Selama berlakunya UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU PPPH) sejak tahun 2013, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI menemukan permasalahan utama dan mendasar terkait dengan pelaksanaan UU PPPH, antara lain:
a. Isu Utama per aspek
Dalam pelaksanaannya terdapat beberapa permasalahan dan hambatan yang dianalisis melalui pembagian 5 (lima) aspek yaitu Aspek Substansi Hukum, Aspek Struktur Hukum/Kelembagaan, Aspek Sarana dan Prasarana, Aspek Pendanaan dan Aspek Budaya Hukum.
b. Putusan MK
UU PPPH telah 3 (tiga) kali dilakukan pengujian di Mahkamah Konstitusi (MK) yaitu Perkara Nomor 95/PUU-XII/2014, Perkara Nomor 139/PUU-XIII/2015, dan Perkara Nomor 69/PUU-XIV/2016 dari Perkara tersebut tidak terdapat permohonan yang dikabulkan oleh MK.
c. Prolegnas
-
Provinsi Jambi, Lampung dan Jawa Tengah (Semarang)
Pelaksanaan UU PPPH sejak tahun 2013 terdapat permasalahan dalam implementasinya, antara lain:
a. Aspek Substansi Hukum
1) Pasal 1 angka 3 UU PPPH terkait Frasa “ataupun yang sedang diproses penetapannya oleh Pemerintah” menimbulkan ketidakjelasan dan ketidapastian hukum
2) Terkait frasa terorganisasi dan pengecualian terhadap masyarakat sekitar hutan dalam Pasal 1 angka 6 UU PPPH dan Pasal 11 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU PPPH masih menimbulkan multitafsir bagi APH dan belum mengakomodir permasalahan
3) Pasal 12 UU PPPH sebagaimana telah diubah oleh Pasal 37 angka 3 UU Cipta Kerja memiliki beberapa permasalahan terkait larangan kawasan hutan
4) Pasal 40 UU PPPH terkait penafsiran dari frasa “Barang Bukti Temuan dan Pengelolaan Barang Bukti” menimbulkan kerancuan dalam implementasinya
5) Penerapan ketentuan sanksi tidak berjalan efektif bagi perorangan ataupun korporasi
6) Pasal 39 UU PPPH terkait jangka waktu penyidikan yang tidak efisien
7) Adanya potensi disharmoni dengan peraturan perundang-undangan terkait, yakni Pasal 30 UU PPPH dengan UU TPPU mengenai kewenangan PPNS dan Pasal 5 dan Pasal 8 UU PPPH dengan UU Pemda mengenai kewenangan daerah
8) Penghapusan Ketentuan Terkait Hakim Ad Hoc dan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan oleh UU Cipta Kerja
b. Aspek Kelembagaan/Struktur Hukum
1) Tujuan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan belum sepenuhnya dapat terwujud
2) Penegakan hukum dalam UU PPPH belum berjalan dengan baik
3) Kebijakan dalam pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan belum berjalan efektif
4) Kurangnya koordinasi antara APH dalam pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan
5) Permasalahan pal batas
6) Penghapusan ketentuan oleh UU Cipta Kerja
c. Aspek Sarana dan Prasarana
1) Kurangnya Sumber Daya Aparatur Penegak Hukum dalam menangani permasalahan perusakan hutan (Pasal 6 ayat (1) UU PPPH)
2) Keterbatasan fasilitas penunjang dalam mencegah dan memberantas perusakan hutan
3) Belum ditetapkannya sumber kayu alternatif (Pasal 6 ayat (2) UU PPPH)
4) Sarana rumah tahanan belum memadai
5) Alokasi pendanaan belum mencukupi (Pasal 74 dan Pasal 75 UU PPPH)
d. Aspek Budaya Hukum
1) Kurangnya peran serta masyarakat dalam kegiatan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan
2) Adanya kendala dalam pemberian perlindungan khusus bagi saksi, pelapor dan informan
Berdasarkan hasil kajian dan evaluasi UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI merekomendasikan sebagai berikut:
a. Aspek Substansi Hukum
1) Perlu mengubah Pasal 1 angka 3 sepanjang frasa “ataupun yang sedang diproses penetapannya oleh Pemerintah Pusat” (sebagaimana diubah melalui Pasal 37 angka 1 UU Cipta Kerja).
2) Perlu mengubah Pasal 1 angka 6, Pasal 11 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU PPPH dengan mengatur lebih jelas terkait definisi “terorganisasi” dan kriteria pengecualian khusus terhadap masyarakat sekitar kawasan hutan.
3) Perlu mengubah Pasal 12 UU PPPH dengan mengatur larangan-larangan yang mengakomodir perkembangan kasus perusakan hutan di Indonesia.
4) Perlu adanya penjelasan lebih rinci terkait penyidik yang bertanggung jawab atas penyimpanan barang bukti dalam ketentuan Pasal 40 ayat (2) UU PPPH dan penyesuaian frasa “barang bukti temuan” yang menimbulkan kerancuan dalam implementasinya.
5) Perlu meningkatkan efektivitas ketentuan terkait dengan pemberian sanksi agar dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku perusakan hutan.
6) Perlu adanya penyesuaian terkait pengaturan jangka waktu penyidikan.
7) Perlu adanya harmonisasi pengaturan antara UU PPPH dengan undang-undang lainnya seperti UU TPPU dan UU Pemda.
8) Perlu adanya penghapusan pasal-pasal yang masih berkaitan dengan ketentuan Pasal 54 UU PPPH yang telah dicabut oleh UU Cipta Kerja.
b. Aspek Kelembagaan/Struktur Hukum
1) Perlu dilakukan upaya peningkatan efektivitas pemberlakuan Pasal 3 huruf b UU PPPH oleh aparat K/L terkait.
2) Perlu penyesuaian pengaturan mengenai pengelolaan barang bukti, dan penyidikan supaya lebih dapat dilaksanakan oleh APH di lapangan. Selanjutnya, perlu penguatan sanksi untuk lebih memberikan efek jera kepada pelaku perusakan hutan serta peningkatan upaya untuk perlindungan terhadap Saksi, Pelapor serta Informan dalam perkara pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan.
3) Perlu dilakukan penguatan fungsi koordinasi antara Pemerintah Pusat (Kementerian/ Lembaga terkait) dan Pemerintah Daerah (OPD) dalam rangka penyusunan kebijakan di bidang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan yang lebih baik serta mengakomodir kepentingan semua pihak.
4) Perlu dilakukan penguatan fungsi koordinasi antara APH terkait di bidang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan dalam rangka penegakan hukum sesuai UU PPPH.
5) Perlu melakukan percepatan pengukuhan kawasan hutan oleh K/L terkait agar Pasal 26 UU PPPH dapat efektif dilaksanakan dan penguatan kinerja K/L terkait mengenai penetapan pal batas untuk lebih memudahkan dalam pengelolaan hutan itu sendiri.
6) Perlu peningkatan kualitas hakim yang sudah ada, khususnya melalui sertifikasi hakim lingkungan atau metode lain sebagai pengganti kelembagaan hakim ad hoc yang dihapuskan oleh ketentuan UU Cipta Kerja serta perlu kejelasan pengaturan terkait lembaga yang memiliki fungsi untuk melaksanakan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan pasca dihapuskannya ketentuan mengenai LP3H dalam UU Cipta Kerja.
c. Aspek Sarana dan Prasarana
1) Diharapkan jumlah polhut disesuaikan dengan luas kawasan hutan dan perlu ditambahkannya jumlah penyidik PPNS serta perlunya pendidikan dan pelatihan untuk polhut dan PPNS dalam peningkatan kapasitas pengamanan hutan.
2) Perlu adanya tempat penyimpanan barang bukti yang memadai, kendaraan operasional yang memadai serta alat berat dan alat angkut untuk membawa dan memindahkan barang bukti.
3) Diperlukannya penetapan lebih lanjut mengenai sumber kayu alternatif.
4) Perlu adanya tambahan rutan untuk menampung tahanan tindak pidana perusakan hutan.
5) Perlu adanya peraturan yang menetapkan pembiayaan standar untuk pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan, serta disediakannya pengalokasian anggaran untuk melaksanakan kegiatan pengelolaan dan pengamanan hutan dan anggaran dalam kegiatan proses penyidikan hingga persidangan tindak pidana perusakan hutan. Serta dibutuhkannya dana dekonsentrasi untuk dukungan pelaksanaan kegiatan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan di daerah.
d. Aspek Budaya Hukum
1) Perlu dilakukan sosialisasi dan edukasi terhadap masyarakat mengenai pelestarian/pengelolaan hutan dan dampak negatif perusakan hutan.
2) Perlu dilakukan sosialisasi terhadap masyarakat mengenai pengaturan perlindungan saksi dan pelapor dalam hal adanya dugaan tindak pidana perusakan hutan, serta dibutuhkan pengaturan yang menghubungkan antara UU PPPH dengan UU Perlindungan Saksi dan Korban sehingga memudahkan informan untuk mendapatkan perlindungan khusus.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430