Guna mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika yang sangat merugikan dan membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara, pada Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Tahun 2002 melalui Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2002 telah merekomendasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden untuk melakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Sebab, dalam kenyataannya tindak pidana Narkotika dalam masyarakat menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan korban yang meluas, terutama di kalangan anak-anak, remaja, dan generasi muda pada umumnya. Salah satu faktor yang menyebabkan peningkatan tindak pidana narkotika tersebut dikarenakan maraknya komoditas ekspor narkotika dalam perdagangan internasional. Hal tersebut menunjukkan bahwa tindak pidana narkotika tidak lagi dilakukan secara perseorangan melainkan melibatkan banyak orang yang secara bersama-sama bahkan merupakan satu sindikat yang terorganisasi dengan jaringan yang luas baik di tingkat nasional maupun internasional. Selain itu, maraknya tindak pidana Narkotika tersebut menunjukkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika belum mampu menjadi dasar hukum yang efektif untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika untuk saat ini. Sehingga, pembentuk undang-undang menerbitkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika) dan mencabut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.
Adapun materi muatan yang ditambahkan dalam UU Narkotika guna mengefektifkan upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika serta guna melindungi masyarakat dan bahaya penyalahgunaan Narkotika, antara lain:
1. menambahkan pengaturan mengenai Prekursor Narkotika, karena Prekursor Narkotika merupakan zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika;
2. menambahkan pemberatan sanksi pidana bagi penyalahgunaan Prekursor Narkotika untuk menimbulkan efek jera;
3. penguatan kelembagaan Badan Narkotika Nasional (BNN);
4. penguatan kewenangan BNN dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan;
5. perluasan teknik penyidikan penyadapan (wiretapping), teknik pembelian terselubung (under cover buy), teknik penyerahan yang diawasi (controlled delevery), serta teknik penyidikan lainnya guna melacak dan mengungkap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
6. menambahkan pengaturan mengenai kerjasama baik bilateral, regional, maupun internasional, guna mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang dilakukan secara terorganisasi dan memiliki jaringan yang luas melampaui batas negara; dan
7. penguatan peran serta masyarakat dalam usaha pencegahan pemberantasan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika termasuk pemberian penghargaan bagi masyarakat yang berjasa dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Dalam kurun waktu 12 tahun berlakunya UU Narkotika masih ditemukan, beberapa isu permasalahan UU Narkotika antara lain:
1. Ketidakjelasan Definisi Pecandu, Penyalah Guna, dan Korban Penyalahgunaan Narkotika;
2. Permasalahan Frasa "Penyidik BNN" dalam Pasal 75 UU Narkotika;
3. Ketidakjelasan Frasa "Memiliki, Menyimpan, Menguasai" dalam Pasal 111 dan Pasal 112 UU Narkotika dan Ketidakjelasan Kategori Penyalah Guna yang Dapat Direhabilitasi Pasal 127 UU Narkotika.
4. Belum adanya pengaturan mengenai asesmen terpadu dalam UU Narkotika;
5. Potensi disharmoni UU Narkotika dengan KUHAP terkait jangka waktu penangkapan dan potensi disharmoni UU Narkotika dengan UU SPPA terkait frasa "setiap orang" dalam Ketentuan Pidana UU Narkotika yang menempatkan Anak bukan sebagai korban;
6. Belum optimalnya pelaksanaan asesmen terpadu dikarenakan keterbatasan peran Tim Asesmen Terpadu dalam melaksanakan tugas nya;
7. Minimnya tempat rehabilitasi dan laboratorium narkotika dan prekursor narkotika;
8. minimnya dukungan anggaran untuk pelaksanaan asesmen terpadu dan rehabilitasi;
9. masih adanya kekhawatiran dari masyarakat untuk terlibat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan narkotika; dan
10. pemahaman APH yang masih menitikberatkan pada pendekatan pemidanaan dibandingkan pendekatan kesehatan.
Provinsi Aceh, Provinsi Jawa Timur, dan Provinsi Kalimantan Barat
Berdasarkan hasil kajian dan evaluasi pemantauan pelaksanaan UU Narkotika dapat disimpulkan bahwa materi muatan dalam UU Narkotika belum memadai dan efektif digunakan sebagai dasar hukum dalam pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika untuk saat ini dan yang akan datang.
Ditinjau dari aspek substansi, terdapat beberapa ketentuan yang harus disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku pada saat ini dan juga perlu melakukan penyempurnaan dengan penambahan beberapa hal dalam materi muatan yang diatur dalam UU Narkotika. Hal ini ditujukan agar ketentuan dalam UU Narkotika dapat mewujudkan asas dan tujuan pembentukan UU Narkotika dan memenuhi asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sebagaimana diatur dalam UU PPP.
Ditinjau dari sisi implementasi, masih ditemukan beberapa permasalahan, di antaranya masih tingginya jumlah kasus Narkotika dan jumlah tersangka tindak pidana Narkotika yang menyebabkan belum optimalnya pemenuhan asas dan tujuan UU Narkotika; belum adanya kesinambungan antara APH dengan Tim Asesmen Terpadu dan Hakim dalam pengupayaan rehabilitasi bagi Pecandu dan/atau Penyalah Guna Narkotika; tidak optimalnya pelaksanaan asesmen terpadu dikarenakan belum maksimalnya Tim Asesmen Terpadu dalam menganalisis tingkat kecanduan Pengguna Narkotika; minimnya ketersediaan sarana dan prasarana dan SDM dalam pelaksanaan rehabilitasi; minimnya sarana dan prasarana dalam mendukung penyidikan tindak pidana narkotika; minimnya dukungan anggaran dalam mendukung upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika; belum optimalnya peran serta masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan pemahaman APH yang masih menitikberatkan pada pendekatan pemidanaan jika dibandingkan pendekatan kesehatan.
Puspanlak UU Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI memberikan rekomendasi yang ditujukan untuk penguatan dari sisi regulasi melalui penyempurnaan dan harmonisasi rumusan antara UU Narkotika dengan undang-undang terkait lainnya, serta penguatan dalam sisi pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan Narkotika , sebagai berikut:
1. Substansi Hukum
a. Perlu adanya perumusan ulang mengenai definisi Pecandu, Penyalah Guna, dan Korban Penyalahgunaan Narkotika dalam Pasal 1 angka 13, Pasal 1 angka 15, dan Penjelasan Pasal 54 UU Narkotika secara jelas.
b. Kata “BNN” dalam Pasal 75 UU Narkotika perlu dihapus, sehingga kewenangan penyidikan yang diatur dalam Pasal 75 UU Narkotika tersebut dapat dilakukan tidak hanya oleh Penyidik BNN, tetapi juga Penyidik Polri dan PPNS di lingkungan kementerian atau lembaga pemerintah non-kementerian yang memiliki lingkup tugas dan tanggung jawab di bidang Narkotika dan Prekursor Narkotika.
c. Perubahan Pasal 76 ayat (1) UU Narkotika frasa “sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 huruf g” perlu diubah menjadi “oleh Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Penyidik BNN”.
d. Perlu adanya perumusan ulang mengenai Pasal 111 dan Pasal 112 UU Narkotika dan perlunya memperjelas kriteria Penyalah Guna yang dapat direhabilitasi dalam Pasal 127 UU Narkotika.
e. Penambahan pengaturan norma mengenai asesmen terpadu dalam UU Narkotika.
f. Menambahkan pasal tersendiri terkait ketentuan pidana untuk anak dengan materi muatan menempatkan kedudukan anak sebagai Korban Penyalahgunaan Narkotika.
2. Struktur Hukum/Kelembagaan
a. Perlu konsistensi kolaborasi antara para pemangku kepentingan dalam penanganannya dan kesamaan persepsi dalam penanganan permasalahan narkotika sehingga dapat membentuk sistem yang kuat untuk mengatasi permasalahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika di Indonesia.
b. Diperlukan adanya kesinambungan antara Penyidik, Tim Asesmen Terpadu, dan Hakim (collaborative governance) dalam pelaksanaan rehabilitasi agar hasil penyidikan Penyidik terhadap tersangka dan/atau terdakwa Pecandu atau Penyalah Guna Narkotika dapat dimanfaatkan oleh Tim Asesmen Terpadu untuk melakukan asesmen terpadu dan rekomendasi dari Tim Asesmen Terpadu dapat menjadi acuan bagi Hakim untuk memutuskan atau menetapkan rehabilitasi tanpa dimaksudkan mengintervensi kemerdekaan Hakim.
c. Perlu penguatan Tim Asesmen Terpadu dan sosialisasi mengenai Tim Asesmen Terpadu di kalangan APH dan masyarakat. Penguatan Tim Asesmen Terpadu tersebut dapat dilakukan dengan beberapa cara, yakni dengan menambahkan pengaturan mengenai asesmen terpadu dalam UU Narkotika; perlunya dibentuk Tim Asesmen Terpadu di setiap BNN Provinsi dan BNN Kabupaten/Kota; dan diperlukan peningkatan kompetensi SDM Tim Asesmen Terpadu.
3. Sarana dan Prasarana
a. Perlu komitmen dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam pemenuhan ketersediaan lembaga rehabilitasi sekaligus peningkatan kualitas dan kuantitas SDM dalam bidang layanan rehabilitasi serta dibentuknya Lapas khusus untuk narapidana.
b. Menerapkan metode lain dalam pelaksanaan rehabilitasi medis yakni melalui mekanisme rawat jalan bagi para Pecandu dan/atau Korban Penyalahgunaan Narkotika agar dapat mengatasi permasalahan minimnya tempat rehabilitasi dan over capacity Lapas.
c. Perlu komitmen dari Pemerintah dalam pemenuhan fasilitas laboratorium Narkotika dan Prekursor Narkotika di setiap provinsi dan kabupaten/kota, alat pendeteksi yang dapat mendukung dalam pengungkapan jaringan narkotika (detection finder), dan peningkatan kompetensi sumber daya manusia yang profesional.
4. Pendanaan
Dibutuhkannya komitmen dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam pemenuhan ketersediaan anggaran dalam mendukung pelaksanaan upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Selain itu, perlu melakukan analisis manfaat biaya dengan cara menjustifikasi setiap manfaat yang akan diberikan sehingga dapat diketahui besaran anggaran yang dibutuhkan untuk dialokasikan sesuai dengan manfaat dan layanan yang akan diberikan dan juga perlu konsistensi penerapan Pasal 101 ayat (3) UU Narkotika sebagai sumber alternatif pendanaan yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung
pelaksanaan rehabilitasi.
5. Budaya Hukum
a. Diperlukan sosialisasi yang lebih masif dari Pemerintah maupun Pemerintah Daerah terkait peran masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika dan perlunya perlindungan hukum kepada masyarakat yang hendak melapor adanya dugaan tindak pidana penyalahgunaan narkotika serta perlunya konsistensi pemerintah dalam menerapkan Pasal 109 UU Narkotika terkait pemberian penghargaan bagi masyarakat dan APH guna mengoptimalkan peran serta masyarakat.
b. Diperlukan adanya pemahaman yang sama dari APH dengan mengedepankan pendekatan kesehatan dibandingkan dengan pendekatan pemidanaan dan perlu adanya penggunaan pendekatan restorative justice dalam menangani tindak pidana penyalahgunaan narkotika.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430