Bahwa pada hari Senin, tanggal 30 September 2019, Pukul 14.15 WIB, Mahkamah Konstitusi telah selesai menggelar Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (selanjutnya disebut UU Pemilu) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 39/PUU-XVII/2019. Dalam sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 39/PUU-XVII/2019, perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian Pasal 416 ayat (1) UU Pemilu dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.10] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca secara cermat dalil permohonan para Pemohon dan alat bukti yang diajukan, menurut para Pemohon, isu konstitusional yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo adalah ketentuan Pasal 416 ayat (1) UU Pemilu membuka potensi Pemilu Presiden dan Wakil Presiden akan mengalami pengulangan, setidaknya sampai putaran kedua, walaupun hanya diikuti oleh dua pasangan calon presiden dan wakil presiden. Hal demikian karena ketentuan a quo hanya mengatur syarat keterpilihan Presiden dan Wakil Presiden dalam hal pemilihan umum presiden dan wakil presiden diikuti oleh lebih dari dua pasangan calon, dan tidak mengatur syarat keterpilihan manakala sejak awal pemilihan umum presiden dan wakil presiden hanya diikuti oleh dua pasangan calon;
[3.11] Menimbang bahwa syarat keterpilihan pasangan calon presiden dan wakil presiden dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden diatur dalam Pasal 6A UUD 1945 yang kemudian diatur lebih lanjut dalam Pasal 416 ayat (1) UU Pemilu. Sebelum berlakunya UU Pemilu, ketentuan mengenai syarat keterpilihan pasangan presiden dan wakil presiden diatur dalam Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres, yang selengkapnya mengatur sebagai berikut:
“Pasangan Calon terpilih adalah Pasangan Calon yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari ½ (setengah) jumlah provinsi di Indonesia”.
[3.12] Menimbang bahwa norma yang sama dengan norma yang termaktub dalam Pasal 416 ayat (1) UU Pemilu telah pernah dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya kepada Mahkamah Konstitusi, yaitu norma dalam Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres, dan telah pula diputus dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-XII/2014, bertanggal 3 Juli 2014. Dalam Putusan tersebut Mahkamah mengabulkan permohonan para Pemohon dan dengan demikian norma dalam ketentuan Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat.
Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-XII/2014 menyatakan:
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
1.1. Pasal 159 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4924) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai tidak berlaku untuk pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang hanya terdiri dari dua pasangan calon;
1.2. Pasal 159 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4924) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai tidak berlaku untuk pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang hanya terdiri dari dua pasangan calon;
Sebelum sampai pada amar putusan tersebut, Mahkamah dalam pertimbangan hukumnya, antara lain, menyatakan sebagai berikut:
“[3.20] Menimbang bahwa …
Lalu, bagaimana kalau terjadi pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang hanya terdiri dari dua pasangan calon? Dari penelusuran risalah rapat pembahasan perubahan UUD 1945, memang tidak dibicarakan secara ekspresis verbis apabila hanya terdapat dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Hanya saja pada saat perubahan ketiga, masih ada sisa persoalan yang belum terselesaikan yaitu apa solusinya jika pasangan calon Presiden tidak ada yang memenuhi syarat dalam Pasal 6A ayat (3) UUD 1945. Dalam hal ini terdapat dua pilihan yaitu, terhadap dua pasangan yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua yang dipilih langsung oleh rakyat dipilih kembali oleh rakyat atau dipilih oleh MPR yang pada perubahan keempat diputuskan untuk dipilih langsung oleh rakyat tanpa memperhatikan persyaratan yang ditentukan dalam Pasal 6A ayat (3) UUD 1945.
Menurut Mahkamah, walaupun tidak ada penegasan bahwa Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 dimaksudkan apabila pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden lebih dari dua pasangan tetapi dikaitkan dengan konteks lahirnya Pasal 6A UUD 1945, dapat ditarik kesimpulan bahwa pembahasan pada saat itu terkait dengan asumsi pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden lebih dari dua pasangan calon.
Selain itu, dengan mendasarkan pada penafsiran gramatikal dan penafsiran sistematis makna keseluruhan Pasal 6A UUD 1945 sangat jelas bahwa makna yang terkandung dalam Pasal 6A ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan, “Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum ...” berkaitan dengan banyaknya atau paling tidak ada lebih dari dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mengikuti pemilihan pada putaran sebelumnya sebagaimana terkandung dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Kalimat “Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua ...” menunjukkan dengan jelas makna itu jika dikaitkan dengan ketentuan pada ayat (2) dan ayat (3) sebelumnya. Jika sejak semula hanya ada dua pasangan calon, mengapa dalam ayat (4) dinyatakan, “dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua ...”. Jika terdapat asumsi hanya ada dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang ikut pada pemilihan sebelumnya tidak perlu ada penegasan “dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua ...” karena dengan dua pasangan calon tentulah salah satu di antara keduanya memperoleh suara terbanyak pertama atau kedua. Dengan demikian makna Pasal 6A ayat (4) UUD 1945 harus dibaca dalam satu rangkaian dengan makna keseluruhan Pasal 6A UUD 1945.
Menurut Mahkamah kebijakan pemilihan Presiden secara langsung dalam UUD 1945 mengandung tujuan yang fundamental dalam rangka melaksanakan kedaulatan rakyat sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Presiden Republik Indonesia adalah Presiden yang memperoleh dukungan dan legitimasi yang kuat dari rakyat. Dalam hal ini, prinsip yang paling penting adalah kedaulatan rakyat, sehingga Presiden terpilih adalah Presiden yang memperoleh legitimasi kuat dari rakyat. Untuk mencapai tujuan itu, berbagai alternatif telah dibahas ketika perubahan UUD 1945, antara lain, terdapat usulan bahwa dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat: dipilih oleh MPR atau diajukan oleh partai politik pemenang pertama dan kedua dalam pemilihan umum lembaga perwakilan rakyat. Kesemuanya itu adalah dalam rangka proses demokrasi berdasarkan kedaulatan rakyat. Dalam hal hanya terdapat dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diajukan oleh gabungan beberapa partai politik yang bersifat nasional, menurut Mahkamah pada tahap pencalonan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden telah memenuhi prinsip representasi keterwakilan seluruh daerah di Indonesia karena calon Presiden sudah didukung oleh gabungan partai politik nasional yang merepresentasikan penduduk di seluruh wilayah Indonesia. Dengan demikian, tujuan kebijakan pemilihan presiden yang merepresentasi seluruh rakyat dan daerah di Indonesia sudah terpenuhi;
[3.13] Menimbang bahwa UU Pilpres kemudian dicabut dan diganti oleh UU Pemilu yang berlaku sejak tanggal 16 Agustus 2017. Dalam kaitannya dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-XII/2014, proses perancangan UU Pemilu yang mencabut UU Pilpres dilakukan setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-XII/2014, sehingga menurut Mahkamah sudah sepatutnya pembentuk undang-undang mengetahui dan memperhatikan keberadaan Putusan Mahkamah Konstitusi a quo yang menyatakan norma Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai tidak berlaku untuk pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang hanya terdiri dari dua pasangan calon. Apalagi penafsiran norma Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dimaksud telah pula dijadikan sebagai salah satu landasan hukum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014;
Namun ternyata substansi ketentuan Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres yang telah dibatalkan keberlakuannya oleh Mahkamah secara bersyarat tersebut dimuat kembali dengan rumusan yang persis sama oleh pembentuk undang-undang sebagaimana dalam Pasal 416 ayat (1) UU Pemilu sebagai berikut.
Pasal 416 ayat (1) UU Pemilu
“Pasangan Calon terpilih adalah Pasangan Calon yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari ½ (setengah) jumlah provinsi di Indonesia”.
[3.14] Menimbang bahwa berkenaan dengan dimuat atau dihidupkan kembali norma undang-undang yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 105/PUU-XIV/2016 bertanggal 28 September 2017 dinyatakan:
[3.9.11] … Sebagai institusi yang diberikan wewenang konstitusional oleh konstitusi untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945 langkah yang paling mungkin dilakukan Mahkamah merespon dan sekaligus mengantisipasi segala macam pengabaian terhadap norma-norma atau bagian-bagian tertentu suatu Undang-Undang yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 tetapi dihidupkan kembali dalam revisi
[3.15] Menimbang bahwa dengan memaknai secara tepat dan benar serta tidak terdapat alasan yang kuat untuk menghidupkan kembali norma yang telah pernah dinyatakan inkonstitusional, sehingga Mahkamah harus menyatakan bahwa ketentuan Pasal 416 ayat (1) UU Pemilu adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai tidak berlaku untuk pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang hanya terdiri dari dua pasangan calon, sesuai dengan Putusan Nomor 50/PUU-XII/2014.
[3.16] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum sebagaimana dimaksud di atas, maka terhadap Pasal 416 ayat (1) UU Pemilu yang dimohonkan pengujian a quo, Mahkamah menilai norma yang terkandung di dalam ketentuan tersebut telah pernah diuji dan dibatalkan oleh Mahkamah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-XII/2014. Dengan demikian pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-XII/2014, terutama pertimbangan hukum pada Paragraf [3.20] dan Paragraf [3.21], berlaku mutatis mutandis sebagai pertimbangan hukum putusan a quo;
[3.17] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, dalil para Pemohon perihal inkonstitusionalitas bersyarat Pasal 416 ayat (1) UU Pemilu adalah beralasan menurut hukum.
Gedung Setjen dan Badan Keahlian DPR RI, Lantai 6, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat 10270. Telp. 021-5715467, 021-5715855, Fax : 021-5715430