Kajian, Analisis, dan Evaluasi Pemantauan Pelaksanaan UU


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-kajian.phtml on line 66
KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2007 TENTANG PENANGGULANGAN BENCANA / 01-03-2023

Pasal 28H ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 mengatur bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang sehat. Berdasarkan amanat konstitusi tersebut, negara bertanggung jawab untuk melindungi segenap bangsa Indonesia salah satunya dari segala ancaman bencana. Hal ini disebabkan karena Indonesia secara geografis, geologis, hidrologis, dan demografi berada dalam wilayah yang rawan terhadap terjadinya bencana. Adapun potensi bencana di wilayah Indonesia, dibedakan menjadi 3 jenis bencana, yaitu bencana alam, bencana nonalam, dan bencana sosial. Penanggulangan bencana merupakan salah satu bagian dari pembangunan nasional yang dalam pelaksanaannya harus diatur dalam suatu undang-undang yakni melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (UU Penanggulangan Bencana).

Pada perkembangannya, pelaksanaan UU Penanggulangan Bencana masih dirasakan memiliki kelemahan baik dalam pelaksanaan penanggulangan bencana maupun yang terkait dengan landasan hukumnya. Terkait dengan hal tersebut, Puspanlak UU sebagai salah satu suporrting system DPR dalam bidang pengawasan melakukan evaluasi terhadap undang-undang ini guna melihat kembali dasar hukum penyelenggaraan UU Penanggulangan Bencana beserta implementasinya selama ini. Selain itu, dilakukannya pemantauan pelaksanaan UU Penanggulangan Bencana dikarenakan UU ini masuk dalam prolegnas longlist 2020-2024 dengan nomor urut ke-184 yang diusulkan perubahan oleh DPR/DPD.

Provinsi Aceh, Provinsi Sulawesi Utara, dan Provinsi D.I. Yogyakarta

1. Aspek Substansi Hukum
a. Permasalahan terkait Definisi Bencana
1) Definisi Bencana Masih Belum Jelas karena Terdapat Inkonsistensi antara Pasal 1 angka 2, angka 3 dan angka 4 UU Penanggulangan Bencana dengan Penjelasan Umum UU Penanggulangan Bencana
Pasal 1 angka 2, angka 3, dan angka 4 UU Penanggulangan Bencana mengatur terkait definisi bencana alam, bencana nonalam, dan bencana sosial termasuk pengelompokan jenis-jenis/cakupan bencana. Pengaturan tersebut juga dipertegas dalam Penjelasan Umum UU Penanggulangan Bencana. Akan tetapi, terdapat inkonsistensi pengaturan antara Pasal 1 angka 2, angka 3, dan angka 4 UU Penanggulangan Bencana dengan Penjelasan Umum. Inkonsistensi tersebut diantaranya:
- Pasal 1 angka 2 UU Penanggulangan Bencana tidak mengatur kebakaran hutan/lahan sebagai salah satu bencana alam. Namun, dalam Penjelasan Umum, kebakaran hutan/lahan termasuk ke dalam bencana alam;
- Pasal 1 angka 3 UU Penanggulangan Bencana mengatur bahwa bencana epidemi dan wabah termasuk ke dalam bencana nonalam, tetapi dalam Penjelasan Umum, epidemi dan wabah termasuk ke dalam bencana alam;
- Pasal 1 angka 4 UU Penanggulangan Bencana mengatur bahwa teror termasuk salah satu bencana sosial. Namun, dalam Penjelasan Umum yang termasuk dalam bencana sosial hanya kerusuhan sosial dan konflik sosial; dan
- Pada Penjelasan Umum disebutkan bahwa hama penyakit tanaman dan kejadian luar biasa juga termasuk kedalam cakupan bencana alam dan kejadian antariksa/benda-benda angkasa, kecelakaan transportasi, dampak industri, ledakan nuklir, pencemaran lingkungan dan kegiatan keantariksaan juga termasuk ke dalam cakupan bencana non-alam. Namun, cakupan bencana-bencana tersebut tidak diatur dalam Pasal 1 angka 2 dan angka 3 UU Penanggulangan Bencana.

2) Pemenuhan Secara Kumulatif 4 Syarat Akibat Bencana
Pasal 1 angka 1 UU Penanggulangan Bencana mengatur terkait definisi bencana. Dalam definisi bencana disebutkan bahwa bencana mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis. Kata “dan” dalam definisi bencana tersebut menimbulkan persepsi bahwa status bencana dapat ditetapkan apabila terpenuhinya keempat unsur akibat bencana tersebut. Sedangkan dalam praktiknya, tidak semua bencana memenuhi seluruh unsur akibat bencana yang disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 UU Penanggulangan Bencana tersebut. Hal ini berpengaruh dalam penentuan status bencana, yaitu dalam kondisi tidak terpenuhinya salah satu unsur akibat bencana dapat menimbulkan persepsi dapat ditetapkan sebagai bencana atau tidak.

b. Definisi Bencana Sosial Belum Merujuk Pada Undang-Undang Terkait dan Perbedaan Pengaturan Penetapan Status Bencana Dalam UU Penanggulangan Bencana Dengan UU Konflik Sosial
Pasal 1 angka 3 dan angka 4 UU Penanggulangan Bencana mengatur mengenai definisi bencana nonalam dan bencana sosial. Dalam definisi tersebut, terdapat jenis bencana yakni wabah, konflik sosial, dan teror yang telah diatur dalam undang-undang tersendiri, yaitu UU Wabah, UU Konflik Sosial dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dalam implementasinya, pengaturan dalam UU Penanggulangan Bencana dan undang-undang terkait tersebut masih belum selaras. Salah satunya dalam UU Konflik Sosial, mekanisme penanganan selama ini lebih merujuk pada UU Konflik Sosial dibandingkan UU Penanggulangan Bencana. Selain itu, terdapat perbedaan pengaturan mengenai penetapan status darurat dalam hal penanganan konflik sosial sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (2) UU Penanggulangan Bencana dengan UU Konflik Sosial, terkait perlu atau tidaknya konsultasi dengan pimpinan DPR dalam hal penetapan status keadaan konflik skala nasional dan perlu atau tidaknya konsultasi dengan pimpinan DPRD dalam hal penetapan status keadaan konflik skala kabupaten/kota.

c. Belum Ditetapkannya Peraturan Pelaksana terkait Penetapan Status dan Tingkatan Bencana Nasional dan Daerah
Pasal 7 ayat (3) UU Penanggulangan Bencana mengamanatkan untuk dibentuknya peraturan pelaksana berupa peraturan presiden yang mengatur tentang penetapan status dan tingkatan bencana nasional dan daerah. Lebih lanjut, dalam Pasal 84 UU Penanggulangan Bencana mengatur batas jangka waktu untuk diterbitkannya peraturan pelaksanaan dari UU Penanggulangan Bencana sampai dengan 6 (enam) bulan sejak diundangkannya UU Penanggulangan Bencana. Namun, hingga saat ini peraturan presiden yang mengatur tentang penetapan status dan tingkatan bencana nasional dan daerah belum diterbitkan. Belum diterbitkannya peraturan tersebut menimbulkan permasalahan dalam penyelenggaran penanggulangan bencana, yakni tidak adanya pemahaman yang sama baik di pemerintah pusat maupun daerah mengenai paramater dan kriteria penetapan status bencana sehingga mengakibatkan seringkali bencana yang tidak terlalu besar namun tingkatan statusnya telah dianggap darurat. Selain itu, belum diterbitkannya peraturan tersebut berdampak pada penggunaan dana penanggulangan bencana yang tidak bersesuaian dengan kebutuhan dan kondisi riil di lapangan.

d. Perubahan Frasa “Penyandang Cacat” dalam UU Penanggulangan Bencana
Penggunaan frasa “cacat” dalam UU Penanggulangan Bencana disebabkan oleh UU Penyandang Disabilitas yang belum diundangkan ketika UU Penanggulangan Bencana berlaku, sehingga UU Penanggulangan Bencana masih menggunakan nomenklatur dalam UU Penyandang Cacat dan tidak selaras dengan UU Penyandang Disabiltas.

e. Belum Adanya Pengaturan Pelindungan Bagi Relawan Kebencanaan
Dalam UU Penanggulangan Bencana belum diatur mengenai aturan pelindungan bagi relawan kebencanaan. Hal ini menyebabkan relawan yang ikut menjadi korban di lokasi bencana menjadi tidak terlindungi. Sehingga sampai saat ini pengaturan mengenai apelindungan termasuk hak dan kewajiban relawan yang belum diatur dalam UU Penanggulangan Bencana mengakibatkan banyaknya relawan yang tidak mendapatkan perlindungan baik dari sisi jaminan kesehatan, keamanan, dan keamanan sosial. Selain itu, juga mengakibatkan kebingungan apabila relawan akhirnya menjadi korban bencana apakah akan diperlakukan sebagai korban bencana atau tetap seperti relawan. Dalam implementasinya, relawan sebagai pekerja sosial banyak mendapatkan kendala dalam menjalankan tugas kemanuasiaan diantaranya mengalami pengusiran oleh masyarakat, tidak diberikan alat yang memadai dalam proses membantu korban bencana, dan risiko terkena penyakit.

2. Aspek Struktur Hukum
a. Kurangnya Koordinasi Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana
1) Kurangnya Koordinasi Antar Kementerian/Lembaga yang Menyebabkan Tumpang Tindih Kewenangan dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana
Penyelenggaraan penanggulangan bencana merupakan tanggung jawab banyak pihak meskipun dalam UU Penanggulangan Bencana, pemerintah dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab utama. Sebagai leading sector penanggung jawab penyelenggaraan penanggulangan bencana, pemerintah membentuk BNPB sebagai perwakilan di pusat untuk melakukan fungsi komando dan fungsi koordinasi dengan kementerian/lembaga terkait. Dalam menjalankan fungsi koordinasinya, BNPB telah merealisasikannya dengan membentuk Tim Reaksi Cepat BNPB (TRC BNPB). Selain itu BNPB juga melakukan MoU dengan beberapa kementerian/lembaga terkait untuk lebih mengoptimalkan koordinasi. Namun, dalam implementasinya koordinasi antar kementerian/lembaga ini masih terdapat beberapa kendala seperti belum adanya pengaturan secara khusus terkait pembagian peran, tugas dan fungsi antar kementerian/lembaga, tumpang tindih kewenangan di lapangan, dan adanya kesamaan program yang diselenggarakan oleh kementerian/lembaga terkait penanggulangan bencana yang mengakibatkan kebingungan di masyarakat.
2) Kurangnya Koordinasi Antara Pemerintah Pusat dan Daerah Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana
Penanggulangan bencana merupakan tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah daerah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 UU Penanggulangan Bencana. Kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana. Namun dalam implementasinya masih terdapat beberapa kendala seperti pembagian peran dan tanggung jawab antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah cenderung berfokus pada hal-hal yang bersifat taktis operasional sehingga sering terjadi kerancuan antara tataran yang menjadi pelaksana PDB, pendukung dan pendampingan. Selain itu, perbedaan struktur organisasi antara pemerintah pusat yang diwakili (BNPB) dan pemerintah daerah (BPBD) juga mempengaruhi efektifitas pengambilan kebijakan strategis pada saat terjadi bencana sehingga mengakibatkan fungsi koordinasi, fungsi komando, dan fungsi pelaksana pemerintah pusat tidak berjalan optimal.
Tidak efektifnya koordinasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah tidak sejalan dengan prinsip-prinsip UU penanggulangan Bencana yang diatur dalam Pasal 3 ayat (2) yaitu prinsip cepat dan tepat juga prinsip koordinasi dan keterpaduan.

b. Pemerintah Daerah Pasif dalam Penanggulangan Bencana
Salah satu urusan wajib pemerintah daerah adalah penyelenggaraan penanggulangan bencana. Dalam Lampiran I huruf E UU Pemerintahan Daerah penyelenggaraan penanggulangan bencana menjadi salah satu kategori Sub Unsur dari Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar Bidang “Ketentraman, Ketertiban Umum, dan Perlindungan Masyarakat” berdampingan dengan Kebakaran dan Ketertiban Umum. Akan tetapi pada implementasinya, respon pemerintah daerah tidak cepat dan lambat dalam memberikan respon pertolongan yang kemudian mengakibatkan tingginya jumlah korban bencana dan rusaknya pemukiman. Selain itu, dapat juga mengakibatkan terhambatnya koordinasi antar lembaga penyelenggara penanggulangan bencana.

c. Penguatan Kelembagaan BNPB
Pembahasan RUU Penanggulangan Bencana telah dihentikan karena tidak ada kesepakatan mengenai nomenklatur kelembagaan BNPB antara DPR dan Pemerintah. Komisi VIII DPR menghendaki nomenklatur kelembagaan BNPB disebutkan secara eksplisit dalam RUU Penanggulangan Bencana, sedangkan Pemerintah tidak menghendaki penyebutan nomenklatur BNPB secara eksplisit dalam RUU Penanggulangan Bencana dan pengaturan lebih lanjut mengenai BNPB akan diatur dalam Peraturan Presiden untuk memberikan fleksibilitas kepada Presiden. Adapun berikut ini penjelasan mengenai bentuk kelembagaan BNPB saat ini, termasuk dengan kelembagaan BNPB sebagaimana dalam DIM RUU Penanggulangan Bencana dari DPR dengan dari Pemerintah
1) Bentuk Kelembagaan BNPB Saat Ini
BNPB bertugas menangani penanggulangan bencana memiliki fungsi koordinasi, fungsi komando, dan fungsi pelaksanaan. Terdapat masalah dalam melaksanakan ketiga fungsi tersebut meliputi ketidakefektifan pola koordinasi, egosektoral antar kementerian/lembaga, lemahnya fungsi komando BNPB karena berkedudukan di bawah Kemenko PMK.
2) Kelembagaan BNPB dalam DIM RUU Penanggulangan Bencana dari DPR
DPR memiliki komitmen dan semangat untuk terus menguatkan kelembagaan BNPB dengan mengatur kelembagaan BNPB dalam level undang-undang agar memiliki legitimasi yang kuat, memberikan kemudahan akses bagi BNPB dan BPBD saat kondisi tanggap darurat, pengisian SDM BNPB dari unsur TNI/Polri dan profesional, dan mandatory spending untuk penanggulangan bencana sebesar 2% dari APBN dan APBD.
3) Kelembagaan BNPB dalam DIM RUU Penanggulangan Bencana dari Pemerintah
Pemerintah menginginkan fleksibilitas pengaturan kelembagaan BNPB untuk memudahkan dalam melakukan perubahan yang mungkin akan terjadi sesuai dengan kondisi dan perkembangan kebutuhan organisasi yang akan datang.

d. Penguatan Kelembagaan BPBD
1) Desain Kelembagaan BPBD
a) BPBD Sebagai Organisasi Perangkat Daerah
Terdapat usulan beberapa narasumber untuk tetap menginginkan kedudukan BPBD saat ini tetap menjadi bagian dari OPD untuk menghindari situasi tumpang tindih kewenangan dengan BNPB, dan juga lebih mudah dalam proses koordinasi dengan OPD lain dalam penyaluran bantuan bencana tanpa harus terlebih dahulu meminta persetujuan dari pusat.
b) BPBD sebagai instansi vertikal BNPB
Terdapat usulan beberapa narasumber untuk mengubah desain kedudukan BPBD saat ini menjadi instansi vertikal dari BNPB yang melaksanakan penanggulangan bencana di daerah. Usulan ini muncul berdasarkan pada pada kendala-kendala yang dialami BPBD sebagai OPD selama ini.
Berdasarkan kedua alternatif desain kelembagaan BPBD di atas, masing-masing pilihan desain kelembagaan tersebut tentunya memiliki kelebihan dan kekurangan. Jika BPBD tetap sebagai OPD seperti saat ini, maka akan terkendala pada kecepatan dalam pengambilan keputusan dan panjangnya alur birokrasi dalam melaksanakan fungsi komando. Namun, BPBD sebagai OPD dapat menghindari situasi tumpang tindih kewenangan dengan BNPB dan memudahkan proses koordinasi dengan OPD lain di daerah. Sedangkan, konsekuensi yang timbul jika BPBD diubah sebagai instansi vertical dari BNPB maka akan mengoptimalkan fungsi komando dari pusat dan alokasi anggaran yang ditentukan pusat akan lebih memadai.
2) Klasifikasi BPBD
Pengklasifikasian tipologi BPBD menjadi Tipe A dan Tipe B berdampak pada kinerja BPBD menjadi tidak optimal karena dukungan anggaran menjadi tidak proporsional, dimana hal ini tidak sesuai dengan banyaknya ancaman potensi bencana yang merata di seluruh Indonesia. Selain itu, belum ada acuan yang jelas dan berkepastian hukum seperti indeks kebencanaan atau kriteria lain untuk dapat menentukan klasifikasi BPBD menjadi Tipe A atau Tipe B.
3) Eselonisasi Kepala BPBD
Ketentuan eselonisasi jabatan Kepala BPBD yang dipegang oleh Sekretaris Daerah sebagai ex-officio, dan eselonisasi Kepala Pelaksana BPBD terutama pada BPBD Kabupaten/Kota Tipe B dalam UU Penanggulangan Bencana dan Permendagri 46/2008 perlu untuk dikaji ulang karena telah menyebabkan kendala BPBD dalam menjalankan fungsi komando, fungsi koordinasi, dan fungsi pelaksana.

e. Mitigasi Belum Menjadi Fokus Penanggulangan Bencana
Upaya mitigasi bencana belum menjadi prioritas dalam UU Penanggulangan Bencana dibandingkan dengan upaya tanggap darurat dan pascabencana. Hal ini menyebabkan arah kebijakan publik berupa rencana penanggulangan bencana belum optimal digunakan sebagai acuan dalam menurunkan risiko bencana, serta politik anggaran dalam melaksanakan upaya mitigasi bencana tidak menjadi prioritas.

f. Permasalahan Pengumpulan Uang dan Barang
Salah satu kewenangan pemerintah dan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah melakukan pengendalian dan penertiban pengumpulan dan penyaluran uang atau barang baik yang bersifat nasional maupun pada wilayahnya. Pengaturan ini tidak hanya diatur dalam UU Penanggulangan Bencana, melainkan juga diatur dalam UU PUB dan Permensos 8/2021. Dalam implementasinya selama ini penyelenggaraan pengumpulan uang atau barang masih terkendala dikarenakan banyaknya masyarakat yang tidak mengajukan permohonan izin pengumpulan uang atau barang dan minimnya pengawasan dari Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota dalam penyelengaraan pengumpulan uang atau barang yang kemudian berdampak pada seringkali bantuan baik berupa uang ataupun barang yang diberikan kepada korban bencana tidak tepat sasaran dan tidak bersesuaian dengan kebutuhan di lapangan.

3. Aspek Pendanaan
Salah satu tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah pengalokasian dana penanggulangan bencana dalam APBN dan APBD secara memadai. Dalam implementasinya masih terdapat beberapa permasalahan atau kendala terkait penanggulangan bencana, di antaranya pemerintah daerah masih belum memiliki anggaran yang cukup untuk penanggulangan bencana sehingga sangat bergantung dari pemerintah pusat; di Provinsi Sulut alokasi anggarana BPBD bersumber dari APBD dalam bentuk BTT sehingga tidak ada alokasi khusus untuk mitigasi dan rehabilitasi rekonstruksi bencana, dikarenakan BTT hanya digunakan untuk tahap tanggap darurat; dan di Provinsi Aceh selama ini, alokasi dana penanggulangan bencana masih sangat minim dalam tahap prabencana dan persoalan penanggulangan bencana yang belum menjadi prioritas pemerintah daerah.

4. Aspek Sarana dan Prasarana
a. Belum terbentuknya BPBD di Seluruh Daerah
Masih banyak daerah yang belum memiliki BPBD dan daerah yang belum memiliki BPBD selama ini masih melaksanakan urusan kebencanaan dengan menggabungkan pada dinas terkait. Namun, hal tersebut justru menyebabkan BNPB mengalami kesulitan koordinasi untuk penanganan tanggap darurat bencana.

b. Rotasi Pegawai BPBD yang Terlalu Cepat
BPBD merupakan leading sector penanggulangan bencana di daerah. Hal ini menjadikan BPBD sebagai pelaku utama penanggulangan bencana di daerah, oleh karena itu harus memiliki SDM yang mumpuni. Adapun hal tersebut tidak dapat terwujud apabila SDM BPBD tidak dikelola dengan baik. Dalam implementasinya, rotasi SDM di BPBD selama ini terlalu cepat sehingga mengakibatkan pegawai yang melaksanakan tugas penyelenggaraan bencana tidak memiliki keahlian di bidang tersebut. Hal ini dapat menghambat dan mengganggu keberlangsungan penanggulangan bencana di daerah.

c. Kendala dalam Early Warning System (EWS)
Pemerintah bertanggung jawab terhadap pengadaan alat (tools) peringatan dini melalui beberapa Kementerian/Lembaga seperti BNPB,Kementerian PUPR, BMKG, dan Kementerian ESDM sebagaimana dikemukakan oleh BNPB. Namun, pada implementasinya, Indonesia masih mengalami beberapa kendala terkait peringatan dini, terutama dalam pengadaan alat EWS serta perawatannya di daerah.
Banyaknya kerusakan dan kurang memadainya peralatan EWS di Indonesia disebabkan oleh kurangnya kemampuan Pemerintah Daerah untuk melakukan perawatan dan melakukan pengadaan peralatan EWS. Pemerintah Daerah juga belum mengalokasikan dana khusus pengadaan alat EWS dan perawatannya.

d. Kendala dalam Pemenuhan Layanan Kebutuhan Dasar
Pasal 53 UU Penanggulangan Bencana mengatur bahwa penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat meliputi pemenuhan kebutuhan dasar dengan menyediakan bantuan bencana. Adapun bantuan bencana yang diberikan diantaranya meliputi kebutuhan air bersih dan sanitasi, pangan, sandang, pelayanan kesehatan, pelayanan psikososial, dan penampungan dan tempat hunian. Namun, dalam implementasinya selama ini meskipun bantuan korban bencana tersebut telah dilakukan akan tetapi masih menemui beberapa kendala, diantaranya pemberian layanan psikososial yang tidak memiliki standar yang sama; pemberian layanan psikososial yang tidak merata di beberapa titik wilayah bencana; pemberian layanan psikososial yang hanya terpusat pada Anak padahal terdapat korban lainnya yang juga membutuhkan layanan untuk memulihkan trauma akibat bencana; tidak meratanya distribusi bantuan; dan anggaran yang minim yang mengakibatkan pemberian bantuan bencana yang tidak bersesuaian dengan kebutuhan korban bencana.

5. Aspek Budaya Hukum
a. Belum Optimalnya Peran Serta Masyarakat dalam Penanggulangan Bencana
Peran serta masyarakat dalam penanggulangan bencana telah diatur dalam UU Penanggulangan Bencana dan juga diatur dalam Perka BNPB 11/2014. Dalam implementasinya selama ini, peran serta masyarakat hanya sedikit sekali disinggung dalam UU Penanggulangan Bencana dan masih banyaknya masyarakat yang belum berperan aktif dalam penanggulangan bencana.

b. Kendala dalam Relokasi Masyarakat dari Zona Rawan Bencana
Mitigasi bencana merupakan salah satu upaya penanggulangan bencana. Salah satu upaya mitigasi bencana yang diatur dalam UU Penanggulangan Bencana adalah relokasi masyarakat dari daerah yang memiliki potensi bencana tinggi dan masyarakat yang terkena dampak bencana ke tempat yang lebih aman serta memiliki potensi bencana yang lebih rendah. Adapun dalam implementasinya relokasi masyarakat sulit dilakukan dikarenakan letak tempat tinggal masyarakat yang dekat dengan mata pencaharian utama dan dengan keluarga sehingga menimbulkan hubungan psikologis yang kuat antara korban dengan lokasi tempat tinggal. Selain itu terdapat pula faktor rendahnya kesadaran masyarakat terkait penanggulangan bencana.

6. Aspek Pengarusutamaan Pancasila
Berdasarkan hasil telaahan dari Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) masih terdapat berbagai catatan kritis atas pelaksanaan undang-undang tersebut yang dinilai belum optimal dalam menyelesaikan permasalahan bencana di Indonesia sehingga bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila:
a. Pasal 1 UU Penanggulangan Bencana
Pasal 1 UU Penanggulangan Bencana memberikan berbagai definisi mengenai Bencana. Salah satu permasalahan yang ada adalah dalam pendefinisian bencana alam belum mengakomodasi permasalahan bencana yang saat ini sering terjadi, seperti bencana alam yang diakibatkan oleh manusia (man-made disaster) dan bencana yang diakibatkan faktor perubahan iklim. Terhadap permasalahan tersebut, ketentuan Pasal 1 UU Penanggulangan Bencana bertentangan dengan Sila Kedua Indikator Ketiga, Sila Kelima Indikator Pertama dan Indikator Ketiga.

b. Pasal 7 UU Penanggulangan Bencana
Pasal 7 UU Penanggulangan Bencana mengatur tentang wewenang Pemerintah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana dan penetapan status dan tingkat bencana nasional dan daerah. Terkait dengan pengaturan tersebut, terdapat parameter atau standar yang digunakan untuk menentukan status dan tingkatan bencana nasional dan daerah dalam peraturan pelaksana sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 7 ayat (3) UU Penanggulangan Bencana. Namun, peraturan pelaksana tersebut belum diterbitkan hingga saat ini sehingga bertentangan dengan Sila Kedua Indikator Ketiga, sila Kelima Indikator Pertama dan Indikator Ketiga.

c. Pasal 26 UU Penanggulangan Bencana
Pasal 26 UU Penanggulangan Bencana mengatur tentang hak masyarakat. Akan tetapi dalam UU Penanggulangan Bencana belum mengatur tentang peran serta masyarakat dalam proses penanggulangan bencana, melainkan hanya memuat hak dan kewajiban masyarakat saja. Belum diaturnya peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana tersebut mengakibatkan minimnya partisipasi masyarakat secara luas dalam penanggulangan bencana sehingga berdampak pada rendahnya penerapan budaya gotong royong. Oleh karena itu, pengaturan tersebut bertentangan dengan dengan Sila Ketiga Indikator Kedua, Sila Ketiga Indikator Ketiga dan Indikator Keempat.

d. Pasal 10 sampai dengan Pasal 25 dan Pasal 51 ayat (2) UU Penanggulangan Bencana
Pasal 10 s.d. Pasal 24 UU Penanggulangan Bencana mengatur mengenai konfirgurasi atau sistem kelembagaan dalam penanggulangan bencana, melalui pembentukkan BNPB dan BPBD. Lebih lanjut dalam Pasal 51 ayat (2) UU Penanggulangan Bencana hanya mengatur kewenangan berbagai pihak dalam menentapkan status bencana, namun tidak mengatur secara jelas mengenai relasi kewenangan antarlembaga berdasarkan status sebuah bencana. Sehingga tidak sesuai dengan Sila Keempat Indikator Pertama.

1. Aspek Substansi Hukum:
a. diperlukan sinkronisasi dan harmonisasi antara Pasal 1 angka 2, angka 3, dan angka 4 UU Penanggulangan Bencana dengan Penjelasan Umum terkait cakupan/jenis-jenis bencana.
b. perlu mengubah rumusan Pasal 1 angka 1 UU Penanggulangan Bencana dengan mengubah kata “dan” menjadi “dan/atau” sehingga rumusan Pasal 1 angka 1 UU Bencana menjadi “Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan/atau dampak psikologis”.
c. diperlukan sinkronisasi dan harmonisasi antara UU Penanggulangan Bencana dengan UU terkait lainnya, yaitu UU Konflik Sosial, UU Wabah, dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Sinkronisasi dan harmonisasi tersebut dapat dilakukan dengan menambahkan frasa “sebagaimana diatur dalam undang-undang terkait” dalam Pasal 1 angka 3 dan angka 4 UU Penanggulangan Bencana agar pengaturan mengenai wabah, terorisme, dan konflik sosial dalam UU Penanggulangan Bencana dan undang-undang terkaitnya dapat selaras.
d. Pemerintah harus segera menerbitkan peraturan pelaksana terkait penetapan status dan tingkatan bencana nasional dan daerah.
e. perlu adanya perubahan nomenklatur “cacat” dalam perubahan UU Penanggulangan Bencana dengan menyesuaikan frasa dalam UU Penyandang Disabilitas.
f. perlu ditambahkan pengaturan khusus terkait hak dan kewajiban relawan guna menjamin pelindungan terhadap relawan khususnya relawan yang ikut terdampak menjadi korban pada saat terjadinya bencana.

2. Aspek Struktur Hukum:
a. perlu adanya pembagian tugas dan kewenangan yang jelas antar kementerian/lembaga terkait penyelenggaraan penanggulangan bencana. Pembagian tugas dan kewenangan tersebut dapat diwujudkan dalam suatu pengaturan khusus atau dalam bentuk surat keputusan bersama;
b. perlu menyinergikan semua pihak baik di tingkat pusat maupun daerah terkait penanggulangan bencana agar proses pengambilan kebijakan lebih cepat dan tepat sesuai dengan prinsip dalam UU Penanggulangan Bencana;
c. diperlukan kesadaran terkait pentingnya penanggulangan bencana oleh seluruh elemen pemerintah, terutama pemerintah daerah sehingga dapat memiliki komitmen yang tinggi untuk lebih cepat, cermat dan tanggap dalam menghadapi bencana di daerah;
d. kelembagaan BNPB memerlukan penegasan sebagai leading sector dalam penanganan ketiga jenis bencana;
e. diperlukan pembagian wewenang yang jelas dengan kementerian/lembaga lainnya agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan;
f. perlunya memulai ersuas pembahasan RUU Penanggulangan Bencana yang telah dihentikan dan dijadikan sebagai Prolegnas Prioritas 2024.
g. apabila pilihan kebijakan pembentuk undang-undang nantinya tetap mempertahankan BPBD sebagai OPD maka diperlukan perbaikan dari sisi pola koordinasi dan pola komando untuk penguatan kelembagaan BPBD sebagai OPD. Sedangkan, apabila pilihan kebijakan pembentuk undang-undang nantinya mengubah desain kelembagaan BPBD sebagai instansi vertical dari BNPB maka diperlukan perbaikan pola komando dan alokasi anggaran penanggulangan bencana untuk penguatan kelembagaan BPBD sebagai instansi vertikal BNPB di daerah;
h. diperlukan pengkajian ulang urgensi pengklasifikasian tipologi BPBD beserta kriteria penetapannya;
i. diperlukan peninjauan ulang ketentuan eselonisasi Kepala BPBD dan Kepala Pelaksana BPBD agar tidak menghambat fungsi komando, fungsi koordinasi, dan fungsi pelaksana BPBD.
j. upaya mitigasi perlu menjadi prioritas dalam upaya penanggulangan bencana, baik dalam perbaikan UU Penanggulangan Bencana beserta peraturan pelaksananya, prioritas arah kebijakan ersua, hingga penguatan ketahanan masyarakat;
k. diperlukan peningkatan pengawasan oleh Kemensos atau Dinsos yang mengeluarkan izin atas pengumpulan uang/barang;
l. perlunya koordinasi antar OPD di daerah agar sumbangan kebencanaan dapat tersalurkan dengan cepat dan tepat sasaran; dan
m. diperlukan mekanisme audit terkait sumbangan kebencanaan yang menyesuaikan dengan Permensos 8/2021.

3. Aspek Pendanaan
Perlu peningkatan komitmen dari pemerintah daerah yaitu kesadaran dari pemerintah daerah untuk menganggarkan dana penanggulangan bencana serta diperlukan aturan atau petunjuk teknis terkait dengan penggunaan dana siap pakai dan belanja tidak terduga.

4. Aspek Sarana dan Prasarana:
a. perlunya membentuk BPBD yang berdiri sendiri dan tidak digabung dengan OPD lain serta perlu segera membentuk BPBD pada setiap kabupaten/kota agar pengoordinasian penanggulangan bencana dari pusat hingga daerah terkoordinasi dengan baik dan optimal;
b. diperlukan perubahan skema kepegawaian di BPBD menjadi fungsional analis kebencanaan sebagaimana skema kepegawaian di BNPB yang diatur dalam Peraturan BNPB 1/2022 dan Permen PANRB 87/2020. Hal ini bertujuan agar mengurangi kepentingan politis dan terciptanya pengelolaan SDM yang baik di BPBD sehingga setiap pekerjaan dapat dilakukan oleh orang yang tepat dan mumpuni serta menghasilkan terselenggaranya penanggulangan bencana yang baik di daerah;
c. perlu adanya komitmen Pemerintah Daerah dalam pengadaan alat EWS dengan dapat bekerjasama sektor swasta dalam pemenuhan kekurangan jumlah sirine serta pemeliharaannya serta perlu dibuat single emergency number yang terpadu dan mengakomodir instansi-instansi yang menangani kedaruratan bencana;
d. penyelenggaraan penanggulangan bencana harus berpedoman pada PP Standar Pelayanan Minimun agar terdapat standar yang sama;
e. diperlukan koordinasi yang terpadu dan menyeluruh dengan melibatkan berbagai pihak lainnya seperti masyarakat, lembaga usaha, lembaga internasional, dan/atau lembaga asing non-pemerintah agar upaya-upaya dalam hal penyediaan bantuan becana dapat terlaksana dengan optimal;
f. diperlukan perbaikan dari sisi infrastruktur, maupun sarana dan prasarana pendukung agar tidak menjadi penghambat dalam pendistribusian bantuan bencana; dan
g. diperlukan koordinasi pihak-pihak yang terlibat untuk menyelaraskan data kebutuhan korban bencana dengan bantuan yang diberikan.

5. Aspek Budaya Hukum:
a. perlu adanya sosialisasi yang lebih masif dari pemerintah dan pemerintah daerah yang dilakukan secara berkala guna memberikan edukasi kepada masyarakat tentang perannya dalam penanggulangan bencana. Sosialisasi dan edukasi kebencanaan ini tidak hanya dilakukan oleh BNPB namun juga dapat dilakukan oleh kementerian/lembaga lainnya yang memiliki tugas pokok dan fungsi dalam hal kebencanaan;
b. diperlukan sosialisasi dan edukasi yang lebih masif dari pemerintah maupun pemerintah daerah terkait daerah-daerah rawan bencana kepada masyarakat sehingga tumbuh pemahaman dari masyarakat terkait larangan bagi masyarakat untuk bermukim di daerah rawan bencana;
c. diperlukan pendekatan ersuasive dari pemerintah dan pemerintah daerah dalam melakukan relokasi bagi masyarakat yang telah bermukim di daerah rawan bencana agar relokasi tersebut dapat terlaksana dengan baik. Pendekatan ersuasive tersebut dapat dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah dengan melibatkan ketua adat setempat mengingat ketua adat merupakan pihak yang dihormati oleh masyarakat; dan
d. diperlukan komitmen dari pemerintah dan pemerintah daerah untuk memberikan ganti rugi bagi masyarakat yang telah di relokasi daerah daerah rawan bencana. Ganti rugi tersebut juga harus disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yang di relokasi terutama dalam hal penyediaan lapangan pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya selama ini.

6. Aspek Pengarustamaan Pancasila
a. Revisi atau ubah ketentuan dalam UU Penanggulangan Bencana yang tidak selaras dengan Nilai Pancasila;
b. Muat ketentuan baru yang relevan dalam UU Penanggulangan Bencana untuk melengkapi dan mengakomodasi kebutuhan dan kebaharuan zaman;
c. Dalam proses revisi UU Penanggulangan Bencana harus memperhatikan hasil-hasil riset, mendengarkan masukan para pakar dan akademisi, mendasarkan pada data-data yang valid sebagai referensi, serta membandingkan dan mempelajari best practices dari sistem penanggulangan bencana di negaranegara lainnya;
d. Proses revisi UU Penanggulangan Bencana harus dilandaskan pada nilai-nilai luhur Pancasila, mengakomodasi kepentingan rakyat seluas-luasya dan melibatkan partisipasi aktif masyarakat.