Info Judicial Review Putusan MK - Menyatakan Mengabulkan

INFO JUDICIAL REVIEW PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 22-11-2018

Bahwa pada hari Kamis, tanggal 22 November 2018, Pukul 15.25 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (selanjutnya disebut UU 24/2000) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut dengan UUD Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 13/PUU-XVI/2018. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 13/PUU-XVI/2018, perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 2, Pasal 9 ayat (2), Pasal 10, Pasal 11 ayat (1), dan Penjelasan Pasal 11 ayat (1) UU Perjanjian Internasional, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.12] Menimbang bahwa, setelah mempertimbangkan hal-hal penting sebagaimana diuraikan dalam Paragraf [3.10] dan Paragraf [3.11] sesungguhnya dengan sendirinya telah menjawab dalil-dalil Para Pemohon. Namun demikian, secara spesifik Mahkamah tetap akan memberikan pertimbangannya terhadap dalil-dalil Para Pemohon sebagai berikut:

A. Terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 2 UU 24/2000 bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 karena telah mengganti frasa “dengan persetujuan DPR” dengan frasa “berkonsultasi dengan DPR dalam hal menyangkut kepentingan publik” dengan argumentasi sebagaimana diuraikan pada huruf A Paragraf [3.7], Mahkamah berpendapat, sebagaimana telah dipertimbangkan dalam Paragraf [3.11], mekanisme konsultasi yang diatur dalam Pasal 2 UU 24/2000 justru dibutuhkan untuk mengetahui apakah substansi suatu perjanjian internasional menurut Pasal 11 UUD 1945 tergolong ke dalam perjanjian yang membutuhkan persetujuan DPR atau tidak. Tanpa adanya mekanisme tersebut akan menyulitkan Pemerintah dalam merumuskan posisinya dalam perundingan padahal penentuan posisi demikian sangat penting karena akan dijadikan pedoman oleh delegasi Indonesia dalam proses perundingan suatu perjanjian internasional. Dengan demikian, Mahkamah berpendapat dalil para Pemohon sepanjang berkenaan dengan inkonstitusionalitas Pasal 2 UU 24/2000 adalah tidak beralasan menurut hukum.

B. Terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 9 ayat (2) UU 24/2000 bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 dengan argumentasi sebagaimana diuraikan pada huruf B Paragraf [3.7], Mahkamah berpendapat bahwa tahapan pengesahan perjanjian internasional yang diatur dalam Pasal a quo adalah berkait langsung dengan kategori suatu perjanjian internasional, yaitu apakah perjanjian internasional itu tergolong ke dalam kategori perjanjian internasional yang mempersyaratkan adanya persetujuan DPR atau tidak. Tahapan pengesahan (menurut hukum nasional) juga merupakan konsekuensi dari suatu perjanjian internasional yang mempersyaratkan adanya pengesahan (ratifikasi) sebagai pernyataan untuk terikat (consent to bound) pihak-pihak yang menjadi peserta dalam perjanjian internasional yang bersangkutan. Dengan demikian, tahapan pengesahan (menurut hukum nasional) terhadap suatu perjanjian internasional adalah sekaligus sebagai instrumen yang menjadikan suatu perjanjian internasional sebagai bagian dari hukum nasional. Sementara itu, oleh karena menurut UUD 1945 tidak seluruh perjanjian internasional mempersyaratkan adanya persetujuan DPR maka hanya perjanjian internasional yang mempersyaratkan persetujuan DPR itulah yang pengesahannya dilakukan dengan undang-undang. Secara a contrario berarti untuk pengesahan perjanjian internasional lainnya tidak dipersyaratkan adanya bentuk hukum tertentu. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat dalil para Pemohon sepanjang berkenaan dengan inkonstitusionalitas Pasal 9 ayat (2) UU 24/2000 adalah tidak beralasan menurut hukum.

C. Terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 10 UU 24/2000 bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 sepanjang frasa “menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang” dalam Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 tersebut dimaknai hanya terbatas pada kategori: a) masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara; b) perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia; c) kedaulatan atau hak berdaulat negara; d) hak asasi manusia dan lingkungan hidup; e) pembentukan kaidah hukum baru; f) pinjaman dan/atau hibah luar negeri”, dengan argumentasi sebagaimana diuraikan pada huruf C Paragraf [3.7] di atas, Mahkamah terlebih dahulu menegaskan bahwa tidak terdapat frasa “menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang- undang” dalam rumusan Pasal 10 UU 24/2000. Namun demikian, Mahkamah dapat memahami maksud para Pemohon yaitu bahwa norma yang dirumuskan dalam Pasal 10 UU 24/2000 tersebut adalah berkait dengan frasa “menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 dan karena itulah maka pengesahan terhadap perjanjian-perjanjian demikian dilakukan dengan undang-undang.

Oleh karena itu, terhadap dalil para Pemohon a quo Mahkamah berpendapat bahwa, sebagaimana telah dipertimbangkan dalam Paragraf [3.11], persoalan apakah suatu perjanjian internasional tergolong ke dalam perjanjian yang membutuhkan persetujuan DPR atau tidak baru dapat diketahui dalam mekanisme konsultasi dengan DPR, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU 24/2000, maka rumusan norma dalam Pasal 10 UU 24/2000 telah menimbulkan penafsiran bahwa hanya perjanjian-perjanjian internasional yang disebutkan dalam Pasal 10 UU 24/2000 itulah yang tergolong ke dalam perjanjian demikian. Sementara itu, perkembangan yang terjadi dalam pergaulan internasional yang makin intens sehingga membuat sesama anggota masyarakat internasional makin saling bergantung satu sama lain dalam pemenuhan kebutuhannya, dalam batas penalaran yang wajar, akan sangat berpengaruh terhadap kepentingan nasional Indonesia. Dalam kesalingtergantungan demikian sangat terbuka kemungkinan bahwa hal-hal yang di masa lalu tidak terlalu berdampak terhadap kepentingan dan kebutuhan nasional Indonesia, di masa yang akan datang sangat mungkin membawa dampak serius. Oleh karena itu, dengan tetap mempertimbangkan secara saksama keleluasaan yang cukup bagi Presiden untuk dapat secara efektif melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahannya, rumusan norma yang tertuang dalam Pasal 10 UU 24/2000 tidak akan mampu menjawab kebutuhan dan ketidakmampuan menjawab kebutuhan demikian bukan sekadar persoalan teknis-administratif melainkan berkait langsung dengan pemenuhan amanat Konstitusi. Dengan demikian, Mahkamah berpendapat dalil para Pemohon sepanjang berkenaan dengan Pasal 10 UU 24/2000 adalah beralasan menurut hukum.

D. Terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 11 ayat (1) beserta Penjelasan Pasal 11 ayat (1) UU 24/2000 bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dengan argumentasi sebagaimana diuraikan pada huruf D Paragraf [3.7] di atas, Mahkamah berpendapat oleh karena dalil para Pemohon a quo berkorelasi dengan dalil para Pemohon tentang inkonstitusionalitas Pasal 9 maka pertimbangan Mahkamah sebagaimana diuraikan pada huruf B di atas berlaku pula terhadap dalil para Pemohon a quo, termasuk persoalan kepastian hukum yang dijadikan argumentasi para Pemohon. Sementara itu, meskipun dalil para Pemohon a quo seolah-olah berkait dengan Pasal 10 UU 24/2000, namun oleh karena pertimbangan Mahkamah terhadap inkonstitusionalitas Pasal 10 bukan berkenaan dengan bentuk hukum pengesahan suatu perjanjian internasional melainkan hanya berkenaan dengan jenis-jenis perjanjian internasional yang mempersyaratkan persetujuan DPR maka pertimbangan Mahkamah terhadap inkonstitusionalitas Pasal 10 UU 24/2000 tidak ada relevansinya dengan dalil para Pemohon perihal inkonstitusionalitas Pasal 11 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 11 ayat (1) UU 24/2000. Oleh karena itu, dalil para Pemohon sepanjang berkenaan dengan Pasal 11 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 11 ayat (1) UU 24/2000 tidak beralasan menurut hukum.

[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat permohonan para Pemohon sepanjang berkenaan dengan inkonstitusionalitas Pasal 10 UU 24/2000 adalah beralasan menurut hukum sedangkan dalil para Pemohon untuk selain dan selebihnya adalah tidak beralasan menurut hukum.