Drs. Sukardja, Ir Abas Ts, H.J. Sutiarjo, Ir. S. Bratahalim, Surya Sofian, J. Hanifah Tiono, Nelam PS, Surya Wardhani, Ir, Imam Jusuf, Dahlia.
Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1985
TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN
Pasal 28H ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang – Undang Badan Keahlian DPR RI.
Bahwa terhadap konstitusionalitas Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) UU PBB,
MK memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
1) Bahwa oleh karena perihal dalil yang didasarkan pada alasan
kekurangmampuan atau ketidakmampuan membayar PBB telah
dipertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-
XVI/2018, maka pertimbangan hukum Mahkamah dalam putusan
dimaksud berlaku pula terhadap permohonan a quo. Oleh karena itu,
dalil Pemohon selanjutnya yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah,
apakah pengenaan PBB yang didasarkan atas nilai jual objek pajak
sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) UU PBB
bertentangan dengan UUD 1945, khususnya dengan hak-hak
konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 28A, Pasal 28H ayat (1),
Pasal 28H ayat (4) UUD 1945.
2) Bahwa, sebagaimana telah dipertimbangkan sebelumnya, filosofi
pengenaan pajak terhadap bumi dan bangunan adalah karena adanya
manfaat atau kenikmatan yang dinikmati oleh mereka yang menguasai
bumi dan/atau bangunan tersebut. Sementara itu, menurut Pasal 33 ayat
(3) UUD 1945, bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Dengan demikian, mereka yang memperoleh
manfaat atau kenikmatan dari sesuatu yang berada di bawah penguasaan
negara adalah wajar jika menyerahkan sebagian dari manfaat atau
kenikmatan itu kepada negara yang pada akhirnya akan dikembalikan
kepada rakyat melalui pelaksanaan pembangunan yaitu untuk mencapai
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Yang menjadi pertanyaan kemudian,
bagaimana cara menentukan atau menghitung pengenaan pajak terhadap
bumi dan bangunan itu secara objektif dan sekaligus proporsional. Sebab,
manfaat atau kenikmatan itu adalah sesuatu yang bersifat kualitatif.
Dalam konteks demikian maka argumentasi yang paling rasional untuk
digunakan sebagai dasar perhitungan adalah dengan cara menghitung
secara kuantitatif nilai manfaat atau kenikmatan itu yaitu dengan
mempertimbangkan nilai jual dari objek yang memberi manfaat atau
kenikmatan kepada pemilik atau pihak yang menikmatinya, yaitu nilai
jualnya yang pengertiannya sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 angka
3 UU PBB. Dengan demikian dalil Pemohon yang menyatakan bahwa
penghitungan pengenaan PBB yang didasarkan pada nilai jual objek pajak
sebagai khayalan adalah tidak benar karena nilai jual objek pajak itu tetap
ada setiap waktu di daerah yang bersangkutan. Adapun hal-hal teknis
yang berkait dengan cara penghitungan tidak mungkin dinilai
konstitusionalitasnya oleh Mahkamah. Sebab, di samping sangat
bergantung pada ruang dan waktu juga bergantung pada kemampuan
dan kondisi daerah masing-masing, khususnya menyangkut PBB-P2 yang
telah diserahkan kepada daerah. Mahkamah hanya mungkin menyatakan
bahwa pembebanan berupa pungutan yang bersifat memaksa, lebih-lebih
pajak, sebagai sesuatu yang bertentangan dengan UUD 1945 jika hal itu
dilakukan tanpa penghitungan yang jelas dan tanpa didasarkan atas
Undang- Undang.
3) Bahwa negara memang berkewajiban menjamin hak-hak
konstitusional warga negara, baik hak-hak konstitusional yang termasuk
dalam kelompok hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak konstitusional
yang termasuk ke dalam kelompok hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.
Khusus terhadap hak-hak konstitusional yang tergolong ke dalam hak-hak
ekonomi, sosial, dan budaya, sebagaimana juga telah dipertimbangkan
dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-XVI/2018, bertanggal
9 Mei 2018, pemenuhannya dilakukan melalui campur tangan pemerintah
melalui pelaksanaan pembangunan, di mana hal itu sangat bergantung
pada kemampuan negara. Dengan kata lain, pelaksanaan pembangunan
adalah bagian dari upaya negara untuk memenuhi hak-hak konstitusional
warga negara. Oleh karena itu, pengenaan pajak, termasuk PBB, tidaklah
dapat dipertentangkan dengan hak- hak konstitusional warga negara
sepanjang hal itu didasarkan atas undang- undang dan tidak dilakukan
secara sewenang-wenang. Dengan demikian, jika dasar penghitungan
pengenaan suatu pajak telah jelas, maka hal itu pun tidak dapat
dipertentangkan dengan hak-hak konstitusional warga negara. Dalam hal
PBB, dasar penghitungan itu adalah nilai jual objek pajak. Ada pun perihal
besaran atau persentasenya, termasuk perubahannya yang didasarkan
atas perkembangan keadaan, hal itu adalah persoalan teknis dan
sekaligus praktik atau penerapan undang-undang yang tidak mungkin
ditetapkan secara baku karena akan tunduk pada perubahan dari waktu
ke waktu.
4) Bahwa sebagaimana telah dipertimbangkan sebelumnya, apabila
terhadap pengenaan PBB tersebut Pemohon keberatan, hal itu telah
disediakan mekanismenya melalui Pasal 107 ayat (2) UU PDRD. Namun,
dimungkinkannya diajukan keberatan demikian bukanlah berarti bahwa
norma yang termuat dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) UU PBB
bertentangan dengan UUD 1945 melainkan semata-mata sebagai jalan
hukum (legal remedy) yang diberikan oleh undang- undang, in casu UU
PDRD. Apabila Pemohon, sebagaimana dijelaskan dalam Permohonannya,
telah mengajukan keberatan dimaksud dan ternyata hal itu tidak
mendapatkan tanggapan pemerintah, in casu Pemerintah Daerah Khusus
Ibukota Jakarta, Mahkamah tidak berwenang untuk menilai hal demikian
sebab sudah berada di wilayah kebijakan pemerintah dengan
mempertimbangkan kemampuan dan kondisi daerah. Artinya, apabila di
suatu daerah keberatan demikian dikabulkan, hal itu bukanlah sebagai
bukti bahwa norma Undang-Undang a quo inkonstitusional melainkan
semata-mata kebijakan pemerintah daerah yang bersangkutan yang
diambil setelah mempertimbangkan kemampuan atau kondisi pemerintah
daerah yang bersangkutan. Oleh karena itu, Mahkamah tidak mungkin
mengabulkan Permohonan Pemohon yang meminta Mahkamah untuk
menyatakan Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) UU PBB bertentangan dengan
UUD 1945 sembari mengusulkan kepada Pemerintah untuk menjadikan
nilai jual objek pajak tahun 2013 sebagai dasar pengenaan PBB, sebab:
pertama, sebagaimana telah dipertimbangkan di atas, Pasal 6 ayat (1)
dan ayat (2) UU PBB tidak terbukti bertentangan dengan UUD 1945; dan
kedua, usul sebagaimana dimohonkan Pemohon substansinya sudah
berada di wilayah kebijakan pemerintah sehingga tidak mungkin
dituangkan dalam amar putusan Mahkamah. Dalam kaitan ini, Mahkamah
hanya dapat mendorong agar pemerintah, khususnya pemerintah daerah,
untuk memperhatikan keberatan Pemohon dalam hubungannya dengan
pengenaan PBB, in casu yang tergolong ke dalam PBB-P2 karena hal itu
sepenuhnya bergantung pada kebijakan masing- masing daerah.
5) Menimbang, berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, telah
terang bagi Mahkamah bahwa dalil Pemohon yang menyatakan Pasal 6
ayat (1) dan ayat (2) UU PBB bertentangan dengan UUD 1945 adalah
tidak beralasan menurut hukum.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430