Kajian, Analisis, dan Evaluasi Pemantauan Pelaksanaan UU

KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI / 01-11-2023

UU Pornografi lahir berdasarkan Pancasila dan amanat UUD NRI Tahun 1945, dengan menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika, akhlak mulia, dan kepribadian luhur bangsa, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Saat ini pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi semakin berkembang. Pengaturan pornografi yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang ada, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999
tentang Pers, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak kurang memadai dan belum memenuhi kebutuhan hukum serta perkembangan masyarakat sehingga perlu dibuat undang-undang baru yang secara khusus mengatur pornografi.

UU Pornografi pada dasarnya memuat hal-hal pelarangan dan pembatasan pembuatan, penyebarluasan, penggunaan pornografi dan perlindungan anak dari pengaruh pornografi; dan pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi, termasuk peran serta masyarakat dalam pencegahan; serta sanksi secara tegas tentang bentuk hukuman.

Di Indonesia, pornografi telah menjadi hal yang sangat umum karena sangat mudah diakses oleh setiap kalangan usia. Tayangan media massa yang menonjolkan aspek pornografi diyakini sangat erat hubungannya dengan meningkatnya berbagai kasus kekerasan seksual yang terjadi. Saat ini peran serta Pemerintah, orang tua dan sekolah masih rendah dalam upaya pencegahan kegiatan pornografi, sehingga menurut data
dari Kementerian Komunikasi dan Informatika, jumlah aduan konten pornografi pada Bulan September 2021 hingga Maret 2022 menempati urutan teratas, yakni sebanyak 1.142.010.

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka diperlukan adanya kajian dan evaluasi pemantauan pelaksanaan UU untuk melihat efektivitas UU Pornografi yang telah digunakan sebagai dasar hukum dalam menjawab segala permasalahan kegiatan pornografi di tengah masyarakat dalam rentang waktu 15 (lima belas) tahun terakhir.

Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, dan Provinsi D.I. Yogyakarta

1. Aspek Subtansi Hukum
a. Belum Jelasnya Definisi dan Batasan Pornografi
Masih terdapat permasalahan berupa belum jelasnya definisi pornografi disebabkan karena multitafsirnya implementasi rumusan Pasal 1 angka 1 jo. Pasal 4 UU Pornografi mengenai definisi, larangan, dan pembatasan pornografi, khususnya terkait batasan norma kesusilaan masyarakat; batasan atas perbuatan bersinggungan dengan karya seni dan budaya; batasan eksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual; batasan menawarkan atau mengiklankan layanan seksual. Beberapa perbuatan dalam dinamika implementasi dan kontekstual saat ini relatif kabur untuk digolongkan sebagai pornografi, sedangkan jika ditafsirkan secara tekstual hal tersebut sebenarnya dapat memenuhi unsur dalam rumusan Pasal-Pasal tersebut. Tidak diaturnya pengecualian berupa karya seni, budaya, olahraga, kesehatan, dan/atau ilmu pengetahuan pada perbuatan yang dapat dipidana pornografi juga menjadi penyebab belum jelas dan multitafsirnya penerapan Pasal 1 angka 1 jo. Pasal 4 UU Pornografi.

b. Permasalahan Pengaturan Terkait Pornografi Anak
UU Perlindungan Anak mengatur bab khusus terkait perlindungan anak, yaitu tertuang dalam Bab III UU Pornografi Pasal 15 dan Pasal 16. Pengaturan khusus ini dimaksudkan guna memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi anak dari pornografi. Dalam implementasinya, ditemukan beberapa permasalahan yang berkaitan dengan pornografi anak, diantaranya:
- Pasal 1 angka 1 UU Pornografi yang memuat definisi pornografi belum merepresentasikan yang dimaksud dengan pornografi anak;
- Pasal 1 angka 3 UU Pornografi yang memuat definisi setiap orang dimana frasa “orang perseorangan” tidak jelas pemaknaannya hanya ditujukan untuk pelaku dewasa atau juga mencakup pelaku anak;
- Pasal 16 UU Pornografi beserta turunannya PP 40/2011 yang berbeda pengaturan dengan Pasal 59 ayat (1) dan ayat (2) huruf f UU Perlindungan Anak dan PP 78/2021 terkait siapa yang berwenang dalam melaksanakan pembinaan, pendampingan, dan pemulihan sosial, fisik, dan mental anak korban maupun pelaku pornografi.

c. Belum Diaturnya Pemulihan Hak Korban Sebagai Materi Muatan Penting dalam UU Pornografi
Salah satu tujuan pengaturan pornografi sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU Pornografi adalah memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi warga negara dari pornografi, terutama bagi anak dan perempuan. Namun bentuk perlindungan hanya diberikan kepada anak sebagaimana tercantum dalam Pasal 15 dan Pasal 16 UU Pornografi, sedangkan bentuk perlindungan khususnya berupa pemulihan hak korban yang ditujukan kepada perempuan dan korban pelanggaran pornografi lainnya belum diatur dalam UU Pornografi. Padahal, merujuk pada tujuan UU Pornografi tersebut, maka seharusnya bentuk perlindungan berupa pemulihan hak korban tidak hanya ditujukan kepada korban anak namun juga terhadap korban lainnya.

d. Inkonsistensi Penjelasan Pasal 4 UU Pornografi sepanjang Frasa “Tidak Termasuk Untuk Dirinya Sendiri dan Kepentingan Sendiri” dan Pasal 8 UU Pornografi sepanjang frasa “Atas Persetujuan Dirinya”.
Terdapat inkonsistensi pengaturan terkait perbuatan membuat suatu bentuk media yang bermuatan pornografi dengan maksud untuk dirinya sendiri sebagaimana diatur melalui Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi dengan Pasal 8 UU Pornografi sepanjang frasa “atas persetujuan dirinya”. Inkonsistensi Penjelasan Pasal 4 dan Pasal 8 UU Pornografi pada tataran implementasinya dapat memberikan celah kriminalisasi pada korban yang membuat dan awalnya hanya dimaksudkan untuk kepentingannya sendiri berisiko menjadi seorang pelaku.
e. Kesamaan Rumusan terkait Pembagian Tugas dan Wewenang Pemerintah Pusat dan Daerah dalam Pasal 18 dan Pasal 19 UU Pornografi
Di dalam UU Pornografi juga terdapat pengaturan tugas dan wewenang Pemerintah pusat dan Pemerintah daerah terkait pencegahan pornografi yang tercantum pada Pasal 18 dan Pasal 19 UU Pornografi, namun permasalahannya adalah terdapat kesamaan rumusan yang terdapat didalam kedua pasal ini pada huruf a hingga c, sehingga menimbulkan ketidakjelasan dalam implementasinya dan berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan. Selain itu, kewenangan “pengembangan sistem informasi, komunikasi, dan edukasi” dalam rangka pencegahan pornografi hanya dimiliki oleh pemerintah daerah berdasarkan Pasal 19 huruf d UU Pornografi. Pengaturan tersebut tidak selaras dengan UU Pemda.

f. Perbedaan Pengaturan Antara UU Pornografi dengan UU Lain
1) UU KUHP
Terdapat dua perbedaan pengaturan antara UU Pornografi dengan KUHP, yang pertama yaitu KUHP memberikan batasan terkait kepada siapa perbuatan menawarkan, memperlihatkan dan membacakan tulisan atau gambar yang melanggar kesusilaan dilarang, yaitu hanya dilarang dilakukan kepada orang yang belum dewasa. Sedangkan, UU Pornografi tidak memberikan batasan tersebut dan mengatur bahwa setiap orang dilarang menawarkan, memperdengarkan atau mempertontonkan produk pornografi kepada orang lain. Kedua, terdapat perbedaan pengaturan antara KUHP dengan UU Pornografi terkait pengenaan sanksi pidana untuk perbuatan membacakan, memperdengarkan dan mempertontonkan tulisan atau gambar yang melanggar kesusilaan atau pornografi serta perbuatan melanggar kesusilaan di muka umum, yang mana UU Pornografi mengatur sanksi pidana untuk kedua perbuatan tersebut lebih berat.

2) UU Perfilman
Terdapat perbedaan sanksi pidana antara Pasal 29 UU Pornografi dan Pasal 80 UU Perfilman terkait lamanya pidana penjara dan besaran denda yang dikenakan atas kejahatan pornografi, dimana ketentuan sanksi pidana yang diatur UU Pornografi lebih berat. Selanjutnya, terdapat perbedaan pengaturan antara Pasal 40 dan Pasal 41 UU Pornografi dengan Pasal 82 ayat (1) dan ayat (3) UU Perfilman mengenai sanksi pidana penjara, pidana denda, penentuan angka tambahan ancaman pidana denda, dan jenis-jenis pidana tambahan atas pelanggaran pornografi terhadap korporasi. Perbedaan pengaturan tersebut dapat menimbulkan multitafsir dan tumpang tindih, khususnya bagi para APH dalam menggunakan pasal untuk dikenakan kepada pelaku pornografi perseorangan maupun korporasi yang melakukan kejahatan pornografi pada sektor perfilman, serta menimbulkan ketidakpastian hukum bagi masyarakat umum.

3) UU ITE
Berdasarkan ketentuan Pasal-Pasal UU Pornografi dan UU ITE, terdapat 2 (dua) permasalahan utama atas perbedaan pengaturan kedua undang-undang tersebut, sebagai berikut:
Pertama, Pasal 29 UU Pornografi mengatur sanksi pidana atas pelanggaran Pasal 4 UU Pornografi. Jenis-jenis perbuatan yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat telah secara eksplisit diatur. Sedangkan, dalam Pasal 27 ayat (1) UU ITE hanya merumuskan larangan Informasi dan/atau Dokumen Elektronik memuat materi yang melanggar kesusilaan tanpa menjelaskan jenis muatan kesusilaan tersebut. UU Pornografi yang telah mengatur secara khusus mengenai perbuatan pornografi justru tidak efektif digunakan dan dikesampingkan dengan adanya ketentuan Pasal 27 ayat (1) UU ITE.
Kedua, lamanya pidana penjara dan besaran denda yang dikenakan atas pelanggaran kesusilaan dan pornografi dalam Pasal 29 UU Pornografi dengan ketentuan sanksi atas pelanggaran kesusilaan dalam Pasal 45 ayat (1) UU ITE, dimana ketentuan sanksi pidana UU Pornografi lebih berat. Atas perbedaan pengaturan Pasal-Pasal a quo UU Pornografi dan UU ITE tersebut, maka dalam implementasinya menimbulkan multitafsir dan tumpang tindih terkait jenis-jenis perbuatan yang melanggar dan bermuatan kesusilaan serta penerapan ketentuan pidana dalam kedua undang-undang tersebut. Perbedaan pengaturan mengenai sanksi pidana berdampak pada perbedaan persepsi APH dalam menggunakan pasal untuk dikenakan kepada pelaku, serta menimbulkan ketidakpastian hukum bagi masyarakat umum.

4) UU TPKS
Terdapat dua perbedaan pengaturan antara UU Pornografi dengan UU TPKS, yang pertama yaitu UU TPKS menganut konsep concent dalam mengatur perbuatan menjadikan orang lain sebagai objek perekaman yang bermuatan seksual yang ditunjukan dengan penggunaan frasa “di luar kehendak atau tanpa persetujuan orang yang menjadi objek perekaman” dalam rumusan substansinya, sedangkan UU Pornografi tidak mengenal konsep concent dalam ketentuan larangan menjadikan orang lain sebagai objek bermuatan pornografi, sehingga setiap perbuatan dengan atau tanpa persetujuan tetap akan dikenakan sanksi pidana. Kedua, yaitu terdapat perbedaan pengenaan sanksi pidana antara UU Pornografi dan UU TPKS terkait perbuatan membuat dan menjadikan orang lain sebagai objek bermuatan seksual atau pornografi.

2. Aspek Struktur Hukum
a. Belum Optimalnya Peran Pemerintah dalam Pencegahan Pornografi
1) Peran Pemerintah Pusat
Kewajiban pemerintah pusat untuk melaksanakan pencegahan pembuatan, penyebarluasan dan penggunaan pornografi telah diatur melalui Pasal 18 UU Pornografi. Namun setelah 15 (lima belas) tahun sejak diundangkannya UU Pornografi, masih terdapat permasalahan terkait pelaksanaan pencegahan pornografi yang diamanatkan kepada pemerintah pusat yaitu, belum optimalnya pemutusan jaringan dan pemblokiran konten bermuatan pornografi oleh pemerintah, belum maksimalnya pengawasan yang dilakukan terhadap penyebarluasan pornografi oleh pemerintah serta koordinasi dan kerjasama antara pemerintah dengan perusahaan media sosial yang masih berorientasi pada penanganan belum kepada pencegahan masuknya konten pornografi yang berasal dari luar jaringan domain Indonesia.
2) Peran Pemerintah Daerah
Kewajiban pencegahan pembuatan, penyebarluasan dan penggunaan pornografi tidak hanya berada di pemerintah pusat melainkan diwajibkan juga pada pemerintah daerah, hal ini sebagaimana diatur melalui Pasal 19 UU Pornografi. Dalam implementasinya, meskipun telah terdapat kewajiban pemerintah daerah namun masih banyak daerah yang tidak memiliki political will untuk melakukan pencegahan terhadap pornografi. Selain itu, ditemukan kurang koordinasi pemerintah daerah kepada tingkat pemerintahan di bawahnya. Lebih lanjut, terkait kewenangan pemutusan jaringan yang diamanatkan oleh Pasal 19 UU Pornografi pada implementasinya kewenangan tersebut tidak dapat dilaksanakan, bahwa Diskominfo tidak dapat melakukan pemutusan jaringan terhadap konten bermuatan pornografi, Diskominfo hanya dapat memberikan laporan melalui Polda dan Bareskrim untuk kemudian pemutusan jaringan dilakukan oleh Kemenkominfo. Hal-hal ini menyebabkan pencegahan pornografi di daerah tidak maksimal.

b. Belum Optimalnya Penerapan Sanksi Pidana dalam UU Pornografi
Pasal 29 s.d Pasal 38 dan Pasal 40 s.d Pasal 41 UU Pornografi mengatur sanksi pidana kejahatan pornografi. Namun, ketentuan sanksi pidana tersebut masih belum efektif karena belum konsisten diterapkan dalam implementasi penegakan hukum pornografi. Permasalahan belum optimalnya penerapan sanksi pidana UU Pornografi adalah karena adanya pemahaman APH yang lebih memilih menggunakan undang-undang lain seperti KUHP dan UU ITE yang memiliki irisan sanksi pidana dalam pengaturannya. Begitupula pada kasus pornografi yang dilakukan oleh korporasi pada praktiknya belum ditegakkan secara tegas karena pidana korporasi sulit dalam penyidikan dan sulit dibuktikan dalam dakwaan.

c. Belum Optimalnya Peran Gugus Tugas dalam Pelaksanaan UU Pornografi
Pasal 42 UU Pornografi mengamanatkan untuk dibentuknya gugus tugas antardepartemen, kementerian, dan lembaga guna mengefektifkan pelaksanaan upaya pencegahan dan penanganan pornografi. Pembentukan gugus tugas tersebut kemudian ditindaklanjuti melalui pembentukan Perpres 25/2012. Dalam implementasinya selama ini, sejak Tahun 2019 gugus tugas yang ada tersebut tidak lagi aktif. Selain itu, pembentukan GTP3 di Provinsi maupun Kabupaten/Kota dan penyusunan Rencana Aksi Daerah GTP3 di Provinsi maupun Kabupaten/Kota juga terhenti. Tidak aktifnya gugus tugas tersebut salah satunya disebabkan oleh nomenklatur kementerian/lembaga dan mitra dalam GTP3 dan sub GTP3 yang telah banyak mengalami perubahan dan struktur keanggotaan dari GTP3 dan sub GTP3 yang tidak lagi mencerminkan amanat Perpres 25/2012. Hal ini yang kemudian menyebabkan pelaksanaan upaya pencegahan dan penanganan pornografi belum terlaksana dengan optimal yang berdampak pada semakin maraknya kasus pornografi.

3. Aspek Sarana dan Prasarana
Pasal 19 huruf d UU Pornografi mengamanatkan kewenangan bagi pemerintah daerah untuk mengembangkan sistem informasi, komunikasi, dan edukasi terkait pencegahan pornografi. Dalam implementasinya selama ini, kewenangan tersebut di beberapa daerah masih belum optimal dilaksanakan oleh pemerintah daerah dikarenakan:
a. Minimnya SDM yang mumpuni;
b. Minimnya anggaran guna mendukung pengembangan sistem informasi; dan
c. Persebaran sistem informasi yang tidak merata dikarenakan koneksi internet di beberapa daerah yang sulit dan terpencil.
Selain itu, masing-masing OPD di daerah mengembangkan sistemnya sendiri-sendiri yang mengakibatkan upaya pencegahan terlaksana secara parsial. Pelaksanaan kewenangan secara parsial ini juga dilakukan di tingkat pusat dimana masing-masing kementerian/lembaga memiliki sistem informasi dan edukasi sendiri-sendiri dalam hal pencegahan pornografi.

4. Aspek Budaya Hukum
Masyarakat memiliki peran yang sangat penting, disamping peran pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam upaya pencegahan pornografi. Peran masyarakat dalam UU Pornografi telah diatur dalam Bagian Kedua yang terdapat dalam Pasal 20 hingga Pasal 22, namun dalam implementasinya peran serta masyarakat dalam pencegahan pornografi belum berjalan optimal, hal ini disebabkan antara lain karena rendahnya literasi masyarakat terhadap UU Pornografi; minimnya upaya sosialisasi dan edukasi dari pemerintah kepada masyarakat; dan minimnya pemahaman masyarakat mengenai keterlibatannya dalam upaya pencegahan pornografi.

5. Aspek Pengarusutamaan Nilai-Nilai Pancasila
Terdapat pengaturan dalam UU Pornografi yang tidak selaras dengan Sila Sila ke-5 Pancasila, yaitu Pasal 8 UU Pornografi menimbulkan ketidakpastian hukum, karena ketidakjelasan tujuan apakah dalam konteks untuk kepentingan pribadi atau untuk penyebarluasan secara komersil. Sehingga, ketentuan pasal tersebut bertentangan dengan Sila ke-5, dimana seharusnya peraturan perundang-undangan berfungsi mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia baik lahir maupun batin.

1. Aspek Substansi Hukum:
a. Definisi pornografi dalam Pasal 1 angka 1 UU Pornografi perlu diatur secara lebih jelas dengan mengatur pengecualian pornografi dan pemidanaannya terhadap perbuatan yang merupakan karya seni, budaya, olahraga, kesehatan, dan/atau ilmu pengetahuan. Pengecualian tersebut juga menyesuaikan dengan ketentuan Pasal 407 KUHP Nasional.
b. Frasa “melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat” dalam Pasal 1 angka 1 UU Pornografi perlu ditafsirkan secara sistematis dan konsisten dengan memperhatikan batasan larangan pornografi sebagaimana diatur Pasal 4 UU Pornografi untuk menghindari kekaburan makna frasa tersebut, yaitu terbatas pada ketelanjangan, alat kelamin, dan aktivitas seksual yang harus dilihat berdasarkan tempat dan waktu perbuatan.
c. Larangan Pasal 4 UU Pornografi perlu diatur secara lebih jelas unsur-unsurnya agar tidak multitafsir dalam menilai unsur perbuatan terkait eksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual serta batasan menawarkan atau mengiklankan layanan seksual yang tidak secara eksplisit menunjukkan alat kelamin dan/atau ketelanjangan.
d. Perlu menambahkan definisi “Pornografi Anak dalam Pasal 1 UU Pornografi atau dapat memberikan tambahan penjelasan terkait definisi pornografi anak di dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf f UU Pornografi.
e. Perlu dilakukannya harmonisasi pengaturan antara UU Pornografi dan PP 40/2011 dengan UU Perlindungan Anak dan PP 78/2021 khususnya terkait kewenangan pembinaan, pendampingan, serta pemulihan sosial, kesehatan fisik, dan mental anak korban dan pelaku pornografi.
f. Perlu adanya penambahan rumusan norma terkait pemulihan hak korban pornografi dalam UU Pornografi.
g. Perlu dilakukan harmonisasi antara Penjelasan Pasal 4 ayat (1) dengan Pasal 8 UU Pornografi dengan mempertimbangkan bahwa bentuk pornografi untuk dirinya sendiri adalah termasuk ke dalam forum internum yang harus dihormati dan diberikan perlindungan. Selain itu, harmonisasi ketentuan pasal a quo perlu mengutamakan perlindungan dan kepastian hukum pada korban khususnya dalam ranah penegakan hukumnya untuk mencegah kriminalisasi pada korban.
h. Perlunya melakukan revisi terhadap norma Pasal 18 dan Pasal 19 UU Pornografi dengan memetakan kembali kewenangan pencegahan yang seharusnya dilaksanakan oleh pemerintah pusat dan kewenangan yang seharusnya dilaksanakan oleh pemerintah daerah.
i. Selain itu, perlu juga dipertimbangkan untuk menambahkan kewenangan pemerintah pusat dalam hal pencegahan pornografi, yaitu “kewenangan pengembangan sistem informasi, komunikasi, dan edukasi” dalam rangka pencegahan pornografi sehingga selaras dengan pengaturan dalam UU Pemda.
j. Dapat diupayakan penyelesaiannya yaitu dengan penerapan asas lex spesialis derograt legi genaralis dengan menggunakan UU Pornografi sebagai acuan penegakan hukum terhadap perbuatan-perbuatan yang lebih khusus.
k. Perlu dilakukan harmonisasi terhadap Pasal-Pasal a quo terkait batasan kepada siapa saja yang dilarang untuk melakukan perbuatan memperdengarkan atau mempertontonkan muatan pornografi.
l. Perlu melakukan revisi terhadap Pasal 29 UU Pornografi menyesuaikan dsengan Pasal 407 KUHP Nasional. Sebab, dalam implementasinya ketentuan ini juga banyak menimbulkan multitafsir dengan peraturan perundang-undangan lainnya (UU Perfilman dan UU ITE).
m. Perlu dilakukan harmonisasi antara Pasal 40 dan Pasal 41 UU Pornografi dengan Pasal 82 ayat (1) dan ayat (3) UU Perfilman agar tidak menimbulkan multiinterpretasi.
n. Diperlukan penerapan sanksi pidana dalam UU Pornografi secara konsisten dari maka APH agar dapat mengenakan sanksi pidana berlapis untuk menjerat pelaku kejahatan pornografi, tidak hanya menggunakan sanksi pidana dalam UU ITE.
o. UU Pornografi dapat menganut konsep concent sebagaimana UU TPKS, misalnya dengan penggunaan frasa “di luar kehendak atau tanpa persetujuan orang” atau “harus dilakukan atas persetujuan orang yang bersangkutan” dalam rumusan substansinya.
p. Perlunya harmonisasi antara UU Pornografi dengan UU TPKS terkait perbedaan sanksi pidana yang dikenakan untuk “perbuatan yang memuat muatan seksual atau pornografi” serta perbuatan menjadikan orang lain sebagai objek muatan pornografi.

2. Aspek Struktur Hukum:
a. Perlu optimalisasi pemutusan jaringan dan pemblokiran terhadap konten-konten pornografi yang tersebar di internet sebelum konten tersebut dapat masuk pada ranah privat yang sulit dijangkau pemerintah.
b. Perlu peningkatan pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah dengan melakukan patroli cyber sehingga penyebarluasan pornografi khususnya di ruang internet dapat lebih terkontrol dan tidak mudah diakses.
c. Perlunya peningkataan koordinasi dan kerjasama antara pemerintah pusat dengan stakeholder luar negeri khususnya perusahaan media sosial terkait pemblokiran konten bermuatan pornografi di media sosial serta kerja sama dalam upaya pencegahan melalui penjaringan terhadap konten-konten bermutan pornografi yang berada di luar jaringan domain Indonesia agar tidak dapat masuk ke jaringan domain Indonesia.
d. Perlunya kejelasan terkait leading sector di daerah yang berwenang untuk melakukan pencegahan dan penanganan isu-isu pornografi.
e. perlunya melakukan pemetaan kembali kewenangan pencegahan dalam Pasal 18 dan Pasal 19 UU Pornografi terkait kewenangan mana yang seharusnya dilaksanakan oleh pemerintah pusat dan kewenangan mana yang seharusnya dilaksanakan oleh pemerintah daerah.
f. Perlu peningkatan pemahaman substansi pornografi bagi APH guna penyamaan persepsi dalam penegakan hukum terkait kejahatan pornografi dan Perlu komitmen APH untuk menerapkan sanksi pidana UU Pornografi secara konsisten, baik terhadap perseorangan maupun korporasi. Misalnya, dengan membuat dakwaan menjadi berlapis dalam hal kasus pornografi memiliki keterkaitan dengan tindak pidana lainnya.
g. Perlu mengefektifkan kembali GTP3 dan Sub GTP3 baik di pusat maupun daerah. Adapun upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengefektifkan kembali gugus tugas tersebut dengan melakukan revisi terhadap Perpres 25/2012; melakukan pemetaan kembali kelembagaan gugus tugas, sub gugus tugas dan sekretariat dengan unit kerja kementerian/lembaga yang ada saat ini; melakukan evaluasi GTP3 di daerah, dan menyusun rancangan rencana aksi terkait pencegahan penanganan pornografi 2023-2026.

3. Aspek Sarana dan Prasarana
a. Mereformulasi ulang kewenangan pemerintah pusat dan daerah khususnya terkait pengembangan sistem informasi, komunikasi, dan edukasi terkait pencegahan pornografi. Hal ini agar kewenangan tersebut dapat menjadi kewenangan berjenjang yang tidak hanya dimandatkan kepada pemerintah daerah namun juga pemerintah pusat;
b. Membangun satu sistem data yang terintegrasi antara pusat dan daerah dan antar OPD di daerah sebagai wadah informasi, komunikasi, dan edukasi dalam mendukung upaya pencegahan pornografi;
c. Menyediakan SDM yang mempuni melalui proses rekrutmen dan penjaringan SDM yang yang tersistem/terpadu, peningkatan kapasitas SDM melalui pendidikan dan pelatihan; dan
d. Menyediakan perangkat/peralatan yang mendukung dengan anggaran yang cukup agar dapat menyesuaikan dengan kebutuhan teknologi saat ini.

4. Aspek Budaya Hukum
a. Perlu dilakukan sosialisasi dan edukasi terkait UU Pornografi kepada semua lapisan masyarakat baik di sekolah-sekolah maupun dalam organisasi kemasyarakatan di seluruh wilayah Indonesia secara konsisten dan berkesinambungan guna memberikan pemahaman lebih kepada masyarakat terkait perannya dalam upaya pencegahan pornografi.
b. Pemberian penghargaan (reward) kepada masyarakat yang berperan aktif dalam melakukan upaya pencegahan terhadap Pornografi guna meningkatkan keaktifan masyarakat dalam ikut mengupayakan pencegahan pornografi.

5. Aspek Pengarusutamaan Nilai-Nilai Pancasila:
Perlu diatur secara jelas terkait rumusan Pasal 8 UU Pornografi dalam konteks pribadi atau komersial.

KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS / 01-11-2023

Pasca Reformasi 1998, Indonesia memasuki babak baru dalam konstelasi politik dan sosial. Transisi ini memberikan peluang emas bagi konsolidasi demokrasi di tanah air. Pendorong utama konsolidasi demokrasi adalah kebebasan berpendapat dan kebebasan pers. Sebelum disahkannya Amandemen Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) pada Rapat Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat ke-9, tanggal 18 Agustus 2000, sebuah tonggak signifikan telah terukir pada lanskap kebebasan berekspresi dan berpendapat di Indonesia. Tepatnya, pada tahun 1999, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) lahir sebagai manifestasi hukum yang mengukuhkan eksistensi dan fungsi pers dalam kerangka demokrasi dan kebebasan berekspresi. UU Pers memperoleh basis yang kokoh dari Pasal 28F UUD NRI Tahun 1945 yang menjamin hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, megolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Dalam dinamika global yang mengalami evolusi pesat, relevansi pers sebagai wadah ekspresi pemikiran publik semakin menguat. Inovasi dalam teknologi komunikasi menciptakan revolusi informasi, memperluas horizon dan dampak pers, dan membentuk konstelasi komunikasi yang transnasional, menghubungkan komunitas di seluruh dunia. Meski membawa peluang, kemajuan ini juga menimbulkan problematika baru. Di tengah proliferasi informasi, pers dituntut untuk mempertahankan integritas dan objektivitas dalam menyajikan informasi yang akurat dan dapat dipercaya. Lebih dari dua dekade telah berlalu sejak UU Pers diundangkan, beleid tersebut dianggap kurang adaptif terhadap dinamika kontemporer, terutama dalam mengakomodasi kemajuan teknologi informasi dan media online. Kelemahan intrinsik UU Pers tampak pada kerangka dasarnya yang dianggap kurang solid, dikarenakan proses penyusunan yang kurang matang dan harmonisasi dengan regulasi lain yang kurang optimal.

UU Pers terdiri atas 10 (sepuluh) bab dan 21 (dua puluh satu) pasal yang mengatur mengenai Ketentuan Umum, Asas, Fungsi, Hak, Kewajiban dan Peranan Pers, Wartawan, Perusahaan Pers, Dewan Pers, Pers Asing, Peran Serta Masyarakat, Ketentuan Pidana, Ketentuan Peralihan, dan Ketentuan Penutup. Dalam perjalanan keberlakuan UU Pers, terdapat 4 (empat) perkara pengujian konstitusionalitas terhadap UU Pers kepada Mahkamah Konstitusi (MK) yaitu:
• Perkara Nomor 81/PUU-XV/2017
• Perkara Nomor 51/PUU-XVI/2018
• Perkara Nomor 104/PUU-XVIII/2020
• Perkara Nomor 38/PUU-XIX/2021
• Perkara Nomor 13/PUU-XXI/2023

Namun terhadap seluruh perkara pengujian konstitusionalitas terhadap UU Pers tersebut, keseluruhannya putusan MK tidak ada yang membatalkan norma pasal dalam UU Pers. Selain itu, hingga saat ini tidak terdapat peraturan pelaksanaan dalam UU Pers. Ini merupakan hasil dari pemikiran konstruktif oleh pembentuk UU Pers untuk meminimalisir intervensi eksternal, dengan tujuan untuk memastikan bahwa kemerdekaan pers tetap terjaga dari pengaturan yang terlampau restritif atau intervensionis. Pembentuk UU Pers mengharapkan bahwa masyarakat pers (melalui Dewan Pers) akan mampu mengatur diri sendiri melalui sederet peraturan dan pedoman, termasuk penyusunan Kode Etik Jurnalistik (KEJ), sebagai sebuah bentuk dari swa-regulasi atau self-regulation.

Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Jawa Tengah, dan Provinsi Sulawesi Selatan; Kabupaten Semarang, Kabupaten Maros, dan Kota Binjai

1) Aspek Substansi Hukum
a. Belum Luasnya Jangkauan Konseptual Ketentuan Umum UU Pers
Jangkauan konseptual dalam ketentuan umum UU pers masih belum luas dan tidak mengikuti perkembangan zaman dan teknologi. Hal ini karena masih ditemukan beberapa hal permasalahan yaitu pertama, adanya tumpang tindih mengenai definisi pers yang disiarkan dalam Pasal 1 ayat 1 UU Pers dengan materi muatan penyensoran yang diatur UU Penyiaran, kedua adalah belum diaturnya materi muatan platform digital yang mempublikasikan konten informasi yang serupa dengan karya jurnalistik, dan ketiga kurang lengkapnya definisi dalam konteks kegiatan pers yang belum diatur dalam UU Pers.
b. Ketidaktersediaan Ketentuan Yang Bersifat Wajib Bagi Wartawan Untuk Memiliki Sertifikat Uji Kompetensi
Rumusan Pasal 15 ayat (2) huruf f UU Pers khususnya terkait salah satu fungsi Dewan Pers dalam hal meningkatkan kualitas profesi kewartawanan belum cukup dijadikan dasar untuk membuat setiap Wartawan mengikuti UKW dalam rangka meningkatkan kapasitasnya sesuai Standar Kompetensi Wartawan, dikarenakan ketentuan tersebut hanya terbatas pada memberikan fungsi kepada Dewan Pers saja tanpa mewajibkan Wartawan untuk mengikuti UKW.
c. Minimnya Pengaturan Mengenai Pers Asing
Pengaturan mengenai pers asing dalam UU Pers tampaknya belum sepenuhnya memadai dalam memberikan kerangka kerja yang jelas dan konsisten. Meskipun UU Pers mengakui keberadaan pers asing dengan definisi khusus, praktiknya menunjukkan bahwa perbedaan antara pers asing dan pers nasional sering kali kabur dan tidak konsisten. Selanjutnya, dari perspektif kepatuhan, sejumlah pers asing yang telah memiliki kantor perwakilannya di Indonesia tampaknya tidak sepenuhnya mematuhi UU Pers maupun KEJ Indonesia, situasi ini berpotensi mengundang dampak negatif terhadap kepentingan nasional. Terakhir, dari perspektif ekonomi, eksistensi pers asing di era digital ini belum memberikan kontribusi ekonomi yang optimal.

2) Aspek Struktur Hukum
a. Rendahnya Perlindungan Hukum Bagi Wartawan Dalam Melaksanakan Kegiatan Jurnalistik
Secara mutatis mutandis berdasarkan Pasal 12 UU Pers beserta penjelasannya dipahami bahwa perlindungan hukum bagi wartawan terletak dibawah fungsi pemimpin redaksi perusahaan pers karena tanggung jawab hukum terhadap produksi konten jurnalistik berada pada pemipin redaksi perusahaan pers. Ditemukan bahwa ancaman peretasan dan kekerasan terhadap wartawan cukup tinggi sedangkan mitigasi perlindungan hukum yang disediakan UU Pers masih terbatas pada hak tolak, kebebasan dari penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran serta jaminan kemerdekaan pers akan hak mencari memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
UU Pers belum mampu memberikan perlindungan hukum yang memadai karena terhadap perusahaan pers terdapat ancaman yang berasal dari tindakan peretasan yang dilakukan melalui internet yang seakan-akan membuat disensornya kanal penyiaran perusahaan pers. Bagi profesi wartawan masih kerap kali terjadi kekerasan fisik yang dilakukan oleh oknum aparat maupun pihak yang kepentingannya berseberangan karena kegiatan jurnalistik yang dilakukan wartawan. Diperlukan perluasan pengaturan perlindungan hukum bagi pers dalam menjalankan kegiatannya. Perlindungan hukum dimaksud misalnya mekanisme ganti kerugian yang sepadan oleh negara perihal isu ancaman kekerasan terhadap wartawan, penjelasan lebih spesifik mengenai konteks perlindungan hukum.
b. Keberadaan Entitas Pers Tanpa Status Badan Hukum Indonesia
UU Pers secara prinsip telah mewajibkan bentuk badan hukum Indonesia pada setiap perusahaan pers yang berada di Indonesia namun secara implementasi hal tersebut belum berjalan dengan baik dikarenakan masih banyak perusaan pers yang berdiri baik sebelum maupun setelah berlakunya UU Pers berstatus badan hukum selain PT, Yayasan atau Koperasi. Hal tersebut berdampak besar pada tanggung jawab perusahaan pers terhadap karya jurnalistik yang dihasilkan serta akibat perbuatan hukum yang ditimbulkan baik dari aspek perdata maupun pidana.
c.Adanya Mispersepsi Terhadap Kegiatan Verifikasi dan Pendataan Oleh Dewan Pers
Meskipun maksud dan tujuan dari kegiatan verifikasi ini sangat baik, namun dalam perjalanannya terdapat kritik atas program kerja Dewan Pers tersebut. Pertama, Dewan Pers dianggap tidak tepat untuk melakukan verifikasi dan terdapat keraguan atas hasil verifikasi. Kedua, terdapat mispersepsi bahwa verifikasi perusahaan pers dianggap ekuivalen dengan rezim pendaftaran. Meskipun demikian, verifikasi tetap dipandang penting dan memiliki banyak manfaat positif. Sebab, dalam suatu era dimana teknologi informasi berkembang pesat dan kebenaran informasi semakin sulit untuk diverifikasi, implementasi verifikasi media oleh Dewan Pers bisa menjadi langkah penting untuk mengatasi isu-isu seperti hoaks dan disinformasi.
d.Rendahnya Komitmen Penegak Hukum Dalam Memposisikan UU Pers sebagai Lex Specialis
UU Pers pada dasarnya telah memenuhi syarat untuk dapat dikategorikan sebagai lex specialis, dibuktikan dengan adanya ketentuan Pidana didalam Pasal 18 UU Pers yang pada pokoknya mengatur mengenai sanksi pidana terhadap kewajiban Perusahaan pers yang tidak melayani Hak Jawab dan Hak Koreksi. Dengan adanya ketentuan tersebut maka mekanisme penegakan hukum terhadap pers dipandang dapat diakomodir didalam UU Pers, namun implementasi penegakan hukum masih menggunakan peraturan perundang-undangan lain diantaranya UU ITE dan KUHP. Untuk itu diperlukan adanya komitmen APH untuk memposisikan UU Pers sebagai lex specialis dalam rangka penegakan hukum.

3) Aspek Sarana dan Prasarana
Dalam konteks keberadaan Dewan Pers, saat ini terjadi diskursus mengenai kebutuhan pendirian perwakilan lembaga ini di tingkat daerah. Berdasarkan hasil kajian evaluasi pemantauan pelaksanaan UU Pers, terdapat divergensi pendapat antar pemangku kepentingan. Beberapa menilai pentingnya perwakilan Dewan Pers di daerah dengan tujuan utama untuk memperluas jangkauan dan mempercepat penyelesaian sengketa pers, sementara lainnya berargumen bahwa optimalisasi teknologi informasi dapat mengatasi permasalahan jangkauan dan responsivitas, sehingga membantah kebutuhan tersebut dengan alasan efisiensi.

4) Aspek Budaya Hukum
Persoalan paling mendasar mengenai pemahaman masyarakat terhadap sengketa pers adalah pemilihan kanal penyelesaian sengketa pers. Masyarakat cenderung memilih kanal formil pidana yakni pengaduan ke polisi. Padahal terdapat Dewan Pers yang salah satu fungsinya yang diatur dalam Pasal 15 ayat (2) huruf d UU Pers adalah memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers. Eksistensi Dewan Pers sejatinya merupakan alternatif resolusi yang konstruktif dan memiliki legitimasi legal untuk mengupayakan penyelesaian kasus-kasus sengketa pers, dan opsi ini seharusnya menjadi referensi utama bagi masyarakat dalam mengatasi permasalahan yang terkait dengan pers. Namun, masih banyaknya masyarakat yang cenderung mengabaikan fungsi dan peran strategis Dewan Pers dalam menyelesaikan sengketa pers ini mengindikasikan adanya kesenjangan pemahaman dan apresiasi masyarakat terhadap mekanisme hukum non-formal dalam konteks sengketa pers.

5) Aspek Pengarusutamaan Nilai-Nilai Pancasila
Terdapat beberapa materi muatan dalam UU Pers yang berpotensi tidak selaras dan bertentangan dengan Sila Kedua, Keempat dan Kelima Pancasila, di antaranya:
a. Pasal 4 ayat (4) UU Pers mengenai Hak Tolak tidak mengatur prosedur, konsep serta limitasinya dan masih terdapat kekaburan substansi sehingga bertentangan dengan sila ke-2.
b. Ketidakjelasan frasa “peristiwa dan opini” yang dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) UU Pers menimbulkan penafsiran yang berbeda, hal ini tentu dapat dijadikan alibi bagi pers untuk membebaskan diri dari jerat hukum. Sehingga, terhadap norma Pasal 5 ayat (1) UU Pers bertentangan dengan sila ke-2 dan sila ke-5 Pancasila.
c. Pasal 6 UU Pers menyatakan bahwa peranan pers adalah memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak-hak asas manusia dan seterusnya. Jika ditemukan bahwa Pers tidak menjalankan perannya tersebut maka institusi mana yang berhak mengawasinya. Karena ketidakjelasan UU dalam mengatur institusi yang berwenang melakukan pelaksana dan penegakan hukum pers maka selama ini pengawasan dan pelaporan mengenai pelanggaran atas peranan pers ini dilakukan terhadap berbagai institusi baik kepolisian maupun Dewan Pers.
d. Pasal 15 UU Pers yang mengatur tentang Dewan Pers, bahwa status dan kedudukan dewan pers belum jelas, apakah lembaga ini sebagai sebuah komisi khusus atau semi komisi yang bersifat regulatory body atau lembaga internal masyarakat pers atau sebuah paguyuban yang terakreditasi oleh negara. UU hanya menyatakan Dewan Pers dibentuk untuk tujuan mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional. Sehingga, ketentuan tersebut bertentangan dengan sila ke 4 dan sila ke-5 Pancasila.
e. Pasal 16 UU Pers yang menyatakan bahwa peredaran pers asing dan pendirian perwakilan perusahaan asing di Indonesia disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Permasalahannya adalah peraturan-peraturan yang berlaku yang dimaksud dalam pasal tersebut tidak dijelaskan lebih lanjut. Selain itu pers asing yang melakukan kegiatan atau perwakilan di Indonesia tidak terkena ketentuan Pasal 18 ayat (2) atau ayat (3) UU Pers tentang tindak pidana karena ketentuan pasal tersebut hanya menyebut perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia, sehingga tidak mencakup perusahaan atau perwakilan perusahaan pers asing. Oleh karena itu, ketentuan Pasal 16 UU Pers bertentangan dengan sila ke-5 Pancasila.
f. Pasal 17 ayat (2) huruf a UU Pers menyatakan bahwa masyarakat dapat melakukan kegiatan memantau dan melaporkan analisis mengenai pelanggaran hukum, etika, dan kekeliruan teknis pemberitaan yang dilakukan oleh pers. Namun pasal ini tidak menjelaskan kepada siapa masyarakat melaporkan beberapa pelanggaran tersebut. Oleh karena itu, ketentuan Pasal 17 ayat (2) huruf a UU Pers bertentangan dengan sila ke- 4 Pancasila.

1. Aspek Substansi Hukum
a. UU Pers perlu dievaluasi kembali untuk diharmonisasikan dengan UU Penyiaran utamanya mengenai pengecualian aturan penyensoran dalam UU Penyiaran terhadap produk jurnalistik yang disiarkan;
b. Perlu diatur materi muatan dalam UU Pers terhadap platform digital yang mempublikasikan konten informasi yang serupa dengan karya jurnalistik;
c. Perlu ditambahkan definisi dalam ketentuan UU Pers mengenai: berita, media online, kompetensi wartawan, platform digital, dan jurnalisme warga (citizen journalism);
d. Perlu dirumuskan didalam UU Pers terkait dengan kewajiban bagi setiap Wartawan untuk mengikuti UKW agar dilaksanakan oleh setiap Wartawan di seluruh Indonesia;
e. Perlu ditambahkan pengaturan perihal hak dan kewajiban pers asing di Indonesia dalam materi muatan UU Pers.

2. Aspek Struktur Hukum:
a. Diperlukan optimalisasi pendampingan atau advokasi hukum terhadap Wartawan yang dilakukan oleh Dewan Pers;
b. Diperlukan pemberian ganti rugi yang sepadan oleh negara terhadap Wartawan yang mengalami ancaman, intimidasi atau serangan;
c. Diperlukan pemberatan sanksi atas kekerasan terhadap Wartawan yang berada di daerah konflik, demonstrasi, dan daerah lain yang rentan menimbulkan ancaman;
d. Diperlukan penguatan kerjasama antara perusahaan pers, pemerintah, dan lembaga penegak hukum untuk menciptakan lingkungan yang lebih aman bagi Wartawan.
e. Diperlukan perluasan pengaturan mengenai perlindungan Wartawan dalam menjalankan profesinya, seperti salah satunya berkenaan dengan perlindungan digital;
f. Perlu adanya ketentuan yang mengatur secara spesifik didalam UU Pers terkait dengan jenis badan hukum perusahaan pers yang berada di Indonesia agar memberikan kepastian hukum serta menjamin perusahaan pers mematuhi ketentuan tersebut.
g. Perlu adanya upaya konkret dalam memperbarui dan memudahkan akses data perusahaan pers agar dapat memberikan manfaat optimal bagi insan pers dan stakeholder terkait.
h. Sosialisasi lebih lanjut mengenai esensi dan tujuan dari proses verifikasi sangat diperlukan untuk mengatasi ketidaktahuan dan salah persepsi mengenai kegiatan verifikasi.
i. Peningkatan transparansi dan akuntabilitas dalam proses verifikasi perlu ditingkatkan untuk membangun kepercayaan dan pemahaman yang lebih baik antara perusahaan pers dan Dewan Pers.
j. Perlu adanya sosialisasi yang dilakukan terhadap semua APH dan pihak-pihak terkait agar penegakan hukum dalam penyelesaian sengketa pers dapat dilakukan dengan berpegang pada UU Pers sebagai lex specialis.

3. Aspek Sarana dan Prasarana:
Pembentuk undang-undang direkomendasikan untuk mengambil pilihan kebijakan mengenai perlu atau tidaknya perwakilan Dewan Pers di daerah dengan menyesuaikan kebutuhan Dewan Pers.

4. Aspek Budaya Hukum:
Perlunya sosialisasi yang lebih masif dan dilakukan secara berkala oleh Pemerintah, Perusahaan Pers, dan Dewan Pers kepada masyarakat terkait mekanisme penyelesaian sengketa pers yang tidak hanya melalui proses pidana namun terdapat pula mekanisme penyelesaian sengketa Pers melalui Dewan Pers.

5. Aspek Pengarustamaan Nilai-Nilai Pancasila:
a. Ketentuan pengaturan tentang hak tolak perlu dikonseptualisasikan dengan komprehensif dan perlu merujuk kewenangan dari Dewan Pers untuk menetapkan kriteria tentang hak tolak tersebut.
b. Perlu adanya penambahan dalam UU Pers terkait penjelasan hal-hal apa saja yang termasuk dalam “peristiwa dan opini” yang dimaksud dalam pasal 5 ayat (1) UU Pers.
c. Seharusnya dilakukan revisi dengan memformulasikan Skema dan prosedur keterlibatan Masyarakat dalam proses Jurnalistik yang berjalan sebagai bentuk dari negara demokrasi.
d. Perlu dilakukan revisi dengan memformulasikan proses rekruitmen wartawan dan sertifikasi identitas. Selain itu wartawan juga harus mendapatkan internalisasi moral dan nilai sebagai fondasi dan bekal dalam melakukan kegiatan jurnalistik, termasuk nilai-nilai Pancasila.
e. Perlu dikonseptualisasikan pengaturan yang komprehensif mengenai pers asing baik kelembagaan ,struktur dan sistem, serta kedudukannya di Indonesia.

KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2023 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2022 TENTANG CIPTA KERJA MENJADI UNDANG-UNDANG / 01-11-2023

Sektor kelautan dan perikanan memiliki permasalahan yang kompleks karena keterkaitannya dengan banyak sektor dan juga sensitif terhadap interaksi terutama dengan aspek lingkungan. Disamping itu, terdapat berbagai isu pengelolaan perikanan di Indonesia yang berpotensi mengancam kelestarian SDI dan lingkungan, keberlanjutan mata pencaharian masyarakat di bidang kelautan dan perikanan, ketahanan pangan, dan pertumbuhan ekonomi yang bersumber dari pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan .

Dalam kurun waktu 1999 hingga akhir 2014, pelaksanaan kebijakan dan penegakan hukum terhadap perikanan yang merusak (destructive fishing) dan perikanan ilegal yang merusak, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (illegal, unreported, and unregulated fishing/IUU Fishing) memang telah berjalan tetapi tidak efektif. Periode ini diwarnai kebijakan yang memberikan ruang bagi kapal perikanan asing melalui metode pemberian lisensi, charter, bilateral agreement, maupun impor kapal yang dibangun di luar negeri (eks asing) untuk melakukan penangkapan ikan di WPP-NRI. Sistem pengawasan yang lemah dan integritas pengelolaan yang korup menyebabkan praktik-praktik pengurasan sumber daya ikan oleh kapal-kapal ikan, baik lokal maupun asing, di WPP-NRI berlangsung tidak terkendali. Disamping itu, tantangan masih datang baik dari perikanan hulu dan hilir termasuk tata kelola dan praktik penangkapan ikan.

Provinsi Jawa Timur, DI Yogyakarta, dan Provinsi Kepulauan Riau

1. Aspek Substansi Hukum
a. Ketidakjelasan Definisi Nelayan, Nelayan Kecil dan Pembudidaya Ikan Kecil dalam Pasal 1 angka 10, angka 11, dan angka 13 UU Perikanan
Terdapat beberapa permasalahan terkait dengan definisi di dalam UU Perikanan, diantaranya permasalahan terkait definisi Nelayan, Nelayan Kecil dan Pembudidaya Ikan Kecil sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 angka 10, Pasal 1 angka 11, dan Pasal 1 angka 13 UU Perikanan, yang selengkapnya diuraikan sebagai berikut:
1) Permasalahan definisi nelayan yang terdapat pada Pasal 1 angka 10 UU Perikanan adalah adanya ketidakseragaman definisi nelayan dalam beberapa undang-undang di bidang perikanan yang menyebabkan ketidakjelasan siapa yang disebut dengan nelayan. Dalam UU 7/2016, nelayan adalah setiap orang yang kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 1 angka 26 UU 7/2016 sehingga nelayan adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbadan hukum. Definisi ini berbeda dengan definisi yang terdapat dalam UU Perikanan dan UU 16/2006 sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penerapan regulasi di tengah masyarakat dan menimbulkan kesulitan dalam implementasi sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 84 UU Perikanan.
2) Permasalahan perbedaan definisi nelayan kecil terdiri atas dua permasalahan, yakni pertama, adanya perbedaan definisi nelayan kecil dalam Pasal 1 angka 11 UU Perikanan dengan Penjelasan Pasal 27 ayat (5) UU Pemerintahan Daerah. Adanya perbedaan ini menimbulkan ketidakjelasan dan ketidakpastian hukum dalam UU Perikanan dan kebijakan terkait dengan nelayan kecil di bidang perikanan. Pada dasarnya nelayan tradisional maupun nelayan masyarakat tradisional dapat dikategorikan sebagai bagian dari nelayan kecil namun apabila nelayan kecil dipersamakan dengan nelayan tradisional maupun nelayan masyarakat tradisional, hal ini justru mempersempit ruang lingkup nelayan kecil itu sendiri. Selain itu, agar suatu kelompok dapat disebut masyarakat tradisional perlu adanya penetapan dengan peraturan daerah, yang merupakan kekhususan masyarakat tradisional. Kedua, adanya perbedaan batas pengaturan ukuran kapal nelayan kecil. Dalam perubahan definisi nelayan kecil pada Pasal 1 angka 11 UU Perikanan menghilangkan batas ukuran kapal nelayan kecil, namun pengaturan batasan ukuran kapal nelayan kecil terdapat dalam peraturan pelaksana UU Perikanan, yakni PP 27/2021 dan Permen KP 10/2021 melalui ketentuan penggolongan usaha pada skala mikro dilakukan oleh pelaku usaha perseorangan yang termasuk Nelayan Kecil, dengan menggunakan Kapal Penangkap Ikan dengan ukuran kumulatif sampai dengan 5 (lima) gross tonnage atau tanpa menggunakan Kapal Penangkap Ikan. Pengaturan berbeda ditemukan dalam Pasal 1 angka 13 PP 32/2019 yang mengatur bahwa Nelayan Kecil adalah nelayan yang melakukan penangkapan ikan untuk kebutuhan hidup sehari-hari, baik yang tidak menggunakan penangkap ikan, maupun yang menggunakan kapal penangkap ikan berukuran paling besar 10 (sepuluh) gross ton (GT). Pengaturan batas ukuran kapal penangkap ikan bagi nelayan kecil idealnya tidak ditempatkan dalam peraturan menteri tetapi dalam undang-undang khususnya pada definisi nelayan kecil.
3) Permasalahan terkait ketidakjelasan frasa “memenuhi kebutuhan sehari-hari” dalam Pasal 1 angka 11 dan Pasal 1 angka 13 UU Perikanan yang mengatur definisi nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil. Dalam Penjelasan Pasal 88 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) diatur parameter penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak yaitu jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja/buruh dari hasil pekerjaannya sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua. Namun penjelasan ini telah diubah melalui UU 6/2023 menjadi “cukup jelas”, sehingga muncul anggapan tidak ada lagi parameter atas “penghidupan yang layak”.


b. Permasalahan Pengaturan Jangka Waktu Penyidikan dalam Pasal 73B ayat (6) UU Perikanan
Terkait dengan penyidikan tindak pidana perikanan, Direktorat Penanganan Pelanggaran Kementerian Kelautan dan Biro Hukum Kementerian Kelautan dan Perikanan berpendapat bahwa yang menjadi kendala adalah terkait dengan waktu penyampaian hasil penyidikan ke Penuntut Umum paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak pemberitahuan dimulainya penyidikan sebagaimana pada Pasal 73A ayat (6), hal ini tentunya akan menjadi beban bagi penyidik untuk menyelesaikan perkara kategori berat misalnya terkait dengan tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi yang membutuhkan waktu atau pendalaman perkara yang lebih detail. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta juga berpandangan bahwa tenggat waktu penyidikan tersebut tidak cukup untuk melakukan pemberkasan perkara, terutama jika melibatkan korporasi dan terdapat tindak pidana lainnya. Tindak pidana perikanan sering kali berkaitan dengan tindak pidana lainnya, seperti narkoba, penyelundupan senjata, dan perdagangan orang.
Terkait dengan adanya tindak pidana lain yang menyertai tindak pidana perikanan, Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengemukakan bahwa diperlukan pengaturan yang menegaskan mengenai pengadilan yang berhak menangani perkara tindak pidana perikanan dan tindak pidana lainnya yang di-splitsing (dilakukan pemisahan perkara). Pemisahan perkara menurut Prof. DR. Wirjono Prodjodikoro, S.H. adalah apabila ada suatu berkas perkara pidana yang mengenai beberapa perbuatan melanggar hukum pidana yang dilakukan lebih dari seorang dan tidak memenuhi syarat-syarat tersebut mengenai keharusan menggabungkan beberapa berkas perkara menjadi satu maka hukum harus memecahkan berkas perkara itu menjadi beberapa berkas perkara, dan juga harus dibuat surat tuduhan bagi masing-masing berkas perkara (splitsing).

2. Aspek kelembagaan/Struktur Hukum
a. Permasalahan atas Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur (PIT)
Pada 6 Maret 2023, Pemerintah telah mengundangkan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur (PP 11/2023) dan pada ketentuan penutupnya diatur bahwa PP 11/2023 mulai berlaku pada tanggal diundangkan, namun pemerintah menyatakan bahwa PP tersebut baru akan diberlakuan secara efektif pada 2024. Dengan banyaknya keberatan yang disampaikan oleh narasumber, baik pemerintah daerah maupun masyarakat, pengaturan dalam PP 11/2023 diharapkan untuk dilakukan pengkajian ulang dengan mempertimbangkan bagaimana pelaksanaannya termasuk dampaknya terhadap masyarakat khususnya nelayan kecil mengingat kondisi wilayah penangkapan ikan yang berbeda satu sama lain baik dalam hal ketersediaan ikan maupun kondisi geologisnya. Harmonisasi kebijakan PIT dengan peraturan perundang-undangan yang ada serta pembagian kewenangan pengelolaan perikanan di daerah tentunya perlu dilakukan agar tidak ada pihak yang dirugikan dengan adanya kebijakan PIT ini. Selain itu, menurut Dinas Perikanan Kabupaten Banyuwangi, penangkapan ikan terukur tidak bisa diterapkan di semua zona, melainkan hanya di zona tertentu saja. Penangkapan berbasis kuota lebih tepat diterapkan untuk nelayan besar, bukan nelayan kecil terutama yang tidak menjadikan penangkapan ikan sebagai mata pencaharian utama, atau kuota ditetapkan berdasarkan kapasitas penangkapan ikan per wilayah fishing ground sehingga pembinaan dan solusi yang dilakukan oleh Dinas Kabupaten/Kota dapat selaras dengan kuota yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

b. Pelaksanaan Perizinan Berusaha Bidang Perikanan Masih Mengalami Kendala
Melalui UU 6/2023 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaran Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (PP 5/2021) dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2021 tentang Penyelenggaran Perizinan Berusaha Berbasis Risiko di Daerah (PP 6/2021), pemerintah mengubah pendekatan perizinan dari berbasis izin (license based) menjadi pendekatan perizinan berbasis risiko (risk based). Pelaksanaan pengajuan sampai dengan diterbitkannya SIUP dilakukan dengan secara online melalui sistem perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik (Online Single Submission/OSS) yang telah terkoneksi dengan Sistem Informasi Izin Layanan Cepat (SILAT) secara Single Sign On (SSO). Namun terhadap mekanisme OSS tersebut masih terdapat permasalahan berupa kurangnya pemahaman dan keterbatasan akses nelayan kecil yang menggunakan kapal penangkap ikan kapasitas sampai dengan 10 GT untuk mengetahui dan memahami prosedur dan tata cara pengurusan perizinan berusaha yang diterbitkan oleh pemerintah pusat. Selain itu, terdapat persoalan lainnya yakni tereduksinya kewenangan pemerintah daerah dalam hal penerbitan perizinan berusaha dan dalam melaksanakan pengawasan.

c. Kurang Efektifnya Pelaksanaan Pengawasan Perikanan
Pelaksanaan pengawasan perikanan dilaksanakan oleh pemerintah dan oleh masyarakat. Hal ini diatur dalam Pasal 19, Pasal 20, Pasal 66, dan Pasal 67 UU Perikanan. Namun, dalam pelaksanaannya pengawasan perikanan yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun masyarakat tersebut belum efektif dilaksanakan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti : pertama, belum harmonisnya pengaturan perikanan dalam peraturan perundang-undangan sebagaimana diuraikan dalam aspek substansi yang berdampak pada efisiensi pelaksanaan pengawasan. Kedua, adanya ketidakjelasan pembagian peran pengawasan perikanan antara pemerintah pusat dan daerah dan belum optimalnya koordinasi dalam pengawasan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Adanya penarikan kewenangan perijinan dari pemerintah daerah ke pemerintah pusat melalui UU 6/2023 menimbulkan permasalahan di daerah khususnya dalam pelayanan masyarakat dan pengawasan perikanan di daerah. Kewenangan pengawasan perikanan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota perlu dikaji kembali untuk dikembalikan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota. Hal ini dalam rangka optimalisasi pengawasan terhadap perikanan tangkap maupun perikanan budidaya. Disamping itu, belum optimalnya koordinasi antar instansi terkait dalam pengawasan dan pengendalian sumber daya ikan, yang menyebabkan banyaknya celah untuk terjadi pelanggaran di laut, baik dari sisi kuantitas maupun kualitasnya.

d. Belum Optimalnya Penegakan Hukum Di Bidang Perikanan
Penyelenggaraan perikanan termasuk di dalamnya penegakan hukum di bidang perikanan saat ini diatur dalam UU Perikanan. Permasalahan dalam penegakan hukum perikanan terdiri atas: pertama, belum optimalnya koordinasi antar APH dalam penegakan hukum perikanan. Banyaknya lembaga yang terlibat dalam proses penegakan hukum perikanan ternyata justru menjadi suatu permasalahan tersendiri. Permasalahan ini muncul karena masing-masing lembaga mempunyai penafsiran yang berbeda dengan mengklaim dirinya mempunyai tanggung jawab yang sama, sehingga dalam prakteknya sering kali terjadi gesekan-gesekan antar lembaga penegak hukum perikanan di laut. Kedua, urgensi pembentukan peradilan perikanan di daerah. Untuk mengefektifkan Pasal 106 dan Pasal 107 UU Perikanan dapat dilakukan optimalisasi pengadilan perikanan yang telah terbentuk dan pada setiap pengadilan negeri ditempatkan hakim perikanan. Permasalahan pelaksanaan Pasal 106 UU Perikanan menurut Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yaitu bahwa Pasal tersebut menyebabkan dualisme wewenang pengadilan untuk mengadili perkara tindak pidana perikanan, yaitu pengadilan perikanan dan pengadilan negeri dalam hal locus perkara tindak pidana perikanan berada di luar wilayah pengadilan perikanan. Permasalahan dari dualisme ini adalah tidak terdapat hakim ad hoc perikanan di pengadilan negeri. Pembentukanpengadilan perikanan bagi wilayah yang rentan maupun marak terjadi tindak pidana perikanan masih diperlukan, sedangkan bagi wilayah lain yang belum memiliki pengadilan perikanan, namun angka tindak pidana perikanan relatif kecil dapat menempatkan hakim perikanan di setiap pengadilan negeri. Ketiga, adanya ketidakadilan penegakan hukum pidana illegal fishing antara nelayan dalam negeri dan kapal penangkapan ikan dalam negeri dengan nelayan asing dan kapal penangkap ikan asing. Hal ini diakibatkan adanya eksistensi ketentuan Pasal 102 UU Perikanan. Ketentuan ini merujuk pada ketentuan Pasal 73 Angka 2 dan Angka 3 UNCLOS 1982 yang menentukan untuk tidak adanya hukuman dalam bentuk pengurungan atau bentuk hukuman badan lainnya yang diberlakukan kepada pelaku pelanggaran peraturan perundang-undangan perikanan di ZEE jika tidak ada perjanjian bilateral. Sebagai akibat ketentuan tersebut, APH tidak dapat menegakan hukum terhadap pelaku illegal fishing dan maraknya aktifitas kapal perikanan asing, seperti di daerah Natuna. Persoalan kemudian timbul ketika hakim memutus perkara dengan pidana denda tanpa pidana kurungan sebagai pengganti, dan ternyata terdakwa tidak mampu atau tidak mau membayar denda tersebut. Kesulitan dan tidak dapat tereksekusinya putusan pidana denda menurut Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi DKI Jakarta juga terjadi bila terdakwa adalah korporasi dan pengurus korporasi tersebut berdomisili di luar negeri.

e. Prioritas Tata Ruang yang Masih Rendah dalam Pengelolaan Perikanan
Tata ruang perikanan berkaitan erat dengan pengelolaan tata ruang darat, tata ruang laut, dan tata ruang wilayah pesisir yang masing-masing memiliki pengaturan yang berbeda-beda. Hal ini perlu menjadi perhatian pemerintah dan pemerintah daerah dalam menyusun rencana tata ruang dan wilayah yang berjenjang dan sinkron satu sama lain sehingga tercipta kepastian hukum bagi masyarakat khususnya dalam pelaksanaan investasi. Penataan ruang diklasifikasikan berdasarkan fungsi utama kawasan, wilayah administratif, kegiatan kawasan, dan nilai strategis kawasan. Berdasarkan fungsi utama kawasan, penataan ruang dibedakan menjadi kawasan lindung dan kawasan budi daya. Terkait perikanan, PP RTRW Nasional mengatur bahwa kawasan peruntukan perikanan masuk dalam kategori kawasan budi daya. PP tersebut juga menentukan bahwa kawasan peruntukan perikanan dapat berada di ruang darat, ruang laut, dan di luar kawasan lindung. Penetapannya ditetapkan berdasarkan kriteria wilayah yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan penangkapan, budi daya, dan industri pengolahan hasil perikanan, serta tidak mengganggu kelestarian lingkungan hidup. Terkait ruang laut dan pesisir, pemanfaatan ruang laut dan ruang pesisir pantai sebagai lahan pengelolaan perikanan dilaksanakan berdasarkan UU Perikanan serta Undang-Undang yang terkait, yaitu UU Kelautan dan UU PWP3K.
Berkaitan dengan perhatian Pemerintah Daerah terhadap sektor perikanan masih menjadi kendala untuk keberlangsungan dan pengembangan pengelolaan perikanan. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Timur yang menyatakan bahwa perikanan budi daya yang dianggap tidak menarik sehingga mengakibatkan pengalokasian lahan untuk budi daya ikan tidak menjadi perhatian (concern) dalam pembagian wilayahnya. Selain tidak sinkronnya perencanaan tata ruang, masih ditemui adanya pemanfaatan ruang yang tumpang tindih. Permasalahan tata ruang sektor perikanan lainnya berkaitan dengan benturan kewenangan antarlembaga, dimana Dinas Perikanan Kabupaten Banyuwangi melakukan kegiatan konservasi transplantasi terumbu karang sebagai ekosistem bagi ikan. Namun demikian, ternyata hal ini menimbulkan benturan kewenangan, dimana pengelolaan atas terumbu karang tersebut ada pada KLHK dan Dinas Sumber Daya Air. Permasalahan tata ruang juga terjadi dalam kaitannya dengan abrasi dan reklamasi di pesisir pantai. Abrasi dan reklamasi pantai menyebabkan perubahan peta wilayah daratan dan lautan. Perubahan ini tidak ditindaklanjuti dengan perubahan atau penyesuaian peta topografi nasional padahal telah terjadi perubahan ukuran dan luas daratan dan lautan.

3. Aspek Sarana Dan Prasarana
Pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana penyelenggaraan perikanan belum memadai diantaranya pertama, belum optimalnya sarana dan prasarana penangkapan ikan. Sarana penangkapan ikan mencakup berbagai alat dan peralatan yang digunakan untuk menangkap ikan, seperti pukat, jaring, tali, dan perahu/kapal penangkap ikan. Sarana ini dirancang untuk memudahkan proses penangkapan ikan dan meningkatkan efisiensi nelayan dalam menangkap hasil laut. Prasarana penangkapan ikan meliputi infrastruktur fisik yang mendukung kegiatan penangkapan ikan, seperti dermaga, pelabuhan, gudang penyimpanan, dan fasilitas pengolahan ikan. Prasarana ini penting untuk memfasilitasi transportasi, penyimpanan, dan pengolahan hasil tangkapan ikan. Peningkatan sarana dan prasarana dalam penangkapan ikan sangat diperlukan, namun dalam pelaksanaannya penyediaan sarana dan prasarana tersebut belum optimal. Akademisi FISIP UMRAH menyatakan bahwa masih ditemukan khususnya di daerah anambas ataupun natuna nelayan yang berlayar melewati batas negara dalam menangkap ikan dikarenakan kapal nelayan masih menggunakan peralatan tradisional dan keterbatasan peralatan seperti GPS pada nelayan kecil. Selain itu masih ditemukan TPI dengan sarana dan prasarana yang tidak memadai seperti terbatasnya ketersediaan cold storage untuk penyimpanan ikan. Kedua, belum tersedianya data perikanan yang komprehensif dalam sistem informasi dan data perikanan. Pasal 46 dan Pasal 46A UU Perikanan mengatur kewajiban Pemerintah dan pemerintah daerah untuk mengadakan pusat data dan informasi perikanan untuk menyelenggarakan sistem informasi dan data statistik perikanan yang berisikan penyebaran data potensi, pemutakhiran data pergerakan ikan, sarana dan prasarana, produksi, penanganan, pengolahan dan pemasaran ikan, serta data sosial ekonomi yang berkaitan dengan pelaksanaan pengelolaan sumber daya ikan dan pengembangan sistem bisnis perikanan. Saat ini juga telah diundangkan Permen KP 61/2020. Keberadaan Satu Data diharapkan dapat memastikan ketersediaan data dan informasi dengan integritas data tinggi namun kenyataannya hal ini belum terimplementasikan dengan baik. Terkait data perikanan di Kabupaten Gunung Kidul, sistem data dan informasi yang sudah ada belum terintegrasi dengan sistem informasi dan data statistik yang ada karena belum sinergisnya pengelolaan data antar unit kerja. SIKIA UNAIR menambahkan bahwa data yang dimiliki pemerintah seringkali tidak sesuai dengan data yang ada di lapangan. Integrasi dan koordinasi dalam pembaruan data dan informasi perikanan secara cepat dan akurat harus dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat dengan menyesuaikan perkembangan zaman dan teknologi yang berkembang dan penyediaan data yang dilengkapi peringatan berapa banyak ikan yang boleh ditangkap. Ketiga, belum optimalnya pemenuhan sarana dan prasarana pengawasan perikanan. Pasal 68 dan Pasal 69 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) UU Perikanan mengatur penyediaan sarana dan prasarana pengawasan oleh Pemerintah. Dalam pelaksanaannya, selain sarana dan prasarana pengawasan yang minim, SDM pengawasan dan anggaran yang dialokasikan pun masih belum mampu memenuhi kebutuhan yang ada. Menurut Satwas PSDKP Banyuwangi, di Kabupaten Banyuwangi tidak ada PPNS sehingg berdampak pada kurangnya kinerja pengawasan. Terkait SDM Pengawasan mutu perikanan, Dinas Perikanan Dan Kelautan Provinsi Jawa Timur dan UPT PMP2KP Banyuwangi menyampaikan adanya kendala jumlah SDM pengawasan mutu perikanan yang tidak sebanding dengan jumlah pelaku usaha.

4. Aspek Pendanaan
Konstruksi hukum dalam peraturan perundang-undangan mengenai PNBP PHP didasari pengaturan dalam Pasal 48 sampai dengan Pasal 50 UU Perikanan yang menyatakan bahwa setiap orang yang memperoleh manfaat langsung dari sumber daya ikan dan lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dikenakan pungutan perikanan kecuali nelayan kecil dan pembudi daya-ikan kecil. PP 85/2021 juncto Permen KP 2/2023 telah mengatur bahwa pungutan hasil perikanan dilakukan pascaproduksi merupakan PNBP yang harus dibayar oleh para wajib bayar sebagai pemilik perizinan berusaha subsektor penangkapan ikan berdasarkan ikan hasil tangkapannya yang dikenakan setiap kali melakukan pendaratan ikan. Pengenaan pungutan hasil perikanan pascaproduksi diberlakukan sepanjang perizinan berusaha subsektor penangkapan ikan telah diterbitkan dan nilai produksi ikan pada saat didaratkan telah ditetapkan. Ketentuan Pasal 20 PP 85/2021 menentukan bahwa ketentuan terhadap penarikan PNBP pra Produksi berlaku sampai tanggal 31 Desember 2022, namun pengaturan dalam PP 85/2021 tersebut belum diubah dan masih berlaku. Hal ini tentunya memberikan ketidakjelasan pasal mana saja yang masih berlaku setelah 31 Desember 2022 tersebut. Disamping itu, belum semua peraturan teknis yang diamanatkan oleh PP ini dibentuk oleh KKP sehingga pelaksanaan pemungutan PNBP di bidang perikanan tidak dapat dilaksanakan dengan optimal dan belum memiliki petunjuk pelaksanaan di lapangan secara lengkap.
Apabila dicermati dari kategorisasi perizinan berusaha berbasis risiko sektor kelautan dan perikanan dalam Lampiran PP 5/2021 memberikan batas skala penangkapan ikan dengan skala kecil menengah yaitu: sampai dengan kumulatif 5 GT, atau diatas 5 GT sampai dengan 30 GT, atau tidak menggunakan kapal, dan beroperasi di wilayah pengelolaan perikanan di wilayah administrasinya dan sampai diatas 12 mil laut. Hal ini dimaknai bahwa nelayan kecil yang melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dengan menggunakan kapal lebih dari 5 GT dan beroperasi di WPP sampai diatas 12 mil laut haruslah memiliki perizinan berusaha dan terhadapnya akan dikenai PNBP PHP sebagaimana diatur dalam PP 85/2021 juncto Permen KP 2/2023. Hal ini menimbulkan ketidaksesuaian pengaturan dalam peraturan pelaksanaan dengan tujuan keberadaan UU Perikanan.

5. Aspek Budaya Hukum
UU Perikanan dalam materi muatannya telah memberikan larangan akan kegiatan illegal fishing, over fishing, dan juga destructive fishing, yang berpotensi membahayakan dan merusak keberlanjutan lingkungan dan ekosistem perikanan, bahkan apabila dilakukan secara terus menerus dapat menyebabkan kerusakan habitat dan ekosistem laut secara luas namun dalam pelaksanaannya masih terdapat pelanggaran terhadap UU Perikanan dan aturan teknis pelaksanaannya. Masih maraknya tindak kejahatan dan/atau pelanggaran serta ketidakpatuhan masyarakat perikanan terhadap aturan perizinan disebabkan oleh adanya keterbatasan pemahaman masyarakat khususnya masyarakat perikanan akan substansi hukum atau norma yang diatur dalam peraturan perundang-undangan bidang perikanan yang telah berlaku. Adanya penyuluhan hukum sebagai upaya untuk mewujudkan budaya hukum. Budaya hukum dapat terwujud apabila kesadaran hukum masyarakat sudah terbangun, sehingga penting kiranya membangun kesadaran hukum masyarakat. Pasal 57 sampai dengan Pasal 59 UU Perikanan mengatur bahwa untuk salah satu kegiatan yang harus diselenggarakan oleh pemerintah untuk meningkatkan pengembangan sumber daya manusia di bidang perikanan adalah penyuluhan.

6. Aspek Pengarusutamaan Pancasila
Permasalahan dalam pembangunan di bidang perikanan tidak berarti kebijakan yang ada tidak relevan untuk diterapkan. Pengaturan dalam UU Perikanan masih sangat relevan dengan beberapa aspek yang perlu dilakukan perbaikan agar selaras dengan nilai-nilai Pancasila. Perbedaan penafsiran dan terminologi nelayan menjadikan pengaturan dalam UU Perikanan tidak sesuai dengan sila Kelima dan Sila Kedua Pancasila. Pengaturan dalam UU Perikanan juga belum sesuai dengan nilai dalam Sila Ketiga Pancasila karena belum mampu memberikan perlindungan terhadap nelayan dalam negeri yang bekerja di kapal asing. Pengaturan jangka waktu penanganan tindak pidana perikanan yang ada dalam UU perikanan dan tidak adanya pengaturan terkait splitsing menjadikan pengaturan yang ada belum memenuhi Sila Kedua Pancasila dan juga pemberian kewenangan yang terlalu besar terhadap KKP menjadikan pengaturan dalam UU Perikanan tidak berkesesuaian dengan nilai yang terkandung dalam Sila Keempat Pancasila.

1. Aspek Substansi, diperlukan:
a. adanya penyeragaman pendefinisian nelayan dalam peraturan perundang-undangan yang ada dan berlaku.
b. adanya harmonisasi pengaturan terkait definisi nelayan kecil dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c. adanya penyeragaman ukuran kapal nelayan kecil yang diatur dalam undang-undang dengan batas ukuran 10GT dalam Pasal 1 angka 11 UU Perikanan
d. adanya penjabaran spesifik terhadap frasa “memenuhi kebutuhan sehari0hari” yang terdapat dalam Pasal 1 angka 11 dan Pasal 1 angka 13 UU Perikanan.
e. adanya penambahan pengaturan mekanisme splitsing dalam penanganan perkara tindak pidana perikanan dalam Pasal 73B UU Perikanan.

2. Aspek Kelembagaan/Struktur Hukum, diperlukan:
a. penyesuaian kebijakan PIT dengan kondisi daerah penangkapan ikan dan sosialisasi secara intensif kepada stakeholders terkait, baik itu instansi pemerintah, asosiasi nelayan, maupun pengguna jasa perikanan.
b. adanya sosialisasi perizinan berusaha sektor perikanan mulai dari jenis, syarat, dan tata caranya perlu ditingkatkan pelaksanaannya di daerah-daerah oleh Pemerintah Pusat sebagai penerbit izin usaha perikanan.
c. adanya harmonisasi pengaturan perikanan dalam peraturan perundang-undangan dan adanya pembagian kewenangan pengawasan yang jelas serta koordinasi yang berjalan baik.
d. kejelasan batas kewenangan masing-masing aparat penegak hukum agar tidak saling tumpang tindih, perlu dibentuk pengadilan perikanan bagi wilayah yang rentan maupun marak terjadi tindak pidana perikanan dan perlu mendorong Pemerintah untuk mengadakan kerjasama dengan berbagai negara, dalam penegakan hukum di bidang perikanan sehingga dapat menjatuhkan pidana kurungan khususnya dalam tindak pidana illegal fishing dan terobosan hukum dalam KUHP baru agar dikenal pidana kerja sosial dan pidana pengawasan.
e. penyelarasan atau sinkronisasi antara tata ruang dengan pengaturan terkait dan antara tata ruang dengan kewenangan lembaga terkait, dan perlu dilakukan updating data kewilayahan daratan dan lautan secara berkala.

3. Aspek Sarana dan Prasarana, diperlukan:
a. adanya komitmen baik pemerintah pusat maupun pemerintah provinsi untuk meningkatkan kualitas pelabuhan perikanan terkhusus untuk pelabuhan yang ditunjuk menjadi check point dengan penyediaan fasilitas GPS dan cold storage.
b. integrasi dan koordinasi data dan informasi perikanan oleh Pemerintah Pusat, pemerintah Daerah, dan masyarakat.
c. adanya upaya pemerintah dalam memenuhi kebutuhan sarana dan prasarana pengawasan perikanan.

4. Aspek Pendanaan, diperlukan:
Adanya percepatan pembentukan dan pengundangan peraturan perlaksaaan terkait PNBP di bidang perikanan dan penyesuaian pengaturan PNBP PHP dengan ketentuan dalam UU Perikanan.


5. Aspek Budaya Hukum, diperlukan:
Adanya kegiatan penyuluhan perikanan yang dilaksanakan secara terus menerus dan berkesinambungan.

6. Aspek Pengarusutamaan Pancasila, diperlukan:
Adanya perubahan dan penambahan norma dalam UU Perikanan agar pengaturan yang ada berkesesuaian dengan nilai-nilai Pancasila.

KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA / 01-08-2023

Warga negara merupakan salah satu unsur hakiki dan unsur pokok suatu negara. Status kewarganegaraan menimbulkan hubungan timbal balik antara warga negara dan negaranya. Setiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban terhadap negaranya. Sebaliknya, negara mempunyai kewajiban memberikan perlindungan terhadap warga negaranya. Hal ini selaras dengan konsepsi kewarganegaraan sebagai konsepsi yang mengatur bagaimana hubungan politis dan yuridis antara negara dengan salah satu unsur lahirnya negara yaitu warga negara, yang menjadi anggota penuh dari suatu negara yang berdaulat. Keanggotaan warga negara tersebut kemudian melahirkan konsekuensi hak dan kewajiban warga negara kepada negaranya dan juga berarti kewajiban negara untuk melindungi warga negaranya dengan segala hak yang dimilikinya di manapun mereka berada.

Perihal kewarganegaraan juga menjadi salah satu isu penting yang ditegaskan dalam Pasal 26 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) dan dikuatkan dengan Pasal 28D ayat (4) UUD NRI Tahun 1945. Mengingat urgensi dan krusialnya isu kewarganegaraan, Pasal 26 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 mengamanatkan agar hal-hal mengenai warga negara diatur dengan undang-undang. Amanat tersebut telah ditindaklanjuti dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia (UU Kewarganegaraan).

UU Kewarganegaraan dibentuk untuk menjawab sekaligus menjadi dasar hukum yang menyesuaikan dengan perkembangan dan memenuhi tuntutan masyarakat Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional dalam pergaulan global, yang menghendaki adanya persamaan perlakuan dan kedudukan warga negara dihadapan hukum serta adanya kesetaraan dan keadilan gender. Penyesuaian dengan perkembangan dan pemenuhan terhadap tuntutan tersebut ditempuh dengan cara menerapkan asas-asas kewarganegaraan universal seperti asas ius sanguinis, asas ius soli, asas kewarganegaraan tunggal, asas kewarganegaraan ganda terbatas, asas kepentingan nasional, asas perlindungan maksimum, asas persamaan di dalam hukum dan pemerintahan, asas kebenaran substantif, asas nondiskriminatif, asas pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, asas keterbukaan, dan asas publisitas.

Provinsi Bali, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Provinsi Kalimantan Barat; Kabupaten Badung, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Mempawah

1. Aspek Substansi Hukum
a. Inkonsistensi definisi “Setiap orang” dalam UU Kewarganegaraan
Pengaturan dalam Pasal 1 angka 6 UU Kewarganegaraan memiliki inkonsistensi definisi “setiap orang” dalam UU Kewarganegaraan, hal ini berdampak pada ketentuan pidana pada Pasal 37 dan Pasal 38 UU Kewarganegaraan yang membedakan subjek yang dimaksud dari setiap orang, dimana Pasal 37 UU Kewarganegaraan tindak pidana dilakukan oleh setiap orang sedangkan Pasal 38 UU Kewarganegaraan membedakan ketentuan pidana hanya pada subjek korporasi. Sehingga ketentuan Pasal 1 angka 6 UU Kewarganegaraan belum cukup memenuhi kejelasan rumusan dan menimbulkan berbagai macam interpretasi apabila penegakan hukum ingin menentukan ketentuan pidananya.
b. Tidak Relevannya Persyaratan Sehat Jasmani dan Rohani Sebagai Syarat Permohonan Pewarganegaraan
Bahwa persyaratan pewarganegaraan melalui Pasal 9 huruf c UU Kewarganegaraan dinilai masih bersifat diskriminatif yaitu sehat jasmani dan rohani. karena persyaratan tersebut dapat menjadi penghambat untuk setiap orang yang memiliki permasalahan disabilitas untuk dapat memperoleh status kewarganegaraan Indonesia. Selain itu dengan memperhatikan Universal Decalartion of Human Rights, International Convenant on Civil and Political Rights (ICCPR), Convenants on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD), dan General Comments Adopted by the Committee on Economic, Social, and Cultural Rights yang telah diratifikasi oleh Indonesia dan di dalam UUD NRI Tahun 1945 terdapat wujud dan dasar atas jaminan untuk peraturan perundang-undangan lain terhadap perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM), termasuk tidak dibenarkannya diskriminasi. Sehingga kaitannya dengan Pasal 9 huruf c UU Kewarganegaraan memiliki pertentangan dengan asas kejelasan rumusan dan asas pengakuan dan penghormatan terhadap HAM.
c. Belum Jelasnya Frasa “Dinas Tentara Asing” dalam Pasal 23 huruf d UU Kewarganegaraan
Ketentuan Pasal 23 huruf d UU Kewarganegaran masih menyisakan kekosongan hukum terhadap status kewarganegaraan Warga Negara Indonesia (WNI) yang secara terpaksa mengikuti keluarganya yang terpapar paham radikalisme (dinas tantara asing). Sehingga ketentuan Pasal 23 huruf d UU Kewarganegaran belum dapat memenuhi asas kedayagunaan dan kehasilgunaan dan asas kepentingan nasional pada Penjelasan UU Kewarganegaran, dimana asas kepentingan nasional merupakan bentuk peraturan yang mengutamakan kepentingan nasional Indonesia, yang bertekad mempertahankan kedaulatannya sebagai negara kesatuan yang memiliki cita-cita dan tujuannya sendiri.

d. Pengenaan Ketentuan Sanksi Pidana Terhadap Kelalaian Yang Bersifat Administratif dalam UU Kewarganegaraan
Dalam rangka penyelenggaraan urusan kewarganegaraan, guna menegakkan hukum, BAB VI UU Kewarganegaraan hadir mengatur beberapa pasal mengenai Ketentuan Pidana terhadap pelanggaran terhadap pewarganegaraan yang salah satunya Pasal 36 UU Kewarganegaraan yang mengatur terkait dengan kelalaian pejabat dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya. Terkait dengan aspek penegakan hukum dalam pemberlakuan sanksi pidana Pasal 36 UU Kewarganegaraan, ketentuan sanksi pidana dalam UU Kewarganegaraan dirasa belum efektif karena penjatuhan sanksi pidana terhadap kelalaian pejabat dalam tugas dan kewajiban adiministrasinya tidak tepat dan sanksi tersebut belum pernah diterapkan dalam implementasi penegakan hukumnya.
e. Minimnya Materi Muatan Yang Mengatur Mengenai Diaspora dalam UU Kewarganegaraan
Diaspora merupakan bagian dari WNI dan telah menjadi komunitas yang nyata eksistensinya. Di satu sisi mereka ingin mengembangkan diri dan mencari penghidupan yang lebih baik melalui karir dan karya di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tetapi di lain sisi mereka tetap ingin berkewarganegaraan Indonesia. Sayangnya pengaturan mengenai diaspora termasuk hak dan kewajibannya serta hubungan timbal baliknya dengan negara dalam UU Kewarganegaraan belum cukup komprehensif dan dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum, keseimbangan, keserasian, keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat dan kepentingan bangsa dan negara.

2. Aspek Struktur Hukum
Masih terdapat problematika koordinasi antar para pemangku kepentingan yang bertanggung jawab dalam penyelesaian permohonan pewarganegaraan yang berakibat pada tidak terpenuhinya jangka waktu maksimal 3 (tiga) bulan untuk penyelesaian permohonan pewarganegaraan dan terkendalanya pelayanan pendaftaran Anak Berkewarganegaraan Ganda. Kurangnya koordinasi antara para pemangku kepentingan yang juga mengakibatkan data dan informasi mengenai kewarganegaraan seseorang menjadi tidak akurat.

3. Aspek Sarana dan Prasarana
Data terkait dengan perubahan status kewarganegaraan masih ditemukan beberapa permasalahan, terlebih mendapatkan atau kehilangan status kewarganegaraan juga dipengaruhi oleh faktor keimigrasian, perkawinan, kependudukan, dan catatan sipil yang mana tanggungjawab terhadap data tersebut dilakukan oleh kementerian yang berbeda- beda yaitu Kemenkumham, Kemenlu, Kemenag, dan Kemendagri. Selanjutnya terdapat tantangan yang masih menjadi permasalahan atas data status kewarganegaraan saat ini, diantaranya: belum adanya standarisasi assessment verifikasi WNI; banyak WNI undocumented yang tidak memiliki/tidak dapat membuktikan kewarganegaraannya; WNI yang terverifikasi dan memperoleh identitas dari Perwakilan Indonesia tidak secara otomatis diakui di negara setempat; tantangan geografis, di mana lokasi, jumlah, dan sebaran WNI atau yang diduga WNI tersebut tersebar di wilayah-wilayah remote; SAKE belum terintegrasi oleh sistem lain yang memiliki keterkaitan pada status kewarganegaraan; perjanjian kerjasama oleh beberapa K/L dengan jangka waktu tertentu hanya pada urusan kewarganegaraan dari pekerja migran; dan Berita Negara belum menjadi tools integrasi data kewarganegaraan. Oleh karena itu, data dari kewarganegaraan saat ini menjadi tidak valid dan belum terdokumentasikan dengan baik meskipun telah terdapat sistem yang telah dibuat oleh Kemenkumham, Kemenlu, dan Kemendagri maupun publisitas pada Berita Negara.

4. Aspek Budaya Hukum
Rendahnya partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan kegiatan kewarganegaraan khususnya terkait Anak Berkewarganegaraan Ganda yang merupakan akibat dari dilakukannya perkawinan campur disebabkan oleh minimnya kesadaran masyarakat dalam memahami peraturan dibidang kewarganegaraan sehingga menimbulkan ketidakpedulian masyarakat untuk segera melaporkan status dari Anak Berkewarganegaraan Ganda tersebut secara administrasi. Padahal informasi yang diberikan guna menjadi bahan K/L terkait dalam hal untuk memberi kejelasan mengenai status kewarganegaraan Anak Berkewarganegaraan Ganda.

5. Aspek Pengarusutamaan Nilai-Nilai Pancasila
Terdapat beberapa materi muatan dalam UU Kewarganegaraan yang berpotensi tidak selaras dan bertentangan dengan Sila Kedua Pancasila yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab, di antaranya:
a. Pasal 9 huruf c, huruf e, dan huruf g UU Kewarganegaraan belum memberikan jaminan kepastian hukum, keseimbangan, keserasian, keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat dan kepentingan bangsa dan negara yang berprinsip pada penghapusan diskriminasi sosial.
b. Pasal 23 huruf d UU Kewarganegaraan belum memberikan jaminan kepastian hukum, keseimbangan, keserasian, keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat dan kepentingan bangsa dan negara yang berprinsip pada kepastian akan perlindungan hukum baik WNI yang diduga terpapar radikalisme dan berafiliasi dengan angkatan bersenjata asing.
Pasal-pasal dalam UU Kewarganegaraan tersebut berpengaruh signifikan dalam proses penyelenggaraan kewarganegaraan untuk mewujudkan perlindungan terhadap warga negara.

1. Aspek Substansi Hukum, diperlukan:
a. Perlu penambahan definisi tersendiri mengenai “korporasi” dalam Ketentuan Umum RUU Kewarganegaraan;
b. Penjelasan Pasal 9 huruf c UU Kewarganegaraan terhadap basis variabel sehat jasmani dan rohani. Bahwa perumusan ketentuan sehat jasmani dan rohani tidak perlu melakukan penetapan, melainkan perlu mengakui ada faktor-faktor tertentu yang membuat seseorang dapat melakukan/tidak dapat melakukan suatu kegiatan. Dimana alur tersebut terdiri dari: tahapan identifikasi subjek, tahap identifkasi faktor, dan tahap identifikasi kewajiban;
c. Perlu penambahan penjelasan mengenai frasa “dinas tentara asing” dalam Pasal 23 huruf d UU Kewarganegaraan menyesuaikan dengan fenomena radikalisme yang berskala global saat ini;
d. Perlu pengkajian kembali terkait sanksi pidana dalam Pasal 36 UU Kewarganegaraan sehingga sanksi pidana dapat dikenakan ke jenis kejahatan yang relevan dan adanya penambahan sanksi administrasi seperti teguran secara tertulis dan denda administratif bagi yang melanggar sebelum penjatuhan sanksi pidana; dan
e. Penambahan pengaturan mengenai materi muatan diaspora secara komprehensif dengan memperhatikan hak dan kewajiban diaspora serta hubungan timbal baliknya dengan negara.

2. Aspek Struktur Hukum, diperlukan:
a. Penguatan sinergi dan peningkatan koordinasi antar para pemangku kepentingan dalam pelaksanaan UU Kewarganegaraan khususnya dalam hal pelayanan permohonan pewarganegaraan dan pendaftaran Anak Berkewarganegaraan Ganda; dan
b. Peningkatan kesadaran, kesepemahaman, dan komitmen bersama dari masing-masing pemangku kepentingan pelaksana UU Kewarganegaraan khususnya dalam hal pelayanan permohonan pewarganegaraan dan pendaftaran Anak Berkewarganegaraan Ganda.

3. Aspek Sarana dan Prasarana, diperlukan:
Pengintegrasian dari setiap sistem aplikasi yang berkaitan dengan kewarganegaraan yang masih dikelola oleh masing-masing kementerian secara terpisah dengan upaya sinkronisasi data de jure dan data de facto yang dilakukan secara rutin dan teratur. Sehingga terdapat aplikasi kerjasama antara kementerian khususnya untuk nama-nama yang sudah ada di Berita Negara Republik Indonesia dapat secara otomatis ditindaklanjuti oleh pencatatan sipil supaya stelsel aktif dapat dilaksanakan.

4. Aspek Budaya Hukum, diperlukan:
a. Sosialisasi dan literasi hukum yang lebih masif terkait dengan UU Kewarganegaraan, terutama di daerah yang berbatasan dengan negara lain. Beberapa di antaranya dapat dilakukan melalui iklan layanan masyarakat, media sosial, dan pendekatan kepada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau elemen masyarakat lokal; dan
b. Adanya peningkatan pemahaman Sumber Daya Manusia (SDM) di K/L yang menangani urusan terkait dengan kewarganegaraan.

5. Aspek Pengarusutamaan Nilai-Nilai Pancasila, diperlukan:
a. Sinkronisasi dan penyelarasan materi muatan dalam RUU Perubahan Atas UU kewarganegaraan agar sesuai dengan nilai-nilai Pancasila sehingga dapat mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh warga negara Indonesia.
b. Memberikan penjelasan pada Pasal 9 huruf c, huruf e, dan huruf g serta Pasal 23 huruf d UU Kewarganegaraan.

KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT / 01-08-2023

Zakat merupakan ibadah yang berkaitan dengan harta benda dan memiliki esensi utama sebagai sarana untuk memerangi kefakiran, kemiskinan, dan kedhuafaan. Islam tidak menghendaki ketidakadilan atas kepemilikan harta dalam umatnya, sehingga zakat merupakan mekanisme untuk mencegah adanya kesenjangan antara yang kaya dan miskin. Oleh karena zakat merupakan pranata keagamaan yang bertujuan untuk meningkatkan keadilan, kesejahteraan masyarakat, dan penanggulangan kemiskinan, maka Negara harus turut campur dalam pengelolaan zakat untuk memenuhi kewajiban Negara sebagaimana tercantum dalam Pasal 34 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, yaitu Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Hal ini merupakan salah satu wujud pemenuhan Sila Kelima Pancasila, yaitu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) per 31 Desember 2021 terdapat penduduk muslim sebanyak 86,9 persen dari total jumlah penduduk Indonesia, bahkan Global Religious Future memperkirakan penduduk muslim di Indonesia akan mencapai 256,82 juta jiwa dengan pertumbuhan 87,2 persen pada tahun 2050, berdasarkan Outlook Zakat Indonesia Tahun 2023 yang dikeluarkan oleh Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS). Jumlah penduduk muslim yang sangat besar tersebut merupakan sebuah potensi besar dalam pengumpulan zakat untuk kemudian disalurkan kepada orang yang berhak. Agar zakat dapat menjadi sumber dana yang dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan masyarakat terutama untuk mengentaskan kemiskinan dan menghilangkan kesenjangan sosial sehingga tercapai keadilan sosial, maka zakat perlu dikelola secara profesional dan bertanggung jawab baik oleh masyarakat maupun pemerintah.

Untuk pertama kalinya, kegiatan pengelolaan zakat diberikan landasan hukum dengan dibentuknya Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat (UU 38/1999) namun belum mampu mengatasi permasalahan mengenai zakat. Salah satu penyebabnya adalah belum maksimalnya peran pemerintah dan lembaga zakat dalam mengumpulkan, mengelola, dan mendistribusikan zakat, termasuk penentuan siapa yang termasuk wajib zakat, barang-barang yang dizakati, ukuran nisab, bahkan sampai batasan haul tetap menjadi perbedaan pandangan di kalangan umat, serta zakat ternyata belum mampu memberikan output yang signifikan bagi perbaikan ekonomi. Adanya kelemahan dalam UU 38/1999 tersebut kemudian dilakukan penggantian melalui pembentukan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat (UU Pengelolaan Zakat) yang menekankan konsep pengelolaan zakat pada empat kegiatan pokok, yaitu perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap pengumpulan, pendistribusian, serta pendayagunaan zakat.

Pada tahun 2012, terdapat satu perkara pengujian konstitusionalitas terhadap UU Pengelolaan Zakat kepada Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Perkara Nomor 86/PUU-X/2012. Dalam putusannya, Majelis Hakim MK menyatakan sebagian frasa dan ketentuan UU Pengelolaan Zakat inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai sebagaimana yang tercantum dalam amar putusan, yaitu Pasal 18 ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf d UU Pengelolaan Zakat, serta frasa “setiap orang” dalam Pasal 38 dan Pasal 41 UU Pengelolaan Zakat. UU Pengelolaan Zakat mengamanatkan pembentukan peraturan pelaksanaan secara langsung sebagaimana tercantum dalam 10 (sepuluh) ketentuan dalam UU Pengelolaan Zakat dan telah dibentuk 2 (dua) peraturan pelaksanaan UU Pengelolaan Zakat sebagai pemenuhan amanat tersebut, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat dan Peraturan Menteri Agama Nomor 52 Tahun 2014 tentang Syarat dan Tata Cara Penghitungan Zakat Mal Dan Zakat Fitrah Serta Pendayagunaan Zakat Untuk Usaha Produktif sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 31 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Agama Nomor 52 Tahun 2014 tentang Syarat dan Tata Cara Penghitungan Zakat Mal dan Zakat Fitrah Serta Pendayagunaan Zakat Untuk Usaha Produktif.

Provinsi Aceh, Provinsi Jawa Timur, dan Provinsi Kalimantan Timur

1. Aspek Substansi Hukum
a. Frasa “membantu” dalam UU Pengelolaan Zakat Mengesankan Adanya Ketidaksetaraan Posisi Antara BAZNAS dan LAZ
Frasa “membantu” dalam Pasal 1 angka 8 dan Pasal 17 UU Pengelolaan Zakat menggambarkan bahwa desain kelembagaan OPZ di Indonesia menempatkan BAZNAS sebagai leading sector dan LAZ sebagai supporting sector. Hal tersebut memperlihatkan kesan adanya kedudukan yang tidak sejajar antara BAZNAS dan LAZ, padahal BAZNAS dan LAZ sama-sama memiliki fungsi pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat. BAZNAS diberikan peran yang lebih besar yaitu merencanakan dan mengendalikan pengelolaan zakat, salah satunya dengan memberikan rekomendasi atas pembentukan LAZ. Frasa tersebut menimbulkan konotasi bahwa LAZ adalah subordinasi dari BAZNAS.
b. Insentif Pajak Tidak Berjalan Optimal
Pasal 22 UU Pengelolaan Zakat yang mengatur bahwa zakat dapat menjadi pengurang PKP belum berjalan optimal yang terlihat dari rendahnya jumlah zakat yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) tahunan pajak penghasilan (PPh). Hal tersebut dikarenakan masih lemah atau rendahnya literasi dan sosialisasi kepada masyarakat, kepercayaan terhadap otoritas, dukungan administrasi (fasilitas), dan koordinasi serta sinergi antar pemangku kepentingan. Kebijakan zakat sebagai pengurang PKP tidak menarik bagi muzaki karena tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap berkurangnya nominal PPh yang harus dibayar.
c. Tidak Adanya Pengkhususan Pengelolaan Zakat di Provinsi Aceh Dalam UU Pengelolaan Zakat
UU Pengelolaan Zakat diberlakukan bagi pengelolaan zakat secara nasional. Hal ini diperkuat dengan pembentukan BAZNAS sebagaimana pengaturan Pasal 6 UU Pengelolaan Zakat, yang memiliki wewenang dalam pelaksanaan pengelolaan zakat secara nasional. Sementara itu sebelum berlakunya UU a quo, Provinsi Aceh berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU Pemerintahan Aceh) telah memberlakukan kekhususan dalam pengelolaan zakat di Provinsi Aceh, yaitu berkaitan dengan zakat sebagai sumber pendapatan asli daerah (PAD), zakat di Provinsi Aceh dikelola oleh lembaga khusus, dan zakat sebagai faktor pengurang PPh terutang. Namun UU Pengelolaan Zakat tidak mengatur kekhususan pengelolaan zakat di Provinsi Aceh, sehingga mengakibatkan adanya tumpang tindih antara UU Pengelolaan Zakat dan UU Pemerintahan Aceh.
d. Keterkaitan Pengaturan UU PUB dengan UU Pengelolaan Zakat
Terdapat irisan persamaan antara Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang (UU PUB) dengan UU Pengelolaan Zakat yang di antaranya berkaitan dengan aspek perizinan pengumpulan uang dan barang, zona wilayah pengumpulan uang dan barang, pertanggungjawaban atas pelaksanaan pengumpulan uang dan barang, dan pengaturan mengenai sanksi dalam masing-masing undang-undang. Selain itu terdapat pula irisan perbedaan antara lain tentang persyaratan memperoleh izin, lembaga pelaksana pengumpulan uang dan barang, pertanggungjawaban, pembiayaan organisasi, peran serta masyarakat, dan jenis sanksi. Terdapat ketidakjelasan rezim yang mengatur pengumpulan infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya (DSKL), apakah dalam rezim UU PUB atau UU Pengelolaan Zakat. Jika pengumpulan infak, sedekah, dan DSKL termasuk objek pengaturan UU PUB, maka terdapat banyak irisan perbedaan pengaturan dengan UU Pengelolaan Zakat. Selain itu terdapat pertentangan atas adanya pengecualian izin pelaksanaan pengumpulan uang dan barang yang diwajibkan oleh agama namun dalam UU Pengelolaan Zakat mewajibkan adanya izin untuk segala bentuk pengumpulan dana zakat, infak, sedekah, dan DSKL.
e. Perubahan Materi Muatan UU Pengelolaan Zakat Pasca Putusan MK Nomor 86/PUU-X/2012
Putusan MK Nomor 86/PUU-X/2012 terhadap Pasal 18 ayat (2) UU Pengelolaan Zakat memiliki dampak terhadap OPZ berbentuk LAZ dan OPZ non-formal. Bahwa persyaratan perizinan bentuk LAZ dalam Pasal 18 ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf d UU Pengelolaan Zakat yang memberikan pilihan/alternatif bentuk perkumpulan kepada LAZ untuk sebagai ormas keagamaan Islam atau berbadan hukum. Selain itu persyaratan mengenai pengawas syariat LAZ merupakan pilihan bagi LAZ untuk menempatkannya di dalam organ LAZ sebagai pengawas syariat internal atau ditempatkan di luar organ LAZ sebagai pengawas syariat eksternal. Kemudian terhadap perizinan pengelolaan zakat oleh OPZ non-formal berdasarkan pertimbangan Majelis Hakim MK tidak dipersamakan dengan persyaratan perizinan LAZ. Adapun OPZ non-formal diberikan ruang yang jelas untuk melangsungkan kegiatan pengelolaan zakatnya di wilayah yang belum terjangkau oleh BAZNAS dan LAZ, dengan syarat memberitahukan kepada pejabat yang berwenang. Terhadap Pasal 38 dan Pasal 41 UU Pengelolaan Zakat, Putusan MK Nomor 86/PUU-X/2012 memutuskan bahwa pengelolaan zakat harus dilaksanakan dengan mengecualikan ketentuan larangan dan ketentuan pidana kepada OPZ non-formal yang telah memberitahukan kegiatannya kepada pejabat yang berwenang dan di daerah amil zakat tersebut yang belum terjangkau BAZNAS dan LAZ. Namun demikian mekanisme pelaporan zakat oleh OPZ non-formal yang hanya berupa pemberitahuan kepada pejabat yang berwenang bertentangan dengan asas akuntabilitas sebagaimana diamanatkan Pasal 2 huruf g UU Pengelolaan Zakat.

2. Aspek Struktur Hukum
a. Dualisme Peran BAZNAS Sebagai Koordinator dan Operator
Ketentuan dalam UU Pengelolaan Zakat memberikan dualisme peran terhadap BAZNAS, yaitu sebagai operator yang melakukan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat dan juga sebagai koordinator karena memiliki fungsi perencanaan dan pengendalian pengelolaan zakat yang dilakukan secara nasional. Hal tersebut rawan terjadi benturan kepentingan karena antara lain LAZ membutuhkan rekomendasi dari BAZNAS untuk dapat memperoleh izin pembentukan LAZ namun di sisi lain BAZNAS juga memiliki kepentingan dalam pengelolaan zakat. Selain itu pada implementasinya BAZNAS lebih berorientasi pada kegiatan penghimpunan dan penyaluran zakat dibandingkan dengan menjalankan fungsi koordinator, padahal kegiatan mengoordinasikan pengelolaan zakat secara nasional tidak sederhana, khususnya dalam penertiban administrasi, pengelolaan data secara terintegrasi, dan pemerataan distribusi zakat kepada mustahik.
b. Implementasi Pelaksanaan Tugas BAZNAS di Daerah
BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota berdasarkan UU Pengelolaan Zakat dibentuk oleh pemerintah daerah berdasarkan pertimbangan BAZNAS Pusat. Di samping itu, pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap BAZNAS di daerah, sehingga menimbulkan tidak adanya garis koordinasi antara BAZNAS Pusat dengan BAZNAS daerah. Dalam implementasinya hal ini menimbulkan berbagai persoalan, seperti tidak jelasnya pengawasan dan intervensi BAZNAS Pusat terhadap pengelolaan zakat oleh BAZNAS daerah. Bahkan menimbulkan kecenderungan BAZNAS di daerah lebih tunduk kepada pemerintah daerah dibandingkan dengan aturan BAZNAS Pusat, sehingga tidak terdapat satu perencanaan strategis pengelolaan zakat nasional yang dilaksanakan oleh BAZNAS daerah.
c. Kurangnya Komitmen Pemerintah Daerah Terhadap Pengelolaan Zakat di Daerah
UU Pengelolaan Zakat telah mengatur adanya berbagai peran pemerintah daerah dalam kegiatan pengelolaan zakat di daerah, mulai dari pengusulan pembentukan BAZNAS daerah, penerimaan laporan pelaksanaan pengelolaan zakat, infak, sedekah, dan DSKL secara berkala dari BAZNAS dan LAZ, pengalokasian belanja hibah dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) untuk mendukung pelaksanaan tugas BAZNAS daerah, dan melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pengelolaan zakat oleh BAZNAS dan LAZ. Namun dalam implementasinya belum seluruh kepala daerah memahami peran tersebut yang terlihat dari kurangnya pembinaan dan pengawasan yang diterima oleh LAZ dan tidak semua kepala daerah menganggarkan belanja hibah untuk BAZNAS daerah dalam APBD.
d. Implementasi Syarat Perizinan LAZ
Perizinan pembentukan LAZ berdasarkan UU Pengelolaan Zakat harus memenuhi beberapa syarat sebagaimana tercantum di dalam Pasal 18 UU Pengelolaan Zakat. Salah satu persyaratan LAZ untuk memenuhi permohonan perizinan adalah adanya rekomendasi yang diberikan oleh BAZNAS, sehingga adanya rekomendasi BAZNAS berdasarkan peraturan perundang-undangan merupakan syarat formil yang harus terpenuhi dalam permohonan perizinan dan menyebabkan birokrasi yang berbelit. Hal ini ditunjukkan dengan data bahwa dalam dua tahun terakhir jumlah LAZ yang mendapatkan rekomendasi dari BAZNAS masih di bawah 50% (lima puluh persen). Selain itu LAZ yang mengajukan permohonan rekomendasi justru diarahkan untuk diinstitusionalisasikan dalam bentuk UPZ BAZNAS. Permasalahan ini banyaknya LAZ yang tidak memiliki izin juga dipengaruhi oleh prosedur perizinan yang tidak melalui satu pintu.
e. Implementasi Koordinasi Antara BAZNAS dengan LAZ
Sebagai koordinator dalam pengelolaan zakat, BAZNAS sepatutnya melakukan koordinasi dengan seluruh OPZ di Indonesia. Namun adanya kesan ketidaksetaraan posisi antara BAZNAS dengan LAZ sebagai sesama operator menimbulkan kesenjangan dan menciptakan hubungan koordinasi yang kurang harmonis serta tidak berjalan dengan baik. Belum optimalnya koordinasi antara BAZNAS dan LAZ berdampak langsung terhadap pelaksanaan pengelolaan zakat terutama di daerah.
f. Pengelolaan Zakat oleh OPZ Non-Formal
Lembaga amil yang memiliki kewenangan secara sah untuk mengelola dana zakat di Indonesia adalah BAZNAS yang dibantu LAZ sebagaimana diatur dalam Pasal 17 UU Pengelolaan Zakat. Namun terdapat pula OPZ non-formal berupa amil zakat yang dikelola perkumpulan orang, perseorangan tokoh umat (alim ulama), atau pengurus/takmir masjid/mushola sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (2) UU Pengelolaan Zakat sebagaimana ditafsirkan Putusan MK No. 86/PUU-X/2012. Pada praktiknya pasca putusan MK No. 86/PUU-X/2012 yang mengakomodir OPZ non-formal untuk daerah yang belum terdapat BAZNAS atau LAZ tidak terimplementasi karena masih adanya OPZ non-formal meski di daerah tersebut telah terdapat BAZNAS atau LAZ. Akibatnya hal tersebut justru tidak mengubah kebiasaan masyarakat untuk menyalurkan zakatnya melalui BAZNAS atau LAZ sehingga banyak zakat yang terkumpul melalui OPZ non-formal yang tidak terpetakan. Persoalan berikutnya yang timbul dikarenakan OPZ non-formal yang tidak mengetahui atau enggan untuk melaksanakan pemberitahuan kegiatan pengelolaan zakatnya sesuai putusan MK tersebut.
g. Realisasi Pengumpulan Zakat yang Lebih Kecil Dibandingkan Potensinya
Realisasi pengumpulan dana zakat, infak, dan sedekah (ZIS)-DSKL Indonesia pada tahun 2020 yang mencapai Rp 22 triliun lebih atau hanya sebesar sekitar 6,7% dari potensi pengumpulannya yaitu senilai Rp327,6 triliun. Dilihat dari gap antara potensi dengan perolehan dana zakat maka tujuan pengelolaan zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat guna menanggulangi kemiskinan dapat sulit tercapai. Terjadinya kondisi demikian disebabkan karena rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap OPZ formal, belum masifnya sosialisasi mengenai literasi zakat, dan faktor nisab yang belum mencukupi. Selain itu, rendahnya kesadaran berzakat muzaki ke OPZ formal juga menjadi faktor rendahnya pengumpulan zakat.
h. Belum Optimalnya Pendayagunaan Zakat Untuk Usaha Produktif
Pendayagunaan zakat untuk usaha produktif sebagaimana diatur dalam Pasal 27 UU Pengelolaan Zakat ditujukan dalam rangka penanganan fakir miskin dan peningkatan kualitas umat. Untuk melaksanakan pendayagunaan zakat untuk usaha produktif, OPZ juga perlu memperhatikan ketentuan Pasal 34 Peraturan Menteri Agama Nomor 52 Tahun 2014 tentang Syarat dan tata cara Penghitungan Zakat Mal dan Zakat Fitrah serta Pendayagunaan Zakat untuk Usaha Produktif yang mengharuskan program usaha produktif tepat sasaran, serta melakukan pendampingan usaha mustahik. Pada pelaksanaannya zakat untuk usaha produktif sering mengalami kegagalan karena rendahnya kemampuan amil zakat menilai unsur produktivitas dari usaha yang dijalankan mustahik, rendahnya kompetensi amil untuk mendampingi mustahik dalam melangsungkan usaha produktifnya, tidak adanya regulasi yang jelas, dan rendahnya kemampuan mustahik dalam mengelola usaha produktif.
i. Belum Optimalnya Pembinaan dan Pengawasan Pengelolaan Zakat
Hingga saat ini masih terdapat missing link pembinaan dan pengawasan terhadap OPZ. Hal ini disebabkan karena terdapat perbedaan lembaga yang menerima pelaporan dengan lembaga yang melakukan pembinaan dan pengawasan, sehingga terdapat suatu proses bisnis yang tidak selaras, serta tidak adanya indikator-indikator dalam pengawasan. Pada praktiknya pemerintah daerah sebagai lembaga yang memiliki kewenangan untuk melakukan pembinaan dan pengawasan tidak optimal dalam pelaksanaannya dikarenakan tidak semua pemerintah daerah memiliki perhatian yang sama terhadap kegiatan pengelolaan zakat di daerahnya. Selain itu, adanya mekanisme pelaporan BAZNAS daerah dan LAZ terhadap BAZNAS juga tidak selaras dengan fungsi pembinaan dan pengawasan yang justru tidak ada pada BAZNAS. Hal ini menimbulkan adanya proses bisnis pertanggungjawaban yang tidak saling terhubung dalam pelaporan dan pembinaan serta pengawasan.

3. Aspek Sarana dan Prasarana
a. Optimalisasi Penggunaan Teknologi Dalam Pengelolaan Zakat
Pengadopsian teknologi ke dalam sistem pengelolaan zakat akan mampu meningkatkan pengumpulan, penyaluran, dan edukasi zakat, serta memudahkan masyarakat untuk berperan serta dalam pengelolaan zakat. Saat ini BAZNAS telah memiliki aplikasi Sistem Manajemen Informasi BAZNAS (SIMBA) yang menjadi penghubung antara LAZ dan kegiatan pelaporan zakat. Namun dalam implementasinya aplikasi SIMBA masih kurang efisien dan kurang efektif dikarenakan pengisian laporannya masih rumit sehingga pengintegrasian data belum berjalan optimal.
b. Tidak Terintegrasinya Data Pengelolaan Zakat
Agar penyaluran zakat dapat terlaksana sesuai dengan prinsip yang diamanatkan Pasal 25 dan Pasal 26 UU Pengelolaan Zakat, maka pengelolaan zakat perlu dilakukan dengan pengintegrasian data mustahik yang dimiliki OPZ ke dalam satu basis data. Pada praktiknya pengintegrasian data belum maksimal. Masing-masing lembaga yang mengelola dana sosial memiliki basis data masing-masing dan belum mengintegrasikan data pengelolaan zakat antar lembaga. Data Terpadu Kesejahteraan Sosial yang dikeluarkan Kementerian Sosial dan dinas kependudukan dan catatan sipil tidak digunakan sebagai basis data dalam pendistribusian zakat, baik oleh BAZNAS maupun LAZ. Penentuan skala prioritas dalam pendistribusian zakat menjadi sulit dilakukan karena tidak ada pembaharuan data mustahik sehingga OPZ harus melihat keadaan faktual mustahik.
c. Kurangnya Jumlah dan Kompetensi Amil
Permasalahan terkait masih kurangnya amil yang memiliki kompetensi menyebabkan kinerja lembaga zakat belum dapat berjalan optimal terutama dalam hal melakukan pengelolaan, pendistribusian serta pelaporan pengelolaan zakat. Hal ini muncul dikarenakan banyaknya amil yang direkrut tidak berdasarkan latar belakang pengetahuan atau keahlian dalam pengelolaan zakat, minimnya imbal jasa yang diterima amil, dan anggapan masyarakat yang menganggap amil sebagai profesi sampingan.

4. Aspek Budaya Hukum
Salah satu partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan UU Pengelolaan Zakat adalah adanya partisipasi masyarakat sebagai muzaki. Hal itu disebabkan karena beberapa hal antara lain: kurangnya kesadaran masyarakat dalam berzakat, kurangnya literasi dan edukasi mengenai kewajiban dan tata cara berzakat, minimnya literasi yang dilaksanakan oleh otoritas pengelola zakat, rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap akuntabilitas OPZ, adanya persoalan penyelewengan dana zakat, dan kebiasaan masyarakat untuk menyalurkan zakatnya secara langsung kepada mustahik, serta minimnya inovasi OPZ sehingga tidak menarik minat masyarakat. Dengan rendahnya partisipasi tersebut menyebabkan tidak optimalnya pengelolaan zakat di Indonesia.

5. Aspek Pengarusutamaan Nilai-Nilai Pancasila
Berdasarkan penelaahan yang dilakukan oleh BPIP, terdapat ketidaksesuaian norma UU Pengelolaan Zakat dengan indikator nilai Sila Kesatu, Keempat, dan Kelima Pancasila, yaitu:
a. Pasal 2 UU Pengelolaan Zakat tidak sesuai dengan indikator nilai Sila Kesatu Pancasila karena tidak harmonis dengan norma lainnya dalam UU Pengelolaan Zakat yang mengatur mengenai pemerataan, efisiensi, dan persyaratan anggota BAZNAS yang mencakup “memiliki kompetensi di bidang pengelolaan zakat”.
b. Pasal 7 UU Pengelolaan Zakat tidak sesuai dengan indikator nilai Sila Keempat Pancasila karena tidak mengatur fungsi BAZNAS dalam hal pengawasan dan penentu strategi dan arah kebijakan pengelolaan zakat secara nasional.
c. Penjelasan frasa “pihak terkait” dalam Pasal 7 ayat (2) UU Pengelolaan Zakat tidak sesuai dengan indikator nilai Sila Kelima Pancasila karena tidak terdapat penjelasan mengenai urgensi tidak memasukkan badan usaha swasta dan BUMD serta tidak terdapat urgensi memasukkan lembaga luar negeri.
d. Pasal 18 ayat (2) huruf a dan huruf b UU Pengelolaan Zakat yang telah dimaknai dalam Putusan MK Nomor 86/PUU-X/2012 tidak sesuai dengan indikator nilai Sila Kelima Pancasila karena tanpa terdapat kewajiban bagi OPZ non-formal untuk melaporkan kegiatan pengelolaan zakat kepada pihak yang berwenang.
e. Pasal 18 ayat (2) huruf d UU Pengelolaan Zakat yang telah dimaknai dalam Putusan MK Nomor 86/PUU-X/2012 tidak sesuai dengan indikator nilai Sila Kelima Pancasila karena tidak menjelaskan persyaratan pengawas syariat pada LAZ, seperti memiliki pemahaman kompetensi zakat dan akuntansi syariah.
f. Pasal 20 UU Pengelolaan Zakat tidak sesuai dengan indikator nilai Sila Keempat Pancasila karena tidak mengatur syarat dan ketentuan anggota LAZ sebagaimana adanya pengaturan terhadap anggota BAZNAS.
g. Pasal 27 ayat (3) UU Pengelolaan Zakat tidak sesuai dengan indikator nilai Sila Kelima Pancasila karena tidak mengamanatkan untuk menjelaskan mengenai skema, jenis, syarat, program, sistematika, dan prosedur zakat produktif, serta pihak yang terlibat dalam zakat produktif.
h. Pasal 29 UU Pengelolaan Zakat tidak sesuai dengan indikator nilai Sila Keempat Pancasila karena tidak memberikan kewajiban bagi BAZNAS daerah untuk melaporkan pengelolaan zakat oleh LAZ yang diawasinya kepada BAZNAS yang lebih tinggi tingkatannya.
i. Pasal 30, Pasal 31, dan Pasal 32 UU Pengelolaan Zakat tidak sesuai dengan indikator nilai Sila Kesatu Pancasila karena tidak menjelaskan peruntukan dana dari APBN/APBD dan tidak mencantumkan persentase hak amil yang dapat digunakan.

1. Aspek Substansi Hukum, diperlukan:
a. Perumusan kembali frasa “membantu” dalam Pasal 1 angka 8 dan Pasal 17 UU Pengelolaan Zakat dengan susunan norma yang menggambarkan hubungan kemitraan antara BAZNAS dan LAZ dengan memperhatikan prinsip keadilan, kesetaraan, koordinatif, dan kolaboratif.
b. Kebijakan yang progresif untuk menjadikan zakat sebagai pengurang PPh dan perlu didukung dengan adanya amanat dalam UU Pengelolaan Zakat untuk mengatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaan, adanya perubahan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, dan komitmen penuh dari seluruh pemangku kepentingan agar kebijakan ini dapat dilaksanakan.
c. Penambahan norma dalam Bab Ketentuan Lain-Lain UU Pengelolaan Zakat yang menguatkan kekhususan Provinsi Aceh dengan menegasikan pemberlakuan UU Pengelolaan Zakat di Provinsi Aceh.
d. Adanya penyelarasan pengaturan dalam UU PUB dan UU Pengelolaan Zakat yang berkaitan dengan pengumpulan uang atau barang dalam ragam infak, sedekah, dan DSKL.
e. Perumusan kembali Pasal 18 ayat (2) huruf a dan huruf b, Pasal 18 ayat (2) huruf d, Pasal 38, dan Pasal 41 UU Pengelolaan Zakat sesuai dengan amar Putusan MK Nomor 86/PUU-X/2012.
f. Adanya pengaturan mengenai mekanisme pelaporan pengelolaan zakat oleh OPZ non-formal dengan memperhatikan prinsip akuntabilitas.

2. Aspek Struktur Hukum, diperlukan:
a. Pemisahan lembaga yang memiliki fungsi operator kepada BAZNAS dan lembaga yang memiliki fungsi otoritas kepada Kemenag.
b. Rekonstruksi kembali kedudukan dan koordinasi kelembagaan BAZNAS Pusat dan BAZNAS daerah secara vertikal dan hierarkis serta pola koordinasinya dengan Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah.
c. Peningkatan komitmen pemerintah daerah untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap BAZNAS dan LAZ, mengalokasikan belanja hibah kepada BAZNAS daerah dalam APBD, dan menjadi leading sector yang mengolaborasikan berbagai program penanggulangan kemiskinan dengan berbagai pihak di daerah.
d. Penataan ulang sistem perizinan LAZ melalui satu pintu di Kemenag sebagai otoritas pengelolaan zakat di Indonesia.
e. Penguatan peran Kemenag untuk lebih menggiatkan program dan kegiatan antara BAZNAS, LAZ, dan pemerintah daerah dalam kegiatan pengelolaan zakat di seluruh Indonesia.
f. Peningkatan pendekatan dan pembinaan persuasif oleh Kemenag kepada OPZ non-formal agar memiliki tata kelola pengelolaan zakat yang lebih profesional sehingga pada akhirnya OPZ non-formal tersebut akan bertransformasi menjadi UPZ BAZNAS atau LAZ.
g. Peningkatan inovasi oleh BAZNAS dan LAZ dalam pengumpulan zakat melalui pemanfaatan IT dan lebih masif dalam mensosialisasikan serta mempromosikan inovasi program zakat yang dilakukannya kepada masyarakat.
h. Peningkatan komitmen BAZNAS dan LAZ dalam melaksanakan pendayagunaan zakat untuk usaha produktif, antara lain dalam hal pendampingan dan penyusunan program pendayagunaan zakat untuk usaha produktif yang kolaboratif antar OPZ.
i. Peningkatan peran Kemenag untuk lebih mengawasi pelaksanaan pendayagunaan zakat untuk usaha produktif yang diselenggarakan oleh OPZ sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
j. Penguatan peran Kemenag sebagai lembaga yang memiliki fungsi dalam pembinaan dan pengawasan terhadap BAZNAS, LAZ, maupun OPZ non-formal dengan melibatkan pemerintah daerah, serta laporan pengelolaan zakat dari BAZNAS, LAZ, dan OPZ non-formal hanya ditujukan kepada Kemenag.
k. Penetapan indikator-indikator pengawasan tertentu dalam pengawasan pengelolaan zakat.

3. Aspek Sarana dan Prasarana, diperlukan:
a. Adanya peningkatan sistem teknologi yang terintegrasi dengan baik disertai dengan manajemen penyusunan sistem teknologi yang lebih mumpuni dan akuntabel.
b. Pengintegrasian data mustahik yang dimiliki oleh seluruh OPZ dan kementerian/lembaga terkait ke dalam suatu sistem zakat nasional.
c. Peningkatan kompetensi amil yang tersedia melalui pelatihan dan bimbingan teknis oleh Kemenag dan/atau pemerintah daerah.

4. Aspek Budaya Hukum, diperlukan peningkatan program sosialisasi, literasi, edukasi, transparansi, dan inovasi dalam pengelolaan zakat oleh Kemenag, pemerintah daerah, dan OPZ.

5. Aspek Pengarusutamaan Nilai-Nilai Pancasila, BPIP memberikan rekomendasi bahwa diperlukan:
a. Penambahan asas dalam Pasal 2 UU Pengelolaan Zakat yang relevan dengan karakter Rasulullah, yaitu kejujuran (shiddiq), dakwah (tabligh), kecerdasan (fathonah), serta asas efektivitas, efisiensi, dan pemerataan.
b. Perubahan Pasal 7 UU Pengelolaan Zakat yang memberikan fungsi kepada BAZNAS dalam hal pengawasan lembaga pengelola zakat di daerah dan penentu arah kebijakan pengelolaan zakat secara nasional.
c. Perubahan Penjelasan frasa “pihak terkait” dalam Pasal 7 ayat (2) UU Pengelolaan Zakat dengan mencantumkan urgensi pemilihan pihak-pihak terkait tersebut dan alasan menutup akses bagi lembaga swasta.
d. Perubahan frasa “memberitahukan” pengelolaan zakat oleh OPZ non-formal dalam Pasal 18 ayat (2) huruf a dan huruf b UU Pengelolaan Zakat setelah pemaknaan Putusan MK No. 86/PUU-X/2012 menjadi frasa “melaporkan” kepada pihak yang berwenang.
e. Penambahan norma dalam Pasal 18 ayat (2) huruf d UU Pengelolaan Zakat yang mengatur mengenai indikator yang memperjelas syarat pengawas syariat pada LAZ, misalnya memiliki pemahaman kompetensi zakat dan akuntansi syariah.
f. Penambahan norma dalam Pasal 27 ayat (3) UU Pengelolaan Zakat untuk mengamanatkan adanya ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur, skema, aktor yang terlibat, jenis syarat, maupun program zakat produktif.
g. Perubahan Pasal 29 UU Pengelolaan Zakat dengan menambahkan norma bahwa BAZNAS daerah juga melaporkan pengelolaan zakat oleh LAZ beserta pengawasannya.
h. Penjelasan Pasal 30 dan Pasal 31 UU Pengelolaan Zakat bahwa peruntukan APBN tidak hanya terbatas pada sosialisasi dan koordinasi melainkan lebih ditujukan untuk program strategis berbasis pemberdayaan zakat di masyarakat, program kemajuan dan modernisasi zakat serta sosialisasinya, pelatihan peningkatan kompetensi, dan berbagai program lainnya.
i. Penambahan norma dalam Pasal 30, Pasal 31, dan Pasal 32 UU Pengelolaan Zakat yang menyebutkan persentase yang dapat diambil dari hak amil, yaitu 1/8 (satu perdelapan) dari harta zakat.
j. Penambahan norma dalam UU Pengelolaan Zakat yang mengatur bahwa persyaratan anggota BAZNAS juga berlaku untuk anggota LAZ.
k. Pembagian kewenangan yang jelas antara BAZNAS dan LAZ, yaitu BAZNAS sebagai pembuat program pengarusutamaan zakat, penyusun strategi dan arah kebijakan zakat, pendayagunaan zakat di masyarakat, serta pengawas LAZ, dan LAZ sebagai operator pengelola zakat baik pusat maupun di daerah.
l. Pendataan zakat secara nasional yang tidak hanya pada proses pengumpulan zakat namun juga mencakup proses audit keuangan OPZ berbasis akuntansi syariah yang sama.
m. Perumusan norma dalam UU Pengelolaan Zakat yang berkesesuaian dengan perkembangan teknologi, seperti konseptualisasi persyaratan start-up atau aplikasi pengelola zakat berbasis online.

KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG / 01-08-2023

Tindakan perdagangan orang (human trafficking) merupakan pelanggaran harkat dan martabat manusia dan pelanggaran atas hak asasi manusia (HAM), serta merupakan bentuk perbudakan modern (modern slavery) yang dikecam oleh negara manapun di dunia. Perdagangan orang telah menjadi bagian dari luka sejarah kemanusiaan bangsa Indonesia sejak perbudakan masa kerajaan nusantara, yang terus berlanjut pada periode penjajahan Belanda dan Jepang dimana perdagangan orang berkembang dalam bentuk pekerja rodi dan pekerja seks bagi tentara Belanda dan Jepang.

Dalam upaya penghapusan perdagangan orang, perlindungan hak asasi manusia, serta hasil tindak lanjut Konvensi Palermo 2000, DPR bersama Pemerintah Indonesia telah mengesahkan UU TPPO. UU TPPO sudah diberlakukan selama 16 tahun di Indonesia sejak diundangkan dan disahkan, namun dalam pelaksanaannya hingga saat ini masih mengalami banyak kendala yang dibuktikan dengan masih maraknya kasus tindak pidana perdagangan orang yang terjadi di Indonesia.

Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) pada tahun 2019-2022, terdapat 1.545 kasus TPPO dengan jumlah korban sebanyak 1.732 orang. Tren kejadian dalam 4 (empat) tahun terakhir mengalami peningkatan, pada 2019 terdapat 191 kasus dan 226 korban TPPO, pada 2020 dengan 382 kasus dan 422 korban TPPO, pada 2021 tercatat 624 kasus dan 683 korban TPPO, serta pada periode Januari hingga Oktober 2022 terlapor sebanyak 348 kasus dan 401 korban TPPO. Berdasarkan data tersebut, mayoritas yang menjadi korban adalah kelompok rentan, perempuan dan anak.

Indonesia kini masuk pada kategori darurat tindak pidana perdagangan orang. Dalam laporan US Embassy 2022 Trafficking in Persons report, Indonesia masuk kategori Tier 2 Watch List artinya “pemerintah tidak memenuhi standar minimal untuk pemberantasan perdagangan orang tetapi juga telah berusaha secara sungguh-sungguh”. Tindak kejahatan perdagangan orang telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan hak asasi yang terorganisasi dan tidak terorganisasi, baik bersifat antar negara maupun dalam negeri, sehingga menjadi ancaman terhadap masyarakat, bangsa, dan negara. Dengan demikian, UU TPPO belum maksimal untuk memenuhi kebutuhan hukum di masyarakat.

Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur, dan Provinsi Kepulauan Riau, Kabupaten Kubu Raya, Kabupaten Manggarai Barat, dan Kota Batam.

1. Aspek Subtansi Hukum
a. Belum Komperehensifnya Pengaturan Objek Korban TPPO
Berangkat dari Protokol TPPO Palermo, pembuat undang-undang di Indonesia menaruh perhatian terhadap lebih terhadap lemah dan rentannya golongan perempuan dan anak sebagai korban TPPO. Hal tersebut dimuat dalam Konsiderans bagian Menimbang huruf b., serta dalam Penjelasan Umum paragraf 3, paragraf 5 dan paragraph 6 UU TPPO. Oleh karena perempuan dan anak-anak telah diakomodasi dalam UU TPPO sebagai salah satu alasan dan latar belakang dibentuknya UU TPPO, maka telah tergambar komitmen negara untuk memberi perlindungan kepada golongan tersebut.
Namun kemudian, berdasarkan fakta empiris saat ini dibutuhkan pula komitmen negara untuk melindungi profesi tertentu sebagai pihak yang kerap menjadi korban TPPO yaitu PMI dan ABK. Secara yuridis ABK telah diakomodir dalam UU PPMI dan PP 22/2022 sebagai salah satu kategori PMI.

b. Sulitnya Pembuktian Delik Formil dalam Pasal 2 UU TPPO
Secara empiris berdasarkan putusan pengadilan terkait delik TPPO, APH masih kesulitan dalam menafsirkan rumusan delik Pasal 2 UU TPPO. Penafsiran baik secara gramatikal serta sistematis maka terdapat 3 elemen kunci dalam ketentuan delik Pasal 2 Ayat (1) UU TPPO yaitu unsur perbuatan/proses, unsur cara dan unsur tujuan. Sesuai Doktriner serta ketentuan Pasal 3 Protokol TPPO Palermo, penafsiran unsur perbuatan/proses, unsur cara dan unsur tujuan haruslah diartikan sebagai delik formil yaitu delik yang terpenuhi selama unsur-unsur tindakan dalam rumusan pasal tersebut terpenuhi.
Selanjutnya, terkait unsur perbuatan/proses dan unsur cara, diartikan satu contoh dalam unsur perbuatan/proses maupun unsur cara telah terpenuhi, maka dapat dianggap unsur proses dan unsur cara telah terpenuhi. Adapun terkait unsur tujuan eksploitasi haruslah dikaitkan delik formil yang merupakan sikap niat batin dari si pelaku, maka dari itu diperlukan indikator guna pemenuhan bukti permulaan yang cukup.

c. UU TPPO Belum Konsisten Menggunakan 3 Elemen Kunci dalam Merumuskan Unsur Delik TPPO.
1) Pasal 3 UU TPPO: Tidak Ada Unsur “Cara”
Rumusan Pasal 3 UU TPPO hanya memuat 2 (dua) elemen kunci saja yaitu unsur perbuatan/proses dan unsur tujuan, tanpa merumuskan unsur cara. Hal ini tidak sesuai dengan yang disyaratkan Protokol TPPO Palermo, bahwa ada 3 (tiga) elemen kunci dalam mengkategorikan delik TPPO yaitu adanya unsur perbuatan/proses, unsur cara dan unsur tujuan.
2) Pasal 4 UU TPPO: Tidak Ada Unsur “Cara” dan Terbatasnya Unsur “Perbuatan”
a) Tidak adanya unsur “cara”
Rumusan Pasal 4 UU TPPO hanya memuat 2 (dua) elemen kunci yaitu unsur perbuatan/proses dan unsur tujuan saja, tanpa merumuskan unsur cara yang disyaratkan dalam rumusan delik TPPO. Unsur perbuatan saja belum menggambarkan adanya perbuatan melawan hukum jika tidak disertai dengan unsur cara, sehingga ketiadaan unsur cara belum menggambarkan adanya actus reus yaitu perbuatan yang melanggar hukum (unsur objektif). Sedangkan unsur tujuan merupakan mens rea yang menggambarkan adanya sikap batin pelaku dalam melakukan kejahatan (unsur subjektif).
Ketiadaan unsur cara dalam rumusan Pasal 4 UU TPPO menjadikan seolah-olah adanya persetujuan dari korban, karena tidak tergambar adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku. Oleh karena itu, hilangnya unsur cara menjadikan Pasal 4 UU TPPO kehilangan sifat melawan hukumnya unsur perbuatan.
b) Terbatasnya perumusan unsur “perbuatan/proses” dalam kata “membawa”
Pasal 4 UU TPPO hanya merumuskan unsur perbuatan/proses dalam bentuk kegiatan membawa WNI ke luar wilayah negara Indonesia. Dalam praktiknya, APH kesulitan menegakkan Pasal ini karena perbuatan “membawa” hanya bisa dibuktikan jika telah terjadi perpindahan di daerah embarkasi.
Selain itu, perbuatan “membawa” saat ini juga sulit dibuktikan karena modus operandi TPPO terbaru yang dilakukan melalui pengendalian jarak jauh. Sehingga dengan adanya modus pengendalian jarak jauh tanpa adanya pelaku yang membawa langsung calon korban, menjadikan unsur perbuatan “membawa” menjadi tidak terpenuhi.
3) Pasal 5 UU TPPO: Unsur “Cara” Tidak Diperlukan Dalam Korban Anak
Rumusan Pasal 5 UU TPPO telah lengkap memuat 3 (tiga) elemen kunci TPPO yang disyaratkan Protokol TPPO Palermo yaitu unsur perbuatan/proses, unsur cara, dan unsur tujuan. Namun jika korbannya anak, maka unsur cara tidak diperlukan sehingga perbuatan dengan cara apapun tetap dikategorikan sebagai TPPO jika ditujukan untuk eksploitasi anak.
Dalam implementasinya, penegakan Pasal 5 UU TPPO tidak ditemukan kendala yang berarti, hanya saja secara substansi/normanya tidak sesuai dengan prinsip Protokol TPPO Palermo yang menjadi dasar penormaan Pasal 5 UU TPPO.
4) Pasal 6 UU TPPO: Tidak Tepatnya Delik Materil Pada Korban Anak
Pasal 6 UU TPPO telah lengkap memuat 3 (tiga) elemen kunci TPPO yang disyaratkan Protokol TPPO Palermo yaitu unsur perbuatan/proses, unsur cara, dan unsur tujuan. Namun, unsur tujuan dalam Pasal 6 UU TPPO yang berbunyi “yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi” adalah termasuk dalam kategori delik pidana materiil. Oleh karena itu, perumusan delik pada Pasal 6 UU TPPO tidak sesuai dengan prinsip delik formil Pasal 2 UU TPPO sebagai genus umum delik TPPO, serta tidak sesuai dengan Pasal 3 Protokol TPPO Palermo sebagai dasar prinsip delik formil pada TPPO.

d. Belum Efektifnya Implementasi Delik Bagi Pelaku Korporasi dalam Pasal 13-Pasal 15 UU TPPO
UU TPPO mengatur unsur subjek pelaku adalah “setiap orang” yang terdiri atas orang perseorangan (natuurlijke persoon) dan korporasi. Secara substansi, pengaturan korporasi dalam UU TPPO sudah komprehensif mulai dari subjek korporasi termasuk pengurusnya, pemberatan pidana denda, hingga penjatuhan pidana tambahan.
Namun dalam implementasinya, pelaku korporasi sulit untuk dijerat karena unsur perbuatan dan unsur cara TPPO cenderung dilakukan oleh pelaku lapangan, bukan korporasi. Selain itu, banyaknya pelanggaran yang dilakukan korporasi dalam kenyataannya tidak dibarengi dengan penegakan hukum yang efektif. Tipisnya perbedaan antara isu ketenagakerjaan dengan isu TPPO menyebabkan APH seringkali bias dalam menerapkan antara UU PPMI, UU Ketenagakerjaan, dan UU TPPO. Secara faktual, APH lebih fokus menggunakan undang-undang sektoral dibandingkan dengan UU TPPO.

e. Belum Efektifnya Pemblokiran Harta Kekayaan Bagi Pelaku TPPO dalam Pasal 32 UU TPPO
Ketentuan Pasal 32 UU TPPO baik penyidik, penuntut umum atau hakim mempunyai kewenangan melakukan pemblokiran harta kekayaan terhadap orang yang disangka atau didakwa melakukan TPPO melalui penyedia jasa keuangan. Akan tetapi, dalam UU TPPO tidak ada pengaturan lebih lanjut mengenai mekanisme pemblokiran, maksud dan tujuan pemblokiran, bagaimana ada pihak yang keberatan atas pemblokiran dan bagaimana jika terdakwa tersebut diputus bebas.
Secara teoritis, pemblokiran tindak pidana dilandaskan pada pandangan bahwa tidak seseorangpun berhak memiliki kekayaan yang tidak patut dimilikinya. Pandangan ini tercermin dari beberapa istilah, Cime souldn’t pay; unjust enrichment atau illicit enrichment; No one benefit from his own wrong doing.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) dan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU), dapat digunakan sebagai rujukan dalam mekanisme pemblokiran aset pelaku TPPO. Selanjutnya, mekanisme pembagian wewenang penyidik, penuntut umum dan hakim dalam Pasal 32 UU TPPO jika dikaitkan asas dominus litis (domain), maka penyidik berwenang melakukan pemblokiran harta kekayaan bagi pelaku TPPO pada tahap penyidikan, penuntut umum berwenang melakukan pemblokiran harta kekayaan bagi pelaku TPPO pada tahap penuntutan, dan hakim berwenang melakukan pemblokiran harta kekayaan bagi pelaku TPPO pada tahap persidangan.

f. Belum Terpenuhinya Hak Restitusi Bagi Korban TPPO dalam Pasal 48-50 UU TPPO
Ganti rugi terhadap korban TPPO wajib diberikan oleh pelaku tindak pidana yang berupa pemberian restitusi kepada pihak korban sesuai mekanisme yang telah ditentukan dalam Pasal 48 UU TPPO. Akan tetapi, secara empiris pemenuhan restitusi tidak berjalan sebagaimana mestinya disebabkan karena tidak efektifnya sita aset bagi pelaku TPPO, dan restitusi korban TPPO. Seringkali restitusi tidak dapat dibayarkan oleh pelaku, dan diganti dengan pidana kurungan pengganti.
Selanjutnya, paradigma pemindanaan telah beralih dari pidana sebagai pembalasan (retributive) menjadi restorative justice, sebuah pendekatan dalam sistem peradilan pidana yang melibatkan pelaku dan korban serta masyarakat untuk secara aktif berperan dalam upaya penyelesaian masalah yang dampaknya ditimbulkan dari terjadinya tindak pidana. Skema resitusi dalam UU TPPO yang dibebankan oleh pelaku dan jika pelaku tidak mampu membayar diganti pidana kurungan merupakan paradigma pembalasan (retributive) yang bertolak berlakang dengan konsep restorative justice.

2. Aspek Struktur Hukum
a. Lemahnya Koordinasi antara LPSK dan APH dalam Pengajuan Restitusi
Pemenuhan hak restitusi pada korban TPPO tidak terlaksana dengan baik, dikarenakan masih lemahnya koordinasi antara LPSK dengan APH terutama di daerah. Penyebabnya adalah keberadaan LPSK yang hanya terdapat di pusat, sehingga sulit untuk menjangkau para saksi dan/atau korban di daerah.
Kemudian dalam hal restitusi yang diajukan oleh APH (penyidik dan penuntut umum), APH belum cukup memahami mengenai pentingnya pemenuhan hak restitusi untuk korban TPPO. APH juga tidak merasa memiliki kewajiban untuk memberitahu kepada korban terkait hak restitusi yang dimilikinya, serta tidak menganggap kewajiban memberi informasi dan pendampingan restitusi adalah tugasnya. Hal ini berdampak pada korban tidak mengetahui haknya atas restitusi, dan kerugian korban menjadi tidak diganti.


b. Belum Efektifnya Koordinasi Antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam Pemberantasan TPPO di Indonesia
UU TPPO mewajibkan kepada pemerintah dan pemerintah daerah untuk memberantas TPPO dengan membuat kebijakan, program, kegiatan, dan mengalokasikan anggaran, serta membentuk Gugus Tugas TPPO. Namun dalam pelaksanaannya menemui beberapa kendala yaitu:
1) Kurangnya koordinasi dalam pembagian tugas dan kewenangan di antara kementerian/lembaga terkait;
2) Koordinasi dan pengawasan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah saat ini belum optimal;
3) Kurangnya ketersediaan anggaran untuk pelaksanaan pencegahan dan penanganan TPPO.;
4) Tidak semua daerah memiliki komitmen dalam membuat kebijakan, program, maupun alokasi anggaran TPPO.
Oleh karena itu, untuk mengatasi kendala tersebut maka dibutuhkan koordinasi yang kuat antara pemerintah dan pemerintah daerah, dengan membuat skema koordinasi dan pembagian tugas yang efektif dan efisien.

c. Pelaksanaan Amanat Gugus Tugas TPPO
1) Belum efektifnya Gugus Tugas TPPO saat ini
Pasal 58 UU TPPO mengamanatkan pembentukan Gugus tugas TPPO untuk melaksanakan pemberantasan TPPO baik di tingkat pusat maupun daerah. Akan tetapi pada implementasinya, Gugus Tugas TPPO mengalami beberapa kendala, yaitu:
a) Adanya ego sektoral dalam Gugus Tugas TPPO.
b) Pola koordinasi hanya berupa penyampaian laporan.
c) Tidak semua kementerian/lembaga mampu melaksanakan pembagian tugas.
d) Tidak semua kementerian/lembaga memiliki anggaran khusus TPPO.
e) Belum semua daerah membentuk Gugus Tugas TPPO.
f) Belum pernah dilakukannya koordinasi Gugus Tugas TPPO di daerah.
g) Kementerian PPPA selaku leading sector Gugus Tugas TPPO tidak memiliki kewenangan dalam mengoordinir APH dalam penegakan hukum.
2) Rekstrukturisasi Ketua Harian Gugus Tugas TPPO menjadi Kapolri
Pada tanggal 30 Mei 2023, Presiden Joko Widodo memutuskan untuk mengambil langkah cepat pencegahan dan pemberantasan TPPO dengan melakukan restrukturisasi Gugus Tugas TPPO dengan mengganti ketua harian yang awalnya diemban oleh Menteri PPPA menjadi Kapolri. Selanjutnya pada 10 Juni 2023, Bareskrim Polri membentuk secara resmi Satgas TPPO Polri yang diketuai langsung oleh Wakil Kepala Bareskrim. Restrukturisasi Gugus Tugas TPPO yang diambil alih oleh Satgas TPPO Polri, dalam pelaksanaannya cukup efektif dalam melindungi masyarakat dari TPPO.
Meskipun terjadi perubahan struktur Ketua Harian Gugus Tugas TPPO, secara substansi tugas Gugus Tugas TPPO masih tetap sama. Restrukturisasi ini menimbulkan permasalahan pada kerja Gugus Tugas TPPO yaitu kendala pergeseran anggaran yang sudah disusun oleh oleh anggota Gugus Tugas TPPO, dan pengaruhnya Rencana Aksi Nasional yang telah dibuat kementerian/lembaga untuk rentang waktu 2020-2024 yang harus menjadi capaian para anggota Gugus Tugas TPPO.
3) Usulan pembentukan badan khusus TPPO
Dengan adanya kendala pada pelaksanaan Gugus Tugas TPPO, beberapa narasumber mengusulkan untuk membentuk badan khusus TPPO yang tugasnya mulai dari pencegahan, pemberantasan, hingga pemulihan hak bagi korban.
Saat ini hanya Indonesia yang tidak memiliki lembaga khusus TPPO diantara negara-negara ASEAN. Sehingga, kerjasama internasional dalam penanganan TPPO masih sangat minim dan belum terlaksana dengan baik. Oleh karena itu, usulan pembentukan badan khusus TPPO diharapkan dapat memperkuat kerjasama internasional guna menanggulangi TPPO.
Melihat pada politik hukum Indonesia terkait kejahatan transnasional yang dikriminalisasi dengan undang-undang, Indonesia telah membentuk lembaga khusus melalui undang-undang seperti BNN, PPATK, BNPT dan KPK.

3. Aspek Sarana dan Prasarana
Belum terbentuknnya Pusat Pelayanan Terpadu di setiap kabupaten/kota dalam Pasal 46 UU TPPO
Pasal 46 UU TPPO mengamanatkan pembentukan Pusat Pelayanan Terpadu pada setia kabupaten/kota. Pada praktiknya, keberadaan Pusat Pelayanan Terpadu TPPO di provinsi digabung dengan P2TP2A, sedangkan di kabupaten/kota digabung dengan UPTD PPA karena keterbatasan biaya dan terdapat fungsi yang serupa sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 4 Permen PPPA 8/2021.
Akan tetapi berdasarkan implementasinya, pembentukan Pusat Pelayanan Terpadu bagi saksi dan/atau korban TPPO belum sepenuhnya dilaksanakan karena belum semua kabupaten/kota terdapat UPTD PPA. Penyebab utamanya adalah masih kurangnya komitmen daerah, sehingga kerap kali pilihan kebijakan daerah tidak mendukung penyediaan Pusat Pelayanan Terpadu berupa UPTD PPA sebagai suatu sarana dan prasarana yang harus disediakan di setiap kabupaten/kota.

4. Aspek Budaya Hukum
a. Minimnya Pemahaman Konsep Persetujuan Korban TPPO (Pasal 26 dan Pasal 30 UU TPPO)
Pembentuk undang-undang memahami bahwa dalam kondisi relasi yang tidak setara antara korban sebagai pekerja dan pelaku sebagai perekrut/pemberi kerja, atau korban dan pelaku masih memiliki hubungan kekerabatan, maka situasi korban memberikan persetujuan hampir tidak dapat dihindari, sehingga persetujuan korban tidak diperlukan dalam menjerat pelaku TPPO.
Namun dalam praktiknya, sering kali ditemukan situasi di mana korban TPPO enggan melapor karena mereka terjebak dalam ketergantungan terhadap pekerjaan yang sedang dilakukan. Selain itu, rendahnya pengetahuan dan kepedulian masyarakat akan eksploitasi beserta dampaknya, menyebabkan korban tidak merasa sedang menjadi korban TPPO.
Kondisi tersebut sedikit banyak telah melemahkan penegakan hukum, karena dengan adanya keengganan korban dalam memberikan keterangan sebagai saksi korban, maka akan menghambat proses penegakan hukum karena hilangnya satu alat bukti utama.

b. Belum Terjaminnya Kerahasiaan Identitas Hukum Saksi dan/atau Korban TPPO (Pasal 44 UU TPPO)
Kerahasiaan identitas dilakukan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan yang dijalani sebagaimana diatur dalam Pasal 44 UU TPPO. Selain pihak saksi dan/atau korban, hak kerahasiaan identitas juga diberikan kepada keluarga saksi dan/atau korban sampai dengan derajat kedua.
Walaupun pengaturan mengenai pemberian hak kerahasiaan identitas saksi dan/atau korban sudah diatur dengan baik dalam UU TPPO, namun dalam implementasinya masih ditemukan beberapa kendala yang terjadi di lapangan. Kendala-kendala tersebut adalah kurangnya pemahaman APH dalam melindungi identitas saksi dan/atau korban TPPO, kurang pahamnya masyarakat mengenai pentingnya menjaga kerahasiaan identitas saksi dan/atau korban, dan sering terjadinya pelanggaran kerahasiaan identitas yang dilakukan oleh media massa.

c. Belum Optimalnya Peran Serta Masyarakat dalam Membantu Upaya Pencegahan dan Penanganan TPPO
Dalam rangka melaksanakan upaya pencegahan dan penanganan TPPO di Indonesia, masyarakat juga memiliki peran yang sangat penting sebagaimana diatur dalam Pasal 60 UU TPPO. Selain itu, Pasal 33 UU TPPO juga memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat untuk memberikan informasi dan/atau laporan adanya TPPO yang diberikan kepada APH dan jaminan perlindungan hukumnya. Dalam Pasal 61 UU TPPO juga dinyatakan bahwa pemerintah wajib membuka akses seluas-luasnya bagi peran serta masyarakat baik nasional maupun internasional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, hukum, dan kebiasaan internasional yang berlaku.
Akan tetapi, dalam pelaksanaannya masih terdapat permasalahan yang terjadi. Permasalahan utama dan yang paling banyak disampaikan oleh pemangku kepentingan pusat maupun daerah, adalah pengaturan dalam UU TPPO masih belum dipahami secara menyeluruh oleh setiap lapisan masyarakat, sehingga menyebabkan masih rendahnya partisipasi masyarakat dalam upaya pemberantasan TPPO di Indonesia.


5. Aspek Pengarusutamaan Nilai-Nilai Pancasila
Terdapat beberapa pengaturan dalam UU TPPO yang tidak selaras nilai-nilai Pancasila, antara lain:
a. Masih terdapat delik dalam UU TPPO yang belum terstandardisasi Internasional yaitu Protokol TPPO Palermo khususnya Delik dalam Pasal 4 UU TPPO. Seharusnya delik dalam Pasal 4 UU TPPO terdapat unsur perbuatan/proses, cara dan tujuan agar sesuai Protokol TPPO Palermo. Dengan adanya kejelasan unsur dalam delik tersebut agar aparat penegak hukum dapat menegakkan hukum lebih optimal terhadap pelaku yang merupakan bagian sindikat internasional. Hal ini perwujudan sila ke-2 dan sila ke-3 Pancasila.

b. Implementasi pemenuhan restitusi belum optimal dirasakan oleh korban TPPO, hal ini dikarenakan dalam UU TPPO belum ada jaminan jika pelaku tidak mampu membayar restitusi. Maka dari itu, UU TPPO belum sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.

1. Aspek Subtansi Hukum, diperlukan:
a. Penambahan unsur PMI sebagai objek TPPO selain perempuan dan anak.
b. Penjelasan lebih lanjut untuk menjelaskan unsur perbuatan/proses, dan unsur cara dalam Pasal 2 UU TPPO.
c. Perumusan indikator “eksploitasi” untuk menentukan bukti permulaan yang cukup dalam delik TPPO.
d. Perumusan ulang Pasal 3 dan Pasal 4 UU TPPO dengan menambahkan unsur cara.
e. Perumusan ulang Pasal 5 UU TPPO dengan mengabaikan unsur cara pada korban anak.
f. Perumusan ulang Pasal 6 UU TPPO dengan mengubah delik materiil menjadi delik formil agar sanksi pidana yang dikenakan kepada pelaku tepat dan tidak ada permasalahan yang dapat berimplikasi pada putusan pengadilan.
g. Penambahan norma yang menguatkan penegakan hukum kepada pelaku korporasi sebagai pelaku utama TPPO.
h. Penambahan perumusan mekanisme formil pemblokiran aset bagi tersangka atau terdakwa TPPO dalam UU TPPO.
i. Penambahan substansi skema kompensasi Victim Tust Fund (VTF) berupa Dana Bantuan Korban yang berasal dari masyarakat untuk diolah dan disalurkan untuk program pemenuhan korban.

2. Aspek Struktur Hukum, diperlukan:
a. Penguatan komitmen dan kepahaman APH terkait pemenuhan hak restitusi korban TPPO, berupa pemberian informasi dan pendampingan restitusi.
b. Penguatan koordinasi antara APH dengan LPSK dalam pemenuhan hak restitusi korban TPPO di daerah.
c. Penguatan koordinasi antara Pemerintah (Pusat) dan Pemerintah Daerah dalam pembuatan kebijakan, kerjasama dalam membuat serta melaksanakan program pemberantasan TPPO, serta perencanaan dan pembagian alokasi anggaran yang memadai dalam penanganan TPPO.
d. Pembentukan Direktorat TPPO dan TPPA atau badan khusus TPPO yang fokus menangani TPPO.

3. Aspek Sarana dan Prasarana, diperlukan penguatan komitmen dari pemerintah daerah untuk membentuk Pusat Pelayanan Terpadu di setiap kabupaten/kota.

4. Aspek Budaya Hukum, diperlukan:
a. Penguatan kesadaran masyarakat yang lebih sistematis dengan menggerakkan peran masyarakat dan pemerintah desa sebagai hulu dari TPPO.
b. Penyuluhan dan sosialisasi kepada APH, media massa dan masyarakat terkait pentingnya menjaga kerahasiaan identitas saksi dan/atau korban terkait rkerahasiaan identitas saksi dan/atau korban.
c. Sosialisasi dan pemberian edukasi terhadap masyarakat terkait TPPO dan peran masyarakat dalam pencegahan dan penanganan TPPO di Indonesia.

5. Aspek Pengarusutamaan Nilai-Nilai Pancasila:
a. Ketentuan delik dalam Pasal 4 UU TPPO seharusnya terdapat unsur proses dan cara sesuai Protokol TPPO Palermo. Hal ini merupakan perwujudan nilai -nilai Pancasila.
b. Dalam UU TPPO seharusnya terdapat jaminan pembayaran restitusi jika pelaku tidak mampu, dimana hal ini merupakan perwujudan nilai-nilai Pancasila.

KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG CAGAR BUDAYA / 01-06-2023

Bahwa cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa sebagai wujud pemikiran dan perilaku kehidupan manusia yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga perlu dilestarikan dan dikelola secara tepat melalui upaya pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan dalam rangka memajukan kebudayaan nasional untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Untuk melestarikan cagar budaya, negara bertanggung jawab dalam pengaturan pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya. Cagar budaya berupa benda, bangunan, struktur, situs, dan kawasan perlu dikelola oleh pemerintah dan pemerintah daerah dengan meningkatkan peran serta masyarakat untuk melindungi,mengembangkan, dan memanfaatkan cagar budaya;

Di samping itu, nama cagar budaya juga mengandung pengertian mendasar sebagai pelindungan warisan hasil budaya masa lalu yang merupakan penyesuaian terhadap pandangan baru di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang diwujudkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya (UU Cagar Budaya).

Pada perkembangannya, pelaksanaan UU Cagar Budaya masih dirasakan memiliki kelemahan baik dalam pelaksanaan maupun yang terkait dengan landasan hukumnya. Terkait dengan hal tersebut, Puspanlak UU sebagai salah satu supporting system DPR dalam bidang pengawasan melakukan evaluasi terhadap undang-undang ini guna melihat kembali dasar hukum penyelenggaraan UU Cagar Budaya beserta implementasinya selama ini. Selain itu, dilakukannya pemantauan pelaksanaan UU Cagar Budaya dikarenakan UU ini masuk dalam prolegnas longlist 2020-2024 dengan nomor urut 100 yang NA dan RUU-nya disiapkan oleh DPR.

Provinsi Bali, Provinsi Sumatra Barat, dan Daerah Istimewa Yogyakarta; Kabupaten Gianyar, Kota Pariaman, dan Kabupaten Sleman.

1. Aspek Substansi Hukum
a. Perbedaan Pengaturan Antara UU Cagar Budaya dengan Undang-Undang Lainnya
1) Perbedaan Pengaturan antara UU Cagar Budaya dengan UU Pemajuan Budaya
Terdapat perbedaan rumusan terkait pemeliharaan cagar budaya antara Pasal 76 ayat (1) UU Cagar Budaya dengan Pasal 24 ayat (3) UU Pemajuan Kebudayaan. Pasal 76 ayat (1) UU Cagar Budaya mengatur mengenai pemeliharaan dalam rangka pencegahan yang terbatas pada akibat kerusakan terhadap pengaruh alam dan/atau perbuatan manusia, sedangkan Pasal 24 ayat (3) UU Pemajuan Kebudayaan mengatur bahwa pemeliharaan dilakukan dalam rangka pencegahan sampai pada potensi hilangnya objek cagar budaya.
2) Perbedaan Pengaturan antara UU Cagar Budaya dengan UU HKPD
Terdapat perbedaan rumusan terkait kompensasi terhadap objek cagar budaya antara pasal 22 UU Cagar Budaya dengan Pasal 38 ayat (3) huruf b dan Pasal 55 ayat (1) huruf j UU HKPD. Pasal 22 UU Cagar Budaya mengatur mengenai kompensasi berupa insentif pengurangan pajak sedangkan Pasal 38 ayat (3) huruf b dan Pasal 55 ayat (1) huruf j UU HKPD mengatur bahwa terdapat pengecualian atau pembebasan PBB-P2 terhadap objek cagar budaya berdasarkan ketentuan yang berlaku. Perbedaan tersebut menunjukan bahwa UU Cagar Budaya lebih berfokus pada upaya pelestarian budaya dan peningkatan kualitas hidup masyarakat. Upaya tersebut berupa pemberian imbalan kepada masyarakat yang terlibat dalam pelestarian cagar budaya. Sedangkan UU HKPD lebih berfokus pada pengakuan dan perlindungan hak atas kekayaan intelektual.
b. Belum Terakomodirnya Pengaturan Analisis Dampak Cagar Budaya atau Heritage Impact Assessment (HIA) dalam UU Cagar Budaya
Kegiatan pembangunan akan memberikan dampak positif ataupun negatif terhadap pelindungan Cagar Budaya. Analisis Dampak Cagar Budaya (HIA) adalah suatu kajian untuk mengetahui apakah pembangunan atau aktivitas di dalam atau sekitar kawasan memiliki dampak negatif atau positif bagi Cagar Budaya. Namun ketentuan mengenai Analisis Dampak Cagar Budaya (HIA) belum diatur lebih lanjut di dalam ketentuan UU Cagar Budaya, padahal Analisis Dampak Cagar Budaya (HIA) merupakan bagian penting di dalam upaya pelindungan Cagar Budaya terutama akan sangat berkolerasi pada saat setiap pembangunan. Ketentuan lebih lanjut di dalam UU Cagar Budaya baru sebatas mengatur mengenai Analisis Dampak Lingkungan sebagaimana tercantum dalam Pasal 77 ayat (4), Pasal 79 ayat (3) dan Pasal 86 UU Cagar Budaya. Akan tetapi, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pada setiap rencana pengembangan Cagar Budaya untuk menghimpun informasi serta mengungkap, memperdalam, dan menjelaskan nilai-nilai budaya terkait karena tidak semua kegiatan pengembangan atau pembangunan di bangunan, struktur, situs, dan Kawasan Cagar Budaya membutuhkan Analisis Dampak Cagar Budaya (HIA).
c. Penambahan Ketentuan Sanksi Pidana
Bahwa jumlah angka cagar budaya saat ini masih dapat bertambah apabila cagar budaya yang hilang atau belum terdaftar akibat kejahatan dapat ditanggulangi. Adanya ketentuan pidana dalam UU Cagar Budaya untuk menanggulangi kejahatan atau pelanggaran terhadap cagar budaya nyatanya masih cenderung lemah dan cenderung terfokus pada objek cagar budaya saja. Hal tersebut mengakibatkan penegakan sanksi pidana tidak terlaksana dengan optimal. Memperhatikan kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana cagar budaya masih tergolong lemah pada formulasi tindak pidana yaitu tidak adanya kualifikasi kejahatan dan pelanggaran dan tindak pidana yang masih multitafsir. Selain itu, belum terakomodirnya norma sanksi pidana pada kewajiban untuk melakukan kajian, penelitian, dan/atau analisis mengenai dampak lingkungan sebelum dilakukan pemanfaatan cagar budaya dalam Pasal 86 UU Cagar Budaya menjadi sebuah penanda, masih terdapat kekurangan pada ketentuan pidana dalam UU Cagar Budaya.

2. Aspek Struktur Hukum/Kelembagaan
a. Belum Optimalnya Pelestarian Cagar Budaya Yang Berada di Air
Upaya melindungi dengan pelestarian cagar budaya bawah air di Indonesia telah terdapat dalam UU Cagar Budaya sebagaimana dalam Pasal 1 angka 1 jo. Pasal 4 UU Cagar Budaya. Namun pelaksanaan pelestarian cagar budaya bawah air masih menemukan beberapa kendala, yaitu: sulitnya melakukan pengawasan dan pengendalian cagar budaya bawah air atas faktor geografis; adanya perbedaan prinsip dasar perlindungan cagar budaya bawah air; minimnya visibilitas manfaat sosial, budaya, dan ekonomi dari perlindungan dan penelitian cagar budaya bawah air; dan belum memadainya teknologi, pendanaan, dan keahlian Indonesia untuk mengelola cagar budaya bawah air secara mandiri.
b. Belum Optimalnya Implementasi Pemenuhan Asas dan Tujuan dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Cagar Budaya
Pemenuhan asas dan tujuan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Cagar Budaya belum optimal dikarenakan beberapa hal, diantaranya pengembangan dan pemanfaatan cagar budaya belum optimal; masyarakat khususnya yang berada di lingkungan kawasan cagar budaya belum merasakan dampak (dari sisi ekonomis) terkait pelestarian cagar budaya; permasalahan antara pengelola cagar budaya dengan pemerintah daerah; masyarakat belum mengetahui tentang transparansi pengalokasian dan penggunaan dana; masih terdapat kepentingan-kepentingan lain yaitu misalnya ada unsur kepentingan politik; tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam pelestarian cagar budaya belum tercapai; partisipasi masyarakat yang masih belum optimal di dalam pelindungan, pengembangan dan pemanfaatan cagar budaya; dominasi pemanfaatan tidak diimbangi dengan upaya pelindungan dan pengembangan; dampak ekonomi dan kesejahteraan sifatnya temporer; kurangnya kerjasama dengan masyarakat dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi; kurangnya komunikasi dan keterbukaan antara pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat; dan kurangnya riset lintas disiplin sebelum dilakukan pengembangan dan pemanfaatan.
c. Belum Optimalnya Pelaksanaan Register Nasional Cagar Budaya
Register Nasional Cagar Budaya (RNCB) merupakan sebuah daftar resmi yang memuat informasi mengenai cagar budaya yang diakui oleh negara. Dengan adanya RNCB maka dapat diketahui sejauh mana status dari pada cagar budaya yang berimplikasi terhadap perlakuan maupun pendampingan dari Objek Yang Diduga Cagar Budaya (ODCB) maupun cagar budaya. Namun terdapat permasalahan RNCB yaitu: pemerintah daerah belum menjadikan RNCB sebagai tugas yang diprioritaskan, sedangkan penyelenggaraan register nasional menjadi tanggung jawab menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangan; Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2022 tentang Register Nasional dan Pelestarian Cagar Budaya (PP 1/2022) yang masih baru sehingga pemerintah dan pemerintah daerah masih memerlukan penyesuaian; dan rendahnya pemahaman masyarakat terhadap RNCB. Bahwa yang umum diketahui pelaksanaan RNCB hanya dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah maupun Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang membidangi urusan kebudayaan sedangkan arah dan upaya pelestarian cagar budaya besar melibatkan peran masyarakat.
d. Belum Optimalnya Peran Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam Pelindungan, Pengembangan, dan Pemanfaatan Cagar Budaya
Pasal 95 dan Pasal 96 UU Cagar Budaya mengatur mengenai tugas dan wewenang pemerintah dan pemerintah daerah, namun pada tataran implementasiannya masih ditemukan kendala yaitu diantaranya:
1) Pola koordinasi antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota belum sinergis sehingga banyak terjadi kendala dalam pelindungan, pengembangan dan pemanfaatan cagar budaya;
2) Pemerintah dan pemerintah daerah masih belum secara optimal melakukan punishment terhadap pelanggar Cagar Budaya, hal ini berbeda dengan reward yang selama ini selalu lebih ditonjolkan dalam memberikan penghargaan bagi setiap orang yang melakukan pelindungan, pelestarian terhadap Cagar Budaya; dan
3) Belum optimalnya tugas pemerintah dan pemerintah daerah dalam manajemen mitigasi dan penanggulangan bencana, untuk pelindungan Cagar Budaya.
Dengan demikian masih belum optimalnya peran pemerintah dan pemerintah daerah dalam pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya berdampak ketidakjelasan tanggungjawab penanganan pelestarian cagar budaya.

3. Aspek Pendanaan
Pelimpahan tanggung jawab pendanaan yang terdapat dalam UU Cagar Budaya sendiri diberikan kepada pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Sedangkan sumber dana untuk melestarikan keberadaan cagar budaya sendiri dapat bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; (APBD), hasil pemanfaatan cagar budaya, dan/atau sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Namun pendanaan yang dialokasikan untuk pelestarian cagar budaya masih mengalami berbagai permasalahan sehingga tujuan pelestarian cagar budaya sebagai sumber untuk mensejahterakan masyarakat justru belum dapat dirasakan. Hal tersebut dilatar belakangi oleh anggaran yang dialokasikan untuk Cagar Budaya dari pemerintah sangat sedikit, anggaran belum proporsional jika dibandingkan dengan jumlah dan tindakan pelestarian yang akan dilakukan pada cagar budaya, belum semua daerah mampu mengembangkan dan memanfaatkan cagar budaya untuk heritage tourism, dana filantrofi belum dimanfaatkan dengan baik, serta memiliki kelemahan bersifat insidental dan keterlibatan pengelolaan dana oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam pelestarian cagar budaya belum jelas.

4. Aspek Sarana dan Prasarana
SDM di bidang cagar budaya memiliki karakteristik dan kekhususan tertentu, dimana UU Cagar budaya telah membaginya menjadi 2 (unsur) yakni SDM dengan kompetensi keahlian khusus dan SDM dalam rangka menjalankan penegakan hukum. Namun kebutuhan SDM tersebut belum masih menjadi permasalahan dalam rangka pelestarian cagar budaya yaitu:
a. Kurangnya jumlah TACB, Tenaga Ahli Pelestarian (TAP), Juru Pelihara dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang sesuai dengan kebutuhan dan jumlah objek cagar budaya di seluruh Indonesia
b. Kurangnya kompetensi SDM yang mumpuni dalam rangka menjalankan tugas dan fungsinya.

5. Aspek Budaya Hukum
Pada kondisi empiris terdapat permasalahan terkait dengan masih rendah peran serta masyarakat, kesadaran, dan kepedulian masyarakat terhadap nilai penting cagar budaya. Bahwa tingkat partisipasi masyarakat dalam pelestarian cagar budaya dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya: durasi dari lamanya tinggal sesorang mendiami suatu wilayah (kawasan cagar budaya) atau lamanya seseorang memiliki benda cagar budaya; dorongan motivasi seseorang untuk ikut berpartisipasi dalam pelestarian cagar budaya; latar belakang pendidikan seseorang terhadap kesadaran berpartisipasi; dan profesi seseorang dimana cagar budaya yang dikelola dan dimanfaatkannya memberikan sumber pendapatan untuk kehidupan mereka.

6. Aspek Pengarusutamaan Nilai-Nilai Pancasila
Terhadap efektivitas penyelenggaraan pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya dapat dilihat dari sejauh mana tujuan UU Cagar Budaya telah tercapai. Terutama Sila Ketiga Pancasila “Persatuan Indonesia” dan Sila kelima Pancasila “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Namun, masih ditemukan beberapa pasal dalam UU Cagar Budaya yang tidak selaras dan bertentangan dengan indikator Sila Ketiga dan Sila Kelima dari Nilai-Nilai Pancasila, diantaranya: disharmoni penerapan aturan karena kegunaan pemeliharaan yang menimbulkan multitafsir antara Pasal 76 ayat (1) UU Cagar Budaya dengan Pasal 24 ayat (3) UU Pemajuan Kebudayaan; Disharmoni Pasal 22 ayat (2) UU Cagar Budaya dengan Pasal 38 ayat (3) huruf b jo. Pasal 55 ayat (1) huruf j UU HPDK terkait pemberian insentif; Kekosongan pengaturan Analisis Dampak Cagar Budaya/HIA yang berguna untuk pengembangan cagar budaya; dan ketentuan pidana dalam UU Cagar Budaya yang belum mengakomodir kewajiban kajian, penelitian, dan/atau analisis sebelum pemanfaatan cagar budaya.

1. Aspek Substansi Hukum, diperlukan:
a. Sinkronisasi dan harmonisasi antara UU Cagar Budaya dan UU Pemajuan Kebudayaan yaitu penambahan terkait adanya kemungkinan hilangnya cagar budaya yang dipengaruhi oleh perbuatan manusia di dalam ketentuan mengenai pemeliharaan Cagar Budaya;
b. Sinkronisasi dan harmonisasi antara UU Cagar Budaya dan UU HKPD terkait dengan kompensasi bagi setiap orang yang telah melindungi cagar budaya di bawah penguasaan dan/atau kepemilikannya;
c. Penambahan pengaturan mengenai Analisis Dampak Cagar Budaya (HIA) sebagai persyaratan dalam hal perencanaan pembangunan guna meningkatkan pelindungan terhadap Cagar Budaya dan pengaturan teknis mengenai Analisis Dampak Cagar Budaya (HIA) diatur lebih lanjut di dalam peraturan pelaksana; dan
d. Reformulasi ketentuan pidana dalam UU Cagar Budaya dengan mempertegas kualifikasi tindak pidana kejahatan dan pelanggaran sehingga tidak menimbulkan multitafsir serta menambahkan ketentuan sanksi pidana terkait tidak dilaksanakannya kewajiban pada Pasal 86 UU Cagar Budaya.

2. Aspek Struktur Hukum/Kelembagaan, perlunya:
a. Mengadopsi pedoman praktis desain proyek, metodologi, kompetensi, dan kualifikasi pelestarian cagar budaya yang ada dalam Operational Guidelines for the UCH Convention dengan memperhatikan kaedah-kaedah hukum nasional yang tidak membatasi yuridiksi Indonesia, serta kesiapan baik dari teknologi, pendanaan, dan keahlian SDM pelestari cagar budaya di bawah air;
b. Konsistensi kolaborasi antara para pemangku kepentingan dalam penanganan permasalahan penyelenggaraan pelindungan, pengembangan dan pemanfaatan Cagar Budaya melalui sistem manajerial perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi;
c. Peningkatan prioritas penyelenggaraan RNCB oleh gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangan serta sosialisasi PP/2022 secara menyeluruh agar dapat dipahami oleh setiap masyarakat dan para pemangku kepentingan bahwa pelaksanaan RNCB memiliki dampak yang sangat besar untuk kelestarian cagar budaya; dan
d. Perhatian semua pihak dalam pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya diantaranya:
1) Penguatan koordinasi antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dalam menyelesaikan kendala dalam pelindungan, pengembangan dan pemanfaatan cagar budaya;
2) Perbaikan manajemen mitigasi dan penanggulangan bencana terhadap cagar budaya oleh pemerintah dan pemerintah daerah sebagai upaya mengantispasi dan meminimalisir dampak bencana yang akan ditimbulkan baik kerusakan ataupun kehilangan;
3) Optimalisasi pemberian reward and punishment agar lebih implementatif guna meningkatkan komitmen dari pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat dalam upaya pelestarian cagar budaya; dan
4) Pelibatan peran pengawasan dan pembinaan pemerintah yang dilakukan oleh Kemendagri agar pelaksanaan pelindungan, pengembangan dan pemanfaatan cagar budaya dapat berjalan dengan baik ditingkat daerah.

3. Aspek Pendanaan, perlunya:
a. Mengoptimalkan konsep dana diluar APBN dan APBD, seperti filantropi atau CSR;
b. Mendorong dan menegaskan alokasi anggaran dari pemerintah dan pemerintah daerah terhadap pelestarian cagar budaya dengan memperhatikan prinsip proposional;
c. Mengadakan culture heritage tax sebagai bentuk bahwa cagar budaya memiliki nilai ekonomis yang tinggi; dan
d. Memberikan diklat sosial entreprenuership kepada pengelola cagar budaya.

4. Aspek Sarana dan Prasarana Hukum, diperlukan:
a. Peningkatan Pendidikan dan Pelatihan guna meningkatkan kompetensi yang dimiliki oleh ahli pelestarian budaya yang masuk didalam TACB, TAP, Juru Pelihara dan PPNS yang sesuai dengan tugas dan fungsi sebagaimana yang diamanatkan oleh UU Cagar Budaya;
b. Adanya rekrutmen SDM bidang cagar budaya yang dilakukan secara proporsional dan merata yang disesuaikan dengan kebutuhan berdasarkan jumlah objek cagar budaya yang terdapat di seluruh wilayah Indonseia;
c. Peninjauan ulang terkait dengan APBN dan APBD dengan mempertimbangkan kebutuhan dan kesejahteraan SDM bidang cagar budaya; dan
d. Adanya sosialisasi kepada para pihak agar menghasilkan kebijakan dan regulasi yang memberikan kepastian bagi SDM bidang cagar budaya.

5. Aspek Budaya Hukum, perlunya:
a. Membentuk jaringan kerja antara pemerintah, akademisi/profesional, dan masyarakat lokal untuk meningkatkan nilai tambah dari cagar budaya;
b. Memberikan penyuluhan atau pemberian informasi terkait pentingnya pelestarian cagar budaya dalam bentuk kampanye kesadaran masyarakat (public awareness campaign);
c. Melibatkan masyarakat dalam pertemuan, diskusi, menyumbang tenaga dalam merawat bangunan cagar budaya; dan
d. Konsistensi pelaksanaan wewenang pemerintah dan pemerintah daerah dalam hal pemberian penghargaan (reward) kepada setiap orang yang melestarikan cagar budaya. Melalui pemberian penghargaan (reward) tersebut diharapkan dapat memantik kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi dalam pelestarian cagar budaya.

6. Aspek Pengarusutamaan Nilai-Nilai Pancasila, diperlukan:
a. Revisi atau ubah ketentuan dalam UU Cagar Budaya yang tidak selaras dengan Nilai Pancasila;
b. Muat ketentuan baru yang relevan dalam UU Cagar Budaya untuk melengkapi dan mengakomodasi kebutuhan dan kebaharuan zaman;
c. Pengembangan cagar budaya harus berdampak positif untuk masyarakat sekitar kawasan cagar budaya sehingga meningkatkan kesejahteraan rakyat.

KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 1997 TENTANG STATISTIK / 01-06-2023

Tujuan bernegara untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial sebagaimana amanat Alinea Keempat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 perlu dilakukan dengan perencanaan pembangunan nasional yang terencana, menyeluruh, terpadu, terarah, dan berkelanjutan yang didukung dengan data statistik lengkap, akurat, dan mutakhir. Statistik menjadi hal yang sangat penting dan strategis karena menjadi dasar bagi Pemerintah dalam melakukan pengambilan keputusan dan kebijakan pembangunan nasional yang tepat.

Perwujudan cita-cita bangsa dalam melindungi segenap bangsa dan memajukan kesejahteraan rakyat dilakukan dengan memenuhi hak-hak asasinya, antara lain diatur pula melalui Pasal 28A hingga Pasal 28J, Bab XA Hak Asasi Manusia UUD NRI Tahun 1945. Pemenuhan hak asasi manusia bagi warga negara Indonesia perlu didukung dengan suatu Sistem Statistik Nasional yang sejalan dengan kebutuhan pembangunan nasional. Indonesia pernah membentuk Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1960 tentang Sensus (UU 6/1960) dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1960 tentang Statistik (UU 7/1960), yang pada perjalanannya sudah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan, tuntutan masyarakat, dan kebutuhan pembangunan nasional. Sehingga kedua undang-undang tersebut digantikan dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1997 tentang Statistik (UU Statistik).

Pada perkembangannya, pelaksanaan UU Statistik masih dirasakan memiliki kelemahan baik dalam pelaksanaan maupun yang terkait dengan landasan hukumnya. Terkait dengan hal tersebut, Puspanlak UU sebagai salah satu supporting system DPR dalam bidang pengawasan melakukan evaluasi terhadap undang-undang ini guna melihat kembali dasar hukum penyelenggaraan UU Statistik beserta implementasinya selama ini. Selain itu, dilakukannya pemantauan pelaksanaan UU Statistik dikarenakan UU ini masuk dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2023 dengan nomor urut ke-17 (tujuh belas) yang diusulkan perubahan oleh DPR dalam hal ini Badan Legislasi. Selain itu, RUU tentang Perubahan atas UU Statistik juga tercantum dalam Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Nomor 13/DPR RI/II/2022-2023 tentang Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Perubahan Prioritas Tahun 2022 dan Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Perubahan Keempat Tahun 2020-2024, dengan nomor urut ke-20 (dua puluh) yang diusulkan perubahan oleh DPR.

Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Kalimantan Selatan, Kabupaten Bangka, Kota Cimahi, dan Kabupaten Banjarmasin

1. Aspek Substansi Hukum
a. Belum Komprehensifnya Pengaturan Pengumpulan Data Statistik dalam UU Statistik Sesuai Perkembangan Zaman
Terdapat permasalahan belum diaturnya peraturan teknis terkait dengan pemanfaatan teknologi dalam penyelenggaraan statistik yang sangat cepat dan dinamis. Pasal 7 UU Statistik tidak mengatur ketentuan pendelegasian peraturan pelaksana sehingga sampai dengan saat ini belum ada pedoman teknis pelaksanaan pengumpulan data yang memanfaatkan teknologi. Hal ini menandakan bahwa ketentuan UU Statistik belum komprehensif sesuai dengan perkembangan zaman.
b. Belum Komprehensifnya Pengaturan Koordinasi dan Kerja Sama Penyelenggaraan Statistik sebagai Payung Hukum Sistem Statistik Nasional
Pasal 17 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Statistik yang pada pokoknya mengatur koordinasi dan kerjasama antar Badan dengan instansi pemerintah dan masyarakat, masih belum komprehensif menjadi payung hukum yang jelas dan memadai untuk terwujudnya Sistem Statistik Nasional yang yang andal, efektif, dan efisien karena belum secara jelas dan tegas mengatur tata kelola data statistik dengan koordinasi terpadu dan terintegrasi oleh leading sector. Pasal 17 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Statistik juga tidak jelas membagi peran koordinasi dan kerja sama antar BPS, instansi pemerintah, dan masyarakat dalam penyelenggaraan statistik dasar, sektoral, dan khusus. Padahal baik badan, instansi pemerintah, maupun masyarakat memiliki perannya masing-masing melakukan statistik dasar, sektoral, dan khusus. Terlebih lagi jika dilihat berdasarkan ketentuan Pasal 17 ayat (3) UU Statistik, koordinasi dan kerja sama penyelenggaraan statistik dilaksanakan atas dasar kemitraan. Hal ini juga menjadi salah satu penyebab tidak adanya garis komando dalam tata kelola data statistik nasional. Belum komprehensifnya pengaturan mengenai koordinasi dan kerja sama dalam penyelenggaraan statistik berdampak pada beberapa akibat berupa ketidakjelasan koordinasi dan garis komando; lemahnya tata kelola data statistik; dan ego sektoral kelembagaan.
c. Ketidakjelasan Rumusan Pasal 19 UU Statistik Sepanjang Frasa “Wajib Berhak”
Pasal 19 UU Statistik mengatur mengenai hak dan kewajiban penyelenggara statistik dalam memperoleh data dan informasi. Dalam ketentuan Pasal 19 UU Statistik, terdapat frasa “wajib berhak” yang menimbulkan permasalahan secara normatif maupun implementatif. Sebab, terdapat perbedaan makna antara hak dan kewajiban yang berimplikasi pada sulitnya mendapatkan keterangan dari responden dalam penyelenggaraan kegiatan statistik. Sehingga, apabila dikaitkan dengan ketentuan dalam UU Pembentukan PUU, maka ketentuan Pasal 19 UU Statistik belum memenuhi asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yaitu, asas kejelasan rumusan. Ketentuan Pasal 19 UU Statistik juga memenuhi asas dalam penyelenggaraan statistik, yaitu asas keterpaduan.
d. Tidak Efektifnya Sanksi Pidana dalam Penegakan Hukum UU Statistik
Guna menegakkan hukum penyelenggaraan statistik, BAB X UU Statistik mengatur beberapa pasal mengenai Ketentuan Pidana untuk memberi perlindungan hukum atas hak dan kewajiban setiap pihak, dalam hal ini petugas statistik dan responden dalam kegiatan statistik. Sehubungan dengan aspek penegakan hukum dalam pemberlakuan sanksi pidana pada UU Statistik, berdasarkan pengumpulan data dan informasi dengan pemangku kepentingan, ketentuan sanksi pidana dalam UU Statistik tidak efektif karena belum pernah diterapkan dalam implementasi penegakan hukum statistik.

2. Aspek Struktur Hukum
a. Belum Optimalnya Koordinasi dan Kerjasama Statistik dalam Penyelenggaraan Statisik
Permasalahan tidak efektifnya koordinasi dan kerja sama yang menyebabkan tidak berjalannya Sistem Statistik Nasional antara lain adalah masih lemahnya koordinasi dalam tata kelola data statistik; masih lemahnya kerja sama dan adanya ego sektoral instansi atas data yang dimiliki; tumpang tindih dalam penyelenggaraan kegiatan statistik; belum memadainya pengaturan koordinasi dan kerja sama penyelenggaraan statistik. Belum optimalnya koordinasi dan kerja sama penyelenggaraan statistik berdampak langsung terhadap kualitas data statistik. Berbagai permasalahan data statistik antara lain berupa perbedaan data yang dimiliki K/L/D/I; data antar K/L/D/I bersifat parsial; duplikasi data statistik; minimnya keterpaduan data statistik; keengganan berbagi pakai data statistik antar K/L/D/I; dan pengumpulan data yang tidak terstandar.
b. Kendala Pembinaan Kegiatan Statistik
Perbedaan metodologi dalam cara pengumpulan data oleh BPS dengan lembaga-lembaga pemangku kepentingan terkait dengan tata kelola data statistik yang mengindikasikan masih lemahnya pembinaan statistik oleh BPS. Kendala serta penyebab lemahnya pembinaan statistik oleh BPS antara lain disebabkan adanya perbedaan pola koordinasi dan tanggung jawab pemerintah daerah berdasarkan UU Pemda yang memiliki garis kewenangan pertanggungjawaban yang tidak beririsan dengan BPS.

3. Aspek Sarana dan Prasarana
a. Kurangnya Kuantitas dan Kualitas SDM Penyelenggara Kegiatan Statistik
Pada saat ini, ketersediaan SDM di Indonesia tidak merata, sementara kegiatan pembangunan membutuhkan SDM yang semakin meningkat baik secara kualitas maupun kuantitas. BPS menyatakan bahwa dalam penyelenggaraan statistik masih terdapat kekurangan SDM sekitar 10.000 orang. Kekurangan jumlah SDM sebanyak ini meliputi kekurangan jumlah SDM di K/L/D/I. Selain itu, SDM yang memumpuni dan memiliki kualitas keahlian di bidang statistik juga masih minim.

b. Kendala Pelaksanaan Pengumpulan Data
Masih terdapat beberapa kendala utama pelaksanaan pengumpulan data. Pertama, terkait tantangan kondisi geografis dan demografi Indonesia dalam pengumpulan data sensus terkendala dengan kondisi geografis Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan wilayah yang beragam serta jumlah penduduk yang mencapai 275,77 juta orang (2022). Proses pengumpulan data akan lebih sulit dilakukan jika kondisi geografis yang sulit dijangkau, seperti wilayah perbukitan, pegunungan, dan daerah terpencil lainnya. Penyelenggaraan sensus dengan kondisi geografis Indonesia yang luas membutuhkan anggaran yang besar. Kedua, terkait dengan jangka waktu pelaksanaan sensus, beberapa pemangku kepentingan berpendapat jangka waktu pelaksanaan sensus penduduk selama 10 (sepuluh) tahun kurang relevan karena dalam kurun waktu tersebut terjadi banyak perubahan dan pergeseran dalam komposisi dan karakteristik populasi suatu negara. Jangka waktu pelaksanaan sensus penduduk 10 (sepuluh) tahun sekali masih relevan apabila hambatan pelaksanaan sensus selama ini berupa kondisi geografis yang beragam, keterbatasan infrastruktur pendukung, keterbatasan anggaran, dan kurangnya kuantitas SDM penyelenggara belum mampu diatasi Pemerintah maupun BPS. Negara lain yang memiliki karakter luas wilayah dan jumlah populasi penduduk yang mirip dengan Indonesia yakni Amerika Serikat, Rusia, dan China juga masih menganut kebijakan pelaksanaan sensus penduduk setiap 10 (sepuluh) tahun sekali. Masukan beberapa stakeholders terkait dengan jangka waktu sensus penduduk setiap 5 (lima) tahun sekali merupakan masukan yang baik apabila Pemerintah maupun BPS dapat mengatasi hambatan pengumpulan sensus selama ini. Ketiga, terkait dengan belum optimalnya pemanfaatan teknologi dalam pengumpulan data sensus juga masih terjadi. Saat ini terdapat beberapa metodologi pengumpulan data dengan dukungan teknologi khususnya Big Data seperti MPD, pemanfaatan data e-commerce, CAWI, SBR dimana pemanfaatannya dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengumpulan data.

4. Aspek Budaya Hukum
Masih rendahnya partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan kegiatan statistik disebabkan oleh kurangnya antusiasme masyarakat dan keengganan untuk menjadi responden. Hal tersebut terjadi karena minimnya kesadaran masyarakat dalam memahami fungsi data statistik untuk pembangunan nasional.

5. Aspek Pengarusutamaan Nilai-Nilai Pancasila
Terdapat beberapa pengaturan dalam UU Statistik yang tidak selaras dengan sila ke-2, sila ke-3, dan sila ke-4 Pancasila, antara lain:
a. Pasal 34 sampai dengan Pasal 40 UU Statistik yang mengatur tentang sanksi pidana dalam implementasinya tidak efektif diterapkan. Pengaturan sanksi pidana tersebut kurang relevan karena mengakibatkan minimnya partisipasi responden dalam penyelenggaraan kegiatan statistik. Sehingga, ketentuan pasal tersebut bertentangan dengan Sila ke-2 Indikator 1.
b. Pasal 17 UU Statistik yang mengatur tentang koordinasi dan kerjasama penyelenggaraan kegiatan statistik dalam implementasinya belum terlaksana dengan optimal dikarenakan tidak adanya standar dalam tata kelola data statistik yang berdampak pada ketidakjelasan perintah maupun koordinasi antara BPS dengan kementerian/lembaga lainnya. Sehingga, ketentuan pasal tersebut bertentangan dengan Sila ke-3 indikator 2, 3, dan 4.
c. Pasal 12 ayat (4) UU Statistik yang mengatur tentang kewajiban bagi instansi pemerintah yang menyelenggarakan statistik sektoral untuk menyerahkan hasilnya kepada Badan, dalam implementasinya pengaturan tersebut tidak mengatur standar integrasi pengelolaan data antara Pemerintah dan BPS yang berdampak pada ego sektoral antar kementerian/lembaga. Sehingga, ketentuan pasal tersebut bertentangan dengan Sila ke-3 indikator 5.
d. Pasal 7 UU Statistik yang mengatur tentang mekanisme penyelenggaraan pengumpulan data statistik, dalam pelaksanaanya belum memiliki pedoman teknis terkait pengumpulan data dengan memanfaatkan teknologi sehingga kurang adaptif dengan perkembangan zaman. Oleh karena itu, ketentuan pasal tersebut bertentangan dengan Sila ke-4 indikator 2.
e. Frasa “wajib berhak” dalam Pasal 19 UU Statistik dalam implementasinya menyebabkan multiinterpretasi dan kesalahpahaman antar pemangku kepentingan baik pusat maupun daerah. Sehingga, ketentuan tersebut bertentangan dengan Sila ke-4 indikator 2.

1. Aspek Substansi Hukum, diperlukan:
a. Perubahan Pasal 7 huruf d UU Statistik dengan menambahkan rumusan yang mengamanatkan pembentukan peraturan pelaksanaan terkait pengumpulan data menggunakan cara lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
b. Pengaturan penguatan peran koordinasi leading sector oleh BPS.
c. Pengaturan penguatan kerja sama statistik terpadu dengan pembagian tugas yang jelas dan tegas antara statistik dasar, sektoral, dan khusus.
d. Pengaturan tata kelola data statistik dalam bentuk Statistik Resmi Negara dengan pembinaan dan pengawasan.
e. Perumusan yang lebih jelas ketentuan Pasal 19 UU Statistik yang mengatur mengenai hak dan kewajiban penyelenggara statistik agar tidak menimbulkan multitafsir dalam pelaksanaannya.
f. Pengkajian ulang terhadap ketentuan pidana pada Bab X UU Statistik sehingga sifat sanksi pidana dalam UU Statistik dapat sebagai ultimum remedium dalam penerapannya.
g. Pengaturan sanksi administrasi seperti teguran tertulis, paksaan pemerintah, denda administratif, pembekuan perizinan berusaha, dan/atau pencabutan perizinan berusaha bagi pelanggar yang melanggar ketentuan dalam UU Statistik agar efektivitas penerapan sanksi tersebut dapat terlaksana dengan efektif dan efisien.

2. Aspek Struktur Hukum, diperlukan:
a. Penguatan koordinasi dan kerja sama yang lebih efektif antara BPS dengan instansi pemerintah dengan mengurangi ego sektoral masing-masing lembaga demi terwujudnya tujuan pembangunan nasional.
b. Penguatan koordinasi dan pembinaan dalam menentukan kerangka proses bisnis statistik yang sesuai standar.
c. Optimalisasi kualitas pembinaan dan pengawasan oleh BPS dengan didukung oleh penguatan regulasi.
d. Dibuka forum komunikasi antara BPS dengan instansi pemerintah yang menyelenggarakan statistik dalam menentukan metodologi dan standarisasi agar meningkatkan peran proaktif dari pihak terkait dalam menjaga kualitas data statistik.

3. Aspek Sarana dan Prasarana, diperlukan:
a. Peningkatan kuantitas dan kualitas SDM yang dilaksanakan melalui perekrutan ASN dengan penambahan formasi jabatan fungsional statistisi dan pranata komputer.
b. Perlu dilaksankan optimalisasi kerja sama kegiatan statistik dengan perguruan tinggi dan asosiasi profesi.
c. Pemanfaatan teknologi dalam pengumpulan data sensus dengan memperhatikan kondisi geografis dan demografi Indonesia.
d. Pengkajian ulang terkait jangka waktu pelaksanaan pengumpulan data sensus tetap dilaksanakan sesuai jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sekali dengan memperhatikan kendala pelaksanaan yang ada; Atau, dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sekali dengan mempertimbangkan konsekuensi peningkatan anggaran dan dukungan sarana dan prasarana.
e. Peningkatan pemanfataan teknologi dalam pengumpulan data didukung dengan regulasi yang kuat.

4. Aspek Budaya Hukum, diperlukan:
Sosialisasi yang lebih masif dari BPS selaku instansi yang bertanggungjawab dalam penyelenggaraan kegiatan statistik nasional beserta pemangku kepentingan terkait dengan peran masyarakat dan juga jaminan kerahasiaan data pribadi masyarakat yang menjadi responden dalam kegiatan statistik. Sosialisasi tersebut dilakukan melalui berbagai media seperti iklan layanan masyarakat, media sosial, dan pendekatan melalui kelompok masyarakat tertentu guna memberikan pemahaman kepada masyarakat.

5. Aspek Pengarusutamaan Nilai-Nilai Pancasila:
a. Sanksi pidana seharusnya hanya ditujukan bagi setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa alasan yang sah menghalangi jalannya penyelenggaraan statistik. Sedangkan, untuk responden yang tidak berperan aktif dalam penyelenggaraan statistik tidak diperlukan pengenaan sanksi pidana, melainkan cukup dengan menggunakan pendekatan “persuasif”.
b. Perlu adanya aturan baku (standar) terkair tata kelola dan koordinasi antar pemangku kepentingan dalam penyelenggaraan kegiatan statistik.
c. Perlu adanya pedoman terkait pengintegrasian data antara pemerintah dan BPS ke dalam Sistem Statistik Nasional dengan mencantumkan hak dan kewajiban, baik dari BPS maupun kementerian/lembaga lainnya.
d. Perlu adanya peraturan pelaksana yang mengatur tentang mekanisme pengumpulan data dengan pemanfaatan teknologi.
e. Perlunya perubahan dalam rumusan Pasal 19 UU Statistik sepanjang frasa ‘wajib berhak’ agar tidak menimbulkan multitafsir.

KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 1961 TENTANG PENGUMPULAN UANG ATAU BARANG / 01-06-2023

Globalisasi menyebabkan perubahan gaya hidup di masyarakat yang ditandai dengan meningkatnya mobilitas pengguna internet, media sosial, dan aplikasi online. Perubahan gaya hidup tersebut merupakan dampak yang mengiringi perkembangan teknologi dan perluasan digitalisasi hampir di seluruh negara di dunia. Dengan kemudahan teknologi dan digitalisasi saat ini, kegiatan donasi atau sumbangan berupa uang atau barang telah banyak dilakukan dengan menggunakan cara melalui beragam platform digital yang dalam pelaksanaannya berpotensi menimbulkan permasalahan dalam transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan dan penyaluran hasil sumbangannya. Selain itu, penyelenggara Pengumpulan Uang atau Barang (selanjutnya disebut PUB) juga telah mengalami perluasan bentuk dimana terdapat lembaga filantropi sebagai penyelenggara PUB yang tidak hanya mewadahi aksi individu, melainkan aksi yang lebih kompleks lagi, yaitu aksi kelompok bahkan juga aksi yang dilakukan oleh korporasi dengan menggunakan platform crowdfunding.

Negara dalam rangka melaksanakan amanat konstitusi untuk memberikan perlindungan sosial dalam bentuk bantuan sosial, telah membentuk Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang (selanjutnya disebut UU PUB) sebagai dasar hukum penyelenggaraan kegiatan PUB dengan tujuan mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh warga negara. UU PUB telah mengatur kegiatan PUB yang dilakukan di tingkat daerah maupun di tingkat pusat dapat dilakukan dengan beralaskan izin penyelenggaraan PUB yang diterbitkan oleh pejabat yang diberikan kewenangan sesuai dengan wilayah kewenangannya.

Selama 62 (enam puluh dua) tahun berlakunya UU PUB terdapat banyak permasalahan penyelenggaraan PUB yang saat ini dirasa sudah tidak mampu diselesaikan dengan menggunakan UU PUB sebagai dasar hukum, mengingat meski berbentuk undang-undang, materi muatan dalam UU PUB hanya mengatur kegiatan PUB yang sifatnya konvensional yaitu kegiatan PUB yang dilakukan dengan mengadakan pertunjukan amal, bazaar, lelang untuk amal, penjualan barang dengan pembayaran yang melebihi harga sebenarnya, atau seperti penjualan kartu undangan, buku-buku dan gambar-gambar atau dengan cara mengirimkan pos wesel dengan maksud mencari derma, sehingga belum menjangkau pengaturan kegiatan PUB yang dilakukan secara online (donation based crowdfunding). UU PUB juga tidak mengatur secara komprehensif kegiatan PUB dari mulai perizinan, pelaksanaan, penyaluran, pelaporan, pembinaan dan pengawasan, dan bahkan ketentuan sanksi dirasa sudah tidak relevan untuk dikenakan saat ini.

Provinsi Nusa Tenggara Barat, Provinsi Jawa Tengah, dan Provinsi Jawa Barat, Kabupaten Lombok Tengah, Kabupaten Semarang dan Kota Cimahi

1. Aspek Substansi Hukum
a. Definisi PUB Sudah Tidak Relevan Dengan Perkembangan Penyelenggaraan PUB Saat Ini.
Materi muatan Pasal 1 UU PUB yang mengatur definisi PUB sudah tidak relevan pada saat ini dan sudah tidak sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat, sebab definisi dalam Pasal 1 UU PUB belum mengakomodir perkembangan bidang sasaran kegiatan PUB yang mencakup bidang kebencanaan, kesehatan, pendidikan, pelestarian lingkungan, perlindungan satwa, dan/atau bidang sasaran lainnya yang berpotensi bertambah kedepan; perubahan metode penyelenggaraan kegiatan PUB dengan menggunakan teknologi digital melalui platform crowdfunding dan media sosial lainnya; serta perluasan subjek dan objek penyelenggara PUB yang tidak hanya berbentuk uang atau barang saja, melainkan juga dapat dalam bentuk saham dan/atau investasi bentuk lain.
b. Perluasan Subjek, Metode, Objek, dan Bidang Sasaran Penyelenggaraan PUB yang Belum Diatur Dalam UU PUB
Materi muatan Pasal 3 UU PUB jo. Pasal 3 Permensos 8/2021, Pasal 10 Permensos 8/2021, dan Pasal 4 PP 29/1980 jo. Pasal 12 Permensos 8/2021 yang mengatur mengenai pelaku penyelenggara PUB, cara atau metode PUB, dan bidang sasaran pemanfaatan hasil PUB sudah tidak relevan pada saat ini dan sudah tidak sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat, sebab belum mencakup/mengakomodir perluasan subjek pelaku donasi yaitu individu dan komunitas yang tidak berbadan hukum, bahkan juga perusahaan; cara atau metode PUB melalui platform crowdfunding dan digital fundraising yang akan datang; objek donasi dalam bentuk saham atau reksadana; dan bidang pemanfaatan hasil pengumpulan sumbangan guna mendukung pencapaian program SDGs.
c. Pengaturan Izin Penyelenggaraan PUB Sudah Tidak Relevan Dengan Perkembangan Kegiatan PUB Saat ini
Materi muatan Pasal 2 s.d. Pasal 5 UU PUB jo. Pasal 7 s.d. Pasal 14 PP 29/1980 jo. Pasal 5 s.d. Pasal 11 Permensos 8/2021 yang mengatur mengenai izin penyelenggaraan PUB, sudah tidak relevan pada saat ini dan sudah tidak sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat, sebab belum memberikan kejelasan jangka waktu penyelesaian pengurusan izin oleh Kemensos dan/atau Dinas Sosial di daerah, belum mengakomodir kegiatan PUB yang kerap dilakukan secara digital melalui platform crowdfunding, masih bersifat short term dengan mengacu pada paradigma kegiatan PUB yang hanya terbatas untuk kegiatan charity saja, masih dilakukan berjenjang dan birokratis apabila dilihat dari persyaratan teknis yang diharuskan, dan menimbulkan inkonsistensi dalam mekanisme palayanan pengurusan perizinannya.
d. Belum Diaturnya Biaya Operasional untuk Penyaluran Kegiatan PUB dalam UU PUB
UU PUB tidak mengatur materi muatan mengenai besaran biaya operasional kegiatan penyelenggaraan PUB melainkan terdapat pengaturan mengenai biaya penyaluran hasil kegiatan PUB dan biaya usaha pengumpulan sumbangan yang hanya diatur melalui peraturan perundang-undangan di bawahnya yaitu dalam Pasal 6 PP 29/1980 dan Pasal 18 Permensos 8/2021. Terhadap ketentuan besaran biaya usaha pengumpulan sumbangan sebanyak-banyaknya sebesar 10% (sepuluh persen) dari hasil pengumpulan sumbangan yang bersangkutan sudah tidak relevan lagi, karena dalam tataran implementasinya biaya usaha pengumpulan sumbangan digunakan sebagai biaya operasional kegiatan PUB dapat melebihi besaran 10% (sepuluh persen) dari hasil pengumpulan sumbangan sebab dalam beberapa kegiatan penyaluran sumbangan memerlukan biaya yang relatif besar khususnya untuk menjangkau daerah-daerah pelosok yang sulit keterjangkauannya.
Selain itu, dalam UU PUB juga tidak terdapat materi muatan yang mengatur secara rinci terkait cakupan penggunaan biaya usaha pengumpulan sumbangan tersebut sebagai biaya operasional kegiatan pengumpulan sumbangan, apakah mulai dari tahapan pengumpulan/penggalangan sumbangan sampai dengan tahapan penyaluran/pendistribusian hasil sumbangan, atau hanya dapat digunakan untuk tahapan pengumpulan/penggalangan sumbangan saja padahal diketahui bahwa biaya operasional penyaluran/pendistribusian hasil sumbanganlah yang menimbulkan biaya paling besar bila dilihat dari keterbatasan jangkauan daerah-daerah penerima sumbangan. Hal tersebut tentu berpotensi menyebabkan kerancuan atau multitafsir pada tataran implementasinya karena terdapat perbedaan pandangan dalam hal penggunaan besaran biaya usaha pengumpulan sumbangan oleh penyelenggara PUB.
e. Efektivitas Kinerja Panitia Pertimbangan Dalam Pemberian Izin Penyelenggaraan PUB
Pengaturan terkait Panitia Pertimbangan yang diatur dalam Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 UU PUB untuk memberikan pendapat dalam hal pemberian izin oleh pejabat yang berwenang kepada penyelenggara PUB sudah tidak relevan lagi efektivitasnya pada saat ini, hal tersebut dikarenakan dalam proses verifikasi/pemberian pendapat pada saat ini sudah dilakukan oleh Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) untuk pemberian izin oleh pejabat yang berwenang kepada penyelenggara PUB, dan juga dengan adanya Panitia Pertimbangan tersebut menambah panjang rantai birokrasi dalam pelaksanaan penerbitan izin penyelenggara PUB.
f. Pengaturan Mekanisme Pelaporan Belum Memenuhi Prinsip Transparansi dan Akuntabilitas Kegiatan Penyelenggaraan PUB
Materi muatan Pasal 25 Permensos 8/2021 yang mengatur batasan minimum hasil kegiatan PUB sebesar Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) untuk wajib diberikan laporan audit oleh akuntan publik, dan periodesasi pemberian laporan kegiatan PUB yang dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak selesai penyaluran program PUB, sudah tidak relevan pada saat ini karena materi muatan tersebut tidak diatur dalam UU PUB dan juga sudah tidak sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat saat ini, dimana saat ini banyak terdapat kegiatan pengumpulan sumbangan dalam rentang waktu berkelanjutan, sudah cukup mudah dalam mencapai nominal angka yang menjadi batas minimum untuk dilakukan audit tersebut, serta biaya menggunakan akuntan publik menjadi beban tersendiri bagi penyelenggara PUB yang melaksanakan kegiatan PUBnya secara rutin dan berkelanjutan dalam rentang waktu yang tidak terbatas. Ketiadaan pengaturan mengenai kewajiban pelaporan kepada publik dalam UU PUB juga menimbulkan ketidakjelasan dan ketidakpastian hukum dalam masyarakat terkait penyelenggaraan kegiatan PUB yang memenuhi prinsip transparansi dan akuntabilitas.
g. Pengaturan Sanksi Administratif Dan Sanksi Pidana Dalam UU PUB Yang Sudah Tidak Sesuai Dengan Perkembangan Hukum Saat Ini
Pengaturan terkait sanksi pidana dan sanksi administratif yang diatur dalam Pasal 8 UU PUB sudah tidak relevan dengan dinamika dan perkembangan hukum pidana pada saat ini dikarenakan pidana kurungan paling lama hanya 3 (tiga) bulan dan denda setinggi-tingginya sebesar Rp. 10.000,00 (sepuluh ribu rupiah) sudah tidak mampu mencegah terjadinya pelanggaran penyelenggaraan PUB dan tidak memberi efek jera kepada penyelenggara PUB yang melakukan pelanggaran. Selain itu, ketiadaan pengaturan sanksi pidana maupun sanksi administratif bagi penyelenggara PUB yang melakukan penyalahgunaan dana kegiatan PUB, yang melakukan penggelapan dana hasil sumbangan, yang tidak melakukan kewajiban pelaporan kepada instansi/pejabat yang berwenang menerbitkan izin, serta yang melakukan pemalsuan surat atau dokumen laporan, serta terhadap pengumpulan sumbangan yang berpotensi berasal dari tindak pidana pencucian uang serta pengumpulan sumbangan untuk pendanaan terorisme, memberikan ketidakjelasan dan tidak dapat dilaksanakan untuk pelanggaran-pelanggaran tersebut yang saat ini telah banyak ditemukan.

2. Aspek Struktur Hukum
Kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah saat ini hanya berkenaan dengan pengawasan pasif yaitu melakukan telaah/analisis terhadap laporan yang disampaikan oleh penyelenggara PUB setelah penyaluran hasil sumbangan dilakukan. Pengawasan secara aktif oleh SDM pengawas sangat kurang dilakukan karena komposisi dan jumlah SDM pengawas yang masih minim di tingkat pusat dan daerah. Pengawasan aktif dan pasif yang tidak simultan pelaksanaannya mengakibatkan tidak optimalnya kegiatan pengawasan penyelenggaraan PUB, sehingga praktik penyelenggaraan PUB yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan antara lain penyalahgunaan dana hasil sumbangan yang dikumpulkan, penggunaan hasil sumbangan sebagai biaya operasional penyelenggara PUB yang melebihi batas minimum 10% (sepuluh persen) dan praktik penyalahgunaan lainnya berpotensi menjadi tidak terdeteksi.
Dalam konteks penyelenggaraan bantuan luar negeri, belum terdapat kejelasan terkait pembagian kewenangan antara lembaga yang terlibat. Saat ini, penyaluran bantuan keluar negeri dilaksanakan dengan rekomendasi dari tim screening yang dilakukan oleh Kementerian Luar Negeri, perwakilan dari Kementerian Sosial, Kementerian Sekretariat Negara, Kementerian Luar Negeri, Badan Intelijen Negara, Badan Intelijen Strategis, Mabes Polri, Kementerian Keuangan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Kementerian hukum dan HAM, Kementerian Dalam Negeri dan BNPT, untuk dapat mencegah potensi tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana pendanaan terorisme. Namun, dalam pelaksaan koordinasi tim screening tersebut tidak jelas kementerian/lembaga mana yang menjadi leading sector atau lembaga mana yang berwenang dalam melakukan pembinaan, pengawasan, dan tracking keuangan terhadap kegiatan bantuan luar negeri di sektor PUB, yang menyebabkan tidak efektif dan tidak efisiennya penyaluran sumbangan ke luar negeri.
3. Aspek Sarana dan Prasarana
a. Belum Optimalnya Sistem Data dan Informasi Penyelenggaraan PUB
Sistem Informasi Manajemen Perizinan Penggalangan Dana Berbasis Sosial (SIMPPSDBS) dirancang untuk memfasilitasi penyelenggara penggalangan dana untuk memperoleh perizinan secara efisien dan efektif. Namun demikian, masih juga dibutuhkan dokumen-dokumen yang masih harus diurus secara offline meskipun SIMPPSDBS telah beroperasi, sistem data dan informasi yang ditampilkan belum terpadu, aktual, belum memenuhi aspek easy to use dan easy to access, serta belum mampu mengintegrasikan seluruh kegiatan PUB dari level kabupaten/kota, provinsi, hingga pusat. Selain itu, aksesibilitas (jaringan internet dan listrik) terhadap SIMPPSDBS juga belum merata dan tidak dapat dijangkau oleh seluruh penyelenggara PUB dan masyarakat yang ingin melakukan donasi.
b. Terbatasnya Kapasitas SDM Pengawas Dalam Penyelenggaraan PUB
c. Seiring peningkatan kegiatan donasi filantropi dalam bentuk donasi uang dan barang di Indonesia, perlu dilakukan pengawasan sebagai bentuk perlindungan negara terhadap terhimpunnya dana publik hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 22 Permensos 8/2021 yang mengatur bahwa pengawasan penyelenggaraan PUB dilakukan oleh Menteri, Gubernur dan Bupati/Wali Kota melalui Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP) dan Satuan Tugas Penertiban, kemudian di luar ketentuan Pasal 22 Permensos 8/2021, Kemensos juga memiliki Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang bertugas untuk melakukan pemantuan, penyidikan dan pelaporan di sektor PUB. Namun dalam tataran implementasinya, kapasitas SDM pengawas masih kurang karena sebagian besar SDM pengawas hanya berstatus sebagai pegawai tambahan, yang dengan mudah dapat dirotasi dan kurang mendapat pembinaan. Hal ini mengakibatkan SDM pengawas cenderung tidak melakukan tugas dan fungsinya secara maksimal sehingga pengawasan penyelenggaran PUB tidak optimal.

4. Aspek Budaya Hukum
a. Rendahnya Tingkat Kepatuhan Penyelenggara PUB serta Minimnya Sosialisasi Dan Edukasi Terhadap Masyarakat Terkait Pengaturan Penyelenggaraan PUB
Dalam konteks penyelenggaraan PUB, masih banyak masyarakat dan penyelenggara PUB yang kurang memahami regulasi dan tata cara yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini mengakibatkan banyaknya penyelenggaraan PUB yang tidak berizin dan minimnya akses donatur dalam melakukan tracking penyaluran hasil donasi. Rendahnya kepatuhan penyelenggara PUB dalam hal perizinan menjadi permasalahan serius yang perlu diperhatikan oleh pemerintah.
b. Minimnya Partisipasi Masyarakat Dalam Pelaksanaan Kegiatan PUB
Sampai saat ini pengetahuan masyarakat terkait pelaksanaan PUB hanyalah sebatas masyarakat dapat menjadi inisiator dan donatur dalam pelaksanaan PUB, padahal masyarakat dapat berperan aktif dalam pengawasan pelaksanaan PUB dengan turut serta memberikan laporan kepada Kementerian Sosial apabila masyarakat menemukan indikasi pelanggaran dalam penyelenggaraan PUB. Hal ini disebabkan akibat kurangnya edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat terkait aturan-aturan dalam pelaksanaan PUB dan terhadap pengaduan masyarakat yang menemukan indikasi pelanggaraan pelaksanaan kegiatan PUB belum optimal dalam tindak lanjutnya.

5. Aspek Pengarustamaan Nilai-Nilai Pancasila
a. Ruang lingkup definisi PUB yang diatur dalam Pasal 1 UU PUB dalam pelaksanaannya masih bias, keterkaitan subjek dan objek PUB juga masih belum jelas sehingga tidak sesuai dengan nilai Pancasila, yakni sila ke-2 (dua).
b. Pasal 2 ayat (2) UU PUB yang mengatur ketentuan pengecualian PUB yang ditujukan untuk agama, hukum, adat-istiadat, dan dilaksanakan dalam lingkungan terbatas berpotensi menimbulkan penyalahgunaan uang atau barang yang dikumpulkan. Sehingga tidak sesuai dengan nilai Pancasila, yakni sila ke-3 (tiga).
c. Ketentuan sanksi pada Pasal 8 UU PUB sudah tidak relevan dengan kondisi pada saat ini dimana lamanya pengenaan sanksi pidana dan besaran denda sudah tidak relevan dibandingkan dengan potensi penyalahgunaannya, jenis tindak pidana yang tidak relevan serta belum ada mekanisme pengaturan atas hasil PUB dari tindak pidana dapat disita Sehingga tidak sesuai dengan nilai Pancasila, yakni sila ke-5 (lima).

1. Aspek Substansi Hukum
a. Perlu dilakukan perubahan/penggantian definisi PUB dengan menyesuaikan perkembangan metode, subjek, objek, dan bidang sasaran penyelenggaraan PUB saat ini serta harmonisasi dengan peraturan perundang-undangan terkait;
b. Perlu diberikan pengaturan lebih komprehensif dalam UU PUB kedepan terkait: subjek pelaku donasi yaitu individu dan komunitas yang tidak berbadan hukum untuk membentuk suatu badan hukum dalam melakukan kegiatan pengumpulan sumbangan; cara atau metode PUB melalui platform crowdfunding dan digital fundraising yang akan datang; objek donasi dalam bentuk saham, reksadana, dan/atau bentuk investasi lain; dan bidang pemanfaatan hasil pengumpulan sumbangan guna mendukung pencapaian program SDGs;
c. Khusus terkait pengaturan metode PUB melalui platform crowdfunding dan digital fundraising tetap harus dipastikan untuk dapat memenuhi pertimbangan berikut: penerimaan dan penyaluran PUB harus transparan dan akuntabel; mencegah terjadinya eksploitasi warga masyarakat yang menjadi media promosi PUB; mencegah penyalahgunaan PUB untuk kepentingan pengurus/lembaga penyelenggara PUB; dan program PUB sesuai dengan perizinannya harus dilaksanakan secara transparan dan dapat dipertanggungjawabkan;
d. Perlu dilakukan simplifikasi pengaturan perizinan penyelenggaraan PUB dengan:
1) memberikan penyederhanaan alur, jenjang, maupun birokrasi pengurusan izin;
2) penambahan jangka waktu berlakunya izin;
3) pemberian pembedaan periodesasi jangka waktu berlakunya izin berdasarkan rentang waktu kegiatan PUBnya, yakni kegiatan PUB yang bersifat rutin dan berkelanjutan, serta kegiatan PUB yang bersifat tentatif/insidental dan pendek;
4) perluasan cakupan izin bagi penyelenggara PUB dengan metode crowdfunding;
5) penyederhanaan persyaratan dokumen perizinan; serta
6) penambahan penjelasan terhadap jenis atau cakupan kegiatan PUB yang tidak perlu menggunakan izin.
e. Perlu pengaturan materi muatan secara rinci terkait cakupan biaya operasional kegiatan pengumpulan sumbangan dan perubahan prosentase besaran biaya usaha pengumpulan sumbangan dalam kegiatan PUB dengan menyesuaikan kondisi saat ini;
f. Perlu dilakukan pencabutan/penghapusan terkait Panitia Pertimbangan dalam Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 UU PUB;
g. Perlu melakukan peningkatan batasan minimum hasil pengumpulan sumbangan yang menjadi syarat untuk dilakukannya audit oleh akuntan publik;
h. Perlu menambahkan ketentuan periodesasi kewajiban pelaporan dengan mengacu kepada lingkup lama kegiatan PUB yang dilakukan, selambat-lambatnya dilakukan untuk 1 (satu) tahun anggaran;
i. Perlu mengatur lebih komprehensif terkait kewajiban mekanisme pelaporan kepada publik yang dilakukan oleh penyelenggara PUB dengan memanfaatkan sarana media penyampaian informasi, baik melalui media cetak maupun media elektronik;
j. Perlu dilakukan perubahan/penggantian sanksi pidana dan sanksi administratif dengan memberikan pengaturan besaran sanksi pidana dan sanksi administratif yang relevan dengan dinamika hukum pidana saat ini;
k. Perlu dilakukan penambahan pengaturan terhadap tindak pidana yang berpotensi dilakukan dalam kegiatan penyelenggaraan PUB antara lain yaitu penyalahgunaan dana kegiatan PUB, penggelapan dana hasil sumbangan, tidak melakukan kewajiban pelaporan kepada instansi/pejabat yang berwenang menerbitkan izin, pemalsuan surat atau dokumen laporan, serta terhadap pengumpulan sumbangan yang berpotensi berasal dari tindak pidana pencucian uang serta pengumpulan sumbangan untuk pendanaan terorisme, dengan mengacu kepada KUHP, UU Tindak Pidana Pencucian Uang, dan UU Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.

2. Aspek Struktur Hukum
a. Perlu adanya pengawasan aktif dan pasif yang dilakukan secara simultan terhadap kegiatan penyelenggaraan PUB;
b. Perlu dilakukan penguatan alur dan sistem koordinasi antar kementerian/lembaga untuk memperbaiki kualitas pengawasan;
c. Perlu peningkatan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah;
d. Perlu menyediakan SDM pengawas di pusat maupun daerah dengan komposisi dan jumlah yang ideal;
e. Perlu adanya kejelasan dalam pembagian kewenangan dan penentuan leading sector terkait penyelenggaraan bantuan luar negeri sehingga penyelenggaraan bantuan luar negeri di sektor PUB dapat berjalan dengan efektif dan efisien.

3. Aspek Sarana dan Prasarana:
a. Perlu adanya perbaikan dan peningkatan tampilan dan fitur aplikasi SIMPPSDBS agar dapat memenuhi aspek easy to use dan easy to access;
b. Perlu dilakukan peningkatan aksesibilitas SIMPPSDBS termasuk akses listrik dan jaringan internet agar dapat dijangkau oleh seluruh penyelenggara dan masyarakat yang ingin berdonasi;
c. Perlu dilakukan peningkatan konektivitas dan integrasi dengan sistem aplikasi dukcapil, sistem aplikasi Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dan sistem aplikasi pelayanan terpadu provinsi sehingga pemantauan perizinan dapat dilakukan secara terpadu;
d. Perlu diberikan status jabatan fungsional kepada SDM pengawas penyelenggaraan PUB untuk dapat mencegah terjadinya rotasi SDM pengawas yang terlalu cepat dan kompetensi SDMnya berpeluang untuk ditingkatkan melalui pembinaan yang berkelanjutan;
e. Perlu penambahan SDM pengawas penyelenggaraan PUB terutama di daerah-daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota, serta memaksimalkan peran dari Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) baik yang ada di pusat maupun di daerah untuk memaksimalkan tugas pengawasan penyelenggaraan PUB di seluruh wilayah Indonesia.

4. Aspek Budaya Hukum:
a. Perlu peningkatan kegiatan sosialisasi dan edukasi yang diberikan kepada penyelenggara PUB dan masyarakat terkait pentingnya pengurusan izin penyelenggaraan PUB dan kepatuhan terhadapnya;
b. Perlu peningkatan pengawasan oleh SDM Pengawas untuk kegiatan PUB yang dilakukan tanpa izin;
c. Perlu peningkatan penegakan hukum yang tegas terhadap kegiatan PUB tanpa izin;
d. Perlu dilakukan sosialisasi dan edukasi secara berkelanjutan oleh Kemensos dan stakeholder pusat maupun daerah untuk meningkatkan pemahaman masyarakat dalam hal penyelenggaraan dan pengawasan PUB;
e. Perlu memberikan wadah pengaduan masyarakat yang mudah diakses dan memberikan kejelasan terhadap tindak lanjutnya.

5. Aspek Pengarustamaan Nilai-Nilai Pancasila
a. Perlu adanya limitasi dalam pendetailan jenis-jenis PUB yang wajib didaftarkan dan yang tidak wajib didaftarkan dan pengaturan tata cara dan mekanisme pengumpulan uang atau barang sampai dengan penyaluran.
b. Perlu pengaturan mengenai segala bentuk PUB wajib memperoleh izin.
c. Perlu dilakukan harmonisasi pengaturan tindak pidana yang ditimbulkan akibat penyalahgunaan prosedur dan pelaksanaan PUB.

KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 39 TAHUN 2008 TENTANG KEMENTERIAN NEGARA / 01-03-2023

Kementerian negara memiliki kedudukan penting dalam sistem pemerintahan modern karena ia menjadi inti dari kekuasaan pemerintahan (eksekutif). Kehadiran kementerian negara juga merupakan konsekuensi dari adanya pembagian atau pemisahan kekuasaan dalam sistem politik demokratis di mana kedudukannya sebagai bagian dari eksekutif dalam konteks trias politika bertugas melaksanakan urusan-urusan atau serangkaian kebijakan atau undang-undang yang telah ditetapkan oleh badan legislatif. Demi memudahkan Presiden dalam menyusun organisasi kementerian negara yang membantunya menyelenggarakan urusan pemerintahan dan guna mewujudkan sistem pemerintahan presidensial yang efektif serta efisien dengan menitikberatkan pada peningkatan pelayanan publik yang prima, maka dibentuklah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (UU Kementerian Negara).

UU Kementerian Negara terdiri atas 9 (sembilan) bab dan 28 pasal yang mengatur mengenai Ketentuan Umum; Kedudukan dan Urusan Pemerintahan; Tugas, Fungsi dan Susunan Organisasi; Pembentukan, Pengubahan dan Pembubaran Kementerian; Pengangkatan dan Pemberhentian; Hubungan Fungsional Kementerian dan Lembaga Pemerintahan Nonkementerian; Hubungan Kementerian dengan Pemerintah Daerah; Ketentuan Peralihan, dan Ketentuan Penutup. UU Kementerian Negara telah mengamanatkan pembentukan peraturan pelaksanaan yang secara eksplisit terlihat dalam amanat Pasal 11 dan Pasal 25 ayat (3). Namun dalam implementasinya Penjelasan Pasal 10 UU Kementerian Negara menimbulkan ketidakpastian hukum berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 79/PUU-IX/2011, sehingga dibentuklah peraturan pelaksana untuk mengatur teknis mengenai wakil menteri, meskipun dalam norma Pasal 10 UU Kementerian Negara tidak secara langsung mengamanatkan pembentukan peraturan pelaksanaan.

Dinamika pelaksanaan UU Kementerian Negara sejak diundangkan pada tahun 2008 masih cukup tinggi dan mendapatkan perhatian dari pembentuk undang-undang serta memiliki beberapa isu permasalahan.

Provinsi Aceh, Provinsi Kepulauan Riau, dan Provinsi Kalimantan Timur; Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Bintan, dan Kabupaten Penajam Paser Utara

1. Aspek Substansi Hukum
a. Belum Tegasnya Batasan Pelaksanaan Fungsi Tiap Kementerian
Pasal 7 UU Kementerian Negara belum memberikan batasan yang tegas dalam pelaksanaan fungsi tiap kementerian sehingga dalam implementasinya membuka ruang bagi presiden untuk menugaskan kementerian menyelenggarakan urusan pemerintah di luar bidangnya. Hal ini menimbulkan tumpang tindih antar kementerian dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan yang mengakibatkan ketidakoptimalan kinerja kementerian secara efektif dan efisien.

b. Tidak Relevannya Pengaturan Terkait Susunan Organisasi Kementerian
UU Kementerian Negara belum mengatur mengenai staf ahli dan staf khusus dalam susunan organisasi kementerian, sedangkan dalam implementasinya hampir di setiap kementerian memiliki staf ahli dan staf khusus. Dasar hukum dari adanya staf ahli dan staf khusus dimaksud adalah Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2019 tentang Organisasi Kementerian Negara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2019 tentang Organisasi Kementerian Negara (Perpres Organisasi Kementerian Negara). Materi muatan mengenai staf ahli dan staf khusus yang diatur dalam perpres tersebut bertentangan dengan asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan, yang bermakna bahwa tujuan pembentukan suatu perpres seharusnya berisi materi muatan yang diperintahkan oleh suatu undang-undang.

c. Minimnya Pengaturan Terkait dengan Wakil Menteri dalam UU Kementerian Negara
UU Kementerian Negara memberikan penafsiran yang terlalu luas bagi presiden dalam mengadakan jabatan wakil menteri (Wamen). Hal itu terlihat dari pengaturan terkait dengan Wamen yang hanya diatur dalam satu pasal, yaitu Pasal 10 UU Kementerian Negara, dan tidak terdapat penjelasan terhadap frasa “beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus” dalam ketentuan tersebut. Tak hanya itu, tidak dimasukkannya Wamen sebagai unsur pemimpin dalam susunan organisasi kementerian dalam Pasal 9 UU Kementerian Negara juga berdampak pada ketidakjelasan posisi Wamen dalam suatu kementerian.

d. Minimnya Pengaturan Terkait Dengan Kementerian Koordinator dalam UU Kementerian Negara
Pasal 14 UU Kementerian Negara menjadi satu-satunya pasal yang mengatur mengenai kementerian koordinator (kemenko) dalam UU Kementerian Negara. Dalam implementasinya, pasal tersebut belum memberikan pengaturan yang cukup untuk materi muatan kemenko sehingga memunculkan permasalahan antara lain lemahnya koordinasi dan ego sektoral antara kementerian/Lembaga (K/L) dalam lingkup koordinasi Kemenko, ketidakjelasan mengenai mekanisme sinkronisasi dan koordinasi oleh Kemenko, dan belum tegasnya batasan kewenangan kemenko.

e. Tidak Relevannya Pengaturan Terkait dengan Pengangkatan dan Pemberhentian Menteri
Persyaratan pengangkatan menteri dalam ketentuan Pasal 22 ayat (2) UU Kementerian Negara memberikan keleluasaan dan kelonggaran kepada presiden hingga membuka celah bagi presiden terpilih untuk melakukan transaksi dengan koalisi partai politik pengusungnya. Kemudian tidak terdapat penjelasan lebih lanjut terkait dengan frasa “dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah” dalam Pasal 23 huruf c UU Kementerian Negara sehingga praktik adanya menteri yang menjabat sebagai ketua umum partai politik dan/atau ketua federasi olahraga nasional tidak disepakati secara bulat bahwa hal tersebut termasuk yang dilarang oleh UU Kementerian Negara. Selanjutnya Pasal 24 UU Kementerian Negara belum memberikan ruang bagi presiden untuk dapat memberikan persetujuan dan izin cuti kepada menteri dalam hal-hal tertentu, salah satunya pencalonan menteri menjadi calon presiden atau calon wakil presiden.

f. Belum Ditindaklanjutinya Amanat Pasal 25 ayat (3) UU Kementerian Negara
Terdapat sejumlah catatan atas implementasi Pasal 25 UU Kementerian Negara yakni yang pertama, masih terjadi tumpang tindih antara kementerian dengan LPNK, kemudian kinerja dari beberapa Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) tidak optimal dan tidak mampu memenuhi ekspektasi publik. Dan catatan ketiga, pembentukan LPNK baru sebatas mengikuti tren di beberapa negara lain karena berawal dari pemahaman semakin demokratis suatu negara, maka semakin banyak LPNK yang dibentuk. Namun sayangnya LPNK menghadirkan implikasi negatif seperti tumpang tindih dengan K/L lain dan menambah beban keuangan negara yang berujung pada ketidakefektifan dan ketidakefisienan penyelenggaraan pemerintahan. Berdasarkan ketiga catatan tersebut, didapatkan akar persoalan yakni belum ditindaklanjutinya amanat Pasal 25 ayat (3) UU Kementerian Negara berupa peraturan presiden mengenai hubungan fungsional antara menteri dengan LPNK.

g. Belum Terakomodasinya Prinsip Penyelenggaraan Otonomi Khusus
Pasal 26 UU Kementerian Negara menimbulkan beberapa permasalahan yang terjadi di Aceh terkait dengan pelaksanaan otonomi khusus dan kelembagaan kementerian negara, antara lain penyelenggaraan urusan pertanahan antara dinas pertanahan sebagai organisasi perangkat daerah dengan kantor pertanahan sebagai instansi vertikal dari kementerian. Frasa “otonomi daerah” dalam Pasal 26 UU Kementerian Negara bermakna bahwa semua daerah diperlakukan sama, padahal terdapat daerah-daerah yang berbeda karena diberikan kekhususan oleh Pemerintah Pusat.

2. Aspek Struktur Hukum
a. Tumpang tindih Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Antar Kementerian
Bahwa jumlah kementerian maksimal sebanyak 34 (tiga puluh empat) dianggap terlalu gemuk sehingga mengakibatkan adanya irisan kewenangan antar kementerian yang kemudian berdampak pada tumpang tindih kewenangan dan hambatan baik itu secara horizontal dan vertikal dalam pelaksanaannya.

b. Belum Optimalnya Hubungan antara Kementerian dengan Pemerintah Daerah dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah
Terdapat catatan-catatan mengenai pelaksanaan hubungan antara kementerian dengan Pemda. Catatan pertama, UU 32/2004 digantikan dengan UU Pemerintahan Daerah pada tahun 2014. Konsekuensi dari penggantian tersebut adalah terjadi pergeseran penyelenggaraan urusan pemerintahan yang mereduksi kewenangan Pemda khususnya Pemda Kabupaten/Kota sekaligus esensi otonomi daerah itu sendiri. Catatan kedua, para pemangku kepentingan penyelenggara urusan pemerintahan, yakni kementerian-kementerian, Pemda yang bersifat desentralisasi simetris, dan Pemda yang bersifat desentralisasi asimetris memiliki point of view atau sudut pandang dan acuan hukumnya masing-masing dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan sesuai dengan bidang dan kewenangannya. Bahkan antar kementerian pun memiliki perspektif dan rujukan hukumnya masing-masing. Catatan ketiga, masih adanya Pemda yang tidak dilibatkan oleh Kementerian dalam penetapan keputusan atau kebijakan. Dan catatan keempat, terdapat kecenderungan atau pergeseran politik hukum penguatan desentralisasi atau otonomi daerah ke pemahaman bahwa desentralisasi dan sentralisasi adalah suatu rangkaian sehingga harus seiring sejalan.

3. Aspek Pengarusutamaan Nilai-Nilai Pancasila
Terdapat beberapa materi muatan dalam UU Kementerian Negara yang berpotensi tidak selaras dan bertentangan dengan Sila Kelima Pancasila, di antaranya:
a. Pasal 7 dan Pasal 25 UU Kementerian Negara yang belum memberikan batas yang tegas bagi kementerian dalam menyelenggarakan urusan tertentu dalam pemerintahan sesuai dengan karakteristik tugas dan fungsi masing-masing kementeriannya.
b. Pasal 9 UU Kementerian Negara yang mengatur mengenai susunan organisasi kementerian dan Pasal 15 UU Kementerian Negara yang mengatur jumlah keseluruhan kementerian paling banyak 34 (tiga puluh empat) sudah tidak lagi relevan dengan tantangan, tuntutan keadaan, dan kebutuhan nyata, baik faktor-faktor sosial, ekonomi, politik, dan budaya di tengah dinamika lokal dan global yang kian kompleks.
c. Pasal 26 UU Kementerian Negara yang mengatur mengenai hubungan antara kementerian dengan Pemda dalam implementasinya masih menyisakan persoalan karena kementerian belum sepenuhnya mendukung desentralisasi.
Pasal-pasal dalam UU Kementerian Negara tersebut berpengaruh signifikan dalam proses penyelenggaraan pemerintahan oleh kementerian untuk mewujudkan tujuan negara Indonesia.

1. Aspek Substansi Hukum, diperlukan:
a. Penambahan pengaturan mengenai limitasi atas tugas lain yang diberikan oleh presiden bagi kementerian sesuai karakteristik tugas dan fungsi masing-masing kementerian.
b. Penambahan pengaturan terkait dengan staf ahli dan staf khusus ke dalam susunan organisasi kementerian.
c. Perubahan Pasal 9 UU Kementerian Negara dengan memasukkan Wamen ke dalam unsur pemimpin kementerian dalam hal terdapat jabatan Wamen dalam kementerian tersebut.
d. Penjelasan lebih lanjut terhadap frasa “beban kerja yang membutuhkan penanganan khusus” dalam Pasal 10 UU Kementerian Negara.
e. Penambahan pengaturan mengenai kemenko antara lain mekanisme sinkronisasi dan koordinasi oleh Kemenko dan pembatasan kewenangan Kemenko.
f. Penambahan frasa “wakil menteri” dalam Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24 UU Kementerian Negara
g. Penambahan persyaratan untuk dapat diangkat menjadi menteri dalam Pasal 22 ayat (2) UU Kementerian Negara.
h. Penjelasan lebih lanjut terhadap frasa “dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah” dalam Pasal 23 huruf c UU Kementerian Negara.
i. Penambahan pengaturan dalam Pasal 24 UU Kementerian Negara yang memberikan kewenangan kepada presiden untuk memberikan persetujuan dan izin cuti kepada menteri dalam kondisi tertentu.
j. Komitmen presiden untuk menetapkan peraturan presiden mengenai hubungan fungsional antara kementerian dengan LPNK.
k. Penambahan frasa “dan otonomi khusus” dalam Pasal 26 atau memberikan penjelasan bahwa otonomi daerah juga mencakup otonomi khusus dalam Penjelasan Pasal 26 UU Kementerian Negara.

2. Aspek Struktur Hukum, diperlukan:
a. Perlu mengkaji kembali jumlah kementerian yang saat ini berjumlah 34 (tiga puluh empat).
b. Peningkatan koordinasi antar kementerian agar dapat meminimalisir potensi ego sektoral dan hambatan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan.
c. Peningkatan peran Kemenko sebagai kementerian yang berperan dalam meningkatkan sinkronisasi dan koordinasi urusan kementerian sekaligus sebagai problem solver atas potensi tumpang tindih kewenangan yang terjadi antar kementerian.
d. Sinkronisasi kebijakan di level Pemerintah Pusat dengan melibatkan Pemda provinsi dan Pemda kabupaten/kota.
e. Membangun kesadaran, kesepemahaman, dan komitmen bersama dari masing-masing pemangku kepentingan penyelenggara urusan pemerintahan mulai dari kementerian-kementerian, Pemda dengan desentralisasi simetris, hingga Pemda dengan desentralisasi asimetris untuk menekan ego sektoral.
f. Melakukan harmonisasi terhadap undang-undang dan peraturan menteri terkait yang berlaku.
g. Pemetaan kembali urusan pemerintahan yang memang lebih efektif diselenggarakan oleh kementerian dan yang diselenggarakan langsung oleh Pemda.

3. Aspek Pengarusutamaan Nilai-Nilai Pancasila
a. Memberikan pengaturan batasan yang jelas mengenai pelaksanaan fungsi tiap kementerian.
b. Menyesuaikan unsur susunan organisasi kementerian dan merasionalisasi jumlah kementerian agar penyelenggaraan pemerintahan dilakukan secara efektif, efisien, dan akuntabel.
c. Merancang desain besar bernegara mulai dari sistem pemilu, sistem kepartaian, sistem parlemen, sistem pemerintahan, hingga sistem birokrasi kemudian menyinergikannya untuk dapat mewujudkan tujuan bernegara.

KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2008 TENTANG OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA / 01-03-2023

Institusi pengawasan Ombudsman pada hakikatnya dibentuk untuk memberikan kontrol terhadap pejabat pemerintahan, pejabat negara, BUMN/BUMD, maupun pihak swasta dalam kerangka penyelenggaraan pelayanan publik. Pemerintahan memiliki tugas utama yang harus dilaksanakan yakni: to protect the people, to regulate the people dan to serve the people. To serve the people artinya bahwa pemerintah wajib melayani segenap warga negaranya. Pelayanan kepada masyarakat didasarkan atas berbagai kebutuhan masyarakat (public need and interest) sebagaimana hak dan kebutuhan dasarnya dalam UUD NRI Tahun 1945.

Pada awal pembentukannya Ombudsman RI pada tahun 1999 bernama Komisi Ombudsman Nasional yang memiliki tugas untuk membantu menciptakan dan mengembangan kondusifitas pemberantasan KKN serta meningkatkan perlindungan hak-hak masyarakat. Hal ini dilaksanakan dalam rangka pelaksanaan prinsip good governance. Pentingnya pelayanan publik dan pencegahan maladministrasi merupakan bentuk Pemenuhan hak dan kebutuhan dasar warga negara yang selanjutnya menjadi latar belakang penguatan peran Komisi Ombusman Nasional.
Hal inilah yang kemudian melatarbelakangi pembentukan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI (UU Ombudsman RI) yang selanjutnya memberi mandat pembentukan Ombudsman RI sebagai lembaga negara pengawas pelayanan publik yang menggantikan Komisi Ombudsman Nasional.

Provinsi Jawa Barat, Provinsi Kalimantan Timur, dan Provinsi Bali; dan Kabupaten Cimahi, Kabupaten Penajam Paser, dan Kabupaten Tabanan.

1. Aspek Substansi Hukum
a. Belum Adanya Pengaturan Eksistensi Ombudsman yang Berasal dari Unsur Non Pemerintah (Tindak Lanjut Atas Putusan MK 62/PUU-VII/2010)
UU Ombudsman RI mengamanatkan adanya pengawasan pelayanan publik kepada Lembaga Ombudsman RI. Berdasarkan UU tersebut Ombudsman RI melaksanakan legitimasinya secara tunggal sebagai lembaga pengawasan pelayanan publik. Hal ini sebagaimana ditegaskan di dalam Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2) UU Ombudsman RI, yang mengatur bahwa “paling lambat 2 (dua) tahun sejak berlakunya UU Ombudsman RI, lembaga yang serupa yang menggunakan nomenklatur Omnbudsman harus diganti. Secara empiris, di beberapa daerah telah ada lembaga yang memiliki fungsi dan nomenklatur dengan Ombudsman RI seperti Ombudsman Kota Makassar, Ombudsman Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Ombudsman Daerah Kabupaten Asahan, yang juga menjadi Pemohon dalam Pengujian Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2) UU Ombudsman RI. Berdasarkan pengujian UU tersebut, selanjutnya Majelis Hakim MK memutuskan bahwa Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2) bertentangan dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat melalui Putusan MK 62/PUU-VII/2010.

b. Belum Diaturnya Kode Etik Ombudsman RI dan Mekanisme Penegakannya Bagi Ombudsman
UU Ombudsman RI belum mengakomodir pengaturan Kode Etik Ombudsman RI bagi anggota Ombudsman, Sekretariat Jenderal dan perwakilan Ombudsman, padahal pengaturan tersebut berfungsi untuk menjaga dan menegakkan keluhuran serta kehormatan bagi anggota Ombudsman, Sekretariat Jenderal dan perwakilan Ombudsman dalam menjalankan fungsi, tugas dan wewenangnya.

c. Tidak Diaturnya Status Ombudsman RI Sebagai Pejabat Negara
UU Ombudsman RI sebagai undang-undang induk dalam pelaksanaan tugas dan fungsi lembaga Ombudsman RI tidak memberikan pengaturan yang jelas terkait status pejabat Ombudsman RI. Status dimaksud dalam hal ini adalah status pejabat negara Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Ombudsman RI. Selain itu, UU ASN yang mengatur secara rinci terkait jabatan yang digolongkan sebagai pejabat negara juga tidak menyebutkan Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Ombudsman RI. Hal ini berimplikasi pada pelaksanaan fungsi, tugas dan kewenangan Ombudsman, sebab pada dasarnya Ombudsman RI sebagai lembaga pengawas harus memiliki kedudukan yang setara atau lebih tinggi dengan yang diawasi. Status dan kedudukan Ketua, Wakil Ketua dan Ombudsman RI juga berpengaruh pada keprotokoleran serta pengaruhnya terhadap instansi yang diawasi.

d. Belum Jelasnya Definisi Terlapor dalam Pasal 1 angka 6 UU Ombudsman RI
Terdapat inkonsistensi pengaturan terkait dengan definisi terlapor. Pasal 1 angka 6 UU Ombudsman RI mendefinisikan terlapor sebagai penyelenggara negara dan pemerintahan yang melakukan Maladministrasi. Sedangkan dalam Pasal 1 angka 1 UU Ombudsman RI mendefinisikan pengertian Ombudsman yang secara tidak langsung mengatur ruang lingkup subjek yang diawasi Ombudsman yang dalam unsurnya menyertakan Penyelenggara pelayanan publik yang bersumber dari APBN/APBD. Ruang lingkup terlapor sebagai subjek pengawasan secara impilisit juga diatur dalam Pasal 6 UU Ombudsman RI yang mengatur bahwa salag satu pelapor juga termasuk badan swasta serta perseorangan.

e. Perubahan definisi Rekomendasi pada Pasal 1 angka 7 UU Ombudsman RI
Pasal 1 angka 7 UU Ombudsman RI memberikan batas pengertian rekomendasi. Definisi ini tidak jelas sebab, hanya memuat unsur “kesimpulan, pendapat, dan saran”. Dalam praktiknya Pasal 37 UU Ombudsman RI, rekomendasi dimaknai sebagai sebuah produk hukum berupa keputusan akhir Ombudsman RI yang memuat ringkasan laporan masyarakat, pendapat, kesimpulan tentang maladministrasi dan saran. Hal ini terdapat pertentangan sifat dalam pengertiannya. Selain itu, belum ada kata wajib dalam pengertian Rekomendasi Ombudsman yang memiliki daya ikat.

f. Dekonstruksi Asas-Asas dalam UU Ombudsman RI
Pelaksanaan pengawasan dan pencegahan maladministrasi pelayanan publik oleh Ombudsman RI dilaksanakan berdasarkan asas kepatutan, keadilan, non-diskriminasi, tidak memihak, akuntabilitas, keseimbangan, keterbukaan, dan kerahasiaan. Namun dalam UU Ombudsman RI asas ini tidak dijelaskan lebih detail, sehingga masih berbentuk meta-norma yang sukar untuk diimplementasikan. Selain itu, tidak jelasnya maksud daripada asas-asas dalam penyelenggaraan ini juga bertentangan dengan asas pembentukan peraturan perundang-undang yakni asas dapat dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid) dan asas kepastian hukum (het rechtszekerheids beginsel).

g. Ketidakjelasan Pembentukan perwakilan Ombudsman RI di daerah berdasarkan Pasal 5 ayat (2) juncto Pasal 43 ayat (1) UU Ombudsman RI.
Perbedaan pengaturan dalam Pasal 5 ayat (2) UU Ombudsman RI dan Pasal 46 ayat (3) UU Pelayanan Publik terkait pembentukan perwakilan Ombudsman RI di daerah menimbulkan ketidakpastian hukum mengenai wajib atau tidaknya pembentukan perwakilan Ombudsman RI di daerah. UU Ombudsman menyatakan sebuah pilihan yang tentatif untuk pembentukan Perwakilan Ombudsman di daerah, akan tetapi sebaliknya UU Pelayanan Publik mewajibakan adanya pembentukan Perwakilan Ombudsman RI.

h. Belum Adanya Pengaturan Kewenangan Pencegahan Maladministrasi dalam UU Ombudsman RI
Pasal 6 UU Ombudsman RI memberikan amanat kepada Ombudsman RI untuk mengawasi penyelenggaraan publik. Dalam melaksanakan fungsi pengawasan ini UU Ombudsman RI hanya mengakomodir wewenang Ombudsman RI dalam hal penanganan perkara yang berifat complaint handling system yang bersifat pasif dan solutif. Akan tetapi, UU Ombudsman RI tidak mengakomodir wewenang dalam hal pencegahan maladministrasi yang bersifat proactive mechanism. Oleh karena tidak adanya pengaturan berkaitan dengan kewenangan pencegahan maladministrasi, selanjutnya Ombudsman RI menetapkan Peraturan Ombudsman RI Nomor 41 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pencegahan Maladministrasi Penyelenggaraan Pelayanan Publik dengan menggandeng masyarakat dalam upaya pencegahan Tindakan maladministrasi. Artinya, Peraturan tersebut tidak memiliki landasan hukum di UU Ombudsman RI, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.

i. Rekonstruksi ketentuan dalam Pasal 7 huruf d UU Ombudsman RI
Pasal 7 huruf d UU Ombudsman RI mengatur mengenai salah satu tugas Ombudsman RI dalam melakukan investigasi atas prakarsa sendiri. Investigasi atas Prakarsa sendiri merupakan metode proaktif (tanpa laporan) untuk menindaklanjuti maladministrasi. Ombudsman RI juga telah mengatur melalui Peraturan Ombudsman RI Nomor 38 Tahun 2019 yang mengikat keluar. Dalam peraturan tersebut Ombudsman RI mengatur Investigasi Atas Prakarsa Sendiri sebagai bagian wewenang. Namun, berkaitan “investigasi atas Prakarsa sendiri” dalam UU Ombudsman RI tidak diatur sebagai sebuah wewenang, melainkan sebagai sebuah tugas. Akibatnya hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum.

j. Perubahan penjelasan Pasal 8 ayat (1) huruf g UU Ombudsman RI
Ketentuan Pasal 8 ayat (1) huruf g UU Ombudsman RI menyatakan bahwa dalam menjalankan tugasnya Ombusdman RI mengumumkan hasil temuan, kesimpulan, dan Rekomendasi demi kepentingan umum. Namun penjelasan ketentuan Pasal 8 ayat (1) huruf g UU Ombudsman RI menyatakan “Ketentuan mengenai pengumuman hasil temuan, kesimpulan, dan Rekomendasi bukan merupakan kewajiban bagi Ombudsman” yang mana hal ini menimbulkan ketidakjelasan pelaksanaan kewenangan Ombudsman RI karena adanya kontradiksi pengaturan Pasal 8 ayat (1) huruf g UU Ombudsman RI dengan penjelasannya.

k. Belum Jelasnya Pengaturan Kepegawaian Asisten Ombusdman
Adanya perbedaan pengaturan UU Ombudsman RI dan UU ASN mengenai status kepegawaian. Ombudsman RI memiliki Asisten Ombudsman, sedangkan dalam ketentuan UU ASN hanya dikenal 2 (dua) jenis status kepegawaian yakni PNS dan PPPK. Pengaturan UU Ombudsman RI belum mengikuti pengaturan kepegawaian dalam UU ASN.

l. Belum Adanya Pembagian Kewenangan Ombudsman Pusat dan Perwakilan Ombudsman di Daerah
Fungsi, tugas, dan kewenangan Ombudsman RI diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 8 UU Ombudsman RI. Ketentuan Fungsi dan tugas ini juga berlaku secara mutantis mutandis terhadap Perwakilan Ombudsman di daerah sebagaimana ketentuan Pasal 43 ayat (4) UU Ombudsman RI. Artinya seluruh tugas dan kewenangan Ombudsman RI Pusat juga dapat dilaksanakan oleh Perwakilan Ombudsman di daerah. Padahal dalam ini terdapat wewenang Ombudsman RI yang tidak dapat dilaksanakan oleh Perwakilan Ombudsman di daerah dalam hal mengeluarkan rekomendasi.

2. Aspek Struktur Hukum
a. Belum Optimalnya tindak lanjut rekomendasi Ombudsman RI
Rekomendasi yang diberikan Ombudsman RI terhadap terlapor/atasan terlapor termasuk yang disampaikan kepada DPR dan Presiden belum optimal dilaksanakan. Hal ini dikarenakan pihak Terlapor tidak melaksanakan Rekomendasi Ombudsman RI serta hingga saat ini belum ada kejelasan monitoring hasil tindak lanjut Rekomendasi Ombudsman RI dalam hal pemenuhan ekspektasi Pelapor.

b. Adanya Tumpang Tindih Kewenangan Monitoring dan Evaluasi Penyelenggaraan Pelayanan Publik
Ombudsman memiliki wewenang dalam melakukan kewenangan monitoring evaluasi dan evaluasi. Namun demikian selain Ombudsman RI terdapat K/L yang melaksanakan fungsi yang sama. Salah satu yang memiliki tugas yang sama antara Ombudsman RI dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dalam hal pelaksanaan monitoring pelayanan publik / opini pelayanan publik. Meski dalam pelaksanaannya terdapat kewenangan ini belum efektif koordinasi dan kolaborasi antara kementerian atau lembaga yang mempunyai kewenangan monitoring pelayanan publik, nyatanya hal ini menjadi keluhan pemerintah daerah yang menganggap pengawasan yang berlapis menjadi permasalahan dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

3. Aspek Budaya Hukum
a. Belum Optimalnya Pelaporan Dugaan Maladministrasi oleh Masyarakat
Ombudsman RI merupakan salah satu sarana alternatif untuk menyelesaikan permasalahan dalam penyelenggaraan pelayanan publik sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU Ombudsman RI bahwa Ombudsman RI memiliki tugas salah satunya adalah menerima laporan atas dugaan maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik dan menindaklanjuti laporan yang tercakup dalam ruang lingkup kewenangan Ombudsman. Dapat dilihat bahwa dalam implementasi telah banyak masyarakat yang telah melakukan pengaduan/pelaporan terhadap Ombudsman RI namun tidak jarang ditemukan masih adanya kendala partisipasi masyarakat melakukan pelaporan/pengaduan terkait maladministrasi penyelenggaraan pelayanan publik di beberapa daerah.

b. Minimnya Pemahaman Masyarakat Terkait Pendekatan Propartif yang dilakukan oleh Ombudsman RI
Umumnya yang diketahui masyarakat ketika adanya laporan dugaan maladministrasi secara internal dipersulit dalam pengurusannya dan laporan tersebut belum tentu akan didengarkan dan mendapatkan respon yang baik. Hal tersebut dipahami karena hampir semua bentuk pelayanan publik dilalui dengan prosedural yang baku, sehingga ketika muncul keluhan masyarakat terkait dugaan maladministrasi pelayanan publik juga akan diselesaikan dengan cara yang formal. Menurut Perwakilan Ombudsman Kaltim, Layanan publik terkesan sulit dikarenakan tidak terpublikasi dengan baik adanya standar layanan publik, bahkan masih ada yang belum memiliki standar layanan publik. Berdasarkan data tersebut, sejak tahun 2016 Ombudsman RI terjadi berkurangnya jumlah rekomendasi yang dikeluarkan oleh Ombudsman RI. Dengan metode propartif, dapat menyelesaikan masalah dengan teknik dialog yang baik sehingga Penyelenggara pelayanan publik dan masyarakat dapat saling memahami

4. Aspek Pengarusutamaan Nilai-Nilai Pancasila
Sejak diundangkannya UU Ombudsman RI pada tahun 2019 hingga tahun 2023 masih ditemukan adanya variasi masalah aduan pelayanan publik baik di pusat maupun daerah yaitu sepanjang tahun 2017, 2018, 2019, dan 2020 tercatat peningkatan jumlah laporan/aduan masyarakat dari tahun ke tahun yang masuk ke Ombudsman RI namun tidak terselesaikan. Hal tersebut dikarenakan responden tidak mengetahui tentang ombudsman karena Ombudsman belum menjadi lembaga yang dikenal oleh seluruh masyarakat. Berdasarkan hasil telaahan BPIP, masih terdapat beberapa pengaturan dalam UU Ombudsman RI yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, di antaranya:
a. Ketentuan Pasal 1 angka 3 UU Ombudsman RI tidak bersesuaian dengan Sila ke-2 dan ke-4 Pancasila.
b. Pasal 1 angka 6 UU Ombudsman RI tidak bersesuaian dengan Sila ke- 4 Pancasila.
c. Pasal 5 ayat (2) UU Ombudsman RI tidak bersesuaian dengan Sila ke-4 Pancasila.
d. Pasal 8 ayat (1) huruf g UU Ombudsman RI tidak bersesuaian dengan Sila ke-4 dan ke-5 Pancasila.
e. Pasal 37 UU Ombudsman RI tidak bersesuaian dengan Sila ke-4 Pancasila.
f. Pasal 39 UU Ombudsman RI tidak berseuaian dengan Sila ke -5 Pancasila.

1. Aspek Substansi Hukum:
a. Perlu penghapusan Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2) UU Ombudsman RI serta perlu adanya pengaturan tambahan mengenai peran serta masyarakat dalam pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik khususnya terkait dengan lembaga atau institusi yang dibentuk masyarakat.
b. Perlu diatur mengenai kode etik Ombudsman RI dan mekanisme penegakannya serta pendelegasian pengaturan tersebut.
c. Perlu untuk mengatur status kedudukan Ombudsman RI sebagai Pejabat Negara dalam UU Ombudsman sebagai bentuk legitimasi Ombudsman RI dalam pengawasan dan pencegahan maladministrasi pelayanan publik.
d. Perlunya pengaturan kewenangan upaya pencegahan maladministrasi dan pendelegasian pengaturan atas wewenang pencegahan maladministrasi tersebut.
e. Perlu untuk melakukan perubahan pengaturan dalam materi muatan Pasal 1 angka 6 UU Ombudsman ini dengan menyesuaikan dengan pengaturan yang ada dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 6 UU Ombudsman RI agar memenuhi asas kejelasan rumusan dan asas ketertiban dan kepastian hukum.
f. Perlu mengubah Pasal 1 angka 7 dengan menyesuaikan Pasal 37 UU Ombudsman RI serta menambahkan kata “wajib”.
g. Perlu penjelasan asas dalam Pasal 3 UU Ombudsman RI agar tidak terjadi multitafsir dalam implementasinya.
h. Perlu untuk mengubah kata “dapat” dengan kata wajib dalam Pasal 5 ayat (1) terkait dengan pembentukan Perwakilan Ombudsman.
i. Perlu rekonstruksi terkait dengan pelaksanaan investigasi atas prakarsa sendiri terhadap dugaan maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik ke dalam bagian wewenang dan menghapuskan ketentuan Pasal 7 huruf d.
j. Perlu untuk mengubah penjelasan Pasal 8 ayat (1) dengan frasa “cukup jelas” agar selaras dan tidak menimbulkan kontradiksi dengan Pasal 8 ayat (1).
k. Perlu dilakukan pengalihan status kepegawaian Asisten Ombudsman menjadi ASN melalui adanya pengaturan mengenai pengalihan status kepegawaian dan masa transisi pengalihan.
l. Perlu adanya pembedaan pengaturan antara kewenangan Ombudsman RI di pusat dan Perwakilan Ombudsman daerah dengan memperhatikan sifat dari wewenang Ombudsman Perwakilan merupakan delegatif dari Ombudsman RI. Selanjutnya, perlu adanya pengaturan lebih lanjut berkaitan pembagian kewenangan Ombudsman RI dengan Perwakilan Ombudsman daerah.

2. Aspek Struktur Hukum:
a. Perlunya penguatan tindak lanjut rekomendasi Ombudsman RI melalui pemberian pemahaman dan koordinasi penyelenggara pelayanan publik khususnya dengan Kementerian PAN RB.
b. Perlu adanya kejelasan perbedaan ruang lingkup pengawaasan Kementerian/ Lembaga penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik.

3. Aspek Budaya Hukum:
a. Perlunya sosialisasi dan publikasi yang masif untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terkait tugas dan kewenangan Ombudsman RI serta koordinatif
b. Perlunya sosialisasi kepada masyarakat terkait pendekatan propartif Ombudsman RI kepada masyarakat dalam rangka menguatkan koordinasi Ombudsman RI dan masyarakat dalam pengawasan pelayanan publik.

4. Aspek Pengarusutamaan Nilai-Nilai Pancasila:
a. Perlu untuk mendefinisikan ruang lingkup maladministrasi dalam Pasal 1 angka 3 UU Ombudsman RI dengan konkret sehingga menjamin kepastian hukum.
b. Perlu untuk melakukan sinkronisasi definisi terlapor dalam Pasal 1 angka 6 UU Ombudsman RI baik dalam ketentuan umum maupun fungsi Ombudsman RI sehingga tercipta keserasian.
c. Perlu untuk mengharmoniskan berkaitan dengan pengaturan pendirian perwakilan Ombudsman di daerah dalam Pasal 5 ayat (2) dengan Pasal 46 ayat (3) UU Ombudsman RI sehingga dapat menyelesaikan problematika ketidakpastian hukum.
d. Perlu adanya formulasi aturan yang saling selaras berkaitan dengan tugas Ombudsman RI untuk mengumumkan hasil temuan, kesimpulan dan rekomendasi dalam Pasal 8 ayat (1) beserta dengan penjelasannya.
e. Perlu untuk merekonstruksikan ulang definisi dan ruang lingkup rekomendasi dalam Pasal 37 yang disertai dengan sanksi sehingga memberikan efek jera bagi Terlapor.

KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2007 TENTANG PENANGGULANGAN BENCANA / 01-03-2023

Pasal 28H ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 mengatur bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang sehat. Berdasarkan amanat konstitusi tersebut, negara bertanggung jawab untuk melindungi segenap bangsa Indonesia salah satunya dari segala ancaman bencana. Hal ini disebabkan karena Indonesia secara geografis, geologis, hidrologis, dan demografi berada dalam wilayah yang rawan terhadap terjadinya bencana. Adapun potensi bencana di wilayah Indonesia, dibedakan menjadi 3 jenis bencana, yaitu bencana alam, bencana nonalam, dan bencana sosial. Penanggulangan bencana merupakan salah satu bagian dari pembangunan nasional yang dalam pelaksanaannya harus diatur dalam suatu undang-undang yakni melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (UU Penanggulangan Bencana).

Pada perkembangannya, pelaksanaan UU Penanggulangan Bencana masih dirasakan memiliki kelemahan baik dalam pelaksanaan penanggulangan bencana maupun yang terkait dengan landasan hukumnya. Terkait dengan hal tersebut, Puspanlak UU sebagai salah satu suporrting system DPR dalam bidang pengawasan melakukan evaluasi terhadap undang-undang ini guna melihat kembali dasar hukum penyelenggaraan UU Penanggulangan Bencana beserta implementasinya selama ini. Selain itu, dilakukannya pemantauan pelaksanaan UU Penanggulangan Bencana dikarenakan UU ini masuk dalam prolegnas longlist 2020-2024 dengan nomor urut ke-184 yang diusulkan perubahan oleh DPR/DPD.

Provinsi Aceh, Provinsi Sulawesi Utara, dan Provinsi D.I. Yogyakarta

1. Aspek Substansi Hukum
a. Permasalahan terkait Definisi Bencana
1) Definisi Bencana Masih Belum Jelas karena Terdapat Inkonsistensi antara Pasal 1 angka 2, angka 3 dan angka 4 UU Penanggulangan Bencana dengan Penjelasan Umum UU Penanggulangan Bencana
Pasal 1 angka 2, angka 3, dan angka 4 UU Penanggulangan Bencana mengatur terkait definisi bencana alam, bencana nonalam, dan bencana sosial termasuk pengelompokan jenis-jenis/cakupan bencana. Pengaturan tersebut juga dipertegas dalam Penjelasan Umum UU Penanggulangan Bencana. Akan tetapi, terdapat inkonsistensi pengaturan antara Pasal 1 angka 2, angka 3, dan angka 4 UU Penanggulangan Bencana dengan Penjelasan Umum. Inkonsistensi tersebut diantaranya:
- Pasal 1 angka 2 UU Penanggulangan Bencana tidak mengatur kebakaran hutan/lahan sebagai salah satu bencana alam. Namun, dalam Penjelasan Umum, kebakaran hutan/lahan termasuk ke dalam bencana alam;
- Pasal 1 angka 3 UU Penanggulangan Bencana mengatur bahwa bencana epidemi dan wabah termasuk ke dalam bencana nonalam, tetapi dalam Penjelasan Umum, epidemi dan wabah termasuk ke dalam bencana alam;
- Pasal 1 angka 4 UU Penanggulangan Bencana mengatur bahwa teror termasuk salah satu bencana sosial. Namun, dalam Penjelasan Umum yang termasuk dalam bencana sosial hanya kerusuhan sosial dan konflik sosial; dan
- Pada Penjelasan Umum disebutkan bahwa hama penyakit tanaman dan kejadian luar biasa juga termasuk kedalam cakupan bencana alam dan kejadian antariksa/benda-benda angkasa, kecelakaan transportasi, dampak industri, ledakan nuklir, pencemaran lingkungan dan kegiatan keantariksaan juga termasuk ke dalam cakupan bencana non-alam. Namun, cakupan bencana-bencana tersebut tidak diatur dalam Pasal 1 angka 2 dan angka 3 UU Penanggulangan Bencana.

2) Pemenuhan Secara Kumulatif 4 Syarat Akibat Bencana
Pasal 1 angka 1 UU Penanggulangan Bencana mengatur terkait definisi bencana. Dalam definisi bencana disebutkan bahwa bencana mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis. Kata “dan” dalam definisi bencana tersebut menimbulkan persepsi bahwa status bencana dapat ditetapkan apabila terpenuhinya keempat unsur akibat bencana tersebut. Sedangkan dalam praktiknya, tidak semua bencana memenuhi seluruh unsur akibat bencana yang disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 UU Penanggulangan Bencana tersebut. Hal ini berpengaruh dalam penentuan status bencana, yaitu dalam kondisi tidak terpenuhinya salah satu unsur akibat bencana dapat menimbulkan persepsi dapat ditetapkan sebagai bencana atau tidak.

b. Definisi Bencana Sosial Belum Merujuk Pada Undang-Undang Terkait dan Perbedaan Pengaturan Penetapan Status Bencana Dalam UU Penanggulangan Bencana Dengan UU Konflik Sosial
Pasal 1 angka 3 dan angka 4 UU Penanggulangan Bencana mengatur mengenai definisi bencana nonalam dan bencana sosial. Dalam definisi tersebut, terdapat jenis bencana yakni wabah, konflik sosial, dan teror yang telah diatur dalam undang-undang tersendiri, yaitu UU Wabah, UU Konflik Sosial dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dalam implementasinya, pengaturan dalam UU Penanggulangan Bencana dan undang-undang terkait tersebut masih belum selaras. Salah satunya dalam UU Konflik Sosial, mekanisme penanganan selama ini lebih merujuk pada UU Konflik Sosial dibandingkan UU Penanggulangan Bencana. Selain itu, terdapat perbedaan pengaturan mengenai penetapan status darurat dalam hal penanganan konflik sosial sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (2) UU Penanggulangan Bencana dengan UU Konflik Sosial, terkait perlu atau tidaknya konsultasi dengan pimpinan DPR dalam hal penetapan status keadaan konflik skala nasional dan perlu atau tidaknya konsultasi dengan pimpinan DPRD dalam hal penetapan status keadaan konflik skala kabupaten/kota.

c. Belum Ditetapkannya Peraturan Pelaksana terkait Penetapan Status dan Tingkatan Bencana Nasional dan Daerah
Pasal 7 ayat (3) UU Penanggulangan Bencana mengamanatkan untuk dibentuknya peraturan pelaksana berupa peraturan presiden yang mengatur tentang penetapan status dan tingkatan bencana nasional dan daerah. Lebih lanjut, dalam Pasal 84 UU Penanggulangan Bencana mengatur batas jangka waktu untuk diterbitkannya peraturan pelaksanaan dari UU Penanggulangan Bencana sampai dengan 6 (enam) bulan sejak diundangkannya UU Penanggulangan Bencana. Namun, hingga saat ini peraturan presiden yang mengatur tentang penetapan status dan tingkatan bencana nasional dan daerah belum diterbitkan. Belum diterbitkannya peraturan tersebut menimbulkan permasalahan dalam penyelenggaran penanggulangan bencana, yakni tidak adanya pemahaman yang sama baik di pemerintah pusat maupun daerah mengenai paramater dan kriteria penetapan status bencana sehingga mengakibatkan seringkali bencana yang tidak terlalu besar namun tingkatan statusnya telah dianggap darurat. Selain itu, belum diterbitkannya peraturan tersebut berdampak pada penggunaan dana penanggulangan bencana yang tidak bersesuaian dengan kebutuhan dan kondisi riil di lapangan.

d. Perubahan Frasa “Penyandang Cacat” dalam UU Penanggulangan Bencana
Penggunaan frasa “cacat” dalam UU Penanggulangan Bencana disebabkan oleh UU Penyandang Disabilitas yang belum diundangkan ketika UU Penanggulangan Bencana berlaku, sehingga UU Penanggulangan Bencana masih menggunakan nomenklatur dalam UU Penyandang Cacat dan tidak selaras dengan UU Penyandang Disabiltas.

e. Belum Adanya Pengaturan Pelindungan Bagi Relawan Kebencanaan
Dalam UU Penanggulangan Bencana belum diatur mengenai aturan pelindungan bagi relawan kebencanaan. Hal ini menyebabkan relawan yang ikut menjadi korban di lokasi bencana menjadi tidak terlindungi. Sehingga sampai saat ini pengaturan mengenai apelindungan termasuk hak dan kewajiban relawan yang belum diatur dalam UU Penanggulangan Bencana mengakibatkan banyaknya relawan yang tidak mendapatkan perlindungan baik dari sisi jaminan kesehatan, keamanan, dan keamanan sosial. Selain itu, juga mengakibatkan kebingungan apabila relawan akhirnya menjadi korban bencana apakah akan diperlakukan sebagai korban bencana atau tetap seperti relawan. Dalam implementasinya, relawan sebagai pekerja sosial banyak mendapatkan kendala dalam menjalankan tugas kemanuasiaan diantaranya mengalami pengusiran oleh masyarakat, tidak diberikan alat yang memadai dalam proses membantu korban bencana, dan risiko terkena penyakit.

2. Aspek Struktur Hukum
a. Kurangnya Koordinasi Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana
1) Kurangnya Koordinasi Antar Kementerian/Lembaga yang Menyebabkan Tumpang Tindih Kewenangan dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana
Penyelenggaraan penanggulangan bencana merupakan tanggung jawab banyak pihak meskipun dalam UU Penanggulangan Bencana, pemerintah dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab utama. Sebagai leading sector penanggung jawab penyelenggaraan penanggulangan bencana, pemerintah membentuk BNPB sebagai perwakilan di pusat untuk melakukan fungsi komando dan fungsi koordinasi dengan kementerian/lembaga terkait. Dalam menjalankan fungsi koordinasinya, BNPB telah merealisasikannya dengan membentuk Tim Reaksi Cepat BNPB (TRC BNPB). Selain itu BNPB juga melakukan MoU dengan beberapa kementerian/lembaga terkait untuk lebih mengoptimalkan koordinasi. Namun, dalam implementasinya koordinasi antar kementerian/lembaga ini masih terdapat beberapa kendala seperti belum adanya pengaturan secara khusus terkait pembagian peran, tugas dan fungsi antar kementerian/lembaga, tumpang tindih kewenangan di lapangan, dan adanya kesamaan program yang diselenggarakan oleh kementerian/lembaga terkait penanggulangan bencana yang mengakibatkan kebingungan di masyarakat.
2) Kurangnya Koordinasi Antara Pemerintah Pusat dan Daerah Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana
Penanggulangan bencana merupakan tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah daerah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 UU Penanggulangan Bencana. Kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana. Namun dalam implementasinya masih terdapat beberapa kendala seperti pembagian peran dan tanggung jawab antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah cenderung berfokus pada hal-hal yang bersifat taktis operasional sehingga sering terjadi kerancuan antara tataran yang menjadi pelaksana PDB, pendukung dan pendampingan. Selain itu, perbedaan struktur organisasi antara pemerintah pusat yang diwakili (BNPB) dan pemerintah daerah (BPBD) juga mempengaruhi efektifitas pengambilan kebijakan strategis pada saat terjadi bencana sehingga mengakibatkan fungsi koordinasi, fungsi komando, dan fungsi pelaksana pemerintah pusat tidak berjalan optimal.
Tidak efektifnya koordinasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah tidak sejalan dengan prinsip-prinsip UU penanggulangan Bencana yang diatur dalam Pasal 3 ayat (2) yaitu prinsip cepat dan tepat juga prinsip koordinasi dan keterpaduan.

b. Pemerintah Daerah Pasif dalam Penanggulangan Bencana
Salah satu urusan wajib pemerintah daerah adalah penyelenggaraan penanggulangan bencana. Dalam Lampiran I huruf E UU Pemerintahan Daerah penyelenggaraan penanggulangan bencana menjadi salah satu kategori Sub Unsur dari Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar Bidang “Ketentraman, Ketertiban Umum, dan Perlindungan Masyarakat” berdampingan dengan Kebakaran dan Ketertiban Umum. Akan tetapi pada implementasinya, respon pemerintah daerah tidak cepat dan lambat dalam memberikan respon pertolongan yang kemudian mengakibatkan tingginya jumlah korban bencana dan rusaknya pemukiman. Selain itu, dapat juga mengakibatkan terhambatnya koordinasi antar lembaga penyelenggara penanggulangan bencana.

c. Penguatan Kelembagaan BNPB
Pembahasan RUU Penanggulangan Bencana telah dihentikan karena tidak ada kesepakatan mengenai nomenklatur kelembagaan BNPB antara DPR dan Pemerintah. Komisi VIII DPR menghendaki nomenklatur kelembagaan BNPB disebutkan secara eksplisit dalam RUU Penanggulangan Bencana, sedangkan Pemerintah tidak menghendaki penyebutan nomenklatur BNPB secara eksplisit dalam RUU Penanggulangan Bencana dan pengaturan lebih lanjut mengenai BNPB akan diatur dalam Peraturan Presiden untuk memberikan fleksibilitas kepada Presiden. Adapun berikut ini penjelasan mengenai bentuk kelembagaan BNPB saat ini, termasuk dengan kelembagaan BNPB sebagaimana dalam DIM RUU Penanggulangan Bencana dari DPR dengan dari Pemerintah
1) Bentuk Kelembagaan BNPB Saat Ini
BNPB bertugas menangani penanggulangan bencana memiliki fungsi koordinasi, fungsi komando, dan fungsi pelaksanaan. Terdapat masalah dalam melaksanakan ketiga fungsi tersebut meliputi ketidakefektifan pola koordinasi, egosektoral antar kementerian/lembaga, lemahnya fungsi komando BNPB karena berkedudukan di bawah Kemenko PMK.
2) Kelembagaan BNPB dalam DIM RUU Penanggulangan Bencana dari DPR
DPR memiliki komitmen dan semangat untuk terus menguatkan kelembagaan BNPB dengan mengatur kelembagaan BNPB dalam level undang-undang agar memiliki legitimasi yang kuat, memberikan kemudahan akses bagi BNPB dan BPBD saat kondisi tanggap darurat, pengisian SDM BNPB dari unsur TNI/Polri dan profesional, dan mandatory spending untuk penanggulangan bencana sebesar 2% dari APBN dan APBD.
3) Kelembagaan BNPB dalam DIM RUU Penanggulangan Bencana dari Pemerintah
Pemerintah menginginkan fleksibilitas pengaturan kelembagaan BNPB untuk memudahkan dalam melakukan perubahan yang mungkin akan terjadi sesuai dengan kondisi dan perkembangan kebutuhan organisasi yang akan datang.

d. Penguatan Kelembagaan BPBD
1) Desain Kelembagaan BPBD
a) BPBD Sebagai Organisasi Perangkat Daerah
Terdapat usulan beberapa narasumber untuk tetap menginginkan kedudukan BPBD saat ini tetap menjadi bagian dari OPD untuk menghindari situasi tumpang tindih kewenangan dengan BNPB, dan juga lebih mudah dalam proses koordinasi dengan OPD lain dalam penyaluran bantuan bencana tanpa harus terlebih dahulu meminta persetujuan dari pusat.
b) BPBD sebagai instansi vertikal BNPB
Terdapat usulan beberapa narasumber untuk mengubah desain kedudukan BPBD saat ini menjadi instansi vertikal dari BNPB yang melaksanakan penanggulangan bencana di daerah. Usulan ini muncul berdasarkan pada pada kendala-kendala yang dialami BPBD sebagai OPD selama ini.
Berdasarkan kedua alternatif desain kelembagaan BPBD di atas, masing-masing pilihan desain kelembagaan tersebut tentunya memiliki kelebihan dan kekurangan. Jika BPBD tetap sebagai OPD seperti saat ini, maka akan terkendala pada kecepatan dalam pengambilan keputusan dan panjangnya alur birokrasi dalam melaksanakan fungsi komando. Namun, BPBD sebagai OPD dapat menghindari situasi tumpang tindih kewenangan dengan BNPB dan memudahkan proses koordinasi dengan OPD lain di daerah. Sedangkan, konsekuensi yang timbul jika BPBD diubah sebagai instansi vertical dari BNPB maka akan mengoptimalkan fungsi komando dari pusat dan alokasi anggaran yang ditentukan pusat akan lebih memadai.
2) Klasifikasi BPBD
Pengklasifikasian tipologi BPBD menjadi Tipe A dan Tipe B berdampak pada kinerja BPBD menjadi tidak optimal karena dukungan anggaran menjadi tidak proporsional, dimana hal ini tidak sesuai dengan banyaknya ancaman potensi bencana yang merata di seluruh Indonesia. Selain itu, belum ada acuan yang jelas dan berkepastian hukum seperti indeks kebencanaan atau kriteria lain untuk dapat menentukan klasifikasi BPBD menjadi Tipe A atau Tipe B.
3) Eselonisasi Kepala BPBD
Ketentuan eselonisasi jabatan Kepala BPBD yang dipegang oleh Sekretaris Daerah sebagai ex-officio, dan eselonisasi Kepala Pelaksana BPBD terutama pada BPBD Kabupaten/Kota Tipe B dalam UU Penanggulangan Bencana dan Permendagri 46/2008 perlu untuk dikaji ulang karena telah menyebabkan kendala BPBD dalam menjalankan fungsi komando, fungsi koordinasi, dan fungsi pelaksana.

e. Mitigasi Belum Menjadi Fokus Penanggulangan Bencana
Upaya mitigasi bencana belum menjadi prioritas dalam UU Penanggulangan Bencana dibandingkan dengan upaya tanggap darurat dan pascabencana. Hal ini menyebabkan arah kebijakan publik berupa rencana penanggulangan bencana belum optimal digunakan sebagai acuan dalam menurunkan risiko bencana, serta politik anggaran dalam melaksanakan upaya mitigasi bencana tidak menjadi prioritas.

f. Permasalahan Pengumpulan Uang dan Barang
Salah satu kewenangan pemerintah dan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah melakukan pengendalian dan penertiban pengumpulan dan penyaluran uang atau barang baik yang bersifat nasional maupun pada wilayahnya. Pengaturan ini tidak hanya diatur dalam UU Penanggulangan Bencana, melainkan juga diatur dalam UU PUB dan Permensos 8/2021. Dalam implementasinya selama ini penyelenggaraan pengumpulan uang atau barang masih terkendala dikarenakan banyaknya masyarakat yang tidak mengajukan permohonan izin pengumpulan uang atau barang dan minimnya pengawasan dari Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota dalam penyelengaraan pengumpulan uang atau barang yang kemudian berdampak pada seringkali bantuan baik berupa uang ataupun barang yang diberikan kepada korban bencana tidak tepat sasaran dan tidak bersesuaian dengan kebutuhan di lapangan.

3. Aspek Pendanaan
Salah satu tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah pengalokasian dana penanggulangan bencana dalam APBN dan APBD secara memadai. Dalam implementasinya masih terdapat beberapa permasalahan atau kendala terkait penanggulangan bencana, di antaranya pemerintah daerah masih belum memiliki anggaran yang cukup untuk penanggulangan bencana sehingga sangat bergantung dari pemerintah pusat; di Provinsi Sulut alokasi anggarana BPBD bersumber dari APBD dalam bentuk BTT sehingga tidak ada alokasi khusus untuk mitigasi dan rehabilitasi rekonstruksi bencana, dikarenakan BTT hanya digunakan untuk tahap tanggap darurat; dan di Provinsi Aceh selama ini, alokasi dana penanggulangan bencana masih sangat minim dalam tahap prabencana dan persoalan penanggulangan bencana yang belum menjadi prioritas pemerintah daerah.

4. Aspek Sarana dan Prasarana
a. Belum terbentuknya BPBD di Seluruh Daerah
Masih banyak daerah yang belum memiliki BPBD dan daerah yang belum memiliki BPBD selama ini masih melaksanakan urusan kebencanaan dengan menggabungkan pada dinas terkait. Namun, hal tersebut justru menyebabkan BNPB mengalami kesulitan koordinasi untuk penanganan tanggap darurat bencana.

b. Rotasi Pegawai BPBD yang Terlalu Cepat
BPBD merupakan leading sector penanggulangan bencana di daerah. Hal ini menjadikan BPBD sebagai pelaku utama penanggulangan bencana di daerah, oleh karena itu harus memiliki SDM yang mumpuni. Adapun hal tersebut tidak dapat terwujud apabila SDM BPBD tidak dikelola dengan baik. Dalam implementasinya, rotasi SDM di BPBD selama ini terlalu cepat sehingga mengakibatkan pegawai yang melaksanakan tugas penyelenggaraan bencana tidak memiliki keahlian di bidang tersebut. Hal ini dapat menghambat dan mengganggu keberlangsungan penanggulangan bencana di daerah.

c. Kendala dalam Early Warning System (EWS)
Pemerintah bertanggung jawab terhadap pengadaan alat (tools) peringatan dini melalui beberapa Kementerian/Lembaga seperti BNPB,Kementerian PUPR, BMKG, dan Kementerian ESDM sebagaimana dikemukakan oleh BNPB. Namun, pada implementasinya, Indonesia masih mengalami beberapa kendala terkait peringatan dini, terutama dalam pengadaan alat EWS serta perawatannya di daerah.
Banyaknya kerusakan dan kurang memadainya peralatan EWS di Indonesia disebabkan oleh kurangnya kemampuan Pemerintah Daerah untuk melakukan perawatan dan melakukan pengadaan peralatan EWS. Pemerintah Daerah juga belum mengalokasikan dana khusus pengadaan alat EWS dan perawatannya.

d. Kendala dalam Pemenuhan Layanan Kebutuhan Dasar
Pasal 53 UU Penanggulangan Bencana mengatur bahwa penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat meliputi pemenuhan kebutuhan dasar dengan menyediakan bantuan bencana. Adapun bantuan bencana yang diberikan diantaranya meliputi kebutuhan air bersih dan sanitasi, pangan, sandang, pelayanan kesehatan, pelayanan psikososial, dan penampungan dan tempat hunian. Namun, dalam implementasinya selama ini meskipun bantuan korban bencana tersebut telah dilakukan akan tetapi masih menemui beberapa kendala, diantaranya pemberian layanan psikososial yang tidak memiliki standar yang sama; pemberian layanan psikososial yang tidak merata di beberapa titik wilayah bencana; pemberian layanan psikososial yang hanya terpusat pada Anak padahal terdapat korban lainnya yang juga membutuhkan layanan untuk memulihkan trauma akibat bencana; tidak meratanya distribusi bantuan; dan anggaran yang minim yang mengakibatkan pemberian bantuan bencana yang tidak bersesuaian dengan kebutuhan korban bencana.

5. Aspek Budaya Hukum
a. Belum Optimalnya Peran Serta Masyarakat dalam Penanggulangan Bencana
Peran serta masyarakat dalam penanggulangan bencana telah diatur dalam UU Penanggulangan Bencana dan juga diatur dalam Perka BNPB 11/2014. Dalam implementasinya selama ini, peran serta masyarakat hanya sedikit sekali disinggung dalam UU Penanggulangan Bencana dan masih banyaknya masyarakat yang belum berperan aktif dalam penanggulangan bencana.

b. Kendala dalam Relokasi Masyarakat dari Zona Rawan Bencana
Mitigasi bencana merupakan salah satu upaya penanggulangan bencana. Salah satu upaya mitigasi bencana yang diatur dalam UU Penanggulangan Bencana adalah relokasi masyarakat dari daerah yang memiliki potensi bencana tinggi dan masyarakat yang terkena dampak bencana ke tempat yang lebih aman serta memiliki potensi bencana yang lebih rendah. Adapun dalam implementasinya relokasi masyarakat sulit dilakukan dikarenakan letak tempat tinggal masyarakat yang dekat dengan mata pencaharian utama dan dengan keluarga sehingga menimbulkan hubungan psikologis yang kuat antara korban dengan lokasi tempat tinggal. Selain itu terdapat pula faktor rendahnya kesadaran masyarakat terkait penanggulangan bencana.

6. Aspek Pengarusutamaan Pancasila
Berdasarkan hasil telaahan dari Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) masih terdapat berbagai catatan kritis atas pelaksanaan undang-undang tersebut yang dinilai belum optimal dalam menyelesaikan permasalahan bencana di Indonesia sehingga bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila:
a. Pasal 1 UU Penanggulangan Bencana
Pasal 1 UU Penanggulangan Bencana memberikan berbagai definisi mengenai Bencana. Salah satu permasalahan yang ada adalah dalam pendefinisian bencana alam belum mengakomodasi permasalahan bencana yang saat ini sering terjadi, seperti bencana alam yang diakibatkan oleh manusia (man-made disaster) dan bencana yang diakibatkan faktor perubahan iklim. Terhadap permasalahan tersebut, ketentuan Pasal 1 UU Penanggulangan Bencana bertentangan dengan Sila Kedua Indikator Ketiga, Sila Kelima Indikator Pertama dan Indikator Ketiga.

b. Pasal 7 UU Penanggulangan Bencana
Pasal 7 UU Penanggulangan Bencana mengatur tentang wewenang Pemerintah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana dan penetapan status dan tingkat bencana nasional dan daerah. Terkait dengan pengaturan tersebut, terdapat parameter atau standar yang digunakan untuk menentukan status dan tingkatan bencana nasional dan daerah dalam peraturan pelaksana sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 7 ayat (3) UU Penanggulangan Bencana. Namun, peraturan pelaksana tersebut belum diterbitkan hingga saat ini sehingga bertentangan dengan Sila Kedua Indikator Ketiga, sila Kelima Indikator Pertama dan Indikator Ketiga.

c. Pasal 26 UU Penanggulangan Bencana
Pasal 26 UU Penanggulangan Bencana mengatur tentang hak masyarakat. Akan tetapi dalam UU Penanggulangan Bencana belum mengatur tentang peran serta masyarakat dalam proses penanggulangan bencana, melainkan hanya memuat hak dan kewajiban masyarakat saja. Belum diaturnya peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana tersebut mengakibatkan minimnya partisipasi masyarakat secara luas dalam penanggulangan bencana sehingga berdampak pada rendahnya penerapan budaya gotong royong. Oleh karena itu, pengaturan tersebut bertentangan dengan dengan Sila Ketiga Indikator Kedua, Sila Ketiga Indikator Ketiga dan Indikator Keempat.

d. Pasal 10 sampai dengan Pasal 25 dan Pasal 51 ayat (2) UU Penanggulangan Bencana
Pasal 10 s.d. Pasal 24 UU Penanggulangan Bencana mengatur mengenai konfirgurasi atau sistem kelembagaan dalam penanggulangan bencana, melalui pembentukkan BNPB dan BPBD. Lebih lanjut dalam Pasal 51 ayat (2) UU Penanggulangan Bencana hanya mengatur kewenangan berbagai pihak dalam menentapkan status bencana, namun tidak mengatur secara jelas mengenai relasi kewenangan antarlembaga berdasarkan status sebuah bencana. Sehingga tidak sesuai dengan Sila Keempat Indikator Pertama.

1. Aspek Substansi Hukum:
a. diperlukan sinkronisasi dan harmonisasi antara Pasal 1 angka 2, angka 3, dan angka 4 UU Penanggulangan Bencana dengan Penjelasan Umum terkait cakupan/jenis-jenis bencana.
b. perlu mengubah rumusan Pasal 1 angka 1 UU Penanggulangan Bencana dengan mengubah kata “dan” menjadi “dan/atau” sehingga rumusan Pasal 1 angka 1 UU Bencana menjadi “Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan/atau dampak psikologis”.
c. diperlukan sinkronisasi dan harmonisasi antara UU Penanggulangan Bencana dengan UU terkait lainnya, yaitu UU Konflik Sosial, UU Wabah, dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Sinkronisasi dan harmonisasi tersebut dapat dilakukan dengan menambahkan frasa “sebagaimana diatur dalam undang-undang terkait” dalam Pasal 1 angka 3 dan angka 4 UU Penanggulangan Bencana agar pengaturan mengenai wabah, terorisme, dan konflik sosial dalam UU Penanggulangan Bencana dan undang-undang terkaitnya dapat selaras.
d. Pemerintah harus segera menerbitkan peraturan pelaksana terkait penetapan status dan tingkatan bencana nasional dan daerah.
e. perlu adanya perubahan nomenklatur “cacat” dalam perubahan UU Penanggulangan Bencana dengan menyesuaikan frasa dalam UU Penyandang Disabilitas.
f. perlu ditambahkan pengaturan khusus terkait hak dan kewajiban relawan guna menjamin pelindungan terhadap relawan khususnya relawan yang ikut terdampak menjadi korban pada saat terjadinya bencana.

2. Aspek Struktur Hukum:
a. perlu adanya pembagian tugas dan kewenangan yang jelas antar kementerian/lembaga terkait penyelenggaraan penanggulangan bencana. Pembagian tugas dan kewenangan tersebut dapat diwujudkan dalam suatu pengaturan khusus atau dalam bentuk surat keputusan bersama;
b. perlu menyinergikan semua pihak baik di tingkat pusat maupun daerah terkait penanggulangan bencana agar proses pengambilan kebijakan lebih cepat dan tepat sesuai dengan prinsip dalam UU Penanggulangan Bencana;
c. diperlukan kesadaran terkait pentingnya penanggulangan bencana oleh seluruh elemen pemerintah, terutama pemerintah daerah sehingga dapat memiliki komitmen yang tinggi untuk lebih cepat, cermat dan tanggap dalam menghadapi bencana di daerah;
d. kelembagaan BNPB memerlukan penegasan sebagai leading sector dalam penanganan ketiga jenis bencana;
e. diperlukan pembagian wewenang yang jelas dengan kementerian/lembaga lainnya agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan;
f. perlunya memulai ersuas pembahasan RUU Penanggulangan Bencana yang telah dihentikan dan dijadikan sebagai Prolegnas Prioritas 2024.
g. apabila pilihan kebijakan pembentuk undang-undang nantinya tetap mempertahankan BPBD sebagai OPD maka diperlukan perbaikan dari sisi pola koordinasi dan pola komando untuk penguatan kelembagaan BPBD sebagai OPD. Sedangkan, apabila pilihan kebijakan pembentuk undang-undang nantinya mengubah desain kelembagaan BPBD sebagai instansi vertical dari BNPB maka diperlukan perbaikan pola komando dan alokasi anggaran penanggulangan bencana untuk penguatan kelembagaan BPBD sebagai instansi vertikal BNPB di daerah;
h. diperlukan pengkajian ulang urgensi pengklasifikasian tipologi BPBD beserta kriteria penetapannya;
i. diperlukan peninjauan ulang ketentuan eselonisasi Kepala BPBD dan Kepala Pelaksana BPBD agar tidak menghambat fungsi komando, fungsi koordinasi, dan fungsi pelaksana BPBD.
j. upaya mitigasi perlu menjadi prioritas dalam upaya penanggulangan bencana, baik dalam perbaikan UU Penanggulangan Bencana beserta peraturan pelaksananya, prioritas arah kebijakan ersua, hingga penguatan ketahanan masyarakat;
k. diperlukan peningkatan pengawasan oleh Kemensos atau Dinsos yang mengeluarkan izin atas pengumpulan uang/barang;
l. perlunya koordinasi antar OPD di daerah agar sumbangan kebencanaan dapat tersalurkan dengan cepat dan tepat sasaran; dan
m. diperlukan mekanisme audit terkait sumbangan kebencanaan yang menyesuaikan dengan Permensos 8/2021.

3. Aspek Pendanaan
Perlu peningkatan komitmen dari pemerintah daerah yaitu kesadaran dari pemerintah daerah untuk menganggarkan dana penanggulangan bencana serta diperlukan aturan atau petunjuk teknis terkait dengan penggunaan dana siap pakai dan belanja tidak terduga.

4. Aspek Sarana dan Prasarana:
a. perlunya membentuk BPBD yang berdiri sendiri dan tidak digabung dengan OPD lain serta perlu segera membentuk BPBD pada setiap kabupaten/kota agar pengoordinasian penanggulangan bencana dari pusat hingga daerah terkoordinasi dengan baik dan optimal;
b. diperlukan perubahan skema kepegawaian di BPBD menjadi fungsional analis kebencanaan sebagaimana skema kepegawaian di BNPB yang diatur dalam Peraturan BNPB 1/2022 dan Permen PANRB 87/2020. Hal ini bertujuan agar mengurangi kepentingan politis dan terciptanya pengelolaan SDM yang baik di BPBD sehingga setiap pekerjaan dapat dilakukan oleh orang yang tepat dan mumpuni serta menghasilkan terselenggaranya penanggulangan bencana yang baik di daerah;
c. perlu adanya komitmen Pemerintah Daerah dalam pengadaan alat EWS dengan dapat bekerjasama sektor swasta dalam pemenuhan kekurangan jumlah sirine serta pemeliharaannya serta perlu dibuat single emergency number yang terpadu dan mengakomodir instansi-instansi yang menangani kedaruratan bencana;
d. penyelenggaraan penanggulangan bencana harus berpedoman pada PP Standar Pelayanan Minimun agar terdapat standar yang sama;
e. diperlukan koordinasi yang terpadu dan menyeluruh dengan melibatkan berbagai pihak lainnya seperti masyarakat, lembaga usaha, lembaga internasional, dan/atau lembaga asing non-pemerintah agar upaya-upaya dalam hal penyediaan bantuan becana dapat terlaksana dengan optimal;
f. diperlukan perbaikan dari sisi infrastruktur, maupun sarana dan prasarana pendukung agar tidak menjadi penghambat dalam pendistribusian bantuan bencana; dan
g. diperlukan koordinasi pihak-pihak yang terlibat untuk menyelaraskan data kebutuhan korban bencana dengan bantuan yang diberikan.

5. Aspek Budaya Hukum:
a. perlu adanya sosialisasi yang lebih masif dari pemerintah dan pemerintah daerah yang dilakukan secara berkala guna memberikan edukasi kepada masyarakat tentang perannya dalam penanggulangan bencana. Sosialisasi dan edukasi kebencanaan ini tidak hanya dilakukan oleh BNPB namun juga dapat dilakukan oleh kementerian/lembaga lainnya yang memiliki tugas pokok dan fungsi dalam hal kebencanaan;
b. diperlukan sosialisasi dan edukasi yang lebih masif dari pemerintah maupun pemerintah daerah terkait daerah-daerah rawan bencana kepada masyarakat sehingga tumbuh pemahaman dari masyarakat terkait larangan bagi masyarakat untuk bermukim di daerah rawan bencana;
c. diperlukan pendekatan ersuasive dari pemerintah dan pemerintah daerah dalam melakukan relokasi bagi masyarakat yang telah bermukim di daerah rawan bencana agar relokasi tersebut dapat terlaksana dengan baik. Pendekatan ersuasive tersebut dapat dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah dengan melibatkan ketua adat setempat mengingat ketua adat merupakan pihak yang dihormati oleh masyarakat; dan
d. diperlukan komitmen dari pemerintah dan pemerintah daerah untuk memberikan ganti rugi bagi masyarakat yang telah di relokasi daerah daerah rawan bencana. Ganti rugi tersebut juga harus disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yang di relokasi terutama dalam hal penyediaan lapangan pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya selama ini.

6. Aspek Pengarustamaan Pancasila
a. Revisi atau ubah ketentuan dalam UU Penanggulangan Bencana yang tidak selaras dengan Nilai Pancasila;
b. Muat ketentuan baru yang relevan dalam UU Penanggulangan Bencana untuk melengkapi dan mengakomodasi kebutuhan dan kebaharuan zaman;
c. Dalam proses revisi UU Penanggulangan Bencana harus memperhatikan hasil-hasil riset, mendengarkan masukan para pakar dan akademisi, mendasarkan pada data-data yang valid sebagai referensi, serta membandingkan dan mempelajari best practices dari sistem penanggulangan bencana di negaranegara lainnya;
d. Proses revisi UU Penanggulangan Bencana harus dilandaskan pada nilai-nilai luhur Pancasila, mengakomodasi kepentingan rakyat seluas-luasya dan melibatkan partisipasi aktif masyarakat.

KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 34 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN KEUANGAN HAJI / 01-12-2022

Pengelolaan keuangan haji erat kaitannya dengan penyelenggaraan ibadah haji bagi umat muslim. Hal ini terjadi karena ibadah haji yang merupakan salah satu ibadah yang wajib dilaksanakan oleh setiap muslim yang mampu. Dikarenakan waktu tunggu untuk melaksanakan ibadah haji terbilang cukup lama dikarenakan kuota haji yang terbatas menyebabkan banyak jemaah haji yang mendaftar haji terlebih dahulu. Besarnya pendaftar ibadah haji ini lantas membuat penumpukan dana haji yang cukup besar juga. Maka dari itu diperlukan kepastian hukum yang menjamin pengelolaan keuangan haji untuk penyelenggeraan ibadah haji. Perlindungan dan jaminan pengelolaan keuangan haji umat muslim dijamin oleh negara melalui Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 Pengelolaan Keuangan Haji (UU Pengelolaan Keuangan Haji). UU Pengelolaan Keuangan Haji bertujuan sebagai payung hukum guna menjamin pengelolaan keuangan haji di Indonesia dimana pengelolaan tersebut dilaksanakan oleh suatu lembaga pengelola keuangan haji.

Selama kurang lebih 8 (delapan) tahun sejak UU Pengelolaan Keuangan Haji diundangkan belum terdapat permohonan pengujian undang-undang sehingga norma-norma dalam UU Pengelolaan Keuangan Haji keseluruhannya tetap berlaku hingga saat ini. Namun, dalam pelaksanaan UU Pengelolaan Keuangan Haji masih terdapat beberapa permasalahan, baik dari sisi substansi, kelembagaan, sarana dan prasarana, budaya hukum, serta dari sisi pemenuhan nilai-nilai Pancasila. Permasalahan dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan Pengelolaan Keuangan Haji yang terjadi selama ini antara lain yaitu adanya perbedaan pengaturan UU Pengelolaan Keuangan Haji dengan UU terkait lainnya; kurangnya sinergitas antara Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) dengan Kementrian Agama maupun DPR dalam hal penetapan biaya ibadah haji ; belum optimalnya pengawasan eksternal untuk Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH); dan belum optimalnya peran serta masyarakat. Hal ini menyebabkan belum optimalnya fungsi dan tujuan penyelenggaraan Pengelolaan Keuangan Haji sebagaimana diamanatkan oleh UU Pengelolaan Keuangan Haji. Selama berlakunya UU Pengelolaan Keuangan Haji, terdapat beberapa undang-undang yang secara substansial terdapat perbedaan pengaturan dengan UU Pengelolaan Keuangan Haji, antara lain:
1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (UU
Perbankan Syariah);
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU PIHU);
3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja).

Provinsi Jawa Timur, Provinsi Bengkulu, dan Provinsi Sulawesi Selatan

Aspek Substansi Hukum
a. Perbedaan Pengaturan dalam UU Pengelolaan Keuangan Haji dan UU Penyelenggaran Ibadah Haji dan Umrah
1) Perbedaan Definisi Penyelenggaraan Ibadah Haji
Terdapat perbedaan pengaturan antara Pasal 1 angka 9 UU PKH dengan
Pasal 1 angka 3 UU PIHU. Pasal 1 angka 9 UU PKH, menyebutkan Penyelenggaraan Ibadah Haji adalah “…rangkaian kegiatan pengelolaan
pelaksanaan ibadah haji yang meliputi pelaksanaan pembinaan, pelayanan, dan perlindungan jemaah haji…”. Sedangkan dalam Pasal 1 angka 3 UU PIHU, menyebutkan Penyelenggaraan Ibadah Haji adalah “…kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan, evaluasi, dan pelaporan…”. Merujuk pada perbedaan dari kedua definisi tersebut menunjukkan bahwa UU PKH masih mengikuti rezim UU 13/2008 yang telah dicabut dengan UU PIHU yang berlaku sejak 29 April 2019.

2) Perbedaan Definisi Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji
Ketentuan Pasal 1 angka 12 UU PKH dengan Pasal 1 angka 13 UU PIHU terkait dengan definisi biaya penyelenggaraan ibadah haji menimbulkan perbedaan pemahaman pada implementasinya. Terhadap persandingan kedua definisi tersebut dipahami ketentuan biaya penyelenggaraan ibadah haji yang dimaksud dalam UU PKH tidak sejalan dengan yang terdapat dalam UU PIHU, melainkan pendefinisian biaya penyelenggaraan haji di dalam UU PKH justru memiliki makna Bipih sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 angka 12 UU PIHU. Hal ini memberikan sebuah efek domino terhadap sumber BPIH yang termuat dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU PKH dengan Pasal 44 UU PIHU, sehingga menimbulkan ketidakjelasan serta bertentangan dengan aspek transparan di dalam UU PKH.

b. Penggabungan UU Pengelolaan Keuangan Haji dan UU Penyelenggaran Ibadah Haji dan Umrah Dengan Metode Omnibus Law
Persoalan disharmoni pengaturan maupun ego sektoral penyelenggaraan keuangan haji dan pengelolaan keuangan haji menyebabkan tidak efektifnya penyelenggaraan haji. Hal ini terutama dalam melakukan pengelolaan haji yang belum selaras dengan arah kebijakan penyelenggaraan haji. Sehingga, diperlukan adanya penyelarasan UU PKH dan UU PIHU. Salah satu penyelesaian yang dapat dilakukan untuk meyelaraskan keduanya, dapat dilakukan dengan menggabungkan kedua undang-undang tersebut dengan menggunakan metode omnibus law atau dengan membentuk 1 (satu) undang-undang baru yang bersifat
payung hukum (umbrella act) bagi penyelenggaraan ibadah haji dan umrah.

2. Aspek Struktur Hukum
a. Mitigasi Risiko atas Tanggung Renteng dalam Penempatan dan/atau Investasi Keuangan Haji
Penempatan dan/atau investasi keuangan haji merupakan salah satu bentuk pengelolaan keuangan haji untuk memperoleh nilai manfaat yang lebih besar. Namun, adanya batasan prinsip kehati-hatian dan keamanan membatasi BPKH dalam melakukan investasi keuangan haji. Hal ini juga disebabkan karena adanya pertanggungjawaban tanggung renteng apabila terjadi kesalahan atau kealpaan dalam investasi. Akibatnya BPKH hanya melakukan investasi pada aset-aset yang berisiko rendah untuk mengurangi kemungkinan kerugian.

b. Pelibatan BPKH Dalam Penentuan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji
Penyelenggaraan ibadah haji setiap tahunnya dibiayai dari keuangan haji yang bersumber tidak hanya dari setoran calon Jemaah haji, tetapi juga bersumber dari nilai manfaat dan dana efisiensi penyelenggaraan ibadah haji tahun sebelumnya. Biaya penyelenggaraan ibadah haji tersebut ditetapkan setiap tahunnya oleh Presiden melalui mekanisme pengusulan oleh Kemenag kepada DPR RI. Pada penyelenggaraan ibadah haji tahun 2022, biaya penyelenggaraan ibadah haji reguler terjadi kenaikan biaya masyair sekitar Rp. 1,5 triliun, dan kenaikan tersebut diluar prediksi perhitungan Kemenag. Dalam pelaksanaannya selama ini, BPKH sebagai badan yang mengelola keuangan haji tidak pernah dilibatkan sejak awal dalam penyusunan perhitungan biaya penyelenggaraan haji. Hal ini yang menyebabkan terjadinya perhitungan biaya penyelenggaraan ibadah haji yang kurang tepat.

c. Perlunya Penyesuaian Kewenangan BPKH
Aspek pengelolaan keuangan haji yang menjadi kewenangan BPKH pada praktiknya dianggap tumpang tindih/duplikasi peran dengan Dirjen PHU Kemenag. Kewenangan yang dilaksanakan BPKH selama ini dianggap dilakukan diluar kewenangannya, seperti mengusulkan anggaran tandingan dan melakukan pembahasan kontrak nego pesawat (penerbangan). Berdasarkan Pasal 22 UU PKH telah menugaskan kepada BPKH yang diantaranya adalah pengeluaran dan pertanggungjawaban keuangan haji. Selanjutnya Pasal 24 huruf b UU PKH juga telah memberikan kewenangan kepada BPKH untuk melakukan kerja sama dengan lembaga lain. Atas dasar ketentuan tersebut, kewenangan BPKH dalam mengusulkan anggaran dan melakukan pembahasan kontrak nego pesawat tidak bertentangan dengan UU PKH. Namun demikian, hal tersebut dianggap sebagai permasalahan akibat adanya tumpang tindih/duplikasi peran kewenangan antara BPKH dengan Kemenag yang berasal dari ketidaktegasan batasan kewenangan BPKH dalam tindakan yang beririsan dengan pengeluaran penyelenggaraan ibadah haji.

d. Pengawasan Eksternal Terhadap BPKH
Pasal 54 UU PKH mengamanatkan pengawasan terhadap BPKH dilakukan secara internal dan eksternal. Pada sisi pengawasan dari pihak eksternal ditemukan catatan belum terpenuhinya aspek syariah. Hal ini ditandai dengan standar akutansi yang masih terbatas pada standar akutansi negara, meskipun terdapat kewenangan BPK untuk melakukan audit tersebut, tetapi BPKH yang merupakan entitas dengan keunikan. Sebagaimana das sollen BPKH pada dasarnya bersifat nirlaba, namun secara das sein di saat bersamaan BPKH turut mengelola dana jemaah haji melalui pendekatan korporatif.

3. Aspek Pendanaan
a. Penempatan Investasi Keuangan Haji Pada Sektor Pelayanan Haji
BPKH diberikan kewenangan melakukan penempatan dan/atau investasi sebagaimana diatur dalam UU PKH dengan tetap berpegang pada prinsip syariah, optimal, aman dan likuiditas sehingga tidak ada pembatasan dalam UU PKH terkait dengan investasi yang akan dilakukan oleh BPKH. Pembatasan yang ada hanya dalam hal kuota atau jumlah batas maksimum investasi langsung. Pengelolaan dana haji saat ini telah bergeser dari fokus sektor perbankan syariah dan memindahkannya ke instrumen investasi lain yang dianggap mampu memberikan imbal hasil yang lebih optimal, namun jumlahnya belum sesuai dengan ketentuan Pasal 27 PP PKH.

b. Distribusi Nilai Manfaat Dana Haji Jemaah Tunggu Untuk Penyelenggaraan Ibadah Haji di Tahun Berjalan
Skema pembiayaan haji saat ini masih menggunakan skema distribusi nilai manfaat (biasa disebut subsidi dana haji) yang diambil dari hasil pengelolaan dana haji milik jemaah yang belum berangkat. Dari data Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tahun 2021, terdapat distribusi nilai manfaat yang diberikan kepada jemaah sebesar lebih dari 50% (lima puluh persen) dari total BPIH, sementara hasil pengelolaan keuangan haji rata-rata dalam 1 (satu) tahun hanya mencapai 7% (tujuh persen) sampai 8% (delapan persen). Skema distribusi nilai manfaat dan minimnya hasil pengelolaan keuangan haji/nilai manfaat berpotensi memberatkan pengelolaan keuangan haji dan dapat memicu risiko likuiditas keuangan haji. Besaran distribusi nilai manfaat dana haji yang mencapai lebih dari 50% (lima puluh persen) dari total BPIH mempengaruhi kemampuan finansial secara rill serta dapat mempengaruhi syarat istithaah jemaah haji. Kondisi demikian dikhawatirkan memicu pengelolaan keuangan haji mengarah kepada Skema Ponzi.

4. Aspek Budaya Hukum
a. Tanggapan Masyarakat Atas Usulan Nama Calon Anggota BPKH
UU PKH telah membuka ruang keterlibatan masyarakat dalam pemilihan calon anggota Badan Pelaksana dan calon anggota Dewan Pengawas BPKH yang telah memenuhi prinsip transparan karena membuka peluang turut dilibatkannya masyarakat sebagai pemilik dana haji, dan tentu akan meningkatkan kepedulian masyarakat atas pengelolaan keuangan haji. Namun demikian, masyarakat masih belum mengetahui adanya mekanisme penerimaan atau respon dari tanggapan masyarakat atas calon anggota Badan Pelaksana dan calon anggota Dewan Pengawas BPKH, dan juga tidak pernah dimintai tanggapan sebagai bagian dari masyarakat.

b. Kurangnya Sosialisasi Pengeloaan Dana Haji Kepada Calon Jemaah Haji
Pengetahuan masyarakat terkait pengelolaan keuangan haji hanya sebatas besaran Bipih yang ditetapkan DPR RI dan Kemenag, dan tidak mengetahui mengenai pengelolaan keuangan haji. Hal ini dikarenakan Kemenag selaku operator maupun BPKH selaku pengelola keuangan haji kurang memberikan sosialisasi dan tidak mematuhi prinsip keterbukaan kepada calon jemaah haji terkait dana pengelolaan keuangan haji. Di sisi lain, selain kurangnya sosialiasi penyebab ketidaktahuan masyarakat dikarenakan sikap abai masyarakat terhadap pengelolaan keuangan haji yang berimplikasi pada pengetahuan masyarakat terhadap jumlah nilai manfaat dari setoran awal yang diperoleh setiap calon jemaah haji. Hal demikian mempengaruhi pengetahuan masyarakat terhadap jumlah nilai manfaat dari setoran awal yang diperoleh calon jemaah haji. Seharusnya BPKH atau Kemenag memberikan kemudahan dan membuka akses seluas-luasnya kepada masyarakat melalui platform digital untuk dapat mengetahui optimalisasi atau nilai manfaat dari setoran awal calon jemaah haji.

5. Aspek Pengarusutamaan Nilai-Nilai Pancasila
Pancasila sebagai dasar negara mempunyai nilai-nilai yang harus diterapkan dalam bernegara. Munculnya berbagai persoalan menunjukkan bahwa telah tergerusnya nilai-nilai Pancasila dalam penerapannya. Oleh karena itu, pengarusutamaan nilai-nilai Pancasila sangat diperlukan untuk menyelaraskan tujuan negara. Dalam konteks materi muatan dalam UU PKH perlu untuk ditinjau kembali, terutama berkaitan dengan persoalan persoalan yang menimbulkan adanya pertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, antara lain:
a. Aspek Substansi

1) Adanya perbedaan definisi dalam penyelenggaraan ibadah haji sebagaimana pengaturan dalam Pasal 1 angka 9 UU PKH dan Pasal 1 angka 3 UU PIHU memberikan dampak ketidakselarasan dalamimplementasinya. Ketidakselarasan menyebabkan adanyapertentangan dengan sila keempat Pancasila, sebab pada dasarnya pembentukan suatu aturan harus memperhatikan hikmat kebijaksanaan.

2) Perbedaan definisi BPIH dalam Pasal 1 angka 12 UU PKH dengan Pasal 13
UU PIHU, menyebabkan adanya multitafsir. Ketidakharmonisan pasal pasal tersebut menimbulkan ketidakselarasan dalam pelaksanaannya, terutama berkaitan dengan pemaknaan Biaya penyelenggaraan haji. Sehingga, hal ini perlu diselaraskan agar sejalan dengan nilai-nilai
Pancasila, terutama berkaitan dengan Sila Kelima Pancasila.

b. Aspek Struktur Hukum/Kelembagaan
1) Pengawasan terhadap BPKH dilakukan secara internal dan eksternal. Adapun pengawasan internal dilaksanakan oleh Dewan Pengawas BPKH, sedangkan pengawasan eksternal dilakukan oleh BPK. Namun, hingga saat ini belum ada pengawasan eksternal yang khusus mengawasi standar pelaksanaan akuntansi yang berbasis syariah. Oleh sebab itu, diperlukan adanya penambahan mekanisme audit yang diserahkan kepada pihak yang telah tersertifikasi syariah. Hal ini mengingat rentanya praktik riba dalam pasar keuangan, yang tentu saja menimbang pada prinsip-prinsip dalam UU PKH, maka bertentangan dengan sila Pertama Pancasila.

2) Pasal 53 ayat (1) UU PKH rentan terjadi penyalahgunaan kekuasaan terhadap tanggung jawab renteng akibat ketiadaan sanksi. Hal ini tidak sesuai dengan nilai sila keempat Pancasila. Selain itu, sangat jelas bahwa Pasal 53 ayat (2) UU PKH telah mengatur pengecualian dari tanggungjawab renteng berdasarkan indikator/alasan tertentu. Namun, di sisi lain UU PKH maupun ketentuan turunanya tidak ada memberikan mekanisme yang spesifik untuk menjelaskan mengenai poin-poin ataut rincian guna lepas dari tanggung jawab tanggung renteng.

1. Dalam aspek Substansi Hukum, diperlukan:
a. Harmonisasi rumusan definisi penyelenggaraan ibadah haji dalam Pasal 1 angka 9 UU PKH dengan Pasal 1 angka 3 UU PIHU.
b. Harmonisasi pengaturan terkait rumusan istilah BPIH dan Bipih pada Pasal 1 angka 12 UU PKH dengan Pasal 1 angka 12 UU PIHU diikuti pengaturan terkait sumber BPIH dalam Pasal 7 ayat (1) UU PKH dengan Pasal 44 UU PIHU.
c. Pembentuk undang-undang perlu mempertimbangkan penyatuan UU PKH dan UU PIHU dengan metode omnibus law atau dengan membentuk 1 (satu) undang-undang baru (umbrella act) penyelenggaraan ibadah haji dan umrah sebagai bentuk penyelarasan materi muatan maupun kelembagaan dalam penyelenggaraan haji dan pengelolaan dana haji.

2. Dalam aspek Struktur Hukum/Kelembagaan, diperlukan:
a. Mendorong BPKH untuk melakukan penempatan dan/atau investasi keuangan haji pada sektor high risk dengan berdasarkan mitigasi risiko yang telah ditetapkan sebagai jaring pengaman potensi kerugian.
b. Pelibatan BPKH dalam penyusunan perhitungan biaya penyelenggaraan ibadah haji hingga penetapannya agar dapat mengantisipasi kenaikan biaya masyairdengan menyediakan kebutuhan pendanaan penyelenggaraan ibadah haji secara cepat dan tepat.
c. Tugas BPKH yang dilaksanakan untuk menjalankan kewenangannya baik yang bersinggungan dengan Kemenag maupun kewenangan-kewenangan lainnya perlu diinventarisir, dipisahkan secara tegas tugas dan kewenangannya, serta diatur secara jelas dalam undang-undang dan peraturan pelaksanaannya.
d. Pelibatan KAP sebagai pengawas eksternal supaya terpenuhi prinsip syariahdengan penggunaan standar akutansi syariah.

3. Dalam aspek Pendanaan, diperlukan:
a. Pengaturan kembali penempatan dan/atau investasi dana haji pada sektor-sektor yang terkait langsung dengan pelayanan haji seperti hotel/pemondokan, pesawat, dan ready meal and services sehingga dapat menghemat biaya penyelenggaran haji dan umrah yang selama ini masih bergantung pada provider di Arab Saudi.
b. Nilai setoran awal calon jemah haji perlu dinaikkan agar dapat menyeleksi calon jemaah haji yang istitha’ah (mampu secara finansial), namun perlu memperhatikan kemampuan seluruh masyarakat muslim Indonesia. Selain itu, perlu optimalisasi investasi keuangan haji dengan instrumen investasi langsung maupun investasi tidak langsung agar menghindari pengelolaan keuangan haji menjadi Skema Ponzi.

4. Dalam aspek Budaya Hukum, diperlukan:
a. Sosialisasi Pasal 37 UU PKH secara masif dan komprehensif dengan melibatkan lebih banyak media terutama media-media besar nasional, agar informasi dapat diterima secara lebih luas dan mendalam oleh masyarakat.
b. Sinergitas antara BPKH, Kemenag, serta Bank Penerima Setoran untuk
memberikan sosialisasi edukasi dan diseminasi yang berkelanjutan perihal
pengelolaan keuangan haji kepada calon jemaah haji.

5. Dalam aspek Pengarustamaan Nilai-Nilai Pancasila, diperlukan:
a. Aspek Substansi
Perlu untuk mengharmonisasikan definisi agar tercipta kepastian hukum dalam penyelenggaraan ibadah haji, sehingga secara penegakan hukum dan penerapan hukumnya tidak terjadi mis-komunikasi dan mis-interpretasi.

b. Aspek Struktur Hukum/Kelembagaan
1) Perlu menambahkan auditor syariah yang telah tersertifikasi guna melakukan audit atas akuntansi BPKH dalam pengelolaan keuangan haji.
2) Pengaturan terkait tanggung renteng masih diperlukan guna memberikan pertanggungjawaban bagi BPKH dalam melaksanakan penempatan dan/atau investasi dengan hati-hati. Hal tersebut penting karena aturan tanggung renteng Pasal 53 UU PKH memberikan syarat-syarat pengecualian untuk lepas dari tanggungjawab ini.

KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM / 01-12-2022

Salah satu pemenuhan hak asasi manusia di hadapan hukum adalah hak atas Bantuan Hukum. Hak atas Bantuan Hukum telah diterima secara universal yang dijamin dalam Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) atau ICCPR. Pasal 16 dan Pasal 26 ICCPR menjamin semua orang berhak memperoleh perlindungan hukum serta harus dihindarkan dari segala bentuk diskriminasi. Sedangkan Pasal 14 ayat (3) ICCPR, memberikan syarat terkait Bantuan Hukum yaitu: 1) kepentingan-kepentingan keadilan, dan 2) tidak mampu membayar Advokat.

Selama ini pemberian Bantuan Hukum yang dilakukan belum banyak menyentuh orang atau kelompok orang miskin, sehingga mereka kesulitan untuk mengakses keadilan karena terhambat oleh ketidakmampuan mereka untuk mewujudkan hak-hak konstitusional mereka. Sehingga dianggap penting oleh pembentuk undang-undang untuk membentuk Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum (UU Bankum) yang diharapkan lebih memberikan jaminan terhadap hak-hak konstitusional orang atau orang kelompok miskin.

Dalam dinamikanya, tujuan dari penyelenggaraan UU Bankum yaitu menjamin dan memenuhi hak bagi Penerima Bantuan Hukum untuk mendapatkan akses keadilan; mewujudkan hak konstitusional segala warga negara sesuai dengan prinsip persamaan kedudukan di dalam hukum; menjamin kepastian penyelenggaraan Bantuan Hukum dilaksanakan secara merata di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia; dan mewujudkan peradilan yang efektif, efisien, dan dapat dipertanggungjawabkan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 3 UU Bankum yang dirasa belum sepenuhnya terwujud, karena masih terdapat potensi disharmoni UU Bankum dengan undang-undang terkait lainnya, masih belum meratanya akses Penerima Bantuan Hukum, serta masih terdapat keterbatasan anggaran penyelenggaraan Bantuan Hukum.

Provinsi Sulawesi Selatan, Provinsi Sumatera Barat, dan Provinsi Lampung

1. Aspek Substansi Hukum
a. Perbedaan Pengaturan Penyelenggaraan Bantuan Hukum antara UU Bankum dengan KUHAP dan UU Advokat
Penyelenggaraan Bantuan Hukum dalam UU Bankum memiliki perbedaan pengaturan dengan KUHAP dan UU Advokat, yaitu sebagai berikut:
1) Pasal 56 ayat (1) KUHAP memberikan batasan ancaman pidana bagi masyarakat miskin yang dapat diberikan Bantuan Hukum yaitu hanya yang dikenai ancaman pidana lebih dari 5 (lima) tahun, sedangkan Pasal 1, Pasal 4, dan Pasal 5 UU Bankum menyatakan bahwa Penerima Bantuan Hukum adalah orang atau kelompok orang miskin yang diukur dari dapat/tidaknya seseorang memenuhi hak dasar (meliputi hak atas pangan, sandang, layanan kesehatan, layanan pendidikan, pekerjaan dan berusaha, dan/atau perumahan) secara layak dan mandiri.
2) Pasal 1 angka 2 dan angka 8 UU Advokat memberikan konsep pemberian Bantuan Hukum cuma-cuma oleh advokat dengan bentuk Pro Bono sebagai kewajiban yang melekat pada individu advokat sebagai wujud sumbangsih dari keprofesiannya kepada negara dan oleh karenanya Pro Bono tidak diberikan honorarium dari si pencari keadilan maupun dari negara. Hal ini berbeda dengan pemberian Bantuan Hukum (legal aid) diselenggarakan oleh Pemerintah dan dilaksanakan oleh OBH terakreditasi untuk memberikan Bantuan Hukum kepada orang atau kelompok orang miskin dengan didanai oleh anggaran negara (APBN, hibah, dan sumber lain yang sah) yang diatur dalam UU Bankum. Perbedaan pengaturan ini berpotensi menimbulkan perbedaan pemahaman masyarakat, OBH, praktisi hukum, advokat, dan aparat penegak hukum dalam melaksanakan pemberian Bantuan Hukum kepada masyarakat miskin/masyarakat tidak mampu. Perbedaan pemahaman ini yang seringkali menimbulkan multiinterpretasi dalam implementasinya.
b. Tidak Adanya Definisi Frasa “Jasa Hukum” dalam UU Bantuan Hukum
Frasa “jasa hukum” dalam Pasal 1 angka 1 UU Bankum tidak disertai penjelasan ruang lingkup maupun bentuknya, serta dalam batang tubuh UU Bankum juga tidak terdapat pengertian mengenai jasa hukum. Hal ini pada akhirnya mengakibatkan ketidakjelasan dan melahirkan potensi multitafsir antara yang dimaknai oleh Pemberi Bantuan Hukum, Penerima Bantuan Hukum, maupun Penyelenggara Bantuan Hukum, khususnya ketika dikaitkan dengan penggunaan kata “cuma-cuma”. Timbulnya multitafsir terhadap pemaknaan sebuah norma tentu akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan pada akhirnya akan menghambat tujuan yang hendak dicapai oleh UU Bankum. Oleh karena itu, perlu adanya pemberian batasan pengertian atau membuat definisi secara khusus terhadap frasa “jasa hukum” dalam bagian Ketentuan Umum dalam UU Bankum guna memperjelas frasa tersebut dan menghindari adanya multitafsir dalam implementasinya
c. Definisi Penerima Bantuan Hukum yang Dimaknai Multitafsir dalam Implementasinya
Meskipun ketentuan Pasal 1 angka 2 jo. Pasal 5 UU Bankum hanya mengatur Bantuan Hukum untuk orang atau kelompok orang miskin, namun dalam implementasinya masih terdapat permasalahan berupa adanya multitafsir dalam pemaknaan definisi Penerima Bantuan Hukum. Terdapat dualisme pandangan terkait Penerima Bantuan Hukum pada UU Bankum sebagai berikut:
1) Bantuan Hukum hanya diberikan kepada Penerima Bantuan Hukum kategori orang atau kelompok orang miskin sebagaimana telah diatur UU Bankum;
2) Bantuan Hukum diberikan kepada Penerima Bantuan Hukum kategori kelompok rentan (selain orang atau kelompok orang miskin).
Setidaknya terdapat 2 (dua) alasan mendasari terjadinya multitafsir dan dualisme pandangan tersebut. Pertama, frasa “Bantuan Hukum” pada UU Bankum beririsan dengan frasa “Bantuan Hukum” yang diberikan ke Penerima Bantuan Hukum selain orang atau kelompok orang miskin pada undang-undang terkait lainnya; Kedua, terdapat kebutuhan pemberian Bantuan Hukum terhadap kelompok rentan lainnya berdasarkan kendala implementasi di lapangan.
Dalam implementasinya terdapat orang yang tidak termasuk kategori miskin sebagaimana diatur Pasal 5 UU Bankum, namun secara finansial tidak mampu membayar jasa advokat sehingga perlu ada perluasan untuk mengakomodir hal tersebut. Terdapat potensi timbulnya kerancuan terkait penetapan definisi dari golongan miskin tersebut, belum jelasnya batasan parameter kategori miskin yang ditetapkan UU Bankum beserta peraturan turunannya, serta pernyataan status miskin yang disahkan hanya melalui surat pernyataan miskin

2. Aspek Struktur Hukum
Dari 619 (enam ratus sembilan belas) Pemberi Bantuan Hukum di 34 (tiga puluh empat) provinsi di Indonesia, masih terdapat disparitas jumlah OBH di Indonesia dengan pemerataan persebarannya. Terdapat 279 (dua ratus tujuh puluh sembilan) kabupaten/kota dari 514 (lima ratus empat belas) kabupaten/kota di seluruh Indonesia yang memiliki Pemberi Bantuan Hukum.
Hal tersebut berarti bahwa masih terdapat 235 (dua ratus tiga puluh lima) kabupaten/kota yang belum memiliki Pemberi Bantuan Hukum. Persebaran OBH yang belum merata menyebabkan penerapan UU Bankum menjadi tidak efektif dan efisien.

3. Aspek Pendanaan
a. Belum Memadainya Alokasi APBN dan APBD dalam Penyelenggaraan Bantuan Hukum
Pasal 16 UU Bankum mengamanatkan bahwa Pendanaan Bantuan Hukum yang diperlukan dan digunakan untuk penyelenggaraan Bantuan Hukum sesuai dengan Undang-Undang Bankum dibebankan kepada APBN. Pemerintah melalui Kemenkumham wajib mengalokasikan dana penyelenggaraan Bantuan Hukum tersebut. Dalam implementasinya, pendanaan Bantuan Hukum masih terkendala dengan belum optimalnya alokasi APBN untuk penyelenggaraan Bantuan Hukum. Alokasi APBN dalam standar pembiayaan Bantuan Hukum secara nasional khususnya terhadap perkara litigasi dianggap belum memadai serta belum sesuai kondisi riil dan dinamika perkembangan masyarakat. Pendanaan Bantuan Hukum masih belum memadai karena terdapat penyamarataan penganggaran pelaksanaan kegiatan Bantuan Hukum tanpa memperhatikan kondisi geografis, kondisi sosial Penerima Bantuan Hukum, jenis kasus, dan kebutuhan Penerima Bantuan Hukum. Belum optimalnya alokasi pendanaan pada APBN tersebut berimplikasi pada tidak terpenuhinya seluruh komponen pembiayaan dalam pemberian Bantuan Hukum dan berdampak pada kualitas Bantuan Hukum yang diberikan.
Pemanfaatan APBD sebagai upaya menyokong APBN dalam menyelenggarakan Bantuan Hukum juga masih belum optimal. Masih banyak provinsi dan kabupaten/kota dengan kemampuan APBD besar namun belum menerbitkan perda Bankum. Selain itu banyak Pemerintah Daerah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota yang telah menetapkan perda Bankum namun tidak diikuti dengan alokasi anggaran APBDnya sehingga penyelenggaraan bankum di daerahnya tidak dapat berjalan. Pembiayaan ganda (double reimbursement) oleh OBH juga seringkali terjadi disebabkan belum terintegrasinya data OBH yang ada antara data di pusat dan di daerah
b. Potensi Double Reimbursement karena Adanya Pos Anggaran Penyelenggaraan Bantuan Hukum Di Beberapa K/L dan Pemerintahan Daerah
Dalam penyelenggaraan Bantuan Hukum, Pemerintah melalui Kemenkumham menggunakan skema pembiayaan dengan sistem reimbursement terhadap Organisasi Bantuan Hukum yang sudah terverifikasi dan terakreditasi. Pada praktiknya, ditemukan sebuah permasalahan dalam pelaksanaan sistem reimbursement atau penggantian biaya pendahuluan yakni adanya potensi double reimbursement yang disebabkan adanya pos anggaran penyelenggaraan Bantuan Hukum di beberapa K/L dan Pemerintahan Daerah. Praktik double reimbursement telah ditemukan di suatu daerah, terutama praktik ini kerap terjadi pada daerah yang memiliki perda Bantuan Hukum dan Pemerintah Daerahnya menganggarkan kegiatan Bantuan Hukum dari APBD. Sumber pendanaan yang datang dari beberapa pintu tersebut menyebabkan adanya OBH yang memanfaatkan situasi tersebut dengan mengajukan reimbursement kepada Kanwil Kemenkumham di wilayahnya melalui SIDBAKUM dan bersamaan dengan itu OBH tersebut juga mengajukan reimbursement kepada Pemda setempat.

4. Aspek Sarana dan Prasarana
a. Permasalahan Penerbitan SKTM
Pengurusan surat keterangan miskin atau SKTM merupakan syarat utama bagi calon Penerima Bantuan Hukum. Untuk mendapatkan surat keterangan miskin atau SKTM, calon Penerima Bantuan Hukum harus melalui tahapan proses/alur yang cukup rumit dan memerlukan waktu dalam pengurusannya. Hal ini menjadi kendala pada saat calon Penerima Bantuan Hukum belum memiliki domisili, tidak memiliki tempat tinggal, tidak mempunyai keluarga, dan sedang dalam status sebagai tahanan. Selain itu, belum adanya pemahaman yang sama menurut pihak-pihak yang mempunyai kewenangan menerbitkan surat keterangan miskin terkait parameter atau kriteria orang miskin seringkali juga menyebabkan penyalahgunaan SKTM yang tidak tepat sasaran.
b. Kendala Pelaksanaan VERASI
Keberadaan OBH sebagai sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan Bantuan Hukum harus memenuhi berbagai macam persyaratan serta prosedur untuk memenuhi kelayakan sebagai Pemberi Bantuan Hukum melalui VERASI sebagaimana diatur melalui Pasal 7 UU Bankum. Dalam pelaksanaan VERASI terdapat beberapa kendala, antara lain pertama, keterbatasan jarak, akses, dan jaringan pada saat proses pelaksanaan pemeriksaan faktual VERASI. Kedua, implementasi pemenuhan persyaratan minimal 10 (sepuluh) kasus tersebut menjadi hambatan bagi sebagian OBH yang tidak banyak menangani kasus. Ketiga, terdapat 2 (dua) pandangan mengenai jangka waktu pelaksanaan VERASI, yaitu pelaksanaan VERASI sebaiknya dilaksanakan setiap tahun dan pelaksanaan VERASI tetap dilaksanakan setiap 3 (tiga) tahun. Ketiga kendala tersebut menjadi hambatan pelaksanaan VERASI sebagai sarana dan prasarana penyelenggaraan Bantuan Hukum.

5. Aspek Budaya Hukum
Belum optimalnya partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Bantuan Hukum disebabkan karena kurangnya pemahaman masyarakat miskin terhadap pelaksanaan Bantuan Hukum yang diatur dalam UU Bankum. Penyebab kurangnya pemahaman masyarakat tersebut disebabkan karena masih rendahnya sosialisasi yang dilakukan oleh pemangku kepentingan. Kurangnya sosialisasi ini disebabkan karena sulitnya menjangkau daerah yang memiliki kondisi geografis tertentu dan alokasi anggaran sosialisasi yang masih minim. Selain itu, peran sosialisasi Pemerintah Daerah juga belum optimal karena belum seluruh daerah menerbitkan perda Bantuan Hukum.

6. Aspek Pengarusutamaan Nilai-Nilai Pancasila
Terdapat beberapa pengaturan dalam UU Bankum yang tidak sesuai dengan nilai-nilai sila kedua dan sila kelima Pancasila, antara lain yaitu: pengaturan batasan Penerima Bantuan Hukum yang belum mengakomodir kelompok masyakat rentan tidak sesuai dengan sila kedua Pancasila; pengaturan lingkup jasa hukum secara cuma-cuma belum termasuk biaya operasional pengurusan perkara yang tidak sesuai dengan sila kelima Pancasila; pengaturan lingkup Bantuan Hukum yang belum mengakomodir perkara-perkara uji materiil di MK dan di MA serta perkara hukum sektor lainnya tidak sesuai dengan sila kelima Pancasila; pengaturan ketidakharusan daerah dalam mengalokasikan APBDnya untuk menyelenggarakan Bantuan Hukum di daerah belum sesuai dengan sila kelima Pancasila; pengaturan pelaksanaan sosialisasi sebagai pemenuhan pemberian informasi penyelenggaraan Bantuan Hukum cuma-cuma yang berasal dari Pemerintah tidak sesuai dengan sila kelima Pancasila; dan pengaturan jangka waktu pelaksanaan VERASI setiap 3 (tiga) tahun sekali yang memberikan disparitas jumlah sebaran OBH yang terakreditasi belum sesuai dengan sila kelima Pancasila.

1. Aspek Substansi Hukum
a. Sinkronisasi dan harmonisasi pengaturan subjek Penerima Bantuan Hukum yang diatur dalam Pasal 1, Pasal 4, dan Pasal 5 UU Bankum dan Pasal 56 ayat (1) KUHAP terkait dengan batasan ancaman pidana yang dikenakan.
b. Sinkronisasi dan harmonisasi pengaturan pemberian Bantuan Hukum yang diatur dalam Pasal 1, Pasal 4, Pasal 5 jo. Pasal 16 dan Pasal 17 UU Bankum dengan pelaksanaan Pro Bono sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 dan angka 8 UU Advokat.
c. Penerapan asas lex specialis terhadap penyelenggaraan Bantuan Hukum berdasarkan UU Bankum sehingga pelaksanaan Bantuan Hukum yang diatur berbeda dalam Undang-Undang lainnya tetap berlaku berdasarkan Undang-Undang sektoral yang mengaturnya dan tidak menimbulkan multiinterpretasi.
d. Pemberian batasan pengertian atau definisi secara khusus terhadap frasa “jasa hukum” dalam bagian Ketentuan Umum UU Bankum guna memperjelas frasa tersebut dan menghindari adanya multitafsir dalam
implementasinya.
e. Perumusan yang lebih jelas terkait definisi Penerima Bantuan Hukum. Apabila ke depan UU Bankum tetap masih berfokus pada semangatnya memberi Bantuan bagi orang atau kelompok orang miskin, maka perlu dimunculkan secara tegas dari judul undang-undang dan frasa Bantuan Hukum orang miskin. Sedangkan, apabila ke depan dilakukan perluasan Penerima Bantuan Hukum bagi kelompok rentan lainnya, maka hal tersebut akan lebih selaras dengan undang-undang lain yang juga mengakomodir wajibnya kelompok rentan diberikan Bantuan Hukum secara cuma-cuma serta adanya fakta implementasi terkait kebutuhan perluasan Penerima Bantuan Hukum.

2. Aspek Struktur Hukum
a. Melakukan pengaturan formasi Pemberi Bantuan Hukum dalam setiap kabupaten/kota sebagai batas jumlah Penerima Bantuan Hukum ketika pendaftaran VERASI;
b. Kerjasama BPHN Kemenkumham dengan OBH berkaitan dengan pemberian database keanggotaan advokat di Indonesia;
c. Evaluasi pelaksanaan VERASI yang memudahkan OBH daerah dalam memenuhi persyaratan dengan memperhatikan situasi khusus kedaerahan tanpa menurunkan kualitas substansi Bantuan Hukum itu sendiri. Misalnya mempertimbangkan kembali persyaratan kewajiban OBH memiliki kantor sekretariat.
d. Pemanfaatan sumber daya lainnya, seperti paralegal.

3. Aspek Pendanaan
a. Peningkatan alokasi APBN dengan memperhatikan kondisi permasalahan di lapangan.
b. Sinergitas pembiayaan Bantuan Hukum Pemerintah dengan Pro Bono advokat; dan layanan hukum skema Perma 1/2014 berkaitan dengan pedoman pemberian layanan hukum bagi masyarakat tidak mampu di pengadilan.
c. Optimalisasi pemanfaatan APBD didukung dengan komitmen setiap daerah.
d. Pemerintah Pusat dalam hal ini Kemenkumham perlu mendorong Pemerintah Daerah yang kemampuan APBDnya cukup besar untuk segera menerbitkan perda penyelenggaraan Bantuan Hukum dan kepada daerah yang telah menerbitkan perda Bantuan Hukum untuk segera menganggarkan APBDnya.
e. Optimalisasi pemanfaatan hibah dan sumbangan.
f. Penguatan dalam aspek pengawasan atau monitoring yang disertai sinergitas antara K/L terkait yang memiliki kewenangan dalam penganggaran Bantuan Hukum guna menghindari potensi double reimbursement.
g. Replikasi Aplikasi SIDBANKUMDA milik Pemerintah Provinsi Jawa Barat agar dapat dimiliki oleh pemerintah daerah lainnya yang dalam hal ini telah memiliki Perda Bantuan Hukum dan menganggarkan kegiatan Bantuan Hukum dari APBD.
h. Integrasi data secara berkala terhadap aplikasi SIDBANKUM dan SIDBANKUMDA guna menghindari potensi double reimbursement.

4. Aspek Sarana dan Prasarana
a. Sosialisasi terhadap syarat dan proses penerbitan surat keterangan miskin dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan penerbitan surat keterangan miskin atau SKTM.
b. Peningkatan pengawasan dalam penerbitan SKTM.
c. Optimalisasi sinergi tim verifikator untuk memastikan pemeriksaan faktual OBH di daerah yang memiliki kendala geografis tertentu tetap dilaksanakan dengan memanfaatkan akademisi dan/atau tokoh masyarakat sebagai salah satu unsur Panitia VERASI di daerah, serta memanfaatkan perlibatan OPD khususnya bagi daerah yang telah memiliki Perda Bantuan Hukum.
d. Melakukan penyesuaian persyaratan minimal jumlah kasus OBH dengan kondisi jumlah perkara di daerah.
e. Evaluasi jangka waktu VERASI didukung Cost and Benefit Analysis yang hasilnya dimanfaatkan untuk bahan pengambilan kebijakan dalam menentukan jangka waktu VERASI yang tepat.

5. Aspek Budaya Hukum
a. Peningkatan sosialisasi terkait aplikasi LSC khususnya bagi masyarakat miskin yang memiliki keterbatasan dalam mengakses aplikasi tersebut.
b. Penambahan Posyankumhamdes di seluruh desa agar dapat menjangkau keberadaan masyarakat miskin di pedesaan.
c. Peningkatan dukungan anggaran sosialisasi agar dapat menjangkau masyarakat di seluruh provinsi dan kabupaten/kota.
d. Peningkatan kerjasama OBH dan akademisi untuk menumbuhkembangkan kesadaran mahasiswa fakultas hukum mengambil peran dalam pelaksanaan Bantuan Hukum.

6. Pengarusutamaan Nilai-Nilai Pancasila
a. Harmonisasi dan sinkronisasi nomenklatur Penerima Bantuan Hukum yang mampu mengakomodir kelompok/masyarakat rentan.
b. Penegasan nomenklatur dan ruang lingkup “Jasa Hukum” yang diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum yang sesuai dengan perkembangan dinamika hukum di Indonesia termasuk perihal aktifitas aktifitas yang sifatnya operasional.
c. Penambahan ruang lingkup perkara uji materiil di MK dan di MA, perkara hukum di bidang perburuhan, perkara hukum di bidang lingkungan, dan perkara hukum di bidang lainnya sehingga penyelenggaraan bantuan hukum bersifat holistik.
d. Perumusan formulasi terkait bentuk-bentuk penyelenggaraan bantuan hukum yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah agar tidak terjadi conflict of interest antara pusat-daerah.
e. Peningkatan sosialisasi guna terpenuhinya aksesibilitas terhadap informasi Bantuan Hukum.
f. Perumusan formulasi yang tepat terhadap pola VERASI yang tepat sesuai dengan kebijakan anggaran.

KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1970 TENTANG KESELAMATAN KERJA / 01-12-2022

Pancasila sebagai ideologi negara merupakan dasar negara dalam menjalankan kehidupan bernegara. Sila Kedua Pancasila yaitu “Kemanusiaan yang adil dan beradab” serta Sila Kelima Pancasila, yaitu “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” mencerminkan nilai-nilai yang menjamin hak masyarakat mendapatkan keadilan, antara lain berupa pemerataan kesejahteraan. Selanjutnya, Alinea Keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) menyatakan bahwa tujuan negara adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Indonesia sebagai negara yang menganut prinsip negara kesejahteraan (welfare state), oleh karenanya UUD NRI Tahun 1945 telah menjamin hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak sebagaimana diamanatkan Pasal 27 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”

Setiap tenaga kerja berhak mendapat perlindungan atas keselamatannya dalam melakukan pekerjaan untuk kesejahteraan hidup dan meningkatkan produksi serta produktivitas nasional. Setiap orang lainnya yang berada di tempat kerja perlu terjamin pula keselamatannya. Setiap sumber produksi perlu dipakai dan dipergunakan secara aman dan efisien. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu diadakan upaya untuk membina norma-norma perlindungan kerja. Pembinaan norma-norma itu perlu diwujudkan dalam Undang-Undang yang memuat ketentuan-ketentuan umum tentang keselamatan kerja yang sesuai dengan perkembangan masyarakat, industrialisasi, teknik dan teknologi. Hal tersebut menjadi latar belakang dibentuknya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (UU Keselamatan Kerja).

Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Lampung, dan Provinsi Jawa Tengah

1. Aspek Substansi Hukum
a. Belum Diintegrasikannya Lingkup Kesehatan Kerja dalam UU Keselamatan Kerja
Kondisi saat ini, pengaturan mengenai kesehatan kerja dan keselamatan kerja cenderung bersifat berdiri sendiri-sendiri sehingga rawan terjadi tumpang tindih pengaturan dan kewenangan, utamanya antara Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Adapun ruang lingkup yang diatur dalam Pasal 2 UU Keselamatan Kerja kurang mengatur upaya di bidang kesehatan kerja. Selain itu UU Keselamatan Kerja juga belum mengatur lingkup pengaturan bagi pekerja daring mengingat adanya kemajuan informasi dan teknologi saat ini memungkinkan adanya pekerja yang bekerja di dunia virtual (metaverse).
b. Pengaturan Syarat-Syarat Keselamatan Kerja yang Terlalu Teknis
Terdapat tumpang tindih dan disharmoni peraturan perundang-undangan mengenai keselamatan dan kesehatan kerja antara peraturan pelaksana Pasal 3 ayat (1) UU Keselamatan Kerja dan Pasal 164 sampai Pasal 166 UU Kesehatan perihal syarat atau standar keselamatan dan kesehatan kerja yakni Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2018 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Lingkungan Kerja dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2016 tentang Standar Keselamatan dan Kesehatan Kerja Perkantoran dan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2016 tentang Standar dan Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Industri. Harmonisasi peraturan pelaksana tersebut yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 88 Tahun 2019 tentang Kesehatan Kerja tidak sesuai dengan kaidah pembentukan peraturan perundang undangan yang diatur Pasal 12 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP).
c. Tidak Dapat Dipungutnya Retribusi Dalam Rangka Pengawasan Keselamatan Kerja
Ketentuan Pasal 7 UU Keselamatan Kerja tidak lagi dapat dilaksanakan karena retribusi tidak dapat dipungut untuk layanan pengawasan norma keselamatan dan kesehatan kerja (K3) yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Peraturan perundangan yang merupakan amanat yang didelegasikan oleh ketentuan tersebut telah dicabut dan tidak berlaku sehingga tidak terdapat pengaturan teknis salah satunya mengenai penetapan tarif dan mekanisme pemungutan retribusi. Selain itu kewajiban retribusi semakin membebani perusahaan dalam mengalokasi anggaran biaya K3.
d. Perlunya Perubahan Pengaturan Sanksi dan Penghargaan dalam UU Keselamatan Kerja
Perumusan norma mengenai ketentuan pidana dalam Pasal 15 UU Keselamatan Kerja tidak memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan karena terletak dalam Bab XI Ketentuan Ketentuan Penutup dan tidak menyebutkan secara tegas pasal-pasal yang terhadap pelanggarannya dapat diberikan ancaman pidana kurungan atau denda. Kemudian ancaman pidana kurungan selama-lama 3 (tiga) bulan dan denda setinggi-tinggi Rp 100.000,- (seratus ribu rupiah) sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini dan tidak sebanding dengan dampak yang ditimbulkan oleh pelanggaran UU Keselamatan Kerja.
Sebagai bentuk pemenuhan sifat preventif dan prinsip ultimum remidium, UU Keselamatan Kerja belum mengatur mengenai pengenaan sanksi administratif terhadap pelanggaran administratif dalam pemenuhan syarat K3. Selain itu UU Keselamatan Kerja juga belum mengatur mengenai reward yang dapat diberikan kepada perusahaan yang patuh dalam menerapkan persyaratan K3.

2. Aspek Struktur Hukum
a. Inefisiensi Pelaksanaan Kewenangan Pengawasan Ketenagakerjaan
Sejak dibentuknya UU Pemerintahan Daerah, pemerintah kabupaten/kota tidak lagi memiliki kewenangan dalam menyelenggarakan pengawasan ketenagakerjaan. Berdasarkan Huruf G Lampiran UU Pemerintahan Daerah, urusan pemerintahan konkuren sub-bidang pengawasan ketenagakerjaan hanya dibagi antara Pemerintah Pusat (menetapkan sistem pengawasan ketenagakerjaan dan mengelola tenaga pengawas ketenagakerjaan) dan pemerintah daerah provinsi (menyelenggarakan pengawasan ketenagakerjaan). Hal tersebut menyebabkan adanya kendala dalam pengawasan ketenagakerjaan, yaitu keterbatasan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia, kondisi geografis dan luasnya wilayah, keterbatasan peralatan, dan tidak terdapat rentang kendali langsung antara Kemenaker dengan pengawas ketenagakerjaan di daerah.
b. Kurangnya Koordinasi Para Pemangku Kepentingan Dalam Pelaksanaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Bahwa berdasarkan UU Keselamatan Kerja, Kemenaker merupakan leading sector dari penyelenggaraan keselamatan dan kesehatan kerja di Indonesia. Dalam implementasinya, pelaksanaan terkait dengan keselamatan kerja, tidak hanya menjadi ranah dari Kemenaker, namun terdapat pula kementerian/lembaga (K/L) lainnya yang mengatur terkait dengan keselamatan dan kesehatan kerja seperti yang dilakukan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia dan Kemenkes. Masing-masing K/L memiliki peraturan tersendiri sebagai acuan dalam penerapan keselamatan dan kesehatan kerja di masing-masing sektornya. Adanya berbagai pengaturan terkait keselamatan dan kesehatan kerja dari berbagai sektor di atas menimbulkan munculnya ego sektoral antar kementerian yang menyebabkan sejumlah masalah.
c. Pelaksanaan Pelaporan Kecelakaan Kerja
Perusahaan memiliki kewajiban untuk melaporkan setiap kecelakaan kerja yang terjadi di perusahaannya. Dalam Pasal 11 UU Keselamatan Kerja, pengurus diwajibkan melaporkan tiap kecelakaan yang terjadi dalam tempat kerja yang dipimpinnya, pada pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja. Tata cara pelaporan dan pemeriksaan kecelakaan kerja juga telah diatur di dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor PER-03/MEN/1998 tentang Tata Cara Pelaporan dan Pemeriksaan Kecelakaan. Meskipun pelaporan kecelakaan kerja telah diatur dalam UU Keselamatan Kerja beserta peraturan pelaksanaannya, dalam implementasinya pengurus maupun perusahaan masih enggan untuk melaporkan terjadinya kecelakaan kerja yang antara lain disebabkan oleh permasalahan administrasi dan tidak adanya standardisasi pelaporan kecelakaan kerja.

3. Aspek Pendanaan
Pemenuhan syarat K3 membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan hal tersebut menjadi salah satu alasan perusahaan tidak patuh sepenuhnya terhadap persyaratan K3. Pada tataran implementasi K3 perkantoran, khususnya di perkantoran milik pemerintah, terdapat pemerintah daerah yang belum menganggarkan secara khusus dalam APBD untuk mendukung syarat K3 perkantoran. Namun ada pula daerah provinsi yang telah menyediakan anggaran rutin dalam APBD tetapi masih kurangnya komitmen aparat untuk mengimplementasikan anggaran tersebut. Dalam konteks pengawasan, jumlah pegawai pengawas tidak cukup dibandingkan dengan jumlah perusahaan dan belum seluruh provinsi memiliki kelembagaan pengawasan ketenagakerjaan.

4. Aspek Sarana Prasarana
a. Permasalahan Kuantitas dan Kualitas Sumber Daya Manusia dalam Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Terdapat permasalahan kekurangan jumlah kuantitas Sumber Daya Manusia (SDM) di bidang K3 jika dibandingkan dengan jumlah perusahaan atau usaha yang ada di Indonesia. Selain persoalan kuantitas juga terdapat permasalahan kualitas SDM karena sejumlah hal yaitu:
1) biaya pelatihan ahli K3 yang cukup tinggi;
2) tantangan menyesuaikan kurikulum pelatihan dengan kebutuhan lapangan yang berkembang cepat;
3) masih ada perusahaan yang tertutup dalam hal pembinaan dan pengawasan selain karena tidak adanya aturan penegasan untuk wajib dilaksanakan;
4) belum tersedia ahli K3 yang menguasai dan memahami polemik budaya di tempat kerja, sehingga tidak mampu menganalisis dan membuat upaya preventif kecelakaan akibat kerja dan penyakit akibat kerja.
b. Pelaksanaan Kewajiban Penyediaan Sarana dan Prasarana Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Tempat Kerja
Pasal 13 UU Keselamatan Kerja telah mengatur bahwa barang siapa yang akan memasuki suatu tempat kerja, diwajibkan untuk menaati semua petunjuk keselamatan kerja dan memakai alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan. Namun dalam pelaksanaannya, masih terdapat perusahaan yang belum memiliki dan mengabaikan pengadaan sarana prasarana K3 terutama bagi perusahaan menengah ke bawah. Pengadaan sarana dan prasarana K3 dianggap hanya akan menambah biaya operasional bagi perusahaan. Selain itu, dengan tidak adanya pengawasan yang ketat terhadap perusahaan, pengadaan sarana prasarana di perusahaan semakin diabaikan.

5. Aspek Budaya Hukum
a. Pelaporan Kecelakaan Kerja yang Belum Berjalan Secara Maksimal
Kendala yang dihadapi dalam melaksanakan Pasal 11 UU Keselamatan Kerja terkait dengan pelaporan terhadap kecelakaan kerja ialah tidak semua perusahaan melakukan pelaporan kerja. Hal ini disebabkan oleh masih adanya anggapan bahwa kecelakaan kerja adalah sebuah aib, sehingga perusahaan enggan melakukan pelaporan terjadinya kecelakaan kerja. Dari segi perusahaan sendiri masih belum muncul kesadaran pentingnya pelaporan kecelakaan kerja karena masih menganggap biaya pemenuhan aspek K3 sebagai sesuatu yang mahal. Lebih lanjut, kendala dalam pengiriman laporan kecelakaan kerja dan kesengajaan perusahaanmenghindari sanksi atas kecelakaan tersebut yang akan berdampak pada aktivitas perusahaan merupakan penyebab lain perusahaan enggan melaporkan kecelakaan kerja tersebut.
b. Rendahnya Pemahaman Pemberi Kerja/Pengusaha dan Pekerja Terkait Pentingnya Penerapan Budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 UU Keselamatan Kerja pada pokoknya mengatur mengenai hak dan kewajiban tenaga kerja, kewajiban bila memasuki tempat kerja, serta kewajiban pengurus dalam rangka meningkatkan budaya K3. Pada implementasinya masih saja ditemui hambatan serta kendala-kendala dalam penerapan budaya K3 baik dari sisi pemberi kerja/pengusaha juga dari pekerjanya. Salah satu hambatan tersebut adalah penetapan budaya organisasi yang tidak fokus terhadap pemenuhan aspek K3. Selain itu juga terdapat masalah K3 seperti ketersediaan dan penggunaan alat pelindung diri, kurangnya sosialisasi tentang pentingnya K3, kesadaran dari sisi pekerja tentang pentingnya K3 dan Sistem Manajemen K3, serta budaya k3 dianggap membebani pembiayaan perusahaan sehingga pelaksanaannya hanya sekedar formalitas saja.

6. Aspek Pengarusutamaan Nilai-Nilai Pancasila
Terdapat beberapa materi muatan dalam UU Keselamatan Kerja yang berpotensi tidak selaras dan bertentangan dengan Sila Kedua dan Sila Kelima Pancasila, di antaranya:
a. Judul UU Keselamatan Kerja bertentangan dengan Sila Kedua dalam indikator ketiga, serta Sila Kelima dalam indikator kedua, ketiga, dan kelima;
b. Pasal 2 UU Keselamatan Kerja belum selaras dengan Sila Kedua dalam indikator ketiga, serta Sila Kelima dalam indikator kedua, ketiga, dan kelima;
c. Pasal 3 UU Keselamatan Kerja bertentangan dengan Sila Kelima dalam indikator kedua, ketiga dan kelima;
d. Pasal 4 UU Keselamatan Kerja belum selaras dengan Sila Kedua dalam indikator ketiga, Sila kelima dalam indikator kedua, ketiga serta kelima;
e. Pasal 8 UU Keselamatan Kerja bertentangan dengan Sila Kedua dalam indikator ketiga, serta Sila Kelima dalam indikator kedua, ketiga, dan kelima;
f. Pasal 9 UU Keselamatan Kerja bertentangan dengan Sila Kelima dalam indikator kedua, ketiga, dan kelima;
g. Pasal 14 UU Keselamatan Kerja bertentangan dengan Sila Kelima dalam indikator kedua, ketiga, dan kelima.

1. Aspek Substansi Hukum
a. Perubahan judul undang-undang menjadi Undang-Undang tentang Kesehatan dan Keselamatan Kerja.
b. Pengintegrasian norma pengaturan lingkup kesehatan kerja dan keselamatan kerja dalam satu undang-undang.
c. Pengaturan syarat K3 yang lebih teknis dapat didelegasikan pada peraturan perundang-undangan sektor terkait.
d. Penghapusan Pasal 7 UU Keselamatan Kerja.
e. Perumusan kembali Pasal 15 UU Keselamatan Kerja dengan memperhatikan teknis penyusunan pembentukan peraturan perundang undangan.
f. Penyesuaian ancaman pidana kurungan dan denda dengan kondisi terkini dan risiko atas terjadinya kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja.
g. Penambahan pengaturan mengenai sanksi administratif.
h. Penambahan pengaturan mengenai reward kepada perusahaan yang patuh dalam menerapkan persyaratan K3.

2. Aspek Struktur Hukum
a. Pemerintah daerah provinsi dapat menugasi daerah kabupaten/kota untuk melakukan pengawasan ketenagakerjaan berdasarkan asas tugas pembantuan.
b. Adanya komitmen dari unit kerja pengawasan ketenagakerjaan baik di tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota untuk rutin berkoordinasi, minimal 1 (satu) tahun 1 (satu) kali melalui rapat koordinasi tingkat nasional dan provinsi, serta memanfaatkan jaringan informasi pengawasan ketenagakerjaan.
c. Kewajiban adanya koordinasi antar sektor di bawah Kemenaker berupa forum koordinasi untuk diatur lebih lanjut melalui peraturan pemerintah. Selain itu perlu dipertegas dalam UU Keselamatan Kerja terkait leading sector dari pelaksanaan K3 yang kemudian terkait peraturan teknisnya diserahkan kepada masing-masing K/L sesuai dengan kewenangannya dengan tetap melakukan koordinasi agar meminimalisir potensi ego sektoral yang terjadi di lapangan.
d. Penguatan kelembagaan Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional (DK3N) yang diakomodir melalui peraturan pemerintah yang merupakan amanat dari perubahan UU Keselamatan Kerja.
e. Sistem berbasis teknologi yang mengintegrasikan data klaim BPJS Ketenagakerjaan dengan data pelaporan kecelakaan kerja di Kemenaker, sehingga terdapat satu data yang terintegrasi dan valid terkait kecelakaan di Indonesia.

3. Aspek Pendanaan
a. Komitmen dari perusahaan untuk mengalokasikan anggaran yang memadai dalam pemenuhan syarat-syarat K3.
b. Komitmen dari Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah provinsi untuk meningkatkan anggaran kegiatan pengawasan ketenagakerjaan dalam APBN dan APBD provinsi.

4. Aspek Sarana Prasarana
a. Peningkatan jumlah SDM bidang K3 untuk meningkatkan kinerja penyelenggaraan pengawasan K3 oleh Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah provinsi.
b. Peningkatan pendidikan dan pelatihan bagi SDM di bidang K3.
c. Penguatan pengawasan sarana prasarana K3 melalui penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggar;
d. Pemberian penghargaan bagi perusahaan yang telah patuh menjalankan ketentuan terkait penyediaan sarana prasarana K3 agar kemudian dapat meningkatkan kesadaran perusahaan dan pegawai;
e. Pegawai pengawas yang memiliki integritas dan dedikasi yang tinggi yang melakukan pengawasan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

5. Aspek Budaya Hukum
a. Perlunya menetapkan target penurunan kecelakaan kerja secara nasional untuk tingkat kekerapan (frequency rate) dan tingkat keparahan (severity rate).
b. Perlu adanya pengembangan pelaporan kecelakaan kerja yang terintegrasi dengan instansi lain dengan mengoptimalisasi website www.temank3.id yang berada di bawah Kemenaker.
c. Perlu dilakukan sosialisasi, pembinaan, dan pengawasan dalam penerapan budaya K3 yang dilaksanakan secara menyeluruh melalui koordinasi dengan lintas sektor dan melibatkan seluruh pengawas dan pelaksana SMK3 di tempat kerja dengan komitmen penuh disiplin.

6. Aspek Pengarusutamaan Nilai-Nilai Pancasila
a. Revisi judul menjadi Undang-Undang tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
b. Revisi Pasal 2 UU Keselamatan Kerja dengan menambahkan ruang lingkup kesehatan kerja.
c. Pasal 3 UU Keselamatan Kerja perlu direvisi menjadi sederhana dan pokok-pokoknya saja yaitu dalam “…mencegah dan mengurangi kecelakaan kerja, serta mencegah dan mengantisipasi penyakit akibat kerja…”.
d. Pasal 4 ayat (1) UU Keselamatan Kerja dapat diubah menjadi “… dapat menimbulkan bahaya kecelakaan dan penyakit akibat kerja.”, dan ayat (2) dapat diubah menjadi “… keselamatan dan kesehatan tenaga kerja yang melakukannya, serta keselamatan dan kesehatan umum”.
e. Pasal 8 UU Keselamatan Kerja perlu direvisi dengan menambahkan klausul mengenai pemeriksaan kesehatan secara berkala dan rutin, serta penambahan ayat yang mengatur mengenai kelalaian terhadap tugas ini dapat dikenai sanksi administratif.
f. Penambahan ayat dalam Pasal 9 UU Keselamatan Kerja dengan klausul “Bagi Pengurus yang melalaikan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), (2), (3), dan (4), maka Pengurus dapat dijatuhi sanksi administrasi.”
g. Penambahan ayat dalam Pasal 14 UU Keselamatan Kerja dengan klausul “Bagi Pengurus yang melalaikan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), (2), dan (3), maka Pengurus dapat dijatuhi sanksi administrasi.”
h. Penambahan Bab tersendiri yang mengatur Sanksi Administrasi dan Ketentuan Pidana;
i. Revisi ketentuan pidana dan disesuaikan dengan perkembangan zaman, termasuk besaran pidana penjara dan pidana denda;
j. Pengaturan reward bagi pengusaha yang telah taat melakukan K3;
k. Adanya ketentuan mengenai pendidikan dan pelatihan K3 agar terintegrasi dengan praktik K3.

KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN / 30-09-2022

Kesehatan sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum dan hak konstitusional yang harus diwujudkan melalui berbagai upaya kesehatan dalam rangkaian pembangunan kesehatan secara menyeluruh dan terpadu yang didukung oleh suatu sistem kesehatan nasional yang berpihak pada rakyat sebagaimana diamanatkan Sila Kedua dan Sila Kelima Pancasila. Secara konstitusi, kesehatan merupakan hak setiap orang dan tanggung jawab negara untuk menyediakan fasilitas kesehatan yang layak, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 28 H ayat (1) dan Pasal 34 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Oleh karenanya, kesehatan harus diwujudkan dalam berbagai bentuk upaya kesehatan kepada seluruh masyarakat melalui penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang berkualitas, mudah diakses, dan terjangkau oleh masyarakat. Penyelenggaraan praktik kedokteran menempatkan dokter dan dokter gigi sebagai salah satu komponen utama pemberi pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Peran penting dokter dan dokter gigi tersebut berkaitan langsung dengan pemberian pelayanan kesehatan dan mutu pelayanan kesehatan yang diberikan. Maka untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada penerima pelayanan kesehatan, dokter, dan dokter gigi, diperlukan pengaturan mengenai penyelenggaraan praktik kedokteran yang diwujudkan dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (selanjutnya disebut UU Praktik Kedokteran).

Sejak berlakunya UU Praktik Kedokteran terdapat 3 (tiga) putusan yang menyatakan bahwa permohonan pengujian UU Praktik Kedokteran dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi yakni Putusan Nomor 4/PUU -V/2007, 40/PUU-X/2012, dan 10/PUU-XV/2017. Selain itu, beberapa isu permasalahan UU Praktik Kedokteran ditinjau dari sisi implementasi juga masih ditemukan beberapa permasalahan, di antaranya permasalahan perlindungan terhadap dokter, permasalahan imbalan pelayanan medis, evaluasi dokter dan dokter gigi lulusan luar negeri, penyelenggaraa P2KB oleh organisasi profesi dan lembaga lain yang diakreditasi oleh organisasi profesi, pengembangan pendidikan kedokteran dan kedokteran gigi (hospital based & university based), koordinasi pemerintah (pejabat kesehatan yang berwenang di kabupaten/kota) dengan organisasi profesi terkait penerbitan SIP-PTSP, perbedaan tarif UKDI antara dokter lulusan luar negeri dengan lulusan dalam negeri, belum meratanya ketersediaan sarana dan prasarana pelayanan medis, belum meratanya distribusi dokter dan dokter gigi di indonesia, dan kurangnya sosialisasi terkait pengaduan pasien terkait pelanggaran disiplin kedokteran.

Provinsi Riau, Provinsi Bengkulu, dan Provinsi Jawa Barat

1. Aspek Substansi Hukum
a. Perbedaan Pengaturan antara UU Praktik Kedokteran dan UU terkait lainnya
1) Perbedaan Pengaturan antara UU Praktik Kedokteran dengan UU Kesehatan
Terdapat perbedaan pengaturan dalam rumusan definisi sarana dan fasilitas pelayanan kesehatan antara Pasal 1 angka 9 UU Praktik Kedokteran dan Pasal 1 angka 7 UU Kesehatan. Pasal 1 angka 7 UU Kesehatan mengatur mengenai fasilitas pelayanan kesehatan sebagai suatu alat/tempat dalam penyelenggaraan upaya pelayanan kesehatan, bentuk upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif dan pihak dalam penyelenggaraan pelayananan kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat. Sedangkan Pasal 1 angka 9 UU Praktik Kedokteran hanya mengatur sarana pelayanan Kesehatan sebagai tempat penyelenggaraan upaya pelayanan Kesehatan, tidak mengatur mengenai alat yang digunakan untuk penyelenggaraan upaya pelayanan Kesehatan, bentuk upaya pelayanan kesehatan dan pihak dalam penyelenggaraan pelayananan kesehatan tersebut, hanya mengatur penyelenggaraan upaya pelayanan kesehatan yang dapat digunakan untuk praktik kedokteran atau kedokteran gigi.

2) Perbedaan Pengaturan antara UU Praktik Kedokteran dan UU Pendidikan Kedokteran
a. Perbedaan definisi dokter dan dokter gigi
Terdapat perbedaan pengaturan dalam rumusan definisi dokter dan dokter gigi antara Pasal 1 angka 2 UU Praktik Kedokteran dan Pasal 1 angka 9 dan angka 10 UU Pendidikan Kedokteran. Pasal 1 angka 2 UU Praktik Kedokteran hanya menyebutkan dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh pemerintah. Sedangkan pengaturan di dalam Pasal 1 angka 9 dan angka 10 UU Pendidikan Kedokteran disebutkan DLP dan dokter spesialis-subspesialis lulusan pendidikan dokter, baik di dalam maupun di luar negeri, yang diakui oleh pemerintah untuk dokter dan dokter gigi spesialis-subspesialis untuk dokter gigi lulusan pendidikan dokter, baik di dalam maupun di luar negeri, yang diakui oleh pemerintah sebagai dokter gigi.

b. Perbedaan Definisi Organisasi Profesi
Rumusan Pasal 1 angka 12 UU Praktik Kedokteran yang menyebutkan nama organisasi profesi telah menimbulkan perbedaan pemahaman pada implementasinya, hal ini terlihat pada inkonsistensi penggunaan frasa organisasi profesi kedokteran dan organisasi profesi kedokteran gigi pada Pasal 14 ayat (1) dan 28 ayat (2) UU Praktik Kedokteran. Pencantuman nama organisasi profesi pada definisi organisasi profesi yang diatur di dalam Pasal 1 angka 12 UU Praktik Kedokteran juga berbeda dengan yang diatur di dalam Pasal 1 angka 20 UU Pendidikan Kedokteran yang tidak mencantumkan nama organisasi profesi didalam ketentuan pasal. Permasalahan tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dan perbedaan pemahaman secara implementasi bagi para pemangku kepentingan.

b. Perbedaan Pengaturan Pembinaan Dan Pengawasan Terhadap Dokter Dan Dokter Gigi
Pembinaan dan pengawasan merupakan hal penting dalam praktik kedokteran. Hal tersebut telah diatur didalam Pasal 7 ayat (1) huruf c jo. Pasal 54 ayat (1) dan ayat (2) jo. Pasal 71 UU Praktik Kedokteran. Terdapat inkonsistensi penggunaan frasa pembinaan dan pengawasan dan perbedaan pengaturan terkait dengan pihak yang berwenang dalam melakukan pembinaan dan pengawasan pada rumusan pasal tersebut. Hal tersebut berpotensi menimbulkan perbedaan pemahaman dan tidak efektifnya pelaksanaan pembinaan dan pengawasan terhadap praktik kedokteran.

c. Kesesuaian Hak dan Kewajiban Dokter dan Dokter Gigi Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 82/PUU-XIII/2015
Pada tahun 2015, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa ketentuan Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) UU Tenaga Kesehatan tidak memiliki kekuatan hukum sehingga tenaga medis tidak lagi menjadi bagian dari tenaga kesehatan sebagaimana dalam Putusan MK No. 82/PUU-XIII/2015. Adanya Putusan MK tersebut berimplikasi kepada instrument regulasi yang masih mengkategorikan dokter dan dokter gigi dalam tenaga kesehatan. Adanya Putusan MK tersebut berimplikasi kepada instrument regulasi yang masih mengkategorikan dokter dan dokter gigi dalam tenaga kesehatan sehingga pada implementasinya terdapat beberapa peraturan pelaksana yang masih menggolongkan dokter dan dokter gigi sebagai tenaga Kesehatan seperti pada Keputusan Menteri Kesehatan (KMK) nomor HK.01.07/MENKES/4239/2021 tentang Pemberian Insentif dan Santunan Kematian bagi Tenaga Kesehatan. Adanya Putusan MK yang mengeluarkan tenaga medis dari tenaga kesehatan mengakibatkan hilangnya hak dan kewajiban yang melekat pada dokter dan dokter gigi yang semula diakomodir dalam UU Tenaga Kesehatan. perlu adanya tindak lanjut dari Putusan MK tersebut dalam bentuk penyesuaian pengaturan hak dan kewajiban dokter dan dokter gigi dalam UU Praktik Kedokteran.

d. Pengaturan terkait Keanggotaan KKI dalam UU Praktik Kedokteran
1) Keanggotaan PDGI dalam KKI pasca Putusan MK Nomor 10/PUU-XV/2017
Putusan Nomor 10/PUU-XV/2017 hanya mengikat pada ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf a UU Praktik Kedokteran sedangkan ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf b UU Praktik Kedokteran yang juga mengatur keanggotaan KKI yang berasal dari organisasi profesi, yakni PDGI, tidak dimaknai sebagaimana ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf a UU Praktik Kedokteran. Dampak dari perbedaan pengaturan ini adalah timbulnya perlakuan yang berbeda terhadap organisasi profesi dokter yang diatur dalam UU Praktik Kedokteran, yakni IDI dan PDGI.

2) Mekanisme pengangkatan anggota KKI
Selain pengaturan mengenai anggota KKI, mekanisme pengangkatan anggota KKI harus dilakukan perubahan dengan dilakukan secara independen tanpa adanya usulan dari organisasi atau asosiasi. Hal ini diatur dalam Pasal 14 ayat (4) UU Praktik Kedokteran yang berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (5) UU Praktik Kedokteran terkait tata cara pengangkatan keanggotaan KKI diatur dengan Peraturan Presiden yang diwujudkan dengan Perpres 35/2008. Berdasarkan pengaturan dalam Pasal 16 UU Praktik Kedokteran jo. Pasal 11 Perpres 35/2008, masa bakti keanggotaan KKI adalah 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. Namun pengangkatan kembali tersebut tidak diatur lebih lanjut mekanismenya secara lengkap, sehingga sejauh ini hanya ada pengaturan pengajuan calon anggota KKI yang diajukan oleh organisasi atau asosiasi sebagaimana disebutkan dalam pasal 14 ayat (1) UU Praktik Kedokteran.

e. Pasal-Pasal dalam UU Praktik Kedokteran yang telah mengalami perubahan setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi
Pengujian undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945 yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi merupakan wujud prinsip atau asas konstitusionalitas undang-undang (constitutionality of law) yang menjamin bahwa undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang itu tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Kewenangan pengujian undang-undang menimbulkan sebuah kewenangan yang mutatis mutandis (dengan sendirinya) ada, yaitu kewenangan menafsirkan konstitusi. Apabila dalam konstitusi tidak terdapat ketentuan yang ekplisit mengenai kewenangan menafsir konstitusi kepada lembaga negara yang diberikan kewenangan constitutional review, maka harus dipahami bahwa kewenangan menafsirkan konstitusimenyertai kewenangan constitutional review tersebut. Oleh sebab itu, sering dinyatakan bahwa Constitutional Court itu merupakan “the guardian of constitution and the sole interpreting of constitution”, disebut sebagai penjaga konstitusi berdasarkan kewenangan dalam memutus apakah sebuah produk perundang-undangan telah sesuai dengan konstitusi atau tidak. Tindakan kooperatif antar lembaga negara sangat penting dilakukan karena produk hukum tidak dapat menjamin ekspektasi terhadap persoalan tertentu. Sebagaimana UU Praktik Kedokteran telah diajukan pengujian berulang kali oleh masyarakat dan Mahkamah Konstitusi mengabulkan 3 (tiga) perkara dari pengujian yang diajukan tersebut yakni melalui Putusan Nomor 4/PUU-V/2007, Putusan Nomor 40/PUU-X/2012, dan Putusan Nomor 10/PUU-XV/2017. Ketentuan Pasal dan/atau ayat dalam UU Praktik Kedokteran yang mengalami perubahan berdasarkan ketiga Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut adalah Pasal 14 ayat (1) huruf a, Pasal 14 ayat (2), Pasal 73 ayat (2), Pasal 75 ayat (1), Pasal 76, Pasal 78, dan Pasal 79 huruf c UU Praktik Kedokteran. Implikasi yang timbul dari tuga putusan Mahkamah Konstitusi tersebut adalah:
1. Menghilangkan pidana penjara.
2. Menghilangkan pidana kurungan.
3. Menghilangkan Sanksi Untuk Kewajiban menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu.
4. Pengecualian Profesi Tukang Gigi.
5. Larangan pengurus IDI untuk duduk dalam keanggotaan KKI.
Adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut diatas, sejauh ini pembentuk undang-undang belum melakukan tindak lanjut dengan melakukan perubahan pasal/ayat UU Praktik Kedokteran. Maka untuk menjamin kepastian hukum Indonesia dan untuk menghormati lembaga peradilan nasional, dalam hal ini adalah Mahkamah Konstitusi, pembentuk undang-undang harus segera melakukan perubahan atas pasal atau ayat yang mengalami perubahan berdasarka Putusan Mahkamah Konstitusi.

f. Usulan Perubahan Dan Penambahan Pengaturan:
1) Perubahan Pengaturan Susunan Pimpinan MKDKI dan Pembentukan Perwakilan MKDKI di Daerah
MKDKI merupakan Majelis khusus yang bernaung dibawah KKI dengan tugas dan fungsi menegakan disiplin dokter dan dokter gigi. Pasal 58 UU Praktik Kedokteran yang membatasi pimpinan MKDKI yakni seorang ketua, seorang wakil ketua dan seorang sekretaris dipandang mengakibatkan MKDKI berjalan tidak dinamis dan tidak sesuai dengan kebutuhan saat ini. Disamping itu frasa “dapat” Pasal 57 ayat (2) UU Praktik Kedokteran secara ekplisit tidak mewajibkan pembentukan MKDKI di seluruh wilayah Indonesia padahal pelaksanaan praktik kedokteran terdapat di seluruh wilayah Indonesia. Oleh karena itu perlu adanya perubahan pengaturan mengenai susunan pimpinan serta kewajiban pembentukan MKDKI di setiap wilayah provinsi.

2) Batasan jumlah maksimal SIP
Pemberian SIP kepada dokter dan dokter gigi dapat dijadikan media untuk pemerataan dokter dan dokter gigi di seluruh wilayah Indonesia. Pasal 37 ayat (2) UU Praktik Kedokteran membatasi jumlah maksimal pemberian SIP kepada dokter dan dokter gigi tidak didasari pada kebutuhan dokter dan dokter gigi pada masing-masing wilayah, hal ini berdampak pada tidak meratanya ketersediaan dokter dan dokter gigi di seluruh wilayah Indonesia. Oleh karena itu perlu dirumuskan kembali ketentuan batasan pemberian SIP dengan menyesuaikan kondisi dan kebutuhan ketersedian dokter dan dokter gigi pada masing-masing wilayah.

3) Pengaturan terkait dengan telemedicine dan platform online
Belum ada pengaturan terkait dengan telemedicine yang berkembang akhir-akhir ini yang telah mengakibatkan pelaksanaan praktik kedokteran tidak lagi memenuhi ketentuan Pasal 35 UU Praktik Kedokteran. Selain itu, perkembangan teknologi dan praktik kedokteran yang semakin maju ini belum terakomodir dengan baik dan belum memiliki payung hukum yang mampu memberikan perlindungan dan jaminan kepastian hukum.

2. Aspek Struktur Hukum
a. Permasalahan Perlindungan Terhadap Dokter
Perkembangan saat ini masyarakat semakin sadar atas hak-haknya yang secara otomatis menuntut adanya transparansi pelayanan kesehatan, terutama dalam kaitan hubungan dokter dengan pasien dan menyangkut keluhan yang dialami pasien serta terapi, pengobatan yang dilakukan oleh dokter terhadap pasien. Hal yang sangat mendasar dalam pelayanan kesehatan yang selalu dipermasalahkan masyarakat terutama pasien adalah menyangkut keterbukaan, transparansi, mutu pelayanan, penerapan aturan, kedisiplinan waktu, sehingga sering diduga dokter melakukan kelalaian medis. Namun perlindungan negara terhadap dokter masih belum cukup mengatur dengan jelas khususnya terkait dengan keamanan dan kesejahteraan dokter dan dokter gigi. selain itu, ketidakjelasan bentuk perlindungan hukum ini menjadikan dokter mengalami kesulitan ketika berhadapan dengan hukum dalam melakukan pelayanan medis.

b. Permasalahan Imbalan Pelayanan Medis
Profesi kedokteran atau kedokteran gigi adalah suatu pekerjaan kedokteran atau kedokteran gigi yang dilaksanakan berdasarkan suatu keilmuan, kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan yang berjenjang, dan kode etik yang bersifat melayani masyarakat. Oleh karenanya dokter di dalam menjalankan profesi juga mempunyai hak untuk menerima imbalan jasa, begitupun juga pasien memiliki kewajiban untuk memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima. Berkaitan dengan imbalan jasa tersebut, diatur di dalam Pasal 50 dan Pasal 53 UU Praktik Kedokteran. Namun di dalam pelaksanaannya, masih ditemukan timbulnya permasalahan dalam pelaksanaan aturan UU Praktik Kedokteran yaitu:
1) Keterbatasan APBD untuk membayar tunjangan/insentif dokter spesialis. Sedangkan rumah sakit swasta mampu membayar dengan nilai yang lebih tinggi sehingga dokter spesialis lebih tertarik untuk praktik di rumah sakit swasta tersebut.
2) Dalam praktik kedokteran dan kedokteran gigi tidak dapat dilepaskan pada pasar bebas dengan adanya pola tarif khususnya terkait dengan adanya BPJS Kesehatan. Penempatan alat kesehatan sebagai obyek pajak PPNBM menjadi masalah ketika dihadapkan dengan pelayanan kesehatan yang murah. Daerah di Indonesia yang heterogen dan memiliki perbedaan kondisi topografi, sosiologis dan ekonomisnya. Selain itu, inflasi dan kondisi ekonomi yang sangat fluktuatif juga menjadi tantangan keberadaan pola tarif pelayanan kesehatan.

c. Evaluasi Dokter Dan Dokter Gigi Lulusan Luar Negeri
Pelaksanaan praktik kedokteran bukan hanya diperuntukan kepada dokter dan dokter gigi lulusan dalam negeri akan tetapi juga dapat dilakukan bagi mereka yang lulusan luar negeri dengan melalui tahapan evaluasi. Pasal 30 ayat (2) UU Praktik Kedokteran yang mengatur mengenai evaluasi dokter dan dokter gigi lulusan luar negeri yang ingin melakukan praktik di Indonesia secara impelementasi belum berjalan dengan baik hal ini dikarenakan koordinasi antar pemangku kepentingan belum berjalan sebagaimana mestinya.

d. Penyelenggaraa P2KB Oleh Organisasi Profesi dan Lembaga Lain Yang Diakreditasi Oleh Organisasi Profesi
Penyelengaraan P2KB merupakan hal yang penting dalam upaya menjaga kualitas dokter dan dokter gigi yang berpraktik. Penyelenggaraan P2KB diatur dalam ketentuan Pasal 28 UU Praktik Kedokteran. Penyelenggaraan P2KB pernah diajukan pengujian konstitusionalitasnya di Mahkamah Konstitusi melalui perkara nomor 80-PUU-XVI/2018 dan diputus oleh Mahkamah Konstitusi dengan amar putusan menolak permohonan Para Pemohon. Namun, munculnya lembaga-lembaga yang juga turut menyelenggarakan P2KB seperti perusahaan-perusahaan penyelenggara layanan kesehatan berbasis elektronik tanpa adanya koordinasi dengan organisasi profesi kedokteran dan kedokteran gigi menjadikan penyelenggaraan P2KB tersebut tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 28 UU Praktik Kedokteran, sehingga hal ini berpotensi mengancam upaya menjaga kualitas dokter dan dokter gigi yang selama ini dilakukan oleh organisasi profesi. Selain itu, P2KB yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga tersebut tidak memiliki standar yang jelas dimana berpotensi menghambat pengembangan kompetensi dokter dan dokter gigi yang berpraktik.

e. Pengembangan Pendidikan Kedokteran Dan Kedokteran Gigi (Hospital Based & University Based)
Pelaksanaan program pendidikan dokter spesialis di Indonesia saat ini dilakukan di rumah sakit pendidikan dan rumah sakit jejaring di bawah koordinasi fakultas kedokteran. Penerapan pendidikan dan pelatihan residen dilakukan berdasarkan UU Sistem Pendidikan Nasional sehingga disebut sebagai 'university based'. Pendekatan lain yang dilaksanakan di kebanyakan negara di dunia adalah pendekatan 'hospital based' yaitu pendidikan dokter spesialis diserahkan pengelolaannya kepada rumah sakit dengan koordinasi dari kolegium spesialis terkait. Namun penerapan hospital based dalam pendidikan profesi dokter dan dokter gigi dihadapkan pada masalah adanya kolegium. Selain itu, posisi penting residen dalam pelayanan medis ternyata belum diimbangi dengan kejelasan aspek hukum.

f. Koordinasi Pemerintah (Pejabat Kesehatan Yang Berwenang Di Kabupaten/Kota) Dengan Organisasi Profesi Terkait Penerbitan SIP di PTSP
Adanya PTSP dalam mekaisme perijinan ini menimbulkan kerancuan pemahaman masyarakat terkait kewenangan penerbitan SIP dan pencabutannya SIP dokter dan dokter gigi karena berdasarkan Pasal 37 ayat (1) UU Praktik Kedokteran kewenangan penerbitan SIP dalam UU Praktik Kedokteran diterbitkan oleh pejabat Kesehatan yang berwenang Kabupaten/Kota (dalam hal ini Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota berdasarkan Pasal 2 ayat (2) Permenkes 2052/2011), sedangkan dalam Perpres 97/2014 ditentukan bahwa izin dikeluarkan oleh PTSP Kabupaten/Kota sehingga terjadi disharmoni pembinaan dan pengawasan praktik kedokteran. Namun sekali lagi, teknis pelaksanaan pemberian ijin dan pencabutannya harus disosialisasikan kepada masyarakat agar tidak terjadi kerancuan dan kesalahpahaman dalam memahami regulasi dan pelaksanaannya. Permasalahan perijinan melalui sistem OSS yang dialami oleh Dinkes Kabupaten Kampar berkaitan dengan sistem yang sering mengalami gangguan dan jaringan internet yang kurang stabil.

3. Aspek Pendanaan
Perkembangan di bidang kesehatan diiringi dengan terbukanya pasar global di mana dokter lulusan luar negeri pun dapat berpraktik di Indonesia selama memenuhi kualifikasi yang telah ditetapkan. Perkembangan di bidang Kesehatan diiringi dengan semakin banyaknya fakultas kedokteran di Indonesia. Banyaknya fakultas kedokteran yang berdiri perlu dijaga mutunya agar lulusan fakultas kedokteran dari universitas terkait menjadi lulusan yang terpercaya dan terjamin mutunya. Terkait penjagaan mutu mahasiswa kedokteran pemerintah melakukan uji kompetensi untuk mahasiswa lulusan fakultas kedokteran. Namun, pada implementasinya, terjadi perbedaan biaya untuk melakukan uji kompetensi antara lulusan dalam negeri dan lulusan luar negeri.

4. Aspek Sarana dan Prasarana
a. Belum Meratanya Ketersediaan Sarana dan Prasarana Pelayanan Medis
Sarana dan Prasarana Pelayanan Medis belum merata di setiap daerah terutama di daerah terpencil, perbatasan, dan kepulauan. Hal ini disebabkan oleh akses jalan dan transportasi di daerah terpencil sulit ditempuh. Minimnya sarana dan prasarana di daerah seperti alat kesehatan yang terbatas, obat-obatan yang sulit di dapat dan minimnya rumah sakit atau puskesmas di daerah menunjukan bahwa standar pelayanan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 44 UU Praktik Kedokteran belum berjalan secara maksimal. Selain itu, keterbatasan anggaran pengadaan maupun biaya operasional dan pemeliharaan sarana prasarana kesehatan yang tinggi menjadi salah satu penyebab tidak meratanya sarana dan prasarana. Belum meratanya pembangunan daerah di Indonesia menjadi salah satu tantangan untuk pemenuhan alat kesehatan serta obat-obatan yang dibutuhkan di daerah hal ini karena moda transportasi dan akses jalan yang sulit ditempuh.

b. Belum Meratanya Distribusi Dokter Dan Dokter Gigi di Indonesia
Pemerataan sarana dan prasarana di daerah harus diimbangi dengan jumlah dokter dan dokter gigi yang berpraktik. Mahasiswa lulusan fakultas kedokteran lebih banyak memilih untuk berpraktik di kota-kota besar mengakibatkan tidak meratanya pelayanan kesehatan di daerah. Beberapa faktor memengaruhi sedikitnya minat para lulusan fakultas kedokteran untuk mengabdi di daerah yaitu:
• Kurang menjanjikannya pendapatan dan kesejahteraan dokter dan dokter gigi di daerah dibanding dengan kota-kota besar.
• Kurang terjaminnya keselamatan dan keamanan dokter dan dokter gigi dalam menjalankan profesinya.
• Kurang menguntungkan dari sisi karier dokter dan dokter gigi.
• Tidak adanya kewajiban yang mengikat bagi dokter dan dokter gigi berpraktik di daerah 3T dan berakibat dalam pencapaian SKP yang terhambat.

5. Aspek Budaya Hukum
Masyarakat sebagai pasien yang mendapatkan pelayanan kesehatan memiliki hak dan kewajiban yang dilindungi dalam UU Praktik Kedokteran. Dalam pemberian pelayanan dapat terjadi pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh dokter. Sehingga, pemerintah membentuk MKDKI sebagai upaya perlindungan yang maksimal bagi pasien dan dokter. MKDKI memiliki tugas untuk menerima pengaduan masyarakat terkait pelanggaran disiplin yang dirasakan pasien. MKDKI menyediakan form pengaduan secara online untuk memudahkan masyarakat. Namun, masyarakat belum teredukasi dengan baik terkait pengaduan kepada MKDKI sehingga masih banyak masyarakat yang belum mengerti tugas dan fungsi MKDKI serta bagaimana mekanisme pengaduan kepada MKDKI. Hal ini yang menyebabkan masyarakat langsung melakukan gugatan secara perdata ke pengadilan dan menyebabkan ketidakpastian hukum bagi dokter.

6. Aspek Pengarusutamaan Nilai-Nilai Pancasila
Menurut BPIP, terdapat beberapa pasal dalam UU Praktik Kedokteran yang berpotensi tidak selaras dan bertentangan dengan dengan sila kedua, sila ketiga, sila keempat dan sila kelima Pancasila, di antaranya:
a. Adanya Frasa “Organisasi profesi adalah Ikatan Dokter Indonesia untuk dokter dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia untuk dokter gigi” dalam Pasal 1 angka 12 UU Praktik Kedokteran bertentangan dengan Sila Kedua dan Sila Keempat Pancasila. Frasa ini secara tegas melimitasi eksistensi organisasi profesi dokter dan dokter gigi. Padahal, seharusnya setiap orang bebas untuk berserikat dan mendirikan organisasi, selama tidak bertentangan dengan Pancasila dan Konstitusi. Pembatasan ini tidak memberikan ruang bagi tumbuhnya organisasi profesi dokter dan dokter gigi lainnya, selain yang sudah tertulis dalam pasal tersebut.
b. Idealnya pelaksanaan Pasal 30 UU Praktik Kedokteran mengenai evaluasi dokter lulusan luar negeri termasuk dengan program adaptasi dilakukan oleh suatu tim koordinasi yang menghimpun semua perwakilan pemangku kepentingan dalam suatu Komite atau Tim Evaluasi. Dengan demikian, dapat dipastikan proses evaluasi Dokter LLN termasuk masa adaptasi akan lebih efektif dan efisien. Pasal 30 UU Praktik Kedokteran ini jika tidak ditambahkan ketentuan mengenai Komite Evaluasi, akan bertentangan dengan Sila Kedua Pancasila.
c. Idealnya ketentuan dalam Pasal 38 UU Praktik Kedokteran mengenai SIP sepenuhnya diambil alih oleh pemerintah. Dapat diasumsikan, setiap dokter yang telah memiliki STR pasti sudah layak untuk berpraktek. Lagi pula keberadaan rekomendasi dari organisasi profesi tidak menjamin sepenuhnya terkait etika profesi dokter. Untuk itu, sebaiknya Pasal 38 ayat (1) UU Praktik Kedokteran diubah dengan menghapuskan ketentuan mengenai memiliki rekomendasi dari organisasi profesi.
d. Idealnya ketentuan dalam Pasal 50 huruf d dan Pasal 53 huruf d UU Praktik Kedokteran untuk dapat mengadaptasi mekanisme yang diatur dalam UU SJSN. UU SJSN mengamanatkan agar pembayaran layanan kesehatan dibuat satu sistem melalui asuransi sosial. Dengan demikian, tidak ada lagi dokter yang mendapatkan imbalan dari pasien, begitu pula sebaliknya.
e. Pasal 54 ayat 2 dan Pasal 71 UU Praktik Kedokteran mengamanatkan agar pembinaan dilakukan secara bersama-sama antara KKI dengan organisasi profesi. Hal ini bertentangan dengan Sila Ketiga Pancasila. Seharusnya, organisasi profesi tidak diberikan kewenangan sebesar pembinaan. Organisasi profesi harus dimaknai sebagai serikat profesi, yaitu berkumpulnya orang-orang dengan profesi yang sama dalam rangka memenuhi hak-hak dasarnya sebagai manusia dengan profesi tertentu. Kewenangan pembinaan idealnya diberikan kepada KKI sebagai lembaga otonom yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden, bersama-sama dengan Kementerian Kesehatan sebagai kepanjangan tangan pemerintah di sektor kesehatan. Intervensi dari Kementerian Kesehatan dalam proses pembinaan juga berfungsi untuk memonitoring dan mengevaluasi kualitas layanan kesehatan Indonesia, serta untuk mencegah dan menangani terjadinya malpraktik. Selain itu, diperlukan juga optimalisasi peran, fungsi dan tugas dari KKI sebagai lembaga otonom.
f. Belum adanya pengaturan telemedicine (telehealth).
g. Belum adanya pengaturan perihal distribusi dan pemerataan serta kesejahteraan dokter dan dokter gigi.

1. Substansi Hukum
a. Perlu dilakukan sinkronisasi dan harmonisasi antara UU Praktik Kedokteran dan UU Kesehatan dengan menambahkan “alat yang digunakan untuk penyelenggaraan upaya pelayanan kesehatan, bentuk upaya pelayanan kesehatan dan pihak dalam penyelenggaraan pelayananan Kesehatan” di dalam Pasal 1 angka 9 UU Praktik Kedokteran terkait definisi dari sarana fasilitas kesehatan.
b. Perlu dilakukan sinkronisasi dan harmonisasi antara UU Praktik Kedokteran dan UU Pendidikan Kedokteran dengan menambahkan “DLP dan dokter spesialis-subspesialis lulusan pendidikan dokter, baik di dalam maupun di luar negeri, yang diakui oleh Pemerintah” untuk rumusan definisi dokter dan “dokter gigi spesialis-subspesialis lulusan pendidikan dokter, baik di dalam maupun di luar negeri, yang diakui oleh Pemerintah untuk rumusan definisi dokter gigi” di dalam Pasal 1 angka 2 UU Praktik Kedokteran definisi dokter dan dokter gigi.
c. Perlu dirumuskan ulang dengan lebih jelas mengenai definisi organisasi profesi dalam Pasal 1 angka 12 UU Praktik Kedokteran guna menghindari adanya potensi multitafsir dan pemahaman yang berbeda oleh setiap pemangku kepentingan.
d. Perlu adanya kejelasan pengaturan terkait kewenangan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, KKI dan Organisasi Profesi dalam melakukan pembinaan dan pengawasan dalam praktik kedokteran.
e. Perlu adanya sinkronisasi dan harmonisasi terkait nomenklatur tenaga medis (dokter, dokter gigi, dokter spesialis dan dokter gigi spesialis) dalam peraturan perundang-undangan dibidang kesehatan serta penambahan pengaturan mengenai hak dan kewajiban dokter dan dokter gigi dalam UU Praktik Kedokteran yang disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan di bidang Kesehatan. Dan perlu menjadi perhatian pembentuk undang-undang untuk menyesuaikan definisi tenaga kesehatan dengan memperhatikan pembagian jenis tenaga medis yang mengakomodir dokter dan dokter gigi.
f. Perlu adanya penyesuaian ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf a UU Praktik Kedokteran dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10/PUU-XV/2017 dan adanya penyesuaian ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf b UU Praktik Kedokteran dengan pengaturan dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a UU Praktik Kedokteran dan perubahan materi muatan Pasal 14 ayat (4) UU Praktik Kedokteran.
g. Perlu segera melakukan revisi berupa perubahan Pasal 14 ayat (1) huruf a, Pasal 14 ayat (2), Pasal 73 ayat (2), Pasal 75 ayat (1), Pasal 76, Pasal 78, dan Pasal 79 huruf c UU Praktik Kedokteran sesuai dengan amar putusan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 4/PUU-V/2007, Putusan Nomor 40/PUU-X/2012, dan Putusan Nomor 10/PUU-XV/2017.
h. Perlu adanya penambahan pengaturan yang terkait dengan keanggotaan MKDKI serta kewajiban pembentukan MKDKI di setiap wilayah provinsi. Dan ketentuan pasal 58 UU Praktik Kedokteran diubah dengan ketentuan wakil ketua dan sekertaris tidak bisa dibatasi hanya satu, sehingga harus disesuaikan dengan kebutuhannya.
i. Perlu dirumuskan kembali ketentuan pembatasan maksimal pemberian SIP dengan mempertimbangkan kondisi dan kebutuhan dokter dan dokter gigi pada masing-masing wilayah. Dan pengaturan pemberian SIP dengan kewajiban salah satunya wajib berpraktik di pelayanan kesehatan yang dimiliki oleh pemerintah.
j. Perlu adanya pengaturan mengenai teknologi medis dan penggunaannya termasuk telemedicine dalam hukum kesehatan di Indonesia.

2. Struktur Hukum
a. Perlu adanya perhatian pemerintah dan pemerintah daerah terhadap perlindungan dokter dan dokter gigi khususnya terkait keamanan dan kesejahteraan.
b. Perlu memastikan implementasi, monitoring, dan evaluasi terkait permasalahan imbalan medis agar berjalan secara optimal sehingga perlu adanya kesinambungan koordinasi dan komitmen antara Pemerintah, KKI, dan IDI serta pemangku kepentingan lainnya terkait perbaikan standar biaya imbalan pelayanan medis dan pola tarif khusus secara proporsional dengan adanya BPJS Kesehatan.
c. Koordinasi antar pemangku kepentingan menjadi sangat penting agar dokter dan dokter gigi lulusan luar negeri dapat dilakukan secepatnya mengingat hal ini terkait dengan hak asasi manusia dari dokter dan dokter gigi untuk mendapatkan pekerjaan dan penghasilan.
d. Perlu adanya penegakan fungsi pengawasan dan penertiban lembaga lembaga penyelenggara P2KB secara ketat dari pemerintah mengingat ilmu kedokteran dalam praktiknya menyangkut kehidupan dan keselamatan nyawa manusia.
e. Perlu adanya penerapan hospital based dalam pendidikan profesi kedokteran di Indonesia untuk meningkatkan kualitas pendidikan profesi dokter dan dokter gigi dengan memperhatikan pengaturan yang ada dalam UU Sisdiknas, UU Pendidikan Kedokteran, dan UU Praktik Kedokteran dan perlu dilakukan penelaahan lebih lanjut atas posisi residen dalam pelaksanaan fungsi pendidikan dan pelayanan serta hak dan kewajibannya.
f. Perlu adanya sosialisasi peraturan, sistem, dan pelaksanaan perijinan khususnya dalam penerbitan dan pencabutan SIP terhadap masyarakat. Selain itu perlu adanya dukungan sarana dan prasarana yang menunjang pelaksanaan perijinan terpadu dengan sistem elektronik yang tengah diberlakukan secara nasional.

3. Pendanaan
Perlu adanya persamaan tarif terkait biaya UKDI bagi lulusan dokter dan dokter gigi dalam negeri maupun lulusan luar negeri.

4. Sarana dan Prasarana
a. Perlu adanya kebijakan yang memudahkan penyamarataan pengadaan sarana prasarana fasilitas Kesehatan di daerah. Selain itu, pemerataan sarana dan prasarana kesehatan harus didukung oleh pemerintah dengan melakukan pengkajian ulang terhadap alokasi APBN dan APBD untuk kesehatan dengan memperhatikan kebutuhan setiap daerah, serta komitmen dari pemerintah dan pemerintah daerah dalam pemenuhan sarana dan prasarana pelayanan Kesehatan.
b. Perlu adanya peningkatan kesejahteraan dokter dokter di daerah dengan memperhatikan pendapatan, pemberian reward, tempat tinggal, dan keamanan dokter
c. Perlu adanya koordinasi antara pemerintah dengan organisasi profesi terkait pemutakhiran data dokter di suatu kabupaten/ kota agar dokter dan dokter gigi terutama dokter spesialis dapat terdistribusi dengan baik
d. Peninjauan ulang APBN dan APBD terkait kesehatan dengan menetapkan APBD kesehatan di luar gaji dokter.
e. Perlu adanya pembinaan dan pengawasan lebih lanjut terkait program dan pengembangan kompetensi dokter agar lebih menarik minat dokter untuk berpraktik di daerah.

5. Budaya Hukum
Perlu koordinasi dengan lembaga dan aparat penegak hukum terkait pelaporan pengaduan pasien dalam hal pelanggaran disiplin kedokteran. Disamping itu perlu juga sosialisasi secara masif kepada masyarakat.

6. Aspek Pengarusutamaan Nilai-Nilai Pancasila
a. Perlu pengaturan mengenai tidak adanya pembatasan bagi tumbuhnya organisasi profesi dokter dan dokter gigi lainnya, selain yang sudah tertulis dalam Pasal 1 angka 12 UU Praktik Kedokteran.
b. Perlu penambahan pengaturan mengenai Komite Evaluasi dalam Pasal 30 UU Praktik Kedokteran.
c. Perlu menghapuskan ketentuan Pasal 38 ayat (1) huruf c UU Praktik Kedokteran yaitu “memiliki rekomendasi dari organisasi profesi” dan sepenuhnya dapat diambil alih oleh pemerintah berkaitan dengan SIP tersebut.
d. Perlu pengadaptasian mekanisme yang diatur dalam UU SJSN yaitu pembayaran layanan kesehatan melalui satu sistem melalui asuransi sosial dalam Pasal 50 huruf d dan Pasal 53 huruf d UU Praktik Kedokteran.
e. Perlu optimalisasi peran, fungsi dan tugas dari KKI sebagai lembaga otonom untuk kewenangan pembinaan penyelenggaraan praktik kedokteran dan keterlibatan dari Kementerian Kesehatan dalam proses pembinaan berfungsi untuk memonitoring dan mengevaluasi kualitas layanan kesehatan.
f. Perlu penambahan pengaturan telemedicine (telehealth).
g. Perlu penambahan pengaturan perihal distribusi dan pemerataan serta kesejahteraan dokter dan dokter gigi.

KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA / 30-09-2022

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) mengamanatkan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Selanjutnya, untuk menjamin setiap pemeluk agama untuk beribadah dan menjalankan ajaran agamanya, negara berkewajiban memberikan perlindungan dan jaminan tentang kehalalan produk yang dikonsumsi dan digunakan masyarakat. Perlindungan dan jaminan kebutuhan umat muslim untuk menggunakan dan/atau mengkonsumsi produk halal dijamin oleh negara melalui Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU Jaminan Produk Halal). UU Jaminan Produk Halal bertujuan untuk memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian produk halal bagi masyarakat dalam mengonsumsi dan menggunakan produk serta meningkatkan nilai tambah bagi pelaku usaha untuk memproduksi dan menjual produk halal.

Selama kurang lebih 8 (delapan) tahun sejak UU Jaminan Produk Halal diundangkan dalam pelaksanaannya masih terdapat beberapa permasalahan, baik dari sisi substansi, kelembagaan, sarana dan prasarana, budaya hukum, serta dari sisi pemenuhan nilai-nilai Pancasila. Permasalahan dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan Jaminan Produk Halal yang terjadi selama ini antara lain yaitu adanya perbedaan pengaturan UU Jaminan Produk Halal dengan UU terkait lainnya; kurangnya sinergitas antara Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dengan Kementerian dan/atau Lembaga terkait dalam penyelenggaraan Jaminan Produk Halal; belum optimalnya pengawasan terkait produk halal oleh BPJPH dengan Kementrian dan/atau Lembaga terkait terkait; keterbatasan sarana dan prasarana, dan belum optimalnya peran serta masyarakat. Hal ini menyebabkan belum optimalnya fungsi dan tujuan penyelenggaraan Jaminan Produk Halal sebagaimana diamanatkan oleh UU Jaminan Produk Halal.

Provinsi Riau dan Daerah Istimewa Yogyakarta

1. ASPEK SUBSTANSI HUKUM
a. Ketidakjelasan Definisi “Produk”
Pasal 1 angka 1 UU Jaminan Produk Halal menyebutkan definisi Produk adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat. Pada tataran implementasi ruang lingkup frasa definisi “jasa, produk rekayasa genetik, barang gunaan yang dipakai, digunakan atau dimanfaatkan oleh masyarakat” dalam Pasal 1 angka 1 UU Jaminan Produk Halal terlalu luas dan menimbulkan multitafsir sehingga banyak pelaku usaha dan konsumen yang belum memahami frasa tersebut dan ketidakjelasan tersebut akan berdampak bagi pelaku usaha sehubungan “produk” yang wajib disertifikasi halal.

b. Belum Terakomodirnya Standar Halal Terhadap Produk Yang Beredar Di Indonesia Dalam Pasal 4 UU Jaminan Produk Halal
Pasal 4 UU Jaminan Produk Halal menentukan bahwa “Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal” untuk menjamin kepastian hukum dari setiap produk yang akan dilakukan sertifikasi halal maka standar halal merupakan suatu parameter yang diperlukan oleh Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dalam melakukan proses sertifikasi halal terhadap suatu produk. Namun, Pasal 4 UU Jaminan Produk Halal belum mengkaomodir pengaturan terkait standar halal dalam suatu proses sertifikasi produk melainkan dalam implementasinya hanya ditetapkan melalui Keputusan Kepala Badan Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal (BPJPH). Hal tersebut berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pelaksanaannya yang juga berdampak pada kurang optimalnya tujuan penyelenggaraan jaminan produk halal pada saat ini dikarenakan tidak adanya pengaturan lebih lanjut terkait standar halal terhadap proses suatu produk guna mendapatkan sertifikasi halal.


c. Belum Adanya Pengaturan Lebih Lanjut Terkait Halal Self Declare Dalam Pasal 4A UU Jaminan Produk Halal
Pasal 4A UU Jaminan Produk Halal mengatur kewajiban sertifikasi halal produk bagi setiap pelaku usaha mikro dan kecil yang didasarkan pada pernyataan halal pelaku usaha mikro dan kecil/halal self declare. Namun, hingga pada saat ini pengaturan lebih lanjut mengenai halal self declare hanya diatur Keputusan Kepala BPJPH Nomor 57 Tahun 2022 tentang Manual Sistem Jaminan Produk Halal Untuk Sertifikasi Halal Dengan Pernyataan Pelaku Usaha Mikro Dan Kecil (Self Declare) yang bersifat penetapan administratif (beschikking) bukan bersifat mengatur (regeling) tersebut sehingga berpotensi menimbulkan kerancuan/ketidakpastian hukum dalam tataran implementaisnya, sebab produk UMK yang diperdagangkan berpotensi tidak dapat dijamin 100% (seratus persen) kehalalannya.

d. Frasa “Dalam hal diperlukan dan dapat” dalam Pasal 5 ayat (4) UU Jaminan Produk Halal
Dibentuknya UU Jaminan Produk Halal bertujuan untuk memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan produk halal bagi masyarakat dalam mengonsumsi dan menggunakan produk serta meningkatkan nilai tambah bagi pelaku usaha untuk memproduksi dan menjual produk halal. Guna menjamin terseleggaranya jaminan produk halal telah dibentuk Badan Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal (BPJPH) sebagai badan yang dibentuk oleh Pemerintah untuk menyelenggarakan Jaminan Produk Halal (JPH) sesuai dengan amanat Pasal 5 ayat (3) UU Jaminan produk Halal. Lebih lanjut, Pasal 5 ayat (4) UU Jaminan Produk Halal mengatur bahwa “Dalam hal diperlukan BPJPH dapat membentuk perwakilan di daerah.” Namun, dalam pelaksanaannya BPJPH belum memiliki perwakilan di daerah hingga saat ini, sehingga fungsi dari BPJPH belum dapat berjalan optimal, salah satu faktor belum adanya perwakilan BPJPH di daerah adalah frasa “Dalam hal diperlukan dan dapat” yang ditentukan dalam Pasal 5 ayat (4) UU Jaminan Produk Halal sehingga berpotensi menghambat koordinasi antara LPH maupun lembaga lain dengan BPJPH dalam rangka penyelenggaraan JPH halal dikarenakan BPJPH yang hanya berada di pusat, sedangkan fungsi BPJPH sangat diperlukan keberadaaanya di daerah.

e. Belum Adanya Pengaturan Sanksi Pidana Untuk Pemalsuan Sertifikat Dan/Atau Label Halal
Terdapat kekosongan hukum dalam UU Jaminan Produk Halal terkait belum adanya pengaturan sanksi untuk pemalsuan Sertifikat Halal dan Label Halal padahal secara empiris, telah terjadi beberapa kasus pemalsuan Sertifikat Halal dan/atau Label Halal. Dalam permasalahan tersebut sanksi pidana merupakan salah satu alat untuk mengembalikan keadaan pada keadaan semula ketika telah terjadi pelanggaran sekaligus sebagai alat preventif bagi pengusaha lainnya sehingga tidak terulang lagi perbuatan yang sama.

f. Perbedaan Pengaturan UU Jaminan Produk Halal dengan UU Lainnya
1) Perbedaan Pengaturan terkait kewenangan pengawasan antara UU Jaminan Produk Halal dengan UU Pangan
Terdapat perbedaan pengaturan antara Pasal 51 ayat (1) UU Jaminan Produk Halal dengan Pasal 95 ayat (1) UU Pangan terkait pengaturan pengawasan dalam penyelenggaraan jaminan produk halal. Pasal 95 ayat (1) UU Pangan mengatur bahwa pengawasan terhadap produk halal dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Namun, Pasal 51 ayat (1) UU Jaminan Produk Halal hanya menentukan bahwa pengawasan terhadap penyelenggaraan jaminan produk halal dilakukan oleh BPJPH dan Kementerian dan/atau Lembaga terkait tanpa adanya pengaturan pengawasan oleh Pemerintah Daerah sehingga menimbulkan multitafsir dan ketidakpastian hukum terhadap kewenangan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan Jaminan Produk Halal di Indonesia.

2) Perbedaan Pengaturan antara UU Jaminan Produk Halal dengan UU Perdagangan
Bahwa terdapat potensi disharmoni terkait rumusan definsi Pelaku Usaha dalam UU Jaminan Produk Halal dengan UU Perdangangan. Dalam Pasal 1 Angka 14 UU Perdagangan, menyebutkan “Setiap orang perseorangan warga negara Indonesia, …”. Namun, dalam Pasal 1 Angka 12 UU Jaminan Produk Halal menyebutkan “Orang Perseorangan”. Dengan demikian, dalam UU Perdagangan unsur “perseorangan” lebih dikhususkan hanya warga negara Indonesia. Oleh karena itu, rumusan definisi Pelaku Usaha dalam UU Jaminan Produk Halal berpotensi multitafsir pada tataran implementasinya serta berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum bagi kedudukan orang perseorangan WNA yang melakukan kegiatan perdangangan di wilayah Indonesia.

3) Perbedaan Pengaturan Antara UU Jaminan Produk Halal Dengan UU Peternakan dan Kesehatan Hewan
Terdapat perbedaan pengaturan terkait kewenangan pengawasan dalam pasal 51 ayat (1) UU Jaminan Produk Halal dengan Pasal 58 ayat (1) UU Peternakan dan Kesehatan Hewan dalam hal ini khususnya pegawasan terhadap produk hewan. UU Peternakan dan Kesehatan Hewan mengamanatkan bahwa Pemerintah Daerah ikut serta dalam pengawasan produk hewan namun dalam UU Jaminan Produk Halal hanya mengamantkan BPJPH dan lembaga dan/atau kementrian terkait dalam pengawasan JPH di daerah, hal ini dapat menimbulkan multitafsir dan tidak efektif dalam pelaksanaannya.

2. ASPEK STRUKTUR HUKUM/KELEMBAGAAN
a. Belum Optimalnya Penyelenggaraan Sertifikasi Halal
BPJPH berwenang sebagai koordinator, verifikasi, penerbitan sertifikat dalam penyelenggaraan JPH, sedangkan LPH sebagai pemeriksa dan/atau pengujian terhadap kehalalan produk serta MUI berwenang melakukan sidang fatwa dan penentuan kehalalan produk. Akan tetapi dalam implementasinya berdampak tidak terpenuhinya jangka waktu sertifikasi halal yang telah ditetapkan dalam UU Jaminan Produk Halal sehingga menyebabkan belum optimalnya pemenuhan asas dan tujuan penyelenggaran JPH.

b. Belum adanya Mutual Recoginition Arrangment (MRA) Dalam Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal
MRA sebagai suatu instrumen dalam perdagangan bebas memainkan peranan penting dalam pengembangan kerja sama internasional jaminan produk halal. MRA membuka peluang Indonesia untuk percepatan ekspor produk halal dan menjadi pemain dalam pasar halal global bukan hanya sebagai konsumen. Namun, sampai saat ini Pemerintah Indonesia belum melakukan MRA terkait JPH sehingga bahan baku mentah yang diimpor dari negara pengirim tetap harus dilakukan sertifikasi halal ketika sampai di Indonesia serta sulitnya sertifikat halal terhadap suatu produk dari BPJPH diterima di beberapa negara.

c. Belum Optimalnya Pengawasan Penyelenggaraan Produk Halal
Bahwa belum optimalnya pengawasan penyelenggaraan produk halal oleh BPJPH dikarenakan beberapa faktor, yakni pertama, penghubung BPJPH di daerah hanya berupa Satgas Halal yang menjalankan tugas dan fungsinya hanya sebagai tugas tambahan bukan berupa tugas pokok sehingga pengawasan terhadap penyelenggaraan JPH belum berjalan optimal. Kedua, Pemerintah Daerah belum terlibat dalam pengawasan penyelenggaraan JPH. Ketiga, minimnya kolaborasi dan koordinasi antara BPJPH dengan Kementerian dan/atau Lembaga terkait pengawasan penyelenggaraan JPH sehingga amanat Pasal 49, Pasal 50 dan Pasal 51 UU Jaminan Produk Halal mengenai pengawasan penyelenggaraan produk halal.

3. ASPEK SARANA DAN PRASARANA
a. Minimnya Jumlah LPH di Indonesia
LPH berfungsi melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk guna pelaksanaan sertifikasi halal, namun pada saat ini jumlah keberadaan LPH di Indonesia masih minim. Hingga saat ini baru terdapat 11 (sebelas) LPH yang terakreditasi BPJPH. Namun jumlah LPH tersebut tidak proporsional dengan kebutuhan sertifikasi halal pada saat ini. Sehingga menyebabkan terhambatnya pelaksanaan sertifikasi halal seperti yang diamanatkan dalam ketentuan Pasal 4 UU Jaminan Produk Halal.

b. Belum Optimalnya Aplikasi Penunjang Sertifikat Halal
Bahwa saat ini BPJPH telah mempunyai sistem layanan penyelenggaraan JPH menggunakan layanan berbasis elektronik yang terintegrasi sebagai penunjang sertifikasi produk Halal dengan nama aplikasi SiHalal, akan tetapi dalam Impelementasinya aplikasi tersebut masih belum optimal sehingga timeline sertifikasi halal belum sesuai sebagaimana ketentuan UU Jaminan Produk Halal jo. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal (PP 39/2021) serta merugikan pelaku usaha.

c. Minimnya Jumlah Auditor Halal
Auditor halal merupakan Sumber Daya Manusia (SDM) yang mempunyai tugas penting dalam hal proses mendapatkan sertifikat halal suatu produk, sebab auditor halal bertugas untuk memeriksa kehalalan suatu produk mulai dari bahan hingga proses produksi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 UU Jaminan Produk Halal. Namun, dalam pelaksanaannya pada saat ini jumlah auditor halal baik di pusat maupun di daerah tidak proporsional (minim) dengan banyaknya jumlah produk yang harus dilakukan sertifikasi halal sehingga berakibat terhadap lamanya proses pemeriksaan kehalalan produk dikarenakan keterbatasan jumlah auditor halal yang juga berdampak terhadap penerbitan sertifikat halal dan label halal. Selain itu, hal tersebut juga dapat berdampak pada terhambatnya pelaku usaha untuk menjual produknya sehingga menyebabkan kerugian terhadap pelaku usaha, dengan demikian penyelenggaraan jaminan produk halal tidak dapat berjalan optimal.

4. ASPEK BUDAYA HUKUM
Peran serta masyarakat sebagai konsumen maupun sebagai Pelaku Usaha masih minim dalam rezim mandatory Halal. Hal tersebut dikarenakan pemahaman masyarakat sebagai konsumen terkait produk non-halal masih sebatas produk yang memiliki kandungan daging babi saja. Selanjutnya, bagi Pelaku Usaha, masih minimnya informasi terkait mekanisme sertifikasi halal mandatory. Serta baik Konsumen maupun Pelaku Usaha belum memahami maksud dan tujuan halal mandatory yang diamanatkan UU Jaminan Produk Halal.

5. ASPEK PENGARUSUTAMAAN NILAI-NILAI PANCASILA
Terdapat beberapa pasal dalam UU Jaminan Produk Halal yang berpotensi dan bertentangan dengan sila pertama dan sila ke 2 (dua):
a. Pasal 2 UU Jaminan Produk Halal yang belum mengakomodir asas syariat sebagai salah satu asas dalam UU Jaminan Produk Halal, mengingat bahwa lahirnya UU Jaminan Produk Halal merupakan jaminan atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan umat muslim dalam mengkonsumsi suatu produk. Dengan demikian Pasal 2 UU Jaminan Produk Halal berpotensi bertentangan dengan sila pertama Pancasila;
b. Bahwa dihilangkannya sanksi administratif berupa penarikan barang dari peredaran dalam Pasal 48 UU Jaminan Produk Halal jo. UU Cipta Kerja berpotensi bertentangan dengan indikator Pancasila terhadap sila ke-2 (dua).

1.Dalam aspek Substansi Hukum, diperlukan:
a. perubahan perumusan yang lebih lengkap dan jelas terkait definisi produk dalam Pasal 1 angka 1 UU Jaminan Produk Halal;
b. penambahan ayat terkait frasa “standar halal” dengan mengamanatkan peraturan pelaksana dalam Pasal 4 UU Jaminan Produk Halal;
c. pengaturan lebih lanjut terkait halal self declare dengan mendelegasikan peraturan pelaksana sebagai mekanisme halal self declare;
d. perubahan terhadap frasa “Dalam hal diperlukan dan dapat” dalam Pasal 5 ayat (4) UU Jaminan Produk Halal;
e. penambahan pengaturan rumusan tindak pidana serta bentuk sanksi pidana bagi subjek hukum yang memalsukan Sertifikat Halal dan/atau Label Halal;
f. harmonisasi pengaturan terkait kewenangan pengawasan JPH dalam Pasal 51 ayat (1) UU Jaminan Produk halal dengan Pasal 95 ayat (1) UU Pangan;
g. harmonisasi pengaturan terkait rumusan definsi Pelaku Usaha dalam Pasal 1 angka 12 UU Jaminan Produk halal dengan Pasal 1 angka 14 UU Perdangangan;
h. harmonisasi pengaturan terkait kewenangan pengawasan JPH dalam Pasal 51 ayat (1) UU Jaminan Produk halal dengan Pasal 58 ayat (1) UU Peternakan dan Kesehatan Hewan.

2.Dalam aspek Struktur Hukum/Kelembagaan, diperlukan:
a. konsep halal by design yaitu perbaikan secara komprehensif dimulai dari Pertama, perlu adanya pengaturan terkait standar halal. Kedua, perlu adanya penguatan kewajiban sertifikasi halal dari sektor hulu. Ketiga, perlu adanya sinergitas antara LPH di seluruh Indonesia dalam memeriksa produk halal dan kerjasama yang optimal antara BPJPH, MUI, LPH serta Lembaga dan Kementerian terkait dalam penyelenggaraan JPH;
b. sinergi antara BPJPH dengan Kementerian dan/atau Lembaga terkait untuk. memulai MRA sebagai suatu langkah bagi Indonesia sebagai pengembangan kerjasama internasional dalam JPH;
c. optimalisasi dalam sistem pengawasan JPH antara lain: pertama, BPJPH perlu ada perwakilan di daerah serta ada jabatan khusus pengawas produk halal terutama di daerah. Kedua, BPJPH perlu lebih mengoptimalkan koordinasi dan kolaborasi lintas kementerian dan/atau Lembaga serta Pemerintah Daerah terkait pengawasan produk halal.

3.Dalam aspek Sarana dan Prasarana, diperlukan:
a. dukungan fasilitas pendirian LPH yang berkualitas oleh Pemerintah di berbagai daerah;
b. perbaikan sistem apalikasi SiHalal;
c. menambah SDM Auditor halal dengan melakukan berbagai rekrutmen auditor halal yang berkompeten di seluruh wilayah Indonesia.

4. Dalam aspek Budaya Hukum, diperlukan:
sosialisasi kepada masyarakat oleh BPJPH terkait keberadaan UU Jaminan Produk Halal serta memberikan penghargaan kepada masyarakat yang telah berperan dalam penyelenggaraan JPH.

5. Aspek Pengarustamaan Nilai-Nilai Pancasila, diperlukan:
a. penambahan asas prinsip syarih dalam Pasal 2 UU Jaminan Produk Halal;
b. perubahan sanksi yang lebih tegas, jelas, berkeadilan, dan berkeadaban dalam Pasal 48 UU Jaminan Produk Halal.

KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PERDAGANGAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA / 30-09-2022

2Perdagangan nasional Indonesia sebagai penggerak utama perekonomian tidak hanya terbatas pada aktivitas perekonomian yang berkaitan dengan transaksi Barang dan/atau Jasa yang dilakukan oleh Pelaku Usaha, baik di dalam negeri maupun melampaui batas wilayah negara, tetapi aktivitas perekonomian yang harus dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan nasional Indonesia yang diselaraskan dengan konsepsi pengaturan di bidang Perdagangan sesuai dengan cita-cita pembentukan negara Indonesia, yaitu masyarakat adil dan makmur sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal tersebut menjadi dasar dibentuknya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan (selanjutnya disebut UU Perdagangan) yang bertujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional serta berdasarkan asas kepentingan nasional, kepastian hukum, adil dan sehat, keamanan berusaha, akuntabel dan transparan, kemandirian, kemitraan, kemanfaatan, kesederhanaan, kebersamaan, dan berwawasan lingkungan.

Selama kurang lebih hampir 8 (delapan) tahun dengan beberapa kali perubahan, sehingga perlu dilakukan pembaharuan agar substansi di dalam UU 7/2014 dapat memberikan kepastian hukum yang lebih luas kepada masyarakat. Selama berlaku, UU 7/2014 memiliki beberapa isu yang terjadi antara lain: permasalahan terkait pengaturan perdagangan melalui sistem elektronik, masih terdapat beberapa peraturan pelaksana yang belum diterbitkan oleh Pemerintah, pelanggaran terhadap larangan penyimpanan barang kebutuhan pokok dan barang penting pada saat terjadi kelangkaan barang dan gejolak harga, belum optimalnya peran pemerintah dan pemda dalam pemenuhan ketersediaan barang kebutuhan pokok dalam memberikan perlindungan dan pengamanan perdagangan, permasalahan pelaksanaan pengendalian perdagangan luar negeri yang diatur oleh pemerintah pusat, implementasi pelabelan SNI terhadap barang perdagangan, pemberdayaan koperasi serta usaha mikro, kecil, dan menengah yang multisektoral, tidak memadainya dana untuk mengendalikan ketersediaan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting, pengelolaan pasar rakyat dalam rangka peningkatan daya saing, tingkat kepatuhan pelaku usaha baik konvensional maupun yang menggunakan PMSE, dan peningkatan peran serta masyarakat. Selain itu terdapat potensi disharmoni pengaturan UU 7/2014 dengan pengaturan lainnya.

Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi D.I. Yogyakarta, dan Provinsi Jawa Tengah

1. ASPEK SUBSTANSI HUKUM
a. Permasalahan Terkait Pengaturan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik
Perkembangan dalam perdagangan saat ini tidak hanya melakukan kegiatan perdagangan secara konvensional namun sudah berkembang lebih jauh dengan adanya kemajuan teknologi dan informasi yang ada saat ini, perkembangan tersebut tentu saja akan berdampak positif dalam perkembangan perekonomian sehingga saat ini perdagangan dengan sistem elektronik marak dilakukan atau lebih dikenal dengan e-commerce. Dalam UU Perdagangan pengaturan terkait hal tersebut diatur dalam Pasal 65 UU Perdagangan yang mengatur terkait dengan PMSE. Dengan begitu besarnya potensi e-commerce di Indonesia tentu saja memerlukan kesiapan baik itu dalam hal infrastruktur dan juga regulasi yang mengatur kegiatan e-commerce tersebut.

Permasalahan dan tantangan dalam PMSE yang ditemui antara lain belum adanya pengaturan yang jelas terkait bisnis model PMSE khususnya bisnis lokapasar, indikasi praktik white labelling atas produk UMKM, belum adanya pengaturan atau ketentuan yang jelas bagi Pedagang Luar Negeri, masih ditemukan praktik persaingan usaha yang tidak sehat, serta masih ditemukannya barang yang dijual di lokapasar yang belum memenuhi standar serta proses pangaduan dan penyelesaian sengketa.

b. Masih Terdapat Beberapa Peraturan Pelaksana Yang Belum Diterbitkan oleh Pemerintah
Peraturan pelaksana merupakan peraturan yang dibentuk atas delegasi dari peraturan perundang-undangan yang ada di atasnya untuk mengatur hal tertentu. Dalam UU Perdagangan sendiri masih terdapat peraturan pelaksanaan yang belum diterbitkan hingga saat ini yang antara lain diatur dalam Pasal 18 ayat (2), Pasal 35 ayat (2), Pasal 72, Pasal 73 ayat (4), Pasal 97 ayat (6) dan Pasal 101 ayat (3) UU Perdagangan. Belum diterbitkannya bebeberapa peraturan pelaksanaan tersebut berpotensi menimbulkan hambatan dalam pelaksanaannya.

c. Perbedaan Pengaturan Antara UU Perdagangan dengan Undang-Undang Lainnya:
1) UU Perdagangan dengan UU Perlindungan Konsumen
Terdapat perbedaan definisi Pelaku Usaha yang ada di UU Perdagangan dan UU Perlindungan Konsumen. Pasal 1 angka 14 UU Perdagangan memberikan batasan bahwa Pelaku Usaha hanya WNI dan badan usaha yang berbentuk badan hukum atau badan hukum yang dibentuk di wilayah NKRI. Sedangkan dalam Pasal 1 angka 3 UU Perlindungan Konsumen tidak memberikan batasan demikian dalam pendefinisian Pelaku Usaha. Perbedaan definisi Pelaku Usaha dalam kedua undang-undang tersebut berpotensi menimbulkan multitafsir dalam pelaksanaannya. Sebab, kegiatan e-commerce tentunya tidak dapat dibatasi oleh aspek teritorial.

2) UU Perdagangan dengan UU JPH
Terdapat perbedaan definisi antara Pelaku Usaha yang diatur dalam UU Perdagangan dengan yang diatur dalam UU JPH. Sebab, definisi Pelaku Usaha dalam UU Perdagangan yang membatasi hanya WNI dan badan usaha yang berkedudukan di wilayah NKRI menjadikan ruang lingkup yang lebih sempit dibandingkan definisi Pelaku Usaha dalam UU JPH. Selain itu terdapat perbedaan pengaturan dalam Pasal 57 ayat (1) UU Perdagangan dengan Pasal 4 UU JPH dalam hal produk yang beredar dimana dalam UU JPH mewajibkan untuk produk yang akan masuk, beredar dan akan diperdagangkan di Indonesia wajib bersertifikat halal sementara dalam UU Perdagangan tidak mewajibkan hal tersebut melainkan hanya mensyaratkan untuk memenuhi SNI dan persyaratan teknis yang telah diberlakukan secara wajib. Hal tersebut berpotensi menimbulkan hambatan dalam implementasinya.

d. Pelanggaran Terhadap Larangan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan/atau Barang Penting Pada Saat Terjadi Kelangkaan Barang dan Gejolak Harga
Pemenuhan barang kebutuhan pokok merupakan hal yang sangat penting bagi manusia, dalam hal ini pemenuhan barang kebutuhan pokok tersebut termasuk kedalam kebutuhan primer yang mutlak untuk dipenuhi. Menurut Organisasi Buruh Internasional atau ILO (International Labour Organization), kebutuhan primer ialah kebutuhan fisik minim masyarakat, berkaitan dengan kecukupan kebutuhan pokok setiap masyarakat baik masyarakat kaya maupun miskin. Lebih lanjut dalam Pasal 29 UU Perdagangan mengatur terkait dengan larangan bagi pelaku usaha untuk menyimpan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadinya kelangkaan barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan. Adanya larangan tersebut tentu saja bertujuan untuk menjamin pemenuhan atas barang kebutuhan pokok terhadap masyarakat.

Dalam tataran implementasi masih banyak terjadi penimbunan barang, karena pengaturan yang belum jelas khususnya terkait dengan jangka waktu, dan volume penimbunan serta pihak yang berwenang menentukan kelangkaan barang gejolak harga dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan barang. Meskipun telah ada langkah-langkah antisipasi yang dilakukan oleh pemeritah dan pemerintah daerah dalam mengendalikan barang kebutuhan pokok, namun pada implementasinya masih kerap ditemui pelaku usaha yang menimbun barang kebutuhan pokok tersebut meskipun sudah dilarang sebagaimana pengaturan dalam Pasal 29 UU Perdagangan dan terdapat sanksi apabila melanggar ketentuan tersebut.

2. ASPEK STRUKTUR HUKUM/KELEMBAGAAN
a. Belum Optimalnya Peran Pemerintah Dan Pemda Dalam Pemenuhan Ketersedian Barang Kebutuhan Pokok Dalam Memberikan Perlindungan Dan Pengamanan Perdagangan
Perlindungan dan pengamanan perdagangan dalam pelaksanaannya masih tejadi fluktuasi harga barang pokok dan barang penting banyak dipengaruhi oleh faktor perekonomian dan geopolitik global, terutama untuk barang bersumber dari impor serta rantai pasok yang belum efektif dan efisien yang dipengaruhi akibat belum tepatnya kebijakan yang diambil. Oleh karena itu, peran Pemerintah dan Pemerintah Pusat masih belum optimal dalam pemenuhan ketersediaan barang kebutuhan pokok dan barang penting di dalam negeri. Hal tersebut dikarenakan pemerintah dan pemerintah daerah masih belum memiliki informasi ketersediaan pasokan dalam negeri yang valid. Dalam UU Perdagangan sebenarnya sudah mengatur bahwa sistem informasi perdagangan yang terintegrasi dapat menciptakan informasi perdagangan yang real time di seluruh wilayah Indonesia. Masalah yang saat ini dihadapi adalah sistem informasi perdagangan terintegrasi tersebut datanya masih tersebar di berbagai K/L, sehingga masih belum dapat menentukan arah kebijakan yang sesuai sehingga baik pemerintah maupun pemerintah daerah masih harus mengecek persediaan dengan turun ke lapangan secara manual.

b. Permasalahan Pelaksanaan Pengendalian Perdagangan Luar Negeri yang diatur oleh Pemerintah Pusat
Perdagangan Luar Negeri atau Perdagangan Internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan bersama. Penduduk yang dimaksud dapat berupa antarperorangan, antara individu dengan pemerintah suatu negara, atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain . Terkait dengan kegiatan Perdagangan Luar Negeri tersebut diatur secara khusus oleh UU Perdagangan dalam BAB V UU Perdagangan.

Menurut salah satu stakeholder sebagai pelaksana ketentuan-ketentuan tersebut masih terdapat kendala yang terjadi dan ditemukan dalam pelaksanaannya di lapangan. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Pekalongan mengatakan bahwa masih terdapat kendala yang terjadi dalam segi pengendalian yaitu terkait lamanya penerbitan Perizinan Berusaha/persetujuan Eksportir dan/atau Importir untuk melakukan kegiatan ekspor dan/atau impor barang.

c. Implementasi Pelabelan SNI Terhadap Barang Perdagangan
Standardisasi ialah suatu patokan atau pedoman yang digunakan untuk menjadi acuan minimal dalam mencapai keselarasan. Standardisasi disebut sebagai usaha bersama dalam pembentukan sebuah standar. Standarisasi diatur secara khusus dalam Bab VII UU Perdagangan dan dibagi dalam dua bagian yaitu Bagian Kesatu yang berisi mengenai Standarisasi Barang serta Bagian Kedua mengenai Standarisasi Jasa. Terkait Standarisasi Barang, dalam Pasal 57 UU Perdagangan dikatakan bahwa barang-barang yang diperdagangkan di dalam negeri harus memenuhi dua syarat, yaitu harus memenuhi Standar Nasional Indonesia (untuk selanjutnya disebut sebagai SNI) yang telah diberlakukan secara wajib; atau persyaratan teknis yang telah diberlakukan secara wajib.
Kewajiban Pelaku Usaha dalam melakukan pemenuhan SNI terhadap suatu barang yang diperdagangkan sudah diatur dengan sangat baik dalam Undang-Undang, namun dalam implementasinya masih terdapat kendala yang terjadi di lapangan. Hal ini disampaikan oleh beberapa stakeholder bahwa implementasi standar pemberlakuan SNI wajib belum terintegrasi secara lengkap atau komperehensif.

d. Pemberdayaan Koperasi Serta Usaha Mikro, Kecil, Dan Menengah Yang Multisektoral
Ketentuan terkait Pemberdayaan Koperasi serta Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah tersebut diatur secara khusus dalam BAB X UU Perdagangan yaitu pada Pasal 73 UU Perdagangan. Dalam Pasal 73 ayat (1) UU Perdagangan dikatakan bahwa Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah mempunyai kewenangan untuk melakukan pemberdayaan terhadap koperasi serta usaha mikro, kecil, dan menengah di sektor Perdagangan.
Pengaturan mengenai Pemberdayaan Koperasi serta Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sudah diatur dengan baik dan jelas dalam UU Perdagangan, namun dalam pelaksanaannya masih terdapat kendala yang terjadi. Hal tersebut disampaikan oleh para stakeholder baik di pusat maupun daerah sebagai pelaksana ketentuan dan yang mengkaji terkait kendala pelaksanaan ketentuan tersebut. Kendala-kendala tersebut yaitu tumpang tindih kewenangan pembinaan dan pendampingan terhadap pelaku usaha ekspor UMKM, belum terlaksananya pelaksanaan digitalisasi UMKM, dan modal koperasi serta UMKM yang cenderung sedikit.

3. ASPEK PENDANAAN
a. Tidak Memadainya Dana Untuk Mengendalikan Kestersediaan Barang Kebutuhan Pokok Dan/Atau Barang Penting
UU Perdagangan terdapat beberapa pasal yang mengatur mengenai pengendalian barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting yakni Pasal 25 sampai dengan Pasal 34 UU Perdagangan. Dalam ketentuan pasal-pasal tersebut, mengatur bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengendalikan ketersediaan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jumlah yang memadai, mutu yang baik, dan harga yang terjangkau.

Dalam Pasal 10 Perpres 59/2020 mengatur tentang biaya yang diperlukan dalam pelaksanaan pengendalian ketersediaan barang kebutuhan pokok dan barang penting bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dan/atau sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Akan tetapi, selama ini, sebagian besar Pemerintah Daerah masih bergantung pada anggaran dari pusat termasuk dana dekonsentrasi dalam melakukan upaya peningkatan produksi barang kebutuhan pokok dan barang penting dikarenakan kebijakan perdagangan yang masih merupakan urusan pilihan. Sehingga diperlukan menjamin ketersediaan barang dengan data yang valid dan terintegrasi dengan ketersediaan barang dalam pasar tradisional dan modern.

b. Hambatan Anggaran Dalam Pemberdayaan Perdagangan UMKM di Daerah
Pelaku usaha UMKM merupakan pelaku ekonomi yang tersebar ditengah-tengah masyarakat yang terus berkembang pada era otonomi daerah, baik di wilayah pedesaan maupun perkotaan. Pemberdayaan koperasi serta usaha mikro, kecil dan menengah diatur dalam Bab X Pasal 73 UU Perdagangan. Pemberdayaan terhadap koperasi serta usaha mikro, kecil, dan menengah di sektor perdagangan dapat berupa pemberian fasilitas, insentif, bimbingan teknis, akses dan/atau bantuan permodalan, bantuan promosi dna pemasaran. Akan tetapi masih terdapat beberapa permasalahan yang terjadi terkait dengan akses dan/atau bantuan permodalan. Selain itu, dalam PP 7/2021, terdapat pengaturan mengenai Pemkab/Pemkot memiliki kewenangan melakukan restrukturisasi terhadap koperasi, akan tetapi secara pendanaan dari segi anggaran kemungkinan pemerintah daerah tidak bisa melaksanakannya dikarenakan tidak dianggarkan di mata anggaran tahunan.

4. ASPEK SARANA DAN PRASARANA
a. Sistem Terintegrasi Terkait Data Yang Valid
Sistem informasi perdagangan yang selama ini terlaksana masih tersebar dalam Kementerian/Lembaga masing-masing yang menyediakan data informasi perdagangan berdasarkan tugas pokok dan fungsinya. Sistem informasi perdagangan terintegrasi memiliki fungsi untuk mengetahui jumlah pasokan kebutuhan dalam negeri sehingga diharapkan terdapat informasi yang akurat yang tersedia dalam hal memberikan kebijakan yang tepat guna untuk Indonesia setiap waktu. Data yang ada di daerah tersebut harusterintegrasi dan sampai ke Pemerintah agar dapat diketahui kondisi perdagangan nasional secara holistik. Sebaliknya, tidak tersedianya data pasokan yang valid di dalam negeri menjadi salah satu penyumbang kesalahan pemerintah dalam menilai pasokan kebutuhan dan cara untuk mengantisipasinya karena sering kali data yang tidak valid atas keadaan perdagangan di Indonesia membuat pemerintah baru turun ke pasar ketika terjadi kesulitan pasokan dan harga yang tidak stabil. Jika hal ini terus terjadi dikhawatirkan terjadi inflasi yang berdampak luas pada timbulnya resesi ekonomi sebagaimana yang telah dialami oleh berbagai negara lain.

b. Pengelolaan Pasar Rakyat dalam rangka peningkatan daya saing
Pasar Rakyat adalah tempat usaha yang ditata, dibangun dan dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Swasta, Badan Usaha Milik Negara, dan/atau Badan Usaha Milik Daerah dapat berupa toko, kios, dan tenda yang dimiliki/dikelola oleh pedagang kecil dan menengah, swadaya masyarakat, atau Koperasi serta Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dengan proses jual beli barang melalui tawar menawar Pasar Rakyat mempunyai peran yang sangat penting sebagai penggerak perekonomian, sehingga dalam pembangunan, pemberdayaan, dan peningkatan kualitasnya diatur secara khusus dalam Pasal 13 dan Pasal 14 UU Perdagangan. Namun dalam pelaksaannya, masih terdapat beberapa kendala yang terjadi. Kendala tersebut adalah pembangunan, pemberdayaan, dan peningkatan kualitas pengelolaan Pasar Rakyat belum menunjukkan skala penilaian yang baik karena masih minimnya penganggaran perbaikan fasilitas dan pembangunan Pasar Rakyat; dan masih terdapat beberapa bangunan Pasar Rakyat yang tidak termanfaatkan secara maksimal.

5. ASPEK BUDAYA HUKUM
a. Tingkat Kepatuhan Pelaku Usaha baik Konvensional maupun yang menggunakan PMSE
Pemerintah telah menerbitkan PP 80/2019 pada 24 November 2019. Menurut Peraturan Pemerintah tersebut, PMSE adalah perdagangan yang transaksinya dilakukan melalui serangkaian perangkat dan prosedur elektronik atau yang lebih dikenal dengan istilah e-commerce. PP 80/2019 mengatur pokok-pokok transaksi e-commerce baik dari dalam maupun luar negeri, mencakup pelaku usaha, perizinan, dan pembayaran.
Dalam implementasinya, masih ada kesulitan penerapan dalam hal penyelesaian sengketa khususnya transaksi elektronik yang nilai transaksinya tidak begitu besar, data/informasi barang tidak sesuai dengan spesifikasi barang yang diterima, dan sanksi administratif tidak berjalan efektif bilamana masyarakat tidak melaporkan. Sedangkan terhadap pelaku usaha yang tidak menyediakan data dan/atau informasi secara benar maka diancam dengan sanksi pidana sebagaimana yang tertulis pada Pasal 115 UU Perdagangan. Selain itu, implementasi penjatuhan sanksi sulit diterapkan.
Selain itu, dalam pengenaan sanksi pidana terhadap pelaku usaha PMSE sangat sulit mengingat market place telah menyediakan mekanisme penyelesaian sengketa berupa pergantian produk apabila produk tidak sesuai. Pelaku usaha e-commerce juga belum memenuhi ketentuan SNI wajib dan pelaku usaha masih kurang mendapatkan sosialisasi berkaitan dengan aturan regulasi sektor perdagangan khususnya mengenai perdagangan melalui sistem elektronik/OSS.

b. Peningkatan Peran Serta Masyarakat
Dalam UU Perdagangan belum mengatur tentang Peran Serta Masyarakat. Hal ini merupakan hal sangat penting dikarenakan untuk pembangunan ekonomi di bidang perdagangan demi memajukan kesejahteraan umum seperti pelibatan masyarakat itu sendiri. Dengan melibatkan masyarakat dalam bidang perdagangan, masyarakat dapat membantu Pemerintah dalam melakukan pengawasan ataupun memberikan masukan-masukan terkait dengan kendala-kendala yang terjadi di bidang perdagangan.

6. ASPEK PENGARUSUTAMAAN NILAI-NILAI PANCASILA
Masih terdapat beberapa pengaturan dalam UU Perdagangan yang belum selaras dengan nilai-nilai Pancasila, diantaranya:
a. Definisi Pelaku Usaha dalam UU Perdagangan yang hanya dibatasi kepada WNI saja berpotensi mendiskriminasikan antar pelaku usaha, terutama pelaku usaha luar negeri, sehingga bertentangan dengan sila ke-5 Pancasila;
b. Ketentuan Pasal 50 dan Pasal 54 UU Perdagangan mengatur larangan pembatasan ekspor dan impor. Namun, frasa “kepentingan umum” dalam Pasal 50 UU Perdagangan tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai kriteria yang dimaksud dengan kepentingan umum sehingga menimbulkan multitafsir. Selain itu, frasa “industri tertentu” dalam Pasal 54 UU Perdagangan juga tidak menjelaskan secara tegas mengenai kriteria industri tertentu yang dimaksudkan sehingga menimbulkan multitafsir. Oleh karena itu, ketentuan Pasal 50 dan Pasal 54 UU Perdagangan tidak selaras dengan sila ke-5 Pancasila;
c. Pasal 57 dan Pasal 113 UU Perdagangan mewajibkan SNI untuk semua barang yang diperdagangkan dan disertai dengan sanksi apabila pelaku usaha melanggar. Namun, ketentuan ini berpotensi merugikan pelaku usaha UMKM yang masih kesulitan memenuhi kewajiban SNI. Sehingga, ketentuan ini belum selaras dengan sila ke-5 Pancasila;
d. Pasal 67 ayat (3) UU Perdagangan mengindikasikan bahwa tidak adanya aturan tentang perlindungan dan pengamanan bagi pelaku UMKM yang terkena dampak perdagangan bebas sehingga belum selaras dengan sila ke-4 Pancasila.

1. Dalam aspek Substansi Hukum, diperlukan:
a. Perubahan ketentuan Pasal 65 UU Perdagangan terkait PMSE yang di dalam ketentuan perubahan nantinya mengatur terkait:
• Pengaturan mengenai standarisasi produk yang diperoleh dengan PMSE secara cross borde transaction;
• Pengaturan mengenai perdagangan melalui media sosial (social commerce) yang saat ini berkembang melalui platform facebook, Instagram, dan tiktok
• Mengatur mengenai pencegahan dan penindakan terhadap adanya predatory pricing.
• Pengaturan tegas terkait pemblokiran usaha yang menerapkan PMSE tidak sesuai ketentuan hukum supaya lebih efektif.
b. Upaya dari pemerintah untuk segera menerbitkan peraturan pelaksanaan yang menjadi amanat dalam UU Perdagangan agar pelaksanaan UU Perdagangan dapat berjalan efektif;
c. Sinkronisasi dan harmonisasi terkait dengan frasa “Pelaku Usaha” dalam Pasal 1 angka 14 UU Perdagangan dengan UU Perlindungan Konsumen;
d. Sinkronisasi dan harmonisasi terkait dengan frasa “Pelaku Usaha” dalam Pasal 1 angka 14 UU Perdagangan dengan UU JPH; dan
e. Penegasan pengaturan terkait dengan kriteria penimbunan dalam Pasal 29 UU Perdagangan agar dapat berjalan dengan lebih efektif.

2. Dalam aspek Struktur Hukum, diperlukan:
a. pengawasan yang ketat terhadap cross border transaction dan selalu meng-update seluruh komoditas bahan baku dan komoditi setiap kebutuhan pokok maupun kebutuhan penting nasional secara berkala khususnya mendekati hari raya yang riskan mengalami kenaikan angka kebutuhan di masyarakat dan menyegerakan pembangunan sistem informasi perdagangan yang terintegrasi agar dapat menghasilkan informasi perdagangan yang real time disetiap daerah guna menelaah faktor-faktor penyebab dari permasalahan perlindungan dan pengamanan komoditi tertentu serta dapat menjadi pertimbangan untuk menentukan arah kebijakan perdagangan yang tepat.
b. Sinergi dan transparansi dari Pemerintah Pusat dalam proses penerbitan perizinan berusaha/persetujuan ekspor dan/atau impor baik kepada para Eksportir dan/atau Importir maupun kepada Pemerintah Daerah yang menangani hal tersebut. Selain itu, dibutuhkan koordinasi yang kuat antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam memberikan informasi terkait proses penerbitan perizinan berusaha/persetujuan ekspor dan/atau impor agar tidak terjadinya miss communication antara Pemerintah Daerah dengan Eksportir dan/atau Importir. Sosialisasi terkait informasi proses penerbitan perizinan berusaha/persetujuan ekspor dan/atau impor dapat dilakukan melalui sistem informasi perdagangan dengan menambahkan informasi tersebut kedalamnya. Selain itu menurut Akademisi FH Unnes, Pemerintah perlu melakukan penanganan kegiatan-kegiatan dari perdagangan perbatasan;
c. koordinasi terkait pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang mempunyai kewenangan dalam bidang Perdagangan khususnya mengenai Standardisasi Barang ke pasar tradisional, toko modern, toko elektronik, dan pelaku usaha lainnya. Selain itu, dibutuhkan penguatan sosialisasi juga yang dilakukan oleh Kementerian atau Lembaga terkait dalam melakukan penghimbauan kewajiban dan pentingnya pemenuhan SNI dan pemberian logo SNI dalam suatu barang yang diperdagangkan. Selain itu, menurut Akademisi FH Unnes, permasalahan terkait perizinan misalnya uji produk untuk memenuhi SNI pada suatu barang dikenakan biaya satu persatu sehingga pelaksanaannya selama ini tidak efisien. Oleh karena itu, dibutuhkan penyederhanaan dalam proses tersebut;
d. Adanya batasan yang jelas terkait kewenangan dalam hal pembinaan dan pemberdayaan UMKM dan Koperasi antara Kementerian Perdagangan dan Kementerian terkait lainnya agar tidak terjadi tumpang tindih; melakukan sinergi terhadap pengawasan pelaksanaan kegiatan digitalisasi UMKM yaitu Pemerintah dapat bekerja sama atau berkoordinasi dengan pihak-pihak yang memiliki kompetensi dalam melakukan hal tersebut; serta Pemerintah harus berupaya lebih keras lagi untuk membantu para pengusaha dalam memberikan kemudahan untuk mendapatkan perizinan membuka usaha di UMKM, membantu produk Koperasi dan UMKM agar dapat menembus pasar, dan memudahkan akses permodalan kepada pelaku Koperasi dan UMKM.

3. Dalam aspek Pendanaan, diperlukan:
a. Komitmen dari Pemerintah dan Pemerintah daerah dalam menjamin ketersediaan barang dengan data yang valid dan terintegrasi dengan ketersediaan barang dalam pasar tradisional dan modern;
b. koordinasi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah terkait penyediaan pembiayaan yang bersumber dari APBN dan APBD untuk mendukung UMKM di daerah dan perlunya upaya pemberian pengkhususan syarat (priviledge) dalam hal pelabelan tersebut serta dapat dilakukan dengan memberikan insentif atau pemberian subsidi kepada UMKM.

4. Dalam aspek Sarana dan Prasarana, diperlukan:
a. Peran dari pemerintah untuk mempercepat proses transformasi digital. Percepatan tersebut dapat dilakukan jika kondisi prasyarat penting terpenuhi yaitu tersedianya SDM berkeahlian digital tinggi, infrastruktur digital yang merata, dan juga iklim usaha yang mendukung inovasi dan pertumbuhan perusahaan start up baru.
b. Komitmen dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam melakukan pembangunan, pemberdayaan dan peningkatan kualitas Pasar Rakyat termasuk dengan melakukan peningkatan pengawasan terhadap fasilitas Pasar Rakyat.


5. Dalam aspek Budaya Hukum, diperlukan:
a. penguatan pemberian sanksi dan pengawasan kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan UU Perdagangan dan memperkuat edukasi terhadap masyarakat selaku konsumen;
b. ruang bagi masyarakat untuk terlibat secara aktif dalam pelaksanaan perdagangan di Indonesia baik itu dalam hal pengawasan dan pelaksanaan kebijakan perdagangan di Indonesia.

6. Dalam aspek Pengarus Utamaan Nilai-Nilai Pancasila, diperlukan:
a. revisi Pasal 1 angka 14 UU Perdagangan terkait definisi “Pelaku Usaha”, karena tidak selaras dengan Sila Ke-5;
b. revisi Pasal 50 dan Pasal 54 UU Perdagangan terkait perlindungan kepada kepentingan umum baik melindungi pasar dan pelaku usaha, karena tidak selaras dengan Sila Ke-5;
c. revisi Pasal 57 dan Pasal 113 UU Perdagangan terkait kewajiban pemberlakuan SNI untuk barang yang diperdagangkan, karena tidak selaras dengan Sila Ke-5;
d. revisi Pasal 67 ayat (3) UU Perdagangan terkait perlindungan dan pengamanan perdagangan bagi pelaku UMKM, karena tidak selaras dengan Sila Ke-4.

KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG PENDIDIKAN TINGGI / 01-06-2022

Salah satu urgensi dilakukannya pemantauan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti) adalah terdapat beberapa permasalahan dan kendala dalam penyelenggaraan Pendidikan Tinggi, baik dari sisi substansi, kelembagaan, pendanaan, sarana dan prasarana, dan budaya hukum. Permasalahan dalam penyelenggaraan Pendidikan Tinggi yang terjadi selama ini antara lain adanya perbedaan pengaturan UU Dikti dengan UU terkait lainnya; permasalahan penyelenggaraan Pendidikan Tinggi oleh Kementerian lain selain Kemendikbudristek; belum optimalnya kerja sama penelitian dan pengabdian kepada masyarakat; Pelaksanaan Otonomi Perguruan Tinggi; belum optimalnya peran Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan Pendidikan Tinggi; permasalahan pendanaan dan pembiayaan dalam penyelenggaraan Pendidikan Tinggi, permasalahan pendanaan kegiatan akreditasi bagi Perguruan Tinggi, keterbatasan sarana prasana, dan minimnya peran serta masyarakat. Hal ini menyebabkan fungsi dan tujuan Pendidikan Tinggi belum terwujud optimal.

Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Jawa Barat, dan Provinsi Kalimantan Timur

1. Aspek Substansi Hukum
Perbedaan Pengaturan UU Dikti dengan Undang-Undang Lainnya:
a. UU Dikti dengan UU Pemda
Terdapat perbedaan pengaturan rumusan definisi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah antara Pasal 1 angka 19 dan angka 20 UU Dikti dengan Pasal 1 angka 1 dan angka 3 UU Pemda. Rumusan definisi pada Pasal 1 angka 19 dan angka 20 UU Dikti masih merujuk pada rezim Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan belum dilakukan penyesuaian berdasarkan ketentuan yang terbaru sebagaimana diatur Pasal 1 angka 1 dan angka 3 UU Pemda.
Perbedaan pengaturan lainnya yakni adanya perbedaan pengaturan mengenai kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaran Pendidikan Tinggi (Pasal 76 ayat (1), Pasal 83 ayat (2), dan Pasal 89 ayat (4) UU Dikti dengan Lampiran I huruf A Pembagian Urusan Pemerintahan Bagian Pendidikan UU Pemda jo. Lampiran II UU Pemda, Perincian pembagian Urusan Pemerintahan bidang pendidikan). Perbedaan pengaturan antara UU Dikti dan UU Pemda apabila dikaitkan dengan adanya tanggung jawab Pemerintah Daerah sebagai salah satu pihak yang diwajibkan untuk memenuhi hak mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi. Sejatinya ketentuan pengelolaan Pendidikan Tinggi merupakan wewenang Pemerintah Pusat, dan telah sejalan dengan ketentuan UU Pemda. Ketentuan Pasal 76 ayat (1), Pasal 83 ayat (2), dan Pasal 89 ayat (4) UU Dikti akan dapat dilaksanakan dengan baik apabila terjadi keselarasan aturan dalam UU Dikti dengan UU Pemda terkait pembagian tugas dan wewenang Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

b. UU Dikti dengan UU Sisnas Iptek
Terdapat perbedaan cakupan pengaturan mengenai pengecualian penyebarluasan hasil penelitian antara UU Dikti dengan UU Sisnas Iptek yakni, UU Dikti hanya mengecualikan publikasi atas penelitian yang sifat dan hasilnya berkaitan dengan rahasia atau keselamatan negara, sedangkan pengecualian terhadap publikasi hasil penelitian dalam UU Sisnas Iptek juga mencakup informasi yang berkaitan dengan kepentingan pelindungan usaha dari persaingan usaha tidak sehat; informasi yang berkaitan dengan hak-hak pribadi; informasi yang berkaitan dengan rahasia jabatan; dan/atau informasi publik yang diminta belum dikuasai atau didokumentasikan.

2. Aspek Struktur Hukum/Kelembagaan
a. Belum Optimalnya Implementasi Fungsi dan Tujuan Pendidikan Tinggi dalam Pasal 4 dan Pasal 5 UU Dikti
Pemenuhan fungsi dan tujuan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 dan Pasal 5 UU Dikti belum optimal dikarenakan beberapa hal, diantaranya masih rendahnya APK Perguruan Tinggi di Indonesia; masih cukup tingginya Angka Putus Kuliah di Indonesia; pemenuhan Standar Nasional Pendidikan Tinggi yang belum optimal dan masih adanya disparitas kualitas Perguruan Tinggi; masih terdapat beberapa Perguruan Tinggi yang belum mempedomani fungsi dan tujuan penyelenggaraan Pendidikan Tinggi sebagaimana pengaturan di dalam UU Dikti ke dalam Visi, Misi, Kurikulum, dan Program Pembelajaran serta Tri Dharma Perguruan Tinggi; kualitas lulusan Perguruan Tinggi masih sangat beragam dan tidak semuanya siap terjun dalam masyarakat dan dunia kerja; Masih adanya keterbatasan Perguruan Tinggi di luar Pulau Jawa untuk menjangkau akses ilmu pengetahuan serta penelitian; dan masih timpangnya kuantitas dan kualitas sumber daya manusia penyelenggara sekaligus pelaku Pendidikan Tinggi di luar Pulau Jawa.

b. Permasalahan Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi oleh Kementerian Lain dan Lembaga Pemerintah Non Kementerian selain Kemendikbudristek
Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi oleh Kementerian lain selain Kemendikbudristek secara historis ditujukan untuk memenuhi kebutuhan kelembagaan dan tuntutan masyarakat, namun kemudian berkembang menjadi pendidikan umum/akademik sehingga menimbulkan tumpang tindih peran dan fungsinya dengan tugas Kemendikbudristek. Dengan total 4.593 Perguruan Tinggi terhitung pada Tahun 2020, di mana terdapat 1.240 Perguruan Tinggi Keagamaan di bawah naungan Kemenag dan 187 Perguruan Tinggi Kementerian/Lembaga yang tersebar di berbagai K/L yang jumlah keduanya adalah sebesar 31%, menunjukkan jumlah yang cukup besar dari penyelenggaraan Pendidikan Tinggi oleh Kementerian lain selain Kemendikbudristek.
Jumlah yang cukup besar tersebut, tidak luput dari persoalan seperti banyaknya Perguruan Tinggi Keagamaan yang tidak hanya menyelenggarakan pendidikan tinggi keagamaan saja tetapi juga pendidikan tinggi non keagamaan, demikian halnya dengan PTKL lain sehingga menimbulkan tumpang tindih kewenangan dan dual cost yang berakibat pada ketidakjelasan pengalokasian pendanaan dan capaian pendidikan tinggi.

c. Belum Optimalnya Kerja sama Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Antara Perguruan Tinggi dengan Pemerintah Daerah
Pendayagunaan Perguruan Tinggi sebagai pusat penelitian atau pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi oleh Pemerintah Daerah belum berjalan secara optimal karena masih menghadapi beberapa tantangan yaitu:
a) tata kelola riset baik di pusat maupun daerah selama ini masih belum terorganisasi dengan baik;
b) institusi riset kerap berganti nomenklatur dan tersebar pada berbagai kementerian/lembaga. Bahkan di daerah pun bermunculan beragam institusi riset;
c) masih minimnya upaya implementasi kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy) dalam perumusan kebijakan di Indonesia;
d) perumusan kebijakan masih sering bersifat reaktif, didominasi kepentingan pragmatis, serta kurang melibatkan para ahli kebijakan;
e) penelitian yang dilakukan oleh Perguruan Tinggi hanya berjalan sementara untuk kepentingan sesaat saja; dan
f) hasil penelitian yang dilakukan oleh Perguruan Tinggi belum menjadi solusi dari permasalahan yang dihadapi Pemerintah Daerah. Sebaliknya, Perguruan Tinggi belum sepenuhnya mendapatkan informasi kegiatan yang dilangsungkan oleh Pemerintah Daerah sehingga hal tersebut menunjukkan bahwa belum optimalnya koordinasi antara Perguruan Tinggi dan Pemerintah Daerah.

d. Permasalahan Pelaksanaan Otonomi Perguruan Tinggi
Pelaksanaan otonomi Pergururan Tinggi yang terwujud dalam Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH) telah menorehkan prestasi berkelas dunia sehingga pembentukan PTN-BH perlu lebih didorong lagi tapi dengan beberapa catatan:
1) PTN yang masih belum menjadi PTN-BH, khususnya Perguruan Tinggi Negeri Badan Layanan Umum (PTN-BLU), tidak perlu dipaksakan menjadi PTN-BH dengan pertimbangan PTN tersebut skalanya kecil, jenis pendidikan dan mahasiswanya sedikit, serta kompleksitas pengelolaannya rendah;
2) Pendanaan bagi PTN-BH tetap didukung pemerintah melalui block grant dengan memastikan pendanaan tersebut berdasarkan kinerja output.
3) PTN-BH harus mampu mempertahankan jaminan mutu melalui akreditasi dan melakukan perhitungan biaya pendidikan secara transparan dan akuntabel.
Sedangkan pendapat lainnya menyatakan bahwa PTN-BH belum benar-benar otonom secara non akademik khususnya dalam lingkup organisasi karena dalam tata kelola dan pengambilan keputusan, PTN-BH masih tersandera oleh peraturan dan keputusan dari Kemendikbudristek. Begitu pula dalam lingkup keuangan juga dinilai belum sepenuhnya otonom karena masih bertabrakan dengan rezim UU Keuangan Negara. Lebih jauh, otonomi Perguruan Tinggi dikritik karena dikhawatirkan menjadi awal dari proses komersialisasi dan liberalisasi pendidikan yang tidak berpihak ke mahasiswa pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.

3. Aspek Pendanaan
a. Permasalahan Pendanaan dan Pembiayaan dalam Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi
Kemendikbudristek sebagai leading sector penyelenggaraan Pendidikan Tinggi merupakan salah satu Kementerian/Lembaga (K/L) yang mendapat alokasi anggaran yang menjadi bagian dari belanja Pemerintah Pusat untuk menjalankan fungsi Pendidikan. Alokasi anggaran Pendidikan Tinggi melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dominan diberikan dalam bentuk Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) dan Bantuan Pendanaan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (BPPTN-BH) Pendidikan Tinggi untuk PTN. Pemerintah melalui Kemendikbudristek mengalokasikan anggaran Pendidikan Tinggi untuk PTN dalam APBN dengan dasar Standar satuan biaya operasional Pendidikan Tinggi. Standar dimaksud juga digunakan oleh PTN sebagai dasar dalam menetapkan biaya yang ditanggung oleh mahasiswa. Pemerintah Daerah juga dapat memberikan dukungan dana Pendidikan Tinggi yang dialokasikan pada APBD. Keterbatasan dukungan dana Pendidikan Tinggi pada APBD antara lain disebabkan karena pengelolaan Pendidikan Tinggi merupakan wewenang Pemerintah Pusat.
Meskipun telah terdapat ketentuan yang ideal terkait pendanaan dan pembiayaan Pendidikan tinggi, masih ditemukan hambatan berkaitan dengan keterbatasan anggaran Pendidikan Tinggi. Beberapa permasalahan tersebut antara lain: alokasi anggaran untuk Pendidikan Tinggi pada APBN mengalami tren penurunan karena Pemerintah masih berfokus pada Pendidikan dasar dan menengah, masih terdapat permasalahan terjadinya tren kenaikan biaya Pendidikan Tinggi, PTN-BH dianggap badan usaha yang terkena pajak progresif, disparitas besaran pembiayaan per mahasiswa antara program studi Perguruan Tinggi yang berada di bawah Kemendikbudristek dan K/L, keterbatasan kemampuan keuangan Perguruan Tinggi Negeri (PTS), serta belum optimalnya dukungan pendanaan melalui alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBD) dan masyarakat.

b. Permasalahan Pendanaan Kegiatan Akreditasi bagi Perguruan Tinggi
Akreditasi Perguruan Tinggi penting dilakukan tetapi belum semua Perguruan Tinggi memiliki kemampuan keuangan yang memadai sehingga masih ada kesenjangan atau gap antar perguruan tinggi. PTN dan PTS yang memiliki kemampuan keuangan terbatas serta jumlah mahasiswa sedikit, dalam mendanai kegiatan akreditasi melalui LAM dirasa memberatkan.

c. Kendala Pembiayaan dalam Pemenuhan Hak Mahasiswa Kurang Mampu
Angka Partisipasi Kasar Perguruan Tinggi di Indonesia Tahun 2021 masih sebesar 31,19% (tiga puluh satu koma sembilan belas persen). Artinya, sisanya tidak melanjutkan pendidikan. Angka Putus Kuliah Tahun 2020 juga masih tinggi, secara nasional sebanyak 602.263 mahasiswa. Permasalahan kemampuan ekonomi dalam melanjutkan Pendidikan Tinggi masih menjadi salah satu sebab sulitnya akses Pendidikan Tinggi bagi mahasiswa kurang mampu. Sehingga pengaturan pada UU Dikti memuat beberapa ketentuan penerimaan mahasiswa baru yang memperhatikan aspek ekonomi dan pemenuhan hak mahasiswa yang kurang mampu. Namun terdapat kendala pembiayaan dalam pemenuhan hak mahasiswa kurang mampu yakni:
1) Keterbatasan APBN dan APBD;
2) Kemampuan keuangan Perguruan Tinggi beragam; dan
3) Masih adanya seleksi penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri oleh PTN.

d. Kendala Dalam Pengalokasian Dana Penelitian
Ketentuan Pasal 89 ayat (6) UU Dikti yang mengatur pengalokasian dana penelitian minimal sebesar 30% (tiga puluh persen) dari dana bantuan operasional PTN dalam implementasinya dinilai belum maksimal atau masih kurang. Apalagi dikaitkan dengan kegiatan lain dalam tridharma perguruan tinggi yaitu Pendidikan dan pengabdian kepada masyarakat. Selain itu distribusi dana penelitian belum merata untuk mendanai penelitian di PTN dan PTS.


4. Aspek Sarana dan Prasarana
Dalam aspek sarana dan prasarana terdapat permasalahan sebagai berikut:
a. Terdapat ketimpangan kebutuhan sarana dan prasarana dengan ketersediaan riil di lapangan;
b. Belum memadainya ketersediaan peralatan dan laboratorium yang mutakhir bagi Pendidikan Vokasi;
c. Keterbatasan kemampuan Perguruan Tinggi dalam memenuhi kebutuhan sumber belajar maupun sarana dan prasarana terutama di Daerah 3T;
d. Kendala fasilitas internet yang belum merata khususnya di daerah Indonesia Timur sementara pandemi telah mengubah metode pembelajaran dari yang semula dilaksanakan secara tatap muka menjadi virtual.

5. Aspek Budaya Hukum
Pasal 91 UU Dikti mengatur tentang peran serta masyarakat dalam pengembangan Pendidikan Tinggi. Dalam implementasinya terdapat permasalahan yaitu kurangnya informasi mengenai tata cara dan bentuk peran serta dari masyarakat dan belum jelasnya pelembagaan yang menjadi wadah peran serta masyarakat dalam peningkatan mutu Pendidikan Tinggi di Indonesia. Minimnya informasi tersebut berbanding lurus dengan masih minimnya partisipasi masyarakat dalam pengembangan Pendidikan Tinggi.

6. Aspek Pengarusutamaan Nilai-Nilai Pancasila
Terdapat beberapa pasal dalam UU Dikti yang berpotensi tidak selaras dan bertentangan dengan sila kedua dan sila kelima Pancasila, di antaranya:
a. Kata “negara” di dalam Pasal 1 angka 1 UU Dikti berpotensi multitafsir karena terdapat ketidakjelasan mengenai definisi dari kata “negara” dan menimbulkan permasalahan di dalam pelaksanaannya terutama fenomena merebaknya paham radikalisme. Pada bagian Penjelasan Pasal 1 UU Dikti juga berbunyi “Cukup Jelas.” Padahal pasal tersebut dibentuk untuk mewujudkan pendidikan secara optimal, efisien, dan efektif sebagaimana amanat UUD NRI Tahun 1945 serta sebagai upaya pencegahan paham radikalisme khususnya pada lingkungan Perguruan Tinggi yang memiliki peranan penting.
b. Selama ini Perguruan Tinggi disibukkan dengan proses akreditasi untuk setiap program studinya, yang menguras tenaga, pikiran, waktu dan biaya. Proses akreditasi lebih bersifat formalitas dari pada substansi kualitasnya.
c. Pasal 64 dan Pasal 65 UU Dikti yang mengatur mengenai otonomi Perguruan Tinggi berpotensi menjadi awal dari proses komersialisasi dan liberalisasi pendidikan. Hal ini terlihat dari masih adanya stigma dari masyarakat yang menganggap Pendidikan Tinggi dikomersilkan.

Puspanlak UU Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI memberikan rekomendasi yang ditujukan untuk penguatan dari sisi regulasi melalui penyempurnaan dan harmonisasi rumusan antara UU Dikti dengan undang-undang terkait lainnya, serta penguatan fungsi penyelenggaraan Pendidikan, sebagai berikut:
1. Substansi Hukum
a. Perlu adanya sinkronisasi regulasi peran Pemerintah Daerah antara UU Dikti dan UU Pemda;
b. Perlu koordinasi antara Kemendagri dengan Kemendikbud terkait peran pemerintah daerah yang ada di kedua undang-undang tersebut; dan
c. Perlu dilakukan sinkronisasi dan harmonisasi antara UU Dikti dan UU Sisnas Iptek dengan menambahkan pengaturan pengecualian terhadap publikasi hasil penelitian yakni mencakup informasi yang berkaitan dengan kepentingan pelindungan usaha dari persaingan usaha tidak sehat; informasi yang berkaitan dengan hak-hak pribadi; informasi yang berkaitan dengan rahasia jabatan; dan/atau informasi publik yang diminta belum dikuasai atau didokumentasikan.

2. Struktur Hukum
a. Perlu konsistensi kolaborasi antara para pemangku kepentingan dalam penanganan permasalahan penyelenggaraan Pendidikan Tinggi sehingga dapat membentuk sistem yang kuat untuk mengatasi permasalahan penyelenggaraan Pendidikan Tinggi di Indonesia. Bentuk kolaborasi dimaksud dapat berupa peningkatan Kerjasama antar Perguruan Tinggi dan pendampingan Perguruan Tinggi yang sudah lebih mapan ke Perguruan Tinggi yang belum mapan;
b. Perlu mempertahankan ruang bagi Kementerian lain selain Kemendikbudristek untuk menyelenggarakan Pendidikan Tinggi, terkhusus Kemenag mengingat lingkup penyelenggaraan pendidikan tingginya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sebagai bagian dari upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa berbasis keagamaan sesuai sila pertama Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Sama halnya bagi Kementerian lain selain Kemendikbudristek di luar Kemenag yang juga menyelenggarakan Pendidikan Tinggi yang semakin tinggi dan bervariasi tuntutannya untuk menyesuaikan kebutuhan masyarakat, menjawab tantangan lokal, regional, hingga global, serta perkembangan ilmu pengetahuan dan/atau teknologi itu sendiri;
c. Perlu memastikan implementasi, monitoring, dan evaluasi berbagai dokumen yang menjadi pedoman tata kelola riset di Indonesia agar berjalan secara optimal. Termasuk memastikan kesinambungan koordinasi antara Perguruan Tinggi dengan Pemerintah Daerah setempat agar tidak lagi terjadi diskoneksitas hasil riset dengan kebutuhan Pemerintah Daerah setempat dalam upayanya meningkatkan kesejahteraan masyarakat;
d. Perlu memperjelas peraturan mengenai klasifikasi PTN yang diproyeksikan menjadi PTN-BH atau cukup PTN-BLU. Adapun bagi PTN yang sudah berstatus PTN-BH, pendanaannya tetap didukung pemerintah melalui block grant berdasarkan kinerja output, selain itu agar didorong untuk mengembangkan dana abadi dan diharuskan mampu mempertahankan jaminan mutu melalui akreditasi dan melakukan perhitungan biaya pendidikan secara transparan dan akuntabel. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu pula menetapkan mandat (amanah atau sesuatu yang dapat ditagih) dari Kemendikbudristek untuk dilaksanakan oleh PTN BH. Penuntasan mandat tersebut oleh PTN-BH kemudian diberikan hak atau apresiasi; dan
e. Perlu memberikan otonomi Perguruan Tinggi secara utuh baik di bidang akademik maupun nonakademik (khususnya organisasi) disertai dengan konsistensi pengarahan Perguruan Tinggi oleh Kemendikbudristek dalam bentuk regulasi dan pengawasan.

3. Pendanaan
a. Perlu optimalisasi pemberian beasiswa dan pinjaman dana tanpa bunga;
b. Perlu optimalisasi sumber pendanaan dan pembiayaan lainnya yang diperoleh dari masyarakat;
c. Perlu diperjelas pengaturan terkait pendanaan serta penggunaan anggaran sehingga dapat diukur akuntabilitas penggunaan dan penyerapannya;
d. Perlu pemeratan dan keadilan dalam pengelolaan dan distribusi anggaran Perguruan Tinggi, khususnya terhadap PTS;
e. Perlu pengaturan lebih jelas standar biaya operasional Pendidikan Tinggi sesuai dengan klasifikasi Perguruan Tinggi, yaitu: PTN Badan Layanan Umum, PTN Agama, Perguruan Tinggi K/L;
f. Perlu diperjelas pengaturan terkait:
- ketetapan UKT yang masih menjadi kewenangan Menteri untuk PTN non BH atau PTN-BH.
- pelaksanaan penerimaan mahasiswa baru di Perguruan Tinggi pada jalur mandiri secara tegas dan jelas serta tidak membebani calon mahasiswa.
g. Penguatan optimalisasi peran BAN PT sebagai perwakilan pemerintah dalam menjaga dan mempertahankan kualitas PTN dan PTS baik secara institusi maupun program studi melalui akreditasi;
h. Menjadikan akreditasi bagi program studi bukan sebagai suatu kewajiban melainkan sebagai pilihan/optional yang baru dipenuhi jika diminta oleh pengguna lulusan Pendidikan Tinggi.
i. Perlu dilakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri serta capaian minimal 20% (dua puluh persen) calon mahasiswa yang tidak mampu dan dari daerah 3T yang diterima PTN;
j. Penerapan Pasal 76 ayat (1) dan ayat (2) secara serius dan konsisten yakni pemberian beasiswa kepada Mahasiswa berprestasi, bantuan atau pembebasan biaya Pendidikan, serta pinjaman dana tanpa bunga;
k. Perlu penambahan frasa “calon mahasiswa” dalam Pasal 76 ayat (1) UU Dikti, sehingga selengkapnya menjadi “Pemerintah, Pemerintah Daerah dan/atau Perguruan Tinggi berkewajiban membantu mahasiswa dan calon mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi untuk dapat menyelesaikan studinya sesuai dengan peraturan akademik” guna memberikan jaminan bagi calon mahasiswa yang akan diterima oleh Perguruan Tinggi.
l. Meningkatkan komitmen Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam pemenuhan alokasi minimal dana penelitian; dan
m. Dalam sudut pandang PTN dan PTS, agar memperluas kerja sama dengan lembaga donor internasional.

4. Sarana dan Prasarana
a. Perlu pemetaan yang terencana dan terukur terkait sarana prasarana yang dibutuhkan;
b. Perlu kolaborasi antar Perguruan Tinggi seperti halnya resource sharing untuk memiliki “sarana bersama” laboratorium, perpustakaan, museum, studio, bengkel, stadion, dan stasiun penyiaran; dan
c. Meningkatkan kemitraan antara Perguruan Tinggi dengan dunia usaha dan dunia industri dalam memanfaatkan sarana dan prasarana.

5. Budaya Hukum
Guna meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengembangan Pendidikan Tinggi diperlukan sosialisasi yang lebih masif dari Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Perguruan Tinggi terkait tata cara partisipasi, bentuk peran serta masyarakat, dan wadah penyampaian peran masayarakat dalam pengembangan Pendidikan Tinggi. Selain itu diperlukan peningkatan peran alumni Pendidikan Tinggi dalam pengembangan Pendidikan Tinggi seperti pemberian beasiswa.

6. Pengarus Utamaan Nilai-Nilai Pancasila
a. Perlu menambahkan frasa “Kesatuan Republik Indonesia” setelah kata “Negara” dalam Pasal 1 angka 1 UU Dikti sehingga selengkapnya menjadi “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara Kesatuan Republik Indonesia”;
b. Perlu penyederhanaan proses akreditasi melalui Pangkalan Data Pendidikan Tinggi. Penyederhanaan ini juga seiring dengan teknologi informasi yang semakin maju; dan
c. Perlu pengawasan terhadap implementasi otonomi Perguruan Tinggi.

KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATU BARA SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA / 01-06-2022

Penyelenggaraan Minerba telah diatur dalam UU Minerba yang telah mengalami beberpa kali perubahan yaitu dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU 4/2009) diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU 3/2020) dan dalam rangka peningkatan investasi di bidang pertambangan minerba pengaturan diberikan perubahan kembali melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU 11/2020). Dengan berlakunya UU 3/2020 jo. UU 11/2020, pelaksanaan penyelenggaraan usaha pertambangan dan pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan diharapkan telah memiliki acuan yang lebih jelas, lebih lengkap, dan lebih luas jangkauannya, serta dapat memberikan solusi atau langkah terbaik dalam permasalahan yang ada terkait pertambangan mineral dan batubara. Selain itu, terbitnya UU 3/2020 jo. UU Cipta Kerja telah memberikan mekanisme penerbitan perizinan yang lebih sederhana dan terintegrasi dalam pelayanannya sehingga diharapkan dapat memberikan peningkatan investasi di sektor pertambangan mineral dan batubara kedepan.
Namun demikian, terdapat 1 (satu) kali pengujian konstitusional (judicial review) terhadap Pasal 169A ayat (1) UU 3/2020 dan diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 64/PUU-XVIII/2020 yang mengabulkan sebagian permohonan Pemohon dengan menyatakan bahwa ketentuan dalam Pasal 169A ayat (1) UU 3/2020 sepanjang frasa “diberikan jaminan” serta Pasal 169A ayat (1) huruf a dan huruf b UU 3/2020 sepanjang kata “dijamin” bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), serta Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Selain itu, sejak berlakunya UU 3/2020 jo UU 11/2020 masih terdapat beberapa peraturan pelaksana yang belum ditetapkan sehingga menyebabkan permasalahan dalam pelaksanaan teknisnya, dan masih ditemukannya beberapa permasalahan dan kendala dalam pelaksanaan UU Minerba, baik dari sisi substansi maupun implementasi yang perlu menjadi perhatian bagi pembentuk undang-undang.
Berdasarkan penjelasan tersebut, Puspanlak UU, Badan Keahlian Sekretariat Jenderal DPR RI sebagai salah satu supporting sistem terkait fungsi pengawasan DPR RI merasa perlu melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan UU Minerba dengan melakukan analisis dari aspek substansi hukum, struktur hukum, sarana dan prasarana, pendanaan, budaya hukum, dan arus pengutamaan nilai-nilai Pancasila, dengan melakukan pengumpulan data dan informasi dari seluruh pemangku kepentingan terkait penyelenggaraan minerba di tingkat pusat dan daerah.

Provinsi Nusa Tenggara Barat, Provinsi Bangka Belitung dan Provinsi Kalimantan Timur

Berdasarkan kajian dan evaluasi terhadap data dan informasi yang didapatkan dari berbagai sumber pemantauan pelaksanaan UU Minerba, masih terdapat permasalahan terkait aspek substansi hukum, struktur hukum/kelembagaan, pendanaan, sarana dan prasarana, budaya hukum, dan pengarustamaan nilai-nilai Pancasila hasil kajian dan evaluasi terhadap UU Minerba. UU Minerba perlu dilakukan perubahan terhadap beberapa materi muatan yang tidak selaras dengan peraturan perundang-undangan lain, antara lain ketentuan terkait: jaminan tidak ada perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan; larangan melaksanakan kegiatan usaha pertambangan pada tempat yang dilarang; kegiatan "merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan" yang dikenakan sanksi pidana; dan ketentuan diberikan perpanjangan kelanjutan operasi KK/PKP2B yang masih berpotensi mengurangi hak prioritas BUMN dan BUMD dalam mendapatkan IUPK wilayah eks. KK/PKP2B. Efektivitas pelaksanaan UU Minerba saat ini masih terkendala sejumlah permasalahan implementasi antara lain yaitu: kurangnya koordinasi antara Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah dalam menerbitkan izin usaha pertambangan; banyak Perda penetapan WPR yang belum diterbitkan pemerintah daerah; kurangnya koordinasi antara KESDM, ATR/BPN, KLHK dalam menyelesaikan permasalahan hak atas tanah yang serta penanganan kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan aktivitas pertambangan; kurangnya pengawasan terhadap kewajiban pelaksanaan reklamasi dan/atau pascatambang oleh pemegang IUP/IUPK; dan belum adanya pengaturan mekanisme pencairan dana jaminan reklamasi dan/atau pascatambang; belum tersinkronisasi-nya data dan informasi pertambangan nasional; kurangnya pengawasan terhadap pemegang IUP/IUPK dalam melaksanakan kewajiban pembayaran pajak, PNBP, dan iuran pendapatan daerah yang diatur oleh undang-undang; serta masih maraknya kegiatan pertambangan rakyat ilegal di daerah. Selain itu, materi muatan UU Minerba terkait pengalihan kewenangan ke pemerintah pusat, kewajiban pelaksanaan reklamasi dan/atau pascatambang, pengenaan sanksi pidana terhadap orang yang merintangi dan mengganggu jalannya kegiatan usaha pertambangan, dan pemberian perpanjangan kelanjutan operasi/produksi bagi pemegang KK/PKP2B dalam bentuk IUPK, tidak selaras dengan nilai-nilai Pancasila sila pertama, sila kedua, dan kelima.

Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang (Puspanlak UU) Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI memberikan rekomendasi yang ditujukan untuk penguatan dari sisi substansi materi muatan dan sisi implementasi UU Minerba, sebagai berikut:
1. Dalam aspek Substansi Hukum, diperlukan:
a. Dilakukan sinkronisasi dan harmonisasi antara Pasal 17A ayat (2), Pasal 22A, Pasal 31A ayat (2), dan Pasal 172B ayat (2) UU Minerba dengan ketentuan yang telah diatur dalam UU Penataan Ruang yang merupakan UU yang bersifat lex specialis dalam hal pengaturan tata ruang dan wilayah.
b. Diberikan penjelasan lebih lanjut terhadap norma Pasal 134 ayat (2) dan ayat (3) UU Minerba mengenai tempat yang dilarang dalam kegiatan usaha pertambangan dengan terlebih dahulu melakukan sinkronisasi dan harmonisasi dengan ketentuan larangan kegiatan usaha pertambangan pada kawasan tertentu yang telah diatur peraturan perundang-undangan lain yang terkait.
c. Adanya perumusan ulang yang lebih jelas mengenai frasa “merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan” sebagaimana dimaksud Pasal 162 jo. Pasal 164 UU Minerba guna menghindari adanya potensi multitafsir dan pemaknaan yang ambigu oleh APH.
d. Diberikan pembedaan pengaturan dan perlakuan bagi BUMN/BUMD yang diprioritaskan dengan badan usaha swasta yang ingin diberikan IUPK termasuk pemegang KK/PKP2B, dengan memberikan seleksi secara ketat dan harus diberikan batasan-batasan persyaratan yang lebih rinci dan lebih ketat, antara lain yaitu: syarat-syarat dokumen yang harus dipenuhi; syarat-syarat tambahan berupa kepastian peningkatan penerimaan negara dan peningkatan nilai tambah minerba dalam negeri; pembatasan jangka waktu perpanjangan yang mengakomodir keberlanjutan fungsi wilayah pertambangan; sampai dengan hasil evaluasi dari masyarakat sekitar dan kajian oleh pemerintah terhadap kegiatan usaha dan pertambangan yang dilakukan oleh pemegang KK dan PKP2B.
2. Dalam aspek Struktur Hukum/Kelembagaan, diperlukan:
a. Peraturan Pemerintah mengenai tata cara penugasan Penyelidikan dan Penelitian harus segera diterbitkan oleh Pemerintah Pusat.
b. Pemerintah Pusat harus tetap berkoordinasi terlebih dahulu dengan pemerintah daerah dalam hal penerbitan perizinan berusaha.
c. Adanya pembinaan dan pengawasan dari Pemerintah Pusat (kolaborasi antar instansi) agar tata cara pengumuman rencana WPR dilakukan sesuai dengan prosedur yang telah diatur dalam UU Minerba yaitu pengumuman dilakukan di kantor desa/kelurahan dan kantor/instansi terkait, meskipun pengumuman yang dimaksud juga telah terintegrasi dengan sistem ESDM One Map Indonesia.
d. Pemerintah Pusat perlu membentuk sebuah sistem yang dapat mendorong pemerintah daerah agar pemerintah daerah segera membentuk peraturan daerah tentang WPR, untuk menertibkan kegiatan pertambangan rakyat di daerah.
e. Peningkatan koordinasi antara KESDM dengan KLHK terkait kriteria kerusakan lingkungan hidup, sehingga terbentuk persamaan persepsi dalam penanganan kerusakan lingkungan hidup akibat aktivitas tambang.
a. Peningkatan koordinasi antara Dinas ESDM dan Kanwil ATR/BPN di daerah-daerah terkait dengan penyelesaian ha katas tanah yang tumpeng tindih dengan izin usaha pertambangan.
b. Pemerintah perlu membentuk tim terpadu dalam pengawasan reklamasi dan/atau pascatambang supaya mempermudah koordinasi dan penanganan secara cepat terhadap tidak terlaksananya kewajiban reklamasi dan/atau pascatambang oleh pemegang IUP/IUPK. Selain itu, perlu diatur mengenai mekanisme pencairan dana jaminan reklamasi dan/atau pascatambang untuk melaksanakan kegiatan reklamasi dan/atau pascatambang oleh Pemerintah Pusat dalam hal perusahaan pertambangan tidak melaksanakan kewajiban tersebut.
3. Dalam aspek Sarana dan Prasarana, diperlukan:
a. Data ESDM One Map Indonesia perlu dilakukan sinkronisasi secara berkala dengan data pertambangan yang dimiliki oleh Dinas LHK, Dinas ATR/BPN, pemerintah daerah kabupaten/kota, dan pemerintah desa.
b. Pemerintah Pusat perlu menyediakan sarana dan prasarana yang memudahkan aksesibilitas data dan informasi ESDM One Map Indonesia di daerah.
c. Perlu dibentuk pengaturan yang eksplisit dan rinci mengenai akuntanbiltas, transparansi, dan jaminan keamanan data dan informasi pertambangan yang diperoleh dari BUMN, BUMD, dan badan usaha swasta.
d. KESDM harus menyediakan sumber daya manusia yang dapat mengelola data pertambangan tersebut dan menjaga keamanan serta kerahasiaan data yang dikelolanya.
e. KESDM perlu meningkatkan sarana prasarana berupa server, sistem firewall, dan pemeliharaan/maintance server yang sesuai dengan standar pemeliharaan server.
4. Dalam aspek Pendanaan, diperlukan:
a. Peningkatan audit atau pengawasan terhadap pemegang IUP, IUPK, IPR, atau SIPB dalam melaksanakan kewajibannya sebagai wajib pajak dalam hal membayar pajak yang ditetapkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan tentang pajak, bea cukai, PNBP berupa iuran tetap, iuran produksi, kompensasi data informasi, dan penerimaan negara bukan pajak lain yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
b. Peningkatan audit atau pengawasan terhadap pemegang KK dan PKP2B dalam melaksanakan kewajibannya dalam hal memberikan pendapatan yang menjadi hak pusat dan hak daerah sesuai dengan ketentuan KK dan PKP2Bnya dan tetap mengacu kepada peraturan perundang-undangan terkait.
5. Dalam aspek Budaya Hukum, diperlukan:
a. Pendekatan ekonomi, yaitu dengan penambahan jenis mata pencaharian masyarakat, dan/atau lapangan pekerjaan bagi masyarakat di wilayah tambang, agar masyarakat memiliki alternatif sumber pendapatan yang lain dan tidak terfokus pada kegiatan usaha tambang saja, misalnya dilakukan peningkatan bidang usaha ekonomi kreatif dan potensi wisata di daerah.
b. Pendekatan kepada masyarakat dengan sosialisasi peraturan perundang-undangan terkait kegiatan pertambangan rakyat, diskusi terbuka dan penyuluhan yang dilaksanakan di hingga tingkat tapak/desa.
c. Peningkatan aksesibilitas masyarakat daerah terhadap pengurusan perizinan kegiatan pertambangan rakyat (IPR).
d. Peningkatan penegakan hukum yang efektif, konsekuen, dan konsisten dengan memasifkan penanganan pengaduan, operasi pengamanan, dan pengenaan sanksi.
6. Dalam aspek Pengarustamaan Nilai-Nilai Pancasila, diperlukan:
Materi muatan UU Minerba terkait pengalihan kewenangan ke pemerintah pusat, kewajiban pelaksanaan reklamasi dan/atau pascatambang, pengenaan sanksi pidana terhadap orang yang merintangi dan mengganggu jalannya kegiatan usaha pertambangan, dan pemberian perpanjangan KK/PKP2B dalam bentuk IUPK, perlu dilakukan penyesuaian kembali dengan nilai-nilai Pancasila sila pertama, sila kedua, dan kelima.

KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN / 01-06-2022

Perbankan merupakan salah satu sarana yang mempunyai peran strategis dalam menyerasikan dan menyeimbangkan masing-masing unsur dari Trilogi Pembangunan, sehingga membutuhkan landasan gerak yang sesuai dengan situasi dan kondisi perekonomian baik nasional maupun internasional.

Landasan terbentuknya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UU 7/1992) menggantikan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan yang kemudian dilakukan perubahan dengan membentuk Undang-Undang nOmor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan ( UU 10/1998) antara lain karena terjadinya perkembangan perekonomian nasional di era globalisasi yang bergerak cepat, kompetitif, dan terintegrasi serta telah diratifikasi beberapa perjanjian internasional di bidang perdagangan barang dan jasa. Pada tahun 2020, Pasal 22 UU 7/1992 jo. UU 10/1998 terkait dengan pendirian bank umum diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ( UU 11/2020).

Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Jawa Tengah, dan Provinsi Gorontalo.

Berdasarkan kajian dan evaluasi terhadap data dan informasi yang didapatkan dari berbagai sumber pemantauan pelaksanaan UU Perbankan, masih terdapat permasalahan terkait aspek substansi hukum, struktur hukum/kelembagaan, sarana dan prasarana, budaya hukum, dan pengarustamaan nilai-nilai Pancasila hasil kajian dan evaluasi terhadap UU Perbankan. UU Perbankan perlu dilakukan perubahan terhadap beberapa materi muatan yang tidak selaras dengan peraturan perundang-undangan lain, antara lain ketentuan terkait: definisi perbankan yang tidak relevan, jenis bank belum dibagi berdasarkan prinsip usaha konvensional dan syariah, adanya irisan norma mengenai kewenangan Bank Indonesia dan OJK dalam UU Perbankan dan UU OJK, bentuk badan hukum bank yang tidak relavan, belum adanya pengaturan batasan maksimum kepemilikan modal asing, pengaturan rahasia bank, belum adanya pengaturan mengenai perlindungan konsumen perbankan, belum adanya pengaturan mengenai digitalisasi jasa perbankan, dan literasi inklusi keuangan.

Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang (Puspanlak UU) Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI memberikan rekomendasi yang ditujukan untuk penguatan dari sisi regulasi melalui penyempurnaan dan harmonisasi rumusan antara UU Perbankan dengan undang-undang terkait lainnya, sebagai berikut:
1. Dalam aspek Substansi Hukum, diperlukan:
a. melakukan harmonisasi/penyesuaian terkait definisi perbankan yang diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU Perbankan dengan Pasal 1 angka 5 UU OJK.
b. penambahan rumusan norma Pasal 1 UU Perbankan dengan memberikan definisi terhadap frasa “Bank Konvensional”, “Bank Umum Konvensional”, “Bank Perkreditan Rakyat”, “Bank Syariah”, “Bank Umum Syariah”, dan “Bank Pembiayaan Rakyat Syariah” dengan merujuk pada definisi dalam Pasal 1 UU Perbankan Syariah.
c. perubahan rumusan norma Pasal 5 ayat (1) UU Perbankan dengan membagi lembaga perbankan berdasarkan prinsip usahanya, yaitu bank konvensional dan bank syariah, lalu dibagi berdasarkan jenis usahanya, yaitu bank umum konvensional dan BPR serta bank umum syariah dan bank pembiayaan rakyat syariah.
d. penambahan rumusan pasal atau ayat dalam UU Perbankan sebagai penghubung dengan menyatakan secara tegas bahwa pengaturan mengenai bank syariah mengacu pada ketentuan perundang-undangan mengenai perbankan syariah.
e. penghapusan Pasal 6 huruf m dan Pasal 13 huruf c UU Perbankan.
f. penghapusan frasa “pembiayaan berdasarkan prinsip syariah” dalam ketentuan Pasal 7 huruf c, Pasal 8, Pasal 11 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4A), Pasal 29 ayat (3), dan Pasal 37 ayat (1) huruf c UU Perbankan.
g. perubahan frasa “Bank Indonesia” menjadi frasa “Otoritas Jasa Keuangan” dalam ketentuan Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 16, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 22, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 31A, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 37A, Pasal 38, Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 44, Pasal 52, dan Pasal 53 UU Perbankan.
h. penghapusan frasa “koperasi” dalam Pasal 21 ayat (1) UU Perbankan.
i. perubahan frasa “perusahaan daerah” menjadi “perusahaan perseroan daerah” dalam Pasal 21 ayat (1) UU Perbankan.
j. perubahan frasa “perusahaan daerah” menjadi “perusahaan umum daerah” dan “perusahaan perseroan daerah” dalam Pasal 21 ayat (2) UU Perbankan.
k. penambahan frasa “pemerintah daerah” dalam ketentuan Pasal 22 ayat (1) UU Perbankan.
l. penambahan ketentuan mengenai batas maksimum kepemilikan modal oleh badan hukum asing terhadap Bank Umum dalam Pasal 22 UU Perbankan dengan mengacu kepada antara lain peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia).
m. penambahan ruang lingkup rahasia bank dalam Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan, yaitu mengenai nasabah peminjam dan pinjamannnya.
n. melakukan harmonisasi/penyesuaian pengaturan terkait lembaga yang dapat meminta untuk dibukakan simpanan nasabah untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana dalam Pasal 42 UU Perbankan dengan Pasal 43 ayat (2) UU Perbankan Syariah, Pasal 72 ayat (2) dan ayat (5) UU TPPU, dan Pasal 37 ayat (2) dan ayat (5) UU Pendanaan Terorisme.
o. penambahan ketentuan mengenai perlindungan konsumen dan digitalisasi jasa perbankan dalam UU Perbankan.
p. penambahan frasa “dan Pasal 12A” dalam ketentuan Pasal 15 UU Perbankan.
q. penambahan frasa “termasuk untuk kepentingan peradilan mengenai harta bersama dalam perkara perceraian” dalam ketentuan Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan.
r. penambahan ketentuan dalam Bab VIII UU Perbankan yang mengatur mengenai mekanisme pembukaan rahasia bank untuk kepentingan peradilan mengenai harta bersama dalam perkara perceraian dalam hal tidak terdapat perjanjian perkawinan yang memisahkan harta bersama.
s. penghapusan frasa “bagi bank” dalam ketentuan Pasal 49 ayat (2) huruf b, Pasal 50, dan Pasal 50A UU Perbankan.

2. Dalam aspek Struktur Hukum/Kelembagaan, diperlukan:
a. penguatan koordinasi antara OJK dan Bank Indonesia guna menjamin kepastian hukum bagi pelaku usaha sektor jasa keuangan dan masyarakat selaku konsumen perbankan.
b. suatu mekanisme kerja yang mengedepankan koordinasi dan kolaborasi oleh berbagai institusi pembina, pengawas, dan pemeriksa terhadap kinerja BPD dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi.

3. Dalam aspek Sarana dan Prasarana, diperlukan:
a. kesiapan SDM yang kompeten untuk dapat memberikan pelayanan berbasis digital kepada nasabah;
b. penambahan atau peningkatan perangkat teknologi maupun aplikasi perbankan sebagai penunjang digitalisasi; dan
c. perluasan akses jaringan internet yang baik ke beberapa wilayah di Indonesia yang belum memadai jaringan internetnya.

4. Dalam aspek Budaya Hukum, diperlukan:
a. sosialisasi dan edukasi untuk meningkatkan literasi masyarakat atas produk perbankan dan digitalisasi perbankan.
b. pengamanan yang ekstra dalam melindungi nasabah pengguna jasa keuangan digital.

5. Aspek Pengarustamaan Nilai-Nilai Pancasila
Dalam aspek Pengarustamaan Nilai-Nilai Pancasila, diperlukan:
a. penambahan ketentuan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengatur mengenai hak ekonomi pada Bagian Mengingat UU Perbankan
b. limitasi secara tegas mengenai kepemilikan modal perorangan dan badan hukum asing pada bank umum pada Pasal 22 UU Perbankan.
c. pengaturan mengenai perlindungan nasabah dan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi untuk menunjang digitalisasi perbankan.

KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1984 TENTANG WABAH PENYAKIT MENULAR / 01-03-2022

Hingga saat ini Indonesia menghadapi berbagai jenis penyakit menular dan membahayakan. Penanganan penyakit menular tersebut dilakukan dengan merujuk pada peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular (UU Wabah Penyakit Menular).

UU Wabah Penyakit menular tersebut masih berlaku sejak diundangkannya sampai sekarang dan belum pernah dilakukan perubahan sejak diundangkan.
Dalam tataran pelaksanaan pengaturan dalam UU Wabah Penyakit Menular yang sudah berlaku kurang lebih selama 38 (tiga puluh delapan) tahun, kiranya perlu dilakukan kajian dalam perspektif perundang-undangan karena mengingat telah terjadi banyak perubahan hukum dan perkembangan dalam masyarakat sepanjang berlakunya undang-undang tersebut, maka tingkat efektifitas UU Wabah Penyakit Menular tersebut kemungkinan besar sudah tidak relevan lagi, sehingga dipandang perlu untuk dilakukan evaluasi dan perbaikan.

Selain itu, terdapat beberapa isu permasalahan UU Wabah Penyakit Menular antara lain:
1. Pengaturan dalam UU Wabah Penyakit Menular tidak mengakomodir perkembangan dalam masyarakat dan dinamika hukum yang ada pada saat ini.
2. Pelaksanaan koordinasi dalam penanganan wabah dan penyakit menular antara pemerintah dan pemerintah daerah perlu diperjelas khususnya terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah.
3. Kesediaan sarana dan prasarana pendukung pelaksanaan penanganan wabah dan penyakit menular belum diatur dalam UU Wabah Penyakit Menular dan peraturan pelaksanaannya.
4. Pengaturan alokasi pendanaan dalam pelaksanaan penanganan wabah dan penyakit menular yang belum jelas dalam UU Wabah Penyakit Menular.
5. Pengaturan terkait hak dan kewajiban perlu diatur kembali subyek dan obyeknya.
6. Ruang lingkup partisipasi masyarakat secara luas dalam penanganan wabah dan penyakit menular belum jelas.

Provinsi Kepulauan Riau, DI Yogyakarta, dan Provinsi Nusa Tenggara Timur

Berdasarkan hasil kajian dan evaluasi pemantauan pelaksanaan UU Wabah Penyakit Menular dapat disimpulkan bahwa materi muatan dalam UU Wabah Penyakit Menular belum memadai dalam memberikan perlindungan masyarakat dari ancaman kedaruratan kesehatan untuk saat ini dan yang akan datang.

Ditinjau dari aspek substansi, terdapat beberapa ketentuan yang harus disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku pada saat ini dan juga perlu melakukan penyempurnaan dengan penambahan beberapa hal dalam materi muatan yang diatur dalam UU Wabah Penyakit Menular. Hal ini ditujukan agar ketentuan dalam UU Wabah Penyakit Menular dapat mewujudkan asas dan tujuan pembentukan UU Wabah Penyakit Menular dan memenuhi asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sebagaimana diatur dalam UU PPP.

Ditinjau dari sisi implementasi, belum optimalnya upaya penanggulangan wabah penyakit menular dikarenakan belum cukup mengakomodir rencana pembangunan nasional di bidang kesehatan; kurang terbukanya proses hukum terhadap pelanggar upaya penanggulangan wabah, sedangkan pada sisi lain Pemerintah mengeluarkan kebijakan yang tidak seragam dalam pengenaan sanksi selama pelaksanaan upaya penanggulangan wabah penyakit menular telah menimbulkan kebingungan dalam masyarakat, terdapat mekanisme pembiayaan wabah penyakit menular yang berbeda antara UU Kesehatan dan UU Penanggulangan Bencana, belum meratanya sarana dan prasarana dan tata kelola sarana, prasarana dan alat Kesehatan, masih minimnya peran serta masyarakat dalam pencegahan dan penanggulangan wabah, serta kurang optimalnya pelaksanaan edukasi masyarakat dalam penerapan UU Wabah Penyakit Menular.

Puspanlak UU Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI memberikan rekomendasi yang ditujukan untuk penguatan dari sisi regulasi melalui penyempurnaan dan harmonisasi rumusan antara UU Wabah Penyakit Menular dengan undang-undang terkait lainnya, serta penguatan dalam perlindungan kesehatan masyarakat dari ancaman kedaruratan kesehatan, sebagai berikut:
1. Terkait substansi dalam UU Wabah Penyakit Menular, dengan banyaknya materi muatan yang belum terakomodir dalam UU wabah Penyakit Menular, banyaknya ketentuan dalam UU Wabah Penyakit Menular yang harus diubah, serta banyaknya masukan pengaturan baru dalam UU wabah Penyakit Menular, maka berdasarkan ketentuan dalam Lampiran angka 237 UU PPP, maka UU Wabah Penyakit Menular harus dicabut dan diganti dengan Undang-Undang yang baru mengenai wabah penyakit menular.
2. Terkait implementasi UU Wabah Penyakit Menular, perbaikan manajemen pengelolaan kesehatan, khususnya dalam penanggulangan wabah penyakit menular harus dilakukan termasuk dengan penyediaan sarana dan prasarana, pembiayaan yang cukup, dan peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan.

KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA / 01-03-2022

Guna mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika yang sangat merugikan dan membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara, pada Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Tahun 2002 melalui Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2002 telah merekomendasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden untuk melakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Sebab, dalam kenyataannya tindak pidana Narkotika dalam masyarakat menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan korban yang meluas, terutama di kalangan anak-anak, remaja, dan generasi muda pada umumnya. Salah satu faktor yang menyebabkan peningkatan tindak pidana narkotika tersebut dikarenakan maraknya komoditas ekspor narkotika dalam perdagangan internasional. Hal tersebut menunjukkan bahwa tindak pidana narkotika tidak lagi dilakukan secara perseorangan melainkan melibatkan banyak orang yang secara bersama-sama bahkan merupakan satu sindikat yang terorganisasi dengan jaringan yang luas baik di tingkat nasional maupun internasional. Selain itu, maraknya tindak pidana Narkotika tersebut menunjukkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika belum mampu menjadi dasar hukum yang efektif untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika untuk saat ini. Sehingga, pembentuk undang-undang menerbitkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika) dan mencabut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.

Adapun materi muatan yang ditambahkan dalam UU Narkotika guna mengefektifkan upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika serta guna melindungi masyarakat dan bahaya penyalahgunaan Narkotika, antara lain:
1. menambahkan pengaturan mengenai Prekursor Narkotika, karena Prekursor Narkotika merupakan zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika;
2. menambahkan pemberatan sanksi pidana bagi penyalahgunaan Prekursor Narkotika untuk menimbulkan efek jera;
3. penguatan kelembagaan Badan Narkotika Nasional (BNN);
4. penguatan kewenangan BNN dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan;
5. perluasan teknik penyidikan penyadapan (wiretapping), teknik pembelian terselubung (under cover buy), teknik penyerahan yang diawasi (controlled delevery), serta teknik penyidikan lainnya guna melacak dan mengungkap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
6. menambahkan pengaturan mengenai kerjasama baik bilateral, regional, maupun internasional, guna mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang dilakukan secara terorganisasi dan memiliki jaringan yang luas melampaui batas negara; dan
7. penguatan peran serta masyarakat dalam usaha pencegahan pemberantasan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika termasuk pemberian penghargaan bagi masyarakat yang berjasa dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika.

Dalam kurun waktu 12 tahun berlakunya UU Narkotika masih ditemukan, beberapa isu permasalahan UU Narkotika antara lain:
1. Ketidakjelasan Definisi Pecandu, Penyalah Guna, dan Korban Penyalahgunaan Narkotika;
2. Permasalahan Frasa "Penyidik BNN" dalam Pasal 75 UU Narkotika;
3. Ketidakjelasan Frasa "Memiliki, Menyimpan, Menguasai" dalam Pasal 111 dan Pasal 112 UU Narkotika dan Ketidakjelasan Kategori Penyalah Guna yang Dapat Direhabilitasi Pasal 127 UU Narkotika.
4. Belum adanya pengaturan mengenai asesmen terpadu dalam UU Narkotika;
5. Potensi disharmoni UU Narkotika dengan KUHAP terkait jangka waktu penangkapan dan potensi disharmoni UU Narkotika dengan UU SPPA terkait frasa "setiap orang" dalam Ketentuan Pidana UU Narkotika yang menempatkan Anak bukan sebagai korban;
6. Belum optimalnya pelaksanaan asesmen terpadu dikarenakan keterbatasan peran Tim Asesmen Terpadu dalam melaksanakan tugas nya;
7. Minimnya tempat rehabilitasi dan laboratorium narkotika dan prekursor narkotika;
8. minimnya dukungan anggaran untuk pelaksanaan asesmen terpadu dan rehabilitasi;
9. masih adanya kekhawatiran dari masyarakat untuk terlibat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan narkotika; dan
10. pemahaman APH yang masih menitikberatkan pada pendekatan pemidanaan dibandingkan pendekatan kesehatan.

Provinsi Aceh, Provinsi Jawa Timur, dan Provinsi Kalimantan Barat

Berdasarkan hasil kajian dan evaluasi pemantauan pelaksanaan UU Narkotika dapat disimpulkan bahwa materi muatan dalam UU Narkotika belum memadai dan efektif digunakan sebagai dasar hukum dalam pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika untuk saat ini dan yang akan datang.

Ditinjau dari aspek substansi, terdapat beberapa ketentuan yang harus disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku pada saat ini dan juga perlu melakukan penyempurnaan dengan penambahan beberapa hal dalam materi muatan yang diatur dalam UU Narkotika. Hal ini ditujukan agar ketentuan dalam UU Narkotika dapat mewujudkan asas dan tujuan pembentukan UU Narkotika dan memenuhi asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sebagaimana diatur dalam UU PPP.

Ditinjau dari sisi implementasi, masih ditemukan beberapa permasalahan, di antaranya masih tingginya jumlah kasus Narkotika dan jumlah tersangka tindak pidana Narkotika yang menyebabkan belum optimalnya pemenuhan asas dan tujuan UU Narkotika; belum adanya kesinambungan antara APH dengan Tim Asesmen Terpadu dan Hakim dalam pengupayaan rehabilitasi bagi Pecandu dan/atau Penyalah Guna Narkotika; tidak optimalnya pelaksanaan asesmen terpadu dikarenakan belum maksimalnya Tim Asesmen Terpadu dalam menganalisis tingkat kecanduan Pengguna Narkotika; minimnya ketersediaan sarana dan prasarana dan SDM dalam pelaksanaan rehabilitasi; minimnya sarana dan prasarana dalam mendukung penyidikan tindak pidana narkotika; minimnya dukungan anggaran dalam mendukung upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika; belum optimalnya peran serta masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan pemahaman APH yang masih menitikberatkan pada pendekatan pemidanaan jika dibandingkan pendekatan kesehatan.

Puspanlak UU Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI memberikan rekomendasi yang ditujukan untuk penguatan dari sisi regulasi melalui penyempurnaan dan harmonisasi rumusan antara UU Narkotika dengan undang-undang terkait lainnya, serta penguatan dalam sisi pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan Narkotika , sebagai berikut:

1. Substansi Hukum
a. Perlu adanya perumusan ulang mengenai definisi Pecandu, Penyalah Guna, dan Korban Penyalahgunaan Narkotika dalam Pasal 1 angka 13, Pasal 1 angka 15, dan Penjelasan Pasal 54 UU Narkotika secara jelas.
b. Kata “BNN” dalam Pasal 75 UU Narkotika perlu dihapus, sehingga kewenangan penyidikan yang diatur dalam Pasal 75 UU Narkotika tersebut dapat dilakukan tidak hanya oleh Penyidik BNN, tetapi juga Penyidik Polri dan PPNS di lingkungan kementerian atau lembaga pemerintah non-kementerian yang memiliki lingkup tugas dan tanggung jawab di bidang Narkotika dan Prekursor Narkotika.
c. Perubahan Pasal 76 ayat (1) UU Narkotika frasa “sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 huruf g” perlu diubah menjadi “oleh Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Penyidik BNN”.
d. Perlu adanya perumusan ulang mengenai Pasal 111 dan Pasal 112 UU Narkotika dan perlunya memperjelas kriteria Penyalah Guna yang dapat direhabilitasi dalam Pasal 127 UU Narkotika.
e. Penambahan pengaturan norma mengenai asesmen terpadu dalam UU Narkotika.
f. Menambahkan pasal tersendiri terkait ketentuan pidana untuk anak dengan materi muatan menempatkan kedudukan anak sebagai Korban Penyalahgunaan Narkotika.

2. Struktur Hukum/Kelembagaan
a. Perlu konsistensi kolaborasi antara para pemangku kepentingan dalam penanganannya dan kesamaan persepsi dalam penanganan permasalahan narkotika sehingga dapat membentuk sistem yang kuat untuk mengatasi permasalahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika di Indonesia.
b. Diperlukan adanya kesinambungan antara Penyidik, Tim Asesmen Terpadu, dan Hakim (collaborative governance) dalam pelaksanaan rehabilitasi agar hasil penyidikan Penyidik terhadap tersangka dan/atau terdakwa Pecandu atau Penyalah Guna Narkotika dapat dimanfaatkan oleh Tim Asesmen Terpadu untuk melakukan asesmen terpadu dan rekomendasi dari Tim Asesmen Terpadu dapat menjadi acuan bagi Hakim untuk memutuskan atau menetapkan rehabilitasi tanpa dimaksudkan mengintervensi kemerdekaan Hakim.
c. Perlu penguatan Tim Asesmen Terpadu dan sosialisasi mengenai Tim Asesmen Terpadu di kalangan APH dan masyarakat. Penguatan Tim Asesmen Terpadu tersebut dapat dilakukan dengan beberapa cara, yakni dengan menambahkan pengaturan mengenai asesmen terpadu dalam UU Narkotika; perlunya dibentuk Tim Asesmen Terpadu di setiap BNN Provinsi dan BNN Kabupaten/Kota; dan diperlukan peningkatan kompetensi SDM Tim Asesmen Terpadu.

3. Sarana dan Prasarana
a. Perlu komitmen dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam pemenuhan ketersediaan lembaga rehabilitasi sekaligus peningkatan kualitas dan kuantitas SDM dalam bidang layanan rehabilitasi serta dibentuknya Lapas khusus untuk narapidana.
b. Menerapkan metode lain dalam pelaksanaan rehabilitasi medis yakni melalui mekanisme rawat jalan bagi para Pecandu dan/atau Korban Penyalahgunaan Narkotika agar dapat mengatasi permasalahan minimnya tempat rehabilitasi dan over capacity Lapas.
c. Perlu komitmen dari Pemerintah dalam pemenuhan fasilitas laboratorium Narkotika dan Prekursor Narkotika di setiap provinsi dan kabupaten/kota, alat pendeteksi yang dapat mendukung dalam pengungkapan jaringan narkotika (detection finder), dan peningkatan kompetensi sumber daya manusia yang profesional.

4. Pendanaan
Dibutuhkannya komitmen dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam pemenuhan ketersediaan anggaran dalam mendukung pelaksanaan upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Selain itu, perlu melakukan analisis manfaat biaya dengan cara menjustifikasi setiap manfaat yang akan diberikan sehingga dapat diketahui besaran anggaran yang dibutuhkan untuk dialokasikan sesuai dengan manfaat dan layanan yang akan diberikan dan juga perlu konsistensi penerapan Pasal 101 ayat (3) UU Narkotika sebagai sumber alternatif pendanaan yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung
pelaksanaan rehabilitasi.

5. Budaya Hukum
a. Diperlukan sosialisasi yang lebih masif dari Pemerintah maupun Pemerintah Daerah terkait peran masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika dan perlunya perlindungan hukum kepada masyarakat yang hendak melapor adanya dugaan tindak pidana penyalahgunaan narkotika serta perlunya konsistensi pemerintah dalam menerapkan Pasal 109 UU Narkotika terkait pemberian penghargaan bagi masyarakat dan APH guna mengoptimalkan peran serta masyarakat.
b. Diperlukan adanya pemahaman yang sama dari APH dengan mengedepankan pendekatan kesehatan dibandingkan dengan pendekatan pemidanaan dan perlu adanya penggunaan pendekatan restorative justice dalam menangani tindak pidana penyalahgunaan narkotika.

KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK / 01-12-2021

Bahwa masih banyaknya permasalahan dan isu terkait pamanfaatan dan penggunaan ITE, baik dari sisi substansi maupun dari sisi implementasi menjadi salah satu urgensi dilakukannya pemantauan terhadap UU ITE, yaitu antara lain:
a. Perbedaan penafsiran penggunaan informasi dan/atau dokumen elektronik sebagai alat bukti hukum yang sah dalam penegakan hukum;
b. Belum dibentuk Lembaga Sertifikasi Keandalan untuk sertifikasi transaksi elektronik;
c. Belum dipahaminya ketentuan pidana dalam UU ITE oleh penegak hukum dan masyarakat;
d. Permasalahan terkait dengan prosedur pelaksanaan penegak hukum yang berbeda di tiap instansi penegakan hukum;
e. Belum ditetapkan prosedur yang jelas mengenai kewenangan pemerintah dalam hal pemutusan akses informasi elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum;
f. Belum memadainya sarana dan prasarana serta sumber daya manusia dalam penggunaan dan pemanfaatan ITE;
g. Kurangnya pemahaman masyarakat terkait kewajiban perlindungan data pribadi diri dan orang lain.

Dan dalam kurun waktu sejak diundangkan pada Tahun 2008 hingga saat ini, UU ITE mengalami perubahan beberapa norma pasal dan/atau ayat serta beberapa norma telah dinyatakan inkonstitusional berdasarkan Putusan MK Nomor 5/PUU-VIII/2010 dan 20/PUU-XIV/2016.

Provinsi Jawa Timur, Provinsi Sumatera Utara, dan Provinsi Riau

1. ASPEK SUBSTANSI HUKUM
a. Kedudukan Informasi dan/atau Dokumen Elektronik Sebagai Alat Bukti
1) Informasi dan/atau Dokumen Elektronik Sebagai Perluasan Alat Bukti
Pasal 5 ayat (1) dan (2) jo. Pasal 44 huruf b UU ITE telah mengatur informasi dan/atau dokumen elektronik merupakan perluasan mengenai alat bukti yang sah. Ketentuan mengenai informasi dan/atau dokumen elektronik sejatinya juga telah diakomodir didalam UU lain sebagai alat bukti yang sah. Ketentuan terkait dengan alat bukti elektronik juga telah diatur didalam beberapa peraturan perundang-undangan diantaranya adalah Pasal 26A UU Tipikor, Pasal 73 UU Pencucian Uang serta Pasal 29 UU TPPO. Namun pada implementasinya perumusan mengenai alat bukti didalam UU ITE telah menimbulkan multitafsir, hal ini dikarenakan informasi dan/atau dokumen elektronik dapat ditafsirkan sebagai perluasan salah satu jenis alat bukti sebagaimana diatur di dalam Pasal 184 KUHAP. Namun hal tersebut dapat juga ditafsirkan sebagai penambahan jenis alat bukti yang sah diluar jenis-jenis alat bukti yang diatur didalam Pasal 184 KUHAP. Oleh karena itu ketentuan mengenai kedudukan alat bukti elektronik sebagai perluasan alat bukti perlu dipertegas kembali serta pengaturan mengenai hukum acara dalam rangka penegakan hukum.

2) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016
Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutus perkara pengujian UU ITE dan UU Tipikor melalui Putusan Nomor 20/PUU-XIV/2016 yang mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian, yang mana seluruh pasal 5 ayat (1) dan (2) jo. Pasal 44 huruf b UU ITE serta Pasal 26A UU Tipikor bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai khususnya frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” sebagai alat bukti dalam rangka penegakan hukum atas permintaan Kepolisian, Kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) UU ITE. Putusan MK Nomor 20/PUU-XIV/2016 memberikan implikasi hukum terhadap Pasal 5 ayat (1) dan (2) jo Pasal 44 huruf b UU ITE dimana informasi dan/atau dokumen elektronik dapat dijadikan alat bukti yang sah apabila dalam pelaksanaannya dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan Kepolisian, Kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya.
Permasalahan tersebut diatas menunjukkan bahwa Pasal 5 ayat (1) dan (2) jo. Pasal 44 huruf b UU ITE yang mengatur mengenai kedudukan informasi dan/atau dokumen elektronik sebagai alat bukti yang sah perlu diatur lebih lanjut terkait dengan perluasan dari alat bukti yang sah serta tanpa melanggar hak privasi pada setiap pihak dalam rangka penegakan hukum.

b. Lembaga Sertifikasi Keandalan
Sertifikasi keandalan yang telah diatur dalam ketentuan Pasal 10 UU ITE dan Pasal 68 PP 71/2019 dimana salah satu fungsi sertifikat keandalan adalah untuk memberikan jaminan kepada konsumen bahwa transaksi elektronik tersebut aman untuk diakses. Namun hingga saat ini, sertifikasi keandalan belum diterapkan hal ini disebabkan karena Lembaga Sertifikasi Keandalan (LSK) selaku lembaga yang berwenang untuk menerbitkan sertifikat keandalan dan berwenang melaksanakan audit sistem ITE belum juga dibentuk sehingga mengakibatkan sistem ITE rawan akan kebocoran data dalam transaksi elektronik. Oleh karena itu, perlu dibentuknya LSK mengingat LSK memiliki peranan penting dalam menjamin keamanan sistem elektronik bagi e-commerce, perbankan, dan finance technology.

c. Penghapusan Data Pribadi yang Tidak Relevan Melalui Penetapan Pengadilan
Pasal 26 ayat (3) UU ITE merupakan aturan baru yang menjamin hak untuk dilupakan (right to be forgotten) dalam UU Nomor 19 Tahun 2016 terkait kewajiban Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) menghapus data pribadi yang berada di bawah kendali PSE berdasarkan penetapan pengadilan. Dalam Pasal 15 PP 71/2019, penerapan tata cara penghapusan data pribadi yang tidak relevan dibedakan menjadi 2 (dua) cara yaitu penghapusan (right to erasure) dan pengeluaran dari daftar mesin pencari (right to delisting). Pasal 26 ayat (3) UU ITE mengatur lingkup yang lebih luas dari penghapusan data pribadi (right to erasure) yaitu setiap informasi dan/atau dokumen elektronik yang tidak relevan dapat dimintakan orang yang bersangkutan untuk dihapus dari daftar mesin pencari (right to delisting) melalui penetapan pengadilan, termasuk rekam jejak di masa lalu namun tidak relevan dengan kejadian saat ini.
Pengecualian untuk mempertahankan data pribadi tetap diperlukan terutama untuk rekam jejak di masa lalu yang berkaitan dengan kejahatan yang meresahkan masyarakat dan menimbulkan banyak korban. Oleh karena itu diperlukan ketentuan lebih lanjut mengenai klasifikasi data “tidak relevan” seperti tujuan, syarat, jangka waktu, dan pengecualian keadaan tertentu yang tidak dapat dimintakan untuk dihapuskan.

d. Larangan Perbuatan Menyebarkan Muatan yang Melanggar Kesusilaan
Pasal 27 ayat (1) UU ITE memiliki delik yang serupa dengan Pasal 281-Pasal 282 KUHP dan Pasal 4 UU Pornografi terkait larangan perbuatan menyebarkan muatan yang melanggar kesusilaan. Perbedaan utama antara ketiga ketentuan tersebut terletak pada pengaturan subjek hukum, metode penyebaran, media penyebaran, dan jenis-jenis muatan kesusilaan. Implementasi Pasal 27 ayat (1) UU ITE ramai disebut sebagai “pasal karet” karena menimbulkan multitafsir dan kontroversi baik bagi para APH maupun bagi masyarakat.
Atas keadaan tersebut, Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, dan Kepala Polri menyepakati SKB UU ITE sebagai solusi tercepat dalam penyamaan persepsi penegakan hukum diantara APH, namun SKB UU ITE belum dapat menyelesaikan masalah utama yang ada pada penormaan Pasal 27 ayat (1) UU ITE. Oleh karena diperlukan penjelasan lebih terperinci terkait frasa “melanggar kesusilaan” agar tidak tumpang tindih dengan ketentuan lain dan menimbulkan multitafsir.

e. Perbedaan Ancaman Pidana Pelaku Perjudian
Pasal 27 ayat (2) UU ITE menitikberatkan pada perbuatan seseorang “mentransmisikan”, “mendistribusikan”, dan “membuat dapat diaksesnya” konten perjudian. Perbuatan perjudian online yang diatur Pasal 27 ayat (2) UU ITE memiliki persinggungan dengan unsur atau delik perjudian yang diatur dalam Pasal 303 KUHP. Namun ketentuan pidana penjara dalam Pasal 45 ayat (2) UU ITE memberikan ancaman yang lebih rendah dibandingkan dengan Pasal 303 KUHP. Jika dilihat dari sifat judi online yang mudah diakses, tidak membutuhkan kehadiran fisik, adanya konten pornografi dalam situs judi online maka dapat disimpulkan bahwa judi online menimbulkan bahaya moral hazard yang lebih besar dibandingkan judi konvensional. Oleh karena itu, besaran ancaman pidana penjara yang berbeda antara UU ITE dengan KUHP dianggap tidak sesuai dengan dampak yang ditimbulkan dari perjudian online.

f. Norma Penghinaan dan Pencemaran Nama Baik
Ketentuan Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 ayat (3) UU ITE yang mengatur mengenai perbuatan pidana penghinaan dan pencemaran nama baik dalam ranah ITE. Pada implementasinya menimbulkan kritik dan kontroversi karena sifat multitafsir rumusan norma penghinaan dan pencemaran nama baik, sehingga berpotensi menciptakan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum. Hal tersebut disebabkan perbedaan penormaan antara Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 ayat (3) UU ITE dengan Pasal 310-Pasal 311 KUHP, dimana masalah utama ketentuan Pasal UU ITE ini dikarenakan tidak jelasnya kualifikasi korban penghinaan dan pencemaran nama baik.
Dari data yang dihimpun lembaga Southeast Asia of Expression Network pada tahun 2020, mayoritas pengaduan kasus penghinaan dan pencemaran nama baik berasal dari orang-orang dengan status sosial tinggi yang mengadukan orang dengan latar belakang status sosial lebih rendah. Untuk merespon hal tersebut, Pemerintah mengeluarkan SKB UU ITE sebagai pedoman pelaksana yang bertujuan menjembatani permasalahan norma penghinaan dan pencemaran nama baik dengan penegakan hukum di lapangan. Meskipun demikian, dari aspek yuridis pemberlakuan SKB UU ITE tidak memiliki kekuatan hukum mengikat karena bukan termasuk peraturan perundang-undangan. Oleh karenanya, diperlukan pengaturan lebih lanjut mengenai klasifikasi korban penghinaan dan pencemaran nama baik sebagaimana dimuat dalam SKB UU ITE.

g. Delik Pemerasan dan Pengancaman
Ketentuan tindak pidana “pemerasan” dan “pengancaman” dalam Pasal 27 ayat (4) jo. Pasal 45 ayat (4) UU ITE pada intinya menggabungkan dua norma KUHP yang berbeda yaitu tindak pidana “pemerasan” Pasal 368 KUHP dan “pengancaman” Pasal 369 KUHP. Implikasi penggabungan tersebut adalah adanya delik biasa dan delik aduan yang termuat dalam satu ketentuan Pasal 27 ayat (4) UU ITE, yang mengakibatkan multitafsir bagi APH maupun bagi masyarakat. Untuk menanggulangi sifat multitafsir Pasal tersebut, pemerintah mengeluarkan SKB UU ITE yang menyatakan bahwa Pasal 27 ayat (4) UU ITE mengacu pada Pasal 368 KUHP. Hal ini menjadikan delik aduan tindak pengancaman menjadi tidak diakomodir. Oleh karenanya norma “pemerasan dan pengancaman” UU ITE perlu dilakukan harmonisasi dengan KUHP.

h. Larangan Perbuatan Menyebarkan Ujaran Kebencian (Hate Speech)
Pasal 28 ayat (2) UU ITE memiliki delik yang serupa dengan Pasal 156-Pasal 157 KUHP terkait larangan menyebarkan ujaran kebencian (hate speech), namun Pasal 28 ayat (2) UU ITE hanya mengkhususkan adanya unsur delik informasi yang disebarkan dalam media elektronik. Perbedaan utama antara kedua ketentuan tersebut terletak pada adanya unsur “individu”, unsur “antargolongan”, ancaman pidana, serta penggunaan kata “menyebarkan” dengan frasa “di muka umum”. Pasal 28 ayat (2) UU ITE juga termasuk sebagai “pasal karet” yang menimbulkan multitafsir dan kontroversi di tengah masyarakat.
Selain SKB UU ITE, ketentuan penanganan ujaran kebencian (hate speech) bagi internal Kepolisian juga diatur dalam SE Kapolri No. SE/6/X/2015. Namun dalam SE Kapolri No. SE/6/X/2015 terdapat beberapa ketentuan baru yang tidak sesuai dengan Pasal 28 ayat (2) UU ITE seperti penambahan objek ujaran kebencian, bentuk-bentuk ujaran kebencian, serta dampak dari ujaran kebencian (hate speech). Sehingga untuk mengatasi hal-hal tersebut yang berpotensi menimbulkan disharmoni secara substansi, multitafsir dalam penegakan hukum oleh APH dan menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat diperlukan revisi atas Pasal 28 ayat (2) UU ITE.

i. Permasalahan Pengaturan Delik Pidana Pinjaman Online Ilegal
Bahwa ketentuan Pasal 29 UU ITE mengenai tindakan ancaman kekerasan yang dilakukan dengan sarana elektronik hanya mengatur mengenai hukum formil yang mensyaratkan terpenuhinya unsur delik tanpa melihat maksud dari pelaku dalam melakukan tindak pidana ancaman kekerasan, seperti yang telah tercantum dalam Pasal 335 KUHP. Hal tersebut dapat menimbulkan multitafsir diantara APH maupun masyarakat, terutama apabila dikaitkan dengan kasus pinjaman online ilegal yang dalam hal melakukan tindak pidana ancaman kekerasan tersebut disertakan dengan adanya maksud agar nasabah segera membayar dana yang sudah dipinjam kepadanya. Terkait hal tersebut, perlu dilakukan revisi atau perubahan yaitu dengan penambahan norma maksud dilakukannya tindak pidana ancaman kekerasan seperti yang terdapat dalam ketentuan Pasal 335 KUHP.

j. Pemutusan Akses Terhadap Informasi dan/atau Dokumen Elektronik
Pasal 40 ayat (2a) dan (2b) UU ITE telah mengatur mengenai kewenangan Pemerintah dalam memutus akses informasi dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar hukum guna melindungi kepentingan umum serta bertujuan agar mencegah penyalahgunaan informasi dan/atau dokumen elektronik. Ketentuan tersebut kemudian diteruskan dengan terbitnya PP 71/2019 yang secara substansi mengatur mengenai batasan, kategori serta klasifikasi mengenai informasi dan/atau dokumen elektronik yang mengatur muatan melanggar hukum. Bahwa maksud dan tujuan yang diatur didalam Pasal 40 ayat (2a) dan (2b) UU ITE juga sejalan dengan Putusan MK Nomor 81/PUU-XVIII/2020 yang pada intinya hakim MK mempertimbangkan bahwa ketentuan mengenai kewenangan Pemerintah dalam memutus akses internet diperlukan, melihat bahwa perkembangan teknologi yang sangat cepat, luas dan masif. Pada implementasinya rumusan Pasal 40 ayat (2a) dan (2b) UU ITE telah menimbulkan multitafsir apabila dilaksanakan untuk kepentingan luas karena jenis informasi yang dapat diputus akses hanya mencakup informasi dan/atau dokumen elektronik saja yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan teknologi saat ini, oleh karena itu maka ketentuan yang mengatur mengenai kewenangan Pemerintah dalam memutus akses tersebut perlu disertai dengan perluasan jenis informasi guna mengakomodasi perkembangan teknologi.

2. ASPEK STRUKTUR HUKUM/KELEMBAGAAN
Dalam ketentuan Pasal 40 ayat (2) UU ITE diatur mengenai kewenangan Pemerintah dalam melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan ITE. Terkait pelaksanaannya, pengawasan ITE dilakukan oleh Pemerintah yaitu Kominfo yang dibantu oleh Bareskrim Polri yang dilaksanakan melalui pembentukan satuan kerja tersendiri. Untuk menjalankan tugasnya, Kapolri menerbitkan SE/2/11/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif. SE tersebut dikeluarkan menanggapi permintaan Presiden agar Polri lebih selektif dalam menangani kasus dugaan pelanggaran UU ITE. Ketetapan SE ini berlaku untuk setiap kasus yang sedang ditangani maupun kasus yang berpotensi muncul di masa mendatang. SE ini kemudian diperkuat dengan adanya Surat Telegram Kapolri No. ST/339/II/RES.1.1.1./2021 tentang Pedoman Penanganan Perkara Tindak Pidana Kejahatan Siber (ST No. ST/339/II/RES.1.1.1./2021).
Namun koordinasi antar Pemerintah yang berwenang terkait pengawasan ITE selama ini belum berjalan dengan baik. Hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya transaksi elektronik berupa investasi atau pinjaman online yang tidak berizin atau tidak tersertifikasi namun tetap bisa beroperasi dan masih maraknya kasus tindak pidana penipuan online yang merugikan konsumen seperti arisan online atau pinjaman online. Dalam mengatasi permasalahan dalam implementasi Pasal 40 ayat (2) UU ITE maka diperlukan penguatan dari sisi koordinasi antara instansi terkait dengan Bareskrim Polri untuk melakukan pengawasan dan pencegahan agar kasus penipuan online tidak terjadi lagi.

3. ASPEK SARANA DAN PRASARANA
a. Pemahaman SDM Terkait dengan Pidana Siber
Dalam penanganan tindak pidana siber di Indonesia belum terlaksana secara optimal, faktor yang paling berpengaruh pada lemahnya penegakan hukum adalah sarana dan prasarana penegakan hukum yang belum memadai yang mencakup ketersediaan SDM yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, dan pendanaan yang mencukupi. Dalam rangka meningkatkan upaya penanganan tindak pidana siber yang semakin meningkat, diharapkan dapat diselenggarakan pendidikan dan pelatihan serta peningkatan kuantitas dan kualitas sarana dan prasarana.

b. Hambatan Pelaksanaan Kewajiban Melindungi Informasi Elektronik
Ketentuan Pasal 16 UU ITE mengatur tentang syarat minimum setiap PSE dalam mengoperasikan sistem elektronik. Dalam memenuhi persyaratan-persyaratan tersebut selama ini masih ditemukan beberapa hambatan yang terjadi, terutama mengenai sarana dan prasarana yang belum memadai dalam melaksanakan perlindungan informasi elektronik tersebut, sehingga hal-hal ini menyebabkan masih maraknya kasus kebocoran data yang terjadi.
Dalam menyelesaikan hambatan pelaksanaan Pasal 16 UU ITE terkait aspek sarana dan prasarana tersebut, jika dikaitkan dengan tingkat payung hukumnya yaitu dengan membuat legislasi terkait Perlindungan Data Pribadi oleh DPR dan Kementerian yang berwenang. Lalu terkait hal-hal teknis, instansi/kementerian yang berwenang perlu menyediakan teknologi yang mendukung perlindungan data pribadi serta menambah SDM yang bertugas terkait dengan pengawasan dalam keamanan jaringan dan perangkat internet.

4. ASPEK BUDAYA HUKUM
a. Pemahaman dan Edukasi dalam Implementasi UU ITE
Sebagai undang-undang yang mengatur mengenai hal yang berhubungan dengan teknologi, tentunya UU ITE ini tidak luput dari hambatan dalam implementasinya. Secara umum masyarakat sudah mulai berperan aktif dalam melaporkan terjadinya tindak pidana ITE, namun masih terdapat permasalahan terkait masyarakat yang tidak memahami mengenai pengaturan dalam UU ITE. Kurangnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat ini menjadi faktor terhambatnya pelaksanaan pengawasan dan pencegahan terjadinya tindak pidana ITE. Oleh karena itu, diperlukan sosialisasi secara menyeluruh oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah mengenai aturan dalam peraturan perundang-undangan serta program pemerintah terkait penyelenggaraan ITE.

b. Peran Serta Masyarakat Terkait Data Pribadi
Ketentuan mengenai penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan orang yang bersangkutan yang diatur dalam Pasal 26 ayat (1) UU ITE. Dalam pelaksanaan ketentuan tersebut selama ini masih terdapat kendala yang terjadi, yaitu sebagian masyarakat Indonesia masih banyak yang belum memahami pentingnya melindungi data pribadi sehingga menyebabkan masih banyaknya kasus kebocoran data pribadi yang terjadi selama ini. Dalam menyelesaikan permasalahan tersebut, maka perlu diadakan pemberian edukasi kepada seluruh lapisan masyarakat, contohnya dengan mengadakan sosialisasi dan/atau bimbingan teknis terkait perlindungan data pribadi.

1. ASPEK SUBSTANSI HUKUM
a. Pasal 5 ayat (1) dan (2) jo. Pasal 44 huruf b UU ITE, perlu diatur lebih rinci terkait dengan kedudukan informasi dan/atau dokumen elektronik sebagai perluasan dari alat bukti serta hukum acaranya dalam rangka penegakan hukum.
b. Pasal 10 UU ITE, perlu mendorong pembentukan LSK karena memiliki peranan penting dalam menjamin keamanan sistem elektronik bagi e-commerce, perbankan, dan finance technology. Selain itu, perlu mendorong Kominfo dan instansi terkait untuk melakukan kerjasama dengan pihak swasta yang berkompeten dalam memberikan sertifikasi keandalan kepada para pelaku usaha.
c. Pasal 26 ayat (3) UU ITE, perlu diberikan ketentuan lebih lanjut mengenai klasifikasi data “tidak relevan” seperti tujuan, syarat, jangka waktu, dan pengecualian keadaan tertentu yang tidak dapat dimintakan penghapusan.
d. Pasal 27 ayat (1) jo. Pasal 45 ayat (1) UU ITE, perlu diberikan kejelasan rumusan frasa “melanggar kesusilaan” agar tidak tumpang tindih atau disharmoni dengan Pasal 281-Pasal 282 KUHP dan Pasal 4 UU Pornografi.
e. Pasal 27 ayat (2) jo. Pasal 45 ayat (2) UU ITE perlu harmonisasi dengan Pasal 303 KUHP, khususnya pada ketentuan maksimum ancaman pidana penjara.
f. Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 ayat (3) UU ITE perlu diberikan kejelasan rumusan mengenai kualifikasi korban, dimana substansi SKB UU ITE yang relevan dapat menjadi acuan dalam revisi UU ITE.
g. Pasal 27 ayat (4) jo. Pasal 45 ayat (4) UU ITE perlu harmonisasi dengan Pasal 368 dan Pasal 369 KUHP terkait jenis delik biasa dan jenis delik aduan.
h. Pasal 28 ayat (2) UU ITE, perlu dihapuskan unsur “individu” karena sudah diatur dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, dan perlu diberikan kejelasan rumusan unsur “antargolongan” agar tidak multitafsir, serta perlunya penertiban peraturan teknis seperti SKB UU ITE dan SE Kapolri No. SE/6/X/2015 agar tidak menimbulkan kerancuan dalam penegakan hukum.
i. Pasal 29 UU ITE perlu dilakukan revisi yaitu dengan penambahan norma maksud dilakukannya tindak pidana ancaman kekerasan seperti yang terdapat dalam ketentuan Pasal 335 KUHP.
j. Pasal 40 ayat (2a) dan (2b) UU ITE perlu ditegaskan kewenangan Pemerintah hanya dalam memutus akses terhadap informasi dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar hukum (moderasi konten).
k. Perlu mengangkat norma dalam SKB UU ITE menjadi materi perubahan UU ITE.

2. ASPEK STRUKTUR HUKUM/KELEMBAGAAN
Perlu penguatan dari sisi koordinasi antara instansi/kementerian terkait dengan Bareskrim Polri untuk melakukan pengawasan dan pencegahan agar kasus penipuan berbasis online tidak terjadi lagi.

3. ASPEK SARANA DAN PRASARANA
a. Perlu dilakukan peningkatan upaya penanganan tindak pidana siber dengan menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan serta peningkatan kuantitas dan kualitas sarana dan prasarana.
b. Perlu dibuat Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi oleh DPR dan Pemerintah.
c. Perlu peningkatan teknologi yang mendukung perlindungan data pribadi serta menambah SDM yang bertugas terkait dengan pengawasan dalam keamanan jaringan dan perangkat internet.

4. ASPEK BUDAYA HUKUM
a. Perlu dilakukan sosialisasi secara menyeluruh oleh DPR, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah mengenai aturan dalam peraturan perundang-undangan serta program pemerintah terkait penyelenggaraan ITE.
b. Perlunya pemberian edukasi kepada masyarakat terkait pemahaman mengenai pentingnya perlindungan data pribadi yang dilaksanakan dengan, sosialisasi, pendidikan dan pelatihan, dan bimbingan teknis.

KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG KESEJAHTERAAN SOSIAL / 01-12-2021

Lahirnya UU Kesejahteraan Sosial dilatarbelakangi beberapa pertimbangan sebagaimana disebutkan dalam Konsiderans UU a quo bahwa untuk mewujudkan kehidupan yang layak dan bermartabat serta untuk memenuhi hak atas kebutuhan dasar warga negara demi tercapainya kesejahteraan sosial, maka negara menyelenggarakan pelayanan dan pengembangan kesejahteraan sosial. Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial sebagai tanggung jawab negara meliputi:
1. Rehabilitasi sosial;
2. Jaminan sosial;
3. Pemberdayaan sosial; dan
4. Perlindungan sosial.

UU Kesejateraan Sosial juga telah masuk dalam daftar UU Program Legislasi Nasional Tahun 2020-2024 dengan nomor urut 238.

Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Kalimantan Timur

1. ASPEK SUBTANSI HUKUM
a) Belum Diakomodirnya Asas Kesetaraan dan Asas Non-Diskriminasi dalam UU Kesejahteraan Sosial
Pasal 2 UU Kesejahteraan Sosial belum mengakomodir asas non-diskriminasi dan asas kesetaraan sebagai dasar dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Tidak diakomodirnya kedua asas tersebut berpotensi menimbulkan inkonsistensi dengan pengaturan Pasal 5 ayat (2) huruf c UU Kesejahteraan Sosial dan Pasal 2 UU Penyandang Disabilitas. Sebab, Pasal 5 ayat (2) huruf c UU Kesejahteraan Sosial menyebutkan bahwa salah satu kriteria masalah sosial adalah Penyandang Disabilitas. Namun, pelaksanaan dan pemenuhan hak Penyandang Disabilitas berpotensi tidak terpenuhi sebagai akibat dari belum diakomodirnya kedua asas tersebut dalam Pasal 2 UU Kesejahteraan Sosial.

b) Belum Terdapat Penjelasan Lebih Lanjut Mengenai Parameter Kriteria Masalah Sosial
Pasal 5 ayat (2) UU Kesejahteraan Sosial mengatur mengenai kriteria masalah sosial yang menjadi prioritas dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Dalam pelaksanaannya, terdapat 2 (dua) pandangan yang berbeda mengenai kriteria masalah sosial tersebut. Dimana berdasarkan hasil diskusi dalam rangka pengumpulan data dan informasi pelaksanaan UU Kesejahteraan Sosial, terdapat beberapa narasumber yang menyatakan bahwa pengaturan kriteria masalah sosial dalam Pasal 5 ayat (2) UU Kesejahteraan Sosial memerlukan penjelasan lebih lanjut dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (2) UU Kesejahteraan Sosial agar tidak menimbulkan multitafsir dalam pelaksanaannya. Selain itu, kriteria masalah sosial dalam Pasal 5 ayat (2) UU Kesejahteraan Sosial sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini dikarenakan telah terdapat masalah-masalah sosial lainnya yang telah ditangani oleh Kemensos namun belum terakomodir dalam Pasal 5 ayat (2) UU Kesejahteraan Sosial.
Akan tetapi, pandangan berbeda juga disampaikan oleh beberapa narasumber berdasarkan hasil diskusi dalam rangka pengumpulan data dan informasi pelaksanaan UU Kesejahteraan Sosial yang beranggapan bahwa tidak diperlukannya penjelasan lebih lanjut mengenai parameter kriteria masalah sosial tersebut. Hal tersebut dikarenakan penjelasan tersebut berpotensi mengurangi fleksibilitasnya dalam penanganan permasalahan sosial. Selain itu, parameter kriteria masalah sosial tersebut juga telah diatur dalam Peraturan Menteri Sosial Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pedoman Pendataan dan Pengelolaan Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (Permensos Pedoman Pendataan dan Pengelolaan Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial).

c) Potensi Disharmoni antara UU Kesejahteraan Sosial dengan Beberapa Undang-Undang Lainnya:
1) Potensi Disharmoni UU Kesejahteraan Sosial dengan UU SJSN
Terdapat beberapa pengaturan dalam UU Kesejahteraan Sosial yang berpotensi disharmoni dengan UU SJSN. Potensi disharmoni tersebut diantaranya terkait dengan pengaturan Pasal 1 angka 9, Pasal 1 angka 11, dan Pasal 6 UU Kesejahteraan Sosial sepanjang frasa “jaminan sosial” dan “perlindungan sosial” dengan Pasal 1 angka 1 UU SJSN. Sebab dalam UU Kesejahteraan Sosial, jaminan sosial dan perlindungan sosial yang merupakan ruang lingkup dalam penyelenggaraan sosial diberikan definisi dan pengaturan yang berbeda. Sedangkan dalam UU SJSN sebagai dasar hukum dalam penyelenggaraan jaminan sosial di Indonesia, telah mengartikan jaminan sosial merupakan bentuk dari perlindungan sosial.
Potensi disharmoni lainnya juga terdapat dalam Pasal 9 ayat (2), Pasal 10, dan Penjelasan Pasal 9 ayat (2) UU Kesejahteraan Sosial sepanjang frasa “asuransi kesejahteraan sosial” dengan Pasal 1 angka 3 UU SJSN. Sebab, UU SJSN sebagai dasar hukum dalam penyelenggaraan jaminan sosial tidak mengenal asuransi kesejahteraan sosial, melainkan mengatur tentang jaminan sosial yang diberikan dalam bentuk “asuransi sosial”.

2) Potensi Disharmoni UU Kesejahteraan Sosial dengan UU Narkotika
Terdapat inkonsistensi pengaturan dalam Pasal 5 ayat (2) UU Kesejahteraan Sosial dengan Pasal 54 dan Pasal 127 ayat (3) UU Narkotika. Sebab, dalam Pasal 54 dan Pasal 127 ayat (3) UU Narkotika menyebutkan bahwa Pecandu dan Penyalah Guna Narkotika wajib rehabilitasi sosial. Akan tetapi, permasalahan terkait dengan NAPZA tersebut tidak diakomodir dalam Pasal 5 ayat (2) UU Kesejahteraan Sosial yang mengatur tentang masalah sosial.

3) Potensi Disharmoni UU Kesejahteraan Sosial dengan UU Penanganan Fakir Miskin
Terdapat potensi disharmoni antara Pasal 21 UU Kesejahteraan Sosial dengan Pasal 7 ayat (1) UU Penanganan Fakir Miskin. Kedua Pasal tersebut mengatur bentuk-bentuk penanganan atau penanggulangan kemiskinan yang memiliki kesamaan, namun dengan istilah yang berbeda. Adapun pengembangan potensi diri, bantuan pangan dan sandang, serta bantuan hukum yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU Penanganan Fakir Miskin, bukan merupakan bentuk penanggulangan kemiskinan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 21 UU Kesejahteraan Sosial.

4) Potensi Disharmoni UU Kesejahteraan Sosial dengan UU Pemda
a) Perbedaan Pengaturan Ruang Lingkup Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial
Terdapat potensi disharmoni dalam penjabaran ruang lingkup penyelenggaraan kesejahteraan sosial antara Pasal 6 UU Kesejahteraan Sosial dengan Lampiran F UU Pemda. Dimana Lampiran F UU Pemda tersebut merupakan bagian tak terpisahkan dari Pasal 12 huruf f UU Pemda. Adapun sub bidang urusan pemerintahan di bidang sosial sebagaimana dimaksud dalam Lampiran F UU Pemda yang memiliki kesamaan dengan Pasal 6 UU Kesejahteraan Sosial antara lain berkaitan dengan pemberdayaan sosial, rehabilitasi sosial, serta perlindungan dan jaminan sosial. Sementara untuk penanganan warga negara migran korban tindak kekerasan, taman makam pahlawan, sertifikat dan akreditasi bukan bagian dari ruang lingkup atau sub bidang dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial dalam Pasal 6 UU Kesejahteraan Sosial.

b) Perbedaan Pengaturan Tanggung Jawab dan Wewenang dalam Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial
Terdapat potensi disharmoni antara Pasal 24 ayat (1), Pasal 25 huruf c, Pasal 27 huruf b dan Pasal 29 huruf d UU Kesejahteraan Sosial dengan Pasal 9 ayat (1), ayat (3), ayat (4), Pasal 11 ayat (2), dan Pasal 12 ayat (1) huruf f serta Lampiran F UU Pemda. Penormaan tanggung jawab dan wewenang sebagaimana diatur Pasal 25 huruf c, Pasal 27 huruf b, dan Pasal 29 huruf b masih belum selaras dengan UU Pemda. Sementara UU Pemda telah mengatur pembagian urusan pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota berdasarkan 7 (tujuh) sub bidang sosial. Selain itu, Pasal 27 huruf b dan Pasal 29 huruf b UU Kesejahteraan Sosial masih menggunakan frasa “dekonsentrasi dan tugas pembantuan” dalam pembagian tanggung jawab penyelenggaraan kesejahteraan sosial oleh pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Padahal penyelenggaraan kesejahteraan sosial saat ini telah didasarkan pada frasa “urusan pemerintahan bidang sosial” yang dibagi pada setiap unsur pemerintahan secara vertikal sebagaimana diatur dalam UU Pemda.

5) Potensi Disharmoni UU Kesejahteraan Sosial dengan UU Penyandang Disabilitas
Terdapat disharmoni pengaturan antara UU Kesejahteraan Sosial dengan UU Penyandang Disabilitas, dimana Pasal 5 ayat (2) huruf c, Pasal 9 ayat (1) huruf a, dan Penjelasan Pasal 7 ayat (1) UU Kesejahteraan Sosial masih menggunakan frasa “Kecacatan/Cacat”. Sedangkan dalam UU Penyandang Disabilitas sudah tidak menggunakan frasa “Kecacatan/Cacat” melainkan menggunakan frasa “Penyandang Disabilitas” bagi setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental dan/atau sensorik. Selain itu, juga terdapat permasalahan disharmoni ketentuan antara Pasal 9 ayat (2) UU Kesejahteraan Sosial dengan Pasal 93 ayat (2) dan ayat (3) UU Penyandang Disabilitas terkait bentuk pemberian jaminan sosial berkelanjutan terhadap para Penyandang Disabilitas. Dimana pemberian bentuk jaminan sosial yang salah satunya diberikan kepada Penyandang Disabilitas dalam Pasal 9 ayat (2) UU Kesejahteraan Sosial berbeda dengan bentuk jaminan sosial terhadap Penyandang Disabilitas yang diatur dalam Pasal 93 ayat (2) dan ayat (3) UU Penyandang Disabilitas.

6) Potensi Disharmoni UU Kesejahteraan Sosial dengan UU Pekerja Sosial
Terdapat disharmoni pengaturan antara UU Kesejahteraan Sosial dengan UU Pekerja Sosial, dimana ruang lingkup kesejahteraan sosial yang diatur dalam Pasal 6 UU Kesejahteraan Sosial berbeda dengan pengaturan ruang lingkup praktik pekerjaan sosial sebagai bentuk penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang diatur dalam Pasal 4 UU Pekerja Sosial. Selain itu, juga terdapat disharmoni pengaturan terkait pengaturan bentuk-bentuk rehabilitasi sosial yang diatur dalam Pasal 7 ayat (3) UU Kesejahteraan Sosial dengan Pasal 9, Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 11 ayat (2) dan ayat (3) UU Pekerja Sosial.

2. ASPEK STRUKTUR HUKUM/KELEMBAGAAN
Terdapat hambatan pelaksanaan tanggung jawab dan kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Program ataupun kebijakan yang terkait penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang menjadi kewenangan pemerintah pusat selama ini diselenggarakan secara parsial tanpa adanya kolaborasi antar instansi pemerintah.


3. ASPEK PENDANAAN
Pasal 36 UU Kesejahteraan Sosial mengatur beberapa jenis sumber pendanaan untuk penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Pemerintah pusat melakukan belanja pemerintah pusat yang salah satunya digunakan untuk menjalankan fungsi perlindungan sosial. Selain itu, Pemerintah pusat juga melakukan Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) ke daerah, yang antara lain digunakan untuk program kesejahteraan sosial. Akan tetapi, masih terdapat hambatan dalam optimalisasi sumber pendanaan APBN, dimana dana yang diperoleh dari APBN masih belum sepenuhnya menutup kebutuhan penyelenggaraan kesejahteraan sosial di Indonesia karena dipengaruhi oleh faktor prioritas pembangunan setiap tahunnya.
Berkaitan dengan sumber pendanaan APBD, pemerintah daerah melakukan belanja daerah yang diprioritaskan untuk mendanai Urusan Pemerintahan Wajib yang terkait Pelayanan Dasar yang ditetapkan dengan standar pelayanan minimal, antara lain untuk bidang sosial. Namun, masih terdapat hambatan dalam optimalisasi sumber pendanaan APBD khususnya untuk penyelenggaraan kesejahteraan sosial sehingga beberapa daerah masih bergantung pada alokasi APBN. Hal tersebut antara lain disebabkan karena perbedaan kemampuan keuangan setiap daerah, prioritas pembangunan, serta terdapat visi misi setiap kepala daerah yang mempengaruhi alokasi APBD masing-masing daerah.
Berkaitan dengan sumber pendanaan lain juga masih belum memadai, termonitor, dan terkelola, dengan baik, terutama sumber pendanaan yang berasal dari badan usaha dan bantuan asing. Sumber pendanaan kesejahteraan sosial yang berasal dari CSR juga masih bersifat parsial dan belum sepenuhnya menyentuh masalah sosial tertentu.


4. ASPEK SARANA DAN PRASARANA
a. Keterbatasan Sumber Daya Manusia dalam Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial
Salah satu sumber daya dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial adalah SDM. Namun, dalam tataran implementasinya kualitas maupun kuantitas SDM khususnya Pekerja Sosial dalam penyelenggara kesejahteraan sosial di tingkat pusat maupun daerah belum memadai, sehingga berpotensi menghambat implementasi dari penyelenggaraan kesejahteraan sosial.

b. Keterbatasan Sarana dan Prasarana dalam Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial
Pemenuhan sarana dan prasarana penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota belum sesuai dengan standar yang ditetapkan pemerintah pusat. Hal ini karena keterbatasan pendanaan dan hambatan pelaksanaan yang disebabkan oleh pembagian kewenangan yang bermasalah antara pemerintah daerah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota.

c. Permasalahan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial
Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) sebagai sumber bahan pengambil kebijakan (pemerintah pusat dan pemerintah daerah) dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial masih belum terintegrasi secara nasional karena masih ada data BPS terkait kesejahteraan sosial yang tidak sinkron dengan DTKS. DTKS juga belum disosialisasikan dengan baik kepada pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota karena masih ada pemerintah daerah yang belum memahami penyusunan program kerja berdasarkan DTKS dan aksesibilitas DTKS yang masih sulit karena pemerintah daerah kabupaten/kota masih harus bersurat untuk mengakses DTKS.


5. ASPEK BUDAYA HUKUM
a. Belum Optimalnya Pelaksanaan Pemberdayaan Sosial karena Masih Adanya Pemahaman Masyarakat yang Menjadikan Kemiskinan sebagai Komoditi agar Mendapatkan Bantuan Sosial
Pemberdayaan sosial merupakan salah satu bentuk upaya dalam penyelenggaraan sosial yang diarahkan untuk menjadikan warga negara yang mengalami masalah sosial agar mampu memenuhi kebutuhan secara mandiri. Dalam implementasinya, kemandirian masyarakat masih belum dapat dicapai sebab masih adanya pola pikir masyarakat yang menjadikan kemiskinan sebagai komoditas guna mengharapkan bantuan sosial.

b. Keterlibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial
Keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial belum dapat dirasakan secara signifikan. Hal ini disebabkan, masih ditemukannya beberapa kendala yang menghambat turut sertanya masyarakat dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial, diantaranya keterbatasan masyarakat dalam mengakses informasi pelaksanaan kesejahteraan sosial; belum dilibatkannya Lembaga Koordinasi Kesejahteraan Sosial (LKKS) sebagai mitra pemerintah dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial; ketidakjelasan mekanisme pengawasan yang menyulitkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam melakukan pembinaan dan pengawasan; dan kurangnya sosialisasi kepada masyarakat mengenai kanal-kanal yang ada di pemerintah pusat maupun pemerintah daerah yang dapat digunakan oleh masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan kesejahteraan sosial.

a. Dalam aspek Substansi Hukum, Puspanlak UU, Badan Keahlian Sekretariat Jenderal DPR RI memberikan rekomendasi sebagai berikut:
1) Perlunya penyempurnaan materi muatan dalam UU Kesejahteraan Sosial, diantaranya:
a) penambahan asas non-diskriminasi dan asas kesetaraan dalam Pasal 2 UU Kesejahteraan Sosial.
b) perubahan Pasal 5 ayat (2) UU Kesejahteraan Sosial dan Penjelasannya dengan menambahkan klaster baru terkait masalah sosial lainnya dan penjelasan lebih lanjut mengenai kriteria masalah sosial atau menambahkan norma dalam UU Kesejahteraan Sosial yang secara eksplisit mendelegasikan peraturan pelaksanaan yang mengatur penjelasan mengenai parameter kriteria masalah sosial.
c) perubahan frasa “Kecacatan/Cacat” yang diatur dalam Pasal 5 ayat (2) huruf c, Pasal 9 ayat (1) huruf a, dan Penjelasan Pasal 7 ayat (1) UU Kesejahteraan Sosial dengan menyesuaikan istilah yang diatur dalam UU Penyandang Disabilitas. Selain itu, perlu dilakukan penyesuaian terkait bentuk pemberian jaminan sosial terhadap Penyandang Disabilitas yang diatur dalam Pasal 9 ayat (2) UU Kesejahteraan Sosial dengan mengacu terhadap ketentuan Pasal 93 ayat (2) dan ayat (3) UU Penyandang Disabilitas.

2) Perlunya harmonisasi antara UU Kesejahteraan Sosial dengan undang-undang lainnya, diantaranya:
a) harmonisasi antara Pasal 1 angka 9, Pasal 1 angka 11, dan Pasal 6 UU Kesejahteraan Sosial sepanjang frasa “jaminan sosial” dan frasa “perlindungan sosial” dengan Pasal 1 angka 1 UU SJSN serta Pasal 9 ayat (2), Pasal 10, dan Penjelasan Pasal 9 ayat (2) UU Kesejahteraan Sosial sepanjang frasa “asuransi kesejahteraan sosial” dengan Pasal 1 angka 3 UU SJSN.
b) harmonisasi pengaturan di dalam perubahan UU Kesejahteraan Sosial terkait ruang lingkup penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang diatur dalam Pasal 6 UU Kesejahteraan Sosial dengan ruang lingkup penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang diatur dalam Pasal 4 UU Pekerja Sosial. Selain itu, terkait bentuk-bentuk rehabilitasi sosial yang diatur dalam Pasal 7 ayat (3) UU Kesejahteraan Sosial juga perlu dilakukan harmonisasi dengan menyesuaikan bentuk-bentuk rehabilitasi sosial yang diatur dalam Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 11 ayat (2) dan ayat (3) UU Pekerja Sosial.
c) harmonisasi Pasal 6 UU Kesejahteraan Sosial berkaitan dengan ruang lingkup penyelenggaraan kesejahteraan sosial dengan Lampiran F UU Pemda sebagai penjabaran dari Pasal 12 UU Pemda agar penyelenggaraan kesejahteraan sosial dapat berjalan optimal dan tidak multi interpretasi dalam implementasinya.
d) harmonisasi Pasal 21 UU Kesejahteraan Sosial dengan Pasal 7 ayat (1) UU Penanganan Fakir Miskin agar bentuk-bentuk penanganan atau penanggulangan kemiskinan menjadi selaras dan tidak multi interpretasi dalam implementasinya.
e) harmonisasi Pasal 24 ayat (1), Pasal 25 huruf c, Pasal 27 huruf b dan Pasal 29 huruf b UU Kesejahteraan Sosial terkait tanggung jawab dan wewenang penyelenggaraan kesejahteraan sosial dalam UU Kesejahteraan Sosial dengan pembagian urusan pemerintahan bidang sosial dalam UU Pemda agar tidak terdapat multi interpretasi dalam implementasinya.

b. Dalam aspek Struktur Hukum/Kelembagaan, Puspanlak UU, Badan Keahlian Sekretariat Jenderal DPR RI memberikan rekomendasi, yaitu perlu dilakukan peningkatan sinergitas antar kementerian/lembaga dalam menangani kesejahteraan sosial sehingga dapat berjalan secara efektif dan efisien.

c. Dalam aspek Pendanaan, Puspanlak UU, Badan Keahlian Sekretariat Jenderal DPR RI memberikan rekomendasi sebagai berikut:
1) perlu peningkatan komitmen dalam penyusunan kegiatan pada masing-masing instansi pusat dan daerah dengan mengalokasikan anggaran memadai untuk penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
2) perlu dilakukan penguatan sumber pendanaan lain seperti sumbangan masyarakat; dana yang disisihkan dari badan usaha sebagai kewajiban dan tanggung jawab sosial dan lingkungan; serta bantuan asing guna membantu memenuhi kebutuhan pendanaan masalah kesejahteraan sosial.
3) perlu melengkapi instrumen regulasi yang terkait dengan pengelolaan dan pengumpulan Undian Gratis Berhadiah (UGB) dan Pengumpulan Uang dan Barang (PUB) yang tertib aturan, partisipatif, transparan, akuntabel dan tepat manfaat.
d. Dalam aspek Sarana dan Prasarana, Puspanlak UU, Badan Keahlian Sekretariat Jenderal DPR RI memberikan rekomendasi sebagai berikut:
1) perlu peningkatan kualitas dan kuantitas SDM khususnya Pekerja Sosial melalui program pelatihan dan proses rekrutmen yang sesuai dengan standar.
2) peningkatan komitmen dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam pemenuhan sarana dan prasarana penyelenggaraan kesejahteraan sosial tersebut.
3) perlu adanya simplifikasi dan integrasi pendataan kesejahteraan sosial, sosialisasi penyusunan program kerja pemerintah.

e. Dalam aspek Budaya Hukum, Puspanlak UU, Badan Keahlian Sekretariat Jenderal DPR RI memberikan rekomendasi sebagai berikut:
1) perlu optimalisasi pemberdayaan masyarakat dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial antara lain dengan peningkatan kemampuan dan kemauan, penggalian potensi sumber daya, penggalian nilai-nilai dasar, pemberian akses, dan pemberian bantuan usaha. Hal tersebut dilakukan pemerintah untuk mendorong kemandirian sehingga masyarakat mampu memenuhi kebutuhannya secara mandiri.
2) perlu upaya sosialisasi yang lebih masif dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah kepada masyarakat terkait perannya dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial, serta perlunya komitmen pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk melibatkan LKKS sebagai mitranya dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial.

KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN SEBAGAIMANA DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA / 01-09-2021

Lahirnya UU Perumahan dan Kawasan Permukiman dilatarbelakangi pertimbangan bahwa setiap orang termasuk masyarakat yang berpenghasilan rendah berhak memiliki tempat tinggal yang layak. Namun saat ini masih banyak masyarakat perkotaan yang tinggal dalam kawasan kumuh dalam lingkungan berpenduduk padat. Sehingga penyelenggaraan kawasan perumahan untuk mewujudkan wilayah sebagai lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan yang terencana, terpadu dan berkelanjutan masih terhambat. Oleh karena itu perlu ada kebijakan umum pembangunan perumahan sebagaimana yang sudah ditentukan dalam UU Perumahan dan Kawasan Permukiman yang diarahkan untuk:
a. Memenuhi kebutuhan perumahan yang layak dan terjangkau dalam lingkungan yang sehat dan aman;
b. Ketersediaan dana murah jangka panjang;
c. Mewujudkan perumahan yang serasi dan seimbang sesuai dengan tata ruang serta tata guna tanah yang berdaya guna dan berhasil guna;
d. Memberikan hak pakai dengan tidak mengorbankan kedaulatan negara; dan
e. Mendorong iklim investasi asing.

Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Sumatera Selatan, dan Provinsi Kalimantan Selatan

1. Ditinjau dari segi substansi, terdapat beberapa ketentuan pasal yang harus disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan terkait dan permasalahan implementasi yang terjadi saat ini sehingga perlu dilakukan perubahan dan/atau penambahan terhadap beberapa pasal dalam UU Perumahan dan Kawasan Permukiman. Perubahan ketentuan dalam UU Perumahan dan Kawasan Permukiman antara lain terkait penambahan standar minimal rumah sehat, penambahan definisi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), sinkronisasi dan harmonisasi aturan terkait tugas dan wewenang pemerintah pusat dan pemerintah daerah, penambahan definisi rumah swadaya yang termasuk rumah yang dibangun oleh MBR, perubahan persyaratan komposisi atas hunian berimbang, pembentukan peraturan pemerintah tentang penghunian rumah negara, penambahan pengaturan mengenai pembatasan kepemilikan rumah, penambahan pengaturan mengenai rumah terlantar, dan penambahan pengaturan sanksi. Hal ini ditujukan agar ketentuan dalam UU Perumahan dan Kawasan Permukiman dapat memenuhi asas dalam UU PPP dan tujuan pembentukannya dapat tercapai.
2. Kesimpulan lain ditinjau dari sisi implementasi juga masih ditemukan beberapa permasalahan terkait perencanaan dan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman yang tidak sesuai dengan RTRW, belum optimalnya pemberian kemudahan perizinan dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman, belum optimalnya pencegahan perumahan dan kawasan permukiman kumuh, pembangunan rumah susun yang tidak sesuai dengan zonasi dan peruntukan, standar konstruksi perumahan yang tidak memenuhi SNI, keterbatasan penyediaan tanah/lahan untuk perumahan dan kawasan permukiman, potensi tumpang tindih tugas dan fungsi BP3 dengan pemangku kepentingan penyelenggara perumahan dan kawasan permukiman lainnya, belum terintegrasinya basis data perumahan dan kawasan permukiman, pembangunan PSU yang tidak sesuai perencanaan dan persyaratan teknis, permasalahan pendanaan dan pembiayaan, partisipasi dan pelibatan masyarakat yang belum efektif, serta sosialisasi peraturan perundang-undangan tentang perumahan dan kawasan permukiman serta program pemerintah kepada masyarakat masih sangat kurang.
3. Permasalahan tersebut berpengaruh pada belum optimalnya penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman sebagaimana yang telah diatur dalam UU perumahan dan Kawasan permukiman. Oleh karena itu diberikan rekomendasi untuk revisi UU Perumahan Dan Kawasan Permukiman agar dapat tercapai tujuan pembentukan UU Perumahan dan Kawasan Permukiman sebagai dasar hukum perlindungan negara terhadap hak masyarakat bertempat tinggal serta menghuni rumah yang layak dan terjangkau.

1. ASPEK SUBSTANSI HUKUM
a. Perlu diberikan penambahan rumusan mengenai standar minimal rumah layak huni dan sehat dalam revisi UU Perumahan dan Kawasan Permukiman dengan memberikan amanat pengaturan teknis melalui peraturan pelaksana terkait kriteria antara lain luasan minimal, jumlah maksimal penghuni, faktor kelayakan dan kesehatan yang harus dipenuhi oleh penyelenggara perumahan dengan tetap mempertimbangkan keterjangkauan daya beli masyarakat yang berbeda-beda.
b. Perlu diberikan kejelasan rumusan terhadap definisi MBR yang diatur dalam Pasal 1 angka 24 UU Perumahan dan Kawasan Permukiman dengan penambahan pengertian dalam rumusan revisi UU Perumahan dan Kawasan Permukiman, yaitu mencakup masyarakat berpenghasilan tidak tetap, masyarakat miskin, dan diberikan amanat pengaturan teknis melalui peraturan pelaksana terkait penambahan kriteria utama MBR yang mencakup antara lain jenis pekerjaan, besaran penghasilan atau upah minimum, jumlah anggota keluarga, dan lokasi tinggal. Selanjutnya juga perlu diatur mengenai keberlakuan kriteria yang telah ditetapkan dengan mempertimbangkan karakteristik/ kondisi upah minimum daerah yang berbeda-beda.
c. Perlu sinkronisasi dan harmonisasi aturan dalam UU Perumahan dan Kawasan Permukiman dengan UU Pemerintahan Daerah terkait pembagian tugas dan wewenang pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota agar dapat memberikan kepastian hukum bagi pemangku kepentingan penyelenggara perumahan dan kawasan permukiman di pusat maupun daerah.
d. Definisi Rumah Swadaya yang diatur dalam Pasal 1 angka 9 UU Perumahan dan Kawasan Permukiman memerlukan penambahan pengertian dalam rumusannya, yaitu penambahan rumusan termasuk rumah yang dibangun oleh MBR, sehingga selaras dengan pengaturan bantuan kemudahan dari pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah berupa stimulan rumah swadaya bagi MBR.
e. Pengaturan konsep dan persyaratan komposisi atas Hunian Berimbang yang diatur dalam Pasal 34 sampai dengan Pasal 37 UU Perumahan dan Kawasan Permukiman perlu diselaraskan kembali dengan kemampuan pelaksanaan teknisnya di seluruh daerah yang memiki karakteristik lahan berbeda dan konsep sosial budaya masyarakat perkotaan yang masih mengutamakan strata.
f. Perlu segera ditetapkan peraturan pemerintah sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 51 ayat (3) UU Perumahan dan Kawasan Permukiman dengan memberikan pengaturan teknis terkait kriteria penghuni rumah negara, batas waktu penghunian rumah negara, dan mekanisme pengembalian hak kepada negara pada saat pejabat atau pegawai negeri yang menghuni sudah pensiun atau tidak lagi menjalankan kedinasannya, sesuai dengan aturan Pasal 51 ayat (1) dan ayat (2) UU Perumahan dan Kawasan Permukiman.
g. Perlu diberikan pengaturan pembatasan kepemilikan rumah dengan menambahkan batas maksimal kepemilikan rumah berdasarkan luas atau jumlah, kriteria pemilikan rumah, dan/atau pemberian disinsentif berupa pajak progresif atas pemilikan rumah kedua dan selanjutnya.
h. Perlu diberikan penambahan pengaturan mengenai rumah terlantar dengan memberikan kriteria rumah terlantar, mekanisme penyerahan sebagai asset kepada pemerintah daerah, dan mekanisme pengelolaannya oleh pemerintah daerah sebagai solusi permasalahan backlog hunian di Indonesia. Serta pengendalian penghunian perumahan melalui pendataan terhadap rumah-rumah terlantar termasuk rumah-rumah MBR yang tidak ditempati.
i. Perlu diberikan penambahan pengaturan sanksi terhadap setiap orang yang tidak melaksanakan kewajiban dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan perumahan, pejabat pemerintah yang menyalahgunakan kewenangannya dalam hal pemanfaatan perumahan dan kawasan permukiman, dan pengembang yang tidak memenuhi bahan bangunan sesuai SNI.

2. ASPEK STRUKTUR HUKUM/KELEMBAGAAN
a. Perlu dorongan kepada daerah untuk menerbitkan peraturan daerah RP3KP sehingga perencanaan dan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman di daerah dapat memberikan kepastian hukum terkait pembangunan perumahan dan kawasan permukiman yang sesuai dengan RTRW nasional, RTRW provinsi, dan RTRW kabupaten/kota.
b. Perlu adanya peningkatan peran aktif pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam hal meningkatkan kemutakhiran aplikasi sistem OSS yang sudah berjalan saat ini serta melakukan pengendalian dan pengawasan dalam hal pemenuhan syarat dan standar dalam penerbitan izin, sertifikasi dan/atau lisensi oleh pelaku usaha agar kemudahan perolehan rumah bagi MBR dapat tercapai.
c. Perlu adanya sinergitas dan komitmen yang baik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam melakukan pencegahan dan peningkatan kualitas perumahan dan permukiman kumuh, serta memberikan reward and punishment bagi pemerintah daerah setempat dalam hal mengatasi permukiman kumuh agar dapat memacu pemerintah daerah untuk meningkatkan dan melakukan inovasi dalam penanganan terhadap kawasan kumuh tersebut.
d. Perlu dilakukan pengendalian dan pengawasan oleh pemerintah daerah terhadap penataan zonasi rumah susun dalam hal pembangunan rumah susun umum di daerah yang harus sesuai dengan berdasarkan rencana tata ruang wilayah, pengendalian dan pengawasan dari pemerintah terhadap pemanfaatan dan kepemilikan rumah susun oleh MBR, konsistensi pelaksanaan pembangunan rumah susun sesuai peruntukkannya, dan pelibatan masyarakat dari awal rencana pembangunan rumah susun.
e. Perlu dilakukan peningkatan peran aktif pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam melakukan pengawasan terhadap orang atau badan hukum yang akan membangunan suatu perumahan agar dapat memastikan bahan dan standar konstuksi yang mereka gunakan untuk membangun suatu bangunan telah memenuhi persyaratan SNI, penegakan pemberian sanksi kepada para pelanggar, dan melakukan sosialisasi untuk meningkatkan pemahaman masyarakat akan pentingnya menggunakan standar SNI dalam pembangunan perumahan.
f. Sebagai solusi dari permasalahan terbatasnya ketersediaan tanah/lahan bagi perumahan dan kawasan permukiman:
1) Perlu dilakukan peningkatan pelaksanaan konsolidasi tanah agar penataan tanah/lahan di kota-kota besar dapat terwujud dengan baik; dan
2) Peningkatan optimalisasi Bank Tanah guna memberikan kepastian terhadap ketersediaan tanah untuk pembangunan perumahan serta alat pengendalian harga tanah dipasaran.
g. Terhadap pembentukan BP3, perlu dilakukan:
1) Pembentukan skema kerja BP3 yang dapat mendorong sektor perumahan khususnya dari sisi pasokan yang saat ini masih terdapat gap atau kondisi tidak seimbang yang cukup besar dengan sisi permintaan (demand) dan membantu pemenuhan sektor perumahan khususnya pada segmen MBR;
2) Pemberian kepastian tidak ada tumpang tindih tugas dan fungsi antara BP3 dengan pemangku kepentingan penyelenggara perumahan dan kawasan permukiman yang sudah ada; dan
3) Penetapan peraturan menteri yang diamanatkan mengatur ketentuan mengenai mekanisme tata hubungan kerja dan pelaksanaan sebagian tugas dan fungsi BP3 di daerah provinsi oleh unit pelaksana teknis.

3. ASPEK SARANA DAN PRASARANA
a. Perlu adanya pengintegrasian data melalui Big Data perumahan dan kawasan permukiman sebagai basis data dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah.
b. Perlu ditetapkan peraturan daerah terkait penyerahan PSU kepada pemerintah daerah, penegakan pemberian sanksi terhadap pelanggaran perencanaan dan pembangunan PSU yang tidak memenuhi standar persyaratan administratif, teknis, dan ekologis, serta pengendalian berupa pengawasan oleh pemerintah daerah dan/atau pemerintah pusat juga perlu ditingkatkan terhadap pembangunan PSU yang dilaksanakan oleh pengembang.

4. ASPEK PENDANAAN DAN PEMBIAYAAN
a. Perlu peningkatan penggunaan sumber dana lain untuk penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman antara lain pemanfaatan creative financing, pemanfaatan KPBU dalam pembangunan perumahan, sumber dana dari BAZNAS, CSR, dana desa, dan dana lain yang pro rakyat.
b. Perlu perbaikan dalam hal fleksibilitas regulasi pembiayaan perumahan agar percepatan pengadaan dan perolehan perumahan oleh MBR dapat terwujud secara progresif, antara lain melalui pelibatan masyarakat di setiap tahap perencanaan strategi pembiayaan perumahan, memudahkan peraturan dan prosedur dan memaksimalkan kelonggaran dalam hal peraturan dan birokrasi pada lembaga pembiayaan, serta meningkatkan penggunaan tabungan perumahan masyarakat dan koperasi masyarakat sebagai lembaga pembiayaan yang pro masyarakat.

5. ASPEK BUDAYA HUKUM
a. Perlu dibentuk Forum PKP di daerah sebagai wadah peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman, serta meningkatkan sinergitas antara Forum PKP dan Pokja PKP guna memberikan efektivitas peran serta masyarakat.
b. Perlu dilakukan peningkatan sosialisasi oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah mengenai aturan penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman dalam peraturan perundang-undangan serta program pemerintah yang meliputi bantuan atau kemudahan pembiayaan bagi MBR.

KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA / 01-09-2021

Pancasila dan Pembukaan UUD Tahun 1945 mengamanatkan negara mempunyai tanggung jawab untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum serta mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tanggung jawab negara dalam melindungi rakyat Indonesia dilakukan dengan penguasaan sumber daya alam yang dimiliki oleh negara, termasuk pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Dalam satu dekade ini terdapat kecenderungan bahwa wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil rentan mengalami kerusakan akibat aktivitas orang dalam memanfaatkan sumber dayanya atau akibat bencana alam. Selain itu, akumulasi dari berbagai kegiatan eksploitasi yang bersifat parsial/sektoral di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil atau dampak kegiatan lain di hulu wilayah pesisir yang didukung peraturan perundang-undangan yang ada sering menimbulkan kerusakan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil.

Dengan potensi yang unik dan bernilai ekonomi tinggi, wilayah pesisir dihadapkan pada ancaman yang tinggi pula, maka hendaknya wilayah pesisir ditangani secara khusus agar wilayah ini dapat dikelola secara berkelanjutan. Pemanfaatan sumber daya alam di wilayah pesisir telah menimbulkan ancaman kelestarian ekosistem yang sangat kritis. Sebaliknya, ada beberapa wilayah dengan potensi sumber daya yang belum dimanfaatkan secara optimal. Guna menjamin keberlanjutan dari sumber daya tersebut, pengelolaannya harus dilakukan secara terencana dan terpadu serta memberikan manfaat yang besar kepada semua stakeholders terutama masyarakat pesisir.

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan Presiden telah menyepakati pembentukan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil pada bulan Juli tahun 2007 yang kemudian telah mengalami 2 (dua) kali perubahan, yakni melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan UU Cipta Kerja (UU PWP3K).

Terdapat beberapa permasalahan dalam UU PWP3K antara lain:
1. pengaturan mengenai kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS);
2. pengintegrasian RZWP3K ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) provinsi;
3. pengintegrasian kegiatan-kegiatan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil;
4. pembagian kewenangan Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil;
5. perizinan berusaha terkait pemanfaatan di laut;
6. pelayanan perizinan berusaha berbasis risiko terintegrasi secara elektronik (Sistem Online Single Submission (Sistem OSS))
7. anggaran pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) provinsi; dan
8. peran serta masyarakat dalam kegiatan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Nusa Tenggara Barat

Ditinjau dari aspek substansi, terdapat beberapa ketentuan pasal yang harus disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini dan juga perlu melakukan perubahan dan penambahan terhadap beberapa pasal dalam UU PWP3K. Hal ini ditujukan agar ketentuan dalam UU PWP3K dapat mewujudkan asas dan tujuan pembentukan UU PWP3K dan memenuhi asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Selain itu, ditinjau dari sisi implementasi juga masih ditemukan beberapa permasalahan terkait integrasi kegiatan, perencanaan RZWP3K dan implikasi dari belum adanya RZWP3K, perizinan berusaha terkait pemanfaatan di laut, reklamasi, kewenangan PPNS, Program Mitra Bahari, kegiatan penelitian, pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah, dan koordinasi dalam pengelolaan wilayah konservasi di laut. Terdapat pula kendala terkait kurangnya anggaran pengawasan dari diubahnya ketentuan Pasal 50 UU PWP3K. Kemudian pelayanan perizinan berusaha berbasis risiko dengan menggunakan Sistem OSS belum berjalan optimal demikian juga minimnya SDM untuk kebutuhan penegakan hukum pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Selain itu, terdapat permasalahan terkait hak yang dimiliki oleh masyarakat salah satunya adalah tidak terpenuhinya hak masyarakat dalam memperoleh informasi dan kurangnya pemahaman stakeholders terhadap pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

1. Aspek Substansi Hukum
a. Penyusunan dokumen perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tetap dilakukan secara bertahap dalam proses penyusunan rencana tata ruang dan diperlukan penegasan norma dalam UU PWP3K bahwa penyusunan perencanaan ruang laut mengacu kepada peraturan perundang-undangan di bidang penataan ruang.
b. Pasal 7 dan Pasal 7A UU PWP3K perlu diharmonisasikan dengan peraturan yang berkaitan dengan penataan ruang darat untuk wilayah pulau-pulau kecil dan penataan ruang laut untuk wilayah pesisir.
c. Pengaturan dalam Bab IV UU PWP3K perlu dikuatkan dengan adanya norma yang menegaskan bahwa RZWP3K disusun oleh pemerintah daerah provinsi dengan kewajiban untuk melibatkan pemerintah daerah kabupaten/kota.
d. Pasal 30 UU PWP3K perlu dilakukan perbaikan dengan adanya norma yang menyatakan “perubahan status zona inti pada kawasan konservasi untuk kegiatan pemanfaatan hanya dapat dilakukan dalam rangka pelaksanaan kebijakan nasional berupa penetapan proyek strategis nasional yang diatur dengan peraturan perundang-undangan.”
e. Frasa “masyarakat adat” dalam Pasal 61 UU PWP3K perlu diubah menjadi frasa “masyarakat hukum adat” agar konsisten dengan perubahan frasa “masyarakat adat” dalam pasal-pasal lain yang sudah diubah sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
f. Istilah “kepentingan nasional” dalam Pasal 21 ayat (2) UU PWP3K perlu diberikan definisi atau penjelasan agar memberikan kepastian hukum terutama bagi masyarakat hukum adat.
g. Pengaturan Pasal 20 ayat (1) UU PWP3K perlu dilakukan penambahan frasa “dan pemerintah daerah” setelah frasa “Pemerintah Pusat” sehingga selengkapnya menjadi “Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah wajib memfasilitasi Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan di laut kepada Masyarakat Lokal dan Masyarakat Tradisional”.
h. Rumusan yang berisi norma mengenai sanksi administrasi, sanksi perdata, dan/atau sanksi pidana yang semula berada dalam Penjelasan Pasal 36 ayat (5) UU PWP3K perlu dipindahkan menjadi materi muatan dalam batang tubuh pasal UU PWP3K.
i. Frasa “mengadakan tindakan lain menurut hukum” dalam Pasal 70 ayat (3) huruf i UU PWP3K perlu dijabarkan. Secara konkret, salah satunya dengan menambahkan pengaturan mengenai upaya paksa termasuk sebagai kewenangan PPNS.
j. Perlu dilakukan harmonisasi peraturan perundang-undangan yang dapat dilakukan dalam 2 (dua) langkah perumusan, yaitu yang pertama, harmonisasi kebijakan formulasi (sistem pengaturan), dan yang kedua, harmonisasi materi atau norma-norma dalam UU PWP3K dengan UU Pemda, dan dalam UU PWP3K dengan UU Penataan Ruang. Harmonisasi materi seyogyanya mempertimbangkan semangat desentralisasi sebagai bagian yang sangat penting dalam proses demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan.
k. Perlu mendorong Kementerian KP dan kementerian terkait untuk membantu Presiden merumuskan kedua peraturan presiden yang diamanatkan Pasal 46 dan Pasal 49 UU PWP3K mengingat UU PWP3K merupakan kesepakatan politik bersama antara DPR RI dengan Presiden yang harus dijalankan oleh eksekutif sebagai pelaksana undang-undang.

2. Aspek Struktur Hukum/Kelembagaan
a. Perlu adanya komitmen bersama yang menegaskan pembagian kewenangan mengenai penataan ruang darat oleh Kementerian ATR/BPN dan penataan ruang laut oleh Kementerian KP, serta kewenangan terkait pengelolaan wilayah konservasi di laut antara Kementerian KP dan Kementerian LHK. Selain itu diperlukan optimalisasi Program Mitra Bahari sebagai sebuah forum yang salah satu kegiatannya mengadakan pertemuan rutin seluruh pemangku kepentingan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
b. Perlu dilakukan percepatan penyusunan dokumen final RZWP3K oleh pemerintah daerah provinsi yang belum menetapkan peraturan daerah mengenai RZWP3K untuk kemudian menjadi materi teknis muatan pesisir dalam RTRW provinsi.
c. Perlu adanya itikad baik dari Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah untuk mempertimbangkan usulan, tanggapan, dan perbaikan dari masyarakat terhadap dokumen RZWP3K, terutama terkait dengan wilayah penangkapan ikan secara tradisional dan wilayah kelola masyarakat hukum adat. Selain itu diperlukan komitmen dari stakeholders untuk menjadikan RZWP3K sebagai pedoman dan acuan dalam kegiatan pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
d. Perlu dilakukan penguatan koordinasi dan sinergi antar kementerian/lembaga dalam implementasi perizinan berusaha terkait pemanfaatan di laut dan juga harmonisasi dalam menyusun kebijakan terkait kegiatan pemanfaatan sumber daya perairan, salah satunya kegiatan produksi garam skala mikro.
e. Perlu dilakukan penguatan koordinasi dan sinergi antar kementerian/lembaga dalam pelaksanaan reklamasi, terutama dalam hal mekanisme teknis pelaksanaan reklamasi dan penyusunan dokumen final RZWP3K untuk diintegrasikan ke dalam RTRW provinsi bagi daerah-daerah yang belum memiliki peraturan daerah tentang RZWP3K.
f. Perlunya perbaikan sistem birokrasi untuk mengoptimalisasi koordinasi dalam pelaksanaan kewenangan PPNS sehingga ke depannya proses penyidikan yang dilakukan oleh PPNS dalam rangka pengawasan dan pengendalian di bidang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dapat berjalan cepat dan efektif.
g. Perlu dilakukannya penguatan koordinasi dan sinergi di antara Pemerintah Pusat, pemerintah daerah, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi, tokoh masyarakat, dan/atau dunia usaha untuk upaya peningkatan kapasitas pemangku kepentingan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, sehingga Program Mitra Bahari ini dapat berjalan secara efektif.
h. Perlu adanya sosialisasi dari Pemerintah Pusat kepada aparatur pemerintah daerah di tingkat kecamatan dan desa mengenai mekanisme pelaksanaan kegiatan penelitian oleh orang asing di bidang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
i. Diperlukan adanya petunjuk teknis mekanisme dalam prosedur keterlibatan pemerintah daerah kabupaten/kota, untuk memperjelas kewenangan masing-masing dan menghindari adanya tumpang tindih kewenangan dalam melakukan pengelolaan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
j. Perlu dilakukan penguatan koordinasi dan sinergi antar kementerian/lembaga dalam pengelolaan wilayah konservasi, guna memperjelas peran masing-masing dalam mekanisme teknis pelaksanaan di lapangan untuk pengelolaan wilayah konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

3. Aspek Pendanaan
Pemerintah provinsi hendaknya mengalokasikan anggaran yang lebih memadai untuk kegiatan pengawasan yang termasuk di dalamnya Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) sehingga pelaksanaan pengawasan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil menjadi lebih efektif.

4. Aspek Sarana dan Prasarana
a. Perlu adanya sosialisasi terhadap masyarakat terkait Sistem OSS agar pemahaman menjadi lebih baik, memperluas pengadaan sarana dan prasarana Sistem OSS untuk menjangkau masyarakat yang kesulitan mengakses di beberapa wilayah, serta penyempurnaan dan pengembangan Sistem OSS.
b. Perlunya peningkatan kuantitas dan kualitas SDM untuk kegiatan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Kuantitas dilakukan dengan mengoptimalkan jumlah SDM PPNS, Polsus, dan SDM di UPT untuk mengoptimalkan fungsi UPT di daerah masing-masing. Kemudian kualitas dilakukan dengan memberikan pendidikan dan pelatihan berupa pembekalan dan pembinaan untuk meningkatkan produktivitas.

5. Aspek Budaya Hukum
a. Perlu adanya pemberdayaan masyarakat oleh Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah khususnya menyediakan dan menyebarluaskan informasi terhadap masyarakat untuk mudah dijangkau, serta melakukan sosialisasi terhadap masyarakat terkait hak, kewajiban, dan peran serta masyarakat dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana diatur di dalam Pasal 60 UU PWP3K.
b. Perlu pemberian bimbingan teknis kepada stakeholders mengenai ketentuan-ketentuan/peraturan-peraturan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Kemudian diperlukannya sosialisasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil kepada masyarakat mengenai perencanaan, pemanfaatan, dan peran serta masyarakat dalam pengawasan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil melalui Pokmaswas. Kemudian bagi PPNS dan Polsus diberikan pendidikan dan pelatihan sehingga memiliki kesamaan pemahaman mengenai pengawasan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Selanjutnya terhadap pemerintah daerah dan stakeholders lainnya diperlukan sosialisasi yang lebih masif dan intensif sehingga tidak terdapat lagi pemahaman bahwa kewenangan perencanaan RZWP3K tersentralisasi di Pemerintah Pusat.

KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN / 01-06-2021

Selama berlakunya UU Perlindungan Saksi dan Korban sejak Tahun 2006, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI menemukan permasalahan utama dan mendasar terkait dengan pelaksanaan UU Perlindungan Saksi dan Korban antara lain:
1. Frasa “terlindung” belum didefinisikan secara limitatif dalam batang tubuh maupun penjelasan dalam UU 31/2014.
2. Permasalahan pemberian reward kepada Saksi Pelaku dan Pelapor.
3. Permasalahan pengambilan keputusan terkait pemberian kompensasi, restitusi, dan bantuan kepada saksi dan korban.
4. Minimnya keterwakilan LPSK di daerah.
5. Penegakan hukum dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban masih belum efektif dikarenakan cara pandang Aparat Penegak Hukum (APH) masih berpaku pada KUHAP.
6. Minimnya dukungan anggaran untuk LPSK.

Pengumpulan Data dan Informasi dilakukan di 3 (tiga) Provinsi, yaitu Provinsi Lampung, Provinsi Bangka Belitung, dan Provinsi Sumatera Utara

Pelaksanaan UU Perlindungan Saksi dan Korban sejak Tahun 2006, terdapat permasalahan dari sisi substansi dan implementasinya, antara lain:
1. ASPEK SUBTANSI HUKUM
a. Perluasan Definisi Saksi
Pasal 1 angka 1 UU Perlindungan Saksi dan Korban mengatur bahwa “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu tindak pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri”. Pendefinisian Saksi tersebut juga diatur dalam KUHAP yang kemudian pendefinisian Saksi dalam KUHAP tersebut telah diperluas pemaknaannya oleh MK melalui Putusan MK Nomor 65/PUU-VIII/2010. Dalam pertimbangannya pada putusan a quo, MK menjelaskan bahwa “arti penting Saksi bukan terletak pada apakah dia melihat, mendengar, atau mengalami sendiri suatu peristiwa pidana, melainkan pada relevansi kesaksiannya dengan perkara pidana yang sedang diproses”. Sehingga, dengan telah diperluasnya definisi Saksi dalam KUHAP melalui Putusan MK Nomor 65/PUU-VIII/2010 tersebut, maka definisi Saksi dalam Pasal 1 angka 1 UU Perlindungan Saksi dan Korban sudah tidak relevan sebab bertentangan dengan definisi Saksi dalam Putusan Nomor 65/PUU-VIII/2010.

b. Pengaturan Perlindungan yang Diberikan LPSK Sejak Tahap Penyelidikan Hingga Pasca Putusan
Pasal 2 UU Perlindungan Saksi dan Korban menegaskan bahwa UU Perlindungan Saksi dan Korban sebagai dasar hukum yang memberikan perlindungan pada Saksi dan Korban dalam semua tahap proses peradilan pidana dalam lingkungan peradilan. Dalam pelaksanaannya, upaya perlindungan terhadap Saksi dan Korban sangat dibutuhkan tidak hanya terbatas pada tahap proses peradilan pidana, akan tetapi juga dibutuhkan pasca proses peradilan. Hal tersebut sebagaimana dikemukakan oleh KPK yang menyatakan bahwa perlindungan Saksi dan Korban khususnya Saksi Pelaku dalam beberapa perkara korupsi baik Saksi Pelaku dan keluarganya masih diberikan karena mereka mengalami ancaman yang diduga terkait dengan perkara yang dialaminya tersebut.

c. Pemberian Bantuan Medis dan Rehabilitasi Psikososial dan Psikologis kepada Korban Tindak Pidana
Pasal 6 ayat (1) UU Perlindungan Saksi dan Korban pada pokoknya mengatur tentang hak yang diberikan kepada korban pelangaran HAM berat, korban tindak pidana terorisme, korban TPPO, korban tindak pidana penyiksaan, korban tindak pidana kekerasan seksual, dan korban penganiayaan berat yang berupa hak bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis. Namun, perumusan norma Pasal 6 ayat (1) UU Perlindungan Saksi dan Korban yang memberikan hak berupa bantuan medis dan rehabilitasi psikososial dan psikologis pada tindak pidana tertentu tersebut berpotensi memberikan batasan tertentu sehingga memberi arti hak tersebut tidak dapat diberikan untuk korban tindak pidana konvensional. Padahal seharusnya pemberian bantuan medis dan rehabilitasi psikososial dan psikologis tersebut dapat diberikan bukan berdasarkan jenis tindak pidananya melainkan disesuaikan dengan besarnya ancaman yang merugikan keselamatan Saksi dan/atau Korban.

d. Pengaturan Pengajuan dan Pelaksanaan Restitusi
Berdasarkan Pasal 7A ayat (3) UU Perlindungan Saksi dan Korban disebutkan bahwa pengajuan permohonan restitusi dapat dilakukan melalui 2 (dua) mekanisme, yaitu diajukan sebelum putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan setelah adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Dalam pelaksanaanya, permohonan restitusi yang dilakukan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap tidak implementatif. Selain itu, pengaturan terkait restitusi dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban juga tidak diatur secara terperinci seperti halnya yang diatur dalam Pasal 48 dan Pasal 50 UU TPPO.

e. Frasa “kesaksian secara tertulis” dalam Pasal 9 ayat (2) UU Perlindungan Saksi dan Korban
Pasal 9 ayat (2) UU Perlindungan Saksi dan Korban mengatur bahwa “Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memberikan kesaksiannya secara tertulis yang disampaikan di hadapan pejabat yang berwenang dan membubuhkan tanda tangannya pada berita acara yang memuat tentang kesaksian tersebut”. Adanya frasa “kesaksian secara tertulis” dalam Pasal 9 ayat (2) UU Perlindungan Saksi dan Korban tersebut berpotensi menimbulkan kerancuan yang disebabkan karena ketidakjelasan kategori kesaksian tersebut sebagai salah satu alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP jo. Pasal 187 KUHAP. Sebab, frasa “kesaksian secara tertulis” tersebut dapat dikategorikan sebagai alat bukti surat dan bukan sebagai alat bukti berupa keterangan Saksi.

f. Frasa “sesuai dengan keperluan” dalam Pasal 11 ayat (3) UU Perlindungan Saksi dan Korban
Pasal 11 ayat (3) UU Perlindungan Saksi dan Korban mengatur bahwa LPSK mempunyai perwakilan di daerah sesuai dengan keperluan. Adanya frasa “sesuai dengan keperluan” dalam Pasal 11 ayat (3) UU Perlindungan Saksi dan Korban tersebut menjadi salah satu faktor yang menyebabkan belum meratanya kehadiran kantor perwakilan LPSK di daerah. Ketidaktersediaan kantor perwakilan LPSK di daerah tersebut yang kemudian berdampak pada tidak optimalnya upaya LPSK dalam memberikan perlindungan Saksi dan Korban di daerah.

g. Belum Adanya Definisi Terlindung dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban
Pasal 12A ayat (1) huruf e dan g UU Perlindungan Saksi dan Korban menyebutkan adanya frasa “terlindung”. Akan tetapi, dalam Penjelasan Pasal 12A ayat (1) huruf e dan g UU Perlindungan Saksi dan Korban tidak dijelaskan yang dimaksud dengan definisi terlindung. Tidak dijelaskannya definisi terlindung tersebut berpotensi menimbulkan ketidakjelasan subjek hukum yang dilindungi tersebut.

h. Pengaturan Pembiayaan LPSK
Pasal 27 UU Perlindungan Saksi dan Korban menyebutkan bahwa “Biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas LPSK dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara”. Pengaturan tersebut berpotensi membatasi kemungkinan LPSK untuk mendapatkan sumber pendanaan lain selain dari APBN.

i. Penambahan Kriteria Saksi Pelaku
Pasal 28 ayat (2) UU Perlindungan Saksi dan Korban telah mengatur mengenai syarat yang harus dipenuhi untuk dapat memperoleh perlindungan dari LPSK khususnya terhadap Saksi Pelaku. Akan tetapi, dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban belum mengatur secara eksplisit mengenai kriteria penentuan Saksi Pelaku. Tidak diaturnya mengenai kriteria tersebut menyebabkan belum adanya kesamaan pandangan dari aparat penegak hukum mengenai seseorang dapat menjadi Saksi Pelaku.

2. ASPEK STRUKTUR HUKUM/KELEMBAGAAN
a. Pelaksanaan Koordinasi dan Kerjasama Perlindungan Saksi dan Korban antara LPSK dengan APH
UU Perlindungan Saksi dan Korban telah mengamanatkan bahwa upaya perlindungan Saksi dan Korban tidak hanya dilakukan oleh LPSK, melainkan juga dilaksanakan oleh lembaga lain yang juga memiliki kewenangan dalam hal perlindungan Saksi dan Korban tersebut. Dalam pelaksanaannya, upaya perlindungan Saksi dan Korban tersebut masih belum optimal dikarenakan minimnya koordinasi antara LPSK dengan APH baik di tingkat pusat maupun daerah, serta dengan perwakilan LPSK di daerah. Minimnya koordinasi tersebut kemudian berdampak pada ketidaksamaan pandang antara APH dan LPSK dalam memberikan perlindungan terhadap Saksi dan Korban.

b. Perwakilan LPSK di Daerah
UU Perlindungan Saksi dan Korban telah mengamanatkan kepada LPSK untuk membentuk kantor perwakilan di daerah sesuai dengan keperluan. Dalam pelaksanaannya, pada saat ini LPSK baru memiliki 2 (dua) kantor perwakilan di daerah, yaitu di Provinsi Sumatera Utara dan di Provinsi D.I. Yogyakarta. Akan tetapi, kehadiran LPSK di 2 (dua) provinsi tersebut masih belum dirasa cukup yang kemudian menyebabkan tidak optimalnya pemberian perlindungan Saksi dan Korban di daerah.


3. ASPEK SARANA DAN PRASARANA
a. Fasilitas Kantor Perwakilan LPSK di Daerah
Pembentukan kantor perwakilan LPSK di daerah dilakukan sesuai dengan keperluan, hal tersebut guna menjamin keterjangkauan pemberian pelayanan perlindungan Saksi dan Korban agar lebih optimal. Dalam menunjang kantor perwakilan LPSK di daerah tersebut, tentunya diperlukan sarana dan prasarana yang memadai khususnya gedung sebagai sarana utama yang dipergunakan untuk kantor perwakilan LPSK di daerah. Dalam pelaksanaanya, ketersediaan kantor perwakilan LPSK di daerah hanya terdapat di 2 Provinsi, yakni Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi D.I. Yogyakarta. Hal tersebut kemudian menyebabkan tidak optimalnya upaya perlindungan Saksi dan Korban yang diberikan dikarenakan belum meratanya perwakilan LPSK di berbagai daerah. Salah satu faktor penyebab yang menyebabkan terkendalanya ketersediaan kantor perwakilan LPSK di daerah, yakni adanya kendala ketersediaan aset berupa gedung sebagai sarana utama LPSK untuk membuka kantor perwakilan di daerah. Belum tersedianya aset berupa gedung kantor tersebut berdampak pada sulitnya masyarakat di daerah untuk mengajukan permohonan perlindungan.

b. Sumber Daya Manusia di dalam LPSK
LPSK merupakan lembaga yang memiliki peranan penting dalam terselenggaranya penangan perlindungan terhadap Saksi dan Korban guna menjamin perlindungan hukum bagi hak-hak Saksi dan Korban serta memberikan jaminan rasa aman bagi Saksi dan Korban dalam menyampaikan keterangannya di setiap proses peradilan pidana. Dalam pelaksanaannya, upaya perlindungan yang diberikan oleh LPSK masih belum optimal dikarenakan salah satunya disebabkan oleh minimnya ketersediaan SDM di LPSK. Seperti halnya, di kantor perwakilan LPSK Perwakilan Medan yang hanya memiliki 4 (empat) orang staff dan di LPSK Perwakilan D.I. Yogyakarta yang hanya memiliki 2 (dua) orang staff. Minimnya ketersediaan SDM tersebut tentunya akan berdampak pada terhambatnya proses perlindungan yang akan diberikan.

4. ASPEK BUDAYA HUKUM
Pasal 5 ayat (1) UU Perlindungan Anak mengatur tentang hak-hak yang dimiliki oleh Saksi dan Korban, yang salah satunya yakni hak untuk memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya. Pemberian perlindungan bagi Saksi dan Korban dari suatu tindak pidana tersebut adalah bagian dari proses penegakan hukum. Dalam pelaksanaannya, pelaksanaan perlindungan Saksi dan Korban masih belum terlaksana dengan oprimal dikarenakan minimnya pengetahuan masyarakat terkait tugas dan kewenangan LPSK sebagai lembaga yang berwenang dalam memberikan perlindungan Saksi dan Korban sehingga menyebabkan minimnya pengetahuan masyarakat akan layanan yang diberikan LPSK terkait perlindungan Saksi dan Korban.

Berdasarkan hasil kajian dan evaluasi UU Perlindungan Saksi dan Korban, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI merekomendasikan sebagai berikut:
A. Substansi Hukum
1) perlu dilakukan penyesuaian terkait definisi Saksi pada Pasal 1 angka 1 UU Perlindungan Saksi dan Korban dengan definisi Saksi sebagaimana Putusan MK Nomor 65/PUU-VIII/2010;
2) perlu dilakukannya perubahan pada Pasal 2 dan Pasal 4 UU Perlindungan Saksi dan Korban dengan menambahkan pengaturan perlindungan Saksi dan Korban sampai dengan tahap pasca putusan pengadilan;
3) perlu dilakukannya perubahan pada Pasal 6 ayat (1) UU Perlindungan Saksi dan Korban terkait pemberian bantuan medis dan rehabilitasi psikososial dan psikologis dengan tidak hanya membatasi bagi korban pelanggaran HAM berat, korban tindak pidana terorisme, korban TPPO, korban tindak pidana penyiksaan, korban tindak pidana kekerasan seksual, dan korban penganiayaan berat, melainkan juga berdasarkan dampak ancaman yang telah terjadi pada korban;
4) perlu dilakukannya perubahan pada Pasal 9 ayat (2) UU Perlindungan Saksi dan Korban dengan menambahkan keterangan bahwa “kesaksian secara tertulis” dikategorikan sebagai alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHP, yakni keterangan Saksi. Selain itu, perlu adanya penjelasan lebih lanjut bahwa bukti keterangan Saksi tersebut menjadi victim impact statement dalam suatu perkara pidana sebagai pertimbangan hakim dalam memutus suatu perkara;
5) perlu adanya penyesuaian pada Pasal 7A UU Perlindungan Saksi dan Korban terkait pengajuan dan pelaksanaan restitusi dengan merujuk pengaturan restitusi yang diatur dalam UU TPPO;
6) frasa “sesuai dengan keperluan” pada Pasal 11 ayat (3) UU Perlindungan Saksi dan Korban perlu disesuaikan agar dapat mengakomodir kantor perwakilan LPSK di tiap provinsi;
7) perlu adanya penambahan penjelasan “definisi terlindung” pada Penjelasan Pasal 12A ayat (1) huruf e dan g UU Perlindungan Saksi dan Korban;
8) perlu dilakukannya perubahan pada Pasal 27 UU Perlindungan Saksi dan Korban dengan menambahkan skema anggaran LPSK dari APBD; dan
9) perlu dilakukannya perubahan pada Pasal 28 ayat (2) UU Perlindungan Saksi dan Korban dengan menambahkan kriteria Justice Collaborator dengan juga mempedomani butir 9 huruf b SEMA Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakukan Terhadap Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu.

B. Struktur Hukum/Kelembagaan
1) perlu adanya peningkatan dari sisi koordinasi antara LPSK dengan APH dan lembaga lainnya yang juga memiliki kewenangan dalam memberikan perlindungan terhadap Saksi dan Korban. Koordinasi tersebut dapat tertuang dalam bentuk MoU atau kerjasama; dan
2) perlu adanya perwakilan LPSK di tingkat provinsi yang melaksanakan tugas dan fungsi perlindungan saksi dan korban di daerah.

C. Sarana dan Prasarana
1) perlunya adanya dukungan dari pemerintah dan pemerintah daerah dalam bentuk penyediaan fasilitas berupa gedung kantor perwakilan LPSK di daerah guna mempermudah pemberian pelayanan perlindungan Saksi dan Korban; dan
2) perlu adanya penambahan dari segi ketersediaan SDM, baik di pusat maupun perwakilan LPSK di daerah.

D. Budaya Hukum
Perlu dilakukannya sosialisasi dan edukasi yang dilaksanakan secara berkelanjutan kepada masyarakat khususnya terkait perlindungan Saksi dan Korban.

KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2018 TENTANG KEKARANTINAAN KESEHATAN / 01-06-2021

Dalam kurun waktu hampir 3 (tiga) tahun keberlakuan UU Kekarantinaan Kesehatan yaitu sejak diundangkan 8 Agustus 2018, masih ditemukan beberapa isu terkait materi muatan dan implementasi UU Kekarantinaan Kesehatan, antara lain:
a. Adanya ketidaksesuaian definisi karantina dan isolasi yang ada dalam UU Kekarantinaan Kesehatan dengan IHR 2005.
b. Peraturan pelaksana UU Kekarantinaan Kesehatan yang berdasarkan ketentuan Pasal 96 ayat (1) UU Kekarantinaan Kesehatan ditentukan “harus ditetapkan paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan” namun hingga saat ini hanya terdapat Peraturan Pemerintah mengenai Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam rangka penanganan corona virus disease 2019 (Covid-19).
c. Pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang belum memberikan kejelasan dan kepastian hukum.
d. Adanya ketidakpastian informasi yang sampai kepada masyarakat dalam rangka penerapan UU Kekarantinaan Kesehatan yang mengakibatkan kebingungan dan kepanikan dalam masyarakat.
e. Kurangnya kesadaran masyarakat dalam menjalankan UU Kekarantinaan Kesehatan.

Provinsi Jawa Timur, Provinsi Kalimantan Barat dan Provinsi Kepulauan Riau.

Pelaksanaan UU Kekarantinaan Kesehatan sejak Tahun 2018, terdapat permasalahan dari sisi substansi dan implementasinya, antara lain:
1. Pengaturan dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 1 angka 2, Pasal 1 angka 6, Pasal 1 angka 7, Pasal 1 angka 29, Pasal 2, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 73, dan Pasal 85 huruf o UU Kekarantinaan Kesehatan perlu dilakukan perubahan dengan menyesuaikan dengan IHR 2005 maupun mengakomodir masukan dari stakeholder agar pelaksanaan kekarantinaan kesehatan lebih optimal dalam rangka mencapai tujuannya untuk melindungi kesehatan masyarakat.
2. UU Kekarantinaan Kesehatan perlu ditambah dengan adanya pengaturan mengenai sanksi dalam informasi kekarantinaan kesehatan dan mensinkronkan pengaturan tersebut dengan ketentuan dalam UU ITE dan penambahan pengaturan mengenai kewajiban partisipasi masyarakat dalam kekarantinaan kesehatan yang tidak hanya dalam pendanaan kekarantinaan kesehatan sehingga masyarakat dapat terlibat secara luas dalam kekarantinaan kesehatan sebagai optimalisasi asas keterpaduan yang merupakan salah satu asas pelaksanaan kekarantinaan kesehatan.
3. Pengaturan dalam UU Kekarantinaan Kesehatan juga perlu dilakukan restrukturisasi karena pengaturan yang ada sekarang dinilai belum cukup sistematis dan menggambarkan suatu mekanisme penanganan terpadu yang berpotensi menimbulkan kendala dan kesulitan dalam pencapaian tujuan UU Kekarantinaan Kesehatan. Selain itu, pengaturan dalam UU Kekarantinaan Kesehatan perlu diharmonisasikan dengan pengaturan dalam UU Penanggulangan Bencana dan UU Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan serta PP Penanggulangan Wabah Penyakit Menular dan Permenhub No. 61 Tahun 2015 agar pelaksanaanya dapat berjalan secara optimal dan memberikan kepastian hukum.
4. Komitmen pemangku kepentingan UU Kekarantinaan Kesehatan perlu ditingkatkan agar pelaksanaan UU Kekarantinaan Kesehatan menjadi efektif dengan melakukan perbaikan koordinasi pemerintah pusat dan pemerintah daerah, memperjelas pembagian kewenangan pengawasan pelaksanaan kekaratinaan kesehatan, mengefektifkan pelaksanaan kekarantinaan kesehatan di perbatasan/pintu masuk, meningkatkan jumlah pejabat karantina kesehatan dan meningkatkan pembinaan kompetensi pejabat tersebut, melakukan penguatan perekonomian masyarakat dalam kedaruratan kesehatan masyarakat dan menerbitkan peraturan pelaksana UU Kekarantinaan Kesehatan dengan segera mengingat UU Kekarantinaan Kesehatan sendiri mengatur batas waktu 3 (tiga) tahun sejak diberlakukannya UU Kekarantinaan Kesehatan.
5. Dukungan sarana dan prasarana kekarantinaan kesehatan perlu ditingkatkan dengan pemenuhan sumber daya kekarantinaan kesehatan disekitar masyarakat maupun di perbatasan, baik berupa laboratorium, APD, asrama kesehatan maupun national guidelines bagi tenaga kesehatan yang menangani pasien penderita gangguan kesehatan akibat penyakit yang ditetapkan sebagai penyebab kedaruratan kesehatan dalam masyarakat. Dukungan fasilitas berbasis teknologi informasi juga sangat diperlukan untuk menjangkau masyarakat luas dan menyajikan informasi kekarantinaan Kesehatan yang berkualitas, cepat, mudah, terjangkau, dan terukur dalam suatu sistem informasi pelayanan publik.
6. Dukungan pendanaan diperlukan dalam pelaksanaan kekarantinaan Kesehatan sehingga perlu adanya pengaturan yang menghubungkan pengaturan dalam UU Kekarantinaan Kesehatan dengan UU Penanggulangan Bencana sehingga Dana Siap Pakai dalam penanggulangan bencana dapat diakses dalam rangka menangani KKM. Pelaksanaan kekarantinaan kesehatan juga harus mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah dan kondisi ekonomi daerah selama terjadinya KKM mengingat bahwa gangguan kesehatan masyarakat berdampak juga pada sektor-sektor ekonomi yang ada di daerah yang merupakan sumber PAD. Selain itu, peran masyarakat dalam pendanaan kekarantinaan kesehatan perlu diatur dengan jelas.
7. Terkait budaya hukum, dalam kekarantinaan kesehatan, kesadaran masyarakat untuk dapat berpartisipasi secara maksimal dibentuk dengan adanya pemahaman terhadap pengaturan dalam UU Kekarantinaan Kesehatan dan konsistensi penegakan hukum kekarantinaan kesehatan oleh aparat penegak hukum karena hal ini berpengaruh terhadap cara pandangan masyarakat yang berdampak pada kesadaran dan kedisiplinan masyarakat dalam melaksanakan peraturan dalam kedaruratan kesehatan masyarakat.

Berdasarkan hasil kajian dan evaluasi UU Kekarantinaan Kesehatan, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI merekomendasikan sebagai berikut:
1. ASPEK SUBSTANSI HUKUM
a. Perlu penambahan pengaturan perihal perbedaan definisi dari frasa “mencegah dan menangkal” dalam definisi kekarantinaan kesehatan yang diatur oleh Pasal 1 angka 1 UU Kekarantinaan Kesehatan;
b. Perlu penambahan perihal aspek sosial dan ekonomi dalam definisi kekarantinaan kesehatan yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 1 angka 2 UU Kekarantinaan Kesehatan;
c. Perlu diaturnya perihal indikator-indikator bagi Pemerintah Pusat dalam menetapkan status KKM;
d. Perlu penyesuaian definisi karantina dalam Pasal 1 angka 6 UU Kekarantinaan Kesehatan dengan definisi karantina dalam IHR 2005 mengenai karantina yang dilakukan pada orang yang terduga terpapar penyakit menular;
e. Perlu penyesuaian definisi isolasi dalam Pasal 1 angka 7 UU Kekarantinaan Kesehatan dengan definisi isolasi dalam IHR 2005 mengenai isolasi terhadap barang yang terkontaminasi dan mengenai pemisahan orang sakit dari orang sehat yang dilakukan di luar fasilitas pelayanan kesehatan;
f. Terkait asas Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU Kekarantinaan Kesehatan perlu dilakukan perubahan dengan menambahkan asas ketahanan ekonomi dan asas partisipasi masyarakat, serta menselaraskannya dengan ketentuan yang diatur dalam UU Penanggulangan Bencana;
g. Diperlukan adanya penambahan pengaturan berupa penjelasan mengenai pembagian kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6 UU Kekarantinaan Kesehatan;
h. Terhadap frasa-frasa “... dunia internasional.” pada Pasal 11 ayat (2), frasa “... pihak internasional...” pada Pasal 12, dan frasa “...organisasi internasional.” pada Pasal 13 ayat (1) UU Kekarantinaan Kesehatan diperlukan ketentuan penjelasan yang mengatur lebih lanjut terkait frasa tersebut;
i. Diperlukan penjelasan perihal kedudukan Pejabat Karantina Kesehatan berikut kriteria dan kualifikasi kompetensinya. Selain itu juga diperlukan pengaturan mengenai keterlibatan pejabat-pejabat yang bukan merupakan Pejabat Karantina Kesehatan;
j. Diperlukan adanya penambahan materi muatan yang berisi penjelasan perihal maksud dari frasa “tindakan lain menurut hukum” dalam penjelasan Pasal 85 huruf o UU Kekarantinaan Kesehatan;
k. Diperlukan penormaan perihal sanksi pelanggaran dalam informasi kekarantinaan kesehatan;
l. Diperlukan penormaan perihal kewajiban ikut serta masyarakat dalam kekarantinaan kesehatan;
m. Diperlukan restrukturisasi rumusan ketentuan-ketentuan dalam UU Kekarantinaan Kesehatan berupa penyiapan, pelaksanaan, dan pemulihan dalam kekarantinaan kesehatan; dan
n. Berkaitan dengan pengaturan penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan yang diatur dalam UU Kekarantinaan Kesehatan dengan undang-undang terkait lainnya, perlu dilakukan sinkronisasi dan harmonisasi.

2. ASPEK STRUKTUR HUKUM/KELEMBAGAAN
a. Diperlukan penguatan koordinasi yang sinergis antar pemangku kepentingan dalam UU Kekarantinaan Kesehatan;
b. Peraturan pelaksanaan UU Kekarantinaan Kesehatan harus segera diterbitkan;
c. Perlu ditambahkan substansi norma yang mengatur mengenai validitas data, keterbukaan data serta sanksi administratif dan/atau pidana bagi pihak-pihak yang mengintervensi atau tidak jujur dalam hal penyampaian data dan informasi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan;
d. Perlu adanya penambahan SDM yang berkompeten dalam berbagai macam bidang untuk ditempatkan di daerah perbatasan Negara dan diterbitkannya pengaturan lebih lanjut berupa peraturan pelaksana guna mengatur pembatasan kegiatan di daerah perbatasan yang berlaku dalam berbagai keadaaan;
e. Upaya pemenuhan SDM Pejabat Karantina Kesehatan;
f. Perlu adanya pengaturan terkait anggaran penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan yang lebih rigid terkait besaran yang harus dialokasikan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah; dan
g. Segera diterbitkannya peraturan pelaksanaan UU Kekarantinaan Kesehatan oleh Pemerintah.

3. ASPEK SARANA DAN PRASARANA
a. Optimalisasi ketersediaan sumber daya dan fasilitas kekarantinaan kesehatan; dan
b. Pembuatan pedoman nasional (national guidelines) dalam penanganan pasien oleh rumah sakit di masa KKM.

4. ASPEK PENDANAAN
a. Kemudahan dalam penggunaan dana siap pakai dalam penanganan kondisi KKM.
b. Kejelasan proporsi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam pendanaan kekarantinaan kesehatan; dan
c. Optimalisasi peran serta masyarakat termasuk pihak swasta dalam pendanaan kekarantinaan kesehatan.

5. ASPEK BUDAYA HUKUM
a. Perlu dilakukan lebih banyak edukasi dan sosialisasi perihal kekarantinaan kesehatan kepada masyarakat dan optimalisasi peran serta masyarakat dalam pelaksanaan kekarantinaan kesehatan; dan
b. Konsistensi penegakan hukum kekarantinaan kesehatan khususnya dalam kedaruratan kesehatan masyarakat.

ANALISIS DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PERUSAKAN HUTAN / 01-03-2021

Selama berlakunya UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU PPPH) sejak tahun 2013, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI menemukan permasalahan utama dan mendasar terkait dengan pelaksanaan UU PPPH, antara lain:
a. Isu Utama per aspek
Dalam pelaksanaannya terdapat beberapa permasalahan dan hambatan yang dianalisis melalui pembagian 5 (lima) aspek yaitu Aspek Substansi Hukum, Aspek Struktur Hukum/Kelembagaan, Aspek Sarana dan Prasarana, Aspek Pendanaan dan Aspek Budaya Hukum.
b. Putusan MK
UU PPPH telah 3 (tiga) kali dilakukan pengujian di Mahkamah Konstitusi (MK) yaitu Perkara Nomor 95/PUU-XII/2014, Perkara Nomor 139/PUU-XIII/2015, dan Perkara Nomor 69/PUU-XIV/2016 dari Perkara tersebut tidak terdapat permohonan yang dikabulkan oleh MK.

c. Prolegnas
-

Provinsi Jambi, Lampung dan Jawa Tengah (Semarang)

Pelaksanaan UU PPPH sejak tahun 2013 terdapat permasalahan dalam implementasinya, antara lain:
a. Aspek Substansi Hukum
1) Pasal 1 angka 3 UU PPPH terkait Frasa “ataupun yang sedang diproses penetapannya oleh Pemerintah” menimbulkan ketidakjelasan dan ketidapastian hukum
2) Terkait frasa terorganisasi dan pengecualian terhadap masyarakat sekitar hutan dalam Pasal 1 angka 6 UU PPPH dan Pasal 11 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU PPPH masih menimbulkan multitafsir bagi APH dan belum mengakomodir permasalahan
3) Pasal 12 UU PPPH sebagaimana telah diubah oleh Pasal 37 angka 3 UU Cipta Kerja memiliki beberapa permasalahan terkait larangan kawasan hutan
4) Pasal 40 UU PPPH terkait penafsiran dari frasa “Barang Bukti Temuan dan Pengelolaan Barang Bukti” menimbulkan kerancuan dalam implementasinya
5) Penerapan ketentuan sanksi tidak berjalan efektif bagi perorangan ataupun korporasi
6) Pasal 39 UU PPPH terkait jangka waktu penyidikan yang tidak efisien
7) Adanya potensi disharmoni dengan peraturan perundang-undangan terkait, yakni Pasal 30 UU PPPH dengan UU TPPU mengenai kewenangan PPNS dan Pasal 5 dan Pasal 8 UU PPPH dengan UU Pemda mengenai kewenangan daerah
8) Penghapusan Ketentuan Terkait Hakim Ad Hoc dan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan oleh UU Cipta Kerja

b. Aspek Kelembagaan/Struktur Hukum
1) Tujuan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan belum sepenuhnya dapat terwujud
2) Penegakan hukum dalam UU PPPH belum berjalan dengan baik
3) Kebijakan dalam pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan belum berjalan efektif
4) Kurangnya koordinasi antara APH dalam pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan
5) Permasalahan pal batas
6) Penghapusan ketentuan oleh UU Cipta Kerja

c. Aspek Sarana dan Prasarana
1) Kurangnya Sumber Daya Aparatur Penegak Hukum dalam menangani permasalahan perusakan hutan (Pasal 6 ayat (1) UU PPPH)
2) Keterbatasan fasilitas penunjang dalam mencegah dan memberantas perusakan hutan
3) Belum ditetapkannya sumber kayu alternatif (Pasal 6 ayat (2) UU PPPH)
4) Sarana rumah tahanan belum memadai
5) Alokasi pendanaan belum mencukupi (Pasal 74 dan Pasal 75 UU PPPH)

d. Aspek Budaya Hukum
1) Kurangnya peran serta masyarakat dalam kegiatan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan
2) Adanya kendala dalam pemberian perlindungan khusus bagi saksi, pelapor dan informan

Berdasarkan hasil kajian dan evaluasi UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI merekomendasikan sebagai berikut:
a. Aspek Substansi Hukum
1) Perlu mengubah Pasal 1 angka 3 sepanjang frasa “ataupun yang sedang diproses penetapannya oleh Pemerintah Pusat” (sebagaimana diubah melalui Pasal 37 angka 1 UU Cipta Kerja).
2) Perlu mengubah Pasal 1 angka 6, Pasal 11 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU PPPH dengan mengatur lebih jelas terkait definisi “terorganisasi” dan kriteria pengecualian khusus terhadap masyarakat sekitar kawasan hutan.
3) Perlu mengubah Pasal 12 UU PPPH dengan mengatur larangan-larangan yang mengakomodir perkembangan kasus perusakan hutan di Indonesia.
4) Perlu adanya penjelasan lebih rinci terkait penyidik yang bertanggung jawab atas penyimpanan barang bukti dalam ketentuan Pasal 40 ayat (2) UU PPPH dan penyesuaian frasa “barang bukti temuan” yang menimbulkan kerancuan dalam implementasinya.
5) Perlu meningkatkan efektivitas ketentuan terkait dengan pemberian sanksi agar dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku perusakan hutan.
6) Perlu adanya penyesuaian terkait pengaturan jangka waktu penyidikan.
7) Perlu adanya harmonisasi pengaturan antara UU PPPH dengan undang-undang lainnya seperti UU TPPU dan UU Pemda.
8) Perlu adanya penghapusan pasal-pasal yang masih berkaitan dengan ketentuan Pasal 54 UU PPPH yang telah dicabut oleh UU Cipta Kerja.

b. Aspek Kelembagaan/Struktur Hukum
1) Perlu dilakukan upaya peningkatan efektivitas pemberlakuan Pasal 3 huruf b UU PPPH oleh aparat K/L terkait.
2) Perlu penyesuaian pengaturan mengenai pengelolaan barang bukti, dan penyidikan supaya lebih dapat dilaksanakan oleh APH di lapangan. Selanjutnya, perlu penguatan sanksi untuk lebih memberikan efek jera kepada pelaku perusakan hutan serta peningkatan upaya untuk perlindungan terhadap Saksi, Pelapor serta Informan dalam perkara pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan.
3) Perlu dilakukan penguatan fungsi koordinasi antara Pemerintah Pusat (Kementerian/ Lembaga terkait) dan Pemerintah Daerah (OPD) dalam rangka penyusunan kebijakan di bidang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan yang lebih baik serta mengakomodir kepentingan semua pihak.
4) Perlu dilakukan penguatan fungsi koordinasi antara APH terkait di bidang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan dalam rangka penegakan hukum sesuai UU PPPH.
5) Perlu melakukan percepatan pengukuhan kawasan hutan oleh K/L terkait agar Pasal 26 UU PPPH dapat efektif dilaksanakan dan penguatan kinerja K/L terkait mengenai penetapan pal batas untuk lebih memudahkan dalam pengelolaan hutan itu sendiri.
6) Perlu peningkatan kualitas hakim yang sudah ada, khususnya melalui sertifikasi hakim lingkungan atau metode lain sebagai pengganti kelembagaan hakim ad hoc yang dihapuskan oleh ketentuan UU Cipta Kerja serta perlu kejelasan pengaturan terkait lembaga yang memiliki fungsi untuk melaksanakan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan pasca dihapuskannya ketentuan mengenai LP3H dalam UU Cipta Kerja.

c. Aspek Sarana dan Prasarana
1) Diharapkan jumlah polhut disesuaikan dengan luas kawasan hutan dan perlu ditambahkannya jumlah penyidik PPNS serta perlunya pendidikan dan pelatihan untuk polhut dan PPNS dalam peningkatan kapasitas pengamanan hutan.
2) Perlu adanya tempat penyimpanan barang bukti yang memadai, kendaraan operasional yang memadai serta alat berat dan alat angkut untuk membawa dan memindahkan barang bukti.
3) Diperlukannya penetapan lebih lanjut mengenai sumber kayu alternatif.
4) Perlu adanya tambahan rutan untuk menampung tahanan tindak pidana perusakan hutan.
5) Perlu adanya peraturan yang menetapkan pembiayaan standar untuk pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan, serta disediakannya pengalokasian anggaran untuk melaksanakan kegiatan pengelolaan dan pengamanan hutan dan anggaran dalam kegiatan proses penyidikan hingga persidangan tindak pidana perusakan hutan. Serta dibutuhkannya dana dekonsentrasi untuk dukungan pelaksanaan kegiatan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan di daerah.

d. Aspek Budaya Hukum
1) Perlu dilakukan sosialisasi dan edukasi terhadap masyarakat mengenai pelestarian/pengelolaan hutan dan dampak negatif perusakan hutan.
2) Perlu dilakukan sosialisasi terhadap masyarakat mengenai pengaturan perlindungan saksi dan pelapor dalam hal adanya dugaan tindak pidana perusakan hutan, serta dibutuhkan pengaturan yang menghubungkan antara UU PPPH dengan UU Perlindungan Saksi dan Korban sehingga memudahkan informan untuk mendapatkan perlindungan khusus.

KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2016 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK / 01-03-2021

Selama berlakunya UU Perlindungan Anak sejak Tahun 2002, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI menemukan permasalahan utama dan mendasar terkait dengan pelaksanaan UU Perlindungan Anak, antara lain:
a. Isu Utama per aspek
Dalam pelaksanaannya terdapat beberapa permasalahan dan hambatan yang dianalisis melalui pembagian 5 (lima) aspek yaitu Aspek Substansi Hukum, Aspek Struktur Hukum/Kelembagaan, Aspek Sarana dan Prasarana, Aspek Pendanaan dan Aspek Budaya Hukum.
b. Putusan MK
UU Perlindungan Anak telah 4 (empat) kali dilakukan pengujian di MK, yaitu Perkara No. 18/PUU-III/2005, Perkara No. 6/PUU-XV/2017, Perkara No. 33/PUU-XV/2017, dan Perkara No. 85/PUU-XVII/2019 yang dari keempat pengujian tersebut belum ada permohonan yang dikabulkan oleh MK.

Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Sulawesi Selatan, Kabupaten Mojokerto, Kabupaten Bandung Barat, dan Kabupaten Maros

Pelaksanaan UU Perlindungan Anak sejak Tahun 2002, terdapat permasalahan dari sisi substansi dan implementasinya, antara lain:
1. Dalam aspek substansi hukum:
a. Adanya perbedaan mengenai definisi Anak dalam UU Perlindungan Anak maupun dalam beberapa peraturan perundang-undangan lainnya seperti definisi Anak dalam KUH Perdata, KUHP, UU Kesejahteraan Anak, UU SPPA, dan UU HAM. Perbedaan definisi Anak tersebut berpotensi disharmoni dan menimbulkan permasalahan dalam pelaksanaannya;
b. Ketentuan Pasal 83 UU Perlindungan Anak yang berkaitan dengan sanksi pidana terkait perdagangan anak berpotensi disharmoni dengan pengaturan dalam Pasal 5 dan Pasal 6 UU TPPO yang juga mengatur mengenai sanksi pidana terkait perdagangan anak karena adanya perbedaan nominal batasan minimal dan maksimal dalam penjatuhan pidana denda;
c. Batas waktu penetapan peraturan pelaksanaan undang-undang tidak diatur dalam UU Perlindungan Anak. Hal tersebut bertentangan dengan ketentuan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP) yang menyebutkan bahwa “Dalam setiap Undang-Undang harus dicantumkan batas waktu penetapan Peraturan Pemerintah dan peraturan lainnya sebagai pelaksanaan Undang-Undang tersebut.”; dan
d. Terdapat ketidakjelasan mengenai klasifikasi/jenis sanksi kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik, dan rehabilitasi merupakan sanksi tindakan atau pidana tambahan. Ketidakjelasan tersebut menimbulkan potensi multitafsir dalam pelaksanaannya.

2. Dalam aspek struktur hukum/kelembagaan:
a. Belum optimalnya peran Orang Tua dalam melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya dalam hal pencegahan perkawinan pada usia Anak;
b. Kurangnya koordinasi antara pemerintah, pemerintah daerah dan kementerian/lembaga dengan pihak-pihak terkait lainnya dalam penyelenggaraan perlindungan anak berakibat tidak adanya sinergitas dan berimplikasi pada kurang optimalnya penyelenggaraan perlindungan anak; dan
c. Pelaksanaan kebiri kimia yang masih menemui kendala dalam pelaksanaannya karena masih menimbulkan pro dan kontra.

3. Dalam aspek sarana dan prasarana:
a. Minimnya sarana dan prasarana dalam penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH) seperti ketersediaan Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS), Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS), ruang pelayanan khusus Anak, dan rumah aman anak (shelter), serta ketersediaan ruangan ramah Anak di Kepolisian Resort (Polres) dan Kepolisian Sektor (Polsek) yang mengakibatkan terhambatnya penanganan ABH;
b. Minimnya kualitas dan kuantitas dari Pekerja Sosial (Peksos) yang melakukan pendampingan terhadap anak korban mulai dari pengobatan sampai dengan pasca pemulihan berdampak pada kecepatan penyidik menerima laporan sosial tentang anak korban dari Peksos guna melengkapi data penyelidikan; dan
c. Data kasus kekerasan yang terjadi pada Anak baik pada tingkat pusat maupun daerah belum terintegrasi dengan baik yang mengakibatkan adanya perbedaan data kasus kekerasan pada Anak di tingkat pusat maupun daerah.

4. Dalam aspek pendanaan
Pengalokasian anggaran untuk penyelenggaraan perlindungan anak khususnya dalam hal penanganan anak terlantar di tingkat daerah saat ini belum menjadi prioritas pemerintah daerah, sehingga mengakibatkan penyelenggaraan perlindungan anak di daerah belum terlaksana secara optimal karena minimnya anggaran.

5. Dalam aspek budaya hukum:
a. Masih terbatasnya pemahaman masyarakat tentang hak-hak Anak yang berimplikasi pada tidak optimalnya peran masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan anak;
b. Masih banyaknya masyarakat yang memberikan labelisasi/stigma negatif terhadap ABH yang berdampak pada psikologis anak tersebut;
c. Masih banyaknya penyebarluasan informasi baik di masyarakat maupun media massa terkait identitas ABH tanpa memperhatikan kepentingan terbaik bagi Anak, berdampak buruk pada Anak tersebut yang disebabkan ketidaktahuan dan minimnya pemahaman masyarakat dan pelaku jurnalistik.
d. Masih banyaknya dunia usaha yang memproduksi produk yang tidak aman untuk Anak; dan
e. Masih kurangnya pemahaman Orang Tua tentang pentingnya pencegahan perkawinan dini pada usia Anak mengakibatkan banyak terjadinya perkawinan dini pada usia Anak yang justru menjadi salah satu penyebab banyaknya kekerasan yang terjadi pada Anak

Berdasarkan hasil kajian dan evaluasi UU Perlindungan Anak, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI merekomendasikan sebagai berikut:
1. Substansi Hukum:
a. perlu dilakukannya harmonisasi antara UU Perlindungan Anak dengan peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur tentang definisi Anak khususnya terkait batasan usia Anak;
b. perlu penambahan berupa penjelasan mengenai maksud dari frasa “bantuan biaya dan/atau fasilitas lain” dalam Penjelasan Pasal 38 ayat (2) UU Perlindungan Anak;
c. perlu adanya penambahan frasa “atau Wali” setelah frasa “Orang Tua” dalam Pasal 45B, Pasal 47, dan Pasal 49 UU Perlindungan Anak;
d. perlunya penyesuaian terkait Pasal 48 UU Perlindungan Anak yang mengatur mengenai Wajib Belajar dalam UU Perlindungan Anak dan UU Sisdiknas;
e. perlu adanya penambahan pengaturan khususnya dalam Pasal 59 ayat (2) UU Perlindungan Anak dengan menambahkan Anak korban kejahatan siber ke dalam klaster Anak yang memerlukan perlindungan khusus. Penambahan pengaturan tersebut juga diikuti dengan penambahan pasal yang mengatur mengenai larangan kejahatan siber pada Anak dan pasal yang memuat sanksi pidananya;
f. perlu adanya perubahan pada frasa “anak yang menyandang cacat” dalam Pasal 62 huruf b UU Perlindungan Anak menjadi menjadi frasa “Anak Penyandang Disabilitas” sesuai dengan amanat Pasal 148 UU Penyandang Disabilitas;
g. diusulkan untuk diberikan penjelasan dalam Pasal 2 UU Perlindungan Anak terkait asas non-diskriminasi sebagaimana juga diatur dalam KHA. Sehingga, kata “diskiriminatif” dalam Pasal 76A UU Perlindungan Anak dapat diartikan dengan mengacu pada penjelasan asas non-diskriminasi dalam Pasal 2 UU Perlindungan Anak.
h. perlu adanya perubahan dalam rumusan Pasal 81 ayat (7), ayat (8), dan ayat (9), Pasal 81A, Pasal 82 ayat (6), ayat (7), dan ayat (8), serta Pasal 82A UU Perlindungan Anak dengan menghapus frasa “tindakan” yang melekat pada rumusan sanksi kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik, dan rehabilitasi dan mengganti menjadi frasa “pidana tambahan”.
i. dilakukan penyesuaian rumusan nominal pidana denda dalam Pasal 83 UU Perlindungan Anak merujuk pada nominal rumusan pidana denda dalam Pasal 5 dan Pasal 6 UU TPPO;
j. dilakukan penyesuaian rumusan nominal pidana denda dalam Pasal 89 ayat (1) UU Perlindungan Anak merujuk pada nominal rumusan pidana denda dalam Pasal 133 ayat (1) UU Narkotika;
k. perlu adanya pengaturan mengenai sanksi bagi media massa yang mempublikasikan identitas Anak dalam UU Perlindungan Anak;
l. perlu adanya pengaturan mengenai batas waktu penetapan peraturan pelaksana dalam UU Perlindungan Anak agar sesuai dengan amanat Pasal 74 ayat (1) UU PPP;
m. perlunya harmonisasi antara UU Perlindungan Anak dengan UU Pemda khususnya terkait kewenangan Kemensos dan/atau dinas sosial dalam hal penanganan rehabilitasi sosial untuk anak korban yang memerlukan perlindungan khusus; dan
n. perlu harmonisasi antara pengaturan dalam UU Perlindungan Anak dengan KUHAP khususnya terkait pelaporan tindak pidana yang dilakukan oleh suatu badan hukum khususnya KPAI atau KPAID.

2. Struktur Hukum/Kelembagaan:
a. perlunya peningkatan dari sisi koordinasi baik antara kementerian/lembaga terkait maupun OPD yang ada didaerah dalam hal penyelenggaraan perlindungan Anak dan perlindungan khusus terhadap Anak;
b. perlunya peningkatan komitmen dari pemerintah dan pemerintah daerah dalam melaksanakan kewajibannya untuk memenuhi dukungan sarana dan prasarana serta ketersediaan SDM penyelenggaraan perlindungan anak maupun perlindungan khusus bagi Anak;
c. perlunya peningkatan sosialisasi dan edukasi kepada pihak-pihak terkait perlindungan Anak seperti Orang Tua dan masyarakat tentang pentingnya pemenuhan terhadap hak-hak Anak dan perlindungan Anak dari segala kekerasan dan diskriminasi;
d. perlunya optimalisasi dari pemerintah dan pemerintah daerah untuk terus melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya kepemilikan Akta Kelahiran sebagai identitas Anak.
e. pembentukan KPAID tidak bersifat wajib bagi pemerintah daerah. Hal tersebut juga sejalan dengan pandangan hukum Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa pembentukan KPAID tetap dipertahankan bersifat “tidak wajib” karena prioritas pemerintah daerah yang berbeda-beda dan terbatasnya anggaran di daerah.
f. pemerintah melalui Kementerian Kesehatan perlu segera membuat petunjuk teknis yang mengatur tentang eksekusi tindakan kebiri kimia, penyamaan persepsi pemerintah dengan IDI terkait tindakan kebiri kimia, dan sertifikasi dokter atau tenaga medis yang melakukan tindakan kebiri kimia.

3. Pendanaan:
a. Diperlukan penguatan komitmen dari pemerintah dan pemerintah daerah untuk melaksanakan kewajibannya dalam menyediakan dana penyelenggaraan perlindungan anak. Selain itu, pemerintah dan pemerintah daerah perlu juga mengoptimalkan sumber dana lainnya di luar APBN atau APBD dengan menjalin kerjasama dengan Dunia Usaha guna mendukung ketersediaan dana penyelenggaraan perlindungan anak.
b. diperlukan adanya petunjuk teknis sebagai dasar acuan bagi pemerintah desa agar dapat mengalokasikan dana desa untuk penyelenggaraan perlindungan anak.

4. Sarana dan Prasarana:
a. diperlukan adanya komitmen yang kuat dari pemerintah dan pemerintah daerah untuk melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya dengan optimal guna memenuhi kebutuhan sarana dan prasarana serta ketersediaan SDM dalam penyelenggaraan perlindungan anak;
b. diperlukan koordinasi dan kerjasama antar kementerian/lembaga baik pada tingkat pusat maupun daerah dalam penyelenggaraan perlindungan anak khususnya koordinasi dan kerjasama dalam hal pengintegrasian data kasus Anak; dan
c. diperlukan perencanaan yang baik sampai dengan pengawasan yang dilakukan secara berkala baik oleh pemerintah maupun pemerintah daerah dalam menyediakan ketersediaan SDM yang merata baik dari segi kualitas maupun kuantitas.

5. Budaya Hukum
a. optimalisasi dari sisi sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat khususnya Orang Tua tentang partisipasi Anak;
b. optimalisasi dari sisi sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat khususnya Orang Tua tentang pentingnya peran Orang Tua dalam mencegah terjadinya pernikahan pada usia Anak;
c. diperlukan peningkatan komitmen dari masyarakat untuk berperan aktif dalam penyelenggaraan perlindungan anak melalui sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat tentang peranan pentingnya dalam penyelenggaraan perlindungan anak;
d. perlu adanya sanksi yang tegas kepada media massa yang mempublikasikan identitas ABH; dan
e. perlu penguatan dari sisi pengawasan baik oleh pemerintah atau pemerintah daerah yang berkoordinasi dengan lembaga pengawasan yang berperan dalam quality control produk yang aman untuk Anak. Selain itu, perlu adanya sanksi tegas kepada perusahaan yang memproduksi produk yang tidak Aman untuk Anak.

Analisis dan Evaluasi Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah / 01-12-2020

Selama berlakunya UU Perimbangan Keuangan sejak tahun 2014, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI menemukan permasalahan utama dan mendasar terkait dengan pelaksanaan UU Pemda antara lain:
A. Isu Utama
Dalam pelaksanaannya terdapat beberapa permasalahan dan hambatan yang dianalisis melalui pembagian 5 aspek yaitu Aspek Substansi Hukum, Aspek Struktur Hukum/Kelembagaan, Aspek Sarana dan Prasarana, Aspek Pendanaan dan Aspek Budaya Hukum.

B. Putusan Mahkamah Konstitusi
UU Perimbangan Keuangan telah diujikan ke Mahkamah Konstitusi sebanyak 4 (empat) kali, namun belum terdapat putusan kabul oleh Mahkamah Konstitusi atas pengujian UU Perimbangan Keuangan.

C. Prolegnas
RUU tentang Perubahan UU OJK masuk dalam daftar Prolegnas Tahun 2020-2024 Nomor 118 yang diusulkan oleh DPR, Pemerintah dan DPD.

Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat, dan Provinsi Bali

Pelaksanaan UU Perimbangan Keuangan dalam kurun waktu 16 tahun terdapat permasalahan dalam implementasinya, antara lain:

1. Aspek Substansi Hukum
a. Pasal 66 ayat (1) terkait tahapan pengelolaan keuangan daerah.
b. Pasal 14 huruf g terkait kontribusi DBH pada penanganan dampak kegiatan pertambangan.
c. Pasal 11 ayat (2) terkait CHT sebagai salah satu sumber DBH.
d. Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 11 ayat (2) terkait jenis pajak daerah dan retribusi daerah.
e. Pasal 10 dan Pasal 40 terkait perbedaan nomenklatur perimbangan keuangan dalam APBN.
f. Efektivitas DAU belum tercapai karena formula perhitungan tidak relevan dan realisasi DAU tidak tepat sasaran.
g. UU Perimbangan Keuangan belum mengakomodir pengaturan mengenai sukuk daerah yang telah ada dalam UU Pemda setelah diubah pengaturannya melalui UU Ciptaker.
h. Pasal 1 angka 9 dan Pasal 1 angka 26 terkait dampak perbedaan definisi dekonsentrasi.
i. Potensi disharmoni UU Perimbangan Keuangan dengan UU Desa.
j. Pasal 11 ayat (3) terkait penerimaan daerah dari sektor perikanan.
k. Pasal 27 terkait perbedaan formulasi penghitungan DAU.
l. Pasal 7 terkait ketentuan sanksi bagi daerah yang melanggar.
m. Pengaturan asas perimbangan keuangan yang belum jelas.

2. Aspek Kelembagaan/Struktur Hukum
a. Pasal 66 ayat (1) terkait hambatan pengelolaan keuangan daerah.
b. Permasalahan hubungan koordinasi dalam pelaksanaan UU Perimbangan Keuangan.
c. Permasalahan pengawasan pelaksanaan UU Perimbangan Keuangan.

3. Aspek Sarana dan Prasarana
a. Permasalahan implikasi PAD terhadap kemandirian daerah.
b. APBD Berkualitas untuk Mencegah Defisit APBD.
c. Realisasi Penyerapan Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan.
d. Efektivitas Sistem Informasi Daerah.

4. Aspek Budaya Hukum
Belum semua masyarakat dapat memperoleh akses mengenai informasi keuangan daerah karena belum semua data dapat diakses secara luas mengingat adanya kepentingan untuk menjaga rahasia negara agar tidak disalahgunakan oleh orang yang tidak berkepentingan.

Berdasarkan hasil kajian dan evaluasi UU Perimbangan Keuangan, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI merekomendasikan sebagai berikut:

a. Substansi Hukum
1) Ketentuan Pasal 10, Pasal 11 ayat (2), Pasal 11 ayat (3), Pasal 14 huruf g, Pasal 27, Pasal 40, Pasal 51 ayat (3), Pasal 55, Pasal 57, Pasal 58, Pasal 59, Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, Pasal 63, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 ayat (1) UU Perimbangan Keuangan perlu diubah dan disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang diterbitkan setelah pengundangan UU Perimbangan Keuangan.
2) Perlu adanya penambahan definisi “sukuk daerah” pada ketentuan Pasal 1 UU Perimbangan Keuangan.
3) Perlu mengubah Pasal 1 angka 9 dan angka 26 UU Perimbangan Keuangan menyesuaikan dengan UU Pemda terkait definisi Dekonsentrasi dan Dana Dekonsentrasi.
4) Perlu adanya pasal yang mengatur mengenai sanksi pelanggaran ketentuan Pasal 7 UU Perimbangan Keuangan.
5) Perlu adanya ketentuan mengenai asas perimbangan keuangan dan penjelasannya dalam UU Perimbangan Keuangan.
6) Perlu mengubah Pasal 5 dan Pasal 10 UU Perimbangan Keuangan menyesuaikan dengan UU Pemda yaitu dengan menambahkan dana otonomi khusus, dana keistimewaan dan dana desa pada klasifikasi pendapatan daerah.
7) Perlu mengubah Pasal 102 ayat (2) UU Perimbangan Keuangan menyesuaikan dengan UU Pemda agar lebih efektif dan efisien dalam pelaksanaannya.

b. Struktur Hukum/Kelembagaan
1) Perlu penguatan koordinasi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, maupun antra SKPD di lingkungan Pemerintah Daerah.
2) Perlu adanya sinkronisasi tahapan pengelolaan keuangan daerah sejak mulai perencanaan hingga pertanggung jawaban.
3) Perlu adanya penguatan kelembagaan Inspektorat Daerah dan penguatan SDM pengelola keuangan daerah di lingkungan Pemerintah Daerah.

c. Sarana dan Prasarana
1) Perlu dilakukan peningkatan inovasi dan kreativitas daerah dalam menciptakan sumber pendapatan bagi PAD selain pada sumber-sumber pendapatan yang telah ada sehingga ada peningkatan penerimaan pajak daerah.
2) Perlu adanya pelaksanaan pengawasan pengelolaan keuangan daerah yang tidak mengekang otonomi daerah dan pengaturan mengenai APBN berkualitas.
3) Perlu adanya pembinaan terhadap daerah dalam rangka pelaksanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan termasuk dalam mekanisme administrasi keuangannya.
4) Perlu diatur norma baru dalam Pasal 70 UU Perimbangan yaitu prinsip cost efficient dan cost effectiveness sehingga membuat APBD berkualitas.
5) Perlu dilakukan penguatan kelembagaan Inspektorat Daerah, penguatan SDM dari sisi kualitas dan kuantitas sebagai APIP yang profesional dalam rangka pengawasan internal.
6) Perlu dilakukan perbaikan terhadap sistem data informasi keuangan daerah yang terintegrasi dalam rangka mendukung program Satu Data Indonesia yang sedang dirancang oleh Pemerintah Pusat sebagaimana Perpres No 39 tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia.

d. Budaya Hukum:
1) Perlu adanya peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan keuangan daerah serta penyediaan informasi yang memudahkan masyarakat dalam memahami pelaksanaan keuangan daerah dalam semua tingkatan baik pada perencanaan sampai pada pertanggungjawaban karena pengawasan masyarakat diperlukan sebagai bentuk partisipasi masyarakat.
2) Pemerintah Pusat perlu memfasilitasi dengan mengadakan sosialisasi SIKD agar implementasi aturan terkait dengan pertanggungjawaban keuangan daerah bisa berjalan dengan baik sesuai peraturan yang sudah ada.

Analisis dan Evaluasi Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial / 01-09-2020

Selama berlakunya UU PPHI sejak tahun 2004, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI menemukan permasalahan utama dan mendasar terkait dengan pelaksanaan UU PPHI antara lain:

A. Isu Utama
Dalam pelaksanaannya terdapat beberapa permasalahan dan hambatan yang dianalisis melalui pembagian 5 aspek yaitu Aspek Substansi Hukum, Aspek Struktur Hukum/Kelembagaan, Aspek Sarana dan Prasarana, Aspek Pendanaan dan Aspek Budaya Hukum.

B. Putusan MK
1. Putusan Perkara Nomor 68/PUU-XIII/2015:
a. Frasa "anjuran tertulis" dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a UU PPHI bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi, maka mediator mengeluarkan anjuran tertulis dalam bentuk risalah penyelesaian melalui mediasi."
b. Frasa "anjuran tertulis" dalam Pasal 23 ayat (2) huruf a UU PPHI bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui konsiliasi, maka konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis dalam bentuk risalah penyelesaian melalui konsiliasi.
2. Putusan Perkara Nomor 114/PUU-XIII/2015:
Pasal 82 UU PPHI sepanjang anak kalimat "Pasal 159" bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
3. Putusan Perkara Nomor 49/PUU-XIV/2016:
Pasal 67 ayat (2) UU PPHI bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, "Masa tugas Hakim Ad-Hoc adalah untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali setiap 5 (lima) tahun yang diusulkan oleh Ketua Mahkamah Agung dengan terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari lembaga pengusul yang prosesnya sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku."

C. Prolegnas
RUU tentang Perubahan UU PPHI masuk dalam daftar Prolegnas Tahun 2020-2024 Nomor 80 yang diusulkan oleh DPR.

Provinsi Jawa Timur, Provinsi Bali, Provinsi Banten, dan Provinsi Kepulauan Riau

Pelaksanaan UU PPHI dalam kurun waktu 16 tahun terdapat permasalahan dalam mplementasinya, antara lain:

1.Aspek Substansi Hukum
a. Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 terkait definisi “Perselisihan Hubungan Industrial” dan frasa “Perselisihan Antar Serikat Pekerja/Serikat Buruh dalam Satu Perusahaan”.
b. Pasal 3 terkait musyawarah bipartit belum efektif.
c. Pasal 8 terkait frasa “kabupaten/kota” membuat terbatasnya wilayah kerja mediator.
d. Pasal 15 terkait jangka waktu 30 hari mediasi belum efektif.
e. Pasal 98 ayat (1) terkait frasa “kepentingan mendesak” menimbulkan multitafsir.
f. Pasal 7, Pasal 13, Pasal 23, dan Pasal 44 terkait Perjanjian Bersama tidak dibarengi dengan pengaturan sita eksekusi.
g. Pasal 58 terkait biaya yang belum sejalan dengan asas peradilan yang murah.
h. Tidak adanya pengaturan mengenai Asas PPHI yang jelas.
i. Pasal 13 ayat (2) huruf a, Pasal 23 ayat (2) huruf a, Pasal 14 ayat (1), Pasal 24 ayat (1), dan Pasal 117 ayat (1) terkait frasa “anjuran tertulis” dalam Putusan MK Nomor 68/PUU-XIII/2015 dimaknai bersyarat.

2. Aspek Kelembagaan/Struktur Hukum
a. Pemasalahan koordinasi antar mediator dalam mekanisme mediasi.
b. Permasalahan koordinasi pengawasan ketenagakerjaan dalam PPHI.
c. Kewenangan Konsiliator dan Arbiter tidak dapat dilaksanakan secara efektif.
d. Pasal 1 angka 19 dan Pasal 67 ayat (1) terkait proses pengangkatan dan pemberhentian yang berpotensi mengurangi independensi Hakim Ad-Hoc.
e. Keterbatasan jumlah dan kualitas mediator.
f. Pasal 116 - Pasal 121 terkait sanksi administratif yang tidak efektif.
g. Pasal 122 terkait sanksi pidana yang sulit dilaksanakan.

3.. Aspek Sarana dan Prasarana
Pengadilan Hubungan Industri yang hanya dibentuk di ibukota provinsi dan kabupaten/kota yang padat industri seringkali bermasalah dalam jarak antara tempat tinggal pekerja/buruh atau perusahaan, dan keberadaan PHI di kabupaten/kota masih sangat minim dan hanya terletak pada wilayah padat industri.

4. Aspek Pendanaan
a. Pasal 11 ayat (2) dan Pasal 21 ayat (2) terkait efektivitas penggantian biaya saksi atau saksi ahli.
b. Pasal 58 terkait biaya berperkara di PHI menimbulkan beban yang lebih berat khususnya pada pekerja/buruh.

5. Aspek Budaya Hukum
a. Keterlibatan saksi dan saksi ahli masih sangat minim.
b. Kompetensi penegak hukum belum optimal.
c. Masih banyak para pihak yang tidak melaksanakan hasil kesepakatan dari Perjanjian Bersama.

Berdasarkan hasil kajian dan evaluasi UU PPHI Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI merekomendasikan sebagai berikut:

1. Aspek Substansi Hukum
a. Mengubah Pasal 1 angka 1, Pasal 2, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 13, Pasal 14 ayat (1), Pasal 15, Pasal 23, Pasal 24 ayat (1), Pasal 44, Pasal 67 ayat (1) huruf f, Pasal 58, dan Pasal 117 UU PPHI.
b. Penambahan pengaturan terkait jangka waktu pelaksanaan perundingan bipartit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 UU PPHI.
c. Penambahan pengaturan mengenai maksud dari kepentingan mendesak sebagaimana diatur dalam Pasal 98 ayat (1) UU PPHI.
d. Penambahan pengaturan yang secara eksplisit mengatur asas-asas penyelesaian perselisihan hubungan industrial di dalam batang tubuh UU PPHI.

2. Aspek Kelembagaan/Struktur Hukum
a. Perlu penguatan fungsi koordinasi antar mediator menurut wilayah kerjanya.
b. Perlu penguatan fungsi koordinasi antar komponen dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial dengan pengawas ketenagakerjaan.
c. Perlu adanya peningkatan baik dari sisi kuantitas (jumlah) dan kualitas mediator.
d. Optimalisasi pengawasan agar pelaksanaan sanksi administratif dapat berjalan lebih efektif.
e. Penambahan ketentuan pidana bagi pihak yang melakukan penundaan atau tidak melaksanakan putusan PHI.

3. Aspek Sarana dan Prasarana
Perlunya dilakukan peninjauan kembali terhadap pengaturan pembentukan PHI pada kabupaten/kota dan daerah padat industri.

4. Aspek Pendanaan
a. Perlu dilakukannya peninjauan kembali mengenai alokasi anggaran pergantian biaya saksi atau saksi ahli.
b. Perlu adanya sosialisasi terkait pengenaan biaya berperkara di PHI.

5.Aspek Budaya Hukum
a. Perlunya melibatkan saksi ahli dalam proses penyelesaian PHI.
b. Peningkatan kualitas penegak hukum dan kualitas serikat pekerja/serikat buruh sebagai kuasa hukum.
c. Perlu dilakukannya optimalisasi pemberian edukasi dan pembinaan khususnya ketaatan dalam pelaksanaan putusan PHI.

Kajian dan Evaluasi Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan / 01-06-2020

Selama berlakunya UU OJK sejak tahun 2011, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI menemukan permasalahan utama dan mendasar terkait dengan pelaksanaan UU OJK antara lain:
A. Isu Utama
1. Aspek Substansi Hukum
Adanya pasal/ayat yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi berdampak pada ketentuan terkait lainnya, dan beberapa ketentuan dalam UU OJK yang berpotensi disharmoni dengan ketentuan lain.

2. Aspek Kelembagaan/Struktur Hukum
Adanya tumpang tindih kewenangan antara OJK, BI, dan Kemenkeu, tidak efektifnya pengawasan yang dilakukan oleh OJK, adanya keberadaan Ex-Officio dalam susunan Dewan Komisioner OJK yang berpotensi mengurangi independensi OJK, dan potensi tumpang tindih kewenangan penyidikan antara OJK , Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK.

3. Aspek Sarana dan Prasarana
Permasalahan dalam akses pertukaran data informasi dan pelayanan pengaduan konsumen dalam sektor pengawasan perbankan.

4. Aspek Pendanaan
Permasalahan pungutan oleh LJK berpotensi menggangu indpendensi OJK.

5. Aspek Budaya Hukum
Minimnya pengetahuan dan partisipasi masyarakat dalam sektor jasa keuangan.

B. Putusan Mahkamah Konstitusi
Frasa “dan bebas dari campur tangan pihak lain” dalam Pasal 1 angka 1 UU OJK telah dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.

C. Prolegnas
RUU tentang Perubahan UU OJK masuk dalam daftar Prolegnas Nomor 149 yang diusulkan oleh DPR dan Pemerintah.

Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Kalimantan Selatan.

Pelaksanaan UU OJK dalam kurun waktu 9 tahun terdapat permasalahan dalam implementasinya, antara lain:
1. Aspek Substansi Hukum
a. Frasa "dan bebas dari campur tangan pihak lain" dalam Pasal 1 angka 1 UU OJK yang mengikuti kata "independen" bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat berdasarkan Putusan MK No. 25/PUU-XII/2014.
b. Definisi “Perasuransian” dalam Pasal 1 angka 7 UU OJK tidak sesuai dengan definisi yang diurai dalam UU Perasuransian.
c. Definisi “Lembaga Jasa Keuangan Lainnya” dalam Pasal 1 angka 10 UU OJK dinilai sudah tidak relevan dengan perkembangan industri keuangan saat ini yang telah berkembang pada basis teknologi informasi.
d. Frasa "bebas dari campur tangan pihak lain" pada Pasal 2 ayat (2) UU OJK perlu disesuaikan dengan Putusan MK No. 25/PUU-XII/2014.
e. Tidak dijelaskannya "pengawasan terintegrasi" dalam Penjelasan Pasal 5 UU OJK telah berimplikasi pada tidak efektifnya pengawasan yang dilakukan oleh OJK terhadap seluruh kegiatan di dalam sektor jasa keuangan.
f. Tidak terdapat penegasan bahwa OJK memiliki wewenang untuk mengajukan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang dan permohonan pernyataan pailit kepada pengadilan niaga dalam hal debitor adalah bank pada Pasal 7 UU OJK.
g. Tidak terdapat penegasan bahwa OJK memiliki wewenang untuk mengajukan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang dan permohonan pernyataan pailit kepada pengadilan niaga dalam hal debitor adalah perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun atau BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik.
h. Pasal 10 ayat (4) huruf h dan i UU OJK terkait keberadaan ex-officio dalam susunan Dewan Komisioner OJK di satu sisi dinilai tetap dibutuhkan agar penyelenggaraan fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan LJK dapat berjalan lebih optimal. Namun, di sisi lain keberaan ex-officio justru dinilai berpotensi mengganggu independensi OJK dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan wewenang.
i. Frasa "tindakan tertentu" dalam Pasal 30 ayat (1) huruf a UU OJK di satu sisi dinilai tetap diperlukan karena apabila frasa tersebut dibatasi maka dikhawatirkan akan membatasi OJK dalam hal perlindungan konsumen. Namun, di sisi lain tidak dijelaskannya frasa "tindakan tertentu" dalam Penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf a UU OJK dinilai berpotensi menimbulkan multitafsir dan membuka peluang terjadinya penyalahgunaan wewenang terhadap LJK.
j. Frasa "kegiatan pendukung lainnya" dalam Pasal 35 ayat (1) UU OJK di satu sisi dinilai dimaksudkan untuk fleksibitas OJK dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Namun, di sisi lain tidak dijelaskannya frasa "kegiatan pendukung lainnya” tersebut berpotensi terjadinya penyalahgunaan penggunaan anggaran.

2. Aspek Kelembagaan/Struktur Hukum
a. Koordinasi BI dan OJK terkait kebijakan pengaturan dan pengawasan secara mikroprudensial dan makroprudensial di sektor Perbankan belum berjalan efektif karena berpotensi terjadinya tumpang tindih kewenangan.
b. Masih banyaknya peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan yang ditetapkan oleh OJK namun menyulitkan LJK dalam pelaksanaannya, dan adanya potensi disharmoni peraturan di sektor jasa keuangan baik yang diterbitkan oleh OJK, BI, maupun Kemenkeu.
c. Belum efektifnya pengawasan yang dilakukan oleh OJK yang menyebabkan banyaknya permasalahan-permasalahan di sektor jasa keuangan.
d. Belum efektifnya sanksi administratif yang dikenakan oleh OJK kepada LJK menyebabkan banyaknya pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di sektor jasa keuangan.
e. Dalam pelaksanaannya, di satu sisi keberadaan ex-officio dalam susunan Dewan Komisioner OJK dinilai tetap dibutuhkan agar penyelenggaraan tugas, fungsi, dan wewenang pengaturan dan pengawasan LJK dapat berjalan optimal. Namun, di sisi lain, keberadaan ex-officio ini justru berpotensi menganggu independensi OJK.
f. Dalam hal perlindungan konsumen dan masyarakat, masih terdapat permasalahan mulai dari pelayanan pengaduan yang belum memuaskan, sampai dengan belum optimalnya LJK dalam melaksanakan kewenangannya melakukan pembelaan hukum.
g. Adanya potensi tumpang tindih kewenangan penyidikan yang dilakukan oleh PPNS OJK dengan Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK dan minimnya sumber daya PNNS OJK yang menyebabkan tidak efektifnya pelaksanaan kewenangan penyidikan di sektor jasa keuangan.

3. Aspek Sarana dan Prasarana
a. Dalam pelaksanaanya, mekanisme pelayanan pengaduan konsumen dinilai masih belum optimal. Ketidakefektifan LJK dalam pelayanan pengaduan konsumen tersebut juga menunjukkan bahwa OJK belum optimal dalam mengenakan sanksi administratif kepada LJK.
b. Dalam hal sarana pertukaran informasi secara terintegrasi, terkendala dalam hal persiapan aplikasi pengolahan dan mekanisme akses informasi pelaporan terintegrasi untuk dipergunakan lebih lanjut di masing-masing lembaga. Selain itu, menurut BKF Kemenkeu, BI dan LPS belum mendapatkan akses informasi baik terkait data perbankan dalam hal pengawasan makroprudensial dan terkait tingkat solvabilitas bank.

4. Aspek Pendanaan
Pengenaan pungutan oleh OJK kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan dinilai berpotensi menganggu independensi OJK. Selain itu, terdapat potensi terjadinya moral hazard bagi OJK dalam melaksanakan ketentuan Pasal 37 ayat (5) UU OJK.

5. Aspek Budaya Hukum
a. Masyarakat belum mengetahui dan memahami akan adanya media edukasi bagi konsumen yang telah disediakan oleh OJK tersebut.
b. Masyarakat di satu sisi dinilai telah berperan aktif menyampaikan pengaduan, namun di sisi lain masih banyak pula yang menilai bahwa masyarakat belum aktif menyampaikan pengaduan.

Berdasarkan hasil kajian dan evaluasi UU OJK, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI merekomendasikan sebagai berikut:
1. Aspek Substansi Hukum
Perubahan terhadap beberapa pasal dalam UU OJK, diantaranya Pasal 1 angka 1, Pasal 1 angka 7, Pasal 1 angka 10, Pasal 2 ayat (2), Penjelasan Pasal 5, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Penjelasan Pasal 35 ayat (1).

2. Aspek Kelembagaan/Struktur Hukum
a. Perlunya penguatan fungsi koordinasi antara OJK dengan BI dalam hal kewenangan pengaturan dan pengawasan microprudensial dan macroprudensial. Hasil koordinasi tersebut kemudian juga perlu dipublikasikan kepada publik, khususnya LJK, agar memiliki pemahaman yang sama dengan OJK dan BI terkait pengaturan dan pengawasan mikro dan makro di sektor perbankan.
b. penguatan koorrdinasi antara BI, OJK, dan Kemenkeu agar menghasilkan regulasi-regulasi di sektor jasa keuangan yang bersesuaian dengan tugas, fungsi, dan wewenang masing-masing.
c. penguatan pengawasan OJK melalui mekanisme sistem pengawasan yang terintegrasi.
d. Optimalisasi edukasi literasi keuangan yang dilakukan oleh OJK untuk meminimalisir potensi pelanggaran yang disebabkan LJK terhadap konsumen dan masyarakat. Selain itu, diperlukan penguatan dalam hal pelayanan pengaduan konsumen oleh OJK agar permasalahan di sektor jasa keuangan dapat ditindaklanjuti secara cepat.
e. Penguatan koordinasi antara OJK, Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK khususnya dalam hal pelaksanaan kewenangan penyidikan di sektor jasa keuangan.

3. Aspek Sarana dan Prasarana
a. Perlunya sosialisasi secara lebih intensif dan tepat saran mengenai perangkat pelayanan pengaduan konsumen oleh OJK.
b. Diperlukan komitmen dari OJK, BI, dan LPS untuk memelihara dan mengembangkan sarana pertukaran informasi terintegrasi secara berkelanjutan.

4. Aspek Pendanaan
Meningkatkan pengawasan internal terhadap pelaksanaan fungsi pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan terutama terkait dengan perlindungan konsumen dan masyarakat serta dalam hal penyusunan dan penetapan rencana kerja dan anggaran OJK. Selain itu, OJK perlu melakukan publikasi secara optimal dan terinci mengenai laporan kegiatan, termasuk pengelolaan anggaran OJK khususnya yang bersumber dari pungutan. OJK juga dapat membuat konten yang lebih informatif dan menggunakan kanal informasi yang lebih dekat dengan publik.

5. Aspek Budaya Hukum
a. Diperlukan komitmen baik dari LJK maupun OJK untuk terus konsisten dalam memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat terkait karakteristik sektor jasa keuangan, layanan, dan produk jasa keuangan baik secara online maupun offline.
b. Diperlukan komitmen dari OJK untuk konsisten memberikan pelayanan pengaduan konsumen dan/atau masyarakat secara optimal. Selain itu, masyarakat juga seharusnya dapat terus meningkatkan pemahaman terkait literasi keuangan agar dapat meningkatkan kewaspadaan masyarakat dari pelanggaran ataupun kejahatan di sektor jasa keuangan.

Kajian dan Evaluasi Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak / 01-03-2020

Memasuki tahun keenam pelaksanaan UU SPPA (Agustus 2014 sampai dengan Maret 2020), Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI menemukan permasalahan utama dan mendasar terkait dengan pelaksanaan UU SPPA antara lain:
A. Isu Utama
1. Aspek Substansi Hukum
Definisi usia anak, definisi pekerja sosial, syarat diversi, pemberian bantuan hukum, penahanan Anak untuk kepentingan penyidikan, implikasi putusan MK yang membatalkan Pasal 96, Pasal 99, Pasal 100, dan Pasal 101 UU SPPA, disharmoni dengan UU Pemda perihal pengelolaan LPKS, dan sejumlah peraturan pelaksanaan UU SPPA.

2. Aspek Kelembagaan/Struktur Hukum
Kurangnya jumlah penyidik, PK Bapas, peksos dan hakim anak, belum efektifnya pola koordinasi penyelenggaraan pendidikan dan pembinaan anak di LPKA, serta belum memadainya kualitas dan kuantitas sumber daya manusia (SDM) PK Bapas, peksos, hakim anak, dan penyidik anak.

3. Aspek Sarana dan Prasarana
Masih minim LPKA, LPKS, RPKA dan LPAS, sehingga pada praktiknya banyak Anak yang penahanannya ditempatkan di lapas/rutan dewasa.

4. Aspek Pendanaan
Penanganan ABH di LPKS masih belum dianggarkan dan dibebankan pada APBD, dan belum adanya anggaran untuk sertifikasi penyidik anak.

5. Aspek Budaya Hukum
Adanya penolakan dari korban atau keluarga korban untuk melakukan diversi sehingga tujuan keadilan restoratif tidak tercapai. Kemudian masih minimnya pemahaman masyarakat terhadap proses pidana anak, sehingga masyarakat masih cenderung mengucilkan Anak dan keluarganya ketika hasil proses pidana berdasarkan UU SPPA dianggap tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat, terutama bagi keluarga korban.

B. Putusan Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi telah menyatakan beberapa pasal bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 yaitu:
1. Pasal 96, Pasal 100 dan Pasal 101 melalui Putusan MK Nomor 110/PUU-X/2012;
2. Pasal 99 melalui Putusan MK Nomor 68/PUU-XV/2017.

Provinsi Jawa Timur, Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Kalimantan Timur, dan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Pelaksanaan UU SPPA dalam kurun waktu 6 tahun terdapat permasalahan dalam implementasinya, antara lain:
1. Aspek Substansi Hukum
a. Batasan usia anak dinilai terlalu tinggi dan sudah tidak lagi relevan untuk usia psikologis dan usia biologis seorang anak.
b. Definisi “pekerja sosial profesional” menimbulkan kerancuan dengan UU pekerja Sosial.
c. Permasalah dalam diversi mulai dari isu syarat, pengecualian, kesepakatan, hingga jangka waktu diversi.
d. Potensi disharmoni ketentuan bantuan hukum dalam UU Bnatuan Hukum.
e. Penahanan dan penempatan ABH untuk kepentingan penyidikan tidak memiliki standar waktu yang jelas.
f. Terdapat ketidakkonsistenan dalam perumusan norma ketentuan pidana pembinaan di luar lembaga berupa “mengikuti terapi di rumah sakit jiwa”.
g. Pengurangan sanksi pidana dalam UU SPPA menjadi modus kejahatan baru.
h. Sanksi administratif bagi pejabat atau petugas tidak terlaksana.
i. Implikasi Putusan MK Nomor 110/PUU-X/2012 dan Putusan MK Nomor 68/PUUXV/2017 adalah hilangnya sanksi pidana terhadap pejabat berwenang (penyidik, penuntut umum, hakim, dan pejabat pengadilan) yang tidak melaksanakan ketentuan dalam UU SPPA.
j. Sanksi pidana terhadap penyidik tidak dapat terlaksana.
k. Terdapat disharmoni antara UU SPPA dengan UU Pemda.
l. Belum diundangkannya beberapa peraturan pelaksana UU SPPA..

2. Aspek Kelembagaan/Struktur Hukum
a. Tujuan diversi dengan semangat keadilan restoratif belum tercapai secara optimal, karena APH lebih memilih bentuk kesepakatan transaksi ganti kerugian;
b. Masih kurang optimalnya peran dan kewajiban PK Bapas dalam melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan diversi dan pengawasan diversi;
c. Belum semua OBH memiliki kebijakan bantuan hukum cuma-cuma mengenai penanganan ABH;
d. Masih terdapat perbedaan persepsi pemahaman keadilan restoratif antara APH dengan lembaga yang menangani perkara Anak yang disebabkan kurangnya diklat bagi APH, serta belum terbentuknya kerangka berpikir pendekatan keadilan restoratif dalam setiap pengambilan keputusan penanganan perkara ABH;
e. Masih minimnya kuantitas penyidik, PK Bapas dan peksos yang menangani perkara Anak karena belum diberikan diklat terpadu SPPA sehingga menjadi kendala dalam pelaksanaan syarat sebagai penyidik anak;
f. Belum optimalnya koordinasi lintas sektoral dengan K/L terkait (Kemensos dengan Kemen PPPA);
g. Masih belum efektifnya penyelenggaraan pendidikan Anak dalam koordinasi antar LPKA dengan Dinas Pendidikan setempat yang berdampak pada tidak terpenuhinya hak pendidikan Anak.

3. Aspek Sarana dan Prasarana
a. Masih belum semua polsek/polres memiliki RPKA dan Unit PPA, sehingga menyebabkan kendala penanganan dan penempatan Anak;
b. Belum adanya LPAS yang dibangun karena urgensi pembangunan LPAS dianggap tidak terlalu mendesak, sehingga penggunaan anggaran masih diprioritaskan pada program lain;
c. LPKA belum dibangun secara merata di setiap provinsi, kabupaten/kota sehingga banyak Anak yang masih ditempatkan di lapas beserta narapidana dewasa, serta fasilitas LPKA yang masih belum memadai untuk pemenuhan hak-hak Anak;
d. Masih belum meratanya keberadaan Bapas di kabupaten/kota menyebabkan sulitnya melaksanakan pidana anak terkait dengan diversi dan tindakan bagi ABH yang terbukti bersalah;
e. Masih banyak pemerintah kota/kabupaten belum memahami pentingnya LPKS, serta masih belum memadainya fasilitas di LPKS untuk melaksanakan putusan hakim berupa tindakan perawatan;
f. Masih banyaknya pemda yang tidak memberikan lahan yang letaknya strategis untuk dibangun sarana dan prasarana, sehingga menyebabkan kendala jarak bagi APH maupun keluarga korban dalam penanganan perkara Anak.
g. Kurangnya ketersediaan balai pelatihan kerja di berbagai daerah di Indonesia sehingga pelaksanaan pidana dan tindakan pelatihan kerja belum menjadi prioritas pilihan putusan hakim.

4. Aspek Pendanaan
a. Masih dibebankannya biaya penanganan ABH di LPKS pada APBD yang belum mengacu kepada UU SPPA;
b. Masih terbatasnya anggaran DIPA Polri untuk menganggarkan personelnya dalam mengikuti diklat terpadu SPPA;
c. Masih terbatasnya anggaran terkait pendanaan Bapas yang masih dibebankan pada DIPA Bapas untuk biaya operasional di setiap tingkat pemeriksaan;
d. Tidak optimalnya penyelenggaraan pembuatan litmas, pendampingan, bimbingan dan pengawasan klien Anak oleh PK Bapas karena anggaran yang ada belum sesuai dengan standar pembimbingan di Bapas, sedangkan selama ini hanya diperuntukkan khusus untuk pendampingan Anak saja;
e. Masih terbatasnya anggaran operasional LPKA sehingga menghambat kegiatan pembinaan dan pelatihan Andikpas dalam penyelenggaraan SPPA.

5. Aspek Budaya Hukum
a. Masih banyak masyarakat dan media massa yang mengekspos identitas ABH, sehingga memunculkan stigma negatif di masyarakat. Hal ini disebabkan ketidaktahuan dan minimnya pemahaman masyarakat dan pelaku jurnalisitik, serta tidak ditegakkannya Pasal 97 UU SPPA.
b. Implementasi Pasal 32 ayat (1) mengenai penangguhan penahanan belum berjalan dengan baik karena ketidakpahaman orang tua, pendamping, maupun pemangku kepentingan. Dalam praktiknya, meskipun telah ada jaminan penangguhan penahanan dari orang tua/wali, namun dalam kasus-kasus tertentu permohonan penangguhan penahanan masih dikesampingkan oleh APH.
c. Kurangnya pemahaman masyarakat terkait keadilan restoratif menyebabkan partisipasi peran serta masyarakat belum optimal.
d. Masih banyak masyarakat yang belum paham mengenai diversi dan pelaksanaannya, sehingga pelaksanaan upaya diversi belum optimal.
e. UU SPPA sebagai suatu konsep pelindungan hukum yang dilakukan secara sistemik, peran sosialisasi secara menyeluruh baik terkait hak-hak anak dalam rangka pelindungan anak maupun SPPA, tidak hanya menjadi peran masyarakat saja tetapi juga para pihak terkait.

Berdasarkan hasil kajian dan evaluasi UU SPPA, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI merekomendasikan sebagai berikut:
1. Aspek Substansi Hukum
a. Mengubah ketentuan UU SPPA pada Pasal 1 angka 3; Pasal 1 angka 14; Pasal 7 ayat (2); Pasal 9 ayat (1) huruf a beserta penjelasannya; Pasal 23; Pasal 29 ayat (1); Pasal 32; Pasal 42 ayat (1); Pasal 52 ayat (2); Pasal 71; Pasal 81; Pasal 82; Pasal 95; Pasal 98; Pasal 105 ayat (1) huruf f; dan Pasal 107.
b. Menghapus substansi Pasal 98 UU SPPA agar sejalan dengan Putusan MK No. 110/PUU-X/2012 dan No. 68/PUU-XV/2017.
c. Melakukan sinkronisasi pengaturan UU SPPA dengan undang-undang terkait.

2. Aspek Kelembagaan/Struktur Hukum
a. Melakukan koordinasi antar PK Bapas dalam melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan dan pengawasan diversi;
b. Melakukan koordinasi antar instansi (OBH) terkait pemberian bantuan hukum kepada Anak;
c. Koordinasi antara APH dengan lembaga terkait diklat bagi APH sehingga tidak ada perbedaan persepsi dan kerangka berpikir terhadap pemahaman keadilan restoratif dalam mengambil keputusan penanganan perkara ABH;
d. Melakukan koordinasi antar lembaga terkait dengan diklat terpadu SPPA bagi Penyidik, PK Bapas dan peksos dalam menangani perkara Anak;
e. Melakukan koordinasi lintas sektoral dengan K/L terkait (Kemensos dan Kemen PPP), terkait dengan data pemisahan register antara Anak dan Anak Korban;
f. Koordinasi antar LPKA dan Dinas Pendidikan setempat terkait penyelenggaraan pendidikan anak;
g. Melibatkan Forkopimda sebagai penentu arah kebijakan pada tiap kabupaten/kota dalam penanganan SPPA sehingga tercipta kesepahaman visi dan misi dalam pelaksanaan SPPA.

3. Aspek Sarana dan Prasarana
a. Perlu koordinasi antar K/L terkait dalam membangun RPKA dan Unit PPA;
b. Melakukan koordinasi antar K/L terkait penggunaan anggaran yang digunakan pada program lain sehingga LPAS belum dibangun;
c. Melakukan koordinasi antar lembaga terkait pembangunan LPKA secara merata di setiap provinsi, kabupaten/ kota sehingga perlu mengubah Pasal 105 ayat (1) huruf e UU SPPA, karena anak masih ditempatkan bercampur dengan tahanan dewasa;
d. Koordinasi antar K/L terkait keberadaan Bapas di setiap kabupaten/kota;
e. Perlu koordinasi antar pemerintah kota/kabupaten, untuk dapat memahami pentingnya LPKS dan dalam membangun fasilitas LPKS;
f. Melakukan koordinasi antar pemerintah dalam memberikan lahan untuk membangun sarana dan prasarana terkait dengan jarak bagi APH maupun keluarga korban dalam menangani perkara Anak;
g. Perlu adanya keterlibatan dari pemerintah kabupaten/kota agar dapat dibentuk Balai Latihan Kerja atau Balai Pendidikan di tiap kabupaten/kota.

4. Aspek Pendanaan
Perlu dibuat penganggaran yang sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan SPPA di lapangan, agar pelaksanaan UU SPPA dapat berjalan optimal.

5. Aspek Budaya Hukum
a. Perlunya sosialisasi dan pendidikan kepada masyarakat akan pentingnya kerahasiaan identitas bagi masa depan Anak.
b. Bagi APH perlu dilakukan pendidikan yang menginformasikan mengenai penangguhan penahanan dalam perkara pidana Anak, sedangkan bagi masyarakat perlu dilakukan sosialisasi yang menginformasikan mengenai penangguhan penahanan.
c. Masyarakat perlu diberikan pendidikan dan pengetahuan mengenai perannya dalam penyelesaian perkara pidana Anak sebagaimana diatur dalam UU SPPA.
d. Perlu dilakukan sosialisasi dan upaya untuk menginformasikan mengenai diversi dan pelaksanaannya baik kepada APH maupun masyarakat.
e. Di dalam UU SPPA perlu ditentukan secara jelas pihak-pihak yang berkewajiban melakukan sosialisasi secara menyeluruh mengenai UU SPPA.

Evaluasi Pemantauan Terhadap Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah / 01-12-2019

Selama berlakunya UU Pemda sejak tahun 2014, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI menemukan permasalahan utama dan mendasar terkait dengan pelaksanaan UU Pemda antara lain:

A. Isu Utama
Dalam pelaksanaannya terdapat beberapa permasalahan dan hambatan yang dianalisis melalui pembagian 5 aspek yaitu Aspek Substansi Hukum, Aspek Struktur Hukum/Kelembagaan, Aspek Sarana dan Prasarana, Aspek Pendanaan dan Aspek Budaya Hukum.

B. Putusan Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi telah menyatakan beberapa pasal bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 yaitu:
1. Pasal 158 ayat (1) melalui Putusan MK Nomor 7/PUU-XIII/2015.
2. Pasal 251 ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (8) melalui Putusan MK Nomor 137/PUU-XIII/2015.
3. Pasal 251 ayat (1), ayat (4), dan ayat (7) serta ayat (5) melalui Putusan MK Nomor 56/PUU-XIV/2016.

Provinsi Jawa Timur, Provinsi Kalimantan Selatan, Provinsi Aceh dan Provinsi Sumatera Selatan

Pelaksanaan UU Pemda hingga tahun 2019 terdapat permasalahan dalam implementasinya, antara lain:

1. Aspek Substansi Hukum
a. Pasal 10, urusan pemerintahan absolut sebagai bentuk asas dekonsentrasi menimbulkan kerancuan karena urusan pemerintahan absolut dapat dibagi dengan daerah.
b. Pasal 12 ayat (1) huruf a jo. Lampiran huruf A, ketidaksesuaian antara jumlah guru yang harus ditanggung pemerintah provinsi dan kurangnya anggaran pada pemerintah provinsi.
c. Pasal 25 ayat (6), tidak selaras dengan asas delegatus non potest delegare yang artinya delegasi tidak bisa didelegasikan lagi.
d. Pasal 23, amanat peraturan pemerintah belum diterbitkan.
e. Pasal 25 ayat (4) dan ayat (5), tidak konsisten membedakan gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat dan gubernur sebagai kepala daerah.
f. Pasal 1 angka 4 jo. Pasal 95 ayat (1) jo. Pasal 148 ayat (1), membatasi DPRD provinsi hanya dapat memanggil pejabat pemerintah daerah provinsi, badan hukum, atau warga masyarakat di daerah provinsi, sedangkan persoalan tersebut bisa saja membutuhkan bupati/wali kota atau pejabat pemerintah daerah kabupaten/kota.
g. Pasal 216 ayat (3), berimplikasi pada tidak maksimalnya inspektorat provinsi dalam melaksanakan tugas dan fungsinya karena ada rasa segan memeriksa sekretaris daerah.
h. Pasal 251, kewenangan Menteri Dalam Negeri membatalkan Perda Provinsi dan kewenangan gubernur untuk membatalkan Perda kabupaten/kota dinyatakan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 berdasarkan Putusan MK Nomor 137/PUUXIII/2015 dan Putusan MK Nomor 56/PUU-XIV/2016.
i. Pasal 269, beberapa gubernur/bupati/walikota dalam prakteknya melaksanakan pembangunan daerah dengan visi misi yang tidak sinergis dengan Presiden sebagai Kepala Pemerintahan.
j. Pasal 350 ayat (4), belum dapat terimplementasi dengan baik karena sanksi administratif ternyata belum dapat memberikan efek jera bagi kepala daerah yang melanggar.
k. Pasal 360 ayat (2), tidak dapat dilaksanakan karena terdapat nomenklatur kawasan khusus yaitu Kawasan Purbakala dan Kawasan Angkatan Perang yang sudah tidak relevan lagi.
l. Terdapat potensi disharmoni antara UU Pemda dengan UU Penanggulangan Bencana, UU Administrasi Pemerintahan, UU Kehutanan, UU Sumber Daya Air.
m. Perlunya harmonisasi antara peraturan pelaksanaan dari UU Pemda dengan peraturan pelaksanaan undang-undang lain.
n. Terdapat 19 amanat penerbitan peraturan pelaksanaan dari UU Pemda yang belum dilaksanakan oleh pemerintah.

2. Aspek Kelembagaan/Struktur Hukum
a. Terjadi perbedaan persepsi dalam pelaksanaan beberapa NPSK yang diterbitkan oleh K/L, sehingga membingungkan pihak daerah dalam pelaksanaannya.
b. Masih terdapat beberapa daerah yang tidak layak untuk berdiri sendiri sebagai pemekaran daerah otonom.
c. Terdapat kerancuan DPRD merupakan lembaga legislatif namun di sisi lain berkedudukan sebagai eksekutif. Hal ini yang kemudian menyebabkan beberapa persoalan di daerah di mana DPRD dan Pemda seringkali memiliki hubungan koordinasi yang kurang baik.
d. Pemerintah Daerah kurang mampu menghasilkan panduan dan rencana pembangunan yang sesuai dengan visi misi dan program nasional.
e. Diberlakukannya OSS mengakibatkan DPMPTSP tidak memiliki data informasi perizinan yang diajukan kepada OSS tersebut.
f. Masih rendahnya kapasitas dan integritas kepala daerah yang menyebabkan tidak optimalnya penyelenggaraan pemerintahan daerah.
g. Lemahnya peran APIP dalam melakukan pengawasan dan kurangnya koordinasi antara APIP dan APH dalam melakukan pemeriksaan atas pengaduan terkait adanya dugaan penyimpangan yang dilakukan oleh aparatur sipil negara.
h. Belum optimalnya penegakan sanksi administratif bagi kepala daerah dan anggota DPRD yang melakukan pelanggaran administratif.

3. Aspek Sarana dan Prasarana
a. Kurangnya kapasitas/kualitas SDM perangkat daerah/desa serta SDM fungsional P2UPD, mengakibatkan belum optimalnya pelaksanaan urusan pemerintahan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan
b. Kurangnya sistem pendukung DPRD, terutama tenaga ahli, karena minim SDM dan anggaran, yang berimplikasi pada belum optimalnya fungsi DPRD sebagai penyusun peraturan daerah karena dapat menghambat terbentuknya peraturan daerah.
c. SPBE yang diakomodir dalam PP No. 12 Tahun 2019 untuk menjalankan amanat dari Pasal 391 ayat (1) huruf b UU Pemda, dalam implementasinya masih terhambat dengan infrastruktur yang kurang mendukung.

4. Aspek Pendanaan
a. Ketentuan Pasal 279 ayat (2) huruf b UU Pemda dalam implementasinya tidak disertai dengan pendanaan untuk pemerintah yang melaksanakannya.
b. Ketentuan Pasal 279 ayat (3), Pasal 25 ayat (5), dan Pasal 91 ayat (5) UU Pemda kurang terimplementasi dengan baik karena masih terdapat beberapa urusan yang merupakan kewenangan pemerintah pusat namun menggunakan dana yang bersumber dari APBD.
c. Pasal 279 ayat (4) UU Pemda masih mengacu kepada UU tentang pemerintahan daerah yang lama sehingga sudah tidak relevan lagi.
d. Urusan Pemerintahan Wajib terkait Pelayanan Dasar yang ditentukan dengan SPM dalam pelaksanaanya belum sesuai dengan ketentuan, baik dari pemberian sanksi hingga keengganan DPRD membahas Raperda APBD dengan kepala daerah.
e. Terjadi penyimpangan anggaran belanja terkait urusan pemerintahan sebagaimana yang diatur dalam UU Pemda.
f. Ketentuan Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 14 Permendagri No. 52 Tahun 2012 berdampak pada terhambatnya/sulitnya penerbitan Perda yang berkaitan dengan penyertaan modal pada BUMD dikarenakan dalam pelaksanaannya tidak ada APBD yang surplus.

5. Aspek Budaya Hukum
a. Peran serta masyarakat untuk ikut terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah masih sangat minim karena kurangnya kesadaran dan pemahaman dari masyarakat atas bentuk partisipasi yang dapat dilakukan.
b. Dicabutnya Permendagri No. 27 Tahun 2009 dengan Permendagri No. 19 Tahun 2017 telah menghilangkan salah satu bentuk partisipasi masyarakat yang justru sering digunakan.

Berdasarkan hasil kajian dan evaluasi UU Pemda, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI merekomendasikan sebagai berikut:

1. Aspek Substansi Hukum
a. Mengubah ketentuan Pasal 9 ayat (2); Pasal 10 ayat (2); - Pasal 14 ayat (1); Pasal 25 ayat (5); Pasal 25 ayat (6); Pasal 33; Pasal 216 ayat (3); Pasal 251 ayat (4); Pasal 255 ayat (1); Pasal 256 ayat (2); Pasal 269; Pasal 350 ayat (4); Pasal 360 ayat (1) dan (2); Pasal 361 ayat (7); Lampiran huruf A; Lampiran huruf C; Lampiran huruf E; Lampiran huruf F; Lampiran huruf BB; Lampiran huruf CC.
b. Melakukan sinkronisasi pengaturan UU Pemda dengan undang-undang sektoral.
c. Percepatan penetapan beberapa peraturan pelaksanaan yang belum selesai.

2. Aspek Kelembagaan/Struktur Hukum
a. Perlunya koordinasi pemerintah pusat dan daerah dalam penyusunan, pembahasan, dan pelaksanaan NSPK serta peningkatan sosialisasi, koordinasi, dan perlibatan pemangku kepentingan antar pusat dan daerah agar tidak membingungkan daerah.
b. Melaksanakan evaluasi secara berkala terhadap perkembangan daerah otonom baru dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
c. Perlunya pemahaman mengenai kedudukan DPRD dalam konteks NKRI, dikaitkan dengan ketidakharmonisan antara DPRD dan Pemerintah Daerah. Diperlukan pemahaman dan koordinasi antara kedua lembaga tersebut dengan membangun komunikasi yang baik dan saling memahami kedudukan dan kewenangannya masing-masing. Sehingga terwujud hubungan baik antar DPRD dan Pemerintah Daerah sebagaimana telah berhasil dilaksanakan di beberapa daerah.
d. Perlunya komitmen Pemerintah Daerah dalam sinkronisasi RKPD dengan DAK agar terjadi sinergitas antara RKPD dengan tujuan dialokasikannya DAK oleh pemerintah pusat.
e. Diperlukan sinergi antara Pemerintah Pusat dan Daerah dalam hal integrasi data untuk mendukung OSS tersebut sejalan dengan kewajiban pemberian pelayanan perizinan sesuai dengan UU Pemda sehingga Pemerintah Daerah tidak kehilangan data-data penting terkait perijinan.
f. Perlunya komitmen Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam melakukan pembinaan dan pengawasan yang menjadi kewenangannya secara terukur, konsisten, dan berkesinambungan.
g. Dalam hal pelaksanaan APIP perlu:
1) dilakukan penguatan APIP baik secara tugas dan fungsi maupun secara kelembagaan agar dapat berperan secara optimal menjaga akuntabilitas internal,
2) komitmen yang tinggi antara APIP dan APH dalam hal pengawasan aparatur negara dengan koordinasi dan komunikasi yang berkesinambungan.
3) penegakkan sanksi bagi aparatur Pemerintah Daerah yang dinilai belum penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan optimal sesuai peraturan perundang-undangan.

3. Aspek Sarana dan Prasarana
a. Melakukan upaya peningkatan kapasitas/kualitas SDM perangkat daerah/desa dan fungsional P2UPD.
b. Penyelenggaraan kerjasama dengan pihak lain untuk mendapatkan tambahan tenaga professional yang bisa memberikan penguatan peran DPRD.
c. Perlunya dukungan pemerintah untuk membangun infrastruktur yang memadai bagi pelaksanaan SPBE.

4. Aspek Pendanaan
a. UU Pemda disinergikan dengan UU Perimbangan Keuangan agar tidak menimbulkan ambiguitas dalam pengimplementasian norma.
b. Pemerintah Pusat perlu berkomitmen untuk menjalankan ketentuan-ketentuan dalam UU Pemda terkait pendanaan untuk urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
c. Pembentukan UU tentang Perubahan atas UU Perimbangan Keuangan.

5. Aspek Budaya Hukum
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah terus melakukan sosialisasi terkait dengan partisipasi masyarakat agar masyarakat dapat mengetahui bentuk partisipasi yang dapat diberikan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah.

Kajian, Analisis, dan Evaluasi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa / 01-09-2019

Setelah UU Desa dilaksanakan selama 5 (lima) tahun, terdapat isu-isu penting dalam hal penyelenggaraan pemerintahan desa di Indonesia, antara lain:
1) Dalam aspek substansi hukum, antara lain:
a. Pasal 1 angka 1 UU Desa mengatur bahwa “desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa…”, pengaturan tersebut menunjukkan adanya 2 entitas desa yakni desa dan desa adat namun frasa “selanjutnya disebut desa” tersebut berimplikasi pada timbulnya multitafsir pada pasal-pasal lainnya dalam hal pengaturan desa dan desa adat.
b. Pasal 1 angka 16 dan Penjelasan Umum UU Desa yang menyebutkan bahwa menteri yang menangani desa saat ini adalah Mendagri berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan dengan Kemendesa PDTT.
c. Pasal 33 UU Desa mengatur beberapa persyaratan calon kepala desa memiliki kendala terutama dalam hal syarat pendidikan paling rendah tamat sekolah menengah pertama yang berimplikasi pada kualitas kepemimpinan, dan syarat minimal terdaftar 1 (satu tahun) sebagai penduduk desa yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi menyebabkan tujuan pembangunan desa menjadi terhambat.
d. Pasal 39 UU Desa mengatur ketentuan kepala desa dapat menjabat selama 6 tahun selama paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan secara berturut-turut akan berpotensi terjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) di desa.
e. Pasal 100 ayat (1) UU Desa terkait perubahan status desa menjadi desa adat dan desa adat menjadi desa telah menimbulkan inkonsistensi dengan semangat UU Desa yang memberikan jaminan dan pengakuan terhadap masyarakat hukum adat.
f. Pasal 100 ayat (2) UU Desa menyebutkan dalam hal desa beralih status menjadi desa adat dan desa adat beralih status desa berimplikasi pada peralihan kekayaan, baik kekayaan desa menjadi kekayaan desa adat maupun kekayaan desa adat menjadi kekayaan desa. Namun, dalam pelaksanaannya pengaturan ini telah menimbulkan inkonsistensi dengan semangat UU desa yang memberikan jaminan dan pengakuan terhadap masyarakat hukum adat selain itu pengaturan tersebut dapat memicu konflik sebab kekayaan desa adat tidak bisa beralih status menjadi kekayaan desa begitupun sebaliknya.
g. Pasal 101 ayat (1) UU Desa mengatur bahwa Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat melakukan penataan desa adat. Dimana penataan desa adat tersebut ditetapkan dalam peraturan daerah. Pada Pasal 102 UU Desa ditegaskan bahwa peraturan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 tersebut berpedoman pada salah satu ketentuannya dalam Pasal 7 UU Desa terkait penataan desa yang salah satunya mengenai penetapan desa. Sesuai ketentuan Pasal 116 ayat (3) UU Desa terkait penetapan desa dan desa adat ditetapkan dengan peraturan daerah oleh pemerintah daerah kabupaten/kota paling lama 1 tahun setelah UU Desa diundangkan. Namun dalam pelaksanaannya, sampai dengan saat ini belum ada penetapan desa adat melalui peraturan daerah. Persoalan lain yang juga muncul dalam kaitannya dengan penetapan desa adat, yakni seperti hal nya di Provinsi Bali, tidak didaftarkannya desa adat secara formal karena berimplikasi pada kekayaan dan aset desa adat yang dikhawatirkan menjadi milik desa dinas (administratif).

2) Dalam aspek struktur hukum /kelembagaan, antara lain:
a. Adanya 2 (dua) kementerian yang menangani desa berimplikasi pada potensi tumpang tindih kewenangan dan berpotensi adanya duplikasi program. Hal ini disebabkan karena masing-masing kementerian mengeluarkan peraturan pelaksanaan yang berpotensi bertentangan seperti Permendagri Pengelolaan Keuangan Desa dan Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 16 Tahun 2018 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2019.
b. Terbatasnya kemampuan aparatur Pemerintah Desa dalam menyelenggarakan pemerintahan desa, pembangunan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa,
c. Pelaksanaan Pasal 55 huruf c UU Desa yang memuat fungsi BPD dalam melakukan pengawasan kinerja kepala desa dinilai masih sangat lemah yang menyebabkan potensi korupsi kepala desa menjadi semakin terbuka.
d. Penjelasan Umum UU Desa menyebutkan bahwa kelembagaan desa salah satunya terdiri dari Badan Permusyawaratan Desa/Desa Adat. Namun dalam pelaksanaannya di Provinsi Maluku masih terdapat pemahaman bahwa Badan Permusyawaratan Desa sebagaimana yang diatur dalam Pasal 55 sampai dengan Pasal 65 adalah juga mencakup Badan Permusyawaratam Desa Adat padahal dalam Pasal 108 UU Desa telah tegas menyatakan bahwa pemerintahan desa adat menyelenggarakan fungsi permusyawaratan dan musyawarah desa adat sesuai dengan susunan asli desa adat atau dibentuk baru sesuai dengan prakarsa masyarakat desa adat.
e. Pasal 112 ayat (1) UU Desa mengatur mengenai pembinaan dan pengawasan yang dilakukan secara berjenjang oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, namun dalam pelaksanaannya masih lemahnya pembinaan dan pengawasan terhadap aparatur Pemerintah Desa dalam menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan desa.

3) Dalam aspek pendanaan, antara lain:
a. Pasal 72 ayat (4) UU Desa yang mengatur ADD paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota dalam APBD setelah dikurangi DAK, hal ini tidak banyak dipatuhi oleh pemerintah daerah karena UU Desa tidak mengatur perihal sanksi bagi pemerintah daerah yang tidak memenuhi ketentuan tersebut.
b. Penggunaan DD dalam pelaksanaannya belum sesuai dengan tujuan peruntukannya sehingga penyelewengan dana desa masih banyak terjadi.
c. Pasal 79 UU Desa mengatur mengenai perencanaan pembangunan desa, namun dalam pelaksanannya masih terdapat kepala desa yang terlambat dalam menetapkan APB Desa yang mengakibatkan terlambatnya penerimaan dana desa dan juga berdampak pada keterlambatan pelaksanaan pembangunan desa.
d. Permasalahan banyaknya BUM Desa yang tidak aktif karena kurangnya pembinaan dan keterbatasan modal operasional.

4) Dalam aspek sarana dan prasarana, antara lain:
a. kurangnya jumlah dan belum sesuainya kompetensi tenaga pendamping profesional yang dibutuhkan menyebabkan pembinaan dan pendampingan desa menjadi tidak optimal.
b. Pasal 86 ayat (2) UU Desa mengatur bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengembangkan SID, namun sampai saat ini belum ada SID.
c. Dengan adanya beberapa kementerian yang menangani desa melahirkan indikator keberhasilan yang berbeda-beda yang berimplikasi pada beragam nya data yang dihasilkan terkait evaluasi pembangunan desa.

5) Dalam aspek budaya hukum antara lain:
a. Nilai kegotongroyongan masyarakat desa telah memudar yang menyebabkan menurunnya kesadaran masyarakat dalam pembangunan partisipatif desa mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan hingga pengawasan.
b. Pasal 100 UU Desa yang mengatur tentang perubahan status desa menjadi desa adat dan desa adat menjadi desa berimplikasi pada nili-nilai yang berlaku di masyarakat adat dimana nilai-nilai tersebut tidak dapat diseragamkan dan inkonsisten dengan semangat UU Desa yang memberikan jaminan dan pengakuan terhadap masyarakat hukum adat.

Provinsi Jawa Barat, Maluku, Bali dan Jawa Timur

1. Substansi Hukum
Berdasarkan uraian analisis dan evaluasi aspek substansi hukum, terdapat pemetaan masalah substansi/norma UU Desa berdasarkan indikator norma yang berpotensi disharmoni

2. Struktur Hukum/Kelembagaan
a. Adanya dualisme kementerian yang menangani desa berimplikasi pada tumpang tindih kewenangan terkait desa dan memicu timbulnya duplikasi program pembangunan desa. Sehingga menyebakan program yang dilaksanakan tidak tepat saran yang mengakibatkan tidak terlihat output yang dihasilkan.
b. Masih terbatasnya kemampuan/kapasitas pemerintah desa dalam hal perencanaan pembangunan desa dan pengelolaan keuangan desa baik dari tahapan perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, maupun pertanggungjawaban.
c. Minimnya kapasitas SDM BPD dalam memahami tugas dan fungsinya dan belum optimalnya peran BPD dalam menjalankan fungsi pengawasan.
d. Kurangnya pembinaan terhadap aparatur pemerintah desa terutama dalam hal perencanaan pembangunan dan pengelolaan keuangan desa dan lemahnya pengawasan yang kemudian berimplikasi pada timbulnya potensi-potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah desa.

3. Keuangan Desa
a. Kepala desa, perangkat desa, dan pengurus BUM Desa kurang memiliki kompetensi dan pemahaman yang optimal terkait regulasi dan teknis dalam hal keuangan desa serta pengelolaan BUM Desa.
b. Pendapatan asli desa masih rendah karena desa masih bergantung pada DD, ADD, dan bagi hasi PDRD kabupaten/kota.
c. Penganggaran DD membutuhkan akurasi dan keterpaduan data terkait dengan desa, seperti data dari IDM, data jumlah penduduk, data angka kemiskinan, data luas wilayah, dan data Indeks Kesulitan Geografis yang diolah oleh berbagai kementerian dan lembaga.
d. Terdapat pemerintah kabupaten/kota yang belum menerapkan kewajiban untuk menganggarkan 10% (sepuluh persen) APBD kabupaten/kota sebagai ADD.
e. Dalam hal pengelolaan DD, perencanaan pembangunan desa tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan kekhasan daerah sehingga berpotensi tidak tercapainya sasaran dan tujuan pembangunan desa.
f. Belum adanya regulasi penetapan standar akuntasi pemerintahan desa dan belum adanya regulasi penyelenggaraan dan pembinaan aparatur desa yang lengkap dan mutakhir
g. Status BUM Desa bukan sebagai badan hukum memberikan implikasi terhadap subjek yang melakukan perbuatan hukum, harta kekayaan, dan pertanggungjawaban meskipun UU Desa membuka ruang agar BUM Desa mengikuti badan hukum yang telah ditetapkan. BUM Desa tidak hanya berorientasi pada keuntungan sehingga penetapan tarif pajak penghasilan tidak dapat disamakan dengan perusahaan yang profit-oriented semata.

4. Sarana dan Prasarana
a. Terdapat aset desa yang belum tercatat dalam laporan aset dan/atau daftar inventarisasi aset
b. Kualitas SID dan manajemen informasi data yang dikelola oleh Pemerintah Desa belum optimal
c. Instrumen keberhasilan desa belum dapat digunakan sebagai dasar perencanaan kebijakan pembangunan desa secara akurat dikarenakan adanya perbedaan indeks.
d. Masih minimnya tenaga pendamping profesional dan tenaga pendamping yang ada belum sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan.

5. Budaya Hukum
Masyarakat dalam UU Desa memiliki peran yang sangat besar karena sebagai subjek pembangunan. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa sangat dibutuhkan karena akan menentukan keberhasilan program kinerja dan organisasi. Namun dalam pelaksanaannya, kesadaran masyarakat desa untuk ikut serta dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa masih belum optimal. Nilai dann budaya gotong royong juga telah memudar di kehidupan masyarakat desa. Selain itu kurangnya minta masyarakat untu berpatisipasi dalam pencalonan diri sebagai kepala desa juga menjadi pemicu adanya pilkades tunggal. Masyarakat juga belum optimal dalam menggunakan haknya untuk mendapatkan informasi dan ikut mengawal perencanaan pembangunan desa. Hal ini yang kemudian menjadi salah satu faktor penyebab terhambatnya pnyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di desa.

1. Dalam aspek Substansi Hukum, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan rekomendasi sebagai berikut:
a. Mengubah ketentuan UU Desa:
- Pasal 1 angka 1;
- Pasal 1 angka 16;
- Pasal 6 ayat (1);
- Pasal 8 ayat (2) dan (3);
- Pasal 19 huruf c dan d;
- Pasal 31 ayat (3);
- Pasal 33 huruf d;
- Pasal 33 huruf g;
- Pasal 50 ayat (1) huruf c;
- Pasal 39;
- Pasal 83 ayat (1);
- Pasal 86 ayat (2);
- Pasal 87 ayat (1);
- Pasal 96;
- Pasal 116 ayat (2), (3), dan (4);
- Penjelasan Umum;
- Penjelasan Pasal 6.

b. Melakukan sinkronisasi pengaturan UU Desa dengan UU Pemda.

2. Dalam aspek Struktur Hukum/Kelembagaan, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan rekomendasi sebagai berikut:
a. Perlu adanya perpres baru yang mengatur secara tegas bahwa hanya ada 1 (satu) menteri yang menangani desa agar sejalan dengan amanat UU Desa.
b. Perlunya peningkatan kapasitas pemerintah desa melalui pembinaan yang dilakukan secara konsisten dan berkesinambungan.
c. Perlunya peningkatan kapasitas SDM BPD melalui pembinaan dan pentingnya penguatan peran dan fungsi BPD khususnya terkait pengawasan kinerja kepala desa.
d. Dibutuhkan komitmen yang kuat dari pemerintah dan pemerintah daerah dalam hal pembinaan dan pengawasan serta didukung dengan mengoptimalkan peran BPD dan masyarakat dalam hal pengawasan agar penyelenggaraan pemerintahan desa dapat berjalan secara efektif.

3. Dalam aspek Keuangan Desa, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan rekomendasi sebagai berikut:
a. Perlunya kompetensi dan kreativitas dari pemerintah desa untuk memaksimalkan potensi desa untuk menambah pendapatan asli desa.
b. Perlunya penguatan koordinasi dan sinergitas dari berbagai instansi dalam pengumpulan data desa sehingga menjadi sebuah big data yang terintegrasi agar penganggaran DD tepat sasaran.
c. Perlunya reformulasi kewajiban pemerintah kabupaten/kota untuk menganggarkan ADD sebesar minimal 10% (sepuluh persen) dengan memperhitungkan proporsi jumlah desa dan kelurahan dalam kabupaten/kota.
d. Perlunya kebijakan yang lebih memberikan keleluasaan bagi desa dalam menentukan prioritas penggunaan DD dengan tetap dalam rambu-rambu sinkronisasi dengan perencanaan daerah dan nasional.
e. Perlu adanya regulasi terkait standar akuntasi pemerintahan desa.
f. Perlu adanya penegasan mengenai status hukum BUM Desa dalam UU Desa dan penyesuaian tarif pajak penghasilan bagi BUM Desa berdasarkan karakteristik BUM Desa yang tidak profit oriented semata.
g. Perlunya peran pemerintah dan pemerintah daerah untuk melakukan pembinaan terhadap aparatur pemerintah desa khususnya dalam pengelolaan keuangan desa dan BUM Desa.

4. Dalam aspek Sarana dan Prasarana, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan rekomendasi sebagai berikut:
a. Perlunya pembinaan aparatur pemerintah desa secara berkala oleh pemerintah kabupaten/kota dalam hal pelaporan pencatatan aset dan pengelolaan informasi desa melalui SID.
b. Peningkatan kompetensi dan penambahan jumlah tenaga pendamping.
c. Diperlukan adanya standarisasi indikator keberhasilan desa agar memperoleh data yang sama/valid.

5. Dalam aspek Budaya Hukum, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan rekomendasi yaitu Pemerintah Desa harus berperan untuk mendorong pelibatan masyarakat secara aktif dan luas mulai saat perencanaan pembangunan desa sampai dengan pelaksanaan sehingga terdapat kejelasan rencana kegiatan pembangunan dan sumber pembiyaannya.

Kajian, Analisis, Evaluasi, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional / 01-06-2019

dalam kurun waktu 15 (lima belas) tahun, terdapat beberapa permasalahan dalam hal penyelenggaraan jaminan sosial nasional di Indonesia antara lain:

1. Aspek Substansi Hukum
Beberapa pasal telah dibatalkan oleh MK yaitu Pasal 5 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 13 ayat (1), UU SJSN. Selain itu, permasalahan norma jangka waktu selambat-lambatnya 5 (lima) tahun PT. Taspen, PT. Askes, PT. Asabri, dan PT. Jamsostek harus menyesuaikan dengan UU ini juga tidak efektif.

2. Aspek Struktur Hukum
UU SJSN tidak menentukan adanya pembentukan 2 (dua) lembaga BPJS saja, DJSN sebagai pengawas eksternal BPJS belum melaksanakan tugas, fungsi, dan wewenangnya secara optimal.

3. Aspek Pendanaan
Pasal 24 UU SJSN tidak menjelaskan besaran pembayaran terkait dengan fasilitas kesehatan setiap wilayah, sehingga terjadi cash flow BPJS Kesehatan yang buruk berdampak pada cash flow rumah sakit untuk membayar suplai obat sehingga rumah sakit menjadi kekurangan obat-obatan yang merupakan akibat dari timbulnya mismatch antara penerimaan dan pengeluaran dana jaminan sosial.

4. Aspek Budaya Hukum
Angka kepersertaan pekerja sektor informal dan pekerja kerja pada sektor formal untuk ikut serta dalam program asuransi belum optimal.

Provinsi Sumatera Utara, Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Kalimantan Selatan

1.Aspek Substansi Hukum
Permasalahan substansi/norma hukum dalam pelaksanaan UU SJSN yaitu sebagai berikut:
a. Terkait kejelasan rumusan dalan UU SJSN, ditemukan permasalahan pada:
1) Pasal 1 angka 1 mengenai frasa “perlindungan sosial” dalam definisi jaminan sosial tidak sinkron dengan Pasal 1 angka 8;
2) Penjelasan Pasal 4 huruf g mengenai frasa “seluruh penduduk” dan frasa “yang dilaksanakan secara bertahap”;
3) Pasal 13 ayat (1) mengenai frasa “secara bertahap”;
4) Pasal 19 ayat (2) mengenai frasa “kebutuhan dasar kesehatan”;
5) Pasal 23 ayat (4) mengenai frasa “kelas standar”;
6) Pasal 24 ayat (2) mengenai frasa “hari”; dan
7) Pasal 39 ayat (4) mengenai frasa “usia pensiun”.

b. Terkait penilaian terhadap efektivitas pelaksanaan UU SJSN, ditemukan pemasalahan pada:
1) Pasal 5 ayat (1) mengenai pembentukan badan penyelenggara jaminan sosial dengan undang-undang; dan
2) Pasal 52 ayat (2) mengenai jangka waktu penyesuaian badan penyelenggara jaminan sosial dengan UU SJSN.

c. Terkait potensi tumpang tindih atau disharmoni UU SJSN dengan peraturan perundang-undangan lainnya, ditemukan permasalahan pada:
1) Pasal 32 ayat (1) dengan UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam mengenai penyelenggara program JKK dalam Asuransi Perikanan atau Asuransi Pergaraman; dan
2) Pasal 37 ayat (3) dengan PP Jaminan Hari Tua mengenai syarat pembayaran manfaat JHT.

d. Terkait penambahan pengaturan dalam UU SJSN adalah sebagai berikut:
1) Penambahan manfaat kembali bekerja dalam program JKK dan penambahan program JSTB;
2) Pengaturan mengenai kewajiban pemerintah daerah untuk melakukan perluasan cakupan kepesertaan, meningkatkan kualitas pelayanan, dan meningkatkan kepatuhan melalui peraturan daerah;
3) Penguatan pengaturan mengenai fungsi, tugas, dan wewenang DJSN;
4) Penyempurnaan tata kelola BPJS termasuk penilaian terhadap laporan pertanggungjawaban BPJS sebagai badan hukum publik;
5) Pengaturan mengenai sanksi; dan
6) Pengaturan mengenai pengawasan dan penegakan hukum.

2. Aspek Struktur Hukum/Kelembagaan
a. Kelembagaan DJSN
Pada saat ini fungsi, tugas dan wewenang DJSN belum dijalankan secara optimal, terutama dalam hal pelaksanaan monitoring dan evaluasi penyelenggaraan jaminan sosial.
b. Kepesertaan dan Iuran
1) Belum adanya PBI pada program jaminan sosial ketenagakerjaan yang meliputi program JKK, JKM, JHT, dan JP.
2) Tidak tepatnya sasaran dalam penetapan PBI bagi masyarakat, penggolongan fakir miskin dan orang tidak mampu serta validasi data PBI kurang optimal. Selain itu masih banyak peserta yang memiliki dua NIK dan peserta terdaftar tetapi tidak memiliki NIK yang dapat mempengaruhi data besaran jumlah peserta PBI dalam program JKN.
3) Masih banyak perusahaan di Indonesia yang tidak mendaftarkan para pekerjanya dalam program jaminan sosial, serta masih banyak perusahaan yang mencantumkan upah pekerja tidak sesuai dengan upah keseluruhan yang diterima pekerja selama satu bulan kepada BPJS Ketenagakerjaan yang berdampak pada berkurangnya manfaat jaminan sosial yang didapatkan pekerja.

c. Program Jaminan Sosial
1) Adanya irisan antara kedua jenis program jaminan sosial, yaitu pada manfaat pelayanan kesehatan dan program JKK yang diselenggarakan oleh BPJS Ketenagakerjaan juga memberikan manfaat pelayanan kesehatan bagi peserta yang mengalami risiko kecelakaan kerja yang menimbulkan permasalahan dalam pelaksanaannya.
2) Terkait kesepakatan besaran tarif pembayaran fasilitas kesehatan, bahwa pada implementasinya rumah sakit/dokter tidak pada posisi yang setara untuk dapat bernegosiasi dengan BPJS Kesehatan mengenai kesepakatan besaran tarif pembayaran fasilitas kesehatan.
3) Adanya permasalahan terkait pengembangan sistem pelayanan kesehatan dimana panjangnya alur/prosedur fasilitas kesehatan yang harus dilalui oleh pasien yang meningkatkan risiko keterlambatan tindakan dan memberikan dampak memburuknya kondisi kesehatan.

d. Permasalahan Implementasi Pasal 52 UU SJSN
Pasal 52 UU SJSN menjadi dasar legitimasi bagi PT. Taspen dan PT. Asabri untuk tetap dapat menjalankan program jaminan sosial. Tidak terdapat ketentuan dalam UU SJSN yang menyatakan PT. Taspen dan PT. Asabri harus bertransformasi dan melakukan pengalihan program kepada BPJS Ketenagakerjaan.

3. Aspek Sarana dan Prasarana
Sarana dan prasarana dalam upaya pelaksanaan jaminan sosial nasional dalam aspek kepesertaan masih terkendala dari tingkat kepatuhan pemberi kerja untuk mendaftarkan pekerjanya maupun warga masyarakat dalam mengikutsertakan dirinya dalam program jaminan sosial. Lemahnya pemberian sanksi administratif bagi pemberi kerja ataupun masyarakat turut menjadi penyebab cakupan kepesertaan yang pada prinsipnya bersifat wajib menjadi belum optimal. Pemberian nomor identitas tunggal yang didasari pada NIK menutup kemungkinan bagi warga negara yang tidak memiliki NIK untuk menjadi peserta. Hal tersebut tentunya berpotensi membatasi hak setiap orang untuk mendapatkan manfaat dari sistem jaminan sosial sebagaimana dijamin dalam UUD Tahun 1945.
Fasilitas kesehatan yang memiliki peranan penting dalam penyelenggaraan JK belum seluruhnya terakreditasi. Akreditasi pada fasilitas kesehatan sangatlah penting guna menjamin mutu pelayanan yang diberikan oleh fasilitas kesehatan pada pasien atau peserta jaminan sosial.

4. Aspek Pendanaan
a. Pendanaan BPJS Kesehatan yang defisit dikarenakan tingginya tagihan klaim rumah sakit tidak berbanding dengan iuran premi peserta yang dihitung tidak sesuai dengan besaran premi ideal yang harus di iur peserta. Keadaan tagihan klaim yang tinggi tersebut berbeda dengan nilai pengeluaran yang timbul dari JK yang diselenggarakan PT. Askes (Persero) dan PT. Jamsostek (Persero) yang memberikan JK kepada peserta pada segmentasi yang terbatas yang jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan jumlah peserta BPJS Kesehatan saat ini. Oleh karena itu, permasalahan defisit tersebut menjadi relevan menimbulkan kewajiban BPJS Kesehatan untuk membayar klaim yang sangat timpang dibandingkan penerimaan dari iuran peserta BPJS Kesehatan.
b. Ketimpangan besaran iuran tersebut menyebabkan BPJS menjadi terlambat melakukan pembayaran terhadap tagihan klaim fasilitas kesehatan mitra. Dalam mengatasi kekurangan tersebut pemerintah memberikan suntikan dana tambahan kepada BPJS Kesehatan setiap tahunnya. Namun, suntikan dana tambahan kepada BPJS Kesehatan tersebut tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 24 ayat (1) UU SJSN, sehingga untuk mempercepat pembayaran BPJS memberikan jalan keluar melalui program SCF. Namun program SCF masih memiliki kendala karena tidak ada payung hukum yang mengatur program SCF tersebut, sehingga masih ada penolakan dari fasilitas kesehatan mitra untuk menggunakannya.
c. Ketidakmerataan atas pelayanan kesehatan JKN mewajibkan BPJS Kesehatan memberikan dana kompensasi, namun hingga saat ini dana kompensasi belum dapat direalisasikan.

5. Aspek Budaya Hukum
Penyelenggaraan sistem jaminan sosial nasional tidak terlepas dari peranan masyarakat mengingat kepesertaan dari sistem jaminan sosial nasional adalah seluruh masyarakat Indonesia merupakan suatu unsur dari proses interaksi yang terjadi dalam masyarakat. Peran serta masyarakat yang disebut partisipasi masyarakat merupakan salah satu bentuk keikutsertaan masyarakat secara aktif dan bertanggung jawab dalam menentukan keberhasilan program dan kinerja organisasi. Permasalahan budaya hukum SJSN bersumber dari kesadaran masyarakat untuk mendaftarkan diri, pemberi kerja untuk mendaftarkan pekerjanya, dan pemerintah untuk mendaftarkan masyarakat miskin dan kurang mampu sebagai peserta, serta kepatuhan peserta untuk membayar iuran secara rutin

1. Dalam aspek Substansi Hukum, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan rekomendasi sebagai berikut:
a. Mengubah ketentuan UU SJSN:
- Pasal 1 angka (8) di sesuaikan dengan Pasal 1 angka (1);
- Penjelasan Pasal 4 huruf g;
- Pasal 13 ayat (1);
- Pasal 19 ayat (2);
- Pasal 23 ayat (4);
- Pasal 24 ayat (2);
- Pasal 39 ayat (4); dan
- Pasal 52 ayat (2).

b. Upaya tindakan dalam rangka efektivitas pelaksanaan UU SJSN:
- Membentuk undang-undang pembentukan PT. Taspen (Persero) dan undang-undang pembentukan PT. Asabri (Persero) sebagai badan penyelenggara jaminan sosial; dan
- Menyesuaikan asas, tujuan, dan prinsip penyelenggaraan jaminan sosial oleh PT. Taspen (Persero) dan PT. Asabri (Persero) sesuai dengan UU SJSN.
- Melakukan sinkronisasi pengaturan UU SJSN dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan sistem jaminan sosial nasional.
c. Melakukan sinkronisasi/harmonisasi pengaturan UU SJSN dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan sistem jaminan sosial nasional.
d. Melakukan penambahan norma-norma dalam UU SJSN untuk beberapa hal yang belum diatur.

2. Dalam aspek Kelembagaan, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan rekomendasi sebagai berikut:
a. Penguatan kelembagaan DJSN dalam UU SJSN agar DJSN dapat menjalankan tugas, fungsi, dan wewenangnya secara optimal.
b. UU SJSN juga perlu mengatur mengenai PBI untuk program jaminan sosial ketenagakerjaan terutama pada pekerja sektor informal, sebagaimana pengaturan PBI untuk program JK.
c. Penguatan koordinasi dan kerjasama antar setiap instansi/lembaga dalam hal validasi data PBI.
d. Penguatan koordinasi dan kerjasama antara Asosiasi Fasilitas Kesehatan dengan BPJS dalam penentuan besaran tarif pembayaran fasilitas kesehatan agar dapat tercapai kesepakatan yang tidak akan berdampak pada pelayanan yang diberikan kepada masyarakat. Serta BPJS Kesehatan dalam pelaksanaannya harus mengembangkan sistem pelayanan secara optimal untuk dapat memudahkan pelayanan kepada masyarakat.
e. Berdasarkan Penjelasan Umum UU SJSN jelas menegaskan bahwa penyelenggaraan jaminan sosial diselenggarakan oleh beberapa badan penyelenggara. Artinya tidak ada pembatasan jumlah badan penyelenggara jaminan sosial. Ketentuan Pasal 52 ayat (2) UU SJSN memerintahkan PT. Taspen (Persero) dan PT. Asabri (Persero) harus melakukan penyesuaian berdasarkan UU SJSN. Penyesuaian PT. Taspen (Persero) dan PT. Asabri (Persero) harus dibentuk dengan undang-undang sebagai badan penyelenggara jaminan sosial. Serta melakukan penyesuaian dari Persero menjadi Badan yang sesuai dengan prinsip sebagaimana yang diatur dalam Pasal 4 UU SJSN.

3. Dalam aspek Sarana dan Prasarana, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan rekomendasi sebagai berikut:
Dalam hal sarana dan prasarana, terkait dengan perluasan kepesertaan perlu ditingkatkan kembali khususnya pada sektor pekerja informal dan mengoptimalkan pengawasan serta pemberian sanksi bagi pemberi kerja untuk mendaftarkan pekerjanya pada program jaminan sosial. Serta diperlukan komitmen dari fasilitas kesehatan dan juga pemerintah untuk mendorong terlaksananya akreditasi guna menjamin mutu pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit pada pasien atau peserta jaminan sosial.
4. Dalam aspek Pendanaan, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan rekomendasi sebagai berikut:
a. Iuran peserta BPJS Kesehatan perlu dilakukan penyesuaian.
b. Program SCF perlu dibuatkan payung hukumnya agar fasilitas kesehatan mitra mendapat jaminan legalitas dalam menggunakannya.
c. Dana kompensasi harus segera dibayarkan oleh BPJS Kesehatan kepada daerah yang belum terdapat pelayanan JKN.
5. Dalam aspek Budaya Hukum, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan rekomendasi sebagai berikut:
1. Kepatuhan masyarakat sebagai peserta dan pemberi kerja dalam hal pembayaran iuran kepada BPJS haruslah ditingkatkan sehingga pengelolaan dana jaminan sosial nantinya dapat diperoleh manfaatnya oleh peserta untuk mendapatkan pelayanan mudah, diakses secara cepat dan bermutu. Selain itu perlu dilakukan sosialisasi kepada peserta BPJS kesehatan mengenai aturan pembayaran dan beberapa kebijakan terkait dengan JKN;
2. Proses sosialisasi program JK, JKK, JHT, JP, JKM yang terdapat dalam Pasal 18 UU SJSN kepada masyarakat, pekerja, pemberi kerja dan dinas terkait harus dilakukan dengan optimal sehingga program jaminan sosial dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat;

Kajian, Analisis, dan Evaluasi Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan / 01-03-2019

Permasalahan kesehatan mencakup bidang yang sangat luas dan multisektor, oleh karena itu, dalam Rapat Kerja Kesehatan Nasional 2019 (Rakerkesnas 2019) di Jakarta telah ditetapkan beberapa isu utama kesehatan yang harus diprioritaskan yaitu:
1. Angka kematian ibu/AKI- angka kematian neonatal/AKN,
2. Penyakit tidak menular (PTM),
3. Stunting,
4. Imunisasi,
5. Tuberkulosis (TB),
6. Digital health/e-health,
7. Kesiapan menghadapi bencana (pra dan post),
8. Pengelolaan sumber daya manusia (SDM) dan obat,
9. Jaminan kesehatan nasional/JKN (fasilitas kesehatan tingkat pertama/FKTP dan fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut/FKRTL), dan
10. Community engagement.

Selain itu, terdapat 18 pasal/ayat yang belum diterbitkan peraturan pelaksananya oleh Pemerintah. UU Kesehatan juga telah beberapa kali diuji oleh MK yaitu: Pasal 108 ayat (1) dan Penjelasannya, Pasal 199 ayat (1), Penjelasan Pasal 114, dan Penjelasan Pasal 115 ayat (1).

Provinsi Sumatera Utara, Aceh, dan Kalimantan Barat

1. Aspek Substansi
Terdapat masalah substansi/norma dalam UU Kesehatan yang berdasarkan indikator norma yang berpotensi disharmoni, ketidakjelasan rumusan dan inkonsistensi.

2. Aspek Struktur Hukum/Kelembagaan
Kurang optimalnya koordinasi kementerian/lembaga di tingkatan pusat, disinkronisasi pelaksanaan program kesehatan di pusat dan daerah akibat diterapkannya kebijakan otonomi daerah, kelembagaan BPKN tang tidak efektif, minimnya ketersediaan tenaga pengawas dan PPNS.

3. Aspek SDM, Sarana dan Prasarana
Permasalahan terkait kekurangan dan ketidakmerataan tenaga kesehatan, prinsip-prinsip profesionalisme tenaga kesehatan masih terabaikan, dan kurangnya perlindungan tenaga kesehatan atas dugaan kelalaian dan malpraktik.

4. Aspek Anggaran
Pengalokasian dan pemanfaatan anggaran di bidang kesehatan tersebut tidak sesuai dengan amanat UU Kesehatan, yaitu meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

5. Aspek Budaya Hukum
Peningkatan kesadaran masyarakat yang merupakan tujuan utama pelaksanaan pelayanan kesehatan promotif dan preventif sejauh ini dapat dikatakan belum berhasil dengan masih rendahnya kesadaran masyarakat terhadap kesehatan dan masih tingginya masyarakat yang mengalami gangguan kesehatan dikarenakan perilaku atau gaya hidup yang tidak mengedepankan kesehatan.

1. Aspek Substansi Hukum
a. Mengubah: Pasal 1 angka 4; Pasal 1 angka 9; Pasal 3; Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3); Pasal 46; Pasal 47; Pasal 48 ayat (1); Pasal 52; Pasal 75 ayat 2 huruf b; Pasal 87 ayat (1) dan (2); Pasal 98 ayat (1); Pasal 98 ayat (3); Pasal 111; Pasal 139; Pasal 144 ayat (2); Pasal 183; Pasal 188 ayat (2); Pasal 190 ayat (1); Pasal 191; Pasal 200.
b. Melakukan sinkronisasi pengaturan UU Kesehatan dengan ketentuan UU Tenaga Kesehatan, UU Pemda, UU Rumah Sakit, UU PPPK, UU SJSN, UU PB dan Putusan MK Nomor 82/PUU-XIII/2015.

2. Aspek Struktur Hukum/Kelembagaan
a. Meningkatkan komitmen Pemerintah maupun Pemerintah daerah untuk mengimplementasikan setiap kebijakan dibidang kesehatan;
b. Penguatan koordinasi dan kerjasama antar setiap intansi/lembaga yang diatur di dalam UU Kesehatan;
c. Membentuk BPKN sebagai amanat langsung dari diberlakukannya UU Kesehatan; dan
d. Mempertegas mekanisme pengawasan dan penegakan hukum dalam UU Kesehatan.

3. Aspek Sarana dan Prasarana
perlu peningkatan komitmen dari Pemerintah maupun pemerintah daerah dalam pemenuhan SDM di bidang kesehatan dan pemenuhan sarana dan prasarana sebagai penunjang akses dan kualitas pelayanan kesehatan dasar, pelayanan kesejatan rujukan, dan pelayanan kefarmasian guna mendukung pelaksanaan kesehatan di Indonesia.

4. Aspek Pendanaan
a. Mendorong Pemerintah untuk lebih mengeksplorasi sumber-sumber pembiayaan lain untuk bidang kesehatan selain dari APBN, APBD, dan mobilisasi dana JKN dan dimanfaatkan sebagian besar untuk pelayanan promotif dan preventif.
b. Mendorong Pemerintah untuk menetapkan persentase alokasi anggaran kesehatan yang lebih tinggi dalam APBN dan mempriritaskan pada program preventif dan promosi kesehatan.
c. Perlu adanya sebuah lembaga yang memiliki tugas, fungsi, dan wewenang untuk mengawasi sumber, alokasi, dan pemanfaatan pembiayaan kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah terutama pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota.

5. Aspek Budaya Hukum
dibutuhkan kesadaran masyarakat untuk lebih peduli pada kondisi kesehatannya dan pemberian edukasi serta penyampaian informasi yang tuntas oleh pemerintah, pemerintah daerah dan tenaga kesehatan.

Kajian, Analisis, Dan Evaluasi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen / 01-12-2018

UU Guru dan Dosen yang telah berlaku selama 13 (tiga belas) tahun ini ternyata tidak dapat mencapai tujuan pengundangannya secara optimal dengan masih banyaknya permasalahan guru dan dosen secara nasional hingga saat ini. Selain itu, beberapa ketentuan dalam UU Guru dan Dosen tidak terlaksanakan dengan baik, sehingga perlu dilakukan evaluasi terhadap UU Guru dan Dosen ini. Beberapa permasalahan yang ditemukan diantaranya adalah :
1. Ketentuan dalam UU Guru dan Dosen tidak terlaksana secara optimal
2. Peraturan pelaksana yang terkait pembinaan dan pengembangan profesi dan karir guru dan dosen masih belum terwujud
3. Wacana perlunya pemisahan pengaturan guru dan dosen dalam Undang-Undang yang berbeda
4. Dukungan terhadap rencana penyusunan naskah perubahan UU Guru dan Dosen

Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur (Malang), Provinsi Jawa Barat (Cirebon dan Bandung)

1. Pelaksanaan UU Guru dan Dosen belum optimal karena terdapat rumusan norma yang tidak konsisten dan tidak sesuai dengan UU Sisdiknas. Selain itu juga terdapat beberapa norma yang belum memenuhi asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan berdasarkan Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2011 dan prinsip profesionalitas berdasarkan Pasal 7 UU Guru dan Dosen.

2. Adanya masukan perubahan UU Guru dan Dosen, yang berupa :
a. Pemisahan pengaturan UU tentang Guru dan UU tentang Dosen dengan alasan guru dan dosen yang memiliki tugas, fungsi, peran dan karakteristik yang berbeda, seperti dosen melaksankana tridharma perguruan tinggi sedangkan guru tidak. Selain itu, guru dan dosen dikelola oleh instansi yang berbeda, yakni Kemendikbud dan Kemenristekdikti.
b. Penggabungan pengaturan guru dan dosen dengan alasan pertimbangan pembentuk UU Guru dan Dosen yang memandang guru dan dosen memiliki nature yang sama dan mengurangi obesitas regulasi di Indonesia sehingga pengaturan lebih lanjut terkait guru maupun dosen dilakukan melalui PP tentang Guru dan PP tentang Dosen agar fleksibel bila ada perkembangan dan perubahan pengaturan tentang guru dan dosen.

1. Melakukan sinkronisasi pengaturan UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Guru dan Dosen dengan ketentuan dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
2. Mengubah ketentuan UU Guru dan Dosen:
a. Pasal 1 angka 1;
b. Pasal 1 angka 14;
c. Pasal 10;
d. Pasal 11 ayat (2);
e. Pasal 26 ayat (1);
f. Pasal 35 ayat (2);
g. Pasal 47 ayat (1) huruf c;
h. Pasal 47 ayat (2);
i. Pasal 72 ayat (2); dan
j. Pasal 82 ayat (2).

Kajian, Analisis, dan Evaluasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup / 01-09-2018

Selama berlakunya UU PPLH sejak tahun 2009, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI menemukan permasalahan utama dan mendasar terkait dengan pelaksanaan UU PPLH antara lain:
1. Dalam aspek perencanaan, yaitu belum ditetapkannya Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) sebagaimana yang telah diamanatkan dalam UU PPLH kepada Pemerintah dan pemerintah daerah. Kemudian terkait dengan penerbitan izin usaha bagi usaha/kegiatan yang wajib memiliki izin lingkungan, dimana persyaratan untuk dikeluarkan izin meliputi dokumen lingkungan berupa Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) serta Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL). Serta keterlibatan Dinas Kelautan dan Perikanan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

2. Dalam aspek pemanfaatan, tercermin jelas atau tidaknya prinsip kemanfaatan yang ada di dalam rumusan ketentuan UU PPLH bergantung kepada degree of perception (tergantung pada sudut pandangnya), seperti belum ditetapkannya Peraturan Pemerintah sebagaimana yang diamanatan oleh pasal 12 ayat 4 UU PPLH terkait dengan tata cara penetapan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.

3. Dalam aspek pengendalian, yang berkaitan dengan dokumen lingkungan seperti Amdal dan UKL-UPL yang dibuat dan dilaporkan secara berkala sebagai persyaratan untuk izin lingkungan dan izin-izin usaha lainnya.

4. Dalam aspek pemeliharaan lingkungan, yaitu kesadaran masyarakat dan seluruh pihak terkait dalam upaya yang dilakukan untuk menjaga pelestarian fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya penurunan atau kerusakan lingkungan hidup.

5. Dalam aspek pengawasan terkait dengan pelaksanaan koordinasi kewenangan dan pengawasan antara Pemerintah dan pemerintah daerah.

6. Dalam aspek penegakan hukum, yaitu berkaitan dengan sistem penegakan hukum terpadu dan disertai dengan prosedur penegakan hukum yang berimplikasi pada minimnya kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum yang berkaitan dengan sanksi pidana dan administratif sebagaimana yang diatur di dalam peraturan perundang-undangan.

7. Dalam aspek lainnya, yang berkaitan dengan adanya disharmoni dan tumpang tindih dengan peraturan perundang-undangan terkait dan terdapat sejumlah peraturan perundang-undangan yang tidak berjalan di tingkat daerah.

Provinsi Riau dan Provinsi Jawa Tengah

Berdasarkan hasil kajian, analisis, dan evaluasi UU PPLH yang telah dilakukan pemantauan oleh Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI, dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan UU PPLH tidak optimal karena terdapat kendala/masalah terkait aspek substansi hukum, struktur hukum, sarana dan prasarana, pendanaan, dan budaya hukum masyarakat yang diurai sebagai berikut:

1. Aspek Substansi Hukum
Terdapat ketidakjelasan rumusan pada Pasal 48, Pasal 66, Pasal 73, Pasal 77, Pasal 81, dan Pasal 90; serta terdapat ketidakefektifan pada Pasal 10 ayat (3) huruf a, 12 ayat (1), Pasal 36 s.d Pasal 41, Pasal 86, Pasal 95.

2. Aspek Struktur Hukum/Kelembagaan
Pelaksanaan otonomi daerah dalam Pasal 63 dan Pasal 13 ayat (3) UU PPLH belum menhatur kewenangan pemerintah daerah kabupaten/kota dalam penanganan pencemaran lingkungan, serta belum optimalnya pengawasan dan penegakan hukum lingkungan hidup.

3. Aspek Sarana dan Prasarana
Keberadaan laboratorium pengujian lingkungan yang ada saat ini belum merata terlebih yang memenuhi akreditasi sebagai laboratorium penguji parameter kualitas lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Permen LH
Nomor 6 Tahun 2009 yang menyebabkan kurang efektifnya penyediaan data kualitas lingkungan yang akurat dan valid.

4. Aspek Pendanaan
PP IELH belum tersosialisasi dengan baik, anggaran berbasis lingkungan hidup belum berbasiskan amanat Pasal 45 UU PPLH, dan belum ditetapkan secara rinci terkait Dana Pemulihan Limgkungan Hidup.

5. Aspek Budaya Hukum
Banyaknya kasus pembakaran lahan/hutan di masyarakat tidak mengikuti ketentuan yang ada.

1) Penambahan wewenang pemerintah daerah dalam Pasal 48 UU PPLH untuk mendorong penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan audit lingkungan hidup dapat dilakukan dengan mendasarkan pada wewenang yang dimiliki oleh pemerintah daerah berdasarkan Pasal 63 ayat (2) huruf i dan ayat (3) huruf l serta Pasal 71 ayat (1) UU PPLH.
2) Terkait Pasal 77 UU PPLH, diperlukan pemberian wewenang second line kepada gubernur untuk memberikan/menerapkan sanksi administratif terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika pemerintah provinsi menganggap pemerintah daerah kabupaten/kota secara sengaja tidak menerapkan sanksi administratif terhadap pelanggaran yang serius di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
3) Terkait Pasal 81 UU PPLH, perlu menetapkan instrumen uang paksa (dwangsom) terhadap setiap keterlambatan dari pelaksanaan sanksi paksaan pemerintah. Uang paksa dapat dijadikan tambahan dan/atau mengganti denda yang selama ini diterapkan.
4) Terkait Pasal 90 ayat (1) UU PPLH, terdapat alternatif usulan untuk mengubah hak gugat menjadi kewajiban gugat untuk menegaskan prinsip pencemar pembayar dan/atau menambahkan ketentuan kewajiban gugat setelah hak gugat.

Kajian, Analisis, dan Evaluasi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan / 01-06-2018

Selama berlakunya UU Kepariwisataan sejak tahun 2009, terdapat sejumlah permasalahan utama dan mendasar yang berkaitan dengan pelaksanaan UU Kepariwisataan ini antara lain:1. Sarana dan prasarana 2. Sumber daya manusia3. Kebijakan skala daerah4. Penegakan hukum (penerapan sanksi)5. Investasi (penanaman modal, terutama investor asing)6. Pembangunan pariwisata7. Pengelolaan dan pelestarian lingkungan tempat wisata8. Ketertiban dan keamanan tempat wisata 9. Kewenangan dan koordinasi antar lembaga terkait pariwisata10. Minimnya anggaran guna pendanaan kepariwisataan

Daerah Istimewa Yogyakarta, Sumatera Barat, Bali dan Nusa Tenggara Barat

Pelaksanaan UU Kepariwisataan dalam kurun waktu 9 tahun terdapat permasalahan dalam implementasinya, antara lain:
a. Substansi Hukum
Belum ditetapkannya Kawasan Pariwisata Khusus melalui undang-undang, belum ditetapkannya peraturan pelaksana terkait pendanaan oleh pengusaha dan/atau masyarakat di pulau kecil, serta belum adanya pengaturan terkait siapa yang berwenang memberikan sanksi dan mekanisme pemberian sanksi;
b. Kelembagaan/Struktur Hukum
Kurangnya koordinasi antara BPPI dan BPPD terkait promosi pariwisata dan tidak adana kejelasan mengenai siapa yang memiliki kewenangan dalam penegakan hukum;
c. Sarana dan Prasarana
Pembangunan infrastruktur sarana dan prasarana di daerah belum optimal sebagai akibat dari kurangnya koordinasi lintas sektor.
d. Pendanaan
Status pendanaan BPPI dan BPPD yang belum jelas, minimnya pendanaan pemeliharaan cagar budaya, dan tidak jelasnya ketentuan dana bagi hasil dalam UU Pemerintahan Daerah.
e. Budaya Hukum
Minimnya pemahaman masyarakat terhadap UU Kepariwisataan dan penyelenggaraan kepariwisataan belum mengakomodir prinsip kearifan lokal.

Perlu dilakukan perubahan dan penyesuaian norma terutama pada Pasal 13 ayat (4), Pasal 60, Pasal 62, dan Pasal 63 dan pengkajian ulang terhadap Pasal 4, Pasal 7, Pasal 13 ayat (2), Pasal 14 huruf k, Pasal 25, dan Pasal 50 ayat (4) untuk menyesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan peraturan perundang-undangan yang telah ada dengan pengaturan terkait kepariwisataan.

Kajian, Analisis, dan Evaluasi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial / 01-03-2018

Sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 52 UU SJSN (setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 007/PUU-III/2005), pelaksanaan 5 (lima) program jaminan sosial tersebut perlu diselenggarakan oleh badan penyelenggara yang dibentuk dengan undang-undang. Badan penyelenggara yang dimaksud harus sesuai dengan prinsip dalam UU SJSN untuk mewujudkan tujuan sistem jaminan sosial yang dicita-citakan. Badan penyelenggara yang dimaksud oleh UU SJSN adalah transformasi dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang telah ditetapkan dalam UU SJSN, yaitu PT. Jamsostek (Persero), PT. Askes (Persero), PT. Taspen (Persero), dan PT. ASABRI (Persero). Oleh karena itu, untuk melaksanakan amanat UU SJSN maka dibentuklah BPJS melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS). Undang-undang ini telah berlaku selama 7 (tujuh) tahun sejak diundangkan, maka itu kiranya sangat perlu dilakukan pemantauan untuk memperoleh berbagai fakta dan evaluasi agar dapat diketahui efektifitas dan perbaikan yang perlu dilakukan guna meningkatkan capaian pelaksanaan jaminan sosial nasional yang dicita-citakan.

Provinsi Aceh, Jawa Tengah, Bangka Belitung dan Sulawesi Utara

Bahwa pelaksanaan UU BPJS tidak optimal karena terdapat kendala/masalah yang diantaranya adalah sebagai berikut:
1). Adanya transformasi kelembagaan badan pelaksana jaminan sosial dari ketentuan yang ada dalam UU SJSN yang mengatur adanya penyesuaian badan-badan penyelenggara jaminan sosial yang ditunjuk melalui UU SJSN menjadi peleburan badan-badan tersebut dalam lembaga BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan;
2). Ketidaksesuaian ketentuan dan pelaksanaan UU BPJS dengan ketentuan UU SJSN;
3). Tujuan sistem jaminan sosial yang masih belum dapat dicapai;
4). Kesulitan pengefektifan pelaksanaan ketentuan dalam UU BPJS seperti pelaksanaan kewenangan BPJS; dan
5). Hubungan kerjasama badan pelaksana jaminan sosial dengan instansi pemerintaham dalam rangka mengoptimalkan capaian kesejahteraan rakyat melalui program jaminan sosial.

UU BPJS perlu diubah untuk disesuaikan dengan ketentuan yang diatur oleh UU SJSN yang merupakan dasar hukum pembentukan UU BPJS dan menyesuaikan dengan pertimbangan hakim dan putusan mahkamah konstitusi atas pengujian UU SJSN dan UU BPJS agar pelaksanaan sistem jaminan sosial nasional dapat mencapai tujuannya dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Kajian, Analisis dan Evaluasi UU No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial / 01-12-2017

UU Penanganan Konflik Sosial telah diberlakukan selama lima tahun namun belum secara komprehensif digunakan oleh para pemangku kepentingan dikarenakan sulitnya pelaksanaan norma, terdapat beberapa mekanisme penyelesaian konflik sosial diluar UU Penanganan Konflik Sosial dan minimnya pengaturan tentang pengawasan dan ketentuan sanksi sehingga sulit untuk dilaksanakan.

Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Lampung, Provinsi Maluku, dan Provinsi Sulawesi Tengah

Pelaksanaan UU Penanganan Konflik Sosial dalam kurun waktu lima tahun terdapat permasalahan dalam implementasinya, antara lain:
1. Dalam aspek substansi hukum, belum tegas diaturnya kriteria khusus kapan sebuah konflik sosial dapat berdampak menjadi sebuah bencana sosial dan pada tahap penghentian konflik belum jelas mengatur tentang tugas, tanggungjawab dan kewenangan TNI dan Polri.;
2. Dalam aspek struktur hukum dan kelembagaan, tidak adanya manajemen konflik yang terkoordinasi dan terintegrasi dalam satu sistem penanganan konflik sosial yang kuat;
3. Dalam aspek budaya hukum, penanganan konflik di masyarakat lebih mengedepankan pranata adat dan pranata sosial;
4. Dalam aspek sarana dan prasarana, dibutuhkan dukungan sarana dan prasarana operasional kesiagaan dan perlindungan masyarakat dalam upaya pencegahan konflik sosial.

a) Dari aspek substansi hukum, perlu dilakukan revisi terhadap beberapa pasal dalam UU Penanganan Konflik Sosial, di antaranya: Pasal 1 angka (1) UU Penanganan Konflik Sosial terkait cakupan konflik secara luas dan menyeluruh; Pasal 5 UU Penanganan Konflik Sosial terkait batasan yang jelas atas sumber-sumber konflik; Pasal 6, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 25 ayat (2), Pasal 33, Pasal 36 ayat (1) UU Penanganan Konflik Sosial terkait pembagian kewenangan agar lebih terintegrasi dan memiliki batasan jelas serta tidak saling tumpang tindih dengan peraturan perundang-undangan lain; pengkajian ulang terkait efektivitas Pasal 14, Pasal 15, Pasal 22, Pasal 25 ayat (2), Pasal 29, Pasal 42 ayat (2) UU Penanganan Konflik Sosial; pengaturan mekanisme yang jelas pada Pasal 32 huruf c (mekanisme pengungsian) dan Pasal 38 ayat (2) huruf a (pemulihan psikologis korban konflik dan perlindungan kelompok rentan) UU Penanganan Konflik Sosial; pengaturan Pasal 41 ayat (1) UU Penanganan Konflik Sosial terkait model penyelesaian konflik melalui mekanisme adat yang selaras dengan hukum positif; serta agar beberapa peraturan pelaksana sejalan dengan UU Penanganan Konflik Sosial, contohnya Permendagri No. 42 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Koordinasi Penanganan Konflik Sosial; Pasal 49 ayat (2) UU Penanganan Konflik Sosial terkait keanggotaan Komnas HAM sebagai anggota Satgas Konflik agar tidak menghilangkan peran lembaganya yang indepedenden sebagai pencari fakta.
b) Selain itu, perlu dilakukan kajian lebih dalam terkait perlu tidaknya pengaturan sanksi pada UU Penanganan Konflik Sosial serta perlu dilakukan harmoninasi dan sinkronisasi Peraturan Perundang-undangan yang mengatur mengenai penanganan konflik sosial dan yang terkait agar menghasilkan penanganan konflik sosial yang terpadu, integratif, dan tidak saling tumpang tindih.
c) Dari aspek kelembagaan, perlu diatur pembentukan lembaga permanen yang khusus menangani konflik sosial baik di tingkat pusat maupun daerah sebagai solusi atas kebuntuan pelaksaan UU Penanganan Konflik Sosial; perlu penambahan mengenai materi tentang pengawasan dan penegakan hukum.Dari aspek sarana prasarana, perlu dilakukan pembangunan sistem peringatan dini secara terintegrasi di semua daerah di wilayah Indonesia sebagaimana disebutkan dalam Pasal 11 UU Penanganan Konflik Sosial.
d) Dari aspek pendanaan, diperlukan mekanisme supervisi dan pengawasan dalam hal pendanaan untuk memastikan bahwa dana penanganan konflik sosial sudah dialokasikan sebagaimana mestinya. Dan perlu pengalokasian dana untuk Tim Terpadu selain Kesbangpol dalam pelaksanaan koordinasi penanganan konflik dalam APBN dan APBD secara jelas. Serta perlu pengalokasian anggaran untuk Pranada Adat mengingat perannya cukup berpengaruh khususnya didaerah.
e) Dari aspek budaya hukum, perlu dilakukan sosialisasi yang lebih banyak khususnya oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah kepada pemangku kepentingan di daerah sebagai pelaksana utama yang akan melaksanakan mekanisme penanganan konflik sosial secara langsung di lapangan dan berkenaan langsung dengan konflik serta masyarakat. Serta perlu juga dilakukan sosialisasi kepada masyarakat sehingga masyarakat lebih paham akan eksistensi UU Penanganan Konflik Sosial dan dapat mendukung implementasi dari UU Penanganan Konflik Sosial.

Kajian, Analisis, dan Evaluasi UU Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional / 01-09-2017

Selama berlakunya UU Sistem Keolahragaan Nasional sejak tahun 2005 Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI menemukan permasalahan utama dan mendasar terkait dengan pelaksanaan UU Sistem Keolahragaan Nasional antara lain: (Dalam Bab I)
a. Isu Utama per aspek
1) Aspek substansi hukum
a) Istilah/frasa pengaturan olahraga penyandang cacat
b) Adanya disharmoni dengan perundang-undangan lain
c) Pengelolaan olahraga penyandang disabilitas

2) Aspek Kelembagaan/Struktur Hukum
a) Adanya tumpang tindih kewenangan antara KONI dan KOI
b) Adanya Permasalahan transisi kewenangan dari Satlak PRIMA kepada KONI dan KOI terkendala dan tidak efektif
c) Larangan rangkap jabatan pengurus KONI
d) Pengembangan IPTEK keolahragaan
e) Permasalahan penghargaan
f) Industri olahraga
g) Standarisasi, Sertifikasi dan Akreditasi Nasional Keolahragaan (BSANK)
h) Pengawasan
i) Penyelesaian sengketa

3) Aspek pendanaan
Pengalokasian pendanaan belum maksimal

4) Aspek sarana dan prasarana
Keterbatasan anggaran dan kurangnya pengadaan sarana dan prasarana

5) Aspek budaya hukum
Kurangnya sosialisasi dan tingkat kesadaran masyarakat

b. Putusan MK
Putusan MK No. 19/PUU-XII/2014 menyatakan Frasa "Komite Olahraga" yang tercantum dalam Pasal 36 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 39, Pasal 46 ayat (2) UU No. 3 Tahun 2005 tentang SIstem Keolahragaan Nasional bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945

c. Perlak belum diterbitkan
(tidak ada)

d. Prolegnas
Urutan ke-160

Provinsi Jawa Tengah, Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Barat, Bali, dan Papua

Pelaksanaan UU Sistem Keolahragaan Nasional sejak tahun 2005 terdapat permasalahan dalam implementasinya, antara lain:
a. Aspek Substansi Hukum
1) Penjelasan Pasal 19 ayat (1): “olahraga rekreasi merupakan kegiatan olahraga waktu luang” dikaitkan dengan definisi olahraga rekreasi dalam Pasal 1 angka 12 menimbulkan persepsi negatif bahwa olahraga rekreasi tidak dilaksanakan secara teratur
2) Adanya disharmoni tanggung jawab dan kewenangan penyelenggaraan olahraga rekreasi dalam UU SKN dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. UU SKN tidak menyebut FORMI sebagai koordinator yang menaungi seluruh cabor rekreasi, sehingga FORMI kurang diakui sebagai salah satu komite olahraga nasional.
3) Terdapat istilah/frasa mengenai pengaturan olahraga penyandang cacat dalam materi muatan UU SKN dan peraturan pelaksanaannya yang sudah tidak sesuai setelah disahkannya UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas
4) Dalam hal pengelolaan olahraga penyandang disabilitas, perlu dipertimbangkan untuk penggabungan organisasi National Paralympic Commite Indonesia (NPC) yang menaungi olahraga penyandang disabilitas bagi penyandang disabilitas fisik dan Spesial Olympic Indonesia (SOIna) yang menaungi olahraga penyandang disabilitas bagi penyandang disabilitas mental.
5) Pengunduran Diri Organisasi National Paralympic Committee Indonesia sebagai Anggota KONI menyebabkan ketidakjelasan posisi Organisasi NPC daerah di dalam struktur pemerintahan daerah.
6) Organisasi penyandang disabilitas yang lain seperti Special Olympics Indonesia (SOIna) yang mengurusi olahraga penyandang disabilitas intelektual juga belum terakomodasi dan terfasilitasi dengan baik karena belum diakui dan bukan bagian dari KONI Daerah atau NPC Daerah di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.


b. Aspek Kelembagaan/Struktur Hukum
1) Tugas dan Kewenangan Pemerintah
a) Adanya tumpang tindih kewenangan antara KONI dan KOI, terutama dalam hal pembinaan atlet untuk mengikuti kejuaraan skala internasional. Lebih jauh, pembentukan Satlak Prima juga menimbulkan berbagai permasalahan yaitu tidak terpenuhinya pencapaian prestasi atlet nasional ditingkat internasional serta macetnya koordinasi antara pengambilan keputusan dan pelaksanaan prestasi olahraga.
b) Terdapat permasalahan transisi kewenangan dari Satlak PRIMA kepada KONI dan KOI juga masih terkendala dan tidak efektif sampai saat ini.
c) Dengan memperhatikan bentuk dan status organisasi olahraga di dunia, maka kondisi badan organisasi olahraga di dunia, maka kondisi badan organisasi olahraga yang ada di Indonesia perlu dipertimbangkan lebih lanjut. Adapun alternatif solusi adalan menggabungkan KONI dan KOI menjadi satu dengan nama KONI, yaitu Komite Olimpiade Nasional Indonesia sebagai NGO.
d) Perlu dibentuk semacam “Sport Council” atau badan pembina olahraga nasional sebagai Government Organization. Menteri Olahraga sekaligus sebagai ex officio Ketua Umum “Sport Council” agar fungsi dan peran pemerintah lebih jelas.

2) Tugas dan Kewenangan Pemda
a) Berdasarkan Pasal 12 ayat (2) huruf m UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, kepemudaan dan olahraga merupakan salah satu urusan pemerintah wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar. Kemudian pada Pasal 18 ayat (4) huruf a PP No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah diatur bahwa urusan kepemudaan dan olahraga dapat digabungkan dengan pendidikan, kebudayaan, dan pariwisata.
b) Kemenpora mengeluarkan Permenpora No. 33 Tahun 2016 tentang Pedoman Nomenklatur Perangkat Daerah dan Unit Kerja pada Dinas Pemuda dan Olahraga. Dalam Pasal 2 ayat (2), dan ayat (3) disebutkan bahwa urusan kepemudaan dan olahraga wajib diselenggarakan oleh semua daerah provinsi dan kab/kota dan diwadahi dalam bentuk dinas pemuda dan olahraga daerah provinsi dan kab/kota. Pentingnya pemisahan urusan keolahragaan dengan urusan pendidikan, kebudayaan, dan pariwisata menjadi pembinaan dan pengembangan keolahragaan tidak optimal.
c) Pemerintah daerah belum mampu mengkordinasikan pembinaan dan pengembangan olahraga karena belum adanya peraturan daerah tentang keolahragaan. Contoh: Provinsi Bali, dan Papua

d) Pengelolaan Keolahragaan
a) UU SKN tidak menyebabkan tumpang tindih pengaturan kewenangan antara Pemerintah, pemda, dan Komite Olahraga Nasional, KOI, dan induk organisasi cabor. Hal ini sejalan dengan pendapat MK dalam Putusan No. 19/PUU-XII/2014. Maka perlu penegasan bentuk kerjasama antar K/L dalam pelaksanaan pengelolaan keolahragaan.
b) Pasal 36 UU SKN yang menyatakan “Induk organisasi cabang olahraga membentuk suatu komite olahraga nasional yang bersifat mandiri”. Berdasarkan Putusan MK No. 19/PUU-XII/2014, dalam rangka memberikan kepastian hukum terhadap pengelolaan keolahragaan nasional, MK memaknai frasa “komite olahraga” dalam Pasal 36 ayat (1), (2) dan (3), Pasal 37 ayat (1), (2) dan (3), Pasal 38 ayat (1), (2) dan (3), Pasal 39, dan Pasal 46 ayat (2) UU SKN harus dimaknai “Komite Olahraga Nasional Indonesia dan komite olahraga nasional lainnya” dengan pertimbangan bahwa frasa komite olahraga merupakan entitas yang umum/beragam dan tidak mengandung satu artian dan MK menilai adanya beberapa komite olahraga nasional yang akan dibentuk oleh induk organisasi cabang olahraga justru menunjang perkembangan olahraga nasional dan pada praktiknya KONI bukan merupakan satu-satunya komite olahraga di Indonesia.

c) Larangan Rangkap Jabatan Pengurus KONI
a) Pasal 40 UU SKN tidak mengatur secara tegas mengenai pelarangan rangkap jabatan, rumusannya adalah “tidak terikat dengan kegiatan jabatan struktural dan jabatan publik”. Dalam pelaksanaannya, masih terdapat kepengurusan KONI baik di tingkat pusat maupun daerah provinsi dan kabupaten/kota yang dipimpin oleh pejabat struktural dan pejabat public
b) Perlu adanya pengaturan yang tegas dan tidak multitafsir dalam hal larangan rangkap jabatan pengurus KONI maupun Cabang Olahraga dengan Jabatan Publik.

d) Pengembangan IPTEK Keolahragaan
a) Pelaksanaan penelitian belum mengarah pada penggalian akar masalah keolahragaan nasional sehingga hasilnya tidak dapat dijadikan referensi perbaikan sistem keolahragaan nasional.
b) Pemerintah dan pemerintah daerah belum dapat memfasilitasi pengembangan IPTEK keolahragaan dan perguruan tinggi serta lembaga Pengembangan IPTEK Keolahragaan dapat berkontribusi aktif untuk bidang keolahragaan. Belum optimalnya pengembangan IPTEK mempengaruhi kemajuan prestasi olahraga nasional.
c) Dalam prakteknya, IPTEK keolahragaan di Indonesia masih belum dapat diterapkan.

d) Permasalahan penghargaan
a) Bentuk jaminan hari tua kepada olahragawan yang berprestasi dan/atau berjasa dalam memajukan olahraga belum mencerminkan jaminan terhadap pemenuhan kebutuhan dasar dan belum memberikan kepastian hukum bagi olahragawan berprestasi.
b) Tidak adanya aturan mengenai kesamaan besaran pemberian penghargaan menyebabkan pemerintah daerah memberikan penghargaan yang berbeda-beda. Hal ini didasari karena potensi dan kemampuan daerah berbeda yang menimbulkan terjadinya perpindahan atlet yang memberikan bonus lebih besar.
c) Perlu diberi rumusan yang jelas mengenai batas pensiun atlet untuk menjamin program pemberian Jaminan Hari Tua untuk atlet tersebut dan program peremajaan atlet perlu terus-terusan dijalankan untuk menjamin regenerasi atlet supaya atlet yang mencapai usia pensiun sudah dapat fokus mempersiapkan masa pensiunnya karena sudah ada atlet muda yang siap menggantikannya.
d) Mengingat keterbatasan kemampuan negara, perlu untuk dipertimbangkan pemberian penghargaan diprioritaskan untuk atlet berprestasi tingkat Olimpiade, maupun Asian Games terlebih dahulu, karena mereka telah mengharumkan nama Indonesia di mata dunia. Selain itu, para atlet perlu diberikan bimbingan karir supaya pelaku olahraga mendapatkan pilihan melanjutkan karir setelah pensiun di dunia olahraga.
e) Perlu dibuat standarisasi bonus atau penghargaan terhadap atlet agar perpindahan atlet tidak dilatar belakangi oleh materi semata dan juga perlu dibuat peraturan yang mengatur pembinaan atlet daerah.

f) Industri olahraga
Pasal 78 sampai dengan Pasal 80 UU SKN tidak dapat diimplementasikan karena tidak adanya regulasi ataupun panduan yang secara teknis menjabarkan perintah UU SKN tentang industri olahraga

g) Standarisasi, sertifikasi, dan akreditasi keolahragaan
Peran Badan Standarisasi dan Akreditasi Nasional Keolahragaan (BSANK) sebagai badan yang melakukan standardisasi dan akreditasi belum efektif sampai saat ini, dikarenakan BSANK masih belum menjadi satu-satunya lembaga yang melakukan standarisasi, akreditasi, dan sertifikasi keolahragaan

h) Pengawasan
BOPI dibentuk oleh Pemerintah bertugas mengawasi olahraga profesional, dalam prakteknya hanya mengawasi 5 cabang olahraga profesional yang sudah terdaftar di BOPI yaitu sepak bola, golf, dansa, muay thai, mixed martial art. Hal ini menimbulkan permasalahan terutama kepada cabang olahraga profesional lain yang masih belum diawasi oleh BOPI maka pengawasan eksternalnya menjadi tidak jelas dan berpotensi terjadi pelanggaran-pelangggaran di dalamnya

i) Penyelesaian sengketa
Penyelesaian masalah melalui jalur arbitrase, dinilai belum efektif menyelesaikan sengketa keolahragaan yang salah satunya permasalahan dualisme kepengurusan organisasi olahraga.

c. Aspek Sarana dan Prasarana
Secara normatif, substansi UU SKN yang mengatur penyediaan sarana dan prasarana sudah memadai, namun dalam impelementasinya belum optimal, dikarenakan:
j) Keterbatasan anggaran;
k) Komitmen Pemerintah dan pemerintah daerah kurang dalam pengadaan sarana dan prasarana.

d. Aspek Pendanaan
1) Pengalokasian pendanaan yang belum maksimal oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah
2) Kemampuan daerah dalam menyediakan dana olahraga dan hibah yang tidak dapat dilakukan secara terus menerus dapat menghambat pembinaan dan pengembangan keolahragaan di daerah.
3) Bahwa kedudukan organisasi olahraga sebagai salah satu penerima hibah belum memiliki kejelasan, Hal tersebut berimplikasi kepada adanya kehatian-hatian bagi pemerintah daerah dalam memberikan hibah kepada organisasi olahraga.
4) Seluruh organisasi keolahragaan dan KONI provinsi dan kab/kota saat ini menggunakan dana hibah yang dianggarkan dalam kelompok belanja langsung yang berupa barang atau jasa yang diformulasikan kedalam program dan kegiatan, kemudian ditetapkan dan diajukan kepada Dinas Kepemudaan dan Olahraga. Organisasi olahraga belum mampu untuk melaksanakan ketentuan money follows program tersebut.

e. Aspek Budaya Hukum
1) Kurangnya sosialisasi UU SKN dan peraturan pelaksanaanya, berakibat pada tidak optimalnya penyelenggaraan keolahragaan di pusat dan daerah karena minimnya pengetahuan pemerintah daerah terhadap instrumen hukum yang mengatur urusan olahraga dan rendahnya partisipasi masyarakat terhadap penyelenggaraan olahraga khususnya terkait dengan proses pembinaan dan pengembangan olahraga.
2) Kebijakan Pemerintah dan pemerintah daerah yang belum optimal dalam penentuan target/prestasi olahraga berdampak pada penurunan pencapaian prestasi.
3) Minimnya tingkat kesadaran masyarakat terhadap peran dan dampak olahraga

Berdasarkan hasil kajian dan evaluasi UU Sistem Keolahragaan Nasional Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI merekomendasikan sebagai berikut:
- UU SKN perlu direvisi dan disesuaikan dengan perkembangan peraturan perundang-undangan dan kebutuhan hukum masyarakat, antara lain:
a. Pasal 19 ayat (1)
b. Pasal 26
c. Pasal 30 – Pasal 31
d. Pasal33
e. Pasal 36
f. Pasal 40
g. Pasal 67
h. Pasal 69 s/d 73
i. Pasal 74 ayat (1)
j. Pasal 78 – Pasal 80
k. Pasal 87 ayat (1) dan ayat (3)
l. Pasal 88 ayat (1) dan ayat (2)
- Pemerintah dan pemangku kepentingan dipandang perlu melakukan harmonisasi peraturan pelaksanaan dari UU SKN.
- UU SKN perlu dilakukan perubahan dan dicantumkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Perubahan Tahun 2018.

Kajian, Analisis, dan Evaluasi UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana / 01-06-2017

Selama berlakunya UU Penanggulangan Bencana sejak tahun 2007, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI menemukan permasalahan utama dan mendasar terkait dengan pelaksanaan UU Penanggulangan Bencana antara lain: (Dalam Bab I)
a. Isu Utama per aspek :
Aspek substansi:
- Adanya ketentuan yang harus menyesuaikan dengan dinamika kebutuhan masyarakat
- Multitafsir, dan
- Tumpang tindih kewenangan structural;
Aspek kelembagaan:
- Kelembagaan Badan Penanggulangan Bencana (BPB)
- Pelaksanaan fungsi koordinasi BNPB dan BPBD, dan
- Manajemen sumber daya manusia BPBD;
Aspek Pendanaan:
- Pengaturan tentang pendanaan penyelenggaraan penanggulanggan bencana
- Pengalokasian dana penyelenggaraan penaggulangan bencana;
Aspek Sarana dan Prasarana:
- keterbatasan alat dan daya jangkau
- Pengadaan alat pendeteksi dini tsunami
- Keterediaan lahan relokasi;
Aspek Budaya Hukum:
- Peningkatan kapasitas dan kemandirian masyarakat terhadap bencana
- peranan instansi pada penyelenggaraan penanggulangan bencana.

b. Putusan MK
NONE

c. Perlak belum diterbitkan
Pasal 7 ayat (3) Peraturan Presiden

d. Prolegnas
urutan ke-173

Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Maluku, Provinsi Sulawesi Tengah dan Provinsi Jawa Barat.

Pelaksanaan UU Penanggulangan Bencana sejak tahun 2007 terdapat permasalahan dalam implementasinya, antara lain:
a. Aspek Substansi Hukum
- Adanya ketentuan pasal yang harus menyesuaikan dengan dinamika kebutuhan masyarakat yaitu Pasal 1 angka 2, Pasal 1 angka 4, Pasal 4, Pasal 5
- Adanya ketentuan pasal yang multitafsir yaitu Pasal 6 huruf e, Pasal 7 ayat (3), Pasal 8 huruf d, Pasal 21 huruf a, Pasal 36 ayat (2), Pasal 38 huruf a
- Adanya tumpang tindih kewenangan structural

b. Aspek Kelembagaan/Struktur Hukum
Kelembagaan Badan Penanggulangan Bencana
- Belum terbentuknya unsur pengarah dalam setiap BPBD dikarenakan lamanya proses pemilihan unsur pengarah akibat tumpang tindih kewenangan sekretaris daerah sebagai kepala BPBD sekaligus sebagai unsur pengarah.
- Amanat UU Penanggulangan Bencana kepada pemerintah daerah untuk membentuk BPBD tidak sejalan dengan amanat UU Pemerintah Daerah yang memberikan opsi kepada pemerintah daerah untuk membentuk organisasi perangkat daerah yang berpotensi beririsan dengan kewenangan BPBD.

Pelaksanaan fungsi koordinasi BNPB dan BPBD
- Tidak semua bencana ditangani oleh BNPB/BPBD
- Pasal 18 ayat (2) menunjuk eselon Ib pada tingkat provinsi yang hanya dimiliki oleh jabatan sekretaris daerah sebagai ex officio kepala BPBD, mengakibatkan berimplikasi pada terhambatnya sekretaris daerah menjalankan tugas secara maksimal
- BPBD yang bukan instansi vertikal dengan BNPB dan merupakan OPD mengakibatkan sulitnya koordinasi dan ketergantungan terhadap kebijakan pemerintah daerah

Manajemen sumber daya manusia BPBD
Ketentuan Pasal 23 ayat (2) UU Penanggulangan Bencana mengharuskan kapasitas dan kapabilitas sumber daya manusia yang mumpuni. Mutasi sumber daya manusia dan jabatan BPBD yang menyesuaikan kebutuhan Kepala Daerah mengakibatkan SDM terlatih di BPBD terbatas.

c. Aspek Sarana dan Prasarana
- Keterbatasan alat dan daya jangkau dalam penyelanggaraan penanggulangan bencana (transportasi, komunikasi, dan distribusi bantuan)
- Pengadaan alat pendeteksi dini tsunami belum mencukupi mengingat besarnya kondisi geografis dan geologis Indonesia yang berpotensi bencana
- Bagaimana merelokasi penduduk dari daerah yang memiliki potensi bencana tinggi maupun penduduk yang terkena dampak bencana ke tempat yang dinilai lebih aman dan memiliki potensi bencana yang lebih rendah

d. Aspek Pendanaan
- Pendanaan penyelenggaraan penanggulangan bencana terdapat beberapa hambatan yaitu alokasi dana penanggulangan bencana yang bergantung pada kebijakan pemerintah daerah.
- Kendala pencairan dana siap pakai di daerah.
- Pengumpulan sumbangan dari masyarakat seringkali tidak mengajukan izin ke dinsos

e. Aspek Budaya Hukum
- fokus penanggulangan bencana saat ini masih pada tahap tanggap darurat dimana mengakibatkan bencana belum dapat meminimalisir dan dampak bencana selalu besar karena fokus utama penanganan seperti ini adalah untuk meringankan penderitaan korban.
- Perlu mengatur substansi yang komprehensif berdasarkan pendekatan civil society yang mendorong masyarakat untuk mandiri (tidak pasif) dalam hal penanggulangan bencana

Berdasarkan hasil kajian dan evaluasi UU Penanggulangan Bencana Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI merekomendasikan sebagai berikut:
- perlu dilakukan perubahan pasal yaitu Pasal 1 angka 2, Pasal 1 angka 4, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6 huruf e, Pasal 7 ayat (3), Pasal 8 huruf d, Pasal 21 huruf a, Pasal 36 ayat (2), Pasal 38 huruf a
- penambahan mengenai materi peran masyarakat dan peran sektor swasta dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana
- BNPB : perlu dipertimbangkan mengenai usulan kedudukan BNPB untuk menjadi Kementerian Teknis Kebencanaan agar ada garis komando yang langsung kepada BPBD, memiliki personel tersendiri, dan pengalokasian anggaran kebencanaan yang terpisah untuk efektifitas pelaksanaan penanggulangan bencana

Kajian, Analisis, dan Evaluasi UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional / 01-03-2017

Selama berlakunya UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) sejak tahun 2003, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI menemukan permasalahan utama dan mendasar terkait dengan pelaksanaan UU UU Sisdiknas antara lain: (Dalam Bab I)
a. Isu Utama per aspek
- Aspek substansi
Perlu adanya perubahan ataupun diatur lebih jelas beberapa ketentuan pasal didalam UU Sisdiknas
- Aspek kelembagaan/struktur hukum
• terkait kompetensi pendidik yang tidak sesuai dengan kualifikasi
• terdapat kesenjangan jumlah guru yang berdampak pada mutu pendidikan sistem pendidikan nasional
• terdapat kesenjangan antara sekolah negeri dan swasta terkait dengan implementasi SNP
- Aspek pendanaan
• belum terpenuhinya alokasi anggaran Pendidikan sebesar 20% APBD oleh sebagian besar Pemda
• lemahnya koordinasi kelembagaan antara Pemerintah dan Pemda
- Aspek sarana dan prasarana
Pengadaan ruang kelas,dan kondisi gedung sekolah kurang baik
- Aspek budaya hukum
Sudah berjalan dengan baik

b. Putusan MK
- bertentangan dengan UUD 1945 Putusan Mahkamah Konstitusi - Putusan MK No. 5/PUU-X/2012 menyatakan Pasal 50 ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
- bertentangan secara bersyarat dengan UUD 1945 Putusan Mahkamah Konstitusi - Putusan MK No. 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009 menyatakan Pasal 6 ayat (2) sepanjang frasa
- bertentangan dengan UUD 1945 Putusan Mahkamah Konstitusi - Putusan MK No. 24/PUU-V/2007 menyatakan Pasal 49 ayat (1) sepanjang frasa
- bertentangan secara bersyarat dengan UUD 1945 Putusan Mahkamah Konstitusi - Putusan MK No. 58/PUU-VIII/2010 menyatakan kata
- bertentangan dengan UUD 1945 Putusan Mahkamah Konstitusi - Putusan MK No. 011/PUU-III/2005 menyatakan Penjelasan Pasal 49 ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
- bertentangan dengan UUD 1945 Putusan Mahkamah Konstitusi - Putusan MK No. 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009 menyatakan Pasal 12 ayat (1) huruf c sepanjang frasa
- bertentangan secara bersyarat dengan UUD 1945 Putusan Mahkamah Konstitusi - Putusan MK No. 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009 menyatakan Pasal 53 ayat (1) konstitusional sepanjang frasa
- bertentangan dengan UUD 1945 Putusan Mahkamah Konstitusi - Putusan MK No. 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009 menyatakan Penjelasan Pasal 53 Ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

c. Perlak belum diterbitkan
tidak ada

d. Prolegnas
urutan ke-147

Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dilaksanakan di Provinsi Sulawesi Selatan, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Provinsi Jambi

Pelaksanaan UU Sisdiknas sejak tahun 2003, terdapat permasalahan dalam implementasinya, antara lain:
a. Aspek Substansi Hukum
- Perlu adanya perubahan ataupun diatur lebih jelas pada beberapa ketentuan pasal didalam UU Sisdiknas yaitu Pasal 1 angka 11, Pasal 1 angka 12, Pasal 6 ayat (1), Pasal 6 ayat (2), Pasal 7 ayat (2), Pasal 11 ayat (2), Pasal 12 ayat (1), Pasal 14, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 24 ayat (3), Pasal 26 ayat (1), Pasal 26 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), Penjelasan Pasal 28 ayat (1), Pasal 28 ayat (3), Pasal 29, Pasal 30 ayat (3), Pasal 31, Pasal 32 ayat (1), Pasal 32 ayat (2), Pasal 34 ayat (1), Pasal 34 ayat (2), Pasal 41 ayat (2), Pasal 44, Pasal 46 ayat (1), Pasal 48 ayat (1), Pasal 49 ayat (1), Pasal 50 ayat (3), Pasal 50 ayat (4) dan (5), Penjelasan Pasal 53 ayat (1), Pasal 54 ayat (2), Penjelasan Pasal 55 ayat (4), Pasal 58 ayat (2), Pasal 61.
- Adanya perubahan dalam UU Pemda terkait kewenangan pengelolaan pendidikan, maka ketentuan dalam UU Sisdiknas harus diubah untuk menyesuaikan dengan ketentuan tersebut.
- Didalam UU Sisdiknas belum adanya pengaturan mengenai perlindungan kepada peserta didik dan pendidik serta tenaga kependidikan dalam penyelenggaraan pendidikan nasional.
- Adanya putusan-putusan MK yang membatalkan beberapa ketentuan dalam UU Sisdiknas dan mengubah ketentuan dan penafsirannya, maka ketentuan pasal UU Sisdiknas harus disesuaikan dengan putusan MK tersebut.

b. Aspek Kelembagaan/Struktur Hukum
- Adanya pengaruh politisasi dunia pendidikan di daerah ysmg mengakibatkan program-program yang terkait dengan dunia pendidikan seakan tidak mampu dilaksanakan, sehingga hal ini perlu diperhatikan oleh Pemerintah dalam upaya penyelamatan pendidikan nasional. Penyelenggaraan pendidikan belum berkeadilan dan belum dilaksanakan secara nondiskriminasi.
- Adanya dikotomi pendidikan antara jalur pendidikan formal dan nonformal khususnya dalam penyelenggaraan PAUD menimbulkan permasalahan dalam perlakuan terhadap satuan pendidikan, pemenuhan hak-hak pendidik dan tenaga kependidikan juga pendanaan satuan pendidikan. Posisi PAUD sebagai pendidikan formal perlu diatur dengan jelas dalam UU Sisdiknas.
- Dalam praktek terdapat permasalahan sistem pendidikan nasional, antara lain:
• kompetensi pendidik yang tidak sesuai dengan kualifikasi yang ditentukan oleh standar nasional Pendidikan
• pendidikan berbasis keagamaan lebih banyak dibandingkan dengan pendidikan formal. Penarikan guru pegawai negeri di sekolah berbasis keagamaan akan menyulitkan penyelenggaraan pendidikan karena keterbatasan jumlah pendidik
• terdapat kesenjangan jumlah guru yang berdampak pada mutu pendidikan sistem pendidikan nasional yang akan semakin menurun
• Perekrutan dan pendistribusian guru agama disekolah umum dilakukan oleh Pemerintah Daerah tanpa melakukan koordinasi dengan Kanwil Kementrian Agama
• Adanya ketimpangan antara guru pegawai negeri dan guru honorer, di Provinsi Jawa Timur juga terjadi hal demikian yaitu guru honorer pada pesantren dan swasta yang sampai saat ini gaji dan pendapatannya masih dibawah upah minimum regional serta jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kesehatan yang diberikan pun belum memadai.
- Terdapat permasalahan mengenai implementasi Standarisasi Nasional Pendidikan (SNP) yaitu terdapat kesenjangan yang cukup jauh antara sekolah negeri dan swasta, seperti yang terjadi di Jambi, di mana jumlah peserta didik pada sekolah negeri melebihi kapasitas (minat masyarakat cenderung ke sekolah negeri), sementara untuk sekolah swasta justru tidak terlalu banyak peminat. Hal ini menyebabkan ketimpangan antara jumlah ruang kelas dan jumlah peserta didik yang tidak memenuhi standar nasional Pendidikan.
- Kebijakan yang belum taat regulasi oleh Pemerintah daerah (NTT) antara lain menyalahi regulasi terkait: a. Kebijakan belum berorientasi pada pemenuhan delapan Standar Nasional Pendidikan (SNP); b. Kebijakan dalam pola kepemimpinan di tingkat dinas dan sekolah belum mengedepankan kepemimpinan pembelajaran.

c. Aspek Sarana dan Prasarana
- Ketentuan dalam permendikbud yang mengatur tentang sarana dan prasarana pada satuan pendidikan belum mengadobsi keragaman daerah, kondisi topografi wilayah dan kemampuan lahan satuan Pendidikan
- Kendala dalam pelaksanaan revitalisasi sarana prasarana pendidikan di tingkat SMA/SMK di Jawa Timur yaitu terletak pada kurangnya anggaran, yang menyebabkan belum bisa dilakukan secara merata diseluruh sekolah SMA/SMK di Jawa Timur
- Terkait dengan sarana prasarana penunjang Pendidikan terdapat permasalahan terkait pengelolaan dana BOS di Provinsi Sulawesi Selatan yang dibayar per tiga bulan, sehingga dalam pemenuhan sarana prasarana banyak sekolah yang hutang di toko yang menjual alat tulis
- Di Provinsi NTT, sarana dan prasarana pendidikan berada dibawah standar yang layak. Ruang belajar yang tidak layak, perpustakaan sekolah/kampus kurang berfungsi karena sumber belajar tidak up to date sesuai tuntutan kurikulum
- Terdapat kendala pada sarana dan prasarana Pendidikan khusus yaitu para peserta didik difabel belum mendapatkan kemudahan dalam mengakses Pendidikan (khususnya di Kota Jambi)

d. Aspek Pendanaan
- Masih belum efektifnya pengalokasian APBD karena Provinsi dan Kabupaten/Kota mengalokasikan APBD-nya kurang dari 20% untuk dana pendidikan yang bahkan jauh lebih kecil dari ketentuan 20% tersebut.
- Adanya permasalahan dalam tanggungjawab pendanaan pendidikan. Pertama, adanya perbedaan persepsi Pemda atas angka 20% merupakan angka total dana yang ada untuk pendidikan, baik alokasi APBD maupun dana transfer. Kedua, komitmen kepala daerah menjadi faktor penentu dalam mewujudkan peningkatan mutu pendidikan di daerahnya oleh karena perbedaan karakteristik kebutuhan daerah diperhadapkan oleh keterbatasan PAD sehingga sebagian besar Pemda belum memberikan prioritas alokasi anggaran pendidikan 20 % tersebut

e. Aspek Budaya Hukum
Peran serta masyarakat sudah diatur secara jelas didalam UU Sisdiknas, baik dalam pengelolaan, pengawasan dan penggunaan hasil-hasil pendidikan

Berdasarkan hasil kajian dan evaluasi UU Sisdiknas, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI merekomendasikan sebagai berikut:
a. Aspek Substansi Hukum
- Mengacu pada ketentuan dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ketentuan UU Sisdiknas perlu dilakukan perubahan untuk dapat penyesuaian dengan perubahan-perubahan tersebut.
- Perlu diaturnya mengenai perlindungan anak sebagai peserta didik, perlindungan kepada setiap komponen sumber daya manusia pada bidang Pendidikan dan peserta didik jarak jauh.

b. Aspek Kelembagaan/Struktur Hukum
Pelatihan dan peningkatan kompetensi guru yang wajib dilakukan secara rutin oleh pemerintah

c. Aspek Sarana dan Prasarana
Perlu dilakukan peningkatan standar yang telah ditetapkan dalam peraturan menteri sesuai standar nasional Pendidikan (SNP)

d. Aspek Pendanaan
Pakar pendidikan menyatakan bahwa ketentuan dana pendidikan dalam UUD Tahun 1945 telah mengatur sebagai ketentuan umum, dan ketentuan dana pendidikan dalam UU Sisdiknas harus dapat mencakup ketentuan dua sisi anggaran sekaligus, yaitu sisi pendanaan (financing) pendidikan dan sisi pembiayaan (cost).

e. Aspek Budaya Hukum
-

Kajian dan Analisis Pemantauan Pelaksanaan UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal / 30-09-2016

Penanaman modal menjadi bagian dari penyelenggaraan perekonomian nasional dan sebagai upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Pada bidang investasi, UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU PM) menerapkan prinsip- prinsip dan komitmen internasional di bidang investasi yang menyangkut kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi penanam modal seperti perlakuan non diskriminasi antara penanam modal dalam negeri dan asing dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional. Permasalahan pokok yang menjadi kendala dalam penananam modal adalah pelayanan terpadu satu pintu. Dengan berlakunya UU PM menjadi payung hukum kegiatan penanaman modal yang mengatur lingkup sektor yang luas dan mengatur hal-hal pokok terkait ketenagakerjaan, bidang usaha, pengembangan penanaman modal bagi UMKM dan koperasi, fasilitas, koordinasi dan pelaksanaan kebijakan, dan penyelenggaraan urusan penanaman modal.

Provinsi Bali, Provinsi Kepulauan Riau, dan Provinsi Sulawesi Selatan

1. Perkembangan investasi di Indonesia cukup membanggakan, namun masih terdapat kendala diantaranya permasalahan:
a. perizinan investasi;
b. infrastruktur;
c. kepastian hukum;
d. pertanahan;
e. tenaga kerja.
2. Dalam penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) pemerintah daerah belum mengacu pada Perpres Nomor 97 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu.
3. PTSP belum dilaksanakan secara maksimal oleh pemerintah daerah. Dalam bidang ketenagakerjaan implementasinya masih terdapat disharmoni antara UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU Penanaman Modal.
4. Daftar bidang usaha terbuka dan tertutup tidak mencakup investasi tidak langsung/portofolio sehingga berpeluang terciptanya kepemilikan saham 100 persen milik investor asing melalui transaksi pasar modal. Hal ini dapat mengarah pada kemungkinan bidang usaha yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh modal asing.
5. Pencadangan usaha untuk UMKM dan koperasi belum dilaksanakan.
6. Pemberian dan perpajangan hak atas tanah bagi keperluan penanaman modal yang baru sudah mengacu pada UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
7. Penyelesaian sengketa dalam penanaman modal lebih banyak diselesaikan melalui musyawarah untuk mencapai mufakat.

1. UU Penanaman Modal masih relevan dengan kondisi saat ini karena pengaturannya sudah cukup mengakomodir bagi kepentingan Penanam Modal Dalam Negeri dan Penanam Modal Asing.
2. Dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 21/PUU-V/2007 dan 22/PUU-V/2007 yang menyatakan Pasal 22 ayat (1), Pasal 22 ayat (2) dan Pasal 22 ayat (4) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka mengenai periijinan pemanfaatan tanah sudah mengacu pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Kajian dan Analisis Pemantauan Pelaksanaan UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil Sebagaimana Diubah Dengan UU No. 1 Tahun 2014 / 16-05-2016

Selama berlakunya UU PWP3K sejak tahun 2007, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI menemukan permasalahan utama dan mendasar terkait dengan pelaksanaan UU PWP3K antara lain: (Dalam Bab I)
a. Isu Utama per aspek :
Aspek Substansi hukum:
- Terdapat rumusan norma multitafsir
- Adanya disharmoni dengan UU 23 Tahun 2014 (UU Pemda)
- Adanya peraturan pelaksanaan yang belum diterbitkan
- Penyusunan Perencanaan PWP3K
- Proses reklamasi
- Perijinan
- Pengelolaan konservasi
- Pengawasan

Aspek Kelembagaan/struktur hukum
- Akreditasi terhadap Program PWP3K
- Ada beberapa kementerian dan lembaga yang menangani sektor kelautan kerap diwarnai tumpang tindih dan tarik menarik kepentingan

Aspek Budaya Hukum
- kurangnya sosialisasi peran masyarakat
- Kurangnya sosisalisasi terkait peraturan menteri tentang peran serta masyarakat.

Aspek Sarana dan Prasarana
- Sarana dan prasarana yang terbatas

Aspek Pendanaan
- Terbatasnya kemampuan anggaran daerah

b. Putusan MK
- bertentangan dengan UUD 1945 Putusan Mahkamah Konstitusi - Putusan MK Nomor 3/PUU-VIII/2010 tanggal 16 Juni 2011 menyatakan Pasal 1 angka 18, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal22, pasal 23 ayat (4) dan ayat (5), Pasal 50, Pasal 51, Pasal 60 ayat (1), Pasal 71 serta Pasal 75
- Diubah UU - No. 1/2014

c. Perlak belum diterbitkan
- Peraturan Pemerintah : Pasal 20 ayat (4), Pasal 51 ayat (3)
- Peraturan Presiden : Pasal 49
- Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan : Pasal 71 ayat (3)

d. Prolegnas
urutan ke-144

Provinsi Sulawesi Selatan, Provinsi Sumatera Utara, dan Provinsi D.I. Yogyakarta

Pelaksanaan UU PWP3K sejak tahun 2007 terdapat permasalahan dalam implementasinya, antara lain:
a. Aspek Substansi Hukum
Umum
- Terdapat rumusan norma dalam UU PWP3K yang mengandung multitafsir yang menimbulkan multi interpresi dimana dapat berpotensi tidak dapat dilaksanakannya UU tersebut dengan baik, Tidak disebutkan secara khusus (eksplisit) menyebutkan definisi ataupun batasan mengenai “nelayan” dan “masyarakat pesisir”
- Adanya disharmoni dengan UU 23 Tahun 2014 (UU Pemda) yaitu dalam hal kewenangan. Dalam UU Pemda, hanya memberikan kewenangan meliputi pengelolaan, penerbitan izin dan pemberdayaan masyarakat, tetapi tidak memberikan kewenangan terkait perencanaan seperti yang terdapat dalam UU PWP3K.
- Adanya peraturan pelaksanaan yang belum diterbitkan hingga adanya perubahan menjadi UU No 1 Tahun 2014 dan sampai dengan tahun 2016 masih banyak Pemerintah Provinsi yang belum memiliki Perda tentang Perencanaan Zonas

Perencanaan
- Penyusunan Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil masih belum dapat dilaksanakan secara maksimal dan menyeluruh

Reklamasi
- Proses reklamasi pada lingkungan meliputi dampak fisik seperti halnya perubahan hidrooseanografi, sedimentasi, peningkatan kekeruhan air, pencemaran laut, peningkatan potensi banjir dan genangan di wilayah pesisir, rusaknya habitat laut dan ekosistemnya Selain itu, berdampak pada perubahan sosial ekonomi seperti kesulitan akses publik ke pantai, berkurangnya mata pencaharian

Perijinan
- Pasal-pasal dalam UU PWP3K masih sulit untuk diimplementasikan, dikarenakan dalam RZWP3K sesuai dengan skala peta 1:1000.000 masih bersifat arahan dan masih menunggu peraturan menteri mengenai perijinan terkait perairan.
- Lambatnya penetapan RZWP3K disebabkan antara lain:
• masih rendahnya komitmen dan prioritas dari stakeholder;
• belum tersedianya data sesuai kebutuhan teknis untuk penyusunan RZWP3K, baik kuantitas maupun kualitas;
• masih kurangnya pemahaman teknis dalam penyusunan RZWP3K;
• terbatasnya kemampuan anggaran daerah untuk penyusunan RZWP3K; dan
• terjadi perubahan peraturan perundang-undangan terkait dengan kewenangan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil bagi Pemerintah Daerah.
- Banyaknya kendala dalam masalah perijinan sehingga UU ini belum dilaksanakan secara optimal adalah karena stakeholder belum memahami secara lengkap dan satu persepsi terhadap UU No 27 Tahun 2007 jo UU N0 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sehingga kebijakan dalam pelaksanaan UU tersebut seolah-olah hanya sektor Kelautan dan Perikanan yang berkepentingan padahal kebijakan tersebut menyangkut peran multi sektor.

Konservasi
- Dalam pengelolaan konservasi perlunya sinergi antara daerah dan pusat sebagai upaya penyesuaian terhadap UU No. 23 Tahun 2014 dengan UU No. 1 Tahun 2014; pedoman dan Kawasan Strategis Nasional Terpadu terkait izin lokasi harus jelas; dan insentif bagi kabupaten/kota yang telah mengalokasikan wilayahnya sebagai kawasan konservasi

Pengawasan
- Di Provinsi Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan, peran serta masyarakat dalam hal pelaksanaan dan pengawasan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil masih belum berjalan. Hal ini tentunya disebabkan belum adanya Perda RZWP3K, yang mana pada saat ini RZWP3K tersebut masih dalam tahap penyusunan oleh pemerintah provinsi setempat.

b. Aspek Kelembagaan/Struktur Hukum
- Pemerintah daerah selaku pihak yang bertanggungjawab dalam melakukan pengawasan dan pengendalian PWP3K mempunyai peranan strategis. Sebagai contoh di Provinsi Sumatera Utara, Dinas Kelautan dan Perikanan melakukan pengawasan terhadap sumber daya kelautan dan perikanan melalui kegiatan patroli di perairan Pantai Timur dan Pantai Barat Sumatera. Namun, terdapat informasi menarik bahwa setidaknya ada 21 stakeholder yang terlibat di Provinsi Sumatera Utara dan tidak ada sinergitas dari seluruh stakeholder tersebut karena sebagian besar stakeholder memiliki dan mengacu pada peraturan perundangan tersendiri.
- Akreditasi terhadap Program PWP3K di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta belum dilaksanakan. Padahal provinsi ini sudah memiliki RZWP3K sejak tahun 2011. Agar akreditasi dapat dilakukan, pemerintah daerah harus segera mengesahkan RSWP3K, RZWP3K, RPWP3K, dan RAPWP3K, serta pemerintah pusat harus segera menerbitkan peraturan pelaksana mengenai izin lokasi dan izin pengelolaanWP3K
- Ada beberapa kementerian dan lembaga yang menangani sektor kelautan kerap diwarnai tumpang tindih dan tarik menarik kepentingan
- Ada beberapa kementerian dan lembaga yang menangani sektor kelautan kerap diwarnai tumpang tindih dan tarik menarik kepentingan. Ego structural lintas pemerintah mendominasi, sedang infrastruktur kelautan tidak cukup untuk mengimbangi sektor lain sehingga laut semakin tertinggal

c. Aspek Budaya Hukum
- Pelaksanaan UU PWP3K ke sejumlah daerah, khususnya ke provinsi-provinsi yang belum selesai membuat peraturan daerah (perda) terkait RZWP3K di daerahnya seperti Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan, tergambarkan bahwa salah satu kesulitan atau hambatan bagi pemerintah provinsi dalam membuat RZWP3K adalah dalam hal menghimpun data atau informasi dari pemerintah kabupaten/kota
- Masyarakat juga kurang dilibatkan dalam proses penyusunan RZWP3K
- Di Provinsi Sulawesi Selatan, keterlibatan masyarakat dalam pengawasan masih kurang. Organisasi masyarakat, contoh organisasi nelayan, sebagai representasi dari masyarakat pesisir, dalam hal ini HNSI, menyatakan hampir tidak pernah dilibatkan dalam perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian PWP3K.

d. Aspek Sarana dan Prasarana
- Di DIY, masih adanya kendala dalam pengawasan yaitu jumlah tenaga pengawas dan sarana prasarana yang terbatas.
- Diberlakukannya UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah telah menyebabkan beberapa ketidakpastian hukum dalam pengelolaan sumber daya alam sehubungan dengan bagaimana pembagian kewenangan fungsi dalam hukum antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten

e. Aspek Pendanaan
- Terbatasnya kemampuan anggaran daerah untuk penyusunan RZWP3K

Berdasarkan hasil kajian dan evaluasi UU PWP3K Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI merekomendasikan sebagai berikut:
a. Aspek substansi
- perlu adanya kesamaan pandangan dari pemangku kepentingan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya, pelaku usaha, serta masyarakat
- untuk menjamin data dan informasi yang valid dan lengkap untuk penyusunan seluruh dokumen perencanaan khususnya untuk penyusunan RZWP-3-K, dibutuhkan sumber daya manusia yang tepat serta koordinasi antar instansi, sehingga kelengkapan dan kevalidan data dapat terjamin secara cepat dan akurat.
- Perlu ada aturan lebih rinci terkait Pemda memfasilitasi pemberian Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan kepada masyarakat lokal dan masyarakat tradisional untuk melakukan pemanfaatan ruang dan sumber daya perairan pesisir dan perairan pulau- pulau kecil untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari; Perlu ada aturan lebih rinci terkait Pemda memfasilitasi pemberian Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan kepada masyarakat lokal dan masyarakat tradisional untuk melakukan pemanfaatan ruang dan sumber daya perairan pesisir dan perairan pulau- pulau kecil untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari
- Diperlukan harmonisasi atau penyesuaian antara Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 yang selanjutnya diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dengan undang-undang terkait lainnya dalam hal ini adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Hal ini mengingat bahwa saat ini Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah memiliki peran lebih besar regulasi dan kewenangan di daerah, selain itu juga guna menghindari adanya overlapping antar peraturan perundang-undangan.
- UU PWP3K diperlukan suatu perubahan atau revisi, untuk menjawab permasalahan disharmonisasi antara UU PWP3K dengan UU Pemda serta UU terkait lainnya. Mengenai pengelolaan pesisir, perencanaan zonasi, penerbitan izin, pemanfaatan, dan pemberdayaan masyarakat pesisir, perlu diperjelas kewenangannya. Kejelasan kewenangan dimaksud, agar penegakan hukum terhadap UU tersebut dapat diterapkan di masyarakat
- Untuk keefektifan dalam pelaksanaan UU PWP3K, pemerintah supaya mendesak percepatan perencanaan zonasi bagi Pemerintah Provinsi yang belum memiliki atau mengesahkan Perda tentang Perencanaan Zonasi. Dengan penyelesaian Perda-Perda Zonasi dimaksud, agar dalam pemanfaatan di lapangan atau daerah, Pemda segera mengevaluasi izin lokasi yang sudah dikeluarkannya.

b. Aspek kelembagaan
- Agar akreditasi dapat dilakukan, pemerintah daerah harus segera mengesahkan RSWP3K, RZWP3K, RPWP3K, dan RAPWP3K, serta pemerintah pusat harus segera menerbitkan peraturan pelaksana mengenai izin lokasi dan izin pengelolaan WP3K.
- Untuk dapat melaksanakan program pembinaan dengan baik dan tepat sasaran, diperlukan suatu guideline, modul atau semacam kurikulum pembinaan yang sistematis, terarah dan berjenjang. Selain itu untuk mendukung mekanisme pengawasan monitoring dan evaluasi, diperlukan juga indikator-indikator standar penilaian yang terukur dan disesuaikan dengan kondisi daerah setempat.

c. Aspek Budaya Hukum
- Pemerintah hendaknya secara proaktif mendorong dan mengajak peran serta masyarakat dalam pelaksanaan UU PWP3K, agar peraturan pelaksanaan yang sudah dibuat, yaitu Permen tentang Peran serta masyarakat tidak hanya berhenti di konsepsi peraturan, namun benar-benar diimplementasikan dengan sosialisasi secara proaktif dalam mengajak peranserta masyarakat. Hal ini terkait dengan pemberdayaan masyarakat wilayah pesisir yang menjadi stakeholder utamanya.

d. Aspek Pendanaan
- perlunya dukungan anggaran yang cukup dan memadai untuk membiayai seluruh proses atau langkah yang harus ditempuh oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam menyusun RSWP-3-K, RZWP-3-K, RPWP-3-K, dan RAWP-3-K.

Kajian dan Analisis Pemantauan Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan / 11-05-2016

Selama berlakunya UU No, 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan) sejak tahun 1999, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI menemukan permasalahan utama dan mendasar terkait dengan pelaksanaan UU Kehutanan antara lain: (Dalam Bab I)
a. Isu Utama per aspek
Aspek Substansi hukum:
- adanya peraturan pelaksana yang berpotensi masalah
- pengaturan UU Kehutanan belum disesuaikan dengan putusan MK
- adanya konflik kawasan antara status hutan dan fungsi hutan
Aspek Kelembagaan/struktur hukum
adanya konflik antara masyarakat dengan swasta dan Pemerintah
Aspek Sarana dan Prasarana
Sarana dan prasarana yang terbatas
Aspek Pendanaan
-
Aspek Budaya Hukum
kurangnya peran masyarakat

b. Putusan MK
- Putusan Perkara Nomor 34/PUU-IX/2011, pengujian terhadap Pasal 4 ayat (2) huruf b dan ayat (3), UU Nomor 41 Tahun 1999.
- Putusan Perkara Nomor 45/PUU-IX/2011, pengujian terhadap Pasal 1 ayat (3), UU Nomor 41 Tahun 1999.
- Putusan Perkara Nomor 34/PUU-X/2012, pengujian terhadap Pasal 1 angka 6, pasal 4 ayat (3), Pasal 5 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), serta Pasal 67 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), UU Nomor 41 Tahun 1999.
- Putusan Perkara Nomor 95/PUU-XII/2014, pengujian terhadap UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

c. Perlak belum diterbitkan
tidak ada

d. Prolegnas
Urutan ke-41

Provinsi Jawa Timur, Provinsi Kalimatan Tengah, dan Provinsi Jambi

Pelaksanaan UU Kehutanan sejak tahun 1999 terdapat permasalahan dalam implementasinya, antara lain:
a. Aspek Substansi Hukum
1) asas-asas penyelenggaraan kehutanan belum mencerminkan nilai-nilai yang ada didalam masyarakat
2) adanya konflik kawasan antara status hutan dan fungsi hutan, karena penetapan status dan fungsi hutan dilakukan hanya berdasarkan pada citra satelit saja tidak mempertimbangkan presentase kelerengan, kepekaan terhadap erosi, dan curah hujan
3) peraturan Bersama Mendagri, Menhut, MenPU, dan Kepala BPN mengenai Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah Yang Berada di dalam Kawasan Hutan, berpotensi masalah karena dalam pengakuan terhadap masyarakat yang telah menempati kawasan hutan tidak membedakan status kawasan hutan
4) dalam penetapan kawasan konservasi belum memperhatikan ketentuan Pasal 15 UU Kehutanan, yang terdiri dari empat tahapan yaitu: 1) penunjukan; 2) penatabatasan 3) pemetaan; dan 4) penetapan. Hal ini juga dikuatkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 45/PUU-IX/2011 yang pada pokoknya harus memperhatikan Pasal 15 UU Kehutanan. Selama ini penetapan kawasan konservasi hanya dilakukan melalui penunjukan saja
5) UU Kehutanan tidak secara detil mengatur konsekuensi hubungan pemerintah pusat dan pemerintahan daerah dari ketentuan Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, Pasal 63, dan Pasal 66
6) terkait masyarakat hukum adat seharusnya diatur dalam UU tersendiri sehingga status mengenai masyarakat hukum adat jelas dengan batas-batas wilayahnya
7) Adanya kerusakan dan pembakaran hutan di Jawa Timur misalnya 99 % diakibatkan faktor manusia, baik kesengajaan atau lalai. Kasus tindak pidana di Provinsi Jawa Timur, antara lain, 1) penjarahan hutan tahun 1997/1998 seluas sekitar 2.733,5 ha, yang sampai saat ini belum berhasil dipulihkan secara menyeluruh; 2) illegal logging di wilayah SPTN 2 Ambulu yang disinyalir dilakukan secara terorganisir oleh masyarakat sekitar hutan (Desa Andongrejo dan Sanenrejo).
8) lemahnya pengawasan dan pengamanan pada kawasan hutan eks HPH yang berstatus quo (tidak dikelola).
9) tidak konsistennya beberapa peraturan yang diterbitkan oleh kementerian LKH (sering berubah dalam waktu singkat).
10) belum adanya prosedur penanganan illegal logging yang baku untuk menjadi acuan bagi semua pihak yang terkait

b. Aspek Kelembagaan/Struktur Hukum
1) adanya konflik antara masyarakat dengan swasta dan Pemerintah terkait klaim terhadap kawasan hutan karena ada kebijakan pengelolaan hutan yang tidak menempatkan masyarakat sebagai pertimbangan utama
2) instansi yang mengeluarkan perijinan tidak transparan dalam memberikan informasi terkait peredaran tata usaha kayu di wilayahnya

c. Aspek Sarana dan Prasarana
1) pelaksanaan pengawasan kehutanan yang dilaksanakan oleh oleh Polisi Hutan dan PPNS bidang kehutanan belum optimal karena keterbatasan SDM dan sarana prasarana
2) sumber daya manusia di sektor kehutanan baik PPNS kehutanan maupun Polisi Hutan (Polhut) jumlahnya tidak sebanding dengan luas hutan yang harus diawasi
3) luas wilayah dan sulitnya akses jalan menuju hutan
bBelum adanya sistem dan mekanisme sidik cepat terhadap pengawasan, pengamanan, dan penegakan hukum terkait penebangan maupun peredaran kayu

d. Aspek Pendanaan
-

e. Aspek Budaya Hukum
1) peran serta masyarakat belum dilaksanakan dengan maksimal

Berdasarkan hasil kajian dan evaluasi UU Kehutanan, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI merekomendasikan sebagai berikut:
a. Aspek Substansi Hukum
1) dalam penetapan satus dan fungsi hutan dicek melalui fisik dilapangan tidak hanya melalui citra satelit saja
2) perlunya transparansi pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dan pemberian Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) yang bisa dimonitor penegak hukum (Polri, PPNS) agar memudahkan pengawasan di lapangan dalam rangka mencegah terjadinya perusakan hutan
3) perlu dilakukan tata batas dan penetapan kawasan serta adanya evaluasi fungsi guna memberikan kepastian hukum dalam penegakan hukum dibidang kehutanan

b. Aspek Kelembagaan/Struktur Hukum
1) perlunya optimalisasi pengawasan pihak dinas Kehutanan dan instansi yang berwenang terkait alih fungsi kawasan hutan
2) perlu dikenakan sanksi penjara minimal 5 tahun agar penyidik dapat melakukan penahanan terhadap tersangka, seperti Pasal 78 ayat (12) dan diperlukan ketentuan mengenai batas sanksi minimal agar lebih memberi kepastian hukum dan efek jera
3) perlu adanya peningkatan koordinasi antar institusi penegak hukum sektpr kehutanan
4) perlu penguatan kualitas polisi hutan agar proses pembuktian tindak pidana dapat berlangsung efektif
5) perlu adanya penegakan hukum dalam praktik illegal logging yang melibatkan institusi penegak hukum serta Menteri Negara Lingkungan Hidup dan Kehutanan

c. Aspek Sarana dan Prasarana
1) harus ada upaya perubahan untuk mencari solusi pengalihan mata pencaharian bagi masyarakat yang hidup di sekitar hutan oleh pemerintah daerah maupun dinas terkait, dikarenakan masih banyak masyarakat yang hidup di sekitar hutan yang mata pencahariannya hanya bergantung pada kegiatan penebangan kayu, penambangan liar baik secara legal maupun illegal yang dimanfaatkan oleh para cukong dan pemodal

d. Aspek Pendanaan
-

e. Aspek Budaya Hukum
1) peraturan pelaksanaan dari Pasal 70 UU Kehutanan perlu segera untuk diterbitkan guna menjadi acuan dalam keterlibatan peran serta masyarakat

Kajian dan Analisis Pemantauan Pelaksanaan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan / 10-05-2016

Selama berlakunya UU Ketenagakerjaan sejak tahun 2003 Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI menemukan permasalahan utama dan mendasar terkait dengan pelaksanaan UU Ketenagakerjaan antara lain: (Dalam Bab I)
a. Isu Utama per aspek
- aspek substansi hukum
- aspek kelembagaan/struktur hukum
- aspek Sarana dan Prasarana
- aspek pendanaan
- aspek budaya hukum

b. Putusan MK
- Dicabut putusan MK No. 012/PUU/I/2003, Pasal 158, Pasal 159, Pasal 160, Pasal 170 dan Pasal 171 dan Pasal 186 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
- Dicabut putusan MK No. 115/PUU-VII/2009, Pasal 120 ayat (3) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
- Dicabut putusan MK No. 19/PUU-IX/2011, Pasal 164 ayat (3) frasa “perusahaan tutup” tidak memiliki hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk sementara waktu”
- Dicabut putusan MK No. 27/PUU-IX/2011, Pasal 65 ayat (7) dan Pasal 66 ayat (2) huruf b bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945
- Dicabut putusan MK No. 37/PUU-IX/2011, Pasal 155 ayat (2) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai belum berkekuatan hukum tetap
- Dicabut putusan MK No. 58/PUU-IX/2011, Pasal 169 ayat (1) huruf c, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
- Dicabut putusan MK No. 100/PUU-X/2012, Pasal 96 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
- Dicabut putusan MK No. 67/PUU-XI/2013, Pasal 95 ayat (4) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
- Dicabut putusan MK No. 7/PUU-XII/2014, Pasal 59 ayat (7) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
- Dicabut putusan MK No. 72/PUU-XIII/2015, Pasal 90 ayat (2) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat
c. Perlak belum diterbitkan
- Pasal 28 ayat (2)
- Pasal 47 ayat (3) dan (4)
- Pasal 75 ayat (2)
- Pasal 100 ayat (3)
- Pasal 101 ayat (4)
- Pasal 156 ayat (5)

d. Prolegnas
Urutan ke-90 (prolegnas)

Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Jawa Timur, dan Provinsi Sumatera Utara

Pelaksanaan UU Ketenagakerjaan sejak tahun 2003 terdapat permasalahan dalam implementasinya, antara lain:
a. Aspek Substansi Hukum
1) adanya disharmoni UU Ketenagakerjaan dengan Permenakertrans RI No. 232/PEM/2003 tentang Penyelenggaraan Pemagangan di Dalam Negeri. Ketentuan Pasal 24 UU Naker mengatur bahwa pemagangan dapat dilaksanakan di perusahaan sendiri atau di tempat penyelenggaraan pelatihan kerja, atau perusahaan lain baik di dalam maupun di luar wilayah Indonesia. Namun aturan pelaksananya yaitu Permenakertrans RI No. 232/PEM/2003 tentang Penyelenggaraan Pemagangan di Dalam Negeri Pasal 2 mengatur pemagangan diselenggarakan oleh perusahaan yang memiliki unit pelatihan, dan jika perusahaan tidak memiliki unit pelatihan, dapat melakukan kerja sama dengan LPK. Pasal 24 UU Naker tidak mempersyaratkan perusahaan harus memiliki unit pelatihan. Berdasarkan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, pemagangan dapat dilakukan di perusahaan sendiri dengan membuat perjanjian magang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 22 UU Naker
2) belum ada aturan khusus mengatur mengenai tanggung jawab pengusaha dalam meningkatkan kompetensi pekerjanya, sehingga tidak semua pengusaha melaksanakan kewajiban tersebut
3) dalam praktik, pelatihan kerja dianggap kurang menarik dan manfaatnya tidak dirasakan secara langsung oleh pekerja pelaksanaan pelatihan kerja masih diutamakan untuk pekerja yang memiliki hubungan kekerabatan kepada bubuhan/kerabat dengan pihak perusahaan
4) terdapat potensi penyimpangan dalam penyelenggaraan pelatihan kerja, seperti dikenakannya biaya pelatihan kepada peserta, dan penyimpangan dana pelatihan kerja sehingga menjadi kasus pidana karena peserta pelatihan direkayasa
5) penempatan pekerja belum sepenuhnya sesuai dengan kompetensi
6) menurut SP Mathilda–FSPPB, peran Disnakertrans kurang maksimal dalam pengembangan kompetensi bagi lulusan SMK dan S1. Seharusnya pemagangan diarahkan pada peningkatan skill/keahlian dan tenaga spesialis agar sejalan dengan persaingan kerja yang semakin berat, terlebih lagi dengan dibukanya pasar bebas Asia Tenggara (MEA)
7) pekerja magang diberikan upah di bawah upah minimum dengan alasan bukan pekerja perusahaan. Hal tersebut tidak sesuai dengan yang diatur didalam Pasal 89 UU Ketenagakerjaan mengenai upah minimum
8) terdapat ketidakjelasan pengaturan mengenai TKA yang diatur secara umum dan didelegasikan kepada peraturan pelaksana, seperti aturan tentang masa kerja, jabatan, standar kompetensi dan dana kompensasi. Hal ini menyebabkan munculnya berbagai aturan turunan tentang TKA yang bersifat sektoral dan tidak jelas standarnya
9) ketentuan Pasal 3 Permenaker No. 35 Tahun 2015 yang menghapus ketentuan tentang kewajiban pemberi kerja yang mempekerjakan 1 orang TKA untuk menyerap sekurang-kurangnya 10 orang tenaga kerja lokal, telah membuka kesempatan pada perusahaan untuk mempekerjakan TKA tanpa pembatasan yang jelas, sehingga jumlah TKA lebih besar dari tenaga kerja lokal bahkan bisa saja semua adalah TKA. Kondisi ini bertentangan dengan Pasal 45 UU No. 13 Tahun 2003 yang mewajibkan kepada pemberi kerja untuk menunjuk tenaga kerja WNI sebagai tenaga kerja pendamping
10) terdapat ketentuan outsourcing yang dilanggar tidak sesuai dengan ketentuan UU Ketenagakerjaan yaitu kriteria penentuan kegiatan utama (core) dan kegiatan penunjang (non-core) dalam penerapan penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain, tidak sama dengan kriteria non-core yang diatur oleh beberapa sektor (misalnya dalam UU Naker kriteria non-core adalah kegiatan yang dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama, sedangkan dalam peraturan di sektor migas kriteria non-core terkait dengan besar kecilnya risiko pekerjaan).
11) banyak perusahaan yang melaksanakan pemborongan pekerjaan tanpa mendapatkan alur dari asosiasi sectoral. Alur dari asosiasi sektoral harus disetujui oleh Pemerintah, sementara tidak ada batasan/standar kategori pembuatan alur proses produksi. Kemudian banyak perusahaan vendor yang melaksanakan pemborongan pekerjaan yang tidak mendaftarkan perjanjian pemborongan kepada instansi ketenagakerjaan kabupaten/kota, sementara tidak ada sanksi yang dapat diberikan
12) dalam praktik, masih terdapat anak yang bekerja pada bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak
13) terkait dengan Pasal 88 dan 89 UU ketenagakerjaan yang menjadi kontroversi adalah terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan
14) terdapat Putusan MK No. 012/PUU-I/2003, sanksi pada Pasal 186 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 jika pekerja/buruh melanggar Pasal 137 dan Pasal 138 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 disebut oleh MK tidak proporsional karena mereduksi hak mogok yang merupakan hak dasar buruh yang dijamin oleh UUD Tahun 1945 dalam rangka kebebasan menyatakan sikap. Putusan MK mengenai aturan mogok kerja dan lock out dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 perlu di-review karena banyak pasal yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sehingga terjadi kekosongan hukum
15) lamanya waktu penyelesaian perselisihan hubungan industrial dari tingkat Pengadilan Negeri hingga Mahkamah Agung
16) belum adanya ketentuan yang mengatur perhitungan masa kerja dalam masa penyelesaian perselisihan hubungan industrial
17) pelaksanaan waktu kerja lembur dinilai menyulitkan bagi pelaku usaha perkebunan karena dengan batasan waktu lembur kesulitan yang muncul adalah bila sedang ada panen besar (misalnya kelapa sawit)
18) pelaksanaan terhadap ketentuan untuk melindungi pekerja perempuan dalam melaksanakan cuti hamil dan cuti haid belum efektif.
19) ketentuan mengenai nilai nominal denda pada ketentuan pidana belum disesuaikan dengan nilai inflasi dan batas minimal pidana kurungan terlalu rendah (paling singkat 1 bulan

b. Aspek Kelembagaan/Struktur Hukum
1) pengusaha belum seluruhnya melaksanakan kewajibannya untuk menyelenggarakan pelatihan kerja, sehingga belum semua pekerja memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensinya.
2) terkait Pasal 18 ayat (2) UU Ketenagakerjaan, sertifikat keahlian dikeluarkan oleh banyak badan/lembaga (antara lain kementerian tertentu dan BNSP), sehingga tidak ada standar yang jelas karena masing-masing badan/lembaga memiliki standar yang berbeda-beda.
3) terdapat permasalahan penegak hukum berkaitan dengan minimnya informasi, koordinasi, dan pengawasan. Minimnya informasi terlihat dari tidak sinkronnya informasi antara pusat dan daerah terkait rencana penggunaan TKA (RPTKA) dan izin mempekerjakan TKA (IMTA) untuk pertama kali
4) minimnya kualitas dan kuantitas dari tenaga pengawas ketenagakerjaan di berbagai daerah.
5) masih sulitnya kebebasan berserikat dalam suatu perusahaan membuktikan bahwa hubungan antara perusahaan dengan serikat pekerja belum dapat berjalan dengan harmonis.

c. Aspek Sarana dan Prasarana
1) minimnya sarana dan prasarana pelatihan kerja, terutama peralatan, pada gilirannya menghambat BLK yang telah ada di tiga wilayah pemantauan untuk berkembang
2) penggunaan TKA telah menimbulkan kecemburuan dan kecurigaan masyarakat setempat. Maraknya penggunaan TKA menimbulkan pemikiran bahwa keberadaan TKA telah mengurangi lapangan kerja bagi tenaga kerja lokal.
3) pengawasan ketenagakerjaan lemah disebabkan keterbatasan kuantitas pengawas ketenagakerjaan, kualitas sumber daya manusia (SDM) pengawas ketenagakerjaan yang rendah
4) jumlah PPNS dan anggaran pengawasan ketenagakerjaan yang terbatas dan sistem pengawasan yang belum jelas

d. Aspek Pendanaan
1) perusahaan kesulitan membayar upah minimum karena pada perkembangannya sekarang upah minimum tidak lagi berlaku sebagai ”safety net”
2) pengusaha terhambat dengan adanya kerugian untuk membayar upah pekerja/buruh tanpa mendapatkan hasil kerja. Di sisi lain dengan adanya PHK sebelum ditetapkan oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial menjadikan status pekerja/buruh tidak jelas, sementara kompensasi PHK belum diterima. Ketidakjelasan status ini menjadi kendala bagi pekerja dalam mencari pekerjaan yang baru
3) praktek penggunaan tenaga kerja magang sangat tidak manusiawi dan merugikan pekerja. Perusahaan hanya memberikan uang makan yang nilainya sangat kecil untuk pekerja magang
4) minimnya anggaran pengawasan mengakibatkan pengawas ketenagakerjaan lambat dalam merespons atau menindaklanjuti kasus-kasus yang dilaporkan oleh tenaga kerja/buruh
5) besarnya biaya yang harus ditanggung oleh pekerja maupun pengusaha dalam rangka mengikuti sidang penyelesaian perselisihan hubungan industrial

e. Aspek Budaya Hukum
1) pekerja/buruh tidak mengerti mekanisme PHK dan dengan sukarela membuat surat pengunduran diri
2) adanya ketakutan pengusaha jika pekerja/buruh aktif di serikat pekerja

Berdasarkan hasil kajian dan evaluasi UU Ketenagakerjaan, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI merekomendasikan sebagai berikut:
a. Aspek Substansi Hukum
1) relevansi materi pelatihan dengan kebutuhan harus diperhatikan, karena pelatihan yang telah dilakukan belum berdampak secara signifikan
2) pelatihan kerja perlu diperbanyak dan menjangkau semua wilayah/daerah sehingga tidak terpusat di kota besar saja
3) UU Ketenagakerjaan perlu disinkronkan dengan UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (selanjutnya disebut UU Perlindungan Anak), sebagaimana terdapat dalam Pasal 66 huruf c UU Perlindungan Anak bahwa perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual dilakukan antara lain melalui pelibatan perusahaan dan serikat pekerja
4) perlunya penegakan sanksi terhadap pekerja anak karena masih terdapat anak yang bekerja pada bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak. Dalam praktiknya pengaturan tersebut belum dapat melindungi pekerja anak
5) perlu diaturnya sanksi pidana bagi perusahaan yang tidak memberikan laporan penggunaan TKA dan sanksi bagi pengguna TKA bila TKA yang bersangkutan tidak melakukan alih teknologi terhadap TKI pendamping

b. Aspek Kelembagaan/Struktur Hukum
1) perlu dipertimbangkan perlindungan bagi pekerja magang yang saat ini menjadi objek eksploitasi pengusaha dengan membebani pekerja magang dengan tugas sebagai pekerja perusahaan, namun dibayar dibawah upah minimum
2) pemagangan di perusahaan harus benar-benar diawasi oleh Dinas Tenaga Kerja dan pemagangan diatur secara lebih terencana dan terstruktur, sehingga dalam proses magang tenaga bertambah skill dan pengetahuannya, sesuai dengan latar belakang pendidikannya

c. Aspek Sarana dan Prasarana
perlunya pengaturan pelatihan kerja dan pemagangan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan agar lebih memadai

d. Aspek Pendanaan
perlunya anggaran pengawasan untuk menindaklanjuti kasus-kasus yang dilaporkan oleh tenaga kerja/buruh

e. Aspek Budaya Hukum
perlunya ilmu pengetahuan agar lebih memahami mengenai ketenagakerjaan untuk pengusaha dan pekerja/buruh.

← Sebelumnya 1 Selanjutnya →