Setelah UU Desa dilaksanakan selama 5 (lima) tahun, terdapat isu-isu penting dalam hal penyelenggaraan pemerintahan desa di Indonesia, antara lain:
1) Dalam aspek substansi hukum, antara lain:
a. Pasal 1 angka 1 UU Desa mengatur bahwa “desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa…”, pengaturan tersebut menunjukkan adanya 2 entitas desa yakni desa dan desa adat namun frasa “selanjutnya disebut desa” tersebut berimplikasi pada timbulnya multitafsir pada pasal-pasal lainnya dalam hal pengaturan desa dan desa adat.
b. Pasal 1 angka 16 dan Penjelasan Umum UU Desa yang menyebutkan bahwa menteri yang menangani desa saat ini adalah Mendagri berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan dengan Kemendesa PDTT.
c. Pasal 33 UU Desa mengatur beberapa persyaratan calon kepala desa memiliki kendala terutama dalam hal syarat pendidikan paling rendah tamat sekolah menengah pertama yang berimplikasi pada kualitas kepemimpinan, dan syarat minimal terdaftar 1 (satu tahun) sebagai penduduk desa yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi menyebabkan tujuan pembangunan desa menjadi terhambat.
d. Pasal 39 UU Desa mengatur ketentuan kepala desa dapat menjabat selama 6 tahun selama paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan secara berturut-turut akan berpotensi terjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) di desa.
e. Pasal 100 ayat (1) UU Desa terkait perubahan status desa menjadi desa adat dan desa adat menjadi desa telah menimbulkan inkonsistensi dengan semangat UU Desa yang memberikan jaminan dan pengakuan terhadap masyarakat hukum adat.
f. Pasal 100 ayat (2) UU Desa menyebutkan dalam hal desa beralih status menjadi desa adat dan desa adat beralih status desa berimplikasi pada peralihan kekayaan, baik kekayaan desa menjadi kekayaan desa adat maupun kekayaan desa adat menjadi kekayaan desa. Namun, dalam pelaksanaannya pengaturan ini telah menimbulkan inkonsistensi dengan semangat UU desa yang memberikan jaminan dan pengakuan terhadap masyarakat hukum adat selain itu pengaturan tersebut dapat memicu konflik sebab kekayaan desa adat tidak bisa beralih status menjadi kekayaan desa begitupun sebaliknya.
g. Pasal 101 ayat (1) UU Desa mengatur bahwa Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat melakukan penataan desa adat. Dimana penataan desa adat tersebut ditetapkan dalam peraturan daerah. Pada Pasal 102 UU Desa ditegaskan bahwa peraturan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 tersebut berpedoman pada salah satu ketentuannya dalam Pasal 7 UU Desa terkait penataan desa yang salah satunya mengenai penetapan desa. Sesuai ketentuan Pasal 116 ayat (3) UU Desa terkait penetapan desa dan desa adat ditetapkan dengan peraturan daerah oleh pemerintah daerah kabupaten/kota paling lama 1 tahun setelah UU Desa diundangkan. Namun dalam pelaksanaannya, sampai dengan saat ini belum ada penetapan desa adat melalui peraturan daerah. Persoalan lain yang juga muncul dalam kaitannya dengan penetapan desa adat, yakni seperti hal nya di Provinsi Bali, tidak didaftarkannya desa adat secara formal karena berimplikasi pada kekayaan dan aset desa adat yang dikhawatirkan menjadi milik desa dinas (administratif).
2) Dalam aspek struktur hukum /kelembagaan, antara lain:
a. Adanya 2 (dua) kementerian yang menangani desa berimplikasi pada potensi tumpang tindih kewenangan dan berpotensi adanya duplikasi program. Hal ini disebabkan karena masing-masing kementerian mengeluarkan peraturan pelaksanaan yang berpotensi bertentangan seperti Permendagri Pengelolaan Keuangan Desa dan Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 16 Tahun 2018 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2019.
b. Terbatasnya kemampuan aparatur Pemerintah Desa dalam menyelenggarakan pemerintahan desa, pembangunan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa,
c. Pelaksanaan Pasal 55 huruf c UU Desa yang memuat fungsi BPD dalam melakukan pengawasan kinerja kepala desa dinilai masih sangat lemah yang menyebabkan potensi korupsi kepala desa menjadi semakin terbuka.
d. Penjelasan Umum UU Desa menyebutkan bahwa kelembagaan desa salah satunya terdiri dari Badan Permusyawaratan Desa/Desa Adat. Namun dalam pelaksanaannya di Provinsi Maluku masih terdapat pemahaman bahwa Badan Permusyawaratan Desa sebagaimana yang diatur dalam Pasal 55 sampai dengan Pasal 65 adalah juga mencakup Badan Permusyawaratam Desa Adat padahal dalam Pasal 108 UU Desa telah tegas menyatakan bahwa pemerintahan desa adat menyelenggarakan fungsi permusyawaratan dan musyawarah desa adat sesuai dengan susunan asli desa adat atau dibentuk baru sesuai dengan prakarsa masyarakat desa adat.
e. Pasal 112 ayat (1) UU Desa mengatur mengenai pembinaan dan pengawasan yang dilakukan secara berjenjang oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, namun dalam pelaksanaannya masih lemahnya pembinaan dan pengawasan terhadap aparatur Pemerintah Desa dalam menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan desa.
3) Dalam aspek pendanaan, antara lain:
a. Pasal 72 ayat (4) UU Desa yang mengatur ADD paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota dalam APBD setelah dikurangi DAK, hal ini tidak banyak dipatuhi oleh pemerintah daerah karena UU Desa tidak mengatur perihal sanksi bagi pemerintah daerah yang tidak memenuhi ketentuan tersebut.
b. Penggunaan DD dalam pelaksanaannya belum sesuai dengan tujuan peruntukannya sehingga penyelewengan dana desa masih banyak terjadi.
c. Pasal 79 UU Desa mengatur mengenai perencanaan pembangunan desa, namun dalam pelaksanannya masih terdapat kepala desa yang terlambat dalam menetapkan APB Desa yang mengakibatkan terlambatnya penerimaan dana desa dan juga berdampak pada keterlambatan pelaksanaan pembangunan desa.
d. Permasalahan banyaknya BUM Desa yang tidak aktif karena kurangnya pembinaan dan keterbatasan modal operasional.
4) Dalam aspek sarana dan prasarana, antara lain:
a. kurangnya jumlah dan belum sesuainya kompetensi tenaga pendamping profesional yang dibutuhkan menyebabkan pembinaan dan pendampingan desa menjadi tidak optimal.
b. Pasal 86 ayat (2) UU Desa mengatur bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengembangkan SID, namun sampai saat ini belum ada SID.
c. Dengan adanya beberapa kementerian yang menangani desa melahirkan indikator keberhasilan yang berbeda-beda yang berimplikasi pada beragam nya data yang dihasilkan terkait evaluasi pembangunan desa.
5) Dalam aspek budaya hukum antara lain:
a. Nilai kegotongroyongan masyarakat desa telah memudar yang menyebabkan menurunnya kesadaran masyarakat dalam pembangunan partisipatif desa mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan hingga pengawasan.
b. Pasal 100 UU Desa yang mengatur tentang perubahan status desa menjadi desa adat dan desa adat menjadi desa berimplikasi pada nili-nilai yang berlaku di masyarakat adat dimana nilai-nilai tersebut tidak dapat diseragamkan dan inkonsisten dengan semangat UU Desa yang memberikan jaminan dan pengakuan terhadap masyarakat hukum adat.
Provinsi Jawa Barat, Maluku, Bali dan Jawa Timur
1. Substansi Hukum
Berdasarkan uraian analisis dan evaluasi aspek substansi hukum, terdapat pemetaan masalah substansi/norma UU Desa berdasarkan indikator norma yang berpotensi disharmoni
2. Struktur Hukum/Kelembagaan
a. Adanya dualisme kementerian yang menangani desa berimplikasi pada tumpang tindih kewenangan terkait desa dan memicu timbulnya duplikasi program pembangunan desa. Sehingga menyebakan program yang dilaksanakan tidak tepat saran yang mengakibatkan tidak terlihat output yang dihasilkan.
b. Masih terbatasnya kemampuan/kapasitas pemerintah desa dalam hal perencanaan pembangunan desa dan pengelolaan keuangan desa baik dari tahapan perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, maupun pertanggungjawaban.
c. Minimnya kapasitas SDM BPD dalam memahami tugas dan fungsinya dan belum optimalnya peran BPD dalam menjalankan fungsi pengawasan.
d. Kurangnya pembinaan terhadap aparatur pemerintah desa terutama dalam hal perencanaan pembangunan dan pengelolaan keuangan desa dan lemahnya pengawasan yang kemudian berimplikasi pada timbulnya potensi-potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah desa.
3. Keuangan Desa
a. Kepala desa, perangkat desa, dan pengurus BUM Desa kurang memiliki kompetensi dan pemahaman yang optimal terkait regulasi dan teknis dalam hal keuangan desa serta pengelolaan BUM Desa.
b. Pendapatan asli desa masih rendah karena desa masih bergantung pada DD, ADD, dan bagi hasi PDRD kabupaten/kota.
c. Penganggaran DD membutuhkan akurasi dan keterpaduan data terkait dengan desa, seperti data dari IDM, data jumlah penduduk, data angka kemiskinan, data luas wilayah, dan data Indeks Kesulitan Geografis yang diolah oleh berbagai kementerian dan lembaga.
d. Terdapat pemerintah kabupaten/kota yang belum menerapkan kewajiban untuk menganggarkan 10% (sepuluh persen) APBD kabupaten/kota sebagai ADD.
e. Dalam hal pengelolaan DD, perencanaan pembangunan desa tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan kekhasan daerah sehingga berpotensi tidak tercapainya sasaran dan tujuan pembangunan desa.
f. Belum adanya regulasi penetapan standar akuntasi pemerintahan desa dan belum adanya regulasi penyelenggaraan dan pembinaan aparatur desa yang lengkap dan mutakhir
g. Status BUM Desa bukan sebagai badan hukum memberikan implikasi terhadap subjek yang melakukan perbuatan hukum, harta kekayaan, dan pertanggungjawaban meskipun UU Desa membuka ruang agar BUM Desa mengikuti badan hukum yang telah ditetapkan. BUM Desa tidak hanya berorientasi pada keuntungan sehingga penetapan tarif pajak penghasilan tidak dapat disamakan dengan perusahaan yang profit-oriented semata.
4. Sarana dan Prasarana
a. Terdapat aset desa yang belum tercatat dalam laporan aset dan/atau daftar inventarisasi aset
b. Kualitas SID dan manajemen informasi data yang dikelola oleh Pemerintah Desa belum optimal
c. Instrumen keberhasilan desa belum dapat digunakan sebagai dasar perencanaan kebijakan pembangunan desa secara akurat dikarenakan adanya perbedaan indeks.
d. Masih minimnya tenaga pendamping profesional dan tenaga pendamping yang ada belum sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan.
5. Budaya Hukum
Masyarakat dalam UU Desa memiliki peran yang sangat besar karena sebagai subjek pembangunan. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa sangat dibutuhkan karena akan menentukan keberhasilan program kinerja dan organisasi. Namun dalam pelaksanaannya, kesadaran masyarakat desa untuk ikut serta dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa masih belum optimal. Nilai dann budaya gotong royong juga telah memudar di kehidupan masyarakat desa. Selain itu kurangnya minta masyarakat untu berpatisipasi dalam pencalonan diri sebagai kepala desa juga menjadi pemicu adanya pilkades tunggal. Masyarakat juga belum optimal dalam menggunakan haknya untuk mendapatkan informasi dan ikut mengawal perencanaan pembangunan desa. Hal ini yang kemudian menjadi salah satu faktor penyebab terhambatnya pnyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di desa.
1. Dalam aspek Substansi Hukum, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan rekomendasi sebagai berikut:
a. Mengubah ketentuan UU Desa:
- Pasal 1 angka 1;
- Pasal 1 angka 16;
- Pasal 6 ayat (1);
- Pasal 8 ayat (2) dan (3);
- Pasal 19 huruf c dan d;
- Pasal 31 ayat (3);
- Pasal 33 huruf d;
- Pasal 33 huruf g;
- Pasal 50 ayat (1) huruf c;
- Pasal 39;
- Pasal 83 ayat (1);
- Pasal 86 ayat (2);
- Pasal 87 ayat (1);
- Pasal 96;
- Pasal 116 ayat (2), (3), dan (4);
- Penjelasan Umum;
- Penjelasan Pasal 6.
b. Melakukan sinkronisasi pengaturan UU Desa dengan UU Pemda.
2. Dalam aspek Struktur Hukum/Kelembagaan, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan rekomendasi sebagai berikut:
a. Perlu adanya perpres baru yang mengatur secara tegas bahwa hanya ada 1 (satu) menteri yang menangani desa agar sejalan dengan amanat UU Desa.
b. Perlunya peningkatan kapasitas pemerintah desa melalui pembinaan yang dilakukan secara konsisten dan berkesinambungan.
c. Perlunya peningkatan kapasitas SDM BPD melalui pembinaan dan pentingnya penguatan peran dan fungsi BPD khususnya terkait pengawasan kinerja kepala desa.
d. Dibutuhkan komitmen yang kuat dari pemerintah dan pemerintah daerah dalam hal pembinaan dan pengawasan serta didukung dengan mengoptimalkan peran BPD dan masyarakat dalam hal pengawasan agar penyelenggaraan pemerintahan desa dapat berjalan secara efektif.
3. Dalam aspek Keuangan Desa, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan rekomendasi sebagai berikut:
a. Perlunya kompetensi dan kreativitas dari pemerintah desa untuk memaksimalkan potensi desa untuk menambah pendapatan asli desa.
b. Perlunya penguatan koordinasi dan sinergitas dari berbagai instansi dalam pengumpulan data desa sehingga menjadi sebuah big data yang terintegrasi agar penganggaran DD tepat sasaran.
c. Perlunya reformulasi kewajiban pemerintah kabupaten/kota untuk menganggarkan ADD sebesar minimal 10% (sepuluh persen) dengan memperhitungkan proporsi jumlah desa dan kelurahan dalam kabupaten/kota.
d. Perlunya kebijakan yang lebih memberikan keleluasaan bagi desa dalam menentukan prioritas penggunaan DD dengan tetap dalam rambu-rambu sinkronisasi dengan perencanaan daerah dan nasional.
e. Perlu adanya regulasi terkait standar akuntasi pemerintahan desa.
f. Perlu adanya penegasan mengenai status hukum BUM Desa dalam UU Desa dan penyesuaian tarif pajak penghasilan bagi BUM Desa berdasarkan karakteristik BUM Desa yang tidak profit oriented semata.
g. Perlunya peran pemerintah dan pemerintah daerah untuk melakukan pembinaan terhadap aparatur pemerintah desa khususnya dalam pengelolaan keuangan desa dan BUM Desa.
4. Dalam aspek Sarana dan Prasarana, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan rekomendasi sebagai berikut:
a. Perlunya pembinaan aparatur pemerintah desa secara berkala oleh pemerintah kabupaten/kota dalam hal pelaporan pencatatan aset dan pengelolaan informasi desa melalui SID.
b. Peningkatan kompetensi dan penambahan jumlah tenaga pendamping.
c. Diperlukan adanya standarisasi indikator keberhasilan desa agar memperoleh data yang sama/valid.
5. Dalam aspek Budaya Hukum, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan rekomendasi yaitu Pemerintah Desa harus berperan untuk mendorong pelibatan masyarakat secara aktif dan luas mulai saat perencanaan pembangunan desa sampai dengan pelaksanaan sehingga terdapat kejelasan rencana kegiatan pembangunan dan sumber pembiyaannya.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430