Kajian, Analisis, dan Evaluasi Pemantauan Pelaksanaan UU


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-kajian.phtml on line 66
KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT / 01-08-2023

Zakat merupakan ibadah yang berkaitan dengan harta benda dan memiliki esensi utama sebagai sarana untuk memerangi kefakiran, kemiskinan, dan kedhuafaan. Islam tidak menghendaki ketidakadilan atas kepemilikan harta dalam umatnya, sehingga zakat merupakan mekanisme untuk mencegah adanya kesenjangan antara yang kaya dan miskin. Oleh karena zakat merupakan pranata keagamaan yang bertujuan untuk meningkatkan keadilan, kesejahteraan masyarakat, dan penanggulangan kemiskinan, maka Negara harus turut campur dalam pengelolaan zakat untuk memenuhi kewajiban Negara sebagaimana tercantum dalam Pasal 34 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, yaitu Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Hal ini merupakan salah satu wujud pemenuhan Sila Kelima Pancasila, yaitu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) per 31 Desember 2021 terdapat penduduk muslim sebanyak 86,9 persen dari total jumlah penduduk Indonesia, bahkan Global Religious Future memperkirakan penduduk muslim di Indonesia akan mencapai 256,82 juta jiwa dengan pertumbuhan 87,2 persen pada tahun 2050, berdasarkan Outlook Zakat Indonesia Tahun 2023 yang dikeluarkan oleh Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS). Jumlah penduduk muslim yang sangat besar tersebut merupakan sebuah potensi besar dalam pengumpulan zakat untuk kemudian disalurkan kepada orang yang berhak. Agar zakat dapat menjadi sumber dana yang dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan masyarakat terutama untuk mengentaskan kemiskinan dan menghilangkan kesenjangan sosial sehingga tercapai keadilan sosial, maka zakat perlu dikelola secara profesional dan bertanggung jawab baik oleh masyarakat maupun pemerintah.

Untuk pertama kalinya, kegiatan pengelolaan zakat diberikan landasan hukum dengan dibentuknya Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat (UU 38/1999) namun belum mampu mengatasi permasalahan mengenai zakat. Salah satu penyebabnya adalah belum maksimalnya peran pemerintah dan lembaga zakat dalam mengumpulkan, mengelola, dan mendistribusikan zakat, termasuk penentuan siapa yang termasuk wajib zakat, barang-barang yang dizakati, ukuran nisab, bahkan sampai batasan haul tetap menjadi perbedaan pandangan di kalangan umat, serta zakat ternyata belum mampu memberikan output yang signifikan bagi perbaikan ekonomi. Adanya kelemahan dalam UU 38/1999 tersebut kemudian dilakukan penggantian melalui pembentukan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat (UU Pengelolaan Zakat) yang menekankan konsep pengelolaan zakat pada empat kegiatan pokok, yaitu perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap pengumpulan, pendistribusian, serta pendayagunaan zakat.

Pada tahun 2012, terdapat satu perkara pengujian konstitusionalitas terhadap UU Pengelolaan Zakat kepada Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Perkara Nomor 86/PUU-X/2012. Dalam putusannya, Majelis Hakim MK menyatakan sebagian frasa dan ketentuan UU Pengelolaan Zakat inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai sebagaimana yang tercantum dalam amar putusan, yaitu Pasal 18 ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf d UU Pengelolaan Zakat, serta frasa “setiap orang” dalam Pasal 38 dan Pasal 41 UU Pengelolaan Zakat. UU Pengelolaan Zakat mengamanatkan pembentukan peraturan pelaksanaan secara langsung sebagaimana tercantum dalam 10 (sepuluh) ketentuan dalam UU Pengelolaan Zakat dan telah dibentuk 2 (dua) peraturan pelaksanaan UU Pengelolaan Zakat sebagai pemenuhan amanat tersebut, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat dan Peraturan Menteri Agama Nomor 52 Tahun 2014 tentang Syarat dan Tata Cara Penghitungan Zakat Mal Dan Zakat Fitrah Serta Pendayagunaan Zakat Untuk Usaha Produktif sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 31 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Agama Nomor 52 Tahun 2014 tentang Syarat dan Tata Cara Penghitungan Zakat Mal dan Zakat Fitrah Serta Pendayagunaan Zakat Untuk Usaha Produktif.

Provinsi Aceh, Provinsi Jawa Timur, dan Provinsi Kalimantan Timur

1. Aspek Substansi Hukum
a. Frasa “membantu” dalam UU Pengelolaan Zakat Mengesankan Adanya Ketidaksetaraan Posisi Antara BAZNAS dan LAZ
Frasa “membantu” dalam Pasal 1 angka 8 dan Pasal 17 UU Pengelolaan Zakat menggambarkan bahwa desain kelembagaan OPZ di Indonesia menempatkan BAZNAS sebagai leading sector dan LAZ sebagai supporting sector. Hal tersebut memperlihatkan kesan adanya kedudukan yang tidak sejajar antara BAZNAS dan LAZ, padahal BAZNAS dan LAZ sama-sama memiliki fungsi pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat. BAZNAS diberikan peran yang lebih besar yaitu merencanakan dan mengendalikan pengelolaan zakat, salah satunya dengan memberikan rekomendasi atas pembentukan LAZ. Frasa tersebut menimbulkan konotasi bahwa LAZ adalah subordinasi dari BAZNAS.
b. Insentif Pajak Tidak Berjalan Optimal
Pasal 22 UU Pengelolaan Zakat yang mengatur bahwa zakat dapat menjadi pengurang PKP belum berjalan optimal yang terlihat dari rendahnya jumlah zakat yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) tahunan pajak penghasilan (PPh). Hal tersebut dikarenakan masih lemah atau rendahnya literasi dan sosialisasi kepada masyarakat, kepercayaan terhadap otoritas, dukungan administrasi (fasilitas), dan koordinasi serta sinergi antar pemangku kepentingan. Kebijakan zakat sebagai pengurang PKP tidak menarik bagi muzaki karena tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap berkurangnya nominal PPh yang harus dibayar.
c. Tidak Adanya Pengkhususan Pengelolaan Zakat di Provinsi Aceh Dalam UU Pengelolaan Zakat
UU Pengelolaan Zakat diberlakukan bagi pengelolaan zakat secara nasional. Hal ini diperkuat dengan pembentukan BAZNAS sebagaimana pengaturan Pasal 6 UU Pengelolaan Zakat, yang memiliki wewenang dalam pelaksanaan pengelolaan zakat secara nasional. Sementara itu sebelum berlakunya UU a quo, Provinsi Aceh berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU Pemerintahan Aceh) telah memberlakukan kekhususan dalam pengelolaan zakat di Provinsi Aceh, yaitu berkaitan dengan zakat sebagai sumber pendapatan asli daerah (PAD), zakat di Provinsi Aceh dikelola oleh lembaga khusus, dan zakat sebagai faktor pengurang PPh terutang. Namun UU Pengelolaan Zakat tidak mengatur kekhususan pengelolaan zakat di Provinsi Aceh, sehingga mengakibatkan adanya tumpang tindih antara UU Pengelolaan Zakat dan UU Pemerintahan Aceh.
d. Keterkaitan Pengaturan UU PUB dengan UU Pengelolaan Zakat
Terdapat irisan persamaan antara Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang (UU PUB) dengan UU Pengelolaan Zakat yang di antaranya berkaitan dengan aspek perizinan pengumpulan uang dan barang, zona wilayah pengumpulan uang dan barang, pertanggungjawaban atas pelaksanaan pengumpulan uang dan barang, dan pengaturan mengenai sanksi dalam masing-masing undang-undang. Selain itu terdapat pula irisan perbedaan antara lain tentang persyaratan memperoleh izin, lembaga pelaksana pengumpulan uang dan barang, pertanggungjawaban, pembiayaan organisasi, peran serta masyarakat, dan jenis sanksi. Terdapat ketidakjelasan rezim yang mengatur pengumpulan infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya (DSKL), apakah dalam rezim UU PUB atau UU Pengelolaan Zakat. Jika pengumpulan infak, sedekah, dan DSKL termasuk objek pengaturan UU PUB, maka terdapat banyak irisan perbedaan pengaturan dengan UU Pengelolaan Zakat. Selain itu terdapat pertentangan atas adanya pengecualian izin pelaksanaan pengumpulan uang dan barang yang diwajibkan oleh agama namun dalam UU Pengelolaan Zakat mewajibkan adanya izin untuk segala bentuk pengumpulan dana zakat, infak, sedekah, dan DSKL.
e. Perubahan Materi Muatan UU Pengelolaan Zakat Pasca Putusan MK Nomor 86/PUU-X/2012
Putusan MK Nomor 86/PUU-X/2012 terhadap Pasal 18 ayat (2) UU Pengelolaan Zakat memiliki dampak terhadap OPZ berbentuk LAZ dan OPZ non-formal. Bahwa persyaratan perizinan bentuk LAZ dalam Pasal 18 ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf d UU Pengelolaan Zakat yang memberikan pilihan/alternatif bentuk perkumpulan kepada LAZ untuk sebagai ormas keagamaan Islam atau berbadan hukum. Selain itu persyaratan mengenai pengawas syariat LAZ merupakan pilihan bagi LAZ untuk menempatkannya di dalam organ LAZ sebagai pengawas syariat internal atau ditempatkan di luar organ LAZ sebagai pengawas syariat eksternal. Kemudian terhadap perizinan pengelolaan zakat oleh OPZ non-formal berdasarkan pertimbangan Majelis Hakim MK tidak dipersamakan dengan persyaratan perizinan LAZ. Adapun OPZ non-formal diberikan ruang yang jelas untuk melangsungkan kegiatan pengelolaan zakatnya di wilayah yang belum terjangkau oleh BAZNAS dan LAZ, dengan syarat memberitahukan kepada pejabat yang berwenang. Terhadap Pasal 38 dan Pasal 41 UU Pengelolaan Zakat, Putusan MK Nomor 86/PUU-X/2012 memutuskan bahwa pengelolaan zakat harus dilaksanakan dengan mengecualikan ketentuan larangan dan ketentuan pidana kepada OPZ non-formal yang telah memberitahukan kegiatannya kepada pejabat yang berwenang dan di daerah amil zakat tersebut yang belum terjangkau BAZNAS dan LAZ. Namun demikian mekanisme pelaporan zakat oleh OPZ non-formal yang hanya berupa pemberitahuan kepada pejabat yang berwenang bertentangan dengan asas akuntabilitas sebagaimana diamanatkan Pasal 2 huruf g UU Pengelolaan Zakat.

2. Aspek Struktur Hukum
a. Dualisme Peran BAZNAS Sebagai Koordinator dan Operator
Ketentuan dalam UU Pengelolaan Zakat memberikan dualisme peran terhadap BAZNAS, yaitu sebagai operator yang melakukan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat dan juga sebagai koordinator karena memiliki fungsi perencanaan dan pengendalian pengelolaan zakat yang dilakukan secara nasional. Hal tersebut rawan terjadi benturan kepentingan karena antara lain LAZ membutuhkan rekomendasi dari BAZNAS untuk dapat memperoleh izin pembentukan LAZ namun di sisi lain BAZNAS juga memiliki kepentingan dalam pengelolaan zakat. Selain itu pada implementasinya BAZNAS lebih berorientasi pada kegiatan penghimpunan dan penyaluran zakat dibandingkan dengan menjalankan fungsi koordinator, padahal kegiatan mengoordinasikan pengelolaan zakat secara nasional tidak sederhana, khususnya dalam penertiban administrasi, pengelolaan data secara terintegrasi, dan pemerataan distribusi zakat kepada mustahik.
b. Implementasi Pelaksanaan Tugas BAZNAS di Daerah
BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota berdasarkan UU Pengelolaan Zakat dibentuk oleh pemerintah daerah berdasarkan pertimbangan BAZNAS Pusat. Di samping itu, pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap BAZNAS di daerah, sehingga menimbulkan tidak adanya garis koordinasi antara BAZNAS Pusat dengan BAZNAS daerah. Dalam implementasinya hal ini menimbulkan berbagai persoalan, seperti tidak jelasnya pengawasan dan intervensi BAZNAS Pusat terhadap pengelolaan zakat oleh BAZNAS daerah. Bahkan menimbulkan kecenderungan BAZNAS di daerah lebih tunduk kepada pemerintah daerah dibandingkan dengan aturan BAZNAS Pusat, sehingga tidak terdapat satu perencanaan strategis pengelolaan zakat nasional yang dilaksanakan oleh BAZNAS daerah.
c. Kurangnya Komitmen Pemerintah Daerah Terhadap Pengelolaan Zakat di Daerah
UU Pengelolaan Zakat telah mengatur adanya berbagai peran pemerintah daerah dalam kegiatan pengelolaan zakat di daerah, mulai dari pengusulan pembentukan BAZNAS daerah, penerimaan laporan pelaksanaan pengelolaan zakat, infak, sedekah, dan DSKL secara berkala dari BAZNAS dan LAZ, pengalokasian belanja hibah dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) untuk mendukung pelaksanaan tugas BAZNAS daerah, dan melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pengelolaan zakat oleh BAZNAS dan LAZ. Namun dalam implementasinya belum seluruh kepala daerah memahami peran tersebut yang terlihat dari kurangnya pembinaan dan pengawasan yang diterima oleh LAZ dan tidak semua kepala daerah menganggarkan belanja hibah untuk BAZNAS daerah dalam APBD.
d. Implementasi Syarat Perizinan LAZ
Perizinan pembentukan LAZ berdasarkan UU Pengelolaan Zakat harus memenuhi beberapa syarat sebagaimana tercantum di dalam Pasal 18 UU Pengelolaan Zakat. Salah satu persyaratan LAZ untuk memenuhi permohonan perizinan adalah adanya rekomendasi yang diberikan oleh BAZNAS, sehingga adanya rekomendasi BAZNAS berdasarkan peraturan perundang-undangan merupakan syarat formil yang harus terpenuhi dalam permohonan perizinan dan menyebabkan birokrasi yang berbelit. Hal ini ditunjukkan dengan data bahwa dalam dua tahun terakhir jumlah LAZ yang mendapatkan rekomendasi dari BAZNAS masih di bawah 50% (lima puluh persen). Selain itu LAZ yang mengajukan permohonan rekomendasi justru diarahkan untuk diinstitusionalisasikan dalam bentuk UPZ BAZNAS. Permasalahan ini banyaknya LAZ yang tidak memiliki izin juga dipengaruhi oleh prosedur perizinan yang tidak melalui satu pintu.
e. Implementasi Koordinasi Antara BAZNAS dengan LAZ
Sebagai koordinator dalam pengelolaan zakat, BAZNAS sepatutnya melakukan koordinasi dengan seluruh OPZ di Indonesia. Namun adanya kesan ketidaksetaraan posisi antara BAZNAS dengan LAZ sebagai sesama operator menimbulkan kesenjangan dan menciptakan hubungan koordinasi yang kurang harmonis serta tidak berjalan dengan baik. Belum optimalnya koordinasi antara BAZNAS dan LAZ berdampak langsung terhadap pelaksanaan pengelolaan zakat terutama di daerah.
f. Pengelolaan Zakat oleh OPZ Non-Formal
Lembaga amil yang memiliki kewenangan secara sah untuk mengelola dana zakat di Indonesia adalah BAZNAS yang dibantu LAZ sebagaimana diatur dalam Pasal 17 UU Pengelolaan Zakat. Namun terdapat pula OPZ non-formal berupa amil zakat yang dikelola perkumpulan orang, perseorangan tokoh umat (alim ulama), atau pengurus/takmir masjid/mushola sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (2) UU Pengelolaan Zakat sebagaimana ditafsirkan Putusan MK No. 86/PUU-X/2012. Pada praktiknya pasca putusan MK No. 86/PUU-X/2012 yang mengakomodir OPZ non-formal untuk daerah yang belum terdapat BAZNAS atau LAZ tidak terimplementasi karena masih adanya OPZ non-formal meski di daerah tersebut telah terdapat BAZNAS atau LAZ. Akibatnya hal tersebut justru tidak mengubah kebiasaan masyarakat untuk menyalurkan zakatnya melalui BAZNAS atau LAZ sehingga banyak zakat yang terkumpul melalui OPZ non-formal yang tidak terpetakan. Persoalan berikutnya yang timbul dikarenakan OPZ non-formal yang tidak mengetahui atau enggan untuk melaksanakan pemberitahuan kegiatan pengelolaan zakatnya sesuai putusan MK tersebut.
g. Realisasi Pengumpulan Zakat yang Lebih Kecil Dibandingkan Potensinya
Realisasi pengumpulan dana zakat, infak, dan sedekah (ZIS)-DSKL Indonesia pada tahun 2020 yang mencapai Rp 22 triliun lebih atau hanya sebesar sekitar 6,7% dari potensi pengumpulannya yaitu senilai Rp327,6 triliun. Dilihat dari gap antara potensi dengan perolehan dana zakat maka tujuan pengelolaan zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat guna menanggulangi kemiskinan dapat sulit tercapai. Terjadinya kondisi demikian disebabkan karena rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap OPZ formal, belum masifnya sosialisasi mengenai literasi zakat, dan faktor nisab yang belum mencukupi. Selain itu, rendahnya kesadaran berzakat muzaki ke OPZ formal juga menjadi faktor rendahnya pengumpulan zakat.
h. Belum Optimalnya Pendayagunaan Zakat Untuk Usaha Produktif
Pendayagunaan zakat untuk usaha produktif sebagaimana diatur dalam Pasal 27 UU Pengelolaan Zakat ditujukan dalam rangka penanganan fakir miskin dan peningkatan kualitas umat. Untuk melaksanakan pendayagunaan zakat untuk usaha produktif, OPZ juga perlu memperhatikan ketentuan Pasal 34 Peraturan Menteri Agama Nomor 52 Tahun 2014 tentang Syarat dan tata cara Penghitungan Zakat Mal dan Zakat Fitrah serta Pendayagunaan Zakat untuk Usaha Produktif yang mengharuskan program usaha produktif tepat sasaran, serta melakukan pendampingan usaha mustahik. Pada pelaksanaannya zakat untuk usaha produktif sering mengalami kegagalan karena rendahnya kemampuan amil zakat menilai unsur produktivitas dari usaha yang dijalankan mustahik, rendahnya kompetensi amil untuk mendampingi mustahik dalam melangsungkan usaha produktifnya, tidak adanya regulasi yang jelas, dan rendahnya kemampuan mustahik dalam mengelola usaha produktif.
i. Belum Optimalnya Pembinaan dan Pengawasan Pengelolaan Zakat
Hingga saat ini masih terdapat missing link pembinaan dan pengawasan terhadap OPZ. Hal ini disebabkan karena terdapat perbedaan lembaga yang menerima pelaporan dengan lembaga yang melakukan pembinaan dan pengawasan, sehingga terdapat suatu proses bisnis yang tidak selaras, serta tidak adanya indikator-indikator dalam pengawasan. Pada praktiknya pemerintah daerah sebagai lembaga yang memiliki kewenangan untuk melakukan pembinaan dan pengawasan tidak optimal dalam pelaksanaannya dikarenakan tidak semua pemerintah daerah memiliki perhatian yang sama terhadap kegiatan pengelolaan zakat di daerahnya. Selain itu, adanya mekanisme pelaporan BAZNAS daerah dan LAZ terhadap BAZNAS juga tidak selaras dengan fungsi pembinaan dan pengawasan yang justru tidak ada pada BAZNAS. Hal ini menimbulkan adanya proses bisnis pertanggungjawaban yang tidak saling terhubung dalam pelaporan dan pembinaan serta pengawasan.

3. Aspek Sarana dan Prasarana
a. Optimalisasi Penggunaan Teknologi Dalam Pengelolaan Zakat
Pengadopsian teknologi ke dalam sistem pengelolaan zakat akan mampu meningkatkan pengumpulan, penyaluran, dan edukasi zakat, serta memudahkan masyarakat untuk berperan serta dalam pengelolaan zakat. Saat ini BAZNAS telah memiliki aplikasi Sistem Manajemen Informasi BAZNAS (SIMBA) yang menjadi penghubung antara LAZ dan kegiatan pelaporan zakat. Namun dalam implementasinya aplikasi SIMBA masih kurang efisien dan kurang efektif dikarenakan pengisian laporannya masih rumit sehingga pengintegrasian data belum berjalan optimal.
b. Tidak Terintegrasinya Data Pengelolaan Zakat
Agar penyaluran zakat dapat terlaksana sesuai dengan prinsip yang diamanatkan Pasal 25 dan Pasal 26 UU Pengelolaan Zakat, maka pengelolaan zakat perlu dilakukan dengan pengintegrasian data mustahik yang dimiliki OPZ ke dalam satu basis data. Pada praktiknya pengintegrasian data belum maksimal. Masing-masing lembaga yang mengelola dana sosial memiliki basis data masing-masing dan belum mengintegrasikan data pengelolaan zakat antar lembaga. Data Terpadu Kesejahteraan Sosial yang dikeluarkan Kementerian Sosial dan dinas kependudukan dan catatan sipil tidak digunakan sebagai basis data dalam pendistribusian zakat, baik oleh BAZNAS maupun LAZ. Penentuan skala prioritas dalam pendistribusian zakat menjadi sulit dilakukan karena tidak ada pembaharuan data mustahik sehingga OPZ harus melihat keadaan faktual mustahik.
c. Kurangnya Jumlah dan Kompetensi Amil
Permasalahan terkait masih kurangnya amil yang memiliki kompetensi menyebabkan kinerja lembaga zakat belum dapat berjalan optimal terutama dalam hal melakukan pengelolaan, pendistribusian serta pelaporan pengelolaan zakat. Hal ini muncul dikarenakan banyaknya amil yang direkrut tidak berdasarkan latar belakang pengetahuan atau keahlian dalam pengelolaan zakat, minimnya imbal jasa yang diterima amil, dan anggapan masyarakat yang menganggap amil sebagai profesi sampingan.

4. Aspek Budaya Hukum
Salah satu partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan UU Pengelolaan Zakat adalah adanya partisipasi masyarakat sebagai muzaki. Hal itu disebabkan karena beberapa hal antara lain: kurangnya kesadaran masyarakat dalam berzakat, kurangnya literasi dan edukasi mengenai kewajiban dan tata cara berzakat, minimnya literasi yang dilaksanakan oleh otoritas pengelola zakat, rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap akuntabilitas OPZ, adanya persoalan penyelewengan dana zakat, dan kebiasaan masyarakat untuk menyalurkan zakatnya secara langsung kepada mustahik, serta minimnya inovasi OPZ sehingga tidak menarik minat masyarakat. Dengan rendahnya partisipasi tersebut menyebabkan tidak optimalnya pengelolaan zakat di Indonesia.

5. Aspek Pengarusutamaan Nilai-Nilai Pancasila
Berdasarkan penelaahan yang dilakukan oleh BPIP, terdapat ketidaksesuaian norma UU Pengelolaan Zakat dengan indikator nilai Sila Kesatu, Keempat, dan Kelima Pancasila, yaitu:
a. Pasal 2 UU Pengelolaan Zakat tidak sesuai dengan indikator nilai Sila Kesatu Pancasila karena tidak harmonis dengan norma lainnya dalam UU Pengelolaan Zakat yang mengatur mengenai pemerataan, efisiensi, dan persyaratan anggota BAZNAS yang mencakup “memiliki kompetensi di bidang pengelolaan zakat”.
b. Pasal 7 UU Pengelolaan Zakat tidak sesuai dengan indikator nilai Sila Keempat Pancasila karena tidak mengatur fungsi BAZNAS dalam hal pengawasan dan penentu strategi dan arah kebijakan pengelolaan zakat secara nasional.
c. Penjelasan frasa “pihak terkait” dalam Pasal 7 ayat (2) UU Pengelolaan Zakat tidak sesuai dengan indikator nilai Sila Kelima Pancasila karena tidak terdapat penjelasan mengenai urgensi tidak memasukkan badan usaha swasta dan BUMD serta tidak terdapat urgensi memasukkan lembaga luar negeri.
d. Pasal 18 ayat (2) huruf a dan huruf b UU Pengelolaan Zakat yang telah dimaknai dalam Putusan MK Nomor 86/PUU-X/2012 tidak sesuai dengan indikator nilai Sila Kelima Pancasila karena tanpa terdapat kewajiban bagi OPZ non-formal untuk melaporkan kegiatan pengelolaan zakat kepada pihak yang berwenang.
e. Pasal 18 ayat (2) huruf d UU Pengelolaan Zakat yang telah dimaknai dalam Putusan MK Nomor 86/PUU-X/2012 tidak sesuai dengan indikator nilai Sila Kelima Pancasila karena tidak menjelaskan persyaratan pengawas syariat pada LAZ, seperti memiliki pemahaman kompetensi zakat dan akuntansi syariah.
f. Pasal 20 UU Pengelolaan Zakat tidak sesuai dengan indikator nilai Sila Keempat Pancasila karena tidak mengatur syarat dan ketentuan anggota LAZ sebagaimana adanya pengaturan terhadap anggota BAZNAS.
g. Pasal 27 ayat (3) UU Pengelolaan Zakat tidak sesuai dengan indikator nilai Sila Kelima Pancasila karena tidak mengamanatkan untuk menjelaskan mengenai skema, jenis, syarat, program, sistematika, dan prosedur zakat produktif, serta pihak yang terlibat dalam zakat produktif.
h. Pasal 29 UU Pengelolaan Zakat tidak sesuai dengan indikator nilai Sila Keempat Pancasila karena tidak memberikan kewajiban bagi BAZNAS daerah untuk melaporkan pengelolaan zakat oleh LAZ yang diawasinya kepada BAZNAS yang lebih tinggi tingkatannya.
i. Pasal 30, Pasal 31, dan Pasal 32 UU Pengelolaan Zakat tidak sesuai dengan indikator nilai Sila Kesatu Pancasila karena tidak menjelaskan peruntukan dana dari APBN/APBD dan tidak mencantumkan persentase hak amil yang dapat digunakan.

1. Aspek Substansi Hukum, diperlukan:
a. Perumusan kembali frasa “membantu” dalam Pasal 1 angka 8 dan Pasal 17 UU Pengelolaan Zakat dengan susunan norma yang menggambarkan hubungan kemitraan antara BAZNAS dan LAZ dengan memperhatikan prinsip keadilan, kesetaraan, koordinatif, dan kolaboratif.
b. Kebijakan yang progresif untuk menjadikan zakat sebagai pengurang PPh dan perlu didukung dengan adanya amanat dalam UU Pengelolaan Zakat untuk mengatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaan, adanya perubahan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, dan komitmen penuh dari seluruh pemangku kepentingan agar kebijakan ini dapat dilaksanakan.
c. Penambahan norma dalam Bab Ketentuan Lain-Lain UU Pengelolaan Zakat yang menguatkan kekhususan Provinsi Aceh dengan menegasikan pemberlakuan UU Pengelolaan Zakat di Provinsi Aceh.
d. Adanya penyelarasan pengaturan dalam UU PUB dan UU Pengelolaan Zakat yang berkaitan dengan pengumpulan uang atau barang dalam ragam infak, sedekah, dan DSKL.
e. Perumusan kembali Pasal 18 ayat (2) huruf a dan huruf b, Pasal 18 ayat (2) huruf d, Pasal 38, dan Pasal 41 UU Pengelolaan Zakat sesuai dengan amar Putusan MK Nomor 86/PUU-X/2012.
f. Adanya pengaturan mengenai mekanisme pelaporan pengelolaan zakat oleh OPZ non-formal dengan memperhatikan prinsip akuntabilitas.

2. Aspek Struktur Hukum, diperlukan:
a. Pemisahan lembaga yang memiliki fungsi operator kepada BAZNAS dan lembaga yang memiliki fungsi otoritas kepada Kemenag.
b. Rekonstruksi kembali kedudukan dan koordinasi kelembagaan BAZNAS Pusat dan BAZNAS daerah secara vertikal dan hierarkis serta pola koordinasinya dengan Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah.
c. Peningkatan komitmen pemerintah daerah untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap BAZNAS dan LAZ, mengalokasikan belanja hibah kepada BAZNAS daerah dalam APBD, dan menjadi leading sector yang mengolaborasikan berbagai program penanggulangan kemiskinan dengan berbagai pihak di daerah.
d. Penataan ulang sistem perizinan LAZ melalui satu pintu di Kemenag sebagai otoritas pengelolaan zakat di Indonesia.
e. Penguatan peran Kemenag untuk lebih menggiatkan program dan kegiatan antara BAZNAS, LAZ, dan pemerintah daerah dalam kegiatan pengelolaan zakat di seluruh Indonesia.
f. Peningkatan pendekatan dan pembinaan persuasif oleh Kemenag kepada OPZ non-formal agar memiliki tata kelola pengelolaan zakat yang lebih profesional sehingga pada akhirnya OPZ non-formal tersebut akan bertransformasi menjadi UPZ BAZNAS atau LAZ.
g. Peningkatan inovasi oleh BAZNAS dan LAZ dalam pengumpulan zakat melalui pemanfaatan IT dan lebih masif dalam mensosialisasikan serta mempromosikan inovasi program zakat yang dilakukannya kepada masyarakat.
h. Peningkatan komitmen BAZNAS dan LAZ dalam melaksanakan pendayagunaan zakat untuk usaha produktif, antara lain dalam hal pendampingan dan penyusunan program pendayagunaan zakat untuk usaha produktif yang kolaboratif antar OPZ.
i. Peningkatan peran Kemenag untuk lebih mengawasi pelaksanaan pendayagunaan zakat untuk usaha produktif yang diselenggarakan oleh OPZ sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
j. Penguatan peran Kemenag sebagai lembaga yang memiliki fungsi dalam pembinaan dan pengawasan terhadap BAZNAS, LAZ, maupun OPZ non-formal dengan melibatkan pemerintah daerah, serta laporan pengelolaan zakat dari BAZNAS, LAZ, dan OPZ non-formal hanya ditujukan kepada Kemenag.
k. Penetapan indikator-indikator pengawasan tertentu dalam pengawasan pengelolaan zakat.

3. Aspek Sarana dan Prasarana, diperlukan:
a. Adanya peningkatan sistem teknologi yang terintegrasi dengan baik disertai dengan manajemen penyusunan sistem teknologi yang lebih mumpuni dan akuntabel.
b. Pengintegrasian data mustahik yang dimiliki oleh seluruh OPZ dan kementerian/lembaga terkait ke dalam suatu sistem zakat nasional.
c. Peningkatan kompetensi amil yang tersedia melalui pelatihan dan bimbingan teknis oleh Kemenag dan/atau pemerintah daerah.

4. Aspek Budaya Hukum, diperlukan peningkatan program sosialisasi, literasi, edukasi, transparansi, dan inovasi dalam pengelolaan zakat oleh Kemenag, pemerintah daerah, dan OPZ.

5. Aspek Pengarusutamaan Nilai-Nilai Pancasila, BPIP memberikan rekomendasi bahwa diperlukan:
a. Penambahan asas dalam Pasal 2 UU Pengelolaan Zakat yang relevan dengan karakter Rasulullah, yaitu kejujuran (shiddiq), dakwah (tabligh), kecerdasan (fathonah), serta asas efektivitas, efisiensi, dan pemerataan.
b. Perubahan Pasal 7 UU Pengelolaan Zakat yang memberikan fungsi kepada BAZNAS dalam hal pengawasan lembaga pengelola zakat di daerah dan penentu arah kebijakan pengelolaan zakat secara nasional.
c. Perubahan Penjelasan frasa “pihak terkait” dalam Pasal 7 ayat (2) UU Pengelolaan Zakat dengan mencantumkan urgensi pemilihan pihak-pihak terkait tersebut dan alasan menutup akses bagi lembaga swasta.
d. Perubahan frasa “memberitahukan” pengelolaan zakat oleh OPZ non-formal dalam Pasal 18 ayat (2) huruf a dan huruf b UU Pengelolaan Zakat setelah pemaknaan Putusan MK No. 86/PUU-X/2012 menjadi frasa “melaporkan” kepada pihak yang berwenang.
e. Penambahan norma dalam Pasal 18 ayat (2) huruf d UU Pengelolaan Zakat yang mengatur mengenai indikator yang memperjelas syarat pengawas syariat pada LAZ, misalnya memiliki pemahaman kompetensi zakat dan akuntansi syariah.
f. Penambahan norma dalam Pasal 27 ayat (3) UU Pengelolaan Zakat untuk mengamanatkan adanya ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur, skema, aktor yang terlibat, jenis syarat, maupun program zakat produktif.
g. Perubahan Pasal 29 UU Pengelolaan Zakat dengan menambahkan norma bahwa BAZNAS daerah juga melaporkan pengelolaan zakat oleh LAZ beserta pengawasannya.
h. Penjelasan Pasal 30 dan Pasal 31 UU Pengelolaan Zakat bahwa peruntukan APBN tidak hanya terbatas pada sosialisasi dan koordinasi melainkan lebih ditujukan untuk program strategis berbasis pemberdayaan zakat di masyarakat, program kemajuan dan modernisasi zakat serta sosialisasinya, pelatihan peningkatan kompetensi, dan berbagai program lainnya.
i. Penambahan norma dalam Pasal 30, Pasal 31, dan Pasal 32 UU Pengelolaan Zakat yang menyebutkan persentase yang dapat diambil dari hak amil, yaitu 1/8 (satu perdelapan) dari harta zakat.
j. Penambahan norma dalam UU Pengelolaan Zakat yang mengatur bahwa persyaratan anggota BAZNAS juga berlaku untuk anggota LAZ.
k. Pembagian kewenangan yang jelas antara BAZNAS dan LAZ, yaitu BAZNAS sebagai pembuat program pengarusutamaan zakat, penyusun strategi dan arah kebijakan zakat, pendayagunaan zakat di masyarakat, serta pengawas LAZ, dan LAZ sebagai operator pengelola zakat baik pusat maupun di daerah.
l. Pendataan zakat secara nasional yang tidak hanya pada proses pengumpulan zakat namun juga mencakup proses audit keuangan OPZ berbasis akuntansi syariah yang sama.
m. Perumusan norma dalam UU Pengelolaan Zakat yang berkesesuaian dengan perkembangan teknologi, seperti konseptualisasi persyaratan start-up atau aplikasi pengelola zakat berbasis online.