Kementerian negara memiliki kedudukan penting dalam sistem pemerintahan modern karena ia menjadi inti dari kekuasaan pemerintahan (eksekutif). Kehadiran kementerian negara juga merupakan konsekuensi dari adanya pembagian atau pemisahan kekuasaan dalam sistem politik demokratis di mana kedudukannya sebagai bagian dari eksekutif dalam konteks trias politika bertugas melaksanakan urusan-urusan atau serangkaian kebijakan atau undang-undang yang telah ditetapkan oleh badan legislatif. Demi memudahkan Presiden dalam menyusun organisasi kementerian negara yang membantunya menyelenggarakan urusan pemerintahan dan guna mewujudkan sistem pemerintahan presidensial yang efektif serta efisien dengan menitikberatkan pada peningkatan pelayanan publik yang prima, maka dibentuklah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (UU Kementerian Negara).
UU Kementerian Negara terdiri atas 9 (sembilan) bab dan 28 pasal yang mengatur mengenai Ketentuan Umum; Kedudukan dan Urusan Pemerintahan; Tugas, Fungsi dan Susunan Organisasi; Pembentukan, Pengubahan dan Pembubaran Kementerian; Pengangkatan dan Pemberhentian; Hubungan Fungsional Kementerian dan Lembaga Pemerintahan Nonkementerian; Hubungan Kementerian dengan Pemerintah Daerah; Ketentuan Peralihan, dan Ketentuan Penutup. UU Kementerian Negara telah mengamanatkan pembentukan peraturan pelaksanaan yang secara eksplisit terlihat dalam amanat Pasal 11 dan Pasal 25 ayat (3). Namun dalam implementasinya Penjelasan Pasal 10 UU Kementerian Negara menimbulkan ketidakpastian hukum berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 79/PUU-IX/2011, sehingga dibentuklah peraturan pelaksana untuk mengatur teknis mengenai wakil menteri, meskipun dalam norma Pasal 10 UU Kementerian Negara tidak secara langsung mengamanatkan pembentukan peraturan pelaksanaan.
Dinamika pelaksanaan UU Kementerian Negara sejak diundangkan pada tahun 2008 masih cukup tinggi dan mendapatkan perhatian dari pembentuk undang-undang serta memiliki beberapa isu permasalahan.
Provinsi Aceh, Provinsi Kepulauan Riau, dan Provinsi Kalimantan Timur; Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Bintan, dan Kabupaten Penajam Paser Utara
1. Aspek Substansi Hukum
a. Belum Tegasnya Batasan Pelaksanaan Fungsi Tiap Kementerian
Pasal 7 UU Kementerian Negara belum memberikan batasan yang tegas dalam pelaksanaan fungsi tiap kementerian sehingga dalam implementasinya membuka ruang bagi presiden untuk menugaskan kementerian menyelenggarakan urusan pemerintah di luar bidangnya. Hal ini menimbulkan tumpang tindih antar kementerian dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan yang mengakibatkan ketidakoptimalan kinerja kementerian secara efektif dan efisien.
b. Tidak Relevannya Pengaturan Terkait Susunan Organisasi Kementerian
UU Kementerian Negara belum mengatur mengenai staf ahli dan staf khusus dalam susunan organisasi kementerian, sedangkan dalam implementasinya hampir di setiap kementerian memiliki staf ahli dan staf khusus. Dasar hukum dari adanya staf ahli dan staf khusus dimaksud adalah Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2019 tentang Organisasi Kementerian Negara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2019 tentang Organisasi Kementerian Negara (Perpres Organisasi Kementerian Negara). Materi muatan mengenai staf ahli dan staf khusus yang diatur dalam perpres tersebut bertentangan dengan asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan, yang bermakna bahwa tujuan pembentukan suatu perpres seharusnya berisi materi muatan yang diperintahkan oleh suatu undang-undang.
c. Minimnya Pengaturan Terkait dengan Wakil Menteri dalam UU Kementerian Negara
UU Kementerian Negara memberikan penafsiran yang terlalu luas bagi presiden dalam mengadakan jabatan wakil menteri (Wamen). Hal itu terlihat dari pengaturan terkait dengan Wamen yang hanya diatur dalam satu pasal, yaitu Pasal 10 UU Kementerian Negara, dan tidak terdapat penjelasan terhadap frasa “beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus” dalam ketentuan tersebut. Tak hanya itu, tidak dimasukkannya Wamen sebagai unsur pemimpin dalam susunan organisasi kementerian dalam Pasal 9 UU Kementerian Negara juga berdampak pada ketidakjelasan posisi Wamen dalam suatu kementerian.
d. Minimnya Pengaturan Terkait Dengan Kementerian Koordinator dalam UU Kementerian Negara
Pasal 14 UU Kementerian Negara menjadi satu-satunya pasal yang mengatur mengenai kementerian koordinator (kemenko) dalam UU Kementerian Negara. Dalam implementasinya, pasal tersebut belum memberikan pengaturan yang cukup untuk materi muatan kemenko sehingga memunculkan permasalahan antara lain lemahnya koordinasi dan ego sektoral antara kementerian/Lembaga (K/L) dalam lingkup koordinasi Kemenko, ketidakjelasan mengenai mekanisme sinkronisasi dan koordinasi oleh Kemenko, dan belum tegasnya batasan kewenangan kemenko.
e. Tidak Relevannya Pengaturan Terkait dengan Pengangkatan dan Pemberhentian Menteri
Persyaratan pengangkatan menteri dalam ketentuan Pasal 22 ayat (2) UU Kementerian Negara memberikan keleluasaan dan kelonggaran kepada presiden hingga membuka celah bagi presiden terpilih untuk melakukan transaksi dengan koalisi partai politik pengusungnya. Kemudian tidak terdapat penjelasan lebih lanjut terkait dengan frasa “dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah” dalam Pasal 23 huruf c UU Kementerian Negara sehingga praktik adanya menteri yang menjabat sebagai ketua umum partai politik dan/atau ketua federasi olahraga nasional tidak disepakati secara bulat bahwa hal tersebut termasuk yang dilarang oleh UU Kementerian Negara. Selanjutnya Pasal 24 UU Kementerian Negara belum memberikan ruang bagi presiden untuk dapat memberikan persetujuan dan izin cuti kepada menteri dalam hal-hal tertentu, salah satunya pencalonan menteri menjadi calon presiden atau calon wakil presiden.
f. Belum Ditindaklanjutinya Amanat Pasal 25 ayat (3) UU Kementerian Negara
Terdapat sejumlah catatan atas implementasi Pasal 25 UU Kementerian Negara yakni yang pertama, masih terjadi tumpang tindih antara kementerian dengan LPNK, kemudian kinerja dari beberapa Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) tidak optimal dan tidak mampu memenuhi ekspektasi publik. Dan catatan ketiga, pembentukan LPNK baru sebatas mengikuti tren di beberapa negara lain karena berawal dari pemahaman semakin demokratis suatu negara, maka semakin banyak LPNK yang dibentuk. Namun sayangnya LPNK menghadirkan implikasi negatif seperti tumpang tindih dengan K/L lain dan menambah beban keuangan negara yang berujung pada ketidakefektifan dan ketidakefisienan penyelenggaraan pemerintahan. Berdasarkan ketiga catatan tersebut, didapatkan akar persoalan yakni belum ditindaklanjutinya amanat Pasal 25 ayat (3) UU Kementerian Negara berupa peraturan presiden mengenai hubungan fungsional antara menteri dengan LPNK.
g. Belum Terakomodasinya Prinsip Penyelenggaraan Otonomi Khusus
Pasal 26 UU Kementerian Negara menimbulkan beberapa permasalahan yang terjadi di Aceh terkait dengan pelaksanaan otonomi khusus dan kelembagaan kementerian negara, antara lain penyelenggaraan urusan pertanahan antara dinas pertanahan sebagai organisasi perangkat daerah dengan kantor pertanahan sebagai instansi vertikal dari kementerian. Frasa “otonomi daerah” dalam Pasal 26 UU Kementerian Negara bermakna bahwa semua daerah diperlakukan sama, padahal terdapat daerah-daerah yang berbeda karena diberikan kekhususan oleh Pemerintah Pusat.
2. Aspek Struktur Hukum
a. Tumpang tindih Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Antar Kementerian
Bahwa jumlah kementerian maksimal sebanyak 34 (tiga puluh empat) dianggap terlalu gemuk sehingga mengakibatkan adanya irisan kewenangan antar kementerian yang kemudian berdampak pada tumpang tindih kewenangan dan hambatan baik itu secara horizontal dan vertikal dalam pelaksanaannya.
b. Belum Optimalnya Hubungan antara Kementerian dengan Pemerintah Daerah dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah
Terdapat catatan-catatan mengenai pelaksanaan hubungan antara kementerian dengan Pemda. Catatan pertama, UU 32/2004 digantikan dengan UU Pemerintahan Daerah pada tahun 2014. Konsekuensi dari penggantian tersebut adalah terjadi pergeseran penyelenggaraan urusan pemerintahan yang mereduksi kewenangan Pemda khususnya Pemda Kabupaten/Kota sekaligus esensi otonomi daerah itu sendiri. Catatan kedua, para pemangku kepentingan penyelenggara urusan pemerintahan, yakni kementerian-kementerian, Pemda yang bersifat desentralisasi simetris, dan Pemda yang bersifat desentralisasi asimetris memiliki point of view atau sudut pandang dan acuan hukumnya masing-masing dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan sesuai dengan bidang dan kewenangannya. Bahkan antar kementerian pun memiliki perspektif dan rujukan hukumnya masing-masing. Catatan ketiga, masih adanya Pemda yang tidak dilibatkan oleh Kementerian dalam penetapan keputusan atau kebijakan. Dan catatan keempat, terdapat kecenderungan atau pergeseran politik hukum penguatan desentralisasi atau otonomi daerah ke pemahaman bahwa desentralisasi dan sentralisasi adalah suatu rangkaian sehingga harus seiring sejalan.
3. Aspek Pengarusutamaan Nilai-Nilai Pancasila
Terdapat beberapa materi muatan dalam UU Kementerian Negara yang berpotensi tidak selaras dan bertentangan dengan Sila Kelima Pancasila, di antaranya:
a. Pasal 7 dan Pasal 25 UU Kementerian Negara yang belum memberikan batas yang tegas bagi kementerian dalam menyelenggarakan urusan tertentu dalam pemerintahan sesuai dengan karakteristik tugas dan fungsi masing-masing kementeriannya.
b. Pasal 9 UU Kementerian Negara yang mengatur mengenai susunan organisasi kementerian dan Pasal 15 UU Kementerian Negara yang mengatur jumlah keseluruhan kementerian paling banyak 34 (tiga puluh empat) sudah tidak lagi relevan dengan tantangan, tuntutan keadaan, dan kebutuhan nyata, baik faktor-faktor sosial, ekonomi, politik, dan budaya di tengah dinamika lokal dan global yang kian kompleks.
c. Pasal 26 UU Kementerian Negara yang mengatur mengenai hubungan antara kementerian dengan Pemda dalam implementasinya masih menyisakan persoalan karena kementerian belum sepenuhnya mendukung desentralisasi.
Pasal-pasal dalam UU Kementerian Negara tersebut berpengaruh signifikan dalam proses penyelenggaraan pemerintahan oleh kementerian untuk mewujudkan tujuan negara Indonesia.
1. Aspek Substansi Hukum, diperlukan:
a. Penambahan pengaturan mengenai limitasi atas tugas lain yang diberikan oleh presiden bagi kementerian sesuai karakteristik tugas dan fungsi masing-masing kementerian.
b. Penambahan pengaturan terkait dengan staf ahli dan staf khusus ke dalam susunan organisasi kementerian.
c. Perubahan Pasal 9 UU Kementerian Negara dengan memasukkan Wamen ke dalam unsur pemimpin kementerian dalam hal terdapat jabatan Wamen dalam kementerian tersebut.
d. Penjelasan lebih lanjut terhadap frasa “beban kerja yang membutuhkan penanganan khusus” dalam Pasal 10 UU Kementerian Negara.
e. Penambahan pengaturan mengenai kemenko antara lain mekanisme sinkronisasi dan koordinasi oleh Kemenko dan pembatasan kewenangan Kemenko.
f. Penambahan frasa “wakil menteri” dalam Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24 UU Kementerian Negara
g. Penambahan persyaratan untuk dapat diangkat menjadi menteri dalam Pasal 22 ayat (2) UU Kementerian Negara.
h. Penjelasan lebih lanjut terhadap frasa “dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah” dalam Pasal 23 huruf c UU Kementerian Negara.
i. Penambahan pengaturan dalam Pasal 24 UU Kementerian Negara yang memberikan kewenangan kepada presiden untuk memberikan persetujuan dan izin cuti kepada menteri dalam kondisi tertentu.
j. Komitmen presiden untuk menetapkan peraturan presiden mengenai hubungan fungsional antara kementerian dengan LPNK.
k. Penambahan frasa “dan otonomi khusus” dalam Pasal 26 atau memberikan penjelasan bahwa otonomi daerah juga mencakup otonomi khusus dalam Penjelasan Pasal 26 UU Kementerian Negara.
2. Aspek Struktur Hukum, diperlukan:
a. Perlu mengkaji kembali jumlah kementerian yang saat ini berjumlah 34 (tiga puluh empat).
b. Peningkatan koordinasi antar kementerian agar dapat meminimalisir potensi ego sektoral dan hambatan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan.
c. Peningkatan peran Kemenko sebagai kementerian yang berperan dalam meningkatkan sinkronisasi dan koordinasi urusan kementerian sekaligus sebagai problem solver atas potensi tumpang tindih kewenangan yang terjadi antar kementerian.
d. Sinkronisasi kebijakan di level Pemerintah Pusat dengan melibatkan Pemda provinsi dan Pemda kabupaten/kota.
e. Membangun kesadaran, kesepemahaman, dan komitmen bersama dari masing-masing pemangku kepentingan penyelenggara urusan pemerintahan mulai dari kementerian-kementerian, Pemda dengan desentralisasi simetris, hingga Pemda dengan desentralisasi asimetris untuk menekan ego sektoral.
f. Melakukan harmonisasi terhadap undang-undang dan peraturan menteri terkait yang berlaku.
g. Pemetaan kembali urusan pemerintahan yang memang lebih efektif diselenggarakan oleh kementerian dan yang diselenggarakan langsung oleh Pemda.
3. Aspek Pengarusutamaan Nilai-Nilai Pancasila
a. Memberikan pengaturan batasan yang jelas mengenai pelaksanaan fungsi tiap kementerian.
b. Menyesuaikan unsur susunan organisasi kementerian dan merasionalisasi jumlah kementerian agar penyelenggaraan pemerintahan dilakukan secara efektif, efisien, dan akuntabel.
c. Merancang desain besar bernegara mulai dari sistem pemilu, sistem kepartaian, sistem parlemen, sistem pemerintahan, hingga sistem birokrasi kemudian menyinergikannya untuk dapat mewujudkan tujuan bernegara.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430