Kajian, Analisis, dan Evaluasi Pemantauan Pelaksanaan UU


Warning: Undefined variable $file_pdf in C:\www\puspanlakuu\application\modules\default\views\scripts\produk\detail-kajian.phtml on line 66
KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2016 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK / 01-03-2021

Selama berlakunya UU Perlindungan Anak sejak Tahun 2002, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI menemukan permasalahan utama dan mendasar terkait dengan pelaksanaan UU Perlindungan Anak, antara lain:
a. Isu Utama per aspek
Dalam pelaksanaannya terdapat beberapa permasalahan dan hambatan yang dianalisis melalui pembagian 5 (lima) aspek yaitu Aspek Substansi Hukum, Aspek Struktur Hukum/Kelembagaan, Aspek Sarana dan Prasarana, Aspek Pendanaan dan Aspek Budaya Hukum.
b. Putusan MK
UU Perlindungan Anak telah 4 (empat) kali dilakukan pengujian di MK, yaitu Perkara No. 18/PUU-III/2005, Perkara No. 6/PUU-XV/2017, Perkara No. 33/PUU-XV/2017, dan Perkara No. 85/PUU-XVII/2019 yang dari keempat pengujian tersebut belum ada permohonan yang dikabulkan oleh MK.

Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Sulawesi Selatan, Kabupaten Mojokerto, Kabupaten Bandung Barat, dan Kabupaten Maros

Pelaksanaan UU Perlindungan Anak sejak Tahun 2002, terdapat permasalahan dari sisi substansi dan implementasinya, antara lain:
1. Dalam aspek substansi hukum:
a. Adanya perbedaan mengenai definisi Anak dalam UU Perlindungan Anak maupun dalam beberapa peraturan perundang-undangan lainnya seperti definisi Anak dalam KUH Perdata, KUHP, UU Kesejahteraan Anak, UU SPPA, dan UU HAM. Perbedaan definisi Anak tersebut berpotensi disharmoni dan menimbulkan permasalahan dalam pelaksanaannya;
b. Ketentuan Pasal 83 UU Perlindungan Anak yang berkaitan dengan sanksi pidana terkait perdagangan anak berpotensi disharmoni dengan pengaturan dalam Pasal 5 dan Pasal 6 UU TPPO yang juga mengatur mengenai sanksi pidana terkait perdagangan anak karena adanya perbedaan nominal batasan minimal dan maksimal dalam penjatuhan pidana denda;
c. Batas waktu penetapan peraturan pelaksanaan undang-undang tidak diatur dalam UU Perlindungan Anak. Hal tersebut bertentangan dengan ketentuan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP) yang menyebutkan bahwa “Dalam setiap Undang-Undang harus dicantumkan batas waktu penetapan Peraturan Pemerintah dan peraturan lainnya sebagai pelaksanaan Undang-Undang tersebut.”; dan
d. Terdapat ketidakjelasan mengenai klasifikasi/jenis sanksi kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik, dan rehabilitasi merupakan sanksi tindakan atau pidana tambahan. Ketidakjelasan tersebut menimbulkan potensi multitafsir dalam pelaksanaannya.

2. Dalam aspek struktur hukum/kelembagaan:
a. Belum optimalnya peran Orang Tua dalam melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya dalam hal pencegahan perkawinan pada usia Anak;
b. Kurangnya koordinasi antara pemerintah, pemerintah daerah dan kementerian/lembaga dengan pihak-pihak terkait lainnya dalam penyelenggaraan perlindungan anak berakibat tidak adanya sinergitas dan berimplikasi pada kurang optimalnya penyelenggaraan perlindungan anak; dan
c. Pelaksanaan kebiri kimia yang masih menemui kendala dalam pelaksanaannya karena masih menimbulkan pro dan kontra.

3. Dalam aspek sarana dan prasarana:
a. Minimnya sarana dan prasarana dalam penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH) seperti ketersediaan Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS), Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS), ruang pelayanan khusus Anak, dan rumah aman anak (shelter), serta ketersediaan ruangan ramah Anak di Kepolisian Resort (Polres) dan Kepolisian Sektor (Polsek) yang mengakibatkan terhambatnya penanganan ABH;
b. Minimnya kualitas dan kuantitas dari Pekerja Sosial (Peksos) yang melakukan pendampingan terhadap anak korban mulai dari pengobatan sampai dengan pasca pemulihan berdampak pada kecepatan penyidik menerima laporan sosial tentang anak korban dari Peksos guna melengkapi data penyelidikan; dan
c. Data kasus kekerasan yang terjadi pada Anak baik pada tingkat pusat maupun daerah belum terintegrasi dengan baik yang mengakibatkan adanya perbedaan data kasus kekerasan pada Anak di tingkat pusat maupun daerah.

4. Dalam aspek pendanaan
Pengalokasian anggaran untuk penyelenggaraan perlindungan anak khususnya dalam hal penanganan anak terlantar di tingkat daerah saat ini belum menjadi prioritas pemerintah daerah, sehingga mengakibatkan penyelenggaraan perlindungan anak di daerah belum terlaksana secara optimal karena minimnya anggaran.

5. Dalam aspek budaya hukum:
a. Masih terbatasnya pemahaman masyarakat tentang hak-hak Anak yang berimplikasi pada tidak optimalnya peran masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan anak;
b. Masih banyaknya masyarakat yang memberikan labelisasi/stigma negatif terhadap ABH yang berdampak pada psikologis anak tersebut;
c. Masih banyaknya penyebarluasan informasi baik di masyarakat maupun media massa terkait identitas ABH tanpa memperhatikan kepentingan terbaik bagi Anak, berdampak buruk pada Anak tersebut yang disebabkan ketidaktahuan dan minimnya pemahaman masyarakat dan pelaku jurnalistik.
d. Masih banyaknya dunia usaha yang memproduksi produk yang tidak aman untuk Anak; dan
e. Masih kurangnya pemahaman Orang Tua tentang pentingnya pencegahan perkawinan dini pada usia Anak mengakibatkan banyak terjadinya perkawinan dini pada usia Anak yang justru menjadi salah satu penyebab banyaknya kekerasan yang terjadi pada Anak

Berdasarkan hasil kajian dan evaluasi UU Perlindungan Anak, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI merekomendasikan sebagai berikut:
1. Substansi Hukum:
a. perlu dilakukannya harmonisasi antara UU Perlindungan Anak dengan peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur tentang definisi Anak khususnya terkait batasan usia Anak;
b. perlu penambahan berupa penjelasan mengenai maksud dari frasa “bantuan biaya dan/atau fasilitas lain” dalam Penjelasan Pasal 38 ayat (2) UU Perlindungan Anak;
c. perlu adanya penambahan frasa “atau Wali” setelah frasa “Orang Tua” dalam Pasal 45B, Pasal 47, dan Pasal 49 UU Perlindungan Anak;
d. perlunya penyesuaian terkait Pasal 48 UU Perlindungan Anak yang mengatur mengenai Wajib Belajar dalam UU Perlindungan Anak dan UU Sisdiknas;
e. perlu adanya penambahan pengaturan khususnya dalam Pasal 59 ayat (2) UU Perlindungan Anak dengan menambahkan Anak korban kejahatan siber ke dalam klaster Anak yang memerlukan perlindungan khusus. Penambahan pengaturan tersebut juga diikuti dengan penambahan pasal yang mengatur mengenai larangan kejahatan siber pada Anak dan pasal yang memuat sanksi pidananya;
f. perlu adanya perubahan pada frasa “anak yang menyandang cacat” dalam Pasal 62 huruf b UU Perlindungan Anak menjadi menjadi frasa “Anak Penyandang Disabilitas” sesuai dengan amanat Pasal 148 UU Penyandang Disabilitas;
g. diusulkan untuk diberikan penjelasan dalam Pasal 2 UU Perlindungan Anak terkait asas non-diskriminasi sebagaimana juga diatur dalam KHA. Sehingga, kata “diskiriminatif” dalam Pasal 76A UU Perlindungan Anak dapat diartikan dengan mengacu pada penjelasan asas non-diskriminasi dalam Pasal 2 UU Perlindungan Anak.
h. perlu adanya perubahan dalam rumusan Pasal 81 ayat (7), ayat (8), dan ayat (9), Pasal 81A, Pasal 82 ayat (6), ayat (7), dan ayat (8), serta Pasal 82A UU Perlindungan Anak dengan menghapus frasa “tindakan” yang melekat pada rumusan sanksi kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik, dan rehabilitasi dan mengganti menjadi frasa “pidana tambahan”.
i. dilakukan penyesuaian rumusan nominal pidana denda dalam Pasal 83 UU Perlindungan Anak merujuk pada nominal rumusan pidana denda dalam Pasal 5 dan Pasal 6 UU TPPO;
j. dilakukan penyesuaian rumusan nominal pidana denda dalam Pasal 89 ayat (1) UU Perlindungan Anak merujuk pada nominal rumusan pidana denda dalam Pasal 133 ayat (1) UU Narkotika;
k. perlu adanya pengaturan mengenai sanksi bagi media massa yang mempublikasikan identitas Anak dalam UU Perlindungan Anak;
l. perlu adanya pengaturan mengenai batas waktu penetapan peraturan pelaksana dalam UU Perlindungan Anak agar sesuai dengan amanat Pasal 74 ayat (1) UU PPP;
m. perlunya harmonisasi antara UU Perlindungan Anak dengan UU Pemda khususnya terkait kewenangan Kemensos dan/atau dinas sosial dalam hal penanganan rehabilitasi sosial untuk anak korban yang memerlukan perlindungan khusus; dan
n. perlu harmonisasi antara pengaturan dalam UU Perlindungan Anak dengan KUHAP khususnya terkait pelaporan tindak pidana yang dilakukan oleh suatu badan hukum khususnya KPAI atau KPAID.

2. Struktur Hukum/Kelembagaan:
a. perlunya peningkatan dari sisi koordinasi baik antara kementerian/lembaga terkait maupun OPD yang ada didaerah dalam hal penyelenggaraan perlindungan Anak dan perlindungan khusus terhadap Anak;
b. perlunya peningkatan komitmen dari pemerintah dan pemerintah daerah dalam melaksanakan kewajibannya untuk memenuhi dukungan sarana dan prasarana serta ketersediaan SDM penyelenggaraan perlindungan anak maupun perlindungan khusus bagi Anak;
c. perlunya peningkatan sosialisasi dan edukasi kepada pihak-pihak terkait perlindungan Anak seperti Orang Tua dan masyarakat tentang pentingnya pemenuhan terhadap hak-hak Anak dan perlindungan Anak dari segala kekerasan dan diskriminasi;
d. perlunya optimalisasi dari pemerintah dan pemerintah daerah untuk terus melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya kepemilikan Akta Kelahiran sebagai identitas Anak.
e. pembentukan KPAID tidak bersifat wajib bagi pemerintah daerah. Hal tersebut juga sejalan dengan pandangan hukum Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa pembentukan KPAID tetap dipertahankan bersifat “tidak wajib” karena prioritas pemerintah daerah yang berbeda-beda dan terbatasnya anggaran di daerah.
f. pemerintah melalui Kementerian Kesehatan perlu segera membuat petunjuk teknis yang mengatur tentang eksekusi tindakan kebiri kimia, penyamaan persepsi pemerintah dengan IDI terkait tindakan kebiri kimia, dan sertifikasi dokter atau tenaga medis yang melakukan tindakan kebiri kimia.

3. Pendanaan:
a. Diperlukan penguatan komitmen dari pemerintah dan pemerintah daerah untuk melaksanakan kewajibannya dalam menyediakan dana penyelenggaraan perlindungan anak. Selain itu, pemerintah dan pemerintah daerah perlu juga mengoptimalkan sumber dana lainnya di luar APBN atau APBD dengan menjalin kerjasama dengan Dunia Usaha guna mendukung ketersediaan dana penyelenggaraan perlindungan anak.
b. diperlukan adanya petunjuk teknis sebagai dasar acuan bagi pemerintah desa agar dapat mengalokasikan dana desa untuk penyelenggaraan perlindungan anak.

4. Sarana dan Prasarana:
a. diperlukan adanya komitmen yang kuat dari pemerintah dan pemerintah daerah untuk melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya dengan optimal guna memenuhi kebutuhan sarana dan prasarana serta ketersediaan SDM dalam penyelenggaraan perlindungan anak;
b. diperlukan koordinasi dan kerjasama antar kementerian/lembaga baik pada tingkat pusat maupun daerah dalam penyelenggaraan perlindungan anak khususnya koordinasi dan kerjasama dalam hal pengintegrasian data kasus Anak; dan
c. diperlukan perencanaan yang baik sampai dengan pengawasan yang dilakukan secara berkala baik oleh pemerintah maupun pemerintah daerah dalam menyediakan ketersediaan SDM yang merata baik dari segi kualitas maupun kuantitas.

5. Budaya Hukum
a. optimalisasi dari sisi sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat khususnya Orang Tua tentang partisipasi Anak;
b. optimalisasi dari sisi sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat khususnya Orang Tua tentang pentingnya peran Orang Tua dalam mencegah terjadinya pernikahan pada usia Anak;
c. diperlukan peningkatan komitmen dari masyarakat untuk berperan aktif dalam penyelenggaraan perlindungan anak melalui sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat tentang peranan pentingnya dalam penyelenggaraan perlindungan anak;
d. perlu adanya sanksi yang tegas kepada media massa yang mempublikasikan identitas ABH; dan
e. perlu penguatan dari sisi pengawasan baik oleh pemerintah atau pemerintah daerah yang berkoordinasi dengan lembaga pengawasan yang berperan dalam quality control produk yang aman untuk Anak. Selain itu, perlu adanya sanksi tegas kepada perusahaan yang memproduksi produk yang tidak Aman untuk Anak.