Info Judicial Review Putusan MK - Menyatakan Mengabulkan

INFO JUDICIAL REVIEW PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 87/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 25-04-2019

Bahwa pada hari Kamis, tanggal 25 April 2019, Pukul 14.37 WIB, Mahkamah Konstitusi telah selesai menggelar Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (selanjutnya disebut UU ASN) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 87/PUU-XVI/2018. Dalam sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 87/PUU-XVI/2018, perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 87 ayat (2) dan ayat (4) huruf b dan d UU ASN dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.12] Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan hal-hal sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.11], selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil-dalil Pemohon sebagai berikut:

1. Pemohon mendalilkan bahwa muasal dari terbitnya SKB/2018 yang kemudian disusul oleh SE MENPAN RB 20/2018 adalah Pasal 87 UU ASN. Terhadap dalil Pemohon tersebut, setelah Mahkamah memeriksa secara saksama uraian panjang lebar Pemohon berkenaan dengan hal ini, tampak nyata bahwa inti keberatan Pemohon sesungguhnya bukanlah terletak pada keberadaan Pasal 87 UU ASN, khususnya Pasal 87 ayat (2) dan Pasal 87 ayat (4) huruf b dan huruf d UU ASN, melainkan pada SKB/2018 dan SE MENPAN RB 20/2018. Penalaran demikian makin diperkuat oleh permohonan Pemohon kepada Mahkamah sebagaimana tertuang dalam Petitum Permohonan Angka 3 yang menyatakan, “Memerintahkan semua Ketentuan maupun Putusan [sic!] yang berlandaskan pada Pasal 87 ayat (2) dan ayat (4) huruf b dan huruf d, [sic!] dinyatakan batal dan tidak berlaku lagi”. Dengan demikian maka seharusnya keberatan ditujukan bukan kepada norma Pasal 87 ayat (2) dan ayat (4) huruf b dan huruf d UU ASN melainkan kepada SKB/2018 dan SE MENPAN RB 20/2018 di mana hal itu bukan merupakan kewenangan Mahkamah. Lagi pula, berdasar pada UU MK, Mahkamah tidak memiliki kewenangan untuk menjatuhkan amar putusan sebagaimana tertuang dalam Petitum Permohonan Pemohon Angka 3 tersebut di atas.
Bahwa Pasal 87 UU ASN, khususnya ayat (2) dan ayat (4) huruf b dan huruf d, oleh Pemohon dianggap sebagai muasal lahirnya SKB/2018 dan SE MENPAN RB 20/2018, hal itu sama sekali tidak membuktikan bahwa Pasal 87 UU ASN, khususnya ayat (2) dan ayat (4) huruf b dan huruf d, bertentangan dengan UUD 1945. Sebaliknya, terbitnya SKB/2018 dan SE MENPAN RB 20/2018 justru karena adanya landasan hukum yang kuat sebab tegas dinyatakan dalam norma undang-undang yang memuat perintah [in casu Pasal 87 ayat (4) huruf b dan huruf d UU ASN] dan kebolehan [in casu Pasal 87 ayat (2) UU ASN]. Konstitusional atau inkonstitusionalnya suatu norma undang-undang tidak dinilai berdasarkan peraturan perundang-undangan di bawahnya yang nyata-nyata justru hendak menegakkan norma undang-undang yang bersangkutan melainkan harus dinilai secara tersendiri berdasarkan substansi maupun jiwa atau semangat yang terkandung dalam Konstitusi (in casu UUD 1945). Bahkan ketika suatu norma undang-undang telah ditafsirkan secara berbeda pun oleh peraturan perundang-undangan di bawahnya hal itu tidak serta-merta menjadikan norma undang-undang demikian bertentangan dengan Konstitusi. Sebab, dalam hal demikian, peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang itulah yang harus diuji kebersesuaiannya terhadap norma undang-undang yang menjadi dasarnya. Dalam keadaan demikian maka yang berlaku adalah ketentuan Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 yang memberikan kewenangan kepada Mahkamah Agung untuk mengujinya. Keadaan demikian harus dibedakan dengan putusan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) atau inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional) sebagaimana sering dijatuhkan oleh Mahkamah. Putusan Mahkamah yang pertimbangannya memuat pernyataan konstitusional bersyarat atau amarnya menyatakan inkonstitusional bersyarat terjadi manakala terdapat keadaan di mana dalam rumusan norma undang-undang yang dimohonkan pengujian itu sendiri melekat kemungkinan konstitusional atau inkonstitusional karena dalam norma itu terbuka kemungkinan lebih dari satu penafsiran yang salah satunya adalah penafsiran yang menurut Mahkamah inkonstitusional. Keadaan demikian tidak terdapat dalam Permohonan a quo, khususnya dalam batas-batas argumentasi Pemohon sebagaimana dikemukakan di atas.

2. …..

3. Bahwa, Pemohon mengaitkan keberadaan PP 11/2017 di mana menurut Pemohon Pasal 250 PP 11/2017 dinilai meng-copy paste Pasal 87 ayat (4) huruf d UU ASN dan kemudian, menurut Pemohon, pembentuk PP 11/2017 sengaja mengubah ketentuan masa hukuman, sebagaimana terlihat dari Pasal 251 PP 11/2017 tersebut yang menetapkan putusan pidana sebagai ukuran “pemberhentian tidak dengan hormat” ditetapkan “kurang dari 2 (dua) tahun”, sehingga keadaan itu oleh Pemohon dikatakan bahwa pembentuk UU ASN dan pembentuk PP 11/2017 telah melakukan fallacy of equivocation yang merugikan Pemohon.
Terhadap dalil Pemohon a quo, sepanjang menyangkut persoalan peraturan pemerintah (PP), in casu PP 11/2017, hal itu bukan merupakan kewenangan Mahkamah untuk mengadilinya sehingga dalil Pemohon sepanjang menyangkut keabsahan PP 11/2017 harus dikesampingkan. Namun, berkenaan dengan Pasal 87 ayat (4) huruf d yang dalam kaitan itu Pemohon mendalilkan bahwa pembentuk undang-undang telah melakukan (menurut istilah Pemohon) fallacy of equivocation, Mahkamah terlebih dahulu harus mendalami apa yang dimaksud sebagai fallacy of equivocation oleh Pemohon sebab Pemohon tidak memberikan penjelasan mengenai terminologi ini namun langsung melompat pada kesimpulan bahwa hal itu merugikan Pemohon. Secara leksikal, equivocation berarti “a way of behaving or speaking that is not clear or definite and is intended to avoid or hide the truth” (suatu cara bertingkah laku atau berkata-kata yang tidak jelas atau pasti dan dimaksudkan untuk menghindari atau menyembunyikan kebenaran) (Oxford Advanced Learner’s Dictionary, 7th Edition, 2005, halaman 515). Sementara itu, fallacy secara leksikal berarti “(1) a false idea that many people believe is true” (gagasan keliru yang oleh banyak orang dipercaya sebagai benar) “(2) a false way of thingking about sth” (cara berpikir yang keliru mengenai sesuatu) (Oxford Advanced Learner’s Dictionary, 7th Edition, 2005, halaman 551).
Dengan makna leksikal demikian, apabila disimpulkan dan dikaitkan dengan dalil Pemohon, maka pertanyaannya kemudian adalah apakah benar pembentuk undang-undang telah memasukkan gagasan yang keliru atau menggunakan cara berpikir yang keliru dengan maksud untuk menghindari atau menyembunyikan kebenaran melalui rumusan yang tertuang dalam Pasal 87 ayat (4) huruf d UU ASN.
Terhadap pertanyaan demikian, Mahkamah terlebih dahulu harus memeriksa secara saksama rumusan yang tertuang dalam Pasal 87 ayat (4) huruf d UU ASN dimaksud. Sebagaimana telah dikutip pada pertimbangan angka 2 di atas, Pasal 87 ayat (4) huruf d UU ASN memuat rumusan yang menyatakan, “PNS diberhentikan tidak dengan hormat karena: … (d) dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana yang dilakukan dengan berencana.” Dengan rumusan demikian, Mahkamah tidak menemukan adanya fakta maupun sekadar gejala yang menunjukkan bahwa pembentuk undang-undang telah memasukkan gagasan yang keliru atau menggunakan cara berpikir yang keliru dengan maksud untuk menghindari atau menyembunyikan kebenaran melalui rumusan yang tertuang dalam Pasal 87 ayat (4) huruf d UU ASN tersebut.
Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut, dalil Pemohon berkaitan inkonstitusionalitas Pasal 87 ayat (4) huruf d UU ASN tidak beralasan menurut hukum

4. …..

5. …..

6. Bahwa Pemohon mendalilkan – sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.7] angka 7 sampai dengan angka 11 di atas – Pasal 87 ayat (2) dan ayat (4) huruf b UU ASN adalah “hukum tambahan” [sic!] di luar putusan pengadilan di luar yang diatur dalam Pasal 10 KUHP dan kemudian atas dasar demikian Pemohon kemudian mendalilkannya sebagai tindakan hukum yang diskriminatif serta tidak sesuai dengan filosofi pemasyarakatan sehingga Pemohon tiba pada kesimpulan bahwa pembentuk undang-undang telah melampaui batas kewenangannya.
Terhadap dalil Pemohon a quo, Mahkamah berpendapat bahwa jika yang oleh Pemohon disebut “hukum tambahan” adalah pidana tambahan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 10 KUHP maka Pemohon telah menyampuradukkan pengertian sanksi dalam hukum administrasi dan sanksi dalam hukum pidana. Sanksi dalam hukum administrasi adalah penerapan kewenangan pemerintahan, baik yang bersumber pada hukum tertulis maupun tidak tertulis, yang dilaksanakan oleh pejabat administrasi tanpa memerlukan perantaraan pihak ketiga (in casu pengadilan). Bentuk atau jenisnya bermacam-macam.
Ada sanksi reparatoir, yaitu sanksi yang diterapkan sebagai reaksi atas pelanggaran norma dan bertujuan untuk mengembalikan suatu keadaan ke keadaan semula sebelum terjadinya pelanggaran (misalnya paksaan pemerintahan atau bestuursdwang, pengenaan uang paksa atau dwangsom). Ada sanksi punitif, yaitu sanksi yang ditujukan untuk memberikan hukuman kepada seseorang (misalnya denda administratif). Ada sanksi regresif, yaitu sanksi yang dijatuhkan sebagai reaksi atas ketidakpatuhan terhadap ketentuan yang terdapat pada ketetapan yang diterbitkan (misalnya pemberhentian dari jabatan atau ontlading). Dengan demikian, dalam konteks Pemohon, penjatuhan sanksi administrasi berupa pemberhentian dari jabatan bukanlah pidana tambahan dalam pengertian Pasal 10 KUHP, sebagaimana didalilkan Pemohon, melainkan pelaksanaan kewenangan pemerintahan yang dilakukan oleh pejabat administrasi atau tata usaha negara yang memang tidak memerlukan keterlibatan pengadilan. Oleh karena itu, tidak ada relevansinya mengaitkan pengenaan sanksi administrasi dengan persoalan diskriminasi maupun tujuan pemasyarakatan bagi narapidana yang telah selesai menjalani pidananya di lembaga pemasyarakatan. Pasal 87 UU ASN, khususnya ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), adalah norma hukum tertulis yang memberikan dasar hukum bagi pejabat administrasi atau tata usaha negara untuk melaksanakan kewenangan pemerintahan mengenakan sanksi administrasi pemberhentian tidak dengan hormat. Apakah dengan memberikan atau merumuskan dasar hukum bagi pelaksanaan kewenangan pemerintahan demikian berarti pembentuk undang-undang telah melakukan tindakan yang melampaui kewenangannya, sebagaimana didalilkan Pemohon. Penalaran demikian sulit untuk dapat diterima. Sebab, jika diterima, secara a contrario, berarti harus diterima logika bahwa agar tidak melampaui kewenangannya maka pembentuk undang-undang tidak boleh membuat undang-undang yang memuat norma yang memberikan dasar hukum bagi pelaksanaan kewenangan pemerintahan untuk memberlakukan sanksi hukum administrasi. Persoalan konstitusionalitas suatu undang-undang harus dibedakan dengan persoalan kewenangan pembentuk undang-undang untuk membuat undangundang. Konstitusi memberikan kewenangan kepada pembentuk undangundang untuk membuat undang-undang. Oleh sebab itu, konstitusional atau tidak konstitusionalnya suatu undang-undang tidaklah menghilangkan kewenangan konstitusional pembentuk undang-undang untuk membuat undang-undang. Artinya, persoalan konstitusionalitas suatu undang-undang, baik proses pembentukan maupun materi muatannya, harus dinilai secara tersendiri berdasarkan kaidah-kaidah yang berlaku dalam pengujian konstitusionalitas undang-undang.
Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut, dalil Pemohon berkaitan inkonstitusionalitas Pasal 87 ayat (2) UU ASN tidak beralasan menurut hukum

7. Bahwa perihal dalil Pemohon, sebagaimana diuraikan dalam Paragraf [3.7] angka 12 sampai dengan angka 14 di atas, yang intinya mempersoalkan bahwa Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN tidak menentukan rentang waktu putusan inkracht yang dijadikan dasar untuk memberhentikan PNS tidak dengan hormat sehingga Pemohon mempertanyakan apakah putusan inkracht dimaksud adalah putusan inkracht mulai tahun 2000, tahun 1900, ataukah putusan inkracht sejak diundangkannya PP 11/2017 ataukah sejak diberlakukannya SKB/2018 dan Surat Edaran (tanpa menyebut Surat Edaran mana yang dimaksud), Mahkamah berpendapat pertanyaan demikian tidak relevan. Sebab, ketentuan yang tertuang dalam norma Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN adalah diberlakukan terhadap PNS yang masih aktif sehingga kapan pun suatu putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap atau inkracht-nya, Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN tetap berlaku selama PNS yang dijatuhi pidana demikian masih aktif. Dengan demikian, dalil Pemohon yang menyatakan Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN tidak memberikan kepastian hukum, sepanjang dikaitkan dengan tidak adanya persoalan jangka waktu sebagaimana dimaksudkan Pemohon, adalah tidak beralasan menurut hukum.
Namun, terlepas dari dalil Pemohon di atas, perihal bagian dari dalil Pemohon yang menyatakan keberadaan norma Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN tidak memberikan kepastian hukum, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
a. Bahwa Pasal 87 ayat (4) UU ASN secara keseluruhan adalah mengatur tentang alasan-alasan yang menyebabkan seorang PNS diberhentikan tidak dengan hormat. Dalam hal ini Mahkamah berpendapat:
Pertama, seorang PNS yang melakukan penyelewengan terhadap Pancasila dan UUD 1945 adalah wajar dan beralasan menurut hukum jika yang bersangkutan diberhentikan tidak dengan hormat, sebagaimana diatur dalam Pasal 87 ayat (4) huruf a. Sebab jika hal itu terjadi berarti PNS yang bersangkutan telah melanggar sumpahnya untuk taat dan setia kepada Pancasila dan UUD 1945. Sumpah untuk taat dan setia kepada Pancasila dan UUD 1945 bukanlah sekadar formalitas tanpa makna melainkan sesuatu yang fundamental sifatnya karena, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 3 juncto Pasal 4 UU ASN, memegang teguh ideologi Pancasila serta setia dan mempertahankan UUD 1945 adalah bagian dari nilai dasar yang melekat dalam profesi PNS sebagai Aparatur Sipil Negara;
Kedua, seorang PNS yang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik adalah wajar dan juga beralasan menurut hukum jika yang bersangkutan diberhentikan tidak dengan hormat sebab hal itu bertentangan dengan asas netralitas, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 2 huruf f UU ASN dan Penjelasannya. Netralitas seorang PNS adalah hal yang mendasar sebab, sebagaimana telah dipertimbangkan sebelumnya pada Paragraf [3.11] angka 3, dalam diri PNS sebagai bagian dari Aparatur Sipil Negara melekat tugas pelayanan publik, tugas pemerintahan, dan tugas pembangunan tertentu. Maka, jika seorang PNS menjadi anggota, lebih-lebih jika menjadi pengurus partai politik, secara alamiah dan dalam batas penalaran yang wajar, hal itu akan berpengaruh besar terhadap netralitas seorang PNS karena keadaan demikian sangat berpotensi menimbulkan konflik kepentingan tatkala PNS yang bersangkutan dalam melaksanakan tugas pelayanan publik atau tugas pemerintahan atau tugas pembangunan tertentu harus berhadapan dengan kepentingan partai di mana PNS yang bersangkutan menjadi anggota atau bahkan menjadi pengurus. Keadaan demikian juga akan berbenturan dengan nilai dasar yang melekat dalam diri PNS sebagai bagian dari ASN yang menuntutnya untuk mengabdi kepada negara dan rakyat Indonesia, bukan kepada golongan tertentu, serta menjalankan tugas secara profesional dan tidak berpihak, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 4 huruf c dan huruf d UU ASN;
Ketiga, seorang PNS yang dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana yang dilakukan dengan berencana adalah juga wajar dan beralasan menurut hukum jika PNS yang bersangkutan diberhentikan tidak dengan hormat. Sebab, seorang PNS sebagai bagian dari ASN seharusnya memberi teladan bukan hanya etik tetapi juga secara hukum. Namun, dalam hal ini pembentuk undang-undang telah dengan bijak menentukan batasannya yaitu bahwa putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap itu tidak seluruhnya dapat dijadikan dasar untuk memberhentikan tidak dengan hormat seorang PNS melainkan hanya tindak pidana yang dijatuhi hukuman pidana penjara paling singkat dua tahun dan tindak pidana yang dilakukan dengan berencana. Dengan kata lain, pembentuk undang-undang telah secara proporsional mempertimbangkan alasan-alasan hukum yang dapat dijadikan dasar untuk memberhentikan seorang PNS tidak dengan hormat;

b. Bahwa sementara itu, Pasal 87 ayat (4) huruf b menyatakan bahwa seorang PNS diberhentikan tidak dengan hormat karena dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana yang ada hubungannya dengan jabatan dan/atau tindak pidana umum. Jika seorang PNS diberhentikan karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana yang ada hubungannya dengan jabatan, hal demikian adalah wajar sebab dengan melakukan kejahatan atau tindak pidana demikian seorang PNS telah menyalahgunakan atau bahkan mengkhianati jabatan yang dipercayakan kepadanya untuk diemban sebagai ASN. Sebab, seorang PNS yang melakukan kejahatan atau tindak pidana demikian sesungguhnya, secara langsung atau tidak langsung, telah mengkhianati rakyat karena perbuatan demikian telah menghambat upaya mewujudkan cita-cita atau tujuan bernegara yang seharusnya menjadi acuan utama bagi seorang PNS sebagai ASN dalam melaksanakan tugas-tugasnya, baik tugas pelayanan publik, tugas pemerintahan, ataupun tugas pembangunan tertentu.
Namun, bagaimana halnya dengan keberadaan frasa “dan/atau tindak pidana umum” yang dijadikan sebagai bagian tak terpisahkan dari norma dalam Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN. Persoalannya bukanlah terletak pada adanya frasa “dan/atau tindak pidana umum” itu sendiri melainkan kaitannya dengan norma lain dalam pasal yang sama, yaitu norma dalam Pasal 87 ayat (2) UU ASN.

Pasal 87 ayat (2) UU ASN menyatakan:
PNS dapat diberhentikan dengan hormat atau tidak diberhentikan karena dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan hukuman pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan tindak pidana yang dilakukan tidak berencana.

Jika norma yang tertuang dalam Pasal 87 ayat (4) huruf b dihubungkan dengan norma yang termaktub dalam Pasal 87 ayat (2), persoalan yang timbul adalah apa yang akan dilakukan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian jika seorang PNS melakukan tindak pidana umum yang dijatuhi pidana penjara dua tahun berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, apakah akan melakukan tindakan dengan memberlakukan Pasal 87 ayat (2) UU ASN, yaitu memberhentikan dengan hormat atau tidak memberhentikan PNS yang bersangkutan, ataukah akan memberlakukan Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN, yaitu memberhentikan tidak dengan hormat PNS yang bersangkutan karena adanya frasa “dan/atau pidana umum” dalam Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN tersebut. Keadaan demikian, di samping menimbulkan ketidakpastian hukum juga membuka peluang bagi Pejabat Pembina Kepegawaian untuk melakukan tindakan berbeda terhadap dua atau lebih bawahannya yang melakukan pelanggaran yang sama.
Persoalan lainnya, jika untuk melakukan tindakan yang sifatnya diskresioner saja terhadap seorang PNS (yaitu apakah akan memberhentikan dengan hormat atau tidak memberhentikan), Pejabat Pembina Kepegawaian diberi syarat yaitu bahwa sepanjang PNS yang bersangkutan melakukan tindak pidana yang dijatuhi pidana penjara paling singkat dua tahun dan melakukan tindak pidana yang tidak berencana, sebagaimana diatur dalam Pasal 87 ayat (2) UU ASN, maka tidaklah dapat diterima oleh penalaran hukum yang wajar seorang PNS diberhentikan tidak dengan hormat karena melakuan “tindak pidana umum” yang tidak ditentukan batas minimum pidananya. Sebab, jika penalaran demikian diterima berarti harus diterima kemungkinan terjadinya keadaan atau peristiwa di mana seorang PNS yang melakukan tindak pidana yang dijatuhi hukum pidana penjara dua tahun tidak diberhentikan [dengan mengacu pada Pasal 87 ayat (2) UU ASN], sementara seorang PNS yang dijatuhi pidana kurungan atau pidana bersyarat dengan masa percobaan karena melakukan tindak pidana umum diberhentikan tidak dengan hormat [dengan mengacu pada Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN].
Artinya, PNS diberhentikan tidak dengan hormat berdasarkan Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN adalah dengan alasan telah adanya putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap karena PNS yang bersangkutan melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan. Adapun terhadap PNS yang melakukan tindak pidana umum dapat diberhentikan dengan hormat atau tidak diberhentikan sesuai dengan Pasal 87 ayat (2) UU ASN.
Dengan demikian telah ternyata bahwa keberadaan frasa “dan/atau pidana umum” dalam Pasal 87 ayat (4) huruf b telah menimbulkan ketidakpastian hukum serta membuka peluang lahirnya ketidakadilan sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Karena itu, meskipun Pemohon tidak secara khusus mendalilkan pertentangan Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN dikaitkan dengan frasa “dan/atau pidana umum” namun oleh karena frasa dimaksud merupakan satu kesatuan dengan norma Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN dan oleh karena telah terbukti bahwa frasa “dan/atau pidana umum” dimaksud telah menimbulkan ketidakpastian hukum maka dalil Pemohon yang terkait dengan norma pasal a quo adalah beralasan menurut hukum sepanjang berkenaan dengan frasa “dan/atau pidana umum”

8. Bahwa perihal dalil Pemohon sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.7] angka 15 dan angka 16 di atas, Mahkamah berpendapat tidak relevan untuk dipertimbangkan kembali karena pada intinya Pemohon mengulangi kembali argumentasi yang berdasar peristiwa konkret yang dialami Pemohon serta argumentasi bahwa penjatuhan sanksi administratif didalilkan sebagai hukuman tambahan, sebagaimana telah dipertimbangkan oleh Mahkamah pada pertimbangan sebelumnya dalam Putusan ini;

9. Bahwa perihal dalil Pemohon sebagaimana telah diuraikan pada Paragraf [3.7] angka 19 di atas, sebagian di antaranya telah dipertimbangkan sebelumnya dalam Putusan ini. Sehingga hal yang perlu dipertimbangkan hanyalah bagian dari dalil Pemohon yang mengaitkan keberadaan norma UU ASN yang dimohonkan pengujian dengan hak atas kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan, sebagaimana diatur dalam Pasal 28H ayat (2) UUD 1945, serta dengan Covenant on Civil and Political Rights dan UndangUndang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM).
Terhadap dalil Pemohon a quo Mahkamah berpendapat bahwa di samping Pemohon telah keliru memahami Pasal 28H ayat (2) UUD 1945, Pemohon juga telah membuat argumentasi yang tidak koheren. Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 adalah norma Konstitusi yang termasuk ke dalam kelompok hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya yang dalam hal ini mengatur perlunya affirmative action bagi mereka yang memiliki kebutuhan khusus, sedangkan Pemohon jelas tidak termasuk ke dalam kriteria demikian. Sementara itu, dikatakan tidak koheren karena Pemohon, di satu pihak, menggunakan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 (yang termasuk ke dalam kelompok hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya), namun di lain pihak mengaitkannya dengan Kovenan tentang Hakhak Sipil dan Politik serta bagian dari ketentuan dalam UU HAM yang juga mengatur tentang hak-hak sipil dan politik. Dengan demikian, Mahkamah berpendapat, dalil Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum.

[3.13] Menimbang, berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat bahwa dalil Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.