Info Judicial Review Putusan MK - Menyatakan Mengabulkan

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dikabulkan Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 10/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 28-09-2020

Bahwa pada hari Senin tanggal 28 September 2020, pukul 11.27 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (selanjutnya disebut UU Pengadilan Pajak) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 10/PUU-XVIII/2020. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 10/PUU-XVIII/2020, perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU Pengadilan Pajak dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.10] Menimbang bahwa setelah membaca secara saksama argumentasi yang dikemukakan dalam permohonan para Pemohon serta memeriksa bukti-bukti yang diajukan, terdapat dua pokok persoalan konstitusional yang dipersoalkan oleh para Pemohon yakni:
1. pembinaan oleh kementerian keuangan dalam Pasal 5 ayat (2) UU 14/2002 tidak boleh diartikan pembinaan Kementerian Keuangan termasuk dalam mengusulkan Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Pajak;
2. Frasa “dari para hakim” dan frasa “diusulkan Menteri” dalam Pasal 8 ayat (2) UU 14/2002 harus diartikan Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Pajak dipilih dari dan oleh hakim dan diusulkan oleh pengadilan pajak untuk satu kali masa jabatan selama lima tahun;

[3.11] Menimbang bahwa dari kedua pokok persoalan tersebut di atas, menurut Mahkamah, meskipun para Pemohon tidak keberatan terhadap pembinaan, organisasi, administrasi dan keuangan dilakukan oleh Kementerian Keuangan, namun terkait dengan pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Pajak yang tidak boleh melibatkan menteri dan harus adanya pengaturan periodisasi atau pembatasan masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Pajak.

[3.12] Menimbang bahwa terhadap kedua pokok permasalahan konstitusionalitas tersebut di atas, Mahkamah akan mempertimbangkan sebagai berikut:

[3.12.1] Bahwa permohonan para Pemohon terkait dengan Pasal 5 ayat (2) UU 14/2002 yang menyatakan, “Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Departemen Keuangan”, terlebih dahulu Mahkamah mengutip Paragraf [3.12] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUUXIV/2016, bertanggal 4 Agustus 2016, yang antara lain mempertimbangkan sebagai berikut:
… Adanya kewenangan yang diberikan kepada Kementerian Keuangan in casu Menteri Keuangan khususnya terkait dengan Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak termasuk juga pengusulan dan pemberhentian hakim pengadilan pajak, menurut Mahkamah hal tersebut justru telah mengurangi kebebasan hakim pajak dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak. Oleh karena itu menurut Mahkamah untuk menjaga marwah lembaga pengadilan pajak dalam upaya mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka maka sudah sepatutnya pengadilan pajak diarahkan pada upaya membentuk sistem peradilan mandiri atau yang dikenal dengan “one roof system” atau sistem peradilan satu atap. Hal tersebut telah dilakukan terhadap lingkungan peradilan lainnya di bawah Mahkamah Agung dimana pembinaan secara teknis yudisial maupun organisasi, administrasi dan finansial berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung dan bukan berada di bawah Kementerian. Terlebih lagi telah ada pengakuan bahwa Pengadilan Pajak adalah bagian dari Pengadilan Tata Usaha Negara, sehingga sudah seharusnya ada perlakuan yang sama untuk satu atap (one roof system) terhadap Pengadilan Pajak. Hal ini harus menjadi catatan penting bagi pembentuk Undang-Undang ke depannya.

Berdasarkan pertimbangan hukum Mahkamah dalam putusan tersebut, pendirian yang kemudian diperintahkan oleh Mahkamah kepada pembentuk undang-undang telah jelas dan tegas, bahwa oleh karena dalam sistem ketatanegaraan Indonesia lembaga peradilan yang diatur dalam Pasal 24 ayat (2) UUD Tahun 1945 yang menentukan bahwa “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Maka, lembaga peradilan di Indonesia dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga kekuasaan kehakiman tertinggi. Demikian halnya dengan Pengadilan Pajak yang merupakan pengadilan khusus yang pembentukannya/keberadaannya berdasarkan pada ketentuan Pasal 27 ayat (1) UU 48/2009 yang menyatakan, “Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25”, yang penjelasan dari pasal tersebut menyatakan, “Yang dimaksud dengan “pengadilan khusus” antara lain adalah pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial dan pengadilan perikanan yang berada di lingkungan peradilan umum, serta pengadilan pajak yang berada di lingkungan peradilan tata usaha negara”, yang kemudian diatur juga dalam UU 14/2002 khususnya Pasal 2 yang menentukan bahwa “Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak”. Merujuk ketentuan tersebut, secara normatif Pengadilan Pajak merupakan pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa perpajakan.

Namun demikian jika dipelajari lebih jauh mengenai sengketa perpajakan adalah sengketa antara kepentingan rakyat selaku wajib pajak dengan kepentingan rakyat sebagai penikmat pajak yang tidak dapat dipersamakan dengan sengketa publik lainnya terlebih dengan sengketa privat. Maka dalam sengketa pajak diperlukan penyelesaian sengketa secara cepat untuk memberikan kepastian hukum baik bagi wajib pajak terhadap kewajiban pembayarannya maupun bagi negara yang membutuhkan penerimaan perpajakan untuk pembiayaan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan. Sifat dari putusan pajak yang menciptakan kepastian baik bagi wajib pajak maupun bagi pemungut pajak agar sejumlah nominal pajak yang disengketakan dapat segera dimanfaatkan oleh wajib pajak maupun oleh negara untuk kepentingan rakyat serta diperlukan peran pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan untuk menjaga Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), maka Mahkamah dapat memahami sampai saat ini Pengadilan Pajak masih berada di bawah pembinaan Kementerian Keuangan sebagai lembaga yang salah satu tugas pokoknya adalah mengurusi keuangan dan pendapatan negara yang salah satunya berasal dari pajak atau dengan kata lain terkait dengan pengadilan pajak yang harus satu atap (one roof system) di bawah Mahkamah Agung. Oleh karena itu sepanjang tugas dan kewenangan hakim Pengadilan Pajak tidak terganggu independensinya dalam mengadili suatu perkara, maka kebijakan yang seperti itu merupakan pilihan kebijakan (open legal policy) dari pembentuk undang-undang terhadap keberadaan Pengadilan Pajak yang masih berada di bawah pembinaan Kementerian Keuangan. Dengan demikan maka pertimbangan Mahkamah mengenai Pengadilan Pajak yang masih di bawah pembinaan Kementerian Keuangan menjadi mutatis mutandis dengan pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU-XIV/2016 sebagaimana tersebut di atas. Namun demikian sekali lagi Mahkamah tetap menekankan kepada Pengadilan Pajak dalam melaksanakan kewenangannya harus tetap mengedepankan dan mengutamakan kebebasan dan independensi hakim dalam memeriksa dan memutus sengketa perpajakan.

[3.12.2] bahwa sebagaimana pertimbangan Mahkamah tersebut di atas, apakah pembinaan oleh Menteri Keuangan dalam Pasal 5 ayat (2) UU 14/2002 terkandung arti termasuk terdapat peran Menteri Keuangan dalam pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Pajak sehingga para Pemohon menghendaki agar frasa tersebut diartikan pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Pajak tidak seharusnya melibatkan Menteri Keuangan. Bila melihat Penjelasan Pasal 5 ayat (2) UU 14/2002 memang hanya menyatakan cukup jelas, dan tidak mengartikan atau menjelaskan bahwa pembinaan organisasi tersebut diartikan termasuk pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Pajak. Begitupula jika Mahkamah mengartikan kata pembinaan itu sendiri yaitu usaha, tindakan, dan kegiatan yang dilakukan secara efisien dan efektif untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Dengan demikian, Mahkamah belum bisa melihat secara spesifik makna sebenarnya frasa pembinaan organisasi dalam Pasal 5 ayat (2) UU 14/2002. Bisa jadi makna yang terkandung dalam frasa tersebut adalah tidak termasuk dalam pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Pajak seperti halnya yang dimaknai oleh para Pemohon. Oleh karena itu menurut Mahkamah jika para Pemohon menghendaki pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Pajak tidak boleh diusulkan oleh Kementerian Keuangan adalah tidak tepat dengan cara menguji Pasal 5 ayat (2) UU 14/2002 terhadap UUD 1945 karena pengertian dari frasa pembinaan organisasi itu sendiri belum tentu dapat diartikan termasuk dalam pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Pajak. Terlebih, dalam ketentuan norma Pasal 5 ayat (2) UU 14/2002 secara keseluruhan tidak mengatur perihal tata cara maupun persyaratan pengusulan dan pengangkatan Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Pajak. Oleh karena itu sesungguhnya menjadi tidak relevan melekatkan pemberlakuan secara bersyarat atas norma Pasal 5 ayat (2) UU 14/2002 dengan persyaratan pengusulan dan pengangkatan Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Pajak.
Di samping pertimbangan hukum tersebut di atas, terlepas kata “Pembinaan” dapat mencakup keterlibatan Menteri Keuangan dalam pengusulan Ketua/Wakil Ketua Pengadilan Pajak yang bisa tumpang tindih dengan kewenangan yang berkaitan dengan independensi hakim, terhadap keraguan demikian tidak dapat dihindarkan. Sebab, sebagai konsekuensi dari masih ditegaskannya oleh Mahkamah Pasal 5 ayat (2) UU 14/2002 adalah konstitusional, maka keterlibatan Menteri Keuangan dalam mengusulkan Ketua/Wakil Ketua Pengadilan Pajak masih harus dipertahankan hingga terwujudnya Pengadilan Pajak berada dalam satu atap di bawah Mahkamah Agung (“one roof system”). Namun demikian untuk menjawab keraguan di atas, penting bagi Mahkamah menegaskan bahwa keterlibatan Menteri Keuangan dalam pengusulan Ketua/Wakil Ketua Pengadilan Pajak benar-benar hanya terbatas pada persyaratan formal yang bersifat administratif semata, yang pertimbangan hukum selengkapnya akan dipertimbangkan pada saat Mahkamah mempertimbangkan konstitusionalitas norma Pasal 8 ayat (2) UU 14/2002, yang juga dimohonkan pengujian oleh para Pemohon dalam permohonan a quo. Sebab, dalam Pasal 8 ayat (2) UU 14/2002 persyaratan untuk diusulkan sebagai Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Pajak melekat bukan dalam norma Pasal 5 ayat (2) UU 14/2002. Oleh karena itu kekhawatiran adanya konflik kepentingan kewenangan mengusulkan oleh Menteri Keuangan tidak dapat disusupi dengan kepentingan yang mempengaruhi kebebasan hakim dapat dihindari. Terlebih lagi, sebenarnya terhadap kekhawatiran dimaksud sesungguhnya juga tidak beralasan, karena telah ditegaskan dalam ketentuan Pasal 5 ayat (3) UU 14/2002, yang menyatakan: “Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus Sengketa Pajak”. Artinya keterlibatan pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan bagi Pengadilan Pajak yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan (vide Pasal 5 ayat (2) UU 14/2002) dan bahkan pembinaan teknis peradilan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung (vide Pasal 5 ayat (1) UU 14/2002) juga tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak.
Berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, khususnya pertimbangan hukum sebagaimana yang dikutip dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU-XIV/2016, dipertegas dengan pertimbangan hukum yang bersifat kekinian, maka tidak ada alasan bagi Mahkamah untuk mengubah pendiriannya berkaitan dengan konstitusionalitas norma Pasal 5 ayat (2) UU 14/2002 dan oleh karenanya Mahkamah tetap mendorong kemandirian Pengadilan Pajak dalam satu atap di bawah Mahkamah Agung dan terlepas dari Kementerian Keuangan adalah sebuah keniscayaan dan menjadi kewenangan pembentuk undang-undang yang menjadikan skala prioritas untuk segera diwujudkan.
Bahwa sebelum sampai pada sikap Mahkamah terhadap dalil para Pemohon berkaitan dengan konstitusionalitas norma Pasal 5 ayat (2) UU 14/2002, terkait permohonan para Pemohon pada norma a quo, setelah dicermati dengan saksama pada bagian posita dan petitum permohonan para Pemohon telah ternyata terdapat ketidakkonsistenan. Di mana, pada uraian dalil permohonan menguraikan pembinaan pengadilan pajak seolah-olah terbatas pada kata “pembinaan organisasi” dengan huruf tebal (bold), namun pada bagian petitum memohon agar kata “pembinaan” oleh kementerian keuangan seolah-olah pembinaan secara keseluruhan, termasuk juga baik keuangan dan administrasi. Hal demikian menunjukkan adanya “contradictio in terminis” dari pendirian para Pemohon, pada satu sisi para Pemohon pada frasa “pembinaan organisasi” saja yang dimohonkan agar dinyatakan tidak termasuk mengusulkan ketua dan wakil ketua pengadilan pajak, namun pada sisi lain keseluruhan pembinaan termasuk keuangan dan administrasi juga termasuk yang dimohonkan agar dinyatakan tidak termasuk mengusulkan ketua dan wakil ketua pengadilan pajak. Selanjutnya selain ketidakkonsistenan tersebut, permohonan para Pemohon terdapat ambiguitas pada bagian lainnya, yaitu pada petitum permohonan para Pemohon yang menyatakan bahwa norma Pasal 5 ayat (2) UU 14/2002 tetap konstitusional sepanjang tidak termasuk mengusulkan ketua dan wakil ketua pengadilan pajak, padahal norma pasal a quo telah cukup jelas memang tidak termasuk mengusulkan ketua dan wakil ketua pengadilan pajak.

Berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut, berkenaan dengan Pasal 5 ayat (2) UU 14/2002 Mahkamah tetap pada pendirian sebagaimana pertimbangan hukum di atas, namun setelah dicermati uraian permohonan para Pemohon terkait konstitusionalitas norma Pasal 5 ayat 2 UU 14/2002 telah ternyata tidak jelas atau kabur. Namun demikian, seandainya permohonan para Pemohon tidak kabur, quod non, permohonan para Pemohon berkenaan konstitusionalitas norma Pasal 5 ayat (2) UU 14/2002 adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.13] Menimbang bahwa selanjutnya dalil para Pemohon yang terkait dengan Pasal 8 ayat (2) UU 14/2002 yang menyatakan, “Ketua dan Wakil Ketua diangkat oleh Presiden dari para Hakim yang diusulkan Menteri setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah Agung”, yang dimohonkan pengujiannya oleh para Pemohon dan memohon kepada Mahkamah sebagaimana petitum para Pemohon agar frasa “dari para hakim” dan frasa “diusulkan oleh Menteri” dalam pasal tersebut dimaknai “Ketua dan Wakil Ketua dipilih dari dan oleh hakim dan diusulkan oleh pengadilan pajak untuk 1 (satu) kali masa jabatan selama 5 (lima) tahun”. Dari permohonan tersebut para Pemohon menghendaki agar tidak boleh ada keterlibatan Menteri Keuangan dalam pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Pajak dan harus adanya masa jabatan atau periodisasi ketua dan wakil ketua yaitu hanya 1 (satu) kali masa jabatan selama 5 (lima) tahun. Terhadap permohonan para Pemohon tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

[3.13.1] Bahwa Mahkamah dalam Putusan Nomor 6/PUU-XIV/2016, tanggal 4 Agustus 2016 Paragraf [3.14] telah mempertimbangakan sebagai berikut:
“Menimbang bahwa oleh karena hakim pengadilan pajak adalah sama atau sejajar dengan hakim di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, Pengadilan Tinggi dalam lingkungan Peradilan Umum, serta Pengadilan Tinggi Agama, sehingga ketentuan mengenai pemberhentian dengan hormat hakim pada pengadilan pajak juga harus disesuaikan dengan ketentuan mengenai pemberhentian dengan hormat dari jabatan hakim tinggi di lingkungan peradilan tata usaha negara sebagaimana diuraikan dalam paragraf di atas, maka terkait periodisasi atau masa jabatan hakim pajak agar tidak menimbulkan perbedaan sudah seharusnya juga masa jabatan hakim pengadilan pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (3) UU Pengadilan Pajak tidak mengenal masa jabatan atau periodisasi”.

Bahwa dari pertimbangan tersebut Mahkamah telah menjatuhkan putusan yang amarnya pada pokoknya antara lain menyatakan, Pasal 8 ayat (3) UU 14/2002 tentang Pengadilan Pajak yang menyatakan “Ketua, Wakil Ketua dan Hakim diangkat untuk masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk 1 (satu) kali masa jabatan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekutan hukum mengikat.
Bahwa dari pertimbangan dan amar putusan Mahkamah Nomor 6/PUUXIV/2016 tersebut, maka saat ini Pengadilan Pajak tidak memiliki masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua, sehingga Mahkamah dapat memahami keresahan para Pemohon yaitu dengan tidak adanya masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Pajak dapat berdampak pada antara lain terhambatnya karir para Pemohon sebagai hakim pada Pengadilan Pajak dan dapat menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) di Pengadilan Pajak nantinya. Oleh karena pasal mengenai masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Pajak yakni Pasal 8 ayat (3) UU 14/2002 yang menyatakan, “Ketua, Wakil Ketua dan Hakim diangkat untuk masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk 1 (satu) kali masa jabatan” telah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU-XIV/2016, tanggal 4 Agustus 2016. Sementara itu, para Pemohon dalam permohonan a quo memohon kepada Mahkamah agar Pasal 8 ayat (2) UU 14/2002 yang menyatakan “Ketua dan Wakil Ketua diangkat oleh Presiden dari para Hakim yang diusulkan Menteri setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah Agung” diartikan pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Pajak dipilih dari dan oleh hakim dan diusulkan oleh Pengadilan Pajak tanpa melibatkan Kementerian Keuangan untuk satu kali masa jabatan selama lima tahun, maka demi kepastian hukum dan keadilan bagi para Pemohon, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan permohonan para Pemohon tersebut.

[3.13.1.1] Bahwa Mahkamah dalam pertimbangan pada Paragraf [3.12.1] tersebut di atas telah memahami mengapa pengadilan pajak masih berada pada pembinaan Kementerian Keuangan. Namun pertanyaannya apakah pembinaan tersebut harus termasuk dalam pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Pajak. Untuk menjawab pertanyaan tersebut Mahkamah terlebih dahulu menguraikan mengenai kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan menjadi landasan konstitusional yang mengatur hakim pengadilan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya yang tidak dapat berada pada pengaruh, tekanan, dan perasaan yang mengurangi konsentrasinya pada kemerdekaan dalam menegakkan hukum dan keadilan. Badan peradilan harus dilekatkan prinsip kebebasan yang merupakan suatu kemandirian atau kemerdekaan yang dimiliki khususnya bagi para hakim demi terciptanya suatu putusan yang bersifat objektif dan imparsial. Para hakim harus dapat mengimplementasikan kebebasannya sebagai suatu kebebasan yang bertanggungjawab, kebebasan dalam koridor ketertiban peraturan perundangundangan yang berlaku dengan menjalankan tugas pokok kekuasaan kehakiman sesuai hukum acara dan peraturan perundang-undangan yang berlaku tanpa dipengaruhi oleh pemerintah, kepentingan, kelompok penekan, media cetak/elektronik, dan individu yang berpengaruh. Produk yang dihasilkan hakim dari sebuah badan peradilan adalah putusan hakim, oleh karena itu produk dari hakim tersebut harus mengandung nilai-nilai kepastian dan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karenanya setiap putusan badan peradilan yang bersumber dari aktualisasi kemandirian hakim melalui pertimbangan hukumnya, benar-benar mencerminkan dan memancarkan nilai filosofis, sosiologis dan yuridis yang membawa esensi keadilan yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, baik bagi pencari keadilan (justiciabelen) dan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

[3.13.1.2] Bahwa dari kebebasan hakim sebagaimana diuraikan di atas, menurut Mahkamah hakim melalui ketua/wakil ketua juga harus memiliki kebebasan dalam penatalaksanaan organisasinya sebagaimana di dalam sebuah badan peradilan pada umumnya, termasuk dalam hal ini Pengadilan Pajak. Sebab, makna kebebasan pada hakim, selain hakim dalam menjalankan tugas kekuasaan yudisial, juga tidak boleh terikat dengan apa pun dan/atau tertekan oleh siapa pun, tetapi hakim juga leluasa untuk berbuat apa pun yaitu salah satunya adalah mengorganisir keberadaanya di dalam sebuah badan peradilan dengan memilih ketua dan wakil ketua untuk memimpin hakim-hakim itu sendiri dalam menjalankan tugas sehariharinya. Ketua dan wakil ketua badan peradilan selain bertugas sebagai hakim yang menjalankan kekuasaan kehakiman untuk memeriksa dan memutus perkara, juga memiliki tugas dalam pengorganisasian di internal badan peradilan tersebut seperti melakukan pengawasan atau pelaksanaan tugas dan perilaku hakim dan jajaran di sebuah lembaga peradilan serta mengatur pembagian tugas para hakim. Lebih lanjut, para hakim dalam menjalankan tugasnya sehari-hari dalam sebuah badan peradilan sudah barang tentu saling berinteraksi satu sama lain, baik yang berhubungan dengan tugas pokoknya ataupun yang berhubungan dengan kehidupan pribadi sehari-hari, dengan begitu para hakim bisa saling mengenal atau mendalami karakter dari masing-masing hakim itu sendiri. Dengan demikian jika ada pemilihan pimpinan sebuah badan peradilan, dalam hal ini ketua dan wakil ketua Pengadilan sebenarnya para hakim sudah bisa memilih atau menentukan hakim yang menjadi pilihannya untuk dijadikan pimpinan yang membawa kemajuan organisasi dalam melayani pencari keadilan. Sehingga para hakim tersebut tidak lagi memerlukan keterlibatan dari eksternal pengadilan dalam memilih ketua dan wakil ketua. Sebab, intensitas interaksi dengan pihak luar dapat berpotensi mengganggu independensi seorang hakim dan mengarah kepada subjektivitas personal yang akan dipilih untuk menjadi pimpinan dengan tujuan tertentu, khususnya bisa menguntungkan kepentingannya. Dengan demikian berdasarkan pertimbangan tersebut menurut Mahkamah pembinaan Kementerian Keuangan kepada pengadilan pajak bukan berarti Kementeraian Keuangan ikut terlibat dalam pemilihan ketua dan wakil ketua Pengadilan Pajak. Karena, Hakim Pengadilan Pajak selain bebas dalam menjalankan kekuasaan kehakiman hakim pajak juga harus bebas dalam menentukan pimpinan mereka dari mereka sendiri untuk mengorganisir tugas dan kewenangan badan peradilan tanpa melibatkan pihak eksternal dalam hal ini Kementerian Keuangan yang belum tentu mengetahui lebih mendalam kualitas ataupun karakter mereka masing-masing dari para hakim. Oleh karena itu menurut Mahkamah tata cara pemilihan ketua dan wakil ketua Pengadilan Pajak harus dilepaskan dari keterlibatan Menteri Keuangan agar para hakim tersebut lebih dapat merefleksikan pilihannya sesuai hati nuraninya yang didasarkan pada pertimbangan kapabilitas, integritas dan leadership dari calon pemimpinnya, serta dari hasil pilihannya tersebut, para hakim dapat mempertanggungjawabkan konsekuensi pilihannya. Dengan pertimbangan demikian, keterlibatan Menteri Keuangan hanya bersifat administratif guna menindaklanjuti hasil pemilihan ketua/wakil ketua yang diteruskan kepada Presiden setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah Agung. Demikian pula halnya terkait dengan pengusulan pemberhentian dengan hormat dan tidak hormat Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Pajak dengan sendirinya keterlibatan Menteri Keuangan hanya bersifat administratif.

[3.13.1.3] Bahwa selanjutnya berkaitan dengan periodisasi atau masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Pajak yang juga dimohonkan oleh para Pemohon, menurut Mahkamah praktik demokrasi yang paling mendasar dan harus diterapkan dalam sebuah organisasi adalah adanya rotasi kepemimpinan secara periodik, untuk menghindari terjadinya praktik otoritarianisme dan penyalahgunaan kekuasaan. Dengan adanya kontrol internal dengan cara pembatasan waktu tersebut didasarkan pada asumsi bahwa kekuasaan yang terus menerus bisa menjadikan pimpinan yang cenderung menyalahgunakan kekuasaan. Oleh karena pemimpin harus memiliki jangka waktu dalam menduduki jabatan. Periodisasi dalam suatu jabatan bukan hanya agar terjadi pergantian kepengurusan, namun yang tidak kalah penting hal tersebut menciptakan proses kaderisasi dan regenerasi dalam sebuah lembaga atau jenjang karir para penggerak dari organisasi tersebut. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka dalam hal ini, pimpinan pengadilan pajak yakni Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Pajak sangat penting diberikan batasan masa jabatan atau periodisasi untuk menghidari terjadinya kekhawatiran sebagaimana pertimbangan Mahkamah tersebut. Oleh karena itu apabila merujuk pertimbangan hukum dimaksud, maka masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Pajak yang relevan adalah satu kali periodisasi masa jabatan selama lima tahun.

[3.13.2] Bahwa dengan demikian berdasarkan pertimbangan Mahkamah tersebut, dalil para Pemohon yang pada pokoknya menyatakan bahwa frasa “dari para hakim” dalam Pasal 8 ayat (2) UU 14/2002 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai Ketua dan Wakil Ketua dipilih dari dan oleh Hakim dan diusulkan oleh Pengadilan Pajak untuk satu kali masa jabatan selama lima tahun beralasan menurut hukum. Sementara itu dalil permohonan para Pemohon sepanjang frasa “diusulkan Menteri” tidak beralasan menurut hukum dan Mahkamah memaknainya sebagai “diusulkan melalui menteri”.

[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum Mahkamah pada Paragraf [3.13] tersebut di atas, menurut Mahkamah Pasal 8 ayat (2) UU 14/2002 harus dinyatakan inkonstitusional bersyarat sebagaimana disebutkan dalam amar putusan ini.

[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah dalil permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.