Kajian, Analisis, dan Evaluasi Pemantauan Pelaksanaan UU


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-kajian.phtml on line 66
KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2023 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2022 TENTANG CIPTA KERJA MENJADI UNDANG-UNDANG / 01-11-2023

Sektor kelautan dan perikanan memiliki permasalahan yang kompleks karena keterkaitannya dengan banyak sektor dan juga sensitif terhadap interaksi terutama dengan aspek lingkungan. Disamping itu, terdapat berbagai isu pengelolaan perikanan di Indonesia yang berpotensi mengancam kelestarian SDI dan lingkungan, keberlanjutan mata pencaharian masyarakat di bidang kelautan dan perikanan, ketahanan pangan, dan pertumbuhan ekonomi yang bersumber dari pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan .

Dalam kurun waktu 1999 hingga akhir 2014, pelaksanaan kebijakan dan penegakan hukum terhadap perikanan yang merusak (destructive fishing) dan perikanan ilegal yang merusak, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (illegal, unreported, and unregulated fishing/IUU Fishing) memang telah berjalan tetapi tidak efektif. Periode ini diwarnai kebijakan yang memberikan ruang bagi kapal perikanan asing melalui metode pemberian lisensi, charter, bilateral agreement, maupun impor kapal yang dibangun di luar negeri (eks asing) untuk melakukan penangkapan ikan di WPP-NRI. Sistem pengawasan yang lemah dan integritas pengelolaan yang korup menyebabkan praktik-praktik pengurasan sumber daya ikan oleh kapal-kapal ikan, baik lokal maupun asing, di WPP-NRI berlangsung tidak terkendali. Disamping itu, tantangan masih datang baik dari perikanan hulu dan hilir termasuk tata kelola dan praktik penangkapan ikan.

Provinsi Jawa Timur, DI Yogyakarta, dan Provinsi Kepulauan Riau

1. Aspek Substansi Hukum
a. Ketidakjelasan Definisi Nelayan, Nelayan Kecil dan Pembudidaya Ikan Kecil dalam Pasal 1 angka 10, angka 11, dan angka 13 UU Perikanan
Terdapat beberapa permasalahan terkait dengan definisi di dalam UU Perikanan, diantaranya permasalahan terkait definisi Nelayan, Nelayan Kecil dan Pembudidaya Ikan Kecil sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 angka 10, Pasal 1 angka 11, dan Pasal 1 angka 13 UU Perikanan, yang selengkapnya diuraikan sebagai berikut:
1) Permasalahan definisi nelayan yang terdapat pada Pasal 1 angka 10 UU Perikanan adalah adanya ketidakseragaman definisi nelayan dalam beberapa undang-undang di bidang perikanan yang menyebabkan ketidakjelasan siapa yang disebut dengan nelayan. Dalam UU 7/2016, nelayan adalah setiap orang yang kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 1 angka 26 UU 7/2016 sehingga nelayan adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbadan hukum. Definisi ini berbeda dengan definisi yang terdapat dalam UU Perikanan dan UU 16/2006 sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penerapan regulasi di tengah masyarakat dan menimbulkan kesulitan dalam implementasi sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 84 UU Perikanan.
2) Permasalahan perbedaan definisi nelayan kecil terdiri atas dua permasalahan, yakni pertama, adanya perbedaan definisi nelayan kecil dalam Pasal 1 angka 11 UU Perikanan dengan Penjelasan Pasal 27 ayat (5) UU Pemerintahan Daerah. Adanya perbedaan ini menimbulkan ketidakjelasan dan ketidakpastian hukum dalam UU Perikanan dan kebijakan terkait dengan nelayan kecil di bidang perikanan. Pada dasarnya nelayan tradisional maupun nelayan masyarakat tradisional dapat dikategorikan sebagai bagian dari nelayan kecil namun apabila nelayan kecil dipersamakan dengan nelayan tradisional maupun nelayan masyarakat tradisional, hal ini justru mempersempit ruang lingkup nelayan kecil itu sendiri. Selain itu, agar suatu kelompok dapat disebut masyarakat tradisional perlu adanya penetapan dengan peraturan daerah, yang merupakan kekhususan masyarakat tradisional. Kedua, adanya perbedaan batas pengaturan ukuran kapal nelayan kecil. Dalam perubahan definisi nelayan kecil pada Pasal 1 angka 11 UU Perikanan menghilangkan batas ukuran kapal nelayan kecil, namun pengaturan batasan ukuran kapal nelayan kecil terdapat dalam peraturan pelaksana UU Perikanan, yakni PP 27/2021 dan Permen KP 10/2021 melalui ketentuan penggolongan usaha pada skala mikro dilakukan oleh pelaku usaha perseorangan yang termasuk Nelayan Kecil, dengan menggunakan Kapal Penangkap Ikan dengan ukuran kumulatif sampai dengan 5 (lima) gross tonnage atau tanpa menggunakan Kapal Penangkap Ikan. Pengaturan berbeda ditemukan dalam Pasal 1 angka 13 PP 32/2019 yang mengatur bahwa Nelayan Kecil adalah nelayan yang melakukan penangkapan ikan untuk kebutuhan hidup sehari-hari, baik yang tidak menggunakan penangkap ikan, maupun yang menggunakan kapal penangkap ikan berukuran paling besar 10 (sepuluh) gross ton (GT). Pengaturan batas ukuran kapal penangkap ikan bagi nelayan kecil idealnya tidak ditempatkan dalam peraturan menteri tetapi dalam undang-undang khususnya pada definisi nelayan kecil.
3) Permasalahan terkait ketidakjelasan frasa “memenuhi kebutuhan sehari-hari” dalam Pasal 1 angka 11 dan Pasal 1 angka 13 UU Perikanan yang mengatur definisi nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil. Dalam Penjelasan Pasal 88 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) diatur parameter penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak yaitu jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja/buruh dari hasil pekerjaannya sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua. Namun penjelasan ini telah diubah melalui UU 6/2023 menjadi “cukup jelas”, sehingga muncul anggapan tidak ada lagi parameter atas “penghidupan yang layak”.


b. Permasalahan Pengaturan Jangka Waktu Penyidikan dalam Pasal 73B ayat (6) UU Perikanan
Terkait dengan penyidikan tindak pidana perikanan, Direktorat Penanganan Pelanggaran Kementerian Kelautan dan Biro Hukum Kementerian Kelautan dan Perikanan berpendapat bahwa yang menjadi kendala adalah terkait dengan waktu penyampaian hasil penyidikan ke Penuntut Umum paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak pemberitahuan dimulainya penyidikan sebagaimana pada Pasal 73A ayat (6), hal ini tentunya akan menjadi beban bagi penyidik untuk menyelesaikan perkara kategori berat misalnya terkait dengan tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi yang membutuhkan waktu atau pendalaman perkara yang lebih detail. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta juga berpandangan bahwa tenggat waktu penyidikan tersebut tidak cukup untuk melakukan pemberkasan perkara, terutama jika melibatkan korporasi dan terdapat tindak pidana lainnya. Tindak pidana perikanan sering kali berkaitan dengan tindak pidana lainnya, seperti narkoba, penyelundupan senjata, dan perdagangan orang.
Terkait dengan adanya tindak pidana lain yang menyertai tindak pidana perikanan, Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengemukakan bahwa diperlukan pengaturan yang menegaskan mengenai pengadilan yang berhak menangani perkara tindak pidana perikanan dan tindak pidana lainnya yang di-splitsing (dilakukan pemisahan perkara). Pemisahan perkara menurut Prof. DR. Wirjono Prodjodikoro, S.H. adalah apabila ada suatu berkas perkara pidana yang mengenai beberapa perbuatan melanggar hukum pidana yang dilakukan lebih dari seorang dan tidak memenuhi syarat-syarat tersebut mengenai keharusan menggabungkan beberapa berkas perkara menjadi satu maka hukum harus memecahkan berkas perkara itu menjadi beberapa berkas perkara, dan juga harus dibuat surat tuduhan bagi masing-masing berkas perkara (splitsing).

2. Aspek kelembagaan/Struktur Hukum
a. Permasalahan atas Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur (PIT)
Pada 6 Maret 2023, Pemerintah telah mengundangkan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur (PP 11/2023) dan pada ketentuan penutupnya diatur bahwa PP 11/2023 mulai berlaku pada tanggal diundangkan, namun pemerintah menyatakan bahwa PP tersebut baru akan diberlakuan secara efektif pada 2024. Dengan banyaknya keberatan yang disampaikan oleh narasumber, baik pemerintah daerah maupun masyarakat, pengaturan dalam PP 11/2023 diharapkan untuk dilakukan pengkajian ulang dengan mempertimbangkan bagaimana pelaksanaannya termasuk dampaknya terhadap masyarakat khususnya nelayan kecil mengingat kondisi wilayah penangkapan ikan yang berbeda satu sama lain baik dalam hal ketersediaan ikan maupun kondisi geologisnya. Harmonisasi kebijakan PIT dengan peraturan perundang-undangan yang ada serta pembagian kewenangan pengelolaan perikanan di daerah tentunya perlu dilakukan agar tidak ada pihak yang dirugikan dengan adanya kebijakan PIT ini. Selain itu, menurut Dinas Perikanan Kabupaten Banyuwangi, penangkapan ikan terukur tidak bisa diterapkan di semua zona, melainkan hanya di zona tertentu saja. Penangkapan berbasis kuota lebih tepat diterapkan untuk nelayan besar, bukan nelayan kecil terutama yang tidak menjadikan penangkapan ikan sebagai mata pencaharian utama, atau kuota ditetapkan berdasarkan kapasitas penangkapan ikan per wilayah fishing ground sehingga pembinaan dan solusi yang dilakukan oleh Dinas Kabupaten/Kota dapat selaras dengan kuota yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

b. Pelaksanaan Perizinan Berusaha Bidang Perikanan Masih Mengalami Kendala
Melalui UU 6/2023 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaran Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (PP 5/2021) dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2021 tentang Penyelenggaran Perizinan Berusaha Berbasis Risiko di Daerah (PP 6/2021), pemerintah mengubah pendekatan perizinan dari berbasis izin (license based) menjadi pendekatan perizinan berbasis risiko (risk based). Pelaksanaan pengajuan sampai dengan diterbitkannya SIUP dilakukan dengan secara online melalui sistem perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik (Online Single Submission/OSS) yang telah terkoneksi dengan Sistem Informasi Izin Layanan Cepat (SILAT) secara Single Sign On (SSO). Namun terhadap mekanisme OSS tersebut masih terdapat permasalahan berupa kurangnya pemahaman dan keterbatasan akses nelayan kecil yang menggunakan kapal penangkap ikan kapasitas sampai dengan 10 GT untuk mengetahui dan memahami prosedur dan tata cara pengurusan perizinan berusaha yang diterbitkan oleh pemerintah pusat. Selain itu, terdapat persoalan lainnya yakni tereduksinya kewenangan pemerintah daerah dalam hal penerbitan perizinan berusaha dan dalam melaksanakan pengawasan.

c. Kurang Efektifnya Pelaksanaan Pengawasan Perikanan
Pelaksanaan pengawasan perikanan dilaksanakan oleh pemerintah dan oleh masyarakat. Hal ini diatur dalam Pasal 19, Pasal 20, Pasal 66, dan Pasal 67 UU Perikanan. Namun, dalam pelaksanaannya pengawasan perikanan yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun masyarakat tersebut belum efektif dilaksanakan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti : pertama, belum harmonisnya pengaturan perikanan dalam peraturan perundang-undangan sebagaimana diuraikan dalam aspek substansi yang berdampak pada efisiensi pelaksanaan pengawasan. Kedua, adanya ketidakjelasan pembagian peran pengawasan perikanan antara pemerintah pusat dan daerah dan belum optimalnya koordinasi dalam pengawasan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Adanya penarikan kewenangan perijinan dari pemerintah daerah ke pemerintah pusat melalui UU 6/2023 menimbulkan permasalahan di daerah khususnya dalam pelayanan masyarakat dan pengawasan perikanan di daerah. Kewenangan pengawasan perikanan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota perlu dikaji kembali untuk dikembalikan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota. Hal ini dalam rangka optimalisasi pengawasan terhadap perikanan tangkap maupun perikanan budidaya. Disamping itu, belum optimalnya koordinasi antar instansi terkait dalam pengawasan dan pengendalian sumber daya ikan, yang menyebabkan banyaknya celah untuk terjadi pelanggaran di laut, baik dari sisi kuantitas maupun kualitasnya.

d. Belum Optimalnya Penegakan Hukum Di Bidang Perikanan
Penyelenggaraan perikanan termasuk di dalamnya penegakan hukum di bidang perikanan saat ini diatur dalam UU Perikanan. Permasalahan dalam penegakan hukum perikanan terdiri atas: pertama, belum optimalnya koordinasi antar APH dalam penegakan hukum perikanan. Banyaknya lembaga yang terlibat dalam proses penegakan hukum perikanan ternyata justru menjadi suatu permasalahan tersendiri. Permasalahan ini muncul karena masing-masing lembaga mempunyai penafsiran yang berbeda dengan mengklaim dirinya mempunyai tanggung jawab yang sama, sehingga dalam prakteknya sering kali terjadi gesekan-gesekan antar lembaga penegak hukum perikanan di laut. Kedua, urgensi pembentukan peradilan perikanan di daerah. Untuk mengefektifkan Pasal 106 dan Pasal 107 UU Perikanan dapat dilakukan optimalisasi pengadilan perikanan yang telah terbentuk dan pada setiap pengadilan negeri ditempatkan hakim perikanan. Permasalahan pelaksanaan Pasal 106 UU Perikanan menurut Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yaitu bahwa Pasal tersebut menyebabkan dualisme wewenang pengadilan untuk mengadili perkara tindak pidana perikanan, yaitu pengadilan perikanan dan pengadilan negeri dalam hal locus perkara tindak pidana perikanan berada di luar wilayah pengadilan perikanan. Permasalahan dari dualisme ini adalah tidak terdapat hakim ad hoc perikanan di pengadilan negeri. Pembentukanpengadilan perikanan bagi wilayah yang rentan maupun marak terjadi tindak pidana perikanan masih diperlukan, sedangkan bagi wilayah lain yang belum memiliki pengadilan perikanan, namun angka tindak pidana perikanan relatif kecil dapat menempatkan hakim perikanan di setiap pengadilan negeri. Ketiga, adanya ketidakadilan penegakan hukum pidana illegal fishing antara nelayan dalam negeri dan kapal penangkapan ikan dalam negeri dengan nelayan asing dan kapal penangkap ikan asing. Hal ini diakibatkan adanya eksistensi ketentuan Pasal 102 UU Perikanan. Ketentuan ini merujuk pada ketentuan Pasal 73 Angka 2 dan Angka 3 UNCLOS 1982 yang menentukan untuk tidak adanya hukuman dalam bentuk pengurungan atau bentuk hukuman badan lainnya yang diberlakukan kepada pelaku pelanggaran peraturan perundang-undangan perikanan di ZEE jika tidak ada perjanjian bilateral. Sebagai akibat ketentuan tersebut, APH tidak dapat menegakan hukum terhadap pelaku illegal fishing dan maraknya aktifitas kapal perikanan asing, seperti di daerah Natuna. Persoalan kemudian timbul ketika hakim memutus perkara dengan pidana denda tanpa pidana kurungan sebagai pengganti, dan ternyata terdakwa tidak mampu atau tidak mau membayar denda tersebut. Kesulitan dan tidak dapat tereksekusinya putusan pidana denda menurut Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi DKI Jakarta juga terjadi bila terdakwa adalah korporasi dan pengurus korporasi tersebut berdomisili di luar negeri.

e. Prioritas Tata Ruang yang Masih Rendah dalam Pengelolaan Perikanan
Tata ruang perikanan berkaitan erat dengan pengelolaan tata ruang darat, tata ruang laut, dan tata ruang wilayah pesisir yang masing-masing memiliki pengaturan yang berbeda-beda. Hal ini perlu menjadi perhatian pemerintah dan pemerintah daerah dalam menyusun rencana tata ruang dan wilayah yang berjenjang dan sinkron satu sama lain sehingga tercipta kepastian hukum bagi masyarakat khususnya dalam pelaksanaan investasi. Penataan ruang diklasifikasikan berdasarkan fungsi utama kawasan, wilayah administratif, kegiatan kawasan, dan nilai strategis kawasan. Berdasarkan fungsi utama kawasan, penataan ruang dibedakan menjadi kawasan lindung dan kawasan budi daya. Terkait perikanan, PP RTRW Nasional mengatur bahwa kawasan peruntukan perikanan masuk dalam kategori kawasan budi daya. PP tersebut juga menentukan bahwa kawasan peruntukan perikanan dapat berada di ruang darat, ruang laut, dan di luar kawasan lindung. Penetapannya ditetapkan berdasarkan kriteria wilayah yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan penangkapan, budi daya, dan industri pengolahan hasil perikanan, serta tidak mengganggu kelestarian lingkungan hidup. Terkait ruang laut dan pesisir, pemanfaatan ruang laut dan ruang pesisir pantai sebagai lahan pengelolaan perikanan dilaksanakan berdasarkan UU Perikanan serta Undang-Undang yang terkait, yaitu UU Kelautan dan UU PWP3K.
Berkaitan dengan perhatian Pemerintah Daerah terhadap sektor perikanan masih menjadi kendala untuk keberlangsungan dan pengembangan pengelolaan perikanan. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Timur yang menyatakan bahwa perikanan budi daya yang dianggap tidak menarik sehingga mengakibatkan pengalokasian lahan untuk budi daya ikan tidak menjadi perhatian (concern) dalam pembagian wilayahnya. Selain tidak sinkronnya perencanaan tata ruang, masih ditemui adanya pemanfaatan ruang yang tumpang tindih. Permasalahan tata ruang sektor perikanan lainnya berkaitan dengan benturan kewenangan antarlembaga, dimana Dinas Perikanan Kabupaten Banyuwangi melakukan kegiatan konservasi transplantasi terumbu karang sebagai ekosistem bagi ikan. Namun demikian, ternyata hal ini menimbulkan benturan kewenangan, dimana pengelolaan atas terumbu karang tersebut ada pada KLHK dan Dinas Sumber Daya Air. Permasalahan tata ruang juga terjadi dalam kaitannya dengan abrasi dan reklamasi di pesisir pantai. Abrasi dan reklamasi pantai menyebabkan perubahan peta wilayah daratan dan lautan. Perubahan ini tidak ditindaklanjuti dengan perubahan atau penyesuaian peta topografi nasional padahal telah terjadi perubahan ukuran dan luas daratan dan lautan.

3. Aspek Sarana Dan Prasarana
Pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana penyelenggaraan perikanan belum memadai diantaranya pertama, belum optimalnya sarana dan prasarana penangkapan ikan. Sarana penangkapan ikan mencakup berbagai alat dan peralatan yang digunakan untuk menangkap ikan, seperti pukat, jaring, tali, dan perahu/kapal penangkap ikan. Sarana ini dirancang untuk memudahkan proses penangkapan ikan dan meningkatkan efisiensi nelayan dalam menangkap hasil laut. Prasarana penangkapan ikan meliputi infrastruktur fisik yang mendukung kegiatan penangkapan ikan, seperti dermaga, pelabuhan, gudang penyimpanan, dan fasilitas pengolahan ikan. Prasarana ini penting untuk memfasilitasi transportasi, penyimpanan, dan pengolahan hasil tangkapan ikan. Peningkatan sarana dan prasarana dalam penangkapan ikan sangat diperlukan, namun dalam pelaksanaannya penyediaan sarana dan prasarana tersebut belum optimal. Akademisi FISIP UMRAH menyatakan bahwa masih ditemukan khususnya di daerah anambas ataupun natuna nelayan yang berlayar melewati batas negara dalam menangkap ikan dikarenakan kapal nelayan masih menggunakan peralatan tradisional dan keterbatasan peralatan seperti GPS pada nelayan kecil. Selain itu masih ditemukan TPI dengan sarana dan prasarana yang tidak memadai seperti terbatasnya ketersediaan cold storage untuk penyimpanan ikan. Kedua, belum tersedianya data perikanan yang komprehensif dalam sistem informasi dan data perikanan. Pasal 46 dan Pasal 46A UU Perikanan mengatur kewajiban Pemerintah dan pemerintah daerah untuk mengadakan pusat data dan informasi perikanan untuk menyelenggarakan sistem informasi dan data statistik perikanan yang berisikan penyebaran data potensi, pemutakhiran data pergerakan ikan, sarana dan prasarana, produksi, penanganan, pengolahan dan pemasaran ikan, serta data sosial ekonomi yang berkaitan dengan pelaksanaan pengelolaan sumber daya ikan dan pengembangan sistem bisnis perikanan. Saat ini juga telah diundangkan Permen KP 61/2020. Keberadaan Satu Data diharapkan dapat memastikan ketersediaan data dan informasi dengan integritas data tinggi namun kenyataannya hal ini belum terimplementasikan dengan baik. Terkait data perikanan di Kabupaten Gunung Kidul, sistem data dan informasi yang sudah ada belum terintegrasi dengan sistem informasi dan data statistik yang ada karena belum sinergisnya pengelolaan data antar unit kerja. SIKIA UNAIR menambahkan bahwa data yang dimiliki pemerintah seringkali tidak sesuai dengan data yang ada di lapangan. Integrasi dan koordinasi dalam pembaruan data dan informasi perikanan secara cepat dan akurat harus dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat dengan menyesuaikan perkembangan zaman dan teknologi yang berkembang dan penyediaan data yang dilengkapi peringatan berapa banyak ikan yang boleh ditangkap. Ketiga, belum optimalnya pemenuhan sarana dan prasarana pengawasan perikanan. Pasal 68 dan Pasal 69 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) UU Perikanan mengatur penyediaan sarana dan prasarana pengawasan oleh Pemerintah. Dalam pelaksanaannya, selain sarana dan prasarana pengawasan yang minim, SDM pengawasan dan anggaran yang dialokasikan pun masih belum mampu memenuhi kebutuhan yang ada. Menurut Satwas PSDKP Banyuwangi, di Kabupaten Banyuwangi tidak ada PPNS sehingg berdampak pada kurangnya kinerja pengawasan. Terkait SDM Pengawasan mutu perikanan, Dinas Perikanan Dan Kelautan Provinsi Jawa Timur dan UPT PMP2KP Banyuwangi menyampaikan adanya kendala jumlah SDM pengawasan mutu perikanan yang tidak sebanding dengan jumlah pelaku usaha.

4. Aspek Pendanaan
Konstruksi hukum dalam peraturan perundang-undangan mengenai PNBP PHP didasari pengaturan dalam Pasal 48 sampai dengan Pasal 50 UU Perikanan yang menyatakan bahwa setiap orang yang memperoleh manfaat langsung dari sumber daya ikan dan lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dikenakan pungutan perikanan kecuali nelayan kecil dan pembudi daya-ikan kecil. PP 85/2021 juncto Permen KP 2/2023 telah mengatur bahwa pungutan hasil perikanan dilakukan pascaproduksi merupakan PNBP yang harus dibayar oleh para wajib bayar sebagai pemilik perizinan berusaha subsektor penangkapan ikan berdasarkan ikan hasil tangkapannya yang dikenakan setiap kali melakukan pendaratan ikan. Pengenaan pungutan hasil perikanan pascaproduksi diberlakukan sepanjang perizinan berusaha subsektor penangkapan ikan telah diterbitkan dan nilai produksi ikan pada saat didaratkan telah ditetapkan. Ketentuan Pasal 20 PP 85/2021 menentukan bahwa ketentuan terhadap penarikan PNBP pra Produksi berlaku sampai tanggal 31 Desember 2022, namun pengaturan dalam PP 85/2021 tersebut belum diubah dan masih berlaku. Hal ini tentunya memberikan ketidakjelasan pasal mana saja yang masih berlaku setelah 31 Desember 2022 tersebut. Disamping itu, belum semua peraturan teknis yang diamanatkan oleh PP ini dibentuk oleh KKP sehingga pelaksanaan pemungutan PNBP di bidang perikanan tidak dapat dilaksanakan dengan optimal dan belum memiliki petunjuk pelaksanaan di lapangan secara lengkap.
Apabila dicermati dari kategorisasi perizinan berusaha berbasis risiko sektor kelautan dan perikanan dalam Lampiran PP 5/2021 memberikan batas skala penangkapan ikan dengan skala kecil menengah yaitu: sampai dengan kumulatif 5 GT, atau diatas 5 GT sampai dengan 30 GT, atau tidak menggunakan kapal, dan beroperasi di wilayah pengelolaan perikanan di wilayah administrasinya dan sampai diatas 12 mil laut. Hal ini dimaknai bahwa nelayan kecil yang melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dengan menggunakan kapal lebih dari 5 GT dan beroperasi di WPP sampai diatas 12 mil laut haruslah memiliki perizinan berusaha dan terhadapnya akan dikenai PNBP PHP sebagaimana diatur dalam PP 85/2021 juncto Permen KP 2/2023. Hal ini menimbulkan ketidaksesuaian pengaturan dalam peraturan pelaksanaan dengan tujuan keberadaan UU Perikanan.

5. Aspek Budaya Hukum
UU Perikanan dalam materi muatannya telah memberikan larangan akan kegiatan illegal fishing, over fishing, dan juga destructive fishing, yang berpotensi membahayakan dan merusak keberlanjutan lingkungan dan ekosistem perikanan, bahkan apabila dilakukan secara terus menerus dapat menyebabkan kerusakan habitat dan ekosistem laut secara luas namun dalam pelaksanaannya masih terdapat pelanggaran terhadap UU Perikanan dan aturan teknis pelaksanaannya. Masih maraknya tindak kejahatan dan/atau pelanggaran serta ketidakpatuhan masyarakat perikanan terhadap aturan perizinan disebabkan oleh adanya keterbatasan pemahaman masyarakat khususnya masyarakat perikanan akan substansi hukum atau norma yang diatur dalam peraturan perundang-undangan bidang perikanan yang telah berlaku. Adanya penyuluhan hukum sebagai upaya untuk mewujudkan budaya hukum. Budaya hukum dapat terwujud apabila kesadaran hukum masyarakat sudah terbangun, sehingga penting kiranya membangun kesadaran hukum masyarakat. Pasal 57 sampai dengan Pasal 59 UU Perikanan mengatur bahwa untuk salah satu kegiatan yang harus diselenggarakan oleh pemerintah untuk meningkatkan pengembangan sumber daya manusia di bidang perikanan adalah penyuluhan.

6. Aspek Pengarusutamaan Pancasila
Permasalahan dalam pembangunan di bidang perikanan tidak berarti kebijakan yang ada tidak relevan untuk diterapkan. Pengaturan dalam UU Perikanan masih sangat relevan dengan beberapa aspek yang perlu dilakukan perbaikan agar selaras dengan nilai-nilai Pancasila. Perbedaan penafsiran dan terminologi nelayan menjadikan pengaturan dalam UU Perikanan tidak sesuai dengan sila Kelima dan Sila Kedua Pancasila. Pengaturan dalam UU Perikanan juga belum sesuai dengan nilai dalam Sila Ketiga Pancasila karena belum mampu memberikan perlindungan terhadap nelayan dalam negeri yang bekerja di kapal asing. Pengaturan jangka waktu penanganan tindak pidana perikanan yang ada dalam UU perikanan dan tidak adanya pengaturan terkait splitsing menjadikan pengaturan yang ada belum memenuhi Sila Kedua Pancasila dan juga pemberian kewenangan yang terlalu besar terhadap KKP menjadikan pengaturan dalam UU Perikanan tidak berkesesuaian dengan nilai yang terkandung dalam Sila Keempat Pancasila.

1. Aspek Substansi, diperlukan:
a. adanya penyeragaman pendefinisian nelayan dalam peraturan perundang-undangan yang ada dan berlaku.
b. adanya harmonisasi pengaturan terkait definisi nelayan kecil dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c. adanya penyeragaman ukuran kapal nelayan kecil yang diatur dalam undang-undang dengan batas ukuran 10GT dalam Pasal 1 angka 11 UU Perikanan
d. adanya penjabaran spesifik terhadap frasa “memenuhi kebutuhan sehari0hari” yang terdapat dalam Pasal 1 angka 11 dan Pasal 1 angka 13 UU Perikanan.
e. adanya penambahan pengaturan mekanisme splitsing dalam penanganan perkara tindak pidana perikanan dalam Pasal 73B UU Perikanan.

2. Aspek Kelembagaan/Struktur Hukum, diperlukan:
a. penyesuaian kebijakan PIT dengan kondisi daerah penangkapan ikan dan sosialisasi secara intensif kepada stakeholders terkait, baik itu instansi pemerintah, asosiasi nelayan, maupun pengguna jasa perikanan.
b. adanya sosialisasi perizinan berusaha sektor perikanan mulai dari jenis, syarat, dan tata caranya perlu ditingkatkan pelaksanaannya di daerah-daerah oleh Pemerintah Pusat sebagai penerbit izin usaha perikanan.
c. adanya harmonisasi pengaturan perikanan dalam peraturan perundang-undangan dan adanya pembagian kewenangan pengawasan yang jelas serta koordinasi yang berjalan baik.
d. kejelasan batas kewenangan masing-masing aparat penegak hukum agar tidak saling tumpang tindih, perlu dibentuk pengadilan perikanan bagi wilayah yang rentan maupun marak terjadi tindak pidana perikanan dan perlu mendorong Pemerintah untuk mengadakan kerjasama dengan berbagai negara, dalam penegakan hukum di bidang perikanan sehingga dapat menjatuhkan pidana kurungan khususnya dalam tindak pidana illegal fishing dan terobosan hukum dalam KUHP baru agar dikenal pidana kerja sosial dan pidana pengawasan.
e. penyelarasan atau sinkronisasi antara tata ruang dengan pengaturan terkait dan antara tata ruang dengan kewenangan lembaga terkait, dan perlu dilakukan updating data kewilayahan daratan dan lautan secara berkala.

3. Aspek Sarana dan Prasarana, diperlukan:
a. adanya komitmen baik pemerintah pusat maupun pemerintah provinsi untuk meningkatkan kualitas pelabuhan perikanan terkhusus untuk pelabuhan yang ditunjuk menjadi check point dengan penyediaan fasilitas GPS dan cold storage.
b. integrasi dan koordinasi data dan informasi perikanan oleh Pemerintah Pusat, pemerintah Daerah, dan masyarakat.
c. adanya upaya pemerintah dalam memenuhi kebutuhan sarana dan prasarana pengawasan perikanan.

4. Aspek Pendanaan, diperlukan:
Adanya percepatan pembentukan dan pengundangan peraturan perlaksaaan terkait PNBP di bidang perikanan dan penyesuaian pengaturan PNBP PHP dengan ketentuan dalam UU Perikanan.


5. Aspek Budaya Hukum, diperlukan:
Adanya kegiatan penyuluhan perikanan yang dilaksanakan secara terus menerus dan berkesinambungan.

6. Aspek Pengarusutamaan Pancasila, diperlukan:
Adanya perubahan dan penambahan norma dalam UU Perikanan agar pengaturan yang ada berkesesuaian dengan nilai-nilai Pancasila.