Info Judicial Review Putusan MK - Menyatakan Mengabulkan

INFO JUDICIAL REVIEW PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 22/PUU-XV/2017 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 13-12-2018

Bahwa pada hari Kamis, tanggal 13 Desember 2018, Pukul 10.37 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 22/PUU-XV/2017. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 22/PUU-XV/2017, perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.10.1] Bahwa terhadap dalil para Pemohon berkenaan dengan Pasal 7 ayat (1) UU 1/1974, dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30- 74/PUU-XII/2014, bertanggal 18 Juni 2015, Mahkamah antara lain mempertimbangkan:

[3.13.2] Bahwa para Pemohon pada pokoknya mendalilkan Pasal 7 ayat (1) sepanjang frasa “16 (enam belas) tahun” UU Perkawinan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28A, Pasal 28B ayat (1), Pasal 28B ayat (2), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945;

Bahwa beberapa agama yang berlaku di Indonesia maupun dari berbagai latar belakang budaya di nusantara ini mempunyai pengaturan yang berbeda dalam masalah usia perkawinan. Salah satu contohnya, agama Islam tidaklah mengatur mengenai usia minimum perkawinan akan tetapi yang lazim adalah dikenal sudah aqil baligh, berakal sehat, mampu membedakan yang baik dan yang buruk, sehingga dapat memberikan persetujuannya untuk menikah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 Kompilasi Hukum Islam;

Perkawinan tidaklah semata-mata urusan duniawi. Dalam ajaran Islam, perkawinan merupakan salah satu perintah Allah Subhanahuwata’ala karena merupakan ikatan yang sangat kuat dan sakral dan tidak dapat dianalogikan dengan hal-hal yang bersifat material. Beberapa asas dalam perkawinan adalah kesukarelaan, persetujuan kedua belah pihak, kemitraan suami istri, untuk selama-lamanya, dan personalitas pasangan. Dari asas perkawinan tersebut tidaklah dikenal umur minimal demi untuk mencegah kemudharatan yang lebih besar, apalagi perkembangan dewasa ini, bagi manusia pada zaman sekarang, di mana kemungkinan kemudharatan tersebut jauh lebih cepat merebak karena dipengaruhi oleh berbagai macam keadaan seperti makanan, lingkungan, pergaulan, teknologi, keterbukaan informasi, dan lain sebagainya, sehingga mempercepat laju dorongan birahi. Dorongan birahi itu semestinya dapat disalurkan melalui perkawinan yang sah sebagaimana ajaran agama sehingga tidak melahirkan anak di luar perkawinan atau anak haram atau anak ranjang;

Dalam keterangan tertulisnya, DPR memberikan keterangan yang antara lain menyatakan bahwa Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan yang mengatur mengenai batas usia minimal perkawinan dianggap sebagai kesepakatan nasional yang merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pembentuk Undang-Undang yang melihat secara bijaksana dengan berbagai macam pertimbangan dengan memperhatikan nilai-nilai yang ada pada saat itu yaitu tahun 1974;

Pada perkembangannya, beragam peraturan perundang-undangan yang selengkapnya telah diuraikan pada bagian Duduk Perkara dan yang pada pokoknya tercantum pada paragraf [3.9] angka 1 di atas, menyatakan bahwa usia anak adalah sejak dia lahir, bahkan pada kondisi tertentu adalah saat masih dalam kandungan, sampai dengan mencapai usia 18 tahun.

Namun, pembentuk undang-undang, dalam hal ini UU Perkawinan, saat itu menentukan batas umur untuk memenuhi tujuan ideal perkawinan, bagi pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan bagi wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.

Sebagaimana telah diuraikan baik oleh para saksi maupun ahli serta Pihak Terkait dalam persidangan, bahwa perkawinan anak memang rentan dan berpotensi menghadapi beragam permasalahan mulai dari kesehatan fisik khususnya kesehatan reproduksi, kesehatan mental, hambatan psikologis dan sosial, dan yang tak kalah pentingnya adalah berpotensi mengalami kesulitan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup yang layak yang kesemuanya dapat berujung pada perceraian dan penelantaran anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut serta menambah beban ekonomi bagi keluarga yang ditinggalkan atau yang ikut menanggung kebutuhan dan keberlangsungan hidup anggota keluarga yang mengalami perceraian tersebut. Adapun Penjelasan Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan, “Untuk menjaga kesehatan suami-isteri dan keturunan, perlu ditetapkan batas-batas umur untuk perkawinan.” Hal ini sesuai dengan tujuan luhur suatu perkawinan dan untuk menghindari beragam permasalahan sebagaimana didalilkan para Pemohon. Namun, terkait dengan norma yang mengatur batasan usia, Mahkamah dalam beberapa putusannya (vide Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011 bertanggal 18 Oktober 2011, Putusan Nomor 37-39/PUU-VIII/2010 bertanggal 15 Oktober 2010, dan Putusan Nomor 15/PUU-V/2007 bertanggal 27 November 2007) telah mempertimbangkan bahwa batasan usia minimum merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang sewaktu-waktu dapat diubah oleh pembentuk Undang-Undang sesuai dengan tuntutan kebutuhan perkembangan yang ada. Hal tersebut sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk Undang-Undang yang, apa pun pilihannya, tidak dilarang dan selama tidak bertentangan dengan UUD 1945. Dalam perkara a quo, UUD 1945 tidak mengatur secara jelas perihal batasan usia seseorang disebut sebagai anak. Hal ini juga sama dengan pendapat dari perspektif hukum Islam yang dikemukakan oleh Ahli yang diajukan oleh para Pemohon yaitu Prof. Muhammad Quraish Shihab yang menyatakan, “... kitab suci Al Quran, demikian juga Sunnah Nabi, tidak menetapkan usia tertentu. Ini sejalan dengan hikmah Ilahi yang tidak mencantumkan rincian sesuatu dalam kitab suci menyangkut hal-hal yang dapat mengalami perubahan. Yang dirincinya hanya hal-hal yang tidak terjangkau oleh nalar seperti persoalan metafisika atau hal-hal yang tidak mungkin mengalami perubahan dari sisi kemanusiaan, seperti misalnya, ketetapannya mengharamkan perkawinan anak dengan ibunya atau dengan ayahnya karena di situ selama manusia normal, idak mungkin ada birahi terhadap mereka. Karena tidak adanya ketetapan yang pasti dari kitab suci, maka ulama-ulama Islam berbeda pendapat tentang usia tersebut bahkan ada di antara masyarakat Islam yang justru melakukan revisi dan perubahan menyangkut ketetapan hukum tentang usia tersebut. Ini untuk menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat dan kebutuhannya.”;

Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, telah nyata bahwa kebutuhan untuk menentukan batasan usia perkawinan khususnya untuk perempuan adalah relatif menyesuaikan dengan perkembangan beragam aspek baik itu aspek kesehatan hingga aspek sosial-ekonomi. Bahkan, tidak ada jaminan yang dapat memastikan bahwa dengan ditingkatkannya batas usia kawin untuk wanita dari 16 (enam belas) tahun menjadi 18 (delapan belas) tahun, akan semakin mengurangi angka perceraian, menanggulangi permasalahan kesehatan, maupun meminimalisir permasalahan sosial lainnya. Bukan berarti pula tidak perlu dilakukan upaya apa pun, terutama tindakan preventif, untuk mencegah terjadinya perkawinan usia anak yang dikhawatirkan akan menimbulkan beragam masalah sebagaimana yang didalilkan para Pemohon, yang menurut Mahkamah, beragam masalah tersebut merupakan masalah konkrit yang terjadi tidak murni disebabkan dari aspek usia semata. Jikalaupun memang dikehendaki adanya perubahan batas usia kawin untuk wanita, hal tersebut bisa diikhtiarkan melalui proses legislative review yang berada pada ranah pembentuk Undang-Undang untuk menentukan batas usia minimum ideal bagi wanita untuk kawin. Pada faktanya pun, sebagaimana didalilkan para Pemohon bahwa di negara-negara lain ada pula yang menetapkan bahwa batas usia minimal bagi wanita untuk kawin adalah 17 (tujuh belas) tahun, 19 (sembilan belas) tahun, maupun 20 (dua puluh) tahun. Jika Mahkamah diminta untuk menetapkan batas usia minimal tertentu sebagai batas usia minimal yang konstitusional, Mahkamah justru membatasi adanya upaya perubahan kebijakan oleh negara untuk menentukan yang terbaik bagi warga negaranya sesuai dengan perkembangan peradaban dari setiap masa atau generasi, yang dalam hal ini terkait dengan kebijakan menentukan batas usia minimal kawin. Tidak tertutup kemungkinan bahwa pada saatnya nanti, dengan mendasarkan pada perkembangan teknologi, kesehatan, sosial, budaya, dan ekonomi, serta aspek lainnya, usia 18 (delapan belas) tahun bukan lagi sebagai batas usia minimum yang ideal bagi wanita untuk menikah, namun bisa saja dianggap yang lebih rendah atau lebih tinggi dari 18 (delapan belas) tahun tersebut sebagai usia yang ideal;


Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, Pasal 7 ayat (1) sepanjang frasa “16 (enam belas) tahun” UU Perkawinan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karenanya, dalil para Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum.

[3.10.2] Bahwa merujuk pertimbangan dalam putusan yang disebutkan pada Paragraf [3.10.1] tersebut, dengan menyatakan penentuan batas usia minimal perkawinan sebagai legal policy, hal itu dimaksudkan bahwa ketika pembentuk undang-undang menentukan usia minimal untuk melangsungkan perkawinan, kebijakan tersebut tidak serta-merta dapat dinilai sebagai legal policy yang bertentangan dengan UUD 1945. Namun pada saat yang sama, bukan pula berarti mengabaikan fakta bahwa batas usia minimal tertentu merupakan salah satu penyebab munculnya berbagai permasalahan dalam perkawinan seperti masalah kesehatan fisik dan mental, pendidikan, perceraian, sosial, ekonomi, dan masalah lainnya;

[3.10.3] Bahwa, sebagaimana telah ditegaskan Mahkamah dalam putusan- putusan terdahulu, kebijakan hukum (legal policy) tetap harus dalam kerangka tidak melampaui kewenangan, tidak melanggar moralitas dan rasionalitas, tidak menimbulkan ketidakadilan yang intolerable, dan tidak nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945. Pertimbangan demikian juga berlaku dalam penentuan batas usia minimal perkawinan sehingga dalam hal kebijakan hukum dimaksud nyata- nyata bertentangan dengan jaminan dan perlindungan hak asasi manusia yang dijamin oleh UUD 1945, maka legal policy dapat diuji konstitusionalitasnya melalui proses pengujian undang-undang;

[3.10.4] Bahwa dalam permohonan a quo, pada pokoknya para Pemohon menilai bahwa hak konstitusionalnya untuk mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 telah dilanggar oleh adanya pembatasan usia minimal perkawinan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Perlakuan yang tidak sama tersebut tidak saja menyebabkan terjadinya diskriminasi batas usia minimal atas dasar perbedaan jenis kelamin, melainkan juga perlakuan yang tidak sama terhadap anak dalam pemenuhan dan perlindungan hak asasi anak sebagaimana diatur dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945;

[3.10.5] Bahwa oleh karena para Pemohon mendalilkan Pasal 7 ayat (1) UU 1/1974 bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 maka persoalan yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah apakah terdapat alasan bagi Mahkamah untuk meninggalkan pendiriannya dalam menilai konstitusionalitas Pasal 7 ayat (1) UU 1/1974 sebagaimana tertuang dalam putusan-putusan sebelumnya. Sebagaimana telah disebutkan di atas, Mahkamah berpendirian bahwa suatu legal policy tidak dapat diuji konstitusionalitasnya kecuali produk legal policy tersebut jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas, dan menimbulkan ketidakadilan yang intolerable, bertentangan dengan hak politik, kedaulatan rakyat, serta sepanjang kebijakan tersebut tidak melampaui kewenangan pembentuk undang-undang dan tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945. Dengan kata lain, hanya jika terdapat salah satu dari alasan-alasan itulah Mahkamah dapat menguji konstitusionalitas suatu legal policy, termasuk jika Mahkamah hendak meninggalkan pendiriannya.

Dalam konteks permohonan a quo, penentuan batas usia minimal perkawinan jelas tidak bertentangan dengan kedaulatan rakyat, tidak melampaui kewenangan pembentuk undang-undang dan jelas pula bukan merupakan penyalahgunaan wewenang. Namun, bagaimana halnya dengan syarat tidak jelas- jelas melanggar moralitas, rasionalitas, tidak bertentangan dengan hak politik, ketidakadilan yang intolerable, dan syarat tidak nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945. Pertanyaan demikian hanya dapat ditemukan jawabannya setelah Mahkamah menilai argumentasi dalam dalil para Pemohon dalam permohonan a quo.

Terhadap dalil para Pemohon mengenai ketidaksetaraan antarwarga negara terkait adanya penentuan batas usia perkawinan yang tidak sama antara laki-laki dan perempuan, Mahkamah berpendapat bahwa sekalipun penentuan batas usia minimal perkawinan merupakan kebijakan hukum (legal policy), namun kebijakan a quo tidak boleh memperlakukan warga negara secara berbeda semata-mata atas dasar perbedaan jenis kelamin atau gender. Benar bahwa dikarenakan kodratnya maka dalam batas-batas tertentu perlakuan terhadap laki- laki dan perempuan menuntut pembedaan sehingga dalam konteks demikian pembedaan tersebut bukanlah diskriminasi dan tidak pula dapat dikatakan melanggar moralitas, rasionalitas, serta ketidakadilan yang intolerable. Namun tatkala pembedaan perlakuan antara laki-laki dan perempuan itu berdampak pada atau menghalangi pemenuhan hak-hak dasar atau hak-hak konstitusional warga negara, baik yang termasuk ke dalam kelompok hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi, sosial, dan kebudayaan, yang seharusnya tidak boleh dibedakan semata-mata berdasarkan alasan jenis kelamin maka pembedaan demikian jelas merupakan diskriminasi.

Pendirian a quo sejalan dengan pendapat-pendapat Mahkamah sebelumnya, di mana setiap kebijakan hukum yang memperlakukan setiap manusia dan/atau warga negara secara berbeda atas dasar perbedaan warna kulit, agama, suku, bahasa, keyakinan politik dan jenis kelamin adalah kebijakan yang bersifat diskriminatif. Hal tersebut juga sejalan dengan pengertian diskriminasi sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia adalah “setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung atau tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan, pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya”.
Ketika suatu kebijakan terbukti merupakan kebijakan yang bersifat diskriminatif maka sulit untuk menyatakan kebijakan demikian tidak melanggar moralitas, rasionalitas, tidak bertentangan dengan hak politik, maupun ketidakadilan yang intolerable. Kebijakan yang bersifat diskriminatif juga nyata- nyata bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu, jika Pasal 7 ayat (1) UU 1/1974 terbukti merupakan legal policy yang diskriminatif maka, sejalan dengan alasan untuk dapat menguji konstitusionalitas legal policy sebagaimana diuraikan di atas, hal demikian telah menjadi alasan yang kuat bagi Mahkamah untuk meninggalkan pendiriannya dalam putusan terdahulu perihal pembedaan batas usia minimum perkawinan.

Dalam konteks permohonan a quo, Mahkamah tidak menampik bahwa ketika Pasal 7 ayat (1) UU 1/1974 disusun dan dibahas, penentuan batas usia merupakan salah satu bentuk kesepakatan nasional yang telah disepakati setelah mempertimbangkan secara bijaksana dan memperhatikan nilai-nilai yang berlaku pada saat Undang-Undang a quo disusun yang kemudian disahkan pada tahun 1974. Namun, dalam perkembangan ketatanegaraan Indonesia yang ditandai dengan diubahnya UUD 1945 (1999-2002), terjadi penguatan terhadap jaminan dan perlindungan hak asasi manusia dalam konstitusi dengan dicantumkannya pasal-pasal tentang jaminan hak asasi manusia, termasuk hak untuk membentuk keluarga dan hak anak. Jaminan dan perlindungan hak asasi manusia dimaksud juga merupakan kesepakatan nasional, bahkan ia dirumuskan secara tegas dalam Konstitusi. Penguatan terhadap jaminan dan perlindungan hak asasi manusia a quo tentunya mengharuskan bangsa Indonesia untuk melakukan penyesuaian- penyesuaian terhadap kebijakan hukum masa lalu yang dinilai tidak lagi sesuai dengan perkembangan hukum dan perkembangan masyarakat. Dalam hal ini, termasuk apabila terdapat produk-produk hukum yang mengandung perlakuan berbeda atas dasar ras, agama, suku, warna kulit, dan jenis kelamin, maka sudah seharusnya pula untuk disesuaikan dengan kehendak UUD 1945 yang anti diskriminasi. Salah satu kebijakan hukum yang dapat dikategorikan mengandung perlakuan berbeda atas dasar jenis kelamin dimaksud adalah Pasal 7 ayat (1) UU 1/1974. Hal demikian dalam putusan-putusan sebelumnya belum dipertimbangkan oleh Mahkamah dan pertimbangan demikian tidak muncul karena memang tidak didalilkan oleh para Pemohon pada saat itu. Pasal 7 ayat (1) UU 1/1974 dikatakan diskriminatif sebab dengan pembedaan batas usia minimum perkawinan yang termuat di dalamnya telah menyebabkan perempuan menjadi diperlakukan berbeda dengan laki-laki dalam pemenuhan hak-hak konstitusionalnya, baik hak- hak sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi, sosial, dan kebudayaan, semata- mata karena jenis kelaminnya. Hak-hak konstitusional dimaksud, antara lain, hak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena secara hukum seorang perempuan pada usia 16 tahun yang menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (selanjutnya ditulis UU Perlindungan Anak) masih tergolong ke dalam pengertian anak, jika telah kawin akan berubah statusnya menjadi orang dewasa, sementara bagi laki-laki perubahan demikian baru dimungkinkan jika telah kawin pada usia 19 tahun; hak perempuan untuk tumbuh dan berkembang sebagai anak, sebagaimana diatur dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945, juga mendapatkan perlakuan berbeda dari laki-laki di mana laki-laki akan menikmati hak itu dalam rentang waktu yang lebih panjang dibandingkan dengan perempuan; hak untuk mendapatkan kesempatan memperoleh pendidikan yang setara dengan laki-laki juga pontensial terhalang karena dengan dimungkinkannya seorang perempuan untuk kawin pada usia 16 tahun akan cenderung lebih terbatas aksesnya terhadap pendidikan dibandingkan dengan laki-laki, bahkan untuk sekadar memenuhi pendidikan dasar, padahal hak atas pendidikan adalah hak konstitusional setiap warga negara menurut Pasal 28C ayat (1) UUD 1945 yang seharusnya dapat dinikmati secara setara dengan laki-laki. Bahkan, dalam kaitan ini, seorang perempuan yang tidak memenuhi pendidikan dasarnya akan potensial dinilai melanggar kewajiban konstitusionalnya sebab menurut Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar. Artinya, jika batas usia minimum perkawinan 16 tahun untuk perempuan dipertahankan, hal demikian tidak sejalan dengan agenda pemerintah ihwal wajib belajar 12 tahun karena jika seorang perempuan menikah pada usia 16 tahun maka dia akan kehilangan kesempatan memperoleh pendidikan 12 tahun.

Dengan demikian, meski kebijakan hukum pembentuk undang-undang yang membedakan antara laki-laki dan perempuan dalam hal batas minimal usia perkawinan dimaksud dahulunya merupakan sebuah kesepakatan nasional, namun dalam perkembangan hukum dan konstitusi Indonesia, hal tersebut tidak lagi relevan karena terkategori sebagai kebijakan hukum yang diskriminatif. Oleh karena itu, kebijakan hukum yang demikian haruslah dinilai konstitusionalitasnya. Berdasarkan hal itu, pengaturan batas usia minimal perkawinan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan tidak saja menimbulkan diskriminasi dalam konteks pelaksaan hak untuk membentuk keluarga sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B ayat (1) UUD 1945, melainkan juga telah menimbulkan diskriminasi terhadap perlindungan dan pemenuhan hak anak sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Dalam hal ini, ketika usia minimal perkawinan bagi perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki, maka secara hukum perempuan dapat lebih cepat untuk membentuk keluarga. Hal demikian berbeda dengan batas usia minimal perkawinan bagi laki-laki yang mengharuskan menunggu lebih lama dibandingkan perempuan. Di samping itu, perbedaan batas usia minimal tersebut memberi ruang lebih banyak bagi anak laki-laki untuk menikmati pemenuhan hak- haknya sebagai anak karena batas usia kawin minimal laki-laki yang melampaui usia minimal anak sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Anak. Sementara bagi perempuan, pembatasan usia minimal yang lebih rendah dibanding usia anak justru potensial menyebabkan anak tidak sepenuhnya dapat menikmati hak- haknya sebagai anak dalam usia anak, sebagaimana telah disinggung di atas.

[3.11] Menimbang bahwa sekalipun ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU 1/1974 merupakan kebijakan hukum yang diskriminatif atas dasar jenis kelamin, namun tidak serta-merta Mahkamah dapat menentukan berapa batas usia minimal perkawinan. Mahkamah hanya menegaskan bahwa kebijakan yang membedakan batas usia minimal perkawinan antara laki-laki dan perempuan adalah kebijakan yang diskriminatif, namun penentuan batas usia perkawinan tetap menjadi ranah kebijakan hukum pembentuk undang-undang. Mahkamah perlu menegaskan kembali pendirian a quo disebabkan Mahkamah tetap meyakini bahwa kebijakan terkait penentuan batas usia minimal perkawinan dapat saja berubah sewaktu-waktu sesuai dengan tuntutan kebutuhan perkembangan berbagai aspek dalam masyarakat. Pada saat Mahkamah menentukan batas usia tertentu sebagaimana dimohonkan oleh para Pemohon, hal demikian tentunya akan dapat menghambat pembentuk undang-undang dalam melakukan perubahan ketika ia harus melakukan penyesuaian terhadap perkembangan masyarakat.

[3.12] Menimbang bahwa meskipun penentuan batas usia minimal perkawinan merupakan kebijakan hukum pembentuk undang-undang, namun pembentuk undang-undang secara cermat harus memastikan bahwa kebijakan demikian tidak menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap perlindungan hak anak sebagai bagian dari hak asasi manusia. Ketidakpastian hukum mana akan muncul karena adanya perbedaan dalam menentukan batas usia anak. Pembentuk undang- undang dituntut untuk konsisten dalam menentukan pilihan kebijakan hukumnya terkait usia anak dimaksud.

Bahwa dalam konteks permohonan a quo mengingat terdapatnya perbedaan dan ketidaksinkronan sejumlah undang-undang yang di dalamnya mengatur tentang batas usia anak, yang tidak dapat dipisahkan dengan usia kawin dalam UU 1/1974. Dalam hal ini, ketidaksinkronan dimaksud terlihat nyata dengan ketentuan yang terdapat antara lain dalam UU Perlindungan Anak. Pasal 7 ayat (1) UU 1/1974 menyatakan, “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.” Sementara itu, dalam Pasal 1 angka 1 UU Perlindungan Anak dinyatakan, “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Dengan demikian, batas usia kawin bagi perempuan sebagaimana termaktub dalam Pasal 7 ayat (1) UU 1/1974 yaitu mencapai umur 16 (enam belas) tahun bagi perempuan masih terkategori sebagai anak menurut Pasal 1 angka 1 UU Perlindungan Anak. Oleh karenanya perkawinan yang dilakukan di bawah batas usia yang ditentukan dalam UU Perlindungan Anak adalah perkawinan anak.


Bahwa apabila diletakkan dalam konteks yang lebih luas, perkawinan anak sangat mungkin mengancam dan berdampak negatif bagi anak termasuk kesehatan anak karena belum tercapainya batas kematangan ideal reproduksi anak. Tidak hanya masalah kesehatan, perkawinan yang belum melampaui batas usia anak sangat mungkin terjadinya eksploitasi anak dan meningkatnya ancaman kekerasan terhadap anak.

Di atas itu semua, perkawinan anak akan menimbulkan dampak buruk terhadap pendidikan anak. Dalam batas penalaran yang wajar apabila pendidikan anak terancam, hal demikian potensial mengancam salah satu tujuan bernegara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa akan sulit dicapai jikalau angka perkawinan anak tidak bisa dicegah sedemikian rupa.

[3.13] Menimbang bahwa dalam rangka melindungi hak-hak anak, khususnya anak perempuan, Penjelasan angka 4 huruf d UU 1/1974 secara eksplisit menyatakan “menganut prinsip, bahwa calon suami-isteri itu harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami-isteri yang masih di bawah umur”. Artinya, Penjelasan tersebut hendak menyatakan bahwa perkawinan anak merupakan sesuatu yang dilarang. Terkait dengan larangan tersebut, Pasal 26 ayat (1) UU Perlindungan Anak menyatakan bahwa:

(1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:
a. mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;
b. menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; dan
c. mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.

Bahwa berdasarkan ketentuan dimaksud, kepada orang tua dibebankan kewajiban untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak. Ihwal ini, berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 UU Perlindungan Anak, yang dimaksud adalah usia sebelum 18 tahun. Sementara itu, merujuk Pasal 7 ayat (1) UU 1/1974, batas usia minimal perkawinan perempuan ditentukan 16 tahun. Secara horizontal, materi kedua pengaturan tersebut menunjukkan ketidaksinkronan antara batas minimal usia perkawinan bagi anak perempuan dalam UU 1/1974 dengan usia anak dalam UU Perlindungan Anak sehingga secara nyata norma tersebut tidak sinkron. Apabila diletakkan dalam konteks perlindungan anak, ketidaksinkronan dimaksud justru berdampak terhadap jaminan dan perlindungan konstitusional hak anak sebagaimana diatur dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 yang diatur lebih lanjut melalui UU Perlindungan Anak.

Bahwa adanya jaminan konstitusional hak-hak anak memunculkan kewajiban bagi semua pihak, baik orang tua, keluarga, pemerintah maupun negara untuk melindungi, menghormati, dan memenuhi hak-hak anak. Pada saat yang sama, kewajiban tersebut juga disertai dengan jaminan hak anak selama masa pengasuhan sebagai anak sebagaimana diatur dalam Pasal 13 UU Perlindungan Anak sebagai berikut:

(1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:
a. diskriminasi;
b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
c. penelantaran;
d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
e. ketidakadilan; dan
f. perlakuan salah lainnya.

(2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.

Bahwa hak anak untuk bebas dari segala bentuk perlakuan diskriminasi; eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan, dan ketidakadilan haruslah ditegakan dengan juga memberikan kepastian hukum bagi tidak adanya perkawinan anak. Pada saat kebijakan hukum, dalam hal ini Pasal 7 ayat (1) UU 1/1974 membuka ruang untuk dilangsungkannya perkawinan anak, maka norma tersebut justru memberi kesempatan untuk terjadinya eksploitasi anak, baik secara ekonomi maupun seksual.

Bahwa agar ketidakpastian hukum perlindungan hak anak tidak terus terjadi akibat ketentuan minimal usia perkawinan yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU 1/1974, maka sudah seharusnya batas usia minimal perkawinan dalam norma a quo disesuaikan dengan batas usia anak yang ditentukan dalam UU Perlindungan Anak. Oleh karena usia anak yang ditentukan oleh pembentuk undang-undang dalam UU Perlindungan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, maka sudah seharusnya kebijakan hukum yang sama mengenai usia a quo juga diterapkan dalam UU 1/1974.

[3.14] Menimbang bahwa perlunya perubahan kebijakan batas usia perkawinan juga didasarkan atas fakta bahwa semakin meningkatnya angka perkawinan anak akan menyebabkan kesulitan bagi negara dalam mewujudkan kesepakatan agenda pembangunan universal baru yang tertuang dalam dokumen Transforming Our World: the 2030 Agenda for Sustainable Development Goals (SDGs) yang berisi 17 tujuan dengan 169 target. Target-target yang didefinisikan bersifat aspiratif dan global, di mana pemerintah masing-masing negara dapat menyusun target nasionalnya sendiri dengan mengacu pada semangat di tingkat global namun disesuaikan dengan situasi nasional. Masing-masing negara memutuskan bagaimana target-target aspiratif dan global ini dapat dimasukkan dalam proses perencanaan, kebijakan dan strategi nasional. Tujuan menyepakati dokumen SDGs ini adalah pada tahun 2030 tidak ada satu negara pun yang tertinggal (no one will be left behind) dalam rangka pengentasan kemiskinan, salah satunya dengan menekan angka pernikahan anak sebagaimana tertuang dalam Tujuan Kelima SDGs yakni “Mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan” (Achieve gender equality and empower all women and girls). Salah satu tujuan yang hendak diwujudkan pada Tujuan 5.3 SDGs adalah menghapus perkawinan anak (Eliminate all harmful practices, such as child, early and forced marriage).

Pernikahan anak merupakan salah bentuk pelanggaran hak anak yang dapat menimbulkan kemudaratan. Hak ini sejatinya dijamin oleh UUD 1945 sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28B ayat (2) bahwa “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Selanjutnya ditegaskan pula dalam UU Perlindungan Anak bahwa hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, negara, pemerintah, dan pemerintah daerah. Anak yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi haknya adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun. Namun, bukti menunjukkan bahwa pernikahan anak semakin meningkat dengan sebaran angka perkawinan anak di atas 10% merata berada di seluruh provinsi Indonesia, sedangkan sebaran angka perkawinan anak di atas 25% berada di 23 provinsi dari 34 provinsi di Indonesia (vide Data BPS, 2017). Kondisi ini tentu sangat mengkhawatirkan karena anak telah kehilangan hak-hak yang seharusnya dilindungi oleh negara. Jika kondisi ini dibiarkan tentu akan menjadikan Indonesia berada dalam kondisi “Darurat Perkawinan Anak”, dan tentu saja akan semakin menghambat capaian tujuan bernegara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.

Oleh karenanya semua kebijakan yang menjadi faktor penyebab terjadinya perkawinan anak sudah seharusnya disesuaikan, in casu UU 1/1974 yang telah berlaku selama 44 tahun. Jika dirunut ke belakang usulan penyempurnaan UU 1/1974 tersebut telah masuk sejak Propenas tahun 2000-2004. Karena tidak berhasil, kemudian diteruskan dalam beberapa Prolegnas, yang terakhir adalah Prolegnas 2015-2019. Berkenaan dengan perkembangan tuntutan global yang telah disepakati yang sejalan dengan tujuan bernegara sebagaimana diamanatkan dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945 sehingga Mahkamah berpendapat penyempurnaan tersebut dapat lebih cepat dilakukan.

[3.15] Menimbang bahwa sejalan dengan pertimbangan di atas, secara faktual, ikhtiar dan prakarsa untuk meningkatkan batas usia perkawinan terkhusus perempuan telah dilakukan di beberapa daerah provinsi dan daerah kabupaten dengan tujuan untuk mencegah dan mengurangi perkawinan di bawah umur melalui pemberlakuan peraturan Kepala Daerah Kabupaten maupun Provinsi antara lain:
a. Peraturan Bupati Kabupaten Gunung Kidul Nomor 30 Tahun 2015 tentang Pencegahan Perkawinan Anak.
b. Peraturan Bupati Kabupaten Kulon Progo Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan Perkawinan Anak.
c. Peraturan Gubernur Bengkulu Nomor 33 Tahun 2018 tentang Pencegahan Perkawinan Anak.
d. Surat Edaran Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 150/1138 Tahun 2014 yang menganjurkan usia layak nikah pada umur 21 tahun baik untuk perempuan maupun laki-laki

Upaya-upaya demikian juga berada pada titik temu dengan aneka agenda kebijakan pemerintah seperti program keluarga berencana dan generasi berencana (genre), pelaksanaan 12 (dua belas) tahun wajib belajar, pendidikan kesehatan reproduksi dan lain-lain. Demikian pula peran dinamis dari kaum muda yang mengambil peran dan memelopori demi mendorong pembuatan kebijakan dan alternatif-alternatif yang digagas dalam pendekatan upaya menyadarkan akan bahaya perkawinan di bawah umur dan cita-cita luhur tujuan ideal perkawinan yaitu membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

[3.16] Menimbang bahwa tuntutan untuk menyesuaikan kebijakan usia minimal perkawinan juga didasarkan atas fakta bahwa Indonesia merupakan salah satu negara pihak The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW). Perjanjian Internasional Untuk Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan tersebut telah diratifikasi Indonesia pada tahun 1984 melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskiriminasi Terhadap Wanita (Convention on The Elimination of All Forms of Discrimanation Against Women). Dalam Pasal 16 ayat (1) CEDAW dinyatakan sebagai berikut:

(1) Negara-negara Pihak wajib melakukan upaya-upaya khusus untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dalam setiap masalah yang berhubungan dengan perkawinan dan hubungan keluarga, dan berdasarkan persamaan antara laki-laki dan perempuan terutama harus memastikan:
a. Hak yang sama untuk melakukan perkawinan;

Bahwa sehubungan dengan pelaksanaan kewajiban negara-negara pihak untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan, khusus terkait hak untuk melakukan perkawinan, United Nations (UN) CEDAW merekomendasikan agar negara pihak menaikkan batas minimum usia perkawinan berlaku sama bagi laki- laki dan perempuan. Sehubungan dengan CEDAW dan rekomendasi UN CEDAW dimaksud, Mahkamah sesungguhnya bukan hendak menjadikan UN CEDAW sebagai dasar pengujian dalam permohonan a quo, sebab CEDAW adalah setingkat dengan undang-undang. Hanya saja, Mahkamah hendak menegaskan bahwa pembentuk undang-undang perlu melakukan sinkronisasi pengaturan batas usia minimal perkawinan dengan UU Perlindungan Anak yang juga sejalan dengan UU Ratifikasi CEDAW. Karena ketidaksinkronan tersebut akan menyebabkan terlanggarnya hak-hak perempuan dan anak yang secara tegas telah dijamin dalam UUD 1945.

[3.17] Menimbang bahwa sekalipun dalil-dalil yang disampaikan Pemohon beralasan menurut hukum, namun tidak serta-merta Mahkamah akan menyatakan bahwa Pasal 7 ayat (1) UU 1/1974 sepanjang frasa “umur 16 (enam belas) tahun” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dibaca “umur 19 (sembilan belas) tahun” sebagaimana dimohonkan para Pemohon dalam petitumnya.

Bahwa sebagaimana telah ditegaskan sebelumnya, penentuan batas usia minimal perkawinan merupakan kebijakan hukum (legal policy) pembentuk undang-undang. Apabila Mahkamah memutuskan batas minimal usia perkawinan, hal tersebut justru akan menutup ruang bagi pembentuk undang-undang di kemudian hari untuk mempertimbangkan lebih fleksibel batas usia minimal perkawinan sesuai dengan perkembangan hukum dan perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, Mahkamah memberikan waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun kepada pembentuk undang-undang untuk sesegera mungkin melakukan perubahan kebijakan hukum terkait batas minimal usia perkawinan, khususnya sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU 1/1974. Sebelum dilakukan perubahan dimaksud, ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU 1/1974 masih tetap berlaku.

Bahwa apabila dalam tenggang waktu tersebut pembentuk undang- undang masih belum melakukan perubahan terhadap batas minimal usia perkawinan yang berlaku saat ini, demi untuk memberikan kepastian hukum dan mengeliminasi diskriminasi yang ditimbulkan oleh ketentuan tersebut, maka batas minimal usia perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU 1/1974 diharmonisasikan dengan usia anak sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Anak dan diberlakukan sama bagi laki-laki dan perempuan.

[3.18] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, dalil permohonan Pemohon sepanjang ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU 1/1974 telah menimbulkan diskriminasi atas dasar jenis kelamin atau gender yang berdampak terhadap tidak terpenuhinya hak anak perempuan sebagai bagian dari hak asasi manusia yang dijamin dalam UUD 1945 adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian.