Kajian, Analisis, dan Evaluasi Pemantauan Pelaksanaan UU


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-kajian.phtml on line 66
KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2008 TENTANG OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA / 01-03-2023

Institusi pengawasan Ombudsman pada hakikatnya dibentuk untuk memberikan kontrol terhadap pejabat pemerintahan, pejabat negara, BUMN/BUMD, maupun pihak swasta dalam kerangka penyelenggaraan pelayanan publik. Pemerintahan memiliki tugas utama yang harus dilaksanakan yakni: to protect the people, to regulate the people dan to serve the people. To serve the people artinya bahwa pemerintah wajib melayani segenap warga negaranya. Pelayanan kepada masyarakat didasarkan atas berbagai kebutuhan masyarakat (public need and interest) sebagaimana hak dan kebutuhan dasarnya dalam UUD NRI Tahun 1945.

Pada awal pembentukannya Ombudsman RI pada tahun 1999 bernama Komisi Ombudsman Nasional yang memiliki tugas untuk membantu menciptakan dan mengembangan kondusifitas pemberantasan KKN serta meningkatkan perlindungan hak-hak masyarakat. Hal ini dilaksanakan dalam rangka pelaksanaan prinsip good governance. Pentingnya pelayanan publik dan pencegahan maladministrasi merupakan bentuk Pemenuhan hak dan kebutuhan dasar warga negara yang selanjutnya menjadi latar belakang penguatan peran Komisi Ombusman Nasional.
Hal inilah yang kemudian melatarbelakangi pembentukan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI (UU Ombudsman RI) yang selanjutnya memberi mandat pembentukan Ombudsman RI sebagai lembaga negara pengawas pelayanan publik yang menggantikan Komisi Ombudsman Nasional.

Provinsi Jawa Barat, Provinsi Kalimantan Timur, dan Provinsi Bali; dan Kabupaten Cimahi, Kabupaten Penajam Paser, dan Kabupaten Tabanan.

1. Aspek Substansi Hukum
a. Belum Adanya Pengaturan Eksistensi Ombudsman yang Berasal dari Unsur Non Pemerintah (Tindak Lanjut Atas Putusan MK 62/PUU-VII/2010)
UU Ombudsman RI mengamanatkan adanya pengawasan pelayanan publik kepada Lembaga Ombudsman RI. Berdasarkan UU tersebut Ombudsman RI melaksanakan legitimasinya secara tunggal sebagai lembaga pengawasan pelayanan publik. Hal ini sebagaimana ditegaskan di dalam Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2) UU Ombudsman RI, yang mengatur bahwa “paling lambat 2 (dua) tahun sejak berlakunya UU Ombudsman RI, lembaga yang serupa yang menggunakan nomenklatur Omnbudsman harus diganti. Secara empiris, di beberapa daerah telah ada lembaga yang memiliki fungsi dan nomenklatur dengan Ombudsman RI seperti Ombudsman Kota Makassar, Ombudsman Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Ombudsman Daerah Kabupaten Asahan, yang juga menjadi Pemohon dalam Pengujian Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2) UU Ombudsman RI. Berdasarkan pengujian UU tersebut, selanjutnya Majelis Hakim MK memutuskan bahwa Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2) bertentangan dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat melalui Putusan MK 62/PUU-VII/2010.

b. Belum Diaturnya Kode Etik Ombudsman RI dan Mekanisme Penegakannya Bagi Ombudsman
UU Ombudsman RI belum mengakomodir pengaturan Kode Etik Ombudsman RI bagi anggota Ombudsman, Sekretariat Jenderal dan perwakilan Ombudsman, padahal pengaturan tersebut berfungsi untuk menjaga dan menegakkan keluhuran serta kehormatan bagi anggota Ombudsman, Sekretariat Jenderal dan perwakilan Ombudsman dalam menjalankan fungsi, tugas dan wewenangnya.

c. Tidak Diaturnya Status Ombudsman RI Sebagai Pejabat Negara
UU Ombudsman RI sebagai undang-undang induk dalam pelaksanaan tugas dan fungsi lembaga Ombudsman RI tidak memberikan pengaturan yang jelas terkait status pejabat Ombudsman RI. Status dimaksud dalam hal ini adalah status pejabat negara Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Ombudsman RI. Selain itu, UU ASN yang mengatur secara rinci terkait jabatan yang digolongkan sebagai pejabat negara juga tidak menyebutkan Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Ombudsman RI. Hal ini berimplikasi pada pelaksanaan fungsi, tugas dan kewenangan Ombudsman, sebab pada dasarnya Ombudsman RI sebagai lembaga pengawas harus memiliki kedudukan yang setara atau lebih tinggi dengan yang diawasi. Status dan kedudukan Ketua, Wakil Ketua dan Ombudsman RI juga berpengaruh pada keprotokoleran serta pengaruhnya terhadap instansi yang diawasi.

d. Belum Jelasnya Definisi Terlapor dalam Pasal 1 angka 6 UU Ombudsman RI
Terdapat inkonsistensi pengaturan terkait dengan definisi terlapor. Pasal 1 angka 6 UU Ombudsman RI mendefinisikan terlapor sebagai penyelenggara negara dan pemerintahan yang melakukan Maladministrasi. Sedangkan dalam Pasal 1 angka 1 UU Ombudsman RI mendefinisikan pengertian Ombudsman yang secara tidak langsung mengatur ruang lingkup subjek yang diawasi Ombudsman yang dalam unsurnya menyertakan Penyelenggara pelayanan publik yang bersumber dari APBN/APBD. Ruang lingkup terlapor sebagai subjek pengawasan secara impilisit juga diatur dalam Pasal 6 UU Ombudsman RI yang mengatur bahwa salag satu pelapor juga termasuk badan swasta serta perseorangan.

e. Perubahan definisi Rekomendasi pada Pasal 1 angka 7 UU Ombudsman RI
Pasal 1 angka 7 UU Ombudsman RI memberikan batas pengertian rekomendasi. Definisi ini tidak jelas sebab, hanya memuat unsur “kesimpulan, pendapat, dan saran”. Dalam praktiknya Pasal 37 UU Ombudsman RI, rekomendasi dimaknai sebagai sebuah produk hukum berupa keputusan akhir Ombudsman RI yang memuat ringkasan laporan masyarakat, pendapat, kesimpulan tentang maladministrasi dan saran. Hal ini terdapat pertentangan sifat dalam pengertiannya. Selain itu, belum ada kata wajib dalam pengertian Rekomendasi Ombudsman yang memiliki daya ikat.

f. Dekonstruksi Asas-Asas dalam UU Ombudsman RI
Pelaksanaan pengawasan dan pencegahan maladministrasi pelayanan publik oleh Ombudsman RI dilaksanakan berdasarkan asas kepatutan, keadilan, non-diskriminasi, tidak memihak, akuntabilitas, keseimbangan, keterbukaan, dan kerahasiaan. Namun dalam UU Ombudsman RI asas ini tidak dijelaskan lebih detail, sehingga masih berbentuk meta-norma yang sukar untuk diimplementasikan. Selain itu, tidak jelasnya maksud daripada asas-asas dalam penyelenggaraan ini juga bertentangan dengan asas pembentukan peraturan perundang-undang yakni asas dapat dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid) dan asas kepastian hukum (het rechtszekerheids beginsel).

g. Ketidakjelasan Pembentukan perwakilan Ombudsman RI di daerah berdasarkan Pasal 5 ayat (2) juncto Pasal 43 ayat (1) UU Ombudsman RI.
Perbedaan pengaturan dalam Pasal 5 ayat (2) UU Ombudsman RI dan Pasal 46 ayat (3) UU Pelayanan Publik terkait pembentukan perwakilan Ombudsman RI di daerah menimbulkan ketidakpastian hukum mengenai wajib atau tidaknya pembentukan perwakilan Ombudsman RI di daerah. UU Ombudsman menyatakan sebuah pilihan yang tentatif untuk pembentukan Perwakilan Ombudsman di daerah, akan tetapi sebaliknya UU Pelayanan Publik mewajibakan adanya pembentukan Perwakilan Ombudsman RI.

h. Belum Adanya Pengaturan Kewenangan Pencegahan Maladministrasi dalam UU Ombudsman RI
Pasal 6 UU Ombudsman RI memberikan amanat kepada Ombudsman RI untuk mengawasi penyelenggaraan publik. Dalam melaksanakan fungsi pengawasan ini UU Ombudsman RI hanya mengakomodir wewenang Ombudsman RI dalam hal penanganan perkara yang berifat complaint handling system yang bersifat pasif dan solutif. Akan tetapi, UU Ombudsman RI tidak mengakomodir wewenang dalam hal pencegahan maladministrasi yang bersifat proactive mechanism. Oleh karena tidak adanya pengaturan berkaitan dengan kewenangan pencegahan maladministrasi, selanjutnya Ombudsman RI menetapkan Peraturan Ombudsman RI Nomor 41 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pencegahan Maladministrasi Penyelenggaraan Pelayanan Publik dengan menggandeng masyarakat dalam upaya pencegahan Tindakan maladministrasi. Artinya, Peraturan tersebut tidak memiliki landasan hukum di UU Ombudsman RI, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.

i. Rekonstruksi ketentuan dalam Pasal 7 huruf d UU Ombudsman RI
Pasal 7 huruf d UU Ombudsman RI mengatur mengenai salah satu tugas Ombudsman RI dalam melakukan investigasi atas prakarsa sendiri. Investigasi atas Prakarsa sendiri merupakan metode proaktif (tanpa laporan) untuk menindaklanjuti maladministrasi. Ombudsman RI juga telah mengatur melalui Peraturan Ombudsman RI Nomor 38 Tahun 2019 yang mengikat keluar. Dalam peraturan tersebut Ombudsman RI mengatur Investigasi Atas Prakarsa Sendiri sebagai bagian wewenang. Namun, berkaitan “investigasi atas Prakarsa sendiri” dalam UU Ombudsman RI tidak diatur sebagai sebuah wewenang, melainkan sebagai sebuah tugas. Akibatnya hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum.

j. Perubahan penjelasan Pasal 8 ayat (1) huruf g UU Ombudsman RI
Ketentuan Pasal 8 ayat (1) huruf g UU Ombudsman RI menyatakan bahwa dalam menjalankan tugasnya Ombusdman RI mengumumkan hasil temuan, kesimpulan, dan Rekomendasi demi kepentingan umum. Namun penjelasan ketentuan Pasal 8 ayat (1) huruf g UU Ombudsman RI menyatakan “Ketentuan mengenai pengumuman hasil temuan, kesimpulan, dan Rekomendasi bukan merupakan kewajiban bagi Ombudsman” yang mana hal ini menimbulkan ketidakjelasan pelaksanaan kewenangan Ombudsman RI karena adanya kontradiksi pengaturan Pasal 8 ayat (1) huruf g UU Ombudsman RI dengan penjelasannya.

k. Belum Jelasnya Pengaturan Kepegawaian Asisten Ombusdman
Adanya perbedaan pengaturan UU Ombudsman RI dan UU ASN mengenai status kepegawaian. Ombudsman RI memiliki Asisten Ombudsman, sedangkan dalam ketentuan UU ASN hanya dikenal 2 (dua) jenis status kepegawaian yakni PNS dan PPPK. Pengaturan UU Ombudsman RI belum mengikuti pengaturan kepegawaian dalam UU ASN.

l. Belum Adanya Pembagian Kewenangan Ombudsman Pusat dan Perwakilan Ombudsman di Daerah
Fungsi, tugas, dan kewenangan Ombudsman RI diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 8 UU Ombudsman RI. Ketentuan Fungsi dan tugas ini juga berlaku secara mutantis mutandis terhadap Perwakilan Ombudsman di daerah sebagaimana ketentuan Pasal 43 ayat (4) UU Ombudsman RI. Artinya seluruh tugas dan kewenangan Ombudsman RI Pusat juga dapat dilaksanakan oleh Perwakilan Ombudsman di daerah. Padahal dalam ini terdapat wewenang Ombudsman RI yang tidak dapat dilaksanakan oleh Perwakilan Ombudsman di daerah dalam hal mengeluarkan rekomendasi.

2. Aspek Struktur Hukum
a. Belum Optimalnya tindak lanjut rekomendasi Ombudsman RI
Rekomendasi yang diberikan Ombudsman RI terhadap terlapor/atasan terlapor termasuk yang disampaikan kepada DPR dan Presiden belum optimal dilaksanakan. Hal ini dikarenakan pihak Terlapor tidak melaksanakan Rekomendasi Ombudsman RI serta hingga saat ini belum ada kejelasan monitoring hasil tindak lanjut Rekomendasi Ombudsman RI dalam hal pemenuhan ekspektasi Pelapor.

b. Adanya Tumpang Tindih Kewenangan Monitoring dan Evaluasi Penyelenggaraan Pelayanan Publik
Ombudsman memiliki wewenang dalam melakukan kewenangan monitoring evaluasi dan evaluasi. Namun demikian selain Ombudsman RI terdapat K/L yang melaksanakan fungsi yang sama. Salah satu yang memiliki tugas yang sama antara Ombudsman RI dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dalam hal pelaksanaan monitoring pelayanan publik / opini pelayanan publik. Meski dalam pelaksanaannya terdapat kewenangan ini belum efektif koordinasi dan kolaborasi antara kementerian atau lembaga yang mempunyai kewenangan monitoring pelayanan publik, nyatanya hal ini menjadi keluhan pemerintah daerah yang menganggap pengawasan yang berlapis menjadi permasalahan dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

3. Aspek Budaya Hukum
a. Belum Optimalnya Pelaporan Dugaan Maladministrasi oleh Masyarakat
Ombudsman RI merupakan salah satu sarana alternatif untuk menyelesaikan permasalahan dalam penyelenggaraan pelayanan publik sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU Ombudsman RI bahwa Ombudsman RI memiliki tugas salah satunya adalah menerima laporan atas dugaan maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik dan menindaklanjuti laporan yang tercakup dalam ruang lingkup kewenangan Ombudsman. Dapat dilihat bahwa dalam implementasi telah banyak masyarakat yang telah melakukan pengaduan/pelaporan terhadap Ombudsman RI namun tidak jarang ditemukan masih adanya kendala partisipasi masyarakat melakukan pelaporan/pengaduan terkait maladministrasi penyelenggaraan pelayanan publik di beberapa daerah.

b. Minimnya Pemahaman Masyarakat Terkait Pendekatan Propartif yang dilakukan oleh Ombudsman RI
Umumnya yang diketahui masyarakat ketika adanya laporan dugaan maladministrasi secara internal dipersulit dalam pengurusannya dan laporan tersebut belum tentu akan didengarkan dan mendapatkan respon yang baik. Hal tersebut dipahami karena hampir semua bentuk pelayanan publik dilalui dengan prosedural yang baku, sehingga ketika muncul keluhan masyarakat terkait dugaan maladministrasi pelayanan publik juga akan diselesaikan dengan cara yang formal. Menurut Perwakilan Ombudsman Kaltim, Layanan publik terkesan sulit dikarenakan tidak terpublikasi dengan baik adanya standar layanan publik, bahkan masih ada yang belum memiliki standar layanan publik. Berdasarkan data tersebut, sejak tahun 2016 Ombudsman RI terjadi berkurangnya jumlah rekomendasi yang dikeluarkan oleh Ombudsman RI. Dengan metode propartif, dapat menyelesaikan masalah dengan teknik dialog yang baik sehingga Penyelenggara pelayanan publik dan masyarakat dapat saling memahami

4. Aspek Pengarusutamaan Nilai-Nilai Pancasila
Sejak diundangkannya UU Ombudsman RI pada tahun 2019 hingga tahun 2023 masih ditemukan adanya variasi masalah aduan pelayanan publik baik di pusat maupun daerah yaitu sepanjang tahun 2017, 2018, 2019, dan 2020 tercatat peningkatan jumlah laporan/aduan masyarakat dari tahun ke tahun yang masuk ke Ombudsman RI namun tidak terselesaikan. Hal tersebut dikarenakan responden tidak mengetahui tentang ombudsman karena Ombudsman belum menjadi lembaga yang dikenal oleh seluruh masyarakat. Berdasarkan hasil telaahan BPIP, masih terdapat beberapa pengaturan dalam UU Ombudsman RI yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, di antaranya:
a. Ketentuan Pasal 1 angka 3 UU Ombudsman RI tidak bersesuaian dengan Sila ke-2 dan ke-4 Pancasila.
b. Pasal 1 angka 6 UU Ombudsman RI tidak bersesuaian dengan Sila ke- 4 Pancasila.
c. Pasal 5 ayat (2) UU Ombudsman RI tidak bersesuaian dengan Sila ke-4 Pancasila.
d. Pasal 8 ayat (1) huruf g UU Ombudsman RI tidak bersesuaian dengan Sila ke-4 dan ke-5 Pancasila.
e. Pasal 37 UU Ombudsman RI tidak bersesuaian dengan Sila ke-4 Pancasila.
f. Pasal 39 UU Ombudsman RI tidak berseuaian dengan Sila ke -5 Pancasila.

1. Aspek Substansi Hukum:
a. Perlu penghapusan Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2) UU Ombudsman RI serta perlu adanya pengaturan tambahan mengenai peran serta masyarakat dalam pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik khususnya terkait dengan lembaga atau institusi yang dibentuk masyarakat.
b. Perlu diatur mengenai kode etik Ombudsman RI dan mekanisme penegakannya serta pendelegasian pengaturan tersebut.
c. Perlu untuk mengatur status kedudukan Ombudsman RI sebagai Pejabat Negara dalam UU Ombudsman sebagai bentuk legitimasi Ombudsman RI dalam pengawasan dan pencegahan maladministrasi pelayanan publik.
d. Perlunya pengaturan kewenangan upaya pencegahan maladministrasi dan pendelegasian pengaturan atas wewenang pencegahan maladministrasi tersebut.
e. Perlu untuk melakukan perubahan pengaturan dalam materi muatan Pasal 1 angka 6 UU Ombudsman ini dengan menyesuaikan dengan pengaturan yang ada dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 6 UU Ombudsman RI agar memenuhi asas kejelasan rumusan dan asas ketertiban dan kepastian hukum.
f. Perlu mengubah Pasal 1 angka 7 dengan menyesuaikan Pasal 37 UU Ombudsman RI serta menambahkan kata “wajib”.
g. Perlu penjelasan asas dalam Pasal 3 UU Ombudsman RI agar tidak terjadi multitafsir dalam implementasinya.
h. Perlu untuk mengubah kata “dapat” dengan kata wajib dalam Pasal 5 ayat (1) terkait dengan pembentukan Perwakilan Ombudsman.
i. Perlu rekonstruksi terkait dengan pelaksanaan investigasi atas prakarsa sendiri terhadap dugaan maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik ke dalam bagian wewenang dan menghapuskan ketentuan Pasal 7 huruf d.
j. Perlu untuk mengubah penjelasan Pasal 8 ayat (1) dengan frasa “cukup jelas” agar selaras dan tidak menimbulkan kontradiksi dengan Pasal 8 ayat (1).
k. Perlu dilakukan pengalihan status kepegawaian Asisten Ombudsman menjadi ASN melalui adanya pengaturan mengenai pengalihan status kepegawaian dan masa transisi pengalihan.
l. Perlu adanya pembedaan pengaturan antara kewenangan Ombudsman RI di pusat dan Perwakilan Ombudsman daerah dengan memperhatikan sifat dari wewenang Ombudsman Perwakilan merupakan delegatif dari Ombudsman RI. Selanjutnya, perlu adanya pengaturan lebih lanjut berkaitan pembagian kewenangan Ombudsman RI dengan Perwakilan Ombudsman daerah.

2. Aspek Struktur Hukum:
a. Perlunya penguatan tindak lanjut rekomendasi Ombudsman RI melalui pemberian pemahaman dan koordinasi penyelenggara pelayanan publik khususnya dengan Kementerian PAN RB.
b. Perlu adanya kejelasan perbedaan ruang lingkup pengawaasan Kementerian/ Lembaga penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik.

3. Aspek Budaya Hukum:
a. Perlunya sosialisasi dan publikasi yang masif untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terkait tugas dan kewenangan Ombudsman RI serta koordinatif
b. Perlunya sosialisasi kepada masyarakat terkait pendekatan propartif Ombudsman RI kepada masyarakat dalam rangka menguatkan koordinasi Ombudsman RI dan masyarakat dalam pengawasan pelayanan publik.

4. Aspek Pengarusutamaan Nilai-Nilai Pancasila:
a. Perlu untuk mendefinisikan ruang lingkup maladministrasi dalam Pasal 1 angka 3 UU Ombudsman RI dengan konkret sehingga menjamin kepastian hukum.
b. Perlu untuk melakukan sinkronisasi definisi terlapor dalam Pasal 1 angka 6 UU Ombudsman RI baik dalam ketentuan umum maupun fungsi Ombudsman RI sehingga tercipta keserasian.
c. Perlu untuk mengharmoniskan berkaitan dengan pengaturan pendirian perwakilan Ombudsman di daerah dalam Pasal 5 ayat (2) dengan Pasal 46 ayat (3) UU Ombudsman RI sehingga dapat menyelesaikan problematika ketidakpastian hukum.
d. Perlu adanya formulasi aturan yang saling selaras berkaitan dengan tugas Ombudsman RI untuk mengumumkan hasil temuan, kesimpulan dan rekomendasi dalam Pasal 8 ayat (1) beserta dengan penjelasannya.
e. Perlu untuk merekonstruksikan ulang definisi dan ruang lingkup rekomendasi dalam Pasal 37 yang disertai dengan sanksi sehingga memberikan efek jera bagi Terlapor.