Selama berlakunya UU PPLH sejak tahun 2009, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI menemukan permasalahan utama dan mendasar terkait dengan pelaksanaan UU PPLH antara lain:
1. Dalam aspek perencanaan, yaitu belum ditetapkannya Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) sebagaimana yang telah diamanatkan dalam UU PPLH kepada Pemerintah dan pemerintah daerah. Kemudian terkait dengan penerbitan izin usaha bagi usaha/kegiatan yang wajib memiliki izin lingkungan, dimana persyaratan untuk dikeluarkan izin meliputi dokumen lingkungan berupa Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) serta Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL). Serta keterlibatan Dinas Kelautan dan Perikanan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
2. Dalam aspek pemanfaatan, tercermin jelas atau tidaknya prinsip kemanfaatan yang ada di dalam rumusan ketentuan UU PPLH bergantung kepada degree of perception (tergantung pada sudut pandangnya), seperti belum ditetapkannya Peraturan Pemerintah sebagaimana yang diamanatan oleh pasal 12 ayat 4 UU PPLH terkait dengan tata cara penetapan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
3. Dalam aspek pengendalian, yang berkaitan dengan dokumen lingkungan seperti Amdal dan UKL-UPL yang dibuat dan dilaporkan secara berkala sebagai persyaratan untuk izin lingkungan dan izin-izin usaha lainnya.
4. Dalam aspek pemeliharaan lingkungan, yaitu kesadaran masyarakat dan seluruh pihak terkait dalam upaya yang dilakukan untuk menjaga pelestarian fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya penurunan atau kerusakan lingkungan hidup.
5. Dalam aspek pengawasan terkait dengan pelaksanaan koordinasi kewenangan dan pengawasan antara Pemerintah dan pemerintah daerah.
6. Dalam aspek penegakan hukum, yaitu berkaitan dengan sistem penegakan hukum terpadu dan disertai dengan prosedur penegakan hukum yang berimplikasi pada minimnya kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum yang berkaitan dengan sanksi pidana dan administratif sebagaimana yang diatur di dalam peraturan perundang-undangan.
7. Dalam aspek lainnya, yang berkaitan dengan adanya disharmoni dan tumpang tindih dengan peraturan perundang-undangan terkait dan terdapat sejumlah peraturan perundang-undangan yang tidak berjalan di tingkat daerah.
Provinsi Riau dan Provinsi Jawa Tengah
Berdasarkan hasil kajian, analisis, dan evaluasi UU PPLH yang telah dilakukan pemantauan oleh Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI, dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan UU PPLH tidak optimal karena terdapat kendala/masalah terkait aspek substansi hukum, struktur hukum, sarana dan prasarana, pendanaan, dan budaya hukum masyarakat yang diurai sebagai berikut:
1. Aspek Substansi Hukum
Terdapat ketidakjelasan rumusan pada Pasal 48, Pasal 66, Pasal 73, Pasal 77, Pasal 81, dan Pasal 90; serta terdapat ketidakefektifan pada Pasal 10 ayat (3) huruf a, 12 ayat (1), Pasal 36 s.d Pasal 41, Pasal 86, Pasal 95.
2. Aspek Struktur Hukum/Kelembagaan
Pelaksanaan otonomi daerah dalam Pasal 63 dan Pasal 13 ayat (3) UU PPLH belum menhatur kewenangan pemerintah daerah kabupaten/kota dalam penanganan pencemaran lingkungan, serta belum optimalnya pengawasan dan penegakan hukum lingkungan hidup.
3. Aspek Sarana dan Prasarana
Keberadaan laboratorium pengujian lingkungan yang ada saat ini belum merata terlebih yang memenuhi akreditasi sebagai laboratorium penguji parameter kualitas lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Permen LH
Nomor 6 Tahun 2009 yang menyebabkan kurang efektifnya penyediaan data kualitas lingkungan yang akurat dan valid.
4. Aspek Pendanaan
PP IELH belum tersosialisasi dengan baik, anggaran berbasis lingkungan hidup belum berbasiskan amanat Pasal 45 UU PPLH, dan belum ditetapkan secara rinci terkait Dana Pemulihan Limgkungan Hidup.
5. Aspek Budaya Hukum
Banyaknya kasus pembakaran lahan/hutan di masyarakat tidak mengikuti ketentuan yang ada.
1) Penambahan wewenang pemerintah daerah dalam Pasal 48 UU PPLH untuk mendorong penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan audit lingkungan hidup dapat dilakukan dengan mendasarkan pada wewenang yang dimiliki oleh pemerintah daerah berdasarkan Pasal 63 ayat (2) huruf i dan ayat (3) huruf l serta Pasal 71 ayat (1) UU PPLH.
2) Terkait Pasal 77 UU PPLH, diperlukan pemberian wewenang second line kepada gubernur untuk memberikan/menerapkan sanksi administratif terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika pemerintah provinsi menganggap pemerintah daerah kabupaten/kota secara sengaja tidak menerapkan sanksi administratif terhadap pelanggaran yang serius di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
3) Terkait Pasal 81 UU PPLH, perlu menetapkan instrumen uang paksa (dwangsom) terhadap setiap keterlambatan dari pelaksanaan sanksi paksaan pemerintah. Uang paksa dapat dijadikan tambahan dan/atau mengganti denda yang selama ini diterapkan.
4) Terkait Pasal 90 ayat (1) UU PPLH, terdapat alternatif usulan untuk mengubah hak gugat menjadi kewajiban gugat untuk menegaskan prinsip pencemar pembayar dan/atau menambahkan ketentuan kewajiban gugat setelah hak gugat.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430