Kajian, Analisis, dan Evaluasi Pemantauan Pelaksanaan UU


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-kajian.phtml on line 66
KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS / 01-11-2023

Pasca Reformasi 1998, Indonesia memasuki babak baru dalam konstelasi politik dan sosial. Transisi ini memberikan peluang emas bagi konsolidasi demokrasi di tanah air. Pendorong utama konsolidasi demokrasi adalah kebebasan berpendapat dan kebebasan pers. Sebelum disahkannya Amandemen Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) pada Rapat Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat ke-9, tanggal 18 Agustus 2000, sebuah tonggak signifikan telah terukir pada lanskap kebebasan berekspresi dan berpendapat di Indonesia. Tepatnya, pada tahun 1999, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) lahir sebagai manifestasi hukum yang mengukuhkan eksistensi dan fungsi pers dalam kerangka demokrasi dan kebebasan berekspresi. UU Pers memperoleh basis yang kokoh dari Pasal 28F UUD NRI Tahun 1945 yang menjamin hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, megolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Dalam dinamika global yang mengalami evolusi pesat, relevansi pers sebagai wadah ekspresi pemikiran publik semakin menguat. Inovasi dalam teknologi komunikasi menciptakan revolusi informasi, memperluas horizon dan dampak pers, dan membentuk konstelasi komunikasi yang transnasional, menghubungkan komunitas di seluruh dunia. Meski membawa peluang, kemajuan ini juga menimbulkan problematika baru. Di tengah proliferasi informasi, pers dituntut untuk mempertahankan integritas dan objektivitas dalam menyajikan informasi yang akurat dan dapat dipercaya. Lebih dari dua dekade telah berlalu sejak UU Pers diundangkan, beleid tersebut dianggap kurang adaptif terhadap dinamika kontemporer, terutama dalam mengakomodasi kemajuan teknologi informasi dan media online. Kelemahan intrinsik UU Pers tampak pada kerangka dasarnya yang dianggap kurang solid, dikarenakan proses penyusunan yang kurang matang dan harmonisasi dengan regulasi lain yang kurang optimal.

UU Pers terdiri atas 10 (sepuluh) bab dan 21 (dua puluh satu) pasal yang mengatur mengenai Ketentuan Umum, Asas, Fungsi, Hak, Kewajiban dan Peranan Pers, Wartawan, Perusahaan Pers, Dewan Pers, Pers Asing, Peran Serta Masyarakat, Ketentuan Pidana, Ketentuan Peralihan, dan Ketentuan Penutup. Dalam perjalanan keberlakuan UU Pers, terdapat 4 (empat) perkara pengujian konstitusionalitas terhadap UU Pers kepada Mahkamah Konstitusi (MK) yaitu:
• Perkara Nomor 81/PUU-XV/2017
• Perkara Nomor 51/PUU-XVI/2018
• Perkara Nomor 104/PUU-XVIII/2020
• Perkara Nomor 38/PUU-XIX/2021
• Perkara Nomor 13/PUU-XXI/2023

Namun terhadap seluruh perkara pengujian konstitusionalitas terhadap UU Pers tersebut, keseluruhannya putusan MK tidak ada yang membatalkan norma pasal dalam UU Pers. Selain itu, hingga saat ini tidak terdapat peraturan pelaksanaan dalam UU Pers. Ini merupakan hasil dari pemikiran konstruktif oleh pembentuk UU Pers untuk meminimalisir intervensi eksternal, dengan tujuan untuk memastikan bahwa kemerdekaan pers tetap terjaga dari pengaturan yang terlampau restritif atau intervensionis. Pembentuk UU Pers mengharapkan bahwa masyarakat pers (melalui Dewan Pers) akan mampu mengatur diri sendiri melalui sederet peraturan dan pedoman, termasuk penyusunan Kode Etik Jurnalistik (KEJ), sebagai sebuah bentuk dari swa-regulasi atau self-regulation.

Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Jawa Tengah, dan Provinsi Sulawesi Selatan; Kabupaten Semarang, Kabupaten Maros, dan Kota Binjai

1) Aspek Substansi Hukum
a. Belum Luasnya Jangkauan Konseptual Ketentuan Umum UU Pers
Jangkauan konseptual dalam ketentuan umum UU pers masih belum luas dan tidak mengikuti perkembangan zaman dan teknologi. Hal ini karena masih ditemukan beberapa hal permasalahan yaitu pertama, adanya tumpang tindih mengenai definisi pers yang disiarkan dalam Pasal 1 ayat 1 UU Pers dengan materi muatan penyensoran yang diatur UU Penyiaran, kedua adalah belum diaturnya materi muatan platform digital yang mempublikasikan konten informasi yang serupa dengan karya jurnalistik, dan ketiga kurang lengkapnya definisi dalam konteks kegiatan pers yang belum diatur dalam UU Pers.
b. Ketidaktersediaan Ketentuan Yang Bersifat Wajib Bagi Wartawan Untuk Memiliki Sertifikat Uji Kompetensi
Rumusan Pasal 15 ayat (2) huruf f UU Pers khususnya terkait salah satu fungsi Dewan Pers dalam hal meningkatkan kualitas profesi kewartawanan belum cukup dijadikan dasar untuk membuat setiap Wartawan mengikuti UKW dalam rangka meningkatkan kapasitasnya sesuai Standar Kompetensi Wartawan, dikarenakan ketentuan tersebut hanya terbatas pada memberikan fungsi kepada Dewan Pers saja tanpa mewajibkan Wartawan untuk mengikuti UKW.
c. Minimnya Pengaturan Mengenai Pers Asing
Pengaturan mengenai pers asing dalam UU Pers tampaknya belum sepenuhnya memadai dalam memberikan kerangka kerja yang jelas dan konsisten. Meskipun UU Pers mengakui keberadaan pers asing dengan definisi khusus, praktiknya menunjukkan bahwa perbedaan antara pers asing dan pers nasional sering kali kabur dan tidak konsisten. Selanjutnya, dari perspektif kepatuhan, sejumlah pers asing yang telah memiliki kantor perwakilannya di Indonesia tampaknya tidak sepenuhnya mematuhi UU Pers maupun KEJ Indonesia, situasi ini berpotensi mengundang dampak negatif terhadap kepentingan nasional. Terakhir, dari perspektif ekonomi, eksistensi pers asing di era digital ini belum memberikan kontribusi ekonomi yang optimal.

2) Aspek Struktur Hukum
a. Rendahnya Perlindungan Hukum Bagi Wartawan Dalam Melaksanakan Kegiatan Jurnalistik
Secara mutatis mutandis berdasarkan Pasal 12 UU Pers beserta penjelasannya dipahami bahwa perlindungan hukum bagi wartawan terletak dibawah fungsi pemimpin redaksi perusahaan pers karena tanggung jawab hukum terhadap produksi konten jurnalistik berada pada pemipin redaksi perusahaan pers. Ditemukan bahwa ancaman peretasan dan kekerasan terhadap wartawan cukup tinggi sedangkan mitigasi perlindungan hukum yang disediakan UU Pers masih terbatas pada hak tolak, kebebasan dari penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran serta jaminan kemerdekaan pers akan hak mencari memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
UU Pers belum mampu memberikan perlindungan hukum yang memadai karena terhadap perusahaan pers terdapat ancaman yang berasal dari tindakan peretasan yang dilakukan melalui internet yang seakan-akan membuat disensornya kanal penyiaran perusahaan pers. Bagi profesi wartawan masih kerap kali terjadi kekerasan fisik yang dilakukan oleh oknum aparat maupun pihak yang kepentingannya berseberangan karena kegiatan jurnalistik yang dilakukan wartawan. Diperlukan perluasan pengaturan perlindungan hukum bagi pers dalam menjalankan kegiatannya. Perlindungan hukum dimaksud misalnya mekanisme ganti kerugian yang sepadan oleh negara perihal isu ancaman kekerasan terhadap wartawan, penjelasan lebih spesifik mengenai konteks perlindungan hukum.
b. Keberadaan Entitas Pers Tanpa Status Badan Hukum Indonesia
UU Pers secara prinsip telah mewajibkan bentuk badan hukum Indonesia pada setiap perusahaan pers yang berada di Indonesia namun secara implementasi hal tersebut belum berjalan dengan baik dikarenakan masih banyak perusaan pers yang berdiri baik sebelum maupun setelah berlakunya UU Pers berstatus badan hukum selain PT, Yayasan atau Koperasi. Hal tersebut berdampak besar pada tanggung jawab perusahaan pers terhadap karya jurnalistik yang dihasilkan serta akibat perbuatan hukum yang ditimbulkan baik dari aspek perdata maupun pidana.
c.Adanya Mispersepsi Terhadap Kegiatan Verifikasi dan Pendataan Oleh Dewan Pers
Meskipun maksud dan tujuan dari kegiatan verifikasi ini sangat baik, namun dalam perjalanannya terdapat kritik atas program kerja Dewan Pers tersebut. Pertama, Dewan Pers dianggap tidak tepat untuk melakukan verifikasi dan terdapat keraguan atas hasil verifikasi. Kedua, terdapat mispersepsi bahwa verifikasi perusahaan pers dianggap ekuivalen dengan rezim pendaftaran. Meskipun demikian, verifikasi tetap dipandang penting dan memiliki banyak manfaat positif. Sebab, dalam suatu era dimana teknologi informasi berkembang pesat dan kebenaran informasi semakin sulit untuk diverifikasi, implementasi verifikasi media oleh Dewan Pers bisa menjadi langkah penting untuk mengatasi isu-isu seperti hoaks dan disinformasi.
d.Rendahnya Komitmen Penegak Hukum Dalam Memposisikan UU Pers sebagai Lex Specialis
UU Pers pada dasarnya telah memenuhi syarat untuk dapat dikategorikan sebagai lex specialis, dibuktikan dengan adanya ketentuan Pidana didalam Pasal 18 UU Pers yang pada pokoknya mengatur mengenai sanksi pidana terhadap kewajiban Perusahaan pers yang tidak melayani Hak Jawab dan Hak Koreksi. Dengan adanya ketentuan tersebut maka mekanisme penegakan hukum terhadap pers dipandang dapat diakomodir didalam UU Pers, namun implementasi penegakan hukum masih menggunakan peraturan perundang-undangan lain diantaranya UU ITE dan KUHP. Untuk itu diperlukan adanya komitmen APH untuk memposisikan UU Pers sebagai lex specialis dalam rangka penegakan hukum.

3) Aspek Sarana dan Prasarana
Dalam konteks keberadaan Dewan Pers, saat ini terjadi diskursus mengenai kebutuhan pendirian perwakilan lembaga ini di tingkat daerah. Berdasarkan hasil kajian evaluasi pemantauan pelaksanaan UU Pers, terdapat divergensi pendapat antar pemangku kepentingan. Beberapa menilai pentingnya perwakilan Dewan Pers di daerah dengan tujuan utama untuk memperluas jangkauan dan mempercepat penyelesaian sengketa pers, sementara lainnya berargumen bahwa optimalisasi teknologi informasi dapat mengatasi permasalahan jangkauan dan responsivitas, sehingga membantah kebutuhan tersebut dengan alasan efisiensi.

4) Aspek Budaya Hukum
Persoalan paling mendasar mengenai pemahaman masyarakat terhadap sengketa pers adalah pemilihan kanal penyelesaian sengketa pers. Masyarakat cenderung memilih kanal formil pidana yakni pengaduan ke polisi. Padahal terdapat Dewan Pers yang salah satu fungsinya yang diatur dalam Pasal 15 ayat (2) huruf d UU Pers adalah memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers. Eksistensi Dewan Pers sejatinya merupakan alternatif resolusi yang konstruktif dan memiliki legitimasi legal untuk mengupayakan penyelesaian kasus-kasus sengketa pers, dan opsi ini seharusnya menjadi referensi utama bagi masyarakat dalam mengatasi permasalahan yang terkait dengan pers. Namun, masih banyaknya masyarakat yang cenderung mengabaikan fungsi dan peran strategis Dewan Pers dalam menyelesaikan sengketa pers ini mengindikasikan adanya kesenjangan pemahaman dan apresiasi masyarakat terhadap mekanisme hukum non-formal dalam konteks sengketa pers.

5) Aspek Pengarusutamaan Nilai-Nilai Pancasila
Terdapat beberapa materi muatan dalam UU Pers yang berpotensi tidak selaras dan bertentangan dengan Sila Kedua, Keempat dan Kelima Pancasila, di antaranya:
a. Pasal 4 ayat (4) UU Pers mengenai Hak Tolak tidak mengatur prosedur, konsep serta limitasinya dan masih terdapat kekaburan substansi sehingga bertentangan dengan sila ke-2.
b. Ketidakjelasan frasa “peristiwa dan opini” yang dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) UU Pers menimbulkan penafsiran yang berbeda, hal ini tentu dapat dijadikan alibi bagi pers untuk membebaskan diri dari jerat hukum. Sehingga, terhadap norma Pasal 5 ayat (1) UU Pers bertentangan dengan sila ke-2 dan sila ke-5 Pancasila.
c. Pasal 6 UU Pers menyatakan bahwa peranan pers adalah memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak-hak asas manusia dan seterusnya. Jika ditemukan bahwa Pers tidak menjalankan perannya tersebut maka institusi mana yang berhak mengawasinya. Karena ketidakjelasan UU dalam mengatur institusi yang berwenang melakukan pelaksana dan penegakan hukum pers maka selama ini pengawasan dan pelaporan mengenai pelanggaran atas peranan pers ini dilakukan terhadap berbagai institusi baik kepolisian maupun Dewan Pers.
d. Pasal 15 UU Pers yang mengatur tentang Dewan Pers, bahwa status dan kedudukan dewan pers belum jelas, apakah lembaga ini sebagai sebuah komisi khusus atau semi komisi yang bersifat regulatory body atau lembaga internal masyarakat pers atau sebuah paguyuban yang terakreditasi oleh negara. UU hanya menyatakan Dewan Pers dibentuk untuk tujuan mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional. Sehingga, ketentuan tersebut bertentangan dengan sila ke 4 dan sila ke-5 Pancasila.
e. Pasal 16 UU Pers yang menyatakan bahwa peredaran pers asing dan pendirian perwakilan perusahaan asing di Indonesia disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Permasalahannya adalah peraturan-peraturan yang berlaku yang dimaksud dalam pasal tersebut tidak dijelaskan lebih lanjut. Selain itu pers asing yang melakukan kegiatan atau perwakilan di Indonesia tidak terkena ketentuan Pasal 18 ayat (2) atau ayat (3) UU Pers tentang tindak pidana karena ketentuan pasal tersebut hanya menyebut perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia, sehingga tidak mencakup perusahaan atau perwakilan perusahaan pers asing. Oleh karena itu, ketentuan Pasal 16 UU Pers bertentangan dengan sila ke-5 Pancasila.
f. Pasal 17 ayat (2) huruf a UU Pers menyatakan bahwa masyarakat dapat melakukan kegiatan memantau dan melaporkan analisis mengenai pelanggaran hukum, etika, dan kekeliruan teknis pemberitaan yang dilakukan oleh pers. Namun pasal ini tidak menjelaskan kepada siapa masyarakat melaporkan beberapa pelanggaran tersebut. Oleh karena itu, ketentuan Pasal 17 ayat (2) huruf a UU Pers bertentangan dengan sila ke- 4 Pancasila.

1. Aspek Substansi Hukum
a. UU Pers perlu dievaluasi kembali untuk diharmonisasikan dengan UU Penyiaran utamanya mengenai pengecualian aturan penyensoran dalam UU Penyiaran terhadap produk jurnalistik yang disiarkan;
b. Perlu diatur materi muatan dalam UU Pers terhadap platform digital yang mempublikasikan konten informasi yang serupa dengan karya jurnalistik;
c. Perlu ditambahkan definisi dalam ketentuan UU Pers mengenai: berita, media online, kompetensi wartawan, platform digital, dan jurnalisme warga (citizen journalism);
d. Perlu dirumuskan didalam UU Pers terkait dengan kewajiban bagi setiap Wartawan untuk mengikuti UKW agar dilaksanakan oleh setiap Wartawan di seluruh Indonesia;
e. Perlu ditambahkan pengaturan perihal hak dan kewajiban pers asing di Indonesia dalam materi muatan UU Pers.

2. Aspek Struktur Hukum:
a. Diperlukan optimalisasi pendampingan atau advokasi hukum terhadap Wartawan yang dilakukan oleh Dewan Pers;
b. Diperlukan pemberian ganti rugi yang sepadan oleh negara terhadap Wartawan yang mengalami ancaman, intimidasi atau serangan;
c. Diperlukan pemberatan sanksi atas kekerasan terhadap Wartawan yang berada di daerah konflik, demonstrasi, dan daerah lain yang rentan menimbulkan ancaman;
d. Diperlukan penguatan kerjasama antara perusahaan pers, pemerintah, dan lembaga penegak hukum untuk menciptakan lingkungan yang lebih aman bagi Wartawan.
e. Diperlukan perluasan pengaturan mengenai perlindungan Wartawan dalam menjalankan profesinya, seperti salah satunya berkenaan dengan perlindungan digital;
f. Perlu adanya ketentuan yang mengatur secara spesifik didalam UU Pers terkait dengan jenis badan hukum perusahaan pers yang berada di Indonesia agar memberikan kepastian hukum serta menjamin perusahaan pers mematuhi ketentuan tersebut.
g. Perlu adanya upaya konkret dalam memperbarui dan memudahkan akses data perusahaan pers agar dapat memberikan manfaat optimal bagi insan pers dan stakeholder terkait.
h. Sosialisasi lebih lanjut mengenai esensi dan tujuan dari proses verifikasi sangat diperlukan untuk mengatasi ketidaktahuan dan salah persepsi mengenai kegiatan verifikasi.
i. Peningkatan transparansi dan akuntabilitas dalam proses verifikasi perlu ditingkatkan untuk membangun kepercayaan dan pemahaman yang lebih baik antara perusahaan pers dan Dewan Pers.
j. Perlu adanya sosialisasi yang dilakukan terhadap semua APH dan pihak-pihak terkait agar penegakan hukum dalam penyelesaian sengketa pers dapat dilakukan dengan berpegang pada UU Pers sebagai lex specialis.

3. Aspek Sarana dan Prasarana:
Pembentuk undang-undang direkomendasikan untuk mengambil pilihan kebijakan mengenai perlu atau tidaknya perwakilan Dewan Pers di daerah dengan menyesuaikan kebutuhan Dewan Pers.

4. Aspek Budaya Hukum:
Perlunya sosialisasi yang lebih masif dan dilakukan secara berkala oleh Pemerintah, Perusahaan Pers, dan Dewan Pers kepada masyarakat terkait mekanisme penyelesaian sengketa pers yang tidak hanya melalui proses pidana namun terdapat pula mekanisme penyelesaian sengketa Pers melalui Dewan Pers.

5. Aspek Pengarustamaan Nilai-Nilai Pancasila:
a. Ketentuan pengaturan tentang hak tolak perlu dikonseptualisasikan dengan komprehensif dan perlu merujuk kewenangan dari Dewan Pers untuk menetapkan kriteria tentang hak tolak tersebut.
b. Perlu adanya penambahan dalam UU Pers terkait penjelasan hal-hal apa saja yang termasuk dalam “peristiwa dan opini” yang dimaksud dalam pasal 5 ayat (1) UU Pers.
c. Seharusnya dilakukan revisi dengan memformulasikan Skema dan prosedur keterlibatan Masyarakat dalam proses Jurnalistik yang berjalan sebagai bentuk dari negara demokrasi.
d. Perlu dilakukan revisi dengan memformulasikan proses rekruitmen wartawan dan sertifikasi identitas. Selain itu wartawan juga harus mendapatkan internalisasi moral dan nilai sebagai fondasi dan bekal dalam melakukan kegiatan jurnalistik, termasuk nilai-nilai Pancasila.
e. Perlu dikonseptualisasikan pengaturan yang komprehensif mengenai pers asing baik kelembagaan ,struktur dan sistem, serta kedudukannya di Indonesia.