Analisis dan Evaluasi UU Berdasarkan Putusan MK

Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi: Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Jo. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 Jo. Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Peradilan Umum / 01-11-2019

Berdasarkan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945), Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kemudian, Pasal 24 ayat (2) UUD Tahun 1945 mengatur bahwa Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Salah satu bentuk pelaksanaan kekuasaan kehakiman sesuai UUD Tahun 1945 diwujudkan dengan pembentukan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 (UU No. 2 Tahun 1986) Jo. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 (UU No. 8 Tahun 2004) Jo. Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 (UU No. 49 Tahun 2009) tentang Peradilan Umum (selanjutnya secara keseluruhan ketiganya UU tersebut disebut UU Peradilan Umum). UU Peradilan Umum telah mengalami perubahan sebanyak dua kali yaitu melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009. UU No. 49 Tahun 2009 telah beberapa kali diujikan ke Mahkamah Konstitusi, dan terdapat dua putusan yang telah dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi. Kedua putusan tersebut di antaranya Putusan No. 37/PUU-X/2012 dan Putusan No. 43/PUU-XIII/2015.

1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal atau ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi?
2. Apa akibat hukum terhadap pasal atau ayat suatu undang-undang yang dinyatakan Mahkamah Konstitusi sebagai konstitusionalitas/ inkonstitusional bersyarat?
3. Apakah terjadi disharmoni norma dalam suatu undang-undang jika suatu pasal atau ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi berimplikasi terhadap norma pasal atau ayat lain yang tidak diujikan?

Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam UUD Tahun 1945 memiliki dua fungsi ideal, yaitu MK dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi dan berfungsi untuk menjamin, mendorong, mengarahkan, membimbing, dan memastikan bahwa UUD Tahun 1945 dijalankan dengan sebaik-baiknya oleh penyelenggara negara agar nilai-nilai yang terkandung didalamnya dijalankan dengan benar dan bertanggung jawab; dan MK harus bertindak sebagai penafsir karena MK dikonstruksikan sebagai lembaga tertinggi penafsir UUD Tahun 1945.
Secara harfiah, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat memiliki makna hukum tersendiri. Frasa “final” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “terakhir dalam rangkaian pemeriksaan” sedangkan frasa mengikat diartikan sebagai “mengeratkan”, “menyatukan”. Bertolak dari arti harfiah ini maka frasa final dan frasa mengikat, saling terkait sama seperti dua sisi mata uang artinya dari suatu proses pemeriksaan telah memiliki kekuatan mengeratkkan atau menyatukan semua kehendak dan tidak dapat dibantah lagi. Makna harfiah di atas, bila dikaitkan dengan sifat final dan mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi artinya telah tertutup segala kemungkinan untuk menempuh upaya hukum.
Sifat dari putusan Mahkamah Konstitusi yaitu final yang artinya bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). Konsep ini mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni secara sederhana dan cepat sebagaimana diuraikan dalam penjelasan UU MK. Menurut Maruarar Siahaan Putusan Mahkamah Konstitusi sejak diucapkan dihadapan sidang terbuka umum mempunyai 3 kekuatan yaitu: kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian, dan kekuatan eksekutoarial.

1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-X/2012
Pokok permohonan Pemohon adalah pengujian materiil frasa “diatur dengan peraturan perundang-undangan” dalam:
• Pasal 25 ayat (6) UU No. 51 Tahun 2009
• Pasal 24 ayat (6) UU No. 50 Tahun 2009
• Pasal 25 ayat (6) UU No. 49 Tahun 2009
Mahkamah berpendirian tidaklah dapat ditemukan kaitan secara langsung antara norma yang diuji dan adanya prinsip independensi peradilan dan independensi hakim, sebagaimana yang didalilkan oleh Pemohon, karena pengaturan gaji pokok, tunjangan dan hak-hak lainnya beserta jaminan keamanan bagi ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan hanya dinyatakan akan diatur lebih lanjut dengan peraturan perundang-undangan, sehingga substansi norma yang diuji tidak berarti akan mengurangi atau mempengaruhi independensi peradilan ataupun independensi hakim.
Mahkamah Konstitusi berpandangan bahwa frasa “diatur dengan peraturan perundang-undangan” dalam Pasal 25 ayat (6) UU No. 51 Tahun 2009, Pasal 24 ayat (6) UU No. 50 Tahun 2009, dan Pasal 25 ayat (6) UU No. 49 Tahun 2009 merupakan bentuk dari delegasi kewenangan yang dibentuk dari Undang-Undang kepada peraturan perundang-undangan. Akan tetapi, sebuah bentuk delegasi harus memenuhi syarat-syarat kejelasan kewenangan apa saja yang didelegasikan dan kepada apa atau siapa delegasi kewenangan tersebut diberikan. Mengingat Pasal 25 ayat (6) UU No. 51 Tahun 2009, Pasal 24 ayat (6) UU No. 50 Tahun 2009, dan Pasal 25 ayat (6) UU No. 49 Tahun 2009 mengatur agar ketentuan lebih lanjut mengenai gaji pokok, tunjangan dan hak-hak lainnya beserta jaminan keamanan bagi ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan diatur dengan peraturan perundang-undangan tanpa menjelaskan jenis peraturan perundang-undangan dimaksud secara tegas untuk mengatur hal tersebut, padahal jenis-jenis peraturan perundang-undangan sudah ditentukan secara tegas, menurut Mahkamah, hal demikian merupakan pelanggaran terhadap prinsip kepastian hukum yang adil yang dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945.
Bahwa dalam rangka meluruskan ketidakjelasan frasa “diatur dengan peraturan perundang-undangan” dalam Pasal 25 ayat (6) UU No. 51 Tahun 2009, Pasal 24 ayat (6) UU No. 50 Tahun 2009, dan Pasal 25 ayat (6) UU No. 49 Tahun 2009, Mahkamah berpedoman pada Pasal 5 ayat (2) UUD Tahun 1945 yang menyatakan, “Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya”. Dengan demikian, frasa “diatur dengan peraturan perundang-undangan” dalam Pasal 25 ayat (6) UU No. 51 Tahun 2009, Pasal 24 ayat (6) No. 50 Tahun 2009, dan Pasal 25 ayat (6) UU No. 49 Tahun 2009, adalah bertentangan dengan UUD Tahun 1945 secara bersyarat.
Atas Pendapat Hukum Mahkamah Konstitusi tersebut, telah ditegaskan kembali bahwa dalam pendelegasian kewenangan dalam sebuah undang-undang harus memenuhi kejelasan kewenangan apa saja yang didelegasikan dan kepada apa atau siapa delegasi kewenangan tersebut diberikan. Dikarenakan tidak disebutkan mandatory kewenangan secara jelas, maka Mahkamah Konstitusi menyelaraskan hierarkisitas peraturan perundang-undangan sebagaimana ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011 yaitu UU No. 49 Tahun 2009 dilaksanakan melalui Peraturan Pemerintah.

2. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015
Para Pemohon mendalilkan kata “bersama” dan frasa “dan Komisi Yudisial” dalam Ketentuan Pasal 14A ayat (2), dan ayat (3) UU tentang Peradilan Umum, Pasal 13A ayat (2), dan ayat (3) UU tentang Peradilan Agama, Pasal 14A ayat (2), dan ayat (3) UU tentang Peradilan Tata Usaha Negara bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1), Pasal 24B ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945.
1. Keterlibatan Komisi Yudisial dalam proses seleksi pengangkatan hakim pada Peradilan Umum, Peradilan Agama dan Peradilan Tata Usaha Negara adalah inkonstitusional, karena bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1), Pasal 24B ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945;
2. Bahwa “kekuasaan kehakiman yang merdeka” tidak hanya dalam konteks pelaksanaan kewenangan hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara, melainkan juga untuk melakukan proses seleksi dan perekrutan hakim yang berkualitas secara independen dan mandiri. Dengan berlakunya pasal a quo akan dapat menjadi pintu masuk bagi intervensi suatu lembaga terhadap lembaga lain yang akan merusak mekanisme checks and balances yang dibangun. Adanya keterlibatan Komisi Yudisial dalam seleksi pengangkatan hakim pengadilan negeri, pengadilan agama, dan pengadilan tata usaha negara akan merusak sistem kekuasaan kehakiman yang dijamin oleh konstitusi karena adanya “segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain diluar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam UUD Tahun 1945”;
3. Bahwa rumusan menyangkut keterlibatan Komisi Yudisial dalam proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan negeri, pengadilan agama dan pengadilan tata usaha negara, sebagaimana yang tercantum dalam ketentuan pasal-pasal a quo,menimbulkan implikasi ketidakpastian hukum dan menimbulkan persoalan konstitusionalitas.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah ketentuan Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) UU tentang Peradilan Umum, Pasal 13A ayat (2) dan ayat (3) UU tentang Peradilan Agama, Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) UU tentang Peradilan Tata Usaha Negara sepanjang kata "bersama" dan frasa "dan Komisi Yudisial" adalah bertentangan dengan Pasal 24B ayat (1) UUD Tahun 1945. Bahwa atas Putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa Komisi Yudisial bukanlah pelaku kekuasaan kehakiman, namun perannya sebagai pengawas pelaksanaan kekuasaan kehakiman dari sisi etik perorangan hakim tanpa melakukan intervensi terhadap kemerdekaan hakim dalam membuat sebuah putusan.
Dengan demikian, berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum.

Dissenting Opinion
Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna berpendapat, keterlibatan Komisi Yudisial dalam proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan negeri, hakim pengadilan agama, dan hakim pengadilan tata usaha negara yang dilakukan bersama-sama dengan Mahkamah Agung tidaklah mengganggu administrasi, organisasi, maupun finansial pengadilan sepanjang dipahami (dan terbatas pada) bahwa keterlibatan Komisi Yudisial itu konteksnya adalah keterlibatan dalam memberikan pemahaman kode etik dan pedoman perilaku hakim bagi para calon hakim yang telah dinyatakan lulus dalam proses seleksi sebagai calon pegawai negeri sipil. Sesungguhnya, mekanisme yang sudah dipraktikkan selama ini, sebelum adanya permohonan a quo dimana Komisi Yudisial dilibatkan dalam pemberian materi ajar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, melakukan pengawasan pelaksanaan pendidikan dan latihan calon hakim, serta melakukan monitoring pelaksanaan proses magang para calon hakim hingga turut serta dalam rapat penentuan kelulusan para peserta pendidikan dan latihan calon hakim, menurut Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna adalah penafsiran sekaligus implementasi yang tepat terhadap pengertian “wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim” yang diberikan oleh UUD Tahun 1945 kepada Komisi Yudisial. Mahkamah seharusnya memutus dan menyatakan norma Undang-Undang yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo konstitusional bersyarat (conditionally constitutional), yaitu sepanjang frasa “bersama Komisi Yudisial” dalam proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan negeri, hakim pengadilan agama, dan hakim pengadilan tata usaha negara sebagaimana diatur dalam ketiga Undang-Undang a quo dimaknai sebagai diikutsertakannya Komisi Yudisial dalam proses pemberian materi kode etik dan pedoman perilaku hakim bagi para calon hakim pengadilan negeri, calon hakim pengadilan agama, dan calon hakim pengadilan tata usaha negara dalam proses seleksi tersebut.

Setelah dilakukan dua kali perubahan UU tentang Peradilan Umum, ternyata dalam implementasinya masih terdapat pengujian materil UU tersebut melalui Mahkamah Konstitusi. Evaluasi UU No. 49 Tahun 2009 dilakukan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 37/PUU-X/2012 dan No. 43/PUU-XIII/2015. Ketentuan Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) UU No. 49 Tahun 2009 tersebut bertentangan dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 yaitu asas dapat dilaksanakan, bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis. Bahwa secara filosofis dan yuridis, seharusnya tidak ada keterlibatan wewenang Komisi Yudisial yang terbatas pada pengawasan etik hakim saja.
Berdasarkan Pasal 10 UU No. 12 Tahun 2011 diatur bahwa materi muatan yang harus diatur dengan undang-undang salah satunya adalah tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi dan dilakukan oleh DPR atau Presiden untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum sehingga dibutuhkan perubahan/penggantian UU No. 49 Tahun 2009 untuk menyesuaikan dengan Putusan Nomor 37/PUU-X/2012 dan Putusan Nomor 43/PUU-XIII/2015.

1. Bahwa berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi yang telah mengubah makna pasal/ayat UU yang diuji, maka telah menciptakan keadaan hukum baru, yaitu:
a. Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-X/2012, Pasal 25 ayat (6) UU No. 49 Tahun 2009 sepanjang frasa “diatur dengan peraturan perundang-undangan” bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “diatur dengan Peraturan Pemerintah.” Isi ketentuan Pasal 25 ayat (6) UU No. 49 Tahun 2009 menjadi dimaknai: Ketentuan lebih lanjut mengenai gaji pokok, tunjangan dan hak-hak lainnya beserta jaminan keamanan bagi ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
b. Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi 43/PUU-XIII/2015, Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) sepanjang kata “bersama” dan frasa “dan Komisi Yudisial” UU No. 49 Tahun 2009 bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Isi ketentuan Pasal 14A menjadi:
ayat (2): “Proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan tata usaha negara dilakukan bersama oleh Mahkamah Agung.”
ayat (3): Ketentuan lebih lanjut mengenai proses seleksi diatur bersama oleh Mahkamah Agung.
2. Bahwa dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-X/2012 dan 43/PUU-XIII/2015 yang menyatakan Pasal 25 ayat (6), Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) UU No. 49 Tahun 2009 bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, maka telah menciptakan keadaan hukum baru.
Berdasarkan implikasi dari kedua Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, jika dilakukan perubahan terhadap UU No. 49 Tahun 2009 oleh pembentuk undang-undang, maka harus dilakukan sesuai dengan putusan Mahkamah yang bersifat final dan mengikat. Perlu dilakukan reformulasi materi muatan atas beberapa hal yang telah diputus Mahkamah Konstitusi agar penyelenggaraan peradilan oleh peradilan umum berjalan sesuai UUD Tahun 1945. Selain itu, UU terkait yaitu UU No. 18 Tahun 2011 juga perlu melakukan penyesuaian materi dengan Putusan No. 43/PUU-XIII/2015.

1. Secara umum, terdapat beberapa ketentuan di dalam No. 49 Tahun 2009 yang diperlukan reformulasi ulang akibat dari adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-X/2012 dan 43/PUU-XIII/2015.
2. Bahwa pembentuk undang-undang perlu untuk segera menindaklanjuti dengan mengubah ketentuan-ketentuan Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3), serta Pasal 25 ayat (6), UU No. 49 Tahun 2009 yang terkena dampak dari putusan Mahkamah Konsitusi.
3. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pembentuk undang-undang perlu untuk segera menindaklanjuti hasil putusan Mahkamah Konsitusi tersebut dengan segera melakukan penyesuaian atau perubahan UU No. 49 Tahun 2009 dan segera menetapkan dalam Program Legislasi Nasional Kumulatif Terbuka.