Kajian, Analisis, dan Evaluasi Pemantauan Pelaksanaan UU


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-kajian.phtml on line 66
Analisis dan Evaluasi Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian / 01-03-2024

Kebebasan mobilitas lintas wilayah yang semakin terbuka telah berdampak pada lintas batas negara juga semakin mudah untuk dilalui perlintasan dan perpindahan orang dari berbagai belahan dunia. Lintas batas negara inilah yang memiliki kaitan erat dengan keimigrasian. Keimigrasian merupakan bagian dari perwujudan pelaksanaan penegakan kedaulatan atas Wilayah Indonesia dalam rangka menjaga ketertiban kehidupan berbangsa dan bernegara menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945).

Keimigrasian telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (UU Keimigrasian). Adanya pengaturan ini dilandaskan pada wewenang negara untuk mengatur lalu lintas keluar masuk Wilayah Indonesia. Kewenangan tersebut tidak terlepas dari upaya negara untuk menjaga kelangsungan kedaulatan wilayah negara. Meskipun telah secara ketat diatur dalam UU Keimigrasian, perihal mobilitas keluar masuk negara masih menimbulkan berbagai dampak yang tidak sedikit merugikan negara, seperti terjadinya perdagangan manusia (human trafficking), penyelundupan manusia (people smuggling), imigran gelap, peredaran narkotika, orang asing yang tidak tertib administrasi. Tindakan demikian sangat merugikan Indonesia sebagai negara yang terbuka terhadap perlintasan internasional.

Melihat berbagai persoalan keimigrasian yang terjadi dewasa ini, Pusat Pemantauan Pelaksanaan UU Badan Keahlian DPR RI melakukan evaluasi pemantauan pelaksanaan UU Keimigrasian untuk melihat sejauh mana efektivitas pelaksanaan UU tersebut sebagai dasar hukum dalam menjawab segala permasalahan keimigrasian di Indonesia.

Provinsi Bali, Kota Batam, dan Provinsi Sulawesi Utara

Berdasarkan hasil pelaksanaan pemantauan UU Keimigrasian yang dilaksanakan dengan mengundang berbagai pemangku kepentingan, ditemukan 10 (sepuluh) permasalahan yang terjadi baik secara normatif maupun empiris, yaitu terkait dengan pengawasan Warga Negara Indonesia (WNI), pengawasan orang asing, penegakan hukum keimigrasian, intelijen keimigrasian, kelembagaan imigrasi, pelaksanaan fungsi Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim), Sumber Daya Manusia (SDM) imigrasi, Sistem Informasi Manajemen Keimigrasian (SIMKIM), penanganan pengungsi dan pencari suaka, dan kebijakan Bebas Visa Kunjungan (BVK).

1. Terhadap permasalahan terkait pengawasan terhadap WNI, direkomendasikan beberapa hal berikut:
a. perlu adanya penambahan pengaturan terkait TAK bagi WNI, dengan catatan mereformulasikan ulang definisi TAK dalam ketentuan Pasal 1 UU Keimigrasian dan reformulasi rumusan Pasal 75 ayat (1) dan ayat (2) UU Keimigrasian;
b. perlunya penambahan jumlah atase keimigrasian di KBRI khususnya di negara-negara yang memiliki WNI dengan jumlah yang banyak; dan
c. diperlukan peningkatan jumlah ketersediaan SDM Keimigrasian melalui tata kelola manajemen SDM yang baik sekaligus dibarengi dengan peningkatan kompetensi khususnya terkait pengawasan keimigrasian melalui pendidikan dan pelatihan.

2. Terhadap permasalahan terkait pengawasan terhadap Orang asing, direkomendasikan beberapa hal berikut:
a. diperlukan penguatan koordinasi Timpora baik di tingkat pusat dan daerah melalui adanya Perjanjian Kerja Bersama antar instansi di dalam unsur keanggotaan Timpora yang menggambarkan tugas masing-masing instansi yang seharusnya dilaksanakan, serta memiliki agenda dan program rutin dalam hal pengawasan Orang asing;
b. diperlukan peningkatan jumlah ketersediaan SDM keimigrasian melalui tata kelola manajemen SDM yang baik sekaligus dibarengi dengan peningkatan kompetensi khususnya terkait pengawasan keimigrasian melalui pendidikan dan pelatihan; dan
c. perlunya membangun 1 (satu) sistem data yang terintegrasi, seperti pembangunan SIMKIM dengan IBMS.

3. Terhadap permasalahan penegakan hukum keimigrasian, direkomendasikan beberapa hal berikut:
a. penggunaan konsep Una Via Principle secara berjenjang dengan menempatkan sanksi administratif sebagai upaya awal dan sanksi pidana sebagai upaya terakhir (ultimum remidium);
b. UU Keimigrasian seharusnya tidak membatasi TAK hanya pada Orang asing melainkan juga dapat dikenakan pada WNI; dan
c. perubahan norma Pasal 16 ayat (1) huruf b dan Pasal 97 ayat (1) UU Keimigrasian sebagai tindak lanjut Putusan MK No. 40/PUU-IX/2011 dan 64/PUU-IX/2011.

4. Terhadap permasalahan dalam kegiatan intelijen keimigrasian, direkomendasikan untuk memperbaiki pengaturan dalam UU Keimigrasian dengan memperhatikan hal berikut:
a. pengaturan yang lebih rigid terkait kewenangan dan fungsi intelijen imigrasi;
b. terdapat pengaturan yang mendelegasikan lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan di bawahnya;
c. penambahan fungsi penggalangan intelijen keimigrasian; dan
d. adanya jabatan khusus intelijen keimigrasian.

5. Terhadap permasalahan terkait kelembagaan imigrasi, direkomendasikan hal berikut:
a. penambahan kewenangan pejabat imigrasi untuk melaksanakan fungsi keimigrasian hingga ke wilayah darat, perairan, dan udara dalam wilayah yurisdiksi Indonesia; dan
b. penataan kembali lembaga keimigrasian di tingkat pusat hingga di tingkat daerah dengan beberapa pilihan kebijakan, yaitu dengan menerapkan manajemen perbatasan secara terpadu, pelaksanaan fungsi keimigrasian oleh sebuah lembaga khusus, atau dengan membentuk instansi vertikal di bidang keimigrasian yang bertanggung jawab langsung kepada Ditjenim Kemenkumham.

6. Terhadap permasalahan dalam pelaksanaan fungsi Rudenim, direkomendasikan berikut:
a. harmonisasi UU Keimigrasian dengan Perpres 125/2016 terkait pelaksanaan fungsi Rudenim; dan
b. penyempurnaan struktur organisasi dan SOP Rudenim dalam penanganan pengungsi dan pencari suaka.

7. Terhadap permasalahan terkait SDM Keimigrasian, direkomendasikan untuk melakukan peleburan jabatan Pejabat Imigrasi dan Analis Keimigrasian menjadi satu jabatan fungsional yang disebutkan dalam UU Keimigrasian

8. Terhadap permasalahan dalam pelaksanaan SIMKIM, direkomendasikan untuk mengatur ketentuan mengenai pertukaran data dan informasi antar instansi terkait di bidang keimigrasian dengan mengedepankan simplifikasi birokrasi dan pelindungan data pribadi.

9. Terhadap permasalahan dalam penanganan pengungsi dan pencari suaka, direkomendasikan berikut ini:
a. perlu adanya penguatan tugas dan kewenangan dalam pengawasan keimigrasian terhadap pengungsi dalam UU Keimigrasian; dan
b. penguatan koordinasi di antara kementerian dan lembaga terkait untuk penanganan pengungsi dan pencari suaka.

10. Terhadap permasalahan terkait kebijakan BVK, direkomendasikan beberapa hal berikut:
a. penambahan pengaturan terkait keterlibatan Ditjenim dalam menetapkan kebijakan BVK;
b. pemilihan negara penerima kebijakan BVK dengan mengedepankan asas timbal balik dan asas manfaat;
c. pemberlakuan BVK secara terbatas pada daerah-daerah Indonesia yang masih perlu pengembangan; dan
d. menindaklanjuti Permenkumham 8/2020 dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang setara atau lebih tinggi dari peraturan presiden.