Keterangan DPR mengenai Pengujian UU Terhadap UUD 1945

Keterangan DPR Perkara No. 5/PUU-XV/2017 / 20-07-2017

No. 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal

Kerugian Konstitusional:
a. Dengan diberlakukannya pasal a quo, Pemohon merasa kesulitan mendapatkan produk tertentu yang menurut UU JPH ini ditetapkan harus bersertifikat halal, misalnya minuman beralkohol dan makanan yang diharamkan oleh syariat dan dalam praktek ibadah keagamaan pemohon yang beragama Kaholik dan pemeluk agama Kristen lainnya terdapat jamuan yang menggunakan roti dan anggur termasuk minuman beralkohol yang berarti keharusan sertifikasi halal ini menjadikan perayaan keagamaan tersebut terkendala sehingga kebebasan beribadah sesuai agama dan kepercayaannya telah ditiadakan; (Vide permohonan hal 4 dan 8)

b. Bahwa Pasal 4 UU JPH mengandung ketidakpastian mengenai definisi “Produk”, serta tidak adanya definisi produk yang berupa obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, dan rekayasa genetik Selain itu, Pasal 4 UU JPH ini mewajibkan produk untuk bersetifikat halal (menetapkan apa yang menjadi Hak Prerogatif Allah) namun di Pasal 26 terdapat pengecualian terhadap produk yang mengakibatkan ketidakpastian, sehingga Pasal ini bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945 dan bertentangan dengan Dasar Negara sebagaimana dimaksud dalam alinea keempat Pembukaan UUD Tahun 1945 yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.
(Vide hal 5, 14, dan 19 poin 3.6.6)

Legal Standing:
Terhadap kedudukan hukum (legal standing) tersebut, DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang mulya untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) atau tidak sebagaimana yang diatur oleh Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi dan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007.

Pokok Permohonan:
1) UUD Tahun 1945 mengamanatkan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

2) Bahwa untuk menjamin setiap pemeluk agama beribadah dan menjalankan ajaran agamanya, negara berkewajiban memberikan pelindungan dan jaminan tentang kehalalan Produk yang dikonsumsi dan digunakan masyarakat. Jaminan mengenai Produk Halal hendaknya dilakukan sesuai dengan asas pelindungan, keadilan, kepastian hukum, akuntabilitas dan transparansi, efektivitas dan efisiensi, serta profesionalitas. Oleh karena itu, jaminan penyelenggaraan Produk Halal bertujuan memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan Produk Halal bagi masyarakat dalam mengonsumsi dan menggunakan Produk, serta meningkatkan nilai tambah bagi Pelaku Usaha untuk memproduksi dan menjual Produk Halal. Tujuan tersebut menjadi penting mengingat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang pangan, obat-obatan, dan kosmetik berkembang sangat pesat. Hal itu berpengaruh secara nyata pada pergeseran pengolahan dan pemanfaatan bahan baku untuk makanan, minuman, kosmetik, obat-obatan, serta Produk lainnya dari yang semula bersifat sederhana dan alamiah menjadi pengolahan dan pemanfaatan bahan baku hasil rekayasa ilmu pengetahuan. Pengolahan produk dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memungkinkan percampuran antara yang halal dan yang haram baik disengaja maupun tidak disengaja. Oleh karena itu, untuk mengetahui kehalalan dan kesucian suatu Produk, diperlukan suatu kajian khusus yang membutuhkan pengetahuan multidisiplin, seperti pengetahuan di bidang pangan, kimia, biokimia, teknik industri, biologi, farmasi, dan pemahaman tentang syariat. Berkaitan dengan itu, dalam realitasnya banyak Produk yang beredar di masyarakat belum semua terjamin kehalalannya. Sementara itu, berbagai peraturan perundang-undangan yang memiliki keterkaitan dengan pengaturan Produk Halal belum memberikan kepastian dan jaminan hukum bagi masyarakat muslim. Oleh karena itu, pengaturan mengenai JPH perlu diatur dalam satu undang-undang yang secara komprehensif mencakup Produk yang meliputi barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, dan produk rekayasa genetik serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat.

3) Bahwa dengan adanya pertimbangan sebagaimana tertuang dalam diktum menimbang huruf b UU JPH yang berbunyi:
"bahwa untuk menjamin setiap pemeluk agama untuk beribadah dan menjalankan ajaran agamanya, negara berkewajiban memberikan pelindungan dan jaminan tentang kehalalan produk yang dikonsumsi dan digunakan masyarakat"

dan Pasal 3 huruf a UU JPH yang berbunyi:
"memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan Produk Halal bagi masyarakat dalam mengonsumsi dan menggunakan Produk"

Dari ketentuan-ketentuan tersebut terlihat jelas bahwa Undang-Undang ini dibuat tidak dikhususkan bagi pemeluk agama Islam dan masyarakat muslim saja, melainkan bagi setiap pemeluk agama sebagai upaya dari pemerintah untuk melindungi masyarakat Indonesia secara keseluruhan mengingat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang pangan, obat-obatan, dan kosmetik berkembang sangat pesat, yang mana berpengaruh secara nyata pada pergeseran pengolahan dan pemanfaatan bahan baku untuk makanan, minuman, kosmetik, obat-obatan, serta produk lainnya dari yang semula bersifat sederhana dan alamiah menjadi pengolahan dan pemanfaatan bahan baku hasil rekayasa ilmu pengetahuan yang mana untuk pengujiannya dibutuhkan ilmu dari berbagai bidang seperti pengetahuan di bidang pangan, kimia, biokimia, teknik industri, biologi, farmasi, dan pemahaman tentang syariat guna menjamin keamanan produk yang dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia secara luas.

4) Bahwa dalam proses food technology, mekanisme pengolahan makanan mengalami banyak perubahan sehingga rantai pasok pangan (food supply chain) berbeda dengan rantai pasok produk yang lain. Lambert & Cooper (1998) mendefinisikan rantai pasok sebagai integrasi bisnis proses utama dari pengguna akhir melalui pemasok asli yang menyediakan produk, layanan dan informasi yang menambah nilai bagi pelanggan dan pemangku kepentingan lainnya. Definisi ini juga dan sekaligus digunakan oleh Global Supply Chain Forum (GSCF) pada tahun 2000. Dalam pemahaman yang secara sederhana, rantai pasok merupakan rangkaian aliran barang/fisik, informasi dan proses yang digunakan untuk mengirim produk atau jasa dari lokasi sumber (pemasok) ke lokasi tujuan (pelanggan atau pembeli). Perbedaan yang mendasar antara rantai pasok pangan dengan rantai pasok lainnya adalah perubahan yang terus menerus dan signifikan terhadap kualitas produk pangan di seluruh rantai pasok hingga pada titik akhir, produk tersebut dikonsumsi.
Produk pangan baik makanan dan minuman adalah produk yang memiliki kaitan langsung atau resiko terhadap kesehatan dari setiap konsumen yang mengkonsumsi produk tersebut. Resiko yang melekat pada produk pangan inilah yang membedakan rantai pasok produk pangan dengan rantai pasok produk lain. Dalam rantai pasok pangan, seluruh pelaku (stake holders) rantai pasok bertanggung jawab dan berupaya untuk mencegah terjadinya kontaminasi (pencemaran) produk yang mengakibatkan produk berbahaya bagi kesehatan konsumen baik pada jangka pendek, maupun pada jangka panjang. Persyaratan akan produk pangan yang aman dikonsumsi dikenal dengan istilah Keamanan Pangan (Food Safety). Dalam perkembagan rantai pasok pangan, keamanan produk tidak terbatas pada kontaminasi yang mempengaruhi kesehatan konsumen, tetapi telah meluas menjadi jaminan akan kesesuaian produk dengan spesifikasi dan kriteria produk yang ditawarkan kepada konsumen. Pengolahan bahan pangan pun tidak lagi hanya menghasilkan produk makanan dan minuman, kini bahan-bahan tersebut telah banyak digunakan sebgai bahan obat-obatan dan kosmetik.
Penekanan tujuan UU JPH sebagaimana yang terdapat dalam Penjelasan UU JPH pada bagian Umum adalah kenyamanan, keamanan, keselamatan dan kepastian bagi masyarakat dalam memperoleh produk yang dikonsumsi sehari-hari menjadikan UU ini perlu ada mengingat banyaknya bahaya yang dapat timbul dari produk-produk yang beredar di kalangan masyarakat dan dikonsumsi oleh masyarakat apalagi setelah dibukanya pasar global, regional maupun internasional. Produk-produk berbahaya tidak hanya berasal dari produk-produk import, bahkan produk-produk domestik juga dapat mengancam keamanan dan keselamatan masyarakat. Sebagai contoh adalah maraknya peredaran kosmetik dengan kandungan pemutih tinggi, baik yang merupakan produk asing maupun produk lokal yang membahayakan masyarakat apabila digunakan dan lain sebagainya sehingga dibutuhkan pengawasan yang lebih efektif terhadap produk-produk yang dikonsumsi masyarakat.

5) Lebih jauh mengenai kehalalan telah diketahui bahwa kesempurnaan kehalalan antara lain didapat dengan menjaga ke-toyyib-annya. Halalan-toyyiban secara harfiah bisa diterjemahkan sebagai “halal dan baik”. Artinya, dengan mengkonsumsi atau memakai hanya produk yang baik-baik saja (jelas proses penanganan, produksi dan bahan/komposisinya) diharapkan aspek halal mengikutinya. Aspek halalan-toyyiban didapat dengan kehati-hatian termasuk menjaga jangan sampai produk yang dikonsumsi/dipakai terkontaminasi dengan unsur, produk maupun asesoris lain yang tidak jelas kehalalannya. Perlindungan dari timbulnya kontaminasi antara lain dengan serangkaian pemisahan (dari bahan baku, produk atau asesori yang tidak halal) baik dalam proses penanganan, produksi, penyimpanan, pelabelan, pengangkutan, penyerahan dan proses pekerjaan lain yang termasuk dalam proses supply-chain sejak dari produsen awal (ultimate producers) sampai kepada konsumen akhir (ultimate consumers). Meskipun pemerintah telah sering memberikan himbauan kepada masyarakat untuk berhati-hati dan waspada terhadap produk-produk yang dikonsumsi, namun pemerintah juga perlu meningkatkan upayanya dalam melindungi masyarakat Indonesia.

6) Bahwa adanya beragam peraturan hukum yang ada sebelum adanya UU JPH, seperti Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan dan Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dirasa masih belum cukup efektif, maka dengan diundangkannya Undang-Undang ini diharap dapat lebih melindungi masyarakat Indonesia secara keseluruhan dan tidak hanya masyarakat muslim saja. Apabila ketentuan menimbang diubah dan dikhususkan bagi masyarakat muslim, maka pemerintah tidak dapat melaksanakan kewajibannya untuk melindungi segenap rakyat Indonesia yang berada di wilayah Republik Indonesia sebagaimana yang tertuang dalam pembukaan UUD Tahun 1945 dengan membiarkan adanya bahaya di sekitar masyarakat Indonesia di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Dalam UU JPH ini, sebagaimana dinyatakan oleh pemohon dalam permohonan a quo, telah mengatur tentang produk non halal yang dikecualikan dari ketentuan wajib berlabel halal. Sehingga tidak benar apabila diyatakan bertentangan dengan ketentuan pada Pasal 28E ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2) UUD Tahun 1945.

7) Bahwa ketentuan dalam Pasal 1 angka 2 UU JPH yang menyatakan syariat Islam sebagai acuan dasar kehalalan suatu produk yang oleh pemohon dinyatakan bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 28F UUD Tahun 1945 yang dalam dalil pemohon disebutkan dalam hal memperoleh informasi mengenai syariat Islam tersebut yang mana tidak dilampirkan dalam UU JPH ini, DPR RI menyatakan bahwa hal tersebut tidak benar. Informasi mengenai syariat Islam yang menjadi dasar penetapan halal pada suatu produk dapat diakses secara luas oleh masyarakat dengan berkembangnya sarana komunikasi yang dapat diakses melalui berbagai jenis saluran yang tersedia. Apabila penjelasan mengenai syariat Islam dilampirkan dalam UU ini, maka lampirannya akan menjadi sangat tebal dan UU ini menjadi tidak efisien. Selain itu, MUI sendiri terbuka dalam melayani masyarakat yang membutuhkan informasi mengenai syariat Islam khususnya yang mengatur tentang halal dan haram yang berkaitan erat dengan UU JPH ini. Selain itu, Pasal 23 poin a UU JPH menyatakan:
"Pelaku Usaha berhak memperoleh: a. informasi, edukasi, dan sosialisasi mengenai sistem JPH....",

dari ketentuan tersebut, jelas terdapat keterbukaan informasi mengenai JPH yang dapat diperoleh oleh masyarakat luas dan diakses oleh umum.

8) Bahwa ketentuan Pasal 18 ayat (2) UU JPH ini menurut pemohon bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan dasar negara Indonesia yakni Ketuhanan Yang Maha Esa. Penggunaan kata "selain" pada Pasal tersebut dianggap adanya kemungkinan bahwa Menteri dan MUI bisa saja mengeluarkan ketentuan yang diluar dari 4 hal yang disebutkan dalam Pasal 18 ayat (1) tentang hewan yang diharamkan. Pernyataan pemohon bahwa ketentuan pada Pasal 18 ayat (1) bersumber dari QS Al An'am ayat 145 adalah benar. Namun ketentuan mengenai hewan yang haram tidak hanya termuat dalam ayat tersebut, sebagaimana yang telah diketahui oleh pemohon, syariat Islam bersumber pada ketentuan Al Qur'an dan hadist, yang mana tidak mungkin semuanya digali dan dijelaskan dalam UU JPH ini.

9) Bahwa dalam hukum tata pemerintahan, pejabat tata usaha negara merupakan pelaku utama dalam melakukan perbuatan dan tindakan hukum fungsi pokok pemerintahan dan fungsi pelayanan pemerintahan. Sumber kewenangan tersebut berasal dari atribusi, delegasi dan mandat. Menurut Philipus M. Hadjon, mengatakan bahwa setiap tindakan pemerintahan disyaratkan harus bertumpu atas kewenangan yang sah. Kewenangan itu diperoleh melalui tiga sumber, yaitu atribusi, delegasi, dan mandat. Kewenangan atribusi lazimnya digariskan melalui pembagian kekuasaan negara oleh undang-undang dasar, sedangkan kewenangan delegasi dan mandat adalah kewenangan yang berasal dari pelimpahan (dalam hal ini Pemerintah kepada MUI) dengan melalui peraturan perundang-undangan).
Berdasarkan penjelasan diatas, Pasal 18 ayat (1) UU JPH tidak bertentangan dengan Dasar Negara Republik Indonesia khususnya pada sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa karena penunjukkan Menteri dan MUI adalah dalam rangka pendelegasian wewenang secara atributif. Dalam praktek yang telah berjalan selama ini dalam penjaminan produk halal di Indonesia telah dilakukan oleh MUI dan bahkan telah menjadi salah satu rujukan dalam penjaminan produk halal di tingkat internasional.

10) Bahwa selain itu, berdasarkan pada Pasal 5 huruf b Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang mengatur bahwa salah satu asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik adalah:
"b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat";

yang dalam penjelasnya dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat” adalah bahwa setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga negara atau pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang berwenang. Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak berwenang.

11) Bahwa Pemohon menyatakan Pasal 4 dalam kaitannya dengan Pasal 1 ayat (1) UU JPH bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1), Pasal 28G ayat (1), tujuan Negara untuk mewujudkan kesejahteraan umum dan Dasar Negara Republik Indonesia pada poin pertama yakni Ketuhanan Yang Maha Esa, maka DPR RI menyatakan hal tersebut tidak benar.
Pasal 4 UU JPH menyatakan:
"Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal."

dalam kaitannya dengan Pasal 1 angka 1 UU a quo yang menyatakan definisi produk dalam UU a quo memiliki cakupan yang luas yang tidak hanya meliputi makanan, minuman, obat-obatan, kosmetik saja melainkan "barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat."
Sebagaimana telah disampaikan pada poin kedua diatas, luasnya cakupan tersebut disesuaikan dengan perkembangan teknologi saat ini sebagai bentuk dan upaya pemerintah dalam melindungi dan menjamin tersedianya produk yang aman dan sehat bagi masyarakat. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 3 UU a quo, Proses Produk Halal adalah:
"rangkaian kegiatan untuk menjamin kehalalan Produk mencakup penyediaan bahan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian Produk".

Proses inilah yang mengubah bahan, sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 1 angka 4 UU JPH, menjadi produk. Ketentuan dalam UU a quo hanya menjabarkan ketentuan dalam syariah sehingga dapat dipahami oleh masyarakat dengan lebih mudah dan baik dan tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda yang berpotensi mengurangi efektifitas pelaksanaan UU JPH. Maka jelas hal tersebut berarti UU JPH tidak bertentangan dengan Dasar Negara Republik Indonesia, khususnya pada poin Ketuhanan Yang Maha Esa;
Dalam hal pemohon tidak diharuskan mengenai pewajiban halal pada produk gunaan maupun jasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari menurut keyakinannya, tidak berarti pemerintah Indonesia melalui UU JPH ini menghalangi pemohon dan pemeluk agama Kristen lainnya untuk beribadah sesuai dengan keyakinannya, melainkan hal ini sebagai bentuk jaminan atas produk yang dikonsumsi secara umum. Mengenai produk yang dikonsumsi yang mana merupakan olahan dari bahan-bahan yang dinyatakan haram oleh MUI, sebagaimana telah dinyatakan oleh pemohon dalam permohonannya, UU JPH telah mengaturnya dalam Pasal 26 UU a quo. Sehingga tidak benar bahwa ketentuan pada Pasal 4 telah melanggar ketentuan pada pasal 28 D ayat (1) UUD 1945.

12) Mengenai jasa penjualan produk yang dikecualikan dari kewajiban pelaksanaan jaminan produk halal yang menurut Pemohon apakah harus disertifikasi halal, tentu saja tidak. hal ini dikembalikan lagi pada definisi produk yang dinyatakan dalam Pasal 1 angka 1 UU a quo. Dalam kaitannya dengan Pasal 28H ayat (1) UUD Tahun 1945, tidak benar bahwa ketentuan pasal 4 menghalangi pemohon untuk hidup sejahtera lahir dan batin. Sebaliknya, ketentuan ini menjaga pemohon dari produk-produk di pasaran yang berpotensi membahayakan nyawa pemohon dan masyarakat Indonesia lainnya. Pemberlakuan sertifikasi halal ini pada aspek-aspek yang terdapat dalam Pasal 4 UU a quo, baik produk domestik maupun produk import, telah dipertimbangkan secara matang oleh Pemerintah dan DPR RI. Munculnya akibat adanya sertifikasi halal ini adalah kemungkinan naiknya harga jual produk di pasaran juga telah dipertimbangkan. Namun kenaikan harga tersebut bukan dirasa untuk hal yang tidak perlu bagi masyarakat, sebaliknya kenaikan harga tersebut tentunya tidak akan secara signifikan menjadi mahal namun dari kenaikan harga tersebut, masyarakat memperoleh jaminan lebih atas produk yang dikonsumsi. Maka tidak benar bahwa pemberlakuan UU JPH ini, khususnya dalam Pasal 4 UU a quo berpotensi bertentangan dengan tujuan negara untuk menjamin kesejahteraan umum dan Pasal 28H ayat (1) UUD Tahun 1945 untuk hidup sejahtera lahir dan batin;

13) Bahwa pelaksanaan UU JPH ini tentunya diharapkan dapat berjalan dengan efektif. Pemohon menyatakan dalam permohonannya bahwa Pasal 4 UU a quo ini bertentangan dengan Pasal 28 D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1) dengan tidak adanya ketentuan sanksi baik berupa sanksi administratif maupun sanksi pidana. Atas hal tersebut, DPR RI menyatakan hal tersebut tidak benar. Pasal 27, Pasal 41 dan Pasal 48 UU a quo mengatur tentang sanksi administratif bagi pelanggar ketentuan dalam UU JPH. Lebih lanjut, pasal-pasal tersebut mengamanatkan adanya peraturan menteri yang mengatur lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif. Pada Pasal 56 dan Pasal 57 UU a quo diatur tentang sanksi pidana. Dalam konteks perundang-undangan, terdapat teori Lex Imperfecta. Maria Farida Indrati Soeprapto dalam bukunya yang berjudul Ilmu Perundang-Undangan : Proses dan Teknik Pembentukannya, mengatakan bahwa :
“ketentuan pidana merupakan ketentuan yang tidak mutlak ada dalam peraturan perundang-undangan, sehingga perumusan ketentuan pidana tersebut tergantung pada masing-masing peraturan perundang-undangan. Undang-undang yang tidak mengatur mengenai sanksi atau ketentuan sanksi tersebut tidak dinyatakan secara eksplisit oleh karena sanksi itu telah disebutkan dalam peraturan perundang-undangan lainnya yang masih terkait dengan undang-undang tersebut, seperti KUHP yang mengatur sanksi pidana secara umum.“

Dengan demikian bahwa tidak adanya sanksi pidana di dalam suatu Undang-Undang bukan berarti keberlakuan undang-undang tersebut menjadi tidak sah atau tidak bisa dijalankan dengan baik.

14) Bahwa sebagaimana dikhawatirkan oleh Pemohon mengenai pelaksanaan jaminan halal yang merupakan isu sensitif bagi sebagian golongan dalam masyarakat yang akhir-akhir ini marak terjadi dalam masyarakat, pemerintah tentunya telah mengantisipasi dengan adanya aparat penegak hukum dan MUI yang fatwanya menjadi dasar penentuan kehalalan suatu produk tentu diharapkan dapat meredam sebagian golongan masyarakat tersebut dan dapat menciptakan kondisi masyarakat yang damai dan pelaksanaan hukum yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Tentu saja negara menjamin hak masyarakat Indonesia termasuk Pemohon atas perlindungan diri dari ancaman dan rasa aman sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28G ayat (1) UUD Tahun 1945. Sehingga tidak benar bahwa ketentuan pasal 4 UU a quo bertentangan dengan Pasal 28G ayat (1) UUD Tahun 1945. Selain itu, tindakan yang mengancam orang lain dapat dikategorikan sebagai tindak pidana yang telah diatur dalam KUHP akan diproses sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

5/PUU-XV/2017

1. Diktum menimbang huruf b UU JPH menyatakan :
"b. bahwa untuk menjamin setiap pemeluk agama untuk beribadah dan menjalankan ajaran agamanya, negara berkewajiban memberikan pelindungan dan jaminan tentang kehalalan produk yang dikonsumsi dan digunakan masyarakat; "

2. Pasal 1 angka 2 UU JPH menyatakan :
" 2. Produk Halal adalah Produk yang telah dinyatakan halal sesuai dengan syariat Islam. "

3. Pasal 3 huruf a UU JPH menyatakan :
" Penyelenggaraan JPH bertujuan: a. memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan Produk Halal bagi masyarakat dalam mengonsumsi dan menggunakan Produk; "

4. Pasal 4 UU JPH menyatakan :
" Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. "

5. Pasal 18 ayat (2) UU JPH menyatakan :
" (2) Bahan yang berasal dari hewan yang diharamkan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri berdasarkan fatwa MUI. "

Pasal 28E,
(1) Setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut
agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan,
memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan
meninggalkannya, serta berhak kembali.** )

(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan,
menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.**)

(3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan
mengeluarkan pendapat.**)

Pasal 29 ayat (2),
(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.

Pasal 28D ayat (1),
(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan
hukum.**)

Pasal 28F,
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi
untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak
untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan
menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang
tersedia.** )

Pasal 28C,
(1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan
kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh
manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi
meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat
manusia.** )

(2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam
memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat,
bangsa dan negaranya.**)

Pasal 28G ayat (1),
(1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya,
serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan
untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.**)

Alenia keempat Pembukaan UUD Tahun 1945
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam
suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam
suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat
dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang
adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta
dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.