Analisis dan Evaluasi UU Berdasarkan Putusan MK

Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi: Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri / 01-11-2019

Makna dan arti pentingnya pekerjaan bagi setiap orang tercermin dalam Pasal 27 ayat (2) UUD Tahun 1945 yang menyatakan bahwa setiap Warga Negara Indonesia berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Namun pada kenyataannya, keterbatasan kesempatan kerja di dalam negeri menyebabkan banyaknya warga Negara Indonesia/TKI mencari pekerjaan keluar negeri.
Dalam perjalanannya, ada 2 (dua) permohonan uji materiil yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap UU Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri yaitu Perkara Nomor 019/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 50/PUU-XI/2013. Dalam Perkara Nomor 019/PUU-III/2005, permohonan diajukan oleh Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (APJATI), Asosiasi Jasa Penempatan Asia Pasific (AJASPAC), dan Himpunan Pengusaha Jasa Tenaga Kerja Indonesia (HIMSATAKI) yang Kesemuanya memberi kuasa kepada Sangap Sidauruk, S.H, Harison Malau, S.H, dan Ferry Simanjuntak,S.H. Pasal yang diuji yaitu :
Pasal 35 huruf d UU PPTKILN bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) UUD Tahun 1945.

Dalam Perkara Nomor 50/PUU-XI/2013 diajukan oleh Arni Aryani Suherlan Odo, Siti Masitoh BT Obih Ading, dan Ai Lasmini BT Enu Wiharja yang ketiganya memberikan kuasa kepada Sondang Tampubolon, S.H., dkk. Pasal yang di uji yaitu:
Pasal 59 UU Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD Tahun 1945.

Permohonan Pemohon dalam uji materiil Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri hanya dikabulkan untuk sebagian, Pasal yang di kabulkan hanya pengujian terhadap Pasal 59, sedangkan Pasal yang lainnya di tolak dan masih tetap berlaku. disimpulkan bahwa dengan dikabulkannya permohonan Pemohon untuk seluruhnya dan sebagian uji materiil UU PPTKILN terhadap UUD Tahun 1945 membawa implikasi dan akibat hukum serta menciptakan keadaan hukum baru sebagai implikasi dikabulkannya permohonan uji materiil pasal-pasal a quo, sehingga perlu dilakukan evaluasi dan analisis terhadap kedua Putusan MK tersebut.

1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK?
2. Apa akibat hukum terhadap pasal dan ayat suatu UU yang dinyatakan MK sebagai inkonstitusionalitas/inkonstitusionalitas bersyarat?
3. Apakah terjadi disharmoni norma dalam suatu UU jika suatu pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK berimplikasi terhadap norma pasal ayat lain yang tidak diujikan?

Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam UUD Tahun 1945 memiliki dua fungsi ideal, yaitu MK dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi dan berfungsi untuk menjamin, mendorong, mengarahkan, membimbing, dan memastikan bahwa UUD Tahun 1945 dijalankan dengan sebaik-baiknya oleh penyelenggara negara agar nilai-nilai yang terkandung didalamnya dijalankan dengan benar dan bertanggung jawab; dan MK harus bertindak sebagai penafsir karena MK dikonstruksikan sebagai lembaga tertinggi penafsir UUD Tahun 1945.
Secara harfiah, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat memiliki makna hukum tersendiri. Frasa “final” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “terakhir dalam rangkaian pemeriksaan” sedangkan frasa mengikat diartikan sebagai “mengeratkan”, “menyatukan”. Bertolak dari arti harfiah ini maka frasa final dan frasa mengikat, saling terkait sama seperti dua sisi mata uang artinya dari suatu proses pemeriksaan telah memiliki kekuatan mengeratkkan atau menyatukan semua kehendak dan tidak dapat dibantah lagi. Makna harfiah di atas, bila dikaitkan dengan sifat final dan mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi artinya telah tertutup segala kemungkinan untuk menempuh upaya hukum.
Sifat dari putusan Mahkamah Konstitusi yaitu final yang artinya bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). Konsep ini mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni secara sederhana dan cepat sebagaimana diuraikan dalam penjelasan UU MK. Menurut Maruarar Siahaan Putusan Mahkamah Konstitusi sejak diucapkan dihadapan sidang terbuka umum mempunyai 3 kekuatan yaitu: kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian, dan kekuatan eksekutoarial.

1. Putusan MK Nomor 019/PUU-III/2005
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa hak asasi manusia mengakui hak-hak yang penting bagi kehidupan manusia. Demikian pentingnya hak untuk hidup dimaksud, sehingga Pasal 28I ayat (1) UUD Tahun 1945 menegaskan hak untuk hidup sebagai salah satu hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Hak untuk bekerja yang berkait secara langsung dengan hak untuk mencari nafkah sangatlah erat hubungannya dengan hak untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya.

Ketentuan tentang syarat tingkat pendidikan bagi seseorang yang akan bekerja di luar negeri, sebagaimana tercantum dalam Pasal 35 huruf d UU PPTKI, harus juga dilihat dari sudut pandang adanya jaminan hak untuk bekerja menurut Pasal 27 ayat (2) yang berkait erat dengan Pasal 28A, terutama hak atas kehidupan, Pasal 28H ayat (1) hak atas hidup sejahtera lahir batin dari UUD Tahun 1945. Pasal 35 huruf d UU PPTKI yang diajukan para Pemohon untuk diuji secara materiil adalah salah satu syarat bagi calon TKI yang “wajib” direkrut oleh pelaksana penempatan TKI swasta, yaitu bahwa calon TKI tersebut sekurang-kurangnya lulus Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) atau sederajat, selain syarat yang lain: (a) berusia sekurang-kurangnya 18 (delapan belas) tahun kecuali bagi TKI yang akan diperkerjakan pada Pengguna perseorangan sekurang-kurangnya berusia 21 (duapuluh satu) tahun; (b) sehat jasmani dan rohani; (c) tidak dalam keadaan hamil bagi calon tenaga kerja perempuan.

Pembatasan tingkat pendidikan di luar persyaratan yang ditentukan oleh pekerjaan sebagaimana tercantum dalam Pasal 35 huruf d UU PPTKI justru tidak mempunyai dasar alasan pembenar (rechtsvaardigingsgrond) menurut Pasal 28J ayat (2) UUD Tahun 1945 guna menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan tidak bertentangan dengan tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, serta tidak mengganggu keamanan dan ketertiban umum. Dengan demikian, pembatasan tingkat pendidikan SLTP yang terdapat dalam pasal UU PPTKI bertentangan dengan hak atas pekerjaan seseorang yang dijamin oleh Pasal 27 ayat (2), hak untuk mempertahankan hidup dan kehidupan Pasal 28A, serta hak untuk hidup sejahtera berdasarkan Pasal 28H ayat (1) UUD Tahun 1945. Dengan demikian, dalil para Pemohon sepanjang menyangkut Pasal 35 huruf d UU PPTKI cukup beralasan, sehingga oleh karenanya harus dikabulkan.

- Dissenting Opinion
1. Prof. H.A.S. Natabaya, S.H., LL.M
Pada intinya Prof Natabaya berpendapat bahwa pengertian diskriminasi harus diartikan setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang di dasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama (religion), ras (race), warna (colour), jenis kelamin (sex), bahasa (language), kesatuan politik (political opinion). Dari uraian tersebut Pasal 35 huruf d UU PPTKI sama sekali tidak mengandung sifat diskriminatif.
2. H. Achmad Roestandi, S.H
Persyaratan lulus pendidikan SLTP atau sederajat yang tercantum dalam Pasal 35 huruf d undang-undang a quo berlaku terhadap setiap orang. Dengan demikian, tidak ada diskriminasi yang terkandung dalam Pasal 35 huruf d undang-undang a quo. Kalaupun ada perbedaan perlakuan terhadap lulusan SLTP dan bukan lulusan SLTP, hal itu justru didasarkan pada asas keadilan yang memberikan “perlakuan yang berbeda terhadap hal yang memang berbeda”.

Persyaratan tersebut bukan merupakan permasalahan konstitusionalitas, tetapi merupakan pilihan kebijakan (policy) pembuat undang-undang (DPR dan Presiden).

2. Putusan MK Nomor 50/PUU-XI/2013
Para Pemohon pada pokoknya mendalilkan bahwa ketentuan Pasal 59 UU UU PPTKILN yang menyatakan, “TKI yang bekerja pada pengguna perseorangan yang telah berakhir perjanjian kerjanya dan akan memperpanjang perjanjian kerja, TKI yang bersangkutan harus pulang terlebih dahulu ke Indonesia.” Menurut para pemohon Pasal 59 a quo yang mengharuskan TKI bersangkutan untuk pulang terlebih dahulu ke Indonesia, adalah tidak efektif dan tidak efisien, serta berpotensi menghilangkan kesempatan TKI untuk bekerja pada majikan yang sama dan karenanya bertentangan dengan UUD Tahun 1945.

Menurut Mahkamah pengguna jasa TKI menurut Pasal 1 angka 7 UU UU PPTKILN adalah instansi Pemerintah, Badan Hukum Pemerintah, Badan Hukum Swasta, dan/atau perseorangan. TKI yang bekerja pada instansi pemerintah, badan hukum pemerintah, dan/atau badan hukum swasta ditempatkan oleh Pemerintah dengan dasar perjanjian tertulis antara Pemerintah dengan Pemerintah negara Pengguna TKI atau Pengguna berbadan hukum di negara tujuan, sedangkan TKI yang bekerja pada pengguna perseorangan ditempatkan oleh PPTKIS melalui mitra usaha di negara tujuan.
Jika perbedaan tata cara penempatan tersebut dikaitkan dengan ketentuan Pasal 59, akan memunculkan kesan diskriminasi karena TKI yang bekerja pada pengguna perseorangan diwajibkan pulang terlebih dahulu ke Indonesia jika perjanjian kerjanya berakhir dan TKI bersangkutan akan memperpanjang perjanjian kerja. Sementara bagi TKI yang bekerja selain pada pengguna perseorangan tidak terkena kewajiban untuk pulang terlebih dahulu ke Indonesia jika perjanjian kerjanya berakhir dan TKI bersangkutan akan memperpanjang perjanjian kerja. Menurut Mahkamah adalah kontraproduktif jika ketentuan yang mengharuskan pulang terlebih dahulu ke Indonesia yang dimaksud oleh pasal tersebut ternyata justru menyulitkan TKI bersangkutan untuk kembali bekerja pada majikan yang sama, atau setidaknya memperoleh kembali pekerjaan dengan kualitas yang sama.
Bahwa jika Pasal 59 UU UU PPTKILN dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada TKI, menurut Mahkamah pada kenyataannya norma pasal tersebut dan implikasinya justru mengikat TKI. Tentu tidak tepat disebut sebagai norma perlindungan hukum jika Pasal 59 UU UU PPTKILN justru menghilangkan atau setidaknya berpotensi menghilangkan kesempatan bagi TKI untuk memperpanjang perjanjian kerja yang sesuai.
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, mahkamah berpendapat ketentuan Pasal 59 UU UU PPTKILN telah menghalangi hak para Pemohon untuk diperlakukan sama di hadapan hukum serta melanggar hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Dengan demikian, menurut mahkamah permohonan para Pemohon mengenai pengujian konstitusional Pasal 59 UU UU PPTKILN tidak beralasan menurut hukum.

Dalam Perkara Nomor 019/PUU-III/2005 bahwa persyaratannya berpendidikan sekurang-kurangnya lulus Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) atau yang sederajat maka sekalipun seseorang telah dewasa (cukup usia) tidak dapat ditempatkan oleh para Pemohon untuk bekerja di luar negeri sekalipun lapangan pekerjaan di dalam negeri telah tertutup (tidak ada) jelas merupakan hambatan yang mengakibatkan kerugian bagi hak konstitusional para Pemohon sehingga persyaratannya berpendidikan sekurang-kurangnya lulus Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) atau yang sederajat untuk bekerja keluar negeri adalah inkonstitusional sebagaimana diamanatkan UUD Tahun 1945 dalam Pasal 28H ayat (2). Begitupula dalam perkara Nomor 50/PUU-XI/2013, ketentuan Pasal 59 UU UU PPTKILN telah menghalangi hak para Pemohon untuk diperlakukan sama di hadapan hukum serta melanggar hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Dengan demikian pengujian konstitusionalitas Pasal 59 UU UU PPTKILN inkonstitusional dan tidak beralasan menurut hukum, sehingga berdasarkan Pasal 10 huruf d Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai salah satu isi dari materi muatan undang-undang merupakan tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi, maka terhadap Pasal 35 huruf d dan Pasal 59 UU UU PPTKILN, yang menciptakan keadaan hukum baru maka perlu dilakukan revisi terhadap UU PPTKI, meskipun ada pendapat lain yang menyatakan bahwa suatu putusan dapat berlaku secara self-executing dimana suatu putusan akan langsung efektif berlaku tanpa diperlukan tindak lanjut lebih jauh dalam bentuk kebutuhan implementasi perubahan undang-undang.

UU Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri mengatur mengenai penempatan dan perlindungan tenaga kerja indonesia yang bekerja di luar negeri agar mereka dapat memperoleh pelayanan penempatan tenaga kerja secara cepat dan mudah dengan tetap mengutamakan keselamatan tenaga kerja baik fisik, moral maupun martabatnya. UU PPTKILN juga mengatur mengenai perizinan serta persyaratannya untuk dapat bekerja di luar negeri.
Terhadap 2 (dua) pengujian materiil UU PPTKILN yang di ajukan ke Mahkamah Konstitusi, terhadap kedua permohonan (Perkara Nomor 019/PUU-III/2005 dan perkara Nomor 50/PUU-XI/2013) Putusan MK hanya mengabulkan sebagian permohonan saja, namun demikian putusan tersebut telah menciptakan keadaan hukum yang baru atau meniadakan keadaan hukum sehingga perlu dilakukan revisi terhadap UU PPTKI, meskipun ada pendapat lain yang menyatakan bahwa suatu putusan dapat berlaku secara self-executing dimana suatu putusan akan langsung efektif berlaku tanpa diperlukan tindak lanjut lebih jauh dalam bentuk kebutuhan implementasi perubahan undang-undang.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bahwa materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi materi muatan mengenai tindak lanjut Putusan MK. Oleh karena itu, perlu segera dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan Dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri yang dituangkan dalam rencana perubahan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan Dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri baik sebagai daftar kumulatif terbuka maupun dalam Prolegnas Prioritas Tahunan.