dengan membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (yang selanjutnya disebut KPK) sebagai lembaga anti-korupsi di Indonesia.
Dalam rangka mewujudkan supremasi hukum, negara telah meletakkan landasan kebijakan yang kuat dalam usaha memerangi tindak pidana korupsi. Seluruh kebijakan tersebut tertuang dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Berdasarkan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, badan khusus tersebut disebut Komisi Pemberantasan Korupsi yang memiliki kewenangan melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Adapun mengenai pembentukan, susunan organisasi, tata kerja dan pertanggungjawaban, tugas dan wewenang keanggotaannya diatur dengan undang-undang.
Pembentukan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (yang selanjutnya disebut UU KPK) merupakan sebuah bentuk respon negara karena lembaga pemerintah yang ada saat ini dianggap belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi. Melalui undang-undang ini telah lahir lembaga KPK yang dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK merupakan lembaga negara yang bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Namun demikian, KPK dibentuk bukan untuk mengambil alih tugas pemberantasan korupsi dari lembaga-lembaga yang ada sebelumnya. Penjelasan undang-undang menyebutkan peran KPK sebagai trigger mechanism, yang berarti mendorong atau sebagai stimulus agar upaya pemberantasan korupsi oleh lembaga-lembaga yang telah ada sebelumnya menjadi lebih efektif dan efisien.
Bagaimanapun kondisi pemberantasan korupsi di Indonesia masih jauh dari berhasil. Masih banyak tercatat perbuatan korup di parlemen, eksekutif, maupun lembaga peradilan. Selama lima belas tahun pembentukan lembaga ini beserta dukungan dari masyarakat Indonesia, bukan merupakan hal yang mudah bagi KPK untuk memberantas tuntas tindak pidana korupsi yang semakin sistemik dan masif. Berdasarkan hasil penelitian Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK, korupsi di Indonesia masih sulit diberantas oleh karena (1) peraturan perundang-undangan yang belum memadai, (2) lemahnya penegakan hukum, (3) sikap permisif terhadap korupsi, (4) kurangnya keteladanan dan kepemimpinan, (5) sistem penyelenggaraan negara dan pengelolaan dunia usaha tidak/ kurang mengindahkan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik, dan (6) beragam sebab lain.
Peraturan perundang-undangan yang belum memadai sebagaimana yang menjadi hasil penelitian Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK dapat terlihat dari banyaknya uji materiil yang diajukan warga negara terhadap UU KPK. Sejak diundangkannya lembaga ini, UU KPK telah 6 (enam) kali permohonan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut dengan MK), diantaranya Putusan Nomor 016/PUU-IV/2006, Putusan Nomor 133/PUU-VII/2009, Putusan Nomor 5/PUU-IX/2011, Putusan Nomor 31/PUU-X/2012, Putusan Nomor 16/PUU-XII/2014, dan Putusan Nomor 102/PUU-XIII/2015. Namun demikian, hanya 2 (dua) permohonan yang dikabulkan oleh MK baik sebagian maupun seluruhnya. Permohonan tersebut adalah Pasal 53 dalam putusan nomor 016/PUU-IV/2006 dan Pasal 34 dalam putusan nomor 5/PUU-IX/2011. Adapun rinciannya sebagai berikut:
a. Putusan Nomor 16/PUU-IV/2006
Pemohon dalam permohonannya menguji materiil Pasal 1 Angka 3, Pasal 2, Pasal 3, Pasal 11 huruf b, Pasal 12 Ayat (1) huruf a, Pasal 20, Pasal 40, dan Pasal 53 UU tentang KPK terhadap Pasal 1 Ayat (3), Pasal 24 Ayat (1) dan (2), Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1), dan Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945. Namun hanya Pasal 53 UU KPK yang diterima oleh MK bertentangan dengan konstitusi. Adapun ketentuan dalam Pasal 53 dalam UU KPK menyatakan, “Dengan Undang-Undang ini dibentuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.”
Dalam permohonannya, pemohon pada intinya mengemukakan bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan dan dilanggar oleh berlakunya pasal-pasal a quo, karena dengan melekatnya Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Pengadilan Tipikor) melanggar prinsip kemandirian dan kemerdekaaan kekuasaan kehakiman serta menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan bagi masyarakat pencari keadilan.
Pemeriksaan di sidang Pengadilan Tipikor merupakan bagian dari pemberantasan tindak pidana korupsi, yang merupakan bagian dari kekuasaan pemerintahan (kekuasaan eksekutif). Padahal berdasarkan UUD 1945, lembaga pengadilan sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman (kekuasaan yudikatif), mempunyai fungsi untuk mengadili atau menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Selain daripada itu dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan KPK berwenang untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan. Hal tersebut dianggap melanggar hak warga negara atas rasa aman dan jaminan perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat.
Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum, MK membuat amar putusan sebagai berikut:
Menyatakan permohonan Pemohon II dikabulkan untuk sebagian;
Menyatakan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Menyatakan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250) tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat sampai diadakan perubahan paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak putusan ini diucapkan;
Menyatakan permohonan Pemohon II ditolak untuk selebihnya;
Menyatakan permohonan Pemohon I ditolak untuk seluruhnya;
Menyatakan permohonan Pemohon III ditolak untuk seluruhnya;
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.



b. Putusan Nomor 5/PUU-IX/2011
Pemohon dalam permohonannya menguji materiil Pasal 34 UU KPK terhadap Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Adapun ketentuan dalam Pasal 34 dalam UU KPK menyatakan bahwa, “Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama 4 (empat) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan.”
Dalam permohonannya, Pemohon mengemukakan bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan dan dilanggar oleh berlakunya Pasal 34 UU KPK terhadap UUD 1945, yaitu Pemohon sebagai warga negara dan badan hukum Indonesia yang cinta terhadap tanah air dan peduli terhadap nasib bangsa memiliki hak konstitusional untuk mendapatkan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakukan yang sama di hadapan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Dalam pandangan para Pemohon, tafsir masa jabatan pimpinan pengganti selama satu tahun akan menghambat optimalisasi dan efektivitas pemberantasan tindak pidana korupsi dan sekaligus menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap masa jabatan pimpinan pengganti KPK. Pemohon beranggapan bahwa akibat penafsiran yang keliru oleh DPR-RI terhadap ketentuan Pasal 34 UU KPK telah menyebabkan pimpinan pengganti KPK terpilih, yakni Dr. Busyro Muqoddas, SH. MH, hanya menjabat selama satu tahun. Hal demikian telah mengakibatkan timbulnya ketidakpastian hukum terhadap masa jabatan Pimpinan Pengganti KPK terpilih. Ketidakpastian masa jabatan tersebut juga berdampak pada efektivitas kerja Pimpinan KPK dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, bahkan sekaligus berpotensi melemahkan agenda pemberantasan korupsi oleh KPK yang bertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera.
Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum, MK membuat amar putusan sebagai berikut:
(1) Menyatakan mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
(2) Menyatakan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa Pimpinan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi baik pimpinan yang diangkat secara bersamaan maupun pimpinan pengganti yang diangkat untuk menggantikan pimpinan yang berhenti dalam masa jabatannya memegang jabatan selama 4 (empat) tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan;
(3) Menyatakan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa pimpinan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi baik pimpinan yang diangkat secara bersamaan maupun pimpinan pengganti yang diangkat untuk menggantikan pimpinan yang berhenti dalam masa jabatanya memegang jabatan selama 4 (empat) tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan;
(4) Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK?
2. Apa akibat hukum terhadap pasal dan ayat suatu UU yang dinyatakan MK sebagai inkonstitusionalitas/inkonstitusionalitas bersyarat?
3. Apakah terjadi disharmoni norma dalam suatu UU jika suatu pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK berimplikasi terhadap norma pasal ayat lain yang tidak diujikan?

A. Konstitusionalitas Undang-Undang
Pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 yang menjadi kewenangan MK merupakan wujud prinsip atau asas konstitusionalitas undang-undang (constitutionality of law) yang menjamin bahwa undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang itu tidak bertentangan dengan UUD 1945. Kewenangan pengujian undang-undang menimbulkan sebuah kewenangan yang mutatis mutandis (dengan sendirinya) ada, yaitu kewenangan menafsirkan konstitusi. Apabila dalam konstitusi tidak terdapat ketentuan yang ekplisit mengenai kewenangan menafsir konstitusi kepada lembaga negara yang diberikan kewenangan constitutional review, maka harus dipahami bahwa kewenangan menafsirkan konstitusi menyertai kewenangan constitutional review tersebut. Oleh sebab itu, sering dinyatakan bahwa Constitutional Court itu merupakan “the guardian of constitution and the sole interpreting of constitution”, disebut sebagai penjaga konstitusi berdasarkan kewenangan dalam memutus apakah sebuah produk perundang-undangan telah sesuai dengan konstitusi atau tidak.
Kewenangan menafsirkan itu sesungguhnya timbul dari sebuah tafsir Pasal 24C UUD 1945 bahwa “MK menguji undang-undang terhadap UUD” sebagai ketentuan pemberian kewenangan constitutional review kepada MK, ketentuan tersebut tidak mengandung kewenangan MK untuk melakukan penafsiran terhadap konstitusi, namun sangatlah tidak mungkin dapat melakukan penilaian pertentangan norma sebuah undang-undang apabila tidak menggunakan penafsiran konstitusi, dalam hal ini MK sebagai penafsir sah terhadap undang-undang dasar atau konstitusi (the legitimate interpreter of the constitution).
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, salah satu kewenangan dari Mahkamah Konstitusi adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan wujud dari prinsip atau asas konstitusionalitas undang-undang (constitutionality of law) yang menjamin bahwa undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang itu tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Menurut Sri Soemantri, dalam praktiknya dikenal adanya dua macam hak menguji yaitu :
a. Hak menguji formil (formale toetsingsrecht);
Hak menguji formil adalah wewenang untuk menilai, apakah suatu produk legislatif seperti undang-undang misalnya terjelma melalui cara-cara (procedur) sebagaimana telah ditentukan/diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku ataukah tidak. Dalam pengujian formal ini tampak jelas bahwa yang dinilai atau diuji adalah tatacara (procedur) pembentukan suatu undang-undang, apakah sesuai ataukah tidak dengan yang telah ditentukan/digariskan dalam peraturan perundang-undangan.
b. Hak menguji material (materiele toetsingsrecht).
Hak menguji material adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu pertauran perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Hak menguji material ini berkenanan dnegan isi dari suatu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya. Jika suatu undang-undang dilihat dari isinya bertentangan dengan undang-undang dasar maka undang-undang tersebut harus dinyatakan tidak mempunyai daya mengikat.
Menurut pandangan Jimly Asshiddiqqie, dalam praktiknya dikenal adanya tiga macam norma hukum yang dapat diuji atau yang biasa disebut norm control mechanism. Ketiganya sama-sama merupakan bentuk norma hukum sebagai hasil dari proses pengambilan keputusan hukum yaitu keputusan normative yang berisi dan bersifat pengaturan (regeling), keputusan normatif yang berisi dan bersifat penetapan administrative (beschikking), dan keputusan normatif yang berisi dan bersifat penghakiman (judgement) yang biasa disebut vonis. Mekanisme pengujian norma hukum ini dapat dilakukan dengan mekanisme pengujian yang dilakukan oleh lembaga peradilan yang dikenal dengan istilah judicial review. Terdapat beberapa jenis pengujian yaitu legislative review(pengujian tersebut diberikan kepada parlemen), executive review (pengujian tersebut diberikan kepada pemerintah), dan judicial review (pengujian yang diberikan kepada lembaga peradilan). Ketiga bentuk norma hukum ada yang merupakan individual and concret norms, dan ada pula yang merupakan general and abstract norms. Vonis dan beschikking selalu bersifat individualand concrete sedangkan jika yang diuji normanya bersifat umum dan abstrak maka norma yang diuji itu adalah produk regeling. Pengujian norma hukum yang bersifat konkret dan individual termasuk dalam lingkup peradilan tata usaha negara.
Dalam pengujian undang-undang, terdapat dua istilah yakni judicial review dan constitutional review. Constitutional review yang dapat diartikan sebagai pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar yang pada saat ini menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi, judicial review dapat diartikan sebagai pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang yang pada saat ini dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Pada dasarnya banyak yang menyamakan istilah judicial review dan constitutional review, padahal kedua istilah ini berbeda. Jika constitutional review maka ukuran pengujiannya dilakukan dengan menggunakan konstitusi sebagai alat ukur, namun jika norma yang diujikan tersebut menggunakan batu ujinya adalah undang-undang maka dapat dikatakan sebagai judicial review. Konsep constitutional review berkembang dari gagasan modern tentang sistem pemerintahan demokratis yang didasarkan atas ide-ide negara hukum (rule of law), prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power), serta perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia (the protection of fundamental rights). Dalam constitutional review terdapat dua tugas pokok yakni :
a. Untuk menjamin berfungsinya sistem demokrasi dalam hubungan perimbangan peran atau interplay antar cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Dengan perkataan lain constitutional review dimaksudkan untuk mencegah terjadinya pendayagunaan kekuasaan oleh satu cabang kekuasaan lainnya; dan
b. Untuk melindungi setiap individu warga negara dari penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga negara yang merugikan hak fundamental warga negara yang dijamin dalam konstitusi.
Dengan adanya keberadaan Mahkamah Konstitusi juga telah menciptakan pembagian kekuasaan atau pemisahan kekuasaan yang memungkinkan adanya proses saling mengawasi dan saling mengimbangi di antara cabang-cabang kekuasaan negara yang ada atau lazim disebut dengan mekanisme checks and balances. Hal itu tampak terutama dari salah satu kewenangan yang dilimpahkan kepada Mahkamah Konstitusi untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945.
Dengan demikian, esensi dari produk putusan Mahkamah Konstitusi dalam menguji undang-undang terhadap UUD 1945 ditempatkan dalam bingkai mekanisme check and balances antara lembaga negara. Hubungan untuk saling mengontrol ini, pada akhirnya dimaksudkan untuk melahirkan suatu produk hukum yang adil dan betul-betul berorientasi pada kepentingan rakyat. Sehingga, pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 dapat juga dilihat sebagai bagian dari koreksi terhadap produk yang dihasilkan oleh DPR RI dan Presiden.

B. Putusan Mahkamah Konstitusi Final dan Mengikat
Mahkamah Konstitusi yang diadopsi dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memiliki dua fungsi ideal yaitu MK dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi dan berfungsi untuk menjamin, mendorong, mengarahkan, membimbing, dan memastikan bahwa UUD NRI Tahun 1945 dijalankan dengan sebaik-baiknya oleh penyelenggara negara agar nilai-nilai yang terkandung didalamnya dijalankan dengan benar dan bertanggung jawab; dan MK harus bertindak sebagai penafsir karena MK dikonstruksikan sebagai lembaga tertinggi penafsir UUD NRI Tahun 1945. Melalui fungsi ini maka Mahkamah Konstitusi dapat menutupi segala kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam UUD NRI Tahun 1945.
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya maka Mahkamah Konstitusi diberikan kewenangan untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945; memutus pembubaran partai politik; memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana tercantum dalam Pasal 24C UUD NRI Tahun 1945, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 29 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dari uraian diatas maka diketahui bahwa sifat dari putusan Mahkamah Konstitusi yaitu final yang artinya bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). Konsep ini mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni secara sederhana dan cepat sebagaimana diuraikan dalam penjelasan No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang secara utuh menjelaskan bahwa Mahkamah Konstitusi dalam menyelenggarakan peradilan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tetap mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni dilakukan secara sederhana dan cepat. Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat tersebut, tidak dapat dilepaskan dengan asas erga omnes yang diartikan dengan mengikat secara umum dan juga mengikat terhadap obyek sengketa. Apabila suatu peraturan perundang‐undangan oleh hakim menyatakan tidak sah, karena bertentangan dengan peraturan perundang‐undangan yang lebih tinggi, berarti peraturan perundang‐undangan tersebut berakibat menjadi batal dan tidak sah untuk mengikat setiap orang.
Secara harfiah, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat memiliki makna hukum tersendiri. Frasa “final” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “terakhir dalam rangkaian pemeriksaan” sedangkan frasa mengikat diartikan sebagai “mengeratkan”, “menyatukan”. Bertolak dari arti harfiah ini maka frasa final dan frasa mengikat, saling terkait sama seperti dua sisi mata uang artinya dari suatu proses pemeriksaan telah memiliki kekuatan mengeratkkan atau menyatukan semua kehendak dan tidak dapat dibantah lagi. Makna harfiah di atas, bila dikaitkan dengan sifat final dan mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi artinya telah tertutup segala kemungkinan untuk menempuh upaya hukum. Tatkala putusan tersebut diucapkan dalam sidang pleno, maka ketika itu lahir kekuatan mengikat (verbindende kracht).
Secara Substansial makna hukum dari putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat dibagi dalam beberapa bagian yaitu:
a. Menjaga konstitusi (The Guardian of Constitution), menafsirkan konstitusi (The Interpreteur of Constitution), menjaga demokrasi, menjaga persamaan di mata hukum, dan koreksi terhadap undang-undang.
Kehadiran Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan tidak lain berperan sebagai pengawal konstitusi (The Guardian of Constitution), agar konstitusi selalu dijadikan landasan dan dijalankan secara konsisten oleh setiap komponen negara dan masyarakat. Mahkamah Konstitusi berfungsi mengawal dan menjaga agar konstitusi ditaati dan dilaksanakan secara konsisten, serta mendorong dan mengarahkan proses demokratisasi berdasarkan konstitusi. Dengan adanya Mahkamah Konstitusi, proses penjaminan demokrasi yang konstitusional diharapkan dapat diwujudkan melalui proses penjabaran dari empat kewenangan konstitusional (constitusionally entrusted powers) dan satu kewajiban (constitusional obligation). Mahkamah Konstitusi bertugas melakukan penyelesaian persengketaan yang bersifat konstitusional secara demokratis.
Putusan-putusan yang final dan mengikat 
 yang ditafsirkan sesuai dengan konstitusi sebagai hukum tertinggi, dimana pelaksanaannya harus bertanggungjawab, sesuai dengan kehendak rakyat (konstitusi untuk rakyat bukan rakyat untuk konstitusi), dan cita‐cita demokrasi, yakni kebebasan dan persamaan (keadilan).Artinya Mahkamah Konstitusi tidak hanya sebagai penafsir melalui putusan‐putusannya melainkan juga sebagai korektor yang aplikasinya yang tercermin dalam undang‐undang yang dibuat oleh DPR dan Presiden dengan batu uji konstitusi melalui interprestasinya dengan kritis dan dinamis.Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat merupakan refleksi dari fungsinya sebagai penjaga konstitusi, penjaga demokrasi, penjaga persamaan dimata hukum, penafsir konstitusi dan korektor undang‐undang agar disesuaikan dengan UUD.
b. Membumikan prinsip-prinsip negara hukum;
Filosofi negara hukum adalah negara melaksanakan kekuasaannya, tunduk terhadap pengawasan hukum. Artinya ketika hukum eksis terhadap negara, maka kekuasaan negara menjadi terkendali dan selanjutnya menjadi negara yang diselenggarakan berdasarkan ketentuan hukum tertulis atau tidak tertulis (konvensi).14
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pengawas tertinggi, tatkala putusannya yang final dan mengikat, makna hukumnya adalah membumikan negara hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila sebagaimana dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon. Dimana, melalui putusan Mahkamah Konstitusi mengadili dan memutus hal‐hal yang berkaitan dengan kewenangan atribusi yang diberikan kepadanya untuk menjaga, keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan.
c. Membangun sebuah penegakkan hukum
Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan yaitu kepastian hukum (rechissicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan keadilan (gerechtigkeit). Selanjutnya ditegaskan bahwa kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang‐wenang, yang berarti bahwa seseorang akan memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib, karena hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan untuk ketertiban masyarakat. Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat dapat dimaknai sebagai penegakan hukum tata negara. Khususnya menyangkut pengontrolan terhadap produk politik yaitu undang‐undang yang selama ini tidak ada lembaga yang dapat mengontrolnya. Pada sisi lain, juga dapat menegakkan hukum dimana memutuskan tentang benar salahnya Presiden atau Wakil Presiden yang dituduh oleh DPR bahwa melakukan perbuatan melanggar hukum. Demikian juga dapat memutuskan tentang sengketa‐sengketa khusus yang merupakan kewenangannya termasuk memutuskan untuk membubarkan partai politik. Dengan demikian, hal ini sangat diharapkan sebagai wujud perlindungan hak‐hak masyarakat dan juga menempatkan semua orang sama di mata hukum (equality before the law).




d. Perekayasa Hukum
Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat (final and binding) merupakan suatu bentuk rekayasa hukum. Frasa “rekayasa” diartikan sebagai penerapan kaidah‐kaidah ilmu dalam pelaksanaan seperti perancangan, pembuatan konstruksi, serta pengoperasian kerangka, peralatan, dan sistem yang ekonomis dan efisien.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat sebagai sebuah bentuk rekayasa hukum yang diwujudkan dalam bentuk norma atau kaidah yang sifatnya membolehkan, mengajurkan, melarang, memerintahkan untuk berbuat atau tidak berbuat. Nilai mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi yang final adalah sama dengan nilai mengikat dan sebuah undang‐undang hasil produk politik, yang berfungsi sebagai alat rekayasa sosial politik, alat kontrol terhadap masyarakat dan penguasa serta memberikan perlindungan hukum terhadap seluruh komponen bangsa.

C. Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan dalam peradilan merupakan perbuatan hakim sebagai pejabat negara berwenang yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dibuat secara tertulis untuk mengakhiri sengketa yang dihadapkan para pihak kepadanya. Sebagai perbuatan hukum yang akan menyelesaikan sengketa yang dihadapkan kepadanya, maka putusan hakim tersebut merupakan tindakan negara di mana kewenangannya dilimpahkan kepada hakim baik berdasarkan UUD 1945 maupun undang-undang.
Dari sudut pandang hukum tata negara, putusan Mahkamah Konstitusi termasuk dalam keputusan negara yang mengandung norma hukum sama halnya dengan putusan pembentuk undang-undang yang bersifat pengaturan (regeling). Putusan Mahkamah Konstitusi dapat membatalkan suatu undang-undang atau materi muatan dalam undang-undang, sedangkan pembentuk undang-undang menciptakan norma hukum dalam bentuk materi muatan dalam suatu undang-undang.
Putusan Mahkamah Konstitusi terutama dalam pengujian undang-undang kebanyakan jenisnya adalah bersifat declaratoir constitutief. Artinya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menciptakan atau meniadakan satu keadaan hukum baru atau membentuk hukum baru sebagai negative legislature. Hal lain yang perlu dicermati lebih lanjut adalah adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) maupun inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional). Varian putusan Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan putusan yang menyatakan bahwa suatu ketentuan undang-undang tidak bertentangan dengan konstitusi dengan memberikan persyaratan pemaknaan dan keharusan kepada lembaga negara dalam pelaksanaan suatu ketentuan undang-undang untuk memperhatikan penafsiran Mahkamah Konstitusi atas konstitusionalitas ketentuan undang-undang yang sudah diuji tersebut. Dengan demikian, terdapat penafsiran sendiri dari Mahkamah Konstitusi agar suatu norma undang-undang tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Putusan Mahkamah Konsitusi sejak diucapkan di hadapan sidang terbuka untuk umum dapat mempunyai 3 (tiga) kekuatan, yaitu:

A. Kekuatan mengikat
Kekuatan mengikat putusan Mahkamah Konstitusi berbeda dengan putusan pengadilan biasa, tidak hanya meliputi pihak-pihak berperkara (interpartes), yaitu pemohon, pemerintah, DPR/DPD, ataupun pihak terkait yang diizinkan memasuki proses perkara, tetapi juga putusan tersebut mengikat bagi semua orang, lembaga negara, dan badan hukum dalam wilayah republik Indonesia.
Putusan tersebut berlaku sebagai hukum sebagaimana hukum diciptakan pembuat undang-undang. Dengan demikian, Hakim Mahkamah Konstitusi dikatakan sebagai negative lagislator yang putusannya bersifat erga omnes, yang ditujukan pada semua orang.



B. Kekuatan pembuktian
Dalam perkara konstitusi yang putusannya bersifat erga omnes, maka permohonan pengujian yang menyangkut materi yang sama yang sudah pernah diputus tidak dapat lagi diajukan untuk diuji oleh siapapun. Putusan Mahkamah Konstitusi yang telah berkekuatan hukum tetap demikian dapat digunakan sebagai alat bukti dengan kekuatan pasti secara positif bahwa apa yang diputus oleh hakim itu dianggap telah benar. Selain itu, pembuktian sebaliknya tidak diperkenankan.

C. Kekuatan eksekutorial
Putusan Mahkamah Konstitusi berlaku sebagai undang-undang dan tidak memerlukan perubahan yang harus dilakukan dengan amandemen atas undang-undang yang bagian tertentu dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Eksekusi putusan Mahkamah Konstitusi telah dianggap terwujud dengan pengumuman putusan tersebut dalam Berita Negara sebagaimana diperintahkan dalam Pasal 57 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Akibat hukum yang timbul dari satu putusan hakim jika menyangkut pengujian terhadap undang-undang diatur dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang pada intinya menyatakan undang-undang yang diuji tetap berlaku sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Ketentuan ini juga berarti bahwa putusan hakim Mahkamah Konstitusi yang menyatakan satu undang-undang bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat tidak boleh berlaku surut.



D. Teori Negara Demokrasi Perwakilan
Indonesia merupakan negara demokrasi. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan bahwa, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Salah satu ciri negara demokrasi adalah adanya pemilihan umum yang dilaksanakan secara periodik, termasuk pemilihan pejabat negara pada tingkat pusat dan daerah. Sehingga sebaik apapun sebuah pemerintahan dirancang, negara tidak bisa dianggap demokratis kecuali para pejabat yang memimpin pemerintahan itu dipilih secara bebas oleh warga negara dengan cara yang terbuka dan jujur.
Demokrasi di Indonesia menganut teori perwakilan yang amat erat hubungannya dengan prinsip kedaulatan rakyat dan demokrasi. Dalam zaman modern. kekuasaan rakyat tidak lagi dilaksanakan secara langsung, tetapi disalurkan melalui lembaga perwakilan (DPR) sebagai realisasi sistem demokrasi tidak langsung. Ada tiga hal yang perlu diperhatikan ketika pengkajian difokuskan pada masalah perwakilan ini, pertama menyangkut pengertian pihak yang diwakili, kedua berkenaan dengan pihak yang mewakili, dan ketiga berkaitan dengan bagaimana hubungan serta kedudukannya.
Heinz Eulau dan John Whalke mengadakan klasifikasi perwakilan ini ke dalam tiga pusat perhatian, dijadikan sebagai sudut kajian yang mengharuskan adanya “wakil”, yakni, 1) adanya partai, 2) adanya kelompok, dan 3) adanya daerah yang diwakili. Dalam demokrasi perwakilan (representative democratie), fungsi pemerintahan dialihkan dari warga negara kepada organ-organ khusus. Hak menentukan nasib sendiri dalam demokrasi dibatasi pada prosedur untuk membentuk dan memilih organ ini. Hans Kelsen menyatakan bahwa: “The demoratic form of nomination is election. The organ authorized to create or execute the legal norms is elected by subjects whoose behavior is regulated by these norm.”
Pemerintahan demokratis menunjukkan kadar partisipasi rakyat yang semakin tinggi, baik dalam mimilih pejabat negara, mengawasi perilakunya, maupun dalam menentukan arah kebijakan publik. Rakyat mempunyai akses untuk menentukan siapa yang sepatutnya memerintah mereka, apa yang dilakukan serta menilai keberhasilannya dan kegagalannya. Kadar demokrasi suatu negara ditentukan oleh 2 (dua) hal, Pertama, seberapa besar peranan masyarakat dalam menentukan siapa diantara mereka yang dijadikan pejabat negara, baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah, pemilihan pejabat publik langsung oleh rakyat, maka semakin tinggi kadar demokrasi negara tersebut. Kedua, seberapa besar peranan masyarakat dalam menentukan kebijakan publik. Semakin besar peranan masyarakat dalam menentukan kebijakan publik, semakin tinggi kadar demokrasinya.
Herbert McCloscky mengatakan bahwa partisipasi politik ialah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung dalam proses pembentukan kebijakan umum. Sementara itu, Samuel P. Huntington dan Joan Nelson dalam No Easy Choice:Political in Developing Countries, menekankan bahwa partisipasi politik merupakan kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh Pemerintah. Karena itu, partisipasi politik bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak efektif.
Secara umum, dalam menentukan kriteria seseorang dapat dipilih untuk menduduki jabatan pemerintahan negara baik di tingkat Pusat maupun Daerah antara lain: Pertama, kualitas dari tokoh-tokoh yang akan memimpin bangsa dan negara Indonesia harus memiliki berbagai kualitas. Kualitas tersebut menyangkut kualitas intelektual, integritas moral, serta kemampuan visioner dari para tokoh tersebut. Tentu rakyat tidak mengharapkan bahwa tokoh-tokoh yang akan bergabung dalam kepemimpinan tersebut hanya memiliki kualitas yang sama dengan rata-rata anggota masyarakat. Karena ada satu aksioma yang tidak boleh dilupakan bahwa para pemimpin itu berada satu atau dua tingkatan di atas mereka yang dipimpin.
Kedua, seorang pemimpin harus memiliki tingkat kejujuran yang optimal. Hal ini dikarenakan kejujuran adalah kebijaksanaan yang paling baik. Dengan demikian, kejujuran seorang pemimpin harus benar-benar diusahakan secara utuh. Artinya, seorang pemimpin harus jujur kepada masyarakat, jujur kepada dirinya sendiri dan jujur juga kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ketiga, seorang pemimpin adalah orang yang sanggup melakukan pengorbanan atas kepentingan-kepentingan pribadinya untuk kepentingan yang lebih besar yaitu kepentingan masyarakat luas, bangsa dan negara.
Keempat, seorang pemimpin juga harus dilihat berkaitan dengan gaya dan cara seseorang dalam membawakan kepemimpinannya itu sendiri. Seorang yang memiliki karakter mudah marah, yang bersifat konjungtif, reaktif dan emosional tentu akan menjadi pemimpin yang buruk. Selain hal-hal tersebut di atas, ukuran-ukuran seseorang dapat dipilih untuk menduduki suatu jabatan adalah: 1. Calon pemimpin tersebut harus bersih, artinya calon pemimpin tersebut tidak memiliki dosa-dosa sosial; 2. Calon pemimpin tersebut harus mampu memberi tauladan. 3. Calon pemimpin tersebut harus memiliki visi dan misi yang jelas. 4. Calon pemimpin harus dapat berdiri diatas segala perbedaan yang ada. Dia tidak boleh hanya mementingkan suatu kelompok saja, baik salah satu suku, agama atau pun lainnya. Keseluruhan kriteria tersebut merupakan upaya mewujudkan cita-cita negara untuk kesejahteraan rakyat untuk mendapatkan pemimpin negara yang ideal. Prinsip ini telah ada sejak zaman sejarah untuk memilih pemimpin yang terbaik diantara yang terbaik (primus interpares).
Di Indonesia, bentuk manifestasi dari pemilihan pejabat publik langsung oleh rakyat adalah melalui mekanisme pemilihan oleh DPR. Salah satu upaya untuk melakukan penilaian terhadap calon-calon pejabat publik baik di tingkat nasional maupun lokal adalah melalui mekanisme uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test). Mekanisme ini dianggap lebih menjamin terselenggaranya suatu proses pemilihan yang demokratis. Melalui proses fit and proper test tersebut diharapkan akan diketahui secara lengkap tentang diri pribadi masing-masing calon untuk menduduki suatu jabatan publik. Dalam pelaksanaan uji kelayakan dan kepatutan tersebut, para calon pejabat tersebut akan ditanyakan tentang berbagai hal yang secara garis besar mencakup:
1. Riwayat hidup calon.
2. Pengetahuan umum tentang jabatan yang akan diembannya.
3. Visi dan misi yang akan dilakukan berkaitan dengan jabatan yang akan diembannya.

Dengan demikian, dapat diperoleh gambaran tentang kemampuan pribadi yang bersangkutan baik dari segi kemampuan maupun dari segi moral dan pada akhirnya melalui fit and proper test ini akan diperoleh kandidat pejabat yang benar-benar berkualitas dan dapat dipertanggungjawabkan. Seluruh proses pengujian tersebut dilaksanakan secara terbuka sehingga masyarakat pun dapat mengetahui dan menilai hasil pengujian yang dilakukan. Dalam proses fit and proper test tersebut, seharusnya setiap calon dapat menjabarkan visi dan misinya dengan mengacu pada terwujudnya pemerintahan yang baik (good governance), bersih dan bebas dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

1. Pendapat Hukum MK
a. Pendapat hukum MK terhadap Putusan Nomor 16/PUU-IV/2006
Dalam Putusan Nomor 16/PUU-IV/2006, Pemohon mengujikan Pasal 53 UU KPK, yang menyatakan menyatakan bahwa, “Dengan Undang-Undang ini dibentuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.” MK mempertimbangkan pendapat Pemohon yang menyatakan bahwa pasal a quo telah bertentangan dengan Pasal 24 Ayat (1) dan (2), Pasal 24A Ayat (5), serta Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan:
Pasal 24
(1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
(2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Pasal 24A
(1) Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya diatur dengan undang-undang.

Pasal 28D
(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Menurut Pemohon, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut dengan Pengadilan Tipikor) sulit diharapkan dapat menjalankan fungsinya secara merdeka, mandiri dan imparsial. Jika memang Pengadilan Tipikor merupakan bagian dari kekuasaan yudikatif, Pengadilan Tipikor seharusnya dibentuk dengan undang-undang yang terpisah dari undang-undang yang mengatur tentang suatu lembaga negara tertentu, sebagaimana yang berlaku selama ini.
Dalam hal ini MK berpendapat bahwa pelaku kekuasaan kehakiman, menurut Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945, adalah sebuah Mahkamah Agung (dan badan-badan peradilan yang berada di empat lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung) dan sebuah Mahkamah Konstitusi. Badan-badan peradilan dari keempat lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 adalah badan-badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung. Dengan demikian pula, pembentukan pengadilan-pengadilan khusus, sepanjang masih berada dalam salah satu dari empat lingkungan peradilan sebagaimana diatur dalam Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 dimungkinkan.
Penggolongan Pengadilan Tipikor sebagai pengadilan khusus hanya atas dasar kriteria bahwa Pengadilan Tipikor tersebut secara khusus menangani perkara tindak pidana korupsi yang penuntutannya dilakukan oleh KPK, ditambah dengan beberapa ciri lain yaitu susunan majelis hakim terdiri atas dua orang hakim peradilan umum dan tiga orang hakim ad hoc, yang harus menyelesaikan perkara tindak pidana korupsi tersebut dalam jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari kerja terhitung sejak perkara dilimpahkan.
Oleh sebab itu terdapat dua pengadilan yang berbeda dalam lingkungan peradilan yang sama, tetapi dengan hukum acara yang berbeda dan susunan majelis hakim serta kewajiban memutus dalam jangka waktu tertentu secara berbeda, padahal menyangkut perbuatan orang yang sama-sama didakwa melakukan tindak pidana korupsi, yang diancam pidana oleh undang-undang yang sama, yang dapat menghasilkan putusan akhir yang sangat berbeda. Kenyataan yang terjadi dalam praktik di pengadilan umum dan Pengadilan Tipikor selama ini, menunjukkan bukti adanya standar ganda dalam upaya pemberantasan korupsi melalui kedua mekanisme peradilan yang berbeda. Dilihat dari aspek yang dipertimbangkan di atas, Pasal 53 UU KPK yang melahirkan dua lembaga jelas bertentangan dengan UUD 1945, sehingga adalah tidak tepat jika ada yang berpendapat bahwa Pasal 53 UU KPK tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945. Akan tetapi pembentukan Pengadilan Tipikor dalam UU KPK dan bukan dengan undang-undang yang tersendiri, meskipun dari segi teknik perundang-undangan kurang sempurna.
Terhadap pasal a quo MK juga berpendapat bahwa dari segi teknik perundang-undangan, frasa “diatur dengan undang-undang” berarti harus diatur dengan undang-undang tersendiri. Di samping itu, frasa “diatur dengan undang-undang” juga berarti bahwa hal dimaksud harus diatur dengan peraturan perundang-undangan dalam bentuk undang-undang, bukan dalam bentuk peraturan perundang-undangan lainnya.
b. Pendapat hukum MK terhadap Putusan Nomor 5/PUU-IX/2011
Dalam Putusan Nomor 5/PUU-IX/2011, Pemohon mengujikan Pasal 34 UU KPK, yang menyatakan bahwa, “Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama 4 (empat) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan.” MK mempertimbangkan pendapat Pemohon yang menyatakan bahwa pasal a quo telah bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan:
Pasal 27
(1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Pasal 28D
(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
(3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

Ketentuan Pasal 34 UU KPK sendiri sudah sangat jelas dan tegas bahwa masa jabatan Pimpinan KPK adalah empat tahun, dan hal itu tidak menimbulkan persoalan konstitusionalitas. Akan tetapi, ketentuan Pasal 34 UU KPK tersebut menjadi persoalan konstitusional ketika DPR dan Presiden menafsirkan bahwa ketentuan Pasal 34 UU KPK tersebut tidak berlaku untuk semua anggota Pimpinan KPK dan hanya berlaku untuk Pimpinan KPK yang diangkat secara bersamaan lima orang sejak awal periode, sedangkan bagi pimpinan yang menggantikan anggota pimpinan yang berhenti dalam masa jabatannya, hanya melanjutkan sisa masa jabatan anggota yang digantikannya.
Dalam hal ini MK berpendapat jika anggota Pimpinan KPK pengganti hanya menduduki masa jabatan sisa dari anggota pimpinan yang digantikannya, hal itu melanggar prinsip kemanfaatan yang menjadi tujuan hukum. Hukum lahir dan diadakan untuk mencapai kemanfaatan setinggi-tingginya. Proses seleksi seorang Pimpinan KPK pengganti menurut Pasal 33 ayat (2) UU KPK hanya menduduki masa jabatan sisa, mengeluarkan biaya yang relatif sama besarnya dengan proses seleksi lima orang Pimpinan KPK. Hal tersebut merupakan sebuah pemborosan yang tidak perlu dan tidak wajar.
Apabila Pimpinan pengganti itu adalah hanyalah menggantikan dan menyelesaikan masa jabatan sisa dari pimpinan yang digantikan maka mekanisme penggantian tersebut tidak harus melalui proses seleksi yang panjang dan rumit dengan biaya yang besar seperti dalam seleksi lima anggota pimpinan yang diangkat secara bersamaan. Pimpinan pengganti, dalam hal ada pimpinan yang berhenti dalam masa jabatannya, cukup diambil dari calon Pimpinan KPK yang ikut dalam seleksi sebelumnya yang menempati urutan tertinggi berikutnya, seperti penggantian antarwaktu anggota DPR atau anggota DPD yang menurut Pasal 217 ayat (3) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR dan DPRD.
Oleh karena berdasarkan ketentuan Pasal 33 ayat (2) UU KPK yang mengharuskan pengisian pimpinan pengganti dilakukan melalui proses seleksi yang sama dengan proses seleksi lima orang anggota KPK yang diangkat secara bersamaan, menurut MK, penggantian Pimpinan KPK pengganti tersebut tidak sama dengan penggantian antarwaktu anggota DPR dan DPD. Penggantian antarwaktu anggota DPR dan DPD, tidak melalui proses seleksi yang baru dan sudah ditegaskan dalam Undang-Undang hanya melanjutkan masa jabatan sisa dari anggota yang digantikannya. UU KPK menegaskan bahwa Pimpinan KPK pengganti dilakukan melalui proses seleksi yang baru dan tidak ditentukan bahwa pimpinan pengganti hanya melanjutkan sisa masa jabatan pimpinan yang digantikannya. Menurut Mahkamah, hal itu menunjukkan bahwa masa jabatan Pimpinan KPK pengganti tidak dapat ditafsirkan sama dengan penggantian antarwaktu bagi anggota DPR dan DPD.
Dengan demikian masa jabatan pimpinan KPK yang ditentukan dalam Pasal 34 UU KPK tidak dapat ditafsirkan lain, kecuali empat tahun, baik bagi pimpinan yang diangkat secara bersamaan sejak awal maupun bagi pimpinan pengganti. Mempersempit makna Pasal 34 UU KPK dengan tidak memberlakukan bagi Pimpinan KPK pengganti untuk menjabat selama empat tahun adalah melanggar prinsip kepastian hukum yang dijamin konstitusi.
Terhadap pasal a quo MK juga berpendapat bahwa kinerja KPK tidak akan maksimal melaksanakan tugas dan wewenangnya secara profesional dan berkesinambungan tanpa kesinambungan pimpinan KPK. Untuk menjamin kesinambungan tugas-tugas Pimpinan KPK, agar pimpinan tidak secara bersamasama mulai dari awal lagi, maka penggantian Pimpinan KPK tidak selayaknya diganti serentak. Oleh sebab itu, akan menjadi lebih proporsional dan menjamin kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum apabila terjadi penggantian antarwaktu di antara Pimpinan KPK diangkat untuk satu periode masa jabatan empat tahun.
2. Implikasi Putusan MK
a. Putusan Nomor 16/PUU-IV/2006
Putusan MK terhadap Putusan Nomor 16/PUU-IV/2006 yang memutuskan:
Menyatakan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Menyatakan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250) tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat sampai diadakan perubahan paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak putusan ini diucapkan;

Akibat putusan ini MK memerintahkan pembentuk undang-undang untuk melakukan perubahan terhadap pasal a quo. Apabila dalam jangka waktu tiga tahun tidak dapat dipenuhi oleh pembuat undang-undang, maka ketentuan Pasal 53 UU KPK dengan sendirinya, demi hukum (van rechtswege), tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat lagi. Sebelum terbentuknya DPR dan Pemerintahan baru hasil Pemilu 2009, perbaikan undang-undang dimaksud sudah harus diselesaikan dengan sebaik-baiknya guna memperkuat basis konstitusional upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Apabila pada saat jatuh tempo tiga tahun sejak putusan ini diucapkan tidak dilakukan penyelarasan UU KPK terhadap UUD 1945 khususnya tentang pembentukan Pengadilan Tipikor dengan undang-undang tersendiri, maka seluruh penanganan perkara tindak pidana korupsi menjadi wewenang pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
Oleh sebab itu pembuat undang-undang harus sesegera mungkin melakukan penyelarasan UU KPK dengan UUD 1945 dan membentuk undang-undang tentang Pengadilan Tipikor sebagai pengadilan khusus sebagai satu-satunya sistem peradilan tindak pidana korupsi, sehingga dualisme sistem peradilan tindak pidana korupsi yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sebagaimana telah diuraikan di atas, dapat dihilangkan. Hal ini pun segera ditindaklanjuti DPR dan Pemerintah dengan membentuk dan mengesahkan Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU Pengadilan Tipikor).
Pengadilan Tipikor merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan peradilan umum dan pengadilan satu-satunya yang memiliki kewenangan mengadili perkara tindak pidana korupsi yang penuntutannya dilakukan oleh penuntut umum. Pengadilan Tipikor dibentuk di setiap ibu kota kabupaten/kota yang akan dilaksanakan secara bertahap mengingat ketersediaan sarana dan prasarana.
Agar tidak terjadi kekosongan hukum pada saat UU Pengadilan Tipikor tersebut berlaku, diatur mengenai masa transisi atau peralihan terhadap Pengadilan Tipikor yang dibentuk berdasarkan UU KPK dan UU Pengadilan Tipikor, antara lain mengenai keberadaan hakim ad hoc. Hakim ad hoc yang telah diangkat berdasarkan undang-undang sebelum UU Pengadilan Tipikor, tidak perlu diangkat kembali, tetapi langsung bertugas untuk masa jabatan 5 (lima) tahun bersamaan dengan masa jabatan hakim ad hoc yang diangkat berdasarkan UU Pengadilan Tipikor.
Oleh sebab itu terhadap Putusan MK Nomor 16/PUU-IV/2006, telah ditindaklanjuti oleh DPR bersama Presiden dengan membentuk UU Pengadilan Tipikor sehingga sudah tidak ada kekosongan hukum sebagai implikasi dari Putusan MK tersebut.

b. Putusan Nomor 5/PUU-IX/2011
Putusan MK Nomor terhadap Putusan Nomor 5/PUU-IX/2011 yang memutuskan:
Menyatakan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa Pimpinan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi baik pimpinan yang diangkat secara bersamaan maupun pimpinan pengganti yang diangkat untuk menggantikan pimpinan yang berhenti dalam masa jabatannya memegang jabatan selama 4 (empat) tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan;
Menyatakan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa pimpinan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi baik pimpinan yang diangkat secara bersamaan maupun pimpinan pengganti yang diangkat untuk menggantikan pimpinan yang berhenti dalam masa jabatanya memegang jabatan selama 4 (empat) tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan;

Akibat putusan ini maka Pasal 34 UU KPK adalah inkonstitusional secara bersyarat, yaitu bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa Pimpinan KPK baik pimpinan yang diangkat sejak awal secara bersamaan maupun bagi pimpinan pengganti yang menggantikan pimpinan yang berhenti pada masa jabatannya adalah empat tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan.
Model putusan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) dan model putusan inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional) pada dasarnya merupakan model putusan yang secara hukum tidak membatalkan dan menyatakan tidak berlaku suatu norma, akan tetapi kedua model putusan tersebut memuat atau mengandung adanya penafsiran (interpretative decision) terhadap suatu materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian dari undang-undang ataupun undang-undang secara keseluruhan yang pada dasarnya dinyatakan bertentangan atau tidak bertentangan dengan konstitusi dan tetap mempunyai kekuatan hukum atau tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Oleh sebab itu, pasal a quo akan menjadi konstitusional apabila syarat sebagaimana ditetapkan oleh MK dipenuhi.
Perubahan terhadap pasal tersebut harus dilakukan dalam revisi UU KPK kedepannya karena sesuai Pasal 10 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang mengharuskan materi muatan sebagai tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi diatur dengan Undang-Undang dan dilakukan oleh DPR atau Presiden. Rancangan Perubahan Undang-Undang akibat putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dapat dimasukan dalam daftar program legislasi nasional kumulatif terbuka sebagaimana yang diatur dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.

Berdasarkan Putusan MK Nomor 16/PUU-IV/2006, norma pasal 53 UU KPK tidak terjadi kekosongan hukum karena telah ditindaklanjuti oleh pembentuk undang-undang dalam bentuk UU Pengadilan Tipikor. Namun demikian pembentuk undang-undang masih perlu meninjau kembali hasil Putusan MK Nomor 5/PUU-IX/2011 yang menyatakan Pasal 34 UU KPK sebagai ikonstitusional bersyarat. Evaluasi terhadap Putusan Nomor 5/PUU-IX/2011 adalah perlunya untuk merubah ketentuan dalam Pasal 34 UU KPK yang menyatakan bahwa, “Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama 4 (empat) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan” menjadi berbunyi “Pimpinan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi baik pimpinan yang diangkat secara bersamaan maupun pimpinan pengganti yang diangkat untuk menggantikan pimpinan yang berhenti dalam masa jabatannya memegang jabatan selama 4 (empat) tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan.”
Putusan Nomor 5/PUU-IX/2011 tersebut diperkuat dengan keluarnya Keppres Nomor 33/P/2011 yang telah ditandatangani oleh Presiden pada tanggal 28 Juni 2011. Menurut Denny Indrayana, Keppres tersebut ditujukan untuk mendukung kerja KPK, serta sebagai bentuk nyata komitmen pemberantasan korupsi. Dalam Keppres tersebut dinyatakan bahwa masa jabatan Busyro Muqoddas selaku Komisioner KPK adalah 4 (empat) tahun.
Putusan yang dikeluarkan MK terkait dengan masa jabatan Busyro Muqoddas sebagai pimpinan MK akan membawa implikasi, tidak hanya pada masa jabatan Busyro Muqoddas, tetapi juga implikasi terhadap proses seleksi pimpinan KPK yang sedang berjalan dan mekanisme seleksi pimpinan KPK di masa yang akan datang. Putusan MK mengenai masa jabatan dikeluarkan bersamaan dengan berjalannya proses seleksi calon pimpinan KPK. Setelah putusan tersebut dikeluarkan, Pansel kemudian mengajukan 8 nama calon pimpinan KPK kepada Presiden untuk disetujui. Setelah disetujui oleh Presiden maka Presiden sedianya akan mengirimkan ke-8 nama tersebut kepada DPR untuk dilakukan uji kelayakan dan kepatutan terhadap para calon tersebut.
Memang tidak dapat dipungkiri, kemungkinan terjadinya pergantian pimpinan di tengah-tengah periode tidak dapat dihindari. Namun, dengan adanya putusan ini maka dua kali seleksi dalam satu periode pimpinan KPK merupakan sebuah kepastian. Hal tersebut bertentangan dengan prinsip kemanfaatan yang menjadi salah satu pertimbangan MK dalam memutuskan permohonan uji materiil terhadap Pasal 34 UU KPK, karena dengan adanya dua kali panitia seleksi maka biaya yang dikeluarkan negara menjadi lebih besar.
Pimpinan Pengganti KPK bertugas selama 4 (empat) tahun pula karena diseleksi melalui mekanisme yang sama dengan Calon Pimpinan KPK seperti yang diatur dalam Pasal 33 ayat (2) UU KPK. Namun hal tersebut akan bertentangan pada ketentuan Pasal 21 ayat (4) UU KPK yang menentukan bahwa Pimpinan KPK bersifat kolektif, sehingga lima anggota Pimpinan KPK itu dimaknai secara kolektif menjabat satu periode 4 (empat) tahun. Sehingga konsekuensinya Pimpinan Pengganti KPK yang terpilih hanya menduduki masa jabatan sisa dari anggota pimpinan yang digantikannya, namun hal itu dianggap melanggar prinsip kemanfaatan yang menjadi tujuan hukum. Hukum lahir dan diadakan untuk mencapai kemanfaatan setinggi-tingginya.
Menurut MK penggantian Pimpinan KPK pengganti tersebut tidak sama dengan penggantian antarwaktu anggota DPR dan DPD. Proses seleksi seorang Pimpinan KPK pengganti menurut Pasal 33 ayat (2) UU KPK mengeluarkan biaya yang relatif sama besarnya dengan proses seleksi lima orang Pimpinan KPK. Hal itu merupakan sebuah pemborosan yang tidak perlu dan tidak wajar. Menurut MK, sekiranya dimaknai bahwa Pimpinan pengganti itu adalah hanya menggantikan dan menyelesaikan masa jabatan sisa dari pimpinan yang digantikan maka mekanisme penggantian tersebut tidak harus melalui proses seleksi yang panjang dan rumit dengan biaya yang besar seperti dalam seleksi 5 (lima) anggota pimpinan yang diangkat secara bersamaan. Pimpinan pengganti, dalam hal ada pimpinan yang berhenti dalam masa jabatannya, cukup diambil dari calon Pimpinan KPK yang ikut dalam seleksi sebelumnya yang menempati urutan tertinggi berikutnya, seperti penggantian antarwaktu anggota DPR atau anggota DPD yang menurut Pasal 217 ayat (3) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR dan DPRD (UU MD3). Sehingga pemilihan Pimpinan Pengganti KPK tidak dapat disejajarkan dengan pemilihan melalui penggantian antarwaktu anggota DPR dan DPD
Perubahan norma dalam Pasal 34 UU KPK diperlukan agar tidak ada lagi pembatasan Pimpinan Pengganti KPK untuk memegang jabatan dan melaksanakan tugasnya selama 4 (empat) tahun. Oleh karena itu perlu dilakukan reformulasi norma agar mengakomodir putusan MK dalam Pasal 34 UU KPK namun tidak menimbulkan tafsir lanjutan untuk kepastian hukum, sehingga penyelenggaraan pemberantasan korupsi tetap sesuai dengan amanah UUD 1945.
Selain berdasarkan putusan MK, evaluasi terhadap UU KPK ini juga perlu dilakukan dengan melihat permasalahan-permasalahan empiris lain yang terjadi selama ini di masyarakat, seperti memperkuat penindakan korupsi melalui rekrutmen Penyidik KPK yang independen, kewenangan penyadapan, dan kewenangan mengenai berhak tidak nya KPK mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan (SP3). Keseluruhan hal tersebut membutuhkan penelitian dan kajian lebih lanjut agar terwujud lembaga KPK yang profesional dan mandiri.

Berbagai permasalahan yang timbul akibat tindak pidana korupsi, baik akibat semakin meningkatnya kasus korupsi maupun hambatan dalam pelaksanaan tugas KPK serta konsekuensi dari putusan uji materi Mahkamah Konstitusi, menuntut perubahan terhadap pengaturan mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2002. Di samping itu, pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan secara profesional, intensif, dan berkesinambungan karena korupsi telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional.
Dalam dinamika perkembangan hukum dan penerapannya, UU KPK secara empiris telah 23 (dua puluh tiga) kali diajukan pengujian materiil di MK dan hanya 2 (dua) yang diterima permohonannya dengan putusan mengabulkan seluruhnya dan mengabulkan sebagian, yakni Putusan MK Nomor 16/PUU-IV/2006 dan Putusan MK Nomor 5/PUU-IX/2011. Dimana telah ada tindaklanjut oleh pembuat undang-undang terhadap hasil Putusan MK Nomor 16/PUU-IV/2006 melalui pembentukan UU Pengadilan Tipikor.
Namun, berdasarkan Putusan MK Nomor 5/PUU-IX/2011, masih terjadi kekosongan hukum atas ketentuan yang inkonstitusional bersyarat dalam Pasal 34 UU KPK mengenai masa jabatan pimpinan pengganti KPK. Untuk itu, perlu dilakukan reformulasi materi muatan atas beberapa hal yang telah diputus MK agar penyelenggaraan pemberantasan korupsi oleh KPK sesuai dengan amanah UUD 1945.

1. Sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bahwa materi muatan yang harus diatur dengan UU berisi materi muatan mengenai tindak lanjut Putusan MK. Oleh karena itu, perlu direformulasi kembali materi muatan atas beberapa hal yang telah diputus MK dalam UU KPK dengan status perubahan/penggantian undang-undang.
2. Rencana RUU perubahan UU KPK ini telah menjadi Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2015-2019. Untuk itu sebaiknya DPR bersama Pemerintah menindaklanjuti rancangan perubahan tersebut termasuk muatan Putusan MK tersebut kedalam RUU tentang perubahan UU KPK, dan menjadikan RUU tersebut kedalam prioritas tahunan untuk dibahas bersama-sama agar tidak terjadi kekosongan hukum, terjamin kepastian hukum, dan pemberantasan korupsi yang tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi : Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan / 01-12-2017

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD Tahun 1945) menegaskan, bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum. Kaidah ini mengandung makna, bahwa hukum di negara Indonesia ditempatkan pada posisi yang startegis di dalam konstelasi ketatanegaraan. Berpijak pada sistem negara hukum, maka menurut Moh. Koesnardi dan Harmaily Ibrahim, bahwa peraturan ataupun ketentuan-ketentuan yang berlaku di dalam suatu negara hukum harus berdasarkan atau bersumberkan pada peraturan-peraturan yang lebih tinggi. Hal ini berarti bahwa peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
Berkaitan dengan itu pula maka ciri khas di dalam negara hukum demokrasi pancasila mengandung makna:
1. Pengakuan dan perlindungan HAM yang mengandung persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi dan kebudayaan.
2. Peradilan yang bebas dari pengaruh sesuatu atau kekuatan lain dan tidak memihak.
3. Legalitas dalam arti hukum dalam segala bentuknya.
Mewujudkan negara hukum, tidak saja diperlukan norma-norma hukum atau peraturan perundang-undangan sebagai substansi hukum, tetapi juga diperlukan lembaga atau badan penggeraknya sebagai struktur hukum dengan didukung oleh perilaku hukum seluruh komponen masyarakat sebagai budaya hukum. Ketiga elemen tersebut, baik substansi hukum, struktur hukum maupun budaya hukum tersebut dikatakan sebagai sususan sistem hukum.
Suatu konsekuensi logis bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara hukum adalah terjaminnya kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menjalankan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan berdasarkan UUD Tahun 1945. Salah satu ciri yang dianggap penting dalam setiap negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat) ataupun negara demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional democracy) adalah adanya kekuasaan kehakiman yang independen dan tidak berpihak (independent and impartial). Apapun sistem hukum yang dipakai dan sistem pemerintahan yang dianut, pelaksanaan the principle of independence and impartiality of the judiciary haruslah benar-benar dijamin disetiap negara demokrasi konstitusional.
Amandemen UUD Tahun 1945 telah membawa angin perubahan dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia terutama dalam hal pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Berdasarkan perubahan tersebut konstruksi kekuasaan kehakiman tidak lagi menjadi otoritas Mahkamah Agung (selanjutnya disebut MA) dan badan peradilan dibawahnya, tetapi juga oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945) adalah sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 (judicial review) merupakan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menyelidiki dan menilai apakah materi suatu undang-undang tersebut bertentangan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu, atau bahkan apakah peraturan perundang-undangan tersebut terdapat cacat formal dalam pembentukannya.
Merujuk pada Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, menyatakan bahwa salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir putusan yang bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Artinya bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding).
Sejak berdirinya MK hingga saat ini sudah banyak UU yang dimohonkan untuk dilakukan pengujian terhadap UUD Tahun 1945. Salah satunya pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (selanjutnya disebut UU Advokat). Sebagaimana kita ketahui bahwa lahirnya UU Advokat merupakan perwujudan prinsip-prinsip negara hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Peran dan fungsi Advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri dan bertanggung jawab merupakan hal yang penting, di samping lembaga peradilan dan instansi penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan.
Melalui jasa hukum yang diberikan, Advokat menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk kepentingan masyarakat pencari keadilan, termasuk usaha memberdayakan masyarakat dalam menyadari hak-hak fundamental mereka di depan hukum. Advokat sebagai salah satu unsur sistem peradilan merupakan salah satu pilar dalam menegakkan supremasi hukum dan hak asasi manusia. Selain dalam proses peradilan, peran Advokat juga terlihat di jalur profesi di luar pengadilan. Kebutuhan jasa hukum Advokat di luar proses peradilan pada saat sekarang semakin meningkat, sejalan dengan semakin berkembangnya kebutuhan hukum masyarakat terutama dalam memasuki kehidupan yang semakin terbuka dalam pergaulan antar bangsa. Melalui pemberian jasa konsultasi, negosiasi maupun dalam pembuatan kontrak-kontrak dagang, profesi Advokat ikut memberi sumbangan berarti bagi pemberdayaan masyarakat serta pembaharuan hukum nasional khususnya di bidang ekonomi dan perdagangan, termasuk dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
Dalam perjalanannya, UU ini telah beberapa kali mengalami pengujian oleh beberapa pihak dengan dasar alasan yang bervariasi. Berikut hasil putusan MK atas pengujian UU Advokat terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD Tahun 1945) yang secara umum tergambar dalam tabel berikut:







No Perkara MK Pasal yang diuji Batu Uji
UUD NRI 1945 Amar Putusan
1 Pkr.No.06/PUU-II/2004 Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat

Pasal 31

“Setiap orang yang dengan sengaja menjalankan pekerjaan profesi Advokat dan bertindak seolaholah sebagai Advokat, tetapi bukan Advokat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) Tahun dan denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta)”.
Pasal 28C ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) serta Pasal 28I ayat (2) UUD Tahun 1945. 1. Menyatakan permohonan pemohon dikabulkan;
2. Menyatakan, Pasal 31 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
3. Menyatakan, Pasal 31 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
5. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
2 Pkr.No.101/PUU-VII/2009 Pasal 4 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat.

Pasal 4 ayat (1)

“Sebelum menjalankan profesinya, Advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau
berjanji dengan sungguh-sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya”.
Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD Tahun 1945 1. Menyatakan mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
2. Menyatakan:
2.1 Menyatakan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat adalah bertentangan dengan UUD Tahun 1945 sepanjang tidak dipenuhi syarat bahwa frasa “di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya” tidak dimaknai bahwa “Pengadilan Tinggi atas perintah Undang-Undang wajib mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat yang pada saat ini secara de facto ada, dalam jangka waktu 2 (dua) Tahun sejak Amar Putusan ini diucapkan”;
2.2 Menyatakan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya” tidak dimaknai bahwa “Pengadilan Tinggi atas perintah Undang-Undang wajib mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat yang pada saat ini secara de facto ada, dalam jangka waktu 2 (dua) Tahun sejak Amar Putusan ini diucapkan”;
3. Menyatakan apabila setelah jangka waktu dua Tahun Organisasi Advokat sebagaimana dimaksud Pasal 28 ayat (1) UU Advokat belum juga terbentuk, maka perselisihan tentang organisasi Advokat yang sah diselesaikan melalui Peradilan Umum;
4. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya;

3 Pkr.No.26/PUU-XI/2013 Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat

Pasal 16
“Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan”.
Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28G Ayat (1), Pasal 28H Ayat (2) UUD Tahun 1945 1. Mengabulkan permohonan para pemohon:
1.1 Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat bertentangan dengan UUD Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan”.
1.2 Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, ““Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar siding pengadilan”.
2. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

4 Pkr.No.112/PUU-XII/2014 dan Pkr. No. 36/PUU-XIII/2015
Pasal 4 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat

Pasal 4 ayat (1)

“Sebelum menjalankan profesinya, Advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau
berjanji dengan sungguh-sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya”.

Pasal ayat (3)

“Salinan berita acara sumpah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) oleh Panitera Pengadilan Tinggi yang bersangkutan dikirimkan kepada Mahkamah Agung, Menteri, dan Organisasi Advokat”. Terhadap Pasal 28A, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (2), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (2), dan Pasal 28I ayat (1) UUD Tahun 1945 1. Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian yakni Pasal 4 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat bertentangan dengan UUD Tahun 1945 sepanjang frasa “di sidang terbuka pengadilan tinggi” sepanjang tidak dimaknai bahwa “Pengadilan Tinggi atas perintah Undang-Undang wajib mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat yang secara de facto ada yaitu PERADI dan KAI”.
2. Menolak permohonan para pemohon untuk selain dan selebihnya;
3. Memerintahkan pemuatan amar putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.


Berdasarkan pemaparan-pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa dengan dikabulkannya permohonan uji materiil Pasal 4 ayat (1), Pasal 16, dan Pasal 31 UU Advokat terhadap UUD Tahun 1945 membawa implikasi dan akibat hukum serta menciptakan keadaan hukum baru sebagai implikasi dikabulkannya permohonan uji materiil pasal-pasal a quo baik seluruhnya atau sebagian, sehingga perlu dilakukan evaluasi dan analisis terhadap kelima Putusan MK tersebut.

1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap Pasal 4 ayat (1), Pasal 16, Pasal 31 UU Advokat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK ?
2. Apa akibat hukum terhadap Pasal 4 ayat (1), Pasal 16, Pasal 31 UU Advokat yang dinyatakan MK sebagai konstitusionalitas /Inkonstitusional bersyarat ?
3. Apakah terjadi disharmoni norma dalam Pasal 4 ayat (1), Pasal 16, Pasal 31 UU Advokat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK berimplikasi terhadap norma pasal ayat lain yang tidak diujikan?

1. Konstitusionalitas Undang-Undang
Pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 yang menjadi kewenangan MK merupakan wujud prinsip atau asas konstitusionalitas undang-undang (constitutionality of law) yang menjamin bahwa undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang itu tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Kewenangan pengujian undang-undang menimbulkan sebuah kewenangan yang mutatis mutandis (dengan sendirinya) ada, yaitu kewenangan menafsirkan konstitusi. Apabila dalam konstitusi tidak terdapat ketentuan yang ekplisit mengenai kewenangan menafsir konstitusi kepada lembaga negara yang diberikan kewenangan constitutional review, maka harus dipahami bahwa kewenangan menafsirkan konstitusi menyertai kewenangan constitutional review tersebut. Oleh sebab itu, sering dinyatakan bahwa Constitutional Court itu merupakan “the guardian of constitution and the sole interpreting of constitution”, disebut sebagai penjaga konstitusi berdasarkan kewenangan dalam memutus apakah sebuah produk perundang-undangan telah sesuai dengan konstitusi atau tidak.
Kewenangan menafsirkan itu sesungguhnya timbul dari sebuah tafsir Pasal 24C UUD Tahun 1945 bahwa “MK menguji undang-undang terhadap UUD” sebagai ketentuan pemberian kewenangan constitutional review kepada MK, ketentuan tersebut tidak mengandung kewenangan MK untuk melakukan penafsiran terhadap konstitusi, namun sangatlah tidak mungkin dapat melakukan penilaian pertentangan norma sebuah undang-undang apabila tidak menggunakan penafsiran konstitusi, dalam hal ini MK sebagai penafsir sah terhadap undang-undang dasar atau konstitusi (the legitimate interpreter of the constitution).
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD Tahun 1945, salah satu kewenangan dari Mahkamah Konstitusi adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan wujud dari prinsip atau asas konstitusionalitas undang-undang (constitutionality of law) yang menjamin bahwa undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang itu tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945.
Menurut Sri Soemantri, dalam praktiknya dikenal adanya dua macam hak menguji yaitu :
a. Hak menguji formil (formale toetsingsrecht);
Hak menguji formil adalah wewenang untuk menilai, apakah suatu produk legislatif seperti undang-undang misalnya terjelma melalui cara-cara (procedur) sebagaimana telah ditentukan/diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku ataukah tidak. Dalam pengujian formal ini tampak jelas bahwa yang dinilai atau diuji adalah tatacara (procedur) pembentukan suatu undang-undang, apakah sesuai ataukah tidak dengan yang telah ditentukan/digariskan dalam peraturan perundang-undangan.
b. Hak menguji material (materiele toetsingsrecht).
Hak menguji material adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu pertauran perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Hak menguji material ini berkenanan dnegan isi dari suatu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya. Jika suatu undang-undang dilihat dari isinya bertentangan dengan undang-undang dasar maka undang-undang tersebut harus dinyatakan tidak mempunyai daya mengikat.
Menurut pandangan Jimly Asshiddiqqie, dalam praktiknya dikenal adanya tiga macam norma hukum yang dapat diuji atau yang biasa disebut norm control mechanism. Ketiganya sama-sama merupakan bentuk norma hukum sebagai hasil dari proses pengambilan keputusan hukum yaitu keputusan normative yang berisi dan bersifat pengaturan (regeling), keputusan normatif yang berisi dan bersifat penetapan administrative (beschikking), dan keputusan normatif yang berisi dan bersifat penghakiman (judgement) yang biasa disebut vonis. Mekanisme pengujian norma hukum ini dapat dilakukan dengan mekanisme pengujian yang dilakukan oleh lembaga peradilan yang dikenal dengan istilah judicial review. Terdapat beberapa jenis pengujian yaitu legislative review(pengujian tersebut diberikan kepada parlemen), executive review (pengujian tersebut diberikan kepada pemerintah), dan judicial review (pengujian yang diberikan kepada lembaga peradilan). Ketiga bentuk norma hukum ada yang merupakan individual and concret norms, dan ada pula yang merupakan general and abstract norms. Vonis dan beschikking selalu bersifat individualand concrete sedangkan jika yang diuji normanya bersifat umum dan abstrak maka norma yang diuji itu adalah produk regeling. Pengujian norma hukum yang bersifat konkret dan individual termasuk dalam lingkup peradilan tata usaha negara.
Dalam pengujian undang-undang, terdapat dua istilah yakni judicial review dan constitutional review. Constitutional review yang dapat diartikan sebagai pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar yang pada saat ini menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi, judicial review dapat diartikan sebagai pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang yang pada saat ini dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Pada dasarnya banyak yang menyamakan istilah judicial review dan constitutional review, padahal kedua istilah ini berbeda. Jika constitutional review maka ukuran pengujiannya dilakukan dengan menggunakan konstitusi sebagai alat ukur, namun jika norma yang diujikan tersebut menggunakan batu ujinya adalah undang-undang maka dapat dikatakan sebagai judicial review. Konsep constitutional review berkembang dari gagasan modern tentang sistem pemerintahan demokratis yang didasarkan atas ide-ide negara hukum (rule of law), prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power), serta perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia (the protection of fundamental rights). Dalam constitutional review terdapat dua tugas pokok yakni :
a. Untuk menjamin berfungsinya sistem demokrasi dalam hubungan perimbangan peran atau interplay antar cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Dengan perkataan lain constitutional review dimaksudkan untuk mencegah terjadinya pendayagunaan kekuasaan oleh satu cabang kekuasaan lainnya; dan
b. Untuk melindungi setiap individu warga negara dari penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga negara yang merugikan hak fundamental warga negara yang dijamin dalam konstitusi.
Dengan adanya keberadaan Mahkamah Konstitusi juga telah menciptakan pembagian kekuasaan atau pemisahan kekuasaan yang memungkinkan adanya proses saling mengawasi dan saling mengimbangi di antara cabang-cabang kekuasaan negara yang ada atau lazim disebut dengan mekanisme checks and balances. Hal itu tampak terutama dari salah satu kewenangan yang dilimpahkan kepada Mahkamah Konstitusi untuk menguji undang-undang terhadap UUD Tahun 1945.
Dengan demikian, esensi dari produk putusan Mahkamah Konstitusi dalam menguji undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 ditempatkan dalam bingkai mekanisme check and balances antara lembaga negara. Hubungan untuk saling mengontrol ini, pada akhirnya dimaksudkan untuk melahirkan suatu produk hukum yang adil dan betul-betul berorientasi pada kepentingan rakyat. Sehingga, pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 dapat juga dilihat sebagai bagian dari koreksi terhadap produk yang dihasilkan oleh DPR RI dan Presiden.
Terkait putusan MK dalam perkara Nomor 06/PUU-II/2004, No. 101/PUU-VII/2009, No.26/PUU-XI/2013 No. 112/PUU-XII/2014 dan No. 36/PUU-XIII/2015 yang menguji Pasal 4 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 16, dan Pasal 31 UU Advokat terhadap UUD Tahun 1945, majelis mengabulkan permohonan Pemohon baik secara bersyarat maupun tidak bersayarat terhadap Pasal 4 ayat (1), Pasal 16 dan Pasal 31 UU Advokat. Maka terhadap kedua putusan MK tersebut yang pada intinya mengabulkan permohonan adalah bentuk pengujian secara materiil berkenanan dengan isi dari suatu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya. Jika suatu undang-undang dilihat dari isinya bertentangan dengan undang-undang dasar maka undang-undang tersebut harus dinyatakan tidak mempunyai daya mengikat. Dalam hal ini mahkamah menganggap terjadi pertentangan antara norma yang lebih rendah dengan norma yang lebih tinggi, yakni pertentangan antara Pasal 4 ayat (1), Pasal Pasal 16, dan Pasal 31 UU Advokat terhadap UUD Tahun 1945.

2. Putusan Mahkamah Konstitusi Final dan Mengikat
Mahkamah Konstitusi yang diadopsi dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memiliki dua fungsi ideal yaitu MK dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi dan berfungsi untuk menjamin, mendorong, mengarahkan, membimbing, dan memastikan bahwa UUD NRI Tahun 1945 dijalankan dengan sebaik-baiknya oleh penyelenggara negara agar nilai-nilai yang terkandung didalamnya dijalankan dengan benar dan bertanggung jawab; dan MK harus bertindak sebagai penafsir karena MK dikonstruksikan sebagai lembaga tertinggi penafsir UUD NRI Tahun 1945. Melalui fungsi ini maka Mahkamah Konstitusi dapat menutupi segala kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam UUD NRI Tahun 1945.
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya maka Mahkamah Konstitusi diberikan kewenangan untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945; memutus pembubaran partai politik; memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana tercantum dalam Pasal 24C UUD NRI Tahun 1945, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 29 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dari uraian diatas maka diketahui bahwa sifat dari putusan Mahkamah Konstitusi yaitu final yang artinya bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). Konsep ini mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni secara sederhana dan cepat sebagaimana diuraikan dalam penjelasan No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang secara utuh menjelaskan bahwa Mahkamah Konstitusi dalam menyelenggarakan peradilan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tetap mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni dilakukan secara sederhana dan cepat. Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat tersebut, tidak dapat dilepaskan dengan asas erga omnes yang diartikan dengan mengikat secara umum dan juga mengikat terhadap obyek sengketa. Apabila suatu peraturan perundang‐undangan oleh hakim menyatakan tidak sah, karena bertentangan dengan peraturan perundang‐undangan yang lebih tinggi, berarti peraturan perundang‐undangan tersebut berakibat menjadi batal dan tidak sah untuk mengikat setiap orang.
Secara harfiah, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat memiliki makna hukum tersendiri. Frasa “final” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “terakhir dalam rangkaian pemeriksaan” sedangkan frasa mengikat diartikan sebagai “mengeratkan”, “menyatukan”. Bertolak dari arti harfiah ini maka frasa final dan frasa mengikat, saling terkait sama seperti dua sisi mata uang artinya dari suatu proses pemeriksaan telah memiliki kekuatan mengeratkkan atau menyatukan semua kehendak dan tidak dapat dibantah lagi. Makna harfiah di atas, bila dikaitkan dengan sifat final dan mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi artinya telah tertutup segala kemungkinan untuk menempuh upaya hukum. Tatkala putusan tersebut diucapkan dalam sidang pleno, maka ketika itu lahir kekuatan mengikat (verbindende kracht).
Secara Substansial makna hukum dari putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat dibagi dalam beberapa bagian yaitu:
a. Menjaga konstitusi (The Guardian of Constitution), menafsirkan konstitusi (The Interpreteur of Constitution), menjaga demokrasi, menjaga persamaan di mata hukum, dan koreksi terhadap undang-undang.
Kehadiran Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan tidak lain berperan sebagai pengawal konstitusi (The Guardian of Constitution), agar konstitusi selalu dijadikan landasan dan dijalankan secara konsisten oleh setiap komponen negara dan masyarakat. Mahkamah Konstitusi berfungsi mengawal dan menjaga agar konstitusi ditaati dan dilaksanakan secara konsisten, serta mendorong dan mengarahkan proses demokratisasi berdasarkan konstitusi. Dengan adanya Mahkamah Konstitusi, proses penjaminan demokrasi yang konstitusional diharapkan dapat diwujudkan melalui proses penjabaran dari empat kewenangan konstitusional (constitusionally entrusted powers) dan satu kewajiban (constitusional obligation). Mahkamah Konstitusi bertugas melakukan penyelesaian persengketaan yang bersifat konstitusional secara demokratis.
Putusan-putusan yang final dan mengikat 
 yang ditafsirkan sesuai dengan konstitusi sebagai hukum tertinggi, dimana pelaksanaannya harus bertanggungjawab, sesuai dengan kehendak rakyat (konstitusi untuk rakyat bukan rakyat untuk konstitusi), dan cita‐cita demokrasi, yakni kebebasan dan persamaan (keadilan).Artinya Mahkamah Konstitusi tidak hanya sebagai penafsir melalui putusan‐putusannya melainkan juga sebagai korektor yang aplikasinya yang tercermin dalam undang‐undang yang dibuat oleh DPR dan Presiden dengan batu uji konstitusi melalui interprestasinya dengan kritis dan dinamis.Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat merupakan refleksi dari fungsinya sebagai penjaga konstitusi, penjaga demokrasi, penjaga persamaan dimata hukum, penafsir konstitusi dan korektor undang‐undang agar disesuaikan dengan UUD.
b. Membumikan prinsip-prinsip negara hukum;
Filosofi negara hukum adalah negara melaksanakan kekuasaannya, tunduk terhadap pengawasan hukum. Artinya ketika hukum eksis terhadap negara, maka kekuasaan negara menjadi terkendali dan selanjutnya menjadi negara yang diselenggarakan berdasarkan ketentuan hukum tertulis atau tidak tertulis (konvensi).14
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pengawas tertinggi, tatkala putusannya yang final dan mengikat, makna hukumnya adalah membumikan negara hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila sebagaimana dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon. Dimana, melalui putusan Mahkamah Konstitusi mengadili dan memutus hal‐hal yang berkaitan dengan kewenangan adtribusi yang diberikan kepadanya untuk menjaga, keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan.
c. Membangun sebuah penegakkan hokum
Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan yaitu kepastian hukum (rechissicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan keadilan (gerechtigkeit). Selanjutnya ditegaskan bahwa kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang‐wenang, yang berarti bahwa seseorang akan memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib, karena hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan untuk ketertiban masyarakat. Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat dapat dimaknai sebagai penegakan hukum tata negara. Khususnya menyangkut pengontrolan terhadap produk politik yaitu undang‐undang yang selama ini tidak ada lembaga yang dapat mengontrolnya. Pada sisi lain, juga dapat menegakkan hukum dimana memutuskan tentang benar salahnya Presiden atau Wakil Presiden yang dituduh oleh DPR bahwa melakukan perbuatan melanggar hukum. Demikian juga dapat memutuskan tentang sengketa‐sengketa khusus yang merupakan kewenangannya termasuk memutuskan untuk membubarkan partai politik. Dengan demikian, hal ini sangat diharapkan sebagai wujud perlindungan hak‐hak masyarakat dan juga menempatkan semua orang sama di mata hukum (equality before the law).
d. Perekayasa Hukum
Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat ( final dan banding) merupakan suatu bentuk rekayasa hukum. Frasa “rekayasa” diartikan sebagai penerapan kaidah‐kaidah ilmu dalam pelaksanaan seperti perancangan, pembuatan konstruksi, serta pengoperasian kerangka, peralatan, dan sistem yang ekonomis dan efisien.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat sebagai sebuah bentuk rekayasa hukum yang diwujudkan dalam bentuk norma atau kaidah yang sifatnya membolehkan, mengajurkan, melarang, memerintahkan untuk berbuat atau tidak berbuat. Nilai mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi yang final adalah sama dengan nilai mengikat dan sebuah undang‐undang hasil produk politik, yang berfungsi sebagai alat rekayasa sosial politik, alat kontrol terhadap masyarakat dan penguasa serta memberikan perlindungan hukum terhadap seluruh komponen bangsa.

Terkait putusan MK dalam perkara Nomor 06/PUU-II/2004 , No. 101/PUU-VII/2009, No.26/PUU-XI/2013 No. 112/PUU-XII/2014 dan No. 36/PUU-XIII/2015 yang menguji Pasal 4 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 16, dan Pasal 31 UU Advokat terhadap UUD Tahun 1945, majelis mengabulkan permohonan Pemohon baik secara bersyarat maupun tidak bersyarat terhadap Pasal 4 ayat (1), Pasal 16 dan Pasal 31 UU Advokat, maka terhadap putusan MK tersebut yang pada intinya mengabulkan permohonan para Pemohon adalah berlaku final dan mengikat. Artinya bahwa putusan Mahkamah Konstitusi tersebut langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Selain itu, maka sejak diucapkan putusan MK tersebut memiliki kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian dan kekuatan eksekutorial.

3. Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan dalam peradilan merupakan perbuatan hakim sebagai pejabat negara berwenang yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dibuat secara tertulis untuk mengakhiri sengketa yang dihadapkan para pihak kepadanya. Sebagai perbuatan hukum yang akan menyelesaikan sengketa yang dihadapkan kepadanya, maka putusan hakim tersebut merupakan tindakan negara di mana kewenangannya dilimpahkan kepada hakim baik berdasarkan UUD TAHUN 1945 maupun undang-undang.
Dari sudut pandang hukum tata negara, putusan Mahkamah Konstitusi termasuk dalam keputusan negara yang mengandung norma hukum sama halnya dengan putusan pembentuk undang-undang yang bersifat pengaturan (regeling). Putusan Mahkamah Konstitusi dapat membatalkan suatu undang-undang atau materi muatan dalam undang-undang, sedangkan pembentuk undang-undang menciptakan norma hukum dalam bentuk materi muatan dalam suatu undang-undang.
Putusan Mahkamah Konstitusi terutama dalam pengujian undang-undang kebanyakan jenisnya adalah bersifat declaratoir constitutief. Artinya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menciptakan atau meniadakan satu keadaan hukum baru atau membentuk hukum baru sebagai negative legislature. Hal lain yang perlu dicermati lebih lanjut adalah adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) maupun inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional). Varian putusan Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan putusan yang menyatakan bahwa suatu ketentuan undang-undang tidak bertentangan dengan konstitusi dengan memberikan persyaratan pemaknaan dan keharusan kepada lembaga negara dalam pelaksanaan suatu ketentuan undang-undang untuk memperhatikan penafsiran Mahkamah Konstitusi atas konstitusionalitas ketentuan undang-undang yang sudah diuji tersebut. Dengan demikian, terdapat penafsiran sendiri dari Mahkamah Konstitusi agar suatu norma undang-undang tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945.
Putusan Mahkamah Konsitusi sejak diucapkan di hadapan sidang terbuka untuk umum dapat mempunyai 3 (tiga) kekuatan, yaitu:
1. Kekuatan mengikat
Kekuatan mengikat putusan Mahkamah Konstitusi berbeda dengan putusan pengadilan biasa, tidak hanya meliputi pihak-pihak berperkara (interpartes), yaitu pemohon, pemerintah, DPR/DPD, ataupun pihak terkait yang diizinkan memasuki proses perkara, tetapi juga putusan tersebut mengikat bagi semua orang, lembaga negara, dan badan hukum dalam wilayah republik Indonesia.
Putusan tersebut berlaku sebagai hukum sebagaimana hukum diciptakan pembuat undang-undang. Dengan demikian, Hakim Mahkamah Konstitusi dikatakan sebagai negative lagislator yang putusannya bersifat erga omnes, yang ditujukan pada semua orang.

2. Kekuatan pembuktian
Dalam perkara konstitusi yang putusannya bersifat erga omnes, maka permohonan pengujian yang menyangkut materi yang sama yang sudah pernah diputus tidak dapat lagi diajukan untuk diuji oleh siapapun. Putusan Mahkamah Konstitusi yang telah berkekuatan hukum tetap demikian dapat digunakan sebagai alat bukti dengan kekuatan pasti secara positif bahwa apa yang diputus oleh hakim itu dianggap telah benar. Selain itu, pembuktian sebaliknya tidak diperkenankan.

3. Kekuatan eksekutorial
Putusan Mahkamah Konstitusi berlaku sebagai undang-undang dan tidak memerlukan perubahan yang harus dilakukan dengan amandemen atas undang-undang yang bagian tertentu dinyatakan bertentangan dengan UUD TAHUN 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Eksekusi putusan Mahkamah Konstitusi telah dianggap terwujud dengan pengumuman putusan tersebut dalam Berita Negara sebagaimana diperintahkan dalam Pasal 57 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Akibat hukum yang timbul dari satu putusan hakim jika menyangkut pengujian terhadap undang-undang diatur dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang pada intinya menyatakan undang-undang yang diuji tetap berlaku sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Ketentuan ini juga berarti bahwa putusan hakim Mahkamah Konstitusi yang menyatakan satu undang-undang bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat tidak boleh berlaku surut.
Terkait putusan MK dalam perkara Nomor 06/PUU-II/2004 , No. 101/PUU-VII/2009, No.26/PUU-XI/2013 No. 112/PUU-XII/2014 dan No. 36/PUU-XIII/2015 yang menguji Pasal 4 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 16, dan Pasal 31 UU Advokat terhadap UUD Tahun 1945, majelis mengabulkan permohonan Pemohon baik secara bersyarat maupun tidak bersyarat terhadap Pasal 4 ayat (1), Pasal 16 dan Pasal 31 UU Advokat, maka terhadap putusan MK tersebut yang pada intinya mengabulkan permohonan para Pemohon memiliki akibat hukum bahwa putusan mahkamah konstitusi tersebut meniadakan satu keadaan hukum atau menciptakan hak atau kewenangan tertentu. Dengan kata lain bahwa putusan tersebut akan membawa akibat tertentu yang mempengaruhi satu keadaan hukum atau hak dan/atau kewenangan tertentu, dalam hal ini adalah terkait pelaksanaan tugas profesi advokat dan pengambilan sumpah calon advokat.

1. Pendapat Hukum Mahkamah Konstitusi
1.1 Pendapat Hukum MK Dalam Perkara Nomor 006/PUU-II/2004.

Dalam perkara ini Pasal yang diujikan adalah Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang menyebutkan:
“Setiap orang yang dengan sengaja menjalankan pekerjaan profesi Advokat dan bertindak seolah-olah sebagai advokat, tetapi bukan Advokat sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) Tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000 000,00 (lima puluh juta) rupiah”.

Pasal a quo menurut anggapan pemohon bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) UUD Tahun 1945 yang berbunyi:
Pasal 28D ayat (1)
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yangs ama dihadapan hukum.
Pasal 28D ayat (3)
Setiap warga Negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Pasal 28I ayat (2)
Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatiif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.

Terhadap pengujian Pasal a quo mahkamah berpendapat bahwa Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945 secara tegas menyatakan Indonesia adalah negara hukum yang dengan demikian berarti bahwa hak untuk mendapatkan bantuan hukum, sebagai bagian dari hak asasi manusia, harus dianggap sebagai hak konstitusional warga negara, kendatipun undang-undang dasar tidak secara eksplisit mengatur atau menyatakannya, dan oleh karena itu negara wajib menjamin pemenuhannya. Dalam rangka menjamin pemenuhan hak untuk mendapatkan bantuan hukum bagi setiap orang sebagaimana dimaksud, keberadaan dan peran lembaga-lembaga nirlaba semacam LKPH UMM, yang diwakili Pemohon, adalah sangat penting bagi pencari keadilan, teristimewa bagi mereka yang tergolong kurang mampu untuk memanfaatkan jasa penasihat hukum atau advokat profesional. Oleh karena itu, adanya lembaga semacam ini dianggap penting sebagai instrumen bagi perguruan tinggi terutama Fakultas Hukum untuk melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi dalam fungsi pengabdian kepada masyarakat. Di samping itu, pemberian jasa bantuan hukum juga dimasukkan sebagai bagian dari kurikulum pendidikan tinggi hukum dengan kategori mata kuliah pendidikan hukum klinis dan ternyata membawa manfaat besar bagi perkembangan pendidikan hukum dan perubahan sosial, sebagaimana ditunjukkan oleh pengalaman negara-negara Amerika Latin, Asia, Eropa Timur, Afrika Selatan, bahkan juga negara yang sudah tergolong negara maju sekalipun seperti Amerika Serikat, seperti dikatakan McClymont & Golub, “...university legal aid clinics are now part of the educational and legal landscape in most regions of the world. They have already made contributions to social justice and public service in the developing world, and there are compelling benefits that recommend their consideration in strategies for legal education and public interest law...” [vide lebih jauh Mary McClymont & Stephen Golub, Many Roads to Justice, 2000, hal. 267- 296). Namun, peran demikian menjadi tidak mungkin lagi dijalankan oleh LKPHUMM atau lembaga-lembaga lain sejenis, sebagaimana telah ternyata dari pengalaman dan keterangan Para Kuasa Pemohon di hadapan persidangan tanggal 30 September 2004, dan diperkuat oleh keterangan pihak terkait dari lembaga Biro Bantuan Hukum Universitas Padjadjaran yaitu Eva Laela, S.H. dan Dedi Gozali, S.H. pada persidangan tanggal 30 September 2004, yang menyatakan keduanya telah disidik oleh penyidik dengan sangkaan telah melanggar ketentuan Pasal 31 UU No.18 Tahun 2003, meskipun penyidikan kemudian dihentikan. Namun penghentian penyidikan tersebut dilakukan bukan karena alasan yang bersangkutan tidak memenuhi unsur-unsur Pasal 31 UU No.18 Tahun 2003, melainkan peristiwa yang disangkakan tersebut terjadi sebelum berlakunya undang-undang a quo.
Bahwa dalam praktik, rumusan Pasal 31 UU No.18 Tahun 2003 dimaksud bukan hanya mengakibatkan tidak memungkinkan lagi berperannya lembaga-lembaga sejenis LKPH UMM memberikan bantuan dan pelayanan hukum kepada pihak-pihak yang kurang mampu, melainkan ketentuan dalam pasal dimaksud juga dapat mengancam setiap orang yang hanya bermaksud memberikan penjelasan mengenai suatu persoalan hukum, hal mana dikarenakan pengertian Advokat sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 angka 1 UU No.18 Tahun 2003 adalah “orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan dalam undang-undang ini”, sehingga seseorang yang memberikan penjelasan tentang suatu persoalan hukum kepada seseorang lainnya dan kemudian sebagai ucapan terima kasih orang yang disebut terdahulu menerima suatu pemberian, yang sesungguhnya tidak dimaksudkan sebagai honorarium oleh pihak yang memberi, dapat dituduh telah melakukan perbuatan “bertindak seolah-olah sebagai advokat” dan karenanya diancam dengan pidana yang sedemikian berat.
Pasal 31 undang-undang a quo mengancam pidana kepada seseorang yang menjalankan profesi advokat dan bertindak seolah-olah sebagai advokat tetapi bukan advokat sebagaimana dimaksud dalam undang- undang a quo. Sedangkan yang dimaksud dengan profesi advokat adalah orang yang berprofesi memberikan jasa hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 18 Tahun 2003. Sementara itu pada angka 2-nya dinyatakan bahwa jasa hukum adalah memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien.
Berdasarkan argumen Pemohon sebagaimana telah dijelaskan diatas Mahkamah memberikan pendapatnya sebagai bahwa Dalam Pasal 28F UUD Tahun 1945 setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Seseorang yang memerlukan jasa hukum di luar pengadilan pada hakikatnya adalah ingin memperoleh informasi hukum dan dijamin oleh Pasal 28F UUD Tahun 1945. Adalah menjadi hak seseorang untuk memilih sumber informasi yang dipandangnya tepat dan terpercaya.
Pasal 31 jo Pasal 1 angka 1 undang-undang a quo membatasi kebebasan seseorang untuk memilih sumber informasi karena seseorang yang melakukan konsultasi hukum di luar pengadilan oleh undang- undang a quo hanya dibenarkan apabila sumber informasi tersebut adalah seorang advokat. Jika seseorang bukan advokat memberikan informasi hukum, terhadapnya dapat diancam oleh Pasal 31 undang-undang a quo. Pencari informasi akan sangat terbatasi dalam memilih sumber informasi karena yang bukan advokat terhalang untuk memberikan informasi dengan adanya Pasal 31 undang-undang a quo.
UU No. 18 Tahun 2003 adalah undang-undang advokat yaitu undang-undang yang mengatur syarat-syarat, hak dan kewajiban menjadi anggota organisasi profesi advokat, yang memuat juga pengawasan terhadap pelaksanaan profesi advokat dalam memberikan jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Oleh karena itu, tujuan undang-undang advokat, di samping melindungi advokat sebagai organisasi profesi, yang paling utama adalah melindungi masyarakat dari jasa advokat yang tidak memenuhi syarat-syarat yang sah atau dari kemungkinan penyalahgunaan jasa profesi advokat. Sebagai undang-undang yang mengatur profesi, seharusnya UU No. 18 Tahun 2003 tidak boleh dimaksudkan sebagai sarana legalisasi dan legitimasi bahwa yang boleh tampil di depan pengadilan hanya advokat karena hal demikian harus diatur dalam hukum acara, padahal hukum acara yang berlaku saat ini tidak atau belum mewajibkan pihak-pihak yang berperkara untuk tampil dengan menggunakan pengacara (verplichte procureurstelling). Oleh karena tidak atau belum adanya kewajiban demikian menurut hukum acara maka pihak lain di luar advokat tidak boleh dilarang untuk tampil mewakili pihak yang berperkara di depan pengadilan. Hal ini juga sesuai dengan kondisi riil masyarakat saat ini di mana jumlah advokat sangat tidak sebanding, dan tidak merata, dibandingkan dengan luas wilayah dan jumlah penduduk yang memerlukan jasa hukum.
Mahkamah juga berpandangan bahwa dalam persidangan Mahkamah tanggal 30 September 2004, sejarah lahirnya perumusan undang-undang a quo, pasal tersebut memang dimaksudkan agar yang boleh tampil beracara di hadapan pengadilan hanya advokat, yang dengan demikian berarti undang-undang a quo telah mengatur materi muatan yang seharusnya menjadi materi muatan undang- undang yang mengatur hukum acara. Bahkan, andaikatapun maksud demikian tidak ada, sebagaimana diterangkan wakil Pemerintah (c.q. Dirjen Hukum dan Perundang-undangan) pada persidangan tanggal 23 Agustus 2004, rumusan Pasal 31 undang-undang a quo dapat melahirkan penafsiran yang lebih luas daripada maksud pembentuk undang-undang (original intent) yang dalam pelaksanaannya dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan bagi banyak anggota masyarakat yang membutuhkan jasa pelayanan dan bantuan hukum karena Pasal 31 UU No.18 Tahun 2003 dimaksud dapat menjadi hambatan bagi banyak anggota masyarakat yang tak mampu menggunakan jasa advokat, baik karena alasan finansial maupun karena berada di wilayah tertentu yang belum ada advokat yang berpraktik di wilayah itu, sehingga akses masyarakat terhadap keadilan menjadi makin sempit bahkan tertutup. Padahal, akses pada keadilan adalah bagian tak terpisahkan dari ciri lain negara hukum yaitu bahwa hukum harus transparan dan dapat diakses oleh semua orang (accessible to all), sebagaimana diakui dalam perkembangan pemikiran kontemporer tentang negara hukum. Jika seorang warga negara karena alasan finansial tidak memiliki akses demikian maka adalah kewajiban negara, dan sesungguhnya juga kewajiban para advokat untuk memfasilitasinya, bukan justru menutupnya (vide Barry M. Hager,The Rule of Law, 2000, hal. 33).

Jika pun benar maksud perumusan Pasal 31 UU No.18 Tahun 2003 tersebut adalah untuk melindungi kepentingan masyarakat dari kemungkinan penipuan yang dilakukan oleh orang-orang yang mengaku-aku sebagai advokat, kepentingan masyarakat tersebut telah cukup terlindungi oleh ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana, sehingga oleh karenanya ketentuan Pasal 31 undang-undang a quo harus dinyatakan sebagai ketentuan yang berlebihan yang berakibat pada terhalanginya atau setidak-tidaknya makin dipersempitnya akses masyarakat terhadap keadilan, yang pada gilirannya dapat menutup pemenuhan hak untuk diadili secara fair (fair trial), terutama mereka yang secara finansial tidak mampu, sehingga kontradiktif dengan gagasan negara hukum yang secara tegas dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945.
Menimbang pula bahwa, sebagai perbandingan, akses terhadap keadilan dalam rangka pemenuhan hak untuk diadili secara fair adalah melekat pada ciri negara hukum (rule of law), dan karenanya dinilai sebagai hak konstitusional, sudah merupakan communis opinio sebagaimana terlihat antara lain dalam putusan Pengadilan Inggris dalam kasus R v Lord Chancellor ex p Witham (1998) yang di antaranya menyatakan, “... the right to a fair trial, which of necessity imports the right of access to the court, is as near to an absolute right as any which I can envisage... It has been described as constitutional right, though the cases do not explain what that means” (vide Helen Fenwick & Gavin Phillipson, Text, Cases & Materials on Public Law & Human Rights, 2nd edition, 2003, hal. 142).
Menimbang bahwa dengan pertimbangan-pertimbangan sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat, Pasal 31 UU No.18 Tahun 2003 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28F UUD Tahun 1945 dan karenanya permohonan Pemohon a quo harus dikabulkan.

1.2 Pendapat Hukum MK Dalam Perkara Nomor 101/PUU-VII/2009.

Dalam perkara ini para pemohon mengajukan permohonan pengujian Pasal 4 ayat (1) UU Advokat mengatur bahwa “Sebelum menjalankan profesinya, Advokat wajib bersumpah menurut agamanya di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya”.
Para Pemohon beranggapan bahwa Pasal a quo bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) juncto Pasal 28D ayat (1) juncto Pasal 28I ayat (2), ayat (4), dan ayat (5) UUD Tahun 1945 yang berbunyi:

Pasal 27 ayat (2)
Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Pasal 28D ayat (1)
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yangs ama dihadapan hukum.
Pasal 28I ayat (2)
Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatiif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
Pasal 28I ayat (4)
Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab Negara, terutama pemerintah.
Pasal 28 ayat (5)
Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip Negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.
Terhada pengujian pasal a quo mahkamah berpendapat bahwa isu hukum utama permohonan para Pemohon adalah apakah norma hukum yang terkandung dalam Pasal 4 ayat (1) UU Advokat bertentangan dengan UUD Tahun 1945, dan dari isu hukum utama tersebut melahirkan dua pertanyaan hukum, yaitu 1) apakah keharusan para Advokat mengambil sumpah sebelum menjalankan profesinya konstitusional; dan 2) apakah keharusan bersumpah di depan sidang Pengadilan Tinggi konstitusional.
Bahwa sebelum mempertimbangkan isu hukum yang kemudian diderivasi menjadi dua pertanyaan hukum tersebut di atas, Mahkamah lebih dahulu mengemukakan hal-hal berikut:
1) UUD Tahun 1945 sebagai hukum tertinggi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia telah memberikan jaminan dan perlindungan bagi setiap warga negara hak untuk bekerja dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan [Pasal 27 ayat (2) juncto Pasal 28D ayat (2)]; hak untuk hidup serta mempertahankan hidup dan kehidupannya (Pasal 28A); hak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya [Pasal 28C ayat (1); serta hak atas perlindungan dan jaminan kepastian hukum yang adil [Pasal 28D ayat (1)]. Oleh karena itu, tidak boleh ada ketentuan hukum yang berada di bawah UUD Tahun 1945 yang langsung atau tidak langsung menegasi hak untuk bekerja yang dijamin oleh Konstitusi tersebut atau memuat hambatan bagi seseorang untuk bekerja, apa pun bidang pekerjaan dan/atau profesi pekerjaannya, agar bisa memenuhi kebutuhan hidupnya yang layak bagi kemanusiaan;
2) Pasal 1 angka 1 UU Advokat menyatakan, “Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini”.Selanjutnya Pasal 3 ayat (1) UU Advokat menentukan 9 (sembilan) persyaratan untuk dapat diangkat menjadi Advokat, sedangkan Pasal 3 ayat (2) menyatakan, “Advokat yang telah diangkat berdasarkan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjalankan praktiknya denganmengkhususkan diri pada bidang tertentu sesuai dengan persyaratan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan”. Pasal 5 ayat (1) UU Advokat memberikan status kepada Advokat sebagai penegak hukum yang bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang- undangan.
3) Dengan demikian, seseorang yang menjadi Advokat pada dasarnya adalah untuk memenuhi haknya sebagai warga negara untuk bekerja dan memenuhi kehidupan yang layak bagi kemanusiaan, serta yang bersangkutan sudah dapat menjalankan profesi pekerjaannya setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh Pasal 3 ayat (1) UU Advokat [Pasal 3 ayat (2) UU Advokat].
4) Mengenai sumpah atau janji yang harus ducapkan dan/atau diikrarkan oleh seseorang yang akan menjalankan pekerjaan, jabatan, dan/atau suatu profesi tertentu merupakan hal yang lazim dalam suatu organisasi atau institusi yang pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku bagi organisasi/institusi yang bersangkutan dan/atau peraturan perundang- undangan yang berlaku.
Bahwa terkait dengan dua isu hukum yang kemudian diderivasi menjadi dua pertanyaan hukum di atas, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:
1) Keharusan bagi Advokat mengambil sumpah sebelum menjalankan profesinya merupakan kelaziman dalam organisasi dan suatu jabatan/ pekerjaan profesi yang tidak ada kaitannya dengan masalah konstitusionalitas suatu norma in casu norma hukum yang dimohonkan pengujian, sehingga tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945.
2) Ketentuan bahwa pengambilan sumpah bagi Advokat harus di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah hukumnya merupakan pelanjutan dari ketentuan yang berlaku sebelum lahirnya UU Advokat yang memang pengangkatannya dilakukan oleh Pemerintah in casu Menteri Kehakiman/Menteri Hukum dan HAM. Setelah lahirnya UU Advokat yang menentukan bahwa pengangkatan Advokat dilakukan oleh Organisasi Advokat [vide Pasal 2 ayat (2) UU Advokat], bukan lagi oleh Pemerintah, memang seolah-olah pengambilan sumpah yang harus dilakukan di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya tidak lagi ada rasionalitasnya. Akan tetapi, mengingat bahwa profesi Advokat telah diposisikan secara formal sebagai penegak hukum (vide Pasal 5 UU Advokat) dan dalam rangka melindungi para klien dari kemungkinan penyalahgunaan profesi Advokat, maka ketentuan yang tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) UU Advokat tersebut juga konstitusional.
3) Meskipun demikian, ketentuan yang mewajibkan para Advokat sebelum menjalankan profesinya harus mengambil sumpah sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU Advokat, tidak boleh menimbulkan hambatan bagi para advokat untuk bekerja atau menjalankan profesinya yang dijamin oleh UUD Tahun 1945. Lagi pula Pasal 3 ayat (2) UU Advokat secara expressis verbis telah menyatakan bahwa Advokat yang telah diangkat berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan oleh UU Advokat dapat menjalankan praktiknya sesuai dengan bidang-bidang yang dipilih.

Bahwa dengan demikian, keharusan bagi Advokat untuk mengambil sumpah sebelum menjalankan profesinya tidak ada kaitannya dengan persoalan konstitusionalitas norma, demikian juga mengenai keharusan bahwa pengambilan sumpah itu harus dilakukan di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya, sepanjang ketentuan dimaksud tidak menegasi hak warga negara in casu para calon Advokat untuk bekerja yang dijamin oleh UUD Tahun 1945.
Terjadinya hambatan yang dialami oleh para Pemohon untuk bekerja dalam profesi Advokat pada dasarnya bukan karena adanya norma hukum yang terkandung dalam Pasal 4 ayat (1) UU Advokat, melainkan disebabkan oleh penerapan norma dimaksud sebagai akibat adanya Surat Mahkamah Agung yang melarang Pengadilan Tinggi mengambil sumpah para calon Advokat sebelum organisasi advokat bersatu.
Bahwa penyelenggaran sidang terbuka Pengadilan Tinggi untuk mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum menjalankan profesinya sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) UU Advokat merupakan kewajiban atributif yang diperintahkan oleh Undang-Undang, sehingga tidak ada alasan untuk tidak menyelenggarakannya. Namun demikian, Pasal 28 ayat (1) UU Advokat juga mengamanatkan adanya Organisasi Advokat yang merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat, sehingga para Advokat dan organisasi- organisasi Advokat yang saat ini secara de facto ada, yaitu Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) dan Kongres Advokat Indonesia (KAI), harus mengupayakan terwujudnya Organisasi Advokat sebagaimana dimaksud Pasal 28 ayat (1) UU Advokat.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, Pasal 4 ayat (1) UU Advokat adalah konstitusional sepanjang frasa “di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya” harus dimaknai sebagai kewajiban yang diperintahkan oleh Undang-Undang untuk dilaksanakan oleh Pengadilan Tinggi tanpa mengaitkannya dengan adanya dua organisasi Advokat yang secara de facto ada dan sama-sama mengklaim sebagai organisasi Advokat yang sah menurut UUAdvokat.
Bahwa untuk mendorong terbentuknya Organisasi Advokat yang merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28 ayat (1) UU Advokat, maka kewajiban Pengadilan Tinggi untuk mengambil sumpah terhadap para calon Advokat tanpa memperhatikan Organisasi Advokat yang saat ini secara de facto ada sebagaimana dimaksud pada huruf g di atas yang hanya bersifat sementara untuk jangka waktu selama 2 (dua) Tahun sampai terbentuknya Organisasi Advokat yang merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat melalui kongres para Advokat yang diselenggarakan bersama oleh organisasi advokat yang secara de facto saat ini ada. Bahwa apabila setelah jangka waktu dua Tahun Organisasi Advokat sebagaimana dimaksud Pasal 28 ayat (1) UU Advokat belum juga terbentuk, maka perselisihan tentang organisasi Advokat yang sah diselesaikan melalui Peradilan Umum.

1.3 Pendapat Hukum Hakim MK dalam Perkara Nomor 26/PUU-XI/2013.

Dalam perkara ini para pemohon mengajukan permohonan pengujian Pasal 16 UU Advokat. Didalam Pasal 16 UU Advokat dinyatakan bahwa:

“Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan”.

Para Pemohon berpandangan bahwa Pasal a quo bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28H ayat (2) UUD Tahun 1945 yang berbunyi:

Pasal 28D ayat (1)
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yangs ama dihadapan hukum.
Pasal 28G ayat (1)
Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
Pasal 28H ayat (2)
Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.

Terhadap pengujian pasal a quo mahkamah berpandangan bahwa ketentuan Pasal 1 angka 1 UU 18/2003 menyatakan, “Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini”. Pengertian jasa hukum adalah jasa yang diberikan advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien [vide Pasal 1 angka 2 UU 18/2003]. Berdasarkan ketentuan tersebut, menurut Mahkamah, peran advokat berupa pemberian konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien dapat dilakukan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Peran advokat di luar pengadilan tersebut telah memberikan sumbangan berarti bagi pemberdayaan masyarakat serta pembaruan hukum nasional, termasuk juga dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan.

Selain advokat, pemberian jasa hukum juga dilakukan oleh Pemberi Bantuan Hukum. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5248, selanjutnya disebut UU 16/2011) menyatakan, “Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum secara cuma-cuma kepada Penerima Bantuan Hukum”. Pemberi Bantuan Hukum berdasarkan UU 16/2011 adalah lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan Bantuan Hukum berdasarkan Undang-Undang ini [vide Pasal 1 angka 3 UU 16/2011]. Persyaratan lebih lanjut mengenai Pemberi Bantuan Hukum diatur dalam Pasal 8 ayat (2) UU 16/201.
Bahwa pembentukan UU 16/2011 merupakan upaya negara untuk memenuhi dan sekaligus sebagai implementasi negara hukum yang mengakui dan melindungi serta menjamin hak asasi warga negara akan kebutuhan akses terhadap keadilan (access to justice) dan kesamaan di hadapan hukum (equality before the law). Dengan demikian UU 16/2011 menjamin hak semua orang untuk memperoleh perlindungan hukum, yang salah satu bentuk perlindungan hukum bagi semua orang adalah dengan memberikan perlindungan hukum bagi Pemberi Bantuan Hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 11 UU 16/2011 yang menyatakan, “Pemberi Bantuan Hukum tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana dalam memberikan Bantuan Hukum yang menjadi tanggungjawabnya yang dilakukan dengan iktikad baik di dalam maupun di luar sidang pengadilan sesuai Standar Bantuan Hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau Kode Etik Advokat”. Terhadap Pasal 11 UU 16/2011 tersebut, Mahkamah dalam Putusan Nomor 88/PUU-X/2012, tanggal 19 Desember 2013 telah memberikan pertimbangan mengenai siapa yang dimaksud dengan Pemberi Bantuan Hukum yang tidak dapat dituntut secara perdata dan pidana dalam memberikan bantuan hukum, antara lain, mempertimbangkan,

“...menurut Mahkamah, yang menjadi subjek yang mendapatkan jaminan perlindungan hukum dengan hak imunitas dalam menjalankan tugasnya memberi bantuan hukum dalam UU Bantuan Hukum ditujukan kepada baik pemberi bantuan hukum yang berprofesi sebagai advokat maupun bukan advokat (lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan bantuan hukum). Hal demikian adalah wajar agar baik advokat maupun bukan advokat dalam menjalankan tugasnya memberi bantuan hukum dapat dengan bebas tanpa ketakutan dan kekhawatiran...”.

Berdasarkan hal tersebut, yang tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana dalam memberikan bantuan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang dilakukan dengan iktikad baik di dalam maupun di luar sidang pengadilan adalah Pemberi Bantuan Hukum yang berprofesi sebagai advokat maupun bukan advokat dengan tujuan agar Pemberi Bantuan Hukum dalam menjalankan tugasnya memberi bantuan hukum dapat dengan bebas tanpa ketakutan dan kekhawatiran;
Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, antara UU 18/2003 dengan UU 16/2011 terdapat perbedaan mengenai perlindungan advokat dan Pemberi Bantuan Hukum dalam menjalankan profesinya. Perbedaan dimaksud telah menimbulkan perlakuan yang berbeda antara advokat dan Pemberi Bantuan Hukum yang bermuara pada timbulnya ketidakpastian hukum yang adil diantara kedua profesi tersebut. Keadaan yang demikian bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”; yang juga bertentangan dengan prinsip negara hukum sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945. Dengan demikian menurut Mahkamah, untuk menghindari terjadinya ketidakpastian hukum, bersamaan dengan itu dimaksudkan pula untuk mewujudkan keadilan bagi kedua profesi tersebut, Mahkamah perlu menegaskan bahwa ketentuan Pasal 16 UU 18/2003 harus dimaknai advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan.

1.4 Pendapat Hukum MK dalam Perkara Nomor 112/PUU-XII/2014 dan Perkara Nomor 36/PUU-XIII/2015.

Dalam perkara ini para pemohon kembali menguji Pasal 4 ayat (1) sepanjang frasa “di sidang terbuka Pengadilan Tinggi” dan ayat (3) sepanjang frasa “oleh Panitera Pengadilan Tinggi yang bersangkutan” UU Advokat yang masing-masing selengkapnya menyatakan:
Pasal 4 ayat (1)
“Sebelum menjalankan profesinya, Advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya.”
Pasal 4 ayat (3)
“Salinan berita acara sumpah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) oleh Panitera Pengadilan Tinggi yang bersangkutan dikirimkan kepada Mahkamah Agung, Menteri, dan Organisasi Advokat.”
Pasal a quo menurut anggapan para pemohon telah bertentangan dengan Pasal 28A, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (2) Pasal 28D ayat (3), Pasal 28E ayat (2), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (2) dan Pasal 28I ayat (1) UUD Tahun 1945 yang berbunyi:
Pasal 28A
Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.
Pasal 28C ayat (2)
Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.
Pasal 28D ayat (1)
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yangs ama dihadapan hukum.
Pasal 28D ayat (2)
Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
Pasal 28D ayat (3)
Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Pasal 28E ayat (2)
Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
Pasal 28G ayat (1)
Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
Pasal 28H ayat (2)
Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
Pasal 28I ayat (1)
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Terhadap pengujian pasal a quo, mahkamah telah memutus dalam Putusan Nomor 71/PUU-VIII/2010, bertanggal 27 Juni 2011 dan Putusan Nomor 79/PUU-VIII/2010, bertanggal 27 Juni 2011 yang pertimbangan hukum kedua putusan tersebut mengacu pada pertimbangan hukum dan amar putusan Mahkamah dalam Putusan Nomor 101/PUU-VII/2009 a quo yang antara lain menyatakan Pasal 4 ayat (1) UU Advokat adalah bertentangan dengan UUD Tahun 1945 sepanjang tidak dipenuhi syarat bahwa frasa “di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya” tidak dimaknai bahwa “Pengadilan Tinggi atas perintah Undang-Undang wajib mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat yang pada saat ini secara de facto ada, dalam jangka waktu 2 (dua) Tahun sejak amar putusan ini diucapkan”.
Bahwa berdasarkan Pasal 60 ayat (1) UU MK juncto Pasal 42 ayat (1) PMK 06/2005 dan Pasal 60 ayat (2) UU MK juncto Pasal 42 ayat (2) PMK 06/2005, pengujian terhadap Pasal 4 ayat (1) UU Advokat seharusnya tidak dapat diajukan permohonan lagi, sebab pada hakikatnya diajukan berdasarkan alasan pokok yang sama dan materi muatan dalam UUD Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian juga sama dengan permohonan sebelumnya. Namun, dengan mendasarkan pada: (1) petitum para Pemohon yang juga memohon kepada Mahkamah untuk memberikan putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono); (2) permohonan dan fakta persidangan bahwa pasca Putusan Nomor 101/PUU-VII/2009 a quo, hingga saat ini, para Pemohon selaku advokat dari KAI tidak dapat beracara di pengadilan karena Pengadilan Tinggi tidak bersedia menyumpah advokat dari KAI; (3) fakta persidangan bahwa Mahkamah Agung bersifat tidak berpihak dan tidak dalam posisi mengakui atau tidak mengakui kedua organisasi yang bertikai (PERADI dan KAI), bahkan Mahkamah Agung juga tidak mempermasalahkan jika tidak berwenang menyumpah advokat; (4) tenggat waktu 2 (dua) Tahun sebagaimana amar Putusan Nomor 101/PUU-VII/2009 telah terlewati dan tetap terdapat kebuntuan konstitusionalitas yang sangat merugikan para Pemohon khususnya, dan pada umumnya para Advokat yang tidak dapat disumpah; (5) Mahkamah sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan serta sebagai satu-satunya lembaga peradilan yang berwenang menegakkan dan menafsir konstitusi dalam rangka melindungi dan menjamin hak-hak konstitusional warga negara; (6) penegakan hukum tidak hanya ditujukan untuk menjamin terpenuhinya keadilan, terlaksananya kepastian hukum, namun termasuk pula menghadirkan kemanfaatan (kemaslahatan); maka Mahkamah perlu mempertimbangkan lebih lanjut perkara a quo, sebagai berikut:
a. bahwa para Pemohon berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya [vide Pasal 28A UUD Tahun 1945] dengan bekerja sebagai advokat; berhak memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya [vide Pasal 28C ayat (2) UUD Tahun 1945] melalui pengajuan permohonan a quo; berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum [vide Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945] untuk dapat beracara di pengadilan; berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja [vide Pasal 28D ayat (2) UUD Tahun 1945] dengan menjadi advokat; berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan [vide Pasal 28D ayat (3) UUD Tahun 1945] dengan menjadi advokat sebagai salah satu pelaku penegakan hukum yang bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan perundang-undangan [vide Pasal 5 ayat (1) UU Advokat]; berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, dan martabatnya [vide Pasal 28G ayat (1) UUD Tahun 1945] dengan diakui serta disumpahnya mereka sebagai advokat.
b. bahwa, sebagaimana telah dinyatakan oleh Mahkamah dalam putusan-putusan sebelumnya, wadah tunggal advokat yaitu PERADI, adalah konstitusional. Namun, sebagai satu-satunya wadah profesi Advokat yang memiliki wewenang untuk melaksanakan pendidikan khusus profesi Advokat [Pasal 2 ayat (1) UU Advokat], pengujian calon Advokat [Pasal 3 ayat (1) huruf f UU Advokat], pengangkatan Advokat [Pasal 2 ayat (2) UU Advokat], membuat kode etik [Pasal 26 ayat (1) UU Advokat], membentuk Dewan Kehormatan [Pasal 27 ayat (1) UU Advokat], membentuk Komisi Pengawas [Pasal 13 ayat (1) UU Advokat], melakukan pengawasan [Pasal 12 ayat (1) UU Advokat], dan memberhentikan Advokat [Pasal 9 ayat (1) UU Advokat] (vide Putusan Nomor 66/PUU-VIII/2010 bertanggal 27 Juni 2011), PERADI tidak memiliki wewenang untuk menyumpah calon Advokat. Meskipun Mahkamah Agung dalam persidangan perkara a quo telah menyatakan tidak masalah jika pengambilan sumpah tidak harus dilakukan di hadapan sidang Pengadilan Tinggi karena Mahkamah Agung bersifat tidak berpihak dan penyumpahan diserahkan kepada profesi Advokat itu sendiri, Mahkamah tetap mengacu dan konsisten pada pertimbangan hukum Putusan Nomor 101/PUU-VII/2009 a quo yang menjadi landasan hukum pentingnya penyumpahan calon advokat dilakukan oleh Pengadilan Tinggi, antara lain, karena profesi Advokat telah diposisikan secara formal sebagai penegak hukum (vide Pasal 5 UU Advokat) dan dalam rangka melindungi para klien dari kemungkinan penyalahgunaan profesi Advokat. Selain itu, penyumpahan calon advokat oleh Pengadilan Tinggi adalah guna melindungi kemuliaan profesi advokat itu sendiri, sebagaimana nilai penting perihal pelantikan advokat tersebut telah dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam Putusan Nomor 103/PUU-XI/2013, bertanggal 11 September 2014, yang menyatakan bahwa “...pengangkatan dan pelantikan advokat merupakan perwujudan untuk peningkatan kualitas profesi advokat yang menjalankan profesi mulia (officium nobile), yang pada akhirnya ke depan para Advokat dapat membangun keadilan di tengah-tengah masyarakat dalam peranannya pada proses penegakan hukum di Indonesia...”, sehingga ketentuan yang tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) UU Advokat tersebut adalah konstitusional.

Bahwa dalam Putusan Nomor 101/PUU-VII/2009 tersebut pula, Mahkamah menyatakan bahwa ketentuan yang mewajibkan para Advokat sebelum menjalankan profesinya harus mengambil sumpah sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU Advokat, tidak boleh menimbulkan hambatan bagi para advokat untuk bekerja atau menjalankan profesinya yang dijamin oleh UUD Tahun 1945. Oleh karenanya, dengan mendasarkan pada pertimbangan hukum tersebut, Amar Putusan Nomor 101/PUU-VII/2009 menyatakan, Pengadilan Tinggi atas perintah Undang-Undang wajib mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat yang pada saat ini secara de facto ada, dalam jangka waktu 2 (dua) Tahun sejak amar putusan tersebut diucapkan. Selain itu, Mahkamah juga menyatakan apabila setelah jangka waktu dua Tahun Organisasi Advokat sebagaimana dimaksud Pasal 28 ayat (1) UU Advokat belum juga terbentuk, maka perselisihan tentang organisasi Advokat yang sah diselesaikan melalui Peradilan Umum.
c. Meskipun pasca Putusan Nomor 101/PUU-VII/2009 a quo telah ada piagam perdamaian/nota kesepahaman antara PERADI dan KAI bertanggal 24 Juni 2010 yang piagam tersebut juga diketahui dan ditandatangani pula oleh Ketua Mahkamah Agung saat itu, Dr. H. Arifin A. Tumpa, S.H., M.H. dan proses penandatanganan piagam tersebut dihadiri dan diketahui pula oleh Menteri Hukum dan HAM saat itu, Patrialis Akbar (vide alat bukti tertulis bertanda PT-8 dan PT-10) yang menandai bersatunya para advokat dalam satu wadah organisasi, namun para Pemohon pada faktanya masih mengalami kesulitan beracara di pengadilan karena Pengadilan Tinggi tidak bersedia menyumpah para advokat yang bukan berasal dari PERADI.
Terhadap permasalahan tersebut, dengan mendasarkan pada pernyataan Mahkamah Agung dalam persidangan perkara a quo yang menyatakan tidak ingin lagi terseret pada konflik serta tidak dalam posisi mengakui atau tidak mengakui kedua organisasi (PERADI dan KAI) yang bertikai, Mahkamah berpendapat, demi terwujudnya asas kemanfaatan (kemaslahatan) hukum dan terjaminnya asas keadilan serta terlaksananya asas kepastian hukum khususnya bagi para calon advokat, bahwa dengan telah lewatnya masa dua Tahun sebagaimana amar putusan Mahkamah dalam Perkara Nomor 101/PUU-VII/2009, Mahkamah perlu memperkuat kembali amar putusan tersebut dan mempedomani kembali ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU Advokat sebagaimana telah diputus Mahkamah dalam Putusan Nomor 101/PUU-VII/2009 a quo, yaitu bahwa Pasal 4 ayat (1) UU Advokat sepanjang frasa “di sidang terbuka Pengadilan Tinggi” bertentangan dengan UUD Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “Pengadilan Tinggi atas perintah Undang-Undang wajib mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat yang pada saat ini secara de facto ada” dan Mahkamah tidak perlu lagi memberikan jangka waktu penyelesaian konflik internal organisasi advokat yang terus muncul karena pada dasarnya persoalan eksistensi kepengurusan yang sah dari lembaga advokat tersebut adalah menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari lembaga tersebut selaku organisasi yang bebas dan mandiri yang dibentuk dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi advokat [vide Pasal 28 ayat (1) UU Advokat] yang dapat dimaknai pula bahwa nilai profesionalitas tersebut mencakup pula kemampuan para advokat untuk menyelesaikan konflik internal lembaga tersebut. Dalam kaitannya untuk mewujudkan asas kemanfaatan hukum, keharusan mengambil sumpah para advokat oleh Pengadilan Tinggi tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat yang pada saat ini secara de facto ada, adalah supaya tidak mengganggu proses pencarian keadilan (access to justice) bagi masyarakat yang membutuhkan jasa advokat dan tidak pula menghalang-halangi hak konstitusional para advokat sebagaimana telah diuraikan. Selain itu, yang dimaksud dengan frasa “Organisasi Advokat yang pada saat ini secara de facto ada” dalam Putusan Nomor 101/PUU-VII/2009 di atas, konteksnya adalah merujuk pada Organisasi PERADI dan KAI.

d. Mahkamah Agung menegaskan tidak memiliki kepentingan untuk mempertahankan pasal mengenai advokat tergabung dalam wadah tunggal (singlebar) atau multibar dan menyerahkan sepenuhnya persoalan tersebut kepada Mahkamah. Terhadap hal tersebut, Mahkamah berpendapat, meskipun pada pertimbangan hukum Mahkamah dalam putusan sebelumnya pada pokoknya menyatakan bahwa wadah tunggal organisasi adalah konstitusional, namun hal tersebut esensinya menjadi bagian dari kebijakan hukum yang terbuka yang menjadi kewenangan bagi pembentuk Undang-Undang (Presiden dan DPR) beserta pemangku kepentingan (para advokat dan organisasi advokat) untuk menentukan apakah selamanya organisasi advokat akan menjadi organisasi tunggal atau berubah menjadi multi organ. Oleh karenanya, masih terdapat upaya hukum lainnya yaitu melalui proses legislative review yang juga menjadi bagian dari tindakan konstitusional yang dapat dilakukan oleh para advokat untuk menentukan solusi yang terbaik bagi eksistensi organisasi advokat serta untuk menjamin dan melindungi hak-hak konstitusional para advokat dalam menjalankan profesinya.

Berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, Mahkamah juga berpendapat bahwa permohonan para Pemohon terhadap ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU Advokat sepanjang frasa “di sidang terbuka Pengadilan Tinggi” UU Advokat adalah beralasan menurut hukum;
Terhadap dalil Pemohon khususnya Pasal 4 ayat (3) UU Advokat yang meminta Mahkamah menyatakan sepanjang frasa “oleh Panitera Pengadilan Tinggi yang bersangkutan” adalah bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dengan mendasarkan pada pertimbangan hukum di atas yang pada pokoknya menyatakan permohonan para Pemohon terhadap Pasal 4 ayat (1) UU Advokat sepanjang frasa “di sidang terbuka Pengadilan Tinggi” adalah beralasan menurut hukum maka dengan sendirinya tindakan yang dilaksanakan oleh Panitera Pengadilan Tinggi sebagai tindak lanjut dari proses pengambilan sumpah Advokat di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya adalah menyesuaikan dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU Advokat yang menjadi landasan hukum bagi dilasanakannya tugas Panitera Pengadilan Tinggi yang diatur dalam Pasal 4 ayat (3) UU Advokat. Oleh karenanya, menurut Mahkamah, dalil Pemohon a quo tentang Pasal 4 ayat (3) UU Advokat sepanjang frasa “oleh Penitera Pengadilan Tinggi yang bersangkutan” adalah tidak beralasan menurut hukum.


2. Dissenting Opinion
Dalam perkara Nomor Perkara Nomor 006/PUU-II/2004 terdapat dissenting opinon oleh beberapa hakim MK, yaitu Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki, SH, Prof. H.A.S. Natabaya, SH, LL.M, dan H. Achmad Roestandi, SH yang mempunyai pendapat berbeda sebagai berikut :
Secara tekstual, Pasal 31 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat berbunyi :

Setiap orang yang dengan sengaja menjalankan pekerjaan profesi Advokat dan bertindak seolah-seolah sebagai Advokat, tetapi bukan Advokat sebagaimana diatur dalam undang-undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) Tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).

Pasal 31 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 merupakan een wet artikel gedeelte dari Undang-Undang Advokat, yang secara khusus diperuntukkan mengatur profesi advokat. Undang-Undang Advokat adalah undang-undang profesi, dalam hal ini undang-undang profesi advokat. Pasal 31 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 dibuat guna melindungi profesi advokat, suatu pengaturan beroepsbescherming bagi advokat. Manakala seseorang yang dengan sengaja menjalankan pekerjaan profesi Advokat dan bertindak seolah-olah sebagai Advokat, tetapi bukan Advokat maka hal dimaksud merupakan strafbare sanctie (sanksi pidana) yang ditujukan kepada non profesi advokat, atau orang lain (profesi lain) di luar advocat beroep.
Penolakan hakim atau pihak lain terhadap orang lain yang bukan advokat beracara di pengadilan (atau di luar pengadilan) tidak dapat dijadikan alasan guna pengujian (apalagi membatalkan) Pasal 31 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 karena hal dimaksud berpaut dengan salah penerapan Pasal 31 Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2003, tidak terletak pada substansi normatif yang dimaksud pembuat undang-undang. Kesalahan penerapan Pasal a quo terungkap pula dari keterangan dan kesaksian dalam persidangan. Memang di tempat-tempat tertentu, dalam hal ini di Bandung dan Malang, pemberian kuasa kepada LBH Perguruan Tinggi pernah dipersoalkan oleh Polisi atau Pengadilan dengan mendasarkan pada Pasal a quo, tetapi di tempat-tempat lain pemberian kuasa semacam itu tidak pernah dipersoalkan, artinya tetap berjalan seperti yang dilakukan sebelum pasal a quo berlaku. Lagipula proses penanganan perkara tersebut baik di Bandung maupun di Malang pada akhirnya tidak dilanjutkan.
Dengan demikian ketentuan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tidak ada kaitannya dengan perlakuan diskriminatif yang didalilkan Pemohon sehingga bertentangan dengan Pasal 28 C ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 28 D ayat (1) dan ayat (3). Adapun bunyi Pasal 28 C ayat (1) adalah:

“Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”. Sedangkan ayat (2) berbunyi “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya”. Selanjutnya Pasal 28 D ayat (1) menegaskan “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.

Sedangkan pada ayat (3) menyebutkan:

“Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”.

Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003, jika dibaca sepintas memang seolah-olah memberikan perlindungan yang berlebihan kepada advokat. Tetapi jika dipahami secara cermat, perlindungan terhadap advokat itu, pada dasarnya dimaksudkan untuk melindungi kepentingan masyarakat. Kerugian yang mungkin diderita oleh masyarakat sebagai akibat ulah dari mereka yang mengaku-aku sebagai advokat, dapat berpengaruh lebih luas dan lebih besar daripada akibat yang ditimbulkan oleh penipuan biasa, sehingga wajar saja jika diberikan ancaman pidana khusus selain ancaman pidana umum yang terdapat dalam KUHP.

Perlindungan itupun tidak berarti menutup pintu bagi Perguruan Tinggi untuk memberikan pelatihan praktis kepada para mahasiswa Fakultas Hukum, bahkan pelatihan itu akan berlangsung lebih terarah, lebih realistis dan lebih sejalan dengan Pasal 13 UU a quo, jika misalnya dilakukan melalui kerjasama antara Perguruan Tinggi dengan Asosiasi (Perkumpulan) advokat, sebagaimana yang dilakukan oleh Perguruan Tinggi dengan Rumah Sakit dalam rangka pelatihan mahasiswa Fakultas Kedokteran.
Adapun dalil Pemohon yang menyatakan dengan munculnya ketentuan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 telah dipengaruhi oleh ketakutan akan berkurangnya atau sedikitnya lahan rezeki Advokat adalah bersifat tendensius dan berburuk sangka karena berdasarkan hasil Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Advokat di DPR (Ketetapan DPR dan Pemerintah) pernyataan Pemohon tidak benar. Pemohon sebagai anggota Civitas Academica Universitas Muhammadiyah Malang yang bukan merupakan institusi Pemerintah (tidak berstatus Pegawai Negeri) dapat mendaftarkan diri untuk menjadi Advokat asal saja memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003, dengan catatan bahwa setiap profesi sudah seharusnya dituntut untuk bekerja secara profesional di bidangnya masing- masing, termasuk advokat hendaknya bekerja profesional di bidangnya, demikian pula tenaga pengajar hendaknya juga profesional dan tidak berdwifungsi.
Adapun dalil Pemohon yang menyatakan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 bukan undang-undang yang baik karena tidak ada aturan pengecualiannya, tidak tepat, karena tidak selalu harus suatu undang-undang mempunyai pasal atau ketentuan pengecualian (escape clausule). Oleh karena itu, kami berpendapat dalil yang dikemukakan oleh Pemohon bahwa Pasal 31 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 adalah bertentangan (tegengesteld) dengan UUD Tahun 1945, tidak terbukti. Sebagai penutup, izinkanlah kami menutup pendapat berbeda ini dengan mengutip pepatah Melayu “awak tak pandai menari dikatakan lantai terjungkit” dan “buruk muka cermin dibelah”.

3. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi
Secara umum putusan Mahkamah Konstitusi bersifat declaratoir dan constitutief. Declaratoir artinya putusan dimana hakim sekedar menyatakan apa yang menjadi hukum, tidak melakukan penghukuman. Constitutief artinya suatu putusan yang menyatakan tentang ketiadaan suatu keadaan hukum dan/atau menciptakan suatu keadaan hukum yang baru. (revisi UU menyesuaikan dengan Putusan MK). Kekuatan mengikat putusan MK mengikat bagi semua orang, lembaga negara dan badan hukum dalam wilayah NKRI. Putusan MK berlaku sebagai hukum sebagaimana hukum diciptakan pembuat undang-undang/negative legislator yang putusannya bersifat erga omnes.
Putusan Mahkamah Konstitusi berisikan pernyataan apa yang menjadi hukum dan sekaligus dapat meniadakan keadaan hukum dan menciptakan suatu keadaan hukum baru. Dalam perkara pengujian undang-undang atau judicial review, putusan yang mengabulkan bersifat declaratoir karena menyatakan apa yang menjadi hukum dari suatu norma undang-undang, yaitu bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Pada saat bersamaan, putusan ini meniadakan keadaan hukum berdasarkan norma yang dibatalkan dan menciptakan keadaan hukum baru (constitusief).
3.1 Implikasi Putusan MK dalam Perkara Nomor 006/PUU-II/2004.

Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat menurut anggapan pemohon telah bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) UUD Tahun 1945. Selain itu menurut pemohon, rumusan Pasal 31 UU Advokat juga bertentangan dengan bagian Penjelasan UU Advokat. Pada alinea ketiga bagian Umum Penjelasan UU Advokat menyebutkan: “Selain dalam proses peradilan, peran Advokat juga terlihat di jalur profesi di luar pengadilan”.
Pemohon juga berpandangan bahwa kebutuhan jasa hukum Advokat di luar proses peradilan pada saat sekarang semakin meningkat, sejalan dengan semakin berkembangnya kebutuhan hukum masyarakat terutama dalam memasuki kehidupan yang semakin terbuka dalam pergaulan antar bangsa. Melalui pemberian jasa konsultasi, negoisasi maupun dalam pembuatan kontrak-kontrak dagang, profesi Advokat ikut memberi sumbangan berarti bagi pemberdayaan masyarakat serta pembaharuan hukum nasional khususnya di bidang ekonomi dan perdagangan, termasuk dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan”.
Rumusan Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 yang berisi ancaman pidana tersebut sangat diskriminatif dan tidak adil, serta merugikan hak-hak konstitusional Pemohon. Bahwa dengan lahirnya UU No. 18 Tahun 2003 tersebut, pihak Laboratorium Konsultasi dan Pelayanan Hukum UMM, tidak dapat menyelenggarakan lagi aktivitasnya di bidang pelayanan hukum kepada masyarakat, baik dalam bentuk litigasi maupun non litigasi. Oleh karena Undang-undang Advokat tidak mengakomodasi realitas empiris mengenai peran perguruan tinggi hukum yang memberikan kemudahan akses kepada masyarakat untuk memperoleh bantuan hukum secara murah. Jelasnya Undang-undang Advokat ini hanya mengakui profesi Advokat an-sich yang memiliki otoritas di dalam pelayanan hukum baik di dalam dan di luar pengadilan.
Terhadap permohonan pemohon tersebut Majelis memberikan Putusan dengan mengabulkan permohonan pemohon atau dengan kata lain bahwa Pasal 31 UU Advokat dianggap bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan mengikat. Putusan majelis tersebut telah menimbulkan implikasi yuridis, bahwa dengan dibatalkannya Pasal 31 UU Advokat tersebut, maka setiap tindakan advokasi atau pemberian jasa hukum dapat dilakukan oleh lembaga bantuan hukum dan sejenisnya, dan seseorang atau lembaga yang memberikan informasi, konsultasi hukum kepada pihak yang membutuhkan bantuan hukum dengan demikian tidak dapat dipidana berdasarkan pasal a quo.

3.2 Implikasi Putusan MK dalam Perkara Nomor 101/PUU-VII/2009.

Pengajuan permohonan pengujian terhadap Pasal 4 ayat (1) UU Advokat dilatarbelakangi oleh keluarnya surat Keputusan Mahkamah Agung Nomor 52/KMA/V/2009 juncto Nomor 064/KMA/V/2009 yang dikeluarkan oleh Ketua MA-RI sebagai akibat timbulnya perseteruan antar organisasi advokat dalam mencari keabsahan. Adapun isi dari KMA Nomor 52/KMA/V/2009:
“Ketua Mahkamah Agung meminta kepada ketua Pengadilan Tinggi untuk tidak terlibat secara langsung atau tidak langsung terhadap perselisihan didalam organisasi advokat berarti Ketua Pengadilan tinggi tidak mengambil sumpah advokat baru sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 4 UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Walaupun demikian, Advokat yang telah diambil sumpahnya sesuai Pasal 4 tersebut diatas tidak bisa dihalangi untuk beracara di Pengadilan terlepas dari organisasi manapun ia berasal, apabila ada advokat yang diambil sumpahnya menyimpang dari ketentuan pasal tersebut (bukan oleh Ketua Pengadilan Tinggi) maka sumpahnya dianggap tidak sah sehingga yang bersangkutan tidak dibenarkan beracara di Pengadilan”.

Menurut para Pemohon timbulnya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon oleh berlakunya Pasal 4 ayat (1) UU Advokat dikarenakan terbitnya Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor 052/KMA/V/2009 bertanggal 01 Mei 2009 yang intinya meminta kepada para Ketua Pengadilan Tinggi untuk tidak mengambil sumpah para Advokat baru dan apabila ada Advokat yang diambil sumpahnya menyimpang dari ketentuan Pasal 4 UU Advokat dianggap tidak sah, sehingga yang bersangkutan tidak dibenarkan beracara di Pengadilan. Hal ini berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan bagi para Pemohon, sehingga para Pemohon tidak bisa bekerja.
Dalam putusannya, majelis hakim memutuskan secara bersyarat bahwa Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dipenuhi syarat bahwa frasa “di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya” tidak dimaknai bahwa “Pengadilan Tinggi atas perintah Undang-Undang wajib mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat yang pada saat ini secara de facto ada, dalam jangka waktu 2 (dua) Tahun sejak Amar Putusan ini diucapkan”. Jika dalam waktu 2 Tahun organiasi advokat belum terbentuk, maka perselisihan antar organisasi advokat diselesaikan melalui peradilan umum.

Dengan diputuskan secara bersyarat tersebut, maka terdapat implikasi yuridis terhadap berlakunya pasal a quo, yaitu pertama, bahwa pengadilan wajib melakukan sumpah terhadap calon advokat selama memenuhi syarat pengangkatan sesuai aturan yang ada di dalam UU Advokat tanpa mengaitkan keanggotaan organisasi advokat. Kedua, dengan adanya putusan conditionally constitutional terhadap pasal a quo tersebut, maka hakim baik dipengadilan negeri mapun pengadilan tinggi dapat melantik tanpa memperhatikan Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor 052/KMA/V/2009.
3.3 Implikasi Putusan MK dalam Perkara Nomor 26/PUU-XI/2013.

Berlakunya Pasal 16 UU 18/2003 menurut anggapan para pemohon tidak memberikan perlindungan yang sesuai dengan lingkup profesi para Pemohon. meskipun para Pemohon dalam menjalankan profesi di luar persidangan dengan iktikad baik yaitu dalam membela, mempertahankan, dan melindungi hak klien, namun para Pemohon rentan untuk dijerat dengan pasal-pasal pidana yang diatur dalam KUHP dan digugat secara perdata dengan alasan melakukan perbuatan melawan hukum.
Dalam pertimbangan sebagaimana telah dijelaskan dalam subab mengenai pendapat hukum, bahwa dengan merujuk pada Putusan Perkara Nomor 88/PUU-X/2012 terkait Undang-Undang No. 16 Tahun 2011, menurut Mahkamah, yang menjadi subjek yang mendapatkan jaminan perlindungan hukum dengan hak imunitas dalam menjalankan tugasnya memberi bantuan hukum dalam UU Bantuan Hukum ditujukan kepada baik pemberi bantuan hukum yang berprofesi sebagai advokat maupun bukan advokat (lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan bantuan hukum). Hal demikian adalah wajar agar baik advokat maupun bukan advokat dalam menjalankan tugasnya memberi bantuan hukum dapat dengan bebas tanpa ketakutan dan kekhawatiran.
Dengan pertimbangan diiatas, majelis pun memutuskan secara bersyarat bahwa Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan”.
Terhadap putusan tersebut menimbulkan implikasi yuridis, yaitu bahwa pemberi bantuan hukum baik yang berprofesi sebagai advokat maupun bukan advokat (lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan bantuan hukum) tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan.

4.
3.4 Implikasi Putusan MK dalam Perkara Nomor 112/PUU-XII/2014 dan Perkara Nomor 36/PUU-XIII/2015.

Terkait permohonan pengujian Pasal 4 ayat (1) dan ayat (3) UU Advokat terhadap UUD Tahun 1945, sebagaimana telah dipaparkan diatas bahwa mahkamah memberikan pertimbangan meskipun pasal a quo pernah diujikan dalam Perkara Nomor 101/PUU-VII/2009. Namun demikian, majelis memandang perlu untuk tetap memeriksa karena beberapa alasan sebagaimana telah dijelaskan pada sub bab mengenai pendapat hukum MK, yang secara garis besar menjelaskan bahwa tetap diperiksanya pasal a quo karena pengadilan tidak melaksanakan putusan dalam Perkara Nomor 101/PUU-VII/2009, yang mewajibkan pengadilan tinggi untuk tetap melakukan sumpah kepada calon advokat tanpa memandang keterkaitan organisasi. Kemudian, juga dikarenakan tidak terlaksananya pembentukan organisasi advokat selama jangka waktu 2 Tahun yang diberikan sejak putusan untuk dalam Perkara Nomor 101/PUU-VII/2009, sehingga seolah dianggap bahwa putusan dalam perkara Nomor 101/PUU-VII/2009 tidak berlaku lagi.
Terhadap pengujian ulang pasal a quo majelis dalam amar putusannya mengabulkan sebagian permohonan yang memutuskan bahwa Pasal 4 ayat (1) sepanjang frasa “di sidang terbuka Pengadilan Tinggi” Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat sepanjang tidak dimaknai bahwa “Pengadilan Tinggi atas perintah Undang-Undang wajib mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat yang secara de facto ada yaitu PERADI dan KAI”. Pasal yang dikabulkan tersebut menguatkan putusan majelis dalam perkara perkara Nomor 101/PUU-VII/2009.
Adapun implikasi yuridis yang timbul akibat diputus secara bersyaratnya pasal a quo, pertama, tetap mewajibkan pengadilan tinggi untuk melakukan sumpah terhadap calon advokat tanpa melihat keterkaitan keanggotaan organisasi secara de facto yang ada saat ini yaitu KAI dan Peradi. Kedua, dengan dihilangkannya jangka waktu 2 Tahun untuk membentuk organisasi advokat, maka putusan ini tetap terus berlaku sehingga tidak perlu dilakukan pengujian ulang kembali.

Pengujian undang-undang yang dilakukan oleh suatu peradilan pada dasarnya akan berakhir dalam suatu putusan yang merupakan pendapat tertulis hakim konstitusi tentang perselisihan penafsiran satu norma atau prinsip yang ada dalam UUD. Jika satu amar putusan menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau ayat bagian undang-undang bahkan undang-undang secara keseluruhan bertentangan dengan UUD Tahun 1945, maka materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang diuji tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Bunyi putusan demikian mengandung arti bahwa ketentuan norma yang termuat dalam satu undang-undang dinyatakan batal (null and void) dan tidak berlaku lagi. Putusan yang demikian sudah barang tentu memiliki implikasi hukum yang luas. Selain memberi kemanfaatan pada para pencari keadilan, seringkali putusan tersebut dinilai berpotensi menyebabkan terjadinya kekosongan hukum (legal vacuum), kekacauan hukum (legal disorder), bahkan politik beli waktu (buying time) pembentuk undang-undang. Karena itu menurut Maruarar Siahaan, dibutuhkan mekanisme prosedural tentang bagaimana tindak lanjut dari pembatalan pemberlakukan suatu ketentuan tersebut. Persoalan yang selalu dikaitkan dengan sulitnya implementasi eksekusi putusan Mahkamah Konstitusi adalah sifat putusannya yang final, dengan kata mengikat (binding). Karena, putusan Mahkamah Konstitusi mengikat umum, pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan ketentuan undang-undang yang telah diputus harus melaksanakan putusan itu.
Namun demikian, mengingat norma dalam undang-undang adalah satu kesatuan sistem, ada pelaksanaan putusan yang harus melalui tahapan-tahapan tertentu, bergantung pada substansi putusan. Dalam hal ini, ada putusan yang dapat dilaksanakan langsung tanpa harus dibuat peraturan baru atau perubahan, ada pula yang memerlukan pengaturan lebih lanjut terlebih dahulu. Tatkala suatu putusan akan langsung efektif berlaku tanpa diperlukan tindak lanjut lebih jauh dalam bentuk kebutuhan implementasi perubahan undang-undang yang diuji, maka putusan ini dapat dikatakan berlaku secara self-executing. Dalam artian, putusan itu terlaksana dengan sendirinya.
Ini terjadi karena norma yang dinegasikan tersebut mempunyai ciri-ciri tertentu yang sedemikian rupa dapat diperlakukan secara otomatis tanpa perubahan atau perubahan undang-undang yang memuat norma yang diuji dan dinegasikan tersebut, ataupun tanpa memerlukan tindak lanjut dalam bentuk perubanan undang-undang yang diuji tersebut. Secara umum putusan-putusan yang bersifat self-executing/implementing dapat ditelusuri dari sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi baik amarnya menyatakan batal (null and void) dan tidak berlaku lagi ataupun amarnya terdapat perumusan norma.
Implementasi putusan-putusan Mahkamah Konstitusi dapat dilihat dari model putusannya. Implementasi model putusan yang secara hukum membatalkan dan menyatakan tidak berlaku dan model putusan yang merumuskan norma baru bersifat langsung dapat dieksekusi (self executing/self implementing), sedangkan baik model putusan konstitusional bersyarat maupun model putusan inkonstitusional bersyarat tidak dapat secara langsung dieksekusi (non-self executing/implementing).
Pengujian beberapa pasal di dalam UU Advokat sebagaimana telah dipaparkan pada sub bab sebelumnya, telah mengimplementasikan beberapa model putusan, ada yang membatalkan atau mengabulkan yang bersifat langsung dapat di eksekusi maupun yang tidak dapat langsung di eksekusi atau diputus secara bersyarat, sehingga membutuhkan tindak lanjut terhadap putusan tersebut. Terhadap pengujian beberapa pasal tersebut, perlu kiranya untuk dilakukan evaluasi guna melihat keadaan hukum baru ataupun kekosongan hukum yang mungkin terjadi akibat putusan MK tersebut.
Adapun keadaan hukum baru yang terjadi akibat pengujian beberapa pasal dalam UU Advokat sebagaimana telah dipaparkan diatas. Secara garis besar ada 3 Pasal yang dikabulkan dari sejumlah permohonan pengujian terhadap UU Advokat sebagaimana telah dipaparkan diatas, yaitu Pertama, terkait pengujian Pasal 4 ayat (1) dalam Perkara Nomor 101/PUU-VII/2009 pada intinya mengabulkan permohonan pemohon dimana majelis memutus secara conditionally unconstitutional sepanjang frasa “di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya” tidak dimaknai bahwa “Pengadilan Tinggi atas perintah Undang-Undang wajib mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat yang pada saat ini secara de facto ada, dalam jangka waktu 2 (dua) Tahun sejak Amar Putusan ini diucapkan.
Pasal a quo kembali di uji dalam perkara Perkara Nomor 112/PUU-XII/2014 dan Perkara Nomor 36/PUU-XIII/2015 dan diputus secara conditionally unconstitutional bahwa sepanjang frasa “di sidang terbuka pengadilan tinggi” sepanjang tidak dimaknai bahwa “Pengadilan Tinggi atas perintah Undang-Undang wajib mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat yang secara de facto ada yaitu PERADI dan KAI”. Keadaan hukum baru yang terjadi dari diputuskannya secara bersyarat terhadap Pasal 4 ayat (1) adalah bahwa pengadilan wajib mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat yang secara de facto ada saat ini yaitu Peradi dan KAI.
Kedua, terkait pengujian Pasal 16 ayat (1) dalam perkara Perkara Nomor 26/PUU-XI/2013 pada intinya mengabulkan permohonan para Pemohon, dimana majelis memutus dengan merumuskan norma baru bahwa Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan”. Keadaan hukum baru yang terjadi adalah bahwa pemberi bantuan hukum yang berprofesi sebagai advokat yang memberi layanan bantuan hukum) tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan.
Ketiga, terkait pengujian terhadap Pasal 31 UU Advokat dalam perkara Nomor 006/PUU-II/2004 pada intinya mengabulkan permohonan Pemohon agar setiap tindakan advokasi atau pemberian jasa hukum dapat dilakukan oleh lembaga bantuan hukum dan sejenisnya, dan seseorang atau lembaga yang memberikan informasi, konsultasi hukum kepada pihak yang membutuhkan bantuan hukum dengan demikian tidak dapat dipidana berdasarkan pasal a quo. Keadaan hukum baru yang terjadi akibat dibatalkannya Pasal 31 UU Advokat adalah bahwa setiap tindakan advokasi yang dilakukan seseorang dan lembaga bantuan hukum berupa konsultasi hukum dan sejenisnya diluar sidang pengadilan tidak dapat dipidana. Sehingga setiap orang yang bukan berprofesi advokat dapat memberikan jasa hukum di luar pengadilan.
Sedangkan kekosongan hukum yang muncul akibat putusan MK dalam beberapa perkara sebagaimana telah dijelaskan diatas adalah kekosongan yang mungkin akan timbul terkait dengan pembentukan organisasi advokat. Bahwa berdasarkan paparan sebelumnya, bahwa telah diajukan beberapa kali pengujian terhadap Pasal 4 ayat (1) UU Advokat yakni dalam perkara Perkara Nomor 101/PUU-VII/2009, Perkara Nomor 112/PUU-XII/2014 dan Perkara Nomor 36/PUU-XIII/2015 yang pada intinya mempermasalahkan keorganisasian advokat yang sah. Perlu ada penegasan aturan mengenai keorganisasian advokat yang legitimate agar memberikan kepastian hukum. Kemudian perlu adanya penegasan aturan terkait lingkup tindakan apa saja yang dapat dilakukan oleh seorang advokat untuk kepentingan klien baik didalam maupun diluar sidang pengadilan. Hal ini guna memberikan kepastian hukum bagi advokat dalam melaksanakan profesinya.

Dikabulkannya Pasal 4 ayat (1), Pasal 16, Pasal 31 UU Advokat dalam 5 permohonan perkara di Mahkamah Konstitusi telah menciptakan keadaan hukum baru. Keadaan hukum baru yang tercipta akibat putusan MK terhadap Pasal 4 ayat (1) UU Advokat intinya terkait dengan kewajiban bagi Pengadilan Tinggi untuk mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat. Kemudian, Pasal 16 terkait dengan perlindungan bahwa Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan. Dan terakhir terkait pengujian Pasal 31, keadaan hukum baru yang tercipta akibat putusan MK terhadap pengujian pasal a quo bahwa setiap orang atau lembaga yang memberikan bantuan pemberian informasi dan bantuan konsultasi hukum terhadap pihak yang membutuhkan bantuan hukum tidak dapat dipidana.
Dari beberapa putusan diatas ada beberapa putusan yang diputus secara bersyarat, sehingga perlu dilakukan perubahan terhadap rumusan norma yang telah diputus secara bersyarat tersebut dan juga penyesuaian beberapa undang-undang terkait terhadap putusan MK tersebut. Hal ini guna lebih memberikan kepastian hukum atas berlakunya norma akibat dari putusan Mahkamah Konstitusi.

Perlu dilakukan perubahan terhadap UU Advokat yang dituangkan dalam rencana perubahan UU Advokat baik sebagai daftar kumulatif terbuka maupun dalam prolegnas prioritas Tahunan. Adapun perubahan dimaksud adalah terhadap pasal-pasal yang telah diputus oleh MK sebagai berikut:
No Perkara MK Pasal yang dibatalkan Putusan
1 Pkr.No.06/PUU-II/2004 Pasal 31 UU No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat

Pasal 31

“Setiap orang yang dengan sengaja menjalankan pekerjaan profesi Advokat dan bertindak seolaholah sebagai Advokat, tetapi bukan Advokat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) Tahun dan denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta)”.
Mengabulkan permohonan para pemohon.
2 Pkr.No.101/PUU-VII/2009 Pasal 4 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat.

Pasal 4 ayat (1)

“Sebelum menjalankan profesinya, Advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau
berjanji dengan sungguh-sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya”.
Pembatalan secara bersyarat
3 Pkr.No.26/PUU-XI/2013 Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat

Pasal 16
“Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan”.
Pembatalan secara bersyarat
4 Pkr.No.112/PUU-XII/2014 dan Pkr. No. 36/PUU-XIII/2015
Pasal 4 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat

Pasal 4 ayat (1)

“Sebelum menjalankan profesinya, Advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau
berjanji dengan sungguh-sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya”.

Pembatalan secara bersyarat

Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi : Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi / 01-12-2017

Amandemen ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dapat dikatakan sebagai tonggak awal perubahan kekuasaan kehakiman di Indonesia. Pasal 24 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Sebagai cabang kekuasaan kehakiman yang melaksanakan fungsi penegakan hukum terhadap pelaksnaan konstitusi dan aspek kehidupan kenegaraan, peranan Mahkamah Konstitusi menempati posisi yang cukup signifikan dalam sistem peradilan Indonesia.
Selanjutnya dalam Pasal 24C undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diatur mengenai kewenangan dari Mahkamah Konstitusi yaitu mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang (UU) terhadap Undang-Undang Dasar (UUD), memutus sengketa kewenagan lembaga negara yang kewenangnnya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum serta memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. Sebagai langkah penguatan kelembagaan Mahkamah Konstitusi kemudian dibentuklah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Mahkamah Konstitusi.
Telah dikemukakan di awal bahwa salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara. Secara historis, gagasan untuk melakukan pengujian UU terhadap UUD sudah mulai muncul dalam rapat-rapat BPUPKI pada tahun 1945 ketika menyusun UUD 1945. Dapat diujinya suatu UU terhadap UUD berasal dari teori jenjang norma hukum Hans Kelsen, menurut teori tersebut norma hukum yang berada di bawah tidak boleh bertentangan dengan norma hukum diatasnya. Oleh karena norma hukum yang lebih tinggi merupakan sumber bagi norma hukum yang berada di bawah. Disamping itu, pengujian UU terhadap UUD bermakna pula dalam upaya perlindungan hak asasi manusia dari kemungkinan pelanggaran hukum yang terjadi baik secara materil maupun formil pada saat UU itu dibuat dan berlaku.
Perlindungan hukum oleh negara terhadap rakyatnya salah satunya dengan dibukanya jalan untuk mengajukan permohonan pengujian UU terhadap UUD Tahun 1945. Pemohon yang merasa dirugikan hak-hak konstitusionalnya dapat melakukan permohonan pengujian kepada Mahkamah Konstitusi, hal ini sejalan dengan apa yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Dalam dinamikanya, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) telah 11 (sebelas) kali diajukan permohonan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun demikian, hanya 3 (tiga) permohonan yang dikabulkan baik sebagian maupun seluruhnya. Adapun ketentuan dalam UU Tipikor yang telah dimohonkan kepada MK dan di kabulkan baik sebagian maupun sepenuhnya adalah Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Pasal 15, dan Pasal 26A. Adapun rinciannya sebagai berikut:

1. Perkara Nomor 20/PUU-XIV/2016
Pemohon dalam permohonannya menguji materiil Pasal 26A UU Tipikor terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28G ayat (1) UUD Tahun 1945.
Dalam permohonannya, pemohon mengemukakan bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan dan dilanggar oleh berlakunya Pasal 26A UU Tipikor terhadap UUD Tahun 1945, yaitu timbulnya dugaan terjadinya tindak pidana korupsi permufakatan jahat atau percobaan melakukan tindak pidana korupsi dalam perpanjangan kontrak PT. Freeport Indonesia dimaksud bermula dari beredarnya rekaman pembicaraan yang diduga merupakan suara pembicaraan antara Pemohon dengan Sdr. Ma’roef Sjamsudin (Direktur Utama PT. Freeport Indonesia) dan Muhammad Riza Chalid yang dilakukan dalam ruangan tertutup di salah satu ruangan hotel Ritz Carlton yang terletak di kawasan Pacific Place, SCBD, Jakarta Pusat, pembicaraan mana diakui oleh Sdr. Ma’roef Sjamsudin direkam secara sembunyi-sembunyi tanpa sepengetahuan dan persetujuan pihak lain yang ada dalam rekaman tersebut dan dilaporkan kepada Sdr. Sudirman Said (menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral).
Kalaupun suara dalam rekaman tersebut adalah benar suara Pemohon, menurut Pemohon, secara hukum hasil rekaman tersebut harus dianggap sebagai rekaman yang tidak sah (illegal) karena dilakukan oleh orang yang tidak berwenang dan dengan cara yang tidak sah. Sdr. Ma’roef Sjamsudin bukanlah seorang penegak hukum dan tidak pernah diperintah oleh penegak hukum untuk melakukan perekaman tersebut serta dilakukan secara sembunyi-sembunyi tanpa persetujuan Pemohon atau para pihak yang ada dalam pembicaraan tersebut padahal pembicaraan tersebut dilakukan dalam dalam ruang yang tertutup dan tidak bersifat publik. Tindakan Sdr. Ma’roef Sjamsudin yang merekam secara tidak sah (illegal) jelas-jelas melanggar konstitusi. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 006/PUU-I/2003, dalam pertimbangan hukumnya disebut oleh karena penyadapan dan perekaman pembicaraan merupakan pembatasan hak asasi manusia, di mana pembatasan demikian hanya dapat dilakukan dengan undang-undang, sebagaimana ditentukan oleh Pasal 28J ayat (2) UUD Tahun 1945. Perekaman yang dilakukan oleh saudara Ma’roef Sjamsudin tidak bisa disamakan dengan rekaman CCTV yang dilakukan di ruang publik sehingga bersifat publik maupun rekaman media televisi yang dilakukan berdasarkan kekuatan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Karena pembicaraan yang dilakukan itu bersifat pribadi dalam ruang yang tertutup, maka semestinya segala bentuk perekaman itu haruslah dengan persetujuan atau setidak-tidaknya diberitahukan kepada para pihak yang terlibat dalam pembicaraan tersebut. Tanpa adanya persetujuan atau pemberitahuan, maka hasil rekamannya haruslah dianggap tidak sah (illegal) karena kedudukannya sama dengan penyadapan yang dilakukan secara illegal.
Mundurnya Pemohon sebagai Ketua DPR RI ternyata tidak secara otomatis menghentikan polemik yang ditimbulkan oleh beredarnya rekaman tidak sah (illegal) tersebut karena Kejaksaan Agung Republik Indonesia, dengan mendasarkan pada rekaman yang tidak sah dimaksud, kemudian melakukan penyelidikan dengan dugaan terjadinya tindak pidana korupsi permufakatan jahat atau percobaan melakukan tindak pidana korupsi dalam perpanjangan kontrak PT. Freeport Indonesia sebagaimana dimaksud oleh Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) sebagaimana Surat Perintah Penyelidikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor Print-133/F.2/Fd.1/11/2015, tanggal 30 Nopember 2015, Nomor Print-134/F.2/Fd.1/12/2015, tanggal 02 Desember 2015, Nomor Print-135/F.2/Fd.1/01/2016, tanggal 4 Januari 2016 dan telah memanggil Pemohon sebanyak 3 (tiga) kali untuk dimintai keterangan namun dalam surat-surat panggilan tersebut tidak dijelaskan status pemanggilan Pemohon dimintai keterangan itu sebagai apa, apakah sebagai saksi, sebagai terlapor atau yang lainnya.
Pemohon menganggap penyelidikan dan pemanggilan terhadap Pemohon seharusnya tidak perlu terjadi karena dilakukan semata-mata hanya didasarkan pada hasil rekaman yang tidak sah (illegal). Proses penyelidikan dan pemanggilan yang didasarkan atas alat bukti yang tidak sah (illegal) jelas melanggar prinsip due process of law yang merupakan refleksi dari prinsip negara hukum yang dianut oleh Negara Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945 dan juga melanggar prinsip pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) serta melanggar hak privasi (a reasonable expectation of privacy) Pemohon yang dijamin dalam Pasal 28G ayat (1) UUD Tahun 1945.
Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum, MK membuat amar putusan sebagai berikut:
(1) Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
(2) Frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” dalam Pasal 26A UU Tipikor bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai khususnya frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) UU ITE;
(3) Frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” dalam Pasal 26A UU Tipikor tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai khususnya frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) UU ITE;
(4) Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya.
(5) Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

2. Perkara Nomor 21/PUU-XIV/2016
Pemohon dalam permohonannya menguji materiil Pasal 15 UU Tipikor terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (4) UUD Tahun 1945.
Dalam permohonannya, pemohon mengemukakan bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan dan dilanggar oleh berlakunya Pasal 15 UU Tipikor terhadap UUD Tahun 1945, karena menurut Pemohon ketidakjelasan makna pemufakatan jahat dalam Pasal 15 UU Tipikor disebabkan Pasal 88 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 yang menjadi rujukan makna pemufakatan jahat tidak membedakan antara delik umum yang tidak mensyaratkan kualitas tertentu pada subjek delik dan delik kualitatif yang mensyaratkan kualitas tertentu sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.
Perumusan Pasal 15 UU Tipikor tidak memenuhi asas lex certa dan tidak memberikan kepastian hukum yang pada akhirnya tidak memberikan jaminan dan perlindungan hak asasi manusia sebagaimana yang dialami Pemohon. Dalam beberapa surat panggilan yang dikirimkan oleh Direktur Penyelidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus tidak disebutkan bentuk dan pasal dari tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa, tetapi hanya menyebutkan “dugaan tindak pidana korupsi pemufakatan jahat atau percobaan melakukan tindak pidana korupsi dalam perpanjangan kontrak PT. Freeport Indonesia”. Di satu sisi, hal ini tidak memberikan kepastian hukum bagi Pemohon terkait dengan pasal yang digunakan oleh penegak hukum untuk melakukan pemeriksaan hukum. Di sisi lain, ketidakcermatan rumusan delik dalam Pasal 15 UU Tipikor berpotensi menciptakan kesewenang-wenangan penegak hukum karena sangat dimungkinkan bahwa dugaan tindak pidana hanya didasarkan pada penilaian subjektif dan merupakan perbuatan yang tidak pernah dilarang dalam Undang-Undang.
Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum, MK membuat amar putusan sebagai berikut:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon seluruhnya;
2. Frasa “pemufakatan jahat” dalam Pasal 15 UU Tipikor bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai, “Pemufakatan jahat adalah bila dua orang atau lebih yang mempunyai kualitas yang sama saling sepakat melakukan tindak pidana”;
3. Frasa “pemufakatan jahat” dalam Pasal 15 UU Tipikor tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Pemufakatan jahat adalah bila dua orang atau lebih yang mempunyai kualitas yang sama saling bersepakat melakukan tindak pidana”;
4. Frasa “tindak pidana korupsi” dalam Pasal 15 UU Tipikor bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai, “tindak pidana korupsi yang dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14”;
5. Frasa “tindak pidana korupsi” Pasal 15 UU Tipikor tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “tindak pidana korupsi yang dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14”;
6. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

3. Perkara Nomor 25/PUU-XIV/2016
Para Pemohon mengajukan permohonan pengujian atas Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor khususnya frasa “atau orang lain atau suatu korporasi” dan kata “dapat” tersebut bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (4) dan ayat (5) UUD Tahun 1945.
Dalam permohonannya, para Pemohon mengemukakan bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan dan dilanggar oleh berlakunya Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor terhadap UUD Tahun 1945, karena menurut para Pemohon frasa “atau orang lain atau suatu korporasi” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor tersebut, sangat merugikan dan/atau potensial pasti merugikan para Pemohon, yang dalam menjalankan tugas dan kewenangannya dalam jabatan pemerintahan di pemerintahan daerah, tidak dapat menghindari dari tindakan mengeluarkan keputusan, khususnya dalam hal penentuan pelaksanaan proyek pemerintahan, dipastikan menguntungkan orang lain atau suatu korporasi. Tidak ada perseorangan atau korporasi yang bersedia melaksanakan pekerjaan proyek pemerintahan apabila tidak mendatangkan menguntungkan baginya, karena mereka adalah para pengusaha yang bekerja untuk mendapat keuntungan. Para Pemohon merasa dirugikan hak-hak konstitusionalnya yang dijamin oleh UUD Tahun 1945 yaitu hak untuk mendapatkan kepastian hukum, hak untuk mendapatkan perlakuan sama, hak untuk mendapatkan jaminan dan perlindungan atas rasa aman dengan frasa tersebut, karena frasa tersebut merugikan hak-hak para Pemohon selaku aparatur sipil negara yang bertindak dengan itikad baik dalam menyelenggarakan pemerintahan negara.
Demikian juga, kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU TIPIKOR, mengakibatkan kerugian bagi para Pemohon yang selalu diliputi rasa khawatir dan rasa tidak aman dalam mengambil setiap kebijakan atau keputusan, karena setiap keputusan yang diambil akan selalu berisiko untuk dinyatakan sebagai kejahatan korupsi, walaupun keputusan tersebut menguntungkan bagi rakyat. Adanya kata “dapat” tersebut mengandung ketidakpastian sehingga para Pemohon akan tidak mendapatkan perlindungan hukum yang pasti dan adil karena setiap keputusan para Pemohon yang berkaitan dengan penentuan pelaksana proyek sangat potensial dan pasti dapat merugikan keuangan negara walaupun proses keluarnya keputusan tersebut telah dilakukan dengan hati-hati dan berdasarkan kewenangan yang telah diberikan oleh undang-undang sesuai dengan prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Akibat adanya kata “dapat” dalam ketentuan tersebut dipastikan terjadi kriminalisasi terhadap aparatur sipil negara karena unsur kerugian yang dimaksud bukanlah unsur esensial dalam tindak pidana korupsi, sehingga keputusan yang tidak merugikan keuangan negara bahkan menguntungkan bagi rakyat banyak pun tetap dapat dipidana. Dengan kata lain, berdasarkan kedua ketentuan pasal tersebut, dapat terjadi bahwa seseorang aparatur sipil negara mengambil keputusan yang menguntungkan bagi pihak lain tetapi juga menguntungkan bagi negara dan atau rakyat, padahal sama sekali tidak menguntungkan bagi pejabat ASN yang bersangkutan maka pejabat ASN tersebut tetap dikenai tindak pidana korupsi.
Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU Administrasi Pemerintahan), telah mengubah cara pandang hukum pemberantasan tindak pidana korupsi yang selama ini dilakukan dengan pendekatan penindakan yang mempergunakan alat hukum tindak pidana korupsi, menjadi pendekatan administratif dengan cara penyelesaian berdasarkan hukum administrasi. UU Administrasi Pemerintahan menegaskan bahwa kesalahan administrasi yang mengakibatkan kerugian negara yang selama ini dikenai tindak pidana korupsi karena adanya perbuatan melanggar hukum dan adanya kerugian negara harus ditinjau kembali. Sebagaimana ditegaskan pengaturannya dalam Pasal 20, Pasal 70, Pasal 71 serta Pasal 80 UU Administrasi Pemerintahan, kesalahan administratif harus dilakukan melalui penyelesaian secara administratif, tidak dengan pendekatan pidana.
Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum, MK membuat amar putusan sebagai berikut:
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
2. Menyatakan kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
3. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya;
4. Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal dan ayat UU Tipikor yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK?
2. Apa akibat hukum terhadap pasal dan ayat UU Tipikor yang dinyatakan MK sebagai konstitusionalitas/inkonstitusionalitas bersyarat?
3. Apakah terjadi disharmoni norma dalam suatu UU jika suatu pasal dan ayat dalam UU Tipikor yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK berimplikasi terhadap norma pasal ayat lain yang tidak diujikan?


A. Konstitusionalitas Undang-Undang
Pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 yang menjadi kewenangan MK merupakan wujud prinsip atau asas konstitusionalitas undang-undang (constitutionality of law) yang menjamin bahwa undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang itu tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Kewenangan pengujian undang-undang menimbulkan sebuah kewenangan yang mutatis mutandis (dengan sendirinya) ada, yaitu kewenangan menafsirkan konstitusi. Apabila dalam konstitusi tidak terdapat ketentuan yang ekplisit mengenai kewenangan menafsir konstitusi kepada lembaga negara yang diberikan kewenangan constitutional review, maka harus dipahami bahwa kewenangan menafsirkan konstitusi menyertai kewenangan constitutional review tersebut. Oleh sebab itu, sering dinyatakan bahwa Constitutional Court itu merupakan “the guardian of constitution and the sole interpreting of constitution”, disebut sebagai penjaga konstitusi berdasarkan kewenangan dalam memutus apakah sebuah produk perundang-undangan telah sesuai dengan konstitusi atau tidak.
Kewenangan menafsirkan itu sesungguhnya timbul dari sebuah tafsir Pasal 24C UUD Tahun 1945 bahwa “MK menguji undang-undang terhadap UUD” sebagai ketentuan pemberian kewenangan constitutional review kepada MK, ketentuan tersebut tidak mengandung kewenangan MK untuk melakukan penafsiran terhadap konstitusi, namun sangatlah tidak mungkin dapat melakukan penilaian pertentangan norma sebuah undang-undang apabila tidak menggunakan penafsiran konstitusi, dalam hal ini MK sebagai penafsir sah terhadap undang-undang dasar atau konstitusi (the legitimate interpreter of the constitution).
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD Tahun 1945, salah satu kewenangan dari Mahkamah Konstitusi adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan wujud dari prinsip atau asas konstitusionalitas undang-undang (constitutionality of law) yang menjamin bahwa undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang itu tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945.
Menurut Sri Soemantri, dalam praktiknya dikenal adanya dua macam hak menguji yaitu :
a. Hak menguji formil (formale toetsingsrecht);
Hak menguji formil adalah wewenang untuk menilai, apakah suatu produk legislatif seperti undang-undang misalnya terjelma melalui cara-cara (procedur) sebagaimana telah ditentukan/diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku ataukah tidak. Dalam pengujian formal ini tampak jelas bahwa yang dinilai atau diuji adalah tatacara (procedur) pembentukan suatu undang-undang, apakah sesuai ataukah tidak dengan yang telah ditentukan/digariskan dalam peraturan perundang-undangan.
b. Hak menguji material (materiele toetsingsrecht).
Hak menguji material adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu pertauran perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Hak menguji material ini berkenanan dnegan isi dari suatu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya. Jika suatu undang-undang dilihat dari isinya bertentangan dengan undang-undang dasar maka undang-undang tersebut harus dinyatakan tidak mempunyai daya mengikat.
Menurut pandangan Jimly Asshiddiqqie, dalam praktiknya dikenal adanya tiga macam norma hukum yang dapat diuji atau yang biasa disebut norm control mechanism. Ketiganya sama-sama merupakan bentuk norma hukum sebagai hasil dari proses pengambilan keputusan hukum yaitu keputusan normative yang berisi dan bersifat pengaturan (regeling), keputusan normatif yang berisi dan bersifat penetapan administrative (beschikking), dan keputusan normatif yang berisi dan bersifat penghakiman (judgement) yang biasa disebut vonis. Mekanisme pengujian norma hukum ini dapat dilakukan dengan mekanisme pengujian yang dilakukan oleh lembaga peradilan yang dikenal dengan istilah judicial review. Terdapat beberapa jenis pengujian yaitu legislative review(pengujian tersebut diberikan kepada parlemen), executive review (pengujian tersebut diberikan kepada pemerintah), dan judicial review (pengujian yang diberikan kepada lembaga peradilan). Ketiga bentuk norma hukum ada yang merupakan individual and concret norms, dan ada pula yang merupakan general and abstract norms. Vonis dan beschikking selalu bersifat individualand concrete sedangkan jika yang diuji normanya bersifat umum dan abstrak maka norma yang diuji itu adalah produk regeling. Pengujian norma hukum yang bersifat konkret dan individual termasuk dalam lingkup peradilan tata usaha negara.
Dalam pengujian undang-undang, terdapat dua istilah yakni judicial review dan constitutional review. Constitutional review yang dapat diartikan sebagai pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar yang pada saat ini menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi, judicial review dapat diartikan sebagai pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang yang pada saat ini dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Pada dasarnya banyak yang menyamakan istilah judicial review dan constitutional review, padahal kedua istilah ini berbeda. Jika constitutional review maka ukuran pengujiannya dilakukan dengan menggunakan konstitusi sebagai alat ukur, namun jika norma yang diujikan tersebut menggunakan batu ujinya adalah undang-undang maka dapat dikatakan sebagai judicial review. Konsep constitutional review berkembang dari gagasan modern tentang sistem pemerintahan demokratis yang didasarkan atas ide-ide negara hukum (rule of law), prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power), serta perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia (the protection of fundamental rights). Dalam constitutional review terdapat dua tugas pokok yakni :
a. Untuk menjamin berfungsinya sistem demokrasi dalam hubungan perimbangan peran atau interplay antar cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Dengan perkataan lain constitutional review dimaksudkan untuk mencegah terjadinya pendayagunaan kekuasaan oleh satu cabang kekuasaan lainnya; dan
b. Untuk melindungi setiap individu warga negara dari penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga negara yang merugikan hak fundamental warga negara yang dijamin dalam konstitusi.
Dengan adanya keberadaan Mahkamah Konstitusi juga telah menciptakan pembagian kekuasaan atau pemisahan kekuasaan yang memungkinkan adanya proses saling mengawasi dan saling mengimbangi di antara cabang-cabang kekuasaan negara yang ada atau lazim disebut dengan mekanisme checks and balances. Hal itu tampak terutama dari salah satu kewenangan yang dilimpahkan kepada Mahkamah Konstitusi untuk menguji undang-undang terhadap UUD Tahun 1945.
Dengan demikian, esensi dari produk putusan Mahkamah Konstitusi dalam menguji undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 ditempatkan dalam bingkai mekanisme check and balances antara lembaga negara. Hubungan untuk saling mengontrol ini, pada akhirnya dimaksudkan untuk melahirkan suatu produk hukum yang adil dan betul-betul berorientasi pada kepentingan rakyat. Sehingga, pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 dapat juga dilihat sebagai bagian dari koreksi terhadap produk yang dihasilkan oleh DPR RI dan Presiden.

B. Putusan Mahkamah Konstitusi Final dan Mengikat
Mahkamah Konstitusi yang diadopsi dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memiliki dua fungsi ideal yaitu MK dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi dan berfungsi untuk menjamin, mendorong, mengarahkan, membimbing, dan memastikan bahwa UUD NRI Tahun 1945 dijalankan dengan sebaik-baiknya oleh penyelenggara negara agar nilai-nilai yang terkandung didalamnya dijalankan dengan benar dan bertanggung jawab; dan MK harus bertindak sebagai penafsir karena MK dikonstruksikan sebagai lembaga tertinggi penafsir UUD NRI Tahun 1945. Melalui fungsi ini maka Mahkamah Konstitusi dapat menutupi segala kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam UUD NRI Tahun 1945.
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya maka Mahkamah Konstitusi diberikan kewenangan untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD Tahun 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Tahun 1945; memutus pembubaran partai politik; memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana tercantum dalam Pasal 24C UUD Tahun 1945, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 29 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dari uraian diatas maka diketahui bahwa sifat dari putusan Mahkamah Konstitusi yaitu final yang artinya bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). Konsep ini mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni secara sederhana dan cepat sebagaimana diuraikan dalam penjelasan No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang secara utuh menjelaskan bahwa Mahkamah Konstitusi dalam menyelenggarakan peradilan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tetap mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni dilakukan secara sederhana dan cepat. Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat tersebut, tidak dapat dilepaskan dengan asas erga omnes yang diartikan dengan mengikat secara umum dan juga mengikat terhadap obyek sengketa. Apabila suatu peraturan perundang‐undangan oleh hakim menyatakan tidak sah, karena bertentangan dengan peraturan perundang‐undangan yang lebih tinggi, berarti peraturan perundang‐undangan tersebut berakibat menjadi batal dan tidak sah untuk mengikat setiap orang.
Secara harfiah, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat memiliki makna hukum tersendiri. Frasa “final” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “terakhir dalam rangkaian pemeriksaan” sedangkan frasa mengikat diartikan sebagai “mengeratkan”, “menyatukan”. Bertolak dari arti harfiah ini maka frasa final dan frasa mengikat, saling terkait sama seperti dua sisi mata uang artinya dari suatu proses pemeriksaan telah memiliki kekuatan mengeratkkan atau menyatukan semua kehendak dan tidak dapat dibantah lagi. Makna harfiah di atas, bila dikaitkan dengan sifat final dan mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi artinya telah tertutup segala kemungkinan untuk menempuh upaya hukum. Tatkala putusan tersebut diucapkan dalam sidang pleno, maka ketika itu lahir kekuatan mengikat (verbindende kracht).
Secara Substansial makna hukum dari putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat dibagi dalam beberapa bagian yaitu:
a. Menjaga konstitusi (The Guardian of Constitution), menafsirkan konstitusi (The Interpreteur of Constitution), menjaga demokrasi, menjaga persamaan di mata hukum, dan koreksi terhadap undang-undang.
Kehadiran Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan tidak lain berperan sebagai pengawal konstitusi (The Guardian of Constitution), agar konstitusi selalu dijadikan landasan dan dijalankan secara konsisten oleh setiap komponen negara dan masyarakat. Mahkamah Konstitusi berfungsi mengawal dan menjaga agar konstitusi ditaati dan dilaksanakan secara konsisten, serta mendorong dan mengarahkan proses demokratisasi berdasarkan konstitusi. Dengan adanya Mahkamah Konstitusi, proses penjaminan demokrasi yang konstitusional diharapkan dapat diwujudkan melalui proses penjabaran dari empat kewenangan konstitusional (constitusionally entrusted powers) dan satu kewajiban (constitusional obligation). Mahkamah Konstitusi bertugas melakukan penyelesaian persengketaan yang bersifat konstitusional secara demokratis.
Putusan-putusan yang final dan mengikat yang ditafsirkan sesuai dengan konstitusi sebagai hukum tertinggi, dimana pelaksanaannya harus bertanggungjawab, sesuai dengan kehendak rakyat (konstitusi untuk rakyat bukan rakyat untuk konstitusi), dan cita‐cita demokrasi, yakni kebebasan dan persamaan (keadilan).Artinya Mahkamah Konstitusi tidak hanya sebagai penafsir melalui putusan‐putusannya melainkan juga sebagai korektor yang aplikasinya yang tercermin dalam undang‐undang yang dibuat oleh DPR dan Presiden dengan batu uji konstitusi melalui interprestasinya dengan kritis dan dinamis.Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat merupakan refleksi dari fungsinya sebagai penjaga konstitusi, penjaga demokrasi, penjaga persamaan dimata hukum, penafsir konstitusi dan korektor undang‐undang agar disesuaikan dengan UUD.
b. Membumikan prinsip-prinsip negara hukum;
Filosofi negara hukum adalah negara melaksanakan kekuasaannya, tunduk terhadap pengawasan hukum. Artinya ketika hukum eksis terhadap negara, maka kekuasaan negara menjadi terkendali dan selanjutnya menjadi negara yang diselenggarakan berdasarkan ketentuan hukum tertulis atau tidak tertulis (konvensi).
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pengawas tertinggi, tatkala putusannya yang final dan mengikat, makna hukumnya adalah membumikan negara hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila sebagaimana dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon. Dimana, melalui putusan Mahkamah Konstitusi mengadili dan memutus hal‐hal yang berkaitan dengan kewenangan adtribusi yang diberikan kepadanya untuk menjaga, keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan.
c. Membangun sebuah penegakkan hukum
Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan yaitu kepastian hukum (rechissicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan keadilan (gerechtigkeit). Selanjutnya ditegaskan bahwa kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang‐wenang, yang berarti bahwa seseorang akan memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib, karena hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan untuk ketertiban masyarakat. Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat dapat dimaknai sebagai penegakan hukum tata negara. Khususnya menyangkut pengontrolan terhadap produk politik yaitu undang‐undang yang selama ini tidak ada lembaga yang dapat mengontrolnya. Pada sisi lain, juga dapat menegakkan hukum dimana memutuskan tentang benar salahnya Presiden atau Wakil Presiden yang dituduh oleh DPR bahwa melakukan perbuatan melanggar hukum. Demikian juga dapat memutuskan tentang sengketa‐sengketa khusus yang merupakan kewenangannya termasuk memutuskan untuk membubarkan partai politik. Dengan demikian, hal ini sangat diharapkan sebagai wujud perlindungan hak‐hak masyarakat dan juga menempatkan semua orang sama di mata hukum (equality before the law).
d. Perekayasa Hukum
Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat ( final dan banding) merupakan suatu bentuk rekayasa hukum. Frasa “rekayasa” diartikan sebagai penerapan kaidah‐kaidah ilmu dalam pelaksanaan seperti perancangan, pembuatan konstruksi, serta pengoperasian kerangka, peralatan, dan sistem yang ekonomis dan efisien.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat sebagai sebuah bentuk rekayasa hukum yang diwujudkan dalam bentuk norma atau kaidah yang sifatnya membolehkan, mengajurkan, melarang, memerintahkan untuk berbuat atau tidak berbuat. Nilai mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi yang final adalah sama dengan nilai mengikat dan sebuah undang‐undang hasil produk politik, yang berfungsi sebagai alat rekayasa sosial politik, alat kontrol terhadap masyarakat dan penguasa serta memberikan perlindungan hukum terhadap seluruh komponen bangsa.

C. Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan dalam peradilan merupakan perbuatan hakim sebagai pejabat negara berwenang yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dibuat secara tertulis untuk mengakhiri sengketa yang dihadapkan para pihak kepadanya. Sebagai perbuatan hukum yang akan menyelesaikan sengketa yang dihadapkan kepadanya, maka putusan hakim tersebut merupakan tindakan negara di mana kewenangannya dilimpahkan kepada hakim baik berdasarkan UUD 1945 maupun undang-undang.
Dari sudut pandang hukum tata negara, putusan Mahkamah Konstitusi termasuk dalam keputusan negara yang mengandung norma hukum sama halnya dengan putusan pembentuk undang-undang yang bersifat pengaturan (regeling). Putusan Mahkamah Konstitusi dapat membatalkan suatu undang-undang atau materi muatan dalam undang-undang, sedangkan pembentuk undang-undang menciptakan norma hukum dalam bentuk materi muatan dalam suatu undang-undang.
Putusan Mahkamah Konstitusi terutama dalam pengujian undang-undang kebanyakan jenisnya adalah bersifat declaratoir constitutief. Artinya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menciptakan atau meniadakan satu keadaan hukum baru atau membentuk hukum baru sebagai negative legislature. Hal lain yang perlu dicermati lebih lanjut adalah adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) maupun inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional). Varian putusan Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan putusan yang menyatakan bahwa suatu ketentuan undang-undang tidak bertentangan dengan konstitusi dengan memberikan persyaratan pemaknaan dan keharusan kepada lembaga negara dalam pelaksanaan suatu ketentuan undang-undang untuk memperhatikan penafsiran Mahkamah Konstitusi atas konstitusionalitas ketentuan undang-undang yang sudah diuji tersebut. Dengan demikian, terdapat penafsiran sendiri dari Mahkamah Konstitusi agar suatu norma undang-undang tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945.
Putusan Mahkamah Konsitusi sejak diucapkan di hadapan sidang terbuka untuk umum dapat mempunyai 3 (tiga) kekuatan, yaitu:
1. Kekuatan mengikat
Kekuatan mengikat putusan Mahkamah Konstitusi berbeda dengan putusan pengadilan biasa, tidak hanya meliputi pihak-pihak berperkara (interpartes), yaitu pemohon, pemerintah, DPR/DPD, ataupun pihak terkait yang diizinkan memasuki proses perkara, tetapi juga putusan tersebut mengikat bagi semua orang, lembaga negara, dan badan hukum dalam wilayah republik Indonesia.
Putusan tersebut berlaku sebagai hukum sebagaimana hukum diciptakan pembuat undang-undang. Dengan demikian, Hakim Mahkamah Konstitusi dikatakan sebagai negative lagislator yang putusannya bersifat erga omnes, yang ditujukan pada semua orang.

2. Kekuatan pembuktian
Dalam perkara konstitusi yang putusannya bersifat erga omnes, maka permohonan pengujian yang menyangkut materi yang sama yang sudah pernah diputus tidak dapat lagi diajukan untuk diuji oleh siapapun. Putusan Mahkamah Konstitusi yang telah berkekuatan hukum tetap demikian dapat digunakan sebagai alat bukti dengan kekuatan pasti secara positif bahwa apa yang diputus oleh hakim itu dianggap telah benar. Selain itu, pembuktian sebaliknya tidak diperkenankan.

3. Kekuatan eksekutorial
Putusan Mahkamah Konstitusi berlaku sebagai undang-undang dan tidak memerlukan perubahan yang harus dilakukan dengan amandemen atas undang-undang yang bagian tertentu dinyatakan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Eksekusi putusan Mahkamah Konstitusi telah dianggap terwujud dengan pengumuman putusan tersebut dalam Berita Negara sebagaimana diperintahkan dalam Pasal 57 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Akibat hukum yang timbul dari satu putusan hakim jika menyangkut pengujian terhadap undang-undang diatur dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang pada intinya menyatakan undang-undang yang diuji tetap berlaku sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Ketentuan ini juga berarti bahwa putusan hakim Mahkamah Konstitusi yang menyatakan satu undang-undang bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat tidak boleh berlaku surut.

1. Pendapat Hukum MK
a. Pendapat hukum MK terhadap perkara Nomor 20/PUU-XIV/2016
Hakim MK memberikan pendapat bahwa kegiatan dan kewenangan penyadapan merupakan hal yang sangat sensitif karena di sisi lain memiliki aspek kepentingan hukum. Oleh karena itu, pengaturan (regulation) mengenai legalitas penyadapan harus dibentuk dan diformulasikan secara tepat sesuai dengan UUD Tahun 1945.
UU ITE mengatur bahwa setiap orang dilarang melakukan intersepsi atau penyadapan seperti yang ditentukan dalam BAB VII PERBUATAN YANG DILARANG khususnya Pasal 31 ayat (1) yang menentukan, “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain”. Penjelasan Pasal 31 ayat (1) UU ITE memberi penjelasan apa saja yang termasuk dalam intersepsi atau penyadapan sebagaimana ditentukan dalam Penjelasan Pasal 31 ayat (1), yaitu “Yang dimaksud dengan “intersepsi atau penyadapan” adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi.”
Dari ketentuan Pasal 31 ayat (1) UU ITE dan penjelasannya maka setiap orang dilarang melakukan perekaman terhadap orang lain, dan terhadap pelaku perekaman dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dikenakan sanksi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 46 ayat (1) yang menyatakan, “Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)”.
Dalam konteks perlindungan hak asasi manusia maka seluruh kegiatan penyadapan adalah dilarang karena melanggar hak konstitusional warga negara khususnya hak privasi dari setiap orang untuk berkomunikasi sebagaimana dijamin oleh Pasal 28F UUD1945. Penyadapan sebagai perampasan kemerdekaan hanya dapat dilakukan sebagai bagian dari hukum acara pidana, seperti halnya penyitaan dan penggeledahan. Tindakan penyadapan adalah bagian dari upaya paksa yang hanya boleh dilakukan berdasarkan Undang-Undang dan harus diatur hukum acaranya melalui Undang-Undang yang khusus mengatur hukum formil terhadap penegakan hukum materiil. Bahkan dalam konteks penegakan hukum sekalipun, pemberian kewenangan penyadapan sudah seharusnya sangat dibatasi untuk menghindari potensi digunakannya penyadapan secara sewenang-wenang. Kewenangan penyadapan tidak dapat dilakukan tanpa kontrol dan dalam konteks penegakan hukum yang paling berwenang memberikan izin melakukan penyadapan sekaligus melaksanakan kewenangan checks and balances terhadap kewenangan tersebut adalah pengadilan atau pejabat yang diberi kewenangan oleh Undang-Undang.
Sebagai perbandingan, sehubungan dengan penyadapan, di Amerika Serikat diatur dalam Title III Ombnibus Crime and Safe Street Act 1968 yang menentukan bahwa semua penyadapan harus seizin pengadilan, namun izin dari pengadilan tetap ada pengecualian yaitu penyadapan dapat dilakukan tanpa mengganggu persetujuan pengadilan, yaitu penyadapan atas komunikasi dalam keadaan mendesak yang membahayakan keselamatan jiwa orang lain, aktivitas konspirasi yang mengancam keamanan nasional dan karakteristik aktivitas konspirasi dari organisasi kejahatan.
Penyadapan harus dilakukan dengan sangat hati-hati agar hak privasi warga negara yang dijamin dalam UUD Tahun 1945 tidak dilanggar. Jika diperlukan, penyadapan harus dilakukan dengan izin pengadilan agar ada lembaga yang mengontrol dan mengawasi sehingga penyadapan tidak dilakukan sewenang-wenang. Oleh karena penyadapan di Indonesia pengaturannya tersebar dalam berbagai Undang-Undang, namun belum diatur mengenai hukum acaranya. Sehingga menurut MK, untuk melengkapi kuranglengkapnya hukum acara tentang penyadapan maka MK perlu memberi tafsir terhadap frasa “informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik” yang termuat dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 44 huruf b UU ITE dan Pasal 26A UU Tipikor.
Tentang Pasal 26A UU Tipikor, setelah MK meneliti pasal a quo, MK tidak mendapati frasa “informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik” di dalam Pasal 26A tersebut. Bunyi selengkapnya Pasal 26A UU Tipikor adalah: Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari:
a. alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
b. dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
Jika norma Pasal 26A dapat diartikan sebagai frasa “informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik” seperti yang didalilkan oleh Pemohon, maka pertimbangan MK mengenai frasa “informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik” dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 44 huruf b UU ITE mutatis mutandis berlaku pula bagi Pasal 26A UU Tipikor.
MK menegaskan kembali pertimbangan Putusan MK Nomor 006/PUU-I/2003, bertanggal 30 Maret 2004 yang kemudian ditegaskan kembali dalam Putusan Nomor 5/PUU-VIII/2010, bertanggal 24 Februari 2011 tentang penyadapan yang menyatakan:
“Mahkamah memandang perlu untuk mengingatkan kembali bunyi pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan Nomor 006/PUU-I/2003 tersebut oleh karena penyadapan dan perekaman pembicaraan merupakan pembatasan terhadap hak-hak asasi manusia, dimana pembatasan demikian hanya dapat dilakukan dengan undang-undang, sebagaimana ditentukan oleh Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Undang-Undang dimaksud itulah yang selanjutnya harus merumuskan, antara lain, siapa yang berwenang mengeluarkan perintah penyadapan dan perekaman dapat dikeluarkan setelah diperoleh bukti permulaan yang cukup, yang berarti bahwa penyadapan dan perekaman pembicaraan itu untuk menyempurnakan alat bukti, atau justru penyadapan dan perekaman pembicaraan itu sudah dapat dilakukan untuk mencari bukti permulaan yang cukup. Sesuai dengan perintah Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, semua itu harus diatur dengan undang-undang guna menghindari penyalahgunaan wewenang yang melanggar hak asasi”.
Dari pertimbangan putusan MK tersebut, sampai saat ini belum terdapat Undang-Undang yang secara khusus mengatur tentang penyadapan sebagaimana yang diamanatkan oleh putusan MK. Oleh sebab itu, untuk mengisi kekuranglengkapan hukum tentang penyadapan yang termasuk di dalamnya perekaman agar tidak semua orang dapat melakukan penyadapan yang termasuk di dalamnya perekaman maka penafsiran bersyarat yang dimohonkan oleh Pemohon terhadap frasa “informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik” dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 44 huruf b UU ITE dan Pasal 26A UU Tipikor beralasan hukum sepanjang dimaknai frasa “informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik” sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) UU ITE.
Menurut MK, bahwa sebenarnya kekhawatirkan yang dikemukakan Pemohon dalam permohonannya tidak perlu ada karena telah ditegaskan dalam Pasal 31 ayat (3) yang menyatakan, “kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang”. Namun demikian, untuk mencegah terjadinya perbedaan penafsiran terhadap Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU ITE, MK harus menegaskan bahwa setiap intersepsi harus dilakukan secara sah, terlebih lagi dalam rangka penegakan hukum.
MK juga mempertimbangkan mengenai bukti penyadapan berupa rekaman pembicaraan sesuai dengan hukum pembuktian. Dalam hukum pembuktian, rekaman pembicaraan adalah real evidance atau physical evidence. Pada dasarnya barang bukti adalah benda yang digunakan untuk melakukan suatu tindak pidana atau benda yang diperoleh dari suatu tindak pidana atau benda yang menunjukkan telah terjadinya suatu tindak pidana. Dengan demikian, rekaman pembicaraan dapat dijadikan bukti sebagai barang yang menunjukkan telah terjadi suatu tindak pidana. Permasalahannya adalah apakah rekaman pembicaraan merupakan bukti yang sah adalah dengan menggunakan salah satu parameter hukum pembuktian pidana yang dikenal dengan bewijsvoering, yaitu penguraian cara bagaimana menyampaikan alat-alat bukti kepada hakim di pengadilan. Ketika aparat penegak hukum menggunakan alat bukti yang diperoleh dengan cara yang tidak sah atau unlawful legal evidence maka bukti dimaksud dikesampingkan oleh hakim atau dianggap tidak mempunyai nilai pembuktian oleh pengadilan.
Berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut, menurut MK permohonan Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.

b. Pendapat hukum MK terhadap perkara Nomor 21/PUU-XIV/2016
MK memberikan pendapat hukumnya terhadap 2 (dua) frasa dalam Pasal 15 UU Tipikor yang dimohonkan pengujiannya terhadap UUD Tahun 1945 oleh Pemohon yaitu frasa “permufakatan jahat” dan frasa “tindak pidana korupsi”. Adapun pendapat hukum MK terhadap frasa tersebut adalah sebagai berikut:
1. Frasa “permufakatan jahat”.
Pertama kali pemufakatan jahat diatur dalam Pasal 88 KUHP. Istilah asli pemufakatan jahat dalam KUHP (WVS) dalam bahasa Belanda ialah “samenspanning”. Dalam bahasa Inggris disebut conspiracy, dalam bahasa Indonesia disebut persekongkolan. Pemufakatan jahat dapat dilihat dari sisi subjektif dan objektif. Dari sisi subjektif pemufakatan jahat adalah niat di antara para pelaku untuk bersama-sama (meetings of mind) mewujudkan suatu kejahatan sedangkan dari sisi objektif pemufakatan jahat adalah adanya perbuatan pendahuluan sebagaimana dimaksud dalam delik percobaan.
Para ahli dalam persidangan perkara a quo yakni ahli Dr.Chairul Huda, S.H., M.H, ahli Prof. Dr. Andi Hamzah, S.H, dan ahli Prof. Dr. Eddy O.S Hiariej, S.H., M. Hum., pada dasarnya berpendapat sama bahwa pemufakatan jahat adalah apabila dua orang atau lebih sepakat akan melakukan kejahatan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 88 KUHP. Pasal 88 KUHP berbunyi, “Dikatakan pemufakatan jahat, apabila dua orang atau lebih telah sepakat akan melakukan kejahatan”, (Pasal 110, Pasal 111 bis, Pasal 116, Pasal 125, Pasal 139c, Pasal 164, Pasal 169, Pasal 214, Pasal 324, Pasal 358, Pasal 363, Pasal 365, Pasal 368, Pasal 457, Pasal 462, Pasal 504, Pasal 505 KUHP)”.
Pasal 110 ayat (1) KUHP berbunyi, “Permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan menurut Pasal 104, 106, 107 dan 108 diancam berdasarkan ancaman pidana dalam pasal-pasal tersebut”. Bahwa Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, dan Pasal 108 KUHP merupakan tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara yang dapat dilakukan oleh siapapun juga.
Pemufakatan jahat bukan tindak pidana yang berdiri sendiri akan tetapi bagian dari persiapan melakukan penyertaan tindak pidana, perbuatan tindak pidana, untuk membuat kesepakatan untuk melakukan tindak pidana tertentu yang secara tegas dinyatakan dalam undang-undang. Harus jelas tindak pidana yang mana yang akan dilakukan. Dalam tindak pidana pemufakatan jahat harus ada meetings of minds atau mens rea (guilty mind) karena pemufakatan jahat tersebut merupakan kejahatan conspiracy sehingga harus ada persamaan kehendak atau niat diantara orang-orang yang melakukan conspiracy pemufakatan jahat tersebut. Terhadap meetings of mind diperlukan adanya perbuatan, baik kelakuan, atau penimbulan akibat yang dilarang oleh Undang-Undang. Pemufakatan jahat merupakan perbuatan (actus reus) yang membutuhkan kesalahan atas perbuatan yang dilarang sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Berdasarkan Pasal 15 UU Tipikor, tindak pidana korupsi dengan pemufakatan jahat dapat dihukum asalkan ada tindak pidana pokoknya seperti yang tercantum dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14, bahkan hukumannya disamakan dengan hukuman dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14. Bahwa UU Tipikor Pasal 15 mengaitkan keberadaan Pasal 15 dengan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14;
Pasal 2 UU Tipikor menegaskan tentang setiap perbuatan yang dilakukan oleh setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Dengan demikian apabila tidak ada kerugian negara atau perekonomian negara maka pasal ini tidak merupakan delik;
Pasal 3 UU Tipikor merumuskan tentang setiap orang yang bertujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalah gunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Pasal 3 UU Tipikor ini menegaskan bahwa suatu kejahatan itu baru nyata adalah apabila ada kerugian negara yang dilakukan karena jabatan atau kedudukan sehingga apabila siapapun pelaku tidak memiliki jabatan atau kedudukan maka Pasal 3 ini tentu tidak bisa dijadikan sebuah delik sehingga pasal a quo merupakan delik kualitatif;
Demikian pula dengan Pasal 7 UU Tipikor mensyaratkan deliknya pada Pasal 387 dan Pasal 388 KUHP. Pasal 387 KUHP adalah tentang tindak pidana yang dilakukan kepada setiap orang memiliki keahlian dalam bidang bangunan yang bekerja sebagai pemborong bangunan. Pasal 388 KUHP adalah tindak pidana yang dilakukan oleh balatentara darat atau laut akibat adanya suatu perbuatan penipuan yang mendatangkan bahaya bagi keamanan negara dalam keadaan perang, sehingga kedua pasal inipun mengaitkan dengan kualitas seseorang dalam melakukan tindak pidana;
Pasal 8 UU Tipikor mengaitkan suatu tindak pidana dengan Pasal 415 KUHP yakni tindak pidana yang dilakukan oleh seorang pegawai negeri yang menggelapkan keuangan negara atau surat berharga yang digelapkan dalam melaksanakan jabatannya sehingga pasal ini juga mensyaratkan pelakunya adalah harus seorang pegawai negeri sehingga pasal a quo merupakan delik kualitatif;
Kemudian Pasal 9 UU Tipikor mengaitkan dengan Pasal 416 KUHP yakni tentang seorang pegawai negeri yang membuat atau memalsukan daftar atau buku-buku untuk pemeriksaan administrasi, dengan demikian pasal a quo juga mensyaratkan pada keberadaan seorang pegawai negeri sehingga delik tersebut juga merupakan delik kualitatif;
Pasal 10 UU Tipikor juga mengaitkan delik dengan Pasal 417 KUHP yakni pegawai negeri yang melakukan tindak pidana menggelapkan, merusak atau membinasakan surat-surat atau barang yang akan dijadikan sebagai barang bukti, sehingga delik tersebut juga merupakan delik kualitatif;
Pasal 11 UU Tipikor berkenaan dengan tindak pidana yang dilakukan dalam Pasal 418 KUHP yakni pegawai negeri yang menerima hadiah atau janji yang berhubungan dengan kekuasaannya, sehingga delik tersebut juga merupakan delik kualitatif;
Pasal 12 UU Tipikor berkenaan dengan tindak pidana yang dilakukan dalam Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425, atau Pasal 435 KUHP yakni tentang yang menerima hadiah, perjanjian untuk membujuk agar kekuasaan dalam jabatannya untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu apa yang berlawan dengan kewajibannya, sehingga delik tersebut juga merupakan delik kualitatif;
Pasal 13 UU Tipikor berkenaan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut, sehingga delik tersebut juga merupakan delik kualitatif;
Pasal 14 UU Tipikor berkenaan dengan setiap orang yang melanggar ketentuan undang-undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelangaran terhadap ketentuan undang-undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini;
Dengan demikian semua ketentuan dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 UU Tipikor adalah merupakan tindak pidana kualitatif yang memerlukan kualitas seseorang baik sebagai pegawai negeri atau pejabat negara untuk memenuhi unsur-unsur delik.
Dalam tindak pidana pemukatan jahat para pihak harus sepakat untuk melakukan tindak pidana, harus mewujudkan rencana pemufakatan jahat tersebut baik untuk sebahagian saja ataupun secara keseluruhan, harus ada kerugian negara, dan harus ada unsur memperkaya diri sendiri dan atau orang lain ataupun korporasi. Apabila tidak demikian maka sama dengan mempidana kehendak atau niat tanpa perbuatan;
Prof. H.AS. Natabaya, S.H.,LL.M. berpendapat bahwa “Doktrin yang ditetapkan oleh Lord Mansfield dalam Rex v.Scofield, terdiri dari semua prinsip-prinsip yaitu, bahwa tindakan terletak di niat dan niat saja tidak dapat dihukum; akan tetapi ketika suatu tindakan dilakukan, maka hakim tidak hanya menghukum karena ada tindakan dilakukan tetapi karena adanya niat yang dilakukan dengan melanggar hukum dan niat itu berbahaya ... dst”. Pemufakatan jahat menunjuk kepada kesepakatan yang merupakan perbuatan persiapan (voorbereidings-handeling) yang harus ditegaskan oleh orang-orang yang bersepakat atau setidak-tidaknya terdapat perbuatan lanjutan yang belum masuk pada permulaan pelaksanaan sebagai wujud dari adanya kesepakatan tersebut. Hal ini bertujuan untuk membedakan bahwa pemufakatan jahat adalah perbuatan bukan semata-mata pikiran. Aspek subjektif dan aspek objektif dari pemufakatan jahat merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Kesepakatan untuk melakukan tindak pidana tersebut dengan suatu kesengajaan dan bukan oleh karena perangkap salah satu pihak, jika kesepakatan tersebut atas perangkap maka kesepakatan jahat tersebut menjadi gugur sebab tidak didasarkan pada kehendak conspiracy secara bersama-sama. Dalam hukum pidana dikenal beberapa jenis delik antara lain dikenal dengan delik persiapan (voorbereiding delict), delik percobaan (poging delict), delik selesai (aflopende delict), dan delik berlanjut (voortdurende delict).
Prof. Dr. Andi Hamzah, S.H berpendapat bahwa dalam Undang-Undang 31 Tahun 1999 khususnya Pasal 15 juncto Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 terhadap perbuatan pemerasan dalam jabatan haruslah memenuhi unsur-unsur antara lain adanya dua orang atau lebih yang sepakat melakukan suatu tindak pidana korupsi, Pegawai Negeri Sipil atau penyelenggara negara artinya orang perseorang yang memenuhi kualifikasi dan menguntungkan diri sendiri atau orang lain, memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar atau menerima pembayaran dengan potongan agar seseorang melakukan sesuatu diluar kehendak dirinya. Pasal 15 juncto Pasal 12 huruf e UU 31/1999 juncto UU 20/2001 hanya dapat diterapkan terhadap kesepakan antara dua orang atau lebih memiliki kualitas khusus sebagai Pegawai Negeri atau pejabat negara sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 1 dan Pasal 1 angka 2. Pemufakatan jahat (samenspanning) merupakan salah satu bentuk perluasan berlakunya ketentuan Undang-Undang tentang suatu tindak pidana seperti penyertaan (deelneming), pembantuan (medeplichtige), percobaan (poging).
Pasal 15 UU Tipikor yang menentukan bahwa setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, dan pemufakatan jahat dalam tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana yang sama dengan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14. Rumusan ini adalah rumusan yang menggambarkan adanya kriminalisasi yang tidak sempurna (uncompleted criminalization) karena hanya memuat sanksi pidana saja, itu pun sanksi pidana yang dirujuk ke dalam pasal-pasal yang lain yaitu sanksi pidana yang ada di dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14. Sementara berkenaan dengan strafbaar-nya atau perbuatan yang dilarangnya, pembentuk Undang-Undang hanya menyebutkan istilah-istilah yang berhubungan dengan istilah percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat atau persekongkolan. Istilah-istilah ini belum menggambarkan adanya strafbaar. Istilah ini hanya merupakan istilah tentang persoalan-persoalan atau konsep-konsep dalam hukum pidana. Padahal Pasal 15 UU Tipikor adalah rumusan delik karena ada unsur subjek setiap orang yang ada unsur strafbaar (perbuatan yang dilarang), unsur strafmaat dan strafsoort-nya, jumlah dan jenis sanksinya akan tetapi pembentuk Undang-Undang tidak memberikan penjelasan, tidak memberikan unsur, tidak memberikan uraian tentang apa yang dimaksud dengan percobaan, perbantuan, dan pemufakatan jahat.
Bahwa dalam buku kedua KUHP delik-delik yang dapat dipidana atau perbuatan yang juga dinyatakan dapat dipidana sekalipun baru dalam tahap pemufakatan jahat, hanyalah delik Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, dan Pasal 108. Kalau ditelaah lebih mendalam bahwa delik-delik tersebut dalam tindak pidana tidak memerlukan kualitas. Sementara, delik-delik korupsi, terutama yang ada di dalam Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 UU Tipikor semuanya membutuhkan kualitas tertentu untuk melakukannya yakni pegawai negeri atau penyelenggara negara. Jadi, hanya pegawai negeri atau penyelenggara negara atau pejabat yang bisa melakukan itu, yang lainnya tidak memenuhi kualitas. Oleh karenanya delik-delik ini adalah delik-delik yang berbeda. Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 UU Tipikor seharusnya tidak dijadikan sebagai suatu delik yang dapat dilakukan dalam bentuk pemufakatan jahat akan tetapi merupakan delik yang telah selesai dilaksanakan.
Prof. Dr. Eddy O.S. Hiariej, S.H., M. Hum, mengatakan bahwa salah satu prinsip yang paling mendasar dalam hukum pidana ini adalah asas legalitas, yang mana menurut pendapat Machteld Boot yang mengutip Weigend, Jesheck, mengatakan, “Di dalam asas legalitas itu terkandung empat makna. Yang pertama adalah nullum crimen nulla poena sine lege praevia (tidak ada perbuatan pidana tanpa Undang-Undang sebelumnya), Nullum crimen nulla poena sine lege scripta (tidak ada pidana tanpa Undang-Undang tertulis), Nullum crimen nulla poena sine lege certa (tidak ada perbuatan pidana tanpa Undang-Undang yang jelas) dan yang terakhir adalah Nullum crimen nulla poena sine lege stricta (tidak ada pidana tanpa Undang-Undang yang ketat). Terkait dengan pasal a quo yang dimohonkan kepada MK untuk diuji, ahli berpendapat bahwa pasal tersebut khususnya tentang “pemufakatan jahat“ tidak menganut atau tidak mengandung prinsip lex certa atau Nullum crimen nulla poena sine lege certa, sebagaimana yang terkandung di dalam asas legalitas.
Pemufakatan jahat merupakan tindakan awal berupa kesepakatan untuk melakukan suatu kejahatan. Sehingga merupakan delik yang tidak sempurna sebagai bentuk perluasan dapat dipidananya perbuatan. Pada dasarnya kesepakatan untuk melakukan suatu kejahatan tidaklah dapat dipidana karena baru sebatas mengungkapkan apa yang ada dalam pemikiran atau benak para pelaku. Apa yang ada dalam pemikiran tidaklah dapat dipidana berdasarkan adagium cogitationis poenam nemo patitur (seseorang tidak dapat dihukum hanya karena apa yang ada dalam pemikirannya). Akan tetapi terhadap kejahatan-kejahatan tertentu untuk mencegah dampak atau akibat yang muncul dari kejahatan tersebut sampai pada tahap permulaan pelaksanaan. Pada tahap perbuatan persiapan saja pembentuk Undang-Undang memandang perlu untuk menjatuhkan pidana. Kendatipun demikian kejahatan-kejahatan yang dapat dipidana hanya karena pemufakatan jahat haruslah disebut secara tegas. Oleh karena itu, dapatlah dipahami ketentuan pemufakatan jahat yang terdapat dalam Pasal 88 KUHP hanya dapat diterapkan khusus kepada Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, dan Pasal 108 tentang makar sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 110 KUHP. Lalu bandingkan dengan pasal a quo yang diuji ini hanya menyebutkan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5, sampai dengan Pasal 14 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi padahal diantara pasal-pasal tersebut memiliki sifat dan karakter yang berbeda.
Dalam hukum pidana dikenal adanya delicta communia dan delicta propria. Delicta communia adalah delik yang dapat dilakukan oleh siapapun. Sedangkan delicta propria adalah delik yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang dengan kualifikasi tertentu. Baik delicta communia maupun delicta propria pada hakikatnya adalah mengenai subjek hukum yang dapat dipidana berdasarkan suatu rumusan delik.
Dalam kaitannya dengan pemufakatan jahat dan bila dihubungkan dengan pembagian delik antara delicta communia dan delicta propria, maka pemufakatan jahat hanya dapat terjadi antara dua orang atau lebih yang memiliki kualifikasi yang ditentukan oleh UU. Padahal ketentuan pasal a quo yang sedang diuji tidak membedakan secara tegas antara pemufakatan jahat terhadap delicta communia dan delicta propria. Tidaklah mungkin terjadi pemufakatan jahat apabila antara dua orang atau lebih yang tidak memiliki kualitas yang sama bersepakat untuk melakukan kejahatan.
Berdasarkan hal itu maka frasa “pemufakatan jahat” untuk melakukan tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 UU Tipikor adalah rumusan delik yang tidak jelas dan multitafsir karena tidak memuat bentuk perbuatan secara cermat. Apalagi ketentuan Pasal 14 itu sama sekali bukan ketentuan pidana, tetapi untuk membatasi lex specialis sistematis dalam tindak pidana korupsi.
Apabila meninjau berbagai tindak pidana keamanan negara dalam beberapa pasal tersebut adalah delik umum yang tidak mensyaratkan kualitas dan kualifikasi tertentu bagi subjek deliknya. Sehingga setiap orang dapat mewujudkan delik tersebut dan dapat pula diterapkan pemufakatan jahat dengan pengertian dua orang atau lebih yang sepakat melakukan kejahatan. Namun, persoalannya menjadi berbeda manakala pemufakatan jahat dengan penelitian tersebut diberlakukan terhadap delik-delik kualitatif yang mensyaratkan kualitas tertentu, pejabat negara, atau pegawai negeri sipil yang diatur dalam norma a quo.
Manakala definisi pemufakatan jahat tidak diubah, maka definisi pemufakatan jahat akan digunakan untuk menjerat siapapun yang berbincang untuk melakukan delik kualitatif meskipun orang-orang tersebut tidak mempunyai kapasitas tertentu yang ditentukan oleh Undang-Undang sebab dalam perumusan delik pidana, maka perlu memenuhi syarat yakni lex previa tidak berlaku surut, lex certa harus jelas, lex stricta harus tegas, dan lex scripta harus tertulis, maka pembentukan delik pidana tersebut dimaksudkan untuk menopang konsepsi negara hukum sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945 berkenaan dengan kepastian dan keadilan hukum.
Apabila prinsip lex certa tidak dipenuhi unsur-unsurnya sebagaimana dimaksud dalam norma a quo, maka ketentuan tersebut jelas bertentangan dengan UUD 1945. Apabila konsep ini merujuk pada Pasal 88 KUHP adalah persoalan kaidah Undang-Undang yang dapat melahirkan implikasi di kemudian hari. Kondisi normatif sebagaimana termaksud dalam pasal a quo, maka pendapat ini tidak mengenai perbuatan karena sarana dan tujuan yang dipilih tidak mungkin menyelesaikan kejahatan tetapi tentang perbuatan yang tidak mungkin mewujudkan rumusan delik karena tidak adanya unsur esensial dalam rumusan ini. Keadaan ini jelas merugikan bagi warga negara dikarenakan perumusan norma yang demikian itu akan memperluas kewenangan penafsiran atas niat jahat yang sesungguhnya, tidak semua subjek hukum memiliki kualitas untuk berbuat jahat atau dasar kualitas kewenangan yang dimilikinya. Bahwa dengan demikian, kualitas yang disyaratkan dalam delik kualitatif adalah kualitas-kualitas yang secara hukum ditentukan dalam aturan pidana yang menyebabkan delik tersebut hanya dapat dilakukan oleh orang tertentu saja. Kualitas-kualitas tertentu dapat berupa jabatan, kewenangan, profesi, pekerjaan, ataupun keadaan tertentu yang ditentukan terhadap subjek tertentu.
Oleh karena itu, pemaknaan dan penafsiran kaidah norma pemufakatan jahat dalam norma a quo bertujuan untuk menguatkan dua hal. Pertama, memberikan kepastian hukum terhadap masyarakat melalui seleksi normatif atau siapa sajakah yang jadi subjek yang dituju oleh norma hukum pidana dan mana yang tidak dituju oleh norma tersebut. Kedua, mencegah terjadinya kesewenang-wenangan penegak hukum terhadap masyarakat.
Pemahaman tentang hakikat pemufakatan jahat ini menjadi sangat penting sebab berkaitan dengan hak konstitusional warga negara untuk mendapatkan kepastian hukum dan kenyamanan hidup dalam bernegara. Dengan demikian negara dalam penegakan hukum harus mampu menegakkan prinsip due process of law and fair procedure bukan semata-mata crime control model.
Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, maka beralasan secara hukum permohonan Pemohon untuk dikabulkan bahwa Pasal 15 UU Tipikor sebatas berkaitan dengan frasa “pemufakatan jahat” bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak ditafsirkan “dikatakan ada pemufakatan jahat bila dua orang atau lebih yang mempunyai kualitas yang sama saling bersepakat melakukan tindak pidana”
2. Frasa “tindak pidana korupsi”
Frasa “tindak pidana korupsi“ dalam Pasal 15 UU Tipikor mencakup seluruh tindak pidana korupsi mempunyai unsur delik yang berbeda-beda. Penggunaan frasa “tindak pidana korupsi“ tidak dapat menjelaskan unsur delik dari Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 karena frasa “tindak pidana korupsi“ hanyalah kata pengumpul dari berbagai delik yang diatur dalam UU Tipikor dengan demikian berpotensi melangar asas lex certa, lex scripta, dan lex stricta yang dapat melanggar HAM. Untuk mencegah pelanggaran tersebut, MK berpendapat bahwa frasa “tindak pidana korupsi“ harus ditafsirkan dengan tindak pidana korupsi berdasarkan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 sehingga dapat memberikan pedoman yang jelas dan tegas tentang perbuatan yang dilarang (strafbaar) menurut Undang-Undang a quo.
Penafsiran di atas memenuhi alasan filosofis, teoritik dan praktis dalam merumuskan tindak pidana dalam suatu aturan pidana. Secara filosofis, aturan pidana bertujuan untuk memberikan gambaran yang jelas kepada masyarakat tentang perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilanggar yang harus dirumuskan secara jelas dan tegas sehingga tidak menimbulkan penafsiran yang tidak benar sehingga bisa melindungi hak semua orang yang terlibat dan dalam proses hukum dan menempatkannya dalam kedudukan yang proporsional berdasarkan aturan hukum yang jelas. Setiap rumusan pidana paling tidak mencakup tiga komponen yaitu: subjek delik (adressaat norm), perbuatan yang dilarang (strafbaar) dan ancaman pidana (strafmaat).
Prof. H.A.S. Natabaya, S.H., LL.M. berpendapat bahwa “ketentuan Pasal 15 UU Tipikor ini menyatukan dalam satu pasal ketentuan mengenai percobaan, pembantuan dan permupakatan jahat, akan tetapi dalam penjelasan Pasal 15 “… aturan khusus karena ancaman pidana pada percobaan dan pembantuan tindak pidana pada umumnya dikurangi 1/3 (satu pertiga) dari ancaman pidananya”. Bunyi Pasal 15 UU Tipikor dan Penjelasan mengandung kontradiksi dengan Pasal 53 dan Pasal 56 KUHP, karena menurut teks Pasal 15 setiap orang melakukan perbuatan percobaan, pembantuan, ada pengurangan hukuman tanpa ada pengurangan dalam perbuatan pemufakatan jahat. Meskipun asli dari ketentuan ini pengurangan hukuman hanya terjadi pada percobaan, bahkan selanjutnya ahli berpendapat terjadi salah kaprah yang mencederai keadilan, maka sepatutnya ketentuan Pasal 15 UU Tipikor ini dibatalkan, terutama karena substansinya merupakan hal yang berbeda dan juga ancaman hukumannya yang juga berbeda atas ketiga norma yang terkandung dalam pasal tersebut adalah norma yang berbeda.
Subjek delik menunjuk kepada orang-orang yang melakukan tindak pidana baik secara umum maupun yang mempunyai kualitas tertentu. Perbuatan yang dilarang (strafbaar) menunjuk pada bentuk perbuatan yang dilarang yang dirumuskan secara jelas, sedangkan ancaman pidana memuat tentang perbuatan yang diancam serta jenis hukuman yang akan dijatuhkan sehingga Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 harus ditempatkan dalam bagian perbuatan yang dilarang bukan dalam bagian ancaman pidana sehingga dalam praktik mengharuskan menyertakan “juncto” sebab pemufakatan jahat bukanlah delik yang berdiri sendiri. Berdasarkan pertimbangan tersebut, MK berpendapat bahwa permohonan Pemohon beralasan menurut hukum.


c. Pendapat hukum MK terhadap perkara Nomor 25/PUU-XIV/2016
Menurut MK, Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor telah dimohonkan pengujian dan telah diputus oleh MK dalam Putusan Nomor 003/PUU-IV/2006 bertanggal 25 Juli 2006, sehingga dalam hal ini berlaku ketentuan Pasal 60 UU MK yaitu bahwa terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam Undang-Undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali, kecuali jika materi muatan dalam UUD Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.
Dasar pengujian yang digunakan permohonan Nomor 003/PUU-IV/2006 adalah Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sedangkan dalam permohonan a quo menggunakan juga Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28I ayat (4) dan ayat (5) UUD Tahun 1945, sehingga terdapat perbedaan dasar pengujian konstitusionalitas dengan permohonan Nomor 003/PUU-IV/2006. Berdasarkan pertimbangan tersebut, serta dikaitkan dengan Pasal 60 ayat (2) UU MK, MK menilai permohonan a quo tidak ne bis in idem sehingga selanjutnya MK memeriksa pokok permohonan a quo.
Kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor pernah diputus MK dalam Putusan Nomor 003/PUU-IV/2006, dengan menyatakan tidak bertentangan dengan hak atas kepastian hukum yang adil sebagaimana timaksudkan oleh Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945 sepanjang ditafsirkan sesuai dengan tafsiran MK (conditionally constitusional), yakni bahwa unsur kerugian negara harus dibuktikan dan harus dapat dihitung, meskipun sebagai perkiraan atau meskipun belum terjadi.
Setelah Putusan MK Nomor 003/PUU-IV/2006, pembentuk Undang-Undang mengundangkan UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administasi Pemerintahan (UU Administrasi Pemerintahan) yang di dalamnya memuat ketentuan antara lain: Pasal 20 ayat (4) mengenai pengembalian kerugian negara akibat kesalahan administratif yang terjadi karena adanya unsur penyalahgunaan wewenang oleh pejabat pemerintahan; Pasal 21 mengenai kompetensi absolut peradilan tata usaha negara untuk memeriksa ada atau tidaknya dugaan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan; Pasal 70 ayat (3) mengenai pengembalian uang ke kas negara karena keputusan yang mengakibatkan pembayaran dari uang negara dinyatakan tidak sah; dan Pasal 80 ayat (4) mengenai pemberian sanksi administratif berat kepada pejabat pemerintahan karena melanggar ketentuan yang menimbulkan kerugian negara. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, dengan adanya UU Administrasi Pemerintahan, kesalahan administratif yang mengakibatkan kerugian negara dan adanya unsur penyalahgunaan wewenang oleh pejabat pemerintahan tidak selalu dikenai tindak pidana korupsi. Demikian juga dengan penyelesaiannya yang tidak selalu dengan cara menerapkan hukum pidana, bahkan dapat dikatakan dalam penyelesaian kerugian negara, UU Administrasi Pemerintahan tampaknya ingin menegaskan bahwa penerapan sanksi pidana sebagai upaya terakhir (ultimum remedium).
Menurut MK, dengan keberadaan UU Administrasi Pemerintahan dikaitkan dengan kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (3) UU Tipikor, menyebabkan terjadinya pergeseran paradigma penerapan unsur merugikan keuangan negara dalam tindak pidana korupsi. Selama ini berdasarkan Putusan MK Nomor 003/PUU-IV/2006 pemahaman kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (3) UU Tipikor menyebabkan perbuatan yang akan dituntut di depan pengadilan bukan saja karena perbuatan tersebut “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara secara nyata” akan tetapi hanya “dapat” menimbulkan kerugian saja pun sebagai kemungkinan atau potential loss, jika unsur perbuatan tindak pidana korupsi dipenuhi, sudah dapat diajukan ke depan pengadilan. Dengan lahirnya UU Administrasi Pemerintahan maka kerugian negara karena kesalahan administratif bukan merupakan unsur tindak pidana korupsi. Kerugian negara menjadi unsur tindak pidana korupsi jika terdapat unsur melawan hukum dan penyalahgunaan kewenangan. Dalam hal adanya penyalahgunaan kewenangan, suatu perbuatan baru dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana korupsi apabila berimplikasi terhadap kerugian negara (kecuali untuk tindak pidana korupsi suap, gratifikasi atau pemerasan), pelaku diuntungkan secara melawan hukum, masyarakat tidak dilayani, dan perbuatan tersebut merupakan tindakan tercela. Dengan demikian bila dikaitkan dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, maka penerapan unsur merugikan keuangan negara telah bergeser dengan menitikberatkan pada adanya akibat, tidak lagi hanya perbuatan. Dengan perkataan lain kerugian negara merupakan implikasi dari: 1) adanya perbuatan melawan hukum yang menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor dan 2) penyalahgunaan kewenangan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 UU Tipikor. Berdasarkan hal tersebut menurut MK unsur merugikan keuangan negara tidak lagi dipahami sebagai perkiraan (potential loss) namun harus dipahami benar-benar sudah terjadi atau nyata (actual loss) untuk dapat diterapkan dalam tindak pidana korupsi.
Pencantuman kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor membuat delik dalam kedua pasal tersebut menjadi delik formil. Hal itu menurut MK dalam praktik seringkali disalahgunakan untuk menjangkau banyak perbuatan yang diduga merugikan keuangan negara, termasuk terhadap kebijakan atau keputusan diskresi atau pelaksanaan asas freies Ermessen yang diambil bersifat mendesak dan belum ditemukan landasan hukumnya, sehingga seringkali terjadi kriminalisasi dengan dugaan terjadinya penyalahgunaan wewenang. Demikian juga terhadap kebijakan yang terkait dengan bisnis namun dipandang dapat merugikan keuangan negara maka dengan pemahaman kedua pasal tersebut sebagai delik formil seringkali dikenakan tindak pidana korupsi. Kondisi tersebut tentu dapat menyebabkan pejabat publik takut mengambil suatu kebijakan atau khawatir kebijakan yang diambil akan dikenakan tindak pidana korupsi, sehingga di antaranya akan berdampak pada stagnasi proses penyelenggaraan negara, rendahnya penyerapan anggaran, dan terganggunya pertumbuhan investasi. Kriminalisasi kebijakan terjadi karena terdapat perbedaan pemaknaan kata “dapat” dalam unsur merugikan keuangan negara dalam tindak pidana korupsi oleh aparat penegak hukum, sehingga seringkali menimbulkan persoalan mulai dari perhitungan jumlah kerugian negara yang sesungguhnya sampai kepada lembaga manakah yang berwenang menghitung kerugian negara. Oleh karena dipraktikkan secara berbeda-beda menurut MK pencantuman kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor menimbulkan ketidakpastian hukum dan telah secara nyata bertentangan dengan jaminan bahwa setiap orang berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28G ayat (1) UUD Tahun 1945. Selain itu, menurut MK kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor juga bertentangan dengan prinsip perumusan tindak pidana yang harus memenuhi prinsip hukum harus tertulis (lex scripta), harus ditafsirkan seperti yang dibaca (lex stricta), dan tidak multitafsir (lex certa), oleh karenanya bertentangan dengan prinsip negara hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945.
Penerapan unsur merugikan keuangan dengan menggunakan konsepsi actual loss menurut MK lebih memberikan kepastian hukum yang adil dan bersesuaian dengan upaya sinkronisasi dan harmonisasi instrumen hukum nasional dan internasional, seperti dengan UU Administrasi Pemerintahan, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (UU Perbendaharaan Negara) dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (UU BPK) serta Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003 (United Nation Convention Against Corruption, 2003) yang telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Pasal 1 angka 22 UU Perbendaharaan Negara dan Pasal 1 angka 15 UU BPK mendefiniskan, “Kerugian negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai”. Berdasarkan ketentuan tersebut konsepsi kerugian negara yang dianut adalah konsepsi kerugian negara dalam arti delik materiil, yakni suatu perbuatan dapat dikatakan merugikan keuangan negara dengan syarat harus adanya kerugian negara yang benar-benar nyata atau aktual. Konsepsi tersebut sebenarnya sama dengan penjelasan kalimat “secara nyata telah ada kerugian negara” yang tercantum dalam Pasal 32 ayat (1) UU Tipikor sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasannya yang menyatakan sebagai kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk. Selain itu, agar tidak menyimpang dari semangat Konvensi PBB Anti Korupsi maka ketika memasukkan unsur kerugian negara dalam delik korupsi, kerugian negara tersebut harus benar-benar sudah terjadi atau nyata. Hal ini dikarenakan delik korupsi yang terdapat dalam Konvensi PBB Anti Korupsi telah diuraikan secara jelas meliputi suap, penggelapan dalam jabatan, memperdagangkan pengaruh, penyalahgunaan jabatan, pejabat publik memperkaya diri secara tidak sah, suap di sektor swasta, penggelapan dalam perusahaan swasta, pencucian uang hasil kejahatan, menyembunyikan adanya kejahatan korupsi, dan menghalang-halangi proses peradilan.
Berdasarkan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28G ayat (1) UUD Tahun 1945 dan memperhatikan perkembangan pengaturan dan penerapan unsur merugikan keuangan negara sebagaimana diuraikan di atas, terdapat alasan yang mendasar bagi MK untuk mengubah penilaian konstitusionalitas dalam putusan sebelumnya, karena penilaian sebelumnya telah nyata secara berulang-ulang justru menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan dalam pemberantasan korupsi. Dengan demikian kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor bertentangan dengan UUD Tahun 1945 seperti yang didalilkan oleh para Pemohon beralasan menurut hukum.
Menurut MK, frasa “atau orang lain atau suatu korporasi” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor menurut MK berbeda dengan kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor karena merupakan rumusan yang bersifat alternatif dalam rangka untuk menjangkau juga modus tindak pidana dalam hal hasil korupsi misalnya disembunyikan kepada orang lain atau suatu korporasi. Oleh karena itu, walaupun pelaku tidak memperkaya diri sendiri atau menguntungkan diri sendiri namun apabila melakukan perbuatan melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangan yang merugikan keuangan negara dan dalam hal ini orang lain atau suatu korporasi diuntungkan atau bertambah kekayaannya, dikenai tindak pidana korupsi. MK menegaskan bahwa terlepas dari pada penggunaan hasil korupsi untuk kepentingan pelaku sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, akan tetapi nyatanya korupsi tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas serta dampak dari besaran nilai kerugian negara yang sangat berpengaruh terhadap terganggunya pembangunan dan perekonomian negara/daerah, oleh karenanya setiap tindak pidana korupsi digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa atau biasa disebut sebagai perbuatan yang bersifat extra ordinary crime. Berdasarkan hal tersebut, dalil para Pemohon terhadap frasa “atau orang lain atau suatu korporasi” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor tidak beralasan menurut hukum.
Berdasarkan seluruh uraian pertimbangan tersebut di atas, menurut MK dalil-dalil para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.


2. Implikasi Putusan MK
Dalam Perkara Nomor 25/PUU-XIV/2016, kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan Pemohon sebagian, sehingga putusan Mahkamah Konstitusi ini berimplikasi pada UU Tipikor.
Dalam Perkara Nomor 21/PUU-XIV/2016, Frasa “pemufakatan jahat” dalam Pasal 15 UU Tipikor bertentangan dengan UUD Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “Pemufakatan jahat adalah bila dua orang atau lebih yang mempunyai kualitas yang sama saling sepakat melakukan tindak pidana” dan frasa “tindak pidana korupsi” dalam Pasal 15 UU Tipikor bertentangan dengan UUD Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “tindak pidana korupsi yang dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14”. Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan Pemohon seluruhnya, sehingga putusan Mahkamah Konstitusi ini berimplikasi pada UU Tipikor.
Dalam Perkara Nomor 20/PUU-XIV/2016, frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” dalam Pasal 26A UU Tipikor bertentangan dengan UUD Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai khususnya frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) UU ITE. Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian sehingga hal ini tentu berimplikasi pada UU Tipikor.
Putusan MK dalam pengujian undang-undang bersifat declaratoir constitutief. Artinya putusan MK meniadakan satu keadaan hukum baru atau membentuk hukum baru sebagai negative-legislator. Sifat declaratoir tidak membutuhkan satu aparat yang melakukan pelaksanaan putusan MK. Putusan MK memiliki kekuatan mengikat, kekuatan mengikat putusan MK, berbeda dengan putusan pengadilan biasa, yaitu tidak hanya meliputi pihak-pihak yang berperkara (interpartes) yaitu pemohon, pemerintah, DPR/DPD ataupun pihak terkait yang diizinkan memasuki proses perkara, tetapi putusan tersebut juga mengikat semua orang, lembaga negara dan badan hukum yang ada di wilayah Republik Indonesia.
Putusan MK berlaku sebagai hukum sebagaimana hukum diciptakan pembuat undang-undang. Hakim MK dikatakan sebagai negative legislatoir yang putusannya bersifat erga omnes , yang ditujukan pada semua orang. Oleh karena itu, perubahan/penggantian UU yang akan dilakukan oleh DPR dan Pemerintah terhadap UU yang pernah diuji materil ke MK harus berdasarkan Putusan MK yang telah mempunyai kekuatan hukum final dan mengikat (final and binding).

Dalam Perkara Nomor 25/PUU-XIV/2016, kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan Pemohon seluruhnya, sehingga putusan Mahkamah Konstitusi ini berimplikasi pada UU Tipikor. Oleh sebab itu, diperlukan perubahan UU Tipikor khususnya pada Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor dengan menghapus kata “dapat” dalam Pasal tersebut menjadi:

Pasal 2 ayat (1)
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”

Pasal 3
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”

Dalam Perkara Nomor 21/PUU-XIV/2016, Frasa “pemufakatan jahat” dalam Pasal 15 UU Tipikor bertentangan dengan UUD Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “Pemufakatan jahat adalah bila dua orang atau lebih yang mempunyai kualitas yang sama saling sepakat melakukan tindak pidana” dan frasa “tindak pidana korupsi” dalam Pasal 15 UU Tipikor bertentangan dengan UUD Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “tindak pidana korupsi yang dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14”. Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan Pemohon seluruhnya, sehingga putusan Mahkamah Konstitusi ini berimplikasi pada UU Tipikor.
Terkait dengan frasa “pemufakatan jahat” dalam Pasal 15 UU Tipikor dapat diberikan penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan “pemufakatan jahat” yaitu “Yang dimaksud dengan “pemufakatan jahat” adalah bila dua orang atau lebih yang mempunyai kualitas yang sama saling sepakat melakukan tindak pidana”.
Terkait dengan frasa “tindak pidana korupsi” dalam Pasal 15 UU Tipikor, MK memberikan putusan agar “tindak pidana korupsi” dalam Pasal 15 ini tidak sama dengan “tindak pidana korupsi dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14. Sehingga pembentuk Undang-Undang dapat merumuskan aturan yang berbeda untuk Pasal 15 UU Tipikor ini.
Dalam Perkara Nomor 20/PUU-XIV/2016, frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” dalam Pasal 26A UU Tipikor bertentangan dengan UUD Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai khususnya frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) UU ITE. Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian sehingga hal ini tentu berimplikasi pada perubahan UU Tipikor. Selain hal tersebut, adanya kebutuhan untuk segera membentuk rancangan undang-undang tentang penyadapan.

Dalam dinamikanya, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) telah 11 (sebelas) kali diajukan permohonan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun demikian, hanya 3 (tiga) permohonan yang dikabulkan baik sebagian maupun seluruhnya. Adapun ketentuan dalam UU Tipikor yang telah dimohonkan kepada MK dan dikabulkan baik sebagian maupun sepenuhnya adalah Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Pasal 15, dan Pasal 26A.
Berdasarkan Putusan MK tersebut, terjadi kekosongan hukum atas ketentuan yang inkonstitusional, kekosongan hukum terhadap pengaturan mengenai keterkaitan tindak pidana korupsi yang harus dibuktikan dengan kerugian keuangan negara; tindak pidana korupsi dalam Pasal 15 UU Tipikor yang harus dibedakan dengan tindak pidana korupsi dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 UU Tipikor; serta permufakatan jahat yang harus dimaknai sebagai dua orang atau lebih yang mempunyai kualitas yang sama saling sepakat melakukan tindak pidana.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bahwa materi muatan yang harus diatur dengan UU berisi materi muatan mengenai tindak lanjut Putusan MK. Oleh karena itu, perlu direformulasi kembali materi muatan atas beberapa hal yang telah diputus MK dalam UU Tipikor dengan status perubahan.
Berdasarkan Putusan MK dan penggantian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka DPR bersama Pemerintah harus menetapkan perubahan/penggantian UU Tipikor ini ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dan menjadikan prioritas tahunan untuk dibahas bersama-sama agar tidak terjadi kekosongan hukum, terjamin kepastian hukum, dan penyelenggaraan pemberantasan tindak pidana korupsi yang tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945.

Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi : Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia / 01-12-2017

Salah satu faktor yang mempengaruhi fungsi legislasi setelah perubahan Undang-Undang Dasar 1945 adalah keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) dengan wewenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, menyatakan bahwa salah satu kewenangan MK adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir putusan yang bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Artinya bahwa putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan MK dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding).
Sejak berdirinya MK hingga saat ini sudah banyak UU yang dimohonkan untuk dilakukan pengujian terhadap UUD Tahun 1945. Salah satunya adalah pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan (UU Kejaksaan). UU Kejaksaan dimaksudkan untuk lebih memantapkan kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga negara pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak mana pun, yakni yang dilaksanakan secara merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya.
Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya, Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus mampu mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan dan kebenaran berdasarkan hukum dan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, dan kesusilaan, serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum, dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Kejaksaan juga harus mampu terlibat sepenuhnya dalam proses pembangunan antara lain turut menciptakan kondisi yang mendukung dan mengamankan pelaksanaan pembangunan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila, serta berkewajiban untuk turut menjaga dan menegakkan kewibawaan pemerintah dan negara serta melindungi kepentingan masyarakat.
Dalam perjalanannya, UU Kejaksaan telah beberapa kali mengalami pengujian oleh beberapa pihak dengan dasar alasan yang bervariasi. Berikut hasil putusan MK atas pengujian UU Kejaksaan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) yang secara umum tergambar dalam tabel berikut:

No Putusan MK Pasal yang diuji Batu Uji
UUD NRI 1945 Amar Putusan
1 Perkara Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010
Pasal 30 ayat (3) huruf c UU No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan, mengenai kegiatan kejaksaan dalam pengawasan peredaran barang cetakan.
Pasal 28 UUD Tahun 1945. Menyatakan pengujian Pasal 30 ayat (3) huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4401) ditolak;

2 Perkara Nomor 49/PUU-VIII/2010 Pasal 22 ayat (1) huruf d mengenai pemberhentian Jaksa Agung karena berakhir masa jabatannya. Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945 1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian
2. Menyatakan Pasal 22 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
adalah sesuai dengan Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat (conditionally constitutional), yaitu
konstitusional sepanjang dimaknai “masa jabatan Jaksa Agung itu berakhir
dengan berakhirnya masa jabatan Presiden Republik Indonesia dalam satu
periode bersama-sama masa jabatan anggota kabinet atau diberhentikan
dalam masa jabatannya oleh Presiden dalam periode yang bersangkutan”;


3 Perkara Nomor 29/PUU-XIV/2016 Pasal 35 huruf c berikut Penjelasannya, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, mengenai salah satu tugas dan wewenang Jaksa Agung yakni mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Pasal 28A, 28D Ayat (1), Pasal 28I Ayat (1) dan Ayat (2) UUD Tahun 1945 1. Mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk sebagian;
2. Menyatakan frasa “mengesampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan atas asas oportunitas yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut” dalam Penjelasan Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan, bertentangan dengan UUD NRI 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Jaksa Agung wajib memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan masalah tersebut.”

Berdasarkan pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa dengan dikabulkannya permohonan uji materiil Pasal 22 ayat (1) huruf d dan Penjelasan Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan terhadap UUD Tahun 1945 membawa implikasi dan akibat hukum serta menciptakan keadaan hukum baru sebagai implikasi dikabulkannya permohonan uji materiil pasal-pasal a quo baik seluruhnya atau sebagian, sehingga perlu dilakukan evaluasi dan analisis terhadap kedua Putusan MK tersebut.

1. Apa akibat hukum terhadap Pasal 22 ayat (1) huruf d dan Penjelasan Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan yang dinyatakan MK sebagai konstitusionalitas bersyarat?
2. Apakah terjadi disharmoni norma dalam UU Kejaksaan jika Pasal 22 ayat (1) huruf d dan Penjelasan Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan yang dinyatakan konstitusional secara bersyarat oleh MK berimplikasi terhadap norma pasal ayat lain yang tidak diujikan?

A. Konstitusionalitas Undang-Undang
Pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 yang menjadi kewenangan MK merupakan wujud prinsip atau asas konstitusionalitas undang-undang (constitutionality of law) yang menjamin bahwa undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang itu tidak bertentangan dengan UUD 1945. Kewenangan pengujian undang-undang menimbulkan sebuah kewenangan yang mutatis mutandis (dengan sendirinya) ada, yaitu kewenangan menafsirkan konstitusi. Apabila dalam konstitusi tidak terdapat ketentuan yang ekplisit mengenai kewenangan menafsir konstitusi kepada lembaga negara yang diberikan kewenangan constitutional review, maka harus dipahami bahwa kewenangan menafsirkan konstitusi menyertai kewenangan constitutional review tersebut. Oleh sebab itu, sering dinyatakan bahwa Constitutional Court itu merupakan “the guardian of constitution and the sole interpreting of constitution”, disebut sebagai penjaga konstitusi berdasarkan kewenangan dalam memutus apakah sebuah produk perundang-undangan telah sesuai dengan konstitusi atau tidak.
Kewenangan menafsirkan itu sesungguhnya timbul dari sebuah tafsir Pasal 24C UUD 1945 bahwa “MK menguji undang-undang terhadap UUD” sebagai ketentuan pemberian kewenangan constitutional review kepada MK, ketentuan tersebut tidak mengandung kewenangan MK untuk melakukan penafsiran terhadap konstitusi, namun sangatlah tidak mungkin dapat melakukan penilaian pertentangan norma sebuah undang-undang apabila tidak menggunakan penafsiran konstitusi, dalam hal ini MK sebagai penafsir sah terhadap undang-undang dasar atau konstitusi (the legitimate interpreter of the constitution).
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, salah satu kewenangan dari Mahkamah Konstitusi adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan wujud dari prinsip atau asas konstitusionalitas undang-undang (constitutionality of law) yang menjamin bahwa undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang itu tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Menurut Sri Soemantri, dalam praktiknya dikenal adanya dua macam hak menguji yaitu :
a. Hak menguji formil (formale toetsingsrecht);
Hak menguji formil adalah wewenang untuk menilai, apakah suatu produk legislatif seperti undang-undang misalnya terjelma melalui cara-cara (procedur) sebagaimana telah ditentukan/diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku ataukah tidak. Dalam pengujian formal ini tampak jelas bahwa yang dinilai atau diuji adalah tatacara (procedur) pembentukan suatu undang-undang, apakah sesuai ataukah tidak dengan yang telah ditentukan/digariskan dalam peraturan perundang-undangan.
b. Hak menguji material (materiele toetsingsrecht).
Hak menguji material adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu pertauran perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Hak menguji material ini berkenanan dnegan isi dari suatu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya. Jika suatu undang-undang dilihat dari isinya bertentangan dengan undang-undang dasar maka undang-undang tersebut harus dinyatakan tidak mempunyai daya mengikat.
Menurut pandangan Jimly Asshiddiqqie, dalam praktiknya dikenal adanya tiga macam norma hukum yang dapat diuji atau yang biasa disebut norm control mechanism. Ketiganya sama-sama merupakan bentuk norma hukum sebagai hasil dari proses pengambilan keputusan hukum yaitu keputusan normative yang berisi dan bersifat pengaturan (regeling), keputusan normatif yang berisi dan bersifat penetapan administrative (beschikking), dan keputusan normatif yang berisi dan bersifat penghakiman (judgement) yang biasa disebut vonis. Mekanisme pengujian norma hukum ini dapat dilakukan dengan mekanisme pengujian yang dilakukan oleh lembaga peradilan yang dikenal dengan istilah judicial review. Terdapat beberapa jenis pengujian yaitu legislative review(pengujian tersebut diberikan kepada parlemen), executive review (pengujian tersebut diberikan kepada pemerintah), dan judicial review (pengujian yang diberikan kepada lembaga peradilan). Ketiga bentuk norma hukum ada yang merupakan individual and concret norms, dan ada pula yang merupakan general and abstract norms. Vonis dan beschikking selalu bersifat individualand concrete sedangkan jika yang diuji normanya bersifat umum dan abstrak maka norma yang diuji itu adalah produk regeling. Pengujian norma hukum yang bersifat konkret dan individual termasuk dalam lingkup peradilan tata usaha negara.
Dalam pengujian undang-undang, terdapat dua istilah yakni judicial review dan constitutional review. Constitutional review yang dapat diartikan sebagai pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar yang pada saat ini menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi, judicial review dapat diartikan sebagai pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang yang pada saat ini dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Pada dasarnya banyak yang menyamakan istilah judicial review dan constitutional review, padahal kedua istilah ini berbeda. Jika constitutional review maka ukuran pengujiannya dilakukan dengan menggunakan konstitusi sebagai alat ukur, namun jika norma yang diujikan tersebut menggunakan batu ujinya adalah undang-undang maka dapat dikatakan sebagai judicial review. Konsep constitutional review berkembang dari gagasan modern tentang sistem pemerintahan demokratis yang didasarkan atas ide-ide negara hukum (rule of law), prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power), serta perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia (the protection of fundamental rights). Dalam constitutional review terdapat dua tugas pokok yakni :
a. Untuk menjamin berfungsinya sistem demokrasi dalam hubungan perimbangan peran atau interplay antar cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Dengan perkataan lain constitutional review dimaksudkan untuk mencegah terjadinya pendayagunaan kekuasaan oleh satu cabang kekuasaan lainnya; dan
b. Untuk melindungi setiap individu warga negara dari penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga negara yang merugikan hak fundamental warga negara yang dijamin dalam konstitusi.
Dengan adanya keberadaan Mahkamah Konstitusi juga telah menciptakan pembagian kekuasaan atau pemisahan kekuasaan yang memungkinkan adanya proses saling mengawasi dan saling mengimbangi di antara cabang-cabang kekuasaan negara yang ada atau lazim disebut dengan mekanisme checks and balances. Hal itu tampak terutama dari salah satu kewenangan yang dilimpahkan kepada Mahkamah Konstitusi untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945.
Dengan demikian, esensi dari produk putusan Mahkamah Konstitusi dalam menguji undang-undang terhadap UUD 1945 ditempatkan dalam bingkai mekanisme check and balances antara lembaga negara. Hubungan untuk saling mengontrol ini, pada akhirnya dimaksudkan untuk melahirkan suatu produk hukum yang adil dan betul-betul berorientasi pada kepentingan rakyat. Sehingga, pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 dapat juga dilihat sebagai bagian dari koreksi terhadap produk yang dihasilkan oleh DPR RI dan Presiden.

B. Putusan Mahkamah Konstitusi Final dan Mengikat
Mahkamah Konstitusi yang diadopsi dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memiliki dua fungsi ideal yaitu MK dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi dan berfungsi untuk menjamin, mendorong, mengarahkan, membimbing, dan memastikan bahwa UUD NRI Tahun 1945 dijalankan dengan sebaik-baiknya oleh penyelenggara negara agar nilai-nilai yang terkandung didalamnya dijalankan dengan benar dan bertanggung jawab; dan MK harus bertindak sebagai penafsir karena MK dikonstruksikan sebagai lembaga tertinggi penafsir UUD NRI Tahun 1945. Melalui fungsi ini maka Mahkamah Konstitusi dapat menutupi segala kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam UUD NRI Tahun 1945.
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya maka Mahkamah Konstitusi diberikan kewenangan untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945; memutus pembubaran partai politik; memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana tercantum dalam Pasal 24C UUD NRI Tahun 1945, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 29 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dari uraian diatas maka diketahui bahwa sifat dari putusan Mahkamah Konstitusi yaitu final yang artinya bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). Konsep ini mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni secara sederhana dan cepat sebagaimana diuraikan dalam penjelasan No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang secara utuh menjelaskan bahwa Mahkamah Konstitusi dalam menyelenggarakan peradilan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tetap mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni dilakukan secara sederhana dan cepat. Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat tersebut, tidak dapat dilepaskan dengan asas erga omnes yang diartikan dengan mengikat secara umum dan juga mengikat terhadap obyek sengketa. Apabila suatu peraturan perundang‐undangan oleh hakim menyatakan tidak sah, karena bertentangan dengan peraturan perundang‐undangan yang lebih tinggi, berarti peraturan perundang‐undangan tersebut berakibat menjadi batal dan tidak sah untuk mengikat setiap orang.
Secara harfiah, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat memiliki makna hukum tersendiri. Frasa “final” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “terakhir dalam rangkaian pemeriksaan” sedangkan frasa mengikat diartikan sebagai “mengeratkan”, “menyatukan”. Bertolak dari arti harfiah ini maka frasa final dan frasa mengikat, saling terkait sama seperti dua sisi mata uang artinya dari suatu proses pemeriksaan telah memiliki kekuatan mengeratkkan atau menyatukan semua kehendak dan tidak dapat dibantah lagi. Makna harfiah di atas, bila dikaitkan dengan sifat final dan mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi artinya telah tertutup segala kemungkinan untuk menempuh upaya hukum. Tatkala putusan tersebut diucapkan dalam sidang pleno, maka ketika itu lahir kekuatan mengikat (verbindende kracht).
Secara Substansial makna hukum dari putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat dibagi dalam beberapa bagian yaitu:
a. Menjaga konstitusi (The Guardian of Constitution), menafsirkan konstitusi (The Interpreteur of Constitution), menjaga demokrasi, menjaga persamaan di mata hukum, dan koreksi terhadap undang-undang.
Kehadiran Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan tidak lain berperan sebagai pengawal konstitusi (The Guardian of Constitution), agar konstitusi selalu dijadikan landasan dan dijalankan secara konsisten oleh setiap komponen negara dan masyarakat. Mahkamah Konstitusi berfungsi mengawal dan menjaga agar konstitusi ditaati dan dilaksanakan secara konsisten, serta mendorong dan mengarahkan proses demokratisasi berdasarkan konstitusi. Dengan adanya Mahkamah Konstitusi, proses penjaminan demokrasi yang konstitusional diharapkan dapat diwujudkan melalui proses penjabaran dari empat kewenangan konstitusional (constitusionally entrusted powers) dan satu kewajiban (constitusional obligation). Mahkamah Konstitusi bertugas melakukan penyelesaian persengketaan yang bersifat konstitusional secara demokratis.
Putusan-putusan yang final dan mengikat 
 yang ditafsirkan sesuai dengan konstitusi sebagai hukum tertinggi, dimana pelaksanaannya harus bertanggungjawab, sesuai dengan kehendak rakyat (konstitusi untuk rakyat bukan rakyat untuk konstitusi), dan cita‐cita demokrasi, yakni kebebasan dan persamaan (keadilan).Artinya Mahkamah Konstitusi tidak hanya sebagai penafsir melalui putusan‐putusannya melainkan juga sebagai korektor yang aplikasinya yang tercermin dalam undang‐undang yang dibuat oleh DPR dan Presiden dengan batu uji konstitusi melalui interprestasinya dengan kritis dan dinamis.Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat merupakan refleksi dari fungsinya sebagai penjaga konstitusi, penjaga demokrasi, penjaga persamaan dimata hukum, penafsir konstitusi dan korektor undang‐undang agar disesuaikan dengan UUD.
b. Membumikan prinsip-prinsip negara hukum;
Filosofi negara hukum adalah negara melaksanakan kekuasaannya, tunduk terhadap pengawasan hukum. Artinya ketika hukum eksis terhadap negara, maka kekuasaan negara menjadi terkendali dan selanjutnya menjadi negara yang diselenggarakan berdasarkan ketentuan hukum tertulis atau tidak tertulis (konvensi).14
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pengawas tertinggi, tatkala putusannya yang final dan mengikat, makna hukumnya adalah membumikan negara hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila sebagaimana dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon. Dimana, melalui putusan Mahkamah Konstitusi mengadili dan memutus hal‐hal yang berkaitan dengan kewenangan adtribusi yang diberikan kepadanya untuk menjaga, keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan.
c. Membangun sebuah penegakkan hokum
Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan yaitu kepastian hukum (rechissicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan keadilan (gerechtigkeit). Selanjutnya ditegaskan bahwa kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang‐wenang, yang berarti bahwa seseorang akan memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib, karena hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan untuk ketertiban masyarakat. Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat dapat dimaknai sebagai penegakan hukum tata negara. Khususnya menyangkut pengontrolan terhadap produk politik yaitu undang‐undang yang selama ini tidak ada lembaga yang dapat mengontrolnya. Pada sisi lain, juga dapat menegakkan hukum dimana memutuskan tentang benar salahnya Presiden atau Wakil Presiden yang dituduh oleh DPR bahwa melakukan perbuatan melanggar hukum. Demikian juga dapat memutuskan tentang sengketa‐sengketa khusus yang merupakan kewenangannya termasuk memutuskan untuk membubarkan partai politik. Dengan demikian, hal ini sangat diharapkan sebagai wujud perlindungan hak‐hak masyarakat dan juga menempatkan semua orang sama di mata hukum (equality before the law).
d. Perekayasa Hukum
Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat ( final dan banding) merupakan suatu bentuk rekayasa hukum. Frasa “rekayasa” diartikan sebagai penerapan kaidah‐kaidah ilmu dalam pelaksanaan seperti perancangan, pembuatan konstruksi, serta pengoperasian kerangka, peralatan, dan sistem yang ekonomis dan efisien.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat sebagai sebuah bentuk rekayasa hukum yang diwujudkan dalam bentuk norma atau kaidah yang sifatnya membolehkan, mengajurkan, melarang, memerintahkan untuk berbuat atau tidak berbuat. Nilai mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi yang final adalah sama dengan nilai mengikat dan sebuah undang‐undang hasil produk politik, yang berfungsi sebagai alat rekayasa sosial politik, alat kontrol terhadap masyarakat dan penguasa serta memberikan perlindungan hukum terhadap seluruh komponen bangsa.

C. Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan dalam peradilan merupakan perbuatan hakim sebagai pejabat negara berwenang yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dibuat secara tertulis untuk mengakhiri sengketa yang dihadapkan para pihak kepadanya. Sebagai perbuatan hukum yang akan menyelesaikan sengketa yang dihadapkan kepadanya, maka putusan hakim tersebut merupakan tindakan negara di mana kewenangannya dilimpahkan kepada hakim baik berdasarkan UUD 1945 maupun undang-undang.
Dari sudut pandang hukum tata negara, putusan Mahkamah Konstitusi termasuk dalam keputusan negara yang mengandung norma hukum sama halnya dengan putusan pembentuk undang-undang yang bersifat pengaturan (regeling). Putusan Mahkamah Konstitusi dapat membatalkan suatu undang-undang atau materi muatan dalam undang-undang, sedangkan pembentuk undang-undang menciptakan norma hukum dalam bentuk materi muatan dalam suatu undang-undang.
Putusan Mahkamah Konstitusi terutama dalam pengujian undang-undang kebanyakan jenisnya adalah bersifat declaratoir constitutief. Artinya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menciptakan atau meniadakan satu keadaan hukum baru atau membentuk hukum baru sebagai negative legislature. Hal lain yang perlu dicermati lebih lanjut adalah adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) maupun inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional). Varian putusan Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan putusan yang menyatakan bahwa suatu ketentuan undang-undang tidak bertentangan dengan konstitusi dengan memberikan persyaratan pemaknaan dan keharusan kepada lembaga negara dalam pelaksanaan suatu ketentuan undang-undang untuk memperhatikan penafsiran Mahkamah Konstitusi atas konstitusionalitas ketentuan undang-undang yang sudah diuji tersebut. Dengan demikian, terdapat penafsiran sendiri dari Mahkamah Konstitusi agar suatu norma undang-undang tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Putusan Mahkamah Konsitusi sejak diucapkan di hadapan sidang terbuka untuk umum dapat mempunyai 3 (tiga) kekuatan, yaitu:

A. Kekuatan mengikat
Kekuatan mengikat putusan Mahkamah Konstitusi berbeda dengan putusan pengadilan biasa, tidak hanya meliputi pihak-pihak berperkara (interpartes), yaitu pemohon, pemerintah, DPR/DPD, ataupun pihak terkait yang diizinkan memasuki proses perkara, tetapi juga putusan tersebut mengikat bagi semua orang, lembaga negara, dan badan hukum dalam wilayah republik Indonesia.
Putusan tersebut berlaku sebagai hukum sebagaimana hukum diciptakan pembuat undang-undang. Dengan demikian, Hakim Mahkamah Konstitusi dikatakan sebagai negative lagislator yang putusannya bersifat erga omnes, yang ditujukan pada semua orang.

B. Kekuatan pembuktian
Dalam perkara konstitusi yang putusannya bersifat erga omnes, maka permohonan pengujian yang menyangkut materi yang sama yang sudah pernah diputus tidak dapat lagi diajukan untuk diuji oleh siapapun. Putusan Mahkamah Konstitusi yang telah berkekuatan hukum tetap demikian dapat digunakan sebagai alat bukti dengan kekuatan pasti secara positif bahwa apa yang diputus oleh hakim itu dianggap telah benar. Selain itu, pembuktian sebaliknya tidak diperkenankan.

C. Kekuatan eksekutorial
Putusan Mahkamah Konstitusi berlaku sebagai undang-undang dan tidak memerlukan perubahan yang harus dilakukan dengan amandemen atas undang-undang yang bagian tertentu dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Eksekusi putusan Mahkamah Konstitusi telah dianggap terwujud dengan pengumuman putusan tersebut dalam Berita Negara sebagaimana diperintahkan dalam Pasal 57 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Akibat hukum yang timbul dari satu putusan hakim jika menyangkut pengujian terhadap undang-undang diatur dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang pada intinya menyatakan undang-undang yang diuji tetap berlaku sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Ketentuan ini juga berarti bahwa putusan hakim Mahkamah Konstitusi yang menyatakan satu undang-undang bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat tidak boleh berlaku surut.

D. Kejaksaan dalam Perspektif Teori Negara Hukum dan Teori Pembagian Kekuasaan.
Paham rechtsstaat, paham the rule of law, dan paham negara hukum (Indonesia) beranjak dari latar belakang kekuasaan penguasa (raja). Konsep rechtsstaat bertumpu pada sistem hukum kontinental yang disebut civil law yang berkarakteristik administrative, sedangkan konsep the rule of law berdasarkan sistem hukum common law, berkarakteristik judicial. Sedangkan konsep negara hukum Indonesia bertumpu pada keseimbangan hubungan antara pemerintah dan rakyat yang diwarnai karakteristik administrative dan judicial.
Latar belakang sejarah rechtsstaat (negara-negara Eropa Kontinental) dan the rule of law (negara-negara Anglo Saxon) menunjukkan perjuangan menentang kesewenang-wenangan penguasa. Sementara itu, negara hukum Indonesia jelas-jelas menentang kesewenang-wenangan penguasa dalam alam penjajahan. Titik sentral rechtsstaat dan the rule of law adalah pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Sedangkan, bagi Indonesia yang menjadi titik sentral adalah keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan, hubungan fungsional yang proporsional antar kekuasaan negara, dan jika muncul sengketa jalan musyawarah yang didahulukan sehingga peradilan hanya menjadi sarana penyelesaian akhir (the last resort).
Untuk mewujudkan konsep rechtsstaat, yaitu membatasi kekuasaan administrasi negara, dan konsep the rule of law, yaitu mengembangkan peradilan yang adil, mandiri, dan independen, serta konsep negara hukum Indonesia, yaitu keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat, pembagian kekuasaan negara yang proporsional dan peradilan sebagai sarana penyelesaian sengketa yang terakhir, maka sangat perlu dilakukan pembagian kekuasaan di antara lembaga-lembaga negara/pemerintah.
Dalam UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945, tidak ada satu katapun yang menyebut mengenai institusi kejaksaan, baik dalam batang tubuh maupun penjelasannya. Demikian pula dalam UUD 1945 yang telah mengalami empat kali perubahan (UUD Negara RI Tahun 1945). Di dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat dan UUD Sementara 1950 yang menganut sistem pemerintahan Parlementer, kata kejaksaan juga tidak ditemukan, kecuali kata “Jaksa Agung pada Mahkamah Agung” (Pasal 106 UUD Sementara 1950), tetapi hanya dalam konteks pejabat tinggi negara yang hanya dapat diadili oleh Mahkamah Agung sebagai pengadilan pertama dan terakhir jika mereka didakwa dalam perkara pidana. Ketentuan ini hanya mengatur “forum previlegiatum” yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kedudukan kejaksaan dalam ranah kekuasaan negara .
Namun demikian, eksistensi Kejaksaan RI dalam perspektif konsep rechtsstaat, konsep the rule of law, dan konsep negara hukum Indonesia hendaknya diwujudkan melalui konsep pembagian kekuasaan dalam penegakan hukum di negara Republik Indonesia. Kehadiran Kejaksaan RI dalam dunia peradilan adalah: pertama, sebagai upaya preventif, membatasi, mengurangi, atau mencegah kekuasaan pemerintah atau administrasi negara (konsep rechtsstaat) yang diduga sewenang-wenang yang dapat merugikan, baik rakyat maupun pemerintah sendiri, bahkan supaya tidak terjadi Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN). Sedangkan upaya represifnya adalah menindak kesewenang-wenangan pemerintah atau administrasi negara dan praktek-praktek KKN. Kedua, Kejaksaan RI seharusnya ditempatkan pada kedudukan dan fungsi yang mandiri dan independen untuk melaksanakan tugas dan wewenangnya dalam penegakan hukum agar terwujud peradilan yang adil, mandiri, dan independen (konsep the rule of law). Ketiga, menjaga keserasian hubungan hak dan kewajiban antara pemerintah dan rakyat melalui tugas penuntutan (penegakan hukum) dalam proses peradilan (konsep Negara Hukum Indonesia).

E. Kedudukan Kejaksaan Sebagai Lembaga Negara Dibidang Kekuasaan Kehakiman
Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, berdasarkan Pasal 24 ayat 3 UUD 1945 amandemen ke-4 disebutkan bahwa “badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”. berdasarkan ketentuan tersebut, melalui UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dijelaskan yang dimaksud dengan badan-badan tersebut, yaitu Kepolisian Negara RI, Kejaksaan RI dan Badan-badan lain yang diatur dalam undang-undang.
Untuk menyesuaikan dengan perkembangan situasi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka dibentuklah UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, UU tersebut dibentuk dengan tujuan untuk lebih memantapkan kedudukan dan peran lembaga Kejaksaan. Kejaksaan merupakan Lembaga Negara yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan ketentuan undang-undang.
Dalam menjalankan kewenangannya tersebut, kejaksaan menjalankan tugasnya dengan merdeka. Hal ini menegaskan independensi dari lembaga kejaksaan sendiri. Karena sampai saat ini Kejaksaan merupakan lembaga yang berada dalam kewenangan eksekutif yaitu berada di bawah presiden. Karena jaksa agung sebagai pemimpin tertinggi di lembaga Kejaksaan merupakan anggota kabinet yang dipilih langsung oleh presiden.
Berdasarkan hal tersebut prinsip independensi yang dimiliki oleh kejaksaan dapat dikatakan sebagai hal yang bersifat abstrak. Karena pelaksanaan prinsip independensi tersebut di lapangan sangat bergantung kepada komitmen Presiden dan Jaksa Agung sendiri. Tidak terdapat kontrol dari pihak luar ketika Jaksa Agung menjalankan tugas dan kewenangannya apakah benar-benar terbebas dari politik kekuasaan presiden.
Dalam melakukan pengaturan terhadap kedudukan lembaga Kejaksaan terdapat keinginan beberapa pihak untuk menjadikan kejaksaan sebagai lembaga yang berada dalam kekuasaan kehakiman. Hal tersebut berarti kejaksaan berada di bawah kekuasaan yudikatif. Kekuasaan Yudikatif adalah kekuasaan peradilan di mana kekuasaan ini menjaga undang-undang, peraturan-peraturan dan ketentuan hukum lainnya benar-benar ditaati, yaitu dengan menjatuhkan sanksi terhadap setiap pelanggaran hukum atau undang-undang. Selain itu Yudikatif juga bertugas untuk memberikan keputusan dengan adil sengketa-sengketa sipil yang diajukan ke pengadilan untuk diputuskan.
Peletakan kedudukan Kejaksaan di Yudikatif bertentangan dengan posisi kejaksaan sebagai lembaga yang dalam prakteknya memiliki tugas pokok melakukan penuntutan atas nama negara dalam kasus-kasus pidana dan bertindak sebagai Jaksa Pengacara Negara (JPN) dalam kasus-kasus perdata yang berkaitan dengan aset negara. Karena kejaksaan dan Badan Peradilan memiliki fungsi yang berbeda, maka dalam rangka intergrated criminal justice system Kejaksaan tetap harus ditempatkan di luar kelembagaan yudisial.

. Pendapat Hukum Mahkamah Konstitusi
1.1 Pendapat Hukum MK dalam Perkara Nomor 49/PUU-VIII/2010
Pasal yang dimohonkan untuk diuji dalam Perkara Nomor 49/PUU-VIII/2010, yaitu Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan terhadap Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945. Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan menyatakan bahwa “Jaksa Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena: … d. berakhir masa jabatannya”. Terhadap permohonan pengujian pasal a quo MK mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
Bahwa frasa “diberhentikan dengan hormat dari jabatannya” dapat dimaknai dengan pemberhentian seorang pejabat dari segala fungsi dan wewenang yang telah diamanatkan atau dibebankan kepadanya, karena dia telah melaksanakan fungsi dan wewenang tersebut, dan dianggap bahwa segala sesuatu yang diamanatkan telah dilaksanakan dengan baik dan paripurna. Dalam hal ini fokusnya adalah pada jenis jabatan tersebut, yaitu pada fungsi dan wewenang yang diemban oleh pejabat yang bersangkutan, namun demikian jenis jabatan tersebut tetap ada dan perlu ditindaklanjuti, sehingga jenis jabatan tersebut harus dilanjutkan oleh seseorang yang akan dipilih atau diangkat untuk menggantikannya. Frasa “diberhentikan dengan hormat dari jabatannya” dalam penerapannya dapat dilakukan kapan saja tergantung pada kapan fungsi dan wewenang tersebut selesai menurut seseorang yang berwenang mengangkat dan memberhentikannya. Dalam kaitannya dengan sifat wewenang pemerintahan terdapat tiga ciri, yaitu: a) selalu terikat pada suatu masa tertentu; b) selalu tunduk pada batas yang ditentukan; dan c) pelaksanaan wewenang terikat pada hukum tertulis dan hukum tidak tertulis.
Sifat wewenang pertama, yaitu, “selalu terikat pada suatu masa tertentu ”mempunyai makna bahwa lamanya wewenang tersebut ditentukan dalam peraturan yang menjadi dasar pemberiannya, yang biasa disebut dengan lingkup waktu (tijdsgebied). Sifat wewenang kedua yaitu, “selalu tunduk pada batas yang ditentukan” yang berarti terdapat batas yang ditentukan, baik yang mencakup batas wilayah kewenangan (plaatsgebeid) maupun batas cakupan materi kewenangan (ruimtegebeid). Sifat yang ketiga, yaitu, “pelaksanaan wewenang terikat pada hukum tertulis dan hukum tidak tertulis” yang berarti pelaksanaan wewenang tersebut terikat pada hukum tertulis (peraturan-peraturan negara/asas legalitas) maupun pada hukum tidak tertulis (asas-asas umum penyelenggaraan pemerintahan yang baik).
Frasa “berakhir masa jabatannya” selalu dikaitkan dengan saat atau waktu tertentu yang biasanya telah ditentukan sebelumnya dalam suatu peraturan yang dibentuk untuk pelaksanaan dari jabatan tersebut, sehingga masa jabatan dari pemegang jabatan seharusnya diatur secara tegas untuk menghindarkan adanya pelampauan kewenangan;
Menimbang bahwa terhadap substansi Pasal 22 ayat (1) UU 16/2004 yang menyatakan ”Jaksa Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena: a. meninggal dunia; b. permintaan sendiri; c. sakit jasmani atau rohani terus menerus; d. berakhir masa jabatannya; e. tidak lagi memenuhi salah satu syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21,” dapat dibedakan dalam dua kondisi/syarat kapan pemberhentian dengan hormat Jaksa Agung dari jabatannya.
Pertama, adalah kondisi/syarat yang tegas dan tidak menimbulkan tafsir yang berbeda, bahkan dapat dikatakan sebagai kondisi/syarat yang konkret, yaitu: a. meninggal dunia; b. permintaan sendiri; c. sakit jasmani atau rohani terus menerus; dan e. tidak lagi memenuhi salah satu syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21. Terhadap keempat kondisi/syarat dalam Pasal 22 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf e Undang-Undang a quo, pemberhentian dengan hormat Jaksa Agung dari jabatannya dapat dengan mudah dilaksanakan, namun demikian terhadap kondisi/syarat “d. berakhir masa jabatannya” menimbulkan masalah dalam pemaknaan dan penerapannya. Oleh karena itu, pelaksanaan dari Pasal 22 ayat (1) huruf d UU 16/2004 perlu disertai dengan rumusan yang jelas tentang jangka waktu atau lingkup waktu yang tegas untuk menghindari penafsiran yang berbeda. Berdasarkan alasan tersebut dapat disimpulkan bahwa permasalahan penafsiran terhadap Pasal 22 ayat (1) huruf d UU 16/2004 yang menyatakan ”Jaksa Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena:...d. berakhir masa jabatannya” bukanlah masalah konstitusionalitas norma yang merupakan lingkup ranah judicial review yang menjadi wewenang Mahkamah, tetapi lebih merupakan lingkup ranah legislative review yang menjadi wewenang pembentuk undang-undang, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden. Akan tetapi masalah konstitusionalitas timbul ketika frasa ini bersifat multitafsir sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum, termasuk ketidakpastian hukum dalam hal kedudukan di hadapan hukum;
Bahwa dalam praktik ketatanegaraan yang berlangsung selama ini, “penetapan masa jabatan” secara tegas telah digunakan dalam beberapa jabatan publik, sebagai contoh dapat dikemukakan sebagai berikut:
a. Masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden adalah selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam masa jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan sesuai Pasal 7 UUD 1945;
b. Masa jabatan Anggota Komisi Yudisial didasarkan pada periode masa jabatan, yaitu selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan berdasarkan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial;
c. Masa jabatan Hakim Konstitusi yang ditentukan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya satu kali masa jabatan berikutnya atau masa jabatan tersebut berakhir pada saat memasuki usia pensiun, yaitu 67 tahun, berdasarkan Pasal 22 dan Pasal 23 ayat (1) huruf c dan huruf d Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
d. Masa jabatan Hakim Agung yang ditentukan sampai saat memasuki usia pensiun, yaitu 70 tahun berdasarkan Pasal 11 huruf b Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung;
Bahwa keterangan Denny Indrayana, S.H., LL.M. Ph.D, dan Letjen (Purn.) Achmad Roestandi, S.H., Ahli dari Pemerintah, yang menyatakan jabatan Jaksa Agung dapat saja berlangsung seumur hidup, menurut Mahkamah, pandangan tersebut tidak tepat, karena menurut prinsip demokrasi dan konstitusi untuk setiap jabatan publik harus ada batasan tentang lingkup kewenangan dan batas waktunya yang jelas dan pasti, apalagi jabatan dalam lingkungan kekuasaan pemerintahan seperti jabatan Jaksa Agung;
Bahwa Mahkamah sependapat dengan Ahli dari Pemohon, Prof. Dr. Bagir Manan, S.H., M.C.L. yang menyatakan, Kejaksaan adalah badan pemerintahan. Dengan demikian, pimpinannya juga adalah pimpinan dari suatu badan pemerintahan, dan ditafsirkan bahwa yang dimaksud badan pemerintahan adalah kekuasaan eksekutif. Pendapat tersebut sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UU 16/2004 yang menyatakan, ”Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan Undang-Undang”. Selain itu, ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) tersebut tidak dapat dipisahkan dengan Pasal 18 ayat (1) serta Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang a quo yang masing-masing menyatakan sebagai berikut: Pasal 18 ayat (1): ”Jaksa Agung adalah pimpinan dan penanggung jawab tertinggi kejaksaan yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang kejaksaan...”. Adapun Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) menyatakan, “(1) Jaksa Agung adalah pejabat negara, dan (2) Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.” Berdasarkan ketiga pasal tersebut maka seharusnya masa jabatan Jaksa Agung adalah sesuai dengan periode (masa jabatan) Presiden terlepas ia diposisikan sebagai pejabat di dalam kabinet atau di luar kabinet.
Bahwa meskipun begitu, oleh karena undang-undang tidak mengatur hal tersebut secara tegas, maka dalam praktik di lapangan, implementasinya menimbulkan masalah konstitusionalitas yakni ketidakpastian hukum. Sejalan dengan pendapat Prof. Dr. Bagir Manan, S.H., M.C.L., menurut Ahli dari Pemohon yang lain, yaitu, Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki, S.H. juga menyatakan bahwa, Kekuasaan Pemerintahan adalah la puissance executrice. Jabatan Jaksa Agung berada dalam Iingkup kekuasaan eksekutif. Jaksa Agung adalah publieke ambt atau jabatan publik. Tiap jabatan (het ambt) adalah wujud lingkungan kerja tetap yang diadakan dalam kaitan negara (kring van vastewerkzaamheden in het verband van de staat). Negara adalah organisasi jabatan (de staat is ambtenorganisatie), sedangkan jabatan (het ambt) adalah pribadi hukum, badan hukum publik (het ambt is persoon, het ambt als persoon) yang memiliki fungsi dan kewenangan, sebagaimana Iayaknya een persoon, een rechtspersoon, een publieke rechtspersoon. Namun demikian, karena jabatan (het ambt) tidak dapat melaksanakan dirinya sendiri dan tidak dapat melaksanakan fungsi dan kewenangannya, maka jabatan harus diwakili oleh pemegang jabatan atau ambtsdrager (het ambt wordt vertegenwoordigd door de ambtsdrager), sehingga pemegang jabatanlah yang bertindak atas nama jabatan. Jabatan bersifat tetap atau langgeng (duurzaam) sedangkan pemegang jabatan datang dan pergi silih berganti.
Terhadap pendapat Ahli tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa benar Jaksa Agung merupakan pemegang jabatan publik yang mempunyai batasan dalam melaksanakan fungsi dan kewenangannya atau dalam kaitan dengan permohonan ini dikatakan sebagai “berakhirnya masa jabatan” seperti tercantum dalam Pasal 22 ayat (1) huruf d UU 16/2004, maka hal tersebut tidaklah menyangkut masalah konstitusionalitas dari frasa tersebut. Namun demikian, apabila Pasal 22 ayat (1) huruf d Undang-Undang a quo dikaitkan dengan ayat (2) pasal a quo yang menyatakan, “Pemberhentian dengan hormat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Presiden”, memang terdapat permasalahan konstitusionalitas dari frasa tersebut, oleh karena sampai saat ini Keputusan Presiden yang menyatakan pemberhentian Jaksa Agung (Hendarman Supandji, S.H., C.N.) belum pernah ada. Jika “berakhirnya masa jabatan” Jaksa Agung Hendarman Supandji, S.H., C.N. tersebut dikaitkan dengan Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 bertanggal 20 Oktober 2004 dan Keputusan Presiden Nomor 31/P Tahun 2007 bertanggal 7 Mei 2007, maka hal tersebut dapat menimbulkan ketidakpastian hukum yang dijamin oleh Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Bahwa Ahli yang diajukan Pemohon, Prof. H.A.S. Natabaya, S.H., LL.M. dalam keterangannya, antara lain, menyatakan adanya ketentuan yang jelas dalam berbagai Undang-Undang yang mengatur secara tegas bagaimana masa jabatan seorang pejabat berakhir, misalnya Undang-Undang tentang Komisi Yudisial, Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, namun dalam UU 16/2004 tidak diatur dengan tegas kapan masa jabatan Jaksa Agung itu akan berakhir. Pasal 19 UU 16/2004 menyatakan, Jaksa Agung adalah Pejabat Negara, yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, sedangkan dalam Pasal 22 Undang-Undang a quo menyatakan, “Jaksa Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena, a. meninggal dunia; b. permintaan sendiri; c. sakit jasmani dan rohani terus menerus; d. berakhir masa jabatannya; dan e. tidak lagi memenuhi salah satu syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.” Terhadap ketentuan dalam kedua pasal tersebut, Ahli menyatakan bahwa UU 16/2004 tidak memenuhi asas-asas umum pembentukan perundang-undangan yang baik (algemene beginselen van behoorlijke regelgeving) yang sejalan dengan asas-asas umum penyelenggaraan pemerintahan yang baik (algemene beginselen van behoorlijke bestuur, the general principle of good administration). Dari kedua pasal tersebut Mahkamah berpendapat, Jaksa Agung sebagai Pejabat Negara seharusnya diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden berdasarkan kondisi yang pasti, yaitu, jika ia meninggal dunia, atas permintaan sendiri, atau karena sakit jasmani dan rohani terus menerus, namun demikian tentang kapan “berakhir masa jabatannya” merupakan kondisi yang tidak menentu.
Bahwa terhadap pendapat tiga ahli yang diajukan oleh Pemohon yakni Prof. Dr. Bagir Manan, S.H., MCL, Prof. Dr. H. M. Laica Marzuki, S.H., dan Prof. H.A.S. Natabaya, S.H., LL.M., Mahkamah sependapat untuk beberapa bagian yang substantif, tetapi tidak sependapat dalam hal implikasinya untuk saat ini karena ada keadaan atau persyaratan yang tidak dipenuhi dalam Undang-Undang a quo. Mahkamah sependapat dengan para ahli tersebut, jika Jaksa Agung yang diangkat dalam jabatan politik setingkat Menteri maka masa jabatannya harus sudah berakhir bersamaan dengan masa jabatan Presiden yang mengangkatnya, sedangkan apabila Jaksa Agung diangkat berdasarkan karirnya sebagai jaksa maka masa tugasnya harus berakhir pada saat mencapai usia pensiun. Secara substansi, Mahkamah sependapat bahwa apabila tidak memenuhi ketentuan itu maka jabatan Jaksa Agung dapat dianggap illegal. Dengan kata lain, Mahkamah juga sependapat dengan ketiga Ahli bahwa jabatan Jaksa Agung seharusnya dibatasi secara tegas, berdasar periodisasi kepemerintahan atau berdasar usia pensiun.
Bahwa meskipun Mahkamah sependapat dengan ketiga ahli di atas dalam hal substansi sebagai ius constituendum dan karena Undang-Undang tentang batasan masa jabatan Jaksa Agung tersebut tidak atau belum mengatur hal yang demikian, maka pengangkatan dan masa jabatan Jaksa Agung untuk keadaan yang sekarang sedang berlangsung tidak dapat dikatakan illegal, misalnya dengan alasan, karena bertentangan dengan pandangan tersebut. Alasannya, pada saat menetapkan jabatan Jaksa Agung yang sekarang memang tidak ada ketentuan dalam Undang-Undang yang mengharuskan Presiden memilih alternatif tersebut, sehingga tidak ada masalah keabsahan, baik konstitusionalitas maupun legalitas. Dalam hal yang demikian maka Mahkamah dapat menerima pandangan Ahli dari Pemerintah Prof. Dr. Philipus M. Hadjon tentang asas praesumptio iustae causa bahwa selama belum ada Keputusan Presiden tentang pemberhentian maka jabatan Jaksa Agung tetap melekat kepada yang bersangkutan. Pandangan Mahkamah tentang ini didasarkan pada fakta hukum bahwa Undang-Undang sendiri tidak mengaturnya secara tegas, tidak memberi kepastian hukum yang imperatif kepada Presiden, sehingga pilihan kebijakan Presiden tentang hal tersebut tidak dapat dinilai bertentangan dengan Undang-Undang. Dengan kata lain, karena isi Undang-Undang itu sendiri bersifat terbuka dan tidak jelas, maka penerusan jabatan Jaksa Agung oleh Presiden dalam perkara a quo tidak dapat diartikan inkonstitusional dan jabatan Jaksa Agung sekarang tidak dapat dikatakan illegal (melainkan legal) karena tidak ada Undang-Undang yang dilanggar. Pandangan ketiga Ahli yang diajukan oleh Pemohon hanya dapat mengikat setelah pengucapan putusan Mahkamah ini dan/atau setelah ada Undang-Undang baru yang mengaturnya secara lebih tegas tentang keharusan atau larangan yang seperti itu.
Bahwa oleh karena telah terjadi ketidakpastian hukum dari Pasal 22 ayat (1) huruf d UU 16/2004, maka sejak diucapkannya putusan ini Mahkamah memberi tafsir yang pasti mengenai masa jabatan Jaksa Agung sampai dengan dilakukannya legislative review oleh pembentuk Undang-Undang yang syarat-syarat konstitusionalitasnya akan ditegaskan dalam amar putusan ini. Bahwa oleh karena kepastian penafsiran ini baru diberikan pada saat diucapkannya putusan ini dan sesuai dengan ketentuan Pasal 58 UU MK, serta Pasal 38 dan Pasal 39 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang bahwa putusan Mahkamah berlaku ke depan (prospektif) sejak selesai diucapkan maka untuk masalah periode (awal dan berakhirnya) jabatan Jaksa Agung sebelum putusan ini diucapkan tidak terkait dengan konstitusionalitas atau legalitas; sebab jabatan Jaksa Agung sebelum diucapkannya putusan ini memang diambil dari salah satu kemungkinan yang dapat dipilih sebagai tafsir yang kemudian menjadi persoalan konstitusional dan dimintakan judicial review oleh Pemohon sehingga memerlukan penafsiran dari Mahkamah.
Bahwa untuk menentukan masa tugas pejabat negara sebagai pejabat publik harus ada kejelasan kapan mulai diangkat dan kapan saat berakhirnya masa tugas bagi yang bersangkutan agar ada jaminan kepastian hukum sesuai dengan kehendak konstitusi. Menurut Mahkamah, sekurang-kurangnya ada empat alternatif untuk menentukan kapan mulai diangkat dan saat berhentinya pejabat negara menduduki jabatannya in casu Jaksa Agung, yaitu, pertama, berdasar periodisasi Kabinet dan/atau periode masa jabatan Presiden yang mengangkatnya; kedua, berdasar periode (masa waktu tertentu) yang fixed tanpa dikaitkan dengan jabatan politik di kabinet; ketiga, berdasarkan usia atau batas umur pensiun dan; keempat, berdasarkan diskresi Presiden/pejabat yang mengangkatnya. Oleh karena ternyata tidak ada satu pun dari alternatif tersebut yang secara tegas dianut dalam Undang-Undang a quo, maka menurut Mahkamah, ketentuan “karena berakhir masa jabatannya” sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) huruf d UU 16/2004 itu memang menimbulkan ketidakpastian hukum. Mahkamah berpendapat pula bahwa karena ketidakpastian hukum itu bertentangan dengan konstitusi maka seharusnya pembentuk Undang-Undang segera melakukan legislative review untuk memberi kepastian dengan memilih salah satu dari alternatif-alternatif tersebut. Namun karena legislative review memerlukan prosedur dan waktu yang relatif lama, maka sambil menunggu langkah tersebut Mahkamah memberikan penafsiran sebagai syarat konstitusional (conditionally constitutional) untuk berlakunya Pasal 22 ayat (1) huruf d UU 16/2004 tersebut yang dinyatakan berlaku prospektif sejak selesai diucapkannya putusan ini.
Bahwa berdasarkan seluruh uraian di atas, menurut Mahkamah, permohonan Pemohon sepanjang Pasal 22 ayat (1) huruf d UU 16/2004 agar dinyatakan conditionally constitutional beralasan untuk dikabulkan. Artinya, pasal a quo dinyatakan konstitusional dengan syarat diberi tafsir tertentu oleh Mahkamah, yaitu masa jabatan Jaksa Agung berakhir bersamaan dengan berakhirnya masa jabatan Presiden yang mengangkatnya atau diberhentikan oleh Presiden dalam masa jabatannya dalam periode yang bersangkutan. Hal ini sejalan dengan praktik ketatanegaraan sebagaimana yang disampaikan oleh Saksi Prof. Erman Rajagukguk, S.H., L.L.M., Ph.D dalam keterangan affidavitnya. Bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum yang diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat sebagian dalil permohonan Pemohon beralasan menurut hukum.

Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion)
Dalam perkara Nomor 49/PUU-VIII/2010 terdapat dissenting opinion dari 2 (dua) hakim MK, yaitu Hakim Konstitusi Achmad Sodiki dan Hakim Konstitusi Harjono, sebagai berikut:

a. Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion) Hakim Konstitusi Achmad Sodiki
Pasal 22 ayat (1) huruf d UU 16/2004 berbunyi Jaksa Agung diberhentikan karena “berakhir masa Jabatannya”. Ketentuan demikian bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945, sepanjang tidak ditafsirkan sesuai masa jabatan Presiden dan masa jabatan kabinet. Pasal ayat (3) UUD 1945 berbunyi, “Negara Indonesia adalah negara hukum” dan Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 berbunyi, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
Pemohon tidak menguraikan lebih jauh alasannya mengapa bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 tetapi lebih banyak menguaraikan pasal yang dimohonkan pengujian itu dengan pasal 28 D ayat (1) UUD 1945. Oleh sebab itu pendapat ini akan menguraikan dari sisi alasan yang kedua tersebut. Alasan Pemohon (halaman 31) Pasal a quo menjadi inkonstitusional jika tidak memiliki penafsiran yang pasti. Pemohon beranggapan bahwa pasal tersebut tidak menjamin kepastian hukum sehingga secara faktual telah mengakibatkan pemohon dirugikan hak hak konstitusionalnya, karena Jaksa Agung Hendarman Supanji (HS) merupakan Jaksa Agung yang tidak sah tetapi melakukan perbuatan dalam proses pidana terhadap Pemohon.
Ketidakpastian itu bermula dari bunyi Pasal a quo yang tidak dapat dipastikan tentang lamanya masa jabatan Jaksa Agung, Jaksa Agung HS setelah habis masa bakti Presiden Susilo Bambang Yudoyono pada Kabinet Indonesia Bersatu I tidak diangkat kembali menjadi Jaksa Agung pada periode Kabinet Indonesia Bersatu II.
Pasal 19 UU 16/2004 menyatakan, “Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden”. Subjek kalimat ini adalah Presiden sedangkan objeknya adalah Jaksa Agung. Jarak antara diangkat dan diberhentikan itulah masa jabatan Jaksa Agung. Karena pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung adalah hak prerogatif Presiden, maka terdapat kemungkinan, seorang Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan sesuai dengan masa jabatan Presiden, atau kurang dari masa jabatan presiden.
Akan tetapi seorang Jaksa Agung, sekalipun ia juga pembantu Presiden sebagaimana kedudukan menteri, tetapi jelas terdapat perbedaannya dengan seorang menteri. Pertama, dari segi Undang-Undang yang mengatur berbeda antara keduanya. Kedua, Menteri menteri terkena masa demisioner menjelang berakhirnya masa jabatan kebinet, sedangkan seorang jaksa agung tidak mengenal demisioner. Ia tetap menjalankan jabatannya tidak kurang dan tidak lebih sewaktu para Menteri didemisionerkan.
Yang menjadi masalah adalah apakah setelah masa jabatan Presiden berakhir, ia juga berakhir jabatannya? Jika ia tidak berakhir apakah menimbulkan ketidakpastian hukum? Bahwa pengangkatan Jaksa Agung dilakukan dengan Keputusan Presiden, maka berhentinya Jaksa Agung juga dengan menerbitkan Keputusan Presiden. Sepanjang belum ada Keputusan Presiden yang memberhentikannya maka yang bersangkutan tetap sah sebagai Jaksa Agung. Jaksa Agung adalah suatu jabatan yang terus ada/awet (duurzaam), orang yang menjabat Jaksa Agung boleh berganti-ganti. Timbulnya jabatan yang disandang oleh sesorang karena hukum, maka hilangnya jabatan yang disandang oleh seseorang juga karena hukum.
Apakah norma Pasal 22 ayat (1) huruf d yang berbunyi, ”berakhir masa jabatannya”, karena tidak diatur lebih lanjut oleh Undang-Undang tersebut mengandung ketidakpastian hukum? Berdasarkan Pasal 19 UU 16/2004, karena Presiden mengangkat dan memberhentikan Jaksa Agung, maka tidak bisa diartikan bahwa masa jabatan Jaksa Agung tidak tak terbatas, batasnya adalah diantara diangkat dan diberhentikan. Masa jabatan itu tidak ditentukan berdasarkan ukuran tahun, bulan atau hari. Ukuran masa jabatan itu ditentukan oleh Presiden sepanjang Presiden masih mempertahankan dan mempercayai yang bersangkutan sebagai Jaksa. Jika menurut hukum tenggang waktu jabatan Presiden habis, maka kewenangan untuk memberhentikan Jaksa Agung beralih kepada Presiden yang baru. Hal itu tidak otomatis mengakhiri Kepres pengangkatan Jaksa Agung. Jaksa Agung tidak ikut demisioner (ineffected), diperlukan agar tidak menimbulkan persoalan kekosongan. Dari sudut pandangan Dworkin, Pasal 19 UU 16/2004 merupakan ”principles” yang merupakan a standart not because it will advance or serve an economic, political or social situation deemed desirable, but because it is a requirement of justice or fairness or some other dimension of reality, sedangkan Kepres Pengangkatan Jaksa Agung mengandung suatu ”policy” sebagai sarana, antara lain, untuk mencapai tujuan politik. Justru hal ini mencegah timbulnya ketidakpastian hukum. Hal yang demikian memberikan ruang gerak yang fleksibel bagi Presiden untuk penanganan masalah yang spesifik dalam wilayah wewenang Jaksa Agung. Spesifikasi masalah tersebut juga ditemui pada wilayah wewenang Kepolisian dan Angkatan Bersenjata, penggantian Kepala Kepolisian dan Penglima TNI juga mengikuti alur yang berbeda dengan penggantian Menteri.
Berkenaan dengan kepastian hukum bahwa oleh karena Keppres Pengangkatan Jaksa Agung masih tetap berlaku sampai dengan terbitnya Kepres baru tentang pemberhentiannya nanti, maka tidak ada persoalan kepastian hukum. Kepastian hukum dari sisi lain dapat diartikan sebagai suatu tentang sesuainya antara das sein dan das sollen. Das sollen menyatakan bahwa Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dan telah diterbitkan Kepresnya oleh Presiden yang sama sekalipun periodenya berbeda, das sein memang senyatanya secara de facto dan de jure efektif memegang jabatan tersebut. Pendapat bahwa Jaksa Agung akan menolak diberhentikan dari jabatannya karena alasan tidak diaturnya lama masa jabatan Jaksa Agung jelas tidak sesuai dengan hak prerogatif Presiden dan bertentangan dengan Pasal 19 UU 16/2004.
Tidak pernah ada praktek ketetanegaraan di Indonesia selama ini Jaksa Agungnya tidak mau diberhentikan oleh Presiden, karena memang Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Selama aturannya belum berubah ke depan saya percaya tidak akan ada Jaksa Agung yang menolak diberhentikan oleh Presiden, walaupun masa jabatannya tidaak diatur secara ketat dalam undang-undang. The life of law has not always been logic it has been experience.

b. Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion) Hakim Konstitusi Harjono
Pokok persoalan hukum utamanya dalam kasus a quo adalah apakah ketentuan dalam Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan yang menyatakan Jaksa Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena: “…berakhir masa jabatannya” bertentangan dengan UUD. Masa jabatan adalah suatu rentang waktu yang menentukan kapan suatu jabatan dimulai dan kapan suatu jabatan berakhir dan rentang waktu tersebut ditetapkan dalam ketentuan hukum. Pemuatan masa jabatan dalam suatu ketentuan UU akan menimbulkan konsekuensi yuridis yaitu menimbulkan hak bagi pemegang jabatan. Namun hal demikian tidaklah berarti hak tersebut menjadi hak mutlak karena UU biasanya juga memuat ketentuan seseorang yang belum habis masa jabatannya karena sebab-sebab tertentu dapat diberhentikan dalam masa jabatannya.
Penentuan masa jabatan dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu:
a. Periodesasi yaitu menentukan masa jabatan dalam rentang atau kurun waktu tertentu, sebagai misal ketentuan UUD untuk masa jabatan Presiden selama lima tahun, demikian juga untuk anggota DPR lima tahun.
b. Dibatasi umur yaitu apabila pemegang jabatan telah mencapai umur tertentu maka jabatannya akan berakhir. Hal demikian ditentukan untuk masa jabatan hakim agung.
c. Kombinasi antara periodesasi dan umur yang diterapkan untuk jabatan hakim Mahkamah Konstitusi diangkat untuk masa jabatan lima tahun, tetapi apabila belum sampai lima tahun ternyata seorang hakim MK telah berumur enampuluh tujuh tahun maka ia harus berhenti.
Dalam kaitannya dengan ketentuan yang dimuat dalam Pasal 22 ayat (1) huruf d tersebut, apabila masa jabatan yang ditentukan untuk Jaksa Agung memilih salah satu dari tiga cara di atas, tidaklah mempunyai persoalan konstitusionalitas, artinya tidak ada dasar konstitusi untuk mengatakan bahwa hanya cara atau model tertentu saja yang konstitusional sedangkan yang lain tidak. Permasalahan hukum timbul karena meskipun Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan menyebut Presiden memberhentikan dengan hormat Jaksa Agung karena berakhir masa jabatannya, namun UU kejaksaan tidak menentukan rentang atau kurun waktu masa jabatan Jaksa Agung, sehingga dapat menimbulkan ketidakjelasan yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Untuk dapat menentukan kedudukan Pasal 22 ayat (1) huruf d tersebut haruslah dikaitkan dengan ketentuan lain yang terdapat dalam UU Kejaksaan secara keseluruhan, karena substansi ayat a quo tidak dapat berdiri sendiri.
UU Kejaksaan membedakan antara jaksa dan Jaksa Agung, yaitu bahwa jaksa dijabat oleh seseorang melalui jalur karier oleh karenanya mempunyai persyaratan tertentu, memiliki ijazah sarjana hukum, adanya batas umur terendah dan tertinggi, serta sudah berstatusnya sebagai pegawai negeri (vide Pasal 6 UU Kejaksaan), sedangkan untuk Jaksa Agung tidak terdapat syarat pembatasan umur, demikian juga tidak disyaratkan sudah berstatus pegawai negeri (vide Pasal 20 UU Kejaksaan). Pertanyaannya adalah bahwa di antara banyak orang yang memenuhi syarat untuk menjadi Jaksa Agung, akhirnya siapa yang menjabat Jaksa Agung? UU Kejaksaan mengatur bahwa Presidenlah yang mengangkat Jaksa Agung (vide Pasal 19 UU Kejaksaan).
Dengan memperhatikan ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa jabatan Jaksa Agung termasuk dalam apa yang disebut sebagai ”political appointees” oleh Presiden atau disebut sebagai hak prerogatif Presiden. Berdasarkan atas ajaran pembagian kekuasaan, fungsi dan tugas Jaksa Agung masuk dalam rumpun eksekutif. Oleh karenanya, sangatlah tepat kalau jabatan Jaksa Agung termasuk jabatan political appointees dari Presiden. Sebagai perbandingan tentang kedudukan dan masa jabatan, Attorney General di Amerika Serikat dikatakan sebagai ”serves at the pleasure of the President and can be removed by the President at any time”. Pasal 19 UU Kejaksaan jelas menganut sistem yang demikian.
Bahwa di dalam sistem UUD 1945, menteri –menteri negara termasuk dalam jabatan political appointees. Oleh karenanya, seorang menteri ”…serves at the pleasure of the President and can be removed by the President at any time...”. Karena jabatan Presiden selama lima tahun, maka dalam jangka lima tahun itulah political appointees apakah menteri atau Jaksa Agung ”serve at the pleasure of the President...”. Namun hal demikian tidaklah berarti bahwa secara bersamaan pada saat yang sama dan dengan serta-merta jabatan menteri atau Jaksa Agung berhenti pada saat Presiden yang mengangkatnya habis masa jabatannya yaitu dengan pelantikan Presiden berikutnya. Dalam keadaan yang demikian, kita mengenal istilah kabinet demisioner yaitu keadaan menunggu di mana akan diangkat menteri-menteri anggota kabinet yang baru. Pemerintahan atau kabinet dalam kurun waktu demikian itu pada posisi “limbo time” yaitu suatu keadaan “neither on duty nor off duty” dan seorang menteri yang menunggu untuk digantikan tidak akan melakukan tindakan penting atau membuat kebijakan baru. Ia hanya melakukan tugas “to take care” saja. Keadaan limbo tersebut harus diberlakukan secara berbeda kepada Jaksa Agung karena Jaksa Agung mempunyai kewenangan dalam penegakan hukum yang diberikan secara atributif kepadanya oleh UU dan kewenangan tersebut tidak dapat digantikan oleh orang lain. Dalam pelaksanaannya, kadang kewenangan tersebut harus dilakukan secara tepat waktu, tidak dapat ditunda. Karena memiliki tanggung jawab tersebut, maka jabatan Jaksa Agung seharusnya tidak akan lowong sedetik pun. Kewenangan dan tanggung jawab tersebut sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 11 ayat (1) huruf c UU Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian yang berkaitan dengan Pencegahan, menyatakan bahwa wewenang dan tanggung jawab pencegahan dilakukan oleh Jaksa Agung sepanjang menyangkut pelaksanaan ketentuan Pasal 32 huruf g UU Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Setelah perubahan UU Kejaksaan, kekuasaan Jaksa Agung mengenai pencegahan tersebut diatur dalam Pasal 35 huruf f UU Nomor 16 Tahun 2004 yang menyebutkan Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang mencegah dan menangkal orang tertentu untuk masuk atau keluar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia karena keterlibatannya dalam perkara pidana sesuai dengan peraturan perundangan-undangan. Dengan demikian, karena kekhususan tugas Jaksa Agung dalam penegakan hukum, maka meskipun dalam limbo time, Jaksa Agung masih tetap mempunyai kewenangan penuh tidak sebagaimana kewenangan seorang menteri pada umumnya.
Bahwa memang benar seseorang yang menjabat itu harus ada akhir masa jabatannya, dan Jaksa Agung termasuk dalam jabatan political appointees dari Presiden. Namun karena kekhususan tugas dan kewenangannya, maka tidak secara serta merta jabatan Jaksa Agung harus berakhir bersama-sama dengan berakhirnya masa jabatan Presiden yang mengangkatnya, tetapi akan berakhir pada saat telah ditunjuk dan diserahterimakan jabatan Jaksa Agung kepada pengganti Jaksa Agung yang baru. Hal demikian dilakukan untuk menghindari kekosongan Jaksa Agung karena Jaksa Agung diberi kewenangan atributif oleh UU yang tidak dapat digantikan oleh orang lain dan kewenangan tersebut sangat penting dalam rangka penegakan hukum.
Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas yang menurut UU Nomor 16 Tahun 2004 Jaksa Agung termasuk jabatan political appointees dari Presiden dan karena tugasnya yang mempunyai kekhususan dalam bidang penegakan hukum, maka keberadaan Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004 adalah sangat mengganggu sistem yang dibangun dalam UU Nomor 16 Tahun 2004 itu sendiri dan ternyata ketentuan tersebut “menggantung“ (dangling) karena tidak terhubung dengan ketentuan lain yang ada dalam UU Nomor 16 Tahun 2004. Untuk menghindari ketidaksinkronan keberadaan Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004 dengan ketentuan lain dalam UU tersebut yang dapat menimbulkan kerancuan hukum dan ketidakpastian, maka menurut pendapat Hakim Konstitusi Harjono, ketentuan tersebut seharusnya dihapuskan. Setelah dihapuskannya bagian huruf d dari Pasal 22 ayat (1) tersebut, maka ketentuan yang terdapat dalam Pasal 22 ayat (1) UU tersebut harus ditafsirkan bahwa Jaksa Agung yang berhenti berdasarkan alasan yang disebut dalam Pasal 22 ayat (1) berhak atas pemberhentian dengan hormat oleh Presiden, dan bukan ditafsirkan sebagai pembatasan kepada Presiden untuk memberhentikan Jaksa Agung dengan hormat hanya berdasarkan alasan-alasan yang tercantum dalam Pasal 22 ayat (1). Sedangkan pemberhentian sewaktu-waktu oleh Presiden terhadap Jaksa Agung, didasarkan atas kewenangan Presiden pada Pasal 19 UU Nomor 16 Tahun 2004 karena Jaksa Agung adalah termasuk dalam jabatan political appointees. Pemberian makna Pasal 22 ayat (1) dengan cara “conditionally constitutional” masih menyisakan persoalan karena tidak jelasnya apa sebetulnya yang dimaksud dengan “berakhir masa jabatannya“ itu.

1.2 Pendapat Hukum MK dalam Perkara Nomor 29/PUU-XIV/2016
Pasal yang dimohonkan untuk diuji dalam Perkara Nomor 29/PUU-XIV/2016, yaitu Pasal 35 huruf c berikut penjelasannya UU Kejaksaan terhadap Pasal 28A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (1) dan ayat (2) UUD Tahun 1945. Terhadap permohonan pengujian pasal a quo Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
Dalam sistem hukum dikenal dua asas, yaitu asas legalitas dan asas oportunitas. Asas legalitas memiliki pengertian bahwa semua perkara yang cukup bukti dilimpahkan ke Pengadilan. Negara yang menganut asas legalitas, antara lain, Jerman, Austria, Italia, Spanyol, Portugal, Swedia. Adapun asas oportunitas adalah asas yang memiliki pengertian bahwa tidak semua perkara dilimpahkan ke pengadilan namun dapat dihentikan penuntutannya demi kepentingan hukum oleh Jaksa. Negara yang menganut asas oportunitas, antara lain, Belanda, Perancis, Belgia, Jepang, termasuk Indonesia.
Menurut Soepomo, “baik di negeri Belanda maupun di Hindia Belanda yang berlakku asas oportunitas dalam tuntutan pidana itu artinya badan penuntut umum berwenang tidak melakukan suatu penuntutan jikalau adanya tuntutan itu dianggap idak “opportuun” tida guna kepentingan masyarakat” (Soepomo, Sistem Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia II, Pradnya Pramita, Jakarta, 1981, hal.137). Pemberlakuan asas oportunitas di Indonesia tertuang di dalam Pasal 167 Strafvordering 1926 dan Rgelement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie (RO). Dengan demikian, asas tersebut berlaku di Indonesia sudah sejak zaman Hindia Belanda dan tetap dipertahankan hingga saat ini. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah asas oportunitas tersebut bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Asas oportunitas yang dianut dalam sistem hukum Indonesia tidak dimaksudkan untuk mengabaikan hak konstitusional warga negara yang dijamin oleh UUD 1945, apalagi menghilangkan hak konstitusional warga negara. Asas oportunitas adalah asas yang terdapat dalam sistem hukum yang dianut oleh banyak negara yang juga menjunjung tinggi hak asasi manusia, seperti Belanda dan Perancis. Bahkan di Amerika Serikat yang dalam sistem hukumnya tidak menganut asas legalitas dan asas oportunitas dalam praktiknya menerapkan asas diskresi penuntutan, sedangkan di Inggris yang juga tidak menganut asas legalitas dan asas oportunitas menerapkan penyampingan perkara (vide keterangan ahli Presiden Prof. Dr. Andi Hamzah, SH). Dengan demikian, baik asas legalitas maupun asas oportunitas atau tidak memilihi kedua asas tersebut merupakan pilihan pembentuk Undang-Undang dari masing-masing negara. Oleh karena Indonesia dalam sistem hukumnya memilih menganut asas oportunitas maka pilihan tersebit merupakan pilihan yang tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Pengesampingan perkara demi kepentingan umum atau yang dikenal dengan seponering merupakan salah satu tugas dan wewenang yang diberikan oleh Undang-Undang terhadap Jaksa Agung (vide Pasal 35 huruf c UU 16/2004). Mengesampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan asas oportunitas yang hanya dapat dilakukan Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut. Wewenang Jaksa Agung untuk melakukan seponering adalah wewenang yang diperoleh secara atribusi atau wewenang yang langsung diberikan oleh undang-undang dal hal ini UU 16/2004. Wewenang seponering tersebut merupakan pelaksanaan asas oportunitas (vide Penjelasan Pasal 35 huruf c UU 16/2004) yang merupakan bagian dari asas diskresi (freies ermesen) oleh Jaksa Agung untuk menuntut atau tidak menuntut perkara.
Dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU 48/2009), ditentukan bahwa kejaksaaan merupakan salah satu badan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasan kehakiman (vide Pasal 38 UU 48/2009 dan Penjelasannya). Fungsi Jaksa dalam kaitannya dnegan kekuasaan kehakiman antara lain, melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan dalam penegakan hukum pidana. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sebagai satu-satunya pemegang kewenangan penuntutan (dominus litis), Jaksa wajib melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut, disertai dengan surat dakwaan. Namun Jaksa juga dapat menghentikan penuntutan,jika perkara tidak cukup bukti, perkara yang diperiksa ternyata bukan perkara pidana, atau perkara ditutup demi hukum (vide Pasal 140 KUHAP).
Kewenangan seponering dalam Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan tidak dimaksudkan untuk menghilangkan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum (equality before the law) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan tidak pula untuk memperlakukan secara diskriminatif antara warga negara yang satu dengan warga negara yang lain. Pasal 35 huruf c UU 16/2004 tersebut diterapkan oleh Jaksa Agung demi kepentingan umum, dalam hal ini demi kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas. Menurut Mahkamah yang menjadi persoalan justru kewenangan Jaksa Agung yang besar tersebut hanya memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut (vide Penjelasan Pasal 35 huruf c UU 16/2004).
Bahwa memang tidak ada satu pasal pun dalam UUD 1945 yang memberikan kewenangan atau dapat digunakan sebagai dasar pembenar untuk dapat diterapkannya asas oportunitas dalam penegakan hukum pidana di Indonesia, akan tetapi bukan berarti penerapan asas oportunitas menjadi bertentangan dengan UUD 1945. Jika logika Pemohon yang digunakan maka pembentukan lembaga yang tidak diatur dalam UUD 1945 menjadi bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu, logika Pemohon bahwa asas oportunitas tidak diatur dalam UUD 1945 sehingga bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak tepat. Menurut Mahkamah, seponering yang merupakan pelaksanaan asas oportunitas adalah tidak bertentangan dengan UUD 1945 meskipun hal itu tidak diatur dalam UUD 1945.
Kewenangan seponering yang diatur dalam Pasal 35 huruf c UU 16/2004 tetap diperlukan dalam penegakan hukum pidana di Indonesia, hanya saja agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang oleh Jaksa Agung mengingat kewenangan yang besar tersebut maka perlu dilakukan pembatasan yang ketat atas keberlakuan pasal a quo supaya tidak melanggar atau bertentangan dengan hak-hak konstitusional maupun hak asasi manusia pada umumnya yang dijamin dalam UUD 1945.
Dari Penjelasan Pasal 35 huruf c UU 16/2004, diperoleh pemahaman bahawa (i) “kepentingan umum” diartikan sebagai “kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas” dan “seponering hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut.” Oleh karena kepentingan umum diartikan “kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas” dan tidak dijelaskan lebih lanjut batasan kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas dalam Penjelasan Pasal 35 huruf c UU 16/2004, sehingga dapat diartikan secara luas oleh Jaksa Agung selaku pemegang kewenangan seponering. Bahwa kewenangan tersebut sangat rentan untuk diartikan sesuai dengan kepentingan dari Jaksa Agung, meskipun dalam menerapkan seponering Penjelasan Pasal 35 huruf c UU 16/2004 menyatakan, “setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut.”
Namun pada faktanya, saran dan pendapat dari badan kekuasaan negara a quo seakan-akan sama sekali tidak mengikat dan Jaksa Agung hanya memperhatikan. Artinya, kewenangan melakukan seponering benar-benar menjadi suatu kewenangan penuh yang dapat diambil oleh Jaksa Agung. Oleh karena itu, untuk melindungi hak konstitusional warga negara yang dijamin oleh UUD 1945 dalam penerapan seponering, Mahkamah perlu memberi penafsiran terhadap Penjelasan Pasal 35 huruf c UU 16/2004 agar tidak bertentangan dengan UUD 1945, yaitu bahwa frasa “setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekusaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut” harus dimaknai, “Jaksa Agung wajib memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut.” Tafsiran tersebut dibutuhkan supaya ada ukuran yang jelas dan ketat dalam penggunaan kewenangan seponering oleh Jaksa Agung karena terhadap kewenangan seponering tersebut tidak terdapat upaya hukum lain untuk membatalkannya kecuali Jaksa Agung itu sendiri, meskipun kecil kemungkinan hal itu dilakukan. Selain itu, penafsiran tersebut perlu dilakukan oleh Mahkamah karena seponering berbeda halnya dengan penghentian penuntutan. Terhadap penghentian penuntutan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 140 ayat (2) KUHAP, terdapat upaya hukum praperadilan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 77 huruf a KUHAP dan Putusan Manhkamah Nomor 21/PUU-XII/2014, bertanggal 28 April 2015. Bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah berpendapat dalil para pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.

2. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi
Secara umum putusan Mahkamah Konstitusi bersifat declaratoir dan constitutief. Declaratoir artinya putusan dimana hakim sekedar menyatakan apa yang menjadi hukum, tidak melakukan penghukuman. Constitutief artinya suatu putusan yang menyatakan tentang ketiadaan suatu keadaan hukum dan/atau menciptakan suatu keadaan hukum yang baru (revisi UU menyesuaikan dengan Putusan MK). Kekuatan mengikat putusan MK mengikat bagi semua orang, lembaga negara dan badan hukum dalam wilayah NKRI. Putusan MK berlaku sebagai hukum sebagaimana hukum diciptakan pembuat undang-undang/negative legislator yang putusannya bersifat erga omnes.
Putusan Mahkamah Konstitusi berisikan pernyataan apa yang menjadi hukum dan sekaligus dapat meniadakan keadaan hukum dan menciptakan suatu keadaan hukum baru. Dalam perkara pengujian undang-undang atau judicial review, putusan yang mengabulkan bersifat declaratoir karena menyatakan apa yang menjadi hukum dari suatu norma undang-undang, yaitu bertentangan dengan UUD 1945. Pada saat bersamaan, putusan ini meniadakan keadaan hukum berdasarkan norma yang dibatalkan dan menciptakan keadaan hukum baru (constitusief).

3.1 Implikasi Putusan MK dalam Perkara Nomor 49/PUU-VIII/2010

Dalam perkara ini pasal yang diujikan adalah Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan yang menyebutkan;
Pasal 22
“(1) Jaksa Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena:
a. …;
b. …;
c. …;
d. berakhir masa jabatannya;
e. … .”

Pasal a quo menurut anggapan pemohon bertentangan dengan Pasa 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945.
Menurut pemohon, rumusan Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan menimbulkan ketidakjelasan dan ketidakpastian hukum karena di dalam UU Kejaksaan tidak diatur masa jabatan Jaksa Agung. Pasal 22 ayat (1) UU Kejaksaan pada akhirnya tidak menentukan secara tegas batas waktu masa jabatan Jaksa Agung. Pasal tersebut dapat ditafsirkan, jika tidak meninggal dunia, tidak mengajukan permintaan untuk berhenti, tidak sakit jasmani atau rohani terus menerus, tetap memenuhi syarat sebagai Jaksa Agung, maka seorang Jaksa Agung tidak dapat diberhentikan oleh Presiden, karena UU Kejaksaan tidak mengatur kapan akhir masa jabatannya. Keadaan ini berpotensi menjadikan seorang Jaksa Agung akan memangku jabatan seumur hidup. Padahal, dalam negara hukum yang demokratis segala jabatan negara haruslah dibatasi jangka waktunya. Bahkan terhadap jabatan Presiden secara tegas diatur oleh Pasal 7 UUD 1945. Kalaulah masa jabatan Presiden telah dibatasi, tidaklah mungkin akan ada Jaksa Agung yang dapat memegang jabatannya seumur hidup.
Terhadap permohonan pemohon tersebut majelis hakim MK memberikan putusan dengan mengabulkan sebagian permohonan pemohon, yakni Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “masa jabatan Jaksa Agung itu berakhir dengan berakhirnya masa jabatan Presiden Republik Indonesia dalam satu periode bersama-sama masa jabatan anggota kabinet atau diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Presiden dalam periode yang bersangkutan.”
Putusan Majelis Hakim MK tersebut telah menimbulkan implikasi yuridis, yakni adanya pembatasan masa jabatan Jaksa Agung yakni dengan berakhirnya masa jabatan Presiden Republik Indonesia dalam satu periode bersama-sama masa jabatan anggota kabinet, atau diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Presiden dalam periode yang bersangkutan. Hal tersebut berlaku sampai dengan dilakukannya legislative review oleh pembentuk undang-undang.
Di dalam UU Kejaksaan tidak diatur mengenai usia pensiun dari Jaksa Agung. Hal yang diatur dalam UU Kejaksaan adalah mengenai usia pensiun dari Jaksa, yakni 62 (enam puluh dua) tahun. Terkait dengan Putusan MK mengenai berakhirnya masa jabatan Jaksa Agung yang berakhir dengan berakhirnya masa jabatan Presiden Republik Indonesia dalam satu periode bersama-sama masa jabatan anggota kabinet, akan muncul permasalahan jika Jaksa Agung yang diangkat oleh Presiden berasal dari jaksa karir yang akan memasuki usia pensiun dalam suatu periode masa jabatan Presiden. Apakah dalam hal ini, Presiden akan memberhentikan Jaksa Agung sesuai usia pensiun Jaksa, atau tetap akan menjabat Jaksa Agung sampai dengan berakhirnya masa jabatan Presiden. Pengaturan mengenai usia pensiun Jaksa Agung ini berbeda dengan pengaturan usia pensiun hakim agung dalam UU Mahkamah Agung. Di dalam UU Mahkamah Agung, diatur masa usia pensiun hakim agung, yakni 70 (tujuh puluh) tahun. Masa usia pensiun tersebut berlaku untuk hakim agung yang berasal dari hakim karir maupun hakim agung yang berasal dari hakim non karir. Di dalam perubahan UU Kejaksaan nantinya perlu dipertimbangkan untuk memberi batasan usia pensiun bagi Jaksa Agung agar lebih menimbulkan kepastian hukum dalam pemberhentian Jaksa Agung.

3.2 Implikasi Putusan MK dalam Perkara Nomor 29/PUU-XIV/2016
Dalam perkara ini pasal yang diujikan adalah Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan beserta penjelasan pasalnya, yakni:
Pasal 35
“Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang:
a. …;
b. …;
c. mengesampingkan perkara demi kepentingan umum
d. …;
e. …;
f. ….”

Pasal a quo menurut anggapan pemohon bertentangan dengan Pasal 28A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Menurut pemohon, rumusan Pasal 35 huruf c dan penjelasannya sangat potensial merugikan pemohon, yakni timbulnya ketidakadilan serta perlakuan diskriminatif terhadap para pemohon, dan menghilangkan jaminan perlindungan maupun kepastian hukum serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Tindakan pengesampingan perkara penganiayaan itu jelas-jelas akan mengabaikan begitu saja hak asasi para pemohon.
Terhadap permohonan pemohon tersebut majelis hakim MK memberikan putusan dengan mengabulkan sebagian permohonan pemohon, yakni menyatakan frasa “mengesampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan atas asas oportunitas yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut” dalam penjelasan Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Jaksa Agung wajib memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut.”
Putusan Majelis Hakim MK tersebut telah menimbulkan implikasi yuridis bahwa sebelum Jaksa Agung mengeluarkan kebijakan mengesampingkan perkara demi kepentingan umum Jaksa Agung wajib memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut. Permasalahan akan timbul dalam hal badan-badan kekuasaan negara yang dimohonkan saran dan pendapat mengenai suatu kebijakan pengesampingan perkara demi kepentingan umum, memberikan saran dan pendapat yang berbeda satu sama lain. Jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU Kejaksaan dimana kekuasaan yang dilaksanakan oleh Kejaksaan Republik Indonesia dilaksanakan secara merdeka, maka apapun saran dan pendapat yang diberikan oleh badan-badan kekuasaan negara tersebut seharusnya tidak mengurangi kemerdekaan Jaksa Agung dalam melaksanakan kewenangan mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.

Dalam beberapa tahun terakhir, terjadi perkembangan yang menarik dalam pengujian undang-undang, khususnya dalam hal putusan yang dijatuhkan MK. Jika semula putusan hanya berupa amar yang mengabulkan permohonan, menyatakan permohonan tidak dapat diterima, dan menolak permohonan untuk sebagian atau seluruhnya dengan menyatakan suatu undang-undang, pasal, ayat atau frasa bertentangan dengan UUD 1945 dan menyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat (legally null and void), sebagaimana yang diatur dalam Pasal 56 ayat (3) dan Pasal 57 ayat (1) UU MK. Pada perkembangannya, MK pun menciptakan varian putusan yakni konstitusional bersyarat (conditionally constitutional), inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional), putusan yang menunda pemberlakuan putusan (limited constitutional), dan putusan yang merumuskan norma baru. Dengan keempat varian putusan ini seringkali MK dinilai telah mengubah perannya dari negative legislature menjadi positive legislature. Artinya, MK menjadikan dirinya sebagai kamar ketiga dalam proses legislasi karena tidak dapat dipungkiri varian-varian putusan tersebut dapat mempengaruhi proses legislasi di lembaga legislatif.
Putusan MK pada perkara 49/PUU-VIII/2010 yang menguji Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan memuat varian keputusan konstitusional bersyarat. Di dalam amar putusannya dinyatakan bahwa Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan adalah sesuai dengan UUD 1945 secara besyarat, yaitu konstitusional sepanjang dimaknai “masa jabatan Jaksa Agung itu berakhir dengan berakhirnya masa jabatan Presiden Republik Indonesia dalam satu periode bersama-sama masa jabatan anggota kabinet atau diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Presiden dalam periode yang bersangkutan”.
Sedangkan Putusan MK pada perkara 29/PUU-XIV/2016 yang menguji Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan beserta penjelasannya memuat varian keputusan inkonstitusional bersyarat. Di dalam amar putusannya dinyatakan bahwa frasa “mengesampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan atas asas oportunitas yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut” yang ada di dalam Penjelasan Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan, bertentangan dengan UUD NRI 1945 secara bersyarat, yakni jika tidak dimaknai “Jaksa Agung wajib memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan masalah tersebut.”
Dalam kedua putusan MK tersebut, MK memberikan tafsir berupa petunjuk, arah, dan pedoman serta syarat terhadap ketentuan dalam Pasal 22 ayat (1) huruf d dan penjelasan Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan. Jika tafsir yang ditentukan oleh MK dipenuhi, maka pasal tersebut tetap konstitusional. Akan tetapi, jika tafsir yang ditentukan oleh MK tidak terpenuhi, maka pasal tersebut menjadi inkonstitusional sehingga harus dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Perlu diketahui bahwa pada saat ini belum ada aturan mengenai tindak lanjut putusan MK yang lahir dari varian putusan konstitusional bersyarat, inkonstitusional bersyarat, dan putusan yang merumuskan norma baru. Berbeda dengan varian putusan yang menyatakan suatu materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian dari undang-undang yang ditelaah dinyatakan inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (legally null and void). Pemuatan putusan MK dalam Berita Negara sebagaimana ditentukan dalam pasal 57 ayat (3) UU MK dirasa cukup untuk diketahui secara umum bahwa seluruh penyelenggara negara dan warga negara terikat untuk tidak menerapkan dan melaksanakan lagi materi yang ditelah dinyatakan inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat tersebut sehingga jika dilanggar dapat dikualifisir sebagai perbuatan melawan hukum dan batal demi hukum sejak semula (ad initio).
Ketiadaan pengaturan tindak lanjut varian putusan konstitusional bersyarat dan putusan inkonstitusional bersyarat menjadikan putusan MK tersebut sebagai salah satu materi muatan dalam proses legislasi dan regulasi. Sejatinya dengan dijatuhkannya putusan konstitusional bersyarat ini, pembentuk Undang-Undang diharapkan dapat menyesuaikan ketentuan Undang-Undang yang diuji dengan tafsir Mahkamah Konstitusi sekaligus melakukan telaah terhadap ketentuan lain dalam Undang-Undang yang diuji apakah sudah sejalan dengan konstitusi atau belum.
Terkait dengan kedua putusan MK terkait UU Kejaksaan tersebut, hal yang harus diperhatikan oleh pembuat Undang-Undang adalah sebagai berikut:
1. Masa jabatan Jaksa Agung perlu diatur secara tegas agar tidak menimbulkan multi tafsir dan ketidakpastian hukum. Seperti diutarakan oleh Hakim Konstitusi Harjono dalam dissenting opinion – nya bahwa penentuan masa jabatan dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu:
a. Periodesasi yaitu menentukan masa jabatan dalam rentang atau kurun waktu tertentu, sebagai misal ketentuan UUD untuk masa jabatan Presiden selama lima tahun, demikian juga untuk anggota DPR lima tahun.
b. Dibatasi umur yaitu apabila pemegang jabatan telah mencapai umur tertentu maka jabatannya akan berakhir. Hal demikian ditentukan untuk masa jabatan hakim agung.
c. Kombinasi antara periodesasi dan umur yang diterapkan untuk jabatan hakim Mahkamah Konstitusi diangkat untuk masa jabatan lima tahun, tetapi apabila belum sampai lima tahun ternyata seorang hakim MK telah berumur enampuluh tujuh tahun maka ia harus berhenti.
Adapun MK dalam pertimbangan hukumnya memberikan 4 (empat) alternatif untuk menentukan kapan mulai diangkat dan saat berhentinya pejabat negara menduduki jabatannya, yaitu: pertama, berdasar periodisasi Kabinet dan/atau periode masa jabatan Presiden yang mengangkatnya; kedua, berdasar periode (masa waktu tertentu) yang fixed tanpa dikaitkan dengan jabatan politik di kabinet; ketiga, berdasarkan usia atau batas umur pensiun dan; keempat, berdasarkan diskresi Presiden/pejabat yang mengangkatnya.
2. Terkait dengan kewenangan Jaksa Agung untuk melakukan pengenyampingan perkara demi kepentingan umum, menurut MK yang menjadi persoalan adalah kewenangan Jaksa Agung yang besar tersebut hanya memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut. Oleh karenanya untuk melindungi hak konstitusional warga negara yang dijamin oleh UUD 1945 dalam penerapan kewenangan mengesampingkan perkara demi kepentingan umum, MK memberi penafsiran terhadap Penjelasan Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan agar tidak bertentangan dengan UUD 1945, yaitu bahwa frasa “setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut” harus dimaknai, “Jaksa Agung wajib memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut.” Dalam menyikapi putusan MK tersebut, pembentuk Undang-Undang harus memperhatikan ketentuan dalam Lampiran II UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Di dalam angka 177 Lampiran II UU No. 12 Tahun 2011 dinyatakan bahwa penjelasan tidak boleh mencantumkan rumusan yang berisi norma. Tafsiran MK atas Penjelasan Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan berisi norma yakni “Jaksa Agung wajib memperhatikan …” oleh karenanya di dalam revisi UU Kejaksaan yang baru, ada baiknya jika tafsir MK tersebut tidak diletakan dalam penjelasan pasal, melainkan di dalam batang tubuh yang diletakan setelah Pasal 35.

Pasal dalam UU Kejaksaan yang diujimaterilkan di MK dan dikabulkan permohonan uji materilnya adalah Pasal 22 ayat (1) huruf d dan Pasal 35 huruf c beserta penjelasannya. Implikasi dari adanya Putusan MK tersebut adalah bahwa masa jabatan Jaksa Agung perlu diatur secara tegas agar tidak menimbulkan multi tafsir dan ketidakpastian hukum serta adanya kewajiban bagi Jaksa Agung untuk memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang terkait sebelum melakukan pengesampingan perkara demi kepentingan umum.

Apabila pembuat Undang-Undang memutuskan untuk melakukan perubahan/penggantian UU Kejaksaan, maka perlu memperhatikan kedua Putusan MK yang menguji pasal dalam UU Kejaksaan yang telah memberikan tafsir terhadap Pasal 22 ayat (1) huruf d dan Penjelasan Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan.

Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi : Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan Dan Kawasan Permukiman / 01-12-2017

Indonesia merupakan negara hukum sebagaimana tercermin dalam Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945 yang menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah “rechtsstaat” itu mencakup empat elemen penting, yaitu perlindungan hak asasi manusia, pembagian kekuasaan, pemerintahan berdasarkan undang-undang, peradilan tata usaha negara.
Salah satu ciri dari negara hukum yaitu adanya jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Indonesia sebagai negara yang menganut konsep negara hukum juga memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (yang selanjutnya disingkat UUD NRI Tahun 1945). Pengaturan mengenai Hak Asasi Manusia (yang selanjutnya disebut HAM) diatur dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J UUD NRI Tahun 1945.
HAM menjadi suatu hak konstitusional yang statusnya lebih tinggi dalam hirarki norma hukum biasa. HAM tersebut memiliki kedudukan yang lebih tinggi karena ditempatkan dalam suatu konstitusi atau Undang-Undang Dasar. HAM diartikan sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan setiap manusia sebagai mahluk tuhan yang maha esa dan merupakn anugernya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintahan dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Salah satu HAM yang dijamin dalam UUD NRI Tahun 1945 yaitu hak untuk mendapatkan tempat tinggal. Pada dasarnya hak untuk mendapatkan tempat tinggal telah dijamin baik dalam pembukaan UUD NRI Tahun 1945 ataupun dalam norma pasal UUD NRI Tahun 1945. Dalam Alinea IV Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 dijelaskan mengenai tujuan dibentuknya NKRI yaitu melindungi segenap bangsa indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia; memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan asas kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Salah satu tujuan dibentuknya Negara Republik Indonesia ialah memajukan kesejahteraan umum, maka dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dilaksanakanlah pembangunan nasional yang hakikat dari pembangunan nasional itu adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh rakyat Indonesia yang menekankan pada keseimbangan pembangunan kemakmuran lahiriah dan kepuasan batiniah.
Jaminan untuk mendapatkan tempat tinggal juga diatur dalam Pasal 28 UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat”. Pada dasarnya hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, tempat tinggal dan lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi oleh negara. Pemenuhan terhadap hak dasar tersebut memiliki peran yang sangat yang mempunyai peran yang sangat strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa sebagai salah satu upaya membangun manusia Indonesia seutuhnya, berjati diri, mandiri, dan produktif.
Perumahan merupakan kebutuhan dasar di samping pangan dan sandang, oleh karena itu untuk memenuhi kebutuhan akan perumahan yang mengikat bersamaan dengan pertambahan penduduk diperlukan penanganan dengan perencanaan yang seksama disertai dengan keikutsertaan dana dan daya yang ada di masyarakat. Pada dasarnya setiap manusia dihadapkan pada 3 (tiga) kebutuhan dasar yaitu pangan (makanan), sandang (pakaian), dan papan (rumah) kebutuhan akan rumah sebagai tempat tinggal atau hunian baik di perkotaan maupun perdesaan terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Pada dasarnya pemenuhan kebutuhan akan rumah sebagai tempat tinggal atau hunian merupakan tanggung jawan masyarakat itu sendiri, namun demikian pemerintah, pemerintah daerah, dan pihak swasta yang bergerak di bidang pembangunan perumahan didodorng untuk membantu masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan akan rumah sebagai tampat tinggal atau hunian.
Salah satu pemenuhan kebutuhan dasar manusia akan tempat tinggal merupakan tanggung jawab negara untuk melindungi segenap bangsa Indonesia melalui penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman agar masyarakat dapat memiliki tempat tinggal serta menghuni rumah yang layak dan terjangkau di dalam perumahan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjuan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia, idealnya rumah harus dimiliki oleh setiap keluarga terutama bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah dan masyarakat yang padat penduduk di perkotaan. Selain itu juga negara bertanggungjawab menyediakan dan memberikan kemudahan dalam perolehan rumah bagi masyarakat melalui penyelenggaraan perumahan serta keswadayaan masyarakat.
Meskipun rumah merupakan kebutuhan dasar manusia, namun pada kenyataannya belum semua masyarakat dapat menikmati perumahan yang layak. Hal itu disebabkan oleh perbedaan perumbuhan dan perkembangan daerah dan perhatian pemerintah yang kecil terhadap masyarakat berpenghasilan rendah. Pada dasarnya pemenuhan kewajiban oleh negara untuk menyelenggarakan pembangunan perumahan dan permukiman bagi rakyatnya merupakan upaya untuk memenuhi hak-hak sipil dan politik (sipol), dan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya (ekosob) warga negara.
Pemenuhan atas tempat tinggal yang layak merupakan kewajiban pemerintah sesuai dengan ketentuan dalam The International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights yang diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Economic, Social And Cultural Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya). Disamping itu hak atas tempat tinggal juga dijamin dalam Pasal 40 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi:
“Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak”.
Hak atas tempat tinggal juga dijamin dalam Declaration of Human Rights (DUHAM) yang diatur dalam Pasal 25 ayat (1) yang menyatakan bahwa:
“Setiap orang berhak atas tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya, termasuk hak atas pangan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial yang diperlukan, dan berhak atas jaminan pada saat menganggur, menderita sakit, cacat, menjadi janda/duda, mencapai usia lanjut atau keadaan lainnya yang mengakibatkannya kekurangan nafkah, yang berada di luar kekuasaannya”.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat dikatakan jika hak untuk mendapatkan tempat tinggal atau pemukiman merupakan HAM yang harus dilindungi, dihormati, tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun. Pada dasarnya perumahan dan permukiman merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia dan faktor penting dalam peningkatan harkat dan martabat manusia, maka perlu adanya penciptaan kondisi yang dapat mendorong pembangunan perumahan untuk menjaga kelangsungan penyediaan perumahan dan permukiman.
Untuk memberikan jaminan terhadap pemenuhan kebutuhan atas perumahan dan kawasan pemukiman maka disusun Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1964 tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1962 tentang Pokok-Pokok Perumahan. Kemudian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1964 dinyatakan tidak berlaku dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman. Pada tahun 2011 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 diyatakan tidak berlaku dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.
Keberadaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman yang seharusnya memberikan jaminan pemenuhan rumah bagi semua warga masyarakat namun justru mempersulit masyarakat yang berpenghasilan rendah (MBR) untuk mendapatkan tempat tinggal karena adanya ketentuan mengenai luas lantai dari pembangunan rumah tunggal dan rumah deret sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman berbunyi:
“Luas lantai rumah tunggal dan rumah deret memiliki ukuran paling sedikit 36 (tiga puluh enam) meter persegi”.
Adanya pembatasan terkait dengan jumlah luasan lantai rumah tunggal dan rumah deret membuat pemenuhan hak terhadap masyarakat akan perumahan dan kawasan pemukiman semakin sulit untuk tercapai. Ketentuan Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dinilai bertentangan dengan Pasal 28H ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, karena memberikan hambatan dan membatasi hak konstitusional setiap orang untuk membangun ataupun membeli unit rumah tempat tinggal guna pemenuhan hak atas perumahan, dalam jenis dan bentuk apapun yang sesuai kebutuhan dan kemampuan serta sesuai dengan luas tanah/lahan yang dimiliki setiap orang tersebut. Dengan adanya ketentuan pasal ini terdapat pihak yang merasa hak konstitusionalnya dilanggar dengan berlakunya pasal ini kemudian mengajukan uji materil ke Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan data yang di terima oleh Mahkamah Konstitusi, terdapat 2 (dua) kali permohonan uji materil Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dengan perkara nomor 12/PUU-X/2012 dan perkata Nomor 14/PUU-X/2012. Dari 2 (dua) permohonan pengujian tersebut hanya terdapat 1 (satu) permohonan yang dikabulkan oleh majelis hakim yaitu dengan perkara nomor 14/PUU-X/2012.
Dalam perkara Nomor 14/PUU-X/2012, para Pemohon mengajukan permohonan uji materiil terhadap Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman yang pada intinya mengatur mengenai luasan lantai rumah tunggal dan rumah deret, yang dianggap para Pemohon telah bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 28H ayat (4) UUD NRI Tahun 1945. Adapun putusan mahkamah menyatakan bahwa:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
1.1 Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5188) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
1.2 Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5188) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 

2. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Berdasarkan pemaparan-pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa dikabulkannya permohonan uji materiil Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman terhadap UUD Tahun 1945 membawa implikasi dan akibat hukum terhadap penyelenggaraan perumahan bagi MBR oleh pemerintah. Sehingga dalam rangka menindaklanjuti akibat hukum yang menciptakan keadaan hukum baru sebagai implikasi dikabulkannya permohonan uji materiil pasal-pasal a quo, maka perlu dilakukan evaluasi dan analisis terhadap kedua Putusan mahkamah konstitusi tersebut.

1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi?
2. Apa akibat hukum terhadap pasal dan ayat suatu UU yang dinyatakan Mahkamah Konstitusi sebagai konstitusionalitas/inkonstitusionalitas bersyarat?
3. Apakah terjadi disharmoni norma dalam suatu UU jika suatu pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi berimplikasi terhadap norma pasal ayat lain yang tidak diujikan?

A. KONSTITUSIONALITAS UNDANG-UNDANG
Pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi merupakan wujud prinsip atau asas konstitusionalitas undang-undang (constitutionality of law) yang menjamin bahwa undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang itu tidak bertentangan dengan UUD 1945. Kewenangan pengujian undang-undang menimbulkan sebuah kewenangan yang mutatis mutandis (dengan sendirinya) ada, yaitu kewenangan menafsirkan konstitusi. Apabila dalam konstitusi tidak terdapat ketentuan yang ekplisit mengenai kewenangan menafsir konstitusi kepada lembaga negara yang diberikan kewenangan constitutional review, maka harus dipahami bahwa kewenangan menafsirkan konstitusi menyertai kewenangan constitutional review tersebut. Oleh sebab itu, sering dinyatakan bahwa Constitutional Court itu merupakan “the guardian of constitution and the sole interpreting of constitution”, disebut sebagai penjaga konstitusi berdasarkan kewenangan dalam memutus apakah sebuah produk perundang-undangan telah sesuai dengan konstitusi atau tidak.
Kewenangan menafsirkan itu sesungguhnya timbul dari sebuah tafsir Pasal 24C UUD 1945 bahwa “Mahkamah Konstitusi menguji undang-undang terhadap UUD” sebagai ketentuan pemberian kewenangan constitutional review kepada Mahkamah Konstitusi, ketentuan tersebut tidak mengandung kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk melakukan penafsiran terhadap konstitusi, namun sangatlah tidak mungkin dapat melakukan penilaian pertentangan norma sebuah undang-undang apabila tidak menggunakan penafsiran konstitusi, dalam hal ini Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir sah terhadap undang-undang dasar atau konstitusi (the legitimate interpreter of the constitution).
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, salah satu kewenangan dari Mahkamah Konstitusi adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan wujud dari prinsip atau asas konstitusionalitas undang-undang (constitutionality of law) yang menjamin bahwa undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang itu tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Menurut Sri Soemantri, dalam praktiknya dikenal adanya dua macam hak menguji yaitu :
a. Hak menguji formil (formale toetsingsrecht);
Hak menguji formil adalah wewenang untuk menilai, apakah suatu produk legislatif seperti undang-undang misalnya terjelma melalui cara-cara (procedur) sebagaimana telah ditentukan/diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku ataukah tidak. Dalam pengujian formal ini tampak jelas bahwa yang dinilai atau diuji adalah tatacara (procedur) pembentukan suatu undang-undang, apakah sesuai ataukah tidak dengan yang telah ditentukan/digariskan dalam peraturan perundang-undangan.
b. Hak menguji material (materiele toetsingsrecht).
Hak menguji material adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu pertauran perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Hak menguji material ini berkenanan dnegan isi dari suatu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya. Jika suatu undang-undang dilihat dari isinya bertentangan dengan undang-undang dasar maka undang-undang tersebut harus dinyatakan tidak mempunyai daya mengikat.
Menurut pandangan Jimly Asshiddiqie, dalam praktiknya dikenal adanya tiga macam norma hukum yang dapat diuji atau yang biasa disebut norm control mechanism. Ketiganya sama-sama merupakan bentuk norma hukum sebagai hasil dari proses pengambilan keputusan hukum yaitu keputusan normative yang berisi dan bersifat pengaturan (regeling), keputusan normatif yang berisi dan bersifat penetapan administrative (beschikking), dan keputusan normatif yang berisi dan bersifat penghakiman (judgement) yang biasa disebut vonis. Mekanisme pengujian norma hukum ini dapat dilakukan dengan mekanisme pengujian yang dilakukan oleh lembaga peradilan yang dikenal dengan istilah judicial review. Terdapat beberapa jenis pengujian yaitu legislative review (pengujian tersebut diberikan kepada parlemen), executive review (pengujian tersebut diberikan kepada pemerintah), dan judicial review (pengujian yang diberikan kepada lembaga peradilan). Ketiga bentuk norma hukum ada yang merupakan individual and concret norms, dan ada pula yang merupakan general and abstract norms. Vonis dan beschikking selalu bersifat individualand concrete sedangkan jika yang diuji normanya bersifat umum dan abstrak maka norma yang diuji itu adalah produk regeling. Pengujian norma hukum yang bersifat konkret dan individual termasuk dalam lingkup peradilan tata usaha negara.
Dalam pengujian undang-undang, terdapat dua istilah yakni judicial review dan constitutional review. Constitutional review yang dapat diartikan sebagai pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar yang pada saat ini menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi, judicial review dapat diartikan sebagai pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang yang pada saat ini dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Pada dasarnya banyak yang menyamakan istilah judicial review dan constitutional review, padahal kedua istilah ini berbeda. Jika constitutional review maka ukuran pengujiannya dilakukan dengan menggunakan konstitusi sebagai alat ukur, namun jika norma yang diujikan tersebut menggunakan batu ujinya adalah undang-undang maka dapat dikatakan sebagai judicial review. Konsep constitutional review berkembang dari gagasan modern tentang sistem pemerintahan demokratis yang didasarkan atas ide-ide negara hukum (rule of law), prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power), serta perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia (the protection of fundamental rights). Dalam constitutional review terdapat dua tugas pokok yakni :
a. Untuk menjamin berfungsinya sistem demokrasi dalam hubungan perimbangan peran atau interplay antar cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Dengan perkataan lain constitutional review dimaksudkan untuk mencegah terjadinya pendayagunaan kekuasaan oleh satu cabang kekuasaan lainnya; dan
b. Untuk melindungi setiap individu warga negara dari penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga negara yang merugikan hak fundamental warga negara yang dijamin dalam konstitusi.
Dengan adanya keberadaan Mahkamah Konstitusi juga telah menciptakan pembagian kekuasaan atau pemisahan kekuasaan yang memungkinkan adanya proses saling mengawasi dan saling mengimbangi di antara cabang-cabang kekuasaan negara yang ada atau lazim disebut dengan mekanisme checks and balances. Hal itu tampak terutama dari salah satu kewenangan yang dilimpahkan kepada Mahkamah Konstitusi untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945.
Dengan demikian, esensi dari produk putusan Mahkamah Konstitusi dalam menguji undang-undang terhadap UUD 1945 ditempatkan dalam bingkai mekanisme check and balances antara lembaga negara. Hubungan untuk saling mengontrol ini, pada akhirnya dimaksudkan untuk melahirkan suatu produk hukum yang adil dan betul-betul berorientasi pada kepentingan rakyat. Sehingga, pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 dapat juga dilihat sebagai bagian dari koreksi terhadap produk yang dihasilkan oleh DPR RI dan Presiden.

B. PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI FINAL DAN MENGIKAT
Mahkamah Konstitusi yang diadopsi dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memiliki dua fungsi ideal yaitu Mahkamah Konstitusi dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi dan berfungsi untuk menjamin, mendorong, mengarahkan, membimbing, dan memastikan bahwa UUD NRI Tahun 1945 dijalankan dengan sebaik-baiknya oleh penyelenggara negara agar nilai-nilai yang terkandung didalamnya dijalankan dengan benar dan bertanggung jawab; dan Mahkamah Konstitusi harus bertindak sebagai penafsir karena Mahkamah Konstitusi dikonstruksikan sebagai lembaga tertinggi penafsir UUD NRI Tahun 1945. Melalui fungsi ini maka Mahkamah Konstitusi dapat menutupi segala kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam UUD NRI Tahun 1945.
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya maka Mahkamah Konstitusi diberikan kewenangan untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945; memutus pembubaran partai politik; memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana tercantum dalam Pasal 24C UUD NRI Tahun 1945, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 29 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dari uraian diatas maka diketahui bahwa sifat dari putusan Mahkamah Konstitusi yaitu final yang artinya bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). Konsep ini mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni secara sederhana dan cepat sebagaimana diuraikan dalam penjelasan No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang secara utuh menjelaskan bahwa Mahkamah Konstitusi dalam menyelenggarakan peradilan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tetap mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni dilakukan secara sederhana dan cepat. Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat tersebut, tidak dapat dilepaskan dengan asas erga omnes yang diartikan dengan mengikat secara umum dan juga mengikat terhadap obyek sengketa. Apabila suatu peraturan perundang‐undangan oleh hakim menyatakan tidak sah, karena bertentangan dengan peraturan perundang‐undangan yang lebih tinggi, berarti peraturan perundang‐undangan tersebut berakibat menjadi batal dan tidak sah untuk mengikat setiap orang.
Secara harfiah, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat memiliki makna hukum tersendiri. Frasa “final” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “terakhir dalam rangkaian pemeriksaan” sedangkan frasa mengikat diartikan sebagai “mengeratkan”, “menyatukan”. Bertolak dari arti harfiah ini maka frasa final dan frasa mengikat, saling terkait sama seperti dua sisi mata uang artinya dari suatu proses pemeriksaan telah memiliki kekuatan mengeratkkan atau menyatukan semua kehendak dan tidak dapat dibantah lagi. Makna harfiah di atas, bila dikaitkan dengan sifat final dan mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi artinya telah tertutup segala kemungkinan untuk menempuh upaya hukum. Tatkala putusan tersebut diucapkan dalam sidang pleno, maka ketika itu lahir kekuatan mengikat (verbindende kracht).
Secara Substansial makna hukum dari putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat dibagi dalam beberapa bagian yaitu:
a. Menjaga konstitusi (The Guardian of Constitution), menafsirkan konstitusi (The Interpreteur of Constitution), menjaga demokrasi, menjaga persamaan di mata hukum, dan koreksi terhadap undang-undang.
Kehadiran Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan tidak lain berperan sebagai pengawal konstitusi (The Guardian of Constitution), agar konstitusi selalu dijadikan landasan dan dijalankan secara konsisten oleh setiap komponen negara dan masyarakat. Mahkamah Konstitusi berfungsi mengawal dan menjaga agar konstitusi ditaati dan dilaksanakan secara konsisten, serta mendorong dan mengarahkan proses demokratisasi berdasarkan konstitusi. Dengan adanya Mahkamah Konstitusi, proses penjaminan demokrasi yang konstitusional diharapkan dapat diwujudkan melalui proses penjabaran dari empat kewenangan konstitusional (constitusionally entrusted powers) dan satu kewajiban (constitusional obligation). Mahkamah Konstitusi bertugas melakukan penyelesaian persengketaan yang bersifat konstitusional secara demokratis.
Putusan-putusan yang final dan mengikat 
 yang ditafsirkan sesuai dengan konstitusi sebagai hukum tertinggi, dimana pelaksanaannya harus bertanggungjawab, sesuai dengan kehendak rakyat (konstitusi untuk rakyat bukan rakyat untuk konstitusi), dan cita‐cita demokrasi, yakni kebebasan dan persamaan (keadilan).Artinya Mahkamah Konstitusi tidak hanya sebagai penafsir melalui putusan‐putusannya melainkan juga sebagai korektor yang aplikasinya yang tercermin dalam undang‐undang yang dibuat oleh DPR dan Presiden dengan batu uji konstitusi melalui interprestasinya dengan kritis dan dinamis.Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat merupakan refleksi dari fungsinya sebagai penjaga konstitusi, penjaga demokrasi, penjaga persamaan dimata hukum, penafsir konstitusi dan korektor undang‐undang agar disesuaikan dengan UUD.
b. Membumikan prinsip-prinsip negara hukum;
Filosofi negara hukum adalah negara melaksanakan kekuasaannya, tunduk terhadap pengawasan hukum. Artinya ketika hukum eksis terhadap negara, maka kekuasaan negara menjadi terkendali dan selanjutnya menjadi negara yang diselenggarakan berdasarkan ketentuan hukum tertulis atau tidak tertulis (konvensi).14
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pengawas tertinggi, tatkala putusannya yang final dan mengikat, makna hukumnya adalah membumikan negara hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila sebagaimana dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon. Dimana, melalui putusan Mahkamah Konstitusi mengadili dan memutus hal‐hal yang berkaitan dengan kewenangan adtribusi yang diberikan kepadanya untuk menjaga, keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan.
c. Membangun sebuah penegakkan hukum
Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan yaitu kepastian hukum (rechissicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan keadilan (gerechtigkeit). Selanjutnya ditegaskan bahwa kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang‐wenang, yang berarti bahwa seseorang akan memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib, karena hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan untuk ketertiban masyarakat. Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat dapat dimaknai sebagai penegakan hukum tata negara. Khususnya menyangkut pengontrolan terhadap produk politik yaitu undang‐undang yang selama ini tidak ada lembaga yang dapat mengontrolnya. Pada sisi lain, juga dapat menegakkan hukum dimana memutuskan tentang benar salahnya Presiden atau Wakil Presiden yang dituduh oleh DPR bahwa melakukan perbuatan melanggar hukum. Demikian juga dapat memutuskan tentang sengketa‐sengketa khusus yang merupakan kewenangannya termasuk memutuskan untuk membubarkan partai politik. Dengan demikian, hal ini sangat diharapkan sebagai wujud perlindungan hak‐hak masyarakat dan juga menempatkan semua orang sama di mata hukum (equality before the law).
d. Perekayasa Hukum
Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat (final dan banding) merupakan suatu bentuk rekayasa hukum. Frasa “rekayasa” diartikan sebagai penerapan kaidah‐kaidah ilmu dalam pelaksanaan seperti perancangan, pembuatan konstruksi, serta pengoperasian kerangka, peralatan, dan sistem yang ekonomis dan efisien.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat sebagai sebuah bentuk rekayasa hukum yang diwujudkan dalam bentuk norma atau kaidah yang sifatnya membolehkan, mengajurkan, melarang, memerintahkan untuk berbuat atau tidak berbuat. Nilai mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi yang final adalah sama dengan nilai mengikat dan sebuah undang‐undang hasil produk politik, yang berfungsi sebagai alat rekayasa sosial politik, alat kontrol terhadap masyarakat dan penguasa serta memberikan perlindungan hukum terhadap seluruh komponen bangsa.

C. AKIBAT HUKUM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Putusan dalam peradilan merupakan perbuatan hakim sebagai pejabat negara berwenang yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dibuat secara tertulis untuk mengakhiri sengketa yang dihadapkan para pihak kepadanya. Sebagai perbuatan hukum yang akan menyelesaikan sengketa yang dihadapkan kepadanya, maka putusan hakim tersebut merupakan tindakan negara di mana kewenangannya dilimpahkan kepada hakim baik berdasarkan UUD 1945 maupun undang-undang.
Dari sudut pandang hukum tata negara, putusan Mahkamah Konstitusi termasuk dalam keputusan negara yang mengandung norma hukum sama halnya dengan putusan pembentuk undang-undang yang bersifat pengaturan (regeling). Putusan Mahkamah Konstitusi dapat membatalkan suatu undang-undang atau materi muatan dalam undang-undang, sedangkan pembentuk undang-undang menciptakan norma hukum dalam bentuk materi muatan dalam suatu undang-undang.
Putusan Mahkamah Konstitusi terutama dalam pengujian undang-undang kebanyakan jenisnya adalah bersifat declaratoir constitutief. Artinya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menciptakan atau meniadakan satu keadaan hukum baru atau membentuk hukum baru sebagai negative legislature. Hal lain yang perlu dicermati lebih lanjut adalah adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) maupun inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional). Varian putusan Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan putusan yang menyatakan bahwa suatu ketentuan undang-undang tidak bertentangan dengan konstitusi dengan memberikan persyaratan pemaknaan dan keharusan kepada lembaga negara dalam pelaksanaan suatu ketentuan undang-undang untuk memperhatikan penafsiran Mahkamah Konstitusi atas konstitusionalitas ketentuan undang-undang yang sudah diuji tersebut. Dengan demikian, terdapat penafsiran sendiri dari Mahkamah Konstitusi agar suatu norma undang-undang tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Putusan Mahkamah Konsitusi sejak diucapkan di hadapan sidang terbuka untuk umum dapat mempunyai 3 (tiga) kekuatan, yaitu:
1. Kekuatan mengikat
Kekuatan mengikat putusan Mahkamah Konstitusi berbeda dengan putusan pengadilan biasa, tidak hanya meliputi pihak-pihak berperkara (interpartes), yaitu pemohon, pemerintah, DPR/DPD, ataupun pihak terkait yang diizinkan memasuki proses perkara, tetapi juga putusan tersebut mengikat bagi semua orang, lembaga negara, dan badan hukum dalam wilayah republik Indonesia.
Putusan tersebut berlaku sebagai hukum sebagaimana hukum diciptakan pembuat undang-undang. Dengan demikian, Hakim Mahkamah Konstitusi dikatakan sebagai negative lagislator yang putusannya bersifat erga omnes, yang ditujukan pada semua orang.
2. Kekuatan pembuktian
Dalam perkara konstitusi yang putusannya bersifat erga omnes, maka permohonan pengujian yang menyangkut materi yang sama yang sudah pernah diputus tidak dapat lagi diajukan untuk diuji oleh siapapun. Putusan Mahkamah Konstitusi yang telah berkekuatan hukum tetap demikian dapat digunakan sebagai alat bukti dengan kekuatan pasti secara positif bahwa apa yang diputus oleh hakim itu dianggap telah benar. Selain itu, pembuktian sebaliknya tidak diperkenankan.
3. Kekuatan eksekutorial
Putusan Mahkamah Konstitusi berlaku sebagai undang-undang dan tidak memerlukan perubahan yang harus dilakukan dengan amandemen atas undang-undang yang bagian tertentu dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Eksekusi putusan Mahkamah Konstitusi telah dianggap terwujud dengan pengumuman putusan tersebut dalam Berita Negara sebagaimana diperintahkan dalam Pasal 57 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Akibat hukum yang timbul dari satu putusan hakim jika menyangkut pengujian terhadap undang-undang diatur dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang pada intinya menyatakan undang-undang yang diuji tetap berlaku sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Ketentuan ini juga berarti bahwa putusan hakim Mahkamah Konstitusi yang menyatakan satu undang-undang bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat tidak boleh berlaku surut.

1. Pendapat Hukum Mahkamah Konstitusi Dalam Perkara Nomor 14/PUU-X/2012
Dalam perkata ini Pasal yang diujikan adalah Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman yang menyatakan bahwa:
“Luas lantai rumah tunggal dan rumah deret memiliki ukuran paling sedikit 36 (tiga puluh enam) meter persegi.”
Pasal a quo dianggap para pemohon bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1), Pasal 28H ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi:
Pasal 27 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 berbunyi sebagai berikut:
“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 berbunyi sebagai berikut:
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”
Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 berbunyi sebagai berikut:
“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 berbunyi sebagai berikut:
“Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun”.
Terhadap pengujian Pasal a quo mahkamah berpendapat bahwa ketentuan dalam Pasal 22 ayat (3) UU 1/2011 tidak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, oleh karena ketentuan tersebut tidak membeda-bedakan warga negara di dalam hukum dan pemerintahan, demikian pula tidak membeda-bedakan kewajiban warga negara untuk menjunjung hukum dan pemerintahan. Berdasarkan hal tersebut dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
Bahwa demikian pula menurut Mahkamah Pasal 22 ayat (3) UU 1/2011 tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, karena pasal tersebut tidak meniadakan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, sehingga permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
Bahwa hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah hak asasi manusia dan hak konstitusional bagi setiap warga negara Indonesia [vide Pasal 28H ayat (1) UUD 1945]. Salah satu tujuan dibentuknya negara adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia [vide alinea IV Pembukaan UUD 1945]. Terkait dengan hak warga negara dan berhubungan pula dengan salah satu tujuan dalam pembentukan negara dimaksud maka negara berkewajiban untuk melakukan upaya-upaya dalam rangka mewujudkan terpenuhinya hak warga negara tersebut.
Penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman merupakan salah satu aspek pembangunan nasional, pembangunan manusia seutuhnya, sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan terpenuhinya hak konstitusional tersebut, yang juga merupakan pemenuhan kebutuhan dasar manusia yang memiliki peran strategis dalam pembentukan watak dan kepribadian warga negara sebagai upaya pencapaian salah satu tujuan pembangunan bangsa Indonesia yang berjati diri, mandiri, dan produktif. Sebagai salah satu upaya pemenuhan hak konstitusional, penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman adalah wajar dan bahkan merupakan keharusan, manakala penyelenggaraan dimaksud harus memenuhi syarat-syarat tertentu, antara lain, syarat kesehatan dan kelayakan serta keterjangkauan oleh daya beli masyarakat, terutama masyarakat yang berpenghasilan rendah [vide konsiderans (Menimbang) huruf a sampai dengan huruf d serta Penjelasan Umum UU 1/2011].
Terkait dengan syarat keterjangkauan oleh daya beli masyarakat, terutama masyarakat yang berpenghasilan rendah, menurut Mahkamah, Pasal 22 ayat (3) UU 1/2011, yang mengandung norma pembatasan luas lantai rumah tunggal dan rumah deret berukuran paling sedikit 36 (tiga puluh enam) meter persegi, merupakan pengaturan yang tidak sesuai dengan pertimbangan keterjangkauan oleh daya beli sebagian masyarakat, terutama masyarakat yang berpenghasilan rendah. Implikasi hukum dari ketentuan tersebut berarti melarang penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman membangun rumah tunggal atau rumah deret yang ukuran lantainya kurang dari ukuran 36 (tiga puluh enam) meter persegi.
Hal tersebut berarti pula telah menutup peluang bagi masyarakat yang daya belinya kurang atau tidak mampu untuk membeli rumah sesuai dengan ukuran minimal tersebut. Lagipula, daya beli masyarakat yang berpenghasilan rendah, antara satu daerah dengan daerah yang lain, adalah tidak sama. Demikian pula harga tanah dan biaya pembangunan rumah di suatu daerah dengan daerah yang lain berbeda. Oleh karena itu, menyeragamkan luas ukuran lantai secara nasional tidaklah tepat. Selain itu, hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta hak memperoleh pelayanan kesehatan sebagaimana dipertimbangkan di atas adalah salah satu hak asasi manusia yang pemenuhannya tidak semata-mata ditentukan oleh luas ukuran lantai rumah atau tempat tinggal, akan tetapi ditentukan pula oleh banyak faktor, terutama faktor kesyukuran atas karunia yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Bahwa sejalan dengan pertimbangan diatas hak bertempat tinggal, hak milik pribadi [vide Pasal 28H ayat (4) UUD 1945] juga adalah salah satu hak asasi manusia. Suatu tempat tinggal, misalnya rumah, dapat berupa rumah sewa, dapat juga berupa rumah milik pribadi. Seandainya rezeki yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa barulah cukup untuk membangun/memiliki rumah yang luas lantainya kurang dari 36 meter persegi, pembentuk Undang-Undang tidak dapat memaksanya membangun demi memiliki rumah yang luas lantainya paling sedikit 36 meter persegi, sebab rezeki yang bersangkutan baru mencukupi untuk membangun rumah yang kurang dari ukuran tersebut. Berdasarkan pertimbangan diatas menurut Mahkamah permohonan Pemohon beralasan menurut hukum.

2. DISSENTING OPINION
Dalam perkara Nomor 14/PUU-X/2012 terdapat dissenting opinion dari Hakim Makamah Konstitusi yaitu Hamdan Zoelva yang mempunyai pendapat berbeda sebagai berikut
UUD 1945 menegaskan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat [vide Pasal 28H ayat (1) UUD 1945]. Demikian juga Piagam Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Right) menegaskan bahwa setiap orang berhak atas tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya, termasuk hak atas pangan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial yang diperlukan [vide Article 25 ayat (1)].
Dari jaminan konstitusional tersebut, hak bertempat tinggal dan hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah bagian dari hak untuk hidup yang memadai, sejahtera lahir dan batin yang tidak dapat dipisahkan. UUD 1945 maupun Piagam Hak Asasi Manusia sangat menekankan betapa pentingnya pemenuhan kedua hak tersebut berjalan secara seimbang. Hak atas perumahan dan lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah termasuk kelompok hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya yang pemenuhannya memerlukan keterlibatan dan intervensi aktif negara, bukan kebebasan warga negara. Artinya, pemenuhan haknya harus dijamin dengan berbagai kebijakan aktif negara. Hal yang berbeda dengan hak sipil dan politik yang memerlukan keterlibatan pasif dari negara. Artinya kebebasan warga negara yang diutamakan dijamin oleh negara.
Salah satu aspek lingkungan yang baik dan sehat adalah mengenai rumah atau tempat tinggal. Standar rumah yang sehat menurut Konvensi World Health Organization tahun 1989 tentang Health Principles of Housing, antara lain adanya perlindungan terhadap penyakit menular, keracunan, dan penyakit kronis. Untuk memenuhi hal tersebut berdasarkan penelitian yang dikeluarkan Alberta – Health and Wellness tahun 1999 tentang Standar minimum rumah sehat adalah luas lantai untuk kamar tidur pada rumah yang sehat adalah tidak boleh kurang dari 9,5 (Sembilan koma lima) meter persegi per orang. WHO Regional Eropa menentukan standar minimum 12 (dua belas) meter persegi per orang. United Kingdom menentukan standar minimum luas lantai rumah 29,7 (dua puluh Sembilan koma tujuh) meter persegi per orang. Rusia menentukan standar minimum 9 (sembilan) meter persegi per orang. Standar ini, merupakan standar minimal yang bertujuan untuk menentukan kelayakan sebuah hunian yang sehat dan baik. Artinya, rumah yang kurang dari standar minimum adalah rumah tidak layak huni, karena tidak sehat.
Pengabaian terhadap standar minimum rumah sehat adalah salah satu bentuk pelanggaran terhadap jaminan konstitusional bagi setiap orang untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak dan sehat. Dalam kerangka inilah, menurut saya ukuran minimal rumah tunggal dan rumah deret yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011, yaitu minimal 36 (tiga puluh enam) meter persegi sudah tepat. Apalagi dalam tradisi kehidupan keluarga Indonesia, adalah jarang sekali satu keluarga yang tinggal dalam satu rumah hanya terdiri dari 2 (dua) orang, sehingga ukuran luas minimal rumah 21 (dua puluh satu) meter persegi adalah tidak layak huni karena tidak sehat. Dalam rangka melindungi dan memenuhi hak-hak ekonomi dan sosial warganya, negara tidak dapat membiarkan kebebasan untuk membangun rumah yang tidak sehat di bawah standar minimal yang ditentukan, apalagi rumah tersebut adalah perumahan yang dibangun dengan fasilitas negara. Di situlah tanggung jawab negara dan kewajiban konstitusionalnya menjamin pemenuhan hak konstitusional warganya untuk bertempat tinggal pada lingkungan yang layak dan sehat. Dengan adanya luas minimum yang ditentukan undang-undang a quo, juga mengandung konskuensi bahwa negara menjamin pula kemudahan dan keterjangkauan bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) untuk mendapatkan rumah, dengan memberikan subsidi, fasilitas dan kemudahan mendapatkan rumah.
Oleh karena itu, menurut saya, jika dikaitkan dengan persoalan keterjangkauan daya beli masyarakat dan ukuran luas adalah dua hal yang tidak selalu relevan. Hal yang paling pokok adalah ukuran harga rumah yang terjangkau bukan ukuran rumah yang kecil. Artinya dengan jaminan undang-undang minimal luas lantai rumah tunggal dan rumah deret minimal 36 (tiga puluh enam) meter persegi, mengandung makna pula bahwa negara berkewajiban memberi kemudahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah untuk mendapatkan rumah dengan berbagai fasilitas dan kemudahan. Ukuran keterjangkauan sangat relatif, karena seberapa pun kecilnya rumah yang dianggap terjangkau juga tidak bisa menjamin bahwa seluruh atau sebagian besar rakyat Indonesia dapat memiliki rumah, karena adanya perbedaan tingkat pendapatan masyarakat. Hal itu sangat tergantung pada tingkat harga rumah, bukan pada besar kecilnya rumah, walaupun luas berpengaruh terhadap harga. Jadi menurut saya, hal paling utama yang harus dijamin oleh Pemerintah adalah aspek kesehatan dan kelayakan tempat tinggal yang sehat agar manusia Indonesia tumbuh baik dan sehat. Rumah terjangkau tetapi tidak sehat, adalah bentuk pengabaian negara terhadap hak konstitusional setiap orang untuk mendapatkan tempat tinggal yang baik dan sehat. Mengadakan rumah yang terjangkau tetapi tidak sehat, sama saja membiarkan rakyat hidup secara tidak layak dan tidak sehat.
3. IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Menurut Maruarar, jika dilihat dari amar putusannya maka putusan Mahkamah Konstitusi termasuk ke dalam jenis putusan yang bersifat declaratoir constitutief. Bersifat declaratoir artinya putusan dimana hakim sekedar hanya menyatakan apa yang menjadi hukum, tidak melakukan penghukuman. Hal ini bisa terlihat dari amar putusan pengujian undang-undang yang menyatakan bahwa materi muatan, ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sedangkan bersifat constitutief artinya suatu putusan yang menyatakan tetang ketiadaan suatu keadaan hukum dan/atau menciptakan satu keadaan hukum yang baru.
Putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian undang-undang bersifat declaratoir constitutief, yang artinya putusan tersebut menciptakan atau meniadakan satu keadaan hukum baru atau membentuk hukum baru sebagai negatif legislator, yang disebut Hans Kelsen melalui satu pernyataan yang menyaakan bahwa sifat declaratoir tidak membutuhkan satu aparat yang melakukan pelaksanaan putusan mahkamah konstitusi. Akibat hukum yang ditimbulkan dari satu putusan hakim jika dalam pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar diatur dalam Pasal 58 UU No 8 tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang berbunyi:
“Undang-undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Hal ini berarti bahwa putusan hakim mahkamah konstitusi yang menyatakan satu undang-undang bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, tidak boleh berlaku surut dan akibat hukum yang timbul dari putusan itu dihitung sejak putusan tersebut diucapkan dalam siding terbuka untuk umum. Oleh karena itu akibat hukum yang timbul dari berlakunya satu undang-undang sejak diundangkan sampai diucapkannya putusan yang menyatakan undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, tetap sah dan mengikat.
Putusan mahkamah konstitusi dengan amar yang menyatakan bagian dari undang-undang, pasal atau ayat tertentu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak diumumkan dalam sidang terbuka untuk umum. Namun sebagai syarat untuk diketahui secara umum putusan tersebut diumumkan dalam Berita Negara dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak putusan diucapkan. Tidak dibutuhkan adanya satu aparat khusus untuk melaksanakan putusan tersebut karena sifatnya declaratoir.
3.1 Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 14/PUU-X/2012.
Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman menurut para pemohon telah bertentangan dengan ketentuan Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1), Pasal 28H ayat (4) UUD NRI Tahun 1945.
Para pemohon merasa hak konstitusionalnya dirugikan dengan diberlakukannya Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Para pemohon beranggapan bahwa ketentuan Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman telah menghambat atau menghalangi dan membatasi hak setiap orang untuk membangun ataupun memiliki rumah tempat tinggal, termasuk secara swadaya, sebagai wujud pemenuhan hak konstitusional atas perumahan.
Selain itu juga para Pemohon berpandangan bahwa pembatasan luas lantai rumah tunggal dan rumah deret yang diatur dalam Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman telah menciptakan hambatan dan membatasi hak konstitusional bagi setiap orang untuk membangun ataupun membeli unit rumah sebagai tempat tinggal guna pemenuhan hak atas perumahan, dalam jenis dan bentuk apapun yang sesuai kebutuhan dan kemampuan serta sesuai dengan luas tanah/lahan yang dimiliki setiap orang tersebut. Kemudian para pemohon juga berpandangan bahwa adanya pembatasan mengenai luasan rumah tunggal dan rumah deret membuat semakin terpuruknya daya beli kelompok MBR karena tidak diikuti dengan menaiknya tingkat pendapatan kelompok MBR, sehingga kelompok MBR semakin tertinggal dari akses memperoleh rumah.
Terhadap permohonan uji materill tersebut Mahkamah Konstitusi memberikan putusan mengabulkan permohonan para pemohon dan menyatakan ketentuan Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan menyatakan ketentuan pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Akibat hukum atas pembatalan ketentuan Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman telah menimbulkan implikasi yuridis bahwa dengan dibatalkannya Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman yakni tidak adanya batasan terkait luas lantai rumah tunggal dan rumah deret. Dengan tidak adanya batasan mengenai luas lantai rumah tunggal dan rumah deret ini, maka kedepannya baik pemerintah, Pemerintah Daerah, pengembang, dan MBR dapat membantu memfasilitasi, menyediakan, dan membangun rumah dengan luas lantai dibawah dari 36 (tiga puluh enam) meter persegi. Hal ini merupakan suatu penegasan bahwa negara memiliki tanggung jawab untuk memberikan jaminan kemudahan dan pemenuhan hak atas tempat tinggal bagi warga negaranya sesuai dengan kemampuannya masing-masing.

Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu penyelenggaran kekuasaan kehakiman di Indonesia memiliki kewenangan untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945. Putusan Mahkamah Konstitusi yang telah diputus berlaku untuk semua warga negara Indonesia karena sifat dari putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final, yang artinya bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding).
Amar putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, Pasal, dan/atau bagian dari undang-undang yang bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 mengandung muatan yang bersifat Constitutief yaitu melahirkan suatu keadaan hukum yang baru berupa menghilangkan keberlakuan norma hukum yang dinyatakan tidak berkekuatan hukum mengikat. Sifat konstitutif putusan Mahkamah Konstitusi ini tercermin pada Pasal 57 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi.
Pada dasarnya penetapan luas lantai 36 (toga puluh enam) meter persegi didasarkan pada keputusan-keputusan kongres tahun 1950 yang pada pokok-pokok keputusan kongres menuatakan bahwa Luas rumah induk 36 (tiga puluh enam) m² dengan dua kamar tidur, Luas rumah samping 17,5 (tujuh belas koma lima) m², Tinggi langit-langit minimal 2,75 (dua koma tujuh lima) m, dan Lubang jendela dan lubang angin minimum 10% dari luas lantai. Selain itu pembatasan luasan tersebut apabila dilihat dari prespektif filosofis dan sosial adalah logis bahwa luas lantai minimum 36 (tiga puluh enam) m² lebih memenuhi harapan untuk dapat membentuk jati diri keluarga, watak serta kepribadian bangsa.
Selain itu penetapan luasan lantai 36 (tiga puluh enam) meter persegi juga menyesuaikan dengan standar WHO tentang rumah layak huni yang sehat. Ukuran yang dibuat adalah perkiraan rata-rata jumlah orang dalam satu keluarga (keluarga inti–nuclear family) yang diasumsikan beranggotakan 4 (empat) orang, yaitu: suami, istri, dengan dua orang anak dengan mobilitas perorang dalam rumah (9 meter). Ketentuan luas lantai rumah tunggal minimal 36 (tiga puluh enam) meter persegi di atas sekaligus mempertegas komitmen pemerintah dalam meningkatkan Standar Pelayanan Minimal Bidang Perumahan Rakyat sesuai dengan Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 22/PERMEN/M/2008 yang meliputi rumah layak huni dan terjangkau, dalam lingkungan yang sehat dan aman yang didukung prasarana, sarana, dan utilitas umum (PSU) yang memadai.
Khusus untuk indikator rumah layak huni, ditetapkan kriteria adanya struktur yang lengkap berupa pondasi, dinding dan atap dengan pencahayaan yang cukup dan ventilasi udara yang cukup. Sedang cakupan dukungan prasarana, sarana, dan utilitas umum meliputi ketersediaan air minum, ketersediaan listrik, saluran drainase, pembuangan Iimbah/sanitasi dan pengolahan sampah. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 mengenai luas Iantai rumah paling sedikit 36 (tiga puluh enam) meter persegi merupakan penguatan standar pelayanan minimal bidang perumahan rakyat.
Apabila dilihat kesesuaian dengan asas penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman maka diketahui bahwa penyeragaman luas lantai rumah tunggal dan rumah deret ini tidak sesuai dengan asas keterjangkauan dan kemudahan, karena asas ini memberikan landasan agar hasil pembangunan di bidang perumahan dan kawasan permukiman dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat, serta mendorong terciptanya iklim kondusif dengan memberikan kemudahan bagi MBR agar setiap warga negara Indonesia mampu memenuhi kebutuhan dasar akan perumahan dan permukiman. Namun dengan pembatasan luas lantai rumah tunggal dan rumah deret bagi MBR telah menghambat MBR dalam memenuhi kebutuhanya akan perumahan dan permukiman.
Penyeragaman luas lantai rumah tunggal dan rumah deret bagi MBR saat ini tidaklah tepat, hal ini dikarenakan tingkat pendapatan MBR disetiap daerah berbeda. Dengan penyeragaman ini semakin membuat MBR di daerah semakin kesulitan untuk memperoleh tempat tinggal. Oleh karena penyeragaman luas lantai rumah tunggal dan rumah deret dapat memberikan kesulitan bagi MBR maka mahkamah konstitusi membatalkan ketentuan Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman ini.
Pada dasarnya Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 14/PUU-X/2012 yang mengabulkan permohonan pemohon dan menyatakan ketentuan Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat telah melahirkan suatu keadaan hukum baru terkait dengan luas lahan lantai rumah deret dan rumah tunggal.
Dengan dibatalkannya ketentuan pasal ini maka telah terjadi kekosongan hukum terkait dengan penyelenggaraan rumah deret dan rumah tunggal yang diperuntukan bagi MBR. Jika hal ini tidak segera ditindaklanjuti maka dapat memberikan ketidakpastian hukum terkait pembangunan rumah deret dan rumah tunggal bagi MBR karena tidak adanya batasan luasan tanah dalam pembangunan rumah tersebut.
Pada dasarnya Peraturan Pemerintah terkait pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman baru dikeluarkan tahun 2016 dengan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 Tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman yang mana di dalamnya sudah tidak ada ketentuan mengenai luas lantai dalam pembangunan rumah tunggal dan rumah deret.
Pada dasarnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan telah mengatur mengenai tindaklanjut dari putusan mahkamah konstitusi dalam pengujian peraturan perundang-undangan yang dituangkan dalam daftar kumulatif terbuka program legislasi nasional. Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 menyatakan bahwa:
“Dalam Prolegnas dimuat daftar kumulatif terbuka yang terdiri atas pengesahan perjanjian internasional tertentu; akibat putusan mahkamah konstitusi; anggaran pendapatan dan belanja negara; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah provinsi dan/atau kabupaten/kota; dan penetapan/pencabutan peraturan pemerintah pengganti undang-undang”.
Dengan adanya ketentuan pasal ini maka DPR perlu menindaklanjuti putusan mahkamah konstitusi dalam daftar kumulatif terbuka program legislasi nasional. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum yang diakibatkan dari pembatalan norma pasal dalam undang-undang.

Pengujian Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dalam perkara Nomor 14/PUU-X/2012 terhadap UUD Tahun 1945 telah menciptakan keadaan hukum baru terkait luasan lantai rumah tunggal dan rumah deret. Dalam pengujian pasal-pasal a quo Mahkamah Konstitusi mengeluarkan amar putusan yang membatalkan ketentuan pasal-pasal a quo karena bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Keadaan hukum baru yang tercipta terkait dengan penyelenggaraan perumahan dan permukiman yang diperuntukan bagi MBR, dalam hal ini yang semua luasan lantai rumah tunggal dan rumah deret yang diperuntukan bagi MBR memiliki ukuran paling sedikit 36 (tiga puluh enam) meter persegi, maka dalam putusannya mahkamah konstitusi telah membatalkan norma dalam pasal ini agar tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.
Kemudian keadaan hukum baru yang tercipta yaitu dari yang semula luasan lahan rumah tunggal dan rumah deret memiliki ukuran paling sedikit 36 (tiga puluh enam) meter persegi, diubah normanya oleh Mahkamah Kontitusi menjadi tidak ada batasan minimum terkait pembangunan rumah tunggal dan rumah deret bagi MBR. Dibatalkannya ketentuan Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 dapat memberi kemudahan bagi MBR untuk memenuhi kebutuhan akan tempat tinggal yang disesuaikan dengan penghasilannya.

Perlu dilakukan perubahan terhadap Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dengan membuat rumusan norma baru yang telah diputuskan oleh mahkamah konstitusi dalam pengujian pasal-pasal a quo. Perubahan tersebut hendaknya dituangkan dalam rencana perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman baik sebagai daftar kumulatif terbuka maupun dalam prolegnas prioritas tahunan.

Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi : Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU Parpol 2008) dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU Parpol 2011) / 01-12-2017

Sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945) bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat merupakan hak asasi manusia yang harus dilaksanakan untuk memperkuat semangat kebangsaan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang demokratis. Hak untuk berserikat dan berkumpul diwujudkan dalam pembentukan partai politik sebagai salah satu pilar demokrasi dalam sistem politik Indonesia.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang partai politik (UU Parpol 2011) telah menjadi dasar hukum sekaligus pedoman bagi partisipasi politik masyarakat dalam mengembangkan kehidupan demokrasi dan meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan. Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD Tahun 1945. Partai politik sebagai pilar demokrasi perlu ditata dan disempurnakan untuk mewujudkan sistem politik yang demokratis guna mendukung sistem presidensiil yang efektif.
Dalam perjalanannya, ada 4 (empat) permohonan uji materiil yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU Parpol 2008) dan UU Parpol 2011, yang telah diputus dikabulkan baik sebagian maupun seluruhnya. Pasal-pasal tersebut yaitu Pasal 16 ayat (3) UU Parpol 2008 serta Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 ayat (2) huruf c, Pasal 34 ayat (3b) huruf a, Pasal 51 ayat (1), dan Pasal 51 ayat (1a) UU Parpol 2011. Berikut hasil Putusan MK terhadap Pasal-pasal tersebut yang secara umum tergambar dalam tabel berikut:

No Putusan MK Pasal yang diuji Batu Uji
UUD Tahun 1945 Amar Putusan
1 Perkara Nomor 15/PUU-IX/2011 Pasal 51 ayat (1) UU Parpol 2011

Pasal 51 ayat (1)

“Partai Politik yang telah disahkan sebagai badan hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik tetap diakui keberadaannya dengan kewajiban melakukan penyesuaian menurut Undang-Undang ini dengan mengikuti verifikasi”.
Pasal 22A, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945. 1. Mengabulkan permohonan para Pemohon;
2. Pasal 51 ayat (1), Pasal 51 ayat (1a) sepanjang frasa ”Verifikasi Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”, Pasal 51 ayat (1b), dan Pasal 51 ayat (1c) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5189) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
3. Pasal 51 ayat (1), Pasal 51 ayat (1a) sepanjang frasa ”Verifikasi Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”, Pasal 51 ayat (1b), dan Pasal 51 ayat (1c) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5189) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia selambat-lambatnya 30 hari kerja sejak putusan ini diucapkan.
2 Perkara Nomor 35/PUU-IX/2011 Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 ayat (2) huruf c, dan Pasal 51 ayat (1a) UU Parpol 2011

Pasal 2 ayat (1)

“Partai Politik didirikan dan dibentuk oleh paling sedikit 30 (tiga puluh) orang warga negara Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau sudah menikah dari setiap provinsi”.

Pasal 3 ayat (2) huruf c

“Untuk menjadi badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Partai Politik harus mempunyai:
c.kepengurusan pada setiap provinsi dan paling sedikit 75% (tujuh puluh lima per seratus) dari jumlah kabupaten/kota pada provinsi yang bersangkutan dan paling sedikit 50% (lima puluh per seratus) dari jumlah kecamatan pada kabupaten/kota yang bersangkutan);”

Pasal 51 ayat (1a)

“Verikasi Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Partai Politik yang dibentuk setelah Undang-Undang ini diundangkan, selesai paling lambat 2 ½ (dua setengah) tahun sebelum hari pemungutan suara pemilihan umum.” Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (3), dan Pasal 28E ayat (3) UUD Tahun 1945 1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
2. Pasal 51 ayat (1a) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “Verifikasi partai politik yang dibentuk setelah Undang-Undang ini harus dilakukan paling lambat 2 ½ (dua setengah) tahun sebelum hari pemungutan suara untuk mengikuti pemilihan umum pada pemilihan umum pertama kali setelah partai politik yang bersangkutan didirikan dan berbadan hukum”;
3. Pasal 51 ayat (1a) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Verifikasi partai politik yang dibentuk setelah Undang-Undang ini harus dilakukan paling lambat 2 ½ (dua setengah) tahun sebelum hari pemungutan suara untuk mengikuti pemilihan umum pada pemilihan umum pertama kali setelah partai politik yang bersangkutan didirikan dan berbadan hukum”;
4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
5. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya;

3 Perkara Nomor 39/PUU-XI/2013 Pasal 16 ayat (3) UU Parpol 2008

Pasal 16 ayat (3)

“Dalam hal anggota Partai Politik yang diberhentikan adalah anggota lembaga perwakilan rakyat, pemberhentian dari keanggotaan Partai Politik diikuti dengan pemberhentian dari keanggotaan di lembaga perwakilan rakyat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Pasal 19 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), pasal 28D ayat (3) UUD Tahun 1945 1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
1.1. Pasal 16 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5189) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “dikecualikan bagi anggota DPR atau DPRD jika:
a. partai politik yang mencalonkan anggota tersebut tidak lagi menjadi peserta Pemilu atau kepengurusan partai poitik tersebut sudah tidak ada lagi,
b. anggota DPR atau DPRD tidak diberhentikan atau tidak ditarik oleh partai politik yang mencalonkannya,
c. tidak lagi terdapat calon pengganti yang terdaftar dalam Daftar Calon Tetap dari partai yang mencalonkannya”;
1.2. Pasal 16 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5189) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “dikecualikan bagi anggota DPR atau DPRD jika:
a. partai politik yang mencalonkan anggota tersebut tidak lagi menjadi peserta Pemilu atau kepengurusan partai poitik tersebut sudah tidak ada lagi,
b. anggota DPR atau DPRD tidak diberhentikan atau tidak ditarik oleh partai politik yang mencalonkannya,
c. tidak lagi terdapat calon pengganti yang terdaftar dalam Daftar Calon Tetap dari partai yang mencalonkannya”;
2. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya;
3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

4 Perkara Nomor 100/PUU-XI/2013 Pasal 34 ayat (3b) huruf a UU Parpol 2011

Pasal 34 ayat (3b) huruf a

“Pendidikan Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (3a) berkaitan dengan kegiatan:
a.pendalaman mengenai empat pilar berbangsa dan bernegara yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia;”
Terhadap Pembukaan UUD Tahun 1945 alinea keempat 1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian.
1.1. Frasa “empat pilar berbangsa dan bernegara yaitu” dalam Pasal 34 ayat (3b) huruf a Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5189) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara republik Indonesia Tahun 1945;
1.2. Frasa “empat pilar berbangsa dan bernegara yaitu” dalam Pasal 34 ayat (3b) huruf a Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5189) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
2. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya;
3. Memerintahkan pemuatan putusanini dalam berita negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.


Berdasarkan pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa dengan dikabulkannya permohonan uji materiil Pasal 16 ayat (3) UU Parpol 2008 serta Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 ayat (2) huruf c, Pasal 34 ayat (3b) huruf a, Pasal 51 ayat (1), dan Pasal 51 ayat (1a) UU Parpol 2011 terhadap UUD Tahun 1945 membawa implikasi dan akibat hukum serta menciptakan keadaan hukum baru sebagai implikasi dikabulkannya permohonan uji materiil pasal-pasal a quo baik seluruhnya atau sebagian, sehingga perlu dilakukan evaluasi dan analisis terhadap keempat Putusan MK tersebut.

1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK?
2. Apa akibat hukum terhadap pasal dan ayat suatu UU yang dinyatakan MK sebagai inkonstitusionalitas/inkonstitusionalitas bersyarat?
3. Apakah terjadi disharmoni norma dalam suatu UU jika suatu pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK berimplikasi terhadap norma pasal ayat lain yang tidak diujikan?

A. KONSTITUSIONALITAS UNDANG-UNDANG
Pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 yang menjadi kewenangan MK merupakan wujud prinsip atau asas konstitusionalitas undang-undang (constitutionality of law) yang menjamin bahwa undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang itu tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Kewenangan pengujian undang-undang menimbulkan sebuah kewenangan yang mutatis mutandis (dengan sendirinya) ada, yaitu kewenangan menafsirkan konstitusi. Apabila dalam konstitusi tidak terdapat ketentuan yang ekplisit mengenai kewenangan menafsir konstitusi kepada lembaga negara yang diberikan kewenangan constitutional review, maka harus dipahami bahwa kewenangan menafsirkan konstitusi menyertai kewenangan constitutional review tersebut. Oleh sebab itu, sering dinyatakan bahwa Constitutional Court itu merupakan “the guardian of constitution and the sole interpreting of constitution”, disebut sebagai penjaga konstitusi berdasarkan kewenangan dalam memutus apakah sebuah produk perundang-undangan telah sesuai dengan konstitusi atau tidak.
Kewenangan menafsirkan itu sesungguhnya timbul dari sebuah tafsir Pasal 24C UUD Tahun 1945 bahwa “MK menguji undang-undang terhadap UUD” sebagai ketentuan pemberian kewenangan constitutional review kepada MK, ketentuan tersebut tidak mengandung kewenangan MK untuk melakukan penafsiran terhadap konstitusi, namun sangatlah tidak mungkin dapat melakukan penilaian pertentangan norma sebuah undang-undang apabila tidak menggunakan penafsiran konstitusi, dalam hal ini MK sebagai penafsir sah terhadap undang-undang dasar atau konstitusi (the legitimate interpreter of the constitution).
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD Tahun 1945, salah satu kewenangan dari Mahkamah Konstitusi adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan wujud dari prinsip atau asas konstitusionalitas undang-undang (constitutionality of law) yang menjamin bahwa undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang itu tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945.
Menurut Sri Soemantri, dalam praktiknya dikenal adanya dua macam hak menguji yaitu :
a. Hak menguji formil (formale toetsingsrecht);
Hak menguji formil adalah wewenang untuk menilai, apakah suatu produk legislatif seperti undang-undang misalnya terjelma melalui cara-cara (procedur) sebagaimana telah ditentukan/diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku ataukah tidak. Dalam pengujian formal ini tampak jelas bahwa yang dinilai atau diuji adalah tatacara (procedur) pembentukan suatu undang-undang, apakah sesuai ataukah tidak dengan yang telah ditentukan/digariskan dalam peraturan perundang-undangan.
b. Hak menguji material (materiele toetsingsrecht).
Hak menguji material adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu pertauran perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Hak menguji material ini berkenanan dnegan isi dari suatu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya. Jika suatu undang-undang dilihat dari isinya bertentangan dengan undang-undang dasar maka undang-undang tersebut harus dinyatakan tidak mempunyai daya mengikat.
Menurut pandangan Jimly Asshiddiqqie, dalam praktiknya dikenal adanya tiga macam norma hukum yang dapat diuji atau yang biasa disebut norm control mechanism. Ketiganya sama-sama merupakan bentuk norma hukum sebagai hasil dari proses pengambilan keputusan hukum yaitu keputusan normative yang berisi dan bersifat pengaturan (regeling), keputusan normatif yang berisi dan bersifat penetapan administrative (beschikking), dan keputusan normatif yang berisi dan bersifat penghakiman (judgement) yang biasa disebut vonis. Mekanisme pengujian norma hukum ini dapat dilakukan dengan mekanisme pengujian yang dilakukan oleh lembaga peradilan yang dikenal dengan istilah judicial review. Terdapat beberapa jenis pengujian yaitu legislative review(pengujian tersebut diberikan kepada parlemen), executive review (pengujian tersebut diberikan kepada pemerintah), dan judicial review (pengujian yang diberikan kepada lembaga peradilan). Ketiga bentuk norma hukum ada yang merupakan individual and concret norms, dan ada pula yang merupakan general and abstract norms. Vonis dan beschikking selalu bersifat individualand concrete sedangkan jika yang diuji normanya bersifat umum dan abstrak maka norma yang diuji itu adalah produk regeling. Pengujian norma hukum yang bersifat konkret dan individual termasuk dalam lingkup peradilan tata usaha negara.
Dalam pengujian undang-undang, terdapat dua istilah yakni judicial review dan constitutional review. Constitutional review yang dapat diartikan sebagai pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar yang pada saat ini menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi, judicial review dapat diartikan sebagai pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang yang pada saat ini dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Pada dasarnya banyak yang menyamakan istilah judicial review dan constitutional review, padahal kedua istilah ini berbeda. Jika constitutional review maka ukuran pengujiannya dilakukan dengan menggunakan konstitusi sebagai alat ukur, namun jika norma yang diujikan tersebut menggunakan batu ujinya adalah undang-undang maka dapat dikatakan sebagai judicial review. Konsep constitutional review berkembang dari gagasan modern tentang sistem pemerintahan demokratis yang didasarkan atas ide-ide negara hukum (rule of law), prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power), serta perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia (the protection of fundamental rights). Dalam constitutional review terdapat dua tugas pokok yakni :
a. Untuk menjamin berfungsinya sistem demokrasi dalam hubungan perimbangan peran atau interplay antar cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Dengan perkataan lain constitutional review dimaksudkan untuk mencegah terjadinya pendayagunaan kekuasaan oleh satu cabang kekuasaan lainnya; dan
b. Untuk melindungi setiap individu warga negara dari penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga negara yang merugikan hak fundamental warga negara yang dijamin dalam konstitusi.
Dengan adanya keberadaan Mahkamah Konstitusi juga telah menciptakan pembagian kekuasaan atau pemisahan kekuasaan yang memungkinkan adanya proses saling mengawasi dan saling mengimbangi di antara cabang-cabang kekuasaan negara yang ada atau lazim disebut dengan mekanisme checks and balances. Hal itu tampak terutama dari salah satu kewenangan yang dilimpahkan kepada Mahkamah Konstitusi untuk menguji undang-undang terhadap UUD Tahun 1945.
Dengan demikian, esensi dari produk putusan Mahkamah Konstitusi dalam menguji undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 ditempatkan dalam bingkai mekanisme check and balances antara lembaga negara. Hubungan untuk saling mengontrol ini, pada akhirnya dimaksudkan untuk melahirkan suatu produk hukum yang adil dan betul-betul berorientasi pada kepentingan rakyat. Sehingga, pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 dapat juga dilihat sebagai bagian dari koreksi terhadap produk yang dihasilkan oleh DPR RI dan Presiden.

B. PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI FINAL DAN MENGIKAT
Mahkamah Konstitusi yang diadopsi dalam UUD Tahun 1945 memiliki dua fungsi ideal yaitu MK dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi dan berfungsi untuk menjamin, mendorong, mengarahkan, membimbing, dan memastikan bahwa UUD Tahun 1945 dijalankan dengan sebaik-baiknya oleh penyelenggara negara agar nilai-nilai yang terkandung didalamnya dijalankan dengan benar dan bertanggung jawab; dan MK harus bertindak sebagai penafsir karena MK dikonstruksikan sebagai lembaga tertinggi penafsir UUD Tahun 1945. Melalui fungsi ini maka Mahkamah Konstitusi dapat menutupi segala kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam UUD Tahun 1945.
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya maka Mahkamah Konstitusi diberikan kewenangan untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD Tahun 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Tahun 1945; memutus pembubaran partai politik; memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana tercantum dalam Pasal 24C UUD Tahun 1945, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 29 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dari uraian diatas maka diketahui bahwa sifat dari putusan Mahkamah Konstitusi yaitu final yang artinya bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). Konsep ini mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni secara sederhana dan cepat sebagaimana diuraikan dalam penjelasan No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang secara utuh menjelaskan bahwa Mahkamah Konstitusi dalam menyelenggarakan peradilan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tetap mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni dilakukan secara sederhana dan cepat. Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat tersebut, tidak dapat dilepaskan dengan asas erga omnes yang diartikan dengan mengikat secara umum dan juga mengikat terhadap obyek sengketa. Apabila suatu peraturan perundang‐undangan oleh hakim menyatakan tidak sah, karena bertentangan dengan peraturan perundang‐undangan yang lebih tinggi, berarti peraturan perundang‐undangan tersebut berakibat menjadi batal dan tidak sah untuk mengikat setiap orang.
Secara harfiah, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat memiliki makna hukum tersendiri. Frasa “final” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “terakhir dalam rangkaian pemeriksaan” sedangkan frasa mengikat diartikan sebagai “mengeratkan”, “menyatukan”. Bertolak dari arti harfiah ini maka frasa final dan frasa mengikat, saling terkait sama seperti dua sisi mata uang artinya dari suatu proses pemeriksaan telah memiliki kekuatan mengeratkkan atau menyatukan semua kehendak dan tidak dapat dibantah lagi. Makna harfiah di atas, bila dikaitkan dengan sifat final dan mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi artinya telah tertutup segala kemungkinan untuk menempuh upaya hukum. Tatkala putusan tersebut diucapkan dalam sidang pleno, maka ketika itu lahir kekuatan mengikat (verbindende kracht).
Secara Substansial makna hukum dari putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat dibagi dalam beberapa bagian yaitu:
a. Menjaga konstitusi (The Guardian of Constitution), menafsirkan konstitusi (The Interpreteur of Constitution), menjaga demokrasi, menjaga persamaan di mata hukum, dan koreksi terhadap undang-undang.
Kehadiran Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan tidak lain berperan sebagai pengawal konstitusi (The Guardian of Constitution), agar konstitusi selalu dijadikan landasan dan dijalankan secara konsisten oleh setiap komponen negara dan masyarakat. Mahkamah Konstitusi berfungsi mengawal dan menjaga agar konstitusi ditaati dan dilaksanakan secara konsisten, serta mendorong dan mengarahkan proses demokratisasi berdasarkan konstitusi. Dengan adanya Mahkamah Konstitusi, proses penjaminan demokrasi yang konstitusional diharapkan dapat diwujudkan melalui proses penjabaran dari empat kewenangan konstitusional (constitusionally entrusted powers) dan satu kewajiban (constitusional obligation). Mahkamah Konstitusi bertugas melakukan penyelesaian persengketaan yang bersifat konstitusional secara demokratis.
Putusan-putusan yang final dan mengikat 
 yang ditafsirkan sesuai dengan konstitusi sebagai hukum tertinggi, dimana pelaksanaannya harus bertanggungjawab, sesuai dengan kehendak rakyat (konstitusi untuk rakyat bukan rakyat untuk konstitusi), dan cita‐cita demokrasi, yakni kebebasan dan persamaan (keadilan).Artinya Mahkamah Konstitusi tidak hanya sebagai penafsir melalui putusan‐putusannya melainkan juga sebagai korektor yang aplikasinya yang tercermin dalam undang‐undang yang dibuat oleh DPR dan Presiden dengan batu uji konstitusi melalui interprestasinya dengan kritis dan dinamis.Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat merupakan refleksi dari fungsinya sebagai penjaga konstitusi, penjaga demokrasi, penjaga persamaan dimata hukum, penafsir konstitusi dan korektor undang‐undang agar disesuaikan dengan UUD.
b. Membumikan prinsip-prinsip negara hukum;
Filosofi negara hukum adalah negara melaksanakan kekuasaannya, tunduk terhadap pengawasan hukum. Artinya ketika hukum eksis terhadap negara, maka kekuasaan negara menjadi terkendali dan selanjutnya menjadi negara yang diselenggarakan berdasarkan ketentuan hukum tertulis atau tidak tertulis (konvensi).
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pengawas tertinggi, tatkala putusannya yang final dan mengikat, makna hukumnya adalah membumikan negara hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila sebagaimana dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon. Dimana, melalui putusan Mahkamah Konstitusi mengadili dan memutus hal‐hal yang berkaitan dengan kewenangan adtribusi yang diberikan kepadanya untuk menjaga, keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan.
c. Membangun sebuah penegakkan hokum
Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan yaitu kepastian hukum (rechissicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan keadilan (gerechtigkeit). Selanjutnya ditegaskan bahwa kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang‐wenang, yang berarti bahwa seseorang akan memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib, karena hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan untuk ketertiban masyarakat. Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat dapat dimaknai sebagai penegakan hukum tata negara. Khususnya menyangkut pengontrolan terhadap produk politik yaitu undang‐undang yang selama ini tidak ada lembaga yang dapat mengontrolnya. Pada sisi lain, juga dapat menegakkan hukum dimana memutuskan tentang benar salahnya Presiden atau Wakil Presiden yang dituduh oleh DPR bahwa melakukan perbuatan melanggar hukum. Demikian juga dapat memutuskan tentang sengketa‐sengketa khusus yang merupakan kewenangannya termasuk memutuskan untuk membubarkan partai politik. Dengan demikian, hal ini sangat diharapkan sebagai wujud perlindungan hak‐hak masyarakat dan juga menempatkan semua orang sama di mata hukum (equality before the law).
d. Perekayasa Hukum
Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat ( final dan banding) merupakan suatu bentuk rekayasa hukum. Frasa “rekayasa” diartikan sebagai penerapan kaidah‐kaidah ilmu dalam pelaksanaan seperti perancangan, pembuatan konstruksi, serta pengoperasian kerangka, peralatan, dan sistem yang ekonomis dan efisien.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat sebagai sebuah bentuk rekayasa hukum yang diwujudkan dalam bentuk norma atau kaidah yang sifatnya membolehkan, mengajurkan, melarang, memerintahkan untuk berbuat atau tidak berbuat. Nilai mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi yang final adalah sama dengan nilai mengikat dan sebuah undang‐undang hasil produk politik, yang berfungsi sebagai alat rekayasa sosial politik, alat kontrol terhadap masyarakat dan penguasa serta memberikan perlindungan hukum terhadap seluruh komponen bangsa.

C. AKIBAT HUKUM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Putusan dalam peradilan merupakan perbuatan hakim sebagai pejabat negara berwenang yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dibuat secara tertulis untuk mengakhiri sengketa yang dihadapkan para pihak kepadanya. Sebagai perbuatan hukum yang akan menyelesaikan sengketa yang dihadapkan kepadanya, maka putusan hakim tersebut merupakan tindakan negara di mana kewenangannya dilimpahkan kepada hakim baik berdasarkan UUD Tahun 1945 maupun undang-undang.
Dari sudut pandang hukum tata negara, putusan Mahkamah Konstitusi termasuk dalam keputusan negara yang mengandung norma hukum sama halnya dengan putusan pembentuk undang-undang yang bersifat pengaturan (regeling). Putusan Mahkamah Konstitusi dapat membatalkan suatu undang-undang atau materi muatan dalam undang-undang, sedangkan pembentuk undang-undang menciptakan norma hukum dalam bentuk materi muatan dalam suatu undang-undang.
Putusan Mahkamah Konstitusi terutama dalam pengujian undang-undang kebanyakan jenisnya adalah bersifat declaratoir constitutief. Artinya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menciptakan atau meniadakan satu keadaan hukum baru atau membentuk hukum baru sebagai negative legislature. Hal lain yang perlu dicermati lebih lanjut adalah adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) maupun inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional). Varian putusan Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan putusan yang menyatakan bahwa suatu ketentuan undang-undang tidak bertentangan dengan konstitusi dengan memberikan persyaratan pemaknaan dan keharusan kepada lembaga negara dalam pelaksanaan suatu ketentuan undang-undang untuk memperhatikan penafsiran Mahkamah Konstitusi atas konstitusionalitas ketentuan undang-undang yang sudah diuji tersebut. Dengan demikian, terdapat penafsiran sendiri dari Mahkamah Konstitusi agar suatu norma undang-undang tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945.
Putusan Mahkamah Konsitusi sejak diucapkan di hadapan sidang terbuka untuk umum dapat mempunyai 3 (tiga) kekuatan, yaitu:
1. Kekuatan mengikat
Kekuatan mengikat putusan Mahkamah Konstitusi berbeda dengan putusan pengadilan biasa, tidak hanya meliputi pihak-pihak berperkara (interpartes), yaitu pemohon, pemerintah, DPR/DPD, ataupun pihak terkait yang diizinkan memasuki proses perkara, tetapi juga putusan tersebut mengikat bagi semua orang, lembaga negara, dan badan hukum dalam wilayah republik Indonesia.
Putusan tersebut berlaku sebagai hukum sebagaimana hukum diciptakan pembuat undang-undang. Dengan demikian, Hakim Mahkamah Konstitusi dikatakan sebagai negative lagislator yang putusannya bersifat erga omnes, yang ditujukan pada semua orang.
2. Kekuatan pembuktian
Dalam perkara konstitusi yang putusannya bersifat erga omnes, maka permohonan pengujian yang menyangkut materi yang sama yang sudah pernah diputus tidak dapat lagi diajukan untuk diuji oleh siapapun. Putusan Mahkamah Konstitusi yang telah berkekuatan hukum tetap demikian dapat digunakan sebagai alat bukti dengan kekuatan pasti secara positif bahwa apa yang diputus oleh hakim itu dianggap telah benar. Selain itu, pembuktian sebaliknya tidak diperkenankan.
3. Kekuatan eksekutorial
Putusan Mahkamah Konstitusi berlaku sebagai undang-undang dan tidak memerlukan perubahan yang harus dilakukan dengan amandemen atas undang-undang yang bagian tertentu dinyatakan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Eksekusi putusan Mahkamah Konstitusi telah dianggap terwujud dengan pengumuman putusan tersebut dalam Berita Negara sebagaimana diperintahkan dalam Pasal 57 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Akibat hukum yang timbul dari satu putusan hakim jika menyangkut pengujian terhadap undang-undang diatur dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang pada intinya menyatakan undang-undang yang diuji tetap berlaku sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Ketentuan ini juga berarti bahwa putusan hakim Mahkamah Konstitusi yang menyatakan satu undang-undang bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat tidak boleh berlaku surut.

1. Pendapat Hukum MK
a. Pendapat hukum MK terhadap perkara Nomor 15/PUU-IX/2011
MK mencermati Pasal 51 ayat (1) UU Parpol 2008 sebelum diubah dengan UU Parpol 2011 menyatakan bahwa Partai Politik yang telah disahkan sebagai badan hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik (UU Parpol 2002) tetap diakui keberadaannya. Partai Politik akan bubar apabila membubarkan diri atas keputusan sendiri, menggabungkan diri dengan partai politik lain, dan dibubarkan oleh MK (Pasal 41 UU Parpol 2008).
Dalam Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU 10/2008) menyatakan bahwa ”Partai Politik peserta Pemilu pada Pemilu sebelumnya dapat menjadi peserta Pemilu pada Pemilu berikutnya”. UU 10/2008 pada waktu diundangkan tidaklah dimaksudkan hanya berlaku untuk Pemilihan Umum tahun 2009 saja namun dimaksudkan sebagai Undang-Undang yang berlaku untuk pemilihan umum-pemilihan umum berikutnya.
Selain itu terdapat ketentuan yang berkaitan dengan penetapan syarat partai politik yang dapat mengikuti Pemilu tahun 2009 yaitu Pasal 315 UU 10/2008. Ketentuan ini tidak memang berkaitan dengan pembubaran partai politik. Ketentuan tersebut menyatakan, “Partai Politik Peserta Pemilu tahun 2004 yang memperoleh sekurang-kurangnya 3% jumlah kursi DPR atau memperoleh sekurang-kurangnya 4% jumlah kursi DPRD provinsi yang tersebar sekurang-kurangnya di ½ jumlah provinsi seluruh Indonesia, atau memperoleh sekurangkurangnya 4% jumlah kursi DPRD kabupaten/kota yang tersebar sekurang-kurangnya di ½ jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia, ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu setelah Pemilu tahun 2004”.
Terhadap partai politik yang tidak memenuhi persyaratan Pasal 315 UU 10/2008 pun tidak melakukan pembubaran tetapi masih membuka kesempatan kepada partai politik tersebut untuk mengikuti pemilihan umum tahun 2009 dengan cara sebagaimana disebutkan dalam Pasal 316 huruf a, huruf b, dan huruf c UU 10/2008. Apabila partai politik yang tidak memenuhi syarat Pasal 315 UU 10/2008 dan tidak melakukan penggabungan sebagaimana dimaksud Pasal 316 huruf a, huruf b, dan huruf c UU 10/2008, maka masih terbuka kesempatan bagi partai politik tersebut untuk dapat ikut Pemilu tahun 2009 dengan syarat sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 316 huruf e UU 10/2008 yaitu memenuhi persyaratan verifikasi oleh KPU untuk menjadi Partai Politik Peserta Pemilu, dimana syarat Parpol untuk dapat mengikuti Pemilu terdapat dalam Pasal 8 UU 10/2008. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas jelas bahwa menurut UU Parpol 2008 dan UU 10/2008 tidak mengenal pembubaran partai politik, tidak menetapkan berakhir atau bubarnya statusnya sebagai badan hukum partai politik tersebut artinya masih tetap diakui kedudukannya sebagai badan hukum.
MK berpendapat bahwa pengaturan status badan hukum partai politik dalam UU Parpol 2008 maupun UU 10/2008 telah tepat dan benar. Oleh karena partai politik masih tetap diakui berstatus badan hukum maka status badan hukum tersebut haruslah tetap mendapat perlindungan konstitusional oleh Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28E ayat (3) UUD Tahun 1945.
MK sependapat dengan para Pemohon bahwa adanya frasa ”tetap diakui keberadaannya dengan kewajiban melakukan penyesuaian terhadap undang-undang ini dengan mengikuti verifikasi” yang terdapat dalam Pasal 51 ayat (1) UU Parpol 2011 adalah tidak jelas maksudnya. Dengan adanya kata ”keberadaannya” artinya menimbulkan pertanyaan apakah hal ini menyangkut eksistensi partai politik sebagai badan hukum. Sedangkan frasa ”kewajiban mengikuti verifikasi” mempunyai akibat hukum terhadap eksistensi para Pemohon sebagai partai politik yang berbadan hukum, yaitu apakah hasil verifikasi dapat secara langsung mempengaruhi eksistensi partai politik dalam hal ini para Pemohon. Artinya, sebagai partai politik para Pemohon akan kehilangan status badan hukumnya karena tidak lolos verifikasi.
MK berpendapat bahwa hal yang demikian akan melanggar kepastian hukum terhadap para Pemohon yang oleh Undang-Undang sebelumnya telah dijamin keberadaannya sebagai partai politik yang berbadan hukum. Pembuat Undang-Undang seharusnya membedakan antara tata cara pembentukan atau pendirian partai politik dengan aturan tentang syarat-syarat yang dibebankan kepada partai politik agar sebuah partai politik dapat mengikuti pemilihan umum, serta ketentuan yang mengatur tentang kelembagaan DPR.
Tata cara pembentukan atau pendirian partai politik adalah tata cara yang harus dilakukan oleh warga negara yang akan mendirikan partai politik, sehingga partai politik yang didirikan tersebut mendapatkan status badan hukum. Sedangkan syarat-syarat partai politik untuk dapat mengikuti pemilihan umum adalah syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-Undang tersendiri agar partai politik yang telah berbadan hukum tersebut dapat menjadi peserta pemilu untuk dapat menempatkan wakilnya di dalam lembaga perwakilan yang harus diraih melalui pemilihan umum. Mengenai ketentuan yang mengatur tentang kelembagaan DPR juga diatur dalam Undang-Undang tersendiri yang antara lain mengatur tentang susunan organisasi, keanggotaan, tata tertib dan mekanisme pengambilan keputusan, dan sebagainya. MK berpendapat bahwa ketentuan yang terdapat dalam Pasal 51 ayat (1) UU Parpol 2011 mencampuradukkan ketiga hal tersebut.
Menurut MK, kedudukan sebagai badan hukum yang telah dimiliki oleh partai politik haruslah mendapatkan perlindungan konstitusional. Perlindungan yang telah diberikan oleh UU Parpol 2008 dan UU 10/2008 terhadap status badan hukum partai politik telah dihilangkan oleh Pasal 51 ayat (1) UU Parpol 2011.
Padahal partai politik dalam konstitusi UUD Tahun 1945 mempunyai fungsi yang sangat penting karena UUD Tahun 1945 secara eksplisit memberikan hak konstitusional kepada partai politik. Partai politik dengan demikian tidak saja menjadi infrastruktur demokrasi tetapi juga sudah menjadi bagian dari mekanisme demokrasi yang ditetapkan dalam UUD Tahun 1945. Oleh karena itu, partai politik harus mendapatkan kepastian hukum untuk menjamin hak konstitusionalnya termasuk para Pemohon yang merupakan partai politik yang telah mempunyai kedudukan sebagai badan hukum. Hal ini karena partai politik memang penting dalam sistem ketatanegaraan yang hanya dapat dilakukan oleh kader-kader partai politik yang baik yang merupakan hasil pendidikan partai politik yang bersangkutan.
Sebuah partai politik tentunya memerlukan waktu dan proses yang tidak singkat untuk melakukan pengkaderan politik dan hal demikian hanya dimungkinkan kalau ada jaminan kelangsungan eksistensinya. Partai politik yang gagal untuk mendudukkan wakilnya di lembaga perwakilan tidak serta merta kehilangan statusnya sebagai badan hukum dan tetap mempunyai hak konstitusional untuk ikut dalam pemilihan umum berikutnya dengan memenuhi persyaratan yang ditentukan. Apabila suatu partai politik tidak mengikuti pemilihan umum berikutnya, tidak menjadikan partai politik tersebut kehilangan statusnya sebagai badan hukum dan partai politik tersebut dapat melakukan persiapan yang lebih matang untuk mengikuti Pemilu atau melakukan kaderisasi. Dengan cara demikian, akan tetap terjamin hak berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat yang dimiliki oleh anggota sebuah partai politik. Terjaminnya kelangsungan eksistensi partai politik yang berbadan hukum yang gagal menempatkan wakilnya dalam lembaga perwakilan dalam suatu masa pemilihan umum, akan terhindar pula adanya musim pendirian partai politik pada setiap menjelang pelaksanaan Pemilu.
Berdasarkan uraian tersebut MK berpendapat bahwa Pasal 51 ayat (1) UU Parpol 2011 melanggar hak konstitusional para Pemohon yang dijamin oleh UUD Tahun 1945. Pasal 51 ayat (1) UU Parpol 2011 bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dengan konsekuensi tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat maka akan mempunyai akibat langsung kepada Pasal 51 ayat (1a) yaitu tidak relevannya lagi adanya frasa ”Verifikasi Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)” dan pada Pasal 51 ayat (1b) yang menyatakan, ”Dalam hal Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memenuhi syarat verifikasi, keberadaan partai politik tersebut tetap diakui sampai dilantiknya anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota hasil Pemilihan Umum tahun 2014”, serta Pasal 51 ayat (1c) yang menyatakan, ”Anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1b) tetap diakui keberadaannya sebagai anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sampai akhir periode keanggotannya”, sehingga ketentuan tersebut tidak diperlukan lagi. Oleh karenanya, menurut MK dalil Pemohon beralasan menurut hukum.

b. Pendapat hukum MK terhadap perkara Nomor 35/PUU-IX/2011
MK mencermati UU Parpol 2011 telah mempersulit dan memperberat untuk mendirikan dan membentuk partai baru, karena sebelum perubahan UU Parpol 2008 in casu Pasal 2 ayat (1), partai politik didirikan oleh 50 orang WNI, namun setelah perubahan dengan UU Parpol 2011 in casu Pasal 2 ayat (1) dan ayat (1a), partai politik didirikan dan dibentuk oleh paling sedikit 30 orang WNI dari setiap provinsi dan didaftarkan paling sedikit oleh 50 orang pendiri yang mewakili seluruh pendiri partai politik.
MK berpendapat bahwa syarat pendirian dan pembentukan partai politik yaitu didirikan paling sedikit 30 orang dari setiap provinsi merupakan pilihan kebijakan yang wajar, dan syarat demikian tidaklah berlebihan. Apabila dasar yang dijadikan perbandingan para Pemohon untuk menilai berat atau tidaknya dalam pendirian partai politik baru tersebut menggunakan UU Parpol 2008, maka terlihat persyaratan pembentukan partai politik baru memang berat.
Akan tetapi, menurut MK, untuk mendirikan partai politik seharusnya tidak hanya digunakan perbandingan dengan UU Parpol 2008, melainkan juga harus mempertimbangkan jumlah penduduk yang semakin bertambah. Karena persyaratan pendirian partai politik baru tersebut menggunakan pertimbangan bertambahnya penduduk, maka menjadi wajar jika disyaratkan bahwa pendirian partai politik baru oleh paling sedikit 30 orang pendiri di setiap provinsi. Hal demikian merupakan jumlah yang relatif sedikit dan sederhana atau setidak-tidaknya mudah untuk dipenuhi oleh partai politik baru tersebut.
Selain itu, sebagai negative legislator pada dasarnya MK tidak dapat membentuk norma sebagai pengganti dari norma yang dibatalkan sehingga apabila pasal tersebut dibatalkan atau dinyatakan inkonstitusional maka akan terjadi kekosongan hukum. Terlebih lagi berdasarkan pengalaman di masa lalu, setiap terjadi perubahan Undang-Undang tentang kepartaian selalu pula terjadi perubahan syarat-syarat pendirian dan pembentukan partai baru. Hal tersebut dapat dipahami sebagai penyesuaian tingkat perkembangan bangsa dan negara. Oleh karena itu, menurut MK dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
UU Parpol 2011 pun telah mempersulit partai politik untuk menjadi badan hukum, karena Pasal 3 ayat (2) terutama huruf c UU Parpol 2011 mensyaratkan partai politik tersebut harus memiliki kepengurusan pada setiap provinsi, dan paling sedikit 75% dari jumlah kabupaten/kota pada provinsi yang bersangkutan, serta paling sedikit 50% dari jumlah kecamatan pada kabupaten/kota yang bersangkutan. Selain itu, UU Parpol 2011 telah menyamakan persyaratan partai politik menjadi badan hukum dengan persyaratan partai politik untuk mengikuti Pemilu. Penyamaan demikian telah melahirkan pembatasan terhadap pendirian dan pembentukan partai politik bagi warga negara, padahal hak untuk berserikat dan berkumpul, serta hak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya dijamin oleh Pasal 28 dan Pasal 28C ayat (2) UUD Tahun 1945.
Terhadap dalil para Pemohon tersebut, menurut MK, partai politik merupakan organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok WNI secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita dalam memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa, dan negara melalui pemilihan umum. Untuk dapat mengikuti pemilihan umum, partai politik tersebut harus berbadan hukum yang didaftarkan pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. UU Parpol 2011 telah menentukan syarat pemberian badan hukum kepada partai politik, yaitu antara lain, “kepengurusan pada setiap provinsi dan paling sedikit 75% dari jumlah kabupaten/kota pada provinsi yang bersangkutan dan paling sedikit 50% dari jumlah kecamatan pada kabupaten/kota yang bersangkutan”. Apabila dicermati Undang-Undang tentang Parpol yang berlaku sejak reformasi, yaitu dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Parpol (UU Parpol 1999), UU Parpol 2002, dan UU Parpol 2008, pengaturan syarat partai politik untuk dapat menjadi badan hukum selalu berbeda. Dalam UU Parpol 1999 tidak memasukkan adanya kepengurusan partai politik di daerah (provinsi, kabupaten, dan kecamatan) sebagai salah satu persyaratan badan hukum sebuah partai politik, sedangkan UU Parpol 2002, UU Parpol 2008, dan UU Parpol 2011 mengharuskan pembentukan kepengurusan partai politik di daerah (provinsi, kabupaten, dan kecamatan) sebagai salah satu syarat untuk pendirian badan hukum sebuah partai politik, yang selalu membedakan jumlah kepengurusan di daerah.
Menurut MK, hal tersebut merupakan kebijakan hukum (legal policy) dari pembentuk Undang-Undang di bidang kepartaian dan Pemilu yang bersifat objektif, dan merupakan upaya alamiah dan demokratis untuk menyederhanakan sistem multipartai di Indonesia. Kebijakan yang demikian itu, tergambar dalam penjelasan umum UU Parpol 2011 yang menyatakan “Partai Politik sebagai pilar demokrasi perlu ditata dan disempurnakan untuk mewujudkan sistem politik yang demokratis guna mendukung sistem presidensiil yang efektif. Penataan dan penyempurnaan Partai Politik diarahkan pada dua hal utama, yaitu, pertama, membentuk sikap dan perilaku Partai Politik yang terpola atau sistemik sehingga terbentuk budaya politik yang mendukung prinsipprinsip dasar sistem demokrasi. Hal ini ditunjukkan dengan sikap dan perilaku Partai Politik yang memiliki sistem seleksi dan rekrutmen keanggotaan yang memadai serta mengembangkan sistem pengkaderan dan kepemimpinan politik yang kuat. Kedua, memaksimalkan fungsi Partai Politik baik fungsi Partai Politik terhadap negara maupun fungsi Partai Politik terhadap rakyat melalui pendidikan politik dan pengkaderan serta rekrutmen politik yang efektif untuk menghasilkan kader-kader calon pemimpin yang memiliki kemampuan di bidang politik. Upaya untuk memperkuat dan mengefektifkan sistem presidensiil, paling tidak dilakukan pada empat hal yaitu pertama, mengkondisikan terbentuknya sistem multipartai sederhana, kedua, mendorong terciptanya pelembagaan partai yang demokratis dan akuntabel, ketiga, mengkondisikan terbentuknya kepemimpinan partai yang demokratis dan akuntabel dan keempat mendorong penguatan basis dan struktur kepartaian pada tingkat masyarakat”.
Berdasarkan uraian di atas, MK menilai bahwa ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (2) huruf c UU Parpol 2011 tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945 sebagaimana yang didalilkan oleh para Pemohon. Jika pun pasal tersebut menentukan aturan yang ketat dalam pembentukan partai politik baru, hal tersebut dimaksudkan untuk penguatan partai politik di tengah masyarakat karena tujuan dibentuknya partai politik bukan hanya untuk ikut serta dalam pemilihan umum, tetapi juga untuk (i) pendidikan politik bagi anggotanya dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Republik Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; (ii) penciptaan iklim yang kondusif serta sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa untuk menyejahterakan masyarakat; (iii) penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat secara konstitusional dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara; (iv) wahana partisipasi politik warga negara; dan (v) rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.
MK juga mencermati Pasal 51 ayat (1a) UU Parpol 2011 yaitu memberikan waktu yang singkat yaitu 2 ½ tahun kepada partai politik untuk memenuhi kewajiban verifikasi, sehingga menurut para Pemohon ketentuan tersebut telah berlaku sewenang-senang dan tidak adil, menghalangi hak setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam pemerintahan melalui pendirian partai politik supaya dapat mengikuti Pemilu Tahun 2014.
Terhadap dalil para Pemohon tersebut, MK telah memutus dalam putusan Nomor 15/PUU-IX/2011, tanggal 4 Juli 2011 yang pada pokoknya menyatakan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU Parpol 2011 bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Dalam putusan tersebut, MK telah pula menyatakan bahwa ketentuan Pasal 51 ayat (1a) UU Parpol 2011 pada frasa “Verifikasi Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)” tidak ada relevansinya karena Pasal 51 ayat (1) UU Parpol 2011 telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Adapun untuk permohonan ini masih berlaku ketentuan Pasal 51 ayat (1a) UU Parpol 2011, yaitu sepanjang mengenai verifikasi terhadap partai politik baru. Meskipun verifikasi terhadap partai politik baru tersebut tidak dinyatakan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 sehingga ketentuan tersebut tetap konstitusional.
Dalam putusan tersebut juga, Pasal 51 ayat (1a) sepanjang frasa “dan Partai Politik yang dibentuk setelah Undang-Undang ini diundangkan, selesai paling lambat 2 ½ tahun sebelum hari pemungutan suara pemilihan umum” tetap berlaku, namun yang dimaksud dalam putusan tersebut adalah verifikasi tetap diberlakukan kepada “partai politik baru” dan tidak berlaku untuk partai politik lama yang telah berbadan hukum dan pernah mengikuti Pemilu sebelumnya.
Dengan adanya permohonan Pemohon, Mahkamah perlu untuk menetapkan atau menyatakan kembali bahwa yang dimaksud dengan frasa “dan Partai Politik yang dibentuk setelah Undang-Undang ini diundangkan, selesai paling lambat 2 ½ tahun sebelum hari pemungutan suara pemilihan umum” adalah “Verifikasi Partai Politik yang dibentuk setelah Undang-Undang ini diundangkan, selesai paling lambat 2 ½ tahun sebelum hari pemungutan suara pemilihan umum”.
Meskipun demikian menurut MK, ketentuan Pasal 51 ayat (1a) UU Parpol 2011 yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon masih memberikan dua penafsiran hukum yang berbeda, yaitu pertama jangka waktu 2 ½ tahun verifikasi badan hukum partai politik yang dibentuk setelah Undang-Undang ini dimaksudkan untuk mengikuti pemilihan umum pada kesempatan pertama, dan kedua jangka waktu 2 ½ tahun verifikasi berbadan hukum partai politik yang dibentuk setelah Undang-Undang ini tidak untuk mengikuti pemilihan umum tahun 2014.
MK berpendapat bahwa apabila verifikasi partai politik untuk memperoleh badan hukum tersebut dipersyaratkan kepada partai politik baru yang tidak ikut pemilihan umum tahun 2014 maka persyaratan demikian telah membatasi hak kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan sebagaimana diatur dalam Pasal 28 UUD Tahun 1945. Menurut MK, dengan adanya permohonan Pemohon maka unsur baru yang harus dinilai konstitusionalitasnya oleh MK adalah ketentuan tentang “... harus dilakukannya verifikasi paling lambat 2 ½ tahun sebelum pemungutan suara”. Ketentuan yang demikian menutup kemungkinan bagi warga negara yang ingin mendirikan partai politik sewaktu-waktu, sekaligus menghambat partai politik baru yang tidak bermaksud untuk mengikuti Pemilu tersebut.
MK berpendapat, ketentuan Pasal 51 ayat (1a) UU Parpol 2011 dalam putusan Nomor 15/PUU-IX/2011, tanggal 4 Juli 2011, harus dimaknai bahwa harus selesai dalam tenggang waktu paling lambat 2 ½ tahun sebelum hari pemungutan suara adalah selesainya verifikasi untuk mengikuti pemilihan umum pertama kali sejak partai politik didirikan dan berbadan hokum. Oleh karenanya, menurut MK dalil para Pemohon beralasan hukum untuk sebagian.

c. Pendapat hukum MK terhadap perkara Nomor 39/PUU-XI/2013
MK telah mendengar dan membaca keterangan tertulis Pemerintah yang pada pokoknya mengemukakan bahwa pemberhentian para Pemohon sebagai anggota perwakilan rakyat merupakan konsekuesi logis dari sebuah tindakan para pemohon yang menjadi anggota perwakilan rakyat. Hal ini mengingat bahwa setiap orang yang duduk dalam sebuah partai dianggap telah memahai visi/misi partai sebagai aspirasi rakyat yang tertuang dalam AD/ART partai tersebut. Dengan demikian maka bagi anggota parpol yang lama dan berhenti sebagai anggota perwakilan rakyat yang lama guna memahami visi/misi dari parpol yang baru sebelum yang bersangkutan duduk sebagai anggota perwakilan rakyat.
MK telah membaca keterangan tertulis dari DPR yang pada pokoknya menerangkan bahwa ketentuan Pasal 16 ayat (3) UU Parpol 2011 telah sejalan dengan ketentuan Pasal 213 ayat (2) huruf h dan huruf I Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3), yang mengatur bahwa anggota bersangkutan diberhentikan sebagai anggota DPR/DPRD apabila diberhentikan sebagai anggota partai politik berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan atau menjadi anggota partai politik lain. Konsekuensi logis dari perserta Pemilu Anggota DPR dan DPRD adalah partai politik sebagaimana diatur dalam Pasal 22E ayat (3) UUD Tahun 1945. Keberadaan calon dan/atau anggota DPR dan anggota DPRD tidak dapat dilepaskan dari keberadaan partai politik atau kedudukan yang bersangkutan sebagai anggota partai politik yang mencalonkannya sebagai anggota DPR dan DPRD. Oleh karenanya ketentuan Pasal 16 ayat (3) UU Parpol 2011 telah memiliki legal ratio yang tepat dan benar, sehingga dengan demikian pemberhentian anggota sebagai anggota partai politik otomatis berhenti pula dari keanggotaan DPR atau DPRD.
Terdapat prinsip kedaulatan rakyat yang dianut oleh Indonesia sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD Tahun 1945 yaitu kedaulatan berada di tangan rakyat. Salah satu konsep dari prinsip kedaulatan rakyat adalah bahwa dalam Pemilu, rakyat langsung memilih siapa wakil yang dikehendakinya. Banyaknya suara pilihan rakyat menunjukkan tingginya legitimasi politik yang diperoleh wakil rakyat. Legitimasi politik dalam sebuah konfigurasi tersebut harus dipertahankan, kecuali jika terjadi hal-hal yang menyebabkan harus dilakukannya pergantian, karena pada prinsipnya tidak boleh ada kekosongan keanggotaan DPR atau DPRD, karena kekosongan keanggotaan akan menghambat terselenggaranya tugas Negara. Permasalahan hukum yang para Pemohon alami, yaitu terjadinya perpindahan anggota partai politik yang juga merupakan anggota DPR atau DPRD, untuk mencalonkan diri sebagai calon anggota DPR atau DPRD dari partai politik lain pada periode Pemilu selanjutnya, yang berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (3) UU Parpol 2011 mengharuskan yang bersangkutan berhenti pula sebagai anggota DPR atau DPRD, mengandung konsekuensi akan terjadinya kekosongan sebagian anggota DPR atau DPRD.
Menurut MK, prinsip pengisian kekosongan keanggotaan pada DPR atau DPRD harus didasarkan pada partai politik sebagai peserta Pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 22E ayat (3) UUD Tahun 1945. Selain itu, harus pula didasarkan pada figur calon anggota DPR atau DPRD yang dipilih oleh masyarakat dengan perolehan suara terbanyak.
Pada dasarnya partai politik adalah salah satu bentuk dan sarana bagi warga negara untuk memperjuangkan haknya secara berkelompok demi kemajuan masyarakat, bangsa dan negaranya. Setiap warga negara berhak mendirikan atau menjadi anggota suatu partai politik dalam rangka memperjuangkan haknya. Hak konstitusional tersebut dijamin oleh Pasal 28 UUD Tahun 1945.
Menurut MK, konstitusi tidak memberikan suatu pembatasan bahwa seseorang tidak boleh pindah menjadi anggota partai politik lain atau bahkan pada saat yang bersamaan seseorang tidak boleh menjadi anggota lebih dari satu partai politik. Oleh karena itu tidak ada kewajiban konstitusional seorang warga negara untuk pindah menjadi anggota partai politik lain atau memilih salah satu atau beberapa partai politik dalam waktu bersamaan, sehingga tidak ada kewajiban konstitusional pula bagi seorang warga negara untuk berhenti dari keanggotaan salah satu partai politik karena menjadi anggota partai politik lain. Pada sisi lain, seseorang yang telah masuk dan menyatakan kesediaan untuk menjadi anggota dari suatu partai politik mempunyai kewajiban untuk tunduk dan mengikuti disiplin dan aturan internal partai politik yang bersangkutan.
Menurut MK meskipun peran partai politik dalam proses rekrutmen telah selesai dengan dipilihnya calon anggota DPR atau DPRD oleh rakyat melalui Pemilu, namun partai politik tetap memiliki hak dan kebebasan untuk melakukan pemberhentian terhadap anggota sesuai dengan aturan internal partainya. Hak demikian tidak dapat dipaksakan untuk dilakukan atau tidak dilakukan. Dalam pemahaman yang demikianlah, makna Pasal 16 ayat (3) UU Parpol 2008, dalam hal seseorang telah diberhentikan dari anggota partai politiknya berhenti pula keanggotaan yang bersangkutan mewakili partai tersebut di lembaga DPR atau DPRD.
Jika partai politik melakukan pemberhentian anggota karena yang bersangkutan menjadi anggota partai politik lain, untuk selanjutnya partai politik yang bersangkutan berhak melakukan penggantian antarwaktu sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf g UU Parpol 2008. Hal ini juga berlaku apabila ada anggota DPR atau DPRD yang mengundurkan diri, atau mangkat, maka mekanisme penggantian antarwaktu anggota DPR atau DPRD merupakan hak dari partai politik yang bersangkutan.
Dalam pelaksanaan penggantian antarwaktu MK perlu mengutip kembali pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008, tanggal 23 Desember 2008, yang antara lain, mempertimbangkan bahwa karena calon terpilih didasarkan pada calon anggota legislatif yang mendapat suara terbanyak secara berurutan, maka yang akan menggantikan adalah anggota partai politik yang memperoleh suara terbanyak berikutnya dalam urutan daftar calon anggota legislatif partai politik yang bersangkutan di daerah pemilihannya;
MK akan mempertimbangkan apakah seseorang yang pindah menjadi anggota partai politik lain serta merta berhenti menjadi anggota legislatif yang sedang didudukinya. Dalam hal partai politik yang mencalonkannya sebagai anggota DPR atau DPRD telah memberhentikannya sebagai anggota partai politik, maka adalah hak konstitusional partai politik yang mencalonkannya untuk menariknya menjadi anggota DPR atau DPRD dan menjadi kewajiban pula bagi anggota partai politik yang bersangkutan untuk berhenti dari anggota DPR atau DPRD. Dalam kerangka pemahaman yang demikianlah, menurut Mahkamah ketentuan Pasal 16 ayat (3) UU Parpol 2008 adalah konstitusional. Akan tetapi, apabila partai politik yang mencalonkan yang bersangkutan tidak memberhentikannya sebagai anggota partai dan tidak juga menariknya sebagai anggota DPR atau DPRD, walaupun yang bersangkutan telah menjadi anggota partai politik lain, tidak serta merta berhenti pula menjadi anggota DPR atau DPRD. Hal demikian harus dilihat secara spesifik kasus per kasus, sehingga tidak menimbulkan problem hukum dan problem konstitusional yang baru. Hal utama yang harus dipertimbangkan adalah mengapa partai politik yang mencalonkan yang bersangkutan tidak menarik anggotanya yang pindah menjadi anggota partai politik lain, dan dengan alasan apa yang bersangkutan pindah partai politik. Dalam kasus yang dipersoalkan oleh para Pemohon, para Pemohon pindah menjadi anggota partai politik lain, oleh karena partai politik yang semula mencalonkannya sebagai anggota DPR atau DPRD tidak lagi sebagai peserta Pemilu.
Di beberapa daerah di mana keanggotaan DPRD mayoritas diisi oleh partai yang tidak lagi ikut dalam Pemilu tahun berikutnya, maka anggota DPRD secara massal juga akan melakukan perpindahan ke partai politik lain yang menjadi peserta pada Pemilu berikutnya. Dalam jumlah yang signifikan, perpindahan anggota DPRD ini akan menimbulkan permasalahan dalam penggantian anggota yang mengakibatkan DPRD tidak akan dapat melaksanakan tugas konstitusionalnya, padahal pada tingkat daerah, DPRD merupakan bagian penting sebagai unsur dari pemerintah daerah bersama dengan kepala daerah.
Kekosongan keanggotaan, apalagi dalam jumlah yang signifikan, akan menimbulkan persoalan legitimasi dan legalitas pengambilan keputusan sehingga mengakibatkan kepincangan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Menurut Mahkamah, dalam kasus demikian terdapat dua masalah konstitusional yang harus dipecahkan, yaitu pertama, tidak berfungsinya DPRD menjalankan tugas konstitusionalnya dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah; dan kedua, terabaikannya hak konstitusional warga negara yang telah memilih para wakilnya.
Oleh karena itu, untuk menjamin tetap tegaknya hak-hak konstitusional tersebut, MK harus menafsirkan secara konstitusional bersyarat tentang Pasal 16 ayat (3) UU Parpol 2008, sehingga tidak menimbulkan persoalan konstitusional baru sebagai akibat terjadinya kekosongan anggota DPR dan DPRD. Menurut MK, dalil para Pemohon beralasan hukum untuk sebagian.

d. Pendapat Hukum MK terhadap Perkara Nomor 100/PUU-XI/2013
Bahwa maksud UU Parpol 2011 yaitu untuk memberikan landasan hukum kaidah demokrasi, yaitu menjunjung tinggi hukum, aspirasi, keterbukaan, keadilan, tanggungjawab, dan perlakukan diskriminatif dalam NKRI. Dalam rangka menguatkan pelaksanaan demokrasi dan sistem kepartaian yang efektif sesuai dengan UUD Tahun 1945 diperlukan penguatan kelembagaan serta peningkatan fungsi dan peran Parpol yaitu untuk melaksanakan pendidikan politik bagi anggota Parpol dan masyrakat yang antara lain kegiatannya berupa pendalaman mengenai empat pilar.
Menimbang dari perspektif materi pendidikan politik sesungguhnya ketentuan tersebut tidak ada persoalan konstitusionalitasnya, sebab keempat materi pendidikan politik tersebut merupakan materi yang penting dan mendasar untuk diketahui, dihayati, dan diamalkan oleh seluruh komponen bangsa pada umumnya dan anggota parpol pada khususnya. Parpol sebagai sarana pendidikan politik dan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan negara wajar dan bahkan harus menjadikan keempat substansi tersebut sebagai materi pendidikan politik. Persosalan konstitusional muncul karena materi muatan pasal a quo tidak hanya berupa materi pendidikan politik semata, melainkan memberikan pengertian juga bahwa keempat materi muatan pendidikan politik dimaksud didukkan dalam posisi yang sama dan sederajat, yakni sebagai pilar kehidupan kebangsaan dan kenegaraan.
Menurut MK, terdapat permasalahan konstitusionalitas yang terdapat dalam frasa “empat pilar”, dengan adanya frasa tersebut, makna Pancasila, UUD Tahun 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI yang menjadi materi pendidikan politik tersebut masing-masing diposisikan sebagai pilar yang masing-masing memiliki kedudukan yang sama dan sederajat. Dalam KBBI, pilar berarti tiang penguat, dapat diartikan bahwa empat pialr adalah tiang penguat berbangsa dan bernegara. Menurut MK, dari perspektif konstitusional adalah tidak tepat, sebab keempat materi pendidikan politik tersebut sebenarnya seluruhnya telah tercakup dalam UUD Tahun 1945 yaitu pancasila adalah sebagai dasar negara yang terdapat dalam pembukaan UUD Tahun 1945.
Menurut MK, pendidikan politik berbangsa dan bernegara tidak hanya terbatas pada keempat pilar tersebut, melainkan masih banyak aspek lainnya yang penting, antara lain negara hukum, kedaulatan rakyat, wawasan nusantara, ketahanan nasional, dll. Oleh karena itu, dalam melakukan pendidikan politik, partai politik harus juga melakukan pendidikan politik terhadap berbagai aspek penting dalam berbangsa dan bernegara tersebut. Menempatkan Pancasila sebagai salah satu pilar selain mendudukan sama dan sederajat dengn pilar yang lain, juga akan menimbulkan epistimologis, ontologis, dan aksiologis. Pancasila memiliki kedudukan yang tersendiri dalam kerangka berpikir bangsa dan negara Indonesia berdasarkan konstitusi yaitu disamping sebagai dasar negara, juga sebagai dasar filosofi negara, norma fundamental negara, ideologi negara, citra hukum negara, dan sebagainya. Oleh karena itu, menempatkan Pancasila sebagai salah satu pilar dapat mengaburkan posisi Pancasila dalam makna yang demikian itu. Dengan demikian menurut MK dalil pemohon beralasan menurut hukum.

2. Implikasi Putusan MK
Dalam Perkara MK Nomor 15/PUU-IX/2011, Pemohon dalam permohonannya mengemukakan bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan dengan berlakunya ketentuan Pasal 51 ayat (1), pada adanya frasa “dengan kewajiban melakukan penyesuaian menurut Undang-Undang ini dengan mengikuti verifikasi”, yang menyebabkan para Pemohon terancam tidak dapat menjalankan peran dan fungsi dari partai politiknya, salah satunya adalah agenda untuk mengikuti pesta demokrasi Pemilu tahun 2014. Ketentuan Pasal 51 ayat (1) menjelaskan jika suatu partai politik meskipun telah sah dan berbadan hukum apabila gagal/tidak lolos dalam proses verifikasi maka akibat hukumnya tidak memiliki hak konstitusional sebagai peserta Pemilu.
Putusan MK Perkara Nomor 15/PUU-IX/2011 mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya, Majelis Hakim memutuskan bahwa Pasal 51 ayat (1) dan Pasal 51 ayat (1a) sepanjang frasa ”Verifikasi Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)” dalam Pasal 51 ayat (1), Pasal 51 ayat (1a), Pasal 51 ayat (1b), dan Pasal 51 ayat (1c) UU Parpol 2011 bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Akibat putusan ini maka terdapat kekosongan hukum mengenai status keberadaan suatu partai politik yang telah ada dan disahkan berdasarkan UU Parpol 2011 dan keikutsertaan partai politik tersebut untuk mengikuti Pemilu kembali.
Dalam Perkara MK Nomor 35/PUU-IX/2011, Pemohon dalam permohonannya merasakan bahwa ketentuan yang berkaitan dengan persyaratan pendirian dan pembentukan partai politik baru sebagaimana diatur dalam pasal-pasal tersebut dapat mengganggu, merintangi, atau mempunyai potensi kuat melanggar hak konstitusional Pemohon antara lain karena persyaratan yang dibebankan untuk mendirikan dan membentuk partai politik baru sangat berat, memerlukan biaya yang sangat besar, dan hanya disediakan waktu pendirian yang sangat singkat apabila partai politik tersebut hendak mengikuti Pemilihan Umum di tahun 2014.
Putusan MK Perkara Nomor 35/PUU-IX/2011 mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian, Majelis Hakim memutuskan Pasal 51 ayat (1a) UU Parpol 2011 bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Verifikasi partai politik yang dibentuk setelah Undang-Undang ini harus dilakukan paling lambat 2 ½ (dua setengah) tahun sebelum hari pemungutan suara untuk mengikuti pemilihan umum pada pemilihan umum pertama kali setelah partai politik yang bersangkutan didirikan dan berbadan hukum”. Akibat hukumya yaitu verifikasi partai politik tersebut tetap diberlakukan kepada “partai politik baru” dan tidak berlaku untuk partai politik lama yang telah berbadan hukum dan pernah mengikuti Pemilu sebelumnya.
Dalam Perkara MK Nomor 39/PUU-XI/2013,; Pemohon dalam permohonannya mengemukakan bahwa dengan berlakunya ketentuan Pasal 16 ayat (3) UU Parpol 2008 berakibat Pemohon tidak lagi dapat menyelesaikan masa pengabdiannya di badan legislatif.
Putusan MK Perkara Nomor 39/PUU-XI/2013 mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian, Majelis Hakim memutuskan bahwa Pasal 16 ayat (3) UU Parpol 2008 bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. sepanjang tidak dimaknai, “dikecualikan bagi anggota DPR atau DPRD jika:
a. partai politik yang mencalonkan anggota tersebut tidak lagi menjadi peserta Pemilu atau kepengurusan partai poitik tersebut sudah tidak ada lagi,
b. anggota DPR atau DPRD tidak diberhentikan atau tidak ditarik oleh partai politik yang mencalonkannya,
c. tidak lagi terdapat calon pengganti yang terdaftar dalam Daftar Calon Tetap dari partai yang mencalonkannya”.
Akibat putusan ini maka terdapat kekosongan anggota di lembaga perwakilan rakyat, karena anggota yang keluar dari partai akan keluar juga dari keanggotaan di lembaga perwakilan rakyat.
Dalam Perkara MK Nomor 100/PUU-XI/2013, Pemohon dalam permohonannya menguji materiil Pasal 34 ayat (3b) huruf a UU Parpol 2011 terhadap Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Ketentuan Pasal 34 ayat (3b) huruf a tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum karena kedudukan Pancasila yang merupakan dasar negara telah disejajarkan dengan UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI, yang disebut “empat pilar berbangsa dan bernegara”, artinya Pancasila mengalami degradasi. Menyamakan “dasar negara” dengan “pilar” merupakan kekeliruan yang sangat fundamental artinya telah mengubah dasar negara Republik Indonesia.
Putusan Perkara MK Nomor 100/PUU-XI/2013 mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian, Majelis Hakim memutuskan Frasa “empat pilar berbangsa dan bernegara yaitu” dalam Pasal 34 ayat (3b) huruf a UU Parpol 2011 bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Akibat putusan ini maka terkait pendidikan politik yang berkaitan dengan pendalaman mengenai empat pilar berbangsa dan bernegara terdapat ketidakjelasan.

Pengujian undang-undang yang dilakukan oleh suatu peradilan pada dasarnya akan berakhir dalam suatu putusan yang merupakan pendapat tertulis hakim konstitusi tentang perselisihan penafsiran satu norma atau prinsip yang ada dalam UUD. Jika satu amar putusan menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau ayat bagian undang-undang bahkan undang-undang secara keseluruhan bertentangan dengan UUD Tahun 1945, maka materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang diuji tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Bunyi putusan demikian mengandung arti bahwa ketentuan norma yang termuat dalam satu undang-undang dinyatakan batal (null and void) dan tidak berlaku lagi. Putusan yang demikian sudah barang tentu memiliki implikasi hukum yang luas. Selain memberi kemanfaatan pada para pencari keadilan, seringkali putusan tersebut dinilai berpotensi menyebabkan terjadinya kekosongan hukum (legal vacuum), kekacauan hukum (legal disorder), bahkan politik beli waktu (buying time) pembentuk undang-undang. Karena itu menurut Maruarar Siahaan, dibutuhkan mekanisme prosedural tentang bagaimana tindak lanjut dari pembatalan pemberlakukan suatu ketentuan tersebut. Persoalan yang selalu dikaitkan dengan sulitnya implementasi eksekusi putusan Mahkamah Konstitusi adalah sifat putusannya yang final, dengan kata mengikat (binding). Karena, putusan Mahkamah Konstitusi mengikat umum, pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan ketentuan undang-undang yang telah diputus harus melaksanakan putusan itu.
Namun demikian, mengingat norma dalam undang-undang adalah satu kesatuan sistem, ada pelaksanaan putusan yang harus melalui tahapan-tahapan tertentu, bergantung pada substansi putusan. Dalam hal ini, ada putusan yang dapat dilaksanakan langsung tanpa harus dibuat peraturan baru atau perubahan, ada pula yang memerlukan pengaturan lebih lanjut terlebih dahulu. Tatkala suatu putusan akan langsung efektif berlaku tanpa diperlukan tindak lanjut lebih jauh dalam bentuk kebutuhan implementasi perubahan undang-undang yang diuji, maka putusan ini dapat dikatakan berlaku secara self-executing. Dalam artian, putusan itu terlaksana dengan sendirinya.
Ini terjadi karena norma yang dinegasikan tersebut mempunyai ciri-ciri tertentu yang sedemikian rupa dapat diperlakukan secara otomatis tanpa perubahan atau perubahan undang-undang yang memuat norma yang diuji dan dinegasikan tersebut, ataupun tanpa memerlukan tindak lanjut dalam bentuk perubanan undang-undang yang diuji tersebut. Secara umum putusan-putusan yang bersifat self-executing/implementing dapat ditelusuri dari sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi baik amarnya menyatakan batal (null and void) dan tidak berlaku lagi ataupun amarnya terdapat perumusan norma.
Implementasi putusan-putusan Mahkamah Konstitusi dapat dilihat dari model putusannya. Implementasi model putusan yang secara hukum membatalkan dan menyatakan tidak berlaku dan model putusan yang merumuskan norma baru bersifat langsung dapat dieksekusi (self executing/self implementing), sedangkan baik model putusan konstitusional bersyarat maupun model putusan inkonstitusional bersyarat tidak dapat secara langsung dieksekusi (non-self executing/implementing).
Pengujian beberapa pasal dalam UU Parpol 2008 dan UU Parpol 2011 sebagaimana telah dipaparkan pada sub bab sebelumnya, telah mengabulkan putusan untuk seluruhnya maupun sebagian. Terhadap pengujian beberapa pasal tersebut, perlu kiranya untuk dilakukan evaluasi guna melihat keadaan hukum baru ataupun kekosongan hukum yang mungkin terjadi akibat putusan MK tersebut.
Adapun keadaan hukum baru yang terjadi akibat pengujian beberapa Pasal dalam UU Parpol 2008 dan UU Parpol 2011 telah dipaparkan diatas. Pengujian Pasal 51 ayat (1) UU Parpol 2011 Perkara Nomor 15/PUU-IX/2011, mengenai frasa “dengan kewajiban melakukan penyesuaian menurut undang-undang ini dengan mengikuti verifikasi” perlu direformulasi kembali agar tercipta kepastian hukum. Rumusan norma Pasal harus membedakan antara tata cara pembentukan atau pendirian partai politik dengan syarat bagi partai politik untuk dapat mengikuti pemilihan umum. Rumusan yang ada saat ini, menyangkut pada eksistensi partai politik sebagai badan hukum. Status badan hukum dari suatu partai politik dapat hilang akibat tidak lolos verifikasi sehingga menyebabkan tidak dapat menjadi peserta pemilu kembali. Hal ini karena partai politik mempunyai fungsi sangat penting dalam sistem ketatanegaraan untuk mendudukkan wakilnya di lembaga perwakilan
Pengujian Pasal 16 ayat (3) UU Parpol 2008 dalam Perkara MK Nomor 39/PUU-XI/2013, terhadap,rumusan normanya yaitu menimbulkan kekosongan keanggotaan di lembaga perwakilan rakyat, padahal legitimasi politik yang diperoleh wakil rakyat harus dipertahankan. Formulasi baru dari Pasal 16 ayat (3) yaitu pemberhentian dari keanggotaan partai politik tidak boleh diikuti dengan pemberhentian dari keanggotaan di lembaga perwakilan rakyat. Hal ini karena kekosongan keanggotaan di lemabga perwakilan rakyat akan menghambat terselengaranya tugas negara.
Pengujian Pasal 34 ayat (3b) huruf a UU Parpol 2011 dalam Perkara MK Nomor 100/PUU-XI/2013 mengenai Frasa “empat pilar berbangsa dan bernegara” harus dibuat norma baru terkait pendidkan politik yang berkaitan dengan pendalaman mengenai empat pilar berbangsa dan bernegara terdapat ketidakjelasan apakah pancasila termasuk dalam empat pilar atau tidak. Karena pendapat Hakim MK terdapat dissenting opinion yang menyatakan bahwa Pancasila memang termasuk dalam empat pilar walupun Pancasila itu adalah dasar negara Republik Indonesia.

Partisipasi politik masyarakat harus ditingkatkan dalam mengembangkan kehidupan demokrasi dan meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan, juga harus dapat terjamin kepastian hukum melalui peraturan perundang-undangan yakni UU tentang Partai Politik. Telah terdapat 4 (empat) pengujian materiil UU tentang Partai Politik yang diajukan di MK dengan putusan mengabulkan seluruhnya dan sebagian, yakni Putusan MK Nomor 15/PUU-IX/2011, Putusan MK Nomor 35/PUU-IX/2011, Putusan MK Nomor 39/PUU-XI/2013, dan Putusan MK Nomor 100/PUU-XI/2013. Dikabulkannya Pasal 16 ayat (3) UU Parpol 2008 serta Pasal 34 ayat (3b) huruf a, Pasal 51 ayat (1), dan Pasal 51 ayat (1a) UU Parpol 2011 dalam 4 permohonan perkara tersebut diatas telah menciptakan keadaan hukum baru.
Keadaan hukum baru yang tercipta akibat putusan MK terhadap Pasal 51 ayat (1) dan Pasal 51 ayat (1a) UU Parpol 2011 mengenai keberadaan partai politik yang telah sah berbadan hukum untuk ikut kembali dalam pemilihan umum dan persyaratan mengenai pendirian partai politik dan verifikasi bagi partai politik untuk menjadi peserta dalam pemilu. Kemudian Pasal 16 ayat (3) UU Parpol 2008 mengenai pemberhentian anggota lembaga perwakilan rakyat dari partai politiknya berarti anghota yang berhenti dari partai politiknya juga berhenti sebagai anggota perwakilan rakyat karena partai politik lamanya tidak lagi sebagai peserta pemilu berikutnya sehingga anggota perwakilan tersebut harus pindah partai partai politik yang baru, hal ini menimbulkan kekosongan keanggotaan dalam lembaga perwakilan rakyat. Terakhir Pasal 34 ayat (3b) huruf a menimbulkan ketidakpastian hukum mengenai pancasila dimasukkan dalam empat pilar, karena kedudukan pancasila disejajarkan dengan UUD Tahun 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI sehingga pendidikan politik berkaitan dengan kegiatan pendalaman mengenai empat pilar itu pancasila tidak disejajarkan dengan UUD Tahun 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI dan dapat memasukkan aspek lain dalam pendidikan politik yaitu kedaulatan rakyat, wawasan nusantara, ketahanan nasional, dll.
Dari beberapa putusan diatas, perlu dilakukan perubahan terhadap rumusan norma yang telah diputus secara bersyarat tersebut dan juga penyesuaian beberapa undang-undang terkait terhadap putusan MK tersebut. Hal ini guna lebih memberikan kepastian hukum atas berlakunya norma akibat dari putusan Mahkamah Konstitusi. Untuk itu, perlu dilakukan reformulasi materi muatan atas beberapa hal yang telah diputus MK agar peran partai politik dalam pemilihan umum sesuai dengan amanah UUD Tahun 1945.

Perlu dilakukan perubahan terhadap UU Parpol 2011 yang dituangkan dalam rencana perubahan UU Parpol 201 1baik sebagai daftar kumulatif terbuka maupun dalam prolegnas prioritas Tahunan. Adapun perubahan dimaksud adalah terhadap pasal-pasal yang telah diputus oleh MK sebagai berikut:

No Perkara MK Pasal yang dibatalkan Putusan
1 Perkara Nomor 15/PUU-IX/2011 Pasal 51 ayat (1) UU Parpol 2011

Pasal 51 ayat (1)

“Partai Politik yang telah disahkan sebagai badan hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik tetap diakui keberadaannya dengan kewajiban melakukan penyesuaian menurut Undang-Undang ini dengan mengikuti verifikasi”.
Mengabulkan permohonan para pemohon.
2 Perkara Nomor 35/PUU-IX/2011 Pasal 51 ayat (Ia) UU Parpol 2011

Pasal 51 ayat (1a)

“Verikasi Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Partai Politik yang dibentuk setelah Undang-Undang ini diundangkan, selesai paling lambat 2 ½ (dua setengah) tahun sebelum hari pemungutan suara pemilihan umum.”
Pembatalan secara bersyarat
3 Perkara Nomor 39/PUU-XI/2013 Pasal 16 ayat (3) UU Parpol 2008

Pasal 16 ayat (3)

“Dalam hal anggota Partai Politik yang diberhentikan adalah anggota lembaga perwakilan rakyat, pemberhentian dari keanggotaan Partai Politik diikuti dengan pemberhentian dari keanggotaan di lembaga perwakilan rakyat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Pembatalan secara bersyarat
4 Perkara Nomor 100/PUU-XI/2013 Pasal 34 ayat (3b) huruf a UU Parpol 2011

Pasal 34 ayat (3b) huruf a

“Pendidikan Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (3a) berkaitan dengan kegiatan:
a.pendalaman mengenai empat pilar berbangsa dan bernegara yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia;”

Pembatalan secara bersyarat

Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi : Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran / 01-12-2017

Dalam konsiderans menimbang Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU 29 Tahun 2004) disebutkan bahwa: (1) kesehatan sebagai hak asasi manusia harus diwujudkan dalam bentuk pemberian berbagai upaya kesehatan kepada seluruh masyarakat melalui penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau oleh masyarakat; (2) dalam penyelenggaraan upaya kesehatan harus dilakukan oleh dokter dan dokter gigi yang memiliki etik dan moral yang tinggi, keahlian dan kewenangan yang secara terus-menerus harus ditingkatkan mutunya melalui pendidikan dan pelatihan berkelanjutan, sertifikasi, registrasi, lisensi, serta pembinaan, pengawasan, dan pemantauan agar penyelenggaraan praktik kedokteran sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; (3) untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada penerima pelayanan kesehatan, dokter, dan dokter gigi, diperlukan pengaturan mengenai penyelenggaraan praktik kedokteran.
Hak-hak asasi manusia, serta hak dan kewajiban warga negara merupakan materi muatan yang diatur dalam jenis hirarki “Undang-Undang”. Untuk menegakkan dan melindungi HAM, pelaksanaannya dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan (Ps.28I ayat (5)).
UU 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran merupakan salah satu produk berkonotasi dengan istilah pelayanan kesehatan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 34 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Pasal 28H ayat (1) menyebutkan bahwa Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan medapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Begitu juga dengan Pasal 34 ayat (3) yang menyebutkan bahwa Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak, serta ayat (4) yang menyebutkan bahwa Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam Undang-undang.
Selain UU 29 Tahun 2004, pengaturan mengenai pelayanan kesehatan tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu, setiap kegiatan dan upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip nondiskriminatif, partisipatif, perlindungan, dan berkelanjutan yang sangat penting artinya bagi pembentukan sumber daya manusia Indonesia, peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa, serta pembangunan nasional.
Di sisi lain, kurangnya pemahaman komunitas medik (dokter, perawat, dan rumah sakit) seputar aspek-aspek hukum profesi mereka juga merupakan penyebab timbulnya sengketa medik. Hal ini dapat dicegah jika komunitas medik (dan juga masyarakat) memahami batasan hak dan tanggung jawab masing-masing ketika memberikan atau mendapatkan layanan medik. Berbagai persoalan di atas mendorong diajukannya permohonan judicial review UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran melalui putusan Mahkamah Konstitusi Pkr.No. 4/PUU-V/2007 dan Pkr.No. 40/PUU-X/2012.
Meski putusan Mahkamah Konstitusi bisa langsung dilaksanakan tanpa harus menunggu perubahan undang-undang, namun untuk menghindari kekacauan hukum dalam masyarakat akibat tidak terkompilasinya putusan MK dalam satu naskah yang utuh maka Pemerintah dan DPR perlu menindaklanjuti dengan membuat usulan perubahan atas UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran sebagaimana telah diputuskan oleh MK.

1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK?
2. Apa akibat hukum terhadap pasal dan ayat suatu UU yang dinyatakan MK sebagai konstitusionalitas/inkonstitusionalitas bersyarat?
3. Apakah terjadi disharmoni norma dalam suatu UU jika suatu pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK berimplikasi terhadap norma pasal ayat lain yang tidak diujikan?

KONSTITUSIONALITAS UNDANG-UNDANG

Pengujian undang-undang terhadap UUD NRI 1945 yang menjadi kewenangan MK merupakan wujud prinsip atau asas konstitusionalitas undang-undang (constitutionality of law) yang menjamin bahwa undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang itu tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945. Kewenangan pengujian undang-undang menimbulkan sebuah kewenangan yang mutatis mutandis (dengan sendirinya) ada, yaitu kewenangan menafsirkan konstitusi. Apabila dalam konstitusi tidak terdapat ketentuan yang ekplisit mengenai kewenangan menafsir konstitusi kepada lembaga negara yang diberikan kewenangan constitutional review, maka harus dipahami bahwa kewenangan menafsirkan konstitusi menyertai kewenangan constitutional review tersebut. Oleh sebab itu, sering dinyatakan bahwa Constitutional Court itu merupakan “the guardian of constitution and the sole interpreting of constitution”, disebut sebagai penjaga konstitusi berdasarkan kewenangan dalam memutus apakah sebuah produk perundang-undangan telah sesuai dengan konstitusi atau tidak.
Kewenangan menafsirkan itu sesungguhnya timbul dari sebuah tafsir Pasal 24C UUD NRI 1945 bahwa “MK menguji undang-undang terhadap UUD” sebagai ketentuan pemberian kewenangan constitutional review kepada MK, ketentuan tersebut tidak mengandung kewenangan MK untuk melakukan penafsiran terhadap konstitusi, namun sangatlah tidak mungkin dapat melakukan penilaian pertentangan norma sebuah undang-undang apabila tidak menggunakan penafsiran konstitusi, dalam hal ini MK sebagai penafsir sah terhadap undang-undang dasar atau konstitusi (the legitimate interpreter of the constitution).
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945, salah satu kewenangan dari Mahkamah Konstitusi adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Pengujian undang-undang terhadap UUD NRI 1945 yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan wujud dari prinsip atau asas konstitusionalitas undang-undang (constitutionality of law) yang menjamin bahwa undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang itu tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945.
Pengujian konstitusionalitas undang-undang adalah pengujian mengenai nilai konstitusionalitas undang-undang, baik dari segi formil maupun materiil. Pengujian dari segi formil (formele toetsingsrecht) adalah wewenang untuk menilai apakah suatu produk legislatif dibuat sesuai dengan prosedur ataukah tidak, serta apakah suatu kekuasaan berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Sedangkan pengujian materiil (meteriele toetsingsrecht) adalah wewenang untuk menyelidiki dan menilai apakah suatu peraturan perundang-undangan bertentangan atau tidak dengan peraturan yang lebih tinggi.
Kekuasaan Mahkamah Konstitusi dalam menguji undang-undang terhadap UUD NRI 1945 merupakan konsekuensi dari konsepsi supremasi konstitusi yang dianut oleh Indonesia pasca amandemen UUD NRI 1945. Ada 3 (tiga) ciri utama yang menandai prinsip supremasi konstitusi, yaitu:
1. pembedaan antara norma hukum konstitusi dan norma hukum lainnya;
2. keterikatan pembuat undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar; dan
3. adanya satu lembaga yang memiliki kewenangan untuk menguji konstitusionalitas undang-undang dan tindakan hukum pemerintah.
Selain itu, keberadaan Mahkamah Konstitusi juga telah menciptakan pembagian kekuasaan atau pemisahan kekuasaan yang memungkinkan adanya proses saling mengawasi dan saling mengimbangi di antara cabang-cabang kekuasaan negara yang ada atau lazim disebut dengan mekanisme checks and balances. Hal itu tampak terutama dari salah satu kewenangan yang dilimpahkan kepada Mahkamah Konstitusi untuk menguji undang-undang terhadap UUD NRI 1945.
Pemberian wewenang menguji undang-undang terhadap UUD NRI 1945 kepada Mahkamah Konstitusi juga dinilai sesuai dengan paham konstutisionalisme, dimana Undang-Undang Dasar kedudukannya adalah sebagai bentuk peraturan yang tertinggi. Hakim Mahkamah Konstitusi harus memiliki wewenang untuk membatalkan setiap tindakan Presiden dan juga setiap undang-undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Selain itu, judicial review merupakan proses judicialization of politic terhadap produk legislatif. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa undang-undang merupakan produk politik yang sering kali lebih mengedepankan kepentingan politik suara mayoritas dan cenderung mengabaikan aspek kebenaran dalam proses pengambilan keputusan.
Dengan demikian, esensi dari produk putusan Mahkamah Konstitusi dalam menguji undang-undang terhadap UUD NRI 1945 ditempatkan dalam bingkai mekanisme check and balances antara lembaga negara. Hubungan untuk saling mengontrol ini, pada akhirnya dimaksudkan untuk melahirkan suatu produk hukum yang adil dan betul-betul berorientasi pada kepentingan rakyat. Sehingga, pengujian undang-undang terhadap UUD NRI 1945 dapat juga dilihat sebagai bagian dari koreksi terhadap produk yang dihasilkan oleh DPR RI dan Presiden.

B.PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI FINAL DAN MENGIKAT

Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Dengan demikian, terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tidak dapat dilakukan upaya hukum dan putusan tersebut langsung mengikat sebagai hukum sejak diucapkan di persidangan. Selain itu, berdasarkan Pasal 60 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, terhadap materi muatan undang-undang yang telah diuji oleh Mahkamah Konstitusi tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
Putusan Mahkamah Konstitusi dengan amar yang menyatakan bagian undang-undang, pasal, atau ayat tertentu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat maka putusan tersebut telah mempunyai kekuatan mengikat sejak diumumkan dalam sidang terbuka untuk umum. Makna final juga dapat diartikan bahwa putusan yang diambil dapat menjadi solusi terhadap masalah konstitusi yang dihadapi meskipun hanya bersifat sementara (eenmalig) yang kemudian akan diambil-alih oleh pembuat undang-undang.
Amar putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan satu permohonan pengujian undang-undang akan menyatakan satu pasal, ayat, atau bagian dari undang-undang, dan bahkan undang-undang secara keseluruhan bertentangan dengan UUD NRI 1945. Sebagai konsekuensinya maka undang-undang, pasal, ayat atau bagian dari undang-undang yang diuji tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat. Bunyi putusan demikian sesungguhnya mengandung arti bahwa ketentuan norma yang termuat dalam satu undang-undang dinyatakan batal (null and void) dan tidak berlaku lagi.
Muatan norma yang dikandung dalam pasal, ayat, dan bagian dari undang-undang tersebut tidak lagi menuntut kepatuhan dan tidak mempunyai daya sanksi. Hal itu juga berarti bahwa apa yang tadinya dinyatakan sebagai satu perbuatan yang dilarang dan dihukum, dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan satu pasal, ayat, atau bagian dari undang-undang tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat lagi, maka perbuatan yang tadinya dilarang menjadi tidak terlarang lagi. Putusan Mahkamah Konstitusi yang demikian dalam kenyataannya telah mengubah hukum yang berlaku dan menyatakan lahirnya hukum yang baru, dengan menyatakan bahwa hukum yang lama sebagai muatan materi undang-undang tertentu dinyatakan tidak mempunyai kekuatan lagi sebagai hukum. Dalam kenyataannya, hakim Mahkamah Konstitusi dengan putusan tersebut, sesungguhnya diberikan kekuasaan membentuk hukum untuk menggantikan hukum yang lama, yang dibuat oleh pembuat undang-undang dan oleh konstitusi secara khusus diberi wewenang untuk itu.
Oleh karena itu, apabila Pemerintah atau lembaga negara lain tidak mematuhi putusan tersebut dan justru masih tetap memberlakukan undang-undang yang telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, hal tersebut merupakan tindakan yang pengawasannya ada dalam mekanisme hukum dan tata negara itu sendiri. Adapun perbuatan yang dilakukan atas dasar undang-undang yang telah dinyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat adalah perbuatan melawan hukum dan demi hukum batal sejak semula (ab initio).

C.AKIBAT HUKUM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

Putusan dalam peradilan merupakan perbuatan hakim sebagai pejabat negara berwenang yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dibuat secara tertulis untuk mengakhiri sengketa yang dihadapkan para pihak kepadanya. Sebagai perbuatan hukum yang akan menyelesaikan sengketa yang dihadapkan kepadanya, maka putusan hakim tersebut merupakan tindakan negara di mana kewenangannya dilimpahkan kepada hakim baik berdasarkan UUD NRI 1945 maupun undang-undang.
Dari sudut pandang hukum tata negara, putusan Mahkamah Konstitusi termasuk dalam keputusan negara yang mengandung norma hukum sama halnya dengan putusan pembentuk undang-undang yang bersifat pengaturan (regeling). Putusan Mahkamah Konstitusi dapat membatalkan suatu undang-undang atau materi muatan dalam undang-undang, sedangkan pembentuk undang-undang menciptakan norma hukum dalam bentuk materi muatan dalam suatu undang-undang.
Putusan Mahkamah Konstitusi terutama dalam pengujian undang-undang kebanyakan jenisnya adalah bersifat declaratoir constitutief. Artinya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menciptakan atau meniadakan satu keadaan hukum baru atau membentuk hukum baru sebagai negative legislature. Hal lain yang perlu dicermati lebih lanjut adalah adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) maupun inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional). Varian putusan Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan putusan yang menyatakan bahwa suatu ketentuan undang-undang tidak bertentangan dengan konstitusi dengan memberikan persyaratan pemaknaan dan keharusan kepada lembaga negara dalam pelaksanaan suatu ketentuan undang-undang untuk memperhatikan penafsiran Mahkamah Konstitusi atas konstitusionalitas ketentuan undang-undang yang sudah diuji tersebut. Dengan demikian, terdapat penafsiran sendiri dari Mahkamah Konstitusi agar suatu norma undang-undang tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945.
Putusan Mahkamah Konsitusi sejak diucapkan di hadapan sidang terbuka untuk umum dapat mempunyai 3 (tiga) kekuatan, yaitu:
1. Kekuatan mengikat
Kekuatan mengikat putusan Mahkamah Konstitusi berbeda dengan putusan pengadilan biasa, tidak hanya meliputi pihak-pihak berperkara (interpartes), yaitu pemohon, pemerintah, DPR/DPD, ataupun pihak terkait yang diizinkan memasuki proses perkara, tetapi juga putusan tersebut mengikat bagi semua orang, lembaga negara, dan badan hukum dalam wilayah republik Indonesia.
Putusan tersebut berlaku sebagai hukum sebagaimana hukum diciptakan pembuat undang-undang. Dengan demikian, Hakim Mahkamah Konstitusi dikatakan sebagai negative lagislator yang putusannya bersifat erga omnes, yang ditujukan pada semua orang.
2. Kekuatan pembuktian
Dalam perkara konstitusi yang putusannya bersifat erga omnes, maka permohonan pengujian yang menyangkut materi yang sama yang sudah pernah diputus tidak dapat lagi diajukan untuk diuji oleh siapapun. Putusan Mahkamah Konstitusi yang telah berkekuatan hukum tetap demikian dapat digunakan sebagai alat bukti dengan kekuatan pasti secara positif bahwa apa yang diputus oleh hakim itu dianggap telah benar. Selain itu, pembuktian sebaliknya tidak diperkenankan.
3. Kekuatan eksekutorial
Putusan Mahkamah Konstitusi berlaku sebagai undang-undang dan tidak memerlukan perubahan yang harus dilakukan dengan amandemen atas undang-undang yang bagian tertentu dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Eksekusi putusan Mahkamah Konstitusi telah dianggap terwujud dengan pengumuman putusan tersebut dalam Berita Negara sebagaimana diperintahkan dalam Pasal 57 ayat (3) UU Mahkamah Konstitusi.
Akibat hukum yang timbul dari satu putusan hakim jika menyangkut pengujian terhadap undang-undang diatur dalam Pasal 58 UU Mahkamah Konstitusi, yang pada intinya menyatakan undang-undang yang diuji tetap berlaku sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD NRI 1945. Ketentuan ini juga berarti bahwa putusan hakim Mahkamah Konstitusi yang menyatakan satu undang-undang bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat tidak boleh berlaku surut.

Pada dasarnya, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 4/PUU-V/2007 menghilangkan sanksi pidana pada:
1. Pasal 75 Ayat (1), yang menyatakan “Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah)”, sepanjang mengenai kata-kata “penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau”;
2. Pasal 76 yang menyatakan ”Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah)”, sepanjang mengenai kata-kata “penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau”;
3. Pasal 79 yang menyatakan ”Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), sepanjang mengenai kata-kata “kurungan paling lama 1 (satu)tahun atau”;
4. Pasal 79 huruf c yang menyatakan ”Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah):..... (c) setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e”, sepanjang mengenai kata-kata “atau huruf e”.
Pasal 51 menyatakan:
"Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban :
a. Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien;
b. Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahiian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan;
c. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia;
d. Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan
e. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi.

Pada dasarnya, Putusan Mahkamah Konstitusi 40/PUU-X/2012 menghilangkan larangan pada:
1) Pasal 73 ayat (2) yang menyatakan bahwa “Setiap orang dilarang menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik,” sepanjang tidak dimaknai, “Setiap orang dilarangmenggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanankepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yangbersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik, kecuali tukang gigi yang mendapat izin praktik dari pemerintah”
2) Pasal 78yang menyatakan bahwa“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) dipidana denganpidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda palingbanyak Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah),” sepanjang tidak dimaknai,“Setiap orang yang dengan sengajamenggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yangbersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi atau surat izinpraktik, kecuali tukang gigi yang mendapat izin praktik dari Pemerintahsebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah)”.

Dalam kaitannya dengan praktik terhadap putusan Mahkamah Konstitusi, DPR RI sebagai pembentuk undang-undang bersama dengan Presiden memiliki peran yang krusial terhadap putusan yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi. Peran DPR RI dan Presiden menjadi sangat penting dalam merespon putusan Mahkamah Konstitusi, karena putusannya yang bersifat final dan mengikat wajib dijadikan rujukan dalam proses pembentukan undang-undang yang menjadi kewenangan DPR RI. Selain itu, merujuk pada Pasal 10 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyatakan “materi muatan yang harus diatur dengan undang-undang salah satunya berisi tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi.” Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum. Oleh karena itu, diperlukan keseriusan dan kecermatan untuk menangkap maksud atau makna norma suatu undang-undang yang telah diuji oleh Mahkamah Konstitusi dalam melakukan perubahan terhadap materi atau substansi undang-undang. Hal tersebut perlu dilakukan agar norma suatu undang-undang sesuai dengan jiwa yang terkandung dalam konstitusi dan tidak lagi bertentangan dengan UUD 1945.
Substansi atau norma undang-undang yang tidak bertentangan dengan UUD 1945 juga sesuai dengan teori Hans Kelsen yang menyatakan suatu norma hukum negara selalu berjenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan), yakni norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi dan begitu seterusnya sampai pada suatu norma yang tertinggi yang disebut norma dasar. Dalam konteks Indonesia, UUD 1945 merupakan peraturan perundang-undangan tertinggi yang wajib menjadi acuan bagi peraturan perundang-undangan di bawahnya. Selain itu, pada hakikatnya suatu undang-undang dibuat untuk melaksanakan UUD 1945.
Dari 2 (dua) putusan Mahkamah Konstitusi yang menguji Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, terdapat potensi kekosongan hukum, atau setidaknya ketidakjelasan pengaturan akibat perumusan norma baru yang oleh Mahkamah Konstitusi disebut sebagai “putusan bersyarat” baik conditionally constitutional maupun conditionally unconstitutional. Hal tersebut diantaranya adalah:

1. Menghilangkan pidana penjara;
Dengan putusan MK No. 4/PUU-V/2007,maka Pasal 75 Ayat (1), yang menyatakan “Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah)”, ke depan perlu direvisi menjadi “Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Ayat (1) dipidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah)”;
Begitu juga Pasal 76 yang menyatakan ”Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah)”, ke depan perlu direvisi menjadi ”Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah)”,”;

2. Menghilangkan pidana kurungan
Dengan putusan MK No. 4/PUU-V/2007,makaPasal 79 yang menyatakan ”Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)”,ke depan perlu direvisi menjadi ”Dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)”…….

3. Menghilangkan Sanksi Untuk Kewajiban menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu.
Dengan putusan MK No. 4/PUU-V/2007,makaPasal 79 huruf c yang menyatakan ”Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah):..... (c) setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e”, ke depan perlu direvisi menjadi”Dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah):..... (c) setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a, huruf b, huruf c, atau huruf d”.
Kewajiban Dokter dan Dokter Gigi untuk menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigisebagaimana disebutkan dalam Pasal 51 e, tidak bisa lagi diberikan sanksi.

4. Pengecualian Profesi Tukang Gigi
Akibat Putusan MK Pkr.No. 40/PUU-X/2012maka pengertian “setiap orang”dalamPasal 73 ayat (2) dikecualikan terhadap tukang gigi yang mendapat izin praktik dari pemerintah. Dengan demikian, perlu ada revisi atas Pasal 73 ayat (2), menjadi:“Setiap orang dilarang menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik, kecuali tukang gigi yang mendapat izin praktik dari pemerintah”.
Konsekuensi atas perubahan tersebut maka terjadi perubahan pula pada Pasal 78 menjadi:“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi atau surat izin praktik, kecuali tukang gigi yang mendapat izin praktik dari Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah)”.

Pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 (Judicial Review) merupakan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menyelidiki dan menilai apakah materi suatu undang-undang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu, atau bahkan apakah peraturan perundang-undangan tersebut terdapat cacat formal dalam pembentukannya. Pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 merupakan wujud dari prinsip atau asas konstitusionalitas undang-undang (constitutionality of law) yang menjamin bahwa undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam konsiderans menimbang Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran disebutkan bahwa: (1) kesehatan sebagai hak asasi manusia harus diwujudkan dalam bentuk pemberian berbagai upaya kesehatan kepada seluruh masyarakat melalui penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau oleh masyarakat; (2) dalam penyelenggaraan upaya kesehatan harus dilakukan oleh dokter dan dokter gigi yang memiliki etik dan moral yang tinggi, keahlian dan kewenangan yang secara terus-menerus harus ditingkatkan mutunya melalui pendidikan dan pelatihan berkelanjutan, sertifikasi, registrasi, lisensi, serta pembinaan, pengawasan, dan pemantauan agar penyelenggaraan praktik kedokteran sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; (3) untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada penerima pelayanan kesehatan, dokter, dan dokter gigi, diperlukan pengaturan mengenai penyelenggaraan praktik kedokteran.
Hak-hak asasi manusia, serta hak dan kewajiban warga negara merupakan materi muatan yang diatur dalam jenis hirarki “Undang-Undang”. Untuk menegakkan dan melindungi HAM, pelaksanaannya dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan (Ps.28I ayat (5)).
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran merupakan salah satu produk berkonotasi dengan istilah pelayanan kesehatan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 28 H ayat (1) dan Pasal 34 ayat (3) UU NRI 1945. Pasal 28H ayat (1) menyebutkan bahwa Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan medapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Begitu juga dengan Pasal 34 ayat (3) yang menyebutkan bahwa Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak, serta ayat (4) yang menyebutkan bahwa Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam Undang-undang.
Selain UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, pengaturan mengenai pelayanan kesehatan tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan, yaitu UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (yang menggantikan UU No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan), dan bahkan hal ini bisa terkait dengan UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU No.25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, UU No.11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial (yang menggantikan UU No. 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan pokok Kesejahteraan Sosial), UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Economic, Social And Cultural Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya/ EKOSOB), UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, serta UU No.43 Tahun 2009 tentang Kearsipan. Namun demikian, akibat begitu banyak peraturan yang terkait dengan hal ini, seringkali justru terjadi benturan antara satu peraturan dengan peraturan yang lain, yang kemudian mengakibatkan pada tataran implementasi menjadi tidak efektif.
Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu, setiap kegiatan dan upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip nondiskriminatif, partisipatif, perlindungan, dan berkelanjutan yang sangat penting artinya bagi pembentukan sumber daya manusia Indonesia, peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa, serta pembangunan nasional.
Upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya pada mulanya berupa upaya penyembuhan penyakit, kemudian secara berangsur-angsur berkembang ke arah keterpaduan upaya kesehatan untuk seluruh masyarakat dengan mengikutsertakan masyarakat secara luas yang mencakup upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang bersifat menyeluruh terpadu dan berkesinambungan.
Tenaga medik (terutama Dokter) sebagai salah satu komponen utama pemberi pelayanan kesehatan kepada masyarakat mempunyai peranan yang sangat penting karena terkait langsung dengan pemberian pelayanan kesehatan dan mutu pelayanan yang diberikan. Pada dasarnya landasan utama bagi dokter dan dokter gigi untuk dapat melakukan tindakan medik terhadap orang lain adalah ilmu pengetahuan, teknologi, dan kompetensi yang dimiliki, yang diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan. Pengetahuan yang dimilikinya harus terus menerus dipertahankan dan ditingkatkan sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri.
Tenaga medik (terutama Dokter) dengan perangkat keilmuan yang dimilikinya mempunyai karakteristik yang khas. Kekhasannya ini terlihat dari pembenaran yang diberikan oleh hukum yaitu diperkenankannya melakukan tindakan medik terhadap tubuh manusia dalam upaya memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan. Tindakan medik terhadap tubuh manusia yang dilakukan bukan oleh dokter atau dokter gigi dapat digolongkan sebagai tindak pidana. Berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap tenaga medik (khususnya dokter), maraknya tuntutan hukum yang diajukan masyarakat dewasa ini seringkali diidentikkan dengan kegagalan upaya penyembuhan yang dilakukan dokter.
Di sisi lain, kurangnya pemahaman komunitas medik (dokter, perawat, dan rumah sakit) seputar aspek-aspek hukum profesi mereka juga merupakan penyebab timbulnya sengketa medik. Hal ini dapat dicegah jika komunitas medik (dan juga masyarakat) memahami batasan hak dan tanggung jawab masing-masing ketika memberikan atau mendapatkan layanan medik. Berbagai persoalan di atas mendorong diajukannya permohonan judicial review UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran melalui putusan Mahkamah Konstitusi Pkr.No. 4/PUU-V/2007 dan Pkr.No. 40/PUU-X/2012.
Secara sederhana, hasil Putusan MK terkait dengan UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran melalui putusan Mahkamah Konstitusi Pkr.No. 4/PUU-V/2007 dan Pkr.No. 40/PUU-X/2012dapat dianalisis secara umum dengan menggambarkan dalam tabel berikut:

No. Putusan MK Pasal yang diuji Isi Ketentuan Batu Uji
Isi Ketentuan Amar Putusan MK
1 Pkr.No. 4/PUU-V/2007
Pasal 75 Ayat (1) “Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah)”; Pasal 28G ayat (1) UUD NRI 1945 “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.” Unconstitutional.
Pasal 76 sepanjang mengenai kata-kata “penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau” ”Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah)”; Pasal 28G ayat (1) UUD NRI 1945 “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.” Unconstitutional.
Pasal 79 sepanjang mengenai kata-kata “kurungan paling lama 1 (satu)tahun atau” ”Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)……. Pasal 28G ayat (1) UUD NRI 1945 “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.” Unconstitutional.
Pasal 79 huruf c sepanjang mengenai kata-kata
“atau huruf e” ”Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah):..... (c) setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e”

Pasal 51 menyatakan:
"Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban :
a. Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien;
b. Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahiian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan;
c. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia;
d. Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan
e. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi. Pasal 28 D ayat (2) UUD NRI 1945 “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.” Unconstitutional.
Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945 “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.”
Pasal 28 C ayat (1)UUD NRI 1945 Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas
hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
2 Pkr.No. 40/PUU-X/2012
Pasal 73 ayat (2) “Setiap orang dilarang menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik.” Pasal 27 ayat (2) UUD NRI 1945 “Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” Conditionally Unconstitutional.

Sepanjang tidak dimaknai, “Setiap orang dilarang
menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang
bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik, kecuali tukang gigi yang mendapat izin praktik dari pemerintah”;
Pasal 28 D ayat (2) UUD NRI 1945 “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.”
Pasal 78 “Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling
banyak Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).” Pasal 27 ayat (2) UUD NRI 1945 “Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” Conditionally Unconstitutional.

Sepanjang tidak dimaknai,
“Setiap orang yang dengan sengaja
menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang
bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi atau surat izin
praktik, kecuali tukang gigi yang mendapat izin praktik dari Pemerintah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah)”;
Pasal 28 D ayat (2) UUD NRI 1945 “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.”
Pasal 27 ayat (1) UUD NRI 1945 Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.


Meski putusan Mahkamah Konstitusi bisa langsung dilaksanakan tanpa harus menunggu perubahan undang-undang, namun untuk menghindari kekacauan hukum dalam masyarakat akibat tidak terkompilasinya putusan MK dalam satu naskah yang utuh maka Pemerintah dan DPR perlu menindaklanjuti dengan membuat usulan perubahan atas UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran sebagaimana telah diputuskan oleh MK.

Memperhatikan beberapa simpulan di atas maka terdapat beberapa hal yang direkomendasikan, yaitu:
1. Mengusulkan revisi rumusan Pasal 75 Ayat (1), yang menyatakan “Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah)”, menjadi “Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Ayat (1) dipidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah)”;
2. Mengusulkan revisi rumusan Pasal 76 yang menyatakan ”Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah)”, menjadi”Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah)”,”;
3. Mengusulkan revisi rumusan Pasal 79 yang menyatakan ”Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)”,menjadi ”Dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)”…….
4. Mengusulkan revisi rumusan Pasal 79 huruf c yang menyatakan ”Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah):..... (c) setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e”, menjadi”Dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah):..... (c) setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a, huruf b, huruf c, atau huruf d”.
5. Mengusulkan revisi rumusan Pasal 73 ayat (2) yang menyatakan bahwa “Setiap orang dilarang menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik,”menjadi “Setiap orang dilarang menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik, kecuali tukang gigi yang mendapat izin praktik dari pemerintah”.
6. Mengusulkan revisi rumusan Pasal 78 yang menyatakan bahwa “Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi atau surat izin praktik, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah)”, menjadi: “Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi atau surat izin praktik, kecuali tukang gigi yang mendapat izin praktik dari Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah)”.

Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi : Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh / 01-12-2017

Analisis dan Evaluasi yang dibuat adalah terhadap pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU Pemerintahan Aceh). Adapun yang diujikan adalah Pasal 256 dan Pasal 67 ayat (2) huruf g UU Pemerintahan Aceh. Pasal 256 UU Pemerintahan Aceh mengatur bahwa syarat pencalonan diri sebagai kepala daerah dari calon perseorangan hanya dilaksanakan untuk pemilihan pertama kali sejak diundangkan UU Pemerintahan Aceh. Sementara itu, Pasal 67 ayat (2) huruf g UU Pemerintahan Aceh mengatur bahwa calon kepala daerah harus tidak pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara minimal 5 (lima) tahun berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, kecuali tindak pidana makar atau politik yang telah mendapatkan amnesti/rehabilitasi.
Pasal 256 UU Pemerintahan Aceh diujikan dengan Pasal 18 ayat (4), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI Tahun 1945). Sementara Pasal 67 ayat (2) huruf g diujikan dengan Pasal 18 ayat (4), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.
Kerugian konstitusional akibat Pasal 256 UU Pemerintahan Aceh adalah karena Pemohon sebagai calon perseorangan yang hendak mencalonkan diri menjadi kepala daerah terganjal dengan frasa “berlaku dan hanya dilaksanakan untuk pemilihan pertama kali sejak Undang-Undang ini diundangkan.” Frasa tersebut menimbulkan perlakuan yang tidak adil, karena tidak ada pembatasan waktu bagi calon perseorangan di wilayah Indonesia lainnya. Sementara itu, kerugian Konstitusional akibat Pasal 67 ayat (2) UU Pemerintahan Aceh adalah karena Pemohon yang pernah menjabat sebagai Gubernur Aceh harus menjalani pidana penjara sampai 10 tahun atas perkara pidana korupsi, sehingga berdasarkan pasal a quo, Pemohon tidak dapat mencalonkan diri lagi sebagai Gubernur Aceh pada tahun 2017. Pasal a quo mengatur bahwa mantan narapidana yang diancam dengan hukuman penjara minimal 5 (lima) tahun tidak berhak menjadi kepala daerah untuk selamanya.
Pendapat hukum MK mengenai Pengujian Pasal 256 UU Pemerintahan Aceh dalam Putusan MK Nomor 35/PUU-VIII/2010 adalah karena frasa dalam pasal a quo bertentangan dengan Putusan MK No.5/PUU-V/2007 yang mengakui dan memperbolehkan calon perseorangan tanpa dibatasi batas waktu tertentu. Calon perseorangan dalam pemilukada secara hukum dan konstitusional berlaku di seluruh wilayah Republik Indonesia. Sementara itu, pendapat hukum MK mengenai Pengujian Pasal 67 ayat (2) UU Pemerintahan Aceh dalam Putusan MK Nomor 51/PUU-XIV/2016 adalah karena substansi pasal a quo sama dengan Pasal 7 huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota) yang pernah diputuskan oleh MK dalam Putusan Nomor 42/PUU-XIII/2015. Dalam Putusan MK Nomor 42/PUU-XIII/2015 dinyatakan bahwa isi pasal a quo merupakan bentuk pengurangan hak atas kehormatan yang dapat dipersamakan dengan pidana pencabutan hak-hak tertentu.
Isi Putusan MK Nomor 35/PUU-VIII/2010 adalah mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya, memutuskan Pasal 256 UU Pemerintahan Aceh bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, memutuskan Pasal 256 UU Pemerintahan Aceh tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; dan memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Sementara isi Putusan MK Nomor 51/PUU-XIV/2016 adalah mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya; memutuskan Pasal 67 ayat (2) huruf g UU Pemerintahan Aceh bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana, memutuskan Pasal 67 ayat (2) huruf g UU Pemerintahan Aceh tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana; dan memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Implikasi dari Putusan Nomor 35/PUU-VIII/2010 yang menguji Pasal 256 UU Pemerintahan Aceh, membuka ruang bagi calon perseorangan untuk mencalonkan diri menjadi kepala daerah di Provinsi Aceh, tanpa dibatasi waktu pemberlakuannya. Sementara implikasi dari Putusan Nomor 51/PUU-XIV/2016 yang menguji Pasal 67 ayat (2) huruf g UU Pemerintahan Aceh, adalah bagi mantan narapidana selesai menjalankan masa tahanannya dan mengumumkan secara terbuka dan jujur bahwa dia adalah mantan narapidana, yang bersangkutan dapat mencalonkan diri menjadi kepala daerah di Provinsi Aceh. Akan tetapi, jika mantan narapidana tidak mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan narapidana maka ia harus melampaui lima tahun sejak terpidana selesai menjalani masa hukumannya. Berdasarkan kedua implikasi Putusan MK, perlu dilakukan perubahan/penggantian terhadap UU Pemerintahan Aceh.
Evaluasi terhadap Putusan Nomor 35/PUU-VIII/2010 adalah perlunya membatalkan dan mencabut Pasal 256 UU Pemerintahan Aceh. Pencabutan ketentuan Pasal a quo diperlukan agar tidak ada lagi pembatasan bagi calon perseorangan mencalonkan diri menjadi calon kepala daerah di Provinsi Aceh.
Evaluasi terhadap Putusan Nomor 51/PUU-XIV/2016 adalah perlunya perubahan atau revisi terhadap Pasal 67 ayat (2) huruf g UU Pemerintahan Aceh, sehingga nantinya substansi pasal a quo tidak akan bertentangan. Akan tetapi, pasca putusan MK tersebut, ternyata muncul Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Perubahan Kedua Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota) yang berbunyi:
Pasal 7
2) Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
g. tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana;
Rumusan di atas bertentangan dengan Putusan MK karena:
• MK tidak pernah membatalkan frasa bagi narapidana “yang diancam dengan hukuman penjara minimal 5 (lima) tahun” namun frasa tersebut hilang dalam rumusan yang baru. Tanpa ada frasa penjara minimal 5 (lima) tahun, rumusan yang baru melarang siapapun yang pernah dipenjara, bahkan jika seseorang hanya dihukum kurungan atau penjara kurang dari 5 (lima) tahun sekalipun tidak dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
• Rumusan yang baru menyalahi teknik peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, karena mengandung dua ketentuan yang bertentangan, yaitu:
 tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Rumusan ini berarti siapapun yang pernah dipidana berapapun masa pemidanaannya, tidak dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
 bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana. Rumusan ini bertentangan dengan kalimat sebelumnya yang tidak mengijinkan narapidana mencalonkan diri sebagai kepala daerah, sementara rumusan ini dapat ditafsirkan bahwa terpidana dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah jika secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.
• Rumusan pasal yang baru memberikan dua alternatif pilihan sebagaimana diuraikan di atas, padahal putusan MK hanya memperbolehkan mantan narapidana yang ancaman hukumannya minimal 5 tahun untuk dapat mencalonkan diri, apabila secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik tentang statusnya sebagai mantan narapidana.
Oleh karena itu, perlu dikaji rumusan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Perubahan Kedua Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota agar tidak bertentangan dengan Putusan MK, karena akan menjadi pedoman bagi undang-undang pemerintahan yang bersifat khusus dan istimewa (termasuk UU Pemerintahan Aceh). Perlu dilakukan reformulasi materi muatan atas beberapa hal yang telah diputus MK, dengan cara melakukan perubahan/penggantian terhadap UU Pemerintahan Aceh.

1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK?
2. Apa akibat hukum terhadap pasal dan ayat suatu UU yang dinyatakan MK sebagai inkonstitusionalitas/ inkonstitusionalitas bersyarat?
3. Apakah terjadi disharmoni norma dalam suatu UU jika suatu pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK berimplikasi terhadap norma pasal ayat lain yang tidak diujikan?

Teori Putusan Mahkamah Konstitusi
1. Konstitusionalitas Undang-Undang
Pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 yang menjadi kewenangan MK merupakan wujud prinsip atau asas konstitusionalitas undang-undang (constitutionality of law) yang menjamin bahwa undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang itu tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Kewenangan pengujian undang-undang menimbulkan sebuah kewenangan yang mutatis mutandis (dengan sendirinya) ada, yaitu kewenangan menafsirkan konstitusi. Apabila dalam konstitusi tidak terdapat ketentuan yang ekplisit mengenai kewenangan menafsir konstitusi kepada lembaga negara yang diberikan kewenangan constitutional review, maka harus dipahami bahwa kewenangan menafsirkan konstitusi menyertai kewenangan constitutional review tersebut. Oleh sebab itu, sering dinyatakan bahwa Constitutional Court itu merupakan “the guardian of constitution and the sole interpreting of constitution”, disebut sebagai penjaga konstitusi berdasarkan kewenangan dalam memutus apakah sebuah produk perundang-undangan telah sesuai dengan konstitusi atau tidak.
Kewenangan menafsirkan itu sesungguhnya timbul dari sebuah tafsir Pasal 24C UUD Tahun 1945 bahwa “MK menguji undang-undang terhadap UUD” sebagai ketentuan pemberian kewenangan constitutional review kepada MK, ketentuan tersebut tidak mengandung kewenangan MK untuk melakukan penafsiran terhadap konstitusi, namun sangatlah tidak mungkin dapat melakukan penilaian pertentangan norma sebuah undang-undang apabila tidak menggunakan penafsiran konstitusi, dalam hal ini MK sebagai penafsir sah terhadap undang-undang dasar atau konstitusi (the legitimate interpreter of the constitution).
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD Tahun 1945, salah satu kewenangan dari Mahkamah Konstitusi adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Pengujian undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945 yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan wujud dari prinsip atau asas konstitusionalitas undang-undang (constitutionality of law) yang menjamin bahwa undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang itu tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.
Menurut Sri Soemantri, dalam praktiknya dikenal adanya dua macam hak menguji yaitu :
a. Hak menguji formil (formale toetsingsrecht);
Hak menguji formil adalah wewenang untuk menilai, apakah suatu produk legislatif seperti undang-undang misalnya terjelma melalui cara-cara (procedur) sebagaimana telah ditentukan/diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku ataukah tidak. Dalam pengujian formal ini tampak jelas bahwa yang dinilai atau diuji adalah tatacara (procedur) pembentukan suatu undang-undang, apakah sesuai ataukah tidak dengan yang telah ditentukan/digariskan dalam peraturan perundang-undangan.
b. Hak menguji material (materiele toetsingsrecht).
Hak menguji material adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu pertauran perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Hak menguji material ini berkenanan dnegan isi dari suatu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya. Jika suatu undang-undang dilihat dari isinya bertentangan dengan undang-undang dasar maka undang-undang tersebut harus dinyatakan tidak mempunyai daya mengikat.
Menurut pandangan Jimly Asshiddiqqie, dalam praktiknya dikenal adanya tiga macam norma hukum yang dapat diuji atau yang biasa disebut norm control mechanism. Ketiganya sama-sama merupakan bentuk norma hukum sebagai hasil dari proses pengambilan keputusan hukum yaitu keputusan normative yang berisi dan bersifat pengaturan (regeling), keputusan normatif yang berisi dan bersifat penetapan administrative (beschikking), dan keputusan normatif yang berisi dan bersifat penghakiman (judgement) yang biasa disebut vonis. Mekanisme pengujian norma hukum ini dapat dilakukan dengan mekanisme pengujian yang dilakukan oleh lembaga peradilan yang dikenal dengan istilah judicial review. Terdapat beberapa jenis pengujian yaitu legislative review(pengujian tersebut diberikan kepada parlemen), executive review (pengujian tersebut diberikan kepada pemerintah), dan judicial review (pengujian yang diberikan kepada lembaga peradilan). Ketiga bentuk norma hukum ada yang merupakan individual and concret norms, dan ada pula yang merupakan general and abstract norms. Vonis dan beschikking selalu bersifat individualand concrete sedangkan jika yang diuji normanya bersifat umum dan abstrak maka norma yang diuji itu adalah produk regeling. Pengujian norma hukum yang bersifat konkret dan individual termasuk dalam lingkup peradilan tata usaha negara.
Dalam pengujian undang-undang, terdapat dua istilah yakni judicial review dan constitutional review. Constitutional review yang dapat diartikan sebagai pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar yang pada saat ini menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi, judicial review dapat diartikan sebagai pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang yang pada saat ini dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Pada dasarnya banyak yang menyamakan istilah judicial review dan constitutional review, padahal kedua istilah ini berbeda. Jika constitutional review maka ukuran pengujiannya dilakukan dengan menggunakan konstitusi sebagai alat ukur, namun jika norma yang diujikan tersebut menggunakan batu ujinya adalah undang-undang maka dapat dikatakan sebagai judicial review. Konsep constitutional review berkembang dari gagasan modern tentang sistem pemerintahan demokratis yang didasarkan atas ide-ide negara hukum (rule of law), prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power), serta perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia (the protection of fundamental rights). Dalam constitutional review terdapat dua tugas pokok yakni :
a. Untuk menjamin berfungsinya sistem demokrasi dalam hubungan perimbangan peran atau interplay antar cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Dengan perkataan lain constitutional review dimaksudkan untuk mencegah terjadinya pendayagunaan kekuasaan oleh satu cabang kekuasaan lainnya; dan
b. Untuk melindungi setiap individu warga negara dari penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga negara yang merugikan hak fundamental warga negara yang dijamin dalam konstitusi.
Dengan adanya keberadaan Mahkamah Konstitusi juga telah menciptakan pembagian kekuasaan atau pemisahan kekuasaan yang memungkinkan adanya proses saling mengawasi dan saling mengimbangi di antara cabang-cabang kekuasaan negara yang ada atau lazim disebut dengan mekanisme checks and balances. Hal itu tampak terutama dari salah satu kewenangan yang dilimpahkan kepada Mahkamah Konstitusi untuk menguji undang-undang terhadap UUD Tahun 1945.
Dengan demikian, esensi dari produk putusan Mahkamah Konstitusi dalam menguji undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 ditempatkan dalam bingkai mekanisme check and balances antara lembaga negara. Hubungan untuk saling mengontrol ini, pada akhirnya dimaksudkan untuk melahirkan suatu produk hukum yang adil dan betul-betul berorientasi pada kepentingan rakyat. Sehingga, pengujian undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945 dapat juga dilihat sebagai bagian dari koreksi terhadap produk yang dihasilkan oleh DPR RI dan Presiden.

2. Putusan Mahkamah Konstitusi Final dan Mengikat
Mahkamah Konstitusi yang diadopsi dalam UUD Tahun 1945 memiliki dua fungsi ideal yaitu MK dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi dan berfungsi untuk menjamin, mendorong, mengarahkan, membimbing, dan memastikan bahwa UUD Tahun 1945 dijalankan dengan sebaik-baiknya oleh penyelenggara negara agar nilai-nilai yang terkandung didalamnya dijalankan dengan benar dan bertanggung jawab; dan MK harus bertindak sebagai penafsir karena MK dikonstruksikan sebagai lembaga tertinggi penafsir UUD Tahun 1945. Melalui fungsi ini maka Mahkamah Konstitusi dapat menutupi segala kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam UUD Tahun 1945.
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya maka Mahkamah Konstitusi diberikan kewenangan untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD Tahun 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Tahun 1945; memutus pembubaran partai politik; memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana tercantum dalam Pasal 24C UUD Tahun 1945, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (UU Mahkamah Konstitusi), Pasal 29 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman).
Dari uraian diatas maka diketahui bahwa sifat dari putusan Mahkamah Konstitusi yaitu final yang artinya bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). Konsep ini mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni secara sederhana dan cepat sebagaimana diuraikan dalam penjelasan UU Mahkamah Konstitusi yang secara utuh menjelaskan bahwa Mahkamah Konstitusi dalam menyelenggarakan peradilan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tetap mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni dilakukan secara sederhana dan cepat. Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat tersebut, tidak dapat dilepaskan dengan asas erga omnes yang diartikan dengan mengikat secara umum dan juga mengikat terhadap obyek sengketa. Apabila suatu peraturan perundang‐undangan oleh hakim menyatakan tidak sah, karena bertentangan dengan peraturan perundang‐undangan yang lebih tinggi, berarti peraturan perundang‐undangan tersebut berakibat menjadi batal dan tidak sah untuk mengikat setiap orang.
Secara harfiah, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat memiliki makna hukum tersendiri. Frasa “final” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “terakhir dalam rangkaian pemeriksaan” sedangkan frasa mengikat diartikan sebagai “mengeratkan”, “menyatukan”. Bertolak dari arti harfiah ini maka frasa final dan frasa mengikat, saling terkait sama seperti dua sisi mata uang artinya dari suatu proses pemeriksaan telah memiliki kekuatan mengeratkkan atau menyatukan semua kehendak dan tidak dapat dibantah lagi. Makna harfiah di atas, bila dikaitkan dengan sifat final dan mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi artinya telah tertutup segala kemungkinan untuk menempuh upaya hukum. Tatkala putusan tersebut diucapkan dalam sidang pleno, maka ketika itu lahir kekuatan mengikat (verbindende kracht).
Secara Substansial makna hukum dari putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat dibagi dalam beberapa bagian yaitu:
a. Menjaga konstitusi (The Guardian of Constitution), menafsirkan konstitusi (The Interpreteur of Constitution), menjaga demokrasi, menjaga persamaan di mata hukum, dan koreksi terhadap undang-undang.
Kehadiran Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan tidak lain berperan sebagai pengawal konstitusi (The Guardian of Constitution), agar konstitusi selalu dijadikan landasan dan dijalankan secara konsisten oleh setiap komponen negara dan masyarakat. Mahkamah Konstitusi berfungsi mengawal dan menjaga agar konstitusi ditaati dan dilaksanakan secara konsisten, serta mendorong dan mengarahkan proses demokratisasi berdasarkan konstitusi. Dengan adanya Mahkamah Konstitusi, proses penjaminan demokrasi yang konstitusional diharapkan dapat diwujudkan melalui proses penjabaran dari empat kewenangan konstitusional (constitusionally entrusted powers) dan satu kewajiban (constitusional obligation). Mahkamah Konstitusi bertugas melakukan penyelesaian persengketaan yang bersifat konstitusional secara demokratis.
Putusan-putusan yang final dan mengikat 
 yang ditafsirkan sesuai dengan konstitusi sebagai hukum tertinggi, dimana pelaksanaannya harus bertanggungjawab, sesuai dengan kehendak rakyat (konstitusi untuk rakyat bukan rakyat untuk konstitusi), dan cita‐cita demokrasi, yakni kebebasan dan persamaan (keadilan).Artinya Mahkamah Konstitusi tidak hanya sebagai penafsir melalui putusan‐putusannya melainkan juga sebagai korektor yang aplikasinya yang tercermin dalam undang‐undang yang dibuat oleh DPR dan Presiden dengan batu uji konstitusi melalui interprestasinya dengan kritis dan dinamis.Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat merupakan refleksi dari fungsinya sebagai penjaga konstitusi, penjaga demokrasi, penjaga persamaan dimata hukum, penafsir konstitusi dan korektor undang‐undang agar disesuaikan dengan UUD.

b. Membumikan prinsip-prinsip negara hukum;
Filosofi negara hukum adalah negara melaksanakan kekuasaannya, tunduk terhadap pengawasan hukum. Artinya ketika hukum eksis terhadap negara, maka kekuasaan negara menjadi terkendali dan selanjutnya menjadi negara yang diselenggarakan berdasarkan ketentuan hukum tertulis atau tidak tertulis (konvensi).14
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pengawas tertinggi, tatkala putusannya yang final dan mengikat, makna hukumnya adalah membumikan negara hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila sebagaimana dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon. Dimana, melalui putusan Mahkamah Konstitusi mengadili dan memutus hal‐hal yang berkaitan dengan kewenangan adtribusi yang diberikan kepadanya untuk menjaga, keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan.
c. Membangun sebuah penegakkan hukum
Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan yaitu kepastian hukum (rechissicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan keadilan (gerechtigkeit). Selanjutnya ditegaskan bahwa kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang‐wenang, yang berarti bahwa seseorang akan memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib, karena hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan untuk ketertiban masyarakat. Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat dapat dimaknai sebagai penegakan hukum tata negara. Khususnya menyangkut pengontrolan terhadap produk politik yaitu undang‐undang yang selama ini tidak ada lembaga yang dapat mengontrolnya. Pada sisi lain, juga dapat menegakkan hukum dimana memutuskan tentang benar salahnya Presiden atau Wakil Presiden yang dituduh oleh DPR bahwa melakukan perbuatan melanggar hukum. Demikian juga dapat memutuskan tentang sengketa‐sengketa khusus yang merupakan kewenangannya termasuk memutuskan untuk membubarkan partai politik. Dengan demikian, hal ini sangat diharapkan sebagai wujud perlindungan hak‐hak masyarakat dan juga menempatkan semua orang sama di mata hukum (equality before the law).
d. Perekayasa Hukum
Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat ( final dan banding) merupakan suatu bentuk rekayasa hukum. Frasa “rekayasa” diartikan sebagai penerapan kaidah‐kaidah ilmu dalam pelaksanaan seperti perancangan, pembuatan konstruksi, serta pengoperasian kerangka, peralatan, dan sistem yang ekonomis dan efisien.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat sebagai sebuah bentuk rekayasa hukum yang diwujudkan dalam bentuk norma atau kaidah yang sifatnya membolehkan, mengajurkan, melarang, memerintahkan untuk berbuat atau tidak berbuat. Nilai mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi yang final adalah sama dengan nilai mengikat dan sebuah undang‐undang hasil produk politik, yang berfungsi sebagai alat rekayasa sosial politik, alat kontrol terhadap masyarakat dan penguasa serta memberikan perlindungan hukum terhadap seluruh komponen bangsa.

3. Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan dalam peradilan merupakan perbuatan hakim sebagai pejabat negara berwenang yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dibuat secara tertulis untuk mengakhiri sengketa yang dihadapkan para pihak kepadanya. Sebagai perbuatan hukum yang akan menyelesaikan sengketa yang dihadapkan kepadanya, maka putusan hakim tersebut merupakan tindakan negara di mana kewenangannya dilimpahkan kepada hakim baik berdasarkan UUD Tahun 1945 maupun undang-undang.
Dari sudut pandang hukum tata negara, putusan Mahkamah Konstitusi termasuk dalam keputusan negara yang mengandung norma hukum sama halnya dengan putusan pembentuk undang-undang yang bersifat pengaturan (regeling). Putusan Mahkamah Konstitusi dapat membatalkan suatu undang-undang atau materi muatan dalam undang-undang, sedangkan pembentuk undang-undang menciptakan norma hukum dalam bentuk materi muatan dalam suatu undang-undang.
Putusan Mahkamah Konstitusi terutama dalam pengujian undang-undang kebanyakan jenisnya adalah bersifat declaratoir constitutief. Artinya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menciptakan atau meniadakan satu keadaan hukum baru atau membentuk hukum baru sebagai negative legislature. Hal lain yang perlu dicermati lebih lanjut adalah adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) maupun inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional). Varian putusan Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan putusan yang menyatakan bahwa suatu ketentuan undang-undang tidak bertentangan dengan konstitusi dengan memberikan persyaratan pemaknaan dan keharusan kepada lembaga negara dalam pelaksanaan suatu ketentuan undang-undang untuk memperhatikan penafsiran Mahkamah Konstitusi atas konstitusionalitas ketentuan undang-undang yang sudah diuji tersebut. Dengan demikian, terdapat penafsiran sendiri dari Mahkamah Konstitusi agar suatu norma undang-undang tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.
Putusan Mahkamah Konsitusi sejak diucapkan di hadapan sidang terbuka untuk umum dapat mempunyai 3 (tiga) kekuatan, yaitu:
1. Kekuatan Mengikat
Kekuatan mengikat putusan Mahkamah Konstitusi berbeda dengan putusan pengadilan biasa, tidak hanya meliputi pihak-pihak berperkara (interpartes), yaitu pemohon, pemerintah, DPR/DPD, ataupun pihak terkait yang diizinkan memasuki proses perkara, tetapi juga putusan tersebut mengikat bagi semua orang, lembaga negara, dan badan hukum dalam wilayah republik Indonesia.
Putusan tersebut berlaku sebagai hukum sebagaimana hukum diciptakan pembuat undang-undang. Dengan demikian, Hakim Mahkamah Konstitusi dikatakan sebagai negative lagislator yang putusannya bersifat erga omnes, yang ditujukan pada semua orang.
2. Kekuatan Pembuktian
Dalam perkara konstitusi yang putusannya bersifat erga omnes, maka permohonan pengujian yang menyangkut materi yang sama yang sudah pernah diputus tidak dapat lagi diajukan untuk diuji oleh siapapun. Putusan Mahkamah Konstitusi yang telah berkekuatan hukum tetap demikian dapat digunakan sebagai alat bukti dengan kekuatan pasti secara positif bahwa apa yang diputus oleh hakim itu dianggap telah benar. Selain itu, pembuktian sebaliknya tidak diperkenankan.

3. Kekuatan Eksekutorial
Putusan Mahkamah Konstitusi berlaku sebagai undang-undang dan tidak memerlukan perubahan yang harus dilakukan dengan amandemen atas undang-undang yang bagian tertentu dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Eksekusi putusan Mahkamah Konstitusi telah dianggap terwujud dengan pengumuman putusan tersebut dalam Berita Negara sebagaimana diperintahkan dalam Pasal 57 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Akibat hukum yang timbul dari satu putusan hakim jika menyangkut pengujian terhadap undang-undang diatur dalam Pasal 58 UU Mahkamah Konstitusi, yang pada intinya menyatakan undang-undang yang diuji tetap berlaku sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Ketentuan ini juga berarti bahwa putusan hakim Mahkamah Konstitusi yang menyatakan satu undang-undang bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat tidak boleh berlaku surut.

B. Teori Hak Pilih di Negara Demokrasi
Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang telah diakui dan dipraktikkan sejak lama. Istilah demokrasi berasal dari penggalan kata Yunani “demos” yang berarti rakyat dan kata “kratos” atau kata “cratein” yang berarti pemerintahan, sehingga kata demokrasi berarti pemerintahan oleh rakyat. Dalam sistem demokrasi, rakyat memiliki hak dan kedudukan sebagai penentu dalam penyelenggaraan pemerintahan, suara rakyat adalah suara Tuhan “Vox Populei Vox Dei”. Rakyat memilih para wakilnya untuk menyelenggarakan pemerintahan. Konsep negara demokrasi di Indonesia dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD Tahun 1945 dinyatakan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.”
Hak memilih dan hak dipilih adalah bentuk pengejawantahan dari konsep negara demokrasi. Hak memilih dan hak dipilih merupakan hak konstitusional yang harus dilaksanakan untuk memberikan kesempatan yang sama dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana diatur dalam UUD Tahun 1945:
Pasal 27 ayat (1)
Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Pasal 28D
(1) Setiap orang berhak atas pengakuan jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
(3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

Hak memilih dan dipilih juga secara spesifik dimuat dalam Pasal 43 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut UU 39 Tahun 1999) yang berbunyi, “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Hak memilih juga tercantum dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik). Berdasarkan prinsip hak asasi manusia, hak memilih dan dipilih melekat pada setiap individu. Pemilihan kepala daerah merupakan salah satu mekanisme pelaksanaan hak memilih dan dipilih dalam suatu negara yang demokratis, sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Gubernur, Bupati, dan Walikota. masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”.
Hak memilih dan dipilih sebagai realisasi dari konsep negara demokrasi harus dibatasi oleh hukum (nomokrasi), agar demokrasi tidak ‘kebabalasan’ dan keos (mobokrasi). Negara hukum merupakan suatu istilah dalam perbendaharaan bahasa Indonesia merupakan terjemahan dari rechsstaat ataupun rule of law. Kedua istilah tersebut memiliki arah yang sama, yaitu mencegah kekuasaan yang absolut demi pengakuan dan perlindungan hak asasi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah negara hukum diartikan sebagai negara yang menjadikan hukum sebagai kekuasaan tertinggi. Negara hukum (rechstaat) secara sederhana adalah negara yang menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan negara dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya dilakukan di bawah kekuasaan hukum . Dalam negara hukum, segala sesuatu harus dilakukan menurut hukum (everything must be done according to the law). Negara hukum menentukan bahwa pemerintah harus tunduk pada hukum, bukannya hukum yang harus tunduk pada pemerintah. Negara hukum menurut konsep Eropa Kontinental yang menggunakan sistem hukum civil law dinamakan rechtstaat dan negara hukum menurut konsep Anglo Saxon yang menggunakan sistem hukum common law disebut rule of law. Menurut Julius Stahl, unsur-unsur negara hukum (rechtstaat) adalah perlindungan hak-hak asasi manusia; permisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu; Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan; dan Peradilan administrasi dalam perselisihan. Sementara itu, menurut A.V Dicey, unsur-unsur rule of law adalah Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of law), kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the law), dan terjaminnya hak asasi manusia. Indonesia juga menganut konsep negara hukum, sehingga demokrasi di Indonesia dibatasi oleh hukum (nomokrasi), sebagaimana dinyatakan dalam UUD Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3) bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum.”
Konsep negara hukum yang demokratis menghendaki adanya jaminan terhadap hak asasi manusia yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 28 I ayat (5) UUD Tahun 1945 yang menyatakan, “Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.” Secara lebih spesifik peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai hak memilih dan hak dipilih dalam Pemerintahan Aceh diatur dalam UU Pemerintahan Aceh.

1. Pendapat Hukum Mahkamah Konstitusi
a. Pendapat hukum MK terhadap Putusan Nomor 35/PUU-VIII/2010
Dalam Putusan Nomor 35/PUU-VIII/2010, Pemohon mengujikan Pasal 256 UU Pemerintahan Aceh, yang menyatakan menyatakan bahwa, “Ketentuan yang mengatur calon perseorangan dalam pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, atau Walikota/Wakil Walikota sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf d, berlaku dan hanya dilaksanakan untuk pemilihan pertama kali sejak Undang-Undang ini diundangkan.” MK mempertimbangkan pendapat Pemohon yang menyatakan bahwa pasal a quo telah menghilangkan makna demokrasi yang sesungguhnya sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 18 ayat (4) UUD Tahun 1945 yang menyatakan, “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”, dalam pasal tersebut bukan hanya pada pelaksanaan pemungutan suara dan penghitungan suara saja, tetapi juga harus ada jaminan pada saat penjaringan dan penetapan calon. Pembatasan dalam pasal a quo sama sekali tidak mencerminkan asas demokrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) UUD Tahun 1945, karena pasal a quo tidak memberikan peluang untuk calon perseorangan dalam Pemilukada di Provinsi Aceh setelah tahun 2006, dan dengan sendirinya akan menutup alternatif akan adanya pasangan calon yang lebih variatif dari berbagai sumber. Ketentuan pasal a quo telah menghambat dan merugikan hak konstitusional bagi warga negara yang tidak mempunyai kendaraan politik atau yang tidak diusulkan oleh partai politik baik nasional ataupun lokal.
Menurut MK Pasal 67 ayat (1) UU Pemerintahan Aceh menyatakan, “Pasangan calon Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) diajukan oleh:
a. partai politik atau gabungan partai politik;
b. partai politik lokal atau gabungan partai politik lokal;
c. gabungan partai politik dan partai politik lokal; dana tau
d. perseorangan”.
Ketentuan Pasal 67 ayat (1) huruf d UU Pemerintahan Aceh membuka kesempatan bagi calon perseorangan dalam proses pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah dan juga pemberian peluang dari pembentuk undang-undang dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah agar lebih demokratis. Akan tetapi ketentuan Pasal 67 ayat (1) huruf d UU Pemerintahan Aceh dibatasi oleh pasal a quo.
Pasal a quo yang tidak memberikan kesempatan kepada calon perseorangan dalam Pemilukada bertentangan dengan UUD Tahun 1945, padahal berdasarkan Putusan MK Nomor 5/PUU-V/2007, bertanggal 23 Juli 2007, calon perseorangan diakui dan diperbolehkan. Dalam putusan a quo, Mahkamah memberi pertimbangan bahwa Pasal 256 UU 11/2006 dapat menimbulkan terlanggarnya hak warga negara yang bertempat tinggal di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang justru dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) dan ayat (4) UUD Tahun 1945. Oleh karena itu, dengan adanya perubahan hukum yang berlaku secara nasional mengenai calon perseorangan dalam Pemilukada, maka keberlakuan pasal a quo menjadi tidak relevan lagi. Apalagi jika pasal tersebut tetap dilaksanakan oleh Penyelenggara Pemilu. Komisi Independen Pemilihan (KIP Provinsi/Kabupaten/Kota) maka justru akan menimbulkan perlakuan yang tidak adil kepada setiap orang warga negara Indonesia yang bertempat tinggal di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang akan mencalonkan diri melalui calon perseorangan, karena hak konstitusionalnya yang dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) dan ayat (4) UUD Tahun 1945 menjadi terlanggar.
MK tidak menafikan adanya otonomi khusus di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, namun calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak termasuk dalam keistimewaan Pemerintahan Aceh menurut Pasal 3 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 172, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3893). Apalagi antara Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU tentang Pemerintahan Daerah) dengan UU Pemerintahan Aceh tidak dapat diposisikan dalam hubungan hukum yang bersifat umum dan khusus (vide Putusan Mahkamah Nomor 5/PUU-V/2007 bertanggal 23 Juli 2007). Fakta hukum lainnya, Provinsi Papua yang merupakan daerah otonomi khusus, juga memberlakukan calon perseorangan dalam Pemilukada
Calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak boleh dibatasi pemberlakuannya, karena jika hal demikian diberlakukan maka akan mengakibatkan perlakuan yang tidak adil dan ketidaksamaan kedudukan di muka hukum dan pemerintahan antara warga negara Indonesia yang bertempat tinggal di Provinsi Aceh dan yang bertempat tinggal di wilayah Indonesia lainnya. Warga negara indonesia yang bertempat tinggal di Provinsi Aceh akan menikmati hak yang lebih sedikit karena tidak dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah secara perseorangan yang berarti tidak terdapat perlakuan yang sama di depan hukum dan pemerintahan sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) dan ayat (4) UUD NRI Tahun 1945.

b. Pendapat hukum MK terhadap Putusan Nomor 51/PUU-XIV/2016
Dalam Putusan Nomor 51/PUU-XIV/2016, Pemohon mengujikan Pasal 67 ayat (2) huruf g UU Pemerintahan Aceh, yang menyatakan bahwa, MK mempertimbangkan pendapat Pemohon yang menyatakan bahwa pasal a quo bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, yang pada pokoknya beralasan sebagai berikut:
a. Ketentuan pasal a quo bertentangan dengan jaminan kesamaan kedudukan hukum dan pemerintahan. Jaminan tersebut terhalangi untuk seseorang yang telah menjalani hukuman penjara dan berniat mencalonkan diri sebagai kepala daerah seperti Pemohon.
b. Pemberlakuan larangan mencalonkan diri menjadi kepala daerah untuk seseorang yang pernah dihukum dengan hukuman 5 (lima) tahun atau lebih merupakan aturan yang sewenang-wenang, seolah pembuat undang-undang diperbolehkan menghukum seseorang tanpa ada batas waktu, sehingga membuat mantan narapidana selamanya tidak berhak menjadi kepala daerah.
c. Pemberlakuan syarat yang berbeda-beda di Provinsi Aceh dengan provinsi lainnya di wilayah Indonesia atas penyelenggaraan pemilihan kepala daerah serentak selain bertentangan dengan prinsip negara hukum yang memberikan jaminan kepastian hukum, juga menunjukkan adanya pembedaan kedudukan antara warga negara di dalam hukum dan pemerintahan, dan antara mereka yang berada di wilayah Provinsi Aceh dengan yang di wilayah provinsi lain.
MK juga telah memutus substansi permohonan a quo dalam Putusan MK Nomor 42/PUU-XIII/2015 tanggal 9 Juli 2015 yang pada intinya menyatakan sebagai berikut:
[3.11.1] Bahwa dalam Pasal 7 huruf g UU 8/2015 menentukan, “tidak pernah dijatuhi pidanan penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengna pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih”. Ketentuan tersebut merupakan bentuk pengurangan hak atas kehormatan yang dapat disamakan dengan pidana pencabutan hak-hak tertentu…Hal ini sebangun dengan Pasal 35 ayat (1) angka 3 KUHP yang menyatakan bahwa terpidana dapat dicabut “hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum. Perbedaannya adalah jika hak dipilih sebagai kepala daerah yang dicabut berdasarkan Pasal 7 huruf g UU 8/2015 dilakukan oleh pembentuk undang-undang, sedangkan hak pilih yang dicabut berdasarkan Pasal 35 ayat (1) angka 3 KUHP dilakukan dengan putusan hakim. Dengan demikian, pencabutan hak pilih seseorang hanya dapat dilakukan dengan putusan hakim sebagai hukuman tambahan. Undang-undang tidak dapat mencabut hak pilih seseorang, melainkan hanya memberi pembatasan-pembatasan yang tidak bertentangan dengan Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945… Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009 memberi syarat lima tahun setelah narapidana menjalani masa hukumannya kecuali mantan narapidana tersebut dapat mencalonkan diri sebagai kepada daerah dengan memenuhi syarat tertentu antara lain mengumumkan secara terbuka di hadapan umum bahwa yang bersangkutan pernah dihukum penjara sebagaimana persyaratanketiga dalam putusan MK tersebut, hal ini diperlukan agar rakyat atau pemilih mengetahui keadaan yang bersangkutan. Apabila seorang mantan narapidana telah memenuhi syarat tertentu tersebut maka seyogianya orang tersebut tidak boleh lagi dihukum kecuali oleh hakim apabila yang bersangkutan mengulangi perbuatannya. Apabila undang-undang membatasi hak seorang mantan narapidana untuk tidak dapat mencalonkan dirinya menjadi kepala daerah maka sama saja bermakna bahwa undang-undang telah memberikan hukuman tambahan kepada yang bersangkutan sedangkan UUD NRI Tahun 1945 telah melarang memberlakukan diskriminasi kepada selruruh warga masyarakat.
Selain itu, Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 menegaskan bahwa dibentuknya Pemerintahan Negara Indonesia adalah untuk melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Bahwa Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 tidak membedakan bangsa Indonesia yang mana dan tentunya termasuk melinduni hak mantan narapidana. …
Apabila dikaitkan dengan lembaga pemasyarakatan sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, pemidanaan selain untuk penjeraan juga merupakan suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial. Pemidanaan adalah upaya untuk menyadarkan narapidana agar menyesali perbuatannya, mengembalikan menjadi warga masyarakat…

[3.11.2] Bahwa Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009 telah menentukan syarat bagi seseorang yang akan mengisi jabatan publik atau jabatan politik yang pengisiannya melalui pemilihan yaitu:
1. tidak berlaku untuk jabatan publik yang dipilih (elected officials);
2. berlaku terbatas jangka waktunya hanya selama 5 (lima) tahun sejak terpidana selesai menjalani hukumannya;
3. dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana;
4. bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.

[3.11.3] Bahwa Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009 diperkuat kembali dalam Putusan MK Nomor 120/PUU-VII/2009 yang menyatakan:
“..Bahwa persyaratan calon kepala daerah yang telah diberikan tafsir baru oleh MK dalam Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009 adalah semata persyaratan administratif. Oleh karena itu, Pasal 58 huruf f UU 32/2004 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU 12/2008 berlaku tafsir baru tentang mantan narapidana yang boleh menjadi calon kepala daerah menurut Putusan MK Nomor 14-17/PUU-V/2007 juncto Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009.

[3.11.4] …UU 8/2015 sudah mengakomodir Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009, namun tidak diatur dalam norma Pasal 7 huruf g melainkan diatur dalam Penjelasan Pasal 7 huruf g uu a quo, sehingga antara Pasal 7 huruf g dengan penjelasannya terdapat pertentangan. Norma Pasal 7 huruf g melarang mantan narapidana menjadi calon gubernur, calon bupati, dan calon walikota, namun penjelasannya memperbolehkan…

[3.11.5]...Pasal 7 huruf g UU 8/2015 harus ditafsir sebagaimana Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009 dan menjadikan Penjelasan Pasal 7 huruf g UU 8/2015 menjadi bagian dari norma Pasal 7 huruf g UU 8/2015.

[3.11.6] Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009 telah memberi ruang kepada mantan narapidana untuk proses adaptasi dengan masyarakat sekurang-kurangnya lima tahun setelah narapidana menjalani masa hukumannya. Waktu lima tahun tersebut adalah waktu yang wajar sebagai pembuktian dari mantan narapidana telah berkelakuan baik dan tidak mengulang perbuatan pidana sebgaimana tujuan dari pemasyarakatan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. …
Apalagi syarat ketiga dari Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009 yaitu “dikecualikan bagi mantan narapidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana” adalah dimaksudkan agar publik dapat mengetahui bahwa pasangan calon yang kan dipilih pernah dijatuhi pidana. … Oleh karena itu, terpulang kepada masyarakat sebagai pemilih untuk memberikan atau tidak suaranya kepada calon yang merupakan mantan narapidana. Kata dikecualikan dalam syarat ketiga amar Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009 mempunyai arti bahwa seseorang yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana, syarat kedua dan keempat amar Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009 tidak diperlukan lagi, karena yang bersangkutan telah secara berani mengakui tentang status dirinya yang merupakan mantan narapidana. …Ketika mantan narapidana selesai menjalankan masa tahanannya dan mengumumkan secara terbuka dan jujur bahwa dia adalah mantan narapidana, yang bersangkutan dapat mencalonkan diri menjadi kepala daerah, namun jika mantan narapidana tidak mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan narapidana maka ia harus melampaui lima tahun sejak terpidana selesai menjalani masa hukumannya.
MK beranggapan bahwa substansi Pasal 7 huruf g UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang pernah diputuskan oleh MK dalam Putusan Nomor 42/PUU-XIII/2015 memiliki substansi yang sama dengan Pasal 67 ayat (2) huruf g UU Pemerintahan Aceh. Oleh karena itu, pertimbangan hukum dalam Putusan Nomor 42/PUU-XIII/2015 sebagaimana diuraikan di atas dengan sendirinya menjadi pertimbangan untuk Putusan Nomor 51/PUU-XIV/2016.

2. Implikasi Putusan MK
Putusan Nomor 35/PUU-VIII/2010 telah memutuskan bahwa Pasal 256 UU tentang Pemerintahan Aceh bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Akibat putusan MK ini maka akan selalu terbuka ruang bagi calon perseorangan untuk mencalonkan diri menjadi calon gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota di Provinsi Aceh, tanpa dibatasi waktu pemberlakuannya.
Putusan Nomor 51/PUU-XIV/2016 telah memutuskan bahwa Pasal 67 ayat (2) huruf g UU Pemerintahan Aceh bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana. Akibat putusan MK ini maka mantan narapidana selesai menjalankan masa tahanannya dan mengumumkan secara terbuka dan jujur bahwa dia adalah mantan narapidana, yang bersangkutan dapat mencalonkan diri menjadi calon gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota di Provinsi Aceh. Akan tetapi, jika mantan narapidana tidak mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan narapidana maka ia harus melampaui lima tahun sejak terpidana selesai menjalani masa hukumannya.
Berdasarkan implikasi dari kedua Putusan MK tersebut, perlu dilakukan perubahan/penggantian terhadap UU Pemerintahan Aceh. Perubahan/penggantian tersebut diperlukan, karena Putusan MK dalam pengujian undang-undang bersifat declaratoir constitutief. Artinya putusan MK meniadakan satu keadaan hukum baru atau membentuk hukum baru sebagai negative-legislator. Sifat declaratoir tidak membutuhkan satu aparat yang melakukan pelaksanaan putusan MK. Putusan MK memiliki kekuatan mengikat, kekuatan mengikat putusan MK, berbeda dengan putusan pengadilan biasa, yaitu tidak hanya meliputi pihak-pihak yang berperkara (interpartes) yaitu pemohon, pemerintah, DPR/DPD ataupun pihak terkait yang diizinkan memasuki proses perkara, tetapi putusan tersebut juga mengikat semua orang, lembaga negara dan badan hukum yang ada di wilayah Republik Indonesia. Putusan MK berlaku sebagai hukum sebagaimana hukum diciptakan pembuat undang-undang. Hakim MK dikatakan sebagai negative legislatoir yang putusannya bersifat erga omnes , yang ditujukan pada semua orang. Oleh karena itu, perubahan/penggantian UU Pemerintahan Aceh yang akan dilakukan oleh DPR dan Pemerintah harus berdasarkan Putusan MK yang telah mempunyai kekuatan hukum final dan mengikat (final and binding).

Evaluasi terhadap Putusan Nomor 35/PUU-VIII/2010 adalah perlunya untuk membatalkan dan mencabut ketentuan dalam Pasal 256 UU Pemerintahan Aceh menyatakan bahwa, “Ketentuan yang mengatur calon perseorangan dalam pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, atau Walikota/Wakil Walikota sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf d, berlaku dan hanya dilaksanakan untuk pemilihan pertama kali sejak Undang-Undang ini diundangkan.” Pencabutan ketentuan Pasal 256 UU Pemerintahan Aceh diperlukan agar tidak ada lagi pembatasan bagi calon perseorangan mencalonkan diri menjadi calon gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota di Provinsi Aceh.
Selanjutnya evaluasi terhadap Putusan Nomor 51/PUU-XIV/2016 adalah perlunya perubahan atau revisi terhadap Pasal 67 ayat (2) huruf g UU Pemerintahan Aceh, sehingga nantinya substansi pasal a quo tidak akan bertentangan jika dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana. Perubahan atau revisi ini nantinya akan membuka peluang bagi mantan narapidana untuk mencalonkan diri menjadi calon gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota di Provinsi Aceh, apabila ia secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.
Putusan MK Nomor 51/PUU-XIV/2016 berserta implikasinya, perlu Pasca adanya putusan MK Nomor 51/PUU-XIV/2016 yang mendasarkan pertimbangannya pada Putusan MK Nomor 42/PUU-XIII/2015, karena substansi 67 ayat (2) huruf g UU Pemerintahan Aceh sama dengan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pemilihan Gubernur Bupati, dan Walikota; ternyata pembentuk undang-undang merumuskan lain Pasal 7 ayat (2) huruf g yang berbeda dari kedua putusan MK tersebut. Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Perubahan Kedua Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota) yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7
2) Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
g. tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana;

Rumusan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Perubahan Kedua Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota bertentangan dengan Putusan MK karena:
• MK tidak pernah membatalkan frasa bagi narapidana “yang diancam dengan hukuman penjara minimal 5 (lima) tahun” namun frasa tersebut hilang dalam rumusan yang baru. Tanpa ada frasa penjara minimal 5 (lima) tahun, rumusan yang baru melarang siapapun yang pernah dipenjara, bahkan jika seseorang hanya dihukum kurungan atau penjara kurang dari 5 (lima) tahun sekalipun tidak dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
• Rumusan yang baru menyalahi teknik peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU tentang P3), karena dalam satu huruf tersebut ada mengandung dua ketentuan dan kedua ketentuan tersebut bertentangan, yaitu:
 tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Rumusan ini berarti siapapun yang pernah dipidana berapapun masa pemidanaannya, tidak dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
 bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana. Rumusan ini bertentangan dengan kalimat sebelumnya yang tidak mengijinkan narapidana untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah Sementara rumusan ini dapat ditafsirkan bahwa terpidana tetap dapat mencalonkan diri sebagia kepala daerah apabila telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana
• Rumusan pasal yang baru memberikan dua alternatif pilihan sebagaimana diuraikan di atas, padahal putusan MK pada intinya hanya memperbolehkan mantan narapidana (yang ancaman hukumannya minimal 5 tahun) untuk dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah apabila ia secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik tentang statusnya sebagai mantan narapidana.

Oleh karena itu, pembentuk Undang-Undang juga perlu mengkaji lagi rumusan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Perubahan Kedua Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota agar tidak bertentangan dengan Putusan MK yang bersifat final and binding, karena rumusan pasal a quo menjadi pedoman untuk diterapkan juga di undang-undang pemerintahan yang bersifat khusus dan istimewa, termasuk UU Pemerintahan Aceh. Dengan demikian berdasarkan Putusan MK Nomor 35/PUU-VIII/2010 dan dilakukan reformulasi materi muatan atas beberapa hal yang telah diputus MK agar penyelenggaraan Pemerintahan Aceh sesuai dengan amanah UUD Tahun 1945. Reformulasi materi muatan dengan cara melakukan perubahan/penggantian terhadap UU Pemerintahan Aceh.

Kekhususan atau keistimewaan Pemerintahan Aceh yang diatur dalam UU Pemerintahan Aceh, yang antara lain didasarkan pada karakter khas perjuangan masyarakat Aceh dalam perjalanan ketatanegaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), pandangan hidup yang berlandaskan syari’at Islam, penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Aceh yang belum maksimal, dan terjadinya bencana alam gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Aceh. Akan tetapi, jangan sampai kekhususan atau keistimewaan tersebut mencabut hak konstitusional (hak memilih dan dipilih). Oleh karena itu, hak memilih dan dipilih tidak dapat dikategorikan sebagai bagian dari kekhususan atau keistimewaan Pemerintahan Aceh.
UU Pemerintahan Aceh dalam implementasinya diajukan 5 (lima) kali permohonan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK), namun hanya 2 (dua) kali permohonan yang dikabulkan seluruhnya, yaitu Putusan MK Nomor 35/PUU-VIII/2010 dan Putusan MK Nomor 51/PUU-XIV/2016. Berdasarkan Putusan Nomor 35/PUU-VIII/2010, perlu dilakukan pembatalan atau pencabutan terhadap ketentuan dalam Pasal 256 UU Pemerintahan Aceh. Sementara itu berdasarkan Putusan MK Nomor 51/PUU-XIV/2016, perlu dilakukan perubahan atau revisi terhadap Pasal 67 ayat (2) huruf g UU Pemerintahan Aceh, sehingga nantinya substansi pasal a quo tidak akan bertentangan jika dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana. Dengan demikian, perlu dilakukan perubahan/penggantian terhadap UU Pemerintahan Aceh.

1. Sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bahwa materi muatan yang harus diatur dengan UU berisi materi muatan mengenai tindak lanjut Putusan MK. Oleh karena itu, perlu direformulasi kembali dan diharmonisasi materi muatan atas beberapa hal yang telah diputus MK, dalam UU Pemerintahan Aceh dan UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, dengan status perubahan/penggantian.
2. Berdasarkan Putusan MK dan penggantian UU Nomor 32 Tahun 2004 menjadi UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, maka DPR bersama Pemerintah harus menetapkan perubahan/penggantian UU Pemerintahan Aceh ini ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dan menjadikan prioritas tahunan untuk dibahas bersama-sama agar tidak terjadi kekosongan hukum, terjamin kepastian hukum, dan penyelenggaraan Pemerintahan Aceh tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945.

Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK): Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh / 01-12-2017

Analisis dan Evaluasi yang dibuat adalah terhadap pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU Pemerintahan Aceh). Adapun yang diujikan adalah Pasal 256 dan Pasal 67 ayat (2) huruf g UU Pemerintahan Aceh. Pasal 256 UU Pemerintahan Aceh mengatur bahwa syarat pencalonan diri sebagai kepala daerah dari calon perseorangan hanya dilaksanakan untuk pemilihan pertama kali sejak diundangkan UU Pemerintahan Aceh. Sementara itu, Pasal 67 ayat (2) huruf g UU Pemerintahan Aceh mengatur bahwa calon kepala daerah harus tidak pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara minimal 5 (lima) tahun berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, kecuali tindak pidana makar atau politik yang telah mendapatkan amnesti/rehabilitasi.
Pasal 256 UU Pemerintahan Aceh diujikan dengan Pasal 18 ayat (4), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI Tahun 1945). Sementara Pasal 67 ayat (2) huruf g diujikan dengan Pasal 18 ayat (4), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.
Kerugian konstitusional akibat Pasal 256 UU Pemerintahan Aceh adalah karena Pemohon sebagai calon perseorangan yang hendak mencalonkan diri menjadi kepala daerah terganjal dengan frasa “berlaku dan hanya dilaksanakan untuk pemilihan pertama kali sejak Undang-Undang ini diundangkan.” Frasa tersebut menimbulkan perlakuan yang tidak adil, karena tidak ada pembatasan waktu bagi calon perseorangan di wilayah Indonesia lainnya. Sementara itu, kerugian Konstitusional akibat Pasal 67 ayat (2) UU Pemerintahan Aceh adalah karena Pemohon yang pernah menjabat sebagai Gubernur Aceh harus menjalani pidana penjara sampai 10 tahun atas perkara pidana korupsi, sehingga berdasarkan pasal a quo, Pemohon tidak dapat mencalonkan diri lagi sebagai Gubernur Aceh pada tahun 2017. Pasal a quo mengatur bahwa mantan narapidana yang diancam dengan hukuman penjara minimal 5 (lima) tahun tidak berhak menjadi kepala daerah untuk selamanya.
Pendapat hukum MK mengenai Pengujian Pasal 256 UU Pemerintahan Aceh dalam Putusan MK Nomor 35/PUU-VIII/2010 adalah karena frasa dalam pasal a quo bertentangan dengan Putusan MK No.5/PUU-V/2007 yang mengakui dan memperbolehkan calon perseorangan tanpa dibatasi batas waktu tertentu. Calon perseorangan dalam pemilukada secara hukum dan konstitusional berlaku di seluruh wilayah Republik Indonesia. Sementara itu, pendapat hukum MK mengenai Pengujian Pasal 67 ayat (2) UU Pemerintahan Aceh dalam Putusan MK Nomor 51/PUU-XIV/2016 adalah karena substansi pasal a quo sama dengan Pasal 7 huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota) yang pernah diputuskan oleh MK dalam Putusan Nomor 42/PUU-XIII/2015. Dalam Putusan MK Nomor 42/PUU-XIII/2015 dinyatakan bahwa isi pasal a quo merupakan bentuk pengurangan hak atas kehormatan yang dapat dipersamakan dengan pidana pencabutan hak-hak tertentu.
Isi Putusan MK Nomor 35/PUU-VIII/2010 adalah mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya, memutuskan Pasal 256 UU Pemerintahan Aceh bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, memutuskan Pasal 256 UU Pemerintahan Aceh tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; dan memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Sementara isi Putusan MK Nomor 51/PUU-XIV/2016 adalah mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya; memutuskan Pasal 67 ayat (2) huruf g UU Pemerintahan Aceh bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana, memutuskan Pasal 67 ayat (2) huruf g UU Pemerintahan Aceh tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana; dan memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Implikasi dari Putusan Nomor 35/PUU-VIII/2010 yang menguji Pasal 256 UU Pemerintahan Aceh, membuka ruang bagi calon perseorangan untuk mencalonkan diri menjadi kepala daerah di Provinsi Aceh, tanpa dibatasi waktu pemberlakuannya. Sementara implikasi dari Putusan Nomor 51/PUU-XIV/2016 yang menguji Pasal 67 ayat (2) huruf g UU Pemerintahan Aceh, adalah bagi mantan narapidana selesai menjalankan masa tahanannya dan mengumumkan secara terbuka dan jujur bahwa dia adalah mantan narapidana, yang bersangkutan dapat mencalonkan diri menjadi kepala daerah di Provinsi Aceh. Akan tetapi, jika mantan narapidana tidak mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan narapidana maka ia harus melampaui lima tahun sejak terpidana selesai menjalani masa hukumannya. Berdasarkan kedua implikasi Putusan MK, perlu dilakukan perubahan/penggantian terhadap UU Pemerintahan Aceh.
Evaluasi terhadap Putusan Nomor 35/PUU-VIII/2010 adalah perlunya membatalkan dan mencabut Pasal 256 UU Pemerintahan Aceh. Pencabutan ketentuan Pasal a quo diperlukan agar tidak ada lagi pembatasan bagi calon perseorangan mencalonkan diri menjadi calon kepala daerah di Provinsi Aceh.
Evaluasi terhadap Putusan Nomor 51/PUU-XIV/2016 adalah perlunya perubahan atau revisi terhadap Pasal 67 ayat (2) huruf g UU Pemerintahan Aceh, sehingga nantinya substansi pasal a quo tidak akan bertentangan. Akan tetapi, pasca putusan MK tersebut, ternyata muncul Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Perubahan Kedua Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota) yang berbunyi:
Pasal 7
2) Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
g. tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana;
Rumusan di atas bertentangan dengan Putusan MK karena:
• MK tidak pernah membatalkan frasa bagi narapidana “yang diancam dengan hukuman penjara minimal 5 (lima) tahun” namun frasa tersebut hilang dalam rumusan yang baru. Tanpa ada frasa penjara minimal 5 (lima) tahun, rumusan yang baru melarang siapapun yang pernah dipenjara, bahkan jika seseorang hanya dihukum kurungan atau penjara kurang dari 5 (lima) tahun sekalipun tidak dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
• Rumusan yang baru menyalahi teknik peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, karena mengandung dua ketentuan yang bertentangan, yaitu:
 tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Rumusan ini berarti siapapun yang pernah dipidana berapapun masa pemidanaannya, tidak dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
 bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana. Rumusan ini bertentangan dengan kalimat sebelumnya yang tidak mengijinkan narapidana mencalonkan diri sebagai kepala daerah, sementara rumusan ini dapat ditafsirkan bahwa terpidana dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah jika secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.
• Rumusan pasal yang baru memberikan dua alternatif pilihan sebagaimana diuraikan di atas, padahal putusan MK hanya memperbolehkan mantan narapidana yang ancaman hukumannya minimal 5 tahun untuk dapat mencalonkan diri, apabila secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik tentang statusnya sebagai mantan narapidana.
Oleh karena itu, perlu dikaji rumusan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Perubahan Kedua Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota agar tidak bertentangan dengan Putusan MK, karena akan menjadi pedoman bagi undang-undang pemerintahan yang bersifat khusus dan istimewa (termasuk UU Pemerintahan Aceh). Perlu dilakukan reformulasi materi muatan atas beberapa hal yang telah diputus MK, dengan cara melakukan perubahan/penggantian terhadap UU Pemerintahan Aceh.

1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK?
2. Apa akibat hukum terhadap pasal dan ayat suatu UU yang dinyatakan MK sebagai inkonstitusionalitas/ inkonstitusionalitas bersyarat?
3. Apakah terjadi disharmoni norma dalam suatu UU jika suatu pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK berimplikasi terhadap norma pasal ayat lain yang tidak diujikan?

Teori Putusan Mahkamah Konstitusi
1. Konstitusionalitas Undang-Undang
Pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 yang menjadi kewenangan MK merupakan wujud prinsip atau asas konstitusionalitas undang-undang (constitutionality of law) yang menjamin bahwa undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang itu tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Kewenangan pengujian undang-undang menimbulkan sebuah kewenangan yang mutatis mutandis (dengan sendirinya) ada, yaitu kewenangan menafsirkan konstitusi. Apabila dalam konstitusi tidak terdapat ketentuan yang ekplisit mengenai kewenangan menafsir konstitusi kepada lembaga negara yang diberikan kewenangan constitutional review, maka harus dipahami bahwa kewenangan menafsirkan konstitusi menyertai kewenangan constitutional review tersebut. Oleh sebab itu, sering dinyatakan bahwa Constitutional Court itu merupakan “the guardian of constitution and the sole interpreting of constitution”, disebut sebagai penjaga konstitusi berdasarkan kewenangan dalam memutus apakah sebuah produk perundang-undangan telah sesuai dengan konstitusi atau tidak.
Kewenangan menafsirkan itu sesungguhnya timbul dari sebuah tafsir Pasal 24C UUD Tahun 1945 bahwa “MK menguji undang-undang terhadap UUD” sebagai ketentuan pemberian kewenangan constitutional review kepada MK, ketentuan tersebut tidak mengandung kewenangan MK untuk melakukan penafsiran terhadap konstitusi, namun sangatlah tidak mungkin dapat melakukan penilaian pertentangan norma sebuah undang-undang apabila tidak menggunakan penafsiran konstitusi, dalam hal ini MK sebagai penafsir sah terhadap undang-undang dasar atau konstitusi (the legitimate interpreter of the constitution).
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD Tahun 1945, salah satu kewenangan dari Mahkamah Konstitusi adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Pengujian undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945 yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan wujud dari prinsip atau asas konstitusionalitas undang-undang (constitutionality of law) yang menjamin bahwa undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang itu tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.
Menurut Sri Soemantri, dalam praktiknya dikenal adanya dua macam hak menguji yaitu :
a. Hak menguji formil (formale toetsingsrecht);
Hak menguji formil adalah wewenang untuk menilai, apakah suatu produk legislatif seperti undang-undang misalnya terjelma melalui cara-cara (procedur) sebagaimana telah ditentukan/diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku ataukah tidak. Dalam pengujian formal ini tampak jelas bahwa yang dinilai atau diuji adalah tatacara (procedur) pembentukan suatu undang-undang, apakah sesuai ataukah tidak dengan yang telah ditentukan/digariskan dalam peraturan perundang-undangan.
b. Hak menguji material (materiele toetsingsrecht).
Hak menguji material adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu pertauran perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Hak menguji material ini berkenanan dnegan isi dari suatu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya. Jika suatu undang-undang dilihat dari isinya bertentangan dengan undang-undang dasar maka undang-undang tersebut harus dinyatakan tidak mempunyai daya mengikat.
Menurut pandangan Jimly Asshiddiqqie, dalam praktiknya dikenal adanya tiga macam norma hukum yang dapat diuji atau yang biasa disebut norm control mechanism. Ketiganya sama-sama merupakan bentuk norma hukum sebagai hasil dari proses pengambilan keputusan hukum yaitu keputusan normative yang berisi dan bersifat pengaturan (regeling), keputusan normatif yang berisi dan bersifat penetapan administrative (beschikking), dan keputusan normatif yang berisi dan bersifat penghakiman (judgement) yang biasa disebut vonis. Mekanisme pengujian norma hukum ini dapat dilakukan dengan mekanisme pengujian yang dilakukan oleh lembaga peradilan yang dikenal dengan istilah judicial review. Terdapat beberapa jenis pengujian yaitu legislative review(pengujian tersebut diberikan kepada parlemen), executive review (pengujian tersebut diberikan kepada pemerintah), dan judicial review (pengujian yang diberikan kepada lembaga peradilan). Ketiga bentuk norma hukum ada yang merupakan individual and concret norms, dan ada pula yang merupakan general and abstract norms. Vonis dan beschikking selalu bersifat individualand concrete sedangkan jika yang diuji normanya bersifat umum dan abstrak maka norma yang diuji itu adalah produk regeling. Pengujian norma hukum yang bersifat konkret dan individual termasuk dalam lingkup peradilan tata usaha negara.
Dalam pengujian undang-undang, terdapat dua istilah yakni judicial review dan constitutional review. Constitutional review yang dapat diartikan sebagai pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar yang pada saat ini menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi, judicial review dapat diartikan sebagai pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang yang pada saat ini dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Pada dasarnya banyak yang menyamakan istilah judicial review dan constitutional review, padahal kedua istilah ini berbeda. Jika constitutional review maka ukuran pengujiannya dilakukan dengan menggunakan konstitusi sebagai alat ukur, namun jika norma yang diujikan tersebut menggunakan batu ujinya adalah undang-undang maka dapat dikatakan sebagai judicial review. Konsep constitutional review berkembang dari gagasan modern tentang sistem pemerintahan demokratis yang didasarkan atas ide-ide negara hukum (rule of law), prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power), serta perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia (the protection of fundamental rights). Dalam constitutional review terdapat dua tugas pokok yakni :
a. Untuk menjamin berfungsinya sistem demokrasi dalam hubungan perimbangan peran atau interplay antar cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Dengan perkataan lain constitutional review dimaksudkan untuk mencegah terjadinya pendayagunaan kekuasaan oleh satu cabang kekuasaan lainnya; dan
b. Untuk melindungi setiap individu warga negara dari penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga negara yang merugikan hak fundamental warga negara yang dijamin dalam konstitusi.
Dengan adanya keberadaan Mahkamah Konstitusi juga telah menciptakan pembagian kekuasaan atau pemisahan kekuasaan yang memungkinkan adanya proses saling mengawasi dan saling mengimbangi di antara cabang-cabang kekuasaan negara yang ada atau lazim disebut dengan mekanisme checks and balances. Hal itu tampak terutama dari salah satu kewenangan yang dilimpahkan kepada Mahkamah Konstitusi untuk menguji undang-undang terhadap UUD Tahun 1945.
Dengan demikian, esensi dari produk putusan Mahkamah Konstitusi dalam menguji undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 ditempatkan dalam bingkai mekanisme check and balances antara lembaga negara. Hubungan untuk saling mengontrol ini, pada akhirnya dimaksudkan untuk melahirkan suatu produk hukum yang adil dan betul-betul berorientasi pada kepentingan rakyat. Sehingga, pengujian undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945 dapat juga dilihat sebagai bagian dari koreksi terhadap produk yang dihasilkan oleh DPR RI dan Presiden.

2. Putusan Mahkamah Konstitusi Final dan Mengikat
Mahkamah Konstitusi yang diadopsi dalam UUD Tahun 1945 memiliki dua fungsi ideal yaitu MK dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi dan berfungsi untuk menjamin, mendorong, mengarahkan, membimbing, dan memastikan bahwa UUD Tahun 1945 dijalankan dengan sebaik-baiknya oleh penyelenggara negara agar nilai-nilai yang terkandung didalamnya dijalankan dengan benar dan bertanggung jawab; dan MK harus bertindak sebagai penafsir karena MK dikonstruksikan sebagai lembaga tertinggi penafsir UUD Tahun 1945. Melalui fungsi ini maka Mahkamah Konstitusi dapat menutupi segala kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam UUD Tahun 1945.
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya maka Mahkamah Konstitusi diberikan kewenangan untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD Tahun 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Tahun 1945; memutus pembubaran partai politik; memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana tercantum dalam Pasal 24C UUD Tahun 1945, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (UU Mahkamah Konstitusi), Pasal 29 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman).
Dari uraian diatas maka diketahui bahwa sifat dari putusan Mahkamah Konstitusi yaitu final yang artinya bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). Konsep ini mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni secara sederhana dan cepat sebagaimana diuraikan dalam penjelasan UU Mahkamah Konstitusi yang secara utuh menjelaskan bahwa Mahkamah Konstitusi dalam menyelenggarakan peradilan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tetap mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni dilakukan secara sederhana dan cepat. Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat tersebut, tidak dapat dilepaskan dengan asas erga omnes yang diartikan dengan mengikat secara umum dan juga mengikat terhadap obyek sengketa. Apabila suatu peraturan perundang‐undangan oleh hakim menyatakan tidak sah, karena bertentangan dengan peraturan perundang‐undangan yang lebih tinggi, berarti peraturan perundang‐undangan tersebut berakibat menjadi batal dan tidak sah untuk mengikat setiap orang.
Secara harfiah, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat memiliki makna hukum tersendiri. Frasa “final” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “terakhir dalam rangkaian pemeriksaan” sedangkan frasa mengikat diartikan sebagai “mengeratkan”, “menyatukan”. Bertolak dari arti harfiah ini maka frasa final dan frasa mengikat, saling terkait sama seperti dua sisi mata uang artinya dari suatu proses pemeriksaan telah memiliki kekuatan mengeratkkan atau menyatukan semua kehendak dan tidak dapat dibantah lagi. Makna harfiah di atas, bila dikaitkan dengan sifat final dan mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi artinya telah tertutup segala kemungkinan untuk menempuh upaya hukum. Tatkala putusan tersebut diucapkan dalam sidang pleno, maka ketika itu lahir kekuatan mengikat (verbindende kracht).
Secara Substansial makna hukum dari putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat dibagi dalam beberapa bagian yaitu:
a. Menjaga konstitusi (The Guardian of Constitution), menafsirkan konstitusi (The Interpreteur of Constitution), menjaga demokrasi, menjaga persamaan di mata hukum, dan koreksi terhadap undang-undang.
Kehadiran Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan tidak lain berperan sebagai pengawal konstitusi (The Guardian of Constitution), agar konstitusi selalu dijadikan landasan dan dijalankan secara konsisten oleh setiap komponen negara dan masyarakat. Mahkamah Konstitusi berfungsi mengawal dan menjaga agar konstitusi ditaati dan dilaksanakan secara konsisten, serta mendorong dan mengarahkan proses demokratisasi berdasarkan konstitusi. Dengan adanya Mahkamah Konstitusi, proses penjaminan demokrasi yang konstitusional diharapkan dapat diwujudkan melalui proses penjabaran dari empat kewenangan konstitusional (constitusionally entrusted powers) dan satu kewajiban (constitusional obligation). Mahkamah Konstitusi bertugas melakukan penyelesaian persengketaan yang bersifat konstitusional secara demokratis.
Putusan-putusan yang final dan mengikat 
 yang ditafsirkan sesuai dengan konstitusi sebagai hukum tertinggi, dimana pelaksanaannya harus bertanggungjawab, sesuai dengan kehendak rakyat (konstitusi untuk rakyat bukan rakyat untuk konstitusi), dan cita‐cita demokrasi, yakni kebebasan dan persamaan (keadilan).Artinya Mahkamah Konstitusi tidak hanya sebagai penafsir melalui putusan‐putusannya melainkan juga sebagai korektor yang aplikasinya yang tercermin dalam undang‐undang yang dibuat oleh DPR dan Presiden dengan batu uji konstitusi melalui interprestasinya dengan kritis dan dinamis.Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat merupakan refleksi dari fungsinya sebagai penjaga konstitusi, penjaga demokrasi, penjaga persamaan dimata hukum, penafsir konstitusi dan korektor undang‐undang agar disesuaikan dengan UUD.

b. Membumikan prinsip-prinsip negara hukum;
Filosofi negara hukum adalah negara melaksanakan kekuasaannya, tunduk terhadap pengawasan hukum. Artinya ketika hukum eksis terhadap negara, maka kekuasaan negara menjadi terkendali dan selanjutnya menjadi negara yang diselenggarakan berdasarkan ketentuan hukum tertulis atau tidak tertulis (konvensi).14
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pengawas tertinggi, tatkala putusannya yang final dan mengikat, makna hukumnya adalah membumikan negara hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila sebagaimana dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon. Dimana, melalui putusan Mahkamah Konstitusi mengadili dan memutus hal‐hal yang berkaitan dengan kewenangan adtribusi yang diberikan kepadanya untuk menjaga, keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan.
c. Membangun sebuah penegakkan hukum
Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan yaitu kepastian hukum (rechissicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan keadilan (gerechtigkeit). Selanjutnya ditegaskan bahwa kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang‐wenang, yang berarti bahwa seseorang akan memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib, karena hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan untuk ketertiban masyarakat. Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat dapat dimaknai sebagai penegakan hukum tata negara. Khususnya menyangkut pengontrolan terhadap produk politik yaitu undang‐undang yang selama ini tidak ada lembaga yang dapat mengontrolnya. Pada sisi lain, juga dapat menegakkan hukum dimana memutuskan tentang benar salahnya Presiden atau Wakil Presiden yang dituduh oleh DPR bahwa melakukan perbuatan melanggar hukum. Demikian juga dapat memutuskan tentang sengketa‐sengketa khusus yang merupakan kewenangannya termasuk memutuskan untuk membubarkan partai politik. Dengan demikian, hal ini sangat diharapkan sebagai wujud perlindungan hak‐hak masyarakat dan juga menempatkan semua orang sama di mata hukum (equality before the law).
d. Perekayasa Hukum
Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat ( final dan banding) merupakan suatu bentuk rekayasa hukum. Frasa “rekayasa” diartikan sebagai penerapan kaidah‐kaidah ilmu dalam pelaksanaan seperti perancangan, pembuatan konstruksi, serta pengoperasian kerangka, peralatan, dan sistem yang ekonomis dan efisien.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat sebagai sebuah bentuk rekayasa hukum yang diwujudkan dalam bentuk norma atau kaidah yang sifatnya membolehkan, mengajurkan, melarang, memerintahkan untuk berbuat atau tidak berbuat. Nilai mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi yang final adalah sama dengan nilai mengikat dan sebuah undang‐undang hasil produk politik, yang berfungsi sebagai alat rekayasa sosial politik, alat kontrol terhadap masyarakat dan penguasa serta memberikan perlindungan hukum terhadap seluruh komponen bangsa.

3. Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan dalam peradilan merupakan perbuatan hakim sebagai pejabat negara berwenang yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dibuat secara tertulis untuk mengakhiri sengketa yang dihadapkan para pihak kepadanya. Sebagai perbuatan hukum yang akan menyelesaikan sengketa yang dihadapkan kepadanya, maka putusan hakim tersebut merupakan tindakan negara di mana kewenangannya dilimpahkan kepada hakim baik berdasarkan UUD Tahun 1945 maupun undang-undang.
Dari sudut pandang hukum tata negara, putusan Mahkamah Konstitusi termasuk dalam keputusan negara yang mengandung norma hukum sama halnya dengan putusan pembentuk undang-undang yang bersifat pengaturan (regeling). Putusan Mahkamah Konstitusi dapat membatalkan suatu undang-undang atau materi muatan dalam undang-undang, sedangkan pembentuk undang-undang menciptakan norma hukum dalam bentuk materi muatan dalam suatu undang-undang.
Putusan Mahkamah Konstitusi terutama dalam pengujian undang-undang kebanyakan jenisnya adalah bersifat declaratoir constitutief. Artinya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menciptakan atau meniadakan satu keadaan hukum baru atau membentuk hukum baru sebagai negative legislature. Hal lain yang perlu dicermati lebih lanjut adalah adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) maupun inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional). Varian putusan Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan putusan yang menyatakan bahwa suatu ketentuan undang-undang tidak bertentangan dengan konstitusi dengan memberikan persyaratan pemaknaan dan keharusan kepada lembaga negara dalam pelaksanaan suatu ketentuan undang-undang untuk memperhatikan penafsiran Mahkamah Konstitusi atas konstitusionalitas ketentuan undang-undang yang sudah diuji tersebut. Dengan demikian, terdapat penafsiran sendiri dari Mahkamah Konstitusi agar suatu norma undang-undang tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.
Putusan Mahkamah Konsitusi sejak diucapkan di hadapan sidang terbuka untuk umum dapat mempunyai 3 (tiga) kekuatan, yaitu:
1. Kekuatan Mengikat
Kekuatan mengikat putusan Mahkamah Konstitusi berbeda dengan putusan pengadilan biasa, tidak hanya meliputi pihak-pihak berperkara (interpartes), yaitu pemohon, pemerintah, DPR/DPD, ataupun pihak terkait yang diizinkan memasuki proses perkara, tetapi juga putusan tersebut mengikat bagi semua orang, lembaga negara, dan badan hukum dalam wilayah republik Indonesia.
Putusan tersebut berlaku sebagai hukum sebagaimana hukum diciptakan pembuat undang-undang. Dengan demikian, Hakim Mahkamah Konstitusi dikatakan sebagai negative lagislator yang putusannya bersifat erga omnes, yang ditujukan pada semua orang.
2. Kekuatan Pembuktian
Dalam perkara konstitusi yang putusannya bersifat erga omnes, maka permohonan pengujian yang menyangkut materi yang sama yang sudah pernah diputus tidak dapat lagi diajukan untuk diuji oleh siapapun. Putusan Mahkamah Konstitusi yang telah berkekuatan hukum tetap demikian dapat digunakan sebagai alat bukti dengan kekuatan pasti secara positif bahwa apa yang diputus oleh hakim itu dianggap telah benar. Selain itu, pembuktian sebaliknya tidak diperkenankan.

3. Kekuatan Eksekutorial
Putusan Mahkamah Konstitusi berlaku sebagai undang-undang dan tidak memerlukan perubahan yang harus dilakukan dengan amandemen atas undang-undang yang bagian tertentu dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Eksekusi putusan Mahkamah Konstitusi telah dianggap terwujud dengan pengumuman putusan tersebut dalam Berita Negara sebagaimana diperintahkan dalam Pasal 57 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Akibat hukum yang timbul dari satu putusan hakim jika menyangkut pengujian terhadap undang-undang diatur dalam Pasal 58 UU Mahkamah Konstitusi, yang pada intinya menyatakan undang-undang yang diuji tetap berlaku sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Ketentuan ini juga berarti bahwa putusan hakim Mahkamah Konstitusi yang menyatakan satu undang-undang bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat tidak boleh berlaku surut.

B. Teori Hak Pilih di Negara Demokrasi
Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang telah diakui dan dipraktikkan sejak lama. Istilah demokrasi berasal dari penggalan kata Yunani “demos” yang berarti rakyat dan kata “kratos” atau kata “cratein” yang berarti pemerintahan, sehingga kata demokrasi berarti pemerintahan oleh rakyat. Dalam sistem demokrasi, rakyat memiliki hak dan kedudukan sebagai penentu dalam penyelenggaraan pemerintahan, suara rakyat adalah suara Tuhan “Vox Populei Vox Dei”. Rakyat memilih para wakilnya untuk menyelenggarakan pemerintahan. Konsep negara demokrasi di Indonesia dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD Tahun 1945 dinyatakan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.”
Hak memilih dan hak dipilih adalah bentuk pengejawantahan dari konsep negara demokrasi. Hak memilih dan hak dipilih merupakan hak konstitusional yang harus dilaksanakan untuk memberikan kesempatan yang sama dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana diatur dalam UUD Tahun 1945:
Pasal 27 ayat (1)
Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Pasal 28D
(1) Setiap orang berhak atas pengakuan jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
(3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

Hak memilih dan dipilih juga secara spesifik dimuat dalam Pasal 43 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut UU 39 Tahun 1999) yang berbunyi, “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Hak memilih juga tercantum dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik). Berdasarkan prinsip hak asasi manusia, hak memilih dan dipilih melekat pada setiap individu. Pemilihan kepala daerah merupakan salah satu mekanisme pelaksanaan hak memilih dan dipilih dalam suatu negara yang demokratis, sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Gubernur, Bupati, dan Walikota. masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”.
Hak memilih dan dipilih sebagai realisasi dari konsep negara demokrasi harus dibatasi oleh hukum (nomokrasi), agar demokrasi tidak ‘kebabalasan’ dan keos (mobokrasi). Negara hukum merupakan suatu istilah dalam perbendaharaan bahasa Indonesia merupakan terjemahan dari rechsstaat ataupun rule of law. Kedua istilah tersebut memiliki arah yang sama, yaitu mencegah kekuasaan yang absolut demi pengakuan dan perlindungan hak asasi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah negara hukum diartikan sebagai negara yang menjadikan hukum sebagai kekuasaan tertinggi. Negara hukum (rechstaat) secara sederhana adalah negara yang menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan negara dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya dilakukan di bawah kekuasaan hukum . Dalam negara hukum, segala sesuatu harus dilakukan menurut hukum (everything must be done according to the law). Negara hukum menentukan bahwa pemerintah harus tunduk pada hukum, bukannya hukum yang harus tunduk pada pemerintah. Negara hukum menurut konsep Eropa Kontinental yang menggunakan sistem hukum civil law dinamakan rechtstaat dan negara hukum menurut konsep Anglo Saxon yang menggunakan sistem hukum common law disebut rule of law. Menurut Julius Stahl, unsur-unsur negara hukum (rechtstaat) adalah perlindungan hak-hak asasi manusia; permisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu; Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan; dan Peradilan administrasi dalam perselisihan. Sementara itu, menurut A.V Dicey, unsur-unsur rule of law adalah Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of law), kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the law), dan terjaminnya hak asasi manusia. Indonesia juga menganut konsep negara hukum, sehingga demokrasi di Indonesia dibatasi oleh hukum (nomokrasi), sebagaimana dinyatakan dalam UUD Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3) bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum.”
Konsep negara hukum yang demokratis menghendaki adanya jaminan terhadap hak asasi manusia yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 28 I ayat (5) UUD Tahun 1945 yang menyatakan, “Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.” Secara lebih spesifik peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai hak memilih dan hak dipilih dalam Pemerintahan Aceh diatur dalam UU Pemerintahan Aceh.

1. Pendapat Hukum Mahkamah Konstitusi
a. Pendapat hukum MK terhadap Putusan Nomor 35/PUU-VIII/2010
Dalam Putusan Nomor 35/PUU-VIII/2010, Pemohon mengujikan Pasal 256 UU Pemerintahan Aceh, yang menyatakan menyatakan bahwa, “Ketentuan yang mengatur calon perseorangan dalam pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, atau Walikota/Wakil Walikota sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf d, berlaku dan hanya dilaksanakan untuk pemilihan pertama kali sejak Undang-Undang ini diundangkan.” MK mempertimbangkan pendapat Pemohon yang menyatakan bahwa pasal a quo telah menghilangkan makna demokrasi yang sesungguhnya sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 18 ayat (4) UUD Tahun 1945 yang menyatakan, “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”, dalam pasal tersebut bukan hanya pada pelaksanaan pemungutan suara dan penghitungan suara saja, tetapi juga harus ada jaminan pada saat penjaringan dan penetapan calon. Pembatasan dalam pasal a quo sama sekali tidak mencerminkan asas demokrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) UUD Tahun 1945, karena pasal a quo tidak memberikan peluang untuk calon perseorangan dalam Pemilukada di Provinsi Aceh setelah tahun 2006, dan dengan sendirinya akan menutup alternatif akan adanya pasangan calon yang lebih variatif dari berbagai sumber. Ketentuan pasal a quo telah menghambat dan merugikan hak konstitusional bagi warga negara yang tidak mempunyai kendaraan politik atau yang tidak diusulkan oleh partai politik baik nasional ataupun lokal.
Menurut MK Pasal 67 ayat (1) UU Pemerintahan Aceh menyatakan, “Pasangan calon Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) diajukan oleh:
a. partai politik atau gabungan partai politik;
b. partai politik lokal atau gabungan partai politik lokal;
c. gabungan partai politik dan partai politik lokal; dana tau
d. perseorangan”.
Ketentuan Pasal 67 ayat (1) huruf d UU Pemerintahan Aceh membuka kesempatan bagi calon perseorangan dalam proses pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah dan juga pemberian peluang dari pembentuk undang-undang dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah agar lebih demokratis. Akan tetapi ketentuan Pasal 67 ayat (1) huruf d UU Pemerintahan Aceh dibatasi oleh pasal a quo.
Pasal a quo yang tidak memberikan kesempatan kepada calon perseorangan dalam Pemilukada bertentangan dengan UUD Tahun 1945, padahal berdasarkan Putusan MK Nomor 5/PUU-V/2007, bertanggal 23 Juli 2007, calon perseorangan diakui dan diperbolehkan. Dalam putusan a quo, Mahkamah memberi pertimbangan bahwa Pasal 256 UU 11/2006 dapat menimbulkan terlanggarnya hak warga negara yang bertempat tinggal di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang justru dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) dan ayat (4) UUD Tahun 1945. Oleh karena itu, dengan adanya perubahan hukum yang berlaku secara nasional mengenai calon perseorangan dalam Pemilukada, maka keberlakuan pasal a quo menjadi tidak relevan lagi. Apalagi jika pasal tersebut tetap dilaksanakan oleh Penyelenggara Pemilu. Komisi Independen Pemilihan (KIP Provinsi/Kabupaten/Kota) maka justru akan menimbulkan perlakuan yang tidak adil kepada setiap orang warga negara Indonesia yang bertempat tinggal di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang akan mencalonkan diri melalui calon perseorangan, karena hak konstitusionalnya yang dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) dan ayat (4) UUD Tahun 1945 menjadi terlanggar.
MK tidak menafikan adanya otonomi khusus di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, namun calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak termasuk dalam keistimewaan Pemerintahan Aceh menurut Pasal 3 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 172, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3893). Apalagi antara Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU tentang Pemerintahan Daerah) dengan UU Pemerintahan Aceh tidak dapat diposisikan dalam hubungan hukum yang bersifat umum dan khusus (vide Putusan Mahkamah Nomor 5/PUU-V/2007 bertanggal 23 Juli 2007). Fakta hukum lainnya, Provinsi Papua yang merupakan daerah otonomi khusus, juga memberlakukan calon perseorangan dalam Pemilukada
Calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak boleh dibatasi pemberlakuannya, karena jika hal demikian diberlakukan maka akan mengakibatkan perlakuan yang tidak adil dan ketidaksamaan kedudukan di muka hukum dan pemerintahan antara warga negara Indonesia yang bertempat tinggal di Provinsi Aceh dan yang bertempat tinggal di wilayah Indonesia lainnya. Warga negara indonesia yang bertempat tinggal di Provinsi Aceh akan menikmati hak yang lebih sedikit karena tidak dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah secara perseorangan yang berarti tidak terdapat perlakuan yang sama di depan hukum dan pemerintahan sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) dan ayat (4) UUD NRI Tahun 1945.

b. Pendapat hukum MK terhadap Putusan Nomor 51/PUU-XIV/2016
Dalam Putusan Nomor 51/PUU-XIV/2016, Pemohon mengujikan Pasal 67 ayat (2) huruf g UU Pemerintahan Aceh, yang menyatakan bahwa, MK mempertimbangkan pendapat Pemohon yang menyatakan bahwa pasal a quo bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, yang pada pokoknya beralasan sebagai berikut:
a. Ketentuan pasal a quo bertentangan dengan jaminan kesamaan kedudukan hukum dan pemerintahan. Jaminan tersebut terhalangi untuk seseorang yang telah menjalani hukuman penjara dan berniat mencalonkan diri sebagai kepala daerah seperti Pemohon.
b. Pemberlakuan larangan mencalonkan diri menjadi kepala daerah untuk seseorang yang pernah dihukum dengan hukuman 5 (lima) tahun atau lebih merupakan aturan yang sewenang-wenang, seolah pembuat undang-undang diperbolehkan menghukum seseorang tanpa ada batas waktu, sehingga membuat mantan narapidana selamanya tidak berhak menjadi kepala daerah.
c. Pemberlakuan syarat yang berbeda-beda di Provinsi Aceh dengan provinsi lainnya di wilayah Indonesia atas penyelenggaraan pemilihan kepala daerah serentak selain bertentangan dengan prinsip negara hukum yang memberikan jaminan kepastian hukum, juga menunjukkan adanya pembedaan kedudukan antara warga negara di dalam hukum dan pemerintahan, dan antara mereka yang berada di wilayah Provinsi Aceh dengan yang di wilayah provinsi lain.
MK juga telah memutus substansi permohonan a quo dalam Putusan MK Nomor 42/PUU-XIII/2015 tanggal 9 Juli 2015 yang pada intinya menyatakan sebagai berikut:
[3.11.1] Bahwa dalam Pasal 7 huruf g UU 8/2015 menentukan, “tidak pernah dijatuhi pidanan penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengna pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih”. Ketentuan tersebut merupakan bentuk pengurangan hak atas kehormatan yang dapat disamakan dengan pidana pencabutan hak-hak tertentu…Hal ini sebangun dengan Pasal 35 ayat (1) angka 3 KUHP yang menyatakan bahwa terpidana dapat dicabut “hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum. Perbedaannya adalah jika hak dipilih sebagai kepala daerah yang dicabut berdasarkan Pasal 7 huruf g UU 8/2015 dilakukan oleh pembentuk undang-undang, sedangkan hak pilih yang dicabut berdasarkan Pasal 35 ayat (1) angka 3 KUHP dilakukan dengan putusan hakim. Dengan demikian, pencabutan hak pilih seseorang hanya dapat dilakukan dengan putusan hakim sebagai hukuman tambahan. Undang-undang tidak dapat mencabut hak pilih seseorang, melainkan hanya memberi pembatasan-pembatasan yang tidak bertentangan dengan Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945… Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009 memberi syarat lima tahun setelah narapidana menjalani masa hukumannya kecuali mantan narapidana tersebut dapat mencalonkan diri sebagai kepada daerah dengan memenuhi syarat tertentu antara lain mengumumkan secara terbuka di hadapan umum bahwa yang bersangkutan pernah dihukum penjara sebagaimana persyaratanketiga dalam putusan MK tersebut, hal ini diperlukan agar rakyat atau pemilih mengetahui keadaan yang bersangkutan. Apabila seorang mantan narapidana telah memenuhi syarat tertentu tersebut maka seyogianya orang tersebut tidak boleh lagi dihukum kecuali oleh hakim apabila yang bersangkutan mengulangi perbuatannya. Apabila undang-undang membatasi hak seorang mantan narapidana untuk tidak dapat mencalonkan dirinya menjadi kepala daerah maka sama saja bermakna bahwa undang-undang telah memberikan hukuman tambahan kepada yang bersangkutan sedangkan UUD NRI Tahun 1945 telah melarang memberlakukan diskriminasi kepada selruruh warga masyarakat.
Selain itu, Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 menegaskan bahwa dibentuknya Pemerintahan Negara Indonesia adalah untuk melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Bahwa Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 tidak membedakan bangsa Indonesia yang mana dan tentunya termasuk melinduni hak mantan narapidana. …
Apabila dikaitkan dengan lembaga pemasyarakatan sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, pemidanaan selain untuk penjeraan juga merupakan suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial. Pemidanaan adalah upaya untuk menyadarkan narapidana agar menyesali perbuatannya, mengembalikan menjadi warga masyarakat…

[3.11.2] Bahwa Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009 telah menentukan syarat bagi seseorang yang akan mengisi jabatan publik atau jabatan politik yang pengisiannya melalui pemilihan yaitu:
1. tidak berlaku untuk jabatan publik yang dipilih (elected officials);
2. berlaku terbatas jangka waktunya hanya selama 5 (lima) tahun sejak terpidana selesai menjalani hukumannya;
3. dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana;
4. bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.

[3.11.3] Bahwa Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009 diperkuat kembali dalam Putusan MK Nomor 120/PUU-VII/2009 yang menyatakan:
“..Bahwa persyaratan calon kepala daerah yang telah diberikan tafsir baru oleh MK dalam Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009 adalah semata persyaratan administratif. Oleh karena itu, Pasal 58 huruf f UU 32/2004 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU 12/2008 berlaku tafsir baru tentang mantan narapidana yang boleh menjadi calon kepala daerah menurut Putusan MK Nomor 14-17/PUU-V/2007 juncto Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009.

[3.11.4] …UU 8/2015 sudah mengakomodir Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009, namun tidak diatur dalam norma Pasal 7 huruf g melainkan diatur dalam Penjelasan Pasal 7 huruf g uu a quo, sehingga antara Pasal 7 huruf g dengan penjelasannya terdapat pertentangan. Norma Pasal 7 huruf g melarang mantan narapidana menjadi calon gubernur, calon bupati, dan calon walikota, namun penjelasannya memperbolehkan…

[3.11.5]...Pasal 7 huruf g UU 8/2015 harus ditafsir sebagaimana Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009 dan menjadikan Penjelasan Pasal 7 huruf g UU 8/2015 menjadi bagian dari norma Pasal 7 huruf g UU 8/2015.

[3.11.6] Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009 telah memberi ruang kepada mantan narapidana untuk proses adaptasi dengan masyarakat sekurang-kurangnya lima tahun setelah narapidana menjalani masa hukumannya. Waktu lima tahun tersebut adalah waktu yang wajar sebagai pembuktian dari mantan narapidana telah berkelakuan baik dan tidak mengulang perbuatan pidana sebgaimana tujuan dari pemasyarakatan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. …
Apalagi syarat ketiga dari Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009 yaitu “dikecualikan bagi mantan narapidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana” adalah dimaksudkan agar publik dapat mengetahui bahwa pasangan calon yang kan dipilih pernah dijatuhi pidana. … Oleh karena itu, terpulang kepada masyarakat sebagai pemilih untuk memberikan atau tidak suaranya kepada calon yang merupakan mantan narapidana. Kata dikecualikan dalam syarat ketiga amar Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009 mempunyai arti bahwa seseorang yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana, syarat kedua dan keempat amar Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009 tidak diperlukan lagi, karena yang bersangkutan telah secara berani mengakui tentang status dirinya yang merupakan mantan narapidana. …Ketika mantan narapidana selesai menjalankan masa tahanannya dan mengumumkan secara terbuka dan jujur bahwa dia adalah mantan narapidana, yang bersangkutan dapat mencalonkan diri menjadi kepala daerah, namun jika mantan narapidana tidak mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan narapidana maka ia harus melampaui lima tahun sejak terpidana selesai menjalani masa hukumannya.
MK beranggapan bahwa substansi Pasal 7 huruf g UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang pernah diputuskan oleh MK dalam Putusan Nomor 42/PUU-XIII/2015 memiliki substansi yang sama dengan Pasal 67 ayat (2) huruf g UU Pemerintahan Aceh. Oleh karena itu, pertimbangan hukum dalam Putusan Nomor 42/PUU-XIII/2015 sebagaimana diuraikan di atas dengan sendirinya menjadi pertimbangan untuk Putusan Nomor 51/PUU-XIV/2016.

2. Implikasi Putusan MK
Putusan Nomor 35/PUU-VIII/2010 telah memutuskan bahwa Pasal 256 UU tentang Pemerintahan Aceh bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Akibat putusan MK ini maka akan selalu terbuka ruang bagi calon perseorangan untuk mencalonkan diri menjadi calon gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota di Provinsi Aceh, tanpa dibatasi waktu pemberlakuannya.
Putusan Nomor 51/PUU-XIV/2016 telah memutuskan bahwa Pasal 67 ayat (2) huruf g UU Pemerintahan Aceh bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana. Akibat putusan MK ini maka mantan narapidana selesai menjalankan masa tahanannya dan mengumumkan secara terbuka dan jujur bahwa dia adalah mantan narapidana, yang bersangkutan dapat mencalonkan diri menjadi calon gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota di Provinsi Aceh. Akan tetapi, jika mantan narapidana tidak mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan narapidana maka ia harus melampaui lima tahun sejak terpidana selesai menjalani masa hukumannya.
Berdasarkan implikasi dari kedua Putusan MK tersebut, perlu dilakukan perubahan/penggantian terhadap UU Pemerintahan Aceh. Perubahan/penggantian tersebut diperlukan, karena Putusan MK dalam pengujian undang-undang bersifat declaratoir constitutief. Artinya putusan MK meniadakan satu keadaan hukum baru atau membentuk hukum baru sebagai negative-legislator. Sifat declaratoir tidak membutuhkan satu aparat yang melakukan pelaksanaan putusan MK. Putusan MK memiliki kekuatan mengikat, kekuatan mengikat putusan MK, berbeda dengan putusan pengadilan biasa, yaitu tidak hanya meliputi pihak-pihak yang berperkara (interpartes) yaitu pemohon, pemerintah, DPR/DPD ataupun pihak terkait yang diizinkan memasuki proses perkara, tetapi putusan tersebut juga mengikat semua orang, lembaga negara dan badan hukum yang ada di wilayah Republik Indonesia. Putusan MK berlaku sebagai hukum sebagaimana hukum diciptakan pembuat undang-undang. Hakim MK dikatakan sebagai negative legislatoir yang putusannya bersifat erga omnes , yang ditujukan pada semua orang. Oleh karena itu, perubahan/penggantian UU Pemerintahan Aceh yang akan dilakukan oleh DPR dan Pemerintah harus berdasarkan Putusan MK yang telah mempunyai kekuatan hukum final dan mengikat (final and binding).

Evaluasi terhadap Putusan Nomor 35/PUU-VIII/2010 adalah perlunya untuk membatalkan dan mencabut ketentuan dalam Pasal 256 UU Pemerintahan Aceh menyatakan bahwa, “Ketentuan yang mengatur calon perseorangan dalam pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, atau Walikota/Wakil Walikota sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf d, berlaku dan hanya dilaksanakan untuk pemilihan pertama kali sejak Undang-Undang ini diundangkan.” Pencabutan ketentuan Pasal 256 UU Pemerintahan Aceh diperlukan agar tidak ada lagi pembatasan bagi calon perseorangan mencalonkan diri menjadi calon gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota di Provinsi Aceh.
Selanjutnya evaluasi terhadap Putusan Nomor 51/PUU-XIV/2016 adalah perlunya perubahan atau revisi terhadap Pasal 67 ayat (2) huruf g UU Pemerintahan Aceh, sehingga nantinya substansi pasal a quo tidak akan bertentangan jika dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana. Perubahan atau revisi ini nantinya akan membuka peluang bagi mantan narapidana untuk mencalonkan diri menjadi calon gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota di Provinsi Aceh, apabila ia secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.
Putusan MK Nomor 51/PUU-XIV/2016 berserta implikasinya, perlu Pasca adanya putusan MK Nomor 51/PUU-XIV/2016 yang mendasarkan pertimbangannya pada Putusan MK Nomor 42/PUU-XIII/2015, karena substansi 67 ayat (2) huruf g UU Pemerintahan Aceh sama dengan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pemilihan Gubernur Bupati, dan Walikota; ternyata pembentuk undang-undang merumuskan lain Pasal 7 ayat (2) huruf g yang berbeda dari kedua putusan MK tersebut. Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Perubahan Kedua Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota) yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7
2) Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
g. tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana;

Rumusan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Perubahan Kedua Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota bertentangan dengan Putusan MK karena:
• MK tidak pernah membatalkan frasa bagi narapidana “yang diancam dengan hukuman penjara minimal 5 (lima) tahun” namun frasa tersebut hilang dalam rumusan yang baru. Tanpa ada frasa penjara minimal 5 (lima) tahun, rumusan yang baru melarang siapapun yang pernah dipenjara, bahkan jika seseorang hanya dihukum kurungan atau penjara kurang dari 5 (lima) tahun sekalipun tidak dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
• Rumusan yang baru menyalahi teknik peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU tentang P3), karena dalam satu huruf tersebut ada mengandung dua ketentuan dan kedua ketentuan tersebut bertentangan, yaitu:
 tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Rumusan ini berarti siapapun yang pernah dipidana berapapun masa pemidanaannya, tidak dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
 bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana. Rumusan ini bertentangan dengan kalimat sebelumnya yang tidak mengijinkan narapidana untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah Sementara rumusan ini dapat ditafsirkan bahwa terpidana tetap dapat mencalonkan diri sebagia kepala daerah apabila telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana
• Rumusan pasal yang baru memberikan dua alternatif pilihan sebagaimana diuraikan di atas, padahal putusan MK pada intinya hanya memperbolehkan mantan narapidana (yang ancaman hukumannya minimal 5 tahun) untuk dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah apabila ia secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik tentang statusnya sebagai mantan narapidana.

Oleh karena itu, pembentuk Undang-Undang juga perlu mengkaji lagi rumusan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Perubahan Kedua Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota agar tidak bertentangan dengan Putusan MK yang bersifat final and binding, karena rumusan pasal a quo menjadi pedoman untuk diterapkan juga di undang-undang pemerintahan yang bersifat khusus dan istimewa, termasuk UU Pemerintahan Aceh. Dengan demikian berdasarkan Putusan MK Nomor 35/PUU-VIII/2010 dan dilakukan reformulasi materi muatan atas beberapa hal yang telah diputus MK agar penyelenggaraan Pemerintahan Aceh sesuai dengan amanah UUD Tahun 1945. Reformulasi materi muatan dengan cara melakukan perubahan/penggantian terhadap UU Pemerintahan Aceh.

Kekhususan atau keistimewaan Pemerintahan Aceh yang diatur dalam UU Pemerintahan Aceh, yang antara lain didasarkan pada karakter khas perjuangan masyarakat Aceh dalam perjalanan ketatanegaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), pandangan hidup yang berlandaskan syari’at Islam, penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Aceh yang belum maksimal, dan terjadinya bencana alam gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Aceh. Akan tetapi, jangan sampai kekhususan atau keistimewaan tersebut mencabut hak konstitusional (hak memilih dan dipilih). Oleh karena itu, hak memilih dan dipilih tidak dapat dikategorikan sebagai bagian dari kekhususan atau keistimewaan Pemerintahan Aceh.
UU Pemerintahan Aceh dalam implementasinya diajukan 5 (lima) kali permohonan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK), namun hanya 2 (dua) kali permohonan yang dikabulkan seluruhnya, yaitu Putusan MK Nomor 35/PUU-VIII/2010 dan Putusan MK Nomor 51/PUU-XIV/2016. Berdasarkan Putusan Nomor 35/PUU-VIII/2010, perlu dilakukan pembatalan atau pencabutan terhadap ketentuan dalam Pasal 256 UU Pemerintahan Aceh. Sementara itu berdasarkan Putusan MK Nomor 51/PUU-XIV/2016, perlu dilakukan perubahan atau revisi terhadap Pasal 67 ayat (2) huruf g UU Pemerintahan Aceh, sehingga nantinya substansi pasal a quo tidak akan bertentangan jika dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana. Dengan demikian, perlu dilakukan perubahan/penggantian terhadap UU Pemerintahan Aceh.

1. Sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bahwa materi muatan yang harus diatur dengan UU berisi materi muatan mengenai tindak lanjut Putusan MK. Oleh karena itu, perlu direformulasi kembali dan diharmonisasi materi muatan atas beberapa hal yang telah diputus MK, dalam UU Pemerintahan Aceh dan UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, dengan status perubahan/penggantian.
2. Berdasarkan Putusan MK dan penggantian UU Nomor 32 Tahun 2004 menjadi UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, maka DPR bersama Pemerintah harus menetapkan perubahan/penggantian UU Pemerintahan Aceh ini ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dan menjadikan prioritas tahunan untuk dibahas bersama-sama agar tidak terjadi kekosongan hukum, terjamin kepastian hukum, dan penyelenggaraan Pemerintahan Aceh tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945.

Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi : Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU Tentang Pilpres) / 01-12-2017

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU tentang Pilpres) sejak diundangkan sampai dengan sekarang telah sebelas kali diajukan pengujian konstitusionalitas ke Mahkamah Konstitusi. Dari sebelas pengujian tersebut, enam pengujian dikabulkan. Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan pengujian konstitusionalitas UU tentang Pilpres yaitu Putusan Nomor 98/PUU-VII/2009, Putusan Nomor 99/PUU-VII/2009, Putusan Nomor 102/PUU-VII/2009, Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013, Putusan Nomor 22/PUU-XII/2014, dan Putusan Nomor 50/PUU-XII/2014.
Analisis dan evaluasi ini bertujuan untuk mengetahui pendapat hukum Mahkamah Konstitusi membatalkan keberlakuan beberapa pasal UU tentang Pilpres, mengkaji akibat hukum Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap UU tentang Pilpres, dan mengkaji harmonisasi antarnorma UU tentang Pilpres pasca Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.
Berdasarkan hasil analisis dan evaluasi tersebut, disimpulkan bahwa pendapat hukum Mahkamah Konstitusi membatalkan keberlakuan beberapa pasal UU tentang Pilpres dalam Putusan Nomor 98/PUU-VII/2009 karena Pasal 188 ayat (2) UU tentang Pilpres mengesampingkan hak-hak dasar yang diatur dalam Pasal 28F UUD Tahun 1945. Pasal 188 ayat (3) UU tentang Pilpres tidak sesuai dengan hakikat suatu penghitungan cepat (quick count) serta menghambat hasrat dan hak seseorang untuk tahu (rights to know) sehingga bertentangan dengan Pasal 28F UUD Tahun 1945. Adapun Pasal 188 ayat (5), Pasal 228, dan Pasal 255 UU tentang Pilpres tidak lagi relevan karena dalil pemohon atas Pasal 188 ayat (2) dan ayat (3) dinilai beralasan. Pendapat hukum Mahkamah Konstitusi membatalkan keberlakuan beberapa pasal UU tentang Pilpres dalam Putusan Nomor 99/PUU-VII/2009 karena Pasal 47 ayat (5) UU tentang Pilpres sepanjang kata “berita” bertentangan dengan Pasal 28F UUD Tahun 1945. Pasal 56 ayat (2) UU tentang Pilpres bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945. Kata “atau” dalam rumusan pasal a quo dapat menimbulkan tafsir bahwa lembaga yang dapat menjatuhkan sanksi bersifat alternatif, yaitu KPI atau Dewan Pers yang memungkinkan jenis sanksi yang dijatuhkan juga berbeda sehingga justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan. Pasal 56 ayat (3) UU tentang Pilpres yang merujuk pada ayat (2) tidak lagi relevan keberadaannya. Pasal 56 ayat (4) UU tentang Pilpres telah mencampuradukkan kedudukan dan kewenangan KPI dan Dewan Pers dengan kewenangan KPU dalam menjatuhkan sanksi kepada pelaksana kampanye pemilu yang dapat menimbulkan kerancuan dan ketidakpastian hukum. Pasal 57 ayat (1) UU tentang Pilpres merupakan norma yang tidak diperlukan karena telah kehilangan kekuatan hukum dan raison d’etre-nya. Pasal 57 ayat (2) UU tentang Pilpres yang merujuk pada ayat (1) dan berkaitan dengan Pasal 56 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) tidak lagi relevan karena semua dalil terhadap pasal-pasal tersebut dinilai cukup beralasan.
Pendapat hukum Mahkamah Konstitusi membatalkan keberlakuan beberapa pasal UU tentang Pilpres dalam Putusan Nomor 102/PUU-VII/2009 karena Pasal 28 dan Pasal 111 UU tentang Pilpres yang mengharuskan warga negara terdaftar sebagai pemilih dalam DPT untuk dapat menggunakan hak memilih merupakan ketentuan-ketentuan yang bersifat prosedural dan tidak boleh menegasikan hal-hal yang bersifat substansial yang berupa hak warga negara untuk memilih (right to vote). Pendapat hukum Mahkamah Konstitusi membatalkan keberlakuan beberapa pasal UU tentang Pilpres dalam Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 karena Pasal 3 ayat (5) UU tentang Pilpres yang mengatur mengenai pilpres dilaksanakan setelah pemilihan umum anggota lembaga perwakilan tidak sesuai dengan semangat UUD Tahun 1945 dan makna pemilihan umum dalam Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 1 ayat (2) UUD Tahun 1945. Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 UU tentang Pilpres merupakan prosedur lanjutan dari Pasal 3 ayat (5) UU tentang Pilpres. Oleh karena itu, seluruh pertimbangan mengenai Pasal 3 ayat (5) UU tentang Pilpres mutatis mutandis menjadi pertimbangan pasal-pasal tersebut. Pendapat hukum Mahkamah Konstitusi membatalkan keberlakuan Pasal 260 UU tentang Pilpres secara konstitusional bersyarat dalam Putusan Nomor 22/PUU-XII/2014 karena Pasal 260 UU tentang Pilpres sepanjang frasa “tahun 2009” tidak menjamin kepastian hukum mengingat dalam pilpres tahun 2014, ketentuan a quo menjadi tidak berlaku. Pendapat hukum Mahkamah Konstitusi membatalkan keberlakuan Pasal 159 ayat (1) UU tentang Pilpres secara konstitusional bersyarat dalam Putusan Nomor 50/PUU-XII/2014 karena Pasal 159 ayat (1) UU tentang Pilpres diberlakukan dalam hal terdapat lebih dari dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Jika hanya terdapat dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden maka pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih adalah pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak, sehingga tidak perlu dilakukan pilpres putaran kedua. Pada tahap pencalonan, pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden tersebut telah memenuhi prinsip representasi keterwakilan seluruh daerah di Indonesia karena sudah didukung oleh gabungan partai politik nasional yang merepresentasikan penduduk di seluruh wilayah Indonesia.

Berdasarkan uraian dalam latar belakang, diperoleh rumusan permasalahan sebagai berikut:
1. Apa yang menjadi pendapat hukum Mahkamah Konstitusi sehingga membatalkan keberlakuan beberapa pasal UU tentang Pilpres dalam Putusan Nomor 98/PUU-VII/2009, 99/PUU-VII/2009, 102/PUU-VII/2009, 14/PUU-XI/2013, 22/PUU-XII/2014, dan 50/PUU-XII/2014?
2. Bagaimana akibat hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 98/PUU-VII/2009, 99/PUU-VII/2009, 102/PUU-VII/2009, 14/PUU-XI/2013, 22/PUU-XII/2014, dan 50/PUU-XII/2014 terhadap UU tentang Pilpres?
3. Apakah terjadi disharmoni antarnorma UU tentang Pilpres pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 98/PUU-VII/2009, 99/PUU-VII/2009, 102/PUU-VII/2009, 14/PUU-XI/2013, 22/PUU-XII/2014, dan 50/PUU-XII/2014?

A. Konstitusionalitas Undang-Undang
Pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi merupakan wujud prinsip atau asas konstitusionalitas undang-undang (constitutionality of law) yang menjamin bahwa undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang itu tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Kewenangan pengujian undang-undang menimbulkan sebuah kewenangan yang mutatis mutandis (dengan sendirinya) ada, yaitu kewenangan menafsirkan konstitusi. Apabila dalam konstitusi tidak terdapat ketentuan yang eksplisit mengenai kewenangan menafsir konstitusi kepada lembaga negara yang diberikan kewenangan constitutional review maka harus dipahami bahwa kewenangan menafsirkan konstitusi menyertai kewenangan constitutional review tersebut. Oleh sebab itu, sering dinyatakan bahwa Constitutional Court itu merupakan “the guardian of constitution and the sole interpreting of constitution”, disebut sebagai penjaga konstitusi berdasarkan kewenangan dalam memutus apakah sebuah produk perundang-undangan telah sesuai dengan konstitusi atau tidak.
Kewenangan menafsirkan itu sesungguhnya timbul dari sebuah tafsir Pasal 24C UUD Tahun 1945 bahwa “Mahkamah Konstitusi menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar” sebagai ketentuan pemberian kewenangan constitutional review kepada Mahkamah Konstitusi, ketentuan tersebut tidak mengandung kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk melakukan penafsiran terhadap konstitusi, namun tidak mungkin dapat melakukan penilaian pertentangan norma sebuah undang-undang apabila tidak menggunakan penafsiran konstitusi, dalam hal ini Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir sah terhadap undang-undang dasar atau konstitusi (the legitimate interpreter of the constitution).
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD Tahun 1945, salah satu kewenangan dari Mahkamah Konstitusi adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan wujud dari prinsip atau asas konstitusionalitas undang-undang (constitutionality of law) yang menjamin bahwa undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang itu tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945.
Menurut Sri Soemantri, dalam praktik dikenal adanya dua macam hak menguji yaitu :
a. hak menguji formil (formale toetsingsrecht);
Hak menguji formil adalah wewenang untuk menilai, apakah suatu produk legislatif seperti undang-undang misalnya terjelma melalui cara-cara (procedur) sebagaimana telah ditentukan/diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku atau tidak. Dalam pengujian formal ini tampak jelas bahwa yang dinilai atau diuji adalah tata cara (procedur) pembentukan suatu undang-undang, apakah sesuai atau tidak dengan yang telah ditentukan/digariskan dalam peraturan perundang-undangan.
b. hak menguji material (materiele toetsingsrecht).
Hak menguji material adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Hak menguji material ini berkenaan dengan isi dari suatu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya. Jika suatu undang-undang dilihat dari isinya bertentangan dengan undang-undang dasar maka undang-undang tersebut harus dinyatakan tidak mempunyai daya mengikat.
Menurut pandangan Jimly Asshiddiqqie, dalam praktik dikenal adanya tiga macam norma hukum yang dapat diuji atau yang biasa disebut norm control mechanism. Ketiganya sama-sama merupakan bentuk norma hukum sebagai hasil dari proses pengambilan keputusan hukum yaitu keputusan normatif yang berisi dan bersifat pengaturan (regeling), keputusan normatif yang berisi dan bersifat penetapan administratif (beschikking), dan keputusan normatif yang berisi dan bersifat penghakiman (judgement) yang biasa disebut vonis. Mekanisme pengujian norma hukum ini dapat dilakukan dengan mekanisme pengujian yang dilakukan oleh lembaga peradilan yang dikenal dengan istilah judicial review. Terdapat beberapa jenis pengujian yaitu legislative review (pengujian tersebut diberikan kepada parlemen), executive review (pengujian tersebut diberikan kepada pemerintah), dan judicial review (pengujian yang diberikan kepada lembaga peradilan). Ketiga bentuk norma hukum ada yang merupakan individual and concret norms dan ada pula yang merupakan general and abstract norms. Vonis dan beschikking selalu bersifat individualand concrete, sedangkan jika yang diuji normanya bersifat umum dan abstrak maka norma yang diuji itu adalah produk regeling. Pengujian norma hukum yang bersifat konkret dan individual termasuk dalam lingkup peradilan tata usaha negara.
Dalam pengujian undang-undang, terdapat dua istilah yakni judicial review dan constitutional review. Constitutional review yang dapat diartikan sebagai pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar yang pada saat ini menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi, judicial review dapat diartikan sebagai pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang yang pada saat ini dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Pada dasarnya banyak yang menyamakan istilah judicial review dan constitutional review, padahal kedua istilah ini berbeda. Jika constitutional review maka ukuran pengujiannya dilakukan dengan menggunakan konstitusi sebagai alat ukur, namun jika norma yang diujikan tersebut menggunakan batu ujinya adalah undang-undang maka dapat dikatakan sebagai judicial review. Konsep constitutional review berkembang dari gagasan modern tentang sistem pemerintahan demokratis yang didasarkan atas ide-ide negara hukum (rule of law), prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power), serta perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia (the protection of fundamental rights). Dalam constitutional review terdapat dua tugas pokok, yakni:
a. untuk menjamin berfungsinya sistem demokrasi dalam hubungan perimbangan peran atau interplay antarcabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Dengan perkataan lain constitutional review dimaksudkan untuk mencegah terjadinya pendayagunaan kekuasaan oleh satu cabang kekuasaan lainnya; dan
b. untuk melindungi setiap individu warga negara dari penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga negara yang merugikan hak fundamental warga negara yang dijamin dalam konstitusi.
Dengan adanya keberadaan Mahkamah Konstitusi juga telah menciptakan pembagian kekuasaan atau pemisahan kekuasaan yang memungkinkan adanya proses saling mengawasi dan saling mengimbangi di antara cabang-cabang kekuasaan negara yang ada atau lazim disebut dengan mekanisme checks and balances. Hal itu tampak terutama dari salah satu kewenangan yang dilimpahkan kepada Mahkamah Konstitusi untuk menguji undang-undang terhadap UUD Tahun 1945.
Dengan demikian, esensi dari produk putusan Mahkamah Konstitusi dalam menguji undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 ditempatkan dalam bingkai mekanisme checks and balances antara lembaga negara. Hubungan untuk saling mengontrol ini, pada akhirnya dimaksudkan untuk melahirkan suatu produk hukum yang adil dan betul-betul berorientasi pada kepentingan rakyat sehingga pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 dapat juga dilihat sebagai bagian dari koreksi terhadap produk yang dihasilkan oleh DPR RI dan Presiden.


B. Putusan Mahkamah Konstitusi Final dan Mengikat
Mahkamah Konstitusi yang diadopsi dalam UUD Tahun 1945 memiliki dua fungsi ideal yaitu Mahkamah Konstitusi dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi dan berfungsi untuk menjamin, mendorong, mengarahkan, membimbing, dan memastikan bahwa UUD Tahun 1945 dijalankan dengan sebaik-baiknya oleh penyelenggara negara agar nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dijalankan dengan benar dan bertanggung jawab dan Mahkamah Konstitusi harus bertindak sebagai penafsir karena Mahkamah Konstitusi dikonstruksikan sebagai lembaga tertinggi penafsir UUD Tahun 1945. Melalui fungsi ini maka Mahkamah Konstitusi dapat menutupi segala kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam UUD Tahun 1945.
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya maka Mahkamah Konstitusi diberikan kewenangan untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD Tahun 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Tahun 1945, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, dan memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana tercantum dalam Pasal 24C UUD Tahun 1945, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Berdasarkan uraian tersebut maka diketahui sifat dari putusan Mahkamah Konstitusi yaitu final yang artinya bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). Konsep ini mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni secara sederhana dan cepat sebagaimana diuraikan dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang secara utuh menjelaskan bahwa Mahkamah Konstitusi dalam menyelenggarakan peradilan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tetap mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni dilakukan secara sederhana dan cepat. Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat tersebut, tidak dapat dilepaskan dengan asas erga omnes yang diartikan dengan mengikat secara umum dan juga mengikat terhadap objek sengketa. Apabila suatu peraturan perundang‐undangan oleh hakim dinyatakan tidak sah karena bertentangan dengan peraturan perundang‐undangan yang lebih tinggi, berarti peraturan perundang‐undangan tersebut berakibat menjadi batal dan tidak sah untuk mengikat setiap orang.
Secara harfiah, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat memiliki makna hukum tersendiri. Frasa “final” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “terakhir dalam rangkaian pemeriksaan,” sedangkan frasa mengikat diartikan sebagai “mengeratkan”, “menyatukan.” Bertolak dari arti harfiah ini maka frasa “final” dan frasa “mengikat”, saling terkait sama seperti dua sisi mata uang artinya dari suatu proses pemeriksaan telah memiliki kekuatan mengeratkan atau menyatukan semua kehendak dan tidak dapat dibantah lagi. Makna harfiah di atas, bila dikaitkan dengan sifat final dan mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi artinya telah tertutup segala kemungkinan untuk menempuh upaya hukum. Tatkala putusan tersebut diucapkan dalam sidang pleno maka ketika itu lahir kekuatan mengikat (verbindende kracht).
Secara Substansial makna hukum dari putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat dibagi dalam beberapa bagian yaitu:
a. menjaga konstitusi (the Guardian of Constitution), menafsirkan konstitusi (the Interpreter of Constitution), menjaga demokrasi, menjaga persamaan di mata hukum, dan koreksi terhadap undang-undang.
Kehadiran Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan tidak lain berperan sebagai pengawal konstitusi (the Guardian of Constitution), agar konstitusi selalu dijadikan landasan dan dijalankan secara konsisten oleh setiap komponen negara dan masyarakat. Mahkamah Konstitusi berfungsi mengawal dan menjaga agar konstitusi ditaati dan dilaksanakan secara konsisten, serta mendorong dan mengarahkan proses demokratisasi berdasarkan konstitusi. Dengan adanya Mahkamah Konstitusi, proses penjaminan demokrasi yang konstitusional diharapkan dapat diwujudkan melalui proses penjabaran dari empat kewenangan konstitusional (constitutionally entrusted powers) dan satu kewajiban (constitutional obligation). Mahkamah Konstitusi bertugas melakukan penyelesaian persengketaan yang bersifat konstitusional secara demokratis.
Putusan-putusan yang final dan mengikat yang ditafsirkan sesuai dengan konstitusi sebagai hukum tertinggi yang pelaksanaannya harus bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat (konstitusi untuk rakyat bukan rakyat untuk konstitusi) dan cita‐cita demokrasi, yakni kebebasan dan persamaan (keadilan). Artinya Mahkamah Konstitusi tidak hanya sebagai penafsir melalui putusan‐putusannya melainkan juga sebagai korektor yang aplikasinya tercermin dalam undang‐undang yang dibuat oleh DPR dan Presiden dengan batu uji konstitusi melalui interpretasinya dengan kritis dan dinamis. Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat merupakan refleksi dari fungsinya sebagai penjaga konstitusi, penjaga demokrasi, penjaga persamaan di mata hukum, penafsir konstitusi dan korektor undang‐undang agar disesuaikan dengan Undang-Undang Dasar.
b. membumikan prinsip-prinsip negara hukum;
Filosofi negara hukum adalah negara melaksanakan kekuasaannya, tunduk terhadap pengawasan hukum. Artinya ketika hukum eksis terhadap negara, maka kekuasaan negara menjadi terkendali dan selanjutnya menjadi negara yang diselenggarakan berdasarkan ketentuan hukum tertulis atau tidak tertulis (konvensi).
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pengawas tertinggi, tatkala putusannya yang final dan mengikat, makna hukumnya adalah membumikan negara hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila sebagaimana dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon. Melalui putusan Mahkamah Konstitusi mengadili dan memutus hal‐hal yang berkaitan dengan kewenangan atribusi yang diberikan kepadanya untuk menjaga, keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan.
c. membangun sebuah penegakan hukum; dan
Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan yaitu kepastian hukum (rechissicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit), dan keadilan (gerechtigkeit). Selanjutnya ditegaskan bahwa kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang‐wenang, yang berarti bahwa seseorang akan memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib, karena hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan untuk ketertiban masyarakat. Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat dapat dimaknai sebagai penegakan hukum tata negara. Khususnya menyangkut pengontrolan terhadap produk politik yaitu undang‐undang yang selama ini tidak ada lembaga yang dapat mengontrolnya. Pada sisi lain, juga dapat menegakkan hukum, memutuskan tentang benar salahnya Presiden atau Wakil Presiden yang dituduh oleh DPR melakukan perbuatan melanggar hukum. Demikian juga dapat memutuskan tentang sengketa‐sengketa khusus yang merupakan kewenangannya termasuk memutuskan untuk membubarkan partai politik. Dengan demikian, hal ini sangat diharapkan sebagai wujud perlindungan hak‐hak masyarakat dan juga menempatkan semua orang sama di mata hukum (equality before the law).
d. Perekayasa hukum.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat (final dan binding) merupakan suatu bentuk rekayasa hukum. Frasa “rekayasa” diartikan sebagai penerapan kaidah‐kaidah ilmu dalam pelaksanaan seperti perancangan, pembuatan konstruksi, serta pengoperasian kerangka, peralatan, dan sistem yang ekonomis dan efisien. Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat sebagai sebuah bentuk rekayasa hukum yang diwujudkan dalam bentuk norma atau kaidah yang sifatnya membolehkan, menganjurkan, melarang, memerintahkan untuk berbuat atau tidak berbuat. Nilai mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi yang final adalah sama dengan nilai mengikat dan sebuah undang‐undang hasil produk politik, yang berfungsi sebagai alat rekayasa sosial politik, alat kontrol terhadap masyarakat dan penguasa, serta memberikan perlindungan hukum terhadap seluruh komponen bangsa.

C. Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan dalam peradilan merupakan perbuatan hakim sebagai pejabat negara berwenang yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dibuat secara tertulis untuk mengakhiri sengketa yang dihadapkan para pihak kepadanya. Sebagai perbuatan hukum yang akan menyelesaikan sengketa yang dihadapkan kepadanya maka putusan hakim tersebut merupakan tindakan negara yang kewenangannya dilimpahkan kepada hakim baik berdasarkan UUD Tahun 1945 maupun undang-undang.
Dari sudut pandang hukum tata negara, putusan Mahkamah Konstitusi termasuk dalam keputusan negara yang mengandung norma hukum sama halnya dengan putusan pembentuk undang-undang yang bersifat pengaturan (regeling). Putusan Mahkamah Konstitusi dapat membatalkan suatu undang-undang atau materi muatan dalam undang-undang, sedangkan pembentuk undang-undang menciptakan norma hukum dalam bentuk materi muatan dalam suatu undang-undang.
Putusan Mahkamah Konstitusi terutama dalam pengujian undang-undang kebanyakan jenisnya adalah bersifat declaratoir constitutief. Artinya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menciptakan atau meniadakan satu keadaan hukum baru atau membentuk hukum baru sebagai negative legislature. Hal lain yang perlu dicermati lebih lanjut adalah adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) maupun inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional). Varian putusan Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan putusan yang menyatakan bahwa suatu ketentuan undang-undang tidak bertentangan dengan konstitusi dengan memberikan persyaratan pemaknaan dan keharusan kepada lembaga negara dalam pelaksanaan suatu ketentuan undang-undang untuk memperhatikan penafsiran Mahkamah Konstitusi atas konstitusionalitas ketentuan undang-undang yang sudah diuji tersebut. Dengan demikian, terdapat penafsiran sendiri dari Mahkamah Konstitusi agar suatu norma undang-undang tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945.
Putusan Mahkamah Konsitusi sejak diucapkan di hadapan sidang terbuka untuk umum dapat mempunyai 3 (tiga) kekuatan, yaitu:
1. kekuatan mengikat;
Kekuatan mengikat putusan Mahkamah Konstitusi berbeda dengan putusan pengadilan biasa, tidak hanya meliputi pihak-pihak berperkara (interpartes), yaitu pemohon, pemerintah, DPR/DPD, ataupun pihak terkait yang diizinkan memasuki proses perkara, tetapi juga putusan tersebut mengikat bagi semua orang, lembaga negara, dan badan hukum dalam wilayah Republik Indonesia. Putusan tersebut berlaku sebagai hukum sebagaimana hukum diciptakan pembuat undang-undang. Dengan demikian, hakim Mahkamah Konstitusi dikatakan sebagai negative legislator yang putusannya bersifat erga omnes, yang ditujukan pada semua orang.
2. kekuatan pembuktian; dan
Dalam perkara konstitusi yang putusannya bersifat erga omnes, maka permohonan pengujian yang menyangkut materi yang sama yang sudah pernah diputus tidak dapat lagi diajukan untuk diuji oleh siapapun. Putusan Mahkamah Konstitusi yang telah berkekuatan hukum tetap demikian dapat digunakan sebagai alat bukti dengan kekuatan pasti secara positif bahwa apa yang diputus oleh hakim itu dianggap telah benar. Selain itu, pembuktian sebaliknya tidak diperkenankan.
3. kekuatan eksekutorial.
Putusan Mahkamah Konstitusi berlaku sebagai undang-undang dan tidak memerlukan perubahan yang harus dilakukan dengan amandemen atas undang-undang yang bagian tertentu dinyatakan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Eksekusi putusan Mahkamah Konstitusi telah dianggap terwujud dengan pengumuman putusan tersebut dalam berita negara sebagaimana diperintahkan dalam Pasal 57 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Akibat hukum yang timbul dari satu putusan hakim jika menyangkut pengujian terhadap undang-undang diatur dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang pada intinya menyatakan undang-undang yang diuji tetap berlaku sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Ketentuan ini juga berarti bahwa putusan hakim Mahkamah Konstitusi yang menyatakan satu undang-undang bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat tidak boleh berlaku surut.

1) Putusan Nomor 98/PUU-VII/2009
Dalam Putusan Nomor 98/PUU-VII/2009, Pasal 188 ayat (2), ayat (3), dan ayat (5), Pasal 228, dan Pasal 255 UU tentang Pilpres adalah valid dan tidak melawan nilai-nilai konstitusi yang dijunjung tinggi dalam masyarakat yang demokratis. Berdasarkan pemikiran dan penilaian hukum tersebut, seharusnya permohonan para pemohon ditolak untuk seluruhnya.

2) Putusan Nomor 99/PUU-VII/2009
Dalam Putusan Nomor 99/PUU-VII/2009, dalil para Pemohon mengenai Pasal 56 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) serta Pasal 57 ayat (1) UU tentang Pilpres oleh Mahkamah telah dinilai cukup beralasan maka hal tersebut mutatis mutandis berlaku juga untuk Pasal 57 ayat (2) UU tentang Pilpres. Permohonan Pemohon dikabulkan.

3) Putusan Nomor 102/PUU-VII/2009
Dalam Putusan Nomor 102/PUU-VII/2009 didasarkan pada pendapat Mahkamah Konstitusi yang pada pokoknya yaitu menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003, hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih (rights to vote and right to be candidate) adalah hak yang dijamin oleh konstitusi, undang-undang, dan konvensi internasional sehingga pembatasan, penyimpangan, peniadaan, dan penghapusan akan hak dimaksud merupakan pelanggaran terhadap hak asasi dari warga negara.

4) Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013
Dalam Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013, Penyelenggaraan Pemilu anggota lembaga perwakilan dan Pilpres secara terpisah atau serentak bukan merupakan permasalahan konstitusionalitas norma tetapi pilihan kebijakan hukum pembentuk undang-undang. Berdasarkan uraian dalam Putusan tersebut, permohonan Pemohon harus ditolak untuk seluruhnya.

5) Putusan Nomor 22/PUU-XII/2014
Dalam Putusan Nomor 22/PUU-XII/2014, berdasarkan uraian tersebut maka Pasal 260 UU tentang Pilpres yang menyatakan, “Dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 anggota Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak menggunakan haknya untuk memilih,” tidak memberikan kepastian hukum karena dalam pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 2014, ketentuan a quo tidak berlaku, anggota TNI dan Polri dapat menggunakan haknya untuk memilih dan tidak perlu lagi menjaga netralitasnya. Hal tersebut tidak sesuai dengan pertimbangan Mahkamah. Untuk menghindari ketidakpastian hukum yang justru bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945, frasa “tahun 2009” dalam Pasal 260 UU tentang Pilpres harus dibaca sebagaimana amar dalam putusan ini. Dengan demikian permohonan para pemohon beralasan menurut hukum.

6) Putusan Nomor 50/PUU-XII/2014
Dalam Putusan Nomor 50/PUU-XII/2014, tidak benar bila UU tentang Pilpres dinyatakan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 6A ayat (3) UUD Tahun 1945 karena Pasal 159 ayat (1) UU tentang Pilpres merupakan turunan langsung dari bunyi Pasal 6A ayat (3) UUD Tahun 1945. Akan tetapi, setelah mempelajari lebih lanjut aturan hukum mengenai cara menentukan pemenang pilpres yang hanya diikuti oleh dua pasangan calon masih terdapat kekosongan hukum meskipun sudah ada ketentuan Pasal 6A ayat (3) dan ayat (4) UUD Tahun 1945. Oleh karena itu diperlukan suatu penafsiran konstitusional agar dalam penyelenggaraan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden pada tanggal 9 Juli 2014 memiliki dasar hukum dalam menentukan pemenang Presiden dan Wakil Presiden jika tidak memenuhi persyaratan Pasal 6A ayat (3) UUD Tahun 1945. Dengan demikian permohonan Pemohon seharusnya diputus konstitusional bersyarat (conditionally constitutional).
Pasal 159 ayat (1) UU tentang Pilpres adalah konstitusional meskipun hanya untuk 2 pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden tetap berlaku untuk perhitungan tahap I untuk pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden.
Dalam hal pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden hanya dua pasangan maka pemilihan calon Presiden dan Wakil Presiden dilakukan dalam satu putaran, dengan perhitungan pemenangnya pada tahap pertama berdasarkan Pasal 6A ayat (3) UUD Tahun 1945 yakni yang memperoleh dukungan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia dilantik jadi Presiden dan Wakil Presiden. Apabila kedua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden tersebut tidak ada yang memenuhi kualifikasi Pasal 6A ayat (3) UUD Tahun 1945, langsung pada tahap kedua dilaksanakan perhitungan suara untuk pasangan yang memperoleh suara terbanyak tanpa mempertimbangkan sebarannya di provinsi-provinsi. Selanjutnya, yang memperoleh suara terbanyak tersebut yang dilantik jadi Presiden dan Wakil Presiden.
Pasal 159 ayat (1) UU tentang Pilpres tersebut hakekatnya berasal dari Pasal 6A ayat (3) UUD Tahun 1945. UU tentang Pilpres yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya merupakan undang-undang organik untuk melaksanakan ketentuan UUD Tahun 1945 sehingga Pasal 159 ayat (1) UU tentang Pilpres sangat sesuai dengan UUD Tahun 1945 dan tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Oleh karenanya UU a quo memenuhi asas kepastian hukum dan prinsip-prinsip negara hukum sehingga semua pasal UUD Tahun 1945 yang dijadikan dasar hukum pengujian terhadap UU a quo tidak terbukti secara hukum. Kehadiran Mahkamah tidak dimaksudkan menguji UUD dengan UUD, justru UUD merupakan pedoman mutlak bagi Mahkamah dalam melakukan pengujian terhadap UU yang bertentangan dengan UUD.
Adapun pendapat berbeda (dissenting opinion) dari Wahiduddin Adams pada pokoknya yaitu:
Berdasarkan alat bukti keterangan ahli yang diajukan oleh para Pemohon diperoleh keterangan bahwa pada waktu proses amandemen UUD Tahun 1945 (1999 s.d. 2002) yang salah satu hasilnya melahirkan Pasal 6A UUD Tahun 1945 tidak atau minimal belum terpikir bahwa pilpres dapat saja hanya diikuti oleh 2 (dua) pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Pada saat itu, gagasan dan cita-cita utama para penyusun amandemen UUD Tahun 1945 adalah proporsionalitas jumlah pemilih dan persebarannya dengan luas wilayah Indonesia sehingga diharapkan Presiden dan Wakil Presiden terpilih mendapat kepercayaan (trust) dan dukungan (support) yang tidak hanya dalam jumlah besar namun juga meluas dari rakyat, mendorong terwujudnya integrasi masyarakat, serta untuk mencegah agar pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden tidak melakukan politik pilih kasih dengan berkampanye secara maksimal cukup di daerah-daerah yang padat pemilihnya saja.
Konstruksi Pasal 6A UUD Tahun 1945 yang terdiri dari 5 (lima) ayat dibangun dengan asumsi bahwa setiap partai politik peserta Pemilu berhak mengajukan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6A ayat (2) UUD Tahun 1945. Ahli juga menyampaikan keterangan bahwa dalam proses amandemen UUD Tahun 1945 (1999 s.d. 2002) tidak dibahas secara komprehensif mengenai simulasi potensi-potensi yang mungkin terjadi akibat dari pengaturan yang ada dalam Pasal 6A UUD Tahun 1945 tersebut, khususnya dalam hal hanya terdapat 2 (dua) pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden sebagai peserta Pilpres.
Penghematan anggaran dan perlunya upaya preventif terhadap potensi terjadinya instabilitas politik sebagaimana yang didalilkan para Pemohon merupakan penalaran hukum ala utilitarian yang dimaknai secara sempit, padahal prinsip pelaksanaan pemilu (termasuk pilpres) di Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 22E ayat (1) UUD Tahun 1945 dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber dan jurdil) sehingga prinsip sederhana, cepat, dan murah/biaya ringan sama sekali bukan prinsip yang harus ada dalam penyelenggaraan Pilpres. Tolok ukur murah/biaya ringanpun pada akhirnya bersifat relatif, sehingga jika sekedar berorientasi pada “biaya murah” (penghematan anggaran) maka jauh lebih baik agar calon Presiden dan Wakil Presiden cukup dipilih oleh MPR saja sebagaimana ketentuan dalam UUD Tahun 1945 (sebelum amandemen) daripada dipilih langsung oleh rakyat.
Prinsip kemanfaatan (utility) dalam perkara ini hendaknya tidak semata-mata berorientasi pada penghematan anggaran dan upaya preventif terhadap potensi terjadinya instabilitas politik semata, tetapi juga pendewasaan kehidupan politik rakyat Indonesia serta pembangunan filosofi dan kerangka berpikir masyarakat secara rasional menuju proses demokrasi yang harus berjalan secara sehat sehingga diharapkan dapat terwujud suatu proses pilpres yang didasarkan pada rational choice sebagai alasan utama pemilih dalam menentukan calon Presiden dan Wakil Presiden pilihannya (sebagai salah satu implementasi dari konsep “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (2) UUD Tahun 1945) serta tidak semata-mata memilih hanya berdasarkan emotional atau personal attachment belaka. Hal ini tentunya memerlukan waktu dan biaya yang tidak sederhana. Dalam bahasa yang sederhana, demokrasi harus berorientasi pada proses bukan hasil.
Dalam risalah proses amandemen UUD (1999 s.d. 2002) terbesit pula “suasana batin” (situation gebundheit) pada masa itu bahwa selain jumlah suara, persebaran suara yang diperoleh Calon Presiden dan Wakil Presiden secara nasional juga merupakan faktor yang tidak boleh diabaikan. Hal ini harus dipahami dalam konteks bahwa para pelaku sejarah amandemen UUD (1999 s.d. 2002) menyadari sepenuhnya konsekuensi biaya yang akan timbul dengan melakukan perubahan mekanisme pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang awalnya cukup dipilih oleh MPR menjadi dipilih langsung oleh rakyat. Dalam risalah tersebut juga termuat adanya diskusi bahwa perlu dihindari kemungkinan terjadinya fenomena calon Presiden dan Wakil Presiden yang hanya fokus berkampanye di daerah-daerah yang padat pemilihnya saja sehingga daerah-daerah yang dianggap kurang strategis (luas secara geografis namun sedikit jumlah pemilihnya) sangat berpotensi terabaikan dalam memperoleh sosialisasi dan informasi komprehensif mengenai visi, misi, dan program masing-masing peserta pilpres.
Fenomena yang dikhawatirkan oleh para pelaku sejarah amandemen UUD (1999 s.d. 2002) menjadi semakin nyata saat ini jika kita menyaksikan secara cermat bahwa strategi kampanye yang dilakukan oleh masing-masing peserta pilpres 2014 dalam beberapa hari-hari terakhir masa kampanye ini umumnya berfokus pada pemenangan dukungan suara hanya di daerah-daerah yang padat pemilihnya yang justru para pemilih di daerah tersebut relatif sudah cukup baik dalam menerima informasi mengenai visi, misi, dan program sebagai materi kampanye dari masing-masing peserta pilpres.
Jika Pasal 6A ayat (3) UUD Tahun 1945 yang berbunyi, “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden” dan Pasal 6A ayat (4) UUD Tahun 1945 yang berbunyi, “Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden” tidak diberlakukan dalam hal peserta pilpres hanya diikuti oleh 2 pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden maka tidak menutup kemungkinan bahwa di kemudian hari (pilpres tahun 2019 dan seterusnya) akan lahir Presiden dan Wakil Presiden yang memenangkan pilpres hanya dengan berfokus pada kemenangan di daerah-daerah strategis saja (pulau Jawa dan beberapa provinsi yang jumlah pemilihnya besar) sehingga representasi suara rakyat di daerah-daerah yang dianggap kurang strategis (wilayahnya luas secara geografis namun jumlah pemilihnya sedikit) akan hilang begitu saja berdasarkan prinsip simple majority yang tentunya justru bertolak belakang dengan “suasana batin” (situation gebundheit) pada saat lahirnya Pasal 6A UUD Tahun 1945.
Jika dilakukan penafsiran sistematis terhadap ketentuan Pasal 159 UU tentang Pilpres, khususnya Pasal 159 ayat (1) UU tentang Pilpres, yang berbunyi, “Pasangan Calon terpilih adalah Pasangan Calon yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari ½ (setengah) jumlah provinsi di Indonesia,” maka diperoleh makna bahwa ketentuan yang ada dalam Pasal a quo berlaku untuk segala kondisi, termasuk dalam hal Pilpres hanya diikuti oleh 2 (dua) pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.
Secara teoretis, salah satu bentuk hubungan antarnorma yang ada dalam suatu undang-undang adalah bentuk pengecualian (derogasi). Hubungan yang bersifat derogatif ini umumnya muncul untuk mengantisipasi kondisi-kondisi tertentu yang menyebabkan suatu norma tidak mungkin diberlakukan dan pengecualian tersebut harus disebutkan secara eksplisit dalam norma berikutnya. Dalam konteks Pasal 159 UU tentang Pilpres tidak ditemukan norma yang secara eksplisit bersifat derogatif untuk mengantisipasi kondisi pilpres hanya diikuti oleh 2 (dua) pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden sehingga tahapan-tahapan pilpres sebagaimana yang diatur dalam Pasal 159 UU tentang Pilpres wajib diberlakukan termasuk dalam hal Pilpres hanya diikuti oleh 2 (dua) pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.
Kekhawatiran terhadap potensi terjadinya instabilitas dan krisis politik jika Pilpres 2014 (yang diikuti oleh hanya 2 (dua) pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden) tetap dilaksanakan sesuai mekanisme yang diatur dalam Pasal 159 UU tentang pilpres bukan masalah konstitusionalitas norma karena jika pilpres 2014 dilaksanakan cukup 1 (satu) putaranpun bukan tidak mungkin juga akan menimbulkan permasalahan hukum karena pelaksanaan pilpres 2014 dapat ditafsirkan tidak sesuai dengan Pasal 6A UUD Tahun 1945 yang secara filosofis tidak menganut konsep simple majority atau run-off election, mengutamakan ide proporsionalitas jumlah pemilih dan persebarannya dengan luas wilayah Indonesia dengan harapan agar Presiden dan Wakil Presiden terpilih mendapat dukungan yang tidak hanya besar namun juga meluas dari rakyat Indonesia sehingga berapapun jumlah peserta pilpresnya, dalam hal tidak terdapat pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang memenuhi syarat kumulatif yakni mendapatkan suara lebih dari 50% dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari ½ jumlah provinsi di Indonesia maka harus dilangsungkan pilpres putaran kedua (second round) dengan sistem suara terbanyak tanpa persyaratan persebaran suara sesuai dengan ketentuan Pasal 6A ayat (4) UUD Tahun 1945. Dengan demikian diharapkan agar pilpres tidak menjadi “kompetisi tertutup” yang hanya dapat dimenangkan oleh peserta pilpres yang hanya populer di provinsi yang jumlah pemilihnya besar saja. Suara-suara pemilih yang berasal dari provinsi yang jumlah pemilihnya sedikit, dalam batas-batas tertentu, juga dapat menjadi faktor yang signifikan dalam menentukan Presiden dan Wakil Presiden di Republik Indonesia.
Berdasarkan hal-hal tersebut, permohonan para pemohon harus ditolak untuk seluruhnya.

-

Berdasarkan uraian tersebut maka dapat disimpulkan:
1. Pendapat hukum Mahkamah Konstitusi yang terdapat dalam:
a. Putusan Nomor 98/PUU-VII/2009
1) Pasal 188 ayat (2) UU tentang Pilpres tidak dapat mengesampingkan hak-hak dasar yang diatur dalam Pasal 28F UUD Tahun 1945. Hal tersebut berarti pengumuman hasil survei inkonstitusional sepanjang berkaitan dengan rekam jejak atau bentuk lain yang dapat menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu.
2) Pasal 188 ayat (3) UU tentang Pilpres tidak sesuai dengan hakikat suatu penghitungan cepat (quick count) serta menghambat hasrat dan hak seseorang untuk tahu (rights to know) sehingga bertentangan dengan Pasal 28F UUD Tahun 1945. Selain itu, hasil penghitungan cepat tersebut tidak akan memengaruhi kebebasan pemilih untuk menjatuhkan pilihannya karena pemungutan suara sudah selesai dan penghitungan cepat tidak mungkin dilakukan sebelum selesainya pemungutan suara.
3) Pasal 188 ayat (5) UU tentang Pilpres yang merujuk pada ayat (2) dan ayat (3) tidak lagi relevan karena dalil pemohon atas ayat (2) dan ayat (3) dinilai beralasan.
4) Pasal 228 UU tentang Pilpres yang mengatur mengenai sanksi pidana terhadap pelanggaran Pasal 188 ayat (2) tidak lagi relevan karena dalil pemohon atas Pasal 188 ayat (2) dinilai beralasan.
5) Pasal 255 UU tentang Pilpres yang mengatur mengenai sanksi pidana terhadap pelanggaran Pasal 188 ayat (3) tidak lagi relevan karena dalil pemohon atas Pasal 188 ayat (3) dinilai beralasan.
b. Putusan Nomor 99/PUU-VII/2009
1) Pasal 47 ayat (5) UU tentang Pilpres sepanjang kata “berita” bertentangan dengan Pasal 28F UUD Tahun 1945. Hak untuk menyiarkan berita adalah bagian dari hak asasi setiap orang untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia yang dilindungi oleh konstitusi. Penyiaran berita mengenai pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden justru akan membantu memberikan informasi seluas-luasnya kepada calon pemilih mengenai rekam jejak dan kualitas dari pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang semuanya tergantung pada penilaian subjektivitas dari pendengar atau pembaca berita dan akan meningkatkan kualitas dari pesta demokrasi yang merupakan hak dari rakyat. Dengan kata lain, berita mengenai pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden adalah hak setiap orang atau warga negara untuk memperoleh dan menyampaikan informasi.
2) Pasal 56 ayat (2) UU tentang Pilpres bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945. Kata “atau” dalam rumusan pasal a quo dapat menimbulkan tafsir bahwa lembaga yang dapat menjatuhkan sanksi bersifat alternatif, yaitu KPI atau Dewan Pers yang memungkinkan jenis sanksi yang dijatuhkan juga berbeda sehingga justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan. Lagi pula, sesuai dengan kedudukan dan fungsinya, Dewan Pers menurut UU tentang Pers tidak berwenang untuk menjatuhkan sanksi kepada pers, khususnya media cetak.
3) Pasal 56 ayat (3) UU tentang Pilpres yang merujuk pada ayat (2) bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945 dan tidak lagi relevan keberadaannya.
4) Pasal 56 ayat (4) UU tentang Pilpres yang merujuk pada ayat (3) bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28J ayat (1) UUD Tahun 1945 karena telah mencampuradukkan kedudukan dan kewenangan KPI dan Dewan Pers dengan kewenangan KPU dalam menjatuhkan sanksi kepada pelaksana kampanye pemilu yang dapat menimbulkan kerancuan dan ketidakpastian hukum.
5) Pasal 57 ayat (1) UU tentang Pilpres merupakan norma yang tidak diperlukan karena telah kehilangan kekuatan hukum dan raison d’etre-nya. Selain itu, ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena telah menimbulkan ketidakpastian hukum serta melanggar prinsip kebebasan berekspresi sebagaimana diatur dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945.
6) Pasal 57 ayat (2) UU tentang Pilpres yang merujuk pada ayat (1) dan berkaitan dengan Pasal 56 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) tidak lagi relevan karena semua dalil para pemohon terhadap pasal-pasal tersebut dinilai cukup beralasan dan mutatis mutandis berlaku juga untuk Pasal 57 ayat (2) UU tentang Pilpres.
c. Putusan Nomor 102/PUU-VII/2009
Pasal 28 dan Pasal 111 UU tentang Pilpres yang mengharuskan warga negara terdaftar sebagai pemilih dalam DPT untuk dapat menggunakan hak memilih merupakan ketentuan-ketentuan yang bersifat prosedural dan tidak boleh menegasikan hal-hal yang bersifat substansial yang berupa hak warga negara untuk memilih (right to vote). Hak warga negara untuk memilih merupakan hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara (constitutional rights of citizen) yang tidak boleh dihambat atau dihalangi oleh berbagai ketentuan yang bersifat prosedural. Warga negara yang tidak terdaftar dalam DPT diberikan kesempatan untuk memilih dengan menggunakan KTP atau paspor yang masih berlaku. Penggunaan KTP atau paspor tersebut tidak dapat diberlakukan melalui Keputusan KPU, Peraturan KPU, atau Perppu. Oleh karena itu, diperlukan putusan yang bersifat self executing yang langsung dapat diterapkan oleh KPU untuk melindungi, menjamin, dan memenuhi hak konstitusional warga negara untuk memilih.
d. Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013
1) Pasal 3 ayat (5) UU tentang Pilpres yang mengatur mengenai pilpres dilaksanakan setelah pemilihan umum anggota lembaga perwakilan tidak sesuai dengan semangat UUD Tahun 1945 dan makna pemilihan umum dalam Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 1 ayat (2) UUD Tahun 1945. Ketentuan tersebut juga tidak sesuai dengan original intent dari penyusun perubahan UUD Tahun 1945 dan tidak sejalan dengan prinsip konstitusi yang menghendaki adanya efisiensi dalam penyelenggaraan pemerintahan serta tidak menjamin terpenuhinya hak warga negara untuk memilih secara cerdas.
2) Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 UU tentang Pilpres merupakan prosedur lanjutan dari Pasal 3 ayat (5) UU tentang Pilpres. Oleh karena itu, seluruh pertimbangan mengenai Pasal 3 ayat (5) UU tentang Pilpres mutatis mutandis menjadi pertimbangan pasal-pasal tersebut.
e. Putusan Nomor 22/PUU-XII/2014
Pasal 260 UU tentang Pilpres sepanjang frasa “tahun 2009” tidak menjamin kepastian hukum karena dalam pilpres tahun 2014, ketentuan a quo menjadi tidak berlaku. Artinya anggota TNI dan Polri dapat menggunakan haknya untuk memilih. Untuk menghindari ketidakpastian hukum tersebut yang justru bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945 maka frasa “tahun 2009” dalam Pasal 260 UU tentang Pilpres harus dibaca “tahun 2014.”
f. Putusan Nomor 50/PUU-XII/2014
Pasal 159 ayat (1) UU tentang Pilpres diberlakukan dalam hal terdapat lebih dari dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Jika hanya terdapat dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden maka pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih adalah pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak, sehingga tidak perlu dilakukan pilpres putaran kedua. Pada tahap pencalonan, pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden tersebut telah memenuhi prinsip representasi keterwakilan seluruh daerah di Indonesia karena sudah didukung oleh gabungan partai politik nasional yang merepresentasikan penduduk di seluruh wilayah Indonesia. Dengan demikian, tujuan kebijakan pilpres yang merepresentasikan seluruh rakyat dan daerah di Indonesia sudah terpenuhi.

2. Akibat hukum Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap UU tentang Pilpres:
a. Putusan Nomor 98/PUU-VII/2009
1) Batalnya keberlakuan Pasal 188 ayat (2) dan Pasal 228 UU tentang Pilpres berakibat setiap orang dapat mengumumkan dan/atau menyebarluaskan hasil survei atau jajak pendapat pada masa tenang tanpa diancam pidana.
2) Batalnya keberlakuan Pasal 188 ayat (3) dan Pasal 255 UU tentang Pilpres berakibat setiap orang atau lembaga dapat mengumumkan hasil penghitungan cepat pada hari/tanggal pemungutan suara tanpa diancam pidana.
3) Batalnya Pasal 188 ayat (5) UU tentang Pilpres sepanjang frasa “ayat (2), ayat (3), dan” berakibat pengumuman dan/atau penyebarluasan hasil survei atau jajak pendapat pada masa tenang serta pengumuman dan/atau penyebarluasan hasil penghitungan cepat pada hari/tanggal pemungutan suara bukan merupakan tindak pidana Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
b. Putusan Nomor 99/PUU-VII/2009
1) Batalnya keberlakuan Pasal 47 ayat (5) UU tentang Pilpres berakibat media massa cetak dan lembaga penyiaran selama masa tenang dapat menyiarkan berita.
2) Batalnya keberlakuan Pasal 56 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) serta Pasal 57 ayat (1) dan ayat (2) UU tentang Pilpres berakibat pelanggaran terhadap Pasal 51 sampai dengan Pasal 53 UU tentang Pilpres yang mengatur mengenai iklan kampanye tidak dikenakan sanksi oleh Komisi Penyiaran Indonesia, Dewan Pers, KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota.
c. Putusan Nomor 102/PUU-VII/2009
Batalnya keberlakuan Pasal 28 dan Pasal 111 UU tentang Pilpres secara konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) maka warga negara yang tidak terdaftar dalam DPT juga dapat menggunakan haknya untuk memilih dengan syarat dan cara sebagai berikut, pertama, WNI yang belum terdaftar dalam DPT dapat menggunakan hak pilihnya dengan menunjukan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang masih berlaku atau paspor yang masih berlaku bagi WNI yang berada di luar negeri. Kedua, WNI yang menggunakan KTP harus dilengkapi dengan Kartu Keluarga atau nama sejenisnya. Ketiga, penggunaan hak pilih bagi WNI yang menggunakan KTP yang masih berlaku hanya dapat digunakan di TPS yang berada di RT/RW atau nama sejenisnya sesuai dengan alamat yang tertera di dalam KTP. Keempat, sebelum menggunakan hak pilihnya, terlebih dahulu mendaftarkan diri pada KPPS setempat. Kelima, dilakukan pada 1 (satu) jam sebelum selesainya pemungutan suara di TPS atau TPS Luar negeri setempat.
d. Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013
Batalnya keberlakuan Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 UU tentang Pilpres berakibat pilpres diselenggarakan secara serentak dengan pemilihan anggota lembaga perwakilan pada tahun 2019 dan seterusnya. Demikian pula dengan pengumuman dan pendaftaran bakal pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.
e. Putusan Nomor 22/PUU-XII/2014
Dengan dibatalkannya keberlakuan frasa “tahun 2009” dalam Pasal 260 UU tentang Pilpres sepanjang tidak dimaknai “tahun 2014” berakibat anggota TNI dan Polri tidak menggunakan haknya untuk memilih dalam pilpres tahun 2014.
f. Putusan Nomor 50/PUU-XII/2014
Batalnya keberlakuan Pasal 159 ayat (1) UU tentang Pilpres berakibat jika terdapat 2 (dua) pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara dalam pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden langsung ditetapkan sebagai pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Akan tetapi, jika terdapat lebih dari 2 (dua) pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara dalam pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari ½ (setengah) jumlah provinsi di Indonesia ditetapkan sebagai pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih.

3. Harmonisasi antarnorma UU tentang Pilpres pasca Putusan Mahkamah Konstitusi:
a. Putusan Nomor 98/PUU-VII/2009
Batalnya Pasal 188 ayat (2) dan ayat (3) serta ayat (5) sepanjang frasa “ayat (2), ayat (3), dan”, Pasal 228, dan Pasal 255 UU tentang Pilpres tidak mengganggu harmonisasi antarnorma UU tentang Pilpres. Akan tetapi, batalnya Pasal 188 ayat (2) dan ayat (3) berimplikasi terhadap Pasal 188 ayat (4) dan Pasal 189 UU tentang Pilpres. Implikasi batalnya Pasal 188 ayat (2) dan ayat (3) terhadap Pasal 188 ayat (4) UU tentang Pilpres yaitu pelaksana kegiatan penghitungan cepat yang mengumumkan dan/atau menyebarluaskan hasil penghitungan cepat pada hari/tanggal pemungutan suara wajib memberitahukan bahwa hasil penghitungan cepat yang dilakukannya bukan merupakan hasil resmi penyelenggara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Adapun implikasi batalnya Pasal 188 ayat (2) dan ayat (3) terhadap Pasal 189 UU tentang Pilpres yaitu bahwa survei atau jajak pendapat yang dapat diumumkan dan/atau disebarluaskan pada masa tenang serta hasil penghitungan cepat yang dapat diumumkan dan/atau disebarluaskan pada hari/tanggal pemungutan suara merupakan salah satu ketentuan yang didelegasikan untuk diatur lebih lanjut dalam Peraturan KPU.
b. Putusan Nomor 99/PUU-VII/2009
Batalnya keberlakuan Pasal 47 ayat (5) UU tentang Pilpres sepanjang kata “berita” tidak menganggu harmonisasi antarnorma meskipun tetap berimplikasi terhadap Pasal 58 UU tentang Pilpres. Implikasi tersebut yaitu bahwa berita yang disiarkan oleh media massa cetak dan lembaga penyiaran selama masa tenang merupakan salah satu ketentuan mengenai pemberitaan yang didelegasikan untuk diatur lebih lanjut dengan Peraturan KPU. Sebaliknya, batalnya keberlakuan Pasal 56 ayat (2) sampai dengan ayat (4) dan Pasal 57 ayat (1) dan ayat (2) UU tentang Pilpres mengakibatkan terjadinya disharmoni dengan Pasal 58 UU tentang Pilpres. Disharmoni tersebut yaitu pemberian sanksi yang didelegasikan untuk diatur lebih lanjut dengan Peraturan KPU oleh Pasal 58 UU tentang Pilpres tidak dapat dilaksanakan dengan batalnya Pasal 56 ayat (2) sampai dengan ayat (4) serta Pasal 57 ayat (1) dan ayat (2) UU tentang Pilpres.
c. Putusan Nomor 102/PUU-VII/2009
Batalnya keberlakuan Pasal 28 dan Pasal 111 UU tentang Pilpres secara konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) mengakibatkan terjadinya disharmoni dengan ketentuan Pasal 121 dan Pasal 122 UU tentang Pilpres. Disharmoni tersebut yaitu berdasarkan Pasal 111 tersebut maka WNI di luar negeri yang tidak terdaftar sebagai pemilih dalam DPT dapat menggunakan haknya untuk memilih di TPSLN dengan menggunakan paspor, padahal Pasal 121 dan Pasal 122 UU tentang Pilpres mengatur WNI di luar negeri yang tidak terdaftar sebagai pemilih di DPT tidak dapat menggunakan haknya untuk memilih di TPSLN.
d. Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013
Batalnya Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 UU tentang Pilpres mengakibatkan terjadinya disharmoni dengan ketentuan seluruh pasal dalam UU tentang Pilpres. Disharmoni tersebut terjadi karena UU tentang Pilpres mengatur pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah pemilu anggota lembaga perwakilan.
e. Putusan Nomor 22/PUU-XII/2014
Batalnya Pasal 260 UU tentang Pilpres sepanjang frasa “tahun 2009” jika tidak dimaknai “tahun 2014” tidak mengganggu harmonisasi antarnorma UU tentang Pilpres.
f. Putusan Nomor 50/PUU-XII/2014
Batalnya Pasal 159 ayat (1) UU tentang Pilpres sepanjang tidak dimaknai tidak berlaku untuk pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang hanya terdiri dari dua pasangan calon tidak menggangu harmonisasi antarnorma tetapi tetap berimplikasi terhadap Pasal 160 ayat (1) UU tentang Pilpres. Implikasi tersebut yaitu jika terdapat 2 (dua) pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden maka pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara dalam pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden langsung ditetapkan sebagai pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih dalam sidang pleno KPU. Akan tetapi, jika terdapat lebih dari 2 (dua) pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara dalam pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari ½ (setengah) jumlah provinsi di Indonesia ditetapkan sebagai pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih dalam sidang pleno KPU.

Perlu mengganti UU tentang Pilpres sebagai tindak lanjut dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 98/PUU-VII/2009, 99/PUU-VII/2009, 102/PUU-VII/2009, 14/PUU-XI/2013, 22/PUU-XII/2014, dan 50/PUU-XII/2014.

Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi : Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan / 01-12-2017

Laporan ini berisi analisa dan evaluasi Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Pengujian terhadap UU No.18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, dan UU No. 41 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No.18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. 1. Perkara No. 137/PUU-VII/2009 ada 4 Pasal yang diuji yaitu Pasal 44 ayat (3); Pasal 59 ayat (2); Pasal 59 ayat (4) dan Pasal 68 ayat (4) UU No.18 Tahun 2009. 2. Perkara No. 2/PUU-IX/2011 ada 1 Pasal yang diuji yaitu Pasal 58 ayat (4) UU No.18 Tahun 2009. 3. Perkara No. 129/PUU-XIII/2015 ada 4 Pasal yang diuji yaitu Pasal 36C ayat (1); Pasal 36C ayat (3); Pasal 36D ayat (1) dan Pasal 36E ayat (1) UU No. 41 Tahun 2014.
Pasal-pasal pada perkara No. 137/PUU-VII/2009 diuji dengan Pembukaan UUD NRI Tahun 1945; Pasal 1 ayat (3); asal 28A; Pasal 28C ayat (1) dan ayat (2); Pasal 28D ayat (1); Pasal 28G ayat (1); Pasal 28H ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 33 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945. Pasal 58 ayat (4) UU No. 18 Tahun 2009 pada perkara No.2/PUU-IX/2011 diuji dengan Pasal 27 ayat (2); Pasal 28A; Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Pasal-pasal pada pekara No. 129/PUU-XIII/2015 diuji dengan Pembukaan UUD NRI Tahun 1945; Pasal 1 ayat (3); Pasal 24C ayat (1); Pasal 28A; Pasal 28H ayat (1); Pasal 33 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945.
Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan khususnya Pasal 44 ayat (3), Pasal 59 ayat (2) frase “unit usaha produk hewan pada suatu negara atau zona”, dalamayat (4) frase mengacu pada ketentuan atau kaidah internasional dan Pasal 68 ayat(4) “Menteri dapat melimpahkan kewenangannya kepada otoritas veteriner”, melanggar konstitusi dan merugikan rakyat Indonesia. Lahirnya pasal ini mengabaikan prinsip-prinsip kedaulatan ekonomi, perlindungan, rasa aman dan keberlangsungan hidup rakyat Indonesia sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945, khususnya alinea ke empat Pembukaan UUD 1945, Pasal 1 ayat (3), Pasal 28A, Pasal 28C ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.
Mahkamah menilai Pasal 44 ayat (3) UU 18/2009 tidak bertentangan dengan UUD 1945.Terkait Pasal 59 ayat (2) UU 18 Tahun 2009 menyatakan, “Produk hewan segar yang dimasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus berasal dari unit usaha produk hewan pada suatu negara atau zona dalam suatu negara yang telah memenuhi persyaratan dan tata cara pemasukan produk hewan”, sementarayang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon adalah frasa, “unit usaha produk hewan pada suatu negara atau zona”; bahwa dalam negara kesejahteraan, Pemerintah harus ikut aktif dalam lalu lintas perekonomian, termasuk membentuk regulasi yang melindungi serta mendorong ke arah kesejahteraan masyarakat perlu penerapan keamanan maksimal (maximum security) apabila ingin melindungi bangsa, manusia, dan hewan di Indonesia. Hal yang diterangkan kedua ahli tersebut sejalan pula dengan pendapat ahli Dr. Ir. Rochadi Tawaf, M.S. yang mengemukakan bahwa karena PMK ditularkan melalui komoditi hewan secara airborne diseases,maka risiko terjangkit PMK sangat tinggi apabila mengimpor hewan atau produk hewan dari negara yang tertular. Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, frasa “atau zona dalam suatu negara”dinilai bertentangan dengan UUD 1945.
Terkait Pasal 59 ayat (4) UU 18/2009 yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon menentukan, “Persyaratan dan tata cara memasukan produk hewan dari luar negeri ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan ayat (3) mengacu pada ketentuan atau kaidah internasional yang berbasis analisis risiko di bidang kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner serta mengutamakan kepentingan nasional”, yang menurut para Pemohon menunjukkan ketidakpastian hukum serta mengabaikan prinsip kedaulatanrakyat. Mahkamah menilai frasa “atau kaidah internasional” adalah benar tidak memberikan kepastian hukum oleh karena kaidah internasional mana yang dimaksud dan apakah kaidah internasional tersebut telah disetujui atau belum oleh Dewan Perwakilan Rakyat; Dengan pertimbangan tersebut di atas, maka frasa “ataukaidah internasional”adalah bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang belum dituangkan di dalam perjanjian internasional dan sudah diratifikasi.
Jika dilihat dari pertimbangan hukum dan amar putusan perkara No. 137/PUU-VII/2009 dan No. 2/PUU-IX/2011 bersifat konstitusional bersyarat yang antara lain bertujuan untuk mempertahankan konstitsionalitas suatu ketentuan dengan syarat-syarat yang ditentukan MK dan syarat-syarat yang ditentukan oleh MK dalam putusan konstitusional bersyarat mengikat dalam proses pembentukan undang-undang. Dan pasal-pasal tersebut sudah direvisi menjadi UU No. 41 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Pada Perkara No. 129/PUU-XIII/2015 konklusinya bahwa Pasal 36E ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan bertentangan secara bersyarat dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagaimana pertimbangan Mahkamah
dalam putusan ini. Putusan ini bersifat inkonstitusional bersyaratdalam hal pasal yang dimohonkan diuji tersebut pada saat putusan dibacakan adalah inkonstitusional, akan tetapi pasal tersebut akan menjadi konstitusional apabila syarat sebagaimana ditetapkan oleh MK dipenuhi.
Jadi perlu merevisi UU No 41 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, dan ada Peraturan terkaitnya yang perlu direvisi seperti UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan serta segera membentuk Peraturan Pemerintah sebagai peratutan pelaksanaan dari UU No. 41 Tahun 2014.

1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal dan ayat dari UU Nakeswan dan UU Nakeswan Perubahan yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi?
2. Apa akibat hukum terhadap pasal dan ayat dari UU Nakeswan dan UU Nakeswan Perubahan yang dinyatakan Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan UUD Tahun 1945?
3. Apakah terjadi disharmonisasi norma dalam suatu UU jika suatu pasal, ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi berimplikasi terhadap norma pasal ayat lain yang tidak diujikan?

A. KONSTITUSIONALITAS UNDANG-UNDANG
Mahkamah Konstitusi sejak berdirinya berdasarkan perubahan ketiga UUD Tahun 1945, dengan kewenangan konstitusional yang diamanatkan kepadanya telah turut berperan dalam menyelesaikan secara hukum melalui putusan-putusan terhadap perselisihan-perselisihan konstitusional (constitutional dispute) yang terjadi, yang tidak pernah dilakukan oleh lembaga Negara manapun sebelumnya. Sekiranya pernah ada, penyelesaian tersebut dilakukan melalui mekanisme politik (political mechanism), tidak melalui mekanisme hukum di pengadilan (judicial mechanism). Putusan akan bermakna sebagai suatu bentuk penyelesaian perselisihan yang memulihkan hak-hak dari pihak yang dirugikan manakala putusan tersebut secara sungguh-sungguh dilaksanakan oleh pihak-pihak yang diwajibkan.
Dalam perspektif Negara demokrasi berdasarkan atas hukum antara Negara dan masyarakat memiliki hubungan hukum yang di dalamnya terdapat hak dan kewajiban secara timbal balik. Masing-masing baik Negara maupun masyarakat memiliki hak dan kewajiban sekaligus. Sesuai dengan prinsip Negara hukum yang demokratis maka pembentukan undang-undang harus dilakukan dengan memenuhi ketentuan konstitusional. Demikian pula materi muatan undang-undang tidak boleh bertentangan dengan konstitusi, sehingga merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional masyarakat.
Mengapa tidak boleh bertentangan dengan konstitusi, karena di dalam konstitusi terdapat ketentuan-ketentuan mengenai hak dan kewajiban konstitusional bagi Negara maupun masyarakat, sedangkan pembentukan maupun materi muatan undang-undang tidak boleh merugikan masyarakat. Oleh karena itu manakala suatu undang-undang baik dari segi pembentukan atau dari segi materi muatan, merugikan masyarakat harus diberikan jalan untuk mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas Undang-Undang supaya kerugian tersebut berhenti, tidak berlangsung terus, dan dipulihkan.
Secara umum putusan Mahkamah Konstitusi terhadap pengujian konstitusional undang-undang terdapat 3 (tiga) kategori sebagai berikut. Pertama, Mahkamah Konstitusi menyatakan mengabulkan permohonan mengikat dalam hal permohonan beralasan menurut hukum dengan menyatakan materi muatan atau pembentukan Undang-Undang yang dimohonkan pengujian konstitusionalitas bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan oleh karenanya menyatakan pula tidak mempunyai kekuatan hukum. Kedua, Mahkamah Konstitusi menyatakan menolak permohonan Pemohon dalam hal permohonan tidak terbukti beralasan menurut hukum atau Ketiga, Mahkamah Konstitusi menyatakan permohonan tidak diterima dalam hal permohonan tidak memenuhi syarat formal pengajuan permohonan.
Kewenangan melakukan pengujian Undang-Undang yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi pada prinsipnya bersifat pasif, dalam artian Mahkamah Konstitusi baru melakukan pengujian kalau terdapat permohonan yang diajukan oleh pemohon. Dengan kata lain , suatu hal mustahil bila Mahkamah Konstitusi aktif menguji Undang-Undang tanpa ada permohonan dari pihak lain untuk melakukan pengujian Undang-Undang. Pemohon sebagaimana diuraikan dalam Pasal 51 UU Mahkamah Konstitusi adalah pihak yang menganggap hak/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
1. Perorangan warga Negara Indonesia,
2. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam UU,
3. Badan hukum publik atau privat, atau
4. Lembaga Negara.
Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007, serta putusan-putusan seianjutnya, telah memberikan pengertian dan batasan secara kumulatif tentang kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang timbul karena berlakuhya suatu undang-undang menurut Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi harus memenuhi 5 (lima) syarat yaitu:
a. adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD Tahun 1945;
b. bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji;
c. bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Pemohon juga mempunyai kewajiban menguraikan dengan jelas perihal pembentukan undang-undang yang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD Tahun 1945, dan menguraikan materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian Undang-Undang dianggap bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Setelah semua unsur telah terpenuhi, maka Mahkamah Konstitusi mengadili pengujian undang-ndang sebagaimana dimohonkan. Pada dasarnya Mahkamah Konstitusi melakukan serangkaian aktifitas pengujian undang-undang guna memberikan keadilan dan kepastian hukum bagi para pemohon pengujian undang-undang.
Pengujian UU Nakeswan dan UU Nakeswan Perubahan, terhadap UUD Tahun 1945, diajukan karena ada hak kostitusional dari pemohon yang dirugikan:
1. Terkait dengan frase “unit usaha produk hewan pa¬da suatu Nega¬ra atau zona”.
Melalui perkara No. 137/PUU-VII/2009, Pasal yang diuji adalah Pasal Pasal 44 ayat (3) dan Pasal 59 ayat (2); Pasal 59 ayat (4); dan Pasal 68 ayat (4) UU Nakeswan Hewan terhadap Pembukaan UUD Tahun 1945, Pasal 1 ayat (3), Pasal 28A, Pasal 28C ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (4) UUD Tahun 1945.
Pencantuman frasa ’’ Unit usaha produk hewan pada suatu Negara atau zona’’ pada Pasal 59 ayat (2) UU Nakeswan, menunjukkan tidak adanya perlindungan maksimum terhadap rakyat atau pemohon dari risiko masuk dan menyebarnya penyakit hewan menular dan yang dapat membahayakan sehingga mengamcam kesehatan manusia, hewan dan lingkungan serta melemahkan perekonomian rakyat khususnya peternak.
Pemberlakuan sistem zona (zona based) akan berpotensi menimbulkan kerugian bagi pemohon karena tidak ada kepastian, apakah hewan hidup dan produk hewan segar yang kemudian masuk ke Negara Indonesia adalah hewan dan produk hewan dari zona yang tadinya sudah dinyatakan aman. Pemberlakuan sistem zona juga mengindikasikan berlaku karakter penyakit yang menyempit penyebarannya, dulunya ruang lingkup penyebarannya adalah Negara dan Benua. Dengan pemberlakuan sistem zona penyebaran penyakit menjadi lebih lebih sempit hanya wilayah tertentu dari suatu Negara. Padahal faktanya tidak seperti itu, penyebaran penyakit sekarang ini hampir mewabah ke seluruh dunia seperti flu babi, flu burung, dll.
Ketentuan Pasal 44 ayat (3) UU Nakeswan ’’Pemerintah tidak memberikan kompensasi kepada setiap orang atau tindakan depopulasi tehadap hewannya yang positif terjangkit penyakit hewan sebagaimana dimaksud ayat (1)”. Ketentuan ini menunjukkan Pemerintah tidak bertanggung jawab atas kerugian akibat ketidakmempuannya mengendalikan penyakit hewan menular berbahaya dan mengabaikan hak rakyat/pemohon/peternak atas ganti rugi yang merupakan hak tindakan depopulasi .
Pencatuman frasa ’’atau kaidah Internasioanl’’ pada Pasal 59 ayat (4) UU Nakeswan, menunjukkan tidak adanya kepastian norma hukum sebagai rujukan dalam pengambilan keputusan serta mengabaikan prinsip kedaulatan rakyat. Pencantuman frasa ’’atau kaidah Internasioanl’’ mengandung pengertian ”tidak adanya dasar dan batasan yang jelas serta tegas tentang kaidah Internasional yang mana yang dimaksudkan, sehingga tidak tepat untuk dijadikan dasar regulasi didalam negeri”. Pemerintah akan begitu saja mengikuti norma internasional tanpa memperhatikan kedaulatan negaranya, dan seolah-olah kita tidak memiliki norma yang pasti, sebagai ketentuan yang mengatur dan yang mengikat dalam menentukan sesuatu keputusan sebagai Negara hukum, yang berdampak besar bagi masyarakat.
Pencantuman kata”dapat” pada Pasal 68 ayat (4) UU Nakeswan, berakibat pada pelanggaran dan kewenangan profesi dokter hewan serta menurunkan derajat kewenangan professional menjadi kewenangan Politik, mengandung pengertian ‘’ kewenangan otoritas veteriner yang merupakan keputusan tertinggi di bidang kesehatan hewan berarti menjadi kewenangan jabatan Menteri, sebagai jabatan politik bukan pada keahlian dan otoritas profesi”. Kata ’’dapat” juga memberikan pengertian adanya opsi atau pilihan kewenangan bagi seorang Menteri untuk “melimpahkan atau tidak melimpahkan”, padahal sebagai pejabat politik dengan kepentingan poltik atau kelompoknya sangat potensial untuk mempertahankan keuntungan politik bahkan ekonomi, sehingga tidak memberdayakan otoritas veteriner dan siskeswanasnya .Hal tersebut juga bisa menimbulkan bias antara kewenangan yang melekat pada jabatan publik dengan kewenangan yang melekat pada keahlian profesi, dan potensial untuk terjadinya abuse kewenangan, apalagi jika seorang menteri tidak berlatarbelakang medis veteriner tentu saja “tidak memahami secara ilmiah veteriner”.
2. Berkaitan dengan Sertifikat Halal dan Sertifikat Ve¬te¬riner.
Melalui perkara No. 2/PUU-IX/2011, Pasal yang diuji adalah Pasal 58 ayat (4) UU Nakeswan terhadap Pasal 27 ayat (2), Pasal 28A, Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD tahun 1945.
Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 58 ayat (4) UU Nakeswan tersebut mengandung pengertian bahwa produk hewan yang akan dijual oleh para pemohon wajib disertai dengan sertifikat veteriner dan sertifikat halal, artinya akan menjadi suatu kewajiban bagi para Pemohon untuk memenuhi ketentuan dimaksud. Bagaimana pemohon yang menjual daging anjing, produk hewan babi atau ternak babi yang secara notoir feit masuk dalam kategori produk hewan yang tidak halal.
3. Terkait dengan Frasa “atau zona dalam suatu Negara” dan kata “zona”.
Melalui perkara No. 129/PUU-XIII/2015, Pasal yang diuji adalah Pasal 36C ayat (1), Pasal 36C ayat (3), Pasal 36D ayat (1), Pasal 36E ayat (1) UU Nakeswan Perubahan terhadap Pembukaan UUD Tahun 1945, Pasal 1 ayat (3), Pasal 24C ayat (1), Pasal 28A, Pasal 28H ayat (1), Pasal 33 ayat (4) UUD Tahun 1945.
Alasan permohonan uji materiil karena rumusan norma tentang penerapan sistem zona melalui frasa “atau zona dalam suatu Negara” yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No. 137/PUU-VII/2009 tanggal 25 Agustus 2010 justru dihidupkan kembali dalam UU Nakeswan Perubahan. Undang-Undang tersebut justru semakin memperluas kebijakan importasi ternak ditengah ketergantungan yang tinggi pada impor ternak dan produk ternak. Seharusnya pemerintah berbenah memperbaiki industri peternakan dan peternakan rakyat di dalam negeri. Pemberlakuan sistem zona tersebut merugikan hak konstitusional pemohon untuk hidup sehat, sejahtera, aman, dan nyaman dari bahaya penyakit menular dari hewan ataupun produk hewan yang dibawa karena proses impor dari zona yang tidak aman.

B. PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI FINAL DAN MENGIKAT
UU Mahkamah Konstitusi dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a menyatakan, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945; sedangkan Pasal 51 ayat (3) menyatakan dalam permohonan Pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa : (a) pembentukan Undang-Undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945; dan/atau (b) materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian Undang-Undang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Menurut pasal-pasal ini Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 baik pengujian formil maupun pengujian materiil.
Berdasarkan ketentuan konstitusional tersebut Mahkamah Konstitusi merupakan “pengadilan tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final”. Artinya, Mahkamah Konstitusi sebagai pengadilan satu-satunya di Indonesia, tidak ada pengadilan lain sebagai pengadilan banding untuk memeriksa dan memutus ulang suatu perkara yang telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi (appelate jurisdiction) tidak ada pula pengadilan lain yang memeriksa dan memutus permohonan pembatalan putusan Mahkamah Konstitusi (kasasi), bahkan tidak ada pengadilan lain yang memeriksa dan memutus permohonan untuk meminjau kembali putusan Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, sebagai pengadilan satu-satunya maka putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap (final and legally binding) sejak selesai diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum, sehingga tidak tersedia upaya hukum terhadap putusan Mahkamah Konstitusi.
Frasa “tingkat pertama dan terakhir” maksudnya tidak ada upaya hukum lagi yang ditempuh terhadap putusan yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi atau bisa disebut telah berkekuatan hukum yang tetap (in kracht) hal ini sesuai dengan frasa selanjutnya yang menyatakan “yang putusannya bersifat final”. Ketentuan tersebut jelas berarti bahwa putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat umum (erga omnes) yang langsung dilaksanakan (self executing). Pasal 47 UU Mahkamah Konstitusi mengatur bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Artinya daya berlaku putusan Mahkamah Konstitusi bersifat ke depan atau prospektif. Putusan Mahkamah Konstitusi sama seperti Undang-Undang yang harus dilaksanakan oleh Negara, seluruh warga masyarakat dan pemangku kepentingan yang ada.
Undang-Undang yang bertentangan dengan UUD Tahun 1945 demikian dianggap tidak ada dan tidak berlaku lagi, dan tidak melahirkan hak dan kewenangan serta tidak pula dapat membebankan kewajiban apapun. Pemerintah, lembaga Negara, dan badan peradilan terikat dengan putusan Mahkamah Konstitusi, yang berarti harus mengabaikan Undang-Undang yang dinyatakan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 tersebut.
Pasal 58 UU Mahkamah Konstitusi juga menyatakan Undang-Undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa Undang-Undang tersebut bertentangan dengan UUD Tahun 1945 artinya putusan Mahkamah Konstitusi tidak berlaku surut (retroaktif).
Perkara No. 137/PUU-VII/2009 amar putusannya menyatakan bahwa frasa ’’ Unit usaha produk hewan pada suatu Negara atau zona” dalam Pasal 59 ayat (2); frasa “Atau kaidah internasional” dalam Pasal 59 ayat (4); dan kata “dapat” dalam Pasal 68 ayat (4) UU No. 18 Tahun `2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan dinyatakan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Alasan Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan pemohon dengan pertimbangan ancaman bahaya terhadap bangsa, manusia dan hewan di Indonesia yang dapat ditimbulkan oleh masuknya ternak maupun produk hewan dari suatu zona dalam suatu negara jika tidak diterapkan keamanan maksimal (maximum security) terhadap proses dan persyaratan impor ternak maupun produk hewan dari suatu zona dalam suatu negara. Mahkamah Konstitusi memiliki landasan yang kuat untuk menyatakan norma UU Nakeswan yang dimohonkan pengujian, khususnya yang berkenaan dengan "zona", inkonstitusional atau bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Alasan Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang tersebut dinilai tidak memuat ketentuan yang menerapkan keamanan maksimal (maximum security) dalam persyaratan dan tata cara pemasukan ternak maupun produk hewan yang berasal dari zona dalam suatu negara.
Perkara No. 2/PUU-IX/2011 amar putusannya Pasal 58 ayat (4) UU Nakeswan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 sepanjang frasa “… wajib disertai sertifikat veteriner dan sertifikat halal” dimaknai mewajibkan sertifikat halal bagi produk hewan yang memang tidak dihalalkan dan Pasal 58 ayat (4) UU Nakeswan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “…wajib disertai sertifikat veteriner dan sertifikat halal” dimaknai mewajibkan sertifikat halal bagi produk hewan yang memang tidak dihalalkan.
Pasal 58 ayat (4) menerangkan tentang produksi hewan yang masuk ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia haruslah disertai dengan adanya sertifikat veteriner dan sertifikat halal. Sertifikat veteriner adalah surat keterangan yang dikeluarkan oleh dokter hewan berwenang yang menyatakan bahwa produk hewan telah memenuhi persyaratan keamanan, kesehatan, dan keutuhan. Sertifikat halal adalah surat keterangan yang dikeluarkan oleh lembaga penjamin produk halal di negara kesatuanRepublik Indonesia.
Perkara No. 129/PUU-XIII/2015 amar putusannya menyatakan Pasal 36E ayat (1) UU Nakeswan Perubahan bertentangan secara bersyarat dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagaimana pertimbangan Mahkamah dalam putusan ini.
Berdasarkan Pasal 36E dan penjelasannya, syarat inilah yang mutlak harus diterapkan dalam penggunaan sistim zona ketika Negara melakukan importasi produk hewan ke dalam wilayah NKRI. Sehingga secara a contrario harus dimaknai bahwa tanpa terpenuhinya syarat tersebut pemasukan produk hewan dari zona dalam suatu Negara atau dengan sistem zona kedalam wilayah NKRI adalah inkonstitusional.

C. AKIBAT HUKUM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Akibat hukum yang timbul dari satu putusan hakim jika menyangkut pengujian terhadap undang-undang diatur dalam Pasal 58 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:
“Undang-Undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Ini berarti bahwa putusan hakim Mahkamah Konstitusi yang menyatakan satu undang-undang bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, tidak boleh berlaku surut. Akibat hukum yang timbul dari putusan itu dihitung sejak putusan tersebut diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Oleh karena itu, akibat hukum yang timbul dari berlakunya satu undang-undang sejak diundangkan sampai diucapkannya putusan yang menyatakan undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, tetap sah dan mengikat.
Secara teoritis ada hal-hal yang memerlukan perhatian. Apakah ketentuan Pasal 58 UU Mahkamah Konstitusi tersebut berlaku secara umum dan mutlak? Di dalam UU Mahkamah Konstitusi Korea Selatan secara tegas disebut adanya pengecualian. Pasal 47 ayat (2) dari The Constitutional Court Act Korea Selatan mengatur hal yang sama dengan bunyi Pasal 58 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dengan mengecualikan jika yang dinyatakan inskonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat adalah menyangkut Undang-Undang Hukum Pidana, pernyataan tersebut berlaku surut (ex tunc) mulai dari saat diundangkannya undang-undang tersebut.
Putusan Mahkamah Konstitusi sejak diucapkan di hadapan sidang terbuka untuk umum, dapat mempunyai 3 (tiga) kekuatan, yaitu (1) kekuatan mengikat, (2) kekuatan pembuktian, dan (3) kekuatan eksekutorial:
1. Kekuatan mengikat
Kekuatan mengikat putusan Mahkamah Konstitusi berbeda dengan putusan pengadilan biasa, tidak hanya meliputi pihak-pihak berperkara (interpartes), yaitu pemohon, pemerintah, DPR/DPD, ataupun pihak terkait yang diizinkan memasuki proses perkara, tetapi juga putusan tersebut mengikat bagi semua orang, lembaga negara, dan badan hukum dalam wilayah Republik Indonesia. Ia berlaku sebagai hukum sebagaimana hukum diciptakan pembuat undang-undang. Hakim Mahkamah Konstitusi dikatakan sebagai negative legislator yang putusannya bersifat erga omnes, yang ditujukan pada semua orang.
2. Kekuatan membuktian
Pasal 60 UU Mahkamah Konstitusi menentukan bahwa materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan untuk diuji kembali. Dengan demikian, adanya putusan mahkamah yang telah menguji satu undang-undang, merupakan alat bukti yang dapat digunakan bahwa telah diperoleh satu kekuatan pasti (gezag van gewijsde). Dalam perkara konstitusi yang putusannya bersifat erga omnes, maka permohonan pengujian yang menyangkut materi yang sama yang sudah pernah diputus tidak dapat lagi diajukan untuk diuji oleh siapapun. Putusan Mahkamah Konstitsi yang telah berkekuatan hukum tetap demikian dapat digunakan sebagai alat bukti dengan kekuatan pasti secara positif bahwa apa yang diputus oleh hakim itu dianggap telah benar. Selain itu, pembuktian sebaliknya tidak diperkenankan.
3. Kekuatan eksekutorial
Putusan yang telah berkekuatan tetap, mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu agar putusan dilaksanakan, dan jika perlu dengan kekuatan paksa (met streke arm). Hakim Mahkamah Konstitusi adalah legislator dan putusannya berlaku sebagai undang-undang tetapi tidak memerlukan perubahan yang harus dilakukan dengan amandemen atas undang-undang yang bagian tertentu dinyatakan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara hukum. Eksekusi putusan Mahkamah Konstitusi telah dianggap terwujud dengan pengumuman putusan tersebut dalam Berita Negara sebagaimana diperintahkan dalam Pasal 57 ayat (3) UU Mahkamah Konstitusi.
Pada perkara No. 137/PUU-VII/2009 keputusan Mahkamah Konstitusi bahwa Pasal 59 ayat (2), Pasal 59 ayat (4) dan Pasal 68 ayat (4) UU No. 18 Tahun 2009 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal-pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dalam perkara judicial review atau pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, Mahkamah Konstitusi dapat menyatakan kata, frasa, pasal dalam undang-undang atau keseluruhan isi Undang-Undang itu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Karenanya, Mahkamah Konstitusi juga sering disebut sebagai negative legislator. Terhadap status suatu ketentuan dalam Undang-Undang yang telah dinyatakan tak mempunyai hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi, Ketentuan atau pasal tersebut tidak dapat digunakan lagi sebagai dasar hukum. Bila ada pejabat negara atau warga negara yang masih tetap menggunakan pasal atau UU yang telah dinyatakan tak mengikat itu, berarti tindakannya tidak memiliki dasar hukum. Jadi putusan Mahkamah Konstitusi ini mempunyai sifat kekuatan mengikat, artinya mengikat bagi semua orang, lembaga Negara, dan badan hukum dalam wilayah Repbuplik Indonesia.
Pada perkara No. 2/PUU-IX/2011, terhadap Pasal 58 ayat (4) bertentangan dengan UUD Tahun 1945 sepanjang frasa “…wajib disertai sertifikat veteriner dan sertifikat halal” dimaknai mewajibkan sertifikat halal bagi produk hewan yang memang tidak dihalalkan. Dan Pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “…wajib disertai sertifikat veteriner dan sertifikat halal” dimaknai mewajibkan sertifikat halal bagi produk hewan yang memang tidak dihalalkan.
Pemaknaan dari keputusan tersebut adalah bahwa untuk hewan yang memang dihalalkan wajib mempunyai sertifikat halal. Sertifikat mempunyai definisi tanda atau surat keterangan (pernyataan) tertulis atau tercetak dari orang yang berwenang yang dapat digunakan sebagai bukti kepemilikan atau suatu kejadian. Sedang halal mempunyai definisi “diizinkan” atau “tidak dilarang oleh syarak (hukum bersendi ajaran Islam)”. Dalam hal ini yang mempunyai kewenangan mengeluarkan sertifikat halal adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI).Keputusan Mahkamah Konstitusi ini mempunyai sifat kekuatan mengikat, artinya mengikat bagi semua orang, lembaga Negara, dan badan hukum dalam wilayah Repbuplik Indonesia.
Pada perkara No. 129/PUU-XIII/2015, menyatakan Pasal 36E ayat (1) UU Nakeswan Perubahan, bertentangan secara bersyarat dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagaimana pertimbangan Mahkamah dalam putusan ini.Bertentangan secara bersyarat Artinya, pasal yang dimohonkan diuji tersebut adalah bertentangan dengan konstitusi (inkonstitusional) jika syarat yang ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi tidak dipenuhi. Dengan demikian pasal yang dimohonkan diuji tersebut pada saat putusan dibacakan adalah inkonstitusional dan akan menjadi konstitusional apabila syarat sebagaimana ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi dipenuhi.

A. Analisis pasal-pasal yang diuji

1) Pasal 44 ayat (3) UU Nakeswan
Pemohon mendalilkan Pasal 44 ayat (3) bertentangan dengan UUD Tahun 1945 karena ketentuan ini menunjukkan Pemerintah tidak bertanggungjawab atas kerugian akibat ketidakmampuannya mengendalikan penyakit hewan menular berbahaya dan mengabaikan hak rakyat/pemohon/peternak atas ganti rugi yang merupakan hak atas tindakan depopulasi. Bahwa DPR tidak sependapat dengan dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa tindakan depopulasi yang diatur ketentuan Pasal 44 ayat (3) Undang-Undang a quo merugikan hak konstitusional para Pemohon. Terhadap dalil para Pemohon tersebut, DPR-RI berpandangan bahwa justru hak para Pemohon/Peternak atas tindakan depopulasi dilindungi oleh ketentuan Pasal 44 ayat (4), yang menyatakan bahwa "Pemerintah memberikan kompensasi bagi hewan yang sehat yang berdasarkan pedoman pemberantasan wabah penyakit hewan harus didepopulisasi".

2) Pasal 59 ayat (2) UU Nakeswan
Pemohon mendalilkan Pasal 59 ayat (2) bertentangan dengan alinea ke-4 pembukaan UUD 1945, Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 karena kata "atau" Zona dalam suatu negara" menimbulkan pengertian :
"Negara dapat memasukkan hewan dan produk hewan segar dari zona suatu negara yang pada zona tersebut dianggap memenuhi syarat". Terhadap dalil para Pemohon tersebut, DPR berpandangan bahwa pendekatan "sistim zona" dalam pelaksanaan sistim kesehatan hewan nasional yang terkandung dalam Pasal 59 ayat (2) Undang-Undang a quo, adalah mengacu pada ketentuan Badan Kesehatan Hewan Dunia (OIE) dimana Indonesia menjadi salah satu anggotannya maka sudah sepatutnya dalam penerapan "sistim zona" ini harus dilaksanakan secara konsekuen baik untuk keperluan pengeluaran (ekspor) maupun untuk keperluan pemasukan (impor).

3) Pasal 59 ayat (4) UU Nakeswan
Pemohon mendalilkan Pasal 59 ayat (4) bertentangan dengan alinea ke-4 Pembukaan UUD Tahun 1945 dan Pasal 33 ayat (4) UUD Tahun 1945 karena pencantuman kata "atau kaidah interasional" mengandung pengertian : "Tidak adanya dasar dan batasan yang jelas serta tegas tentang kaidah internasional yang mana yang dimaksudkan, sehingga tidak tepat untukdijadikan dasar regulasi di dalam negeri." Pemerintah akan begitu saja mengikuti norma internasional tanpa memperhatikan kedaulatan negaranya, dan seolah-olah kita tidak memiliki norma yang pasti, sebagai ketentuan yang mengatur dan mengikat dalam menentukan suatu keputusan sebagai negara hukum; yang berdampak besar bagi masyarakat. Terhadap dalil para Pemohon tersebut, DPR berpandangan bahwa dalil para Pemohon tidak berdasar, mengingat dalam penjelasan sudah dirinci secara jelas ketentuan international yang menjadi rujukan yaitu ketentuan dari badan kesehatan hewan dunia (World Organization for Animal Health, WOAH), dan/atau Codex Alimentarius Commission (CAC).

4) Pasal 64 ayat (4) UU Nakeswan
Pemohon mendalilkan Pasal 68 ayat (4) bertentangan dengan Pasal 28C, Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 karena pencantuman kata "dapat" dalam Pasal 68 ayat (4) UU Nakeswan mengandung pengertian kewenangan otoritas veteriner sesungguhnya adalah kewenangan yang melekat pada jabatan Menteri sebagai jabatan politik bukan pada keahlian dan otoritas profesi. Kata "dapat" juga memberikanpengertian adanya opsi atau pilihan kewenangan bagi seorang Menteri untuk "melimpahkan atautidak melimpahkan", padahal sebagai pejabat politik dengan kepentingan politik atau kelompoknya sangat potensial untuk mempertahankan keuntungan politik bahkan ekonomi, sehingga tidak memberdayakan otoritas veteriner dan siskeswanansnya. Kata "dapat" dalam ketentuan aquo, juga menimbulkan bias antara kewenangan yang melekat pada jabatan publik dengan kewenangan yang melekat pada keahlian profesi, dan potensial untuk terjadinya abuse kewenangan, apalagi jikaseorang menteri tidak berlatar belakang medis veteriner tentu saja" tidak memahami secara ilmiah veteriner". Terhadap dalil para Pemohon tersebut, DPR berpandangan bahwa perlu dicermati yang dimaksud dengan veteriner (vide Pasal 1 angka 26 Undang-Undang a quo) adalah segala urusan yang berkaitan dengan hewan dan penyakit hewan. Sedangkan otoritas veteriner (vide Pasal 1 angka 28 Undang-Undang a quo) adalah sebuah kelembagaan pemerintah dan/atau kelembagaan yang dibentuk Pemerintah dalam mengambil keputusan tertinggi yang bersifat teknis kesehatan hewan dengan melibatkan keprofesionalan dokter hewan dan mengerahkan semua lini kemampuan semua profesi mulai dari pengindentifikasian masalah, menentukan kebijakan, mengkoordinasikan pelaksana kebijakan, sampai dengan mengendalikan teknis di lapangan.


Putusan Mahkamah Konstitusi No. 129/PUU-XIII/2015 tentang Pengujian UU Peternakan dan Kesehatan Hewan termasuk putusan yang tidak memerlukan tindak lanjut/revisi terhadapat ketentuan a quo karena tidak ada perubahan/penafsiran pada norma pasal-pasal yang diuji akibat Putusan Mahkamah Konstitusi ini. Namun yang perlu diperhatikan Pemerintah adalah syarat yang ditekankan dalam pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi dan pengawasan terhadap implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut yaitu terhadap proses importasi Produk Hewan yang berasal dari zona dalam suatu Negara apakah sudah dilakukan atas dasar dalam keadaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36E ayat (1) UU No. 41 Tahun 2014 dan penjelasannya atau tidak. Pengawasan Pemerintah tersebut tetap dilakukan dengan menerapkan prinsip kehati-hatian melalui penetapan regulasi yang ketat (seperti keharusan memperoleh sertifikat dari otoritas veteriner bagi Produk Hewan yang masuk ke wilayah NKRI), maupun pengawasan di lapangan.
UU PKH No.41 Tahun 2014 dinyatakan pada preambulnya bahwa dalam penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan harus dilakukan upaya pengamanan maksimal (maximum security) terhadap pemasukan dan pengeluaran ternak, hewan, dan produk hewan, pencegahan penyakit hewan dan zoonosis, penguatan otoritas veteriner, persyaratan halal bagi produk hewan yang dipersyaratkan, serta penegakan hukum terhadap pelanggaran kesejahteraan hewan.
Preambul UU ini mengamanatkan tiga hal yaitu (1) perlunya upaya maksimum sekuriti (2) Penguatan otoritas veteriner dan (3) penegakkan hukum. Namun dalam melaksanakannya pemerintah telah mengabaikan ketiga hal tersebut.
Pengabaian tersebut tampak sebagai berikut; pertama, munculnya kembali frasa “zona base” dalam pasal 36 UU No.41 Tahun 2014. Sesungguhnya frasa ini telah dilakukan perbaikan oleh putusan Mahkamah Konstitusi No.137/PUU-VII/2009, yaitu bahwa UU ini kembali kepada kebijakan country base bukannya zona base. Sehingga terbitnya berbagai kebijakan turunan dalam bentuk PP, Permentan dan SK Mentan mengenai masuknya daging asal India.
Kedua, mengenai penguatan otoritas veteriner; UU 41 Tahun 2014 telah mengamanatkan bahwa Ketentuan mengenai Otoritas Veteriner dan Siskeswanas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68, Pasal 68A, Pasal 68B, Pasal 68C, dan Pasal 68D diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP). Pasal-pasal ini, merupakan pasal yang akan sangat menentukan ketangguhan negeri ini terhadap pertahanan dan kemungkinan berjangkitnya penyakit hewan menular utama (PHMU). Namun demikian, ternyata hal ini diabaikan oleh pemerintah, malah justru menerbitkan PP yang sangat riskan terhadap munculnya penyakit PMK dimana negeri ini telah bebas PMK.
Ketiga, mengenai penegakkan hukum, hingga kini kegiatan ini ternyata bukannya memberikan iklim kondusif malah membuat kegaduhan terhadap pembangunan peternakan. Misalnya, panangkapan peredaran daging ilegal yang tidak diproses secara hukum, pemotongan sapi betina produktif yang dibiarkan di RPH serta tidak tunduk Indonesia terhadap kebijakan OIE mengenai kebijakan import ternak/produk hewan antarnegara.
Dilihat dari Regulasi dapat disampaiakn:
a. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 137/PUU-VII/2009, Pasal 59 ayat 2 yang dinyatakan bertenta¬ngan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai ke¬kuatan hukum mengikat, telah diubah dan dapat dijelaskan sbb:
1. Pasal 59 ayat (2)
- Pasal 59 ayat (2) UU No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan bahwa “Produk Hewan segar yang dimasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus berasal dari unit usaha produk hewan pada suatu Negara atau zona dalam suatau Negara yang telah memenuhi persyaratan dan tata cara pemasukan produk hewan.
- Pasal 59 ayat (2) UU No. 41 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan bahwa “Produk Hewan segar yang dimasukkan ke dalam Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus berasal dari unit usaha Produk Hewan pada suatu Negara yang telah memenuhi persyaratan dan tatacara pemasukan Produk Hewan.
- Frasa “atau zona dalam suatu Negara” dihilangkan.
2. Pasal 59 ayat (4)
- Pasal 59 ayat (4) UU No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan bahwa “Persyaratan dan tata cara pemasukan produk hewan dari luar negeri ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) mengacu pada ketentuan atau kaidah internasional yang berbasis analisis risiko di bidang kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner serta mengutamakan kepentingan nasional.
- Pasal 59 ayat (4) UU No. No. 41 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan bahwa “Persyaratan dan tata cara pemasukan produk hewan dari luar negeri ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) mengacu pada ketentuan yang berbasis analisis risiko di bidang Kesehatan Hewan atau kaidah internasional yang berbasis analisis risiko di bidang Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat veteriner serta mengutamakan kepentingan nasional.
- Ada perubahan norma di Pasal 59 ayat (4) UU No. 41 Tahun 2014, dengan menambah frasa “yang berbasis analisis risiko di bidang Kesehatan Hewan”.
3. Pasal 68 ayat (4)
- Pasal 68 ayat (4) UU No. 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan bahwa “Dalam ikut berperan serta mewujudkan kesehatan hewan dunia melalui Siskeswanas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri dapat melimpahkan kewenangannya kepada otoritas veteriner
- Pasal 68 diubah dan diantara Pasal 68 dan Pasal 69 disisipkan 5 (lima) Pasal, yakni Pasal 68A, Pasal 68B, Pasal 68C, Pasal 68D, dan Pasal 68E sehingga berbunyi sebagai berikut:

- Ketentuan Pasal 68 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya menyelenggarakan Kesehatan Hewan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(2) Dalam menyelenggarakan Kesehatan Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban meningkatkan penguatan tugas, fungsi, dan wewenang Otoritas Veteriner.”
- Di antara Pasal 68 dan Pasal 69 disisipkan 5 (lima) Pasal, yakni Pasal 68A, Pasal 68B, Pasal 68C, Pasal 68D, dan Pasal 68E sehingga berbunyi sebagai berikut:
- “Pasal 68A
(1) Otoritas Veteriner sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (2) mempunyai tugas menyiapkan rumusan dan melaksanakan kebijakan dalam penyelenggaraan Kesehatan Hewan.
(2) Otoritas Veteriner sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh pejabat Otoritas Veteriner.
(3) Pejabat Otoritas Veteriner sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas: a. pejabat Otoritas Veteriner nasional; b. pejabat Otoritas Veteriner kementerian; c. pejabat Otoritas Veteriner provinsi; dan d. pejabat Otoritas Veteriner kabupaten/kota.
- Pasal 68B
(1) Pejabat Otoritas Veteriner di tingkat nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68A ayat (3) huruf a diangkat oleh Menteri.
(2) Pejabat Otoritas Veteriner di tingkat kementerian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68A ayat (3) huruf b diangkat oleh menteri.
(3) Pejabat Otoritas Veteriner di tingkat provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68A ayat (3) huruf c diangkat oleh gubernur.
(4) Pejabat Otoritas Veteriner di tingkat kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68A ayat (3) huruf d diangkat oleh bupati/wali kota. (5) Pejabat Otoritas Veteriner sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat
(4) diangkat berdasarkan kompetensinya sebagai Dokter Hewan Berwenang.
- Pasal 68C
(1) Otoritas Veteriner sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 mempunyai fungsi:
a. pelaksana Kesehatan Masyarakat Veteriner;
b. penyusun standar dan meningkatkan mutu penyelenggaraan Kesehatan Hewan;
c. pengidentifikasi masalah dan pelaksana pelayanan Kesehatan Hewan;
d. pelaksana pengendalian dan penanggulangan Penyakit Hewan;
e. pengawas dan pengendali pemotongan Ternak Ruminansia Betina Produktif dan/atau Ternak Ruminansia Indukan;
f. pengawas tindakan penganiayaan dan penyalahgunaan terhadap Hewan serta aspek Kesejahteraan Hewan lainnya;
g. pengelola Tenaga Kesehatan Hewan;
h. pelaksana pengembangan profesi kedokteran Hewan; i. pengawas penggunaan Alat dan Mesin Kesehatan Hewan;
i. pelaksana perlindungan Hewan dan lingkungannya;
j. pelaksana penyidikan dan pengamatan Penyakit Hewan;
k. penjamin ketersediaan dan mutu Obat Hewan;
l. penjamin keamanan Pakan dan bahan Pakan asal Hewan;
m. penyusun prasarana dan sarana serta pembiayaan Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner; dan
n. pengelola medik akuatik dan Medik Konservasi.
(2) Otoritas Veteriner sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang mengambil keputusan tertinggi yang bersifat teknis Kesehatan Hewan.
(3) Pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan melibatkan keprofesionalan Dokter Hewan dan dengan mengerahkan semua lini kemampuan profesi.
(4) Keterlibatan keprofesionalan Dokter Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan mulai dari identifikasi masalah, rekomendasi kebijakan, koordinasi pelaksanaan kebijakan, sampai dengan pengendalian teknis operasional penyelenggaraan Kesehatan Hewan di lapangan.
- Pasal 68D
(1) Dalam penyelenggaraan Kesehatan Hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1), Pemerintah menetapkan Siskeswanas.
(2) Siskeswanas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi acuan Otoritas Veteriner dalam penyelenggaraan Kesehatan Hewan.
(3) Dalam pelaksanaan Siskeswanas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya:
a. meningkatkan peran dan fungsi kelembagaan penyelenggaraan Kesehatan Hewan; dan
b. melaksanakan koordinasi dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pemerintahan Daerah.
(4) Peningkatan peran dan fungsi kelembagaan penyelenggaraan Kesehatan Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dilaksanakan melalui:
a. upaya Kesehatan Hewan meliputi pembentukan unit respons cepat di pusat dan daerah serta penguatan dan pengembangan pusat kesehatan hewan;
b. penelitian dan pengembangan Kesehatan Hewan;
c. sumber Jaya Kesehatan Hewan;
d. informasi Kesehatan Hewan yang terintegrasi; dan
e. peran serta masyarakat.
(5) Dalam ikut berperan serta mewujudkan Kesehatan Hewan dunia melalui Siskeswanas, Menteri melimpahkan kewenangannya kepada Otoritas Veteriner.
(6) Otoritas Veteriner bersama organisasi profesi kedokteran Hewan melaksanakan Siskeswanas dengan memberdayakan potensi Tenaga Kesehatan Hewan dan membina pelaksanaan praktik kedokteran Hewan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
- Pasal 68E Ketentuan lebih lanjut mengenai Otoritas Veteriner dan Siskeswanas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68, Pasal 68A, Pasal 68B, Pasal 68C, dan - Pasal 68D diatur dengan Peraturan Pemerintah.”

b. Putusan MAHKAMAH KONSTITUSI No. 2/PUU-IX/2011
- Pasal 58 ayat (4) UU No. 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Keseatan Hewan berbunyi:
“Produk hewan yang diproduksi di dan/atau dimasukkan ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk diedarkan wajib disertai sertifikat veteriner dan sertifikat halal.
- Ketentuan Pasal 58 UU No. 41 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 58
(1) Dalam rangka menjamin Produk Hewan yang aman, sehat, utuh, dan halal bagi yang dipersyaratkan, Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban melaksanakan pengawasan, pemeriksaan, pengujian, standardisasi, sertifikasi, dan registrasi Produk Hewan.
(2) Pengawasan, pemeriksaan, dan pengujian Produk Hewan berturut-turut dilakukan di tempat produksi, pada waktu pemotongan, penampungan, dan pengumpulan, pada waktu dalam keadaan segar, sebelum pengawetan, dan pada waktu peredaran setelah pengawetan.
(3) Standardisasi, sertifikasi, dan registrasi Produk Hewan dilakukan terhadap Produk Hewan yang diproduksi di dan/atau dimasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk diedarkan dan/atau dikeluarkan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(4) Produk Hewan yang diproduksi di dan/atau dimasukkan ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk diedarkan wajib disertai:
a. sertifikat veteriner; dan
b. sertifikat halal bagi Produk Hewan yang dipersyaratkan.
(5) Setiap Orang dilarang mengedarkan Produk Hewan yang diproduksi di dan/atau dimasukkan ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tidak disertai dengan sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(6) Setiap Orang yang memproduksi dan/atau mengedarkan Produk Hewan dilarang memalsukan Produk Hewan dan/atau menggunakan bahan tambahan yang dilarang.
(7) Produk Hewan yang dikeluarkan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib disertai sertifikat veteriner dan sertifikat halal jika dipersyaratkan oleh negara pengimpor.
(8) Untuk pangan olahan asal Hewan, selain wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pangan.”
c. Putusan MAHKAMAH KONSTITUSI No. 129/PUU-XIII/2015
- Pasal 36 UU No. 41 tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 18 tahun 2009 tentang Peter¬nakan dan Kesehatan Hewan.
- Pasal 36C ayat (1)
Terkait Frase “atau zona dalam suatu Negara”.
Pemasukan Ternak Ruminansia Indukan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat berasal dari suatu Negara atau zona dalam suatu Negara yang telah memenuhi persyaratan dan tata cara pemasukannya.
- Pasal 36C ayat (3)
Kata “zona”.
(3) Pemasukan Ternak Ruminansia Indukan yang berasal dari zona sebagaimana dimaksud pada ayat (1), selain harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) juga harus terlebih dahulu:
a. dinyatakan bebas Penyakit Hewan Menular di negara asal oleh otoritas veteriner negara asal sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan badan kesehatan hewan dunia dan diakui oleh Otoritas Veteriner Indonesia;
b. dilakukan penguatan sistem dan pelaksanaan surveilan di dalam negeri; dan
c. ditetapkan tempat pemasukan tertentu.
- Pasal 36D ayat (1)
Kata “zona”
Pasal 36D
(1) Pemasukan Ternak Ruminansia Indukan yang berasal dari zona sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36C harus ditempatkan di pulau karantina sebagai instalasi karantina Hewan pengamanan maksimal untuk jangka waktu tertentu.
(2) Ketentuan mengenai pulau karantina diatur dengan Peraturan Pemerintah.
- Pasal 36E ayat (1)
Frase “atau zona dalam suatu Negara”.
Dalam hal tertentu, dengan tetap memerhatikan kepentingan nasional, dapat dilakukan pemasukan Ternak dan/atau Produk Hewan dari suatu negara atau zona dalam suatu negara yang telah memenuhi persyaratan dan tata cara pemasukan Ternak dan/atau Produk Hewan.
Dari uraian tersebut diatas ada beberapa Peraturan Perundang-undangan yang harus dilakukan revisi antara lain :
1. UU No. UU No. 41 tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 18 tahun 2009 tentang Peter¬nakan dan Kesehatan Hewan.
Khususnya Pasal 36, perlu diubah sesuai dengan yang dipersaratkan MAHKAMAH KONSTITUSI.
2. UU No. 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional, terkait itu kalau dilihat dari Surat Presiden No. 2826/HK/1960, maka bentuk dari pengesahan perjanjian internasional bisa berbentuk UU atau Kepres. Perlu dikaji kembali apa yang harus berbentu UU dan apa yang berbentuk Kepres (dalam hierarki yang dikenal adalah Perpres).
3. UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ada klausul bahwa pengesahan perjanjian internasional tertentu dilakukan dengan UU. Perlu kriteria dari istilah “tertentu”.

Kewenangan Mahkamah Konstitusi menurut Pasal 24C ayat (1) UUD Tahun 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf a UU Mahkamah Konstitusi berwenang untuk menguji undang-undang terhadap UUD.
Mahkamah Konstitusi dapat menguji dan bahkan membatalkan suatu undang-undang apabila diyakini bertentangan dengan UUD. Jika bertentangan, Hakim Mahkamah Konstitusi memberikan putusan yang bersifat final, yang menyatakan sebagian materi ataupun keseluruhan undang-undang itu dapat dinyatakan tidak lagi berlaku mengikat untuk umum. Konsekuensinya semua pihak harus mematuhi perubahan keadaan hukum yang diciptakan melalui putusan Mahkamah Konstitusi dan mengimplentasikannya.
Pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi pada prinsipnya menyangkut kepentingan banyak pihak, bukan hanya menyangkut kepentingan pemohon yang mengajukan permohonan pengujian undang-undang tersebut. Salah satu pihak yang ikut berkepentingan dalam proses pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi adalah pembuat undang-undang yaitu DPR dan Presiden serta DPD. Karena Presiden dan DPR adalah lembaga Negara yang secara konstitsional bertanggung jawab dalam pembuatan undang-undang.
Dari ketiga Perkara yang diajukan terkait dengan UU Nakeswan dan UU Nakeswan Perubahan dapat disimpulkan:
1. UU Nakeswan telah mencabut beberapa Peraturan Kolonial Belanda yaitu:
a. S 1912 No. 432
b. S 1914 No. 486; S 1916 No. 656
c. S 1912 No. 432; S 1925 No. 163
d. S 1926 No. 451
e. S 1926 No. 569
f. S 1928 No. 52
g. S 1936 No. 614
h. S 1936 No. 512
i. S 1937 No. 513

2. Peraturan Perundang-undangan yang perlu direvisi:
a. UU Nakswan Perubahan, khususnya Pasal 36, perlu diubah sesuai dengan yang dipersaratkan Mahkamah Konstitusi.
b. UU No. 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional, terkait itu kalau dilihat dari Surat Presiden No. 2826/HK/1960, maka bentuk dari pengesahan perjanjian internasional bisa berbentuk UU atau Kepres. Perlu dikaji kembali apa yang harus berbentu UU dan apa yang berbentuk Kepres, karena dalam hierarki yang dikenal adalah Perpres.
c. UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ada klausul bahwa pengesahan perjanjian internasional tertentu dilakukan dengan UU. Perlu kriteria dari istilah “tertentu”.
d. UU Nakeswan Perubahan, memerintahkan untuk membuat Peraturan Pemerintah yaitu
1) Pasal 36 D, Ketentuan terkait Pulau Karantina
2) Pasal 36 E, Ketentuan Lebih lanjut mengenai Hal tertentu dan tata cara pemasukan tanah dan/atau Produk Hewan.
3) Pasal 65, Ketentuan mengenai Kesehatan Masyarakat Veteriner
4) Pasal 68E, Ketentuan mengenai Otoritas Veteriner dan Siskeswanas.
5) Pasal 85 ayat (3) Ketentuan mengenai Tata Cara pengenaan sanksi Administratif.
6) Perintah dari Pasal 96A terkait dengan PP pulau karantina dan otoritas veteriner dan Siskeswanas harus telah ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak UU ini diundangkan. UU ini diundangkan tgl. 17 Oktober 2014

Keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai organ yang mempunyai tugas menguji UU tentu mempunyai korelasi dengan tugas dan kewenangan DPR dan Presiden sebagai organ pembentuk undang-undang. Di mana Mahkamah Konstitusi berwenang menyatakan bahwa suatu undang-undang atau ketentuan di dalamnya yang merupakan hasil persetujuan bersama DPR dan Presiden bertentangan dengan undang-undang dasar dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Keputusan Mahkamah Konstitsi tersebut harus ditindaklanjuti, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 10 ayat (1) UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan (P3) bahwa materi muatan yang harus diatur dengan UU antara lain tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu perlu segera mengajukan perubahan terhadap
Selain itu Keputusan Mahkamah Konstitusi juga dapat dijadikan dasar-dasar pemikiran dalam menyusun suatu Naskah Akademik terkait dengan perubahan UU Peternakan dan Kesehatan Hewan khususnya dan Peraturan Perundang-undangan lainnya masuk dalam analisis dan evaluasi ini.

Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi: Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan / 01-05-2017

Mahkamah Konstitusi (MK) masuk dalam lingkungan kekuasaan kehakiman, yang salah satu tugas dan wewenangnya adalah menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD Tahun 1945). Pemeriksaan terhadap permohonan pengujian Undang-Undang dilakukan atas dasar kerugian/pelanggaran hak konstitusional Pemohon. Pengertian dan batasan secara kumulatif tentang kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang menurut Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 (UU MK). Terdapat 3 (tiga) permohonan pengujian UU Kesehatan terhadap UUD Tahun 1945 yang menurut Pemohon secara umum telah merugikan/melanggar hak konstitusional untuk mendapat perlindungan, kepastian hukum yang adil, jaminan hak asasi, hak untuk hidup sejahtera, dan hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Adapun pengujian UU Kesehatan yang tercatat dalam registrasi MK dengan Nomor Perkara sebagai berikut:
1. Perkara Nomor 12/PUU-VIII/2010
2. Perkara Nomor 34/PUU-VIII/2010
3. Perkata Nomor 57/PUU-IX/2011

1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal atau ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK?
2. Apa akibat hukum terhadap pasal, ayat suatu undang-undang yang dinyatakan MK sebagai konstitusinalitas / inskonstitusional bersyarat?
3. Apakah terjadi disharmoni norma dalam suatu undang-undang jika suatu pasal, ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK berimplikasi terhadap norma pasal, ayat lain yang tidak diujikan?

Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam UUD Tahun 1945 memiliki dua fungsi ideal, yaitu MK dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi dan berfungsi untuk menjamin, mendorong, mengarahkan, membimbing, dan memastikan bahwa UUD Tahun 1945 dijalankan dengan sebaik-baiknya oleh penyelenggara negara agar nilai-nilai yang terkandung didalamnya dijalankan dengan benar dan bertanggung jawab; dan MK harus bertindak sebagai penafsir karena MK dikonstruksikan sebagai lembaga tertinggi penafsir UUD Tahun 1945.
Secara harfiah, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat memiliki makna hukum tersendiri. Frasa “final” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “terakhir dalam rangkaian pemeriksaan” sedangkan frasa mengikat diartikan sebagai “mengeratkan”, “menyatukan”. Bertolak dari arti harfiah ini maka frasa final dan frasa mengikat, saling terkait sama seperti dua sisi mata uang artinya dari suatu proses pemeriksaan telah memiliki kekuatan mengeratkkan atau menyatukan semua kehendak dan tidak dapat dibantah lagi. Makna harfiah di atas, bila dikaitkan dengan sifat final dan mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi artinya telah tertutup segala kemungkinan untuk menempuh upaya hukum.
Sifat dari putusan Mahkamah Konstitusi yaitu final yang artinya bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). Konsep ini mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni secara sederhana dan cepat sebagaimana diuraikan dalam penjelasan UU MK. Menurut Maruarar Siahaan Putusan Mahkamah Konstitusi sejak diucapkan dihadapan sidang terbuka umum mempunyai 3 kekuatan yaitu: kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian, dan kekuatan eksekutoarial.

Pada prinsipnya kesehatan merupakan hak asasi manusia yang diatur penyelenggaraannya oleh negara. Sehubungan dengan hal tersebut pemerintah melakukan pembangunan kesehatan melalui upaya meningkatkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya pada mulanya berupa upaya penyembuhan penyakit, kemudian secara berangsur-angsur berkembang ke arah keterpaduan upaya kesehatan untuk seluruh
masyarakat dengan mengikutsertakan masyarakat secara luas yang
mencakup upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang
bersifat menyeluruh terpadu dan berkesinambungan. Secara hierarki UU melaksanakan amanah konstitusi dan ketentuannya tidak boleh bertentangan dengan konstitusi. Begitu pula dengan ditetapkannya UU
Kesehatan sebagai amanah Pasal 28H UUD 1945 yang menjadi
landasan konstitusional kesehatan. Ketentuan ini memperkuat
landasan pemikiran kesehatan sebagai bagian dari hak asasi manusia dan merupakan salah satu unsur kesejahteraan yang
harus diwujudkan. Untuk mewujudkan hal tersebut konstitusi
memberikan jaminan bahwa setiap orang berhak hidup
sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan. Untuk Perkara Nomor 12/PUU-VIII/2010, MK
memutuskan conditionally unconstitutional (bahwa suatu norma dalam
undang-undang dianggap bertentangan dengan konstitusi
bila tidak sesuai dengan apa yang ditentukan Mahkamah
Konstitusi) sepanjang kalimat, “... harus dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.” dalam Pasal 108
ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak
dimaknai bahwa tenaga kesehatan tersebut adalah tenaga
kefarmasian, dan dalam hal tidak ada tenaga kefarmasian, tenaga
kesehatan tertentu dapat melakukan praktik kefarmasian secara
terbatas, antara lain, dokter dan/atau dokter gigi, bidan,
dan perawat yang melakukan tugasnya dalam keadaan darurat
yang mengancam keselamatan jiwa dan diperlukan tindakan
medis segera untuk menyelamatkan pasien. Adapun Pasal 108
ayat (1) berbunyi “Praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai
keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Sedangkan penjelasan Pasal 108 ayat (1) UU Kesehatan yang berbunyi “Yang dimaksud dengan “tenaga kesehatan” dalam ketentuan ini adalah tenaga kefarmasian sesuai dengan keahlian dan kewenangannya. Dalam hal tidak ada tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan tertentu dapat melakukan praktik kefarmasian secara terbatas,
misalnya antara lain dokter dan/atau dokter gigi, bidan, dan
perawat, yang dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan”, diputuskan bertentangan dengan
UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Putusan
MK tersebut sejalan dengan ketentuan UU Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menegaskan bahwa penjelasan tidak boleh membuat norma, tidak boleh menjelaskan sesuatu yang bertentangan dengan norma, tidak boleh mengatur norma tersendiri, tidak bolehmembuat sesuatu yang berbeda atau menyimpang dari apa yang dirumuskan dalam norma dalam pasal-pasal. Jadi penjelasan hanya berfungsi untuk menjelaskan saja, misalnya,
penjelasan kata-kata, istilah-istilah asing, atau istilah-istilah teknis, yang tidak dipahami oleh orang awam yang dirasa perlu untuk dijelaskan supaya orang mengerti dalam membaca norma pasal tersebut. Selain itu, MK memutuskan pembatalan ketentuan UU karena dinilai bertentangan dengan konstitusi dan menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat dalampengujian UU Kesehatan untuk Perkara Nomor 34/PUU-VIII/2010 yaitu kata “dapat” dalam Penjelasan Pasal
114 dan frasa “berbentuk gambar” dalam Pasal 199 ayat (1).
Adapun terkait dengan eksistensi penjelasan pasal maka telah ditegaskan dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 bahwa Penjelasan tidak boleh membuat norma, tidak boleh menjelaskan sesuatu yang bertentangan dengan norma, tidak boleh mengatur norma tersendiri, tidak boleh membuat
sesuatu yang berbeda atau menyimpang dari apa yang dirumuskan
dalam norma dalam pasal-pasal. Dalam hal ini terjadi ketidakkonsistenan/disharmoni pembuat UU dalam membuat norma. Ketentuan Pasal 114 berbunyi “Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan rokok ke wilayah Indonesia wajib mencantumkan peringatan kesehatan”, selajutnya kata peringatan kesehatan diuraikandalam penjelasan Pasal 114 berbunyi “Yang dimaksud dengan “peringatan kesehatan” dalam ketentuan ini adalah tulisan yang jelas dan mudah terbaca dan dapat disertai gambar atau bentuk lainnya”.Terhadap
penjelasan mengenai kata gambar atau bentuk lainnyamengandung ketidakpastian hukum jika dihubungkan dengan ketentuan Pasal 199 ayat (1) yang berbunyi “Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau memasukkan rokok ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan tidak mencantumkan peringatan kesehatan berbentuk
gambar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 dipidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan dendan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”.Dari ketentuan tersebut terdapat ketidakpastian hukum norma Undang-Undang padahal landasan hukum peringatan kesehatan sangat penting sebagai informasi bagi konsumen untuk memperoleh informasi bahaya rokok. Selanjutnya untuk Perkara Nomor
34/PUU-VIII/2010, dalam amar putusan, MK mencantumkan
normatif ketentuan yang dibunyikan secara lengkap terhadap
ketentuan pasal dan penjelasan yang diujikan, menjadikan
masyarakat jelas dalam memperoleh kepastian hukum
terhadap norma peringatan kesehatan terhadap produk rokok. Kemudian untuk Perkara Nomor 57/PUU-IX/2011 MK memutuskan mengabulkan untuk seluruhnya terhadap
permohonan
pengujian UU Kesehatan yaitu terkait dengan pembatalan kata “dapat” dalam Penjelasan Pasal 115 ayat (1) yang berhubungan dengan penyediaan tempat untuk merokok pada tempat kerja, tempat umum dan tempat lainnya. Adapun Pasal 115 ayat (1) berbunyi “Kawasan tanpa rokok antara lain:
a. fasilitas pelayanan kesehatan;
b. tempat proses belajar mengajar;
c. tempat anak bermain;
d. tempat ibadah;
e. angkutan umum;
f. tempat kerja; dan
g. tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan”.
Sedangkan penjelasan Pasal 115 ayat (1) berbunyi “Khusus
bagi tempat kerja, tempat umum, dan tempat lainnya dapat
menyediakan tempat khusus untuk merokok.” Kata dapat
menurut Kamus Bahasa Indonesia mempunyai arti boleh dan jika
ditinjau dari pandangan hukum tidak mengandung kepastian
hukum. Terdapat disharmoni antara ketentuan Pasal 115 ayat (1) yang berbunyi ‘kawasan tanpa rokok’ dengan kata ‘dapat’terkait dengan tempat khusus untuk merokok dalam penjelasan Pasal 115 ayat (1). Dikaitkan dengan hak warga negara maka terdapat dua sisi yaitu warga negara yang harus dilindungi dari bahaya rokok dan warga negara perokok yang
mempunyai hak merokok, karena rokok adalah produk legal.
Dengan adanya materi UU Kesehatan yang diputus secara bersyarat dan dibatalkan oleh MK sebagaimana tersebut di atas, telah memenuhi persyaratan untuk dilakukan penyempurnaan UU Kesehatan oleh pembentuk UU dalam rangka menghindari kekosongan hukum.

Terkait dengan putusan MK terhadap pengujian UU Kesehatan, DPR sebagai pembentuk undang-undang bersama-sama Presiden memiliki peran penting dalam menindaklanjuti putusan yang telah ditetapkan oleh MK. Putusan MK bersifat final dan mengikat menjadi acuan dalam proses pembentukan undang-undang selanjutnya.Hal tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 10 huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) yang menyatakan bahwa materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi tindak lanjut atas putusan MK. Evaluasi UU Kesehatan terhadap 3 (tiga) perkara pengujian Undang-Undang di MK adalah meliputi kewenangan tenaga kesehatan dalam melakukan praktik kefarmasian, peringatan kesehatan pada rokok, dan penyediaan tempat untuk merokok pada tempat kerja, tempat umum, dan tempat lainnya adalah untuk ditindaklanjuti sesuai dengan amar putusan MK. Dalam amar putusannya MK mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian terhadap pengujian UU Kesehatan dalam Perkara Nomor 12/PUU-VIII/2010 dan Perkara Nomor 34/PUU-VIII/2010, selain itu MK dalam amar putusan mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya dalam Perkara Nomor 57/PUU-IX/2011.

Terkait dengan pemeriksaan dan penilaian terhadap 3 (tiga) perkara pengujian UU Kesehatan yaitu Perkara Nomor 12/PUU-VIII/2010 mengenai kewenangan tenaga kesehatan dalam melakukan praktik kefarmasian, Perkara Nomor 34/PUU-VIII/2010 mengenai peringatan kesehatan pada rokok, dan Perkara Nomor 57/PUU-IX/2011 mengenai penyediaan tempat untuk merokok pada tempat kerja, tempat umum, dan tempat lainnya, MK memberikan pendapat hukum. Kemudian MK
menetapkan putusan yang dalam amar putusannya MK menetapkan
beberapa keputusan yaitu mengabulkan permohonan Pemohon
untuk sebagian terhadap pengujian UU Kesehahatan dalam Perkara Nomor 12/PUU-VIII/2010 dan Perkara Nomor 34/PUU-VIII/2010, selain itu MK dalam amar putusan mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya dalamPerkara Nomor 57/PUU-IX/2011. Sehubungan dengan putusan MK, DPR RI sebagai pembentuk undang-undang bersama-sama Presiden memiliki kewenangan untuk menindaklanjuti putusan yang telah ditetapkan oleh MK.
Putusan MK bersifat final dan mengikat menjadi acuan dalam
proses pembentukan undang-undang selanjutnya oleh Presiden
dan DPR RI. Hal demikian sejalan dengan ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyatakan bahwa materi muatan yang harus diatur dengan undang-undang salah satunyaberisi tindak lanjut atas putusan MK. Adapun tindak lanjut tersebut untuk mencegah terjadinya
kekosongan hukum.

Hasil analisis dan evaluasi UU Kesehatan
adalah perbaikan materi undang-undang Kesehatan terutama
dengan memperbaiki conditionally unconstitutional terhadap
kewenangan tenaga kesehatan dalam melakukan praktik
kefarmasian, penggunaan tanda gambar dan bentuk lainnya
sebagai informasi bahaya merokok bagi konsumen, serta pemberian hak bagi perokok untuk merokok di tempat umum, tempat kerja dan tempat lainnya yang disediakan ruangankhusus merokok. Perbaikan materi tersebut hendaknya dituangkan dalam rencana perubahan atau penggantian UU Kesehatan dalam Program Legislasi Nasional untuk kumulatif terbuka maupun menjadi skala prioritas tahunan.

Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK): Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 jo. Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 jo. Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung / 01-05-2017

Berdasarkan Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945) bahwa kekuasaan untuk menyelenggarakan peradilan dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan tata usaha negara serta oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Di dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman) juga dikemukakan bahwa “kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia.” UU Mahkamah Agung selama ini telah diajukan beberapa kali diajukan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi, namun yang dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi sampai dengan saat ini tercatat ada 2 putusan yaitu Putusan Perkara Nomor 067/PUU-II/2004 (selanjutnya disebut Putusan Perkara 67/2004) dan Putusan Perkara Nomor 27/PUU-XI/2013 (selanjutnya disebut Putusan Perkara 27/2013). Selain itu terdapat juga Putusan Mahkamah Konstitusi yang menguji Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut UU HAP) yaitu Putusan Perkara Nomor 34/PUU-XI/2013 (selanjutnya disebut Putusan Perkara 34/2013), dimana putusan tersebut ternyata berdampak terhadap substansi yang terdapat dalam UU Mahkamah Agung.

1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal atau ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi khususnya terhadap UU Mahkamah Agung?
2. Apa akibat hukum terhadap pasal atau ayat suatu undang-undang yang dinyatakan Mahkamah Konstitusi sebagai konstitusionalitas/ inkonstitusional bersyarat khususnya dalam UU Mahkamah Agung?
3. Apakah terjadi disharmoni norma dalam suatu undang-undang jika suatu pasal atau ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi berimplikasi terhadap norma pasal atau ayat lain yang tidak diujikan khususnya dalam UU Mahkamah Agung?

Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam UUD Tahun 1945 memiliki dua fungsi ideal, yaitu MK dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi dan berfungsi untuk menjamin, mendorong, mengarahkan, membimbing, dan memastikan bahwa UUD Tahun 1945 dijalankan dengan sebaik-baiknya oleh penyelenggara negara agar nilai-nilai yang terkandung didalamnya dijalankan dengan benar dan bertanggung jawab; dan MK harus bertindak sebagai penafsir karena MK dikonstruksikan sebagai lembaga tertinggi penafsir UUD Tahun 1945.
Secara harfiah, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat memiliki makna hukum tersendiri. Frasa “final” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “terakhir dalam rangkaian pemeriksaan” sedangkan frasa mengikat diartikan sebagai “mengeratkan”, “menyatukan”. Bertolak dari arti harfiah ini maka frasa final dan frasa mengikat, saling terkait sama seperti dua sisi mata uang artinya dari suatu proses pemeriksaan telah memiliki kekuatan mengeratkkan atau menyatukan semua kehendak dan tidak dapat dibantah lagi. Makna harfiah di atas, bila dikaitkan dengan sifat final dan mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi artinya telah tertutup segala kemungkinan untuk menempuh upaya hukum.
Sifat dari putusan Mahkamah Konstitusi yaitu final yang artinya bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). Konsep ini mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni secara sederhana dan cepat sebagaimana diuraikan dalam penjelasan UU MK. Menurut Maruarar Siahaan Putusan Mahkamah Konstitusi sejak diucapkan dihadapan sidang terbuka umum mempunyai 3 kekuatan yaitu: kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian, dan kekuatan eksekutoarial.

Dalam Putusan Perkara Nomor 67 Tahun 2004 dapat dilihat
bahwa pengawasan terhadap advokat (yang sebelum
diundangkannya UU Advokat disebut “Penasehat Hukum”)
yang sebelumnya dilakukan oleh Mahkamah Agung dan
pengadilan-pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum
yang
berada di bawahnya sudah tidak berlaku lagi dan yang
berlaku
adalam ketentuan Pasal 12 UU Advokat yang ayat (1)nya
menyatakan bahwa “Pengawasan terhadap Advokat
dilakukan oleh
organisasi Advokat.” Putusan ini juga mencerminkan bahwa
Mahkamah Konstitusi tidak hanya sebagai penafsir
konstitusi
tetapi juga melakukan harmonisasi peraturan
perundang-undangan yang dikaitkan dengan
ketidakpastian hukum.

Dalam Putusan Perkara Nomor 27 Tahun 2013 pada
dasarnya
mekanisme check and balances merupakan hubungan
antara
lembaga yang berada dalam posisi setara. Putusan ini
mencerminkan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak hanya
sebagai
penafsir konstitusi tetapi juga melakukan harmonisasi
peraturan perundang-undangan yang dikaitkan dengan
ketidakpastian hukum khususnya ketidakharmonisan
peraturan
antara UUD Tahun 1945 dengan undang-undang yang
berada di
bawahnya. Pembentukan Komisi Yudisial yang independen
adalah
untuk mendukung kemerdekaan kekuasaan kehakiman
melalui
perbaikan pola perekrutan hakim agung yang dilakukan
oleh
badan khusus yang diangkat oleh Presiden dengan
persetujuan DPR.

Dalam Putusan Perkara Nomor 34 Tahun 2013 memiliki
dampak
terhadap UU Mahkamah Agung bahwa dengan adanya
putusan
tersebut maka diperlukan reformulasi ulang di dalam Pasal
66
UU Mahkamah Agung khususnya terhadap ketentuan
tentang
berapa kali upaya Peninjauan Kembali dapat diajukan dalam
hal perkara pidana dan perdata harus direformulasi secara
berbeda sesuai dengan amanat putusan Mahkamah
Konstitusi.

Pada dasarnya undang-undang itu dihasilkan dari proses politik sehingga sudah pasti ada kepentingan politik yang mewarnai substansi yang dihasilkan dalam undang-undang tersebut. Namun konstitusilah yang bertugas sebagai rambu apakah kepentingan politik mencederai aspirasi dan kepenntingan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Sesuai dengan konstitusi UUD Tahun 1945, Mahkamah Konstitusi lah yang ditugaskan untuk mengemban amanat tersebut melalui putusan-putusannya. Dalam Putusan Perkara 67/2014 dan Perkara 27/2013, Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya menganalisis dengan menggunakan penafsiran secara tektual gramatikal dan melakukan pengharmonisasian undang-undang khusunya UU Mahkamah Agung terhadap konstitusi dan undang-undang lain. Dari hasil analisis Mahkamah Konstitusi terlihat bahwa beberapa ketentuan dalam UU Mahkamah Agung selama ini teradapat ketidak konsistenan dalam perumusannya. Ketidakcermatan pembuat undang-undang ini terlihat dalam proses perubahan dari UU 14 Tahun 1985 ke UU 5 Tahun 2004 yang ternyata tidak mengubah pasal yang seharusnya penting untuk diubah. Keharmonisan peraturan perundang-undangan ini dianggap Mahkamah Konstitusi dangat penting agar tercipta kepastian hukum. Sedemikian pentingnya kepastian hukum ini bahkan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara 67/2004 mengesampingkan kerugian konstitusional Para pemohon dengan lebih menitik beratkan pada menjunjung tinggi asas kepastian hukum.
Begitupun halnya dalam Putusan Perkara 27/2013 yang menurut penilaian Mahkamah Konstitusi pengaturan yang ada dalam UU Mahkamah Agung mengenai perekrutan hakim agung bertentangan pengaturannya dengan yang ada didalam UUD Tahun 1945 secara jelas dan tekstual. Selain itu Mahkamah juga berpandangan bahwa Kekuasaan kehakiman yang merdeka sebagaimana diamanatkankan oleh UUD Tahun 1945 dalam hal ini pembentukan Komisi Yudisial yang berwenang untuk melakukan prekereutan hakim agung tanpa intervensi berbagai pihak adalah perwujudan kekuasaan kehakiman.
Khusus untuk perkara 34/2013 hasil putusan Mahkamah Konstitusi yang membolehkan Peninjauan Kembali dapat dilakukan lebih dari satu kali untuk perkara pidana ternyata berdampak pada pengaturan di dalam UU Mahkamah Agung. Maka terhadap hal ini diperlukan langkah konkrit dari pembuat undang-undang agar harus segera mengubah ketentuan dalam UU Mahkamah Agung yang terkena dampak dari putusan tersebut agar tercipta sinkronisasi dan harmonisiasi pengaturan perundang-undangan.

Terdapat ketidakcermatan perumusan dalam proses
perubahan UU
14 Tahun 1985 menjadi UU 5 Tahun 2004 yang tidak
mengubah
Pasal 36 UU 14 Tahun 1985, telah menimbulkan
ketidakpastian
hukum dalam pelaksanaannya.

Bahwa Pasal 8 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU
Mahkamah
Agung, serta Pasal 18 ayat (4) UU Komisi Yudisial, telah
menyimpang atau tidak sesuai dengan norma Pasal 24A
ayat (3)
UUD Tahun 1945.

Diperlukan reformulasi ulang di dalam Pasal 66 UU
Mahkamah
Agung. Ketentuan UU Mahkamah Agung harus mengikuti
hasil
Putusan Mahkamah Konstitudi Perkara Nomor 34 Tahun
2013.

Hasil analisis dan evaluasi UU Mahkamah Agung adalah
perlunya beberapa ketentuan di dalam UU Mahkamah
Agung yang
diperlukan reformulasi ulang akibat adanya Putusan
Mahkamah
Konstitusi dalam Perkara Nomor 67 Tahun 2004, Nomor 27
Tahun 2013, dan Nomor 34 Tahun 2013.

Adapun keharusan pembentuk undang-undang untuk
segera
menindaklanjuti hasil putusan Mahkamah Konstitusi sesuai
dengan amanat dari ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf d
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan.

Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi : Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan / 01-05-2017

Salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945) adalah sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD Tahun 1945. Pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 (judicial review) merupakan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menyelidiki dan menilai apakah materi suatu undang-undang tersebut bertentangan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu, atau bahkan apakah peraturan perundang-undangan tersebut terdapat cacat formal dalam pembentukannya.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan) telah beberapa kali di uji materi kepada Mahkamah Konstitusi dan menghasikan keputusan sebagai berikut:
1. Putusan Perkara Nomor 34 /PUU-IX/2011 yang diputus pada tanggal 16 Juli 2012.
2. Putusan Perkara Nomor 45 /PUU-IX/2011 yang diputus pada tanggal 21 Februari 2012.
3. Putusan Perkara Nomor 34 /PUU-IX/2012 yang diputus pada tanggal 16 Mei 2013.
Pasal yang diuji yakni:
1. Perkara Nomor 34 /PUU-IX/2011 Pasal yang di uji yakni Pasal 4 ayat (2) huruf b dan ayat (3).
2. Perkara Nomor 45 /PUU-IX/2011 Pasal yang diuji yakni Pasal 1 ayat (3).
3. Perkara Nomor 34 /PUU-IX/2012 Pasal yang diuji Pasal 1 angka 6, pasal 4 ayat (3), Pasal 5 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), Pasal 67 ayat (1), ayat (2), ayat (3).
Batu Uji Pasal UUD Tahun 1945:
1. Batu uji Perkara Nomor 34 /PUU-IX/2011 yakni Pasal 28A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28 G ayat (1) dan Pasal 28 H ayat (4) UUD Tahun 1945.
2. Batu uji Perkara Nomor 45 /PUU-IX/2011Pasal 1 ayat (3), Pasal 18 ayat (2), Pasal 18 ayat (5), Pasal 18 ayat (6), Pasal 18A ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (1), Pasal 28H ayat (4) UUD Tahun 1945.
3. Batu uji Perkara Nomor 34 /PUU-IX/2012 Pasal 1 ayat (3), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 33 ayat (3) UUD Tahun1945;

Hak konstitusional yang dirugikan:
1. Pada Perkara Nomor 34 /PUU-IX/2011 hak konstitusional Pemohon dirugikan dengan keberlakuan Pasal 4 ayat (2) huruf b dan ayat (3). Sehingga Pemohon tidak bisa mengolah perkebunan sawit milik Pemohon berdasarkan:
a. Izin Lokasi Perkebunan PT. Rickim Mas Jaya Nomor 042/BPN/II/1995 tanggal 15 Februari 1995 seluas ± 5.000 hektar;
b. Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Batanghari Nomor86/BPN-VIII/1596 tentang Pemberian Izin Lokasi untuk KeperluanPerkebunan Kelapa Sawit PT. Rickim Mas Jaya tanggal 21 Agustus 1996 seluas ± 5.200 hektar.
c. Rekomendasi Usaha Perkebunan Kelapa Sawit dari Gubernur Jambi Nomor 543.41/5308/V/Bappeda tanggal 31 Juli 1998.
d. Izin Usaha Perkebunan dari Menteri Pertanian NomorHK.350/E5.860/10.96 tanggal 10 Oktober 1996 tentang Persetujuan Prinsip Usaha Perkebunan Kelapa Sawit PT. Rickim Mas Jaya seluas ±14.000 hektar.
2. Pada Perkara Nomor 45 /PUU-IX/2011 Pasal yang diuji yakni Pasal 1 ayat (3). Bahwa dengan memperhatikan latar belakang tersebut di atas maka kerugian konstitusional Pemohon I selaku Pemerintah Daerah adalah sebagai berikut:
a. Tidak adanya jaminan kepastian hukum dalam menjalankan kewenangannya khususnya terkait dengan pemberian ijin baru maupun perpanjangan izin yang telah ada sebelumnya dibidang perkebunan, pertambangan, perumahan danpermukiman, maupun sarana dan prasana lainnya;
b. Tidak dapat menjalankan otonomi seluas-luasnya karena kawasan yang akan dimanfaatkan dalam berbagai bidangseperti perkebunan, pertambangan, perumahan danpermukiman, maupun sarana dan prasarana lainnya, masuk sebagai kawasan hutan jika tidak dilakukan pengukuhan kawasan hutan;
c. Tidak dapat mengimplementasikan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK) dan Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah tentangRencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) karena seluruh wilayahnya masuk sebagai kawasan hutan jika tidak dilakukan pengukuhan kawasan hutan;
d. Dapat dipidana karena dianggap memasuki dan menduduki kawasan hutan tanpa ijin atau memberikan ijin di bidang perkebunan, pertambangan, perumahan dan permukiman, maupun sarana dan prasana lainnya di dalam kawasan hutan;
e. Hak kebendaan dan hak milik masyarakat Kabupaten Kapuas atas tanah dan bangunan berpotensi dirampas oleh negara karena dianggap masuk kawasan hutan.
Bahwa pada saat mengajukan Permohonan ini, Pemohon secara pribadi yang pekerjaannya sebagai Bupati di wilayahnya masing-masingdiancam pidana sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 50 juncto Pasal 78 UU Kehutanan karena memberikan izin baru atau memperpanjang izin yang ada sebelumnya di dalam kawasan hutan. Ancaman pidana tersebut karena adanya Surat Menteri Kehutanan Nomor S.193/Menhut-IV/2011 tanggal 18 April2011 perihal Tim Penyelidikan dan Penyidikan Penggunaan Kawasan Hutan Yang Tidak Prosedural di Provinsi KalimantanTengah;
3. Pada Perkara Nomor 34 /PUU-IX/2012 Pasal yang diuji Pasal 1 angka 6, pasal 4 ayat (3), Pasal 5 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), Pasal 67 ayat (1), ayat (2), ayat (3).
Para Pemohon dalam permohonan a quo mengemukakan bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan dan dilanggar atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran wajar dapat dipastikan terjadi kerugian oleh berlakunya Pasal 1 angka 6, Pasal 4 ayat (3), Pasal 5, dan Pasal 67 UU Kehutanan.

1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal atau ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi?
2. Apa akibat hukum terhadap pasal atau ayat suatu undang-undang yang dinyatakan Mahkamah Konstitusi sebagai konstitusionalitas/ inkonstitusional bersyarat?
3. Apakah terjadi disharmoni norma dalam suatu undang-undang jika suatu pasal atau ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi berimplikasi terhadap norma pasal atau ayat lain yang tidak diujikan?

Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam UUD Tahun 1945 memiliki dua fungsi ideal, yaitu MK dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi dan berfungsi untuk menjamin, mendorong, mengarahkan, membimbing, dan memastikan bahwa UUD Tahun 1945 dijalankan dengan sebaik-baiknya oleh penyelenggara negara agar nilai-nilai yang terkandung didalamnya dijalankan dengan benar dan bertanggung jawab; dan MK harus bertindak sebagai penafsir karena MK dikonstruksikan sebagai lembaga tertinggi penafsir UUD Tahun 1945.
Secara harfiah, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat memiliki makna hukum tersendiri. Frasa “final” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “terakhir dalam rangkaian pemeriksaan” sedangkan frasa mengikat diartikan sebagai “mengeratkan”, “menyatukan”. Bertolak dari arti harfiah ini maka frasa final dan frasa mengikat, saling terkait sama seperti dua sisi mata uang artinya dari suatu proses pemeriksaan telah memiliki kekuatan mengeratkkan atau menyatukan semua kehendak dan tidak dapat dibantah lagi. Makna harfiah di atas, bila dikaitkan dengan sifat final dan mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi artinya telah tertutup segala kemungkinan untuk menempuh upaya hukum.
Sifat dari putusan Mahkamah Konstitusi yaitu final yang artinya bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). Konsep ini mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni secara sederhana dan cepat sebagaimana diuraikan dalam penjelasan UU MK. Menurut Maruarar Siahaan Putusan Mahkamah Konstitusi sejak diucapkan dihadapan sidang terbuka umum mempunyai 3 kekuatan yaitu: kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian, dan kekuatan eksekutoarial.

A. Analisis UU

1. Pendapat Hukum MK Perkara Nomor 34 /PUU-
IX/2011.

Bahwa terhadap dalil Pemohon, Pasal 4 ayat (2) huruf b
UU Kehutanan
bertentangan dengan Pasal 28A, Pasal 28D ayat (1), Pasal
28G ayat (1),
danPasal 28H ayat (4) UUD Tahun 1945, menurut
Mahkamah,
kewenangan pemerintah untuk menetapkan status wilayah
tertentu
sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan
kawasan
hutan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2)huruf b
tersebut adalah
salah satu bentuk penguasaan negara atas bumi dan air
yang
dimungkinkan berdasarkan konstitusi dengan ketentuan
penetapan
kawasan tersebut harus berdasarkan ketentuan hukum
yang berlaku
dengan memperhatikan hak-hak masyarakat yang terlebih
dahulu ada di
wilayah tersebut.
Dalam hal ini, apabila dalam wilayah tersebut terdapat hak-
hak
masyarakat, termasuk hak masyarakat tradisional, hak
milik, atau hak-hak
lainnya, maka pemerintah berkewajiban untuk melakukan
penyelesaian
terlebih dahulu secara adil dengan para pemegang hak.
Mahkamah tidak
menemukan pertentangan antara norma Pasal 4 ayat (2)
huruf b UU
Kehutanan dengan Pasal 28A, Pasal 28D ayat (1), Pasal
28G ayat (1), dan
Pasal 28H ayat (4) UUD Tahun 1945;
Bahwa Pemohon mendalilkan ketentuan Pasal 4 ayat (3)
UU Kehutanan
hanya mengindahkan hak masyarakat hukum adat,
padahal seharusnya
juga memperhatikan hak-hak atas tanah yang dimiliki oleh
masyarakat,
sehingga bertentangan dengan Pasal 28A, Pasal 28D ayat
(1), Pasal 28G
ayat (1), dan Pasal 28H ayat (4) UUD Tahun 1945
karenanya Pemohon
memohon agar Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan seharusnya
berbunyi:
“Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak
masyarakat
hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan
diakui
keberadaannya, hak atas tanah yang telah terbebani hak
berdasarkan
undang-undang, serta tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional”.
Pemohon beralasan bahwa dengan tidak adanya
pengakuan hak atas
tanah yang telah terbebani hak berdasarkan Undang-
Undang, hal
tersebut merugikan Pemohon. Di luar kasus konkret yang
dihadapi oleh
Pemohon sebagaimana diuraikan dalam permohonannya,
Mahkamah
dapat membenarkan substansi dalil permohonan Pemohon
tersebut.
Menurut Mahkamah, dalam wilayah tertentu dapat saja
terdapat hak yang
telah dilekatkan atas tanah, seperti hak milik, hak guna
bangunan, hak
guna usaha, dan hak-hak lainnya atas tanah. Hak-hak yang
demikian
harus mendapat perlindungan konstitusional berdasarkan
Pasal 28G ayat
(1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD Tahun 1945.Oleh karena
itu, penguasaan
hutan oleh negara harus juga memperhatikan hak-hakyang
demikian
selain hak masyarakat hukum adat yang telah dimuat
dalam norma a
quo;
Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah,
Pasal 4 ayat
(3) UU Kehutanan memang belum mencakup norma
tentang hak atas
tanah yang lainnya yang diberikan berdasarkan ketentuan
peraturan
perundang-undangan, sehingga pasal tersebut
bertentangan dengan UUD
Tahun 1945 sepanjang tidak memuat pula hak atas tanah
yang diberikan
berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan.
Walaupun
Mahkamah tidak berwenang untuk mengubah kalimat
dalam Undang-
Undang, karena kewenangan tersebut hanya dimiliki oleh
pembentuk
Undang-Undang yaitu DPR dan Presiden, namun demikian
Mahkamah
dapat menentukan suatu norma bersifat konstitusional
bersyarat;
Bahwa sejalan dengan maksud Putusan Mahkamah Nomor
32/PUU-VIII/2010, tertanggal 4 Juni 2012,
kata “memperhatikan” dalam
Pasal 4 ayat (3)UU Kehutanan haruslah pula dimaknai
secara imperatif
berupa penegasan bahwa Pemerintah, saat menetapkan
wilayah kawasan
hutan, berkewajiban menyertakan pendapat masyarakat
terlebih dahulu
sebagai bentuk fungsi kontrol terhadap Pemerintah untuk
memastikan
dipenuhinya hak-hak konstitusional warga negara untuk
hidup sejahtera
lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup
yang baik dan sehat, mempunyai hak milik pribadi dan hak
milik tersebut
tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh
siapa pun [vide
Pasal 28H ayat (1) dan ayat (4) UUD 1945]. Oleh karena
itu, Pasal 4 ayat
(3) UU Kehutanan bertentangan dengan UUD Tahun 1945
sepanjang
tidak dimaknai“Penguasaan hutan oleh Negara tetap wajib
melindungi,
menghormati, dan memenuhi hak masyarakat hukum adat,
sepanjang
kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, hak
masyarakat
yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan,
serta tidak bertentangan dengan kepentingannasional”;

2. Pendapat Hukum MK Perkara Nomor 45 /PUU-
IX/2011.

Bahwa antara pengertian yang ditentukan dalam Pasal 1
angka 3 dan
ketentuan Pasal 15 UU Kehutanan terdapat perbedaan.
Pengertian dalam
Pasal 1 angka 3 Undang-Undang a quo hanya
menyebutkan bahwa,
“Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan
atau
ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan
keberadaannya sebagai
hutan tetap”, sedangkan dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-
Undang a quo
menentukan secara tegas adanya tahap-tahap dalam
proses pengukuhan
suatu kawasan hutan. Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang a
quo
menentukan, “Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana
dimaksud dalam
Pasal 14, dilakukan melalui proses sebagai berikut: a.
penunjukan
kawasanhutan; b. penataan batas kawasan hutan; c.
pemetaan kawasan
hutan; dan d.penetapan kawasan hutan”. Berdasarkan
ketentuan Pasal
15 ayat (1) Undang-Undang a quo penunjukan kawasan
hutan adalah
salah satu tahap dalam proses pengukuhan kawasan
hutan, sementara
itu “penunjukan” dalam ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-
Undang a quo
dapat dipersamakan dengan penetapan kawasan hutan
yang tidak
memerlukan tahap-tahap sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 15 ayat
(1) Undang-Undang a quo;
Bahwa menurut Mahkamah, tahap-tahap proses penetapan
suatu
kawasan hutan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15
ayat (1) UU
Kehutanan di atas sejalan dengan asas negara hukum yang
antara lain
bahwa pemerintah atau pejabat administrasi negara taat
kepada
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selanjutnya ayat (2) dari pasal tersebut yang
menentukan, “Pengukuhan
kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan
memperhatikan rencana tata ruang wilayah” menurut
Mahkamah
ketentuan tersebut antara lain memperhatikan
kemungkinan adanya hak-
hak perseorangan atau hak pertuanan (ulayat) pada
kawasan hutan yang
akan ditetapkan sebagai kawasan hutan tersebut, sehingga
jika terjadi
keadaan seperti itu maka penataan batas dan pemetaan
batas kawasan
hutan harus mengeluarkannya dari kawasan hutan supaya
tidak
menimbulkan kerugian bagi pihak lain, misalnya
masyarakat yang
berkepentingan dengan kawasan yang akan ditetapkan
sebagai kawasan
hutan tersebut;

3. Pendapat Hukum MK Perkara Nomor 35/PUU-X/2012.

Hutan adat dalam kenyataannya berada dalam wilayah hak
ulayat. Dalam
wilayah hak ulayat terdapat bagian-bagian tanah yang
bukan hutan yang
dapat berupa ladang penggembalaan, kuburan yang
berfungsi untuk
memenuhi kebutuhan umum, dan tanah-tanah yang
dimiliki secara
perseorangan yang berfungsi memenuhi kebutuhan
perseorangan.
Keberadaan hak perseorangan tidak bersifat mutlak,
sewaktu-waktu
haknya dapat menipis dan menebal. Jika semakin menipis
dan lenyap
akhirnya kembali menjadi kepunyaan bersama.
Hubungan antara hak perseorangan dengan hak ulayat
bersifat lentur.
Hak pengelolaan hutan adat berada pada masyarakat
hukum adat,
namun jika dalam perkembangannya masyarakat hukum
adat yang
bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan
adat jatuh
kepada Pemerintah [vide Pasal 5 ayat (4) UU Kehutanan].
Wewenang hak
ulayat dibatasi seberapa jauh isi dari wewenanghak
perseorangan,
sedangkan wewenang negara dibatasi sejauh isi dan
wewenang hak
ulayat. Dengan cara demikian, tidak ada tumpang tindih
(kejumbuhan)
antara wewenang negara dan wewenang hak masyarakat
hukum adat
yang berkenaan dengan hutan. Negara hanya mempunyai
wewenang
secaratidak langsung terhadap hutan adat;
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka diatur hubungan
antara
hakmenguasai negara dengan hutan negara, dan hak
menguasai negara
terhadaphutan adat. Terhadap hutan negara, negara
mempunyai
wewenang penuh untukmengatur dan memutuskan
persediaan,
peruntukan, pemanfaatan, pengurusanserta hubungan-
hubungan hukum
yang terjadi di wilayah hutan negara. Kewenangan
pengelolaan oleh
negara di bidang kehutanan seharusnya diberikankepada
kementerian
yang bidangnya meliputi urusan kehutanan. Terhadap
hutanadat,
wewenang negara dibatasi sejauh mana isi wewenang
yang tercakup
dalamhutan adat. Hutan adat (yang disebut pula hutan
marga, hutan
pertuanan, atausebutan lainnya) berada dalam cakupan
hak ulayat
karena berada dalam satukesatuan wilayah (ketunggalan
wilayah)
masyarakat hukum adat, yangperagaannya didasarkan atas
leluri
(traditio) yang hidup dalam suasana rakyat (in de
volksfeer) dan
mempunyai suatu badan perurusan pusat yang
berwibawadalam seluruh
lingkungan wilayahnya. Para warga suatu masyarakat
hukum
adatmempunyai hak membuka hutan ulayatnya untuk
dikuasai dan
diusahakantanahnya bagi pemenuhan kebutuhan pribadi
dan
keluarganya. Dengan demikian,tidak dimungkinkan hak
yang dipunyai
oleh warga masyarakat hukum adattersebut ditiadakan
atau dibekukan
sepanjang memenuhi syarat dalam cakupanpengertian
kesatuan
masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal18B ayat (2)
UUD Tahun 1945.
Setelah ditentukan pembedaan antara hutan negara, hutan
hak (baik
berupa hutan perseorangan maupun hutan adat yang
tercakup dalam hak
ulayat),maka tidak dimungkinkan hutan hak berada dalam
wilayah hutan
negara, atausebaliknya hutan negara dalam wilayah hutan
hak
sebagaimana dinyatakan Pasal 5 ayat (2) dan Penjelasan
Pasal 5 ayat (1)
Undang-Undang a quo, serta hutan ulayat dalam hutan
negara, sehingga
menjadi jelas status dan letak hutan ulayat dalam
kaitannya dengan
pengakuan dan perlindungan kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat
yang dijamin oleh Pasal 18B ayat (2) UUD Tahun 1945.
Dengan demikian,
hutan berdasarkan statusnya dibedakan menjadi dua yaitu
hutan negara
dan hutan hak. Adapun hutan hak dibedakan antara hutan
adat dan
hutan perseorangan/badan hukum. Ketiga status hutan
tersebut pada
tingkatan yangtertinggi seluruhnya dikuasai oleh negara.
Sebagai perbandingan, dalam hukum pertanahan,
hak “menguasai dari
Negara” tidak memberi kewenangan untuk menguasai
tanah secara fisik
dan menggunakannya seperti hak atas tanah, karena
sifatnya semata-
mata hukum publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
Undang-
Undang Nomor 5 Tahun1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok
Agraria (UUPA), yakni wewenang hak menguasai dari
negara digunakan
untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam
artikebangsaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam
masyarakat dan
negarahukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil,
dan makmur;
Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) UUD Tahun 1945
merupakan
pengakuan dan perlindungan atas keberadaan hutan adat
dalam kesatuan
dengan wilayah hak ulayat suatu masyarakat hukum adat.
Hal demikian
merupakan konsekuensi pengakuan terhadap hukum adat
sebagai “living
law” yang sudahberlangsung sejak lama, dan diteruskan
sampai
sekarang. Oleh karena itu,menempatkan hutan adat
sebagai bagian dari
hutan negara merupakanpengabaian terhadap hak-hak
masyarakat
hukum adat;
Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, menurut
Mahkamah,
kata“negara” dalam Pasal 1 angka 6 UU Kehutanan
bertentangan dengan
UUD 1945.Dengan demikian dalil para Pemohon beralasan
menurut
hukum;


B. Implikasi Putusan MK

Status hutanberdasarkanPasal 5 ayat (1) UU Kehutanan
terdiri dari hutan
Negara dan hutan hak. Namun dengan adanya Putusan
Mahkamah
Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 yang memutuskan
bahwa Pasal 5 ayat
(1) UUKehutanan bertentangan dengan UUD Tahun 1945
dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak
dimaknai ”Hutan
Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak
termasuk
hutan adat”,maka status hutan terdiridarihutannegara,
hutan hak, dan
hutan adat.


C. Evaluasi UU

Berdasarkan uraian diatas maka UU Kehutanan perlu
diganti mengingat
beberapa ketentuan UU Kehutanan beberapa pasalnya
tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat. Sehingga Pemerintah dan DPR
untuk
menindaklanjuti hasil Putusan Mahkamah Konstitusi
tersebut.

Berdasarkan uraian diatas maka UU Kehutanan perlu diganti mengingat beberapa ketentuan UU Kehutanan beberapa pasalnya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sehingga Pemerintah dan DPR untuk menindaklanjuti hasil Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.

1. Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan bertentangan dengan
UUD 1945 dan
tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak
dimaknai
"Penguasaan hutan oleh Negara tetap wajib melindungi,
menghormati
dan memenuhi hak masyarakat hukum adat, sepanjang
kenyataannya
masih ada dan diakui, serta tidak bertentangan dengan
kepentingan
Nasional.";
2. Frasa "ditunjuk dan atau" dalam Pasal 1 angka 3 UU
kehutanan
dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
memiliki kekuatan
hukum mengikat.
3. Kata "negara" dalam Pasal 1 angka 6 UU kehutanan
dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945, sehingga ketentuan Pasal
1 angka 6
tersebut menjadi "Hutan adat adalah hutan yang berada
dalam wilayah
masyarakat hukum adat".
4. Pasal 5 ayat (1) UU Kehutanan tidak mempunyai
kekuatan hukum
mengikat sepanjang tidak dimaknai "Hutan negara
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a, tidak termasuk hutan
adat".
5. Penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU kehutanan tidak memiliki
kekuatan
hukum mengikat.
6. Pasal 5 ayat (2) UU kehutanan bertentangan dengan
UUD 1945 dan
tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
7. Frasa "dan ayat (2)" dalam Pasal 5 ayat (3) tidak
mempunyai kekuatan
hukum mengikat sehingga Pasal 5 ayat (3) tersebut
menjadi "Pemerintah
menetapkan UU Kehutanan dimaksud pada ayat (1); dan
hutan adat
ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat
hukum adat
yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya".

Beberapa Pasal dan ayat UU Kehutanan dinyatakan
bertentangan dengan
UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat
sehingga ketentuan
dalam UU Kehutanan tidak utuh lagi dan perlu
ditindaklanjuti dengan
mengganti UU Kehutanan.

Analisis dan Evaluasi Undang-Undang berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi: Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Kewajiban Pembayaran Utang / 01-05-2017

Kekuasaan Kehakiman telah diatur secara tegas didalam Pasal 24 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945) yang pada pokoknya menjelaskan Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki peranan yang cukup signifikan dalam peradilan Indonesia sebagai cabang kekuasaan kehakiman yang melaksanakan fungsi penegakan hukum terhadap pelaksanaan konstitusi dan aspek kehidupan kenegaraan. MK memiliki kewenangan mengadili pada tingkat pertama dan terkahir yang putusanya bersifat final untuk menguji Undang-Undang (UU) terhadap UUD Tahun 1945, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum serta memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD Tahun 1945 yang diperkuat didalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Jo Undang-Undang Nomor 2011 tentang Mahkamah Konstitusi. Pengujian suatu UU terhadap UUD tahun 1945 secara teoritis didasari pada norma hukum yang tidak boleh bertentangan dengan norma yang berada diatasnya oleh karena norma hukum yang lebih tinggi merupakan sumber hukum bagi norma hukum yang berada dibawahnya. Pengujian UU terhadap UUD Tahun 1945 merupakan perlindungan hukum oleh negara terhadap rakyat yang merasa dirugikan hak-hak konstitusionalnya. Hal ini sejalan dengan yang diatur didalam Pasal 51 ayat (1) UU MK. Terkait dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan) terdapat upaya dari pemohon untuk melakukan pengujian. Tercatat ada 2 (dua) putusan MK terkait UU Kepailitan yaitu; (1) Perkara No. 071/PUU-II/2004; dan (2) Perkara No. 001-002/PUU-III/2005 yang menguji pasal-pasal diantaranya Pasal 2 ayat (5), Pasal 6 ayat (3), Pasal 223, dan Pasal 224 ayat (6) UU Kepailitan yang pada pokoknya pasal-pasal tersebut mengatur mengenai hak panitera untuk menolak mencatat permohonan pailit yang menyangkut keharusan adanya izin Menteri Keuangan jika hendak mempailitkan perusahaan asuransi dan izin Gubernur Bank Indonesia untuk mempailitkan bank, yang mana dalam Putusanya MK mengabulkan sebagian dan untuk sebagian lagi menolak permohonan dari Pemohon tersebut.

1. Bagaimanakah akibat hukum yang timbul dari dari dikabulkannya sebagian permohonan pengujian sebagian pasal UU Kepailitan terhadap UUD Tahun 1945?
2. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal atau ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi?

-

Terdapat dua nomor registrasi perkara yang berbeda, yang pada praktiknya perkara nomor 071/PUU-II/2004 dan perkara nomor 001-002/PUU-III/2005 oleh MK dipandang sebagai satu permohonan yang bersifat a quo, oleh karena substansi pasal-pasal yang dimohonkan memiliki muatan makna yang sama dan saling berkaitan, dan di sisi lain terdapat persamaan pihak yang menerima kuasa untuk mewakili Pemohon dalam mengajukan gugatan pengujian UU Kepailitan terhadap UUD Tahun 1945 kepada MK. Adapun pokok perkara yang dimohonkan oleh pemohon adalah sebagai berikut:
1. Pasal 2 Ayat (5) dan Pasal 223 UU Kepailitan.
• Pasal 2 ayat (5) UU Kepailitan mengatur sebagai berikut:
“Dalam hal debitor adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan public, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan”

Adapun perihal hak yang dibatasi adalah hak Para Pemohon di bidang hukum formal (hukum acara), yaitu jika Para Pemohon berkehendak mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap perusahaan asuransi, maka permohonan itu tidak dapat diajukan oleh Para Pemohon kepada Pengadilan Niaga, tetapi hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan. Dalam kasus ini pembatasan yang dikenakan para konsumen bahwa perusahaan asuransi merupakan Lembaga keuangan perusahaan yang karakteristiknya menyangkut kepentingan konsumen yang besar yang mengelolah dan menguasai dana masyarakat dengan skala besar yang dapat berimplikasi pada menggoncangnya kehidupan ekonomi masyarakay dan menimbulkan citra buruk bagi perusahaan asuransi yang dinyatakan pailit. Pembatasan yan diatur didalam Pasal 2 ayat (5) UU a quo terasa penting jika dikaitkan dengan Pasal 2 ayat (1) UU a quo yang berbunyi, “Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri, maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya”. Persyaratan tersebut dianggap terlalu longgar bagi seorang kreditor yang ingin mengajukan pailit.
MK berpendapat longgarnya persyaratan tersebut disebabkan karena kelalaian pembuat UU dalam merumuskan Pasal 2 ayat (1) UU a quo. Bahwa pernyataan pailit harus didahului oleh pengujian apakah benar seorang debitor telah dalam keadaan tidak mampu membayar (insolvency test) yang mana hal ini tidak diatur dialam UU a quo.
Bahwa persyaratan longgar demikian tidak akan menjadi masalah bila debitor adalah pihak peseorangan atau perusahaan yang tidak menyangkut kepentingan umum yang sangat besar. Untuk itu dalam rangka penyempurnaan UU Kepailitan dimasa yang akan dating perlu mendapatkan perhatian sebagaimana mestinya.
Dengan alasan bahwa terdapat kepentingan yang lebih besar yang harus dilindungi dan tetap tersedianya jalan lain yang seimbang bagi pihak yang merasa dirugikan oleh berlakunya Pasal 2 ayat (5) a quo, MK berpendapat bahwa pasal tersebut tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) UUD Tahun 1945. Disamping itu, pembatasan dengan alasan demikian dibenarkan oleh Pasal 28J ayat (2) yang berbunyi, “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”. Kewajiban untuk menjamin pengakuan serta penghormata atas hak-hak dan kebebasan orang lain dapat dipahami untuk dijadikan pertimbangan yang rasional oleh pembuat UU dalam merumuskan pembatasan yang termuat dalam Pasal 2 ayat (5) tersebut.
Berkaitan terhadap dalil Para Pemohon yang berkaitan dengan kewenangan Menteri Keuangan sebagaimana yang diatur didalam Pasal 2 ayat (5) UU a quo, yang mejadikan Menteri Keuangan sebagai Lembaga Yudikatif MK berpendapat bahwa kewenangan tersebut hanya menyangkut kedudukan hukum (legal standing) Menteri Keuangan sebagi Pemohon dalam perkara pailit. Sehingga kewenangan tersebut bukan pada lingkungan Yustisial (mengadili) dan tidak bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1), (2), dan (3) UUD Tahun 1945 serta Pasal 24C ayat (1) UUD Tahun 1945.
• Pasal 223 UU Kepailitan mengatur sebagai berikut:
“Dalam hal Debitor adalah Bank, Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, dan Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan public maka yang dapat mengajukan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang adalah lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), ayat (4) dan Ayat (5).”
Menimbang Para Pemohon mendalilkan pula bahwa Pasal 223 UU Kepailitan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), (2), dan ayat (3) serta Pasal 24C ayat (1) UUD Tahun 1945. MK berpandangan bahwa ketentuan pasal 223 mutatis mutandis sama dengan bunyi pasal 2 ayat (5), sehingga pertimbangan Mahkamah mutatis mutandis berlaku juga terhadap Pasal 223 UU a quo. Oleh karena itu, MK berpendapat bahwa Pasal 223 tidak terbukti bertentangan dengan UUD Tahun 1945, sehingga permohonan Para Pemohon sepanjang menyangkut Pasal 223 UU a quo harus ditolak.

2. Pasal 6 Ayat (3) dan Pasa; 224 ayat (6) UU Kepailitan
• Pasal 6 ayat (3) UU Kepailitan mengatur sebagai berikut:
“Panitera wajib menolak pendaftaran permohonan Pernyataan Pailit bagi institusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) jika dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan dalam ayat-ayat tersebut.”

Para Pemohon mendalilkan Pasal 6 ayat (3) UU Kepailitan telah mencabut dan menghilangkan Hak Konstitusional yang itu bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) UUD Tahun 1945 serta Pasal 16 ayat (3) Undang-Undagn Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman). Para Pemohon beranggapan bahwa Panitera sekalipun merupakan jabatan di pengadilan seharusnya hanya bertugas dalam hal teknis administrasi yustisial. Hal ini sebagaimanayang diatur dialam Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 Jo Undang-undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum (UU Peradilan Umum), ditentukan bahwa tugas pokok panitera adalah “menangani administrasi perkara dan hal-hal administrasi lain yang bersifat teknis peradilan” dan tidak berkaitan dengan fungsi peradilan (rechtsprekende functie), yang merupakan kewenangan hakim yang dalam hal ini termasuk menolak pendaftaran suatu permohonan.
Bahwa dalam menafsirkan Pasal 6 ayat (3) secara sistematik harus dikaitkan dengan ayat sebelumnya [ayat (1) dan ayat (2). Pasal 6 ayat (1) selengkapnya berbunyi, “Permohonan pernyataan pailit diajukan kepada Ketua Pengadilan”. Pasal 6 ayat (2) selengkapnya berbunyi, “Panitera mendaftarkan permohonan pernyataan pailit pada tanggal permohonan yang bersangkutan diajukan, dan kepada Pemohon diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dengan tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran”. Sedangkan Pasal 6 ayat (3) berbunyi, “Panitera wajib menolak pendaftaran permohonan pernyataan pailit bagi institusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), (4) dan ayat (5) jika dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan ayat tersebut”
Dalam hal ini MK menimbang apabilaPanitera diberikan wewenang untuk menolak perndaftaran permohonan pailit hal tersebut bertentangan dengan prinsip “due process of law” dan “access to courts” yang merupakan pilar utama bagi tegaknya “rule of law” sebagaimana dimaksud oleh Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945. Meskipun hasil akhir atas permohonan yang bersangkutan boleh jadi sama, yaitu tidak dapat diterimanya (niet ontvankelijkheid) permohonan yang bersangkutan, karena tidak terpenuhinya syarat kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (5) undang-undang a quo, yang menurut Mahkamah tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945, keputusan demikian harus dituangkan dalam putusan yang berkepala “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Menimbang bahwa karena penjelasan Pasal 6 ayat (3) merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan dari pasal yang dijelaskan, maka dengan sendirinya Penjelasan pasal tersebut diperlakukan sama dengan pasal yang dijelaskannya, dan oleh karena itu Para Pemohon sepanjang menyangkut Pasal 6 ayat (3) UU Kepailitan mengenai hal ini cukup beralasan untuk dikabulkan.
• Pasal 224 ayat (6) UU Kepailitan mengatur sebagai berikut:
“Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) berlaku mutatis mutandis sebagai tata cara pengajuan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”.
Para Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 224 ayat (6) UU Kepailitan bertentangan dengan Pasal 28 ayat (1), (2), dan (3), serta Pasal 24 ayat (1), (2), dan (3) serta Pasal 24C ayat (1) UUD Tahun 1945, Pasal 224 ayat (6) dimaksud berbunyi, “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5), berlaku mutatis mutandis sebagai tata cara pengajuan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang sebagaimana dimaksud ayat (1)”. Bahwa dengan rumusan Pasal 224 ayat (6) tersebut berarti bahwa apabila permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang bukan dilakukan oleh pihak sebagaimana yang ditunjuk oleh Pasal 6 ayat (3) UU a quo berarti Panitera wajib menolak pendaftaran permohonan dimaksud sesuai dengan Ketentuan Pasal 6 ayat (3).
Sementara MK telah memutuskan Pasal 6 aya(3) bertentangan dengan UUD Tahun 1945 mutatis mutandis berlaku juga terhadap Pasal 224 ayat (6) UU a quo. Sehingga MK menyatakan sepanjang menyangkut kata ayat (3) UU a quo terbukti bertentangan dengan UUD Tahun 1945 harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan dengan demikian permohonan Para Pemohon harus dikabulkan sepanjang mengenai hal tersebut.

Berdasarkan uraian diatas maka MK menyatakan Pasal 6 ayat (3) beserta Penjelasannya dan Pasal 224 ayat (6) sepanjang menyangkut kata “ayat (3)” UU Kepailitan bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Menyatakan Pasal 6 ayat (3) beserta Penjelasannya dan Pasal 224 ayat (6) sepanjang menyangkut kata “ayat (3)” UU Kepailitan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. MK turut pula berpandangan untuk menolak permohonan Para Pemohon untuk selebihnya.

Terhadap putusan MK tersebut terdapat (Dissenting Opinion) pendapat berbeda yang pada pokoknya adalah bahwa kebebasan berkontrak sebagaimana yang diatur didalam Pasal 1338 BW meliputi hak kreditor untuk menggugat debitor yang dipandang melakukan cidera janji dihadapan hakim. Jika UU Kepailitan menentukan pihak yang berkewenangan memohon pailit terhadap perusahaan asuransi dan reasuransi hanyalah Menteri Keuangan ke Pengadilan Niaga hal ini membatasi kebebasan berkontrak dari para pihak yang mengikatkan diri pada perjanjian dan cenderung menghalangi pembebanan kewajiban salah satu pihak guna memenuhi janjinya. Hal ini juga berlaku sebaliknya disaat debitor yang ingin mengajukan penundaan kewajiban pembayran utang hanya dapat dilakukan oleh Menteri Keuangan Secara konstitusional, persyaratan prosedural yang ditentukan de wetgever tersebut mengandung perlakuan diskriminasi tatkala kreditor dan/atau debitor dari perjanjian lainnya tidak dikenakan ketentuan semacamnya, sebagaimana dilarang konstitusi atas dasar Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945. Untuk itu jika intervensi Mmenteri Keuangan dalam hal pengajuan permohonan pailit dan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang dimaksud adalah untuk membangun tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi sebagai lembaga pengelola resiko dan sekaligus sebagai lembaga pengelola dana masyarakat yang memiliki kedudukan startegis dalam pembangunan dan kehidupan perekonomian maka upaya perlindungan badan atau pejabat tata usaha negara seyogianya diadakan pada tahapan upaya preventif dengan cara membuat aturan-aturan administratif (‘besluit van algemene strekking’) dan pelbagai Keputusan Tata Usaha Negara, bukan melibatkan diri dalam tahapan penyelesaian represif yang memasuki domain beracara di pengadilan. Seyogianya MK mengabulkan seluruh permohonan Para Pemohon.

Putusan MK yang menyangkut mengenai syarat permohonan pengajuan gugatan pailit, apabila debitor adalah Bank, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, Perushaan Efek, Bursa Efek dan Lembaga Penjaminan yang harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan Menteri Keuangan atau Bank Indonesia. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut memang tidak menyangkut langsung dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan, namun dalam pertimbangannnya Hakim MK jelas memberikan pendapat mengenai bentuk persyaratan pailit yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) tersebut, yang menyatakan bahwa persyaratan yang sangat longgar untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit merupakan kelalaian pembuat undang-undang dalam merumuskan Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan itu.
Adanya Pasal 2 ayat (3), (4), dan (5) merupakan suatu implikasi dari ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan yang tidak mengakomodasi syarat pengajuan pailit yang bersifat tetap (fixed) mununjukkan penerapan hukum kepailitan di Indonesia belumlah efektif. Wewenang yang diberikan kepada Lembaga Negara atau Pejabat Negara sebagai salah satu bentuk dari judicial economic merupakan suatu bentuk antisipasi ketakutan dari dipailitkannya perusahaann financial yang masih solven yang berhubungan dengan stabilitas ekonomi dan hajat hidup orang banyak. Mungkin saja pembuat undang-undang menyadari akan hal tersebut, dan menyiasatinya dengan membuat ketentuan seperti Pasal 2 ayat (3), (4), (5) UU UU Kepailitan, namun di sisi lain, tanpa disadari hal ini justru memberikan kesempatan untuk dikabulkannya permohonan pailit atas debitor (perusahaan) yang solven namun tidak berhubungan dengan hajat hidup orang banyak atau perusahaan financial yang besar (yang mana hal ini tentu merugikan bagi debitor yang demikian).
Ketentuan Pasal 6 ayat (3) dan Pasal 224 ayat (6) yang telah dibatalkan oleh MK sendiri menyebabkan secara mutatis mutandis ketentuan yang menjadi norma rujukan yaitu Pasal 2 ayat (3) UU Kepailitan secara mutatis mutandis tidak berlaku lagi sebagai syarat prosedural yang harus dipenuhi saat mengajukan permohonan pailit melalui panitera pengadilan. Hal ini menyebabkan Panitera diwajibkan untuk menerima permohonan pailit sepanjang syarat yang dimohonkan dalam gugatan pailit tidak bertentangan atau sesuai dengan substansi Pasal 2 ayat (3), (4), dan (5). Putusan MK yang bersifat bersyarat tersebut menyebabkan untuk debitor berupa Bank, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, Perusahaan Efek, Bursa Efek dan Lembaga Penjaminan gugatan kepailitannya harus memenuhi persyaratan yang telah ditegaskan dalam undang-undang kepailitan terutama syarat atas kewenangan lembaga mana yang diperbolehkan mengajukan gugatan pailit melalui panitera Pengadilan Niaga.

-

Adapun simpulan dari evaluasi putusan MK dengan perkara Nomor 071/PUU-II/2004 dan Perkara Nomor 001-002/PUU-III/2005 adalah sebagai berikut:
1. MK menyatakan Pasal 6 ayat (3) beserta Penjelasannya dan Pasal 224 ayat (6) sepanjang menyangkut kata “ayat (3)” UU Kepailitan bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Menyatakan Pasal 6 ayat (3) beserta Penjelasannya dan Pasal 224 ayat (6) sepanjang menyangkut kata “ayat (3)” UU Kepailitan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
2. Putusan MK yang mengabulkan gugatan Pemohon untuk sebagian mengakibatkan untuk debitor berupa Bank, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, Perusahaan Efek, Bursa Efek dan Lembaga Penjaminan gugatan kepailitannya harus memenuhi persyaratan yang telah ditegaskan dalam UU Kepailitan terutama syarat atas kewenangan lembaga mana yang diperbolehkan mengajukan gugatan pailit melalui panitera Pengadilan Niaga.
3. Syarat pengajuan gugatan kepailitan dalam UU Kepailitan masih dinilai terlalu longgar, salah satu indikasinya tidak ada instrumen uji pailit (insolvency test) apabila hendak mengajukan gugatan pailit. Syarat yang dicantumkan undang-undang terbatas hanya pada adanya utangyang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, 2 kreditor atau lebih, dan lembaga yang diberi kewenangan untuk mengajukan gugatan pailit apabila debitor adalah perusahaan financial yang menyangkut kepentingan publik.

Rekomendasi yang dapat diberikan dari hasil evaluasi ini berupa perbaikan substansi UU Kepailitan terutama dengan memperbaiki syarat pengajuan pailit yang dinilai masih terlalu longgar dan tidak bersifat fixed dan perlunya instrument instrument uji pailit (insolvency test) sebagaimana yang dianut oleh beberapa negara seperi USA, Jepang, dan Inggris. Perbaikan ini hendaknya dituangkan dalam rencana perubahan atau penggantian UU Kepailitan dalam Program Legislasi Nasional untuk kumulatif terbuka maupun menjadi skala prioritas tahunan.

Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi : Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial / 01-05-2017

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945) menegaskan, bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum. Kaidah ini mengandung makna, bahwa hukum di negara Indonesia ditempatkan pada posisi yang strategis di dalam konstelasi ketatanegaraan. Berpijak pada sistem negara hukum, maka menurut Moh. Koesnardi dan Harmaily Ibrahim, bahwa peraturan ataupun ketentuan-ketentuan yang berlaku di dalam suatu negara hukum harus berdasarkan atau bersumberkan pada peraturan-peraturan yang lebih tinggi.
Suatu konsekuensi logis bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara hukum adalah terjaminnya kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menjalankan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan berdasarkan UUD Tahun 1945. Berdasarkan perubahan tersebut konstruksi kekuasaan kehakiman tidak lagi menjadi otoritas Mahkamah Agung (selanjutnya disebut MA) dan badan peradilan dibawahnya, tetapi juga oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Disamping perubahan yang bersifat krusial tersebut, amandemen UUD Tahun 1945 juga mengintroduksi pula suatu lembaga negara baru yang berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang disebut Komisi Yudisial (KY). Pembentukan KY sebagai salah satu wujud nyata perlunya keseimbangan dan kontrol diantara lembaga-lembaga negara dan penegasan terhadap prinsip negara hukum serta perlindungan HAM.
UU KY muncul sebagai pelaksanaan amanah konstitusi yakni Pasal 24B UUD Tahun 1945. Pengaturan mengenai KY diatur secara khusus melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (UU KY). Dalam perkembangannya ada beberapa pengaturan pasal di dalam UU KY yang dinilai bertentangan dengan semangat Pasal 24B UUD Tahun 1945, khususnya terkait dengan independensi atau kemerdekaan KY dalam proses rekrutmen calon hakim agung dan calon anggota KY. Beberapa Pasal yang di uji materiil kan antara lain Pasal 18 ayat (4), Pasal 28 ayat (6), Pasal 28 ayat (3) huruf c, dan Pasal 37 ayat (1) UU KY.

1. Apa akibat hukum yang timbul terhadap Pasal 18 ayat (4), Pasal 28 ayat (6), Pasal 28 ayat (3) huruf c, dan Pasal 37 ayat (1) UU KY yang dinyatakan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai inkonstitusional bersyarat dengan rumusan norma baru?
2. Bagaimana mengisi kekosongan hukum yang timbul akibat putusan MK yang menyatakan Pasal 18 ayat (4), Pasal 28 ayat (6), Pasal 28 ayat (3) huruf c, dan Pasal 37 ayat (1) UU KY tidak memiliki kekuatan hukum mengikat?

Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam UUD Tahun 1945 memiliki dua fungsi ideal, yaitu MK dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi dan berfungsi untuk menjamin, mendorong, mengarahkan, membimbing, dan memastikan bahwa UUD Tahun 1945 dijalankan dengan sebaik-baiknya oleh penyelenggara negara agar nilai-nilai yang terkandung didalamnya dijalankan dengan benar dan bertanggung jawab; dan MK harus bertindak sebagai penafsir karena MK dikonstruksikan sebagai lembaga tertinggi penafsir UUD Tahun 1945.
Secara harfiah, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat memiliki makna hukum tersendiri. Frasa “final” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “terakhir dalam rangkaian pemeriksaan” sedangkan frasa mengikat diartikan sebagai “mengeratkan”, “menyatukan”. Bertolak dari arti harfiah ini maka frasa final dan frasa mengikat, saling terkait sama seperti dua sisi mata uang artinya dari suatu proses pemeriksaan telah memiliki kekuatan mengeratkkan atau menyatukan semua kehendak dan tidak dapat dibantah lagi. Makna harfiah di atas, bila dikaitkan dengan sifat final dan mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi artinya telah tertutup segala kemungkinan untuk menempuh upaya hukum.
Sifat dari putusan Mahkamah Konstitusi yaitu final yang artinya bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). Konsep ini mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni secara sederhana dan cepat sebagaimana diuraikan dalam penjelasan UU MK. Menurut Maruarar Siahaan Putusan Mahkamah Konstitusi sejak diucapkan dihadapan sidang terbuka umum mempunyai 3 kekuatan yaitu: kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian, dan kekuatan eksekutoarial.

1. Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 27/PUU-XI/2013
Berdasarkan dalil-dalil yang disampaikan terkait pengujian Pasal 18 ayat (4) UU KY yang pada intinya mengatur ketentuan yang mengharuskan KY mengajukan 3 (tiga) nama calon hakim agung kepada DPR untuk setiap lowongan hakim agung, di mana pasal a quo dianggap para Pemohon telah bertentangan dengan Pasal 24A Ayat (3) dan Pasal 28D Ayat (1) UUD Tahun 1945. Permasalahan konstitusional yang harus dinilai dan dipertimbangkan oleh Mahkamah adalah apakah kewenangan DPR dalam proses pemilihan hakim agung hanya menyetujui atau menolak calon yang diajukan oleh KY atau DPR juga melakukan pemilihan atas beberapa calon hakim agung dari beberapa calon yang diajukan oleh KY sebagaimana diatur dalam kedua Undang-Undang a quo. Pasal 24 ayat (1) UUD Tahun 1945 menentukan, “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Norma konstitusi tersebut menegaskan dan memberi jaminan konstitusional kemerdekaan pelaku kekuasaan kehakiman dalam menyelenggarakan peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan.
Adapun wewenang dan tugas yang ditentukan dalam Pasal 13 dan Pasal 14 UU KY sebagai berikut:
Pasal 13
Komisi Yudisial mempunyai wewenang:
a. mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan;
b. menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim;
c. menetapkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim bersama-sama dengan Mahkamah Agung; dan
d. menjaga dan menegakkan pelaksanaan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim.
Pasal 14
(1) Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a, Komisi Yudisial mempunyai tugas:
a. melakukan pendaftaran calon Hakim Agung;
b. melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung;
c. menetapkan calon Hakim Agung; dan
d. mengajukan calon Hakim Agung ke DPR.
Mahkamah juga berpandangan bahwa dalam hal menjaring calon hakim agung, KY melakukan serangkaian seleksi administrasi dan seleksi terhadap kualitas dan kepribadian seperti yang ditentukan dalam Pasal 15 sampai dengan Pasal 18 UU KY yang juga ikut melibatkan masyarakat. Bahwa penjaringan calon hakim agung melalui seleksi yang sangat ketat yang dilakukan oleh KY dalam mencari hakim agung yang berintegritas dan berkualitas, menurut Mahkamah telah sesuai dengan yang diamanatkan oleh UUD Tahun 1945 khususnya Pasal 24A ayat (2).
Bahwa pengusulan calon hakim agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 24A ayat (3) UUD Tahun 1945, yang menyatakan, “Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden”, merupakan pengusulan calon hakim agung yang sudah melalui proses penyeleksian yang sangat ketat sebagaimana yang telah diuraikan di atas, namun hal tersebut tidak sinkron ketika pengaturan lebih lanjut dari Pasal 24A ayat (3) UUD Tahun 1945 tersebut yaitu dalam Pasal 8 ayat (2) UU MA yang menyatakan, “Calon hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dari nama calon yang diusulkan oleh Komisi Yudisial”, karena DPR sebagai lembaga politik bukan lagi memberikan persetujuan kepada calon hakim agung yang diusulkan oleh KY, namun DPR memilih nama calon hakim agung yang diusulkan KY tersebut, yang kemudian melakukan fit and proper test seperti yang sudah dilakukan oleh KY, ditambah lagi dengan wawancara yang dilakukan oleh DPR terhadap calon hakim agung untuk menguji penguasaan ilmu hukumnya.
Catatan risalah perubahan UUD Tahun 1945, menjelaskan dengan sangat gamblang makna dan kandungan Pasal 24A ayat (3), posisi DPR dalam penentuan calon hakim agung sebatas memberi persetujuan atau tidak memberi persetujuan atas calon hakim agung yang diusulkan oleh KY, dan DPR tidak dalam posisi untuk memilih dari beberapa calon hakim agung yang diusulkan oleh KY. Adapun putusan mahkamah menyatakan bahwa:
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
1.1 Kata “dipilih” dalam Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4958) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “disetujui”;
1.2 Kata “dipilih” dalam Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4958) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “disetujui”;
1.3 Kata “Pemilihan” dalam Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4958) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “persetujuan”;
1.4 Kata “Pemilihan” dalam Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4958) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “persetujuan”;
1.5 Frasa “3 (tiga) nama calon” dalam Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4958) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “1 (satu) nama calon”;
1.6 Frasa “3 (tiga) nama calon” dalam Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4958) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “1 (satu) nama calon”;
1.7 Pasal 8 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4958) selengkapnya menjadi:
2) Calon hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat dari nama calon yang diusulkan oleh Komisi Yudisial.
(3) Calon hakim agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat 1 (satu) orang dari 1 (satu) nama calon untuk setiap lowongan.
(4) Persetujuan calon hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari sidang terhitung sejak tanggal nama calon diterima Dewan Perwakilan Rakyat.
2. Frasa “3 (tiga) calon” dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5250) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “1 (satu) calon”;
3. Frasa “3 (tiga) calon” Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5250) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “1 (satu) calon”;
4. Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5250) selengkapnya menjadi,
“Dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari terhitung sejak berakhirnya seleksi uji kelayakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Yudisial menetapkan dan mengajukan 1 (satu) calon hakim agung kepada DPR untuk setiap 1 (satu) lowongan hakim agung dengan tembusan disampaikan kepada Presiden”.
2. Putusan Mahkamah Konstitusi Dalam Perkara Nomor 16/PUU-XII/2014.
Para Pemohon mengajukan permohonan uji materiil Pasal 28 ayat (6), Pasal 28 ayat (3) huruf c, dan Pasal 37 ayat (1) UU KY yang pada intinya mengatur kewenangan DPR untuk memilih anggota KY, dan kewenangan KY untuk mengajukan sebanyak 21 (dua puluh satu) nama calon anggota KY untuk setiap 1 (satu) lowongan kepada DPR serta kewenangan Presiden untuk mengajukan calon anggota pengganti sebanyak 3 (tiga) kali dari jumlah keanggotaan yang kosong kepada DPR yang dianggap para Pemohon telah bertentangan dengan Pasal 24B Ayat (3) dan Pasal 28D Ayat (1) UUD Tahun 1945.
Terhadap mekanisme rekrutmen untuk pengisisan keanggotaan KY, menurut Mahkamah, memiliki kesamaan dengan mekanisme rekrutmen Hakim Agung yang telah dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam Putusan Nomor 27/PUU-XI/2013 tentang pengujian UU MA dan UU KY. Pasal 24B ayat (3) UUD Tahun 1945 menentukan bahwa “Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. Dari ketentuan tersebut jelas bahwa antara proses pengisian hakim agung dan anggota Komisi Yudisial adalah sama yaitu harus dengan persetujuan DPR. Berdasarkan pertimbangan tersebut, oleh karena dalam permohonan pengujian konstitusionalitas pasal a quo adalah sama dengan substansi pertimbangan dalam putusan diatas, maka substansi pertimbangan hukum tersebut mutatis mutandis berlaku sebagai pertimbangan putusan dalam permohonan a quo. Bahwa khusus mengenai kata “memilih” dalam Pasal 28 ayat (6) undang-undang a quo, menurut Mahkamah, pemaknaannya harus meliputi kata “wajib” yang terdapat sebelumnya, kata “menetapkan” yang terdapat sesudahnya dan pemaknaan kata “memilih” harus pula tetap menyediakan ruang kebebasan DPR dalam menjalankan kewenangannya untuk mengambil keputusan untuk menyetujui atau tidak menyetujui calon yang diajukan oleh Presiden. Adapun frasa “dan menetapkan” harus dimaknai “untuk menetapkan”. Dengan demikian, dengan pemaknaan dimaksud pasal tersebut menjadi “DPR berwenang menyetujui atau tidak menyetujui untuk menetapkan 7 (tujuh) calon anggota dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterima usul Presiden”. Oleh karenanya, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon beralasan menurut hukum.
Adapun putusan mahkamah menyatakan bahwa:
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
1.1 Frasa “sebanyak” 21 (dua puluh satu) calon” dalam Pasal 28 ayat (3) huruf c Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5250) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “sebanyak 7 (tujuh) calon”.
1.2 Frasa “sebanyak” 21 (dua puluh satu) calon” dalam Pasal 28 ayat (3) huruf c Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5250) tidak mempunyaki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “sebanyak 7 (tujuh) calon”;
1.3 Pasal 28 ayat (3) huruf c Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5250) slengkapnya menjadi, “Panitia seleksi mempunyai tugas… c. menentukan dan menyampaikan calon anggota Komisi Yudisial sebanyak 7 (tujuh) calon dengan memperhatikan komposisi anggota Komisi Yudisial sebagimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari.”;
1.4 Frasa “wajib memilih” dalam Pasal 28 ayat (6) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5250) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “berwenang menyetujui atau tidak menyetujui”;
1.5 Frasa “wajib memilih” dalam Pasal 28 ayat (6) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5250) tidak mempunyaik kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “berwenang menyetujui atau tidak menyetujui”;
1.6 Pasal 28 ayat (6) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5250) selengkapnya menjadi, “DPR berwenang menyetujui atau tidak menyetujui untuk menetapkan 7 (tujuh) calon anggota dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterima usul dari Presiden.”;
1.7 Frasa “sebanyak 3 (tiga) kali dari” dalam Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5250) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “sebanyak sama dengan”;
1.8 Frasa “sebanyak 3 (tiga) kali dari” dalam Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5250) tidak mempunyaik kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sepanjang tidak dimaknai “sebanyak sama dengan”;
1.9 Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5250) selengkapnya menjadi, “Dalam hal terjadi kekosongan keanggotaan Komisi Yudisial, Presiden mengajukan calon anggota pengganti sebanyak sama dengan jumlah keanggotaan yang kosong kepada DPR.”;
Berdasarkan pemaparan-pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa dikabulkannya permohonan uji materiil Pasal 18 ayat (4), Pasal 28 ayat (6), Pasal 28 ayat (3) huruf c, dan Pasal 37 ayat (1) UU KY terhadap UUD Tahun 1945 membawa implikasi dan akibat hukum terkait proses rekrutmen hakim agung dan anggota KY.

Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian undang-undang bersifat declaratoir constitutief, yang artinya putusan tersebut menciptakan atau meniadakan satu keadaan hukum baru atau membentuk hukum.
Terhadap permohonan uji materiil perkara Nomor 27/PUU-XI/2013 adalah menguji konstitusionalitas Pasal 18 ayat (4) UU KY terhadap Pasal 24A ayat (3) dan Pasal 28D Ayat (1) UUD Tahun 1945, MK memberikan putusan mengabulkan permohonan para Pemohon dan menafsirkan secara inkonstitusional bersyarat dengan perumusan norma baru. Akibat hukum atas penafsiran MK diatas, maka untuk kedepannya dalam proses rekrutmen hakim agung, KY hanya menetapkan dan mengajukan hanya 1 (satu) calon hakim agung kepada DPR untuk setiap 1 (satu) lowongan, hal ini untuk menegaskan bahwa kewenangan DPR dalam proses rekrutmen hakim agung adalah hanya memberikan persetujuan dan tidak lagi melakukan pemilihan atau fit and proper test sehingga independensi kekuasaan kehakiman dapat terjaga.
Sementara itu, Permohonan uji materiil dalam perkara Nomor 16/PUU-XII/2014 adalah menguji konstitusionalitas Pasal 28 ayat (6), Pasal 28 ayat (3) huruf c, dan Pasal 37 ayat (1) UU KY terhadap Pasal 24B Ayat (3) dan Pasal 28D Ayat (1) UUD Tahun 1945. Terhadap permohonan uji materiil tersebut MK memberikan putusan mengabulkan permohonan para pemohon sebagian dan menafsirkan secara inkonstitusional bersyarat dengan perumusan norma baru, bahwa ketentuan Pasal 28 ayat (6), Pasal 28 ayat (3) huruf c, dan Pasal 37 ayat (1) UU KY bertentangan dengan UUD Tahun sepanjang tidak dimaknai sebagai berikut:
Penafsiran yang dilakukan mahkamah dengan mengubah ketentuan frasa “sebanyak 21 (dua puluh satu) calon” menjadi “7 (tujuh) calon” dalam Pasal 28 ayat (3) huruf c, kata “memilih” menjadi “berwenang menyetujui dan tidak menyetujui” dalam Pasal 28 ayat (6) dan frasa “sebanyak 3 (tiga) kali dari” menjadi “sebanyak sama dengan” dalam Pasal 37 ayat (1) UU KY.

Terhadap putusan yang dijatuhkan menimbulkan akibat hukum bahwa DPR dalam proses seleksi anggota KY kedepannya hanya berwenang menyetujui dan tidak menyetujui 7 (tujuh) calon anggota yang merupakan hasil seleksi oleh panitia seleksi, dan DPR tidak memiliki kewenangan melakukan pemilihan atau fit and proper test calon anggota KY. Dan dalam hal terjadi kekosongan keanggotaan Komisi Yudisial, Presiden mengajukan calon anggota pengganti sebanyak sama dengan jumlah keanggotaan yang kosong kepada DPR.

Dapat dikatakan bahwa putusan MK atas pengujian Pasal 18 ayat (4), Pasal 28 ayat (6), Pasal 28 ayat (3) huruf c, dan Pasal 37 ayat (1) UU KY pada dasarnya merupakan putusan yang membatalkan norma tertentu yang tidak menganggu sistem norma yang ada sehingga tidak memerlukan pengaturan lebih lanjut karena sudah ditentukan rumusan baru oleh mahkamah dalam putusannya. Dalam artian, bahwa meski materi muatan pasal, ayat, atau bagian undang- undang telah dinyatakan batal dan tidak berlaku lagi, namun hal tersebut tidak menimbulkan kekosongan hukum sehingga umumnya putusan self executing tidak perlu ditindaklanjuti lembaga lain, dalam hal ini langsung berlaku. Selain itu, Putusan MK dalam perkara Nomor 27/PUU-XI/2013 dan Perkara Nomor 16/PUU-XII/2014 juga telah menimbulkan keadaan hukum baru.
Meskipun kedua putusan MK tersebut bersifat self-executing atau tidak menimbulkan kekosongan hukum karena dirumuskannya norma baru, namun aspek kepastian hukum atas berlakunya undang-undang menjadi hal yang utama. DPR sebagai pembentuk undang-undang diharapkan dapat lebih memberikan kepastian hukum atas berlakunya kedua putusan tersebut perlu dilakukan legislative review oleh DPR.

Pengujian Pasal 18 ayat (4), dalam perkara Nomor 27/PUU-XI/2013 dan Pasal 28 ayat (6), Pasal 28 ayat (3) huruf c, dan Pasal 37 ayat (1) UU KY dalam Perkara Nomor 16/PUU-XII/2014 terhadap UUD Tahun 1945 telah menciptakan keadaan hukum baru. Bahwa dalam putusannya, terhadap pengujian pasal-pasal a quo, MK memutuskan inkonstitusional bersyarat dengan perumusan norma baru. Keadaan hukum baru yang tercipta pada intinya terkait dengan proses seleksi hakim agung dan anggota KY, dimana dalam hal ini DPR yang semula dalam UU KY diberikan kewenangan “memilih” terhadap calon anggota KY, maka dalam putusannya mahkamah mengubah norma frasa “memilih” menjadi “berwenang menyetujui atau tidak menyetujui” hal ini agar sesuai dengan konstitusi yang mengatur bahwa dalam pengangkatan hakim agung maupun anggota KY, DPR hanya memberikan persetujuan dan bukan melakukan pemilihan atau fit and proper test. Kemudian, keadaan hukum baru yang tercipta adalah terkait jumlah calon untuk setiap lowongan dalam proses seleksi hakim agung dan anggota KY, baik untuk calon hakim agung maupun calon anggota KY yang semula berjumlah 3 (tiga) calon untuk setiap 1 (satu) lowongan, diubah normanya oleh MK menjadi 1 (satu) calon untuk setiap 1 (satu) lowongan.

Perlu dilakukan perubahan terhadap Pasal 18 ayat (4) 28D Pasal 28 ayat (6), Pasal 28 ayat (3) huruf c, dan Pasal 37 ayat (1) UU KY dengan menyesuaikan rumusan norma baru yang telah diputuskan oleh MK dalam pengujian pasal-pasal a quo. Perubahan tersebut hendaknya dituangkan dalam rencana perubahan UU KY, baik sebagai daftar kumulatif terbuka maupun dalam prolegnas prioritas tahunan.

Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi : Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana / 01-05-2017

Dalam sistem ketatanegaraan yang berlaku di Indonesia, aspek hukum implementasi putusan Mahkamah Konstitusi tercantum dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 194 (UUD Tahun 1945). Ketentuan tersebut relatif tegas mengatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menegaskan kembali, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya final untuk menguji UU terhadap UUD Tahun 1945, memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Tahun 1945, memutus pembubaran partai politik (Parpol) dan memutus sengketa hasil Pemilu.
Implementasi kaidah-kaidah utama UUD Tahun 1945 bukan semata-mata tugas Mahkamah Konstitusi, tetapi kewajiban yang harus diemban secara kolektif oleh lembaga-lembaga negara lain seperti MPR, DPR, DPD dan Presiden maupun aktor negara lainnya. Di samping itu semua harus pula ada partisipasi aktif dari aktor-aktor non-negara sehingga implementasi putusan final Mahkamah Konstitusi memerlukan tindakan kolaboratif dan kesadaran kolektif yang melibatkan seluruh lembaga negara, aktor negara dan aktor non-negara. Ini harus ditopang oleh keyakinan kuat untuk melahirkan negara demokrasi konstitusional di bawah UUD Tahun 1945.
Salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD Tahun 1945 adalah sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 (judicial review) merupakan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menyelidiki dan menilai apakah materi suatu undang-undang tersebut bertentangan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu, atau bahkan apakah peraturan perundang-undangan tersebut terdapat cacat formal dalam pembentukannya.

Pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merupakan pengujian yang cukup banyak diajukan di antara berbagai pengajuan permohonan pengujian Undang-undang yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Terdapat 9 (sembilan) Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah menguji KUHAP. Sebagian besar permohonan tersebut dikabulkan (kecuali permohonan pengujian atas Pasal 1 angka 2 KUHAP), dengan variasi amar putusan berupa: 3 (tiga) Putusan menyatakan bahwa pasal-pasal yang diajukan bertentangan dengan UUD TAHUN 1945 sehingga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, 6 (enam) menyatakan bahwa pasal-pasal yang diajukan inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional), dan tidak ditemukan putusan yang menyatakan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional).

1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK?
2. Apa akibat hukum terhadap pasal dan ayat suatu UU yang dinyatakan MK sebagai konstitusionalitas/inkonstitusionalitas bersyarat?
3. Apakah terjadi disharmoni norma dalam suatu UU jika suatu pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK berimplikasi terhadap norma pasal ayat lain yang tidak diujikan?

-

Dari 9 (sembilan) putusan Mahkamah Konstitusi yang menguji KUHAP, terdapat potensi kekosongan hukum, atau setidaknya ketidakjelasan pengaturan akibat perumusan norma baru yang oleh Mahkamah Konstitusi disebut sebagai “putusan bersyarat” baik conditionally constitutional maupun conditionally unconstitutional. Hal tersebut diantaranya adalah:
• Perubahan Pengertian Saksi
Akibat Putusan MK Pkr.No.65/PUU-VIII/2010 maka pengertian “saksi”dalam:
1. Pasal 1 angka 26 KUHAP menyebutkan bahwa ”Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”;
2. Pasal 1 angka 27 KUHAP menyebutkan bahwa ”Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu”;
3. Pasal 65 KUHAP menyebutkan bahwa “Tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya”;
4. Pasal 116 ayat (3) KUHAP menyebutkan bahwa “Dalam pemeriksaan tersangka ditanya apakah ia menghendaki didengarnya saksi yang dapat menguntungkan baginya dan bilamana ada maka hal itu dicatat dalam berita acara’:
5. Pasal 116 ayat (4) KUHAP menyebutkan bahwa “Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) penyidik wajib memanggil dan memeriksa saksi tersebut;
6. Pasal 184 ayat (1) menyebutkan bahwa Alat bukti yang sah ialah: a. Keterangan saksi”. harus dimaknai termasuk pula “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”. Pemaknaan ini tidak bisa dilakukan dengan mudah jika tidak dirumuskan dalam sebuah norma yang lebih pasti. Oleh karena itu maka perlu ada Perubahan KUHAP yang merumuskan pengertian “saksi” sebagaimana dirumuskan MK No.65/PUU-VIII/2010.
• Pra Peradilan sebagai Obyek Banding
Akibat Putusan MK No.65/PUU-IX/2011, maka Pasal 83 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP yang berbunyi: (1) "Terhadap putusan pra peradilan dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 81 tidak dapat dimintakan banding"; (2) "Dikecualikan dari ketentuan ayat (1) adalah putusan pra peradilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan, yang untuk itu dapat dimintakan putusan akhir ke Pengadilan Tinggi dalam daerah hukum yang bersangkutan" TIDAK menjadi bagian dari KUHAP. Dengan demikian maka perlu ada perubahan KUHAP yang menghapuskan Pasal 83 ayat (1) dan (2) dari KUHAP sebagaimana Putusan MK No.65/PUU-IX/2011.
• Perubahan Pengertian Pihak Ketiga
Akibat Putusan MK No.98/PUU-X/2012, maka pengertian “Pihak ketiga yang berkepentingan” dalam Pasal 80 KUHAP berbunyi: “Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada Ketua Pengadilan dengan menyebutkan alasannya”, harus dimaknai “termasuk saksi korban atau pelapor, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi kemasyarakatan”. Dengan demikian maka perlu ada perubahan Pasal 80 KUHAP yang merumuskan pengertian “Pihak ketiga yang berkepentingan” sebagaimana dirumuskan MK No.98/PUU-X/2012.
• Memperbolehkan Penuntut Umum mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung.
Akibat Putusan MK No. 114/PUU-X/2012, maka Pasal 244 KUHAPyang pada awalnya berbunyi: “Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas” menjadi: “Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan kasasi kepada Mahkamah Agung”. Oleh karena itu, perlu ada Perubahan KUHP yang merumuskan kembali Pasal 244 KUHAP sebagaimana dirumuskan MK No. 114/PUU-X/2012.
• Menghapuskan “perlakuan atau perbuatan tak menyenangkan” sebagai delik.
Akibat Putusan MK No. 114/PUU-X/2012, maka terjadi perubahan Pasal 335 ayat (1) KUHP yang pada awalnya berbunyi:”Barangsiapa secara hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan dan sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tidak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain” menjadi: “Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain”. Oleh karena itu, perlu ada Perubahan KUHP yang merumuskan kembali Pasal 244 KUHAP sebagaimana dirumuskan MK No. 114/PUU-X/2012 yang menghapuskan “perlakuan atau perbuatan tak menyenangkan” sebagai delik.

• Menambahkan frase tidak lebih dari 7 (tujuh) hari dalam menyampaikan tembusan surat perintah penangkapan
Akibat Putusan MK No.3/PUU-XI/2013, maka terjadi perubahan Pasal 18 KUHAP yang pada awalnya berbunyi: “(1) Pelaksanaan tugas penangkapan. dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa; (2) Dalam hal tertangkap tangan penangkapan-dilakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat; (3) Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan”, menjadi “(1) Pelaksanaan tugas penangkapan. dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa; (2) Dalam hal tertangkap tangan penangkapan-dilakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat; (3) Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan kepada keluarganya segera dan tidak lebih dari 7 (tujuh) hari setelah penangkapan dilakukan”. Oleh karena itu maka perlu ada Perubahan KUHAP yang merumuskan kembali Pasal 18 ayat (3) KUHAP sebagaimana dirumuskan MK No.3/PUU-XI/2013.

• Diperbolehkannya Permohonan peninjauan kembali lebih dari 1 (satu) kali.
Akibat Putusan MK No.34/PUU-XI/2013, maka Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang menyebutkan bahwa“Permintaan Peninjauan Kembali (PK) atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja”, TIDAK menjadi bagian dari KUHAP. Oleh karena itu maka perlu ada Perubahan KUHAP yang menghapuskan Pasal 83 ayat (1) dan (2) dari KUHAP sebagaimana Putusan MK. Selain itu, mengingat bahwa norma hukum pengaturan upaya hukum PK tidak hanya diatur dalam Pasal 268 ayat (3) UU No. 8 Tahun 1981 tetapi juga diatur dalam:
a. Pasal 24 ayat (2) UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi: “Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali”;
b. Pasal 66 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan UU No. 3 Tahun 2009 yang berbunyi: “Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya 1 (satu) kali.”
c. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana yang menyatakan bahwa permohonan peninjauan kembali dalam perkara pidana dibatasi hanya 1 (satu) kali.
Maka perlu juga ada perubahan terhadap Pasal 24 ayat (2) UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 66 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan UU No. 3 Tahun 2009, agar rumusannya sesuai dengan Putusan MK No.34/PUU-XI/2013. Di samping itu, perlu didorong agar Mahkamah Agung mencabut Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2014 agar tidak menimbulkan kebingungan dalam praktek hukum.

• Mengubah pengertian “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup”
Akibat Putusan MK No.21/PUU-XII/2014, maka pengertian “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam:
a. Pasal 1 angka 14,
b. Pasal 17, dan
c. Pasal 21 ayat (1) KUHAP
harus dimaknai minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP.
Oleh karena itu, perlu ada Perubahan KUHAP yang merumuskan kembali Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sebagaimana dirumuskan MK No.21/PUU-XII/2014.
Selain itu,perlu perubahan rumusan Pasal 77 KUHAP yang pada awalnya menyebutkan “Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang: a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; b. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan”, menjadi “Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang: a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan; b. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan”. Oleh karena itu maka perlu ada Perubahan KUHAP yang merumuskan kembali Pasal 77 KUHAP sebagaimana dirumuskan MK No.21/PUU-XII/2014.
• Menghilangkan hak Jaksa/Penuntut Umum untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung
Akibat Putusan MK No.33/PUU-XIV/2016, maka perlu penambahan norma dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang menyatakan, “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung”, agar tidak dimaknai lain selain apa yang tercantum dalam Pasal ini, mengingat dalam praktik MA juga menerima permohonan PK dari Jaksa/Penuntut Umum, padahal permohonan Peninjauan Kembali adalah hak terpidana atau ahli warisnya, bukan hak Jaksa/Penuntut Umum. Oleh karena itu perlu Perubahan Pasal 263 ayat (1) KUHAP dengan penambahan rumusan bahwa: “Jaksa/Penuntut Umum tidak dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung” sebagaimana dirumuskan MK No.33/PUU-XIV/2016.

-

Putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan beberapa norma KUHAP dengan menyatakan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat yaitu putusan dalam perkara nomor 65/PUU-IX/2011, 114/PUU-X/2012, dan perkara nomor 34/PUU-XI/2013. Sedangkan putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap materi KUHAP yaitu putusan dalam perkara nomor 65/PUU-VIII/2010, perkara nomor 98/PUU-X/2012, perkara nomor 1/PUU-XI/2013, perkara nomor 3/PUU-XI/2013, perkara nomor 21/PUU-XII/2014, dan perkara nomor 33/PUU-XIV/2016.
Implementasi dari putusan yang bersifat conditionally pada tataran pelaksanaannya masih ada yang sulit dilaksanakan karena masih terdapat perbedaan pandangan dalam memaknai putusan tersebut dan ada pula materi undang-undang yang telah dibatalkan tetapi masih tetap digunakan sebagai kaidah hukum.
Oleh karena itu, penyempurnaan terhadap KUHAP perlu dilakukan agar materi dan substansinya sesuai dan tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945 serta dapat memberikan pemahaman yang utuh. Pembentuk undang-undang (DPR RI atau Presiden) perlu segera berinisiatif melakukan legislative review untuk menindaklanjuti substansi atau norma undang-undang yang telah dibatalkan tersebut. Selain itu, pendapat hukum yang tercermin dalam beberapa putusan Mahkamah Konstitusi perlu dicermati dan menjadi dasar dalam perubahan KUHAP agar tidak terjadi kekosongan hukum dan penafsiran yang berbeda dalam implementasinya. Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap KUHAP juga ada yang berimplikasi terhadap norma pasal dalam undang-undang lain, sehingga terjadi berpotensi mengalami disharmoni pengaturan jika tidak sekaligus dilakukan

Memperhatikan beberapa simpulan di atas maka terdapat beberapa hal yang direkomendasikan, yaitu: Presiden dan DPR RI sebagai pembentuk undang-undang perlu segera berinisiatif untuk melakukan penyempurnaan terhadap materi KUHAP, baik melalui revisi atau penggantian undang-undang. Hal ini perlu dilakukan sebagai tindak lanjut atas berbagai putusan Mahkamah Kontitusi dan juga agar substansi KUHAP sesuai dengan jiwa UUD Tahun 1945. Selain itu, banyaknya materi KUHAP yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat juga telah menyulitkan warga negara untuk memahami KUHAP secara utuh.

Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi : Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan / 01-05-2017

Salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945) adalah sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Merujuk dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), menyatakan bahwa salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir putusan yang bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.
Pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 dilakukan oleh Pemohon yang merupakan pihak yang dirugikan atas berlakunya suatu undang-undang. Dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK juga menyatakan bahwa pada intinya terhadap pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, maka kepadanya diberikan hak untuk mengajukan pengujian undang-undang tersebut kepada Mahkamah Konstitusi.
Dimulai dari sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) hingga saat ini, telah banyak dilakukan pengujian terhadap materinya di Mahkamah Konstitusi, baik pengujian formil maupun materiil. Berdasarkan data yang telah berhasil dikumpulkan oleh Penulis, sampai dengan saat ini telah terdapat 10 (sepuluh) perkara yang dikabulkan permohonan pengujiannya oleh Mahkamah Konstitusi.

1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal atau ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi?
2. Apa akibat hukum terhadap pasal atau ayat suatu undang-undang yang dinyatakan Mahkamah Konstitusi sebagai konstitusionalitas/ inkonstitusional bersyarat?
3. Apakah terjadi disharmoni norma dalam suatu undang-undang jika suatu pasal atau ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi berimplikasi terhadap norma pasal atau ayat lain yang tidak diujikan?

Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD Tahun 1945, salah satu kewenangan dari Mahkamah Konstitusi adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Ada 3 (tiga) ciri utama yang menandai prinsip supremasi konstitusi, yaitu:
1. pembedaan antara norma hukum konstitusi dan norma hukum lainnya;
2. keterikatan pembuat undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar; dan
3. adanya satu lembaga yang memiliki kewenangan untuk menguji konstitusionalitas undang-undang dan tindakan hukum pemerintah.
Dengan demikian, esensi dari produk putusan Mahkamah Konstitusi dalam menguji undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 ditempatkan dalam bingkai mekanisme check and balances antara lembaga negara. Pengujian terhadap substansi UU Ketenagakerjaan melalui pengujian materiil maupun proses pembentukannya melalui pengujian formil telah dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Hal ini untuk menjamin bahwa UU Ketenagakerjaan tidak bertentangan dan sesuai dengan jiwa UUD Tahun 1945.
Terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tidak dapat dilakukan upaya hukum dan putusan tersebut langsung mengikat sebagai hukum sejak diucapkan di persidangan dan tidak dapat dimohonkan pengujian kembali. Amar putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan satu permohonan pengujian undang-undang akan menyatakan satu pasal, ayat, atau bagian dari undang-undang, dan bahkan undang-undang secara keseluruhan bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Sebagai konsekuensinya maka undang-undang, pasal, ayat atau bagian dari undang-undang yang diuji tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Beberapa norma UU Ketenagakerjaan yang telah diputuskan Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dengan sendirinya telah batal dan tidak berlaku lagi. Putusan Mahkamah Konstitusi hanyalah sebagai solusi sementara terhadap beberapa materi UU Ketenagakerjaan yang telah diputuskan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 sampai pembentuk undang-undang melakukan perubahan atau penggantian terhadap UU Ketenagakerjaan.
Putusan Mahkamah Konstitusi terutama dalam pengujian undang-undang kebanyakan jenisnya adalah bersifat declaratoir constitutief. Artinya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menciptakan atau meniadakan satu keadaan hukum baru atau membentuk hukum baru sebagai negative legislature. Hal lain yang perlu dicermati lebih lanjut adalah adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) maupun inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional). Varian putusan Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan putusan yang menyatakan bahwa suatu ketentuan undang-undang tidak bertentangan dengan konstitusi dengan memberikan persyaratan pemaknaan dan keharusan kepada lembaga negara dalam pelaksanaan suatu ketentuan undang-undang untuk memperhatikan penafsiran Mahkamah Konstitusi atas konstitusionalitas ketentuan undang-undang yang sudah diuji tersebut. Dengan demikian, terdapat penafsiran sendiri dari Mahkamah Konstitusi agar suatu norma undang-undang tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap UU Ketenagakerjaan telah mempunyai 3 (tiga) kekuatan, yaitu: mengikat untuk semua orang (erga omnes), dapat digunakan sebagai alat bukti dengan kekuatan pasti secara positif, dan telah berlaku sebagai undang-undang meskipun belum dilakukan perubahan oleh pembentuk undang-undang.

1. Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 012/PUU-I/2003
a. Pendapat Hukum Mahkamah Konstitusi
Pada perkara pengujian udang-undang dengan nomor perkara 012/PUU-I/2003, ketentuan UU Ketenagakerjaan khususnya dalam Pasal 158, Pasal 170 sepanjang mengenai anak kalimat “.… kecuali Pasal 158 ayat (1), …”, dan Pasal 171 sepanjang menyangkut anak kalimat “…. Pasal 158 ayat (1) …” dinilai bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) a quo. Adapun Pasal 158 UU Ketenagakerjaan berbunyi:
(1) “Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alas an pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut :
a. melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan;
b. memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan;
c. mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja;
d. melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;
e. menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja;
f. membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
g. dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan;
h. dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;
i. membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau
j. melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
(2) Kesalahan berat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus didukung dengan bukti sebagai berikut :
a. pekerja/buruh tertangkap tangan;
b. ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau
c. bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
(3) Pekerja/buruh yang diputus hubungan kerjanya berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat memperoleh uang penggantian hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (4).
(4) Bagi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan Pasal 156 ayat (4) diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.”
Ketentuan pasal a quo dinilai telah melanggar prinsip-prinsip pembuktian terutama asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) dan kesamaan di depan hukum sebagaimana dijamin oleh UUD Tahun 1945. Seharusnya, bersalah tidaknya seseorang diputuskan lewat pengadilan dengan hukum pembuktian yang sudah ditentukan sesuai dengan KUHAP.
Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukum putusan perkara nomor 012/PUU-I/2003 menafsirkan bahwa Pasal 158 memberi kewenangan pada pengusaha untuk melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan buruh/pekerja telah melakukan kesalahan berat tanpa due process of law melalui putusan pengadilan yang independen dan imparsial. Di lain pihak, Pasal 160 menentukan secara berbeda bahwa buruh/pekerja yang ditahan oleh pihak berwajib karena diduga melakukan tindak pidana tetapi bukan atas pengaduan pengusaha, diperlakukan sesuai dengan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence). Hal tersebut dipandang sebagai perlakuan yang diskriminatif atau berbeda di dalam hukum yang bertentangan dengan UUD Tahun 1945 serta ketentuan Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, Mahkamah Konstitusi memutuskan Pasal 158 dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Selain itu, Pasal 159 juga menimbulkan kerancuan berpikir dengan mencampuradukkan proses perkara pidana dengan proses perkara perdata secara tidak pada tempatnya.
Akibat dari ketentuan Pasal 158 dan 159 UU Ketenagakerjaan dinyatakan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat maka hal ini juga berimbas kepada beberapa pasal dalam UU Ketenagakerjaan yang berhubungan langsung dengan Pasal a quo, yakni Pasal 160 ayat (1). Selanjutnya, ketentuan yang juga dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat adalah Pasal 186 UU Ketenagakerjaan sepanjang mengenai anak kalimat “… Pasal 137 dan Pasal 138 ayat (1) …”. Mahkamah berpendapat bahwa sanksi dalam Pasal 186 tersebut tidak proporsional karena mereduksi hak mogok yang merupakan hak dasar buruh yang dijamin oleh UUD 1945 (kebebasan menyatakan sikap dan mendapat imbalan yang adil dan layak dalam hubungan kerja).
b. Dissenting Opinion Hakim Mahkamah Konstitusi
Terdapat dissenting opinion dari 2 (dua) Hakim Mahkamah Konstitusi.
1) kebijakan “outsourcing” yang tercantum dalam Pasal 64-66 UU Ketenagakerjaan telah mengganggu ketenangan kerja bagi buruh/pekerja yang sewaktu-waktu dapat terancam pemutusan hubungan kerja dan men-downgrading-kan mereka sekadar sebagai sebuah komoditas sehingga berwatak kurang protektif terhadap buruh/pekerja.
2) kebijakan yang tercantum dalam Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, dan Pasal 106 UU Ketenagakerjaan merupakan kebijakan terselubung guna mengurangi hak buruh/pekerja untuk memperjuangkan hak-haknya dan mereduksi hakikat kebebasan berserikat/berorganisasi.
3) kebijakan prosedural administratif mengenai mogok kerja yang cenderung mereduksi makna mogok kerja sebagai hak dasar buruh/pekerja seperti yang tercantum dalam Pasal 137 sampai Pasal 140 UU Ketenagakerjaan.
Pembentukan UU Ketenagakerjaan dinilai harus sesuai dengan ketentuan UUD Tahun 1945 melalui berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada pada waktu itu serta harus memperhatikan asas-asas umum peraturan perundang-undangan yang baik. Dengan demikian, seharusnya yang dikabulkan dari permohonan tersebut lebih banyak dari pada sekadar yang disebutkan dalam amar putusan Mahkamah Konstitusi a quo.
c. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan Mahkamah Konstitusi telah menyatakan pasal a quo bertentangan dengan UUD 1945 dan meniadakan keadaan hukum berdasarkan norma yang dibatalkan sehingga dalam melakukan pemutusan hubungan kerja tidak mengenal adanya pemutusan hubungan kerja karena alasan kesalahan berat. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada tanggal 7 Januari 2005 menyikapi dengan menerbitkan Surat Edaran Nomor: SE.13/MEN/SJ-HK/I/2005.
2. Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 115/PUU-VII/2009
a. Pendapat Hukum Mahkamah Konstitusi
Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara nomor 115/PUU-VII/2009 merupakan perkara permohonan pengujian undang-undang terhadap Pasal 120 ayat (1) dan Pasal 121 UU Ketenagakerjaan. Ketentuan Pasal 120 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menyatakan bahwa “Dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh maka yang berhak mewakili pekerja/buruh melakukan perundingan dengan pengusaha yang jumlah keanggotaannya lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut”. Pasal 120 ayat (2) UU Ketenagakerjaan juga menentukan bahwa “Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak terpenuhi, maka serikat pekerja/serikat buruh dapat melakukan koalisi sehingga tercapai jumlah lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut untuk mewakili dalam perundingan dengan pengusaha.”
Menurut penafsiran Mahkamah Konstitusi, ketentuan tersebut dapat menimbulkan 3 (tiga) persoalan konstitusional yang terkait langsung dengan hak-hak konstitusional seseorang yang dijamin dan dilindungi oleh konstitusi, yaitu:
1) menghilangkan hak konstitusional serikat pekerja/serikat buruh untuk memperjuangkan haknya secara kolektif mewakili pekerja/buruh yang menjadi anggotanya dan tidak tergabung dalam serikat pekerja mayoritas;
2) menimbulkan perlakuan hukum yang tidak adil dalam arti tidak proporsional antara serikat pekerja/serikat buruh yang diakui eksistensinya menurut peraturan perundang-undangan; dan
3) menghilangkan hak pekerja/buruh yang tidak tergabung dalam serikat pekerja/serikat buruh mayoritas untuk mendapat perlindungan dan perlakuan hukum yang adil dalam satu perusahaan.
Menurut Mahkamah Pasal 120 ayat (1) UU Ketenagakerjaan melanggar hak-hak konstitusional Pemohon untuk mewakili pekerja/buruh dalam menyampaikan aspirasinya melalui perjanjian kerja bersama. Konsekuensi dari ketentuan yang terkandung dalam Pasal 120 ayat (2) sama dengan konsekuensi dari ketentuan dalam Pasal 120 ayat (1). Adapun ketentuan Pasal 120 ayat (3) justru dinilai sesuai dengan prinsip keadilan proporsional. Namun, karena ketentuan Pasal 120 ayat (3) merupakan rangkaian dari pasal sebelumnya maka untuk menghindari kekacauan makna. Oleh karena itu, ketentuan Pasal 120 ayat (3) UU Ketenagakerjaan adalah tidak bertentangan dengan konstitusi secara bersyarat (conditionally unconstitutional), yaitu tidak bertentangan dengan konstitusi sepanjang frasa “Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau ayat (2)” dihapus karena tidak relevan lagi.
Dengan dinyatakan tidak berlakunya Pasal 120 ayat (1) dan ayat (2), maka Pasal 120 ayat (3) UU Ketenagakerjaan harus dimaknai bahwa apabila dalam 1 (satu) perusahaan terdapat lebih dari satu serikat pekerja/serikat buruh, maka para serikat pekerja/serikat buruh terwakili secara proporsional dalam melakukan perundingan dengan pengusaha.
b. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi
Konsekuensi yuridis dari putusan tersebut adalah tidak berlakunya ketentuan atau persyaratan ambang batas 50% (lima puluh perseratus) jumlah anggota serikat pekerja/serikat buruh yang berhak mewakili pekerja dalam perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama dengan pengusaha. Ketentuan yang menarik dari putusan tersebut adalah adanya amar yang menyatakan konstitusionalitas bersyarat terhadap Pasal 120 ayat (3) UU Ketenagakerjaan guna menghindari kekosongan hukum yang terjadi apabila pasal tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Perlu dilakukan legislative review.
3. Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 19/PUU-IX/2011
a. Pendapat Hukum Mahkamah Konstitusi
Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara nomor 19/PUU-IX/2011 merupakan perkara permohonan pengujian undang-undang terhadap Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan terhadap Pasal 28D ayat (2) UUD Tahun 1945. Adanya ketentuan yang menyatakan perusahaan dapat melakukan pemutusan hubungan kerja karena perusahaan tutup untuk melakukan efisiensi sebagaimana diatur Pasal a quo dinilai tidak jelas dan dapat menimbulkan multitafsir, dikarenakan frasa “perusahaan tutup” dalam Pasal a quo bisa saja ditafsirkan tutup secara permanen atau hanya tutup sementara. Untuk menghilangkan ketidakpastian hukum tersebut guna menegakkan keadilan, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa frasa “perusahaan tutup” dalam Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan tetap konstitutional sepanjang dimaknai “perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk sementara waktu”. Frasa “perusahaan tutup” tersebut adalah bertentangan dengan UUD Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk sementara waktu”.
b. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan a quo telah memberikan tafsiran yang jelas terhadap Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan, sehingga perusahaan hanya dapat melakukan pemutusan hubungan kerja apabila perusahaan tutup secara permanen.
4. Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 27/PUU-IX/2011
a. Pendapat Hukum Mahkamah Konstitusi
Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara nomor 27/PUU-IX/2011 ini pada intinya adalah permohonan terhadap ketentuan Pasal 59 serta Pasal 64 sampai dengan Pasal 66 UU Ketenagakerjaan terhadap Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (2) UUD Tahun 1945. Norma dalam Pasal 59 mengatur mengenai perjanjian kerja waktu tertentu, sedangkan norma dalam Pasal 64 sampai dengan Pasal 66 mengatur mengenai ketentuan suatu perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau melalui penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis dengan syarat-syarat tertentu.
Frasa “…perjanjian kerja waktu tertentu” dalam Pasal 65 ayat (7) dan frasa “…perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b dinyatakan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
Pasal 59 UU Ketenagakerjaan yang diuji tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945 karena perjanjian kerja waktu tertentu ditujukan untuk jenis perjanjian kerja yang dirancang hanya untuk waktu tertentu saja. Selain itu, Mahkamah menilai bahwa frasa “…perjanjian kerja waktu tertentu” dalam Pasal 65 ayat (7) dan frasa “…perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b UU Ketenagakerjaan bertentangan secara bersyarat dengan UUD Tahun 1945 (conditionally unconstitutional) sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
Mahkamah Konstitusi menentukan perlindungan dan jaminan hak bagi pekerja/buruh melalui 2 (dua) model perlindungan.
1) mensyaratkan agar perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing tidak berbentuk PKWT, melainkan berbentuk “perjanjian kerja waktu tidak tertentu”; dan
2) menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja/buruh (Transfer of Undertaking Protection of Employment atau TUPE) yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing.

Perusahaan pemberi kerja harus mengatur agar pekerja outsourcing tersebut menerima fair benefits and welfare tanpa didiskriminasikan dengan pekerja pada perusahaan pemberi kerja sebagaimana ditentukan dalam Pasal 64 ayat (4) juncto Pasal 66 ayat (2) huruf c UU Ketenagakerjaan
b. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan Mahkamah Konstitusi perkara nomor 27/PUU-IX/2011 mengabulkan sebagian permohonan dari pemohon yang terkait dengan pelindungan terhadap hak-hak konstitusional pekerja outsourcing.
5. Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 37/PUU-IX/2011
a. Pendapat Hukum Mahkamah Konstitusi
Putusan Mahkamah Konstitusi perkara nomor 37/PUU-IX/2011 merupakan pengujian terhadap frasa “belum ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2) UU Ketenagakerjaan yang berbunyi, ”Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya.” Berdasarkan amar putusan Mahkamah Konstitusi perkara nomor 37/PUU-IX/2011, Frasa ”belum ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2) UU Ketenagakerjaan adalah bertentangan dengan UUD Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai belum berkekuatan hukum tetap.
Apabila frasa ”belum ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2) UU Ketenagakerjaan dikaitkan dengan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial, maka terdapat potensi ketidakpastian hukum bagi para pihak. Menurut Mahkamah Konstitusi, perlu ada penafsiran yang pasti terkait frasa “belum ditetapkan” tersebut agar terdapat kepastian hukum yang adil bagi para pihak.
b. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan a quo telah memberikan kepastian hukum bagi pekerja/buruh dan pengusaha untuk menjalankan hak dan kewajibannya selama menyelesaikan proses perselisihan hubungan industrial.
6. Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 58/PUU-IX/2011
a. Pendapat Hukum Mahkamah Konstitusi
Menurut Mahkamah, dengan lewatnya waktu tiga bulan berturut-turut pengusaha tidak membayar upah secara tepat waktu kepada pekerja, sudah cukup alasan menurut hukum bagi pekerja untuk meminta pemutusan hubungan kerja. Merujuk kasus ketenagakerjaan yang dialami Pemohon dan praktik dalam hukum ketenagakerjaan, pembayaran upah tepat waktu merupakan hal yang sangat penting. Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 169 ayat (1) huruf c UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai: “Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha tidak membayar upah tepat waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih, meskipun pengusaha membayar upah secara tepat waktu sesudah itu”
b. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi
“Pengusaha membayar upah secara tepat waktu sesudah itu”; maka hak pekerja untuk mendapatkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tidak terhalang lagi oleh adanya tindakan pengusaha yang kembali membayar upah pekerja secara tepat waktu setelah adanya permohonan pemutusan hubungan kerja oleh pekerja ke Pengadilan, dengan ketentuan bahwa pekerja telah melakukan upaya yang diperlukan untuk mendapatkan haknya agar upah dibayarkan secara tepat waktu namun tidak diindahkan oleh pengusaha. Di sisi lain, maka dengan berdasarkan pada putusan Mahkamah Konstitusi ini, majelis hakim Pengadilan Hubungan Industrial tidak diperkenankan untuk menolak gugatan PHK oleh Pekerja dengan dasar tidak dibayarkan upahnya selama 3 (tiga) bulan, walau pengusaha telah kembali membayarkan upah pekerja tersebut.
7. Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 100/PUU-X/2012
a. Pendapat Hukum Mahkamah Konstitusi
Pemohon pada pokoknya menganggap Pasal 96 UU Ketenagakerjaan telah menghalang-halangi hak konstitusionalnya untuk melakukan tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja karena adanya ketentuan kadaluwarsa yaitu penuntutan tersebut tidak dapat dilakukan setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun sejak timbulnya hak. Menurut Mahkamah, Pasal 96 UU Ketenagakerjaan terbukti bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD Tahun 1945.
Upah dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja tidak dapat hapus karena adanya lewat waktu tertentu. Oleh karena apa yang telah diberikan oleh buruh sebagai prestatie harus diimbangi dengan upah dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja sebagai tegen prestatie. Upah dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja adalah merupakan hak milik pribadi dan tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun, baik oleh perseorangan maupun melalui ketentuan peraturan perundang-undangan.
b. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi
Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, maka dihapuskannya kadaluwarsa gugatan hak konstitusional untuk melakukan tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja dapat dilakukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial.

8. Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 67/PUU-XI/2013
a. Pendapat Hukum Mahkamah Konstitusi
Pasal yang diujikan adalah Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan dengan batu uji Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945. hak konstitusional yang dirugikan menurut Pemohon adalah ketentuan pasal yang dimaksud mengakibatkan adanya ketidakadilan terhadap pekerja. Ketidakadilan ini terjadi apabila perusahaan dinyatakan pailit maka pembayaran hak-hak pekerja tidak menjadi prioritas utama, karena adanya kewajiban perusahaan untuk menyelesaikan terlebih dahulu pembayaran terhadap (1) utang negara dan biaya kurator, (2) kreditor separatis pemegang jaminan gadai, fidusia, dan/atau hak tanggungan, (3) kreditor preferen, dan (4) kreditor konkuren.
Pengujian konstitusionalitas yang dimohonkan para Pemohon tersebut memiliki kesamaan substansi dengan pengujian konstitusionalitas Pasal 29, Pasal 55 ayat (1), Pasal 59 ayat (1) dan Pasal 138 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU PKPU) yang telah diputus oleh Mahkamah dalam Putusan Nomor 18/PUU-VI/2008, tanggal 23 Oktober 2008. Berdasarkan tujuan pembentukan negara dan ketentuan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah mempertimbangkan pokok permohonan, yaitu mengenai apa yang menjadi dasar hukum bagi adanya hak tagih masing-masing kreditor dan apa yang menjadi dasar hukum bagi adanya peringkat pembayaran, yang berdasarkan pertimbangan mengenai dua hal tersebut, Mahkamah dalam Putusan Nomor 18/PUU-VI/2008 tersebut menolak permohonan yang substansinya sama dengan permohonan a quo dan hak tagih atas upah pekerja/buruh tetap sebagaimana peringkat yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Terkait dengan peringkat kreditor dalam memperoleh pembayaran hak tagihnya dan praktiknya dalam ranah empirik ternyata terdapat permasalahan lain yang harus dipertimbangkan, yaitu mengenai kedudukan para kreditor. dasar hukum bagi adanya peringkat atau prioritas pembayaran sebagaimana pertimbangan Putusan Nomor 18/PUU-VI/2008 tersebut di atas, adalah karena adanya perbedaan kedudukan yang disebabkan oleh isi perjanjian masing-masing berhubung adanya faktor-faktor tertentu. Meskipun antara kreditor separatis dan pekerja/buruhdasar hukumnya adalah sama, yaitu perjanjian, namun manakala dilihat dari aspek lain, yaitu aspek subjek hukum yang melakukan perjanjian, objek, dan resiko, antara keduanya terdapat perbedaan yang secara konstitusional signifikan.
Dalam kasus ini manakah yang seharusnya menjadi prioritas, kepentingan manusia terhadap properti atau kepentingan manusia terhadap diri dan kehidupannya. Dalam perspektif tujuan negara dan ketentuan mengenai hak konstitusional, menurut Mahkamah kepentingan manusia terhadap diri dan kehidupannya haruslah menjadi prioritas, harus menduduki peringkat terdahulu sebelum kreditor separatis.
Upah pekerja/buruh secara konstitusional berdasarkan Pasal 28D ayat (2) UUD Tahun 1945 merupakan hak konstitusional yang oleh karenanya adalah hak konstitusional pula untuk mendapat perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
b. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi
Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai: “pembayaran upah pekerja/buruh yang terhutang didahulukan atas semua jenis kreditur termasuk atas tagihan kreditur separatis, tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah, sedangkan pembayaran hak-hak pekerja/buruh lainnya didahulukan atas semua tagihan termasuk tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah, kecuali tagihan dari kreditur separatis”; maka kewajiban perusahaan untuk pembayaran upah terhadap pekerja menjadi prioritas yang harus didahulukan.
9. Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 7/PUU-XII/2014
a. Pendapat Hukum Mahkamah Konstitusi
Dalam rangka pelaksanaan kewenangan untuk mengawasi pelaksanaan hukum ketenagakerjaan, pegawai pengawas ketenagakerjaan dapat mengeluarkan nota pemeriksaan dan/atau penetapan tertulis yang memiliki perbedaan signifikan. Ketentuan Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), dan Pasal 66 ayat (4) UU Ketenagakerjaan merupakan ketentuan yang mengatur mengenai perubahan status, yaitu dari perjanjian kerja untuk waktu tertentu menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu; hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan; dan hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.
Menurut Mahkamah, pegawai pengawas ketenagakerjaan berwenang untuk mengawasi pelaksanaan Pasal 59, Pasal 65, dan Pasal 66 UU Ketenagakerjaan termasuk menentukan terpenuhi atau tidak terpenuhinya persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 59 ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6); Pasal 65 ayat (2) dan ayat (3); serta Pasal 66 ayat (1), ayat (2) huruf a, huruf b, huruf d, dan ayat (3) UU Ketenagakerjaan dan karenanya berwenang pula mengeluarkan nota pemeriksaan dan/atau penetapan tertulis terkait hal tersebut.
Menurut Mahkamah, untuk menegakkan pelaksanaan ketentuan ketenagakerjaan serta memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi bagi pekerja/buruh, pengusaha, dan pemberi pekerjaan sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, pekerja/buruh dapat meminta pelaksanaan nota pemeriksaan pegawai pengawas ketenagakerjaan dimaksud kepada Pengadilan Negeri setempat. frasa “demi hukum” dalam Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), dan Pasal 66 ayat (4) UU Ketenagakerjaan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “Pekerja/buruh dapat meminta pengesahan nota pemeriksaan pegawai pengawas ketenagakerjaan kepada Pengadilan Negeri setempat dengan syarat: 1.Telah dilaksanakan perundingan bipartit namun perundingan bipartit tersebut tidak mencapai kesepakatan atau salah satu pihak menolak untuk berunding; dan 2.Telah dilakukan pemeriksaan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan berdasarkan peraturan perundang-undangan”.
b. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi
Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa Frasa “demi hukum” dalam Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), dan Pasal 66 ayat (4) UU Ketenagakerjaan inkonstitusional bersyarat, maka Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan berwenang untuk mengawasi pelaksanaan Pasal 59, Pasal 65, dan Pasal 66 UU Ketenagakerjaan. Pekerja juga dapat memintakan pelaksanaan nota pemeriksaan pegawai pengawas ketenagakerjaan tersebut kepada Pengadilan Hubungan Industrial setempat, dengan pertimbangan bahwa telah dilaksanakan perundingan bipartit namun perundingan bipartit tersebut tidak mencapai kesepakatan/salah satu pihak menolak untuk berunding, dan telah dilakukan pemeriksaan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
10. Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 7/PUU-XII/2014
a. Pendapat Hukum Mahkamah Konstitusi
Menurut Mahkamah, terdapat inkonsistensi norma antara Pasal 90 ayat (1) dan Pasal 90 ayat (2) UU Ketenagakerjaan dengan Penjelasan Pasal 90 ayat (2) UU Ketenagakerjaan. Inkonsistensi dimaksud telah menimbulkan penafsiran yang berbeda terkait penangguhan pembayaran upah minimum pengusaha kepada pekerja/buruh. Keadaan yang demikian bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum” yang menyebabkan buruh terancam haknya untuk mendapat imbalan yang adil dan layak dalam hubungan kerja, sehingga ketentuan a quo juga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) UUD Tahun 1945. untuk menghindari terjadinya ketidakpastian hukum serta mewujudkan keadilan bagi pengusaha dan pekerja/buruh, Mahkamah harus menegaskan bahwa Penjelasan Pasal 90 ayat (2) UU Ketenagakerjaan sepanjang frasa “tetapi tidak wajib membayar pemenuhan ketentuan upah minimum yang berlaku pada waktu diberikan penangguhan” bertentangan dengan UUD 1945.
b. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi
Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi, maka penangguhan pembayaran upah minimum sebagaimana diatur dalam Pasal 90 ayat (2) UU Ketenagakerjaan tidak menghilangkan kewajiban pengusaha untuk membayar selisih upah minimum dengan pembayaran yang dilakukan oleh pengusaha selama masa penangguhan tersebut.

Penyempurnaan terhadap UU Ketenagakerjaan perlu dilakukan agar materi dan substansinya sesuai dan tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945 serta dapat memberikan pemahaman yang utuh. Pembentuk undang-undang (DPR RI atau Presiden) perlu segera berinisiatif melakukan legislative review untuk menindaklanjuti substansi atau norma undang-undang yang telah dibatalkan tersebut. Selain itu, pendapat hukum yang tercermin dalam beberapa putusan Mahkamah Konstitusi perlu dicermati dan menjadi dasar dalam perubahan UU Ketenagakerjaan. Untuk mengisi kekosongan hukum serta untuk menghindari kekacauan hukum dalam masyarakat, Pemerintah menindaklanjuti dengan mengeluarkan surat edaran, yaitu terhadap putusan Makamah Konstitusi Nomor 012/PUU-I/2003 dan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011. Selain itu, tindak lanjut lain yang dilakukan Pemerintah adalah dengan mengadopsi isi putusan dalam materi peraturan menteri, yaitu terhadap putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 115/PUU-VII/2009.

Pada konteks UU Ketenagakerjaan, sampai saat ini, terdapat 10 (sepuluh) putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan pengujian undang-undang dengan menyatakan materi atau substansi UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Terdapat beberapa putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan suatu norma bersifat conditionally, baik conditionally constitutional maupun conditionally unconstitutional. Implementasi dari putusan yang bersifat conditionally. Idealnya putusan Mahkamah Konstitusi ditindaklanjuti dengan perubahan undang-undang oleh pembentuk undang-undang, tidak sekedar dengan tindak lanjut surat edaran, adopsi pada peraturan menteri, dan sebagainya.

Memperhatikan beberapa simpulan di atas maka terdapat beberapa hal yang direkomendasikan, yaitu:
1. Presiden dan DPR RI sebagai pembentuk undang-undang perlu segera berinisiatif untuk melakukan penyempurnaan terhadap materi UU Ketenagakerjaan, baik melalui revisi sebagian atau penggantian undang-undang. Hal ini perlu dilakukan sebagai tindak lanjut atas berbagai putusan Mahkamah Kontitusi dan juga agar substansi UU Ketenagakerjaan sesuai dengan jiwa UUD Tahun 1945. Selain itu, banyaknya materi UU Ketenagakerjaan yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat juga telah menyulitkan warga negara untuk memahami secara utuh UU Ketenagakerjaan.
2. Pembentuk undang-undang dalam melakukan legislative review perlu mencermati pendapat hukum Mahkamah Konstitusi dalam putusannya. Beberapa pertimbangan dan penafsiran yang substansial justru banyak dijelaskan oleh Mahkamah Konstitusi dalam pendapat hukumnya daripada yang tergambar dalam amar putusan. Dengan demikian, materi muatan undang-undang yang akan dilakukan perubahan dapat sejalan dengan penafsiran Mahkamah Konstitusi.

Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi : Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara / 01-05-2017

MK merujuk Putusan MK Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 bertanggal 15
Desember 2004 yang mempertimbangkan pengertian “dikuasai oleh
negara” dalam Pasal 33 UUD Tahun 1945, yaitu mengandung pengertian
yang lebih tinggi atau lebih luas daripada pemilikan dalam konsepsi
hukum perdata. Konsepsi penguasaan oleh negara merupakan konsepsi
hukum publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang
dianut dalam UUD Tahun 1945, baik di bidang politik (demokrasi politik)
maupun ekonomi (demokrasi ekonomi). Dalam paham kedaulatan rakyat
itu, rakyatlah yang diakui sebagai sumber, pemilik dan sekaligus
pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara, sesuai
dengan doktrin “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”. Dalam
pengertian kekuasaan tertinggi tersebut, tercakup pula pengertian
kepemilikan publik oleh rakyat secara kolektif.
Jika pengertian kata “dikuasai oleh negara” hanya diartikan sebagai
pemilikan dalam arti perdata (privat), maka hal dimaksud tidak akan
mencukupi dalam menggunakan penguasaan itu untuk mencapai tujuan
“sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, yang dengan demikian berarti
amanat untuk “memajukan kesejahteraan umum” dan “mewujudkan
suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” dalam Pembukaan
UUD Tahun 1945 tidak mungkin diwujudkan. Namun demikian, konsepsi
kepemilikan perdata itu sendiri harus diakui sebagai salah satu
konsekuensi logis penguasaan oleh negara yang mencakup juga
pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-
sumber kekayaan dimaksud. Pengertian “dikuasai oleh negara” juga tidak
dapat diartikan hanya sebatas sebagai hak untuk mengatur, karena hal
dimaksud sudah dengan sendirinya melekat dalam fungsi-fungsi negara
tanpa harus disebut secara khusus dalam UUD Tahun 1945. Sekiranyapun
Pasal 33 tidak tercantum dalam UUD Tahun 1945, sebagaimana lazim di
banyak negara yang menganut paham ekonomi liberal yang tidak
mengatur norma-norma dasar perekonomian dalam konstitusinya, sudah
dengan sendirinya negara berwenang melakukan fungsi pengaturan.
Oleh karena itu, perkataan “dikuasai oleh negara” tidak mungkin direduksi
pengertiannya hanya berkaitan dengan kewenangan negara untuk
mengatur perekonomian. Maka, baik pandangan yang mengartikan
perkataan penguasaan oleh negara identik dengan pemilikan dalam
konsepsi perdata maupun pandangan yang menafsirkan pengertian
penguasaan oleh negara itu hanya sebatas kewenangan pengaturan oleh
negara, kedua-duanya ditolak oleh MK.
Berdasarkan rangkaian pendapat dan uraian di atas, maka dengan
demikian, perkataan “dikuasai oleh negara” haruslah diartikan mencakup
makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan
berasal dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber
kekayaan “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya”, termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik
oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Rakyat
secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD Tahun 1945 memberikan
mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan
tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad),
pengelolaan (beheersdaad) dan pengawasan (toezichthoudensdaad)
untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Fungsi pengurusan (bestuursdaad) oleh negara dilakukan oleh
pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut
fasilitas perizinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (concessie).
Fungsi pengaturan oleh negara (regelendaad) dilakukan melalui
kewenangan legislasi oleh DPR bersama dengan Pemerintah, dan regulasi
oleh Pemerintah (eksekutif). Fungsi pengelolaan (beheersdaad) dilakukan
melalui mekanisme pemilikan saham (share-holding) dan/atau melalui
keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau
Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan melalui
Pemerintah pendayagunaan penguasaannya atas sumber-sumber
kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Demikian pula fungsi pengawasan oleh negara
(toezichthoudensdaad) dilakukan Pemerintah dalam rangka mengawasi
dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas
cabang produksi yang penting dan/atau yang menguasai hajat hidup
orang banyak dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran seluruh rakyat.
Berdasarkan Putusan MK Nomor 21-22/PUU-V/2007 tentang pengujian
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal,
bertanggal 25 Maret 2008, telah dinyatakan, “… dalam Pasal 33 UUD
Tahun 1945 tersebut terdapat hak-hak ekonomi dan sosial warga negara
sebagai kepentingan yang dilindungi oleh konstitusi melalui keterlibatan
atau peran negara tersebut. Dengan kata lain, Pasal 33 UUD Tahun 1945
adalah ketentuan mengatur tentang keterlibatan atau peran aktif negara
untuk melakukan tindakan dalam rangka penghormatan (respect),
perlindungan (protection), dan pemenuhan (fulfillment) hak-hak ekonomi
dan sosial warga Negara. Konsiderans huruf a UU Minerba menyatakan,
“bahwa mineral dan batubara yang terkandung dalam wilayah hukum
pertambangan Indonesia merupakan kekayaan alam tak terbarukan
sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai peranan penting
dalam memenuhi hajat hidup orang banyak, karena itu pengelolaannya
harus dikuasai oleh Negara untuk memberi nilai tambah secara nyata bagi
perekonomian nasional dalam usaha mencapai kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat secara berkeadilan”.
Berdasarkan rujukan pertimbangan hukum MK di atas dan konsiderans
UU Minerba telah nyata bahwa minerba termasuk dalam sumber
kekayaan alam yang mempunyai peranan penting dalam memenuhi hajat
hidup orang banyak yang pengelolaannya harus dikuasai oleh negara
sebagai wujud keterlibatan atau peran aktif negara untuk melakukan
tindakan dalam rangka penghormatan (respect), perlindungan
(protection), dan pemenuhan (fulfillment) hak-hak ekonomi dan sosial
warga Negara. Berdasarkan Putusan MK Nomor 001-021-022/PUUI/2003
bertanggal 15 Desember 2004 a quo dan Putusan MK Nomor 21-22/PUU-
V/2007 bertanggal 25 Maret 2008 a quo, MK pada pokoknya telah
menyatakan bahwa negara melaui Pemerintah menguasai dan
mempergunakan bumi, air, dan segala kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya, untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Oleh karena itu, untuk menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat
Indonesia, khususnya bagi masyarakat yang melakukan kegiatan
pertambangan rakyat, menurut MK ketentuan Pasal 24 UU Minerba telah
cukup untuk menjamin kepastian hukum dan sekaligus menjamin
diperolehnya penghormatan (respect), perlindungan (protection), dan
pemenuhan (fulfillment) hak-hak ekonomi dan sosial warga negara,
khususnya bagi para pelaku kegiatan pertambangan rakyat, baik yang
sudah memenuhi waktu pengerjaan sekurang-kurangnya 15 tahun dan
yang belum memenuhi waktu pengerjaan 15 tahun, sehingga tidak
diperlukan adanya pengaturan sebagaimana tercantum dalam Pasal 22
huruf f UU Minerba yang justru berpotensi merugikan hak-hak
konstitusional warga Negara. Berdasarkan pertimbangan hukum di atas,
MK berpendapat bahwa Pasal 22 huruf f UU Minerba beralasan menurut
hukum dan sekaligus frasa “dan/atau” yang tercantum dalam Pasal 22
huruf e UU Minerba menjadi tidak relevan dan harus dibatalkan.
MK sependapat dengan Ahli dari Pemerintah, Prof. Daud Silalahi, yang
pada pokoknya menyatakan bahwa WP ditetapkan dengan mendasarkan
pada tata ruang yang dalam kegiatannya juga harus selalu mendasarkan
pada upaya pelestarian lingkungan. Hal ini juga sesuai dengan Pasal 1
angka 29 UU Minerba yang menyatakan “Wilayah Pertambangan, yang
selanjutnya disebut WP, adalah wilayah yang memiliki potensi mineral
dan/atau batubara dan tidak terikat dengan batasan administrasi
pemerintahan yang merupakan bagian dari tata ruang nasional.” Oleh
karenanya, menurut MK, Pemerintah dalam menetapkan WP selain harus
menyesuaikan dengan tata ruang nasional dan berorientasi pada
pelestarian lingkungan hidup, juga harus memastikan bahwa pembagian
ketiga macam wilayah pertambangan (WUP, WPR, dan WPN) tersebut
tidak boleh saling tumpang tindih, baik dalam satu wilayah administrasi
pemerintahan yang sama maupun antar wilayah administrasi
pemerintahan yang berbeda. Dalam menetapkan suatu WP, Pemerintah
harus membedakan wilayah mana yang menjadi WUP, wilayah mana
yang menjadi WPR, dan wilayah mana yang menjadi WPN yang di dalam
WPN tersebut nantinya juga harus diperinci lebih lanjut mengenai WUPK.
Pengelolaan semacam ini bertujuan, selain untuk menghindari munculnya
tumpang tindih perihal perizinan kegiatan pertambangan dan peruntukan
suatu wilayah berdasarkan tata ruang nasional, juga untuk memastikan
dipenuhinya peran dan tanggung jawab negara khususnya pemerintah
dalam rangka menjamin terlaksananya perlindungan, pemajuan,
penegakan, dan pemenuhan hak-hak ekonomi dan sosial warga negara
dengan cara membagi WP dalam bentuk pemisahan wilayah secara tegas
dan jelas ke dalam bentuk WUP, WPR, dan/atau WPN. Hal tersebut
sejalan dengan Pasal 28I ayat (4) UUD Tahun 1945 dan Konvensi PBB
tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, Budaya yang telah diratifikasi dengan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International
Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional
Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya).
Selain itu, hal tersebut dapat pula menghindari terjadinya konflik antar
pelaku kegiatan pertambangan yang ada dalam WP, konflik antara para
pelaku kegiatan pertambangan dengan masyarakat yang berada di dalam
WP maupun yang terkena dampak, dan konflik antara para pelaku
kegiatan pertambangan dan/atau masyarakat yang berada di dalam WP
maupun yang terkena dampak dengan negara, dalam hal ini Pemerintah.
a. Pendapat hukum MK terhadap perkara Nomor 30/PUU-VIII/2010
MK mencermati permohonan para pemohon, mengenai pengujian Pasal
22 huruf f dan frasa “...dengan luas paling sedikit 5000 (lima ribu)
hektare dan...” dalam Pasal 52 ayat (1) UU Minerba telah diputus oleh MK
dengan putusan Nomor 25/PUU-VIII/2010 bertanggal 4 Juni 2012. Oleh
sebab itu, berdasarkan Pasal 60 ayat (1) UU MK yang menyatakan,
“Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam Undang-
Undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali”,
maka permohonan pengujian mengenai konstitusionalitas Pasal 22 huruf f
dan frasa “dengan luas paling sedikit 5000 (lima ribu) hektare dan” dalam
Pasal 52 ayat (1) UU Minerba adalah ne bis in idem sehingga tidak
dipertimbangkan.
Terhadap Pasal 22 huruf a dan huruf c, MK telah memberikan
pertimbangan hukum sebagaimana tercantum dalam Putusan Nomor
25/PUU-VIII/2010 bertanggal 4 Juni 2012, sebagai berikut: Pemerintah
dalam keterangannya, telah menyatakan bahwa ketentuan tentang WPR
dalam UU Minerba dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum bagi
masyarakat yang ingin melakukan pertambangan rakyat serta
memberikan kesempatan kepada rakyat untuk berpartisipasi dalam
pembangunan, khususnya dalam kegiatan pertambangan minerba.
Adanya frasa “dan/atau” pada Pasal 22 huruf e UU Minerba, menurut
Pemerintah diartikan bahwa kriteria untuk menetapkan WPR dapat
bersifat “kumulatif” ataupun “alternatif”. Bupati/walikota dapat
menentukan kriteria yang tercantum dalam Pasal 22 secara seluruhnya
atau sebagian saja, sesuai dengan kondisi daerahnya, yang akan
ditetapkan lebih lanjut dalam suatu Peraturan Daerah. Menurut MK,
ketentuan tentang WPR di dalam UU Minerba adalah sebagai wujud
pelaksanaan Pasal 33 UUD 1945 yang mengamanahkan kepada negara
untuk terlibat atau berperan aktif melakukan tindakan dalam rangka
penghormatan (respect), perlindungan (protection), dan pemenuhan
(fulfillment) hak-hak ekonomi dan sosial warga negara. Oleh karenanya,
terhadap penjelasan Pemerintah tersebut, menurut MK, sepanjang
menyangkut kriteria yang tercantum dalam Pasal 22 huruf a sampai
dengan huruf e, tidaklah mengandung pertentangan norma karena antara
satu kriteria dengan kriteria lainnya dapat diberlakukan berdasarkan
kondisi masing-masing wilayah yang berbeda-beda satu sama lain,
sehingga kriteria yang tercantum dalam huruf a sampai dengan huruf e
dapat diberlakukan secara alternatif maupun kumulatif. Proses untuk
menentukan kriteria mana saja dari huruf a sampai dengan huruf e yang
akan diterapkan di suatu daerah kabupaten/kota, ditetapkan oleh
bupati/walikota setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah kabupaten/kota dengan mendasarkan pada perencanaan dan
sinkronisasi data serta informasi melalui sistem informasi WP.
Bupati/walikota juga wajib melakukan pengumuman mengenai rencana
WPR kepada masyarakat secara terbuka yang dilakukan di kantor
desa/kelurahan dan kantor/instansi terkait, dilengkapi dengan peta situasi
yang menggambarkan lokasi, luas, batas, daftar koordinat dan daftar
pemegang hak atas tanah yang berada dalam WPR.
Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, menurut MK, ketentuan Pasal
22 huruf a sampai dengan huruf e UU Minerba dapat diberlakukan secara
kumulatif atau alternatif sesuai dengan kondisi daerah masing-masing
yang penetapannya mengacu pada mekanisme yang diatur dalam Pasal
21 dan Pasal 23 UU Minerba beserta penjelasannya.
Terhadap frasa “dengan cara lelang” yang tercantum dalam Pasal 51,
Pasal 60, dan Pasal 75 ayat (4) UU Minerba, menurut MK WIUP dan
WIUPK pada dasarnya diperuntukkan bagi eksplorasi dan operasi produksi
yang hanya dapat dilakukan oleh para pelaku usaha pertambangan
dengan syarat-syarat tertentu serta daya dukung alat yang mutakhir yang
memungkinkan untuk memproduksi hasil pertambangan secara optimal,
karena industri pertambangan minerba memang merupakan industri yang
padat modal (high capital), padat teknologi (high technology), dan padat
risik (high risk). Mengacu pada Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945 yang
menyatakan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama
di hadapan hukum” dan Pasal 28D ayat (2) UUD Tahun 1945 yang
menyatakan, “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan
dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”. Maka UU
Minerba, secara normatif telah memberi kepastian hukum dan peluang
berusaha yang sama baik kepada badan usaha, koperasi, dan
perseorangan yang di dalamnya juga terdapat perusahaan firma atau CV
untuk dapat mengikuti lelang WIUP dan WIUPK. Namun, UU Minerba
tidak membedakan peserta lelang antara badan usaha, koperasi, maupun
perseorangan tersebut yang tentunya memiliki kemampuan
administratif/manajemen, teknis, lingkungan, dan finansial yang berbeda-
beda yang dapat dimasukkan dalam kategori usaha pertambangan kecil,
usaha pertambangan menengah, dan usaha pertambangan besar. Hal
demikian mengakibatkan peserta lelang dari pengusaha kecil/menengah
tidak dapat bersaing untuk memenangkan lelang guna memperoleh suatu
WIUP dan/atau WIUPK. Pemerintah dalam penjelasannya, menyatakan
bahwa pada sistem lelang yang diatur dalam UU Minerba, harga lelang
didasarkan pada kompensasi data informasi, yakni kumpulan data dan
informasi yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat/Daerah mengenai wilayah
yang akan dilelang. Kumpulan data dan informasi tersebut diperoleh
berdasarkan hasil penyelidikan dan penelitian serta eksplorasi yang
dilakukan oleh Pemerintah Pusat/Daerah. Oleh karena data dan informasi
tersebut memiliki nilai secara ekonomis, maka sistem lelang terhadap
WIUP mineral logam dan batubara sangat wajar dilakukan.
Menurut MK, dalam rangka menjalankan fungsi pengaturan (regelendaad)
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, Pemerintah selain harus
menentukan kumpulan data dan informasi yang memiliki nilai ekonomis,
harus pula menentukan lebih lanjut klasifikasi WIUP dan WIUPK
berdasarkan kumpulan data dan informasi wilayah yang akan dilelang,
yaitu klasifikasi berdasarkan kemampuan untuk melakukan eksplorasi dan
operasi produksi. Klasifikasi tersebut dimaksudkan untuk membedakan
kemampuan eksplorasi dan operasi produksi yang dapat dipenuhi oleh
badan usaha, koperasi dan perseorangan yang termasuk dalam usaha
pertambangan kecil, usaha pertambangan menengah, dan usaha
pertambangan besar. Sehingga Pemerintah tidak akan menghadapkan
antar ketiga golongan usaha pertambangan tersebut dalam satu
kompetisi lelang yang sama. Berdasarkan pertimbangan hukum di atas,
untuk memberikan kepastian hukum dan peluang berusaha secara adil di
bidang pertambangan. Menurut MK, frasa “dengan cara lelang” dalam
Pasal 51, Pasal 60, dan Pasal 75 ayat (4) UU Minerba bertentangan
dengan UUD Tahun 1945 sepanjang dimaknai lelang dilakukan dengan
menyamakan antar peserta lelang WIUP dan WIUPK dalam hal
kemampuan administratif/manajemen, teknis, lingkungan, dan finansial
yang berbeda terhadap objek yang akan dilelang.
Terhadap Pasal 55 ayat (1) dan Pasal 61 ayat (1) UU Minerba, MK telah
memberikan pertimbangan hukum sebagaimana tercantum dalam
Putusan Nomor 25/PUUVIII/2010 bertanggal 4 Juni 2012. Berdasarkan
pertimbangan hukumnya, menurut MK, Pasal 55 ayat (1) frasa “dengan
luas paling sedikit 500 (lima ratus) hektare dan” serta Pasal 61 sepanjang
frasa “dengan luas paling sedikit 5.000 (lima ribu) hektare dan” UU
Minerba bertentangan dengan UUD Tahun 1945.
Terhadap Pasal 172 UU Minerba telah dimohonkan pengujian dan telah
diputus MK dalam Putusan Nomor 121/PUU-VII/2009 bertanggal 9 Maret
2011. Para Pemohon dalam Perkara Nomor 121/PUU-VII/2009 tersebut
pada pokoknya mempersoalkan perihal kepastian hukum terhadap
permohonan Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan
Pertambangan Batubara (PKP2B) yang sudah atau sedang dalam proses
berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan, yang pada bagian Petitumnya
memohon agar MK menyatakan frasa “kepada Menteri paling lambat 1
(satu) tahun” dan frasa “dan sudah mendapatkan surat persetujuan
prinsip atau surat izin penyelidikan pendahuluan” yang terdapat dalam
Pasal 172 UU Minerba dinyatakan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3)
juncto Pasal 22A juncto Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945. MK dalam
putusan tersebut menyatakan menolak permohonan para pemohon.
Meskipun permohonan menguji konstitusionalitas pasal yang sama
dengan permohonan Nomor 121/PUUVII/2009, namun substansi
permohonannya berbeda. Oleh karena itu, MK tetap mempertimbangkan
permohonan.
Menurut MK, Pasal 172 UU Minerba hanya mengatur tentang peralihan
mengenai KK dan PKP2B dan tidak mengatur peralihan mengenai Kuasa
Pertambangan dan Kuasa Pertambangan Rakyat.

Pendapat hukum MK terhadap perkara Nomor 32/PUU-VIII/2010
Terhadap Pasal 6 ayat (1) huruf e juncto Pasal 9 ayat (2) juncto Pasal 10
huruf b UU Minerba, persoalan konstitusional yang harus dijawab oleh MK
adalah apakah penguasaan oleh negara terhadap bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat melalui kewenangan Pemerintah untuk
menetapkan WP setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan
berkonsultasi dengan DPR RI bertentangan dengan hak-hak
konstitusional warga negara untuk mendapat jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum untuk bertempat tinggal, memiliki harta benda, dan
mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat. Untuk memberikan
pertimbangan, MK merujuk Putusan MK Nomor 001-021- 022/PUU-I/2003
bertanggal 15 Desember 2004 dan Putusan MK Nomor 21-22/PUU-V/2007
tentang pengujian Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal, bertanggal 25 Maret 2008 yang telah menjadi
pertimbangan hukum MK dalam Putusan MK Nomor 25/PUU-VIII/2010.
MK dalam Putusan Nomor 25/PUU-VIII/2010 bertanggal 4 Juni 2012,
menyatakan bahwa Pemerintah, dalam menetapkan WP, selain harus
menyesuaikan dengan tata ruang nasional dan berorientasi pada
pelestarian lingkungan hidup, juga harus memastikan bahwa pembagian
ketiga bentuk wilayah pertambangan (WPR, WPN, dan WUP) tersebut
tidak boleh saling tumpang tindih, baik dalam satu wilayah administrasi
pemerintahan yang sama maupun antar-wilayah administrasi
pemerintahan yang berbeda, serta memprioritaskan pembagian WP
dengan terlebih dahulu menentukan dan menetapkan WPR, setelah itu
WPN, kemudian WUP.
Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, telah ternyata bahwa rakyat
secara kolektif dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat
kepada negara melalui Pemerintah untuk mengadakan kebijakan (beleid),
tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad),
pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad)
untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selain itu, UUD
Tahun 1945 juga mengkonstruksikan supaya Pemerintah terlibat atau
berperan aktif untuk melakukan tindakan dalam rangka penghormatan
(respect), perlindungan (protection), dan pemenuhan (fulfillment) hak-
hak ekonomi dan sosial warga negara. Oleh karenanya, dalam rangka
menjalankan amanah UUD Tahun 1945 tersebut, dalam menetapkan WP,
Pemerintah tidak dapat bertindak sewenang-wenang sehingga harus
terlebih dahulu melakukan koordinasi dengan pemerintah daerah dan
berkonsultasi dengan DPR RI, serta memperhatikan pendapat dari
masyarakat.
Oleh karena itu, untuk lebih memperkuat fungsi kontrol masyarakat
terhadap Pemerintah dan sekaligus untuk menjamin kepastian hukum
yang adil baik bagi masyarakat secara umum maupun masyarakat yang
secara khusus berada dalam WP dan masyarakat yang terkena dampak,
termasuk para pelaku usaha pertambangan, serta demi tercapainya
amanah UUD Tahun 1945. Menurut MK, fungsi kontrol tersebut tidak
cukup hanya dilakukan melalui forum konsultasi dengan DPR RI, namun
juga harus diperkuat melalui fungsi kontrol yang dilakukan langsung oleh
masyarakat, khususnya masyarakat yang wilayah maupun tanah miliknya
akan dimasukkan ke dalam WP dan masyarakat yang akan terkena
dampak.

Pendapat Hukum MK terhadap Perkara Nomor 10/PUU-X/2012
Terhadap Pasal 1 angka 29 UU Minerba sepanjang frasa “tidak terikat
dengan batasan administrasi pemerintahan” dalam mempertimbangkan
apakah dalam menetapkan WP dan WUP, harus mengikuti atau tidak
mengikuti batas administrasi pemerintahan, MK telah memiliki
pertimbangan hukum berdasarkan Putusan MK Nomor 25/PUU-VIII/2010,
bertanggal 4 Juni 2012. Berdasarkan pertimbangan MK dalam putusan
tersebut, penetapan WP dan WUP di samping harus memperhatikan tata
ruang nasional yang tentunya tidak selalu dapat dibatasi oleh batasan
administratif pemerintahan daerah otonom, juga harus memperhatikan
kelestarian lingkungan hidup, menghindari tumpang tindih kawasan atau
wilayah pertambangan serta menghindari konflik antar wilayah. Peran
sinkronisasi dan keterpaduan yang demikian akan sangat efektif dilakukan
oleh Pemerintah, sehingga batasan administrasi pemerintahan daerah
otonomi dalam penetapan WP dan WUP tidak bisa dipertahankan. Selain
itu, menurut MK wilayah pertambangan yang keberadaannya memiliki
sifat-sifat yang tersebar, tidak merata, keberadaannya tidak kasat mata,
terbentuk dalam kurun jutaan tahun yang lalu, alamiah, dan tidak bisa
dipindah-pindahkan, tidak dapat dibatasi oleh batas-batas administrasi
pemerintahan dan tidak terbarukan. Pada dasarnya wilayah
pertambangan secara potensial ada di dalam bumi, air, dan tidak terbatas
pada wilayah administratif namun tetap harus dikuasai oleh negara.
Untuk itu potensi bahan tambang yang ada di seluruh wilayah NKRI
adalah wilayah hukum pertambangan Indonesia.
Terhadap Pasal 6 ayat (1) huruf e, Pasal 9 ayat (2), Pasal 14 ayat (1) dan
ayat (2), Pasal 17 UU Minerba, sebelum mempertimbangkan persoalan
konstitusionalnya, MK merujuk Putusan MK Nomor 3/SKLN-IX/2011,
bertanggal 17 Januari 2012 yang juga diajukan oleh Pemohon yang sama,
yang dalam pertimbangan hukumnya antara lain menyatakan
kewenangan konstitusional Pemerintahan Daerah yang diatur pada Pasal
18 ayat (5) UUD Tahun 1945 hanya memberikan arahan dan penegasan
kepada pembentuk undang-undang agar otonomi yang dijalankan oleh
pemerintahan daerah itu, baik pemerintahan daerah provinsi maupun
kabupaten/kota, adalah otonomi yang seluas-luasnya, kecuali urusan
yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.
Minerba sebagai sumber daya alam yang tak terbarukan merupakan
kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar
kesejahteraan rakyat. Jika dikaitkan dengan pembagian urusan atau
kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah maka
berdasar Pasal 18 ayat (5) UUD Tahun 1945 kewenangan pemerintah
pusat dalam menangani urusan minerba sudah ditentukan secara jelas di
dalam UU Minerba, artinya sudah diberikan kepada Pemerintah Pusat
berdasarkan undang-undang. Dengan demikian, menurut MK, tidak ada
kewenangan konstitusional yang dipersengketakan sebagaimana
dimaksud Pasal 24C ayat (1) UUD Tahun 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf b
UU MK, Pasal 3 ayat (2) PMK 08/2006.
Berdasarkan Putusan MK Nomor 25/PUU-VIII/2010, Putusan MK Nomor
30/PUU-VIII/2010, Putusan MK Nomor 32/PUU-VIII/2010, dan Putusan
MK Nomor 10/PUU-X/2012, terhadap Pasal 6 ayat (1) huruf e, Pasal 9
ayat (2), Pasal 14 ayat (1), dan Pasal 17 UU Minerba perlu mengganti
frasa “setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah” menjadi “setelah
ditentukan oleh pemerintah daerah”. Hal itu mendorong agar dibentuk
pengaturan mengenai mekanisme dan tata cara penentuan oleh
pemerintah daerah tersebut, agar tidak terjadi kekosongan hukum untuk
pengaturan mengenai penetapan WP, WUP, dan WIUP.
Selanjutnya, evaluasi terhadap Pasal 52 ayat (1), 55 ayat (1), dan Pasal
61 ayat (1) yang bertentangan dengan UUD Tahun 1945 berdasarkan
Putusan MK. Hal itu menimbulkan ketidakpastian hukum mengenai
besaran luasannya. Sehingga perlu direformulasi kembali besaran luasan
agar pelaku usaha pertambangan mendapatkan kepastian hukum dalam
melakukan pengusahaan pertambangan minerba.
Untuk Pasal 10 huruf b UU Minerba frasa dengan memperhatikan aspirasi
masyarakat oleh MK diputuskan bertentangan secara bersyarat terhadap
UUD Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “wajib melindungi,
menghormati, dan memenuhi kepentingan masyarakat yang wilayah
maupun tanah miliknya akan dimasukkan ke dalam wilayah
pertambangan dan masyarakat yang akan terkena dampak”. Hal ini
mengandung dua pengertian terhadap norma Pasal 10 huruf b karena
dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK. Sehingga perlu penegasan
dalam penjelasan norma apa yang dimaksud dengan memeperhatikan
aspirasi masyarakat. Begitu juga untuk frasa “dengan cara lelang” dalam
Pasal 51, Pasal 60, Pasal 75 ayat (4) UU Minerba bertentangan secara
bersyarat dengan UUD Tahun 1945 sepanjang dimaknai, “lelang dilakukan
dengan menyamakan antar peserta lelang WIUP dan WIUPK dalam hal
kemampuan administratif/manajemen, teknis, lingkungan, dan finansial
yang berbeda terhadap objek yang akan dilelang”. Hal itu juga
mengandung dua pengertian terhadap norma Pasal 51, Pasal 60, Pasal 75
ayat (4) UU Minerba karena dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh
MK. Sehingga perlu penegasan dalam penjelasan norma apa yang
dimaksud dengan cara lelang.
Tentunya dengan Putusan MK dan implikasinya tersebut perlu dilakukan
reformulasi materi muatan atas beberapa hal yang telah diputus MK agar
penyelenggaraan kegiatan usaha pertambangan minerba sesuai dengan
amanah UUD Tahun 1945.

Penyelenggaraan pertambangan minerba selain harus mengandung
prinsip “dikuasai negara” dan prinsip “sebesar-besar kemakmuran rakyat”,
juga harus dapat terjamin kepastian hukum melalui peraturan perundang-
undangan yakni UU Minerba. Dalam dinamika perkembangan hukum dan
penerapannya, UU Minerba secara empiris telah 7 (tujuh) kali diajukan
pengujian materiil di MK dan hanya 4 (empat) yang diterima
permohonannya dengan putusan mengabulkan seluruhnya dan
mengabulkan sebagian, yakni Putusan MK Nomor 25/PUU-VIII/2010,
Putusan MK Nomor 30/PUU-VIII/2010, Putusan MK Nomor 32/PUU-
VIII/2010, dan Putusan MK Nomor 10/PUU-X/2012.
Berdasarkan Putusan MK tersebut, terjadi kekosongan hukum atas
ketentuan yang inkonstitusional, keosongan hukum terhadap pengaturan
mengenai penetapan WP, WUP, dan WIUP karena frasa “berkoordinasi
menjadi frasa “ditentukan” oleh pemerintah daerah, menimbulkan
ketidakpastian hukum mengenai besaran luasan WIUP, perlu penegasan
terhadap putusan inkonstitusional bersyarat seperti apa yang dimaksud
memperhatikan aspirasi masyarakat serta pengaturan mengenai
pengertian mekanisme cara lelang.


1. Sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan (UU P3) bahwa materi muatan yang harus diatur
dengan UU berisi materi muatan mengenai tindak lanjut Putusan MK.
Oleh karena itu, perlu direformulasi kembali materi muatan atas beberapa
hal yang telah diputus MK dalam UU Minerba dengan status
perubahan/penggantian.
2. Berdasarkan Putusan MK dan penggantian UU 32 Tahun 2004
menjadi UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, maka DPR RI
bersama Pemerintah harus menetapkan perubahan/penggantian UU
Minerba ini ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dan
menjadikan prioritas tahunan untuk dibahas bersama-sama agar tidak
terjadi kekosongan hukum, terjamin kepastian hukum, dan
penyelenggaraan pertambangan minerba yang tidak bertentangan
dengan UUD Tahun 1945.

Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi : Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan jo. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan / 01-05-2017

Dalam perkara No. 001/PUU-I/2003, Pemohon juga mengajukan
permohonan uji formil kepada Mahkamah Konstitusi, dalam
pertimbangannya Mahkamah berpendapat bahwa pada saat UU
Ketenagalistrikan diundangkan pada tahun 2002, undang-undang tentang
tata cara pembentukan undang-undang yang diamanatkan oleh Pasal 22A
UUD Tahun 1945 belum ada, sehingga belum ada tolok ukur yang jelas
tentang prosedur pembentukan undang-undang yang sesuai dengan
UUD. Oleh karena itu, UU Susduk yang merupakan amanat Pasal 19 ayat
(1) UUD Tahun 1945 jo Peraturan Tata Tertib DPR yang diamanatkan
oleh UU Susduk tersebut dijadikan kriteria penilaian prosedur
pembentukan undang-undang.
Bahwa apa yang didalilkan oleh Pemohon Perkara No. 001/PUU-I/2003
tersebut telah dibantah oleh DPR dalam keterangan tertulis yang
disampaikan dalam persidangan Mahkamah yang dilampiri Risalah Sidang
Paripurna DPR tanggal 4 September 2002 yang ternyata Pemohon
Perkara No. 001/PUU-I/2003 tidak dapat memberikan bukti sebaliknya,
sehingga menurut Mahkamah permohonan pengujian formil UU
Ketenagalistrikan yang diajukan oleh Pemohon Perkara No. 001/PUU-
I/2003 tidak beralasan dan oleh karena itu harus ditolak.
Secara materiil, dalam perkara tersebut, Mahkamah memberikan
pertimbangan bahwa untuk melakukan pengujian undang-undang
terhadap Pasal 33 ayat (2) UUD Tahun 1945, Mahkamah perlu terlebih
dahulu memberi pengertian atau makna “dikuasai oleh negara“
sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 33 ayat (2) UUD Tahun 1945.
Pasal 33 ayat (2) UUD Tahun 1945 mempunyai daya berlaku normatif
sebagai berikut:
1) Konstitusi memberikan kewenangan kepada negara untuk
menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak.
2) Kewenangan tersebut ditujukan kepada mereka baik yang akan
maupun yang telah mengusahakan produksi yang penting bagi negara
dan yang menguasai hajat hidup orang banyak. Pada cabang produksi
yang jenis produksinya belum ada atau baru akan diusahakan, yang jenis
produksi tersebut penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang
banyak negara mempunyai hak diutamakan/didahulukan yaitu negara
mengusahakan sendiri dan menguasai cabang produksi tersebut serta
pada saat yang bersamaan melarang perorangan atau swasta untuk
mengusahakan cabang produksi tersebut.
3) Pada cabang produksi yang telah diusahakan oleh perorangan atau
swasta dan ternyata produksinya penting bagi negara dan menguasai
hajat hidup orang banyak, atas kewenangan yang diberikan oleh Pasal 33
ayat (2) UUD Tahun 1945, negara dapat mengambil alih cabang produksi
tersebut dengan cara yang sesuai dengan aturan hukum yang adil.

Bahwa kewenangan negara yang diberikan oleh UUD Tahun 1945 dapat
digunakan sewaktu-waktu apabila unsur-unsur persyaratan penting bagi
negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak sebagaimana
tercantum dalam Pasal 33 ayat (2) terpenuhi. Bahwa ketentuan UUD
Tahun 1945 yang memberikan kewenangan kepada negara untuk
menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan
menguasai hajat hidup orang banyak tidaklah dimaksudkan demi
kekuasaan semata dari negara, tetapi mempunyai maksud agar negara
dapat memenuhi kewajibannya sebagaimana disebutkan dalam
Pembukaan UUD Tahun 1945, “.… melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum …” dan juga “mewujudkan suatu keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Misi yang terkandung dalam penguasaan negara tersebut dimaksudkan
bahwa negara harus menjadikan penguasaan terhadap cabang produksi
yang dikuasainya itu untuk memenuhi tiga hal yang menjadi kepentingan
masyarakat, yaitu: (1) ketersediaan yang cukup, (2) distribusi yang
merata, dan (3) terjangkaunya harga bagi orang banyak. Hubungan
antara penguasaan negara atas cabang produksi yang penting bagi
negara dan hajat hidup orang banyak, serta misi yang terkandung dalam
penguasaan negara merupakan keutuhan paradigma yang dianut oleh
UUD Tahun 1945, bahkan dapat dikatakan sebagai cita hukum
(rechtsidee) dari UUD Tahun 1945. Dengan demikian jelas bahwa UUD
Tahun 1945 telah menentukan pilihannya. Pertanyaannya, bukankah
ketiga hal tersebut di atas dapat dipenuhi oleh sistem ekonomi pasar, dan
oleh karenanya mengapa tidak diserahkan saja kepada mekanisme pasar,
tentu haruslah dijawab secara normatif bahwa UUD Tahun 1945 tidak
memilih sistem tersebut sebagaimana tercermin dalam Pasal 33 ayat (4).
Dasar pilihan tersebut tidak berarti tanpa alasan sama sekali.
Asumsi bahwa mekanisme pasar dapat secara otomatis memenuhi ketiga
hal tersebut di atas adalah penyederhanaan logika yang jauh dari
kenyataan, yaitu adanya mekanisme (sistem) pasar yang sempurna.
Kenyataan tidak adanya mekanisme pasar yang sempurna ini dapat
disimak dari apa yang dinyatakan oleh Joseph E. Stiglitz: ”… presumption
that markets, by themselves, lead to efficient outcomes, failed to allow for
desirable government interventions in the market and make everyone
better off.“ (Globalization and Its Discontents, Joseph E. Stiglitz, hal. XII).
Bahwa berdasarkan penafsiran historis, seperti yang tercantum dalam
Penjelasan UUD Tahun 1945 sebelum perubahan, makna ketentuan
tersebut adalah “Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi,
kemakmuran bagi semua orang. Sebab itu cabang-cabang produksi yang
penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak harus
dikuasai oleh negara. Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan
orang-seorang yang berkuasa dan rakyat yang banyak ditindasinya.
Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh
di tangan orang-seorang”. Uraian di atas masih menyisakan pertanyaan,
apa saja yang termasuk cabang produksi yang penting bagi negara dan
yang menguasai hajat hidup orang banyak, serta apa pula makna
dikuasai oleh negara itu?
Bahwa Mohammad Hatta sebagai salah satu pendiri negara (founding
fathers) menyatakan tentang pengertian dikuasai oleh negara sebagai
berikut, “Cita-cita yang tertanam dalam Pasal 33 UUD Tahun 1945 ialah
produksi yang besar-besar sedapat-dapatnya dilaksanakan oleh
Pemerintah dengan bantuan kapital pinjaman luar negeri. Apabila siasat
ini tidak berhasil, perlu juga diberi kesempatan kepada pengusaha asing
menanamkan modalnya di Indonesia dengan syarat yang ditentukan
Pemerintah. Cara begitulah dahulu kita memikirkan betapa melaksanakan
pembangunan ekonomi dengan dasar Pasal 33 UUD Tahun 1945 …
Apabila tenaga nasional dan kapital nasional tidak mencukupi, pinjam
tenaga asing dan kapital asing untuk melancarkan produksi.
Apabila bangsa asing tidak bersedia meminjamkan kapitalnya maka
diberikan kesempatan kepada mereka untuk menanamkan modalnya di
tanah air kita dengan syarat-syarat yang ditentukan oleh Pemerintah
Indonesia sendiri. (Mohammad Hatta, Kumpulan Pidato II Hal. 231.
Disusun oleh I. Wangsa Widjaja, Mutia F. Swasono, PT. Toko Gunung
Agung Tbk. Jakarta 2002). Penafsiran Dr. Mohammad Hatta tersebut
diadopsi oleh Seminar Penjabaran Pasal 33 UUD Tahun 1945 pada tahun
1977 di Jakarta yang menyatakan bahwa sektor usaha negara adalah
untuk mengelola ayat (2) dan ayat (3) Pasal 33 UUD Tahun 1945 dan di
bidang pembiayaan, perusahaan negara dibiayai oleh Pemerintah, apabila
Pemerintah tidak mempunyai cukup dana untuk membiayai, dapat
melakukan pinjaman dari dalam dan luar negeri, dan apabila masih belum
mencukupi bisa diselenggarakan bersama-sama dengan modal asing atas
dasar production sharing.
Bahwa Menteri Negara BUMN dalam keterangan tertulis di forum sidang
Mahkamah menafsirkan “dikuasai oleh negara” berarti negara sebagai
regulator, fasilitator, dan operator yang secara dinamis menuju negara
hanya sebagai regulator dan fasilitator, sedangkan Prof. Dr. Harun
Alrasid, S.H. menafsirkan dikuasai oleh negara berarti dimiliki oleh
negara. Bahwa Mahkamah juga memperhatikan pendapat para ahli yang
menyatakan dalam kenyataan sesungguhnya tidak ada sistem ekonomi
yang secara ekstrim liberal sepenuhnya, maupun sistem ekonomi yang
bersifat command atau planned economy sepenuhnya. Sehingga oleh
karenanya Pasal 33 UUD Tahun 1945 harus tetap menjadi acuan, karena
Pasal 33 tersebut sama sekali tidak diartikan anti terhadap ekonomi
pasar, dan ekonomi pasar juga tidak mengesampingkan sepenuhnya
peran negara untuk campur tangan manakala terjadi distorsi dan
ketidakadilan, oleh karena tafsiran dinamis atas Pasal 33 UUD Tahun
1945 oleh Mahkamah dilakukan dengan memperhatikan seoptimal
mungkin perubahan lingkungan strategis secara nasional maupun global.
Bahwa dengan memandang UUD Tahun 1945 sebagai sistem
sebagaimana dimaksud, maka pengertian “dikuasai oleh negara” dalam
Pasal 33 UUD Tahun 1945 mengandung pengertian yang lebih tinggi atau
lebih luas daripada pemilikan dalam konsepsi hukum perdata. Konsepsi
penguasaan olehnegara merupakan konsepsi hukum publik yang
berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam UUD
Tahun 1945, baik di bidang politik (demokrasi politik) maupun ekonomi
(demokrasi ekonomi). Dalam paham kedaulatan rakyat itu, rakyatlah yang
diakui sebagai sumber, pemilik dan sekaligus pemegang kekuasaan
tertinggi dalam kehidupan bernegara, sesuai dengan doktrin “dari rakyat,
oleh rakyat dan untuk rakyat”. Dalam pengertian kekuasaan tertinggi
tersebut, tercakup pula pengertian kepemilikan publik oleh rakyat secara
kolektif.
jikalau cabang produksi listrik sungguh-sungguh dinilai oleh Pemerintah
bersama DPR telah tidak lagi penting bagi negara dan/atau menguasai
hajat hidup orang banyak, maka dapat saja cabang itu diserahkan
pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasannya kepada
pasar. Namun, jikalau cabang produksi dimaksud masih penting bagi
negara dan/atau masih menguasai hajat hidup orang banyak, maka
negara c.q. Pemerintah tetap diharuskan menguasai cabang produksi
yang bersangkutan dengan cara mengatur, mengurus, mengelola, dan
mengawasinya agar sungguh-sungguh dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat. Di dalam pengertian penguasaan itu
tercakup pula pengertian kepemilikan perdata sebagai instrumen untuk
mempertahankan tingkat penguasaan oleh negara c.q. Pemerintah dalam
pengelolaan cabang produksi listrik dimaksud. Dengan demikian, konsepsi
kepemilikan privat oleh negara atas saham dalam badan-badan usaha
yang menyangkut cabang-cabang produksi yang penting bagi negara
dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak tidak dapat didikotomikan
ataupun dialternatifkan dengan konsepsi pengaturan oleh negara.
Keduanya tercakup dalam pengertian penguasaan oleh negara. Oleh
sebab itu, negara tidak berwenang mengatur atau menentukan aturan
yang melarang dirinya sendiri untuk memiliki saham dalam suatu badan
usaha yang menyangkut cabang-cabang produksi yang penting bagi
negara dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak sebagai
instrumen atau cara negara mempertahankan penguasaannya atas
sumber-sumber kekayaan dimaksud untuk tujuan sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
Bahwa di samping itu, untuk menjamin prinsip efisiensi berkeadilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (4) UUD Tahun 1945, yang
menyatakan, “perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas
demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional“, maka
penguasaan dalam arti pemilikan privat itu juga harus dipahami bersifat
relatif dalam arti tidak mutlak selalu harus 100%, asalkan penguasaan
oleh negara c.q. Pemerintah atas pengelolaan sumber-sumber kekayaan
dimaksud tetap terpelihara sebagaimana mestinya. Meskipun Pemerintah
hanya memiliki saham mayoritas relatif, asalkan tetap menentukan dalam
proses pengambilan keputusan atas penentuan kebijakan dalam badan
usaha yang bersangkutan, maka divestasi ataupun privatisasi atas
kepemilikan saham Pemerintah dalam badan usaha milik negara yang
bersangkutan tidak dapat dianggap bertentangan dengan Pasal 33 UUD
Tahun 1945. Dengan demikian, Mahkamah berpendapat, ketentuan Pasal
33 UUD Tahun 1945 tidaklah menolak privatisasi, sepanjang privatisasi itu
tidak meniadakan penguasaan negara c.q. Pemerintah untuk menjadi
penentu utama kebijakan usaha dalam cabang produksi yang penting
bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak. Pasal 33 UUD
Tahun 1945 juga tidak menolak ide kompetisi di antara para pelaku
usaha, sepanjang kompetisi itu tidak meniadakan penguasaan oleh
negara yang mencakup kekuasaan untuk mengatur (regelendaad),
mengurus (bestuursdaad), mengelola (beheersdaad), dan mengawasi
(toezichthoudensdaad) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara
dan/atau yang mengusai hajat hidup orang banyak untuk tujuan sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.
Bahwa dalam menguji undang-undang a quo, Mahkamah juga
memperhatikan keterangan Pemerintah yang memuat faktor pendorong,
ruang lingkup, filosofi dan konsepsi Undang-undang No. 20 Tahun 2002,
secara singkat sebagai berikut:
1) Adanya keterbatasan dana Pemerintah dalam pembangunan sektor
tenaga listrik;
2) Penyediaan tenaga listrik secara lebih transparan, effisien dan
berkeadilan dengan partisipasi swasta yang diselenggarakan melalui
mekanisme kompetisi sehingga memberikan perlakuan yang sama kepada
semua pelaku usaha;
3) Perlunya antisipasi perubahan pada tataran nasional, regional
maupun global serta memperhatikan pembaruan atau pembangunan
hukum di sektor terkait;
4) Penguasaan negara di bidang ketenagalistrikan diwujudkan dengan
adanya kewenangan negara c.q. Pemerintah dalam penetapan kebijakan,
pengaturan dan pengawasan pelaksanaan usaha;
5) Usaha penyediaan tenaga listrik bertujuan untuk menjamin
tersedianya tenaga listrik dalam jumlah yang cukup, kualitas yang baik
dan harga yang wajar untuk meningkatkan kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat secara adil dan merata serta mendorong
meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan
merata serta mendorong meningkatkan ekonomi yang berkelanjutan,
dengan penyediaan tenaga listrik secara efisien melalui regulasi yang
kuat, adanya kompetisi dan tranparansi usaha dalam iklim usaha yang
sehat, untuk terciptanya efisiensi
6) Struktur industri tenaga listrik dapat dibentuk secara terintegrasi
vertikal maupun dipisah atas fungsi-fungsinya, dan di daerah yang secara
teknis dan ekonomis memungkinkan kompetisi, usaha pembangkitan,
transmisi, distribusi dan retail merupakan usaha yang terpisah, kecuali
bidang usaha, yang secara alamiah harus dilakukan secara monopoli yaitu
tranmisi dan distribusi. Pada wilayah yang tidak/belum dapat menerapkan
kompetisi, usaha penyediaan tenaga listrik dilakukan secara monopoli;
7) Penetapan harga jual tenaga listrik diarahkan pada pendekatan
cost based/cost recovery dan pengawasan dalam pelaksanaan penetapan
tarif oleh pasar, dan harga jual tenaga listrik untuk daerah yang sudah
kompetitif ditetapkan melalui mekanisme pasar dan harga sewa transmisi
dan distribusi ditetapkan oleh Badan Pengawas Pasar Tenaga listrik;
8) Sistem ketatanegaraan sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UUD
Tahun 1945 mengatur bahwa Pemerintah mempunyai fungsi sebagai
penguasa (regulator) yang dilakukan oleh menteri-menteri teknis dan
fungsi selaku pengusaha (operator) yang dilakukan oleh kantor menteri
negara yang mengawasi dan membina jalannya kepengusahaan seperti
BUMN. Pada saatnya Pemerintah harus lebih memfokuskan fungsinya
sebagai regulator dan secara bertahap melepaskan fungsinya sebagai
operator dalam artian sebagai pelaksana langsung kegiatan, sesuai
prinsip “Government function is to Govern”;
9) Dikuasai oleh negara mengandung pengertian (1) Pemilikan (2)
Pengaturan, pembinaan, dan pengawasan dan (3) Penyelenggaraan
kegiatan usaha dilakukan sendiri oleh Pemerintah;
10) Filosofi “penguasaan negara” adalah terciptanya ketahanan nasional
di bidang energi (migas, listrik dan lainnya) di NKRI dengan sasaran
utama penyediaan dan pendistribusian energi di dalam negeri;
11) Deregulasi adalah efisiensi melalui kompetisi, efisiensi mana
memaksimalkan surplus total pemakai ditambah surplus supply, yang
dapat dikatakan adalah nilai terhadap pemakai dikurangi biaya produksi.
Kompetisi tidak menjanjikan harga yang terendah pada sesuatu waktu,
kompetisi akan menggerakkan bahwa para pemakai akan dapat menutupi
dalam jangka panjangnya biaya produksi termasuk pengembalian modal
secara wajar, dan kompetisi akan meminimalkan biaya rata-rata untuk
produksi dan meminimalkan pula harga rata rata untuk pemakai;
Bahwa para ahli yang diajukan oleh Pemerintah telah memberikan
keterangan sebagaimana telah dikutip secara lengkap dalam bagian
duduk perkara putusan ini, yang pada pokoknya menerangkan hal hal
yang berikut ini:
1) Pasaran kelistrikan akan berdiri di bawah satu otoritas, yang
dinamakan Bapetal, berdasarkan aturan-aturan tertentu yang dinamakan
market rules. Ada pasar yang sukses dan ada yang tidak, masalahnya
adalah market rules, bagaimana aturan main itu harus dilakukan. Dengan
mempelajari market rules kita dapat membuat market rules yang cocok
dengan kepentingan kita, seperti yang diamanatkan oleh undang-undang
dasar dimana perekonomian nasional diselenggarakan dengan efisiensi
berkeadilan. Pengertian efisiensi berkeadilan dalam dunia listrik
mempunyai pengertian yang khusus. Efisiensi itu adalah tercapainya
economic equilibrium yaitu satu keseimbangan kompetisi bahwa harga
ditentukan atas dasar supply and demand. Efisiensi berkeadilan itu
dicapai dalam satu sistem kompetisi kalau harga rata-rata yang diambil
supplier adalah yang terbaik yang pada akhirnya dicapai dari segi
pemakai, dan supplier dan consumer surplus bertemu.
2) Parameter yang digunakan untuk menilai apakah UU yang diuji
menguntungkan atau merugikan adalah sebagai berikut:
a) Parameter pertama, efisiensi
Efisiensi teori ekonomi menunjukkan bahwa hanya kompetisi saja yang
memungkinkan efisiensi itu tercapai. Tetapi listrik karateristiknya unik,
mempunyai sifat monopoli alamiah, sehingga tidak sepenuhnya bisa
dilepas ke pasar. Unbundling merupakan cara untuk efisiensi, dan
meskipun kemudian ada gugatan terhadap kompetisi di listrik, tidak satu
negara pun yang kemudian kembali ke sistem single integrated
monopoly, yang ada hanya perubahan dalam market rules.
b) Parameter kedua, kontribusi pajak
Kontribusi pajak dari PLN, selama 3 tahun terus merugi, baru tahun ini
mendapat keuntungan yang kecil kalau dibanding asetnya yang besar.
c) Parameter ketiga, merugikan masyarakat atau tidak
Dua indikator yaitu aksesibilitas masyarakat dan harga. Kalau hanya
mengandalkan PLN untuk mencapai ratio elektrifikasi 100% sangat sukar,
sehingga harus memberikan kesempatan kepada siapa pun untuk
meningkatkan aksesibilitas, karena akses yang rendah tidak
menguntungkan masyarakat. Yang tidak memiliki akses listrik harus
membayar 4 atau 5 kali lebih mahal dibanding mereka yang punya akses.
Yang tidak punya akses listrik tersebut adalah orang yang miskin.
3) Listrik sebagai komoditi bisa dilihat perannya dalam 3 kelompok
besar, yaitu listrik sebagai pelayanan publik, sebagai infrastruktur dan
listrik sebagai bagian penerimaan negara. Dalam konteks pelayanan
publik, listrik hanya kalah oleh kebutuhan makanan, dan itu berarti tanpa
listrik setiap warganegara akan terlanggar haknya, sehingga listrik yang
mudah diakses dengan harga wajar menjadi kebutuhan suatu negara.
Upaya memenuhi hak akan listrik belum memadai kalau hanya diserahkan
pada PLN. Karenanya penyediaan listrik menjadi prioritas, dan Undang-
undang Ketenagalistrikan yang baru telah mendorong upaya tersebut,
tanpa harus mengandalkan PLN semata-mata tetapi juga investor swasta,
koperasi atau BUMD dengan tetap mengikuti aturan-aturan yang
dikeluarkan badan pengawas. Listrik sebagai infrastruktur merupakan
sumber pendorong perekonomian negara, yang tidak bisa hanya
mengandalkan PLN tapi juga mengikutkan BUMD, koperasi, dan lain-lain.
Bahwa lagi pula kompetisi dalam kegiatan usaha penyediaan tenaga listrik
di wilayah yang telah dapat menerapkan kompetisi dan secara
unbundling, menurut ahli hanya akan terjadi di daerah JAMALI (Jawa,
Madura dan Bali) sebagai pasar yang telah terbentuk yang akan
dimenangkan oleh usaha yang kuat secara teknologis dan finansial,
sedang di daerah yang pasarnya belum terbentuk di luar Jawa, Madura
dan Bali, menjadi kewajiban Pemerintah/BUMN yang boleh
melaksanakannya secara terintegrasi, hal mana tidak mampu dilakukan
tanpa melalui subsidi silang dari pasar yang telah menguntungkan di
JAMALI tersebut, sehingga kewajiban untuk mewujudkan kemakmuran
dan kesejahteraan rakyat yang sebesar-besarnya bagi seluruh rakyat
Indonesia tidak akan tercapai, karena pelaku usaha swasta akan
berorientasi kepada keuntungan yang hanya diperoleh di pasar yang
sudah terbentuk.
Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat
bahwa untuk menyelamatkan dan melindungi serta mengembangkan
lebih lanjut perusahaan negara (BUMN) sebagai aset negara dan bangsa
agar lebih sehat yang selama ini telah berjasa memberikan pelayanan
kelistrikan kepada masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia, baik yang
beraspek komersiil maupun non-komersiil sebagai wujud penguasaan
negara, sehingga ketentuan Pasal 16 UU No. 20 Tahun 2002 yang
memerintahkan sistem pemisahan/pemecahan usaha ketenagalistrikan
(unbundling system) dengan pelaku usaha yang berbeda akan semakin
membuat terpuruk BUMN yang akan bermuara kepada tidak terjaminnya
pasokan listrik kepada semua lapisan masyarakat, baik yang bersifat
komersial maupun non-komersial. Dengan demikian yang akan merugikan
masyarakat, bangsa dan negara. Keterangan ahli yang diajukan pemohon
telah menjelaskan pengalaman empiris yang terjadi di Eropa, Amerika
Latin, Korea, dan Meksiko, sistem unbundling dalam restrukturisasi usaha
listrik justru tidak menguntungkan dan tidak selalu efisien dan malah
menjadi beban berat bagi negara, sehingga oleh karenanya Mahkamah
berpendapat bahwa hal tersebut bertentangan dengan pasal 33 UUD
Tahun 1945.
Bahwa Mahkamah berpendapat pembuat undang-undang juga menilai
bahwa tenaga listrik hingga saat ini masih merupakan cabang produksi
yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak,
sehingga oleh karenanya menurut pasal 33 ayat (2) UUD Tahun 1945
harus tetap dikuasai oleh negara, dalam arti harus dikelola oleh negara
melalui perusahaan negara yang didanai oleh pemerintah (negara) atau
dengan kemitraan bersama swasta nasional atau asing yang menyertakan
dana pinjaman dari dalam dan luar negeri atau dengan melibatkan modal
swasta nasional/asing dengan sistem kemitraan yang baik dan saling
menguntungkan. Hal ini berarti bahwa hanya BUMN yang boleh
mengelola usaha tenaga listrik, sedangkan perusahaan swasta nasional
atau asing hanya ikut serta apabila diajak kerjasama oleh BUMN, baik
dengan kemitraan, penyertaan saham, pinjaman modal dan lain-lain.
Persoalannya adalah apakah yang dimaksud dengan perusahaan negara
pengelola tenaga listrik hanyalah BUMN, dalam hal ini PLN, ataukah bisa
dibagi dengan perusahaan negara yang lain, bahkan dengan perusahaan
daerah (BUMD) sesuai dengan semangat otonomi daerah? Mahkamah
berpendapat, jika PLN memang masih mampu dan bisa lebih efisien, tidak
ada salahnya jika tugas itu tetap diberikan kepada PLN, tetapi jika tidak,
dapat juga berbagi tugas dengan BUMN lainnya atau BUMD dengan PLN
sebagai “holding company”.
Bahwa adanya kenyataan inefisiensi BUMN yang timbul karena faktor-
faktor miss-management serta korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), tidak
dapat dijadikan alasan untuk mengabaikan Pasal 33 UUD 1945, bak
pepatah “buruk muka cermin dibelah”. Pembenahan yang dilakukan
haruslah memperkuat penguasaan negara untuk dapat melaksanakan
kewajiban konstitusionalnya sebagaimana disebut dalam Pasal 33 UUD
Tahun 1945.
Bahwa dengan pertimbangan-pertimbangan yang telah diuraikan di atas,
maka permohonan Para Pemohon harus dikabulkan sebagian dengan
menyatakan Pasal 16, 17 ayat (3), serta 68 UU No. 20 Tahun 2002
tentang Ketenagalistrikan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan
oleh karenanya harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat.
Bahwa meskipun ketentuan yang dipandang bertentangan dengan
konstitusi pada dasarnya adalah Pasal 16, 17 ayat (3), serta 68,
khususnya yang menyangkut unbundling dan kompetisi, akan tetapi
karena pasal-pasal tersebut merupakan jantung dari UU No. 20 Tahun
2002 padahal seluruh paradigma yang mendasari UU Ketenagalistrikan
adalah kompetisi atau persaingan dalam pengelolaan dengan sistem
unbundling dalam ketenagalistrikan yang tercermin dalam konsideran
“Menimbang” huruf b dan c UU Ketenagalistrikan. Hal tersebut tidak
sesuai dengan jiwa dan semangat Pasal 33 ayat (2) UUD Tahun 1945
yang merupakan norma dasar perekonomian nasional Indonesia;
Bahwa Mahkamah berpendapat cabang produksi dalam Pasal 33 ayat (2)
UUD Tahun 1945 di bidang ketenagalistrikan harus ditafsirkan sebagai
satu kesatuan antara pembangkit, transmisi, dan distribusi sehingga
dengan demikian, meskipun hanya pasal, ayat, atau bagian dari ayat
tertentu saja dalam undang-undang a quo yang dinyatakan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat akan tetapi hal tersebut
mengakibatkan UU No. 20 Tahun 2002 secara keseluruhan tidak dapat
dipertahankan, karena akan menyebabkan kekacauan yang menimbulkan
ketidakpastian hukum dalam penerapannya.
Bahwa oleh karena Pasal 16 dan 17 dinyatakan bertentangan dengan
UUD Tahun 1945 yang berakibat UU No. 20 Tahun 2002 secara
keseluruhan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat secara
hukum karena paradigma yang mendasarinya bertentangan dengan UUD
Tahun 1945. Oleh karena itu guna mencegah timbulnya kesalahpahaman
dan keragu-raguan yang mengakibatkan timbulnya kesan tidak adanya
kepastian hukum di bidang ketenagalistrikan di Indonesia, perlu
ditegaskan bahwa sesuai dengan Pasal 58 UU MK, Putusan Mahkamah
Konstitusi mempunyai akibat hukum sejak diucapkan dan berlaku ke
depan (prospective) sehingga tidak mempunyai daya laku yang bersifat
surut (retroactive). Dengan demikian, semua perjanjian atau kontrak dan
ijin usaha di bidang ketenagalistrikan yang telah ditandatangani dan
dikeluarkan berdasarkan UU No. 20 Tahun 2002 tetap berlaku sampai
perjanjian atau kontrak dan ijin usaha tersebut habis atau tidak berlaku
lagi.
Bahwa guna menghindari kekosongan hukum (rechtsvacuum), maka
undang-undang yang lama di bidang ketenagalistrikan, yaitu UU No. 15
Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1985 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3317) berlaku kembali karena Pasal 70 UU No. 20 Tahun 2002 yang
menyatakan tidak berlakunya UU No. 15 Tahun 1985 termasuk ketentuan
yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Bahwa dengan dinyatakannya keseluruhan UU No. 20 Tahun 2002 tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat, disarankan agar pembentuk
undang-undang menyiapkan RUU Ketenagalistrikan yang baru yang
sesuai dengan Pasal 33 UUD Tahun 1945.
Dengan adanya pembatalan atas UU 20 Tahun 2002 tentang
Ketenagalistrikan tersebut, perlu ada pengisian kekosongan/kevakuman
hukum (rechtsvacuum). Dalam amar Putusan Perkara 001/PUU-I/2003,
021/PUU-I/2003 dan 022/PUU-I/2003, Mahkamah Konstitusi menetapkan
undang-undang yang lama di bidang ketenagalistrikan, yaitu UU No. 15
Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1985 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3317) berlaku kembali karena Pasal 70 UU No. 20 Tahun 2002 yang
menyatakan tidak berlakunya UU No. 15 Tahun 1985 termasuk ketentuan
yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sekaligus
memberi saran kepada pembentuk undang-undang untuk menyiapkan
RUU Ketenagalistrikan yang baru yang sesuai dengan Pasal 33 UUD
Tahun 1945.
Sedangkan implikasi lain dengan adanya pembatalan undang-undangan
tentang ketenagalistrikan tersebut, adalah terkait dengan perjanjian atau
kontrak dan ijin usaha di bidang ketenagalistrikan yang telah
ditandatangani dan dikeluarkan berdasarkan UU 20 Tahun 2002. Dalam
hal ini, guna mencegah timbulnya kesalahpahaman dan keragu-raguan
yang mengakibatkan timbulnya kesan tidak adanya kepastian hukum di
bidang ketenagalistrikan di Indonesia, Mahkamah Konstitusi dalam
putusannya menegaskan bahwa sesuai dengan Pasal 58 UU MK, Putusan
Mahkamah Konstitusi mempunyai akibat hukum sejak diucapkan dan
berlaku ke depan (prospective) sehingga tidak mempunyai daya laku
yang bersifat surut (retroactive). Dengan demikian, semua perjanjian
atau kontrak dan ijin usaha di bidang ketenagalistrikan yang telah
ditandatangani dan dikeluarkan berdasarkan UU 20 Tahun 2002 tetap
berlaku sampai perjanjian atau kontrak dan ijin usaha tersebut habis atau
tidak berlaku lagi.
Pembatalan atas UU 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan juga
membawa berbagai implikasi bagi pembangunan sektor ketenagalistrikan
antara lain kewenangan pemberian izin yang telah didelegasikan kepada
daerah berdasarkan UU 20 Tahun 2002 menjadi batal demi hukum atau
kembali kepada semangat sentralisasi. Tentunya ini tidak sejalan dengan
semangat otonomi daerah yang sehingga tidak mengatur peran
pemerintah daerah dalam pengelolaan ketenagalistrikan yang ada di
daerahnya.
Implikasi lainnya adalah usaha penyediaan tenaga listrik untuk
kepentingan umum tidak dapat dilakukan oleh badan usaha (BUMN,
BUMD, Swasta dan Koperasi) secara setara (level playing field) karena
adanya BUMN selaku Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK)
yang kembali dipegang oleh PT PLN sesuai PP No 23/1994 tentang
Pengalihan Bentuk Perum PLN menjadi Perusahaan Perseroan. Dengan
pembatalan ini, maka peran serta BUMD, swasta dan koperasi dalam
penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum hanya dapat
dilakukan melalui skema kerjasama dengan PKUK atau pada wilayah
tertentu yang PKUKnya menyatakan ketidaksanggupannya. Selain itu,
BUMN selain BUMN di bidang ketenagalistrikan tidak dapat menjual
tenaga listrik untuk kepentingan umum.
Di sisi lain, pembatalan UU 20 Tahun 2002 juga menyebabkan berbagai
produk regulasi yang telah diterbitkan berdasarkan UU 20 Tahun 2002
batal demi hukum yaitu PP Nomor 53 Tahun 2003 tentang Pembentukan
Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik (Bapeptal) dan 18 Keputusan
Menteri ESDM termasuk Kepmen ESDM tentang Pedoman dan Pola Tetap
(Blueprint) Pengembangan Industri Ketenagalistrikan Nasional 2003-2020
dan Kepmen ESDM tentang Pedoman Penyusunan Rencana Umum
Ketenagalistrikan. Pembatalan ini juga menurunkan kepercayaan investor
dan dunia usaha terhadap kepastian hukum di sektor ketenagalistrikan di
Indonesia pada saat kita sangat memerlukan investasi untuk memenuhi
kebutuhan tenaga listrik yang terus meningkat dan sumber-sumber
pendanaan dalam negeri maupun bantuan asing tidak mencukupi untuk
memenuhi pasokan tersebut.
Dalam Putusan Perkara 001/PUU-I/2003, 021/PUU-I/2003 dan 022/PUU-
I/2003 ini pula, Mahkamah Konstitusi menjalankan fungsinya sebagai
penafsir akhir konstitusi (the final interpreter of constitution)dengan
memberikan penafsiran atas frasa “dikuasai oleh negara”. Dalam
putusannya Mahkamah Konstitusi menyatakan sebagai berikut:
Perkataan “dikuasai oleh negara” haruslah diartikan mencakup makna
penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan berasal dari
konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi
dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”, termasuk pula
di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas
sumber-sumber kekayaan dimaksud. Rakyat secara kolektif itu
dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara
untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan
(bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad)
dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Fungsi pengurusan (bestuursdaad) oleh negara
dilakukan oleh pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan
dan mencabut fasilitas perizinan (vergunning), lisensi (licentie), dan
konsesi (concessie). Fungsi pengaturan oleh negara (regelendaad)
dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama dengan
Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah (eksekutif). Fungsi pengelolaan
(beheersdaad) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham (share-
holding) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan
Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen
kelembagaan melalui mana negara c.q. Pemerintah mendayagunakan
penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Demikian pula fungsi pengawasan
oleh negara (toezichthoudensdaad) dilakukan oleh negara c.q.
Pemerintah dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar
pelaksanaan penguasaan oleh negara atas cabang produksi yang penting
dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak dimaksud benar-
benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat.
Bahwa dalam kerangka pengertian yang demikian itu, penguasaan dalam
arti kepemilikan perdata (privat) yang bersumber dari konsepsi
kepemilikan publik berkenaan dengan cabang-cabang produksi yang
penting bagi negara dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak
yang menurut ketentuan Pasal 33 ayat (2) dikuasai oleh negara,
tergantung pada dinamika perkembangan kondisi masing-masing cabang
produksi. Yang harus dikuasai oleh negara adalah cabang-cabang
produksi yang dinilai penting bagi negara dan/atau yang menguasai hajat
hidup orang banyak, yaitu: (i) cabang produksi yang penting bagi negara
dan menguasai hajat hidup orang banyak, (ii) penting bagi negara tetapi
tidak menguasai hajat hidup orang banyak, atau (iii) tidak penting bagi
negara tetapi menguasai hajat hidup orang banyak. Ketiganya harus
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Namun, terpulang kepada Pemerintah bersama
lembaga perwakilan rakyat untuk menilainya apa dan kapan suatu cabang
produksi itu dinilai penting bagi negara dan/atau yang menguasai hajat
hidup orang banyak. Cabang produksi yang pada suatu waktu penting
bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, pada waktu yang
lain dapat berubah menjadi tidak penting lagi bagi negara dan tidak lagi
menguasai hajat hidup orang banyak. Akan tetapi Mahkamah berwenang
pula untuk melakukan penilaian dengan mengujinya terhadap UUD 1945
jika ternyata terdapat pihak yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya
karena penilaian pembuat undang-undang tersebut.
Pada intinya, dari putusan tersebut dapat dilihat tafsir penting Mahkamah
Konstitusi dalam menjelaskan kedudukan negara berdasarkan frasa
“dikuasai oleh negara” yang terdapat dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat
(3) tersebut. Hal itu adalah:
1) Dalam konsepsi kepemilikan perdata, “dikuasai oleh negara”
dipahami sebagai salah satu konsekuensi logis penguasaan oleh negara
yang mencakup juga pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas
rakyat atas sumber-sumber kekayaan alam.
2) Pengertian “dikuasai oleh negara” dalam Pasal 33 UUD Tahun 1945
mengandung pengertian yang lebih tinggi atau lebih luas daripada
pemilikan dalam konsepsi hukum perdata, karena kepemilikan tersebut
lahir dari konstruksi kedaulatan rakyat yang dinyatakan dalam hukum
tertinggi, yaitu UUD Tahun 1945.
3) Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh Undang Undang
Dasar Tahun 1945 memberikan mandat kepada negara untuk:
a. Mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan
(bestuursdaad) yang dilakukan oleh negara c.q pemerintah dengan
kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan
(vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (concessie).
b. Pengaturan (regelendaad), dilakukan melalui kewenangan legislasi
oleh DPR bersama dengan Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah
(eksekutif).
c. Pengelolaan (beheersdaad), dilakukan melalui mekanisme pemilikan
saham (share-holding) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam
manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara
sebagai instrumen kelembagaan melalui mana negara c.q. Pemerintah
mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu
untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
d. Pengawasan (toezichthoudensdaad) dilakukan oleh negara c.q.
Pemerintah agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas sumber-
sumber kekayaan itu benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran seluruh rakyat.
4) Pengertian “dikuasai oleh negara” tidak dapat diartikan hanya
sebatas sebagai hak untuk mengatur, karena hal dimaksud sudah dengan
sendirinya melekat dalam fungsi-fungsi negara tanpa harus disebut
secara khusus dalam Undang Undang Dasar. Sekiranyapun Pasal 33 tidak
tercantum dalam UUD Tahun 1945, sebagaimana lazim di banyak negara
yang menganut paham ekonomi liberal yang tidak mengatur norma-
norma dasar perekonomian dalam konstitusinya, sudah dengan sendirinya
negara berwenang melakukan fungsi pengaturan.
5) Mengutip pendapat Bung Hatta, makna dikuasai oleh negara ialah
bahwa terhadap cabang produksi yang telah dimiliki oleh negara, maka
negara harus memperkuat posisi perusahaan tersebut agar kemudian
secara bertahap akhirnya dapat menyediakan sendiri kebutuhan yang
merupakan hajat hidup orang banyak dan menggantikan kedudukan
perusahaan swasta, baik nasional maupun asing.

Secara khusus, bila dikaitkan dengan UU 20 Tahun 2002 tentang
Ketenagalistrikan, maka dapat ditemukan beberapa hal penting yang
diturunkan dari penafsiran Mahkamah Konstitusi terhadap “penguasaan
negara” dalam Pasal 33 UUD Tahun 1945, hal tersebut adalah:
1) Peranan negara terhadap Ketenagalistrikan di dalam putusan
Mahkamah Konstitusi dikonstruksikan sebagai kepemilikan atas
perusahaan negara (BUMN) yang melakukan penyediaan fasilitas
ketenagalistrikan.
2) Pasal 33 UUD Tahun 1945 tidak menolak ide kompetisi diantara
para pelaku usaha, sepanjang itu tidak meniadakan penguasaan oleh
negara
3) Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa cabang produksi dalam
Pasal 33 ayat (2) UUD Tahun 1945 di bidang ketenagalistrikan harus
ditafsirkan sebagai satu kesatuan antara pembangkit, transmisi, dan
distribusi. Sehingga tidak dapat dipisah-pisahkan (unbundling)
4) Pasal 16, 17 ayat (3), serta Pasal 68 yang mengatur persoalan
unbundling dan kompetisi merupakan jantung dari Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan, sehingga ketika
Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal tersebut bertentangan dengan
konstitusi, maka secara keseluruhan Undang-undang Nomor 20 Tahun
2002 tentang Ketenagalistrikan tidak dapat dipertahankan, karena akan
menyebabkan kekacauan yang menimbulkan ketidakpastian hukum dalam
penerapannya.
1. Perkara Nomor 58/PUU-XII/2014
Bahwa untuk menunjang usaha penyediaan tenaga listrik, Pemerintah
dan pemerintah daerah menyelenggarakan usaha penyediaan tenaga
listrik yang pelaksanaannya dilakukan oleh badan usaha milik negara dan
badan usaha milik daerah.Selain bermanfaat,tenaga listrik juga dapat
membahayakan. Oleh karena itu, untuk lebih menjamin keselamatan
umum, keselamatan kerja, keamanan instalasi, dan kelestarian fungsi
lingkungan dalam penyediaan tenaga listrik dan pemanfaatan tenaga
listrik, instalasi tenaga listrik harus menggunakan peralatan dan
perlengkapan listrik yang memenuhi standar peralatan di bidang
ketenagalistrikan. Oleh karena itu, Pemerintah dan pemerintah daerah
melakukan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan
ketenagalistrikan, termasuk pelaksanaan pengawasan di bidang
keteknikan. Dalam konteks itulah, perlu upaya penegakan hukum di
bidang ketenagalistrikan, khususnya menyangkut penerapan SLO.
Bahwa menurut Mahkamah, terdapat 4 (empat) permasalahan hukum
yang perlu dipecahkan, yaitu:
1) Pihak yang berhak mengeluarkan SLO;
2) Penentuan biaya SLO;
3) Sanksi pidana dan sanksi denda yang berkaitan dengan SLO;
4) Ketentuan transisi (transitional clause) menyangkut SLO
Terhadap keempat permasalahan hukum tersebut, menurut Mahkamah,
diperlukan pemecahan hukum yang tepat untuk mengimplementasikan
ketentuan yang mengatur SLO, karena instrumen tersebut merupakan
sertifikasi yang semestinya menjamin bahwa suatu intalasi listrik telah
terpasang dengan benar, sehingga aman untuk digunakan oleh pengguna
listrik. Dalam konteks itulah diperlukan hukum yang mengorganisasikan
kepentingan negara dan kepentingan masyarakat dengan cara
memberikan perlindungan di satu pihak dan melakukan pembatasan di
pihak lain, khususnya dalam hal pemanfaatan tenaga listrik. Pemecahan
permasalahan hukum dimaksud akan diuraikan oleh Mahkamah dalam
pendapat hukumnya di bawah ini.
BahwaPasal 11 ayat (1) Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya
Mineral Nomor 05 Tahun 2014 tentang Tata Cara Akreditasi dan
Sertifikasi Ketenagalistrikan (selanjutnya disebut Permen ESDM 05/2014)
menyebutkan bahwa setiap instalasi penyediaan tenaga listrik dan
pemanfaatan tenaga listrik tegangan tinggi dan tegangan menengah
wajib memiliki SLO. Dalam konteks ini, kewajiban SLO harus dimiliki
instalasi pembangkit tenaga listrik, transmisi tenaga listrik, distribusi
tenaga listrik, pemanfaatan tenaga listrik tegangan tinggi, pemanfaatan
tenaga listrik tegangan menengah, dan pemanfaatan tenaga listrik
tegangan rendah melalui pemeriksaan dan pengujian pada saat instalasi
tenaga listrik selesai dibangun, direkondisi, relokasi, atau masa berlaku
sertifikat laik operasinya telah habis. Proses SLO dan penerbitan SLO
untuk instalasi penyediaan tenaga listrik serta instalasi pemanfaatan
tegangan tinggi dan tegangan menengah dilakukan oleh Lembaga
Inspeksi Teknik Terakreditasi, sedangkan untuk instalasi pemanfaatan
tegangan rendah proses sertifikasi laik operasi dan penerbitan SLO
dilakukan oleh Lembaga Inspeksi Teknik Tegangan Rendah yang
ditetapkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (vide Pasal 11
sampai dengan Pasal 24 Permen ESDM 05/2014).
Bahwa untuk menjamin keamanan pemasangan instalasi listrik, setiap
peralatan listrik dan instalasi listrik harus diuji terlebih dahulu sebelum
digunakan. Hal ini bertujuan agar pengguna peralatan listrik tidak
mengalami bahaya listrik yang diakibatkan oleh adanya kesalahan
instalasi. Dalam konteks itulah dikeluarkan SLO yang merupakan bukti
pengakuan formal bahwa suatu instalasi tenaga listrik telah berfungsi
dengan baik dan siap dioperasikan oleh pengguna listrik.
Mahkamah berpendapat bahwa dengan adanya SLO maka pelanggan
listrik dapat merasa aman dari bahaya listrik karena instalasi listrik yang
dipasang sudah memenuhi standar dan peraturan yang berlaku, sehingga
risiko yang terjadi akibat pemasangan listrik yang tidak sesuai prosedur
dapat diminimalisasi. Namun demikian, permasalahan hukum yang harus
dijawab oleh Mahkamah adalah siapakah subjek hukum (pihak) yang
dinilai berhak dan sah menerbitkan SLO?
Pembentuk Undang-Undang menentukan bahwa pemeriksaan dan
pengujian instalasi tenaga listrik merupakan usaha jasa penunjang tenaga
listrik. Hal itu diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c UU Listrik, yang
dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun
2012 tentang Kegiatan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik.
Berkaitan dengan ketentuan tersebut di atas, menurut Mahkamah,
Konsuil dan PPILN dapat menerbitkan SLO, meskipun kedua institusi
tersebut sifatnya bukan organ negara, namun merupakan suatu badan
usaha walaupun kedudukannya tidak dapat disejajarkan dengan PLN.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral sebagai menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagalistrikan
dapat menunjuk Konsuil dan PPILN untuk menerbitkan SLO bagi
pengguna listrik sepanjang penunjukan tersebut tidak meniadakan
penguasaan oleh negara untuk mengatur (regelendaad), mengurus
(bestuursdaad), mengelola (beheersdaad), dan mengawasi
(toezichthoudensdaad) usaha kelistrikan yang merupakan salah satu
cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak. Dengan
demikian, maksud dan tujuan penerbitan SLO sesuai dengan pendirian
Mahkamah sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Nomor 001-
021-022/PUU-I/2003, bertanggal 15 Desember 2004, dan Putusan
Mahkamah Nomor 149/PUU-VII/2009, bertanggal 30 Desember 2010.
Oleh karena Konsuil dan PPILN memiliki tugas yang cukup strategis dalam
memberikan perlindungan kepada pengguna listrik maka Konsuil dan
PPILN memikul tanggung jawab apabila melakukan kesalahan dalam
penerbitan SLO. Melalui penerapan SLO ini diharapkan dapat terwujud
instalasi tenaga listrik yang andal, sehingga dapat beroperasi secara
kontinyu sesuai spesifikasi yang telah ditentukan, instalasi tenaga listrik
yang aman, sehingga bahaya yang mungkin timbul bagi manusia dan
makhluk hidup lainnya yang dapat berupa kecelakaan dan kebakaran
akibat listrik dapat diantisipasi, serta instalasi tenaga listrik yang ramah
lingkungan agar tidak menimbulkan kerusakan pada lingkungan hidup
saat instalasi tenaga listrik dioperasikan.
Bahwa selaku regulator, pemerintah juga menentukan biaya listrik.
Ketentuan mengenai tarif tenaga listrik diatur dalam UU Listrik. Bahwa
tarif listrik sebagaimana diatur dalam UU Listrik dijabarkan lebih lanjut
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2012 tentang Kegiatan
Usaha Penyediaan Tenaga Listrik. Bahwa setelah memperhatikan
ketentuan tersebut di atas, menurut Mahkamah, biaya SLO tidak
ditentukan secara tegas dalam peraturan perundang-undangan. Bahkan
berdasarkan fakta persidangan, besaran biaya pemeriksaan instalasi listrik
dalam proses penerbitan SLO justru mendapat persetujuan Direktur
Jenderal Ketenagalistrikan.
Bahwa menurut Mahkamah, biaya SLO termasuk salah satu komponen
biaya tarif listrik karena SLO merupakan syarat agar instalasi listrik dapat
dialiri listrik oleh PLN. Sehubungan dengan hal tersebut, Mahkamah
mendasarkan pendiriannya pada Putusan Nomor 149/PUU-VII/2009,
bertanggal 30 Desember 2010, yang menyatakan:
“Selanjutnya terkait dengan harga jual tenaga listrik, harga sewa
jaringan, dan tarif tenaga listrik, berdasarkan UU 30/2009 bersifat
regulated, yaitu harga jual tenaga listrik dan sewa jaringan tenaga listrik
ditetapkan pelaku usaha setelah mendapat persetujuan pemerintah atau
pemerintah daerah. Tarif tenaga listrik untuk konsumen ditetapkan oleh
Pemerintah dengan persetujuan DPR, atau ditetapkan oleh pemerintah
daerah dengan persetujuan DPRD, dan Pemerintah juga mengatur subsidi
untuk konsumen tidak mampu (vide Putusan Nomor 149/PUU-VII/2009,
halaman 96);
Dengan mendasarkan pada pendiriannya tersebut, menurut Mahkamah,
tarif biaya SLO semestinya juga ditetapkan oleh Pemerintah dengan
persetujuan DPR, atau ditetapkan oleh pemerintah daerah dengan
persetujuan DPRD, oleh karena SLO merupakan syarat esensial agar
kebutuhan listrik masyarakat dapat terpenuhi. Penetapan tarif SLO juga
harus memperhatikan: (a) keseimbangan kepentingan nasional, daerah,
konsumen, dan pelaku usaha penyediaan tenaga listrik; (b) kepentingan
dan kemampuan masyarakat; dan (c) kaidah industri dan niaga yang
sehat. Dengan demikian, penetapan tarif SLO diatur dalam Peraturan
Pemerintah yang dapat diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden.
Bahwa apabila peraturan yang ada pada saat ini, yang telah mendapat
persetujuan Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral, dinilai tidak layak untuk memungut biaya SLO
maka pemeriksaan instalasi listrik menjadi terganggu atau terhambat
karena kehilangan dasar hukumnya. Oleh karena itu, Mahkamah harus
mempertimbangkan perlunya menyediakan waktu bagi proses peralihan
yang mulus (smooth transition) untuk terbentuknya aturan yang baru. Hal
demikian dimaksudkan agar pembentuk Undang-Undang secara
keseluruhan memperkuat dasar-dasar konstitusional yang diperlukan
guna mengimplementasikan SLO bagi kepentingan masyarakat.
Mahkamah berpendapat jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak
putusan Mahkamah ini diucapkan dinilai cukup bagi Pemerintah untuk
mempersiapkan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden untuk
menerapkan SLO dengan memperhatikan kepentingan nasional secara
menyeluruh, sehingga tidak membebani masyarakat.
Bahwa Pasal 54 ayat (1) menyatakan, “Setiap orang yang
mengoperasikan instalasi tenaga listrik tanpa sertifikat laik operasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak
Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”. Menurut Mahkamah, norma
tersebut bersifat kumulatif karena selain dikenakan sanksi administratif
berupa denda, setiap orang yang mengoperasikan instalasi tenaga listrik
tanpa sertifikat laik operasi juga dikenakan sanksi pidana. Berkaitan
dengan norma tersebut, hal yang harus dijawab oleh Mahkamah adalah
apakah ketiadaan SLO dalam pengoperasian instalasi listrik layak
dikenakan pidana penjara dan sanksi denda secara kumulatif
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 54 ayat (1) UU Listrik? Apakah
sanksi pidana penjara dan sanksi denda sebagaimana dirumuskan dalam
pasal a quo bertentangan dengan UUD Tahun 1945 atau tidak?
Bahwa oleh karena SLO merupakan syarat yang harus dipenuhi dalam
pengoperasian instalasi listrik maka PLN harus memeriksa melalui PPILN
dan/atau Konsuil apakah suatu instalasi listrik rumah tangga telah
memiliki SLO atau tidak. Apabila instalasi listrik yang bersangkutan tidak
memiliki SLO maka PLN tidak boleh mengaliri listrik. Dengan kata lain,
apabila PLN tetap memberikan aliran listrik terhadap instalasi listrik rumah
tangga yang tidak memiliki SLO, hal itu merupakan kesalahan PLN karena
masyarakat pengguna listrik rumah tangga tidak dapat mengoperasikan
instalasi listrik jika tidak ada aliran listrik. Dengan demikian, apabila PLN
tetap mengalirkan listrik untuk instalasi listrik rumah tangga dan terjadi
kebakaran akibat ketiadaan SLO maka PLN-lah yang bertanggung jawab
atas dampak kerugian yang timbul.
Pada dasarnya, Konsuil dan/atau PPILN yang menentukan apakah suatu
instalasi listrik yang terpasang sudah memenuhi persyaratan teknis.
Dalam konteks pemanfaatan tenaga listrik, khususnya untuk rumah
tangga, masyarakat tidaklah dalam posisi memutuskan dapat atau tidak
dapatnya aliran listrik disambung, melainkan penyambungan aliran listrik
sangat bergantung pada PLN. Dengan demikian, PLN-lah yang
menentukan apakah instalasi listrik rumah tangga masyarakat dapat dialiri
listrik atau tidak. Oleh karena itu, tidaklah tepat apabila sanksi denda dan
sanksi pidana penjara dibebankan kepada masyarakat. Bahwa keharusan
adanya SLO dalam pengoperasian instalasi listrik merupakan persyaratan
administrasi yang diwajibkan oleh negara bagi setiap orang yang
mengoperasikan instalasi listrik, baik berupa instalasi pembangkit,
transmisi dan distribusi, pemanfaatan tegangan tinggi, pemanfaatan
tegangan menengah, dan pemanfaatan tegangan rendah. Berkaitan
dengan konteks tersebut, menurut Mahkamah, apabila persyaratan
administrasi SLO tidak dipenuhi maka sanksi yang dikenakan dapat
berupa sanksi denda sebagai sanksi administrasi, yang termasuk dalam
ranah hukum pidana administratif. Penggunaan sanksi pidana dalam
hukum administrasi pada hakikatnya termasuk bagian dari kebijakan
hukum pidana (penal policy).
Hukum pidana administratif (administrative penal law; ordnungstrafrecht;
ordeningstrafrecht), yaitu hukum pidana di bidang pelanggaran hukum
administrasi, yang pada hakikatnya hukum pidana administrasi
merupakan perwujudan dari kebijakan menggunakan hukum pidana
sebagai sarana untuk menegakkan hukum administrasi. Dengan kata lain,
hukum pidana administrasi merupakan bentuk
fungsionalisasi/operasionalisasi/ instrumentalisasi hukum pidana di bidang
hukum administrasi. Dengan demikian, apabila sanksi administrasi akan
dioperasionalisasikan maka dapat disebut dengan istilah sanksi pidana
administratif.
Hukum Pidana Administrasi dapat dikatakan sebagai hukum pidana di
bidang pelanggaran hukum administrasi. Oleh karena itu, tindak pidana
administrasi (administrative crime) dinyatakan sebagai “An offence
consisting of a violation of an administrative rule or regulation and
carrying with it a criminal sanction” (Black’s 1990: 45). Di samping itu,
karena hukum administrasi pada dasarnya “hukum mengatur” atau
hukum pengaturan (regulatory rules), yaitu hukum yang dibuat dalam
melaksanakan kekuasaan mengatur/pengaturan (regulatory powers)
maka hukum pidana administrasi sering pula disebut “hukum pidana
(mengenai) pengaturan” atau “hukum pidana dari aturan-aturan”
(Ordnungstrafrecht/Ordeningstrafrecht).
Bahwa berdasarkan pendapat hukum di atas, menurut Mahkamah,
tidaklah tepat apabila ketiadaan SLO dalam instalasi listrik dikenakan
sanksi pidana penjara. Mahkamah tidak sependapat dengan ahli
Pemerintah Dr. Mudzakkir, S.H.,M.H. yang mengatakan bahwa ketentuan
pidana yang dimuat dalam Pasal 54 ayat (1) UU Listrik merupakan fungsi
ancaman sanksi pidana dalam lapangan hukum administrasi sebagai
senjata pamungkas atau ultimum remedium, yaitu tidak perlu
dipergunakan jika sanksi administrasi sudah efektif, sebaliknya sanksi
pidana tersebut baru dipergunakan jika sanksi administrasi tidak efektif
karena meskipun sanksi administrasi sudah ditegakkan, tetap saja terjadi
pelanggaran hukum dalam Pasal 44 ayat (4) dan Pasal 54 ayat (1) UU
Listrik. Menurut Mahkamah, jikalau sanksi pidana penjara sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 54 ayat (1) UU Listrik merupakan ultimum
remedium maka sanksi pidana penjara tersebut tidak dapat dijatuhkan
secara kumulatif bersamaan dengan sanksi denda. Di samping itu,
Mahkamah berpendapat bahwa pelanggaran administrasi karena tidak
adanya SLO dalam instalasi listrik bukanlah tindakan kejahatan
pembunuhan, pelanggaran HAM, atau pencurian yang menghilangkan hak
orang lain. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, sanksi pidana penjara
yang dijatuhkan kepada masyarakat sebagaimana ditentukan dalam Pasal
54 ayat (1) UU Listrik bertentangan dengan Pasal 28G ayat (1) UUD
Tahun 1945.
Bahwa ketentuan mengenai kewajiban kepemilikan SLO dalam instalasi
listrik sebagaimana ditentukan dalam Pasal 44 ayat (4) UU Listrik dan
sanksi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 54 ayat (1) UU Listrik berlaku
sejak 2009 sejak diundangkannya UU Listrik. Meskipun demikian, banyak
instalasi listrik yang telah terbangun sebelum berlakunya UU Listrik.
Menurut Mahkamah, ketentuan peralihan/transisi (transitional clause)
perlu diatur dalam hal penerapan kepemilikan SLO setiap instalasi listrik.
Terlebih lagi, ketentuan SLO juga menerapkan sanksi pidana, yakni sanksi
pidana administratif. Kebutuhan ketentuan transisi ini juga mendasarkan
pada Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) yang
menyatakan, “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan
kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”.
Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah,
untuk menjamin kepastian hukum yang adil maka kewajiban kepemilikan
SLO dalam instalasi listrik sebagaimana ditentukan dalam Pasal 44 ayat
(4) UU Listrik dan sanksi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 54 ayat (1)
UU Listrik berlaku sejak putusan Mahkamah ini diucapkan sebagaimana
dinyatakan dalam amar putusan ini. Mahkamah berpendapat bahwa
ketentuan peralihan ini diperlukan agar tidak ada pihak-pihak yang
dirugikan dengan adanya perubahan UU Listrik. Dengan demikian,
ketentuan peralihan/transisi (transitional clause) ini tidak dapat berlaku
surut.
Menimbang bahwa, menurut Mahkamah, ketentuan mengenai kewajiban
kepemilikan SLO dalam instalasi listrik perlu dibedakan antara pembangkit
tenaga listrik, transmisi tenaga listrik, distribusi tenaga listrik,
pemanfaatan tenaga listrik tegangan tinggi, dan pemanfaatan tenaga
listrik tegangan menengah, termasuk pula rumah tangga masyarakat.
Pembedaan ini diperlukan karena masing-masing instalasi listrik memiliki
fungsi, manfaat, pengoperasian, dan risiko yang berbeda. Pembedaan
tersebut diatur oleh pembentuk Undang-Undang sebagai positive
legislator sepanjang pengaturan pembedaan instalasi listrik tidak
bertentangan dengan UUD Tahun 1945.
Terhadap pengujian atas pasal-pasal dalam UU Ketenagalistrikan,
Mahkamah Konstitusi membuat putusan yang memberikan implikasi
beberapa hal yaitu:
3.1. Frasa “pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan” dalam Pasal
54 ayat (1) UU Ketenagalistrikan bertentangan dengan UUD Tahun 1945
sepanjang tidak dimaknai, “Setiap orang yang mengoperasikan instalasi
tenaga listrik tanpa sertifikat laik operasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 44 ayat (4) dipidana dengan denda paling banyak
Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
3.2. Frasa “pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan” dalam Pasal
54 ayat (1) UU Ketenagalistrikan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Setiap orang yang mengoperasikan
instalasi tenaga listrik tanpa sertifikat laik operasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 44 ayat (4) dipidana dengan denda paling banyak
Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
3.3. Kewajiban pemilikan sertifikat laik operasi untuk setiap instalasi
tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) UU
Ketenagalistrikan dapat diberlakukan sejak putusan Mahkamah ini
diucapkan;
3.4. Sanksi pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat
(1) UU Ketenagalistrikan dapat diberlakukan sejak putusan Mahkamah ini,
namun tidak berlaku untuk instalasi listrik rumah tangga masyarakat;
Dengan memperhatikan tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi yang
tercantum dalam UUD Tahun 1945, secara tidak langsung sebenarnya
negara Indonesia telah menerapkan evaluasi dan monitoring terhadap
undang-undang yang sudah dihasilkan oleh pembentuk undang-undang
yaitu DPR. Tolok ukur yang digunakan oleh Mahkamah Konstitusi untuk
mengevaluasi undang-undang sudah ditentukan yaitu UUD Tahun 1945
itu sendiri. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor
001/PUU-I/2003, 021/PUU-I/2003 dan 022/PUU-I/2003, Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan dinilai bertentangan UUD
Tahun 1945 sehingga secara keseluruhan dinyatakan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat dan berlaku lagi.
Dengan adanya pembatalan atas UU 20 Tahun 2002 tentang
Ketenagalistrikan tersebut, perlu ada pengisian kekosongan/kevakuman
hukum (rechtsvacuum). Dalam amar Putusan Perkara 001/PUU-I/2003,
021/PUU-I/2003 dan 022/PUU-I/2003, Mahkamah Konstitusi menetapkan
undang-undang yang lama di bidang ketenagalistrikan, yaitu UU No. 15
Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1985 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3317) berlaku kembali karena Pasal 70 UU No. 20 Tahun 2002 yang
menyatakan tidak berlakunya UU No. 15 Tahun 1985 termasuk ketentuan
yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sekaligus
memberi saran kepada pembentuk undang-undang untuk menyiapkan
RUU Ketenagalistrikan yang baru yang sesuai dengan Pasal 33 UUD
Tahun 1945.
Menindaklanjuti pembatalan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Ketenagalistrikan tersebut, pembentuk undang-undang
selanjutnya mengesahkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009
tentang Ketenagalistrikan sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 15
Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1985 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3317) yang dinilai tidak sesuai lagi dengan tuntutan perkembangan
keadaan dan perubahan dalam kehidupan masyarakat.
Dengan memperhatikan arti penting tenaga listrik bagi negara dalam
mewujudkan kesejahteraan masyarakat dalam segala bidang dan sejalan
dengan ketentuan dalam Pasal 33 ayat (2) UUD Tahun 1945, UU
Ketenagalistrikan menyatakan bahwa usaha penyediaan tenaga listrik
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat yang penyelenggaraannya dilakukan oleh Pemerintah dan
pemerintah daerah. Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan
kewenangannya menetapkan kebijakan, pengaturan, pengawasan, dan
melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik.
Pemerintah dan pemerintah daerah menyelenggarakan usaha penyediaan
tenaga listrik yang pelaksanaannya dilakukan oleh badan usaha milik
negara dan badan usaha milik daerah. Untuk lebih meningkatkan
kemampuan negara dalam penyediaan tenaga listrik, UU
Ketenagalistrikan memberi kesempatan kepada badan usaha swasta,
koperasi, dan swadaya masyarakat untuk berpartisipasi dalam usaha
penyediaan tenaga listrik. Sesuai dengan prinsip otonomi daerah,
Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya
menetapkan izin usaha penyediaan tenaga listrik.
Namun dalam perkambangannya, UU Ketenagalistrikan juga diuji
konstitusionalitas normanya dalam perkara Nomor 58/PUU-XII/2014.
Terhadap pengujian atas pasal-pasal dalam UU Nomor 30 Tahun 2009
tentang Ketenagalistrikan tersebut, Mahkamah Konstitusi membuat
menyatakan beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2009 bersifat inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional).
Keputusan inkonstituional bersyarat (conditionally unconstitutional) ini
merupakan terobosan dari Mahkamah Konstitusi harus menguji undang-
undang yang rumusan normanya masih umum sehingga tidak dapat
dipastikan konstitusionalitas normanya. Pada keputusan ini, undang-
undang yang diuji pada dasarnya bertentangan dengan UUD Tahun 1945
tetapi kemudian menjadi konstitusional setelah diberi syarat oleh
Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan putusan tersebut, Frasa “pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan” dalam Pasal 54 ayat (1) UU Ketenagalistrikan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 133, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5052) bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak
dimaknai, “Setiap orang yang mengoperasikan instalasi tenaga listrik
tanpa sertifikat laik operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat
(4) dipidana dengan denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah);
Begitupun pada frasa “pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan”
dalam Pasal 54 ayat (1) UU Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5052) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
sepanjang tidak dimaknai, “Setiap orang yang mengoperasikan instalasi
tenaga listrik tanpa sertifikat laik operasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 44 ayat (4) dipidana dengan denda paling banyak
Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
Sedangkan terkait dengan kewajiban pemilikan sertifikat laik operasi
untuk setiap instalasi tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal
44 ayat (4) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang
Ketenagalistrikan, Menurut Mahkamah Konstitusi dapat diberlakukan sejak
putusan Mahkamah Konstitusi diucapkan. Terkait dengan sanksi pidana
denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) UU
Ketenagalistrikan dapat diberlakukan sejak putusan Mahkamah Konstitusi
tersebut, namun tidak berlaku untuk instalasi listrik rumah tangga
masyarakat. Adanya beberapa pasal yang dinilai Mahkamah Konstitusi
bersifat umum sehingga kesulitan dalam pengujian konstitusionalitas
normanya, agar tidak terjadi kerancuan dan ketidakpastian hukum dalam
penerapan pasal-pasal dalam UU Ketenagalistrikan perlu adanya
perubahan atas UU Ketenagalistrikan.

Dalam rangka mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap
pasal atau ayat dalam Undang-Undang tentang Ketenagalistrikan yang
dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah
Konstitusi. Akibat hukum terhadap pasal atau ayat dalam Undang-Undang
tentang Ketenagalistrikan yang dinyatakan Mahkamah Konstitusi sebagai
konstitusionalitas/ inkonstitusional bersyarat. Terjadi disharmoni norma
dalam UU Ketenagalistrikan jika suatu pasal atau ayat yang dinyatakan
tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi
berimplikasi terhadap norma pasal atau ayat lain yang tidak diujikan

Rekomendasi yang dapat diberikan dari hasil evaluasi ini berupa
perbaikan substansi UU Ketenagalistrikan. Perbaikan ini hendaknya
dituangkan dalam rencana perubahan atau penggantian UU
Ketenagalistrikan dalam Program Legislasi Nasional untuk kumulatif
terbuka maupun menjadi skala prioritas tahunan.

Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi : Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Kehutanan / 01-05-2017

1. Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 64/PUU-X/2012
a. Pendapat Hukum Mahkamah Konstitusi
Pasal 28G ayat (1) UUD Tahun 1945 menyatakan, “Setiap orang berhak
atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta
benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan
perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu yang merupakan hak asasi”, dan Pasal 28H ayat (4) UUD Tahun
1945 menyatakan, “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan
hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh
siapa pun”. Dari ketentuan tersebut, maka setiap orang berhak atas
perlindungan harta benda yang di bawah kekuasaannya dan setiap orang
memiliki hak milik pribadi yang tidak boleh diambil alih secara sewenang-
wenang oleh siapa pun;
Pengertian harta benda yang di bawah kekuasaannya adalah termasuk
harta bersama yang diperoleh bersama selama perkawinan, hal tersebut
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 35 ayat (1), Pasal 36 ayat (1), dan
Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU
Perkawinan) yang menyatakan:
Pasal 35
(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta
bersama
Pasal 36
(1) Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas
persetujuan kedua belah pihak.
Pasal 37
Bila perkawinan putus karena perceraian, harta benda diatur menurut
hukumnya masing-masing.
Selanjutnya Pasal 1 huruf f Kompilasi Hukum Islam yang berlaku
berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 (Inpres 1 Tahun
1991) menyatakan, ”harta kekayaan dalam perkawinan (harta bersama)
yaitu harta yang diperoleh baik sendiri sendiri atau bersama suami-istri
selama dalam ikatan perkawinan, tanpa mempersoalkan terdaftar atas
nama siapapun.” Oleh karena itu, dengan mengacu kepada UU
Perkawinan terutama Pasal 35 ayat (1), Pasal 36 ayat (1), Pasal 37 serta
Inpres 1 Tahun 1991 khususnya Pasal 1 huruf f maka terhadap seluruh
tabungan, deposito, dan harta benda dan produk perbankan lainnya
yang dimiliki dan disimpan di bank oleh suami dan atau isteri, harta
tersebut mempunyai kedudukan sebagai harta bersama (gono-gini) yang
dimiliki secara bersama-sama oleh suami dan atau isteri termasuk
Pemohon.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, harta bersama
(gono gini) yang diperoleh selama pernikahan, termasuk harta yang
disimpan oleh suami dan/atau isteri di satu bank baik dalam bentuk
tabungan, deposito dan produk perbankan lainnya merupakan harta
benda milik bersama suami isteri yang dilindungi menurut konstitusi.
Permasalahan yang harus dijawab oleh Mahkamah adalah adanya
larangan bagi bank untuk memberi keterangan mengenai nasabah
penyimpan dan simpanannya sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal
40 ayat (1) UU Perbankan, khususnya mengenai simpanan yang
merupakan harta bersama menurut UU Perkawinan.
Benar bahwa setiap nasabah harus dilindungi kerahasiaan datanya oleh
bank, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan,
akan tetapi pasal a quo juga memberikan pengecualian bahwa data
nasabah juga dapat diakses untuk:
 kepentingan perpajakan (Pasal 41),
 penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada
Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan
Piutang Negara (Pasal 41A),
 kepentingan peradilan dalam perkara pidana (Pasal 42),
 perkara perdata antar bank dengan nasabahnya (Pasal 43),
 kepentingan tukar-menukar informasi antar bank (Pasal
44), dan
 atas permintaan, persetujuan, atau kuasa dari nasabah
penyimpan yang dibuat secara tertulis (Pasal 44A).
Dari pengecualian tersebut, terdapat norma yang membolehkan data
nasabah dibuka atas perintah pengadilan, yaitu untuk perkara pidana dan
perkara perdata antarbank dengan nasabahnya. Berdasarkan hal
tersebut, menurut Mahkamah, akan lebih memenuhi rasa keadilan apabila
data nasabah juga harus dibuka untuk kepentingan peradilan perdata
terkait dengan harta bersama, karena harta bersama adalah harta milik
bersama suami dan isteri, sehingga suami dan/atau isteri harus mendapat
perlindungan atas haknya tersebut dan tidak boleh diambil secara
sewenang-wenang oleh salah satu pihak. Hal demikian dijamin oleh Pasal
28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD Tahun 1945.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah memandang
perlu ada penafsiran yang pasti terkait ketentuan Pasal 40 ayat (1) UU
Perbankan, agar terdapat kepastian hukum yang adil dalam pelaksanaan
dari pasal a quo, sehingga setiap isteri dan/atau suami termasuk
Pemohon memperoleh jaminan dan kepastian hukum atas informasi
mengenai harta bersama dalam perkawinan yang disimpan di bank.
Terhadap Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan perlu diberi penafsiran agar
data nasabah pada bank tetap terlindungi kerahasiannya, kecuali
mengenai hal-hal lain yang telah ditentukan oleh Undang-Undang dan
berdasarkan penafsiran oleh Mahkamah ini. Menurut Mahkamah, apabila
Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan dinyatakan bertentangan dengan UUD
1945 secara keseluruhan dan karena itu tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat, hal itu justru akan menimbulkan tidak adanya
perlindungan terhadap kerahasiaan bank, sehingga menimbulkan
ketidakpercayaan nasabah terhadap bank dan merugikan perekonomian
nasional. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, untuk melindungi hak-hak
suami dan/atau isteri terhadap harta bersama yang disimpan di bank,
maka Mahkamah perlu memberikan kepastian dan perlindungan hukum
yang adil. Ketentuan Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan harus dimaknai
“Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan
simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41,
Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 44A serta untuk
kepentingan peradilan mengenai harta bersama dalam perkara
perceraian.”
Dengan demikian dalil Pemohon a quo, menurut Mahkamah adalah
beralasan menurut hukum; mengenai ketentuan Pasal 40 ayat (2) UU
Perbankan yang didalilkan bertentangan dengan UUD 1945, menurut
Mahkamah, ketentuan tersebut adalah untuk pihak terafiliasi bukan untuk
perorangan warga negara. Pihak terafiliasi menurut Pasal 1 angka 22 UU
Perbankan adalah:
a. anggota dewan komisaris, pengawas, direksi atau kuasanya,
pejabat, atau karyawan bank;
b. anggota pengurus, pengawas, pengelola atau kuasanya, pejabat,
atau karyawan bank, khusus bagi bank yang berbentuk hukum koperasi
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. pihak yang memberikan jasanya kepada bank, antara lain akuntan
publik, penilai, konsultan hukum dan konsultan lainnya;
d. pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia turut serta
mempengaruhi pengelolaan bank, antara lain pemegang saham dan
keluarganya, keluarga komisaris, keluarga pengawas, keluarga direksi,
keluarga pengurus.
Apabila ketentuan tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD Tahun
1945 maka pihak terafiliasi dapat mengetahui data nasabah yang
seharusnya dirahasiakan. Hal itu justru meru¬gikan nasabah bank yang
berdampak hilangnya rasa percaya pada bank dan merugikan
perekonomian nasional. Dengan demikian ketentuan tersebut di atas tidak
bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan oleh karena itu dalil
permohonan Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum;
berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, menurut Mahkamah,
permohonan Pemohon terbukti dan beralasan menurut hukum untuk
sebagian;

b. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara ini bersifat declaratoir
artinya putusan di mana hakim menyatakan apa yang menjadi hukum.
Putusan hakim yang menyatakan permohonan atau gugatan ditolak
merupakan satu putusan yang bersifat declaratoir. Dalam hal ini, dengan
tegas hakim akan menyatakan bahwa amar putusannya bahwa materi
muatan, ayat, pasal dan/atau bagian dari Undang-Undang tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sifat putusan tersebut hanyalah
declaratoir dan tidak mengandung unsur penghukuman atau amar yang
bersifat condemnatoir. Akan tetapi, setiap putusan yang bersifat
declaratoir khususnya yang menyatakan bagian undang-undang, ayat
dan/atau pasal bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat juga sekaligus merupakan putusan
yang bersifat constitutief.
Putusan constitutief adalah putusan yang meniadakan satu keadaan
hukum yang menciptakan satu keadaan hukum yang baru. Menyatakan
satu undang-undang tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena
bertentangan dengan UUD Tahun 1945 adalah meniadakan keadaan
hukum yang timbul karena undang-undang yang dinyatakan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan sendirinya, putusan itu
menciptakan satu keadaan hukum yang baru.
Terkait putusan MK dengan Perkara No. 64/PUU-X/2012, pengecualian
yang diatur dalam Pasal 40, menyebutkan bahwa Bank wajib merahasikan
keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya kecuali
dalam hal sebagaimana dimaksud dalam pasal 41, 41A, 42, 43, 44 dan
44A yaitu:
1. Untuk Kepentingan Perpajakan, Sehubungan dengan kepentingan
perpajakan, ditetapkan:
a. Menteri keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis
kepada bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-
bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan nasabah
penyimpan tertentu kepada pejabat pajak.
b. Perintah tertulis sebagaimana dimaksudkan diatas haruslah
menyebutkan nama pejabat pajak dan nama nasabah wajib pajak yang
dikehendaki keterangannya.
2. Untuk Kepentingan Peradilan.
Sehubungan dengan kepentingan peradilan dalam perkara tindak pidana,
ditetapkan:
a. Menteri keuangan dapat memberikan izin kepada Polisi, Jaksa atau
Hakim untuk memperoleh keterangan dari bank tentang keuangan
tersangka/terdakwa pada bank.
b. Izin tersebut diatas diberikan secara tertulis atas permintaan tertulis
dari Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jaksa Agung atau Ketua
Mahkamah Agung.
Permintaan tertulis tersebut harus menyebutkan:
-nama dan jabatan Polisi, Jaksa atau Hakim
-nama Tersangka/Terdakwa
-sebab-sebab keterangan diperlukan
-hubungan perkara pidana yang bersangkutan dengan
keterangan-keterangan yang diperlukan.
3. Tukar Menukar Informasi
a. Dengan Bank Indonesia
Ketentuan-ketentuan tersebut diatas tidak mengurangi tugas dan
kewajiban Bank Indonesia tentang pengawasan dan pembinaan
perbankan dalam tukar-menukar informasi. Dalam hubungan dengan
tugas pembinaan dan pengawasan perbankan oleh Bank Indonesia antara
lain ditetapkan kewajiban pelaporan bank-bank kepada Bank Indonesia.
b. Dengan Bank lain
Dalam rangka tukar-menukar informasi antar bank, direksi bank dapat
memberikan keadaan keuangan nasabahnya kepada bank lain.
Hal yang paling penting untuk diingat bahwa selain pengecualian diatas
ada pengecualian lain terhadap rahasia bank jika ada persetujuan dari
nasabah, Undang-Undang Perbankan tidak menyebutkan secara eksplisit
bahwa rahasia bank tidak berlaku bila ada persetujuan nasabah kepada
bank untuk mengungkapkannya. Dengan keputusan MK No. 64/PUU-
X/2012, pengecualian ditambah untuk perkara yang terkait dengan
kepentingan peradilan mengenai harta bersama dalam perkara
perceraian.
Jadi implikasi putusan MK yang menambahkan frasa “serta untuk
kepentingan peradilan mengenai harta bersama dalam perkara
perceraian” diatas memberikan dasar hukum bagi pihak suami atau istri
untuk meminta bank membuka informasi tentang rekening nasabahnya
untuk kepentingan pembuktian di pengadilan.Pengecualian tentang
rahasia bank juga diatur dalam Peraturan Gubernur Bank Indonesia
Nomor 2/19/PBI/2000 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian
Perintah atau Izin Tertulis Membuka Rahasia bank.
Selain itu Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah, pengaturan Rahasia Bank diatur dalam Pasal 41 sedangkan
pengecualiannya diatur dalam Pasal 42 sampai dengan Pasal 48.
Pengecualian terhadap rahasia bank, yakni:
1. Pasal 41
Untuk kepentingan perpajakan dapat diberikan pengecualian kepada
pejabat pajak berdasarkan perintah Pimpinan Bank Indonesia atas
permintaan Menteri Keuangan.
2. Pasal 41A
Untuk penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada Badan
Urusan Piutang dan lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara dapat
diberikan pengecualian kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang
Negara/Panitia Urusan Piutang Negara atas izin Pimpinan Bank Indonesia.
3. Pasal 42
- Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana dapat diberikan
pengecualian kepada polisi, jaksa, atau hakim atas izin Pimpinan Bank
Indonesia.
- Dalam perkara perdata antara bank dengan nasabahnya dapat
diberikan pengecualian tanpa harus memperoleh izin Pimpinan Bank
Indonesia.
4. Pasal 44
Dalam rangka tukar-menukar informasi diantara bank kepada bank lain
dapat diberikan pengecualian tanpa harus memperoleh izin Pimpinan
Bank Indonesia.
5. Pasal 44A
Atas persetujuan, permintaan atau kuasa dari Nasabah Penyimpan secara
tertulis dapat diberikan pengecualian tanpa harus memperoleh izin
Pimpinan Bank Indonesia.

Terkait dengan UU Perbankan Syariah selayaknya juga harus mematuhi
Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara No. 64/PUU-X/2012. Didalam
hukum positif Indonesia, harta bersama selain yang diatur dalam UU
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, juga diatur dalam Pasal 119
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, ketentuan dalam Pasal 119 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata), menyebutkan bahwa
“sejak saat dilangsungkannya perkawinan, maka menurut hukum
terjadinya harta bersama menyeluruh antara suami istri, sejauh tentang
hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian
perkawinan. Harta bersama itu, selama perkawinan berlangsung, tidak
boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami
istri”.
Lebih lanjut berdasarkan Pasal 126 KUH Perdata , harta bersama bubar
demi hukum salah satunya karena perceraian. Setelah bubarnya harta
bersama, kekayaan bersama mereka dibagi dua antara suami dan isteri.
Jadi dengan adanya keputusan Mahkamah Konstitusi Perkara No.
64/PUU-X/2012, akan membuka ruang harmonisasi hukum antara hukum
perbankan, KUHPerdata dan hukum keluarga (UU Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam), tidak dilihat secara parsial.

2. Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 109/PUU-XII/2014
a. Pendapat Hukum Mahkamah Konstitusi
Mahkamah sependapat dengan dalil Pemohon bahwa sepanjang frasa
“bagi bank” Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan mengakibatkan Bank
DKI tidak mau taat atau patuh pada perintah hakim pada Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat dan peraturan perundang-undangan yang berlaku
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945.
Putusan Mahkamah yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
memiliki 3 (tiga) sifat kekuatan sehingga putusan tersebut harus
dilaksanakan, yaitu mempunyai kekuatan mengikat, kekuatan bukti dan
kekuatan untuk dilaksanakan.
Putusan yang mempunyai kekuatan untuk dilaksanakan merupakan tindak
lanjut dari putusan sebagai hasil dari proses hukum melalui peradilan
penyelesaian sengketa yang mengikat dan menjadi hukum bagi para
pihak. Putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap juga mempunyai
kekuatan untuk dilaksanakan serta tidak dapat diubah oleh siapapun dan
harus dilaksanakan.
Putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap mempunyai
kekuatan untuk dilaksanakan tidak dapat diganggu gugat lagi, merupakan
konsekuensi dari adagium that judgment was that of God, putusan Hakim
sama dengan putusan Tuhan, dengan irah-irah “Demi Keadilan
Berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa”, menempatkan putusan hakim
sebagai kebenaran terakhir dalam upaya penegakan hukum, kebenaran,
dan keadilan Ithe last resort).
Putusan pengadilan berperan juga sebagai sarana untuk melindungi
anggota masyarakat yang merasa teraniaya, dilanggar atau diambil hak-
haknya. Putusan Pengadilan sebagai penentuan suatu tindakan hukum
tertentu boleh atau tidak, melanggar hukum atau tidak, patut atau tidak
patut, melamaui batas atau tidak, menentukan apakah suatu tindakan
hukum bertentangan dengan kepentingan hukum atau tidak, oleh
karenanya putusan pengadilan wajib dilaksanakan dan dihormati serta
ditaati oleh subyek hukum baik perseorangan maupun korporasi.
Dalam menemukan hukum untuk memberikan putusannya hakim dengan
cara selain menafsirkan, mengkonstruksikan hukum terkadang harus juga
menciptakan/menemukan hukum sehingga dalam hal tertentu hakim
melalui putusannya melakukan peran sebagai lembaga pembentuk
Undang-Undang, oleh karenanya putusan hakim merupakan Undang-
Undang yang berlaku bagi warga masayarakat.
Salah satu ciri Negara hukum adalah pengadilan dalam pengambilan
putusan secara substansi tidak boleh da campur tangan, negosiasi dan
kompromi dengan pihak manapun sebagai konsekuensi dari kedudukan
lembaga peradilan selaku kekuasaan yang merdeka, bebas dari segala
campu tangan pihak manapun sebagaimana diatur dalam UUD Tahun
1945. Peradilan bebas dan tidak memihak mutlak harus ada dalam setiap
Negara hukum. Dalam menjalankan tugas judisialnya, hakim tidak boleh
dipengaruhi oleh siapapun juga, baik karena kepentingan Jabatan
(politik) maupun kepentingan uang (ekonomi). Untuk menjamin kedilan
dan kebenaran, tidak diperkenankan adanya intervensi ke dalam proses
pengambilan putusan keadilan oleh hakim, baik intervensi dari lingkungan
kekuasaan eksekutif maupun legislative ataupun dari kalangan
masyarakat dan media massa. Dalam menjalankan tugasnya, hakim tidak
boleh memihak kepada siapapun juga kecuali hanya kepada kebenaran
dan keadilan sebagai konsekuensi dalam menjalankan tugasnya. Proses
pemeriksaan perkara oleh hakim harus bersifat terbuka dan dalam
menentukan penilaian dan engambilan keputusan, hakim harus
menghayati nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang di tengah-
tengah masyarakat. Hakim tidak hanya bertindak sebagai corong Undang-
Undang atau peraturan perundang-undangan, melainkan juga corong
keadilan yang menyuarakan perasaan keadilan yang hidup dan
berkembang di tenah-tengah masyarakat.
Bahwa Negara hukum harus menjamin, melindungi, memenuhi serta
memajukan hak asasi manusia sesuai dengan harkat dan martabat
sebagai manusia, jaminan, perlindungan, pemenuhan dan pemajuan
terhadap hak asasi manusia adalah sebuah keniscayaan yang tidak boleh
diabaikan oleh siapapun.Menimbang bahwa Pasal 40 ayat (1) UU
Perbankan menegaskan bank harus tunduk kepada kepentingan peradilan
yang mana ketentuannya menyatakan , “Bank wajib merahasiakan
keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya, kecuali
dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42,
Pasal 43, Pasal 44 dan pasal 44A”. Pasal 42 ayat (1) UU Perbankan
menyatakan, “Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana,
Pimpinan Bank Indonesia dapat memberikan izin kepada Polisi, Jaksa,
atau Hakim untuk memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan
tersangka atau terdakwa pada bank”.
Menurut Pemohon, pasal a quo menentukan bahwa pengurus bank hanya
tunduk pada peraturan tertentu yang berlaku hanya pada sector
perbankan dan tidak tunduk pada penetapan eksekusi yang merupakan
proses hukum yang melekat dan satu kesatuan dengan putusan hakim
yang telah berkekuatan hukum tetap, maka selanjutnya Mahkamah
berpendapat bahwa suatu putusan tidak ada artinya apabila tidak
dilaksanakan dan merupakan pelanggaran terhadap hukum dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dalam Negara Republik Indonesia
yang merupakan Negara hukum sesuai dengan UUD Tahun 1945 dan
pihak lain yang terkait langsung maupun tidak langsung harus
menghormati putusan pengadilan, serta mengabaikan pengurus bank
terhadap putusan pengadilan karena berlindung di bawah ketentuan frasa
“bagi bank”, menurut Mahkamah bertentangan dengan Pasal 28D UUD
Tahun 1945.
Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah
permohonan Pemohon mengenai frasa “Bagi bank” yang tercantum dalam
Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan beralasan menurut hukum.
Sehingga Mahkamah mengabulkan permohonan pemohon untuk
seluruhnya.
Frasa “Bagi bank” yang tercantum dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b UU
Perbankan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat.
b. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan yang telah mempunyai hukum yang tetap memiliki 3 (tiga) sifat
kekuatan sehingga putusan tersebut harus dilaksanakan, yaitu
mempunyai kekuatan mengikat, kekuatan bukti dan kekuatan untuk
dilaksanakan. Suatu putusan tidak ada artinya apabila tidk dilaksanakan
dan merupakan pelanggaran hukum dan peratutan perundang-undangan
yang berlaku di Indonesia.
Putusan nomor 109/PUU-XII/2014 menyatakan bahwa frasa “bagi bank”
dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan bertentangan dengan
Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945, oleh karena itu Pasal 49 ayat (2)
huruf b tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pasal 49 ayat (2) huruf b menyatakan, “Anggota Dewan Komisaris,
Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja”
a. ...;
b. “Tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk
memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini
dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi
bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun
dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda sekurang-kurangnya
Rp. 5.000.000.000., (lima milyar rupiah) dan paling banyak
Rp.100.000.000.000., (seratus miliar rupiah)
Eksekusi pencairan sesuai dengan Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat Nomor 07/Del/2013/PN.JKT.PST juncto Nomor
1485/PDT.G/2008/PN.JKT.SEL, bertanggal 3 Maret 2014, tidak bisa
dilaksanakan karena Bank DKI beralasan pihaknya dapat mencairkan
dana tersebut sepanjang pihak juru sita pengadilan membawa surat
perintah pemindahbukuan atau cek/bilyet giro dari PD Pasar Jaya selaku
pemilik rekening, Bank DKI memastikan pencairan dana tersebut belum
sesuai ketentuan hukum perbankan. Atas dasar ini, Pemohon melakukan
uji materi terhadap Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan karena pasal
tersebut telah menimbulkan ketidakpastian hukum mengakibatkan
hilangnya hak konstitusional dirinya sebagai pemohon eksekusi di PN
Jakarta Pusat.
Laporan Pemohon kepada Kepolisian dengan tuduhan pasal 216 KUHP,
231 KUHP dan Pasal 49 UU Perbankan, juga tidak dapat diterima oleh
Kepolisian karena Penjelasan Pasal 49 ayat (3) huruf b UU Perbankan
dianggap tidak jelas maknanya sehingga tidak memberikan kepastian
hukum.Alasan yang sama juga dipakai OJK untuk tidak menindaklanjuti
laporan Pemohon. Padahal, Pemohon yakin hal ini bagian dari tugas dan
fungsi OJK sebagai pengawas perbankan untuk menilai Bank DKI apakah
patuh dan taat pada aturan yang ada. Oleh karena itulah pemohon
menganggap penjelasan Pasal 49 ayat (3) huruf b UU Perbankan juga
telah menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil dan mengakibatkan
hilangnya hak konstitusional Pemohon sebagai Pemohon Eksekusi di PN
Jakarta Pusat. Dengan kata lain, pemohon menganggap seharusnya
pegawai bank yang tidak melaksanakan perintah pengadilan harus dikenai
sanksi pidana karena tidak menjalankan wewenang dan tanggung
jawabnya.
Dari uraian diatas dapat diartikan bahwa Bank DKI tidak mau
melaksanakan perintah PN Jakarta Pusat karena Bank DKI hanya tunduk
pada perintah atau ketentuan dari UU Perbankan saja akibat dari frasa
“bagi bank”, dengan dihapusnya frasa “bagi bank” maka Bank DKI harus
melaksanakan apa yang diperintahkan oleh peraturan perundang-
undangan diluar UU Perbankan. Bank DKI maupun bank lainnya tidak
dapat lagi beralasan “tidak dapat melaksanakan perintah pengadilan
karena diamanatkan oleh UU Perbankan”. Sehingga frasa “bagi bank”
Pasal 49 ayat (2) huruf b Perbankan untuk dihapus.
Pada perkara No. 64/PUU-X/2012, menurut Mahkamah perlu ada
penafsiran yang pasti terkait ketentuan Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan
agar data nasabah pada bank tetap terlindungi kerahasiaannya, tetapi
juga dapat melindungi hak-hak suami dan/atau istri terhadap harta
bersama yang disimpan dibank, maka ketentuan Pasal 40 ayat (1) UU
Perbankan harus dimaknai “Bank wajib merahasiakan keterangan
mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasl 43,
Pasal 44 dan Pasal 44A serta untuk kepentingan peradilan mengenai
harta bersama dalam perkara perceraian”.
Konkritnya terhadap Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan perlu menambah
ketentuan baru, yang berbunyi “untuk kepentingan peradilan mengenai
harta bersama dalam perkara perceraian”. Hal ini perlu diatur kalau tidak
diatur kemungkinan akan terjadinya ketidak jujuran dalam hubungan
perkawinan. Untuk itu perlu perubahan terhadap Pasal 40 ayat (1) UU
Perbangkan. Pada perkara No. 109/PUU-XII/2014, menyatakan frasa
“bagi bank” Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan bertentangan
dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Jadi untuk menjamin kepastian hukum, jaminan hukum dan perlindungan
hukum yang adil bagi nasabah maka frasa “bagi bank” perlu dihapus.
Karena frasa “bagi bank” sering dijadikan alasan oleh bank, bahwa bank
akan melakukan atau melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan
sesuai dengan ketentuan UU Perbankan, diluar ketentuan UU Perbankan
pihak bank bisa menolak untuk melakukan atau melaksanakan langkah-
langkah yang diperlukan, termasuk tidak mau melaksanakan perintah
atau keputusan pengadilan. Yang sejatinya bank harus mematuhi semua
peraturan perundang-undangan yang berlaku di Republik Indonesia.

Kewenangan Mahkamah Konstitusi menurut Pasal 24C ayat (1) UUD
Tahun 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK Mahkamah Konstitusi
berwenang untuk menguji undang-undang terhadap UUD Tahun 1945.
Mahkamah Konstitusi dapat menguji dan bahkan membatalkan suatu
undang-undang apabila diyakini bertentangan dengan UUD. Jika
bertentangan, Hakim Mahkamah Konstitusi memberikan putusan yang
bersifat final, yang menyatakan sebagian materi ataupun keseluruhan
undang-undang itu dapat dinyatakan tidak lagi berlaku mengikat untuk
umum. Konsekuensinya semua pihak harus mematuhi perubahan
keadaan hukum yang diciptakan melalui putusan Mahkamah Konstitusi
dan mengimplentasikannya.
Pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi pada prinsipnya
menyangkut kepentingan banyak pihak, bukan hanya menyangkut
kepentingan pemohon yang mengajukan permohonan pengujian undang-
undang tersebut. Salah satu pihak yang ikut berkepentingan dalam proses
pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi adalah pembuat
undang-undang yaitu DPR dan Presiden serta DPD. Karena Presiden dan
DPR adalah lembaga Negara yang secara konstitsional bertanggung
jawab dalam pembuatan undang-undang.
Terkait Putusan No. 64/PUU-X/2012, Pasal yang diuji adalah Pasal 40 ayat
(1) dan (2) UU Perbankan. Batu ujinya Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H
ayat (4) UUD Tahun 1945. Dengan amar putusan mengabulkan untuk
sebagian yaitu Pasal 40 ayat (1) dan menolak permohonan pemohon
Pasal 40 ayat (2).
Mahkamah Konstitusi melalui hakimnya telah melakukan penemuan
hukum melalui penafsiran UU Perbankan yaitu konstitusional bersyarat.
Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan merupakan konstitusional bersyarat yakni
harus dimaknai “Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah
penyimpan dan simpananya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44 dan pasal 44A
serta untuk kepentingan peradilan mengenai harta bersama dalam
perkara perceraian”, atau inkonstitusional bersyarat apabila Pasal 40 ayat
(1) UU Perbankan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai
termasuk untuk “kepentingan peradilan mengenai harta bersama dalam
perkara perceraian”.
Sehingga Pasal perubahan yang diusulkan supaya ada kepastian hukum:
Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan, akan tetapi pasal a quo juga
memberikan pengecualian bahwa data nasabah juga dapat diakses untuk:
 kepentingan perpajakan (Pasal 41),
 penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada
Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan
Piutang Negara (Pasal 41A),
 kepentingan peradilan dalam perkara pidana (Pasal 42),
 perkara perdata antar bank dengan nasabahnya (Pasal 43),
 kepentingan tukar-menukar informasi antar bank (Pasal
44), dan
 atas permintaan, persetujuan, atau kuasa dari nasabah
penyimpan yang dibuat secara tertulis (Pasal 44A).
• Kepentingan peradilan mengenai harta bersama dalam perkara
perceraian.

Terkait dengan Perkara No. 109/PUU-XII/2014, Pasal yang diuji adalah
Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan, dan batu ujinya Pasal 28D ayat
(1) UUD Tahun 1945, dengan amar putusan mengabulkan permohonan
Pemohon untuk seluruhnya. Hakim memutuskan bahwa Pasal 49 ayat (2)
huruf b UU Perbankan juga merupakan konstitusional bersyarat, frasa
“bagi bank” dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan, tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Sehingga Pasal perubahan yang diusulkan supaya ada kepastian hukum:
Pasal 49 ayat (2) huruf b menyatakan, “Anggota Dewan Komisaris,
Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja”
a. ...;
b. “Tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk
memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini
dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku,
diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan
paling lama 8 (delapan) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp.
5.000.000.000., (lima milyar rupiah) dan paling banyak
Rp.100.000.000.000., (seratus miliar rupiah)”.

Keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai organ yang mempunyai tugas
menguji UU tentu mempunyai korelasi dengan tugas dan kewenangan
DPR dan Presiden sebagai organ pembentuk undang-undang. Di mana
Mahkamah Konstitusi berwenang menyatakan bahwa suatu undang-
undang atau ketentuan di dalamnya yang merupakan hasil persetujuan
bersama DPR dan Presiden bertentangan dengan undang-undang dasar
dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Keputusan Mahkamah Konstitsi tersebut harus ditindaklanjuti,
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 10 ayat (1) UU P3 bahwa materi
muatan yang harus diatur dengan UU antara lain tindak lanjut atas
putusan MK. Oleh karena itu perlu segera mengajukan perubahan
terhadap UU Perbankan. Selain itu Keputusan Mahkamah Konstitusi juga
dapat dijadikan dasar-dasar pemikiran dalam menyusun suatu Naskah
Akademik terkait dengan perubahan UU Perbankan.

Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi / 01-05-2017

Pendidikan merupakan bagian esensial dari hak asasi manusia, yang diselenggarakan oleh setiap negara demi tercapainya cita-cita nasional negara yang bersangkutan. Indonesia mengakui dan melindungi hak asasi tersebut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945) sebagai konstitusi negara, yaitu pada alinea keempat Pembukaan UUD Tahun 1945 dan Pasal 31 UUD Tahun 1945. Pengaturan pendidikan dalam konstitusi negara menimbulkan hak konstitusional bagi setiap rakyat Indonesia dan kewajiban konstitusional bagi negara, yaitu setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pendidikan sedangkan negara berkewajiban untuk mengusahakan, menyelenggarakan dan membiayai pendidikan serta memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi. Berkaitan dengan pengujian materil UU Sisdiknas, Pasal 51 ayat (3) huruf b Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) mengatur tentang uji materil dengan mana materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang dianggap bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Terhadap UU Sisdiknas, MK telah mengabulkan 5 (lima) permohonan. Mengingat UU Sisdiknas sangat penting untuk menegakkan hukum bagi pencari keadilan dan mencari kepastian hukum, maka Pusat Pemantauan dan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI, perlu mengadakan analisis dan evaluasi terhadap pengujian UU Sisdiknas yang dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi.

1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal atau ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi?
2. Apa akibat hukum terhadap pasal atau ayat suatu undang-undang yang dinyatakan Mahkamah Konstitusi sebagai konstitusionalitas/ inkonstitusional bersyarat?
3. Apakah terjadi disharmoni norma dalam suatu undang-undang jika suatu pasal atau ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi berimplikasi terhadap norma pasal atau ayat lain yang tidak diujikan?

Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD Tahun 1945, salah satu kewenangan dari Mahkamah Konstitusi adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Ada 3 (tiga) ciri utama yang menandai prinsip supremasi konstitusi, yaitu:
1. pembedaan antara norma hukum konstitusi dan norma hukum lainnya;
2. keterikatan pembuat undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar; dan
3. adanya satu lembaga yang memiliki kewenangan untuk menguji konstitusionalitas undang-undang dan tindakan hukum pemerintah.
Dengan demikian, esensi dari produk putusan Mahkamah Konstitusi dalam menguji undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 ditempatkan dalam bingkai mekanisme check and balances antara lembaga negara. Pengujian terhadap substansi UU Ketenagakerjaan melalui pengujian materiil maupun proses pembentukannya melalui pengujian formil telah dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Hal ini untuk menjamin bahwa UU Ketenagakerjaan tidak bertentangan dan sesuai dengan jiwa UUD Tahun 1945.
Terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tidak dapat dilakukan upaya hukum dan putusan tersebut langsung mengikat sebagai hukum sejak diucapkan di persidangan dan tidak dapat dimohonkan pengujian kembali. Amar putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan satu permohonan pengujian undang-undang akan menyatakan satu pasal, ayat, atau bagian dari undang-undang, dan bahkan undang-undang secara keseluruhan bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Sebagai konsekuensinya maka undang-undang, pasal, ayat atau bagian dari undang-undang yang diuji tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Beberapa norma UU Ketenagakerjaan yang telah diputuskan Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dengan sendirinya telah batal dan tidak berlaku lagi. Putusan Mahkamah Konstitusi hanyalah sebagai solusi sementara terhadap beberapa materi UU Ketenagakerjaan yang telah diputuskan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 sampai pembentuk undang-undang melakukan perubahan atau penggantian terhadap UU Ketenagakerjaan.
Putusan Mahkamah Konstitusi terutama dalam pengujian undang-undang kebanyakan jenisnya adalah bersifat declaratoir constitutief. Artinya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menciptakan atau meniadakan satu keadaan hukum baru atau membentuk hukum baru sebagai negative legislature. Hal lain yang perlu dicermati lebih lanjut adalah adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) maupun inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional). Varian putusan Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan putusan yang menyatakan bahwa suatu ketentuan undang-undang tidak bertentangan dengan konstitusi dengan memberikan persyaratan pemaknaan dan keharusan kepada lembaga negara dalam pelaksanaan suatu ketentuan undang-undang untuk memperhatikan penafsiran Mahkamah Konstitusi atas konstitusionalitas ketentuan undang-undang yang sudah diuji tersebut. Dengan demikian, terdapat penafsiran sendiri dari Mahkamah Konstitusi agar suatu norma undang-undang tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap UU Ketenagakerjaan telah mempunyai 3 (tiga) kekuatan, yaitu: mengikat untuk semua orang (erga omnes), dapat digunakan sebagai alat bukti dengan kekuatan pasti secara positif, dan telah berlaku sebagai undang-undang meskipun belum dilakukan perubahan oleh pembentuk undang-undang.

1. Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 011/PUU-III/2005
a. Pendapat Hukum Mahkamah Konstitusi
Negara menjamin hak setiap warga negara untuk mendapat pendidikan yang telah diatur dalam Pasal 31 ayat (1) UUD Tahun 1945, karena pendidikan merupakan instrumen pengembangan diri manusia sebagai bagian dari hak asasi manusia, sebagaimana ketentuan Pasal 28C ayat (1) UUD Tahun 1945. Mahkamah berpendapat bahwa pada hakikatnya pelaksanaan ketentuan Konstitusi tidak boleh ditunda-tunda. UUD Tahun 1945 secara expressis verbis telah menentukan, bahwa anggaran pendidikan minimal 20% harus diprioritaskan yang tercermin dalam APBN dan APBD tidak boleh direduksi oleh peraturan perundang-perundangan yang secara hierarkis berada di bawahnya. Penjelasan Pasal 49 ayat (1) “pemenuhan pendanaan pendidikan dapat dilakukan secara bertahap” sebagaimana menurut Pemerintah, kata "dapat" dalam kalimat pemenuhan pendanaan pendidikan dapat dilakukan secara bertahap menunjuk pada suatu kondisi tertentu mengenai kemampuan untuk melakukan sesuatu. Dalam hal kondisi keuangan negara mampu untuk memenuhi alokasi dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan minimal 20% (dua puluh persen) dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), maka negara akan melaksanakan pemenuhan alokasi dana tersebut sekaligus.
Sebaliknya apabila kondisi keuangan negara belum mampu untuk memenuhi alokasi anggaran dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan minimal 20% (dua puluh persen) dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), maka negara melaksanakan pemenuhan alokasi anggaran dana pendidikan tersebut secara bertahap. Selanjutnya Mahkamah menyatakan bahwa UU Sisdiknas juga telah membentuk norma baru yang mengaburkan norma yang terkandung dalam Pasal 49 ayat (1) yang ingin dijelaskannya, sehingga ketentuan dalam Penjelasan Pasal 49 ayat (1) juga bertentangan dengan prinsip-prinsip dan teori perundang-undangan yang sudah lazim diterima dalam ilmu hukum yang kemudian dituangkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
c. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan MK menyatakan Penjelasan Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dikeluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa Penjelasan Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat, membawa implikasi bahwa pengalokasian anggaran pendidikan harus mempunyai besaran 20% dari APBN dan APBD, dan tidak bisa lagi dilakukan secara bertahap sebagaimana diartikan selama ini oleh berbagai kalangan.

2. Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 24/PUU-V/2007
a. Pendapat Hukum Mahkamah Konstitusi
Menurut pandangan Mahkamah, Pasal 31 ayat (4) UUD Tahun 1945 tidak membuka adanya kemungkinan penafsiran lain selain bahwa negara wajib memprioritaskan anggaran pendidikan dalam APBN dan APBD, prioritas yang dimaksud haruslah sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD. Adanya perubahan dalam sistem pengalokasian anggaran dalam APBN, yang tidak lagi menunjuk pada sektor melainkan fungsi, sehingga untuk mengetahui besaran anggaran pendidikan menjadi tergantung pada interpretasi terhadap pengertian fungsi pendidikan dan anggaran yang dialokasikan baginya dalam APBN dimaksud. Istilah anggaran pendidikan dan dana pendidikan merupakan dua istilah yang berbeda baik dari sisi substansi yang terkandung di dalamnya, maupun dari sisi etimologi. Anggaran budget atau begroting merupakan istilah yang diterima umum dan mempunyai pengertian baku, yakni rencana pendapatan dan belanja negara/daerah dalam kurun waktu satu tahun dalam bentuk pendapatan dan belanja serta pembiayaan berupa setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali. Sedangkan dana diartikan sebagai akibat realisasi dari anggaran, sehingga dana tidak mungkin dikeluarkan sebelum dianggarkan terlebih dahulu dalam APBN/APBD. Bahwa benar Pasal 31 Ayat (4) UUD Tahun 1945 tidak merinci apa saja yang menjadi lingkup dua puluh persen dari anggaran pendidikan, namun bukan berarti dapat ditafsirkan secara berbeda oleh Pasal 49 Ayat (1) UU Sisdiknas. UU Sisdiknas telah menentukan dalam Ketentuan Umum Pasal 1 angka 3 bahwa sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang berarti juga termasuk gaji pendidik. Rumusan yang termuat dalam Pasal 49 Ayat (1) UU Sisdiknas telah membuat norma yang sangat berbeda dari maksud Pasal 31 Ayat (4) UUD Tahun 1945. Terlepas dari segala maksud baik yang melatarbelakanginya, rumusan makna Pasal 49 Ayat (1) UU Sisdiknas menjadi tidak konsisten dengan rumusan makna Pasal 1 angka 3 dan angka 6 UU Sisdiknas itu sendiri. Dari bunyi Pasal 1 angka 3 dan 6 tersebut, Pasal 49 Ayat (1) UU Sisdiknas telah menempatkan guru dan dosen serta mengecualikan gajinya tidak sebagai komponen pendidikan. Selain itu, rumusan Pasal 49 Ayat (1) UU Sisdiknas telah mempersempit makna filosofis Pasal 31 Ayat (4) UUD Tahun 1945, yang seharusnya tidak boleh dilakukan, mengingat UUD Tahun 1945 merupakan norma tertinggi bagi bangsa dan Negara. seharusnya UU Sisdiknas tidak mengatur secara definitif maupun limitatif tentang besaran jumlah anggaran pendidikan yang dalam undang-undang tersebut digunakan istilah "dana pendidikan". Karena, besaran angka presentase anggaran pendidikan ditentukan dalam Pasal 31 Ayat (4) UUD Tahun 1945 sehingga penjabaran secara definitif dan limitatif diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang APBN yang ditetapkan setiap tahun. Pasal 31 Ayat (1) UUD Tahun 1945 menyatakan, Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional, dan sebagai tindak lanjut atau aturan operasionalnya dari ketentuan tersebut adalah diberlakukannya Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (UU APBN) dengan masa berlaku setiap satu tahun. Berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah berpendapat, dalil para Pemohon sepanjang menyangkut frasa “gaji pendidik dan” dalam ketentuan Pasal 49 Ayat (1) UU Sisdiknas bertentangan dengan Pasal 31 Ayat (4) UUD Tahun 1945 adalah beralasan sehingga gaji pendidik harus secara penuh diperhitungkan dalam penyusunan anggaran pendidikan. Dengan demikian dalam penyusunan anggaran pendidikan, gaji pendidik sebagai bagian dari komponen pendidikan dimasukkan dalam penyusunan APBN dan APBD. Apabila gaji pendidik tidak dimasukkan dalam anggaran pendidikan dalam penyusunan APBN dan APBD dan anggaran pendidikan tersebut kurang dari 20% dalam APBN dan APBD maka undang-undang dan peraturan yang menyangkut anggaran pendapatan dan belanja dimaksud bertentangan dengan Pasal 31 Ayat (4) UUD Tahun 1945.
Sehubungan dengan dalil para Pemohon terhadap UU APBN Tahun Anggaran 2007 Mahkamah berpendapat, UU APBN mempunyai karakter yang berbeda dengan undang-undang pada umumnya, di antaranya adalah bersifat eenmalig [vide Pasal 23 Ayat (1) UUD 1945] yang berlaku hanya untuk satu tahun dan sudah berakhir. Oleh karena itu, terhadap dalil para Pemohon sepanjang menyangkut UU APBN Tahun Anggaran 2007 tidak perlu dipertimbangkan lebih lanjut.
Berdasarkan seluruh uraian tersebut di atas, Mahkamah berkesimpulan: Permohonan para Pemohon mengenai Pasal 49 Ayat (1) UU Sisdiknas sepanjang menyangkut frasa “gaji pendidik dan” cukup beralasan, sehingga harus dikabulkan. Permohonan para Pemohon terhadap UU APBN Tahun Anggaran 2007 harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
b. Dissenting Opinion Hakim Mahkamah Konstitusi
Terhadap putusan Mahkamah Konstitusi perkara Nomor 24/PUU-V/2007, tiga orang Hakim Konstitusi mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinions), yaitu Hakim Konstitusi H. Abdul Mukthie Fadjar, Maruarar Siahaan, dan H. Harjono sebagai berikut:
1. Hakim Konstitusi H. Abdul Mukthie Fadjar
Pemohon membangun argumentasi bahwa ketentuan Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas telah mengeluarkan pendidikan sebagai komponen utama pendidikan, sehingga akan merugikan hak konstitusional mereka sebagai pendidik, karena gaji dan kesejahteraan mereka akan semakin kecil. Padahal, ketentuan Pasal 49 Ayat (1) UU Sisdiknas tersebut tak ada kaitannya dengan persoalan komponen pendidikan, dalam hal mana tak ada yang membantah bahwa pendidik memang merupakan salah satu komponen sistem pendidikan nasional, namun ketentuan a quo hanyalah bicara soal pengalokasian dana pendidikan di mana gaji guru dan dosen (pendidik) memang tak dimasukkan, sebab gaji guru dan dosen yang diangkat oleh Pemerintah (PNS) seperti PNS pada umumnya, gajinya diatur tersendiri dalam Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil (PGPS) dan juga dimasukkan dalam RAPBN. Selanjutnya Hakim berpendapat, apabila gaji pendidik dimasukkan dalam alokasi dana pendidikan sebagaimana dimaksud Pasal 49 Ayat (1) UU Sisdiknas, maka akan berarti bahwa gaji para pendidik seluruhnya, baik yang PNS maupun non-PNS harus ditanggung oleh negara lewat APBN dan APBD, suatu hal yang sangat mustahil. Berdasarkan keterangan DPR RI dan Pemerintah, maksud rumusan Pasal 49 Ayat (1) UU Sisdiknas justru sebagai bentuk kebijakan agar dana yang tersedia bagi penyelenggaraan pendidikan (termasuk untuk berbagai tunjangan bagi guru dan dosen yang diatur dalam UU Guru dan Dosen) menjadi lebih besar jika komponen gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan tidak dimasukkan. Bukan dalam arti mengeluarkan pendidik sebagai komponen pendidikan, sebagaimana dipahami oleh para Pemohon dan juga pendapat mayoritas. Para Pemohon sama sekali tidak dirugikan oleh berlakunya Pasal 49 Ayat (1) UU Sisdiknas, bahkan secara konsepsional justru diuntungkan dan seharusnya berterima kasih kepada pembentuk undang-undang yang secara konsepsional telah mengalokasikan dana pendidikan minimal 20% dalam APBN dan APBD selain untuk gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan yang disediakan alokasi tersendiri dalam APBN. Pengabulan permohonan perkara Nomor 24/PUU-V/2007 dengan dalih agar ketentuan Pasal 31 ayat (4) UUD Tahun 1945 terpenuhi merupakan suatu “penyiasatan” konstitusional yang menyesatkan dengan catatan jika gaji pendidik yang PNS dimasukkan dalam anggaran 20% maka dipastikan mudah terpenuhi, sebab saat ini anggaran tersebut sudah berkisar antara 18-19% dari APBN.
2. Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan dan Hakim Konstitusi H. Harjono
Seyogianya Mahkamah hanya menyerahkan kepada Pemerintah dan DPR RI, apakah merevisi Pasal 49 Ayat (1) UU Sisdiknas sebagai bagian kebijakannya, dan tidak menguji dan menyatakan Pasal 49 Ayat (1) UU Sisdiknas sepanjang frasa “gaji pendidik dan” yang memisahkan gaji pendidik dari perhitungan anggaran pendidikan dalam APBN bertentangan dengan UUD Tahun 1945 (inkonstitusional), serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Hakim Maruarar Siahaan dan H. Sarjono juga menyebutkan permohonan a quo sama sekali tidak menyangkut masalah konstitusioalitas norma yang dimohon. Sebagai strategi atau kebijakan untuk mencapai tujuan yang digariskan dalam konstitusi untuk memungkinkan dana atau anggaran bagi pendidikan lebih besar maka ketentuan Pasal 49 Ayat (1) UU Sisdiknas, yang merupakan kesepakatan DPR RI dan Pemerintah dalam bentuk undang-undang, sama sekali tidak mengandung pertentangan dengan Pasal 31 Ayat (3) UUD Tahun 1945, dan tidak terdapat masalah konstitusionalitas norma yang harus dipermasalahkan, meskipun dari segi pengertian dapat dipahami boleh jadi berbeda antara “dana pendidikan” dengan “anggaran pendidikan”. Hasil pengujian atas Pasal 49 Ayat (1) UU Sisdiknas yang berakibat diperhitungkannya gaji guru dalam formula anggaran pendidikan 20%, meskipun secara langsung tidak menyangkut Putusan Mahkamah Nomor 026/PUU-IV/2006 tentang Anggaran Pendidikan, namun secara langsung memiliki dampak pada interpretasi Mahkamah tentang amanat konstitusi dibidang pendidikan, yang telah diletakkan dalam putusan-putusan sebelumnya. Oleh karenanya, meskipun pengujian yang dilakukan menyangkut Pasal 49 Ayat (1) UU Sisdiknas terhadap Pasal 31 Ayat (3) UUD Tahun 1945, putusan tersebut secara mendasar membawa dampak akan kesan perubahan sikap yang terlalu prematur, karena dalam masa yang relatif singkat dan kondisi perubahan yang diinginkan konstitusi tentang perbaikan pendidikan yang belum tampak secara signifikan, putusan dalam perkara a quo secara langsung merubah formula perhitungan anggaran pendidikan yang dipergunakan dalam Putusan Mahkamah terdahulu.
c. Implikasi putusan MK
Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 24/PUU-V/2007, permohonan para Pemohon dikabulkan untuk sebagian dan terhadap Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas sepanjang mengenai frasa “gaji pendidik dan” bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. MK juga menolak permohonan para Pemohon terhadap ketentuan UU APBN 2007 yang berkaitan dengan Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas.
3. Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009
a. Pendapat Hukum Mahkamah Konstitusi
Berdasarkan dalil-dalil yang dikemukakan para Pemohon dalam permohonannya tampak bahwa, meskipun para Pemohon menggunakan ketentuan-ketentuan dalam UU Sisdiknas dan UU BHP sebagai pintu masuk pengajuan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945, tujuan akhir yang hendak dicapai adalah dihilangkannya ketentuan yang membebani masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan dengan argumentasi bahwa negara in casu pemerintah yang seharusnya menjadi penanggung jawab utama dalam penyelenggaraan pendidikan tetapi hanya ditempatkan menjadi fasilitator. Terhadap norma yang sama yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon yang berbeda hanya dipertimbangkan satu kali, dan pertimbangan serta putusan Mahkamah tentang norma tersebut mutatis mutandis berlaku juga terhadap Pemohon lainnya yang mengajukan pengujian pasal yang sama.
Sistem pendidikan nasional bukan semata hanya mengatur penyelenggaraan kesekolahan apalagi penyeragaman penyelenggaraan kesekolahan belaka. Bidang pendidikan terkait dengan hak asasi lain yaitu, hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya, dan bagi anak pendidikan merupakan bagian hak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang sejauh hidup tidak hanya dimaknai sebagai masih bisa bernafas, tetapi juga hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak atau berkualitas sesuai nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Dengan demikian pendidikan berkait juga dengan hak seseorang untuk memajukan diri [vide Pasal 28A, Pasal 28B ayat (2), Pasal 28C ayat (1) dan ayat (2) UUD Tahun 1945]. Kebebasan seseorang untuk memilih pendidikan dan pengajaran sebagaimana dijamin dalam Pasal 28E ayat (1) UUD Tahun 1945 menjadi aspek yang penting juga dalam pengusahaan dan penyelenggaraan satu sistem pendidikan nasional. Dengan adanya hak ini jelas bahwa sistem pendidikan nasional yang dibangun adalah sistem pendidikan yang plural, yang majemuk.
Di samping hak-hak warga negara sebagaimana disebutkan di atas yang menyangkut hak untuk mendapatkan pendidikan, di dalam penyelenggaraan pendidikan yang salah satu di antaranya dengan melalui jalur sekolah juga terkait dengan adanya hak asasi yang lain. Salah satu hak tersebut adalah adanya jaminan kebebasan untuk berserikat dan berkumpul sebagaimana ditentukan oleh Pasal 28E ayat (3) UUD Tahun 1945. Dengan dasar hak ini sekelompok orang dapat memanfaatkan wadah berserikat dan berkumpul untuk secara bersama-sama memajukan dirinya [vide Pasal 28C ayat (1) dan ayat (2) UUD Tahun 1945]. Dengan demikian hal yang dilakukan oleh sekelompok orang tersebut mempunyai dasar dan dijamin secara konstitusional oleh UUD Tahun 1945. Adanya ketentuan penyelenggaraan pendidikan harus dalam satu bentuk badan hukum tertentu saja sebagaimana ditetapkan dalam UU BHP bagi sekolah yang diselenggarakan oleh masyarakat (BHPM) dengan cara melarang bentuk perserikatan dan perkumpulan adalah jelas-jelas bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Di samping tidak boleh melanggar konstitusi, sistem pendidikan nasional seharusnya memberi ruang kepada potensi yang masih eksis sebagai modal nasional dalam penyelenggaraan pendidikan yang terbukti pada masa lalu dengan segala keterbatasan, justru mampu menjadi tulang punggung pendidikan bangsa dan potensi tersebut masih mempunyai hak hidup secara konstitusional.
Mahkamah juga berpendapat bahwa sekolah-sekolah swasta yang dikelola dengan keragaman yang berbeda telah turut berjasa dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, baik pada masa penjajahan maupun pada masa kemerdekaan. Mahkamah tidak menemukan alasan yang mendasar diperlukannya penyeragaman penyelenggara pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat dalam bentuk badan hukum pendidikan sebagaimana diatur dalam UU BHP. nMahkamah berpendapat bahwa UU BHP yang menyeragamkan bentuk hukum badan hukum pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat (BHPM) adalah tidak sesuai dengan rambu-rambu yang telah ditetapkan oleh Mahkamah dalam putusan perkara Nomor 021/PUU-IV/2006 tanggal 22 Februari 2007, dan telah melanggar hak konstitusional para Pemohon sehingga dalil-dalil para Pemohon dalam perkara Nomor 126/PUU-VII/2009 beralasan karena pada intinya para Pemohon berkeberatan atas penyeragaman yang diatur dalam UU BHP. Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas dan Penjelasannya yang menyatakan secara tegas, “Badan hukum pendidikan dimaksudkan sebagai landasan hukum bagi penyelenggara dan/atau satuan pendidikan, antara lain, berbentuk Badan Hukum Milik Negara (BHMN)”, Mahkamah berpendapat pasal a quo tidak ada yang menunjukkan hilangnya kewajiban negara terhadap warga negara di bidang pendidikan, tidak mempersulit akses pendidikan, tidak menjadikan biaya pendidikan mahal, tidak mengubah paradigma pendidikan, sehingga hak warga negara untuk memperoleh pendidikan terhalang, tidak menjadikan pendidikan sebagai barang privat (private goods). Akan tetapi Mahkamah berpendapat istilah “badan hukum pendidikan” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas bukanlah nama dan bentuk badan hukum tertentu, melainkan sebutan dari fungsi penyelenggara pendidikan yang berarti bahwa suatu lembaga pendidikan harus dikelola oleh suatu badan hukum.

b. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor: 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 memutuskan bahwa UU BHP bertentangan dengan UUD Tahun 1945 terutama Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 31 UUD Tahun 1945, dan menyatakan bahwa UU BHP tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dasar pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam putusan tersebut antara lain: pertama, bahwa UU BHP tidak ada kejelasan secara yuridis, maksud dan keselarasan dengan UU yang lain; kedua, UU BHP mengasumsikan bahwa penyelenggara pendidikan mempunyai kemampuan yang sama; ketiga, pemberian otonomi kepada Perguruan Tinggi Negeri (PTN) akan berakibat beragam, sehingga hal ini akan menyebabkan terganggunya penyelenggaraan pendidikan; keempat, Mahkamah Konstitusi menilai bahwa BHP tidak menjamin tercapainya tujuan pendidikan nasional dan menimbulkan ketidakpastian hukum; kelima, bukan hanya BHP yang dapat menyelengarakan pendidikan dengan prinsip nirlaba, tetapi telah ada badan hukum lain yang menyelenggarakan pendidikan dengan prinsip nirlaba; keenam, UU BHP bertendensi mengalihkan tanggung jawab negara kepada masyarakat untuk menanggung beban pendidikan; ketujuh, ada penyeragaman institusi penyelenggara pendidikan tinggi. Implikasi yuridis ini sangat dirasakan oleh penyelenggara pendidikan, karena dengan dibatalkannya UU BHP mempunyai konsekuensi dicabutnya sejumlah peraturan yang mengacu pada UU BHP seperti Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, Permendiknas Nomor 32 Tahun 2009 tentang Mekanisme Pendirian Badan Hukum Pendidikan, Perubahan Badan Hukum Milik Negara atau Perguruan Tinggi, dan Pengakuan Penyelenggara Pendidikan Tinggi sebagai Badan Hukum Pendidikan dicabut. Pendidikan umum yang diselenggarakan oleh pemerintah tidak terlalu merasakan implikasi dari putusan Mahkamah Konstitusi ini, karena menjalankan fungsi pendidikan berdasarkan pada UU Sisdiknas. Putusan tersebut berimplikasi pada jenjang pendidikan khususnya pendidikan tinggi yang statusnya berubah menjadi Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara serta jenjang pendidikan yang diselenggarakan melalui Yayasan.
4. Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 58/PUU-VIII/2010
a. Pendapat Hukum Mahkamah Konstitusi
Menurut Mahkamah, Pemerintah Negara Indonesia dibentuk, antara lain untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Selain itu menurut UUD Tahun 1945, “Setiap orang berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi...” [vide Pasal 28C ayat (1)], dan “Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah “ [vide Pasal 28I ayat (4)]. Namun, ketentuan yang mewajibkan pemerintah dan/atau pemerintah daerah memberikan bantuan teknis, subsidi, dan sumber daya lain secara adil dan merata kepada lembaga pendidikan berbasis masyarakat untuk semua jenjang pendidikan, tidak secara tegas ditentukan di dalam UUD Tahun 1945.
Sehubungan dengan pasal yang diuji yaitu Pasal 55 ayat (4) Sisdiknas terhadap UUD Tahun 1945, Mahkamah berpendapat bahwa kata ‘dapat’ dalam pasal tersebut jika dikaitkan dengan Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 mengakibatkan pendidikan dasar berbasis masyarakat atau yang dilaksanakan selain oleh pemerintah menjadi tidak wajib untuk dibiayai oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah. Hal itu disebabkan karena kata ‘dapat’ bersifat terbuka sehingga bisa menghilangkan arti kewajiban Pemerintah yang berarti pula bertentangan dengan Pasal 31 ayat (2) UUD Tahun 1945. Terhadap jenjang pendidikan selain pendidikan dasar, Pemerintah memiliki keleluasaan untuk membiayai seluruh atau sebagian biaya pendidikan menurut kemampuan keuangan negara. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, kata ‘dapat’ dalam ketentuan Pasal 55 ayat (4) UU Sisdiknas adalah bertentangan dengan UUD Tahun 1945 sepanjang dimaknai bahwa lembaga pendidikan berbasis masyarakat dalam Pasal 55 ayat (4) UU Sisdiknas termasuk jenjang pendidikan dasar.
b. Dissenting Opinion Hakim Mahkamah Konstitusi
Terhadap kata ‘dapat’ dalam Pasal 55 ayat (4) UU Sisdiknas, Hakim Konstitusi Harjono mengajukan dissenting opinion. Ketentuan UUD Tahun 1945 yang berkaitan langsung dengan perkara a quo adalah Pasal 31 ayat (2) yang menyatakan, ”Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya“. Ketentuan ini mengandung dua hal: (1) warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar, (2) pemerintah wajib membiayai pendidikan dasar. Seseorang warga negara untuk melaksanakan kewajibannya, yaitu wajib belajar, dapat secara suka rela melaksanakan yaitu tanpa bergantung kepada negara untuk membiayainya.
Menurut Harjono, seharusnya permohonan Pemohon ditolak, karena dengan dikabulkannya permohonan Pemohon justru akan merugikan Pemohon sendiri karena dana bantuan yang ditolak oleh lembaga pendidikan berbasis masyarakat yang telah mandiri yang seharusnya dapat dialihkan kepada Pemohon menjadi tidak dapat dialihkan karena adanya kewajiban dari lembaga pendidikan yang berbasis masyarakat untuk menerimanya.
c. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan inkonstitusional bersyarat a quo, menimbulkan implikasi serius, antara lain :
1) Secara yuridis, hal itu akan bertentangan dengan Pasal 31 ayat (2) UUD Tahun 1945 yang menetapkan kewajiban Pemerintah membiayai pendidikan dasar, yang secara substantif, dan akan mengorbankan keadilan distributif dalam penyelenggarakan sistem pendidikan nasional secara utuh;
2) Secara filosifis dan sosiologis, akan merupakan pengingkaran terhadap nilai kesejarahan perjuangan para perintis, pengembang, dan penerus pendidikan berbasis masyarakat, yang dapat diartikan pula melakukan nihilisasi nilai-nilai luhur pendidikan nasional;
3) Secara kultural dan sosio-edukatif, tidak memberi peluang bagi tumbuh kembangnya civic participation dari masyarakat madani yang dilandasi oleh civic responsibility yang ditopang oleh civic intelligence yang semakin tumbuh dalam masyarakat Indonesia. 4) Secara sosial politik, dapat memicu konflik kepentingan antar masyarakat madani yang memiliki dukungan pendanaan yang kuat di satu pihak dan yang lemah di lain pihak.
5. Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 5/PUU-X/2012
a. Pendapat Hukum Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum, sehingga dalam amar putusan, MK mengabulkan Permohonan para Pemohon untuk seluruhnya dengan menyatakan Pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Menurut Mahkamah, mencerdaskan kehidupan bangsa adalah salah satu tujuan pembentukan pemerintah negara Republik Indonesia, sebagaimana terdapat dalam alinea keempat Pembukaan UUD Tahun 1945.
Dalam perkara ini, MK menyebut adanya dua norma dalam ketentuan Pasal 50 ayat (3), yaitu: (1) adanya satuan pendidikan yang bertaraf internasional, dan (2) adanya kewajiban pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional pada setiap jenjang pendidikan. Sehubungan dengan hal tersebut, pada prinsipnya MK berpendapat bahwa kewajiban pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional akan mengikis dan mengurangi kebanggaan terhadap bahasa dan budaya nasional Indonesia, berpotensi mengurangi jatidiri bangsa yang harus melekat pada setiap peserta didik, mengabaikan tanggung jawab negara atas pendidikan, dan menimbulkan perlakuan berbeda untuk mengakses pendidikan yang berkualitas sehingga bertentangan dengan amanat konstitusi.
b. Dissenting Opinion Hakim Mahkamah Konstitusi
Menurut Achmad Sodiki, jika dilihat dari redaksi atau kalimat Pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan, “Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional” tidak ada kata-kata yang dapat dimaknai bahwa pemerintah telah melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hal yang menjadi keberatan para Pemohon. Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang kurangnya satu satuan pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional, merupakan hak pemerintah dan pemerintah daerah yang dijamin oleh undang-undang. Menurut Achmad Sodikin, tidak ada juga unsur dalam Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang a quo yang dapat dimaknai menimbulkan dualisme pendidikan nasional, karena kurikulum yang dipakai adalah kurikulum nasional juga. Apabila perkataan “bertaraf internasional” dalam Pasal a quo dikatakan menimbulkan multi interpretasi, sehingga dianggap bertentangan dengan asas kepastian hukum maka solusinya bukan dengan cara membatalkan pasal tersebut, tetapi Mahkamah memberikan penafsiran yang sesuai dengan konstitusi.
c. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi
Sebagaimana halnya Putusan MK dalam perkara pengujian undang-undang, maka pertama, Putusan MK bersifat declaratoir constitutief, yaitu meniadakan satu keadaan hukum lama atau membentuk hukum baru sebagai negative-legislator. Dengan kata lain, putusan MK tersebut mengandung pengertian hapusnya hukum yang lama dan sekaligus membentuk hukum yang baru. . Kedua, Putusan MK bersifat final dan mengikat dan langsung memperoleh kekuatan mengikat terhadap semua pihak yang terkait sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno MK yang terbuka untuk umum. Putusan MK No 5/PUU-X/2012 mengimplikasikan hapusnya dasar hukum penyelenggaraan SBI/RSBI.

Dalam implementasinya, UU Sisdiknas telah 14 (empat belas) kali diajukan permohonan uji materiil ke MK. Namun demikian, hanya 5 (lima) permohonan yang dikabulkan baik sebagian maupun seluruhnya. Putusan MK perkara Nomor 11/PUU-III/2005 dan perkara Nomor 24/PUU-V/2007 mengenai masalah anggaran pendidikan nasional. UU Sisdiknas Pasal 49 Ayat (1) menyebut dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimum 20 persen dari APBN maupun APBD. Namun, dalam implementasinya, berdasarkan keputusan MK tahun 2008, anggaran 20 persen sudah termasuk gaji guru dan dosen serta pendidikan kedinasan. Dengan demikian Pasal 49 ayat 1 tidak berlaku lagi. Dalam Putusan Nomor 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009 bertanggal 31 Maret 2010 telah memberi syarat konstitusional atas keberadaan Badan Hukum Pendidikan (BHP) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Pendidikan (PP 66 Tahun 2010). Pada dasarnya PP ini memerintahkan ketujuh PT BHMN untuk melangsungkan pengelolaan pendidikan yang telah ada selama ini, yaitu bersistem pengelolaan pendidikan BHMN. PP ini memberikan waktu 3 (tiga) tahun sebagai masa transisi untuk kembali ke sistem pengelolaan keuangan negara dengan ketentuan yang sesuai dengan putusan MK tentang pembatalan UU BHP. Di samping itu, putusan MK ditindaklanjuti dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Pendidikan Tinggi). Dengan demikian putusan MK di atas telah ditindaklanjuti melalui PP dan pembentukan undang-undang sehingga tindak lanjut tersebut telah sesuai dan harmonis dengan putusan MK.
Namun demikian, Mahkamah Konstitusi tidak menghapus Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas, meski putusan Mahkamah Konstitusi tersebut membatalkan ketentuan UU BHP secara keseluruhan. Ketentuan Pasal 53 ayat (1) sebagai pijakan bagi terselenggaranya pendidikan melalui badan hukum pendidikan, mengamanatkan agar penyelenggara pendidikan berbentuk badan hukum pendidikan. Menurut Pasal 53 ayat (4) UU Sisdiknas, ketentuan mengenai badan hukum pendidikan akan diatur lebih lanjut dalam undang-undang tersendiri. Amanat ini harus dilaksanakan oleh DPR RI dan Pemerintah dengan membentuk undang-undang yang mengatur tentang badan hukum pendidikan. Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Pasal 53 ayat (1) adalah konstitusional dan sah namun untuk Penjelasan Pasal 53 ayat (1) dinyatakan inskonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, karena badan hukum pendidikan diartikan sebagai bentuk dan nama diri yang seharusnya dimaknai sebagai fungsi penyelenggara pendidikan, sehingga bentuk penyelenggara pendidikan oleh suatu badan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan seperti yayasan, perkumpulan, perserikatan, dan badan wakaf.
UU BHP yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat oleh Mahkamah Konstitusi berimplikasi yuridis kekosongan hukum, meskipun norma hukum tidak mungkin memiliki kekosongan. Hal ini berarti terjadi kekosongan hukum dalam tata kelola pendidikan sehingga perlu segera dibuat peraturan baru yang mengatur tentang pendidikan untuk melaksanakan amanat Pasal 53 UU Sisdiknas. Kekosongan hukum ini terjadi karena pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan melalui jenjang pendidikan yang bersandar pada Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tidak dapat dilaksanakan dengan dibatalkannya UU BHP. Selain itu, pengelolaan dan penyelenggaraan jenjang pendidikan yang dilakukan melalui yayasan mengalami ketidakjelasan bentuk badan hukum penyelenggaranya. Hal ini disebabkan karena sebelum UU BHP diberlakukan penyelenggara pendidikan melalui yayasan didasarkan pada UU Yayasan namun harus menyesuaikan pendirian serta tata kelolanya dengan UU BHP.
Untuk mengatasi rechtsvacuum tersebut perlu dibuat peraturan baru yang dapat mengakomodasi penyelenggara jenjang pendidikan. Aturan baru ini dalam jangka pendek dapat menyesuaikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan yang membatalkan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum. Selanjutnya untuk jangka panjang perlu segera dibuat undang-undang baru, yakni undang-undang yang mengatur tentang badan hukum pendidikan yang berbeda dengan sebelumnya. Penerapan undang-undang baru tersebut nantinya memberi kebebasan bagi seluruh perguruan tinggi untuk mencari bentuknya sendiri. UU BHP yang baru ini harus dibuat dengan memperhatikan rambu-rambu dari Mahkamah Konstitusi, agar tidak lagi dinyatakan bertentangan dengan konstitusi.
Terhadap perkara Nomor 58/PUU-VIII/2010, terjadi putusan inkonstitusional bersyarat sepanjang kata “dapat” dalam Pasal 55 ayat (4) UU Sisdiknas bertentangan dengan UUD Tahun 1945 kalau dimaknai berlaku bagi jenjang pendidikan dasar yang berbasis masyarakat. Kata ”‘dapat” dalam Pasal 55 ayat (4) UU Sisdiknas tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat kalau dimaknai berlaku bagi jenjang pendidikan dasar yang berbasis masyarakat.
Terkait Putusan MK perkara nomor 5/PUU-X/2012, yang bersifat final dan mengikat yang menggugurkan Pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas karena bertentangan dengan Pembukaan UUD Tahun 1945 dan Pasal 31 ayat (3) maka dengan sendirinya Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan harus terlebih dulu dilakukan perubahan khususnya yang mengatur tentang RSBI yakni Pasal 61 ayat (1), kemudian Permendiknas Nomor 78 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah harus dinyatakan tidak berlaku lagi karena sudah tidak ada payung hukum diatasnya. Kemudian solusi yang bisa diterapkan dalam menjawab permasalahan RSBI pasca Putusan MK tersebut tidak ada lagi upaya lain selain mematuhi Putusan tersebut.
Oleh karena itu, penyempurnaan terhadap UU Sisdiknas perlu dilakukan agar materi dan substansinya sesuai dan tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945 serta dapat memberikan pemahaman yang utuh. Pembentuk undang-undang (DPR RI atau Presiden) perlu segera berinisiatif melakukan legislative review untuk menindaklanjuti substansi atau norma undang-undang yang telah dibatalkan tersebut. Selain itu, pendapat hukum yang tercermin dalam beberapa putusan Mahkamah Konstitusi perlu dicermati dan menjadi dasar dalam perubahan UU Sisdiknas agar tidak terjadi kekosongan hukum dan penafsiran yang berbeda dalam implementasinya.

Penyempurnaan terhadap UU Sisdiknas perlu dilakukan agar materi dan substansinya sesuai dan tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945 serta dapat memberikan pemahaman yang utuh. Disamping itu, pendapat hukum yang tercermin dalam beberapa putusan Mahkamah Konstitusi perlu dicermati dan menjadi dasar dalam perubahan UU Sisdiknas agar tidak terjadi kekosongan hukum dan penafsiran yang berbeda dalam implementasinya.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) huruf d UU P3 bahwa materi muatan yang harus diatur dengan UU berisi materi muatan mengenai tindak lanjut Putusan MK. Oleh karena itu, perlu direformulasi kembali materi muatan atas beberapa hal yang telah diputus MK dalam UU Sisdiknas dengan status perubahan/penggantian.
2. Berdasarkan Putusan MK dan perubahan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), maka DPR RI bersama Pemerintah harus menetapkan perubahan/penggantian UU Sisdiknas ini ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019 dan menetapkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) kumulatif terbuka.

ANALISIS DAN EVALUASI UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1992 JO. UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1998 TENTANG PERBANKAN BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI / 01-05-2017

Wewenang Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945) adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final salah satunya untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Pengujian peraturan perundang-undangan merupakan suatu mekanisme yang dapat memastikan suatu produk perundang-undangan tidak bertentangan dengan norma hukum dasar dan tidak merugikan hak-hak warga Negara yang telah dijamin norma hukum dasar tersebut. Dua kasus pengujian UU Perbankan adalah Perkara No. 64/PUU-X/2012 terkait kerahasiaan bank dan Perkara No. 109/PUU-XII/2014 terkait dengan penghapusan frasa “bagi bank”. Adanya ketentuan kerahasiaan bank mengakibatkan seorang pemohon (isteri) dirugikan karena tidak mendapatkan harta bersama/gonogini (yang adil) dari perceraian dengan suaminya (karena ada iktikad tidak baik dari suami).
1. No.64/PUU-X/2012: Pasal 40 ayat (1) dan (2) UU Perbankan dengan batu uji Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD Tahun 1945. Amar Putusan: Mengabulkan untuk sebagian Pasal 40 ayat (1) dan Menolak permohonan pemohon untuk Pasal 40 ayat (2)
2. No. 109/PUU-XII/2014: Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan dengan batu uji Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945. Amar Putusan: Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya

1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal dan ayat dari UU Perbankan yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh MK?
2. Apa akibat hukum terhadap pasal dan ayat UU Perbankan yang dinyatakan MK bertentangan dengan UUD Tahun 1945?
3. Apakah terjadi disharmonisasi norma dalam suatu UU jika suatu pasal, ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK berimplikasi terhadap norma pasal ayat lain yang tidak diujikan?

Pengujian terhadap norma undang-undang adalah pengujian mengenai nilai konstitusionalitas undang-undang, baik dari segi formil ataupun materiil. Secara umum putusan Mahkamah Konstitusi terhadap pengujian konstitusional UU terdapat 3 (tiga) kategori. Pertama, Mahkamah Konstitusi menyatakan mengabulkan permohonan mengikat dalam hal permohonan beralasan menurut hukum dengan menyatakan materi muatan atau pembentukan Undang-Undang yang dimohonkan pengujian konstitusionalitas bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan oleh karenanya menyatakan pula tidak mempunyai kekuatan hukum. Kedua, Mahkamah Mahkamah Konstitusi menyatakan menolak permohonan Pemohon dalam hal permohonan tidak terbukti beralasan menurut hukum atau Ketiga, Mahkamah Konstitusi menyatakan permohonan tidak diterima dalam hal permohonan tidak memenuhi syarat formal pengajukan permohonan. Pasal 24C ayat (1) UUD Tahun 1945 menyatakan MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD Tahun 1945. Frasa “tingkat pertama dan terakhir” maksudnya tidak ada upaya hukum lagi yang ditempuh terhadap putusan yang telah diputuskan oleh MK atau bisa disebut telah berkekuatan hukum yang tetap (in kracht) hal ini sesuai dengan frasa selanjutnya yang menyatakan “yang putusannya bersifat final”. Ketentuan tersebut jelas berarti bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat umum (erga omnes) yang langsung dilaksanakan (self executing). Adapun Putusan Mahkamah Konstitusi sejak diucapkan di hadapan sidang terbuka untuk umum, dapat mempunyai 3 (tiga) kekuatan, yaitu (1) kekuatan mengikat, (2) kekuatan pembuktian, dan (3) kekuatan eksekutorial.

1 Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 64/PUU-X/2012
a. Pendapat Hukum Mahkamah Konstitusi
Pasal 28G ayat (1) UUD Tahun 1945 menyatakan, “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”, dan Pasal 28H ayat (4) UUD Tahun 1945 menyatakan, “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun”. Pengertian harta benda yang di bawah kekuasaannya adalah termasuk harta bersama yang diperoleh bersama selama perkawinan, hal tersebut sebagaimana ditentukan dalam Pasal 35 ayat (1), Pasal 36 ayat (1), dan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. menurut Mahkamah, harta bersama (gono gini) yang diperoleh selama pernikahan, termasuk harta yang disimpan oleh suami dan/atau isteri di satu bank baik dalam bentuk tabungan, deposito dan produk perbankan lainnya merupakan harta benda milik bersama suami isteri yang dilindungi menurut konstitusi. Permasalahan yang harus dijawab oleh Mahkamah adalah adanya larangan bagi bank untuk memberi keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan, khususnya mengenai simpanan yang merupakan harta bersama menurut UU Perkawinan. bahwa setiap nasabah harus dilindungi kerahasiaan datanya oleh bank, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan, akan tetapi pasal a quo juga memberikan pengecualian bahwa data nasabah juga dapat diakses untuk:
 kepentingan perpajakan (Pasal 41),
 penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada
Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan
Piutang Negara (Pasal 41A),
 kepentingan peradilan dalam perkara pidana (Pasal 42),
 perkara perdata antar bank dengan nasabahnya (Pasal 43),
 kepentingan tukar-menukar informasi antar bank (Pasal
44), dan
 atas permintaan, persetujuan, atau kuasa dari nasabah
penyimpan yang dibuat secara tertulis (Pasal 44A).
Berdasarkan hal tersebut, menurut Mahkamah, akan lebih memenuhi rasa keadilan apabila data nasabah juga harus dibuka untuk kepentingan peradilan perdata terkait dengan harta bersama, karena harta bersama adalah harta milik bersama suami dan isteri, sehingga suami dan/atau isteri harus mendapat perlindungan atas haknya tersebut dan tidak boleh diambil secara sewenang-wenang oleh salah satu pihak. Hal demikian dijamin oleh Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD Tahun 1945. Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah memandang perlu ada penafsiran yang pasti terkait ketentuan Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan, agar terdapat kepastian hukum yang adil dalam pelaksanaan dari pasal a quo, sehingga setiap isteri dan/atau suami termasuk Pemohon memperoleh jaminan dan kepastian hukum atas informasi mengenai harta bersama dalam perkawinan yang disimpan di bank. Ketentuan Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan harus dimaknai “Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 44A serta untuk kepentingan peradilan mengenai harta bersama dalam perkara perceraian.” mengenai ketentuan Pasal 40 ayat (2) UU Perbankan yang didalilkan bertentangan dengan UUD 1945, menurut Mahkamah, ketentuan tersebut adalah untuk pihak terafiliasi bukan untuk perorangan warga negara. Apabila ketentuan tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 maka pihak terafiliasi dapat mengetahui data nasabah yang seharusnya dirahasiakan.
b. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi
Terkait putusan MK dengan Perkara No. 64/PUU-X/2012, pengecualian yang diatur dalam Pasal 40, menyebutkan bahwa Bank wajib merahasikan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam pasal 41, 41A, 42, 43, 44 dan 44A. Hal yang paling penting untuk diingat bahwa selain pengecualian diatas ada pengecualian lain terhadap rahasia bank jika ada persetujuan dari nasabah, Undang-Undang Perbankan tidak menyebutkan secara eksplisit bahwa rahasia bank tidak berlaku bila ada persetujuan nasabah kepada bank untuk mengungkapkannya. Dengan keputusan MK No. 64/PUU-X/2012, pengecualian ditambah untuk perkara yang terkait dengan kepentingan peradilan mengenai harta bersama dalam perkara perceraian. Jadi implikasi putusan MK yang menambahkan frasa “serta untuk kepentingan peradilan mengenai harta bersama dalam perkara perceraian” diatas memberikan dasar hukum bagi pihak suami atau istri untuk meminta bank membuka informasi tentang rekening nasabahnya untuk kepentingan pembuktian di pengadilan.
2. Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 109/PUU-XII/2014
a. Pendapat Hukum Mahkamah Konstitusi
Mahkamah sependapat dengan dalil Pemohon bahwa sepanjang frasa “bagi bank” Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan mengakibatkan Bank DKI tidak mau taat atau patuh pada perintah hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan peraturan perundang-undangan yang berlaku bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945. menurut Mahkamah permohonan Pemohon mengenai frasa “Bagi bank” yang tercantum dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan beralasan menurut hukum. Sehingga Mahkamah mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya. Frasa “Bagi bank” yang tercantum dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
b. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan nomor 109/PUU-XII/2014 menyatakan bahwa frasa “bagi bank” dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945, oleh karena itu Pasal 49 ayat (2) huruf b tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Berdasarkan uraian kronologis yang disampaikan Pemohon. Bank DKI tidak mau melaksanakan perintah PN Jakarta Pusat karena Bank DKI hanya tunduk pada perintah atau ketentuan dari UU Perbankan saja akibat dari frasa “bagi bank”, dengan dihapusnya frasa “bagi bank” maka Bank DKI harus melaksanakan apa yang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan diluar UU Perbankan. Bank DKI maupun bank lainnya tidak dapat lagi beralasan “tidak dapat melaksanakan perintah pengadilan karena diamanatkan oleh UU Perbankan”. Sehingga frasa “bagi bank” Pasal 49 ayat (2) huruf b Perbankan untuk dihapus.




Pada perkara No. 64/PUU-X/2012, menurut Mahkamah perlu ada penafsiran yang pasti terkait ketentuan Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan agar data nasabah pada bank tetap terlindungi kerahasiaannya, tetapi juga dapat melindungi hak-hak suami dan/atau istri terhadap harta bersama yang disimpan dibank, maka ketentuan Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan harus dimaknai “Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasl 43, Pasal 44 dan Pasal 44A serta untuk kepentingan peradilan mengenai harta bersama dalam perkara perceraian”. Pada perkara No. 109/PUU-XII/2014, menyatakan frasa “bagi bank” Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Jadi untuk menjamin kepastian hukum, jaminan hukum dan perlindungan hukum yang adil bagi nasabah maka frasa “bagi bank” perlu dihapus. Karena frasa “bagi bank” sering dijadikan alasan oleh bank, bahwa bank akan melakukan atau melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan sesuai dengan ketentuan UU Perbankan, diluar ketentuan UU Perbankan pihak bank bisa menolak untuk melakukan atau melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan, termasuk tidak mau melaksanakan perintah atau keputusan pengadilan. Yang sejatinya bank harus mematuhi semua peraturan perundang-undangan yang berlaku di Republik Indonesia.

Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan, akan tetapi pasal a quo juga memberikan pengecualian bahwa data nasabah juga dapat diakses untuk:
 kepentingan perpajakan (Pasal 41),
 penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada
Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan
Piutang Negara (Pasal 41A),
 kepentingan peradilan dalam perkara pidana (Pasal 42),
 perkara perdata antar bank dengan nasabahnya (Pasal 43),
 kepentingan tukar-menukar informasi antar bank (Pasal
44), dan
 atas permintaan, persetujuan, atau kuasa dari nasabah
penyimpan yang dibuat secara tertulis (Pasal 44A).
• Kepentingan peradilan mengenai harta bersama dalam perkara perceraian.

Terkait dengan Perkara No. 109/PUU-XII/2014, Pasal yang diuji adalah Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan, dan batu ujinya Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945, dengan amar putusan mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Hakim memutuskan bahwa Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan juga merupakan konstitusional bersyarat, frasa “bagi bank” dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Keputusan Mahkamah Konstitsi tersebut harus ditindaklanjuti, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 10 ayat (1) UU P3 bahwa materi muatan yang harus diatur dengan UU antara lain tindak lanjut atas putusan MK. Oleh karena itu perlu segera mengajukan perubahan terhadap UU Perbankan. Selain itu Keputusan Mahkamah Konstitusi juga dapat dijadikan dasar-dasar pemikiran dalam menyusun suatu Naskah Akademik terkait dengan perubahan UU Perbankan.

Analisis Dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi: Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah / 01-05-2017

Sebagai sebuah Negara demokratis, Indonesia telah melakukan proses transisi demokrasi secara damai melalui penyelenggaraan pemilu. Secara konseptual, Indonesia menerapkan sistem kedaulatan rakyat yang diatur Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD Tahun 1945). Kedaulatan rakyat menurut Pasal 1 ayat (2) UUD Tahun 1945 dilaksanakan dengan sistem perwakilan melalui pemilu untuk memilih anggota lembaga perwakilan dan memilih presiden dan wakil presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 22E ayat (2) UUD Tahun 1945. Dalam Pemilu untuk memilih Anggota DPR, DPD, dan DPRD tahun 2014 yang diselenggarakan pada tanggal 9 April 2014 dan diikuti oleh 12 (dua belas) partai politik serta terdapat 3 (tiga) partai politik lokal khusus untuk DPR Aceh adalah merupakan sebuah pemilu yang dilaksanakan berdasarkan yang menggunakan sistem proporsional terbuka berdasarkan suara terbanyak, sehingga setiap calon anggota legislatif memproleh kesempatan yang sama dalam memperoleh mandat dari rakyat. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyar Daerah (UU Pemilu Legislatif) sebelum diterapkan dalam pelaksanaan Pemilu tahun 2014 yaitu dalam kurun waktu antara tahun 2012 sampai dengan tahun 2014 telah menglamai beberapa kali pengujian materiil di Mahkamah Konstitusi (MK) dan telah terdapat 3 (tiga) Putusan MK

a. Perkara Nomor 52/PUU-X/2012
b. Perkara Nomor 20/PUU-XI/2013
c. Perkara Nomor 24/PUU-XII/2014

1. Bagaimakah menurut ketentuan perundang-undangan mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan pengujian formil dan materiil UU ?
2. Apakah akibat hukum dari Putusan mahkamah konstitusi yang amar putusannya menyatakan inkonstitusional bersyarat dan yang menyatakan inkonstitusional dalam pengujian Pasal-pasal UU Pemilu Legislatif ?
3. Bagaimanakah DPR menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi khusunya yang menyatakan inkonstitusional bersyarat ?
4. Apakah terjadi disharmoni norma dalam suatu UU jika suatu pasal, ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK berimplikasi terhadap norma pasal ayat lain yang tidak diujikan ?

Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam UUD Tahun 1945 memiliki dua fungsi ideal, yaitu MK dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi dan berfungsi untuk menjamin, mendorong, mengarahkan, membimbing, dan memastikan bahwa UUD Tahun 1945 dijalankan dengan sebaik-baiknya oleh penyelenggara negara agar nilai-nilai yang terkandung didalamnya dijalankan dengan benar dan bertanggung jawab; dan MK harus bertindak sebagai penafsir karena MK dikonstruksikan sebagai lembaga tertinggi penafsir UUD Tahun 1945.
Secara harfiah, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat memiliki makna hukum tersendiri. Frasa “final” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “terakhir dalam rangkaian pemeriksaan” sedangkan frasa mengikat diartikan sebagai “mengeratkan”, “menyatukan”. Bertolak dari arti harfiah ini maka frasa final dan frasa mengikat, saling terkait sama seperti dua sisi mata uang artinya dari suatu proses pemeriksaan telah memiliki kekuatan mengeratkkan atau menyatukan semua kehendak dan tidak dapat dibantah lagi. Makna harfiah di atas, bila dikaitkan dengan sifat final dan mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi artinya telah tertutup segala kemungkinan untuk menempuh upaya hukum.
Sifat dari putusan Mahkamah Konstitusi yaitu final yang artinya bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). Konsep ini mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni secara sederhana dan cepat sebagaimana diuraikan dalam penjelasan UU MK. Menurut Maruarar Siahaan Putusan Mahkamah Konstitusi sejak diucapkan dihadapan sidang terbuka umum mempunyai 3 kekuatan yaitu: kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian, dan kekuatan eksekutoarial.

A. Analisis Undang-Undang
Ketentuan Pasal 8 ayat (1) beserta Penjelasannya, Pasal 8 ayat (2) sepanjang frasa ”yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya atau partai politik baru”, serta Penjelasannya sepanjang frasa ”yang dimaksud dengan” partai politik baru ”adalah partai politik yang belum pernah mengikuti Pemilu” , dan Pasal 17 ayat (1), Pasal 208 sepanjang frasa ”DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota”, Pasal 209 ayat (1) dan ayat (2) sepanjang frasa ”DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota” UU Pemilu Legislatif telah dinyatakan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 oleh Mahkamah Konstitusi dengan beberapa pertimbangan hukum.

bahwa pokok permohonan para Pemohon adalah pengujian konstitusionalitas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yaitu:
(i) Pasal 8 ayat (1) sepanjang frasa, “yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional”;
(ii) Pasal 8 ayat (2) sepanjang frasa, “Partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya atau”;
(iii) Pasal 208 yang menyatakan, “Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 3,5% (tiga koma lima persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota” atau setidak-tidaknya sepanjang frasa, “DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota”; terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
[3.18] bahwa dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, Mahkamah menginventarisasi adanya dua tahapan bagi partai politik untuk dapat mengikuti pemilihan umum, yaitu tahapan pendirian partai politik dan tahapan keikutsertaan partai politik dalam pemilihan umum. Tahap pendirian atau pembentukan partai politik diatur dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Tahap pendaftaran sebagai peserta pemilihan umum diatur dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dari kedua Undang-Undang yang mengatur tahapan tersebut, menurut Mahkamah, ada kehendak pembentuk Undang-Undang untuk melakukan penyederhanaan partai politik. Selain itu, penyederhanaan partai politik dilakukan dengan menentukan pemenuhan ambang batas perolehan suara (parliamentary threshold atau PT) pada pemilihan umum sebelumnya sebagai syarat yang harus dipenuhi oleh partai politik lama untuk mengikuti pemilihan umum [vide Pasal 8 ayat (1) UU 8/2012] dan menentukan bahwa partai politik lama yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara tersebut serta partai politik baru harus memenuhi persyaratan tertentu untuk dapat menjadi peserta pemilihan umum [vide Pasal 8 ayat (2) UU 8/2012]. Ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU 8/2012, menurut Mahkamah, tidak memenuhi asas keadilan bagi partai politik lama karena pada saat verifikasi untuk menjadi peserta Pemilihan Umum Tahun 2009, semua persyaratan administrasi sudah dipenuhi oleh semua partai politik peserta Pemilihan Umum Tahun 2009, sehingga tidak tepat jika partai politik yang pada Pemilihan Umum Tahun 2009 telah dinyatakan memenuhi persyaratan, namun pada pemilihan umum berikutnya diwajibkan memenuhi syarat ambang batas perolehan suara, atau jika partai politik bersangkutan tidak memenuhi ambang batas, diwajibkan memenuhi persyaratan yang berbeda dengan partai politik peserta Pemilihan Umum Tahun 2009. Ketentuan yang demikian, menurut Mahkamah, tidak memenuhi prinsip keadilan karena memberlakukan syarat-syarat berbeda bagi pihak-pihak yang mengikuti suatu kontestasi yang sama;
[3.19] bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, dipenuhinya ambang batas perolehan suara pada Pemilihan Umum Tahun 2009 tidak dapat dijadikan sebagai satu-satunya ketentuan mengenai syarat atau kriteria dalam keikutsertaan partai politik lama sebagai peserta Pemilihan Umum Tahun 2014. Karena ketentuan mengenai syarat atau kriteria dalam UU 10/2008 berbeda dengan ketentuan mengenai syarat atau kriteria dalam UU 8/2012 yang menjadi dasar penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2014. Dengan demikian, meskipun para Pemohon hanya meminta dihapuskannya frasa “yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional” yang terdapat dalam Pasal 8 ayat (1) UU 8/2012, namun menurut Mahkamah ketidakadilan tersebut justru terdapat dalam keseluruhan Pasal 8 ayat (1) UU 8/2012. Ketidakadilan juga terdapat pada Penjelasan Pasal 8 ayat (1) UU 8/2012. Hal yang terakhir ini didasarkan pada pertimbangan bahwa tidak ada penjelasan dari suatu pasal yang dapat berdiri sendiri, sehingga Penjelasan Pasal 8 ayat (1) UU 8/2012 harus mengikuti putusan mengenai pasal yang dijelaskannya; Pengujian Konstitusionalitas Pasal 8 ayat (2) UU 8/2012
[3.20] Pasal 8 ayat (2) UU 8/2012 menentukan bahwa partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada pemilihan umum sebelumnya dan partai politik baru untuk menjadi peserta pemilihan umum harus memenuhi persyaratan tertentu. Setelah mempersandingkan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 dengan Pasal 8 UU 8/2012 mengenai persyaratan partai politik menjadi peserta pemilihan umum, Mahkamah menemukan fakta hukum mengenai perbedaan syarat sebagai berikut: Pasal 8 UU 10/2008. Dari persandingan tersebut, yang sangat menonjol adalah terdapatnya fakta hukum bahwa syarat yang harus dipenuhi oleh partai politik untuk mengikuti pemilihan umum legislatif tahun 2009 ternyata berbeda dengan persyaratan untuk pemilihan umum legislatif tahun 2014. Syarat untuk menjadi peserta pemilihan umum bagi partai politik tahun 2014 justru lebih berat bila dibandingkan dengan persyaratan yang harus dipenuhi oleh partai politik baru dalam pemilihan umum legislatif tahun 2009. Dengan demikian adalah tidak adil apabila partai politik yang telah lolos menjadi peserta pemilihan umum pada tahun 2009 tidak perlu diverifikasi lagi untuk dapat mengikuti pemilihan umum pada tahun 2014 sebagaimana partai politik baru, sementara partai politik yang tidak memenuhi PT harus mengikuti verifikasi dengan syarat yang lebih berat. PT sejak awal tidak dimaksudkan sebagai salah satu syarat untuk menjadi peserta Pemilu berikutnya [vide Pasal 1 angka 27, Pasal 8 ayat (2), dan Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008], tetapi adalah ambang batas bagi sebuah partai poltik peserta Pemilu untuk mendudukkan anggotanya di DPR;
[3.21] Bahwa Mahkamah dapat memahami maksud pembentuk Undang-Undang untuk melakukan penyederhanaan jumlah partai politik, namun penyederhanaan tidak dapat dilakukan dengan memberlakukan syarat-syarat yang berlainan kepada masing-masing partai politik. Penyederhanaan partai politik dapat dilakukan dengan menentukan syarat-syarat administratif tertentu untuk mengikuti pemilihan umum, namun syarat-syarat tersebut harus diberlakukan sama untuk semua partai politik yang akan menjadi peserta pemilihan umum tanpa pengecualian. Memberlakukan syarat yang berbeda kepada peserta suatu kontestasi (pemilihan umum) yang sama merupakan perlakuan yang tidak sama atau perlakuan secara berbeda (unequal treatment) yang bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) serta Pasal 28D ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Dengan demikian menurut Mahkamah, terhadap semua partai politik harus diberlakukan persyaratan yang sama untuk satu kontestasi politik atau pemilihan umum yang sama, yaitu Pemilihan Umum Tahun 2014;
bahwa para Pemohon, terkait Pasal 8 ayat (2) UU 8/2012, hanya memohon dihilangkannya frasa “Partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya atau” namun demi keadilan dan persamaan kedudukan di hadapan hukum, menurut Mahkamah permohonan para Pemohon dapat dikabulkan dengan mengakomodasi pula kepentingan atau keberadaan partai politik baru yang akan mengikuti pemilihan umum legislatif tahun 2014;
Bahwa menghilangkan perlakuan yang berbeda dalam pemilihan umum memiliki arti, partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada pemilihan umum sebelumnya tidak boleh diperlakukan secara berbeda dengan partai politik yang dapat memenuhi persyaratan ambang batas perolehan suara pada pemilihan umum sebelumnya. Berdasarkan asas persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan, partai politik baru juga tidak boleh diperlakukan secara berbeda dengan partai politik lama (yang pernah mengikuti Pemilihan Umum Tahun 2009), atau jika suatu partai politik dikenai syarat tertentu, maka partai politik yang lain juga harus dikenai syarat yang sama. Untuk mencapai persamaan hak masing-masing partai politik ada dua solusi yang dapat ditempuh yaitu, pertama, menyamakan persyaratan kepesertaan Pemilu antara partai politik peserta Pemilu tahun 2009 dan partai politik peserta Pemilu tahun 2014, atau kedua, mewajibkan seluruh partai politik yang akan mengikuti Pemilu tahun 2014 dengan persyaratan baru yang ditentukan dalam Undang-Undang a quo. Dalam hal ini, demi kepastian hukum yang adil, Mahkamah menentukan bahwa untuk mencapai perlakuan yang sama dan adil itu seluruh partai politik peserta Pemilu tahun 2014 harus mengikuti verifikasi. Dengan semangat yang sejalan dengan maksud pembentuk undang-undang, demi penyederhanaan partai politik, menurut Mahkamah, syarat menjadi peserta pemilihan umum yang diatur dalam Pasal 8 ayat (2) UU 8/2012 harus diberlakukan kepada semua partai politik yang akan mengikuti Pemilihan Umum Tahun 2014 tanpa kecuali;
[3.23] Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut, meskipun para Pemohon dalam petitumnya hanya memohon penghapusan frasa “Partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya atau” dalam Pasal 8 ayat (2) UU 8/2012, namun menurut Mahkamah, demi memenuhi rasionalitas persamaan dan keadilan, justru yang seharusnya dihapuskan adalah frasa “yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya atau partai politik baru” dalam Pasal 8 ayat (2) UU 8/2012. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, Pasal 8 ayat (2) UU 8/2012 selengkapnya menjadi: (2) Partai politik dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan: a. berstatus badan hukum sesuai dengan Undang-Undang tentang Partai Politik; b. memiliki kepengurusan di seluruh provinsi; c. memiliki kepengurusan di 75% (tujuh puluh lima persen) jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan; d. memiliki kepengurusan di 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan; e. menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat; f. memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000 (satu perseribu) dari jumlah Penduduk pada kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud pada huruf c yang dibuktikan dengan kepemilikan kartu tanda anggota; g. mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan pada tingkatan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir Pemilu; h. mengajukan nama, lambang, dan tanda gambar partai politik kepada KPU; dan i. menyerahkan nomor rekening dana Kampanye Pemilu atas nama partai politik kepada KPU;
Menimbang bahwa dengan demikian dapat disimpulkan bahwa lembaga legislatif dapat menentukan ambang batas sebagai legal policy bagi eksistensi Partai Politik baik berbentuk ET maupun PT. Kebijakan seperti ini diperbolehkan oleh konstitusi sebagai politik penyederhanaan kepartaian karena pada hakikatnya adanya Undang-Undang tentang Sistem Kepartaian atau Undang-Undang Politik yang terkait memang dimaksudkan untuk membuat pembatasan-pembatasan sebatas yang dibenarkan oleh konstitusi. Mengenai berapa besarnya angka ambang batas adalah menjadi kewenangan pembentuk Undang-Undang untuk menentukannya tanpa boleh dicampuri oleh Mahkamah selama tidak bertentangan dengan hak politik, kedaulatan rakyat, dan rasionalitas. Dengan demikian pula, menurut Mahkamah, ketentuan mengenai adanya PT seperti yang diatur dalam Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008 tidak melanggar konstittusi karena ketentuan Undang-Undang a quo telah memberi peluang bagi setiap warga negara untuk membentuk partai politik tetapi sekaligus diseleksi dan dibatasi secara rasional melalui ketentuan PT untuk dapat memiliki wakil di DPR. Di mana pun di dunia ini konstitusi selalu memberi kewenangan kepada pembentuk Undang-Undang untuk menentukan batasan-batasan dalam Undang-Undang bagi pelaksanaan hak-hak politik rakyat; [3.20] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berpendapat kebijakan PT yang tercantum dalam Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008 sama konstitusionalnya dengan kebijakan ET yang tercantum dalam UU 3/1999 dan UU 12/2003, namun Mahkamah menilai pembentuk Undang-Undang tidak konsisten dengan kebijakan-kebijakannya yang terkait Pemilu dan terkesan selalu bereksperimen dan belum mempunyai desain yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan sistem kepartaian sederhana yang hendak diciptakannya, sehingga setiap menjelang Pemilu selalu diikuti dengan pembentukan Undang-Undang baru di bidang politik, yaitu Undang-Undang mengenai Partai Politik, Undang-Undang mengenai Pemilu, dan Undang-Undang mengenai Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD;” Oleh karena itu, menurut Mahkamah, pertimbangan hukum dalam Putusan Nomor 22- 24/PUU-VI/2008, bertanggal 23 Desember 2008, dan Putusan Nomor 3/PUUVII/2009, bertanggal 13 Februari 2009, sebagaimana dikutip di atas, mutatis mutandis berlaku pula untuk pertimbangan hukum dalam perkara a quo, yaitu pengujian 98 konstitusionalitas Pasal 208 UU 8/2012 mengenai pemberlakuan PT 3,5% (tiga koma lima persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, yang konsekuensi hukumnya akan menghilangkan suara partai politik yang tidak mencapai PT 3,5% di tingkat nasional tersebut. Dengan demikian partai politik yang tidak mencapai PT 3,5% di tingkat nasional tidak memiliki juga kursi pada DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota;
[3.25] Bahwa, menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 208 UU 8/2012 dan Penjelasannya bertujuan untuk penyederhanaan kepartaian secara alamiah. Namun demikian, dari sudut substansi, ketentuan tersebut tidak mengakomodasi semangat persatuan dalam keberagaman. Ketentuan tersebut berpotensi menghalang-halangi aspirasi politik di tingkat daerah, padahal terdapat kemungkinan adanya partai politik yang tidak mencapai PT secara nasional sehingga tidak mendapatkan kursi di DPR, namun di daerah-daerah, baik di tingkat provinsi atau kabupaten/kota, partai politik tersebut memperoleh suara signifikan yang mengakibatkan diperolehnya kursi di lembaga perwakilan masing-masing daerah tersebut. Bahkan secara ekstrim dimungkinkan adanya partai politik yang secara nasional tidak memenuhi PT 3,5%, namun menang mutlak di daerah tertentu. Hal demikian akan menyebabkan calon anggota DPRD yang akhirnya duduk di DPRD bukanlah calon anggota DPRD yang seharusnya jika merunut pada perolehan suaranya, atau dengan kata lain, calon anggota DPRD yang akhirnya menjadi anggota DPRD tersebut tidak merepresentasikan suara pemilih di daerahnya. Politik hukum sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 208 UU 8/2012 dan Penjelasannya tersebut justru bertentangan dengan kebhinnekaan dan kekhasan aspirasi politik yang beragam di setiap daerah;
3.25.1Menurut Mahkamah, pemberlakuan PT secara nasional yang mempunyai akibat hukum pada hilangnya kursi-kursi partai politik yang tidak memiliki kursi di DPR namun partai politik bersangkutan memenuhi ketentuan bilangan pembagi pemilih di daerah dan menjadikan kursi-kursi tersebut dimiliki partai politik lain yang sebenarnya tidak memenuhi bilangan pembagi pemilih namun memiliki kursi di DPR, justru bertentangan dengan kedaulatan rakyat, hak politik, dan rasionalitas, sehingga 99 bertentangan pula dengan tujuan pemilihan umum itu sendiri yaitu untuk memilih wakil rakyat mulai dari tingkat pusat hingga daerah;
[3.25.2] Mahkamah juga menilai sekiranya PT 3,5% diberlakukan secara bertingkat, masing-masing 3,5% untuk DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, dapat menimbulkan kemungkinan tidak ada satu pun partai politik peserta Pemilu di suatu daerah (provinsi atau kabupaten/kota) yang memenuhi PT 3,5% sehingga tidak ada satupun anggota partai politik yang dapat menduduki kursi DPRD. Hal ini mungkin terjadi jika diasumsikan partai politik peserta Pemilu berjumlah 30 partai politik dan suara terbagi rata sehingga maksimal tiap-tiap partai politik peserta Pemilu hanya memperoleh maksimal 3,3% suara. Selain itu, terdapat pula kemungkinan di suatu daerah hanya ada satu partai politik yang memenuhi PT 3,5% sehingga hanya ada satu partai politik yang menduduki seluruh kursi di DPRD atau sekurang-kurangnya banyak kursi yang tidak terisi. Hal itu justru bertentangan dengan ketentuan konstitusi yang menghendaki Pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD, yang ternyata tidak tercapai karena kursi tidak terbagi habis, atau akan terjadi hanya satu partai politik yang duduk di DPRD yang dengan demikian tidak sejalan dengan konstitusi;
[3.26] Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, permohonan Pemohon sepanjang mengenai frasa “DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota” dalam Pasal 208 UU 8/2012 beralasan hukum. Dengan demikian, ketentuan PT 3,5% hanya berlaku untuk kursi DPR dan tidak mempunyai akibat hukum terhadap penentuan/penghitungan perolehan kursi partai politik di DPRD provinsi maupun di DPRD kabupaten/kota; Konstitusionalitas pasal, ayat, maupun frasa dalam pasal dan/atau ayat UU 8/2012 yang terkait pasal, ayat, maupun frasa dalam pasal dan/atau ayat yang dimohonkan pengujian Bahwa putusan mengenai Pasal 8 ayat (1) UU 8/2012 dan Penjelasan Pasal 8 ayat (1) UU 8/2012 memiliki konsekuensi terhadap ketentuanketentuan dalam pasal maupun ayat dari UU 8/2012 yang merujuk kepada ketentuan Pasal 8 ayat (1) a quo. Meskipun tidak secara tegas dimohonkan oleh para Pemohon untuk diuji, namun setelah mencermati UU 8/2012, Mahkamah menemukan fakta 100 hukum bahwa Pasal 17 ayat (1) UU 8/2012 terkait erat (merujuk) kepada ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU 8/2012 yang dimohonkan pengujian secara materiil oleh para Pemohon. Begitu pula, frasa “DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota” dalam Pasal 208 UU 8/2012, menurut Mahkamah, terkait erat dengan frasa yang sama dalam Pasal 209 ayat (1) dan ayat (2) UU 8/2012, sehingga putusan terhadap Pasal 208 UU 8/2012 serta merta membawa akibat hukum terhadap Pasal 209 ayat (1) dan ayat (2) UU 8/2012 beserta Penjelasannya;
[3.28] Bahwa dengan adanya putusan-putusan mengenai pasal-pasal dalam UU 8/2012, terutama terkait dengan ketentuan mengenai verifikasi partai politik, maka segala sesuatu yang berakibat secara hukum dengan proses penyelenggaraan pemilihan umum legislatif tahun 2014 harus disesuaikan ulang dengan tidak mengubah jadwal pemungutan suara;
[3.29] Bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah permohonan para Pemohon mengenai pengujian konstitusionalitas Pasal 8 ayat (1), Pasal 8 ayat (2), dan Pasal 208 UU 8/2012, atau sebagian frasa dari pasal atau ayat dimaksud, beralasan hukum untuk sebagian;
B. Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion)
Terhadap Putusan Mahkamah ini, khusus untuk pertimbangan hukum terhadap Pasal 208 UU 8/2012, Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion), sebagai berikut:

[6.1] Menimbang bahwa penerapan model parliamentary threshold dalam sistem Pemilu Indonesia tidak sejalan dengan tujuan penyederhanaan sistem kepartaian dalam rangka efektifitas sistem presidensiil melalui penguatan kelembagaan parlemen. Selain itu, penerapan model parliamentary threshold mengakibatkan terhambatnya saluran aspirasi dari kelompok minoritas dalam sistem bangunan kenegaraan Indonesia yang demokratis dan dijamin oleh UUD 1945. Atas dasar inilah, saya menyatakan pendapat berbeda. Bahwa dalam setiap sistem Pemilu pasti terdapat batasan (threshold) yang mengakibatkan keterpilihan seseorang untuk menduduki jabatan publik. Ambang batas ini merupakan sifat alamiah dalam sistem Pemilu (natural threshold). Bahwa UU 8/2012 yang menggunakan sistem proporsional terbuka memberikan penghargaan kepada suara rakyat secara terbuka, bebas memilih dan menentukan anggota legislatif. Sistem ini juga menghilangkan tindakan pengabaian atas terbuangnya suara rakyat secara cuma-cuma serta menjamin prinsip keterwakilan yang didasari penghargaan terhadap kelompok-kelompok minoritas di dalam masyarakat Indonesia yang majemuk.
[6.2] Menimbang bahwa Putusan Mahkamah Nomor 22-24/PUU-VI/2008 bertanggal 23 Desember 2008 dalam pertimbangan hukumnya telah secara tegas menyatakan menjamin terpenuhi prinsip kedaulatan rakyat dan prinsip keterwakilan dengan pertimbangan yang berbunyi, “... karena itu keterpilihan calon anggota legislatif tidak boleh bergeser dari keputusan rakyat yang berdaulat kepada keputusan pengurus partai politik sebagaimana amanat konstitusi yang termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945”. Bahwa ambang batas (parliamentary threshold) sekurang-kurangnya 3,5% (tiga setengah persen) dari jumlah perolehan suara sebagaimana diatur pada Pasal 208 UU 8/2012, pembentuk Undang-Undang perlu mempertimbangkan hal-hal yang berkenaan dengan parliamentary threshold. Sebagai perbandingan, Dewan Parlemen (Parliamentary Assembly) Eropa, misalnya, dalam Resolusi Nomor 1547 yang dikeluarkan pada tahun 2007 mengatur bahwa penetapan ambang batas (threshold) di atas 3% (tiga persen) tidaklah memiliki landasan hukum yang kuat dalam sebuah 106 sistem negara demokratis yang mapan. Demokrasi harus mampu memberikan jaminan sebesar-besarnya untuk perlindungan kebebasan mengeluarkan pendapat, berserikat, dan berkumpul. Pembatasan yang ketat atas perlindungan kebebasan tersebut merupakan pemberangusan terhadap nilai-nilai demokrasi.
[6.3] Menimbang bahwa memperhatikan prinsip yang terkandung di dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 pelaksanaan pemilihan umum yang berkualitas harus melibatkan partisipasi rakyat seluas-luasnya atas dasar prinsip demokrasi yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Penerapan asas-asas pemilu harus menjadi landasan utama untuk dikembangkan dan diimplementasikan melalui Undang-Undang Pemilihan Umum dan diimplementasikan melalui Undang-Undang Pemilihan Umum sebagai dasar bagi pelaksanaan seluruh tahapan pemilihan umum agar dapat dipertanggungjawabkan. Dalam pelaksanaan pemilu, rakyat merupakan subjek utama dalam penegakan prinsip kedaulatan rakyat. Rakyat tidak boleh diposisikan sebagai obyek oleh para pemangku kepentingan demi memperoleh kemenangan politik semata. Bahwa untuk kesekian kalinya, undang-undang yang mengatur mengenai penetapan ambang batas jumlah perolehan suara partai politik digugat melalui jalur judicial review. Mahkamah pernah memeriksa perkara dengan permasalahan yang serupa dalam Perkara Nomor 3/PUU-VII/2009. Dalam dissenting opinion pada putusan perkara tersebut, saya mempertimbangkan kelebihan dan kekurangan penerapan model parliamentary threshold demi penyederhanaan sistem kepartaian. Saya sampai pada kesimpulan bahwa penerapan parliamentary threshold dalam sistem Pemilu Indonesia melanggar prinsip keterwakilan (representativeness) sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum (legal uncertainty) dan ketidakadilan (injustice) bagi anggota partai politik yang sudah lolos pada perolehan suara di Pemilu legislatif tetapi partainya terhambat untuk memperoleh kursi di parlemen yang diakibatkan berlakunya parliamentary threshold.
[6.4] Menimbang bahwa selain hal tersebut di atas, dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VII/2009, Mahkamah menilai langkah kebijakan yang diambil oleh pembentuk undang-undang dalam rangka penyederhanaan sistem kepartaian tidak konsisten dan tidak memiliki desain besar (grand design) serta perencanaan yang matang. Sikap ini nampak jelas dari eksperimentasi yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang dengan mengubah, bahkan mengganti, undang-undang di bidang politik setiap menjelang penyelenggaraan pemilu. Penyederhanaan sistem kepartaian tidak dapat dilakukan sekejap mata dan semudah membalikkan telapak tangan, dibutuhkan konsistensi, waktu yang panjang dan perencanaan yang matang. Jumlah partai politik dapat dibatasi melalui perekayasaan sosial berdasarkan aturanaturan hukum tanpa harus mengorbankan kebebasan berekspresi dan hak konstitusional warga negara untuk berserikat dan berkumpul. Oleh karena itu, serupa dengan pendapat saya dalam Putusan Nomor 3/PUUVII/2009 bahwa model parliamentary threshold, sebagaimana diatur pada Pasal 208 UU 8/2012, dalam rangka penyederhanaan sistem kepartaian Indonesia adalah bertentangan dengan UUD 1945.

C. Implikasi Putusan MK

Putusan Nomor 52/PUU-X/2012, Nomor 20/PUU-XI/2013, dan Nomor 24/PUU-XII/2014 mengenai pengujian UU Pemilu Legislatif terhadap UUD Tahun 1945 sebagaimana telah diuraikan pada pokoknya berimplikasi pada 3 (tiga) hal yaitu :
a. Perubahan substansi materi keseluruhan Pasal 8 dan pasal 208 UU Pemilu Legislatif
b. Muculnya rumusan baru norma Penjelasan Pasal 56 ayat (1) dan Pasal 215 huruf b UU Pemilu Legislatif
c. Pembatalan atau peniadaan Pasal 247 ayat (2), ayat (5) dan ayat (6), Pasal 291 dan Pasal 317 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu Legislatif.

Menyatakan Pasal, ayat, sebagian frase dalam Pasal atau ayat tertentu UU Pemilu Legislatif Inkonstitusional

Pasal dan ayat tertentu dalam UU Pemilu Legislatif yang dinyatakan bertentangan dengan konstitusi (inkonstitusional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi adalah Pasal 8 ayat (1) beserta penjelasannya, Pasal 247 ayat (2), ayat (5) dan ayat (6), Pasal 291 dan Pasal 317 ayat (1) dan ayat (2).
Dalam rangka chek and balances dalam pelaksanaan kekuasaan pembentukan UU (legislatif) dengan kekuasaan yudikatif (Mahkamah Konstitusi sebagai selaku guardian of constitution) tanpa melampaui batas kewenangan lembaga negara masing-masing sebagaimana diatur dalam Pasal 24C UUD Tahun 1945 jo. Pasal 56 dan Pasal 57 UU Mahkamah Kostitusi, maka DPR dan Presiden harus melakukan amandemen terhadap Pasal, ayat, frase dalam pasal dan ayat UU Pemilu Legilatif yang telah berubah substasinya dan telah dirumuskan norma baru sebagai akibat Putusan Mahkamah Konstitusi.

1. Berdasarkan hukum positif sebagaimana diatur dalam Pasal 24C UUD Tahun 1945 jo. Pasal 56 dan Pasal 57 UU MK, Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan untuk menguji UU Terhadap UUD tahun 1945 pada tingkat pertama dan terakhir yang amar putusan Putusannya secara limitatf dibatai pada dua hal yaitu: menyatakan dengan tegas bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
2. Akibat hukum dari Putusan mahkamah konstitusi yang amar putusannya menyatakan inkonstitusional bersyarat dan yang menyatakan inkonstitusional dalam pengujian Pasal-pasal UU Pemilu Legislatif adalah perubahan substansi materi dan timbulnya rumusan baru
3. Dalam rangka chek and balances dalam pelaksanaan kekuasaan pembentukan UU (legislatif) dengan kekuasaan yudikatif (Mahkamah Konstitusi sebagai selaku guardian of constitution) tanpa melampaui batas kewenangan lembaga negara masing-masing sebagaimana diatur dalam Pasal 24C UUD Tahun 1945 jo. Pasal 56 dan Pasal 57 UU MK, maka DPR dan Presiden harus melakukan amandemen terhadap Pasal, ayat, frase dalam pasal dan ayat UU pemilu legilatif yang telah berubah substasinya dan telah dirumuskan norma baru sebagai akibat Putusan Mahkamah Konstitusi.

Rekomendasi yang dapat diberikan dari hasil evaluasi ini berupa perbaikan substansi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Perbaikan ini hendaknya dituangkan dalam rencana perubahan atau penggantian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD dalam Program Legislasi Nasional untuk kumulatif terbuka maupun menjadi skala prioritas tahunan.

← Sebelumnya 1 Selanjutnya →