Keterangan DPR mengenai Pengujian UU Terhadap UUD 1945

Keterangan DPR Perkara No.14/PUU-XVII/2019 / 01-04-2019

No. 10/2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang

Kerugian konstitutional:

Bahwa Pemohon dalam permohonan a quo mengemukakan bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan dan dilanggar oleh berlakunya ketentuan Pasal 54d ayat (2) dan ayat (3) juncto ayat (4) UU No. 10 Tahun 2016 sebagaimana dikemukakan dalam permohonannya yang pada intinya sebagai berikut:
Bahwa Pemohon merasa dirugikan atas berlakunya frasa “pemilihan berikutnya” pada Pasal 54D ayat (2) UU No. 10 Tahun 2016 yang multitafsir karena sama sekali tidak diberi penjelasan yang cukup perihal pemilihan seperti apakah yang dimaksud pada frasa tersebut, apakah pemilihan yang diselenggarakan dengan pasangan calon perseorangan dengan kolom kosong untuk kedua kalinya ataukah benar-benar dibuka bagi siapapun yang ingin mengikuti. Jika terbuka bagi siapapun, maka hak konstitusional Pemohon dirugikan karena disamakan kedudukannya dengan pasangan calon peserta pemilihan yang sama sekali belum diverifikasi dan sah dinyatakan sebagai pasangan calon. Selain itu, penyelenggara dalam hal ini KPU memiliki ruang yang besar untuk menafsirkan sendiri sesuai kepentingan pelaksanaan tugas di lapangan yang berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum (vide perbaikan permohonan hlm. 5-6).
Bahwa Pemohon dalam permohonannya mengemukakan bahwa ketentuan dalam Undang-Undang a quo dianggap bertentangan dengan Pasal 18 ayat (dalam UUD Tahun 1945 sebagai berikut:
1. Pasal 18 ayat (4) UUD Tahun 1945 “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.”

2. Pasal 28D UUD Tahun 1945
(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
(2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
(3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
(4) Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.
Bahwa berdasarkan uraian-uraian permohonannya, Pemohon dalam Petitumnya memohon kepada Majelis Hakim sebagai berikut:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan frasa “pemilihan berikutnya” dalam Pasal 54D ayat (2) dan ayat (3) juncto ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai sebagai pemilihan ulang bagi satu pasangan calon yang sudah ditetapkan sebelumnya melawan Kolom Kosong (KOKO) untuk kedua kalinya;
3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
Atau apabila Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aquo et bono).

Legal Standing :

Bahwa Pemohon mendalilkan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh Pasal 18 ayat (4) dan Pasal 28D UUD Tahun 1945. Pasal 18 ayat (4) mengatur bahwa “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.” Kemudian, Pasal 28D UUD Tahun 1945 mengatur bahwa:
(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
(2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
(3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
(4) Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.
Bahwa DPR RI berpandangan bahwa Pemohon belum dapat menggambarkan adanya keterkaitan antara hak konstitusional yang dijamin dalam Pasal 18 ayat (4) dan Pasal 28D UUD Tahun 1945 dengan pasal a quo UU No. 10 Tahun 2016 yang dimohonkan pengujian.
Bahwa Pasal 18 ayat (4) UUD Tahun 1945 tidak ada hubungannya dengan pasal a quo UU No. 10 Tahun 2016 karena Pasal 18 ayat (4) tidak mengatur mengenai hak konstitusional sebagaimana didalikan Pemohon. Pasal 18 ayat (4) UUD Tahun 1945 memuat ketentuan tentang tata cara pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota yang dilakukan secara demokratis. Bahwa Pasal 28D UUD Tahun 1945 yang menjamin hak warga negara untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja, hak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan, dan hak atas status kewarganegaraan tidak relevan jika dijadikan batu uji terhadap pasal a quo UU No. 10 Tahun 2016 yang mengatur mekanisme pasangan calon yang kalah boleh mencalonkan lagi dalam pemilihan berikutnya.
b. Terkait dengan adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji;
Bahwa Pemohon beranggapan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya telah dirugikan dengan berlakunya pasal a quo pada UU No. 10 Tahun 2016. Pemohon merasa dirugikan atas berlakunya frasa “pemilihan berikutnya” pada Pasal 54D ayat (2) UU No. 10 Tahun 2016 yang multitafsir karena sama sekali tidak diberi penjelasan yang cukup perihal pemilihan seperti apakah yang dimaksud pada frasa tersebut. Apabila pemilihan berikutnya tersebut terbuka bagi siapapun, maka hak konstitusional Pemohon dirugikan karena disamakan kedudukannya dengan pasangan calon peserta pemilihan yang sama sekali belum diverifikasi dan sah dinyatakan sebagai pasangan calon.
Bahwa terkait hal tersebut, DPR RI berpandangan bahwa kerugian yang didalilkan Pemohon bukanlah merupakan kerugian konstitusional, dan kerugian tersebut juga bukan merupakan akibat dari berlakunya pasal a quo UU No.10 Tahun 2016. Hal ini dikarenakan kerugian yang didalilkan Pemohon tersebut hanya merupakan asumsi dan penafsiran Pemohon saja. Selain itu, tidak terdapat korelasi antara hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan Pemohon dengan ketentuan pasal a quo UU No.10 Tahun 2016. Dengan demikian, kerugian yang didalilkan Pemohon bukan kerugian yang diakibatkan dari berlakunya pasal a quo UU No.10 Tahun 2016.
c. Terkait dengan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
Bahwa Pemohon menyatakan mengalami kerugian atas berlakunya frasa “pemilihan berikutnya” pada Pasal 54D ayat (2) UU No. 10 Tahun 2016 yang sama sekali tidak memberi penjelasan yang cukup perihal pemilihan seperti apakah yang dimaksud pada frasa “pemilihan berikutnya”? Bahwa terhadap dalil Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan bahwa tidak ada kerugian yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual yang dialami Pemohon. Bahwa atas dasar itu jelas Pemohon tidak dapat menguraikan secara spsifik (khusus) dan aktual mengenai kerugian yang dialami merupakan kerugian konstitusional.
d. Terkait dengan adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
Bahwa sebagaimana telah dikemukakan pada huruf a, b, dan c Pemohon tidak menguraikan secara spesifik (khusus) dan aktual mengenai kerugian konstitusionalnya maka sudah jelas tidak ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian yang
didalilkan Pemohon dengan ketentuan pasal a quo UU No.10 Tahun 2016, karena kerugian yang didalilkan Pemohon hanyalah asumsi dari Pemohon dalam memaknai ketentuan yang diatur dalam pasal a quo. Bahwa Pemohon tidak mengalami kerugian dalam mengikuti pemilihan berikutnya sebagaimana diatur pasal a quo. Bahwa Pemohon tetap dapat mengikuti pemilihan walikota dan wakil walikota pada pemilihan berikutnya secara demokratis. UU yang dimohonkan pengujiannya telah mengatur bahwa tata cara pemilihan satu pasangan calon akan diatur dalam Peraturan KPU sebagaimana diatur melalui Pasal 54D ayat (5).
Bahwa selain itu, Pemohon juga keliru dalam menggunakan batu uji Pasal 28D UUD Tahun 1945 karena tidak ada relevansinya dengan pasal a quo UU No.10 Tahun 2016 yang dimohonkan pengujian. Bahwa dengan demikian, tidak ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian.

Pokok Permohonan :

1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan frasa “pemilihan berikutnya” dalam Pasal 54D ayat (2) dan ayat (3) juncto ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai sebagai pemilihan ulang bagi satu pasangan calon yang sudah ditetapkan sebelumnya melawan Kolom Kosong (KOKO) untuk kedua kalinya;
3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
Atau apabila Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aquo et bono).

14/PUU-XVII/2019

Pasal 54D ayat (2) dan ayat (3) juncto ayat (4) UU Nomor 10 Tahun 2016 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA
MENJADI UNDANG-UNDANG

Pasal 18 ayat (4) UUD Tahun 1945 dan Pasal 28D UUD Tahun 1945.