Perbankan merupakan salah satu sarana yang mempunyai peran strategis dalam menyerasikan dan menyeimbangkan masing-masing unsur dari Trilogi Pembangunan, sehingga membutuhkan landasan gerak yang sesuai dengan situasi dan kondisi perekonomian baik nasional maupun internasional.
Landasan terbentuknya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UU 7/1992) menggantikan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan yang kemudian dilakukan perubahan dengan membentuk Undang-Undang nOmor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan ( UU 10/1998) antara lain karena terjadinya perkembangan perekonomian nasional di era globalisasi yang bergerak cepat, kompetitif, dan terintegrasi serta telah diratifikasi beberapa perjanjian internasional di bidang perdagangan barang dan jasa. Pada tahun 2020, Pasal 22 UU 7/1992 jo. UU 10/1998 terkait dengan pendirian bank umum diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ( UU 11/2020).
Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Jawa Tengah, dan Provinsi Gorontalo.
Berdasarkan kajian dan evaluasi terhadap data dan informasi yang didapatkan dari berbagai sumber pemantauan pelaksanaan UU Perbankan, masih terdapat permasalahan terkait aspek substansi hukum, struktur hukum/kelembagaan, sarana dan prasarana, budaya hukum, dan pengarustamaan nilai-nilai Pancasila hasil kajian dan evaluasi terhadap UU Perbankan. UU Perbankan perlu dilakukan perubahan terhadap beberapa materi muatan yang tidak selaras dengan peraturan perundang-undangan lain, antara lain ketentuan terkait: definisi perbankan yang tidak relevan, jenis bank belum dibagi berdasarkan prinsip usaha konvensional dan syariah, adanya irisan norma mengenai kewenangan Bank Indonesia dan OJK dalam UU Perbankan dan UU OJK, bentuk badan hukum bank yang tidak relavan, belum adanya pengaturan batasan maksimum kepemilikan modal asing, pengaturan rahasia bank, belum adanya pengaturan mengenai perlindungan konsumen perbankan, belum adanya pengaturan mengenai digitalisasi jasa perbankan, dan literasi inklusi keuangan.
Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang (Puspanlak UU) Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI memberikan rekomendasi yang ditujukan untuk penguatan dari sisi regulasi melalui penyempurnaan dan harmonisasi rumusan antara UU Perbankan dengan undang-undang terkait lainnya, sebagai berikut:
1. Dalam aspek Substansi Hukum, diperlukan:
a. melakukan harmonisasi/penyesuaian terkait definisi perbankan yang diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU Perbankan dengan Pasal 1 angka 5 UU OJK.
b. penambahan rumusan norma Pasal 1 UU Perbankan dengan memberikan definisi terhadap frasa “Bank Konvensional”, “Bank Umum Konvensional”, “Bank Perkreditan Rakyat”, “Bank Syariah”, “Bank Umum Syariah”, dan “Bank Pembiayaan Rakyat Syariah” dengan merujuk pada definisi dalam Pasal 1 UU Perbankan Syariah.
c. perubahan rumusan norma Pasal 5 ayat (1) UU Perbankan dengan membagi lembaga perbankan berdasarkan prinsip usahanya, yaitu bank konvensional dan bank syariah, lalu dibagi berdasarkan jenis usahanya, yaitu bank umum konvensional dan BPR serta bank umum syariah dan bank pembiayaan rakyat syariah.
d. penambahan rumusan pasal atau ayat dalam UU Perbankan sebagai penghubung dengan menyatakan secara tegas bahwa pengaturan mengenai bank syariah mengacu pada ketentuan perundang-undangan mengenai perbankan syariah.
e. penghapusan Pasal 6 huruf m dan Pasal 13 huruf c UU Perbankan.
f. penghapusan frasa “pembiayaan berdasarkan prinsip syariah” dalam ketentuan Pasal 7 huruf c, Pasal 8, Pasal 11 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4A), Pasal 29 ayat (3), dan Pasal 37 ayat (1) huruf c UU Perbankan.
g. perubahan frasa “Bank Indonesia” menjadi frasa “Otoritas Jasa Keuangan” dalam ketentuan Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 16, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 22, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 31A, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 37A, Pasal 38, Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 44, Pasal 52, dan Pasal 53 UU Perbankan.
h. penghapusan frasa “koperasi” dalam Pasal 21 ayat (1) UU Perbankan.
i. perubahan frasa “perusahaan daerah” menjadi “perusahaan perseroan daerah” dalam Pasal 21 ayat (1) UU Perbankan.
j. perubahan frasa “perusahaan daerah” menjadi “perusahaan umum daerah” dan “perusahaan perseroan daerah” dalam Pasal 21 ayat (2) UU Perbankan.
k. penambahan frasa “pemerintah daerah” dalam ketentuan Pasal 22 ayat (1) UU Perbankan.
l. penambahan ketentuan mengenai batas maksimum kepemilikan modal oleh badan hukum asing terhadap Bank Umum dalam Pasal 22 UU Perbankan dengan mengacu kepada antara lain peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia).
m. penambahan ruang lingkup rahasia bank dalam Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan, yaitu mengenai nasabah peminjam dan pinjamannnya.
n. melakukan harmonisasi/penyesuaian pengaturan terkait lembaga yang dapat meminta untuk dibukakan simpanan nasabah untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana dalam Pasal 42 UU Perbankan dengan Pasal 43 ayat (2) UU Perbankan Syariah, Pasal 72 ayat (2) dan ayat (5) UU TPPU, dan Pasal 37 ayat (2) dan ayat (5) UU Pendanaan Terorisme.
o. penambahan ketentuan mengenai perlindungan konsumen dan digitalisasi jasa perbankan dalam UU Perbankan.
p. penambahan frasa “dan Pasal 12A” dalam ketentuan Pasal 15 UU Perbankan.
q. penambahan frasa “termasuk untuk kepentingan peradilan mengenai harta bersama dalam perkara perceraian” dalam ketentuan Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan.
r. penambahan ketentuan dalam Bab VIII UU Perbankan yang mengatur mengenai mekanisme pembukaan rahasia bank untuk kepentingan peradilan mengenai harta bersama dalam perkara perceraian dalam hal tidak terdapat perjanjian perkawinan yang memisahkan harta bersama.
s. penghapusan frasa “bagi bank” dalam ketentuan Pasal 49 ayat (2) huruf b, Pasal 50, dan Pasal 50A UU Perbankan.
2. Dalam aspek Struktur Hukum/Kelembagaan, diperlukan:
a. penguatan koordinasi antara OJK dan Bank Indonesia guna menjamin kepastian hukum bagi pelaku usaha sektor jasa keuangan dan masyarakat selaku konsumen perbankan.
b. suatu mekanisme kerja yang mengedepankan koordinasi dan kolaborasi oleh berbagai institusi pembina, pengawas, dan pemeriksa terhadap kinerja BPD dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi.
3. Dalam aspek Sarana dan Prasarana, diperlukan:
a. kesiapan SDM yang kompeten untuk dapat memberikan pelayanan berbasis digital kepada nasabah;
b. penambahan atau peningkatan perangkat teknologi maupun aplikasi perbankan sebagai penunjang digitalisasi; dan
c. perluasan akses jaringan internet yang baik ke beberapa wilayah di Indonesia yang belum memadai jaringan internetnya.
4. Dalam aspek Budaya Hukum, diperlukan:
a. sosialisasi dan edukasi untuk meningkatkan literasi masyarakat atas produk perbankan dan digitalisasi perbankan.
b. pengamanan yang ekstra dalam melindungi nasabah pengguna jasa keuangan digital.
5. Aspek Pengarustamaan Nilai-Nilai Pancasila
Dalam aspek Pengarustamaan Nilai-Nilai Pancasila, diperlukan:
a. penambahan ketentuan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengatur mengenai hak ekonomi pada Bagian Mengingat UU Perbankan
b. limitasi secara tegas mengenai kepemilikan modal perorangan dan badan hukum asing pada bank umum pada Pasal 22 UU Perbankan.
c. pengaturan mengenai perlindungan nasabah dan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi untuk menunjang digitalisasi perbankan.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430