dalam kurun waktu 15 (lima belas) tahun, terdapat beberapa permasalahan dalam hal penyelenggaraan jaminan sosial nasional di Indonesia antara lain:
1. Aspek Substansi Hukum
Beberapa pasal telah dibatalkan oleh MK yaitu Pasal 5 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 13 ayat (1), UU SJSN. Selain itu, permasalahan norma jangka waktu selambat-lambatnya 5 (lima) tahun PT. Taspen, PT. Askes, PT. Asabri, dan PT. Jamsostek harus menyesuaikan dengan UU ini juga tidak efektif.
2. Aspek Struktur Hukum
UU SJSN tidak menentukan adanya pembentukan 2 (dua) lembaga BPJS saja, DJSN sebagai pengawas eksternal BPJS belum melaksanakan tugas, fungsi, dan wewenangnya secara optimal.
3. Aspek Pendanaan
Pasal 24 UU SJSN tidak menjelaskan besaran pembayaran terkait dengan fasilitas kesehatan setiap wilayah, sehingga terjadi cash flow BPJS Kesehatan yang buruk berdampak pada cash flow rumah sakit untuk membayar suplai obat sehingga rumah sakit menjadi kekurangan obat-obatan yang merupakan akibat dari timbulnya mismatch antara penerimaan dan pengeluaran dana jaminan sosial.
4. Aspek Budaya Hukum
Angka kepersertaan pekerja sektor informal dan pekerja kerja pada sektor formal untuk ikut serta dalam program asuransi belum optimal.
Provinsi Sumatera Utara, Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Kalimantan Selatan
1.Aspek Substansi Hukum
Permasalahan substansi/norma hukum dalam pelaksanaan UU SJSN yaitu sebagai berikut:
a. Terkait kejelasan rumusan dalan UU SJSN, ditemukan permasalahan pada:
1) Pasal 1 angka 1 mengenai frasa “perlindungan sosial” dalam definisi jaminan sosial tidak sinkron dengan Pasal 1 angka 8;
2) Penjelasan Pasal 4 huruf g mengenai frasa “seluruh penduduk” dan frasa “yang dilaksanakan secara bertahap”;
3) Pasal 13 ayat (1) mengenai frasa “secara bertahap”;
4) Pasal 19 ayat (2) mengenai frasa “kebutuhan dasar kesehatan”;
5) Pasal 23 ayat (4) mengenai frasa “kelas standar”;
6) Pasal 24 ayat (2) mengenai frasa “hari”; dan
7) Pasal 39 ayat (4) mengenai frasa “usia pensiun”.
b. Terkait penilaian terhadap efektivitas pelaksanaan UU SJSN, ditemukan pemasalahan pada:
1) Pasal 5 ayat (1) mengenai pembentukan badan penyelenggara jaminan sosial dengan undang-undang; dan
2) Pasal 52 ayat (2) mengenai jangka waktu penyesuaian badan penyelenggara jaminan sosial dengan UU SJSN.
c. Terkait potensi tumpang tindih atau disharmoni UU SJSN dengan peraturan perundang-undangan lainnya, ditemukan permasalahan pada:
1) Pasal 32 ayat (1) dengan UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam mengenai penyelenggara program JKK dalam Asuransi Perikanan atau Asuransi Pergaraman; dan
2) Pasal 37 ayat (3) dengan PP Jaminan Hari Tua mengenai syarat pembayaran manfaat JHT.
d. Terkait penambahan pengaturan dalam UU SJSN adalah sebagai berikut:
1) Penambahan manfaat kembali bekerja dalam program JKK dan penambahan program JSTB;
2) Pengaturan mengenai kewajiban pemerintah daerah untuk melakukan perluasan cakupan kepesertaan, meningkatkan kualitas pelayanan, dan meningkatkan kepatuhan melalui peraturan daerah;
3) Penguatan pengaturan mengenai fungsi, tugas, dan wewenang DJSN;
4) Penyempurnaan tata kelola BPJS termasuk penilaian terhadap laporan pertanggungjawaban BPJS sebagai badan hukum publik;
5) Pengaturan mengenai sanksi; dan
6) Pengaturan mengenai pengawasan dan penegakan hukum.
2. Aspek Struktur Hukum/Kelembagaan
a. Kelembagaan DJSN
Pada saat ini fungsi, tugas dan wewenang DJSN belum dijalankan secara optimal, terutama dalam hal pelaksanaan monitoring dan evaluasi penyelenggaraan jaminan sosial.
b. Kepesertaan dan Iuran
1) Belum adanya PBI pada program jaminan sosial ketenagakerjaan yang meliputi program JKK, JKM, JHT, dan JP.
2) Tidak tepatnya sasaran dalam penetapan PBI bagi masyarakat, penggolongan fakir miskin dan orang tidak mampu serta validasi data PBI kurang optimal. Selain itu masih banyak peserta yang memiliki dua NIK dan peserta terdaftar tetapi tidak memiliki NIK yang dapat mempengaruhi data besaran jumlah peserta PBI dalam program JKN.
3) Masih banyak perusahaan di Indonesia yang tidak mendaftarkan para pekerjanya dalam program jaminan sosial, serta masih banyak perusahaan yang mencantumkan upah pekerja tidak sesuai dengan upah keseluruhan yang diterima pekerja selama satu bulan kepada BPJS Ketenagakerjaan yang berdampak pada berkurangnya manfaat jaminan sosial yang didapatkan pekerja.
c. Program Jaminan Sosial
1) Adanya irisan antara kedua jenis program jaminan sosial, yaitu pada manfaat pelayanan kesehatan dan program JKK yang diselenggarakan oleh BPJS Ketenagakerjaan juga memberikan manfaat pelayanan kesehatan bagi peserta yang mengalami risiko kecelakaan kerja yang menimbulkan permasalahan dalam pelaksanaannya.
2) Terkait kesepakatan besaran tarif pembayaran fasilitas kesehatan, bahwa pada implementasinya rumah sakit/dokter tidak pada posisi yang setara untuk dapat bernegosiasi dengan BPJS Kesehatan mengenai kesepakatan besaran tarif pembayaran fasilitas kesehatan.
3) Adanya permasalahan terkait pengembangan sistem pelayanan kesehatan dimana panjangnya alur/prosedur fasilitas kesehatan yang harus dilalui oleh pasien yang meningkatkan risiko keterlambatan tindakan dan memberikan dampak memburuknya kondisi kesehatan.
d. Permasalahan Implementasi Pasal 52 UU SJSN
Pasal 52 UU SJSN menjadi dasar legitimasi bagi PT. Taspen dan PT. Asabri untuk tetap dapat menjalankan program jaminan sosial. Tidak terdapat ketentuan dalam UU SJSN yang menyatakan PT. Taspen dan PT. Asabri harus bertransformasi dan melakukan pengalihan program kepada BPJS Ketenagakerjaan.
3. Aspek Sarana dan Prasarana
Sarana dan prasarana dalam upaya pelaksanaan jaminan sosial nasional dalam aspek kepesertaan masih terkendala dari tingkat kepatuhan pemberi kerja untuk mendaftarkan pekerjanya maupun warga masyarakat dalam mengikutsertakan dirinya dalam program jaminan sosial. Lemahnya pemberian sanksi administratif bagi pemberi kerja ataupun masyarakat turut menjadi penyebab cakupan kepesertaan yang pada prinsipnya bersifat wajib menjadi belum optimal. Pemberian nomor identitas tunggal yang didasari pada NIK menutup kemungkinan bagi warga negara yang tidak memiliki NIK untuk menjadi peserta. Hal tersebut tentunya berpotensi membatasi hak setiap orang untuk mendapatkan manfaat dari sistem jaminan sosial sebagaimana dijamin dalam UUD Tahun 1945.
Fasilitas kesehatan yang memiliki peranan penting dalam penyelenggaraan JK belum seluruhnya terakreditasi. Akreditasi pada fasilitas kesehatan sangatlah penting guna menjamin mutu pelayanan yang diberikan oleh fasilitas kesehatan pada pasien atau peserta jaminan sosial.
4. Aspek Pendanaan
a. Pendanaan BPJS Kesehatan yang defisit dikarenakan tingginya tagihan klaim rumah sakit tidak berbanding dengan iuran premi peserta yang dihitung tidak sesuai dengan besaran premi ideal yang harus di iur peserta. Keadaan tagihan klaim yang tinggi tersebut berbeda dengan nilai pengeluaran yang timbul dari JK yang diselenggarakan PT. Askes (Persero) dan PT. Jamsostek (Persero) yang memberikan JK kepada peserta pada segmentasi yang terbatas yang jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan jumlah peserta BPJS Kesehatan saat ini. Oleh karena itu, permasalahan defisit tersebut menjadi relevan menimbulkan kewajiban BPJS Kesehatan untuk membayar klaim yang sangat timpang dibandingkan penerimaan dari iuran peserta BPJS Kesehatan.
b. Ketimpangan besaran iuran tersebut menyebabkan BPJS menjadi terlambat melakukan pembayaran terhadap tagihan klaim fasilitas kesehatan mitra. Dalam mengatasi kekurangan tersebut pemerintah memberikan suntikan dana tambahan kepada BPJS Kesehatan setiap tahunnya. Namun, suntikan dana tambahan kepada BPJS Kesehatan tersebut tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 24 ayat (1) UU SJSN, sehingga untuk mempercepat pembayaran BPJS memberikan jalan keluar melalui program SCF. Namun program SCF masih memiliki kendala karena tidak ada payung hukum yang mengatur program SCF tersebut, sehingga masih ada penolakan dari fasilitas kesehatan mitra untuk menggunakannya.
c. Ketidakmerataan atas pelayanan kesehatan JKN mewajibkan BPJS Kesehatan memberikan dana kompensasi, namun hingga saat ini dana kompensasi belum dapat direalisasikan.
5. Aspek Budaya Hukum
Penyelenggaraan sistem jaminan sosial nasional tidak terlepas dari peranan masyarakat mengingat kepesertaan dari sistem jaminan sosial nasional adalah seluruh masyarakat Indonesia merupakan suatu unsur dari proses interaksi yang terjadi dalam masyarakat. Peran serta masyarakat yang disebut partisipasi masyarakat merupakan salah satu bentuk keikutsertaan masyarakat secara aktif dan bertanggung jawab dalam menentukan keberhasilan program dan kinerja organisasi. Permasalahan budaya hukum SJSN bersumber dari kesadaran masyarakat untuk mendaftarkan diri, pemberi kerja untuk mendaftarkan pekerjanya, dan pemerintah untuk mendaftarkan masyarakat miskin dan kurang mampu sebagai peserta, serta kepatuhan peserta untuk membayar iuran secara rutin
1. Dalam aspek Substansi Hukum, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan rekomendasi sebagai berikut:
a. Mengubah ketentuan UU SJSN:
- Pasal 1 angka (8) di sesuaikan dengan Pasal 1 angka (1);
- Penjelasan Pasal 4 huruf g;
- Pasal 13 ayat (1);
- Pasal 19 ayat (2);
- Pasal 23 ayat (4);
- Pasal 24 ayat (2);
- Pasal 39 ayat (4); dan
- Pasal 52 ayat (2).
b. Upaya tindakan dalam rangka efektivitas pelaksanaan UU SJSN:
- Membentuk undang-undang pembentukan PT. Taspen (Persero) dan undang-undang pembentukan PT. Asabri (Persero) sebagai badan penyelenggara jaminan sosial; dan
- Menyesuaikan asas, tujuan, dan prinsip penyelenggaraan jaminan sosial oleh PT. Taspen (Persero) dan PT. Asabri (Persero) sesuai dengan UU SJSN.
- Melakukan sinkronisasi pengaturan UU SJSN dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan sistem jaminan sosial nasional.
c. Melakukan sinkronisasi/harmonisasi pengaturan UU SJSN dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan sistem jaminan sosial nasional.
d. Melakukan penambahan norma-norma dalam UU SJSN untuk beberapa hal yang belum diatur.
2. Dalam aspek Kelembagaan, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan rekomendasi sebagai berikut:
a. Penguatan kelembagaan DJSN dalam UU SJSN agar DJSN dapat menjalankan tugas, fungsi, dan wewenangnya secara optimal.
b. UU SJSN juga perlu mengatur mengenai PBI untuk program jaminan sosial ketenagakerjaan terutama pada pekerja sektor informal, sebagaimana pengaturan PBI untuk program JK.
c. Penguatan koordinasi dan kerjasama antar setiap instansi/lembaga dalam hal validasi data PBI.
d. Penguatan koordinasi dan kerjasama antara Asosiasi Fasilitas Kesehatan dengan BPJS dalam penentuan besaran tarif pembayaran fasilitas kesehatan agar dapat tercapai kesepakatan yang tidak akan berdampak pada pelayanan yang diberikan kepada masyarakat. Serta BPJS Kesehatan dalam pelaksanaannya harus mengembangkan sistem pelayanan secara optimal untuk dapat memudahkan pelayanan kepada masyarakat.
e. Berdasarkan Penjelasan Umum UU SJSN jelas menegaskan bahwa penyelenggaraan jaminan sosial diselenggarakan oleh beberapa badan penyelenggara. Artinya tidak ada pembatasan jumlah badan penyelenggara jaminan sosial. Ketentuan Pasal 52 ayat (2) UU SJSN memerintahkan PT. Taspen (Persero) dan PT. Asabri (Persero) harus melakukan penyesuaian berdasarkan UU SJSN. Penyesuaian PT. Taspen (Persero) dan PT. Asabri (Persero) harus dibentuk dengan undang-undang sebagai badan penyelenggara jaminan sosial. Serta melakukan penyesuaian dari Persero menjadi Badan yang sesuai dengan prinsip sebagaimana yang diatur dalam Pasal 4 UU SJSN.
3. Dalam aspek Sarana dan Prasarana, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan rekomendasi sebagai berikut:
Dalam hal sarana dan prasarana, terkait dengan perluasan kepesertaan perlu ditingkatkan kembali khususnya pada sektor pekerja informal dan mengoptimalkan pengawasan serta pemberian sanksi bagi pemberi kerja untuk mendaftarkan pekerjanya pada program jaminan sosial. Serta diperlukan komitmen dari fasilitas kesehatan dan juga pemerintah untuk mendorong terlaksananya akreditasi guna menjamin mutu pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit pada pasien atau peserta jaminan sosial.
4. Dalam aspek Pendanaan, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan rekomendasi sebagai berikut:
a. Iuran peserta BPJS Kesehatan perlu dilakukan penyesuaian.
b. Program SCF perlu dibuatkan payung hukumnya agar fasilitas kesehatan mitra mendapat jaminan legalitas dalam menggunakannya.
c. Dana kompensasi harus segera dibayarkan oleh BPJS Kesehatan kepada daerah yang belum terdapat pelayanan JKN.
5. Dalam aspek Budaya Hukum, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan rekomendasi sebagai berikut:
1. Kepatuhan masyarakat sebagai peserta dan pemberi kerja dalam hal pembayaran iuran kepada BPJS haruslah ditingkatkan sehingga pengelolaan dana jaminan sosial nantinya dapat diperoleh manfaatnya oleh peserta untuk mendapatkan pelayanan mudah, diakses secara cepat dan bermutu. Selain itu perlu dilakukan sosialisasi kepada peserta BPJS kesehatan mengenai aturan pembayaran dan beberapa kebijakan terkait dengan JKN;
2. Proses sosialisasi program JK, JKK, JHT, JP, JKM yang terdapat dalam Pasal 18 UU SJSN kepada masyarakat, pekerja, pemberi kerja dan dinas terkait harus dilakukan dengan optimal sehingga program jaminan sosial dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat;
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430