Analisis dan Evaluasi UU Berdasarkan Putusan MK

Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi: Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara / 01-11-2019

Dalam rangka mencapai tujuan nasional sebagaimana tercantum dalam alinea ke-4 Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945), diperlukan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang profesional, bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat dan mampu menjalankan peran sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan UUD Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) selama ini telah diajukan beberapa kali diajukan pengujian ke Mahkamah Konstitusi, namun yang dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi sampai dengan saat ini tercatat ada 3 (tiga) putusan yaitu Putusan Perkara Nomor 41/PUU-XII/2014, Putusan Perkara Nomor 8/PUU-XIII/2015, dan Putusan Perkara Nomor 87/PUU-XVI/2018.

1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal atau ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi?
2. Apa akibat hukum terhadap pasal atau ayat suatu undang-undang yang dinyatakan Mahkamah Konstitusi sebagai konstitusionalitas/ inkonstitusional bersyarat?
3. Apakah terjadi disharmoni norma dalam suatu undang-undang jika suatu pasal atau ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi berimplikasi terhadap norma pasal atau ayat lain yang tidak diujikan khususnya?

Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam UUD Tahun 1945 memiliki dua fungsi ideal, yaitu MK dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi dan berfungsi untuk menjamin, mendorong, mengarahkan, membimbing, dan memastikan bahwa UUD Tahun 1945 dijalankan dengan sebaik-baiknya oleh penyelenggara negara agar nilai-nilai yang terkandung didalamnya dijalankan dengan benar dan bertanggung jawab; dan MK harus bertindak sebagai penafsir karena MK dikonstruksikan sebagai lembaga tertinggi penafsir UUD Tahun 1945.
Secara harfiah, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat memiliki makna hukum tersendiri. Frasa “final” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “terakhir dalam rangkaian pemeriksaan” sedangkan frasa mengikat diartikan sebagai “mengeratkan”, “menyatukan”. Bertolak dari arti harfiah ini maka frasa final dan frasa mengikat, saling terkait sama seperti dua sisi mata uang artinya dari suatu proses pemeriksaan telah memiliki kekuatan mengeratkkan atau menyatukan semua kehendak dan tidak dapat dibantah lagi. Makna harfiah di atas, bila dikaitkan dengan sifat final dan mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi artinya telah tertutup segala kemungkinan untuk menempuh upaya hukum.
Sifat dari putusan Mahkamah Konstitusi yaitu final yang artinya bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). Konsep ini mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni secara sederhana dan cepat sebagaimana diuraikan dalam penjelasan UU MK. Menurut Maruarar Siahaan Putusan Mahkamah Konstitusi sejak diucapkan dihadapan sidang terbuka umum mempunyai 3 kekuatan yaitu: kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian, dan kekuatan eksekutoarial.

1. Putusan Perkara Nomor 41/PUU-XII/2014
Dalam perkara ini, Para Pemohon yang semuanya berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil mengajukan pengujian ketentuan Pasal 119 dan Pasal 123 ayat (3) UU ASN . Pasal 119 UU ASN menyatakan, “Pejabat pimpinan tinggi madya dan pejabat pimpinan tinggi pratama yang akan mencalonkan diri menjadi gubernur dan wakil gubernur, bupati/walikota, dan wakil bupati/wakil walikota wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis dari PNS sejak mendaftar sebagai calon”.
Pasal 123 ayat (3) UU ASN menyatakan, “Pegawai ASN dari PNS yang mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi Presiden dan Wakil Presiden; ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat; ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah; gubernur dan wakil gubernur; bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS sejak mendaftar sebagai calon”. Pertanyaan yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam hubungan ini adalah apakah adil dan sekaligus memberi kepastian hukum apabila seorang PNS yang hendak mencalonkan diri sebagai pejabat publik yang mekanisme pengisiannya dilakukan melalui pemilihan harus menyatakan pengunduran dirinya secara tertulis sebagai PNS sejak saat ia mendaftar sebagai calon? Apabila syarat pengunduran diri PNS tersebut dimaknai seperti yang tertulis dalam ketentuan UU ASN di atas maka seorang PNS akan segera kehilangan statusnya sebagai PNS begitu ia mendaftar sebagai pejabat publik yang mekanisme pengisiannya dilakukan melalui pemilihan. Pemaknaan atau penafsiran demikian memang telah memberi kepastian hukum namun mengabaikan aspek keadilan. Dengan kata lain, pemaknaan demikian hanyalah memenuhi sebagian dari jaminan hak konstitusional yang dinyatakan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945, yaitu hanya aspek kepastian hukumnya. Padahal, Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945 tegas menyatakan bahwa hak dimaksud bukanlah sekadar hak atas kepastian hukum melainkan hak atas kepastian hukum yang adil. Dalam UU 8/2015 juga terdapat ketentuan yang mempersyaratkan PNS mengundurkan diri sejak mendaftar sebagai calon kepala daerah atau wakil kepala daerah, sementara bagi anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD hanya dipersyaratkan memberitahukan kepada pimpinannya jika hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah. Hal itu diatur dalam Pasal 7 huruf s dan huruf t UU 8/2015.
Kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah jabatan publik atau jabatan politik yang mekanisme pengisiannya juga dilakukan melalui pemilihan. Oleh karena itu syarat pengunduran diri bagi PNS yang hendak mencalonkan diri menjadi kepala daerah atau wakil kepala daerah tidaklah bertentangan dengan UUD Tahun 1945, sebagaimana telah ditegaskan dalam putusan-putusan Mahkamah yang telah dijelaskan dalam paragraf [3.13] di atas. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah mengapa syarat yang sama tidak berlaku bagi anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD? Oleh karena itu, agar proporsional dan demi memenuhi tuntutan kepastian hukum yang adil, baik PNS maupun anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD haruslah sama-sama dipersyaratkan mengundurkan diri apabila hendak mencalonkan diri guna menduduki jabatan publik atau jabatan politik lainnya yang mekanismenya dilakukan melalui pemilihan (elected officials). Namun, demi memenuhi tuntutan kepastian hukum yang adil pula, pengunduran diri dimaksud dilakukan bukan pada saat mendaftar melainkan pada saat yang bersangkutan telah ditetapkan secara resmi sebagai calon oleh penyelenggara pemilihan dengan cara membuat pernyataan yang menyatakan bahwa apabila telah ditetapkan secara resmi oleh penyelenggara pemilihan sebagai calon dalam jabatan publik atau jabatan politik yang mekanismenya dilakukan melalui pemilihan itu maka yang bersangkutan membuat surat pernyataan pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali, yaitu pada saat mendaftarkan diri dan berlaku sejak ditetapkan secara resmi sebagai calon. Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa Pasal 119 dan Pasal 123 ayat (3) UU ASN bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat.

2. Putusan Perkara Nomor 8/PUU-XIII/2015
Dalam perkara ini, Para Pemohon yang berjumlah 3 (tiga) orang semuanya berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil dan diberhentikan dengan tidak hormat dari pekerjaan Pemohon sebagai PNS karena menjadi anggota salah satu partai politik mengajukan pengujian ketentuan Pasal 87 ayat (4) huruf c UU ASN, Pasal 119 UU ASN beserta Penjelasannya, Pasal 123 ayat (3) UU ASN beserta Penjelasannya, dan Pasal 124 ayat (2) UU ASN. UU ASN mengembangkan sistem merit secara terintegrasi dalam kebijakan dan manajemen ASN. Hal ini sebagai upaya mencapai cita-cita reformasi birokrasi membenahi ASN secara struktural dan kultural, membangun aparatur negara lebih berdaya guna dan berhasil guna dalam mengemban tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional. Menurut Mahkamah untuk mewujudkan reformasi birokrasi yang mendasarkan pada sistem merit, maka setiap pegawai ASN harus memiliki jabatan. Konsekuensi dari adanya jabatan adalah kinerja yang di dalamnya mengandung tugas dan tanggung jawab yang harus dijalankan, yang selanjutnya kinerja tersebut menjadi tolok ukur dalam penggajian, serta reward dan punishment. Sebagai konsekuensi dari prinsip bahwa setiap pegawai ASN harus memiliki jabatan, maka jika yang bersangkutan tidak memiliki jabatan dalam dua tahun maka akan diberhentikan dengan hormat.
Oleh karena itu menurut Mahkamah jika seorang PNS tidak menjabat lagi sebagai pejabat negara, apabila hendak kembali berkarir sebagai pegawai ASN, maka yang bersangkutan harus menduduki jabatan, baik Jabatan Pimpinan Tinggi, Jabatan Administrasi, atau Jabatan Fungsional (vide Pasal 124 ayat (1) UU ASN), sehingga yang bersangkutan memiliki tugas dan tanggung jawab yang melekat pada jabatannya tersebut. Jika yang bersangkutan tidak menduduki jabatan maka tidak ada kinerja yang dilakukan, dengan kata lain yang bersangkutan hanya menerima gaji tanpa melakukan pekerjaan. Hal demikian tentu tidak sesuai dengan sistem merit, dan terlebih lagi tidak memberi rasa keadilan bagi pegawai ASN lainnya yang kinerjanya dijadikan tolok ukur untuk sistem penilaian dan penggajian. Untuk itu menurut Mahkamah akan lebih memberi rasa keadilan dan kemanfaatan jika seorang PNS yang tidak lagi menjabat sebagai pejabat negara, namun tidak menduduki Jabatan Pimpinan Tinggi, Jabatan Administrasi atau Jabatan Fungsional, baik atas kehendaknya sendiri ataupun karena tidak tersedia lowongan jabatan, diberhentikan dengan hormat.
Mahkamah berpendapat bahwa jika jangka waktu yang diberikan kepada PNS untuk menduduki jabatan setelah tidak menjabat lagi sebagai pejabat negara hanya 2 (dua) tahun sebagaimana ditentukan Pasal 124 ayat (2) UU ASN, hal ini tidak proporsional jika dihubungkan dengan ketentuan Pasal 117 ayat (1) UU ASN yang menyatakan bahwa jabatan pimpinan tinggi hanya dapat diduduki paling lama 5 (lima) tahun. Menurut Mahkamah jangka waktu untuk menduduki jabatan setelah tidak menjabat lagi sebagai pejabat negara harus disesuaikan dengan masa menduduki Jabatan Pimpinan Tinggi sebagaimana diatur dalam Pasal 117 ayat (1) UU ASN yaitu 5 (lima) tahun. Sehingga PNS yang tidak menjabat lagi sebagai pejabat negara dapat lebih leluasa untuk mendapat kesempatan menduduki Jabatan Pimpinan Tinggi, dan jika dalam jangka waktu 5 tahun yang bersangkutan tetap tidak menduduki jabatan, baik Jabatan Pimpinan Tinggi, Jabatan Administrasi Umum, atau Jabatan Fungsional, barulah yang bersangkutan diberhentikan dengan hormat.

3. Putusan Perkara Nomor 87/PUU-XVI/2018
Pemohon bernama Hendrik, B.Sc. berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil mengajukan pengujian ketentuan Pasal 87 ayat (2) dan ayat (4) huruf b dan huruf d UU ASN. Pasal 87 ayat (4) UU ASN secara keseluruhan adalah mengatur tentang alasan-alasan yang menyebabkan seorang PNS diberhentikan tidak dengan hormat.
Bagaimana halnya dengan keberadaan frasa “dan/atau tindak pidana umum” yang dijadikan sebagai bagian tak terpisahkan dari norma dalam Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN. Persoalannya bukanlah terletak pada adanya frasa “dan/atau tindak pidana umum” itu sendiri melainkan kaitannya dengan norma lain dalam pasal yang sama, yaitu norma dalam Pasal 87 ayat (2) UU ASN. Jika norma yang tertuang dalam Pasal 87 ayat (4) huruf b dihubungkan dengan norma yang termaktub dalam Pasal 87 ayat (2), persoalan yang timbul adalah apa yang akan dilakukan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian jika seorang PNS melakukan tindak pidana umum yang dijatuhi pidana penjara dua tahun berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, apakah akan melakukan tindakan dengan memberlakukan Pasal 87 ayat (2) UU ASN, yaitu memberhentikan dengan hormat atau tidak memberhentikan PNS yang bersangkutan, ataukah akan memberlakukan Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN, yaitu memberhentikan tidak dengan hormat PNS yang bersangkutan karena adanya frasa “dan/atau pidana umum” dalam Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN tersebut. Keadaan demikian, di samping menimbulkan ketidakpastian hukum juga membuka peluang bagi Pejabat Pembina Kepegawaian untuk melakukan tindakan berbeda terhadap dua atau lebih bawahannya yang melakukan pelanggaran yang sama.
keberadaan frasa “dan/atau pidana umum” dalam Pasal 87 ayat (4) huruf b telah menimbulkan ketidakpastian hukum serta membuka peluang lahirnya ketidakadilan sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945. Karena itu, meskipun Pemohon tidak secara khusus mendalilkan pertentangan Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN dikaitkan dengan frasa “dan/atau pidana umum” namun oleh karena frasa dimaksud merupakan satu kesatuan dengan norma Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN dan oleh karena telah terbukti bahwa frasa “dan/atau pidana umum” dimaksud telah menimbulkan ketidakpastian hukum maka dalil Pemohon yang terkait dengan norma pasal a quo adalah beralasan menurut hukum sepanjang berkenaan dengan frasa “dan/atau pidana umum”.

Bahwa UU ASN telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Perkara Nomor 41/PUU-XII/2014, Perkara 8/PUU-XIII/2015, dan Perkara 87/PUU-XVI/2018. Dalam putusan perkara Nomor 41/PUU-XII/2014, Mahkamah Konstitusi memutus bahwa:
• Pasal 119 dan Pasal 123 ayat (3) UU ASN bertentangan dengan UUD Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS harus dilakukan bukan sejak mendaftar sebagai calon melainkan pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS dilakukan sejak ditetapkan sebagai calon peserta Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dan Pemilu Presiden/ Wakil Presiden serta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”;
• Pasal 119 dan Pasal 123 ayat (3) UU ASN tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS harus dilakukan bukan sejak mendaftar sebagai calon melainkan pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS dilakukan sejak ditetapkan sebagai calon peserta Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dan Pemilu Presiden/ Wakil Presiden serta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”;
Kemudian dalam Putusan Perkara 8/PUU-XIII/2015, Mahkamah Konstitusi memutus bahwa:
• Pasal 124 ayat (2) UU ASN bertentangan dengan UUD Tahun 1945 sepanjang mengenai frasa “2 (dua) tahun” dalam ketentuan tersebut tidak dimaknai “5 (lima) tahun”;
• Pasal 124 ayat (2) UU ASN tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang mengenai frasa “2 (dua) tahun” dalam ketentuan tersebut tidak dimaknai “5 (lima) tahun”;
• Pasal 124 ayat (2) UU ASN selengkapnya menjadi “Dalam hal tidak tersedia lowongan jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam waktu paling lama 5 (lima) tahun PNS yang bersangkutan diberhentikan dengan hormat”;
Selanjutnya dalam Putusan Perkara Nomor 87/PUU-XVI/2018, Mahkamah Konstitusi memutus bahwa:
• Menyatakan frasa “dan/atau pidana umum” dalam Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN menjadi berbunyi, “dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan”;
Bahwa setelah dilakukan evaluasi terhadap putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan pengujian UU ASN tersebut, maka selanjutnya pembentuk Undang-Undang segera melakukan perubahan atau penyesuaian materi muatan UU ASN berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi.

1. Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PUU-XII/2014, isi ketentuan Pasal 119 UU ASN menjadi : “Pejabat pimpinan tinggi madya dan pejabat pimpinan tinggi pratama yang akan mencalonkan diri menjadi gubernur dan wakil gubernur, bupati/walikota, dan wakil bupati/wakil walikota wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis dari PNS sejak mendaftar sebagai calon.” dan ketentuan Pasal 123 ayat (3) UU ASN yang mengatur: “Pegawai ASN dari PNS yang mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi Presiden dan Wakil Presiden; ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat; ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah; gubernur dan wakil gubernur; bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS sejak mendaftar sebagai calon” menjadi bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS harus dilakukan bukan sejak mendaftar sebagai calon melainkan pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS dilakukan sejak ditetapkan sebagai calon peserta Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dan Pemilu Presiden/ Wakil Presiden serta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”;
2. Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 8/PUU-XVI/2015, isi ketentuan Pasal 124 ayat (2) UU ASN menjadi: “Dalam hal tidak tersedia lowongan jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun PNS yang bersangkutan diberhentikan dengan hormat.” menjadi bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang mengenai frasa “2 (dua) tahun” dalam ketentuan tersebut tidak dimaknai “5 (lima) tahun”; Selanjutnya, Pasal 124 ayat (2) UU ASN selengkapnya menjadi “Dalam hal tidak tersedia lowongan jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam waktu paling lama 5 (lima) tahun PNS yang bersangkutan diberhentikan dengan hormat”;
3. Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 87/PUU-XVI/2018, isi ketentuan Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN menjadi :“PNS diberhentikan tidak dengan hormat karena: b. dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan dan/atau pidana umum; menjadi bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN menjadi berbunyi, “dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan”
4. Bahwa dengan adaya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PUU-XII/2014, Nomor 8/PUU-XIII/2015, 87/PUU-XVI/2018 yang menyatakan Pasal 119, Pasal 123 ayat (3), Pasal 124 ayat (2), dan Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara konstitusional bersyarat telah menciptakan keadaan hukum baru.

1. Bahwa pembentuk undang-undang perlu untuk segera menindaklanjuti dengan mengubah Pasal 119, Pasal 123 ayat (3), Pasal 124 ayat (2), dan Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN.
2. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pembentuk undang-undang perlu untuk segera menindaklanjuti hasil putusan Mahkamah Konsitusi tersebut dengan segera melakukan penyesuaian atau perubahan UU ASN dan segera menetapkan dalam Program Legislasi Nasional Kumulatif Terbuka.