Kajian, Analisis, dan Evaluasi Pemantauan Pelaksanaan UU

Kajian dan Analisis Pemantauan Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan / 11-05-2016

Selama berlakunya UU No, 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan) sejak tahun 1999, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI menemukan permasalahan utama dan mendasar terkait dengan pelaksanaan UU Kehutanan antara lain: (Dalam Bab I)
a. Isu Utama per aspek
Aspek Substansi hukum:
- adanya peraturan pelaksana yang berpotensi masalah
- pengaturan UU Kehutanan belum disesuaikan dengan putusan MK
- adanya konflik kawasan antara status hutan dan fungsi hutan
Aspek Kelembagaan/struktur hukum
adanya konflik antara masyarakat dengan swasta dan Pemerintah
Aspek Sarana dan Prasarana
Sarana dan prasarana yang terbatas
Aspek Pendanaan
-
Aspek Budaya Hukum
kurangnya peran masyarakat

b. Putusan MK
- Putusan Perkara Nomor 34/PUU-IX/2011, pengujian terhadap Pasal 4 ayat (2) huruf b dan ayat (3), UU Nomor 41 Tahun 1999.
- Putusan Perkara Nomor 45/PUU-IX/2011, pengujian terhadap Pasal 1 ayat (3), UU Nomor 41 Tahun 1999.
- Putusan Perkara Nomor 34/PUU-X/2012, pengujian terhadap Pasal 1 angka 6, pasal 4 ayat (3), Pasal 5 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), serta Pasal 67 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), UU Nomor 41 Tahun 1999.
- Putusan Perkara Nomor 95/PUU-XII/2014, pengujian terhadap UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

c. Perlak belum diterbitkan
tidak ada

d. Prolegnas
Urutan ke-41

Provinsi Jawa Timur, Provinsi Kalimatan Tengah, dan Provinsi Jambi

Pelaksanaan UU Kehutanan sejak tahun 1999 terdapat permasalahan dalam implementasinya, antara lain:
a. Aspek Substansi Hukum
1) asas-asas penyelenggaraan kehutanan belum mencerminkan nilai-nilai yang ada didalam masyarakat
2) adanya konflik kawasan antara status hutan dan fungsi hutan, karena penetapan status dan fungsi hutan dilakukan hanya berdasarkan pada citra satelit saja tidak mempertimbangkan presentase kelerengan, kepekaan terhadap erosi, dan curah hujan
3) peraturan Bersama Mendagri, Menhut, MenPU, dan Kepala BPN mengenai Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah Yang Berada di dalam Kawasan Hutan, berpotensi masalah karena dalam pengakuan terhadap masyarakat yang telah menempati kawasan hutan tidak membedakan status kawasan hutan
4) dalam penetapan kawasan konservasi belum memperhatikan ketentuan Pasal 15 UU Kehutanan, yang terdiri dari empat tahapan yaitu: 1) penunjukan; 2) penatabatasan 3) pemetaan; dan 4) penetapan. Hal ini juga dikuatkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 45/PUU-IX/2011 yang pada pokoknya harus memperhatikan Pasal 15 UU Kehutanan. Selama ini penetapan kawasan konservasi hanya dilakukan melalui penunjukan saja
5) UU Kehutanan tidak secara detil mengatur konsekuensi hubungan pemerintah pusat dan pemerintahan daerah dari ketentuan Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, Pasal 63, dan Pasal 66
6) terkait masyarakat hukum adat seharusnya diatur dalam UU tersendiri sehingga status mengenai masyarakat hukum adat jelas dengan batas-batas wilayahnya
7) Adanya kerusakan dan pembakaran hutan di Jawa Timur misalnya 99 % diakibatkan faktor manusia, baik kesengajaan atau lalai. Kasus tindak pidana di Provinsi Jawa Timur, antara lain, 1) penjarahan hutan tahun 1997/1998 seluas sekitar 2.733,5 ha, yang sampai saat ini belum berhasil dipulihkan secara menyeluruh; 2) illegal logging di wilayah SPTN 2 Ambulu yang disinyalir dilakukan secara terorganisir oleh masyarakat sekitar hutan (Desa Andongrejo dan Sanenrejo).
8) lemahnya pengawasan dan pengamanan pada kawasan hutan eks HPH yang berstatus quo (tidak dikelola).
9) tidak konsistennya beberapa peraturan yang diterbitkan oleh kementerian LKH (sering berubah dalam waktu singkat).
10) belum adanya prosedur penanganan illegal logging yang baku untuk menjadi acuan bagi semua pihak yang terkait

b. Aspek Kelembagaan/Struktur Hukum
1) adanya konflik antara masyarakat dengan swasta dan Pemerintah terkait klaim terhadap kawasan hutan karena ada kebijakan pengelolaan hutan yang tidak menempatkan masyarakat sebagai pertimbangan utama
2) instansi yang mengeluarkan perijinan tidak transparan dalam memberikan informasi terkait peredaran tata usaha kayu di wilayahnya

c. Aspek Sarana dan Prasarana
1) pelaksanaan pengawasan kehutanan yang dilaksanakan oleh oleh Polisi Hutan dan PPNS bidang kehutanan belum optimal karena keterbatasan SDM dan sarana prasarana
2) sumber daya manusia di sektor kehutanan baik PPNS kehutanan maupun Polisi Hutan (Polhut) jumlahnya tidak sebanding dengan luas hutan yang harus diawasi
3) luas wilayah dan sulitnya akses jalan menuju hutan
bBelum adanya sistem dan mekanisme sidik cepat terhadap pengawasan, pengamanan, dan penegakan hukum terkait penebangan maupun peredaran kayu

d. Aspek Pendanaan
-

e. Aspek Budaya Hukum
1) peran serta masyarakat belum dilaksanakan dengan maksimal

Berdasarkan hasil kajian dan evaluasi UU Kehutanan, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI merekomendasikan sebagai berikut:
a. Aspek Substansi Hukum
1) dalam penetapan satus dan fungsi hutan dicek melalui fisik dilapangan tidak hanya melalui citra satelit saja
2) perlunya transparansi pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dan pemberian Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) yang bisa dimonitor penegak hukum (Polri, PPNS) agar memudahkan pengawasan di lapangan dalam rangka mencegah terjadinya perusakan hutan
3) perlu dilakukan tata batas dan penetapan kawasan serta adanya evaluasi fungsi guna memberikan kepastian hukum dalam penegakan hukum dibidang kehutanan

b. Aspek Kelembagaan/Struktur Hukum
1) perlunya optimalisasi pengawasan pihak dinas Kehutanan dan instansi yang berwenang terkait alih fungsi kawasan hutan
2) perlu dikenakan sanksi penjara minimal 5 tahun agar penyidik dapat melakukan penahanan terhadap tersangka, seperti Pasal 78 ayat (12) dan diperlukan ketentuan mengenai batas sanksi minimal agar lebih memberi kepastian hukum dan efek jera
3) perlu adanya peningkatan koordinasi antar institusi penegak hukum sektpr kehutanan
4) perlu penguatan kualitas polisi hutan agar proses pembuktian tindak pidana dapat berlangsung efektif
5) perlu adanya penegakan hukum dalam praktik illegal logging yang melibatkan institusi penegak hukum serta Menteri Negara Lingkungan Hidup dan Kehutanan

c. Aspek Sarana dan Prasarana
1) harus ada upaya perubahan untuk mencari solusi pengalihan mata pencaharian bagi masyarakat yang hidup di sekitar hutan oleh pemerintah daerah maupun dinas terkait, dikarenakan masih banyak masyarakat yang hidup di sekitar hutan yang mata pencahariannya hanya bergantung pada kegiatan penebangan kayu, penambangan liar baik secara legal maupun illegal yang dimanfaatkan oleh para cukong dan pemodal

d. Aspek Pendanaan
-

e. Aspek Budaya Hukum
1) peraturan pelaksanaan dari Pasal 70 UU Kehutanan perlu segera untuk diterbitkan guna menjadi acuan dalam keterlibatan peran serta masyarakat