Kajian, Analisis, dan Evaluasi Pemantauan Pelaksanaan UU


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-kajian.phtml on line 66
KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA / 01-09-2021

Pancasila dan Pembukaan UUD Tahun 1945 mengamanatkan negara mempunyai tanggung jawab untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum serta mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tanggung jawab negara dalam melindungi rakyat Indonesia dilakukan dengan penguasaan sumber daya alam yang dimiliki oleh negara, termasuk pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Dalam satu dekade ini terdapat kecenderungan bahwa wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil rentan mengalami kerusakan akibat aktivitas orang dalam memanfaatkan sumber dayanya atau akibat bencana alam. Selain itu, akumulasi dari berbagai kegiatan eksploitasi yang bersifat parsial/sektoral di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil atau dampak kegiatan lain di hulu wilayah pesisir yang didukung peraturan perundang-undangan yang ada sering menimbulkan kerusakan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil.

Dengan potensi yang unik dan bernilai ekonomi tinggi, wilayah pesisir dihadapkan pada ancaman yang tinggi pula, maka hendaknya wilayah pesisir ditangani secara khusus agar wilayah ini dapat dikelola secara berkelanjutan. Pemanfaatan sumber daya alam di wilayah pesisir telah menimbulkan ancaman kelestarian ekosistem yang sangat kritis. Sebaliknya, ada beberapa wilayah dengan potensi sumber daya yang belum dimanfaatkan secara optimal. Guna menjamin keberlanjutan dari sumber daya tersebut, pengelolaannya harus dilakukan secara terencana dan terpadu serta memberikan manfaat yang besar kepada semua stakeholders terutama masyarakat pesisir.

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan Presiden telah menyepakati pembentukan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil pada bulan Juli tahun 2007 yang kemudian telah mengalami 2 (dua) kali perubahan, yakni melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan UU Cipta Kerja (UU PWP3K).

Terdapat beberapa permasalahan dalam UU PWP3K antara lain:
1. pengaturan mengenai kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS);
2. pengintegrasian RZWP3K ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) provinsi;
3. pengintegrasian kegiatan-kegiatan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil;
4. pembagian kewenangan Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil;
5. perizinan berusaha terkait pemanfaatan di laut;
6. pelayanan perizinan berusaha berbasis risiko terintegrasi secara elektronik (Sistem Online Single Submission (Sistem OSS))
7. anggaran pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) provinsi; dan
8. peran serta masyarakat dalam kegiatan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Nusa Tenggara Barat

Ditinjau dari aspek substansi, terdapat beberapa ketentuan pasal yang harus disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini dan juga perlu melakukan perubahan dan penambahan terhadap beberapa pasal dalam UU PWP3K. Hal ini ditujukan agar ketentuan dalam UU PWP3K dapat mewujudkan asas dan tujuan pembentukan UU PWP3K dan memenuhi asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Selain itu, ditinjau dari sisi implementasi juga masih ditemukan beberapa permasalahan terkait integrasi kegiatan, perencanaan RZWP3K dan implikasi dari belum adanya RZWP3K, perizinan berusaha terkait pemanfaatan di laut, reklamasi, kewenangan PPNS, Program Mitra Bahari, kegiatan penelitian, pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah, dan koordinasi dalam pengelolaan wilayah konservasi di laut. Terdapat pula kendala terkait kurangnya anggaran pengawasan dari diubahnya ketentuan Pasal 50 UU PWP3K. Kemudian pelayanan perizinan berusaha berbasis risiko dengan menggunakan Sistem OSS belum berjalan optimal demikian juga minimnya SDM untuk kebutuhan penegakan hukum pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Selain itu, terdapat permasalahan terkait hak yang dimiliki oleh masyarakat salah satunya adalah tidak terpenuhinya hak masyarakat dalam memperoleh informasi dan kurangnya pemahaman stakeholders terhadap pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

1. Aspek Substansi Hukum
a. Penyusunan dokumen perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tetap dilakukan secara bertahap dalam proses penyusunan rencana tata ruang dan diperlukan penegasan norma dalam UU PWP3K bahwa penyusunan perencanaan ruang laut mengacu kepada peraturan perundang-undangan di bidang penataan ruang.
b. Pasal 7 dan Pasal 7A UU PWP3K perlu diharmonisasikan dengan peraturan yang berkaitan dengan penataan ruang darat untuk wilayah pulau-pulau kecil dan penataan ruang laut untuk wilayah pesisir.
c. Pengaturan dalam Bab IV UU PWP3K perlu dikuatkan dengan adanya norma yang menegaskan bahwa RZWP3K disusun oleh pemerintah daerah provinsi dengan kewajiban untuk melibatkan pemerintah daerah kabupaten/kota.
d. Pasal 30 UU PWP3K perlu dilakukan perbaikan dengan adanya norma yang menyatakan “perubahan status zona inti pada kawasan konservasi untuk kegiatan pemanfaatan hanya dapat dilakukan dalam rangka pelaksanaan kebijakan nasional berupa penetapan proyek strategis nasional yang diatur dengan peraturan perundang-undangan.”
e. Frasa “masyarakat adat” dalam Pasal 61 UU PWP3K perlu diubah menjadi frasa “masyarakat hukum adat” agar konsisten dengan perubahan frasa “masyarakat adat” dalam pasal-pasal lain yang sudah diubah sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
f. Istilah “kepentingan nasional” dalam Pasal 21 ayat (2) UU PWP3K perlu diberikan definisi atau penjelasan agar memberikan kepastian hukum terutama bagi masyarakat hukum adat.
g. Pengaturan Pasal 20 ayat (1) UU PWP3K perlu dilakukan penambahan frasa “dan pemerintah daerah” setelah frasa “Pemerintah Pusat” sehingga selengkapnya menjadi “Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah wajib memfasilitasi Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan di laut kepada Masyarakat Lokal dan Masyarakat Tradisional”.
h. Rumusan yang berisi norma mengenai sanksi administrasi, sanksi perdata, dan/atau sanksi pidana yang semula berada dalam Penjelasan Pasal 36 ayat (5) UU PWP3K perlu dipindahkan menjadi materi muatan dalam batang tubuh pasal UU PWP3K.
i. Frasa “mengadakan tindakan lain menurut hukum” dalam Pasal 70 ayat (3) huruf i UU PWP3K perlu dijabarkan. Secara konkret, salah satunya dengan menambahkan pengaturan mengenai upaya paksa termasuk sebagai kewenangan PPNS.
j. Perlu dilakukan harmonisasi peraturan perundang-undangan yang dapat dilakukan dalam 2 (dua) langkah perumusan, yaitu yang pertama, harmonisasi kebijakan formulasi (sistem pengaturan), dan yang kedua, harmonisasi materi atau norma-norma dalam UU PWP3K dengan UU Pemda, dan dalam UU PWP3K dengan UU Penataan Ruang. Harmonisasi materi seyogyanya mempertimbangkan semangat desentralisasi sebagai bagian yang sangat penting dalam proses demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan.
k. Perlu mendorong Kementerian KP dan kementerian terkait untuk membantu Presiden merumuskan kedua peraturan presiden yang diamanatkan Pasal 46 dan Pasal 49 UU PWP3K mengingat UU PWP3K merupakan kesepakatan politik bersama antara DPR RI dengan Presiden yang harus dijalankan oleh eksekutif sebagai pelaksana undang-undang.

2. Aspek Struktur Hukum/Kelembagaan
a. Perlu adanya komitmen bersama yang menegaskan pembagian kewenangan mengenai penataan ruang darat oleh Kementerian ATR/BPN dan penataan ruang laut oleh Kementerian KP, serta kewenangan terkait pengelolaan wilayah konservasi di laut antara Kementerian KP dan Kementerian LHK. Selain itu diperlukan optimalisasi Program Mitra Bahari sebagai sebuah forum yang salah satu kegiatannya mengadakan pertemuan rutin seluruh pemangku kepentingan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
b. Perlu dilakukan percepatan penyusunan dokumen final RZWP3K oleh pemerintah daerah provinsi yang belum menetapkan peraturan daerah mengenai RZWP3K untuk kemudian menjadi materi teknis muatan pesisir dalam RTRW provinsi.
c. Perlu adanya itikad baik dari Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah untuk mempertimbangkan usulan, tanggapan, dan perbaikan dari masyarakat terhadap dokumen RZWP3K, terutama terkait dengan wilayah penangkapan ikan secara tradisional dan wilayah kelola masyarakat hukum adat. Selain itu diperlukan komitmen dari stakeholders untuk menjadikan RZWP3K sebagai pedoman dan acuan dalam kegiatan pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
d. Perlu dilakukan penguatan koordinasi dan sinergi antar kementerian/lembaga dalam implementasi perizinan berusaha terkait pemanfaatan di laut dan juga harmonisasi dalam menyusun kebijakan terkait kegiatan pemanfaatan sumber daya perairan, salah satunya kegiatan produksi garam skala mikro.
e. Perlu dilakukan penguatan koordinasi dan sinergi antar kementerian/lembaga dalam pelaksanaan reklamasi, terutama dalam hal mekanisme teknis pelaksanaan reklamasi dan penyusunan dokumen final RZWP3K untuk diintegrasikan ke dalam RTRW provinsi bagi daerah-daerah yang belum memiliki peraturan daerah tentang RZWP3K.
f. Perlunya perbaikan sistem birokrasi untuk mengoptimalisasi koordinasi dalam pelaksanaan kewenangan PPNS sehingga ke depannya proses penyidikan yang dilakukan oleh PPNS dalam rangka pengawasan dan pengendalian di bidang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dapat berjalan cepat dan efektif.
g. Perlu dilakukannya penguatan koordinasi dan sinergi di antara Pemerintah Pusat, pemerintah daerah, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi, tokoh masyarakat, dan/atau dunia usaha untuk upaya peningkatan kapasitas pemangku kepentingan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, sehingga Program Mitra Bahari ini dapat berjalan secara efektif.
h. Perlu adanya sosialisasi dari Pemerintah Pusat kepada aparatur pemerintah daerah di tingkat kecamatan dan desa mengenai mekanisme pelaksanaan kegiatan penelitian oleh orang asing di bidang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
i. Diperlukan adanya petunjuk teknis mekanisme dalam prosedur keterlibatan pemerintah daerah kabupaten/kota, untuk memperjelas kewenangan masing-masing dan menghindari adanya tumpang tindih kewenangan dalam melakukan pengelolaan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
j. Perlu dilakukan penguatan koordinasi dan sinergi antar kementerian/lembaga dalam pengelolaan wilayah konservasi, guna memperjelas peran masing-masing dalam mekanisme teknis pelaksanaan di lapangan untuk pengelolaan wilayah konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

3. Aspek Pendanaan
Pemerintah provinsi hendaknya mengalokasikan anggaran yang lebih memadai untuk kegiatan pengawasan yang termasuk di dalamnya Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) sehingga pelaksanaan pengawasan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil menjadi lebih efektif.

4. Aspek Sarana dan Prasarana
a. Perlu adanya sosialisasi terhadap masyarakat terkait Sistem OSS agar pemahaman menjadi lebih baik, memperluas pengadaan sarana dan prasarana Sistem OSS untuk menjangkau masyarakat yang kesulitan mengakses di beberapa wilayah, serta penyempurnaan dan pengembangan Sistem OSS.
b. Perlunya peningkatan kuantitas dan kualitas SDM untuk kegiatan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Kuantitas dilakukan dengan mengoptimalkan jumlah SDM PPNS, Polsus, dan SDM di UPT untuk mengoptimalkan fungsi UPT di daerah masing-masing. Kemudian kualitas dilakukan dengan memberikan pendidikan dan pelatihan berupa pembekalan dan pembinaan untuk meningkatkan produktivitas.

5. Aspek Budaya Hukum
a. Perlu adanya pemberdayaan masyarakat oleh Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah khususnya menyediakan dan menyebarluaskan informasi terhadap masyarakat untuk mudah dijangkau, serta melakukan sosialisasi terhadap masyarakat terkait hak, kewajiban, dan peran serta masyarakat dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana diatur di dalam Pasal 60 UU PWP3K.
b. Perlu pemberian bimbingan teknis kepada stakeholders mengenai ketentuan-ketentuan/peraturan-peraturan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Kemudian diperlukannya sosialisasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil kepada masyarakat mengenai perencanaan, pemanfaatan, dan peran serta masyarakat dalam pengawasan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil melalui Pokmaswas. Kemudian bagi PPNS dan Polsus diberikan pendidikan dan pelatihan sehingga memiliki kesamaan pemahaman mengenai pengawasan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Selanjutnya terhadap pemerintah daerah dan stakeholders lainnya diperlukan sosialisasi yang lebih masif dan intensif sehingga tidak terdapat lagi pemahaman bahwa kewenangan perencanaan RZWP3K tersentralisasi di Pemerintah Pusat.