Info Judicial Review Putusan MK - Menyatakan Mengabulkan

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 56/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 11-12-2019

Bahwa pada hari Rabu tanggal 11 Desember 2019, pukul 11.02 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut UU 10/2016) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 56/PUU-XVII/2019. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 56/PUU-XVII/2019, perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

Dalam Provisi
[3.7] Menimbang bahwa para Pemohon mengajukan permohonan provisi yang memohon agar Mahkamah mempercepat proses pemeriksaan dan menjadikan permohonan ini sebagai perkara yang diprioritaskan untuk diputus segera mengingat permohonan ini terkait langsung dengan proses pencalonan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota Tahun 2020, di mana proses penyerahan syarat dukungan bagi calon perseorangan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota, sebagai proses awal dari tahapan pencalonan pemilihan kepala daerah, akan dimulai pada 11 Desember 2019 berdasarkan Lampiran Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan Walikota dan Wakil Walikota Tahun 2020.
Terhadap permohonan Provisi a quo, oleh karena pokok permohonan para Pemohon memiliki keterkaitan erat dengan tahapan pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2020 yang secara faktual tahapan yang berkaitan dengan pencalonan kepala daerah yang akan segera dimulai sehingga semua pihak dapat mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya, khususnya mereka yang akan mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah Tahun 2020, maka terlepas dari dikabulkan atau tidaknya permohonan a quo, demi kepastian hukum bagi masyarakat, penting bagi Mahkamah untuk memberikan prioritas dengan mempercepat putusan perkara a quo dan tidak terdapat penyimpangan terhadap hukum acara dalam tahapan proses penyelesaian perkara pengujian undang-undang, permohonan dalam provisi para Pemohon agar perkara a quo diprioritaskan untuk diputus beralasan menurut hukum.

Dalam Pokok Permohonan
[3.12.1] Bahwa terhadap norma undang-undang yang esensi materi/muatannya sebagian memuat klausul atau frasa sebagaimana yang termuat dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016, yaitu frasa “tidak pernah sebagai terpidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana” dan sebagian dari frasa tersebut yakni sepanjang frasa “tidak pernah sebagai terpidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” telah pernah diuji dan diputus oleh Mahkamah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 71/PUU-XIV/2016. Bahkan sebelum berlakunya UU 10/2016 norma serupa pernah pula diputus oleh Mahkamah, norma dimaksud adalah norma yang terkandung dalam Pasal 7 huruf g UU 8/2015 yang menyatakan, “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih”. Berkenaan dengan substansi norma dimaksud, Mahkamah telah berkali-kali menegaskan pendiriannya, di antaranya, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14-17/PUUV/2007 yang kemudian ditegaskan kembali dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 120/PUU-VII/2009, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-X/2012. Inti pendapat Mahkamah dalam putusan-putusannya tersebut adalah bahwa norma Undang-Undang yang materi/muatannya seperti yang termuat dalam Pasal 7 huruf g UU 8/2015 adalah inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional). Syarat yang dimaksud Mahkamah ialah: (1) berlaku bukan untuk jabatan-jabatan publik yang dipilih (elected officials); (2) berlaku terbatas untuk jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; (3) kejujuran atau keterbukaan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; (4) bukan sebagai pelaku kejahatan berulang-ulang. Dari semua putusan tersebut, pendirian Mahkamah sangat fundamental karena adanya keinginan untuk memberlakukan syarat yang ketat bagi calon kepala daerah, sebab seorang calon kepala daerah harus mempunyai karakter dan kompetensi yang mencukupi, sifat kepribadian dan integritas, kejujuran, responsibilitas, kepekaan sosial, spiritualitas, nilai-nilai dalam kehidupan, respek terhadap orang lain dan lain-lain. Oleh karena itu, pada hakikatnya, apabila dikaitkan dengan syarat “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih” maka tujuan yang hendak dicapai adalah agar kepala daerah memiliki integritas dan kejujuran. Tujuan demikianlah yang hendak dicapai oleh Putusan-Putusan Mahkamah sebelumnya khususnya dalam memaknai syarat yang berkaitan dengan “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih” yang merupakan persyaratan yang satu dengan yang lainnya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Sehingga baik pertimbangan hukum maupun amar dalam putusan-putusan sebagaimana dikemukakan di atas sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari semangat untuk menghadirkan pemimpin yang bersih, jujur dan berintegritas. Dengan demikian, dalam hal terdapat bagian-bagian tertentu dari Putusan-Putusan tersebut di atas yang tidak bersesuaian dengan bagian yang lain maka harus dikembalikan kepada semangat untuk menghadirkan pemimpin yang bersih, jujur dan berintegritas. Oleh karena keempat syarat tersebut diperlukan untuk menghadirkan pemimpin yang bersih, jujur, dan berintegritas maka semua syarat itu harus dipenuhi secara kumulatif dalam proses penentuan kepala daerah.

[3.12.2] Bahwa namun demikian penting untuk ditegaskan pertimbangan hukum Mahkamah yang menyatakan pendiriannya tersebut sebagaimana termuat dalam Paragraf [3.12.1] yang berkaitan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009, bertanggal 24 Maret 2009, sesungguhnya merupakan penegasan terhadap pendirian Mahkamah dalam putusan sebelumnya. Dalam putusan tersebut, Mahkamah antara lain menyatakan:

“[3.18] … Mahkamah juga perlu mempertimbangkan Putusan Nomor 14- 17/PUU-V/2007 tentang peniadaan norma hukum yang memuat persyaratan a quo tidak dapat digeneralisasi untuk semua jabatan publik, melainkan hanya untuk jabatan publik yang dipilih (elected officials), karena terkait dengan pemilihan umum (Pemilu) dalam hal mana secara universal dianut prinsip bahwa peniadaan hak pilih itu hanya karena pertimbangan ketidakcakapan misalnya karena faktor usia (masih di bawah usia yang dibolehkan oleh Undang-Undang Pemilu) dan keadaan sakit jiwa, serta ketidakmungkinan (impossibility) misalnya karena telah dicabut hak pilihnya oleh putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap (vide Putusan Nomor 11-17/PUU-I/2003 tanggal 24 Februari 2004)...;
Bahwa untuk jabatan-jabatan publik yang dipilih (elected officials), Mahkamah dalam Pertimbangan Hukum Putusan Nomor 14-17/PUUV/2007 menyatakan, “hal tersebut tidaklah sepenuhnya diserahkan kepada rakyat tanpa persyaratan sama sekali dan semata-mata atas dasar alasan bahwa rakyatlah yang akan memikul segala resiko pilihannya”. Oleh karena itu, agar rakyat dapat secara kritis menilai calon yang akan dipilihnya, perlu ada ketentuan bahwa bagi calon yang pernah menjadi terpidana karena tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih harus menjelaskan secara terbuka kepada publik tentang jati dirinya yang demikian dan tidak menutup-nutupi atau menyembunyikan latar belakang dirinya. Selain itu, agar tidak mengurangi kepercayaan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Putusan Mahkamah Nomor 14- 17/PUU-V/2007 juga perlu dipersyaratkan bahwa yang bersangkutan bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang dan telah melalui proses adaptasi kembali ke masyarakat sekurang-kurangnya selama 5 (lima) tahun setelah yang bersangkutan menjalani pidana penjara yang dijatuhkan oleh pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dipilihnya jangka waktu 5 (lima) tahun untuk adaptasi bersesuaian dengan mekanisme lima tahunan dalam Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia, baik Pemilu Anggota Legislatif, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, dan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Selain itu juga bersesuaian dengan bunyi frasa “diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih”; ... dst”

… Mahkamah berpendapat bahwa norma hukum yang berbunyi “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih” yang tercantum dalam Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g UU 10/2008 serta Pasal 58 huruf f UU 12/2008 merupakan norma hukum yang inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional). Norma hukum tersebut adalah inkonstitusional apabila tidak dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Berlaku bukan untuk jabatan-jabatan publik yang dipilih (elected officials) sepanjang tidak dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak pilih oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
2. Berlaku terbatas untuk jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
3. Kejujuran atau keterbukaan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana;
4. Bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang;

Sementara itu, melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 120/PUU-VII/2009, Mahkamah menegaskan, yang sekaligus “mengingatkan” nature Mahkamah sebagai negative legislator, dengan menyatakan, antara lain:

“… Bahwa persyaratan calon kepala daerah yang telah diberikan tafsir baru oleh Mahkamah dalam Putusan Nomor 4/PUU-VII/2009 tanggal 24 Maret 2009, adalah semata-mata persyaratan administratif. Oleh karena itu, sejak tanggal 24 Maret 2009, rezim hukum Pasal 58 huruf f UU 32/2004 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU 12/2008 sebagaimana bunyi dan makna teks aslinya berakhir, dan sebagai gantinya maka sejak saat itulah di seluruh wilayah hukum Republik Indonesia berlaku tafsir baru atas Pasal 58 huruf f UU 32/2004 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU 12/2008 tentang mantan narapidana yang boleh menjadi calon kepala daerah menurut Putusan Mahkamah Nomor 14-17/PUU-V/2007 tanggal 11 Desember 2007 juncto Putusan Mahkamah Nomor 4/PUUVII/2009 tanggal 24 Maret 2009 …”

Berdasarkan putusan-putusan di atas, norma yang terkandung dalam pasal-pasal berbagai Undang-Undang yang dimohonkan pengujian dinyatakan sebagai konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) dan menentukan 4 syarat bagi mantan narapidana untuk dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah.

[3.12.3] Bahwa sementara itu, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015, bertanggal 9 Juli 2015, Mahkamah pada pokoknya menyatakan:

[3.11.6] … Kata “dikecualikan” dalam syarat ketiga dari amar Putusan Mahkamah Nomor 4/PUU-VII/2009, bertanggal 24 Maret 2009, mempunyai arti bahwa seseorang yang terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan terpidana maka syarat kedua dan keempat dari amar Putusan Mahkamah Nomor 4/PUU-VII/2009, bertanggal 24 Maret 2009, menjadi tidak diperlukan lagi karena yang bersangkutan telah secara berani mengakui tentang status dirinya yang merupakan mantan narapidana. Dengan demikian maka ketika seseorang mantan narapidana selesai menjalankan masa tahanannya dan mengumumkan secara terbuka dan jujur bahwa dia adalah mantan narapidana, yang bersangkutan dapat mencalonkan diri menjadi gubernur, bupati, dan walikota atau mencalonkan diri dalam jabatan publik atau jabatan politik yang pengisiannya melalui pemilihan (elected officials). Pada akhirnya, masyarakat yang memiliki kedaulatan lah yang akan menentukan pilihannya, namun apabila mantan narapidana tersebut tidak mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan terpidana maka berlaku syarat kedua putusan Mahkamah Nomor 4/PUU-VII/2009 yaitu lima tahun sejak terpidana selesai menjalani hukumannya;

[3.11.7] Bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, dalil Pemohon mengenai Pasal 7 huruf g UU 8/2015 bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitusional) sepanjang tidak dimaknai dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan terpidana;

Kemudian Paragraf [3.9] halaman 180 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 71/PUU-XIV/2016, bertanggal 19 Juli 2017, pada pokoknya menyatakan:

[3.9] ... Apabila Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009 diperbandingkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14-17/ PUU-V/2007 sesungguhnya terdapat semangat yang sama dalam kedua putusan tersebut dalam kaitannya dengan pengisian jabatan publik yang dipilih, di mana kedua putusan itu menekankan bahwa untuk jabatan publik yang dipilih tidak bisa begitu saja diberlakukan syarat “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih”. Bedanya, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009 lebih menegaskan bahwa untuk jabatan publik yang dipilih syarat “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih” tidak berlaku lagi jika seorang mantan terpidana telah melewati jangka waktu lima tahun sejak yang bersangkutan selesai menjalani pidananya atau ia secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana dan sepanjang yang bersangkutan bukan pelaku kejahatan yang berulang-ulang;

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015 dalam pengujian Pasal 7 huruf g dan Pasal 45 ayat (2) huruf k Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Pada intinya kedua norma yang dimohonkan pengujian tersebut memuat norma yang berisi persyaratan “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih” bagi seseorang yang mencalonkan diri sebagai Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota. Substansi norma yang dimohonkan pengujian dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015 tidak berbeda dengan substansi norma yang dimohonkan pengujian dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009. Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015 menyatakan mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian, yaitu menyatakan bahwa Pasal 7 huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana. Adapun terhadap Pasal 45 ayat (2) huruf k Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Mahkamah menyatakan bahwa norma Undang-Undang a quo bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

Jika Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015 di atas diperbandingkan dengan putusan sebelumnya, yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009, terlihat adanya sedikit perubahan atau pergeseran dalam pendirian Mahkamah. Terlepas dari adanya pendapat berbeda (dissenting opinion) dari tiga orang Hakim Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUUXIII/2015 tersebut, yang sudah diterima sebagai praktik yang berlaku umum dalam dunia peradilan saat ini, terjadinya perubahan dalam pendirian Mahkamah tersebut adalah wajar sepanjang alasan yang mendasari (ratio decidendi) diambilnya putusan dimaksud dijelaskan dalam pertimbangan hukum putusan yang bersangkutan. Bahkan, di negara-negara yang menganut prinsip stare decisis pun, yang pada dasarnya sangat ketat berpegang pada putusan sebelumnya (atau putusan pengadilan yang lebih tinggi) seperti yang terjadi di Mahkamah Agung Amerika Serikat, perubahan pendirian demikian sering terjadi sepanjang terdapat alasan yang kuat yang mendasari terjadinya perubahan demikian...

Selanjutnya pada halaman 184 menyatakan:

4. ... Mahkamah sesungguhnya telah secara tegas menyatakan bahwa sepanjang berkenaan dengan jabatan publik yang pengisiannya dilakukan melalui pemilihan (elected officials), pembebanan syarat yang substansinya sebagaimana termuat dalam rumusan kalimat atau frasa “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih” adalah bertentangan dengan Konstitusi jika persyaratan demikian diberlakukan begitu saja tanpa pembatasan kepada mantan terpidana, dalam hal ini tanpa mempertimbangkan bahwa seorang mantan terpidana yang hendak mencalonkan diri untuk mengisi jabatan publik itu telah menyatakan secara terbuka dan jujur kepada publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan terpidana. Putusan Mahkamah demikian telah dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan dan tidak keluar dari semangat yang terkandung dalam Pasal 28J UUD 1945, sebagaimana diuraikan dalam pertimbangan pada angka 1 di atas. Dengan mempelajari secara saksama pertimbangan hukum Mahkamah dalam putusan-putusannya sebagaimana disebutkan pada angka 3 di atas, Mahkamah menegaskan bahwa, dalam masyarakat yang demokratis, pembatasan terhadap hak asasi manusia adalah dibenarkan dan konstitusional. Pembatasan demikian juga berlaku dalam menentukan persyaratan bagi pengisian jabatan-jabatan publik. Mahkamah juga menegaskan pentingnya suatu standar moral tertentu dalam pengisian jabatan-jabatan publik tersebut dan pada saat yang sama Mahkamah menegaskan pula bahwa syarat “tidak pernah dijatuhi pidana dengan ancaman pidana tertentu” adalah suatu standar moral yang penting dan diperlukan dalam proses atau mekanisme pengisian jabatan-jabatan publik itu, namun Mahkamah juga menegaskan bahwa persyaratan demikian tidak dapat diberlakukan begitu saja sebagai ketentuan umum yang diberlakukan bagi seluruh jabatan publik mengingat adanya perbedaan sifat atau karakter dari jabatan-jabatan publik tersebut. Oleh sebab itu, sejalan dengan prinsip akuntabilitas peradilan yang mengharuskan hakim atau pengadilan menjelaskan alasan diambilnya suatu putusan, Mahkamah telah dengan cermat menjelaskan alasan-alasan dimaksud sebelum tiba pada penjatuhan putusannya sebagaimana dituangkan dalam amar putusan yang bersangkutan;

5. Bahwa norma Undang-Undang yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo, in casu Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada, adalah berkenaan dengan pengisian jabatan publik yang dipilih. Norma Undang-Undang a quo berbunyi, “Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: … g. tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana”. Berbeda dengan rumusan dalam norma UndangUndang sebelumnya yang telah dimohonkan pengujian dan diputus oleh Mahkamah sebagaimana diuraikan pada angka 3 di atas, norma Undang-Undang a quo sama sekali tidak memuat ancaman pidana minimum yang dijadikan sebagai pijakan, sehingga secara tekstual norma Undang-Undang a quo mencakup semua jenis tindak pidana, baik pelanggaran maupun kejahatan, dan semua jenis pidana, baik pidana pokok (mulai dari pidana denda, pidana percobaan, pidana kurungan, pidana penjara) maupun pidana tambahan. Dengan kata lain, dalam konteks KUHP, frasa “tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” mencakup baik tindak pidana yang diatur dalam Buku I maupun Buku II KUHP dan semua jenis pemidanaan sebagaimana diatur dalam Pasal 10 KUHP dan tindak pidana yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan di luar KUHP, sepanjang sudah ada putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana tersebut. Jika benar demikian maksud pembentuk undang-undang, dengan bertolak dari putusan-putusan Mahkamah sebelumnya, hal itu tentu tidak dapat dibenarkan secara konstitusional.

6. Bahwa, memperhatikan keadaan sebagaimana diuraikan pada angka 5 di atas, serta dengan mempertimbangkan bahwa norma Undang-Undang a quo adalah berkenaan dengan syarat bagi jabatan publik yang pengisiannya dilakukan melalui pemilihan, persoalan yang timbul kemudian adalah: apabila frasa “tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” yang termuat dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 maka secara a contrario berarti tidak ada pembatasan sama sekali sehingga setiap orang boleh mencalonkan diri sebagai gubernur, wakil gubenur, bupati, wakil bupati, walikota, wakil walikota meskipun orang yang bersangkutan terbukti sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Penalaran demikian tentu saja sama sekali tidak dapat diterima dan sekaligus akan bertentangan dengan pertimbangan Mahkamah sebagaimana ditegaskan dalam putusan-putusan sebelumnya bagaimanapun standar moral tertentu dibutuhkan dalam pengisian jabatan-jabatan publik yang klasifikasinya bermacam-macam. Selain itu, akibat lebih jauh jika penalaran demikian diikuti, maka frasa berikutnya dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada tersebut yang menyatakan, “atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana” menjadi tidak ada maknanya. Memperhatikan keadaan sebagaimana diuraikan di atas, karena telah terang bahwa menentukan norma yang berlaku umum berupa syarat “tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” bagi pengisian jabatan publik, lebih-lebih untuk jabatan publik yang pengisiannya melalui pemilihan, tidak dapat dibenarkan secara konstitusional, sementara di lain pihak syarat yang mencerminkan standar moral tertentu tetap dibutuhkan untuk pengisian jabatan-jabatan publik, termasuk jabatan publik yang pengisiannya melalui pemilihan maka pertanyaannya kemudian, bagaimana Mahkamah harus menafsirkan norma Undang-Undang yang termuat dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada itu guna menilai konstitusionalitasnya sedemikian rupa sehingga, di satu pihak, Mahkamah tetap melaksanakan fungsinya sebagai pengawal konstitusi yang harus melindungi hak-hak konstitusional warga negara dan, di pihak lain, tanpa melampaui batasbatas jati dirinya sebagaimana termaktub dalam kewenangan yang diberikan oleh Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dalam melaksanakan fungsi itu. Dalam kasus a quo, tidak terdapat jalan lain kecuali mendasarkan pendapatnya pada pertimbangan Mahkamah dalam putusan sebelumnya terhadap norma Undang-Undang yang dirumuskan oleh pembentuk Undang-Undang sendiri, dalam hal ini Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015. Dengan dasar pemikiran dan pertimbangan demikian, Mahkamah berkeyakinan bahwa frasa “tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” adalah bertentangan dengan UUD 1945 jika tidak dimaknai “tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali karena melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa” sedangkan frasa “atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana” dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada tersebut tetap berlaku.

Bahwa terhadap Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016 Mahkamah dalam Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 71/PUU-XIV/2016 menyatakan:

1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
2. Menyatakan Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5898) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang frasa “tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” dalam norma Undang-Undang a quo tidak dimaknai “tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa”. Sehingga Pasal a quo selengkapnya adalah “tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana”;
3. ...;

Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 71/PUU-XIV/2016 telah bergeser dari rumusan yang bersifat kumulatif menjadi rumusan yang bersifat alternatif. Pergeseran demikian mengakibatkan longgarnya syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan pemimpin yang bersih, jujur, dan berintegritas sebagaimana yang telah ditegaskan dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009 dan putusan-putusan sebelumnya yang bersifat kumulatif. Sebab apabila syaratsyarat tersebut bersifat alternatif maka dapat dipastikan pilihan yang akan dilakukan oleh mantan terpidana adalah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan terpidana. Demikian halnya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 71/PUU-XIV/2016 yang pada pokoknya hanya memberikan pengecualian terhadap tindak pidana yang bersifat kealpaan ringan (culpa levis) dan tindak pidana karena alasan perbedaan pandangan politik.

Bahwa apabila dirujuk kembali putusan Mahkamah yang menghilangkan syarat kumulatif sebagaimana termaktub dalam amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009 yang menjadikannya sebagai syarat alternatif sehingga persyaratannya menjadi longgar adalah dengan pertimbangan untuk mengembalikan kepada masyarakat sebagai pemilih yang memiliki kedaulatan untuk menentukan pilihannya. Namun setelah dicermati secara saksama fakta empirik yang terjadi telah ternyata pula bahwa upaya mengembalikan kepada kedaulatan pemilih tidak sepenuhnya dapat menghadirkan pemimpin yang bersih, jujur dan berintegitas. Sejumlah fakta empirik membuktikan di antara kepala daerah yang terpilih yang pernah menjalani masa pidana menjadi calon kepala daerah hanya dengan mengambil alternatif mengumumkan secara jujur dan terbuka kepada publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan narapidana telah ternyata mengulangi kembali melakukan tindak pidana. Dengan kata lain, orang yang bersangkutan telah ternyata menjadi pelaku kejahatan berulang (recidivist). Jika berpegang pada prinsip kedaulatan pemilih maka tidak ada halangan apa pun bagi orang yang bersangkutan untuk mencalonkan diri kembali sebagai calon pejabat publik yang dipilih di kemudian hari setelah yang bersangkutan selesai menjalani pidananya sepanjang yang bersangkutan bersedia untuk secara terbuka mengumumkan kepada publik bahwa dirinya adalah mantan narapidana. Sebab, proposisi dasarnya adalah orang yang bersangkutan telah selesai menjalani pidananya dan telah menerima pembinaan di lembaga pemasyarakatan sehingga memiliki hak konstitusional untuk dipilih atau untuk menduduki jabatan tertentu dalam pemerintahan. Namun, dalam hal ini, pertanyaan konstitusional yang muncul adalah: apakah atas nama demokrasi (in casu kedaulatan pemilih) keadaan demikian dapat diterima? Terhadap pertanyaan tersebut Mahkamah berpendapat, keadaan demikian tidak dapat diberi toleransi bahkan dalam demokrasi yang paling liberal sekalipun. Sebab, demokrasi bukan semata-mata berbicara tentang perlindungan hak-hak individual tetapi juga ditopang oleh nilainilai dan moralitas, di antaranya nilai kepantasan (propriety), kesalehan (piousness), kewajaran (fairness), kemasukakalan (reasonableness), dan keadilan (justice). Antara lain karena merasa telah mencederai nilai-nilai inilah, di banyak negara yang mengusung demokrasi liberal pun, seorang pejabat publik memilih mengundurkan diri meskipun yang bersangkutan menduduki jabatan itu berdasarkan suara rakyat dan meskipun yang bersangkutan belum tentu bersalah secara hukum, bahkan belum diajukan tuntutan hukum apa pun terhadapnya.

Bahwa dengan merujuk fakta-fakta hukum di atas, penting bagi Mahkamah untuk mempertimbangkan kembali bagi calon kepala daerah yang pernah menjadi terpidana untuk diberi waktu yang dipandang cukup guna melakukan penyesuaian (adaptasi) di tengah masyarakat untuk membuktikan bahwa setelah selesai menjalani masa pidananya orang yang bersangkutan benar-benar telah mengubah dirinya menjadi baik dan teruji sehingga ada keyakinan dari pemilih bahwa yang bersangkutan tidak akan mengulangi perbuatan yang pernah dipidanakan kepadanya termasuk juga perbuatan-perbuatan lain yang dapat merusak hakikat pemimpin bersih, jujur, dan berintegritas. Pemberian tenggang waktu demikian juga sekaligus memberikan kesempatan lebih lama kepada masyarakat untuk menilai apakah orang yang bersangkutan telah dipandang cukup menunjukkan kesungguhannya untuk berpegang pada nilai-nilai demokrasi yang disebutkan di atas. Dengan kata lain, “pernyataan secara jujur dan terbuka kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana” semata-mata tidaklah memadai lagi.

[3.13] Menimbang bahwa dengan merujuk pada uraian pertimbangan sebagaimana dikemukakan di atas, oleh karena fakta empirik menunjukkan bahwa calon kepala daerah yang pernah menjalani pidana dan tidak diberi waktu yang cukup beradaptasi dan membuktikan diri dalam masyarakat ternyata terjebak kembali dalam perilaku tidak terpuji, bahkan mengulang kembali tindak pidana yang sama (in casu tindak pidana korupsi), sehingga makin jauh dari tujuan menghadirkan pemimpin yang bersih, jujur dan berintegritas maka demi melindungi kepentingan yang lebih besar, yaitu dalam hal ini kepentingan masyarakat akan pemimpin yang bersih dan berintegritas sehingga mampu memberi pelayanan publik yang baik serta menghadirkan kesejahteraan bagi masyarakat yang dipimpinnya, Mahkamah tidak menemukan jalan lain kecuali memberlakukan kembali keempat syarat kumulatif sebagaimana tertuang dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009 dalam pencalonan kepala daerah yang saat ini diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016. Selain karena alasan di atas, langkah demikian juga dipandang penting oleh Mahkamah demi memberikan kepastian hukum serta mengembalikan makna esensial dari pemilihan kepala daerah itu sendiri, yakni menghasilkan orang-orang yang memiliki kualitas dan integritas untuk menjadi pejabat publik dan pada saat yang sama tidak menghilangkan hak politik warga negara dalam berpartisipasi di dalam pemerintahan. Sementara itu, berkenaan dengan syarat lainnya yaitu syarat bukan terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa, sebagaimana pendirian Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 71/PUU-XIV/2016, bertanggal 19 Juli 2017, Mahkamah berpendapat masih tetap relevan untuk dipertahankan. Secara konstitusional, karena hak politik bukanlah merupakan hak asasi yang tidak dapat dibatasi (non-derogable rights), sesuai dengan ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, pembatasan dengan memberikan tenggang waktu bagi mereka yang pernah dipidana bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan konstitusi, in casu UUD 1945. Lagi pula, titik tolak meletakkan konstitutionalitas pembatasan terhadap hak-hak asasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 adalah nilai-nilai yang diusung dalam suatu masyarakat yang demokratis yang, antara lain, mencakup nilai-nilai kepantasan (propriety), kesalehan (piousness), kewajaran (fairness), kemasukakalan (reasonableness), dan keadilan (justice) sebagaimana diuraikan di atas.

[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, sepanjang berkenaan dengan syarat menjadi calon kepala daerah/wakil kepala daerah, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016, ternyata terdapat dua kepentingan konstitusional yang keduanya berkait langsung dengan kebutuhan untuk membangun demokrasi yang sehat, yaitu kepentingan orangperseorangan warga negara yang hak konstitusionalnya untuk dipilih dalam suatu jabatan publik (dalam hal ini untuk mencalonkan diri sebagai kepada daerah atau wakil kepala daerah) dijamin oleh Konstitusi dan kepentingan masyarakat secara kolektif untuk mendapatkan calon pemimpin yang berintegritas (dalam hal ini calon kepala daerah atau wakil kepala daerah) yang diharapkan mampu menjamin pemenuhan hak konstitusionalnya atas pelayanan publik yang baik serta kesejahteraan, sebagaimana dijanjikan oleh demokrasi, juga dilindungi oleh Konstitusi. Dengan demikian, Mahkamah dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama bertolak dari gagasan perlindungan hak konstitusional, yaitu apakah Mahkamah akan mengutamakan pemenuhan hak konstitusional perseorangan warga negara atau pemenuhan hak konstitusional masyarakat secara kolektif.

Dalam hal ini, Mahkamah memilih yang disebutkan terakhir. Seluruh pertimbangan Mahkamah di atas sesungguhnya telah menjelaskan secara gamblang mengapa pilihan itu yang diambil oleh Mahkamah. Sebab, hakikat demokrasi sesungguhnya tidaklah semata-mata terletak pada pemenuhan kondisi “siapa yang memeroleh suara terbanyak rakyat dialah yang berhak memerintah” melainkan lebih pada tujuan akhir yang hendak diwujudkan yaitu hadirnya pemerintahan yang mampu memberikan pelayanan publik yang baik kepada masyarakat sehingga memungkinkan hadirnya kesejahteraan. Oleh karena itu, dalam proses berdemokrasi, sebelum tiba pada persoalan “siapa yang memeroleh suara terbanyak rakyat dialah yang berhak memerintah,” secara inheren, terdapat esensi penting yang terlebih dahulu harus diselesaikan yaitu “siapa yang memenuhi kualifikasi atau persyaratan sehingga layak untuk dikontestasikan guna mendapatkan dukungan suara terbanyak rakyat.” Dalam konteks inilah rule of law berperan penting dalam mencegah demokrasi agar tidak bertumbuh menjadi mobocracy atau ochlocracy – sebagaimana sejak masa Yunani Purba telah dikhawatirkan, di antaranya oleh Polybius.

Berdasarkan argumentasi itulah maka, sepanjang berkenaan dengan syarat mantan terpidana jika hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016, tak terhindarkan bagi Mahkamah untuk menegaskan kembali syarat kumulatif yang pernah dipertimbangkan dalam beberapa putusan Mahkamah sebelumnya sebagaimana telah diuraikan di atas.

[3.15] Menimbang bahwa, sementara itu, berkenaan dengan dalil para Pemohon mengenai masa tunggu, sebagaimana telah Mahkamah uraikan dalam pertimbangan hukum sebelumnya bahwa terhadap masa tunggu tersebut haruslah diberlakukan kembali terhadap mantan narapidana yang akan mengajukan diri sebagai calon kepala daerah sebagaimana pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009. Demikian juga terhadap lamanya tenggat waktu Mahkamah juga tetap konsisten dengan merujuk pada pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009 yaitu bagi calon kepala daerah yang telah selesai menjalani masa pidana diharuskan menunggu waktu selama 5 (lima) tahun untuk dapat mengajukan diri menjadi calon kepala daerah kecuali terhadap calon kepala daerah yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa.

Bahwa adapun argumentasi Mahkamah untuk memberlakukan waktu tunggu sebagaimana tersebut di atas penting bagi Mahkamah untuk mengutip kembali pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUUVII/2009 yang pada pokoknya adalah, “... Dipilihnya jangka waktu 5 (lima) tahun untuk adaptasi bersesuaian dengan mekanisme lima tahunan dalam Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia, baik Pemilu Anggota Legislatif, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, dan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.” Dengan demikian argumentasi Mahkamah tersebut sekaligus sebagai bentuk penegasan bahwa Mahkamah tidak sependapat dengan dalil para Pemohon yang memohon masa tunggu 10 (sepuluh) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

[3.16] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, konstitusionalitas norma yang mengatur persyaratan calon kepala daerah sepanjang berkenaan dengan mantan narapidana harus didasarkan pada putusan a quo dan karenanya permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.