Selama berlakunya UU Pemda sejak tahun 2014, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI menemukan permasalahan utama dan mendasar terkait dengan pelaksanaan UU Pemda antara lain:
A. Isu Utama
Dalam pelaksanaannya terdapat beberapa permasalahan dan hambatan yang dianalisis melalui pembagian 5 aspek yaitu Aspek Substansi Hukum, Aspek Struktur Hukum/Kelembagaan, Aspek Sarana dan Prasarana, Aspek Pendanaan dan Aspek Budaya Hukum.
B. Putusan Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi telah menyatakan beberapa pasal bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 yaitu:
1. Pasal 158 ayat (1) melalui Putusan MK Nomor 7/PUU-XIII/2015.
2. Pasal 251 ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (8) melalui Putusan MK Nomor 137/PUU-XIII/2015.
3. Pasal 251 ayat (1), ayat (4), dan ayat (7) serta ayat (5) melalui Putusan MK Nomor 56/PUU-XIV/2016.
Provinsi Jawa Timur, Provinsi Kalimantan Selatan, Provinsi Aceh dan Provinsi Sumatera Selatan
Pelaksanaan UU Pemda hingga tahun 2019 terdapat permasalahan dalam implementasinya, antara lain:
1. Aspek Substansi Hukum
a. Pasal 10, urusan pemerintahan absolut sebagai bentuk asas dekonsentrasi menimbulkan kerancuan karena urusan pemerintahan absolut dapat dibagi dengan daerah.
b. Pasal 12 ayat (1) huruf a jo. Lampiran huruf A, ketidaksesuaian antara jumlah guru yang harus ditanggung pemerintah provinsi dan kurangnya anggaran pada pemerintah provinsi.
c. Pasal 25 ayat (6), tidak selaras dengan asas delegatus non potest delegare yang artinya delegasi tidak bisa didelegasikan lagi.
d. Pasal 23, amanat peraturan pemerintah belum diterbitkan.
e. Pasal 25 ayat (4) dan ayat (5), tidak konsisten membedakan gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat dan gubernur sebagai kepala daerah.
f. Pasal 1 angka 4 jo. Pasal 95 ayat (1) jo. Pasal 148 ayat (1), membatasi DPRD provinsi hanya dapat memanggil pejabat pemerintah daerah provinsi, badan hukum, atau warga masyarakat di daerah provinsi, sedangkan persoalan tersebut bisa saja membutuhkan bupati/wali kota atau pejabat pemerintah daerah kabupaten/kota.
g. Pasal 216 ayat (3), berimplikasi pada tidak maksimalnya inspektorat provinsi dalam melaksanakan tugas dan fungsinya karena ada rasa segan memeriksa sekretaris daerah.
h. Pasal 251, kewenangan Menteri Dalam Negeri membatalkan Perda Provinsi dan kewenangan gubernur untuk membatalkan Perda kabupaten/kota dinyatakan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 berdasarkan Putusan MK Nomor 137/PUUXIII/2015 dan Putusan MK Nomor 56/PUU-XIV/2016.
i. Pasal 269, beberapa gubernur/bupati/walikota dalam prakteknya melaksanakan pembangunan daerah dengan visi misi yang tidak sinergis dengan Presiden sebagai Kepala Pemerintahan.
j. Pasal 350 ayat (4), belum dapat terimplementasi dengan baik karena sanksi administratif ternyata belum dapat memberikan efek jera bagi kepala daerah yang melanggar.
k. Pasal 360 ayat (2), tidak dapat dilaksanakan karena terdapat nomenklatur kawasan khusus yaitu Kawasan Purbakala dan Kawasan Angkatan Perang yang sudah tidak relevan lagi.
l. Terdapat potensi disharmoni antara UU Pemda dengan UU Penanggulangan Bencana, UU Administrasi Pemerintahan, UU Kehutanan, UU Sumber Daya Air.
m. Perlunya harmonisasi antara peraturan pelaksanaan dari UU Pemda dengan peraturan pelaksanaan undang-undang lain.
n. Terdapat 19 amanat penerbitan peraturan pelaksanaan dari UU Pemda yang belum dilaksanakan oleh pemerintah.
2. Aspek Kelembagaan/Struktur Hukum
a. Terjadi perbedaan persepsi dalam pelaksanaan beberapa NPSK yang diterbitkan oleh K/L, sehingga membingungkan pihak daerah dalam pelaksanaannya.
b. Masih terdapat beberapa daerah yang tidak layak untuk berdiri sendiri sebagai pemekaran daerah otonom.
c. Terdapat kerancuan DPRD merupakan lembaga legislatif namun di sisi lain berkedudukan sebagai eksekutif. Hal ini yang kemudian menyebabkan beberapa persoalan di daerah di mana DPRD dan Pemda seringkali memiliki hubungan koordinasi yang kurang baik.
d. Pemerintah Daerah kurang mampu menghasilkan panduan dan rencana pembangunan yang sesuai dengan visi misi dan program nasional.
e. Diberlakukannya OSS mengakibatkan DPMPTSP tidak memiliki data informasi perizinan yang diajukan kepada OSS tersebut.
f. Masih rendahnya kapasitas dan integritas kepala daerah yang menyebabkan tidak optimalnya penyelenggaraan pemerintahan daerah.
g. Lemahnya peran APIP dalam melakukan pengawasan dan kurangnya koordinasi antara APIP dan APH dalam melakukan pemeriksaan atas pengaduan terkait adanya dugaan penyimpangan yang dilakukan oleh aparatur sipil negara.
h. Belum optimalnya penegakan sanksi administratif bagi kepala daerah dan anggota DPRD yang melakukan pelanggaran administratif.
3. Aspek Sarana dan Prasarana
a. Kurangnya kapasitas/kualitas SDM perangkat daerah/desa serta SDM fungsional P2UPD, mengakibatkan belum optimalnya pelaksanaan urusan pemerintahan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan
b. Kurangnya sistem pendukung DPRD, terutama tenaga ahli, karena minim SDM dan anggaran, yang berimplikasi pada belum optimalnya fungsi DPRD sebagai penyusun peraturan daerah karena dapat menghambat terbentuknya peraturan daerah.
c. SPBE yang diakomodir dalam PP No. 12 Tahun 2019 untuk menjalankan amanat dari Pasal 391 ayat (1) huruf b UU Pemda, dalam implementasinya masih terhambat dengan infrastruktur yang kurang mendukung.
4. Aspek Pendanaan
a. Ketentuan Pasal 279 ayat (2) huruf b UU Pemda dalam implementasinya tidak disertai dengan pendanaan untuk pemerintah yang melaksanakannya.
b. Ketentuan Pasal 279 ayat (3), Pasal 25 ayat (5), dan Pasal 91 ayat (5) UU Pemda kurang terimplementasi dengan baik karena masih terdapat beberapa urusan yang merupakan kewenangan pemerintah pusat namun menggunakan dana yang bersumber dari APBD.
c. Pasal 279 ayat (4) UU Pemda masih mengacu kepada UU tentang pemerintahan daerah yang lama sehingga sudah tidak relevan lagi.
d. Urusan Pemerintahan Wajib terkait Pelayanan Dasar yang ditentukan dengan SPM dalam pelaksanaanya belum sesuai dengan ketentuan, baik dari pemberian sanksi hingga keengganan DPRD membahas Raperda APBD dengan kepala daerah.
e. Terjadi penyimpangan anggaran belanja terkait urusan pemerintahan sebagaimana yang diatur dalam UU Pemda.
f. Ketentuan Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 14 Permendagri No. 52 Tahun 2012 berdampak pada terhambatnya/sulitnya penerbitan Perda yang berkaitan dengan penyertaan modal pada BUMD dikarenakan dalam pelaksanaannya tidak ada APBD yang surplus.
5. Aspek Budaya Hukum
a. Peran serta masyarakat untuk ikut terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah masih sangat minim karena kurangnya kesadaran dan pemahaman dari masyarakat atas bentuk partisipasi yang dapat dilakukan.
b. Dicabutnya Permendagri No. 27 Tahun 2009 dengan Permendagri No. 19 Tahun 2017 telah menghilangkan salah satu bentuk partisipasi masyarakat yang justru sering digunakan.
Berdasarkan hasil kajian dan evaluasi UU Pemda, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI merekomendasikan sebagai berikut:
1. Aspek Substansi Hukum
a. Mengubah ketentuan Pasal 9 ayat (2); Pasal 10 ayat (2); - Pasal 14 ayat (1); Pasal 25 ayat (5); Pasal 25 ayat (6); Pasal 33; Pasal 216 ayat (3); Pasal 251 ayat (4); Pasal 255 ayat (1); Pasal 256 ayat (2); Pasal 269; Pasal 350 ayat (4); Pasal 360 ayat (1) dan (2); Pasal 361 ayat (7); Lampiran huruf A; Lampiran huruf C; Lampiran huruf E; Lampiran huruf F; Lampiran huruf BB; Lampiran huruf CC.
b. Melakukan sinkronisasi pengaturan UU Pemda dengan undang-undang sektoral.
c. Percepatan penetapan beberapa peraturan pelaksanaan yang belum selesai.
2. Aspek Kelembagaan/Struktur Hukum
a. Perlunya koordinasi pemerintah pusat dan daerah dalam penyusunan, pembahasan, dan pelaksanaan NSPK serta peningkatan sosialisasi, koordinasi, dan perlibatan pemangku kepentingan antar pusat dan daerah agar tidak membingungkan daerah.
b. Melaksanakan evaluasi secara berkala terhadap perkembangan daerah otonom baru dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
c. Perlunya pemahaman mengenai kedudukan DPRD dalam konteks NKRI, dikaitkan dengan ketidakharmonisan antara DPRD dan Pemerintah Daerah. Diperlukan pemahaman dan koordinasi antara kedua lembaga tersebut dengan membangun komunikasi yang baik dan saling memahami kedudukan dan kewenangannya masing-masing. Sehingga terwujud hubungan baik antar DPRD dan Pemerintah Daerah sebagaimana telah berhasil dilaksanakan di beberapa daerah.
d. Perlunya komitmen Pemerintah Daerah dalam sinkronisasi RKPD dengan DAK agar terjadi sinergitas antara RKPD dengan tujuan dialokasikannya DAK oleh pemerintah pusat.
e. Diperlukan sinergi antara Pemerintah Pusat dan Daerah dalam hal integrasi data untuk mendukung OSS tersebut sejalan dengan kewajiban pemberian pelayanan perizinan sesuai dengan UU Pemda sehingga Pemerintah Daerah tidak kehilangan data-data penting terkait perijinan.
f. Perlunya komitmen Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam melakukan pembinaan dan pengawasan yang menjadi kewenangannya secara terukur, konsisten, dan berkesinambungan.
g. Dalam hal pelaksanaan APIP perlu:
1) dilakukan penguatan APIP baik secara tugas dan fungsi maupun secara kelembagaan agar dapat berperan secara optimal menjaga akuntabilitas internal,
2) komitmen yang tinggi antara APIP dan APH dalam hal pengawasan aparatur negara dengan koordinasi dan komunikasi yang berkesinambungan.
3) penegakkan sanksi bagi aparatur Pemerintah Daerah yang dinilai belum penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan optimal sesuai peraturan perundang-undangan.
3. Aspek Sarana dan Prasarana
a. Melakukan upaya peningkatan kapasitas/kualitas SDM perangkat daerah/desa dan fungsional P2UPD.
b. Penyelenggaraan kerjasama dengan pihak lain untuk mendapatkan tambahan tenaga professional yang bisa memberikan penguatan peran DPRD.
c. Perlunya dukungan pemerintah untuk membangun infrastruktur yang memadai bagi pelaksanaan SPBE.
4. Aspek Pendanaan
a. UU Pemda disinergikan dengan UU Perimbangan Keuangan agar tidak menimbulkan ambiguitas dalam pengimplementasian norma.
b. Pemerintah Pusat perlu berkomitmen untuk menjalankan ketentuan-ketentuan dalam UU Pemda terkait pendanaan untuk urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
c. Pembentukan UU tentang Perubahan atas UU Perimbangan Keuangan.
5. Aspek Budaya Hukum
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah terus melakukan sosialisasi terkait dengan partisipasi masyarakat agar masyarakat dapat mengetahui bentuk partisipasi yang dapat diberikan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430