Richard Christoforus Massa, oleh kuasa hukumnya yaitu Dr. A. Muhammad Asrun, S.H., M.H
Pasal 18 ayat (3), Pasal 19, Pasal 53 ayat (5) UU 30/2014
Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28H ayat
(4) UUD NRI Tahun 1945
DPR, Kemenkumham, Pemohon dan Kuasa Pemohon
Bahwa terhadap konstitusionalitas Pasal 18 ayat (3), Pasal 19, dan Pasal
53 ayat (5) UU 30/2014, MK memberikan pertimbangan hukum sebagai
berikut:
1) Bahwa kasus konkrit yang dihadapi dan dikemukakan Pemohon
sehubungan dengan adanya putusan Fiktif Positif PTUN-Denpasar terkait
pembatalan atau pencabutan “Keputusan Kepala Kantor Wilayah BPN
Provinsi Bali Nomor 0196/Pbt/BPN.51/2013, tanggal 29 Oktober 2013,
tentang Pembatalan Pendaftaran Peralihan Hak Terhadap Sertifikat Tanah
atas Tanah Hak Guna Bangunan” yang didalilkan telah merugikan
Pemohon karena PTUN-Denpasar tidak memberikan kesempatan kepada
Pemohon untuk menjadi Pihak Intervensi, menurut Mahkamah tanpa
bermaksud menilai kasus konkrit yang dialami Pemohon, hal tersebut
bukanlah dikarenakan keberadaan Pasal 53 ayat (5) UU 30/2014 yang
bertentangan dengan UUD NRI 1945, melainkan merupakan penerapan
hukum acara dalam pemeriksaan permohonan Fiktif Positif dalam
peradilan TUN.
2) Berdasarkan pertimbangan di atas bahwa persoalan kerugian yang
didalilkan oleh Pemohon bukanlah persoalan kerugian konstitusional
karena dalil pokok kerugian konstitusional yang diuraikan oleh Pemohon,
yang terletak pada tidak diberikannya kesempatan kepada Pemohon
untuk menjadi Pihak Terkait atau “Tergugat II Intervensi” dalam perkara
di PTUN-Denpasar dengan adanya penolakan majelis hakim PTUN-
Denpasar, sehingga tidak ada hubungan sebab akibat (causal verband)
dengan berlakunya norma yang diuji. Pokok kerugian tersebut lebih
kepada persoalan implementasi bagaimana hukum acara peradilan tata
usaha negara dalam penyelesaian sengketa tata usaha negara in casu
perkara Pemohon di PTUN-Denpasar.
3) Bahwa penyusunan norma Pasal 18 ayat (3) dan Pasal 19 UU
30/2014 merupakan norma yang terdapat di dalam “Bagian Ketujuh”
terkait dengan “larangan Penyalahgunaan Wewenang” pada Bab tentang
“Kewenangan Pemerintahan”. Dalam hal ihwal, khusus untuk Bagian
Larangan Penyalahgunaan Wewenang, terdapat lima Pasal (yaitu Pasal 17
sampai dengan Pasal 21) yang pada pokoknya mengatur empat hal, yaitu
(1) tindakan yang dilarang beserta uraiannya; (2) konsekuensi atau
akibat hukum pelanggaraan terhadap larangan; (3) pengawasan terhadap
penyalahgunaan wewenang; dan (4) upaya hukum yang dapat dilakukan
terhadap penyalahgunaan wewenang. Dengan demikian konstruksi
hukum yang dibangun dalam norma yang termuat dalam Bagian
Larangan Penyalahgunaan Wewenang tersebut adalah berkenaan dengan
pembatasan terhadap penggunaan wewenang oleh badan dan/atau
pejabat pemerintahan beserta konsekuensi atau akibat hukum yang
ditimbulkannya.
4) Bahwa Pasal 18 ayat (3) UU 30/2014 yang menjadi objek permohonan dalam perkara a quo merupakan bagian norma yang
mengatur uraian tentang tindakan melampaui wewenang. Dalam hal ini,
Pasal 18 ayat (3) UU 30/2014 merupakan penguraian terhadap larangan
bagi badan atau pejabat pemerintahan untuk bertindak sewenang-
wenang. Di mana, bentuk dari tindakan sewenang- wenang tersebut
adalah mengeluarkan keputusan atau tindakan tanpa dasar kewenangan
dan/atau bertentangan dengan putusan pengadilan yang berkekuatan
hukum tetap. Dengan demikian, Pasal 18 ayat (3) UU 30/2014 hanyalah
norma yang mengatur rincian atau detail mengenai bentuk dari tindakan
sewenang-wenang yang diatur dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c UU
30/2014. Dengan keberadaan Pasal 18 ayat (3) UU 30/2014 tersebut,
lingkup tindakan sewenang-wenang menjadi jelas dan terukur.
5) Bahwa adapun Pasal 19 UU 30/2014 memuat norma terkait
konsekuensi pelanggaran terhadap larangan penyalahgunaan wewenang
oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan. Dalam pasal a quo diatur dua konsekuensi hukum yang berbeda. Pertama, pelanggaran terhadap
“larangan melampaui wewenang” dan “larangan bertindak sewenang-
wenang”. Terhadap kedua larangan itu akan menimbulkan akibat hukum
berupa tidak sahnya keputusan dan/atau tindakan setelah melalui
pengujian dan telah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum
tetap. Artinya, keputusan/tindakan yang melampaui wewenang dan
sewenang-wenang tersebut akan dinyatakan tidak sah setelah terbukti
bertentangan dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap. Kedua, pelanggarannya akan menimbulkan
akibat hukum berupa keputusan tersebut dapat dibatalkan setelah diuji
dan telah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
6) Bahwa selama putusan belum mempunyai kekuatan hukum tetap,
upaya peninjauan kembali tidak dapat dipergunakan. Terhadap putusan
yang demikian hanya dapat ditempuh upaya hukum biasa berupa banding
atau kasasi. Upaya hukum peninjauan kembali baru terbuka setelah
upaya hukum biasa (berupa banding dan kasasi) tidak tersedia lagi atau
apabila yang bersangkutan tidak menggunakan hak untuk itu Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa putusan yang diajukan peninjauan
kembali haruslah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Permintaan untuk dilakukan peninjauan kembali sebagai upaya hukum
luar biasa justru karena putusan telah mempunyai kekuatan hukum tetap
dan sudah tidak dapat lagi dilakukan upaya hukum biasa berupa banding
atau kasasi termasuk jika yang bersangkutan tidak menggunakan hak
untuk mengajukan upaya hukum biasa. Bahkan, permintaan peninjauan
kembali atas suatu putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari putusan
tersebut.
7) Bahwa terlepas dari pertimbangan-pertimbangan hukum di atas,
perlu ditegaskan kembali bahwa Pasal 18 dan Pasal 19 UU 30/2014 sama
sekali tidak mengatur dan berhubungan dengan upaya hukum. Pasal 18
dan Pasal 19 Undang-Undang a quo hanya mengatur tentang
konsekuensi hukum dari keputusan badan/pejabat pemerintahan yang
dikeluarkan atau dilakukan secara bertentangan dengan putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Mengenai apakah
terhadap putusan tersebut kemudian oleh pihak-pihak diajukan upaya
hukum luar biasa berupa peninjauan kembali, hal itu sama sekali tidak
mempengaruhi maksud yang terkandung dalam Pasal 18 ayat (3) dan
Pasal 19 UU 30/2014.
8) Bahwa Menimbang bahwa oleh karena Pasal 53 ayat (5), Pasal 18
ayat (3), dan Pasal 19 UU 30/2014 sama sekali tidak berhubungan
dengan masalah upaya hukum luar biasa dan juga tidak berhubungan
dengan pembatasan orang yang berkepentingan untuk menjadi pihak
dalam pemeriksaan permohonan Fiktif Positif sesuai Pasal 53 UU 30/2014
pada Pengadilan Tata Usaha Negara, maka dalil sebagaimana
dikemukakan Pemohon sama sekali tidak relevan sehingga harus
dinyatakan tidak beralasan menurut hukum.
9) Bahwa seandainyapun, misalnya, norma tersebut tetap hendak
dikaitkan dengan upaya hukum luar biasa dan kesempatan untuk menjadi
pihak dalam pemeriksaan permohonan Fiktif Positif, norma-norma a quo
sama sekali tidak menghalangi hak pihak-pihak berkepentingan untuk
masuk sebagai Pihak Terkait atau Tergugat Intervensi atau untuk
menempuh upaya hukum luar biasa. Oleh karena itu, dalil Pemohon agar
norma a quo dinyatakan bertentangan atau bertentangan secara
bersyarat dengan UUD 1945 tidak beralasan menurut hukum.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430