Kajian, Analisis, dan Evaluasi Pemantauan Pelaksanaan UU


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-kajian.phtml on line 66
KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 34 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN KEUANGAN HAJI / 01-12-2022

Pengelolaan keuangan haji erat kaitannya dengan penyelenggaraan ibadah haji bagi umat muslim. Hal ini terjadi karena ibadah haji yang merupakan salah satu ibadah yang wajib dilaksanakan oleh setiap muslim yang mampu. Dikarenakan waktu tunggu untuk melaksanakan ibadah haji terbilang cukup lama dikarenakan kuota haji yang terbatas menyebabkan banyak jemaah haji yang mendaftar haji terlebih dahulu. Besarnya pendaftar ibadah haji ini lantas membuat penumpukan dana haji yang cukup besar juga. Maka dari itu diperlukan kepastian hukum yang menjamin pengelolaan keuangan haji untuk penyelenggeraan ibadah haji. Perlindungan dan jaminan pengelolaan keuangan haji umat muslim dijamin oleh negara melalui Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 Pengelolaan Keuangan Haji (UU Pengelolaan Keuangan Haji). UU Pengelolaan Keuangan Haji bertujuan sebagai payung hukum guna menjamin pengelolaan keuangan haji di Indonesia dimana pengelolaan tersebut dilaksanakan oleh suatu lembaga pengelola keuangan haji.

Selama kurang lebih 8 (delapan) tahun sejak UU Pengelolaan Keuangan Haji diundangkan belum terdapat permohonan pengujian undang-undang sehingga norma-norma dalam UU Pengelolaan Keuangan Haji keseluruhannya tetap berlaku hingga saat ini. Namun, dalam pelaksanaan UU Pengelolaan Keuangan Haji masih terdapat beberapa permasalahan, baik dari sisi substansi, kelembagaan, sarana dan prasarana, budaya hukum, serta dari sisi pemenuhan nilai-nilai Pancasila. Permasalahan dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan Pengelolaan Keuangan Haji yang terjadi selama ini antara lain yaitu adanya perbedaan pengaturan UU Pengelolaan Keuangan Haji dengan UU terkait lainnya; kurangnya sinergitas antara Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) dengan Kementrian Agama maupun DPR dalam hal penetapan biaya ibadah haji ; belum optimalnya pengawasan eksternal untuk Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH); dan belum optimalnya peran serta masyarakat. Hal ini menyebabkan belum optimalnya fungsi dan tujuan penyelenggaraan Pengelolaan Keuangan Haji sebagaimana diamanatkan oleh UU Pengelolaan Keuangan Haji. Selama berlakunya UU Pengelolaan Keuangan Haji, terdapat beberapa undang-undang yang secara substansial terdapat perbedaan pengaturan dengan UU Pengelolaan Keuangan Haji, antara lain:
1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (UU
Perbankan Syariah);
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU PIHU);
3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja).

Provinsi Jawa Timur, Provinsi Bengkulu, dan Provinsi Sulawesi Selatan

Aspek Substansi Hukum
a. Perbedaan Pengaturan dalam UU Pengelolaan Keuangan Haji dan UU Penyelenggaran Ibadah Haji dan Umrah
1) Perbedaan Definisi Penyelenggaraan Ibadah Haji
Terdapat perbedaan pengaturan antara Pasal 1 angka 9 UU PKH dengan
Pasal 1 angka 3 UU PIHU. Pasal 1 angka 9 UU PKH, menyebutkan Penyelenggaraan Ibadah Haji adalah “…rangkaian kegiatan pengelolaan
pelaksanaan ibadah haji yang meliputi pelaksanaan pembinaan, pelayanan, dan perlindungan jemaah haji…”. Sedangkan dalam Pasal 1 angka 3 UU PIHU, menyebutkan Penyelenggaraan Ibadah Haji adalah “…kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan, evaluasi, dan pelaporan…”. Merujuk pada perbedaan dari kedua definisi tersebut menunjukkan bahwa UU PKH masih mengikuti rezim UU 13/2008 yang telah dicabut dengan UU PIHU yang berlaku sejak 29 April 2019.

2) Perbedaan Definisi Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji
Ketentuan Pasal 1 angka 12 UU PKH dengan Pasal 1 angka 13 UU PIHU terkait dengan definisi biaya penyelenggaraan ibadah haji menimbulkan perbedaan pemahaman pada implementasinya. Terhadap persandingan kedua definisi tersebut dipahami ketentuan biaya penyelenggaraan ibadah haji yang dimaksud dalam UU PKH tidak sejalan dengan yang terdapat dalam UU PIHU, melainkan pendefinisian biaya penyelenggaraan haji di dalam UU PKH justru memiliki makna Bipih sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 angka 12 UU PIHU. Hal ini memberikan sebuah efek domino terhadap sumber BPIH yang termuat dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU PKH dengan Pasal 44 UU PIHU, sehingga menimbulkan ketidakjelasan serta bertentangan dengan aspek transparan di dalam UU PKH.

b. Penggabungan UU Pengelolaan Keuangan Haji dan UU Penyelenggaran Ibadah Haji dan Umrah Dengan Metode Omnibus Law
Persoalan disharmoni pengaturan maupun ego sektoral penyelenggaraan keuangan haji dan pengelolaan keuangan haji menyebabkan tidak efektifnya penyelenggaraan haji. Hal ini terutama dalam melakukan pengelolaan haji yang belum selaras dengan arah kebijakan penyelenggaraan haji. Sehingga, diperlukan adanya penyelarasan UU PKH dan UU PIHU. Salah satu penyelesaian yang dapat dilakukan untuk meyelaraskan keduanya, dapat dilakukan dengan menggabungkan kedua undang-undang tersebut dengan menggunakan metode omnibus law atau dengan membentuk 1 (satu) undang-undang baru yang bersifat
payung hukum (umbrella act) bagi penyelenggaraan ibadah haji dan umrah.

2. Aspek Struktur Hukum
a. Mitigasi Risiko atas Tanggung Renteng dalam Penempatan dan/atau Investasi Keuangan Haji
Penempatan dan/atau investasi keuangan haji merupakan salah satu bentuk pengelolaan keuangan haji untuk memperoleh nilai manfaat yang lebih besar. Namun, adanya batasan prinsip kehati-hatian dan keamanan membatasi BPKH dalam melakukan investasi keuangan haji. Hal ini juga disebabkan karena adanya pertanggungjawaban tanggung renteng apabila terjadi kesalahan atau kealpaan dalam investasi. Akibatnya BPKH hanya melakukan investasi pada aset-aset yang berisiko rendah untuk mengurangi kemungkinan kerugian.

b. Pelibatan BPKH Dalam Penentuan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji
Penyelenggaraan ibadah haji setiap tahunnya dibiayai dari keuangan haji yang bersumber tidak hanya dari setoran calon Jemaah haji, tetapi juga bersumber dari nilai manfaat dan dana efisiensi penyelenggaraan ibadah haji tahun sebelumnya. Biaya penyelenggaraan ibadah haji tersebut ditetapkan setiap tahunnya oleh Presiden melalui mekanisme pengusulan oleh Kemenag kepada DPR RI. Pada penyelenggaraan ibadah haji tahun 2022, biaya penyelenggaraan ibadah haji reguler terjadi kenaikan biaya masyair sekitar Rp. 1,5 triliun, dan kenaikan tersebut diluar prediksi perhitungan Kemenag. Dalam pelaksanaannya selama ini, BPKH sebagai badan yang mengelola keuangan haji tidak pernah dilibatkan sejak awal dalam penyusunan perhitungan biaya penyelenggaraan haji. Hal ini yang menyebabkan terjadinya perhitungan biaya penyelenggaraan ibadah haji yang kurang tepat.

c. Perlunya Penyesuaian Kewenangan BPKH
Aspek pengelolaan keuangan haji yang menjadi kewenangan BPKH pada praktiknya dianggap tumpang tindih/duplikasi peran dengan Dirjen PHU Kemenag. Kewenangan yang dilaksanakan BPKH selama ini dianggap dilakukan diluar kewenangannya, seperti mengusulkan anggaran tandingan dan melakukan pembahasan kontrak nego pesawat (penerbangan). Berdasarkan Pasal 22 UU PKH telah menugaskan kepada BPKH yang diantaranya adalah pengeluaran dan pertanggungjawaban keuangan haji. Selanjutnya Pasal 24 huruf b UU PKH juga telah memberikan kewenangan kepada BPKH untuk melakukan kerja sama dengan lembaga lain. Atas dasar ketentuan tersebut, kewenangan BPKH dalam mengusulkan anggaran dan melakukan pembahasan kontrak nego pesawat tidak bertentangan dengan UU PKH. Namun demikian, hal tersebut dianggap sebagai permasalahan akibat adanya tumpang tindih/duplikasi peran kewenangan antara BPKH dengan Kemenag yang berasal dari ketidaktegasan batasan kewenangan BPKH dalam tindakan yang beririsan dengan pengeluaran penyelenggaraan ibadah haji.

d. Pengawasan Eksternal Terhadap BPKH
Pasal 54 UU PKH mengamanatkan pengawasan terhadap BPKH dilakukan secara internal dan eksternal. Pada sisi pengawasan dari pihak eksternal ditemukan catatan belum terpenuhinya aspek syariah. Hal ini ditandai dengan standar akutansi yang masih terbatas pada standar akutansi negara, meskipun terdapat kewenangan BPK untuk melakukan audit tersebut, tetapi BPKH yang merupakan entitas dengan keunikan. Sebagaimana das sollen BPKH pada dasarnya bersifat nirlaba, namun secara das sein di saat bersamaan BPKH turut mengelola dana jemaah haji melalui pendekatan korporatif.

3. Aspek Pendanaan
a. Penempatan Investasi Keuangan Haji Pada Sektor Pelayanan Haji
BPKH diberikan kewenangan melakukan penempatan dan/atau investasi sebagaimana diatur dalam UU PKH dengan tetap berpegang pada prinsip syariah, optimal, aman dan likuiditas sehingga tidak ada pembatasan dalam UU PKH terkait dengan investasi yang akan dilakukan oleh BPKH. Pembatasan yang ada hanya dalam hal kuota atau jumlah batas maksimum investasi langsung. Pengelolaan dana haji saat ini telah bergeser dari fokus sektor perbankan syariah dan memindahkannya ke instrumen investasi lain yang dianggap mampu memberikan imbal hasil yang lebih optimal, namun jumlahnya belum sesuai dengan ketentuan Pasal 27 PP PKH.

b. Distribusi Nilai Manfaat Dana Haji Jemaah Tunggu Untuk Penyelenggaraan Ibadah Haji di Tahun Berjalan
Skema pembiayaan haji saat ini masih menggunakan skema distribusi nilai manfaat (biasa disebut subsidi dana haji) yang diambil dari hasil pengelolaan dana haji milik jemaah yang belum berangkat. Dari data Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tahun 2021, terdapat distribusi nilai manfaat yang diberikan kepada jemaah sebesar lebih dari 50% (lima puluh persen) dari total BPIH, sementara hasil pengelolaan keuangan haji rata-rata dalam 1 (satu) tahun hanya mencapai 7% (tujuh persen) sampai 8% (delapan persen). Skema distribusi nilai manfaat dan minimnya hasil pengelolaan keuangan haji/nilai manfaat berpotensi memberatkan pengelolaan keuangan haji dan dapat memicu risiko likuiditas keuangan haji. Besaran distribusi nilai manfaat dana haji yang mencapai lebih dari 50% (lima puluh persen) dari total BPIH mempengaruhi kemampuan finansial secara rill serta dapat mempengaruhi syarat istithaah jemaah haji. Kondisi demikian dikhawatirkan memicu pengelolaan keuangan haji mengarah kepada Skema Ponzi.

4. Aspek Budaya Hukum
a. Tanggapan Masyarakat Atas Usulan Nama Calon Anggota BPKH
UU PKH telah membuka ruang keterlibatan masyarakat dalam pemilihan calon anggota Badan Pelaksana dan calon anggota Dewan Pengawas BPKH yang telah memenuhi prinsip transparan karena membuka peluang turut dilibatkannya masyarakat sebagai pemilik dana haji, dan tentu akan meningkatkan kepedulian masyarakat atas pengelolaan keuangan haji. Namun demikian, masyarakat masih belum mengetahui adanya mekanisme penerimaan atau respon dari tanggapan masyarakat atas calon anggota Badan Pelaksana dan calon anggota Dewan Pengawas BPKH, dan juga tidak pernah dimintai tanggapan sebagai bagian dari masyarakat.

b. Kurangnya Sosialisasi Pengeloaan Dana Haji Kepada Calon Jemaah Haji
Pengetahuan masyarakat terkait pengelolaan keuangan haji hanya sebatas besaran Bipih yang ditetapkan DPR RI dan Kemenag, dan tidak mengetahui mengenai pengelolaan keuangan haji. Hal ini dikarenakan Kemenag selaku operator maupun BPKH selaku pengelola keuangan haji kurang memberikan sosialisasi dan tidak mematuhi prinsip keterbukaan kepada calon jemaah haji terkait dana pengelolaan keuangan haji. Di sisi lain, selain kurangnya sosialiasi penyebab ketidaktahuan masyarakat dikarenakan sikap abai masyarakat terhadap pengelolaan keuangan haji yang berimplikasi pada pengetahuan masyarakat terhadap jumlah nilai manfaat dari setoran awal yang diperoleh setiap calon jemaah haji. Hal demikian mempengaruhi pengetahuan masyarakat terhadap jumlah nilai manfaat dari setoran awal yang diperoleh calon jemaah haji. Seharusnya BPKH atau Kemenag memberikan kemudahan dan membuka akses seluas-luasnya kepada masyarakat melalui platform digital untuk dapat mengetahui optimalisasi atau nilai manfaat dari setoran awal calon jemaah haji.

5. Aspek Pengarusutamaan Nilai-Nilai Pancasila
Pancasila sebagai dasar negara mempunyai nilai-nilai yang harus diterapkan dalam bernegara. Munculnya berbagai persoalan menunjukkan bahwa telah tergerusnya nilai-nilai Pancasila dalam penerapannya. Oleh karena itu, pengarusutamaan nilai-nilai Pancasila sangat diperlukan untuk menyelaraskan tujuan negara. Dalam konteks materi muatan dalam UU PKH perlu untuk ditinjau kembali, terutama berkaitan dengan persoalan persoalan yang menimbulkan adanya pertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, antara lain:
a. Aspek Substansi

1) Adanya perbedaan definisi dalam penyelenggaraan ibadah haji sebagaimana pengaturan dalam Pasal 1 angka 9 UU PKH dan Pasal 1 angka 3 UU PIHU memberikan dampak ketidakselarasan dalamimplementasinya. Ketidakselarasan menyebabkan adanyapertentangan dengan sila keempat Pancasila, sebab pada dasarnya pembentukan suatu aturan harus memperhatikan hikmat kebijaksanaan.

2) Perbedaan definisi BPIH dalam Pasal 1 angka 12 UU PKH dengan Pasal 13
UU PIHU, menyebabkan adanya multitafsir. Ketidakharmonisan pasal pasal tersebut menimbulkan ketidakselarasan dalam pelaksanaannya, terutama berkaitan dengan pemaknaan Biaya penyelenggaraan haji. Sehingga, hal ini perlu diselaraskan agar sejalan dengan nilai-nilai
Pancasila, terutama berkaitan dengan Sila Kelima Pancasila.

b. Aspek Struktur Hukum/Kelembagaan
1) Pengawasan terhadap BPKH dilakukan secara internal dan eksternal. Adapun pengawasan internal dilaksanakan oleh Dewan Pengawas BPKH, sedangkan pengawasan eksternal dilakukan oleh BPK. Namun, hingga saat ini belum ada pengawasan eksternal yang khusus mengawasi standar pelaksanaan akuntansi yang berbasis syariah. Oleh sebab itu, diperlukan adanya penambahan mekanisme audit yang diserahkan kepada pihak yang telah tersertifikasi syariah. Hal ini mengingat rentanya praktik riba dalam pasar keuangan, yang tentu saja menimbang pada prinsip-prinsip dalam UU PKH, maka bertentangan dengan sila Pertama Pancasila.

2) Pasal 53 ayat (1) UU PKH rentan terjadi penyalahgunaan kekuasaan terhadap tanggung jawab renteng akibat ketiadaan sanksi. Hal ini tidak sesuai dengan nilai sila keempat Pancasila. Selain itu, sangat jelas bahwa Pasal 53 ayat (2) UU PKH telah mengatur pengecualian dari tanggungjawab renteng berdasarkan indikator/alasan tertentu. Namun, di sisi lain UU PKH maupun ketentuan turunanya tidak ada memberikan mekanisme yang spesifik untuk menjelaskan mengenai poin-poin ataut rincian guna lepas dari tanggung jawab tanggung renteng.

1. Dalam aspek Substansi Hukum, diperlukan:
a. Harmonisasi rumusan definisi penyelenggaraan ibadah haji dalam Pasal 1 angka 9 UU PKH dengan Pasal 1 angka 3 UU PIHU.
b. Harmonisasi pengaturan terkait rumusan istilah BPIH dan Bipih pada Pasal 1 angka 12 UU PKH dengan Pasal 1 angka 12 UU PIHU diikuti pengaturan terkait sumber BPIH dalam Pasal 7 ayat (1) UU PKH dengan Pasal 44 UU PIHU.
c. Pembentuk undang-undang perlu mempertimbangkan penyatuan UU PKH dan UU PIHU dengan metode omnibus law atau dengan membentuk 1 (satu) undang-undang baru (umbrella act) penyelenggaraan ibadah haji dan umrah sebagai bentuk penyelarasan materi muatan maupun kelembagaan dalam penyelenggaraan haji dan pengelolaan dana haji.

2. Dalam aspek Struktur Hukum/Kelembagaan, diperlukan:
a. Mendorong BPKH untuk melakukan penempatan dan/atau investasi keuangan haji pada sektor high risk dengan berdasarkan mitigasi risiko yang telah ditetapkan sebagai jaring pengaman potensi kerugian.
b. Pelibatan BPKH dalam penyusunan perhitungan biaya penyelenggaraan ibadah haji hingga penetapannya agar dapat mengantisipasi kenaikan biaya masyairdengan menyediakan kebutuhan pendanaan penyelenggaraan ibadah haji secara cepat dan tepat.
c. Tugas BPKH yang dilaksanakan untuk menjalankan kewenangannya baik yang bersinggungan dengan Kemenag maupun kewenangan-kewenangan lainnya perlu diinventarisir, dipisahkan secara tegas tugas dan kewenangannya, serta diatur secara jelas dalam undang-undang dan peraturan pelaksanaannya.
d. Pelibatan KAP sebagai pengawas eksternal supaya terpenuhi prinsip syariahdengan penggunaan standar akutansi syariah.

3. Dalam aspek Pendanaan, diperlukan:
a. Pengaturan kembali penempatan dan/atau investasi dana haji pada sektor-sektor yang terkait langsung dengan pelayanan haji seperti hotel/pemondokan, pesawat, dan ready meal and services sehingga dapat menghemat biaya penyelenggaran haji dan umrah yang selama ini masih bergantung pada provider di Arab Saudi.
b. Nilai setoran awal calon jemah haji perlu dinaikkan agar dapat menyeleksi calon jemaah haji yang istitha’ah (mampu secara finansial), namun perlu memperhatikan kemampuan seluruh masyarakat muslim Indonesia. Selain itu, perlu optimalisasi investasi keuangan haji dengan instrumen investasi langsung maupun investasi tidak langsung agar menghindari pengelolaan keuangan haji menjadi Skema Ponzi.

4. Dalam aspek Budaya Hukum, diperlukan:
a. Sosialisasi Pasal 37 UU PKH secara masif dan komprehensif dengan melibatkan lebih banyak media terutama media-media besar nasional, agar informasi dapat diterima secara lebih luas dan mendalam oleh masyarakat.
b. Sinergitas antara BPKH, Kemenag, serta Bank Penerima Setoran untuk
memberikan sosialisasi edukasi dan diseminasi yang berkelanjutan perihal
pengelolaan keuangan haji kepada calon jemaah haji.

5. Dalam aspek Pengarustamaan Nilai-Nilai Pancasila, diperlukan:
a. Aspek Substansi
Perlu untuk mengharmonisasikan definisi agar tercipta kepastian hukum dalam penyelenggaraan ibadah haji, sehingga secara penegakan hukum dan penerapan hukumnya tidak terjadi mis-komunikasi dan mis-interpretasi.

b. Aspek Struktur Hukum/Kelembagaan
1) Perlu menambahkan auditor syariah yang telah tersertifikasi guna melakukan audit atas akuntansi BPKH dalam pengelolaan keuangan haji.
2) Pengaturan terkait tanggung renteng masih diperlukan guna memberikan pertanggungjawaban bagi BPKH dalam melaksanakan penempatan dan/atau investasi dengan hati-hati. Hal tersebut penting karena aturan tanggung renteng Pasal 53 UU PKH memberikan syarat-syarat pengecualian untuk lepas dari tanggungjawab ini.