Kajian, Analisis, dan Evaluasi Pemantauan Pelaksanaan UU


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-kajian.phtml on line 66
KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG CAGAR BUDAYA / 01-06-2023

Bahwa cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa sebagai wujud pemikiran dan perilaku kehidupan manusia yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga perlu dilestarikan dan dikelola secara tepat melalui upaya pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan dalam rangka memajukan kebudayaan nasional untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Untuk melestarikan cagar budaya, negara bertanggung jawab dalam pengaturan pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya. Cagar budaya berupa benda, bangunan, struktur, situs, dan kawasan perlu dikelola oleh pemerintah dan pemerintah daerah dengan meningkatkan peran serta masyarakat untuk melindungi,mengembangkan, dan memanfaatkan cagar budaya;

Di samping itu, nama cagar budaya juga mengandung pengertian mendasar sebagai pelindungan warisan hasil budaya masa lalu yang merupakan penyesuaian terhadap pandangan baru di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang diwujudkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya (UU Cagar Budaya).

Pada perkembangannya, pelaksanaan UU Cagar Budaya masih dirasakan memiliki kelemahan baik dalam pelaksanaan maupun yang terkait dengan landasan hukumnya. Terkait dengan hal tersebut, Puspanlak UU sebagai salah satu supporting system DPR dalam bidang pengawasan melakukan evaluasi terhadap undang-undang ini guna melihat kembali dasar hukum penyelenggaraan UU Cagar Budaya beserta implementasinya selama ini. Selain itu, dilakukannya pemantauan pelaksanaan UU Cagar Budaya dikarenakan UU ini masuk dalam prolegnas longlist 2020-2024 dengan nomor urut 100 yang NA dan RUU-nya disiapkan oleh DPR.

Provinsi Bali, Provinsi Sumatra Barat, dan Daerah Istimewa Yogyakarta; Kabupaten Gianyar, Kota Pariaman, dan Kabupaten Sleman.

1. Aspek Substansi Hukum
a. Perbedaan Pengaturan Antara UU Cagar Budaya dengan Undang-Undang Lainnya
1) Perbedaan Pengaturan antara UU Cagar Budaya dengan UU Pemajuan Budaya
Terdapat perbedaan rumusan terkait pemeliharaan cagar budaya antara Pasal 76 ayat (1) UU Cagar Budaya dengan Pasal 24 ayat (3) UU Pemajuan Kebudayaan. Pasal 76 ayat (1) UU Cagar Budaya mengatur mengenai pemeliharaan dalam rangka pencegahan yang terbatas pada akibat kerusakan terhadap pengaruh alam dan/atau perbuatan manusia, sedangkan Pasal 24 ayat (3) UU Pemajuan Kebudayaan mengatur bahwa pemeliharaan dilakukan dalam rangka pencegahan sampai pada potensi hilangnya objek cagar budaya.
2) Perbedaan Pengaturan antara UU Cagar Budaya dengan UU HKPD
Terdapat perbedaan rumusan terkait kompensasi terhadap objek cagar budaya antara pasal 22 UU Cagar Budaya dengan Pasal 38 ayat (3) huruf b dan Pasal 55 ayat (1) huruf j UU HKPD. Pasal 22 UU Cagar Budaya mengatur mengenai kompensasi berupa insentif pengurangan pajak sedangkan Pasal 38 ayat (3) huruf b dan Pasal 55 ayat (1) huruf j UU HKPD mengatur bahwa terdapat pengecualian atau pembebasan PBB-P2 terhadap objek cagar budaya berdasarkan ketentuan yang berlaku. Perbedaan tersebut menunjukan bahwa UU Cagar Budaya lebih berfokus pada upaya pelestarian budaya dan peningkatan kualitas hidup masyarakat. Upaya tersebut berupa pemberian imbalan kepada masyarakat yang terlibat dalam pelestarian cagar budaya. Sedangkan UU HKPD lebih berfokus pada pengakuan dan perlindungan hak atas kekayaan intelektual.
b. Belum Terakomodirnya Pengaturan Analisis Dampak Cagar Budaya atau Heritage Impact Assessment (HIA) dalam UU Cagar Budaya
Kegiatan pembangunan akan memberikan dampak positif ataupun negatif terhadap pelindungan Cagar Budaya. Analisis Dampak Cagar Budaya (HIA) adalah suatu kajian untuk mengetahui apakah pembangunan atau aktivitas di dalam atau sekitar kawasan memiliki dampak negatif atau positif bagi Cagar Budaya. Namun ketentuan mengenai Analisis Dampak Cagar Budaya (HIA) belum diatur lebih lanjut di dalam ketentuan UU Cagar Budaya, padahal Analisis Dampak Cagar Budaya (HIA) merupakan bagian penting di dalam upaya pelindungan Cagar Budaya terutama akan sangat berkolerasi pada saat setiap pembangunan. Ketentuan lebih lanjut di dalam UU Cagar Budaya baru sebatas mengatur mengenai Analisis Dampak Lingkungan sebagaimana tercantum dalam Pasal 77 ayat (4), Pasal 79 ayat (3) dan Pasal 86 UU Cagar Budaya. Akan tetapi, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pada setiap rencana pengembangan Cagar Budaya untuk menghimpun informasi serta mengungkap, memperdalam, dan menjelaskan nilai-nilai budaya terkait karena tidak semua kegiatan pengembangan atau pembangunan di bangunan, struktur, situs, dan Kawasan Cagar Budaya membutuhkan Analisis Dampak Cagar Budaya (HIA).
c. Penambahan Ketentuan Sanksi Pidana
Bahwa jumlah angka cagar budaya saat ini masih dapat bertambah apabila cagar budaya yang hilang atau belum terdaftar akibat kejahatan dapat ditanggulangi. Adanya ketentuan pidana dalam UU Cagar Budaya untuk menanggulangi kejahatan atau pelanggaran terhadap cagar budaya nyatanya masih cenderung lemah dan cenderung terfokus pada objek cagar budaya saja. Hal tersebut mengakibatkan penegakan sanksi pidana tidak terlaksana dengan optimal. Memperhatikan kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana cagar budaya masih tergolong lemah pada formulasi tindak pidana yaitu tidak adanya kualifikasi kejahatan dan pelanggaran dan tindak pidana yang masih multitafsir. Selain itu, belum terakomodirnya norma sanksi pidana pada kewajiban untuk melakukan kajian, penelitian, dan/atau analisis mengenai dampak lingkungan sebelum dilakukan pemanfaatan cagar budaya dalam Pasal 86 UU Cagar Budaya menjadi sebuah penanda, masih terdapat kekurangan pada ketentuan pidana dalam UU Cagar Budaya.

2. Aspek Struktur Hukum/Kelembagaan
a. Belum Optimalnya Pelestarian Cagar Budaya Yang Berada di Air
Upaya melindungi dengan pelestarian cagar budaya bawah air di Indonesia telah terdapat dalam UU Cagar Budaya sebagaimana dalam Pasal 1 angka 1 jo. Pasal 4 UU Cagar Budaya. Namun pelaksanaan pelestarian cagar budaya bawah air masih menemukan beberapa kendala, yaitu: sulitnya melakukan pengawasan dan pengendalian cagar budaya bawah air atas faktor geografis; adanya perbedaan prinsip dasar perlindungan cagar budaya bawah air; minimnya visibilitas manfaat sosial, budaya, dan ekonomi dari perlindungan dan penelitian cagar budaya bawah air; dan belum memadainya teknologi, pendanaan, dan keahlian Indonesia untuk mengelola cagar budaya bawah air secara mandiri.
b. Belum Optimalnya Implementasi Pemenuhan Asas dan Tujuan dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Cagar Budaya
Pemenuhan asas dan tujuan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Cagar Budaya belum optimal dikarenakan beberapa hal, diantaranya pengembangan dan pemanfaatan cagar budaya belum optimal; masyarakat khususnya yang berada di lingkungan kawasan cagar budaya belum merasakan dampak (dari sisi ekonomis) terkait pelestarian cagar budaya; permasalahan antara pengelola cagar budaya dengan pemerintah daerah; masyarakat belum mengetahui tentang transparansi pengalokasian dan penggunaan dana; masih terdapat kepentingan-kepentingan lain yaitu misalnya ada unsur kepentingan politik; tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam pelestarian cagar budaya belum tercapai; partisipasi masyarakat yang masih belum optimal di dalam pelindungan, pengembangan dan pemanfaatan cagar budaya; dominasi pemanfaatan tidak diimbangi dengan upaya pelindungan dan pengembangan; dampak ekonomi dan kesejahteraan sifatnya temporer; kurangnya kerjasama dengan masyarakat dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi; kurangnya komunikasi dan keterbukaan antara pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat; dan kurangnya riset lintas disiplin sebelum dilakukan pengembangan dan pemanfaatan.
c. Belum Optimalnya Pelaksanaan Register Nasional Cagar Budaya
Register Nasional Cagar Budaya (RNCB) merupakan sebuah daftar resmi yang memuat informasi mengenai cagar budaya yang diakui oleh negara. Dengan adanya RNCB maka dapat diketahui sejauh mana status dari pada cagar budaya yang berimplikasi terhadap perlakuan maupun pendampingan dari Objek Yang Diduga Cagar Budaya (ODCB) maupun cagar budaya. Namun terdapat permasalahan RNCB yaitu: pemerintah daerah belum menjadikan RNCB sebagai tugas yang diprioritaskan, sedangkan penyelenggaraan register nasional menjadi tanggung jawab menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangan; Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2022 tentang Register Nasional dan Pelestarian Cagar Budaya (PP 1/2022) yang masih baru sehingga pemerintah dan pemerintah daerah masih memerlukan penyesuaian; dan rendahnya pemahaman masyarakat terhadap RNCB. Bahwa yang umum diketahui pelaksanaan RNCB hanya dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah maupun Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang membidangi urusan kebudayaan sedangkan arah dan upaya pelestarian cagar budaya besar melibatkan peran masyarakat.
d. Belum Optimalnya Peran Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam Pelindungan, Pengembangan, dan Pemanfaatan Cagar Budaya
Pasal 95 dan Pasal 96 UU Cagar Budaya mengatur mengenai tugas dan wewenang pemerintah dan pemerintah daerah, namun pada tataran implementasiannya masih ditemukan kendala yaitu diantaranya:
1) Pola koordinasi antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota belum sinergis sehingga banyak terjadi kendala dalam pelindungan, pengembangan dan pemanfaatan cagar budaya;
2) Pemerintah dan pemerintah daerah masih belum secara optimal melakukan punishment terhadap pelanggar Cagar Budaya, hal ini berbeda dengan reward yang selama ini selalu lebih ditonjolkan dalam memberikan penghargaan bagi setiap orang yang melakukan pelindungan, pelestarian terhadap Cagar Budaya; dan
3) Belum optimalnya tugas pemerintah dan pemerintah daerah dalam manajemen mitigasi dan penanggulangan bencana, untuk pelindungan Cagar Budaya.
Dengan demikian masih belum optimalnya peran pemerintah dan pemerintah daerah dalam pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya berdampak ketidakjelasan tanggungjawab penanganan pelestarian cagar budaya.

3. Aspek Pendanaan
Pelimpahan tanggung jawab pendanaan yang terdapat dalam UU Cagar Budaya sendiri diberikan kepada pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Sedangkan sumber dana untuk melestarikan keberadaan cagar budaya sendiri dapat bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; (APBD), hasil pemanfaatan cagar budaya, dan/atau sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Namun pendanaan yang dialokasikan untuk pelestarian cagar budaya masih mengalami berbagai permasalahan sehingga tujuan pelestarian cagar budaya sebagai sumber untuk mensejahterakan masyarakat justru belum dapat dirasakan. Hal tersebut dilatar belakangi oleh anggaran yang dialokasikan untuk Cagar Budaya dari pemerintah sangat sedikit, anggaran belum proporsional jika dibandingkan dengan jumlah dan tindakan pelestarian yang akan dilakukan pada cagar budaya, belum semua daerah mampu mengembangkan dan memanfaatkan cagar budaya untuk heritage tourism, dana filantrofi belum dimanfaatkan dengan baik, serta memiliki kelemahan bersifat insidental dan keterlibatan pengelolaan dana oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam pelestarian cagar budaya belum jelas.

4. Aspek Sarana dan Prasarana
SDM di bidang cagar budaya memiliki karakteristik dan kekhususan tertentu, dimana UU Cagar budaya telah membaginya menjadi 2 (unsur) yakni SDM dengan kompetensi keahlian khusus dan SDM dalam rangka menjalankan penegakan hukum. Namun kebutuhan SDM tersebut belum masih menjadi permasalahan dalam rangka pelestarian cagar budaya yaitu:
a. Kurangnya jumlah TACB, Tenaga Ahli Pelestarian (TAP), Juru Pelihara dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang sesuai dengan kebutuhan dan jumlah objek cagar budaya di seluruh Indonesia
b. Kurangnya kompetensi SDM yang mumpuni dalam rangka menjalankan tugas dan fungsinya.

5. Aspek Budaya Hukum
Pada kondisi empiris terdapat permasalahan terkait dengan masih rendah peran serta masyarakat, kesadaran, dan kepedulian masyarakat terhadap nilai penting cagar budaya. Bahwa tingkat partisipasi masyarakat dalam pelestarian cagar budaya dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya: durasi dari lamanya tinggal sesorang mendiami suatu wilayah (kawasan cagar budaya) atau lamanya seseorang memiliki benda cagar budaya; dorongan motivasi seseorang untuk ikut berpartisipasi dalam pelestarian cagar budaya; latar belakang pendidikan seseorang terhadap kesadaran berpartisipasi; dan profesi seseorang dimana cagar budaya yang dikelola dan dimanfaatkannya memberikan sumber pendapatan untuk kehidupan mereka.

6. Aspek Pengarusutamaan Nilai-Nilai Pancasila
Terhadap efektivitas penyelenggaraan pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya dapat dilihat dari sejauh mana tujuan UU Cagar Budaya telah tercapai. Terutama Sila Ketiga Pancasila “Persatuan Indonesia” dan Sila kelima Pancasila “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Namun, masih ditemukan beberapa pasal dalam UU Cagar Budaya yang tidak selaras dan bertentangan dengan indikator Sila Ketiga dan Sila Kelima dari Nilai-Nilai Pancasila, diantaranya: disharmoni penerapan aturan karena kegunaan pemeliharaan yang menimbulkan multitafsir antara Pasal 76 ayat (1) UU Cagar Budaya dengan Pasal 24 ayat (3) UU Pemajuan Kebudayaan; Disharmoni Pasal 22 ayat (2) UU Cagar Budaya dengan Pasal 38 ayat (3) huruf b jo. Pasal 55 ayat (1) huruf j UU HPDK terkait pemberian insentif; Kekosongan pengaturan Analisis Dampak Cagar Budaya/HIA yang berguna untuk pengembangan cagar budaya; dan ketentuan pidana dalam UU Cagar Budaya yang belum mengakomodir kewajiban kajian, penelitian, dan/atau analisis sebelum pemanfaatan cagar budaya.

1. Aspek Substansi Hukum, diperlukan:
a. Sinkronisasi dan harmonisasi antara UU Cagar Budaya dan UU Pemajuan Kebudayaan yaitu penambahan terkait adanya kemungkinan hilangnya cagar budaya yang dipengaruhi oleh perbuatan manusia di dalam ketentuan mengenai pemeliharaan Cagar Budaya;
b. Sinkronisasi dan harmonisasi antara UU Cagar Budaya dan UU HKPD terkait dengan kompensasi bagi setiap orang yang telah melindungi cagar budaya di bawah penguasaan dan/atau kepemilikannya;
c. Penambahan pengaturan mengenai Analisis Dampak Cagar Budaya (HIA) sebagai persyaratan dalam hal perencanaan pembangunan guna meningkatkan pelindungan terhadap Cagar Budaya dan pengaturan teknis mengenai Analisis Dampak Cagar Budaya (HIA) diatur lebih lanjut di dalam peraturan pelaksana; dan
d. Reformulasi ketentuan pidana dalam UU Cagar Budaya dengan mempertegas kualifikasi tindak pidana kejahatan dan pelanggaran sehingga tidak menimbulkan multitafsir serta menambahkan ketentuan sanksi pidana terkait tidak dilaksanakannya kewajiban pada Pasal 86 UU Cagar Budaya.

2. Aspek Struktur Hukum/Kelembagaan, perlunya:
a. Mengadopsi pedoman praktis desain proyek, metodologi, kompetensi, dan kualifikasi pelestarian cagar budaya yang ada dalam Operational Guidelines for the UCH Convention dengan memperhatikan kaedah-kaedah hukum nasional yang tidak membatasi yuridiksi Indonesia, serta kesiapan baik dari teknologi, pendanaan, dan keahlian SDM pelestari cagar budaya di bawah air;
b. Konsistensi kolaborasi antara para pemangku kepentingan dalam penanganan permasalahan penyelenggaraan pelindungan, pengembangan dan pemanfaatan Cagar Budaya melalui sistem manajerial perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi;
c. Peningkatan prioritas penyelenggaraan RNCB oleh gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangan serta sosialisasi PP/2022 secara menyeluruh agar dapat dipahami oleh setiap masyarakat dan para pemangku kepentingan bahwa pelaksanaan RNCB memiliki dampak yang sangat besar untuk kelestarian cagar budaya; dan
d. Perhatian semua pihak dalam pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya diantaranya:
1) Penguatan koordinasi antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dalam menyelesaikan kendala dalam pelindungan, pengembangan dan pemanfaatan cagar budaya;
2) Perbaikan manajemen mitigasi dan penanggulangan bencana terhadap cagar budaya oleh pemerintah dan pemerintah daerah sebagai upaya mengantispasi dan meminimalisir dampak bencana yang akan ditimbulkan baik kerusakan ataupun kehilangan;
3) Optimalisasi pemberian reward and punishment agar lebih implementatif guna meningkatkan komitmen dari pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat dalam upaya pelestarian cagar budaya; dan
4) Pelibatan peran pengawasan dan pembinaan pemerintah yang dilakukan oleh Kemendagri agar pelaksanaan pelindungan, pengembangan dan pemanfaatan cagar budaya dapat berjalan dengan baik ditingkat daerah.

3. Aspek Pendanaan, perlunya:
a. Mengoptimalkan konsep dana diluar APBN dan APBD, seperti filantropi atau CSR;
b. Mendorong dan menegaskan alokasi anggaran dari pemerintah dan pemerintah daerah terhadap pelestarian cagar budaya dengan memperhatikan prinsip proposional;
c. Mengadakan culture heritage tax sebagai bentuk bahwa cagar budaya memiliki nilai ekonomis yang tinggi; dan
d. Memberikan diklat sosial entreprenuership kepada pengelola cagar budaya.

4. Aspek Sarana dan Prasarana Hukum, diperlukan:
a. Peningkatan Pendidikan dan Pelatihan guna meningkatkan kompetensi yang dimiliki oleh ahli pelestarian budaya yang masuk didalam TACB, TAP, Juru Pelihara dan PPNS yang sesuai dengan tugas dan fungsi sebagaimana yang diamanatkan oleh UU Cagar Budaya;
b. Adanya rekrutmen SDM bidang cagar budaya yang dilakukan secara proporsional dan merata yang disesuaikan dengan kebutuhan berdasarkan jumlah objek cagar budaya yang terdapat di seluruh wilayah Indonseia;
c. Peninjauan ulang terkait dengan APBN dan APBD dengan mempertimbangkan kebutuhan dan kesejahteraan SDM bidang cagar budaya; dan
d. Adanya sosialisasi kepada para pihak agar menghasilkan kebijakan dan regulasi yang memberikan kepastian bagi SDM bidang cagar budaya.

5. Aspek Budaya Hukum, perlunya:
a. Membentuk jaringan kerja antara pemerintah, akademisi/profesional, dan masyarakat lokal untuk meningkatkan nilai tambah dari cagar budaya;
b. Memberikan penyuluhan atau pemberian informasi terkait pentingnya pelestarian cagar budaya dalam bentuk kampanye kesadaran masyarakat (public awareness campaign);
c. Melibatkan masyarakat dalam pertemuan, diskusi, menyumbang tenaga dalam merawat bangunan cagar budaya; dan
d. Konsistensi pelaksanaan wewenang pemerintah dan pemerintah daerah dalam hal pemberian penghargaan (reward) kepada setiap orang yang melestarikan cagar budaya. Melalui pemberian penghargaan (reward) tersebut diharapkan dapat memantik kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi dalam pelestarian cagar budaya.

6. Aspek Pengarusutamaan Nilai-Nilai Pancasila, diperlukan:
a. Revisi atau ubah ketentuan dalam UU Cagar Budaya yang tidak selaras dengan Nilai Pancasila;
b. Muat ketentuan baru yang relevan dalam UU Cagar Budaya untuk melengkapi dan mengakomodasi kebutuhan dan kebaharuan zaman;
c. Pengembangan cagar budaya harus berdampak positif untuk masyarakat sekitar kawasan cagar budaya sehingga meningkatkan kesejahteraan rakyat.