Info Judicial Review Putusan MK - Menyatakan Mengabulkan

INFO JUDICIAL REVIEW KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 1/PUU-XXII/2024 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1946 TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 13-02-2024

1. Bahwa pada hari Selasa, 13 Februai 2024, pukul 14.05 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Ketetapan Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 1/PUU-XXII/2024) Dalam Sidang Pengucapan Ketetapan perkara Nomor 1/PUU-XXII/2024, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

a. bahwa Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) telah menerima permohonan bertanggal 4 Desember 2023, diajukan oleh perseorangan Warga Negara Indonesia Bernama Abdul Hakim, S.H., M.H., yang berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 27 November 2023 memberikan kuasa kepada Deddy Rizaldy Arwin Gommo, S.H., dkk, yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 4 Desember 2023 berdasarkan Akta Pengajuan Permohonan Pemohon Nomor 168/PUU/PAN.MK/AP3/12/2023, dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dengan Nomor 1/PUU-XXII/2024 pada tanggal 3 Januari 2024, perihal Permohonan Pengujian Materiil Pasal 340 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 28 ayat (4) dan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554, selanjutnya disebut UU MK), terhadap Permohonan Nomor 1/PUU-XXII/2024 tersebut Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan:
1) Ketetapan Ketua Mahkamah Konstitusi Nomor 1.1/PUU/ TAP.MK/Panel/01/2024 tentang Pembentukan Panel Hakim untuk Memeriksa Perkara Nomor 1/PUU-XXII/2024, bertanggal 8 Januari 2024;
2) Ketetapan Ketua Panel Hakim Mahkamah Konstitusi Nomor 1.1/PUU/TAP.MK/HS/01/2024 tentang Penetapan Hari Sidang Pertama untuk memeriksa perkara Nomor 1/PUUXXII/ 2024, bertanggal 8 Januari 2024;
c. bahwa sesuai dengan Pasal 34 UU MK, Mahkamah telah melaksanakan Sidang Panel Pemeriksaan Pendahuluan terhadap permohonan a quo pada tanggal 17 Januari 2024 dan sesuai dengan Pasal 39 UU MK serta Pasal 41 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, Panel Hakim telah memberikan nasihat kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonannya. Kemudian pada tanggal 30 Januari 2024, Mahkamah telah menyelenggarakan persidangan dengan agenda pemeriksaan perbaikan permohonan a quo;
d. bahwa pada tanggal 31 Januari 2024, Mahkamah Konstitusi telah menerima surat elektronik (e-mail) dari Pemohon bertanggal 31 Januari 2024 perihal Pencabutan Perkara Nomor 1/PUU-XXII/2024 dengan alasan terdapatnya kesalahan substansial dalam Petitum permohonan yang diajukan. Selanjutnya pada hari Jumat, 2 Februari 2024, Mahkamah telah menyelenggarakan persidangan dengan agenda Konfirmasi Penarikan Permohonan Pemohon. Pada persidangan tersebut, Pemohon telah membenarkan perihal pencabutan perkara a quo;
e. bahwa terhadap penarikan kembali permohonan Pemohon tersebut, Pasal 35 ayat (1) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan” dan Pasal 35 ayat (2) UU MK menyatakan bahwa penarikan kembali mengakibatkan Permohonan a quo tidak dapat diajukan kembali;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf e di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim pada tanggal 5 Januari 2024 telah berkesimpulan bahwa pencabutan atau penarikan kembali permohonan Nomor 1/PUU-XXII/2024 adalah beralasan menurut hukum dan Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo;
g. bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf f di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim memerintahkan Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat perihal penarikan kembali permohonan Pemohon dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dan mengembalikan Salinan berkas permohonan kepada Pemohon;

1. Mengabulkan penarikan kembali permohonan Pemohon;
2. Menyatakan Permohonan Nomor 1/PUU-XXII/2024 mengenai Permohonan Pengujian Pasal 340 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditarik kembali;
3. Menyatakan Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo;
4. Memerintahkan Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat perihal penarikan kembali permohonan Nomor 1/PUU-XXII/2024 dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada Pemohon.

Bahwa dengan Ketetapan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan penarikan kembali permohonan Pemohon, maka Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonannya.

INFO JUDICIAL REVIEW PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 4/PUU-XXII/2024 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA / 13-02-2024

Bahwa pada hari Selasa tanggal 13 Februari 2024, pukul 15.08 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (selanjutnya disebut UU 30/1999) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 4/PUU-XXII/2024. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 4/PUU-XXII/2024, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undnag-Undnag dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian ketentuan dalam UU 30/1999 melalui permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan pada pokoknya sebagai berikut:
[3.3] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang memeriksa permohonan a quo, namun sebelum mempertimbangkan lebih lanjut perihal kedudukan hukum dan pokok permohonan Pemohon, Mahkamah perlu mempertimbangkan terlebih dahulu hal-hal sebagai berikut:
[3.3.1] Bahwa dalam mendalilkan inkonstitusionalitas norma Pasal 65 dan Pasal 67 ayat (2) UU 30/1999, menurut Pemohon, norma pasal-pasal a quo tidak lengkap, belum sempurna, salah posisi, tidak sistematis dan menimbulkan ambiguitas. Hal tersebut dikarenakan perumusan norma dalam ketentuan dimaksud dilakukan dengan cara yang tidak sistematis sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Selain itu, menurut Pemohon, Pasal 65 UU 30/1999 seharusnya memuat norma yang memerintahkan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk memberitahukan secara patut perihal pendaftaran putusan arbitrase internasional kepada pihak-pihak yang berkepentingan, in casu Arbiter, Pemohon, Termohon dan/atau kuasanya.
[3.3.2] Bahwa dalam petitum permohonannya, Pemohon pada pokoknya memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 65 UU 30/1999 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “(1) Yang berwenang menangani masalah pendaftaran serta eksekuatur dan eksekusi Putusan Arbitrase Internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; (2) Pendaftaran sebagaimana dimaksud ayat (1) harus melampirkan: a. lembar asli atau salinan otentik Putusan Arbitrase Internasional, sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam Bahasa Indonesia; b. lembar asli atau salinan otentik perjanjian yang menjadi dasar Putusan Arbitrase Internasional sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam bahasa Indonesia; dan c. keterangan dari perwakilan diplomatik Republik Indonesia di negara tempat Putusan Arbitrase Internasional tersebut ditetapkan, yang menyatakan bahwa negara pemohon terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral dengan negara Republik Indonesia perihal pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional; (3) Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menerbitkan Akta Pendaftaran Putusan Arbitrase Internasional dan menyampaikannya kepada Arbiter, Pemohon, Termohon, dan/atau Kuasanya paling lama 14 (empat belas) hari sejak permohonan pendaftaran diterima; (4) Permohonan eksekuatur dan eksekusi Putusan Arbitrase Internasional harus melampirkan Surat Permohonan dan Salinan Akta Pendaftaran Putusan Arbitrase Internasional”; serta menyatakan Pasal 67 ayat (2) UU 30/1999 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “(2) Terhadap permohonan eksekuatur dan eksekusi putusan arbitrase internasional sebagaimana ketentuan Pasal 66 huruf d, Ketua Pengadilan Negeri dapat menerima dengan memberikan eksekuatur sekaligus perintah pelaksanaan/eksekusi putusan atau menolak permohonan tersebut dengan memperhatikan ketentuan Pasal 66 Undang-Undang ini.”
[3.3.3] Bahwa setelah membaca secara saksama alasan-alasan permohonan (posita) dan permintaan (petitum) Pemohon, terlepas ada atau tidaknya persoalan konstitusionalitas norma yang dimohonkan pengujian, menurut Mahkamah, petitum permohonan Pemohon yang memohon agar Mahkamah memberikan pemaknaan baru terhadap norma Pasal 65 UU 30/1999, in casu petitum Pemohon sepanjang frasa “(2) Pendaftaran sebagaimana dimaksud ayat (1) harus melampirkan: a. lembar asli atau salinan otentik Putusan Arbitrase Internasional, sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam Bahasa Indonesia; b. lembar asli atau salinan otentik perjanjian yang menjadi dasar Putusan Arbitrase Internasional sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam bahasa Indonesia; dan c. keterangan dari perwakilan diplomatik Republik Indonesia di negara tempat Putusan Arbitrase Internasional tersebut ditetapkan, yang menyatakan bahwa negara pemohon terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral dengan negara Republik Indonesia perihal pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional” telah diatur dalam norma Pasal 67 ayat (2) UU 30/1999. Di samping itu, petitum permohonan Pemohon tidak menguraikan argumentasi yang jelas dan memadai pada bagian alasan permohonan (posita). Pemohon lebih menguraikan mengenai fakta empiris terkait pengalaman Pemohon dalam menangani perkara arbitrase internasional dan kemudian mendalilkan norma pasal-pasal a quo tidak lengkap, belum sempurna, salah posisi, tidak sistematis dan menimbulkan ambiguitas. Terlebih, dalam persidangan Pendahuluan dengan agenda Perbaikan Permohonan, Pemohon mengakui tidak memberikan alasan adanya penambahan dan perubahan norma yang diuji konstitusionalitasnya, khususnya terkait dengan pengakuan dan pelaksanaan menjadi pendaftaran putusan arbitrase internasional, dalam posita [vide halaman 8-9, Risalah Sidang Perbaikan Permohonan Perkara Nomor 4/PUUXXII/2024, tanggal 5 Februari 2024]. Namun, Pemohon justru secara “ujug-ujug” dalam petitumnya memohon kepada Mahkamah agar memberikan pemaknaan baru terhadap norma Pasal 65 dan Pasal 67 ayat (2) UU 30/1999 tanpa memberikan uraian yang jelas berkaitan pertentangan dengan norma yang dimohonkan pengujian dengan UUD 1945. Menurut Mahkamah, seharusnya Pemohon dalam bagian posita menjelaskan secara jelas dan memadai terlebih dahulu adanya pertentangan norma yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya sebagai denyut nadi dari permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 sekaligus menjadi pemandu arah petitum permohonan. Dalam konteks demikian, petitum permohonan tidak boleh berubah arah dari makna dan jiwa posita permohonannya.
[3.4] Menimbang bahwa ketentuan Pasal 74 ayat (1) PMK 2/2021 menyatakan, “Mahkamah dapat menyatakan permohonan tidak jelas atau kabur antara lain karena: a. adanya ketidaksesuaian antara dalil dalam posita dengan petitum“. Oleh karena itu, setelah Mahkamah mencermati secara saksama antara posita dan petitum permohonan Pemohon sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.3] dengan ketentuan Pasal 74 ayat (1) PMK 2/2021 yang diuraikan di atas. Dengan demikian, terdapat ketidaksesuaian antara alasan-alasan permohonan (posita) dengan yang dimohonkan (petitum) kepada Mahkamah, maka tidak terdapat keraguan bagi Mahkamah untuk menyatakan permohonan Pemohon adalah tidak jelas atau kabur (obscuur).
[3.5] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon kabur, terhadap kedudukan hukum, pokok permohonan dan hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.

Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan langsung dilaksanakan (self executing) oleh seluruh organ penyelenggara negara, organ penegak hukum, dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 4/PUU-XXII/2024 yang menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima terhadap pengujian materiil UU 30/1999 mengandung arti bahwa ketentuan a quo tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat.

KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 8/PUU-XXII/2024 PERIHAL INFO JUDICIAL REVIEW PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2020 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 13-02-2024

Bahwa pada hari Selasa, tanggal 13 Februari 2024, pukul 14.24 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Ketetapan Pengujian Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 8/PUU-XXII/2024. Dalam Sidang Pengucapan Ketetapan Perkara Nomor 8/PUU-XXII/2024, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian ketentuan dalam UU MK melalui permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan pada pokoknya sebagai berikut:
a. bahwa Mahkamah Konstitusi telah menerima permohonan bertanggal 8 Desember 2023, yang diajukan oleh perorangan warga negara Indonesia bernama Adoni Y. Tanesab, beralamat di Kp. Rawa Bogo RT 002/RW 18, Kelurahan Jatimekar, Kecamatan Jatiasih, Kota Bekasi, berdasarkan Surat Kuasa bertanggal 9 November 2023, memberi kuasa kepada Marthen Boiliu S.H., yang diterima Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 11 Desember 2023 berdasarkan Akta Pengajuan Permohonan Pemohon Nomor 170/PUU/PAN.MK/AP3/12/2023, bertanggal 9 Januari 2024 dan telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) pada tanggal 9 Januari 2024 dengan Nomor 8/PUU-XXII/2024 mengenai Pengujian UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 28 ayat (4) dan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554, selanjutnya disebut UU MK), terhadap Permohonan Nomor 8/PUU-XXII/2024 tersebut Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan:
1) Ketetapan Ketua Mahkamah Konstitusi Nomor 8.8/ PUU/TAP.MK/Panel/01/2024 tentang Pembentukan Panel Hakim Untuk Memeriksa Perkara Nomor 8/PUUXXII/2024, bertanggal 9 Januari 2024;
2) Ketetapan Ketua Panel Hakim Mahkamah Konstitusi Nomor 8.8/PUU/TAP.MK/HS/01/2024 tentang Penetapan Hari Sidang Pertama untuk memeriksa Perkara Nomor 8/PUU-XXII/2024, bertanggal 9 Januari 2024;
c. bahwa terhadap perkara a quo Mahkamah telah menjadwalkan untuk persidangan Pendahuluan pada tanggal 6 Februari 2024 dengan agenda mendengarkan permohonan Pemohon. Berkenaan dengan hal tersebut, Pemohon juga telah dipanggil secara sah dan patut dengan surat Panitera Mahkamah Nomor 345.8/PUU/PAN.MK/PS/01/2024, bertanggal 26 Januari 2024, perihal Panggilan Sidang. Pada persidangan dimaksud Pemohon tidak hadir. Pemohon hanya mengirimkan surat elektronik bertanggal 6 Februari 2024, yang dikirimkan melalui email juru panggil Mahkamah, yang pada pokoknya meminta pengunduran jadwal sidang karena Pemohon sedang bertugas di luar kota sehingga berhalangan hadir pada persidangan Mahkamah;pada
d. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 41 ayat (4) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021) menyatakan, “Dalam hal Pemohon dan/atau kuasa hukum tidak hadir dalam Pemeriksaan Pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tanpa alasan yang sah meskipun telah dipanggil secara sah dan patut, Mahkamah menyatakan permohonan gugur”;
e. bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf d di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim pada tanggal 7 Februari 2024, telah berkesimpulan bahwa ketidakhadiran Pemohon pada sidang pertama Pemeriksaan Pendahuluan menunjukkan Pemohon tidak sungguh-sungguh dalam mengajukan permohonan. Keberadaan Pemohon di luar kota tidak menjadi alasan yang sah untuk tidak menghadiri persidangan Mahkamah, karena dalam Surat Panggilan Sidang yang disampaikan melalui Juru Panggil telah diinformasikan bahwa Pemohon dapat menghadiri sidang secara daring dengan terlebih dahulu mengajukan permohonan kepada Mahkamah [vide Pasal 37 PMK 2/2021]. Terlebih, Panel Hakim telah membuka sidang Pendahuluan dan memanggil Pemohon untuk memasuki ruang sidang, namun Pemohon tidak hadir [vide Risalah Persidangan Mahkamah tanggal 6 Februari 2024]. Dengan demikian, permohonan Pemohon untuk dilakukan penundaan persidangan adalah tidak beralasan sehingga permohonan Pemohon harus dinyatakan gugur;
f. bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, berdasarkan Pasal 41 ayat (5) jo. Pasal 75 ayat (1) huruf c PMK 2/2021 terhadap permohonan a quo Mahkamah mengeluarkan Ketetapan;

Bahwa dengan Ketetapan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan permohonan Pemohon gugur, maka Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonannya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dikabulkan Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 88/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DeNGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAH DAERAH TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 23-10-2023

Bahwa pada hari Selasa tanggal 31 Oktober 2023, pukul 13.43 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Derah Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (selanjutnya disebut UU Pemerintahan Daerah) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 88/PUU-XXI/2023. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 88/PUU-XXI/2023, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap Pasal 193 ayat (2) huruf i UU Pemerintahan Daerah dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.13] Menimbang bahwa menurut Mahkamah adanya fakta terkait dengan isu konstitusional pemberhentian anggota DPRD serta perpindahan keanggotaan partai politik yang dilakukan oleh anggota partai politik yang sedang menduduki jabatan anggota legislatif telah dipertimbangkan dan dituangkan dalam amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 39/PUU-XI/2013. Dengan mendasarkan pada putusan tersebut, oleh karena secara substansi norma Pasal 193 ayat (2) huruf i UU 23/2014 adalah terkait dengan pemberhentian antar waktu anggota DPRD kabupaten/kota yang diberhentikan karena menjadi anggota partai politik lain terlebih partai politik yang mengajukan dalam pemilu sebelumnya tidak lolos sebagai peserta pemilu berikutnya, maka Mahkamah menyatakan norma Pasal a quo adalah inkonstitusional secara bersyarat sebagaimana substansi dan amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 39/PUU-XI/2013, sepanjang berkenaan dengan keanggotaan DPRD kabupaten/kota. Sementara itu, oleh karena amar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 39/PUU-XI/2013 berkaitan dengan status keanggotaan DPR dan DPRD Provinsi, maka terhadap hal tersebut Mahkamah menilai tidak relevan untuk dipertimbangkan. Dengan demikian, norma Pasal 193 ayat (2) huruf i UU 23/2014 harus pula dimaknai secara bersyarat sebagaimana pemaknaan dalam amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 39/PUU-XI/2013 hanya sepanjang berkenaan dengan status keanggotaan DPRD kabupaten/kota. Sehingga, dengan demikian norma Pasal 193 ayat (2) huruf i UU 23/2014 adalah inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai selengkapnya sebagaimana yang akan dituangkan dalam amar putusan a quo;

[3.14] Bahwa terkait dengan dalil para Pemohon yang mempersoalkan Putusan Mahkamah Konstitusi seharusnya bersifat erga omnes, sehingga terhadap permohonan a quo seharusnya mengikuti amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 39/PUU-XI/2013. Terhadap hal tersebut, demi meneguhkan prinsip kepastian hukum, dengan berlandaskan pada doktrin erga omnes, sepanjang berkaitan dengan status keanggotaan DPRD kabupaten/kota, Mahkamah tetap mengikuti amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 39/PUUXI/2013 karena substansi atau materi yang diatur dalam norma Pasal 193 ayat (2) huruf i UU 23/2014 yang dimohonkan para Pemohon secara substansi adalah sama dengan norma Pasal 16 ayat (3) UU 2/2008.

[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 193 ayat (2) huruf i UU 23/2014 telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan serta menyebabkan terlanggarnya hak untuk memperoleh kesempatan yang sama di dalam pemerintahan sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945 sepanjang berkenaan dengan status keanggotaan DPRD kabupaten/kota adalah beralasan menurut hukum untuk Sebagian.

[3.16] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dan selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.

1. Bahwa terhadap Putusan MK dalam Perkara Nomor 88/PUU-XXI/2023 sebagaimana diuraikan diatas, untuk mengisi kekosongan hukum berdasarkan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan saran sebagai berikut:
a. Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 88/PUU-XXI/2023 sebagai bahan dalam penyusunan Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka.
b. Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 88/PUU-XXI/2023 sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan UU Pemerintahan Daerah.
2. Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh seluruh organ penyelenggara Negara, organ penegak hukum dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 88/PUU-XXI/2023 mengenai materi muatan pasal/ayat dalam UU Pemerintahan Daerah yang dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi, agar tidak menimbulkan kekosongan hukum dan dapat memberikan kepastian hukum, dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan Perubahan UU Pemerintahan Daerah.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dikabulkan Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 90/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 16-10-2023

Bahwa pada hari Selasa tanggal 16 Oktober 2023, pukul 17.40 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (selanjutnya disebut UU 7/2017) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023. Dalam Sidang Pengucapan Ketetapan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap Pasal 169 huruf q UU 7/2017 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.13] Menimbang bahwa sebelum Mahkamah menjawab permasalahan di atas, terlebih dahulu Mahkamah akan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
[3.13.1] Bahwa Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Selanjutnya, Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Kedua norma konstitusi tersebut sejatinya menunjukkan bahwa Indonesia menganut negara demokrasi yang berdasarkan hukum (constitutional democratic state) dan negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat) di mana kedaulatan rakyat dan negara hukum yang menjadi fondasi bernegara harus dibangun dan ditegakkan dengan memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi dan nomokrasi. Artinya, demokrasi tanpa pengaturan hukum akan kehilangan bentuk dan arah, sedangkan hukum tanpa demokrasi akan kehilangan makna. Dengan kata lain, terdapat korelasi yang jelas antara hukum yang bertumpu pada konstitusi, dan kedaulatan rakyat yang dijalankan melalui sistem demokrasi.
Salah satu wujud dari kedaulatan rakyat adalah penyelenggaraan pemilihan umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden secara demokratis melalui partisipasi rakyat seluas-luasnya berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sebagaimana amanat Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Pemilu merupakan sarana demokratis untuk menyalurkan kehendak rakyat (the will of the people) dalam memilih pemimpin dan bagian yang tidak terpisahkan dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan. Pemilu telah menjadi jembatan penghubung bagi rakyat dalam menentukan bagaimana dan dengan cara apa pemerintahan dapat dibentuk dan dijalankan secara demokratis. Dalam pemilu, rakyat melalui prinsip one man, one vote, one value menjadi penentu dalam memilih pemimpin maupun wakilnya yang kemudian akan mengarahkan tata kelola perjalanan bangsa. Sehingga, pemilu menjadi seperti transmission belt, di mana kekuasaan yang berasal dari rakyat dapat bergeser menjadi kekuasaan negara yang kemudian berubah bentuk menjadi wewenang pemerintah untuk melaksanakan pemerintahan dan memimpin rakyat;
Pemilu merupakan salah satu sarana penyaluran hak asasi warga negara yang konstitusional dan prinsipil dengan cara penyediaan arena kompetisi yang terbuka dan adil bagi partai politik sepanjang telah melaksanakan fungsi dan perannya serta pertanggungjawaban atas kinerjanya kepada rakyat yang telah memilihnya. Di dalam pemilu, rakyat berdaulat untuk menentukan dan memilih sesuai aspirasi kepada wakil-wakilnya yang dianggap paling dipercaya dan mampu melaksanakan aspirasinya yang akan dinilai akuntabilitasnya setiap 5 (lima) tahun oleh rakyat secara jujur dan adil, sehingga eksistensinya setiap 5 (lima) tahun diuji melalui pemilu. Adapun standar pemilihan umum secara internasional sebagaimana yang dikemukakan oleh International IDEA (Institute for Democracy and Electoral Assistance) terkait pemilu adalah adanya jaminan partisipasi rakyat di dalamnya yakni hak memberikan suara yang sama bagi setiap warga negara yang memenuhi syarat tanpa adanya diskriminasi. Pengakuan konstitusional terhadap hak pilih merupakan hal umum bagi negara-negara demokrasi, sehingga kerangka hukum pemilu harus memastikan semua warga negara yang memenuhi persyaratan dijamin haknya memberikan suara secara universal dan adil serta tanpa diskriminasi.
Adapun mengenai jaminan hak pilih, tidak secara eksplisit disebut dalam UUD 1945, namun diatur dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan bahwa “setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilu berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan perundang-undangan”, dan peraturan perundang-undangan lainnya. Meskipun secara eksplisit diatur dalam undang-undang, namun tidak menghilangkan substansi dari hak konstitusional warga negara yang dijamin dalam UUD 1945. Sebab, hak untuk memilih dan dipilih (right to vote and right to be candidate) merupakan bagian dari hak atas kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana disebutkan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Atas dasar konstitusi tersebut, kedudukan hak konstitusional in casu hak untuk dipilih (right to be candidate) warga negara yang fundamental harus dijamin dan dilindungi oleh negara. Menurut Mahkamah, dalam mendorong kepesertaan rakyat seluas-luasnya dalam pemerintahan tidak boleh dihalangi oleh syarat-syarat yang bersifat diskriminatif, tidak rasional, dan/atau tidak adil, karena semakin banyak rakyat yang ikut berpartisipasi, baik untuk memilih maupun dipilih, maka akan semakin meningkatkan kualitas proses berdemokrasi.
Presiden dan Wakil Presiden merupakan jabatan politik yang dipilih secara langsung oleh rakyat (elected officials) sebagaimana diatur dalam Pasal 6A UUD 1945. Sebagai jabatan politik, syarat konstitusional (constitutional requirements) untuk dapat dicalonkan menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur dalam Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 bahwa Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Sedangkan, syarat lainnya diatur lebih lanjut dengan undang-undang, in casu undang-undang mengenai pemilihan umum.
Dalam sejarahnya, UUD 1945 sebelum perubahan hanya mengatur syarat konstitusional untuk menjadi Presiden yakni orang Indonesia asli [vide Pasal 6 UUD 1945]. Sebelum perubahan (amendemen) UUD 1945 tidak mengatur batasan minimum usia presiden. Adapun syarat usia Presiden baru muncul dalam ketentuan Pasal 69 ayat (3) Konstitusi Republik Indonesia Serikat yang menyatakan Presiden harus orang Indonesia yang telah berusia 30 tahun. Demikian juga dalam Pasal 45 ayat (5) UUDS 1950 menyatakan “Presiden dan Wakil-Presiden harus warga- negara Indonesia jang telah berusia 30 tahun ... dst”. Sedangkan pasca perubahan UUD 1945, semangat kedaulatan rakyat berubah dari yang sebelumnya kedaulatan rakyat dilaksanakan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi kedaulatan rakyat yang dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Perubahan tersebut berdampak pada syarat calon Presiden dan Wakil Presiden yang lebih fleksibel yaitu pengaturannya diatur lebih lanjut dalam undang-undang. Dalam hal ini, Pasal 6 huruf q UU 23/2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden menentukan syarat sekurang-kurangnya 35 (tiga puluh lima) tahun, demikian juga dalam Pasal 5 huruf o UU 42/2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden menentukan syarat sekurang-kurangnya 35 (tiga puluh lima) tahun. Sedangkan, dalam Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, mempersyaratkan calon Presiden dan Wakil Presiden berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun.
Perbedaan syarat usia bagi calon Presiden dan Wakil Presiden baik 30 tahun, 35 tahun, maupun 40 tahun diatur secara beragam dari waktu ke waktu, namun berdasarkan penelusuran belum ditemukan rumus yang baku untuk menentukan usia yang tepat untuk menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden. Jika melihat di beberapa negara usia Presiden dan Wakil Presiden sangat beragam. Meskipun demikian, Konstitusi (UUD 1945) memang acapkali tidak memuat suatu aturan secara spesifik dan eksplisit mengatur suatu dasar konstitusional kebijakan publik, melainkan hanya memberi dasar dan prinsip-prinsip yang menjadi tolok ukurnya. Sementara penjabaran lebih jauh dalam suatu undang-undang sebagai pengaturan lebih lanjut, dalam konteks syarat usia bagi calon Presiden dan Wakil Presiden, Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 telah memberi rambu-rambu bagi pembentuk undang-undang untuk menentukan syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden yang diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Dengan demikian, menurut Mahkamah, secara konstitusional, pembentuk undang-undang meskipun memiliki kewenangan untuk menentukan syarat-syarat bagi calon Presiden dan Wakil Presiden, namun pembentuk undang-undang tetap terikat pada rambu-rambu konstitusi dalam membentuk undang-undang, khususnya terkait dengan syarat-syarat yang bersifat rasional, tidak melanggar moralitas, tidak bersifat diksriminatif, dan tidak memuat adanya ketidakadilan. Bahkan, tidak boleh bertentangan dengan Pancasila, Konstitusi, prinsip keadilan, dan hak asasi manusia.
[3.13.2] Bahwa selanjutnya sebelum mempertimbangkan konstitusionalitas Pasal 169 huruf q UU 7/2017, penting bagi Mahkamah untuk terlebih dahulu mempertimbangkan open legal policy dalam penentuan batas usia minimal calon Presiden dan Wakil Presiden, dan sejarah pengaturannya, yang selengkapnya sebagai berikut:
Sejak perubahan UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia menegaskan kedudukannya sebagai negara hukum yang demokratis. Tujuannya, selain untuk menjamin bahwa konstitusi sebagai hukum yang tertinggi (constitution as the supreme law), juga untuk menegaskan bahwa sistem pemerintahan yang dianut adalah sistem presidensial (presidential system) yang berbasis pada checks and balances yaitu adanya kontrol dan keseimbangan di antara pemegang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Kekuasaan legislatif adalah kekuasaan yang menjalankan tugas dan fungsi, antara lain membentuk undang-undang bersama Presiden, dan tugas legislatif lainnya yang dijalankan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) [vide Pasal 20 UUD 1945] serta Dewan Perwakilan Daerah (DPD) [vide Pasal 22D UUD 1945]. Cabang kekuasaan yudikatif adalah cabang kekuasaan yang berfungsi menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan yang dijalankan oleh lembaga-lembaga peradilan yakni Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi [vide Pasal 24 ayat (2) UUD 1945]. Sedangkan kekuasaan eksekutif dipegang oleh Presiden dan Wakil Presiden [vide Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945].
Presiden dan wakil presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif merupakan salah satu dari jabatan politik kategori elected officials bersama kepala daerah-wakil kepala daerah (gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati, dan walikota-wakil walikota) yaitu jabatan politik yang diangkat dalam jabatan melalui proses politik, in casu pemilihan umum. Dalam kaitannya dengan kriteria usia jabatan elected officials ini, meskipun sama-sama dipilih dalam pemilu, namun UUD 1945 tidak menentukan batasan usia minimum tertentu sebagai kriteria yang berlaku umum untuk semua jabatan yang pengisiannya dilakukan melalui pemilihan umum. Hal itu berarti, UUD 1945 menyerahkan penentuan batasan usia tersebut diatur dalam undang-undang, yang menyebabkan persyaratan usia minimum untuk masing-masing jabatan yang pengisiannya dilakukan melalui pemilihan umum diatur secara berbeda-beda dalam berbagai undang-undang sesuai dengan jenis jabatan masing-masing. Terkait hal tersebut, dalam pengujian undang-undang tentang Pemerintahan Daerah khususnya batas usia kepala daerah, Mahkamah memberikan pertimbangan sebagaimana termuat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-V/2007 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 27 November 2007 sebagai berikut:
"........bahwa pemenuhan hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan bukan berarti negara tidak boleh mengatur dan menentukan syarat-syaratnya, sepanjang syarat-syarat demikian secara objektif memang merupakan kebutuhan yang dituntut oleh jabatan atau aktivitas pemerintahan yang bersangkutan dan tidak mengandung unsur diskriminasi. Dengan demikian yang menjadi pertanyaan sehubungan dengan permohonan a quo adalah apakah persyaratan usia minimum 30 tahun untuk menjadi kepala daerah atau wakil kepala daerah, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 58 huruf d UU Pemda, merupakan kebutuhan objektif bagi jabatan kepala daerah atau wakil kepala daerah. Dalam hubungan ini, Mahkamah menegaskan kembali bahwa jabatan maupun aktivitas pemerintahan itu banyak macam-ragamnya, sehingga kebutuhan dan ukuran yang menjadi tuntutannya pun berbeda-beda di antara bermacam-macam jabatan atau aktivitas pemerintahan tersebut. Dalam kaitannya dengan kriteria usia, UUD 1945 tidak menentukan batasan usia minimum tertentu sebagai kriteria yang berlaku umum untuk semua jabatan atau aktivitas pemerintahan. Hal itu berarti, UUD 1945 menyerahkan penentuan batasan usia tersebut kepada pembentuk undang-undang untuk mengaturnya. Dengan kata lain, oleh UUD 1945 hal itu dianggap sebagai bagian dari kebijakan hukum (legal policy) pembentuk undang-undang. Oleh sebab itulah, persyaratan usia minimum untuk masing-masing jabatan atau aktivitas pemerintahan diatur secara berbeda-beda dalam berbagai peraturan perundang- undangan. Misalnya, batas usia minimum untuk menjadi Hakim Konstitusi ditentukan 40 tahun [vide Pasal 16 Ayat (1) huruf c UU MK], batas usia minimum untuk menjadi Hakim Agung ditentukan 50 tahun [vide Pasal 7 Ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung], batas usia minimum untuk berhak memilih dalam pemilihan umum ditentukan 17 tahun atau sudah kawin atau sudah pernah kawin [vide Pasal 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah]. Mungkin saja batas usia minimum bagi keikutsertaan warga negara dalam jabatan atau kegiatan pemerintahan itu diubah sewaktu-waktu oleh pembentuk undang-undang sesuai dengan tuntutan kebutuhan perkembangan yang ada. Hal itu sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk undang-undang yang tidak dilarang. Bahkan, seandainya pun suatu undang-undang tidak mencantumkan syarat usia minimum (maupun maksimum) tertentu bagi warga negara untuk dapat mengisi suatu jabatan atau turut serta dalam kegiatan pemerintahan tertentu, melainkan menyerahkan pengaturannya kepada peraturan perundang-undangan di bawahnya, hal demikian pun merupakan kewenangan pembentuk undang-undang dan tidak bertentangan dengan UUD 1945."
Mahkamah juga menegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 58/PUU-XVII/2019 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 11 Desember 2019, bahwa perihal batas usia kepala daerah, sebelumnya Mahkamah berpendirian sebagai berikut:
”..... Demikian pula halnya jika pembentuk undang-undang berpendapat bahwa untuk jabatan atau perbuatan hukum tertentu pembentuk undang- undang menentukan batas usia yang berbeda-beda dikarenakan perbedaan sifat jabatan atau perbuatan hukum itu, hal itu pun merupakan kewenangan pembentuk undang-undang. Bahkan, Mahkamah telah menegaskan pula, andaipun perihal batas usia itu tidak diatur dalam undang-undang melainkan diserahkan kepada peraturan perundang- undangan di bawah undang-undang untuk mengaturnya, hal itu tidak bertentangan dengan UUD 1945. Dalam kaitannya dengan Permohonan a quo, pertanyaannya kemudian, apakah terdapat kebutuhan bagi Mahkamah untuk mengubah pendiriannya. Dalam hal ini Mahkamah berpendapat tidak terdapat alasan fundamental dalam perkembangan ketatanegaraan yang menyebabkan Mahkamah tak terhindarkan harus mengubah pendiriannya.”
Berdasarkan pertimbangan hukum putusan Mahkamah di atas, Mahkamah pada dasarnya dapat berubah pendiriannya dalam menilai isu konstitusionalitas suatu perkara yang diperiksa dan diadili selama terdapat alasan yang mendasar termasuk dalam perkara a quo, jika Mahkamah berpendapat lain terkait dengan syarat usia pemilih dan yang dipilih, in casu batas usia bagi calon Presiden dan Wakil Presiden apabila terdapat alasan yang mendasar dalam perkembangan ketatanegaraan. Selain itu, berkaitan dengan kebijakan hukum (legal policy atau open legal policy) terkait batas usia, Mahkamah dalam beberapa putusan yang berkaitan dengan legal policy acapkali berpendirian bahwa legal policy dapat saja dikesampingkan apabila melanggar prinsip moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable. Demikian juga sepanjang pilihan kebijakan tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembentuk undang-undang, tidak merupakan penyalahgunaan wewenang, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945, maka pilihan kebijakan demikian dapat dinyatakan inkonstitusional atau inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah. Selain itu, norma yang berkaitan dengan legal policy adalah sesuatu yang tidak diatur secara tegas dalam Konstitusi karena jika diatur secara tegas dalam konstitusi, maka undang-undang tidak boleh mengatur norma yang berbeda dengan norma konstitusi. Dalam beberapa putusan terakhir, Mahkamah memberikan tafsir ulang dan mengesampingkan open legal policy seperti dalam perkara yang terkait batas usia pensiun dan batas usia minimum bagi penyelenggara negara karena dipandang oleh Mahkamah norma yang dimohonkan pengujiannya dinilai melanggar salah satu prinsip untuk dapat mengesampingkan atau mengabaikan open legal policy seperti pelanggaran terhadap prinsip moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable, tidak melampaui kewenangan, tidak merupakan penyalahgunaan wewenang, dan/atau bertentangan dengan UUD 1945 sebagaimana terdapat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022 dalam pengujian usia minimal pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, dan juga pada pokoknya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XX/2022 tentang pengujian batas usia pensiun bagi jaksa, dan juga Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 121/PUU-XX/2022 tentang pengujian batas usia pensiun Panitera di Mahkamah Konstitusi. Apalagi, baik DPR maupun Presiden selaku pemberi keterangan dalam sidang Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023, Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023, dan Perkara Nomor 55/PUU- XXI/2023 (tanpa bermaksud menilai perkara pada masing-masing nomor perkara tersebut), pada pokoknya fakta hukum dalam persidangan dimaksud menunjukan bahwa DPR dan Pemerintah telah menyerahkan sepenuhnya kepada Mahkamah untuk memutus terkait pasal a quo (Pasal 169 huruf q UU 7/2017) [vide Risalah Sidang Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023; Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023; Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023, bertanggal 1 Agustus 2023, hlm. 8 dan hlm. 13], sehingga mau tidak mau, suka tidak suka, Mahkamah harus menilai dan mengadili norma yang dipersoalkan oleh pemohon berdasarkan hukum, konstitusi dan keadilan, termasuk di dalamnya berdasarkan Pancasila, UUD 1945, prinsip keadilan dan hak asasi manusia (HAM).
Sehubungan hal tersebut, menurut Mahkamah, keberadaan kebijakan hukum atau kebijakan hukum terbuka (open legal policy) meskipun dapat diterima dalam praktik ketatanegaraan, namun dalam perkembangannya seperti dalam beberapa putusan Mahkamah tersebut di atas, Mahkamah dapat mengabaikan/mengesampingkan seraya memberi tafsir ulang terhadap norma yang merupakan open legal policy tersebut. Bahkan, Mahkamah dapat menilai norma yang sebelumnya termasuk open legal policy dimaksud apakah tetap konstitusional atau inkonstitusional atau pun konstitutional/inkonstitusional bersyarat, sebagian atau seluruhnya. Terlebih, setiap pengujian undang-undang meskipun sama isu konstitutionalnya, belum tentu sama karakter perkaranya baik karena berbeda batu ujinya, posita dan petitumnya, maupun perbedaan dari segi makna (frasa) yang dimohonkan oleh pemohon. Sehingga, perbedaan karakter perkara dimaksud dapat berimplikasi pada perbedaan hasil atau putusan Mahkamah, antara lain seperti dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 112/PUU-XX/2022, dan/atau Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XX/2022, serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 121/PUU-XX/2022, yang telah dikemukakan di atas.
Secara konseptual, open legal policy merupakan domain pembentuk undang-undang untuk menentukan norma yang tidak diatur secara tegas dalam UUD 1945. Pembentuk undang-undang sesuai dengan kewenangan konstitusionalnya dapat merumuskan norma dalam undang-undang sebagai kebijakan hukum terbuka sepanjang norma tersebut tidak diatur secara tegas dalam UUD 1945 dan norma tersebut berlaku dan mengikat umum sampai dengan diputus atau diberi makna lain oleh Mahkamah. Oleh karena itu, norma dalam undang- undang yang merupakan open legal policy tetap berlaku mengikat sebagaimana perundang-undangan lainnya sebagai hukum positif (ius constitutum) dan tetap konstitusional sesuai dengan asas presumption of constitutionality. Namun demikian, apabila suatu pasal, norma, atau undang-undang yang berlaku positif tersebut kemudian dimintakan pengujian konstitusionalitasnya di hadapan Mahkamah Konstitusi, maka open legal policy pembentuk undang-undang berhenti (exhausted), selanjutnya memberi kesempatan kepada Mahkamah untuk memeriksa, mengadili, dan memutus isu konstitusionalitas norma dalam undang- undang yang muaranya dapat berupa norma yang diuji tetap konstitusional atau inkonstitusional atau pun konstitutional/inkonstitusional bersyarat, sebagian atau seluruhnya. Sehingga, implikasi konstitusi/hukumnya adalah norma yang semula merupakan kebijakan hukum terbuka, terlepas dari hasilnya, telah mendapat penilaian/uji konstitusionalitas oleh Mahkamah. Ihwal ini, telah menjadi domain Mahkamah untuk menilai dan mengkaji ulang dengan bersandar pada Konstitusi termasuk Pancasila, prinsip keadilan, dan hak asasi manusia (HAM). Demikian pula, Mahkamah dapat menilai open legal policy apakah masih relevan ataukah tidak relevan sehingga menyebabkan adanya penafsiran baru (reinterpretasi) terhadap pasal, norma, frasa, atau undang-undang yang sedang diuji konstitusionalitasnya. Artinya, konsep open legal policy pada prinsipnya tetap diakui keberadaannya namun tidak bersifat mutlak karena norma dimaksud berlaku sebagai norma kebijakan hukum terbuka selama tidak menjadi objek pengujian undang-undang di Mahkamah. Dalam konteks demikian, Mahkamah harus tegas menerima atau menolak suatu perkara berdasarkan penilaiannya terhadap UUD 1945 in casu hukum dan keadilan sebagaimana amanat Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan bahwa Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Sehingga, Mahkamah dalam memutus perkara harus berdasarkan konstitusi, termasuk di dalamnya nilai-nilai Pancasila, prinsip keadilan, dan HAM, bukan justru menyerahkan keberlakuan norma yang dimintakan pengujian dikembalikan kepada pembentuk undang-undang dengan alasan open legal policy. Terlebih lagi, apabila DPR maupun Presiden telah menyerahkan sepenuhnya kepada Mahkamah untuk memutus hal dimaksud, maka dalam keadaan demikian, adalah tidak tepat bagi Mahkamah untuk melakukan judicial avoidance dengan argumentasi yang seakan- akan berlindung dibalik open legal policy. Mahkamah sebagai lembaga peradilan seyogianya menjalankan fungsinya untuk menyelesaikan perselisihan (disputes settlement), memberikan kepastian hukum yang adil, dan memberi solusi konstitusional, serta menuntaskan perbedaan tafsir dengan memberikan tafsir akhir berdasarkan konstitusi (the final interpreter of the constitution).
Sehubungan hal tersebut di atas, pada dasarnya tidak salah anggapan beberapa sarjana hukum yang menilai bahwa Mahkamah Konstitusi adalah lembaga negative legislator, bukanlah lembaga pembentuk undang-undang. Pandangan tersebut tidak sepenuhnya keliru jika Mahkamah Konstitusi disebut negative legislator. Namun, Mahkamah dapat saja beranjak dari posisi negative legislator dan memberi pesan (judicial order), pemaknaan baru, bahkan mengubah norma sekalipun yang dimintakan pengujian oleh warga negara yang hak konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya norma dalam undang-undang. Mahkamah Konstitusi akan beranjak dan mengambil langkah judisial apabila Mahkamah menilai norma dalam undang-undang melanggar konstitusi dan/atau keadilan, in casu Pancasila, konstitusi, prinsip keadilan, dan HAM. Meskipun demikian, tidak menjadikan Mahkamah serta merta atau dengan mudah menganulir norma yang telah berlaku, jelas, dan pasti. Mahkamah selalu berhati-hati dan senantiasa profesional dalam memeriksa, mengadili, dan memutus sebuah perkara. Memperlakukan setiap perkara sama dengan memahami karakteristik masing-masing perkara yang sama atau tidak sama. Mahkamah akan bereaksi dan memutus suatu isu konstitusional jika terdapat norma, frasa, pasal, ayat, atau bagian undang-undang yang mencederai Pancasila, konstitusi, prinsip keadilan, dan/atau HAM guna meneguhkan Mahkamah sebagai penafsir akhir konstitusi (the final interpreter of the constitution).
Bahwa berkenaan dengan persyaratan usia minimal bagi calon Presiden dan Wakil Presiden, apabila ditelusuri pada Risalah Perubahan UUD 1945, telah terdapat wacana memasukkan usia minimum Presiden dan Wakil Presiden ke dalam UUD 1945. Pada Rapat PAH I BP MPR Ke-19 tanggal 23 Februari 2000 dan Rapat PAH I Ke-26 tanggal 3 Maret 2000, terkait persyaratan Presiden, Anton Reinhart dari UKI dan Irma Alamsyah dari Kowani, yang menyatakan perubahan terhadap Pasal 6 ayat (1): ”Presiden dan Wakil Presiden ialah warga negara Indonesia yang telah berusia 40 tahun dan telah 15 tahun berturut-turut bertempat tinggal dalam negara Republik Indonesia.” Sementara itu, Soewarno, juru bicara F-PDIP pada Rapat PAH I Ke-34 tanggal 24 Mei 2000 mengusulkan agar Calon Presiden dan calon Wakil Presiden berusia sekurang-kurangnya 35 (tiga puluh lima) tahun. [vide Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002, Buku IV Kekuasaan pemerintah Negara Jilid I, hal.159]. Pada akhirnya mayoritas fraksi sepakat memilih untuk tidak mencantumkan syarat usia minimal Presiden dan Wakil Presiden dalam perubahan UUD 1945. Hal ini cukup menunjukkan bahwa isu syarat minimal usia Presiden dan Wakil Presiden sudah mulai menjadi diskursus sejak awal perubahan UUD 1945 berlangsung;
[3.13.3] Bahwa selain presiden dan wakil presiden, jabatan lainnya yang didapatkan melalui pemilihan umum (elected officials) adalah gubernur, bupati, dan walikota, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Presiden dan wakil presiden, gubernur, bupati, dan walikota masuk ke dalam rumpun jabatan eksekutif, sedangkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) masuk ke dalam rumpun jabatan legislatif. Meskipun sama-sama masuk dalam rumpun jabatan eksekutif, namun ternyata terdapat perbedaan penentuan batas usia minimum calon presiden dan wakil presiden, dengan gubernur, bupati, dan walikota. Batas usia minimum calon Presiden dan Wakil Presiden adalah 40 tahun [vide Pasal 169 huruf q UU 7/2017], batas usia minimum calon gubernur dan wakil gubernur adalah 30 tahun [vide Pasal 7 ayat (2) huruf (e) UU Pilkada], dan batas usia minimum calon Bupati dan Wakil Bupati serta calon Walikota dan Wakil Walikota adalah 25 tahun [vide Pasal 7 ayat (2) huruf (e) UU Pilkada]. Sedangkan batas usia calon anggota legislatif baik Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota justru disamakan yakni 21 tahun [vide Pasal 240 ayat (1) huruf (a) dan Pasal 182 huruf (a) UU 7/2017];

Penentuan batas usia minimal bagi calon yang dipilih melalui pemilihan umum (elected officials) khususnya yang akan menduduki jabatan dalam rumpun eksekutif dan rumpun legislatif seyogianya didasarkan pada pertimbangan yang objektif, rasional, jelas, dan tidak bersifat diskriminatif serta tidak menciderai rasa keadilan. Pertanyaannya adalah apakah persyaratan berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun terhadap calon Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana ditentukan dalam Pasal 169 huruf q UU 7/2017 merupakan kebutuhan objektif bagi jabatan Presiden dan Wakil Presiden? Dalam hubungan ini, Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-V/2007 yang diucapkan dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk umum pada tanggal 27 November 2007 menegaskan bahwa jabatan maupun aktivitas pemerintahan itu banyak macam-ragamnya, sehingga kebutuhan dan ukuran yang menjadi tuntutannya pun berbeda-beda di antara bermacam-macam jabatan atau aktivitas pemerintahan tersebut. Namun perlu digarisbawahi bahwa dalam menjalankan aktivitas pemerintahan, baik Presiden, Gubernur, Bupati, dan Walikota tidak bekerja sendiri. Presiden dan Wakil Presiden dibantu oleh menteri-menteri dalam menjalankan aktivitas pemerintahannya di Pusat, Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota dibantu oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dalam menjalankan aktivitas pemerintahannya di Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota.
[3.13.4] Bahwa apabila melihat perbandingan dengan negara lain, tidak sedikit Presiden atau Wakil Presiden yang berusia di bawah 40 (empat puluh) tahun ketika pertama kali dilantik/menjabat antara lain, Gabriel Boric Presiden Chile diangkat di usia 35 tahun, Vjosa Osmani Presiden Kosovo diangkat di usia 38 tahun, dan Emmanuel Macron Presiden Prancis diangkat di usia 39 tahun. Bahkan negara Amerika Serikat yang seringkali menjadi rujukan dalam penerapan sistem pemerintahan yang demokratis, justru secara tegas mengatur syarat calon Presiden dalam konstitusi Amerika Serikat sekurang-kurangnya berusia 35 (tiga puluh lima) tahun sebagaimana ditegaskan dalam Article II section 1 Konstitusi Amerika Serikat 1789 (rev. 1992). Demikian juga dengan beberapa negara Eropa mengatur batas usia minimal 35 tahun untuk dapat menduduki jabatan sebagai Presiden, misalnya di Austria 35 tahun [vide Article 60 (3) Konstitusi Austria 1920 (amendemen 2013)], di Polandia 35 tahun [vide Article 127 (3) Konstitusi Polandia 1997 (amendemen 2009)], di Ukraina 35 tahun [vide Article 103 Konstitusi Ukraina 1996 (amendemen 2019)], di Irlandia 35 tahun [vide Article 14 (4) Konstitusi Irlandia 1937 (amendemen 2019)].
Selain itu, beberapa negara di benua Eropa, Asia, Amerika, dan Afrika juga secara tegas mengatur syarat calon Presiden dalam konstitusi mereka masingmasing yakni sekurang-kurangnya berusia 35 (tiga puluh lima), selengkapnya sebagaimana dalam tabel sebagai berikut:
Sedangkan dalam konteks usia kepala pemerintahan di negara-negara dengan sistem parlementer, terdapat pula Perdana Menteri yang berusia di bawah 40 (empat puluh) tahun ketika dilantik/menjabat yaitu di antaranya Leo Varadkar Perdana Menteri Irlandia yang diangkat di usia 38 tahun, Dritan Abazovic Perdana Menteri Montenegro diangkat di usia 37 tahun, Sanna Marin Perdana Menteri Finlandia diangkat di usia 34 tahun, Jacinda Ardern Perdana Menteri New Zealand diangkat di usia 37 tahun, dan bahkan Sebastian Kurz yang diangkat menjadi Kanselir Austria di usia 31 tahun, serta negara dengan sistem monarki seperti Arab Saudi yang dipimpin oleh Pangeran Mohammed bin Salman yang diangkat pada usia 37 tahun. Artinya, secara komparatif dengan negara lain, tidak sedikit Presiden atau Wakil Presiden, dan Perdana Menteri yang berusia di bawah 40 (empat puluh) tahun ketika dilantik/menjabat. Seluruh data/informasi di atas, menunjukkan bahwa tren kepemimpinan global semakin cenderung ke usia yang lebih muda (younger). Dengan demikian, dalam batas penalaran yang wajar, secara rasional, usia di bawah 40 (empat puluh) tahun dapat saja, incertus tamen, menduduki jabatan baik sebagai Presiden maupun Wakil Presiden sepanjang memenuhi kualifikasi tertentu yang sederajat/setara;
[3.13.5] Bahwa berkenaan dengan apakah seseorang yang dipilih dalam pilkada (gubernur, bupati, dan walikota) termasuk dalam kategori “sepanjang memiliki pengalaman sebagai pejabat negara yang dipilih melalui pemilu“, menurut Mahkamah penting untuk melihat kembali sejarah masuknya pilkada ke dalam rezim pemilu. Pada awalnya, sengketa atas hasil perselisihan hasil Pilkada adalah wewenang Mahkamah Agung yang kemudian dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 072- 073/PUU-II/2004. Selanjutnya, pada tahun 2013 melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013, Mahkamah mengatakan bahwa Mahkamah tidak berwenang dalam memutus perselisihan hasil sengketa Pilkada. Hal itu disebabkan karena Mahkamah menilai rezim pemilu dengan pilkada adalah dua hal yang berbeda. Akan tetapi untuk menghindari keragu-raguan, ketidakpastian, dan agar tidak terjadinya kevakuman lembaga yang berwenang menyelesaikan perselisihan hasil sengketa Pilkada serta belum terdapat undang-undang yang mengatur hal tersebut maka, penyelesaian perselisihan hasil sengketa Pilkada tetap menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Dalam perkembangannya, terkait perbedaan antara kedua rezim pemilihan di atas, melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 26 Februari 2020, sebagaimana dimuat pada Sub-paragraf [3.15.1] Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
“[3.15.1] ... bahwa melacak perdebatan selama perubahan UUD 1945, terdapat banyak pandangan dan perdebatan perihal keserentakan pemilihan umum. Dalam hal ini, adalah benar penyelenggaraan Pemilu Serentak Lima Kotak menjadi salah satu gagasan yang muncul dari pengubah UUD 1945. Namun gagasan tersebut bukanlah satu-satunya yang berkembang ketika perubahan UUD 1945. Berdasarkan penelusuran rekaman pembahasan atau risalah perubahan UUD 1945 membuktikan terdapat banyak varian pemikiran perihal keserentakan penyelenggaraan pemilihan umum. Bahkan, para pengubah UUD 1945 sama sekali tidak membedakan rezim pemilhan. Di antara varian tersebut, yaitu: (1) Pemilihan umum, baik pemilihan anggota legislatif maupun pemilihan presiden dan wakil presiden, dilakukan secara bersamaan atau serentak di seluruh Indonesia; (2) Pemilihan umum serentak hanya untuk memilih anggota DPR, DPRD, dan DPD dilaksanakan di seluruh wilayah Republik Indonesia; (3) Pemilihan umum serentak secara nasional maupun serentak yang bersifat lokal; (4) Pemilihan umum serentak sesuai dengan berakhirnya masa jabatan yang akan dipilih, sehingga serentak dapat dilakukan beberapa kali dalam lima tahun itu, termasuk memilih langsung gubernur dan bupati/walikota; (5) Pemilihan umum serentak, namun penyelenggaraan keserentakannya diatur dengan undang-undang; (6) Penyelenggaraan pemilihan Presiden dan Pemilihan Umum dipisahkan. Kemudian pemilihan Presiden dapat diikuti juga dengan pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota; dan (7) Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden waktunya berbeda dengan pemilihan umum untuk memilih DPR, DPD, dan DPRD. Sementara itu, pemilihan rumpun eksekutif: Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota, dan sebagainya dipilih langsung oleh rakyat....”
Selanjutnya berkenaan dengan “kewenangan penyelesaian perselisihan hasil sengketa Pilkada”, melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU- XX/2022 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 29 September 2022, sebagaimana dimuat pada Paragraf [3.20] dan Paragraf [3.21] Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
“[3.20] Menimbang bahwa tafsir atas UUD 1945 yang tidak lagi membedakan antara pemilihan umum nasional dengan pemilihan kepala daerah, secara sistematis berakibat pula pada perubahan penafsiran atas kewenangan Mahkamah Konstitusi yang diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk, salah satunya, memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selanjutnya makna konstitusional yang demikian diturunkan dalam berbagai undang-undang yang terkait dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi, terutama Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.
Norma demikian pada akhirnya harus dipahami bahwa perkara perselisihan hasil pemilihan umum yang diadili oleh Mahkamah Konstitusi terdiri dari pemilihan umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden; memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat; memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah; memilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah baik provinsi, kabupaten, maupun kota; serta memilih kepala daerah provinsi, kabupaten, maupun kota.
[3.21] Menimbang bahwa hal lain yang perlu dipertimbangkan oleh Mahkamah adalah badan khusus yang pembentukannya diamanatkan oleh Pasal 157 ayat (1) dan ayat (2) UU 10/2016 adalah suatu badan peradilan. Sebagai suatu badan peradilan, Mahkamah berpendapat keberadaannya harus berada di bawah naungan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam Bab IX Kekuasaan Kehakiman UUD 1945. Menurut Mahkamah, semua norma mengenai badan/lembaga peradilan diatur dalam satu bab yang sama yaitu Bab IX Kekuasaan Kehakiman yang terdiri dari, antara lain, Pasal 24 dan Pasal 24C UUD 1945. Rangkaian norma hukum dalam pasal-pasal tersebut mengatur bahwa kekuasaan kehakiman, sebagai kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan, dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya serta oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Pembatasan dalam UUD 1945 demikian pada akhirnya menutup kemungkinan dibentuknya suatu badan peradilan khusus pemilihan yang tidak berada di bawah lingkungan Mahkamah Agung serta tidak pula berada di bawah Mahkamah Konstitusi. Pilihan yang muncul dari pembatasan konstitusional demikian adalah badan peradilan khusus tersebut harus diletakkan menjadi bagian dari Mahkamah Agung atau menjadi bagian di Mahkamah Konstitusi. Namun mengingat latar belakang munculnya peralihan kewenangan mengadili perselisihan hasil pemilihan kepala daerah pada beberapa periode sebelumnya, menurut Mahkamah solusi hukum meletakkan atau menempatkan badan peradilan khusus tersebut di bawah Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi bukan pilihan yang tepat dan konstitusional. Apalagi seandainya badan peradilan khusus tersebut direncanakan untuk dibentuk terpisah kemudian diletakkan di bawah Mahkamah Konstitusi, hal demikian membutuhkan pengubahan dasar hukum yang lebih berat mengingat kelembagaan Mahkamah Konstitusi dibatasi secara ketat oleh UUD 1945 dan undang-undang pelaksananya. Pilihan atau alternatif yang lebih mungkin dilaksanakan secara normatif, dan lebih efisien, bukanlah membentuk badan peradilan khusus untuk kemudian menempatkannya di bawah Mahkamah Konstitusi, melainkan langsung menjadikan kewenangan badan peradilan khusus pemilihan menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Hal demikian sejalan dengan amanat Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 karena pemilihan kepala daerah adalah pemilihan umum sebagaimana dimaksud Pasal 22E UUD 1945.”
Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, jelas bahwa kewenangan untuk mengadili perselisihan hasil sengketa Pilkada menjadi kewenangan tetap Mahkamah Konstitusi. Sementara, badan peradilan khusus yang semula direncanakan untuk menyelesaikan sengketa pilkada menjadi tidak relevan lagi untuk dibentuk. Sehingga, terjadi pergeseran rezim penanganan penyelesaian sengketa pemilihan gubernur, bupati dan walikota dari sebelumnya merupakan rezim pilkada menjadi rezim pemilu. Andaipun sekiranya ada pemikiran dari kalangan di masyarakat yang masih berfikir memisahkan pemilu dengan pilkada, - quod non-, maka baik pemilu maupun pilkada adalah bagian dari ruang lingkup pengertian pemilu. Oleh karena itu, pilkada telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari rezim pemilu. Dengan demikian, dalam perkara a quo, nomenklatur yang digunakan untuk pemilu adalah termasuk pilkada. Dengan demikian, pemilihan umum (pemilu) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 E ayat (2) UUD 1945 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XX/2022, terdiri atas: (1) pemilihan anggota DPR; (2) pemilihan anggota DPD; (3) pemilihan presiden dan wakil presiden; (4) pemilihan anggota DPRD; (5) pemilihan gubernur dan wakil gubernur; (6) pemilihan bupati dan wakil bupati; dan (7) pemilihan walikota dan wakil walikota. Dalam perkara a quo, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa pemilihan kepala daerah (Gubernur, Bupati, dan Walikota) adalah termasuk dalam pemilihan umum.
[3.14] Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan hal-hal di atas, selanjutnya Mahkamah akan menjawab permasalahan utama sebagaimana yang didalilkan dan termuat dalam petitum permohonan a quo, yaitu apakah penambahan syarat alternatif, in casu “atau berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota” pada norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 bertentangan atau tidak dengan UUD 1945. Berkenaan dengan dalil Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut sebagai berikut:
[3.14.1] Bahwa mengingat batas usia ini tidak diatur secara tegas dalam UUD 1945, namun dengan melihat praktik di berbagai negara memungkinkan presiden dan wakil presiden atau kepala negara/pemerintahan dipercayakan kepada sosok/figur yang berusia di bawah 40 tahun, serta berdasarkan pengalaman pengaturan baik di masa pemerintahan RIS (30 tahun) maupun di masa reformasi, in casu UU 48/2008 telah pernah mengatur batas usia presiden dan wakil presiden minimal 35 (tiga puluh lima) tahun. Sehingga, guna memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada generasi muda atau generasi milenial untuk dapat berkiprah dalam konstestasi pemilu untuk dicalonkan menjadi presiden atau wakil presiden, maka menurut batas penalaran yang wajar, memberi pemaknaan terhadap batas usia tidak hanya secara tunggal namun seyogianya mengakomodir syarat lain yang disetarakan dengan usia yang dapat menunjukkan kelayakan dan kapasitas seseorang untuk dapat turut serta dalam kontestasi sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden dalam rangka meningkatkan kualitas demokrasi karena membuka peluang putera puteri terbaik bangsa untuk lebih dini berkontestasi dalam pencalonan, in casu sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Terlebih, jika syarat Presiden dan Wakil Presiden tidak dilekatkan pada syarat usia namun diletakkan pada syarat pengalaman pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu (elected officials). Sehingga, tokoh/figur tersebut dapat saja, dikatakan telah memenuhi syarat derajat minimal kematangan dan pengalaman (minimum degree of maturity and experience) karena terbukti pernah mendapat kepercayaan masyarakat, publik atau kepercayaan negara. Sementara itu, menurut data Badan Pusat Statistik Tahun 2022, terdapat sekitar 21,974 juta jiwa penduduk rentang usia 30-34 tahun, dan 21,046 juta jiwa penduduk rentang usia 35-39 tahun (Statistik Indonesia 2022, Badan Pusat Statistik, hlm. 91). Artinya, jika diletakkan pada rentang usia 30-39 tahun, terdapat setidaknya 43,02 juta penduduk. Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan calon-calon pemimpin generasi muda, terlepas dari pengalaman yang mereka miliki dalam bidang penyelenggaraan pemerintahan berpotensi besar. Hal ini berarti bahwa, secara a contrario, adanya batasan syarat Presiden dan Wakil Presiden berusia minimum 40 tahun berpotensi merugikan hak konstitusional generasi muda. Pentingnya generasi muda ikut berpartisipasi dalam kegiatan berbangsa dan bernegara termasuk juga mendapatkan kesempatan menduduki jabatan publik, in casu Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak saja sejalan dengan kebutuhan masyarakat dewasa ini tapi juga merupakan konsekuensi logis dari bonus demografis yang dimiliki bangsa Indonesia. Setidak-tidaknya, keberadaan sumber daya generasi muda tidak terhalangi oleh sistem yang berlaku dalam kontestasi menuju pemilihan umum sebagai sarana demokrasi untuk mendapatkan pemimpin nasional. Figur generasi muda yang berpengalaman dalam jabatan elected officials sudah sepantasnya mendapatkan kesempatan yang sama dalam pemerintahan tanpa memandang batas usia minimal lagi. Andaipun jabatan elected officials dicantumkan secara tegas dalam Putusan Mahkamah Konstitusi a quo, selain tidak dapat dikatakan bahwa norma jabatan elected officials dimaksud adalah inkonstitusional juga tentu saja tidak merugikan kandidasi bagi calon Presiden dan Wakil Presiden yang berusia 40 tahun ke atas. Bahkan, pembatasan usia minimal calon Presiden dan Wakil Presiden 40 tahun semata (an sich), menurut Mahkamah merupakan wujud perlakuan yang tidak proporsional sehingga bermuara pada terkuaknya ketidakadilan yang intolerable. Ketidakadilan yang intolerable dimaksud karena pembatasan demikian tidak hanya merugikan dan bahkan menghilangkan kesempatan bagi figur/sosok generasi muda yang terbukti pernah terpilih dalam pemilu, artinya terbukti pernah mendapat kepercayaan masyarakat dalam pemilu yang pernah diikuti sebelumnya, seperti dalam pemilihan kepala daerah. Ihwal demikian, tentu saja menghalangi pejabat yang dipilih melalui pemilu (elected officials) untuk ikut berkontestasi sebagai calon Presiden atau Wakil Presiden yang merupakan rumpun yang sama dengan jabatan elected officials lainnya. Pembatasan usia yang hanya diletakkan pada usia tertentu tanpa dibuka syarat alternatif yang setara merupakan wujud ketidakadilan yang intolerable dalam kontestasi pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Oleh karena, kepala daerah (Gubernur, Bupati, dan Walikota) dan jabatan elected officials dalam pemilu legislatif (anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD) yang pernah/sedang menjabat sudah sepantasnya dipandang memiliki kelayakan dan kapasitas sebagai calon pemimpin nasional. Berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, pada prinsipnya syarat usia dalam kandidasi Presiden dan Wakil Presiden harus memberikan kesempatan dan menghilangkan pembatasan (to give opportunity and abolish restriction) secara rasional, adil, dan akuntabel.
Bahwa dalam batas penalaran yang wajar, setiap warga negara memiliki hak pilih (right to vote), dan seharusnya juga memiliki hak untuk dipilih (right to be candidate), termasuk hak untuk dipilih dalam pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Pandangan demikian ini tidak salah, sesuai logika hukum dan tidak bertentangan dengan konstitusi, bahkan juga sejalan dengan pendapat sebagian kalangan yang berkembang dalam masyarakat. Apabila logika ini digunakan maka sudah barang tentu setiap warga negara yang telah memiliki hak pilih (right to vote) dapat menggunakan kesempatan untuk diajukan menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden dalam usia yang relatif muda dan selanjutnya menyerahkan pada preferensi parpol atau gabungan parpol untuk mengajukannya. Menurut mahkamah, ihwal ini dipandang riskan apabila calon Presiden dan Wakil Presiden hanya diletakkan pada kepemilikan hak pilih semata karena meskipun tidak salah dari sudut pandang konstitusi, namun tidak adil dari segi kepercayaan publik karena sosok/figur tersebut belum membuktikan diri pernah terlibat dalam suatu kontestasi pemilu. Artinya, tidak adil jika calon yang diajukan belum pernah mendapat kepercayaan rakyat untuk menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu. Oleh karena itu, Mahkamah mempertimbangkan bahwa dari segi usia, untuk diajukan menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden tidak hanya didasarkan pada pembatasan usia dalam makna satuan angka/kuantitatif (an-sich), tetapi juga harus diberi ruang alternatif usia yang bersifat kualitatif berupa pengalaman pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum. Terpenuhinya syarat alternatif demikian menunjukkan figur yang telah pernah dipilih oleh rakyat yang didasarkan pada kehendak rakyat (the will of the people), dipandang telah memenuhi prinsip minimum degree of maturity and experience serta sejalan dengan prinsip memberikan kesempatan dan menghilangkan pembatasan (to give opportunity and abolish restriction) secara adil, rasional dan akuntabel.
[3.14.2] Bahwa kekuasaan pemerintahan dilaksanakan dengan menjunjung tinggi konstitusi (supremasi konstitusi) sehingga penyelenggaraan negara dan pemerintahan seharusnya dikelola menurut prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Dalam hubungannya dengan jabatan publik, perwujudan pemerintahan yang baik dapat terealisasi jika para pejabat negara telah memahami prinsip pokok, pola pikir, sikap, perilaku, budaya, dan pola tindak pemerintahan yang demokratis, objektif, adil dan profesional dalam rangka menciptakan keadilan dan kepastian hukum di Indonesia. Terhadap hal demikian, Mahkamah menilai bahwa pengalaman yang dimiliki oleh pejabat negara baik di lingkungan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif tidak bisa dikesampingkan begitu saja dalam proses pemilihan umum. Pengisian jabatan publik in casu Presiden dan Wakil Presiden perlu melibatkan partisipasi dari calon-calon yang berkualitas dan berpengalaman. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan dan pengawasan kebijakan nasional, terdapat jabatan publik yang syarat usia pencalonannya 40 tahun (Presiden dan Wakil Presiden) dan di bawah 40 (empat puluh) tahun yang sama-sama dipilih melalui pemilu seperti jabatan Gubernur (30 tahun), Bupati, dan Walikota (25 tahun), serta anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD (21 tahun). Namun demikian, terkait dengan jabatan Presiden dan Wakil Presiden meskipun juga dipilih melalui pemilu, namun karena terkait usia calon Presiden dan Wakil Presiden merupakan bagian dari yang dimintakan pengujian konstitusionalitasnya, maka jabatan Presiden dan Wakil Presiden menurut batas penalaran yang wajar kurang relevan untuk disangkutpautkan dengan hanya syarat usia calon Presiden dan Wakil Presiden. Artinya, Presiden dan Wakil Presiden yang pernah terpilih melalui pemilu dengan sendirinya seyogianya telah memenuhi syarat usia untuk jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Dalam rangka mewujudkan partisipasi dari calon-calon yang berkualitas dan berpengalaman, Mahkamah menilai bahwa pejabat negara yang berpengalaman sebagai anggota DPR, anggota DPD, anggota DPRD, Gubernur, Bupati, dan Walikota sesungguhnya layak untuk berpartisipasi dalam kontestasi pimpinan nasional in casu sebagai calon Presiden dan calon Wakil Presiden dalam pemilihan umum meskipun berusia di bawah 40 tahun. Artinya, jabatan-jabatan tersebut merupakan jabatan publik dan terlebih lagi merupakan jabatan hasil pemilu yang tentu saja didasarkan pada kehendak rakyat (the will of the people) karena dipilih secara demokratis. Pembatasan usia minimal 40 (empat puluh) tahun semata (an sich) tidak saja menghambat atau menghalangi perkembangan dan kemajuan generasi muda dalam kontestasi pimpinan nasional, tapi juga berpotensi mendegradasi peluang tokoh/figur generasi milenial yang menjadi dambaan generasi muda, semua anak bangsa yang seusia generasi milenial. Artinya, usia di bawah 40 tahun sepanjang pernah atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu (elected officials) seyogianya dapat berpartisipasi dalam kontestasi calon Presiden dan Wakil Presiden. Jabatan-jabatan dimaksud merupakan jabatan yang bersifat elected officials, sehingga dalam batas penalaran yang wajar pejabat yang menduduki atau pernah menduduki jabatan elected officials sesungguhnya telah teruji dan telah diakui serta terbukti pernah mendapatkan kepercayaan dan legitimasi rakyat, sehingga figur/orang tersebut diharapkan mampu menjalankan tugasnya sebagai pejabat publik in casu presiden atau wakil presiden. Menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu (elected officials), artinya tidak lagi diukur dari lamanya menjabat, tetapi figur dimaksud pernah atau sedang menduduki jabatan sebagai pejabat elected officials yang dapat dibuktikan dengan surat keputusan pengangkatan atau pelantikan dalam jabatan dimaksud yang didasarkan pada hasil pemilu. Selanjutnya, apabila dilihat dari sisi rasionalitas, menurut Mahkamah, penentuan batas usia minimal 40 tahun bagi calon Presiden dan Wakil Presiden bukan berarti tidak rasional, namun tidak memenuhi rasionalitas yang elegan karena berapapun usia yang dicantumkan akan selalu bersifat debatable sesuai ukuran perkembangan dan kebutuhan zaman masing-masing, sehingga penentuan batas usia bagi calon Presiden dan Wakil Presiden selain diletakkan pada batas usia (40 tahun), penting bagi Mahkamah untuk memberikan pemaknaan yang tidak saja bersifat kuantitatif tetapi juga kualitatif sehingga perlu diberikan norma alternatif yang mencakup syarat pengalaman atau keterpilihan melalui proses demokratis yaitu pernah atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu (elected officials), tidak termasuk pejabat yang ditunjuk (appointed officials) seperti penjabat atau pelaksana tugas dalam jabatan yang dipilih dalam pemilihan umum dimaksud, karena jabatan appointed officials dimaksud tidaklah didasarkan pada jabatan yang dipilih melalui pemilu. Sedangkan, bagi figur tertentu atau pejabat publik yang memiliki kapasitas menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden, namun tidak pernah menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu, maka figur tersebut memenuhi syarat usia jika telah berusia 40 tahun. Sehingga, menyandingkan usia 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai pejabat negara yang dipilih melalui pemilu seperti Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, anggota DPD, anggota DPRD, Gubernur, Bupati, dan Walikota memenuhi unsur rasionalitas yang berkeadilan. Dengan demikian, dalam konteks kelayakan dan kepantasan menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden, pejabat demikian itu dapat dikatakan telah memenuhi syarat derajat minimal kematangan dan pengalaman (minimum degree of maturity and experience) untuk menduduki jabatan yang lebih tinggi dalam jabatan yang dipilih dalam pemilihan umum, di samping syarat berusia 40 (empat puluh) tahun.
Andaipun seseorang belum berusia 40 tahun namun telah memiliki pengalaman sebagai pejabat negara yang dipilih melalui pemilu (anggota DPR, anggota DPD, anggota DPRD, Gubernur, Bupati, dan Walikota), tidak serta-merta seseorang tersebut menjadi Presiden dan/atau Wakil Presiden. Sebab, masih terdapat dua syarat konstitusional yang harus dilalui yakni syarat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik [vide Pasal 6A ayat (2) UUD 1945], dan syarat dipilih secara langsung oleh rakyat [vide Pasal 6A ayat (1) UUD 1945]. Sehingga, meskipun seseorang yang telah memiliki pengalaman sebagai pejabat negara namun tidak diusung atau diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum, maka sudah tentu tidak dapat menjadi calon Presiden dan/atau Wakil Presiden. Selanjutnya, seandainya seseorang diusung atau diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum, maka mereka tentu harus melewati syarat konstitusional berikutnya yaitu Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Oleh karena itu, terhadap calon Presiden dan Wakil Presiden yang berusia minimal 40 (empat puluh) tahun tetap dapat diajukan sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden. Sedangkan, bagi bakal calon yang berusia di bawah 40 tahun tetap dapat diajukan sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden sepanjang memiliki pengalaman pernah atau sedang menduduki jabatan sebagai pejabat yang dipilih melalui pemilu in casu anggota DPR, anggota DPD, anggota DPRD, Gubernur, Bupati, atau Walikota, namun tidak termasuk pejabat yang ditunjuk (appointed officials), seperti penjabat atau pelaksana tugas dan sejenisnya. Bagi pejabat “appointed officials” semata, dapat diajukan menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden melalui pintu masuk yaitu berusia 40 tahun. Menurut Mahkamah, meskipun terdapat syarat alternatif berupa pengalaman pernah atau sedang menduduki jabatan sebagai pejabat yang dipilih melalui pemilu (elected officials) bagi calon Presiden dan Wakil Presiden yang berusia di bawah 40 tahun, syarat tersebut tidak akan merugikan calon Presiden dan Wakil Presiden yang berusia 40 tahun ke atas. Karena, syarat usia dalam kandidasi Presiden dan Wakil Presiden harus didasarkan pada prinsip memberikan kesempatan dan menghilangkan pembatasan (to give opportunity and abolish restriction) secara rasional, adil, dan akuntabel. Sehubungan dengan hal tersebut, penting bagi Mahkamah untuk memastikan kontestasi pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil tanpa terhalangi oleh syarat usia 40 (empat puluh) tahun semata. Oleh karena itu, terdapat dua “pintu masuk” dari segi syarat usia pada norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017, yaitu berusia 40 tahun atau pernah/sedang menjabat jabatan yang dipilih melalui pemilu. Pemenuhan terhadap salah satu dari dua syarat tersebut adalah valid dan konstitusional. Syahdan, "idu geni" istilah yang acapkali disematkan pada putusan Mahkamah telah ditorehkan sebagaimana termaktub dalam amar dan pertimbangan hukum putusan ini. Artinya, melalui putusan a quo Mahkamah sejatinya hendak menyatakan bahwa dalam perkara a quo yakni dalam kaitannya dengan pemilu Presiden dan Wakil Presiden, prinsip memberi kesempatan dan menghilangkan pembatasan harus diterapkan dengan jalan membuka ruang kontestasi yang lebih luas, adil, rasional, dan akuntabel kepada putera-puteri terbaik bangsa, termasuk generasi milenial sekaligus memberi bobot kepastian hukum yang adil dalam bingkai konstitusi yang hidup (living constitution). Dengan demikian, apabila salah satu dari dua syarat tersebut terpenuhi, maka seorang Warga Negara Indonesia harus dipandang memenuhi syarat usia untuk diajukan sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden.
[3.14.3] Bahwa berkenaan dengan petitum Pemohon yang pada pokoknya meminta Mahkamah untuk memberikan pemaknaan norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 “... atau berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota”. Terhadap hal tersebut, Mahkamah menilai meskipun serangkaian pertimbangan hukum Mahkamah di atas berkesesuaian dan dapat menjawab isu yang dikemukakan Pemohon, namun pemaknaan yang tepat untuk mewujudkan pokok pertimbangan hukum tersebut tidak sepenuhnya dapat dilakukan dengan mengikuti rumusan pemaknaan yang dikehendaki oleh Pemohon. Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan petitum Pemohon pada petitum pilihan/pengganti yaitu “ex aequo et bono” yang tertera dalam petitum permohonan Pemohon, serta demi memenuhi kepastian hukum yang adil, maka menurut Mahkamah pemaknaan yang tepat untuk rumusan norma a quo adalah berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah. Dengan demikian, oleh karena jabatan kepala daerah baik tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota saat ini paradigmanya adalah jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, sehingga selengkapnya norma a quo berbunyi “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”. Lebih lanjut, ketentuan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagaimana dimaksud dalam putusan a quo berlaku mulai pada Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024 dan seterusnya. Hal ini penting ditegaskan Mahkamah agar tidak timbul keraguan mengenai penerapan Pasal a quo dalam menentukan syarat keterpenuhan usia minimal calon Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana rumusan dalam amar putusan a quo. Oleh karena itu, terhadap pemaknaan norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa dalam hal terdapat dua putusan yang menyangkut isu konstitusionalitas yang sama namun karena petitum yang tidak sama dalam beberapa putusan sebelumnya dengan perkara a quo sehingga berdampak pada amar putusan yang tidak sama, maka yang berlaku adalah putusan yang terbaru. Artinya, putusan a quo serta-merta mengesampingkan putusan sebelumnya. Ihwal pemahaman ini sejalan dengan asas lex posterior derogat legi priori. Dengan demikian, tafsir konstitusional dalam putusan a quo mengesampingkan putusan yang dibacakan sebelumnya dalam isu konstitusional yang sama, dan putusan a quo selanjutnya menjadi landasan konstitusional baru terhadap norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 yang berlaku sejak putusan ini selesai diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum (vide Pasal 47 UU MK).
[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas, ternyata norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 telah jelas menimbulkan ketidakadilan yang intolerable. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 haruslah dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak memenuhi pemaknaan yang akan dituangkan dalam amar putusan a quo. Dengan demikian, pemaknaan Mahkamah tersebut tidak sepenuhnya mengabulkan permohonan Pemohon secara keseluruhan, sehingga permohonan Pemohon adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian.

1. Bahwa terhadap Putusan MK dalam Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 sebagaimana diuraikan diatas, untuk mengisi kekosongan hukum berdasarkan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan saran sebagai berikut:
a. Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 sebagai bahan dalam penyusunan Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka.
b. Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan UU 7/2017.
2. Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh seluruh organ penyelenggara Negara, organ penegak hukum dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 mengenai materi muatan pasal/ayat dalam UU 7/2017 yang dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat apabila tidak dimaknai sebagaimana pemaknaan Mahkamah Konstitusi, agar tidak menimbulkan permasalahan ketidakpastian hukum, dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan Perubahan UU 7/2017.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dikabulkan Sebagian Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 65/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 15-08-2023

Bahwa pada hari Selasa tanggal 15 Agustus 2023, pukul 14.21 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (selanjutnya disebut UU Pemilu) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 65/PUU-XXI/2023. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 65/PUU-XXI/2023, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.15] Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan hal-hal di atas, selanjutnya Mahkamah akan menjawab permasalahan utama yang didalilkan dalam permohonan a quo, yaitu apakah Penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h bertentangan dengan norma Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017. Berkenaan dengan dalil para Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut sebagai berikut:
[3.15.1] Bahwa untuk dapat menentukan ada atau tidaknya pertentangan norma dalam batang tubuh dengan penjelasan suatu norma, menurut Mahkamah, perlu dipahami terlebih dahulu substansi norma yang terkandung dalam Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 sebagai norma pokok dan kemudian dipersandingkan dengan Penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017. Persandingan tersebut dapat dilakukan baik dari sisi materi atau substansi maupun dari sisi teknik perumusan suatu penjelasan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini, norma Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 telah menentukan salah satu kegiatan yang tidak boleh dilakukan atau dilarang dalam kampanye, baik oleh pelaksana, peserta, maupun tim kampanye. Larangan tersebut berupa menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah dan tempat pendidikan untuk kampanye.
Secara historis, norma serupa sebelumnya telah diatur juga dalam Pasal 86 ayat (1) huruf h Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU 8/2012) yang menyatakan, “Pelaksana, peserta, dan petugas kampanye pemilu dilarang: h. menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan”. Penjelasan atas ketentuan norma Pasal 86 ayat (1) huruf h UU 8/2012 ternyata sama dengan Penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 yang menyatakan, “Fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan”. Lebih lanjut, dijelaskan pula dalam UU 8/2012 yang dimaksud dengan ”tempat pendidikan” pada ketentuan ini adalah gedung dan halaman sekolah/perguruan tinggi. Sedangkan, sanksi bagi pelaksana, peserta, dan petugas kampanye pemilu yang dengan sengaja melanggar larangan dengan menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan adalah dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah) [vide Pasal 299 UU 8/2012].
Selanjutnya, materi norma yang sama diatur pula dalam Pasal 84 ayat (1) huruf h Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU 10/2008) yang menyatakan, “Pelaksana, peserta, dan petugas kampanye dilarang: h. menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan”. Namun dalam penjelasan hanya dijelaskan mengenai maksud ”tempat pendidikan” adalah gedung dan halaman sekolah/perguruan tinggi. Selain itu, dalam Pasal 270 UU 10/2008 ditegaskan ancaman pidananya jika melanggar larangan kampanye dimaksud, berupa pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah) [vide Pasal 270 UU 10/2008].
Sebelum UU 10/2008, ternyata norma larangan dimaksud juga telah diatur dalam Pasal 74 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU 12/2003) yang menyatakan, “Dalam kampanye pemilu dilarang: h. menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan”. Dengan penjelasan hanya untuk tempat pendidikan, dikecualikan apabila atas prakarsa/mendapat izin dari pimpinan lembaga pendidikan dan memberikan kesempatan yang sama kepada peserta pemilu serta tidak menganggu proses belajar mengajar. Sekalipun terdapat pengecualiannya namun ditentukan pula sanksi yang dikenakan atas pelanggaran dimaksud yakni: peringatan tertulis apabila penyelenggara kampanye Pemilu melanggar larangan walaupun belum terjadi gangguan; atau penghentian kegiatan kampanye di tempat terjadinya pelanggaran atau di seluruh daerah pemilihan yang bersangkutan apabila terjadi gangguan terhadap keamanan yang berpotensi menyebar ke daerah pemilihan lain [vide Pasal 76 ayat (2) UU 12/2003]. Sedangkan, terkait dengan ancaman pidana atas pelanggaran penggunaan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan tersebut adalah berupa pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) [vide Pasal 138 ayat (2) UU 12/2003]. Jika ditelusuri lebih jauh, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum (UU 3/1999), juga memuat norma larangan kampanye yang serupa, namun hanya terbatas pada larangan untuk menggunakan fasilitas pemerintah dan sarana ibadah [vide Pasal 47 ayat (1) huruf g UU 3/1999]. Ditegaskan pula dalam Penjelasannya bahwa adanya larangan ini dimaksudkan agar kampanye dapat berjalan dengan bebas, lancar, aman, tertib, serta tidak membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa [vide Penjelasan Pasal 47 ayat (1) UU 3/1999]. Sebagai undang-undang yang dihasilkan di era awal reformasi yang digunakan sebagai dasar penyelenggaraan pemilu tahun 1999 rumusannya lebih singkat dibandingkan dengan undang-undang pemilu lainnya, bahkan tidak terdapat pengaturan sanksi pidana yang lengkap atas pelanggaran larangan Pasal 47 ayat (1) huruf g UU 3/1999.
[3.15.2] Bahwa berdasarkan telaahan historis pengaturan larangan kampanye untuk menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah dan tempat pendidikan telah diatur, paling tidak sejak era reformasi. Bahkan, telah pula diatur sanksi pidana jika terjadi pelanggaran atas larangan tersebut. Namun, jika dicermati secara saksama norma Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 yang mengutip kembali norma Pasal 299 UU 8/2012 yang sama-sama menentukan larangan bagi pelaksana, peserta dan tim kampanye untuk melakukan kampanye menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan. Bahkan, terhadap larangan dalam Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 tersebut ditentukan sanksi yaitu dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah) [vide Pasal 521 UU 7/2017]. Ketentuan pidana ini pun mengutip kembali rumusan yang diatur dalam Pasal 299 UU 8/2012. Masalahnya, apakah sanksi pidana tersebut dapat diterapkan secara efektif karena dalam Penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 ditentukan adanya unsur pengecualian atas norma larangan bahwa fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan. Selanjutnya, dijelaskan pula yang dimaksud dengan “tempat pendidikan” adalah gedung dan/atau halaman sekolah dan/atau perguruan tinggi.
[3.15.3] Bahwa berkenaan dengan adanya pengecualian dalam Penjelasan suatu undang-undang di luar norma pokok yang telah ditentukan, penting bagi Mahkamah untuk merujuk ketentuan teknis pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimuat dalam butir 176 Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 12/2011). Ketentuan teknis tersebut telah memberikan panduan atau pedoman dalam merumuskan penjelasan, pengertian dan sekaligus fungsi penjelasan adalah sebagai tafsir resmi pembentuk peraturan perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu, penjelasan hanya memuat uraian terhadap kata, frasa, kalimat atau padanan kata/istilah asing dalam norma yang dapat disertai dengan contoh. Penjelasan merupakan sarana untuk memperjelas norma dalam batang tubuh yang tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dimaksud. Tidak hanya itu, butir 178 Lampiran II UU 12/2011 juga telah menentukan bahwa “penjelasan tidak menggunakan rumusan yang isinya memuat perubahan terselubung terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Dalam kaitan ini, Penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 sepanjang frasa “Fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan” telah menimbulkan kondisi pertentangan dengan materi muatan atau norma pokok Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017. Misalnya, apabila dipelajari secara cermat frasa “dapat digunakan jika” dalam Penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017, secara leksikal frasa dimaksud mengandung pengertian pembolehan atas otoritas atau hak untuk melakukan sesuatu secara terbatas, padahal batas atau syarat tersebut telah ditentukan sebagai sebuah larangan. Oleh karena itu, apabila diletakkan dalam pemahaman materi pokoknya yang sifatnya memberikan larangan atau pembatasan untuk melakukan kampanye menggunakan fasilitas pemerintahan, tempat ibadah dan tempat pendidikan maka materi Penjelasan a quo sepanjang frasa yang dimohonkan para Pemohon adalah mengandung makna adanya pengecualian daripada sebagai sebuah penjelasan yang merupakan interpretasi resmi mengenai arti, ruang lingkup, dan implikasi dari materi norma pokok yang dijelaskannya. Frasa yang dimohonkan tersebut berbeda dengan penjelasan perihal yang dimaksud dengan “tempat pendidikan” adalah gedung dan/atau halaman sekolah dan/atau perguruan tinggi”.
Dalam konteks materi muatan suatu peraturan perundang-undangan, antara norma larangan dengan pengecualian sebenarnya mengandung maksud mengesampingkan norma pokoknya karena adanya sebuah klausa atau pernyataan yang mengaitkan pelaksanaan suatu norma dengan terjadinya suatu peristiwa atau kondisi tertentu pada waktu atau batas waktu tertentu di luar peristiwa atau kondisi pokok yang dikehendaki dalam norma larangan. Kedua kondisi tersebut sebenarnya adalah seimbang dan masing-masing seharusnya berdiri sendiri sebagai sebuah materi muatan dari norma pokok, bukan merupakan esensi penjelasan suatu norma. Materi muatan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 di atas secara jelas dan tegas melarang pelaksanaan kegiatan kampanye dengan menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan. Terlebih, telah ditentukan pula sanksi pidana penjara dan/atau denda yang dijatuhkan bagi pihak-pihak yang melanggar larangan tersebut, di mana berpotensi ketentuan sanksi tersebut sulit untuk ditegakkan. Oleh karena itu, apabila terhadap norma yang memuat pengecualian atas norma Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 a quo masih atau tetap diperlukan, seharusnya hal tersebut dimuat dalam batang tubuh UU 7/2017 sebagai norma tersendiri yang mengecualikan atas hal-hal yang dilarang selama kampanye, bukan diletakkan pada bagian Penjelasan. Dengan demikian, Penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 sepanjang frasa “Fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan”, dengan penekanan pada anak frasa “dapat digunakan jika” justru menimbulkan ambiguitas dalam memahami dan menerapkan norma Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 yang dalam pelaksanaannya akan menimbulkan ketidakpastian hukum;
[3.16] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, perihal perumusan norma pengecualian tersebut seharusnya diletakkan sebagai bagian norma batang tubuh UU 7/2017 karena merupakan bagian dari pengecualian atas larangan kampanye sebagaimana diatur dalam Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017. Mahkamah menyadari, dalam konteks kampanye pemilu, fasilitas pemerintah atau tempat pendidikan masih mungkin untuk digunakan. Namun, karena kedua tempat tersebut dilarang sehingga Mahkamah perlu memasukkan sebagian dari pengecualian sebagaimana termaktub dalam Penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 ke dalam norma pokok Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017. Pemuatan ke dalam norma pokok tersebut didasarkan pada ketentuan UU 12/2011, di mana penjelasan tidak boleh mencantumkan rumusan yang berisi norma, terlebih lagi jika penjelasan tersebut bertentangan dengan norma pokok. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, penting untuk memasukkan sebagian dari esensi penjelasan tersebut menjadi bagian dari pengecualian atas norma Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 sehingga pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu dapat menggunakan fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye. Oleh karena terhadap norma Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017, meskipun inskontitusionalitas norma Pasal a quo tidak dimohonkan oleh para Pemohon, namun karena norma a quo berkaitan erat dengan penjelasan yang akan dinyatakan dalam amar putusan adalah inkonstitusional, maka untuk kepentingan kampanye pemilu, norma Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 yang menyatakan, “menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan” bertentangan dengan UUD 1945 apabila tidak mengecualikan fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu. Dengan demikian, terhadap norma Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 selengkapnya akan dimaknai sebagaimana dalam amar Putusan a quo.
[3.17] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, meskipun Mahkamah menyatakan frasa “Fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan” dalam Penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 telah ternyata menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Akan tetapi, oleh karena terdapat sebagian materi Penjelasan yang dimasukkan ke dalam norma Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 maka penting bagi Mahkamah untuk memberikan pengecualian dalam norma pasal a quo sebagaimana yang akan dimuat dalam amar putusan a quo. Dengan demikian, oleh karena amar putusan tidak sebagaimana yang dimohonkan oleh para Pemohon dalam petitum permohonan a quo, menurut Mahkamah, pokok permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.
[3.18] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.

Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan langsung dilaksanakan (self executing) oleh seluruh organ penyelenggara negara, organ penegak hukum, dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 65/PUU-XXI/2023 yang menyatakan mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian Penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu mengandung arti bahwa ketentuan penjelasan pasal a quo sepanjang frasa “Fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan” bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dinyatakan Dikabulkan Sebagian Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 93/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN MATERIL KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 31-07-2023

Bahwa pada hari Senin tanggal 31 Juli 2023, pukul 14.27 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 93/PUU-XX/2022. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 93/PUU-XX/2022, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian materil KUHPerdata dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.9] Menimbang bahwa setelah mencermati dengan saksama permohonan para Pemohon, Mahkamah berpendapat pokok permasalahan yang diajukan para Pemohon adalah berkenaan dengan inkonstitusionalitas norma Pasal 433 KUH Perdata, di mana para Pemohon berpendapat norma Pasal a quo bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang kata “dungu”, “gila”, “mata gelap” dan/atau “keborosan” dimaknai sebagai penyandang disabilitas mental. Berkenaan dengan dalil para Pemohon tersebut, sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut isu konstitusionalitas yang dimohonkan para Pemohon, penting bagi Mahkamah untuk menguraikan hal-hal berkenaan dengan sejarah singkat, pengertian serta ruang lingkup berlakunya KUH Perdata di Indonesia.
[3.9.1] Bahwa KUH Perdata yang dikenal dengan istilah Burgerlijk Wetboek (BW) yang berlaku di Indonesia merupakan kodifikasi hukum perdata yang disusun di Negera Belanda. Proses penyusunan KUH Perdata tersebut tidak dapat dilepaskan dari pengaruh Hukum Perdata Perancis (Code Napoleon). Pengaruh dimaksud disebabkan karena Code Napoleon itu sendiri disusun berdasarkan hukum Romawi (Corpus Juris Civilis) yang pada saat itu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna dan menjadi rujukan utama serta mewarnai kodifikasi KUH Perdata (BW) tersebut. KUH Perdata pada akhirnya secara konkret berhasil disusun oleh panitia yang diketuai Mr. J.M Kemper dengan sebagian besar isi bersumber dari Code Napoleon serta sebagian yang lain elaborasi dari hukum Belanda Kuno.
Secara faktual kodifikasi KUH Perdata selesai pada 5 Juli 1830, namun secara riil baru diberlakukan di Negeri Belanda pada 1 Oktober 1838, di mana pada waktu yang hampir bersamaan diberlakukan juga KUH Dagang (Wetboek van Koophandel atau WvK), peraturan susunan pengadilan Belanda (Rechterlijke Organisatie atau RO), dan ketentuan-ketentuan umum lainnya berkenaan dengan peraturan perundang-undangan Belanda (Algemene Bepalingen van Wetgeving atau AB), serta hukum acara perdata Belanda (Rechtsvordering atau Rv).
Bahwa lebih lanjut berdasarkan asas konkordansi, maka KUH Perdata Belanda dimaksud menjadi referensi atau “role model” KUH Perdata Eropa Kontinental yang akan diberlakukan di Indonesia (ketika itu masih di bawah kekuasaan pemerintah kolonial Belanda). Permasalahan yang muncul kemudian adalah bagaimana kodifikasi KUH Perdata di Indonesia selanjutnya “dimodifikasi” agar dapat mengakomodir kepentingan keperdataan di Hindia-Belanda (sekarang Republik Indonesia). Oleh karena itu, kodifikasi yang diharapkan tentunya memiliki persesuaian antara hukum dan keadaan di Hindia-Belanda dengan hukum dan keadaan di Belanda.
Bahwa proses kodifikasi yang harus dilakukan dengan berbagai penyesuaian, baik hukum maupun keadaan kedua negara, tidak dapat dilepaskan dari keadaan di Hindia-Belanda yang pada saat itu masih dalam kekuasaan Pemerintah Kolonial Belanda. Oleh karena itu, hasil kodifikasi KUH Perdata di Indonesia merupakan “perkawinan” atau gabungan kondisi hukum di Belanda dan di Hindia-Belanda. Selanjutnya, kodifikasi tersebut pada akhirnya dapat diwujudkan berdasarkan asas konkordonansi yang sempit. Artinya, KUH Perdata Belanda banyak menjiwai KUH Perdata Indonesia karena KUH Perdata Belanda dicontoh dalam kodifikasi KUH Perdata Indonesia. Kodifikasi KUH Perdata Indonesia diumumkan pada 30 April 1847 melalui Staatsblad No. 23, dan mulai berlaku pada 1 Januari 1848.
Bahwa meskipun kodifikasi KUH Perdata telah diwujudkan, namun sifat berlaku KUH Perdata dimaksud masih mengalami kemajemukan yang disebabkan plural-nya golongan penduduk di Hindia-Belanda. Banyaknya varian sifat berlaku KUH Perdata disebabkan beberapa faktor yang memengaruhi, antara lain: Faktor etnis dan yuridis. Sementara itu, berkenaan faktor yuridis keberlakuan KUH Perdata berlaku dengan membagi penduduk Indonesia dalam 3 (tiga) jenis golongan sebagai berikut [vide Pasal 163 Indische Staatsregeling (IS)]:
a. Golongan Eropa;
b. Golongan timur asing (bangsa Tionghoa, India, dan Arab);
c. Golongan bumi putera (pribumi/bangsa Indonesia asli).
Bagi golongan warga negara yang termasuk pada masing-masing golongan tersebut berlaku dan tunduk pada KUH Perdata secara penuh dan sebagian lagi hanya pada bagian-bagian tertentu serta selebihnya lagi ada yang terikat dan tunduk hanya jika kepentingannya menghendaki.
[3.9.2] Bahwa secara doktriner pengertian hukum Perdata adalah hukum yang mengatur hubungan antara perorangan dalam masyarakat. Terminologi hukum perdata dalam arti yang luas meliputi semua hukum privat materiil, yang juga sering disebut dengan istilah hukum sipil, meskipun berkenaan dengan pengertian hukum sipil a quo kadang dipersepsikan sebagai bertentangan dengan hukum militer. Oleh karena itu, secara universal sebutan Hukum Perdata dipergunakan untuk memaknai seluruh peraturan berkaitan dengan hukum privat materiil tersebut.
Terkait dengan demikian luasnya pengertian hukum perdata, beberapa ahli memiliki pendapat yang berbeda-beda, antara lain:
1) Subekti S.H., berpendapat bahwa hukum perdata adalah hukum pokok yang mengatur kepentingan perseorangan.
2) Sudikno Mertokusumo, S.H., berpendapat bahwa hukum perdata adalah hukum antarperorangan yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban perorangan yang satu terhadap perorangan yang lain dalam pergaulan keluarga dan pergaulan masyarakat.
3) R Wirjono Prodjodikoro, S.H., berpendapat bahwa hukum perdata adalah rangkaian hukum antara orang atau badan hukum yang satu dengan yang lain mengenai hak dan kewajiban.
4) L.J. Van Apeldoorn, berpendapat bahwa hukum perdata adalah hukum yang memuat peraturan-peraturan hukum yang obyeknya adalah kepentingankepentingan khusus dan yang masalahnya akan dipertahankan atau tidak, diserahkan kepada mereka yang berkepentingan.
Berdasarkan terminologi yang diuraikan sebelumnya dan penafsiran pengertian hukum perdata dari para ahli dimaksud, dapat disimpulkan bahwa pengertian hukum perdata adalah hukum yang mengatur tentang hubungan hukum antara hak dan kewajiban orang/badan hukum yang satu dengan orang/badan hukum yang lain dalam pergaulan hidup masyarakat, dengan menitikberatkan pada kepentingan perseorangan/individu.
Sementara itu, berkaitan dengan ruang lingkup hukum perdata, juga terdapat pengertian yang berbeda, yaitu ruang lingkup hukum perdata dalam arti sempit dan dalam arti luas. Pengertian hukum perdata dalam arti luas dapat dijelaskan bahwa berkaitan dengan jangkauannya dapat meliputi seluruh peraturanperaturan yang terdapat dalam KUH Perdata, KUH Dagang, beserta peraturan undang-undang tambahan lainnya, seperti hukum agraria, hukum adat, hukum Islam, dan hukum perburuhan. Sedangkan, pengertian ruang lingkup hukum perdata secara sempit mengandung jangkauan meliputi seluruh peraturan-peraturan yang terdapat dalam KUH Perdata, yaitu hukum pribadi, hukum benda, meliputi pula hukum tentang harta kekayaan, hukum keluarga, hukum waris, hukum perikatan serta hukum pembuktian dan daluwarsa.
Bahwa berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Hukum Perdata ini dapat berbentuk tertulis, seperti yang dimuat dan diatur dalam KUH Perdata dan KUHD, serta peraturan perundang-undangan lainnya, dan dapat juga berbentuk tidak tertulis, seperti Hukum Adat. Demikian halnya berkenaan dengan pembagian bukunya. Di dalam KUH Perdata secara sederhana dan dalam tataran empiris dikenal Buku I yang mengatur berkenaan dengan Orang, Buku II yang mengatur berkaitan dengan Benda, Buku III yang berkenaan dengan Perjanjian, dan Buku IV yang berkaitan dengan Kadaluwarsa.

[3.10] Menimbang bahwa setelah menguraikan hal-hal tersebut di atas, berkaitan dengan isu konstitusionalitas ketentuan norma Pasal 433 KUH Perdata, Mahkamah mencermati Pasal 433 KUH Perdata a quo merupakan ketentuan yang terdapat pada bagian atau rangkaian dari KUH Perdata Bab XVII tentang Pengampuan yang terdiri dari Pasal 433 sampai dengan Pasal 462. Bab XVII itu sendiri mengatur mengenai subjek atau orang yang ditaruh di bawah pengampuan, pemohon pengampuan, hukum acara atau prosedur penetapan pengampuan, akibat hukum pengampuan, tenggang waktu kewajiban pengampu, berakhirnya pengampuan, hukum acara atau prosedur pembebasan dari pengampuan, dan pengaturan mengenai anak dengan disabilitas mental.
Berkaitan dengan pengertian pengampuan sebagaimana yang termuat dalam Pasal 433 KUH Perdata a quo, jika merujuk pada terjemahan Prof. R. Subekti, S.H., dan R. Tjitrosudibio (cet. ke-30: 1999), selengkapnya memberi pengertian, bahwa:
“Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan, pun jika ia kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditaruh di bawah pengampuan karena keborosannya.”

Bahwa berkaitan dengan rujukan terjemahan KUH Perdata berkenaan dengan pengampuan dimaksud, Mahkamah menegaskan ada perbedaan antara terjemahan yang dipergunakan para Pemohon dengan terjemahan KUH Perdata yang dipergunakan oleh Mahkamah, sehingga terdapat perbedaan kutipan rumusan Pasal 433 KUH Perdata. Namun, perbedaan terjemahan demikian menurut Mahkamah tidak berpengaruh secara substansial, dan oleh karenanya terkait dengan rumusan Pasal 433 a quo Mahkamah akan merujuk pada KUH Perdata terjemahan Prof. R. Subekti, S.H., dan R. Tjitrosudibio sebagaimana telah diuraikan di atas, karena terjemahan a quo dinilai lebih luas dan komprehensif, sehingga sekaligus dapat diuraikan tentang muatan norma Pasal 433 KUH Perdata secara keseluruhan.
Lebih lanjut, berpijak dari rumusan pengertian pengampuan di atas, apabila diuraikan dengan mengaitkan hal-hal yang berhubungan dengan pengampuan, yaitu subjek hukum orang yang ditaruh di bawah pengampuan, pemohon pengampuan, hukum acara atau prosedur penetapan pengampuan, akibat hukum pengampuan, tenggang waktu kewajiban pengampu, berakhirnya pengampuan, hukum acara atau prosedur pembebasan dari pengampuan, dan pengaturan mengenai anak dengan disabilitas mental, maka secara garis besar dapat diuraikan, sebagai berikut:
[3.10.1] Bahwa apabila dicermati rumusan pengampuan menurut Mahkamah secara substansial terdiri dari dua “ayat” atau substansi yang berbeda, yaitu: 1) aturan mengenai orang dewasa yang dalam keadaan “dungu”, “sakit otak” atau “mata gelap”; dan 2) aturan mengenai orang dewasa yang boros.
Rumusan “ayat” atau substansi pertama, apabila dicermati terdiri dari beberapa unsur yang berlaku saling berkaitan dan bersifat kumulatif, yaitu:
1) setiap orang dewasa;
2) yang selalu berada dalam keadaan “dungu”, “sakit otak” atau “mata gelap”;
3) pun jika ia kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya;
4) harus ditaruh di bawah pengampuan.
Adapun “ayat” atau substansi kedua juga terdiri dari beberapa unsur yang bersifat kumulatif, sebagai berikut:
1) seorang dewasa;
2) karena keborosannya;
3) boleh juga;
4) ditaruh di bawah pengampuan.
Dari kedua rumusan demikian dapat dipahami bahwa dalam konteks orang yang berada dalam keadaan “dungu”, “sakit otak” atau “mata gelap”, baik kondisi tersebut bersifat permanen atau pun tidak permanen, maka terhadap subjek hukum bersangkutan harus (wajib) ditaruh di bawah pengampuan. Sementara itu, untuk orang dewasa karena keborosannya dapat ditempatkan di bawah pengampuan (tidak wajib).
[3.10.2] Bahwa ditinjau dari perspektif kepentingan hukumnya, pada subjek hukum orang yang di bawah pengampuan, dalam hal ini apabila merujuk pada konstruksi hukum dalam Pasal 433 KUH Perdata, adalah suatu kondisi hukum di mana kepentingan keperdataan seseorang diwakili/diurus oleh orang lain, yang di sisi lain seseorang yang kepentingannya diurus tersebut tidak lagi mempunyai hak untuk mengurus kepentingan keperdataannya sendiri. Dengan kata lain, di dalam konstruksi hukum pengampuan terdapat peralihan hak keperdataan dan kewajiban keperdataan dari pihak yang diampu kepada pihak yang mengampu, dengan catatan implementasi hak dan kewajiban demikian harus ditujukan sepenuhnya untuk kepentingan pihak yang diampu. Oleh karena itu, konstruksi pengampuan yang dibangun KUH Perdata dimaksud tidak sekali-kali membolehkan adanya tindakan pengurusan oleh pihak pengampu yang ditujukan untuk kepentingan pribadi pihak pengampu. Batasan demikian dapat dilihat atau dicermati dalam rumusan Pasal 454 KUH Perdata, yang selengkapnya menyatakan, “Pendapatan seorang yang ditaruh di bawah pengampuan karena keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap, harus teristimewa diperuntukkan guna meringankan nasibnya dan mengikhtiarkan sembuhnya”.

[3.11] Menimbang bahwa istilah “dungu”, “sakit otak”, atau “mata gelap”, dengan merujuk pada rumusan Pasal 433 KUH Perdata itu sendiri, merupakan istilah yang merujuk pada suatu kondisi abnormalitas pikiran atau abnormalitas mental, maupun abnormalitas intelektual. Artinya, secara rata-rata (statistika) kondisi demikian hanya terjadi pada sebagian kecil orang, dan karenanya dianggap sebagai abnormalitas. Abnormalitas demikian dalam perspektif hukum berpotensi memunculkan gangguan dalam lalu lintas hukum maupun lalu lintas kepentingan kemasyarakatan, sehingga hukum perlu mengaturnya secara khusus. Sebab, kecakapan bertindak secara hukum khususnya dalam lalu lintas kemasyarakatan tidak bisa dilepaskan sebagai pendukung hak dan kewajiban adalah sesuatu yang fundamental, karena di sanalah terdapat bentuk tanggung jawab atas segala perbuatan hukum yang dilakukan, terlebih yang terkait dengan hak/kepentingan hukum pihak lain atas perbuatan yang dilakukan oleh orang yang mengalami kondisi tersebut.
Lebih lanjut, arti atau makna ketiga istilah tersebut sulit untuk diketahui dengan pasti karena ketiga istilah demikian bukan istilah ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan saat ini. Ketiga istilah demikian dapat ditemukan dalam percakapan sehari-hari namun dengan makna yang tidak tunggal, bahkan penggunaannya sudah mulai ditinggalkan karena dirasa kasar dan bertentangan dengan norma kesusilaan atau kesopanan. Meskipun Mahkamah meyakini bahwa pada masa ketika Burgerlijk Wetboek diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai KUH Perdata dan diserap sebagai bagian dari sistem hukum Indonesia, pilihan istilah “dungu”, “sakit otak”, dan “mata gelap” tidak dimaksudkan untuk memunculkan nuansa kasar dan merendahkan martabat subjek hukum tertentu.
Namun, persoalan yang muncul saat ini secara faktual tidak sekadar berkenaan dengan arti atau istilah dari kata-kata dimaksud, akan tetapi lebih dari itu adalah ada atau tidaknya “manipulasi” atas hak subjek hukum, yang karena berada di bawah pengampuan haknya menjadi hilang atau dikurangi, bahkan dapat dikatakan terlanggar hak asasi manusia-nya. Hal demikian termasuk yang antara lain dipersoalkan para Pemohon. Oleh karena itu, sebelum Mahkamah menjawab isu konstitusionalitas norma undang-undang yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon penting untuk menguraikan pemaknaan istilah-istilah dimaksud.
[3.11.1] Bahwa saat ini, terhadap tiga istilah tersebut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Pusat Bahasa (GPU: Edisi IV Cet. Pertama, 2008), hanya mempunyai penjelasan atas dua di antaranya, yaitu: istilah “dungu” yang diartikan sebagai “sangat tumpul otaknya; tidak cerdas; bebal; bodoh”. Kemudian istilah “mata gelap” yang diartikan sebagai “tidak dapat berpikir terang; mengamuk (karena marah sekali); gelap mata”. Sedangkan terhadap istilah “sakit otak” KBBI tidak menyajikan arti secara khusus (vide KBBI Pusat Bahasa, hlm. 347 dan hlm. 886).
Selanjutnya, dalam literatur hukum perdata klasik, antara lain seperti karya R Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin berjudul Hukum Orang dan Keluarga (Alumni: Cet-V, 1986), sebagaimana dikutip oleh Akhmad Budi Cahyono, ahli yang dihadirkan dalam persidangan, dapat sedikit memberikan pemahaman mengenai makna istilah “dungu”, “sakit otak”, dan “mata gelap”. Meskipun memang tidak menguraikan lebih detail dari arti istilah “dungu”, “sakit otak”, dan “mata gelap”, namun buku tersebut menjelaskan berkenaan dengan ketentuan norma Pasal 433- 434 KUH Perdata, yang menyebutkan adanya tiga alasan pengampuan, yaitu:
1) keborosan (verkwisting);
2) lemah pikiran (zwakheid van vermogens);
3) kekurangan daya berpikir: sakit ingatan (krankzinnigheid), dungu (onnozelheid), dan razernij (dungu disertai dengan mengamuk).
Bahwa dari penjelasan sebagaimana diuraikan tersebut, serta dengan membandingkan penggunaan istilah tersebut sehari-hari dalam tataran empirik, terutama di lapangan hukum keperdataan, Mahkamah memperoleh pemahaman ketiga istilah tersebut tidak lain mengacu pada kondisi disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual, yaitu ketidakmampuan pikiran untuk melakukan analisis, kemudian mengambil keputusan atau bertindak secara layak. Layak dalam arti bahwa orang yang melakukan analisis, lalu mengambil keputusan atau bertindak tersebut mampu memahami sepenuhnya (dan bersedia menerima) konsekuensi yang akan timbul dari keputusan atau tindakannya.
Meskipun terhadap alasan keborosan mempunyai konsekuensi hukum sendiri, artinya akibat hukum bagi orang yang berada dalam kondisi tersebut, dapat ditempatkan di bawah pengampuan yang tidak bersifat imperatif, namun berkenaan alasan-alasan pengampuan dimaksud dapat saja mempunyai makna kumulatif. Oleh karena itu, antara alasan yang satu dengan alasan yang lainnya dalam ketiga kategori tersebut menjadi saling berkaitan dan melengkapi.
[3.11.2] Bahwa lebih lanjut berkenaan dengan istilah “dungu”, “sakit otak”, dan “mata gelap” yang oleh Mahkamah telah dipertimbangkan di atas, yang mana hal tersebut mempunyai kesamaan karakter dengan istilah disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual, Mahkamah perlu memberikan catatan khusus. Selain secara substansial istilah-istilah dimaksud mengandung persoalan yang terkait dengan subjek hukum yang merasa “diambil” hak-haknya terkait kemampuan untuk bertindak dan bertanggung jawab secara hukum, di sisi lain secara etika dan budaya istilah-istilah tersebut dipandang tidak lazim lagi dipergunakan karena secara konotatif merendahkan harkat dan martabat seseorang. Oleh karena itu, Mahkamah memandang penting dan relevan untuk mengaitkan isu “disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual” yang diatur dalam Pasal 433 KUH Perdata a quo dengan pengertian disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual yang secara substansial saat ini telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas (UU 8/2016), sebagai wujud kehadiran negara untuk mengatur dan memberikan perlindungan terhadap para penyandang disabilitas. Adapun yang terkait dengan disabilitas a quo, rumusan Pasal 4 ayat (1) UU 8/2016 menerangkan bahwa:
“Ragam Penyandang Disabilitas meliputi:
a. Penyandang Disabilitas fisik;
b. Penyandang Disabilitas intelektual;
c. Penyandang Disabilitas mental; dan/atau
d. Penyandang Disabilitas sensorik.”
Selanjutnya penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 8/2016, terutama penjelasan untuk huruf b dan huruf c, menerangkan sebagai berikut:

“Huruf b
Yang dimaksud dengan “Penyandang Disabilitas intelektual” adalah terganggunya fungsi pikir karena tingkat kecerdasan di bawah rata-rata, antara lain lambat belajar, disabilitas grahita dan down syndrom.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “Penyandang Disabilitas mental” adalah terganggunya fungsi pikir, emosi, dan perilaku, antara lain:
a. psikososial di antaranya skizofrenia, bipolar, depresi, anxietas, dan gangguan kepribadian; dan
b. disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial di antaranya autis dan hiperaktif.”
[3.11.3] Bahwa dengan berpijak pada ketentuan norma Pasal 4 UU 8/2016 dan penjelasannya tersebut secara esensial tampak adanya relevansi, bahwa istilah “dungu”, “sakit otak”, dan “mata gelap” yang ada di dalam KUH Perdata bertalian erat bukan hanya dengan pengertian disabilitas mental, namun juga dengan pengertian disabilitas intelektual. Relevansi dimaksud tidak lain disebabkan antara lain karena disabilitas mental maupun disabilitas intelektual keduanya bermuara pada suatu kondisi di mana seseorang tidak mampu untuk melakukan analisis dan membuat keputusan, atau dengan kata lain seseorang tidak mampu untuk secara layak mempertimbangkan akibat/risiko dari suatu tindakan yang dilakukannya. Di samping itu, pada sisi lain istilah disabilitas mental yang disebutkan dalam UU 8/2016 mempunyai cakupan yang luas, namun hanya sedikit yang dicontohkan. Hal demikian terlihat dari penggunaan istilah “antara lain” pada Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf c UU 8/2016.
Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf c UU 8/2016 menyatakan:
“Yang dimaksud dengan “Penyandang Disabilitas mental” adalah terganggunya fungsi pikir, emosi, dan perilaku, antara lain:
a psikososial di antaranya skizofrenia, bipolar, depresi, anxietas, dan gangguan kepribadian; dan
b disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial di antaranya autis dan hiperaktif.”
[3.11.4] Bahwa berdasarkan hasil komparasi di atas dapat disimpulkan istilah “dungu”, “sakit otak”, dan “mata gelap” hanya bagian dari banyaknya kondisi yang termasuk dalam kategori disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual menurut UU 8/2016. Sementara itu, istilah lain yang mengarah pada kesamaan makna dengan disabilitas mental adalah “gangguan jiwa” atau “gangguan mental” yang menjadi subjek ilmu kedokteran jiwa yang pada hakikatnya masih beririsan pula dengan pengertian islilah “dungu”, “sakit otak”, dan “mata gelap” sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 433 KUH Perdata serta pengertian disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual sebagaimana yang dimaksud dalam UU 8/2016. Pengertian “gangguan jiwa”, merujuk pada Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa: Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III dan DSM 5, yang disusun Rusdi Maslim (Bagian Kedokteran Jiwa FK UAJ: Cet-II, 2013), adalah:
“Sindrom atau pola perilaku, atau psikologik seseorang, yang secara klinik cukup bermakna, dan yang secara khas berkaitan dengan suatu gejala penderitaan (distress) atau hendaya (impairment/disability) di dalam satu atau lebih fungsi yang penting dari manusia. Sebagai tambahan, disimpulkan bahwa disfungsi itu adalah disfungsi dalam segi perilaku, psikologik, atau biologik, dan gangguan itu tidak semata-mata terletak di dalam hubungan antara orang itu dengan masyarakat”.
Oleh karena itu, terkait dengan pengertian gangguan jiwa ini pun Mahkamah berpendapat terdapat relevansi, meskipun masing-masing mempunyai bobot dan dampak yang berbeda, terlebih jika dikaitkan dengan kemampuan atau kecakapan seseorang untuk bertindak dan bertanggung jawab secara hukum terutama dalam lalu lintas kepentingan hak dan kewajiban keperdataan.

[3.12] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut, menyamakan pengertian “dungu”, “sakit otak”, dan “mata gelap” sebagai bagian dari disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual, dan sebaliknya, dalam konteks perkara a quo akan membawa konsekuensi yuridis berupa menyamakan pula akibat hukum antara orang dengan kondisi “dungu”, “sakit otak”, dan “mata gelap” dengan orang-orang dengan kondisi lain selama masih termasuk dalam kategori disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual sebagaimana yang dimaksudkan dalam UU 8/2016.
Kesimpulan Mahkamah demikian juga didasarkan pertimbangan logika yang secara vice versa mengarahkan bahwa orang-orang dengan disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual selain kategori “dungu”, “sakit otak”, dan “mata gelap”, akan dapat ditaruh pula di bawah pengampuan. Padahal, sekali lagi, jenis disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual memiliki cakupan yang sangat luas. Oleh karena itu, dampak hukum berupa penyamaan konsekuensi hukum yang demikian tentu bukan hal yang diinginkan, akan tetapi sebuah keniscayaan yang tidak dapat dihindari.
[3.12.3] Bahwa lebih lanjut menurut Mahkamah, konstruksi pengampuan secara prima facie masih diperlukan di Indonesia, namun tidak semua orang dalam kategori disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual perlu diletakkan di bawah pengampuan apalagi dipersamakan begitu saja dengan orang dalam kategori “dungu”, “sakit otak”, dan “mata gelap”. Terlebih lagi, bagi penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual yang kadang-kadang berada dalam kondisi baik atau cakap secara hukum.
Seperti telah diuraikan di atas, dampak penyamaan antara istilah “dungu”, “sakit otak”, dan “mata gelap” dengan istilah “disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual” dapat mengakibatkan penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual semua kategori dapat, bahkan harus, ditaruh di bawah pengampuan sebagaimana esensi yang terdapat dalam Pasal 433 KUH Perdata. Oleh karena itu, untuk mencegah dampak yang tidak diinginkan demikian, Mahkamah perlu menegaskan bahwa secara kategoris, istilah “dungu”, “sakit otak”, dan “mata gelap” merupakan bagian dari disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual. Oleh karena itu, orang yang menurut KUH Perdata dalam kategori “dungu”, “sakit otak”, dan “mata gelap” harus diperlakukan sama sebagaimana yang terdapat dalam UU 8/2016. Sementara itu, di sisi sebaliknya, orang yang menurut UU 8/2016 termasuk dalam kategori disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual tidak semuanya harus dikenai tindakan sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 433 KUH Perdata.
[3.12.4] Bahwa permasalahan pengampuan yang disebabkan oleh kondisi “dungu”, “sakit” otak”, dan “mata gelap” yang bersumber pada Pasal 433 KUH Perdata, yang menjadi bagian dari disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual sebagaimana yang dimaksud dalam UU 8/2016, adalah sedemikian kompleks. Oleh karena itu, seandainya di kemudian hari seturut perkembangan ilmu pengetahuan dan penelitian secara komprehensif, terutama bidang psikologi dan psikiatri, terdapat kondisi baru yang memengaruhi derajat kecakapan (atau ketidakcakapan) orang dengan disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual, misalnya ditemukan terapi tertentu, maka penyerapan perkembangan keilmuan demikian ke dalam wilayah hukum sangat terbuka. Terkait dengan perkembangan demikian, pembentuk undang-undang mempunyai kewenangan untuk menambah dan/atau mengurangi kategori orang dengan disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual yang dapat diletakkan di bawah pengampuan.

[3.13] Menimbang bahwa ketentuan mengenai pengampuan, selain diatur dalam Pasal 433 KUH Perdata juga diatur dalam Pasal 32 juncto Pasal 33 UU 8/2016. Kedua ketentuan tersebut selengkapnya adalah sebagai berikut:
Pasal 433 KUH Perdata
“Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan, pun jika ia kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditaruh di bawah pengampuan karena keborosannya.”

Pasal 32 UU 8/2016
“Penyandang Disabilitas dapat dinyatakan tidak cakap berdasarkan penetapan pengadilan negeri”.

Berdasarkan uraian di atas, khususnya dalam penyandingan muatan ketentuan norma yang terkait dengan pengampuan, Mahkamah menyampaikan dalam bentuk tabel, sebagai berikut:
Dengan demikian, setelah Mahkamah mencermati persandingan dimaksud, terlihat bahwa Pasal 433 KUH Perdata dan Pasal 32 UU 8/2016 mengatur secara berbeda konsekuensi hukum bagi orang yang termasuk kategori “dungu”, “sakit otak”, atau “mata gelap”. Atau dengan kata lain, terdapat ketidakselarasan konsekuensi yuridis antara kedua pasal dimaksud.

[3.14] Menimbang bahwa selain kedua undang-undang tersebut, yaitu KUH Perdata dan UU 8/2016, terdapat setidaknya satu undang-undang yang juga mengatur mengenai disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual, yaitu UndangUndang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa (UU 18/2014). Namun, di dalam UU a quo tidak diatur mengenai tindakan hukum berupa pengampuan bagi penyandang disabilitas mental, yang di dalam UU 18/2014 disebut dengan istilah “Orang Dengan Gangguan Jiwa” (ODGJ). Oleh karena itu, di dalam pertimbangan hukum ini keberadaan UU 18/2014 tidak turut dipertimbangkan.
Lebih lanjut, dalam rezim Pasal 433 KUH Perdata, orang dalam kategori “dungu”, “sakit otak”, atau “mata gelap” harus ditaruh di bawah pengampuan. Dengan kata lain, jika ada permohonan berkenaan dengan pengampuan pengadilan negeri harus menetapkan pengampuan bagi seorang yang dalam kategori “dungu”, “sakit otak”, atau “mata gelap”, tanpa pengadilan mempunyai pilihan lain.
Sementara itu, pada rezim Pasal 32 (juncto Pasal 33) UU 8/2016, orang dengan ketiga kategori tersebut (yang secara umum termasuk sebagai bagian dari penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual) tidak harus ditetapkan oleh pengadilan negeri untuk ditaruh di bawah pengampuan, melainkan pengadilan dapat menyatakan penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual tersebut tidak cakap dan karenanya baru yang bersangkutan diwakili kepentingannya. Fakta hukum dalam UU 8/2016 a quo membawa makna bahwa tidak semua penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual harus ditaruh di bawah pengampuan/perwakilan. Artinya, ada pilihan bagi pengadilan negeri untuk menggunakan kewenangannya untuk menolak permohonan pengampuan bagi seseorang penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual, karena seseorang yang dimintakan untuk ditempatkan di bawah pengampuan tersebut ternyata cakap bertindak dan bertanggung jawab secara hukum.

[3.15] Menimbang bahwa untuk lebih memahami secara komprehensif, letak perbedaan antara kedua norma antara Pasal 433 KUH Perdata dan Pasal 32 UU 8/2016, harus pula diingat bahwa istilah penyandang disabilitas yang disebutkan dalam Pasal 32 UU 8/2016 berada pada konteks yang luas, yang menurut Pasal 4 ayat (1) UU 8/2016 meliputi disabilitas fisik, disabilitas intelektual, disabilitas mental, serta disabilitas sensorik. Di samping itu, UU 8/2016 juga menegaskan tentang masing-masing kategori tersebut pada bagian Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 8/2016, yang berdasarkan fakta hukum di atas, Mahkamah berpendapat penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual sebagiannya dapat “diidentikkan” dengan istilah “dungu”, “sakit otak”, dan “mata gelap”. Sementara itu, ketentuan norma Pasal 433 KUH Perdata “hanya” fokus pada kondisi disabilitas dan implikasi disabilitas yang berupa “dungu”, “sakit otak”, serta “mata gelap”. Terlebih, sebagaimana telah dipertimbangkan Mahkamah pada pertimbangan hukum sebelumnya, bahwa orang dalam keadaan “dungu”, “sakit otak”, dan “mata gelap” dapat dikategorikan sebagai bagian penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual.
[3.16] Menimbang bahwa berdasarkan uraian fakta-fakta hukum tersebut, dalam hal terdapat konflik norma antara norma KUH Perdata dengan norma UU 8/2016, maka berlaku asas lex posterior derogate legi priori dan karena KUH Perdata bersifat lebih umum maka berlaku pula asas lex specialis derogate legi generali. Dalam konteks kedua asas yang menjadi solusi konflik norma dimaksud, UU 8/2016 merupakan lex posterior dan lex specialis. Sementara KUH Perdata merupakan legi priori dan legi generali. Hal demikian sebagian sesuai dengan pendapat DPR dalam keterangannya yang disampaikan di persidangan (vide Keterangan DPR, bertanggal 23 November 2022, hlm. 10-11).
Bahwa di samping itu, perlu juga dikaitkan dengan semangat dalam UU 8/2016 yang lebih mengakomodasikan esensi etika, harkat serta martabat daripada subjek hukum yang diatur dalam UU 8/2016. Oleh karena itu, menurut Mahkamah pembacaan atas Pasal 433 KUH Perdata harus diselaraskan dengan ketentuan Pasal 32 UU 8/2016 yang berperan sebagai lex posterior dan lex specialis. Dengan demikian, pemaknaan kedua rezim ketentuan norma a quo harus saling melengkapi esensi perlakuan terhadap orang yang dalam kondisi “dungu”, “sakit otak” dan “mata gelap” serta penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual, baik di dalam menilai kecakapan dalam bertindak dan bertanggung jawab secara hukum, maupun dalam perlindungan hak-hak keperdataannya.
Bahwa berdasarkan uraian berkenaan dengan dua peraturan perundangundangan di atas, Mahkamah menemukan suatu konstruksi hukum bahwa orang dalam kategori “dungu”, “sakit otak”, dan “mata gelap”, yang bersangkutan kadangkadang berada dalam keadaan baik atau cakap. Artinya, ada saatnya orang dalam ketiga kategori demikian dipandang cakap untuk bertindak dan bertanggung jawab secara hukum. Sementara itu, penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual mempunyai hak keperdataan dengan cara memilih atau mewakilkan kepentingan keperdataannya baik di dalam maupun di luar pengadilan (vide Pasal 9 huruf h UU 8/2016). Artinya, yang bersangkutan dapat bertindak sendiri untuk memilih maupun mewakilkan hak-hak keperdataannya.
Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah kedua norma tersebut dapat dipertemukan dengan cara menyesuaikan pemaknaan kata “harus” dalam Pasal 433 KUH Perdata. Akan tepat apabila makna kata “harus” dalam Pasal 433 KUH Perdata merujuk pada makna kata “dapat” dalam Pasal 32 UU 8/2016. Artinya, setelah adanya Pasal 32 UU 8/2016 maka Pasal 433 KUH Perdata dimaknai bahwa bagi/terhadap setiap orang dewasa yang berada dalam keadaan “dungu”, “sakit otak”, atau “mata gelap”, baik permanen atau pun sementara, pengadilan negeri mempunyai pilihan apakah akan menetapkan yang bersangkutan berada di bawah pengampuan atau tidak, sepanjang sikap pengadilan negeri dimaksud didasarkan pada fakta hukum di persidangan, khususnya yang diperoleh dari hasil pemeriksaan ahli yang berwenang serta mempertimbangkan antara lain keterangan dan/atau bukti dari dokter, psikolog, dan/atau psikiater, sebagaimana hal tersebut telah diatur dalam Pasal 33 UU 8/2016 juncto Pasal 436 sampai dengan Pasal 446 KUH Perdata. Pengadilan negeri dapat berkesimpulan bahwa orang yang dimohonkan untuk ditempatkan di bawah pengampuan apabila yang bersangkutan terbukti dalam keadaan baik atau cakap, dan mampu bertindak serta bertanggung jawab secara hukum, maka permohonan pengampuan tidak beralasan untuk dikabulkan. Sedangkan jika fakta hukum membuktikan hal yang sebaliknya, yaitu pemohon terbukti dalam keadaan tidak baik atau tidak cakap, pengadilan negeri akan mengabulkan permohonan pengampuan tersebut.
[3.17] Menimbang bahwa sebelum Mahkamah menegaskan penyesuaian atau penyelarasan kedua norma yang terdapat dalam KUH Perdata dengan yang terdapat dalam UU 8/2016, terlebih dahulu Mahkamah akan menguraikan pengertian pengampuan (curatele) atau istilah lain yang senafas dengan itu. Pengampuan secara umum dimaknai sebagai penempatan seseorang di bawah perwakilan karena seseorang dimaksud oleh pengadilan dianggap tidak cakap untuk bertindak dan bertanggung jawab secara hukum atas namanya sendiri dalam lalu lintas hukum, khususnya berkaitan dalam ruang lingkup keperdataan.
Bahwa secara doktriner, orang yang ditempatkan di bawah pengampuan akan disebut sebagai terampu atau curandus, sementara orang yang mewakili disebut sebagai pengampu atau curator. Dalam konteks perkara a quo, yaitu pengujian Pasal 433 KUH Perdata, sudah tentu makna pengampuan merujuk pada pengampuan di bidang keperdataan, khususnya terkait dengan orang, yang berkenaan dengan hak-hak privatnya. Oleh karena itu, seandainya terdapat konsep pengampuan di wilayah non keperdataan, hal demikian membutuhkan kajian yang terpisah dan bukan bagian dari pertimbangan hukum putusan a quo.
[3.17.1] Bahwa di dalam konsep pengampuan terkandung dua dimensi. Dimensi yang pertama adalah pembatasan hak, sementara dimensi yang kedua adalah perlindungan hak. Bagi pihak yang dimohonkan/dimintakan untuk diampu, apalagi yang sudah dinyatakan ditaruh di bawah pengampuan (curandus), in casu penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual, dimensi yang dirasakan dominan adalah pembatasan hak. Terhadap hal a quo, Mahkamah dapat memahami munculnya nuansa dominasi pembatasan hak ini karena disebabkan adanya ketidakseimbangan derajat, di mana curandus memang dapat dikatakan tidak lagi mempunyai hak apapun untuk menentukan nasibnya sendiri.
Bahwa kewenangan secara mandiri terhadap yang bersangkutan sebagai manusia, orang, atau subjek hukum, menjadi hilang, sehingga semua hal terkait kepentingan yang bersangkutan akan diputuskan oleh orang lain, yang tentu saja orang lain ini secara alamiah tidak mampu secara utuh memahami dan merepresentasikan dengan tepat apa yang menjadi kebutuhan atau isi hati curandus. Namun demikian, secara seimbang harus dipahami dan diakui bahwa dalam keseharian benar-benar terdapat orang-orang yang derajat disabilitasnya (secara mental dan/atau intelektual) tidak memungkinkan untuk melakukan semua hal secara mandiri. Bagi orang dengan derajat disabilitas yang demikian akan lebih terlindungi hak-haknya manakala yang bersangkutan dibantu dalam mempertimbangkan dan membuat keputusan serta bertindak yang menyangkut kepentingannya.
Bahwa oleh karena itu, berangkat dari perspektif demikian menurut Mahkamah pengampuan mempunyai dimensi lain yaitu sebagai upaya perlindungan hak terutama dalam hubungan hukum, yang setidaknya salah satu pihak dalam hubungan itu adalah penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual. Suatu hubungan hukum, sebagaimana relasi sosial pada umumnya, membutuhkan jaminan kepastian sehingga para pihak dalam hubungan hukum dapat memprediksi hasil, manfaat, dan/atau sekaligus akibat dalam hubungan hukum dimaksud.
[3.17.2] Bahwa bagi pihak yang bukan penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual, perlindungan hukum dibutuhkan untuk menghilangkan kekuatiran bahwa hubungan hukum yang mereka lakukan kelak di kemudian hari akan batal demi hukum, atau setidaknya tidak mempunyai nilai eksekusi karena pihak yang berlawanan tidak mempunyai kapabilitas rasional. Sementara itu, dari sisi penyandang disabilitas, apabila yang bersangkutan dibebaskan memutuskan dan bertindak sendiri, selalu terdapat potensi yang bersangkutan dimanipulasi atau dimanfaatkan kelemahan mental dan/atau intelektualnya oleh pihak yang melakukan hubungan hukum dengannya.
Bahwa jika hal demikian yang terjadi, maka hukum dapat dikatakan telah kehilangan perannya sebagai pelindung hak dan penjamin kesetaraan. Padahal jaminan akan kesetaraan dalam suatu lalu lintas hukum keperdataan bukan hanya cita hukum, melainkan amanat Konstitusi sebagaimana diatur Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pada titik itulah Mahkamah memandang lembaga pengampuan bukan berarti menghalangi atau menghilangkan kemandirian seseorang, justru sebagai sarana penguatan (semacam “affirmative action”) guna menyejajarkan kembali penyandang disabilitas dengan non penyandang disabilitas dalam hubungan hukum keperdataan, yang berpotensi menimbulkan kerugian yang bersifat materiil dan melibatkan kepentingan para pihak yang berada dalam wilayah keperdataan.
[3.17.3] Bahwa, sekali lagi, bagi Mahkamah justru tidaklah memberikan perlindungan hukum manakala seseorang dengan disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual pada derajat yang serius, kemudian dibiarkan melakukan semuanya sendirian walaupun dengan alasan menghargai hak yang bersangkutan untuk mandiri. Pasal 28G ayat (1) serta Pasal 28H ayat (2) dan ayat (4) UUD 1945 menegaskan hak-hak yang demikian, selengkapnya sebagai berikut:
Pasal 28G ayat (1)
“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”
Pasal 28H ayat (2)
“Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.”
Pasal 28H ayat (4)
“Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun.”
Bahwa dalam kaitannya dengan pertimbangan demikian, bagi Mahkamah lembaga pengampuan tetap diperlukan selama penekanannya adalah penghargaan, pensejajaran, sekaligus perlindungan bagi semua pihak yang terkait dengan kondisi disabilitas mental atau intelektual seseorang. Pihak-pihak dimaksud tak lain adalah penyandang disabilitas itu sendiri serta orang lain yang mempunyai atau setidaknya akan mempunyai hubungan hukum keperdataan dengan penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual yang akan terdampak dengan adanya hubungan hukum keperdataan yang bersangkutan.

[3.18] Menimbang bahwa bentuk pengampuan itu sendiri, seperti yang dipraktikkan sebagai keharusan sebagaimana diperintahkan Pasal 433 KUH Perdata, dewasa ini dianggap “out of date” dan mendapatkan penentangan karena dinilai memanipulasi hak-hak keperdataan penyandang disabilitas yang diampu (curandus). Dari pendapat beberapa ahli serta pihak yang didengar Mahkamah dalam persidangan, serta penelusuran berbagai literatur, Mahkamah mengelompokkan berbagai pendapat terkait hal tersebut dalam tiga kelompok besar. Pertama, menyatakan pengampuan tidak lagi relevan sehingga lembaga pengampuan yang diatur dalam Pasal 433 KUH Perdata harus dihapuskan. Kedua, menyatakan pengampuan masih relevan, sehingga lembaga pengampuan dalam Pasal 433 KUH Perdata tetap dipertahankan. Ketiga, menyatakan lembaga pengampuan masih diperlukan namun harus diposisikan sebagai pilihan terakhir (the last resort).
[3.18.1] Bahwa terhadap ketiga pendapat demikian, menurut Mahkamah sebagaimana telah dipertimbangkan di atas, peran lembaga pengampuan sebagai sarana perlindungan hukum masih dibutuhkan hingga saat ini. Demikian halnya, apabila dikaitkan dengan beberapa konsep alternatif yang ditawarkan para ahli tersebut, seperti pendampingan –di mana pendamping memberikan pertimbangan manakala penyandang disabilitas membutuhkan namun pembuatan keputusan tetap di tangan penyandang disabilitas–, menurut Mahkamah di satu sisi memang lebih menghargai nilai-nilai derajat kemanusiaan terhadap penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual. Namun, konsep alternatif tersebut tidak mampu menjawab kebutuhan perlindungan hukum bagi kedua belah pihak manakala penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual bersepakat melakukan atau membangun hubungan keperdataan dengan orang/pihak lain.
Terlebih lagi, juga dimungkinkan adanya kesulitan berkenaan dengan tata cara pengambilan keputusan serta objektivitas atau rasionalitasnya, manakala suatu hal diputuskan berdasarkan keadaan bersangkutan yang sedang tidak cakap mempertimbangkan dan mengambil keputusan mandiri. Secara sederhana dapat dideskripsikan ketika penyandang disabilitas melakukan kesalahan dalam mitigasi risiko karena kekurangan atau kelemahan kondisi mental dan/atau kondisi intelektual. Hal demikian tentunya akan mempersulit tuntutan pertanggungjawaban atas konsekuensi yang ditimbulkan. Demikian pula terhadap subjek hukum yang harus bertanggung jawab, serta hal-hal yang dapat dituntut sebagai akibat yang ditimbulkan, sekalipun hubungan hukum yang terjadi, misalnya, berkenaan dengan perjanjian yang pada hakikatnya merupakan suatu kesepakatan. Bahkan, dalam perspektif pertanggungjawaban pidana, tanpa bermaksud menjadikan hukum pidana sebagai acuan dalam pertimbangan perkara a quo, kondisi disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual merupakan faktor signifikan dalam pengenaan atau penjatuhan pidana. Lebih dari itu dapat dikatakan bahwa kondisi disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual dalam konteks hukum pidana dapat menjadi faktor bagi alasan pemaaf dan/atau penghapus pertanggungjawaban pidana.
[3.18.2] Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum demikian, menurut Mahkamah penghilangan atau penghapusan lembaga pengampuan dari Pasal 433 KUH Perdata justru dapat menjadi penyebab berkurangnya perlindungan hukum bagi orang atau subjek hukum yang mengalami kondisi “dungu”, “sakit otak”, dan “mata gelap” yang merupakan bagian dari penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual. Lebih lanjut, meskipun KUH Perdata merupakan hukum peninggalan era kolonial, yang citranya lekat dengan penjajahan dan penindasan hak asasi manusia, Mahkamah tidak memungkiri bahwa semangat pengampuan yang diusung KUH Perdata dalam keadaan-keadaan tertentu masih relevan untuk diimplementasikan guna melindungi hak-hak keperdataan.
Oleh karena itu, Mahkamah menegaskan terhadap penerapan lembaga pengampuan demikian, secara berkesinambungan dilakukan evaluasi, dan untuk itu Mahkamah memberikan catatan bahwa penerapan pengampuan secara longgar/mudah tanpa disertai pedoman jelas, berpotensi semakin memberatkan beban penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual, terlebih jika hal tersebut dapat meringankan beban penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual. Berdasarkan hal demikian, pengadilan negeri sebagai lembaga yang berwenang menetapkan pengampuan harus benar-benar cermat dan hati-hati di dalam memberikan putusan/ketetapan atas permohonan pengampuan. Sebagaimana telah Mahkamah tegaskan sebelumnya, penjatuhan putusan/ ketetapan dimaksud harus benar-benar didasarkan pada fakta-fakta hukum yang diperoleh dalam persidangan, termasuk yang paling esensial adalah memperhatikan hasil pemeriksaan ahli yang berwenang serta mempertimbangkan antara lain keterangan dan/atau bukti dari dokter, psikolog, dan/atau psikiater, sebagaimana hal tersebut telah diatur dalam Pasal 33 UU 8/2016 juncto Pasal 436 sampai dengan Pasal 446 KUH Perdata.
[3.18.3] Bahwa sebenarnya seseorang dengan disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual yang tidak permanen dan sedang dalam keadaan cakap, tetap mempunyai kebebasan memilih apakah akan menggunakan skema pengampuan, skema pendampingan, atau bahkan skema lain yang sudah dikenal dan dipraktikkan di luar wilayah hukum keperdataan. Sebab, keputusan atas diri atau kehendak pribadi subjek hukum dalam wilayah keperdataan tergantung dari kepentingan diri pribadi yang bersangkutan. Sementara, bagi penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual yang permanen, sekali lagi setelah melalui pembuktian yang ketat, pengadilan tetap terikat untuk menetapkan bahwa yang bersangkutan ditaruh di bawah pengampuan serta, setelah melalui pembuktian yang ketat pula, menetapkan atau menunjuk pengampu (curator) yang benar-benar mampu dan dapat bertanggung jawab mengurus kebutuhan yang tidak boleh merugikan pihak terampu (curandus).

[3.19] Menimbang bahwa Mahkamah pada satu sisi dapat memahami adanya kekuatiran beberapa pihak akan potensi penyalahgunaan pengampuan sehingga merugikan pihak terampu, dan di sisi lain menguntungkan pribadi pihak pengampu dan/atau pihak lainnya. Menurut Mahkamah potensi penyalahgunaan lembaga pengampuan memang ada, namun potensi demikian tidak lantas mengakibatkan lembaga pengampuan menjadi tidak diperlukan lagi. Di samping itu, untuk mengurangi bahkan menutup potensi penyalahgunaan lembaga pengampuan, Mahkamah menegaskan bahwa prosedur atau hukum acara pengampuan yang diatur di dalam KUH Perdata, UU 8/2016, dan sebagaimana telah dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam putusan a quo, permohonan pengampuan harus diperiksa secara ketat oleh lembaga peradilan yang menangani permohonan pengampuan. Dengan demikian, pelibatan ahli di bidang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual menjadi prosedur wajib dalam perkara pengampuan untuk memastikan (menegakkan diagnosis) bahwa penyandang disabilitas yang dimohonkan diampu benar-benar dalam kondisi tidak cakap untuk berpikir dan bertindak secara wajar, sehingga pengadilan mempunyai landasan yang kuat untuk menetapkan apakah penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual dimaksud tidak cakap hukum.
Di samping itu, perubahan makna Pasal 433 KUH Perdata seperti telah diuraikan dalam pertimbangan hukum di atas, mengandung makna bahwa pengadilan negeri dalam mengadili permohonan penetapan pengampuan mempunyai pilihan yang lebih leluasa manakala berhadapan dengan fakta hukum adanya disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual pada seseorang. Pengadilan negeri tidak lagi “harus” menetapkan seseorang dimaksud ditaruh di bawah pengampuan, melainkan pengadilan negeri dapat memutuskan mekanisme lain untuk membantu seseorang dengan disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual terutama yang tidak permanen, misalnya menetapkan suatu pendampingan bagi yang bersangkutan.

[3.20] Menimbang bahwa dalam petitumnya para Pemohon memohon agar Pasal 433 KUH Perdata dinyatakan inkonstitusional bersyarat, yaitu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang kata “dungu”, “gila”, “mata gelap” dan/atau “keborosan” dimaknai sebagai penyandang disabilitas mental. Posita para Pemohon, jika dicermati dan dikaitkan dengan posita yang diterangkan secara lisan, serta diperkuat oleh keterangan ahli dan saksi yang diajukan para Pemohon, terlihat menghendaki supaya Mahkamah menghapus lembaga pengampuan yang diatur dalam Pasal 433 KUH Perdata. Namun di sisi lain, dalam petitumnya para Pemohon justru tidak meminta dihapuskannya atau diubahnya lembaga pengampuan, melainkan meminta agar istilah “dungu”, “gila”, “mata gelap” dan/atau “keborosan” tidak dimaknai sebagai penyandang disabilitas mental. Oleh karena itu, seandainya Mahkamah mengikuti petitum para Pemohon dan mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya, maka rumusan Pasal 433 KUH Perdata akan tetap seperti sediakala tanpa perubahan sama sekali, yang artinya lembaga pengampuan tetap ada dan bersifat imperatif.
[3.21] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah berpendapat ketentuan Pasal 433 KUH Perdata harus diberikan penafsiran ulang dengan menyelaraskannya dengan semangat yang terdapat dalam UU 8/2016 khususnya Pasal 32 UU 8/2016. Penafsiran ulang demikian bertujuan agar dapat dipastikan terwujudnya efek atau dampak upaya perlindungan hukum bagi penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual dengan tetap mempertahankan lembaga pengampuan yang ada dalam Pasal 433 KUH Perdata.
Penafsiran ulang ini dilakukan dengan menyatakan kondisi “dungu”, “sakit otak”, atau “mata gelap” sebagai bagian dari penyandang disabilitas mental dan/atau isabilitas intelektual, serta kata “harus” dalam Pasal 433 KUH Perdata dimaknai menjadi “dapat”. Dengan penyelarasan demikian maka Pasal 433 KUH Perdata selengkapnya akan berbunyi, “Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan “dungu”, “sakit otak” atau “mata gelap”, adalah bagian dari penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual, dapat ditaruh di bawah pengampuan, pun jika ia kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditaruh di bawah pengampuan karena keborosannya.”
[3.22] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berkesimpulan Pasal 433 KUH Perdata telah ternyata terdapat persoalan inkonstitusionalitas norma pada bagian-bagian tertentu, dan Mahkamah menyatakan terhadap norma Pasal 433 KUH Perdata inkonstitusional secara bersyarat dan pemaknaan demikian tidak sebagaimana yang dimohonkan para Pemohon dalam petitumnya, maka Mahkamah berpendapat permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.
[3.23] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.

Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan langsung dilaksanakan (self executing) oleh seluruh organ penyelenggara negara, organ penegak hukum, dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 93/PUU-XX/2022 yang menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya terhadap pengujian pada Pasal 433 KUHPerdata mengandung arti bahwa ketentuan Pasal-Pasal a quo tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dikabulkan Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 121/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2020 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2023 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 27-07-2023

Bahwa pada hari Selasa tanggal 27 Juni 2023, pukul 12.18 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2023 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU 7/2020) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 121/PUU-XX/2022. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 121/PUU-XX/2022, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap Pasal 7A ayat (1) UU 7/2020 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.15] Menimbang bahwa menurut Mahkamah, permasalahan utama yang harus dijawab berdasarkan dalil permohonan para Pemohon sebagaimana telah diuraikan pada Paragraf [3.7] di atas adalah apakah norma Pasal 7A ayat (1) UU 7/2020 yang tidak menentukan Panitera, Panitera Muda dan Panitera Pengganti di Mahkamah Konstitusi sama dengan kedudukan dan usia Panitera di Mahkamah Agung, serta memasukkan kepaniteraan dalam jabatan fungsional yang tidak mendapatkan kejelasan penjejangan jabatan dan usia pensiunnya bertentangan dengan Konstitusi karena tidak memberikan jaminan kedudukan yang sama serta tidak memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum. Terhadap dalil para Pemohon a quo, penting bagi Mahkamah untuk terlebih dahulu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
[3.15.1] Bahwa berkenaan dengan permohonan para Pemohon penting untuk mengutip terlebih dahulu pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-X/2012, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 25 September 2012. Sebab, usia pensiun 62 (enam puluh dua) tahun bagi panitera, panitera muda, dan panitera pengganti yang termaktub dalam Pasal 7A ayat (1) UU 7/2020 yang ditentukan oleh pembentuk undang-undang yang merujuk pada batasan usia pensiun dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-X/2012. Dalam hal ini, pertimbangan hukum pada Paragraf [3.14] menyatakan:
[3.14] Menimbang bahwa berdasar pertimbangan rasional seharusnya batas usia pensiun Panitera Mahkamah Konstitusi sama dengan batas usia pensiun Panitera Mahkamah Agung. Namun oleh karena pada saat ini Undang-Undang menentukan bahwa Panitera Mahkamah Agung berasal dari hakim tinggi yang batas usia pensiunnya adalah 67 tahun yang dengan sendirinya batas usia pensiun Panitera Mahkamah Agung adalah 67 tahun sesuai dengan batas usianya sebagai hakim tinggi. Oleh sebab itu, untuk menentukan batas usia Panitera pada Mahkamah Konstitusi, Mahkamah perlu menetapkan batas usia pensiun yang adil bagi Panitera Mahkamah Konstitusi yaitu 62 tahun sesuai dengan usia pensiun bagi Panitera yang tidak berkarier sebagai hakim. Ke depan, pembentuk undang-undang perlu menetapkan persyaratan yang sama bagi calon Panitera di Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
Bahwa dengan merujuk pada kutipan pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-X/2012 di atas, penting bagi Mahkamah menegaskan beberapa hal berikut:
Pertama, sebagai salah satu lembaga yang berada dalam lingkungan kekuasaan kehakiman, berdasar pertimbangan rasional seharusnya batas usia pensiun Panitera Mahkamah Konstitusi sama dengan batas usia pensiun Panitera Mahkamah Agung. Karena itu, Mahkamah Konstitusi menggunakan usia pensiun Panitera di lingkungan Mahkamah Agung sebagai perbandingan, yaitu 67 (enam puluh tujuh) tahun. Namun batasan usia di Mahkamah Agung tersebut tetap diberikan catatan khusus, batasan 67 (enam puluh tujuh) tahun tersebut tidak dapat dilepaskan dari fakta, di mana usia dimaksud tidak dapat dilepaskan dari Panitera Mahkamah Agung yang berasal dari hakim tinggi yang batas usia pensiunnya adalah 67 (enam puluh tujuh) tahun yang dengan sendirinya batas usia pensiun Panitera Mahkamah Agung menjadi 67 (enam puluh tujuh) tahun sesuai dengan batas usia pensiun sebagai hakim tinggi.
Kedua, selain usia Panitera di Mahkamah Agung, terdapat pula fakta ihwal usia maksimal Panitera Pengganti di Mahkamah Agung, yaitu 65 (enam puluh lima) tahun. Karena Panitera Pengganti di Mahkamah Agung dijabat hakim tingkat pertama, maka usia Panitera Pengganti mengikuti usia pensiun sebagai hakim tingkat pertama. Berdasarkan fakta tersebut, Mahkamah menetapkan batas usia pensiun bagi Panitera Mahkamah Konstitusi, yaitu 62 (enam puluh dua) tahun sesuai dengan batas usia pensiun bagi Panitera yang tidak berkarier sebagai hakim. Pada intinya, menurut pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-X/2012 persyaratan batasan usia pensiun bagi pejabat kepaniteraan Mahkamah Konstitusi disesuaikan dengan batas usia pensiun pejabat kepaniteraan di lingkungan peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan tata usaha negara.
Ketiga, sebagai jabatan fungsional yang menjalankan tugas teknis administratif peradilan Mahkamah Konstitusi, penentuan batas usia 62 (enam puluh dua) tahun dikonstruksikan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUUX/2012 pada saat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU 5/2014) belum dibentuk. Artinya, sebagai jabatan fungsional, penentuan batas usia 62 (enam puluh dua) tahun dimaksud belum didasarkan pada batasan usia jabatan fungsional sebagaimana yang diatur dalam UU 5/2014.
Keempat, adanya pertimbangan hukum yang secara ekplisit dari Mahkamah Konstitusi kepada pembentuk undang-undang, apabila dilakukan perubahan, baik berupa revisi atau penggantian, perlu menetapkan syarat yang sama bagi Panitera di Mahkamah Agung dan Panitera di Mahkamah Konstitusi. Sebagai sebuah institusi yang terdiri dari beberapa elemen, pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi tersebut dapat saja dimaknai oleh pembentuk undang-undang guna melengkapi dan sekaligus menyempurnakan pengaturan semua elemen penting yang mendukung (supporting system) fungsi yudisial di Mahkamah Konstitusi. Dalam batas penalaran yang wajar, kesempatan tersebut tidak terlepas dari fakta bahwa Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi termasuk perubahannya tidak mengatur secara memadai supporting system di sekitar hakim dalam menjalankan tugas dan kewenangan yudisial, termasuk kepaniteraan.
[3.15.2] Bahwa setelah menguraikan beberapa substansi penting dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-X/2012, ihwal permohonan a quo, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan desain kekuasaan kehakiman dalam UUD 1945.
Bahwa secara konstitusional, norma Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Penegasan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 terkait erat dengan hakikat kemerdekaan kekuasaan kehakiman sebagai suatu keniscayaan bagi negara yang berdasarkan atas hukum. Sementara itu, sebagai institusi/lembaga yang melaksanakan kekuasaan kehakiman, Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.” Adanya frasa “oleh sebuah Mahkamah Agung” dan “oleh sebuah Mahkamah Konstitusi” sebagaimana termaktub dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menunjukkan kekuasaan kehakiman Indonesia dilakukan oleh dua lembaga dengan wewenang yang berbeda, berada dalam posisi setara (equal), dan dengan jurisdiksi yang berbeda.
Bahwa sekalipun UUD 1945 hasil perubahan mengatur lebih terinci berkenaan dengan kekuasaan kehakiman dan bahkan membentuk pelaku kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung, sebagai hukum dasar, UUD 1945 tidak mengatur segala hal yang terkait dengan kebutuhan dan pengelolaan institusi Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, untuk menjawab segala kebutuhan institusi Mahkamah Agung, Pasal 24A ayat (5) UUD 1945 menyatakan, “Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya diatur dengan undang-undang”. Begitu pula dengan kebutuhan Mahkamah Konstitusi, Pasal 24C ayat (6) UUD 1945 menyatakan, “Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang”. Dengan adanya kata “susunan” dalam Pasal 24A ayat (5) UUD 1945 dan adanya frasa “ketentuan lainnya” dalam Pasal 24C ayat (6) UUD 1945, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi memerlukan undang-undang untuk mengatur segala kebutuhan pengelolaan institusi agar mampu melaksanakan semua kewenangan yang dimilikinya. Dalam hal ini, sebagai sebuah organisasi, kedua lembaga ini memerlukan kepaniteraan, Sekretariat Jenderal/kesekretariatan, dan supporting system lainnya di sekitar hakim agung dan hakim konstitusi.
Bahwa salah satu substansi undang-undang adalah berkaitan dengan pengaturan kepaniteraan. Sekalipun sama-sama sebagai lembaga pelaku kekuasaan kehakiman dan diposisikan setara, pengaturan ihwal pelembagaan kepaniteraan yang membantu hakim konstitusi dalam melaksanakan tugas dan wewenang yudisial tidak diatur lebih rinci dan jelas syarat-syarat serta tata cara pengangkatan sebagaimana kepaniteraan pada Mahkamah Agung. Dalam hal ini, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA) mengatur tentang pengangkatan Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti Mahkamah Agung yaitu sebagai berikut:
Pasal 20 ayat (1) huruf d:
“Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Mahkamah Agung, seorang calon harus memenuhi syarat: ... d. berpengalaman sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun sebagai Panitera Muda Mahkamah Agung atau sebagai ketua atau wakil ketua pengadilan tingkat banding.”
Pasal 20 ayat (2) huruf b:
“Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Muda Mahkamah Agung, seorang calon harus memenuhi syarat: ... b. berpengalaman sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun sebagai hakim tinggi.”
Pasal 20 ayat (3) huruf b:
“Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengganti Mahkamah Agung, seorang calon harus memenuhi syarat: ... b. berpengalaman sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun sebagai hakim pengadilan tingkat pertama.”
Berbeda dengan Mahkamah Agung, pengaturan ihwal kepaniteraan pada Mahkamah Konstitusi masih sangat sumir dalam mengatur kedudukan, tugas dan fungsi kepaniteraan. Berkenaan kepaniteraan, misalnya, undang-undang pertama tentang Mahkamah Konstitusi, in casu Pasal 7 UU 24/2003 menyatakan, “Untuk kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya, Mahkamah Konstitusi dibantu oleh sebuah Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan”. Selanjutnya, Pasal 8 UU 24/2003 mendelegasikan pengaturan mengenai susunan organisasi, fungsi, tugas, dan wewenang Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada Keputusan Presiden atas usul Mahkamah Konstitusi. Kemudian, Pasal 7 UU 8/2011 sebagai perubahan atas UU 24/2003 menyatakan, “Di Mahkamah Konstitusi dibentuk sebuah kepaniteraan dan sekretariat jenderal untuk membantu pelaksanaan tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi”. Berkenaan dengan kepaniteraan, norma Pasal 7A ayat (1) dan ayat (2) UU 8/2011 menyatakan:
Pasal 7A ayat (1):
“Kepaniteraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 merupakan jabatan fungsional yang menjalankan tugas teknis administratif peradilan Mahkamah Konstitusi.”
Pasal 7A ayat (2):
“Tugas teknis administratif peradilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. koordinasi pelaksanaan teknis peradilan di Mahkamah Konstitusi;
b. pembinaan dan pelaksanaan administrasi perkara;
c. pembinaan pelayanan teknis kegiatan peradilan di Mahkamah Konstitusi; dan
d. pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi sesuai dengan bidang tugasnya.”
[3.15.3] Bahwa lebih lanjut untuk mempertegas hal-hal yang telah diuraikan di atas, berkenaan dengan Mahkamah Konstitusi sebagai sebuah lembaga peradilan yang relatif masih baru, pengaturan secara lebih rinci mengenai kepaniteraannya diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 51 Tahun 2004 tentang Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (Keppres 51/2004). Tanpa Mahkamah bermaksud menilai legalitas Keppres a quo, ditentukan bahwa panitera dan pejabat di lingkungan kepaniteraan adalah pejabat fungsional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengangkatan dan pemberhentiaan panitera oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Konstitusi [vide Pasal 10 ayat (5) dan Pasal 11 Keppres 51/2004].
Bahwa sejalan dengan diubahnya beberapa ketentuan dalam UU 24/2003 melalui UU 8/2011, pengaturan mengenai kepaniteraan termasuk materi yang mengalami perubahan dengan ditegaskannya kepaniteraan sebagai rumpun jabatan fungsional dalam rangka menjalankan tugas teknis administratif peradilan Mahkamah Konstitusi. Tugas teknis administratif peradilan dimaksud meliputi: 1) koordinasi pelaksanaan teknis peradilan di Mahkamah Konstitusi; 2) pembinaan dan pelaksanaan administrasi perkara; 3) pembinaan pelayanan teknis kegiatan peradilan di Mahkamah Konstitusi; dan 4) pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi sesuai dengan bidang tugasnya [vide Pasal 7A UU 8/2011]. Sebagaimana ketentuan sebelumnya, pengaturan lebih lanjut mengenai kepaniteraan Mahkamah Konstitusi ditentukan dalam Peraturan Presiden (Perpres). Tanpa Mahkamah bermaksud menilai legalitas Perpres sebagai peraturan pelaksana dari Pasal 7A UU 8/2011, Presiden telah menerbitkan Perpres Nomor 49 Tahun 2012 tentang Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi (Perpres 49/2012). Berdasarkan Perpres a quo ditentukan pengorganisasian kepaniteraan, penjenjangan jabatan/pangkat dan batas usia pensiun kepaniteraan dikoordinasikan oleh seorang panitera yang dibantu oleh 2 (dua) orang Panitera Muda, 4 (empat) orang Panitera Pengganti Tingkat I, dan 12 (dua belas) orang Panitera Pengganti Tingkat II. Selain itu dinyatakan pula bahwa Panitera, Panitera Muda, Panitera Pengganti Tingkat I, dan Panitera Pengganti Tingkat II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jabatan fungsional kepaniteraan non angka kredit [vide Pasal 3 Perpres 49/2012]. Dalam kaitan ini, mulai ditentukan mengenai batas usia dalam jabatan kepaniteraan dengan batas usia pensiun jabatan fungsional di lingkungan kepaniteraan adalah 56 (lima puluh enam) tahun. Namun, batas usia pensiun Panitera dan Panitera Muda dapat diperpanjang sampai dengan usia 60 (enam puluh) tahun dengan mempertimbangkan aspek prestasi kerja, kompetensi, kaderisasi, dan kesehatan. Perpanjangan batas usia pensiun dimaksud dilakukan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang kembali untuk masa paling lama 2 (dua) tahun [vide Pasal 9 Perpres 49/2012]. Perpres a quo menentukan batas usia pensiun kepaniteraan tidak secara spesifik dan terinci sebagaimana yang berlaku di Mahkamah Agung karena UU 3/2009 pada pokoknya menentukan untuk dapat diangkat menjadi Panitera Mahkamah Agung, seorang calon harus memenuhi syarat: ... d. berpengalaman sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun sebagai Panitera Muda Mahkamah Agung atau sebagai ketua atau wakil ketua pengadilan tingkat banding” [vide Pasal 20 ayat (1) huruf d dan ayat (2) huruf b UU 3/2009]. Selanjutnya, untuk dapat diangkat menjadi Panitera Muda Mahkamah Agung, seorang calon harus memenuhi syarat: ... b. berpengalaman sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun sebagai hakim tinggi [vide Pasal 20 ayat (3) huruf b UU 3/2009], dan untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengganti Mahkamah Agung, seorang calon harus memenuhi syarat: ... b. berpengalaman sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun sebagai hakim pengadilan tingkat pertama. Dengan demikian, usia pensiun bagi Panitera dan Panitera Muda pada Mahkamah Agung disesuaikan/disamakan dengan usia pensiun hakim tingkat banding yaitu 67 tahun. Sedangkan, Panitera Pengganti pada Mahkamah Agung adalah 65 tahun mengikuti usia pensiun hakim tingkat pertama [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-X/2012]. Artinya, jabatan panitera, panitera muda, dan panitera pengganti pada Mahkamah Agung dijabat oleh hakim sehingga usia pensiunnya pun melekat pada usia pensiun sebagai hakim.
Bahwa sementara itu, kepaniteraan pada Mahkamah Konstitusi dijabat oleh pegawai negeri sipil (PNS) atau aparatur sipil negara (ASN), bukan oleh hakim. Oleh karenanya ditentukan rumpun jabatannya adalah jabatan fungsional. Dalam kondisi ketidakpastian batas usia pensiun kepaniteraan sebagai bagian penting penyelenggaraan fungsi peradilan, Mahkamah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-X/2012, telah memberikan pertimbangan hukum perihal batas usia pensiun panitera, panitera muda, dan panitera pengganti adalah 62 (enam puluh dua) tahun. Putusan a quo kemudian ditindaklanjuti dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 73 Tahun 2013 tentang Perubahan atas PP 49/2012 (Perpres 73/2013) yang menyatakan pada pokoknya panitera, panitera muda, panitera pengganti tingkat I dan panitera pengganti tingkat II batas usia pensiunnya adalah 62 (enam puluh dua) tahun. Putusan Mahkamah Konstitusi a quo selanjutnya diakomodasi dalam perubahan UU MK, in casu Pasal 7A ayat (1) UU 7/2020, tanpa adanya pengaturan lebih lanjut mengenai esensi kepaniteraan Mahkamah Konstitusi yang ditentukan dalam jabatan fungsional karena melekat pada seorang PNS atau ASN yang menjalankan tugas teknis administratif peradilan konstitusi, in casu Mahkamah Konstitusi yang notabene setara kedudukannya dengan Mahkamah Agung.
Bahwa apabila dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara [UU ASN], jabatan fungsional dimaksud diartikan sekelompok jabatan yang berisi fungsi dan tugas yang berkaitan dengan pelayanan fungsional yang berdasarkan pada keahlian dan keterampilan tertentu. Dalam kaitan ini, keberadaan Panitera dan Panitera Pengganti pada Mahkamah Konstitusi merupakan pegawai negeri sipil selaku pejabat fungsional yang memiliki keahlian tertentu dalam membantu atau mendukung pelaksanaan tugas pokok peradilan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara. Jenjang jabatan fungsional keahlian dimaksud terdiri atas: 1) ahli utama; 2) ahli madya; 3) ahli muda; dan 4) ahli pertama [vide Pasal 18 ayat (2) UU ASN]. Berkaitan dengan batas usia pensiun, UU ASN telah menentukan bahwa batasan usia pensiun bagi PNS yang diberhentikan dengan hormat adalah apabila telah mencapai usia 58 (lima puluh delapan) tahun bagi Pejabat Administrasi, mencapai usia 60 (enam puluh) tahun bagi Pejabat Pimpinan Tinggi, dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi Pejabat Fungsional [vide Pasal 87 ayat (1) huruf c UU ASN].
Bahwa dalam perkembangan, tatkala Perpres 49/2012 diubah dengan Perpres 65/2017, berkaitan dengan batas usia pensiun kepaniteraan tidak dilakukan perubahan karena perubahan hanya terkait dengan materi jumlah panitera muda yang bertambah menjadi 3 orang [vide Pasal 3 ayat (2) Perpres 65/2017]. Oleh karenanya, ketentuan peraturan perundang-undangan bagi pejabat fungsional yang dimaksudkan oleh UU ASN mengacu pada peraturan pelaksana UU ASN, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Managemen Pegawai Negeri Sipil (PP 11/2017). Tanpa Mahkamah bermaksud menilai legalitas PP a quo, telah ditentukan jenjang jabatan fungsional keahlian terdiri atas: ahli utama; ahli madya; ahli muda; dan ahli pertama. Untuk jenjang jabatan fungsional ahli utama melaksanakan tugas dan fungsi utama yang mensyaratkan kualifikasi profesional tingkat tertinggi. Sedangkan, jenjang jabatan fungsional ahli madya melaksanakan tugas dan fungsi utama yang mensyaratkan kualifikasi profesional tingkat tinggi. Untuk jenjang jabatan ahli muda melaksanakan tugas dan fungsi utama yang mensyaratkan kualifikasi profesional tingkat lanjutan, dan untuk jenjang jabatan fungsional ahli pertama melaksanakan tugas dan fungsi utama yang mensyaratkan kualifikasi profesional tingkat dasar [vide Pasal 69 PP 11/2017]. Dalam kaitan ini, PP 11/2017 juga menegaskan mengenai batas usia pensiun PNS yang diberhentikan dengan hormat yaitu: a). 58 (lima puluh delapan) tahun bagi pejabat administrasi, pejabat fungsional ahli muda, pejabat fungsional ahli pertama, dan pejabat fungsional keterampilan; b). 60 (enam puluh) tahun bagi pejabat pimpinan tinggi dan pejabat fungsional madya; dan c). 65 (enam puluh lima) tahun bagi PNS yang memangku pejabat fungsional ahli utama [vide Pasal 239 PP 11/2017].
[3.15.4] Bahwa berkenaan dengan isu konstitusionalitas yang didalilkan para Pemohon, Mahkamah dapat memahami adanya keterkaitan antara Mahkamah dengan Undang-Undang yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon. Meskipun dalam permohonan a quo tidak berkaitan langsung dengan kepentingan hakim Konstitusi namun secara kelembagaan, keberadaan kepaniteraan merupakan unsur penting dan berkelindan dengan tugas dan wewenang hakim konstitusi dalam menjalankan fungsi yudisial. Oleh karena itu, apabila hal demikian dikaitkan dengan prinsip universal dalam dunia peradilan tentang nemo judex in causa sua artinya hakim tidak mengadili hal-hal yang terkait dengan dirinya sendiri, namun, dalam konteks ini ada tiga alasan bagi Mahkamah untuk “menyimpangi” sehingga tetap mengadili perkara a quo karena: tidak ada forum lain yang bisa mengadili permohonan ini; Mahkamah tidak boleh menolak mengadili permohonan yang diajukan kepadanya dengan alasan tidak ada atau tidak jelas mengenai hukumnya; perkara ini memiliki kepentingan konstitusional berkaitan dengan penegakan hukum dan keadilan, bukan semata-mata kepentingan lembaga Mahkamah Konstitusi. Namun demikian, dalam mengadili permohonan ini tetaplah Mahkamah bersikap imparsial dan independen. Mahkamah memastikan untuk memutus permohonan ini berdasarkan salah satu kewenangan yang diberikan oleh Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, yaitu menguji apakah norma pasal yang dimohon pengujian bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak;
Bahwa salah satu objectum litis dari proses peradilan di Mahkamah adalah menguji konstitusionalitas undang-undang yang menyangkut kepentingan publik yang dijamin oleh Konstitusi sebagai hukum yang tertinggi. Oleh karena itu, Mahkamah dalam mengadili perkara a quo pun tetap berada dalam menjalankan fungsi dan tugasnya mengawal dan menegakkan Konstitusi dengan tetap menjaga prinsip independensi dan imparsialitas dalam keseluruhan proses peradilan. Apalagi Pasal 10 ayat (1) UU 48/2009 menyatakan dengan tegas bahwa “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Terlebih lagi, menurut Mahkamah, dengan mendasarkan pada kewenangan Mahkamah dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 serta asas dalam kekuasaan kehakiman, Mahkamah harus tetap memeriksa, mengadili, dan memutus secara keseluruhan permohonan a quo sesuai dengan kewenangan konstitusionalnya, dengan tetap menjaga independensi, imparsialitas, dan integritasnya guna menegakkan konstitusi;
[3.16] Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan hal-hal di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil para Pemohon yang pada pokoknya mempersoalkan ketidaksamaan usia pensiun Panitera, Panitera Muda dan Panitera Pengganti di Mahkamah Konstitusi yang diatur dalam norma Pasal 7A ayat (1) UU 7/2020 dengan Panitera, Panitera Muda dan Panitera Pengganti yang ada di Mahkamah Agung. Padahal, keduanya sama-sama menjalankan tugas dan fungsi kepaniteraan pada lembaga peradilan dan kedua lembaga peradilan tersebut berkedudukan sederajat sebagai pelaku kekuasaan kehakiman.
Berkenaan dengan dalil para Pemohon a quo Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.16.1] Bahwa untuk menjawab dalil para Pemohon a quo penting bagi Mahkamah untuk mengutip kembali pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-X/2012 pada Paragraf [3.13] dan Paragraf [3.14] yang menyatakan:
[3.13] Menimbang bahwa persyaratan untuk menduduki jabatan Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti pada Mahkamah Konstitusi tidak harus di duduki oleh Hakim sebagaimana berlaku pada Mahkamah Agung. Sedangkan persyaratan menduduki jabatan kepaniteraan pada peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan tata usaha negara pada tingkat pertama dan tingkat banding tidak diduduki hakim, oleh karena itu menurut Mahkamah persyaratan usia pensiun bagi pejabat kepaniteraan pada Mahkamah Konstitusi harus disesuaikan dengan batas usia pensiun pejabat kepaniteraan di lingkungan peradilan umum, peradilan agama dan peradilan tata usaha negara.
[3.14] Menimbang bahwa berdasar pertimbangan rasional seharusnya batas usia pensiun Panitera Mahkamah Konstitusi sama dengan batas usia pensiun Panitera Mahkamah Agung. Namun oleh karena pada saat ini Undang-Undang menentukan bahwa Panitera Mahkamah Agung berasal dari hakim tinggi yang batas usia pensiunnya adalah 67 tahun yang dengan sendirinya batas usia pensiun Panitera Mahkamah Agung adalah 67 tahun sesuai dengan batas usianya sebagai hakim tinggi. Oleh sebab itu, untuk menentukan batas usia Panitera pada Mahkamah Konstitusi, Mahkamah perlu menetapkan batas usia pensiun yang adil bagi Panitera Mahkamah Konstitusi yaitu 62 tahun sesuai dengan usia pensiun bagi Panitera yang tidak berkarier sebagai hakim. Ke depan, pembentuk undang-undang perlu menetapkan persyaratan yang sama bagi calon Panitera di Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan kutipan pertimbangan hukum di atas, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan kembali beberapa hal penting berikut;
[3.16.2] Bahwa Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti pada Mahkamah Konstitusi tidak harus diduduki oleh hakim sebagaimana berlaku pada Mahkamah Agung karena Mahkamah Konstitusi tidak memiliki lembaga peradilan di bawahnya. Mahkamah Konstitusi hanya ada di ibukota negara [vide Pasal 3 UU 24/2003]. Oleh karenanya siapapun PNS/ASN yang memenuhi persyaratan sesuai dengan kebutuhan kewenangan Mahkamah berdasarkan peraturan perundang-undangan, dapat diseleksi sebagai Panitera. Pengangkatan jabatan fungsional kepaniteraan di Mahkamah Konstitusi merupakan jabatan tertutup karena PNS/ASN hanya berkarir sebagai Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti di Mahkamah Konstitusi. Oleh karenanya tidak mungkin hakim, terlebih hakim konstitusi yang akan menduduki jabatan Panitera. Termasuk juga, tidak terdapat jenjang karir di lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung untuk dapat menjadi Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti di Mahkamah Konstitusi karena UU 48/2009 pada pokoknya telah menegaskan pula bahwa hakim dan hakim konstitusi adalah pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang [vide Pasal 19 UU 48/2009]. Hakim yang dimaksud tersebut adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut, yang ditegaskan berstatus sebagai pejabat negara [vide Pasal 1 angka 5 dan Pasal 3 UU 48/2009]. Sementara itu, UU MK berikut peraturan pelaksanaannya telah menegaskan bahwa Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti di Mahkamah Konstitusi adalah jabatan fungsional. Oleh karena itu, tidak mungkin jabatan fungsional kepaniteraan di Mahkamah Konstitusi dijabat oleh hakim sebagaimana di Mahkamah Agung. Oleh karena itu, untuk mengisi kekosongan pengaturan sehingga memberikan kepastian atas batas usia pensiun Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti di Mahkamah Konstitusi berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-X/2012 disesuaikan dengan batas usia pensiun pejabat kepaniteraan di lingkungan peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan tata usaha negara. Pilihan ini diambil karena Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti di Mahkamah Konstitusi bukan hakim seperti di Mahkamah Agung.
Namun demikian, pertimbangan hukum Mahkamah pada Paragraf [3.13] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-X/2012 tersebut, sesungguhnya tidak sekedar dipahami berhenti pada paragraf tersebut tetapi berkaitan erat dengan Paragraf berikutnya [3.14] yang pada pokoknya menyatakan “berdasar pertimbangan rasional seharusnya batas usia pensiun Panitera Mahkamah Konstitusi sama dengan batas usia pensiun Panitera Mahkamah Agung. Oleh karena itulah ke depan, Mahkamah menegaskan juga dalam pertimbangan hukum Putusan a quo agar pembentuk undang-undang perlu menetapkan persyaratan yang sama bagi calon Panitera di Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi”. Namun demikian, meskipun Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung sama-sama pelaku kekuasaan kehakiman, sebagaimana telah dipertimbangkan di atas telah ternyata jenjang karir kepaniteraan di Mahkamah Konstitusi adalah berbeda dan tidak mungkin dipersamakan dengan kepaniteraan di Mahkamah Agung sebagaimana yang didalilkan oleh para Pemohon.
Lebih lanjut, berkenaan dengan jabatan fungsional di Mahkamah Konstitusi selain kepaniteraan, yaitu antara lain asisten ahli hakim konstitusi (ASLI), arsiparis, pustakawan telah memiliki jenjang karir yang jelas dan pasti sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, kepaniteraan yang dalam undang-undang ditegaskan sebagai jabatan fungsional, demi kepastian hukum yang adil, dalam batas penalaran yang wajar maka tidak ada pilihan lain selain melekatkan jabatan fungsional di lingkungan kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada rumpun jabatan fungsional keahlian sebagaimana diatur dalam UU ASN, yaitu Panitera Konstitusi dengan penjenjangan sebagai berikut: (1) Panitera Konstitusi Ahli Utama; (2) Panitera Konstitusi Ahli Madya; (3) Panitera Konstitusi Ahli Muda; dan (4) Panitera Konstitusi Ahli Pertama.
[3.17] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, oleh karena jenjang karir kepaniteraan di lingkungan Mahkamah Konstitusi melekat pada rumpun jabatan fungsional keahlian sebagaimana diatur dalam UU ASN maka sebagai konsekuensi yuridis dan logis harus dilakukan penyesuaian/inpassing jenjang jabatan Panitera Konstitusi yang tidak boleh merugikan keberadaan dan keberlangsungan karir Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti yang sedang menjabat (existing). Demikian demikian, berkaitan dengan batas usia pensiun Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti di Mahkamah Konstitusi yang existing adalah minimal 62 (enam puluh dua) tahun dan maksimal batas usianya adalah 65 (enam puluh lima) tahun. Adapun bagi jabatan fungsional di lingkungan kepaniteraan yang direkrut setelah putusan a quo berlaku sesuai dengan penjenjangan jabatan fungsional berdasarkan UU ASN. Oleh karena jabatan fungsional keahlian di lingkungan kepaniteraan Mahkamah Konstitusi merupakan jabatan yang tertutup maka penyesuaian/inpassing jenjang jabatan tersebut dan hal-hal lain yang terkait dengan penataan kepaniteraan untuk segera dilakukan penyesuaian dengan menetapkan Peraturan Ketua Mahkamah Konstitusi berdasarkan hasil Rapat Permusyawaratan Hakim. Konsekuensinya, Mahkamah Konstitusi sekaligus menjadi instansi pembina kepaniteraan di lingkungan Mahkamah Konstitusi. Dalam kaitan ini, untuk melaksanakan dukungan fungsi yudisial kepada hakim konstitusi maka terhadap jabatan fungsional keahlian di lingkungan kepaniteraan Mahkamah Konstitusi dimaksud dikelompokkan ke dalam jabatan Panitera yang setara dengan pejabat eselon IA, Panitera Muda yang setara dengan pejabat eselon IIA dan Panitera Pengganti yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi berdasarkan Peraturan Ketua Mahkamah Konstitusi.
[3.18] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah telah memberikan pemaknaan baru terhadap norma Pasal 7A ayat (1) UU 7/2020 sehingga sebagai konsekuensinya penting bagi Mahkamah untuk menegaskan berkenaan dengan penguatan kelembagaan supporting system yang lain di Mahkamah Konstitusi, in casu Asisten Ahli Hakim Konstitusi (ASLI). Dalam kaitan ini, jika dirunut dari proses awal dibentuknya Mahkamah Konstitusi, peran ASLI dijalankan oleh Tenaga Ahli. Kemudian, peran tersebut digantikan oleh para Peneliti yang berstatus sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN). Namun, dengan berlakunya Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2021 tentang Badan Riset dan inovasi Nasional [Perpres 78/2021], tanpa Mahkamah bermaksud menilai legalitas Perpres 78/2021, seluruh peneliti di kementerian/lembaga dikehendaki untuk diintegrasikan di bawah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Dengan melihat kekhususan tugas dan fungsi peneliti yang melekat pada Mahkamah Konstitusi, peneliti tersebut tetap dipertahankan karirnya di Mahkamah Konstitusi dengan berganti nomenklatur jabatan fungsional menjadi ASLI [vide Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2022 tentang Jabatan Fungsional Asisten Ahli Hakim Konstitusi]. Dengan demikian, ASLI akan dikoordinasikan oleh seorang koordinator atau sebutan lain yang jabatannya setara dengan pejabat eselon IIA yang diatur berdasarkan Peraturan Ketua Mahkamah Konstitusi.
Bahwa ASLI merupakan jabatan fungsional dengan nomenklatur baru yang merupakan transformasi dari jabatan fungsional peneliti yang telah lama berkarir di Mahkamah Konstitusi. Para Peneliti yang saat ini menjadi ASLI telah dididik dan dibina untuk mengembangkan kapasitas dan kapabilitas dalam memberikan dukungan substantif kepada hakim konstitusi dalam memeriksa dan mengadili perkara. Sebagaimana halnya jabatan fungsional di lingkungan kepaniteraan di Mahkamah Konstitusi, jabatan fungsional ASLI termasuk juga jabatan fungsional tertutup yang hanya ada di Mahkamah Konstitusi, oleh karena itu perlu ada jaminan hak atas kepastian hukum dan kesejahteraan dalam memberikan dukungan substantif kepada hakim konstitusi sesuai dengan perubahan desain, sistem dan pola kerja ASLI yang lebih terfokus pada tugas penanganan perkara konstitusi.
Bahwa sekalipun persoalan ASLI tidak didalilkan oleh para Pemohon, namun karena berkaitan erat dengan dalil para Pemohon yang pada pokoknya bermuara pada esensi pelembagaan kepaniteraan di Mahkamah Konstitusi, maka untuk memberi kepastian hukum sekaligus memperjelas pelembagaan dimaksud, ASLI menjadi bagian dari struktur organisasi Kepaniteraan yang tidak lagi berada di bawah struktur organisasi Sekretariat Jenderal. Artinya, ASLI merupakan bagian dari struktur organisasi kepaniteraan yang berfungsi sebagai supporting system hakim dalam menjalankan dukungan fungsi yudisial kepada hakim konstitusi.
Berkenaan dengan hal itu, sebagaimana halnya dengan jabatan fungsional keahlian di lingkungan kepaniteraan maka untuk jabatan ASLI pun instansi pembinanya adalah Mahkamah Konstitusi yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Ketua Mahkamah Konstitusi.
[3.19] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, telah ternyata norma Pasal 7A ayat (1) UU 7/2020 telah menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil, namun oleh karena pemaknaan norma Pasal 7A ayat (1) UU 7/2020 yang dimohonkan oleh para Pemohon, sebagaimana yang akan dituangkan dalam amar putusan a quo, tidak seperti yang dimohonkan oleh para Pemohon dalam petitum, maka permohonan para Pemohon adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian.
[3.20] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dan selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.

Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk umum dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan langsung dilaksanakan (self executing) oleh seluruh organ penyelenggara negara, organ penegak hukum, dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 121/PUU-XX/2022 yang menyatakan mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian terhadap pengujian UU 7/2020 mengandung arti bahwa ketentuan Pasal a quo bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sesuai pemaknaan MK.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dikabulkan Seluruhnya Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 112/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2019 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 26-05-2023

Bahwa pada hari Kamis tanggal 25 Mei 2023, pukul 12.23 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU KPK) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 112/PUU-XX/2022. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 112/PUU-XX/2022, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 157 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 10/2016 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.12] Menimbang bahwa sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut dalil permohonan Pemohon a quo, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan permohonan Pemohon berkaitan dengan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021), sehingga terhadap norma a quo dapat dimohonkan kembali.
Pasal 60 UU MK menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.
Pasal 78 PMK 2/2021 menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda atau terdapat alasan permohonan yang berbeda.

Terhadap Permohonan tersebut Mahkamah mempertimbangkan bahwa ketentuan Pasal 29 huruf e UU 19/2019 pernah diajukan pengujian sebelumnya dan telah diputus dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 62/PUU-XVII/2019, dalam sidang Pleno terbuka untuk umum pada tanggal 4 Mei 2021. Adapun permohonan Perkara Nomor 62/PUU-XVII/2019 menggunakan dasar pengujian Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 dengan alasan konstitusional yang menyatakan bahwa ketentuan Pasal 29 huruf e UU 19/2019 menimbulkan ketidakpastian hukum karena tidak terdapatnya ketentuan peralihan dalam UU 19/2019 padahal terdapat fakta bahwa anggota KPK yang terpilih berdasarkan persyaratan dalam UU 30/2002 belum memenuhi syarat usia 50 (lima puluh) tahun, sehingga apabila harus dilakukan proses seleksi ulang pemilihan calon anggota KPK, hal demikian akan merugikan perekonomian negara dan APBN yang selanjutnya akan dibebani kepada Pemohon sebagai pembayar pajak. Sedangkan terhadap permohonan a quo, pengujian Pasal 29 huruf e UU 19/2019 menggunakan batu uji Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 dengan alasan konstitusional yang menyatakan bahwa Pemohon dirugikan hak konstitusionalnya karena tidak dapat mencalonkan diri kembali seketika sebagai calon pimpinan KPK karena menurut perubahan Pasal 29 huruf e UU 19/2019 tersebut, Pemohon belum mencukupi batas usia minimal, padahal Pemohon telah pernah dinyatakan sanggup dan dapat membuktikan kinerjanya selama menjabat sebagai pimpinan sekaligus anggota KPK.
Bahwa terhadap Permohonan pengujian Pasal 34 UU 30/2002 yang pernah diajukan pengujian sebelumnya dan telah diputus dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-IX/2011, dalam sidang Pleno terbuka untuk umum pada tanggal 20 Juni 2011, dasar pengujian yang digunakan adalah Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dengan alasan konstitusional yang menyatakan ketentuan Pasal 34 UU 30/2002 menimbulkan ketidakpastian hukum terkait dengan penafsiran Pasal 34 UU 30/2002 tentang masa jabatan pimpinan pengganti KPK yang terpilih. Sedangkan terhadap permohonan a quo, pengujian Pasal 34 UU 30/2002 menggunakan batu uji Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 dengan alasan konstitusional yang menyatakan perbedaan masa jabatan pimpinan KPK dengan 12 lembaga non kementerian independen lainnya menimbulkan masalah hukum tentang status kedudukan dan derajat lembaga KPK dalam struktur ketatanegaraan yang memengaruhi pelaksanaan tugas KPK dalam penegakan hukum.
Dengan terdapatnya perbedaan pada dasar pengujian yang digunakan maupun alasan konstitusional dalam permohonan Perkara Nomor 62/PUUXVII/2019 maupun Perkara Nomor 5/PUU-IX/2011 dengan Perkara a quo, terlepas secara substansial permohonan a quo beralasan menurut hukum atau tidak maka secara formal permohonan a quo, berdasarkan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 ayat (2) PMK 2/2021 dapat diajukan kembali;

[3.13] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon berdasarkan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 ayat (2) PMK 2/2021 dapat diajukan kembali, maka Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan Pemohon lebih lanjut;
[3.14] Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama permohonan Pemohon, Keterangan DPR, Keterangan Presiden, Keterangan Pihak Terkait Komisi Pemberantasan Korupsi, Keterangan Ahli Pemohon dan Ahli DPR, bukti-bukti surat/tulisan yang diajukan oleh Pemohon, kesimpulan Pemohon dan Pihak Terkait Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimuat dalam bagian Duduk Perkara, Mahkamah selanjutnya mempertimbangkan pokok permohonan Pemohon;
[3.15] Menimbang bahwa norma yang dimohonkan Pemohon yaitu Pasal 29 huruf e UU 19/2019 yang mengatur tentang batasan usia minimal dan maksimal sebagai syarat untuk dapat diangkat sebagai Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pasal 34 UU 30/2002 yang mengatur tentang masa jabatan Pimpinan KPK. Sebelum mempertimbangkan permasalahan tersebut, Mahkamah perlu terlebih dahulu mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
[3.15.1] Bahwa pembentukan KPK sesuai dengan amanat Pasal 43 UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai respon terhadap tingginya angka tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia. Berdasarkan amanat tersebut dibentuk UU 30/2002 yang menjadi payung hukum bagi KPK. Adapun tujuan pembentukan KPK adalah untuk membantu lembaga-lembaga utama penegak hukum yaitu Kepolisian dan Kejaksaan yang belum optimal menjalankan fungsinya dalam memberantas korupsi secara efektif dan efisien. Dalam sistem ketatanegaraan, KPK merupakan auxiliary organ yaitu lembaga penunjang yang dibentuk untuk mendorong peranan dari lembaga utama (Kepolisian dan Kejaksaan) yang memiliki tugas dan fungsi untuk memberantas tindak pidana korupsi. Meskipun sebagai lembaga penunjang (auxiliary organ), namun kedudukan KPK strategis dalam rangka pemberantasan korupsi maka KPK dikenal juga sebagai lembaga yang tergolong ke dalam lembaga constitutional importance. Kedudukan penting dan strategis lembaga KPK tampak jelas dalam Pasal 3 UU 30/2002 yang menyatakan bahwa KPK merupakan lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
[3.15.2] Bahwa perubahan UU 30/2002 dilakukan untuk memberikan pembaruan hukum agar pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi berjalan secara efektif dan terpadu sehingga dapat mencegah dan mengurangi kerugian negara yang terus bertambah akibat tindak pidana korupsi. Kinerja KPK sejak lembaga ini berdiri dirasakan kurang efektif, lemahnya koordinasi antar lini lembaga penegak hukum, terjadinya pelanggaran kode etik oleh pimpinan dan staf KPK, permasalahan terkait penyadapan, pengelolaan penyidik dan penyelidik yang kurang terkoordinasi, tumpang tindih kewenangan dengan berbagai instansi penegak hukum, serta belum adanya lembaga pengawas yang mampu mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK menimbulkan celah dan kurang akuntabelnya pelaksanaan tugas dan kewenangan pemberantasan tindak pidana korupsi oleh KPK [vide Penjelasan UU 19/2019];
Pembaruan hukum dilakukan dengan menata regulasi kelembagaan KPK dengan cara penguatan tindakan pencegahan dalam rangka peningkatan kesadaran bagi penyelenggara negara dan masyarakat untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi yang dapat merugikan keuangan negara. Melalui perubahan beberapa ketentuan dalam UU 30/2002 tersebut, diharapkan KPK dapat diposisikan sebagai satu kesatuan aparatur lembaga pemerintahan yang bersama-sama dengan Kepolisian dan Kejaksaan melakukan upaya terpadu dan terstruktur dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi sehingga hal tersebut dapat dilaksanakan secara lebih efektif, efisien, terpadu dan terkoordinasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
[3.16] Menimbang bahwa setelah menegaskan hal-hal tersebut, selanjutnya Mahkamah mempertimbangkan masalah konstitusionalitas norma Pasal 29 huruf e UU 19/2019 yang menurut Pemohon telah menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil serta perlakuan yang tidak sama di hadapan hukum karena sebagai pimpinan KPK yang masih menjabat saat ini, diberikan hak konstitusional berdasarkan Pasal 34 UU 30/2002 untuk dapat mendaftar kembali seketika. Dalil Pemohon tersebut bermuara pada adanya perubahan syarat usia paling rendah 50 (lima puluh) tahun yang ditentukan dalam Pasal 29 huruf e UU 19/2019 yang tidak senafas dengan terdapatnya hak konstitusional untuk mendaftar kembali seketika sebagai pimpinan KPK sebagaimana diberikan oleh Pasal 34 UU 30/2002. Ketentuan Pasal 29 tersebut telah mengubah ketentuan sebelumnya, yaitu Pasal 29 huruf e UU 30/2002 yang mensyaratkan calon Pimpinan KPK berumur sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun dan setinggi-tingginya 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan.
Terhadap dalil Pemohon tersebut, menurut Mahkamah, ketentuan norma Pasal 29 huruf e UU 19/2019 a quo meskipun berkaitan dengan usia minimal dan usia maksimal pengisian jabatan publik yang merupakan syarat formal tidak secara eksplisit bertentangan dengan Konstitusi, namun secara implisit norma a quo menimbulkan persoalan ketidakadilan dan bersifat diskriminatif bila dikaitkan dengan persyaratan yang bersifat substantif, misalnya seseorang yang pernah atau sedang menjabat sebagai pimpinan KPK dan mempunyai track record yang baik berkaitan dengan integritas dan persyaratan lain yang diatur dalam Pasal 29 UU KPK a quo.
Bahwa perubahan ketentuan yang mengatur batas usia bagi calon pimpinan KPK tersebut terjadi ketika Pemohon telah mengikuti seleksi jabatan pimpinan KPK dan telah terpilih sebagai pimpinan KPK. Hal demikian menurut Mahkamah, harus dipandang bahwa ketika Pemohon mendaftar sebagai calon pimpinan KPK Pemohon telah dapat memperkirakan kemungkinan jika kelak Pemohon akan kembali mendaftar sebagai pimpinan KPK untuk periode kedua, maka Pemohon akan tetap memenuhi syarat pencalonan karena Pemohon telah berusia lebih dari batas minimal yang ditentukan yaitu 40 tahun (vide Pasal 29 huruf e UU 30/2002). Namun, ketika Pemohon menjabat sebagai pimpinan KPK telah terjadi perubahan terhadap syarat minimal batasan usia untuk dapat mencalonkan diri sebagai pimpinan KPK sehingga menyebabkan Pemohon tidak lagi memenuhi kualifikasi untuk menjadi pimpinan KPK, hal ini menurut Mahkamah telah menyebabkan ketidakadilan bagi Pemohon. Hak konstitusional Pemohon untuk dapat dipilih kembali dalam pencalonan sebagai pimpinan KPK telah ternyata diabaikan dan dilanggar dengan berlakunya norma Pasal 29 UU 19/2019.
Bahwa menurut Mahkamah, dalam proses seleksi pemilihan pimpinan KPK, terdapat dua persyaratan yang harus dipenuhi oleh calon pimpinan yang akan mengikuti seleksi yaitu syarat yang bersifat formal atau disebut sebagai syarat administrasi dan syarat substansi yang salah satunya dapat berupa pendidikan dan pengalaman kerja. Berdasarkan Pasal 29 UU 19/2019, pembentuk undang-undang telah secara jelas mengatur persyaratan untuk dapat diangkat sebagai Pimpinan KPK, antara lain syarat pendidikan, keahlian, dan pengalaman paling sedikit 15 (lima belas) tahun dalam bidang hukum, ekonomi, keuangan, atau perbankan, serta syarat usia minimal dan maksimal. Berkaitan dengan persyaratan tersebut, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa syarat pendidikan, keahlian, dan terlebih lagi pengalaman merupakan persyaratan yang secara substansial adalah esensial daripada persyaratan batasan usia yang bersifat formal semata. Sebab, calon pimpinan KPK yang telah memiliki pengalaman memimpin KPK selama satu periode sebelumnya memiliki nilai lebih yang akan memberikan keuntungan tersendiri bagi lembaga KPK, karena telah memahami sistem kerja, permasalahan-permasalahan yang dihadapi lembaga serta target kinerja yang ingin dicapai oleh lembaga. Terlebih, persoalan-persoalan yang ditangani dan menjadi kewenangan lembaga KPK mempunyai karakter khusus yaitu berkaitan dengan perkara-perkara yudisial yang membutuhkan pengalaman. Seseorang yang berpengalaman akan mampu membangun tim yang kuat dengan cara memberikan bimbingan untuk menyelesaikan setiap tantangan dan rintangan yang dihadapi oleh lembaga. Terlebih lagi mengingat KPK memiliki tugas dan wewenang yang sangat berat dan luas sebagaimana diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 15 UU 19/2019. Sehingga, dengan mendasarkan pada pertimbangan di atas, seseorang yang pernah atau sedang menjabat sebagai pimpinan KPK dan kemudian akan mencalonkan diri kembali, baik seketika maupun dengan jeda, sepanjang jika yang bersangkutan memenuhi persyaratan lainnya, misalnya rekam jejak yang baik, maka yang bersangkutan merupakan calon yang potensial untuk dipertimbangkan oleh panitia seleksi karena pengalaman memimpin KPK yang dimilikinya.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, dalil Pemohon terkait Pasal 29 huruf e UU 19/2019 bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun atau berpengalaman sebagai Pimpinan KPK, dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan” adalah beralasan menurut hukum.
[3.17] Menimbang bahwa berkenaan dengan pengujian konstitusionalitas Pasal 34 UU KPK yang menyatakan, “Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama 4 (empat) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan”, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:
[3.17.1] Bahwa pada dasarnya Mahkamah Konstitusi pernah memutus terkait masa jabatan pimpinan KPK sebagaimana Pasal 34 UU KPK dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-IX/2011, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 20 Juni 2011 dengan amar putusan menyatakan inkonstitusional bersyarat sebagai berikut:
“5. AMAR PUTUSAN
Mengadili,
• Menyatakan mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
• Menyatakan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa Pimpinan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi baik pimpinan yang diangkat secara bersamaan maupun pimpinan pengganti yang diangkat untuk menggantikan pimpinan yang berhenti dalam masa jabatannya memegang jabatan selama 4 (empat) tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan;
• Menyatakan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa pimpinan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi baik pimpinan yang diangkat secara bersamaan maupun pimpinan pengganti yang diangkat untuk menggantikan pimpinan yang berhenti dalam masa jabatannya memegang jabatan selama 4 (empat) tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan;
• Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;

Berdasarkan amar putusan a quo, Mahkamah menyatakan bahwa Pasal 34 UU KPK dinyatakan inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai bahwa pimpinan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi baik pimpinan yang diangkat secara bersamaan maupun pimpinan pengganti yang diangkat untuk menggantikan pimpinan yang berhenti dalam masa jabatannya memegang jabatan selama 4 (empat) tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-IX/2011, ini sejatinya tidak secara spesifik menguji masa jabatan pimpinan KPK selama 4 tahun, melainkan hanya menguji penafsiran Pasal 34 UU KPK terkait pertanyaan apakah masa jabatan pimpinan KPK mengenal pergantian antar waktu atau tidak apabila terdapat pimpinan KPK yang berhenti sebelum masa jabatannya selesai. Dalam kondisi seperti ini, apakah pimpinan KPK selanjutnya yang dipilih melalui Pansel yang kemudian disetujui oleh DPR menjadi pimpinan KPK untuk menggantikan pimpinan KPK yang berhenti atau diberhentikan hanya melanjutkan masa sisa jabatan pimpinan KPK sebelumnya ataukah masa jabatannya berlaku penuh selama 4 tahun. Menurut Mahkamah, berdasarkan pada putusan a quo, masa jabatan pimpinan KPK yang menggantikan berlaku penuh selama 4 tahun. Oleh karena itu, ada kemungkinan masa jabatan pimpinan KPK tidak semua berakhir secara bersamaan. Hal ini dimaksudkan agar terdapat keberlangsungan dan kesinambungan pelaksanaan tugas KPK dalam pemberantasan korupsi. Berikut pendapat Mahkamah selengkapnya.
“[3.25] Menimbang bahwa selain itu, menurut Mahkamah, KPK adalah lembaga negara independen yang diberi tugas dan wewenang khusus antara lain melaksanakan sebagian fungsi yang terkait dengan kekuasaan kehakiman untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan serta melakukan supervisi atas penanganan perkara-perkara korupsi yang dilakukan oleh institusi negara yang lain. Untuk mencapai maksud dan tujuan pembentukan KPK sebagai lembaga negara yang khusus memberantas korupsi, maka dalam melaksanakan tugas dan kewenangan secara efektif, KPK dituntut untuk bekerja secara profesional, independen, dan berkesinambungan. Menurut Mahkamah, KPK tidak akan maksimal melaksanakan tugas dan wewenangnya secara profesional dan berkesinambungan tanpa kesinambungan pimpinan KPK. Untuk menjamin kesinambungan tugas-tugas Pimpinan KPK, agar pimpinan tidak secara bersama-sama mulai dari awal lagi, maka penggantian Pimpinan KPK tidak selayaknya diganti serentak. Oleh sebab itu, akan menjadi lebih proporsional dan menjamin kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum apabila terjadi penggantian antarwaktu di antara Pimpinan KPK diangkat untuk satu periode masa jabatan empat tahun [vide Pasal 28D ayat (1) UUD 1945];”

[3.17.2] Bahwa dalam Perkara a quo, isu hukum yang diuji berkaitan dengan masa jabatan pimpinan KPK selama 4 tahun. Namun demikian, sebagaimana terungkap dalam persidangan [vide Keterangan Ahli Pemohon yaitu Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., dalam persidangan Mahkamah Konstitusi tanggal 3 April 2023]., terdapat setidaknya 12 (dua belas) lembaga negara independen yang masa jabatan pimpinannya 5 (lima) tahun. tampak bahwa terdapat 12 (dua belas) lembaga negara dan komisi independen yang memiliki masa jabatan 5 (lima) tahun. Namun demikian, dalam perspektif hukum tata negara, tidak semua dari kedua belas lembaga negara yang bersifat independen tersebut dan memiliki masa jabatan pimpinan/anggotanya selama 5 (lima) tahun merupakan lembaga negara yang memiliki kedudukan atau derajat yang sejajar dengan lembaga negara yang ada dalam UUD 1945 atau yang dikenal sebagai lembaga constitutional importance. Beberapa lembaga negara atau komisi independen meskipun tidak disebutkan di dalam UUD 1945, namun memiliki constitutional importance karenanya dianggap penting seperti Kejaksaan, KPK, Otoritas Jasa Keuangan, dan Komnas HAM (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XX/2022; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-XIV/2016; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XII/2014). Menurut Mahkamah, KPK merupakan komisi yang bersifat independen, sebagai salah satu lembaga constitutional importance yang dalam melaksanakan tugasnya menegakan hukum bebas dari campur tangan (intervensi) cabang kekuasaan manapun. Namun, masa jabatan pimpinannya hanya 4 (empat) tahun, berbeda dengan komisi dan lembaga negara independen lainnya yang juga termasuk dalam lembaga constitutional importance namun memiliki masa jabatan 5 (lima) tahun. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, ketentuan masa jabatan pimpinan KPK selama 4 (empat) tahun adalah tidak saja bersifat diskriminatif tetapi juga tidak adil jika dibandingkan dengan komisi dan lembaga independen lainnya yang sama-sama memiliki nilai constitutional importance. Selain itu, berdasarkan asas manfaat dan efisiensi, masa jabatan pimpinan KPK selama 5 (lima) tahun jauh lebih bermanfaat dan efisien jika disesuaikan dengan komisi independen lainnya, sehingga siklus waktu pergantian pimpinan KPK seharusnya adalah 5 (lima) tahun sekali, yang tentu saja akan jauh lebih bermanfaat daripada 4 (empat) tahun sekali. Terlepas dari kasus konkrit berkaitan dengan kinerja pimpinan KPK yang saat ini masih menjabat, alasan berdasarkan asas manfaat dan efisiensi ini pula yang digunakan oleh Mahkamah tatkala memutus apakah perlu masa jabatan pimpinan KPK diberlakukan konsep Pergantian Antar Waktu sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-IX/2011. Berikut pendapat Mahkamah pada pokoknya sebagai berikut:
“[3.24] Menimbang bahwa menurut Mahkamah, jika anggota Pimpinan KPK pengganti hanya menduduki masa jabatan sisa dari anggota pimpinan yang digantikannya, hal itu melanggar prinsip kemanfaatan yang menjadi tujuan hukum. Hukum lahir dan diadakan untuk mencapai kemanfaatan setinggi-tingginya. Proses seleksi seorang Pimpinan KPK pengganti menurut Pasal 33 ayat (2) UU KPK hanya menduduki masa jabatan sisa, mengeluarkan biaya yang relatif sama besarnya dengan proses seleksi lima orang Pimpinan KPK. Hal itu, benarbenar merupakan sebuah pemborosan yang tidak perlu dan tidak wajar. Menurut Mahkamah, sekiranya dimaknai bahwa Pimpinan pengganti itu adalah hanya menggantikan dan menyelesaikan masa jabatan sisa dari pimpinan yang digantikan maka mekanisme penggantian tersebut tidak harus melalui proses seleksi yang panjang dan rumit dengan biaya yang besar seperti dalam seleksi lima anggota pimpinan yang diangkat secara bersamaan. Pimpinan pengganti, dalam hal ada pimpinan yang berhenti dalam masa jabatannya, cukup diambil dari calon Pimpinan KPK yang ikut dalam seleksi sebelumnya yang menempati urutan tertinggi berikutnya, seperti penggantian antarwaktu anggota DPR atau anggota DPD yang menurut Pasal 217 ayat (3) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR dan DPRD (Lembaran Negara Republilk Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043) yang menyatakan, ”Masa jabatan anggota DPR pengganti antarwaktu melanjutkan sisa masa jabatan anggota DPR yang digantikan” dan Pasal 286 ayat (3) yang menyatakan, ”Masa jabatan anggota DPD pengganti antarwaktu melanjutkan sisa masa jabatan anggota DPD yang digantikannya”. Hal itu, lebih memenuhi prinsip efisiensi, dan prinsip kewajaran. Oleh karena berdasarkan ketentuan Pasal 33 ayat (2) UU KPK yang mengharuskan pengisian pimpinan pengganti dilakukan melalui proses seleksi yang sama dengan proses seleksi lima orang anggota KPK yang diangkat secara bersamaan, menurut Mahkamah, penggantian Pimpinan KPK pengganti tersebut tidak sama dengan penggantian antarwaktu anggota DPR dan DPD. Penggantian antarwaktu anggota DPR dan DPD, tidak melalui proses seleksi yang baru dan sudah ditegaskan dalam Undang-Undang hanya melanjutkan masa jabatan sisa dari anggota yang digantikannya. UU KPK menegaskan bahwa Pimpinan KPK pengganti dilakukan melalui proses seleksi yang baru dan tidak ditentukan bahwa pimpinan pengganti hanya melanjutkan sisa masa jabatan pimpinan yang digantikannya. Menurut Mahkamah, hal itu menunjukkan bahwa masa jabatan Pimpinan KPK pengganti tidak dapat ditafsirkan sama dengan penggantian antarwaktu bagi anggota DPR dan DPD. Dengan demikian masa jabatan pimpinan KPK yang ditentukan dalam Pasal 34 UU KPK tidak dapat ditafsirkan lain, kecuali empat tahun, baik bagi pimpinan yang diangkat secara bersamaan sejak awal maupun bagi pimpinan pengganti. Mempersempit makna Pasal 34 UU KPK dengan tidak memberlakukan bagi Pimpinan KPK pengganti untuk menjabat selama empat tahun adalah melanggar prinsip kepastian hukum yang dijamin konstitusi;”

Oleh karena itu, dalam putusan a quo Mahkamah kembali menegaskan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-IX/2011 yang pada pokoknya menyatakan bahwa masa jabatan pimpinan KPK pengganti memiliki masa jabatan yang sama dengan pimpinan KPK lainnya dan tidak melanjutkan sisa waktu masa jabatan pimpinan yang digantikan. Meskipun saat ini ada pergeseran pengaturan seleksi pimpinan KPK pengganti antara Pasal 33 UU 30/2002 yang mensyaratkan dibentuknya Panitia Seleksi (Pansel) untuk memilih pimpinan KPK pengganti dengan Pasal 33 UU 19/2019 yang menegaskan bahwa apabila pergantian terhadap pimpinan KPK, maka Presiden cukup mengajukan calon anggota pengganti kepada DPR dari calon pimpinan KPK yang tidak terpilih di DPR dari ranking berikutnya berdasarkan hasil seleksi DPR. Meskipun demikian, pada prinsipnya masa jabatan pimpinan KPK pengganti tidak melanjutkan masa jabatan pimpinan KPK yang berhenti atau diberhentikan. Dalam hal ini, bukan merupakan pergantian antar waktu namun penggantinya akan menjalani masa jabatan yang penuh. Sebab, karakter pengisian pimpinan KPK berbeda dengan pengisian anggota DPR dan DPD. Dengan demikian, dapat diyakini akan semakin menjamin keberlangsungan dan kesinambungan tugas pimpinan KPK dalam penegakkan hukum dan pemberantasan korupsi.
Di sisi lain, meskipun pengaturan mengenai masa jabatan pimpinan KPK merupakan kebijakan hukum dari pembentuk undang-undang, akan tetapi prinsip kebijakan hukum atau dikenal sebagai open legal policy dapat dikesampingkan apabila bertentangan dengan moralitas, rasionalitas, dan menimbulkan ketidakadilan yang intolerable [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUUXVI/2018], merupakan penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir), atau dilakukan secara sewenang-wenang (willekeur) dan melampaui kewenangan pembentuk undang-undang [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51/PUUXIII/2015 dan putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya] dan/atau bertentangan dengan UUD 1945. Hal inilah yang menjadi pertimbangan Mahkamah, sehingga pada perkara a quo terkait dengan kebijakan hukum terbuka tidak dapat diserahkan penentuannya kepada pembentuk undang-undang. Terlebih, dalam perkara a quo sangat tampak adanya perlakuan yang tidak adil (injustice) yang seharusnya diperlakukan sama sesuai dengan prinsip keadilan (justice principle).
Pengaturan masa jabatan pimpinan KPK yang berbeda dengan masa jabatan pimpinan/anggota komisi atau lembaga independen, khususnya yang bersifat constitutional importance telah melanggar prinsip keadilan, rasionalitas, penalaran yang wajar dan bersifat diskriminatif sehingga bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, masa jabatan pimpinan KPK seharusnya dipersamakan dengan masa jabatan komisi dan lembaga independen yang termasuk ke dalam rumpun komisi dan lembaga yang memiliki constitutional importance, yakni 5 (lima) tahun sehingga memenuhi prinsip keadilan, persamaan, dan kesetaraan.
Dengan mempertimbangkan masa jabatan pimpinan KPK saat ini yang akan berakhir pada 20 Desember 2023 yang tinggal kurang lebih 6 (enam) bulan lagi, maka tanpa bermaksud menilai kasus konkret, penting bagi Mahkamah untuk segera memutus perkara a quo untuk memberikan kepastian hukum dan kemanfaatan yang berkeadilan.
[3.18] Menimbang selain dari pada itu perlu Mahkamah menegaskan bahwa KPK yang dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi perlu dijamin independensinya yang bebas dari pengaruh kekuasaan manapun dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Oleh karena itu, sebagai upaya melindungi independensi KPK sebagai lembaga yang berwenang memberantas tindak pidana yang bersifat extra ordinary crime, perlu adanya jaminan perlakuan yang adil terhadap lembaga KPK, salah satunya terkait dengan masa jabatan pimpinan KPK yang diatur dalam Pasal 34 UU 30/2002.
Bahwa masa jabatan pimpinan KPK yang diberikan oleh Pasal 34 UU 30/2002 selama 4 tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan telah ternyata menyebabkan dalam satu kali periode masa jabatan Presiden dan DPR yaitu selama 5 (lima) tahun in casu Periode 2019-2024, dapat melakukan penilaian terhadap lembaga KPK sebanyak 2 (dua) kali yaitu dalam hal melakukan seleksi atau rekrutmen pimpinan KPK. Dalam hal ini, secara kelembagaan, KPK diperlakukan berbeda dengan lembaga negara penunjang lainnya namun tergolong ke dalam lembaga constitutional importance yang sama-sama bersifat independen dan dibentuk berdasarkan undang-undang karena terhadap lembaga constitutional importance yang bersifat independen tersebut, yang memiliki masa jabatan pimpinannya selama 5 (lima) tahun, dinilai sebanyak satu kali selama 1 (satu) periode masa jabatan Presiden dan DPR. Sebagai contoh, Presiden dan DPR yang terpilih pada Pemilu tahun 2019 (Periode masa jabatan 2019-2024), jika menggunakan skema masa jabatan pimpinan KPK 4 (empat) tahun, maka Presiden dan DPR masa jabatan tersebut akan melakukan seleksi atau rekrutmen pimpinan KPK sebanyak 2 (dua) kali yaitu pertama pada Desember 2019 yang lalu dan seleksi atau rekrutmen kedua pada Desember 2023. Penilaian sebanyak dua kali sebagaimana diuraikan di atas setidaknya akan berulang kembali pada 20 (dua puluh) tahun mendatang. Namun, jika menggunakan skema masa jabatan pimpinan KPK selama 5 (lima) tahun, maka seleksi atau rekrutmen pimpinan KPK dilakukan hanya satu kali oleh Presiden dan DPR Periode 2019-2024 yaitu pada Desember 2019 yang lalu, sedangkan seleksi atau rekrutmen untuk pengisian jabatan pimpinan KPK Periode 2024-2029 akan dilakukan oleh Presiden dan DPR periode berikutnya (Periode 2024-2029).
Bahwa sistem perekrutan pimpinan KPK dengan skema 4 tahunan berdasarkan Pasal 34 UU 30/2002 telah menyebabkan dinilainya kinerja dari pimpinan KPK yang merupakan manifestasi dari kinerja lembaga KPK sebanyak dua kali oleh Presiden maupun DPR dalam periode masa jabatan yang sama. Penilaian dua kali terhadap KPK tersebut dapat mengancam independensi KPK karena dengan kewenangan Presiden maupun DPR untuk dapat melakukan seleksi atau rekrutmen pimpinan KPK sebanyak 2 kali dalam periode atau masa jabatan kepemimpinannya berpotensi tidak saja mempengaruhi independensi pimpinan KPK, tetapi juga beban psikologis dan benturan kepentingan terhadap pimpinan KPK yang hendak mendaftarkan diri kembali pada seleksi calon pimpinan KPK berikutnya. Perbedaan masa jabatan KPK dengan lembaga independen lain menyebabkan perbedaan perlakuan yang telah ternyata menciderai rasa keadilan (unfairness) karena telah memperlakukan berbeda terhadap hal yang seharusnya berlaku sama. Hal demikian, sejatinya bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu menurut Mahkamah, guna menegakkan hukum dan keadilan, sesuai dengan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 dan menurut penalaran yang wajar, ketentuan yang mengatur tentang masa jabatan pimpinan KPK seharusnya disamakan dengan ketentuan yang mengatur tentang hal yang sama pada lembaga negara constitutional importance yang bersifat independen yaitu selama 5 (lima) tahun.
Berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, dalil Pemohon terkait ketentuan norma Pasal 34 UU 30/2002 adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa Pimpinan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi baik pimpinan yang diangkat secara bersamaan maupun pimpinan pengganti yang diangkat untuk menggantikan pimpinan yang berhenti dalam masa jabatannya memegang jabatan selama 5 (lima) tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan adalah beralasan menurut hukum.
Sementara itu, menurut Pasal 21 ayat (1) UU 19/2019 yang menyatakan, “Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri atas: a. Dewan Pengawas yang berjumlah 5 (lima) orang; b. Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang terdiri dari 5 (lima) orang Anggota Komisi Pemberantasan Korupsi; dan c. Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi”. Dewan Pengawas dan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi diatur oleh UU 19/2019, sedangkan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi diatur dalam peraturan terkait dengan Aparatur Sipil Negara. Oleh karena itu, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa seiring dengan reformulasi masa jabatan pimpinan KPK dari semula 4 (empat) tahun menjadi 5 (lima) tahun, maka hal itu berdampak pula terhadap masa jabatan Dewan Pengawas. Berdasarkan ketentuan Pasal 37A UU 19/2019 yang menyatakan “Anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memegang jabatan selama 4 (empat) tahun dan dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan.” Dalam rangka menjaga konsistensi dan harmonisasi dalam pengaturan masa jabatan pimpinan KPK dan masa jabatan Dewan Pengawas, maka reformulasi masa jabatan pimpinan KPK menurut penalaran yang wajar berlaku pula bagi Dewan Pengawas, sehingga masa jabatan Dewan Pengawas yang semula selama 4 (empat) tahun juga disamakan menjadi 5 (lima) tahun

[3.19] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, telah ternyata ketentuan norma Pasal 29 huruf e UU 19/2019 dan Pasal 34 UU 30/2002 jelas menimbulkan ketidakpastian hukum, ketidakadilan, dan diskriminasi sebagaimana yang didalilkan Pemohon adalah beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
[3.20] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dan selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.

1. Bahwa terhadap Putusan MK dalam Perkara Nomor 112/PUU-XX/2022 sebagaimana diuraikan diatas, untuk memberikan kepastian hukum pada Pasal 29 huruf e dan Pasal 34 UU KPK, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan saran sebagai berikut:
a. Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 112/PUU-XX/2022 sebagai bahan dalam penyusunan Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka.
b. Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 112/PUU-XX/2022 sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan UU KPK.
2. Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh seluruh organ penyelenggara Negara, organ penegak hukum dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 112/PUU-XX/2022 mengenai Pasal 29 huruf e dan Pasal 34 UU KPK yang dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, agar tidak menimbulkan kekosongan hukum, dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan Perubahan UU KPK.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dikabulkan Sebagian Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 26/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 25-05-2023

Bahwa pada hari Kamis tanggal 25 Mei 2023, pukul 15.11 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (selanjutnya disebut UU Pengadilan Pajak) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 26/PUU-XXI/2023. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 26/PUU-XXI/2023, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian materiil UU Pengadilan Pajak dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.10] Menimbang bahwa sebelum menilai konstitusionalitas norma Pasal 5 ayat (2) UU 14/2002 terlebih dahulu Mahkamah akan mempertimbangkan permohonan para Pemohon dikaitkan dengan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021), apakah terhadap norma a quo dapat dimohonkan pengujian kembali.
Pasal 60 UU MK menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.
Pasal 78 PMK 2/2021 menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam UU yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda atau terdapat alasan permohonan yang berbeda
Berdasarkan ketentuan tersebut, terhadap pasal yang telah dilakukan pengujian konstitusionalitasnya dan telah diputus oleh Mahkamah hanya dapat dimohonkan pengujian kembali apabila terdapat dasar pengujian dan/atau alasan permohonan yang berbeda. Berkenaan hal tersebut, setelah Mahkamah membaca secara saksama materi permohonan para Pemohon dan disandingkan dengan permohonan sebelumnya yang pernah melakukan pengujian inkonstitusionalitas norma Pasal 5 ayat (2) UU 14/2002, yaitu Perkara Nomor 10/PUU-XVIII/2020 yang menguji konstitusionalitas norma Pasal 5 ayat (2) UU 14/2002 dengan menggunakan dasar pengujian Pasal 24 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, selanjutnya Perkara Nomor 57/PUU-XVIII/2020 menguji konstitusionalitas norma Pasal 5 ayat (2) UU 14/2002 dengan menggunakan dasar pengujian Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Sedangkan, permohonan a quo menggunakan dasar pengujian yaitu Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, di mana beberapa dasar pengujian tersebut telah digunakan pada Perkara Nomor 10/PUU-XVIII/2020 dan Nomor 57/PUU-XVIII/2020, namun oleh karena terhadap pengujian norma Pasal 5 ayat (2) UU 14/2002 pada kedua permohonan tersebut terdapat alasan-alasan permohonan yang berbeda dan kedua putusan perkara tersebut menyatakan permohonan tidak dapat diterima, sehingga pokok permohonan belum dipertimbangkan. Dengan demikian, Mahkamah berpendapat terhadap permohonan a quo tidak terhalang dengan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 PMK 2/2021, sehingga terhadap ketentuan norma a quo dapat dimohonkan pengujian kembali.
[3.11] Menimbang bahwa oleh karena permohonan para Pemohon dapat diajukan kembali, selanjutnya Mahkamah akan menilai isu konstitusionalitas norma Pasal 5 ayat (2) UU 14/2002 yang dilakukan pengujian oleh para Pemohon.
[3.12] Menimbang bahwa setelah membaca secara saksama permohonan para Pemohon beserta bukti-bukti yang diajukan, terhadap pokok permohonan Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa salah satu unsur fundamental dari negara hukum yaitu adanya lembaga peradilan yang independen. Terkait hal ini dalam konstitusi juga telah ditentukan secara tegas, bahwa negara Republik Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum. Secara doktriner, sebagai negara hukum, salah satu faktor atau ciri terpenting terletak pada kemandirian lembaga peradilan, di mana dimungkinkan selalu timbul adanya sengketa antara yang diperintah dengan yang memerintah. Dalam hal ini, sengketa antara penyelenggara negara yang berhadapan dengan rakyatnya, sebagaimana halnya yang berkenaan dengan tugas dan kewenangan pengadilan pajak. Salah satu prinsip dari negara hukum adalah hadirnya kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka, independen dari pengaruh segala unsur kekuasaan apapun. Tanpa adanya independensi maupun kemandirian terhadap badan kekuasaan kehakiman dapat memberikan pengaruh dan dapat berdampak tercederainya rasa keadilan termasuk peluang munculnya penyalahgunaan atau penyimpangan kekuasaan maupun juga diabaikannya hak asasi manusia oleh penguasa negara. Berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung, dan juga lembaga peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkup lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, maupun peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Berkenaan hal tersebut Hakim dalam hal ini sebagai badan fungsional pelaksana kekuasaan kehakiman, mempunyai kedudukan yang sentral, sebab pada dasarnya kekuasaan kehakiman mempunyai pilar-pilar yang terdiri dari badan-badan peradilan yang dibentuk dan disusun berdasarkan peraturan perundang-undangan dan juga termasuk tugas dan kewenangannya masing-masing yang mempunyai sifat dan perlakuan yang sama.
Lebih lanjut dijelaskan, di antara semua lembaga peradilan, Pengadilan Pajak merupakan satu-satunya pengadilan yang keberadaannya diharapkan dapat memberikan keadilan dalam bidang pemungutan pajak sebagai upaya meningkatkan kepatuhan pajak dan penerimaan negara di bidang pajak. Oleh karena itu, demi tercapainya harapan tersebut, Pengadilan Pajak perlu memiliki hakim-hakim yang memenuhi persyaratan yang ketat, baik secara integritas maupun kompetensi. Berdasarkan Pasal 9 ayat (1) UU 14/2002 untuk dapat diangkat menjadi hakim, setiap calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. warga negara Indoensia;
b. berumur paling rendah 45 tahun;
c. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
e. tidak pernah terlibat dalam kegiatan yang mengkhianati negara kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 atau terlibat organisasi terlarang;
f. mempunyai keahlian di bidang perpajakan dan berijazah sarjana hukum atau sarjana lain;
g. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
h. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan; dan
i. sehat jasmani dan rohani.
Adapun terhadap pelaksanaan rekrutmen hakim Pengadilan Pajak selalu terdapat syarat tambahan dari syarat-syarat selain yang telah ditentukan pada pasal a quo, misalnya pada rekrutmen hakim Pengadilan Pajak, panitia rekrutmen pernah menambahkan persyaratan khusus terutama keahlian dan pengalaman di bidang perpajakan atau kepabeanan dan cukai.
Badan peradilan di bidang perpajakan yang diselenggarakan oleh Pengadilan Pajak sebagai pengadilan khusus mempunyai kedudukan yang sangat strategis, karena putusannya memengaruhi tingkat kepatuhan wajib pajak dan peningkatan penerimaan negara di bidang pajak sehingga penyelenggaranya harus merupakanpihak yang kompeten, jujur, adil, dan berwibawa. Adanya syarat khusus untuk menjadi hakim Pengadilan Pajak selain yang telah ditentukan dalam Pasal 9 ayat (1) UU 14/2002 membuat Pengadilan Pajak menjadi pengadilan yang hakim dan jajarannya diwajibkan memiliki keahlian khusus misalnya di bidang perpajakan atau kepabeanan dan cukai. Hakim pengadilan pajak secara fungsional mempunyai kedudukan yang utama dalam melaksanakan fungsi kekuasaan kehakiman sebagaimana hakim-hakim pada badan peradilan lain, sebab hal demikian juga diamanatkan dalam Konstitusi di Indonesia, bahwa kekuasaan kehakiman yang terdiri atas fungsi masing-masing badan peradilan yang dilaksanakan berdasarkan ketentuan undang-undang. Artinya, dalam mengimplementasikan fungsi kekuasaan kehakiman, hakim harus profesional dalam menjalankan ruang lingkup kewajiban dan tugas yang telah diatur dalam perundang-undangan. Selain hakim, semua pihak yang terintegrasi berada di dalam lembaga peradilan tersebut juga diharapkan menjadi pihak yang mempunyai kompetensi yang cukup dan jujur dalam melaksakanan tugasnya, yang secara integral berada dalam naungan sebuah badan pembinaan yang utuh dan tidak terpisahkan. Namun, persyaratan terwujudnya independensi badan peradilan yang seharusnya secara sistem selalu terintegrasi dimaksud, secara faktual baru terbatas pada cita-cita dan semangat saja, karena secara faktual Pengadilan Pajak selama ini masih diselenggarakan oleh dua institusi yang berbeda, yaitu di satu sisi tunduk pada pembinaan teknis yudisial yang dilakukan oleh Mahkamah Agung, akan tetapi pada kewajiban lainnya, yaitu berkenaan dengan organisasi, administrasi, dan keuangan pembinaannya tunduk pada Kementerian Keuangan.
[3.12.2] Bahwa berkaitan dengan fakta hukum adanya dualisme kewenangan pembinaan pada Pengadilan Pajak dimaksud, maka hal demikian jelas sama dengan mencampuradukan pembinaan lembaga peradilan yang seharusnya secara terintegrasi berada dalam satu lembaga yang menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman dan terpisah dengan campur tangan kekuasaan eksekutif ataupun kekuasaan manapun. Sebab, makna pembinaan secara universal adalah melakukan bimbingan baik secara teknis yudisial maupun non yudisial, di mana kedua hal tersebut berpotensi tumpang tindih (overlapping) karena tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya dan merupakan satu kesatuan pilar akan kemandirian lembaga peradilan. Lebih jauh, dengan tetap mempertahankan pembinaan badan peradilan pada lembaga yang tidak terintegrasi, maka hal tersebut dapat memengaruhi kemandirian badan peradilan atau setidak-tidaknya berpotensi lembaga lain turut mengontrol pelaksanaan tugas dan kewenangan badan peradilan in casu Pengadilan Pajak, meskipun hanya berkaitan dengan organisasi, administrasi dan keuangan. Namun hal tersebut, menunjukkan Pengadilan Pajak tidak dapat secara optimal melaksanakan tugas dan kewenangannya secara independen. Terlebih, dalam perspektif negara hukum berkaitan dengan sistem peradilan dan proses-proses penegakan hukum untuk memberikan keadilan dan juga kepastian hukum bagi pencari keadilan, merupakan unsur yang fundamental dalam penguatan kedudukan lembaga peradilan yang merupakan satu kesatuan implementasi adanya konsep negara hukum yang mencita-citakan adanya supremasi hukum maupun penegakkan hukum yang adil. Dengan demikian, tanpa adanya independensi dalam lembaga peradilan dan juga setidak-tidaknya badan peradilan yang masih berpotensi dipengaruhi oleh kekuasaan pemerintah atau eksekutif, hal ini dapat memperlebar peluang terjadinya penyalahgunaan kekuasaan atau adanya kesewenang-wenangan dalam pemerintahan termasuk diabaikannya hak asasi manusia/hak konstitusional warga negara oleh penguasa, akibat terabaikannya independensi badan peradilan.
Secara konstitusional, perihal independensi peradilan, telah diatur secara jelas dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Sehingga, tujuan yang ingin dicita-citakan dari adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka atau dalam hal ini disebut sebagai independensi peradilan adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan bagi masyarakat. Independensi peradilan merupakan unsur yang tidak dapat terpisahkan dan telah menjadi sifat kekuasaan peradilan. Kekuasan kehakiman di Indonesia dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan juga badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkup lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, maupun peradilan tata usaha negara, dan juga oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Badan peradilan, in casu Pengadilan Pajak, sebenarnya dibentuk sebagai kelanjutan dari keberadaan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak berdasarkan UU 14/2002, di mana undang-undang ini memiliki beberapa kekhususan apabila Pengadilan Pajak dibandingkan dengan pengadilan lainnya dalam sistem peradilan di Indonesia. Kekhususan tersebut, pertama, tentang pembinaan Pengadilan Pajak terbagi oleh Mahkamah Agung dan oleh Departemen Keuangan. Kedua, tentang upaya hukum pada Pengadilan Pajak yang tidak mengenal upaya hukum pada Pengadilan Tingkat Banding dan Kasasi pada Mahkamah Agung. Ketiga, adalah tentang alasan-alasan permohonan Peninjauan kembali atas putusan Pengadilan Pajak yang mengandung beberapa perbedaan dengan alasan-alasan permohonan Peninjauan Kembali pada umumnya. Keempat, adalah tentang Putusan Pengadilan Pajak dapat berupa menambah pajak yang harus dibayar dan dapat dikategorikan sebagai putusan bersifat ultra petita, karena melebihi dari nilai yang diajukan gugatan/keberatan. Kelima, adalah tentang tempat kedudukan Pengadilan Pajak yang hanya terdapat di Ibukota Negara, meskipun terdapat mekanisme sidang di luar tempat kedudukan.
Bahwa berkenaan dengan sistem peradilan, setelah diundangkannya UU 14/2002, terdapat perubahan dalam sistem peradilan di Indonesia berdasarkan perubahan UUD 1945 dan perubahan UU 48/2009, di antaranya adalah tentang ketentuan mengenai pengadilan khusus dan hubungannya dengan lingkungan-lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung. Sebab, sejak tahun 2004, hanya ada 4 (empat) lingkungan peradilan yang diakui di Indonesia yaitu lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer. Dengan demikian, mengenai pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam dan melekat pada salah satu dari lingkungan peradilan tersebut. Sehingga, sejak saat itu Pengadilan Pajak dikategorikan sebagai Pengadilan Khusus yang termasuk dalam lingkungan peradilan Tata Usaha Negara di bawah Mahkamah Agung.
[3.12.3] Bahwa berkaitan dengan keberadaan Pengadilan Pajak yang secara faktual adalah merupakan pengadilan khusus di bawah Pengadilan Tata Usaha Negara dan hal ini telah sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU-XIV/2016 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 4 Agustus 2016 pada Paragraf [3.11] dan Paragraf [3.12] pada pokoknya menyatakan:
[3.11] Menimbang bahwa sebelum Mahkamah mempertimbangkan kedua masalah pokok pengujian konstitusionalitas dari permohonan a quo, Mahkamah terlebih dahulu akan menjawab dasar dari status Pengadilan Pajak apakah termasuk dalam lingkup peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945.
Berkenaan dengan hal tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut :
1. Bahwa tujuan utama di bentuknya Pengadilan Pajak adalah dalam rangka melaksanakan pembangunan nasional yang berkesinambungan dan berkelanjutan serta merata di seluruh tanah air, sehingga diperlukan dana yang memadai yang terutama bersumber dari perpajakan. Dikarenakan demikian banyaknya sengketa perpajakan sebagai upaya wajib pajak yang berusaha untuk mencari keadilan dan kepastian hukum pada akhirnya menjadikan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak menjadi tidak relevan lagi untuk menyelesaikan sengketa sehingga negara pada akhirnya memberikan solusi dengan membentuk Pengadilan Pajak yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
2. Bahwa meskipun pada awal pembentukannya Pengadilan Pajak ada ketidakjelasan berkenaan dengan statusnya dalam lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung, namun seiring berjalannya waktu, Mahkamah Konstitusi dan pembentuk Undang-Undang telah mempertegas tentang keberadaan Pengadilan Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945.
3. Bahwa Mahkamah Konstitusi melalui Putusannya Nomor 004/PUU-II/2004 bertanggal 13 Desember 2004 telah mempertimbangkan sebagai berikut: “bahwa Pasal 22 UU No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan, terhadap putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain. Mahkamah berpendapat bahwa tiadanya upaya kasasi pada Pengadilan Pajak tidak berarti bahwa Pengadilan Pajak tidak berpuncak pada Mahkamah Agung. Adanya ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU No 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yang menyatakan bahwa pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung, Pasal 77 ayat (3) bahwa pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan peninjauan kembali atas putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung, serta Pasal 9A UU Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang menyatakan di lingkungan Pengadilan Tata Usaha Negara dapat diadakan pengkhususan yang diatur dengan undang-undang, telah cukup menjadi dasar bahwa Pengadilan Pajak termasuk dalam lingkup peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung sebagaimana dinyatakan oleh Pasal 24 ayat (2) UUD 1945”.
4. Bahwa Pasal 1 angka 8 dan Penjelasan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan sebagai berikut:
Pasal 1 angka 8, “Pengadilan khusus adalah pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang diatur dalam undang-undang”
Penjelasan Pasal 27 ayat (1), “Yang dimaksud dengan “pengadilan khusus” antara lain adalah pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial dan pengadilan perikanan yang berada di lingkungan peradilan umum, serta pengadilan pajak yang berada di lingkungan peradilan tata usaha negara”. Berdasarkan uraian dan pertimbangan tersebut di atas, maka jelaslah bahwa Pengadilan Pajak adalah merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman sebagaimana diatur dalam Pasal 24 UUD 1945.

[3.12] Menimbang bahwa meskipun Pengadilan Pajak telah termasuk dalam lingkup peradilan yang berada di Mahkamah Agung sebagaimana diuraikan dalam pertimbangan di atas, namun faktanya dalam Undang-Undang a quo, kewenangan Mahkamah Agung tidak sepenuhnya mengatur segala hal yang terkait dengan Pengadilan Pajak, Mahkamah Agung hanya diberikan kewenangan dalam hal pengaturan tentang pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan Pajak sedangkan terkait dengan pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Departemen Keuangan (sekarang Kementerian Keuangan) [vide Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU Pengadilan Pajak]. Adanya kewenangan yang diberikan kepada Kementerian Keuangan in casu Menteri Keuangan khususnya terkait dengan Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak termasuk juga pengusulan dan pemberhentian hakim pengadilan pajak, menurut Mahkamah hal tersebut justru telah mengurangi kebebasan hakim pajak dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak. Oleh karena itu menurut Mahkamah untuk menjaga marwah lembaga pengadilan pajak dalam upaya mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka maka sudah sepatutnya pengadilan pajak diarahkan pada upaya membentuk sistem peradilan mandiri atau yang dikenal dengan “one roof system” atau sistem peradilan satu atap. Hal tersebut telah dilakukan terhadap lingkungan peradilan lainnya di bawah Mahkamah Agung dimana pembinaan secara teknis yudisial maupun organisasi, administrasi dan finansial berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung dan bukan berada di bawah Kementerian. Terlebih lagi telah ada pengakuan bahwa Pengadilan Pajak adalah bagian dari Pengadilan Tata Usaha Negara, sehingga sudah seharusnya ada perlakuan yang sama untuk satu atap (one roof system) terhadap Pengadilan Pajak. Hal ini harus menjadi catatan penting bagi pembentuk Undang-Undang ke depannya.
Oleh karena itu, berdasarkan kutipan pertimbangan hukum di atas telah ternyata Mahkamah memberikan penegasan bahwa Pengadilan Pajak merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman sebagaimana diatur dalam Pasal 24 UUD 1945 sehingga termasuk dalam lingkup peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung. Dengan demikian perlu dilakukan “one roof system”, terlebih lagi telah ada pengakuan bahwa Pengadilan Pajak adalah bagian dari Pengadilan Tata Usaha Negara, sehingga sudah seharusnya ada perlakuan yang sama untuk satu atap terhadap Pengadilan Pajak di mana pembinaan secara teknis yudisial maupun pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan berada sepenuhnya di bawah kekuasaan Mahkamah Agung, tanpa adanya campur tangan lembaga lain.
[3.12.4] Bahwa dengan diwujudkannya sistem peradilan satu atap maka akan diperoleh adanya badan peradilan yang terbebas dari pengaruh-pengaruh pihak lain, hal ini membuktikan fungsi lembaga peradilan yang memberikan keadilan secara independen benar-benar dapat dinikmati oleh para pencari keadilan (justiciabelen) dan dengan sendirinya keadilan dan kepastian hukum adalah keadilan dan kepastian hukum sebagaimana yang diharapkan dan dipercaya publik.
Bahwa berkenaan dengan hal tersebut dan sejalan dengan pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU-XIV/2016, setelah Mahkamah memeriksa bukti yang diajukan para Pemohon, telah ternyata pula terhadap UU 14/2002 telah dilakukan proses pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pengadilan Pajak (vide bukti P-15), di mana Pasal 5 RUU a quo dirumuskan sebagai berikut:
(1) Pembinaan teknis peradilan Badan Peradilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung;
(2) Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan Badan Peradilan Pajak dilakukan oleh Departemen Keuangan;
(3) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) akan dialihkan ke Mahkamah Agung secara bertahap;
(4) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus tetap menjamin kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak.
Oleh karena itu, adanya bukti rancangan undang-undang tersebut semakin meyakinkan Mahkamah bahwa sesungguhnya sudah terdapat niat dari pembentuk undang-undang untuk secara ideal meletakkan seluruh pembinaan Pengadilan Pajak secara bertahap ke dalam satu atap yaitu di bawah Mahkamah Agung. Demikian halnya pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU-XIV/2016, juga telah secara tegas mengingatkan kepada pembentuk undang-undang untuk mempertimbangkan tentang keberadaan Pengadilan Pajak a quo guna ditempatkan pembinaannya secara keseluruhan di bawah Mahkamah Agung. Namun, ternyata hal tersebut hingga saat ini belum juga diwujudkan oleh pembentuk undang-undang.
[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut dan merujuk fakta belum ditindaklanjutinya putusan Mahkamah Konstitusi hingga saat ini, Mahkamah berkesimpulan cukup beralasan secara hukum dalam putusan perkara a quo untuk menentukan tenggang waktu yang pasti kepada pembentuk undang-undang tidak hanya sekadar pesan-pesan sebagaimana dalam putusan Mahkamah sebelumnya. Dalam kaitan ini, penting bagi Mahkamah untuk menetapkan dengan memerintahkan selambat-lambatnya tanggal 31 Desember 2026 dinilai sebagai tenggang waktu yang adil dan rasional untuk menyatukan kewenangan pembinaan Pengadilan Pajak dalam satu atap di bawah Mahkamah Agung. Oleh karena itu, sejak putusan atas perkara a quo diucapkan, secara bertahap para pihak pemangku kepentingan (stakeholders) segera mempersiapkan regulasi berkaitan dengan segala kebutuhan hukum, termasuk hukum acara dalam rangka peningkatan profesionalitas sumber daya manusia Pengadilan Pajak, serta mempersiapkan hal-hal lain yang berkaitan dengan pengintegrasian kewenangan di bawah Mahkamah Agung dimaksud. Dengan demikian, selambat-lambatnya tanggal 31 Desember 2026 seluruh pembinaan Pengadilan Pajak sudah berada di bawah Mahkamah Agung.
[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, telah ternyata ketentuan norma Pasal 5 ayat (2) UU 14/2002 menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan sebagaimana yang didalilkan para Pemohon, namun oleh karena pemaknaan yang dimohonkan oleh para Pemohon dalam petitumnya berbeda dengan pemaknaan yang dilakukan oleh Mahkamah sebagaimana tertuang dalam amar putusan perkara a quo. Oleh karena itu, dalil permohonan para Pemohon adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian.
[3.15] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dan selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.

1. Bahwa terhadap Putusan MK dalam Perkara Nomor 26/PUU-XXI/2023 sebagaimana diuraikan diatas, untuk mengisi kekosongan hukum berdasarkan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan saran sebagai berikut:
a. Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 26/PUU-XXI/2023 sebagai bahan dalam penyusunan Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka.
b. Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 26/PUU-XXI/2023 sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan UU 14/2002.
2. Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh seluruh organ penyelenggara Negara, organ penegak hukum dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 26/PUU-XXI/2023 mengenai materi muatan pasal/ayat dalam UU 7/2017 yang dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, agar tidak menimbulkan kekosongan hukum, dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan Perubahan UU 14/2002.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Mengabulkan Permohonan Pemohon Untuk Sebagian Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 31/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2020 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 25-05-2023

Bahwa pada hari Kamis tanggal 25 Mei 2023, pukul 13.59 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XXI/2023 Perihal Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK) dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (selanjutnya disebut UU Pemilu) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 31/PUU-XXI/2023. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 31/PUU-XXI/2023, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 74 ayat (3) dan Pasal 78 huruf a UU MK serta Pasal 475 ayat (1) dan Pasal 475 ayat (3) UU Pemilu dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum pada pokoknya sebagai berikut:
Permohonan Provisi
[3.7] Menimbang bahwa Pemohon mengajukan perkara a quo dalam rangka bela negara mempersiapkan diri untuk memastikan penyelenggaraan Pemilu 2024 dapat berjalan taat asas, paling tidak asas jujur dan adil. Oleh karena itu, mohon kiranya Mahkamah Konstitusi berkenan menjadikan permohonan a quo sebagai (salah satu) permohonan prioritas mengingat singkatnya waktu menjelang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2024.
Terhadap dalil permohonan Provisi Pemohon tersebut dan dikaitkan dengan petitum provisi sebagaimana termaktub dalam hlm. 58 sampai dengan hlm. 60, Mahkamah berpendapat bahwa tidak terdapat uraian yang memadai dan berkorelasi dengan petitum dimaksud. Terlebih lagi petitum provisi a quo tidak relevan untuk dipertimbangkan karena telah diputus dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PHPU-PRES/XVII/2019 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 24 Juni 2019. Selain itu, petitum dimaksud tidak menunjukkan keterkaitan dengan norma Pasal 74 ayat (3) dan Pasal 78 huruf a UU MK serta Pasal 475 ayat (1) dan Pasal 475 ayat (3) UU 7/2017 yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo. Menurut Mahkamah, permohonan Provisi Pemohon tidak ada relevansinya sehingga tidak perlu dipertimbangkan lebih lanjut.
[3.11] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca dan memeriksa dengan saksama Permohonan Pemohon dan bukti-bukti yang diajukan, masalah konstitusionalitas norma yang dimohonkan oleh Pemohon dalam Permohonan a quo adalah berkenaan dengan perbedaan dalam menentukan batas waktu pengajuan permohonan dan penyelesaian sengketa hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana termaktub dalam norma Pasal 74 ayat (3) dan Pasal 78 huruf a UU MK serta Pasal 475 ayat (1) dan Pasal 475 ayat (3) UU 7/2017. Perbedaan dimaksud berpotensi menimbulkan masalah konstitusional dalam pengajuan permohonan dan penyelesaian sengketa hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
[3.12] Menimbang bahwa berkenaan dengan isu konstitusionalitas sebagaimana termaktub dalam Paragraf [3.11] di atas, merujuk substansi dalil Pemohon, masalah konstitusionalitas norma dalam permohonan a quo dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua) jangka waktu, yaitu ihwal “jangka waktu mengajukan permohonan perselisihan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden” sebagaimana termaktub dalam norma Pasal 74 ayat (3) UU MK dan Pasal 475 ayat (1) UU 7/2017, dan “jangka waktu Mahkamah memeriksa, mengadili dan memutus perkara perselisihan tentang hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden” sebagaimana termaktub dalam norma Pasal 78 huruf a UU MK dan Pasal 475 ayat (3) UU 7/2017. Terhadap kedua jangka waktu yang menjadi substansi dalil-dalil permohonan tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa berkenaan dengan inkonstitusionalitas “jangka waktu mengajukan permohonan perselisihan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden” dalam norma Pasal 74 ayat (3) UU MK dan Pasal 475 ayat (1) UU 7/2017 yang didalilkan Pemohon bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai secara bersyarat sebagaimana termaktub dalam Petitum a quo.
Bahwa terhadap dalil Pemohon tersebut, sebelum mempertimbangkan lebih jauh perihal “jangka waktu mengajukan permohonan perselisihan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden”, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan ketentuan mengenai “jangka waktu mengajukan permohonan perselisihan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden”, secara normatif, ditentukan oleh 2 (dua) undang-undang, yaitu UU MK dan UU 7/2017. Dalam hal ini, norma Pasal 74 ayat (3) UU MK menyatakan,“Permohonan hanya dapat diajukan dalam jangka waktu paling lambat 3x24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak Komisi Pemilihan Umum mengumumkan penetapan hasil pemilihan umum secara nasional”, serta norma Pasal 475 ayat (1) UU 7/2017 menyatakan, “dalam hal terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, pasangan calon dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Konstitusi dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden oleh Komisi Pemilihan Umum”. Berdasarkan kedua ketentuan tersebut, ihwal jangka waktu pengajuan permohonan dapat dilakukan “dalam jangka waktu paling lambat 3x24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak Komisi Pemilihan Umum mengumumkan penetapan hasil pemilihan umum secara nasional” dan “dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden oleh Komisi Pemilihan Umum”.
Bahwa dalam batas penalaran yang wajar, dengan adanya dua ketentuan tenggat waktu tersebut dapat menimbulkan perbedaan tafsir atau makna ketika Mahkamah menyelesaikan kasus konkret, in casu menyelesaikan permohonan sengketa hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Setidaknya, perbedaan dimaksud dapat terjadi saat menentukan: apakah permohonan diajukan paling lambat 3x24 (tiga kali dua puluh empat) jam atau 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden ditetapkan secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum. Dengan adanya perbedaan penafsiran dalam menentukan batas waktu pengajuan sengketa hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden terbuka ruang untuk terlanggarnya prinsip kepastian hukum sebagaimana termaktub dalam UUD 1945. Oleh karena itu, Mahkamah perlu memberikan pemaknaan ketentuan dalam norma Pasal 74 ayat (3) UU MK yang menyatakan, “Permohonan hanya dapat diajukan dalam jangka waktu paling lambat 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak Komisi Pemilihan Umum mengumumkan penetapan hasil pemilihan umum secara nasional”, dimaknai menjadi “Permohonan hanya dapat diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari setelah Komisi Pemilihan Umum mengumumkan penetapan hasil pemilihan umum secara nasional”. Pemaknaan baru tersebut diselaraskan dengan ketentuan dalam norma Pasal 475 ayat (1) UU 7/2017 yang menyatakan, “Dalam hal terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, pasangan calon dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Konstitusi dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden oleh Komisi Pemilihan Umum”. Selain memberikan kepastian hukum sebagaimana ditentukan UUD 1945, penyelarasan dimaksud juga akan memberikan keuntungan bagi pasangan calon yang akan mengajukan sengketa hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden ke Mahkamah. Dengan memaknai kata “sejak” menjadi “setelah” dan “frasa 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam” menjadi “3 (tiga) hari”, pemohon dalam pengajuan sengketa hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden akan memiliki kelonggaran waktu dalam mengajukan sengketa hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Dalam hal ini, pilihan untuk menggunakan kata “setelah” dan tidak mengabulkan pilihan 7 (tujuh) hari tidak bisa dilepaskan dari prinsip proses peradilan cepat (speedy trial) dalam penyelesaian sengketa hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dalam desain kewenangan Mahkamah sebagaimana termaktub dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945.
Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut, oleh karena jangka waktu yang dimohonkan Pemohon tidak sebagaimana pemaknaan jangka waktu yang dikabulkan Mahkamah, dalil Pemohon perihal jangka waktu untuk mengajukan permohonan perselisihan tentang hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, seperti dimaksud dalam norma Pasal 74 ayat (3) UU MK bertentangan dengan UUD 1945 adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian;
[3.12.2] Bahwa selanjutnya berkenaan dengan dalil Pemohon mengenai “jangka waktu Mahkamah memeriksa, mengadili dan memutus perkara” sebagaimana termaktub dalam norma Pasal 78 huruf a UU MK dan Pasal 475 ayat (3) UU 7/2017 yang pada intinya menyatakan jangka waktu bagi Mahkamah untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara selama 14 (empat belas) hari kerja adalah bertentangan dengan UUD 1945. Sebagaimana didalilkan Pemohon, jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja a quo tidak cukup bagi Mahkamah untuk menyelesaikan permohonan sengketa hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Oleh karena itu, batas waktu dalam kedua norma sebagaimana termaktub dalam UU tersebut akan menjadi konstitusional bilamana dimaknai menjadi 30 (tiga puluh) hari kerja. Menurut Pemohon jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja tidaklah dimaksudkan untuk seluruh waktu harus digunakan memeriksa, mengadili dan memutus perkara melainkan memberi kesempatan seluas-luasnya bagi Mahkamah mengelaborasi perkara perselisihan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sampai dengan pengucapan putusan;
Terhadap dalil Pemohon a quo, menurut Mahkamah, ketentuan mengenai jangka waktu Mahkamah memeriksa, mengadili dan memutus perkara perselisihan tentang hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana termaktub dalam norma Pasal 78 huruf a UU MK yang menyatakan, “Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai permohonan atas perselisihan hasil pemilihan umum wajib diputus dalam jangka waktu: a. Paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi, dalam hal Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden”, dan ketentuan dalam norma Pasal 475 ayat (3) UU 7/2017 yang menyatakan, “Mahkamah Konstitusi memutus perselisihan yang timbul akibat keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya permohonan keberatan oleh Mahkamah Konstitusi” adalah benar berada dalam rentang waktu yang terbatas. Secara konstitusional, batas waktu demikian tidak mungkin dilepaskan dari desain sistem Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana dimaktubkan dalam norma Pasal 6A ayat (4) UUD 1945 yang membuka kemungkinan adanya pemilihan putaran kedua. Dalam posisi demikian, jikalau terdapat pemilihan umum dua putaran, terbuka kemungkinan adanya permohonan penyelesaian sengketa hasil Pemilu setiap putaran dimaksud. Artinya, menambah atau memperpanjang jangka waktu lebih lama dari yang ditentukan dalam norma Pasal 78 huruf a UU MK dan norma Pasal 475 ayat (3) UU 7/2017 potensial mengganggu jadwal ketatanegaraan, in casu batas waktu untuk pengambilan sumpah atau janji sebagai Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana dimaktubkan dalam norma Pasal 9 UUD 1945. Selain itu, menambah atau memperpanjang jangka waktu dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara sebagaimana dalil Pemohon adalah tidak sejalan dengan prinsip peradilan cepat (speedy trial) dalam penyelesaian perselisihan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Berdasarkan pertimbangan di atas, “jangka waktu Mahkamah memeriksa, mengadili dan memutus perkara perselisihan tentang hasil pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden” dalam norma Pasal 78 huruf a UU MK dan Pasal 475 ayat (3) UU 7/2017 tidak memadai dalam memutus perkara perselisihan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden jika tidak dimaknai menjadi 30 (tiga puluh) hari bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum;
[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah dalil permohonan Pemohon mengenai jangka waktu pengajuan permohonan dan jangka waktu penyelesaian perkara perselisihan tentang hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana ditentukan dalam Pasal 74 ayat (3) dan Pasal 78 huruf a UU MK serta Pasal 475 ayat (1) dan Pasal 475 ayat (3) UU 7/2017 beralasan menurut hukum untuk sebagian;
[3.14] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dalam permohonan a quo tidak dipertimbangkan lebih lanjut, karena dinilai tidak ada relevansinya

1. Bahwa terhadap Putusan MK dalam Perkara Nomor 31/PUU-XXI/2023 sebagaimana diuraikan diatas, untuk mengisi kekosongan hukum berdasarkan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan saran sebagai berikut:
a. Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 31/PUU-XXI/2023 sebagai bahan dalam penyusunan Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka.
b. Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 31/PUU-XXI/2023 sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan UU MK.
2. Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh seluruh organ penyelenggara Negara, organ penegak hukum dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 31/PUU-XXI/2023 mengenai materi muatan pasal/ayat dalam UU MK yang dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, agar memberikan kepastian hukum, dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan Perubahan UU MK.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dikabulkan Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 12/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 28-02-2023

Bahwa pada hari Selasa tanggal 28 Februari 2023, pukul 12.47 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (selanjutnya disebut UU Pemilu) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 12/PUU-XXI/2023. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 12/PUU-XXI/2023, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap Pasal 182 huruf g UU Pemilu dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

Dalam Provisi
[3.7] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan Pemohon terlebih dahulu Mahkamah akan mempertimbangkan permohonan provisi Pemohon yang meminta untuk menjadikan permohonan a quo sebagai prioritas dalam pemeriksaan. Karena, menurut Pemohon tahapan pencalonan anggota DPD telah dimulai sejak tanggal 6 Desember 2022 dan akan berakhir pada tanggal 5 November 2023. Sehingga, untuk memberikan kepastian hukum maka norma syarat pencalonan anggota DPD sebagaimana dimohonkan pengujiannya kepada Mahkamah, tidak lagi diberlakukan.
Bahwa terhadap permohonan provisi Pemohon di atas, Mahkamah telah memeriksa permohonan a quo dalam Sidang Panel Pemeriksaan Pendahuluan pada tanggal 7 Februari 2023 dan Sidang Panel Perbaikan Permohonan pada tanggal 20 Februari 2023. Berkenaan dengan hal tersebut, Rapat Permusyawaratan Hakim pada tanggal 21 Februari 2023 telah memutuskan bahwa permohonan a quo tidak dilanjutkan ke sidang pleno untuk mendengarkan pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 UU MK. Selain alasan sebagaimana dimaksud dalam Paragraf [3.10] di bawah, putusan untuk tidak membawa ke pleno juga berkaitan dengan batas waktu pendaftaran calon anggota DPD. Oleh karena itu, terlepas ada atau tidaknya permohonan provisi dari Pemohon Mahkamah telah dengan sendirinya menjatuhkan terhadap permohonan a quo dalam waktu yang cepat tanpa harus mendengarkan pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 UU MK. Terlebih, menurut Mahkamah permohonan a quo mempunyai urgensi untuk segera diputus. Dengan demikian, permohonan provisi Pemohon tidak relevan untuk dipertimbangkan lebih lanjut, oleh karenanya tidak beralasan menurut hukum.

Pokok Permohonan
[3.11] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca dan mempelajari secara saksama, telah ternyata permohonan Pemohon substansinya berkenaan dengan persyaratan bagi mantan terpidana yang akan menjadi peserta Pemilu. Berkenaan dengan hal tersebut, Mahkamah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 11 Desember 2019 menyatakan bagi mantan terpidana yang akan mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Sehingga, terhadap norma yang mengatur hal tersebut, yakni Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU 10/2016) selengkapnya berbunyi:

“Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

g. (i) tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa; (ii) bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; dan (iii) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang;”
Sementara itu, berkenaan dengan mantan terpidana yang akan mendaftarkan diri sebagai calon anggota DPR dan calon anggota DPRD sebagaimana ditentukan dalam Pasal 240 ayat (1) huruf g UU 7/2017, melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XX/2022 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 30 November 2022, Mahkamah pun telah memaknai sama dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019. Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XX/2022 menyatakan norma Pasal 240 ayat (1) huruf g UU 7/2017 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai sebagai berikut:
“(1) Bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota adalah Warga Negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan:

g. (i) tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa; (ii) bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; dan (iii) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang;

[3.12] Menimbang bahwa berdasakan kedua putusan Mahkamah di atas, masalah konstitusional yang harus dijawab Mahkamah dalam perkara a quo adalah apakah syarat kumulatif bagi mantan terpidana yang akan menjadi peserta Pemilu sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XX/2022 harus pula diselaraskan bagi calon anggota DPD yang berstatus sebagai mantan terpidana karena sama-sama merupakan jabatan yang dipilih melalui Pemilu. Selain itu, apakah perlu menambahkan syarat tidak dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak pilih oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, sehingga syarat masa jeda lima tahun dihitung setelah selesainya seluruh pidana termasuk pidana tambahan, kecuali jika pidana tambahan tersebut dijatuhkan seumur hidup. Terhadap dalil Pemohon a quo Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

[3.12.1] Bahwa berkenaan dengan jabatan publik yang dipilih melalui pemilihan (elected officials) baik melalui pemilihan umum yakni pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta pemilihan umum angota DPR, DPD, dan DPRD dan pemilihan kepala daerah yakni pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, Mahkamah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XX/2022 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 29 September 2022 pada intinya telah menegaskan tidak terdapat lagi perbedaan rezim pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah. Berdasarkan perkembangan tersebut, sebagaimana telah dipertimbangkan di atas, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XX/2022, Mahkamah telah memberlakukan syarat kumulatif bagi mantan terpidana yang hendak mengajukan diri sebagai calon anggota DPR dan DPRD sebagaimana pemberlakuan syarat kumulatif dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019 yang diperuntukkan bagi mantan terpidana yang akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
Pemberlakuan syarat bagi mantan terpidana yang hendak mengajukan diri sebagai calon anggota DPR dan DPRD dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XX/2022 didasarkan atas pertimbangan sebagai berikut:
“[3.13] Menimbang bahwa dengan merujuk pada uraian pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, dan setelah juga mencermati kutipan pertimbangan hukum pada putusan-putusan tersebut, oleh karena fakta empirik menunjukkan bahwa bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang pernah menjalani pidana dengan ancaman pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana sebagaimana diatur dalam norma Pasal 240 ayat (1) huruf g UU 7/2017 telah ternyata tidak sejalan dengan semangat yang ada dalam persyaratan untuk menjadi calon kepala daerah sebagaimana yang diatur dalam norma Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016 sebagaimana telah dilakukan pemaknaan secara konstitusional bersyarat oleh Mahkamah, padahal keduanya merupakan salah satu syarat formal untuk menduduki rumpun jabatan yang dipilih (elected officials), maka pembedaan yang demikian berakibat adanya disharmonisasi akan pemberlakuan norma-norma tersebut terhadap subjek hukum yang sesungguhnya mempunyai tujuan yang sama yaitu sama-sama dipilih dalam pemilihan. Oleh karena itu, pembedaan atas syarat untuk menjadi calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dengan calon kepala daerah yaitu calon Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota bagi mantan terpidana sebagaimana dipertimbangkan tersebut di atas, dapat berakibat terlanggarnya hak konstitusional warga negara sebagaimana diatur dalam Pasal 28J ayat (1) UUD 1945. Adapun perbedaan secara faktual adalah dalam norma Pasal 240 ayat (1) huruf g UU 7/2017 sepanjang frasa “kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana” yang tidak selaras lagi dengan pemaknaan yang telah dilakukan oleh Mahkamah dalam putusannya atas norma Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016 yang selengkapnya adalah:
“Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

g. (i) tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa; (ii) bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; dan (iii) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang;”

Dengan demikian, berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut, Mahkamah berpendapat terhadap ketentuan norma Pasal 240 ayat (1) huruf g UU 7/2017 perlu dilakukan penyelarasan dengan memberlakukan pula untuk menunggu jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan adanya kejujuran atau keterbukaan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana sebagai syarat calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, di samping syarat lain yang juga ditambahkan sebagaimana pemaknaan konstitusional secara bersyarat yang terdapat dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016. Sebab, sebagaimana telah dikutip dalam pertimbangan hukum putusan-putusan sebelumnya masa tunggu 5 (lima) tahun setelah terpidana menjalankan masa pidana adalah waktu yang dipandang cukup untuk melakukan introspeksi diri dan beradaptasi dengan masyarakat lingkungannya bagi calon kepala daerah, termasuk dalam hal ini calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Demikian halnya persyaratan adanya keharusan menjelaskan secara terbuka kepada publik tentang jati dirinya dan tidak menutupi latar belakang kehidupannya adalah dalam rangka memberikan bahan pertimbangan bagi calon pemilih dalam menilai atau menentukan pilihannya. Sebab, terkait dengan hal ini, pemilih dapat secara kritis menilai calon yang akan dipilihnya sebagai pilihan baik yang memiliki kekurangan maupun kelebihan untuk diketahui oleh masyarakat umum (notoir feiten). Oleh karena itu, hal ini terpulang kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemilih untuk memberikan suaranya kepada calon yang merupakan seorang mantan terpidana atau tidak memberikan suaranya kepada calon tersebut. Selain itu, untuk pengisian jabatan melalui pemilihan (elected officials), pada akhirnya masyarakat yang memiliki kedaulatan tertinggi yang akan menentukan pilihannya;
Bahwa selanjutnya, berkaitan dengan syarat bukan sebagai pelaku tindak pidana secara berulang-ulang penting bagi Mahkamah untuk menegaskan kembali karena fakta empirik menunjukkan bahwa terdapat beberapa calon kepala daerah yang pernah menjalani pidana dan tidak diberi waktu yang cukup untuk beradaptasi dan membuktikan diri telah secara faktual melebur dalam masyarakat ternyata terjebak kembali dalam perilaku tidak terpuji, bahkan mengulang kembali tindak pidana yang sama (in casu secara faktual khususnya tindak pidana korupsi), sehingga makin jauh dari tujuan menghadirkan pemimpin yang bersih, jujur, dan berintegritas. Oleh karena itu, demi melindungi kepentingan yang lebih besar, yaitu dalam hal ini kepentingan masyarakat akan pemimpin yang bersih, berintegritas, dan mampu memberi pelayanan publik yang baik serta menghadirkan kesejahteraan bagi masyarakat yang dipimpinnya, Mahkamah tidak menemukan jalan lain kecuali memberlakukan syarat kumulatif sebagaimana tertuang dalam pertimbangan hukum putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang telah dikutip tersebut di atas dan terakhir ditegaskan dalam amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUUXVII/2019. Selain itu, langkah demikian juga dipandang penting oleh Mahkamah demi memberikan kepastian hukum serta mengembalikan makna esensial dari pemilihan calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, yakni menghasilkan orang-orang yang memiliki kualitas dan integritas untuk menjadi pejabat publik dan pada saat yang sama tidak menghilangkan hak politik warga negara yang pernah menjadi terpidana untuk tetap turut berpartisipasi di dalam pemerintahan.

[3.12.2] Bahwa dengan telah diselaraskannya antara norma persyaratan calon bagi mantan terpidana yang akan mengajukan diri sebagai kepala daerah dan calon anggota DPR dan DPRD telah memberikan kepastian hukum dan sekaligus telah mengembalikan makna esensial dari pemilihan calon Gubernur, Bupati, dan Walikota serta calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, yakni menghasilkan orang-orang yang memiliki kualitas dan integritas untuk menjadi pejabat publik dan pada saat yang sama tidak menghilangkan hak politik warga negara yang pernah menjadi terpidana untuk tetap turut berpartisipasi di dalam pemerintahan. Namun demikian, belum semua jabatan publik yang dipilih dalam pemilihan memiliki pemaknaan yang sama. Ketidaksamaan pemaknaan dimaksud antara lain dapat dibaca dari persyaratan untuk menjadi calon anggota DPD.

[3.12.3] Bahwa berkenaan dengan salah satu syarat untuk mernjadi calon anggota DPD, yaitu sebagaimana termaktub dalam norma Pasal 182 huruf g UU 7/2017, sebagaimana yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon pada pokoknya mengatur tentang syarat mantan terpidana yang akan menjadi calon anggota DPD. Apabila dibaca secara saksama, norma-norma yang telah diberikan pemaknaan di atas esensinya mengatur hal yang sama dengan norma Pasal 182 huruf g UU 7/2017, yaitu berkenaan dengan jabatan publik yang dipilih dalam pemilihan. Oleh karena itu, dengan belum diberikan pemaknaan untuk Pasal 182 huruf g UU 7/2017 terbuka kemungkinan bagi calon anggota DPD dengan status mantan terpidana dapat langsung mencalonkan diri tanpa terlebih dahulu memenuhi pemaknaan sebagaimana dimaksudkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XX/2022. Oleh karenanya, substansi norma Pasal 182 huruf g UU 7/2017 belum sejalan dengan semangat yang ada dalam kedua putusan tersebut. Padahal kepala daerah, anggota DPR dan DPRD serta anggota DPD, merupakan jabatan publik yang dipilih dalam pemilihan (elected officials). Dengan adanya pembedaan yang demikian berakibat terjadinya inkonsistensi dan disharmoni dalam pemberlakuan norma-norma tersebut terhadap subjek hukum yang sesungguhnya mempunyai tujuan yang sama yaitu sama-sama dipilih dalam pemilihan. Oleh karena itu, pembedaan atas syarat untuk menjadi calon anggota DPD bagi mantan terpidana, dapat berakibat terlanggarnya hak konstitusional warga negara sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, Mahkamah berpendapat terhadap ketentuan norma Pasal 182 huruf g UU 7/2017 perlu dilakukan penegasan dan penyelarasan dengan memberlakukan pula untuk menunggu jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan adanya kejujuran atau keterbukaan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana sebagai syarat calon anggota DPD, di samping syarat lain yang juga ditambahkan sebagai syarat kumulatif sebagaimana pemaknaan konstitusional secara bersyarat yang terdapat dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016 dan Pasal 240 ayat (1) huruf g UU 7/2017;

[3.13] Menimbang bahwa terhadap petitum permohonan Pemohon yang juga menghendaki adanya pemaknaan tambahan, yaitu “tidak dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak pilih oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap”, menurut Mahkamah, pada satu sisi, pemaknaan tambahan demikian akan mengakibatkan perbedaan persyaratan antara calon kepala daerah, anggota DPR dan anggota DPRD dengan persyaratan calon anggota DPD. Hal demikian dapat menciptakan ketidakselarasan dan ketidakharmonisan norma syarat pencalonan bagi semua jabatan yang dipilih dalam pemilihan. Sementara di sisi lain, pemaknaan tambahan tersebut potensial menciptakan ketidakpastian hukum. Karena, pidana tambahan merupakan jenis pidana yang bersifat fakultatif yang dapat dijatuhkan hakim untuk kasus konkret yang ditangani oleh lingkup peradilan di luar Mahkamah. Terlebih lagi, dalam penjatuhan pidana tambahan yang bersifat sementara tidak mudah menemukan ukuran waktu antara pemberlakuan pidana tambahan dengan tenggang waktu masa tunggu (jeda) bagi mantan terpidana untuk mengajukan diri sebagai calon peserta Pemilu, sehingga menyulitkan dalam penerapannya. Sementara itu, penjatuhan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik secara permanen atau seumur hidup adalah di luar konteks mantan terpidana sebagaimana dimaksud dalam putusan-putusan di atas. Dengan demikian, agar tercipta perlakuan yang sama bagi semua calon yang akan ikut kontestasi jabatan-jabatan publik yang dipilih melalui pemilihan (elected officials), hingga saat ini Mahkamah tetap dengan pendirian sebelumnya dan belum terdapat alasan yang kuat bagi Mahkamah untuk menambahkan dalam syarat kumulatif berupa pidana tambahan sebagaimana dimohonkan Pemohon.

[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, Mahkamah menilai telah ternyata ketentuan norma Pasal 182 huruf g UU 7/2017 yang mengatur persyaratan mantan terpidana yang akan mencalonkan diri menjadi anggota DPD telah terbukti terdapat persoalan konstitusionalitas norma dan tidak selaras dengan semangat yang ada dalam ketentuan norma Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016 sebagaimana yang telah dimaknai dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019 dan norma Pasal 240 ayat (1) huruf g UU 7/2017 sebagaimana yang telah dimaknai dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XX/2022. Sehingga, pemaknaan terhadap Pasal 182 huruf g UU 7/2017 akan dituangkan dalam amar putusan a quo;

[3.15] Menimbang bahwa oleh karena dalil Pemohon yang menyatakan adanya persoalan konstitusionalitas terhadap norma Pasal 182 huruf g UU 7/2017 dapat dibuktikan, namun oleh karena pemaknaan yang dimohonkan oleh Pemohon tidak sebagaimana pemaknaan yang dilakukan oleh Mahkamah, maka permohonan Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.

[3.16] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dari permohonan Pemohon tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dianggap tidak ada relevansinya.

1. Bahwa terhadap Putusan MK dalam Perkara Nomor 12/PUU- XXI/2023 sebagaimana diuraikan diatas, untuk memberikan kepastian hukum pada norma Pasal 182 huruf g UU Pemilu, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan saran sebagai berikut:
a. Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 12/PUU- XXI/2023 sebagai bahan dalam penyusunan Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka.
b. Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 12/PUU- XXI/2023 sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan UU Pemilu.
2. Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh seluruh organ penyelenggara Negara, organ penegak hukum dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 12/PUU-XXI/2023 mengenai norma Pasal 182 huruf g UU Pemilu yang dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagaimana pemaknaan yang diberikan oleh MK, agar tidak menimbulkan ketidakpastian hukum, dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan Perubahan UU Pemilu.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dikabulkan Sebagian Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 118/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1946 TENTANG PERATURAN HUKUM PIDANA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 31-01-2023

Bahwa pada hari Selasa tanggal 31 Januari 2023, pukul 16.23 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana (selanjutnya disebut UU 1/1946) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 118/PUU-XX/2022. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 118/PUU-XX/2022, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang beserta jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian materill Pasal 79 angka 1 UU 1/1946 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.10] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca secara saksama permohonan para Pemohon, memeriksa bukti-bukti yang diajukan, dan mempertimbangkan argumentasi para Pemohon, sebagaimana selengkapnya dimuat dalam bagian Duduk Perkara, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.10.1] Bahwa para Pemohon mendalilkan Pasal 79 angka 1 KUHP bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena menimbulkan multitafsir terkait penafsiran mengenai waktu penghitungan masa daluwarsa tindak pidana pemalsuan surat. Terhadap dalil para Pemohon a quo, menurut Mahkamah, daluwarsa (kedaluwarsa) adalah lewatnya waktu yang menjadi sebab gugurnya atau hapusnya hak untuk menuntut atau melaksanakan hukuman terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana. Dalam perspektif KUHP, pada dasarnya semua pelaku (dalam arti luas) dari suatu tindak pidana harus dituntut di muka sidang, akan tetapi baik secara umum atau secara khusus undang-undang menentukan peniadaan dan/atau penghapusan penuntutan dalam hal-hal tertentu, misalnya karena daluwarsa [vide Pasal 78 KUHP]. Daluwarsa dimaksud ditujukan agar kewenangan penuntutan dilakukan dalam jangka waktu tertentu dan bukan dilakukan dengan tanpa batas waktu. Ketentuan daluwarsa memberikan kepastian hukum terhadap status tindak pidana yang dilakukan agar pelaku tidak terus- menerus berada dalam keadaan tidak tenang tanpa batas waktu karena ketidaktenangan hidup sebelum masa daluwarsa berakhir pada dasarnya adalah suatu penderitaan jiwa yang tidak berbeda dengan penderitaan akibat menjalani suatu pidana yang dijatuhkan oleh pengadilan. Lamanya tenggang waktu daluwarsa untuk peniadaan penuntutan pidana didasarkan pada berat ringannya ancaman pidana atau berat ringannya tindak pidana yang diperbuat. Semakin berat tindak pidana diperbuat maka akan semakin lama rasa penderitaan yang dibawa oleh orang atau masyarakat sebagai akibat dari tindak pidana yang dibuatnya.
Selain itu, daluwarsa juga didasarkan pada faktor kesulitan dalam hal mengungkap kasus perkara sebagaimana kejadian sebenarnya di waktu yang lalu. Hal ini dikarenakan dalam mengungkap suatu peristiwa diperlukan bukti sebagaimana ditentukan peraturan perundang-undangan. Semakin lama lewatnya waktu suatu peristiwa maka akan semakin sulit untuk memperoleh alat bukti tersebut. Begitu pula dengan ingatan seorang saksi yang akan semakin berkurang bahkan lenyap atau lupa tentang suatu kejadian yang dilihat atau dialaminya.
Demikian juga dengan barang bukti, yang semakin lama akan menyebabkan benda itu menjadi rusak, musnah, atau hilang dan tidak ada lagi. Sehingga, dengan berlalunya waktu yang lama akan memperkecil keberhasilan bahkan dapat menyebabkan kegagalan dari suatu penuntutan. Lebih dari itu, rasa keadilan juga menjadi terusik manakala keadilan yang dicapai bukanlah keadilan hakiki yang digali dari persidangan yang menggunakan alat bukti yang tidak valid.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, ketentuan mengenai daluwarsa pada dasarnya merupakan bentuk pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum bagi masyarakat terutama terkait dengan penanganan suatu perkara. Bagi pelaku, daluwarsa memberikan kepastian hukum kepada pelaku mengenai sampai kapan jangka waktu perkaranya dapat dilakukan penuntutan. Adapun bagi penegak hukum, daluwarsa memberikan kepastian hukum terkait jangka waktu untuk melakukan penuntutan terhadap suatu perkara.

[3.10.2] Bahwa secara umum, jangka waktu daluwarsa harus mulai dihitung pada hari sesudah tindak pidana dilakukan [vide Pasal 78 KUHP]. Sehingga, untuk dimulainya jangka waktu penghitungan daluwarsa ialah bukan pada waktu tindakan dilakukan, melainkan pada saat munculnya akibat dari tindak pidana tersebut. Pasal 79 angka 1 KUHP menyatakan, “Tenggang daluwarsa mulai berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan, kecuali dalam hal-hal berikut: 1. mengenai pemalsuan atau perusakan mata uang, tenggang mulai berlaku pada hari sesudah barang yang dipalsu atau mata uang yang dirusak digunakan”. Ketentuan ini memberikan pengecualian terhadap berlakunya tenggang waktu daluwarsa yang umumnya mulai berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan, yakni berlaku pada hari sesudah barang yang dipalsu atau mata uang yang dirusak digunakan.
Bahwa terkait dengan tindak pidana pemalsuan surat, diatur dalam Bab XII Buku II KUHP yakni Pasal 263 KUHP sampai dengan Pasal 276 KUHP, yaitu pemalsuan surat pada umumnya (Pasal 263 KUHP), pemalsuan surat yang diperberat (Pasal 263 KUHP), menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam akta otentik dan mempergunakan akta tersebut (Pasal 266 KUHP), pemalsuan surat keterangan dokter (Pasal 267 dan Pasal 268 KUHP), pemalsuan surat-surat tertentu (Pasal 269, Pasal 270, dan Pasal 271 KUHP); dan pemalsuan surat keterangan Pejabat tentang hak milik (Pasal 274 KUHP). Adapun dalam permohonan a quo, pemalsuan surat yang dimaksudkan oleh para Pemohon ialah yang terkait dengan Pasal 263 KUHP yang menyatakan:
(1) Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat, yang dapat menerbitkan sesuatu hak, sesuatu perjanjian (kewajiban) atau sesuatu pembebasan utang, atau yang boleh dipergunakan sebagai keterangan bagi sesuatu perbuatan, dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat-surat itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, maka kalau mempergunakannya dapat mendatangkan sesuatu kerugian dihukum karena pemalsuan surat, dengan hukuman penjara selama-lamanya enam tahun.
(2) Dengan hukuman serupa itu juga dihukum, barangsiapa dengan sengaja menggunakan surat palsu atau yang dipalsukan itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, kalau hal mempergunakan dapat mendatangkan sesuatu kerugian.

Dalam ketentuan tersebut, pemalsuan surat merupakan tindak pidana yang diancam pidana penjara yaitu paling lama enam tahun penjara. Sehingga jika dikaitkan dengan Pasal 78 ayat (1) angka 3 KUHP, kewenangan penuntutan atas tindak pidana pemalsuan tersebut akan menjadi hapus karena daluwarsa sesudah 12 (dua belas) tahun.
Bahwa yang dimaksud dengan surat dalam Pasal 263 KUHP adalah: 1) Yang dapat menimbulkan suatu hak; 2) Yang dapat menimbulkan suatu perjanjian/perikatan; 3) Yang dapat menimbulkan suatu pembebasan utang; 4) Yang dapat dipergunakan sebagai keterangan bagi sesuatu perbuatan atau peristiwa. Bentuk pemalsuan surat dapat dilakukan dengan cara membuat surat palsu, memalsu surat, memalsu tanda tangan, dan penempelan foto orang lain dari pemegang yang berhak. Pengertian membuat surat palsu adalah perbuatan membuat sebuah surat yang sebelumnya tidak ada/belum ada, yang sebagian atau seluruh isinya palsu sehingga surat palsu yang dihasilkan dari perbuatan ini disebut dengan surat palsu. Sementara memalsu surat adalah segala wujud perbuatan apapun yang ditujukan pada sebuah surat yang sudah ada, dengan cara menghapus, mengubah, atau mengganti salah satu isinya surat sehingga berbeda dengan surat semula atau disebut juga surat yang dipalsukan.
Pasal 263 KUHP merupakan delik sengaja, baik perbuatan sengaja maupun sengaja sebagai maksud dan tidak ada delik kelalaian (culpa) dalam pemalsuan surat. Ketentuan ini pada dasarnya melindungi kepentingan umum yakni kepercayaan warga dalam hubungan masyarakat serta timbulnya kerugian. Kerugian yang mungkin ditimbulkan sehubungan dengan pemalsuan berdasarkan Pasal 263 KUHP tidak harus kerugian yang bersifat materiil, melainkan juga apabila kepentingan masyarakat dapat dirugikan, misalnya penggunaan surat yang dipalsukan tersebut dapat menyulitkan pengusutan suatu perkara. Oleh karenanya Pasal 263 KUHP merupakan delik pemalsuan yang secara spesifik sangat penting bagi pergaulan masyarakat dan pidana tambahan yang dapat diterapkan ialah pencabutan hak serta tidak ada pidana perampasan. Dalam pemalsuan surat juga harus ternyata:
1. Pada waktu memalsukan surat itu harus dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat itu seolah-olah asli dan tidak dipalsukan.
2. Penggunaannyaharusdapatmendatangkankerugian.
3. Tidak hanya untuk yang memalsukan, tetapi yang dihukum juga yang sengaja menggunakan surat palsu, yaitu orang yang menggunakan itu harus mengetahui benar bahwa surat yang ia gunakan itu palsu. Jika ia tidak tahu akan hal itu maka ia tidak dihukum.
4. Sudah dianggap “mempergunakan” misalnya menyerahkan surat itu kepada orang lain yang harus mempergunakan lebih lanjut atau menyerahkan surat itu di tempat di mana surat tersebut diperlukan.
5. Dalam hal menggunakan surat palsu harus pula dibuktikan bahwa orang itu bertindak seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, demikian pula perbuatan itu harus dapat mendatangkan kerugian.
Berdasarkan uraian di atas, delik pemalsuan dalam Pasal 263 KUHP merupakan delik pokok yang dapat menjadi berkualifikasi apabila pemalsuan yang dimaksudkan dalam Pasal 263 KUHP dilakukan terhadap akta autentik; surat utang atau sertifikat utang dari sesuatu negara atau bagiannya atau suatu lembaga umum; surat sero (saham) atau utang atau sertifikat sero atau dari suatu perkumpulan, yayasan, perseroan atau maskapai; talon, tanda bukti deviden atau bunga dari surat utang atau sertifikat utang dari sesuatu negara atau bagiannya atau suatu lembaga umum dan surat sero atau utang atau sertifikat sero atau dari suatu perkumpulan, Yayasan, perseroan atau maskapai atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat tersebut; suatu kredit atau surat dagang yang diperuntukan untuk diedarkan.
[3.10.3] Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan dalam sub-paragraf [3.10.2] di atas dikaitkan dengan ketentuan Pasal 79 angka 1 KUHP, menurut Mahkamah, penghitungan daluwarsa sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 79 angka 1 KUHP adalah setelah seluruh unsur dari perumusan tidak pidana pemalsuan surat terpenuhi, yaitu pada hari sesudah barang yang dipalsu tersebut diketahui, dipergunakan, dan menimbulkan kerugian. Ketiga unsur dimaksud haruslah dimaknai secara kumulatif. Dengan kata lain, penghitungan daluwarsa pemalsuan surat adalah pada hari sesudah surat yang diduga palsu tersebut dipergunakan dan kepalsuan tersebut diketahui oleh korban atau orang atau pihak lain serta korban dirugikan akibat digunakannya surat yang diduga palsu tersebut. Ketentuan demikian lebih memberikan kepastian hukum bagi semua pihak, terutama bagi korban, yang mungkin saja baru mengetahui adanya tindak pidana pemalsuan surat ketika timbul suatu kerugian pada dirinya dikarenakan adanya penggunaan surat dimaksud. Artinya, korban mungkin tidak akan mengetahui adanya pemalsuan surat apabila surat yang dipalsukan tersebut tidak dipergunakan oleh seseorang dan menimbulkan kerugian pada dirinya. Keadaan demikian juga merupakan salah satu bentuk perlindungan hukum yang diberikan negara kepada masyarakat, in casu korban, sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan, “Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab Negara terutama pemerintahan”. Lebih lanjut, ketentuan tersebut juga menutup peluang bagi orang yang berniat untuk menggunakan surat yang dipalsukan tersebut setelah lewat daluwarsa yang ditentukan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan uraian pertimbangan tersebut di atas, guna menghindari adanya ketidakpastian hukum dalam penghitungan daluwarsa pemalsuan surat sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 79 angka 1 KUHP serta guna memberikan rasa keadilan bagi semua pihak, menurut Mahkamah, terkait dengan penghitungan daluwarsa pemalsuan surat sebagaimana ketentuan Pasal 79 angka 1 KUHP adalah pada hari sesudah pemalsuan surat tersebut diketahui, dipergunakan, dan menimbulkan kerugian. Dengan demikian, adanya penafsiran yang berbeda-beda oleh aparat penegak hukum di dalam mengimplementasikan ketentuan norma Pasal 79 angka 1 KUHP, yang juga sebagian didalilkan oleh para Pemohon dapat dihindari.

[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat dalil-dalil permohonan para Pemohon berkenaan dengan penghitungan daluwarsa pemalsuan surat sebagaimana ketentuan Pasal 79 angka 1 KUHP menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah dapat diterima. Namun, oleh karena pemaknaan akan syarat dimulainya penghitungan masa daluwarsa berkenaan dengan ketentuan norma Pasal 79 angka 1 KUHP, sebagaimana yang didalilkan para Pemohon tidak sama dengan pendirian Mahkamah maka dengan demikian permohonan para Pemohon adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian.
[3.15] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dan selebihnya, termasuk Pasal 137 huruf a RKUHP tidak dipertimbangkan lebih lanjut oleh Mahkamah karena dipandang tidak ada relevansinya.

1. Bahwa terhadap Putusan MK dalam Perkara Nomor 118/PUU-XX/2022 sebagaimana diuraikan diatas, untuk memberikan kepastian hukum pada Pasal 79 angka 1 KUHP, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan saran sebagai berikut:
a. Bahwa meskipun saat ini telah diundangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut UU 1/2023) yang mencabut dan menyatakan tidak berlaku UU 1/1946, namun dalam Pasal 624 UU 1/2023 menyatakan bahwa “Undang-Undang Ini Mulai Berlaku Setelah 3 (Tiga) Tahun Terhitung Sejak Tanggal Diundangkan”. Hal tersebut mengandung arti bahwa UU 1/1946 saat ini masih berlaku sehingga Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 118/PUU-XX/2022 dapat dijadikan sebagai bahan dalam penyusunan Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka dan sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan UU 1/2023.
b. Bahwa pengaturan dalam Pasal 79 angka 1 UU 1/1946 diatur kembali dalam Pasal 137 huruf a UU 1/2023 dengan materi pengaturan yang sama sehingga dalam memaknai Pasal 137 huruf a UU 1/2023 harus mengikuti pemaknaan Pasal 79 angka 1 UU 1/1946 yang telah diputus oleh MK melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 118/PUU-XX/2022.
2. Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh seluruh organ penyelenggara Negara, organ penegak hukum dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 118/PUU-XX/2022 mengenai Pasal 79 angka 1 UU 1/1946 yang dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagaimana pemaknaan yang diberikan oleh MK, putusan tersebut tetap dapat dilaksanakan dan sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan UU 1/2023.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dikabulkan Sebagian Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 80/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 20-12-2022

Bahwa pada hari Selasa tanggal 20 Desember 2022, pukul 13.08 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU 7/2017) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 80/PUU-XX/2022. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 80/PUU-XX/2022, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang beserta jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian atas Pasal 187 ayat (1) dan ayat (5), Pasal 189 ayat (1) dan ayat (5), dan Pasal 192 ayat (1) UU 7/2017, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.13] Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa secara saksama permohonan a quo, bukti-bukti yang diajukan Pemohon, dan ahli yang diajukan oleh Pemohon, keterangan Dewan Perwakilan Rakyat, keterangan Presiden, keterangan Komisi Pemilihan Umum, pada pokoknya permohonan Pemohon dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok.
Pertama, pengujian konstitusionalitas norma Pasal 187 ayat (1), Pasal 189 ayat (1), dan Pasal 192 ayat (1) UU 7/2017 berkenaan dengan penyusunan daerah pemilihan harus didasarkan pada ketentuan dalam norma Pasal 185 UU 7/2017. Ihwal ketiga norma dimaksud, Pemohon menghendaki norma Pasal 187 ayat (1), Pasal 189 ayat (1), dan Pasal 192 ayat (1) UU 7/2017 ditambahkan penegasan bahwa penyusunan daerah pemilihan harus didasarkan pada ketentuan Pasal 185 UU 7/2017 yang menyatakan, “Penyusunan daerah pemilihan anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota memperhatikan prinsip: a. keseteraan nilai suara; b. ketaatan pada sistem pemilu yang proporsional; c. proporsionalitas; d. integralitas wilayah; e. berada dalam cakupan wilayah yang sama; f. kohesivitas; dan g. kesinambungan”. Tanpa menambahkan penegasan prinsip dalam norma Pasal 185 UU 7/2017 dimaksud, sebagaimana didalilkan Pemohon, norma Pasal 187 ayat (1), Pasal 189 ayat (1), dan Pasal 192 ayat (1) UU 7/2017 menjadi inkonstitusional.
Kedua, pengujian konstitusionalitas norma Pasal 187 ayat (5) dan Pasal 189 ayat (5) UU 7/2017 ihwal daerah pemilihan dan jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPR; serta daerah pemilihan dan jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPRD provinsi, sebagaimana didalilkan oleh Pemohon adalah inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai “daerah pemilihan dan jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPR; serta daerah pemilihan dan jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPRD provinsi ditetapkan dengan Peraturan KPU”. Dengan dalil dimaksud, Pemohon sekaligus juga menghendaki agar Lampiran III UU 7/2017 tentang Daerah Pemilihan Anggota DPR dan Lampiran IV UU 7/2017 tentang Daerah Pemilihan Anggota DPRD Provinsi bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;
Meskipun dalil Pemohon dapat dibedakan atas dua kelompok, perlu Mahkamah tegaskan, setelah membaca dan memeriksa secara saksama permohonan a quo, terutama uraian dalam alasan-alasan mengajukan permohonan (posita, fundamentum petendi) menunjukkan arah argumentasi yang saling berhimpitan (berkelindan) di antara keduanya. Argumentasi yang saling berkelindan tersebut, salah satunya, tidak dapat dilepaskan dari posisi semua norma yang diuji konstitusionalitasnya berada dalam satu bab dengan isu yang sama, yaitu norma yang berkenaan dengan daerah pemilihan. Bahkan, dengan membaca dan memeriksa secara saksama permohonan a quo, arah permohonan Pemohon lebih fokus pada penilaian atau masalah konstitusionalitas norma Pasal 187 ayat (5) dan Pasal 189 ayat (5) UU 7/2017 dibandingkan penilaian terhadap konstitusionalitas norma Pasal 187 ayat (1), Pasal 189 ayat (1), dan Pasal 192 ayat (1) UU 7/2017.

[3.14] Menimbang bahwa berkenaan dengan kelompok pertama, yaitu ihwal pengujian konstitusionalitas norma Pasal 187 ayat (1), Pasal 189 ayat (1), dan Pasal 192 ayat (1) UU 7/2017, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: Bahwa secara sistematis, norma Pasal 187 ayat (1), Pasal 189 ayat (1), dan Pasal 192 ayat (1) UU 7/2017 yang diuji konstitusionalitasnya oleh Pemohon berada dalam satu bab, yaitu Bab III tentang “Jumlah Kursi dan Daerah Pemilihan”. Ketika menguraikan norma dalam Bab III dimaksud, pembentuk undang-undang memulai pengaturan norma di dalam bab a quo dengan ketentuan noma Pasal 185 yang memaktubkan prinsip dalam penyusunan daerah pemilihan anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Dalam hal ini, norma Pasal 185 UU 7/2017 menyatakan, “penyusunan daerah pemilihan anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota memperhatikan prinsip, yaitu: a. kesetaraan nilai suara; b. ketaatan pada sistem pemilu yang proporsional; c. proporsionalitas; d. Integralitas wilayah; e. berada dalam cakupan wilayah yang sama; f. kohesivitas; dan g. kesinambungan”. Tidak hanya sebatas menyatakan prinsip dalam penyusunan daerah pemilihan anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, UU 7/2017 juga menjelaskan maksud dari setiap prinsip dimaksud sebagaimana termaktub dalam Penjelasan Pasal 185 UU 7/2017.
Bahwa salah satu masalah utama yang harus dijelaskan berkenaan dengan norma Pasal 185 UU 7/2017 adalah makna “prinsip” yang dimaktubkan dalam suatu norma. Dalam hal ini, secara normatif, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 12/2011) tidak memberikan pengertian tentang kata “prinsip” dimaksud. Satu-satunya pedoman untuk menjelaskan kata dimaksud yaitu dengan merujuk Lampiran I UU 12/2011 ketika menjelaskan ihwal Teknik Penyususan Naskah Akademik Peraturan Perundang-undangan. Berkenaan dengan hal ini, UU 12/2011 menyejajarkan penulisan kata “asas” dan kata “prinsip” menggunakan pola menempatkan keduanya dengan garis miring. Penyejajaran penulisan kedua kata dimaksud dapat ditemui ketika menuliskan kalimat: “kajian terhadap asas/prinsip yang terkait dengan penyusunan norma”. Namun demikian, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online, kata “asas” dimaknai sebagai dasar, yaitu sesuatu yang menjadi tumpuan berfikir atau berpendapat. Sementara kata “prinsip” dimaknai sebagai asas, yaitu sesuatu kebenaran yang menjadi pokok dasar berfikir, bertindak, dan sebagainya. Sekalipun secara gramatikal, kata “asas” dan kata “prinsip” dapat dibedakan, namun membedakan keduanya secara tegas menjadi sesuatu yang tidak mudah dilakukan. Menurut Mahkamah, penyejajaran penulisan kata “asas” dan kata “prinsip” dalam UU 12/2011 karena keduanya memiliki kelindan. Dalam hal ini, secara doktriner, karena di dalamnya mengandung makna “memiliki kebenaran”, keberadaan kata “prinsip” menguatkan posisi asas. Artinya, keberadaan prinsip-prinsip hukum dalam unsur-unsur pembentukan hukum adalah memperkuat agar nilai-nilai hukum yang terkandung dalam suatu asas-asas hukum diterima oleh masyarakat.
Bahwa dengan penjelasan di atas, 7 (tujuh) prinsip penyusunan daerah pemilihan anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota dalam norma Pasal 185 UU 7/2017 dimaksudkan untuk memperkuat asas-asas pemilihan umum, yaitu asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, dan dilaksanakan secara berkala dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Selain itu, 7 (tujuh) prinsip penyusunan daerah pemilihan anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota dalam norma Pasal 185 UU 7/2017 juga memperkuat asas pemilihan umum sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU 7/2017. Dengan keberadaan kata “prinsip” berkelindan dengan kata “asas” dan sekaligus memperkuat keberadaan asas, jika dikaitkan dengan keseluruhan norma dalam Bab III UU 7/2017, penerapan norma-norma lain yang berada dalam lingkup penyusunan daerah pemilihan harus tunduk pada prinsip yang ditentukan dalam norma Pasal 185 UU 7/2017. Keharusan untuk tunduk pada prinsip tersebut merupakan bentuk nyata atas pemenuhan asas-asas pemilihan umum yang diatur dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.
Bahwa apabila dikaitkan dengan dalil Pemohon yang menghendaki norma Pasal 187 ayat (1), Pasal 189 ayat (1), dan Pasal 192 ayat (1) UU 7/2017 diperlukan penegasan berkenaan dengan penyusunan daerah pemilihan anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, yaitu penegasan berupa pemaknaan (konstitusional bersyarat) perihal penyusunan dimaksud didasarkan kepada norma Pasal 185 UU 7/2017. Bilamana tidak dimaknai demikian, menurut Pemohon, norma Pasal 187 ayat (1), Pasal 189 ayat (1), dan Pasal 192 ayat (1) UU 7/2017 menjadi inkonstitusional. Sebagaimana diuraikan pada paragraf di atas, sebagai norma yang berisikan prinsip-prinsip dalam penyusunan daerah pemilihan, Pasal 185 UU 7/2017 harus diposisikan sebagai norma yang menyinari sekaligus mewadahi kebenaran yang menjadi dasar berfikir dan sekaligus dasar bertindak segala hal yang berkaitan dengan penyusunan daerah pemilihan anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Menurut Mahkamah, ketujuh prinsip penyusunan daerah pemilihan tersebut wajib dijadikan dasar dalam menyusun daerah pemilihan. Namun, setelah Mahkamah mencermati norma Pasal 187 ayat (1), Pasal 189 ayat (1), dan Pasal 192 ayat (1) UU 7/2017, ketiga norma a quo tersebut berisikan ruang lingkup daerah pemilihan anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Artinya, sekiranya terdapat ketidaksesuaian antara prinsip-prinsip dengan praktik penyusunan daerah pemilihan anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, hal demikian haruslah dipandang sebagai persoalan implementasi norma, bukan merupakan persoalan konstitusionalitas norma. Terlebih lagi, dalam teknis penyusunan norma, menambahkan makna sebagaimana yang dikehendaki Pemohon, yaitu dengan cara menambahkan frasa “yang penyusunannya didasarkan pada ketentuan dalam Pasal 185” untuk norma Pasal 187 ayat (1), Pasal 189 ayat (1), dan Pasal 192 ayat (1) UU 7/2017 adalah sesuatu yang berlebihan. Apalagi, penambahan pemaknaan sebagaimana yang dikehendaki Pemohon dapat menggerus posisi Pasal 185 sebagai norma yang menyinari dan mewadahi kebenaran dasar berfikir dan sekaligus dasar bertindak dalam menyusun daerah pemilihan sebagaimana termaktub dalam norma Pasal 187 ayat (1), Pasal 189 ayat (1), dan Pasal 192 ayat (1) UU 7/2017.
Bahwa berdasarkan uraian di atas, dalil Pemohon yang menyatakan norma Pasal 187 ayat (1), Pasal 189 ayat (1), dan Pasal 192 ayat (1) UU 7/2017 bilamana tidak dimaknai yang pada intinya daerah pemilihan anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota yang penyusunannya didasarkan pada ketentuan dalam Pasal 185 UU 7/2017 bertentangan dengan kedaulatan rakyat, negara hukum, asas-asas pemilihan umum dan kepastian hukum yang adil dalam UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.15] Menimbang bahwa berkenaan dengan kelompok kedua, yaitu ihwal pengujian konstitusionalitas norma Pasal 187 ayat (5) dan Pasal 189 ayat (5) UU 7/2017 termasuk Lampiran III dan Lampiran IV sebagai ikutan kedua norma dimaksud. Norma pengaturan daerah pemilihan anggota DPR dan anggota DPRD provinsi serta Lampiran III dan Lampiran IV dipersoalkan konstitusionalitasnya karena dinilai Pemohon bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3), Pasal 22E ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Berkenaan dengan dalil tersebut, untuk menjelaskan ihwal pengaturan daerah pemilihan anggota DPR dan anggota DPRD provinsi dalam norma Pasal 187 ayat (5) dan Pasal 189 ayat (5) UU 7/2017 serta pencantuman dalam Lampiran III dan Lampiran IV UU 7/2017 bertentangan dengan UUD 1945, asas pemilihan umum “jujur” dan “adil” dalam norma Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 menjadi dasar konstruksi konstitusional utama yang harus digunakan untuk menilai konstitusionalitas pengaturan norma-norma dan lampiran a quo. Jamak dipahami, kedua asas pemilihan umum tersebut menghendaki pengaturan dan penyelenggaraan pemilihan umum dilakukan dalam kerangka kontestasi pemilihan umum yang adil. Keadilan pemilihan umum dimaksud akan ditentukan oleh regulasi yang digunakan, proses penyelenggaraan yang menjamin kesetaraan semua peserta, perlindungan hak pilih, dan kemandirian penyelenggara dalam melaksanakan seluruh tahapan pemiliihan umum. Dalam konteks regulasi, keadilan akan ditentukan dari sejauh mana regulasi menentukan batas-batas kontestasi yang adil pada semua tahapan pemilihan umum yang ada, regulasi mampu memberi garansi semua peserta diperlakukan setara dan proporsional, dan ketentuan yang dimuat dalam regulasi mengandung kepastian hukum.

[3.15.1] Bahwa berdasarkan kerangka berpikir demikian, ihwal konstitusionalitas norma Pasal 187 ayat (5) dan Pasal 189 ayat (5) termasuk Lampiran III dan Lampiran IV UU 7/2017, menurut Mahkamah, semua rangkaian kontestasi pemilihan umum harus tunduk pada tahapan penyelenggaraan pemilihan umum. Dalam hal ini, norma Pasal 167 ayat (4) UU 7/2017 menentukan tahapan penyelenggaraan pemilihan umum meliputi:
a. perencanaan program dan anggaran serta penyusunan peraturan pelaksanaan penyelenggaraan pemilihan umum;
b. pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih;
c. pendaftaran dan verifikasi peserta pemilihan umum;
d. penetapan peserta pemilihan umum;
e. penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan;
f. pencalonan presiden dan wakil presiden serta anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota;
g. masa kampanye pemilihan umum;
h. masa tenang;
i. pemungutan dan penghitungan suara;
j. penetapan hasil pemilihan umum; dan
k. pengucapan sumpah/janji presiden dan wakil presiden serta anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.
Bahwa sesuai dengan norma Pasal 167 ayat (4) UU 7/2017, penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan merupakan salah satu dari 11 (sebelas) tahapan pemilihan umum. Secara konseptual, penetapan daerah pemilihan merupakan salah satu unsur yang membangun sistem pemilihan umum. Dengan demikian, penetapan daerah pemilihan merupakan bagian dari proses kontestasi pemilihan umum. Sebab, posisi daerah pemilihan merupakan bagian dari kompetisi bagi seluruh kontestan pemilihan umum untuk meraih suara pemilih dan penentuan perolehan jumlah kursi DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Sebagai area kompetisi, penentuan daerah pemilihan dan alokasi kursi harus rasional dan memenuhi prinsip-prinsip penentuan daerah pemilihan dan alokasi kursi. Demi menjaga rasionalitas dan pemenuhan prinsip-prinsip dalam menentukan daerah pemilihan dan alokasi kursi harus dilakukan dalam kerangka penyelenggaraan pemilihan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E UUD 1945. Selain itu, data kependudukan yang dinamis harus pula dijadikan sebagai basis utama penentuan daerah pemilihan anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari suatu kontestasi pemilihan umum ke kontestasi periode berikutnya.
Sementara itu, pengaturan dan pencantuman daerah pemilihan anggota DPR dan DPRD provinsi dalam Lampiran III dan Lampiran IV UU 7/2017 harus didasarkan pada prinsip kepastian hukum. Terkait dengan prinsip tersebut, konsep kepastian hukum yang dikehendaki ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah mencakup kejelasan pengaturan atau aturan yang ada tidak multitafsir atau tidak bertentangan satu sama lain. Pada saat yang sama, kepastian hukum juga menuntut aturan hukum yang mampu menjamin tidak adanya potensi konflik kepentingan dalam pengaturan dan penerapannya. Dalam kerangka itu, norma Pasal 187 ayat (5) dan Pasal 189 ayat (5) termasuk Lampiran III dan Lampiran IV UU 7/2017 harus mampu mewujudkan adanya jaminan kepastian hukum yang adil sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.

[3.15.2] Bahwa sebelum lebih jauh mempertimbangkan dan menjawab dalil-dalil yang dikemukakan Pemohon, perlu dijelaskan terlebih dulu pengaturan terkait dengan daerah pemilihan sejak penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 1999. Dalam hal ini, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum (UU 3/1999) menyerahkan ihwal kewenangan pembentukan daerah pemilihan dan jumlah alokasi kursi per-daerah pemilihan untuk pemilihan umum anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) [vide Pasal 4 ayat (2), Pasal 5 ayat (4) dan Pasal 6 ayat (4) UU 3/1999]. Begitu pula dengan Pemilihan Umum Tahun 2004, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU 12/2003) masih menempatkan KPU sebagai lembaga yang berwenang membentuk daerah pemilihan [vide Pasal 25 huruf e dan Pasal 46 ayat (2) UU 12/2003]. Pengaturan daerah pemilihan dalam kedua undang-undang a quo hanya diatur dalam pasal-pasal dan tidak termasuk memuat dalam lampiran undang-undang.
Bahwa berbeda dengan kedua undang-undang di atas, sejak penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2009, pengaturan daerah pemilihan tidak hanya dalam pasal-pasal undang-undang tetapi pemuatan daerah pemilihan anggota DPR dan DPRD provinsi juga dimuat dalam lampiran undang-undang, yaitu Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD; Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, dan UU 7/2017. Artinya, pengaturan daerah pemilihan demikian telah berjalan lebih kurang selama 3 (tiga) periode pemilihan umum. Selama itu pula, proses evaluasi terhadap pengaturan daerah pemilihan belum pernah dilakukan, kecuali apabila terdapat pemekaran daerah, baik provinsi atau kabupaten/kota yang kemudian diiringi dengan penambahan jumlah daerah pemilihan dan kursi DPR. Oleh karena itu, praktik pelaksanaan tiga kali pemilihan umum dimaksud sudah kuat menjadi basis penilaian terhadap pengaturan daerah pemilihan yang diadopsi dalam UU 7/2017. Sebagaimana didalilkan Pemohon, kesesuaian antar prinsip-prinsip penentuan daerah pemilihan dengan realitas penentuan daerah pemilihan perlu dipertimbangkan lebih jauh agar jaminan terhadap penyelenggaraan dan pemenuhan asas-asas pemilihan umum sebagaimana termaktub dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 dan keterpenuhan prinsip kepastian hukum pengaturan dan penetapan daerah pemilihan tetap dapat dijaga. Artinya, upaya memastikan asas-asas pemilihan umum dan kepastian hukum dimaksud sekaligus merupakan upaya mewujudkan kedaulatan rakyat dan prinsip negara hukum.

[3.15.3] Bahwa sehubungan dengan itu, dalil-dalil Pemohon berkenaan dengan terjadinya ketidakpastian hukum dalam pengaturan daerah pemilihan dalam Pasal 187 ayat (5) dan Pasal 189 ayat (5) UU 7/2017, termasuk pencantuman daerah pemilihan dalam Lampiran III dan Lampiran IV UU 7/2017, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
Bahwa UU 7/2017 secara tegas mengatur prinsip-prinsip penentuan daerah pemilihan, in casu dalam norma Pasal 185 UU 7/2017. Prinsip penentuan daerah pemilihan dimaksud mencakup: kesetaraan nilai suara, ketaatan pada sistem pemilihan umum proporsional, proporsionalitas, integralitas wilayah, berada dalam cakupan wilayah yang sama, kohesivitas, dan kesinambungan. Berdasarkan bukti-bukti yang dihadirkan di persidangan, khususnya bukti P-4 sampai dengan bukti P-6, keterangan Pemerintah dan keterangan DPR, penentuan daerah pemilihan sebagaimana dicantumkan dalam Lampiran III UU 7/2017 telah menghasilkan ketimpangan “harga” suara yang signifikan antar-daerah pemilihan, terjadinya disproporsionalitas jumlah dan alokasi kursi, dan terdapatnya daerah pemilihan yang tidak memenuhi prinsip integralitas wilayah di beberapa daerah pemilihan. Sekalipun ketimpangan “harga” suara masing-masing daerah pemilihan tidak hanya sekedar diukur memakai selisih suara masing-masing, tetapi juga harus mempertimbangkan kemahalan biaya yang mesti dikeluarkan peserta pemilihan umum dalam melaksanakan fungsi representasi. Dalam hal ini, ketimpangan “harga” kursi tidak boleh terjadi terutama jika ketimpangan tersebut menghasilkan standar deviasi yang sangat tinggi. Jika hal demikian terjadi, prinsip penentuan daerah pemilihan sesungguhnya telah terlanggar. Ketika alokasi atau penentuan daerah pemilihan tersebut dicantumkan dalam lampiran undang-undang, hal itu akan berdampak terhadap ketidaksinkronan antar-norma yang mengatur prinsip daerah pemilihan dengan lampiran undang-undang yang mencantumkan pembagian daerah pemilihan. Ketidaksinkronan dimaksud akan bermuara terjadinya ketidakpastian hukum dan sekaligus berdampak pada kedaulatan rakyat dan prinsip negara hukum.
Bahwa berkenaan dengan pertimbangan di atas, kepastian hukum sebuah norma juga harus didukung oleh tingkat keajegan suatu keadaan yang diatur oleh norma dimaksud. Dalam konteks ini, keajegan hal-hal dalam menentukan suatu daerah pemilihan sangat mempengaruhi kepastian pengaturan daerah pemilihan. Faktor utama yang mempengaruhi eksistensi sebuah daerah pemilihan adalah eksistensi daerah otonom dan jumlah penduduk. Ketika terjadi perubahan daerah otonom provinsi atau kabupaten/kota melalui kebijakan pemekaran atau penggabungan daerah, akan berdampak pada penentuan daerah pemilihan. Selain itu, perubahan komposisi jumlah penduduk, baik karena migrasi, penambahan atau pengurangan jumlah penduduk juga akan mempengaruhi daerah pemilihan dan alokasi kursi. Hal yang menyebabkan dinamisnya faktor-faktor yang memengaruhi penetapan daerah pemilihan, membuat atau menempatkan pencantuman daerah pemilihan dalam lampiran suatu undang-undang akan menyebabkan penentuan daerah pemilihan untuk menyesuaikan dengan perubahan keadaan baik disebabkan adanya perubahan daerah otonom maupun karena adanya perubahan jumlah penduduk sehingga menjadi tidak mungkin dilakukan tanpa melakukan perubahan terhadap undang-undang dimaksud. Artinya, pemuatan daerah pemilihan dalam lampiran undang-undang justru akan menimbulkan ketidakpastian dalam memenuhi prinsip-prinsip penyusunan atau penentuan daerah pemilihan. Ketidakpastian tersebut semakin terasa bilamana terdapat fakta perihal politik legislasi undang-undang pemilihan umum justru menuju pada titik tidak dilakukan perubahan setiap periode pemilihan umun, melainkan digunakan atau diberlakukan untuk beberapa periode pemilihan umum. Oleh karena itu, demi menjaga kepastian hukum dalam penentuan atau penyesuaian daerah pemilihan, pencantuman dalam lampiran undang-undang pemilihan umum jelas memiliki masalah konstitusional yang berpotensi mengancam kedaulatan rakyat, kepastian hukum, dan asas-asas pemilihan umum yang diatur dalam UUD 1945. Bahwa merujuk pengaturan tentang tahapan penyelenggaraan pemilihan umum sebagaimana dimaktubkan dalam norma Pasal 167 ayat (4) UU 7/2017, penetapan daerah pemilihan merupakan salah satu dari 11 (sebelas) tahapan pemilihan umum yang dijalankan dalam penyelenggaraan pemilihan umum. Sejalan dengan itu, secara normatif, UU 7/2017 mengatur penyelenggaraan seluruh tahapan pemilihan umum merupakan tugas KPU. Pengaturan demikian merupakan konsekuensi logis dari ketentuan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945. Berkaitan dengan hal ini, ketentuan Pasal 12 huruf d UU 7/2017 menyatakan, “KPU bertugas mengoordinasikan, menyelenggarakan, mengendalikan, dan memantau semua tahapan pemilihan umum”. Jika ketentuan Pasal 167 ayat (4) dan Pasal 12 UU 7/2017 dibaca dalam hubungan sistematis, konstruksi normanya secara sederhana dipahami “pelaksanaan tahapan pemilihan umum berupa penetapan daerah pemilihan merupakan tugas dari KPU sebagai penyelenggara pemilihan umum”. Bilamana daerah pemilihan ditetapkan sebagai bagian dari undang-undang, berarti pembentuk undang-undang telah mengambil peran dalam penetapan daerah pemilihan. Padahal, penetapan daerah pemilihan merupakan suatu tahapan dari penyelenggaraan pemilihan umum yang berada dalam lingkup tugas KPU. Dengan demikian, selama penetapan daerah pemilihan menjadi bagian dari Lampiran undang-undang, KPU akan kehilangan peran secara signifikan dalam penentuan daerah pemilihan. Bagaimanapun dengan diaturnya daerah pemilihan dalam lampiran undang-undang, penetapan daerah pemilihan tidak lagi menjadi bagian dari tugas KPU. Realitas demikian menunjukkan terdapat contradictio in terminis antara norma yang mengatur tentang penetapan daerah pemilihan dan wewenang KPU untuk menetapkan daerah pemilihan dengan ketentuan yang mengatur tentang daerah pemilihan dan pencantuman daerah pemilihan anggota DPR dan DPRD provinsi. Kondisi ini tentunya tidak sejalan dengan mandat Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menuntut adanya jaminan kepastian hukum terhadap hal-hal yang diadopsi dalam undang-undang.

[3.15.4] Bahwa dengan maksud menjaga penerapan asas adil dalam penyelenggaraan pemilihan umum sebagaimana amanat norma Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 dan mengakhiri ketidakpastian hukum yang muncul akibat ketidaksinkronan norma yang satu dengan yang lain terkait dengan penetapan daerah pemilihan dalam UU Pemilihan Umum. Langkah yang mesti dilakukan adalah mengeluarkan rincian pembagian daerah pemilihan dan alokasi kursi dari lampiran UU 7/2017 dan menyerahkan penetapannya kepada KPU melalui Peraturan KPU. Pilihan ini akan sejalan dengan kerangka tugas KPU dan tahapan pemilihan umum yang diatur UU 7/2017. Artinya, dengan mengembalikan tugas penetapan daerah pemilihan, in casu penetapan daerah pemilihan serta alokasi kursi pada masing-masing daerah pemilihan, baik bagi anggota DPR maupun DPRD provinsi, segala potensi pertentangan UU 7/2017 dengan UUD 1945 akibat adanya ketidakpastian hukum akan dapat dijawab dan diakhiri. Dalam hal ini, Undang-Undang Pemilihan Umum cukup mengatur prinsip-prinsip penentuan daerah pemilihan, jumlah kursi minimal dan maksimal setiap daerah pemilihan, serta total jumlah kursi DPR dan DPRD. Sementara itu, rincian berkenaan dengan pembagiannya diserahkan kepada KPU untuk diatur dengan Peraturan KPU sesuai dengan ketentuan Pasal 167 ayat (8) UU 7/2017 yang intinya menyatakan ketentuan lebih lanjut mengenai rincian tahapan penyelenggaraan pemilihan umum diatur dengan Peraturan KPU. Dengan mengembalikan tugas ini kepada KPU maka perubahan jumlah penduduk yang menjadi basis penetapan daerah pemilihan akan lebih mudah dan cepat dilakukan dan disesuaikan tanpa harus mengubah undang-undang. Pilihan ini lebih tepat untuk menghindari atau mengatasi soal ketidakpastian hukum akibat pencantuman rincian daerah pemilihan dalam lampiran undang-undang. Namun demikian, hal terpenting yang harus dilakukan, dalam menyusun peraturan dimaksud, KPU tetap berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah [vide Pasal 75 ayat (4) UU 7/2017 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-XIV/2016 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 10 Juli 2017].

[3.15.5] Bahwa apabila dikaitkan dengan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 yang menyatakan, “Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri”, mengembalikan tugas penentuan daerah pemilihan secara utuh kepada KPU, termasuk daerah pemilihan DPR dan DPRD provinsi dapat menjaga kualitas penyelenggaran pemilihan umum. Terkait dengan hal tersebut, mempertahankan tugas KPU dalam semua tahapan pemilu sejak awal hingga akhir, menjadi bagian dari upaya menjaga independesi penyelenggaraan pemilihan umum. Sebab, bilamana terdapat pihak lain yang ikut menentukan tahapan, terbuka kemungkinan terjadinya benturan kepentingan (conflict of interest). Benturan kepentingan tersebut amat mudah dilacak dari kebijakan penentuan daerah pemilihan, terutama daerah pemilihan bagi anggota DPR. Terlebih lagi, dalam perkembangan penentuan daerah pemilihan disadari terdapat daerah-daerah yang tidak proporsional dalam pendistribusian jumlah kursi di DPR atau ketidakberimbangan jumlah penduduk dengan jumlah alokasi kursi DPR. Karena itu, secara faktual, terdapat sejumlah provinsi yang memiliki keterwakilan atau alokasi kursi di DPR lebih besar dibandingkan proporsi jumlah penduduk (over represented) dan terdapat pula sejumlah provinsi yang memiliki keterwakilan atau alokasi kursi di DPR lebih kecil jika dibandingkan proporsi jumlah penduduk (under represented). Apabila fakta tersebut tidak diperbaiki, penentuan jumlah kursi akan semakin menjauh dari keadilan keterwakilan wilayah dan prinsip proporsionalitas dalam sistem pemilihan umum proporsional.
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, agar ketentuan dalam norma Pasal 187 ayat (5) dan Pasal 189 ayat (5) UU 7/2017 termasuk Lampiran III dan Lampiran IV berkenaan dengan pengaturan daerah pemilihan anggota DPR dan anggota DPRD provinsi agar tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3), Pasal 22E ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, Mahkamah tidak mempunyai pilihan dan demi mewujudkan penyelenggaraan pemilihan yang jujur dan adil, menyatakan bahwa daerah pemilihan dan jumlah kursi pada setiap daerah pemilihan, termasuk untuk DPR dan DPRD provinsi diatur dalam Peraturan KPU sebagaimana dimuat dalam amar putusan a quo. Karena penentuan daerah pemilihan dan alokasi kursi diatur dalam Peraturan KPU, maka implikasinya Lampiran III UU 7/2017 yang menentukan Daerah Pemilihan Anggota DPR RI dan Lampiran IV UU 7/2017 yang menentukan Daerah Pemilihan Anggota DPRD Provinsi harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian, dalil-dalil Pemohon perihal Pasal 187 ayat (5) dan Pasal 189 ayat (5) UU 7/2017 termasuk Lampiran III dan Lampiran IV UU 7/2017 bertentangan dengan kedaulatan rakyat, prinsip negara hukum, asas-asas pemilihan umum dan kepastian hukum yang adil adalah beralasan menurut hukum.

[3.16] Menimbang bahwa dengan pendirian Mahkamah pada Paragraf [3.15] di atas, oleh karena kewenangan penetapan rincian daerah pemilihan dan alokasi kursi DPR dan DPRD provinsi kembali menjadi wewenang KPU, sementara tahapan penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan sudah dimulai sejak tanggal 14 Oktober 2022 dan akan berakhir pada tanggal 9 Februari 2023. Artinya, tahapan dimaksud belum berakhir, Mahkamah perlu menegaskan agar dalam menetapkan daerah pemilihan dan jumlah kursi di setiap daerah pemilihan disusun sesuai dengan prinsip-prinsip penetapan daerah pemilihan sebagaimana diatur dalam Pasal 185 UU 7/2017. Selain itu, dalam penentuan daerah pemilihan dan evaluasi penetapan jumlah kursi di masing-masing daerah pemilihan sebagaimana dimaksudkan dalam Putusan a quo dilaksanakan untuk kepentingan penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2024 dan pemilihan umum selanjutnya.
Bahwa terkait dengan hal tersebut, Mahkamah juga perlu memberikan batasan bahwa dalam mengevaluasi penerapan prinsip penentuan daerah pemilihan, misalnya prinsip kesetaraan nilai suara dan prinsip proporsionalitas antardaerah pemilihan, KPU tidak hanya sekadar mempertimbangkan tinggi rendahnya “harga” kursi dari aspek jumlah suara untuk masing-masing kursi di daerah pemilihan, namun juga mempertimbangkan aspek strategis lainnya seperti tingginya nilai sebuah kursi yang ditanggung peserta pemilihan umum. Sehingga, proporsionalitas kursi antara daerah pemilihan, terutama antara daerah pemilihan di Pulau Jawa dengan daerah pemilihan di Luar Jawa tetap dapat dijaga secara proporsional.

[3.17] Menimbang bahwa dalam hal terjadi perubahan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penetapan daerah pemilihan dan penentuan alokasi kursi daerah pemilihan, perubahan dimaksud harus disesuaikan dengan Putusan a quo.

[3.18] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah permohonan Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.

[3.19] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut oleh Mahkamah karena tidak ada relevansinya.

1. Bahwa terhadap Putusan MK dalam Perkara Nomor 80/PUU-XX/2022 sebagaimana diuraikan diatas, untuk memberikan kepastian hukum pada Pasal 187 ayat (1) dan ayat (5), Pasal 189 ayat (1) dan ayat (5), dan Pasal 192 ayat (1) UU 7/2017, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan saran sebagai berikut:
a. Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 80/PUU-XX/2022 sebagai bahan dalam penyusunan Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka.
b. Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 80/PUU-XX/2022 sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan UU 7/2017.
2. Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh seluruh organ penyelenggara Negara, organ penegak hukum dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 80/PUU-XX/2022 mengenai Pasal 187 ayat (1) dan ayat (5), Pasal 189 ayat (1) dan ayat (5), dan Pasal 192 ayat (1) UU 7/2017 yang dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagaimana pemaknaan yang diberikan oleh MK, agar tidak menimbulkan ketidakpastian hukum, dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan Perubahan UU 7/2017.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dikabulkan Sebagian Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN AKHIR MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 70/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2021 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 20-12-2022

Bahwa pada hari Selasa tanggal 20 Desember 2022, pukul 12.17 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan (selanjutnya disebut UU Kejaksaan) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 70/PUU-XX/2022. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 70/PUU-XX/2022, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang beserta jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 40A UU Kejaksaan dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.8] Menimbang bahwa sebelum menilai konstitusionalitas Pasal 40A UU 11/2021 terlebih dahulu Mahkamah akan mempertimbangkan permohonan para Pemohon dikaitkan dengan ketentuan Pasal 60 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) dan Pasal 78 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021), apakah terhadap norma a quo dapat dimohonkan pengujiannya kembali.
Pasal 60 UU MK menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.
Pasal 78 PMK 2/2021 menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam UU yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda atau terdapat alasan permohonan yang berbeda.

Bahwa terhadap persoalan tersebut Mahkamah mempertimbangkan bahwa ketentuan Pasal 40A UU 11/2021 pernah diajukan pengujian ke Mahkamah Konstitusi dan telah diputus dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-XX/2022, yang diucapkan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum pada Rabu, 20 April 2022 yang amarnya menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima karena permohonan para Pemohon bersifat kabur. Sementara itu, dalam Perkara Nomor 27/PUU-XX/2022 yang dimohonkan adalah pengujian Pasal 40A UU 11/2021 terhadap Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, sedangkan untuk permohonan para Pemohon a quo yang dilakukan pengujian adalah Pasal 40A UU 11/2021 terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Bahwa terhadap persoalan di atas, setelah Mahkamah mencermati dalil-dalil permohonan para Pemohon, meskipun pasal yang diujikan sama namun terhadap permohonan a quo menggunakan dasar pengujian yang berbeda. Terlebih lagi, terhadap permohonan sebelumnya Mahkamah juga belum menilai dalil pokok permohonan karena permohonan para Pemohon tidak memenuhi syarat formil (permohonan para Pemohon bersifat kabur). Dengan demikian, terlepas secara substansial permohonan a quo beralasan atau tidak, secara formal permohonan a quo berdasarkan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 ayat (2) PMK 2/2021 beralasan untuk dapat diajukan kembali. Oleh karenanya, Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan lebih lanjut.

[3.9] Menimbang bahwa kejaksaan merupakan lembaga pemerintahan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang [vide Penjelasan Umum UU 11/2021]. Dalam melaksanakan kekuasaan dan/atau kewenangannya tersebut, kejaksaan harus merdeka dan bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun, meskipun berkaitan dengan kedudukan kejaksaan a quo Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 49/PUU-VIII/2010 yang diucapkan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum pada 18 Oktober 2011, menyatakan pada pokoknya, kejaksaan termasuk lembaga pemerintahan, yang ditandai dengan masa jabatan Jaksa Agung yang dilantik dan berhenti bersamaan dengan masa jabatan kabinet. Oleh karena itu, berdasarkan penegasan Mahkamah a quo terjadi dual obligation atas kedudukan kejaksaan, yaitu sebagai penegak hukum yang melaksanakan fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman dan sebagai lembaga pemerintah yang bertanggung jawab kepada Presiden sebagai kepala pemerintahan (eksekutif). Dengan demikian, sebagai konsekuensi logis dan yuridis dengan adanya dual obligation ini maka kedudukan kejaksaan adalah penting dalam sistem ketatanegaraan Indonesia sekalipun tidak disebutkan dalam UUD 1945. Sehingga dalam penataan organisasi kejaksaan, meskipun merupakan bagian dari lembaga pemerintah, namun oleh karena kejaksaan juga menjalankan fungsi penegakan hukum yang merupakan bagian dari pelaku kekuasaan kehakiman, maka harus pula memperhatikan prinsip-prinsip independensi sebagaimana sebuah lembaga penegak hukum pada umumnya.

[3.10] Menimbang bahwa sejak tahun 1961 telah ada undang-undang yang mengatur mengenai institusi kejaksaan yaitu dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia. Kemudian UU a quo dicabut dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, lalu kembali dicabut dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang akhirnya diubah dengan UU 11/2021 yang saat ini dimohonkan pengujiannya oleh para Pemohon.
Bahwa UU 11/2021 membawa perubahan yang cukup signifikan pada institusi kejaksaan. Terdapat tambahan tugas dan kewenangan kejaksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 30A, Pasal 30B, dan Pasal 30C UU 11/2021 antara lain di bidang pemulihan aset, di bidang intelijen penegakan hukum, serta kewenangan lainnya yang dinyatakan dalam dan Pasal 30C UU 11/2021. Selain itu UU 11/2021 juga mengatur perubahan pada batasan usia dalam syarat untuk diangkat sebagai jaksa dan batas usia pensiun jaksa.
[3.11] Menimbang bahwa yang menjadi persoalan utama dalam permohonan para Pemohon adalah perubahan batas usia pensiun jaksa, yang sebelumnya 62 tahun sebagaimana diatur dalam UU 16/2004, menjadi 60 tahun sebagaimana diatur dalam UU 11/2021. Berkaitan dengan batasan usia pensiun, pada prinsipnya Mahkamah telah berpendirian dalam putusan-putusan terdahulu bahwa hal tersebut merupakan kebijakan hukum pembentuk undang-undang sebagaimana ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011, yang diucapkan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum pada 18 Oktober 2011 dan ditegaskan kembali dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 96/PUU-XVIII/2020 yang diucapkan dalam dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum pada 20 Juni 2022, pada pokoknya menyatakan sebagai berikut:
“Dalam kaitan dengan kriteria usia, UUD 1945 tidak menentukan batasan usia minimum tertentu sebagai kriteria yang berlaku umum untuk semua jabatan atau aktivitas pemerintahan. Artinya, UUD 1945 menyerahkan kepada pembentuk Undang-Undang untuk mengaturnya. Selain itu, Mahkamah dalam putusan Nomor 15/PUU-V/2007, tanggal 27 November 2007 dan putusan Nomor 37- 39/PUU-VIII/2010, tanggal 15 Oktober 2010 pada intinya telah mempertimbangkan bahwa dalam kaitannya dengan kriteria usia UUD 1945 tidak menentukan batasan usia minimum tertentu untuk menduduki semua jabatan dan aktivitas pemerintahan. Hal ini merupakan kebijakan hukum terbuka (opened legal policy), yang sewaktu-waktu dapat diubah oleh pembentuk Undang-Undang sesuai dengan tuntutan kebutuhan perkembangan yang ada. Hal tersebut sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk Undang-Undang yang, apapun pilihannya, tidak dilarang dan tidak bertentangan dengan UUD 1945…”

Bahwa dengan demikian menurut Mahkamah tidak ada persoalan dengan penurunan batas usia pensiun jaksa yang sebelumnya 62 tahun menjadi 60 tahun dengan berlakunya UU 11/2021 karena hal tersebut sepenuhnya adalah kewenangan pembentuk undang-undang sebagai sebuah kebijakan hukum terbuka, yang sewaktu-waktu dapat diubah sesuai kebutuhan. Termasuk dalam hal ini adalah penurunan batas usia pensiun jaksa dalam UU 11/2021 yang juga dibarengi dengan perubahan ketentuan syarat usia minimal untuk diangkat menjadi jaksa yang sebelumnya dalam UU 16/2004 batas usia pengangkatan jaksa paling rendah adalah 25 tahun, lalu diturunkan menjadi 23 tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1) huruf e UU 11/2021 yaitu:
“(1) Syarat untuk dapat diangkat menjadi Jaksa adalah:
e. berumur paling rendah 23 (dua puluh tiga) tahun dan paling tinggi 30 (tiga puluh) tahun;

Bahwa berkaitan dengan batasan usia pada umumnya dan termasuk usia pensiun maupun usia minimum pengangkatan untuk jaksa, sebagaimana telah dipertimbangkan sebelumnya, adalah menjadi kebijakan pembentuk undang-undang yang merupakan bagian dari politik hukum pembentuk undang-undang untuk dilakukan penyesuaian dengan kebutuhan institusi Kejaksaan Republik Indonesia. Hal ini sebagaimana diterangkan oleh Pihak Terkait Kejaksaan Republik Indonesia dalam keterangan tertulisnya, pada pokoknya menegaskan bahwa menghadapi perkembangan modernisasi dan memenuhi ekspektasi negara dan masyarakat, Politik hukum perubahan usia jaksa tidak hanya terhadap batas usia pensiun, perubahan juga berkaitan dengan ketentuan syarat usia minimal untuk dapat diangkat menjadi jaksa paling rendah 23 (dua puluh tiga) tahun dan paling tinggi 30 (tiga puluh) tahun, yang sebelumnya berusia paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun dan paling tinggi 35 (tiga puluh lima) tahun sebagaimana termuat dalam Pasal 9 UU Kejaksaan. Oleh karena itu, keadaan perubahan usia pensiun dan syarat usia minimal diangkat menjadi jaksa sebagaimana diatur dalam UU Kejaksaan merupakan politik hukum yang berkaitan dengan perbaikan sumber daya manusia di institusi Kejaksaan Republik Indonesia [vide keterangan tertulis Pihak Terkait Kejaksaan RI hlm. 6-7]
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut, terkait dengan penurunan batas usia pensiun jaksa sebagaimana yang diatur dalam Pasal 12 huruf c UU 11/2021 Mahkamah berpendapat tidak terdapat persoalan konstitusionalitas terhadap ketentuan norma a quo. Meskipun secara faktual norma a quo tidak dimohonkan pengujian oleh para Pemohon, namun oleh karena para Pemohon mempersoalkan konstitusionalitas norma Pasal 40A UU 11/2021, maka di dalam mempertimbangkan konstitusionalitas ketentuan norma tersebut tidak dapat dipisahkan dengan tanpa terlebih dahulu mempertimbangkan inkonstitusionalitas ketentuan norma Pasal 12 huruf c UU 11/2021 a quo. Oleh karena itu, Mahkamah selanjutnya akan mempertimbangkan inkonstitusionalitas ketentuan norma Pasal 40A UU 11/2021 yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon dengan alasan tidak memberikan kepastian hukum yang adil dan bersifat diskriminatif.
[3.12] Menimbang bahwa Pasal 40A UU 11/2021 menyatakan, “Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, pemberhentian jaksa yang berusia 60 (enam puluh) tahun atau lebih tetap mengikuti ketentuan batas usia pensiun sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4401)” adalah ketentuan peralihan yang mengatur pemberlakuan Pasal 12 huruf c UU 11/2021 yang menentukan bahwa jaksa diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena telah mencapai usia 60 tahun. Berkaitan penentuan batas usia pensiun a quo, ketentuan peralihan ini diperlukan karena ketentuan norma Pasal 12 huruf c UU 11/2021 berakibat hukum kepada jaksa yang terdampak akibat perubahan batasan usia pensiun jaksa yang semula 62 tahun menjadi 60 tahun. Perubahan batas usia pensiun ini menimbulkan persoalan bagi jaksa yang akan, telah, atau melewati usia 60 tahun, oleh karena itu ketentuan peralihan a quo menjadi hal yang fundamental untuk menjadi rujukan dalam pemberlakuan aturan peralihan norma usia pensiun jaksa a quo terkait dengan kepastian hukum yang adil dan tidak bersifat diskriminatif.
Bahwa lebih lanjut dijelaskan, sebagai sebuah ketentuan peralihan maka Pasal 40A UU 11/2021 terikat dengan batasan yang ditetapkan pada Bagian C.4 angka 127 Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 12/2011) yang menyatakan:
Ketentuan Peralihan memuat penyesuaian pengaturan tindakan hukum atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang lama terhadap Peraturan Perundang-undangan yang baru, yang bertujuan untuk:
a. menghindari terjadinya kekosongan hukum;
b. menjamin kepastian hukum;
c. memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan ketentuan Peraturan Perundang-undangan; dan
d. mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara.

Bahwa terkait ketentuan tersebut, Mahkamah dalam putusan terdahulu telah berpendirian bahwa pada dasarnya ketentuan peralihan merupakan norma hukum dalam suatu peraturan perundang-undangan yang dimaksudkan sebagai “jembatan” antara keberlakuan norma (undang-undang) yang lama dengan keberlakuan norma (undang-undang) yang baru, atau norma pengganti. Oleh karena itu, ketentuan peralihan memuat penyesuaian atas peraturan perundang-undangan yang sudah ada pada saat peraturan perundang-undangan baru mulai berlaku, agar peraturan perundang-undangan yang baru tersebut dapat berjalan efektif dan tidak menimbulkan permasalahan hukum [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011, hlm. 77 yang diucapkan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum pada 18 Oktober 2011 dan ditegaskan kembali dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 96/PUU-XVIII/2020, hlm 125 yang diucapkan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum pada 20 Juni 2022].
Bahwa dengan demikian yang menjadi persoalan konstitusional selanjutnya yang harus dijawab oleh Mahkamah adalah, apakah Pasal 40A UU 11/2021 sebagai sebuah ketentuan peralihan sudah memberikan perlindungan hukum yang adil dan tidak bersifat diskriminatif bagi pihak yang terkena dampak atas adanya perubahan ketentuan peraturan perundang-undangan dimaksud. Untuk menjawab persoalan a quo Mahkamah akan terlebih dahulu menilai dengan cara memaknai ketentuan norma Pasal 40A UU 11/2021 secara gramatikal. Apabila dimaknai secara gramatikal, Mahkamah menemukan adanya persoalan terhadap ketentuan norma Pasal 40A UU 11/2021 yaitu memiliki makna ganda. Dalam kalimat “Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, pemberhentian jaksa yang berusia 60 (enam puluh) tahun atau lebih tetap mengikuti ketentuan batas usia pensiun sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia” hal ini dapat dimaknai pertama, bahwa jaksa yang saat UU 11/2021 berlaku [31 Desember 2021] telah berusia 60 tahun atau lebih tetap mengikuti batas usia pensiun yang diatur UU 16/2004 [62 tahun], namun di sisi lain dapat pula dimaknai (sebagai pemaknaan kedua) yaitu, sejak saat UU 11/2021 berlaku [31 Desember 2021] pemberhentian jaksa yang berusia 60 tahun atau lebih tetap mengikuti ketentuan UU 16/2004 [usia pensiun 62 tahun], sehingga pada pemaknaan kedua seakan-akan semua jaksa berusia 60 tahun atau lebih akan terus tunduk pada UU 16/2004. Padahal pembentuk undang-undang sebagaimana keterangan Presiden dan keterangan DPR memaknai Pasal 40A UU 11/2021 sebagaimana pemaknaan pertama yaitu batas usia pensiun 62 tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf c UU 16/2004 tetap berlaku bagi jaksa yang berusia 60 tahun atau lebih saat UU 11/2021 berlaku [31 Desember 2021].

[3.13] Menimbang bahwa terlepas dari persoalan adanya penilaian secara gramatikal norma Pasal 40A UU 11/2021 sebagaimana dipertimbangkan tersebut di atas, namun yang menjadi persoalan utama adalah apakah Pasal 40A UU 11/2021, yang dimaknai oleh pembentuk undang-undang bahwa bagi jaksa yang telah berusia 60 tahun atau lebih pada tanggal 31 Desember 2021 [saat UU 11/2021 berlaku] tetap mengikuti batasan usia pensiun yang diatur dalam Pasal 12 huruf c UU 16/2004, memberikan kepastian hukum yang adil dan tidak bersifat diskriminatif bagi para Pemohon, khususnya jaksa yang pada saat UU 11/2021 diundangkan berusia kurang dari 60 tahun sebagai pihak yang tidak disebut secara langsung dalam ketentuan norma Pasal 40A UU 11/2021 akan tetapi terdampak atas adanya perubahan UU 16/2004 menjadi UU 11/2021 dimaksud.
Bahwa dengan pemaknaan yang digunakan oleh pembentuk undang-undang, Pasal 40A UU 11/2021 memiliki akibat hukum bagi semua jaksa yang pada tanggal 31 Desember 2021 (saat UU 11/2021 berlaku) belum berusia 60 tahun, yaitu akan tunduk pada Pasal 12 huruf c UU 11/2021 sehingga akan diberhentikan dengan hormat saat usianya 60 tahun. Maka setelah UU 11/2021 berlaku dimulailah rezim UU 11/2021 dengan usia pensiun jaksa yaitu 60 tahun. Fakta hukum a quo apabila dikaitkan dengan prinsip dasar yang menegaskan sebuah ketentuan peralihan harus memberikan perlindungan bagi pihak yang terdampak [vide pada Bagian C.4 angka 127 Lampiran II UU 12/2011], maka ketentuan norma Pasal 40A UU 11/2021 yang seharusnya menjadi jembatan yang memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak akan adanya perubahan norma akibat berlakunya undang-undang baru, namun justru tidak mencerminkan fungsi ketentuan peralihan sebagaimana dimaksud UU 12/2011. Sebab, ketentuan norma Pasal 40A UU 11/2021 hanya menegaskan bahwa Pasal 12 huruf c UU 16/2004 masih diberlakukan bagi jaksa yang saat UU 11/2021 berlaku telah berusia 60 tahun atau lebih dan mengenyampingkan jaksa yang akan berusia 60 tahun terkait dengan bentuk perlindungan hukumnya di dalam memperoleh kepastian hukum yang adil. Dengan kalimat lain, aturan peralihan ini tidak memperhatikan jaksa lain yang dalam waktu dekat akan diberhentikan dengan hormat, in casu dalam kaitan ini termasuk para Pemohon. Meskipun tidak bermaksud menilai kasus konkret yang dialami para Pemohon, secara doktrinal aturan peralihan seharusnya memberikan perlindungan bagi pihak yang terdampak dari kerugian akibat perubahan norma, namun norma Pasal 40A UU 11/2021 hanya memberikan perlindungan bagi sebagian jaksa yang terdampak.
Bahwa sebagaimana telah dipertimbangkan sebelumnya, terlepas dari penentuan usia pensiun merupakan open legal policy, namun penting bagi Mahkamah untuk menegaskan kembali bahwa perubahan norma dari suatu undang- undang tidak boleh merugikan pihak yang terdampak, in casu dalam hal ini jaksa yang belum berusia 60 tahun. Pasal 40A UU 11/2021 yang memberlakukan ketentuan norma Pasal 12 huruf c UU 11/2021 secara seketika sejak UU 11/2021 diundangkan menyebabkan jaksa terdampak tidak mendapatkan waktu yang cukup untuk mempersiapkan diri menghadapi masa pensiun. Menurut Mahkamah seseorang yang akan menghadapi masa pensiun berhak mempersiapkan diri, baik secara mental maupun secara materil karena saat seseorang memasuki masa pensiun maka penghasilan yang selama ini diterima akan terhenti atau setidak-tidaknya berkurang, dalam hal ini aparatur sipil negara (ASN) hanya akan menerima hak pensiun yang jumlahnya terbatas. Dengan berlakunya Pasal 40A UU 11/2021 yang menyebabkan pemberhentian seketika bagi jaksa yang terdampak maka seketika itu pula akan berkurang penghasilan yang selama ini diterima. Selain itu, jaksa yang terdampak juga akan dirugikan karena kehilangan masa jabatannya secara seketika, kehilangan masa jabatan selama 2 (dua) tahun yang bisa jadi dalam masa jabatan itu terjadi kenaikan pangkat yang kemudian menentukan golongan ruang jaksa dimaksud karena kehilangan waktu yang turut menentukan perolehan hak-hak pensiun yang akan diterima. Meskipun bersifat materil, akan tetapi menurut Mahkamah kerugian demikian tidak dapat dipisahkan dan bisa jadi merupakan bagian dari adanya persoalan inkonstitusionalitasnya suatu norma dari undang-undang. Oleh karenanya memberlakukan ketentuan norma Pasal 12 huruf c UU 11/2021 secara seketika sejak UU 11/2021 diundangkan kepada seluruh jaksa yang terdampak, khususnya yang berusia di bawah 60 tahun, menyebabkan jaksa terdampak tidak mendapatkan waktu yang cukup untuk mempersiapkan diri menghadapi masa pensiun.
Bahwa dengan demikian Pasal 40A UU 11/2021 yang hanya memberikan perlindungan bagi jaksa yang berusia 60 tahun atau lebih saat UU 11/2021 diundangkan, menyebabkan kerugian bagi jaksa yang terdampak yaitu jaksa yang belum berusia 60 tahun saat UU 11/2021 diundangkan, yang menurut Mahkamah menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil dan bersifat diskriminatif.

[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut, meskipun Mahkamah berpendapat bahwa penurunan batas usia pensiun jaksa dari usia 62 tahun menjadi 60 tahun adalah konstitusional dan merupakan kebijakan hukum terbuka, dalam hal ini politik hukum dari pembentuk undang-undang yang menyesuaikan dengan kebutuhan terkini instansi Kejaksaan Republik Indonesia, namun dalam mempertimbangkan dalil para Pemohon yang berpendapat bahwa ketentuan peralihan yang diatur dalam Pasal 40A UU 11/2021 tidak memberi kepastian hukum yang adil dan bersifat diskriminatif menurut Mahkamah tidak dapat dilepaskan dari semangat pembentuk undang-undang di dalam melakukan perubahan usia pensiun jaksadari usia 62 tahun menjadi 60 tahun, yaitu adanya kebutuhan institusi kejaksaan yang disebabkan semakin bertambahnya kewenangan kejaksaan, antara lain di bidang pemulihan aset yang diatur dalam Pasal 30A UU 11/2021, di bidang intelijen penegakan hukum yang diatur dalam Pasal 30B UU 11/2021, serta kewenangan lainnya sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 30C UU 11/2021. Dengan alasan tersebut, maka berdampak pada bertambahnya beban kerja profesi jaksa yang dapat berimplikasi pada produktivitas dan hasil kerja institusi kejaksaan. Oleh karena itu, diharapkan dengan adanya perubahan batasan usia untuk diangkat menjadi jaksa lebih dini dan usia pensiun dikurangi akan menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas dan handal dalam melaksanakan fungsi dan wewenang jaksa [vide keterangan DPR tanggal 22 September 2022, hlm. 20]. Dengan demikian, untuk mempertemukan adanya persiapan masa pensiun yang cukup dengan politik hukum pembentuk undang-undang yang juga diperkuat dengan keterangan Pihak Terkait Kejaksaan, dalam rangka memberdayakan sumber daya manusia untuk menyongsong kewenangan kejaksaan yang semakin bertambah, maka Mahkamah berpendapat diperlukan waktu yang cukup agar pelaksanaan aturan peralihan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 40A UU 11/2021 tersebut dapat dilaksanakan secara seimbang. Dengan kata lain, pelaksanaan aturan peralihan Pasal 40A UU 11/2021 tidak boleh diperlakukan seketika, karena tidak memberikan perlindungan hukum terhadap jaksa yang seketika terdampak dengan pensiun secara tiba-tiba, namun juga tetap pula mengakomodir tujuan pemberdayaan sumber daya manusia kejaksaan yang lebih mampu menghadapi tantangan karena adanya beban kerja yang makin bertambah seiring dengan bertambahnya kewenangan institusi kejaksaan. Dengan demikian, berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut, Mahkamah memandang adalah adil apabila pemberlakuan ketentuan Pasal 40A UU 11/2021 yang memberlakukan ketentuan norma Pasal 12 huruf c UU 11/2021 dilakukan 5 (lima) tahun sejak putusan atas perkara a quo diucapkan. Sehingga, dengan pendirian Mahkamah demikian, maka sejak ketentuan norma Pasal 40A UU 11/2021 a quo diberlakukan, bagi jaksa yang telah berusia 60 tahun atau lebih dengan sendirinya akan pensiun secara bervariasi sesuai dengan capaian usianya masing-masing dengan maksimal usia pensiun 62 tahun. Dengan demikian, selama 5 (lima) tahun ke depan usia pensiun jaksa mengikuti ketentuan usia pensiun dalam UU 16/2004.

[3.15] Menimbang bahwa terhadap petitum ketiga para Pemohon yang memohon kepada Mahkamah agar Putusan ini berlaku surut (retroaktif) yaitu sejak Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 diberlakukan yakni tanggal 31 Desember 2021, menurut Mahkamah petitum a quo tidak relevan lagi untuk dipertimbangkan, karena dengan pemaknaan Pasal 40A UU 11/2021 sebagaimana dipertimbangkan oleh Mahkamah pada Paragraf [3.14], maka dengan sendirinya jaksa yang berusia 60 tahun tetap akan pensiun pada usia 62 tahun hingga ketentuan norma Pasal 40A UU 11/2021 dinyatakan berlaku yaitu 5 (lima) tahun sejak putusan perkara a quo diucapkan. Di samping itu, putusan Mahkamah Konstitusi mempunyai kekuatan mengikat sejak diucapkan, kecuali Mahkamah dalam amar putusan menentukan lain [vide Pasal 47 UU MK].

[3.16] Menimbang bahwa sehubungan dengan pendirian Mahkamah dalam pertimbangan hukum tersebut di atas, maka berkenaan dengan adanya hasil indeks evaluasi kinerja beberapa Kejaksaan Tinggi yang disampaikan Pihak Terkait Kejaksaan Republik Indonesia dalam keterangan tertulisnya, yang menyatakan bahwa jaksa yang telah berumur di antara 60 tahun sampai dengan 62 tahun sudah berkurang produktivitasnya dalam melaksanakan tugas dan fungsinya di bidang penyelidikan, penyidikan dan penuntutan serta melaksanakan fungsi lain yang diberikan oleh undang-undang yang berdasarkan hasil evaluasi menyeluruh sulit ditingkatkan semangat kerja dan kinerjanya, sehingga dirumuskan batas usia pensiun menjadi 60 tahun sebagaimana Pasal 12 huruf c UU 11/2021, menurut Mahkamah hal tersebut menjadi tugas Kejaksaan Republik Indonesia untuk dapat meningkatkan produktivitas dan memberdayakan jaksa yang berusia di atas 60 tahun dan memberikan job description yang berorientasi pada tugas-tugas fungsionalnya secara maksimal seiring dengan beban tugas dan wewenang kejaksaan yang semakin bertambah. Sehingga, adanya pandangan bahwa jaksa yang telah berusia 60 tahun tidak diberikan penugasan yang maksimal karena hanya sekadar menunggu waktu pensiun dapat dieliminir. Bahkan, jaksa tersebut sebagai jaksa senior yang telah berpengalaman praktik cukup lama dengan berbagai varian perkara dapat memberikan alih pengetahuan dan pengalaman kepada jaksa yang lebih muda dalam rangka menghadapi tantangan tugas institusi kejaksaan ke depan.

[3.17] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil para Pemohon yang berpendapat ketentuan norma Pasal 40A UU 11/2021 inkonstitusional secara bersyarat adalah beralasan menurut hukum, namun oleh karena pemaknaan yang dimohonkan oleh para Pemohon tidak seperti pemaknaan konstitusional bersyarat yang menjadi pendirian Mahkamah, maka menurut Mahkamah dalil para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.

[3.18] Menimbang bahwa oleh karena dalil para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian, maka terhadap Putusan Sela Mahkamah Konstitusi Nomor 70-PS/PUU-XX/2022 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 11 Oktober 2022 harus dinyatakan tetap sah.

[3.19] Menimbang bahwa terhadap dalil dan hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dipandang tidak ada relevansinya.

1. Bahwa terhadap Putusan MK dalam Perkara Nomor 70/PUU-XX/2022 sebagaimana diuraikan diatas, untuk memberikan kepastian hukum pada Pasal 40A UU Kejaksaan, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan saran sebagai berikut:
a. Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 70/PUU-XX/2022 sebagai bahan dalam penyusunan Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka.
b. Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 70/PUU-XX/2022 sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan UU Kejaksaan.
2. Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh seluruh organ penyelenggara Negara, organ penegak hukum dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 70/PUU-XX/2022 mengenai Pasal 40A UU Kejaksaan yang dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagaimana pemaknaan yang diberikan oleh MK, agar tidak menimbulkan ketidakpastian hukum, dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan Perubahan UU Kejaksaan.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Di Kabulkan Sebagian Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 87/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 30-11-2022

Bahwa pada hari Rabu tanggal 30 November 2022, pukul 12.28 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (selanjutnya disebut UU 7/2017) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 87/PUU-XX/2022. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 87/PUU-XX/2022, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal a quo UU 7/2017 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.12] Menimbang bahwa setelah membaca dan memeriksa secara saksama permohonan Pemohon dan memerhatikan alat-alat bukti yang diajukan dalam persidangan, sebagaimana selengkapnya dimuat dalam bagian Duduk Perkara, maka isu konstitusional yang harus dijawab oleh Mahkamah adalah apakah benar ketentuan norma Pasal 240 ayat (1) huruf g UU 7/2017 sepanjang frasa “…kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana” bertentangan dengan UUD 1945, karena dapat berakibat adanya abuse of power, menciptakan angka golput yang tinggi, dan dapat dicalonkannya mantan terpidana sebagai anggota legislatif akan menularkan peluang atau potensi terjadinya korupsi kepada anggota legislatif lainnya atau bahkan mengulang praktik korupsi yang pernah dilakukan sebelumnya serta bertentangan dengan Pasal 18 UU 31/1999. Terhadap dalil Pemohon a quo Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa berkenaan dengan jabatan publik yang perolehannya dengan cara pemilihan (elected officials) yaitu dalam hal ini pemilihan Presiden, anggota legislatif dan kepala daerah tidak dapat dipisahkan dengan model atau tata kelola penyelenggaraan pemilihannya, yang dikenal adanya rezim pemilihan umum dan rezim pemilihan kepala daerah. Pemilihan umum dapat berupa pemilihan Presiden dan/atau Wakil Presiden, juga dapat berupa pemilihan Anggota DPR, DPRD, dan DPD. Sementara itu, berkenaan dengan pemilihan kepala daerah meliputi pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota. Berkaitan dengan hal tersebut, Mahkamah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XX/2022 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 29 September 2022, telah berpendirian sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.17] dan Paragraf [3.18], sebagai berikut:
[3.17] Menimbang bahwa terkait pembelahan rezim pemilihan dalam UUD 1945, Mahkamah mengamati terdapat perubahan penafsiran yang disebabkan oleh praktik berhukum di Indonesia. Pada periode awal pasca perubahan UUD 1945, di mana pemilihan kepala daerah berdasarkan UUD 1945 hasil perubahan yang belum lama dipraktikkan, Mahkamah menafsirkan adanya suatu pembedaan antara rezim Pemilihan Umum Nasional dengan Pemilihan Kepala Daerah (vide Paragraf [3.14] dan Paragraf [3.15] di atas). Namun beberapa periode setelah pemilihan kepala daerah secara langsung dilaksanakan konsisten dan relatif telah menemukan bentuk terbaiknya, Mahkamah menemukan praktik berhukum yang menurut Mahkamah secara implisit telah mengubah penafsiran mengenai Pemilihan Kepala Daerah.
[3.18] Menimbang bahwa penafsiran yang dilakukan langsung melalui praktik berhukum demikian, yang menunjukkan hasil baik selama beberapa periode pemilihan umum, telah mendorong Mahkamah untuk meninjau ulang pendapat atau penafsirannya mengenai pembedaan rezim (tata kelola) kepemilihan dalam UUD 1945. Pergeseran atau perubahan penafsiran demikian dapat dilakukan oleh Mahkamah dengan tetap harus didasarkan pada alasan yang sangat kuat dan mendasar. Bagaimanapun, dalam hal tafsir atas norma Konstitusi dilakukan terlalu longgar dan relatif sering akan berpotensi memunculkan ketidakpastian hukum, yang kondisi ketidakpastian demikian justru berusaha dihindari dan dihilangkan oleh UUD 1945;

Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, secara eksplisit, Mahkamah telah menegaskan bahwa tidak terdapat lagi perbedaan rezim pemilihan umum dengan pemilihan kepala daerah. Oleh karena itu, berkenaan dengan salah satu persyaratan untuk menjadi calon pejabat publik yang dipilih melalui pemilihan umum, yaitu Presiden/Wakil Presiden, anggota DPR/DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, serta Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, serta Walikota/Wakil Walikota yang telah pernah dijatuhi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 240 ayat (1) huruf g UU 7/2017 bagi calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, serta DPD, dan calon kepada daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016, Mahkamah akan mempertimbangkan lebih lanjut ada/tidaknya ketidakselarasan antar kedua norma tersebut, mengingat keduanya mengatur tentang persyaratan formal untuk menjadi calon dalam menduduki kedua jabatan yang dipilih tersebut;
Bahwa berkaitan dengan ketentuan norma Pasal 240 ayat (1) huruf g UU 7/2017 sebagaimana yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon pada pokoknya mengatur tentang syarat mantan terpidana yang akan menjadi calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Sementara itu, ketentuan norma Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016 juga mengatur hal yang esensinya sama dengan ketentuan norma Pasal 240 ayat (1) huruf g UU 10/2016 yaitu berkenaan dengan syarat mantan terpidana bagi calon kepala daerah, Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota. Oleh karena itu, apabila dicermati dengan saksama kedua syarat formal untuk dapat menjadi calon dalam menduduki jabatan yang dipilih tersebut meskipun pada esensinya mengatur hal yang sama, akan tetapi terdapat perbedaan perlakuan yang berbeda. Perbedaan yang amat fundamental adalah berkenaan dengan ketentuan norma Pasal 240 ayat (1) huruf g UU 7/2017 masih bersifat alternatif yaitu bagi calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dengan status mantan terpidana dapat langsung mencalonkan diri sepanjang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana. Sementara itu, ketentuan norma Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016 mengatur syarat bagi mantan terpidana yang akan mencalonkan diri menjadi kepala daerah, calon Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota bersifat kumulatif. Artinya, diperlukan waktu tunggu 5 (lima) tahun setelah yang bersangkutan selesai menjalani masa pidana serta secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana;
[3.12.2] Bahwa lebih lanjut dapat dijelaskan, perbedaan demikian disebabkan akibat adanya pemaknaan secara konstitusional bersyarat terhadap ketentuan norma Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016 oleh Mahkamah Konstitusi. Berkaitan dengan salah satu syarat untuk menjadi calon kepala daerah bagi mantan terpidana, Mahkamah Konstitusi melalui putusan-putusannya dan terakhir melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 11 Desember 2019 telah berpendirian, sebagaimana diuraikan dalam pertimbangan hukum pada Sub-Paragraf [3.12.1] dan Sub-Paragraf [3.12.2] sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa terhadap norma undang-undang yang esensi materi/muatannya sebagian memuat klausul atau frasa sebagaimana yang termuat dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016, yaitu frasa “tidak pernah sebagai terpidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana” dan sebagian dari frasa tersebut yakni sepanjang frasa “tidak pernah sebagai terpidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” telah pernah diuji dan diputus oleh Mahkamah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 71/PUU-XIV/2016. Bahkan sebelum berlakunya UU 10/2016 norma serupa pernah pula diputus oleh Mahkamah, norma dimaksud adalah norma yang terkandung dalam Pasal 7 huruf g UU 8/2015 yang menyatakan, “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih”. Berkenaan dengan substansi norma dimaksud, Mahkamah telah berkali-kali menegaskan pendiriannya, di antaranya, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14-17/PUU-V/2007 yang kemudian ditegaskan kembali dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 120/PUU-VII/2009, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-X/2012. Inti pendapat Mahkamah dalam putusan putusannya tersebut adalah bahwa norma Undang-Undang yang materi/muatannya seperti yang termuat dalam Pasal 7 huruf g UU 8/2015 adalah inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional). Syarat yang dimaksud Mahkamah ialah: (1) berlaku bukan untuk jabatan-jabatan publik yang dipilih (elected officials); (2) berlaku terbatas untuk jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; (3) kejujuran atau keterbukaan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; (4) bukan sebagai pelaku kejahatan berulang-ulang. Dari semua putusan tersebut, pendirian Mahkamah sangat fundamental karena adanya keinginan untuk memberlakukan syarat yang ketat bagi calon kepala daerah, sebab seorang calon kepala daerah harus mempunyai karakter dan kompetensi yang mencukupi, sifat kepribadian dan integritas, kejujuran, responsibilitas, kepekaan sosial, spiritualitas, nilai-nilai dalam kehidupan, respek terhadap orang lain dan lain-lain. Oleh karena itu, pada hakikatnya, apabila dikaitkan dengan syarat “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih” maka tujuan yang hendak dicapai adalah agar kepala daerah memiliki integritas dan kejujuran. Tujuan demikianlah yang hendak dicapai oleh putusan-putusan Mahkamah sebelumnya khususnya dalam memaknai syarat yang berkaitan dengan “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih” yang merupakan persyaratan yang satu dengan yang lainnya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Sehingga baik pertimbangan hukum maupun amar dalam putusan-putusan sebagaimana dikemukakan di atas sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari semangat untuk menghadirkan pemimpin yang bersih, jujur, dan berintegritas. Dengan demikian, dalam hal terdapat bagian-bagian tertentu dari putusan-putusan tersebut di atas yang tidak bersesuaian dengan bagian yang lain maka harus dikembalikan kepada semangat untuk menghadirkan pemimpin yang bersih, jujur, dan berintegritas. Oleh karena keempat syarat tersebut diperlukan untuk menghadirkan pemimpin yang bersih, jujur, dan berintegritas maka semua syarat itu harus dipenuhi secara kumulatif dalam proses penentuan kepala daerah.
[3.12.2] Bahwa namun demikian penting untuk ditegaskan pertimbangan hukum Mahkamah yang menyatakan pendiriannya tersebut sebagaimana termuat dalam Paragraf [3.12.1] yang berkaitan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009, bertanggal 24 Maret 2009, sesungguhnya merupakan penegasan terhadap pendirian Mahkamah dalam putusan sebelumnya. Dalam putusan tersebut, Mahkamah antara lain menyatakan:
“[3.18] … Mahkamah juga perlu mempertimbangkan Putusan Nomor 14- 17/PUU-V/2007 tentang peniadaan norma hukum yang memuat persyaratan a quo tidak dapat digeneralisasi untuk semua jabatan publik, melainkan hanya untuk jabatan publik yang dipilih (elected officials), karena terkait dengan pemilihan umum (Pemilu) dalam hal mana secara universal dianut prinsip bahwa peniadaan hak pilih itu hanya karena pertimbangan ketidakcakapan misalnya karena faktor usia (masih di bawah usia yang dibolehkan oleh Undang-Undang Pemilu) dan keadaan sakit jiwa, serta ketidakmungkinan (impossibility) misalnya karena telah dicabut hak pilihnya oleh putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap (vide Putusan Nomor 11-17/PUU-I/2003 tanggal 24 Februari 2004)…;
Bahwa untuk jabatan-jabatan publik yang dipilih (elected officials), Mahkamah dalam Pertimbangan Hukum Putusan Nomor 14-17/PUU-V/2007 menyatakan, “hal tersebut tidaklah sepenuhnya diserahkan kepada rakyat tanpa persyaratan sama sekali dan semata-mata atas dasar alasan bahwa rakyatlah yang akan memikul segala resiko pilihannya”. Oleh karena itu, agar rakyat dapat secara kritis menilai calon yang akan dipilihnya, perlu ada ketentuan bahwa bagi calon yang pernah menjadi terpidana karena tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih harus menjelaskan secara terbuka kepada publik tentang jati dirinya yang demikian dan tidak menutup-nutupi atau menyembunyikan latar belakang dirinya. Selain itu, agar tidak mengurangi kepercayaan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Putusan Mahkamah Nomor 14-17/PUU-V/2007 juga perlu dipersyaratkan bahwa yang bersangkutan bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang dan telah melalui proses adaptasi kembali ke masyarakat sekurang-kurangnya selama 5 (lima) tahun setelah yang bersangkutan menjalani pidana penjara yang dijatuhkan oleh pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dipilihnya jangka waktu 5 (lima) tahun untuk adaptasi bersesuaian dengan mekanisme lima tahunan dalam Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia, baik Pemilu Anggota Legislatif, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, dan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Selain itu juga bersesuaian dengan bunyi frasa “diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih”; …dst;
… Mahkamah berpendapat bahwa norma hukum yang berbunyi “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih” yang tercantum dalam Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g UU 10/2008 serta Pasal 58 huruf f UU 12/2008 merupakan norma hukum yang inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional). Norma hukum tersebut adalah inkonstitusional apabila tidak dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Berlaku bukan untuk jabatan-jabatan publik yang dipilih (elected officials) sepanjang tidak dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak pilih oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
2. Berlaku terbatas untuk jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
3. Kejujuran atau keterbukaan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana;
4. Bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang;

Sementara itu, melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 120/PUU-VII/2009, Mahkamah menegaskan, yang sekaligus “mengingatkan” nature Mahkamah sebagai negative legislator, dengan menyatakan, antara lain:
“... Bahwa persyaratan calon kepala daerah yang telah diberikan tafsir baru oleh Mahkamah dalam Putusan Nomor 4/PUU-VII/2009 tanggal 24 Maret 2009, adalah semata-mata persyaratan administratif. Oleh karena itu, sejak tanggal 24 Maret 2009, rezim hukum Pasal 58 huruf f UU 32/2004 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU 12/2008 sebagaimana bunyi dan makna teks aslinya berakhir, dan sebagai gantinya maka sejak saat itulah di seluruh wilayah hukum Republik Indonesia berlaku tafsir baru atas Pasal 58 huruf f UU 32/2004 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU 12/2008 tentang mantan narapidana yang boleh menjadi calon kepala daerah menurut Putusan Mahkamah Nomor 14-17/PUU-V/2007 tanggal 11 Desember 2007 juncto Putusan Mahkamah Nomor 4/PUU-VII/2009 tanggal 24 Maret 2009 ...”

Bahwa sementara itu, dalam Paragraf [3.12.3] pada putusan yang sama Mahkamah juga mengutip bagian pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 71/PUU-XIV/2016, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 19 Juli 2017 yang menyatakan sebagai berikut:
4. ... Mahkamah sesungguhnya telah secara tegas menyatakan bahwa sepanjang berkenaan dengan jabatan publik yang pengisiannya dilakukan melalui pemilihan (elected officials), pembebanan syarat yang substansinya sebagaimana termuat dalam rumusan kalimat atau frasa “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih” adalah bertentangan dengan Konstitusi jika persyaratan demikian diberlakukan begitu saja tanpa pembatasan kepada mantan terpidana, dalam hal ini tanpa mempertimbangkan bahwa seorang mantan terpidana yang hendak mencalonkan diri untuk mengisi jabatan publik itu telah menyatakan secara terbuka dan jujur kepada publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan terpidana. Putusan Mahkamah demikian telah dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan dan tidak keluar dari semangat yang terkandung dalam Pasal 28J UUD 1945, sebagaimana diuraikan dalam pertimbangan pada angka 1 di atas. Dengan mempelajari secara saksama pertimbangan hukum Mahkamah dalam putusan-putusannya sebagaimana disebutkan pada angka 3 di atas, Mahkamah menegaskan bahwa, dalam masyarakat yang demokratis, pembatasan terhadap hak asasi manusia adalah dibenarkan dan konstitusional. Pembatasan demikian juga berlaku dalam menentukan persyaratan bagi pengisian jabatan-jabatan publik. Mahkamah juga menegaskan pentingnya suatu standar moral tertentu dalam pengisian jabatan-jabatan publik tersebut dan pada saat yang sama Mahkamah menegaskan pula bahwa syarat “tidak pernah dijatuhi pidana dengan ancaman pidana tertentu” adalah suatu standar moral yang penting dan diperlukan dalam proses atau mekanisme pengisian jabatan-jabatan publik itu, namun Mahkamah juga menegaskan bahwa persyaratan demikian tidak dapat diberlakukan begitu saja sebagai ketentuan umum yang diberlakukan bagi seluruh jabatan publik mengingat adanya perbedaan sifat atau karakter dari jabatan-jabatan publik tersebut. Oleh sebab itu, sejalan dengan prinsip akuntabilitas peradilan yang mengharuskan hakim atau pengadilan menjelaskan alasan diambilnya suatu putusan, Mahkamah telah dengan cermat menjelaskan alasan-alasan dimaksud sebelum tiba pada penjatuhan putusannya sebagaimana dituangkan dalam amar putusan yang bersangkutan;
5. Bahwa norma Undang-Undang yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo, in casu Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada, adalah berkenaan dengan pengisian jabatan publik yang dipilih. Norma Undang-Undang a quo berbunyi, “Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: ... g. tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana”. Berbeda dengan rumusan dalam norma Undang- Undang sebelumnya yang telah dimohonkan pengujian dan diputus oleh Mahkamah sebagaimana diuraikan pada angka 3 di atas, norma Undang-Undang a quo sama sekali tidak memuat ancaman pidana minimum yang dijadikan sebagai pijakan, sehingga secara tekstual norma Undang-Undang a quo mencakup semua jenis tindak pidana, baik pelanggaran maupun kejahatan, dan semua jenis pidana, baik pidana pokok (mulai dari pidana denda, pidana percobaan, pidana kurungan, pidana penjara) maupun pidana tambahan. Dengan kata lain, dalam konteks KUHP, frasa “tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” mencakup baik tindak pidana yang diatur dalam Buku I maupun Buku II KUHP dan semua jenis pemidanaan sebagaimana diatur dalam Pasal 10 KUHP dan tindak pidana yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan di luar KUHP, sepanjang sudah ada putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hokum tetap yang dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana tersebut. Jika benar demikian maksud pembentuk undang-undang, dengan bertolak dari putusan-putusan Mahkamah sebelumnya, hal itu tentu tidak dapat dibenarkan secara konstitusional.
6. Bahwa, memperhatikan keadaan sebagaimana diuraikan pada angka 5 di atas, serta dengan mempertimbangkan bahwa norma Undang-Undang a quo adalah berkenaan dengan syarat bagi jabatan publik yang pengisiannya dilakukan melalui pemilihan, persoalan yang timbul kemudian adalah: apabila frasa “tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” yang termuat dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 maka secara a contrario berarti tidak ada pembatasan sama sekali sehingga setiap orang boleh mencalonkan diri sebagai gubernur, wakil gubenur, bupati, wakil bupati, walikota, wakil walikota meskipun orang yang bersangkutan terbukti sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Penalaran demikian tentu saja sama sekali tidak dapat diterima dan sekaligus akan bertentangan dengan pertimbangan Mahkamah sebagaimana ditegaskan dalam putusan-putusan sebelumnya bagaimanapun standar moral tertentu dibutuhkan dalam pengisian jabatan-jabatan publik yang klasifikasinya bermacam macam. Selain itu, akibat lebih jauh jika penalaran demikian diikuti, maka frasa berikutnya dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada tersebut yang menyatakan, “atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada public bahwa yang bersangkutan mantan terpidana” menjadi tidak ada maknanya. Memperhatikan keadaan sebagaimana diuraikan di atas, karena telah terang bahwa menentukan norma yang berlaku umum berupa syarat “tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” bagi pengisian jabatan publik, lebih-lebih untuk jabatan publik yang pengisiannya melalui pemilihan, tidak dapat dibenarkan secara konstitusional, sementara di lain pihak syarat yang mencerminkan standar moral tertentu tetap dibutuhkan untuk pengisian jabatan-jabatan publik, termasuk jabatan publik yang pengisiannya melalui pemilihan maka pertanyaannya kemudian, bagaimana Mahkamah harus menafsirkan norma Undang-Undang yang termuat dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada itu guna menilai konstitusionalitasnya sedemikian rupa sehingga, di satu pihak, Mahkamah tetap melaksanakan fungsinya sebagai pengawal konstitusi yang harus melindungi hak-hak konstitusional warga negara dan, di pihak lain, tanpa melampaui batas- batas jati dirinya sebagaimana termaktub dalam kewenangan yang diberikan oleh Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dalam melaksanakan fungsi itu. Dalam kasus a quo, tidak terdapat jalan lain kecuali mendasarkan pendapatnya pada pertimbangan Mahkamah dalam putusan sebelumnya terhadap norma Undang-Undang yang dirumuskan oleh pembentuk Undang-Undang sendiri, dalam hal ini Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015. Dengan dasar pemikiran dan pertimbangan demikian, Mahkamah berkeyakinan bahwa frasa “tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hokum tetap” adalah bertentangan dengan UUD 1945 jika tidak dimaknai “tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali karena melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa” sedangkan frasa “atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana” dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada tersebut tetap berlaku.

Bahwa dengan merujuk fakta-fakta hukum di atas, penting bagi Mahkamah untuk mempertimbangkan kembali bagi calon kepala daerah yang pernah menjadi terpidana untuk diberi waktu yang dipandang cukup guna melakukan penyesuaian (adaptasi) di tengah masyarakat untuk membuktikan bahwa setelah selesai menjalani masa pidananya orang yang bersangkutan benar-benar telah mengubah dirinya menjadi baik dan teruji sehingga ada keyakinan dari pemilih bahwa yang bersangkutan tidak akan mengulangi perbuatan yang pernah dipidanakan kepadanya termasuk juga perbuatan-perbuatan lain yang dapat merusak hakikat pemimpin bersih, jujur, dan berintegritas. Pemberian tenggang waktu demikian juga sekaligus memberikan kesempatan lebih lama kepada masyarakat untuk menilai apakah orang yang bersangkutan telah dipandang cukup menunjukkan kesungguhannya untuk berpegang pada nilai-nilai demokrasi yang disebutkan di atas. Dengan kata lain, “pernyataan secara jujur dan terbuka kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana” semata-mata tidaklah memadai lagi.

[3.13] Menimbang bahwa dengan merujuk pada uraian pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, dan setelah juga mencermati kutipan pertimbangan hukum pada putusan-putusan tersebut, oleh karena fakta empirik menunjukkan bahwa bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang pernah menjalani pidana dengan ancaman pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana sebagaimana diatur dalam norma Pasal 240 ayat (1) huruf g UU 7/2017 telah ternyata tidak sejalan dengan semangat yang ada dalam persyaratan untuk menjadi calon kepala daerah sebagaimana yang diatur dalam norma Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016 sebagaimana telah dilakukan pemaknaan secara konstitusional bersyarat oleh Mahkamah, padahal keduanya merupakan salah satu syarat formal untuk menduduki rumpun jabatan yang dipilih (elected officials), maka pembedaan yang demikian berakibat adanya disharmonisasi akan pemberlakuan norma-norma tersebut terhadap subjek hukum yang sesungguhnya mempunyai tujuan yang sama yaitu sama-sama dipilih dalam pemilihan. Oleh karena itu, pembedaan atas syarat untuk menjadi calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dengan calon kepala daerah yaitu calon Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota bagi mantan terpidana sebagaimana dipertimbangkan tersebut di atas, dapat berakibat terlanggarnya hak konstitusional warga negara sebagaimana diatur dalam Pasal 28J ayat (1) UUD 1945. Adapun perbedaan secara faktual adalah dalam norma Pasal 240 ayat (1) huruf g UU 7/2017 sepanjang frasa “kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana” yang tidak selaras lagi dengan pemaknaan yang telah dilakukan oleh Mahkamah dalam putusannya atas norma Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016 yang selengkapnya adalah:
“Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

g. (i) tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa; (ii) bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; dan (iii) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang;”

Dengan demikian, berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut, Mahkamah berpendapat terhadap ketentuan norma Pasal 240 ayat (1) huruf g UU 7/2017 perlu dilakukan penyelarasan dengan memberlakukan pula untuk menunggu jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan adanya kejujuran atau keterbukaan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana sebagai syarat calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, di samping syarat lain yang juga ditambahkan sebagaimana pemaknaan konstitusional secara bersyarat yang terdapat dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016. Sebab, sebagaimana telah dikutip dalam pertimbangan hukum putusan-putusan sebelumnya masa tunggu 5 (lima) tahun setelah terpidana menjalankan masa pidana adalah waktu yang dipandang cukup untuk melakukan introspeksi diri dan beradaptasi dengan masyarakat lingkungannya bagi calon kepala daerah, termasuk dalam hal ini calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Demikian halnya persyaratan adanya keharusan menjelaskan secara terbuka kepada publik tentang jati dirinya dan tidak menutupi latar belakang kehidupannya adalah dalam rangka memberikan bahan pertimbangan bagi calon pemilih dalam menilai atau menentukan pilihannya. Sebab, terkait dengan hal ini, pemilih dapat secara kritis menilai calon yang akan dipilihnya sebagai pilihan baik yang memiliki kekurangan maupun kelebihan untuk diketahui oleh masyarakat umum (notoir feiten). Oleh karena itu, hal ini terpulang kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemilih untuk memberikan suaranya kepada calon yang merupakan seorang mantan terpidana atau tidak memberikan suaranya kepada calon tersebut. Selain itu, untuk pengisian jabatan melalui pemilihan (elected officials), pada akhirnya masyarakat yang memiliki kedaulatan tertinggi yang akan menentukan pilihannya;
Bahwa selanjutnya, berkaitan dengan syarat bukan sebagai pelaku tindak pidana secara berulang-ulang penting bagi Mahkamah untuk menegaskan kembali karena fakta empirik menunjukkan bahwa terdapat beberapa calon kepala daerah yang pernah menjalani pidana dan tidak diberi waktu yang cukup untuk beradaptasi dan membuktikan diri telah secara faktual melebur dalam masyarakat ternyata terjebak kembali dalam perilaku tidak terpuji, bahkan mengulang kembali tindak pidana yang sama (in casu secara faktual khususnya tindak pidana korupsi), sehingga makin jauh dari tujuan menghadirkan pemimpin yang bersih, jujur, dan berintegritas. Oleh karena itu, demi melindungi kepentingan yang lebih besar, yaitu dalam hal ini kepentingan masyarakat akan pemimpin yang bersih, berintegritas, dan mampu memberi pelayanan publik yang baik serta menghadirkan kesejahteraan bagi masyarakat yang dipimpinnya, Mahkamah tidak menemukan jalan lain kecuali memberlakukan syarat kumulatif sebagaimana tertuang dalam pertimbangan hukum putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang telah dikutip tersebut di atas dan terakhir ditegaskan dalam amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019. Selain itu, langkah demikian juga dipandang penting oleh Mahkamah demi memberikan kepastian hukum serta mengembalikan makna esensial dari pemilihan calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, yakni menghasilkan orang-orang yang memiliki kualitas dan integritas untuk menjadi pejabat publik dan pada saat yang sama tidak menghilangkan hak politik warga negara yang pernah menjadi terpidana untuk tetap turut berpartisipasi di dalam pemerintahan.

[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan pada paragraf-paragraf sebelumnya, Mahkamah menilai telah ternyata ketentuan norma Pasal 240 ayat (1) huruf g UU 7/2017 yang mengatur persyaratan mantan terpidana yang akan mencalonkan diri menjadi anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota telah terbukti terdapat persoalan konstitusionalitas norma yang bertentangan dengan ketentuan Pasal 28J UUD 1945. Oleh karena itu, terhadap norma a quo harus diselaraskan dengan semangat yang ada dalam ketentuan norma Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016 sebagaimana yang telah dimaknai dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019.

[3.15] Menimbang bahwa oleh karena dalil Pemohon yang menyatakan adanya persoalan konstitusionalitas terhadap norma Pasal 240 ayat (1) huruf g UU 7/2017 dapat dibuktikan, namun oleh karena pemaknaan yang dimohonkan oleh Pemohon tidak sebagaimana pemaknaan yang dilakukan oleh Mahkamah, maka permohonan Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.

[3.16] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dari permohonan Pemohon tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dianggap tidak ada relevansinya.

1. Bahwa terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 87/PUU-XX/2022 sebagaimana diuraikan di atas, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan saran sebagai berikut:
a. Menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XX/2022 sebagai bahan dalam penyusunan Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka.
b. Menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XX/2022 sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
2. Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh seluruh organ penyelenggara Negara, organ penegak hukum dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 87/PUU-XX/2022 mengenai materi muatan pasal/ayat dalam UU 7/2017 yang dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai sebagaimana amar putusan Mahkamah Konstitusi, agar tidak menimbulkan kekosongan hukum, dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan Perubahan UU 7/2017.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Mengabulkan Permohonan Pemohon Untuk Sebagian Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 28/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 31-10-2022

Bahwa pada hari Senin tanggal 31 Oktober 2022, pukul 11.30 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 28/PUU-XX/2022. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 28/PUU-XX/2022, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 143 ayat (3) KUHAP dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum pada pokoknya sebagai berikut:
[3.13.1] Bahwa secara doktriner surat dakwaan adalah suatu akta yang dibuat oleh jaksa penuntut umum yang berisi susunan/konstruksi yuridis atas fakta-fakta perbuatan terdakwa yang terungkap sebagai hasil penyidikan dengan cara merangkai yang menjadi perpaduan antara fakta-fakta perbuatan tersebut dengan unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan pidana dalam undang-undang yang bersangkutan. Oleh karena surat dakwaan merupakan sebuah akta yang dibuat oleh jaksa penuntut umum yang berisikan perumusan atau alur kejadian suatu tindak pidana yang didakwakan kepada seseorang atau beberapa orang terdakwa berdasarkan kesimpulan dari hasil penyidikan, maka surat dakwaan tersebut adalah merupakan instrumen yang hanya secara eksklusif memberikan hak dan kewenangan kepada jaksa penuntut umum berdasarkan atas asas oportunitas, sebagai wakil dari negara untuk melakukan suatu penuntutan kepada seseorang yang diduga telah melakukan tindak pidana.
Jaksa penuntut umum berwenang melakukan suatu penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara tersebut ke pengadilan. Sementara itu, dasar hukum pembuatan suatu surat dakwaan adalah Pasal 14 huruf d KUHAP, yang memberikan kewenangan kepada jaksa penuntut umum untuk membuat surat dakwaan jika dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan [vide Pasal 140 ayat (1) KUHAP]. Selanjutnya, surat dakwaan dimaksud dilimpahkan kepada pengadilan negeri pada wilayah hukum yang berwenang untuk mengadili atas perkara yang bersangkutan [vide Pasal 137 KUHAP]. Lebih lanjut, apabila ditinjau dari sudut kepentingan yang berkaitan dengan pemeriksaan suatu perkara tindak pidana, maka fungsi suatu surat dakwaan dapat di bagi menjadi 3 (tiga) kategori kepentingan, yakni:
1) Bagi jaksa penuntut umum:
Surat dakwaan berfungsi sebagai dasar pembuktian yuridis dari suatu tuntutan pidana dan penggunaan upaya hukum.
2) Bagi terdakwa/penasihat hukum:
Surat dakwaan berfungsi sebagai dasar dalam mempersiapkan suatu pembelaan atas suatu dakwaan terhadap suatu tindak pidana yang didakwakan kepadanya.
3) Bagi hakim:
Surat dakwaan berfungsi sebagai dasar dan batas ruang lingkup pemeriksaan di persidangan, serta sebagai dasar pertimbangan hukum dalam menjatuhkan putusan pidana.
[3.13.2] Bahwa berkaitan dengan syarat-syarat surat dakwaan, berdasarkan ketentuan Pasal 143 ayat (2) KUHAP, surat dakwaan harus memenuhi syarat-syarat dalam pembuatan surat dakwaan, baik secara formil maupun materiil. Adapun syarat formil surat dakwaan yang dimaksudkan adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP, meliputi:
1) Surat dakwaan harus diberi tanggal dan tanda tangan penuntut umum.
2) Surat dakwaan harus memuat secara lengkap identitas terdakwa yang meliputi nama lengkap, tempat lahir, umur/tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan terdakwa.
Sedangkan syarat materiil surat dakwaan adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP, meliputi:
1) Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan;
2) Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.
Adapun berkenaan dengan surat dakwaan batal demi hukum (van rechtswege nietig/null end void) yang artinya dakwaan tersebut tidak memenuhi syarat sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP. Terhadap surat dakwaan batal demi hukum tersebut, bukan berarti bahwa perkara tersebut sejak semula dianggap tidak pernah ada (never existed) sebagaimana pengertian “batal demi hukum” pada umumnya.
Lebih lanjut, berkenaan dengan jenis-jenis surat dakwaan, secara normatif surat dakwaan dapat dibagi menjadi:
1. Dakwaan Tunggal.
Arti surat dakwaan tunggal adalah surat dakwaan yang hanya memuat satu tindak pidana saja yang didakwakan. Surat dakwaan tunggal diterapkan karena tidak terdapat kemungkinan untuk mengajukan secara alternatif atau dakwaan pengganti lainnya.
2. Dakwaan Alternatif.
Arti surat dakwaan alternatif adalah surat dakwaan yang memuat satu jenis tindak pidana yang didakwakan, namun antara dakwaan yang satu dengan yang lainnya tidak terdapat kualifikasi tindak pidana yang berbeda. Terhadap dakwaan jenis ini meskipun diajukan secara berlapis, tetapi hanya satu dakwaan saja yang akan dibuktikan. Bahkan, tata cara pembuktian dakwaan tidak perlu dilakukan secara berurutan sesuai lapisan dakwaannya, tetapi langsung dapat pada dakwaan yang dipandang terbukti. Sebab, apabila salah satu dakwaan telah terbukti maka dakwaan pada lapisan lainnya tidak perlu dibuktikan lagi.
3. Dakwaan Subsidair/Subsidiaritas
Arti surat dakwaan subsidair/subsidiaritas adalah surat dakwaan yang pembuktiannya dilakukan secara berurutan, dimulai dari lapisan dakwaan teratas sampai dengan lapisan yang dipandang terbukti. Dalam tuntutan pidana jaksa penuntut umum, terhadap bagian dakwaan yang tidak terbukti harus dinyatakan secara tegas dan terdakwa agar dibebaskan dari lapisan dakwaan yang bersangkutan, oleh karenanya terhadap terdakwa hanya dapat dikenakan dakwaan yang terbukti di antara lapisan dakwaan yang didakwakan.
4. Dakwaan Kumulatif
Arti surat dakwaan kumulatif adalah surat dakwaan yang berisi beberapa jenis tindak pidana sekaligus, di mana kesemua jenis tindak pidana yang didakwakan tersebut harus dibuktikan satu per satu. Dalam tuntutan pidana jaksa penuntut umum, terhadap bagian dakwaan yang tidak terbukti harus dinyatakan secara tegas dan terdakwa agar dibebaskan dari lapisan dakwaan yang bersangkutan. Dakwaan jenis ini diterapkan dalam hal terdakwa melakukan beberapa tindak pidana yang masing-masing merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri dan mempunyai jenis kualifikasi yang berbeda.
5. Dakwaan Kombinasi
Arti surat dakwaan kombinasi adalah surat dakwaan yang disusun dalam bentuk kombinasi/gabungan antara dakwaan alternatif dengan dakwaan kumulatif dan/atau subsidair. Terhadap dakwaan jenis ini dibutuhkan seiring dengan perkembangan/kompleksitas varian tindak pidana, baik dalam bentuk/jenisnya maupun dalam modus operandi yang dipergunakan.
[3.14] Menimbang bahwa setelah mencermati hal-hal berkaitan dengan surat dakwaan baik pengertian, jenis, dan syarat penyusunan surat dakwaan serta akibat hukum yang ditimbulkan terhadap dakwaan yang dapat berakibat batal demi hukum sebagaimana diuraikan pada Sub-paragraf [3.13.1] dan Sub-paragraf [3.13.2], selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan isu konstitusionalitas norma Pasal 143 ayat (3) KUHAP yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon.
Bahwa berkenaan dengan hal tersebut apabila dicermati secara saksama salah satu syarat utama dalam penyusunan surat dakwaan adalah adanya uraian secara cermat yang mengandung arti adanya sifat imperatif berupa ketelitian jaksa penuntut umum dalam mempersiapkan surat dakwaan yang akan diterapkan bagi terdakwa. Sebab, surat dakwaan merupakan dasar untuk melakukan pemeriksaan bagi seorang terdakwa dalam persidangan yang kebenarannya akan dibuktikan berdasarkan alat-alat bukti yang diajukan untuk selanjutnya hasil pembuktian dalam persidangan tersebut dijadikan dasar untuk menjatuhkan putusan bagi hakim apakah akan terbukti atau tidaknya kesalahan terdakwa. Oleh karena itu, surat dakwaan menjadi syarat yang fundamental untuk dapat atau tidaknya seseorang dipersalahkan karena telah melakukan tindak pidana dan selanjutnya dijatuhi pidana yang salah satunya berupa perampasan kemerdekaan seseorang.
Dengan menempatkan kata "cermat" pada awal rumusan norma Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP, secara filosofis dapat dipahami bahwa pembuat undang-undang menghendaki agar jaksa penuntut umum dalam membuat surat dakwaan harus dilakukan dengan hati-hati dan teliti. Bahkan lebih dari itu, oleh karena surat dakwaan merupakan syarat yang fundamental yang dapat berakibat hukum atas perampasan kemerdekaan seseorang apabila kesalahannya dapat dibuktikan, sedangkan kemerdekaan seseorang merupakan salah satu hak konstitusional yang dijamin dalam UUD 1945. Maka, dalam perspektif perlindungan hukum, undang-undang, dalam hal ini KUHAP, telah memberikan batasan terhadap surat dakwaan yang tidak memenuhi persyaratan, baik formil maupun materiil, berakibat dapat dibatalkan bahkan batal demi hukum [vide Pasal 143 ayat (2) KUHAP].
Bahwa berkaitan putusan yang menyatakan surat dakwaan batal atau batal demi hukum sama sekali belum mempertimbangkan materi pokok perkara sehingga terhadap putusan tersebut belum melekat unsur nebis in idem [vide Pasal 76 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)]. Oleh karena itu, selain jaksa penuntut umum dapat mengajukan upaya hukum perlawanan kepada pengadilan tinggi atas putusan pengadilan negeri yang menyatakan batal atau batal demi hukum surat dakwaan, jaksa penuntut umum masih berwenang juga untuk mengajukan lagi atas perkara yang bersangkutan dalam pemeriksaan sidang pengadilan dengan jalan mengganti surat dakwaan yang lama dan mengajukan surat dakwaan baru yang telah diperbaiki dan disempurnakan sedemikian rupa sehingga benar-benar memenuhi syarat surat dakwaan yang ditentukan Pasal 143 ayat (2) KUHAP. Selanjutnya, atas surat dakwaan baru yang diajukan tersebut, pengadilan memeriksa dan memutus perkara pidana yang didakwakan kepada diri terdakwa. Dengan demikian, sesungguhnya putusan pengadilan yang menyatakan dakwaan batal atau batal demi hukum, secara yuridis tidak menghilangkan kewenangan jaksa penuntut umum untuk mengajukan terdakwa kembali ke pemeriksaan sidang pengadilan.

[3.15] Menimbang bahwa KUHAP sebenarnya juga mengatur mengenai pengubahan surat dakwaan dan bukan perbaikan surat dakwaan setelah surat dakwaan dinyatakan batal demi hukum oleh hakim. Pengubahan surat dakwaan dimaksud diatur dalam Pasal 144 KUHAP yang berbunyi: (1) Penuntut Umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan hari sidang, baik dengan tujuan untuk menyempurnakan maupun untuk tidak melanjutkan penuntutannya. (2) Pengubahan surat dakwaan tersebut dapat dilakukan hanya satu kali selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum sidang dimulai. (3) Dalam hal Penuntut Umum mengubah surat dakwaan ia menyampaikan turunannya kepada tersangka atau penasihat hukum dan penyidik.
Berdasarkan ketentuan di atas dapatlah disimpulkan bahwa pengubahan surat dakwaan dilakukan oleh jaksa penuntut umum, waktu pengubahan tersebut adalah 7 (tujuh) hari sebelum sidang, pengubahan surat dakwaan hanya satu kali saja, dan turunan perubahan surat dakwaan haruslah diberikan kepada tersangka atau penasihat hukum dan penyidik. Ketentuan ini hanya mengatur mengenai prosedur perubahan surat dakwaan, sedangkan materi surat dakwaan tidak diatur apa yang diperbolehkan atau apa yang tidak boleh diubah, sehingga dapat diambil kesimpulan pengubahan dan/atau penyempurnaan terhadap surat dakwaan boleh dilakukan tanpa suatu pembatasan, bahkan sampai untuk tidak melanjutkan penuntutan asalkan tidak melewati tenggang waktu sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 144 KUHAP. Hal demikian menunjukkan bahwa surat dakwaan adalah hal yang sangat mendasar sehingga jaksa penuntut umum diberi kesempatan untuk melakukan pengubahan sebelum perkara dilakukan pemeriksaan di persidangan dan perbaikan setelah dinyatakan batal atau batal demi hukum oleh hakim dalam pemeriksaan di persidangan.

[3.16] Menimbang bahwa persoalan selanjutnya yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah adalah terhadap surat dakwaan dinyatakan batal atau batal demi hukum apabila tidak memenuhi syarat formil atau materiil dan surat dakwaan kabur (obscuur libel) berapa kali dapat diajukan terhadap terdakwa di persidangan. Sebab, terhadap surat dakwaan yang dinyatakan batal atau batal demi hukum, jaksa penuntut umum jika keberatan dapat mengajukan upaya hukum perlawanan kepada pengadilan tinggi melalui pengadilan negeri yang bersangkutan [vide Pasal 156 ayat (3) KUHAP].
Bahwa sebagaimana dipertimbangkan sebelumnya, terhadap surat dakwaan yang dinyatakan batal atau batal demi hukum, di samping jaksa penuntut umum dapat mengajukan upaya hukum perlawanan juga berwenang mengajukan kembali perkara yang bersangkutan dalam pemeriksaan sidang pengadilan jika upaya hukum perlawanan ditolak oleh pengadilan tinggi, dengan jalan mengganti surat dakwaan yang lama dan mengajukan surat dakwaan baru yang telah diperbaiki dan disempurnakan sedemikian rupa sehingga benar-benar memenuhi syarat surat dakwaan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 143 ayat (2) KUHAP. Namun, yang menjadi persoalan krusial selanjutnya adalah tidak terdapatnya jangka waktu kapan surat dakwaan tersebut diperbaiki dan berapa kali surat dakwaan tersebut dapat diperbaiki serta berapa kali pula hakim dapat menyatakan surat dakwaan jaksa penuntut umum batal atau batal demi hukum. Dengan demikian, tanpa kejelasan status dan batasan waktu kapan perkaranya akan selesai hal tersebut menjadikan terdakwa dan/atau korban tindak pidana dapat kehilangan hak konstitusionalnya karena dalam ketidakpastian dan ketidakadilan hukum.
Bahwa secara normatif permasalahan yang menjadi penyebab dari persoalan tersebut di atas, bukan semata-mata masalah penerapan atau implementasi norma, sebab praktik hukum yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum yang dapat mengajukan surat dakwaan berkali-kali atas suatu perkara yang sama dengan surat dakwaan yang sudah diperbaiki, setelah sebelumnya pernah dinyatakan batal atau batal demi hukum, dapat terjadi akibat KUHAP tidak memberikan kejelasan pemaknaan Pasal 143 ayat (3) yang diputus berdasarkan putusan sela. Demikian pula untuk hakim atau pengadilan negeri, juga dapat disebabkan karena tidak diaturnya atau ditegaskannya berapa kali surat dakwaan dapat dinyatakan batal/batal demi hukum oleh hakim melalui putusan sela. Selain dialami oleh Pemohon telah ternyata terhadap hal serupa juga dialami oleh saksi Pemohon dan beberapa terdakwa lainnya sebagaimana yang didalilkan dalam pokok permohonan. Dengan demikian, tanpa bermaksud menilai kasus konkret yang dialami Pemohon dan saksi-saksi yang diajukan, menurut Mahkamah terdapat celah dalam pengaturan mengenai perbaikan surat dakwaan a quo yang berdampak pada timbulnya ketidakpastian dan ketidakadilan hukum, baik bagi terdakwa dan/atau korban tindak pidana. Terlebih, secara universal hal tersebut tidak sejalan dengan asas litis finiri oportet yang menegaskan bahwa setiap perkara harus ada akhirnya.

[3.17] Menimbang bahwa ketidakjelasan mengenai berapa kali perbaikan surat dakwaan dapat dilakukan untuk mengajukan kembali terdakwa di persidangan dan batasan berapa kali hakim dapat menjatuhkan putusan sela, menjadikan status terdakwa dan perlindungan hak korban tindak pidana menjadi persoalan yang harus dijawab dan diantisipasi oleh Mahkamah agar diperoleh adanya kepastian dan keadilan hukum bagi terdakwa dan korban tindak pidana serta kepentingan umum. Dengan demikian, cukup beralasan apabila Mahkamah memberikan batasan mengenai berapa kali jaksa penuntut umum dapat mengajukan perbaikan surat dakwaan sehingga terdakwa dapat diajukan kembali pada sidang pengadilan dan berapa kali pula hakim dapat menjatuhkan putusan sela atas surat dakwaan yang diajukan keberatan oleh terdakwa/penasihat hukum.
Bahwa sejalan dengan pentingnya pembatasan-pembatasan dimaksud, hal tersebut tidak dapat dipisahkan dari kewenangan hakim yang memeriksa dan mengadili perkara pidana, di mana sesungguhnya juga melekat kewenangan untuk dapat mempertimbangkan keterpenuhan syarat suatu surat dakwaan, baik secara formil maupun materiil serta dakwaan yang dinilai kabur secara ex-officio dapat dipertimbangkan bersama-sama dengan materi pokok perkara. Namun demikian hal tersebut dapat dikecualikan apabila terhadap perkara pidana yang bersangkutan diajukan keberatan (eksepsi) berdasarkan ketentuan Pasal 156 ayat (1) KUHAP, baik adanya keberatan dari terdakwa/penasihat hukum karena pengadilan tidak berwenang mengadili perkara yang bersangkutan, dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan, maka hakim dapat menerima ataupun menjatuhkan putusan bersama-sama dengan putusan akhir setelah pemeriksaan materi pokok perkara selesai [vide Pasal 156 ayat (2) KUHAP]. Adapun bunyi selengkapnya Pasal 156 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP sebagai berikut:
Pasal 156 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP
1 Dalam hal terdakwa atau penasihat hukum mengajukan keberatan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan, maka setelah diberi kesempatan kepada penuntut umum untuk menyatakan pendapatnya, hakim mempertimbangkan keberatan tersebut untuk selanjutnya mengambil keputusan.
2 Jika hakim menyatakan keberatan tersebut diterima, maka perkara itu tidak diperiksa lebih lanjut, sebaliknya dalam hal tidak diterima atau hakim berpendapat hal tersebut baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan, maka sidang dilakukan.
Bahwa berpijak dari ketentuan norma Pasal 156 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP tersebut di atas, apabila dicermati secara saksama, sesungguhnya tidak ada keharusan bagi hakim untuk menjatuhkan putusan sela pada setiap adanya keberatan (eksepsi) dari terdakwa/penasihat hukum berkaitan dengan pengadilan tidak berwenang mengadili perkara yang bersangkutan, surat dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 156 ayat (1) KUHAP. Dengan demikian, menurut Mahkamah, oleh karena ketentuan norma Pasal 156 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP a quo tidak bersifat imperatif atau opsional, maka demi terciptanya kepastian dan keadilan hukum bagi terdakwa dan korban pelaku tindak pidana dan juga kepentingan umum, eksistensi Pasal a quo menjadi alasan fundamental untuk dilakukannya pembatasan atas surat dakwaan yang dapat diperbaiki dan dapat diajukannya kembali terdakwa di persidangan secara berulang-ulang. Di samping itu, juga bagi hakim di dalam menjatuhkan putusan sela atas adanya keberatan dari terdakwa/penasihat hukum berkaitan dengan pengadilan tidak berwenang mengadili perkara yang bersangkutan, dakwaan tidak dapat diterima atau dakwaan harus dibatalkan.

[3.18] Menimbang bahwa di samping pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan tersebut di atas, oleh karena sesungguhnya kesempatan untuk mengajukan keberatan atas surat dakwaan jaksa penuntut umum hanyalah hak dan bukan kewajiban, maka sejatinya adanya pembatasan atas perbaikan surat dakwaan yang disebabkan batal atau batal demi hukum dan pembatasan hakim dalam menjatuhkan putusan sela atas adanya keberatan dari terdakwa/penasihat hukum, tidak mengurangi hak-hak terdakwa maupun penuntut umum, bahkan hakim, di dalam keleluasaan memeriksa suatu perkara pidana. Sebab, hakim pengadilan pidana yang memeriksa dan mengadili perkara yang bersangkutan dapat melakukan pemeriksaan atas materi perkara besama-sama dengan syarat formil lainnya, yang kemudian atas perkara tersebut dapat dijatuhkan putusan pada putusan akhir secara bersamaan. Hal demikian sejalan dengan asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan [vide Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman].
Lebih lanjut, pembatasan perbaikan surat dakwaan jaksa penuntut umum akibat surat dakwaan yang batal atau batal demi hukum dan putusan sela yang dapat dijatuhkan oleh hakim, di samping memberikan kepastian dan keadilan hukum bagi terdakwa dan korban tindak pidana serta kepentingan umum, juga untuk menghindari adanya perkara yang berpotensi melewati batas daluwarsa penuntutan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 78 dan Pasal 79 KUHP. Terlebih, dalam praktik peradilan, hakim secara ex officio dalam memeriksa dan mengadili perkara pidana tanpa ada keberatan (eksepsi) dari terdakwa/penasihat hukum berkaitan dengan kewenangan mengadili perkara yang bersangkutan, surat dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan batal demi hukum secara ex officio dapat menjatuhkan putusan sela ataupun tetap memeriksa materi pokok perkara dan kemudian menjatuhkan putusan akhir secara bersama-sama. Oleh karena, meskipun ditemukan adanya kekurangan syarat formil dan materiil terhadap surat dakwaan akan menjadi pertimbangan hukum tersendiri bagi hakim yang mengadili perkara dimaksud dengan mempertimbangkan secara komprehensif. Dalam kaitan inilah apakah hakim akan menitikberatkan putusannya pada aspek keadilan formil, keadilan materiil, atau memadukan antara keduanya di dalam menilai dan memutus perkara yang bersangkutan. Dengan demikian, dengan telah diputusnya pada putusan akhir yang mencakup juga materi pokok perkara, maka upaya hukum yang tersedia atas perkara dimaksud dapat ditempuh oleh pihak-pihak yang berkeberatan. Terlebih, terhadap perkara yang demikian apabila diajukan kembali dengan perbaikan surat dakwaan oleh jaksa penuntut umum maka akan terkendala dengan ketentuan tentang ne bis in idem, yang artinya perkara dengan terdakwa dan materi perbuatan tindak pidana yang sama telah diputus oleh pengadilan dan telah berkekuatan hukum tetap, baik yang terbukti maupun yang tidak terbukti, maka perkara tersebut tidak dapat diperiksa kembali untuk kedua kalinya [vide Pasal 76 KUHP].

[3.19] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, berkenaan dengan frasa “batal demi hukum” sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan norma Pasal 143 ayat (3) KUHAP, menurut Mahkamah dapat menciptakan kepastian dan keadilan hukum, apabila dimaknai pengajuan perbaikan surat dakwaan hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali setelah surat dakwaan dinyatakan batal atau batal demi hukum oleh hakim. Artinya, pada dakwaan kedua yang diajukan jaksa penuntut umum, apabila masih diajukan keberatan mengenai keterpenuhan syarat formil dan materiil surat dakwaan, maka hakim harus memeriksa surat dakwaan tersebut secara bersama-sama dengan materi pokok perkara yang kemudian diputus secara bersama-sama dalam putusan akhir. Dengan demikian, pemaknaan atas frasa “batal demi hukum” sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan norma Pasal 143 ayat (3) KUHAP dimaknai menjadi sesuai dengan yang dinyatakan dalam amar putusan a quo.

[3.20] Menimbang bahwa dengan telah diberikan pemaknaan baru oleh Mahkamah terhadap frasa “batal demi hukum” sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan norma Pasal 143 ayat (3) KUHAP, maka terhadap perkara-perkara yang saat ini sudah pernah dinyatakan surat dakwaan jaksa penuntut umum batal atau batal demi hukum, baik sekali maupun lebih oleh hakim, maka dapat diajukan untuk 1 (satu) kali lagi dan kemudian hakim memeriksanya bersama-sama dengan materi pokok perkara. Sementara itu, terhadap perkara-perkara yang belum pernah sama sekali diajukan surat dakwaan oleh jaksa penuntut umum dalam persidangan, berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam putusan a quo.
Namun demikian, melalui putusan a quo penting bagi Mahkamah untuk menegaskan, bahwa untuk menghindari terjadinya kesalahan dalam penyusunan surat dakwaan agar jaksa penuntut umum melakukan pemeriksaan secara saksama dan berjenjang terhadap surat dakwaan sebelum diajukan dalam persidangan di pengadilan negeri. Sebab, jaksa penuntut umum adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas kebijakan penuntutan, yang pada satu sisi berhubungan dengan perlindungan hak asasi manusia, dan di sisi lain dakwaan dapat berakibat perampasan kemerdekaan seseorang. Oleh karena itu, dengan adanya kecermatan dalam penyusunan surat dakwaan maka dapat dihindari adanya surat dakwaan yang batal atau batal demi hukum. Di samping itu, penting pula bagi Mahkamah untuk mengingatkan hakim dalam menangani perkara agar selalu menjaga integritas, dengan tetap mengedepankan kepastian dan keadilan hukum. Sehingga, kemungkinan adanya putusan sela yang menyatakan surat dakwaan jaksa penuntut umum batal atau batal demi hukum secara berulang-ulang tidak lagi terjadi. Karena, sebagaimana dipertimbangkan di atas, sejatinya hakim dapat memberikan penilaian atas suatu perkara dari aspek keadilan formil, materiil ataupun memadukan keduanya dengan tetap berorientasi pada peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.

[3.21] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, telah ternyata ketentuan norma Pasal 143 ayat (3) KUHAP menimbulkan ketidakpastian dan ketidakadilan hukum. Namun, oleh karena Mahkamah akan memberikan pemaknaan bersyarat terhadap norma Pasal a quo tidak sebagaimana yang dimohonkan oleh Pemohon, dengan demikian Mahkamah berpendapat dalil permohonan Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.

[3.22] Menimbang bahwa dengan telah dinyatakannya frasa “batal demi hukum” sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan norma Pasal 143 ayat (3) KUHAP inkonstitusional secara bersyarat maka terhadap pasal-pasal lain yang berkaitan, pemberlakuannya menyesuaikan dengan putusan a quo.

[3.23] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dari permohonan Pemohon a quo tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dipandang tidak ada relevansinya.

Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk umum dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan langsung dilaksanakan (self executing) oleh seluruh organ penyelenggara negara, organ penegak hukum, dan warga Negara.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dikabulkan Sebagian Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 68/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 31-10-2022

Bahwa pada hari Senin tanggal 31 September 2021, pukul 16.03 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (selanjutnya disebut UU Pemilu) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 68/PUU-XX/2022. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 68/PUU-XX/2022, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 170 ayat (1) beserta penjelasan UU Pemilu dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.12] Menimbang bahwa berkaitan dengan isu konstitusionalitas yang dipersoalkan oleh Pemohon pada esensinya adalah mempersoalkan inkonstitusionalitas norma Pasal 170 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 170 ayat (1) UU Pemilu secara bersyarat sebagaimana yang dimohonkan dalam petitum permohonan Pemohon. terhadap hal tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut;
[3.12.1] Bahwa berkenaan dengan dalil Pemohon mengenai norma Pasal 170 ayat (1) UU 7/2017 yang pada pokoknya menjelaskan Pemohon sebagai partai politik memiliki hak konstitusional sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 6, Pasal 6A ayat (2), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 untuk mengajukan calon Presiden atau Wakil Presiden, termasuk calon dari kalangan “pejabat negara” yang telah ditentukan dalam norma Pasal 170 ayat (1) UU 7/2017 yaitu:
“Pejabat Negara yang dicalonkan oleh Partai Politik Peserta Pemilu atau Gabungan Partai Politik sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden harus mengundurkan diri dari jabatannya, kecuali Presiden, Wakil Presiden, Pimpinan dan anggota MPR, Pimpinan dan anggota DPR, Pimpinan dan anggota DPD, Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati Walikota dan Wakil Walikota.”
Menurut Pemohon, Pasal 170 ayat (1) UU 7/2017 merupakan ketentuan yang memuat syarat tambahan bagi Pemohon sebagai partai politik atau gabungan partai politik terkait dengan pencalonan Presiden atau calon Wakil Presiden dalam pemilu karena surat pengunduran diri pejabat negara tersebut didaftarkan oleh partai politik atau gabungan partai politik di Komisi Pemilihan Umum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 170 ayat (2) UU 7/2017. Menurut Pemohon, syarat calon Presiden dan calon Wakil Presiden telah diatur dalam Pasal 6 UUD 1945 dan Pasal 169 UU 7/2017 serta syarat tambahan yang mengharuskan pejabat negara, in casu menteri, untuk mengundurkan diri dari jabatannya ketika dicalonkan sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden merupakan perlakuan yang bersifat diskriminatif dan bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
[3.12.2] Bahwa berkaitan dengan hal tersebut, sebelum mempertimbangkan lebih jauh dalil Pemohon, penting bagi Mahkamah untuk terlebih dahulu menegaskan bahwa berkaitan dengan persoalan seseorang yang akan menjabat sebagai kepala daerah dalam pemilihan kepala daerah, yaitu Pegawai Negeri Sipil/Aparatur Sipil Negara, Pegawai Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, dan anggota legislatif (DPR, DPD, dan DPRD), Mahkamah dalam putusan-putusannya, antara lain Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PUU-XII/2014 yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 8 Juli 2015, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIII/2015 yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 8 Juli 2015, dan kemudian terakhir dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PUU-XV/2017 yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 28 November 2017, yang dalam pertimbangan hukumnya juga telah menguatkan pendirian putusan-putusan sebelumnya, berkenaan dengan Pegawai Negeri Sipil/Aparatur Sipil Negara, Pegawai Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, dan anggota legislatif (DPR, DPD, dan DPRD) harus mengundurkan diri sejak ditetapkan menjadi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Komisi Pemilihan Umum.
Berdasarkan pertimbangan hukum dalam Putusan-Putusan Mahkamah tersebut di atas dan setelah memeriksa secara saksama dalil Pemohon dalam Permohonan a quo, Mahkamah menemukan adanya persamaan substansi keberlakuan norma berkaitan dengan frasa “pejabat negara” yang dicalonkan dalam Putusan-Putusan Mahkamah tersebut di atas berkaitan dengan mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah. Oleh karena itu, dalam Permohonan a quo Mahkamah dalam memberikan pertimbangan hukum terhadap konstitusionalitas norma Pasal 170 ayat (1) UU 7/2017 tidak dapat dipisahkan dari pertimbangan hukum putusan-putusan Mahkamah tersebut di atas. Bahwa persoalan esensial yang harus dijelaskan oleh Mahkamah adalah berkaitan dengan substansi yang terdapat dalam norma Pasal 170 ayat (1) UU 7/2017 yang memberikan pengecualian terhadap Presiden, Wakil Presiden, Pimpinan dan anggota MPR, Pimpinan dan anggota DPR, Pimpinan dan anggota DPD, Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota untuk tidak diperlukan syarat pengunduran diri pada saat dicalonkan sebagai Presiden atau Wakil Presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik. Sementara itu, terhadap pejabat negara lainnya, termasuk menteri atau pejabat setingkat menteri, dipersyaratkan harus mengundurkan diri apabila dicalonkan sebagai Presiden atau Wakil Presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik. Dengan demikian, terdapat perbedaan perlakuan konstitusional terhadap kedua rumpun jabatan dimaksud.
Selanjutnya terhadap hal tersebut, menurut Mahkamah, dalam perspektif seseorang warga negara yang mengemban jabatan tertentu sejatinya pada diri yang bersangkutan melekat hak konstitusional sebagai warga negara untuk dipilih dan memilih sepanjang hak tersebut tidak dicabut oleh undang-undang atau putusan pengadilan. Oleh karena itu, terlepas pejabat negara menduduki jabatan dikarenakan sifat jabatannya atas dasar pemilihan ataupun atas dasar pengangkatan, seharusnya hak konstitusionalnya dalam mendapatkan kesempatan untuk dipilih maupun memilih tidak boleh dikurangi.
[3.12.3] Bahwa persoalan selanjutnya adalah bagaimana dengan pendirian Mahkamah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PUU-XII/2014, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIII/2015, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PUU-XV/2017, yang menyatakan bahwa Pegawai Negeri Sipil/Aparatur Sipil Negara, Pegawai Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, dan anggota legislatif (DPR, DPD, dan DPRD) harus mengundurkan diri sejak ditetapkan menjadi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Komisi Pemilihan Umum. Terhadap hal demikian, oleh karena sesungguhnya baik jabatan publik/pejabat negara yang diangkat maupun yang dipilih merupakan jabatan yang erat hubungannya dengan persoalan netralitas yang di dalamnya terdapat potensi penyalahgunaan kewenangan, antara lain berupa penggunaan pengaruh atau pemakaian fasilitas milik negara dalam kontestasi pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang tidak berbeda dengan kontestasi pemilihan kepala daerah. Terlebih, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XX/2022 yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 29 September 2022 [vide Paragraf [3.19] hlm. 40], Mahkamah tidak lagi membedakan antara rezim pemilu dan pemilihan kepala daerah, maka membedakan syarat pengunduran diri pejabat publik/pejabat negara, baik yang diangkat maupun dipilih, adalah tidak relevan lagi untuk diberlakukan pada konteks saat ini, karena untuk mengisi jabatan-jabatan politik dimaksud memerlukan calon-calon yang berkualitas dari berbagai unsur dan potensi sumber daya manusia Indonesia. Terlebih lagi, untuk dapat dicalonkan sebagai Presiden atau Wakil Presiden memiliki sifat dan syarat khusus sebagaimana telah ditentukan dalam tatacara pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. Oleh karena itu, untuk memberikan perlindungan hak konstitusional warga negara, in casu untuk dapat dicalonkan menjadi Presiden atau Wakil Presiden, Mahkamah memiliki pertimbangan lain berkaitan dengan permasalahan konstitusionalitas norma Pasal 170 ayat (1) UU 7/2017 beserta Penjelasannya.
Bahwa dalam perspektif adanya kekhawatiran melekatnya jabatan pada pejabat yang dicalonkan sebagai Presiden atau Wakil Presiden akan memengaruhi netralitas yang bersangkutan sehingga diwajibkannya untuk mengundurkan diri, menurut Mahkamah, hal tersebut tidak berbanding lurus dengan perlindungan hak konstitusional yang dimiliki oleh pejabat yang bersangkutan. Terlebih di dalam mendapatkan jabatannya tersebut, pejabat yang bersangkutan memerlukan perjalanan karir yang panjang, bisa jadi di saat itulah sesungguhnya puncak karir dari pejabat yang bersangkutan. Dengan demikian, tanpa harus mengundurkan diri, kematangan profesionalitas pejabat yang dimaksud masih dapat dipergunakan di dalam memberikan kontribusi dalam pembangunan bangsa dan negara, sekalipun pejabat yang bersangkutan kalah dalam kontestasi pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Di samping itu, adanya perlakuan yang berbeda terhadap menteri atau pejabat setingkat menteri sebagai pejabat negara yang diharuskan mengundurkan diri sebagaimana dimaksud dalam norma Pasal 170 ayat (1) UU 7/2017 apabila dicalonkan sebagai Presiden atau Wakil Presiden menimbulkan pembatasan dalam pemenuhan hak konstitusional. Menurut Mahkamah, pembatasan dan pembedaan tersebut termasuk pula bentuk diskriminasi terhadap partai politik ketika mencalonkan kader terbaiknya sebagai calon Presiden atau Wakil Presiden. Apalagi, hal tersebut dapat mencederai hak konstitusional partai politik dari perlakuan yang bersifat diskriminatif sebagaimana dijamin dan dilindungi oleh Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
[3.12.4] Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah selanjutnya akan memberikan penilaian berkenaan dengan isu konstitusionalitas norma undang-undang yang dimohonkan pengujian, in casu Pasal 170 ayat (1) UU 7/2017, yang berkaitan dengan frasa “pejabat negara” yang dicalonkan sebagai Presiden atau Wakil Presiden. Berkenaan dengan hal tersebut oleh karena satu-satunya hal yang membedakan argumentasi Permohonan a quo dengan permohonan-permohonan sebagaimana tersebut pada Sub-paragraf [3.12.2] dan Sub-paragraf [3.12.3] adalah argumentasi yang mengecualikan bagi pejabat negara, in casu menteri dan pejabat setingkat menteri, yang hendak dicalonkan sebagai Presiden atau Wakil Presiden, sebagaimana dinyatakan dalam dalil Permohonan Pemohon dan ditegaskan dalam Petitum Permohonan Pemohon agar dikecualikan untuk tidak perlu mengundurkan diri. Oleh karena itu, sebagai konsekuensi yuridis sebagaimana telah dipertimbangkan Mahkamah tersebut di atas, maka terhadap syarat pengunduran diri pejabat publik/pejabat negara, termasuk dalam hal ini menteri dan pejabat setingkat menteri untuk dicalonkan sebagai Presiden atau Wakil Presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik, tidak relevan lagi untuk dipertahankan dan oleh karenanya harus tidak lagi diberlakukan ketentuan pengecualian syarat pengunduran diri dalam norma Pasal 170 ayat (1) UU 7/2017. Dengan demikian, ketentuan norma Pasal 170 ayat (1) UU 7/2017 harus dimaknai secara bersyarat yang selengkapnya sebagaimana akan dinyatakan dalam amar putusan a quo;
Bahwa selanjutnya, meskipun Mahkamah dalam pertimbangan hukum pada Sub-paragraf [3.12.2] dan Sub-paragraf [3.12.3] telah berpendirian menteri atau pejabat setingkat menteri dapat dikecualikan untuk tidak mengundurkan diri apabila dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik sebagai calon Presiden atau Wakil Presiden, namun demikian penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa jabatan menteri atau pejabat setingkat menteri termasuk dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang menjadi bagian dari kekuasaan yang dimiliki oleh Presiden dan Wakil Presiden. Oleh karena itu, demi kepastian hukum dan stabilitas serta keberlangsungan pemerintahan, menteri atau pejabat setingkat menteri merupakan pejabat negara yang dikecualikan apabila dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden harus mendapat persetujuan dan izin cuti dari Presiden.
[3.13] Menimbang bahwa selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan Penjelasan Pasal 170 ayat (1) UU 7/2017 yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon sebagai akibat adanya perubahan berupa pemaknaan baru terhadap norma Pasal 170 ayat (1) UU 7/2017. Berkenaan dengan hal tersebut, oleh karena ketentuan norma Pasal 170 ayat (1) UU 7/2017 esensinya adalah menegaskan tentang frasa “pejabat negara” yang dikecualikan mengundurkan diri apabila dicalonkan sebagai Presiden atau Wakil Presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik, in casu untuk menteri atau pejabat setingkat menteri, sebagaimana termuat dalam Penjelasan Pasal 170 ayat (1) huruf g UU 7/2017, maka dengan telah dinyatakannya menteri atau pejabat setingkat menteri termasuk yang dikecualikan untuk tidak dipersyaratkan mengundurkan diri, sebagai konsekuensi yuridisnya sepanjang frasa “menteri dan pejabat setingkat menteri” yang terdapat dalam Penjelasan Pasal 170 ayat (1) huruf g UU 7/2017 harus dinyatakan tidak ada relevansi untuk dipertahankan lagi, sehingga harus dinyatakan inkonstitusional. Dengan demikian, Penjelasan Pasal 170 ayat (1) UU 7/2017 selengkapnya sebagaimana yang akan dinyatakan dalam amar putusan a quo;
[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, ketentuan norma Pasal 170 ayat (1) UU 7/2017 dan Penjelasan Pasal 170 ayat (1) huruf g UU 7/2017 telah ternyata menimbulkan diskriminasi sebagaimana yang dimaksud dalam norma Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Oleh karena itu, dalil-dalil permohonan Pemohon adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian.

Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan langsung dilaksanakan (self executing) oleh seluruh organ penyelenggara negara, organ penegak hukum, dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 68/PUU-XX/2022 yang menyatakan permohonan pemohon dikabulkan sebagian terhadap pengujian Pasal 170 ayat (1) UU Pemilu mengandung arti bahwa ketentuan Penjelasan Pasal a quo bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sesuai pemaknaan MK.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Ketetapan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Mengabulkan Penarikan Kembali Permohonan Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 90/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 31-10-2022

Bahwa pada hari Senin, tanggal 31 Oktober 2022, pukul 10.25 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan/Ketetapan Pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (selanjutnya disebut UU 11/2020) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 90/PUU-XX/2022. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 90/PUU-XX/2022, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 18 dan Pasal 110B UU 11/2020 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

a. bahwa Mahkamah Konstitusi telah menerima permohonan, bertanggal 25 Agustus 2022, dari Cahaya dan M. Syarief Usemahu, yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada 26 Agustus 2022 berdasarkan Akta Pengajuan Permohonan Pemohon Nomor 81/PUU/PAN.MK/AP3/08/2022 dan telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dengan Nomor 90/PUU-XX/2022 pada 13 September 2022, perihal permohonan pengujian Pasal 18 dan Pasal 110B Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 28 ayat (4) dan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554, selanjutnya disebut UU MK), terhadap Permohonan Nomor 90/PUU-XX/2022 tersebut Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan:
1) Ketetapan Mahkamah Konstitusi Nomor 90.90/PUU/ TAP.MK/Panel/09/2022 tentang Pembentukan Panel Hakim Konstitusi Untuk Memeriksa Permohonan Perkara Nomor 90/PUU-XX/2022, bertanggal 13 September 2022;
2) Ketetapan Ketua Panel Hakim Konstitusi Nomor 90.90/ PUU/TAP.MK/HS/09/2022 tentang Penetapan Hari Sidang Pertama Perkara Nomor 90/PUU-XX/2022, bertanggal 13 September 2022;
c. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 34, Pasal 39 UU MK dan Pasal 41 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, Mahkamah telah melakukan Pemeriksaan Pendahuluan terhadap permohonan a quo melalui Sidang Panel pada 27 September 2022, Panel Hakim memeriksa kejelasan permohonan dan memberi nasihat kepada kuasa hukum para Pemohon untuk memperbaiki permohonan atau menarik permohonan a quo untuk diperbaiki dan dilengkapi [vide Risalah Sidang Perkara Nomor 90/PUU-XX/2022, tanggal 27 September 2022];
d. bahwa berdasarkan Pemeriksaan pendahuluan sebagaimana dimaksud, Mahkamah telah memperoleh fakta persidangan sebagai berikut:
1. Kuasa hukum para Pemohon juga bertindak sebagai Pemohon;
2. Surat kuasa yang dikirimkan dan diterima Mahkamah belum ditandatangani pemberi kuasa maupun penerima kuasa;
3. Para Pemohon tidak dapat menjelaskan lebih lanjut tujuan pengajuan permohonan dan pokok-pokok permohonannya.
e. bahwa atas nasihat Panel Hakim, kuasa hukum para Pemohon menyatakan akan menarik permohonan perkara Nomor 90/PUU-XX/2022. Selanjutnya para Pemohon diberikan jangka waktu selama 3 (tiga) hari yaitu pada hari Jumat, 30 September 2022, bahwa atas nasihat Panel Hakim, kuasa hukum para Pemohon menyatakan akan menarik permohonan perkara Nomor 90/PUU-XX/2022. Selanjutnya para Pemohon diberikan jangka waktu selama 3 (tiga) hari yaitu pada hari Jumat, 30 September 2022, pukul 12.00 WIB untuk menyampaikan permohonan penarikan perkara Nomor 90/PUU-XX/2022 a quo, jika sampai dengan jangka waktu yang ditentukan para Pemohon tidak menyampaikan surat permohonan penarikan, maka pernyataan kuasa hukum para Pemohon di dalam persidangan akan digunakan Mahkamah sebagai dasar permohonan a quo ditarik kembali [vide Risalah Sidang Perkara Nomor 90/PUU-XX/2022, tanggal 27 September 2022];
f. bahwa sampai dengan jangka waktu yang ditetapkan para Pemohon tidak juga menyampaikan surat penarikan permohonan terhadap perkara Nomor 90/PUU-XX/2022, oleh karenanya pernyataan kuasa hukum para Pemohon di dalam persidangan tanggal 27 September 2022 adalah menjadi dasar penarikan permohonan a quo;
g. bahwa terhadap penarikan kembali permohonan para Pemohon tersebut, Pasal 35 ayat (1) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan” dan Pasal 35 ayat (2) UU MK menyatakan bahwa penarikan kembali mengakibatkan permohonan a quo tidak dapat diajukan kembali;
h. bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf e, Rapat Permusyawaratan Hakim pada 25 Oktober 2022 telah berkesimpulan pencabutan atau penarikan kembali permohonan Nomor 90/PUU-XX/2022 adalah beralasan menurut hukum dan para Pemohon tidak dapat mengajukan kembali Permohonan a quo. Oleh karena itu, Rapat Permusyawaratan Hakim memerintahkan kepada Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat pencabutan atau penarikan kembali permohonan para Pemohon dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada para Pemohon;

Bahwa dengan Ketetapan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan penarikan kembali permohonan para Pemohon, maka para Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonannya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dikabulkan Sebagian Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 91/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2003 TENTANG ADVOKAT TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 31-10-2022

Bahwa pada hari Senin tanggal 31 Oktober 2022, pukul 17.45 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (selanjutnya disebut UU 18/2003) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 91/PUU-XX/2022. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 91/PUU-XX/2022, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 28 ayat (3) UU 18/2003 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.10] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut dalil permohonan Pemohon a quo, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan permohonan Pemohon berkaitan dengan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021). Pertimbangan demikian diperlukan untuk menentukan apakah norma a quo dapat dimohonkan kembali karena norma a quo telah pernah diajukan pengujian dan telah diputus dalam beberapa putusan Mahkamah sebelumnya. Berkenaan dengan fakta tersebut:
Pasal 60 UU MK menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undangundang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda.
Pasal 78 PMK 2/2021 menyatakan:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam UU yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda atau terdapat alasan permohonan yang berbeda.
Terhadap persoalan tersebut, ketentuan norma Pasal 28 ayat (3) UU 18/2003 pernah diajukan sebelumnya dan telah diputus dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 014/PUU-IV/2006 yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 30 November 2006, dengan amar “Menyatakan permohonan para Pemohon ditolak untuk seluruhnya”; dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XVI/2018 yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 28 November 2019, dengan amar putusan “Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya”. Setelah Mahkamah mempelajari secara saksama, telah ternyata Perkara Nomor 014/PUU-IV/2006 menggunakan dasar pengujian, yaitu: Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28J ayat (1) dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, serta Perkara Nomor 35/PUU-XVI/2018 menggunakan dasar pengujian, yaitu: Pasal 28, Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Sementara itu, berkenaan dengan alasan konstitusional yang digunakan dalam Perkara Nomor 014/PUU-IV/2006 pada intinya adalah larangan rangkap jabatan pimpinan organisasi advokat sebagai pengurus partai politik, sedangkan Perkara Nomor 35/PUU-XVI/2018 menggunakan alasan pada intinya berkenaan dengan pembentukan organisasi advokat. Berdasarkan uraian di atas, setelah membandingkan Perkara Nomor 014/PUU-IV/2006 dan Perkara Nomor 35/PUU-XVI/2018 dengan permohonan a quo, telah terdapat perbedaan dasar pengujian dalam mengajukan permohonan inkonstitusionalitas norma Pasal 28 ayat (3) UU 18/2003. Dalam hal ini, Pemohon menggunakan dasar pengujian Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang tidak digunakan sebagai dasar pengujian dalam Perkara Nomor 014/PUU-IV/2006 dan Perkara Nomor 35/PUU-XVI/2018. Selain dasar pengujian, sebagaimana diuraikan dalam Paragraf [3.7] angka 1 sampai dengan angka 5, terdapat pula perbedaan alasan konstitusional dalam permohonan Perkara Nomor 014/PUU-IV/2006 dan Perkara Nomor 35/PUU-XVI/2018 dengan alasan konstitusional permohonan a quo. Oleh karena itu, terlepas secara substansial permohonan Pemohon beralasan menurut hukum atau tidak, berdasarkan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 ayat (2) PMK 2/2021, permohonan a quo dapat diajukan kembali.

[3.11] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon berdasarkan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 ayat (2) PMK 2/2021 dapat diajukan kembali, Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan Pemohon lebih lanjut.

[3.12] Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama permohonan Pemohon, sebagaimana selengkapnya dimuat dalam bagian Duduk Perkara, masalah konstitusional yang harus dijawab Mahkamah adalah apakah ketiadaan pembatasan masa jabatan pimpinan organisasi advokat dalam norma Pasal 28 ayat (3) UU 18/2003 bertentangan dengan UUD 1945. Persoalan tersebut menjadi sangat relevan karena selama ini pengaturan berkenaan dengan masa jabatan pimpinan suatu organisasi advokat hanya diatur atau didasarkan AD/ART organisasi advokat. Sebagaimana didalilkan Pemohon, sebagai organisasi penegak hukum yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam desain besar penegakan hukum di Indonesia, pembatasan masa jabatan pimpinan menjadi sesuatu yang mendasar dalam menjaga eksistensi organisasi advokat.

[3.13] Menimbang bahwa pada prinsipnya advokat bertatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 ayat (1) UU 18/2003. Secara doktrinal penegak hukum merupakan aparat yang berhubungan, salah satunya dengan masalah peradilan (litigasi). Dalam menciptakan sistem peradilan yang mengedepankan supremasi hukum dan hak asasi manusia, selain unsur penegak hukum lainnya, diperlukan campur tangan dan pengaruh dari luar yaitu profesi advokat yang bebas, mandiri dan bertanggung jawab, untuk terselenggaranya suatu peradilan yang jujur, adil, dan memiliki kepastian hukum bagi semua pencari keadilan dalam menegakkan hukum, kebenaran, keadilan, dan hak asasi manusia (vide konsiderans Menimbang UU 18/2003). Artinya, usaha mewujudkan tegaknya prinsip-prinsip negara hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, advokat memiliki peran dan fungsi yang sama dengan lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum lainnya seperti kepolisian dan kejaksaan. Sehubungan dengan posisi itu, Mahkamah telah pernah mempertimbangkan dan memutus bagaimana sejatinya posisi advokat sebagai salah satu unsur penegak hukum. Dalam hal ini, paling tidak, ihwal kelindan advokat dengan penegak hukum lainnya dapat ditelusuri dari pertimbangan hukum yang termaktub dalam halaman 57 angka 4 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 014/PUU-IV/2006 yang menyatakan, “Ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Advokat yang memberikan status kepada Advokat sebagai penegak hukum yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan...”. Selanjutnya, pertimbangan hukum putusan Mahkamah a quo menegaskan, “advokat mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya”, tetap terkait erat dengan penegak hukum lainnya, antara lain seperti hakim, polisi dan jaksa, dalam rangka menjaga dan menjamin terciptanya kepastian hukum bagi semua pencari keadilan untuk mewujudkan supremasi hukum dan keadilan”.

[3.14] Menimbang bahwa sebagai sebuah organisasi yang berkaitan dengan penegakan hukum, adovat merupakan profesi mulia (officium nobile). Sebagai sebuah organisasi profesi, Louis Dembitz Brandeis, advokat terkemuka dan pernah menjadi Hakim Agung Amerika Serikat (1916-1939) mengemukakan bahwa sebuah perkerjaan dapat dikatakan sebagai profesi apabila memiliki ciri-ciri pengetahuan; diabadikan untuk kepentingan orang lain; keberhasilan bukan didasarkan pada keuntungan finansial; didukung oleh adanya organisasi profesi; dan adanya standar kualifikasi profesi. Dari kesemua ciri yang harus dimiliki tersebut, organisasi profesi merupakan salah satu pilar penopang keberadaan sebuah profesi. Keberadaan organisasi profesi bagi sebuah profesi sangat dibutuhkan karena organisasi profesi akan melaksanakan sejumlah fungsi seperti fungsi menetapkan kode etik profesi. Fungsi menetapkan kode etik profesi merupakan sebuah fungsi membentuk norma etika yang akan berlaku bagi seluruh anggota organisasi profesi. Selain fungsi menetapkan kode etik, umumnya organisasi juga melaksanakan fungsi penegakan kode etik bagi anggota-anggotanya.
Tidak berbeda dengan organisasi pada umumnya, ciri-ciri yang sama juga berlaku bagi organisasi advokat sebagai sebuah organisasi profesi. Sebagai sebuah profesi, para advokat juga tergabung dalam organisasi advokat yang melaksanakan fungsi membentuk kode etik, menegakkan kode etik dan fungsi lain seperti menyelesaikan masalah-masalah profesi, membela hak-hak anggota dan juga sebagai sarana saling berbagi informasi yang diperlukan dalam melaksanakan tugas profesi. Jika dikaitkan dengan substansi yang diatur dalam UU 18/2003, dapat dipahami organisasi advokat sebagai sebuah organisasi profesi juga merujuk pada kerangka organisasi profesi dimaksud. Dalam hal ini, organisasi advokat diberi tugas dan fungsi untuk menyusun kode etik dan pada saat yang sama, organisasi profesi juga melaksanakan fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan kode etik profesi. Fungsi organisasi profesi dimaksud harus dilaksanakan secara profesional. Sebab, sebuah organisasi profesi menuntut segala aspek yang berkenaan dengan profesi, termasuk pengelolaan organisasi secara profesional. Sejalan dengan itu, organisasi profesi harus dijauhkan dari segala praktik pengelolaan yang dapat meruntuhkan kewibawaan organisasi di mata para anggota penyandang profesi. Bagaimana pun, wibawa organisasi profesi menjadi sangat penting agar organisasi profesi tetap solid dan memiliki semangat yang sama dalam mematuhi dan melaksanakan etika profesi yang telah disepakati bersama.
Berkenaan dengan pertimbangan di atas, bagaimana agar organisasi profesi tetap profesional, berwibawa dan terjaga soliditasnya. Salah satu cara yang paling umum adalah keharusan diterapkannya prinsip tata kelola organisasi profesi yang baik. Di antara prinsip tata-kelola organisasi dimaksud adalah adanya partisipasi anggota, yaitu organisasi profesi memberikan ruang yang sama bagi semua anggota profesi untuk terlibat dalam mengelola dan berperan dalam organisasi profesi. Partisipasi anggota dalam pengelolaan organisasi mengharuskan praktik dominasi dalam organisasi untuk dicegah sedemikian rupa. Pada posisi demikian, partisipasi anggota tanpa dominasi dimaksud mengharuskan organisasi profesi untuk mengatur pembatasan terhadap pemegang kekuasaan organisasi profesi. Dalam hal ini, advokat sebagai penegak hukum sudah seharusnyalah memiliki tata kelola organisasi yang dapat mencegah adanya dominasi individu yang dapat berujung pada penyalahgunaan kekuasaan yang jamak dipahami: power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely. Oleh karena itu, perlu dibuka partisipasi anggota yang luas untuk berperan serta dalam pengelolaan organisasi. Hal demikian dapat mencegah kemungkinan terjadinya potensi penyalahgunaan yang dapat merusak kewibawaan organisasi profesi, termasuk dalam hal ini organisasi profesi advokat.

[3.15] Menimbang bahwa bertolak dari rumusan utuh Pasal 28 ayat (3) UU 18/2003 pembatasan pimpinan organisasi advokat, yakni hanya berkenaan dengan larangan rangkap jabatan antara pimpinan organisasi advokat dengan pimpinan partai politik, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Norma Pasal 28 ayat (3) UU 18/2003 tidak mengatur mengenai pembatasan masa jabatan pimpinan organisasi advokat karena ketentuan mengenai masa jabatan pimpinan organisasi advokat dituangkan ke dalam bagian susunan organisasi advokat yang diatur pada AD/ART organisasi advokat sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 28 ayat (2) UU 18/2003. Dengan konstruksi norma hukum demikian, masa jabatan dan periodisasi pimpinan organisasi sangat tergantung dari pengaturan internal organisasi advokat. Oleh karena pengaturan masa jabatan dan periodisasi jabatan pimpinan advokat hanya diatur secara internal, in casu melalui AD/ART, masing-masing organisasi advokat dapat dengan bebas mengaturnya sedemikian rupa sehingga memungkinkan seseorang menjabat sebagai pimpinan orgasisasi advokat secara berulang-ulang karena tidak adanya pengaturan ihwal batasan periodisasi masa jabatan di tingkat undang-undang. Dalam batas penalaran yang wajar, model pengaturan yang demikian dapat menghilangkan kesempatan yang sama bagi para anggota dalam mengelola organisasi serta kaderisasi dan regenerasi kepemimpinan dalam organisasi advokat. Hal demikian dapat berujung pada ketidakpastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di hadapan hukum;
Secara normatif, norma Pasal 28 ayat (3) UU 18/2003 hanya menentukan pembatasan bahwa pimpinan organisasi advokat tidak dapat dirangkap dengan pimpinan partai politik, baik di tingkat pusat maupun tingkat daerah. Dengan batasan tersebut, apabila seorang pimpinan organisasi advokat melakukan rangkap jabatan sebagai pimpinan partai politik akan dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun demikian, norma Pasal 28 ayat (3) UU 18/2003 sama sekali tidak memuat pembatasan masa jabatan dan periodisasi jabatan pimpinan organisasi advokat. Padahal, dalam batas penalaran yang wajar, apabila dikaitkan dengan advokat sebagai penegak hukum yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya, pembatasan masa jabatan pimpinan organisasi advokat seharusnya diatur secara jelas dalam norma undang-undang seperti halnya penegak hukum lainnya, atau setidak-tidaknya dilakukan rotasi secara periodik (tour of duty) untuk menghindari penyalahgunaan kewenangan. Dalam hal ini, undang-undang seharusnya dapat memberikan kepastian hukum mengenai pembatasan masa jabatan dan periodisasi jabatan pimpinan organisasi advokat. Rumusan yang membatasi masa jabatan dan periodisasi jabatan pimpinan organisasi advokat menjadi salah satu cara untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality before the law) bagi semua anggota organisasi advokat yang memenuhi persyaratan, sehingga dapat membuka kesempatan untuk memenuhi ketentuan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Selain itu, pembatasan masa jabatan dan periodisasi jabatan dapat memenuhi salah satu prinsip negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.

[3.16] Menimbang bahwa pengaturan masa jabatan dan periodisasi jabatan pimpinan organisasi advokat tidak secara eksplisit diatur dalam UU 18/2003. Dalam hal ini Pasal 28 ayat (2) UU 18/2003 hanya menyatakan, “Ketentuan mengenai susunan Organisasi Advokat ditetapkan oleh para Advokat dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga”. Dalam praktik, ketentuan tersebut yang dijadikan sebagai dasar untuk mengatur perihal susunan organisasi advokat, yang di dalamnya juga diatur mengenai masa jabatan pimpinan organisasi advokat. Apabila dibandingkan dengan organisasi penegak hukum lainnya, pembatasan masa jabatan pimpinan lembaga penegak hukum dimaksud dibatasi secara jelas oleh norma di tingkat undang-undang atau dilakukan rotasi secara periodik. Dalam konteks itu, sebagai sebuah organisasi yang diposisikan sama dengan lembaga penegak hukum lainnya, menjadi kebutuhan pula untuk mengatur secara jelas pembatasan masa jabatan termasuk pembatasan periodisasi jabatan pimpinan organisasi advokat. Oleh sebab itu, dengan adanya pembatasan masa jabatan dan periodisasi jabatan pimpinan organisasi advokat dapat memberikan jaminan terciptanya kepastian hukum dan kesempatan yang sama di hadapan hukum bagi setiap anggota yang tergabung dalam organisasi advokat. Pembatasan demikian sesuai dengan semangat pembatasan kekuasaan dalam penyelenggaraan negara. Berkenaan dengan pembatasan masa jabatan dan periodesasi jabatan tersebut, menurut Mahkamah, masa jabatan pimpinan organisasi advokat adalah 5 (lima) tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan. Pilihan 5 (lima) tahun tersebut didasarkan kepada praktik pembatasan masa jabatan yang secara umum digunakan oleh organisasi advokat atau organisasi pada umumnya. Sementara itu, berkenaan dengan masa jabatan 2 (dua) kali periode tersebut dapat dilakukan secara berturut-turut atau secara tidak berturutturut. Dengan diletakkan dalam cara berfikir demikian, akan menghilangkan atau mencegah potensi penyalahgunaan kekuasaan dalam tubuh organisasi advokat.

[3.17] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, meskipun norma Pasal 28 ayat (3) UU 18/2003 hanya membatasi pimpinan organisasi advokat tidak dapat dirangkap dengan pimpinan partai politik, baik di tingkat pusat maupun tingkat daerah, namun dikarenakan norma a quo merupakan norma yang memberikan pembatasan terhadap pimpinan organisasi advokat, maka Mahkamah menjadi memiliki dasar yang kuat untuk menambahkan pembatasan lain demi memenuhi tata kelola organisasi advokat yang baik dan sekaligus memenuhi hak-hak anggota advokat. Oleh karena itu, norma Pasal 28 ayat (3) UU 18/2003 yang menyatakan, “Pimpinan Organisasi Advokat tidak dapat dirangkap dengan pimpinan partai politik, baik di tingkat Pusat mupun di tingkat daerah” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Pimpinan organisasi advokat memegang masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan hanya dapat dipilih kembali 1 (satu) kali dalam jabatan yang sama, baik secara berturut-turut atau tidak berturut-turut, dan tidak dapat dirangkap dengan pimpinan partai politik, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah”, sebagaimana dinyatakan dalam amar putusan a quo.

[3.18] Menimbang bahwa dengan telah dinyatakannya Pasal 28 ayat (3) UU 18/2003 inkonstitusional secara bersyarat sebagaimana dipertimbangkan pada Paragraf [3.17], di mana secara faktual sangat mungkin terdapat pimpinan organisasi advokat yang sedang memegang jabatan yang sama lebih dari 2 (dua) periode sebelum putusan a quo, maka untuk alasan kepastian hukum dan tidak menimbulkan persoalan dalam organisasi advokat, pimpinan organisasi advokat yang bersangkutan tetap menjalankan tugasnya hingga berakhir masa jabatannya dan selanjutnya pengisian masa jabatan pimpinan organisasi advokat disesuaikan dengan pemaknaan baru terhadap norma Pasal 28 ayat (3) UU 18/2003 sebagaimana putusan a quo.

[3.19] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah permohonan Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.

[3.20] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan oleh Mahkamah karena tidak ada relevansinya

Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan langsung dilaksanakan (self executing) oleh seluruh organ penyelenggara negara, organ penegak hukum, dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 91/PUU-XX/2022 yang menyatakan UU 18/2003 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Pimpinan organisasi advokat memegang masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan hanya dapat dipilih kembali 1 (satu) kali dalam jabatan yang sama, baik secara berturut-turut atau tidak berturut-turut, dan tidak dapat dirangkap dengan pimpinan partai politik, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah”, harus segera ditindaklanjuti dengan cepat mengingat banyaknya pengaturan dalam UU 18/2003 dan dampaknya terhadap kepastian hukum di Indonesia.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Ketetapan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Mengabulkan Penarikan Kembali Permohonan Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 92/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN FORMIL TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2022 TENTANG PROVINSI PAPUA SELATAN, UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2022 TENTANG PROVINSI PAPUA TENGAH, DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2022 TENTANG PROVINSI PAPUA PEGUNUNGAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 31-10-2022

Bahwa pada hari Senin, tanggal 31 Oktober 2022, pukul 10.32 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2022 tentang Provinsi Papua Selatan (selanjutnya disebut UU 14/2022), Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2022 tentang Provinsi Papua Tengah (selanjutnya disebut UU 15/2022), dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2022 tentang Provinsi Papua Pegunungan (selanjutnya disebut UU 16/2022) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 92/PUU-XX/2022. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 92/PUU-XX/2022, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian formil UU 14/2022, UU 15/2022, dan UU 16/2022 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
a. Bahwa Mahkamah Konstitusi telah menerima permohonan bertanggal 7 September 2022, yang diajukan oleh E. Ramos Petege yang berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 6 Agustus 2022 memberi kuasa kepada Zico Leonard Djagardo Simanjuntak, S.H. dan Rustina Haryati, S.H., yang diterima Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada 7 September 2022 berdasarkan Akta Pengajuan Permohonan Pemohon Nomor 88/PUU/PAN.MK/AP3/ 09/2022 dan telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) pada 13 September 2022 dengan Nomor 92/PUU-XX/2022 mengenai Pengujian Formil Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2022 tentang Pembentukan Provinsi Papua Selatan, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2022 tentang Pembentukan Provinsi Papua Tengah, dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2022 tentang Pembentukan Provinsi Papua Pegunungan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 28 ayat (4) dan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554, selanjutnya disebut UU MK), terhadap Permohonan Nomor 92/PUU-XX/2022 tersebut Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan:
1) Ketetapan Ketua Mahkamah Konstitusi Nomor 92.92/PUU/TAP.MK/Panel/09/2022 tentang Pembentukan Panel Hakim Untuk Memeriksa Perkara Nomor 92/PUU-XX/2022, bertanggal 13 September 2022;
2) Ketetapan Ketua Panel Hakim Mahkamah Konstitusi Nomor 92.92/PUU/TAP.MK/HS/09/2022 tentang Penetapan Hari Sidang Pertama untuk memeriksa Perkara Nomor 92/PUU-XX/2022, bertanggal 13 September 2022;
c. bahwa sesuai dengan Pasal 34 UU MK, Mahkamah telah melaksanakan sidang Pemeriksaan Pendahuluan terhadap permohonan a quo pada 28 September 2022, namun baik Pemohon prinsipal maupun kuasanya tidak hadir dalam persidangan tersebut dengan alasan Pemohon mencabut permohonan yang telah diajukan, yakni melalui surat bertanggal 28 September 2022 perihal Pencabutan Perkara 92/PUU-XX/2022 yang diterima Mahkamah melalui surat elektronik (e-mail) pada 28 September 2022, pukul 12.36 WIB;
d. bahwa terhadap penarikan kembali permohonan Pemohon tersebut, Pasal 35 ayat (1) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan” dan Pasal 35 ayat (2) UU MK menyatakan bahwa penarikan kembali mengakibatkan Permohonan a quo tidak dapat diajukan kembali;
e. bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf d di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim pada 11 Oktober 2022 telah menetapkan bahwa pencabutan atau penarikan kembali permohonan Perkara Nomor 92/PUU- XX/2022 adalah beralasan menurut hukum dan Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan hukum pada huruf e di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim memerintahkan Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat perihal penarikan kembali permohonan Pemohon dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada Pemohon.

Bahwa dengan Ketetapan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 92/PUU-XX/2022 yang mengabulkan penarikan kembali permohonan Pemohon, maka Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonannya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Ketetapan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Mengabulkan Penarikan Kembali Permohonan Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 94/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1980 TENTANG HAK KEUANGAN/ADMINISTRATIF PIMPINAN DAN ANGGOTA LEMBAGA TERTINGGI/TINGGI NEGARA SERTA BEKAS PIMPINAN LEMBAGA TERTINGGI/TINGGI NEGARA DAN BEKAS ANGGOTA LEMBAGA TINGGI NEGARA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 31-10-2022

Bahwa pada hari Senin tanggal 31 Oktober 2022, pukul 10.39 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Penetapan Pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan/Administratif Pimpinan dan Anggota Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara serta Bekas Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara dan Bekas Anggota Lembaga Tinggi Negara (selanjutnya disebut UU 12/1980) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 94/PUU-XX/2022. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 94/PUU-XX/2022, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, dan Pasal 21 UU 12/1980 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
a. bahwa Mahkamah Konstitusi telah menerima permohonan bertanggal 6 September 2022, yang diajukan oleh Ahmad Agus Rianto, yang berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 5 September 2022 memberi kuasa kepada Muhammad Sholeh, S.H., Muhammad Saiful, S.H., Runik Erwanto, S.H., Farid B. Hermawan, S.H., dan Yusuf Andriana, S.H., yang diterima Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada 6 September 2022 berdasarkan Akta Pengajuan Permohonan Pemohon Nomor 85/PUU/PAN.MK/AP3/09/2022, bertanggal 6 September 2022 dan telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) pada 15 September 2022 dengan Nomor 94/PUUXX/2022 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan/Administratif Pimpinan dan Anggota Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara Serta Bekas Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara dan Bekas Anggota Lembaga Tinggi Negara terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 28 ayat (4) dan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554, selanjutnya disebut UU MK), terhadap Permohonan Nomor 94/PUU-XX/2022 tersebut Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan:
1) Ketetapan Ketua Mahkamah Konstitusi Nomor 94.94/PUU/TAP.MK/Panel/09/2022 tentang Pembentukan Panel Hakim Untuk Memeriksa Perkara Nomor 94/PUU-XX/2022, bertanggal 15 September 2022;
2) Ketetapan Ketua Panel Hakim Mahkamah Konstitusi Nomor 94.94/PUU/TAP.MK/HS/09/2022 tentang Penetapan Hari Sidang Pertama untuk memeriksa Perkara Nomor 94/PUU-XX/2022, bertanggal 15 September 2022;

c. bahwa sesuai dengan Pasal 34 UU MK, Mahkamah telah melakukan Pemeriksaan Pendahuluan terhadap permohonan a quo melalui Sidang Panel pada 28 September 2022 dan sesuai dengan Pasal 39 UU MK serta Pasal 41 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian UndangUndang, Panel Hakim telah memberi nasihat kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonannya [vide Risalah Sidang Perkara Nomor 94/PUU-XX/2022, tanggal 28 September 2022];

d. bahwa Pemohon telah mengajukan surat Nomor 002/Ektr/Pencabutan/X/2022 tentang Permohonan Pencabutan Perkara Nomor 94/PUU-XX/2022 bertanggal 10 Oktober 2022 yang diterima Mahkamah Konstitusi pada 12 Oktober 2022 melalui pos;

e. bahwa terhadap Permohonan Pencabutan sebagaimana dijelaskan pada huruf d di atas, Mahkamah melakukan konfirmasi kepada Pemohon dalam sidang Pemeriksaan Perbaikan Permohonan yang diselenggarakan pada 17 Oktober 2022 dan Pemohon membenarkan surat pencabutan permohonan tersebut [vide Risalah Sidang Perkara Nomor 94/PUU-XX/2022, tanggal 17 Oktober 2022];

f. bahwa terhadap penarikan kembali permohonan Pemohon tersebut, Pasal 35 ayat (1) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan” dan Pasal 35 ayat (2) UU MK menyatakan bahwa penarikan kembali mengakibatkan Permohonan a quo tidak dapat diajukan kembali;

g. bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf f di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim pada 18 Oktober 2022 telah menetapkan pencabutan atau penarikan kembali permohonan Perkara Nomor 94/PUU-XX/2022 adalah beralasan menurut hukum dan Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo;

h. bahwa berdasarkan pertimbangan hukum pada huruf g di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim memerintahkan Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat perihal penarikan kembali permohonan Pemohon dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada Pemohon;

Bahwa dengan Ketetapan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan penarikan kembali permohonan Pemohon, maka Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonannya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Ketetapan Perkara Pengujian Undang-Undang Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 99/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2021 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2001 TENTANG OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI PAPUA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 31-10-2022

Bahwa pada hari Senin tanggal 31 Oktober 2022, pukul 10.44 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (selanjutnya disebut UU 2/2021) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 99/PUU-XX/2022. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 99/PUU-XX/2022, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 6 ayat (1) huruf b, Pasal 6 ayat (2), Pasal 6 ayat (3), Pasal 6 ayat (4), Pasal 6 ayat (5), dan Pasal 6 ayat (6) UU 2/2021 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
a. bahwa Mahkamah Konstitusi telah menerima permohonan bertanggal 20 September 2022, yang diajukan oleh Roberth Numberi yang berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 19 Maret 2022 memberi kuasa kepada Arsi Divinubun, S.H., M.H., Gatot Rusbal, S.H., M.H., dan Rafli Fatahudin Syamsuri, S.H., yang diterima Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada 22 September 2022 berdasarkan Akta Pengajuan Permohonan Pemohon Nomor 94/PUU/PAN.MK/AP3/ 09/2022, bertanggal 26 September 2022 dan telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) pada 26 September 2022 dengan Nomor 99/PUUXX/2022 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 28 ayat (4) dan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554, selanjutnya disebut UU MK), terhadap Permohonan Nomor 99/PUU-XX/2022 tersebut Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan:
1) Ketetapan Ketua Mahkamah Konstitusi Nomor 99.99/ PUU/TAP.MK/Panel/09/2022 tentang Pembentukan Panel Hakim Untuk Memeriksa Perkara Nomor 99/PUUXX/2022, bertanggal 26 September 2022;
2) Ketetapan Ketua Panel Hakim Mahkamah Konstitusi Nomor 99.99/PUU/TAP.MK/HS/09/2022 tentang Penetapan Hari Sidang Pertama untuk memeriksa Perkara Nomor 99/PUU-XX/2022, bertanggal 26 September 2022;
c. bahwa Kuasa Hukum Pemohon telah mengajukan surat Permohonan Pencabutan Perkara Nomor 99/PUU-XX/2022 bertanggal 6 Oktober 2022 yang diterima Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada 6 Oktober 2022 dengan alasan kondisi prinsipal Sdr. Roberth Numberi dan ketidaksiapan tim dalam pengajuan materi permohonan sehingga oleh karena kondisi tersebut, Pemohon memutuskan mencabut permohonan a quo;
d. bahwa terhadap Permohonan Pencabutan sebagaimana dijelaskan pada huruf c di atas, Mahkamah melakukan konfirmasi kepada Pemohon dalam sidang Pemeriksaan Pendahuluan yang diselenggarakan pada 19 Oktober 2022 dan Pemohon membenarkan surat pencabutan permohonan tersebut [vide Risalah Sidang Perkara Nomor 99/PUUXX/2022, tanggal 19 Oktober 2022];
e. bahwa terhadap penarikan kembali permohonan Pemohon tersebut, Pasal 35 ayat (1) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan” dan Pasal 35 ayat (2) UU MK menyatakan bahwa penarikan kembali mengakibatkan Permohonan a quo tidak dapat diajukan kembali;
f. bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf e di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim pada 20 Oktober 2022 telah menetapkan pencabutan atau penarikan kembali permohonan Perkara Nomor 99/PUU-XX/2022 adalah beralasan menurut hukum dan Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo;
g. bahwa berdasarkan pertimbangan hukum pada huruf f di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim memerintahkan Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat perihal penarikan kembali permohonan Pemohon dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada Pemohon;

Bahwa dengan Ketetapan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan penarikan kembali permohonan Pemohon, maka Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonannya

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dikabulkan Seluruhnya Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 85/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 29-09-2022

Bahwa pada hari Kamis tanggal 29 September 2022, pukul 17.11 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut UU 10/2016) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 85/PUU-XX/2022. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 85/PUU-XX/2022, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 157 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 10/2016 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.11] Menimbang bahwa setelah mencermati dengan saksama permohonan Pemohon, menurut Mahkamah pokok permasalahan yang diajukan Pemohon adalah mengenai belum dilaksanakannya perintah Pasal 157 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 10/2016 oleh adressat ketentuan a quo yaitu Presiden/Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam hal ini, ketentuan Pasal 157 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 10/2016 dimaksud memerintahkan pembentukan suatu badan peradilan khusus yang akan menyelesaikan/menangani perkara perselisihan hasil Pemilihan, yang harus sudah terbentuk sebelum pelaksanaan pemilihan umum serentak nasional. Belum dibentuknya badan peradilan khusus tersebut, sampai saat permohonan a quo diajukan kepada Mahkamah, menurut Pemohon telah mengancam keberlangsungan Pemilihan terutama pada tahap penyelesaian perselisihan penetapan perolehan suara. Hal demikian karena Pemilihan serentak secara nasional akan dilaksanakan pada 27 November 2024, yang rangkaian tahapannya akan dimulai pada pertengahan tahun 2023. Apabila diletakkan dalam konteks tahapan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah, badan peradilan khusus seharusnya sudah dibentuk jauh hari sebelum dimulainya tahapan dimaksud.
[3.12] Menimbang bahwa terhadap dalil Pemohon tersebut di atas, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa norma Pasal 157 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 10/2016 yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya oleh Pemohon merupakan perubahan atas Pasal 157 UU 8/2015. Sebelumnya, Pasal 157 UU 8/2015 merupakan perubahan atas Pasal 157 Perpu 1/2014 yang ditetapkan menjadi undang-undang oleh UU 1/2015. Adapun Pasal 157 dalam ketiga undang-undang tersebut selengkapnya mengatur sebagai berikut:
Pasal 157 UU 10/2016
(1) Perkara perselisihan hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh badan peradilan khusus.
(2) Badan peradilan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk sebelum pelaksanaan Pemilihan serentak nasional.
(3) Perkara perselisihan penetapan perolehan suara tahap akhir hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi sampai dibentuknya badan peradilan khusus.
(4) Peserta Pemilihan dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota kepada Mahkamah Konstitusi.
(5) Peserta Pemilihan mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.
(6) Pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilengkapi alat/dokumen bukti dan Keputusan KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota tentang hasil rekapitulasi penghitungan suara.
(7) Dalam hal pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) kurang lengkap, pemohon dapat memperbaiki dan melengkapi permohonan paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak diterimanya permohonan oleh Mahkamah Konstitusi.
(8) Mahkamah Konstitusi memutuskan perkara perselisihan sengketa hasil Pemilihan paling lama 45 (empat puluh lima) hari kerja sejak diterimanya permohonan.
(9) Putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (8) bersifat final dan mengikat.
(10) KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota wajib menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi.

Pasal 157 UU 8/2015
(1) Perkara perselisihan hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh badan peradilan khusus.
(2) Badan peradilan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk sebelum pelaksanaan Pemilihan serentak nasional.
(3) Perkara perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi sampai dibentuknya badan peradilan khusus.
(4) Peserta Pemilihan dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota kepada Mahkamah Konstitusi.
(5) Peserta Pemilihan mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota.
(6) Pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilengkapi alat bukti dan Keputusan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota tentang hasil rekapitulasi penghitungan suara.
(7) Dalam hal pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) kurang lengkap, pemohon dapat memperbaiki dan melengkapi permohonan paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak diterimanya permohonan oleh Mahkamah Konstitusi.
(8) Mahkamah Konstitusi memutuskan perkara perselisihan sengketa hasil Pemilihan paling lama 45 (empat puluh lima) hari sejak diterimanya permohonan.
(9) Putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (8) bersifat final dan mengikat.
(10) KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota wajib menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi.

Pasal 157 Perpu 1/2014 yang terlampir dalam UU 1/2015
(1) Dalam hal terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan, peserta Pemilihan dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota kepada Pengadilan Tinggi yang ditunjuk oleh Mahkamah Agung.
(2) Peserta Pemilihan mengajukan permohonan kepada Pengadilan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota.
(3) Pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilengkapi dengan alat bukti dan surat keputusan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota tentang hasil rekapitulasi perhitungan suara.
(4) Dalam hal pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kurang lengkap, pemohon dapat memperbaiki dan melengkapi permohonan paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak diterimanya permohonan oleh Pengadilan Tinggi.
(5) Pengadilan Tinggi memutuskan perkara perselisihan sengketa hasil Pemilihan paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya permohonan.
(6) Pihak yang tidak menerima Putusan Pengadilan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat mengajukan permohonan keberatan ke Mahkamah Agung paling lama 3 (tiga) hari sejak putusan Pengadilan Tinggi dibacakan.
(7) Mahkamah Agung memutuskan permohonan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya permohonan.
(8) Putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (7) bersifat final dan mengikat.
(9) KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota wajib menindaklanjuti putusan Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung.
[3.12.2] Bahwa dalam kaitannya dengan ketentuan yang dimohonkan Pemohon, yaitu Pasal 157 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 10/2016 merupakan perubahan mendasar terhadap substansi Perpu 1/2014 yang kemudian ditetapkan menjadi UU 1/2015. Perubahan mendasar tersebut disebabkan Pasal 157 UU 1/2015 menyerahkan kewenangan mengadili sengketa perselisihan hasil pemilihan kepada Mahkamah Agung, tetapi kemudian UU 8/2015 mengubah dengan menentukan kewenangan mengadili sengketa perselisihan hasil pemilihan diserahkan kepada suatu badan peradilan khusus yang akan dibentuk sebelum pemilihan serentak nasional. Selama badan peradilan khusus tersebut belum dibentuk maka kewenangan mengadili sengketa perselisihan hasil pemilihan kepala daerah diserahkan kepada Mahkamah Konstitusi. Sementara itu, meskipun UU 8/2015 telah diubah dengan UU 10/2016, ihwal norma Pasal 157 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) tersebut tidak mengalami perubahan sama sekali.
[3.13] Menimbang bahwa meskipun dalam ketentuan norma Pasal 157 ayat (1) dan ayat (2) UU 8/2015 telah disahkan dan diundangkan sejak 18 Maret 2015 dan perintah tersebut telah pula dikukuhkan kembali dalam Pasal 157 ayat (1) dan ayat (2) UU 10/2016 yang disahkan dan diundangkan sejak 1 Juli 2016, “perintah” yang termaktub dalam norma a quo belum dilaksanakan oleh pembentuk undang-undang. Bahkan, ketika terjadi perubahan UU 8/2015 menjadi UU 10/2016 di mana ketentuan perihal penyelenggaraan pemungutan suara serentak secara nasional pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota semula direncanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada tahun 2027 [vide Pasal 201 ayat (7) UU 8/2015] dimajukan menjadi dilaksanakan pada bulan November 2024 [vide Pasal 201 ayat (8) UU 10/2016] perintah tersebut pun belum dilaksanakan. Padahal, secara substansial, norma Pasal 157 ayat (1) dan ayat (2) UU 8/2015 jo UU 10/2016 memerintahkan pembentukan badan peradilan khusus untuk mengadili/menyelesaikan sengketa perselisihan hasil pemilihan kepala daerah sudah harus terbentuk sebelum penyelenggaraan pemilihan serentak secara nasional. Namun hingga dilangsungkannya rangkaian persidangan permohonan a quo, Mahkamah belum melihat upaya konkret dari pembentuk undang-undang untuk membentuk suatu badan peradilan khusus yang ditugasi mengadili atau menyelesaikan sengketa perselisihan hasil pemilihan kepala daerah. Padahal dengan dimajukannya jadwal atau agenda pemilihan kepala daerah serentak secara nasional menjadi November 2024, upaya membentuk peradilan khusus harus menjadi agenda konkret dan mendesak. Hal tersebut dapat ditelusuri, misalnya, dengan tidak ditindaklanjutinya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013 dan UU 10/2016 dengan membentuk undang-undang yang mengatur badan peradilan khusus pemilihan, yaitu dengan belum dicantumkannya dalam Program Legislasi Nasional. Dalam hal ini, pembentukannya sudah harus dimulai setidaknya dengan adanya langkah konkret seperti tahapan penyusunan rencana atau konsep mengenai badan peradilan khusus, dasar hukum pembentukannya, dan kerangka hukum penyelesaian sengketa hasil pemilihan kepala daerah oleh sebuah badan peradilan khusus yang dirancang secara khusus pula.
Langkah konkret dimaksud diharapkan dapat menghilangkan atau setidak-tidaknya mengantisipasi kemungkinan halangan atau hambatan terkait penyelesaian sengketa pemilihan kepala daerah. Misalnya, seandainya badan peradilan khusus tersebut juga didesain untuk menyelesaikan permasalahan atau perselisihan di bidang administrasi pemilihan kepala daerah maka badan peradilan tersebut seharusnya sudah mulai bertugas setidaknya bersamaan dengan dimulainya tahap pertama proses pemilihan kepala daerah. Begitu juga jikalau kewenangan badan peradilan khusus tersebut dibatasi hanya mengadili “perselisihan penetapan perolehan suara tahap akhir hasil Pemilihan” sebagaimana diatur dalam Pasal 157 ayat (3) UU 10/2016, maka demi kepastian hukum dan demi menjamin adanya suatu sarana bagi upaya hukum terkait pemilihan kepala daerah peradilan khusus tersebut seharusnya telah terbentuk. Hal tersebut dikarenakan akan berakhirnya kewenangan Mahkamah Konstitusi sebelum dimulainya pemilihan kepala daerah serentak nasional Tahun 2024. Terbentuknya badan peradilan khusus, sebelum dimulainya tahap pertama pemilihan kepala daerah sangat penting agar masyarakat (baik pemilih atau calon pemilih, partai politik, calon kepala daerah, dan sebagainya) mengetahui bahwa Negara menyediakan badan peradilan yang dapat menyelesaikan perselisihan terkait hasil pemilihan kepala daerah, dan karenanya semua pemangku kepentingan sejak awal dapat menyiapkan diri atau merencanakan suatu tindakan penyelesaian perselisihan melalui jalur hukum. Menurut Mahkamah, penyiapan prasarana hukum berupa badan peradilan demikian sejak jauh hari dapat mereduksi potensi terjadinya konflik di luar hukum dari para pihak pemangku kepentingan pemilihan kepala daerah. Artinya, kelengkapan kerangka hukum pemilihan kepala daerah demikian dapat menumbuhkan rasa percaya diri bagi semua kalangan untuk menggunakan hak pilihnya, serta menguatkan legitimasi atas hasil pemilihan kepala daerah.
Secara doktriner, menghilangkan atau mengurangi potensi konflik yang dapat muncul di tengah masyarakat, in casu sengketa pemilihan kepala daerah, adalah salah satu tujuan pembentukan hukum berbasis konstitusi. Dengan kata lain, hukum yang baik adalah hukum yang bukan hanya menyederhanakan kerumitan hubungan-hubungan atau interaksi antaranggota masyarakat, namun juga menyediakan berbagai sarana hukum untuk menyelesaikan konflik yang mungkin muncul dalam interaksi masyarakat keseharian. Demikian pula dalam pemilihan kepala daerah, sebagaimana bidang hukum lainnya, kerangka hukum pemilihan kepala daerah idealnya harus mampu menyederhanakan jalinan persoalan kepemilihan dan menyediakan sarana hukum untuk menyelesaikan konflik seandainya terjadi konflik yang tak terhindarkan.
[3.14] Menimbang bahwa dalam kaitannya dengan badan peradilan khusus yang pembentukannya diamanatkan Pasal 157 ayat (1) dan ayat (2) UU 10/2016, Mahkamah perlu menjelaskan kembali secara ringkas perkembangan gagasan pembentukan badan peradilan tersebut dengan keberadaan Mahkamah Konstitusi.
1) Reformasi 1998 telah menggeser konsep kekuasaan kepemerintahan dari sebelumnya sentralisasi menjadi desentralisasi. Pergeseran demikian dituangkan secara hukum ke dalam UUD 1945 hasil perubahan tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002;
2) Salah satu implikasi pergeseran sistem kepemerintahan demikian adalah adanya pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat, yaitu kepala daerah provinsi, kabupaten, dan kota, yang diawali pada tahun 2005, dengan dasar hukum Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (UU 32/2004);
3) Dalam UU 32/2004 kewenangan menyelesaikan keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan kepala daerah diserahkan kepada Mahkamah Agung;
4) Di sisi lain UUD 1945 setelah perubahan membentuk lembaga baru pemegang kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya, yaitu Mahkamah Konstitusi. Salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah memutus perkara perselisihan hasil pemilihan umum. Kewenangan ini dilaksanakan pertama kali untuk mengadili perselisihan hasil pemilihan umum pada Pemilu Tahun 2004 yang merupakan rangkaian pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah, dan pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
5) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum mempersamakan antara pemilihan umum (pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD) dengan pemilihan kepala daerah (pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota);
6) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengalihkan kewenangan penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dari sebelumnya merupakan kewenangan Mahkamah Agung menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi;
7) Dalam perkembangannya, setelah menangani perkara perselisihan hasil pemilihan kepala daerah, Mahkamah “membaca” bahwa di dalam UUD 1945 terdapat pembelahan atau pembedaan rezim pemilihan. Pemilihan dibedakan menjadi dua jenis/rezim yang didasarkan pada pengelompokan norma dalam UUD 1945. Kelompok pertama adalah norma-norma dalam Bab VIIB Pemilihan Umum pada Pasal 22E UUD 1945, yang mengatur mengenai pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Daerah, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, serta pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Norma dalam kelompok pertama inilah yang mendasari munculnya konsep rezim Pemilihan Umum (secara) Nasional. Adapun kelompok kedua adalah norma-norma yang berada di dalam Bab VI Pemerintahan Daerah khususnya Pasal 18 UUD 1945. Ketentuan Pasal 18 UUD 1945, karena berada di dalam satu bab khusus, memunculkan asumsi konseptual bahwa pemilihan yang diatur pada Bab VI UUD 1945 terpisah dari Pemilihan Umum Nasional yang diatur dalam Bab VIIB UUD 1945. Untuk membedakannya, pemilihan yang diatur dalam Bab VI UUD 1945 disebut sebagai rezim Pemilihan Kepala Daerah karena berada dalam bab tentang pemerintahan daerah (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUUXI/2013, Paragraf [3.12] terutama Sub-paragraf [3.12.5]);
8) Konsep hukum demikian ditindaklanjuti oleh Presiden dengan membentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota (Perpu 1/2014), yang menyerahkan kewenangan mengadili perselisihan hasil pemilihan kepala daerah kepada Pengadilan Tinggi yang ditunjuk oleh Mahkamah Agung. Perpu 1/2014 ditetapkan menjadi undang-undang melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang;
9) Selaras dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013, yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 19 Mei 2014, Pembentuk Undang-Undang berencana membentuk badan peradilan khusus pemilihan yang dasar hukumnya berupa UU 8/2015 jo. UU 10/2016;
10) Sebelum badan peradilan khusus tersebut terbentuk, kewenangan mengadili perselisihan hasil pemilihan diserahkan kepada Mahkamah Konstitusi [vide Pasal 157 ayat (3) UU 10/2016].
[3.15] Menimbang bahwa dari perkembangan sejarah penyelesaian perselisihan hasil pemilihan kepala daerah secara langsung di Indonesia sejak tahun 2005, telah menjadi fakta hukum bahwa Mahkamah Konstitusi bertindak sebagai badan peradilan yang mengadili perselisihan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah sejak kewenangan tersebut dialihkan dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi tahun 2008 hingga saat ini. Kewenangan tersebut dilaksanakan di tengah fakta hukum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013 yang berpendapat bahwa perkara perselisihan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah “seharusnya” tidak ditangani oleh Mahkamah Konstitusi.
Terlepas dari keberatan konseptual/teoritis yang dikemukakan Mahkamah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013, fakta hukum demikian menunjukkan bahwa pada kenyataannya Mahkamah tetap menjalankan peran sebagai badan peradilan khusus pemilihan dalam sifatnya yang sementara. Peran demikian, sekali lagi, dari perspektif hukum Indonesia, sejak beralih dari Mahkamah Agung kepada Mahkamah Konstitusi pada tahun 2008 (vide Berita Acara Pengalihan Wewenang Mengadili antara Mahkamah Agung dengan Mahkamah Konstitusi, bertanggal 29 Oktober 2008) hingga saat ini belum pernah dilaksanakan oleh lembaga atau badan peradilan tertentu selain Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
[3.16] Menimbang bahwa suatu kewenangan hukum yang bersifat sementara secara ideal pasti disertai dengan batas waktu kesementaraan tersebut. Pada suatu norma undang-undang yang mengatur kewenangan hukum bersifat sementara, secara ideal pasti sudah dilengkapi dengan norma yang mengatur batas waktu kesementaraan itu. Berpijak dari hal demikian, ketika Pasal 201 ayat (8) UU 10/2016 mengatur pemilihan serentak nasional akan dilaksanakan pada bulan November 2024, maka penalaran hukum mengarahkan bahwa kesementaraan kewenangan yang diamanatkan kepada Mahkamah Konstitusi harus berakhir sebelum bulan dan tahun dimaksud.
[3.17] Menimbang bahwa terkait pembelahan rezim pemilihan dalam UUD 1945, Mahkamah mengamati terdapat perubahan penafsiran yang disebabkan oleh praktik berhukum di Indonesia. Pada periode awal pasca perubahan UUD 1945, di mana pemilihan kepala daerah berdasarkan UUD 1945 hasil perubahan yang belum lama dipraktikkan, Mahkamah menafsirkan adanya suatu pembedaan antara rezim Pemilihan Umum Nasional dengan Pemilihan Kepala Daerah (vide Paragraf [3.14] dan Paragraf [3.15] di atas). Namun beberapa periode setelah pemilihan kepala daerah secara langsung dilaksanakan konsisten dan relatif telah menemukan bentuk terbaiknya, Mahkamah menemukan praktik berhukum yang menurut Mahkamah secara implisit telah mengubah penafsiran mengenai Pemilihan Kepala Daerah.
Beberapa praktik berhukum yang menurut Mahkamah menjadi argumentasi dasar dalam perubahan penafsiran adalah sebagai berikut:
1) Pemilihan Umum Nasional dan Pemilihan Kepala Daerah secara de jure dan de facto dilaksanakan oleh lembaga yang sama. Satu-satunya norma dalam UUD 1945 yang menyebutkan penyelenggara pemilihan umum adalah Pasal 22E UUD 1945 ayat (5) yang menyatakan, “Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri”;
2) UUD 1945 mengamanatkan enam prinsip pelaksanaan pemilihan umum yang demokratis, yaitu prinsip langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan norma Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Selain itu, karena sifat reguler dalam penyelenggaraan pemilihan, secara substansial Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 juga mengandung prinsip penyelenggaraan pemilihan umum secara berkala/periodik. Prinsip demikian dalam praktiknya bukan hanya berlaku untuk pemilihan umum nasional (yaitu pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD), namun juga mendasari pelaksanaan pemilihan kepala daerah. Selain itu, kedua jenis pemilihan dimaksud tetap diselenggarakan berlandaskan pada prinsip-prinsip pemilihan demokratis yang berlaku secara universal.
3) Selanjutnya norma UUD 1945 tersebut diatur lebih lanjut ke dalam beberapa norma undang-undang yang mengatur penyelenggaraan pemilihan umum dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dengan pengawasan perilaku oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Undang-undang yang mengatur lembaga penyelenggara pemilihan umum ini secara normatif tidak membedakan antara penyelenggaraan pemilihan umum (nasional) dengan pemilihan kepala daerah. Dalam praktik pun tidak ada pembedaan tersebut. Jika pun terdapat perbedaan, perbedaan demikian hanyalah bahwa penyelenggaraan pemilihan umum nasional dilaksanakan sepenuhnya oleh KPU RI (atau KPU pusat), sementara pemilihan kepala daerah dilaksanakan oleh KPU daerah yang notabene adalah kepanjangan tangan dari KPU RI sehingga keberadaannya merupakan satu kesatuan dengan KPU RI. Demikian pula Bawaslu daerah yang dalam konteks pengawasan atas pelaksanaan pemilihan kepala daerah sebenarnya tetap bertindak sebagai kepanjangan tangan Bawaslu RI (Bawaslu pusat). Kesamaan demikian didukung pula oleh praktik bahwa subjek yang diperiksa dan diadili oleh DKPP meliputi semua penyelenggara pemilu baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah tanpa membeda-bedakan yurisdiksi absolut-nya;
4) Peserta pemilihan umum, baik kontestan (meliputi pasangan calon yang diusung partai politik maupun pasangan calon perseorangan) atau pun pemilih (pemilik hak suara), dapat memahami dan mengikuti/menjalankan konsep pemilihan yang tidak membedakan antara Pemilihan Umum Nasional dengan Pemilihan Kepala Daerah. Bahkan, menurut Mahkamah dalam implementasi tidak cukup alasan lagi untuk membedakan baik secara konseptual, teoritis, dan sosiologis antara Pemilihan Umum Nasional dengan Pemilihan Kepala Daerah;
5) Dari sisi sumber daya dan pembiayaan, Mahkamah juga menemukan fakta bahwa praktik menyatukan/melebur kedua rezim pemilihan demikian lebih efisien karena dapat diselenggarakan oleh lembaga penyelenggara yang sama, dibandingkan jika Negara harus membentuk dua lembaga penyelenggara yang berbeda;
[3.18] Menimbang bahwa penafsiran yang dilakukan langsung melalui praktik berhukum demikian, yang menunjukkan hasil baik selama beberapa periode pemilihan umum, telah mendorong Mahkamah untuk meninjau ulang pendapat atau penafsirannya mengenai pembedaan rezim (tata kelola) kepemilihan dalam UUD 1945. Pergeseran atau perubahan penafsiran demikian dapat dilakukan oleh Mahkamah dengan tetap harus didasarkan pada alasan yang sangat kuat dan mendasar. Bagaimanapun, dalam hal tafsir atas norma Konstitusi dilakukan terlalu longgar dan relatif sering akan berpotensi memunculkan ketidakpastian hukum, yang kondisi ketidakpastian demikian justru berusaha dihindari dan dihilangkan oleh UUD 1945;
[3.19] Menimbang bahwa berkenaan dengan perbedaan antara kedua rezim pemilihan dimaksud, melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 26 Februari 2020, khususnya Sub-paragraf [3.15.1] Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
“…bahwa melacak perdebatan selama perubahan UUD 1945, terdapat banyak pandangan dan perdebatan prihal keserentakkan pemilihan umum. Dalam hal ini, adalah benar bahwa penyelenggaraan pemilu serentak lima kotak menjadi salah satu gagasan yang muncul dari pengubah UUD 1945. Namun, gagasan tersebut bukanlah satu-satunya yang berkembang ketika perubahan UUD 1945. Berdasarkan penelusuran rekaman pembahasan atau risalah perubahan UUD 1945 membuktikan terdapat banyak varian pemikiran prihal keserentakkan penyelenggaraan pemilihan umum. Bahkan, para pengubah UUD 1945 sama sekali tidak membedakan rezim pemilihan. Diantara varian tersebut, yaitu: (1) Pemilihan umum, baik pemilihan anggota legislatif maupun pemilihan presiden dan wakil presiden, dilakukan secara bersamaan atau serentak di seluruh Indonesia; (2)Pemilihan umum serentak hanya untuk memilih anggota DPR, DPRD, dan DPD dilaksanakan diseluruh wilayah Republik Indonesia; (3) Pemilihan umum serentak secara nasional maupun serentak bersifat lokal; (4) Pemilihan umum serentak sesuai dengan berakhirnya masa jabatan yang akan dipilih, sehingga serentak dapat dilakukan beberapa kali dalam lima tahun itu, termasuk memilih langsung gubernur, bupati/walikota; (5) Pemilihan umum serentak, namun penyelenggaraan keserentakkannya diatur dengan undang-undang; (6) Penyelenggaraan pemilihan presiden dan pemilihan umum dipisahkan. Kemudian pemilihan presiden diikuti juga dengan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota; dan (7) Pemilihan presiden dan wakil presiden waktunya berbeda dengan pemilihan umum akan memilih DPR, DPD, dan DPRD. Sementara itu, pemilihan rumpun eksekutif: Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota, dan sebagainya dipilih langsung oleh rakyat…”
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, dengan menggunakan original intent perubahan UUD 1945, Mahkamah telah menegaskan bahwa tidak terdapat lagi perbedaan rezim pemilihan.
[3.20] Menimbang bahwa tafsir atas UUD 1945 yang tidak lagi membedakan antara pemilihan umum nasional dengan pemilihan kepala daerah, secara sistematis berakibat pula pada perubahan penafsiran atas kewenangan Mahkamah Konstitusi yang diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk, salah satunya, memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selanjutnya makna konstitusional yang demikian diturunkan dalam berbagai undang-undang yang terkait dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi, terutama Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.
Norma demikian pada akhirnya harus dipahami bahwa perkara perselisihan hasil pemilihan umum yang diadili oleh Mahkamah Konstitusi terdiri dari pemilihan umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden; memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat; memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah; memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah baik provinsi, kabupaten, maupun kota; serta memilih kepala daerah provinsi, kabupaten, maupun kota.
[3.21] Menimbang bahwa hal lain yang perlu dipertimbangkan oleh Mahkamah adalah badan khusus yang pembentukannya diamanatkan oleh Pasal 157 ayat (1) dan ayat (2) UU 10/2016 adalah suatu badan peradilan. Sebagai suatu badan peradilan, Mahkamah berpendapat keberadaannya harus berada di bawah naungan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam Bab IX Kekuasaan Kehakiman UUD 1945. Menurut Mahkamah, semua norma mengenai badan/lembaga peradilan diatur dalam satu bab yang sama yaitu Bab IX Kekuasaan Kehakiman yang terdiri dari, antara lain, Pasal 24 dan Pasal 24C UUD 1945. Rangkaian norma hukum dalam pasal-pasal tersebut mengatur bahwa kekuasaan kehakiman, sebagai kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan, dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya serta oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Pembatasan dalam UUD 1945 demikian pada akhirnya menutup kemungkinan dibentuknya suatu badan peradilan khusus pemilihan yang tidak berada di bawah lingkungan Mahkamah Agung serta tidak pula berada di bawah Mahkamah Konstitusi. Pilihan yang muncul dari pembatasan konstitusional demikian adalah badan peradilan khusus tersebut harus diletakkan menjadi bagian dari Mahkamah Agung atau menjadi bagian di Mahkamah Konstitusi. Namun mengingat latar belakang munculnya peralihan kewenangan mengadili perselisihan hasil pemilihan kepala daerah pada beberapa periode sebelumnya, menurut Mahkamah solusi hukum meletakkan atau menempatkan badan peradilan khusus tersebut di bawah Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi bukan pilihan yang tepat dan konstitusional. Apalagi seandainya badan peradilan khusus tersebut direncanakan untuk dibentuk terpisah kemudian diletakkan di bawah Mahkamah Konstitusi, hal demikian membutuhkan pengubahan dasar hukum yang lebih berat mengingat kelembagaan Mahkamah Konstitusi dibatasi secara ketat oleh UUD 1945 dan undang-undang pelaksananya. Pilihan atau alternatif yang lebih mungkin dilaksanakan secara normatif, dan lebih efisien, bukanlah membentuk badan peradilan khusus untuk kemudian menempatkannya di bawah Mahkamah Konstitusi, melainkan langsung menjadikan kewenangan badan peradilan khusus pemilihan menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Hal demikian sejalan dengan amanat Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 karena pemilihan kepala daerah adalah pemilihan umum sebagaimana dimaksud Pasal 22E UUD 1945.
[3.22] Menimbang bahwa dengan tidak adanya lagi pembedaan rezim dalam pemilihan sebagaimana pertimbangan hukum di atas dan telah dinyatakannya kewenangan badan peradilan khusus menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi, berimplikasi tidak berlakunya ketentuan Pasal 157 ayat (1) dan ayat (2) UU 10/2016 sehingga harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
Bahwa ketentuan Pasal 157 ayat (1) dan ayat (2) UU 10/2016 yang mengatur keberadaan serta rencana pembentukan badan peradilan khusus pemilihan merupakan conditio sine qua non bagi keberadaan Pasal 157 ayat (3) UU 10/2016. Pasal 157 ayat (3) UU 10/2016 mengatur tentang lembaga yang untuk sementara diberi kewenangan sebagai/menjadi badan peradilan pemilihan di masa transisi atau di masa ketika badan peradilan khusus pemilihan tersebut belum dibentuk.
Inkonstitusionalitas Pasal 157 ayat (1) dan ayat (2) UU 10/2016 membawa implikasi hilangnya kesementaraan yang diatur dalam Pasal 157 ayat (3) UU 10/2016, tidak lain karena causa kesementaraan demikian telah hilang. Dengan demikian, kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan mengadili perkara perselisihan hasil pemilihan tidak lagi terbatas hanya “sampai dibentuknya badan peradilan khusus”, melainkan akan bersifat permanen, karena badan peradilan khusus demikian tidak lagi akan dibentuk.
Demi memperjelas makna Pasal 157 ayat (3) UU 10/2016 yang tidak lagi mengandung sifat kesementaraan, maka menurut Mahkamah frasa “sampai dibentuknya badan peradilan khusus” harus dicoret atau dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Dengan dihilangkannya frasa tersebut Pasal 157 ayat (3) UU 10/2016 selengkapnya harus dibaca “Perkara perselisihan penetapan perolehan suara tahap akhir hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi”.
[3.23] Menimbang bahwa dengan dinyatakan inkonstitusional ketentuan Pasal 157 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) sepanjang frasa “sampai dibentuknya badan peradilan khusus” dalam UU 10/2016, maka ketentuan-ketentuan yang lain yang terkait dengan penyelesaian sengketa hasil pemilihan kepala daerah tetap berlaku dan menyesuaikan dengan putusan a quo.
[3.24] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan pada paragraf-paragraf di atas, telah ternyata dalil Pemohon berkenaan dengan ketentuan norma Pasal 157 ayat (1), ayat (2), dan frasa “sampai dibentuknya badan peradilan khusus” dalam ayat (3) UU 10/2016 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 22E, Pasal 24C ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

1. Bahwa terhadap Putusan MK dalam Perkara Nomor 85/PUU-XX/2022 sebagaimana diuraikan diatas, untuk memberikan kepastian hukum pada Pasal 157 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 10/2016, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan saran sebagai berikut:
a. Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 85/PUU-XX/2022 sebagai bahan dalam penyusunan Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka.
b. Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 85/PUU-XX/2022 sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan UU 10/2016.
2. Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh seluruh organ penyelenggara Negara, organ penegak hukum dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 85/PUU-XX/2022 mengenai Pasal 157 ayat (1), ayat (2), dan frasa “sampai dibentuknya badan peradilan khusus” dalam ayat (3) UU 10/2016 yang dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, agar tidak menimbulkan kekosongan hukum, dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan Perubahan UU 10/2016.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dikabulkan Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 37/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2020 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 29-09-2022

Bahwa pada hari Kamis, tanggal 29 September 2022, pukul 12.15 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara (selanjutnya disebut UU 3/2020) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 37/PUU-XIX/2021. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 37/PUU-XIX/2021, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU 3/2020 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.14.1] Bahwa setelah Mahkamah mencermati secara saksama keseluruhan esensi norma Pasal 4 UU 3/2020 jika dibandingkan dengan ketentuan dalam undang-undang sebelumnya, in casu ketentuan Pasal 4 ayat (2) UU 4/2009, benar telah terjadi perubahan pengaturan penguasaan mineral dan batubara yang semula diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat dan/atau pemerintah daerah menjadi diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat. Perubahan demikian tentu membawa dampak konseptual dan praktik. Apalagi pada kenyataannya esensi yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU 4/2009 selama ini telah dilaksanakan, yang artinya pemerintah daerah secara nyata pun telah pernah menyelenggarakan urusan pengelolaan pertambangan mineral dan batu bara, in casu penguasaan mineral dan batu bara. Oleh karena itu, terlebih dahulu penting bagi Mahkamah menegaskan bahwa dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan dalam sistem negara kesatuan tidak dapat menerapkan sentralisasi dan desentralisasi secara dikotomi, namun keduanya bersifat kontinum. Terlebih jika dilihat dari sejarahnya sejak Indonesia merdeka hingga saat ini, baik konsep sentralisasi maupun desentralisasi penyelenggaraan urusan pemerintahan pernah dipraktikkan di Indonesia. Demikian pula, dalam kaitannya dengan penyelenggaraan urusan pengelolaan pertambangan. Dengan melihat praktik penyelenggaraan urusan tersebut tidak dapat dikatakan bahwa model yang satu lebih unggul dibandingkan dengan yang lain. Penilaian atas keunggulan sentralisasi maupun desentralisasi dalam pengelolaan pertambangan adalah penilaian yang meliputi banyak faktor, antara lain kesinambungan perencanaan, efektivitas pelaku usaha, keuntungan finansial negara, daya dukung lingkungan hidup, kesejahteraan masyarakat, kehandalan pengawasan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, dalam menilai efektivitas pengelolaan pertambangan harus selalu dilandaskan pada perspektif kepentingan Negara tanpa mengabaikan kepentingan masyarakat terdampak, kepentingan pelaku usaha, dan pemerintah daerah. Hal demikian tidak lain merupakan amanat UUD 1945 yang meletakkan kepentingan Negara dan bangsa di atas kepentingan pribadi dan/atau golongan; kemudian kepentingan warga negara yang secara khusus dilindungi dalam pasal-pasal khusus mengenai Hak Asasi Manusia. Termasuk dalam hak asasi demikian sebenarnya adalah hak ekonomi warga negara baik hak sebagai masyarakat yang bermata pencaharian di wilayah pertambangan, maupun hak sebagai pelaku usaha yang menjalankan usaha pertambangan itu sendiri.
Hal yang mengemuka dari dalil para Pemohon terkait dengan penyelenggaraan urusan pengelolaan pertambangan ini bermuara pada penurunan kualitas lingkungan yang tidak terkendali manakala kebijakan pengelolaan pertambangan diambil dan/atau diimplementasikan tanpa melibatkan masyarakat. Ketiadaan pelibatan masyarakat dalam pembentukan dan implementasi kebijakan pertambangan pada akhirnya meminggirkan peran serta masyarakat dalam mengelola lingkungan tempat tinggalnya; menghilangkan sumber mata pencaharian masyarakat; menurunkan kualitas lingkungan tempat tinggal masyarakat setempat; bahkan memisahkan masyarakat dari lingkungan yang selama ini menaunginya. Dalam kaitan ini, Mahkamah penting menegaskan bahwa Pasal 28H ayat (1) UUD
1945 sesungguhnya telah menyatakan adanya jaminan hak kolektif yakni hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Oleh karenanya kegiatan pada bidang pertambangan apapun bentuk/jenisnya harus tetap dapat memberikan jaminan peningkatan kualitas lingkungan yang baik dan sehat.

[3.14.2] Bahwa dari uraian di atas, menurut Mahkamah permasalahan pokok yang harus dijawab dalam konteks pengujian konstitusionalitas norma Pasal 4 ayat (2) yang dikaitkan dengan Pasal 4 ayat (3) UU 3/2020 khususnya frasa "kebijakan, pengurusan, pengelolaan dan pengawasan” adalah:
1) apakah pengaturan kewenangan Pemerintah Pusat dalam pengelolaan pertambangan sesuai dengan UUD 1945 dan/atau tidak melanggar hak konstitusional para Pemohon; serta
2) apakah mekanisme pengelolaan yang diatur dalam UU 3/2020 telah sesuai dengan UUD 1945 dan/atau tidak melanggar hak konstitusional para Pemohon.
[3.14.4] ….. walaupun Pasal 18 dan Pasal 18A UUD 1945 tidak dijadikan dasar pengujian oleh para Pemohon, namun ternyata memiliki keterkaitan dalam menjawab dalil para Pemohon, oleh karenanya penting bagi Mahkamah untuk menjelaskan terlebih dahulu pola pembagian urusan pemerintahan, in casu urusan bidang pertambangan mineral dan batubara dengan mendasarkan pada ketentuan UUD 1945 berikut ini:
Pasal 18 ayat (2)
“Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.”

Pasal 18 ayat (5)
“Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.”

Pasal 18 ayat (7)
“Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.”

Pasal 18A ayat (1)
“Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.”

Pasal 18A ayat (2)
“Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.”

Berdasarkan rangkaian ketentuan di atas menunjukkan bahwa UUD 1945 menganut prinsip otonomi daerah berbasis provinsi dan kabupaten/kota. Pemerintah daerah tingkat provinsi dan kabupaten/kota mempunyai kewenangan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Di sini pemerintah daerah melakukan dua fungsi sekaligus, yaitu fungsi mengatur/mengurus dirinya sendiri serta fungsi sebagai kepanjangan tangan Pemerintah Pusat dalam konteks tugas pembantuan. Hal demikian diatur dalam Pasal 18 ayat (2) dan Pasal 18 ayat (5) UUD 1945. Namun demikian, cakupan otonomi daerah bukanlah tanpa batas. Dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia, UUD 1945 memberikan batasan-batasan terhadap sifat dan cakupan otonomi demikian. Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 menegaskan pembatasan berupa “kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat”. Ketentuan Pasal 18 ayat (5) tersebut menunjukkan bahwa kewenangan pemerintah dalam penyelenggaraan urusan serta pembagian urusan dimaksud antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah harus diatur undang-undang. Berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (5) UUD 1945, pembentuk undang-undang mengatur kewenangan yang mutlak menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, serta kewenangan yang dalam penyelenggaraannya dapat dibagi antara pusat dan daerah dengan mendasarkan pada sistem negara kesatuan. Selanjutnya, UUD 1945 mengamanatkan agar pembagian penyelenggaraan urusan pemerintahan dimaksud diatur dengan undang-undang. Dalam kaitan inilah, UU
23/2014 telah menentukan prinsip pembagian urusan konkuren pemerintahan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah, in casu pembagian urusan pertambangan mineral dan batubara yang didasarkan pada prinsip akuntabilitas, efisiensi, dan eksternalitas, serta kepentingan strategis nasional [vide Pasal 13 dan Penjelasan UU 23/2014].
Dalam hal ini, perlu dikaji secara cermat masing-masing prinsip dimaksud, yaitu: Pertama, prinsip akuntabilitas yang penentuannya berdasarkan kedekatan pemerintah dengan luas, besaran, dan jangkauan dampak yang ditimbulkan oleh penyelenggaraan urusan, sehingga dapat ditentukan pemerintah tingkat mana yang menjadi penanggungjawab penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan. Kedua, prinsip efisiensi yang dikaji berdasarkan perbandingan tingkat daya guna yang paling tinggi yang dapat diperoleh sehingga dapat ditentukan pemerintah tingkat mana yang akan menyelenggarakan suatu urusan pemerintahan. Ketiga, prinsip eksternalitas yang dikaji berdasarkan luas, besaran, dan jangkauan dampak yang timbul akibat penyelenggaraan suatu urusan sehingga dapat ditentukan pemerintah tingkat mana yang akan menyelenggarakannya. Keempat, prinsip kepentingan strategis nasional yang dikaji berdasarkan pertimbangan dalam rangka menjaga keutuhan dan kesatuan bangsa, menjaga kedaulatan Negara, implementasi hubungan luar negeri, pencapaian program strategis nasional dan pertimbangan lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan sehingga dapat ditentukan pemerintah tingkat mana yang menyelenggarakan suatu urusan pemerintahan [vide Penjelasan UU 23/2014]. Dengan mendasarkan pada ketentuan UUD 1945 kewenangan dalam pengelolaan atau penyelenggaraan pertambangan dapat saja diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah, selama Negara tetap menjadi penguasa tertinggi. Namun, meskipun kedua tingkat pemerintahan tersebut berwenang untuk melakukan pengelolaan pertambangan, dan karenanya keduanya boleh dipilih untuk diberi kewenangan pengelolaan, penentuannya harus didasarkan pada kajian atas prinsip-prinsip tersebut di atas sehingga dapat ditentukan tingkat pemerintah mana yang mempunyai kemampuan terbaik dalam hal pengelolaan pertambangan terutama mineral dan batubara, agar tidak menyebabkan tidak terpenuhinya hak atas lingkungan yang baik dan sehat sebagaimana dijamin oleh UUD 1945. Dalam kaitan inilah UU 3/2020 menentukan penguasaan mineral dan batubara diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat yang dilaksanakan melalui fungsi kebijakan, pengaturan, pengurusan, pengelolaan dan pengawasan. Namun demikian, jika dicermati secara komprehensif substansi UU 3/2020, penyelenggaraan oleh Pemerintah Pusat tersebut tidak berarti menghilangkan hak/kewenangan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan urusan pertambangan mineral dan batubara. Misalnya, pengaturan mengenai penetapan Wilayah Pertambangan sebagai bagian dari Wilayah Hukum Pertambangan oleh Pemerintah Pusat dilakukan setelah ditentukan oleh Pemerintah Daerah Provinsi sesuai dengan kewenangannya dan berkonsultasi dengan DPR RI [vide Pasal 9 UU 3/2020]; Pengaturan mengenai luas dan batas WIUP mineral logam dan batubara ditetapkan oleh Menteri setelah ditentukan oleh Gubernur [vide Pasal 17 ayat (1) UU 3/2020]; demikian pula, pengaturan terkait dengan Badan Usaha pemegang IUP atau IUPK yang sahamnya dimiliki oleh asing wajib dilakukan divestasi saham secara berjenjang dan diprioritaskan secara berjenjang kepada Pemerintah Pusat kemudian Pemerintah Daerah [vide Pasal 112 UU 3/2020]. Selain itu, Pasal 35 ayat (4) UU 3/2020 juga mengatur bahwa pemerintah daerah tetap dapat menerima kewenangan dalam bentuk pendelegasian untuk menerbitkan sejumlah perizinan berusaha [vide Pasal 35 ayat (2) UU 3/2020]. Hal ini menegaskan bahwa dalam sistem negara kesatuan tidak ada kewenangan konkuren yang hanya dilakukan oleh Pemerintah Pusat tanpa membaginya kepada pemerintah daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
[3.14.5] Bahwa lebih lanjut berkenaan dengan fungsi kebijakan, pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasan dalam Pasal 4 ayat (3) UU 3/2020, secara umum bersesuaian dengan doktrin penguasaan sumber daya alam yang telah diterima secara luas. Bahkan, Mahkamah dalam perkara lain terkait sumber daya alam, sudah pernah menguraikan berbagai fungsi/kegiatan yang menjadi Conditio sine qua non bagi suatu konsep dan/atau tindakan penguasaan sumber daya alam oleh negara. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 008/PUU-III/2005, yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 9 Juli 2005, Mahkamah menguraikan bahwa konsep penguasaan Negara atas air meliputi kegiatan merumuskan kebijaksanaan (beleid), melakukan tindakan pengurusan (bestuursdaad), melakukan pengaturan (regelendaad), melakukan pengelolaan (beheersdaad), dan melakukan pengawasan (toezichthoudendaad) [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 008/PUU-III/2005, hlm. 498-499].
Bahwa lima rangkaian fungsi/kegiatan penguasaan negara tersebut menurut Mahkamah berlaku pula secara umum untuk penguasaan negara atas sumber daya alam lainnya. Apalagi jika sumber daya tersebut merupakan sumber daya strategis atau berpengaruh besar bagi kesejahteraan masyarakat, bangsa, dan Negara, seperti halnya sumber daya berupa mineral dan batubara.
Bahwa mineral dan batubara adalah sumber daya dan kekayaan alam yang strategis yang menguasai hajat hidup orang banyak, apalagi karena sifatnya yang tidak dapat diperbarui, maka penguasaan atasnya harus benar-benar ditujukan bagi kemaslahatan atau kemakmuran rakyat Indonesia. Dalam hal ini, Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 secara tegas telah mengatur, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar- besar kemakmuran rakyat”. Kemakmuran rakyat yang menjadi tujuan dari dikuasainya kekayaan alam oleh Negara, secara normatif dapat dicapai jika kekayaan alam, in casu mineral dan batubara dikelola dengan meletakkan kepentingan rakyat, bangsa, dan negara sebagai prioritas utama, terlepas dari apakah pengelolaan pertambangan demikian dilakukan oleh Pemerintah Pusat ataukah Pemerintah Daerah sepanjang pengelolaan tersebut tidak mengabaikan peran masing-masing tingkatan pemerintahan.
Bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah dalil para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas norma Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) UU 3/2020 adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.15] Menimbang bahwa selanjutnya para Pemohon mendalilkan norma Pasal 17A ayat (2), Pasal 22A, Pasal 31A ayat (2), dan Pasal 172B ayat (2) UU 3/2020, khususnya terkait dengan jaminan tidak adanya perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan pada WIUP, WIUPK, atau WPR bertentangan dengan Pasal 28H ayat (1), Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, karena mengakibatkan suatu wilayah akan terus menerus dijadikan sebagai wilayah untuk aktivitas pertambangan meskipun daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup di wilayah tersebut sudah terlampaui. Menurut para pemohon, dengan adanya kata “menjamin” seolah- olah Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan jaminan tidak akan melakukan perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan pada wilayah yang sudah berstatus Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP), Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), dan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK). Berkenaan dengan dalil para Pemohon a quo Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.15.1] Bahwa terkait dengan dalil para Pemohon di atas, persoalan yang harus dijawab oleh Mahkamah apakah benar WIUP, WIUPK, atau WPR yang telah ditetapkan dan diberikan izinnya tersebut tidak dapat diubah atau dievaluasi sekalipun tidak sesuai dengan pengaturan pemanfaatan ruang dan kawasan. Untuk menjawab persoalan tersebut di atas penting bagi Mahkamah untuk mengkaji secara komprehensif desain pengaturan mengenai penetapan dan pemberian izin untuk WIUP, WIUPK, atau WPR. Dengan mendasarkan pada Pasal 17A ayat (1) UU 3/2020 pada pokoknya telah ditegaskan bahwa penetapan WIUP mineral logam dan WIUP batubara hanya dapat dilakukan setelah memenuhi kriteria pemanfaatan ruang dan kawasan untuk kegiatan usaha pertambangan. Setelah pemenuhan tersebut diperoleh maka baru Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menjamin tidak ada perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan pada WIUP mineral logam dan WIUP batubara yang telah ditetapkan tersebut [vide Pasal 17A ayat (2) UU 3/2020]. Adanya pengaturan mengenai keterpenuhan kriteria pemanfaatan ruang dan kawasan untuk kegiatan usaha pertambangan tersebut tidak dapat dilepaskan dari desain besar Rencana Pengelolaan Mineral dan Batubara Nasional yang berlaku untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun di mana dalam menyusun Rencana tersebut dipertimbangkan: daya dukung sumber daya alam dan lingkungan menurut data dan informasi geospasial dasar dan tematik; pelestarian lingkungan hidup; rencana tata ruang wilayah dan/atau rencana zonasi; perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; tingkat pertumbuhan ekonomi; prioritas pemberian komoditas tambang; jumlah dan luas WP; ketersediaan lahan Pertambangan; jumlah sumber daya dan/atau cadangan Mineral atau Batubara; dan ketersediaan sarana dan prasarana [vide Pasal 8A ayat (2) UU 3/2020]. Rencana pengelolaan inilah yang digunakan sebagai pedoman dalam penyelenggaraan pengelolaan mineral dan batubara [vide Pasal 8B ayat (3) UU 3/2020].
Dalam hal ini perlu dipahami terlebih dahulu kaitan persoalan yang didalilkan para Pemohon dengan pengertian Wilayah Pertambangan (WP) yang pada pokoknya merupakan bagian dari tata ruang nasional [vide Pasal 1 angka 29
UU 3/2020]. Oleh karena itu, tentu tidak dapat dilepaskan dengan rencana tata ruang wilayah dan/atau rencana zonasi. Dalam konteks inilah sesungguhnya pengaturan penentuan jangka waktu peninjauan kembali setiap 1 (satu) kali dalam
5 (lima) tahun dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Provinsi dan Kabupaten/kota yang telah ditetapkan untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dalam UU 26/2007 [vide Pasal 20 ayat 3 dan ayat (4), Pasal 23 ayat (3) dan ayat (4), serta Pasal 26 ayat (3) dan ayat (4) UU 26/2007], berkorelasi dengan Rencana Pengelolaan Mineral Dan Batubara Nasional mengingat salah satu hal yang harus dipertimbangkan dalam penyusunan Rencana tersebut adalah rencana tata ruang wilayah dan/atau rencana zonasi. Sebab, WP merupakan bagian dari tata ruang nasional. Terlebih lagi, UU 26/2007 telah menegaskan bahwa Rencana Tata Ruang Wilayah menjadi salah satu pedoman perencanaan pembangunan jangka panjang nasional dan pembangunan jangka menengah nasional serta pedoman dalam penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi [vide Pasal 20 ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf e UU 26/2007]. Hal yang demikian juga berlaku bagi perencanaan jangka panjang tata ruang wilayah Provinsi dan Kabupaten/Kota yang memedomani perencanaan pembangunan di daerah termasuk penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi [vide Pasal 23 ayat (2) huruf a, huruf b dan huruf e, Pasal 26 ayat (2) huruf a, huruf b dan huruf e UU 26/2007]. Oleh karena itu, dalam hal suatu WP akan ditetapkan sebagai kegiatan usaha pertambangan tidak dapat dilepaskan dari Rencana Tata Ruang (RTR) sebagai sebuah instrumen yang mengatur alokasi sumber daya dalam suatu ruang di mana pengaturan ruang dalam RTR diwujudkan dalam zona-zona peruntukannya, misalnya untuk pertambangan. Sebagaimana hal tersebut juga telah ditegaskan dalam Rencana Pengelolaan Mineral Dan Batubara Nasional.

[3.15.2] Bahwa setelah Mahkamah membaca dan mencermati secara saksama seluruh ketentuan yang terkait dengan pengaturan jaminan tidak ada perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan pada Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) yang telah ditetapkan [vide Pasal 17A ayat (2) UU 3/2020], pada Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) yang telah ditetapkan [vide Pasal 22A UU 3/2020], pada Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) yang telah ditetapkan [vide Pasal 31A ayat (2) UU3/2020], dan pada WIUP, WPR, dan WIUPK yang telah diberikan izinnya [Pasal 172B ayat (2) UU 3/2020], tidaklah dapat dipahami secara parsial karena esensi pengaturannya sangat berkaitan dengan norma-norma pasal yang lain.
Dalam hal ini, untuk penetapan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) mineral logam dan batubara [vide Pasal 17A ayat (2) UU 3/2020] dapat dilakukan jika telah dipenuhi sejumlah persyaratan yakni: (1) telah ditetapkan luas dan batas WIUP Mineral logam dan WIUP Batubara oleh Menteri setelah ditentukan oleh gubernur atau jika berada di wilayah laut maka luas dan batas WIUP tersebut ditetapkan oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan instansi terkait, di mana dalam penetapan luas dan batas ini dipertimbangkan pula: a. Rencana Pengelolaan Mineral Dan Batubara Nasional; b. ketersediaan data sumber daya dan/atau cadangan mineral atau batubara yang berasal dari hasil kegiatan penyelidikan dan penelitian, hasil evaluasi WIUP yang dikembalikan atau diciutkan oleh pemegang IUP atau hasil envaluasi WIUP yang berakhir atau dicabut; dan c. status kawasan; (2) untuk penetapan luas dan batas WIUP Mineral logam dan WIUP Batubara termasuk yang berada di wilayah laut, harus memenuhi kriteria: a. terdapat data sumber daya Mineral logam atau Batubara; dan/atau b. terdapat data cadangan Mineral logam atau Batubara; (3) mempertimbangkan pula: a. ketahanan cadangan; b. kemampuan produksi nasional; dan/atau c. pemenuhan kebutuhan dalam negeri; dan (4) memenuhi kriteria pemanfaatan potensi sumber daya alam untuk kegiatan Usaha Pertambangan [vide Pasal 17 dan Pasal 18 UU 3/2020].
Sedangkan, untuk memberikan jaminan tidak ada perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan pada WPR sebagaimana ditentukan dalam Pasal 22A UU 3/2020, pada prinsipnya pun tidak serta merta atau otomatis karena untuk dapat ditetapkan sebagai WPR harus terlebih dahulu dipenuhi sejumlah persyaratan atau kriteria, yakni: (1) mempunyai cadangan Mineral sekunder yang terdapat di sungai dan/atau di antara tepi dan tepi sungai; (2) mempunyai cadanganprimer Mineral logam dengan kedalaman maksimal 100 (seratus) meter; (3) endapan teras, dataran banjir, dan endapan sungai purba; (4) luas maksimal WPR adalah 100 (seratus) hektare; (5) adanya penyebutan yang jelas jenis komoditas yang akan ditambang; dan/atau memenuhi kriteria pemanfaatan ruang dan kawasan untuk kegiatan Usaha Pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan [vide Pasal 22 UU 3/2020]. Dalam kaitan ini, sejalan dengan penetapan WP yang dilaksanakan secara transparan, partisipatif dan bertanggung jawab [vide Pasal 10 ayat (2) UU 3/2020], maka dalam hal akan menetapkan WPR bupati/walikota berkewajiban melakukan pengumuman terlebih dahulu rencana WPR tersebut kepada masyarakat secara terbuka. Pengumunan tersebut dilakukan di kantor desa/kelurahan dan kantor/instansi terkait yang dilengkapi dengan peta situasi yang menggambarkan lokasi, luas, dan batas serta daftar koordinat; dan dilengkapi daftar pemegang hak atas tanah yang berada dalam WPR [vide Pasal 23 dan Penjelasan UU 4/2009]. Dengan demikian, masyarakat dapat memberikan masukan terhadap proses penetapan WPR tersebut.
Demikian pula halnya untuk memberikan jaminan tidak ada perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan pada WIUPK sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31A ayat (2) UU 3/2020, pada prinsipnya pun tidak serta merta atau otomatis karena untuk dapat ditetapkan sebagai WIUPK harus terlebih dahulu dipenuhi sejumlah persyaratan atau kriteria, yakni: (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan pemanfaatan ruang dan kawasan tersebut adalah untuk kegiatan Usaha Pertambangan; (2) ketahanan cadangan; (3) kemampuan produksi nasional; dan/atau (4) pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Artinya, jaminan tidak ada perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan pada WIUPK yang telah ditetapkan tersebut harus disandarkan terlebih dahulu pada keterpenuhan syarat untuk dapat ditetapkan sebagai WIUPK.
Sementara itu, berkenaan dengan dalil para Pemohon yang mempersoalkan konstitusionalitas norma Pasal 172B ayat (2) UU 3/2020 yang menentukan adanya jaminan tidak ada perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan pada WIUP, WIUPK, atau WPR yang telah diberikan izinnya karena dianggap menghilangkan aspek peninjauan berkala sebagaimana dimaksud dalam UU Penataan Ruang serta tidak sejalan pula dengan pemenuhan aspek substantif hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Berkaitan dengan dalil tersebut, penting bagi Mahkamah menegaskan bahwa ketentuan Pasal 172B ayat (2) UU 3/2020 tidaklah dibaca berdiri sendiri tetapi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ketentuan norma ayat (1) yang menentukan pada pokoknya WIUP, WIUPK, atau WPR yang telah diberikan izinnya dalam bentuk IUP, IUPK, atau IPR wajib didelineasi sesuai dengan pemanfaatan ruang dan kawasan untuk kegiatan Usaha Pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh karenanya tidak mungkin Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan jaminan tidak ada perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan pada WIUP, WIUPK, atau WPR apabila persyaratan dalam ketentuan ayat (1) belum terpenuhi. Terlebih lagi, ketentuan norma Pasal 172B UU 3/2020 merupakan bagian dari “Ketentuan Peralihan” yang menegaskan status dan kedudukan pemegang izin berupa IUP, IUPK, atau IPR setelah berlakunya UU a quo. Hal ini mengingat ketentuan UU a quo telah mengubah UU sebelumnya (UU 4/2009) berkenaan dengan izin usaha pertambangan termasuk di dalamnya perubahan terhadap proses, prosedur, kegiatan, kewajiban, jangka waktu bagi pemegang IUP, IUPK, atau IPR. Dalam rangka penyesuaian terhadap norma baru dalam UU 3/2020 maka sesuai dengan maksud fungsi “Ketentuan Peralihan” berdasarkan Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 [UU 12/2011], di antaranya adalah untuk menjamin kepastian hukum; memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan ketentuan Peraturan Perundang-undangan; dan mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara [vide angka 127 Lampiran II UU 12/2011], maka Pasal 172B UU 3/2020 dimaksudkan untuk menjalankan fungsi ketentuan peralihan dimaksud. Sebab, sebelum UU 3/2020 diberlakukan telah ada wilayah-wilayah yang sudah mendapatkan izin pertambangan berupa IUP, IUPK, atau IPR.
Dalam rangka penyesuaian dengan norma baru UU 3/2020 maka terhadap kegiatan usaha pertambangan yang telah mendapatkan izin sebelumnya berupa IUP, IUPK, atau IPR wajib dilakukan delineasi sesuai dengan pemanfaatan ruang dan kawasan, karena ada kemungkinan misalnya terjadinya penciutan atau perluasan dari izin yang telah diberikan sehingga tidak sesuai lagi dengan pemanfaatan ruang dan kawasan. Berdasarkan Pasal 172B ayat (1) UU 3/2020, hal tersebut dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. UU 3/2020 tidak menyebutkan peraturan perundang-undangan apa yang dimaksud namun dengan mencermati esensi izin usaha pertambangan maka ketentuan yang dimaksud di antaranya adalah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penataan ruang.
Berkenaan dengan dalil para Pemohon yang mempersoalkan dengan adanya jaminan tidak ada perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan menyebabkan ketidakterpenuhan aspek substantif hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat karena dikhawatirkan di wilayah tersebut akan terus dijadikan sebagai wilayah untuk aktivitas pertambangan sementara daya dukung dan daya tampung lingkungan di wilayah tersebut sudah tidak mampu menampung aktivitas pembangunan. Dalam kaitan ini penting untuk dipahami bahwa salah satu pemanfaatan ruang yang dapat diakomodasi dalam zonasi RTR adalah kegiatan yang telah mendapatkan izin. Izin tersebut hanya dapat dikeluarkan apabila telah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan dan telah mengantisipasi pengendalian dampak yang akan ditimbulkan. Hal ini sejalan dengan doktrin hukum perizinan bahwa izin merupakan instrumen yuridis preventif dan juga represif yang berfungsi sebagai pengendalian sehingga izin hanya dapat dikeluarkan apabila telah dipenuhi seluruh persyaratan yang ditentukan. Oleh karena itulah kegiatan yang telah memiliki izin perlu dijamin kelangsungan usahanya oleh RTR melalui zonasi yang bersesuaian. Apabila kegiatan yang telah memiliki izin tersebut di kemudian hari mengganggu keseimbangan lingkungan dan sosial, maka perlu ada mekanisme evaluasi izin yang telah diberikan, namun bukan evaluasi pada zonasi RTR-nya. Sebab, zonasi peruntukan dalam RTR telah disusun dengan mempertimbangkan berbagai faktor termasuk kebutuhan, daya dukung, kesesuaian ruang, dan aspirasi pemangku kepentingan.
Bahwa terkait dengan keinginan para Pemohon agar ada peninjauan atau evaluasi kembali RTR untuk melihat kesesuaian RTR dengan kebutuhan pembangunan serta pemanfaatan ruang, Mahkamah dapat memahami keinginan tersebut karena WIUP, WIUPK, dan WPR pada pokoknya adalah wilayah untuk mengakomodasi kegiatan pertambangan yang telah mendapatkan izin yang merupakan bagian dari WP yang tidak lain adalah bagian dari tata ruang nasional maka dengan sendirinya RTR dapat dilakukan peninjauan kembali sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal hasil peninjauan kembali merekomendasikan adanya revisi RTR maka hal tersebut dapat dilakukan namun jika dalam proses revisi RTR terdapat kegiatan usaha pertambangan yang telah memiliki izin maka peninjauan kembali tersebut dilakukan terhadap mekanisme evaluasi atau pengawasan izinnya, misalnya jika terbukti terdapat kesalahan dari pihak pelaksana izin tersebut maka izin tersebut dapat dicabut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan zona dalam RTR di wilayah tersebut dapat disesuaikan dengan peruntukkan atau izin yang baru. Bertalian dengan pencabutan izin ini, telah ditentukan dalam UU 3/2020 sanksi administratif kepada pemegang IUP, IUPK, atau IPR untuk penjualan jika terjadi pelanggaran atas ketentuan dalam peraturan perundang-undangan, termasuk dalam UU a quo.
Dengan demikian, adanya ketentuan mengenai jaminan pemanfaatan ruang dan kawasan dalam Pasal 17A ayat (2), Pasal 22A, Pasal 31A ayat (2), dan Pasal 172B ayat (2) UU 3/2020 hanya dapat dilakukan sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, termasuk yang mengatur penataan ruang. Meskipun untuk mendapatkan kepastian berusaha atas wilayah yang telah ditetapkan dan telah dikeluarkan izinnya tersebut telah melewati seluruh proses dan prosedur, namun, untuk memberikan kepastian bagi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam memberikan jaminan tidak adanya perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan yang telah diberikan izinnya tetap dapat dilakukan evaluasi dan sepanjang dalam pelaksanaan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, untuk tidak menimbulkan persoalan konstitusional dalam penerapan norma Pasal 17A ayat (2), Pasal 22A, Pasal 31A ayat (2), dan Pasal 172B ayat (2) UU 3/2020 Mahkamah memandang perlu untuk menegaskan dalam amar putusan ini mengenai keharusan selalu adanya konsistensi untuk tidak menyalahi keterpenuhan syarat yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan dalam menjamin pemanfaatan ruang dan kawasan sehingga hal ini memberikan kejelasan dalam memaknai kata “menjamin” dalam Pasal 17A ayat (2), Pasal 22A, Pasal 31A ayat (2), dan Pasal 172B ayat (2) UU 3/2020.

[3.15.3] Berdasarkan pertimbangan hukum di atas Mahkamah berpendapat permohonan para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas norma Pasal 17A ayat (2), Pasal 22A, Pasal 31A ayat (2), dan Pasal 172B ayat (2) UU 3/2020 adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian. Artinya, norma Pasal 17A ayat (2). Pasal 22A, Pasal 31A ayat (2), dan Pasal 172B ayat (2) UU 3/2020 bertentangan dengan UUD 1945 jika norma tersebut tidak dilekati makna “sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”;

[3.16] Menimbang bahwa para Pemohon juga mendalilkan Pasal 162 UU 3/2020 sebagaimana diubah oleh Pasal 39 angka 2 UU 11/2020 yang selengkapnya menyatakan “Setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang IUP, IUPK, IPR atau SIPB yang telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86F huruf b dan Pasal 136 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”, telah membatasi hak-hak konstitusional warga negara untuk mengembangkan diri demi memenuhi kebutuhan dasar hidup; memberikan ketidakpastian hukum; dan melanggar hak atas rasa aman dan bebas dari rasa takut, sebagaimana diatur dalam Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.
Dalam kaitan dengan dalil para Pemohon a quo, Mahkamah perlu menegaskan kembali berkenaan dengan UU 11/2020 yang telah diputus pengujian formilnya oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 25 November 2021, yang amarnya menyatakan:
1 Menyatakan permohonan Pemohon I dan Pemohon II tidak dapat diterima;
2 Mengabulkan permohonan Pemohon III, Pemohon IV, Pemohon V, dan Pemohon VI untuk sebagian;
3 Menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan”;
4 Menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini;
5 Memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) menjadi inkonstitusional secara permanen;
6 Menyatakan apabila dalam tenggang waktu 2 (dua) tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) maka undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) dinyatakan berlaku kembali;
7 Menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);
8 Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
9 Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.

Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tersebut, terdapat 4 (empat) orang Hakim Konstitusi yang mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion), yakni Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Hakim Konstitusi Anwar Usman, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh, dan Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul.
Mahkamah juga telah menegaskan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 64/PUU-XIX/2021, yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 25 Januari 2022, Paragraf [3.11] yaitu:
[3.11] Menimbang bahwa terhadap dalil para Pemohon dalam permohonan a quo yang menyatakan walaupun Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 dalam pengujian formil UU 11/2020 menyatakan UU a quo adalah inkonstitusional bersyarat, namun pengujian materiil masih dapat dilakukan sebab UU 11/2020 masih tetap berlaku. Terhadap dalil para Pemohon tersebut, menurut Mahkamah, secara formil UU 11/2020 telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 sehingga secara formal tidak sah berlaku sampai ada perbaikan formil selama masa tenggang waktu 2 (dua) tahun dimaksud. Masa 2 (dua) tahun tersebut adalah masa perbaikan formil. Hal itu disebabkan karena dalam masa perbaikan formil tersebut tidak tertutup kemungkinan adanya perubahan atau perbaikan substansi yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang. Terlebih lagi, dalam amar Putusan a quo angka 7 Mahkamah menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Dengan demikian, menurut Mahkamah permohonan para Pemohon menjadi prematur. Pertimbangan demikian disebabkan oleh karena permohonan a quo diajukan setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, bertanggal 25 November 2021.

Berdasarkan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi di atas, telah jelas bahwa permohonan para Pemohon terhadap pengujian materiil Pasal 162 UU 3/2020 sebagaimana telah diubah dengan Pasal 39 angka 2 UU 11/2020 adalah prematur karena diajukan selama masa tenggang waktu 2 (dua) tahun perbaikan formil UU 11/2020, dan tidak menutup kemungkinan adanya perubahan atau perbaikan substansi yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang.

[3.17] Menimbang bahwa selanjutnya para Pemohon mendalilkan Pasal 169A ayat (1) UU 3/2020 terkait jaminan pemberian izin berdasarkan Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) perusahaan, serta Pasal 169B ayat (3) UU 3/2020 terkait kelanjutan operasi kontrak/perjanjian, bertentangan dengan prinsip persamaan di depan hukum, prinsip partisipasi warga negara, serta pengelolaan sumber daya pertambangan untuk kesejahteraan rakyat sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1), serta Pasal 33 ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945. Terhadap dalil para Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

[3.17.1] Bahwa sebelum mempertimbangkan terlebih dahulu substansi permohonan para Pemohon, Mahkamah perlu menjelaskan bahwa dalam permohonan a quo terdapat ketidaksesuaian antara posita dengan petitum. Pada bagian posita permohonan, para Pemohon menguraikan dan menerangkan bahwa ketentuan yang dimohonkan pengujian konstitusionalitas adalah norma Pasal 169A ayat (1) dan Pasal 169B ayat (3) UU 3/2020, sedangkan dalam bagian petitum para Pemohon menyebutkan Pasal 169A dan Pasal 169B UU 3/2020 secara keseluruhan. Padahal Pasal 169A terdiri dari lima ayat, dan Pasal 169B juga terdiri dari lima ayat. Artinya, ketentuan yang dimohonkan dalam petitum lebih banyak/luas dibandingkan dengan ketentuan yang disebut dan diuraikan pada bagian posita.
Terhadap adanya perbedaan luasan antara posita dengan petitum dalam permohonan para Pemohon demikian, Mahkamah hanya akan mempertimbangkan ketentuan yang dimohonkan dalam petitum sekaligus yang diuraikan/diterangkan argumentasinya dalam bagian posita. Dengan demikian, ketentuan yang akan dipertimbangkan Mahkamah adalah Pasal 169A ayat (1) dan Pasal 169B ayat (3) UU 3/2020.

[3.17.2] Bahwa berkenaan dengan norma Pasal 169A ayat (1) UU 3/2020 yang dimohonkan pengujiannya telah pernah diuji dan diputus sebelumnya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 64/PUU-XVIII/2020, yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 27 Oktober 2021, dengan dasar pengujian Pasal 27 ayat (1) serta Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, yang amar putusan Mahkamah menyatakan:
“1. Menyatakan permohonan Pemohon I dan Pemohon III tidak dapat diterima;
2. Mengabulkan permohonan Pemohon II untuk sebagian;
3. Menyatakan ketentuan Pasal 169A ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 147, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6525) sepanjang frasa “diberikan jaminan” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “dapat diberikan”;
4. Menyatakan ketentuan Pasal 169A ayat (1) huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 147, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6525), sepanjang kata “dijamin” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “dapat”;
5. Menyatakan ketentuan Pasal 169A ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 147, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6525) selengkapnya berbunyi, “KK dan PKP2B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 dapat diberikan perpanjangan menjadi IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian setelah memenuhi persyaratan dengan ketentuan: …”;
6. Menyatakan ketentuan Pasal 169A ayat (1) huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 147, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6525), selengkapnya menjadi berbunyi:
a. kontrak/perjanjian yang belum memperoleh perpanjangan dapat mendapatkan 2 (dua) kali perpanjangan dalam bentuk IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian masing-masing untuk jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun sebagai kelanjutan operasi setelah berakhirnya KK atau PKP2B dengan mempertimbangkan upaya peningkatan penerimaan negara.
b. kontrak/perjanjian yang telah memperoleh perpanjangan pertama dapat untuk diberikan perpanjangan kedua dalam bentuk IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian untuk jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun sebagai kelanjutan operasi setelah berakhirnya perpanjangan pertama KK atau PKP2B dengan mempertimbangkan upaya peningkatan penerimaan negara.
7. Menolak permohonan Pemohon II untuk selain dan selebihnya;
8. Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.”

[3.17.3] Bahwa dalam kaitannya dengan permohonan para Pemohon, Mahkamah menemukan fakta hukum objek yang dimohonkan pengujian konstitusionalitas oleh para Pemohon dalam perkara a quo sama dengan objek permohonan pada Perkara Nomor 64/PUU-XVIII/2020 sebelum diputus. Berdasarkan Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 64/PUU-XVIII/2020, Pasal 169A ayat (1) UU 3/2020 telah berisi makna baru walaupun tidak disertai perubahan kalimat redaksional, sehingga ketentuan a quo tidak dapat lagi dibaca dan/atau dipahami sebagaimana maksud pembentuk UU 3/2020 sebelum adanya Putusan Mahkamah melainkan harus dibaca/dipahami sebagaimana Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 64/PUU-XVIII/2020. Implikasi amar putusan berupa pemberian makna baru demikian, dalam kaitannya dengan perkara a quo, mengakibatkan permohonan perkara ini, khususnya permohonan pengujian konstitusionalitas norma Pasal 169A ayat (1) UU 3/2020 telah tidak sesuai lagi objeknya. Sebab, objek permohonan yang dimohonkan para Pemohon adalah ketentuan Pasal 169A ayat (1) huruf a dan huruf b UU 3/2020 sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 64/PUU-XVIII/2020. Dengan demikian, permohonan pengujian sepanjang mengenai Pasal 169A ayat (1) huruf a dan huruf b UU 3/2020 menurut Mahkamah harus dinyatakan kehilangan objek.

[3.17.4] Bahwa selanjutnya berkenaan dengan dalil para Pemohon yang mempersoalkan konstitusionalitas norma Pasal 169B ayat (3) UU 3/2020 maka untuk menjawab dalil tersebut, tidak dapat dilepaskan dari pertimbangan hukum Mahkamah pada Sub-paragraf [3.17.2] di atas. Sebab, ketentuan Pasal 169B ayat (3) tersebut merupakan satu rangkaian dengan pasal dan ayat-ayat sebelumnya sebagaimana selengkapnya menyatakan:
“(1) Pada saat IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169A diberikan, wilayah rencana pengembangan seluruh wilayah yang disetujui Menteri menjadi WIUPK untuk tahap kegiatan Operasi Produksi.
(2) Untuk memperoleh IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemegang KK dan PKP2B harus mengajukan permohonan kepada Menteri paling cepat dalam jangka waktu 5 (lima) tahun dan paling lambat dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sebelum KK dan PKP2B berakhir.
(3) Menteri dalam memberikan IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan mempertimbangkan keberlanjutan operasi, optimalisasi potensi cadangan Mineral atau Batubara dalam rangka konservasi Mineral atau Batubara dari WIUPK untuk tahap kegiatan Operasi Produksi, serta kepentingan nasional.
(4) Menteri dapat menolak permohonan IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jika berdasarkan hasil evaluasi, pemegang KK dan PKP2B tidak menunjukkan kinerja pengusahaan Pertambangan yang baik.
(5) Pemegang KK dan PKP2B dalam mengajukan permohonan IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian dapat mengajukan permohonan wilayah di luar WIUPK untuk tahap kegiatan Operasi Produksi kepada Menteri untuk menunjang kegiatan Usaha Pertambangannya”.

Berdasarkan keseluruhan ketentuan Pasal 169B UU 3/2020 tersebut penting bagi Mahkamah menegaskan bahwa ketentuan Pasal a quo merupakan bagian dari Ketentuan Peralihan yang dimaksudkan untuk memperjelas kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian dengan mendasarkan pada ketentuan-ketentuan baru dari UU 3/2020 sebagai konsekuensi logis diberlakukannya IUPK. Oleh karena itu, menurut Mahkamah penunjukan Menteri sebagai pihak yang dapat memberikan IUPK merupakan konsekuensi logis-sistematis dari diserahkannya pengelolaan pertambangan mineral dan batu bara kepada Pemerintah Pusat [vide Pasal 4 ayat (2) UU 3/2020]. Pemerintah Pusat dalam konteks pengelolaan pertambangan tidak lain adalah Presiden Republik Indonesia yang secara teknis-administratif dibantu oleh menteri. Pada Pasal 1 angka 38 UU 3/2020 telah diatur bahwa Menteri yang dimaksud dalam UU a quo adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pertambangan Mineral dan Batubara. Menteri pun tidak pula dapat serta-merta memberikan IUPK sebagai kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian karena masih harus mempertimbangkan keberlanjutan operasi, optimalisasi potensi cadangan Mineral atau Batubara dalam rangka konservasi Mineral atau Batubara dari WIUPK untuk tahap kegiatan Operasi Produksi, serta kepentingan nasional.
Sementara itu, terkait dengan dalil para Pemohon mengenai tidak dilibatkannya masyarakat dalam proses pemberian IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian, khususnya masyarakat terdampak langsung oleh pertambangan, Mahkamah berpendapat ketentuan demikian tidak dapat dilepaskan dari ketentuan lain terkait izin dan/atau wilayah pertambangan yang bersifat khusus. Dalam hal ini, UU 3/2020 mengatur bahwa IUPK merupakan pelaksanaan dari WUPK [vide Pasal 29 UU 4/2009], sementara WUPK merupakan bagian dari WP [vide Pasal 10 UU 3/2020]. WP atau wilayah pertambangan dibedakan menjadi WUP, WPR, WPN, dan WUPK. Artinya, WP adalah satuan wilayah yang di dalamnya terdiri dari atau meliputi WUP, WPR, WPN, dan WUPK. Dengan kata lain, untuk penentuan WUPK dan IUPK harus didahului oleh adanya penetapan WP.
Pasal 10 UU 3/2020 selengkapnya mengatur bahwa:
“(1) Penetapan WP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) terdiri atas:
a. WUP;
b. WPR;
c. WPN; dan
d. WUPK.
(2) Penetapan WP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dilaksanakan:
a. secara transparan, partisipatif, dan bertanggung jawab;
b. secara terpadu dengan mengacu pada pendapat dari instansi pemerintah terkait, masyarakat terdampak, dan dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi, hak asasi manusia, dan sosial budaya, serta berwawasan lingkungan; dan
c. dengan memperhatikan aspirasi daerah.”

Dengan merujuk pada Pasal 10 UU 3/2020 di atas telah jelas bahwa penetapan WP dilaksanakan secara terpadu dengan mengacu pada pendapat dari instansi pemerintah terkait, masyarakat terdampak, dan dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi, hak asasi manusia, dan sosial budaya, serta berwawasan lingkungan.
Menurut Mahkamah, karena penetapan WP merupakan induk atau landasan bagi penetapan WUP, WPR, WPN, dan WUPK yang kemudian penetapan wilayah ini menjadi dasar/landasan bagi diberikannya izin usaha pertambangan, maka dapat dikatakan bahwa masyarakat khususnya yang terdampak pertambangan baik potensial maupun aktual secara hukum telah mempunyai alas hak untuk terlibat dalam proses penetapan WP tersebut. Apalagi seperti telah diterangkan oleh Presiden/Pemerintah dalam persidangan di Mahkamah, sebagai pelaksanaan UU a quo kementerian terkait telah memberikan jalur atau kanal komunikasi bagi masyarakat yang ingin memantau dan/atau melaporkan aktivitas terkait pertambangan dengan harapan membantu Pemerintah Pusat dalam melakukan pengawasan kegiatan pertambangan [vide Keterangan Presiden, bertanggal 4 November 2021]. Oleh karena itu, seandainya dalam pelaksanaan hak masyarakat untuk berpartisipasi tidak berjalan dengan baik sehingga kualitas partisipasi tidak sempurna sebagaimana didalilkan para Pemohon, menurut Mahkamah hal demikian penting menjadi perhatian Pemerintah Pusat selaku pihak yang diberikan mandat oleh Negara agar memperbaiki proses pelaksanaan hak masyarakat untuk berpartisipasi sehingga pengelolaan pertambangan mineral dan batubara tetap sejalan dengan hak masyarakat atas lingkungan yang baik dan sehat untuk digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Berdasarkan pertimbangan hukum di atas Mahkamah menilai dalil para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 169B ayat (3) UU 3/2020 adalah dalil yang tidak beralasan menurut hukum.

[3.18] Menimbang bahwa, setelah Mahkamah mempertimbangkan pokok permohonan para Pemohon sebagaimana tersebut di atas, oleh karena berkenaan kedudukan hukum para Pemohon berkaitan pengujian norma Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) UU 3/2020 akan dipertimbangkan bersama-sama dengan pertimbangan hukum pokok permohonan, maka selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon berkaitan dengan permohonan pengujian norma Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) UU 3/2020 sebagai berikut:
Bahwa Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) UU 3/2020 yang dimohonkan pengujiannya oleh para Pemohon merupakan bagian dari Bab Penguasaan Mineral dan Batubara yang tidak dapat dilepaskan dari ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU a quo yang pada pokoknya menyatakan mineral dan batubara merupakan sumber daya alam yang tak terbarukan merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kesejahteraan/kemakmuran rakyat. Untuk penguasaan mineral dan batubara tersebut undang-undang menentukan kewenangan penyelenggaraannya oleh Pemerintah Pusat di mana para Pemohon dalam petitumnya memohon agar kewenangan tersebut juga merupakan kewenangan pemerintah daerah sebagaimana ketentuan sebelumnya dalam UU 4/2009.

[3.19] Menimbang bahwa terhadap kedudukan hukum para Pemohon dalam permohonan pengujian Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) UU 3/2020, setelah Mahkamah mempertimbangkan pokok permohonan, telah ternyata substansi dari permohonan para Pemohon tersebut telah berkenaan dengan hak/kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, sebagaimana hal tersebut juga dinyatakan dalam petitum para Pemohon yang memohon agar Mahkamah memberikan kewenangan kembali kepada Pemerintah Daerah untuk pengelolaan pertambangan mineral dan batubara sebagaimana ketentuan sebelumnya (UU 4/2009). Oleh karena pengajuan permohonan pengujian terhadap pasal-pasal a quo diajukan oleh para Pemohon sendiri baik dalam kualifikasi badan hukum (yayasan/perkumpulan) dan perorangan warga negara Indonesia, sedangkan substansi permohonan a quo adalah berkenaan dengan kewenangan daerah dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan, baik daerah provinsi maupun kabupaten/kota, maka apabila berkenaan dengan kewenangan tersebut terdapat norma yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945 maka sesungguhnya yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan adalah pemerintahan daerah. Berkenaan dengan hal ini, Mahkamah perlu menegaskan bahwa terhadap persoalan konstitusionalitas yang terkait dengan kewenangan pemerintah daerah telah diputuskan oleh Mahkamah dalam putusan-putusan Mahkamah sebelumnya, di antaranya, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PUU-IX/2011 yang telah diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 21 Februari 2012, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XIII/2015 yang telah diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 13 Oktober 2016, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 136/PUU-XIII/2015 yang telah diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 11 Januari 2017. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XIII/2015, Mahkamah mempertimbangkan antara lain:
Apabila terhadap urusan pemerintahan yang diselenggarakan oleh pemerintahan daerah ada pihak yang secara aktual ataupun potensial menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya UU Pemda maka pihak dimaksud adalah Pemerintahan Daerah, baik Pemerintahan Daerah provinsi atau Pemerintahan Daerah kabupaten/kota. Sehingga, pihak yang dapat mengajukan permohonan dalam kondisi demikian adalah Kepala Daerah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yaitu Gubernur bersama-sama dengan DPRD Provinsi untuk Pemerintahan Daerah Provinsi atau Bupati/Walikota bersama-sama dengan DPRD Kabupaten/Kota untuk Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota”. [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XIII/2015, hlm.59]

Oleh karenanya terhadap permohonan pengujian norma Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) UU 3/2020 tidak diajukan oleh Pemerintahan Daerah (kepala daerah dan DPRD) maka para Pemohon tidak memenuhi persyaratan untuk diberikan kedudukan hukum, sehingga Mahkamah berpendapat para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam pengujian Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 4 ayat (3) UU 3/2020.

[3.20] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah berpendapat telah ternyata kata “menjamin” dalam norma Pasal 17A ayat (2), Pasal 22A, Pasal 31A ayat (2) dan Pasal 172B ayat (2) UU 3/2020 telah menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 secara bersyarat. Dengan demikian, permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.
Sementara itu, berkaitan pengujian ketentuan norma Pasal 169A ayat (1) UU 3/2020 telah kehilangan objek, dan norma Pasal 169B ayat (3) UU 3/2020 telah ternyata tidak menimbulkan ketidakadilan, ketidakpastian hukum, dan ketidaksamaan di hadapan hukum yang dijamin dalam UUD 1945 sehingga permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum. Selanjutnya, terkait dengan ketentuan norma Pasal 162 UU 3/2020 sebagaimana telah diubah dengan Pasal 39 angka 2 UU 11/2020 telah ternyata dalil permohonan para Pemohon adalah prematur, serta berkaitan dengan pengujian ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan (3) UU 3/2020 para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian pasal a quo. Andaipun para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian norma Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) UU 3/2020, quod non, dalil permohonan para Pemohon mengenai pasal-pasal a quo tidak beralasan menurut hukum, sebagaimana telah Mahkamah pertimbangkan pada bagian pokok permohonan dalam Paragraf [3.14].

[3.21] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dan selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dipandang tidak ada relevansinya.

1. Bahwa terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 37/PUU-XIX/2021 sebagaimana diuraikan di atas, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan saran sebagai berikut:
a. Menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-XIX/2021 sebagai bahan dalam penyusunan Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka.
b. Menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-XIX/2021 sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
2. Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan langsung dilaksanakan (self executing) oleh seluruh organ penyelenggara negara, organ penegak hukum, dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 37/PUU-XIX/2021 yang menyatakan:
• Pasal 17A ayat (2) UU 3/2020 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menjamin tidak ada perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada WIUP Mineral logam dan WIUP Batubara yang telah ditetapkan sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangundangan”;
• Pasal 22A UU 3/2020 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menjamin tidak ada perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan pada WPR yang telah ditetapkan sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangundangan”;
• Pasal 31A ayat (2) UU 3/2020 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menjamin tidak ada perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan pada WIUPK yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”;
• Pasal 172B ayat (2) UU 3/2020 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menjamin tidak ada perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada WIUP, WIUPK, atau WPR yang telah diberikan izinnya sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”;
dapat digunakan sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Ketetapan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Mengabulkan Penarikan Kembali Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 60/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN FORMIL DAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2022 TENTANG PROVINSI KALIMANTAN SELATAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 29-09-2022

Bahwa pada hari Kamis tanggal 29 September 2022, pukul 10.22 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Ketetapan Pengujian Undang Nomor 8 Tahun 2022 tentang Provinsi Kalimantan Selatan (selanjutnya disebut UU 8/2022) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 60/PUU-XX/2022. Dalam Sidang Pengucapan Ketetapan Perkara Nomor 60/PUU-XX/2022, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

c. bahwa sesuai dengan Pasal 34 UU MK, Mahkamah telah melakukan Pemeriksaan Pendahuluan terhadap permohonan a quo melalui Sidang Panel pada 23 Mei 2022 dan sesuai dengan Pasal 39 UU MK serta Pasal 41 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian UndangUndang, Panel Hakim telah memberi nasihat kepada para Pemohon [vide Risalah Sidang Perkara Nomor 60/PUUXX/2022, tanggal 23 Mei 2022];
d. bahwa Mahkamah telah beberapa kali melaksanakan sidang pemeriksaan dalam permohonan a quo, terakhir pada 19 September 2022 dengan agenda Mendengarkan Keterangan Ahli dan Saksi para Pemohon serta Keterangan Ahli dan Saksi Pihak Terkait Walikota Banjarbaru;
e. bahwa pada 26 September 2022, para Pemohon mengajukan surat perihal pencabutan permohonan pengujian formil dan materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2022 tentang Provinsi Kalimantan Selatan di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dengan Nomor Perkara Konstitusi Nomor: 60/PUU-XX/2022, bertanggal 22 September 2022 dengan alasan yang pada pokoknya berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 30 Tahun 2012 tentang Pedoman Pemberian Nama Daerah, Pemberian Nama Ibu Kota, Perubahan Nama Daerah, Perubahan Nama Ibu Kota, dan Pemindahan Ibu Kota dalam Pasal 7 sampai dengan Pasal 11 telah diatur mekanisme pemindahan ibu kota provinsi sehingga dalam upaya mempertahankan Banjarmasin sebagai Ibu Kota Provinsi Kalimantan Selatan adalah bukan melalui judicial review tetapi dengan executive review;
f. bahwa terhadap penarikan kembali permohonan para Pemohon tersebut, Pasal 35 ayat (1) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan” dan Pasal 35 ayat (2) UU MK menyatakan bahwa penarikan kembali mengakibatkan Permohonan a quo tidak dapat diajukan kembali;
g. bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf f di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim pada 26 September 2022 telah menetapkan bahwa pencabutan atau penarikan kembali permohonan Perkara Nomor 60/PUUXX/2022 adalah beralasan menurut hukum dan para Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo;
h. bahwa berdasarkan pertimbangan hukum pada huruf g di atas, Mahkamah memerintahkan Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat perihal penarikan kembali permohonan Pemohon dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada para Pemohon;

Bahwa dengan Ketetapan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan penarikan kembali permohonan Pemohon, maka Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonannya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Ketetapan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Mengabulkan Penarikan Kembali Permohonan Pemohon Oleh Mahkamah Konstitusi) KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 79/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2003 TENTANG ADVOKAT TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 29-09-2022

Bahwa pada hari Kamis tanggal 29 September 2022, pukul 10.28 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat (selanjutnya disebut UU Advokat) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 79/PUU-XX/2022. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 79/PUU-XX/2022, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 28ayat (3) UU Advokat dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
a. bahwa Mahkamah Konstitusi telah menerima permohonan bertanggal 15 Juli 2022, yang diajukan oleh Zico Leonard Djagardo Simanjuntak, S.H., yang diterima Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada 26 Juli 2022 berdasarkan Akta Pengajuan Permohonan Pemohon Nomor 73/PUU/PAN.MK/ AP3/07/2022, bertanggal 1 Agustus 2022 dan telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) pada 3 Agustus 2022 dengan Nomor 79/PUU- XX/2022 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 18 T ahun 2003 tentang Advokat terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 28 ayat (4) dan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554, selanjutnya disebut UU MK), terhadap Permohonan Nomor 79/PUU-XX/2022 tersebut Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan:
1) Ketetapan Nomor 79.79/PUU/TAP.MK/Panel/08/2022 tentang Pembentukan Panel Hakim Untuk Memeriksa Perkara Nomor 79/PUU-XX/2022, bertanggal 3 Agustus 2022;
2) Ketetapan Ketua Panel Hakim Mahkamah Konstitusi Nomor 79.79/PUU/TAP.MK/HS/08/2022 tentang Penetapan Hari Sidang Pertama untuk memeriksa Perkara Nomor 79/PUU-XX/2022, bertanggal 3 Agustus 2022;
c. bahwa sesuai dengan Pasal 34 UU MK, Mahkamah telah mengagendakan untuk melakukan Pemeriksaan Pendahuluan terhadap permohonan a quo melalui Sidang Panel yang telah dijadwalkan pada 29 Agustus 2022 pukul 13.30 WIB;
d. Bahwa terkait persidangan pemeriksaan pendahuluan yang telah diagendakan pada 29 Agustus 2022, yang semula pukul 13.30 WIB dan dimundurkan menjadi pukul 14.00 WIB, Mahkamah telah memanggil Pemohon secara sah dan patut dengan surat Panitera Mahkamah Nomor 388.79/PUU/ PAN.MK/PS/08/2022, bertanggal 18 Agustus 2022, perihal Panggilan Sidang. Juru Panggil Mahkamah juga telah mengkonfirmasi kehadiran Pemohon melalui telepon dan Pemohon menyatakan akan hadir pada persidangan dengan agenda pemeriksaan pendahuluan yang telah dijadwalkan tersebut. Namun demikian, menjelang dibukanya persidangan, Pemohon menyampaikan informasi melalui pesan whatsapp kepada Juru Panggil bahwa Pemohon berhalangan hadir dan meminta perkaranya digugurkan. Namun demikian Mahkamah tetap membuka persidangan untuk memastikan kehadiran Pemohon dan ternyata Pemohon benar tidak hadir dalam persidangan tersebut.
e. Bahwa oleh karena adanya fakta dimaksud, maka sesuai dengan Pasal 41 ayat (4) dan ayat (5) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang dan dalam rangka memenuhi asas peradilan sederhana, cepat, dan berbiaya ringan, permohonan Pemohon harus dinyatakan gugur;
f. bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf e di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim pada 5 September 2022 telah menetapkan bahwa permohonan Perkara Nomor 79/PUU-XX/2022 dinyatakan gugur;

Bahwa dengan Ketetapan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan permohonan Pemohon gugur, maka Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonannya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Ketetapan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Mengabulkan Penarikan Kembali Permohonan Pemohon Oleh Mahkamah Konstitusi) KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 81/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2008 TENTANG OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 29-09-2022

Bahwa pada hari Kamis tanggal 29 September 2022, pukul 10.35 WIB, Mahkamah Konstitusi telah menetapkan dalam Sidang Pengucapan Ketetapan Pengujian Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia (selanjutnya disebut UU 37/2008) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 81/PUU-XX/2022. Dalam Sidang Pengucapan Ketetapan Perkara Nomor 81/PUU-XX/2022, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU 37/2008 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
a. Bahwa Mahkamah Konstitusi telah menerima permohonan bertanggal 28 Juli 2022, yang diajukan oleh Moch Ojat Sudrajat S, yang diterima Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada 1 Agustus 2022 berdasarkan Akta Pengajuan Permohonan Pemohon Nomor 76/PUU/PAN.MK/AP3/ 08/2022, bertanggal 4 Agustus 2022 dan telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) pada 8 Agustus 2022 dengan Nomor 81/PUU-XX/2022 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 28 ayat (4) dan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554, selanjutnya disebut UU MK), terhadap Permohonan Nomor 81/PUU-XX/2022 tersebut Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan:
1) Ketetapan Ketua Mahkamah Konstitusi Nomor 81.81/PUU/TAP.MK/Panel/08/2022 tentang Pembentukan Panel Hakim Untuk Memeriksa Perkara Nomor 81/PUU-XX/2022, bertanggal 8 Agustus 2022;
2) Ketetapan Ketua Panel Hakim Mahkamah Konstitusi Nomor 81.81/PUU/TAP.MK/HS/08/2022 tentang Penetapan Hari Sidang Pertama untuk memeriksa Perkara Nomor 81/PUU-XX/2022, bertanggal 8 Agustus 2022;
c. Bahwa sesuai dengan Pasal 34 UU MK, Mahkamah telah melakukan Pemeriksaan Pendahuluan terhadap permohonan a quo melalui Sidang Panel pada 6 September 2022 dan sesuai dengan Pasal 39 UU MK serta Pasal 41 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian UndangUndang, Panel Hakim telah memberi nasihat kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonannya [vide Risalah Sidang Perkara Nomor 81/PUU-XX/2022, tanggal 6 September 2022];
d. Bahwa Pemohon telah mengajukan surat Permohonan Pencabutan Perkara Nomor 81/PUU-XX/2022 bertanggal 18 September 2022 yang diterima Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada 18 September 2022 melalui e-mail, dengan alasan gugatan Pemohon terhadap Ombudsman RI di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta dan Ombudsman Perwakilan Provinsi Banten di Pengadilan Tata Usaha Negara Serang sedang berlangsung. Karena kondisi tersebut, Pemohon memutuskan mencabut permohonan pengujian pasal a quo;
e. Bahwa terhadap Permohonan Pencabutan sebagaimana dijelaskan pada huruf d di atas, Mahkamah melakukan konfirmasi kepada Pemohon dalam sidang Pemeriksaan Perbaikan Permohonan yang diselenggarakan pada 19 September 2022 dan Pemohon membenarkan surat pencabutan permohonan tersebut [vide Risalah Sidang Perkara Nomor 81/PUU-XX/2022, tanggal 19 September 2022];
f. Bahwa terhadap penarikan kembali permohonan Pemohon tersebut, Pasal 35 ayat (1) UU MK menyatakan, “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan” dan Pasal 35 ayat (2) UU MK menyatakan bahwa penarikan kembali mengakibatkan Permohonan a quo tidak dapat diajukan kembali;
g. Bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf f di atas, Rapat Permusyawaratan Hakim pada 20 September 2022 telah menetapkan pencabutan atau penarikan kembali permohonan Perkara Nomor 81/PUUXX/2022 adalah beralasan menurut hukum dan Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo;
h. Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum pada huruf g di atas, Mahkamah memerintahkan Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat perihal penarikan kembali permohonan Pemohon dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dan mengembalikan salinan berkas permohonan kepada Pemohon;

Bahwa dengan Ketetapan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan penarikan kembali permohonan Pemohon, maka Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonannya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Menolak Permohonan Pemohon Untuk Seluruhnya Oleh Mahkamah Konstitusi)PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 64/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 31-08-2022

Bahwa pada hari Rabu tanggal 31 Agustus 2022, pukul 15.02 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (selanjutnya disebut UU Pemilu) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 64/PUU-XX/2022. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 64/PUU-XX/2022, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya

Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan langsung dilaksanakan (self executing) oleh seluruh organ penyelenggara negara, organ penegak hukum, dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 64/PUU-XX/2022 yang menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya terhadap pengujian UU Pemilu mengandung arti bahwa ketentuan a quo tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Menolak Permohonan Pemohon Untuk Seluruhnya Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 49/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2022 TENTANG IBU KOTA NEGARA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 20-07-2022

Bahwa pada hari Rabu tanggal 20 Juli 2022, pukul 13.15 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (selanjutnya disebut UU Ibu Kota Negara) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 49/PUU-XX/2022. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 49/PUU-XX/2022, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

[3.14.1] Bahwa naskah akademik sebagaimana dimaksud dalam UU 12/2011 adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat [vide Pasal 1 angka 11 UU 12/2011]. Lebih lanjut, berkenaan dengan pembentukan undang-undang dijelaskan pula oleh UU 12/2011 alasan-alasan perlunya penyusunan naskah akademik sebagai acuan dalam pembentukan Rancangan Undang-Undang (RUU). Oleh karena itu, pada bagian latar belakang naskah akademik menjelaskan mengapa pembentukan RUU memerlukan suatu kajian yang mendalam dan komprehensif mengenai teori atau pemikiran ilmiah yang berkaitan dengan materi muatan RUU yang akan dibentuk. Pemikiran ilmiah tersebut mengarah kepada penyusunan argumentasi filosofis, sosiologis, serta yuridis guna mendukung perlu atau tidak perlunya penyusunan RUU [vide Lampiran I UU 12/2011]. Karena posisi naskah akademik sebagai acuan maka dalam perkembangan pembahasan suatu RUU dalam rangka mendapatkan persetujuan bersama dari pembentuk undang-undang maka tidak serta merta hal-hal yang termuat dalam naskah akademik kemudian masuk dalam materi undang-undang. Dengan kata lain, walaupun telah termuat dalam naskah akademik kemudian dalam pembahasan rancangan undang-undang ternyata mengalami perubahan maka hal tersebut tidak serta merta menyebabkan proses pembentukan undang-undang menjadi inkonstitusional.

[3.14.2] Bahwa keberadaan naskah akademik memang diharuskan dalam pembentukan undang-undang. Pasal 43 ayat (3) UU 12/2011 menyatakan, “Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR, Presiden, atau DPD harus disertai Naskah Akademik”. Dalam perkara a quo telah terdapat Naskah Akademik UU 3/2022 sebagaimana diajukan oleh Pemohon [vide bukti P-12], sehingga pada tahapan penyusunan dalam pembentukan UU 3/2022 telah ternyata disertai dengan naskah akademik. Adapun mengenai muatan naskah akademik sebagaimana dipersoalkan Pemohon, menurut Mahkamah berdasarkan pertimbangan hukum paragraf di atas adalah tidak tepat dipersoalkan konstitusionalitasnya, mengingat penyusunan naskah akademik pada tahapan penyusunan pembentukan undang-undang harus melalui tahapan pembahasan pembentukan undang-undang yang dimungkinkan adanya perkembangan atau perubahan. Oleh karena itu, dalil Pemohon mengenai penyusunan dan muatan naskah akademik bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak tepat karena seharusnya yang dipersoalkan oleh Pemohon adalah mengenai proses atau prosedur pembentukan UU 3/2022 yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Sementara itu, mengenai proses atau prosedur pembentukan UU 3/2022 telah dinilai Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XX/2022 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XX/2022 yang diucapkan sebelum pengucapan putusan perkara a quo yang pada pokoknya menyatakan proses pembentukan UU 3/2022 tidak bertentangan dengan UUD 1945, oleh karenanya dalil-dalil para Pemohon untuk kedua perkara tersebut tidak beralasan menurut hukum. Dengan demikian, terhadap dalil Pemohon a quo karena berkaitan dengan proses pembentukan UU 3/2022, in casu naskah akademik UU 3/2022 maka harus dinyatakan pula tidak beralasan menurut hukum.

[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah dalil permohonan Pemohon berkenaan dengan pengujian formil UU 3/2022 adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. Sedangkan, terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan karena dipandang tidak ada relevansinya.
F.AMAR PUTUSAN
Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya.

Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan langsung dilaksanakan (self executing) oleh seluruh organ penyelenggara negara, organ penegak hukum, dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 64/PUU-XX/2022 yang menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya terhadap pengujian UU Pemilu mengandung arti bahwa ketentuan a quo tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dikabulkan Sebagian Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 30/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA DENGAN UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 20-06-2022

Bahwa pada hari Rabu tanggal 20 Juni 2022, pukul 17.40 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut UU 39/1999) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 30/PUU-XX/2022. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 30/PUU- XX/2022, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 83 ayat (1), Pasal 85 ayat (1), Pasal 86, dan Pasal
87 ayat (2) UU 39/1999 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.11] Menimbang bahwa setelah membaca secara saksama permohonan para Pemohon beserta alat-alat bukti yang diajukan oleh para Pemohon, persoalan konstitusional yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah adalah sebagai berikut:
1. apakah jumlah Anggota Komnas HAM yang mencapai 35 orang tidak memberikan kepastian hukum;
2. apakah pemilihan, pemberhentian Anggota Komnas HAM, oleh DPR dan tidak melibatkan Presiden menciderai sistem presidensial di Indonesia;
3. apakah tata cara pemilihan, pengangkatan serta pemberhentian keanggotaan dan pimpinan Komnas HAM yang ditetapkan dengan Peraturan Tata Tertib Komnas HAM serta pengaturan hak Anggota Komnas HAM untuk mengajukan bakal calon Anggota Komnas HAM dalam Sidang Paripurna akan melemahkan sistem checks and

balances sehingga menghalangi orang lain untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

Terhadap persoalan-persoalan tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.11.1] Bahwa jaminan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia (HAM) adalah salah satu elemen penting dalam sistem negara hukum. Dengan mengingat pentingnya pengaturan mengenai HAM dalam konstitusi, maka dalam proses pembahasan UUD untuk Indonesia merdeka, Mohammad Yamin dan Mohammad Hatta mengusulkan agar memasukan unsur HAM dalam UUD, namun saat itu terjadi pertentangan karena Supomo dan Soekarno yang menganggap HAM identik dengan ideologi liberal individual yang tidak cocok dengan sifat masyarakat Indonesia. Kemudian diambil jalan tengah dengan memasukan sedikit unsur HAM dalam Pasal 7 UUD 1945 [vide Risalah Sidang BPUPK].
Pengaturan HAM baru mendapatkan perhatian yang luar biasa bersamaan dengan terjadinya gerakan Reformasi 1998, yang salah satunya menuntut perlindungan HAM dan amandemen UUD 1945. Untuk merespon tuntutan tersebut, sebelum amandemen terhadap materi muatan HAM dalam UUD 1945 dilakukan, MPR segera menetapkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia (Tap MPR XVII/MPR/1998). Ketetapan ini merupakan Piagam HAM yang berisi sejumlah hak dan menjadi komplementer UUD 1945 sebelum dilakukan amandemen. Salah satu amanat Ketetapan ini adalah menegaskan kepada lembaga-lembaga tinggi negara dan seluruh aparatur pemerintah, untuk menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman mengenai HAM kepada seluruh masyarakat, serta segera meratifikasi berbagai instrumen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang HAM, sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Tap MPR XVII/MPR/1998 kemudian menjadi dasar terbitnya UU 39/1999 yang mengatur lebih rinci tentang HAM bersamaan dengan dilakukannya proses amandemen muatan HAM dalam UUD 1945. Saat ini, Tap MPR XVII/MPR/1998 sudah tidak berlaku lagi karena dicabut oleh Tap MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tahun 1960 Sampai Dengan Tahun 2002 (Tap MPR Nomor I/MPR/2003). Sementara itu, amandemen UUD 1945 telah menghasilkan pengaturan yang lebih komprehensif norma-norma konstitusi yang menjamin perlindungan hak-hak warga negara. Untuk memenuhi tuntutan atas perlindungan HAM, bukan hanya diaturnya secara rigid hak-hak warga negara dalam amandemen konstitusi, namun juga dihadirkannya lembaga yang bertugas mengawal HAM yang diatur dalam amandemen konstitusi tersebut agar tidak dilanggar oleh pembentuk undang-undang dengan ketentuan dan norma undang- undang yang diterbitkannya. Lembaga yang dimaksud adalah Mahkamah

Konstitusi. Secara doktriner norma HAM yang terdapat dalam UUD berfungsi sebagai arah bagi pembuatan undang-undang di bawahnya agar selaras dengan nilai-nilai HAM.
Dalam kaitan dengan penegakkan HAM, Pemerintah Orde Baru telah membentuk Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) melalui Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Keppres 50/1993). Komnas HAM sendiri dibentuk atas rekomendasi dari Lokakarya I HAM yang diselenggarakan Departemen Luar Negeri dengan sponsor dari PBB. Dalam Pasal 1 Keppres 50/1993 disebutkan bahwa Komnas HAM dibentuk dalam rangka meningkatkan pelaksanaan HAM di Indonesia. Sementara dalam Pasal 4 Keppres 50/1993 disebutkan tujuan Komnas HAM adalah: a) membantu pengembangan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan HAM sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia; b) meningkatkan perlindungan HAM guna mendukung terwujudnya tujuan pembangunan nasional yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya.
Selanjutnya, keberadaan Komnas HAM diperkuat oleh UU 39/1999, sebagaimana hal tersebut ditentukan dalam Ketentuan Peralihan Pasal 105 ayat
(2) UU 39/1999 bahwa Komnas HAM yang dibentuk berdasarkan Keppres 50/1993 dinyatakan sebagai Komnas HAM menurut undang-undang ini, serta Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Komnas HAM masih tetap menjalankan fungsi, tugas, dan wewenangnya, berdasarkan undang-undang ini sampai ditetapkannya keanggotaan Komnas HAM yang baru; dan semua permasalahan yang sedang ditangani oleh Komnas HAM tetap dinyatakan penyelesaiannya berdasarkan undang-undang ini. Kemudian Pasal 105 ayat (3) UU 39/1999 mengatur bahwa dalam waktu paling lama dua tahun sejak berlakunya undang-undang ini, susunan organisasi, keanggotaan, tugas dan wewenang serta tata tertib Komnas HAM harus disesuaikan dengan undang-undang ini.
[3.11.2] Bahwa Komnas HAM dalam UU 39/1999 disebut sebagai lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi HAM [vide Pasal 1 angka 7 UU 39/1999]. Secara doktriner lembaga negara dapat dibedakan menjadi dua, yaitu lembaga negara yang bersifat utama (main state organs) dan lembaga negara yang bersifat penunjang (auxiliary state organs). Pada perkembangannya di Indonesia, lembaga negara penunjang tidak hanya diperintahkan oleh konstitusi namun terdapat pula lembaga negara yang kewenangannya berdasarkan perintah undang-undang yang lebih rendah [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-I/2003, tanggal 28 Juli 2004 sebagaimana ditegaskan kembali di antaranya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/2017, tanggal 8 Februari 2018].
Bahwa terkait dengan tujuan munculnya lembaga-lembaga penunjang, Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/2017

menyatakan bahwa lembaga-lembaga penunjang dihadirkan karena dorongan proses pencapaian tujuan-tujuan negara yang semakin kompleks yang merupakan konsekuensi logis sebuah negara demokrasi modern yang ingin secara lebih sempurna menjalankan fungsi dan perannya memberikan jaminan perlindungan dan pelayanan kepada warganya. Dalam putusan a quo Mahkamah berpendapat bahwa doktrin klasik tentang pemisahan cabang kekuasaan negara dalam tiga cabang kekuasaan: eksekutif, legislatif, dan yudikatif, dipandang tidak lagi memadai untuk mewujudkan tujuan bernegara dan tuntutan masyarakat yang kian kompleks. Dengan kata lain, tidak cukup memadai lagi tujuan dan tuntutan tersebut dicapai dan dipenuhi dengan keberadaan struktur lembaga utama sehingga diperlukan lembaga penunjang untuk menjalankan fungsi penunjang terhadap lembaga negara utama. Artinya, baik pada ranah eksekutif, legislatif, maupun yudikatif dimungkinkan muncul lembaga penunjang dalam rangka efektivitas pelaksanaan kekuasaan yang menjadi tanggung jawab lembaga-lembaga utama.
Bahwa walaupun keberadaan Komnas HAM tidak secara eksplisit disebutkan dalam UUD 1945 namun diatur dalam UU 39/1999, tetapi memiliki constitutional importance. Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa “badanbadan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”. Selain Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, serta Komisi Yudisial dan Kepolisian Negara yang disebut eksplisit dalam UUD 1945, masih ada badan-badan lain yang mempunyai fungsi terkait dengan kekuasaan kehakiman, di antaranya Kejaksaan Agung, Komnas HAM, dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Kewenangan Komnas HAM selain ditentukan dalam UU 39/1999 juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU 26/2000). Dalam kaitan ini, Komnas HAM diberi kewenangan tambahan untuk menjalankan fungsi penyelidikan khusus terhadap kasus dugaan pelanggaran HAM yang berat, kemudian hasilnya diserahkan kepada Jaksa Agung sebagai penyidik [vide Pasal 18 dan Pasal 20 UU 26/2000]. Inilah salah satu alasan mengapa Komnas HAM merupakan lembaga negara penunjang yang memiliki nilai constitutional importance. Hal lain yang membuat Komnas HAM memiliki constitutional importance adalah karena perlindungan HAM merupakan materi yang harus ada dalam konstitusi setiap negara hukum yang salah satunya dicirikan dengan negara yang menghormati HAM.
[3.11.3] Bahwa bertolak dari Sub-paragraf [3.11.1] dan Sub-paragraf [3.11.2] di atas, Mahkamah akan mempertimbangkan persoalan konstitusionalitas norma yang dimohonkan para Pemohon, sebagai berikut:
1. Bahwa terhadap persoalan konstitusional mengenai besarnya jumlah anggota Komnas HAM yang mencapai 35 orang dan cara pemilihan yang para Pemohon dalilkan tidak memberikan kepastian hukum, Mahkamah berpendapat bahwa sejak putusan-putusan Mahkamah terdahulu, Mahkamah telah berpendirian bahwa penentuan besarnya jumlah tertentu

dalam norma suatu undang-undang merupakan ranah pembentuk undang- undang. Pembentuk undang-undang dapat membuat pilihan kebijakan, sepanjang pilihan yang diambil tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembuat undang-undang, tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945. Mahkamah juga berpendirian bahwa penentuan besarnya jumlah tidak boleh bertentangan dengan rasionalitas, sehingga pembentuk undang- undang seharusnya memiliki perhitungan dan ukuran rasional dalam menentukan besarnya jumlah, in casu dalam permohonan a quo adalah jumlah anggota Komnas HAM.
Bahwa dalam konteks permohonan a quo, Mahkamah dapat memahami kekhawatiran para Pemohon, karena jumlah 35 (tiga puluh lima) orang anggota Komnas HAM sangat jauh berbeda dengan jumlah anggota dalam komisi-komisi negara lainnya yang jumlahnya masih di bawah 15 (lima belas) orang anggota. Seperti Komisi Pemilihan Umum yang anggotanya berjumlah 7 (tujuh) orang, Otoritas Jasa Keuangan yang anggotanya berjumlah 7 (tujuh) orang, Komisi Pemberantasan Korupsi yang anggotanya berjumlah 5 (lima) orang, Badan Pengawas Pemilihan Umum yang anggotanya berjumlah 5 (lima) orang, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban anggotanya berjumlah 7 (tujuh) orang, Komisi Perlindungan Anak Indonesia anggotanya berjumlah 9 (sembilan) orang, Komisi Pengawas Persaingan Usaha anggotanya berjumlah 9 (sembilan) orang. Demikian pula jika dibandingkan dengan badan-badan lain yang memiliki constitutional importance, seperti Komisi Yudisial anggotanya hanya 7 (tujuh) orang.
Bahwa rasionalitas dalam penentuan besarnya jumlah anggota ini menjadi sangat penting dalam rangka mengefektifkan kerja Komnas HAM itu sendiri dalam kaitannya sebagai sebuah lembaga yang memiliki constitutional importance. Jika diikuti perkembangan awal dibentuknya, jumlah anggota Komnas HAM pada awal pembentukannya memang termasuk banyak. Berdasarkan Pasal 8 ayat (1) Keppres 50/1993 pada intinya menyatakan Komisi Paripurna yang diisi oleh tokoh-tokoh nasional sebagai unsur Komnas HAM terdiri dari 25 (dua puluh lima) anggota. Kemudian pengaturan mengenai jumlah anggota Komnas HAM justru semakin bertambah saat diatur dalam UU 39/1999.
Bahwa pengaturan jumlah anggota Komnas HAM yang ditambah dalam UU 39/1999 merupakan refleksi dari upaya menghadapi berbagai tuntutan perlindungan HAM yang semakin meningkat di era reformasi yang semula 25 (dua puluh lima) menjadi 35 (tiga puluh lima). Ditambahkannya jumlah anggota Komnas HAM seringkali dikaitkan dengan luas wilayah dan jumlah penduduk Indonesia yang dinilai membutuhkan banyak anggota untuk menyelesaikan berbagai masalah HAM. Namun demikian, yang menjadi pertanyaan adalah adanya pengaturan jumlah anggota Komnas HAM yang

menggunakan diksi atau kata “berjumlah” 35 (tiga puluh lima) orang, tetapi secara faktual jumlah anggota Komnas HAM tidak pernah penuh terisi hingga 35 (tiga puluh lima) orang. Sebagai contoh, pada periode 2002-2007 berjumlah 23 orang anggota, pada periode 2007-2012 hanya berjumlah 11 orang.
Bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, terutama fakta selama ini jumlah anggota Komnas HAM yang tidak pernah terisi penuh 35 (tiga puluh lima) orang, maka menurut Mahkamah pengaturan mengenai kata “berjumlah” 35 (tiga puluh lima) orang tersebut menjadi tidak berkepastian hukum, sebab secara harfiah makna kata “berjumlah” mempunyai sifat imperatif yang harus dipenuhi, sementara fakta bahwa selama ini anggota Komnas HAM berjumlah 35 orang tersebut tidak pernah dipenuhi dan hal tersebut dianggap pembenaran, maka hal ini justru semakin menimbulkan ketidakpastian hukum. Padahal norma Pasal 83 ayat (1) UU 39/1999 mengatur secara imperatif anggota Komnas HAM karena menggunakan kata “berjumlah” bukan frasa “paling tinggi” 35 (tiga puluh lima) orang [vide angka 256 Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan], karena faktanya ketentuan kata “berjumlah” yang menunjukkan sifat imperatif tidak pernah terpenuhi.
Terlepas dari, apakah norma imperatif ini tidak dipenuhi karena tidak banyak calon yang memenuhi syarat, atau memang menjadi kebijakan Komnas HAM yang mengusulkannya, menurut Mahkamah untuk dapat memberi kepastian hukum yang adil, maka norma Pasal 83 ayat (1) UU 39/1999 seharusnya tidak bersifat imperatif, namun bersifat fakultatif, sehingga ketika tidak dapat terpenuhi tidak melanggar norma imperatif tersebut. Meskipun demikian, penentuan besaran jumlah dalam norma undang-undang merupakan kebijakan hukum terbuka pembentuk undang- undang, namun dalam penentuannya harus memberikan kepastian hukum.
Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah untuk memberi kepastian hukum maka kata “berjumlah” dalam Pasal 83 ayat (1) UU 39/1999 dimaknai sebagai “berjumlah paling tinggi”. Dengan demikian, jika dalam pelaksanaannya Komnas HAM hanya beranggotakan 7 (tujuh) orang atau 9 (sembilan) orang sebagaimana yang dimohonkan para Pemohon, tidaklah melanggar norma undang-undang. Oleh karena itu, menurut Mahkamah dalil permohonan para Pemohon sepanjang mengenai kata “berjumlah” beralasan menurut hukum untuk sebagian.
2. Bahwa terhadap persoalan konstitusional mengenai pemilihan, pemberhentian Anggota Komnas HAM, oleh DPR dengan tidak melibatkan Presiden yang para Pemohon dalilkan telah menciderai sistem presidensial di Indonesia, menurut Mahkamah pengaturan yang tampak sangat DPR

heavy dan meninggalkan peran kekuasaan eksekutif ini tidak dapat dilepaskan dari sejarah berdirinya Komnas HAM. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya di atas, Komnas HAM yang didirikan berdasarkan Keppres 50/1993, menyebabkan Komnas HAM dianggap awalnya hanya sebagai perpanjangan tangan Presiden, sehingga tidak akan menjangkau pelanggaran-pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Presiden yang berkuasa saat itu. Sejalan dengan semangat reformasi 1998 yang menjadi latar belakang lahirnya UU 39/1999 justru berkehendak untuk membatasi kekuasaan Presiden yang sangat besar pada masa pemerintahan Orde Baru. Dengan kekuasaan yang besar tersebut telah banyak terjadi pelanggaran HAM sebagaimana hal tersebut dinyatakan pula dalam Penjelasan UU 39/1999 bahwa:
“Pada kenyataannya selama lebih lima puluh tahun usia Republik Indonesia, pelaksanaan penghormatan, perlindungan, atau penegakan hak asasi manusia masih jauh dari memuaskan. Hal tersebut tercermin dari kejadian berupa penangkapan yang tidak sah, penculikan, penganiayaan, perkosaan, penghilangan paksa, bahkan pembunuhan, pembakaran rumah tinggal dan tempat ibadah, penyerangan pemuka agama beserta keluarganya. Selain itu, terjadi pula penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat publik dan aparat negara yang seharusnya menjadi penegak hukum, pemelihara keamanan, dan pelindung rakyat, tetapi justru mengintimidasi, menganiaya, menghilangkan paksa dan/atau menghilangkan nyawa”.
Fakta-fakta yang melatarbelakangi terbitnya UU 39/1999 menyebabkan norma-norma yang berkaitan dengan keanggotaan Komnas HAM dijauhkan dari campur tangan Presiden, sehingga peran Presiden hanya meresmikan anggota Komnas HAM sebagaimana diatur dalam Pasal 83 ayat (1) UU 39/1999 dan Penjelasannya. Demikian pula halnya dalam proses pemilihan, pengangkatan dan pemberhentian anggota dan pimpinan Komnas HAM yang diatur dalam Pasal 85 ayat (1) dan Pasal 86 UU 39/1999, Presiden juga hanya menetapkan dengan Keputusan Presiden, atau hanya melaksanakan fungsi administratif.
Bahwa lebih lanjut dalam Penjelasan Pasal 83 ayat (1) UU 39/1999 dijelaskan peresmian oleh Presiden tersebut dimaksudkan untuk tetap menjaga kemandirian Komnas HAM. Mahkamah dapat memahami pilihan pembuat kebijakan untuk memberikan kewenangan kepada DPR untuk memilih anggota Komnas HAM adalah karena DPR sebagai perwakilan rakyat yang merepresentasikan suara rakyat, sehingga untuk pemilihan anggota Komnas HAM dikembalikan kepada lembaga representasi rakyat.
Bahwa namun demikian, terlepas dari dalil para Pemohon mengenai pilihan sistem pemilihan anggota Komnas HAM yang tidak dapat menyeimbangkan kekuasaan DPR dan Presiden, menurut Mahkamah

bagaimana cara pemilihan anggota Komnas HAM merupakan kebijakan hukum terbuka dari pembentuk UU. Konstitusi tidak mengatur sistem dan tata cara pemilihan anggota komisi negara, sehingga konstitusi memberi keleluasaan kepada pembentuk UU untuk mengaturnya, menyesuaikan dengan dinamika perkembangan ketatanegaraan serta kehidupan sosial masyarakat. Keleluasaan ini yang disadari akan mengalami perubahan dari waktu ke waktu sehingga pembentuk UU dapat membuat pilihan kebijakan yang efektif dan efisien. Pilihan kebijakan tersebut menjadi kebijakan hukum terbuka yang merupakan ranah pembentuk undang-undang sepanjang pilihan yang diambil tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembentuk UU, tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, dan tidak nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945, serta memiliki rasionalitas yang dapat dipertanggungjawabkan.
3. Terhadap persoalan konstitusional mengenai tata cara pemilihan, pengangkatan serta pemberhentian keanggotaan dan pimpinan Komnas HAM yang ditetapkan dengan Peraturan Tata Tertib Komnas HAM serta pengaturan hak Anggota Komnas HAM untuk mengajukan bakal calon Anggota Komnas HAM dalam Sidang Paripurna yang para Pemohon dalilkan akan melemahkan sistem checks and balances sehingga menghalangi orang lain untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan, menurut Mahkamah dalil para Pemohon ini pada pokoknya bermuara pada persoalan tatacara pemilihan yang tidak dapat dilepaskan dari kesejarahan pembentukan Komnas HAM sebagaimana telah dipertimbangkan di atas. Oleh karena hal ini berkaitan dengan pengaturan tatacara yang menurut Mahkamah merupakan pilihan kebijakan yang dapat diambil oleh pembentuk undang-undang, tentunya dengan mempertimbangkan secara saksama risiko-risiko dari pilihan kebijakan yang diambil, serta mendasarkan pada rasionalitas dengan memperhatikan syarat yang ditentukan oleh Mahkamah yaitu sepanjang pilihan yang diambil tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembuat undang-undang dan tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, tidak nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945.
Bahwa dalam pelaksanaannya Mahkamah menyadari kekhawatiran yang para Pemohon dalilkan mungkin saja dapat terjadi, seperti kemungkinan ada oknum anggota Komnas HAM yang memanfaatkan celah kebijakan ini untuk melanggengkan kekuasaannya, melakukan praktik nepotisme dengan memasukkan orang-orang yang memiliki kedekatan padahal yang dicalonkan belum tentu calon terbaik, sedangkan warga negara lain yang ingin menjadi anggota Komnas HAM menjadi tertutup kesempatannya. Demikian juga dengan pengaturan pemilihan, pengangkatan dan pemberhentian anggota Komnas HAM yang diatur sendiri dalam tata tertib Komnas HAM, juga dimungkinkan terjadi pengaturan-

pengaturan yang menguntungkan pihak tertentu, sehingga pencalonan orang-orang yang dikehendaki oleh oknum Anggota Komnas HAM yang masih menjabat bisa berjalan dengan mulus. Namun, terhadap kekhawatiran para Pemohon a quo menurut Mahkamah bukanlah merupakan persoalan konstitusionalitas norma, jikapun terjadi persoalan demikian, quod non, hal ini merupakan persoalan implementasi norma undang-undang. Persoalan efektivitas norma undang-undang harus dibedakan dengan persoalan konstitusionalitas norma undang-undang, karena tidak efektifnya suatu norma undang-undang tidak serta-merta berarti norma undang-undang itu bertentangan dengan konstitusi.
[3.12] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas menurut Mahkamah dalil permohonan para Pemohon sepanjang terkait dengan kata “berjumlah” yang diatur dalam Pasal 83 ayat (1) UU 39/1999 menimbulkan ketidakpastian hukum. Oleh karenanya Mahkamah akan memberi pemaknaan yang tertuang dalam amar putusan di bawah ini. Sedangkan terhadap dalil-dalil permohonan para Pemohon lainnya terkait Pasal 85 ayat (1), Pasal 86 dan Pasal 87 ayat (2) huruf d UU 39/1999 bertentangan Pasal 4 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3), serta Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 adalah merupakan kebijakan hukum terbuka yang menjadi ranah pembentuk undangundang untuk menentukannya, sehingga harus dinyatakan tidak beralasan menurut hukum.
[3.13] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah menyatakan Pasal 85 ayat (1), Pasal 86, dan Pasal 87 ayat (2) huruf d UU 39/1999 konstitusional, namun Mahkamah mempertimbangkan pentingnya untuk dilakukan pemantauan dan peninjauan terhadap UU 39/1999 sebagaimana ditentukan dalam Pasal 95A Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang pada pokoknya menyatakan pemantauan dan peninjauan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dilaksanakan oleh DPR, Pemerintah, dan DPD yang hasilnya dapat menjadi usulan dalam penyusunan Prolegnas. Terlepas dari apakah UU 39/1999 telah dilakukan pemantauan dan peninjauan, namun posisi UU a quo sejak tahun 2015 telah dimasukkan dalam daftar Prolegnas 2015-2019 dan saat inipun UU a quo dimasukkan kembali dalam Prolegnas 2020-2024 [vide Keputusan DPR Nomor 19/DPR.RI/I/2018-2019 tentang Program Legislasi Nasional Rancangan UndangUndang Prioritas Tahun 2019 dan Perubahan Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Tahun 2015-2019 juncto Keputusan DPR Nomor 8/DPR.RI/II/2021-2022 tentang Prolegnas Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2022 dan Prolegnas Rancangan Undang-Undang Perubahan Ketiga Tahun 2020-2024]. Oleh karena itu, pembentuk undang-undang dapat memprioritaskan

proses perubahan atas UU 39/1999. Dengan demikian, materi yang terkait dengan seberapa besar anggota Komnas HAM yang rasional serta tata cara pemilihan, pengangkatan dan pemberhentian keanggotaan Komnas HAM yang merupakan kebijakan hukum terbuka ranah pembentuk undang-undang dapat dituangkan dalam materi muatan perubahan dimaksud. Namun demikian, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa dalam menentukan pilihan kebijakan mengubah UU 39/1999 perlu pula memperhatikan tata cara seleksi/rekrutmen anggota Komnas HAM dengan nilai-nilai demokrasi berkeadilan yang berkembang di masyarakat, perkembangan dinamika politik ketatanegaraan dan menyesuaikan dengan model/proses pengisian anggota komisi negara lainnya dengan memperhatikan kekhasan Komnas HAM yang memiliki perbedaan dari komisi negara lain. Pilihan kebijakan yang diambil perlu mempertimbangkan risiko terjadinya pelanggaran ataupun penyalahgunaan pada tataran implementasi, sehingga tujuan untuk meningkatkan perlindungan HAM bagi warga negara Indonesia dapat tercapai dan institusi Komnas HAM dapat menjalankan tugas dan fungsinya dengan efektif dan efisien.
[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, dalil para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian. Sedangkan, terhadap dalil dan hal-hal lain tidak dipertimbangkan karena dipandang tidak relevan dan oleh karena itu harus dinyatakan tidak beralasan menurut hukum.

1. Bahwa terhadap Putusan MK dalam Perkara Nomor 30/PUU-XX/2022 sebagaimana diuraikan diatas, untuk memberikan kepastian hukum hukum pada Pasal 83 ayat (1) UU 39/1999, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang- Undang memberikan saran sebagai berikut:
a. Menindaklanjuti Putusan MK Nomor30/PUU-XX/2022 sebagai bahan dalam penyusunan Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka.
b. Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 30/PUU-XX/2022 sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan UU 39/1999.

2. Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh seluruh organ penyelenggara Negara, organ penegak hukum dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 30/PUU-XX/2022 mengenai materi muatan pasal/ayat dalam UU 39/1999 yang dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, agar tidak menimbulkan kekosongan hukum, dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan Perubahan UU 39/1999.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dikabulkan Sebagian Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 96/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2020 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 20-06-2022

Bahwa pada hari Senin tanggal 20 Juni 2022, pukul 15.43 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU 7/2020) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 96/PUU-XVIII/2020. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 96/PUU-XVIII/2020, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 87 huruf a dan huruf b UU 7/2020 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.13] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut pokok permohonan mengenai konstitusionalitas norma Pasal 87 huruf b UU 7/2020 yang dipermasalahkan oleh Pemohon, terlebih dahulu Mahkamah akan mempertimbangkan apakah hakim pada Mahkamah Konstitusi boleh mengadili perkara yang berkaitan dengan jabatannya.
Bahwa dalam praktik berhukum, terutama dalam konteks hakim yang dihadapkan pada perkara terkait dirinya, dikenal asas nemo judex idoneus in propria causa atau nemo debet esse iudex in (propria) sua causa. Asas tersebut dapat diterjemahkan sebagai larangan bagi seseorang untuk menjadi hakim dalam perkara yang menyangkut kepentingan dirinya. Terkait dengan asas tersebut, Mahkamah dalam beberapa putusan terdahulu telah berpendapat mengenai penerapan asas nemo judex idoneus in propria causa sebagaimana antara lain ditegaskan dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011, bertanggal 18 Oktober 2011 yang menyatakan bahwa:
“c. bahwa Mahkamah memahami adanya keterkaitan antara Mahkamah dengan Undang-Undang yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon, karena Undang-Undang yang dimohonkan pengujian adalah menyangkut Mahkamah. Hal demikian terkait dengan prinsip universal di dalam dunia peradilan tentang nemo judex in causa sua artinya hakim tidak mengadili hal-hal yang terkait dengan dirinya sendiri. Namun dalam konteks ini ada tiga alasan Mahkamah harus mengadili permohonan pengujian undang- undang ini yaitu: (i) tidak ada forum lain yang bisa mengadili permohonan ini; (ii) Mahkamah tidak boleh menolak mengadili
2

permohonan yang diajukan kepadanya dengan alasan tidak ada atau tidak jelas mengenai hukumnya; (iii) kasus ini merupakan kepentingan konstitusional bangsa dan negara, bukan semata-mata kepentingan institusi Mahkamah itu sendiri atau kepentingan perseorangan hakim konstitusi yang sedang menjabat. Namun demikian dalam mengadili permohonan ini tetaplah Mahkamah imparsial dan independen. Mahkamah memastikan untuk memutus permohonan ini berdasarkan salah satu kewenangan yang diberikan oleh Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, yaitu menguji apakah pasal-pasal yang dimohon pengujian bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak;
d. bahwa salah satu objectum litis dari proses peradilan di Mahkamah adalah masalah konstitusionalitas undang-undang yang menyangkut kepentingan publik yang dijamin oleh konstitusi sebagai hukum yang tertinggi. Oleh karena itu, Mahkamah lebih menekankan pada fungsi dan tugasnya mengawal dan menegakkan konstitusi dengan tetap menjaga prinsip independensi dan imparsialitas dalam keseluruhan proses peradilan. Apalagi Pasal 10 ayat (1) UU 48/2009 menyatakan dengan tegas bahwa “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Terlebih lagi, menurut Mahkamah, dengan mendasarkan pada kewenangan Mahkamah dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 serta asas dalam kekuasaan kehakiman, Mahkamah harus tetap memeriksa, mengadili, dan memutus secara keseluruhan permohonan a quo sesuai dengan kewenangan konstitusionalnya, dengan tetap menjaga independensi, imparsialitas, dan integritasnya guna menegakkan konstitusi”.
Pentingnya asas dimaksud adalah untuk menjaga imparsialitas hakim atau ketidakberpihakan hakim kepada salah satu pihak dalam perkara. Namun, dengan mengingat keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai satu-satunya lembaga yang diberi kewenangan mengadili konstitusionalitas norma yang putusannya bersifat final atau dapat dikatakan sebagai penafsir tunggal konstitusi, maka kewajiban Mahkamah Konstitusi sebagai pengadilan untuk menyelesaikan persoalan konstitusionalitas undang-undang haruslah diutamakan dibandingkan dengan hal lainnya. Oleh karena itu, meskipun norma Pasal 87 huruf b UU 7/2020 yang dimohonkan pengujian konstitusionalitas a quo berkenaan dengan diri hakim konstitusi, begitu pula dengan Pasal 87 huruf a UU 7/2020 yang berkaitan dengan jabatan ketua dan wakil ketua, namun karena pertimbangan hukum di atas Mahkamah tetap harus menguji konstitusionalitas norma pasal yang dimohonkan Pemohon tersebut;
[3.14] Menimbang bahwa norma Pasal 87 huruf b UU 7/2020 merupakan bagian dari Ketentuan Peralihan yang menentukan, “Hakim konstitusi yang sedang menjabat pada saat Undang-Undang ini diundangkan dianggap memenuhi syarat menurut Undang-Undang ini dan mengakhiri masa tugasnya sampai usia 70

3

(tujuh puluh) tahun selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 (lima belas) tahun”. Menurut Mahkamah ketentuan norma tersebut secara gramatikal dan sistematis telah jelas, yaitu undang-undang a quo mengecualikan semua hakim konstitusi yang saat ini sedang menjabat dari keberlakuan pasal-pasal yang mengatur mengenai pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, terutama ketentuan Pasal 15 UU 7/2020;
Dengan kata lain undang-undang a quo memberikan status hukum kepada semua hakim konstitusi yang saat ini sedang menjabat sebagai seseorang yang telah memenuhi syarat pengangkatan sebagai hakim konstitusi menurut Pasal 15 UU a quo, dan karenanya yang bersangkutan tetap menjabat sebagai hakim konstitusi sampai tercapai batas usia pensiun 70 (tujuh puluh) tahun, atau ketika belum mencapai usia 70 (tujuh tahun) tetapi rentang masa kerjanya sebagai hakim konstitusi telah mencapai 15 (lima belas) tahun;
Pemohon dalam permohonannya tidak mempermasalahkan kostitusionalitas syarat pengangkatan hakim konstitusi maupun masa kerja atau usia pensiun yang diatur dalam Bab IV Pengangkatan Dan Pemberhentian Hakim Konstitusi yang berisi Pasal 15, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21,
Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 27, namun mempermasalahkan konstitusionalitas Pasal 87 huruf b dalam UU 7/2020 yang dalam fungsinya sebagai Ketentuan Peralihan menurut Pemohon telah mengesampingkan keberlakuan Pasal 15 UU 7/2020 mengenai syarat usia paling rendah 55 (lima puluh lima) tahun;
[3.15] Menimbang bahwa berkenaan dengan penentuan usia tersebut, penting bagi Mahkamah menegaskan kembali bahwa hal tersebut merupakan kebijakan hukum pembentuk undang-undang sebagaimana ditegaskan misalnya dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011, hlm. 68 yang menyatakan:
“….
Bahwa pemenuhan hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan bukan berarti negara tidak boleh mengatur dan menentukan syarat-syaratnya, sepanjang syarat-syarat demikian secara objektif memang merupakan kebutuhan yang dituntut oleh jabatan atau aktivitas pemerintahan yang bersangkutan dan tidak mengandung unsur diskrimintatif. Dalam kaitan dengan kriteria usia, UUD 1945 tidak menentukan batasan usia minimum tertentu sebagai kriteria yang berlaku umum untuk semua jabatan atau aktivitas pemerintahan. Artinya, UUD 1945 menyerahkan kepada pembentuk Undang-Undang untuk mengaturnya. Selain itu, Mahkamah dalam putusan Nomor 15/PUU-V/2007, tanggal 27 November 2007 dan putusan Nomor 37- 39/PUU-VIII/2010, tanggal 15 Oktober 2010 pada intinya telah mempertimbangkan bahwa dalam kaitannya dengan kriteria usia UUD 1945 tidak menentukan batasan usia minimum tertentu untuk
4

menduduki semua jabatan dan aktivitas pemerintahan. Hal ini merupakan kebijakan hukum terbuka (opened legal policy), yang sewaktu-waktu dapat diubah oleh pembentuk Undang-Undang sesuai dengan tuntutan kebutuhan perkembangan yang ada. Hal tersebut sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk Undang-Undang yang, apapun pilihannya, tidak dilarang dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian dalil para Pemohon tentang ketentuan syarat usia minimum tidak beralasan menurut hukum”.
Sementara itu, jika dikaitkan dengan persoalan konstitusionalitas yang diajukan Pemohon meskipun permohonan Pemohon adalah mengenai norma Pasal 87 huruf b UU 7/2020 namun hal demikian bermuara pada adanya pengaturan syarat usia paling rendah 55 (lima puluh lima) tahun yang ditentukan dalam Pasal 15 ayat (2) huruf d UU 7/2020. Ketentuan Pasal 15 tersebut telah mengubah ketentuan sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU 8/2022) yang mensyaratkan calon hakim konstitusi berusia paling rendah 47 (empat puluh tujuh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun;
Ketentuan ini pun juga merupakan perubahan atas ketentuan sebelumnya yang diatur dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU 24/2003) yang menentukan syarat usia calon hakim konstitusi sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun pada saat pengangkatan. Demikian juga halnya mengenai usia paling tinggi hakim konstitusi telah diubah, dari semula 67 (enam puluh tujuh) tahun menurut UU 24/2003 kemudian diubah menjadi 70 (tujuh puluh) tahun;
[3.16] Menimbang bahwa perubahan pengaturan mengenai usia hakim konstitusi berkaitan erat dengan pengaturan kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 yang setara dengan Mahkamah Agung yakni keduanya sama-sama sebagai pemegang kekuasaan kehakiman, maka konstruksi perubahan ketentuan mengenai usia paling tinggi tersebut merupakan bentuk penyetaraan dalam ranah kekuasaan kehakiman. Penyetaraan dalam arti bahwa dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU 3/2009) telah ditentukan terlebih dahulu bahwa, “Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda Mahkamah Agung, dan hakim agung diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden atas usul Mahkamah Agung karena: … b. telah berusia 70 (tujuh puluh) tahun;”.
Termasuk bagian dari penyetaraan tersebut adalah ditiadakannya periodisasi masa jabatan hakim konstitusi yang selama ini diatur selayaknya jabatan politik yaitu selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. Peniadaan periodisasi ini secara

5

doktriner merupakan salah satu elemen penting dalam menjaga independensi dan imparsialitas hakim dalam konteks negara hukum yang demokratis konstitusional;
[3.17] Menimbang bahwa isu utama yang dimohonkan Pemohon adalah konstitusionalitas Ketentuan Peralihan berupa Pasal 87 huruf b UU 7/2020, maka Mahkamah perlu memberikan pertimbangan hukum mengenai keberadaan Ketentuan Peralihan dalam suatu undang-undang. Konsep mengenai ketentuan peralihan merupakan ranah ilmu pembentukan peraturan perundang-undangan.
Pada dasarnya ketentuan peralihan merupakan norma hukum dalam suatu peraturan perundang-undangan yang dimaksudkan sebagai “jembatan” antara keberlakuan norma (undang-undang) yang lama dengan keberlakuan norma (undang-undang) yang baru, atau norma pengganti. Dengan demikian, ketentuan peralihan memuat penyesuaian atas peraturan perundang-undangan yang sudah ada pada saat peraturan perundang-undangan baru mulai berlaku, agar peraturan perundang-undangan yang baru tersebut dapat berjalan lancar dan tidak menimbulkan permasalahan hukum (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011, hlm. 77).
Sebagai bagian dari teknik pembentukan peraturan perundangundangan, dalam sistem hukum Indonesia terdapat undang-undang yang secara khusus mengatur tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan, beserta Lampirannya. Di dalam UU a quo dinyatakan bahwa “Ketentuan Peralihan” merupakan materi muatan dari batang tubuh suatu peraturan perundang-undangan. Norma ketentuan peralihan bersifat opsional atau pilihan, yang boleh dirumuskan manakala terdapat keperluan, dan sebaliknya tidak perlu dirumuskan jika memang tidak diperlukan.
Dalam lampiran UU 12/2011, yaitu Lampiran II, Bagian C.4. yang berjudul “Ketentuan Peralihan (jika diperlukan)”, khususnya angka 127 ditentukan tujuan dari adanya Ketentuan Peralihan adalah:
a. menghindari terjadinya kekosongan hukum;
b. menjamin kepastian hukum;
c. memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan ketentuan Peraturan Perundang-undangan; dan
d. mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara.
Berkenaan dengan hal tersebut di atas, persoalannya adalah apakah benar bahwa pengaturan norma Pasal 87 huruf b UU 7/2020 merupakan “jembatan” antara keberlakuan norma lama dengan norma baru yang tidak menimbulkan permasalahan hukum.
[3.18] Menimbang bahwa berkenaan dengan persoalan pengujian norma di atas, Mahkamah selalu menegaskan pengujian norma secara konseptual tidak sama
6

dengan pengujian kasus konkret. Namun demikian pada beberapa perkara memang diperlukan tinjauan terhadap kasus konkret/faktual tertentu yang dimaksudkan sekadar untuk memperjelas atau membuat terang maksud/isi suatu norma yang sedang dimohonkan pengujian.
Dalam perkara a quo Mahkamah menganggap penting untuk menjelaskan/menegaskan bahwa hakim konstitusi yang saat ini sedang menjabat adalah hakim yang diangkat karena telah memenuhi persyaratan sebagai hakim berdasarkan undang-undang terdahulu sebelum diubah oleh Pasal 15 UU 7/2020. Persyaratan sebagai hakim konstitusi sebelumnya diatur dalam UU 24/2003 yang telah diubah dengan UU 8/2011.
Sebagaimana telah dipertimbangkan di atas, pengaturan perubahan usia dalam Pasal 15 UU 7/2020 merupakan pilihan kebijakan pembentuk undang- undang dari semula menentukan usia hakim paling rendah 47 (empat puluh tujuh) tahun kemudian diubah menjadi 55 (lima puluh lima) tahun. Pilihan kebijakan demikian merupakan sesuatu yang tidak dilarang dan juga tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Demikian pula dihapusnya ketentuan mengenai periodisasi jabatan hakim konstitusi tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan juga bukan hal yang terlarang. Justru peniadaan periodisasi demikian membawa implikasi positif berupa penguatan baik dari segi independensi maupun imparsialitas hakim konstitusi dalam menjalankan tugas, fungsi, dan wewenangnya. Namun, di sisi lain adanya perubahan aturan demikian memang tidak menutup kemungkinan akan membawa dampak bagi para pihak yang terkait pengisian jabatan hakim konstitusi. Oleh karena itu, agar aturan baru tersebut dapat diberlakukan dengan baik tanpa merugikan siapapun yang telah mematuhi undang-undang yang lama, maka diperlukan suatu ketentuan peralihan.
Dalam perkara a quo penafsiran atas ketentuan peralihan berupa Pasal 87 huruf b UU 7/2020 tidak dapat dilepaskan dari konteks pilihan kebijakan pembentuk undang-undang terkait usia jabatan. Dalam kaitan ini, Mahkamah dapat memahami bahwa keberadaan Pasal 87 huruf b UU 7/2020 adalah sebagai norma “jembatan/penghubung” dalam rangka memberlakukan ketentuan Pasal 15 UU 7/2020 yang mengubah Pasal 15 UU 8/2011. Dapat juga dikatakan bahwa dari sisi penafsiran sistematis, Pasal 87 huruf b UU 7/2020 merupakan “jembatan” yang mentransformasikan konsep lama menjadi konsep baru. Anutan konsep lama adalah periodisasi jabatan hakim, sedangkan anutan konsep baru adalah nonperiodisasi jabatan hakim. Perubahan konsep mendasar demikian pada akhirnya membawa implikasi bagi hakim konstitusi yang saat ini sedang menjabat;
[3.19] Menimbang bahwa selain diperlukannya suatu norma “jembatan” bagi
perubahan konsep hukum yang sedang diterapkan, Mahkamah merasa perlu
7

mempertimbangkan perihal posisi atau derajat kehendak pembentuk undangundang. Kehendak pembentuk undang-undang, menurut Mahkamah berada pada posisi lebih tinggi jika dibandingkan dengan kehendak DPR, Presiden, maupun Mahkamah Agung secara parsial atau secara sendiri-sendiri. Tentu saja posisi lebih tinggi demikian dalam konteks yang harus selaras dengan ide dasar konstitusionalisme di mana UUD 1945 sebagai konstitusi menjadi sumber hukum tertinggi atau dasar hukum utama bagi semua kebijakan hukum di Indonesia;
Dalam konteks pengisian jabatan hakim konstitusi, ketiga lembaga tersebut di atas yaitu DPR, Presiden, dan Mahkamah Agung, diberi amanat untuk mengisi jabatan hakim Mahkamah Konstitusi dengan cara memilih/mengajukan masing-masing sebanyak tiga orang hakim konstitusi. Hal demikian ditegaskan oleh Pasal 24C ayat (3) UUD 1945 yang mengatur, “Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden”. Artinya, masing-masing tiga lembaga negara dimaksud mempunyai hak untuk menyeleksi dan mengajukan tiga hakim konstitusi pilihan lembaga masing-masing. Di sini terlihat proses pemilihan hakim konstitusi merupakan hak masing-masing tiga lembaga negara untuk mengatur mekanisme proses pengajuan tiga orang anggota hakim konstitusi. Hal demikian terlihat secara eksplisit dalam istilah dan/atau frasa yang dipergunakan dalam Pasal 15 ayat (2) huruf h UU 7/2020. Namun penting Mahkamah tegaskan bahwa Pasal 24C ayat (3) UUD 1945 sesungguhnya tidak membedakan tata cara pengajuan hakim konstitusi, walaupun dalam ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf h UU 7/2020 yang mengatur salah satu syarat bagi calon hakim konstitusi menentukan calon hakim “yang berasal dari lingkungan” Mahkamah Agung sedang menjabat sebagai hakim tinggi atau hakim agung. Dengan digunakannya frasa “yang berasal dari lingkungan” dalam norma a quo, seolah-olah bermakna bahwa calon hakim konstitusi yang diajukan oleh Mahkamah Agung harus berasal dari kalangan internal Mahkamah Agung.
Terlepas dari ketentuan Pasal a quo yang tidak dimohonkan pengujiannya oleh Pemohon kepada Mahkamah, namun menurut Mahkamah esensi ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf h UU 7/2020 harus tetap mengejawantahkan esensi pokok Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 yang rumusan pengaturannya menggunakan frasa “yang diajukan masing-masing”. Karena, pada prinsipnya tata cara seleksi, pemilihan dan pengajuan hakim konstitusi oleh tiga lembaga (DPR, Presiden dan Mahkamah Agung) diatur oleh ketiga lembaga masing-masing tersebut [vide Pasal 20 ayat (1) UU 7/2020]. Namun demikian, undang-undang telah memberikan rambu-rambu bahwa untuk proses pencalonan hakim konstitusi dilaksanakan secara transparan dan partisipatif
8

[vide Pasal 19 UU 24/2003], sedangkan untuk proses pemilihan hakim konstitusi oleh ketiga lembaga tersebut dilaksanakan seleksinya secara objektif, akuntabel, transparan, dan terbuka [vide Pasal 20 ayat (2) UU 7/2020]. Artinya, ketiga lembaga yang mengajukan hakim konstitusi terikat sepenuhnya pada prinsip- prinsip pencalonan dan pemilihan atau seleksi hakim konstitusi yang telah ditentukan tersebut;
[3.20] Menimbang bahwa kewenangan ketiga lembaga negara tersebut untuk mengajukan hakim konstitusi merupakan amanat UUD 1945 yang kemudian ditegaskan oleh UU MK. Konstruksi hukum demikian harus dimaknai bahwa prosedur pemilihan hakim konstitusi yang dilakukan oleh ketiga lembaga negara a quo tidak boleh melampaui atau mengubah prosedur yang diberikan oleh UU MK apalagi melampaui prosedur yang digariskan oleh UUD 1945;
Dapat dikatakan pula bahwa meskipun ketiga lembaga negara a quo mempunyai hak dan kewenangan untuk menyusun prosedur seleksi/rekrutmen tertentu sesuai penafsiran masing-masing atas UU MK, namun ketika UU MK diubah oleh pembentuk undang-undang maka ketiga lembaga tersebut harus mengikuti perubahan dimaksud. Hal demikian tidak lain karena posisi/kedudukan kehendak pembentuk undang-undang (yaitu DPR bersama Presiden) harus diletakkan lebih tinggi dibandingkan kehendak DPR, Presiden, atau pun MA ketika masing-masing berdiri sendiri dalam konteks pengusulan hakim konstitusi;
[3.21] Menimbang bahwa dalam pemeriksaan persidangan, Mahkamah menemukan fakta hukum mengenai kehendak/keinginan pembentuk undangundang terkait Pasal 87 huruf b UU 7/2020. Pembentuk undang-undang menghendaki agar “mempertahankan eksistensi hakim Mahkamah Konstitusi yang sedang menjabat untuk dianggap tetap memenuhi syarat menurut undang- undang ini” (vide Keterangan Tertulis Presiden dalam Perkara Nomor 90-96- 100/PUUXVIII/2020), yang dapat dimaknai sebagai kehendak perpanjangan jabatan para hakim yang saat ini sedang menjabat, tanpa harus melalui seleksi ulang atau tindakan hukum lain sejenis;
Berdasarkan hal demikian, Mahkamah tidak menemukan adanya cacat kehendak atau cacat intensi terkait ketentuan Pasal 87 huruf b juncto Pasal 15 UU 7/2020 yang dapat mengakibatkan ketentuan a quo melanggar UUD 1945. Adanya interpretasi berbeda sebagaimana didalilkan Pemohon karena seolah- olah Pasal 87 huruf b UU 7/2020 menegasikan ketentuan Pasal 15 UU 7/2020 mengenai syarat usia minimal hakim konstitusi 55 (lima puluh lima) tahun, sehingga hakim konstitusi yang belum berusia 55 (lima puluh lima) tahun –pada saat UU 7/2020 diberlakukan– menjadi diuntungkan secara tidak wajar. Menurut Mahkamah, jika merujuk pada keterangan pembentuk undang-undang, hakim konstitusi yang berusia kurang dari 55 (lima puluh lima) tahun pada saat UU

9

7/2020 diundangkan tetap diinginkan pembentuk undang-undang untuk tetap menjabat sebagai hakim konstitusi karena secara usia hakim konstitusi bersangkutan telah memenuhi syarat usia berdasarkan undang-undang lama yang menjadi dasar ketika yang bersangkutan diangkat;
Bahkan secara sistematis hakim yang belum berusia 55 tahun dimaksud juga diberi pembatasan dalam Pasal 87 huruf b UU 7/2020 yaitu “hanya” menjabat maksimal 15 (lima belas) tahun. Padahal Pasal 23 ayat (1) huruf c UU 7/2020 mengatur usia pensiun hakim konstitusi atau berhentinya dari jabatan adalah 70 (tujuh puluh) tahun. Seandainya pembentuk UU 7/2020 mempunyai intensi untuk menguntungkan hakim konstitusi yang belum berusia 55 (lima puluh lima) tahun pada saat UU 7/2020 berlaku, tentunya hal demikian akan dapat lebih diterima secara nalar jika tidak ada pembatasan masa jabatan selama
15 (lima belas) tahun sehingga hakim bersangkutan dapat menjabat sebagai hakim selama lebih dari 15 (lima belas) tahun;
[3.22] Menimbang bahwa setelah jelas bagi Mahkamah akan niat sesungguhnya (original intent) dari Pembentuk Undang-Undang dalam pembentukan UU 7/2020, maka Mahkamah berpendapat ketentuan Pasal 87 huruf b UU 7/2020 tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pembacaan atas rumusan Pasal 87 huruf b UU 7/2020 menurut Mahkamah harus dipahami semata-mata sebagai aturan peralihan yang menghubungkan agar aturan baru dapat berlaku selaras dengan aturan lama. Bahwa untuk menegaskan ketentuan peralihan tersebut tidak dibuat untuk memberikan keistimewaan terselubung kepada orang tertentu yang saat ini sedang menjabat sebagai hakim konstitusi, maka Mahkamah berpendapat diperlukan tindakan hukum untuk menegaskan pemaknaan tersebut. Tindakan hukum demikian berupa konfirmasi oleh Mahkamah kepada lembaga yang mengajukan hakim konstitusi yang saat ini sedang menjabat. Konfirmasi yang dimaksud mengandung arti bahwa hakim konstitusi melalui Mahkamah Konstitusi menyampaikan pemberitahuan ihwal melanjutkan masa jabatannya yang tidak lagi mengenal adanya periodisasi kepada masing-masing lembaga pengusul (DPR, Presiden, dan Mahkamah Agung);
[3.23] Menimbang bahwa hal selanjutnya yang harus dipertimbangkan Mahkamah adalah mengenai ketentuan Pasal 87 huruf b UU 7/2020 dengan makna yang telah dipertimbangkan dalam Paragraf [3.21] dan Paragraf [3.22] tersebut, apakah secara potensial maupun aktual telah merugikan hak konstitusional Pemohon dan masyarakat pada umumnya untuk mengajukan diri menjadi hakim konstitusi;
Menurut Mahkamah, asumsi kerugian konstitusionalitas yang dibangun Pemohon dalam perkara a quo pada dasarnya sebangun dengan asumsi kerugian konstitusionalitas atas batasan usia, baik batasan usia pada jabatan tertentu atau

10

batasan usia lainnya. Beberapa di antara batasan usia demikian telah diajukan sebagai perkara konstitusionalitas di Mahkamah dan telah diputus, sebagaimana telah dipertimbangkan dalam Paragraf [3.14] sampai dengan Paragraf [3.16] di atas. Dalam berbagai putusannya sampai saat ini Mahkamah masih tetap pada pendiriannya bahwa penentuan batasan usia merupakan kebijakan hukum terbuka dari pembentuk undang-undang selama pilihan demikian merupakan pilihan terbaik dalam arti memilih kebijakan hukum yang dampaknya paling ringan bagi seluruh pihak terdampak berdasarkan prinsip maximum minimorum;
Dalam kasus adanya ketentuan yang mengakibatkan berubahnya syarat terkait usia, hal demikian memang dapat dilihat sebagai kerugian bagi Pemohon dan masyarakat pada umumnya. Namun kerugian yang demikian bersifat relatif, dalam arti berapapun batasan usia yang dipilih, pembatasan usia akan menghalangi orangorang tertentu yang usianya di luar batasan tersebut. Kerugian relatif yang demikian menurut Mahkamah tidak dapat dijadikan satu- satunya argumen bahwa suatu kebijakan bertentangan dengan UUD 1945;
[3.24] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah ketentuan norma Pasal 87 huruf b UU 7/2020 telah sejalan dengan prinsip kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Oleh karenanya, dalil permohonan Pemohon sepanjang mengenai Pasal 87 huruf b UU 7/2020 adalah tidak beralasan menurut hukum;
[3.25] Menimbang bahwa selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan permohonan Pemohon mengenai pengujian konstitusionalitas Pasal 87 huruf a UU 7/2020. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, ketentuan a quo adalah aturan peralihan yang mengatur mengenai jabatan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi. Selengkapnya Pasal 87 huruf a UU 7/2020 mengatur, “Hakim konstitusi yang saat ini menjabat sebagai Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi tetap menjabat sebagai Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi sampai dengan masa jabatannya berakhir berdasarkan ketentuan undang-undang ini”;
Menurut Pemohon, ketentuan a quo bertentangan dengan Pasal 28D ayat
(1) UUD 1945 dan mengakibatkan ketidakpastian hukum karena ketentuan Pasal 87 huruf a UU 7/2020 bertentangan atau tidak selaras dengan ketentuan Pasal 4 ayat (3) UU 7/2020. Dalam hal ini, Pasal 87 huruf a UU 7/2020 mengatur, “Hakim konstitusi yang saat ini menjabat sebagai Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi tetap menjabat sebagai Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi sampai dengan masa jabatannya berakhir berdasarkan ketentuan undang-undang ini;”. Sementara itu, Pasal 4 ayat (3) UU 7/2020 mengatur, “Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh anggota hakim konstitusi untuk masa jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pengangkatan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi”.

11

[3.26] Menimbang bahwa setelah mencermati rumusan Pasal 4 ayat (3) juncto Pasal 87 huruf a UU 7/2020, secara sistematis Mahkamah memahami bahwa UU 7/2020 mengubah periodisasi masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi. Pada era UU 24/2003 satu periode masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi adalah selama 3 (tiga) tahun [vide Pasal 4 ayat (3) UU 24/2003]; kemudian satu periode masa jabatan diubah menjadi 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan [vide Pasal 4 ayat (3) UU 8/2011]; dan terakhir diubah menjadi satu periode adalah 5 (lima) tahun [vide Pasal 4 ayat (3) UU 7/2020];
Perubahan periodisasi menjadi 5 (lima) tahun demikian dirumuskan menjadi substansi Pasal 4 ayat (3) UU 7/2020 yang berlaku sejak tanggal UU a quo diundangkan. Pemberlakuan aturan baru tersebut menimbulkan masalah hukum berkenaan dengan masih berlaku/berlangsungnya jabatan sebagai Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi yang jabatan demikian diemban/diperoleh berdasarkan UU 8/2011;
Permasalahan tersebut dijawab pembentuk undang-undang dengan mengkonstruksi ketentuan peralihan berupa Pasal 87 huruf a UU 7/2020 yang pada pokoknya mengatur bahwa Ketua dan Wakil Ketua yang terpilih sebagai Ketua dan Wakil Ketua berdasarkan UU 8/2011 dan masih menjabat sebagai Ketua dan Wakil Ketua pada saat UU 7/2020 mulai diberlakukan, maka yang bersangkutan tetap menjabat “sampai dengan masa jabatannya berakhir berdasarkan ketentuan undang-undang ini”.
Namun menurut Mahkamah ketentuan demikian memunculkan kemenduaan makna (ambigu) karena adanya penggunaan frasa “masa jabatannya”. Frasa “masa jabatan” yang disebutkan UU 7/2020 ternyata dipergunakan dalam dua arti/konteks, yaitu masa jabatan sebagai Hakim Konstitusi dan masa jabatan sebagai Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi. Tidak adanya penegasan arti/konteks “masa jabatan” mana yang diacu oleh Pasal 87 huruf a UU 7/2020 telah menciptakan ketidakpastian hukum dan karenanya bertentangan dengan UUD 1945.
Selain karena persoalan ambiguitas di atas, ketentuan Pasal 87 huruf a UU 7/2020 tidak sesuai dengan amanat Pasal 24C ayat (4) UUD 1945 yang telah dengan tegas menyatakan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim konstitusi. Oleh karenanya, Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi tidak dapat langsung menjabat tanpa melalui proses pemilihan dari dan oleh hakim konstitusi. Dengan demikian, proses pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi harus dikembalikan pada esensi pokok amanat Pasal 24C ayat (4) UUD 1945;
Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat dalil Pemohon berkenaan dengan Pasal 87 huruf a UU 7/2020 beralasan menurut hukum atau dengan kata lain Pasal 87 huruf a UU 7/2020 tidak lagi mempunyai
12

kekuatan hukum mengikat sejak Putusan ini selesai diucapkan. Namun demikian, agar tidak menimbulkan persoalan/dampak administratif atas putusan a quo maka Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi yang saat ini menjabat dinyatakan tetap sah sampai dengan dipilihnya Ketua dan Wakil Ketua sebagaimana amanat Pasal 24C ayat (4) UUD 1945. Oleh karena itu, dalam waktu paling lama 9 (sembilan) bulan sejak putusan ini diucapkan harus dilakukan pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi;
[3.27] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah permohonan Pemohon sepanjang mengenai Pasal 87 huruf b UU 7/2020 adalah tidak beralasan menurut hukum, sedangkan terkait dengan pengujian norma Pasal 87 huruf a UU 7/2020 permohonan Pemohon beralasan menurut hukum;
[3.28] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain yang tidak relevan Mahkamah tidak mempertimbangkan lebih lanjut, sehingga harus dinyatakan tidak beralasan menurut hukum.

Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan langsung dilaksanakan (self executing) oleh seluruh organ penyelenggara negara, organ penegak hukum, dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 96/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima terhadap pengujian UU 7/2020 mengandung arti bahwa ketentuan a quo tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dikabulkan Sebagian Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 90/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN FORMIL DAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2020 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP UNDANG- UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 20-06-2022

Bahwa pada hari Senin tanggal 20 Juni 2022, pukul 13.22 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Formil dan Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 (UU 7/2020) terhadap Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 90/PUU-XVIII/2020. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 90/PUU-XVIII/2020, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang- Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang- Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian formil UU 7/2020 dan pengujian materiil Pasal 15 ayat (2) huruf d, Pasal 22, Pasal 23 ayat (1) huruf d, Pasal 26 ayat (1) huruf b,

Pasal 87 huruf b UU 7/2020 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.14] Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa dan membaca secara saksama permohonan Pemohon, keterangan DPR, keterangan Presiden, keterangan ahli Pemohon, bukti-bukti surat/tulisan yang diajukan oleh Pemohon, kesimpulan tertulis Pemohon, sebagaimana selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara, maka Mahkamah selanjutnya akan mempertimbangkan dalil pokok permohonan pengujian formil UU 7/2020;

Bahwa Pemohon mendalilkan proses pembentukan UU 7/2020 secara formil telah melanggar asas keterbukaan dan bertentangan dengan ketentuan mengenai tatacara pembentukan undang-undang, khususnya berkenaan dengan tidak adanya partisipasi publik dan proses pembahasannya dilakukan secara tertutup dengan waktu yang sangat terbatas. Terhadap dalil tersebut menurut Mahkamah, berdasarkan fakta-fakta hukum yang terungkap dalam persidangan, khususnya keterangan DPR dan Presiden, telah ternyata Rancangan Undang- Undang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 telah masuk dalam daftar Prolegnas 2015-2019, prioritas tahun 2019 [vide Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Nomor 19/DPR RI/I/2018-2019 tentang Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2019 dan Perubahan Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Tahun 2015-2019, tanggal 31 Oktober 2018, Lampiran I Keputusan DPR Nomor 22]. Selain itu, DPR dalam persidangan juga menerangkan bahwa dilakukannya perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 merupakan usulan Rancangan Undang- Undang dalam daftar kumulatif terbuka dalam rangka menindaklanjuti putusan- putusan Mahkamah Konstitusi di antaranya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-V/2007, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37-39/PUU- VIII/2010, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-IX/2011, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU XI/2013 serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU- XIV/2016 sebagaimana hal tersebut diatur dalam Pasal 23 ayat (1) Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan (UU 12/2011) [vide Risalah Persidangan Dengan Agenda Mendengarkan Keterangan DPR dan Presiden, tanggal 9 Agustus 2021, hlm. 4 dan 5]. Oleh karena itu, terlepas dari norma pasal-pasal yang dimohonkan pengujian secara materiil dianggap terdapat persoalan inkonstitusionalitas, namun menurut Mahkamah tatacara perubahan Undang-Undang a quo yang mendasarkan pada daftar kumulatif terbuka tersebut sebagai tindak lanjut beberapa putusan Mahkamah Konstitusi maka tatacara perubahan UU 7/2020 tidak relevan lagi dipersoalkan. Namun demikian, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa usulan Rancangan Undang-Undang jika masuk dalam daftar kumulatif terbuka sesungguhnya dapat dibentuk kapan saja dan tidak terbatas jumlahnya sepanjang memenuhi kriteria yang terdapat dalam Pasal 23 ayat (1) UU 12/2011.

Di samping itu, perubahan undang-undang melalui daftar kumulatif terbuka mempunyai sifat khusus yang tidak dapat sepenuhnya dipersamakan

dengan usulan perubahan undang-undang yang bersifat normal, yaitu rancangan undang-undang yang masuk dalam daftar Prolegnas jangka menengah. Sementara itu, dimasukkannya rancangan perubahan Undang-Undang a quo dalam daftar Prolegnas sebagaimana uraian di atas, bukan berarti perubahan Undang-Undang tersebut tertutup untuk diusulkan dan dibahas dalam daftar kumulatif terbuka sebab perubahan Undang-Undang a quo memang memenuhi kriteria daftar kumulatif terbuka sebagaimana pertimbangan di atas.
Dikarenakan perubahan Undang-Undang a quo dalam rangka menindaklanjuti putusan-putusan Mahkamah Konstitusi maka tidak relevan lagi apabila proses pembahasan Rancangan Undang-Undang tersebut masih dipersyaratkan pembahasan, termasuk dalam hal ini adalah syarat partisipasi publik yang ketat sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU- XVIII/2020, bertanggal 25 November 2021. Hal ini dimaksudkan agar esensi perubahan tersebut sepenuhnya mengadopsi substansi putusan Mahkamah Konstitusi. Dalam hal ini, jika perubahan tersebut dilakukan sebagaimana layaknya Rancangan Undang-Undang di luar daftar kumulatif terbuka, justru berpotensi menilai dan bahkan menegasikan Putusan Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah dalil permohonan Pemohon dalam pengujian formil UU 7/2020 a quo tidak beralasan menurut hukum.

[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah berpendapat Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian formil, namun tidak memiliki kedudukan hukum dalam mengajukan permohonan pengujian materiil. Sedangkan, pokok permohonan dalam pengujian formil tidak beralasan menurut hukum. Oleh karena itu, pokok permohonan Pemohon dan hal-hal lain dalam pengujian materiil tidak dipertimbangkan lebih lanjut.

Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan langsung dilaksanakan (self executing) oleh seluruh organ penyelenggara negara, organ penegak hukum, dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 90/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan permohonan Pemohon ditolak untuk seluruhnya dan tidak dapat diterima mengandung arti bahwa ketentuan a quo tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat.
.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dikabulkan Sebagian Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 56/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2020 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 20-06-2022

Bahwa pada hari Senin tanggal 20 Juni 2022, pukul 17.53 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU 7/2020) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 56/PUU- XX/2022. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 56/PUU-XX/2022, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh jajaran di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

[3.10] Menimbang bahwa setelah membaca secara saksama permohonan Pemohon dan memeriksa bukti-bukti yang diajukan, isu konstitusional yang dipersoalkan oleh Pemohon dalam permohonan a quo adalah apakah ketentuan Pasal 27A ayat (2) huruf b UU 7/2020 bertentangan dengan UUD 1945 dikarenakan salah satu keanggotaan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi dari Komisi Yudisial.
[3.11] Menimbang bahwa terhadap dalil Pemohon tersebut di atas Mahkamah terlebih dahulu akan mepertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
[3.11.1] Bahwa terkait dengan kewenangan Komisi Yudisial untuk mengawasi hakim konstitusi, Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, tanggal 23 Agustus 2006 telah mempertimbangkan yang pada pokoknya sebagai berikut:
1.a. Hakim Konstitusi
Menimbang, sebagaimana telah diuraikan pada bagian kewenangan Mahkamah Konstitusi, bahwa permohonan yang diajukan oleh para Pemohon dalam bentuk formalnya adalah permohonan pengujian undang- undang terhadap undang-undang dasar. Akan tetapi, pada hakikatnya, substansi permohonan dimaksud mengandung nuansa sengketa kewenangan konstitusional antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial sebagai sesama lembaga negara yang kewenangannya sama-sama
2

ditentukan dalam UUD 1945. Oleh sebab itu, Mahkamah Konstitusi akan mempertimbangkan hal-hal substantif yang dimohonkan oleh para Pemohon dengan menilai materi norma yang terdapat dalam UU KY dan UUKK yang dimohonkan pengujiannya terhadap UUD 1945 dan sekaligus dengan pendekatan konstitusionalitas kewenangan.
Bahwa apabila ditinjau secara sistematis dan dari penafsiran berdasarkan “original intent” perumusan ketentuan UUD 1945, ketentuan mengenai KY dalam Pasal 24B UUD 1945 memang tidak berkaitan dengan ketentuan mengenai MK yang diatur dalam Pasal 24C UUD 1945. Dari sistimatika penempatan ketentuan mengenai Komisi Yudisial sesudah pasal yang mengatur tentang Mahkamah Agung yaitu Pasal 24A dan sebelum pasal yang mengatur tentang Mahkamah Konstitusi yaitu Pasal 24C, sudah dapat dipahami bahwa ketentuan mengenai Komisi Yudisial pada Pasal 24B UUD 1945 itu memang tidak dimaksudkan untuk mencakup pula objek perilaku hakim konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 24C UUD 1945. Hal ini dapat dipastikan dengan bukti risalah-risalah rapat-rapat Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR maupun dari keterangan para mantan anggota Panitia Ad Hoc tersebut dalam persidangan bahwa perumusan ketentuan mengenai KY dalam Pasal 24B UUD 1945 memang tidak pernah dimaksudkan untuk mencakup pengertian hakim konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C UUD 1945.
Hal tidak tercakupnya pengertian perilaku hakim konstitusi dalam apa yang dimaksud dengan perilaku hakim menurut Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 tersebut juga terdapat dalam ketentuan UUMK dan UU KK yang dibentuk sebelum pembentukan UU KY. Dalam UU MK, untuk fungsi pengawasan terhadap perilaku Hakim Konstitusi ditentukan adanya lembaga Majelis Kehormatan yang diatur secara tersendiri dalam Pasal 23 UUMK. Demikian pula Pasal 34 ayat (3) UU KK sama sekali tidak menentukan bahwa Hakim Konstitusi menjadi objek pengawasan oleh KY. Selain itu, berbeda halnya dengan hakim biasa, Hakim Konstitusi pada dasarnya bukanlah hakim sebagai profesi tetap, melainkan hakim karena jabatannya. Hakim Konstitusi hanya diangkat untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan setelah tidak lagi menduduki jabatan Hakim Konstitusi, yang bersangkutan masing-masing kembali lagi kepada status profesinya yang semula. Dalam keseluruhan mekanisme pemilihan dan pengangkatan para Hakim Konstitusi yang diatur dalam UUD 1945 juga tidak terdapat keterlibatan peran KY sama sekali;
Di samping itu, Mahkamah Konstitusi harus mempertimbangkan pula alasan substantif yang lebih serius dan mendasar untuk menolak segala upaya yang menempatkan perilaku Hakim Konstitusi sebagai objek pengawasan oleh lembaga negara lain. Dengan menjadikan perilaku Hakim Konstitusi sebagai objek pengawasan oleh KY, maka kewenangan
3

Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pemutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara menjadi terganggu dan terjebak ke dalam anggapan sebagai pihak yang tidak dapat bersikap imparsial, khususnya apabila dalam praktik timbul persengketaan kewenangan antara KY dengan lembaga lain, seperti halnya dalam kasus persengketaan antara MA dan KY yang terkait dengan perkara a quo. Dengan demikian, ketentuan yang memperluas pengertian perilaku hakim dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 mencakup perilaku Hakim Konstitusi dapat mengebiri kewenangan dan menghalang-halangi pemenuhan tanggungjawab Mahkamah Konstitusi dalam menjaga konstitusionalitas mekanisme hubungan antarlembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Padahal, dibentuknya Mahkamah Konstitusi berdasarkan UUD 1945 adalah dalam rangka menjamin agar UUD 1945 dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, termasuk dalam konteks hubungan-hubungan konstitusional antarlembaga negara. Oleh karena itu, salah satu kewenangan yang diberikan kepada Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, adalah untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945;
Terhadap kewenangan MK dimaksud, undang-undang tidak boleh melakukan pemandulan. Upaya pemandulan kewenangan Mahkamah Konstitusi tersebut, pertama, tercermin dengan ketentuan Pasal 65 UUMK yang berbunyi, “Mahkamah Agung tidak dapat menjadi pihak dalam sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Mahkamah Konstitusi”; kedua, pemandulan itu juga tercermin dalam ketentuan pasal-pasal UUKY yang memperluas pengertian perilaku hakim sehingga mencakup Hakim Konstitusi sebagai objek pengawasan oleh KY. Dengan kedua ketentuan di atas, kedudukan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pemutus sengketa kewenangan lembaga negara menjadi mandul, khususnya dalam hal salah satu lembaga negara dimaksud adalah KY. Ketentuan undang-undang yang demikian, menurut Mahkamah Konstitusi, jelas bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu, dalam Pasal 2 ayat
(3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006, ketentuan Pasal 65 UUMK tersebut telah ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi bahwa Mahkamah Agung (MA) tidak dapat menjadi pihak, baik sebagai pemohon ataupun termohon, hanya dalam sengketa kewenangan teknis peradilan (justisial) Mahkamah Agung. Dengan kata lain, menurut Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung dapat saja terlibat sebagai pihak dalam perkara sengketa kewenangan, sepanjang sengketa demikian tidak berkait dengan pelaksanaan wewenang teknis justisial Mahkamah Agung. Dengan demikian, sengketa yang timbul antara Mahkamah Agung dan
4

Komisi Yudisial yang tidak berkaitan dengan pelaksanaan wewenang teknis justisial Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006 tersebut di atas, dapat menjadi objek perkara di Mahkamah Konstitusi. Sementara itu, untuk mengoreksi kekeliruan dalam penormaan undang-undang dengan menjadikan hakim konstitusi sebagai objek pengawasan oleh KY sebagaimana ditentukan dalam UUKY, maka ketentuan mengenai hakim konstitusi yang terdapat dalam pasal-pasal UUKY harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, dan oleh karenanya harus dinyatakan tidak berlaku mengikat. Dengan demikian, sekiranya pun sengketa kewenangan lembaga negara antara MA dan KY terjadi di masa-masa yang akan datang, atau timbul sengketa kewenangan konstitusional antara KY dan lembaga negara yang lain, maka kedudukan Mahkamah Konstitusi sebagai satu-satunya lembaga peradilan yang dapat menjatuhkan putusan yang bersifat final dan mengikat dalam rangka penyelesaian sengketa semacam itu tidak akan terganggu lagi, sehingga konstitusionalitas pola hubungan antarlembaga negara di masa depan dapat benar-benar ditata dengan sebaik-baiknya sesuai dengan amanat UUD 1945. Atas dasar pertimbangan-pertimbangan yang demikian itulah, maka sejauh mengenai ketentuan Pasal 1 angka 5 dan pasal-pasal lainnya dalam UUKY sepanjang mengenai Hakim Konstitusi, cukup beralasan untuk dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945;
2.b. Pengawasan
Menimbang Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 menentukan bahwa Komisi Yudisial bersifat mandiri, mempunyai kewenangan pokok mengusulkan pengangkatan Hakim Agung, juga memiliki wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Dengan frasa ”dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”, menurut Mahkamah Konstitusi, kewenangan KY sebagaimana dimaksud oleh ketentuan tersebut, walaupun dalam batas-batas tertentu dapat diartikan sebagai pengawasan, bukanlah kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap lembaga peradilan melainkan terhadap individu fungsionaris hakim. Sebagai pelaku kekuasan kehakiman, baik Mahkamah Agung dan peradilan di bawahnya serta Mahkamah Konstitusi merupakan kekuasaan yang merdeka (Pasal 24 UUD 1945) sehingga dalam melaksanakan kewenangan justisialnya lembaga peradilan tidak dapat diawasi oleh lembaga negara yang lain.
[3.11.2] Bahwa selanjutnya Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1-2/PUU-XII/2014 tanggal 13 Februari 2014 juga telah mempertimbangkan terkait dengan kewenangan Komisi Yudisial untuk mengawasi hakim konstitusi yang pada pokoknya sebagai berikut:
5

[3.22] Menimbang bahwa UU 4/2014 juga mengatur keterlibatan Komisi Yudisial dalam pembentukan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi. Terhadap ketentuan ini, menurut Mahkamah, bahwa checks and balances adalah suatu mekanisme yang diterapkan untuk mengatur hubungan antara kekuasaan legislatif dan eksekutif. Dalam praktik ketatanegaraan, seperti yang terjadi di Amerika Serikat, checks and balances diwujudkan dengan adanya hak veto oleh Presiden terhadap Undang-Undang yang telah disahkan oleh Kongres. Checks and balances tidak ditujukan kepada kekuasaan kehakiman karena antara kekuasaan kehakiman dan cabang kekuasaan yang lain berlaku pemisahan kekuasaan. Prinsip utama yang harus dianut oleh negara hukum maupun rule of law state adalah kebebasan kekuasaan yudisial atau kekuasaan kehakiman. Setiap campur tangan terhadap kekuasaan kehakiman dari lembaga negara apa pun yang menyebabkan tidak bebasnya kekuasaan kehakiman dalam menjalankan fungsinya, akan mengancam prinsip negara hukum. Dalam negara hukum, kekuasaan kehakiman bahkan mempunyai kewenangan untuk melakukan koreksi atas kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif. Koreksi terhadap kekuasaan eksekutif dilakukan dalam kasus atau perkara tata usaha negara, yaitu kewenangan pengadilan tata usaha negara untuk menyatakan keputusan tata usaha negara sebagai batal karena bertentangan dengan Undang-Undang. Selain itu, kewenangan lembaga peradilan untuk mengoreksi kekuasaan lembaga negara yang lain diwujudkan pula dengan adanya kewenangan Mahkamah Agung untuk menguji peraturan perundang- undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang, sedangkan koreksi terhadap Undang-Undang dilakukan dengan memberi kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar. Dengan demikian, berdasarkan prinsip pemisahan kekuasaan dan kebebasan kekuasaan kehakiman, bentuk campur tangan apa pun kepada kekuasaan kehakiman adalah dilarang. Prinsip tersebut telah diterima secara universal dan UUD 1945 telah mengadopsinya dan dalam negara hukum tidak terdapat satu ketentuan pun yang membuka peluang kekuasaan lain untuk campur tangan kepada kekuasaan kehakiman;
Bahwa Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 dengan tegas menyatakan kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dalam UUD 1945 tidak ada satu ketentuan yang membatasi kebebasan kekuasaan kehakiman. Kebebasan kekuasaan kehakiman bukanlah sebuah privilege dari kekuasaan kehakiman itu sendiri, melainkan ruh dari kekuasaan kehakiman dalam sebuah negara hukum. Kebebasan kekuasaan kehakiman, sebagaimana dinyatakan oleh Montesquieu, adalah untuk melindungi warga negara dari kesewenang-wenangan kekuasaan legislatif maupun kekuasaan eksekutif.
Meskipun kekuasaan kehakiman tidak dapat diintervensi oleh cabang kekuasaan lain di luar kekuasaan kehakiman sebagaimana telah dijamin dalam UUD 1945, namun tidak berarti hakim, termasuk hakim konstitusi, terbebas atau
6

kebal dari sanksi etika maupun sanksi hukum apabila yang bersangkutan melakukan pelanggaran baik etika maupun tindak pidana yang masing-masing pelanggaran tersebut, telah tersedia tata cara dan forum penyelesaiannya.
Dalam hubungannya dengan Komisi Yudisial, Mahkamah telah memutus dalam Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006, bertanggal 23 Agustus 2006, bahwa Hakim Mahkamah Konstitusi tidak terkait dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 24B UUD 1945. Komisi Yudisial bukanlah lembaga pengawas dari Mahkamah Konstitusi apalagi lembaga yang berwenang untuk menilai benar atau tidak benarnya putusan Mahkamah sebagai putusan lembaga peradilan. Dalam praktik negara hukum, tidak pernah terjadi di manapun putusan pengadilan dapat dinilai benar atau tidak benarnya oleh lembaga negara yang lain, alih-alih oleh sebuah komisi, bahkan komentar yang berlebihan dan tidak sewajarnya terhadap kekuasaan kehakiman dalam menjalankan fungsinya menyelesaikan sengketa (dispute settlement) yang dapat menimbulkan ketidakpercayaan publik yang meluas di banyak negara dikualifikasikan sebagai contempt of court. Kebebasan untuk menyatakan pendapat dijamin sebagai hak asasi manusia namun dalam hubungannya dengan kekuasaan kehakiman kebebasan tersebut dibatasi dengan mensyaratkan formalitas, bahkan pembatasan tersebut dapat berupa sanksi pidana sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang. Negara Eropa yang dapat dikatakan sebagai penganut demokrasi yang sangat liberal, bahkan membatasi kebebasan menyampaikan pendapat yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Hal demikian dapat ditemukan dalam Article 10 European Convention on Human Rights yang menyatakan:
(1) Everyone has the right to freedom of expression. This right shall include freedom to hold opinions and to recieve and impart information and ideas without interference by public authority and regardless of frontiers. This article shall not prevent States from requiring the licensing of broadcasting television or cinema enterprises.
(2) The exercise of these freedom since it carries with it duties and responsibilities, may be subject to such formalities, conditions, restrictions or penalties as are prescribed by law and are necessary in a democratic society, in the interests of national security, territorial integrity or public safety, for the prevention of disorder or crime, for the protection of health or morals, for the protection of the reputation or rights of others, for preventing the disclosure of information received in confidence, or for maintaining the authority and impartiality of the judiciary.
Bahwa negara-negara Eropa yang berdasarkan demokrasi liberal dan sangat menjunjung tinggi kebebasan menyatakan pendapat membatasi kebebasan tersebut demi menjaga kewenangan dan imparsialitas lembaga peradilan, dan tentunya hal tersebut diperlukan untuk menegakkan negara hukum, bukan untuk kepentingan kekuasaan lembaga peradilan. Persoalannya justru bagaimana dengan sistem ketatanegaraan Indonesia yang tidak berdasarkan
7

demokrasi liberal. Apakah dalam penggunaan hak kebebasannya dalam negara hukum akan lebih liberal dari negara-negara Eropa. Tentunya pembentuk Undang-Undang yang akan menjawabnya;
Memang peran Komisi Yudisial dalam pembentukan Majelis Kehormatan tidaklah langsung, namun Pasal 87B UU 4/2014 menimbulkan banyak persoalan hukum. ayat (2) pasal a quo menyatakan, “Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang ini harus ditetapkan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini diundangkan.”
Permasalahan hukum pertama adalah apa yang dimaksud dengan peraturan pelaksanaan dari PERPU. Mahkamah berpendapat bahwa secara konstitusional PERPU memiliki kekuatan mengikat yang sama dengan Undang-Undang. Oleh karenanya, peraturan pelaksanaan dari PERPU juga harus sama dengan peraturan pelaksanaan dari suatu Undang-Undang. Ketentuan yang termuat di dalam Pasal 87B UU 4/2014 ini bersifat umum. Artinya, peraturan pelaksanaan tersebut adalah peraturan pelaksanaan dari seluruh PERPU dan bukan pelaksanaan dari pasal tertentu saja. Oleh karena PERPU sama kekuatan mengikatnya dengan Undang-Undang, maka peraturan pelaksana yang dimaksud oleh pasal a quo secara konstitusional tidak ada lain kecuali Peraturan Pemerintah sesuai ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang- undang sebagaimana mestinya.” Dengan demikian, atas perintah ketentuan ini Pemerintah wajib membuat peraturan pelaksanaan.
Permasalahan kedua menyangkut frasa yang menyatakan, "... harus ditetapkan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang ini diundangkan." Penjelasan Pasal 87B menyatakan, “Cukup jelas”. Dengan demikian, pasal ini harus dimaknai berdasar rumusan kalimat atau frasa yang tertulis dari aspek tatanan kalimat dan bahasa yang digunakan dan tidak dapat dimaknai di luar bahasa yang digunakan, serta bukan berdasar penafsiran perorangan atau Pemerintah maupun DPR, karena Undang- Undang yang dinyatakan dalam simbol bahasa tersebut telah mengikat umum dan menjadi milik publik pula. Frasa yang menggunakan kata “harus”, pastilah punya makna normatif untuk ditaati. Apabila tidak ditaati berarti telah terjadi pelanggaran terhadap perintah “harus” tersebut. PERPU 1/2013 diundangkan pada tanggal 17 Oktober 2013. Tiga bulan dari tanggal tersebut jatuh pada 17 Januari 2014 dan tidak ada Peraturan Pemerintah untuk pelaksanaan PERPU tersebut. Dengan demikian, sekarang telah terjadi pelanggaran. Sebuah pelanggaran menimbulkan konsekuensi hukum. Jika merupakan pelanggaran pidana dapat dijatuhi pidana. Ketentuan Pasal 87B bermaksud memberikan kewenangan delegatoir kepada pembuat peraturan pelaksana, namun jika dibaca rumusannya, ketentuan kewenangan delegatoir tersebut disyarati, yaitu, waktunya selama tiga bulan. Hal tersebut terbukti dari frasa "harus ditetapkan
8

paling lama 3 (tiga) bulan". Oleh karena ketentuan ini bukan mengatur pidana tetapi mengatur kewenangan yang didelegasikan, sehingga jika ternyata kewenangan tersebut tidak digunakan sesuai perintah maka kewenangan tersebut akan kadaluwarsa atau hapus. Sejak PERPU tersebut diundangkan sampai dengan tanggal 17 Januari 2014 tidak ditetapkan peraturan pelaksanaan oleh Presiden dalam bentuk Peraturan Pemerintah, sehingga tidak ada lagi kewenangan untuk membuat Peraturan Pemerintah. Pasal 87B telah habis masa berlakunya, artinya delegasi kewenangan membuat peraturan pelaksanaan telah daluwarsa;
Permasalahan hukum ketiga timbul dari rumusan Pasal 87B ayat (3) a quo yang menyatakan, “Selama peraturan pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum ditetapkan, pembentukan Panel Ahli dan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi dilaksanakan oleh Komisi Yudisial.” Sebagaimana diuraikan sebelumnya, yang didelegasikan oleh Pasal 87B ayat (2) PERPU 1/2013 adalah pembuatan peraturan pelaksanaan, artinya delegasi untuk mengatur. Hal itu menurut Mahkamah, secara konstitusional bentuk hukumnya adalah Peraturan Pemerintah, sedangkan ayat (3) yang didelegasikan adalah kewenangan untuk membentuk Panel Ahli dan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi yang keduanya merupakan hal berbeda. Kewenangan membuat peraturan pelaksanaan akan menghasilkan peraturan yang bersifat umum, sedangkan kewenangan untuk membentuk Panel Ahli dan Majelis Kehormatan akan menghasilkan keputusan yang konkret; Bahwa hal berikutnya berkaitan dengan kapan kewenangan untuk membentuk Panel Ahli dan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi. Hal itu diatur dalam Pasal 87B ayat (3) UU 4/2014 yang menyatakan, "Selama peraturan pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum ditetapkan, pembentukan Panel Ahli dan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi dilaksanakan oleh Komisi Yudisial". Sejak PERPU a quo diundangkan sampai dengan permohonan ini diajukan, peraturan pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) belum ditetapkan, sehingga semestinya Komisi Yudisial sudah harus menetapkan Panel Ahli dan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi. Demikianlah maksud PERPU tersebut – terlepas konstitusional atau tidak konstitusionalnya – mengenai apa yang harus dilakukan oleh Komisi Yudisial menurut PERPU yang telah menjadi Undang-Undang tersebut. Pendapat Mahkamah di atas memperlihatkan secara jelas betapa rancunya PERPU a quo dibuat yang tujuannya adalah untuk melibatkan Komisi Yudisial dalam pengajuan Hakim Konstitusi dan pengawasan terhadap Mahkamah Konstitusi.
Pelibatan Komisi Yudisial sebagaimana ketentuan dalam UU 4/2014 adalah merupakan bentuk penyelundupan hukum karena hal tersebut secara jelas bertentangan dengan Putusan Mahkamah Nomor 005/PUU-IV/2006, tanggal 23 Agustus 2006, yang menegaskan secara konstitusional bahwa Hakim Mahkamah Konstitusi tidak terkait dengan Komisi Yudisial yang mendapatkan kewenangan berdasarkan Pasal 24B UUD 1945. Terhadap tindakan penyelundupan hukum
9

yang demikian maupun tindakan yang inkonstitusional lainnya harus dikoreksi oleh Mahkamah melalui upaya judicial review ini demi menjaga tegaknya konstitusi.
[3.12] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan Mahkamah dalam kedua putusan tersebut, menurut Mahkamah dengan adanya anggota Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang salah satunya adalah dari unsur anggota Komisi Yudisial sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 27A ayat (2) huruf b UU 7/2020 hal tersebut tidaklah sejalan dengan pertimbangan Mahkamah dalam kedua putusan Mahkamah tersebut, karena dalam pertimbangan putusan tersebut di atas, Mahkamah pada pokoknya antara lain telah secara nyata menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan kekuasaan yang merdeka sehingga dalam melaksanakan kewenangan justisialnya lembaga peradilan tidak dapat diawasi oleh lembaga negara yang lain. Dengan kata lain, pengawasan terhadap Hakim Konstitusi yang dilakukan oleh Komisi Yudisial dinilai Mahkamah bertentangan dengan UUD 1945 karena kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan menjadi tidak dapat mewujudkan sifat independensi dan imparsialitasnya. Hal tersebut sama halnya apabila dalam keanggotaan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang masih tetap melibatkan Komisi Yudisial dalam melakukan penilaian (pengawasan) terhadap kinerja Hakim Konstitusi sehingga pada akhirnya hal tersebut tetap menempatkan atau menjadikan Hakim Konstitusi sebagai objek pengawasan oleh Komisi Yudisial. Padahal, dibentuknya Mahkamah Konstitusi berdasarkan UUD 1945 adalah dalam rangka menjamin agar UUD 1945 dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, termasuk dalam konteks hubungan-hubungan konstitusional antarlembaga negara. Sehingga, Mahkamah dalam menjalankan tugasnya sehari- hari dapat merasa bebas merdeka tanpa tekanan dari pihak manapun.
[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas menurut Mahkamah dalam keanggotaan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi tidak lagi melibatkan Komisi Yudisial sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 27A ayat (2) huruf b UU 7/2020. Namun, agar tidak terjadi kekosongan keanggotaan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (stagnan) dari salah satu unsur sebelum dilakukannya perubahan oleh pembentuk undang-undang, maka Mahkamah dapat menentukan pengganti unsur yang berasal dari Komisi Yudisial adalah dari unsur tokoh masyarakat yang memiliki integritas tinggi yang memahami hukum dan konstitusi serta tidak menjadi anggota dari partai politik manapun, dalam rangka menjamin sikap netral dan independen keanggotaan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi nantinya. Sehingga, dengan adanya penggantian komposisi tersebut Mahkamah dapat segera melanjutkan penyusunan Peraturan Mahkamah Konstitusi mengenai Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang saat ini sedang disusun oleh Mahkamah sebagaimana diperintahkan oleh Pasal 27A ayat (7) UU a quo yang menyatakan pada pokoknya
10

ketentuan lebih lanjut mengenai susunan, organisasi, dan tata beracara persidangan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi diatur dalam peraturan Mahkamah Konstitusi.
[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah dalam amar putusan a quo akan menyatakan Pasal 27A ayat (2) huruf b UU 7/2020 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang frasa “1 (satu) orang anggota Komisi Yudisial” tidak dimaknai “1 (orang) dari unsur tokoh masyarakat yang memiliki integritas tinggi yang memahami hukum dan konstitusi serta tidak menjadi anggota dari partai politik manapun”.
[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian. Sedangkan hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dianggap tidak ada relevansinya

1. Bahwa terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 56/PUU- XX/2022 sebagaimana diuraikan diatas, untuk memberikan kepastian hukum pada Pasal 27A ayat (2) huruf b UU 7/2020, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan saran sebagai berikut:
a. Menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XX/2022 sebagai bahan dalam penyusunan Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka.
b. Menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XX/2022 sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan UU 7/2020.


11

2. Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh seluruh organ penyelenggara Negara, organ penegak hukum dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 56/PUU-XX/2022 mengenai materi muatan pasal/ayat dalam UU 7/2020 yang dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, agar tidak menimbulkan kekosongan hukum, dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan Perubahan UU 7/2020.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dikabulkan Sebagian Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 2/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG TERHADAP TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 31-05-2022

Bahwa pada hari Selasa tanggal 31 Mei 2022, pukul 10.21 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang terhadap (UU 10/2016) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 2/PUU-XX/2022. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 2/PUU-XX/2022, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang- Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang- Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian frasa “serta perbuatan melanggar kesusilaan lainnya” dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.11] Menimbang bahwa setelah membaca secara saksama permohonan Pemohon beserta alat-alat bukti yang diajukan oleh Pemohon, persoalan konstitusional yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah adalah apakah frasa “serta perbuatan melanggar kesusilaan lainnya” dalam Penjelasan Pasal 7 ayat
(2) huruf i UU 10/2016 menyebabkan mantan narapidana yang telah menjalani masa pidananya menjadi terhalangi hak konstitusionalnya untuk dipilih dalam kontestasi pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pemilihan gubernur/wakil gubernur, walikota/wakil walikota, dan bupati/wakil bupati) sehingga harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Terhadap persoalan tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.11.1] Bahwa sebagai negara hukum yang demokratis atau negara demokrasi yang berdasarkan hukum sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, Indonesia menempatkan kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Jika kedaulatan berada di tangan rakyat maka tujuan dari kekuasaan tersebut adalah demi kepentingan rakyat. Di sinilah paham negara hukum tidak dapat dipisahkan dari paham kerakyatan, hukum akan mengatur dan membatasi kekuasaan, sedangkan kekuasaan atau pemerintah membuat hukum berdasarkan kehendak rakyat.


2

Bahwa untuk mewujudkan negara demokrasi yang berdasar pada hukum maka penyelenggaraan pemilihan umum dan juga pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang demokratis yang bersifat bebas, jujur, dan adil menjadi sebuah konsekuensi logis. Salah satu wujud dan mekanisme demokrasi di daerah adalah dengan pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, sebagaimana amanat Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menegaskan bahwa Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis. Pembentuk undang-undang melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 (Perppu 1/2014), telah memilih sistem pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota secara langsung (direct popular vote), pilihan ini diambil untuk menghormati kedaulatan rakyat serta demokrasi dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat (vide Konsideran Menimbang huruf a Perppu 1/2014 sebagaimana telah disahkan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang- Undang, selanjutnya disebut UU 1/2015). Oleh karena itu, dengan sistem pemilihan secara langsung maka keterlibatan warga negara yang telah memenuhi syarat untuk dipilih dan memilih dalam proses pemilihan menjadi sangat terbuka.
Bahwa meskipun hak untuk memilih dan dipilih adalah hak konstitusional, namun negara dapat melakukan pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis (vide Pasal 28J ayat (2) UUD 1945). Pembatasan-pembatasan terhadap hak pilih juga dikenal dalam Pasal 25 Kovenan Hak Sipil dan Politik yang menyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai hak dan kesempatan, tanpa pembedaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan tanpa pembatasan yang tidak wajar, salah satunya untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan umum. Untuk menciptakan pemilihan yang berkualitas bukan hanya ditentukan dari penyelenggaraan yang berkualitas, namun juga calon yang akan dipilih menjadi pemimpin juga harus berkualitas. Salah satu cara menjaga kualitas dari pemilihan adalah dengan memberikan batasan-batasan sehingga yang akan menjadi peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah calon- calon berintegritas.
Bahwa baik dalam konteks hak untuk dipilih maupun hak untuk memilih, negara memberi batasan siapa saja yang dapat dikategorikan memenuhi syarat sebagai pemilih dan sebagai calon yang akan dipilih. Dalam hal
3

pembatasan hak konstitusional demikian bukan berarti hak konstitusional pemilih dan calon yang dipilih menjadi terlanggar. Pembatasan tetap perlu ada untuk membuat sistem pemilihan yang tertib dan akan menghasilkan pemerintahan yang dipimpin oleh calon terbaik yang dipilih oleh rakyatnya yang kemudian akan memberikan pelayanan kepada masyarakat serta mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Oleh karena itulah pemilih yang akan memiliki hak pilih juga dibatasi dengan persyaratan yaitu pemilih yang dapat mempertanggungjawabkan pilihannya, yang dalam sistem pemilihan dipersyaratkan pemilih adalah penduduk yang berusia paling rendah 17 tahun atau sudah/pernah kawin (vide Pasal 1 angka 6 UU 1/2015). Pemilih juga disyaratkan harus terdaftar dalam daftar pemilih atau merupakan penduduk setempat yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk. Demikian juga untuk orang yang hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah, terdapat syarat yang ditetapkan oleh undang-undang yang salah satunya yaitu syarat tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang menjadi pokok permohonan Pemohon. Persyaratan calon dalam Pasal 7 UU 10/2016 secara kumulatif ditentukan sejumlah 20 (dua puluh) syarat, kesemuanya bertujuan untuk menjadi penyaring awal untuk mendapatkan calon terbaik yang setelah memenuhi persyaratan akan dipilih oleh masyarakat untuk menjadi pemimpin daerah.
[3.11.2] Bahwa pembatasan hak asasi dengan persyaratan calon harus dipandang bukan hanya dilihat dari sisi perorangan bakal calon yang hendak mencalonkan diri, namun juga dari sisi persepsi masyarakat daerah yang sedang mencari pemimpin daerahnya, di mana dengan sistem pemilihan langsung masyarakatlah yang secara langsung memilih tanpa adanya panitia seleksi sebagaimana pemilihan jabatan-jabatan lainnya. Oleh karenanya keduapuluh persyaratan yang dipersyaratkan oleh Pasal 7 UU 10/2016 merupakan seleksi awal yang dapat menghasilkan bakal-bakal calon yang berkualitas untuk dipilih oleh pemilih. Dengan demikian, menurut Mahkamah persyaratan calon diperlukan dalam sistem pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah demi mewujudkan demokrasi yang esensial, yaitu demokrasi yang tidak hanya mendasarkan pada suara terbanyak tetapi yang memiliki esensi pada tujuan luhur untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera yang dipimpin oleh pemimpin yang berintegritas dan berkualitas yang dihasilkan dari proses pemilihan yang melibatkan rakyat yang dipimpinnya;
Bahwa meskipun Mahkamah menganggap persyaratan bagi bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah hal yang penting untuk menjadi seleksi awal, namun Mahkamah juga pernah memutus dalam putusannya bahwa syarat yang ditentukan UU tidak konstitusional dan harus diberikan pemaknaan. Sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009, tanggal 24 Maret 2009 yang memutus bahwa syarat tidak pernah dijatuhi pidana yang diancam pidana penjara 5 tahun atau lebih adalah inkonstitusional sepanjang
4

tidak memenuhi syarat sebagai berikut: (i) tidak berlaku untuk jabatan publik yang dipilih (elected official); (ii) berlaku terbatas jangka waktunya hanya selama 5 (lima) tahun sejak terpidana selesai menjalani hukumannya; (iii) dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana; (iv) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang. Sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU- VII/2009 a quo Mahkamah juga memaknai syarat tidak pernah dipidana ini beberapa kali dalam putusannya terakhir dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019, tanggal 11 Desember 2019 yaitu calon kepala daerah dan wakil kepala daerah harus memenuhi syarat (i) tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa; (ii) bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; dan (iii) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang;
[3.11.3] Bahwa selanjutnya terhadap persyaratan tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang dibuktikan dengan SKCK, sebagaimana diatur dalam Pasal
7 ayat (2) huruf i UU 10/2016, meskipun Mahkamah pernah mempertimbangkannya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 99/PUU- XVI/2018 sebagaimana disebutkan pada Paragraf [3.10] di atas, namun Mahkamah hanya mempertimbangkan frasa “pemakai narkotika” dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016, di mana terhadap frasa “pemakai narkotika” dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016 Mahkamah menyatakan sebagai norma yang konstitusional, namun dalam pertimbangan hukumnya memberikan makna bahwa sifat tercela menjadi tidak tepat jika dilekatkan kepada:
a. pemakai narkotika yang karena alasan kesehatan yang dibuktikan dengan keterangan dokter yang merawat pemakai yang bersangkutan; atau
b. mantan pemakai narkotika yang karena kesadarannya sendiri melaporkan diri dan telah selesai menjalani proses rehabilitasi; atau
c. mantan pemakai narkotika yang terbukti sebagai korban yang berdasarkan penetapan/putusan pengadilan diperintahkan untuk menjalani rehabilitasi dan telah dinyatakan selesai menjalani proses rehabilitasi yang dibuktikan dengan surat keterangan dari instansi negara yang memiliki otoritas untuk
5

menyatakan seseorang telah selesai menjalani proses rehabilitasi.
[3.12] Menimbang bahwa setelah menguraikan hal-hal sebagaimana tersebut di atas, selanjutnya Mahkamah akan menjawab persoalan konstitusionalitas norma Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016 yang dipermasalahkan oleh Pemohon, yaitu sepanjang terkait dengan frasa “serta perbuatan pelanggaran kesusilaan lainnya” bertentangan dengan UUD 1945 atau sepanjang frasa “serta perbuatan melanggar kesusilaan lainnya” dipersamakan dengan menyimpan psikotropika tanpa hak bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat secara bersyarat (conditionally unconstitutional), sepanjang tidak dimaknai, “dikecualikan bagi Mantan Narapidana Psikotropika yang telah selesai menjalani Pidana Penjara dan Pidana Denda serta telah jeda lima tahun sejak putusan hakim berkekuatan hukum tetap”. Di mana Pemohon menganggap frasa dalam norma a quo menyebabkan Penjelasan a quo ditafsirkan bahwa Pemohon yang telah menjalani masa pidana penjara dan membayar denda karena menggunakan psikotropika tetap tidak dapat memenuhi syarat tidak pernah melakukan perbuatan tercela sebagaimana disyaratkan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016, sehingga terhalang untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Bahwa terhadap hal tersebut, sebagaimana juga telah diuraikan dalam pertimbangan hukum di atas, Mahkamah dalam putusan-putusan terdahulu terkait mantan terpidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih telah berpendirian bahwa mantan terpidana yang telah selesai menjalani masa pidana dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah sepanjang memenuhi syarat telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana, serta bukan pelaku tindak pidana yang berulang-ulang. Oleh karena itu, terhadap bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memiliki kualifikasi sebagai mantan terpidana dengan ancaman pidana 5 (lima) tahun atau lebih, Mahkamah telah menegaskan dengan memberi kesempatan kepada yang bersangkutan untuk dapat ikut serta dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah sepanjang memenuhi syarat yang ditentukan dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016 sebagaimana yang telah dimaknai dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVIII/2019. Sebab, penilaian akhir terhadap calon mantan terpidana yang ikut kontestasi dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah menjadi pilihan masyarakat/pemilih untuk menentukannya.
[3.13] Menimbang bahwa selanjutnya berkenaan syarat calon kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016 dan Penjelasannya, Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 99/PUU-XVI/2018 juga telah mengecualikan pemberlakuan syarat tidak melakukan perbuatan tercela bagi pemakai narkotika yang karena

6

alasan kesehatan; atau mantan pemakai narkotika yang karena kesadarannya sendiri melaporkan diri dan telah selesai menjalani proses rehabilitasi; atau mantan pemakai narkotika yang terbukti sebagai korban dan yang telah dinyatakan selesai menjalani proses rehabilitasi. Oleh karena itu, yang bersangkutan jika memenuhi syarat-syarat lainnya dapat mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah tanpa dikategorikan telah melakukan perbuatan tercela sebagaimana yang dimaksud dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016. Dengan demikian, pertanyaan selanjutnya yang harus dijawab adalah bagaimana dengan mantan terpidana lain yang tidak tergolong ke dalam ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016 sebagaimana yang telah dimaknai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU- XVIII/2019 dan mantan terpidana yang telah selesai menjalani masa pidana karena melakukan perbuatan tercela sebagaimana yang terdapat dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016 seperti judi, mabuk, zina, dan pengedar narkotika, termasuk perbuatan melanggar kesusilaan lainnya. Apakah pelaku-pelaku tindak pidana ataupun perbuatan lain yang di antaranya termaktub dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016 yang telah dijatuhi pidana karena perbuatannya tersebut oleh pengadilan dan telah selesai menjalani masa pidana dianggap tidak memenuhi syarat untuk mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Bahwa terhadap hal tersebut menurut Mahkamah syarat tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang dibuktikan dengan SKCK sesungguhnya hanyalah bersifat administratif untuk membuktikan bahwa seseorang pernah atau tidak pernah melakukan perbuatan tercela. Namun, dalam hal ini apabila dikaitkan dengan semangat yang ada di dalam norma Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016 dan Penjelasannya, SKCK tersebut bukanlah merupakan satu-satunya parameter bahwa seseorang yang akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah subjek hukum yang mempunyai rekam jejak yang serta merta dapat disimpulkan tidak memenuhi syarat sebagai seorang calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Sebab, bisa jadi seseorang yang melakukan perbuatan sebagaimana yang di antaranya termaktub dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016 disebabkan karena adanya kelalaian atau kealpaan, di samping sifat dari perbuatannya yang sekalipun adalah tindak pidana akan tetapi bisa jadi adalah tergolong ringan/sedang dibandingkan dengan pelaku tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016. Oleh karena itu, hal demikian menurut Mahkamah akan terjadi disparitas dalam perspektif keadilan hukum dan keadilan hak konstitusional apabila terhadap pelaku tindak pidana yang diancam dengan pidana 5 (lima) tahun atau lebih diberi kesempatan untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah sebagaimana yang diatur dalam norma Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016 yang telah dimaknai oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019, sementara terhadap pelaku perbuatan yang
7

melanggar kesusilaan sebagaimana di antaranya termaktub dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016 dan telah dijatuhi pidana oleh pengadilan dan selesai menjalani masa pidana menjadi tertutup kesempatannya untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah sekalipun syarat-syarat lain terpenuhi oleh yang bersangkutan. Dengan demikian, untuk memenuhi adanya kepastian hukum dan rasa keadilan, tidak ada pilihan lain bagi Mahkamah selain memberi kesempatan yang sama bagi pelaku perbuatan tercela yang telah dijatuhi pidana oleh pengadilan dan telah selesai menjalani masa pidananya untuk dapat mencalonkan diri dalam kontestasi pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Sehingga, sekalipun syarat melampirkan SKCK sebagaimana yang dipersyaratkan dalam norma Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016 tetap diberlakukan kepada setiap calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, namun apapun model ataupun format SKCK dimaksud, hal tersebut tidak boleh menjadi penghalang bagi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang bersangkutan untuk dapat ikut kontestasi pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah sekalipun yang bersangkutan telah melakukan perbuatan tercela sepanjang yang bersangkutan telah memperoleh putusan pengadilan dan telah selesai menjalani masa pidana, serta sepanjang syarat-syarat lainnya terpenuhi. Dengan kata lain, bagi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang telah melakukan perbuatan yang melanggar Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016 dan telah dijatuhi pidana oleh pengadilan serta telah selesai menjalani masa pidana, maka harus dikecualikan untuk tidak dikenakan syarat SKCK yang masih dikaitkan dengan perbuatannya tersebut.
[3.14] Menimbang bahwa di samping pertimbangan hukum tersebut di atas, oleh karena syarat-syarat untuk menjadi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dibuat secara ketat adalah untuk mendapatkan calon pemimpin daerah yang berintegritas, maka meskipun terhadap calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang telah dijatuhi pidana oleh pengadilan dan telah selesai menjalani masa pidana dikarenakan melakukan perbuatan yang diatur dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016 diberi kesempatan untuk dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah dan pertimbangan pilihan diserahkan kepada para pemilihnya/masyarakat, namun hal tersebut tidak boleh menghilangkan informasi tentang jati diri masing- masing calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Oleh karena itu, sebagaimana juga diberlakukan untuk ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016, untuk mencapai tujuan yang sama, yaitu untuk memberikan informasi tentang jati diri secara lengkap terhadap masing-masing calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, maka dalam memaknai Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016 ini pun juga diwajibkan kepada calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang pernah melakukan perbuatan tercela yang telah memperoleh putusan pengadilan dan telah selesai menjalani masa pidana, untuk secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai
8

mantan terpidana, sebagaimana juga telah dipersyaratkan dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016, yang telah dimaknai oleh Putusan Mahakamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019 tersebut.
[3.15] Menimbang bahwa dengan adanya penegasan dari Mahkamah di atas maka kepada penyelenggara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah termasuk dalam hal ini pihak Kepolisian yang berwenang mengeluarkan SKCK, untuk segera memformulasikan bentuk/format SKCK sebagaimana yang dikehendaki dalam norma Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016 dengan menyesuaikan semangat yang ada dalam putusan a quo.
[3.16] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas Mahkamah berpendapat dapat menerima dalil Pemohon sepanjang yang menyatakan bahwa Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016 menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan, serta Petitum Pemohon yang meminta untuk menyatakan inkonstitusional secara bersyarat. Namun, dalam merumuskan syarat konstitusionalnya Mahkamah memiliki kesimpulan sendiri, sebagaimana tertuang dalam amar putusan di bawah ini. Dengan demikian, Mahkamah berkesimpulan permohonan Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.
[3.17] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian. Sedangkan, terhadap dalil dan hal-hal lain tidak dipertimbangkan karena dipandang tidak relevan dan oleh karena itu harus dinyatakan tidak beralasan menurut hukum.

1. Bahwa terhadap Putusan MK dalam Perkara Nomor 2/PUU-XX/2022 sebagaimana diuraikan diatas, untuk mengisi kekosongan hukum pada Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan saran sebagai berikut:
a. Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 2/PUU-XX/2022 sebagai bahan dalam penyusunan Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka.
b. Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 2/PUU-XX/2022 sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan UU Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota
2. Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh seluruh organ penyelenggara Negara, organ penegak hukum dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 2/PUU-XX/2022 mengenai materi muatan pasal/ayat dalam UU 10/2016 yang dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, agar tidak menimbulkan kekosongan hukum, dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan Perubahan UU Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dikabulkan Sebagian Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 31/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 31-05-2022

Bahwa pada hari Selasa tanggal 31 Mei 2022, pukul 10.39 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU 23/2014) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 31/PUU- XX/2022. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 31/PUU-XX/2022, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 112 ayat (4) UU 23/2014 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.10] Menimbang bahwa setelah membaca secara saksama permohonan Pemohon beserta bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon, pokok permohonan Pemohon adalah mengenai frasa “diresmikan dengan keputusan Menteri” dalam Pasal 112 ayat (4) UU 23/2014 yang menyebabkan Pemohon belum ditetapkan atau bahkan dapat terjadi Pemohon tidak ditetapkan sebagai Ketua DPRD Provinsi Kalimantan Timur melalui mekanisme pergantian antarwaktu pimpinan DPRD Provinsi Kalimantan Timur sisa masa jabatan 2019-2024. Oleh karena itu, menurut Pemohon pasal a quo harus dinyatakan berlaku secara bersyarat dan mempunyai kekuatan hukum mengikat apabila dimaknai sebagaimana dimohonkan dalam petitum permohonan Pemohon. Terhadap pokok permohonan Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

[3.10.1] Bahwa berkenaan dengan pokok permohonan Pemohon penting bagi Mahkamah untuk menjelaskan terlebih dahulu tata tertib pemberhentian dan penggantian pimpinan DPRD. Pasal 132 ayat (1) dan Pasal 186 ayat (1) UU 23/2014 mengatur tata tertib DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang diantaranya memuat ketentuan tentang pemberhentian dan penggantian pimpinan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan. Untuk melaksanakan ketentuan tersebut telah ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota (PP 12/2018). Pasal 36 ayat (2) PP 12/2018 mengatur pimpinan DPRD berhenti dari jabatannya sebelum berakhir masa jabatannya karena; a. meninggal dunia; b. mengundurkan diri sebagai pimpinan DPRD; c. diberhentikan sebagai anggota DPRD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau d. diberhentikan sebagai pimpinan DPRD. Lebih lanjut, dalam Pasal 36 ayat (3) PP 12/2018 diatur pimpinan DPRD diberhentikan sebagai pimpinan DPRD dalam hal: a. terbukti melanggar sumpah/janji jabatan dan Kode Etik berdasarkan keputusan badan kehormatan;
b. partai politik bersangkutan mengusulkan pemberhentian yang bersangkutan sebagai pimpinan DPRD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Berdasarkan ketentuan tersebut maka pemberhentian sebagai pimpinan DPRD selain melalui mekanisme penilaian etik oleh badan kehormatan, dapat juga melalui mekanisme internal partai politik dari pimpinan

2

DPRD yang diberhentikan. Dengan kata lain, partai politik juga memiliki hak untuk memberhentikan anggota yang ditugaskan atau ditunjuk sebagai pimpinan DPRD.
Namun demikian, adakalanya keputusan pemberhentian dan penggantian sebagai pimpinan DPRD, yang bersangkutan berkeberatan atau menolak untuk diberhentikan atau digantikan. Terhadap hal tersebut, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU 2/2011) mengkategorikan hal tersebut sebagai perselisihan partai politik. Penjelasan Pasal 32 ayat (1) UU 2/2011 menjelaskan yang dimaksud perselisihan partai politik meliputi antara lain keberatan terhadap keputusan partai politik. Menurut Pasal 32 ayat (2) dan ayat (4) UU 2/2011 perselisihan partai politik harus diselesaikan secara internal melalui mahkamah partai politik dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari. Dalam hal penyelesaian perselisihan tidak tercapai maka proses berikutnya dilakukan melalui pengadilan negeri yang harus diselesaikan paling lama 60 (enam puluh) hari sejak gugatan perkara terdaftar di kepaniteraan pengadilan negeri. Putusan pengadilan negeri hanya dapat diajukan kasasi yang harus diselesaikan oleh Mahkamah Agung paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak memori kasasi terdaftar di kepaniteraan Mahkamah Agung [vide Pasal 33 UU 2/2011]. Dengan demikian, dalam hal terdapat proses hukum berkenaan dengan pemberhentian dan penggantian pimpinan DPRD maka harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum dilakukan proses politik melalui rapat paripurna DPRD.
Dalam kaitannya dengan pemberhentian dan penggantian pimpinan DPRD, hal demikian harus dilakukan dengan alasan-alasan yang logis dan berbasis evaluasi kinerja dan bukan berdasarkan like and dislike karena meskipun pimpinan DPRD berdasarkan penugasan atau penunjukan dari partai politik namun pada hakikatnya penugasan atau penunjukan tersebut mengandung makna bahwa yang ditugaskan atau ditunjuk sebagai pimpinan DPRD untuk kepentingan publik, sehingga tidak lagi sepenuhnya milik partai politik. Artinya, meskipun pemberhentian dan penggantian pimpinan DPRD merupakan hak partai politik, akan tetapi tidak boleh dilakukan secara semena-mena agar tidak mempengaruhi fungsi dan tugas DPRD secara kelembagaan.

[3.10.2] Bahwa secara formil pemberhentian pimpinan DPRD dilakukan dalam rapat paripurna untuk ditetapkan melalui keputusan DPRD [vide Pasal 37 ayat
(2) dan ayat (3) PP 12/2018]. Terhadap keputusan tersebut, pimpinan DPRD provinsi menyampaikan kepada Menteri melalui gubernur untuk pemberhentian pimpinan DPRD provinsi dan pimpinan DPRD kabupaten/kota menyampaikan kepada Gubernur melalui bupati/walikota untuk pemberhentian pimpinan DPRD kabupaten/kota paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak ditetapkan dalam rapat paripurna. Demikian juga penyampaian gubernur kepada menteri dan bupati/walikota kepada gubernur paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak

3

diterimanya keputusan DPRD provinsi atau keputusan DPRD kabupaten/kota [vide Pasal 38 ayat (1) sampai dengan ayat (4) PP 12/2018]. Mengenai penggantian pimpinan DPRD juga ditetapkan dengan keputusan DPRD dan selanjutnya pimpinan DPRD provinsi mengusulkan peresmian pengangkatan calon pengganti kepada menteri melalui gubernur bagi penggantian pimpinan DPRD provinsi dan kepada gubernur melalui bupati/walikota bagi penggantian pimpinan DPRD kabupaten/kota [vide Pasal 39 ayat (2) sampai dengan ayat (4) PP 12/2018].
Sementara itu, persoalan penggantian pimpinan DPRD menurut Pemohon terhambat dengan berlakunya Pasal 112 ayat (4) UU 23/2014 dikarenakan adanya frasa “diresmikan dengan keputusan Menteri” menimbulkan ketidakpastian hukum seolah-olah Mendagri masih dapat mempertimbangkan kembali keputusan pemberhentian dan penggantian pimpinan DPRD.

[3.10.3] Bahwa dalam kaitan dengan frasa yang dipersoalkan Pemohon penting bagi Mahkamah menegaskan dirumuskannya frasa “dirermikan dengan keputusan Menteri” dalam Pasal 112 ayat (4) UU 23/2014 merupakan frasa yang lazim dipergunakan untuk keabsahan setiap keputusan dan/atau tindakan yang harus ditetapkan atau ditermikan oleh badna atau pejabat pemerintah yang berwenang [vide Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan]. Dalam konteks perkara a quo, Mendagri memiliki wewenang untuk meresmikan pimpinan DPRD provinsi berdasarkan keputusan rapat paripurna DPRD provinsi. Penggunaan frasa demikian juga tercantum dalam berbagai ketentuan, seperti keanggotaan DPRD provinsi yang juga diresmikan dengan keputusan Menteri [vide Pasal 102 ayat (2) UU 23/2014] serta keanggotaan DPRD kabupaten/kota dan pimpinan DPRD kabupaten/kota yang diresmikan dengan keputusan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat [vide Pasal 155 ayat (2) dan Pasal 165 ayat (4) UU 23/2014). Dalam mekanisme ketatanegaraan, hal demikian juga berlaku bagi pengisian jabatan-jabatan lembaga negara lainnya. Misalnya pengangkatan hakim konstitusi, hakim konstitusi yang diajukan oleh DPR juga harus diresmikan dengan keputusan Presiden [vide Pasal 71 huruf n Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah].
Lebih lanjut, pada hakikatnya dalam menetapkan pemberhentian maupun penggantian pimpinan DPRD melalui rapat paripurna DPRD yang dijadikan dasar Menteri atau Gubernur mengeluarkan keputusan pemberhentian atau penggantian adalah berdasarkan atas keputusan partai politik pimpinan DPRD

4

yang bersangkutan. Dengan demikian, dalam hal pimpinan DPRD diberhentikan baik berdasarkan keputusan badan kehormatan maupun keputusan partai politik [vide Pasal 36 ayat (3) PP 12/2018], penggnati pimpinan DPRD yang berhenti berasal dari partai politik yang sama dengan pimpinan DPRD yang berhenti. Artinya, tanpa bermaksud menilai legalitas PP 12/2018 tersebut, hak partai politik tidak hanya mengusulkan pemberhentian pimpinan DRPD namun juga untuk mengusulkan pengganti pimpinan DPRD untuk diumumkan dalam rapat paripurna dan kemudian ditetapkan dengan keputusan DPRD [vide Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) PP 12/2018].
Berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut di atas, dalam konteks pemberhentian dan penggantian pimpinan DPRD maka Mendagri menindaklanjuti hasil paripurna pemberhentian ataupun penggantian pimpinan DPRD, sehingga tidak terdapat alasan untuk tidak menindaklanjuti proses administrasi pemberhentian dan penggantian pimpinan DPRD sepanjang telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

[3.10.4] Bahwa dengan berlarut-larutnya proses penggantian pimpinan DPRD [vide bukti P-9a] tentu saja akan menimbulkan ketidakpastian. Dengan kondisi tersebut, justru dapat menimbulkan pengingkaran terhadap keadilan itu sendiri (justice delayed justice denied). Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut menurut Mahkamah frasa “diresmikan dengan keputusan Menteri’ dalam Pasal
112 ayat (4) UU 23/2014 adalah bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “wajib ditindaklanjuti secara administratif sepanjang proses di internal partai politik dan DPRD telah terpenuhi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Oleh karena itu, agar proses penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak terganggu dan demi kepastian hukum maka pemaknaan demikian mengharuskan tindakan administratif a quo harus segera dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

[3.11] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum sebagaimana telah diuraikan di atas, oleh karena petitum Pemohon memohon Pasal 112 ayat (4) UU 23/2014 sepanjang frasa “diresmikan dengan keputusan menteri” berlaku secara konstitusional bersyarat dan mempunyai ketentuan hukum mengikat apabila dimaknai “keputusan meresmikan yang didasarkan pada kewenangan terikat Menteri bersifat deklaratif dengan wajib menindaklanjuti proses administratif terhadap keputusan hak istimewa partai politik berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak di DPRD provinsi hasil dari perolehan suara pemilu dalam menentukan pimpinan DPRD provinsi, sementara itu, Mahkamah berpendapat frasa “diresmikan dengan keputusan Menteri” dalam Pasal 112 ayat (4) UU 23/2014 bertentangan dengan asas kepastian hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,

5

sepanjang tidak dimaknai “wajib ditindaklanjuti secara administratif sepanjang proses di internal partai politik dan DPRD telah terpenuhi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”, dengan demikian, meskipun pada dasarnya baik petitum Pemohon maupun pendapat Mahkamah terdapat kesamaan dalam hal frasa dimaksud harus dimaknai agar tetap konstitusional dan mempunyai kekuatan hukum mengikat, namun demikian Mahkamah memiliki perbedaan dalam merumuskan syarat konstitusionalitasnya. Oleh karena itu, permohonan Pemohon adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian.

[3.12] Menimbang bahwa terhadap dalil permohonan Pemohon selain dan selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut dan oleh karenanya dianggap tidak relevan sehingga haruslah dinyatakan tidak beralasan menurut hukum.

1. Bahwa terhadap Putusan MK dalam Perkara Nomor 31/PUU-XX/2022 sebagaimana diuraikan diatas, untuk mengisi kekosongan hukum berdasarkan Pasal 112 ayat (4) UU 23/2014, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang- Undang memberikan saran sebagai berikut:
a. Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 31/PUU-XX/2022 sebagai bahan dalam penyusunan Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka.
b. Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 31/PUU-XX/2022 sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan UU Pemerintahan Daerah.
2. Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh seluruh

6

organ penyelenggara Negara, organ penegak hukum dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 31/PUU-XX/2022 mengenai materi muatan pasal/ayat dalam UU 23/2014 yang dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, agar tidak menimbulkan kekosongan hukum, dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan Perubahan UU Pemerintahan Daerah.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dinyatakan Dikabulkan Sebagian Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 32/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 29-03-2022

Bahwa pada hari Selasa tanggal 29 Maret 2022, pukul 11.17 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (UU 7/2017) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 32/PUU-XIX/2021. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 32/PUU-XIX/2021, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 458 ayat (13) UU 7/2017 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.6] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon maka selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan.

[3.12] Menimbang bahwa setelah membaca secara saksama permohonan para Pemohon beserta alat-alat bukti yang diajukan oleh para Pemohon, inti permohonan a quo adalah frasa “final dan mengikat” dalam Pasal 458 ayat (13) UU 7/2017 yang dalam Penjelasannya dinyatakan “cukup jelas”, telah menyebabkan Putusan DKPP tidak dapat ditafsir lain oleh Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu, sehingga putusan DKPP a quo telah menimbulkan akibat hukum. Oleh karenanya DKPP menafsirkan bahwa putusan DKPP tidak dapat dilakukan upaya hukum apapun termasuk diuji ke peradilan TUN. Hal ini menurut para Pemohon tidak sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XI/2013 dan menyebabkan DKPP menjadi lembaga yang superior karena tidak memiliki mekanisme checks and balances. Terhadap dalil pokok permohonan para Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa terkait dengan permohonan a quo Mahkamah sebelumnya pernah memutus pengujian Pasal 112 ayat (12) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Pemilihan Umum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XI/2013, tanggal 3 April 2014. Pasal 112 ayat (12) UU 15/2011 mengatur bahwa putusan DKPP bersifat final dan mengikat. Terhadap frasa final dan mengikat ini, Mahkamah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XI/2013 menjatuhkan putusan yang amarnya menyatakan:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian, yaitu: 1.1. Frasa “bersifat final dan mengikat” dalam Pasal 112 ayat (12) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5246) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (10) bersifat final dan mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu”;
1.2. Frasa “bersifat final dan mengikat” dalam Pasal 112 ayat (12) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5246) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (10) bersifat final dan mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu”;
2. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
3. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya;
Bahwa kemudian pembentuk Undang-Undang menyatakan tidak berlaku UU 15/2012 dengan berlakunya UU 7/2017. Namun, norma yang mengatur Putusan DKPP bersifat final dan mengikat tetap dipertahankan oleh UU 7/2017 yang diatur dalam Pasal 458 ayat (13) UU 7/2017 yang dimohonkan pengujian dalam perkara a quo.
Bahwa meskipun Pasal 458 ayat (13) UU 7/2017 mengatur norma yang sama dengan Pasal 112 ayat (12) UU 15/2012, namun jika mendasarkan pada Pasal 60 UU MK juncto Pasal 78 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang yang menyatakan bahwa terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali, kecuali jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda, maka permohonan para Pemohon dapat diajukan kembali.
Bahwa terlepas dari permohonan para Pemohon a quo dapat diajukan kembali ataupun tidak, namun muatan norma yang terdapat dalam Pasal 458 ayat (13) UU 7/2017 yang dimohonkan pengujian adalah muatan norma yang sama yang diatur dalam Pasal 112 ayat (12) UU 15/2012 yaitu norma mengenai putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat. Oleh karena itu, isu konstitusional yang dipersoalkan oleh Pemohon Perkara Nomor 31/PUU-XI/2013 sama dengan yang dipersoalkan oleh para Pemohon perkara a quo. Dengan demikian, terhadap norma mengenai putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat telah dipertimbangkan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XI/2013, sehingga menurut Mahkamah pokok permohonan para Pemohon memiliki keterkaitan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XI/2013. Sementara itu, dalil para Pemohon selebihnya sepanjang masih relevan dengan substansi pertimbangan hukum yang akan diuraikan lebih lanjut oleh Mahkamah akan turut dipertimbangkan lebih lanjut pula.

[3.12.2] Bahwa selanjutnya Mahkamah mempertimbangkan ketidakpastian hukum yang terjadi di tataran pelaksanaan norma, yang ternyata telah terjadi penafsiran berbeda yang tidak sejalan dengan maksud Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XI/2013. Berkenaan dengan hal tersebut setelah dicermati secara saksama terdapat varian persepsi dalam memahami Putusan Mahkamah Konstitusi. Sebab, dalam memahami amar putusan badan peradilan, termasuk putusan Mahkamah, tidak dapat dipisahkan antara amar putusan dengan pertimbangan hukum sebagai ratio decidendi. Demikian halnya dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XI/2013 bahwa yang dimaksudkan oleh Mahkamah adalah sebagaimana yang akan ditegaskan Mahkamah dalam pertimbangan hukum dan kemudian dinyatakan dalam amar putusan a quo;
Bahwa Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XI/2013 telah memberikan pertimbangan di antaranya sebagai berikut:
“Putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (12) UU 15/2011, dapat menimbulkan ketidakpastian hukum apakah final dan mengikat yang dimaksud dalam Undang-Undang tersebut adalah sama dengan final dan mengikatnya putusan lembaga peradilan. Untuk menghindari ketidakpastian hukum atas adanya ketentuan tersebut, Mahkamah perlu menegaskan bahwa putusan final dan mengikat DKPP tidak dapat disamakan dengan putusan final dan mengikat dari lembaga peradilan pada umumnya, oleh karena DKPP adalah perangkat internal Penyelenggara Pemilu yang diberi wewenang oleh Undang-Undang. Sifat final dan mengikat dari putusan DKPP haruslah dimaknai final dan mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, maupun Bawaslu adalah merupakan keputusan pejabat TUN yang bersifat konkrit, individual dan final, yang dapat menjadi objek gugatan di peradilan TUN”

Bahwa dengan pertimbangan demikian, kemudian Mahkamah dalam amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XI/2013 menyatakan frasa “bersifat final dan mengikat”, yaitu harus dimaknai bersifat final dan mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu, yang seharusnya dibaca sebagai satu kesatuan dengan pertimbangan hukum yang menyatakan, “adalah merupakan keputusan pejabat TUN yang bersifat konkrit, individual dan final, yang dapat menjadi objek gugatan di Peradilan TUN”.
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, dalam putusan perkara a quo, di samping Mahkamah kembali menegaskan pendiriannya bahwa DKPP bukanlah lembaga peradilan dan DKPP sebagaimana KPU dan Bawaslu merupakan penyelenggara Pemilu yang memiliki kedudukan setara. Mahkamah juga menegaskan ketiga lembaga penyelenggara Pemilu tersebut mempunyai kedudukan yang sederajat dan tidak ada satu di antaranya yang mempunyai kedudukan yang lebih superior. Dengan demikian, melalui putusan a quo Mahkamah menegaskan dan mengingatkan kepada semua pemangku kepentingan bahwa frasa ’’bersifat final dan mengikat” dalam Pasal 458 ayat (13) UU 7/2017 dimaksudkan mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu adalah merupakan keputusan pejabat TUN yang bersifat konkret, individual dan final, yang dapat menjadi objek gugatan di Peradilan TUN.
Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum di atas, maka terhadap Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu harus melaksanakan Putusan DKPP tersebut dan keputusan yang dikeluarkan oleh lembaga yang menindaklanjuti putusan DKPP tersebut dapat dijadikan objek gugatan oleh pihak yang tidak menerima putusan DKPP dimaksud, dengan mengajukan gugatan pada peradilan TUN. Oleh karena itu, terhadap putusan peradilan TUN yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap harus dipatuhi dan menjadi putusan badan peradilan yang mempunyai kekuatan eksekutorial. Dengan kata lain, yang dimaksud final dan mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu adalah bahwa Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu hanya menindaklanjuti Putusan DKPP yang produknya dapat menjadi objek gugatan pada peradilan TUN. Sehingga dengan demikian dalam konteks ini Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu sebagai atasan langsung yang berwenang mengangkat dan memberhentikan penyelenggara Pemilu sesuai tingkatannya, tidak mempunyai kewenangan untuk berpendapat berbeda yang bertentangan dengan Putusan DKPP ataupun Putusan TUN yang mengkoreksi ataupun menguatkan Putusan DKPP.

[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah berpendapat permohonan para Pemohon sepanjang berkaitan dengan dapat atau tidaknya putusan DKPP menjadi objek PTUN sepanjang sejalan dengan pertimbangan hukum Putusan a quo adalah beralasan menurut hukum. Sedangkan, bagi Mahkamah melalui putusan a quo menegaskan kembali dalam amar putusan perkara a quo, bahwa hakikat pertimbangan hukum putusan perkara Nomor 31/PUU-XI/2013 berkenaan dengan tafsir atas Pasal 458 ayat (13) UU 7/2017 yang selanjutnya harus menjadi tafsir tunggal yang tidak bisa dimaknai lain selain sebagaimana yang ditegaskan dalam amar putusan a quo.

[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian. Sedangkan, terhadap dalil dan hal-hal lain tidak dipertimbangkan karena dipandang tidak relevan dan oleh karena itu harus dinyatakan tidak beralasan menurut hukum.

1. Bahwa terhadap Putusan MK dalam Perkara Nomor 32/PUU-XIX/2021 sebagaimana diuraikan diatas, untuk mengisi kekosongan hukum berdasarkan Pasal 458 ayat (13) UU 7/2017, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan saran sebagai berikut:
a. Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 32/PUU-XIX/2021 sebagai bahan dalam penyusunan Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka.
b. Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 32/PUU-XIX/2021 sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan KUHP.
2. Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh seluruh organ penyelenggara Negara, organ penegak hukum dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 32/PUU-XIX/2021 mengenai materi muatan pasal/ayat dalam UU 7/2017 yang dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, agar tidak menimbulkan kekosongan hukum, dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan Perubahan KUHP.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dikabulkan Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 71/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DAN UNDANG- UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 24-02-2022

Bahwa pada hari Kamis tanggal 24 Februari 2022, pukul 10.31 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP) dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (selanjutnya disebut UU Jaminan Fidusia) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 71/PUU- XIX/2021. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 71/PUU-XIX/2021, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian KUHP dan UU Jaminan Fidusia dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.12.1] Bahwa para Pemohon mendalilkan norma Pasal 372 KUHP yang menyatakan “Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”, bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “Barang siapa dengan sengaja memiliki dengan melawan hak suatu benda yang sama sekali atau sebahagiannya termasuk kepunyaan orang lain dan benda itu ada dalam tangannya bukan karena kejahatan, dihukum karena penggelapan, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak sembilan ratus rupiah, kecuali terhadap objek jaminan fidusia yang tidak ditunjukkan oleh debitur karena tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dan debiturtidak secara sukarela menyerahkan objek jaminan fidusia”. Atau, sepanjang tidak mengandung makna debitur yang tidak menunjukkan objek jaminan fidusia dalam rangka melindungi dari penarikan secara sepihak oleh kreditur karena tidak adanya kesepakatan tentang cidera janji tidak dianggap sebagai tindak pidana penggelapan.
2

Terhadap dalil para Pemohon a quo penting bagi Mahkamah untuk menegaskan terlebih dahulu mengenai hukum pidana. Hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik yang mengatur hubungan antara individu/masyarakat dengan negara berupa norma yang disertai dengan pengaturan dan ancaman sanksi bagi siapa pun yang melanggarnya. Hukum pidana meliputi atau terdiri dari hukum pidana umum dan hukum pidana khusus. Dalam hal ini, secara doktriner, hukum pidana umum adalah hukum pidana yang diberlakukan bagi setiap orang yang bersumber dari KUHP, sedangkan hukum pidana khusus adalah hukum pidana yang diberlakukan bagi orang-orang tertentu yang bersumber/diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan di luar KUHP.
Bahwa para Pemohon mengajukan pengujian ketentuan Pasal 372 KUHP, di mana ketentuan ini termasuk dalam Bab XXIV tentang Penggelapan yang merupakan bagian ketentuan hukum pidana umum. Para Pemohon dalam permohonannya memohon agar ketentuan Pasal
372 KUHP diberikan pemaknaan pengecualian khusus untuk tindak pidana yang berkaitan dengan jaminan fidusia. Menurut Mahkamah, apa yang dimohonkan para Pemohon secara fundamental akan mengubah konstruksi norma hukum yang terdapat dalam Pasal 372 KUHP. Sebab, konstruksi norma hukum Pasal 372 KUHP tersebut bersifat universal, yang artinya, ruang lingkup bekerjanya ketentuan tersebut dapat ditujukan untuk objek apapun yang dilakukan setiap subjek hukum yang diduga melakukan tindak pidana yang memenuhi unsur-unsur delik tindak pidana penggelapan. Oleh karena itu, tindak pidana penggelapan tidak dapat hanya dikaitkan dengan jenis perbuatan hukum tertentu sebagaimana pengecualian yang diinginkan oleh para Pemohon. Dengan demikian, apabila penambahan frasa “kecuali terhadap objek jaminan fidusia yang tidak ditunjukkan oleh debitur karena tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dan debitur tidak secara sukarela menyerahkan objek jaminan fidusia”, atau, sepanjang tidak mengandung makna debitur yang tidak menunjukkan objek jaminan fidusia dalam rangka melindungi dari penarikan secara sepihak oleh kreditur karena tidak adanya kesepakatan tentang cidera janji tidak dianggap sebagai tindak pidana penggelapan” sebagaimana yang dimohonkan oleh para Pemohon diakomodir, maka hal tersebut justru akan mempersempit ruang lingkup dari sifat ketentuan norma Pasal 372 KUHP dan mengakibatkan timbulnya ketidakpastian hukum. Sementara, dalam ketentuan UU 42/1999 telah diatur beberapa ketentuan pidana yang berkaitan dengan penegakan norma primernya, sebagaimana dimaktubkan dalam ketentuan Pasal 35 UU 42/1999 yang mengatur mengenai perbuatan yang dengan sengaja memalsukan, mengubah, menghilangkan atau dengan cara apapun memberikan keterangan secara
3

menyesatkan, yang jika hal tersebut diketahui oleh salah satu pihak tidak melahirkan perjanjian Jaminan Fidusia, serta dalam Pasal 36 UU 42/1999 yang mengatur mengenai sanksi pidana bagi Pemberi Fidusia yang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia. Dengan demikian, jika dipandang masih terdapat persoalan dalam memberikan sanksi pidana atas pelanggaran perjanjian fidusia maka menjadi otorisasi pembentuk undang-undang untuk mengaturnya, kecuali jika persoalan pelanggaran tersebut berkaitan dengan konstitusionalitas norma maka Mahkamah berwenang untuk menilainya.
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil para Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas norma Pasal 372 KUHP adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.12.2] Bahwa selanjutnya para Pemohon mendalilkan inkonstitusionalitas norma Pasal 30 UU 42/1999 beserta Penjelasannya karena norma a quo tidak terlepas dari pengujian Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 yang telah diputus oleh Mahkamah Kontitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU- XVII/2019, bertanggal 6 Januari 2020 dan telah ditegaskan kembali di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU-XIX/2021 bertanggal 31 Agustus2021.
....
Berkenaan dengan dalil para Pemohon a quo, menurut Mahkamah, pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU- XVII/2019 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU- XIX/2021 sesungguhnya telah terang benderang menjawab mengenai prosedur penyerahan objek fidusia sehingga kekhawatiran para Pemohon mengenai akan timbulnya eksekusi secara sepihak atau penarikan semena-mena yang dilakukan oleh kreditur, tidaklah akan terjadi. Sebab, Mahkamah juga telah mempertimbangkan mengenai tata cara eksekusi sertifikat jaminan fidusia yang diatur dalam ketentuan lain dalam UU 42/1999 agar disesuaikan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019. Artinya, putusan a quo berkenaan dengan Penjelasan Pasal 15 ayat (2) tidaklah berdiri sendiri karena ketentuan pasal-pasal lain dalam UU 42/1999 yang berkaitan dengan tata cara eksekusi harus pula mengikuti dan menyesuaikan dengan putusan a quo, termasuk ketentuan Pasal 30 UU 42/1999 beserta Penjelasannya. Dengan demikian, pihak kreditur tidak dapat melakukan eksekusi sendiri secara paksa misalnya dengan meminta bantuan aparat kepolisian, apabila mengenai cidera janji (wanprestasi) oleh pemberi hak fidusia (debitur) terhadap kreditur yang masih belum diakui oleh debitur dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela benda yang menjadi objek dalam perjanjian fidusia. Dalam hal ini, Mahkamah telah
4

menegaskan kembali dalam Putusan Mahkamah KonstitusiNomor 2/PUU- XIX/2021 bahwa kreditur harus mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi kepada Pengadilan Negeri.
Bahwa berkaitan dengan eksekusi jaminan objek fidusia, penting ditegaskan oleh Mahkamah, perjanjian fidusia adalah hubungan hukum yang bersifat keperdataan (privat) oleh karena itu kewenangan aparat kepolisian hanya terbatas mengamankan jalannya eksekusi bila diperlukan, bukan sebagai bagian dari pihak eksekutor, kecuali ada tindakan yang mengandung unsur- unsur pidana maka aparat kepolisian baru mempunyai kewenangan untukpenegakan hukum pidananya. Oleh karena itu, berkenaan dengan frasa “pihak yang berwenang” dalam Penjelasan Pasal 30 UU 42/1999 adalah dimaknai “pengadilan negeri” sebagai pihak yang diminta bantuan untuk melaksanakan eksekusi tersebut.
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil para Pemohon berkenaan dengan Pasal 30 UU 42/1999 telah menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana termaktub dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan menghilangkan hak perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, dan martabat sebagaimana termaktub dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.
Sedangkan, terhadap dalil para Pemohon berkenaan dengan Penjelasan Pasal 30 UU 42/1999 telah menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana termaktub dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan menghilangkan hak perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, dan martabat sebagaimana termaktub dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian.

1. Bahwa terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 71/PUU-XIX/2021 sebagaimana diuraikan di atas, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan saran sebagai berikut:
a. Menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 71/PUU-XIX/2021 sebagai bahan dalam penyusunan Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka.
b. Menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 71/PUU-XIX/2021 sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Jaminan Fidusia.
2. Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan langsung dilaksanakan (self executing) oleh seluruh organ penyelenggara negara, organ penegak hukum, dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 71/PUU-XIX/2021 yang menyatakan frasa “pihak yang berwenang” UU Jaminan Fidusia bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “pengadilan negeri” dapat digunakan sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dikabulkan Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 21/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 15-12-2021

Bahwa pada hari Rabu, tanggal 15 Desember 2021, pukul 10.58 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 21/PUU-XIX/2021. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 21/PUU-XIX/2021, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian KUHP dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.12] Menimbang bahwa berkaitan dengan isu konstitusionalitas yang dipersoalkan oleh para Pemohon pada esensinya adalah berkenaan dengan inkonstitusionalitas Pasal 288 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) dan ayat (2) KUHP sebagaimana inti petitum para Pemohon yang dapat dipahami Mahkamah pada Paragraf [3.7] angka 4. Terhadap hal tersebut penting bagi Mahkamah untuk menegaskan hal-hal sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa berkenaan dengan norma Pasal 288 KUHP (dikutip dari buku KUHP terbitan Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Tahun 2010) yang selengkapnya berbunyi:
(1) Barang siapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang wanita yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, apabila perbuatan mengakibatkan luka-luka diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama delapan tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Sedangkan norma Pasal 293 KUHP (dikutip dari buku KUHP terbitan Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Tahun 2010) selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
(1) Barang siapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang, menyalahgunakan perbawa yang timbul dari hubungan keadaan, atau dengan penyesatan sengaja menggerakkan seorang belum dewasa dan baik tingkah-lakunya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul dengan dia, padahal tentang belum kedewasaannya, diketahui atau selayaknya harus diduganya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan orang yang terhadap dirinya dilakukan kejahatan itu.
(3) Tenggang waktu tersebut dalam pasal 74 bagi pengaduan ini adalah masing-masing sembilan bulan dan dua belas bulan.
Selanjutnya berkenaan dengan norma di atas, para Pemohon pada pokoknya memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 288 ayat (1) KUHP sepanjang frasa “belum waktunya untuk dikawin” dan Pasal 293 ayat (1) KUHP sepanjang frasa “belum dewasa” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “batas umur 19 Tahun". Begitu pula, dengan Pasal 293 ayat (2) KUHP, para Pemohon memohon agar norma a quo dimaknai secara bersyarat sepanjang frasa “penuntutan dilakukan hanya atas pengaduan orang yang terhadap dirinya dilakukan kejahatan itu” (delik aduan absolut) diubah menjadi delik biasa.
Terhadap permohonan para Pemohon a quo, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan berkaitan “batas umur” sebagai usia minimal untuk dapat melangsungkan perkawinan, Mahkamah telah menegaskan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XV/2017 tanggal 13 Desember 2018 yang dalam Paragraf [3.17] antara lain, menyatakan sebagai berikut:
“… Pasal 7 ayat (1) UU 1/1974 sepanjang frasa “umur 16 (enam belas) tahun” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dibaca “umur 19 (sembilan belas) tahun” sebagaimana dimohonkan para Pemohon dalam petitumnya.
Bahwa sebagaimana telah ditegaskan sebelumnya, penentuan batas usia minimal perkawinan merupakan kebijakan hukum (legal policy) pembentuk undang-undang. Apabila Mahkamah memutuskan batas minimal usia perkawinan, hal tersebut justru akan menutup ruang bagi pembentuk undang-undang di kemudian hari untuk mempertimbangkan lebih fleksibel batas usia minimal perkawinan sesuai dengan perkembangan hukum dan perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, Mahkamah memberikan waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun kepada pembentuk undang-undang untuk sesegera mungkin melakukan perubahan kebijakan hukum terkait batas minimal usia perkawinan, khususnya sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU 1/1974. Sebelum dilakukan perubahan dimaksud, ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU 1/1974 masih tetap berlaku.
Bahwa apabila dalam tenggang waktu tersebut pembentuk undangundang masih belum melakukan perubahan terhadap batas minimal usia perkawinan yang berlaku saat ini, demi untuk memberikan kepastian hukum dan mengeliminasi diskriminasi yang ditimbulkan oleh ketentuan tersebut, maka batas minimal usia perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU 1/1974 diharmonisasikan dengan usia anak sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Anak dan diberlakukan sama bagi laki-laki dan perempuan.”
Berdasarkan kutipan pertimbangan hukum tersebut di atas, berkenaan dengan batas usia termasuk dalam hal ini batas usia perkawinan sesungguhnya Mahkamah telah menegaskan batas dimaksud yang kemudian Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah menyatakan batas usia dimaksud adalah 19 (sembilan belas) tahun. Dengan demikian, frasa “belum waktunya untuk dikawin” sebagaimana termaktub dalam norma Pasal 288 ayat (1) KUHP dan frasa “belum dewasa” dalam Pasal 293 ayat (1) KUHP telah terjawab dengan perubahan norma dimaksud. Namun demikian, perubahan yang berkaitan dengan penentuan batas usia bukanlah menjadi kewenangan Mahkamah untuk menentukannya. Oleh karena itu, melalui Putusan a quo Mahkamah menegaskan agar pembentuk undang-undang untuk menyesuaikan batas usia dalam frasa “belum waktunya untuk dikawin” dalam Pasal 288 ayat (1) KUHP dan frasa “belum dewasa” dalam Pasal 293 ayat (1) KUHP pada perubahan KUHP sesuai dengan semangat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XV/2017 tersebut.
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil para Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas Pasal 288 ayat (1) KUHP, sepanjang frasa “belum waktunya untuk dikawin”, dan Pasal 293 ayat (1) KUHP sepanjang frasa “belum dewasa” adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.12.2] Bahwa selanjutnya berkenaan dengan dalil para Pemohon terkait dengan inkonstitusionalitas norma Pasal 293 ayat (2) KUHP agar dimaknai secara bersyarat sepanjang frasa “penuntutan dilakukan hanya atas pengaduan orang yang terhadap dirinya dilakukan kejahatan itu” (delik aduan absolut) diubah menjadi delik biasa. Terhadap hal tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
Bahwa berkenaan dengan korban tindak pidana dalam perbuatan asusila termasuk dalam hal ini tindak pidana pencabulan yang menjadi korban tidak saja orang dewasa akan tetapi sangat dimungkinkan dialami oleh anak di bawah umur. Oleh karena itu, berkaitan dengan syarat untuk dapat diprosesnya tindak pidana tersebut diperlukan adanya laporan berkenaan dengan telah terjadinya peristiwa pidana yang hal tersebut dapat dilakukan oleh masyarakat maupun korban secara langsung.
Secara doktriner laporan adanya peristiwa pidana dapat dilakukan oleh masyarakat terutama terjadi pada tindak pidana biasa yang tidak dipersyaratkan adanya keharusan pengaduan dari pihak yang menjadi korban (delik biasa) [vide Pasal 108 ayat (1) KUHAP]. Namun demikian, terdapat peristiwa pidana yang diperlukan adanya persyaratan khusus untuk dapat ditindaklanjuti peristiwa pidana tersebut pada tingkat penyidikan dengan syarat secara khusus harus ada pelaporan atau pengaduan dari korban, sebagaimana yang dipersyaratkan dalam Pasal 293 ayat (2) KUHP. Berkenaan dengan persyaratan dimaksud penting bagi Mahkamah untuk menyatakan faktor usia atau kedewasaan memiliki peran berkenaan dengan ada tidaknya laporan tersebut sebagai syarat formal untuk dapat ditindaklanjutinya suatu peristiwa pidana. Dalam hal ini, dalam batas penalaran yang wajar, bilamana korban dari tindak pidana adalah anak di bawah umur, anak di bawah umur dimaksud memiliki banyak keterbatasan untuk melaporkan peristiwa pidana yang dialaminya. Sehingga, sulit bagi proses penegakan hukum yang hanya mengandalkan untuk dilakukannya penyidikan terhadap laporan korban, in casu yang korbannya adalah anak di bawah umur yang secara pengetahuan, psikologis, dan lain-lain memiliki banyak keterbatasan. Sementara itu, korban yang merupakan anak di bawah umur akan membawa dampak sangat serius berkaitan dengan kelangsungan masa depan korban anak di bawah umur yang bersangkutan. Namun demikian, berkenaan dengan laporan atau pengaduan sebagaimana yang dipersyaratkan dalam Pasal 293 ayat (2) KUHP acapkali menimbulkan dilema, di mana tidak setiap korban termasuk keluarga korban menghendaki adanya laporan atau pengaduan tersebut dengan pertimbangan akan terbukanya aib atas peristiwa pidana yang menimpa korban. Namun demikian, di sisi lain tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 293 ayat (2) KUHP adalah tindak pidana yang serius dan tidak dapat dibenarkan, baik dari sisi agama, kesusilaan, maupun ketertiban umum. Oleh karena itu, untuk menyeimbangkan antara perlindungan terhadap korban dan penegakan hukum atas tindak pidana yang telah dilakukan maka ketiadaan laporan atau pengaduan dari korban tidak dapat dijadikan alasan untuk tidak mengungkap peristiwa pidana tersebut. Dengan demikian, Mahkamah berpendapat untuk mengatasi keterbatasan yang dimiliki oleh korban anak di bawah umur, di samping dapat dilaporkan atau diadukan oleh anak dimaksud, laporan atau pengaduan terhadap peristiwa pidana yang terjadi dapat pula dilakukan oleh orang tua, wali, atau kuasanya.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, syarat pelaporan atau pengaduan berkenaan dengan korban anak di bawah umur dalam tindak pidana Pasal 293 ayat (2) KUHP menurut Mahkamah harus dilakukan penyesuaian agar dapat mengakomodir perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat sebagaimana telah dipertimbangkan tersebut di atas. Oleh karena itu, terhadap frasa “penuntutan dilakukan hanya atas pengaduan orang yang terhadap dirinya dilakukan kejahatan itu” sebagaimana termaktub dalam Pasal 293 ayat (2) KUHP harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “pengaduan dapat dilakukan tidak hanya oleh korban akan tetapi dapat pula dilakukan oleh orang tua, wali, atau kuasanya”. Dengan demikian, dalil para Pemohon selebihnya berkaitan dengan norma Pasal 293 ayat (2) KUHP a quo harus dimaknai dari “delik aduan absolut” menjadi “delik biasa” tidak relevan lagi untuk dipertimbangkan. Sebab, dengan telah dimaknainya norma Pasal 293 ayat (2) KUHP berkaitan dengan pengaduan dapat dilakukan tidak hanya oleh korban akan tetapi dapat pula dilakukan oleh orang tua, wali, atau kuasanya. Oleh karena itu, delik aduan absolut yang termaktub dalam Pasal 293 ayat (2) KUHP dengan sendirinya menjadi delik aduan relatif.
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil para Pemohon berkenaan dengan Pasal 293 ayat (2) KUHP telah menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana termaktub dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan telah menghilangkan hak perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, dan martabat sebagaimana termaktub dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian.
[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil-dalil para Pemohon adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian.
[3.14] Menimbang bahwa terhadap dalil-dalil para Pemohon lainnya dan halhal lain yang tidak relevan tidak dipertimbangkan lebih lanjut, sehingga harus dinyatakan tidak beralasan menurut hukum.

1. Bahwa terhadap Putusan MK dalam Perkara Nomor 21/PUU-XIX/2021 sebagaimana diuraikan diatas, untuk mengisi kekosongan hukum berdasarkan Pasal 293 KUHP, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan saran sebagai berikut:
a. Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 21/PUU-XIX/2021 sebagai bahan dalam penyusunan Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka.
b. Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 21/PUU-XIX/2021 sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan KUHP.
2. Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh seluruh organ penyelenggara Negara, organ penegak hukum dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 21/PUU-XIX/2021 mengenai materi muatan pasal/ayat dalam KUHP yang dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, agar tidak menimbulkan kekosongan hukum, dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan Perubahan KUHP.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dikabulkan Sebagian Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 23/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 15-12-2021

Bahwa pada hari Rabu tanggal 15 Desember 2021, pukul 11.27 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UU 37/2004) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 23/PUU-XIX/2021. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 23/PUU-XIX/2021, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU 37/2004 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.8] Menimbang bahwa sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut pokok permohonan Pemohon, Mahkamah terlebih dahulu mempertimbangkan apakah permohonan a quo memenuhi kriteria sebagaimana ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021), sehingga terhadap norma a quo dapat dilakukan pengujian kembali. Terhadap persoalan tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.8.1] Bahwa Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU 37/2004 pernah diajukan pengujiannya kepada Mahkamah dalam Perkara Nomor 17/PUU-XVIII/2020 dan telah diputus pada 23 Juni 2020, dengan amar putusan, “Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya”;
[3.8.2] Bahwa dalam perkara Nomor 17/PUU-XVIII/2020 Pemohon pada pokoknya mendalilkan Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU 37/2004 tidak mencerminkan asas keadilan dan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena adanya pembatasan upaya hukum, sehingga tidak tertutup kemungkinan celah tersebut dimanfaatkan untuk merekayasa persaingan bisnis yang tidak sehat dengan tujuan menjatuhkan dan menghentikan bisnis kompetitornya melalui pengadilan niaga;
[3.8.3] Bahwa adapun dalam perkara a quo, Pemohon sebagaimana terurai dalam Paragraf [3.7] pada pokoknya mendalilkan adanya kesempatan yang diberikan kepada kreditor untuk mengajukan permohonan PKPU dapat digunakan untuk mempailitkan perusahaan atau badan usaha yang masih solven, padahal tidak ada upaya hukum apapun. Sementara itu, dalam undang-undang yang sama, perkara permohonan pailit yang juga berujung dijatuhkannya putusan pailit diberikan akses keadilan untuk mendapatkan upaya hukum, baik kasasi maupun peninjauan kembali. Hal ini tentu menunjukkan adanya ketidakadilan dan ketidakpastian serta diskriminasi upaya hukum yang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Berdasarkan hal tersebut Pemohon memohon agar Pasal 235 ayat (1), Pasal 293 ayat (1), dan Pasal 295 ayat (1) UU 37/2004 dinyatakan inkonstitusional bersyarat.
[3.8.4] Bahwa meskipun dalam Perkara Nomor 17/PUU-XVIII/2020 dan permohonan a quo menggunakan dasar pengujian yang sama yakni Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, akan tetapi dalam uraiannya Pemohon a quo menguraikan pertentangan pasal-pasal yang diuji tidak hanya dengan ketidakadilan namun juga ketidakpastian dan diskriminasi upaya hukum yang juga merupakan nilai atau asas yang terdapat dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Selain itu, terdapat perbedaan alasan permohonan Pemohon a quo dengan Perkara Nomor 17/PUU-XVIII/2020 yakni Pemohon a quo secara spesifik telah menguraikan alasan tidak adanya upaya hukum apapun terhadap putusan PKPU yang permohonannya diajukan oleh kreditor sebagaimana dialami oleh Pemohon. Oleh karena itu, dalam petitum permohonan Pemohon a quo memohon menyatakan pasal-pasal yang diuji tidak sekadar inkonstitusional sebagaimana yang dimohonkan dalam Perkara Nomor 17/PUU-XVIII/2020, namun inkonstitusional bersyarat. Terlebih lagi, dalam permohonan a quo pasal yang diuji tidak hanya Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU 37/2004 sebagaimana Perkara Nomor 17/PUU-XVIII/2020, akan tetapi juga terdapat pengujian terhadap Pasal 295 ayat (1) UU 37/2004 yang menentukan ketiadaan upaya hukum peninjauan kembali terhadap persoalan konstitusional yang dihadapi Pemohon;

[3.9] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah terlepas secara substansial permohonan a quo beralasan atau tidak, secara formal permohonan a quo memenuhi ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 ayat (2) PMK 2/2021, sehingga permohonan a quo dapat diajukan kembali.

[3.10] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon memenuhi Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 ayat (2) PMK 2/2021, maka Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan Pemohon lebih lanjut.

[3.17] Menimbang bahwa setelah membaca dan mencermati secara saksama permohonan Permohon beserta alat-alat bukti yang diajukan, keterangan DPR, keterangan Presiden, keterangan Pihak Terkait Mahkamah Agung, keterangan Pihak Terkait IKAPI, dan keterangan Pihak Terkait AKPI, Mahkamah selanjutnya mempertimbangkan dalil-dalil permohonan Pemohon sebagai berikut:
[3.17.1] Bahwa berkenaan dengan permohonan PKPU tidak dapat dilepaskan dari keadaan keuangan seorang debitor yang mengalami kesulitan, sehingga berpotensi adanya ketidakmampuan membayar utang-utangnya dan oleh karenanya diperlukan beberapa upaya antara lain:
1. mengadakan perdamaian di luar pengadilan dengan para kreditornya atau di dalam pengadilan apabila debitor digugat secara perdata;
2. mengajukan permohonan PKPU termasuk mengajukan perdamaian dalam PKPU;
3. mengajukan permohonan agar debitor dinyatakan pailit oleh pengadilan termasuk mengajukan perdamaian dalam kepailitan.
Berkenaan dengan beberapa alternatif di atas, salah satu pilihan terbaik yang dapat dilakukan oleh debitor adalah dengan mengajukan permohonan PKPU kepada pengadilan niaga. Sebab, pilihan demikian sama halnya dengan debitor akan mendapatkan kesempatan untuk menata kembali kemampuan keuangannya dan pada akhirnya dapat dihindari akibat fatal yang dialami debitor pailit. Oleh karena itu, debitor mendapat kesempatan untuk menata kelangsungan usahanya serta memperoleh manfaat waktu, ekonomi, dan kepastian hukum. Dengan mendapatkan kesempatan untuk mengajukan permohonan PKPU, debitor dapat bermusyawarah dengan para kreditor tentang cara-cara pembayaran utangnya dengan memberikan rencana pembayaran seluruh atau sebagian utangnya, termasuk apabila diperlukan dan disepakati untuk melakukan restrukturisasi atas utang-utang debitor tersebut.
Bahwa berkenaan dengan permohonan PKPU dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang tentang Kepailitan Menjadi Undang-Undang (UU 4/1998) yang menjadi “cikal bakal” UU 37/2004 pada dasarnya hanya memberikan hak kepada debitor untuk mengajukan permohonan PKPU dengan alasan debitor tidak dapat atau memperkirakan bahwa debitor tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih [vide Pasal 212 UU 4/1998]. Namun, dalam ketentuan Pasal 222 ayat (1) UU 37/2004 permohonan PKPU tidak hanya diajukan debitor, akan tetapi juga dapat diajukan oleh kreditor. Hal demikian yang kemudian menimbulkan persoalan yang disebabkan adanya ketidaksesuaian antara tujuan permohonan PKPU, yang semula adalah menjadi instrumen bagi debitor di dalam menghindari adanya kepailitan dengan mengajukan permohonan PKPU, namun pada kenyataannya akibat pailit tersebut tidak dapat dihindari apabila permohonan PKPU diajukan oleh kreditor dan tidak diperoleh adanya perdamaian.
[3.17.2] Bahwa perspektif perdamaian a quo merupakan instrumen fundamental yang menjadi parameter keberhasilan permohonan PKPU. Sebab, tujuan yang paling hakiki dimohonkannya permohonan PKPU adalah untuk mencapai kesepakatan antara debitor dan kreditor dalam rencana menyelesaikan utang debitor baik sebagian atau seluruhnya serta dilakukannya restrukturisasi utang-utang debitor tersebut. Oleh karena itu, kesepakatan adanya perdamaian atas rencana penyelesaian utang dan restrukturisasi utang debitor dimaksud meskipun berasal dari kedua belah pihak, debitor dan kreditor, akan tetapi debitorlah yang sesungguhnya mengetahui secara pasti tentang keadaan kemampuan keuangannya yang kemudian dijadikan bagian pada klausula-klausula dalam mengajukan skema pembayaran kepada kreditor. Dengan demikian, filosofi permohonan PKPU secara natural awalnya hanya menjadi hak dari debitor adalah berkenaan dengan argumentasi bahwa hanya debitorlah sesungguhnya yang mengetahui kemampuan pembayaran atas utang-utangnya. Oleh karena itu, persoalan mendasar yang harus diuraikan oleh Mahkamah selanjutnya adalah berkenaan dengan permohonan PKPU yang diajukan oleh kreditor.
[3.17.3] Bahwa berkaitan dengan permohonan PKPU yang diajukan oleh kreditor secara terminologi adalah hak yang diberikan kepada kreditor untuk mengajukan permohonan dengan alasan kreditor memperkirakan bahwa debitor tidak dapat melanjutkan pembayaran utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dengan memohon agar debitor diberi penundaan kewajiban pembayaran utang, untuk memungkinkan debitor mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditornya [vide Pasal 222 ayat (3) UU 37/2004]. Lebih lanjut, secara doktriner dapat dijelaskan, hak untuk mengajukan permohonan PKPU oleh kreditor didasarkan pada pertimbangan salah satunya penerapan asas keseimbangan dan asas keadilan. Artinya, apabila debitor benar-benar mengalami kesulitan untuk melakukan rencana pembayaran atas utangnya terhadap kreditor maka kepada kreditor diberi hak untuk mengajukan permohonan PKPU agar debitor tidak dalam keadaan yang semakin sulit di dalam menyelesaikan utang-utangnya, sehingga dapat dihindari adanya kepailitan. Oleh karena itu, “niat baik” dari kreditor seharusnya tidak boleh tercederai oleh tujuan lain yang justru akan menghadapkan debitor dalam posisi dapat kehilangan kesempatan untuk melanjutkan kelangsungan usahanya dan “terjebak” dalam keadaan pailit.
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, menjadi sangat penting untuk memberikan penegasan bahwa sepanjang permohonan PKPU masih dapat diajukan oleh kreditor perlu dilakukan kontrol atas itikad baik dari kreditor agar benar-benar tidak mencederai “niat baik” tersebut, sehingga eksistensi debitor yang menjadi bagian dari pelaku usaha yang turut berperan dalam menjaga stabilitas ekonomi tetap terjaga kelangsungan usahanya dan justru tidak disalahgunakan. Dengan demikian, kepastian hukum instrumen PKPU benar-benar dapat diwujudkan sesuai dengan semangat dari UU 37/2004 yaitu memberikan perlindungan hukum terhadap para pelaku usaha agar tidak mudah dipailitkan.

[3.18] Menimbang bahwa sebelum Mahkamah menguraikan lebih jauh berkenaan dengan permohonan Pemohon a quo, penting bagi Mahkamah untuk mengaitkan permohonan a quo dengan Perkara Nomor 17/PUU-XVIII/2020 yang dalam amar putusannya pada pokoknya menyatakan Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU 37/2004 adalah konstitusional. Namun demikian, setelah Mahkamah mencermati permohonan maupun amar putusan dalam Perkara Nomor 17/PUU-XVIII/2020 tersebut, telah ternyata isu pokok yang dijadikan alasan dalam permohonannya tidak terkait dengan “agar dapat dilakukannya upaya hukum terhadap putusan PKPU yang diajukan oleh kreditor”. Dengan demikian, berkaitan dengan putusan dalam permohonan a quo Mahkamah berpendapat dimungkinkan adanya perubahan pendirian oleh Mahkamah yang disebabkan karena adanya persoalan fundamental yang berkenaan dengan upaya hukum terhadap permohonan PKPU yang diajukan kreditor sebagaimana mengemuka dalam pemeriksaan persidangan perkara a quo. Khususnya, keterangan dari Pihak Terkait baik Mahkamah Agung maupun IKAPI. Oleh karena itu, perubahan pendirian demikian adalah hal yang dapat dibenarkan dan konstitusional sepanjang mempunyai ratio legis yang dapat dipertanggungjawabkan, sebagaimana telah Mahkamah uraikan pada pertimbangan hukum di atas.
Bahwa berdasarkan alasan-alasan pertimbangan hukum tersebut di atas, sesungguhnya yang paling mengetahui secara konkret berkenaan dengan kemampuan keuangan atau finansial adalah debitor dan agar putusan pengadilan atas permohonan PKPU yang diajukan kreditor dapat dilakukan koreksi sebagai bagian dari mekanisme kontrol atas putusan pengadilan pada tingkat di bawah. Terlebih, terhadap permohonan PKPU yang diajukan oleh kreditor dan tawaran perdamaian yang diajukan oleh debitor ditolak oleh kreditor, hal demikian tidak tertutup kemungkinan terdapat adanya “sengketa” kepentingan para pihak yang bernuansa contentiosa dan bahkan terhadap putusan hakim pada tingkat di bawah dapat berpotensi adanya keberpihakan atau setidak-tidaknya terdapat kemungkinan adanya kesalahan dalam penerapan hukum oleh hakim, maka Mahkamah berpendapat terhadap permohonan PKPU yang diajukan oleh kreditor dan tawaran perdamaian dari debitor ditolak oleh kreditor diperlukan adanya upaya hukum.
Bahwa lebih lanjut berkaitan dengan upaya hukum a quo Mahkamah mempertimbangkan, esensi permohonan PKPU adalah perkara yang berdimensi diperlukan adanya kepastian hukum yang cepat dalam lapangan usaha dan terkait dengan stabilitas perekonomian suatu negara, sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Umum UU 37/2004 yang antara lain menjelaskan, “Untuk kepentingan dunia usaha dalam menyelesaikan masalah utang-piutang secara adil, cepat, terbuka, dan efektif, sangat diperlukan perangkat hukum yang mendukungnya.” Oleh karena itu, berkenaan dengan upaya hukum tersebut cukup dibuka untuk satu kesempatan (satu tingkat) dan terkait dengan upaya hukum dengan alasan karena adanya kemungkinan kesalahan dalam penerapan hukum oleh hakim di tingkat bawah, Mahkamah berkesimpulan jenis upaya hukum yang tepat adalah kasasi (tanpa dibuka hak mengajukan upaya hukum peninjauan kembali). Sementara itu, untuk permohonan PKPU yang diajukan oleh kreditor dan tawaran perdamaian dari debitor diterima oleh kreditor maka hal tersebut tidak ada relevansinya lagi untuk dilakukan upaya hukum.

[3.19] Menimbang bahwa oleh karena terhadap permohonan PKPU yang diajukan oleh kreditor dan tidak diterimanya tawaran perdamaian yang diajukan oleh debitor dapat diajukan upaya hukum kasasi, oleh karena itu sebagai konsekuensi yuridisnya terhadap pasal-pasal lain yang terdapat dalam UU 37/2004 yang tidak dilakukan pengujian dan terdampak dengan putusan a quo maka pemberlakuannya harus menyesuaikan dengan putusan perkara ini. Demikian halnya, guna mengatur lebih lanjut berkenaan dengan mekanisme pengajuan upaya hukum kasasi sebagaimana dipertimbangkan tersebut di atas, maka Mahkamah Agung secepatnya membuat regulasi berkaitan dengan tatacara pengajuan upaya hukum kasasi terhadap putusan PKPU yang diajukan oleh kreditor di mana tawaran perdamaian dari debitor telah ditolak oleh kreditor.

[3.20] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat norma Pasal 235 ayat (1) yang menyatakan “Terhadap putusan penundaan kewajiban pembayaran utang tidak dapat diajukan upaya hukum apapun” dan Pasal 293 ayat (1) yang menyatakan “Terhadap putusan Pengadilan berdasarkan ketentuan dalam Bab III ini tidak terbuka upaya hukum, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini” UU 37/2004 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat apabila tidak dikecualikan diperbolehkannya upaya hukum kasasi terhadap putusan PKPU yang diajukan oleh kreditor dan ditolaknya tawaran perdamaian dari debitor. Sementara itu, terhadap norma Pasal 295 ayat (1) UU 37/2004 yang menyatakan, “Terhadap putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dapat diajukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini” oleh karena hal ini berkaitan dengan upaya hukum peninjauan kembali dan sebagaimana telah dipertimbangkan dalam pertimbangan hukum sebelumnya terhadap upaya hukum peninjauan kembali a quo tidak dibenarkan dengan alasan untuk menghindari pembengkakan jumlah perkara di Mahkamah Agung dan demi kepastian hukum dalam kelangsungan dunia usaha. Di samping itu, oleh karena sifat perkara kepailitan dan PKPU adalah perkara yang berdimensi “cepat” (“speedy trial”) dengan demikian dalil Pemohon berkaitan dengan inkonstitusionalitas Pasal 295 ayat (1) UU 37/2004 adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.21] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, telah ternyata Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU 37/2004 telah terbukti menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sedangkan Pasal 295 ayat (1) UU 37/2004 telah ternyata tidak menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, dalil Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.

[3.22] Menimbang bahwa terhadap dalil dan hal-hal lain dari permohonan dipandang tidak relevan, oleh karenanya tidak dipertimbangkan lebih lanjut.

1. Bahwa terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 23/PUU-XIX/2021 sebagaimana diuraikan di atas, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan saran sebagai berikut:
a. Menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 23/PUU-XIX/2021 sebagai bahan dalam penyusunan Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka.
b. Menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 23/PUU-XIX/2021 sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
2. Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan langsung dilaksanakan (self executing) oleh seluruh organ penyelenggara negara, organ penegak hukum, dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 23/PUU-XIX/2021 yang menyatakan UU 37/2004 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “diperbolehkannya upaya hukum kasasi terhadap putusan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang diajukan oleh kreditor dan ditolaknya tawaran perdamaian dari debitor”, harus segera ditindaklanjuti dengan cepat mengingat banyaknya pengaturan dalam UU 37/2004 dan dampaknya terhadap kepastian hukum di Indonesia.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dikabulkan Sebagian Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 91/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 25-11-2021

Bahwa pada hari Kamis tanggal 25 November 2021, pukul 13.17 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (selanjutnya disebut UU 11/2020) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 91/PUU-XVIII/2020, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU 11/2020 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

Dalam Provisi
[3.11] Menimbang bahwa para Pemohon mengajukan permohonan provisi yang pada pokoknya memohon kepada Mahkamah untuk menjatuhkan Putusan Sela dengan menunda keberlakuan UU 11/2020 hingga adanya putusan akhir terhadap pokok permohonan a quo, dengan alasan menurut para Pemohon terdapat ketentuan-ketentuan norma yang tidak dapat dilaksanakan akibat adanya kesalahan rujukan dalam UU a quo. Selain itu, para Pemohon juga memohon agar Mahkamah memrioritaskan penyelesaian proses pemeriksaan perkara para Pemohon a quo dalam waktu 30 hari sehingga diputus sebelum penanganan Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah. Terhadap permohonan provisi para Pemohon, menurut Mahkamah, alasan permohonan provisi yang diajukan oleh para Pemohon adalah berkaitan erat dengan materi muatan UU 11/2020 sehingga tidak tepat dijadikan sebagai alasan permohonan pengujian formal. Adapun terhadap permohonan pemeriksaan prioritas, telah Mahkamah pertimbangkan pada bagian tenggang waktu penyelesaian perkara sebagaimana pada Paragraf [3.4]. Dengan demikian permohonan provisi para Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
Dalam Pokok Permohonan
[3.17] Menimbang bahwa sebelum menjawab dalil-dalil permohonan yang diajukan oleh para Pemohon, terlebih dahulu Mahkamah akan mempertimbangkan hal-hal yang berkaitan dengan pembentukan undang-undang sebagai berikut:
[3.17.1] Bahwa setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 (UUD 1945), secara konstitusional, proses pembentukan undang-undang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 UUD 1945. Selain itu, pembentukan undang- undang yang berkaitan dengan wewenang Dewan Perwakilan Daerah (DPD) diatur dalam Pasal 22D UUD 1945. Sementara itu, berkenaan dengan pengaturan lebih rendah (delegasi), hal demikian ditentukan dalam norma Pasal 22A UUD 1945. Pengaturan ihwal proses pembentukan undang-undang tersebut selengkapnya sebagai berikut:
Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 menyatakan:
Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 20 UUD 1945 menyatakan:
(1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.
(2) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
(3) Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.
(4) Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang.
(5) Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.
Pasal 22A UUD 1945 menyatakan:
Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang.
Pasal 22D ayat (1) dan (2) UUD 1945 menyatakan:
(1) Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang- undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
(2) Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang- undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.
[3.17.2] Bahwa merujuk pengaturan dalam UUD 1945, pembentukan undang- undang (lawmaking process) adalah merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan secara berkesinambungan yang terdiri dari 5 (lima) tahapan, yaitu: (i) pengajuan rancangan undang-undang; (ii) pembahasan bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden, serta pembahasan bersama antara DPR, Presiden, dan DPD sepanjang terkait dengan Pasal 22D ayat (1) dan (2) UUD 1945; (iii) persetujuan bersama antara DPR dan presiden; (iv) pengesahan rancangan undang-undang menjadi undang-undang; dan (v) pengundangan;
[3.17.3] Bahwa berkenaan dengan tahapan pengajuan rancangan undang- undang, baik yang merupakan pengaturan baru maupun revisi atau perubahan atas undang-undang yang sedang berlaku, secara konstitusional, dapat diajukan atas usul inisiatif dari Presiden (pemerintah), atau atas usul inisiatif dari DPR atau usul inisiatif dari DPD. Perihal rancangan undang-undang dimaksud, pengusulannya harus disertai dengan Naskah Akademik (NA). Secara substanstif, NA minimal memuat, yaitu: dasar-dasar atau alasan-alasan (urgensi) diperlukannya usulan suatu undang-undang atau revisi suatu undang-undang. Dengan penjelasan dimaksud, masyarakat dapat mengetahui implikasinya dalam penyelenggaraan negara atau pemerintahan jika substansi rancangan undang-undang yang diusulkan tidak diakomodasi menjadi undang-undang. Selain penjelasan dimaksud, NA harus pula memuat atau disertai lampiran draf usulan rancangan undang-undang yang substansinya mencerminkan urgensi yang dikemukakan dalam NA.
Bahwa sebagai bagian dari sistem perencanaan pembangunan nasional, pengajuan rancangan undang-undang harus didasarkan kepada Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang dapat memuat atau menentukan skala prioritas setiap tahunnya. Berkenaan dengan hal tersebut, proses penyusunan dan penentuan daftar rencana pembentukan undang-undang termasuk penentuan skala prioritas didasarkan pada undang-undang tentang pembentukan undang-undang, atau undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, atau peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam hal ini, Prolegnas pada hakikatnya tidak sekadar mencantumkan daftar judul RUU melainkan didesain secara terarah, terpadu, dan sistimatis yang harus diikuti dengan konsepsi yang jelas mengenai: a) latar belakang dan tujuan penyusunan; b) sasaran yang ingin diwujudkan; dan c) jangkauan dan arah pengaturan. Selanjutnya, diikuti pula dengan pengkajian dan penyelarasan konsepsi tersebut supaya dapat dicegah terjadinya tumpang tindih pengaturan dan kewenangan.
Meskipun demikian, untuk menampung kondisi atau kebutuhan tertentu, pengajuan rancangan undang-undang dapat dimungkinan di luar Prolegnas. Misalnya, mengatasi kekosongan hukum karena putusan Mahkamah Konstitusi. Sementara itu, perihal persiapan rancangan undang-undang dari masing-masing lembaga yang dapat mengusulkannya (Presiden, DPR, dan DPD) merupakan kebijakan internal masing-masing lembaga. Misalnya DPR, persiapan dapat dilakukan oleh komisi, gabungan komisi, atau badan legislasi. Sedangkan rancangan undang-undang yang diajukan Presiden dapat dipersiapkan oleh menteri atau pimpinan lembaga pemerintah non-kementerian sesuai dengan lingkup tugas dan tanggung jawabnya. Begitu pula yang berasal dari DPD, rancangan undang- undang dapat dipersiapkan oleh komite, gabungan komite, atau panitia perancang undang-undang.
Selain yang dipertimbangan tersebut, perihal kewenangan DPD sebagai salah satu lembaga yang dapat mengajukan rancangan undang-undang, Mahkamah perlu mengemukakan kembali Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012, bertanggal 27 Maret 2013, berkenaan dengan kewenangan konstitusional DPD dalam pengajuan rancangan undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 22D ayat (1) UUD 1945. Putusan a quo menyatakan:
“kata “dapat” dalam Pasal 22D ayat (1) UUD 1945 tersebut merupakan pilihan subjektif DPD “untuk mengajukan” atau “tidak mengajukan” rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah sesuai dengan pilihan dan kepentingan DPD. Kata “dapat” tersebut bisa dimaknai juga sebagai sebuah hak dan/atau kewenangan, sehingga analog atau sama dengan hak dan/atau kewenangan konstitusional Presiden dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Presiden berhak mengajukan rancangan undang- undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”.
Merujuk pertimbangan tersebut, posisi DPD dalam pengajuan rancangan undang-undang sama seperti halnya hak Presiden dalam mengajukan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 sepanjang rancangan undang-undang dimaksud berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah sebagaimana diatur Pasal 22D ayat (1) UUD 1945. Penegasan demikian diperlukan agar pengajuan rancangan undang-undang tidak menegasikan posisi dan kedudukan DPD dalam grand design pembentukan undang-undang;
[3.17.4] Bahwa berkenaan dengan tahapan pembahasan rancangan undang- undang, hal pertama yang harus dikemukakan Mahkamah adalah berkenaan dengan kata “pembahasan” dalam Pasal 20 ayat (2) UUD 1945. Setelah mendalami pendapat yang berkembang dalam pembahasan perubahan UUD 1945, doktrin, dan pengaturan dalam UU 10/2004 yang telah diganti oleh UU 12/2011, kata “dibahas” pada frasa “rancangan undang-undang dibahas” dalam Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 dimaknai sebagai “dibahas bersama” atau “pembahasan bersama”. Dengan demikian bilamana pembahasan rancangan undang-undang di luar substansi Pasal 22D ayat (1) UUD 1945, pembahasan bersama dilakukan antara Presiden dan DPR. Sementara itu, jika substansi rancangan undang-undang berkaitan dengan Pasal 22D ayat (1) UUD 1945 atau rancangan undang-undang diajukan oleh DPD, pembahasan bersama dilakukan antara Presiden, DPR, dan DPD;
Setelah penegasan ihwal makna kata “pembahasan” tersebut, untuk memenuhi proses formal tahapan ini, Mahkamah perlu menegaskan beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, karena tidak diatur secara detail dalam UUD 1945, pembahasan rancangan undang-undang dilakukan sesuai dengan undang-undang yang mengatur ihwal pembentukan undang-undang atau undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Selain itu, pembahasan dapat juga merujuk sumber-sumber lain yang memberikan makna konstitusional terhadap Pasal 20 ayat (2) UUD 1945, seperti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU- X/2012. Misalnya, jikalau merujuk UU 12/2011, pembahasan rancangan undang- undang dilakukan dengan dua tingkat pembicaraan, yaitu Tingkat Pertama yang dilakukan dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat badan legislasi, rapat badan anggaran, atau rapat panitia khusus bersama dengan menteri yang mewakili presiden; dan Tingkat Kedua yang dilakukan dalam rapat paripurna DPR.
Kedua, tahapan pembahasan merupakan fase yang berfokus utama untuk membahas rancangan undang-undang, yaitu membahas Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang diajukan lembaga yang terlibat dalam pembahasan bersama. Berkenaan dengan hal ini, DIM diajukan oleh Presiden jika rancangan undang- undang berasal dari DPR, dan DIM diajukan oleh DPR jika rancangan undang- undang berasal dari Presiden. Sementara itu, bilamana pembahasan rancangan undang-undang berkenaan dengan kewenangan DPD dalam Pasal 22D ayat (1) UUD 1945, DIM diajukan oleh: a) DPR dan DPD jika rancangan undang-undang berasal dari Presiden sepanjang berkaitan dengan kewenangan DPD; b)
DPR dan Presiden jika rancangan undang-undang berasal dari DPD sepanjang terkait dengan kewenangan DPD; atau c)
DPD dan Presiden jika rancangan undang-undang berasal dari DPR.
Ketiga, dengan membaca Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 dan membaca secara saksama perdebatan perubahan ketentuan a quo, pembahasan bersama rancangan undang-undang dilakukan antar-institusi. Artinya, karena pembahasan bertumpu pada DIM, secara konstitusional dalam pembahasan rancangan undang-undang terdapat satu DIM (DIM Presiden atau DIM DPR) sepanjang pembahasan bukan menyangkut kewenangan DPD dalam Pasal 22D ayat (1) UUD 1945. Namun, bilamana pembahasan menyangkut kewenangan DPD, DIM dapat berasal dari Presiden, DPR, atau DPD. Dalam konteks itu, pembahasan DIM adalah pembahasan yang dilakukan antar-lembaga, yaitu: antara Presiden dan DPR (bipartit); dan antara presiden, DPR, dan DPD (tripartit) bila rancangan undang- undang berkenanaan dengan kewenangan DPD dalam Pasal 22D ayat (1) UUD 1945.
Dikarenakan pembahasan rancangan undang-undang dilakukan antar- institusi, selama proses pembahasan berlangsung peran kelompok atau bagian tertentu dalam masing-masing institusi menjadi urusan internal setiap institusi. Misalnya, penentuan siapa atau pihak yang akan mewakili Presiden dalam pembahasan rancangan undang-undang ditentukan Presiden dengan Surat Presiden. Begitu pula dengan DPR dan DPD, selama proses pembahasan rancangan undang-undang yang harus kelihatan adalah peran institusi DPR dan institusi DPD. Dalam hal ini, misalnya, peran fraksi dapat dioptimalkan dalam pembahasan-pembahasan dan pengambilan keputusan di internal DPR. Atau, DPD yang harus kelihatan adalah peran institusi DPD, dapat diwakili komite atau panitia perancang. Dengan demikian, selama pembahasan akan kelihatan pembahasan yang dilakukan antarinstitusi atau antarlembaga, yaitu antara Presiden-DPR; dan antara Presiden-DPR-DPD sepanjang rancangan undang-undang yang berkaitan dengan Pasal 22D ayat (1) UUD 1945. Artinya, prinsip mendasar pembahasan institusi merupakan pembahasan antarinstitusi. Dalam batas penalaran yang wajar, pembahasan antarinstitusi dimaksud menjadikan proses pembahasan rancangan undang-undang lebih sederhana.
Keempat, karena pembahasan akan berujung pada kesepakatan atau persetujuan, guna menghindari kemungkinan terjadinya perubahan terhadap hasil kesepakatan, atau manuver berupa penolakan di ujung proses, kesepakatan- kesepakatan terutama yang berkenaan dengan norma, pasal, atau substansi pasal harus dibubuhi paraf atau tandatangan masing-masing pihak yang mewakili institusi. Khusus untuk perumusan norma atau pasal, pembubuhan paraf atau tandatangan dimaksud penting dilakukan untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan terjadinya perubahan di luar kesepakatan selama pembahasan rancangan undang- undang.
Kelima, sebagai bagian dari proses pembahasan, ihwal penyampaian pendapat mini sebagai sikap akhir, sesuai dengan pola pembahasan antar-institusi yang telah dipertimbangkan di atas, penyampaian pendapat mini dimaksud harus disampaikan oleh perwakilan masing-masing institusi. Artinya, sebelum menyampaikan pendapat mini, semua institusi telah selesai melakukan proses internal untuk menyepakati posisi atau pandangan yang akan disampaikan dalam pendapat mini. Dengan menggunakan pola pembahasan dua tingkat pembicaraan, penyampaian pendapat mini merupakan proses penting dan krusial karena merupakan gambaran posisi atau sikap setiap lembaga sebelum dilakukan pembahasan di tingkat kedua dalam rapat paripurna DPR.
[3.17.5] Bahwa berkenaan dengan tahap persetujuan rancangan undang- undang. Ihwal persetujuan bersama dalam Rapat Paripurna DPR merupakan kelanjutan dari tahap pembahasan. Dalam tahap ini, pendapat mini yang disampaikan oleh masing-masing institusi sebelum memasuki tahap persetujuan bersama dapat saja berubah. Jikalau terjadi perubahan, institusi yang berubah sikap tersebut terlebih dahulu harus menyelesaikan perubahan pendapatnya secara internal. Misalnya, jika terdapat satu fraksi atau lebih yang memiliki pendapat berbeda sebelum dilakukan persetujuan bersama, secara internal DPR menyelesaikannya dengan cara musyawarah. Jika musyawarah tidak mencapai mufakat, DPR memilih cara penentuan sikap dengan mekanisme pemungutan suara (voting). Secara konstitusional, soal terpenting dalam persetujuan bersama adalah pernayataan persetujuan dari masing-masing institusi, yaitu pernyataan persetujuan dari (pihak yang mewakili) presiden dan pernyataan persetujuan dari DPR. Dalam hal ini, sesuai dengan norma Pasal 20 ayat (2) UUD 1945, persetujuan bersama hanya dilakukan oleh Presiden dan DPR.
Masalah konstitusional lain yang perlu dikemukakan oleh Mahkamah berkenaan dengan persetujuan bersama adalah ketika suatu rancangan undang- undang tidak mendapatkan persetujuan bersama. Terhadap hal tersebut, Pasal 20 ayat (3) UUD 1945 menyatakan, “Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu”. Ketentuan a quo memiliki akibat atau konksekuensi terhadap rancangan undang-undang yang ditolak tersebut tidak boleh diajukan lagi dalam masa persidangan ketika persetujuan tersebut dilakukan. Masalah lainnya, bagaimana kalau rancangan undang-undang belum mendapat persetujuan atau masih berada dalam tahap pembahasan, atau sama sekali belum memasuki pembahasan sementara masa jabatan DPR periode bersangkutan telah selesai. Bisakah rancangan undang-undang dimaksud dilanjutkan (carry over) kepada DPR periode berikutnya? Berkenaan dengan hal ini, ketentuan Pasal 20 ayat (3) UUD 1945 tidaklah eksplisit menyangkut RUU yang dapat dilanjutkan pembahasannya kepada DPR periode berikutya. Kemungkinan untuk dapat dilakukan carry over hanya dapat dibenarkan oleh maksud Pasal 22A UUD 1945. Dalam hal ini, dasar hukum dan status rancangan undang-undang carry over hanya dapat dibenarkan dalam kerangka “dengan peraturan lain yang dimaksudkan untuk melaksanakan pembentukan undang-undang sebagaimana termaktub dalam Pasal 22A UUD 1945” sebagaimana maksud Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-VII/2009, tertanggal 16 Juni 2010. Jika menggunakan ketentuan Pasal 71A Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 15/2019) rancangan undang-undang carry over hanya dapat dibenarkan sepanjang memenuhi dua persyaratan secara kumulatif, yaitu (i) telah memasuki pembahasan DIM; dan (ii) dimasukkan kembali ke dalam Prolegnas berdasarkan kesepakatan DPR, Presiden dan/atau DPD.
[3.17.6] Bahwa selanjutnya berkenaan dengan pengesahan rancangan undang-undang, Mahkamah perlu menegaskan ketentuan Pasal 20 ayat (4) UUD 1945 yang merupakan pengesahan formil. Artinya, ketika persetujuan bersama antara Presiden dan DPR telah dicapai, secara doktriner persetujuan tersebut dapat dikatakan sebagai bentuk pengesahan materiil. Pengesahan materiil tidak akan terjadi jika salah satu pihak, baik presiden atau DPR, menolak untuk menyetujui rancangan undang-undang dalam sidang Paripurna DPR. Oleh karena itu, rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden, tidak boleh lagi dilakukan perubahan yang sifatnya substansial. Jikapun terpaksa dilakukan perubahan, hanyalah bersifat format atau penulisan karena adanya kesalahan pengetikan (typo) dan perubahan tersebut tidak boleh mengubah makna norma pasal atau substansi rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama. Sementara itu, jikalau terdapat suatu keadaan, di mana Presiden menolak mengesahkan atau tidak mengesahkan suatu rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama, tindakan penolakan Presiden tersebut tidak menyebabkan suatu undang-undang menjadi cacat formil. Terlebih lagi, Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 telah mengantisipasi kemungkinan tersebut sehingga undang-undang yang tidak disahkan Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang- undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang- undang dan wajib diundangkan.
[3.17.7] Bahwa tahap terakhir dalam pembentukan undang-undang adalah pengundangan (afkondiging/promulgation) yang merupakan tindakan atau pemberitahuan secara formal suatu undang-undang dengan cara menempatkan dalam penerbitan resmi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam hal ini, pengundangan adalah penempatan undang-undang dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dan Penjelasan Undang-Undang dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia. 

[3.17.8] Bahwa selain keterpenuhan formalitas semua tahapan di atas, masalah lain yang harus menjadi perhatian dan dipenuhi dalam pembentukan undang-undang adalah partisipasi masyarakat. Kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembentukan undang-undang sebenarnya juga merupakan pemenuhan amanat konstitusi yang menempatkan prinsip kedaulatan rakyat sebagai salah satu pilar utama bernegara sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Lebih jauh lagi, partisipasi masyarakat juga dijamin sebagai hak-hak konstitusional berdasarkan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 yang memberikan kesempatan bagi warga negara untuk turut serta dalam pemerintahan dan membangun masyarakat, bangsa, dan negara. Apabila pembentukan undang- undang dengan proses dan mekanisme yang justru menutup atau menjauhkan keterlibatan partisipasi masyarakat untuk turut serta mendiskusikan dan memperdebatkan isinya maka dapat dikatakan pembentukan undang-undang tersebut melanggar prinsip kedaulatan rakyat (people sovereignty).
Secara doktriner, partisipasi masyarakat dalam suatu pembentukan undang- undang bertujuan, antara lain, untuk (i) menciptakan kecerdasan kolektif yang kuat (strong collective intelligence) yang dapat memberikan analisis lebih baik terhadap dampak potensial dan pertimbangan yang lebih luas dalam proses legislasi untuk kualitas hasil yang lebih tinggi secara keseluruhan, (ii) membangun lembaga legislatif yang lebih inklusif dan representatif (inclusive and representative) dalam pengambilan keputusan; (iii) meningkatnya kepercayaan dan keyakinan (trust and confidence) warga negara terhadap lembaga legislatif; (iv) memperkuat legitimasi dan tanggung jawab (legitimacy and responsibility) bersama untuk setiap keputusan dan tindakan; (v) meningkatan pemahaman (improved understanding) tentang peran parlemen dan anggota parlemen oleh warga negara; (vi) memberikan kesempatan bagi warga negara (opportunities for citizens) untuk mengomunikasikan kepentingan-kepentingan mereka; dan (vii) menciptakan parlemen yang lebih akuntabel dan transparan (accountable and transparent).
Oleh karena itu, selain menggunakan aturan legal formal berupa peraturan perundang-undangan, partisipasi masyarakat perlu dilakukan secara bermakna (meaningful participation) sehingga tercipta/terwujud partisipasi dan keterlibatan publik secara sungguh-sungguh. Partisipasi masyarakat yang lebih bermakna tersebut setidaknya memenuhi tiga prasyarat, yaitu: pertama, hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard); kedua, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered); dan ketiga, hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained). Partisipasi publik tersebut terutama diperuntukan bagi kelompok masyarakat yang terdampak langsung atau memiliki perhatian (concern) terhadap rancangan undang- undang yang sedang dibahas.
Apabila diletakkan dalam lima tahapan pembentukan undang-undang yang telah diuraikan pada pertimbangan hukum di atas, partisipasi masyarakat yang lebih bermakna (meaningful participation) harus dilakukan, paling tidak, dalam tahapan (i) pengajuan rancangan undang-undang; (ii) pembahasan bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan presiden, serta pembahasan bersama antara DPR, Presiden, dan DPD sepanjang terkait dengan Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945; dan (iii) persetujuan bersama antara DPR dan presiden.
[3.17.9] Bahwa semua tahapan dan partisipasi masyarakat yang dikemukakan di atas digunakan sebagai bagian dari standar penilaian pengujian formil, sehingga memperkuat syarat penilaian pengujian formil sebagaimana termaktub dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-XVII/2019, yaitu:
1. pengujian atas pelaksanaan tata cara atau prosedur pembentukan undang- undang, baik dalam pembahasan maupun dalam pengambilan keputusan atas rancangan suatu undang-undang menjadi undang-undang;
2. pengujian atas bentuk (format) atau sistematika undang-undang;
3. pengujian berkenaan dengan wewenang lembaga yang mengambil keputusan dalam proses pembentukan undang-undang; dan
4. pengujian atas hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil.
Semua tahapan dan standar sebagaimana diuraikan dan dipertimbangkan di atas, akan digunakan untuk menilai keabsahan formalitas pembentukan undang- undang yang dilekatkan atau dikaitkan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Perlu Mahkamah tegaskan, penilaian terhadap tahapan dan standar dimaksud dilakukan secara akumulatif. Dalam hal ini, jikalau minimal satu tahapan atau satu standar saja tidak terpenuhi dari semua tahapan atau semua standar yang ada, maka sebuah undang-undang dapat dikatakan cacat formil dalam pembentukannya. Artinya, cacat formil undang-undang sudah cukup dibuktikan apabila terjadi kecacatan dari semua atau beberapa tahapan atau standar dari semua tahapan atau standar sepanjang kecacatan tersebut telah dapat dijelaskan dengan argumentasi dan bukti-bukti yang tidak diragukan untuk menilai dan menyatakan adanya cacat formil pembentukan undang-undang.
[3.18] Menimbang bahwa berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil-dalil para Pemohon, sebagai berikut:

[3.18.1] Bahwa para Pemohon mendalilkan pembentukan UU 11/2020 dengan metode omnibus law telah menimbulkan ketidakjelasan apakah UU 11/2020 tersebut merupakan UU baru, UU perubahan ataukah UU pencabutan, sehingga bertentangan dengan ketentuan teknik pembentukan peraturan perundang- undangan yang telah ditentukan dalam UU 12/2011. Terhadap dalil para Pemohon a quo Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.18.1.1] Bahwa UUD 1945 pada prinsipnya telah menentukan kerangka pembentukan undang-undang sebagaimana pertimbangan hukum pada Paragraf [3.17]. Bertolak pada ketentuan Pasal 22A UUD 1945 saat ini diberlakukan UU 12/2011 yang telah diubah dengan UU 15/2019 sebagai delegasi UUD 1945, sebagaimana hal tersebut dipertegas dalam konsideran “Mengingat” UU 12/2011 yang menyatakan UU a quo didasarkan pada Pasal 22A UUD 1945 serta dijelaskan pula bahwa Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan merupakan pelaksanaan dari perintah Pasal 22A UUD 1945 [vide Penjelasan Umum UU 12/2011]. Oleh karena UU 12/2011 merupakan pendelegasian UUD 1945 maka dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 51 ayat (3) UU MK, untuk pemeriksaan permohonan pengujian formil dan pengambilan putusannya harus pula mendasarkan pada tata cara pembentukan UU yang diatur dalam UU 12/2011. Hal ini sejalan dengan pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-VII/2009, bertanggal 16 Juni 2010, pada Paragraf [3.19], yang menyatakan:
“...menurut Mahkamah jika tolok ukur pengujian formil harus selalu berdasarkan pasal-pasal UUD 1945 saja, maka hampir dapat dipastikan tidak akan pernah ada pengujian formil karena UUD 1945 hanya memuat hal-hal prinsip dan tidak mengatur secara jelas aspek formil proseduralnya. Padahal dari logika tertib tata hukum sesuai dengan konstitusi, pengujian secara formil itu harus dapat dilakukan. Oleh sebab itu, sepanjang Undang-Undang, tata tertib produk lembaga negara, dan peraturan perundang-undangan yang mengatur mekanisme atau formil-prosedural itu mengalir dari delegasi kewenangan menurut konstitusi, maka peraturan perundang-undangan itu dapat dipergunakan atau dipertimbangkan sebagai tolok ukur atau batu uji dalam pengujian formil”.
[3.18.1.2] Bahwa dengan demikian, dalam mengadili perkara pengujian formil UU selain mendasarkan pada UUD 1945, Mahkamah juga mendasarkan antara lain pada UU 12/2011 sebagaimana telah diubah dengan UU 15/2019 sebagai UU yang mengatur tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan. Sebagai perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 10/2004), UU 12/2011 menyempurnakan segala kekurangan dari UU sebelumnya mengenai aspek teknik penyusunan peraturan perundang-undangan yang baik dengan sekaligus memberikan contoh- contoh dalam Lampiran UU 12/2011 sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari UU a quo agar dapat memberikan pedoman yang lebih jelas, pasti dan baku dalam penyusunannya yang merupakan bagian dari pembentukan peraturan perundang- undangan [vide Penjelasan Umum UU 12/2011]. Penjelasan ini pada prinsipnya merupakan elaborasi dari maksud dalam konsideran “Menimbang” huruf b UU a quo yang menyatakan:
“bahwa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atas peraturan perundang- undangan yang baik, perlu dibuat peraturan mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan yang dilaksanakan dengan cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membentuk peraturan perundang-undangan”.
Dengan demikian, berarti setiap pembentuk peraturan perundang- undangan, in casu pembentuk UU, harus menggunakan cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang sudah ditentukan, baik yang terkait dengan penyusunan naskah akademik maupun rancangan undang-undang, sebagaimana hal tersebut dimaktubkan dalam Pasal 44 dan Pasal 64 UU 12/2011 yang selengkapnya menyatakan:
Pasal 44 menyatakan:
(1) Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang- Undang dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan Naskah Akademik.
(2) KetentuanmengenaiteknikpenyusunanNaskahAkademiksebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
Pasal 64 menyatakan:
(1) Penyusunan Rancangan Peraturan Perundang-undangan dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan.
(2) Ketentuan mengenai teknik penyusunan Peraturan Perundang- undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang- Undang ini.
(3) ........
[3.18.1.3] Bahwa adanya ketentuan Pasal 44 dan Pasal 64 UU 12/2011 yang menghendaki baik penyusunan naskah akademik maupun rancangan undang- undang dilakukan sesuai dengan teknik yang telah ditentukan adalah untuk menciptakan tertib dalam pembentukan peraturan perundang-undangan sehingga produk hukum yang nantinya akan dibentuk menjadi mudah untuk dipahami dan dilaksanakan sesuai dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang- undangan [vide Pasal 5 UU 12/2011]. Oleh karena itu, diperlukan tata cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membentuk peraturan perundang-undangan, sebagaimana maksud konsideran “Menimbang” huruf b UU 12/2011. Lembaga yang dimaksud yaitu Presiden, DPR, dan DPD. Sedangkan, mengenai cara dan metode yang pasti, baku, dan standar tersebut telah dituangkan dalam Lampiran UU 12/2011 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari UU a quo.
[3.18.1.4] Bahwa berkenaan dengan pertimbangan hukum tersebut di atas, Lampiran I UU 12/2011 telah menentukan standar baku perumusan judul suatu peraturan perundang-undangan yang di dalamnya berisi nama peraturan perundang–undangan yang dibuat secara singkat dengan hanya menggunakan 1 (satu) kata atau frasa tetapi secara esensial maknanya mencerminkan isi peraturan perundang-undangan [vide Lampiran II Bab I Kerangka Peraturan Perundang- undangan huruf A angka 2 dan angka 3]. Jika peraturan tersebut merupakan perubahan maka pada nama peraturan perundang–undangan perubahan ditambahkan frasa perubahan atas di depan judul peraturan perundang-undangan yang hendak diubah [vide Lampiran II Bab I Kerangka Peraturan Perundang- undangan huruf A angka 6], contoh:
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 2 TAHUN 2011
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK
Dalam perkara a quo, setelah dibaca dan dicermati muatan UU 11/2020 telah ternyata berkaitan dengan 78 (tujuh puluh delapan) undang-undang di mana 77 (tujuh puluh tujuh) undang-undang merupakan perubahan undang-undang dan 1 (satu) undang-undang berupa pencabutan undang-undang. Sementara itu, berkaitan dengan pencabutan UU sebagai suatu UU pencabutan yang berdiri sendiri, maka harus merujuk pada huruf E Lampiran II UU 12/2011 mengenai “Bentuk Rancangan Undang–Undang Pencabutan Undang-Undang” yang telah menentukan format bakunya bahwa pada nama peraturan perundang-undangan pencabutan ditambahkan kata “pencabutan” di depan judul peraturan perundang- undangan yang dicabut. Kecuali, jika pencabutan suatu UU dilakukan karena berkaitan dengan UU baru yang dibentuk maka penempatan pencabutannya adalah pada bagian “Ketentuan Penutup” dari sistematika UU baru. Pada umumnya Ketentuan Penutup memuat mengenai: a. penunjukan organ atau alat kelengkapan yang melaksanakan Peraturan Perundang-undangan; b. nama singkat Peraturan Perundang-undangan; c. status Peraturan Perundang-undangan yang sudah ada; dan d. saat mulai berlaku Peraturan Perundang-undangan [vide butir 137 Lampiran II UU 12/2011]. Lebih lanjut, dalam bagian sistematika Ketentuan Penutup telah ditentukan pula standar baku dalam merumuskan norma pencabutan suatu UU yaitu:
143. Jika materi muatan dalam Peraturan Perundang-undangan yang baru menyebabkan perubahan atau penggantian seluruh atau sebagian materi muatan dalam Peraturan Perundang-undangan yang lama, dalam Peraturan Perundang-undangan yang baru harus secara tegas
144. Rumusan pencabutan Peraturan Perundang-undangan diawali dengan frasa Pada saat ...(jenis Peraturan Perundang-undangan) ini mulai berlaku, kecuali untuk pencabutan yang dilakukan dengan Peraturan Perundang-undangan pencabutan tersendiri.
145. Demi kepastian hukum, pencabutan Peraturan Perundang-undangan tidak dirumuskan secara umum tetapi menyebutkan dengan tegas Peraturan Perundang-undangan yang dicabut.
146. Untuk mencabut Peraturan Perundang-undangan yang telah diundangkan dan telah mulai berlaku, gunakan frasa dicabut dan dinyatakan tidak berlaku [vide Lampiran II UU 12/2011].
Sementara itu, dalam UU 11/2020 ketentuan mengenai pencabutan UU secara utuh tidak dirumuskan sesuai dengan sistematika yang telah ditentukan dalam Lampiran II UU 12/2011 tetapi diletakkan pada bagian pasal-pasal dari ketentuan UU yang mengalami perubahan sebagaimana termaktub dalam Bagian Keenam UU 11/2020 mengenai Undang-Undang Gangguan yang dalam Pasal 110 UU a quo dinyatakan bahwa:
Staatsblad Tahun 1926 Nomor 226 yuncto staatsblad Tahun 1940 Nomor 450 tentang Undang-Undang Gangguan (Hinderordonantie) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
[3.18.1.5] Bahwa lebih lanjut, berkenaan dengan penamaan UU yang dimohonkan pengujian dalam perkara a quo telah ternyata menggunakan nama baru yaitu UU tentang Cipta Kerja, oleh karenanya Mahkamah dapat memahami apa yang menjadi persoalan inti para Pemohon yakni adanya ketidakjelasan apakah UU a quo merupakan UU baru atau UU perubahan. Terlebih, dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 UU 11/2020 dirumuskan pula nomenklatur Cipta Kerja adalah upaya penciptaan kerja melalui usaha kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha, dan investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional. Dengan adanya penamanan baru suatu undang-undang yaitu UU tentang Cipta Kerja yang kemudian dalam Bab Ketentuan Umum diikuti dengan perumusan norma asas, tujuan dan ruang lingkup yang selanjutnya dijabarkan dalam bab dan pasal-pasal terkait dengan ruang lingkup tersebut [vide Pasal 6 sampai dengan Pasal 15 UU 11/2020], maka UU 11/2020 tidaklah sejalan dengan rumusan baku atau standar dalam pembentukan peraturan perundang-undangan karena hal demikian sesungguhnya menunjukkan norma yang dibentuk tersebut seolah-olah sebagai undang-undang baru. Namun, substansi terbesar dalam UU 11/2020 telah ternyata adalah merupakan perubahan terhadap sejumlah undang- undang.
[3.18.1.6] Bahwa jika yang dilakukan adalah perubahan suatu UU, tidak perlu dibuat ketentuan umum yang berisi nomenklatur baru, yang kemudian diikuti dengan rumusan asas, tujuan, serta ruang lingkup, kecuali jika hal-hal yang akan diubah dari suatu undang-undang mencakup materi tersebut. Sebab, dari sejumlah UU yang telah diubah oleh UU 11/2020, UU asli/asalnya masing-masing masih tetap berlaku - walaupun tidak ditegaskan mengenai keberlakuan UU lama tersebut dalam UU 11/2020 -, sementara, dalam UU yang lama telah ditentukan pula asas-asas dan tujuan dari masing-masing UU yang kemudian dijabarkan dalam norma pasal-pasal yang diatur dalam masing-masing UU tersebut [vide Penjelasan Umum UU 12/2011].
Oleh karena itu, dengan dirumuskannya asas-asas dan tujuan dalam UU 11/2020 yang dimaksudkan untuk dijabarkan dalam sejumlah UU yang dilakukan perubahan akan menimbulkan ketidakpastian atas asas-asas dan tujuan UU mana yang pada akhirnya harus diberlakukan karena asas-asas dan tujuan dari UU yang lama pada kenyataanya masih berlaku. Berkenaan dengan hal ini, UU 12/2011 telah menentukan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan (asas formil) sebagai keharusan untuk digunakan dalam membentuk peraturan perundang- undangan. Namun, ternyata tidak digunakan sebagaimana mestinya sehingga menimbulkan ketidakjelasan cara atau metode yang digunakan oleh UU 11/2020. Hal ini tentu tidak sejalan dengan maksud “asas kejelasan rumusan” dalam UU 12/2011 yang menghendaki agar setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya [vide Pasal 5 huruf f UU 12/2011 dan Penjelasannya].
[3.18.1.7] Bahwa lebih lanjut, apabila merujuk pada Lampiran II UU 12/2011 telah ditentukan pula mengenai format perubahan peraturan perundang-undangan [vide Lampiran II huruf D] di antaranya:

1. Bahwa terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 91/PUU-XVIII/2020 sebagaimana diuraikan di atas, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan saran sebagai berikut:
a. Menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 sebagai bahan dalam penyusunan Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka.
b. Menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
2. Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan langsung dilaksanakan (self executing) oleh seluruh organ penyelenggara negara, organ penegak hukum, dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan UU 11/2020 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan” harus segera ditindaklanjuti dengan cepat mengingat banyaknya pengaturan dalam UU 11/2020 dan dampaknya terhadap kepastian hukum di Indonesia.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dikabulkan Sebagian Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 37/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN FORMIL DAN MATERIIL ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2020 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2020 TENTANG KEBIJAKAN KEUANGAN NEGARA DAN STABILITAS SISTIM KEUANGAN UNTUK PENANGANAN PANDEMI CORONA VIRUS DISEASE 2019 (COVID-19) DAN/ATAU DALAM RANGKA MENGHADAPI ANCAMAN YANG MEMBAHAYAKAN PEREKONOMIAN NASIONALDAN/ATAU STABILITAS SISTEM KEUANGAN MENJADI UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 28-10-2021

Bahwa pada hari Kamis tanggal 28 Oktober 2021, pukul 10.33 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistim Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasionaldan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (UU 2/2020) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020 perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian norma Lampiran yang terdapat dalam Judul, Pasal 1 ayat (3), Pasal 2 ayat (1) huruf a, Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, Pasal 2 ayat (1) huruf e angka 2, Pasal 2 ayat (1) huruf f, Pasal 2 ayat (1) huruf g, Pasal 3 ayat (2), Pasal 4 ayat (1) huruf a, Pasal 4 ayat (2), Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 9, Pasal 10 ayat (1), Pasal 10 ayat (2), Pasal 12 ayat (1), Pasal 16 ayat (1) huruf c, Pasal 19, Pasal 23 ayat (1) huruf a, Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 29 UU 2/2020 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
Dalam Pengujian Formil
[3.16] Menimbang bahwa terhadap permohonan pengujian formil yang pada pokoknya para Pemohon mendalilkan bahwa dengan tidak dilibatkannya DPD dalam pembahasan UU 2/2020 yang substansinya berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintah daerah telah mereduksi nilai-nilai rule of law dengan demikian kekuasaan DPD dikurangi untuk ikut membahas dan memberikan pertimbangan terhadap isu daerah tidak diapliklasikan secara maksimal dan pengambilan keputusan melalui rapat virtual berpotensi melanggar kedaulatan rakyat dan telah mereduksi esensi pelaksanaan mandat rakyat yang dititipkan kepada para wakilnya di DPR dan juga mereduksi nilai-nilai demokrasi, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.16.1] Bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012, bertanggal 27 Maret 2013 Sub-paragraf [3.18.1] Mahkamah telah memberikan tafsir konstitusional atas Pasal 22D UUD 1945 yang mengatur kewenangan konstusional DPD. Mengenai kewenangan DPD dalam mengajukan RUU, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
“…DPD mempunyai posisi dan kedudukan yang sama dengan DPR dan Presiden dalam mengajukan RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Mahkamah menilai, menempatkan RUU dari DPD sebagai RUU usul DPD, kemudian dibahas oleh Badan Legislasi DPR, dan menjadi RUU dari DPR adalah ketentuan yang mereduksi kewenangan DPD untuk mengajukan RUU yang telah ditentukan dalam Pasal 22D ayat (1) UUD 1945;”
Sementara itu, mengenai kewenangan DPD ikut membahas RUU dinyatakan oleh Mahkamah dalam putusan yang sama pada Sub-paragraf [3.18.2] antara lain sebagai berikut:
“…Dengan demikian, pembahasan RUU harus melibatkan DPD sejak memulai pembahasan pada Tingkat I oleh komisi atau panitia khusus DPR, yaitu sejak menyampaikan pengantar musyawarah, mengajukan, dan membahas Daftar Inventaris Masalah (DIM) serta menyampaikan pendapat mini sebagai tahap akhir dalam pembahasan di Tingkat I. Kemudian DPD menyampaikan pendapat pada pembahasan Tingkat II dalam rapat paripurna DPR sampai dengan sebelum tahap persetujuan. Menurut Mahkamah, pembahasan RUU dari DPD harus diperlakukan sama dengan RUU dari Presiden dan DPR. Terhadap RUU dari Presiden, Presiden diberikan kesempatan memberikan penjelasan, sedangkan DPR dan DPD memberikan pandangan. Begitu pula terhadap RUU dari DPR, DPR diberikan kesempatan memberikan penjelasan, sedangkan Presiden dan DPD memberikan pandangan. Hal yang sama juga diperlakukan terhadap RUU dari DPD, yaitu DPD diberikan kesempatan memberikan penjelasan, sedangkan DPR dan Presiden memberikan pandangan. Konstruksi UUD 1945 mengenai pembahasan RUU antara Presiden dan DPR, serta DPD (dalam hal terkait RUU tertentu) dilakukan antara lembaga negara, sehingga DIM, diajukan oleh masing-masing lembaga negara…”
Namun demikian, dalam putusan yang sama juga pada Sub-paragraf [3.18.3] Mahkamah antara lain telah mempertimbangkan bahwa DPD tidak memberikan persetujuan sebagai berikut:
“…Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 hanya menegaskan DPD ikut membahas tanpa ikut memberi persetujuan. Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, DPD tidak ikut memberi persetujuan terhadap RUU untuk menjadi Undang-Undang;”
Merujuk pertimbangan Mahkamah terhadap ketentuan Pasal 22D ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945, menurut Mahkamah, UU 2/2020 merupakan undang-undang yang berasal dari Perpu. Berdasarkan ketentuan Pasal 22D ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945, dari aspek pengusulan sebuah RUU, DPD hanya diberikan kewenangan legislasi sebagaimana diatur dalam Pasal 22D UUD 1945, yakni berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Sementara itu, dari aspek pembahasan, DPD berwenang mengikuti pembahasan terhadap RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah serta memberikan pertimbangan kepada DPR atas Rancangan Undang-Undang tentang APBN dan Rancangan Undang-Undang tentang pajak, pendidikan, dan agama. Sekalipun sebagian substansi UU 2/2020 mengandung materi yang berkaitan langsung dengan kebijakan anggaran/keuangan negara, namun dikarenakan UU a quo berasal dari Perpu Nomor 1/2020 sehingga secara konstitusional proses penetapan Perpu menjadi undang-undang tunduk kepada norma Pasal 22 UUD 1945. Dalam hal ini Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, ”Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”. Latar belakang Presiden mengeluarkan Perpu ini didasarkan pada fakta adanya pandemi Covid-19. Hal demikian tertuang dalam konsideran “Menimbang” yang diuraikan dengan lebih rinci dalam bagian Penjelasan Perpu 1/2020 sebagai berikut:
“Pada tahun 2020 ini, dunia mengalami bencana pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-l9). Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID19) membawa risiko bagi kesehatan masyarakat dan bahkan telah merenggut korban jiwa bagi yang terinfeksi di berbagai belahan penjuru dunia, termasuk Indonesia.
Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-l9) juga secara nyata telah mengganggu aktivitas ekonomi dan membawa implikasi besar bagi perekonomian sebagian besar negara-negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Pertumbuhan ekonomi global diperkirakan akan menurun dari 3% (tiga persen) menjadi hanya l,5 % (satu koma lima persen) atau bahkan lebih rendah dari itu.
Perkembangan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) juga berpotensi mengganggu aktivitas perekonomian di Indonesia. Salah satu implikasinya berupa penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diperkirakan dapat mencapai 4% (empat persen) atau lebih rendah, tergantung kepada seberapa lama dan seberapa parah penyebaran pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19) mempengaruhi atau bahkan melumpuhkan kegiatan masyarakat dan aktivitas ekonomi.
Terganggunya aktivitas ekonomi akan berimplikasi kepada perubahan dalam postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2020 baik sisi Pendapatan Negara, sisi Belanja Negara, maupun sisi Pembiayaan. Potensi perubahan APBN Tahun Anggaran 2020 berasal dari terganggunya aktivitas ekonomi atau pun sebaliknya. Gangguan aktivitas ekonomi akan banyak berpotensi mengganggu APBN Tahun Anggaran 2020 dari sisi Pendapatan Negara.
Respon kebijakan keuangan negara dan fiskal dibutuhkan untuk menghadapi risiko pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), antara lain berupa peningkatan belanja untuk mitigasi risiko kesehatan, melindungi masyarakat dan menjaga aktivitas usaha. Tekanan pada sektor keuangan akan mempengaruhi APBN Tahun Anggaran 2020 terutama sisi Pembiayaan.
Implikasi pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-l9) telah berdampak pula terhadap ancaman semakin memburuknya sistem keuangan yang ditunjukkan dengan penurunan berbagai aktivitas ekonomi domestik karena langkah-langkah penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang berisiko pada ketidakstabilan makroekonomi dan system keuangan yang perlu dimitigasi bersama oleh Pemerintah maupun koordinasi kebijakan dalam KSSK, sehingga diperlukan berbagai upaya Pemerintah dan lembaga terkait untuk melakukan tindakan antisipasi (forward looking) untuk menjaga stabilitas sektor keuangan.
Penyebaran pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang memberikan dampak dan mengancam pertumbuhan ekonomi Indonesia antara lain karena menurunnya penerimaan negara serta ketidakpastian ekonomi global, memerlukan kebijakan dan langkah-langkah luar biasa (ertraordinary) di bidang keuangan negara termasuk di bidang perpajakan dan keuangan daerah, dan sektor keuangan, yang harus segera diambil Pemerintah dan lembaga-lembaga terkait guna mengatasi kondisi mendesak tersebut dalam rangka penyelamatan kesehatan, perekonomian nasional, dengan fokus pada belanja kesehatan, jaring pengaman sosial (social safety net), serta pemulihan dunia usaha yang terdampak. Oleh karena itu, diperlukan perangkat hukum yang memadai untuk memberikan landasan yang kuat bagi Pemerintah dan lembaga-lembaga terkait untuk pengambilan kebijakan dan langkah-langkah dimaksud.
Bahwa setelah mencermati bagian Penjelasan Perpu 1/2020, Mahkamah perlu mengaitkan dengan syarat hal ihwal kegentingan yang memaksa sebagaimana ditentukan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, bertanggal 8 Februari 2010, yaitu: a) adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang; b) Undang-Undang yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau tidak memadainya Undang-Undang yang saat ini ada; dan c) kondisi kekosongan hukum yang tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa yang memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan. Sehingga, menurut Mahkamah Perpu a quo telah memenuhi persyaratan sebagaimana ditentukan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009.
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah penetapan Perpu 1/2020 menjadi UU 2/2020 telah sesuai dengan ketentuan Pasal 22 UUD 1945, sehingga dalil para Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum.
[3.16.2] Bahwa terhadap dalil para Pemohon yang pada pokoknya mendalilkan pengambilan keputusan melalui rapat virtual berpotensi melanggar kedaulatan rakyat, menurut Mahkamah Pandemi Covid-19 merupakan pandemi global yang telah ditetapkan World Health Organization (WHO) pada 11 Maret 2020. Tidak hanya WHO, di Indonesia, pandemi Covid-19 telah ditetapkan oleh Presiden sebagai bencana nasional non-alam yang memicu munculnya kedaruratan Kesehatan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Dampak pandemi Covid-19 ini berpengaruh terhadap seluruh aspek kehidupan termasuk ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan dan tidak hanya pada aspek kesehatan saja sebagaimana tertuang pada Penjelasan Perpu 1/2020. Adanya perubahan pola interaksi antar-manusia yang harus menerapkan protokol kesehatan seperti menjaga jarak baik secara fisik maupun secara sosial (physical and social distancing), menghindari kerumunan, membatasi pergerakan orang, memakai masker, mencuci tangan guna mencegah penularan. Kondisi ini menuntut penanganan secara cepat dan tepat, salah satunya dengan membuat berbagai regulasi. Namun, proses pembentukan undang-undang mengalami berbagai macam kendala disebabkan adanya pembatasan pergerakan masyarakat melalui Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) maupun Pembatasan Pemberlakuan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Begitu pula dalam berbagai penyelenggaraan negara pun mengalami permasalahan serupa. Oleh karena itu, kinerja legislasi dalam rangka membuat regulasi yang dibutuhkan masyarakat maupun demi efektivitas jalannya proses dan program pemerintahan tidak boleh terhambat. Dengan demikian menurut Mahkamah, pertemuan yang dilakukan secara virtual oleh DPR dan Presiden dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi saat ini dalam membuat regulasi yang dibutuhkan adalah sebuah kebutuhan dan suatu terobosan untuk tetap menghadirkan negara dalam kehidupan masyarakat terutama dalam masa pandemi. Terlebih lagi, di masa pandemi Covid-19 yang secara faktual telah menimbulkan krisis kesehatan, kemanusiaan, dan perlunya segera dilakukan penyelamatan ekonomi serta keuangan dengan berorientasi pada keselamatan rakyat. Sebab, keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi (Salus Populi Suprema Lex Esto).
Bahwa dalam menyikapi pandemi Covid-19 dan untuk tetap dapat menjalankan tugas dalam penyusunan legislasi, tindakan yang dilakukan DPR dengan menetapkan Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib (Tatib DPR 2020) yang mulai berlaku pada 2 April 2020 adalah bagian dari upaya mengantisipasi penyebaran Covid-19. Berdasarkan Tatib DPR 2020 tersebut di dalam ketentuan Pasal 254 ayat (4) dinyatakan bahwa:
“Semua jenis rapat DPR dihadiri oleh Anggota, kecuali dalam keadaan tertentu, yakni keadaan bahaya, kegentingan yang memaksa, keadaan luar biasa, keadaan konflik, bencana alam, dan keadaan tertentu lain yang memastikan adanya urgensi nasional, rapat dapat dilaksanakan secara virtual dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi.”
Dengan menggunakan dasar hukum tersebut, DPR melalui Badan Anggaran bersama Pemerintah melakukan Pembahasan Tingkat I UU a quo pada tanggal 4 Mei 2020 dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi melalui rapat virtual. Begitu pun halnya dengan Pembahasan Tingkat II yang menyetujui Perpu 1/2020 menjadi UU pada Rapat Paripurna tanggal 12 Mei 2020 dilaksanakan dengan menggunakan rapat kombinasi secara fisik maupun dengan teknologi informasi dan komunikasi melalui rapat virtual.
Pelaksanaan rapat yang dihadiri secara virtual telah diatur secara jelas dalam Pasal 279 ayat (6) Tatib DPR 2020 yang menyatakan bahwa:
“Dalam hal penandatanganan daftar hadir Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak dapat dilakukan dan disebabkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 254 ayat (4), kehadiran Anggota dalam semua jenis rapat DPR dilakukan berdasarkan kehadiran secara virtual.”
Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 279 ayat (7) Tatib DPR 2020 menyatakan bahwa:
“Bukti kehadiran secara virtual sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat dikonfirmasi dan diverifikasi keabsahannya melalui Sekretariat Jenderal DPR.”
Oleh karena itu, berdasarkan dokumen sebagaimana terlampir dalam Lampiran II, maka Pembahasan Tingkat II yang menyetujui Perpu 1/2020 menjadi UU pada Rapat Paripurna tanggal 12 Mei 2020 yang dilakukan dengan metode hybrid, yakni metode gabungan rapat virtual dengan rapat fisik yang dilakukan secara bersamaan. Rapat Paripurna DPR pada 12 Mei 2020 yang memberikan persetujuan atas RUU Penetapan Perpu 1/2020 menjadi UU tersebut, dihadiri oleh 438 Anggota DPR (355 orang mengikuti secara virtual dan 83 orang hadir secara fisik). Namun demikian, menurut Mahkamah, pembentukan undang-undang di masa pandemi harus tetap memerhatikan asas keterbukaan. Berdasarkan Penjelasan ketentuan Pasal 5 huruf g UU 12/2011 yang dimaksud dengan asas keterbukaan sebagai berikut.
“Yang dimaksud dengan “asas keterbukaan” adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.”
Berdasarkan hal di atas, salah satu inti dari asas keterbukaan ini adalah akses masyarakat terhadap parlemen (access to parliament). Di masa pandemi Covid-19 yang telah berlangsung sejak awal 2020 hingga saat ini di mana mobilitas, kegiatan, acara baik itu Rapat Dengar Pendapat (RDP), seminar, diskusi terbatas (Focus Group Dicsussion) dan jaring aspirasi publik serba terbatas, tetapi di sisi lain kerja legislasi oleh lembaga perwakilan rakyat tak boleh terhambat. Banyak RUU yang harus diselesaikan sesuai dengan perencanaan yang telah ditetapkan oleh DPR untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan pelaku usaha. Oleh karena itu, partisipasi publik tidak dapat dilakukan secara langsung (tatap muka) karena keterbatasan-keterbatasan yang diakibatkan kondisi pandemi, sehingga partisipasi publik secara konvensional tidak relevan dipersoalkan dalam masa pandemi Covid-19. Dengan demikian, berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah bahwa dalil para Pemohon yang pada pokoknya menyatakan bahwa rapat virtual berpotensi melanggar kedaulatan rakyat tidak beralasan menurut hukum.
[3.17] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan tersebut di atas menurut Mahkamah terkait dengan pengujian formil yang diajukan oleh para Pemohon dalam permohonan a quo adalah tidak beralasan menurut hukum.

Dalam Pengujian Materiil
[3.18] Menimbang bahwa selanjutnya terhadap pengujian materiil sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon dalam Paragraf [3.11] di atas, Mahkamah akan mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.18.1] Bahwa setelah Mahkamah mencermati dalil-dalil para Pemohon berkenaan dengan Judul dan norma Pasal 1 ayat (3), Pasal 2 ayat (1) huruf a, Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, Pasal 2 ayat (1) huruf e angka 2, Pasal 2 ayat (1) huruf f, Pasal 2 ayat (1) huruf g, Pasal 3 ayat (2), Pasal 4 ayat (1) huruf a, Pasal 4 ayat (2), Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 9, Pasal 10 ayat (1), Pasal 10 ayat (2), Pasal 12 ayat (1), Pasal 16 ayat (1) huruf c, Pasal 19, dan Pasal 23 ayat (1) huruf a Lampiran UU 2/2020 tidak dapat dilepaskan dari kekhawatiran para Pemohon yang pada pokoknya, antara lain sebagai berikut (selengkapnya termuat dalam Duduk Perkara):
1. Bahwa berkaitan dengan Judul dan Pasal 1 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 para Pemohon mengkhawatirkan UU a quo ditujukan tidak hanya untuk menangani pandemi Covid-19 tetapi juga untuk krisis ekonomi dan sistem keuangan di luar yang berkaitan dengan pandemi Covid-19.
2. Bahwa berkaitan dengan Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, dan angka 3 Lampiran UU 2/2020 para Pemohon mengkhawatirkan mengenai adanya penetapan defisit anggaran yang dilakukan sepihak oleh Pemerintah karena tidak melibatkan DPR dan pertimbangan DPD sehingga dapat menimbulkan penyalahgunaan.
3. Bahwa berkaitan dengan Pasal 2 ayat (1) huruf e angka 2 Lampiran UU 2/2020 para Pemohon mengkhawatirkan mengenai adanya ketidakpastian penggunaan dana abadi pendidikan.
4. Bahwa berkaitan dengan Pasal 2 ayat (1) huruf f juncto Pasal 16 ayat (1) huruf c dan Pasal 19 Lampiran UU 2/2020 para Pemohon mengkhawatirkan mengenai a) tidak adanya persetujuan DPR dalam penerbitan surat utang negara (SUN) dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN); b) BI dapat membeli SUN dan/atau SBSN yang diterbitkan oleh Pemerintah di pasar perdana; c) penggunaan dana pembelian SUN dan/atau SBSN oleh BI ialah untuk menjaga kesinambungan pengelolaan keuangan negara.
5. Bahwa berkaitan dengan Pasal 2 ayat (1) huruf g Lampiran UU 2/2020 para Pemohon mengkhawatirkan mengenai adanya keleluasaan pemerintah untuk menetapkan sumber-sumber pembiayaan anggaran untuk penanganan Covid-19 beserta dampaknya terhadap multiaspek secara unilateral.
6. Bahwa berkaitan dengan Pasal 3 ayat (2) Lampiran UU/2020 para Pemohon mengkhawatirkan mengenai adanya kewenangan luas pemerintah untuk melakukan refocusing anggaran yang mereduksi pelaksanaan otonomi daerah.
7. Bahwa berkaitan dengan Pasal 4 ayat (1) huruf a juncto Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b Lampiran UU 2/2020 para Pemohon mengkhawatirkan mengenai adanya pemberian insentif pajak yang diiringi dengan PHK yang berimplikasi terhadap menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat.
8. Bahwa berkaitan dengan Pasal 4 ayat (1) huruf b, Pasal 4 ayat (2), Pasal 6 dan Pasal 7 Lampiran UU 2/2020 menurut para Pemohon pengaturan perpajakan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) tidak secara langsung bertautan dengan penanganan pandemi Covid-19.
9. Bahwa berkaitan dengan Pasal 9 dan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) Lampiran UU 2/2020 para Pemohon mengkhawatirkan mengenai adanya pembebasan atau keringanan bea masuk yang ditujukan pada ruang lingkup yang sangat luas dan tidak terbatas untuk penanganan pandemi Covid-19 serta membuka jalan mengubah ketentuan pembebasan bea masuk atas barang impor berdasarkan tujuan pemakaiannya.
10. Bahwa berkaitan dengan Pasal 12 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 para Pemohon mengkhawatirkan mengenai tidak adanya akun rekening khusus berpotensi adanya penyimpangan anggaran penanganan pandemi Covid-19.
11. Bahwa berkaitan dengan Pasal 23 ayat (1) huruf a Lampiran UU 2/2020 para Pemohon mengkhawatirkan mengenai adanya pemberian kewenangan yang besar kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk merestrukturisasi Lembaga jasa keuangan yang berpotensi mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya secara tepat di tengah pandemi Covid-19 atau dengan kata lain OJK dapat memaksa bank bermasalah untuk direstrukturisasi dan memaksa bank yang sehat untuk bergabung, melebur, mengambil alih, berintegrasi dengan bank bermasalah.
Bahwa berkaitan hal-hal sebagaimana yang didalilkan para Pemohon tersebut di atas, setelah dicermati dengan saksama dalil-dalil para Pemohon dimaksud telah ternyata saling berkaitan erat dan bertumpu pada argumen khusus yaitu adanya kekhawatiran para Pemohon berkenaan dengan penggunaan keuangan negara dalam penanggulangan pandemi Covid 19. Terhadap dalil-dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat sesungguhnya pilihan kebijakan pemerintah sebagaimana tertuang dalam norma-norma yang dilakukan pengujian tersebut di atas oleh para Pemohon adalah pilihan kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah karena adanya keterdesakan keadaan atau kondisi darurat. Dalam hal ini, kebijakan dalam penanganan pandemi Covid-19 yang tidak bisa tidak harus bersentuhan dengan soal keuangan atau anggaran, termasuk dalam hal ini kemungkinan-kemungkinan adanya asumsi penyalahgunaan keuangan negara dimaksud. Oleh karena itu, Mahkamah dapat memahami pilihan kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah tersebut karena pemerintah memang memiliki pilihan yang sangat terbatas dalam penanganan pandemi Covid-19 yang tentunya memerlukan beban anggaran yang tidak bisa diprediksi sebagaimana layaknya beban anggaran negara dalam keadaan normal. Dengan demikian, Mahkamah tidak serta-merta juga menegasikan adanya kekhawatiran-kekhawatiran semua pihak, termasuk dalam hal ini para Pemohon, adanya gangguan stabilitas keuangan yang dipergunakan untuk fokus pada penanganan pandemi Covid-19. sehingga, terkait dengan persoalan perluasan judul yang dikhawatirkan oleh para Pemohon dengan sendirinya telah terjawab dengan adanya penegasan a quo dari Mahkamah. Namun demikian, dalam keadaaan yang dilema seperti saat ini Mahkamah menegaskan tidak ada persoalan konstitusionalitas berkaitan dengan norma-norma yang dipersoalkan para Pemohon tersebut di atas sepanjang hal tersebut hanya berkaitan dengan penanganan pandemi Covid-19. Oleh karena itu, dalil-dalil para Pemohon berkaitan dengan inkonstitusionalitas pasal-pasal tersebut di atas tidak beralasan menurut hukum.
[3.18.2] Bahwa terlepas dari adanya kekhawatiran para Pemohon dan asumsi-asumsi lain berkenaan dengan persoalan penggunaan anggaran tersebut di atas, justru yang menjadi persoalan krusial adalah tidak adanya pembatasan waktu berlakunya UU 2/2020 yang berasal dari Perpu 1/2020 yang hanya difokuskan untuk menangani pandemi Covid-19. Berkaitan dengan hal demikian, menurut Mahkamah kekhawatiran-kekhawatiran di atas juga akan terjawab dengan sendirinya setelah Mahkamah menilai konstitusionalitas norma Pasal 29 Lampiran UU 2/2020. Oleh karena itu, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan konstitusionalitas norma Pasal 29 a quo sebagai berikut:
[3.18.3] Bahwa para Pemohon pada pokoknya mendalilkan Pasal 29 Lampiran UU 2/2020 bertentangan dengan prinsip negara hukum dan prinsip jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil karena pasal a quo sebagai penutup tidak memberikan jangka waktu keberlakuan undang-undang a quo kendati diterbitkan untuk menyelesaikan persoalan di masa darurat kesehatan masyarakat. Oleh karena pasal a quo tidak memiliki batas waktu yang jelas perihal keberlakuan Perpu tersebut yang kemudian menjadi UU 2/2020 sehingga menurut para Pemohon akan berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan oleh Pemerintah khususnya dalam pengelolaan keuangan negara yang akuntabel untuk kepentingan sosial dan kemanusiaan yang difokuskan untuk pandemi Covid-19.
Terhadap dalil para Pemohon a quo, menurut Mahkamah dalam batas penalaran yang wajar, kondisi pandemi Covid-19 yang terjadi secara global memang memiliki dampak yang signifikan terhadap kondisi perekonomian suatu negara, termasuk Indonesia. Sebagai salah satu negara yang juga terdampak adanya pandemi Covid-19, Pemerintah berupaya untuk mengantisipasinya dengan berbagai langkah, salah satunya adalah dengan mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mengatasi dampak terhadap perekonomian nasional. Namun demikian, oleh karena langkah antisipatif yang dilakukan Pemerintah berkaitan erat dengan penggunaan keuangan negara maka harus dilakukan kontrol yang kuat yang salah satunya adalah dengan pembatasan waktu berlakunya UU a quo. Terlebih lagi hal demikian apabila dikaitkan dengan prinsip kedaulatan rakyat dan prinsip negara hukum yang demokratis sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, sekalipun terhadap Perpu terdapat karakteristik khusus namun bukan berarti substansi UU yang berasal dari Perpu dapat mengabaikan prinsip demokrasi dan prinsip negara hukum. Oleh karena itu, materi UU a quo bukan hanya harus memenuhi prinsip keadilan namun juga harus memenuhi prinsip kepastian, termasuk prinsip kepastian dalam pemberlakuannya.
Bahwa terlepas dari adanya persetujuan DPR terhadap Perpu a quo, tidak adanya pemuatan batas waktu yang tegas dalam UU a quo memberikan dampak yang cukup signifikan tentang batas waktu keberlakukan keadaan darurat yang merupakan substansi utama karena karakteristik yang dimiliki oleh UU yang berasal dari Perpu dimaksudkan untuk mengatasi kedaruratan akibat pandemi Covid-19. Terlebih substansi dalam Lampiran UU a quo sebagaimana termaktub dalam Pasal 28 UU 2/2020 yang menganulir beberapa norma pasal berbagai undang-undang, yaitu:
1. Pasal 11 ayat (2), Pasal 17B ayat (1), Pasal 25 ayat (3), Pasal 26 ayat (1), dan Pasal 36 ayat (1c) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang.
2. Pasal 55 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang;
3. Pasal 12 ayat (3) beserta penjelasannya, Pasal 15 ayat (5), Pasal 22 ayat (3), Pasal 23 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), dan Pasal 28 ayat (3) dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
4. Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;
5. Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan Menjadi Undang-Undang;
6. Pasal 27 ayat (1) beserta penjelasannya, Pasal 36, Pasal 83, dan Pasal 107 ayat (2) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah;
7. Pasal 171 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;
8. Pasal 72 ayat (2) beserta penjelasannya, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa;
9. Pasal 316 dan Pasal 317 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
10. Pasal 177 huruf c angka 2, Pasal 180 ayat (6), dan Pasal 182 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
11. Pasal 20 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan; dan
12. Pasal 11 ayat (22), Pasal 40, Pasal 42, dan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2019 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020.
Bahwa oleh karena itu, apabila tidak dilakukan pembatasan waktu pemberlakuan UU 2/2020, maka sejumlah norma dalam berbagai undang-undang yang dianulir tersebut akan kehilangan keberlakuannya secara permanen. Bahkan ketika pandemi Covid-19 telah berakhir, dengan tidak adanya batasan waktu tersebut norma-norma yang dianulir oleh Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 tetap saja tidak berlaku karena masih digunakan untuk kepentingan yang lain yaitu dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Hal demikian menimbulkan ketidakpastian akan batas waktu kondisi kegentingan yang memaksa. Terlebih, pemberlakuan undang-undang a quo berkaitan erat dengan penggunaan keuangan negara yang sangat memengaruhi perekonomian negara yang berdasarkan Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 seharusnya mendapatkan persetujuan DPR dan pertimbangan DPD.
Bahwa hal utama yang juga harus ditekankan dalam hal keadaan darurat adalah batasan waktu yang jelas tentang kapan situasi darurat pandemi Covid-19 akan berakhir. Secara konseptual, state of emergency dan law in time of crisis harus menjadi satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan sebagai upaya untuk menegaskan kepada masyarakat bahwa keadaan darurat akan ada ujungnya sehingga hal tersebut pastinya akan menimbulkan adanya kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, maka Mahkamah dalam putusan ini harus menegaskan pembatasan waktu pemberlakuan UU a quo secara tegas dan pasti agar semua pihak memiliki kepastian atas segala ketentuan dalam UU ini yang hanyalah dalam rangka menanggulangi dan mengantisipasi dampak dari pandemi Covid-19 sehingga keberlakuan UU ini harus dikaitkan dengan status kedaruratan yang terjadi karena pandemi tersebut. Oleh karena itu, UU ini hanya berlaku selama status pandemi Covid-19 belum diumumkan berakhir oleh Presiden dan paling lama hingga akhir tahun ke-2 sejak UU 2/2020 diundangkan. Namun demikian, dalam hal pandemi diperkirakan akan berlangsung lebih lama, sebelum memasuki tahun ke-3, berkaitan dengan pengalokasian anggaran untuk penanganan Pandemi Covid-19, harus mendapatkan persetujuan DPR dan pertimbangan DPD. Pembatasan demikian perlu dilakukan karena UU a quo telah memberikan pembatasan perihal skema defisit anggaran sampai tahun 2022. Oleh karena itu, pembatasan dua tahun paling lambat Presiden mengumumkan secara resmi berakhirnya pandemi adalah sesuai dengan jangka waktu perkiraan deficit anggaran tersebut di atas. Dengan demikian, berdasarkan pertimbangan tersebut menurut Mahkamah Pasal 29 Lampiran UU 2/2020 harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan dan harus dinyatakan tidak berlaku lagi sejak Presiden mengumumkan secara resmi bahwa status pandemi Covid-19 telah berakhir di Indonesia dan status tersebut harus dinyatakan paling lambat akhir tahun ke-2. Dalam hal secara faktual pandemi Covid-19 belum berakhir, sebelum memasuki tahun ke-3 UU a quo masih dapat diberlakukan namun pengalokasian anggaran dan penentuan batas defisit anggaran untuk penanganan Pandemi Covid-19, harus mendapatkan persetujuan DPR dan pertimbangan DPD.
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas telah ternyata Pasal 29 Lampiran UU 2/2020 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan dan harus dinyatakan tidak berlaku lagi sejak Presiden mengumumkan secara resmi bahwa status pandemi Covid-19 telah berakhir di Indonesia dan status tersebut harus dinyatakan paling lambat akhir tahun ke-2. Dalam hal secara faktual pandemi Covid-19 belum berakhir, sebelum memasuki tahun ke-3 UU a quo masih dapat diberlakukan namun pengalokasian anggaran dan penentuan batas defisit anggaran untuk penanganan Pandemi Covid-19, harus mendapatkan persetujuan DPR dan pertimbangan DPD”. Dengan demikian, menurut Mahkamah dalil para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.
[3.19] Menimbang bahwa para Pemohon juga mendalilkan Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Lampiran UU 2/2020 bertentangan dengan prinsip negara hukum, prinsip pengelolaan keuangan negara, kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), kewenangan kekuasaan kehakiman, prinsip persamaan di mata hukum (equality before the law), dan prinsip jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, karena pasal-pasal a quo memberikan imunitas bagi penyelenggara negara agar terbebas dari tuntutan hukum dalam melaksanakan ketentuan Perpu a quo. Terhadap dalil para Pemohon a quo Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
(1). Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.
(2). Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3). Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.

[3.19.1] Bahwa Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Lampiran UU 2/2020 selengkapnya menyatakan:
Bahwa dari ketentuan tersebut terdapat 3 (tiga) persoalan konstitusionalitas berkaitan dengan norma yang perlu dipertimbangkan lebih lanjut yakni, (1) bukan merupakan kerugian negara, (2) tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan (3) bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.
[3.19.2] Bahwa berkenaan dengan konstitusionalitas frasa “bukan kerugian negara” dalam norma Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020, oleh karena terhadap hal tersebut berkaitan erat dengan keuangan negara, maka tidak dapat dilepaskan dari Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang menentukan salah satu unsur esensial yang harus dipenuhi dalam membuktikan terjadinya tindak pidana korupsi adalah terpenuhinya unsur “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”. Kerugian keuangan negara atau perekonomian negara terjadi karena adanya penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan keuangan negara. Dalam perspektif Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 apabila dicermati dengan saksama tidak ditemukan adanya unsur kerugian negara baik terhdap biaya yang dipergunakan untuk penanganan pandemi Covid-19 yang dikeluarkan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan oleh Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara, termasuk kebijakan keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan dan program pemulihan ekonomi nasional merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis. Dengan demikian, secara a contrario meskipun penggunaan biaya dari keuangan negara untuk kepentingan penanganan pandemi Covid-19 dilakukan tidak dengan iktikad baik dan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan maka terhadap pelaku yang melakukan penyalahgunaan kewenangan dimaksud tidak dapat dilakukan tuntutan pidana sebab telah terkunci dengan adanya frasa “bukan merupakan kerugian negara” sebagaimana termaktub dalam norma Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020. Hal demikian tidak sejalan dengan ketentuan norma Pasal 27 ayat (2) UU a quo yang membuka kemungkinan dapat dituntutnya baik secara pidana maupun perdata terhadap Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, Anggota Sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya jika dalam melaksanakan tugasnya tidak dengan iktikad baik dan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sebab, ketentuan yang membuka kemungkinan dapat dituntutnya baik secara pidana maupun perdata dalam Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 harus terpenuhi unsur yang esensial yaitu adanya “kerugian negara”, yang ditimbulkan karena adanya penggunaan keuangan negara yang dilandaskan pada iktikad tidak baik dan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Bahwa keadaan sebagaimana diuraikan tersebut di atas berakibat hukum ketentuan Pasal 27 ayat (2) UU 2/2020 tidak dapat diberlakukan atau diterapkan terhadap siapapun yang melakukan penyalahgunaan kewenangan berkaitan dengan keuangan negara apabila frasa “bukan merupakan kerugian negara” tetap dipertahankan sekalipun penyalahgunaan kewenangan tersebut benar-benar didasarkan pada iktikad yang tidak baik dan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, kepada pelaku penyalahgunaan kewenangan terhadap keuangan negara dalam UU a quo sudah tertutup kemungkinan dibukanya untuk dilakukan penuntutan baik secara pidana dan/atau perdata. Sebab, sebagaimana telah dipertimbangkan sebelumnya, untuk dapat dilakukan tuntutan baik pidana maupun perdata, harus terpenuhi unsur fundamental adanya “kerugian negara” (vide Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor) dan unsur “kerugian” dalam perbuatan melawan hukum (vide Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).
Bahwa di samping pertimbangan hukum tersebut di atas, ketentuan Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 juga berpotensi memberikan hak imunitas bagi pihak-pihak yang telah disebutkan secara spesifik dalam Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 yang pada akhirnya berpotensi menyebabkan impunitas dalam penegakan hukum. Menurut Mahkamah, apabila melihat konstruksi Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 yang secara spesifik mengatur perihal bahwa semua biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan penanggulangan krisis akibat pandemi Covid-19 merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dan “bukan merupakan kerugian negara”, maka hal utama yang menjadi patokan adalah terkait dengan hak imunitas yang dikhususkan bagi pejabat pengambil kebijakan dalam hal penanggulangan krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19 yang tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana apabila dalam hal melaksanakan tugas tersebut didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Munculnya kata “biaya” dan frasa “bukan merupakan kerugian negara” dalam Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 yang tidak dibarengi dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan pada akhirnya telah menyebabkan Pasal a quo menimbulkan ketidakpastian dalam penegakan hukum. Menurut Mahkamah penempatan frasa “bukan merupakan kerugian negara” dalam Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 dapat dipastikan bertentangan dengan prinsip due process of law untuk mendapatkan perlindungan yang sama (equal protection). Pembedaan demikian tentunya telah mengingkari hak semua orang, oleh karena suatu undang-undang yang meniadakan hak bagi beberapa orang untuk dikecualikan tetapi memberikan hak demikian kepada orang lain tanpa pengecualian maka keadaan demikian dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap equal protection. Oleh karena itu, demi kepastian hukum norma Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 harus dinyatakan inkonstitusional sepanjang frasa “bukan merupakan kerugian negara” tidak dimaknai “bukan merupakan kerugian negara sepanjang dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, telah ternyata Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 bertentangan dengan prinsip kepastian dan perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, dalil permohonan para Pemohon berkenaan dengan Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 beralasan menurut hukum untuk sebagian.
[3.19.3] Bahwa selanjutnya berkenaan dengan dalil para Pemohon terkait inkonstitusional norma Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020, Mahkamah mempertimbangkan, oleh karena telah dinyatakan inkonstitusionalnya frasa “bukan merupakan kerugian negara” secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “bukan merupakan kerugian negara sepanjang dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan” dalam norma Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020, maka dengan demikian sudah tidak terdapat lagi adanya persoalan inkonstitusionalitas antara norma Pasal 27 ayat (1) dengan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020. Sehingga, tidak terdapat lagi persoalan inkonstitusionalitas terhadap norma Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020. Sebab, tindakan hukum baik secara pidana maupun perdata tetap dapat dilakukan terhadap subjek hukum yang melakukan penyalahgunaan keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 sepanjang perbuatan tersebut menimbulkan kerugian negara karena dilakukan dengan iktikad tidak baik dan melanggar peraturan perundang-undangan dalam norma Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020.
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, telah ternyata Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 telah menjamin kepastian hukum dan perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, dalil permohonan para Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.19.4] Bahwa selanjutnya perihal dalil para Pemohon terkait dengan konstitusionalitas Pasal 27 ayat (3) UU 2/2020 yang menyatakan segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan UU 2/2020 bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Terhadap dalil a quo Mahkamah mempertimbangkan bahwa ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU 2/2020 tidak dapat dilepaskan dari adanya ketentuan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN) yang selengkapnya menyatakan:
“Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan:
a. dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan luar biasa yang membahayakan, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Dengan merujuk ketentuan Pasal 49 UU PTUN tersebut di atas, maka sesungguhnya dalam keadaan pandemi Covid-19 seperti yang terjadi saat ini merupakan bagian dari keadaan yang dikecualikan untuk tidak dapat dijadikan sebagai objek gugatan terhadap Keputusan Badan Tata Usaha Negara kepada Peradilan Tata Usaha Negara. Namun demikian, setelah dicermati dengan saksama telah ternyata UU 2/2020 tidak hanya berkaitan dengan pandemi Covid-19 tetapi juga berkaitan dengan berbagai macam ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan (vide Judul UU 2/2020). Oleh karena itu, terhadap keadaan di luar pandemi Covid-19 dan begitu pula terhadap keputusan Badan Tata Usaha Negara yang didasarkan pada iktikad yang tidak baik dan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, menurut Mahkamah hal demikian seharusnya tetap dapat dikontrol dan dapat dijadikan objek gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara. Terlebih lagi, dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU 30/2014) objek gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara tidak hanya keputusan tetapi juga tindakan administrasi pemerintahan (vide Pasal 75 dan Penjelasan Umum UU 30/2014). Dengan demikian, apabila fungsi kontrol tersebut tidak diberikan maka hal demikian berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan (abuse of power) dan ketidakpastian hukum. Sebab, sesungguhnya yang mempunyai kewenangan untuk menilai keputusan dan/atau tindakan bertentangan atau tidak bertentangan dengan hukum adalah Hakim Pengadilan. Oleh karena itu, sepanjang keputusan dan/atau tindakan diterbitkan dalam kaitannya dengan pandemi Covid-19 serta dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan hakim harus menyatakan bahwa objek keputusan Badan Tata Usaha Negara dan/atau tindakan administrasi pemerintahan bukan merupakan objek gugatan. Namun, dalam hal yang terjadi secara faktual adalah sebaliknya, maka keputusan badan tata usaha negara dan/atau tindakan pemerintahan tersebut jika terbukti adanya penyalahgunaan wewenang harus dinyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, telah ternyata Pasal 27 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan perlakuan yang tidak sama di hadapan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sepanjang frasa “bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara”, sepanjang tidak dimaknai “bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara sepanjang dilakukan terkait dengan penanganan pandemi Covid-19 serta dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Dengan demikian, permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.
[3.20] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum pada Paragraf [3.18] sampai dengan Paragraf [3.19] tersebut di atas, menurut Mahkamah ketentuan norma Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3) serta Pasal 29 Lampiran UU 2/2020 harus dinyatakan inkonstitusional bersyarat sebagaimana disebutkan dalam amar putusan ini.
[3.21] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah dalil permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian dan dalil permohonan para Pemohon selain dan selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut dan oleh karenanya dianggap tidak relevan sehingga haruslah dinyatakan tidak beralasan menurut hukum.

1. Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk umum dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan langsung dilaksanakan (self executing) oleh seluruh organ penyelenggara negara, organ penegak hukum, dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan permohonan Para Pemohon ditolak seluruhnya dalam pengujian formil dan mengabulkan sebagian dalam pengujian materiil UU 2/2020 mengandung arti bahwa ketentuan a quo secara formil tidak bertentangan dengan prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan dan selain yang telah dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi materi UU 2/2020 tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat.
2. Bahwa terhadap Putusan MK dalam Perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020 sebagaimana diuraikan diatas, untuk mengisi kekosongan hukum berdasarkan Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3) dan Pasal 29 UU 2/2020, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan saran sebagai berikut:
a. Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 37/PUU-XVIII/2020 sebagai bahan dalam penyusunan Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka.
b. Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 37/PUU-XVIII/2020 sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan UU 2/2020
3. Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh seluruh organ penyelenggara Negara, organ penegak hukum dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020 mengenai materi muatan pasal/ayat dalam UU 2/2020 yang dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, agar tidak menimbulkan kekosongan hukum, dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan Perubahan UU 2/2020.

INFO JUDICIAL REVIEW PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 43/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2020 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2020 TENTANG KEBIJAKAN KEUANGAN NEGARA DAN STABILITAS SISTEM KEUANGAN UNTUK PENANGANAN PANDEMI CORONA VIRUS DISEASE 2019 (COVID-19) DAN/ATAU DALAM RANGKA MENGHADAPI ANCAMAN YANG MEMBAHAYAKAN PEREKONOMIAN NASIONAL DAN/ATAU STABILITAS SISTEM KEUANGAN MENJADI UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 28-10-2021

Bahwa permohonan pengujian UU Covid diajukan oleh H.Ahmad Sabri Lubis, H.Munarwan, S.H, Khotibul Umam, S.Ag., IR. Ismail Yusanto, Hasanudin, S.H.,M.M., M.SI, Muhammad Faisal Silenang, Madi Saputra, DRG., Sp. Pros, Irfianda Abidin, Timsar Zubil, Dr. H Sugianto (selanjutnya disebut Para Pemohon).
Bahwa Para Pemohon dalam permohonannya mengujikan Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, dan angka 3, Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Lampiran UU Covid.

Menimbang bahwa terhadap permohonan pengujian formil terkait UU 2/2020, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: [3.16.1] Bahwa terhadap dalil para Pemohon mengenai kehadiran secara virtual pada rapat Paripurna DPR RI tanggal 12 Mei 2020 untuk membahas dan menyetujui Perpu Covid-19 menjadi UU 2/2020 adalah cacat hukum karena tidak memenuhi kuorum dan dipaksakan dengan mayoritas kehadiran menggunakan virtual sehingga bertentangan dengan Tata Tertib DPR, telah dipertimbangkan Mahkamah dalam Sub-paragraf [3.16.2] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-XVIII/2020, bertanggal 28 Oktober 2021 yang telah diucapkan sebelumnya, yang menyatakan:
“[3.16.2] … Adanya perubahan pola interaksi antar-manusia yang harus menerapkan protokol kesehatan seperti menjaga jarak baik secara fisik maupun secara sosial (physical and social distancing), menghindari kerumunan, membatasi pergerakan orang, memakai masker, mencuci tangan guna mencegah penularan. Kondisi ini menuntut penanganan secara cepat dan tepat, salah satunya dengan membuat berbagai regulasi. Namun, proses pembentukan undang-undang mengalami berbagai macam kendala disebabkan adanya pembatasan pergerakan masyarakat melalui Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) maupun Pembatasan Pemberlakuan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Begitu pula dalam berbagai penyelenggaraan negara pun mengalami permasalahan serupa. Oleh karena itu, kinerja legislasi dalam rangka membuat regulasi yang dibutuhkan masyarakat maupun demi efektivitas jalannya proses dan program pemerintahan tidak boleh terhambat. Dengan demikian menurut Mahkamah, pertemuan yang dilakukan secara virtual oleh DPR dan Presiden dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi saat ini dalam membuat regulasi yang dibutuhkan adalah sebuah kebutuhan dan suatu terobosan untuk tetap menghadirkan negara dalam kehidupan masyarakat terutama dalam masa pandemi. Terlebih lagi, di masa pandemi Covid-19 yang secara faktual telah menimbulkan krisis kesehatan, kemanusiaan, dan perlunya segera dilakukan penyelamatan ekonomi serta keuangan dengan berorientasi pada keselamatan rakyat. Sebab, keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi (Salus Populi Suprema Lex Esto).
Bahwa dalam menyikapi pandemi Covid-19 dan untuk tetap dapat menjalankan tugas dalam penyusunan legislasi, tindakan yang dilakukan DPR dengan menetapkan Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib (Tatib DPR 2020) yang mulai berlaku pada 2 April 2020 adalah bagian dari upaya mengantisipasi penyebaran Covid-19. Berdasarkan Tatib DPR 2020 tersebut di dalam ketentuan Pasal 254 ayat (4) dinyatakan bahwa:
“Semua jenis rapat DPR dihadiri oleh Anggota, kecuali dalam keadaan tertentu, yakni keadaan bahaya, kegentingan yang memaksa, keadaan luar biasa, keadaan konflik, bencana alam, dan keadaan tertentu lain yang memastikan adanya urgensi nasional, rapat dapat dilaksanakan secara virtual dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi.”
Dengan menggunakan dasar hukum tersebut, DPR melalui Badan Anggaran bersama Pemerintah melakukan Pembahasan Tingkat I UU a quo pada tanggal 4 Mei 2020 dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi melalui rapat virtual. Begitu pun halnya dengan Pembahasan Tingkat II yang menyetujui Perpu 1/2020 menjadi UU pada Rapat Paripurna tanggal 12 Mei 2020 dilaksanakan dengan menggunakan rapat kombinasi secara fisik maupun dengan teknologi informasi dan komunikasi melalui rapat virtual.
Pelaksanaan rapat yang dihadiri secara virtual telah diatur secara jelas dalam Pasal 279 ayat (6) Tatib DPR 2020 yang menyatakan bahwa: “Dalam hal penandatanganan daftar hadir Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak dapat dilakukan dan disebabkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 254 ayat (4), kehadiran Anggota dalam semua jenis rapat DPR dilakukan berdasarkan kehadiran secara virtual.”
Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 279 ayat (7) Tatib DPR 2020 menyatakan bahwa:
“Bukti kehadiran secara virtual sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat dikonfirmasi dan diverifikasi keabsahannya melalui Sekretariat Jenderal DPR.”
Oleh karena itu, berdasarkan dokumen sebagaimana terlampir dalam Lampiran II, maka Pembahasan Tingkat II yang menyetujui Perpu 1/2020 menjadi UU pada Rapat Paripurna tanggal 12 Mei 2020 yang dilakukan dengan metode hybrid, yakni metode gabungan rapat virtual dengan rapat fisik yang dilakukan secara bersamaan. Rapat Paripurna DPR pada 12 Mei 2020 yang memberikan persetujuan atas RUU Penetapan Perpu 1/2020 menjadi UU tersebut, dihadiri oleh 438 Anggota DPR (355 orang mengikuti secara virtual dan 83 orang hadir secara fisik). Namun demikian, menurut Mahkamah, pembentukan undang-undang di masa pandemi harus tetap memerhatikan asas keterbukaan. Berdasarkan Penjelasan ketentuan Pasal 5 huruf g UU 12/2011 yang dimaksud dengan asas keterbukaan sebagai berikut.
“Yang dimaksud dengan “asas keterbukaan” adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluasluasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.”
Berdasarkan hal di atas, salah satu inti dari asas keterbukaan ini adalah akses masyarakat terhadap parlemen (access to parliament). Di masa pandemi Covid-19 yang telah berlangsung sejak awal 2020 hingga saat ini di mana mobilitas, kegiatan, acara baik itu Rapat Dengar Pendapat (RDP), seminar, diskusi terbatas (Focus Group Dicsussion) dan jaring aspirasi publik serba terbatas, tetapi di sisi lain kerja legislasi oleh lembaga perwakilan rakyat tak boleh terhambat. Banyak RUU yang harus diselesaikan sesuai dengan perencanaan yang telah ditetapkan oleh DPR untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan pelaku usaha. Oleh karena itu, partisipasi publik tidak dapat dilakukan secara langsung (tatap muka) karena keterbatasan-keterbatasan yang diakibatkan kondisi pandemi, sehingga partisipasi publik secara konvensional tidak relevan dipersoalkan dalam masa pandemi Covid-19. Dengan demikian, berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah bahwa dalil para Pemohon yang pada pokoknya menyatakan bahwa rapat virtual berpotensi melanggar kedaulatan rakyat tidak beralasan menurut hukum.”
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, oleh karena berkenaan dengan dalil kehadiran secara virtual dalam Rapat Paripurna DPR telah dinyatakan tidak beralasan menurut hukum oleh Mahkamah maka pertimbangan hukum tersebut berlaku secara mutatis mutandis sebagai pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XVIII/2020 a quo.
[3.16.2] Bahwa para Pemohon mendalilkan penetapan, pembahasan, dan persetujuan Perpu Covid-19 menjadi UU 2/2020 dilakukan pada masa sidang yang sama, yaitu Masa Persidangan III Tahun Sidang 2019-2020 sehingga bertentangan dengan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945. Terhadap dalil para Pemohon tersebut, ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Peraturan Pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut”. Menurut Mahkamah, ketentuan tersebut mengatur mengenai batasan waktu bagi DPR memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan atas Perpu yang ditetapkan oleh Presiden yakni dalam persidangan yang berikut. Adanya frasa “persidangan yang berikut” merupakan perintah konstitusi agar DPR dapat segera memberikan kepastian mengenai penilaian terhadap Perpu yang telah ditetapkan Presiden tersebut. Jika disetujui maka Perpu dimaksud akan menjadi undang-undang, sebaliknya jika tidak disetujui maka Perpu tersebut haruslah dicabut atau dibatalkan.
Bahwa Perpu pada dasarnya memiliki jangka waktu yang terbatas (sementara) serta mungkin saja memiliki substansi pengaturan yang berpotensi bertentangan atau melanggar konstitusi mengingat kewenangan pembentukan Perpu berada di tangan Presiden [vide Pasal 22 ayat (1) UUD 1945]. Namun demikian, meskipun pembentukan Perpu tergantung pada penilaian subjektif Presiden tidak berarti bahwa secara absolut tergantung kepada penilaian subjektif Presiden karena penilaian subjektif Presiden tersebut harus didasarkan kepada keadaan yang objektif yaitu adanya tiga syarat sebagai parameter adanya kegentingan yang memaksa sebagaimana telah dipertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, bertanggal 8 Februari 2010.
Bahwa persoalan konstitusional selanjutnya yang harus dijawab adalah apakah penilaian DPR untuk memberi persetujuan atau tidak atas Perpu harus dilakukan pada masa sidang berikutnya persis pada masa sidang setelah Perpu itu dikeluarkan ataukah pada masa sidang berikutnya lagi ataukah bagaimana jika Perpu ditetapkan pada saat masa sidang DPR sedang berlangsung dan setelahnya adalah masa reses sehingga DPR baru dapat memberikan persetujuan atau tidak setelah masa reses tersebut berakhir. Faktanya, Presiden menetapkan Perpu 1/2020 pada 31 Maret 2020 dan menyampaikan RUU tentang Penetapan Perpu 1/2020 menjadi undang-undang kepada DPR pada 1 April 2020, yaitu pada Masa Persidangan III Tahun Sidang 2019-2020 yang dimulai pada 23 Maret 2020 sampai dengan tanggal 14 Juni 2020. Selanjutnya DPR menyetujui RUU tentang Penetapan Perpu 1/2020 menjadi undang-undang dalam Rapat Paripurna DPR pada 12 Mei 2020. Artinya, penetapan Perpu Covid-19 oleh Presiden dan pengajuan RUU tentang Penetapan Perpu 1/2020 menjadi undang-undang kepada DPR serta persetujuan DPR dilakukan dalam masa sidang yang sama, yaitu Masa Persidangan III Tahun Sidang 2019-2020.
Bahwa terhadap fakta hukum tersebut, menurut Mahkamah, frasa “persidangan yang berikut” dalam Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 haruslah dimaknai apabila Perpu itu diajukan pada masa reses DPR. Sehingga jika Perpu diajukan pada rentang waktu pelaksanaan masa sidang DPR sebagaimana diatur dalam Tatib DPR 2020 maka frasa “persidangan yang berikut” harus diartikan sebagai persidangan pengambilan keputusan oleh DPR seketika setelah Perpu ditetapkan oleh Presiden dan diajukan kepada DPR. Artinya, meskipun Perpu ditetapkan dan diajukan oleh Presiden pada saat masa sidang DPR sedang berjalan (bukan masa reses), maka DPR haruslah memberikan penilaian terhadap RUU Penetapan Perpu tersebut pada sidang pengambilan keputusan di masa sidang DPR yang sedang berjalan tersebut. Adapun jika Perpu ditetapkan dan diajukan oleh Presiden pada masa reses maka DPR harus memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap Perpu tersebut pada sidang pengambilan keputusan di masa sidang DPR setelah masa reses dimaksud berakhir. Hal demikian penting mengingat esensi diterbitkannya Perpu adalah karena adanya keadaan kegentingan yang memaksa sebagai syarat absolut. Sehingga semakin panjang jangka waktu DPR memberikan persetujuan atau tidak berkenaan dengan Perpu yang diajukan Presiden, hal tersebut akan menghilangkan esensi diterbitkannya Perpu dimaksud. Terlebih lagi, adanya pengaturan mengenai waktu bagi DPR untuk memberikan persetujuan atau tidak berkenaan dengan terbitnya Perpu, lebih memberikan jaminan kepastian hukum baik terhadap keabsahan maupun sifat keberlangsungan Perpu, mengingat Perpu dibentuk berdasarkan adanya hal ihwal kegentingan memaksa, yang dalam hal ini adalah pandemi Covid-19 yang bukan hanya mengancam kesehatan namun juga keselamatan dan perekonomian nasional. Sehingga, diperlukan langkah antisipatif sebagai upaya bersama guna menghadapi pandemi tersebut. Dengan pertimbangan dan fakta demikian, dalil para Pemohon yang pada pokoknya menyatakan penetapan, pembahasan, dan persetujuan DPR terkait Perpu 1/2020 bertentangan dengan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.17] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut maka dalil para Pemohon berkenaan dengan pengujian formil konstitusionalitas UU 2/2020 harus dinyatakan tidak beralasan menurut hukum;
[3.18] Menimbang bahwa oleh karena permohonan pengujian formil dinyatakan tidak beralasan menurut hukum, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan permohonan pengujian materiil; [3.19] Menimbang bahwa berkenaan dengan dalil para Pemohon mengenai pengujian materiil norma Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, dan angka 3 Lampiran UU 2/2020 telah dipertimbangkan Mahkamah dalam Sub-Paragraf
[3.18.1] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-XVIII/2020, bertanggal 28 Oktober 2021, yang telah diucapkan sebelumnya, yang menyatakan:
“[3.18.1] … Bahwa berkaitan hal-hal sebagaimana yang didalilkan para Pemohon tersebut di atas, setelah dicermati dengan saksama dalil-dalil para Pemohon dimaksud telah ternyata saling berkaitan erat dan bertumpu pada argumen khusus yaitu adanya kekhawatiran para Pemohon berkenaan dengan penggunaan keuangan negara dalam penanggulangan pandemi Covid 19. Terhadap dalil-dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat sesungguhnya pilihan kebijakan pemerintah sebagaimana tertuang dalam norma-norma yang dilakukan pengujian tersebut di atas oleh para Pemohon adalah pilihan kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah karena adanya keterdesakan keadaan atau kondisi darurat. Dalam hal ini, kebijakan dalam penanganan pandemi Covid-19 yang tidak bisa tidak harus bersentuhan dengan soal keuangan atau anggaran, termasuk dalam hal ini kemungkinan-kemungkinan adanya asumsi penyalahgunaan keuangan negara dimaksud. Oleh karena itu, Mahkamah dapat memahami pilihan kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah tersebut karena pemerintah memang memiliki pilihan yang sangat terbatas dalam penanganan pandemi Covid-19 yang tentunya memerlukan beban anggaran yang tidak bisa diprediksi sebagaimana layaknya beban anggaran negara dalam keadaan normal. Dengan demikian, Mahkamah tidak serta-merta juga menegasikan adanya kekhawatiran-kekhawatiran semua pihak, termasuk dalam hal ini para Pemohon, adanya gangguan stabilitas keuangan yang dipergunakan untuk fokus pada penanganan pandemi Covid-19. sehingga, terkait dengan persoalan perluasan judul yang dikhawatirkan oleh para Pemohon dengan sendirinya telah terjawab dengan adanya penegasan a quo dari Mahkamah. Namun demikian, dalam keadaaan yang dilema seperti saat ini Mahkamah menegaskan tidak ada persoalan konstitusionalitas berkaitan dengan normanorma yang dipersoalkan para Pemohon tersebut di atas sepanjang hal tersebut hanya berkaitan dengan penanganan pandemi Covid-19. Oleh karena itu, dalil-dalil para Pemohon berkaitan dengan inkonstitusionalitas pasal-pasal tersebut di atas tidak beralasan menurut hukum.”
Berdasarkan pertimbangan tersebut, oleh karena isu konsitutional yang dikemukakan oleh para Pemohon berkenaan dengan alasan pengujian Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, dan angka 3 Lampiran UU 2/2020 pada pokoknya adalah sama dengan isu konstitusional sebagaimana telah dipertimbangkan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUUXVIII/2020 a quo dan telah dinyatakan tidak beralasan menurut hukum, maka pertimbangan dalam Putusan tersebut mutatis mutandis berlaku pula untuk permohonan a quo, khususnya berkenaan dengan konstitusionalitas Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, dan angka 3 Lampiran UU 2/2020. Dengan demikian, dalil para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, dan angka 3 Lampiran UU 2/2020 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.20] Menimbang bahwa terhadap permohonan pengujian materiil norma Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Lampiran UU 2/2020, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.20.1] Bahwa Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3) Lampiran UU 2/2020 telah dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-XVIII/2020, bertanggal 28 Oktober 2021, yang telah diucapkan sebelumnya dengan amar yang menyatakan:
“Mengadili: … Dalam Pengujian Materiil: 1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian; 2. Menyatakan frasa “bukan merupakan kerugian negara” Pasal 27 ayat (1) Lampiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “bukan merupakan kerugian negara sepanjang dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Sehingga Pasal 27 ayat (1) Lampiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516) yang semula berbunyi, “Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara”, menjadi selengkapnya berbunyi, “Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara sepanjang dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
3. Menyatakan frasa “bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara” dalam Pasal 27 ayat (3) Lampiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara sepanjang dilakukan terkait dengan penanganan pandemi Covid-19 serta dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundangundangan”. Sehingga Pasal 27 ayat (3) Lampiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516) yang semula berbunyi, “Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara”, menjadi selengkapnya berbunyi, “Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara sepanjang dilakukan terkait dengan penanganan pandemi Covid-19 serta dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
4. …”
Dengan adanya Putusan Mahkamah tersebut, maka terhadap Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3) Lampiran UU 2/2020, Mahkamah telah mempertimbangkan konstitusionalitasnya dan telah menyatakan syarat pemaknaan yang konstitusional terhadap norma a quo. Dengan demikian, sejak putusan tersebut diucapkan, meskipun terdapat 3 (tiga) orang Hakim Konstitusi yang mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion), yakni Hakim Konstitusi Anwar Usman, Hakim Konstitusi Arief Hidayat, dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh berkenaan dengan Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3) Lampiran UU 2/2020, maka pemaknaan yang konstitusional terhadap Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3) Lampiran UU 2/2020 adalah sebagaimana Amar dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUUXVIII/2020 tersebut, sehingga bukan lagi norma lengkap sebagaimana yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon. Dengan adanya putusan tersebut, maka norma Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3) Lampiran UU 2/2020 yang didalilkan para Pemohon inkonstutisional menjadi kehilangan objek sehingga tidak relevan untuk dipertimbangkan lebih lanjut.
[3.20.2] Bahwa berkenaan dengan dalil para Pemohon mengenai pengujian materiil norma Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 telah dipertimbangkan Mahkamah dalam Sub-Paragraf [3.19.3] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-XVIII/2020, bertanggal 28 Oktober 2021, yang telah diucapkan sebelumnya yang menyatakan:

“[3.19.3] Bahwa selanjutnya berkenaan dengan dalil para Pemohon terkait inkonstitusional norma Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020, Mahkamah mempertimbangkan, oleh karena telah dinyatakan inkonstitusionalnya frasa “bukan merupakan kerugian negara” secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “bukan merupakan kerugian negara sepanjang dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan” dalam norma Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020, maka dengan demikian sudah tidak terdapat lagi adanya persoalan inkonstitusionalitas antara norma Pasal 27 ayat (1) dengan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020. Sehingga, tidak terdapat lagi persoalan inkonstitusionalitas terhadap norma Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020. Sebab, tindakan hukum baik secara pidana maupun perdata tetap dapat dilakukan terhadap subjek hukum yang melakukan penyalahgunaan keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 sepanjang perbuatan tersebut menimbulkan kerugian negara karena dilakukan dengan iktikad tidak baik dan melanggar peraturan perundang-undangan dalam norma Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020.
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, telah ternyata Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 telah menjamin kepastian hukum dan perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, dalil permohonan para Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 adalah tidak beralasan menurut hukum.”
Oleh karena isu konsitutional yang dikemukakan oleh para Pemohon berkenaan dengan alasan pengujian Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 pada pokoknya adalah tidak jauh berbeda dengan isu konstitusional sebagaimana telah dipertimbangkan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUUXVIII/2020 a quo, maka pertimbangan hukum dalam putusan di atas mutatis mutandis berlaku untuk permohonan a quo, khususnya berkenaan dengan konstitusionalitas Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020. Dengan demikian dalil para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 adalah tidak beralasan menurut hukum.

F. AMAR PUTUSAN
DALAM PENGUJIAN FORMILL
Menolak permohonan para Permohon untuk seluruhnya.
DALAM PENGUJIAN MATERILL
1. Menyatakan permohonan para Pemohon sepanjang Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3) Lampiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516) tidak dapat diterima;
2. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya .

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 85/PUU-XVIII/2020 PERIHAL UNDANG-UNDANG NOMOR 46 TAHUN 2009 TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 27-10-2021

Bahwa pada hari Rabu tanggal 27 Oktober 2021, pukul 15.04 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU 46/2009) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 85/PUU-XVIII/2020. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 85/PUU-XVIII/2020, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian formil UU 46/2009 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.12] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih jauh dalil-dalil pokok permohonan a quo, penting bagi Mahkamah untuk mempertimbangkan terlebih dahulu hal-hal sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa ihwal kedudukan hakim ad hoc dalam sistem peradilan di Indonesia telah diputus beberapa kali oleh Mahkamah Konstitusi, antara lain Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-X/2012, bertanggal 15 Januari 2013, yang mempertimbangkan pengertian hakim ad hoc; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XII/2014, bertanggal 20 April 2015, yang berkaitan dengan persoalan pengecualian hakim ad hoc sebagai pejabat negara; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-XIV/2016, bertanggal 21 Februari 2017, yang mempersoalkan keberadaan dan kedudukan Hakim Ad hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial; dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU-XIV/2016, bertanggal 4 Agustus 2016 yang berkaitan dengan persoalan masa jabatan hakim pengadilan pajak. Dalam kaitan dengan putusan-putusan tersebut, Mahkamah telah menegaskan bahwa dibentuknya hakim ad hoc pada prinsipnya untuk memenuhi tuntutan kebutuhan penegakan hukum dalam sistem peradilan di Indonesia yang pada dasarnya karena mempertimbangkan faktor kebutuhan akan keahlian dan efektivitas pemeriksaan perkara di pengadilan yang bersifat khusus maka diperlukan adanya hakim ad hoc. Jika dirunut dari sejarah pembentukannya hakim ad hoc pertama dibentuk pada lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (TUN) pada tahun 1986 (vide Pasal 135 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara) yang kemudian disusul dalam lingkungan peradilan umum yaitu pada pengadilan khusus seperti Pengadilan Hak Asasi Manusia (Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia), Pengadilan Pajak (Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak), Pengadilan Hubungan Industrial (Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial), Pengadilan Perikanan (Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan), Pengadilan Niaga (Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi), dan pada Pengadilan Negeri untuk perkara perusak hutan (Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan);

[3.12.2] Bahwa selanjutnya dalam kaitan dengan status jabatan hakim ad hoc apakah sebagai pejabat negara atau bukan karena adanya ketentuan Pasal 122 huruf e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU 5/2014) yang memberikan pengecualian, telah diputus oleh Mahkamah yang dalam pertimbangan hukum Paragraf [3.20] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XII/2014, bertanggal 20 April 2015, Mahkamah telah mempertimbangkan mengenai pengecualian tersebut sebagai berikut:
[3.20] Menimbang bahwa menurut Mahkamah benar ada perbedaan antara hakim ad hoc dan hakim karir, tetapi perbedaan tersebut tidak serta merta menimbulkan perbedaan perlakuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Perbedaan dapat dibenarkan sepanjang sifat, karakter dan kebutuhan atas jabatan tersebut berbeda. Justru akan menimbulkan diskriminasi apabila memperlakukan sama terhadap suatu hal yang berbeda atau sebaliknya memperlakukan berbeda terhadap hal yang sama. Menurut Mahkamah, walaupun antara hakim ad hoc dan hakim karir sama-sama berstatus hakim, tetapi karakter dan kebutuhan atas jabatannya berbeda. Hal itu merupakan wilayah kebijakan pembentuk Undang-Undang;
Dengan demikian, menurut Mahkamah pembentuk undang-undang sesuai dengan tuntutan kebutuhan dan perkembangan yang ada dengan mempertimbangkan jenis dan spesifikasi serta kualifikasi jabatan hakim ad hoc dapat dilakukan perubahan;

[3.12.3] Bahwa lebih lanjut berkaitan dengan kedudukan hakim ad hoc pada Pengadilan Tipikor tidak dapat dilepaskan dari kedudukan Pengadilan Tipikor yang merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan Peradilan Umum, yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara: a. tindak pidana korupsi; b. tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi; dan/atau c. tindak pidana yang secara tegas dalam undang-undang lain ditentukan sebagai tindak pidana korupsi (vide Pasal 6 UU 46/2009); Sementara, berkaitan dengan komposisi hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara Tipikor di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung terdiri atas Hakim Karier dan Hakim ad hoc [vide Pasal 10 ayat (1) UU 46/2009]. Adapun tujuan awal dibentuknya hakim ad hoc tersebut adalah untuk memperkuat peran dan fungsi kekuasaan kehakiman dalam menegakkan hukum dan keadilan yang sejalan dengan kompleksitas perkara Tipikor. Keberadaan Hakim ad hoc sebagai hakim non-karier diperlukan karena dipandang memiliki keahlian dan kemampuan untuk mengadili suatu perkara khusus dengan kompleksitas yang menyertainya baik yang menyangkut aspek modus operandi, pembuktian, maupun luasnya cakupan Tipikor, antara lain di bidang keuangan dan perbankan, perpajakan, pasar modal, pengadaan barang dan jasa pemerintah (vide Pasal 1 angka 9 dan Penjelasan Umum UU 46/2009). Oleh karena itu, komposisi hakim ad hoc dalam pengadilan Tipikor didesain untuk memberikan dampak positif ketika hakim ad hoc bersama hakim karier menangani perkara Tipikor. Hal ini relevan dengan ide dasar perlunya dibentuk pengadilan Tipikor sebagai pengadilan khusus karena akibat dari tindak pidana korupsi telah menimbulkan kerusakan dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara sehingga diperlukan cara penanganan yang luar biasa. Di samping itu, pencegahan dan pemberantasannya pun harus dilakukan secara terus-menerus dan berkesinambungan yang didukung salah satunya dengan sumber daya manusia yang memadai sehingga dapat ditumbuhkan kesadaran dan sikap anti korupsi (vide Penjelasan Umum UU 46/2009);

[3.12.4] Bahwa secara doktriner periodisasi masa jabatan hakim, termasuk hakim ad hoc berkorelasi erat dengan prinsip kemandirian kekuasaan kehakiman sebagai prinsip pokok yang telah diatur dalam ketentuan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Dalam praktik pelaksanaan kekuasaan yudisial secara internasional, prinsip-prinsip kemandirian kekuasaan kehakiman tersebut dapat ditemukan pula dalam The United Nations Human Rights, Basic Principles on the Independence of the Judiciary, Adopted by the Seventh United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders held at Milan from 26 August to 6 September 1985 and endorsed by General Assembly resolutions 40/32 of 29 November 1985 and 40/146 of 13 December 1985, Number 11 yang menyatakan “The term of office of judges, their independence, security, adequate remuneration, conditions of service, pensions and the age retirement shall be adequately secured by law (masa jabatan hakim, independensi, keamanan, remunerasi yang memadai, kondisi layanan, pensiun, dan usia pensiun harus dijamin secara hukum atau undang-undang)”. Selanjutnya, pada Angka 12 disebutkan juga, “Judges, whether appointed or elected, shall have guaranteed tenure until a mandatory retirement age or the expiry of their term of office, where such exists (Hakim, baik yang ditunjuk atau dipilih, harus memiliki jaminan masa jabatan sampai usia pensiun atau berakhirnya masa jabatan mereka)”. Selain itu, dalam The International Bar Association Minimum Standards of Judicial Independence (Adopted 1982) huruf C mengenai Terms and Nature of Judicial Appointments angka 22 menyatakan, “judicial appointments should generally be for life, subject to removal for cause and compulsory retirement at an age fixed by law at the date of appointment (Pengangkatan hakim pada umumnya untuk seumur hidup, dapat diberhentikan hanya karena mencapai usia pensiun yang telah ditentukan oleh hukum pada saat pengangkatan)”. Sementara pada angka 30 menyatakan, “A judge shall not be subject to removal unless by reason of a criminal act or through gross or repeated neglect or physical or mental incapacity he/she has shown himself/herself manifestly unfit to hold the position of judge (seorang hakim tidak boleh diberhentikan kecuali karena alasan melakukan tindak pidana atau karena mengabaikan tugasnya berulang kali atau karena ketidakmampuan dirinya secara nyata tidak layak untuk menjabat sebagai hakim)”.

[3.13] Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil-dalil pokok permohonan para Pemohon yang pada intinya bermuara pada satu persoalan, yaitu apakah benar dengan adanya periodisasi masa jabatan hakim ad hoc dalam norma Pasal 10 ayat (5) UU 46/2009 bertentangan dengan independensi kekuasaan kehakiman, kesamaan kedudukan hakim, serta telah menimbulkan ketidakadilan yang dijamin oleh UUD 1945, sehingga para Pemohon memohon agar norma a quo dimaknai secara bersyarat bahwa masa tugas hakim ad hoc adalah untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan diusulkan untuk diangkat kembali setiap 5 (lima) tahun oleh Mahkamah Agung. Terhadap dalil para Pemohon a quo, pada prinsipnya memiliki kesamaan isu dengan Perkara Nomor 49/PUU-XIV/2016 yang telah diputus Mahkamah pada 21 Februari 2017. Dalam pertimbangan hukum Sub-paragraf [3.9.4] putusan a quo Mahkamah telah mempertimbangkan kedudukan dan periodisasi masa jabatan hakim ad hoc Pengadilan Hubungan Industrial, sebagai berikut:
[3.9.4] Bahwa keberadaan Hakim Ad-Hoc di Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan sistem peradilan di Indonesia. Di mana Hakim Ad-Hoc diadakan untuk memperkuat peran dan fungsi kekuasaan kehakiman di dalam menegakkan hukum dan keadilan, yang keberadaannya berada dalam peradilan yang bersifat khusus, misalnya Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Niaga, Pengadilan Hubungan Industrial dan Pengadilan Perikanan. Hakim Ad-Hoc merupakan hakim yang diangkat dari luar hakim karier yang memenuhi persyaratan mempunyai keahlian dan pengalaman, profesional, berdedikasi dan berintegritas tinggi, menghayati cita-cita negara hukum dan negara kesejahteraan yang berintikan keadilan, serta memahami dan menghormati hak asasi manusia serta persyaratan lain yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Hal tersebut juga telah ditegaskan oleh Mahkamah dalam Putusan Nomor 32/PUU-XII/2014, bertanggal 20 April 2015, yang menyatakan“...Selain itu, tujuan awal dibentuknya hakim ad hoc adalah untuk memperkuat peran dan fungsi kekuasaan kehakiman dalam menegakkan hukum dan keadilan yang sejalan dengan kompleksitas perkara yang ada. Hakim ad hoc merupakan hakim non-karir yang mempunyai keahlian dan kemampuan untuk mengadili suatu perkara khusus sehingga hakim ad hoc dapat memberi dampak positif ketika hakim ad hoc bersama hakim karir menangani sebuah perkara” (paragraf [3.18]). Khusus pengaturan tentang Hakim Ad hoc Hubungan Industrial baik tata cara pengangkatan, tugas dan wewenangnya untuk memeriksa perkara hubungan industrial telah diatur dalam UU 2/2004.”

Selanjutnya, berkenaan dengan tata cara pengangkatan Hakim Ad hoc Hubungan Industrial, termasuk jangka waktu masa jabatannya juga telah dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam Sub-paragraf [3.9.5] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-XIV/2016 sebagai berikut:
[3.9.5] Bahwa dalam permohonan a quo Pemohon memohonkan Pasal 67 ayat (2) UU 2/2004 agar dimaknai konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) menjadi “masa jabatan Hakim Ad-Hoc adalah untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali setiap 5 (lima) tahun oleh Ketua Mahkamah Agung hingga mencapai batas usia pensiun hakim yakni 62 tahun untuk Hakim Ad-Hoc pada Pengadilan Negeri dan 67 tahun untuk Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung Republik Indonesia”. Bahwa terhadap Permohonan a quo, menurut Mahkamah, kedudukan Hakim Ad-Hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial dan sebagaimana Hakim Ad-Hoc yang ada pada pengadilan khusus lainnya adalah sebagai Hakim Anggota dalam suatu susunan Majelis Hakim yang memiliki tugas untuk memeriksa dan memutuskan perkara perburuhan atau perkara hubungan industrial. Tata cara pengangkatan Hakim Ad hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial dilakukan atas usul organisasi serikat pekerja atau serikat buruh dan organisasi pengusaha, dimana yang bersangkutan harus menguasai pengetahuan hukum khususnya di bidang perburuhan atau ketenagakerjaan serta mempunyai pengalaman di dalam penanganan permasalahan yang berkaitan dengan ketenagakerjaan maupun di bidang kepengusahaan. Susunan majelis hakim yang memeriksa perkara hubungan industrial komposisinya selalu hakim Karir sebagai Ketua Majelis dan 2 (dua) orang Hakim Ad-Hoc sebagai hakim anggota yang masingmasing satu Hakim Ad-Hoc anggota dari unsur serikat pekerja/atau serikat buruh dan satu Hakim Ad-Hoc anggota dari unsur organisasi pengusaha. Hal ini sangat berbeda dengan komposisi susunan majelis hakim yang ada pada pengadilan khusus lainnya yang memiliki Hakim Ad-Hoc, hal tersebut dikarenakan ada sifat kekhususan terhadap Pengadilan Hubungan Industrial yang tidak dapat dilepaskan adanya kebutuhan bahwa Pengadilan Hubungan Industrial adalah merupakan implementasi dari pengembangan lembaga tripartit di dalam penyelesaian sengketa hubungan industrial. Bahwa sebagai konsekuensi adanya keterikatan Pengadilan Hubungan Industrial yang merupakan representasi unsur-unsur dari lembaga pengusul maka hal ini tidak dapat dilepaskannya keberadaan Hakim Ad-Hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial yang dalam proses perekrutannya meninggalkan keterlibatan dari masing-masing lembaga pengusul tersebut, sehingga meskipun masa jabatan Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial yang telah habis masa jabatannya maka untuk pengusulannya kembali haruslah mendapatkan persetujuan atau rekomendasi dari lembaga pengusul, mengingat lembaga tersebut adalah yang dipandang paling tahu tentang calon Hakim Ad-Hoc yang akan duduk pada Pengadilan Hubungan Industrial, baik dari kemampuan, integritas dan rekam jejak serta dipandang dapat memahami suasana kebatinan masalah ketenagakerjaan maupun bidang kepengusahaan, yang kemudian diusulkan kepada menteri yang membidangi ketenagakerjaan dan proses selanjutnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku hingga diusulkan oleh Ketua Mahkamah Agung untuk diangkat oleh Presiden. Hakim Ad-Hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial dibutuhkan untuk mendapatkan keseimbangan dan juga karena kemampuan dalam memeriksa dan memutus perkara yang masalahnya sedemikian kompleks baik yang menyangkut ketenagakerjaan maupun bidang kepengusahaan. Hal tersebut sejalan dengan Putusan Mahkamah Nomor 56/PUU-X/2012, bertanggal 15 Januari 2013, yang menyatakan, “…, sehingga Hakim Ad hoc diperlukan hanya untuk mengadili kasus-kasus tertentu. Oleh karena itu seharusnya Hakim Ad hoc hanya berstatus hakim selama menangani perkara yang diperiksa dan diadilinya”. Kemudian dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XII/2014, bertanggal 20 April 2015, menegaskan, “…bahwa dibentuknya hakim ad hoc pada dasarnya karena adanya faktor kebutuhan akan keahlian dan efektivitas pemeriksaan perkara di Pengadilan yang bersifat khusus… Pengangkatan hakim ad hoc dilakukan melalui serangkaian proses seleksi yang tidak sama dengan proses rekruitmen dan pengangkatan hakim sebagai pejabat negara pada umumnya” (Paragraf [3.18]). Maka oleh karena itu menurut Mahkamah pengusulan kembali Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial yang telah habis masa jabatannya baik yang pertama maupun yang kedua adalah tidak menyimpang dari semangat akan putusan Mahkamah tersebut, terlebih terhadap Hakim AdHoc pada Pengadilan Hubungan Industrial yang telah menjalankan tugas selama dua periode dan telah mempunyai kompetensi, kapasitas, profesionalisme yang telah teruji adalah cukup dipandang memenuhi syarat untuk dicalonkan kembali sebagai Hakim Ad-Hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial. Namun demikian, terhadap hal tersebut penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa pengusulan kembali calon Hakim Ad-Hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial yang pernah menjabat tersebut tidak boleh menghilangkan kesempatan calon Hakim Ad-Hoc lainnya yang juga memenuhi persyaratan sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang dan yang juga diusulkan oleh lembaga pengusul serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha untuk mengikuti seleksi pencalonan sebagai calon Hakim Ad-Hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial. Dengan kata lain bahwa antara calon Hakim Ad-Hoc yang telah pernah menjabat maupun yang belum pernah menjabat mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk mencalonkan diri dan diusulkan oleh lembaga pengusul baik serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha sepanjang memenuhi syarat perundang-undangan hingga proses terakhir diusulkan oleh Ketua Mahkamah Agung untuk diangkat oleh Presiden.

[3.14] Menimbang bahwa dengan mengutip beberapa pertimbangan hukum di atas, maka ketentuan yang berkaitan dengan periodisasi dan masa jabatan hakim ad hoc Tipikor yang termaktub dalam Pasal 10 ayat (5) UU 46/2009 yang menentukan hakim ad hoc diangkat untuk masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan, menurut Mahkamah telah membatasi atau menutup peluang bagi seseorang yang sedang menjabat sebagai hakim ad hoc untuk ikut mencalonkan kembali untuk periode masa jabatan berikutnya. Padahal esensi pokok adanya hakim ad hoc adalah karena pertimbangan keahlian atau kemampuan tertentu yang dimiliki dan independensi serta integritas sebagai hakim ad hoc sehingga dapat bersinergi dengan hakim karier dalam memutus berbagai jenis perkara yang dihadapi. Sementara, hakim ad hoc Tipikor yang telah menjalani masa jabatan pertama dan kedua setidak-tidaknya telah memenuhi syarat sebagaimana dipertimbangkan tersebut di atas dengan kompetensi, kapasitas, dan/atau profesionalisme yang telah teruji sehingga dipandang memenuhi syarat untuk dicalonkan kembali sebagai Hakim Ad hoc pada Pengadilan Tipikor pada periode masa jabatan berikutnya sebagaimana kesempatan yang sama terhadap hakim ad hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial. Lebih lanjut, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-XIV/2016 yang menegaskan dalam pertimbangannya bahwa pengusulan kembali calon Hakim Ad hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial yang pernah menjabat tersebut tidak boleh menghilangkan kesempatan calon hakim ad hoc lainnya yang juga memenuhi persyaratan, oleh karena itu, pencalonan kembali hakim ad hoc Tipikor juga tidak boleh menyebabkan tertutupnya peluang bagi warga negara lainnya yang memenuhi persyaratan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 12 UU 46/2009. Artinya, untuk dapat mencalonkan diri kembali sebagai hakim ad hoc pada Pengadilan Tipikor bagi hakim ad hoc yang telah menjabat untuk jabatan yang pertama dan kedua dapat mencalonkan kembali untuk jabatan berikutnya dengan cara mengikuti seluruh persyaratan dan proses pencalonan dari awal sebagai calon hakim ad hoc Tipikor bersama-sama dengan warga negara lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

[3.15] Menimbang bahwa dengan dibukanya peluang bagi hakim ad hoc pada Pengadilan Tipikor yang telah menjabat pada jabatan atau periode pertama dan kedua serta dibukanya peluang untuk mencalonkan kembali pada periode berikutnya sebagaimana pertimbangan hukum Paragraf [3.14] di atas tidaklah bertentangan dengan sifat kesementaraan hakim ad hoc yang diperlukan hanya untuk mengadili kasus-kasus tertentu dan telah dipertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-X/2012. Pentingnya dibuka peluang bagi hakim ad hoc untuk mencalonkan kembali setelah jabatan keduanya berkorelasi dengan upaya memperoleh hakim ad hoc pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang memenuhi kebutuhan akan keahlian dan efektivitas pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi. Dengan demikian, norma periodisasi masa jabatan hakim ad hoc pada Pengadilan Tipikor dalam Pasal 10 ayat (5) UU 46/2009 yang tidak membuka peluang bagi hakim ad hoc pada Pengadilan Tipikor untuk mencalonkan kembali pada jabatan berikutnya tidak sejalan dengan keinginan untuk menciptakan konsistensi dalam putusan-putusan pengadilan termasuk dalam pengadilan Tipikor serta prinsip kemandirian kekuasaan kehakiman. Oleh karenanya, norma Pasal 10 ayat (5) UU 46/2009, dalam perkara a quo harus dimaknai “Hakim ad hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diangkat untuk masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan tanpa seleksi ulang sepanjang masih memenuhi persyaratan peraturan perundang-undangan, serta dapat diangkat untuk masa jabatan 5 (lima) tahun berikutnya dengan terlebih dahulu mengikuti proses seleksi kembali sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

[3.16] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon berkenaan dengan Pasal 10 ayat (5) UU 46/2009 telah ternyata menimbulkan ketidaksamaan kedudukan hukum dan ketidakpastian hukum yang adil sehingga bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, oleh karenanya dalil para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.

Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk umum dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan langsung dilaksanakan (self executing) oleh seluruh organ penyelenggara negara, organ penegak hukum, dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 85/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk sebagian terhadap pengujian materil UU 46/2009 mengandung arti bahwa Pasal 10 ayat (5) UU a quo bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

INFO JUDICIAL REVIEW PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 40/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAAN TERBATAS TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 27-10-2021

Bahwa permohonan pengujian UU PT diajukan oleh Ignatius Supriyadi, S.H.,LL.M, Sidik, S.H., M.H dan Janteri, S.H.
Bahwa Penjelasan Pasal 120 ayat (2) UU PT dianggap Para Pemohon bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 33 ayat (4), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (4) dan ayat (5) UUD NRI Tahun 1945 karena dinilai telah merugikan dan melanggar hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon.

Menimbang bahwa berdasarkan uraian ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan dalam Paragraf [3.3] dan Paragraf [3.4] di atas, selanjutnya 45 Mahkamah akan mempertimbangkan mengenai kedudukan hukum para Pemohon sebagai berikut:

1. Bahwa norma undang-undang yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon dalam permohonan a quo adalah norma Penjelasan Pasal 120 ayat (2) UU PT yang menyatakan sebagai berikut: Penjelasan Pasal 120 ayat (2) Komisaris Independen yang ada di dalam pedoman tata kelola Perseroan yang baik (code of good coorporate governance) adalah “Komisaris dari pihak luar”
2. Bahwa para Pemohon mendalilkan sebagai perorangan Warga Negara Indonesia yang berprofesi sebagai advokat dan selaku pembayar pajak. Para Pemohon menjelaskan memiliki hak-hak konstitusional sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (4) dan ayat (5), serta Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 dan beranggapan bahwa hakhak konstitusional tersebut dirugikan oleh berlakunya norma yang dimohonkan pengujian;
3. Bahwa menurut para Pemohon, dalam kualifikasinya sebagai pembayar pajak, para Pemohon mempunyai hak konstitusional untuk mempersoalkan dan/atau mengajukan uji materiil kepada Mahkamah terhadap setiap undang-undang di segala bidang hukum yang memengaruhi kerja para Pemohon sebagai Advokat yang juga berstatus sebagai penegak hukum. Selain itu, materi muatan Penjelasan Pasal 120 ayat (2) UU PT berkaitan dengan kedudukan “Komisaris Independen”, yang di dalamnya mengandung makna pekerjaan atau jabatan yang baik langsung maupun tidak langsung berbicara penghasilan/pendapatan berikut perpajakannya sehingga relevan dengan kualifikasi sebagai pembayar pajak;

4. Bahwa menurut para Pemohon, Penjelasan Pasal 120 ayat (2) UU PT yang memuat frasa “Komisaris dari pihak luar” dalam tanda petik, telah menimbulkan multitafsir yang merugikan hak konstitusional para Pemohon dalam menjalankan profesi para Pemohon yang berhubungan erat dengan memberikan pendapat atau nasihat hukum termasuk dalam Hukum Perseroan serta hilang atau berkurangnya hak para Pemohon untuk memeroleh pekerjaan dan penghidupan yang layak akibat adanya kemungkinan terjadi penumpukan atau sentralisasi jabatan Komisaris Independen pada pejabat negara, aparatur sipil negara, dan penyelenggara negara;
5. Bahwa penulisan frasa “Komisaris dari pihak luar” dalam tanda petik menjadikan pengertian Komisaris dari pihak luar tidak memiliki makna yang sebenarnya atau memiliki arti khusus, namun tidak terdapat penjelasan lebih lanjut apa makna atau arti khusus dari “Komisaris dari pihak luar” tersebut. Frasa “Komisaris dari pihak luar” itu dapat diartikan sebagai tidak terafiliasi dari pemegang saham utama, anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris lainnya, atau dapat juga diartikan sebagai komisaris yang berasal dari pihak yang sama sekali tidak ada kaitannya atau hubungan dengan perseroan yang bersangkutan sehingga karyawan atau afiliasi dari pemegang saham minoritas tidak dapat menjadi Komisaris Independen;
6. Bahwa potensi kerugian hak konstitusional para Pemohon atas kepastian hukum dan untuk memeroleh pekerjaan dan penghidupan yang layak tidak akan terjadi apabila Mahkamah menyatakan norma Penjelasan Pasal 120 ayat (2) UU PT bertentangan secara bersyarat dengan UUD 1945;

Berdasarkan uraian tersebut di atas, menurut Mahkamah, Pemohon memiliki hak konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 dan hak konstitusional tersebut dianggap dirugikan oleh berlakunya ketentuan Pasal 60 ayat (1) UU MK. Kerugian konstitusional tersebut bersifat spesifik dan aktual serta memiliki hubungan sebab akibat antara anggapan kerugian dimaksud dengan berlakunya norma undang-undang yang dimohonkan pengujian. Apabila permohonan Pemohon dikabulkan maka kerugian konstitusional seperti yang dijelaskan tidak lagi terjadi. Dengan demikian, terlepas dari terbukti atau tidaknya inkonstitusionalitas norma Pasal 60 ayat (1) UU MK yang dimohonkan pengujian, Mahkamah berpendapat Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.

[3.6] Menimbang bahwa setelah memeriksa secara saksama uraian para Pemohon dalam menjelaskan kerugian hak konstitusionalnya, sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.5] di atas, menurut Mahkamah, para Pemohon tidak mampu menguraikan secara spesifik, aktual, maupun potensial hak konstitusionalnya yang menurut anggapan para Pemohon dirugikan oleh berlakunya ketentuan Penjelasan Pasal 120 ayat (2) UU PT khususnya dengan adanya frasa “Komisaris dari pihak luar” yang ditulis dalam tanda petik. Menurut Mahkamah, para Pemohon tidak memberikan bukti yang cukup sehingga dapat meyakinkan Mahkamah bahwa terdapat kecenderungan para Pemohon untuk dipilih menjadi Komisaris Independen dari suatu perusahaan terbuka/publik yang kemudian menjadi terhalang hak atas pekerjaan para Pemohon tersebut akibat adanya keikutsertaan pejabat negara, aparatur sipil negara (ASN), maupun penyelenggara negara;
Dengan mendasarkan kepada prinsip-prinsip good corporate governance (GCG) yang merupakan rujukan mengenai langkah-langkah yang perlu ditempuh untuk menciptakan situasi checks and balances, transparan dan akuntabel serta merealisasikan tanggung jawab sosial bagi keberlangsungan hidup perusahaan, pemilihan Komisaris Independen dalam suatu Emiten maupun Perusahaan Publik adalah berdasarkan integritas dan kualitas pribadi calon Komisaris Independen itu 47 sendiri sebagaimana yang disyaratkan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 33/POJK.04/2014 tentang Direksi dan Dewan Komisaris Emiten atau Perusahaan Publik. Seorang Komisaris Independen pada perusahaan terbuka/publik selain telah memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan OJK a quo selanjutnya yang menjadi bagian penting adalah diangkat berdasarkan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Terhadap persyaratan untuk menjadi Komisaris Independen berdasarkan Peraturan OJK a quo, para Pemohon dalam Permohonannya telah menyatakan tidak terdapat halangan pada diri para Pemohon untuk menduduki jabatan Komisaris Independen di perusahaan terbuka/publik [vide Perbaikan Permohonan para Pemohon bertanggal 7 September 2021, hlm. 7]. Menurut Mahkamah, pembatasan terhadap pejabat negara, ASN, maupun penyelenggara negara untuk dapat menjadi Komisaris Independen tidak serta merta menjadikan para Pemohon atas dasar pekerjaannya dapat menjadi Komisaris Independen, tetapi para Pemohon ataupun Advokat lainnya harus memenuhi kriteria dan persyaratan sebagaimana diuraikan di atas, sehingga para Pemohon sebagai perseorangan warga negara Indonesia dan berprofesi sebagai advokat tidak mengalami kerugian baik secara langsung maupun tidak langsung dengan berlakunya norma a quo serta tidak terdapat pula hubungan sebab akibat antara anggapan kerugian konstitusional dengan berlakunya norma yang dimohonkan pengujian;
Selain itu, terkait dalil para Pemohon untuk memberikan penguatan terhadap kedudukan hukumnya dengan menggunakan kualifikasi sebagai pembayar pajak yang dihubungkan dengan Komisaris Independen sebagai suatu pekerjaan yang berkenaan dengan penghasilan dan perpajakan, hal demikian tidak dapat diterima oleh Mahkamah sebagaimana telah menjadi pendirian Mahkamah, bahwa Pemohon sebagai pembayar pajak dapat diberikan kedudukan hukumnya bilamana perkara pengujian undang-undang yang diajukan berkaitan erat dengan keuangan negara, pajak, atau anggaran negara serta mampu menguraikan kerugian konstitusional yang disebabkan dari keberlakuan suatu norma yang dimohonkan pengujiannya [vide misalnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10/PUUXVII/2019]. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo;
[3.7] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun dikarenakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, maka Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan para Pemohon.

PENDAPAT BERBEDA (DISSENTING OPINION)
Terhadap putusan Mahkamah Konstitusi a quo, 2 (dua) orang Hakim Konstitusi, yaitu Hakim Konstitusi Anwar Usman dan Hakim Konstitusi Suhartoyo mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinion) perihal kedudukan hukum para Pemohon, dengan alasan-alasan sebagai berikut:
- Bahwa argumentasi para Pemohon dalam uraian kedudukan hukumnya menjelaskan para Pemohon adalah warga negara Indonesia, tax payer, advokat dan profesional yang hak konstitusionalnya dilindungi oleh konstitusi, menurut para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.
- Bahwa selain alasan tersebut di atas para Pemohon juga menjelaskan bahwa para Pemohon juga bukan sebagai subjek hukum yang menjabat sebagai direksi atau komisaris. Dengan demikian, menurut para Pemohon memiliki hak yang sama dengan warga negara Indonesia lain pada umumnya yang memiliki kualifikasi untuk mengikuti seleksi jabatan komisaris independen sebagaimana ketentuan dalam UU PT pada perkara a quo dan peraturan perundang-undangan lainnya;
- Bahwa lebih lanjut, penjelasan Pasal 120 ayat (2) UU Perseroan Terbatas yang diuji dalam perkara a quo selengkapnya berbunyi : “Komisaris Independen yang ada di dalam pedoman tata kelola perseroan yang baik (code of good corporate governance) adalah ‘komisaris dari pihak luar’”; oleh karena itu terhadap norma penjelasan a quo apabila dicermati terdapat syarat agar tata kelola perseroan yang baik (code of good corporate governance) diperlukan adanya “komisaris dari pihak luar”. Oleh karena itu esensi keberadaan komisaris independen adalah untuk memberikan kontribusi pengawasan terhadap perusahaan publik dari unsur masyarakat. Hal ini sangat relevan apabila dikaitkan dengan peran serta masyarakat dalam turut serta mengawasi jalannya sebuah perseroan, terlebih yang terkait dengan keuangan negara, meskipun telah masuk pada kategori prinsip-prinsip perseroan.
- Bahwa apabila ditinjau dengan menggunakan penafsiran grammatical bagi kami jelas sulit untuk mencari alasan dengan tidak memberikan tempat bagi para Pemohon untuk tidak dikategorikan sebagai subjek hukum yang mempunyai kedudukan sama untuk menjadi kandidat ‘komisaris dari pihak luar’. Sebab profesi para Pemohon sebagai advokat/penasehat hukum/profesional juga memenuhi kualifikasi yang dipandang cakap untuk melakukan perbuatan hukum [Vide Pasal ayat (1) huruf b Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 33/POJK.04/2014 tentang Direksi dan Dewan Komisaris Emiten atau Perusahaan Publik (selanjutnya disebut POJK 33/2014)] sehingga memungkinkan untuk mengikuti seleksi jabatan komisaris independen sebagai bentuk peran serta masyarakat dalam turut serta mengawasi jalannya perseroan khususnya perseroan publik melalui perwujudan good corporate governance. Sementara syarat-syarat lain tidak ada satupun yang membatasi akan profesi para Pemohon.
- Bahwa Mahkamah tidak boleh melihat terlalu sempit akan profesi seorang advokat yang hanya sekedar memberikan bantuan hukum, pendampingan hukum saja, akan tetapi ada sisi lain sebagai seorang advokat yang juga sebagai warga negara serta anggota masyarakat yang peran sertanya dibutuhkan untuk mengawasi bekerjanya organ negara yang antara lain melalui instrumen tertentu di dalam mencapai kesejahteraan rakyat. Adapun instrumen yang dimaksud antara lain berupa terwujudnya perseroan-perseroan yang harus mencapai predikat good corporate governance, dengan prinsip-prinsip antara lain: keterbukaan atau transparansi (transparancy, disclosure), akuntanbiltas (accountability), keadilan (fairness), dan pertanggungjawaban (responsibility)
- Bahwa urgensi ditunjuknya komisaris independen dalam tata kelola perseroan, khususnya perseoran bertujuan untuk mendorong terciptanya iklim dan lingkungan kerja yang lebih objektif dan mengedepankan kewajaran (fairness) dan kesetaraan diantara berbagai kepentingan termasuk kepentingan pemegang saham minoritas dan stakeholder lainnya.
- Bahwa ketentuan mengenai syarat komisaris independen diatur secara teknis dalam Pasal 21 ayat (2) POJK 33/2014 yang berbunyi: selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisaris Independen wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Bukan merupakan orang yang bekerja atau mempunyai wewenang dan tanggung jawab untuk merencanakan, memimpin, menegendalikan, atau mengawasi kegiatan eemiten atau perusahaan publik tersebeut dalam waktu 6 (enam) bulan terakhir, kecuali untuk pengangkatan kembali sebagai komisaris independen emiten atau perusahaan publik pada periode berikutnya;
b. Tidak memiliki saham baik langsung maupun tidak langsung pada emiten atau perusahaan publik tersebut;
c. Tidak memiliki hubungan afiliasi dengan emiten atau perusahaan publik, anggota dewan komisaris, anggota direksi, atau pemegang saham utama emiten atau perusahaan publik tersebut;
d. Tidak mempunyai hubungan usaha baik langsung maupun tidak langsung yang berkaitan dengan usaha emiten atau perusahaan publik tersebut.
- Dalam Pasal 20 POJK 33/2014 diatur pula ketentuan bahwa bilamana jumlah dewan komisaris lebih dari 2 (dua), maka setidaknya jumlah komisaris independen adalah 30% dari keseluruhan anggota Dewan Komisaris. Namun dalam perkembangannya POJK Nomor 55/POJK.03/2016 tentang Penerapan Tata Kelola Bagi Bank Umum menetapkan jumlah komisaris independen pada bank umum paling sedikit berjumlah 50% (lima puluh persen) dari jumlah anggota dewan komisaris.
- Komisaris independen yang dapat diangkat kembali setelah dua periode masa menjabat sepanjang komisaris independen tersebut menyatakan dirinya tetap independen kepada RUPS.
- Bahwa tata kelola perusahaan yang baik merupakan suatu perpaduan antara hukum, peraturan perundang-undangan dan praktik yang dilakukan oleh sektor privat atas dasar sukarela yang memungkinkan perusahaan untuk menarik modal keuangan dan tenaga kerja, berkinerja secara efisien, dan dengan semua itu dapat secara berkesinambungan menghasilkan nilai-nilai ekonomi jangka panjang bagi para pemegang sahamnya, dan pada saat yang bersamaan memperhatikan kepentingan para pemangku kepentingan dan masyarakat secara keseluruhan. Efisiensi kinerja serta terjaganya kepentingan para pemangku kepentingan sudah barang tentu menjadi salah satu tugas esensial dari komisaris independen.
- Bahwa apabila ditinjau dari perspektif human capital, adanya komisaris independen dalam sebuah perusahaan dapat mengurangi benturan kepentingan antara pemegang saham dalam manajemen perusahaan, karena fungsi pengawasan dari komisaris independen dapat dilakukan dengan menyuarakan pendapat yang independen dalam rapat.
- Bahwa dengan demikian, mencermati kompleksitasnya tugas dan peran jabatan komisaris independen, maka hal ini membuktikan bahwa profesi apapun termasuk ahli hukum, profesi advokat, dapat menjadi bagian dari perbaikan proses nominasi dan seleksi dewan komisaris pada perusahaan yang diperluas kualifikasinya melalui adanya peningkatan keberagaman. Hal ini bertujuan untuk memberikan diversifikasi kualifikasi akademik, keahlian, usia, gender dari kandidat yang akan menduduki jabatan komisaris termasuk komisaris independen.

AMAR PUTUSAN
Menyatakan permohonan Para Pemohon tidak dapat diterima.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dikabulkan Sebagian Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 64/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2020 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 27-10-2021

Bahwa pada hari Rabu, tanggal 27 Oktober 2021, pukul 12.50 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara (selanjutnya disebut UU 3/2020) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 64/PUU- XVIII/2020. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 64/PUU- XVIII/2020, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU 3/2020 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.15] …
[3.16] Menimbang bahwa setelah menguraikan hal-hal tersebut di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil-dalil yang dikemukakan Pemohon II, sebagai berikut:
Bahwa Pemohon II mendalilkan norma Pasal 169A UU 3/2020 menegaskan adanya perbedaan perlakuan antara pemegang KK dan PKP2B dengan badan usaha swasta untuk memperoleh IUPK. Padahal secara hukum pemegang KK dan PKP2B juga merupakan badan usaha swasta yang sama posisinya dengan badan usaha swasta yang diatur dalam Pasal 75 ayat (4) UU 3/2020. Penambahan Pasal 169A UU 3/2020 memberikan kesempatan kepada pemegang KK dan PKP2B memperoleh jaminan perpanjangan menjadi IUPK tidak memiliki politik hukum yang jelas, karena tidak ada alasan hukum (ratio legis) dari pembentuk undangundang dalam mengubah dan mengatur hak-hak pemegang KK dan PKP2B di mana 2 (dua) jenis kontrak tersebut adalah badan usaha swasta. Selain itu, keberadaan Pasal 169A UU 3/2020 telah memberikan kewenangan yang terlampau luas kepada Menteri untuk memberikan jaminan perpanjangan menjadi IUPK kepada pemegang KK dan PKP2B tanpa mengikutsertakan Pemerintah Daerah sebagai pihak yang secara langsung berdampak dari keberadaan kegiatan yang tertuang dalam KK dan PKP2B.
Terhadap dalil Pemohon II tersebut di atas, menurut Mahkamah konstruksi Pasal 75 ayat (3) UU 3/2020 yang ada relevansinya dengan ketentuan norma Pasal 169A UU 3/2020 sesungguhnya telah memberikan penegasan berkenaan dengan pemberian prioritas kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) untuk memperoleh IUPK. Hal ini sejak awal telah menjadi politik hukum yang dipilih oleh pembentuk undang-undang sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Filosofi yang terkandung dalam pemberian prioritas kepada BUMN dan BUMD tersebut tidak lain disebabkan karena negara ingin mengejawantahkan peran serta negara dalam mengaktualisasikan prinsip “penguasaan negara terhadap sumber daya alam”. Sebab, dengan melalui organ BUMN dan BUMD tersebutlah sesungguhnya penguasaan negara terhadap sumber daya alam dapat diwujudkan sebagaimana juga diamanatkan oleh Pasal 33 ayat
(3) UUD 1945. Oleh karenanya, menjadi hal sangat penting untuk memperlakukan

3

adanya perbedaan antara badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah dengan badan usaha swasta.
Bahwa lebih lanjut dapat dijelaskan, pembedaan sebagaimana tersebut di atas dimaksudkan untuk memberikan penguatan (justifikasi) agar terhadap sumber daya alam di Indonesia tidak dengan mudah dapat diserahkan pengelolaannya kepada pihak swasta, baik domestik maupun asing, kecuali telah terlebih dahulu memberikan prioritas kepada BUMN dan BUMD. Oleh karenanya, seleksi untuk diberikannya IUPK harus dilakukan secara ketat dan harus berpedoman pada ketentuan Pasal 75 UU 3/2020 yang menyatakan:
(1) Pemberian IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) dilakukan berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28.
(2) IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan kepada BUMN, badan usaha milik daerah, atau Badan Usaha swasta.
(3) BUMN dan badan usaha milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mendapat prioritas dalam mendapatkan IUPK.
(4) Badan Usaha swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk mendapatkan IUPK dilaksanakan dengan cara lelang WIUPK.
(5) Lelang WIUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan oleh Menteri dan dilaksanakan dengan mempertimbangkan:
a. luas WIUPK yang akan dilelang;
b. kemampuan administratif/manajemen;
c. kemampuan teknis dan pengelolaan lingkungan; dan
d. kemampuan finansial.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai lelang sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Bahwa dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 75 UU 3/2020 tersebut di atas maka sesungguhnya telah jelas berkenaan dengan pemberian IUPK pada badan swasta harus dilaksanakan dengan cara lelang WIUPK dan tidak dibedakan baik terhadap badan usaha swasta dalam negeri maupun luar negeri (vide Pasal 75 ayat (4) UU 3/2020) dan dengan harus memenuhi pertimbangan sebagaimana yang dipersyaratkan dalam ketentuan Pasal 75 ayat (5) UU 3/2020. Oleh karena itu, berkaitan dengan hal tersebut maka terhadap ketentuan Pasal 169A UU 3/2020 menimbulkan adanya ketidaksesuaian dengan semangat yang terdapat dalam Pasal 75 UU 3/2020. Terlebih, ketentuan yang membenarkan terhadap diberikan jaminan perpanjangan menjadi IUPK sebagai kelanjutan operasi kontrak/perjanjian. Artinya, terhadap badan usaha yang melakukan Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) secara otomatis mendapatkan jaminan perpanjangan menjadi IUPK, padahal sesungguhnya KK maupun PKP2B adalah hubungan hukum yang bersifat privat yang sebenarnya harus sudah selesai pada saat jangka waktu perjanjian tersebut berakhir. Oleh karenanya tidak ada lagi hubungan hukum antara Pemerintah dengan badan usaha swasta yang terdapat dalam KK maupun PKP2B untuk
4

diberikan prioritas berupa jaminan perpanjangan menjadi IUPK sekalipun memenuhi persyaratan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 169A ayat (1) UU 3/2020. Sehingga, dengan demikian Pemerintah seharusnya mulai melakukan penataan kembali dengan mengejawantahkan penguasaan negara terhadap sumber daya alam, khususnya dalam pemberian izin, untuk mulai dilakukan penertiban dengan skala prioritas sebagaimana yang diamanatkan dalam UU 3/2020 a quo.
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan tersebut di atas, terlepas dari esensi adanya jaminan terhadap KK dan PKP2B diberikan perpanjangan IUPK setelah memenuhi persyaratan disebabkan karena faktor historis berkenaan dengan sejarah investasi yang memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia, namun pemberian jaminan yang demikian akan menutup dan menjauhkan implementasi penguasaan sumber daya alam oleh negara. Di samping pertimbangan hukum tersebut jaminan pemberian IUPK tersebut juga menutup peluang badan usaha dalam negeri berperan memajukan perekonomian sesuai dengan semangat dalam Pasal 33 UUD 1945. Oleh karena itu, Mahkamah berpendirian terhadap frasa “diberikan jaminan” dalam Pasal 169A ayat (1) UU 3/2020 serta kata “dijamin” dalam Pasal 169A ayat (1) huruf a dan huruf b UU 3/2020 bertentangan dengan semangat penguasaan oleh negara dan memberikan peluang kepada badan usaha dalam negeri sebagaimana diamanatkan oleh UU 3/2020 a quo. Dengan demikian, tanpa bermaksud mengurangi pemberian kesempatan kepada badan usaha swasta untuk turut berkompetisi dalam mendapatkan IUPK dan ditambah dengan pertimbangan agar pemerintah mendapatkan badan usaha swasta yang benar-benar mempunyai kapabilitas dan integritas serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang memenuhi prinsip-prinsip good corporate governance, maka frasa “diberikan jaminan” dalam Pasal 169A ayat (1) UU 3/2020 haruslah dimaknai dengan frasa “dapat diberikan” serta kata “dijamin” dalam Pasal 169A ayat (1) huruf a dan huruf b UU 3/2020 haruslah dimaknai dengan kata “dapat”;
[3.17] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas telah ternyata ketentuan dalam Pasal 169A ayat (1) UU 3/2020 sepanjang frasa “diberikan jaminan” serta Pasal 169A ayat (1) huruf a dan huruf b UU 3/2020 sepanjang kata “dijamin” bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), serta Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Dengan demikian, permohonan Pemohon II beralasan menurut hukum untuk sebagian;

1. Bahwa terhadap Putusan MK dalam Perkara Nomor 64/PUU-XVIII/2020 sebagaimana diuraikan diatas, untuk mengisi kekosongan hukum berdasarkan
6

Pasal 169A Undang-Undang Nomor Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan saran sebagai berikut:
a. Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 64/PUU-XVIII/2020 sebagai bahan dalam penyusunan Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka.
b. Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 64/PUU-XVIII/2020 sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan UU 3/2020.
2. Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh seluruh organ penyelenggara Negara, organ penegak hukum dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 64/PUU-XVIII/2020 mengenai materi muatan pasal/ayat dalam UU 3/2020 yang dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, agar tidak menimbulkan kekosongan hukum, dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan Perubahan UU 3/2020.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dikabulkan Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 6/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 30-09-2021

Bahwa pada hari Kamis tanggal 30 September 2021, pukul 10.17 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (selanjutnya disebut UU BPJS) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 6/PUU-XVIII/2020. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 6/PUU-XVIII/2020, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU BPJS dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.16] Menimbang bahwa sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut pokok permohonan Para Pemohon, oleh karena isu pokok yang dijadikan alasan permohonan pengujian oleh para Pemohon mempunyai kesamaan dengan perkara Nomor 72/PUU-XVII/2019 yang putusannya telah diucapkan sebelumnya, sehingga penting bagi Mahkamah untuk mengutip beberapa pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 72/PUU-XVII/2019 tersebut, sebagai berikut:

“[3.16] …Setiap jenis pekerjaan memiliki karakter tersendiri baik dari aspek latar belakang, tujuan atau orientasi maupun risiko yang akan ditanggung. Oleh karena itu, jaminan sosial terhadap pekerjaan atau profesi dimaksud juga harus disesuaikan dengan kelompok profesi/pekerjaan yang dimiliki setiap warga negara. Dalam kerangka inilah sesungguhnya UU 40/2004 memilih badan hukum penyelenggara jaminan sosial bukan merupakan lembaga/badan tunggal, melainkan jamak, bisa: dua, tiga, empat atau lebih.

[3.17] … kebijakan mengalihkan dengan cara meleburnya dengan persero lainnya menjadi satu BJPS Ketenagakerjaan justru berlawanan atau tidak sejalan dengan pilihan kebijakan pembentuk undang-undang saat membentuk UU 40/2004. Sebab, peralihan tersebut justru berimplikasi pada penerapan konsep lembaga tunggal dalam penyelenggaraan sistem jaminan sosial ketenagakerjaan. Padahal, sesuai putusan Mahkamah Konstitusi dan UU 40/2004 bukan memilih model lembaga atau desain kelembagaannya tunggal, tetapi mengikuti konsep banyak lembaga atau lembaga majemuk. Pilihan kebijakan dengan lembaga tunggal tidak sejalan dengan konsep transformasi badan penyelenggara jaminan sosial sebagaimana termaktub dalam UU 40/2004 …”

[3.18] … sekalipun UU 40/2004 mengharuskan badan/lembaga yang bergerak di bidang penyelenggaraan jaminan sosial bertransformasi menjadi badan penyelenggara jaminan sosial, namun tidak berarti badan tersebut dihapuskan dengan model atau cara menggabungkannya dengan persero lainnya yang memiliki karakter berbeda. Transformasi cukup hanya dengan melakukan perubahan terhadap bentuk hukum badan hukum dimaksud serta melakukan penyesuaian terhadap kedudukan badan hukum tersebut, yang semula sebagai persero menjadi badan hukum penyelenggara jaminan sosial, dengan memperkuat regulasi yang mengamanatkan kewajiban penyelenggara jaminan sosial untuk diatur dengan undang-undang [vide Pasal 5 ayat (1) UU 40/2004]. Pada saat pembentuk undang-undang mengalihkan persero dengan cara menggabungkannya dengan persero lain yang berbeda karakter, hal demikian potensial merugikan hak-hak peserta program tabungan hari tua dan pembayaran pensiun yang telah dilakukan oleh persero sebelum dialihkan. Kerugian atau potensi kerugian dimaksud disebabkan karena ketika dilakukan penggabungan, akan sangat mungkin terjadi penyeragaman standar layanan dan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan jaminan kematian bagi semua peserta. Penyeragaman dimaksud akan menempatkan semua peserta dalam posisi yang sama padahal masing-masing mereka berangkat dari pekerjaan dengan karakter dan risiko kerja yang berbeda-beda …

[3.20] … Oleh karena itu, untuk memenuhi prinsip gotong royong, pembentuk undang-undang sesungguhnya tidak harus menjadikan semua persero penyelenggara jaminan sosial bidang ketenagakerjaan ditransformasi menjadi satu badan. Bagaimanapun, dengan tetap mempertahankan eksistensi masing-masing persero dan mentransformasikan menjadi badan-badan penyelenggara jaminan sosial, prinsip gotong-royong tetap dapat dipenuhi secara baik …”

[3.17] Menimbang bahwa setelah merujuk pada pertimbangan hukum putusan tersebut di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permasalahan Para Pemohon mengenai konstitusionalitas pengalihan PT ASABRI (Persero) sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 57 huruf e dan Pasal 65 ayat UU BPJS sebagai berikut:

[3.17.1] Bahwa sebagaimana telah dipertimbangkan Mahkamah dalam Paragraf [3.17] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 72/PUU-XVII/2019, peleburan persero yang bergerak dalam penyelenggaraan jaminan sosial menjadi BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan sesuai Pasal 57 dan Pasal 65 UU BPJS berlawanan atau tidak sejalan dengan pilihan kebijakan pembentuk undangundang saat membentuk Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU 40/2004) yang menghendaki konsep banyak lembaga atau lembaga majemuk. Sehingga, konsep peralihan kelembagaan badan penyelenggara jaminan sosial ke dalam BPJS Ketenagakerjaan menyebabkan hilangnya entitas persero yang mengakibatkan munculnya ketidakpastian hukum dalam transformasi beberapa badan penyelenggara jaminan sosial yang telah ada sebelumnya yang masing-masing mempunyai karakter dan kekhususan yang berbeda-beda;

[3.17.2] Bahwa sejalan dengan pertimbangan Mahkamah pada Sub-paragraf [3.17.1] di atas, pertimbangan Mahkamah dalam Paragraf [3.18] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 72/PUU-XVII/2019, pada pokoknya menyatakan sekalipun UU 40/2004 mengharuskan badan/lembaga yang bergerak di bidang penyelenggaraan jaminan sosial bertransformasi menjadi badan penyelenggara jaminan sosial, namun tidak berarti badan tersebut dihapuskan dengan model atau cara menggabungkannya dengan persero lainnya yang memiliki karakter berbeda, melainkan cukup hanya dengan melakukan perubahan terhadap bentuk hukum badan hukum dimaksud dan melakukan penyesuaian terhadap kedudukan badan hukum tersebut serta memperkuat regulasi yang mengamanatkan kewajiban penyelenggara jaminan sosial untuk diatur dengan undang-undang [vide Pasal 5 ayat (1) UU 40/2004]. Hal ini untuk menghindari terjadinya potensi kerugian hakhak peserta program tabungan hari tua dan pembayaran pensiun yang telah dilakukan oleh persero sebelum dialihkan, khususnya berkaitan dengan nilai manfaat. Oleh karenanya, meskipun pilihan melakukan transformasi menjadi BPJS Ketenagakerjaan dimaksud merupakan kebijakan pembentuk undang-undang, namun transformasi harus dilakukan secara konsisten dengan konsep banyak lembaga yang hal itu tidak dapat dipisahkan dari karakter dan kekhususan masingmasing badan penyelenggara jaminan sosial yang berbeda-beda, sehingga mampu memberikan jaminan kepastian hukum terhadap hak atas jaminan sosial warga negara, khususnya peserta yang tergabung di dalamnya sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) juncto Pasal 28H ayat (3) dan Pasal 34 ayat (2) UUD 1945.

[3.17.3] Bahwa meskipun tidak secara tegas didalilkan oleh Para Pemohon dalam permohonannya, namun Mahkamah perlu menegaskan pendiriannya berkenaan dengan pemenuhan prinsip gotong royong dalam penyelenggaraan jaminan sosial sebagaimana dipertimbangkan pada Paragraf [3.20] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 72/PUU-XVII/2019, yang pada pokoknya menyatakan untuk memenuhi prinsip gotong-royong, pembentuk undang-undang sesungguhnya tidak harus menjadikan semua persero penyelenggara jaminan sosial bidang ketenagakerjaan ditransformasi menjadi satu badan. Dengan demikian, meskipun dengan tetap mempertahankan eksistensi masing-masing persero dan mentransformasikan menjadi badan-badan penyelenggara jaminan sosial, prinsip gotong-royong tetap dapat dipenuhi secara baik. Oleh karena itu, desain transformasi badan penyelenggara jaminan sosial ke dalam BPJS Ketenagakerjaan mengandung ketidakpastian baik karena tidak konsistennya pilihan desain kelembagaan yang diambil ataupun karena tidak adanya kepastian terkait nasib peserta yang ada di dalamnya, khususnya skema yang seharusnya mencerminkan adanya jaminan dan potensi terkuranginya nilai manfaat bagi para pesertanya

[3.18] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil para Pemohon mengenai pengalihan PT ASABRI (Persero) sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 57 huruf e dan Pasal 65 ayat (1) UU BPJS bertentangan dengan hak setiap orang atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat, sebagaimana termaktub dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dan amanat bagi negara untuk mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan sebagaimana termaktub dalam Pasal 34 ayat (2) UUD 1945. Hal tersebut juga merupakan semangat yang terdapat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 72/PUU-XVII/2019. Dengan demikian, pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 72/PUU-XVII/2019 tersebut mutatis-mutandis menjadi bagian dari pertimbangan hukum terhadap putusan perkara a quo dan oleh karena itu Mahkamah berpendapat terhadap permohonan Para Pemohon ini pun adalah beralasan menurut hukum.

[3.19] Menimbang bahwa oleh karena terdapat sejumlah pasal lain dalam UU 24/2011 yang berhubungan erat dengan norma Pasal 57 huruf e dan Pasal 65 ayat (1) UU BPJS yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah, maka sebagai konsekuensi yuridisnya pemberlakuannya harus menyesuaikan dengan putusan Mahkamah a quo.

[3.20] Menimbang bahwa dengan telah ditegaskannya pendirian Mahkamah bahwa ketentuan norma Pasal 57 huruf e dan Pasal 65 ayat (1) UU BPJS inkonstitusional sebagaimana telah dipertimbangkan di atas, maka terhadap halhal lain dari permohonan Para Pemohon yang dipandang tidak relevan tidak dipertimbangkan lebih lanjut.

1. Bahwa terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 6/PUU-XVIII/2020 sebagaimana diuraikan di atas, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan saran sebagai berikut:
a. Menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU-XVIII/2020 sebagai bahan dalam penyusunan Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka.
b. Menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU-XVIII/2020 sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
2. Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan langsung dilaksanakan (self executing) oleh seluruh organ penyelenggara negara, organ penegak hukum, dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 6/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan Pasal 57 huruf e dan Pasal 65 ayat (1) UU BPJS bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dapat digunakan sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dikabulkan Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 72/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 30-09-2021

Bahwa pada hari Kamis tanggal 30 September 2021, pukul 09.59 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Virtual Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (selanjutnya disebut UU 24/2011) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 72/PUU-XVII/2019. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 72/PUU-XVII/2019, perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 65 ayat (2) UU 24/2011 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.7] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan Pasal 57 huruf f dan Pasal 65 ayat (2) UU 24/2011 bertentangan dengan Pasal 28H ayat (3) dan Pasal 34 ayat (2) UUD 1945 dengan argumentasi sebagaimana selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara yang pada pokoknya sebagai berikut:
1. Bahwa menurut para Pemohon, PT TASPEN (Persero) dengan BPJS Ketenagakerjaan memiliki karakteristik yang berbeda satu sama lainnya baik dalam kerangka peserta maupun program yang dilaksanakan. Peserta program PT TASPEN (Persero) adalah Aparatur Sipil Negara (ASN) dan Pejabat Negara (peserta yang bekerja pada Penyelenggara Negara), sedangkan peserta BPJS Ketenagakerjaan adalah pekerja yang bekerja pada pemberi kerja selain penyelenggara negara (privat sector). Pengaturan jaminan dan perlindungan bagi ASN diatur khusus, hal ini merupakan wujud dari politik hukum pembentuk undang-undang yang menghendaki agar ASN diberikan manfaat dan layanan program jaminan dan perlindungan yang lebih baik dan dikelola secara khusus oleh PT TASPEN (Persero);
2. Bahwa menurut para Pemohon, legalitas PT TASPEN (Persero) untuk menyelenggarakan jaminan dan perlindungan bagi ASN dan Pejabat Negara diperkuat melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 98/PUU-XV/2017 tertanggal 31 Januari 2018, juncto Putusan Mahkamah Agung Nomor 32 P/HUM/2016 tertanggal 8 Juni 2017 terkait Uji Materi Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2015 tentang Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian; Bahwa menurut para Pemohon, Program Tabungan Hari Tua dan Program Pembayaran Pensiun merupakan kesinambungan penghasilan hari tua sebagai hak dan penghargaan atas pengabdian ASN, serta pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya berkelanjutan serta jaminan atas kehidupan yang layak sesuai dengan tugas, tanggung jawab dan kewajiban;
3. Bahwa menurut para Pemohon, ASN dan Pejabat Negara dalam struktur Pemerintahan Indonesia memiliki karakteristik yang khusus bila disandingkan dengan pekerja swasta. Terdapat hal mendasar yang membedakan status ASN, Pejabat Negara dan Penerima Pensiun dengan pekerja swasta antara lain yakni bahwa ASN, Pejabat Negara dan Penerima Pensiun merupakan unsur aparatur negara serta memiliki fungsi/tugas antara lain: melaksanakan kebijakan yang ditetapkan oleh pimpinan instansi pemerintah, pelaksana kebijakan publik, pelayan publik, perekat kesatuan bangsa, setia dan mempertahankan Ideologi Pancasila dan UUD 1945 serta pemerintahan yang sah;
4. Bahwa menurut para Pemohon, kebijakan/politik hukum pemerintah menganut keterpisahan manajemen tata kelola jaminan sosial antara pekerja yang bekerja pada penyelenggara negara dengan pekerja yang bekerja selain pada penyelenggara negara dimaksudkan karena ASN, Pejabat Negara, dan Penerima Pensiun merupakan pegawai pemerintah yang memiliki special character serta untuk menghindari timbulnya risiko finansial yang sangat fundamental, yang akan mengganggu ketenangan, semangat, daya kreativitas dan loyalitas ASN dan Pejabat Negara dalam mengemban amanah sebagai abdi negara termasuk menjalankan peran sebagai perekat persatuan dan kesatuan dalam bingkai NKRI yang pada gilirannya akan menimbulkan penurunan peran negara dalam memberikan layanan dan kesejahteraan pada masyarakat;
5. Bahwa menurut para Pemohon, ketentuan Pasal 57 huruf f dan Pasal 65 ayat (2) UU 24/2011 bertentangan dengan doktrin hukum bahwa setiap perubahan undang-undang harus menguntungkan “subjek” yang diatur, yaitu dalam hal ini para Pemohon sebagai peserta “Program Tabungan Hari Tua dan Program Pembayaran Pensiun” yang diselenggarakan oleh PT TASPEN (Persero);
6. Bahwa menurut para Pemohon, ketentuan Pasal 57 huruf f dan Pasal 65 ayat (2) UU 24/2011 melanggar asas “keadilan, ketertiban dan kepastian hukum” dalam membentuk perundang-undangan yang baik sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf g dan huruf i Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Hal ini karena Pasal 57 huruf f dan Pasal 65 ayat (2) UU 24/2011 memangkas “program tabungan hari tua dan program pembayaran pensiun” tanpa terlebih dahulu menghilangkan peraturan yang menjadi payung bagi “program” tersebut. Menurut para Pemohon, seharusnya peraturan baru yang akan menghilangkan suatu ketentuan dalam suatu peraturan yang telah terbit terlebih dahulu, harus secara ekspilisit menyatakan “aturan” dimaksud tidak berlaku atau dicabut daya berlakunya. Menurut para Pemohon, pembuatan suatu peraturan baru harus memperhatikan peraturan yang terbit lebih dahulu bilamana peraturan baru tersebut akan mengatur norma yang bersinggungan dengan norma yang juga diatur dalam peraturan sebelumnya;
7. Bahwa berdasarkan uraian dali-dalil tersebut di atas, para Pemohon memohon kepada Mahkamah agar menyatakan Pasal 57 huruf f dan Pasal 65 ayat (2) UU 24/2011 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

[3.8] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalil permohonannya, para Pemohon telah mengajukan bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-15 (sebagaimana selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara), serta mengajukan tiga orang ahli bernama Dr. Maruarar Siahaan S.H., Dr. Dian Puji Simatupang S.H., M.H., dan Wawan Hafid Syaifudin M.Si., M.Act.Sc., ASAI., yang didengarkan keterangannya pada persidangan Mahkamah tanggal 27 Januari 2020 (keterangan selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara);

[3.9] Menimbang bahwa Dewan Perwakilan Rakyat menyampaikan keterangan yang dibacakan dalam persidangan Mahkamah tanggal 27 Januari 2020 yang kemudian dilengkapi dengan keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada 5 Februari 2020, pada pokoknya menerangkan bahwa konsep pengalihan program jaminan hari tua dan pensiun ASN yang diselenggarakan PT TASPEN (Persero) kepada BPJS Ketenagakerjaan berangkat dari prinsip kegotongroyongan sebagaimana diatur Pasal 4 UU SJSN. Pengalihan dari PT TASPEN (Persero) ke BPJS Ketenagakerjaan justru menjamin terpenuhinya hak atas jaminan sosial, namun memang perlu jangka waktu untuk transformasi dari PT TASPEN (Persero) kepada BPJS Ketenagakerjaan agar dapat memenuhi 7 prinsip yang pada pokoknya tidak boleh merugikan karyawan 4 (empat) BUMN yang dilebur dan tidak boleh merugikan peserta lama yang mengikuti program 4 (empat) BUMN yang dilebur;

[3.10] Menimbang bahwa Presiden telah memberikan keterangan tertulis yang diterima dan dibacakan dalam persidangan Mahkamah tanggal 16 Januari 2020, kemudian menyampaikan tambahan keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah tanggal 18 Februari 2020, yang pada pokoknya menerangkan bahwa para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum karena tidak ada hubungan kausalitas antara kerugian yang didalilkan dengan berlakunya Pasal 57 huruf f dan Pasal 65 ayat (2) UU 24/2011 dan permohonan para Pemohon tidak jelas. Dalam pokok permohonan Presiden menerangkan bahwa transformasi PT TASPEN (Persero) dan PT ASABRI ke dalam BPJS Ketenagakerjaan merupakan pilihan kebijakan pembentuk undang-undang untuk melaksanakan jaminan penyelenggaraan sosial nasional secara menyeluruh dan terpadu sesuai dengan ketentuan Pasal 34 ayat (2) UUD 1945. Menurut Presiden ketentuan yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon tetap menjamin hak-hak kepesertaan jaminan termasuk ASN, pensiunan Pejabat Negara/Pensiunan PNS/Pensiunan Janda/duda sebagaimana dijamin oleh ketentuan Pasal 28H ayat (3) UUD 1945. Untuk mendukung keterangannya, Presiden menyampaikan dokumen pendukung yang diberi tanda bukti T-1 sampai dengan bukti T-4 serta mengajukan seorang ahli bernama Dr. Indra Budi Sumantoro, S.Pd., M.M., yang didengarkan keterangannya dalam persidangan Mahkamah tanggal 17 Februari 2020 (keterangan selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara);

[3.11] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, PT Dana Tabungan Asuransi Pegawai Negeri [selanjutnya disebut PT TASPEN (Persero)] telah ditetapkan oleh Mahkamah sebagai Pihak Terkait. Selanjutnya Pihak Terkait memberikan keterangan tertulis yang dibacakan dalam persidangan tanggal 5 Februari 2020, serta tambahan keterangan tertulis bertanggal 12 Februari 2020 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 17 Februari 2020. Pihak Terkait PT TASPEN (Persero) pada pokoknya menerangkan bahwa tidak ada program yang sesuai yang dapat dialihkan karena jaminan yang diberikan bukan jaminan dasar sebagaimana diatur dalam UU SJSN. Selain itu, kedudukan PNS dan Pejabat Negara memiliki karakteristik khusus sebagai abdi negara yang pembayaran pensiunnya dibiayai oleh APBN, sehingga jaminan sosial bagi PNS dan Pejabat Negara tetap diselenggarakan oleh PT TASPEN (Persero) sebagaimana dijelaskan PT TASPEN (Persero) dalam roadmap yang disusun berdasarkan amanat Pasal 65 ayat (2) UU 24/2011. Pengalihan program PT TASPEN (Persero) kepada BPJS Ketenagakerjaan yang diamanatkan Pasal 57 huruf f dan Pasal 65 UU 24/2011 menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para Peserta, karena tidak dapat dipastikan dengan adanya pengalihan tersebut para Peserta tidak akan mengalami penurunan layanan dan manfaat dan tidak dapat dipastikan dengan adanya pengalihan itu para Peserta akan mendapatkan layanan dan manfaat yang lebih baik dari pelayanan prima yang selama ini diberikan PT TASPEN (Persero). Untuk mendukung keterangannya Pihak Terkait PT TASPEN (Persero) mengajukan keterangan tertulis dua orang ahli bernama Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra S.H., M.Sc. dan Prof. Dr. Zudan Arif Fakhrulloh S.H., M.H., namun keterangan tertulis diterima Kepaniteraan pada 12 Agustus 2020 di mana telah melewati batas waktu penyampaian kesimpulan para pihak yang ditentukan dalam persidangan Mahkamah, yaitu tanggal 25 Februari 2020, pukul 10.30 WIB sehingga keterangannya tidak dapat dipertimbangkan

[3.12] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Mahkamah telah menetapkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS Ketenagakerjaan) sebagai Pihak Terkait, yang telah menyampaikan keterangan tertulis dan didengarkan keterangannya dalam persidangan Mahkamah tanggal 5 Februari 2020, serta tambahan keterangan tertulis bertanggal 17 Februari 2020 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 13 Februari 2020, yang pada pokoknya menerangkan bahwa sistem jaminan sosial nasional merupakan program negara yang bertujuan memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945. Pengaturan kelembagaan dan mekanisme BPJS sebagai lembaga pengelola jaminan sosial nasional merupakan open legal policy pembentuk undang-undang. SJSN disepakati dalam suatu badan hukum publik dalam hal ini adalah BPJS Ketenagakerjaan yang diharapkan menyempurnakan sistem dan mampu memberikan perbaikan layanan dibandingkan penyelenggara terdahulu;

[3.13] Menimbang bahwa setelah memeriksa dengan saksama dalil-dalil permohonan para Pemohon dan bukti-bukti serta ahli-ahli yang diajukan para Pemohon; keterangan DPR; keterangan dan tambahan keterangan Presiden serta bukti-bukti pendukung keterangan Presiden, serta ahli yang diajukan oleh Presiden; keterangan dan tambahan keterangan Pihak Terkait PT TASPEN (Persero), serta dokumen pendukung keterangan Pihak Terkait PT TASPEN (Persero); keterangan dan tambahan keterangan Pihak Terkait BPJS Ketenagakerjaan, pokok permasalahan dan sekaligus pertanyaan utama yang harus dipertimbangkan Mahkamah, yaitu: benarkah pengalihan PT TASPEN (Persero) sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 57 huruf f dan Pasal 65 ayat (2) UU 24/2011 bertentangan dengan UUD 1945.

[3.14] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permasalahan dan sekaligus pertanyaan utama tersebut, Mahkamah terlebih dahulu mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
Bahwa Alenia ke-4 Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan salah satu tujuan negara Indonesia adalah memajukan kesejahteraan umum. Amanat tersebut mencerminkan Indonesia sebagai sebuah negara kesejahteraan. Tidak hanya dalam Pembukaan, posisi Indonesia sebagai negara kesejahteraan kian diperjelas dalam Bab XIV yang berjudul “Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial”. Perwujudan dan konsekuensi menganut paham negara kesejahteraan dimaksud, negara bertanggungjawab dalam urusan kesejahteraan seluruh rakyatnya, termasuk mengembangkan jaminan sosial bagi rakyatnya. Dalam hal ini, ketentuan Pasal 28H ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. Lebih lanjut, terhadap jaminan sosial dimaksud, Pasal 34 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”. Secara lebih konkret, amanat UUD 1945 tersebut diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosisial Nasional (UU 40/2004);
Bahwa secara substansial, UU 40/2004 memaknai jaminan sosial sebagai salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak [Pasal 1 angka 1 UU 40/2004]. Sebagaimana dikemukakan dalam Penjelasan Umum UU 40/2004, Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) pada dasarnya merupakan program negara yang bertujuan untuk memberi kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Melalui program SJSN, setiap penduduk diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak apabila terjadi hal- hal yang dapat mengakibatkan hilang/berkurangnya pendapatan, karena menderita sakit, mengalami kecelakaan, kehilangan pekerjaan, memasuki usia lanjut, atau pensiun. Dalam mewujudkan hal ini, penyelenggaraannya harus mendasarkan pada prinsip kegotongroyongan, nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, portabilitas, kepesertaan bersifat wajib, dana amanat, dan hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta [vide Pasal 4 UU 40/2004]. Salah satu prinsip yang menonjol dalam penyelenggaraan jaminan sosial adalah prinsip kegotongroyongan yang dimaknai sebagai prinsip kebersaamaan antar peserta dalam menanggung beban biaya jaminan sosial, yang diwujudkan dengan kewajiban setiap peserta membayar iuran sesuai dengan tingkat gaji, upah, atau penghasilannya;
Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU 40/2004, konsep dan prinsip jaminan sosial ini diwujudkan ke dalam bentuk Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS). Selanjutnya, Pasal 5 ayat (3) UU 40/2004 merinci BPJS terdiri dari: a) Perusahaan Perseroan (Persero) Jaminan Sosial Tenaga Kerja; b) Perusahaan Perseroan (Persero) Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (TASPEN); c) Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI); dan d) Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia (ASKES). Jika diperlukan, sesuai dengan Pasal 5 ayat (4) UU 40/2004, dapat dibentuk lembaga baru dengan undang-undang. Namun demikian, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 007/PUU-III/2005, bertanggal 31 Agustus 2005, dalam putusan a quo Mahkamah menyatakan Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) UU 40/2004 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dengan alasan bahwa pembentukan BPJS harus dilakukan dengan undang-undang, sehingga Mahkamah menegaskan pentingnya dibentuk undang-undang yang mengatur Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) secara rinci;
Bahwa terlepas dari fakta norma Pasal 5 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU 40/2004 telah dinyatakan Mahkamah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, konstruksi pilihan kebijakan pembentuk undang-undang terkait desain kelembagaan penyelenggara sistem jaminan sosial dalam undang-undang a quo sama sekali tidak berubah, yaitu tetap menggunakan format lembaga majemuk, bukan lembaga tunggal. Terlebih lagi, BPJS dimaksud tidak hanya dapat dibentuk di tingkat pusat, melainkan juga dapat dibentuk di daerah. Khusus BPJS tingkat pusat, pembentukannya dilakukan dengan undang-undang. Kesempatan untuk membentuk banyak lembaga dalam penyelenggaraan sistem jaminan sosial juga secara tegas dapat dipahami dari Penjelasan Umum UU 40/2004 yang menyatakan:
Dalam Undang-Undang ini diatur penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional yang meliputi jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan pensiun, jaminan hari tua, dan jaminan kematian bagi seluruh penduduk melalui iuran wajib pekerja. Program-program jaminan sosial tersebut diselenggarakan oleh beberapa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dalam Undang-Undang ini adalah transformasi dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang sekarang telah berjalan dan dimungkinkan membentuk badan penyelenggara baru sesuai dengan dinamika perkembangan jaminan sosial.
Bahwa berdasarkan Penjelasan Umum tersebut dapat dipahami BPJS yang dimaksud dalam UU 40/2004 merupakan transformasi dari BPJS yang ada dan sedang berjalan. Transformasi dimaksud adalah perubahan status perusahaan (Persero) menjadi badan hukum penyelenggara program jaminan sosial. Dalam hal ini, transformasi tersebut sama sekali tidak menghendaki semua lembaga yang telah eksis dilebur menjadi satu badan hukum, melainkan masing-masing badan tetap menjalankan tugas dan fungsinya seperti biasa sesuai dengan amanat Ketentuan Peralihan yang termaktub dalam Pasal 52 UU 40/2004. Bahkan, apabila dibaca dan didalami lebih saksama, inkonstitusionalitas Pasal 5 ayat (3) UU 40/2004 tidaklah sepenuhnya karena substansinya bertentangan dengan UUD 1945, namun karena substansi Pasal 5 ayat (3) UU 40/2004 telah terkandung dan tertampung di dalam norma Pasal 52 UU 40/2004. Bagi Mahkamah, apabila kedua norma tersebut [yaitu Pasal 5 ayat (3) dan Pasal 52 UU 40/2004] dipertahankan keberadaannya akan menimbulkan multitafsir dan ketidakpastian hukum (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 007/PUU-III/2005, hlm. 270-271).
Bahwa perkembangan berikutnya, perintah Pasal 5 ayat (1) UU 40/2004 untuk membentuk undang-undang yang mengatur tentang BPJS diejawantahkan ke dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU 24/2011), namun konsep BPJS yang diatur dalam UU 24/2011 berbeda dengan konsep BPJS yang diatur dalam UU 40/2004 sebelum dibatalkan oleh Mahkamah. Dalam hal ini, jika Pasal 5 ayat (3) UU SJSN sebelum dibatalkan Mahkamah membagi BPJS ke dalam empat bentuk BPJS dan bahkan terbuka untuk menambah lainnya, namun UU 24/2011 hanya membagi BPJS ke dalam dua badan saja, yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan [vide Pasal 5 ayat (2) UU 24/2011].
Bahwa dalam pembahasan yang dilakukan antara pemerintah dengan DPR sangat mungkin terjadi pergeseran yang berujung pada perubahan konsep sebagaimana konsep kelembagaan BPJS a quo. Namun demikian, yang menjadi persoalan utama yang dipermasalahkan oleh para Pemohon adalah konstitusionalitas pengalihan penyelenggaraan program jaminan hari tua dan program pensiun yang selama ini diselenggarakan oleh PT TASPEN (Persero) kepada BPJS Ketenagakerjaan di mana pengalihan demikian tidak terlepas dari pembentukan BPJS yang hanya terdiri dari dua badan saja yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan;

[3.15] Menimbang bahwa lebih lanjut sebelum menjawab pokok permasalahan dan sekaligus pertanyaan utama, Mahkamah pun terlebih dahulu perlu mengaitkannya dengan putusan-putusan Mahkamah terdahulu yang relevan dengan SJSN, yaitu: dalam Putusan Mahkamah Konstiusi Nomor 007/PUU- III/2005, bertanggal 31 Agustus 2005; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-XII2014, bertanggal 7 Desember 2015; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PUU-XIV/2016, bertanggal 23 Mei 2017; dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 98/ PUU-XV/2017, bertanggal 31 Januari 2018.
Bahwa Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 007/PUU-III/2005, pada intinya menegaskan, peluang pemerintah daerah untuk membentuk BPJS daerah tidak boleh ditutup dan pengaturan ihwal pembentukan BPJS di tingkat pusat harus dilakukan dengan undang-undang. Artinya, berkenaan dengan BPJS di tingkat pusat harus dibentuk undang-undang tersendiri yang mengatur pembentukan BPJS. Dalam putusan a quo, meskipun Mahkamah membatalkan ketentuan Pasal 5 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU 40/2004, namun Mahkamah tidak menilai salah substansi yang diatur dalam pasal-pasal yang dibatalkan tersebut. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, terkait dengan konsep BPJS yang terdiri dari empat badan, yaitu Persero Jamsostek; Persero TASPEN, Persero ASABRI, dan Persero ASKES, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
“Sementara itu, dikatakan terdapat rumusan yang saling bertentangan serta berpeluang menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) karena pada ayat (1) dinyatakan bahwa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial harus dibentuk dengan undang-undang, sementara pada ayat (3) dikatakan bahwa Persero JAMSOSTEK, Persero TASPEN, Persero ASABRI, dan Persero ASKES adalah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1), padahal tidak semua badan-badan tersebut dibentuk dengan undang-undang. Seandainya pembentuk undang-undang bermaksud menyatakan bahwa selama belum terbentuknya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1), badan-badan sebagaimana disebutkan pada ayat (3) di atas diberi hak untuk bertindak sebagai badan penyelenggara jaminan sosial, maka hal itu sudah cukup tertampung dalam Ketentuan Peralihan pada Pasal 52 UU SJSN. Atau, jika dengan rumusan dalam Pasal 5 ayat (1) UU SJSN di atas pembentuk undang- undang bermaksud menyatakan bahwa badan penyelenggara jaminan sosial harus memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam undang-undang – yang maksudnya adalah UU SJSN a quo – maka penggunaan kata “dengan” dalam ayat (1) tersebut tidak memungkinkan untuk diberi tafsir demikian. Karena makna frasa “dengan undang-undang” berbeda dengan frasa “dalam undang- undang”. Frasa “dengan undang-undang” menunjuk pada pengertian bahwa pembentukan setiap badan penyelenggara jaminan sosial harus dengan undang-undang, sedangkan frasa “dalam undang-undang” menunjuk pada pengertian bahwa pembentukan badan penyelenggara jaminan sosial harus memenuhi ketentuan undang-undang. Ketentuan dalam Pasal 5 ayat (4), makin memperkuat kesimpulan bahwa pembentuk undang-undang memang bermaksud menyatakan, badan penyelenggara jaminan sosial harus dibentuk dengan undang-undang tersendiri.”

Bahwa selanjutnya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VIII/2010, Mahkamah mempertimbangkan, UUD 1945 tidak mewajibkan kepada negara untuk menganut atau memilih sistem tertentu dalam pengembangan sistem jaminan sosial dimaksud, namun harus memenuhi kriteria konstitusional, yaitu harus mencakup seluruh rakyat dengan maksud untuk memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Berkenaan dengan hal ini, Mahkamah lebih jauh mempertimbangkan:
“[3.14.3] Bahwa kendatipun UUD 1945 telah secara tegas mewajibkan negara untuk mengembangkan sistem jaminan sosial, tetapi UUD 1945 tidak mewajibkan kepada negara untuk menganut atau memilih sistem tertentu dalam pengembangan sistem jaminan sosial dimaksud. UUD 1945, dalam hal ini Pasal 34 ayat (2), hanya menentukan kriteria konstitusional -yang sekaligus merupakan tujuan dari sistem jaminan sosial yang harus dikembangkan oleh negara, yaitu bahwa sistem dimaksud harus mencakup seluruh rakyat dengan maksud untuk memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Dengan demikian, sistem apa pun yang dipilih dalam pengembangan jaminan sosial tersebut harus dianggap konstitusional, dalam arti sesuai dengan Pasal 34 ayat (2) UUD 1945, sepanjang sistem tersebut mencakup seluruh rakyat dan dimaksudkan untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.”

Bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-XII/2014 juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PUU-XIV/2016, terkait dengan anggapan terjadi monopoli penyelenggaraan jaminan sosial oleh BPJS dan adanya perlakuan diskriminatif berupa sanksi administratif bagi pemberi kerja selain penyelenggara negara, serta anggapan bahwa negara sewenang-wenang memungut upah dari pekerja sebagai iuran BPJS, Mahkamah pada pokoknya berpendapat bahwa baik UU 40/2004 maupun UU 24/2011 juga memberikan kesempatan bagi pihak swasta yang bergerak dalam usaha penyelenggaraan jaminan sosial untuk memberikan pelayanan kesehatan. Selain itu, Putusan a quo juga menegaskan sifat nirlaba bukan komersial dari BPJS sebagai berikut:
“bahwa baik UU SJSN maupun UU BPJS juga memberikan kesempatan yang sama bagi pihak swasta yang bergerak dalam usaha penyelenggaraan jaminan sosial untuk memberikan pelayanan kesehatan baik untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) yang layak maupun lebih bagi masyarakat yang membutuhkannya. Menurut Mahkamah, kata “negara” dalam Pasal 34 ayat (2) UUD 1945 juga mencakup peran serta pemerintah, pemerintah daerah (Pemda) dan pihak swasta untuk turut serta mengambangkan sistem jaminan sosial dengan cara menyediakan fasilitas kesehatan untuk masyarakat, ...”

Bahwa setelah dua putusan di atas, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 98/PUU-XV/2017, yang pada pokoknya mempersoalkan mengenai pendelegasian pengaturan mengenai BPJS pada Peraturan Pemerintah. Dalam putusan a quo Mahkamah menegaskan, berdasarkan UU 12/2011, pendelegasian kewenangan dari suatu undang-undang kepada Peraturan Pemerintah bukan sesuatu yang bertentangan dengan UUD 1945. Dalam Putusan a quo Mahkamah juga menegaskan, iuran yang dipungut dari ASN tidak bertentangan dengan UUD 1945 karena UUD 1945 telah mengatur pungutan yang bersifat memaksa harus diatur dengan undang-undang [vide Pasal 23A UUD 1945], sehingga pengaturan iuran yang memaksa ASN untuk membayar yang diatur dalam UU 24/2011 tidak bertentangan dengan UUD 1945. Meskipun demikian, dalam putusan tersebut Mahkamah sama sekali tidak menegaskan pendiriannya perihal konstitusionalitas ketentuan peralihan, khususnya mengenai pengalihan program jaminan hari tua dan program pensiun dari PT TASPEN (Persero) ke BPJS Ketenagakerjaan.
Bahwa berdasarkan putusan-putusan Mahkamah terdahulu terkait jaminan sosial, Mahkamah belum menilai mengenai pengalihan program jaminan hari tua dan program pensiun dari PT TASPEN (Persero) kepada BPJS Ketenagakerjaan. Putusan-putusan terdahulu hanya menegaskan amanat konstitusi bahwa jaminan sosial harus bisa dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia. Semangat ini yang oleh UU 24/2011 diusung melalui asas kegotongroyongan dalam program jaminan sosial yang menaungi sehingga seluruh masyarakat diharapkan dapat menerima manfaat dari realisasi amanat UUD 1945.

[3.16] Menimbang bahwa berkenaan dengan desain kelembagaan BPJS, sesuai dengan Pasal 1 angka 6 UU 40/2004, “Badan Penyelenggara Jaminan Sosial adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial”. Definisi demikian menghendaki lembaga yang menyelenggarakan program jaminan sosial bukanlah satu badan hukum saja, melainkan bisa dua, tiga, empat atau lebih. Hanya saja, badan-badan dimaksud mesti dibentuk dengan undang-undang sesuai ketentuan Pasal 5 UU 40/2004. Adapun badan-badan (persero) yang telah ada dan berjalan dalam melaksanakan program jaminan sosial, mesti menyesuaikan dengan ketentuan Pasal 52 ayat (1) UU 40/2004, baik dari bentuk hukum pembentukannya maupun kedudukan, tugas dan fungsinya masing-masing dalam menyelenggarakan jaminan sosial tanpa kehilangan entitasnya sebagai badan hukum. Kebijakan terkait desain kelembagaan penyelenggara jaminan sosial dimaksud juga sejalan dengan realitas beragamnya pekerjaan atau profesi yang dapat dipilih oleh setiap orang sesuai dengan kebebasannya untuk memilih pekerjaan. Setiap jenis pekerjaan memiliki karakteristik tersendiri baik dari aspek latar belakang, tujuan atau orientasi maupun risiko yang akan ditanggung. Oleh karena itu, jaminan sosial terhadap pekerjaan atau profesi dimaksud juga harus disesuaikan dengan kelompok profesi/pekerjaan yang dimiliki setiap warga negara. Dalam kerangka inilah sesungguhnya UU 40/2004 memilih badan hukum penyelenggara jaminan sosial bukan merupakan lembaga/badan tunggal, melainkan jamak, bisa: dua, tiga, empat atau lebih.

[3.17] Menimbang bahwa secara faktual pada saat dibentuknya UU 24/2011, seluruh persero yang bergerak dalam penyelenggaraan jaminan sosial dilebur menjadi BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Dalam konteks ini, PT. TASPEN (Persero) yang bergerak di bidang tabungan hari tua dan dana pensiun juga diamanatkan untuk dilebur atau dialihkan ke BPJS Ketenagakerjaan sesuai Pasal 57 dan Pasal 65 UU 24/2011. Dalam batas penalaran yang wajar, pengalihan dimaksud dipastikan menyebabkan hilangnya entitas PT TASPEN (Persero) dan berganti menjadi BPJS Ketenagakerjaan. Dalam hal ini, kebijakan mengalihkan dengan cara meleburnya dengan persero lainnya menjadi satu BJPS Ketenagakerjaan justru berlawanan atau tidak sejalan dengan pilihan kebijakan pembentuk undang-undang saat membentuk UU 40/2004. Sebab, peralihan tersebut justru berimplikasi pada penerapan konsep lembaga tunggal dalam penyelenggaraan sistem jaminan sosial ketenagakerjaan. Padahal, sesuai putusan Mahkamah Konstitusi dan UU 40/2004 bukan memilih model lembaga atau desain kelembagaan tunggal, tetapi mengikuti konsep banyak lembaga atau lembaga majemuk. Pilihan kebijakan dengan lembaga tunggal tidak sejalan dengan konsep transformasi badan penyelenggara jaminan sosial sebagaimana termaktub dalam UU 40/2004. Oleh karena itu, konsep peralihan kelembagaan PT TASPEN (Persero) menjadi BPJS Ketenagakerjaan yang menyebabkan hilangnya entitas persero menyebabkan ketidakpastian hukum dalam transformasi beberapa badan penyelenggara jaminan sosial yang telah ada sebelumnya sesuai dengan karakter dan kekhususannya masing-masing.

[3.18] Menimbang bahwa terkait dengan pertimbangan hukum di atas, Mahkamah perlu mempertimbangkan ihwal hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak merupakan bagian dari hak konstitusional warga negara yang dijamin secara tegas dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945. Begitu pula, memilih pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan dan sesuai dengan usaha pengembangan diri setiap orang merupakan hak yang dijamin dan dilindungi oleh konstitusi, in casu Pasal 28C ayat (1) UUD 1945. Dalam hal ini, pada saat seseorang telah memilih untuk bekerja pada pekerjaan atau profesi tertentu, maka segala hak, kewajiban dan risiko dari pilihan pekerjaan tersebut akan ditanggung sepenuhnya oleh orang yang menjalankan pekerjaan dimaksud. Dikaitkan dengan mandat negara untuk mengembangkan sistem jaminan sosial (Pasal 34 ayat (2) UUD 1945), maka sistem dimaksud juga harus mempertimbangkan keberagaman pekerjaan dan profesi yang dijalankan oleh rakyat dalam memilih pekerjaan. Dalam arti, sistem jaminan sosial harus dijalankan dengan mengakomodasi seluruh bentuk realitas sosial dan pekerjaan yang dimiliki seluruh rakyat. Berdasarkan pengalaman penyelenggaraan sistem jaminan sosial yang telah berjalan sejauh ini, kelembagaan yang beragam sesuai dengan karakter masing-masing pekerjaan yang dipilih warga negara lebih memberikan jaminan bagi pemenuhan hak pensiun dan hari tua dari orang yang bekerja. Dalam hal, desain kelembagaan penyelenggara jaminan sosial yang berjalan telah memenuhi standar jaminan sosial bagi orang-orang yang memilih pekerjaan, lalu mengubahnya dengan melikuidasi dan menggabungkan lembaga- lembaga menjadi satu badan justru akan menyebabkan terjadinya ketidakpastian hukum bagi orang-orang yang telah memilih untuk mengikuti program jaminan hari tua dan dana pensiun pada lembaga/badan yang telah berjalan.
Bahwa sejalan dengan pertimbangan di atas, Mahkamah perlu menegaskan, sekalipun UU 40/2004 mengharuskan badan/lembaga yang bergerak di bidang penyelenggaraan jaminan sosial bertransformasi menjadi badan penyelenggara jaminan sosial, namun tidak berarti badan tersebut dihapuskan dengan model atau cara menggabungkannya dengan persero lainnya yang memiliki karakter berbeda. Transformasi cukup hanya dengan melakukan perubahan terhadap bentuk hukum badan hukum dimaksud serta melakukan penyesuaian terhadap kedudukan badan hukum tersebut, yang semula sebagai persero menjadi badan hukum penyelenggara jaminan sosial, dengan memperkuat regulasi yang mengamanatkan kewajiban penyelenggara jaminan sosial untuk diatur dengan undang-undang [vide Pasal 5 ayat (1) UU 40/2004].
Pada saat pembentuk undang-undang mengalihkan persero dengan cara menggabungkannya dengan persero lain yang berbeda karakter, hal demikian potensial merugikan hak-hak peserta program tabungan hari tua dan pembayaran pensiun yang telah dilakukan oleh persero sebelum dialihkan. Kerugian atau potensi kerugian dimaksud disebabkan karena ketika dilakukan penggabungan, akan sangat mungkin terjadi penyeragaman standar layanan dan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan jaminan kematian bagi semua peserta. Penyeragaman dimaksud akan menempatkan semua peserta dalam posisi yang sama padahal masing-masing mereka berangkat dari pekerjaan dengan karakter dan risiko kerja yang berbeda-beda.
Dengan demikian, sekalipun pilihan melakukan transformasi dari PT TASPEN (Persero) menjadi BPJS Ketenagakerjaan dimaksud merupakan kebijakan pembentuk undang-undang, namun transformasi harus dilakukan secara konsisten dengan konsep banyak lembaga sehingga mampu memberikan jaminan kepastian hukum terhadap hak atas jaminan sosial warga negara yang tergabung dalam PT TASPEN (Persero) sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (3), dan Pasal 34 ayat (2) UUD 1945.

[3.19] Menimbang bahwa berkenaan prinsip kegotongroyongan, menurut Mahkamah prinsip dimaksud merupakan nilai luhur bangsa Indonesia yang menjadi salah satu esensi jiwa Pancasila terutama sila kelima “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Dalam menjalankan prinsip kegotongroyongan setiap orang atau individu berpartisipasi aktif untuk terlibat dalam memberi nilai tambah kepada individu lain di lingkungannya. Apabila diletakkan dalam konteks jaminan sosial, UU 24/2011 mendefinisikan prinsip kegotongroyongan sebagai prinsip kebersamaan antar peserta dalam menanggung beban biaya jaminan sosial, yang diwujudkan dengan kewajiban setiap peserta membayar iuran sesuai dengan tingkat gaji, upah, atau penghasilannya [vide Penjelasan Pasal 4 huruf a UU 24/2011]. Sejauh yang bisa dipahami Mahkamah, prinsip kegotongroyongan inilah yang menjadi salah satu latar belakang pengalihan program jaminan hari tua dan program pensiun yang diselenggarakan oleh PT TASPEN (Persero) kepada BPJS Ketenagakerjaan. Dalam hal ini, pembentuk undang-undang menghendaki jaminan sosial dapat dinikmati secara merata bagi seluruh rakyat Indonesia, baik yang tidak mampu -- yang menerima bantuan iuran-- maupun yang mampu dengan iuran yang terjangkau, sehingga semua pihak bergotongroyong dan berkontribusi dalam BPJS;
Bahwa berkenaan dengan hal tersebut, Mahkamah perlu mempertimbangkan, apakah penerapan prinsip gotong royong dengan mengalihkan program jaminan hari tua dan program pembayaran pensiun ASN yang selama ini diselenggarakan oleh PT TASPEN (Persero) menjadi dialihkan kepada BPJS Ketenagakerjaan, untuk selanjutnya dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan dengan prinsip kegotongroyongan ini dapat memenuhi nilai keadilan yang merupakan inti dari kegotongroyongan itu sendiri.
Bahwa untuk menjawab hal di atas, Mahkamah perlu mempertimbangkan program jaminan hari tua dan program pembayaran pensiun sebagai sebuah konsep yang selama ini telah berjalan untuk menjamin kesejahteraan hari tua PNS. Dalam hal ini, Pasal 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1969 tentang Pensiun Pegawai dan Pensiun Janda/Duda Pegawai (UU 11/1969) menyatakan, pensiun pegawai dan pensiun janda/duda diberikan jaminan hari tua dan sebagai penghargaan atas jasa-jasa pegawai negeri selama bertahun-tahun bekerja dalam dinas pemerintah. Jadi untuk memeroleh hak atas dana pensiun dan jaminan hari tua maka ASN harus memenuhi syarat, yaitu telah mencapai usia pensiun, masa kerja yang cukup untuk pensiun dan diberhentikan dengan hormat.
Bahwa tanpa bermaksud menilai legalitasnya, perihal jaminan sosial bagi Pegawai Negeri secara khusus diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1981 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 20/2013 tentang Asuransi Sosial Pegawai Negeri dan Peraturan Pemerintah Nomor 70/2015 tentang Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian Bagi ASN. Dalam hal ini, Pasal 1 angka 1 PP 20/2013 menyatakan asuransi sosial Pegawai Negeri Sipil terdiri atas program pensiun dan tabungan hari tua. Semua PNS, kecuali PNS di lingkungan Departemen Pertahanan-Keamanan, adalah peserta Asuransi Sosial PNS [vide Pasal 2 ayat (1) PP 25/1981]. Kepesertaan PNS dalam asuransi sosial dimulai pada tanggal pengangkatannya sebagai calon PNS, dan peserta wajib membayar iuran setiap bulan sebesar 8 (delapan) persen dari penghasilan sebulan tanpa tunjangan pangan, di mana 4¾ (empat tiga perempat) persen untuk pensiun dan 3¼ (tiga seperempat) persen untuk tabungan hari tua. Setelah ditambahkan dengan iuran dari pemerintah, akumulasi iuran inilah yang kemudian digunakan oleh pemerintah untuk membiayai penyelenggaraan pensiun PNS. Dengan demikian, program jaminan hari tua dan pembayaran pensiun merupakan akumulasi dari iuran ASN selama masa kerjanya ditambah dengan iuran pemerintah, yang dinikmati pada masa pensiun setelah sekian lama mengabdi sebagai PNS. Selama ini dalam pembayaran pensiun dan jaminan hari tua PNS diselenggarakan secara segmented oleh PT TASPEN (Persero). Pelayanan secara segmented dilakukan karena PNS memiliki karakteristik yang berbeda cukup mendasar, misalnya dengan anggota TNI dan Polri, meski keduanya merupakan abdi negara;
Bahwa apabila diletakkan dalam konteks permohonan a quo dan tanpa bermaksud menilai kasus konkret yang dialami oleh para Pemohon, desain BPJS Ketenagakerjaan menyelenggarakan program dana pensiun dan program jaminan hari tua dari seluruh lapisan masyarakat sebagai perwujudan prinsip kegotongroyongan tidaklah bisa dijadikan sebagai dasar pembenar. Ihwal ini, meski BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan sama-sama memungut iuran kepada pesertanya untuk pendanaan yang akan dinikmati oleh pesertanya, namun tidaklah bisa dipandang sebagai konsep yang sama dengan iuran PNS. Untuk itulah menurut Mahkamah, menjadi tidak adil jika pensiunan PNS yang selalu mengiur tiap bulan dengan harapan dapat menikmati tabungan yang sudah dikumpulkannya pada masa tuanya nanti harus berbagi kepada orang lain atas nama kegotongroyongan. Meskipun Mahkamah sangat mendukung prinsip kegotongroyongan dalam mencapai kesejahteraan masyarakat, namun dalam konteks program jaminan hari tua dan pembayaran pensiun, tidak tepat bilamana prinsip kegotongroyongan yang dilakukan dengan cara membagi tabungan yang telah dipersiapkan PNS untuk masa tuanya.

[3.20] Menimbang bahwa bilamana dikaitkan dengan desain kelembagaan, apakah untuk memenuhi prinsip gotong royong dimaksud, semua persero penyelenggaraan jaminan sosial di bidang ketenagakerjaan mesti digabung menjadi satu badan atau lembaga. Apabila tidak digabung, apakah prinsip gotong royong tidak bisa dipenuhi. Ihwal ini, menurut Mahkamah, desain kelembagaan, apakah kelembagaan tunggal ataupun kelembagaan majemuk, tidak selalu berkaitan dengan terpenuhi atau tidak terpenuhinya prinsip gotong royong. Prinsip ini mungkin saja tidak akan terlaksana sekalipun pilihan desain kelembagaannya adalah kelembagaan tunggal. Sebaliknya, prinsip ini pun juga sangat mungkin dipenuhi jika pilihannya adalah kelembagaan majemuk. Pelaksanaan prinsip tersebut sangat bergantung pada desain sistem jaminan sosial nasional. Dalam hal ini, pembentuk undang-undang dapat mengatur badan-badan yang melaksanakan jaminan sosial terkoneksi secara baik, sehingga prinsip gotong royong tetap bisa dilaksanakan. Misalnya, undang-undang dapat mengatur bagi badan-badan yang melaksanakan jaminan sosial yang dalam pengelolaan aset memiliki keuntungan, dapat saja diwajibkan untuk menyumbangkan sejumlah tertentu kepada badan pelaksana lainnya. Atau, oleh karena pengelolaan badan yang melaksanakan jaminan sosial berada di bawah BUMN, deviden yang diserahkan pada negara setiap tahunnya dapat diserahkan kepada badan pengelola jaminan sosial lainnya. Oleh karena itu, untuk memenuhi prinsip gotong royong, pembentuk undang- undang sesungguhnya tidak harus menjadikan semua persero penyelenggara jaminan sosial bidang ketenagakerjaan ditransformasi menjadi satu badan. Bagaimanapun, dengan tetap mempertahankan eksistensi masing-masing persero dan mentransformasikan menjadi badan-badan penyelenggara jaminan sosial, prinsip gotong-royong tetap dapat dipenuhi secara baik. Oleh karena itu, desain transformasi PT TASPEN (Persero) ke BPJS Ketenagakerjaan mengandung ketidakpastian baik karena tidak konsistennya pilihan desain kelembagaan yang diambil ataupun karena tidak adanya kepastian terkait nasib peserta yang ada di dalamnya, khususnya skema yang seharusnya mencerminkan adanya jaminan dan potensi terkuranginya nilai manfaat bagi para Pesertanya.

[3.21] Menimbang bahwa dengan demikian, dalil para Pemohon mengenai pengalihan PT TASPEN (Persero) sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 57 huruf f dan Pasal 65 ayat (2) UU 24/2011 bertentangan dengan hak setiap orang atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat, sebagaimana termaktub dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dan amanat bagi negara untuk mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan sebagaimana termaktub dalam Pasal 34 ayat (2) UUD 1945 adalah beralasan menurut hukum.

[3.22] Menimbang bahwa oleh karena terdapat sejumlah pasal lain dalam UU 24/2011 yang berhubungan erat dengan norma Pasal 57 huruf f dan Pasal 65 ayat (2) UU 24/2011 yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah, maka sebagai konsekuensi yuridisnya pemberlakuannya harus menyesuaikan dengan putusan Mahkamah a quo.

[3.23] Menimbang bahwa dengan telah ditegaskannya pendirian Mahkamah bahwa ketentuan norma Pasal 57 huruf f dan Pasal 65 ayat (2) UU 24/2011 inkonstitusional sebagaimana telah dipertimbangkan di atas, maka terhadap hal- hal lain dari permohonan para Pemohon yang dipandang tidak relevan tidak dipertimbangkan lebih lanjut.

Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan langsung dilaksanakan (self executing) oleh seluruh organ penyelenggara negara, organ penegak hukum, dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 72/PUU-XVII/2019 yang menyatakan mengabulkan permohonan para Pemohon seluruhnya terhadap pengujian pada Pasal 57 huruf f dan Penjelasan Pasal 65 ayat (2) UU 24/2011 mengandung arti bahwa ketentuan pasal-pasal a quo bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dikabulkan Sebagian Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 42/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 30-09-2021

Bahwa pada hari Senin tanggal 30 September 2021, pukul 11.33 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 6 tahun 2016 tentang Desa (selanjutnya disebut UU Desa) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 42/PUU-XIX/2021. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 42/PUU-XIX/2021, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Jajaran Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian dan Sekertariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 39 ayat (2) UU Desa dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
[3.11] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih jauh dalil-dalil pokok permohonan a quo, penting bagi Mahkamah untuk mempertimbangkan terlebih dahulu hal-hal sebagai berikut: Bahwa pemerintahan desa merupakan bentuk administrasi pemerintahan paling bawah dalam struktur pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam perkembangannya, sistem dan bentuk pemerintah desa, termasuk pengisian jabatan kepala desa mengalami perubahan pengaturan sejak Indonesia merdeka hingga pengaturan dalam UU 6/2014. Jika diikuti pengaturan tentang pemerintahan desa pada waktu berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa (UU 5/1979), pembentuk undang-undang telah mengatur pembatasan masa jabatan dan periodesasi masa jabatan kepala desa. Dalam hal ini, Pasal 7 UU 5/1979 mengatur masa jabatan kepala desa adalah 8 (delapan) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan. Artinya, seseorang hanya dapat menjadi kepala desa maksimal 2 (dua) periode dengan total masa jabatan seorang kepala desa maksimal adalah 16 (enambelas) tahun. Ketentuan dalam UU 5/1979 dapat dinilai sebagai bentuk perkembangan lebih lanjut dari Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desapraja Sebagai Bentuk Peralihan Untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah Tingkat III di Seluruh Wilayah Republik Indonesia (UU 19/1965) yang sama sekali tidak mengatur perihal pembatasan periodesasi masa jabatan kepala desa. Perihal masa jabatan, Pasal 9 ayat (2) UU 19/1965 hanya mengatur masa jabatan kepala desa paling lama 8 (delapan) tahun, tanpa diikuti dengan ketentuan dapat dipilih kembali sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU 5/1979;
Bahwa sejak reformasi, pengaturan pemerintahan desa digabung dengan pemerintahan daerah, yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (UU 22/1999). Berkenaan dengan masa jabatan kepala desa, ketentuan Pasal 96 UU 22/1999 menyatakan, “masa jabatan kepala desa paling lama sepuluh tahun atau dua kali masa jabatan terhitung sejak tanggal ditetapkan”. Kemudian, Penjelasan Pasal 96 UU 22/1999 menyatakan, “Daerah Kabupaten dapat menetapkan masa jabatan Kepala Desa sesuai dengan sosial budaya setempat”. Sekalipun Penjelasan tersebut seolah-olah “membuka” katub prinsip pembatasan masa jabatan dan periodesasi masa jabatan, namun dengan digantinya UU 22/1999 menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU 32/2004) maka dapat dipastikan tidak ada kepala desa yang memegang jabatannya melebihi 10 (sepuluh) tahun. Terlebih lagi, dalam masa transisi dari UU 22/1999 ke UU 32/2004, ditentukan bahwa kepala desa yang sedang menjabat pada saat mulai berlakunya UU 32/2004 tetap menjalankan tugas sampai habis masa jabatannya [vide Pasal 236 ayat (2) UU 32/2004]. Selanjutnya, UU 32/2004 mengatur masa jabatan dan periodesasi masa jabatan kepala desa sebagaimana termaktub dalam Pasal 204 UU 32/2004 yang menyatakan, “Masa jabatan kepala desa adalah 6 (enam) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya”. Norma a quo telah menentukan pembatasan masa jabatan kepala desa selama 6 (enam) tahun dan maksimal dua kali periode masa jabatan, sehingga seseorang tidak akan melebihi waktu 12 (dua belas) tahun menjadi kepala desa. Meskipun demikian, pembatasan yang ditentukan Pasal 204 a quo dapat dikecualikan bagi kesatuan masyarakat hukum adat yang keberadaannya masih hidup dan diakui yang ditetapkan dengan peraturan daerah [vide Penjelasan Pasal 204 UU 32/2004]. Artinya, pembatasan masa jabatan dan periodesasi masa jabatan kepala desa dapat tidak sama dengan pembatasan yang telah ditentukan dalam Pasal 204 UU 32/2004 sepanjang memenuhi klausul “kesatuan masyarakat hukum adat masih hidup yang ditentukan dalam perda”
Bahwa sebagai unit pemerintahan terbawah, dengan adanya pergantian UU 32/2004, pengaturan Pemerintahan Desa tidak lagi digabung dalam Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU 23/2014), tetapi diatur terpisah dalam UU 6/2014. Berkenaan dengan masa jabatan kepaladesa, Pasal 39 UU 6/2014 menyatakan kepala desa memegang jabatan selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan dan kepala desa dapat menjabat paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut. Dalam hal ini, bila seseorang telah dilantik sebagai kepala desa kemudian mengundurkan diri sebelum habis masa jabatannya, maka dianggap telah menjabat satu periode masa jabatan 6 (enam) tahun [vide Penjelasan Pasal 39 UU 6/2014]. Sedangkan berkaitan dengan frasa “secara berturut-turut” dan frasa “atau tidak secara berturut-turut” dijelaskan bahwa, “Kepala Desa yang telah menjabat satu kali masa jabatan berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 diberi kesempatan untuk mencalonkan kembali paling lama 2 (dua) kali masa jabatan. Sementara itu, Kepala Desa yang telah menjabat 2 (dua) kali masa jabatan berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 diberi kesempatan untuk mencalonkan kembali hanya 1 (satu) kali masa jabatan” [vide Penjelasan Pasal 39 UU 6/2014].
Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dikemukakan di atas, pembatasan masa jabatan kepala desa merupakan salah satu semangat penting yang dikehendaki oleh pembentuk undang-undang. Bahkan, sejak berlakunya UU 5/1979, pembatasan tidak hanya dimaksudkan untuk masa jabatan tetapi juga untuk membatasi periodesasi masa jabatan. Dalam batas penalaran yang wajar, pembatasan demikian tidak hanya sebatas dimaksudkan untuk membuka kesempatan kepastian terjadinya alih generasi kepemimpinan di semua tingkatan pemerintahan termasuk di tingkat desa, tetapi juga mencegah penyalahgunaan kekuasaan (power tends to corrupt) karena terlalu lama berkuasa.
[3.12] Menimbang bahwa setelah Mahkamah mempertimbangkan secara saksama perkembangan pengaturan masa jabatan kepala desa sebagaimana uraian Paragraf [3.11], selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil-dalil Pemohon a quo, yang pada pokoknya Pemohon mendalilkan materi muatan Pasal 39 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 39 UU 6/2014 menimbulkan multitafsir sehingga bertentangan dengan UUD 1945. Pemohon mendalilkan, di satu sisi pembatasan masa jabatan kepala desa telah jelas dan memberikan kepastian hukum karena pembatasan masa jabatan kepala desa adalah paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan. Namun, di sisi lain dengan adanya penjelasan pasal a quo yang mengaitkan parameter penghitungan masa jabatan kepala desa paling banyak 3 (tiga) kali tersebut dengan UU 32/2004 telah menimbulkan keragu-raguan (multitafsir) bagi Pemohon untuk mencalonkan kembali dalam kontestasi pemilihan kepala desa serentak yang akan digelar dalam waktu dekat. Terhadap dalil Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.12.1] Bahwa pembatasan masa jabatan kepala desa, yakni dengan masa jabatan 6 (enam) tahun dengan periodesasi masa jabatan paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan sebagaimana diatur dalam Pasal 39 ayat (2) UU 6/2014 merupakan perwujudan penyelenggaraan prinsip demokrasi sekaligus merupakan semangat pembatasan yang dikehendaki UUD 1945. Semangat demikian dapat dicontoh dengan adanya pembatasan masa jabatan dan periodesasi masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Turunan semangat UUD 1945 tersebut juga tercermin dari pembatasan masa jabatan dan periodesasi masa jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah.
[3.12.2] Bahwa sebagaimana uraian pertimbangan di atas, pengaturan masa jabatan kepala desa telah ternyata ditentukan dengan prinsip pembatasan yang ditegaskan dalam rumusan norma pasal sejumlah undang-undang. Kalaupun ada pengecualian, hanya dimungkinkan bagi kesatuan masyarakat hukum adat yang masih hidup yang ditentukan dalam perda. Merujuk pertimbangan Mahkamah dalam Paragraf [3.11], telah ternyata terdapat 2 (dua) pola rumusan pembatasan masa jabatan kepala desa yakni dirumuskan dengan pola ditentukan sekali atau dengan menggunakan frasa paling lama sebagaimana UU 19/1965 dan UU 22/1999 atau dengan pola rumusan pembatasan dua kali masa jabatan sebagaimana UU 5/1979 dan UU 32/2004. Sementara, dalam UU 6/2014 pola rumusan prinsip pembatasan masa jabatan kepala desa yang digunakan berbeda dengan pengaturan sebelumnya karena menentukan kepala desa dapat menjabat paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut, dengan masa jabatannya adalah selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan [vide Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) UU 6/2014].
[3.12.3] Bahwa permasalahan yang harus dijawab Mahkamah adalah bagaimana cara penghitungan paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan kepala desa tersebut karena Penjelasan Pasal 39 UU 6/2014 menyatakan, “Kepala Desa yang telah menjabat satu kali masa jabatan berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 diberi kesempatan untuk mencalonkan kembali paling lama 2 (dua) kali masa jabatan. Sementara itu, Kepala Desa yang telah menjabat 2 (dua) kali masa jabatan berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 diberi kesempatan untuk mencalonkan kembali hanya 1 (satu) kali masa jabatan.” Menurut Mahkamah, dalam praktiknya ketentuan ini akan dapat memunculkan kepala desa yang menjabat lebih dari 3 (tiga) periode yang merupakan prinsip utama pembatasan masa jabatan kepala desa yang dianut oleh UU 6/2014. Munculnya praktik tersebut karena dimungkinkan adanya kepala desa yang menjabat dengan mendasarkan pada undang-undang sebelum berlakunya UU 32/2004. Keadaan demikian rentan berakibat munculnya kesewenang-wenangan dan berbagai macam penyimpangan oleh kepala desa, apalagi UU 6/2014 telah memberikan kewenangan yang cukup besar kepada kepala desa sebagaimana diatur dalam Pasal 26 UU 6/2014. Oleh karenanya, menurut Mahkamah, untuk menghindari munculnya kesewenang-wenangan dan berbagai macam penyimpangan oleh kepala desa, terkait dengan penghitungan periodesasi masa jabatan kepala desa meskipun masa jabatan kepala desa didasarkan pada undang-undang yang berbeda namun hitungan satu kali periode jabatan tidak terhalang karena perubahan undang-undang. Dengan kata lain, penghitungan periodesasi masa jabatan kepala desa tidak hanya mendasarkan pada UU 32/2004. Artinya, bagi kepala desa yang sudah menjabat tiga periode, meskipun mendasarkan pada undang-undang yang berbeda, termasuk undang undang sebelum berlakunya UU 6/2014, jika telah pernah menjabat selama 3 (tiga) periode sudah terhitung 3 (tiga) periode. Sehingga, penghitungan 3 (tiga) kali berturut-turut atau tidak berturut-turut dalam norma Pasal 39 ayat (2) UU 6/2014 didasarkan pada fakta berapa kali keterpilihan seseorang sebagai kepala desa. Selain itu, periodesasi 3 (tiga) kali masa jabatan dimaksud berlaku untuk kepala desa baik yang menjabat di desa yang sama maupun yang menjabat di desa yang berbeda. Berdasarkan uraian pertimbangan tersebut di atas, dalil Pemohon yang menyatakan Pasal 39 ayat (2) UU 6/2014 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.
Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas maka hal tersebut menimbulkan konsekuensi yuridis terhadap Penjelasan Pasal 39 UU 6/2014 sehingga harus dilakukan penyesuaian agar tidak menimbulkan multitafsir dan ketidakpastian hukum. Oleh karena itu, terhadap Penjelasan Pasal 39 UU 6/2014 harus dinyatakan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “Kepala desa yang sudah menjabat 1 (satu) periode, baik berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa maupun berdasarkan undang-undang sebelumnya masih diberi kesempatan untuk menjabat 2 (dua) periode. Begitu pula, bagi kepala desa yang sudah menjabat 2 (dua) periode, baik berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa maupun berdasarkan undang-undang sebelumnya masih diberi kesempatan untuk menjabat 1 (satu) periode”. Dengan demikian, permohonan Pemohon sepanjang berkenaan dengan Penjelasan Pasal 39 UU 6/2014 adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian.
[3.13] Menimbang bahwa Pemohon juga mendalilkan rumusan angka-angka yang berbeda dalam Pasal 39 ayat (2) dengan Penjelasan Pasal 39 UU 6/2014, telah menimbulkan polemik yang berakibat terhalangnya hak konstitusional Pemohon untuk maju sebagai bakal calon kepala desa pada kontestasi Pemilihan Kepala Desa Sungai Ketupak, Kecamatan Cengal, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Provinsi Sumatera Selatan tanggal 25 Agustus 2021. Berkenaan dengan dalil Pemohon a quo mengenai norma Pasal 39 ayat (2) beserta Penjelasan Pasal 39 UU 6/2014, telah dipertimbangkan Mahkamah pada Paragraf [3.12]. Dalam hal ini, berkenaan dengan kasus konkret yang dialami oleh Pemohon, telah terjawab oleh pertimbangan hukum tersebut di atas.
[3.14] Menimbang bahwa, secara faktual, sangat mungkin telah terjadi kepala desa yang telah terpilih lebih dari 3 (tiga) periode sebelum putusan a quo, untuk alasan kepastian hukum dan tidak menimbulkan kegaduhan di desa yang kepala desanya telah terpilih, maka kepala desa yang bersangkutan tetap menjalankan tugasnya hingga berakhir masa jabatannya sesuai dengan UU 6/2014.
[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, dalil Pemohon berkenaan dengan Pasal 39 ayat (2) UU 6/2014 telah ternyata tidak menimbulkan multitafsir dan ketidakpastian hukum sehingga tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sehingga tidak beralasan menurut hukum. Sementara, dalil Pemohon berkenaan dengan Penjelasan Pasal 39 UU 6/2014 yang menimbulkan multitafsir dan ketidakpastian hukum bertentangan dengan UUD 1945 adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian.

Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan langsung dilaksanakan (self executing) oleh seluruh organ penyelenggara negara, organ penegak hukum, dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 42/PUU-XIX/2021 yang menyatakan permohonan pemohon dikabulkan sebagian terhadap pengujian Pasal 39 ayat (2) UU Desa mengandung arti bahwa ketentuan Penjelasan Pasal a quo bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sesuai pemaknaan MK.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dikabulkan Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 102/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 29-09-2021

Bahwa pada hari Rabu tanggal 29 September 2021, pukul 11.46 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (selanjutnya disebut UU 10/1998) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 102/PUU-XVIII/2020. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 102/PUU-XVIII/2020, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU 10/1998 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.14] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih jauh dalil-dalil pokok permohonan a quo, penting bagi Mahkamah untuk mempertimbangkan terlebih dahulu hal-hal sebagai berikut:
[3.14.1] Bahwa Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan [UU 7/1992] telah menentukan jenis dan usaha bank meliputi Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) [vide Pasal 5 ayat (1) UU 7/1992]. Seiring dengan perkembangan perekonomian nasional yang bergerak cepat, kompetitif, dan terintegrasi dengan tantangan yang semakin kompleks serta sistem keuangan yang juga berubah maka dalam perubahan UU 7/1992 menjadi UU 10/1998 diakomodasi pengaturan secara umum penyelenggaraan kegiatan usaha perbankan berdasarkan prinsip syariah, bahkan memberikan kesempatan kepada bank umum untuk membuka kantor cabangnya yang khusus melakukan kegiatan berdasarkan prinsip syariah. Dengan adanya perkembangan tersebut maka dalam UU 10/1998 ditentukan perubahan nomenklatur Bank Umum yaitu bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Sedangkan untuk nomenklatur BPR adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran [vide Pasal 1 angka 3 dan angka 4 UU 10/1998]. Dengan demikian, berdasarkan UU 10/1998 sebagai perubahan atas UU 7/1992 terdapat bank konvensional dan bank syariah. Sementara, perbedaan nomenklatur Bank Umum dan BPR terletak pada BPR yang tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran karena hal tersebut hanya diperuntukkan bagi Bank Umum.
[3.14.2] Bahwa dalam kaitan dengan sistematika pengaturan jenis usaha bank dalam UU 10/1998 ternyata masih sama dengan undang-undang sebelumnya yaitu UU 7/1992 yang ditentukan dalam Bab III dengan muatan terdiri dari tiga bagian yaitu Jenis Bank, Usaha Bank Umum, dan Usaha BPR. Artinya, pengaturan Usaha Bank Umum dan Usaha BPR dilakukan dalam sistematika yang terpisah (dalam Bagian Kedua dan Bagian Ketiga). Sekalipun dirumuskan dalam bagian yang terpisah, bukan berarti pengaturan antara Usaha Bank Umum dan Usaha BPR menjadi terpisah sama sekali karena dalam ketentuan Pasal 15 UU 7/1992 yang merupakan bagian dari pengaturan Usaha BPR yang sampai saat ini tetap berlaku serta tidak dilakukan perubahan apapun yang menentukan bahwa “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 11 berlaku juga bagi Bank Perkreditan Rakyat”. Artinya, karena tidak ada perubahan terhadap Pasal 15 UU 7/1992 maka ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan Usaha Bank Umum yang terdapat dalam Pasal 8 dan Pasal 11 yang telah dilakukan perubahan dalam UU 10/1998 tetap diberlakukan juga untuk usaha BPR. Adapun ketentuan Pasal 8 dan Pasal 11 dimaksud sebagai berikut:
Pasal 8 setelah dilakukan perubahan menyatakan:
(1) Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atau itikad dan kemampuan serta kesanggupan Nasabah Debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.
(2) Bank Umum wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan dan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Sementara, Pasal 11 secara lengkap setelah dilakukan perubahan menyatakan:
(1) Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga atau hal lain yang serupa, yang dapat dilakukan oleh Bank kepada peminjam atau sekelompok peminjam yang terkait, termasuk kepada perusahaan-perusahaan dalam kelompok yang sama dengan bank yang bersangkutan.
(2) Batas maksimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak boleh melebihi 30% (tiga puluh perseratus) dari modal bank yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(3) Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga, atau hal lain yang serupa yang dapat dilakukan oleh bank kepada:
a. pemegang saham yang memiliki 10% (sepuluh perseratus) atau lebih dari modal disetor bank;
b. anggota Dewan Komisaris;
c. anggota Direksi;
d. keluarga dari pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c;
e. pejabat bank lainnya; dan
f. perusahaan-perusahaan yang di dalamnya terdapat kepentingan dari pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e.
(4) Batas maksimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak boleh melebihi 10% (sepuluh perseratus) dari modal bank yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(4A) Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, bank dilarang melampaui batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana diatur dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4).
(5) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (3) wajib dilaporkan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Jika dikaitkan dengan pengaturan usaha BPR yang diubah oleh UU 10/1998 ternyata perubahan hanya mengenai salah satu ruang lingkup usaha BPR yakni pada huruf c dalam Pasal 13 yang menyatakan “menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia." Selebihnya, ketentuan yang mengatur usaha BPR masih mendasarkan pada ketentuan dalam UU 7/1992 yang tidak diubah oleh UU 10/1998.
[3.14.3] Bahwa di samping perubahan-perubahan pengaturan di atas, dalam UU 10/1998 juga disisipkan norma baru dengan menambahkan norma di antara Pasal 12 dan Pasal 13 UU 7/1992, yaitu norma Pasal 12A UU 10/1998, di mana ketentuan dalam ayat (1) norma a quo menyatakan “Bank Umum dapat membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan dalam hal Nasabah Debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya”. Secara substansial, ketentuan a quo adalah mengatur mengenai Agunan Yang Diambil Alih (AYDA). Norma ketentuan Pasal 12A UU 10/1998 semula merupakan esensi dari norma Pasal 6 huruf k UU 7/1992 yang mengatur mengenai salah satu usaha Bank Umum yaitu “membeli melalui pelelangan agunan baik semua maupun sebagian dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya”. Walaupun norma Pasal 6 huruf k UU 7/1992 dihapus dan diubah menjadi norma Pasal 12A UU 10/1998 namun jika dilihat dari sistematika UU 10/1998, norma pasal penambahan tersebut masih merupakan ketentuan akhir dari Bab III Bagian Kedua yang mengatur mengenai Usaha Bank Umum. Sementara itu, BPR berdasarkan ketentuan UU 7/1992 diatur dalam Bab III Bagian Ketiga mulai dari Pasal 13 sampai dengan Pasal 14, sehingga tidak menjadi bagian dari usaha bank yang dapat membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan. Padahal di dalam UU 7/1992 telah ditentukan 2 (dua) jenis bank yaitu Bank Umum dan BPR [vide Pasal 5 ayat (1) UU 7/1992]. Oleh karena itu, Pasal 12A ayat (1) UU 10/1998 menjadi norma yang dipersoalkan konstitusionalitasnya oleh Pemohon.
[3.14.4] Bahwa berkenaan dengan kegiatan bank membeli sebagian atau seluruh agunan baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan, telah ternyata tidak hanya diatur dalam UU 10/1998 melainkan juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (UU 21/2008) sebagaimana hal tersebut termaktub dalam Pasal 40 ayat (1) UU 21/2008 bahwa:
Dalam hal Nasabah Penerima Fasilitas tidak memenuhi kewajibannya, Bank Syariah dan UUS dapat membeli sebagian atau seluruh Agunan, baik melalui maupun di luar pelelangan, berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik Agunan atau berdasarkan pemberian kuasa untuk menjual dari pemilik Agunan, dengan ketentuan Agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan selambat-lambatnya dalam jangka waktu 1 (satu) tahun.
Ketentuan tersebut mengatur bahwa Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah (UUS) dapat membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan. Adapun yang dimaksud Bank Syariah pada Pasal 40 ayat (1) UU 21/2008 adalah terdiri dari Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah [vide Pasal 1 angka 7 UU 21/2008]. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPR Syariah) pada dasarnya adalah sama dengan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di dalam UU 7/1992 dan UU 10/1998, termasuk juga dalam kegiatannya yang sama-sama tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran [vide Pasal 1 angka 4 UU 10/1998 juncto Pasal 1 angka 9 UU 21/2008]. Sedangkan mengenai perbedaan penggunaan istilah “pembiayaan” dan “perkreditan” adalah dikarenakan dalam perbankan syariah tidak mengenal adanya kredit. Dengan demikian, berdasarkan ketentuan Pasal 40 ayat (1) UU 21/2008 BPR Syariah diperbolehkan untuk membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan, sebagaimana halnya Bank Umum Syariah.
[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan di atas, Mahkamah selanjutnya akan menilai konstitusionalitas norma Pasal 12A ayat (1) UU 10/1998 yang menurut dalil Pemohon pasal a quo bertentangan dengan kepastian hukum karena diatur secara berbeda-beda dan tidak memberikan kesempatan yang sama sebagaimana dijamin oleh UUD 1945. Berkenaan dengan dalil Pemohon a quo, telah ternyata terdapat perbedaan pengaturan mengenai pembelian agunan melalui pelelangan maupun di luar pelelangan sebagaimana uraian pertimbangan Mahkamah dalam Sub-Paragraf [3.14.3] dan Sub-Paragraf [3.14.4]. Dari empat jenis bank yaitu Bank Umum, BPR, Bank Umum Syariah, dan BPR Syariah, hanya BPR sebagai salah satu usaha perbankan yang tidak mendapatkan kejelasan pengaturan dalam undang-undang untuk dapat mengikuti pembelian agunan melalui pelelangan maupun di luar pelelangan dalam upaya menyelesaikan persoalan pinjaman macet nasabahnya. Persoalan hukum yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah adalah apakah pengaturan berbeda yang menjadikan hanya BPR saja yang tidak dapat mengikuti pembelian agunan melalui pelelangan maupun di luar pelelangan, adalah merupakan persoalan konstitusionalitas norma dan melanggar hak konstitusionalitas Pemohon sebagai salah satu BPR. Terhadap hal tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
[3.15.1] Bahwa Pemohon mendalilkan Pasal 12A ayat (1) UU 10/1998 bertentangan dengan kepastian hukum yang dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena Pasal 12A ayat (1) UU 10/1998 telah menimbulkan penafsiran yang berbeda dalam pelaksanaan kegiatan pembelian agunan melalui pelelangan maupun di luar pelelangan. Pemohon juga mendalilkan Pasal 12A ayat (1) UU 10/1998 bertentangan dengan hak atas kemudahan untuk memeroleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan sebagaimana dijamin dalam Pasal 28H ayat (2) UUD 1945. Terhadap dalil Pemohon tersebut, Mahkamah menilai bahwa pada dasarnya BPR memiliki peran yang tidak jauh berbeda antara Bank Umum, Bank Umum Syariah, dan BPR Syariah dalam memberikan layanan di bidang keuangan kepada masyarakat. Meskipun Bank Umum memiliki jenis usaha yang lebih luas daripada BPR, namun beberapa jenis usaha yang dijalankan oleh BPR pada umumnya memiliki kesamaan dengan Bank Umum yaitu meliputi menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, memberikan kredit, dan menyediakan pembiayaan bagi nasabah [vide Pasal 13 UU 7/1992 dan UU 10/1998]. Terlebih lagi ketentuan Pasal 15 UU 7/1992 menyatakan dengan tegas bahwa ketentuan dalam Pasal 8 dan Pasal 11 UU 7/1992 dan UU 10/1998 yang merupakan bagian pengaturan tentang usaha Bank Umum juga diberlakukan untuk usaha BPR. Pada dasarnya yang membedakan jenis usaha Bank Umum dengan usaha BPR yaitu Bank Umum dapat menjalankan jasa lalu lintas pembayaran, namun dalam kaitannya dengan persoalan dalam permohonan a quo, baik Bank Umum dan BPR sama-sama dapat menjalankan usaha pemberian pinjaman. Terlebih lagi, ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU 10/1998 dengan tegas menyatakan “Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atau itikad dan kemampuan serta kesanggupan Nasabah Debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan”. Oleh karena ketentuan ini juga diberlakukan bagi usaha BPR berdasarkan Pasal 15 UU 7/1992 maka dalam memberikan kredit atau pinjaman kepada nasabahnya BPR pun dibebani kewajiban yang sama layaknya Bank Umum untuk melakukan analisis yang mendalam terhadap kondisi calon nasabah debitur. Persoalannya, walaupun telah dilakukan analisis mengenai itikad, kemampuan, dan kesanggupan nasabah debitur dalam mengembalikan kredit namun pada kenyataannya dapat terjadi nasabah debitur BPR tidak mampu melunasi pinjaman atau kredit seperti yang diperjanjikan sehingga menimbulkan kredit macet. Kondisi demikian kemungkinan besar akan semakin banyak terjadi tatkala situasi perekonomian sedang melemah. Jika kondisi tersebut dibiarkan sangat mungkin sebagian besar atau keseluruhan BPR akan mengalami kesulitan untuk berkembang bahkan dapat terancam usahanya ditutup. Berbeda dengan BPR, dalam menghadapi kondisi demikian, bagi Bank Umum, termasuk BPR Syariah dapat menggunakan instrumen AYDA untuk menyelesaikan persoalan pinjaman macet tersebut karena hal tersebut telah ditentukan dengan tegas dalam undang-undang yang mengaturnya. Tidak demikian halnya bagi BPR yang keberadaannya menginduk pada UU Perbankan (UU 7/1992 dan UU 10/1998) karena BPR tidak dapat melaksanakan AYDA baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan. Padahal, mekanisme AYDA baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan merupakan suatu upaya penyelesaian persoalan kredit macet dengan mempercepat penyelesaian kewajiban nasabah debiturnya. Hal ini mengingat penyelesaian kredit macet akan memengaruhi tingkat kesehatan keuangan dan likuiditas bank. Terlebih lagi, UU 7/1992 dan UU 10/1998 telah menyebutkan bahwa pemberian pinjaman merupakan salah satu bentuk usaha yang dapat dilakukan oleh BPR, sehingga sudah seharusnya pula jika BPR diberikan kemudahan penyelesaian kredit macet tersebut ketika ada pinjaman nasabah debiturnya yang bermasalah. Dalam hal ini, mekanisme AYDA dan usaha pemberian pinjaman adalah dua hal yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan, sebagaimana yang diterapkan pula kepada Bank Umum, Bank Umum Syariah, dan BPR Syariah. Hal demikian juga menjadi salah satu bagian dari prinsip kehati-hatian yang sudah umum dan lazim diterapkan dalam pelayanan jasa di bidang keuangan.
[3.15.2] Bahwa BPR merupakan salah satu lembaga perbankan yang dijamin oleh undang-undang. BPR pada saat ini telah mengalami perkembangan jika dibandingkan dengan sebelum tahun 1998 saat UU 7/1992 belum dilakukan proses perubahan. Keberadaan BPR memiliki peran yang tidak kalah pentingnya dalam membangun perekonomian nasional, termasuk bagi kemajuan perekonomian masyarakat terpencil di daerah yang sulit dijangkau oleh Bank Umum. Oleh karena itu, sudah seharusnya pula BPR mendapat kesempatan yang sama dengan Bank Umum dalam mempertahankan keberlangsungan usahanya. Bahkan Pasal 40 ayat (1) UU 21/2008, telah mengakomodasi keikutsertaan dalam lelang agunan bagi BPR Syariah yang pada dasarnya memiliki market bisnis hampir sama dengan BPR. Apabila instrumen dan mekanisme AYDA melalui lelang dapat diterapkan kepada BPR maka hal tersebut tentunya akan bermanfaat bagi BPR karena memudahkan BPR dalam mengatasi persoalan kredit macet.
[3.15.3] Bahwa tanpa bermaksud menilai kasus konkret, berdasarkan bukti dan fakta yang terungkap dalam persidangan, Mahkamah memandang telah ternyata terdapat upaya dari regulator dan otoritas di bidang perbankan nasional untuk mengakomodasi agar BPR juga dapat membeli sebagian atau seluruh agunan baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan, yaitu dengan adanya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 33/POJK.03/2018, bertanggal 27 Desember 2018 [vide Bukti P-13], yang sebelumnya menjadi tugas dari Bank Indonesia dengan mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/26/PBI/2011 tentang Perubahan Atas PBI Nomor 8/19/PBI/2006 tentang Kualitas Aktiva Produktif dan Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif BPR, yang masing-masing pada pokoknya mengatur bahwa AYDA adalah aset yang diperoleh BPR untuk penyelesaian kredit, baik melalui pelelangan, atau di luar pelelangan berdasarkan penyerahan sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan surat kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan, dalam hal debitur telah dinyatakan macet [vide Bukti P-16]. Akan tetapi, di sisi lain, DJKN juga mengeluarkan Surat Nomor S-407/KN.7/2012, tanggal 12 April 2012, yang ditujukan kepada para Kepala Kanwil DJKN dan para Kepala KPKLN di seluruh Indonesia, yang mendasarkan pada ketentuan Pasal 12A ayat (1) UU 10/1998 hanya Bank Umum saja yang dapat membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan [vide Bukti P-12].
[3.15.4] Bahwa berdasarkan uraian di atas adanya perbedaan penafsiran terhadap Pasal 12A ayat (1) UU 10/1998 tentu akan berdampak secara nasional terhadap jalannya proses lelang agunan dan dapat menimbulkan perbedaan standar perlakuan kepada BPR dalam penyelenggaraan lelang agunan antara BPR di daerah yang satu dengan BPR di daerah yang lain. Penafsiran berbeda terhadap Pasal 12A ayat (1) UU 10/1998 menimbulkan ketidakpastian hukum dan menghilangkan kesempatan yang sama bagi Pemohon maupun BPR dalam mengikuti lelang agunan atas kredit macet nasabah debiturnya.
[3.16] Menimbang bahwa, setelah Mahkamah mempertimbangkan permohonan Pemohon sebagaimana tersebut di atas, Pasal 12A ayat (1) UU 10/1998 memerlukan kepastian hukum agar tidak terjadi multitafsir, serta demi persamaan perlakuan pelelangan kepada BPR di seluruh daerah secara nasional, termasuk perlakuan yang sama antara BPR konvensional dan BPR Syariah, maka Mahkamah menegaskan frasa “Bank Umum” dalam Pasal 12A ayat (1) UU 10/1998 haruslah dimaknai “Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat”.
[3.17] Menimbang bahwa sebagaimana uraian pada Sub-Paragraf [3.14.3] Mahkamah menyadari secara sistematika peraturan perundang-undangan, Pasal 12A ayat (1) di dalam UU 10/1998 terletak pada Bab III Bagian Kedua yang mengatur khusus mengenai Usaha Bank Umum, sedangkan pengaturan mengenai Usaha BPR di dalam UU 7/1992 terletak pada Bab III Bagian Ketiga. Sudah seharusnya ketentuan tentang BPR diletakkan pada Bab III Bagian Ketiga UU 7/1992 karena sesuai dengan urutan pengaturan jenis usaha bank. Sementara itu, Pemohon dalam permohonannya tidak memohonkan pengujian pasal lain selain Pasal 12A ayat (1) UU 10/1998, dan Mahkamah juga tidak menemukan adanya pasal yang berkaitan dengan pembelian agunan melalui pelelangan maupun di luar pelelangan oleh BPR pada Bab III Bagian Kedua UU 7/1992. Mahkamah pun menyadari dengan memberikan penafsiran atas ketentuan norma Pasal 12A ayat (1) UU 10/1998 sebagaimana Paragraf [3.16] maka hal tersebut seolah-olah dapat mengubah sistematika pengaturan usaha bank yang sudah ditentukan dalam UU 7/1992. Namun, sebagaimana uraian pertimbangan pada Sub-Paragraf [3.14.2] pengaturan usaha Bank Umum dan BPR ternyata tidak mutlak terpisah bahkan masih berkaitan karena dalam Pasal 15 UU 7/1992, BPR diberikan landasan hukum yang tegas untuk melakukan kewajiban yang sama yang diberlakukan juga bagi Bank Umum termasuk mengenai batasan persyaratan dalam pemberian kredit. Namun, dalam permohonannya Pemohon pun tidak memohon pengujian konstitusionalitas norma Pasal 15 a quo. Oleh karenanya, demi kepastian hukum, perlakuan yang adil, dan kemanfaatan bagi BPR dan nasabah debitur sebagaimana Mahkamah uraikan pada Paragraf [3.15] dan Paragraf [3.16] di atas, serta dengan memperhatikan kerugian hak konstitusional yang dialami oleh Pemohon sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945, tidak ada pilihan lain bagi Mahkamah selain menafsirkan Pasal 12A ayat (1) UU 10/1998. Dengan demikian, menurut Mahkamah, dalil Pemohon beralasan menurut hukum.
[3.18] Menimbang bahwa oleh karena alasan permohonan Pemohon yang Mahkamah uraikan dan pertimbangkan adalah beralasan menurut hukum, maka terhadap dalil permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya tidak relevan untuk dipertimbangkan lebih lanjut.
[3.19] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, permohonan Pemohon mengenai norma Pasal 12A ayat (1) UU 10/1998 bertentangan dengan prinsip kepastian hukum serta hak atas kemudahan untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 adalah beralasan menurut hukum.

1. Bahwa terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 102/PUU-XVIII/2020 sebagaimana diuraikan di atas, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan saran sebagai berikut:
a. Menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XVIII/2020 sebagai bahan dalam penyusunan Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka.
b. Menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XVIII/2020 sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
2. Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan langsung dilaksanakan (self executing) oleh seluruh organ penyelenggara negara, organ penegak hukum, dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 102/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan frasa “Bank Umum” dalam Pasal 12A ayat (1) UU 10/1998 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat” dapat digunakan sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dikabulkan Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 15/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 29-06-2021

Bahwa pada hari Selasa tanggal 29 Juni 2021, pukul 12.30 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam sidang virtual Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (selanjutnya disebut UU TPPU) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 15/PUU-XIX/2021. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 15/PUU-XIX/2021, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal dan Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap Penjelasan Pasal 74 UU TPPU dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.12] Menimbang bahwa terhadap dalil permohonan para Pemohon tersebut,
Mahkamah mempertimbangkan, pokok permasalahan dalam pengujian
konstitusionalitas Penjelasan Pasal 74 UU 8/2010 adalah adanya
ketidakkonsistenan antara frasa “penyidik tindak pidana asal” yang termuat dalam norma Pasal 74 UU 8/2010 yang esensinya tanpa adanya pembatasan mengenai kriteria subjek hukum yang dikatakan sebagai penyidik tindak pidana asal, sementara itu esensi penyidik tindak pidana asal yang dimaksudkan dalam Penjelasan Pasal 74 UU 8/2010 ada pembatasan dengan telah ditentukan subjek hukum yang disebut penyidik tindak pidana asal yaitu hanya ada 6 (enam) penyidik tindak pidana asal
Bahwa terhadap dalil para Pemohon tersebut, menurut Mahkamah, frasa
“penyidik pidana asal” dalam Pasal 74 UU 8/2010 memberikan pengertian penyidik tindak pidana asal adalah pejabat dari instansi yang oleh undang-undang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan hukum acara dan ketentuan peraturan perundang-undangan dalam hal ini adalah semua Penyidik yang melakukan penyidikan tindak pidana asal atau tindak pidana yang kemudian melahirkan tindak pidana pencucian uang. Dengan kata lain, penyidik tindak pidana asal adalah siapa saja pejabat yang oleh undang-undang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan tindak pidana yang kemudian dari tindak pidana yang dilakukan penyidikan tersebut melahirkan adanya tindak pidana pencucian uang sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU 8/2010. Dengan demikian, telah secara jelas dan tegas (expressis verbis), tidak ada pengecualian siapapun pejabat yang melakukan penyidikan tindak pidana karena perintah undang-undang yang kemudian melahirkan tindak pidana pencucian uang adalah penyidik tindak pidana
asal. Oleh karena itu, tidak ada alasan hukum apapun yang dapat dibenarkan
apabila kemudian penegasan norma Pasal 74 UU 8/2010 tersebut dapat dimaknai menjadi tidak semua pejabat yang diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan tindak pidana yang melahirkan tindak pidana pencucian uang tidak serta merta dapat melakukan penyidikan tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana asal, dalam hal ini tindak pidana pencucian uang.
Bahwa terdapat alasan yang sangat mendasar, tidak relevannya
dilakukan pemisahan antara penyidikan tindak pidana asal dengan penyidikan
tindak pidana pencucian uang yang dilahirkan, yaitu penyatuan kewenangan
tersebut akan memudahkan pembuktian dan mendapatkan efisiensi dalam
penanganan suatu perkara, sebab tidak diperlukan lagi adanya tahapan pelimpahan kepada penyidik lain (Kepolisian Negara Republik Indonesia) dengan dilakukan pemisahan (splitsing) yang tentunya akan melalui proses yang membutuhkan waktu dan bisa jadi harus dilakukan proses penyidikan dari awal terhadap tindak pidana pencucian uangnya, kecuali sekedar koordinasi ketika akan dilakukan pelimpahan berkas perkara kepada penuntut umum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7 ayat (2) KUHAP. Oleh karena itu, tahapan yang berulang tersebut akan tidak sejalan dengan asas peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan (vide Pasal 2 ayat (4) UU 48/2009). Terlebih penyidik tindak pidana asal sesungguhnya yang lebih memahami karakter dari perkara yang ditanganinya. Dengan pertimbangan hukum tersebut di atas maka Penjelasan Pasal 74 UU 8/2010, yang tidak dapat dibenarkannya adanya penyidik tindak pidana asal yang tidak serta merta melekat kewenangannya untuk melakukan penyidikan tindak pidana pencucian uang sepanjang tindak pidana asal tersebut termasuk tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU 8/2010 selain 6 (enam) institusi penyidik, sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Pasal 74 UU 8/2010 adalah pembatasan yang tidak dapat dibenarkan. Terlebih karena UU 8/2010 mengatur, apabila dalam tindakan penyidikan ditemukan adanya tindak pidana asal dan tindak pidana pencucian uang, maka penyidik menggabungkan penyidikan tindak pidana asal tersebut dengan tindak pidana pencucian uang dengan memberitahukan kepada PPATK (vide Pasal 75 UU 8/2010). Hal ini sebenarnya sejalan dengan pesan dari esensi efisiensi sekaligus dalam rangka mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan, sebagaimana telah dipertimbangkan sebelumnya.
Bahwa di samping alasan tersebut, Mahkamah juga berpendapat pada
hakikatnya dalam sistem pembentukan peraturan perundang-undangan, penjelasan berfungsi sebagai tafsir resmi pembentuk peraturan perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Namun demikian, rumusan penjelasan tidak boleh bertentangan dengan pasal-pasal yang diatur dalam batang tubuh; tidak memperluas, mempersempit atau menambah pengertian norma yang ada dalam batang tubuh; tidak melakukan pengulangan atas materi pokok yang diatur dalam batang tubuh; tidak mengulangi uraian kata, istilah, frasa, atau pengertian yang telah dimuat di dalam ketentuan umum; dan/atau tidak memuat rumusan pendelegasian [vide Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Nomor 176 dan 186]

[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut
di atas, oleh karena secara substansial maupun prosedural tidak terdapat relevansi untuk dilakukan pemisahan kewenangan penyidikan oleh penyidik tindak pidana asal dengan penyidik tindak pidana yang dilahirkan atau yang mengikuti, yaitu tindak pidana pencucian uang, maka sebagai konsekuensi yuridisnya keberadaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang diakui dan diatur di dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 juncto Pasal 6 ayat (1) KUHAP adalah tidak dapat dikecualikan dan termasuk bagian dari penyidik yang melekat kewenangan untuk melakukan penyidikan tindak pidana pencucian uang.
Bahwa lebih lanjut penting ditegaskan pula oleh karena keberadaan
penyidik pegawai negeri sipil tersebut terdapat di beberapa kementerian, yang
lingkup tugasnya dan tanggung jawabnya sesuai dengan wewenang yang diberikan oleh instansi masing-masing untuk melakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Maka, terhadap penyidik pegawai negeri sipil di kementerian yang tidak termasuk sebagaimana termaktub dalam Penjelasan Pasal 74 UU 8/2010 dan tidak dapat melakukan penyidikan tindak pidana pencucian uang apabila menemukan bukti permulaan yang cukup telah terjadinya tindak pidana pencucian uang saat melakukan penyidikan tindak pidana asal, tidak dapat dikecualikan dan harus diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan tindak pidana pencucian uang sepanjang tindak pidana asalnya termasuk dalam tindak pidana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU 8/2010.

[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum
tersebut di atas, Penjelasan Pasal 74 UU 8/2010 telah jelas mempersempit definisi “penyidik tindak pidana asal” sebagaimana yang tercantum dalam ketentuan Pasal 74 UU 8/2010 dengan memberikan batasan subjek hukum yang berhak menjadi penyidik tindak pidana asal. Selain mempersempit definisi “penyidik tindak pidana asal”, Penjelasan Pasal 74 UU 8/2010 menunjukkan adanya diskriminasi penanganan tindak pidana pencucian uang, khususnya bagi pegawai negeri sipil. Sebab, sebagaimana telah dipertimbangkan di atas, secara teknis maupun substansial jika penyidikan tindak pidana pencucian uang dilakukan oleh Penyidik tindak pidana asal, hal ini akan mempercepat penanganan dugaan tindak pidana pencucian uang sekaligus tindak pidana asalnya. Oleh karena itu, penyidik tindak pidana asal yang menemukan tindak pidana pencucian uang harus diberikan kewenangan dan oleh karenanya terhadap Penjelasan Pasal 74 UU 8/2010 haruslah dinyatakan inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai sebagaimana selengkapnya termuat dalam amar putusan perkara a quo.

1. Bahwa terhadap Putusan MK dalam Perkara Nomor 15/PUU-XIX/2021 sebagaimana diuraikan diatas, untuk mengisi kekosongan hukum, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan saran sebagai berikut:
a. Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 15/PUU-XIX/2021 sebagai bahan dalam penyusunan Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka.
b. Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 15/PUU-XIX/2021 sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan UU TPPU.

2. Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk umum dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan langsung dilaksanakan (self executing) oleh seluruh organ penyelenggara negara, organ penegak hukum, dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 15/PUU-XIX/2021 yang menyatakan mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya terhadap pengujian UU TPPU mengandung arti bahwa ketentuan Penjelasan Pasal a quo bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sesuai pemaknaan MK, dan agar tidak menimbulkan kekosongan hukum, dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan Perubahan UU TPPU.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dikabulkan Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 55/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 04-05-2021

Bahwa pada hari Selasa tanggal 4 Mei 2021, pukul 11.26 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan yang dilaksanakan secara virtual yaitu pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (selanjutnya disebut UU Pemilu) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 55/PUU-XVIII/2020. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 55/PUU-XVIII/2020, perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Anggota DPR RI Taufik Basari, SH. M.Hum. LL.M (A-359) dan didampingi secara virtual oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU Pemilu dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.11.1] Bahwa terhadap verifikasi partai politik, Mahkamah dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU- XV/2017 tanggal 11 Januari 2018 antara lain mempertimbangkan sebagai berikut:

[3.12] Menimbang bahwa berkenaan dengan persoalan konstitusional PERTAMA yaitu mengenai persoalan verifikasi partai politik peserta Pemilu yang terkait dengan konstitusionalitas Pasal 173 ayat (3) juncto Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu, Mahkamah perlu menjelaskan terlebih dahulu konstruksi dari kedua norma tersebut yang berkaitan satu sama lain. Dengan membaca konstruksi Pasal 173 secara utuh, keberadaan frasa “telah ditetapkan” dalam Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu sesungguhnya mengandung ketidakpastian hukum, karena frasa “telah ditetapkan” disejajarkan dengan frasa “lulus verifikasi” dengan menggunakan tanda baca “/” (garis miring). Frasa “telah ditetapkan/” sesungguhnya merupakan tindakan administratif menetapkan, sedangkan lulus verifikasi hanya baru sebatas hasil pengecekan terhadap keterpenuhan sesuatu syarat yang ditentukan Undang-Undang, di mana hasil verifikasi itulah kemudian yang akan berujung dengan adanya tindakan penetapan dan oleh karena itu keduanya merupakan dua hal yang berbeda dan tidak dapat disetarakan sebagaimana dalam rumusan Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu.

[3.12.1] Bahwa konstruksi pemahaman demikian linear dengan norma Pasal 179 ayat (1) UU Pemilu yang menyatakan, “Partai Politik calon
2

Peserta Pemilu yang lulus verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) dan Pasal 178 ditetapkan sebagai peserta Pemilu oleh KPU”. Artinya, hasil verifikasi merupakan hasil pemeriksaan terhadap keterpenuhan syarat yang selanjutnya ditindaklanjuti dengan penetapan sebagai peserta Pemilu oleh KPU. Dengan menghubungkan keberadaan Pasal 173 ayat (1) dengan Pasal 179 ayat (1) UU Pemilu, maka benar bahwa keberadaan frasa “telah ditetapkan/” telah menimbulkan ketidakpastian dan dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya perlakuan berbeda antarpartai politik peserta Pemilu.

[3.13] Menimbang bahwa terhadap dalil Pemohon mengenai Pasal 173 ayat (3) UU Pemilu, pada pokoknya norma a quo memuat norma bahwa untuk partai politik yang telah lulus verifikasi dengan syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (2) tidak diverifikasi ulang dan ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu. Hal ini mengandung makna bahwa ada partai politik peserta Pemilu yang dikategorikan telah lulus verifikasi dengan syarat yang telah ditentukan dan ada partai politik calon peserta Pemilu yang belum lulus verifikasi. Dengan ketentuan tersebut, terhadap dua kelompok partai politik calon peserta Pemilu tersebut diatur atau diterapkan perlakuan berbeda.

[3.13.1] Bahwa terkait pengaturan tentang pengelompokan sekaligus perlakuan yang membedakan antarpartai politik calon peserta Pemilu sebelumnya telah pula pernah diatur dalam Pasal 8 ayat (1) Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut UU 8/2012) yang menyatakan, “Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu terakhir yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu berikutnya”. Dalam ketentuan a quo, perbedaan perlakuan terhadap partai politik calon peserta Pemilu dilakukan atas dasar partai politik yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional dengan partai politik yang tidak memenuhi ambang batas dan partai politik baru.

[3.13.2] Bahwa sekalipun dasar pembedaan antarpartai politik calon peserta Pemilu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang yang menjadi objek permohonan a quo berbeda dengan apa yang diatur dalam UU 8/2012, namun kedua-duanya sama-sama mengatur pembedaan perlakuan antarpartai politik calon peserta Pemilu. Bahwa terkait pembedaan perlakuan terhadap calon peserta Pemilu sebagaimana
3

diatur dalam Pasal 8 ayat (1) UU 8/2012, Mahkamah dalam putusan terdahulu, yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012, bertanggal 29 Agustus 2012, telah menyatakan norma Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang a quo bertentangan dengan UUD 1945 dengan pokok pertimbangan sebagai berikut:
1. Bahwa ketentuan a quo mengandung ketidakadilan karena, “...dipenuhinya ambang batas perolehan suara pada Pemilihan Umum Tahun 2009 tidak dapat dijadikan sebagai satu-satunya ketentuan mengenai syarat atau kriteria dalam keikutsertaan partai politik lama sebagai peserta Pemilihan Umum Tahun 2014. Karena ketentuan mengenai syarat atau kriteria dalam UU 10/2008 berbeda dengan ketentuan mengenai syarat atau kriteria dalam UU 8/2012 yang menjadi dasar penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2014.” (Putusan Nomor 52/PUU-X/2012, hlm. 89-90);
2. Bahwa menurut Mahkamah, “...terdapatnya fakta hukum bahwa syarat yang harus dipenuhi oleh partai politik untuk mengikuti pemilihan umum legislatif tahun 2009 ternyata berbeda dengan persyaratan untuk pemilihan umum legislatif tahun 2014. Syarat untuk menjadi peserta pemilihan umum bagi partai politik tahun 2014 justru lebih berat bila dibandingkan dengan persyaratan yang harus dipenuhi oleh partai politik baru dalam pemilihan umum legislatif tahun 2009. Dengan demikian adalah tidak adil apabila partai politik yang telah lolos menjadi peserta pemilihan umum pada tahun 2009 tidak perlu diverifikasi lagi untuk dapat mengikuti pemilihan umum pada tahun 2014 sebagaimana partai politik baru, sementara partai politik yang tidak memenuhi PT harus mengikuti verifikasi dengan syarat yang lebih berat” (Putusan Nomor 52/PUU X/2012, hlm. 91);
3. Bahwa lebih jauh, Mahkamah menilai bahwa “...memberlakukan syarat yang berbeda kepada peserta suatu kontestasi (pemilihan umum) yang sama merupakan perlakuan yang tidak sama atau perlakuan secara berbeda (unequal treatment) yang bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) serta Pasal 28D ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Dengan demikian menurut Mahkamah, terhadap semua partai politik harus diberlakukan persyaratan yang sama untuk satu kontestasi politik atau pemilihan umum yang sama, yaitu Pemilihan Umum Tahun 2014.” (Putusan Nomor 52/PUU-X/2012, hlm. 92);
4. Bahwa agar ketidakadilan dan perlakuan berbeda terhadap calon peserta Pemilu dapat diatasi, Mahkamah menyatakan, “Untuk mencapai persamaan hak masing-masing partai politik ada dua solusi yang dapat ditempuh yaitu, pertama, menyamakan persyaratan kepesertaan Pemilu antara partai politik peserta Pemilu
4

tahun 2009 dan partai politik peserta Pemilu tahun 2014, atau kedua, mewajibkan seluruh partai politik yang akan mengikuti Pemilu tahun 2014 dengan persyaratan baru yang ditentukan dalam Undang-Undang a quo. Dalam hal ini, demi kepastian hukum yang adil, Mahkamah menentukan bahwa untuk mencapai perlakuan yang sama dan adil itu seluruh partai politik peserta Pemilu tahun 2014 harus mengikuti verifikasi. Dengan semangat yang sejalan dengan maksud pembentuk undang-undang, demi penyederhanaan partai politik, menurut Mahkamah, syarat menjadi peserta pemilihan umum yang diatur dalam Pasal 8 ayat (2) UU 8/2012 harus diberlakukan kepada semua partai politik yang akan mengikuti Pemilihan Umum Tahun 2014 tanpa kecuali.” (Putusan Nomor 52/PUU-X/2012, hlm. 93).

[3.13.3]Bahwa berdasarkan pertimbangan dalam pengujian terhadap ketentuan UU 8/2012 yang pada pokoknya mengandung perlakuan berbeda terhadap partai politik calon peserta Pemilu, dapat ditarik benang merah yang harusnya dipedomani pembentuk undang-undang dalam menentukan syarat maupun untuk menerapkan syarat kepada setiap calon peserta Pemilu. Benang merah dimaksud adalah:
a. Norma UU Pemilu tidak boleh memuat norma yang pada pokoknya mengandung perlakuan berbeda terhadap calon peserta Pemilu, sebab perlakuan berbeda bertentangan dengan hak atas kesempatan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan;
b. Perlakuan berbeda terhadap partai politik calon peserta Pemilu dapat dihindari dengan cara bahwa dalam pelaksanaan Pemilu, setiap partai politik calon peserta Pemilu harus mengikuti verifikasi.

Bahwa sekalipun perlakuan berbeda melalui penerapan norma secara berbeda kepada subjek hukum yang diaturnya bukanlah sesuatu yang tidak selalu dilarang atau bertentangan dengan UUD 1945, namun pada ranah kepesertaan dalam kontestasi politik seperti Pemilu, perlakuan berbeda sama sekali tidak dapat dibenarkan. Hal mana, perlakuan berbeda dimaksud tidak sesuai dengan jaminan pemberian kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk duduk dalam pemerintahan. Menurut Mahkamah, perlakuan berbeda terhadap calon peserta Pemilu merupakan hal yang bertentangan dengan Konstitusi. Hal mana bukan saja karena hal itu bertentangan dengan hak untuk mendapat kesempatan yang sama dalam pemerintahan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat
(1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945, melainkan juga karena perlakuan berbeda menjadi penyebab terjadinya ketidakadilan Pemilu.


5

[3.13.4] Bahwa untuk memastikan tidak ada perlakuan berbeda terhadap setiap calon peserta Pemilu, dari dua kemungkinan alternatif jalan yang dapat ditempuh sebagaimana dimuat dalam Putusan a quo, Mahkamah telah menentukan caranya, yaitu dengan melakukan verifikasi terhadap seluruh partai politik calon peserta Pemilu 2014. Sementara pembentuk UU Pemilu dalam merumuskan Pasal 173 ayat (3) UU Pemilu justru memberikan perlakuan yang berbeda terhadap partai politik yang memiliki kursi di DPR berdasarkan hasil Pemilu 2014.

[3.13.5] Bahwa dalam perkembangannya, alternatif yang telah ditentukan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012 sesungguhnya telah sesuai dengan perkembangan sistem penyelenggaraan Pemilu Indonesia yang periodik lima tahun sekali. Sebab, sekalipun syarat kepesertaan Pemilu telah ditentukan secara sama di dalam undang-undang, namun perkembangan dan dinamika partai politik, penataan wilayah negara ke dalam satuan-satuan pemerintahan daerah dan juga perkembangan demografis sebagai faktor penentu keterpenuhan syarat calon peserta Pemilu merupakan sesuatu yang bersifat dinamis. Hal demikian, bila dihubungkan dengan fakta bahwa dalam setiap Pemilu selalu ada partai politik baru calon peserta Pemilu, maka jalan untuk menghindari terjadinya perlakuan berbeda adalah dengan memverifikasi seluruh partai politik calon peserta Pemilu tanpa membeda-bedakan partai politik yang telah mengikuti verifikasi pada Pemilu sebelumnya dengan partai politik yang belum pernah mengikuti Pemilu maupun partai politik yang sudah pernah mengikuti Pemilu namun tidak memperoleh kursi di DPR.

[3.13.6] Bahwa oleh karena itu, sekalipun dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012 Mahkamah menyatakan verifikasi dilakukan terhadap seluruh partai politik calon peserta Pemilu 2014, namun guna menghindari adanya perlakuan berbeda terhadap partai politik calon peserta Pemilu 2019, pertimbangan dimaksud juga relevan dan harus diberlakukan untuk setiap partai politik calon peserta Pemilu 2019. Bahkan, tidak hanya untuk Pemilu 2019, melainkan juga untuk Pemilu anggota DPR dan DPRD dalam Pemilu periode-periode selanjutnya. Alasan mendasar lainnya mempertahankan verifikasi adalah untuk menyederhanakan jumlah partai politik peserta Pemilu. Dalam batas penalaran yang wajar, bilamana dalam setiap penyelenggaraan Pemilu tidak dilakukan verifikasi terhadap semua partai politik calon peserta Pemilu, maka jumlah partai politik akan cenderung terus bertambah. Misalnya dalam Pemilu 2019, partai politik yang memiliki kursi di DPR tidak diverifikasi dan otomatis menjadi peserta pemilihan
6

umum, maka jumlah peserta Pemilu 2019 akan menjadi semua partai politik yang memiliki kursi di DPR ditambah partai politik baru yang lulus verifikasi. Begitu pula di Pemilu 2024, seandainya pada Pemilu 2019 terdapat 12 partai politik yang memiliki kursi di DPR maka peserta Pemilu 2024 akan menjadi 12 partai politik ditambah dengan partai politik baru yang lulus verifikasi, akhirnya jumlah partai politik peserta Pemilu akan terus bertambah dan ide besar menyederhanakan partai politik dengan memperketat persyaratan menjadi peserta Pemilu, yang menjadi desain konstitusional (constitutional design) UUD 1945, tidak akan pernah terwujud. Hal ini tidak berarti Mahkamah menolak hak konstitusional warga negara untuk mendirikan partai politik sebagai bagian dari hak berserikat dan berkumpul yang dijamin dalam Konstitusi untuk menjadi peserta Pemilu sepanjang memenuhi semua persyaratan dan telah dinyatakan lulus verifikasi.

[3.13.7] Bahwa selain pertimbangan sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah memandang penting untuk menekankan hal-hal sebagai berikut:
1. Keadilan bagi Setiap Calon Peserta Pemilu
Perlakuan berbeda terhadap calon peserta Pemilu merupakan hal yang bertentangan dengan Konstitusi. Hal mana bukan saja karena hal itu bertentangan dengan hak untuk mendapat kesempatan yang sama dalam pemerintahan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945, melainkan juga karena perlakuan berbeda menjadi penyebab terjadinya ketidakadilan Pemilu. Merujuk salah satu indikator keadilan Pemilu adalah perlakuan yang sama atau setara antarpeserta Pemilu. Baik perlakuan yang sama antarpeserta Pemilu anggota DPR dan DPRD maupun antarseluruh peserta Pemilu yang ditentukan dalam UUD 1945.
Terkait perlakuan yang sama antarpeserta Pemilu anggota DPR dan DPRD, maka seluruh syarat dan penetapan syarat bagi partai politik untuk menjadi peserta Pemilu tidak dapat dibeda-bedakan, baik karena alasan bahwa partai politikl dimaksud memiliki kursi di DPR atau DPRD maupun karena alasan telah mendapat dukungan dari rakyat melalui Pemilu. Bahwa perolehan suara partai politik dan kursi dalam suatu Pemilu haruslah dibedakan dari syarat yang harus dipenuhi setiap partai politik calon peserta Pemilu. Dalam hal bahwa satu partai politik tentu memperoleh suara dan kursi dalam Pemilu, tidak berarti bahwa hal itu menjadi alasan bagi partai politik dimaksud untuk langsung dapat ditetapkan menjadi peserta Pemilu berikutnya atau menjadi perta Pemilu tanpa harus diverifikasi lagi keterpenuhan syarat sebagai calon peserta Pemilu. Bagaimanapun, perolehan suara dan kursi merupakan indikator
7

kepercayaan rakyat terhadap partai politik dalam sebuah Pemilu, sedangkan keterpenuhan syarat untuk menjadi calon peserta Pemilu merupakan indikator bahwa partai politik dimaksud masih layak untuk turut dalam kontestasi memperebutkan kepercayaan rakyat dalam Pemilu.
Terkait perlakuan yang sama antarseluruh peserta Pemilu, maka perlakuan dalam pemenuhan syarat untuk ditetapkan sebagai peserta Pemilu tidak boleh dibedakan antara calon peserta Pemilu anggota DPR dan DPRD dengan calon peserta Pemilu perseorangan. Dalam hal ini, Mahkamah sependapat dengan keterangan yang disampaikan ahli dalam persidangan menyangkut substansi verifikasi kepesertaan Pemilu, dalam hal bahwa seluruh peserta Pemilu, baik partai politik maupun perseorangan haruslah diperlakukan sama dalam hal bagaimana masing masing peserta Pemilu dimaksud memenuhi syarat sebagai peserta Pemilu.
Sehubungan dengan itu, sepanjang sejarah Pemilu yang dilaksanakan setelah perubahan UUD, calon peserta Pemilu sama sekali tidak pernah tidak diverifikasi keterpenuhan syaratnya. Apakah perseorangan untuk calon anggota DPD dimaksud merupakan calon anggota DPD yang telah dinyatakan memenuhi syarat sebelumnya, sama sekali tidak dibebaskan dari proses verifikasi keterpenuhan syarat sebagai calon. Semua calon peserta Pemilu anggota DPD, calon baru ataupun petahana, sama-sama harus mendaftar dan diverifikasi lagi seluruh syarat yang ditentukan.

2. Pemekaran Daerah dan Perkembangan Demografi.
Syarat-syarat untuk menjadi peserta Pemilu yang ditentukan dalam UU Pemilu selalu dihubungkan atau dikaitkan dengan faktor jumlah daerah maupun jumlah penduduk (demografi). Syarat kepengurusan di seluruh propinsi, kepengurusan di 75% jumlah kabupaten/kota di masing-masing propinsi dan kepengurusan di 50% jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan merupakan syarat yang berhubungan dengan jumlah wilayah. Jumlah wilayah provinsi dan kabupaten/kota merupakan faktor penentu terhadap keterpenuhan syarat dimaksud. Faktanya, jumlah provinsi dan kabupaten/kota terus mengalami pertambahan, di mana pertambahan tersebut dipastikan berdampak terhadap keterpenuhan syarat memiliki kepengurusan di tingkat provinsi, kabupaten/kota dan kecamatan bagi setiap partai politik calon peserta Pemilu. Sebagaimana data yang dikemukakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam pemeriksaan perkara a quo, terdapat penambahan 1 provinsi dan 17 kabupaten pada 10 provinsi yang ada. Dengan demikian demikian, basis penentuan keterpenuhan syarat memiliki kepengurusan bagi partai politik tentunya mengalami perubahan.
8

Sama halnya dengan dinamika perkembangan jumlah daerah provinsi dan kabupaten/kota, jumlah penduduk juga mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Jika berpedoman pada sensus penduduk tahun 2010 yang diumumkan Badan Pusat Statistik (BPS) misalnya, jumlah penduduk Indonesia sebanyak 237.641.326 jiwa, di mana pertambahan penduduk setiap tahunnya berdasarkan data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) adalah sebesar 1,49 persen atau lebih kurang 4,5 juta jiwa, maka jumlah penduduk pada tahun 2012 lebih kurang sebanyak 246 juta jiwa. Adapun pada tahun 2017 bertambah hingga menjadi 264 juta jiwa. Pertambahan jumlah penduduk tentunya juga berdampak terhadap keterpenuhan syarat seperti syarat memiliki anggota dalam jumlah tertentu oleh setiap partai politik peserta Pemilu. Tidak hanya penambahan penduduk, pengurangan jumlah yang terjadi akibat kematian atau migrasi penduduk dari satu daerah ke daerah lainnya juga akan berdampak terhadap masih terpenuhi atau tidaknya syarat keanggotaan masing-masing partai politik.
Oleh karena jumlah provinsi, jumlah kabupaten/kota, jumlah kecamatan, dan juga jumlah penduduk bukanlah sesuatu yang bersifat statis, maka pemenuhan syarat memiliki kepengurusan di tiga tingkatan wilayah pemerintahan dan juga syarat memiliki anggota dalam jumlah tertentu yang ditentukan UU Pemilu haruslah pula mengikuti perkembangan jumlah provinsi, kabupaten/kota dan kecamatan. Bahwa dengan demikian, apabila partai politik telah pernah dinyatakan memenuhi syarat yang ditentukan pada satu waktu tertentu, maka apabila telah melewati periode tertentu, keterpenuhan syarat dimaksud haruslah diperiksa kembali melalui proses verifikasi. Pemeriksaan mana (verifikasi) ditujukan untuk memutakhirkan keterpenuhan syarat sebagai calon peserta Pemilu.

3. Partai Politik sebagai Badan Hukum yang Dinamis
Sebagai badan hukum, partai politik bukanlah benda mati yang bersifat statis. Apalagi, partai politik merupakan infrastruktur politik yang menjembatani antara kepentingan rakyat dengan lembaga-lembaga negara. Sebagai intermediary antara rakyat dan negara, partai politik yang dipastikan penuh dengan dinamika, baik secara organisasi maupun kebijakan. Pada ranah organisasi, dalam periode tentu partai politik tentu akan menjalankan suksesi kepemimpinan. Pengurus partai politik akan mengalami pergantian-pergantian, baik di tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota dan juga kecamatan. Dinamika demikian dapat dipastikan akan ada pasang surutnya, di mana dalam kondisi tertentu partai politik bisa jadi mengalami masa pasang dalam hal seluruh perangkat organisasi diisi dan berjalan secara maksimal, dan pada
9

kondisi lainnya sangat mungkin pula mengalami masa surut di mana tidak seluruh perangkat strukturalnya eksis dan dapat bekerja. Salah satu contoh masa surut partai politik adalah seperti konflik yang menyebabkan pecahnya partai. Perpecahan di internal partai politik sangat mungkin berdampak pada tereliminasinya keterpenuhan syarat kepengurusan partai politik pada tingkat kepengurusan tertentu. Dengan kemungkinan tereliminasinya keterpenuhan syarat demikian, maka proses Pemilu haruslah dijadikan momentum untuk mengecek kembali potensi berkurangnya syarat dimaksud.
Selain itu, dinamika internal partai politik juga dapat berdampak pada keterpenuhan syarat kelengkapan infrastruktur internal partai politik seperti kepemilikan kantor tetap. Salah satu syarat yang harus dipenuhi partai politik untuk dapat ditetapkan sebagai partai politik peserta Pemilu adalah memiliki kantor tetap, di mana kantor tetap dimaksud bisa saja dimiliki sendiri ataupun disewa untuk jangka waktu hingga tahapan terakhir Pemilu. Dalam konteks ini, apabila pada satu periode Pemilu sebuah partai politik dinyatakan memenuhi syarat mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota, maka pada periode Pemilu berikutnya syarat kepemilikan kantor belum tentu masih tetap dipenuhi. Lebih-lebih apabila syarat mempunyai kantor tetap dimaksud dipenuhi partai politik dengan cara menyewa untuk waktu hingga tahapan terakhir Pemilu saja. Jika syarat mempunyai kantor hanyalah berlaku hingga tahapan terakhir Pemilu selesai, maka keterpenuhan syarat ini haruslah diverifikasi setiap proses Pemilu dilaksanakan.
Oleh karena dinamika internal partai politik merupakan kenyataan yang tidak dapat dihindarkan sampai kapanpun serta syarat mempunyai kantor tetap hanyalah berjangka waktu yaitu sampai tahapan terakhir Pemilu saja, maka setiap partai politik calon peserta Pemilu, termasuk yang sudah pernah diverifikasi pada Pemilu sebelumnya pun tetap harus dilakukan pengecekan kembali.

4. Verifikasi Menyeluruh Terhadap Keterpenuhan Syarat Peserta Pemilu Salah satu maksud adanya persyaratan bagi partai politik untuk dapat
menjadi peserta Pemilu sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal 173 ayat (2) UU Pemilu [yang sebelumnya juga dicantumkan dalam Pasal 8 ayat (2) UU 8/2012] adalah untuk memperketat persyaratan partai politik menjadi peserta Pemilu. Hal ini sejalan dengan desain konstitusi yang bermaksud menyederhanakan sistem kepartaian. Dalam batas penalaran yang wajar, dengan memperberat persyaratan yang harus dipenuhi partai politik untuk menjadi peserta Pemilu maka jumlah partai politik yang menjadi peserta Pemilu akan makin terbatas. Dengan pengetatan
10

persyaratan tersebut, jumlah partai politik akan makin mendukung bekerjanya sistem pemerintahan presidensial sebagaimana yang dianut UUD 1945. Bagaimanapun, telah menjadi pengetahuan umum, baik secara doktriner dan maupun pengalaman empiris, sistem pemerintahan presidensial menjadi sulit bekerja optimal di tengah model sistem multipartai dengan jumlah yang tidak terkendali. Oleh karena itu, selalu dipersiapkan berbagai strategi (desain) untuk menyederhanakan jumlah partai politik terutama partai politik sebagai peserta Pemilu.
Sebagai bagian dari upaya memenuhi desain memperketat jumlah partai politik dimaksud, salah satu upaya mendasar yang harus dilakukan oleh penyelenggara Pemilu adalah memastikan semua partai politik yang dinyatakan menjadi peserta Pemilu memenuhi semua persyaratan yang dicantumkan dalam UU Pemilu. Misalnya, dalam soal kepengurusan untuk mencerminkan sifat nasional partai politik, UU Pemilu menyatakan bahwa partai politik menjadi peserta Pemilu harus (1) memiliki kepengurusan di seluruh provinsi; (2) minimal memiliki kepengurusan di 75% (tujuh puluh lima persen) jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan; dan (3) minimal memiliki kepengurusan di 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan, penyelenggara Pemilu harus memastikan keterpenuhan syarat minimal kepengurusan tersebut tanpa melakukan pengecualian untuk tidak melakukan verifikasi di tingkat manapun, termasuk verifikasi keterpenuhan persentase kepengurusan di tingkat kecamatan.
Dengan argumentasi tersebut, Peraturan KPU yang terkait dengan verifikasi partai politik peserta Pemilu harus mengatur secara lengkap mekanisme dan teknis pelaksanaan verifikasi faktual terhadap semua persyaratan yang diatur dalam Pasal 173 ayat (2) UU Pemilu. Dalam pengertian demikian, Peraturan KPU tidak hanya mengatur verifikasi faktual hanya menyangkut jumlah dan susunan pengurus partai politik tingkat pusat, jumlah dan susunan pengurus partai politik tingkat provinsi, domisili kantor tetap tingkat provinsi, jumlah dan susunan pengurus partai politik di tingkat kabupaten/kota, domisili kantor tetap tingkat kabupaten/kota tetapi juga menyertakan pengaturan verifikasi kepengurusan partai politik di tingkat kecamatan yang metode dan mekanismenya diatur dalam Peraturan KPU.
Tidak hanya keterpenuhan persyaratan kepengurusan partai politik di semua tingkatan mulai dari tingkat pusat, provinsi, tingkat kabupaten/kota, dan tingkat kecamatan, penyelenggara Pemilu harus memastikan melalui verifikasi faktual keterpenuhan syarat-syarat lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 173 ayat (2) UU Pemilu. Mengabaikan verifikasi faktual atas semua persyaratan dimaksud di samping kontradiksi dengan penyederhanaan jumlah partai politik peserta Pemilu,
11

juga sangat mungkin menimbulkan persoalan hukum di kemudian hari. Dalam masalah ini, kehati-hatian penyelenggara untuk memastikan semua persyaratan dilakukan verifikasi faktual begitu penting. Artinya, penyelenggara Pemilu tidak boleh menyisakan masalah atau celah yang memberi ruang untuk dipersoalkannya legitimasi partai politik peserta Pemilu yang pada akhirnya berpotensi dapat dipersoalkan pula hasil Pemilu itu sendiri di kemudian hari.
Dengan demikian, seluruh norma dalam Pasal 173 ayat (3) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945, bukan hanya frasa “tidak diverifikasi ulang” sebagaimana dimohonkan oleh Pemohon. Sebab frasa “tidak diverifikasi ulang” tersebut adalah memang dimaksudkan untuk memberikan pengecualian kepada partai politik peserta Pemilu 2014, sehingga dengan hilangnya frasa tersebut, maka keseluruhan norma yang termuat dalam Pasal 173 ayat (3) UU Pemilu menjadi kehilangan relevansinya untuk dipertahankan. Selain itu, bilamana hanya frasa “tidak diverifikasi ulang” saja yang dinyatakan bertentangan, maka rumusan Pasal 173 ayat (3) akan menjadi sama dengan rumusan norma yang terdapat dalam Pasal 179 ayat (1) UU Pemilu.

[3.13.8] Bahwa selain itu, apabila dikaitkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012, keberadaan Pasal 173 ayat (3) UU Pemilu secara jelas dan terang menghidupkan kembali norma dalam Pasal
8 ayat (1) UU 8/2012 yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi a quo. Ihwal dihidupkannya kembali norma yang telah pernah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah, telah ditegaskan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 105/PUU-XIV/2016, bertanggal 28 September 2017, yang menyatakan antara lain:
“Sebagai institusi yang diberikan wewenang konstitusional oleh konstitusi untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945 langkah yang paling mungkin dilakukan Mahkamah merespon dan sekaligus mengantisipasi segala macam pengabaian terhadap norma norma atau bagian-bagian tertentu suatu Undang-Undang yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 tetapi dihidupkan kembali dalam revisi Undang-Undang atau dalam Undang-Undang yang baru, maka bagi Mahkamah hal demikian akan menjadi bukti yang tidak terbantahkan untuk menyatakan norma Undang-Undang yang bersangkutan bertentangan dengan UUD 1945”.

Dengan memaknai secara tepat dan benar maksud Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 105/PUU-XIV/2016 tersebut, pembentuk undang-undang tidak memiliki alasan konstitusional lagi untuk
12

menghidupkan kembali norma atau substansi UU 8/2012 yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012. Suatu norma Undang-Undang yang oleh Mahkamah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 adalah karena materi muatan atau substansinya;
Berdasarkan uraian di atas, dalil Pemohon agar frasa “telah ditetapkan/” dalam Pasal 173 ayat (1) dan seluruh norma dalam Pasal 173 ayat (3) UU Pemilu dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat adalah beralasan menurut hukum.

[3.11.2] Bahwa terhadap pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017 tersebut oleh karena argumentasi dan dasar pengujian dalam permohonan 53/PUU-XV/2017 berbeda dengan argumentasi dan dasar pengujian permohonan a quo, dan sekalipun dalam beberapa putusan Mahkamah, Mahkamah telah mempunyai pandangan berkaitan dengan verifikasi partai politik, namun pertanyaan yang harus dijawab oleh Mahkamah adalah apakah verifikasi partai politik masih diperlukan pada saat sekarang ini dengan pertimbangan kekinian yaitu untuk memberikan kesamaan kesempatan dalam mengambil bagian atau berperan serta dalam kehidupan berbangsa dan bernegara khususnya kesamaan kesempatan dalam berkontribusi di bidang politik dan dengan adanya fakta-fakta di lapangan bahwa biaya negara untuk melakukan verifikasi partai politik tidak murah apalagi dalam situasi dan kondisi ekonomi negara saat ini yang harus membiayai penanggulangan pandemi COVID-19, serta dengan memperhatikan perspektif keadilan yaitu memperlakukan sama terhadap sesuatu yang seharusnya diperlakukan sama dan memperlakukan berbeda terhadap sesuatu yang seharusnya diperlakukan berbeda. Terhadap pertanyaan tersebut Mahkamah memberikan pertimbangan sabagaimana termuat dalam pargraf paragraf selanjutnya di bawah ini.

[3.12] Menimbang bahwa terhadap dasar pengujian yang diajukan oleh Pemohon, yaitu Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”, Mahkamah perlu mepertimbangkan bahwa meskipun Pasal tersebut tidak terkait dengan hak-hak politik warga negara, namun karena pasal yang diajukan oleh Pemohon untuk diuji ke Mahkamah adalah terkait dengan hak politik warga negara maka Mahkamah sebagai lembaga negara yang berkewajiban untuk menjaga
13

hak-hak konstitusional warga negara, perlu mempertimbangkan hak- hak konstitusional politik warga negara yang tertuang di dalam UUD 1945, yang banyak menyebut perlindungan terkait dengan hak-hak politik warga negara, seperti hak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan hak secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negara. Bahwa dalam kaitan ini Pemohon yang merupakan badan hukum partai politik, yang di dalamnya beranggotakan warga negara Indonesia yang menentukan pilihannya dengan menggunakan hak-hak politiknya di mana sudah seharusnya partai politik harus memperjuangkan hak anggotanya baik secara individual maupun secara kolektif. Bahwa oleh karena Pemohon mengajukan permohonan terkait dengan hak konstitusional politik-nya, Mahkamah memandang bahwa hak demikian dilindungi oleh konstitusi sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan hukum individu, kepentingan hukum masyarakat, dan kepentingan hukum negara. Dengan kata lain, selama tidak ada pelanggaran terhadap penjaminan pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta termasuk pula bukan sebagai tindakan diskriminasi. Dari hal tersebut jika dikaitkan dengan verifikasi partai politik, sebenarnya UUD 1945 sudah memberikan jaminan hak konstitusional bagi warga negara untuk berperan serta dalam kehidupan berorganisasi dan berdemokrasi khususnya dalam hal mengikuti kontestasi berpolitik dengan mendirikan partai politik yang melalui prosedur atau persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi oleh partai politik yaitu antara lain dengan diharuskannya verifikasi. Partai Politik yang telah mengikuti Pemilu adalah partai politik yang telah lolos verifikasi yang berarti partai politik tersebut sebenarnya telah memiliki kualifikasi dan kompetensi berdasarkan persyaratan tertentu yang digunakan sebagai tolok ukur kepercayaan rakyat terhadap partai politik tersebut. Hal ini menjadi sangat penting dalam rangka meningkatkan mutu, efisiensi, dan efektifitas penyelenggaraan Pemilu. Namun, dari pertimbangan tersebut apakah verifikasi kembali terhadap partai politik yang pernah diverifikasi dan dinyatakan lolos untuk menjadi peserta Pemilu merupakan bentuk pengingkaran prinsip persamaan yang adil atas kesempatan (the principle of fair equality of oppurtunity) sehingga bertentangan dengan UUD 1945? Untuk menjawab pertanyaan tersebut Mahkamah harus mempertimbangkan kembali terhadap partai politik yang akan mengikuti Pemilu selanjutnya, baik itu partai politik yang lama (yang pernah diverifikasi dan dinyatakan lolos untuk mengikuti Pemilu) maupun partai politik yang baru (partai politik yang belum pernah diverifikasi dan tidak pernah mengikuti Pemilu atau pernah diverifikasi namun tidak lolos), dengan pertimbangan kekinian dan memperhatikan perspektif keadilan yaitu
14

memperlakukan sama terhadap sesuatu yang seharusnya diperlakukan sama dan memperlakukan berbeda terhadap sesuatu yang seharusnya diperlakukan berbeda.

[3.13] Menimbang bahwa permohonan Pemohon berkenaan dengan Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017 yang menyatakan,“Partai Politik Peserta Pemilu merupakan partai politik yang telah ditetapkan/lulus verifikasi oleh KPU”, yang kemudian ketentuan tersebut sepanjang frasa “telah ditetapkan/” telah dinyatakan bertentangan dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017, bertanggal 11 Januari 2018. Dengan demikian bunyi ketentuan Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017 tersebut menjadi, ”Partai Politik Peserta Pemilu merupakan partai politik yang lulus verifikasi oleh KPU.” Selain itu, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU XV/2017, Mahkamah juga membatalkan keberlakuan Pasal 173 ayat (3) UU 7/2017 yang menyatakan, ”Partai politik yang telah lulus verifikasi dengan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diverifikasi ulang dan ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu”. Pembatalan keberlakuan Pasal 173 ayat (3) UU 7/2017 berdampak pada penyamarataan terhadap semua partai politik untuk dilakukan verifikasi dalam Pemilu serentak 2019 dan partai politik yang lolos verifikasi memiliki hak konstitusional sebagai peserta Pemilu.

[3.14] Menimbang bahwa dalam perkembangannya pasca Pemilu serentak 2019, Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017 ini dimohonkan kembali pengujiannya oleh Pemohon (Partai Garuda) melalui Perkara Nomor 55/PUU-XVIII/2020 yang pada petitumnya Pemohon meminta kepada Mahkamah agar Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017 dinyatakan inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional) sepanjang tidak dimaknai “Partai yang telah lulus verifikasi Pemilu 2019 tidak diverifikasi kembali untuk Pemilu selanjutnya”. Artinya, Pemohon meminta kepada Mahkamah agar pada Pemilu serentak 2024, terhadap partai politik peserta Pemilu 2019 tidak perlu lagi dilakukan verifikasi ulang.

[3.15] Menimbang bahwa posisi Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012, bertanggal 29 Agustus 2012 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017, bertanggal 11 Januari 2018 terkait dengan verifikasi partai politik sudah sangat jelas, yakni semua partai politik diharuskan mengikuti verifikasi untuk menjadi peserta Pemilu selanjutnya. Hal ini dilakukan untuk
15

menghindari pemberlakuan syarat yang berbeda (unequal treatment) kepada peserta suatu kontestasi (pemilihan umum) yang sama. Posisi dan standing Mahkamah dalam memberlakukan ketentuan terkait kewajiban verifikasi terhadap semua partai politik, baik yang telah lolos ketentuan parliamentary threshold maupun yang tidak lolos ketentuan ini, tetapi telah menjadi peserta Pemilu pada Pemilu sebelumnya dengan partai politik baru yang akan mengikuti Pemilu selanjutnya merupakan upaya untuk menegakkan prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law) akan tetapi cenderung abai pada penegakan prinsip keadilan karena memandang sama terhadap sesuatu yang seharusnya diperlakukan secara berbeda.

[3.16] Menimbang bahwa pada prinsipnya, verifikasi terhadap partai politik untuk menjadi peserta Pemilu menjadi bagian yang sangat penting dan strategis. Sebab, partai politik merupakan manifestasi perwujudan aspirasi rakyat. Melalui partai politik ini lah rakyat menyalurkan aspirasinya. Hal ini merupakan suatu hal yang wajar dalam sebuah negara yang menganut sistem demokrasi perwakilan seperti hal nya Indonesia. Namun demikian, tidak semua partai politik dapat menjadi peserta Pemilu. Hanya partai politik yang memenuhi syarat lah yang memiliki kesempatan menjadi peserta Pemilu. Di dalam Pasal 173 ayat
(2) UU 7/2017, partai politik dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Berstatus badan hukum sesuai dengan Undang-Undang tentang Partai Politik;
b. Memiliki kepengurusan di seluruh provinsi;
c. Memiliki kepengurusan di 75% (tujuh puluh lima persen) jumlah kabupaten/kota di Proivinsi yang bersangkutan;
d. Memiliki kepengurusan di 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan;
e. Menyertakan paling sedikit 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat;
f. Memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000 (satu perseribu) dari jumlah Penduduk pada kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud pada huruf c yang dibuktikan dengan kepemilikan kartu tanda anggota;
g. Mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan pada tingkatan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir Pemilu;
h. Mengajukan nama, lambang, dan tanda gambar partai politik kepada KPU; dan
i. Menyerahkan nomor rekening dana Kampanye Pemilu atas nama partai politik kepada KPU.

16

[3.17] Menimbang bahwa persyaratan untuk menjadi partai politik peserta Pemilu sebagaimana diuraikan di atas, merupakan ujian yang cukup berat. Sebab, partai politik peserta Pemilu merefleksikan aspirasi rakyat dalam skala besar dan bersifat nasional (terkecuali partai politik lokal di Provinsi Aceh). Oleh karena itu, struktur kepengurusan partai politik harus berada di seluruh provinsi (skala nasional), memiliki kepengurusan di 75% jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan, memiliki kepengurusan di 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan, mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan pada tingkatan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir Pemilu dan persyaratan lainnya. Tantangannya tidak selesai sampai di situ, setelah menjadi peserta Pemilu pada Pemilu serentak 2019, ada partai politik yang lolos Parliamentary Threshold sehingga memiliki wakil di DPR dan ada pula partai politik yang tidak lolos parliamentary threshold sehingga tidak memiliki wakil di DPR, tetapi boleh jadi memiliki wakil di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota dan ada pula partai politik peserta Pemilu yang tidak memiliki wakilnya baik di tingkat DPR maupun di tingkat DPRD Prov/Kabupaten/Kota. Melihat dinamika dan perkembangan capaian perolehan suara dan tingkat keterwakilan suatu partai politik pada suatu kontestasi Pemilu, maka pertanyaannya adalah apakah adil ketiga varian capaian perolehan suara dan tingkat keterwakilan suatu partai politik disamakan dengan partai politik baru yang akan menjadi peserta Pemilu pada “verifikasi” kontestasi Pemilu selanjutnya? Dalam perspektif keadilan, hal ini tidak dapat dikatakan adil karena esensi keadilan adalah memperlakukan sama terhadap sesuatu yang seharusnya diperlakukan sama dan memperlakukan berbeda terhadap sesuatu yang seharusnya diperlakukan berbeda. Memperlakukan verifikasi secara sama terhadap semua partai politik peserta Pemilu, baik partai politik peserta Pemilu pada Pemilu sebelumnya maupun partai politik baru merupakan suatu ketidakadilan. Oleh karena itu, terhadap partai politik yang lolos/memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold tetap diverifikasi secara adimistrasi namun tidak diverifikasi secara faktual, adapun partai politik yang tidak lolos/tidak memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold, partai politik yang hanya memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota dan partai politik yang tidak memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, diharuskan dilakukan verifikasi kembali secara administrasi dan secara faktual hal tersebut sama dengan ketentuan yang berlaku terhadap partai politik baru. Dengan demikian Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017 yang menyatakan,”Partai Politik Peserta
17

Pemilu merupakan partai politik yang lulus verifikasi oleh KPU” bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai, “Partai Politik yang telah lulus verifikasi Pemilu 2019 dan lolos/memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold pada Pemilu 2019 tetap diverifikasi secara administrasi namun tidak diverifikasi secara faktual, adapun partai politik yang tidak lolos/tidak memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold, partai politik yang hanya memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota dan partai politik yang tidak memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, diharuskan dilakukan verifikasi kembali secara administrasi dan secara faktual, hal tersebut sama dengan ketentuan yang berlaku terhadap partai politik baru”. Dengan demikian berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, permohonan Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.

[3.18] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah permohonan Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian;

1. Bahwa terhadap Putusan MK dalam Perkara Nomor 55/PUU-XVIII/2020 sebagaimana diuraikan diatas, untuk mengisi kekosongan hukum berdasarkan Pasal 173 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan saran sebagai berikut:
a. Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 55/PUU-XVIII/2020 sebagai bahan dalam penyusunan Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka.
b. Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 55/PUU-XVIII/2020 sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan UU Pemilu.

2. Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh seluruh organ penyelenggara Negara, organ penegak hukum dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 55/PUU-XVIII/2020 mengenai materi muatan pasal/ayat dalam UU Pemilu yang dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, agar tidak menimbulkan kekosongan hukum, dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan Perubahan UU Pemilu.

INFO JUDICIAL REVIEW (RESUME PUTUSAN PERKARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG YANG DITOLAK DAN DIKABULKAN SEBAGIAN OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 70/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN FORMIL DAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2019 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 04-05-2021

Bahwa pada hari Selasa tanggal 4 Mei 2021, pukul 16.22 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan yang dilaksanakan secara virtual yaitu pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU 19/2019) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 70/PUU- XVII/2019. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 59/PUU- XVII/2019, perwakilan DPR RI dihadiri oleh dihadiri secara virtual oleh Anggota DPR RI Taufik Basari, SH. M.Hum. LL.M (A-359) dan didampingi secara virtual oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU 19/2019 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
Pengujian Formil
[3.17] Menimbang bahwa terhadap permohonan pengujian formil terkait UU 19/2019 telah dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Nomor 79/PUU-XVII/2019, bertanggal 4 Mei 2021, selesai diucapkan pukul 15.13 WIB dan telah dinyatakan tidak beralasan menurut hukum, sehingga pertimbangan hukum tersebut berlaku secara mutatis mutandis sebagai pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XVII/2019 a quo. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-XVII/2019 tersebut Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion), yang pendapat berbeda tersebut berlaku juga untuk Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU- XVII/2019 a quo;
4

Berdasarkan pertimbangan hukum demikian, yang pada pokoknya menurut Mahkamah prosedur pembentukan UU 19/2019 telah bersesuaian denganUUD 1945, maka permohonan para Pemohon dalam perkara a quo mengenai pengujian formil konstitusionalitas UU 19/2019 harus dinyatakan tidak beralasan menurut hukum;

[3.18] Menimbang bahwa oleh karena permohonan pengujian formil dinyatakan tidak beralasan menurut hukum maka selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan permohonan pengujian materiil.

Pengujian Materiil
[3.20.1] Bahwa berkenaan dengan dalil para Pemohon mengenai norma Pasal 1 angka 3 UU 19/2019, penting bagi Mahkamah untuk menjelaskan terlebih dahulu kedudukan pasal a quo dalam kaitan dengan pasal-pasal lainnya. Pasal 1 angka 3 UU 19/2019 pada pokoknya merupakan bagian dari Ketentuan Umum yang mengatur mengenai definisi KPK yang selengkapnya menyatakan “Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang melaksanakan tugas pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sesuai dengan Undang- Undang ini”. Dalam UU sebelumnya [Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberatansan Tindak Pindana Korupsi (UU 30/2002)], definisi/pengertian KPK tidak ditempatkan dalam Pasal 1 tetapi terakomodasi dalam ketentuan Pasal 3 UU 30/2002. Sementara itu, oleh pembentuk undang-undang juga dirumuskan norma yang secara substansial merupakan pengertian KPK dalam Pasal 3 UU 19/2019, yang selengkapnya menyatakan, “Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun”. Dalam kaitan inilah, seolah-olah terdapat dua rumusan definisi/pengertian yakni sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 1 angka 3 dan Pasal 3 UU 19/2019. Jika memang benar hal demikian yang dimaksud oleh pembentuk undang-undang maka di antara keduanya tidak dibolehkan menimbulkan pengertian yang tidak sejalan, sebagaimana hal ini telah dinyatakan dalam Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 12/2011), angka 107 menyatakan, “Karena batasan pengertian atau definisi, singkatan,
5

atau akronim berfungsi untuk menjelaskan makna suatu kata atau istilah maka batasan pengertian atau definisi, singkatan, atau akronim tidak perlu diberi penjelasan, dan karena itu harus dirumuskan dengan lengkap dan jelas sehingga tidak menimbulkan pengertian ganda”. Pertanyaannya adalah apakah definisi/pengertian tersebut telah lengkap dan tidak menimbulkan pengertian ganda.
Setelah mempelajari secara saksama rumusan definisi Pasal 1 angka 3 UU 19/2019 terdapat frasa “melaksanakan tugas pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”. Sementara itu, jika dikaitkan dengan rumusan definisi Pasal 1 angka 4 UU 19/2019 yang selengkapnya menyatakan bahwa “Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah serangkaian kegiatan untuk mencegah dan memberantas terjadinya tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan”, hal tersebut menunjukkan bahwa dalam pengertian “Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi” dengan sendirinya telah tercakup sekaligus pengertian pencegahan dan pemberantasan. Walaupun dalam ketentuan Pasal 1 angka 3 UU 19/2019 kata “pemberantasan” tidak ditulis dengan huruf kapital, namun dalam batas penalaran yang wajar dimaksud yang terkandung adalah sebagaimana yang tersurat dalam Pasal 1 angka 4 UU 19/2019. Apalagi dalam Pasal 1 angka 3 UU 19/2019 menyebutkan secara eksplisit kata “pencegahan” yang dapat mereduksi makna pemberantasan tindak pidana korupsi seolah-olah hanya berupa pencegahan, padahal makna dalam pemberantasan tindak pidana korupsi juga meliputi “penindakan” dan hal-hal lain yang berkaitan dengan penyelamatan keuangan negara. Dengan demikian, kata “pencegahan” yang dimaktubkan dalam Pasal 1 angka 3 UU 19/2019 merupakan rumusan yang sesungguhnya mereduksi pengertian pemberantasan itu sendiri. Selain itu, jika Pasal 1 angka 3 UU 19/2019 tetap menjadi bagian dari Pasal 1 (Ketentuan Umum) maka substansinya seharusnya sejalan dengan Pasal 3 UU 19/2019 yang menegaskan bahwa KPK adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat “independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun”. Artinya, rumusan demikian mengandung kekurangan karena tidak sejalan dengan Pasal 3 UU 19/2019, terutama dengan tidak dinyatakannya tugas
6

dan wewenang pemberantasan tindak pidana korupsi dan penegasan sifat independen dan bebas dari kekuasaan manapun. Di mana, kekurangan substansi dimaksud merupakan unsur esensial dalam pemberantasan tindak pidana korupsi dan apabila dibiarkan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum. Dalam batas penalaran yang wajar membiarkan ketentuan Pasal 1 angka 3 UU 19/2019 tanpa membuatnya sejalan dengan ketentuan Pasal 3 UU 19/2019 menimbulkan ketidakpastian hukum dalam memahami secara utuh KPK sebagai lembaga penegak hukum dalam menjalankan fungsinya yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman sebagaimana ditentukan dalam Pasal 24 ayat (3) UUD 1945. Oleh karena itu, Mahkamah dalam amar putusan akan menyatakan terhadap Pasal 1 angka 3 UU 19/2019 harus dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun”.
Berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 1 angka 3 UU 19/2019 bertentangan dengan UUD 1945 adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian.
[3.20.2] Bahwa selanjutnya berkenaan dengan dalil para Pemohon yang mempersoalkan konstitusionalitas frasa “dalam rumpun kekuasaan eksekutif” dalamketentuan Pasal 3 UU 19/2019 yang dikhawatirkan para Pemohon akan melemahkan independensi kelembagaan KPK. Berkenaan dengan dalil tersebut, selain Mahkamah telah mempertimbangkan keberadaan Pasal 3 UU 19/2019 dalam kaitannya dengan konstitusional bersyarat ketentuan Pasal 1 angka 3 UU 19/2019 dalam Sub-paragraf [3.20.1], Mahkamah juga telah menegaskan dalam putusan- putusan Mahkamah Konstitusi, di antaranya, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor012-016-019/PUU- IV/2006 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU- XV/2017 yang pada pokoknya menyatakan bahwa independensi dan bebasnya KPK dari pengaruh kekuasaan manapun adalah dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya yang tidak boleh didasarkan atas pengaruh, arahan ataupun tekanan dari pihak manapun. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut bersifat erga omnes yang

7

memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum (vide Pasal 47 UU MK), oleh karenanya keberlakuan putusan Mahkamah tidak dapat hanya dimaknai secara kontekstual atau tekstual sebagaimana dalil para Pemohon terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU- XV/2017 karena putusan a quo berlaku dan mengikat kepada siapapun. Bahkan, Mahkamah dalam mempertimbangkan ihwal yang terkait dengan permohonan a quo, in casu mengenai kelembagaan KPK pun harus memperhatikan putusan-putusan Mahkamah sebelumnya. Sehingga, berkenaan dengan berlakunya frasa “dalam rumpun kekuasaan eksekutif” dalam Pasal 3 UU 19/2019, menurut Mahkamah tidak menyebabkan pelaksanaan tugas dan wewenang KPK menjadi terganggu independensinya karena KPK tidak bertanggung jawab kepada pemegang kekuasaan eksekutif, in casu Presiden sebagaimana hal tersebut dinyatakan dalam ketentuan Pasal 20 UU 30/2002 yaitu, “KPK bertanggung jawab kepada publik atas pelaksanaan tugasnya dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden, DPR dan BPK”. Penyampaian laporan kepada Presiden dimaksud bukan berarti KPK bertanggung jawab kepada Presiden.
Hal ini yang menjadi salah satu karakter dari keberadaan lembaga negara yang independen, yang tidak memiliki relasi apapun dalam menjalankan tugas dan kewenangannya dengan pemegang kekuasaan manapun. Bahkan, terkait dengan “kekuasaan manapun” telah dijelaskan pula dalam Penjelasan Pasal 3 UU 19/2019 adalah kekuatan yang dapat memengaruhi tugas dan wewenang KPK atau anggota Komisi secara individual dari pihak eksekutif, yudikatif, legislatif, pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara tindak pidana korupsi, atau dalam keadaan dan situasi ataupun dengan alasan apapun.
Berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 3 UU 19/2019 bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.
[3.21.2] Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 12B ayat (1) UU 19/2019 penyadapan yang dilakukan KPK harus mendapatkan izin tertulis dari Dewan Pengawas. Berkenaan dengan ketentuan tersebut, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan mengenai kedudukan Dewan Pengawas berdasarkan UU 19/2019. Dewan Pengawas secara inheren adalah bagian dari internal KPK yang
8

bertugas sebagai pengawas guna mencegah terjadinya penyalahgunaan kewenangan. Sebagai salah satu unsur dari KPK, Dewan Pengawas bertugas dan berwenang mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK. Dalam pengertian demikian, kedudukan Dewan Pengawas tidak bersifat hierarkis dengan Pimpinan KPK sehingga dalam desain besar pemberantasan korupsi keduanya tidak saling membawahi namun saling bersinergi dalam menjalankan fungsi masing-masing. Sebagaimana pertimbangan Mahkamah dalam Paragraf [3.19] di atas, KPK dalam melaksanakan tugas dan kewenangan yudisial bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun, termasuk di dalamnya ketika KPK melakukan penyadapan sebagai bentuk perampasan kemerdekaan orang (hak privasi), yang merupakan bagian dari tindakan pro Justitia. Adanya ketentuan yang mengharuskan KPK untuk meminta izin kepada Dewan Pengawas sebelum dilakukan penyadapan tidak dapat dikatakan sebagai pelaksanaan checks and balances karena pada dasarnya Dewan Pengawas bukanlah aparat penegak hukum sebagaimana kewenangan yang dimiliki Pimpinan KPK dan karenanya tidak memiliki kewenangan yang terkait dengan pro Justitia.
Bahwa berkenaan dengan pertimbangan di atas, Mahkamah perlu untuk menegaskan, adanya kewajiban Pimpinan KPK untuk mendapatkan izin Dewan Pengawas dalam melakukan penyadapan, tidak saja merupakan bentuk campur tangan (intervensi) terhadap aparat penegak hukum oleh lembaga yang melaksanakan fungsi di luar penegakan hukum, akan tetapi lebih dari itu merupakan bentuk nyata tumpang tindih kewenangan dalam penegakan hukum, khususnya kewenangan pro Justitia yang seharusnya hanya dimiliki oleh lembaga atau aparat penegak hukum. Sebab, tindakan-tindakan penegakan hukum yang di dalamnya mengandung upaya-upaya paksa yang kerap kali beririsan dengan perampasan kemerdekaan orang/barang adalah tindakan yang hanya bisa dilakukan oleh lembaga penegak hukum yang secara kelembagaan telah tertata dalam pelembagaan criminal justice system.
Bahwa selanjutnya juga penting dipertimbangkan, oleh karena berkenaan dengan tindakan penyadapan sangat terkait dengan hak privasi seseorang maka penggunaannya harus dengan pengawasan yang cukup ketat. Artinya, terkait dengan tindakan penyadapan yang dilakukan KPK tidak boleh dipergunakan tanpaadanya kontrol atau pengawasan, meskipun bukan dalam bentuk izin yang berkonotasi
9

ada intervensi dalam penegakan hukum oleh Dewan Pengawas kepada Pimpinan KPK atau seolah-olah Pimpinan KPK menjadi sub- ordinat dari Dewan Pengawas. Oleh karena itu, Mahkamah menyatakan tindakan penyadapan yang dilakukan Pimpinan KPK tidak memerlukan izin dari Dewan Pengawas namun cukup dengan memberitahukan kepada Dewan Pengawas yang mekanismenya akan dipertimbangkan bersama-sama dengan pertimbangan hukum berkaitan dengan izin atas tindakan penggeledahan dan/atau penyitaan oleh KPK pada pertimbangan hukum selanjutnya.
Berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, dengan tidak diperlukan lagi izin penyadapan oleh KPK dari Dewan Pengawas, sebagaimana ditentukan dalam norma Pasal 12B ayat (1) UU 19/2019 maka terhadap ketentuan tersebut harus dinyatakan inkonstitusional dan selanjutnya sebagai konsekuensi yuridisnya terhadap norma Pasal 12B ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU 19/2019 tidak relevan lagi untuk dipertahankan dan harus dinyatakan pula inkonstitusional. Dengan demikian, Mahkamah berpendapat, dalil para Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas norma Pasal 12B UU 19/2019 adalah beralasan menurut hukum.
Bahwa sebagai konsekuensi yuridis Dewan Pengawas tidak dapat mencampuri kewenangan yudisial/pro Justitia dan terhadap Pasal 12B UU 19/2019telah dinyatakan inkonstitusional maka frasa “dipertanggungjawabkan kepada Dewan Pengawas” dalam Pasal 12C ayat (2) UU 19/2019 harus pula dinyatakan inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai menjadi “diberitahukan kepada Dewan Pengawas”.
[3.21.3] Bahwa selanjutnya terhadap dalil para Pemohon yang mempersoalkan konstitusionalitas penggeledahan dan/atau penyitaan harus dengan izin Dewan Pengawas sebagaimana diatur dalam Pasal 47 ayat (1) UU 19/2019, menurut Mahkamah, dikarenakan tindakan penggeledahan dan/atau penyitaan oleh KPK adalah juga merupakan bagian dari tindakan pro Justitia sebagaimana telah dipertimbangkan pada Sub-paragraf [3.21.2] di atas maka izin dari Dewan Pengawas yang bukan merupakan unsur aparat penegak hukum menjadi tidak tepat karena kewenangan pemberian izin tersebut tersebut merupakan bagian dari tindakan yudisial/pro Justitia. Oleh karena tidak diperlukan lagi izin dimaksud maka pertimbangan Mahkamah terkait kewenangan
10

Dewan Pengawas dalam pemberian izin penyadapan sebagaimana dipertimbangkan pada Paragraf [3.21.2] di atas mutatis mutandis berlaku pula sebagai pertimbangan hukum untuk mempertimbangkan dalil para Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas norma Pasal 47 ayat (1) UU 19/2019. Selanjutnya, oleh karena berkenaan dengan penggeledahan dan/atau penyitaan tidak diperlukan lagi izin dari Dewan Pengawas dan hanya berupa pemberitahuan maka konsekuensi yuridisnya sepanjang frasa “atas izin tertulis dari Dewan Pengawas” dalam Pasal
47 ayat (1) UU 19/2019 harus dimaknai menjadi “dengan memberitahukan kepada Dewan Pengawas”. Begitu pula dengan ketentuan norma Pasal 47 ayat (2) UU 19/2019 meskipun tidak dimohonkan oleh para Pemohon, namun oleh karena tidak ada relevansinya lagi untuk dipertahankan, maka harus dinyatakan inkonstitusional. Berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah berpendapat, dalil para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 47 ayat (1) UU 19/2019 adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian.
[3.21.4] Bahwa oleh karena Dewan Pengawas tidak memiliki kewenangan untuk memberikan izin, baik terhadap penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan yang dilakukan oleh KPK sebagaimana dipertimbangkan pada Sub-paragraf [3.21.2] dan Sub-paragraf [3.21.3] di atas maka menurut Mahkamah, konsekuensi yuridis terhadap ketentuan norma Pasal 37B ayat (1) huruf b UU 19/2019 yang juga mengatur ketentuan tentang kewenangan Dewan Pengawas memberikan izin penyadapan, penggeledahan dan/atau penyitaan yang dilakukan oleh KPK harus pula dinyatakan inkonstitusional. Dengan demikian dalil para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 37B ayat (1) huruf b UU 19/2019 beralasan menurut hukum.
[3.21.5] Bahwa untuk menghindari adanya penyalahgunaan wewenang terkait dengan tindakan penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan oleh KPK dikaitkan dengan fungsi pengawasan yang dilakukan oleh Dewan Pengawas, menurut Mahkamah, terkait dengan penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan tersebut, KPK hanya memberitahukan kepada Dewan Pengawas paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak penyadapan dilakukan, sedangkan terhadap penggeledahan dan/atau penyitaan diberitahukan kepada Dewan Pengawas paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak selesainya dilakukan penggeledahan dan/atau penyitaan.
11

Selanjutnya, berdasarkan ketentuan Pasal 38 UU 19/2019, terkait dengan penggeledahan, berlaku ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu diperlukan izin dari ketua pengadilan negeri setempat dan dalam keadaan mendesak dapat dilakukan penggeledahan terlebih dahulu baru kemudian segera melaporkan untuk mendapatkan persetujuan ketua pengadilan negeri setempat, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 33 dan Pasal 34 KUHAP. Maka dengan demikian, tindakan pengeledahan dan/atau penyitaan oleh KPK tidak diperlukan lagi izin dari Dewan Pengawas. Sedangkan terkait dengan penyitaan, atas dasar dugaan yang kuat adanya bukti permulaan yang cukup, KPK dapat melakukan penyitaan tanpa izin ketua pengadilan negeri.
[3.22] Menimbang bahwa para Pemohon selanjutnya mendalilkan yang pada pokoknya menyatakan norma Pasal 24 dan Pasal 45A ayat (3) huruf a UU 19/2019 bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena sebagian pegawai KPK yang ada saat ini tidak mempunyai kesempatan yang samauntuk menjadi pegawai ASN, terutama bagi mereka yang telah berusia 35 tahun sehingga akan kehilangan pekerjaannya atau setidak-tidaknya tidak dapat lagi mengembangkan kariernya di KPK serta berpotensi terjadinya kekosongan jabatandalam KPK sehingga menghambat kinerja KPK.
Jka dipelajari secara saksama substansi Pasal 24 UU 19/2019 sama sekali tidak mengandung aspek pembatasan kesempatan yang sama untuk menjadi ASN bagi pegawai KPK, terlebih lagi dalam pelaksanaan proses peralihan pegawai KPK menjadi pegawai ASN masih harus didasarkan pada Ketentuan Peralihan UU 19/2019 yang muatannya berkenaan dengan penyesuaian pengaturan tindakan hukum atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan undang- undang yang lama terhadap undang-undang yang baru, di mana tujuan adanya Ketentuan Peralihan tersebut adalah untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum, menjamin kepastian hukum, memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan ketentuan undang-undang, mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara (vide angka 127 Lampiran II UU 12/2011).
Oleh karena itu, Ketentuan Peralihan dalam Pasal 69B dan Pasal 69C UU 19/2019 telah menentukan bagaimana desain peralihan dimaksud supaya tidak terjadi persoalan bagi mereka yang terkena
12

dampak apalagi sampai menimbulkan kekosongan jabatan dalam KPK sebagaimana didalilkan para Pemohon.
Selanjutnya, berkaitan dengan persoalan usia pegawai KPK yang telah mencapai usia 35 tahun sehingga dikhawatirkan para Pemohon akan kehilangan kesempatan jika pegawai KPK nantinya menjadi pegawai ASN.
.....
Adanya ketentuan mekanisme pengalihan status pegawai KPK menjadi pegawai ASN dimaksudkan untuk memberikan jaminan kepastian hukum sesuai dengan kondisi faktual pegawai KPK. Oleh karenanya, Mahkamah perlu menegaskan bahwa dengan adanya pengalihan status pegawai KPK menjadi ASN sebagaimana telah ditentukan mekanismenya sesuai dengan maksud adanya Ketentuan Peralihan UU 19/2019 maka dalam pengalihan tersebut tidak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN dengan alasan apapun di luar desain yang telah ditentukan tersebut. Sebab, para pegawai KPK selama ini telah mengabdi di KPK dan dedikasinya dalam pemberantasan tindak pidanakorupsi tidak diragukan.
Selanjutnya, dalam kaitan dengan pengalihan status pegawai KPK sebagai pegawai ASN, para Pemohon tanpa memberikan argumentasi persoalan konstitusionalitas norma namun mengkhawatirkan akan terjadinya dualisme pengawasan, yaitu pengawasan oleh Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dan olehDewan Pengawas KPK sehingga dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan keadilan. ...Pembentukan KASN ini untuk monitoring dan mengevaluasi pelaksanaan kebijakan dan manajemen ASN agar dapat dijamin terwujudnya sistem merit serta pengawasan terhadap penerapan asas, kode etik, dan kode perilaku ASN.
Oleh karenanya tidak ada relevansinya mempersoalkan status pegawai ASN dengan pengawasan ASN oleh KASN dan pengawasan yang dilakukan oleh Dewan Pengawas karena keduanya dapat saling melengkapi.
Selanjutnya, para Pemohon juga mempersoalkan norma Pasal 45A ayat (3) huruf a UU 19/2019 yang akan menimbulkan ketidakpastian dan ketidakadilan karena mengatur syarat pemberhentian penyidik KPK disebabkan oleh diberhentikannya sebagai ASN. ... Sebagai konsekuensi beralihnya status pegawai KPK menjadi pegawai ASNmaka pengaturan pemberhentian ASN dalam UU
13

5/2014 dan peraturan pelaksananya berlaku sepenuhnya bagi penyelidik atau penyidik KPK dan pegawai KPK tanpa ada yang dikecualikan. Pasal 45A UU 19/2019 pada pokoknya mengatur mengenai syarat yang harus dipenuhi untuk pengangkatan penyidik KPK yang statusnya dalam Pasal 69B ayat (1) UU 19/2019 sebagai ASN. Dengan sendirinya apabila penyidik diberhentikan sebagai ASN maka diberhentikan pula dari jabatannya sebagai penyidik KPK. Pemberhentian PNS tersebut dapat karena diberhentikan dengan hormat atau diberhentikan tidak dengan hormat (vide Pasal 87 UU 5/2014). Dengan demikian jika terpenuhi penyebab diberhentikannya PNS baik dengan hormat atau tidak dengan hormat maka jabatan apapun yang melekat pada diri PNS tersebut ikut berhenti, in casu jabatan sebagai penyidik KPK.
Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 24 dan Pasal 45A ayat (3) huruf a UU 19/2019 bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.23.2] Bahwa berdasarkan dalil para Pemohon di atas, sekalipun petitum para Pemohon menghendaki Mahkamah menyatakan Pasal 40 UU 19/2019 bertentangan dengan UUD 1945, namun setelah mencermati esensi alasan-alasan mengajukan permohonan (posita/fundamentum petendi), inti yang dipersoalkan oleh para Pemohon adalah konstitusionalitas frasa “yang penyidikan dan penuntutannyatidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun” karena menimbulkan ketidakpastian hukum. Sebab, menurut para Pemohon tidak jelas sejak kapan penghitungan waktu 2 (dua) tahun tersebut, apakah sejak penyidikan atau sejak penuntutan.
Menurut Mahkamah, adanya ketentuan tenggang waktu 2 (dua) tahun untuk melakukan penyidikan dan penuntutan sebagaimana diatur dalam Pasal 40 ayat (1) UU 19/2019 adalah suatu kekhususan yang diberikan kepada KPK sebagai suatu lembaga yang extra ordinary yang berwenang menangani tindak pidana korupsi sebagai salah satu kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Kewenangan menghentikan penyidikan dan/atau penuntutan dapat dijadikan sebagai salah satu alasan bagi KPK dalam menentukan seorang tersangka yang harus mempunyai bukti yang kuat sehingga dalam batas penalaran yang wajar tenggang waktu 2 (dua) tahun tersebut terhitung sejak diterbitkannya Surat Pemberitahuan Dimulainya
14

Penyidikan (SPDP) dan penghitungan 2 (dua) tahun demikian merupakan bentuk akumulasi sejak proses penyidikan, penuntutan hingga dilimpahkan ke pengadilan. Sehingga, apabila telah melewati jangka waktu 2 (dua) tahun perkara tersebut tidak dilimpahkan ke pengadilan dan KPK tidak menerbitkan SP3 maka tersangka dapat mengajukan praperadilan.
Menurut para Pemohon norma yang memberikan kewenangan kepada KPK untuk menghentikan penyidikan dan/atau penuntutan terhadap perkara yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun menimbulkan ketidakpastian hukum mengenai sejak kapan penghitungan waktu akan dimulai, sejak penyidikan atau sejak penuntutan. Ketidakpastian hukumtersebut dapat melanggar hak konstitusional tersangka. Lebih lagi norma Pasal 40 ayat (1) UU 19/2019 bertolak belakang atau setidaknya tidak bersesuaian dengan maksud Pasal 40 ayat (4) UU 19/2019, bahwa penghentian penyidikan dan/atau penuntutan dapat dicabut oleh pimpinan KPK apabila ditemukan bukti baru yang dapat membatalkan alasan penghentian penyidikan dan/atau penuntutan atau berdasarkan putusan praperadilan. Menurut Mahkamah, adanya ketentuan tenggang waktu 2 (dua) tahun untuk melakukan penyidikan dan penuntutan sebagaimana diatur dalam Pasal 40 ayat (1) UU 19/2019 adalah suatu kekhususan yang diberikan kepada KPK sebagai suatu lembaga yang extra ordinary yang berwenang menangani tindak pidana korupsi sebagai salah satu kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Kewenangan menghentikan penyidikan dan/atau penuntutan dapat dijadikan sebagai salah satu alasan bagi KPK dalam menentukan seorang tersangka yang harus mempunyai bukti yang kuat sehingga dalam batas penalaran yang wajar tenggang waktu 2 (dua) tahun tersebut terhitung sejak diterbitkannya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dan penghitungan 2 (dua) tahun demikian merupakan bentuk akumulasi sejak proses penyidikan, penuntutan hingga dilimpahkan ke pengadilan. Sehingga, apabila telah melewati jangka waktu 2 (dua) tahun perkara tersebut tidak dilimpahkan ke pengadilan dan KPK tidak menerbitkan SP3 maka tersangka dapat mengajukan praperadilan.
Selanjutnya, berkenaan dengan SP3 ini, Mahkamah dalam putusan- putusan sebelumnya telah berpendirian bahwa KPK tidak memiliki kewenangan untuk mengeluarkan/menerbitkan SP3

15

adalah konstitusional, namun demikian dengan mempertimbangkan adanya fakta-fakta empirik yang terjadi di KPK telah ternyata banyak perkara yang pelakunya telah ditetapkan sebagai tersangka namun perkaranya tidak kunjung dilimpahkan ke pengadilan sehingga hal tersebut menyebabkan ketidakpastian hukum. Oleh karena itu, Mahkamah dalam putusan a quo, dapat memahami ketentuan adanya diskresi dalam norma Pasal 40 UU 19/2019 yang memberikan diskresi kepada KPK untuk menerbitkan SP3. Namun demikian Mahkamah perlu menegaskan apabila ditemukan bukti yang cukup KPK harus membatalkan alasan penghentian penyidikan dan penuntutan sehingga terhadap tersangka yang bersangkutan harus diajukan ke pengadilan [vide Pasal 40 ayat (4) UU 19/2019]. Dalam hal ini, ketentuan Pasal 40 ayat (1) UU 19/2019 haruslah dipandang sebagai dorongan bagi KPK untuk bekerja secara optimal dalam mendapatkan bukti sehingga seseorang yang telah ditetapkan sebagai tersangka pada dasarnya harus dilimpahkan ke pengadilan. Oleh karena itu diskresi penerbitan SP3 tidak menjadi pilihan yang menyulitkan KPK dalam desain besar agenda pemberantasan korupsi.
Bahwa sebagai konsekuensi yuridis Dewan Pengawas tidak dapat mencampuri kewenangan judisial (pro Justitia) yang dimiliki oleh Pimpinan KPK sebagaimana telah dipertimbangkan di atas, maka frasa “harus dilaporkan kepada Dewan Pengawas paling lambat 1 (satu) minggu” sebagaimana termaktub dalam Pasal 40 ayat (2) UU 19/2019 harus pula dinyatakan inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai menjadi “diberitahukan kepada Dewan Pengawas paling lambat 14 (empat belas) hari kerja”.
[3.24] Menimbang bahwa dengan dinyatakan inkonstitusional norma Pasal 1 angka 3, Pasal 12B, frasa “dipertanggungjawabkan kepada Dewan Pengawas" dalam Pasal 12C ayat (2), Pasal 37B ayat (1) huruf b, frasa “tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun” dalam Pasal 40 ayat (1), frasa “harus dilaporkan kepada Dewan Pengawas paling lambat 1 (satu) minggu” dalam Pasal 40 ayat (2), frasa “atas izin tertulis dari Dewan Pengawas” dalam Pasal 47 ayat (1), dan Pasal 47 ayat (2) UU 19/2019 tersebut di atas, menurut Mahkamah, sebagai konsekuensi yuridisnya maka dalam hal terdapat “Penjelasan” terhadap pasal-pasal a quo harus pula dinyatakan inkonstitusional sepanjang tidak disesuaikan dengan putusan a quo.
[3.25] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di

16

atas, Mahkamah berpendapat dalil-dalil para Pemohon berkenaan dengan Pasal 1 angka 3, Pasal 40 ayat (1), Pasal 40 ayat (2), dan Pasal 47 ayat (1) UU 19/2019 beralasanmenurut hukum secara bersyarat. Sedangkan, dalil-dalil para Pemohon berkenaandengan Pasal 12B dan Pasal 37B ayat (1) huruf b UU 19/2019 beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. Sementara itu, Pasal 12C ayat (2) UU 19/2019 harus pula dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat sebagai konsekuensi dengan dinyatakannya Pasal 12B UU 19/2019 inkonstitusional. Begitu pula dengan Pasal 47 ayat (2) UU 19/2019 harus pula dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat sebagai konsekuensi dengan dinyatakannya Pasal 47 ayat (1) UU 19/2019 inkonstitusional. Selanjutnya, berkaitan dengan dalil para Pemohon selain danselebihnya tidak beralasan menurut hukum.

Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan langsung dilaksanakan (self executing) oleh seluruh organ penyelenggara negara, organ penegak hukum, dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 70/PUU-XVII/2019 yang menyatakan permohonan para Pemohon ditolak seluruhnya dalam pengujian formil dan mengabulkan Sebagian dalam pengujian materiil UU 19/2019 mengandung arti bahwa ketentuan a quo secara formil dan Sebagian materinya tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dikabulkan Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 10/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 28-09-2020

Bahwa pada hari Senin tanggal 28 September 2020, pukul 11.27 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (selanjutnya disebut UU Pengadilan Pajak) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 10/PUU-XVIII/2020. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 10/PUU-XVIII/2020, perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU Pengadilan Pajak dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.10] Menimbang bahwa setelah membaca secara saksama argumentasi yang dikemukakan dalam permohonan para Pemohon serta memeriksa bukti-bukti yang diajukan, terdapat dua pokok persoalan konstitusional yang dipersoalkan oleh para Pemohon yakni:
1. pembinaan oleh kementerian keuangan dalam Pasal 5 ayat (2) UU 14/2002 tidak boleh diartikan pembinaan Kementerian Keuangan termasuk dalam mengusulkan Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Pajak;
2. Frasa “dari para hakim” dan frasa “diusulkan Menteri” dalam Pasal 8 ayat (2) UU 14/2002 harus diartikan Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Pajak dipilih dari dan oleh hakim dan diusulkan oleh pengadilan pajak untuk satu kali masa jabatan selama lima tahun;

[3.11] Menimbang bahwa dari kedua pokok persoalan tersebut di atas, menurut Mahkamah, meskipun para Pemohon tidak keberatan terhadap pembinaan, organisasi, administrasi dan keuangan dilakukan oleh Kementerian Keuangan, namun terkait dengan pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Pajak yang tidak boleh melibatkan menteri dan harus adanya pengaturan periodisasi atau pembatasan masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Pajak.

[3.12] Menimbang bahwa terhadap kedua pokok permasalahan konstitusionalitas tersebut di atas, Mahkamah akan mempertimbangkan sebagai berikut:

[3.12.1] Bahwa permohonan para Pemohon terkait dengan Pasal 5 ayat (2) UU 14/2002 yang menyatakan, “Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Departemen Keuangan”, terlebih dahulu Mahkamah mengutip Paragraf [3.12] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUUXIV/2016, bertanggal 4 Agustus 2016, yang antara lain mempertimbangkan sebagai berikut:
… Adanya kewenangan yang diberikan kepada Kementerian Keuangan in casu Menteri Keuangan khususnya terkait dengan Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak termasuk juga pengusulan dan pemberhentian hakim pengadilan pajak, menurut Mahkamah hal tersebut justru telah mengurangi kebebasan hakim pajak dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak. Oleh karena itu menurut Mahkamah untuk menjaga marwah lembaga pengadilan pajak dalam upaya mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka maka sudah sepatutnya pengadilan pajak diarahkan pada upaya membentuk sistem peradilan mandiri atau yang dikenal dengan “one roof system” atau sistem peradilan satu atap. Hal tersebut telah dilakukan terhadap lingkungan peradilan lainnya di bawah Mahkamah Agung dimana pembinaan secara teknis yudisial maupun organisasi, administrasi dan finansial berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung dan bukan berada di bawah Kementerian. Terlebih lagi telah ada pengakuan bahwa Pengadilan Pajak adalah bagian dari Pengadilan Tata Usaha Negara, sehingga sudah seharusnya ada perlakuan yang sama untuk satu atap (one roof system) terhadap Pengadilan Pajak. Hal ini harus menjadi catatan penting bagi pembentuk Undang-Undang ke depannya.

Berdasarkan pertimbangan hukum Mahkamah dalam putusan tersebut, pendirian yang kemudian diperintahkan oleh Mahkamah kepada pembentuk undang-undang telah jelas dan tegas, bahwa oleh karena dalam sistem ketatanegaraan Indonesia lembaga peradilan yang diatur dalam Pasal 24 ayat (2) UUD Tahun 1945 yang menentukan bahwa “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Maka, lembaga peradilan di Indonesia dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga kekuasaan kehakiman tertinggi. Demikian halnya dengan Pengadilan Pajak yang merupakan pengadilan khusus yang pembentukannya/keberadaannya berdasarkan pada ketentuan Pasal 27 ayat (1) UU 48/2009 yang menyatakan, “Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25”, yang penjelasan dari pasal tersebut menyatakan, “Yang dimaksud dengan “pengadilan khusus” antara lain adalah pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial dan pengadilan perikanan yang berada di lingkungan peradilan umum, serta pengadilan pajak yang berada di lingkungan peradilan tata usaha negara”, yang kemudian diatur juga dalam UU 14/2002 khususnya Pasal 2 yang menentukan bahwa “Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak”. Merujuk ketentuan tersebut, secara normatif Pengadilan Pajak merupakan pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa perpajakan.

Namun demikian jika dipelajari lebih jauh mengenai sengketa perpajakan adalah sengketa antara kepentingan rakyat selaku wajib pajak dengan kepentingan rakyat sebagai penikmat pajak yang tidak dapat dipersamakan dengan sengketa publik lainnya terlebih dengan sengketa privat. Maka dalam sengketa pajak diperlukan penyelesaian sengketa secara cepat untuk memberikan kepastian hukum baik bagi wajib pajak terhadap kewajiban pembayarannya maupun bagi negara yang membutuhkan penerimaan perpajakan untuk pembiayaan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan. Sifat dari putusan pajak yang menciptakan kepastian baik bagi wajib pajak maupun bagi pemungut pajak agar sejumlah nominal pajak yang disengketakan dapat segera dimanfaatkan oleh wajib pajak maupun oleh negara untuk kepentingan rakyat serta diperlukan peran pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan untuk menjaga Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), maka Mahkamah dapat memahami sampai saat ini Pengadilan Pajak masih berada di bawah pembinaan Kementerian Keuangan sebagai lembaga yang salah satu tugas pokoknya adalah mengurusi keuangan dan pendapatan negara yang salah satunya berasal dari pajak atau dengan kata lain terkait dengan pengadilan pajak yang harus satu atap (one roof system) di bawah Mahkamah Agung. Oleh karena itu sepanjang tugas dan kewenangan hakim Pengadilan Pajak tidak terganggu independensinya dalam mengadili suatu perkara, maka kebijakan yang seperti itu merupakan pilihan kebijakan (open legal policy) dari pembentuk undang-undang terhadap keberadaan Pengadilan Pajak yang masih berada di bawah pembinaan Kementerian Keuangan. Dengan demikan maka pertimbangan Mahkamah mengenai Pengadilan Pajak yang masih di bawah pembinaan Kementerian Keuangan menjadi mutatis mutandis dengan pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU-XIV/2016 sebagaimana tersebut di atas. Namun demikian sekali lagi Mahkamah tetap menekankan kepada Pengadilan Pajak dalam melaksanakan kewenangannya harus tetap mengedepankan dan mengutamakan kebebasan dan independensi hakim dalam memeriksa dan memutus sengketa perpajakan.

[3.12.2] bahwa sebagaimana pertimbangan Mahkamah tersebut di atas, apakah pembinaan oleh Menteri Keuangan dalam Pasal 5 ayat (2) UU 14/2002 terkandung arti termasuk terdapat peran Menteri Keuangan dalam pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Pajak sehingga para Pemohon menghendaki agar frasa tersebut diartikan pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Pajak tidak seharusnya melibatkan Menteri Keuangan. Bila melihat Penjelasan Pasal 5 ayat (2) UU 14/2002 memang hanya menyatakan cukup jelas, dan tidak mengartikan atau menjelaskan bahwa pembinaan organisasi tersebut diartikan termasuk pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Pajak. Begitupula jika Mahkamah mengartikan kata pembinaan itu sendiri yaitu usaha, tindakan, dan kegiatan yang dilakukan secara efisien dan efektif untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Dengan demikian, Mahkamah belum bisa melihat secara spesifik makna sebenarnya frasa pembinaan organisasi dalam Pasal 5 ayat (2) UU 14/2002. Bisa jadi makna yang terkandung dalam frasa tersebut adalah tidak termasuk dalam pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Pajak seperti halnya yang dimaknai oleh para Pemohon. Oleh karena itu menurut Mahkamah jika para Pemohon menghendaki pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Pajak tidak boleh diusulkan oleh Kementerian Keuangan adalah tidak tepat dengan cara menguji Pasal 5 ayat (2) UU 14/2002 terhadap UUD 1945 karena pengertian dari frasa pembinaan organisasi itu sendiri belum tentu dapat diartikan termasuk dalam pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Pajak. Terlebih, dalam ketentuan norma Pasal 5 ayat (2) UU 14/2002 secara keseluruhan tidak mengatur perihal tata cara maupun persyaratan pengusulan dan pengangkatan Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Pajak. Oleh karena itu sesungguhnya menjadi tidak relevan melekatkan pemberlakuan secara bersyarat atas norma Pasal 5 ayat (2) UU 14/2002 dengan persyaratan pengusulan dan pengangkatan Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Pajak.
Di samping pertimbangan hukum tersebut di atas, terlepas kata “Pembinaan” dapat mencakup keterlibatan Menteri Keuangan dalam pengusulan Ketua/Wakil Ketua Pengadilan Pajak yang bisa tumpang tindih dengan kewenangan yang berkaitan dengan independensi hakim, terhadap keraguan demikian tidak dapat dihindarkan. Sebab, sebagai konsekuensi dari masih ditegaskannya oleh Mahkamah Pasal 5 ayat (2) UU 14/2002 adalah konstitusional, maka keterlibatan Menteri Keuangan dalam mengusulkan Ketua/Wakil Ketua Pengadilan Pajak masih harus dipertahankan hingga terwujudnya Pengadilan Pajak berada dalam satu atap di bawah Mahkamah Agung (“one roof system”). Namun demikian untuk menjawab keraguan di atas, penting bagi Mahkamah menegaskan bahwa keterlibatan Menteri Keuangan dalam pengusulan Ketua/Wakil Ketua Pengadilan Pajak benar-benar hanya terbatas pada persyaratan formal yang bersifat administratif semata, yang pertimbangan hukum selengkapnya akan dipertimbangkan pada saat Mahkamah mempertimbangkan konstitusionalitas norma Pasal 8 ayat (2) UU 14/2002, yang juga dimohonkan pengujian oleh para Pemohon dalam permohonan a quo. Sebab, dalam Pasal 8 ayat (2) UU 14/2002 persyaratan untuk diusulkan sebagai Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Pajak melekat bukan dalam norma Pasal 5 ayat (2) UU 14/2002. Oleh karena itu kekhawatiran adanya konflik kepentingan kewenangan mengusulkan oleh Menteri Keuangan tidak dapat disusupi dengan kepentingan yang mempengaruhi kebebasan hakim dapat dihindari. Terlebih lagi, sebenarnya terhadap kekhawatiran dimaksud sesungguhnya juga tidak beralasan, karena telah ditegaskan dalam ketentuan Pasal 5 ayat (3) UU 14/2002, yang menyatakan: “Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus Sengketa Pajak”. Artinya keterlibatan pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan bagi Pengadilan Pajak yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan (vide Pasal 5 ayat (2) UU 14/2002) dan bahkan pembinaan teknis peradilan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung (vide Pasal 5 ayat (1) UU 14/2002) juga tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak.
Berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, khususnya pertimbangan hukum sebagaimana yang dikutip dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU-XIV/2016, dipertegas dengan pertimbangan hukum yang bersifat kekinian, maka tidak ada alasan bagi Mahkamah untuk mengubah pendiriannya berkaitan dengan konstitusionalitas norma Pasal 5 ayat (2) UU 14/2002 dan oleh karenanya Mahkamah tetap mendorong kemandirian Pengadilan Pajak dalam satu atap di bawah Mahkamah Agung dan terlepas dari Kementerian Keuangan adalah sebuah keniscayaan dan menjadi kewenangan pembentuk undang-undang yang menjadikan skala prioritas untuk segera diwujudkan.
Bahwa sebelum sampai pada sikap Mahkamah terhadap dalil para Pemohon berkaitan dengan konstitusionalitas norma Pasal 5 ayat (2) UU 14/2002, terkait permohonan para Pemohon pada norma a quo, setelah dicermati dengan saksama pada bagian posita dan petitum permohonan para Pemohon telah ternyata terdapat ketidakkonsistenan. Di mana, pada uraian dalil permohonan menguraikan pembinaan pengadilan pajak seolah-olah terbatas pada kata “pembinaan organisasi” dengan huruf tebal (bold), namun pada bagian petitum memohon agar kata “pembinaan” oleh kementerian keuangan seolah-olah pembinaan secara keseluruhan, termasuk juga baik keuangan dan administrasi. Hal demikian menunjukkan adanya “contradictio in terminis” dari pendirian para Pemohon, pada satu sisi para Pemohon pada frasa “pembinaan organisasi” saja yang dimohonkan agar dinyatakan tidak termasuk mengusulkan ketua dan wakil ketua pengadilan pajak, namun pada sisi lain keseluruhan pembinaan termasuk keuangan dan administrasi juga termasuk yang dimohonkan agar dinyatakan tidak termasuk mengusulkan ketua dan wakil ketua pengadilan pajak. Selanjutnya selain ketidakkonsistenan tersebut, permohonan para Pemohon terdapat ambiguitas pada bagian lainnya, yaitu pada petitum permohonan para Pemohon yang menyatakan bahwa norma Pasal 5 ayat (2) UU 14/2002 tetap konstitusional sepanjang tidak termasuk mengusulkan ketua dan wakil ketua pengadilan pajak, padahal norma pasal a quo telah cukup jelas memang tidak termasuk mengusulkan ketua dan wakil ketua pengadilan pajak.

Berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut, berkenaan dengan Pasal 5 ayat (2) UU 14/2002 Mahkamah tetap pada pendirian sebagaimana pertimbangan hukum di atas, namun setelah dicermati uraian permohonan para Pemohon terkait konstitusionalitas norma Pasal 5 ayat 2 UU 14/2002 telah ternyata tidak jelas atau kabur. Namun demikian, seandainya permohonan para Pemohon tidak kabur, quod non, permohonan para Pemohon berkenaan konstitusionalitas norma Pasal 5 ayat (2) UU 14/2002 adalah tidak beralasan menurut hukum.

[3.13] Menimbang bahwa selanjutnya dalil para Pemohon yang terkait dengan Pasal 8 ayat (2) UU 14/2002 yang menyatakan, “Ketua dan Wakil Ketua diangkat oleh Presiden dari para Hakim yang diusulkan Menteri setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah Agung”, yang dimohonkan pengujiannya oleh para Pemohon dan memohon kepada Mahkamah sebagaimana petitum para Pemohon agar frasa “dari para hakim” dan frasa “diusulkan oleh Menteri” dalam pasal tersebut dimaknai “Ketua dan Wakil Ketua dipilih dari dan oleh hakim dan diusulkan oleh pengadilan pajak untuk 1 (satu) kali masa jabatan selama 5 (lima) tahun”. Dari permohonan tersebut para Pemohon menghendaki agar tidak boleh ada keterlibatan Menteri Keuangan dalam pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Pajak dan harus adanya masa jabatan atau periodisasi ketua dan wakil ketua yaitu hanya 1 (satu) kali masa jabatan selama 5 (lima) tahun. Terhadap permohonan para Pemohon tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

[3.13.1] Bahwa Mahkamah dalam Putusan Nomor 6/PUU-XIV/2016, tanggal 4 Agustus 2016 Paragraf [3.14] telah mempertimbangakan sebagai berikut:
“Menimbang bahwa oleh karena hakim pengadilan pajak adalah sama atau sejajar dengan hakim di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, Pengadilan Tinggi dalam lingkungan Peradilan Umum, serta Pengadilan Tinggi Agama, sehingga ketentuan mengenai pemberhentian dengan hormat hakim pada pengadilan pajak juga harus disesuaikan dengan ketentuan mengenai pemberhentian dengan hormat dari jabatan hakim tinggi di lingkungan peradilan tata usaha negara sebagaimana diuraikan dalam paragraf di atas, maka terkait periodisasi atau masa jabatan hakim pajak agar tidak menimbulkan perbedaan sudah seharusnya juga masa jabatan hakim pengadilan pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (3) UU Pengadilan Pajak tidak mengenal masa jabatan atau periodisasi”.

Bahwa dari pertimbangan tersebut Mahkamah telah menjatuhkan putusan yang amarnya pada pokoknya antara lain menyatakan, Pasal 8 ayat (3) UU 14/2002 tentang Pengadilan Pajak yang menyatakan “Ketua, Wakil Ketua dan Hakim diangkat untuk masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk 1 (satu) kali masa jabatan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekutan hukum mengikat.
Bahwa dari pertimbangan dan amar putusan Mahkamah Nomor 6/PUUXIV/2016 tersebut, maka saat ini Pengadilan Pajak tidak memiliki masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua, sehingga Mahkamah dapat memahami keresahan para Pemohon yaitu dengan tidak adanya masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Pajak dapat berdampak pada antara lain terhambatnya karir para Pemohon sebagai hakim pada Pengadilan Pajak dan dapat menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) di Pengadilan Pajak nantinya. Oleh karena pasal mengenai masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Pajak yakni Pasal 8 ayat (3) UU 14/2002 yang menyatakan, “Ketua, Wakil Ketua dan Hakim diangkat untuk masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk 1 (satu) kali masa jabatan” telah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU-XIV/2016, tanggal 4 Agustus 2016. Sementara itu, para Pemohon dalam permohonan a quo memohon kepada Mahkamah agar Pasal 8 ayat (2) UU 14/2002 yang menyatakan “Ketua dan Wakil Ketua diangkat oleh Presiden dari para Hakim yang diusulkan Menteri setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah Agung” diartikan pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Pajak dipilih dari dan oleh hakim dan diusulkan oleh Pengadilan Pajak tanpa melibatkan Kementerian Keuangan untuk satu kali masa jabatan selama lima tahun, maka demi kepastian hukum dan keadilan bagi para Pemohon, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan permohonan para Pemohon tersebut.

[3.13.1.1] Bahwa Mahkamah dalam pertimbangan pada Paragraf [3.12.1] tersebut di atas telah memahami mengapa pengadilan pajak masih berada pada pembinaan Kementerian Keuangan. Namun pertanyaannya apakah pembinaan tersebut harus termasuk dalam pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Pajak. Untuk menjawab pertanyaan tersebut Mahkamah terlebih dahulu menguraikan mengenai kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan menjadi landasan konstitusional yang mengatur hakim pengadilan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya yang tidak dapat berada pada pengaruh, tekanan, dan perasaan yang mengurangi konsentrasinya pada kemerdekaan dalam menegakkan hukum dan keadilan. Badan peradilan harus dilekatkan prinsip kebebasan yang merupakan suatu kemandirian atau kemerdekaan yang dimiliki khususnya bagi para hakim demi terciptanya suatu putusan yang bersifat objektif dan imparsial. Para hakim harus dapat mengimplementasikan kebebasannya sebagai suatu kebebasan yang bertanggungjawab, kebebasan dalam koridor ketertiban peraturan perundangundangan yang berlaku dengan menjalankan tugas pokok kekuasaan kehakiman sesuai hukum acara dan peraturan perundang-undangan yang berlaku tanpa dipengaruhi oleh pemerintah, kepentingan, kelompok penekan, media cetak/elektronik, dan individu yang berpengaruh. Produk yang dihasilkan hakim dari sebuah badan peradilan adalah putusan hakim, oleh karena itu produk dari hakim tersebut harus mengandung nilai-nilai kepastian dan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karenanya setiap putusan badan peradilan yang bersumber dari aktualisasi kemandirian hakim melalui pertimbangan hukumnya, benar-benar mencerminkan dan memancarkan nilai filosofis, sosiologis dan yuridis yang membawa esensi keadilan yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, baik bagi pencari keadilan (justiciabelen) dan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

[3.13.1.2] Bahwa dari kebebasan hakim sebagaimana diuraikan di atas, menurut Mahkamah hakim melalui ketua/wakil ketua juga harus memiliki kebebasan dalam penatalaksanaan organisasinya sebagaimana di dalam sebuah badan peradilan pada umumnya, termasuk dalam hal ini Pengadilan Pajak. Sebab, makna kebebasan pada hakim, selain hakim dalam menjalankan tugas kekuasaan yudisial, juga tidak boleh terikat dengan apa pun dan/atau tertekan oleh siapa pun, tetapi hakim juga leluasa untuk berbuat apa pun yaitu salah satunya adalah mengorganisir keberadaanya di dalam sebuah badan peradilan dengan memilih ketua dan wakil ketua untuk memimpin hakim-hakim itu sendiri dalam menjalankan tugas sehariharinya. Ketua dan wakil ketua badan peradilan selain bertugas sebagai hakim yang menjalankan kekuasaan kehakiman untuk memeriksa dan memutus perkara, juga memiliki tugas dalam pengorganisasian di internal badan peradilan tersebut seperti melakukan pengawasan atau pelaksanaan tugas dan perilaku hakim dan jajaran di sebuah lembaga peradilan serta mengatur pembagian tugas para hakim. Lebih lanjut, para hakim dalam menjalankan tugasnya sehari-hari dalam sebuah badan peradilan sudah barang tentu saling berinteraksi satu sama lain, baik yang berhubungan dengan tugas pokoknya ataupun yang berhubungan dengan kehidupan pribadi sehari-hari, dengan begitu para hakim bisa saling mengenal atau mendalami karakter dari masing-masing hakim itu sendiri. Dengan demikian jika ada pemilihan pimpinan sebuah badan peradilan, dalam hal ini ketua dan wakil ketua Pengadilan sebenarnya para hakim sudah bisa memilih atau menentukan hakim yang menjadi pilihannya untuk dijadikan pimpinan yang membawa kemajuan organisasi dalam melayani pencari keadilan. Sehingga para hakim tersebut tidak lagi memerlukan keterlibatan dari eksternal pengadilan dalam memilih ketua dan wakil ketua. Sebab, intensitas interaksi dengan pihak luar dapat berpotensi mengganggu independensi seorang hakim dan mengarah kepada subjektivitas personal yang akan dipilih untuk menjadi pimpinan dengan tujuan tertentu, khususnya bisa menguntungkan kepentingannya. Dengan demikian berdasarkan pertimbangan tersebut menurut Mahkamah pembinaan Kementerian Keuangan kepada pengadilan pajak bukan berarti Kementeraian Keuangan ikut terlibat dalam pemilihan ketua dan wakil ketua Pengadilan Pajak. Karena, Hakim Pengadilan Pajak selain bebas dalam menjalankan kekuasaan kehakiman hakim pajak juga harus bebas dalam menentukan pimpinan mereka dari mereka sendiri untuk mengorganisir tugas dan kewenangan badan peradilan tanpa melibatkan pihak eksternal dalam hal ini Kementerian Keuangan yang belum tentu mengetahui lebih mendalam kualitas ataupun karakter mereka masing-masing dari para hakim. Oleh karena itu menurut Mahkamah tata cara pemilihan ketua dan wakil ketua Pengadilan Pajak harus dilepaskan dari keterlibatan Menteri Keuangan agar para hakim tersebut lebih dapat merefleksikan pilihannya sesuai hati nuraninya yang didasarkan pada pertimbangan kapabilitas, integritas dan leadership dari calon pemimpinnya, serta dari hasil pilihannya tersebut, para hakim dapat mempertanggungjawabkan konsekuensi pilihannya. Dengan pertimbangan demikian, keterlibatan Menteri Keuangan hanya bersifat administratif guna menindaklanjuti hasil pemilihan ketua/wakil ketua yang diteruskan kepada Presiden setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah Agung. Demikian pula halnya terkait dengan pengusulan pemberhentian dengan hormat dan tidak hormat Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Pajak dengan sendirinya keterlibatan Menteri Keuangan hanya bersifat administratif.

[3.13.1.3] Bahwa selanjutnya berkaitan dengan periodisasi atau masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Pajak yang juga dimohonkan oleh para Pemohon, menurut Mahkamah praktik demokrasi yang paling mendasar dan harus diterapkan dalam sebuah organisasi adalah adanya rotasi kepemimpinan secara periodik, untuk menghindari terjadinya praktik otoritarianisme dan penyalahgunaan kekuasaan. Dengan adanya kontrol internal dengan cara pembatasan waktu tersebut didasarkan pada asumsi bahwa kekuasaan yang terus menerus bisa menjadikan pimpinan yang cenderung menyalahgunakan kekuasaan. Oleh karena pemimpin harus memiliki jangka waktu dalam menduduki jabatan. Periodisasi dalam suatu jabatan bukan hanya agar terjadi pergantian kepengurusan, namun yang tidak kalah penting hal tersebut menciptakan proses kaderisasi dan regenerasi dalam sebuah lembaga atau jenjang karir para penggerak dari organisasi tersebut. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka dalam hal ini, pimpinan pengadilan pajak yakni Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Pajak sangat penting diberikan batasan masa jabatan atau periodisasi untuk menghidari terjadinya kekhawatiran sebagaimana pertimbangan Mahkamah tersebut. Oleh karena itu apabila merujuk pertimbangan hukum dimaksud, maka masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Pajak yang relevan adalah satu kali periodisasi masa jabatan selama lima tahun.

[3.13.2] Bahwa dengan demikian berdasarkan pertimbangan Mahkamah tersebut, dalil para Pemohon yang pada pokoknya menyatakan bahwa frasa “dari para hakim” dalam Pasal 8 ayat (2) UU 14/2002 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai Ketua dan Wakil Ketua dipilih dari dan oleh Hakim dan diusulkan oleh Pengadilan Pajak untuk satu kali masa jabatan selama lima tahun beralasan menurut hukum. Sementara itu dalil permohonan para Pemohon sepanjang frasa “diusulkan Menteri” tidak beralasan menurut hukum dan Mahkamah memaknainya sebagai “diusulkan melalui menteri”.

[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum Mahkamah pada Paragraf [3.13] tersebut di atas, menurut Mahkamah Pasal 8 ayat (2) UU 14/2002 harus dinyatakan inkonstitusional bersyarat sebagaimana disebutkan dalam amar putusan ini.

[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah dalil permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.

1. Bahwa terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 10/PUU-XVIII/2020 sebagaimana diuraikan diatas, untuk mengisi kekosongan hukum berdasarkan Pasal 5 ayat (2), dan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan saran sebagai berikut:
a. Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 10/PUU-XVIII/2020 sebagai bahan dalam penyusunan Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka.
b. Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 10/PUU-XVIII/2020 sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan UU Pengadilan Pajak

2. Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh seluruh organ penyelenggara Negara, organ penegak hukum dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 10/PUU-XVIII/2020 mengenai materi muatan pasal/ayat dalam UU Pengadilan Pajak yang dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, agar tidak menimbulkan kekosongan hukum, dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan Perubahan UU Pengadilan Pajak.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dikabulkan Dan/Atau Dikabulkan Sebagian Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 18/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 06-01-2020

Bahwa pada hari Senin tanggal 6 Januari 2020, pukul 13.47 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (selanjutnya disebut UU 42/1999) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 18/PUU-XVII/2019. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 18/PUU-XVII/2019, perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) UU 42/1999 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

Dalam Pokok Permohonan
[3.13] Menimbang bahwa setelah mencermati prinsip-prinsip perjanjian Jaminan Fidusia sebagaimana diuraikan tersebut dalam Paragraf [3.12] selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan asas kepastian hukum dan keadilan yang menjadi syarat fundamental berlakunya sebuah norma dari undang-undang, dalam konteks UU 42/1999, sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap para pihak yang menjadi subjek hukum dan objek benda yang menjadi jaminan dalam perjanjian Jaminan Fidusia tersebut;
Bahwa perjanjian Jaminan Fidusia dilakukan oleh pihak pemberi hak fidusia yang dalam hal ini disebut sebagai debitur dan pihak penerima hak fidusia yang dalam hal ini disebut sebagai kreditur. Pemberian hak fidusia tersebut oleh debitur kepada kreditur sebagai jaminan adanya hubungan hukum utang-piutang yang menjadi perjanjian pokok dengan tujuan agar kreditur mempunyai jaminan hak tagih dalam pemenuhan pembayaran utang debitur yang dapat dilakukan dengan cara melakukan eksekusi terhadap barang jaminan tersebut. Salah satu karakteristik dari perjanjian fidusia adalah adanya penyerahan hak milik barang yang menjadi jaminan dari debitur kepada kreditur sehingga secara yuridis seolah-olah barang yang dalam penguasaan debitur sesungguhnya sudah beralih menjadi hak milik kreditur, sementara itu penguasaan secara fisik terhadap barang jaminan tersebut tetap berada pada debitur berdasarkan asas kepercayaan.
Bahwa lebih lanjut, apabila dicermati perjanjian Jaminan Fidusia yang objeknya adalah benda bergerak dan/atau tidak bergerak sepanjang tidak dibebani hak tanggungan dan subjek hukum yang dapat menjadi pihak dalam perjanjian dimaksud adalah kreditur dan debitur, maka perlindungan hukum yang berbentuk kepastian hukum dan keadilan seharusnya diberikan terhadap ketiga unsur tersebut di atas, yaitu kreditur, debitur, dan objek hak tanggungan. Dengan identifikasi terhadap persoalan perjanjian Jaminan Fidusia tersebut, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan sejauh mana Undang-Undang Jaminan Fidusia khususnya norma dari pasal-pasal yang berkaitan dengan perjanjian jaminan fidusia telah bekerja dalam mewujudkan bentuk perlindungan hukum baik kepastian hukum maupun keadilan bagi pihak-pihak yang terikat oleh suatu perjanjian fidusia dan objek yang menjadi Jaminan dalam perjanjian fidusia tersebut.
[3.14] Menimbang bahwa untuk mendapatkan deskripsi yang lengkap dalam menilai ada atau tidaknya permasalahan yang berkaitan dengan bentuk perlindungan hukum baik kepastian hukum maupun keadilan terhadap pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian fidusia termasuk juga objek yang menjadi Jaminan Fidusia, maka tidak dapat dilepaskan dari esensi dasar norma yang mengatur tentang sifat perjanjian Jaminan Fidusia terutama terhadap norma pasal yang dipersoalkan oleh para Pemohon yaitu Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) UU 42/1999. Norma yang termuat dalam pasal a quo merupakan norma yang bersifat fundamental. Sebab, dari norma yang termuat dalam pasal tersebutlah terbit kekuatan eksekusi yang dapat dilaksanakan sendiri oleh pemegang jaminan fidusia (kreditur) yang kemudian banyak menimbulkan permasalahan, baik terkait dengan konstitusionalitas norma maupun implementasi.
Bahwa berkaitan dengan permasalahan konstitusionalitas Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 yang memberikan “titel eksekutorial” terhadap sertifikat fidusia dan “mempersamakan dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap” di dalamnya terkandung makna bahwa sertifikat fidusia mempunyai kekuatan eksekusi tanpa disyaratkan adanya putusan pengadilan yang didahului oleh adanya gugatan secara keperdataan dan pelaksanaan eksekusinya diperlakukan sama sebagaimana halnya terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dari kandungan makna sebagaimana yang tersirat dalam norma Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 tersebut di atas secara sederhana dapat dipahami bahwa sertifikat fidusia memberikan hak yang sangat kuat kepada penerima fidusia, dalam hal ini kreditur, karena sertifikat fidusia langsung dapat bekerja setiap saat ketika pemberi fidusia, dalam hal ini debitur, telah dianggap cidera janji. Argumentasinya adalah karena, secara hukum, dalam perjanjian fidusia hak milik kebendaan sudah berpindah menjadi hak penerima fidusia (kreditur), sehingga kreditur dapat setiap saat mengambil objek jaminan fidusia dari debitur dan selanjutnya menjual kepada siapapun dengan kewenangan penuh ada pada kreditur dengan alasan karena kekuatan eksekusi dari sertifikatnya telah dipersamakan dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Bahwa dalam perspektif kandungan makna sebagaimana diuraikan tersebut di atas nampak jelas dan terang benderang bahwa aspek konstitusionalitas yang terdapat dalam norma Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 di atas tidak mencerminkan adanya pemberian perlindungan hukum yang seimbang antara pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian fidusia dan juga objek yang menjadi Jaminan Fidusia, baik perlindungan hukum dalam bentuk kepastian hukum maupun keadilan. Sebab, dua elemen mendasar yang terdapat dalam pasal a quo, yaitu “titel eksekutorial” maupun “dipersamakannya dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap”, berimplikasi dapat langsung dilaksanakannya eksekusi yang seolah- olah sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap oleh penerima fidusia (kreditur) tanpa perlu meminta bantuan pengadilan untuk pelaksanaan eksekusi. Hal tersebut menunjukkan, di satu sisi, adanya hak yang bersifat eksklusif yang diberikan kepada kreditur dan, di sisi lain, telah terjadi pengabaian hak debitur yang seharusnya juga mendapat perlindungan hukum yang sama, yaitu hak untuk mengajukan/mendapat kesempatan pembelaan diri atas adanya dugaan telah cidera janji (wanprestasi) dan kesempatan mendapatkan hasil penjualan objek jaminan fidusia dengan harga yang wajar. Dengan kata lain, dalam hal ini, penilaian perihal telah terjadinya “cidera janji” secara sepihak dan eksklusif ditentukan oleh kreditur (penerima fidusia) tanpa memberikan kesempatan kepada deditur (pemberi fidusia) untuk melakukan sanggahan dan atau pembelaan diri.
[3.15] Menimbang bahwa berkenaan dengan pertimbangan perihal tidak adanya perlindungan hukum yang seimbang kepada kreditur dan debitur dalam perjanjian fidusia sebagaimana diuraikan dalam pertimbangan sebelumnya, penting bagi Mahkamah untuk mengaitkan hal tersebut dengan prinsip adanya penyerahan hak milik objek jaminan fidusia dari debitur selaku pemberi fidusia kepada kreditur selaku penerima fidusia. Prinsip penyerahan hak milik yang berkenaan dengan objek fidusia tersebut mencerminkan bahwa sesungguhnya substansi perjanjian yang demikian secara nyata menunjukkan adanya ketidakseimbangan posisi tawar antara pemberi hak fidusia (debitur) dengan penerima hak fidusia (kreditur) karena pemberi fidusia (debitur) berada dalam posisi sebagai pihak yang membutuhkan. Dengan kata lain, disetujuinya substansi perjanjian demikian oleh para pihak sesungguhnya secara terselubung berlangsung dalam “keadaan tidak bebas secara sempurna dalam berkehendak,” khususnya pada pihak debitur (pemberi fidusia). Padahal, kebebasan kehendak dalam sebuah perjanjian merupakan salah satu syarat yang fundamental bagi keabsahan sebuah perjanjian (vide Pasal 1320 KUHPerdata).
Bahwa dengan mencermati beberapa permasalahan yang berkaitan dengan konstitusionalitas norma Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 yang memberikan “titel eksekutorial” dan “mempersamakan dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” telah ternyata dapat berdampak pada adanya tindakan secara sepihak yang dilakukan oleh kreditur yaitu kreditur melakukan eksekusi sendiri terhadap objek jaminan fidusia dengan alasan telah berpindahnya hak kepemilikan objek fidusia tanpa melalui proses eksekusi sebagaimana seharusnya sebuah pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, yaitu seharusnya dengan terlebih dahulu mengajukan permohonan kepada pengadilan negeri. Sebagai konsekuensi logisnya, tindakan secara sepihak yang dilakukan oleh kreditur selaku penerima hak fidusia berpotensi (bahkan secara aktual telah) menimbulkan adanya tindakan sewenang-wenang dan dilakukan dengan cara yang kurang “manusiawi”, baik berupa ancaman fisik maupun psikis yang sering dilakukan kreditur (atau kuasanya) terhadap debitur yang acapkali bahkan dengan mengabaikan hak-hak debitur.

[3.16] Menimbang bahwa meskipun berdasarkan pertimbangan di atas sesungguhnya telah tampak adanya persoalan konstitusionalitas dalam norma Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999, oleh karena Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 berkait langsung dengan Pasal 15 ayat (3) UU 42/1999, selain karena permohonan para Pemohon a quo juga mendalilkan kaitan demikian dalam permohonannya, maka Mahkamah akan mempertimbangkan terlebih dahulu konstitusionalitas norma Pasal 15 ayat (3) UU 42/1999.
Bahwa setelah dicermati dengan saksama telah ternyata ketentuan yang diatur dalam norma Pasal 15 ayat (3) UU 42/1999 merupakan lanjutan dari ketentuan yang diatur dalam norma Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 yang secara substansi merupakan konsekuensi yuridis akibat adanya “titel eksekutorial” dan “dipersamakannya sertifikat jaminan fidusia dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap” sebagaimana substansi norma yang terkandung dalam Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999.
Bahwa substansi norma dalam Pasal 15 ayat (3) UU 42/1999 berkaitan dengan adanya unsur debitur yang “cidera janji” yang kemudian memberikan hak kepada penerima fidusia (kreditur) untuk menjual benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri. Persoalannya adalah kapan “cidera janji” itu dianggap telah terjadi dan siapa yang berhak menentukan? Inilah yang tidak terdapat kejelasannya dalam norma Undang-Undang a quo. Dengan kata lain, ketiadaan kejelasan tersebut membawa konsekuensi yuridis berupa adanya ketidakpastian hukum perihal kapan sesungguhnya pemberi fidusia (debitur) telah melakukan “cidera janji” yang berakibat timbulnya kewenangan yang bersifat absolut pada pihak penerima fidusia (kreditur) untuk menjual benda yang menjadi objek jaminan fidusia yang berada dalam kekuasaan debitur. Dengan demikian, telah ternyata bahwa dalam substansi norma Pasal 15 ayat (3) UU 42/1999, juga terdapat permasalahan konstitusionalitas turunan yang tidak dapat dipisahkan dengan permasalahan yang sama dengan ketentuan yang substansinya diatur dalam norma Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999, yaitu ketidakpastian hukum yang berkaitan dengan tata cara pelaksanaan eksekusi dan kepastian tentang waktu kapan pemberi fidusia (debitur) dinyatakan “cidera janji” (wanprestasi), apakah sejak adanya tahapan angsuran yang terlambat atau tidak dipenuhi oleh debitur ataukah sejak jatuh tempo pinjaman debitur yang sudah harus dilunasinya. Ketidakpastian demikian juga berakibat pada timbulnya penafsiran bahwa hak untuk menentukan adanya “cidera janji” dimaksud ada di tangan kreditur (penerima fidusia). Adanya ketidakpastian hukum demikian dengan sendirinya berakibat hilangnya hak-hak debitur untuk melakukan pembelaan diri dan kesempatan untuk mendapatkan penjualan objek jaminan fidusia dengan harga yang wajar.

[3.17] Menimbang bahwa tidak adanya kepastian hukum, baik berkenaan dengan tata cara pelaksanaan eksekusi maupun berkenaan dengan waktu kapan pemberi fidusia (debitur) dinyatakan “cidera janji” (wanprestasi), dan hilangnya kesempatan debitur untuk mendapatkan penjualan objek jaminan fidusia dengan harga yang wajar, di samping sering menimbulkan adanya perbuatan “paksaan” dan “kekerasan” dari orang yang mengaku sebagai pihak yang mendapat kuasa untuk menagih pinjaman utang debitur, dapat bahkan telah melahirkan perbuatan sewenang-wenang yang dilakukan oleh penerima fidusia (kreditur) serta merendahkan harkat dan martabat debitur. Hal demikian jelas merupakan bukti adanya persoalan inkonstitusionalitas dalam norma yang diatur dalam Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) UU 42/1999. Sebab, kalaupun sertifikat fidusia mempunyai titel eksekutorial yang memberikan arti dapat dilaksanakan sebagaimana sebuah putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, prosedur atau tata-cara eksekusi terhadap sertifikat fidusia dimaksud harus mengikuti tata-cara pelaksanaan eksekusi sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 196 HIR atau Pasal 208 RBg. Dengan kata lain, eksekusi tidak boleh dilakukan sendiri oleh penerima fidusia melainkan harus dengan mengajukan permohonan kepada pengadilan negeri. Ketentuan Pasal 196 HIR atau Pasal 208 RBg selengkapnya adalah:
“Jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk memenuhi isi keputusan itu dengan damai, maka fihak yang menang memasukkan permintaan, baik dengan lisan, maupun dengan surat, kepada ketua, pengadilan negeri yang tersebut pada ayat pertama pasal 195, buat menjalankan keputusan itu Ketua menyuruh memanggil fihak yang dikalahkan itu serta memperingatkan, supaya ia memenuhi keputusan itu di dalam tempo yang ditentukan oleh ketua, yang selama-lamanya delapan hari”.
Bahwa lebih lanjut penting ditegaskan oleh Mahkamah, tanpa bermaksud mengabaikan karakteristik fidusia yang memberikan hak secara kebendaan kepada pemegang atau penerima fidusia (kreditur), sehingga pemegang atau penerima fidusia (kreditur) dapat melakukan eksekusi sendiri terhadap barang yang secara formal adalah miliknya sendiri, demi kepastian hukum dan rasa keadilan yaitu adanya keseimbangan posisi hukum antara pemberi hak fidusia (debitur) dan penerima fidusia (kreditur) serta untuk menghindari timbulnya kesewenang-wenangan dalam pelaksanaan eksekusi, Mahkamah berpendapat kewenangan eksklusif yang dimiliki oleh penerima hak fidusia (kreditur) tetap dapat melekat sepanjang tidak terdapat permasalahan dengan kepastian waktu perihal kapan pemberi hak fidusia (debitur) telah “cidera janji” (wanprestasi) dan debitur secara suka rela menyerahkan benda yang menjadi objek dari perjanjian fidusia kepada kreditur untuk dilakukan penjualan sendiri. Dengan kata lain, dalam hal ini, pemberi fidusia (debitur) mengakui bahwa dirinya telah “cidera janji” sehingga tidak ada alasan untuk tidak menyerahkan benda yang menjadi objek perjanjian fidusia kepada penerima fidusia (kreditur) guna dilakukan penjualan sendiri oleh penerima fidusia (kreditur).
Bahwa dengan demikian telah jelas dan terang benderang sepanjang pemberi hak fidusia (debitur) telah mengakui adanya “cidera janji” (wanprestasi) dan secara sukarela menyerahkan benda yang menjadi objek dalam perjanjian fidusia, maka menjadi kewenangan sepenuhnya bagi penerima fidusia (kreditur) untuk dapat melakukan eksekusi sendiri (parate eksekusi). Namun, apabila yang terjadi sebaliknya, di mana pemberi hak fidusia (debitur) tidak mengakui adanya “cidera janji” (wanprestasi) dan keberatan untuk menyerahkan secara sukarela benda yang menjadi objek dalam perjanjian fidusia, maka penerima hak fidusia (kreditur) tidak boleh melakukan eksekusi sendiri melainkan harus mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi kepada pengadilan negeri. Dengan demikian hak konstitusionalitas pemberi hak fidusia (debitur) dan penerima hak fidusia (kreditur) terlindungi secara seimbang.

[3.18] Menimbang bahwa dengan pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas telah cukup alasan bagi Mahkamah untuk menyatakan norma Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999, khususnya frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” hanya dapat dikatakan konstitusional sepanjang dimaknai bahwa “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang telah terjadinya “cidera janji” (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”. Sementara itu, terhadap norma Pasal 15 ayat (3) UU 42/1999 khususnya frasa “cidera janji” hanya dapat dikatakan konstitusional sepanjang dimaknai bahwa “adanya cidera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur melainkan atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan debitur atau atas dasar upaya hukum yang menentukan telah terjadinya cidera janji”, sebagaimana selengkapnya akan dituangkan dalam amar putusan perkara a quo;
Bahwa pendirian Mahkamah sebagaimana yang akan ditegaskan dalam amar putusan perkara a quo tidaklah serta-merta menghilangkan keberlakuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan eksekusi sertifikat jaminan fidusia yang bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum kepada para pihak yang terikat dalam perjanjian fidusia, sepanjang sejalan dengan pertimbangan dan pendirian Mahkamah a quo. Dengan demikian, baik eksekusi yang dilaksanakan oleh kreditur sendiri karena telah ada kesepakatan dengan pihak debitur maupun eksekusi yang diajukan melalui pengadilan negeri, tetap dimungkinkan bantuan dari kepolisian dengan alasan untuk menjaga keamanan dan ketertiban dalam proses pelaksanaan eksekusi. Bantuan demikian sudah merupakan kelaziman dalam setiap pengadilan negeri menjalankan fungsi dalam pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam perkara perdata pada umumnya.

[3.19] Menimbang bahwa dengan telah dinyatakannya inkonstitusional terhadap frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” dalam norma Pasal 15 ayat (2) dan frasa “cidera janji” dalam norma Pasal 15 ayat (3) UU 42/1999, meskipun Pemohon tidak memohonkan pengujian Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 namun dikarenakan pertimbangan Mahkamah berdampak terhadap Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999, maka terhadap frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” dalam Penjelasan norma Pasal 15 ayat (2) dengan sendirinya harus disesuaikan dengan pemaknaan yang menjadi pendirian Mahkamah terhadap norma yang terdapat dalam Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 dengan pemaknaan “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”, sebagaimana selengkapnya akan dituangkan dalam amar putusan perkara a quo. Oleh karena itu tata cara eksekusi sertifikat jaminan fidusia sebagaimana yang diatur dalam ketentuan lain dalam Undang-Undang a quo, disesuaikan dengan Putusan Mahkamah a quo;

[3.20] Menimbang bahwa oleh karena permohonan para Pemohon berkaitan dengan inkonstitusionalitas norma Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) UU 42/1999 dapat dibenarkan oleh Mahkamah, namun oleh karena pemaknaan terhadap frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” sebagaimana yang termuat dalam norma Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 dan frasa “cidera janji” sebagaimana yang termuat dalam Pasal 15 ayat (1) UU 42/1999, seperti halnya yang dimohonkan oleh para Pemohon berbeda dengan pendirian Mahkamah di dalam memaknai frasa-frasa dalam norma-norma dimaksud. Oleh karena itu Mahkamah berpendapat bahwa permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.

[3.21] Menimbang bahwa dengan telah ditegaskannya pendirian Mahkamah di dalam memaknai ketentuan norma Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) dan Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999, sebagaimana dipertimbangkan pada Paragraf [3.18] dan Paragraf [3.19] di atas, maka terhadap dalil-dalil permohonan para Pemohon selebihnya dipandang tidak relevan dan oleh karenanya tidak dipertimbangkan lebih lanjut.

1. Bahwa terhadap Putusan MK dalam Perkara Nomor 18/PUU-XVII/2019 sebagaimana diuraikan diatas, untuk mengisi kekosongan hukum berdasarkan Pasal 10 ayat (1) huruf d, Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 23 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan saran sebagai berikut:

a. Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 sebagai bahan dalam penyusunan Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka.
b. Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan UU 10/2016.

2. Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh seluruh organ penyelenggara Negara, organ penegak hukum dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 18/PUU-XVII/2019 mengenai materi muatan pasal/ayat dalam UU 42/1999 yang dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, agar tidak menimbulkan kekosongan hukum, dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan Perubahan UU 42/1999.

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 56/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 11-12-2019

Bahwa pada hari Rabu tanggal 11 Desember 2019, pukul 11.02 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus dalam Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut UU 10/2016) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 56/PUU-XVII/2019. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 56/PUU-XVII/2019, perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal & Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

Dalam Provisi
[3.7] Menimbang bahwa para Pemohon mengajukan permohonan provisi yang memohon agar Mahkamah mempercepat proses pemeriksaan dan menjadikan permohonan ini sebagai perkara yang diprioritaskan untuk diputus segera mengingat permohonan ini terkait langsung dengan proses pencalonan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota Tahun 2020, di mana proses penyerahan syarat dukungan bagi calon perseorangan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota, sebagai proses awal dari tahapan pencalonan pemilihan kepala daerah, akan dimulai pada 11 Desember 2019 berdasarkan Lampiran Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan Walikota dan Wakil Walikota Tahun 2020.
Terhadap permohonan Provisi a quo, oleh karena pokok permohonan para Pemohon memiliki keterkaitan erat dengan tahapan pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2020 yang secara faktual tahapan yang berkaitan dengan pencalonan kepala daerah yang akan segera dimulai sehingga semua pihak dapat mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya, khususnya mereka yang akan mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah Tahun 2020, maka terlepas dari dikabulkan atau tidaknya permohonan a quo, demi kepastian hukum bagi masyarakat, penting bagi Mahkamah untuk memberikan prioritas dengan mempercepat putusan perkara a quo dan tidak terdapat penyimpangan terhadap hukum acara dalam tahapan proses penyelesaian perkara pengujian undang-undang, permohonan dalam provisi para Pemohon agar perkara a quo diprioritaskan untuk diputus beralasan menurut hukum.

Dalam Pokok Permohonan
[3.12.1] Bahwa terhadap norma undang-undang yang esensi materi/muatannya sebagian memuat klausul atau frasa sebagaimana yang termuat dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016, yaitu frasa “tidak pernah sebagai terpidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana” dan sebagian dari frasa tersebut yakni sepanjang frasa “tidak pernah sebagai terpidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” telah pernah diuji dan diputus oleh Mahkamah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 71/PUU-XIV/2016. Bahkan sebelum berlakunya UU 10/2016 norma serupa pernah pula diputus oleh Mahkamah, norma dimaksud adalah norma yang terkandung dalam Pasal 7 huruf g UU 8/2015 yang menyatakan, “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih”. Berkenaan dengan substansi norma dimaksud, Mahkamah telah berkali-kali menegaskan pendiriannya, di antaranya, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14-17/PUUV/2007 yang kemudian ditegaskan kembali dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 120/PUU-VII/2009, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-X/2012. Inti pendapat Mahkamah dalam putusan-putusannya tersebut adalah bahwa norma Undang-Undang yang materi/muatannya seperti yang termuat dalam Pasal 7 huruf g UU 8/2015 adalah inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional). Syarat yang dimaksud Mahkamah ialah: (1) berlaku bukan untuk jabatan-jabatan publik yang dipilih (elected officials); (2) berlaku terbatas untuk jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; (3) kejujuran atau keterbukaan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; (4) bukan sebagai pelaku kejahatan berulang-ulang. Dari semua putusan tersebut, pendirian Mahkamah sangat fundamental karena adanya keinginan untuk memberlakukan syarat yang ketat bagi calon kepala daerah, sebab seorang calon kepala daerah harus mempunyai karakter dan kompetensi yang mencukupi, sifat kepribadian dan integritas, kejujuran, responsibilitas, kepekaan sosial, spiritualitas, nilai-nilai dalam kehidupan, respek terhadap orang lain dan lain-lain. Oleh karena itu, pada hakikatnya, apabila dikaitkan dengan syarat “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih” maka tujuan yang hendak dicapai adalah agar kepala daerah memiliki integritas dan kejujuran. Tujuan demikianlah yang hendak dicapai oleh Putusan-Putusan Mahkamah sebelumnya khususnya dalam memaknai syarat yang berkaitan dengan “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih” yang merupakan persyaratan yang satu dengan yang lainnya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Sehingga baik pertimbangan hukum maupun amar dalam putusan-putusan sebagaimana dikemukakan di atas sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari semangat untuk menghadirkan pemimpin yang bersih, jujur dan berintegritas. Dengan demikian, dalam hal terdapat bagian-bagian tertentu dari Putusan-Putusan tersebut di atas yang tidak bersesuaian dengan bagian yang lain maka harus dikembalikan kepada semangat untuk menghadirkan pemimpin yang bersih, jujur dan berintegritas. Oleh karena keempat syarat tersebut diperlukan untuk menghadirkan pemimpin yang bersih, jujur, dan berintegritas maka semua syarat itu harus dipenuhi secara kumulatif dalam proses penentuan kepala daerah.

[3.12.2] Bahwa namun demikian penting untuk ditegaskan pertimbangan hukum Mahkamah yang menyatakan pendiriannya tersebut sebagaimana termuat dalam Paragraf [3.12.1] yang berkaitan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009, bertanggal 24 Maret 2009, sesungguhnya merupakan penegasan terhadap pendirian Mahkamah dalam putusan sebelumnya. Dalam putusan tersebut, Mahkamah antara lain menyatakan:

“[3.18] … Mahkamah juga perlu mempertimbangkan Putusan Nomor 14- 17/PUU-V/2007 tentang peniadaan norma hukum yang memuat persyaratan a quo tidak dapat digeneralisasi untuk semua jabatan publik, melainkan hanya untuk jabatan publik yang dipilih (elected officials), karena terkait dengan pemilihan umum (Pemilu) dalam hal mana secara universal dianut prinsip bahwa peniadaan hak pilih itu hanya karena pertimbangan ketidakcakapan misalnya karena faktor usia (masih di bawah usia yang dibolehkan oleh Undang-Undang Pemilu) dan keadaan sakit jiwa, serta ketidakmungkinan (impossibility) misalnya karena telah dicabut hak pilihnya oleh putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap (vide Putusan Nomor 11-17/PUU-I/2003 tanggal 24 Februari 2004)...;
Bahwa untuk jabatan-jabatan publik yang dipilih (elected officials), Mahkamah dalam Pertimbangan Hukum Putusan Nomor 14-17/PUUV/2007 menyatakan, “hal tersebut tidaklah sepenuhnya diserahkan kepada rakyat tanpa persyaratan sama sekali dan semata-mata atas dasar alasan bahwa rakyatlah yang akan memikul segala resiko pilihannya”. Oleh karena itu, agar rakyat dapat secara kritis menilai calon yang akan dipilihnya, perlu ada ketentuan bahwa bagi calon yang pernah menjadi terpidana karena tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih harus menjelaskan secara terbuka kepada publik tentang jati dirinya yang demikian dan tidak menutup-nutupi atau menyembunyikan latar belakang dirinya. Selain itu, agar tidak mengurangi kepercayaan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Putusan Mahkamah Nomor 14- 17/PUU-V/2007 juga perlu dipersyaratkan bahwa yang bersangkutan bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang dan telah melalui proses adaptasi kembali ke masyarakat sekurang-kurangnya selama 5 (lima) tahun setelah yang bersangkutan menjalani pidana penjara yang dijatuhkan oleh pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dipilihnya jangka waktu 5 (lima) tahun untuk adaptasi bersesuaian dengan mekanisme lima tahunan dalam Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia, baik Pemilu Anggota Legislatif, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, dan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Selain itu juga bersesuaian dengan bunyi frasa “diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih”; ... dst”

… Mahkamah berpendapat bahwa norma hukum yang berbunyi “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih” yang tercantum dalam Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g UU 10/2008 serta Pasal 58 huruf f UU 12/2008 merupakan norma hukum yang inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional). Norma hukum tersebut adalah inkonstitusional apabila tidak dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Berlaku bukan untuk jabatan-jabatan publik yang dipilih (elected officials) sepanjang tidak dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak pilih oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
2. Berlaku terbatas untuk jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
3. Kejujuran atau keterbukaan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana;
4. Bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang;

Sementara itu, melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 120/PUU-VII/2009, Mahkamah menegaskan, yang sekaligus “mengingatkan” nature Mahkamah sebagai negative legislator, dengan menyatakan, antara lain:

“… Bahwa persyaratan calon kepala daerah yang telah diberikan tafsir baru oleh Mahkamah dalam Putusan Nomor 4/PUU-VII/2009 tanggal 24 Maret 2009, adalah semata-mata persyaratan administratif. Oleh karena itu, sejak tanggal 24 Maret 2009, rezim hukum Pasal 58 huruf f UU 32/2004 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU 12/2008 sebagaimana bunyi dan makna teks aslinya berakhir, dan sebagai gantinya maka sejak saat itulah di seluruh wilayah hukum Republik Indonesia berlaku tafsir baru atas Pasal 58 huruf f UU 32/2004 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU 12/2008 tentang mantan narapidana yang boleh menjadi calon kepala daerah menurut Putusan Mahkamah Nomor 14-17/PUU-V/2007 tanggal 11 Desember 2007 juncto Putusan Mahkamah Nomor 4/PUUVII/2009 tanggal 24 Maret 2009 …”

Berdasarkan putusan-putusan di atas, norma yang terkandung dalam pasal-pasal berbagai Undang-Undang yang dimohonkan pengujian dinyatakan sebagai konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) dan menentukan 4 syarat bagi mantan narapidana untuk dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah.

[3.12.3] Bahwa sementara itu, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015, bertanggal 9 Juli 2015, Mahkamah pada pokoknya menyatakan:

[3.11.6] … Kata “dikecualikan” dalam syarat ketiga dari amar Putusan Mahkamah Nomor 4/PUU-VII/2009, bertanggal 24 Maret 2009, mempunyai arti bahwa seseorang yang terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan terpidana maka syarat kedua dan keempat dari amar Putusan Mahkamah Nomor 4/PUU-VII/2009, bertanggal 24 Maret 2009, menjadi tidak diperlukan lagi karena yang bersangkutan telah secara berani mengakui tentang status dirinya yang merupakan mantan narapidana. Dengan demikian maka ketika seseorang mantan narapidana selesai menjalankan masa tahanannya dan mengumumkan secara terbuka dan jujur bahwa dia adalah mantan narapidana, yang bersangkutan dapat mencalonkan diri menjadi gubernur, bupati, dan walikota atau mencalonkan diri dalam jabatan publik atau jabatan politik yang pengisiannya melalui pemilihan (elected officials). Pada akhirnya, masyarakat yang memiliki kedaulatan lah yang akan menentukan pilihannya, namun apabila mantan narapidana tersebut tidak mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan terpidana maka berlaku syarat kedua putusan Mahkamah Nomor 4/PUU-VII/2009 yaitu lima tahun sejak terpidana selesai menjalani hukumannya;

[3.11.7] Bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, dalil Pemohon mengenai Pasal 7 huruf g UU 8/2015 bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitusional) sepanjang tidak dimaknai dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan terpidana;

Kemudian Paragraf [3.9] halaman 180 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 71/PUU-XIV/2016, bertanggal 19 Juli 2017, pada pokoknya menyatakan:

[3.9] ... Apabila Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009 diperbandingkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14-17/ PUU-V/2007 sesungguhnya terdapat semangat yang sama dalam kedua putusan tersebut dalam kaitannya dengan pengisian jabatan publik yang dipilih, di mana kedua putusan itu menekankan bahwa untuk jabatan publik yang dipilih tidak bisa begitu saja diberlakukan syarat “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih”. Bedanya, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009 lebih menegaskan bahwa untuk jabatan publik yang dipilih syarat “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih” tidak berlaku lagi jika seorang mantan terpidana telah melewati jangka waktu lima tahun sejak yang bersangkutan selesai menjalani pidananya atau ia secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana dan sepanjang yang bersangkutan bukan pelaku kejahatan yang berulang-ulang;

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015 dalam pengujian Pasal 7 huruf g dan Pasal 45 ayat (2) huruf k Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Pada intinya kedua norma yang dimohonkan pengujian tersebut memuat norma yang berisi persyaratan “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih” bagi seseorang yang mencalonkan diri sebagai Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota. Substansi norma yang dimohonkan pengujian dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015 tidak berbeda dengan substansi norma yang dimohonkan pengujian dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009. Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015 menyatakan mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian, yaitu menyatakan bahwa Pasal 7 huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana. Adapun terhadap Pasal 45 ayat (2) huruf k Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Mahkamah menyatakan bahwa norma Undang-Undang a quo bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

Jika Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015 di atas diperbandingkan dengan putusan sebelumnya, yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009, terlihat adanya sedikit perubahan atau pergeseran dalam pendirian Mahkamah. Terlepas dari adanya pendapat berbeda (dissenting opinion) dari tiga orang Hakim Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUUXIII/2015 tersebut, yang sudah diterima sebagai praktik yang berlaku umum dalam dunia peradilan saat ini, terjadinya perubahan dalam pendirian Mahkamah tersebut adalah wajar sepanjang alasan yang mendasari (ratio decidendi) diambilnya putusan dimaksud dijelaskan dalam pertimbangan hukum putusan yang bersangkutan. Bahkan, di negara-negara yang menganut prinsip stare decisis pun, yang pada dasarnya sangat ketat berpegang pada putusan sebelumnya (atau putusan pengadilan yang lebih tinggi) seperti yang terjadi di Mahkamah Agung Amerika Serikat, perubahan pendirian demikian sering terjadi sepanjang terdapat alasan yang kuat yang mendasari terjadinya perubahan demikian...

Selanjutnya pada halaman 184 menyatakan:

4. ... Mahkamah sesungguhnya telah secara tegas menyatakan bahwa sepanjang berkenaan dengan jabatan publik yang pengisiannya dilakukan melalui pemilihan (elected officials), pembebanan syarat yang substansinya sebagaimana termuat dalam rumusan kalimat atau frasa “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih” adalah bertentangan dengan Konstitusi jika persyaratan demikian diberlakukan begitu saja tanpa pembatasan kepada mantan terpidana, dalam hal ini tanpa mempertimbangkan bahwa seorang mantan terpidana yang hendak mencalonkan diri untuk mengisi jabatan publik itu telah menyatakan secara terbuka dan jujur kepada publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan terpidana. Putusan Mahkamah demikian telah dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan dan tidak keluar dari semangat yang terkandung dalam Pasal 28J UUD 1945, sebagaimana diuraikan dalam pertimbangan pada angka 1 di atas. Dengan mempelajari secara saksama pertimbangan hukum Mahkamah dalam putusan-putusannya sebagaimana disebutkan pada angka 3 di atas, Mahkamah menegaskan bahwa, dalam masyarakat yang demokratis, pembatasan terhadap hak asasi manusia adalah dibenarkan dan konstitusional. Pembatasan demikian juga berlaku dalam menentukan persyaratan bagi pengisian jabatan-jabatan publik. Mahkamah juga menegaskan pentingnya suatu standar moral tertentu dalam pengisian jabatan-jabatan publik tersebut dan pada saat yang sama Mahkamah menegaskan pula bahwa syarat “tidak pernah dijatuhi pidana dengan ancaman pidana tertentu” adalah suatu standar moral yang penting dan diperlukan dalam proses atau mekanisme pengisian jabatan-jabatan publik itu, namun Mahkamah juga menegaskan bahwa persyaratan demikian tidak dapat diberlakukan begitu saja sebagai ketentuan umum yang diberlakukan bagi seluruh jabatan publik mengingat adanya perbedaan sifat atau karakter dari jabatan-jabatan publik tersebut. Oleh sebab itu, sejalan dengan prinsip akuntabilitas peradilan yang mengharuskan hakim atau pengadilan menjelaskan alasan diambilnya suatu putusan, Mahkamah telah dengan cermat menjelaskan alasan-alasan dimaksud sebelum tiba pada penjatuhan putusannya sebagaimana dituangkan dalam amar putusan yang bersangkutan;

5. Bahwa norma Undang-Undang yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo, in casu Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada, adalah berkenaan dengan pengisian jabatan publik yang dipilih. Norma Undang-Undang a quo berbunyi, “Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: … g. tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana”. Berbeda dengan rumusan dalam norma UndangUndang sebelumnya yang telah dimohonkan pengujian dan diputus oleh Mahkamah sebagaimana diuraikan pada angka 3 di atas, norma Undang-Undang a quo sama sekali tidak memuat ancaman pidana minimum yang dijadikan sebagai pijakan, sehingga secara tekstual norma Undang-Undang a quo mencakup semua jenis tindak pidana, baik pelanggaran maupun kejahatan, dan semua jenis pidana, baik pidana pokok (mulai dari pidana denda, pidana percobaan, pidana kurungan, pidana penjara) maupun pidana tambahan. Dengan kata lain, dalam konteks KUHP, frasa “tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” mencakup baik tindak pidana yang diatur dalam Buku I maupun Buku II KUHP dan semua jenis pemidanaan sebagaimana diatur dalam Pasal 10 KUHP dan tindak pidana yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan di luar KUHP, sepanjang sudah ada putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana tersebut. Jika benar demikian maksud pembentuk undang-undang, dengan bertolak dari putusan-putusan Mahkamah sebelumnya, hal itu tentu tidak dapat dibenarkan secara konstitusional.

6. Bahwa, memperhatikan keadaan sebagaimana diuraikan pada angka 5 di atas, serta dengan mempertimbangkan bahwa norma Undang-Undang a quo adalah berkenaan dengan syarat bagi jabatan publik yang pengisiannya dilakukan melalui pemilihan, persoalan yang timbul kemudian adalah: apabila frasa “tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” yang termuat dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 maka secara a contrario berarti tidak ada pembatasan sama sekali sehingga setiap orang boleh mencalonkan diri sebagai gubernur, wakil gubenur, bupati, wakil bupati, walikota, wakil walikota meskipun orang yang bersangkutan terbukti sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Penalaran demikian tentu saja sama sekali tidak dapat diterima dan sekaligus akan bertentangan dengan pertimbangan Mahkamah sebagaimana ditegaskan dalam putusan-putusan sebelumnya bagaimanapun standar moral tertentu dibutuhkan dalam pengisian jabatan-jabatan publik yang klasifikasinya bermacam-macam. Selain itu, akibat lebih jauh jika penalaran demikian diikuti, maka frasa berikutnya dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada tersebut yang menyatakan, “atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana” menjadi tidak ada maknanya. Memperhatikan keadaan sebagaimana diuraikan di atas, karena telah terang bahwa menentukan norma yang berlaku umum berupa syarat “tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” bagi pengisian jabatan publik, lebih-lebih untuk jabatan publik yang pengisiannya melalui pemilihan, tidak dapat dibenarkan secara konstitusional, sementara di lain pihak syarat yang mencerminkan standar moral tertentu tetap dibutuhkan untuk pengisian jabatan-jabatan publik, termasuk jabatan publik yang pengisiannya melalui pemilihan maka pertanyaannya kemudian, bagaimana Mahkamah harus menafsirkan norma Undang-Undang yang termuat dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada itu guna menilai konstitusionalitasnya sedemikian rupa sehingga, di satu pihak, Mahkamah tetap melaksanakan fungsinya sebagai pengawal konstitusi yang harus melindungi hak-hak konstitusional warga negara dan, di pihak lain, tanpa melampaui batasbatas jati dirinya sebagaimana termaktub dalam kewenangan yang diberikan oleh Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dalam melaksanakan fungsi itu. Dalam kasus a quo, tidak terdapat jalan lain kecuali mendasarkan pendapatnya pada pertimbangan Mahkamah dalam putusan sebelumnya terhadap norma Undang-Undang yang dirumuskan oleh pembentuk Undang-Undang sendiri, dalam hal ini Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015. Dengan dasar pemikiran dan pertimbangan demikian, Mahkamah berkeyakinan bahwa frasa “tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” adalah bertentangan dengan UUD 1945 jika tidak dimaknai “tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali karena melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa” sedangkan frasa “atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana” dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada tersebut tetap berlaku.

Bahwa terhadap Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016 Mahkamah dalam Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 71/PUU-XIV/2016 menyatakan:

1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
2. Menyatakan Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5898) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang frasa “tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” dalam norma Undang-Undang a quo tidak dimaknai “tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa”. Sehingga Pasal a quo selengkapnya adalah “tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana”;
3. ...;

Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 71/PUU-XIV/2016 telah bergeser dari rumusan yang bersifat kumulatif menjadi rumusan yang bersifat alternatif. Pergeseran demikian mengakibatkan longgarnya syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan pemimpin yang bersih, jujur, dan berintegritas sebagaimana yang telah ditegaskan dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009 dan putusan-putusan sebelumnya yang bersifat kumulatif. Sebab apabila syaratsyarat tersebut bersifat alternatif maka dapat dipastikan pilihan yang akan dilakukan oleh mantan terpidana adalah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan terpidana. Demikian halnya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 71/PUU-XIV/2016 yang pada pokoknya hanya memberikan pengecualian terhadap tindak pidana yang bersifat kealpaan ringan (culpa levis) dan tindak pidana karena alasan perbedaan pandangan politik.

Bahwa apabila dirujuk kembali putusan Mahkamah yang menghilangkan syarat kumulatif sebagaimana termaktub dalam amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009 yang menjadikannya sebagai syarat alternatif sehingga persyaratannya menjadi longgar adalah dengan pertimbangan untuk mengembalikan kepada masyarakat sebagai pemilih yang memiliki kedaulatan untuk menentukan pilihannya. Namun setelah dicermati secara saksama fakta empirik yang terjadi telah ternyata pula bahwa upaya mengembalikan kepada kedaulatan pemilih tidak sepenuhnya dapat menghadirkan pemimpin yang bersih, jujur dan berintegitas. Sejumlah fakta empirik membuktikan di antara kepala daerah yang terpilih yang pernah menjalani masa pidana menjadi calon kepala daerah hanya dengan mengambil alternatif mengumumkan secara jujur dan terbuka kepada publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan narapidana telah ternyata mengulangi kembali melakukan tindak pidana. Dengan kata lain, orang yang bersangkutan telah ternyata menjadi pelaku kejahatan berulang (recidivist). Jika berpegang pada prinsip kedaulatan pemilih maka tidak ada halangan apa pun bagi orang yang bersangkutan untuk mencalonkan diri kembali sebagai calon pejabat publik yang dipilih di kemudian hari setelah yang bersangkutan selesai menjalani pidananya sepanjang yang bersangkutan bersedia untuk secara terbuka mengumumkan kepada publik bahwa dirinya adalah mantan narapidana. Sebab, proposisi dasarnya adalah orang yang bersangkutan telah selesai menjalani pidananya dan telah menerima pembinaan di lembaga pemasyarakatan sehingga memiliki hak konstitusional untuk dipilih atau untuk menduduki jabatan tertentu dalam pemerintahan. Namun, dalam hal ini, pertanyaan konstitusional yang muncul adalah: apakah atas nama demokrasi (in casu kedaulatan pemilih) keadaan demikian dapat diterima? Terhadap pertanyaan tersebut Mahkamah berpendapat, keadaan demikian tidak dapat diberi toleransi bahkan dalam demokrasi yang paling liberal sekalipun. Sebab, demokrasi bukan semata-mata berbicara tentang perlindungan hak-hak individual tetapi juga ditopang oleh nilainilai dan moralitas, di antaranya nilai kepantasan (propriety), kesalehan (piousness), kewajaran (fairness), kemasukakalan (reasonableness), dan keadilan (justice). Antara lain karena merasa telah mencederai nilai-nilai inilah, di banyak negara yang mengusung demokrasi liberal pun, seorang pejabat publik memilih mengundurkan diri meskipun yang bersangkutan menduduki jabatan itu berdasarkan suara rakyat dan meskipun yang bersangkutan belum tentu bersalah secara hukum, bahkan belum diajukan tuntutan hukum apa pun terhadapnya.

Bahwa dengan merujuk fakta-fakta hukum di atas, penting bagi Mahkamah untuk mempertimbangkan kembali bagi calon kepala daerah yang pernah menjadi terpidana untuk diberi waktu yang dipandang cukup guna melakukan penyesuaian (adaptasi) di tengah masyarakat untuk membuktikan bahwa setelah selesai menjalani masa pidananya orang yang bersangkutan benar-benar telah mengubah dirinya menjadi baik dan teruji sehingga ada keyakinan dari pemilih bahwa yang bersangkutan tidak akan mengulangi perbuatan yang pernah dipidanakan kepadanya termasuk juga perbuatan-perbuatan lain yang dapat merusak hakikat pemimpin bersih, jujur, dan berintegritas. Pemberian tenggang waktu demikian juga sekaligus memberikan kesempatan lebih lama kepada masyarakat untuk menilai apakah orang yang bersangkutan telah dipandang cukup menunjukkan kesungguhannya untuk berpegang pada nilai-nilai demokrasi yang disebutkan di atas. Dengan kata lain, “pernyataan secara jujur dan terbuka kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana” semata-mata tidaklah memadai lagi.

[3.13] Menimbang bahwa dengan merujuk pada uraian pertimbangan sebagaimana dikemukakan di atas, oleh karena fakta empirik menunjukkan bahwa calon kepala daerah yang pernah menjalani pidana dan tidak diberi waktu yang cukup beradaptasi dan membuktikan diri dalam masyarakat ternyata terjebak kembali dalam perilaku tidak terpuji, bahkan mengulang kembali tindak pidana yang sama (in casu tindak pidana korupsi), sehingga makin jauh dari tujuan menghadirkan pemimpin yang bersih, jujur dan berintegritas maka demi melindungi kepentingan yang lebih besar, yaitu dalam hal ini kepentingan masyarakat akan pemimpin yang bersih dan berintegritas sehingga mampu memberi pelayanan publik yang baik serta menghadirkan kesejahteraan bagi masyarakat yang dipimpinnya, Mahkamah tidak menemukan jalan lain kecuali memberlakukan kembali keempat syarat kumulatif sebagaimana tertuang dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009 dalam pencalonan kepala daerah yang saat ini diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016. Selain karena alasan di atas, langkah demikian juga dipandang penting oleh Mahkamah demi memberikan kepastian hukum serta mengembalikan makna esensial dari pemilihan kepala daerah itu sendiri, yakni menghasilkan orang-orang yang memiliki kualitas dan integritas untuk menjadi pejabat publik dan pada saat yang sama tidak menghilangkan hak politik warga negara dalam berpartisipasi di dalam pemerintahan. Sementara itu, berkenaan dengan syarat lainnya yaitu syarat bukan terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa, sebagaimana pendirian Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 71/PUU-XIV/2016, bertanggal 19 Juli 2017, Mahkamah berpendapat masih tetap relevan untuk dipertahankan. Secara konstitusional, karena hak politik bukanlah merupakan hak asasi yang tidak dapat dibatasi (non-derogable rights), sesuai dengan ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, pembatasan dengan memberikan tenggang waktu bagi mereka yang pernah dipidana bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan konstitusi, in casu UUD 1945. Lagi pula, titik tolak meletakkan konstitutionalitas pembatasan terhadap hak-hak asasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 adalah nilai-nilai yang diusung dalam suatu masyarakat yang demokratis yang, antara lain, mencakup nilai-nilai kepantasan (propriety), kesalehan (piousness), kewajaran (fairness), kemasukakalan (reasonableness), dan keadilan (justice) sebagaimana diuraikan di atas.

[3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, sepanjang berkenaan dengan syarat menjadi calon kepala daerah/wakil kepala daerah, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016, ternyata terdapat dua kepentingan konstitusional yang keduanya berkait langsung dengan kebutuhan untuk membangun demokrasi yang sehat, yaitu kepentingan orangperseorangan warga negara yang hak konstitusionalnya untuk dipilih dalam suatu jabatan publik (dalam hal ini untuk mencalonkan diri sebagai kepada daerah atau wakil kepala daerah) dijamin oleh Konstitusi dan kepentingan masyarakat secara kolektif untuk mendapatkan calon pemimpin yang berintegritas (dalam hal ini calon kepala daerah atau wakil kepala daerah) yang diharapkan mampu menjamin pemenuhan hak konstitusionalnya atas pelayanan publik yang baik serta kesejahteraan, sebagaimana dijanjikan oleh demokrasi, juga dilindungi oleh Konstitusi. Dengan demikian, Mahkamah dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama bertolak dari gagasan perlindungan hak konstitusional, yaitu apakah Mahkamah akan mengutamakan pemenuhan hak konstitusional perseorangan warga negara atau pemenuhan hak konstitusional masyarakat secara kolektif.

Dalam hal ini, Mahkamah memilih yang disebutkan terakhir. Seluruh pertimbangan Mahkamah di atas sesungguhnya telah menjelaskan secara gamblang mengapa pilihan itu yang diambil oleh Mahkamah. Sebab, hakikat demokrasi sesungguhnya tidaklah semata-mata terletak pada pemenuhan kondisi “siapa yang memeroleh suara terbanyak rakyat dialah yang berhak memerintah” melainkan lebih pada tujuan akhir yang hendak diwujudkan yaitu hadirnya pemerintahan yang mampu memberikan pelayanan publik yang baik kepada masyarakat sehingga memungkinkan hadirnya kesejahteraan. Oleh karena itu, dalam proses berdemokrasi, sebelum tiba pada persoalan “siapa yang memeroleh suara terbanyak rakyat dialah yang berhak memerintah,” secara inheren, terdapat esensi penting yang terlebih dahulu harus diselesaikan yaitu “siapa yang memenuhi kualifikasi atau persyaratan sehingga layak untuk dikontestasikan guna mendapatkan dukungan suara terbanyak rakyat.” Dalam konteks inilah rule of law berperan penting dalam mencegah demokrasi agar tidak bertumbuh menjadi mobocracy atau ochlocracy – sebagaimana sejak masa Yunani Purba telah dikhawatirkan, di antaranya oleh Polybius.

Berdasarkan argumentasi itulah maka, sepanjang berkenaan dengan syarat mantan terpidana jika hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU 10/2016, tak terhindarkan bagi Mahkamah untuk menegaskan kembali syarat kumulatif yang pernah dipertimbangkan dalam beberapa putusan Mahkamah sebelumnya sebagaimana telah diuraikan di atas.

[3.15] Menimbang bahwa, sementara itu, berkenaan dengan dalil para Pemohon mengenai masa tunggu, sebagaimana telah Mahkamah uraikan dalam pertimbangan hukum sebelumnya bahwa terhadap masa tunggu tersebut haruslah diberlakukan kembali terhadap mantan narapidana yang akan mengajukan diri sebagai calon kepala daerah sebagaimana pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009. Demikian juga terhadap lamanya tenggat waktu Mahkamah juga tetap konsisten dengan merujuk pada pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009 yaitu bagi calon kepala daerah yang telah selesai menjalani masa pidana diharuskan menunggu waktu selama 5 (lima) tahun untuk dapat mengajukan diri menjadi calon kepala daerah kecuali terhadap calon kepala daerah yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa.

Bahwa adapun argumentasi Mahkamah untuk memberlakukan waktu tunggu sebagaimana tersebut di atas penting bagi Mahkamah untuk mengutip kembali pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUUVII/2009 yang pada pokoknya adalah, “... Dipilihnya jangka waktu 5 (lima) tahun untuk adaptasi bersesuaian dengan mekanisme lima tahunan dalam Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia, baik Pemilu Anggota Legislatif, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, dan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.” Dengan demikian argumentasi Mahkamah tersebut sekaligus sebagai bentuk penegasan bahwa Mahkamah tidak sependapat dengan dalil para Pemohon yang memohon masa tunggu 10 (sepuluh) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

[3.16] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, konstitusionalitas norma yang mengatur persyaratan calon kepala daerah sepanjang berkenaan dengan mantan narapidana harus didasarkan pada putusan a quo dan karenanya permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.

1. Bahwa terhadap Putusan MK dalam Perkara Nomor 56/PUU-XVII/2019 sebagaimana diuraikan diatas, untuk mengisi kekosongan hukum berdasarkan Pasal 10 ayat (1) huruf d, Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 23 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan saran sebagai berikut:

1) Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 56/PUU-XVII/2019 sebagai bahan dalam penyusunan Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka.
2) Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 56/PUU-XVII/2019 sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan UU 10/2016.

2. Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh seluruh organ penyelenggara Negara, organ penegak hukum dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 56/PUU-XVII/2019 mengenai materi muatan pasal/ayat dalam UU 10/2016 yang dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, agar tidak menimbulkan kekosongan hukum, dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan Perubahan UU 10/2016.

INFO JUDICIAL REVIEW PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 39/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 30-09-2019

Bahwa pada hari Senin, tanggal 30 September 2019, Pukul 14.15 WIB, Mahkamah Konstitusi telah selesai menggelar Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (selanjutnya disebut UU Pemilu) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 39/PUU-XVII/2019. Dalam sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 39/PUU-XVII/2019, perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 416 ayat (1) UU Pemilu dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.10] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca secara cermat dalil permohonan para Pemohon dan alat bukti yang diajukan, menurut para Pemohon, isu konstitusional yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo adalah ketentuan Pasal 416 ayat (1) UU Pemilu membuka potensi Pemilu Presiden dan Wakil Presiden akan mengalami pengulangan, setidaknya sampai putaran kedua, walaupun hanya diikuti oleh dua pasangan calon presiden dan wakil presiden. Hal demikian karena ketentuan a quo hanya mengatur syarat keterpilihan Presiden dan Wakil Presiden dalam hal pemilihan umum presiden dan wakil presiden diikuti oleh lebih dari dua pasangan calon, dan tidak mengatur syarat keterpilihan manakala sejak awal pemilihan umum presiden dan wakil presiden hanya diikuti oleh dua pasangan calon;

[3.11] Menimbang bahwa syarat keterpilihan pasangan calon presiden dan wakil presiden dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden diatur dalam Pasal 6A UUD 1945 yang kemudian diatur lebih lanjut dalam Pasal 416 ayat (1) UU Pemilu. Sebelum berlakunya UU Pemilu, ketentuan mengenai syarat keterpilihan pasangan presiden dan wakil presiden diatur dalam Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres, yang selengkapnya mengatur sebagai berikut:
“Pasangan Calon terpilih adalah Pasangan Calon yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari ½ (setengah) jumlah provinsi di Indonesia”.

[3.12] Menimbang bahwa norma yang sama dengan norma yang termaktub dalam Pasal 416 ayat (1) UU Pemilu telah pernah dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya kepada Mahkamah Konstitusi, yaitu norma dalam Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres, dan telah pula diputus dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-XII/2014, bertanggal 3 Juli 2014. Dalam Putusan tersebut Mahkamah mengabulkan permohonan para Pemohon dan dengan demikian norma dalam ketentuan Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat.

Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-XII/2014 menyatakan:
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
1.1. Pasal 159 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4924) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai tidak berlaku untuk pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang hanya terdiri dari dua pasangan calon;
1.2. Pasal 159 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4924) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai tidak berlaku untuk pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang hanya terdiri dari dua pasangan calon;

Sebelum sampai pada amar putusan tersebut, Mahkamah dalam pertimbangan hukumnya, antara lain, menyatakan sebagai berikut:

“[3.20] Menimbang bahwa …
Lalu, bagaimana kalau terjadi pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang hanya terdiri dari dua pasangan calon? Dari penelusuran risalah rapat pembahasan perubahan UUD 1945, memang tidak dibicarakan secara ekspresis verbis apabila hanya terdapat dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Hanya saja pada saat perubahan ketiga, masih ada sisa persoalan yang belum terselesaikan yaitu apa solusinya jika pasangan calon Presiden tidak ada yang memenuhi syarat dalam Pasal 6A ayat (3) UUD 1945. Dalam hal ini terdapat dua pilihan yaitu, terhadap dua pasangan yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua yang dipilih langsung oleh rakyat dipilih kembali oleh rakyat atau dipilih oleh MPR yang pada perubahan keempat diputuskan untuk dipilih langsung oleh rakyat tanpa memperhatikan persyaratan yang ditentukan dalam Pasal 6A ayat (3) UUD 1945.

Menurut Mahkamah, walaupun tidak ada penegasan bahwa Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 dimaksudkan apabila pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden lebih dari dua pasangan tetapi dikaitkan dengan konteks lahirnya Pasal 6A UUD 1945, dapat ditarik kesimpulan bahwa pembahasan pada saat itu terkait dengan asumsi pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden lebih dari dua pasangan calon.
Selain itu, dengan mendasarkan pada penafsiran gramatikal dan penafsiran sistematis makna keseluruhan Pasal 6A UUD 1945 sangat jelas bahwa makna yang terkandung dalam Pasal 6A ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan, “Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum ...” berkaitan dengan banyaknya atau paling tidak ada lebih dari dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mengikuti pemilihan pada putaran sebelumnya sebagaimana terkandung dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Kalimat “Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua ...” menunjukkan dengan jelas makna itu jika dikaitkan dengan ketentuan pada ayat (2) dan ayat (3) sebelumnya. Jika sejak semula hanya ada dua pasangan calon, mengapa dalam ayat (4) dinyatakan, “dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua ...”. Jika terdapat asumsi hanya ada dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang ikut pada pemilihan sebelumnya tidak perlu ada penegasan “dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua ...” karena dengan dua pasangan calon tentulah salah satu di antara keduanya memperoleh suara terbanyak pertama atau kedua. Dengan demikian makna Pasal 6A ayat (4) UUD 1945 harus dibaca dalam satu rangkaian dengan makna keseluruhan Pasal 6A UUD 1945.

Menurut Mahkamah kebijakan pemilihan Presiden secara langsung dalam UUD 1945 mengandung tujuan yang fundamental dalam rangka melaksanakan kedaulatan rakyat sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Presiden Republik Indonesia adalah Presiden yang memperoleh dukungan dan legitimasi yang kuat dari rakyat. Dalam hal ini, prinsip yang paling penting adalah kedaulatan rakyat, sehingga Presiden terpilih adalah Presiden yang memperoleh legitimasi kuat dari rakyat. Untuk mencapai tujuan itu, berbagai alternatif telah dibahas ketika perubahan UUD 1945, antara lain, terdapat usulan bahwa dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat: dipilih oleh MPR atau diajukan oleh partai politik pemenang pertama dan kedua dalam pemilihan umum lembaga perwakilan rakyat. Kesemuanya itu adalah dalam rangka proses demokrasi berdasarkan kedaulatan rakyat. Dalam hal hanya terdapat dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diajukan oleh gabungan beberapa partai politik yang bersifat nasional, menurut Mahkamah pada tahap pencalonan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden telah memenuhi prinsip representasi keterwakilan seluruh daerah di Indonesia karena calon Presiden sudah didukung oleh gabungan partai politik nasional yang merepresentasikan penduduk di seluruh wilayah Indonesia. Dengan demikian, tujuan kebijakan pemilihan presiden yang merepresentasi seluruh rakyat dan daerah di Indonesia sudah terpenuhi;

[3.13] Menimbang bahwa UU Pilpres kemudian dicabut dan diganti oleh UU Pemilu yang berlaku sejak tanggal 16 Agustus 2017. Dalam kaitannya dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-XII/2014, proses perancangan UU Pemilu yang mencabut UU Pilpres dilakukan setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-XII/2014, sehingga menurut Mahkamah sudah sepatutnya pembentuk undang-undang mengetahui dan memperhatikan keberadaan Putusan Mahkamah Konstitusi a quo yang menyatakan norma Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai tidak berlaku untuk pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang hanya terdiri dari dua pasangan calon. Apalagi penafsiran norma Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dimaksud telah pula dijadikan sebagai salah satu landasan hukum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014;

Namun ternyata substansi ketentuan Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres yang telah dibatalkan keberlakuannya oleh Mahkamah secara bersyarat tersebut dimuat kembali dengan rumusan yang persis sama oleh pembentuk undang-undang sebagaimana dalam Pasal 416 ayat (1) UU Pemilu sebagai berikut.

Pasal 416 ayat (1) UU Pemilu
“Pasangan Calon terpilih adalah Pasangan Calon yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari ½ (setengah) jumlah provinsi di Indonesia”.

[3.14] Menimbang bahwa berkenaan dengan dimuat atau dihidupkan kembali norma undang-undang yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 105/PUU-XIV/2016 bertanggal 28 September 2017 dinyatakan:
[3.9.11] … Sebagai institusi yang diberikan wewenang konstitusional oleh konstitusi untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945 langkah yang paling mungkin dilakukan Mahkamah merespon dan sekaligus mengantisipasi segala macam pengabaian terhadap norma-norma atau bagian-bagian tertentu suatu Undang-Undang yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 tetapi dihidupkan kembali dalam revisi

[3.15] Menimbang bahwa dengan memaknai secara tepat dan benar serta tidak terdapat alasan yang kuat untuk menghidupkan kembali norma yang telah pernah dinyatakan inkonstitusional, sehingga Mahkamah harus menyatakan bahwa ketentuan Pasal 416 ayat (1) UU Pemilu adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai tidak berlaku untuk pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang hanya terdiri dari dua pasangan calon, sesuai dengan Putusan Nomor 50/PUU-XII/2014.

[3.16] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum sebagaimana dimaksud di atas, maka terhadap Pasal 416 ayat (1) UU Pemilu yang dimohonkan pengujian a quo, Mahkamah menilai norma yang terkandung di dalam ketentuan tersebut telah pernah diuji dan dibatalkan oleh Mahkamah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-XII/2014. Dengan demikian pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-XII/2014, terutama pertimbangan hukum pada Paragraf [3.20] dan Paragraf [3.21], berlaku mutatis mutandis sebagai pertimbangan hukum putusan a quo;

[3.17] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, dalil para Pemohon perihal inkonstitusionalitas bersyarat Pasal 416 ayat (1) UU Pemilu adalah beralasan menurut hukum.

1. Bahwa terhadap Putusan MK dalam Perkara Nomor 39/PUU-XVII/2019 sebagaimana diuraikan diatas, untuk mengisi kekosongan hukum berdasarkan Pasal 10 ayat (1) huruf d, Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 23 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan saran sebagai berikut:
1) Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 39/PUU-XVII/2019 sebagai bahan dalam penyusunan Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka.
2) Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 39/PUU-XVII/2019 sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan UU Pemilu.

2. Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh seluruh organ penyelenggara Negara, organ penegak hukum dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 39/PUU-XVII/2019 mengenai materi muatan pasal/ayat dalam UU Pemilu yang dinyatakan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, agar tidak menimbulkan kekosongan hukum, dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan Perubahan UU Pemilu.

INFO JUDICIAL REVIEW PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 87/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 25-04-2019

Bahwa pada hari Kamis, tanggal 25 April 2019, Pukul 14.37 WIB, Mahkamah Konstitusi telah selesai menggelar Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (selanjutnya disebut UU ASN) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 87/PUU-XVI/2018. Dalam sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 87/PUU-XVI/2018, perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 87 ayat (2) dan ayat (4) huruf b dan d UU ASN dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.12] Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan hal-hal sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.11], selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil-dalil Pemohon sebagai berikut:

1. Pemohon mendalilkan bahwa muasal dari terbitnya SKB/2018 yang kemudian disusul oleh SE MENPAN RB 20/2018 adalah Pasal 87 UU ASN. Terhadap dalil Pemohon tersebut, setelah Mahkamah memeriksa secara saksama uraian panjang lebar Pemohon berkenaan dengan hal ini, tampak nyata bahwa inti keberatan Pemohon sesungguhnya bukanlah terletak pada keberadaan Pasal 87 UU ASN, khususnya Pasal 87 ayat (2) dan Pasal 87 ayat (4) huruf b dan huruf d UU ASN, melainkan pada SKB/2018 dan SE MENPAN RB 20/2018. Penalaran demikian makin diperkuat oleh permohonan Pemohon kepada Mahkamah sebagaimana tertuang dalam Petitum Permohonan Angka 3 yang menyatakan, “Memerintahkan semua Ketentuan maupun Putusan [sic!] yang berlandaskan pada Pasal 87 ayat (2) dan ayat (4) huruf b dan huruf d, [sic!] dinyatakan batal dan tidak berlaku lagi”. Dengan demikian maka seharusnya keberatan ditujukan bukan kepada norma Pasal 87 ayat (2) dan ayat (4) huruf b dan huruf d UU ASN melainkan kepada SKB/2018 dan SE MENPAN RB 20/2018 di mana hal itu bukan merupakan kewenangan Mahkamah. Lagi pula, berdasar pada UU MK, Mahkamah tidak memiliki kewenangan untuk menjatuhkan amar putusan sebagaimana tertuang dalam Petitum Permohonan Pemohon Angka 3 tersebut di atas.
Bahwa Pasal 87 UU ASN, khususnya ayat (2) dan ayat (4) huruf b dan huruf d, oleh Pemohon dianggap sebagai muasal lahirnya SKB/2018 dan SE MENPAN RB 20/2018, hal itu sama sekali tidak membuktikan bahwa Pasal 87 UU ASN, khususnya ayat (2) dan ayat (4) huruf b dan huruf d, bertentangan dengan UUD 1945. Sebaliknya, terbitnya SKB/2018 dan SE MENPAN RB 20/2018 justru karena adanya landasan hukum yang kuat sebab tegas dinyatakan dalam norma undang-undang yang memuat perintah [in casu Pasal 87 ayat (4) huruf b dan huruf d UU ASN] dan kebolehan [in casu Pasal 87 ayat (2) UU ASN]. Konstitusional atau inkonstitusionalnya suatu norma undang-undang tidak dinilai berdasarkan peraturan perundang-undangan di bawahnya yang nyata-nyata justru hendak menegakkan norma undang-undang yang bersangkutan melainkan harus dinilai secara tersendiri berdasarkan substansi maupun jiwa atau semangat yang terkandung dalam Konstitusi (in casu UUD 1945). Bahkan ketika suatu norma undang-undang telah ditafsirkan secara berbeda pun oleh peraturan perundang-undangan di bawahnya hal itu tidak serta-merta menjadikan norma undang-undang demikian bertentangan dengan Konstitusi. Sebab, dalam hal demikian, peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang itulah yang harus diuji kebersesuaiannya terhadap norma undang-undang yang menjadi dasarnya. Dalam keadaan demikian maka yang berlaku adalah ketentuan Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 yang memberikan kewenangan kepada Mahkamah Agung untuk mengujinya. Keadaan demikian harus dibedakan dengan putusan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) atau inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional) sebagaimana sering dijatuhkan oleh Mahkamah. Putusan Mahkamah yang pertimbangannya memuat pernyataan konstitusional bersyarat atau amarnya menyatakan inkonstitusional bersyarat terjadi manakala terdapat keadaan di mana dalam rumusan norma undang-undang yang dimohonkan pengujian itu sendiri melekat kemungkinan konstitusional atau inkonstitusional karena dalam norma itu terbuka kemungkinan lebih dari satu penafsiran yang salah satunya adalah penafsiran yang menurut Mahkamah inkonstitusional. Keadaan demikian tidak terdapat dalam Permohonan a quo, khususnya dalam batas-batas argumentasi Pemohon sebagaimana dikemukakan di atas.

2. …..

3. Bahwa, Pemohon mengaitkan keberadaan PP 11/2017 di mana menurut Pemohon Pasal 250 PP 11/2017 dinilai meng-copy paste Pasal 87 ayat (4) huruf d UU ASN dan kemudian, menurut Pemohon, pembentuk PP 11/2017 sengaja mengubah ketentuan masa hukuman, sebagaimana terlihat dari Pasal 251 PP 11/2017 tersebut yang menetapkan putusan pidana sebagai ukuran “pemberhentian tidak dengan hormat” ditetapkan “kurang dari 2 (dua) tahun”, sehingga keadaan itu oleh Pemohon dikatakan bahwa pembentuk UU ASN dan pembentuk PP 11/2017 telah melakukan fallacy of equivocation yang merugikan Pemohon.
Terhadap dalil Pemohon a quo, sepanjang menyangkut persoalan peraturan pemerintah (PP), in casu PP 11/2017, hal itu bukan merupakan kewenangan Mahkamah untuk mengadilinya sehingga dalil Pemohon sepanjang menyangkut keabsahan PP 11/2017 harus dikesampingkan. Namun, berkenaan dengan Pasal 87 ayat (4) huruf d yang dalam kaitan itu Pemohon mendalilkan bahwa pembentuk undang-undang telah melakukan (menurut istilah Pemohon) fallacy of equivocation, Mahkamah terlebih dahulu harus mendalami apa yang dimaksud sebagai fallacy of equivocation oleh Pemohon sebab Pemohon tidak memberikan penjelasan mengenai terminologi ini namun langsung melompat pada kesimpulan bahwa hal itu merugikan Pemohon. Secara leksikal, equivocation berarti “a way of behaving or speaking that is not clear or definite and is intended to avoid or hide the truth” (suatu cara bertingkah laku atau berkata-kata yang tidak jelas atau pasti dan dimaksudkan untuk menghindari atau menyembunyikan kebenaran) (Oxford Advanced Learner’s Dictionary, 7th Edition, 2005, halaman 515). Sementara itu, fallacy secara leksikal berarti “(1) a false idea that many people believe is true” (gagasan keliru yang oleh banyak orang dipercaya sebagai benar) “(2) a false way of thingking about sth” (cara berpikir yang keliru mengenai sesuatu) (Oxford Advanced Learner’s Dictionary, 7th Edition, 2005, halaman 551).
Dengan makna leksikal demikian, apabila disimpulkan dan dikaitkan dengan dalil Pemohon, maka pertanyaannya kemudian adalah apakah benar pembentuk undang-undang telah memasukkan gagasan yang keliru atau menggunakan cara berpikir yang keliru dengan maksud untuk menghindari atau menyembunyikan kebenaran melalui rumusan yang tertuang dalam Pasal 87 ayat (4) huruf d UU ASN.
Terhadap pertanyaan demikian, Mahkamah terlebih dahulu harus memeriksa secara saksama rumusan yang tertuang dalam Pasal 87 ayat (4) huruf d UU ASN dimaksud. Sebagaimana telah dikutip pada pertimbangan angka 2 di atas, Pasal 87 ayat (4) huruf d UU ASN memuat rumusan yang menyatakan, “PNS diberhentikan tidak dengan hormat karena: … (d) dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana yang dilakukan dengan berencana.” Dengan rumusan demikian, Mahkamah tidak menemukan adanya fakta maupun sekadar gejala yang menunjukkan bahwa pembentuk undang-undang telah memasukkan gagasan yang keliru atau menggunakan cara berpikir yang keliru dengan maksud untuk menghindari atau menyembunyikan kebenaran melalui rumusan yang tertuang dalam Pasal 87 ayat (4) huruf d UU ASN tersebut.
Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut, dalil Pemohon berkaitan inkonstitusionalitas Pasal 87 ayat (4) huruf d UU ASN tidak beralasan menurut hukum

4. …..

5. …..

6. Bahwa Pemohon mendalilkan – sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.7] angka 7 sampai dengan angka 11 di atas – Pasal 87 ayat (2) dan ayat (4) huruf b UU ASN adalah “hukum tambahan” [sic!] di luar putusan pengadilan di luar yang diatur dalam Pasal 10 KUHP dan kemudian atas dasar demikian Pemohon kemudian mendalilkannya sebagai tindakan hukum yang diskriminatif serta tidak sesuai dengan filosofi pemasyarakatan sehingga Pemohon tiba pada kesimpulan bahwa pembentuk undang-undang telah melampaui batas kewenangannya.
Terhadap dalil Pemohon a quo, Mahkamah berpendapat bahwa jika yang oleh Pemohon disebut “hukum tambahan” adalah pidana tambahan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 10 KUHP maka Pemohon telah menyampuradukkan pengertian sanksi dalam hukum administrasi dan sanksi dalam hukum pidana. Sanksi dalam hukum administrasi adalah penerapan kewenangan pemerintahan, baik yang bersumber pada hukum tertulis maupun tidak tertulis, yang dilaksanakan oleh pejabat administrasi tanpa memerlukan perantaraan pihak ketiga (in casu pengadilan). Bentuk atau jenisnya bermacam-macam.
Ada sanksi reparatoir, yaitu sanksi yang diterapkan sebagai reaksi atas pelanggaran norma dan bertujuan untuk mengembalikan suatu keadaan ke keadaan semula sebelum terjadinya pelanggaran (misalnya paksaan pemerintahan atau bestuursdwang, pengenaan uang paksa atau dwangsom). Ada sanksi punitif, yaitu sanksi yang ditujukan untuk memberikan hukuman kepada seseorang (misalnya denda administratif). Ada sanksi regresif, yaitu sanksi yang dijatuhkan sebagai reaksi atas ketidakpatuhan terhadap ketentuan yang terdapat pada ketetapan yang diterbitkan (misalnya pemberhentian dari jabatan atau ontlading). Dengan demikian, dalam konteks Pemohon, penjatuhan sanksi administrasi berupa pemberhentian dari jabatan bukanlah pidana tambahan dalam pengertian Pasal 10 KUHP, sebagaimana didalilkan Pemohon, melainkan pelaksanaan kewenangan pemerintahan yang dilakukan oleh pejabat administrasi atau tata usaha negara yang memang tidak memerlukan keterlibatan pengadilan. Oleh karena itu, tidak ada relevansinya mengaitkan pengenaan sanksi administrasi dengan persoalan diskriminasi maupun tujuan pemasyarakatan bagi narapidana yang telah selesai menjalani pidananya di lembaga pemasyarakatan. Pasal 87 UU ASN, khususnya ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), adalah norma hukum tertulis yang memberikan dasar hukum bagi pejabat administrasi atau tata usaha negara untuk melaksanakan kewenangan pemerintahan mengenakan sanksi administrasi pemberhentian tidak dengan hormat. Apakah dengan memberikan atau merumuskan dasar hukum bagi pelaksanaan kewenangan pemerintahan demikian berarti pembentuk undang-undang telah melakukan tindakan yang melampaui kewenangannya, sebagaimana didalilkan Pemohon. Penalaran demikian sulit untuk dapat diterima. Sebab, jika diterima, secara a contrario, berarti harus diterima logika bahwa agar tidak melampaui kewenangannya maka pembentuk undang-undang tidak boleh membuat undang-undang yang memuat norma yang memberikan dasar hukum bagi pelaksanaan kewenangan pemerintahan untuk memberlakukan sanksi hukum administrasi. Persoalan konstitusionalitas suatu undang-undang harus dibedakan dengan persoalan kewenangan pembentuk undang-undang untuk membuat undangundang. Konstitusi memberikan kewenangan kepada pembentuk undangundang untuk membuat undang-undang. Oleh sebab itu, konstitusional atau tidak konstitusionalnya suatu undang-undang tidaklah menghilangkan kewenangan konstitusional pembentuk undang-undang untuk membuat undang-undang. Artinya, persoalan konstitusionalitas suatu undang-undang, baik proses pembentukan maupun materi muatannya, harus dinilai secara tersendiri berdasarkan kaidah-kaidah yang berlaku dalam pengujian konstitusionalitas undang-undang.
Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut, dalil Pemohon berkaitan inkonstitusionalitas Pasal 87 ayat (2) UU ASN tidak beralasan menurut hukum

7. Bahwa perihal dalil Pemohon, sebagaimana diuraikan dalam Paragraf [3.7] angka 12 sampai dengan angka 14 di atas, yang intinya mempersoalkan bahwa Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN tidak menentukan rentang waktu putusan inkracht yang dijadikan dasar untuk memberhentikan PNS tidak dengan hormat sehingga Pemohon mempertanyakan apakah putusan inkracht dimaksud adalah putusan inkracht mulai tahun 2000, tahun 1900, ataukah putusan inkracht sejak diundangkannya PP 11/2017 ataukah sejak diberlakukannya SKB/2018 dan Surat Edaran (tanpa menyebut Surat Edaran mana yang dimaksud), Mahkamah berpendapat pertanyaan demikian tidak relevan. Sebab, ketentuan yang tertuang dalam norma Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN adalah diberlakukan terhadap PNS yang masih aktif sehingga kapan pun suatu putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap atau inkracht-nya, Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN tetap berlaku selama PNS yang dijatuhi pidana demikian masih aktif. Dengan demikian, dalil Pemohon yang menyatakan Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN tidak memberikan kepastian hukum, sepanjang dikaitkan dengan tidak adanya persoalan jangka waktu sebagaimana dimaksudkan Pemohon, adalah tidak beralasan menurut hukum.
Namun, terlepas dari dalil Pemohon di atas, perihal bagian dari dalil Pemohon yang menyatakan keberadaan norma Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN tidak memberikan kepastian hukum, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
a. Bahwa Pasal 87 ayat (4) UU ASN secara keseluruhan adalah mengatur tentang alasan-alasan yang menyebabkan seorang PNS diberhentikan tidak dengan hormat. Dalam hal ini Mahkamah berpendapat:
Pertama, seorang PNS yang melakukan penyelewengan terhadap Pancasila dan UUD 1945 adalah wajar dan beralasan menurut hukum jika yang bersangkutan diberhentikan tidak dengan hormat, sebagaimana diatur dalam Pasal 87 ayat (4) huruf a. Sebab jika hal itu terjadi berarti PNS yang bersangkutan telah melanggar sumpahnya untuk taat dan setia kepada Pancasila dan UUD 1945. Sumpah untuk taat dan setia kepada Pancasila dan UUD 1945 bukanlah sekadar formalitas tanpa makna melainkan sesuatu yang fundamental sifatnya karena, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 3 juncto Pasal 4 UU ASN, memegang teguh ideologi Pancasila serta setia dan mempertahankan UUD 1945 adalah bagian dari nilai dasar yang melekat dalam profesi PNS sebagai Aparatur Sipil Negara;
Kedua, seorang PNS yang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik adalah wajar dan juga beralasan menurut hukum jika yang bersangkutan diberhentikan tidak dengan hormat sebab hal itu bertentangan dengan asas netralitas, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 2 huruf f UU ASN dan Penjelasannya. Netralitas seorang PNS adalah hal yang mendasar sebab, sebagaimana telah dipertimbangkan sebelumnya pada Paragraf [3.11] angka 3, dalam diri PNS sebagai bagian dari Aparatur Sipil Negara melekat tugas pelayanan publik, tugas pemerintahan, dan tugas pembangunan tertentu. Maka, jika seorang PNS menjadi anggota, lebih-lebih jika menjadi pengurus partai politik, secara alamiah dan dalam batas penalaran yang wajar, hal itu akan berpengaruh besar terhadap netralitas seorang PNS karena keadaan demikian sangat berpotensi menimbulkan konflik kepentingan tatkala PNS yang bersangkutan dalam melaksanakan tugas pelayanan publik atau tugas pemerintahan atau tugas pembangunan tertentu harus berhadapan dengan kepentingan partai di mana PNS yang bersangkutan menjadi anggota atau bahkan menjadi pengurus. Keadaan demikian juga akan berbenturan dengan nilai dasar yang melekat dalam diri PNS sebagai bagian dari ASN yang menuntutnya untuk mengabdi kepada negara dan rakyat Indonesia, bukan kepada golongan tertentu, serta menjalankan tugas secara profesional dan tidak berpihak, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 4 huruf c dan huruf d UU ASN;
Ketiga, seorang PNS yang dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana yang dilakukan dengan berencana adalah juga wajar dan beralasan menurut hukum jika PNS yang bersangkutan diberhentikan tidak dengan hormat. Sebab, seorang PNS sebagai bagian dari ASN seharusnya memberi teladan bukan hanya etik tetapi juga secara hukum. Namun, dalam hal ini pembentuk undang-undang telah dengan bijak menentukan batasannya yaitu bahwa putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap itu tidak seluruhnya dapat dijadikan dasar untuk memberhentikan tidak dengan hormat seorang PNS melainkan hanya tindak pidana yang dijatuhi hukuman pidana penjara paling singkat dua tahun dan tindak pidana yang dilakukan dengan berencana. Dengan kata lain, pembentuk undang-undang telah secara proporsional mempertimbangkan alasan-alasan hukum yang dapat dijadikan dasar untuk memberhentikan seorang PNS tidak dengan hormat;

b. Bahwa sementara itu, Pasal 87 ayat (4) huruf b menyatakan bahwa seorang PNS diberhentikan tidak dengan hormat karena dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana yang ada hubungannya dengan jabatan dan/atau tindak pidana umum. Jika seorang PNS diberhentikan karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana yang ada hubungannya dengan jabatan, hal demikian adalah wajar sebab dengan melakukan kejahatan atau tindak pidana demikian seorang PNS telah menyalahgunakan atau bahkan mengkhianati jabatan yang dipercayakan kepadanya untuk diemban sebagai ASN. Sebab, seorang PNS yang melakukan kejahatan atau tindak pidana demikian sesungguhnya, secara langsung atau tidak langsung, telah mengkhianati rakyat karena perbuatan demikian telah menghambat upaya mewujudkan cita-cita atau tujuan bernegara yang seharusnya menjadi acuan utama bagi seorang PNS sebagai ASN dalam melaksanakan tugas-tugasnya, baik tugas pelayanan publik, tugas pemerintahan, ataupun tugas pembangunan tertentu.
Namun, bagaimana halnya dengan keberadaan frasa “dan/atau tindak pidana umum” yang dijadikan sebagai bagian tak terpisahkan dari norma dalam Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN. Persoalannya bukanlah terletak pada adanya frasa “dan/atau tindak pidana umum” itu sendiri melainkan kaitannya dengan norma lain dalam pasal yang sama, yaitu norma dalam Pasal 87 ayat (2) UU ASN.

Pasal 87 ayat (2) UU ASN menyatakan:
PNS dapat diberhentikan dengan hormat atau tidak diberhentikan karena dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan hukuman pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan tindak pidana yang dilakukan tidak berencana.

Jika norma yang tertuang dalam Pasal 87 ayat (4) huruf b dihubungkan dengan norma yang termaktub dalam Pasal 87 ayat (2), persoalan yang timbul adalah apa yang akan dilakukan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian jika seorang PNS melakukan tindak pidana umum yang dijatuhi pidana penjara dua tahun berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, apakah akan melakukan tindakan dengan memberlakukan Pasal 87 ayat (2) UU ASN, yaitu memberhentikan dengan hormat atau tidak memberhentikan PNS yang bersangkutan, ataukah akan memberlakukan Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN, yaitu memberhentikan tidak dengan hormat PNS yang bersangkutan karena adanya frasa “dan/atau pidana umum” dalam Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN tersebut. Keadaan demikian, di samping menimbulkan ketidakpastian hukum juga membuka peluang bagi Pejabat Pembina Kepegawaian untuk melakukan tindakan berbeda terhadap dua atau lebih bawahannya yang melakukan pelanggaran yang sama.
Persoalan lainnya, jika untuk melakukan tindakan yang sifatnya diskresioner saja terhadap seorang PNS (yaitu apakah akan memberhentikan dengan hormat atau tidak memberhentikan), Pejabat Pembina Kepegawaian diberi syarat yaitu bahwa sepanjang PNS yang bersangkutan melakukan tindak pidana yang dijatuhi pidana penjara paling singkat dua tahun dan melakukan tindak pidana yang tidak berencana, sebagaimana diatur dalam Pasal 87 ayat (2) UU ASN, maka tidaklah dapat diterima oleh penalaran hukum yang wajar seorang PNS diberhentikan tidak dengan hormat karena melakuan “tindak pidana umum” yang tidak ditentukan batas minimum pidananya. Sebab, jika penalaran demikian diterima berarti harus diterima kemungkinan terjadinya keadaan atau peristiwa di mana seorang PNS yang melakukan tindak pidana yang dijatuhi hukum pidana penjara dua tahun tidak diberhentikan [dengan mengacu pada Pasal 87 ayat (2) UU ASN], sementara seorang PNS yang dijatuhi pidana kurungan atau pidana bersyarat dengan masa percobaan karena melakukan tindak pidana umum diberhentikan tidak dengan hormat [dengan mengacu pada Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN].
Artinya, PNS diberhentikan tidak dengan hormat berdasarkan Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN adalah dengan alasan telah adanya putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap karena PNS yang bersangkutan melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan. Adapun terhadap PNS yang melakukan tindak pidana umum dapat diberhentikan dengan hormat atau tidak diberhentikan sesuai dengan Pasal 87 ayat (2) UU ASN.
Dengan demikian telah ternyata bahwa keberadaan frasa “dan/atau pidana umum” dalam Pasal 87 ayat (4) huruf b telah menimbulkan ketidakpastian hukum serta membuka peluang lahirnya ketidakadilan sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Karena itu, meskipun Pemohon tidak secara khusus mendalilkan pertentangan Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN dikaitkan dengan frasa “dan/atau pidana umum” namun oleh karena frasa dimaksud merupakan satu kesatuan dengan norma Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN dan oleh karena telah terbukti bahwa frasa “dan/atau pidana umum” dimaksud telah menimbulkan ketidakpastian hukum maka dalil Pemohon yang terkait dengan norma pasal a quo adalah beralasan menurut hukum sepanjang berkenaan dengan frasa “dan/atau pidana umum”

8. Bahwa perihal dalil Pemohon sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.7] angka 15 dan angka 16 di atas, Mahkamah berpendapat tidak relevan untuk dipertimbangkan kembali karena pada intinya Pemohon mengulangi kembali argumentasi yang berdasar peristiwa konkret yang dialami Pemohon serta argumentasi bahwa penjatuhan sanksi administratif didalilkan sebagai hukuman tambahan, sebagaimana telah dipertimbangkan oleh Mahkamah pada pertimbangan sebelumnya dalam Putusan ini;

9. Bahwa perihal dalil Pemohon sebagaimana telah diuraikan pada Paragraf [3.7] angka 19 di atas, sebagian di antaranya telah dipertimbangkan sebelumnya dalam Putusan ini. Sehingga hal yang perlu dipertimbangkan hanyalah bagian dari dalil Pemohon yang mengaitkan keberadaan norma UU ASN yang dimohonkan pengujian dengan hak atas kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan, sebagaimana diatur dalam Pasal 28H ayat (2) UUD 1945, serta dengan Covenant on Civil and Political Rights dan UndangUndang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM).
Terhadap dalil Pemohon a quo Mahkamah berpendapat bahwa di samping Pemohon telah keliru memahami Pasal 28H ayat (2) UUD 1945, Pemohon juga telah membuat argumentasi yang tidak koheren. Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 adalah norma Konstitusi yang termasuk ke dalam kelompok hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya yang dalam hal ini mengatur perlunya affirmative action bagi mereka yang memiliki kebutuhan khusus, sedangkan Pemohon jelas tidak termasuk ke dalam kriteria demikian. Sementara itu, dikatakan tidak koheren karena Pemohon, di satu pihak, menggunakan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 (yang termasuk ke dalam kelompok hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya), namun di lain pihak mengaitkannya dengan Kovenan tentang Hakhak Sipil dan Politik serta bagian dari ketentuan dalam UU HAM yang juga mengatur tentang hak-hak sipil dan politik. Dengan demikian, Mahkamah berpendapat, dalil Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum.

[3.13] Menimbang, berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat bahwa dalil Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.

Bahwa terhadap Putusan MK dalam Perkara Nomor 87/PUU-XVI/2018 sebagaimana diuraikan diatas, untuk mengisi kekosongan hukum berdasarkan Pasal 10 ayat (1) huruf d, Pasal 10 ayat (2), dan Pasal 23 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan saran sebagai berikut:
1) Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 87/PUU-XVI/2018 sebagai bahan dalam penyusunan Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka.
2) Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 87/PUU-XVI/2018 sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan UU ASN.

2. Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk umum dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan langsung dilaksanakan (self executing) oleh seluruh organ penyelenggara negara, organ penegak hukum, dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 87/PUU-XVI/2018 mengenai materi muatan pasal/ayat dalam UU ASN yang dinyatakan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, agar tidak menimbulkan kekosongan hukum, dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan Perubahan UU ASN.

INFO JUDICIAL REVIEW PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 20/PUU-XVII/2019 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 28-03-2019

Bahwa pada hari Kamis, tanggal 28 Maret 2019, Pukul 12.54 WIB, Mahkamah Konstitusi telah selesai menggelar Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (selanjutnya disebut UU Pemilu) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 20/PUU-XVII/2019. Dalam sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 20/PUU-XVII/2019, perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 210 ayat (1), Pasal 348 ayat (4) dan ayat (9), Pasal 350 ayat (2), dan Pasal 383 ayat (2) UU Pemilu dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.17] Menimbang bahwa berdasarkan dua kerangka pikir sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya terhadap lima pokok persoalan yang terdapat dalam lima rumusan norma UU Pemilu, sebagaimana telah dipertimbangkan sebelumnya dalam putusan ini, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

1. Perihal Syarat Memiliki KTP elektronik (KTP-el).
Bahwa perihal syarat memiliki KTP-el bagi pemilih, Pasal 348 ayat (9) UU Pemilu menyatakan:
Penduduk yang telah memiliki hak pilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dapat memilih di TPS/TPSLN dengan menggunakan kartu tanda penduduk elektronik.
Pertanyaan konstitusional terkait dengan rumusan norma Pasal 348 ayat (9) UU Pemilu dalam hubungannya dengan permohonan a quo, sebagaimana telah dikemukakan di atas, adalah apakah penerapan syarat memiliki KTP-el sebagai syarat menggunakan hak memilih bagi warga negara yang belum terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu sesuai dengan Pasal 348 ayat (9) UU Pemilu telah merugikan hak konstitusional para Pemohon sehingga harus dinyatakan inkonstitusional bersyarat.

Terhadap persoalan tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

Dalam Putusan Mahkamah Nomor 011-017/PUU-I/2003 secara tegas dinyatakan bahwa pembatasan, penyimpangan, peniadaan, dan penghapusan akan hak pilih merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Pertimbangan mana didasarkan atas alasan bahwa hak pilih adalah hak yang dijamin oleh konstitusi, undang-undang maupun konvensi internasional. Terkait hal itu, Mahkamah menyatakan sebagai berikut:
Menimbang, bahwa hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih (right to vote and right to be candidate) adalah hak yang dijamin oleh konstitusi, undang-undang maupun konvensi internasional, maka pembatasan penyimpangan, peniadaan dan penghapusan akan hak dimaksud merupakan pelanggaran terhadap hak asasi dari warga negara (Putusan Nomor 011-017/PUU-I/2003, hlm. 35).

Bahwa hal tersebut ditegaskan kembali dalam Putusan Mahkamah Nomor 102/PUU-VII/2009 yang pada pokoknya menyatakan, sebagai hak konstitusional warga negara, hak untuk memilih tidak boleh dihambat atau dihalangi oleh berbagai ketentuan dan prosedur administratif apapun yang mempersulit warga negara untuk menggunakan haknya. Dalam Putusan a quo Mahkamah menyatakan:
Menimbang bahwa hak-hak warga negara untuk memilih sebagaimana diuraikan di atas telah ditetapkan sebagai hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara (constitutional rights of citizen), sehingga oleh karenanya hak konstitusional tersebut di atas tidak boleh dihambat atau dihalangi oleh berbagai ketentuan dan prosedur administratif apapun yang mempersulit warga negara untuk menggunakan hak pilihnya (Putusan Nomor 102/PUU-VII/2009, hlm. 15).

Bahwa penegasan Mahkamah ihwal hak pilih merupakan hak konstitusional warga negara sehingga tidak boleh dibatasi, disimpangi, ditiadakan, dan dihapus dalam putusan-putusan a quo tidak bermakna dan tidak dapat dimaknai Mahkamah berpendirian bahwa untuk pelaksanaan hak pilih sama sekali tidak boleh diatur syarat-syarat tersebut sebagai bentuk pembatasan hak pilih. Penegasan dalam putusan-putusan a quo dimaksudkan agar segala kebijakan hukum yang ditujukan untuk memberi batasan tertentu terhadap hak pilih harus ditetapkan secara proporsional atau tidak berlebihan. Oleh karena itu, pertimbangan-pertimbangan Mahkamah sebagaimana dikutip di atas tidak dapat dijadikan alasan untuk mempersoalkan apalagi meniadakan segala pembatasan yang telah ditentukan, sepanjang pembatasan tersebut proporsional dan tidak berlebihan.

Bahwa sehubungan dengan alasan a quo, pertanyaannya kemudian ialah apakah penerapan syarat penggunaan KTP-el sebagai syarat administratif untuk menggunakan hak memilih bagi pemilih yang tidak terdaftar sebagai pemilih merupakan pembatasan yang proporsional atau berlebihan, sehingga harus dinyatakan telah merugikan hak pilih dan karenanya bertentangan dengan UUD 1945.

Jawaban atas pertanyaan tersebut berkorelasi dengan alasan-alasan hukum yang telah dinukilkan Mahkamah dalam Putusan Nomor 102/PUU-VII/2009, sehingga alasan-alasan dimaksud perlu dipertimbangkan kembali dalam menilai pokok permohonan terkait penggunaan KTP-el sebagai syarat menggunakan hak memilih sesuai UU Pemilu dalam permohonan a quo. Putusan Nomor 102/PUU-VII/2009 merupakan landasan hukum pertama yang digunakan sebagai dasar penggunaan KTP, Paspor, atau identitas lain sebagai syarat menggunakan hak memilih bagi pemilih yang tidak terdaftar dalam DPT. Hal itu dapat dibaca dalam pertimbangan hukum Mahkamah sebagai berikut:
[3.20] Menimbang bahwa ketentuan yang mengharuskan seorang warga negara terdaftar sebagai pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) lebih merupakan prosedur administratif dan tidak boleh menegasikan hal-hal yang bersifat substansial yaitu hak warga negara untuk memilih (right to vote) dalam pemilihan umum. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat diperlukan adanya solusi untuk melengkapi DPT yang sudah ada sehingga penggunaan hak pilih warga negara tidak terhalangi;
[3.21] Menimbang bahwa pembenahan DPT melalui pemutakhiran data akan sangat sulit dilakukan oleh KPU mengingat waktunya yang sudah sempit, sedangkan penggunaan KTP atau Paspor yang masih berlaku untuk menggunakan hak pilih bagi Warga Negara Indonesia yang tidak terdaftar dalam DPT merupakan alternatif yang paling aman untuk melindungi hak pilih setiap warga negara. (Putusan Nomor 102/PUUVII/2009, hlm. 16)

Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, keberadaan KTP, Paspor, atau identitas lain untuk menggunakan hak memilih adalah solusi terhadap masalah tidak terdaftarnya pemilih dalam DPT. Pada saat yang sama, penggunaan KTP, Paspor, atau identitas lain adalah cara untuk menyelamatkan hak memilih warga negara yang tidak terdaftar dalam DPT. Ditentukannya KTP, Paspor, atau identitas lain adalah karena merupakan alternatif paling aman untuk melindungi hak memilih setiap warga negara yang tidak terdaftar dalam DPT. Lebih jauh, penggunaan KTP untuk memilih itu pun dengan pembatasanpembatasan yang secara eksplisit dinyatakan dalam Putusan tersebut, yaitu sebagai berikut:
[3.23] Menimbang bahwa sebelum memberikan Putusan tentang konstitusionalitas pasal-pasal yang dimohonkan pengujian, agar di satu pihak tidak menimbulkan kerugian hak konstitusional warga negara dan di lain pihak tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, Mahkamah perlu memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mengatur lebih lanjut teknis pelaksanaan penggunaan hak pilih bagi Warga Negara Indonesia yang tidak terdaftar dalam DPT dengan pedoman sebagai berikut:
1. Warga Negara Indonesia yang belum terdaftar dalam DPT dapat menggunakan hak pilihnya dengan menunjukan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang masih berlaku atau Paspor yang masih berlaku bagi Warga Negara Indonesia yang berada di luar negeri;
2. Bagi Warga Negara Indonesia yang menggunakan KTP harus dilengkapi dengan Kartu Keluarga (KK) atau nama sejenisnya;
3. Penggunaan hak pilih bagi Warga Negara Indonesia yang menggunakan KTP yang masih berlaku hanya dapat digunakan di Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang berada di RT/RW atau nama sejenisnya sesuai dengan alamat yang tertera di dalam KTP-nya. Khusus untuk yang menggunakan paspor di Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) harus mendapat persetujuan dan penunjukkan tempat pemberian suara dari PPLN setempat;
4. Bagi Warga Negara Indonesia sebagaimana disebutkan dalam angka 3 di atas, sebelum menggunakan hak pilihnya, terlebih dahulu mendaftarkan diri pada KPPS setempat;
5. Bagi Warga Negara Indonesia yang akan menggunakan hak pilihnya dengan KTP atau Paspor dilakukan pada 1 (satu) jam sebelum selesainya pemungutan suara di TPS atau TPS LN setempat. (Putusan Nomor 102/PUU-VII/2009, hlm. 17)

Berdasarkan pertimbangan di atas, sekalipun Mahkamah membuka ruang digunakannya KTP untuk memilih, namun tetap dengan persyaratan yang ketat seperti harus disertai dengan KK, memilih di TPS sesuai dengan alamat yang tertera pada KTP, mendaftarkan diri kepada KPPS, dan dilakukan satu jam sebelum selesai pemungutan suara. Dengan syarat-syarat dimaksud Mahkamah tetap memosisikan bahwa akuntabilitas setiap pemilih yang memberikan suara dalam pemilu tetap harus dijaga. Artinya, segala peluang terjadinya kecurangan akibat longgarnya syarat bagi seseorang untuk dapat menggunakan hak memilihnya harus ditutupi sedemikian rupa sehingga langkah menyelamatkan suara pemilih tetap dalam kerangka tidak mengabaikan aspek kehati-hatian terhadap kemungkinan terjadinya kecurangan yang dapat mengganggu terlaksananya pemilu yang jujur dan adil. Bahwa selanjutnya putusan Mahkamah dimaksud ditindaklanjuti oleh pembentuk undang-undang dengan mengatur bahwa bagi pemilih yang tidak terdaftar dalam DPT dapat menggunakan hak memilihnya dengan menggunakan KTP-el. Dalam kaitan ini, menurut Pemohon, semestinya identitas yang dapat digunakan untuk menggunakan hak memilih tidak hanya KTP-el, melainkan juga KTP non-elektronik, surat keterangan, akta kelahiran, kartu keluarga, buku nikah atau alat identitas lainnya yang dapat membuktikan yang bersangkutan mempunyai hak memilih, seperti Kartu Pemilih yang diterbitkan oleh KPU. Dengan kata lain, dalam konteks ini, para Pemohon pada pokoknya meminta agar dilakukan perluasan terhadap jenis kartu indentitas yang dapat digunakan dalam menggunakan hak memilih.

Terkait pokok permohonan para Pemohon yang meminta agar identitas selain KTP-el juga dapat digunakan oleh warga negara yang tidak memiliki KTP-el Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

Pertama, konstruksi hukum pemilu ihwal syarat administratif penggunaan hak memilih maupun hak dipilih adalah terdaftar sebagai pemilih. Konstruksi demikian dapat dibaca dalam ketentuan Pasal 169 huruf l, Pasal 182 huruf i dan Pasal 240 ayat (1) huruf i UU Pemilu yang mengatur bahwa untuk dapat menjadi peserta pemilu pasangan calon Presiden/Wakil Presiden, calon anggota DPD dan calon anggota DPR/DPRD seseorang harus terdaftar sebagai pemilih. Demikian pula dengan konstruksi syarat untuk dapat memilih sebagaimana diatur dalam Pasal 199 UU Pemilu yang menyatakan bahwa untuk dapat menggunakan hak memilih, seorang warga negara harus terdaftar sebagai pemilih. Berdasarkan konstruksi syarat penggunaan hak pilih dimaksud, terdaftar sebagai pemilih dapat dikategorikan sebagai syarat primer bagi warga negara untuk dapat menggunakan hak pilihnya.

Dalam rangka memenuhi syarat harus terdaftar sebagai pemilih bagi warga negara sebagaimana dikehendaki oleh UU Pemilu, KPU melaksanakan pemutakhiran data pemilih serta menyusun dan menetapkan daftar pemilih. Proses pemutakhiran dan penetapan daftar pemilih merupakan sebuah upaya untuk menjamin agar setiap warga negara yang memiliki hak pilih terdaftar sehingga dapat menggunakan hak pilihnya.

Bahwa oleh karena dalam proses pemutakhiran data pemilih dimaksud ada kemungkinan tidak masuk atau tidak terdaftarnya warga negara yang memiliki hak pilih dalam DPT, UU Pemilu menyediakan klausul jalan keluar yaitu bahwa sekalipun seorang warga negara tidak terdaftar dalam DPT, tetapi tetap dapat memilih menggunakan KTP-el dengan syarat-syarat tersebut. Oleh karena penggunaan KTP-el sebagai identitas pemilih merupakan syarat alternatif dalam penggunaan hak memilih maka identitas selain KTP-el tidak dapat disamakan dengan KTP-el. KTP-el ditempatkan sebagai batas minimum identitas warga negara yang memiliki hak pilih untuk dapat menggunakan haknya. Adapun identitas lainnya tidak dapat disamakan dengan KTP-el sebagai identitas resmi penduduk yang diakui dalam sistem administrasi kependudukan Indonesia.

Kedua, KTP-el sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 14 UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan didefinisikan sebagai Kartu Tanda Penduduk yang dilengkapi cip yang merupakan identitas resmi penduduk sebagai bukti diri yang diterbitkan oleh Instansi Pelaksana. Dengan demikian, KTP-el diposisikan sebagai identitas resmi setiap penduduk. Sebagai identitas resmi, UU Administrasi Kependudukan mewajibkan kepada setiap penduduk yang telah berumur 17 tahun untuk memiliki KTP-el. Bahkan sesuai dengan Pasal 63 ayat (5) UU Administrasi Kependudukan, setiap peduduk yang memiliki KTP-el juga wajib untuk membawanya pada saat bepergian.

Bahwa keberadaan KTP-el sebagai identitas resmi yang wajib dimiliki dan dibawa serta oleh setiap pemiliknya ketika bepergian dalam UU Administrasi Kependudukan juga sejalan dengan konstruksi legal menjadikan KTP-el sebagai syarat alternatif penggunaan hak memilih dalam UU Pemilu. Sebagai identitas resmi, KTP-el dijadikan standar adminstratif minimal dalam menggunakan hak memilih.

Ketiga, dalam konteks bahwa pemilu yang jujur dan adil juga bergantung pada akuntabilitas syarat administratif yang diterapkan dalam penggunaan hak pilih maka KTP-el merupakan identitas resmi yang dapat dipertanggungjawabkan, dalam arti, KTP-el-lah yang secara tegas dinyatakan dalam UU Pemilu sebagai identitas resmi. Adapun identitas lainnya tidak dapat diposisikan setara dengan KTP-el sehingga keberadaannya juga tidak sama. Oleh karena itu, agar identitas yang dapat digunakan pemilih untuk menggunakan hak memilihnya betul-betul dapat dipertanggungjawabkan serta sangat kecil peluang untuk menyalahgunakannya, menempatkan KTP-el sebagai bukti identitas dapat memilih dalam pemilu sudah tepat dan proporsional.

Bahwa sekalipun demikian, pada faktanya proses penyelenggaraan urusan kependudukan oleh pemerintah daerah masih terus berlangsung, sehingga belum semua warga negara yang memiliki hak pilih memiliki KTP-el. Kondisi demikian dapat merugikan hak memilih warga negara yang sejatinya bukanlah disebabkan oleh faktor kesalahan atau kelalaiannya sebagai warga negara. Jika syarat memiliki KTP-el tetap diberlakukan bagi warga negara yang sedang menyelesaikan urusan data kependudukan maka hak memilih mereka tidak terlindungi. Agar hak memilih warga negara dimaksud tetap dapat dilindungi dan dilayani dalam Pemilu, dapat diberlakukan syarat dokumen berupa surat keterangan perekaman KTP-el yang diterbitkan oleh dinas yang menyelenggarakan urusan kependudukan dan catatan sipil. Jadi, bukan surat keterangan yang diterbitkan atau dikeluarkan oleh pihak lain.

Bahwa berdasarkan alasan-alasan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah tetap pada keyakinan bahwa syarat minimal bagi pemilih untuk dapat menggunakan hak pilihnya adalah memiliki KTP-el sesuai dengan UU Administrasi Kependudukan. Dalam hal KTP-el belum dimiliki, sementara yang bersangkutan telah memenuhi syarat untuk memiliki hak pilih maka sebelum KTP-el diperoleh, yang bersangkutan dapat memakai atau menggunakan surat keterangan perekaman KTP-el dari dinas urusan kependudukan dan catatan sipil instansi terkait sebagai pengganti KTP-el.

Dengan pendirian demikian bukan berarti Mahkamah telah mengubah pendiriannya sebagaimana ditegaskan dalam putusan-putusan sebelumnya. Putusan Mahkamah sebelumnya yang memperbolehkan warga negara menggunakan sejumlah tanda pengenal diri untuk memilih (bagi pemilih yang tidak terdaftar dalam DPT) adalah ketika data kependudukan belum terintegrasi dengan data kepemiluan sehingga terdapat potensi di mana warga negara tidak dapat menggunakan hak pilihnya. Sementara itu, pada saat ini, integrasi data dimaksud telah dilakukan sehingga alasan untuk menggunakan identitas lain di luar KTP-el menjadi kehilangan dasar pijakan untuk tetap mempertahankannya dalam konteks penggunaan hak pilih. Sebab, apabila pandangan demikian tidak disesuaikan dengan perkembangan pengintegrasian data kependudukan dan data kepemiluan maka akan berakibat terganggunya validitas data kependudukan yang sekaligus data kepemiluan yang pada akhirnya bermuara pada legitimasi pemilu.

Berdasarkan pertimbangan di atas, sebagian dalil para Pemohon terkait Pasal 348 ayat (9) UU Pemilu beralasan secara hukum sepanjang istilah “kartu tanda penduduk elektronik” juga diartikan mencakup “surat keterangan perekaman KTP-el yang dikeluarkan oleh dinas kependudukan dan catatan sipil (Disdukcapil)”. Dengan demikian, Pasal 348 ayat (9) UU Pemilu harus dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “Penduduk yang telah memiliki hak pilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dapat memilih di TPS/TPSLN dengan menggunakan kartu tanda penduduk elektronik atau surat keterangan perekaman KTP-el yang dikeluarkan oleh dinas kependudukan dan catatan sipil (Disdukcapil) atau instansi lain yang sejenisnya yang memiliki kewenangan untuk itu”.

Sehubungan dengan pertimbangan hukum Mahkamah di atas, penting bagi Mahkamah mengingatkan pemerintah untuk mempercepat proses perekaman KTP-el bagi warga negara yang belum melakukan perekaman, lebih-lebih yang telah memiliki hak pilih, agar dapat direalisasikan sebelum hari pemungutan suara.

Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil permohonan a quo yaitu berkenaan dengan Pasal 348 ayat (9) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “dalam hal tidak mempunyai KTP elektronik, dapat menggunakan kartu identitas lainnya, yaitu KTP non-elektronik, surat keterangan, akta kelahiran, kartu keluarga, buku nikah, atau alat identitas lainnya yang dapat membuktikan yang bersangkutan mempunyai hak memilih, seperti Kartu Pemilih yang diterbitkan oleh Komisi Pemilihan Umum” adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian.

2. Perihal Hak Memilih bagi Pemilih yang Pindah Memilih.
Bahwa perihal hak memilih bagi pemilih yang menggunakan haknya untuk memilih di TPS/TPSLN lain, Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu menyatakan:
Pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat menggunakan haknya untuk memilih:
a. calon anggota DPR apabila pindah memilih ke kabupaten/kota lain dalam satu provinsi dan di daerah pemilihannya;
b. calon anggota DPD apabila pindah memilih ke kabupaten/kota lain dalam satu provinsi;
c. Pasangan Calon apabila pindah memilih ke kabupaten/kota lain dalam satu provinsi;
d. calon anggota DPRD Pronvinsi pindah memilih ke kebupaten/kota lain dalam satu provinsi dan di daerah pemilihannya; dan
e. calon anggota DPRD Kabupaten/Kota pindah memilih ke kecamatan lain dalam satu kabupaten/kota dan daerah pemilihannya.

Pertanyaan konstitusional terkait dengan rumusan norma Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu di atas dalam hubungannya dengan permohonan a quo, sebagaimana telah dikemukakan di atas, adalah apakah pembatasan hak memilih hanya untuk calon sesuai daerah pemilih di mana pemilih terdaftar bagi pemilih yang pindah memilih sebagaimana diatur dalam Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu telah menyebabkan hilangnya hak pemilih yang pindah memilih untuk menggunakan haknya memilih calon anggota legislatif, sehingga harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.

Dalam kaitan ini, para Pemohon mendalilkan bahwa pembatasan terhadap calon/peserta pemilu yang dapat dipilih bagi pemilih yang pindah memilih sebagaimana diatur dalam Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu merupakan norma yang menyebabkan hilangnya hak pemilih untuk memilih calon anggota DPR, DPD, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Lebih jauh juga didalilkan para Pemohon bahwa dalam Pemilu Tahun 2014, pemilih yang pindah memilih tetap dapat memilih anggota legislatif.

Bahwa terhadap permohonan a quo, Mahkamah telah menyatakan pendiriannya sebagaimana tertuang dalam Putusan Nomor 19/PUU-XVII/2019 yang telah diucapkan sebelumnya yang dalam pertimbangan hukumnya menyatakan sebagai berikut:

[3.14.4] Bahwa berkenaan dengan dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 28 ayat (1) UUD 1945 karena para Pemohon yang tidak dapat menggunakan hak pilihnya di tempat asalnya sehingga tidak memiliki kesempatan untuk menggunakan hak pilihnya untuk semua jenis pemilihan (memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD) melainkan hanya untuk memilih pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.

Sebelum Mahkamah mempertimbangkan dalil para Pemohon tersebut, terlebih dahulu dikemukakan ketentuan Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu yang menyatakan:

Pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat menggunakan haknya untuk memilih:
a. calon anggota DPR apabila pindah memilih ke kabupaten/kota lain dalam satu provinsi dan di daerah pemilihannya;
b. calon anggota DPD apabila pindah memilih ke kabupaten/kota lain dalam satu provinsi;
c. Pasangan Calon apabila pindah memilih ke provinsi lain atau pindah memilih ke suatu negara;
d. calon anggota DPRD Provinsi pindah memilih ke kabupaten/kota lain dalam satu provinsi dan di daerah pemilihannya; dan
e. calon anggota DPRD Kabupaten/Kota pindah memilih ke kecamatan lain dalam satu kabupaten/kota dan daerah pemilihannya.

Pertanyaan konstitusional terkait dengan rumusan norma Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu tersebut dalam hubungannya dengan permohonan a quo, sebagaimana telah dikemukakan di atas, adalah apakah pembatasan hak memilih hanya untuk calon sesuai daerah pemilih di mana pemilih terdaftar bagi pemilih yang pindah memilih sebagaimana diatur dalam Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu telah menyebabkan hilangnya hak pemilih yang pindah memilih untuk menggunakan haknya memilih calon anggota legislatif, sehingga harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.

Dalam kaitan ini, para Pemohon mendalilkan bahwa pembatasan terhadap calon/peserta pemilu yang dapat dipilih bagi pemilih yang pindah memilih sebagaimana diatur dalam Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu merupakan norma yang menyebabkan hilangnya hak pemilih untuk memilih calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Lebih jauh juga didalilkan bahwa dalam Pemilu Tahun 2014, pemilih yang pindah memilih tetap dapat memilih calon anggota legislatif.

Terhadap dalil a quo Mahkamah mempertimbangkan bahwa ketentuan yang tertuang dalam Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu adalah diberlakukan terhadap “Pemilih dengan kondisi tertentu” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 348 ayat (3) UU Pemilu. Adapun yang dimaksud dengan “Pemilih dengan kondisi tertentu”, sebagaimana tertuang dalam Penjelasan Pasal 348 ayat (3) UU Pemilu, adalah pemilih yang sedang bersekolah dan/atau bekerja di luar domisilinya, sedang sakit, dan pemilih yang sedang menjalani hukuman penjara atau kurungan. Sementara itu, pembatasan hak untuk memilih terhadap calon/peserta pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu merupakan konsekuensi logis dari ada dan ditetapkannya daerah pemilihan. Dalam hal ini, daerah pemilihan tidak hanya menentukan batas wilayah pemilihan bagi peserta pemilu, melainkan juga batas pemilihan bagi pemilih. Artinya, daerah pemilihan merupakan batas penggunaan hak pilih, baik hak memilih maupun hak untuk dipilih. Dalam konteks itu, pengaturan pembatasan hak untuk memilih terdahap peserta pemilu pada level tertentu berdasarkan daerah pemilihan merupakan sebuah kebijakan hukum yang sangat logis dan tidak berkelebihan. Ihwal regulasi pemilu yang berlaku sebelumnya tidak terdapat pengaturan yang demikian tidak dapat dijadikan patokan untuk menilai perubahan dan/atau perkembangan regulasi. Sepanjang perubahan aturan masih dalam batas-batas yang ditujukan untuk menjaga keadilan dan proporsionalitas prosedur pemilu maka hal itu tidak dapat dianggap sebagai sebuah pembatasan yang tidak sesuai dengan UUD 1945, khususnya menyangkut hak konstitusional yang berkait dengan hak pilih. Lebih jauh Mahkamah akan mempertimbangkan hal tersebut sebagai berikut:

Pertama, sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat, pemilu secara teknis dipahami sebagai mekanisme konversi suara rakyat menjadi kursi di lembaga perwakilan. Suara rakyat yang dikonversi adalah suara rakyat yang memilih wakil-wakilnya dalam pemilu. Proses konversi suara rakyat menjadi kursi dikanalisasi melalui pelaksanaan pemilu berbasis daerah pemilihan. Kanalisasi tersebut tidak saja bermakna bahwa proses pemilihan dilakukan berbasis daerah pemilihan, melainkan juga dimaksudkan bahwa daerah pemilihan merupakan wilayah representatif sehingga wakil rakyat terpilih bertanggung jawab kepada konstituen di daerah pemilihan di mana mereka terpilih. Artinya, suara rakyat yang dikonversi menjadi kursi anggota lembaga perwakilan (baik DPR, DPD, DPRD provinsi maupun DPRD kabupaten/kota) berkonsekuensi terhadap munculnya model pertanggungjawaban anggota lembaga perwakilan rakyat berbasis daerah pemilihan. Jadi, dengan adanya daerah pemilihan, pertanggungjawaban masing-masing anggota lembaga perwakilan yang terpilih menjadi jelas, baik secara kewilayahan maupun kepada rakyat/pemilih yang memberikan mandat dalam pemilu.

Sebagai basis pemilihan dan juga pertanggungjawaban wakil rakyat terpilih, daerah pemilihan juga merupakan basis hubungan wakil dengan yang diwakilinya. Daerah pemilihan merupakan daerah di mana dua subjek dalam sistem perwakilan saling berinteraksi. Agar interaksi antara wakil dan yang diwakili sebagai subjek dalam satu daerah pemilihan maka wakil rakyat yang dipilih haruslah orang yang bisa dimintakan pertanggungjawaban oleh rakyat/pemilih. Pada saat yang sama, rakyat yang memilih juga adalah orang yang dapat meminta pertanggungjawaban wakilnya. Tentu yang dimaksud dengan pertanggungjawaban dalam hal ini adalah pertanggungjawaban politik. Dalam posisi demikian, hanya orangorang yang dipilih dan pemilih yang terdaftar dan memilih di satu daerah pemilihanlah yang dapat terkoneksi dalam hubungan wakil dan yang diwakili. Oleh karena itu, membatasi hak pemilih untuk memilih calon/peserta pemilu berbasis tempat di mana ia terdaftar sebagai pemilih tetap merupakan kebijakan hukum yang tidak bertentangan dengan desain sistem pemilu yang jujur dan adil serta, pada saat yang sama, sekaligus akuntabel.

Kedua, pembatasan hak untuk memilih calon/peserta pemilu sesuai dengan tingkatan sebagaimana diatur dalam Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu berlaku berbasis skala pindah memilih. Dalam arti, hak memilih yang tidak dapat digunakan adalah hak untuk memilih calon di daerah pemilihan yang ditinggalkan. Namun, apabila pindah memilih masih dalam daerah pemilihan yang sama maka seorang pemilih tetap memiliki hak memilih calon/peserta pemilu dimaksud. Kerangka hukum demikian tidak dapat dinilai sebagai penghilangan hak memilih anggota legislatif sebagaimana didalilkan para Pemohon. Sebab, hak memilih calon/peserta pemilu bagi pemilih yang tidak berasal dari daerah pemilihan yang bersangkutan pada dasarnya memang tidak ada. Artinya, ketika pemilih sudah keluar dari daerah pemilihannya maka hak memilihnya tidak lagi valid untuk digunakan. Justru ketika hak memilih tetap diberikan kepada pemilih yang basis representasinya bukan di daerah pemilihan yang bersangkutan maka konsep batas wilayah pemilihan dan pertanggungjawaban wakil terpilih akan menjadi tidak jelas. Oleh karena itu, yang diatur dalam Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu pada prinsipnya adalah untuk menjaga kemurnian sistem pemilihan berbasis daerah pemilihan dan sekaligus juga untuk menjaga kejelasan sistem pertanggungjawaban wakil rakyat terpilih kepada pemilih yang memang berasal dari daerah pemilihan yang bersangkutan.

Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, Mahkamah berpendapat dalil para Pemohon a quo yang menyatakan Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.

Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum dalam putusan Mahkamah di atas, ternyata Mahkamah telah menyatakan Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karenanya, pertimbangan hukum Mahkamah dalam putusan di atas mutatis-mutandis berlaku pula terhadap dalil permohonan para Pemohon a quo. Dengan demikian permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum.

3. Perihal Batas Waktu Pendaftaran Pemilih Pindah Memilih
Bahwa perihal batas waktu pendaftaran pemilih untuk menggunakan haknya untuk memilih di TPS/TPSLN lain, Pasal 210 ayat (1) UU Pemilu menyatakan:
Daftar pemilih tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 208 ayat (2) dapat dilengkapi daftar pemilih tambahan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum hari pemungutan suara.

Pertanyaan konstitusional terkait dengan rumusan norma Pasal 210 ayat (1) UU Pemilu dalam hubungannya dengan permohonan a quo, sebagaimana telah dikemukan di atas, adalah apakah pembatasan jangka waktu pendaftaran pemilih ke dalam DPTb paling lambat 30 hari sebelum hari pemungutan suara sebagaimana diatur dalam Pasal 210 ayat (1) UU Pemilu menyebabkan terhambat, terhalanginya hak sebagian pemilih yang pindah memilih karena terjadinya keadaan tertentu, sehingga harus dinyatakan konstitusional bersyarat.

Dalam kaitan ini para Pemohon mendalilkan bahwa pembatasan waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum hari pemungutan suara bagi pemilih untuk terdaftar dalam DPTb karena alasan adanya keadaan tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 210 ayat (1) UU Pemilu berpotensi menghambat, menghalangi, dan mempersulit dilaksanakannya hak memilih, sehingga harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.

Terhadap dalil dimaksud, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

Bahwa dalam batas-batas tertentu, pembatasan jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum hari pemungutan suara untuk pemilih yang pindah memilih karena alasan tertentu agar dapat didaftarkan dalam DPTb dapat dikualifikasi sebagai kebijakan hukum yang rasional. Rasional dalam arti bahwa dengan pembatasan jangka waktu dimaksud, penyelenggara pemilu memiliki kesempatan untuk mempersiapkan kebutuhan logistik pemilu guna melayani hak memilih pemilih yang pindah memilih. Tanpa adanya pengaturan jangka waktu dimaksud, ketika jumlah pemilih yang pindah memilih terjadi dalam jumlah besar dan menumpuk pada daerah tertentu, maka hak pilih pemilih dimaksud tidak akan dapat dipenuhi. Dalam konteks itu, penentuan jangka waktu dimaksud juga dapat dinilai sebagai rekayasa hukum agar pemilih yang pindah memilih betul-betul dapat dilayani hak pilihnya. Dengan demikian, untuk konteks bagaimana penyelenggara pemilu dapat melayani hak pilih warga negara yang pindah memilih maka kebijakan pembatasan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum hari pemungutan suara merupakan kebijakan hukum yang tidak secara umum dapat dinilai bertentangan dengan UUD 1945.

Bahwa walaupun demikian, pembatasan waktu tersebut masih mengandung potensi tidak terlayaninya hak memilih warga negara yang mengalami keadaan tertentu di luar kemampuan dan kemauan yang bersangkutan. Dalam hal ini, tidak ada yang dapat memperkirakan kapan seseorang akan mengalami sakit, bermasalah secara hukum sehingga ditahan atau ditimpa bencana alam. Hal demikian dapat saja menimpa pemilih justru dalam waktu yang berdekatan dengan hari pemungutan suara, sehingga ia harus pindah memilih.

Bahwa kebutuhan akan perlunya jangka waktu mempersiapkan layanan terhadap pemilih yang pindah memilih dan upaya memenuhi hak memilih warga negara yang mengalami kondisi atau keadaan tertentu (sakit, menjadi tahanan, tertimpa bencana alam, atau menjalankan tugas pada saat pemungutan suara) yang mengharuskannya pindah memilih merupakan dua hal yang sama-sama penting, yang satu tidak boleh menegasikan yang lain. Dalam arti, alasan melayani hak memilih warga negara tetap harus dalam kerangka memberikan waktu yang cukup bagi penyelenggara untuk mempersiapkan segala perlengkapan pemungutan suara. Pada saat yang sama, alasan memberikan waktu yang cukup bagi penyelenggara tidak boleh mengabaikan hak pilih warga negara yang mengalami keadaan tertentu. Oleh karena itu, agar upaya memenuhi hak memilih dan kebutuhan ketersediaan waktu yang cukup bagi penyelenggara pemilu haruslah ditentukan batasnya secara proporsional sehingga prinsip penyelenggaraan pemilu secara jujur dan adil dalam rangka memenuhi hak pilih warga negara tetap dapat dipenuhi.

Bahwa berdasarkan alasan tersebut, batas waktu agar pemilih dapat didaftarkan dalam DPTb paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum hari pemungutan suara tetap harus dipertahankan karena dengan rentang waktu itulah diperkirakan penyelenggara pemilu dapat memenuhi kebutuhan logistik pemilu. Hanya saja, pembatasan waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum hari pemungutan suara tersebut harus dikecualikan bagi pemilih yang terdaftar sebagai pemilih yang pindah memilih karena alasan terjadinya keadaan tertentu, yaitu sakit, tertimpa bencana alam, menjadi tahanan, serta karena menjalankan tugas pada saat pemungutan suara maka pemilih dimaksud dapat melakukan pindah memilih dan didaftarkan dalam DPTb paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum hari pemungutan suara. Artinya, hanya bagi pemilih-pemilih yang mengalami keadaan tertentu demikianlah yang dapat melakukan pindah memilih dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum hari pemungutan suara. Adapun bagi pemilih yang tidak memiliki keadaan tertentu dimaksud, ketentuan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum hari pemungutan suara tetap berlaku.

Bahwa pemilahan batas waktu demikian perlu dilakukan untuk menghindari terjadinya pindah memilih dalam jumlah besar karena alasan pekerjaan atau alasan lain mendekati hari pemungutan suara sehingga tidak tersedia lagi waktu yang cukup bagi penyelenggara untuk menyediakan tambahan logistik pemilu. Dalam batas penalaran yang wajar, ketersediaan waktu demikian penting jadi dasar pertimbangan karena dengan waktu yang terbatas akan menghadirkan kondisi lain yaitu potensi tidak terpenuhinya hak memilih secara baik karena tidak tersedianya waktu yang cukup untuk memenuhi tambahan logistik pemilu oleh penyelenggara. Bilamana kondisi demikian terjadi, hasil pemilu potensial untuk dipersoalkan dan penyelenggara pemilu akan dengan mudah dinilai tidak menyelenggarakan pemilu secara profesional. Oleh karena itu, guna menghindari terjadinya masalah dalam proses pemungutan suara akibat tidak mencukupinya surat suara dan logistik lainnya, pengecualian terhadap keberlakuan batas waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum hari pemungutan suara hanya dapat diterapkan bagi pemilih yang mengalami keadaan tertentu sebagaimana telah dijelaskan di atas.

Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum di atas, dalil para Pemohon terkait dengan konstitusionalitas Pasal 210 ayat (1) UU Pemilu sepanjang ditujukan untuk melindungi hak memilih pemilih yang mengalami keadaan tertentu adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian, namun tidak dengan mengubah batas waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari menjadi 3 (tiga) hari menjelang hari pemungutan suara, melainkan dengan menerapkan pengecualian terhadap pemilih yang mengalami keadaan tertentu.

Dengan demikian, batas waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum hari pemungutan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 210 ayat (1) UU Pemilu tidak berlaku bagi pemilih dalam keadaan tertentu yaitu pemilih yang mengalami sakit, tertimpa bencana alam, menjadi tahanan karena melakukan tindak pidana, atau menjalankan tugas pada saat pemungutan suara. Demi, di satu pihak, tetap terpenuhinya hak konstitusional pemilih dalam keadaan tertentu untuk melaksanakan hak pilihnya, dan di lain pihak, penyelenggara memiliki cukup waktu untuk menjamin ketersediaan logistik terkait dengan pemenuhan hak dimaksud, maka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum hari pemungutan suara adalah batas waktu yang rasional untuk ditetapkan sebagai batas waktu paling lambat bagi pemilih yang demikian untuk dapat didaftarkan dalam DPTb.

4. Perihal Pembentukan TPS Tambahan.
Bahwa perihal Pembentukan TPS Tambahan, Pasal 350 ayat (2) UU Pemilu menyatakan:
TPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan lokasinya di tempat yang mudah dijangkau, termasuk oleh penyandang disabilitas, tidak menggabungkan desa, dan memperhatikan aspek geografis serta menjamin setiap Pemilih dapat memberikan suaranya secara langsung, bebas, dan rahasia.
Pertanyaan konstitusional terkait dengan rumusan norma Pasal 350 ayat (2) UU Pemilu dalam hubungannya dengan permohonan a quo, sebagaimana telah disinggung di atas, adalah apakah pembatasan pembentukan TPS berbasis DPT sebagaimana diatur dalam Pasal 350 ayat (2) UU Pemilu menyebabkan sejumlah pemilih terhambat untuk menggunakan hak pilihnya, sehingga harus dinyatakan inkonstitusional bersyarat.

Dalam hal ini para Pemohon mendalilkan, pembentukan TPS yang didasarkan pada DPT telah menyebabkan sejumlah pemilih terhambat menggunakan hak pilihnya, khususnya pemilih yang pindah memilih karena keadaan tertentu. Ketika kondisi pemilih yang pindah memilih terkonsentrasi dalam jumlah besar di lokasi-lokasi tertentu maka ketentuan pembatasan pembentukan TPS berbasis DPT akan menyebabkan pemilih tidak dapat menyalurkan hak pilihnya akibat keterbatasan ketersediaan surat suara pada TPS sesuai dengan DPT. Berdasarkan alasan dimaksud, para Pemohon meminta agar ketentuan Pasal 350 ayat (2) UU Pemilu sepanjang frasa “menjamin setiap Pemilih dapat memberikan suaranya secara langsung, bebas, dan rahasia” adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “dalam hal jumlah Pemilih DPTb pada suatu tempat melebihi jumlah maksimal Pemilih di TPS yang ditetapkan oleh KPU, dapat dibentuk TPS berbasis Pemilih DPTb.”

Terhadap dalil para Pemohon dimaksud Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

Bahwa harus dipahami, konstruksi norma Pasal 350 ayat (2) UU Pemilu bukanlah mengatur tentang basis pembentukan TPS, sebagaimana dipahami dan didalilkan oleh para Pemohon, melainkan terkait dengan syarat lokasi pembentukan TPS. Dalam hal ini, pembentukan TPS harus ditentukan lokasinya pada tempat yang mudah dijangkau oleh pemilih, tidak menggabungkan desa, memperhatikan aspek geografis dan menjamin setiap pemilih dapat memberikan suaranya secara langsung, bebas, dan rahasia. Jadi, penekanannya justru terletak pada frasa “menjamin setiap Pemilih dapat memberikan suaranya secara langsung, bebas, dan rahasia” yang tiada lain adalah tiga dari enam asas penting dalam pemilu yang secara eksplisit dinyatakan dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Maksud sesungguhnya yang dikehendaki oleh frasa “menjamin setiap Pemilih dapat memberikan suaranya secara langsung, bebas, dan rahasia” adalah lokasi yang dipilih untuk membentuk TPS. Dalam arti, TPS tidak boleh ditempatkan pada lokasi yang tidak memberikan jaminan kepada pemilih untuk dapat memberikan suaranya secara langsung, bebas, dan rahasia.

Bahwa oleh karena konstruksi norma Pasal 350 ayat (2) UU Pemilu adalah terkait syarat lokasi TPS maka norma a quo tidak dapat dijadikan dasar hukum bagi pembentukan TPS tambahan yang ditujukan untuk mengakomodasi pemilih yang pindah memilih yang terkonsentrasi di daerah tertentu yang potensial tidak dapat menggunakan hak memilihnya. Dengan dasar pertimbangan demikian permohonan para Pemohon agar frasa “menjamin setiap Pemilih dapat memberikan suaranya secara langsung, bebas, dan rahasia” dimaknai menjadi “dalam hal jumlah Pemilih DPTb pada suatu tempat melebihi jumlah maksimal Pemilih di TPS yang ditetapkan oleh KPU, dapat dibentuk TPS berbasis Pemilih DPTb” adalah tidak relevan. Dalam batas penalaran yang wajar, memaknai frasa dimaksud selain yang tertera dalam teks norma tersebut potensial mengancam asas “langsung”, “bebas’, dan “rahasia” yang merupakan tiga dari enam asas mendasar dalam pelaksanaan hak pilih sebagaimana termaktub dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Karena itu, apabila frasa dimaksud ditafsirkan sebagaimana dimohonkan para Pemohon, penafsiran demikian justru akan menjadi bertentangan dengan jiwa atau semangat Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.

Bahwa sekalipun demikian, Mahkamah memahami dan dapat menangkap semangat yang dimaksudkan oleh para Pemohon perihal perlunya dibuka ruang bagi KPU untuk membentuk TPS tambahan dalam rangka melayani dan memenuhi hak memilih pemilih yang pindah memilih. Namun, terkait hal dimaksud harus dipahami bahwa konstruksi norma yang mengatur perihal daftar pemilih tetap dan daftar pemilih tambahan dalam hubungannya dengan norma pembentukan TPS dalam UU Pemilu sesungguhnya telah memberi ruang bagi KPU untuk membentuk TPS tambahan sesuai dengan data pemilih dalam DPT dan DPTb.

Bahwa terkait dengan pendapat Mahkamah tersebut dapat dijelaskan lebih jauh sebagai berikut: Pasal 210 ayat (2) UU Pemilu membuka kesempatan bagi pemilih yang terdaftar dalam DPT yang mengalami keadaan tertentu untuk pindah memilih ke TPS/TPSLN lain. Kesempatan pindah memilih dimaksud tentunya akan berkonsekuensi terhadap terjadinya pergeseran jumlah pemilih dari satu tempat ke tempat lain. Pergeseran mana dapat terjadi secara berimbang antar daerah pemilihan karena pemilih yang keluar dan masuk dalam satu TPS dalam jumlah yang sebanding. Sebaliknya, pergeseran pemilih juga dapat terjadi secara terkonsentrasi di daerah-daerah tertentu, di mana perpindahan pemilih dari dan ke TPS di satu daerah tertentu tidak berimbang sehingga menyebabkan terjadinya penumpukan pemilih yang jumlahnya dapat melebihi kapasitas maksimal pemilih di TPS. Dalam kondisi demikian dapat dipastikan pemilih yang pindah memilih yang kebetulan terkonsentrasi di daerah tertentu tidak akan dapat menggunakan hak memilihnya. Hal itu dapat terjadi dalam beberapa bentuk seperti selisih batas maksimal jumlah pemilih di TPS lebih kecil dibandingkan jumlah pemilih yang terdapat dalam DPTb; atau ketersediaan kesempatan memilih di sejumlah TPS di satu daerah sangat kecil karena jumlah pemilih di TPS-TPS yang ada mencapai jumlah maksimal pemilih sebanyak 300 orang sesuai dengan Pasal 11 Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan Pengitungan Suara Dalam Pemilu. Kondisi-kondisi demikian dipastikan akan menyebabkan pemilih yang terdaftar dalam DPTb tidak akan dapat memilih kecuali jika KPU membentuk TPS tambahan. Dalam hal data DPTb yang dimiliki KPU menunjukkan bahwa hak memilih hanya dapat dipenuhi dengan membentuk TPS tambahan maka KPU sebagai penyelenggara pemilu yang bertanggungjawab terhadap pemenuhan hak memilih warga negara dapat membentuk TPS tambahan.

Bahwa sesuai dengan konstruksi norma yang mengatur data pemilih dalam UU Pemilu, dapat dipahami bahwa DPTb sesungguhnya bukanlah data pemilih baru. Sebab DPTb adalah data pemilih dalam DPT yang karena keadaan tertentu harus pindah memilih ke TPS lain. Dengan demikian, DPTb sesungguhnya adalah data pemilih yang menjadi bagian tidak terpisah dari DPT. Oleh karena itu, ketika TPS dibentuk berdasarkan data pemilih dalam DPT, hal itu bermakna bahwa data DPTb juga menjadi bagian dari basis data yang dapat dijadikan dasar pembentukan TPS. Dengan demikian, apabila data pemilih dalam DPT dan DPTb memang membutuhkan penambahan TPS maka sesuai dengan wewenang KPU untuk mengatur jumlah, lokasi, bentuk dan tata letak TPS sebagaimana diatur dalam Pasal 350 ayat (5) UU Pemilu, KPU dapat membentuk TPS tambahan sesuai dengan data DPTb.

Bahwa sekalipun Mahkamah telah menegaskan bahwa KPU dapat membentuk TPS tambahan sebagai konsekuensi dibukanya kesempatan pindah memilih bagi warga negara melalui UU Pemilu, namun pembentukan TPS tambahan tetap harus dilakukan secara hati-hati dengan mempertimbangkan kebutuhan nyata pemenuhan dan pelayanan hak memilih warga negara dan mempertimbangkan jumlah pemilih dalam DPTb. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa frasa “menjamin setiap Pemilih dapat memberikan suaranya secara langsung, bebas, dan rahasia” agar dimaknai menjadi “dalam hal jumlah Pemilih DPTb pada suatu tempat melebihi jumlah maksimal Pemilih di TPS yang ditetapkan oleh KPU, dapat dibentuk TPS berbasis Pemilih DPTb” adalah tidak beralasan menurut hukum.

5. Perihal Batas Waktu Penghitungan Suara
Bahwa perihal batas waktu penghitungan suara pada hari pemungutan suara, Pasal 383 ayat (2) UU Pemilu menyatakan:
Penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan dan selesai di TPS/TPSLN yang bersangkutan pada hari pemungutan suara.

Pertanyaan konstitusional terkait dengan rumusan norma Pasal 383 ayat (2) UU Pemilu dalam hubungannya dengan permohonan a quo, sebagaimana telah disinggung di atas, adalah apakah batas waktu penghitungan suara yang harus selesai pada hari pemungutan suara sebagaimana diatur dalam Pasal 383 ayat (2) UU Pemilu berpotensi menyebabkan munculnya persoalan hukum yang dapat mengganggu keabsahan Pemilu, sehingga harus dinyatakan inkonstitusional bersyarat.

Dalam kaitan ini para Pemohon mendalilkan ihwal batas waktu penghitungan suara harus selesai pada hari pemungutan suara sebagaimana diatur dalam Pasal 383 ayat (2) UU Pemilu berpotensi tidak terpenuhi dalam penyelenggaraan pemilu serentak sehingga dapat menimbulkan masalah dan komplikasi hukum yang dapat menyebabkan dipersoalkannya keabsahan Pemilu 2019.

Terhadap dalil tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

Bahwa Pemilu 2019 merupakan pemilu serentak pertama karena untuk pertama kalinya, pemilu presiden dan wakil presiden dilaksanakan bersamaan dengan pemilu anggota legislatif (yaitu pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota). Salah satu konsekuensi keserentakan pemilu dimaksud adalah bertambahnya jenis surat dan kotak suara. Jika pada Pemilu 2014, in casu pemilu anggota legislatif, terdapat empat kotak suara maka pada Pemilu 2019, yang menggabungkan penyelenggaraan pemilu presiden dan wakil presiden dilaksanakan bersamaan dengan pemilu anggota legislatif, terdapat lima kotak suara. Penyelenggaraan demikian, dalam batas penalaran yang wajar, akan menimbulkan beban tambahan dalam penyelenggaraan termasuk memerlukan waktu lebih lama. Apalagi, jumlah partai politik peserta Pemilu 2019 lebih banyak dari Pemilu 2014. Terkait dengan hal itu, Pasal 350 ayat (1) UU Pemilu mengantisipasi dengan cara membatasi bahwa pemilih untuk setiap TPS paling banyak 500 orang. Bahkan, setelah melalui simulasi, sesuai dengan Pasal 11 ayat (1) Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam Pemilihan Umum, KPU mengatur bahwa jumlah pemilih untuk setiap TPS paling banyak 300 orang.

Bahwa sekalipun jumlah pemilih untuk setiap TPS telah ditetapkan paling banyak 300 orang, namun dengan banyaknya jumlah peserta pemilu, yang terdiri dari dua pasangan calon presiden, 16 (enam belas) partai politik nasional dan khusus Aceh ditambah dengan 4 (empat) partai politik lokal peserta pemilu dengan tiga tingkat pemilihan, dan perorangan calon anggota DPD, serta kompleksnya formulir-formulir yang harus diisi dalam penyelesaian proses penghitungan suara, potensi tidak selesainya proses penghitungan suara pada hari pemungutan suara sangat terbuka. Belum lagi jika faktor kapasitas dan kapabilitas aparat penyelenggara pemilu, khususnya di tingkat TPS, turut dipertimbangkan.

Oleh karena itu, dalam hal potensi yang tak dikehendaki tersebut benar-benar terjadi, sementara UU Pemilu menentukan pembatasan waktu yang sangat singkat dalam menghitung suara yang harus selesai pada hari pemungutan suara, maka keabsahan hasil pemilu akan menjadi terbuka untuk dipersoalkan.

Bahwa untuk mengatasi potensi masalah tersebut maka ketentuan pembatasan waktu penghitungan suara sebagaimana diatur dalam Pasal 383 ayat (2) UU Pemilu harus dibuka namun dengan tetap memerhatikan potensi kecurangan yang mungkin terjadi. Potensi kecurangan mana akan terbuka jika proses penghitungan suara yang tidak selesai pada hari pemungutan suara lalu dilanjutkan pada hari berikutnya dengan disertai jeda waktu. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, perpanjangan jangka waktu penghitungan suara hanya dapat dilakukan sepanjang proses penghitungan dilakukan secara tidak terputus hingga paling lama 12 jam sejak berakhirnya hari pemungutan suara di TPS/TPSLN. Perpanjangan hingga paling lama 12 jam sejak berakhirnya hari pemungutan suara di TPS/TPSLN, yaitu pukul 24.00 waktu setempat, merupakan waktu yang masuk akal, jika waktu tersebut diperpanjang lebih lama lagi justru akan dapat menimbulkan masalah lain di tingkat KPPS.

Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat, sebagian dalil para Pemohon sepanjang menyangkut pembatasan waktu penghitungan suara di TPS/TPSLN sebagaimana diatur dalam Pasal 383 ayat (2) UU Pemilu cukup beralasan. Hanya saja, untuk mengurangi segala kemungkinan risiko, terutama risiko kecurangan, lama perpanjangan waktu penghitungan suara cukup diberikan paling lama 12 (dua belas) jam. Dengan waktu tersebut, dalam batas penalaran yang wajar, sudah lebih dari cukup untuk menyelesaikan potensi tidak selesainya proses penghitungan suara di TPS/TPSLN pada hari pemungutan suara. Sehubungan dengan itu, maka Pasal 383 ayat (2) UU Pemilu harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai, “Penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan dan selesai di TPS/TPSLN yang bersangkutan pada hari pemungutan suara dan dalam hal penghitungan suara belum selesai dapat diperpanjang paling lama 12 (dua belas) jam sejak berakhirnya hari pemungutan suara.”

Dengan dimaknainya Pasal 383 ayat (2) UU Pemilu sebagaimana dinyatakan di atas maka semua norma yang memuat batas waktu yang terkait atau terdampak dengan penambahan waktu 12 (dua belas) jam tersebut harus pula disesuaikan dengan penambahan waktu dimaksud.

[3.18] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat dalil Pemohon I, Pemohon IV, Pemohon V, Pemohon VI, dan Pemohon VII beralasan menurut hukum untuk sebagian.

1. Bahwa terhadap Putusan MK dalam Perkara Nomor 20/PUU-XVII/2019 sebagaimana diuraikan diatas, untuk mengisi kekosongan hukum berdasarkan Pasal 10 ayat (1) huruf d, Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 23 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan saran sebagai berikut:
1) Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 20/PUU-XVII/2019 sebagai bahan dalam penyusunan Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka.
2) Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 20/PUU-XVII/2019 sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan UU Pemilu.

2. Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh seluruh organ penyelenggara Negara, organ penegak hukum dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 20/PUU-XVII/2019 mengenai materi muatan pasal/ayat dalam UU Pemilu yang dinyatakan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, agar tidak menimbulkan kekosongan hukum, dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan Perubahan UU Pemilu.

INFO JUDICIAL REVIEW PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 22/PUU-XV/2017 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 13-12-2018

Bahwa pada hari Kamis, tanggal 13 Desember 2018, Pukul 10.37 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 22/PUU-XV/2017. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 22/PUU-XV/2017, perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.10.1] Bahwa terhadap dalil para Pemohon berkenaan dengan Pasal 7 ayat (1) UU 1/1974, dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30- 74/PUU-XII/2014, bertanggal 18 Juni 2015, Mahkamah antara lain mempertimbangkan:

[3.13.2] Bahwa para Pemohon pada pokoknya mendalilkan Pasal 7 ayat (1) sepanjang frasa “16 (enam belas) tahun” UU Perkawinan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28A, Pasal 28B ayat (1), Pasal 28B ayat (2), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945;

Bahwa beberapa agama yang berlaku di Indonesia maupun dari berbagai latar belakang budaya di nusantara ini mempunyai pengaturan yang berbeda dalam masalah usia perkawinan. Salah satu contohnya, agama Islam tidaklah mengatur mengenai usia minimum perkawinan akan tetapi yang lazim adalah dikenal sudah aqil baligh, berakal sehat, mampu membedakan yang baik dan yang buruk, sehingga dapat memberikan persetujuannya untuk menikah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 Kompilasi Hukum Islam;

Perkawinan tidaklah semata-mata urusan duniawi. Dalam ajaran Islam, perkawinan merupakan salah satu perintah Allah Subhanahuwata’ala karena merupakan ikatan yang sangat kuat dan sakral dan tidak dapat dianalogikan dengan hal-hal yang bersifat material. Beberapa asas dalam perkawinan adalah kesukarelaan, persetujuan kedua belah pihak, kemitraan suami istri, untuk selama-lamanya, dan personalitas pasangan. Dari asas perkawinan tersebut tidaklah dikenal umur minimal demi untuk mencegah kemudharatan yang lebih besar, apalagi perkembangan dewasa ini, bagi manusia pada zaman sekarang, di mana kemungkinan kemudharatan tersebut jauh lebih cepat merebak karena dipengaruhi oleh berbagai macam keadaan seperti makanan, lingkungan, pergaulan, teknologi, keterbukaan informasi, dan lain sebagainya, sehingga mempercepat laju dorongan birahi. Dorongan birahi itu semestinya dapat disalurkan melalui perkawinan yang sah sebagaimana ajaran agama sehingga tidak melahirkan anak di luar perkawinan atau anak haram atau anak ranjang;

Dalam keterangan tertulisnya, DPR memberikan keterangan yang antara lain menyatakan bahwa Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan yang mengatur mengenai batas usia minimal perkawinan dianggap sebagai kesepakatan nasional yang merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pembentuk Undang-Undang yang melihat secara bijaksana dengan berbagai macam pertimbangan dengan memperhatikan nilai-nilai yang ada pada saat itu yaitu tahun 1974;

Pada perkembangannya, beragam peraturan perundang-undangan yang selengkapnya telah diuraikan pada bagian Duduk Perkara dan yang pada pokoknya tercantum pada paragraf [3.9] angka 1 di atas, menyatakan bahwa usia anak adalah sejak dia lahir, bahkan pada kondisi tertentu adalah saat masih dalam kandungan, sampai dengan mencapai usia 18 tahun.

Namun, pembentuk undang-undang, dalam hal ini UU Perkawinan, saat itu menentukan batas umur untuk memenuhi tujuan ideal perkawinan, bagi pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan bagi wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.

Sebagaimana telah diuraikan baik oleh para saksi maupun ahli serta Pihak Terkait dalam persidangan, bahwa perkawinan anak memang rentan dan berpotensi menghadapi beragam permasalahan mulai dari kesehatan fisik khususnya kesehatan reproduksi, kesehatan mental, hambatan psikologis dan sosial, dan yang tak kalah pentingnya adalah berpotensi mengalami kesulitan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup yang layak yang kesemuanya dapat berujung pada perceraian dan penelantaran anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut serta menambah beban ekonomi bagi keluarga yang ditinggalkan atau yang ikut menanggung kebutuhan dan keberlangsungan hidup anggota keluarga yang mengalami perceraian tersebut. Adapun Penjelasan Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan, “Untuk menjaga kesehatan suami-isteri dan keturunan, perlu ditetapkan batas-batas umur untuk perkawinan.” Hal ini sesuai dengan tujuan luhur suatu perkawinan dan untuk menghindari beragam permasalahan sebagaimana didalilkan para Pemohon. Namun, terkait dengan norma yang mengatur batasan usia, Mahkamah dalam beberapa putusannya (vide Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011 bertanggal 18 Oktober 2011, Putusan Nomor 37-39/PUU-VIII/2010 bertanggal 15 Oktober 2010, dan Putusan Nomor 15/PUU-V/2007 bertanggal 27 November 2007) telah mempertimbangkan bahwa batasan usia minimum merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang sewaktu-waktu dapat diubah oleh pembentuk Undang-Undang sesuai dengan tuntutan kebutuhan perkembangan yang ada. Hal tersebut sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk Undang-Undang yang, apa pun pilihannya, tidak dilarang dan selama tidak bertentangan dengan UUD 1945. Dalam perkara a quo, UUD 1945 tidak mengatur secara jelas perihal batasan usia seseorang disebut sebagai anak. Hal ini juga sama dengan pendapat dari perspektif hukum Islam yang dikemukakan oleh Ahli yang diajukan oleh para Pemohon yaitu Prof. Muhammad Quraish Shihab yang menyatakan, “... kitab suci Al Quran, demikian juga Sunnah Nabi, tidak menetapkan usia tertentu. Ini sejalan dengan hikmah Ilahi yang tidak mencantumkan rincian sesuatu dalam kitab suci menyangkut hal-hal yang dapat mengalami perubahan. Yang dirincinya hanya hal-hal yang tidak terjangkau oleh nalar seperti persoalan metafisika atau hal-hal yang tidak mungkin mengalami perubahan dari sisi kemanusiaan, seperti misalnya, ketetapannya mengharamkan perkawinan anak dengan ibunya atau dengan ayahnya karena di situ selama manusia normal, idak mungkin ada birahi terhadap mereka. Karena tidak adanya ketetapan yang pasti dari kitab suci, maka ulama-ulama Islam berbeda pendapat tentang usia tersebut bahkan ada di antara masyarakat Islam yang justru melakukan revisi dan perubahan menyangkut ketetapan hukum tentang usia tersebut. Ini untuk menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat dan kebutuhannya.”;

Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, telah nyata bahwa kebutuhan untuk menentukan batasan usia perkawinan khususnya untuk perempuan adalah relatif menyesuaikan dengan perkembangan beragam aspek baik itu aspek kesehatan hingga aspek sosial-ekonomi. Bahkan, tidak ada jaminan yang dapat memastikan bahwa dengan ditingkatkannya batas usia kawin untuk wanita dari 16 (enam belas) tahun menjadi 18 (delapan belas) tahun, akan semakin mengurangi angka perceraian, menanggulangi permasalahan kesehatan, maupun meminimalisir permasalahan sosial lainnya. Bukan berarti pula tidak perlu dilakukan upaya apa pun, terutama tindakan preventif, untuk mencegah terjadinya perkawinan usia anak yang dikhawatirkan akan menimbulkan beragam masalah sebagaimana yang didalilkan para Pemohon, yang menurut Mahkamah, beragam masalah tersebut merupakan masalah konkrit yang terjadi tidak murni disebabkan dari aspek usia semata. Jikalaupun memang dikehendaki adanya perubahan batas usia kawin untuk wanita, hal tersebut bisa diikhtiarkan melalui proses legislative review yang berada pada ranah pembentuk Undang-Undang untuk menentukan batas usia minimum ideal bagi wanita untuk kawin. Pada faktanya pun, sebagaimana didalilkan para Pemohon bahwa di negara-negara lain ada pula yang menetapkan bahwa batas usia minimal bagi wanita untuk kawin adalah 17 (tujuh belas) tahun, 19 (sembilan belas) tahun, maupun 20 (dua puluh) tahun. Jika Mahkamah diminta untuk menetapkan batas usia minimal tertentu sebagai batas usia minimal yang konstitusional, Mahkamah justru membatasi adanya upaya perubahan kebijakan oleh negara untuk menentukan yang terbaik bagi warga negaranya sesuai dengan perkembangan peradaban dari setiap masa atau generasi, yang dalam hal ini terkait dengan kebijakan menentukan batas usia minimal kawin. Tidak tertutup kemungkinan bahwa pada saatnya nanti, dengan mendasarkan pada perkembangan teknologi, kesehatan, sosial, budaya, dan ekonomi, serta aspek lainnya, usia 18 (delapan belas) tahun bukan lagi sebagai batas usia minimum yang ideal bagi wanita untuk menikah, namun bisa saja dianggap yang lebih rendah atau lebih tinggi dari 18 (delapan belas) tahun tersebut sebagai usia yang ideal;


Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, Pasal 7 ayat (1) sepanjang frasa “16 (enam belas) tahun” UU Perkawinan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karenanya, dalil para Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum.

[3.10.2] Bahwa merujuk pertimbangan dalam putusan yang disebutkan pada Paragraf [3.10.1] tersebut, dengan menyatakan penentuan batas usia minimal perkawinan sebagai legal policy, hal itu dimaksudkan bahwa ketika pembentuk undang-undang menentukan usia minimal untuk melangsungkan perkawinan, kebijakan tersebut tidak serta-merta dapat dinilai sebagai legal policy yang bertentangan dengan UUD 1945. Namun pada saat yang sama, bukan pula berarti mengabaikan fakta bahwa batas usia minimal tertentu merupakan salah satu penyebab munculnya berbagai permasalahan dalam perkawinan seperti masalah kesehatan fisik dan mental, pendidikan, perceraian, sosial, ekonomi, dan masalah lainnya;

[3.10.3] Bahwa, sebagaimana telah ditegaskan Mahkamah dalam putusan- putusan terdahulu, kebijakan hukum (legal policy) tetap harus dalam kerangka tidak melampaui kewenangan, tidak melanggar moralitas dan rasionalitas, tidak menimbulkan ketidakadilan yang intolerable, dan tidak nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945. Pertimbangan demikian juga berlaku dalam penentuan batas usia minimal perkawinan sehingga dalam hal kebijakan hukum dimaksud nyata- nyata bertentangan dengan jaminan dan perlindungan hak asasi manusia yang dijamin oleh UUD 1945, maka legal policy dapat diuji konstitusionalitasnya melalui proses pengujian undang-undang;

[3.10.4] Bahwa dalam permohonan a quo, pada pokoknya para Pemohon menilai bahwa hak konstitusionalnya untuk mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 telah dilanggar oleh adanya pembatasan usia minimal perkawinan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Perlakuan yang tidak sama tersebut tidak saja menyebabkan terjadinya diskriminasi batas usia minimal atas dasar perbedaan jenis kelamin, melainkan juga perlakuan yang tidak sama terhadap anak dalam pemenuhan dan perlindungan hak asasi anak sebagaimana diatur dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945;

[3.10.5] Bahwa oleh karena para Pemohon mendalilkan Pasal 7 ayat (1) UU 1/1974 bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 maka persoalan yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah apakah terdapat alasan bagi Mahkamah untuk meninggalkan pendiriannya dalam menilai konstitusionalitas Pasal 7 ayat (1) UU 1/1974 sebagaimana tertuang dalam putusan-putusan sebelumnya. Sebagaimana telah disebutkan di atas, Mahkamah berpendirian bahwa suatu legal policy tidak dapat diuji konstitusionalitasnya kecuali produk legal policy tersebut jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas, dan menimbulkan ketidakadilan yang intolerable, bertentangan dengan hak politik, kedaulatan rakyat, serta sepanjang kebijakan tersebut tidak melampaui kewenangan pembentuk undang-undang dan tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945. Dengan kata lain, hanya jika terdapat salah satu dari alasan-alasan itulah Mahkamah dapat menguji konstitusionalitas suatu legal policy, termasuk jika Mahkamah hendak meninggalkan pendiriannya.

Dalam konteks permohonan a quo, penentuan batas usia minimal perkawinan jelas tidak bertentangan dengan kedaulatan rakyat, tidak melampaui kewenangan pembentuk undang-undang dan jelas pula bukan merupakan penyalahgunaan wewenang. Namun, bagaimana halnya dengan syarat tidak jelas- jelas melanggar moralitas, rasionalitas, tidak bertentangan dengan hak politik, ketidakadilan yang intolerable, dan syarat tidak nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945. Pertanyaan demikian hanya dapat ditemukan jawabannya setelah Mahkamah menilai argumentasi dalam dalil para Pemohon dalam permohonan a quo.

Terhadap dalil para Pemohon mengenai ketidaksetaraan antarwarga negara terkait adanya penentuan batas usia perkawinan yang tidak sama antara laki-laki dan perempuan, Mahkamah berpendapat bahwa sekalipun penentuan batas usia minimal perkawinan merupakan kebijakan hukum (legal policy), namun kebijakan a quo tidak boleh memperlakukan warga negara secara berbeda semata-mata atas dasar perbedaan jenis kelamin atau gender. Benar bahwa dikarenakan kodratnya maka dalam batas-batas tertentu perlakuan terhadap laki- laki dan perempuan menuntut pembedaan sehingga dalam konteks demikian pembedaan tersebut bukanlah diskriminasi dan tidak pula dapat dikatakan melanggar moralitas, rasionalitas, serta ketidakadilan yang intolerable. Namun tatkala pembedaan perlakuan antara laki-laki dan perempuan itu berdampak pada atau menghalangi pemenuhan hak-hak dasar atau hak-hak konstitusional warga negara, baik yang termasuk ke dalam kelompok hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi, sosial, dan kebudayaan, yang seharusnya tidak boleh dibedakan semata-mata berdasarkan alasan jenis kelamin maka pembedaan demikian jelas merupakan diskriminasi.

Pendirian a quo sejalan dengan pendapat-pendapat Mahkamah sebelumnya, di mana setiap kebijakan hukum yang memperlakukan setiap manusia dan/atau warga negara secara berbeda atas dasar perbedaan warna kulit, agama, suku, bahasa, keyakinan politik dan jenis kelamin adalah kebijakan yang bersifat diskriminatif. Hal tersebut juga sejalan dengan pengertian diskriminasi sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia adalah “setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung atau tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan, pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya”.
Ketika suatu kebijakan terbukti merupakan kebijakan yang bersifat diskriminatif maka sulit untuk menyatakan kebijakan demikian tidak melanggar moralitas, rasionalitas, tidak bertentangan dengan hak politik, maupun ketidakadilan yang intolerable. Kebijakan yang bersifat diskriminatif juga nyata- nyata bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu, jika Pasal 7 ayat (1) UU 1/1974 terbukti merupakan legal policy yang diskriminatif maka, sejalan dengan alasan untuk dapat menguji konstitusionalitas legal policy sebagaimana diuraikan di atas, hal demikian telah menjadi alasan yang kuat bagi Mahkamah untuk meninggalkan pendiriannya dalam putusan terdahulu perihal pembedaan batas usia minimum perkawinan.

Dalam konteks permohonan a quo, Mahkamah tidak menampik bahwa ketika Pasal 7 ayat (1) UU 1/1974 disusun dan dibahas, penentuan batas usia merupakan salah satu bentuk kesepakatan nasional yang telah disepakati setelah mempertimbangkan secara bijaksana dan memperhatikan nilai-nilai yang berlaku pada saat Undang-Undang a quo disusun yang kemudian disahkan pada tahun 1974. Namun, dalam perkembangan ketatanegaraan Indonesia yang ditandai dengan diubahnya UUD 1945 (1999-2002), terjadi penguatan terhadap jaminan dan perlindungan hak asasi manusia dalam konstitusi dengan dicantumkannya pasal-pasal tentang jaminan hak asasi manusia, termasuk hak untuk membentuk keluarga dan hak anak. Jaminan dan perlindungan hak asasi manusia dimaksud juga merupakan kesepakatan nasional, bahkan ia dirumuskan secara tegas dalam Konstitusi. Penguatan terhadap jaminan dan perlindungan hak asasi manusia a quo tentunya mengharuskan bangsa Indonesia untuk melakukan penyesuaian- penyesuaian terhadap kebijakan hukum masa lalu yang dinilai tidak lagi sesuai dengan perkembangan hukum dan perkembangan masyarakat. Dalam hal ini, termasuk apabila terdapat produk-produk hukum yang mengandung perlakuan berbeda atas dasar ras, agama, suku, warna kulit, dan jenis kelamin, maka sudah seharusnya pula untuk disesuaikan dengan kehendak UUD 1945 yang anti diskriminasi. Salah satu kebijakan hukum yang dapat dikategorikan mengandung perlakuan berbeda atas dasar jenis kelamin dimaksud adalah Pasal 7 ayat (1) UU 1/1974. Hal demikian dalam putusan-putusan sebelumnya belum dipertimbangkan oleh Mahkamah dan pertimbangan demikian tidak muncul karena memang tidak didalilkan oleh para Pemohon pada saat itu. Pasal 7 ayat (1) UU 1/1974 dikatakan diskriminatif sebab dengan pembedaan batas usia minimum perkawinan yang termuat di dalamnya telah menyebabkan perempuan menjadi diperlakukan berbeda dengan laki-laki dalam pemenuhan hak-hak konstitusionalnya, baik hak- hak sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi, sosial, dan kebudayaan, semata- mata karena jenis kelaminnya. Hak-hak konstitusional dimaksud, antara lain, hak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena secara hukum seorang perempuan pada usia 16 tahun yang menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (selanjutnya ditulis UU Perlindungan Anak) masih tergolong ke dalam pengertian anak, jika telah kawin akan berubah statusnya menjadi orang dewasa, sementara bagi laki-laki perubahan demikian baru dimungkinkan jika telah kawin pada usia 19 tahun; hak perempuan untuk tumbuh dan berkembang sebagai anak, sebagaimana diatur dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945, juga mendapatkan perlakuan berbeda dari laki-laki di mana laki-laki akan menikmati hak itu dalam rentang waktu yang lebih panjang dibandingkan dengan perempuan; hak untuk mendapatkan kesempatan memperoleh pendidikan yang setara dengan laki-laki juga pontensial terhalang karena dengan dimungkinkannya seorang perempuan untuk kawin pada usia 16 tahun akan cenderung lebih terbatas aksesnya terhadap pendidikan dibandingkan dengan laki-laki, bahkan untuk sekadar memenuhi pendidikan dasar, padahal hak atas pendidikan adalah hak konstitusional setiap warga negara menurut Pasal 28C ayat (1) UUD 1945 yang seharusnya dapat dinikmati secara setara dengan laki-laki. Bahkan, dalam kaitan ini, seorang perempuan yang tidak memenuhi pendidikan dasarnya akan potensial dinilai melanggar kewajiban konstitusionalnya sebab menurut Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar. Artinya, jika batas usia minimum perkawinan 16 tahun untuk perempuan dipertahankan, hal demikian tidak sejalan dengan agenda pemerintah ihwal wajib belajar 12 tahun karena jika seorang perempuan menikah pada usia 16 tahun maka dia akan kehilangan kesempatan memperoleh pendidikan 12 tahun.

Dengan demikian, meski kebijakan hukum pembentuk undang-undang yang membedakan antara laki-laki dan perempuan dalam hal batas minimal usia perkawinan dimaksud dahulunya merupakan sebuah kesepakatan nasional, namun dalam perkembangan hukum dan konstitusi Indonesia, hal tersebut tidak lagi relevan karena terkategori sebagai kebijakan hukum yang diskriminatif. Oleh karena itu, kebijakan hukum yang demikian haruslah dinilai konstitusionalitasnya. Berdasarkan hal itu, pengaturan batas usia minimal perkawinan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan tidak saja menimbulkan diskriminasi dalam konteks pelaksaan hak untuk membentuk keluarga sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B ayat (1) UUD 1945, melainkan juga telah menimbulkan diskriminasi terhadap perlindungan dan pemenuhan hak anak sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Dalam hal ini, ketika usia minimal perkawinan bagi perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki, maka secara hukum perempuan dapat lebih cepat untuk membentuk keluarga. Hal demikian berbeda dengan batas usia minimal perkawinan bagi laki-laki yang mengharuskan menunggu lebih lama dibandingkan perempuan. Di samping itu, perbedaan batas usia minimal tersebut memberi ruang lebih banyak bagi anak laki-laki untuk menikmati pemenuhan hak- haknya sebagai anak karena batas usia kawin minimal laki-laki yang melampaui usia minimal anak sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Anak. Sementara bagi perempuan, pembatasan usia minimal yang lebih rendah dibanding usia anak justru potensial menyebabkan anak tidak sepenuhnya dapat menikmati hak- haknya sebagai anak dalam usia anak, sebagaimana telah disinggung di atas.

[3.11] Menimbang bahwa sekalipun ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU 1/1974 merupakan kebijakan hukum yang diskriminatif atas dasar jenis kelamin, namun tidak serta-merta Mahkamah dapat menentukan berapa batas usia minimal perkawinan. Mahkamah hanya menegaskan bahwa kebijakan yang membedakan batas usia minimal perkawinan antara laki-laki dan perempuan adalah kebijakan yang diskriminatif, namun penentuan batas usia perkawinan tetap menjadi ranah kebijakan hukum pembentuk undang-undang. Mahkamah perlu menegaskan kembali pendirian a quo disebabkan Mahkamah tetap meyakini bahwa kebijakan terkait penentuan batas usia minimal perkawinan dapat saja berubah sewaktu-waktu sesuai dengan tuntutan kebutuhan perkembangan berbagai aspek dalam masyarakat. Pada saat Mahkamah menentukan batas usia tertentu sebagaimana dimohonkan oleh para Pemohon, hal demikian tentunya akan dapat menghambat pembentuk undang-undang dalam melakukan perubahan ketika ia harus melakukan penyesuaian terhadap perkembangan masyarakat.

[3.12] Menimbang bahwa meskipun penentuan batas usia minimal perkawinan merupakan kebijakan hukum pembentuk undang-undang, namun pembentuk undang-undang secara cermat harus memastikan bahwa kebijakan demikian tidak menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap perlindungan hak anak sebagai bagian dari hak asasi manusia. Ketidakpastian hukum mana akan muncul karena adanya perbedaan dalam menentukan batas usia anak. Pembentuk undang- undang dituntut untuk konsisten dalam menentukan pilihan kebijakan hukumnya terkait usia anak dimaksud.

Bahwa dalam konteks permohonan a quo mengingat terdapatnya perbedaan dan ketidaksinkronan sejumlah undang-undang yang di dalamnya mengatur tentang batas usia anak, yang tidak dapat dipisahkan dengan usia kawin dalam UU 1/1974. Dalam hal ini, ketidaksinkronan dimaksud terlihat nyata dengan ketentuan yang terdapat antara lain dalam UU Perlindungan Anak. Pasal 7 ayat (1) UU 1/1974 menyatakan, “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.” Sementara itu, dalam Pasal 1 angka 1 UU Perlindungan Anak dinyatakan, “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Dengan demikian, batas usia kawin bagi perempuan sebagaimana termaktub dalam Pasal 7 ayat (1) UU 1/1974 yaitu mencapai umur 16 (enam belas) tahun bagi perempuan masih terkategori sebagai anak menurut Pasal 1 angka 1 UU Perlindungan Anak. Oleh karenanya perkawinan yang dilakukan di bawah batas usia yang ditentukan dalam UU Perlindungan Anak adalah perkawinan anak.


Bahwa apabila diletakkan dalam konteks yang lebih luas, perkawinan anak sangat mungkin mengancam dan berdampak negatif bagi anak termasuk kesehatan anak karena belum tercapainya batas kematangan ideal reproduksi anak. Tidak hanya masalah kesehatan, perkawinan yang belum melampaui batas usia anak sangat mungkin terjadinya eksploitasi anak dan meningkatnya ancaman kekerasan terhadap anak.

Di atas itu semua, perkawinan anak akan menimbulkan dampak buruk terhadap pendidikan anak. Dalam batas penalaran yang wajar apabila pendidikan anak terancam, hal demikian potensial mengancam salah satu tujuan bernegara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa akan sulit dicapai jikalau angka perkawinan anak tidak bisa dicegah sedemikian rupa.

[3.13] Menimbang bahwa dalam rangka melindungi hak-hak anak, khususnya anak perempuan, Penjelasan angka 4 huruf d UU 1/1974 secara eksplisit menyatakan “menganut prinsip, bahwa calon suami-isteri itu harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami-isteri yang masih di bawah umur”. Artinya, Penjelasan tersebut hendak menyatakan bahwa perkawinan anak merupakan sesuatu yang dilarang. Terkait dengan larangan tersebut, Pasal 26 ayat (1) UU Perlindungan Anak menyatakan bahwa:

(1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:
a. mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;
b. menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; dan
c. mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.

Bahwa berdasarkan ketentuan dimaksud, kepada orang tua dibebankan kewajiban untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak. Ihwal ini, berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 UU Perlindungan Anak, yang dimaksud adalah usia sebelum 18 tahun. Sementara itu, merujuk Pasal 7 ayat (1) UU 1/1974, batas usia minimal perkawinan perempuan ditentukan 16 tahun. Secara horizontal, materi kedua pengaturan tersebut menunjukkan ketidaksinkronan antara batas minimal usia perkawinan bagi anak perempuan dalam UU 1/1974 dengan usia anak dalam UU Perlindungan Anak sehingga secara nyata norma tersebut tidak sinkron. Apabila diletakkan dalam konteks perlindungan anak, ketidaksinkronan dimaksud justru berdampak terhadap jaminan dan perlindungan konstitusional hak anak sebagaimana diatur dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 yang diatur lebih lanjut melalui UU Perlindungan Anak.

Bahwa adanya jaminan konstitusional hak-hak anak memunculkan kewajiban bagi semua pihak, baik orang tua, keluarga, pemerintah maupun negara untuk melindungi, menghormati, dan memenuhi hak-hak anak. Pada saat yang sama, kewajiban tersebut juga disertai dengan jaminan hak anak selama masa pengasuhan sebagai anak sebagaimana diatur dalam Pasal 13 UU Perlindungan Anak sebagai berikut:

(1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:
a. diskriminasi;
b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
c. penelantaran;
d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
e. ketidakadilan; dan
f. perlakuan salah lainnya.

(2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.

Bahwa hak anak untuk bebas dari segala bentuk perlakuan diskriminasi; eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan, dan ketidakadilan haruslah ditegakan dengan juga memberikan kepastian hukum bagi tidak adanya perkawinan anak. Pada saat kebijakan hukum, dalam hal ini Pasal 7 ayat (1) UU 1/1974 membuka ruang untuk dilangsungkannya perkawinan anak, maka norma tersebut justru memberi kesempatan untuk terjadinya eksploitasi anak, baik secara ekonomi maupun seksual.

Bahwa agar ketidakpastian hukum perlindungan hak anak tidak terus terjadi akibat ketentuan minimal usia perkawinan yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU 1/1974, maka sudah seharusnya batas usia minimal perkawinan dalam norma a quo disesuaikan dengan batas usia anak yang ditentukan dalam UU Perlindungan Anak. Oleh karena usia anak yang ditentukan oleh pembentuk undang-undang dalam UU Perlindungan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, maka sudah seharusnya kebijakan hukum yang sama mengenai usia a quo juga diterapkan dalam UU 1/1974.

[3.14] Menimbang bahwa perlunya perubahan kebijakan batas usia perkawinan juga didasarkan atas fakta bahwa semakin meningkatnya angka perkawinan anak akan menyebabkan kesulitan bagi negara dalam mewujudkan kesepakatan agenda pembangunan universal baru yang tertuang dalam dokumen Transforming Our World: the 2030 Agenda for Sustainable Development Goals (SDGs) yang berisi 17 tujuan dengan 169 target. Target-target yang didefinisikan bersifat aspiratif dan global, di mana pemerintah masing-masing negara dapat menyusun target nasionalnya sendiri dengan mengacu pada semangat di tingkat global namun disesuaikan dengan situasi nasional. Masing-masing negara memutuskan bagaimana target-target aspiratif dan global ini dapat dimasukkan dalam proses perencanaan, kebijakan dan strategi nasional. Tujuan menyepakati dokumen SDGs ini adalah pada tahun 2030 tidak ada satu negara pun yang tertinggal (no one will be left behind) dalam rangka pengentasan kemiskinan, salah satunya dengan menekan angka pernikahan anak sebagaimana tertuang dalam Tujuan Kelima SDGs yakni “Mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan” (Achieve gender equality and empower all women and girls). Salah satu tujuan yang hendak diwujudkan pada Tujuan 5.3 SDGs adalah menghapus perkawinan anak (Eliminate all harmful practices, such as child, early and forced marriage).

Pernikahan anak merupakan salah bentuk pelanggaran hak anak yang dapat menimbulkan kemudaratan. Hak ini sejatinya dijamin oleh UUD 1945 sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28B ayat (2) bahwa “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Selanjutnya ditegaskan pula dalam UU Perlindungan Anak bahwa hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, negara, pemerintah, dan pemerintah daerah. Anak yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi haknya adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun. Namun, bukti menunjukkan bahwa pernikahan anak semakin meningkat dengan sebaran angka perkawinan anak di atas 10% merata berada di seluruh provinsi Indonesia, sedangkan sebaran angka perkawinan anak di atas 25% berada di 23 provinsi dari 34 provinsi di Indonesia (vide Data BPS, 2017). Kondisi ini tentu sangat mengkhawatirkan karena anak telah kehilangan hak-hak yang seharusnya dilindungi oleh negara. Jika kondisi ini dibiarkan tentu akan menjadikan Indonesia berada dalam kondisi “Darurat Perkawinan Anak”, dan tentu saja akan semakin menghambat capaian tujuan bernegara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.

Oleh karenanya semua kebijakan yang menjadi faktor penyebab terjadinya perkawinan anak sudah seharusnya disesuaikan, in casu UU 1/1974 yang telah berlaku selama 44 tahun. Jika dirunut ke belakang usulan penyempurnaan UU 1/1974 tersebut telah masuk sejak Propenas tahun 2000-2004. Karena tidak berhasil, kemudian diteruskan dalam beberapa Prolegnas, yang terakhir adalah Prolegnas 2015-2019. Berkenaan dengan perkembangan tuntutan global yang telah disepakati yang sejalan dengan tujuan bernegara sebagaimana diamanatkan dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945 sehingga Mahkamah berpendapat penyempurnaan tersebut dapat lebih cepat dilakukan.

[3.15] Menimbang bahwa sejalan dengan pertimbangan di atas, secara faktual, ikhtiar dan prakarsa untuk meningkatkan batas usia perkawinan terkhusus perempuan telah dilakukan di beberapa daerah provinsi dan daerah kabupaten dengan tujuan untuk mencegah dan mengurangi perkawinan di bawah umur melalui pemberlakuan peraturan Kepala Daerah Kabupaten maupun Provinsi antara lain:
a. Peraturan Bupati Kabupaten Gunung Kidul Nomor 30 Tahun 2015 tentang Pencegahan Perkawinan Anak.
b. Peraturan Bupati Kabupaten Kulon Progo Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan Perkawinan Anak.
c. Peraturan Gubernur Bengkulu Nomor 33 Tahun 2018 tentang Pencegahan Perkawinan Anak.
d. Surat Edaran Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 150/1138 Tahun 2014 yang menganjurkan usia layak nikah pada umur 21 tahun baik untuk perempuan maupun laki-laki

Upaya-upaya demikian juga berada pada titik temu dengan aneka agenda kebijakan pemerintah seperti program keluarga berencana dan generasi berencana (genre), pelaksanaan 12 (dua belas) tahun wajib belajar, pendidikan kesehatan reproduksi dan lain-lain. Demikian pula peran dinamis dari kaum muda yang mengambil peran dan memelopori demi mendorong pembuatan kebijakan dan alternatif-alternatif yang digagas dalam pendekatan upaya menyadarkan akan bahaya perkawinan di bawah umur dan cita-cita luhur tujuan ideal perkawinan yaitu membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

[3.16] Menimbang bahwa tuntutan untuk menyesuaikan kebijakan usia minimal perkawinan juga didasarkan atas fakta bahwa Indonesia merupakan salah satu negara pihak The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW). Perjanjian Internasional Untuk Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan tersebut telah diratifikasi Indonesia pada tahun 1984 melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskiriminasi Terhadap Wanita (Convention on The Elimination of All Forms of Discrimanation Against Women). Dalam Pasal 16 ayat (1) CEDAW dinyatakan sebagai berikut:

(1) Negara-negara Pihak wajib melakukan upaya-upaya khusus untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dalam setiap masalah yang berhubungan dengan perkawinan dan hubungan keluarga, dan berdasarkan persamaan antara laki-laki dan perempuan terutama harus memastikan:
a. Hak yang sama untuk melakukan perkawinan;

Bahwa sehubungan dengan pelaksanaan kewajiban negara-negara pihak untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan, khusus terkait hak untuk melakukan perkawinan, United Nations (UN) CEDAW merekomendasikan agar negara pihak menaikkan batas minimum usia perkawinan berlaku sama bagi laki- laki dan perempuan. Sehubungan dengan CEDAW dan rekomendasi UN CEDAW dimaksud, Mahkamah sesungguhnya bukan hendak menjadikan UN CEDAW sebagai dasar pengujian dalam permohonan a quo, sebab CEDAW adalah setingkat dengan undang-undang. Hanya saja, Mahkamah hendak menegaskan bahwa pembentuk undang-undang perlu melakukan sinkronisasi pengaturan batas usia minimal perkawinan dengan UU Perlindungan Anak yang juga sejalan dengan UU Ratifikasi CEDAW. Karena ketidaksinkronan tersebut akan menyebabkan terlanggarnya hak-hak perempuan dan anak yang secara tegas telah dijamin dalam UUD 1945.

[3.17] Menimbang bahwa sekalipun dalil-dalil yang disampaikan Pemohon beralasan menurut hukum, namun tidak serta-merta Mahkamah akan menyatakan bahwa Pasal 7 ayat (1) UU 1/1974 sepanjang frasa “umur 16 (enam belas) tahun” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dibaca “umur 19 (sembilan belas) tahun” sebagaimana dimohonkan para Pemohon dalam petitumnya.

Bahwa sebagaimana telah ditegaskan sebelumnya, penentuan batas usia minimal perkawinan merupakan kebijakan hukum (legal policy) pembentuk undang-undang. Apabila Mahkamah memutuskan batas minimal usia perkawinan, hal tersebut justru akan menutup ruang bagi pembentuk undang-undang di kemudian hari untuk mempertimbangkan lebih fleksibel batas usia minimal perkawinan sesuai dengan perkembangan hukum dan perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, Mahkamah memberikan waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun kepada pembentuk undang-undang untuk sesegera mungkin melakukan perubahan kebijakan hukum terkait batas minimal usia perkawinan, khususnya sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU 1/1974. Sebelum dilakukan perubahan dimaksud, ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU 1/1974 masih tetap berlaku.

Bahwa apabila dalam tenggang waktu tersebut pembentuk undang- undang masih belum melakukan perubahan terhadap batas minimal usia perkawinan yang berlaku saat ini, demi untuk memberikan kepastian hukum dan mengeliminasi diskriminasi yang ditimbulkan oleh ketentuan tersebut, maka batas minimal usia perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU 1/1974 diharmonisasikan dengan usia anak sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Anak dan diberlakukan sama bagi laki-laki dan perempuan.

[3.18] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, dalil permohonan Pemohon sepanjang ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU 1/1974 telah menimbulkan diskriminasi atas dasar jenis kelamin atau gender yang berdampak terhadap tidak terpenuhinya hak anak perempuan sebagai bagian dari hak asasi manusia yang dijamin dalam UUD 1945 adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian.

1. Bahwa terhadap Putusan MK dalam Perkara Nomor 22/PUU-XVI/2017 sebagaimana diuraikan di atas, berdasarkan Pasal 10 ayat (1) huruf d, Pasal 10 ayat (2), dan Pasal 23 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan saran sebagai berikut:
1) Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 22/PUU-XVI/2017 sebagai bahan dalam penyusunan Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka;
2) Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 22/PUU-XVI/2017 sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan UU Perkawinan.

2. Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan langsung dilaksanakan (self-executing) oleh seluruh organ penyelenggara negara, organ penegak hukum, dan warga negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 22/PUU-XV/2017 mengenai sebagian materi muatan pasal/ayat dalam UU Perkawinan yang dinyatakan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan Perubahan UU Perkawinan.

INFO JUDICIAL REVIEW PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 80/PUU-XV/2017 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 13-12-2018

Bahwa pada hari Kamis, tanggal 13 Desember 2018, Pukul 11.22 WIB, Mahkamah Konstitusi telah selesai menggelar Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah (selanjutnya disebut UU PDRD) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 80/PUU-XV/2017. Dalam sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 80/PUU-XV/2017, perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 1 ayat (28), Pasal 52 ayat (1), Pasal 52 ayat (2), Pasal 55 ayat (2), Pasal 55 ayat (3) UU PDRD, dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.13.1] Bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut dalil-dalil permohonan Pemohon penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa hakikat pajak adalah iuran kepada negara yang pemberlakuannya dapat dipaksakan terhadap wajib pajak menurut peraturan perundang-undangan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk dan dipergunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas dan fungsi negara untuk menyelenggarakan pemerintahan. Secara normatif ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana diubah terakhir dengan Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang (UU KUP) menyatakan, “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Dari pengertian tersebut maka dapat diperoleh adanya unsur-unsur pajak antara lain: i) adanya unsur masyarakat yang berkaitan dengan kepentingan umum; ii) adanya unsur undang-undang atau peraturan lain yang merupakan bagian yang merepresentasikan kepentingan sekaligus persetujuan rakyat; iii) unsur pemungut pajak yang berkaitan dengan lembaga yang secara struktural menerima peralihan kekayaan dari satu pihak ke pihak yang lain yakni dari rakyat selaku wajib pajak kepada pemerintah sekaligus sebagai lembaga yang menyelenggarakan kepentingan umum; iv) unsur objek pajak yang berkaitan sasaran yang akan dikenakan pajak (tatbestand) yaitu keadaan, peristiwa atau perbuatan yang menurut ketentuan undang-undang dapat dikenakan pajak; serta v) unsur surat ketetapan pajak yang berkenaan dengan surat keputusan yang isinya penetapan utang pajak yang harus dibayar oleh seseorang atau badan.

Dari uraian unsur-unsur yang berkaitan dengan pajak tersebut dapat ditarik adanya ciri atau karakteristik dari pajak yang pada dasarnya antara lain:

a. Pajak dipungut berdasarkan atas undang-undang;
b. Terhadap pembayaran pajak tidak ada prestasi atau jasa yang bersifat timbal balik yang dapat ditunjukkan secara langsung;
c. Pemungutan dapat dilakukan oleh pemerintah baik pusat maupun daeraH (dikenal istilah pajak pusat dan pajak daerah);
d. Pajak tersebut dipergunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah baik rutin maupun pembangunan dan dimungkinkan untuk investasi (public investment).

[3.13.2] Lebih dari itu secara doktriner pajak juga mempunyai fungsi yang salah satunya adalah fungsi mengatur (regulerend) yang mengandung arti bahwa pajak juga dapat digunakan sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan negara dalam lapangan ekonomi dan sosial. Oleh karena itu tidak tertutup kemungkinan pajak dapat dipergunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang letaknya di luar bidang keuangan. Sehingga dengan memperhatikan cakupan fungsi pajak yang sedemikian luas, maka tidak ada alasan untuk menolak argumentasi pemungutan pajak oleh negara sebab pengenaan pajak yang seolah-olah seperti mesin penyedot uang rakyat, sejatinya adalah uang yang berasal dari rakyat akan kembali kepada masyarakat tanpa dikurangi yang tidak lain adalah untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Dengan kata lain pajak tidak akan merugikan rakyat dan hal inilah sebenarnya yang menjadikan sulit mencari argumentasi bahwa pungutan pajak adalah sesuatu yang tidak dapat dibenarkan.

Namun demikian terlepas dari berbagai argumentasi doktriner maupun legal yang menjadi alasan pembenar bagi pengenaan pajak, peraturan perundang- undangan yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan pajak haruslah mengandung kepastian hukum yang adil, sehingga bagi masyarakat terutama wajib pajak terbangun rasa tanggung jawab sesuai dengan hak dan kewajibannya secara seimbang. Dengan demikian konsekuensi pembebanan pajak terhadap masyarakat dapat diterima sebagai bentuk yang pada awalnya adalah sebuah kewajiban akan tetapi pada akhirnya hasilnya dinikmati oleh masyarakat itu sendiri.

[3.13.3] Bahwa dengan uraian ilustrasi berkaitan hakikat pajak tersebut di atas, selanjutnya Mahkamah akan menilai persoalan konstitusionalitas norma yang didalilkan Pemohon berkaitan frasa “penggunaan tenaga listrik, baik yang dihasilkan sendiri“ dan frasa “meliputi seluruh pembangkit listrik” dalam Pasal 1 angka 28, Pasal 52 ayat (1), Pasal 52 ayat (2) dan frasa “sumber lain” dalam Pasal 55 ayat (2) dan Pasal 55 ayat (3) UU PDRD, yang menurut Pemohon tidak memberikan jaminan kepastian hukum (legal certainty) yang adil dan mengingkari ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Dalam kaitannya dengan dalil Pemohon a quo Mahkamah mencermati, Pasal 1 angka 28 UU PDRD mengenai definisi Pajak Penerangan Jalan (PPJ) yang selengkapnya menyatakan, “Pajak Penerangan Jalan adalah pajak atas penggunaan tenaga listrik, baik yang dihasilkan sendiri maupun diperoleh dari sumber lain,” dan menemukan dua unsur dasar dari definisi tersebut. Pertama, bahwa hakikat PPJ adalah pajak atas penggunaan tenaga listrik. Kedua, tenaga listrik yang dikenai PPJ adalah tenaga listrik yang diperoleh/dihasilkan sendiri oleh pengguna maupun tenaga listrik yang diperoleh dari sumber lain.

[3.13.4] Bahwa setelah mencermati UU PDRD terutama pada Bab I “Ketentuan Umum” Pasal 1 yang merupakan ketentuan pokok yang menjadi dasar atau rujukan bagian yang diatur dalam pasal-pasal yang ada pada undang-undang bersangkutan, sebagaimana prinsip-prinsip yang ada dalam undang-undang pada umumnya, Mahkamah tidak menemukan adanya ketentuan yang membatasi definisi Pasal 1 angka 28 yang Pasal tersebut menegaskan bahwa PPJ adalah pajak atas penggunaan tenaga listrik, baik yang dihasilkan sendiri maupun diperoleh dari sumber lain. Bahkan ketentuan tersebut kemudian ditegaskan dalam Bagian Kesebelas mengenai “Pajak Penerangan Jalan” pada Pasal 52 ayat (1) yang menyatakan, “Objek Pajak Penerangan Jalan adalah penggunaan tenaga listrik, baik yang dihasilkan sendiri maupun yang diperoleh dari sumber lain.”

Dengan merujuk pada ketentuan Pasal 1 angka 28 juncto Pasal 52 ayat (1) UU PDRD, serta keterangan Presiden (vide Keterangan Presiden, huruf f, halaman 12), Mahkamah menemukan penegasan bahwa makna yang dikehendaki pembentuk undang-undang adalah semua penggunaan tenaga listrik tanpa kecuali merupakan objek dari PPJ, tidak terbatas hanya pada penggunaan tenaga listrik untuk keperluan penerangan jalan saja. Permasalahan lebih lanjut yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah adalah apakah benar materi muatan yang diatur dalam pasal-pasal pada undang-undang yang dipersoalkan konstitusionalitasnya oleh Pemohon menimbulkan ketidakpastian hukum (legal uncertainty). Terhadap hal tersebut Mahkamah berpendapat bahwa apabila ditinjau dari prinsip legalitas berlakunya sebuah undang-undang, sepanjang produk undang-undang dibentuk berdasarkan prinsip-prinsip dalam pembentukan undang-undang maka sulit mencari argumentasi untuk menegaskan bahwa pasal ataupun undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan konstitusional, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.

[3.13.5] Bahwa setelah mencermati Pasal 1 angka 28, Pasal 52 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3) UU PDRD yang didalilkan Pemohon mengandung ketidakpastian hukum (legal uncertainty) yang adil, yang salah satunya adalah permasalahan dari sisi terminologi (vide Permohonan Pemohon, halaman 12), menurut Mahkamah materi muatan pasal yang mengatur PPJ seharusnya secara limitatif dan inherent terbatas hanya mengatur materi muatan tentang pengenaan pajak pada penggunaan tenaga listrik untuk penerangan jalan yang listriknya bersumber dari, atau disediakan oleh, pemerintah dan pembayarannya dapat dibebankan kepada masyarakat. Sepanjang berkenaan dengan permasalahan perihal adanya ketidaksinkronan antara jenis pajak yang dikenakan dengan objek pajak Mahkamah menemukan adanya ketidaktepatan penempatan objek pajak dengan jenis pajak yang berkaitan dengan Pasal 1 angka 28, Pasal 52 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3) UU PDRD. Oleh karena itu menurut Mahkamah terdapat persoalan konstitusionalitas norma terhadap pasal-pasal a quo. Namun demikian, tidak serta-merta berarti bahwa sumber listrik yang dihasilkan sendiri dan sumber lainnya selain yang dihasilkan pemerintah in casu PT PLN tidak dapat menjadi objek pajak. Dengan kata lain PPJ seharusnya tidak menjadikan sumber listrik yang dihasilkan sendiri dan sumber lain sebagai objek sasarannya, namun objek tersebut tetap dapat dikenakan pajak akan tetapi materi muatan peraturan perundang-undangannya harus menyebutkan jenis pajak yang tepat. Untuk itu Mahkamah akan mempertimbangkannya lebih lanjut.

[3.13.6] Bahwa untuk memperkuat argumen Mahkamah sebagaimana termaktub pada Paragraf [3.13.4] dan Paragraf [3.13.5] di atas, perlu ditegaskan bahwa dalam penyusunan peraturan perundang-undangan sangatlah penting untuk menggunakan istilah yang tidak memunculkan makna ganda (ambigu). Secara hukum, menggunakan istilah yang sama untuk dua hal/konsep yang berbeda hanya akan memunculkan kekaburan norma yang pada akhirnya mengakibatkan ketidakpastian hukum, terutama mengenai konsep mana yang sebenarnya dimaksudkan dan ingin atau akan diberlakukan oleh pembentuk undang-undang.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 12/2011) telah memberikan pedoman dalam penyusunan peraturan perundang-undangan, terutama dalam kaitannya dengan perkara a quo adalah Pasal 5 huruf f yang menyatakan, “Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi: ... f. kejelasan rumusan; dan ...”. Penjelasan Pasal 5 huruf f UU 12/2011 menyatakan, “Yang dimaksud dengan “asas kejelasan rumusan” adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya”.

Meskipun norma UU 12/2011 bukan merupakan norma konstitusi, yang karenanya jika terdapat norma dalam suatu undang-undang yang tidak sesuai dengan ketentuan UU 12/2011 tidak serta-merta menjadikannya inkonstitusional, namun karena keberadaan UU 12/2011 merupakan amanat langsung Pasal 22A UUD 1945 yang menyatakan, “Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang”, maka menurut Mahkamah adalah tepat dijadikan sebagai rujukan dalam melakukan pengujian undang-undang di Mahkamah, setidak-tidaknya sebagai petunjuk perihal adanya persoalan konstitusionalitas dalam suatu rumusan norma undang-undang.

[3.13.7] Bahwa setelah mencermati rumusan pasal-pasal yang dipersoalkan Pemohon, Mahkamah berpendapat frasa “penerangan jalan” pada istilah “pajak penerangan jalan” sebenarnya telah dengan jelas merujuk pada suatu tindakan/aktivitas yang membuat terang jalan. Secara harfiah pajak penerangan jalan berarti pajak yang dikenakan bagi peristiwa penerangan jalan, yang seiring perkembangan ilmu pengetahuan/teknologi maka penerangan jalan telah lazim menggunakan alat-alat elektronik bertenaga listrik. Sehingga jika dikaitkan dengan listrik yang dipergunakan sebagai energi untuk “menyalakan” alat-alat elektronik, maka pajak penerangan jalan diartikan sebagai pajak yang dikenakan atas penggunaan listrik bagi penerangan jalan.

Dari uraian penjelasan tersebut di atas, apabila dihubungkan dengan rumusan Pasal 1 angka 28 UU PDRD yang menyatakan, “Pajak Penerangan Jalan adalah pajak atas penggunaan tenaga listrik, baik yang dihasilkan sendiri maupun diperoleh dari sumber lain”, dan Pasal 52 ayat (1) UU PDRD yang menyatakan “Objek Pajak Penerangan Jalan adalah penggunaan tenaga listrik, baik yang dihasilkan sendiri maupun yang diperoleh dari sumber lain”, menurut Mahkamah telah ternyata pembentuk undang-undang mencampurkan pengaturan dua kategori yang berbeda ke dalam satu pasal, yaitu kategori peruntukan tenaga listrik disatukan dengan kategori sumber (penghasil) tenaga listrik. Induk kalimat pada rumusan ketentuan tersebut jelas menerangkan mengenai penggunaan tenaga listrik sebagai objek pajak berdasarkan klasifikasi peruntukannya.

Dari istilah atau nomenklatur Objek Pajak Penerangan Jalan terlihat bahwa penggunaan tenaga listrik yang dijadikan objek PPJ adalah yang peruntukannya untuk penerangan jalan. Namun rumusan anak kalimat Pasal 52 ayat (1), yaitu “baik yang dihasilkan sendiri maupun yang diperoleh dari sumber lain”, tidak menjelaskan mengenai cakupan atau ruang lingkup penggunaan tenaga listrik yang dapat disebut/dikategorikan sebagai penerangan jalan, melainkan justru mengatur sumber tenaga listrik. Hal demikian mengakibatkan kerancuan atau kebingungan memahami maksud dalam pengertian yang terkandung pada rumusan tersebut. Dalam hal ini, apakah maksud sebenarnya dari ketentuan Pasal 52 ayat (1) ini akan mengatur mengenai objek pajak penerangan jalan dari sisi peruntukan/penggunaan tenaga listrik atau dari sisi sumber yang menghasilkan tenaga listrik itu sendiri;

[3.13.8] Bahwa dalam keterangan tertulisnya Presiden/Pemerintah juga menerangkan bahwa PPJ akan dialokasikan untuk menyediakan penerangan jalan (vide Keterangan Presiden, huruf b, halaman 14). Hal demikian menunjukkan adanya ketidaktegasan dari pembentuk undang-undang, setidaknya Presiden/Pemerintah, apakah frasa “penerangan jalan” pada istilah PPJ merujuk pada objek pajak atau merujuk pada alokasi pembelanjaan dana yang diperoleh dari kegiatan pengenaan pajak. Seandainya frasa “penerangan jalan” merujuk pada alokasi dana yang dipungut dari pajak, hal demikian telah terbantah oleh ketentuan Pasal 56 ayat (3) UU PDRD yang menyatakan bahwa dana hasil penerimaan PPJ hanya sebagian saja yang dialokasikan untuk penyediaan penerangan jalan.

Lebih lanjut dijelaskan, bahwa seandainya frasa “penerangan jalan” pada istilah PPJ memang merujuk pada alokasi dana yang diperoleh dari pengenaan pajak, quod non, pola pembentukan istilah demikian akan bertentangan dengan pola pembentukan istilah jenis pajak lain dalam undang- undang yang sama. Jenis pajak yang diatur dalam UU PDRD adalah Pajak Kendaraan Bermotor; Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor; Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor; Pajak Air Permukaan; Pajak Rokok; Pajak Hotel; Pajak Restoran; Pajak Hiburan; Pajak Reklame; Pajak Penerangan Jalan; Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan; Pajak Parkir; Pajak Air Tanah; Pajak Sarang Burung Walet; Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; serta Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, yang semua istilah tersebut merujuk pada objek pajak dan bukan merujuk pada alokasi dana yang diperoleh dari kegiatan pengenaan pajak.

[3.14] Menimbang bahwa seandainya pembentuk undang-undang melalui Pasal 1 angka 28 UU PDRD bermaksud menciptakan rezim hukum baru dengan mendekonstruksi, mengubah, atau memberi makna baru terhadap istilah “Pajak Penerangan Jalan”, menurut Mahkamah akan lebih tepat dipergunakan istilah baru atau istilah lain agar dapat diketahui jelas perbedaannya dengan ketentuan yang lama. Hal demikian selain karena istilah PPJ secara harfiah telah jelas sebagaimana diuraikan Mahkamah dalam pertimbangan hukum Paragraf [3.13] sampai dengan Paragraf [3.13.8] di atas, istilah “pajak penerangan jalan” juga telah dipergunakan secara meluas sejak tahun 1997 yang ditandai dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, serta perubahannya, yang masing-masing memaknai “pajak penerangan jalan” sebagai berikut:

a. UU 18/1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah pada Penjelasan Pasal 2 ayat (2) huruf d menyatakan, “Pajak Penerangan Jalan adalah pajak atas penggunaan tenaga listrik, dengan ketentuan bahwa di daerah tersebut tersedia penerangan jalan, yang rekeningnya dibayar oleh Pemerintah Daerah”.
b. UU 34/2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah pada bagian Penjelasan Pasal 2 ayat (2) huruf e menyatakan, “Pajak Penerangan Jalan adalah pajak atas penggunaan tenaga listrik, dengan ketentuan bahwa di wilayah Daerah tersebut tersedia penerangan jalan, yang rekeningnya dibayar oleh Pemerintah Daerah”.

[3.14.1] Bahwa jika pembentuk undang-undang memang bermaksud mengatur kedua kategori tersebut sekaligus dalam satu rumusan, yaitu kategori peruntukkan tenaga listrik sekaligus kategori sumber (penghasil) tenaga listrik, hal demikian memang tidak keliru dari perspektif konstitusi. Namun membuka kemungkinan terjadinya ketidakpastian hukum manakala rumusan yang demikian menimbulkan ketidakjelasan makna, apalagi ketika makna ketentuan demikian akhirnya menempatkan semua penggunaan tenaga listrik sebagai objek penerangan jalan, meskipun sebenarnya tenaga listrik tersebut tidak dipergunakan untuk menerangi jalan.

Penting bagi Mahkamah untuk menggarisbawahi bahwa kepastian hukum tercipta salah satunya dengan ketepatan penggunaan istilah-istilah dengan makna yang dirujuknya. Salah satunya adalah istilah “penerangan jalan” sudah jelas dan mapan maknanya baik secara harfiah maupun dalam penggunaan sehari-hari, yaitu kegiatan membuat terang jalan dengan bantuan pencahayaan buatan. Ketika “penerangan jalan” dimaknai meluas meliputi juga semua penggunaan listrik untuk keperluan selain penerangan jalan, maka hal demikian membingungkan bagi pengguna tenaga listrik karena dikenai pajak untuk suatu tindakan penggunaan tenaga listrik yang secara faktual tidak mereka lakukan.

[3.14.2] Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, terlepas dari belum dipertimbangkannya oleh Mahkamah mengenai konstitusionalitas pengenaan pajak terhadap penggunaan tenaga listrik untuk peruntukkan/keperluan selain penerangan jalan, apalagi jika tenaga listrik tersebut dihasilkan/dibangkitkan sendiri oleh pengguna, Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 1 angka 28 dan Pasal 52 ayat (1) UU PDRD bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena penggunaan istilah di dalam Pasal 1 angka 28 dan Pasal 52 ayat (1) UU a quo telah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pengguna tenaga listrik.

[3.15] Menimbang bahwa terhadap dalil Pemohon yang pada pokoknya menyatakan bahwa seharusnya tenaga listrik yang dihasilkan sendiri oleh pengguna tidak dikenai pajak, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut.

Pasal 23A UUD 1945 menyatakan bahwa “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”. Ketentuan demikian dengan jelas menunjukkan bahwa pajak dan pungutan lain yang dilakukan oleh negara untuk keperluan negara adalah hal yang diperbolehkan, selama diatur dengan undang-undang. Makna frasa “diatur dengan undang-undang” merujuk pada kondisi bahwa semua ketentuan apalagi yang bersifat mengikat dan membebani atau menimbulkan kewajiban kepada rakyat (penduduk) harus diketahui dan dibuat oleh rakyat melalui mekanisme perwakilan yaitu oleh anggota lembaga perwakilan rakyat bersama-sama dengan Presiden. Bahkan dalam konsep negara demokrasi modern, negara bukan hanya harus menyediakan sarana bagi rakyat untuk terlibat dalam proses perancangan/penyusunan suatu peraturan perundang-undangan, melainkan harus memastikan bahwa rakyat mengetahui adanya proses penyusunan peraturan perundang-undangan tersebut. Hal demikian tidak lain untuk mencegah kesewenang-wenangan negara dalam melakukan pungutan dan pengenaan pajak kepada rakyat.

[3.15.1] Bahwa Pasal 23A UUD 1945 tidak menyatakan bidang apa saja yang dapat dikenai pajak dan pungutan. Begitu pula dalam UUD 1945 secara umum tidak ada pernyataan lebih lanjut mengenai bidang-bidang yang tidak boleh dikenai pajak dan pungutan. Dari ketentuan demikian diartikan bahwa pada dasarnya pungutan dan pajak dapat dikenakan/dibebankan kepada semua objek hukum dan dibebankan pula kepada semua subjek hukum, tentu saja setelah melalui penalaran dan rasionalisasi yang matang melalui pembentukan undang-undang.

Pungutan negara kepada rakyat secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu retribusi dan pajak. Retribusi adalah pungutan oleh negara kepada rakyat yang tegen prestatie atas pungutan tersebut langsung dinikmati oleh rakyat yang membayar retribusi. Sementara pajak adalah pungutan oleh negara kepada rakyat yang manfaatnya tidak diterima/dirasakan seketika melainkan oleh negara (melalui Pemerintah) dialokasikan untuk membiayai berbagai kegiatan penyelenggaraan negara, yang bisa saja tidak langsung berkaitan dengan kategori objek yang dikenai pajak.

[3.15.2] Bahwa pajak menjadi instrumen keuangan yang berfungsi mengisi kas (pendapatan) negara. Bahkan saat ini pendapatan dari sektor pajak menjadi sumber pendapatan yang dominan. Namun pajak bukan semata-mata instrumen negara untuk memungut sejumlah uang kepada rakyat, sehingga dalam pengujian konstitusionalitas pengenaan pajak, hal yang menjadi pertimbangan Mahkamah bukan sekadar beban yang harus ditanggung oleh rakyat. Bagi Mahkamah, terutama dalam hal pengenaan pajak tenaga listrik, fungsi pengaturan (regulerend) justru lebih mendominasi karena pembangkitan listrik dengan sumber energi tertentu dapat membawa dampak negatif kepada lingkungan dan masyarakat, terutama dalam hal pembangkitan listrik dilakukan secara konvensional menggunakan bahan bakar fosil. Namun karena di sisi lain listrik memiliki banyak manfaat, sehingga negara harus mengendalikan atau memulihkan dampak dimaksud. Salah satu upaya pengendalian tersebut adalah dengan pengenaan pajak kepada penggunaan listrik, serta mengalokasikan sebagian dana yang bersumber dari pajak penggunaan listrik untuk memulihkan kerugian yang diderita lingkungan hidup dan masyarakat. Kewajiban pemulihan tersebut sesuai dengan amanat Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan, “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.

[3.15.3] Bahwa dengan demikian inkonstitusionalitas Pasal 1 angka 28 dan Pasal 52 ayat (1) UU PDRD sebagaimana telah Mahkamah nyatakan pada pertimbangan hukum di atas, tidak lantas mengakibatkan penggunaan tenaga listrik tidak dapat dikenai pajak. Mahkamah menegaskan pendapatnya bahwa penggunaan tenaga listrik, baik yang dihasilkan sendiri maupun yang diperoleh dari sumber lain, tetap dapat dikenai pajak atau dengan kata lain tetap dapat dijadikan sebagai objek pajak, namun pengenaan pajaknya harus diatur dalam undang- undang dengan nomenklatur atau istilah yang lebih tepat agar tidak menimbulkan kerancuan maupun kebingungan bagi masyarakat terutama subjek pajak dan wajib pajak. Sehingga terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa seharusnya tenaga listrik yang dihasilkan/dibangkitkan sendiri oleh pengguna tidak dikenai pajak, Mahkamah berpendapat sebaliknya, yaitu bahwa semua penggunaan tenaga listrik dapat dikenai pajak tanpa membedakan asal atau sumber pasokan tenaga listrik tersebut, apakah dibangkitkan sendiri oleh pengguna atau dibangkitkan oleh pihak selain pengguna.

[3.16] Menimbang bahwa selain itu terhadap dalil Pemohon mengenai Pasal 52 ayat (2) serta Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3) UU PDRD yang menurut Pemohon seharusnya tenaga listrik yang dihasilkan sendiri oleh pengguna tidak dikenai pajak, Mahkamah berpendapat pemahaman ketentuan dimaksud tidak dapat dilepaskan dari Pasal 52 ayat (1) juncto Pasal 1 angka 28 sebagaimana telah dipertimbangkan sebelumnya. Bahkan keberadaan ketiga ketentuan tersebut tergantung pada ketentuan Pasal 1 angka 28 dan Pasal 52 ayat (1) UU PDRD terutama pada istilah “pajak penerangan jalan”. Dikarenakan ketentuan Pasal 52 ayat (2) serta Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3) UU PDRD keberadaannya berkaitan dengan Pasal 1 angka 28 dan Pasal 52 ayat (1) UU PDRD sehingga Mahkamah juga harus menyatakan Pasal 52 ayat (2) serta Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3) UU PDRD bertentangan dengan UUD 1945.

[3.17] Menimbang bahwa Pasal 1 angka 28, Pasal 52 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3) UU PDRD adalah bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat. Posisi demikian menghilangkan landasan hukum bagi pengenaan pajak terhadap penggunaan listrik. Padahal sebagaimana telah diuraikan Mahkamah dalam pertimbangan hukum di atas, pengenaan pajak terhadap penggunaan listrik bukanlah hal yang melanggar UUD 1945.

Bahwa untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum dalam hal pengenaan pajak, Mahkamah memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk membentuk ketentuan baru sebagai dasar bagi pengenaan pajak terhadap penggunaan listrik, khususnya penerangan jalan, baik yang dihasilkan sendiri maupun dari sumber lain selain yang dihasilkan oleh pemerintah (PT PLN), dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak diucapkannya putusan ini. Artinya, dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak diucapkannya putusan ini UU PDRD masih berlaku sebagai dasar pengenaan PPJ.

[3.18] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.

Bahwa terhadap Putusan MK dalam Perkara Nomor 80/PUU-XV/2017 sebagaimana diuraikan diatas, untuk mengisi kekosongan hukum berdasarkan Pasal 10 ayat (1) huruf d, Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 23 ayat (1) huruf b UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan saran sebagai berikut:
1) Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 80/PUU-XV/2017 sebagai bahan dalam penyusunan Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka.
2) Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 80/PUU-XV/2017 sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan UU MK.

2. Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh seluruh organ penyelenggara Negara, organ penegak hukum dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 80/PUU-XV/2017 mengenai materi muatan pasal/ayat dalam UU PDRD yang dinyatakan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, agar tidak menimbulkan kekosongan hukum, dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan Perubahan UU PDRD.

INFO JUDICIAL REVIEW PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 22-11-2018

Bahwa pada hari Kamis, tanggal 22 November 2018, Pukul 15.25 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutus Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (selanjutnya disebut UU 24/2000) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut dengan UUD Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 13/PUU-XVI/2018. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 13/PUU-XVI/2018, perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 2, Pasal 9 ayat (2), Pasal 10, Pasal 11 ayat (1), dan Penjelasan Pasal 11 ayat (1) UU Perjanjian Internasional, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

[3.12] Menimbang bahwa, setelah mempertimbangkan hal-hal penting sebagaimana diuraikan dalam Paragraf [3.10] dan Paragraf [3.11] sesungguhnya dengan sendirinya telah menjawab dalil-dalil Para Pemohon. Namun demikian, secara spesifik Mahkamah tetap akan memberikan pertimbangannya terhadap dalil-dalil Para Pemohon sebagai berikut:

A. Terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 2 UU 24/2000 bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 karena telah mengganti frasa “dengan persetujuan DPR” dengan frasa “berkonsultasi dengan DPR dalam hal menyangkut kepentingan publik” dengan argumentasi sebagaimana diuraikan pada huruf A Paragraf [3.7], Mahkamah berpendapat, sebagaimana telah dipertimbangkan dalam Paragraf [3.11], mekanisme konsultasi yang diatur dalam Pasal 2 UU 24/2000 justru dibutuhkan untuk mengetahui apakah substansi suatu perjanjian internasional menurut Pasal 11 UUD 1945 tergolong ke dalam perjanjian yang membutuhkan persetujuan DPR atau tidak. Tanpa adanya mekanisme tersebut akan menyulitkan Pemerintah dalam merumuskan posisinya dalam perundingan padahal penentuan posisi demikian sangat penting karena akan dijadikan pedoman oleh delegasi Indonesia dalam proses perundingan suatu perjanjian internasional. Dengan demikian, Mahkamah berpendapat dalil para Pemohon sepanjang berkenaan dengan inkonstitusionalitas Pasal 2 UU 24/2000 adalah tidak beralasan menurut hukum.

B. Terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 9 ayat (2) UU 24/2000 bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 dengan argumentasi sebagaimana diuraikan pada huruf B Paragraf [3.7], Mahkamah berpendapat bahwa tahapan pengesahan perjanjian internasional yang diatur dalam Pasal a quo adalah berkait langsung dengan kategori suatu perjanjian internasional, yaitu apakah perjanjian internasional itu tergolong ke dalam kategori perjanjian internasional yang mempersyaratkan adanya persetujuan DPR atau tidak. Tahapan pengesahan (menurut hukum nasional) juga merupakan konsekuensi dari suatu perjanjian internasional yang mempersyaratkan adanya pengesahan (ratifikasi) sebagai pernyataan untuk terikat (consent to bound) pihak-pihak yang menjadi peserta dalam perjanjian internasional yang bersangkutan. Dengan demikian, tahapan pengesahan (menurut hukum nasional) terhadap suatu perjanjian internasional adalah sekaligus sebagai instrumen yang menjadikan suatu perjanjian internasional sebagai bagian dari hukum nasional. Sementara itu, oleh karena menurut UUD 1945 tidak seluruh perjanjian internasional mempersyaratkan adanya persetujuan DPR maka hanya perjanjian internasional yang mempersyaratkan persetujuan DPR itulah yang pengesahannya dilakukan dengan undang-undang. Secara a contrario berarti untuk pengesahan perjanjian internasional lainnya tidak dipersyaratkan adanya bentuk hukum tertentu. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat dalil para Pemohon sepanjang berkenaan dengan inkonstitusionalitas Pasal 9 ayat (2) UU 24/2000 adalah tidak beralasan menurut hukum.

C. Terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 10 UU 24/2000 bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 sepanjang frasa “menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang” dalam Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 tersebut dimaknai hanya terbatas pada kategori: a) masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara; b) perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia; c) kedaulatan atau hak berdaulat negara; d) hak asasi manusia dan lingkungan hidup; e) pembentukan kaidah hukum baru; f) pinjaman dan/atau hibah luar negeri”, dengan argumentasi sebagaimana diuraikan pada huruf C Paragraf [3.7] di atas, Mahkamah terlebih dahulu menegaskan bahwa tidak terdapat frasa “menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang- undang” dalam rumusan Pasal 10 UU 24/2000. Namun demikian, Mahkamah dapat memahami maksud para Pemohon yaitu bahwa norma yang dirumuskan dalam Pasal 10 UU 24/2000 tersebut adalah berkait dengan frasa “menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 dan karena itulah maka pengesahan terhadap perjanjian-perjanjian demikian dilakukan dengan undang-undang.

Oleh karena itu, terhadap dalil para Pemohon a quo Mahkamah berpendapat bahwa, sebagaimana telah dipertimbangkan dalam Paragraf [3.11], persoalan apakah suatu perjanjian internasional tergolong ke dalam perjanjian yang membutuhkan persetujuan DPR atau tidak baru dapat diketahui dalam mekanisme konsultasi dengan DPR, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU 24/2000, maka rumusan norma dalam Pasal 10 UU 24/2000 telah menimbulkan penafsiran bahwa hanya perjanjian-perjanjian internasional yang disebutkan dalam Pasal 10 UU 24/2000 itulah yang tergolong ke dalam perjanjian demikian. Sementara itu, perkembangan yang terjadi dalam pergaulan internasional yang makin intens sehingga membuat sesama anggota masyarakat internasional makin saling bergantung satu sama lain dalam pemenuhan kebutuhannya, dalam batas penalaran yang wajar, akan sangat berpengaruh terhadap kepentingan nasional Indonesia. Dalam kesalingtergantungan demikian sangat terbuka kemungkinan bahwa hal-hal yang di masa lalu tidak terlalu berdampak terhadap kepentingan dan kebutuhan nasional Indonesia, di masa yang akan datang sangat mungkin membawa dampak serius. Oleh karena itu, dengan tetap mempertimbangkan secara saksama keleluasaan yang cukup bagi Presiden untuk dapat secara efektif melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahannya, rumusan norma yang tertuang dalam Pasal 10 UU 24/2000 tidak akan mampu menjawab kebutuhan dan ketidakmampuan menjawab kebutuhan demikian bukan sekadar persoalan teknis-administratif melainkan berkait langsung dengan pemenuhan amanat Konstitusi. Dengan demikian, Mahkamah berpendapat dalil para Pemohon sepanjang berkenaan dengan Pasal 10 UU 24/2000 adalah beralasan menurut hukum.

D. Terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 11 ayat (1) beserta Penjelasan Pasal 11 ayat (1) UU 24/2000 bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dengan argumentasi sebagaimana diuraikan pada huruf D Paragraf [3.7] di atas, Mahkamah berpendapat oleh karena dalil para Pemohon a quo berkorelasi dengan dalil para Pemohon tentang inkonstitusionalitas Pasal 9 maka pertimbangan Mahkamah sebagaimana diuraikan pada huruf B di atas berlaku pula terhadap dalil para Pemohon a quo, termasuk persoalan kepastian hukum yang dijadikan argumentasi para Pemohon. Sementara itu, meskipun dalil para Pemohon a quo seolah-olah berkait dengan Pasal 10 UU 24/2000, namun oleh karena pertimbangan Mahkamah terhadap inkonstitusionalitas Pasal 10 bukan berkenaan dengan bentuk hukum pengesahan suatu perjanjian internasional melainkan hanya berkenaan dengan jenis-jenis perjanjian internasional yang mempersyaratkan persetujuan DPR maka pertimbangan Mahkamah terhadap inkonstitusionalitas Pasal 10 UU 24/2000 tidak ada relevansinya dengan dalil para Pemohon perihal inkonstitusionalitas Pasal 11 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 11 ayat (1) UU 24/2000. Oleh karena itu, dalil para Pemohon sepanjang berkenaan dengan Pasal 11 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 11 ayat (1) UU 24/2000 tidak beralasan menurut hukum.

[3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat permohonan para Pemohon sepanjang berkenaan dengan inkonstitusionalitas Pasal 10 UU 24/2000 adalah beralasan menurut hukum sedangkan dalil para Pemohon untuk selain dan selebihnya adalah tidak beralasan menurut hukum.

1. Bahwa terhadap Putusan MK dalam Perkara Nomor 13/PUU-XVI/2018 sebagaimana diuraikan di atas, berdasarkan Pasal 10 ayat (1) huruf d, Pasal 10 ayat (2), dan Pasal 23 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan saran sebagai berikut:
1) Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 13/PUU-XVI/2018 sebagai bahan dalam penyusunan Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka;
2) Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 13/PUU-XVI/2018 sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan UU 24/2000.

2. Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan langsung dilaksanakan (self-executing) oleh seluruh organ penyelenggara negara, organ penegak hukum, dan warga negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 13/PUU-XVI/2018 mengenai sebagian materi muatan pasal/ayat dalam UU 24/2000 yang dinyatakan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan Perubahan UU 24/2000.

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 31/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 23-07-2018

1. Bahwa pada hari Senin, tanggal 23 Juli 2018, Pukul 13.25 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutuskan Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (selanjutnya disebut UU Pemilu) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 31/PUU-XVI/2018. Dalam sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 31/PUU-XVI/2018, perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

2. Bahwa permohonan pengujian materiil UU Pemilu terhadap UUD Tahun 1945 dalam Perkara Nomor 31/PUU-XVI/2018 diajukan oleh Erik Fitriadi, S.H., Miftah Farid, A. Wahab Suneth, S.H., Iwan Setiyono, S.P., Akbar Khadafi, S. Pd., Turki, S.H., Mu’ammar dan Habloel Mawadi, S.H., M.H. (selanjutnya disebut Para Pemohon), yang diwakili oleh kuasa hukum para Pemohon yang terdiri dari Dr. Heru Widodo, S.H., M. Hum., Damrah Mamang, S.H., M.H., KPPA, Ferry Firman Nurwahyu, S.H., R. Ahmad Waluya Muharram, S.H., Irfan Nadira Nasution, S.H., Arifudin, S.H., M.H., M. Fahruddin, S.H., M.H., dan Andy Ryza Fardiansyah, S.H. yang kesemuanya advokat dan konsultan hukum dalam Lembaga Bantuan Hukum Syarikat Islam.

3. Bahwa Para Pemohon dalam permohonannya mengajukan pengujian materiil atas Pasal 10 ayat (1) huruf c, Pasal 21 ayat (1) huruf k, Pasal 44 ayat (1) huruf b dan ayat (2) huruf b, Pasal 52 ayat (1), Pasal 117 ayat (1) huruf b, huruf m, dan huruf o, Pasal 286 ayat (2), Pasal 468 ayat (2), dan Pasal 557 ayat (1) huruf b UU Pemilu, yang berketentuan sebagai berikut:

Pasal 10 ayat (1) huruf d UU No. 7 Tahun 2017
“Jumlah anggota:
c. KPU Kabupaten/Kota sebanyak 3 (tiga) atau 5 (lima) orang”

Pasal 21 ayat (1) huruf k UU No. 7 Tahun 2017
“Syarat untuk menjadi calon anggota KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota adalah:
k. Bersedia mengundurkan diri dari kepengurusan organisasi kemasyarakatan yang berbadan hukum dan tidak berbadan hukum apabila telah terpilih menjadi anggota KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota, yang dibuktikan dengan surat pernyataan”

Pasal 44 ayat (1) huruf b UU No. 7 Tahun 2017
“Rapat pleno KPU Kabupaten/Kota sah dalam hal:
b. Jumlah anggota KPU Kabupaten/Kota berjumlah 3 (tiga) orang. Dihadiri oleh seluruh anggota KPU Kabupaten/Kota yang dibuktikan dengan daftar hadir”

Pasal 44 ayat (2) huruf b UU No. 7 Tahun 2017
“Keputusan rapat pleno KPU Kabupaten/Kota sah dalam hal:
b. Jumlah KPU Kabupaten/Kota berjumlah 3 (tiga) orang, yang disetujui oleh seluruh anggota KPU Kabupaten/Kota yang hadir”

Pasal 52 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017
“Anggota PPK sebanyak 3 (tiga) orang berasal dari tokoh masyarakat yang memenuhi syarat berdasarkan undang-undang ini”
Pasal 117 ayat (1) huruf b, huruf m dan huruf o UU No. 7 Tahun 2017
“Syarat untuk menjadi calon anggota Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan dan Panwaslu Kelurahan/Desa, serta Pengawas TPS adalah:
b. Pada saat pendaftaran berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun untuk calon anggota Bawaslu, berusia paling rendah 35 (tiga puluh lima) tahun untuk calon anggota Bawaslu Provinsi, berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk calon anggota Bawaslu Kabupaten/Kota, dan berusia paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun untuk calon anggota Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Kelurahan/Desa, dan Pengawas TPS;
m. Bersedia bekerja penuh waktu yang dibuktikan dengan surat pernyataan; dan
o. Tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan sesama penyelenggara Pemilu”

Pasal 286 ayat (2) UU No. 7 Tahun 2017
“Pasangan calon serta calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPR Kabupaten/Kota yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan rekomendasi Bawaslu dapat dikenai sanksi administratif pembatalan sebagai pasangan calon serta calon anggota DPR, DPD, DPR Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota oleh KPU”




Pasal 468 ayat (2) UU No. 7 Tahun 2017
“Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota memeriksa dan memutus sengketa proses Pemilu paling lama 12 (dua belas) hari sejak diterimanya permohonan”

Pasal 557 ayat (1) huruf b UU No. 7 Tahun 2017
“Kelembagaan Penyelenggaraan Pemilu di Aceh terdiri atas:
b. Panitia Pengawas Pemilihan Provinsi Aceh dan Panitia Pengawas dan Pemilihan Kabupaten/Kota merupakan satu kesatuan kelembagaan yang hierarkis dengan Bawaslu”

4. Bahwa Pasal 10 ayat (1) huruf c, Pasal 21 ayat (1) huruf k, Pasal 44 ayat (1) huruf b dan ayat (2) huruf b, Pasal 52 ayat (1), Pasal 117 ayat (1) huruf b, huruf m, dan huruf o, Pasal 286 ayat (2), Pasal 468 ayat (2), dan Pasal 557 ayat (1) huruf b UU Pemilu yang dianggap Para Pemohon bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1), Pasal 22E ayat (5), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28B ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945 karena telah berpotensi merugikan dan melanggar hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon.

1. Mahkamah memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

a. Konstitusionalitas Pasal 10 ayat (1) huruf c dan Penjelasan beserta lampirannya, Pasal 44 ayat (1) huruf b dan Pasal 44 ayat (2) huruf b, serta Pasal 52 ayat (1) UU Pemilu - Paragraf [3.10.1] Hlm. 86 s.d. 97

1) Bahwa terhadap dalil para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 10 ayat (1) huruf c dan Penjelasan beserta lampirannya, Pasal 44 ayat (1) huruf b dan Pasal 44 ayat (2) huruf b, serta Pasal 52 ayat (1) UU Pemilu sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.7] angka 1, paragraf [3.7] angka 3 dan paragraf [3.7] angka 4 yang memiliki persamaan masalah terkait frasa “3 (tiga) orang”, Mahkamah secara bersama-sama akan mempertimbangkan masalah tersebut sebagai berikut:

2) Bahwa sebagaimana disinggung pada bagian ringkasan Duduk Perkara, masalah pokok yang harus dijawab terkait permohonan ini adalah: Apakah pengurangan jumlah anggota KPU kabupaten/kota dan jumlah anggota PPK yang dalam Undang-Undang sebelumnya ditetapkan berjumlah 5 (lima) orang menjadi 3 (tiga) atau 5 (lima) orang dalam UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945.

Bahwa untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu dijelaskan terlebih dahulu bagaimana kehendak sesungguhnya konstitusi (UUD 1945) terhadap institusi penyelenggara Pemilu. Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 menyatakan bahwa pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Sesuai sifat mandiri yang ditegaskan dalam ketentuan tersebut, lembaga penyelenggara Pemilu haruslah sebuah institusi yang bebas dari intervensi kepentingan politik. Pada saat yang sama, orang-orang yang bertindak sebagai penyelenggara bukan bagian dari kontestan pemilihan umum serta dapat melaksanakan tugas secara independen.

Bahwa kemandirian atau independensi penyelenggara Pemilu juga ditopang oleh aspek imparsialitas dan profesionalitas orang-orang yang diangkat sebagai penyelenggara Pemilu. Dua aspek tersebut akan sangat menentukan bagaimana kemandirian lembaga penyelenggara pemilu dijaga dan ditegakkan. Pada saat yang sama, keduanya juga sangat menentukan bagaimana Pemilu yang jujur dan adil dapat diwujudkan.

Bahwa secara konseptual, profesionalitas merupakan salah satu dari 11 prinsip Pemilu berkeadilan yang dirumuskan oleh The United Nations Democracy Fund (UNDEF), di mana prinsip profesionalitas diartikan bahwa penyelenggaraan Pemilu mensyaratkan pengetahuan teknis bagi penyelenggara Pemilu yang mumpuni dan memiliki kompetensi untuk menjelaskan proses atau tahapan Pemilu. Artinya, untuk menjadi penyelenggara, seseorang haruslah memiliki pengetahuan dan kompetensi yang memadai. Selain itu, beban kerja yang seimbang juga menjadi bagian penting agar kerja-kerja profesional penyelenggara dapat dilakukan secara optimal terutama untuk mewujudkan Pemilu yang jujur dan adil. Dalam pengertian demikian, betapapun bagusnya pengetahuan dan kompetensi dari penyelenggara Pemilu namun bilamana dibebani dengan pekerjaan secara tidak seimbang atau beban yang berlebihan (overload), penyelenggara Pemilu akan sulit untuk bekerja secara profesional. Bagaimanapun, sesuatu yang dapat mengurangi profesionalitas penyelenggara secara langsung juga akan berpengaruh terhadap terwujud atau tidaknya Pemilu yang adil dan jujur sebagaimana dikehendaki ketentuan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.

Bahwa dari tiga kelompok besar beban KPU, yaitu membentuk regulasi teknis penyelenggaraan, melaksanakan tahapan Pemilu, serta menjaga dan mensupervisi penyelenggara Pemilu yang bersifat nasional mulai dari tingkat pusat hingga tingkat TPS diperlukan keseimbangan beban kerja. Dari ketiga kelompok besar tersebut, dua fokus kerja yang disebut terakhir membutuhkan jumlah sumber daya manusia yang seimbang dan rasional. Sebab, untuk melaksanakan tahapan dan mengendalikan penyelenggara (termasuk panitia ad-hoc di level kecamatan sampai ke tingkat TPS) tidak hanya membutuhkan penyelenggara yang mumpuni secara pemahaman, melainkan juga secara kuantitatif diperlukan jumlah yang mencukupi untuk melaksanakan dan memastikan semua tahapan Pemilu berjalan secara baik sesuai ketentuan yang berlaku. Andaipun kapasitas penyelenggaranya baik, namun memiliki keterbatasan untuk menjangkau semua aspek penting, mulai dari memastikan jumlah pemilih yang memiliki hak pilih sampai memastikan suara pemilih dihitung dan direkap dengan baik, disebabkan oleh keterbatasan jumlah penyelenggara tentunya akan mempengaruhi pencapaian standar kejujuran dan keadilan Pemilu dalam mewujudkan kedaulatan rakyat. Oleh karena itu, meskipun jumlah penyelenggara Pemilu pada masing-masing tingkatan merupakan kebijakan pembentuk undang-undang, namun ketika keputusan pembentuk undang-undang berpotensi menyebabkan terjadinya ancaman kerentanan terhadap pencapaian kehendak UUD 1945, maka pertanyaannya kemudian apakah hal demikian dapat dikualifikasi sebagai kebijakan yang bertentangan dengan UUD 1945.

Bahwa sehubungan dengan itu, jawaban atas pertanyaan hukum di atas Mahkamah berpendapat sebagai berikut:
a) Bahwa secara historis, aspek penetapan jumlah penyelenggara Pemilu, khususnya jumlah anggota KPU kabupaten/kota yang diatur dalam Pasal 10 UU Pemilu sebagaimana dimohonkan oleh para Pemohon, salah satunya dapat dilacak dengan merujuk dari aspek sejarah penentuan jumlah anggota lembaga penyelenggara pemilu di tingkat kabupaten/kota;

b) Bahwa untuk pertama kali, KPU sebagai lembaga yang mandiri sebagaimana amanat Pasal 22E UUD 1945 dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut UU 12/2003). Dalam UU 12/2003 tersebut diatur bahwa jumlah anggota KPU sebanyak 11 (sebelas) orang, anggota KPU Provinsi 5 (lima) orang, dan jumlah anggota KPU kabupaten/kota 5 (lima) orang. Jumlah tersebut ditetapkan setelah sebelumnya dalam draft RUU 12/2003 yang diusulkan oleh pemerintah jumlah anggota KPU Provinsi dan KPU kabupaten/kota adalah sebanyak 5 (lima) sampai 9 (sembilan) orang. Seperti terpapar di dalam Persandingan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) fraksi- fraksi DPR terhadap RUU 12/2003, pemerintah mengusulkan anggota KPU terdiri atas 11 anggota [Pasal 66], anggota Panitia Pemilu Provinsi sekurang- kurangnya lima orang dan sebanyak-banyaknya tujuh orang [Pasal 75], anggota Panitia Pemilu kabupaten/kota sekurang-kurangnya tujuh orang dan sebanyak-banyaknya sembilan orang [Pasal 78];

c) Bahwa berdasarkan fakta di atas, untuk mewujudkan pelaksanaan Pemilu secara langsung, umum, bebas, jujur, dan adil sebagaimana termaktub dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945, jumlah yang tertera dalam draf Persandingan DIM RUU Pemilu pertama setelah perubahan UUD 1945 tersebut dapat dipahami, pertama, pembentuk undang-undang awalnya menginginkan anggota KPU provinsi dan kabupaten/kota dalam jumlah tertentu, yaitu antara lima sampai dengan tujuh orang untuk anggota KPU provinsi dan tujuh sampai sembilan orang untuk kabupaten/kota; kedua, jumlah anggota KPU kabupaten/kota jauh lebih banyak dibandingkan jumlah anggota KPU Provinsi. Dalam batas penalaran yang wajar, jumlah tersebut diusulkan sesuai dengan beban kerja penyelenggaraan Pemilu pada setiap tingkatan, di mana KPU lebih banyak berperan pada aspek regulasi dan pengendalian, KPU Provinsi lebih pada aspek koordinasi dan supervisi, dan posisi KPU kabupaten/kota sebagai pelaksana sekaligus pengendali terhadap penyelenggaraan tahapan Pemilu di kabupaten/kota termasuk pengendali panitia/penyelenggara ad hoc yang berada di level di bawah kabupaten/kota. Dengan demikian, dari aspek tanggung jawab, KPU dan KPU Provinsi tentu lebih besar, namun dari aspek beban kerja penyelenggaraan, KPU kabupaten/kota jauh lebih berat. Oleh karena itu, menjadi logis apabila pemerintah dalam draft yang diajukan mengusulkan bahwa jumlah anggota KPU kabupaten/kota lebih banyak dibandingkan jumlah anggota KPU Provinsi;

d) Bahwa apabila pada akhirnya pembentuk undang-undang menyepakati anggota KPU Provinsi dan kabupaten/kota dalam UU 12/2003 masing-masing berjumlah lima orang, kesepakatan tersebut didasarkan atas pertimbangan beban anggaran yang ditimbulkan jikalau jumlah anggota KPU provinsi ditetapkan tujuh orang dan anggota KPU kabupaten/kota tujuh sampai sembilan orang. Pertimbangan tersebut juga menjadi dasar pemikiran pembentuk undang-undang sehingga UU 12/2003 mengadopsi bahwa KPU berjumlah 11 orang, KPU Provinsi berjumlah lima orang, dan KPU kabupaten/kota berjumlah lima orang.

e) Bahwa berdasarkan pada pengalaman penyelenggaraan tiga pemilu (Pemilu 2004, Pemilu 2009, dan Pemilu 2014), yaitu ketika anggota KPU kabupaten/kota berjumlah 5 (lima) orang, pemilu dilaksanakan dengan baik dan tidak terkendala oleh masalah tidak memadainya jumlah anggota KPU di kabupaten/kota. Artinya, dengan jumlah penyelenggara pemilu di masing- masing tingkatan yang telah ditetapkan sebelumnya, jumlah penyelenggara pemilu di setiap tingkatan yang diatur oleh undang-undang dinilai cukup mampu menopang berjalannya pemilu yang jujur dan adil. Dengan jumlah tersebut, potensi malpraktik yang disebabkan oleh penyelenggara dapat diminimalisir, karenanya kebijakan mengurangi jumlah anggota KPU kabupaten/kota yang ada dalam UU Pemilu saat ini menjadi pertanyaan karena dapat mengancam prinsip penyelenggaraan Pemilu sebagaimana dikehendaki Pasal 22E UUD 1945. Bagaimanapun, mengurangi jumlah penyelenggara, terutama di kabupaten/kota, potensial untuk menimbulkan kerentanan terselenggaranya pemilu secara jujur dan adil. Bahkan bila dikaitkan dengan bertambahnya beban penyelenggara Pemilu khususnya di kabupaten/kota ke bawah yaitu dengan perubahan desain penyelenggaraan pemilu legislatif dan pemilu presiden/wakil presiden yang dilaksanakan serentak tentu saja memberikan beban lebih besar bagi penyelenggara di kabupaten/kota ke bawah. Dalam batas penalaran yang wajar maka menjadi pertanyaan mengapa ketika desain pelaksanaan Pemilu dilaksanakan secara serentak yang konsekuensinya akan menimbulkan beban kerja yang lebih besar justru jumlah penyelenggara Pemilu di kabupaten/kota dikurangi.

f) Bahwa lebih jauh, KPU merupakan lembaga negara mandiri yang tunduk pada prinsip profesional sehingga penentuan komposisi keanggotaannya pun harusnya didasarkan pada ukuran-ukuran profesionalitas, baik dari aspek kualitas maupun kuantitas. Artinya, hanya alasan untuk bekerja dan berjalan secara profesional yang mestinya jadi landasan utama untuk menentukan jumlah keanggotaan lembaga tersebut. Dalam konteks itu, meski aspek ketersediaan anggaran juga harus dipertimbangkan, namun pertimbangan tersebut hanya dapat dibenarkan dan dapat diterima nalar konstitusionalnya selama pertimbangan anggaran tidak berpotensi mengancam asas-asas Pemilu yang ditentukan dalam konstitusi, in casu asas jujur dan adil dalam Pasal 22E UUD 1945;

g) Bahwa sejalan dengan pertimbangan tersebut, penentuan jumlah atau komposisi keanggotaan lembaga penyelenggara pemilu yang semata-mata didasarkan kepada aspek menggabungkan (kumulasi) antara faktor jumlah penduduk dan faktor luas wilayah sebagaimana digunakan dalam UU Pemilu adalah kurang tepat. Sebab, lembaga penyelenggara Pemilu merupakan lembaga profesional, bukan lembaga representasi politik yang pada umumnya menjadikan aspek jumlah penduduk dan luas wilayah sebagai pertimbangan utama dalam penentuan komposisinya. Kalaupun pembentuk undang-undang menjadikan jumlah penduduk dan luas wilayah sebagai dasar pertimbangan, hal tersebut tidak boleh mengesampingkan aspek kemampuan lembaga penyelenggara untuk tetap bekerja secara profesional. Sebab, sebagaimana amanat pasal 22E ayat (1) UUD 1945, hanya dengan lembaga penyelenggara yang bekerja secara profesional Pemilu yang jujur dan adil dapat dilaksanakan;

h) Bahwa selain pertimbangan profesionalitas, penentuan jumlah anggota KPU kabupaten/kota harus pula mempertimbangkan dengan cermat dan saksama rancang-bangun manajemen penyelenggaraan Pemilu (election management) yang rasional, terukur dan menjamin pemenuhan prinsip kedaulatan rakyat. Bagaimanapun dalam menyelenggarakan pemilu, election management dimaksudkan untuk memastikan setiap tahapan Pemilu dilaksanakan secara profesional, memfasilitasi hak politik setiap pemilih dengan adil, serta melindungi pemenuhan prinsip daulat rakyat sebagai tujuan utama dari pelaksanaan pemilu. Manajemen Pemilu yang rasional dan terukur menjadi keniscayaan untuk dapat dipastikan terwujud dalam setiap tahapan pelaksanaan pemilu yang ruang lingkupnya yang dimulai dari: 1) pendaftaran pemilih; 2) pencalonan; 3) kampanye; 4) pemungutan dan penghitungan suara; 5) rekapitulasi hasil penghitungan suara; 6) penetapan hasil Pemilu; 7) sengketa hasil Pemilu; dan 8) pelantikan pemerintahan/pejabat hasil Pemilu.

i) Bahwa dengan semua tahapan dan pelaksanaan semua tahapan pemilu tersebut, penyelenggara yang berstatus permanen di tingkat kabupaten/ kota jelas menjadi level paling banyak memerlukan sumberdaya manusia dalam pelaksanaan tahapan tersebut. Artinya, selain alasan kemampuan personal penyelenggara, dibutuhkan pula jumlah penyelenggara yang memadai. Dalam konteks ini, jumlah anggota KPU kabupaten/kota sangat menentukan apakah manajemen Pemilu dapat dilaksanakan secara rasional dan terukur.

j) Bahwa meskipun soal penentuan jumlah personal penyelenggara Pemilu merupakan legal policy pembentuk Undang-Undang di mana Mahkamah pada dasarnya berpendapat bahwa terhadap persoalan demikian tidak dapat dinilai konstitusionalitasnya, namun sejak awal Mahkamah telah menegaskan dan ditekankan kembali dalam setiap putusannya yang menyangkut legal policy bahwa sesuatu yang sifatnya legal policy hanya dapat dibenarkan sepanjang tidak melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable sehingga dalam masalah a quo, kebijakan pembentuk undang-undang mengurangi jumlah anggota KPU kabupaten/ kota di beberapa kabupaten dan kota menjadi 3 (tiga) orang sebagaimana dipertimbangkan sebelumnya nyata- nyata melanggar salah satu prinsip yang membenarkan adanya legal policy, yaitu prinsip rasionalitas. Oleh karena itu, tidak ada keraguan sedikitpun bagi Mahkamah untuk menyatakan bahwa mengurangi jumlah anggota KPU kabupaten/kota di beberapa kabupaten dan kota menjadi berjumlah 3 (tiga) orang di tengah pertambahan beban penyelenggara pemilu, lebih-lebih dengan penyelenggaraan pemilu legisatif dan pemilu presiden dan wakil presiden serentak tahun 2019, adalah sesuatu yang irasional.

Bahwa berdasarkan atas pertimbangan sebagaimana diuraikan di atas, dalil para Pemohon sepanjang ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf c UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sepanjang frasa “3 (tiga) atau 5 (lima) orang” dalam Pasal 10 ayat (1) huruf c UU Pemilu tidak dimaknai sebagai 5 (lima) orang adalah beralasan menurut hukum.

3) Bahwa berkaitan dengan Penjelasan Pasal 10 ayat (1) huruf c UU Pemilu yang didalilkan oleh para Pemohon bertentangan dengan UUD 1945. Berdasarkan Lampiran angka 176 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 12/2011), “Penjelasan berfungsi sebagai tafsir resmi pembentuk Peraturan Perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh; dan penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma dalam batang tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dimaksud”. Dengan memperhatikan fungsi Penjelasan tersebut dan dikarenakan jumlah anggota KPU Kabupaten/Kota sepanjang frasa “3 (tiga) atau 5 (lima) orang” dalam Pasal 10 ayat (1) huruf c UU Pemilu tidak dimaknai sebagai 5 (lima) orang, maka Penjelasan Pasal 10 ayat (1) huruf c menjadi kehilangan relevansinya. Dalam batas penalaran yang wajar, ketika norma yang menjadi dasar untuk dirumuskannya suatu penjelasan telah dinilai inkonstitusional, maka penjelasannya pun menjadi inkonstitusional.

Bahwa berdasarkan atas pertimbangan tersebut, Penjelasan Pasal 10 ayat (1) huruf c UU Pemilu yang menjelaskan dasar perhitungan jumlah anggota KPU Kabupaten/Kota 3 (tiga) orang atau 5 (lima) orang secara bersyarat hanya dapat dinilai konstitusional sepanjang dimaknai 5 (lima) orang. Dengan demikian, dalil para Pemohon bahwa Penjelasan Pasal 10 ayat (1) huruf c UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah beralasan menurut hukum.

4) Bahwa berkenaan dengan konstitusionalitas Lampiran I khusus mengenai “Jumlah Anggota Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota”, terlebih dahulu Mahkamah mengemukakan eksistensi “Penjelasan” dalam sistem perundang-undangan Indonesia. Merujuk Lampiran angka 192 UU 12/2011, “Dalam hal peraturan perundang-undangan memerlukan lampiran, hal tersebut dinyatakan dalam batang tubuh bahwa lampiran dimaksud merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari peraturan perundang-undangan”. Selanjutnya, Angka 193 menyatakan, “Lampiran dapat memuat antara lain uraian, daftar, tabel, gambar, peta, dan sketsa”.

Bahwa apabila dibaca secara komprehensif UU Pemilu, terutama yang terkait dengan Lampiran I, secara substansial Lampiran I tersebut terkait langsung dengan ketentuan Pasal 10 ayat (3) UU Pemilu yang menyatakan, “Jumlah anggota KPU Provinsi dan jumlah anggota KPU Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari undang-undang ini”. Dalam batas penalaran yang wajar, bilamana para Pemohon tidak mempersoalkan norma yang menjadi dasar keberadaan dari Lampiran, maka menjadi tidak beralasan secara hukum menilai konstitusionalitas Lampiran I UU Pemilu.

5) Bahwa terhadap dalil para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 44 ayat (1) huruf b dan Pasal 44 ayat (2) huruf b UU Pemilu sebagaimana diuraikan pada paragraf [3.7] angka 3, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

Bahwa apabila dibaca dan ditelaah secara saksama norma dalam Pasal 44 ayat (1) huruf b dan Pasal 44 ayat (2) huruf b UU Pemilu, kedua norma ini dirumuskan berkenaan dengan kuorum kehadiran dan kuorum sahnya pengambilan keputusan bagi anggota KPU Kabupaten/Kota yang berjumlah 3 (tiga) orang. Disebabkan oleh jumlah anggota KPU Kabupaten/Kota sepanjang frasa “3 (tiga) atau 5 (lima) orang” dalam Pasal 10 ayat (1) huruf c UU Pemilu telah dimaknai sebagai 5 (lima) orang, maka persyaratan kuorum kehadiran dan kuorum sahnya pengambilan keputusan bagi anggota KPU Kabupaten/Kota yang berjumlah 3 (tiga) orang dalam Pasal 44 ayat (1) huruf b dan Pasal 44 ayat (2) huruf b UU Pemilu menjadi kehilangan relevansinya. Dengan demikian, permohonan para Pemohon ihwal inkonstitusionalitas Pasal 44 ayat (1) huruf b dan Pasal 44 ayat (2) huruf b UU Pemilu adalah beralasan menurut hukum.

6) Bahwa berkenaan dengan pengujian Pasal 52 ayat (1) UU Pemilu yang pada pokoknya mengatur jumlah anggota PPK sebanyak 3 (tiga) orang, di mana dalam UU sebelumnya jumlahnya sebanyak 5 (lima) orang, terhadap perubahan ini Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

a) Bahwa pertimbangan terkait profesionalitas penyelenggaraan Pemilu di tingkat kabupaten/kota dan kebutuhan manajemen Pemilu sebagaimana diuraikan di atas juga menjadi pertimbangan tidak terpisah dalam menilai kebijakan pengurangan jumlah anggota PPK dalam UU Pemilu;

b) Bahwa pada pokoknya, tugas dan wewenang PPK adalah berhubungan dengan pelaksanaan tahapan Pemilu di tingkat kecamatan dan berkewajiban membantu KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dalam menyeleng garakan pemilu. Berdasarkan pada tugas, kewenangan, dan kewajiban yang dibebankan UU Pemilu kepada PPK, terdapat beberapa tugas, kewenangan, dan kewajiban yang berkaitan erat dan langsung dengan pemenuhan prinsip kedaulatan rakyat melalui proses pemilihan umum, memfasilitasi hak pilih warga negara, serta menjamin profesionalitas pelaksanaan Pemilu sesuai dengan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil;

c) Bahwa terkait dengan tugas, terdapat norma Pasal 53 ayat (1) huruf b UU Pemilu yang berkaitan dengan jaminan hak politik warga negara untuk bisa terdaftar dan difasilitasi dalam daftar pemilih sebagai tugas penting dari PPK. Kemudian terdapat pula tugas lain yang berkaitan dengan pemenuhan prinsip kedaulatan rakyat, di mana suara pemilih harus dapat dipastikan dan dijamin benar-benar diperuntukkan kepada calon peserta Pemilu yang telah dipilihnya melalui proses rekapitulasi suara hasil penghitungan. Lebih jauh, Pasal 53 ayat (1) UU Pemilu menugaskan PPK melaksanakan sosialisasi kepada pemilih terkait dengan penyelenggaraan Pemilu;

d) Bahwa dalam melaksanakan tugasnya, PPK diberi kewenangan oleh Undang-Undang a quo untuk mengumpulkan hasil penghitungan suara dari seluruh TPS di wilayah kerjanya. Penghitungan suara di TPS dilaksanakan melalui proses rekapitulasi hasil secara berjenjang di tingkat kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, dan nasional. Apabila pada Pemilu 2014 rekapitulasi suara setelah selesai di TPS dilakukan di tingkat kelurahan/desa oleh PPS, maka untuk Pemilu 2019 langsung melompat ke tingkat kecamatan oleh PPK. Hal inilah yang membuat beban PPK menjadi bertambah secara signifikan. Kewenangan tersebut jelas-jelas berkaitan dengan jaminan terhadap pemenuhan kedaulatan rakyat dalam menentukan pilihan politiknya. Sejalan dengan itu, PPK pun dibebani kewajiban lain, yaitu untuk membantu KPU Kabupaten/Kota dalam proses pemutakhiran daftar pemilih yang merupakan bagian dari jaminan perlindungan hak dasar/politik warga negara di dalam sebuah proses penyelenggaraan pemilihan umum. Berdasarkan hal tersebut, berkenaan dengan tugas, kewenangan, dan kewajiban PPK sebagai struktur penyelenggara Pemilu di tingkat kecamatan harus dilaksanakan berlandaskan pada asas pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, yang pelaksanaannya mesti dalam sebuah management election yang rasional dan terukur;

e) Bahwa permohonan yang diajukan oleh para Pemohon yang berkaitan dengan jumlah anggota PPK dalam Pasal 52 ayat (1) UU Pemilu, di mana anggota PPK berjumlah tiga orang, tidak menunjukkan rumusan norma yang mengarah kepada election management yang rasional dan terukur apabila dibandingkan dengan tugas, kewenangan dan kewajiban yang dibebankan Undang-Undang a quo kepada PPK. Padahal, election management yang rasional dan terukur merupakan perwujudan dalam upaya pemenuhan asas Pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil;

f) Bahwa apabila dikaji lebih jauh, berdasarkan penghitungan dalam Berita Acara KPU Nomor 112/PL.02.1BA/01/KPU/VII/2018 tentang Rekapitulasi Daftar Pemilih Sementara (DPS) Dalam Negeri, bertanggal 12 Juli 2018, terdapat 7.201 kecamatan, 83.370 desa/kelurahan, dan 801.838 tempat pemungutan suara (TPS) untuk pelaksanaan Pemilu Serentak Tahun 2019. Dengan melihat jumlah kecamatan, desa/kelurahan dan jumlah TPS untuk pelaksanaan Pemilu 2019, pelaksanaan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden/Wakil Presiden yang diselenggarakan secara bersamaan, jelas menambah bobot tugas dan kerja penyelenggara Pemilu di tingkat kecamatan. Dengan bentangan fakta tersebut, pengurangan jumlah PPK dari Pemilu 2014 berjumlah lima orang menjadi tiga orang dalam Undang-Undang a quo dapat dikualifikasi sebagai rumusan yang tidak rasional dan tidak terukur. Perumusan norma yang tidak rasional dan tidak terukur ini jelas akan berdampak terhadap pemenuhan asas Pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil yang wajib untuk dilaksanakan oleh penyelenggara Pemilu, termasuk penyelenggara Pemilu di tingkat kecamatan;

g) Bahwa selain alasan hukum di atas, pengurangan jumlah anggota PPK dalam UU Pemilu juga menyebabkan ketidakpastian hukum dalam hubungannya dengan ketentuan jumlah anggota PPK yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU 10/2016). Di mana, dalam Pasal 16 ayat (1) UU 10/2016 diatur bahwa anggota PPK sebanyak 5 (lima) orang. Sekalipun rezim hukum Pemilu dan Pilkada dianggap berbeda, namun penyelenggara Pilkada yang diberi tugas oleh UU 10/2016 untuk melaksanakan Pilkada adalah penyelenggara Pemilu yang dibentuk sesuai dengan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945. Oleh karena itu, struktur penyelenggara Pemilu dan Pilkada seharusnya tetap sama meskipun melaksanakan mandat dari dua undang-undang yang berbeda. Selain perbedaan pengaturan mengenai komposisi anggota PPK antara UU Pemilu dan UU 10/2016 dapat menyebabkan ketidakpastian hukum dalam pelaksanaan tugas-tugas PPK, rasionalitas apakah yang dapat membenarkan bahwa pemilihan kepala daerah yang lebih sederhana diselenggarakan oleh PPK dengan jumlah anggota adalah 5 (lima) orang, sementara untuk Pemilu serentak tahun 2019 yang jauh lebih kompleks jumlah anggota PPK hanya 3 (tiga) orang.

h) Bahwa atas dasar pertimbangan profesionalitas penyelenggaraan Pemilu di tingkat kecamatan dan rasionalitas manajemen Pemilu serta dihubungkan dengan kepastian hukum komposisi keanggotaan PPK, maka pengurangan jumlah anggota PPK menjadi 3 (tiga) dalam UU Pemilu merupakan kebijakan yang bertentangan dengan semangat penyelenggaraan Pemilu yang jujur dan adil sebagaimana dimandatkan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945;

i) Sama halnya dengan jumlah anggota KPU Kabupaten/Kota, pengurangan jumlah anggota PPK yang tugasnya justru semakin berat jika dibandingkan dengan Pemilu sebelumnya dan Pemilihan Kepala Daerah, sehingga pengurangan jumlah anggota PPK menjadi 3 (tiga) orang adalah bertentangan dengan prinsip rasionalitas dalam perumusan legal policy.

Berdasarkan atas seluruh pertimbangan sebagaimana diuraikan di atas, dalil para Pemohon mengenai ketentuan Pasal 52 ayat (1) UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah beralasan menurut hukum.


b. Konstitusionalitas Pasal 21 ayat (1) hurf k UU Pemilu – Paragraf [3.10.2] Hlm. 97 s.d. 98

Bahwa menimbang dalil para Pemohon ikhwal inkonstitusionalitas Pasal 21 ayat (1) huruf k UU Pemilu sebagaimana diuraikan pada paragraf [3.7] angka 2, Mahkamah mempertimbangkan bahwa telah ternyata terdapat inkonsistensi antara posita dan petitum para Pemohon. Dalam posita halaman 24 angka 27 para Pemohon menyatakan agar Mahkamah memberikan penafsiran terkait norma a quo yaitu harus dimaknai “mundur dari kepengurusan harian organisasi sosial kemasyarakatan”, namun pada bagian Petitum angka 3 memohon agar Pasal a quo dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga menjadi tidak jelas apa yang sesungguhnya diinginkan oleh para Pemohon untuk diputuskan oleh Mahkamah. Oleh karena terdapat perbedaan antara posita dan petitum demikian, maka Mahkamah menyatakan permohonan para Pemohon adalah kabur.

c. Konstitusionalitas Pasal 117 ayat (1) huruf b UU Pemilu – Paragraf [3.10.2] Hlm. 98 s.d. 100

Bahwa terhadap dalil para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 117 ayat (1) huruf b UU Pemilu sebagaimana diuraikan pada paragraf [3.7] angka 5, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

1) Bahwa sebagaimana ketentuan Pasal 117 ayat (1) huruf b UU Pemilu pada paragraf [3.5] angka 1, para Pemohon dalam petitum angka 5, menyatakan Pasal 117 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, frasa “30 (tiga puluh) tahun” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “25 (dua puluh lima) tahun”, dan frasa “25 (dua puluh lima) tahun” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “17 (tujuh belas) tahun”;

2) Bahwa setelah Mahkamah mencermati uraian posita para Pemohon terkait Pasal 117 ayat (1) huruf b UU Pemilu (hal. 29 angka 46 sampai dengan hal. 31 angka 50) sama sekali tidak ditemukan mengenai argumentasi mengenai frasa “… 30 (tiga puluh) tahun untuk calon anggota Bawaslu Kabupaten/Kota, …” namun para Pemohon di dalam petitumnya memohon agar frasa “30 (tiga puluh) tahun” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “25 (dua puluh lima) tahun”. Terkait dengan permohonan a quo, oleh karena para Pemohon tidak menguraikan argumentasi yang dijadikan alasan untuk dilakukan perubahan usia anggota Bawaslu Kabupaten/Kota dari 30 (tiga puluh) tahun menjadi 25 (dua puluh lima) tahun, sehingga menurut Mahkamah hal tersebut merupakan permohonan yang tidak ada dasarnya untuk dipertimbangkan, oleh karena itu permohonan para Pemohon a quo haruslah dinyatakan kabur.

Berkenaan dengan dalil para Pemohon terkait frasa 25 (dua puluh lima) tahun, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:
1) Bahwa dalam beberapa putusannya, Mahkamah pada pokoknya menyatakan bahwa penentuan usia merupakan kebijakan hukum yang terbuka (legal policy) yang mengandung konsekuensi bahwa untuk melakukan perubahan hukum, khususnya terhadap penentuan batas usia, akan dibutuhkan proses legislative review yang cukup panjang;

Putusan Mahkamah Nomor 49/PUU-IX/2011 pada paragraf [3.11] angka 3 pada pokoknya menegaskan:

Bahwa pemenuhan hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan bukan berarti negara tidak boleh mengatur dan menentukan syarat-syaratnya, sepanjang syarat-syarat demikian secara objektif memang merupakan kebutuhan yang dituntut oleh jabatan atau aktivitas pemerintahan yang bersangkutan dan tidak mengandung unsur diskrimintatif. Dalam kaitan dengan kriteria usia, UUD 1945 tidak menentukan batasan usia minimum tertentu sebagai kriteria yang berlaku umum untuk semua jabatan atau aktivitas pemerintahan. Artinya, UUD 1945 menyerahkan kepada pembentuk Undang-Undang untuk mengaturnya. Selain itu, Mahkamah dalam putusan Nomor 15/PUU-V/2007, tanggal 27 November 2007 dan putusan Nomor 37-39/PUU-VIII/2010, tanggal 15 Oktober 2010 pada intinya telah mempertimbangkan bahwa dalam kaitannya dengan kriteria usia UUD 1945 tidak menentukan batasan usia minimum tertentu untuk menduduki semua jabatan dan aktivitas pemerintahan. Hal ini merupakan kebijakan hukum terbuka (opened legal policy), yang sewaktu-waktu dapat diubah oleh pembentuk Undang-Undang sesuai dengan tuntutan kebutuhan perkembangan yang ada. Hal tersebut sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk Undang- Undang yang, apapun pilihannya, tidak dilarang dan tidak bertentangan dengan UUD 1945.

2) Bahwa dalil para Pemohon yang pada pokoknya menyatakan frasa a quo diskriminatif karena membedakan usia Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Kelurahan/Desa, dan Pengawas TPS dengan usia PPK, PPS, dan KPPS, yang didasari landasan bahwa secara struktural penyelenggara Pemilu, baik Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Kelurahan/Desa, dan Pengawas TPS dengan anggota PPK, PPS, dan KPPS mempunyai tingkatan yang sederajat, maka sebagaimana telah berkalil-kali ditegaskan oleh Mahkamah, peraturan dikatakan bersifat diskriminatif adalah apabila peraturan itu membuat perlakuan yang berbeda semata-mata didasarkan atas ras, etnis, agama, status ekonomi maupun status sosial lainnya sebagaimana dimaksud oleh pengertian diskriminasi dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, sehingga pengaturan yang berbeda semata-mata tidaklah serta-merta dapat dikatakan diskriminatif. Bahwa dengan demikian, dalil para Pemohon tidak beralasan menurut hukum;

d. Konstitusionalitas Pasal 117 ayat (1) huruf m UU Pemilu – Paragraf [3.10.4] Hlm. 100
Bahwa terhadap dalil para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 117 ayat (1) huruf m UU Pemilu sebagaimana diuraikan pada paragraf [3.7] angka 6, Mahkamah mempertimbangkan bahwa telah ternyata dalil para Pemohon ini pun terdapat inkonsistensi antara posita dan petitum, di mana dalam posita halaman 32 angka 52 para Pemohon menyatakan agar Mahkamah memberikan penafsiran terkait frasa “syarat bekerja penuh waktu” yaitu dapat dikecualikan untuk Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Kelurahan/Desa, dan Pengawas TPS, namun pada petitum angka 3 memohon agar pasal a quo dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sehingga tidak jelas pula apa yang dimohonkan oleh para Pemohon. Dengan demikian Mahkamah berpendapat permohonan para Pemohon adalah kabur;

e. Konstitusionalitas Pasal 117 ayat (1) huruf o UU Pemilu – Paragraf [3.10.5] Hlm. 100

Bahwa terhadap dalil para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 117 ayat (1) huruf o UU Pemilu sebagaimana diuraikan pada paragraf [3.7] angka 7, Mahkamah mempertimbangkan bahwa dalil para Pemohon terkait Pasal 117 ayat (1) huruf o UU Pemilu, terdapat inkonsistensi pula antara posita dan petitum para Pemohon, di mana dalam posita halaman 32 angka 54 para Pemohon menyatakan agar Mahkamah menyatakan Pasal 117 ayat (1) huruf o UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “tidak pada tingkatan penyelenggara pemilu yang sama”, namun pada petitum angka 3 memohon agar Pasal a quo dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Oleh karena terdapat perbedaan antara posita dan petitum demikian, maka Mahkamah menyatakan permohonan para Pemohon adalah kabur;

f. Konstitusionalitas Pasal 286 ayat (2) UU Pemilu – Paragraf [3.10.6] Hlm. 100 s.d. 102

Bahwa terhadap dalil para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 286 ayat (2) UU Pemilu sebagaimana diuraikan pada paragraf [3.7] angka 8, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

Bahwa para Pemohon mendalilkan pula Pasal 286 ayat (2) UU Pemilu bertentangan UUD 1945 dengan argumentasi, pasangan calon serta calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang terbukti melakukan pelanggaran tidak diiringi dengan instrumen hukum yang tegas dan jelas. Sebab, mereka yang terbukti melakukan pelanggaran itu hanya dapat direkomendasikan oleh Bawaslu untuk dapat dikenakan sanksi administratif atau tidak, sehingga mereka yang terbukti melanggar itu belum tentu dihukum. Menurut para Pemohon, segala proses yang dilakukan oleh Bawaslu untuk menangani pelanggaran demikian, jika dihubungkan dengan Pasal 461 UU Pemilu, selayaknya produk hukumnya adalah putusan, bukan rekomendasi. Menurut para Pemohon, hal ini juga berimplikasi terhadap Pasal 463 ayat (1) UU Pemilu sehingga frasa “merekomendasikan” dalam Pasal a quo harus dimaknai bahwa Bawaslu mengeluarkan produk hukum berupa putusan, bukan rekomendasi.

Terhadap dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat, para Pemohon telah keliru memahami konstruksi pengertian norma yang termuat dalam Pasal 286 ayat (2) UU dimaksud. Dengan membaca secara saksama norma dalam Pasal 286 ayat (2) UU Pemilu a quo, pengertian yang sesungguhnya terkandung di dalamnya adalah penegasan perihal pembagian kewenangan antara Bawaslu dan KPU sebagai sesama penyelenggara Pemilu. Bawaslu, pada dasarnya, didirikan adalah untuk mengawasi pelaksanaan kewenangan KPU agar tidak sewenang-wenang, termasuk dalam menjatuhkan sanksi terhadap mereka yang disebut dalam Pasal 286 ayat (2) UU Pemilu tersebut. Secara a contrario, norma a quo mengandung pengertian bahwa meskipun kewenangan untuk menjatuhkan sanksi administratif terhadap mereka yang melakukan pelanggaran administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 286 ayat (1) UU Pemilu ada di tangan KPU, namun kewenangan demikian hanya dapat dilaksanakan setelah ada rekomendasi dari Bawaslu. Dengan kata lain, walaupun misalnya KPU sebagai penyelenggara Pemilu mengetahui adanya pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 286 ayat (1) UU Pemilu, jika menurut Bawaslu pelanggaran demikian dinyatakan tidak terbukti (sehingga tidak dikeluarkan rekomendasi untuk menjatuhkan sanksi administratif) maka KPU tidak boleh menjatuhkan sanksi adminstratif dimaksud. Mengapa bentuknya rekomendasi, hal itu dikarenakan kewenangan untuk menjatuhkan sanksi administratif dalam kaitan ini bukan berada di tangan Bawaslu sendiri melainkan di tangan KPU. Berbeda halnya jika kewenangan demikian melekat dalam kewenangan Bawaslu.

Dengan demikian, Mahkamah berpendapat, argumentasi para Pemohon mengenai pertentangan Pasal 286 ayat (2) UU Pemilu dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.




g. Konstitusionalitas Pasal 468 ayat (2) UU Pemilu – Paragraf [3.10.7] Hlm. 102 s.d. 104

Menimbang bahwa terhadap dalil para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 468 ayat (2) UU Pemilu sebagaimana diuraikan pada paragraf [3.7] angka 9, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:
1) Bahwa isu konstitusionalitas Pasal 468 ayat (2) UU Pemilu yang dipermasalahkan oleh para Pemohon adalah adanya frasa “hari” yang menurut para Pemohon tanpa memiliki penjelasan lebih lanjut dapat membuka peluang frasa tersebut menjadi multitafsir dan jauh dari nilai kepastian. Hal tersebut berdampak pada terganggunya proses mediasi dan adjudikasi yang secara substansi prosesnya diawali dengan menerima dan melakukan pengkajian terhadap permohonan penyelesaian sengketa yang kemudian dilakukan mediasi/musyawarah mufakat dengan mempertemukan pihak yang bersengketa dan apabila tidak berhasil untuk dilakukan perdamaian, maka dilanjutkan dengan proses adjudikasi, sehingga dengan tenggang waktu yang lebih terbatas apabila hanya dimaknai sebagai hari kalender dibandingkan apabila dimaknai sebagai hari kerja, maka hal tersebut jelas mempengaruhi optimalisasi penyelesaian sengketa oleh Bawaslu.

Terhadap argumentasi para Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan, bahwa proses penyelesaian sengketa yang menjadi bagian dari kewenangan Bawaslu sebagaimana yang diatur dalam Pasal 468 ayat (2) UU Pemilu tidak bisa dipisahkan dari adanya keputusan KPU terhadap adanya sengketa proses Pemilu yang meliputi sengketa yang terjadi antar Peserta Pemilu dan sengketa Peserta Pemilu dengan Penyelenggara Pemilu sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota (vide Pasal 466 UU Pemilu) dan juga tidak dapat dipisahkan dengan adanya upaya hukum terhadap para pihak yang tidak dapat menerima hasil penyelesaian sengketa proses Pemilu yang diputuskan oleh Bawaslu, yaitu dalam hal penyelesaian sengketa proses Pemilu berkaitan dengan penetapan daftar calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota serta Pasangan calon yang dilakukan oleh Bawaslu yang tidak diterima oleh para pihak, maka para pihak dapat mengajukan upaya hukum kepada Pengadilan Tata Usaha Negara [vide Pasal 469 ayat (2) UU Pemilu], sehingga dengan mempertautkan ketentuan Pasal 468 ayat (2) UU Pemilu dengan Pasal 466 UU Pemilu serta Pasal 469 ayat (2) UU Pemilu, maka akan diperoleh korelasi yang kuat, bahwa tahapan penyelesaian sengketa proses Pemilu merupakan satu kesatuan yang sebenarnya tidak dapat dipisahkan sejak dari KPU, Bawaslu, dan Pengadilan Tata Usaha Negara;


2) Bahwa dengan adanya fakta tersebut di atas, maka apabila ditelaah lebih jauh memang ada perbedaan perlakuan ketika memberikan waktu penyelesaian sengketa proses Pemilu tersebut baik kepada KPU dan Bawaslu maupun Pengadilan Tata Usaha Negara, baik tenggang waktu mengajukan permohonan penyelesaian sengketa proses Pemilu yang diajukan pemohon atas adanya keputusan KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota kepada Bawaslu maupun proses mengajukan upaya hukum pada Pengadilan Tata Usaha Negara termasuk tenggang waktu proses persidangan yang semua tenggang waktunya secara tegas diberikan dengan hitungan hari kerja dan hal tersebut berbeda dengan tenggang waktu yang diberikan kepada Bawaslu tanpa ditegaskan dengan hari kerja. Bahkan Mahkamah tidak menemukan alasan pembentuk undang-undang yang dapat dijadikan argumentasi untuk memperlakukan hal tersebut berbeda, padahal penyelesaian sengketa proses Pemilu merupakan satu rangkaian yang saling berkorelasi karena merupakan tahapan yang boleh dikatakan secara berjenjang merupakan proses upaya hukum yang menjadi hak para pihak yang bersengketa sejak di KPU, Bawaslu, dan Pengadilan Tata Usaha Negara. Terlebih menurut Mahkamah ada perbedaan waktu yang cukup signifikan antara tenggang waktu hari kalender dengan tenggang waktu hari kerja, di mana untuk hari kerja tidak dihitung termasuk hari libur dan hal ini berbeda dengan tenggang waktu hari kalender yang lebih sedikit karena hari libur termasuk bagian yang dihitung, maka dengan pemaknaan “hari” sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 468 ayat (2) UU Pemilu menjadi hari kerja hal tersebut akan semakin menambah tenggang waktu secara akumulatif dan akan semakin menambah kesempatan bagi Bawaslu untuk dapat menyelesaikan sengketa proses Pemilu yang diajukan secara komprehensif dan lebih optimal.

3) Bahwa dengan uraian pertimbangan tersebut di atas, maka untuk memberikan kepastian hukum dan dengan memahami secara substansial bahwa proses penyelesaian sengketa proses Pemilu pada Bawaslu memerlukan tahapan menerima permohonan dan melakukan pengkajian, kemudian tahapan selanjutnya adalah mempertemukan para pihak untuk dilakukan proses mediasi untuk diperoleh musyawarah mufakat (perdamaian) dan tahapan selanjutnya adalah dilakukan proses adjudikasi apabila perdamaian tidak tercapai, di mana keseluruhan proses tahapan tersebut memerlukan waktu yang dipandang cukup agar diperoleh hasil keputusan yang optimal dan dengan pertimbangan yang utama adalah dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan Pemilu yang berkualitas, oleh karena itu Mahkamah dapat menerima dalil para Pemohon bahwa makna frasa “hari” dalam Pasal 468 ayat UU Pemilu harus dimaknai sebagai hari kerja dan terhadap hal a quo menurut Mahkamah permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum.


h. Konstitusionalitas Pasal 557 ayat (1) huruf b UU Pemilu – Paragraf [3.10.8] Hlm. 104 s.d. 110

Bahwa terhadap dalil para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 557 ayat (1) huruf b UU Pemilu sebagaimana diuraikan pada paragraf [3.7] angka 10, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

1) Bahwa para Pemohon tidak secara spesifik memberikan argumentasi ihwal pertentangan norma dalam Undang-Undang a quo dengan UUD 1945. Para Pemohon hanya mendalilkan bahwa norma dalam Undang-Undang tersebut cenderung mengesankan adanya deferensiasi kedudukan antara Pengawas Pemilu di Aceh dengan Pengawas Pemilu di daerah lain, padahal menurut para Pemohon Panitia Pengawas Pemilihan Provinsi Aceh dan Panitia Pengawas Pemilihan Kabupaten/Kota memiliki sifat “tetap”, yaitu Bawaslu Provinsi dan Panwas Kabupaten/Kota adalah satu kesatuan yang tetap dan setiap jenjangnya memiliki kedudukan yang setara. Dengan demikian, menurut para Pemohon, norma dalam Pasal Undang-Undang a quo memerlukan penafsiran dari Mahkamah untuk menegaskan adanya persamaan kedudukan dan status Pengawas Pemilu di Aceh dengan Pengawas Pemilu di daerah lain mengingat Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota adalah lembaga pengawas Pemilu yang bersifat tetap;

2) Bahwa terhadap dalil para Pemohon tersebut, selain tidak adanya argumentasi spesifik yang mendasarinya dan dikaitkan dengan norma dalam UUD 1945, Mahkamah perlu menegaskan bahwa Pasal 557 ayat (1) huruf b UU Pemilu telah pernah dimohonkan pengujian dan telah diputus oleh Mahkamah sebagaimana tertuang dalam Putusan Nomor 61/PUU-XV/2017, yang amarnya menyatakan:

Mengadili,

1. Mengabulkan Permohonan para Pemohon untuk sebagian.
2. Menyatakan Pasal 557 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
3. Menyatakan Permohonan para Pemohon sepanjang berkenaan dengan Pasal 571 huruf d Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) tidak dapat diterima.
4. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.
5. Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

Dalam pertimbangan hukum Putusan tersebut, Mahkamah antara lain mempertimbangkan:

[3.11] Menimbang bahwa Pasal 557 ayat (1) huruf a dan huruf b UU Pemilu yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya adalah berkait dengan Kelembagaan Penyelenggaraan Pemilu di Aceh (in casu Komisi Independen Pemilihan Provinsi Aceh, Komisi Independen Pemilihan Kabupaten/Kota, Panitia Pengawas Pemilihan Provinsi Aceh, dan Panitia Pengawas Pemilihan Kabupaten/Kota) sedangkan yang digunakan sebagai landasan argumentasi oleh para Pemohon adalah Undang-Undang yang berkaitan dengan keistimewaan atau kekhususan Aceh yang diturunkan dari Pasal 18B ayat (1) UUD 1945, maka isu atau persoalan konstitusional yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah: apakah Kelembagaan Penyelenggaraan Pemilu di Aceh (in casu Komisi Independen Pemilihan Provinsi Aceh, Komisi Independen Pemilihan Kabupaten/Kota, Panitia Pengawas Pemilihan Provinsi Aceh, dan Panitia Pengawas Pemilihan Kabupaten/Kota) merupakan bagian dari kekhususan atau keistimewaan Aceh sehingga penilaian terhadap konstitusionalitas norma yang mengaturnya harus dikaitkan dengan konteks kekhususan atau keistimewaan tersebut?

Terhadap isu atau persoalan konstitusional tersebut, dalam pertimbangan hukum putusan tersebut Mahkamah selanjutnya mempertimbangkan sebagai berikut:

a) Bahwa perihal dimungkinkannya suatu daerah diberi status khusus atau istimewa bukan lagi merupakan isu konstitusional yang menjadi perdebatan. Hal itu bahkan sudah diakui dan dipraktikkan atau diimplementasikan sebelum dilakukan perubahan terhadap Pasal 18 UUD 1945. Saat ini, Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 mempertegas hal itu dengan menyatakan, ”Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.” Norma Konstitusi dalam Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 itu merupakan rekognisi atau pengakuan negara terhadap satuan pemerintahan yang bersifat khusus atau istimewa yang dengan sendirinya sekaligus menjadi landasan Konstitusional bagi diundangkannya suatu undang-undang yang memberikan status khusus atau istimewa kepada suatu daerah. Kekhususan atau keistimewaan yang disebut dalam norma Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 merupakan dua hal yang bersifat alternatif sehingga kekhususan suatu satuan pemerintahan adalah sekaligus keistimewaannya;

b) Bahwa dalam konteks Permohonan a quo, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh (UU Keistimewaan Aceh) mendefinisikan keistimewaan sebagai kewenangan khusus berkenaan dengan penyelenggaraan kehidupan beragama, adat, pendidikan dan peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah. Dengan demikian, keistimewaan Pemerintahan Aceh sebagaimana diatur dalam UU Keistimewaan Aceh adalah juga kekhususan bagi Pemerintahan Aceh sendiri. Lingkup keistimewaan Pemerintahan Aceh adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU Keistimewaan Aceh, yang menyatakan:

(1) Keistimewaan merupakan pengakuan bangsa Indonesia yang diberikan kepada Daerah karena perjuangan dan nilai-nilai hakiki masyarakat yang tetap dipelihara secara turun-temurun sebagai landasan spiritual, moral, dan kemanusiaan;

(2) Penyelenggaraan Keistimewaan meliputi:
a. penyelenggaraan kehidupan beragama;
b. penyelenggaraan kehidupan adat;
c. penyelenggaraan pendidikan; dan
d. peran ulama dalam penetapan kebijakan Daerah.

Oleh karena lingkup keistimewaan atau kekhususan pemerintahan Aceh telah diatur secara jelas maka hal-hal yang di luar itu tidak dapat ditempatkan sebagai keistimewaan atau kekhususan Aceh.

c) Bahwa, namun demikian, selain UU Keistimewaan Aceh, saat ini bagi Aceh juga berlaku Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang mengatur berbagai hal berkait dengan pemerintahan Aceh. UUPA tidak mencabut UU Keistimewaan Aceh tetapi justru menjadikan UU Keistimewaan Aceh sebagai salah satu dasar hukum (vide Konsiderans “Mengingat” angka 3 UUPA). UUPA hanya mencabut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (vide Pasal 272 UUPA). Yang menjadi pertanyaan kemudian, apakah semua hal yang diatur dalam UUPA juga merupakan kekhususan pemerintahan Aceh?

Dalam kaitan ini haruslah diingat bahwa dibentuknya UUPA adalah sebagai respons terhadap pergolakan yang terjadi di Aceh di mana dalam Undang-Undang ini diatur hal ikhwal bagaimana pemerintahan Aceh dilaksanakan dalam kerangka bahwa Aceh sebagai provinsi yang bersifat khusus atau istimewa. Dengan kata lain, UUPA adalah mengatur pelaksanaan kekhususan atau keistimewaan Aceh sebagaimana diatur dalam UU Keistimewaan Aceh. Oleh karena itu, berarti tidak semua hal yang diatur dalam UUPA berarti sekaligus merupakan kekhususan Aceh. Dengan demikian, sangat mungkin apa yang ada dalam UUPA juga diterapkan dalam Undang-Undang yang berkenaan atau berkait dengan pemerintahan daerah yang secara umum juga berlaku di provinsi lain, atau sebaliknya. Misalnya, berkenaan dengan calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah yang mula-mula diterapkan dalam UUPA kemudian dijadikan rujukan dalam mengadopsi calon perseorangan dalam pencalonan kepala daerah di daerah lain, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Pemilihan Kepala Daerah, di mana hal itu sebelumnya telah diputus oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-V/2007 dalam pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.

d) Bahwa kendatipun tidak semua hal yang diatur dalam UUPA merupakan kekhususan bagi Aceh, sebagaimana diuraikan pada angka 3 di atas, namun UUPA itu sendiri merupakan Undang-Undang yang bersifat khusus. “Khusus” di sini bukan dalam pengertian bahwa ia (UUPA) lebih khusus dibandingkan dengan Undang-Undang lain yang mengatur materi muatan yang berhimpitan dengan materi muatan yang diatur dalam UUPA melainkan “khusus” dalam pengertian bahwa UUPA tersebut hanya berlaku secara khusus untuk daerah Aceh.

Berkait dengan hal itu, dalam konteks Permohonan a quo timbul pertanyaan, apakah Komisi Independen Pemilihan (KIP) dan Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih) merupakan lembaga penyelenggara Pemilu yang bersifat istimewa atau khusus bagi Aceh? Terhadap pertanyaan tersebut Mahkamah berpendapat bahwa hal itu dapat ditelaah dari dua pendekatan. Pertama, sesuai dengan UU Keistimewaan Aceh, meskipun KIP dan Panwaslih merupakan lembaga yang dibentuk sesuai dengan UUPA, keberadaan lembaga-lembaga tersebut bukanlah bagian dari lembaga yang menjalankan keistimewaan Aceh sebagaimana diatur dalam UU Keistimewaan Aceh. Kedua, KIP sebagai penyelenggara Pemilu dan Pilkada di Aceh memiliki nama sendiri yang berbeda dari penyelenggara Pemilu di daerah lain, demikian pula dengan komposisi keanggotaan KIP (yang juga berbeda dengan komposisi keanggotaan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota di daerah lain), termasuk prosedur atau tata cara pengisian keanggotaannya. Namun, sekalipun terdapat perbedaan nama dan komposisi keanggotaan KIP sebagaimana diatur dalam UUPA, hal itu bukanlah merupakan bagian dari keistimewaan Aceh itu sendiri. Hanya saja, ketika pertama kali dibentuk sesuai dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 (yang kini telah dinyatakan tidak berlaku oleh UUPA) KIP memang satu-satunya lembaga penyelenggara pemilihan yang ada di daerah, khususnya Aceh. KIP merupakan lembaga independen penyelenggara Pemilu di daerah yang bertugas untuk menyelenggarakan pemilihan gubernur dan wakil gubernur Provinsi Aceh sebagai pemilihan kepala daerah secara langsung pertama dibandingkan dengan provinsi lainnya.

Setelah KPU yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri terbentuk menurut Pasal 22E UUD 1945 (setelah perubahan UUD 1945), KIP ditempatkan sebagai bagian dari KPU di mana KIP diberi kewenangan sesuai dengan UUPA untuk menyelenggarakan Pemilu dan Pilkada di Aceh. Hal ini pun telah dinyatakan secara tegas dalam Pasal 1 angka 12 UUPA yang berbunyi, “Komisi Independen Pemilihan selanjutnya disingkat KIP adalah KIP Aceh dan KIP kabupaten/kota yang merupakan bagian dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk menyelenggarakan pemilihan umum Presiden/Wakil Presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, anggota DPRA/DPRK, pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota”.

Kewenangan demikian sama dengan kewenangan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota di provinsi dan kabupaten/kota lainnya sesuai dengan Undang-Undang Penyelenggara Pemilu maupun UU Pilkada. Dalam konteks demikian, yaitu dalam kaitan dengan kewenangan yang dimilikinya, KIP Aceh dan KIP kabupaten/kota pada dasarnya sama dengan KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota lainnya di Indonesia. Sementara itu, dalam konteks nama lembaga dan komposisi keanggotaannya serta prosedur pengisian anggotanya, KIP Aceh dan KIP kabupaten/kota memang berbeda dengan KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota. Demikian pula halnya dengan Panitia Pengawasan Pemilihan Provinsi Aceh dan Panitia Pengawasan Pemilihan Kabupaten/Kota yang dalam konteks nama dan komposisi keanggotaannya berbeda dengan Bawaslu Provinsi dan (kini) Bawaslu Kabupaten/Kota di daerah lainnya di Indonesia.

Oleh karena itu, jika dikatakan KIP Aceh dan KIP kabupaten/kota tidak memiliki hubungan hierarkis dengan KPU maka akan timbul problem konstitusional sebab KIP Aceh, demikian pula KIP kabupaten/kota, adalah juga bertindak sebagai penyelenggara pemilihan umum (baik pemilihan umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden maupun pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD), sehingga timbul pertanyaan: dari mana kewenangan tersebut diperoleh? Kewenangan demikian hanya mungkin dimiliki oleh KIP Aceh dan KIP kabupaten/kota apabila mereka dikonstruksikan secara konstitusional sebagai bagian dari KPU. Sebab, berdasarkan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945, hanya KPU yang memiliki kewenangan sebagai penyelenggara pemilihan umum.

Dari rumusan Pasal 1 angka 12 UUPA tersebut telah terang bahwa UUPA sendiri telah menegaskan bahwa KIP Aceh, KIP kabupaten/kota adalah bagian dari KPU. Adanya frasa “yang diberi wewenang oleh Undang- Undang ini untuk menyelenggarakan ...” bukanlah berarti UUPA yang memberi kewenangan kepada KIP Aceh, KIP kabupaten/kota untuk menyelenggarakan pemilihan umum Presiden/Wakil Presiden dan seterusnya itu, melainkan karena merujuk kepada sejarah keberadaannya yang mendahului keberadaan KPU sehingga dengan penegasan melalui frasa tersebut tidak terdapat pertanyaan perihal dari mana kewenangan KIP Aceh dan KIP kabupaten/kota untuk menjadi penyelenggaran Pemilu nasional yaitu untuk memilih Presiden/Wakil Presiden, anggota DPR, anggota DPD, anggota DPRD baik pada tingkat provinsi (di Aceh disebut DPRA) maupun pada tingkat kabupaten/kota (di Aceh disebut DPRK). Dengan kata lain, melalui rumusan dalam Pasal 1 angkat 12 UUPA tersebut, pembentuk Undang-Undang di satu pihak memberikan landasan konstitusional bagi kewenangan KIP Aceh, demikian pula KIP kabupaten/kota, untuk menjadi bagian tak terpisahkan dari penyelenggara Pemilu nasional (yakni KPU yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri), di lain pihak tidak melupakan konteks historis kelahiran dan keberadaan KIP Aceh dan KIP kabupaten/kota.

Dalam konteks demikian, karena secara historis KIP Aceh dan KIP kabupaten/kota lahir mula-mula adalah sebagai lembaga independen dengan tugas menyelenggarakan pemilihan kepada daerah secara langsung di Aceh maka beberapa aspek yang melekat dengan konteks kesejarahan itu harus tetap dihormati dan diberi tempat, yaitu dalam hal ini aspek-aspek yang berkenaan dengan nama dan komposisi keanggotaannya, serta prosedur pengisiannya. Artinya, jika hal-hal yang menyangkut nama dan komposisi keanggotaan serta prosedur pengisian keanggotaan KIP Aceh dan KIP Kabupaten/Kota ini hendak dilakukan perubahan, dan hal itu sesuai dengan hubungan hierarkis penyelenggara Pemilu yang bersifat nasional, perubahan itu memerlukan pelibatan dalam bentuk konsultasi dan pertimbangan DPRA. Bagaimanapun tidak boleh dilupakan bahwa KIP Aceh dan Panwaslih Aceh merupakan lembaga yang dibentuk untuk melaksanakan amanat UUPA yang merupakan turunan dari Kesepakatan Helsinki antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka. Kesepakatan yang kemudian dituangkan ke dalam bentuk Undang-Undang tersebut, in casu UUPA, harus dihormati, lebih-lebih oleh pembentuk Undang-Undang. Dalam konteks ini, apabila pembentuk Undang-Undang hendak mengubah ketentuan yang diatur dalam UUPA maka hal itu mengacu kepada UUPA. Secara konstitusional, hal ini merupakan konsekuensi dari diberikannya status khusus atau istimewa kepada Aceh berdasarkan acuan Pasal 18B ayat (1) UUD 1945. Adapun terkait dengan prosedur pembentukan suatu Undang- Undang yang berkait dengan Pemerintahan Aceh atau perubahan terhadap materi muatan UUPA tertuang dalam Pasal 8 ayat (2) UUPA yang menyatakan, “Rencana pembentukan Undang-Undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang berkaitan dengan Pemerintahan Aceh dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan DPRA” dan Pasal 269 ayat (3) UUPA yang menyatakan, “Dalam hal adanya rencana perubahan Undang-Undang ini dilakukan dengan terlebih dahulu berkonsultasi dan mendapatkan pertimbangan DPRA”.

Dengan demikian, oleh karena UUPA adalah Undang-Undang yang berlaku khusus bagi daerah istimewa maka apa yang diatur di dalamnya tidak serta- merta dapat diubah sebagaimana hal demikian dapat dilakukan dalam pembentukan atau perubahan Undang-Undang lainnya. Proses pembentukan Undang-Undang yang berhubungan dengan pemerintahan Aceh maupun rencana perubahan UUPA yang ada saat ini melalui prosedur konsultasi dan pertimbangan dari DPRA. Jika prosedur demikian tidak ditempuh maka norma Undang-Undang yang substansinya berhubungan langsung dengan kekhususan atau keistimewaan yang diatur dalam UUPA maupun yang mengubah ketentuan UUPA akan berdampak pada terjadinya ketidakpastian hukum bagi pemerintahan Aceh maupun rakyat Aceh secara keseluruhan – yang berarti dengan sendirinya bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

e) Sesuai dengan ketentuan Pasal 60 UU MK, terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali kecuali jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda. Dalam kaitan dengan permohonan a quo, para Pemohon sama sekali tidak menyebutkan adanya dasar pengujian yang berbeda dimaksud. Dengan kata lain, syarat untuk menguji kembali materi muatan norma yang terkandung dalam Pasal 557 ayat (1) UU Pemilu tidak terpenuhi. Oleh karena itu, sepanjang berkenaan dengan Pasal 557 ayat (1) huruf b UU Pemilu, tidak terdapat alasan bagi Mahkamah untuk mempertimbangkan lebih jauh substansi permohonan para Pemohon.

[3.11] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagia


2. Bahwa dalam Amar Putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan sebagai berikut:

1) Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
2) Frasa “3 (tiga) atau 5 (lima) orang” dalam Pasal 10 ayat (1) huruf c Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109), bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “5 (lima) orang”;
3) Penjelasan Pasal 10 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109), bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
4) Pasal 44 ayat (1) huruf b dan Pasal 44 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109), bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
5) Frasa “3 (tiga) orang” dalam Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109), bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “5 (lima) orang”;
6) Kata “hari” dalam Pasal 468 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “hari kerja”;
7) Menyatakan permohonan para Pemohon terhadap Pasal 21 ayat (1) huruf k, Pasal 117 ayat (1) huruf b sepanjang frasa “30 (tiga puluh) tahun”, Pasal 117 ayat (1) huruf m, Pasal 117 ayat (1) huruf o, dan Pasal 557 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) tidak dapat diterima;
8) Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya;
9) Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan langsung dilaksanakan (self-executing) oleh seluruh organ penyelenggara negara, organ penegak hukum, dan warga negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 31/PUU-XVI/2018 mengenai materi muatan pasal/ayat dalam UU Pemilu yang dinyatakan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan Perubahan UU Pemilu.

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 38/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 23-07-2018

1. Bahwa pada hari Senin, tanggal 23 Juli 2018, Pukul 14.08 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutuskan Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (selanjutnya disebut UU Pemilu) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut dengan UUD Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 38/PUU-XVI/2018. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 38/PUU-XVI/2018, perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

2. Bahwa permohonan pengujian materiil UU Pemilu dalam Perkara Nomor 38/PUU-XVI/2018 diajukan oleh Victor F. Sjair, S.Pi (Ketua KPU Kabupaten Kepulauan Aru), yang dikuasakan kepada Anthoni Hatane, S.H., M.H., dan Ma’at Patty, S.H., M.H yang kesemuanya adalah advokat pada Law Office Hatane & Associates (selanjutnya disebut Pemohon)

3. Bahwa Pemohon dalam permohonannya mengajukan pengujian materiil atas Pasal 10 ayat (1) huruf c, ayat (2), ayat (3) dan Lampiran I UU Pemilu yang berketentuan sebagai berikut:

Pasal 10
(1) Jumlah anggota:
a. KPU sebanyak 7 (tujuh) orang
b. KPU Provinsi sebanyak 5 (lima) atau 7 (tujuh) orang; dan
c. KPU Kabupaten/Kota sebanyak 3 (tiga) atau 5 (lima) orang
(2) Penetapan jumlah anggota KPU provinsi dan KPU Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c didasarkan pada kriteria jumlah penduduk, luas wilayah, dan jumlah wilayah administrativf pemerintahan.
(3) Jumlah anggota KPU provinsi dan jumlah KPU Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada-ayat (2) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.

Lampiran I UU Pemilu sepanjang rincian tabel Jumlah Anggota KPU Kabupaten/Kota

4. Bahwa Pasal 10 ayat (1) huruf c, ayat (2), ayat (3) dan Lampiran I UU Pemilu dianggap Pemohon bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 22E ayat (1) dan Pasal 22E ayat (5) UUD Tahun 1945 karena telah merugikan dan melanggar hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon.

1. Mahkamah memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

a. Terhadap Pasal 10 ayat (1) huruf c UU Pemilu

Menimbang bahwa setelah dicermati ternyata sebagian substansi permohonan a quo telah diputus oleh Mahkamah, sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XVI/2018, bertanggal 23 Juli 2018, yang telah diucapkan sebelumnya, sehingga dalam mempertimbangkan pokok permohonan a quo, Mahkamah harus terlebih dahulu merujuk putusan dimaksud. Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XVI/2018 menyatakan:
Mengadili,
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;

2. Frasa “3 (tiga) atau 5 (lima) orang” dalam Pasal 10 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109), bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “5 (lima) orang”;

3. Penjelasan Pasal 10 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109), bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

4. Pasal 44 ayat (1) huruf b dan Pasal 44 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109), bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

Frasa “3 (tiga) orang” dalam Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109), bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “5 (lima) orang”;

5. Kata “hari” dalam Pasal 468 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “hari kerja”;

6. Menyatakan permohonan para Pemohon terhadap Pasal 21 ayat (1) huruf k, Pasal 117 ayat (1) huruf b sepanjang frasa “30 (tiga puluh) tahun”, Pasal 117 ayat (1) huruf m, Pasal 117 ayat (1) huruf o, dan Pasal 557 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) tidak dapat diterima;

7. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya;

8. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

Oleh karena itu setelah merujuk Putusan Mahkamah di atas maka terhadap dalil permohonan Pemohon yang berkaitan dengan pengujian konstitusionalitas norma Pasal 10 ayat (1) huruf c UU Pemilu telah ternyata merupakan bagian yang oleh Mahkamah telah dinyatakan inkonstitusional. Dengan kata lain terhadap norma Pasal tersebut telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga tidak berlaku lagi. Oleh karena itu permohonan Pemohon terhadap Pasal 10 ayat (1) huruf c UU Pemilu telah kehilangan objek.

b. Terhadap Pasal 10 ayat (2) UU Pemilu

Menimbang bahwa selanjutnya Pemohon mendalilkan Pasal 10 ayat (2) UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 22E ayat (1), dan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945. Pada pokoknya Pemohon berargumentasi bahwa jumlah anggota KPU Kabupaten Kepulauan Aru dan KPU Kabupaten/Kota di Provinsi Maluku berkurang dari 5 (lima) orang menjadi 3 (tiga) orang akan berdampak terhadap pelaksanaan tahapan Pemilu. Dasar argumentasi Pemohon adalah karakteristik wilayahnya merupakan daerah kepulauan yang sebagian daerahnya tidak bisa ditempuh/dicapai dengan menggunakan kendaraan darat, akan tetapi kendaraan laut. Kondisi demikian memerlukan sumber daya lebih besar untuk memastikan semua tahapan Pemilu terlaksana sesuai dengan waktu yang ditentukan. Terhadap dalil dan bentangan empirik daerah yang dikemukakan oleh Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa ketentuan Pasal 10 ayat (2) UU Pemilu tidak hanya mengatur perihal dasar penentuan jumlah anggota KPU kabupaten/kota tetapi juga dasar penentuan jumlah anggota KPU provinsi. Dalam hal ini, Pasal 10 ayat (2) UU Pemilu menyatakan bahwa, “Penetapan jumlah KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c didasarkan pada kriteria jumlah penduduk, luas wilayah, dan jumlah wilayah administratif pemerintahan”. Apabila dikaitkan antara dasar mengajukan permohonan (posita) dan petitum yang dikehendaki Pemohon dengan norma Pasal 10 ayat (2) UU Pemilu, terdapat kekaburan atau ketidakjelasan yang apabila dikabulkan maka akan menimbulkan persoalan lain yang serius. Dalam hal ini, Pemohon mendalilkan bahwa sebagian daerah mereka merupakan wilayah kepulauan yang tidak mungkin dapat optimal melaksanakan semua tahapan Pemilu dengan jumlah anggota KPU kabupaten/kota 3 (tiga) orang. Masalah mendasarnya, apakah frasa “luas wilayah” tidak termasuk wilayah laut di dalamnya. Dalam batas penalaran yang wajar, ketika menentukan luas wilayah suatu daerah maka di dalamnya pasti meliputi wilayah daratan dan wilayah lautan. Hal mendasar yang perlu dijadikan catatan, perumusan norma Pasal 10 ayat (2) UU Pemilu menggunakan kriteria yang didasarkan kepada “jumlah penduduk, luas wilayah, dan jumlah wilayah administratif pemerintahan” tidak hanya dimaksudkan untuk menentukan jumlah anggota KPU kabupaten/kota tetapi juga jumlah anggota KPU provinsi. Artinya, jikalau permohonan Pemohon dikabulkan, maka kriteria dimaksud tidak dapat lagi digunakan untuk menentukan jumlah anggota KPU provinsi, padahal dalam UU Pemilu jumlah anggota KPU provinsi tidak sama untuk semua provinsi yang karena kriteria “jumlah penduduk, luas wilayah, dan jumlah wilayah administratif pemerintahan” terdapat provinsi dengan jumlah anggota KPU 5 (lima) orang dan terdapat provinsi dengan jumlah anggota KPU 7 (tujuh) orang. Selain pertimbangan di atas, apabila dibaca Petitum Pemohon, sama sekali Pemohon tidak meminta untuk menyatakan inkonstitusional kriteria atau salah satu kriteria yang dijadikan dasar dalam menentukan jumlah anggota KPU kabupaten/kota dalam Pasal 10 ayat (2) UU Pemilu melainkan meminta memberikan putusan konstitusional bersyarat frasa “3 (tiga) atau 5 (lima) orang” dimaknai menjadi 5 (lima) orang”. Padahal, frasa “3 (tiga) atau 5 (lima) orang” tersebut sama sekali tidak terdapat dalam Pasal 10 ayat (2) UU Pemilu. Bahwa berdasarkan fakta dan pertimbangan hukum tersebut, tidak ada keraguan bagi Mahkamah untuk menyatakan permohonan Pemohon adalah kabur.

c. Terhadap Pasal 10 ayat (3) UU Pemilu

Menimbang bahwa terhadap Pasal 10 ayat (3) UU Pemilu sepanjang frasa “jumlah anggota KPU Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada Lampiran I mengenai Jumlah Anggota KPU Kabupaten/Kota”, Mahkamah akan mempertimbangkan dengan terlebih dulu mengutip pertimbangan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XVI/2018, bertanggal 23 Juli 2018, yang telah diucapkan sebelumnya, yang menyatakan Pasal 10 ayat (1) huruf c UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “3 (tiga) atau 5 (lima) orang” tidak dimaknai “5 (lima) orang”, sementara Penjelasan Pasal 10 ayat (1) huruf c UU Pemilu telah dinyatakan inkonstitusional. Dengan demikian, jumlah anggota KPU kabupaten/kota harus dibaca sebagai 5 (lima) orang sehingga frasa “dan jumlah anggota KPU Kabupaten/Kota” harus disesuaikan dengan jumlah sebagaimana dimaksudkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XVI/2018.

d. Terhadap Lampiran I UU Pemilu sepanjang mengenai “Jumlah Anggota Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota”

Menimbang bahwa berkenaan dengan konstitusionalitas Lampiran I khusus mengenai “Jumlah Anggota Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota”, terlebih dahulu Mahkamah merujuk kembali eksistensi “Penjelasan” dalam sistem perundang-undangan Indonesia. Merujuk Lampiran angka 192 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 12/2011), “Dalam hal peraturan perundang-undangan memerlukan lampiran, hal tersebut dinyatakan dalam batang tubuh bahwa lampiran dimaksud merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari peraturan perundang-undangan”. Selanjutnya, Lampiran angka 193 UU 12/2011 menyatakan, “Lampiran dapat memuat antara lain uraian, daftar, tabel, gambar, peta, dan sketsa”. Apabila UU Pemilu dibaca secara komprehensif, terutama yang terkait dengan Lampiran I, secara substansial Lampiran I tersebut merupakan tabel wujud konkret dari Pasal 10 ayat (3) UU Pemilu yang menyatakan, “Jumlah anggota KPU provinsi dan jumlah anggota KPU kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari undang-undang ini”. Dalam batas penalaran yang wajar, karena substansi Pasal 10 ayat (1) huruf c UU Pemilu telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “3 (tiga) atau 5 (lima) orang” tidak dimaknai “5 (lima) orang”, sementara Penjelasan Pasal 10 ayat (1) huruf c UU Pemilu telah dinyatakan inkonstitusional. Dengan demikian, ketentuan Pasal 10 ayat (3) UU Pemilu harus merujuk pada ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf c UU Pemilu sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XVI/2018. Oleh karena itu, keberadaan Lampiran I UU Pemilu sepanjang rincian tabel “Jumlah Anggota Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota” tidak relevan lagi dipertahankan. Dengan demikian, dalil Pemohon terhadap Pasal 10 ayat (3) UU Pemilu sepanjang frasa “jumlah anggota KPU Kabupaten/Kota” dan Lampiran I sepanjang rincian tabel “Jumlah Anggota Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota” adalah beralasan menurut hukum.

e. Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, permohonan Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.

2. Bahwa dalam Amar Putusan, Mahkamah Konstitusi menyatakan sebagai berikut:
1) Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;

2) Menyatakan permohonan Pemohon sepanjang Pasal 10 ayat (1) huruf c dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) tidak dapat diterima;

3) Pasal 10 ayat (3) sepanjang frasa “dan jumlah anggota KPU Kabupaten/Kota” dan Lampiran I sepanjang rincian tabel “Jumlah Anggota Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota” Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

4) Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia;

3. Bahwa terhadap Putusan MK dalam Perkara Nomor 38/PUU-XVI/2018 sebagaimana diuraikan di atas, berdasarkan Pasal 10 ayat (1) huruf d, Pasal 10 ayat (2), dan Pasal 23 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan saran sebagai berikut:
1) Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 38/PUU-XVI/2018 sebagai bahan dalam penyusunan Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka.

2) Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 38/PUU-XVI/2018 sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan UU Pemilu.

Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan langsung dilaksanakan (self-executing) oleh seluruh organ penyelenggara negara, organ penegak hukum dan warga negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 38/PUU-XVI/2018 mengenai sebagian materi muatan pasal/ayat dalam UU Pemilu yang dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan Perubahan UU Pemilu.

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 1/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2009 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1984 / 23-07-2018

1. Bahwa pada hari Senin, tanggal 23 Juli 2018, Pukul 10.48 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutuskan Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan (selanjutnya disebut UU LPS) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut dengan UUD Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 1/PUU-XVI/2018. Dalam sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 1/PUU-XVI/2018 Perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

2. Bahwa permohonan pengujian materiil UU LPS dalam Perkara Nomor 1/PUU-XVI/2018 diajukan oleh Kepala Eksekutif LPS Fauzi Ichsan, yang dikuasakan kepada Dr. A. Irmanputra Sidin, S.H., M.H., Iqbal Tawakkal Pasaribu,S.H., dkk yang kesemuanya adalah advokat dan konsultan hukum pada “Firma Hukum Sidin Constitution, A IRMANPUTRA SIDIN & ASSOCIATES, Advocates & legal Consultant”. (Selanjutnya disebut Pemohon)

3. Bahwa Pemohon dalam permohonannya mengajukan pengujian materiil atas Pasal 6 ayat (1) huruf c UU LPS yang berketentuan sebagai berikut:


Pasal 6 ayat (1) huruf c UU LPS

“Dalam rangka melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud Pasal 5, LPS mempunyai wewenang sebagai berikut:
c. melakukan pengelolaan kekayaan dan kewajiban LPS.”

4. Bahwa Pasal-pasal a quo UU LPS dianggap Para Pemohon bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 33 ayat (4) UUD Tahun 1945 karena telah merugikan dan melanggar hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon.

1. Bahwa dalam Putusan Nomor 1/PUU-XVI/2018, MK memberikan pertimbangan hukum terhadap pengujian Pasal-Pasal a quo UU LPS sebagai berikut:

a. Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut tentang pokok permohonan Pemohon, Mahkamah akan mempertimbangkan lebih dahulu hal-hal sebagai berikut:

Bahwa untuk menunjang terwujudnya perekonomian nasional yang stabil dan tangguh, diperlukan suatu sistem perbankan yang sehat dan stabil. Untuk mendukung itu diperlukan penyempurnaan terhadap program penjaminan simpanan nasabah bank, dan dalam rangka melaksanakan program tersebut perlu dibentuk suatu lembaga independen yang diberi tugas dan wewenang untuk melaksanakan program penjaminan nasabah bank.

Bahwa dibentuknya LPS adalah dalam kaitan menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat pada sistem perbankan akibat krisis moneter yang terjadi pada tahun 1998, dan untuk mengatasi krisis yang terjadi Pemerintah dan DPR menerbitkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang mengamanatkan pembentukan suatu Lembaga Penjamin Simpanan sebagai pelaksana penjaminan dana masyarakat (vide Pasal 37B UU 10/1998).

Bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang LPS, dibentuklah Lembaga Penjamin Simpanan yang berbadan hukum dan merupakan lembaga yang independen, transparan, dan akuntabel dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Fungsi LPS adalah: 1) menjamin simpanan nasabah penyimpan dan 2) turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya [vide Pasal 2 ayat (2), ayat (3), dan Pasal 4 UU LPS].

Bahwa dibentuknya LPS sebagai penjamin simpanan nasabah bank, diharapkan dapat memelihara kepercayaan masyarakat terhadap institusi perbankan. Jika ada bank gagal dan harus diselamatkan maka tidak langsung menggunakan dana APBN, tetapi menggunakan dana LPS yang dihimpun dari premi simpanan perbankan. Dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya, LPS melakukan tindakan penyelesaian atau penanganan terhadap bank yang mengalami kesulitan keuangan atau bank gagal baik dalam kondisi ekonomi yang normal maupun krisis. Selanjutnya dalam penyelesaian atau penanganan bank bermasalah, LPS melakukan tindakan-tindakan layaknya seperti bank, bekerja dalam sistem operasional perbankan dan sesuai dengan praktik perbankan pada umumnya.

Bahwa dunia perbankan mengenal istilah hapus buku dan hapus tagih sebagai salah satu upaya penanganan kredit bermasalah. Hapus buku adalah tindakan administratif bank untuk menghapus buku pembiayaan yang memiliki kualitas macet dari neraca sebesar kewajiban nasabah tanpa menghapus atau menghilangkan hak tagih bank kepada nasabah, sedangkan hapus tagih adalah tindakan bank menghapus kewajiban nasabah yang tidak dapat diselesaikan untuk selamanya (hak tagih menjadi hapus) [vide Penjelasan Pasal 69 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum].

Bahwa dengan demikian bank dapat melakukan hapus buku dan hapus tagih terhadap kredit yang bermasalah setelah upaya-upaya penyelamatan kredit bermasalah seperti penagihan intensif, persyaratan kembali (reconditioning), penjadwalan kembali (rescheduling), dan penataan kembali (restructuring) utang tidak berhasil. Tujuan dilakukannya hapus buku dan hapus tagih adalah agar kualitas neraca bank menjadi lebih baik dengan kata lain tunggakan pokok kredit, bunga, dan denda dapat dikeluarkan dari neraca bank.

b. Menimbang bahwa dengan adanya pembayaran kewajiban suatu Bank Dalam Likuidasi (BDL) terhadap nasabah kreditornya oleh LPS, maka semua hak yang dimiliki oleh BDL terhadap kreditor BDL menjadi beralih kepada LPS termasuk piutang BDL tersebut. Dalam hal ini tampaklah adanya pergantian kedudukan BDL terhadap debitornya oleh LPS.

Bahwa pada saat LPS menerima pengalihan piutang bermasalah dari tim likuidasi, maka LPS akan melakukan penagihan dan pengelolaan piutang dengan jumlah yang akan terus bertambah karena adanya perhitungan bunga dan denda, sehingga semakin kecil kemungkinan debitur bank gagal atau BDL melakukan pembayaran utangnya. Upaya penagihan dan penyelesaian utang atau kredit bermasalah yang dilakukan LPS menjadi tidak efektif dan tidak efisien, karena LPS akan terus mengeluarkan biaya pengelolaan dan penagihan, menghabiskan waktu dan tenaga, sedangkan jumlah utang yang ditagih akan menjadi sebatas nilai yang tercatat pada neraca bank yang belum tentu akan diterima oleh LPS.
Bahwa kenyataannya dalam UU LPS tidak diatur kewenangan hapus buku dan hapus tagih oleh LPS, namun di sisi lain dalam rangka melaksanakan tugasnya LPS mempunyai wewenang antara lain melakukan pengelolaan kekayaan dan kewajiban LPS [vide Pasal 6 ayat (1) huruf c UU LPS] dan LPS bertanggung jawab atas pengelolaan dan penatausahaan semua asetnya [vide Pasal 81 ayat (3) UU LPS].

Bahwa kewenangan hapus buku dan hapus tagih oleh LPS tersebut kemudian diatur dalam undang-undang lain yaitu Pasal 46 ayat (5) Undang- Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK) yang menyatakan, “untuk menyelesaikan aset dan kewajiban yang masih tersisa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) LPS memiliki wewenang untuk menghapus buku dan menghapus tagih aset”.

c. Menimbang bahwa selanjutnya perlu dipertimbangkan apakah kewenangan hapus buku dan hapus tagih yang lahir dari UU PPKSK ini dapat dijadikan dasar untuk menyatakan bahwa LPS memiliki kewenangan yang sama atau tidak dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab LPS dalam UU LPS itu sendiri.

Bahwa kewenangan LPS dalam UU PPKSK adalah untuk melakukan hapus buku dan hapus tagih terhadap sisa aset berupa piutang terhadap debitur bank sistemik setelah Program Restrukturisasi Perbankan (PRP) diakhiri. Meskipun UU PPKSK diberlakukan dalam keadaan krisis, akan tetapi konsep hapus buku dan hapus tagih dalam UU tersebut dijalankan ketika keadaan krisis sudah berakhir, karena Presiden telah memutuskan untuk mengakhiri PRP sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 46 ayat (1) UU PPKSK, maka pasca PRP keadaan sudah tidak krisis lagi.

d. Menimbang bahwa bila dibandingkan dengan pemberlakuan UU LPS terhadap bank sistemik dan non sistemik, apakah kewenangan hapus buku dan hapus tagih LPS dalam UU PPKSK dapat dijadikan dasar untuk menyatakan bahwa LPS memiliki kewenangan hapus buku dan hapus tagih dalam UU LPS, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

Bahwa LPS sebagai lembaga mandiri dan mempunyai kewenangan mengelola kekayaan dan kewajiban LPS serta bertanggung jawab atas pengelolaan dan penatausahaan semua aset [vide Pasal 6 ayat (1) huruf c dan Pasal 81 ayat (3) UU LPS]. Secara umum, pengelolaan piutang dari pihak yang berpiutang (perseorangan maupun badan hukum) melekat kewenangan untuk melakukan pengelolaan piutang tersebut, yang di dalamnya termasuk hak hapus buku dan hapus tagih. Kewenangan demikian berdasarkan UU PPKSK juga diberikan kepada LPS. Namun, sebagaimana telah dipertimbangkan di atas, oleh karena UU PPKSK itu berlaku untuk mengatasi keadaan krisis keuangan terhadap bank sistemik, yang menjadi pertanyaan adalah apakah kewenangan tersebut juga secara serta-merta melekat sebagai kewenangan LPS dalam keadaan normal sebagaimana diatur dalam UU LPS, sehingga kewenangan itu juga berlaku baik terhadap bank sistemik maupun bank non-sistemik.

Terhadap persoalan tersebut apabila dikaitkan dengan dalil Pemohon yang menyatakan bahwa hak hapus tagih dan hapus buku yang menjadi kewenangan LPS sebagaimana yang diatur dalam UU PPKSK berlaku pula untuk kewenangan LPS dalam UU LPS sendiri dengan alasan yang apabila diringkaskan adalah alasan efisiensi dan kepastian hukum, menurut Mahkamah, secara umum dalil Pemohon tersebut memiliki landasan argumentasi yang cukup. Namun, oleh karena aset yang dikelola oleh LPS tersebut adalah berkaitan dengan kekayaan negara dan adanya hak masyarakat di dalamnya, maka kewenangan hak hapus buku dan hapus tagih tersebut tidak dapat dianggap sebagai kewenangan tanpa batas seperti jika hal itu menjadi piutang yang dikelola oleh perseorangan atau badan hukum yang tidak ada kaitannya dengan kekayaan negara. Dengan demikian, hak hapus tagih dan hapus buku oleh LPS dapat diberikan dalam keadaan normal sepanjang masih berkaitan dengan keadaan krisis dan dilaksanakan sepanjang memenuhi ketentuan Pasal 46 ayat (5) UU PPKSK.

Bahwa dalam melaksanakan kewenangan hapus buku dan hapus tagih ini LPS harus berpedoman pada prinsip kehati-hatian dan menganut asas transparansi serta pruden, dengan kata lain bahwa tindakan hapus buku dan hapus tagih adalah merupakan upaya terakhir (ultimum remedium) dan tidak boleh dilakukan sembarangan, terutama untuk menghindarkan tindakan moral hazard. Kehati-hatian demikian relevan dengan tahapan-tahapan sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Pasal 46 ayat (5) UU PPKSK yaitu bahwa tindakan hapus buku harus dilakukan melalui beberapa tahapan yakni:
1. Upaya penyelamatan tagihan seperti penagihan intensif;
2. Pengkondisian kembali (reconditioning);
3. Penjadwalan Kembali (restructuring);
4. Restrukturisasi (restructuring);
5. Penjualan agunan diperkirakan lebih kecil dari biaya yang akan dikeluarkan;
6. Upaya penagihan tidak bisa dilakukan [vide Penjelasan Pasal 46 ayat (5) UU PPKSK]

e. Bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, terhadap permohonan Pemohon agar Pasal 6 ayat (1) Huruf c UU LPS dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang frasa “melakukan pengelolaan kekayaan dan kewajiban LPS” tidak dimaknai “termasuk dapat melakukan tindakan hapus buku dan hapus tagih terhadap aset berupa piutang”, menurut Mahkamah hal tersebut tidak sepenuhnya dapat dikabulkan oleh Mahkamah mengingat hak hapus buku dan hapus tagih dapat diberikan sepanjang masih berkaitan dengan keadaan krisis dan memenuhi ketentuan Pasal 46 ayat (4) UU PPKSK sebagaimana termuat dalam amar putusan ini. Oleh karena itu permohonan Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.


2. Bahwa dalam Amar Putusan MK dalam Perkara Nomor 1/PUU-XVI/2018, Mahkamah Konstitusi menyatakan:
1) Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
2) Pasal 6 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “termasuk dapat melakukan tindakan hapus buku dan hapus tagih terhadap aset berupa piutang sepanjang memenuhi ketentuan Pasal 46 ayat (5) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan”;
3) Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.
4) Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

3. Bahwa terhadap Putusan MK dalam Perkara Nomor 1/PUU-XVI/2018 sebagaimana diuraikan diatas, berdasarkan Pasal 10 ayat (1) huruf d, Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 23 ayat (1) huruf b UNDANG-UNDANG Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan saran sebagai berikut:
1) Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 1/PUU-XVI/2018 sebagai bahan dalam penyusunan Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka.
2) Menindaklanjuti Putusan MK Nomor Nomor 1/PUU-XVI/2018 sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan UU LPS.

Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan (self-executing) oleh seluruh organ penyelenggara Negara, organ penegak hukum dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 1/PUU-XVI/2018 mengenai materi muatan pasal/ayat dalam UU LPS yang dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, agar tidak menimbulkan kekosongan hukum, dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan Perubahan UU LPS .

INFO JUDICIAL REVIEW PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 30/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 23-07-2018

1. Bahwa pada hari Senin, tanggal 23 Juli 2018, Pukul 12.12 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutuskan Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (selanjutnya disebut UU PEMILU) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut dengan UUD Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 30/PUU-XVI/2018. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 30/PUU-XVI/2018, DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

2. Bahwa permohonan pengujian materiil UU PEMILU dalam Perkara Nomor 30/PUU-XVI/2018 diajukan oleh Muhammad Hafidz (selanjutnya disebut Pemohon)

3. Bahwa Pemohon dalam permohonannya mengajukan pengujian materiil atas Pasal 182 huruf l UU PEMILU sepanjang frasa “pekerjaan lain” yang berketentuan sebagai berikut:

Pasal 182 huruf l:
“Perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 181 dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan:
(l) bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat, notaris, pejabat pembuat akta tanah, dan/atau tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan Negara serta pekerjaan lain dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.


4. Bahwa Pasal 182 huruf l sepanjang frasa “pekerjaan lain” dianggap
Pemohon bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945 karena telah merugikan dan melanggar hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon.

1. Mahkamah memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

Pokok Permohonan

[3.10] Menimbang bahwa setelah memeriksa secara seksama permohonan a quo, persoalan konstitusional yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah adalah: apakah yang dimaksud dengan frasa “pekerjaan lain” yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPD” dalam Pasal 182 huruf l UU Pemilu a quo . Persoalan konstitusional dimaksud tidak mungkin dipahami secara tepat jika tidak dihubungkan secara kontekstual dengan keberadaan DPD. Oleh karena itu,sebelum mempertimbangkan lebih jauh dalil-dalil Pemohon, menjadi keniscayaan bagi Mahkamah untuk terlebih dahulu menelaah secara ringkas latar belakang historis lahirnya DPD. Tinjauan historis demikian bukanlah dimaksudkan untuk mengabsolutkan penafsiran sejarah dalam memahami suatu persoalan konstitusional dengan berpegang teguh pada maksud asli (original intent) perumus Undang-Undang Dasar dengan mengabaikan perkembangan masyarakat tempat Undang-Undang Dasar berlaku, melainkan semata-mata untuk memahami dasar pemikiran pembentukan lembaga Negara ini (DPD) sebagai bagian dari sistem ketatanegaraan Indonesia setelah diberlakukannya perubahan terhadap UUD 1945. Pemahaman dasar pemikiran atau latar belakang demikian diperlukan untuk menilai relevansinya dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat dalam kehidupen bernegara sehingga UUD 1945 senantiasa menjadi konstitusi yang hidup (living constitution).

[3.11] Menimbang bahwa kehadiran DPD merupakan bagian tak terpisahkan dari perubahan UUD 1945 yang telah mengubah secara mendasar sistem ketatanegaraan yang memberlakukan prisnip supremasi MPR menjadi sistem ketatanegaraan yang memberlakukan prinsip supremasi konstitusi. MPR, selaku lembaga Negara yang berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar, mendasarkan alasan dilakukannya perubahan itu pada hakikat Pembukaan UUD 1945. Karena itu, seluruh fraksi yang ada di MPR pada saat awal dilakukannya perubahan UUD 1945 secara aklamasi bersepakat untuk tidak mengubah Pembukaan UUD 1945. Sebaliknya, justru menjadiklan Pembukaan UUD 1945 tersebut sebagai titik tolak dan landasan perubahan itu. Dalam kaitan ini, MPR menjelaskan antara lain:

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 memuat dasar filosofis dan dasar normative yang mendasari seluruh pasal dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 mengandung staatsidee berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tujuan (haluan) Negara, serta dasar Negara yang harus tetap dipertahankan (vide Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, 2003, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses, dan Hasil Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, h. 23-24)

Pandangan dan pendirian MPR terhadap Pembukaan UUD 1945 tersebut yang kemudian dijadikan titik tolak melakukan perubahan terhadap UUD 1945 bukan hanya memiliki legitimasi politik tetapi juga legitimasi akademik. Secara doktriner, pembukaan suatu undang-undang dasar (konstitusi tertulis) mencerminkan karakter ideologis undang-undang dasar yang bersangkutan (dan negara yang hendak dibentuk berdasarkan undang-undang dasar itu) yang memuat gagasan-gagasan religious, moral, dan politik yang hendak dikedepankan atau dibangun. Dari rumusan yang tertuang dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 terdapat sejumlah hal mendasar yang dapat diidentifikasi yang secara holistik dan sebagai satu kebulatan menggambarkan jiwa UUD 1945, yaitu:

Pertama, bahwa Undang-Undang Dasar Negara Indonesia itu merupakan perwujudan Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia. Hal ini jelas merujuk pada Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, sehingga UUD 1945 adalah kelanjutan sekaligus penjabaran lebih jauh Kemerdekan Kebangsaan Indonesia;

Kedua, bahwa Undang-Undang Dasar Negara Indonesia itu perlu disusun guna membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia. Hal ini jelas merujuk pada syarat pendirian negara karena pada saat itu (ketika Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia diproklamasikan) baru memiliki wilayah dan penduduk yang mendiami wilayah itu namun belum memiliki pemerintahan;

Ketiga, bahwa Pemerintah Negara Indonesia yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia itu adalah pemerintah yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Hal ini merupakan amanat sekaligus kewajiban konstitusional yang ditujukan kepada siapa pun yang menjalankan pemerintahan di Indonesia berdasarkan UUD 1945;

Keempat, bahwa dasare atau landasan keikutsertan Pemerintah Negara Indonesia dalam melaksanakan ketertiban dunia itu adalah kemerdekan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Hal ini, di satu pihak, menunjukkan kesadaran Bangsa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia (Internasional) dan di lain pihak menetntukan prinsip-prinsip dasar keikutsertaan Indonesia dalam pergaulan internasional dalam rangka mewujudkan ketertiban dunia dimaksud;

Kelima, bahwa Pemerintah Negara Indonesia yang hendak dibentuk berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia itu adalah sebuat Republik yang berkedaulatan rakyat. Hal ini jelas merujuk pada bentuk negara yang hendak didirikan, yaitu republik bukan kerajaan, di mana di dalamnya rakyatlah yang berdaulat. Dengan kata lain, negara yang hendak didirikan adalah sebuah republik yang berlandaskan prinsip-prinsip demokrasi sebab hanya dalam demokrasilah rakyat berdaulat;

Keenam, bahwa Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat yang hendak dibentuk berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia itu adalah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal ini merujuk pada dasar negara Pancasila yang sekaligus merupakan ideologi negara serta tujuan yang hendak dicapai atau diwujudkan.

Dengan demikian, dari Pembukaan UUD 1945 tersebut, khususnya alinea keempat, dapat diidentifikasi bukan hanya gagasan religius, moral, dan politik yang hendak dikedepankan tetapi juga sekaligus suasana atau arah yang hendak dituju oleh UUD 1945 tersebut yaitu sebagai Undang-Undang Dasar yang merupakan perwujudan kehendak rakyat (the will of the people), bukan kehendak sekelompok orang atau elite; yang dengan kata lain berarti hendak mewujudkan kehidupan bernegara dan berbangsa yang demokratis, serta dasar negara yang sekaligus menggambarkan tujuan didirikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dengan menjadikan Pembukaan UUD 1945 sebagai landasan perubahan terhadap UUD 1945, MPR hendak mewujudkan semangat yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 tersebut ke dalam pasal-pasal UUD 1945 yang dalam pandangan MPR saat itu (ketika dilakukannya perubahan terhadap UUD 1945) tidak terimplementasikan secara tepat dalam sistem ketatanegaraan yang lama (sebelum dilakukan perubahan terhadap UUD 1945). Dalam hubungan ini MPR menyatakan antara lain:

Undang-Undang Dasar 1945 (maksudnya, UUD 1945 sebelum dilakukan perubahan) membentuk struktur ketatanegaraan yang bertumpu pada kekuasaan tertinggi di tangan MPR yang sepenuhnya melaksanakan kedaulatan rakyat . Hal ini berakibat pada tidak terjadinya checks and balances pada institusi-institusi ketatanegaraan. Penguasaan terhadap MPR adalah kata kunci bagi kekuasaan pemerintahan negara yang seakan-akan tanpa ada hubungannya lagi dengan rakyat.

Perubahan ketentuan ini mengalihkan negara Indonesia dari sistem MPR kepada sistem kedaulatan rakyat yang diatur melalui Undang-Undang Dasar 1945. Undang-Undang Dasar 1945-lah yang menjadi dasar dan rujukan utama dalam menjalankan kedaulatan rakyat kepada rakyat itu sendiri dan atau kepada berbagai lembaga negara.

Perubahan ini menetapkan bahwa kedaulatan tetap di tangan rakyat, sedangkan lembaga-lembaga negara melaksanakan bagian-bagian dari kedaulatan ini menurut wewenang, tugas, dan fungsi yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945. Dengan perubahan ini maka tidak dikenal lagi istilah lembaga tertinggi negara ataupun lembaga tinggi negara. Kedudukan masing-masing lembaga negara tergantung pada wewenang, tugas, dan fungsi yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945 [vide Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, 2003,Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses, dan Hasil Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, halaman 11 dan halaman 146)

[3.12] Menimbang bahwa setelah mengetahui hal-hal mendasar berkenaan dengan dasar pemikiran yang melandasi dilakukannya perubahan terhadap UUD 1945 tersebut, pertanyaan konstitusional yang muncul dalam konteks permohonan a quo adalah: apa hakikat keberadaan DPD dalam sistem ketatanegaraan yang baru tersebut? Secara historis, pembentukan DPD dilandasi oleh pemikiran untuk lebih mengakomodasi aspirasi daerah dan mengikutsertakannya dalam pengambilan keputusan-keputusan politik di tingkat nasional terutama yang langsung berkait dengan kepentingan daerah. Hal itu dipandang penting karena dalam sistem ketatanegaraan yang lama (sebelum dilakukan perubahan UUD 1945), aspirasi daerah dapat dikatakan hampir tidak terakomodasi. Aspirasi daerah saat itu hanya diwadahi oleh Utusan Daerah sebagai bagian dari keanggotaan MPR yang hanya bersidang sekali dalam lima tahun [vide Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan]. Peran Utusan Daerah inilah yang hendak ditingkatkan sehingga aspirasi daerah lebih terwadahi dan terakomodasi. Oleh karena itu, sebelum disepakati bernama DPD, nama lembaga negara ini sempat diusulkan bernama Dewan Utusan Daerah.

Pentingnya mendengar aspirasi daerah dan melibatkannya dalam pengambilan keputusan politik untuk hal-hal tertentu juga dimaksudkan sebagai bagian dari constitusional engineering untuk mengatasi dan mencegah timbulnya ketidakpuasan daerah yang disebabkan oleh pengambilan keputusan politik yang bersifat sentralistik yang diberlakukan berdasarkan sistem ketatanegaraan yang lama (sebelum dilakukan perubahan UUD 1945). Karena itulah, ketika dilakukan penambahan satu ayat dalam Pasal 33 UUD 1945 dimasukkan frasa “serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasiona”, sebagaimana terbaca saat ini dalam rumusan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945. Dengan demikian, kehadiran DPD adalah bagian tak terpisahkan dari desain konstitusional untuk memperkuat keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Itulah sebab ditolaknya gagasan membentuk sistem perwakilan berkamar dua (bikameral) yang sempat muncul pada saat berlangsungnya proses perubahan UUD 1945 di Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR yang menghendaki adanya kedudukan sejajar dan kewenangan yang setara antara DPR dan DPD karena dianggap tidak sesuai dengan keberadaan Indonesia sebagai negara kesatuan, terlepas dari soal benar atau tidaknya anggapan demikian jika ditinjau secara akademik.

Selain itu, alasan penolakan terhadap gagasan membentuk lembaga perwakilan bikameral tersebut juga didasari oleh argumentasi bahwa jika gagasan itu diterima maka hal itu akan bertentangan dengan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 yang telah disetujui sebelumnya dalam perubahan tahap pertama UUD 1945 dan telah berlaku yang secara tegas menyatakan bahwa kekuasaan membentuk undang-undang ada di tangan DPR. Maka, jalan keluar yang disepakati saat itu adalah kesepakatan yang wujudnya saat ini tertuang dalam rumusan Pasal 22D UUD 1945. Dengan rumusan demikian maka dua kebutuhan terpenuhi sekaligus, yaitu diakomodasinya aspirasi daerah dan tidak terjadinya pertentangan atau kontradiksi antar pasal dalam UUD 1945 [vide lebih jauh Risalah Rapat-Rapat Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR, khususnya pembahasan pada Perubahan Kedua dan Ketiga UUD 1945.

[3.13] Menimbang bahwa gagasan untuk lebih meningkatkan akomodasi terhadap aspirasi daerah yang diejawantahkan dengan pembentukan DPD tersebut akan terwujud apabila aspirasi daerah itu tercermin dalam keputusan politik yang diambil di tingkat nasional, khususnya dalam kebijakan legislasi, in casu pembentukan undang-undang sebagai penjabaran lebih jauh dari gagasan yang tertuang dalam UUD 1945 yang berkait langsung dengan kepentingan daerah. Dalam konteks demikian DPD didesain sebagai kekuatan pengimbang terhadap DPR sebagai lembaga negara yang oleh UUD 1945 diberi kekuasaan membentuk undang-undang bersama Presiden [vide Pasal 20 juncto Pasal 5 ayat (1) UUD 1945]. Artinya, kebijakan legislasi dalam wujud pembentukan undang-undang yang berkait langsung dengan kepentingan daerah tidak boleh semata-mata lahir sebagai produk akomodasi dan kompromi politik kekuatan-kekuatan yang merupakan perwujudan representasi politik, yaitu DPR dan Presiden yang meskipun sama-sama dipilih oleh rakyat namun pengusulan dalam pengisian jabatannya dilakukan melalu sarana partai politik. Oleh karena itu, untuk dapat menjadi kekuatan pengimbang dimaksud maka pengisian jabatan anggota DPD haruslah berasal dari luar partai politik. Anggota DPD didesain berasal dari tokoh-tokoh daerah yang sungguh-sungguh memahami kebutuhan daerahnya dan memiliki kemampuan untuk (bersama-sama dengan tokoh-tokoh dari daerah lain) menyuarakan dan memperjuangkan kebutuhan itu dalam pengambilan keputusan politik nasional yang berkait langsung dengan kepentingan daerah, khususnya dalam proses pembentukan undang-undang. Gambaran itulah yang dapat disarikan dari proses pembahasan yang terjadi di Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR ketika merumuskan pelembagaan DPD [vide lebih jauh Risalah rapat-rapat Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR, khususnya pembahasan pada perubahan Kedua dan Ketiga UUD 1945]

Pesan inilah yang juga ditegaskan oleh Mahkamah sebagaimana tercermin dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10/PUU-VI/2008 yang dalam pertimbangan hukumnya (halaman 204) antara lain menyatakan:

Perubahan UUD 1945 melahirkan sebuah lembaga baru dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, yakni DPD yang dengan kehadirannya sistem perwakilan di Indonesia, DPR didukung dan diperkuat oleh DPD. DPR merupakan lembaga perwakilan berdasarkan aspirasi dan paham politik rakyat sebagai pemegang kedaulatan, sedangkan DPD merupakan lembaga perwakilan penyalur keanekaragaman aspirasi daerah. Keberadaan lembaga DPD merupakan upaya menampung prinsip perwakilan daerah.

Lebih jauh, setelah mempertimbangkan dasar-dasar pemikiran dan perdebatan yang terjadi selama berlangsungnya proses perubahan UUD 1945 di MPR, pada bagian lain pertimbangan hukumnya dalam Putusan di atas, Mahkamah menegaskan hakikat keberadaan DPD dalam desain konstitusional UUD 1945:

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa desain konstitusional DPD sebagai organ konstitusi adalah:

1) DPD merupakan representasi daerah (territorial representation) yang membawa dan memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah dalam kerangka kepentingan nasional, sebagai imbangan atas dasar prinsip “checks and balances” terhadap DPR yang merupakan representasi politik (political representation) dari aspirasi dan kepentingan politik partai-partai politik dalam kerangka kepentingan nasional;
2) Keberadaan DPD dan DPR dalam sistem ketatanegraan Indonesia yang seluruh anggotanya menjadi anggota MPR bukanlah berarti bahwa sistem perwakilan Indonesia menganut sistem perwakilan bikameral, melainkan sebagai gambaran tentang sistem perwakilan yang khas Indonesia;
3) Meskipun kewenangan konstitusional DPD terbatas, namun dari se;uruh kerwenangannya di bidang legislasi, anggaran, pengawasan, dan pertimbangan sebagaimana diatur dalam Pasal 22D UUD 1945, kesemuanya terkait dan berorientasi kepada kepentingan daerah;
4) Bahwa sebagai representasi daerah dari setiap provinsi, anggota DPD dipilih melalui Pemilu dari setiap provinsi dengan jumlah yang sama, berdasarkan pencalonan secara perseorangan, bukan melalui Partai, sebagai peserta Pemilu.

Secara analitis, original intent pembentukan DPD maupun pertimbangan Mahkamah dalam putusan di atas memiliki landasan rasional-faktual maupun konsepsional yang kuat. Pertama, dilihat dari perspektif fungsi-fungsi ideal partai politik, original intent pembentukan DPD maupun Putusan Mahkamah di atas tidak dapat dinilai menafikan fungsi-fungsi ideal partai politik, khususnya dalam hal ini funsgi komunikasi dan agregasi politik. Sebab, di negara-negara yang kehidupan demokrasinya telah matang pun, partai politik tidak dapat secara absolute dianggap telah mempresentasikan aspirasi seluruh rakyat. Itulah yang secara rasional-faktual menjelaskan munculnya fenomena, antara lain, hadirnya calon-calon presiden independen di Amerika Serikat (yang sistem ketatanegarannya memang memungkinkan hadirnya calon presiden demikian) ataupun calon-calon independen/perseorangan dalam pemilihan kepala daerah di Indonesia yang beberapa di antaranya berhasil mengalahkan calon-calon yang diajukan oleh partai politik. Pemikiran yang bertolak dari ketidakabsolutan fungsi komunikasi dan agregasi partai politik itu pula yang melahirkan wacana (discourse) tentang deliberative democracy di kalangan cerdik pandai, yang mulai berkembang sejak akhir abad ke-20, yang memandang pentingnya warga negara biasa (lay citizens) sebanyak mungkin terlibat dalam pengambilan keputusan politik,bukan sekedar oleh sekelompok elite yang dipresentasikan oleh partai-partai politik.

Kedua, persyaratan anggota DPD tidak boleh menjadi pengurus atau berasal dari perngurus partai politik mencegah terjadinya distorsi politik berua lahirnya perwakilan ganda (double representation) partai politik dalam pengambilan keputusan, lebih-lebih keputusan politik penting seperti perubahan Undang-Undang Dasar. Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa MPR terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah. Sementara itu, menurut Pasal 3 ayat (1) UUD 1945, MPR memiliki kewenangan mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar. Dengan demikian, jika anggota DPD dimungkinkan berasal dari pengurus partai politik, berarti akan terjadi perwakilan ganda dalam keanggotaan DPR juga terwakili dalam keanggotaan DPD. Hal ini secara tidak langsung telah mengubah desain ketatanegaraan perihal keanggotaan MPR yang hendak diwujudkan oleh UUD 1945 yang memaksudkan MPR sebagai wujud atau pencerminan perwakilan politik dan perwakilan wilayah. Desain demikian merupakan hal mendasar karena secara filosofis diturunkan dari gagasan Kebangsaan Indonesia yang bukan sekedar ikatan perstuan politik yang lahir karena adanya persamaan nasib dari segenap suku banga yang mendiami wilayah yang bernama Indonesia tetapi juga mencakup gagasan persatuan segenap suku bangsa dimaksud dengan wilayah yang di diaminya itu. Inilah salah satu hikmat kebijaksanaan mendasar yang harus tercermin dalam lembaga permusyawaratan/perwakilan yang bernama MPR tersebut sehingga keputusan politik penting yang diambil oleh lembaga ini senantiasa mencerminkan keputusan Bangsa Indonesia.

Ketiga, sebagai catatan tambahan dan sekaligus mengingatkan kembali, pada saat berlangsungnya perdebatan di Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR saat membahas keanggotaan MPR, alasan mencegah terjadinya double representation inilah, bersama-sama dengan alasan untuk menerapkan prinsip perwakilan atas dasar pemilihan (representation by election), yang dijadikan dasar argumentasi menolak adanya anggota MPR yang pengisiannya dilakukan melalui pengangkatan, dalam hal ini terkait dengan keberadaan Utusan Golongan. Sebagian besar fraksi yang ada di MPR saat itu berpandangan bahwa jika ada anggota MPR yang diangkat, yaitu mereka yang dianggap sebagai tokoh yang mempresentasi golongan-golongan yang ada dalam masyarakat, maka besar kemungkinan akan terjadi perwakilan ganda di MPR karena hadirnya anggota-anggota yang diangkat sebagai representasi golongan, yang sangat mungkin berasal dari daerah, sementara pada saat yang sama daerah telah pula memiliki wakil yang dipilih melalui Pemilu, yaitu anggota DPD. Oleh karena itu, sesuai dengan prinsip representation by election para tokoh yang dianggap mempresentasikan golongan itu tidak cocok lagi diangkat melankan diikutkan dalam kompetisi pemilihan anggota DPD, sehingga dalam keanggotaan DPD tersebut keberadaan golongan-golongan dalam masyarakat sesungguhnya telah dengan sendirinya tercermin melalui keterpilihan tokokh-tokoh daerah dalam kelembagaan DPD. Dengan cara demikian maka kemungkinan munculnya perwakilan ganda akan tercegah dan pada saat yang sama prinsip perwakilan melalui pemihan juga terpenuhi. Namun, saat itu, wakil Utusan Golongan yang ada di MPR tidak dapat menyetujui pandangan ini sehingga pasal yang mengatur keanggotaan MPR, sebagaimana saat ini tertuang dalam Pasal 2 ayat (1) UUD 1945, tercatat sebagai satu-satunya pasal dalam UUD 1945 yang keputusannya diambil melalui pemungutan suara.

[3.14] Menimbang bahwa sejak putusan pertamanya yang berkait dengan keanggotaan DPD, yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10/PUU-VI/2008, Mahkamah secara konsisten menunjukkan pendiriannya dalam menjaga hakikat keberadaan DPD sesuai dengan desain UUD 1945. Hal ini tertuang dalam pertimbangan hukum putusan-putusan Mahkamah selanjutnya, yaitu diantaranya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor79/PUU-XII/2014 yang keduanya berkait dengan kewenangan DPD

Dalam Putusan Mahkamah KonstitusiNomor 92/PUU-X/2012, sebelum sampai pada pendapatnya mengenai kewenangan legislasi DPD, Mahkamah dalam pertimbangan hukumnya menekankan keanggotaan DPD sebagai representasi territorial yang pengisian jabatannya bukan berasal dari partai politik sertta perbedaannya dengan anggota DPR yang berasal dari partai politik. Mahkamah antara lain menyatakan:
3. …
4. DPD adalah sebuah lembaga negara yang dibentuk berdasarkan perubahan UUD 1945. Pembentukan DPD merupakan upaya konstitusional yang dimaksudkan untuk lebih mengakomodasi suara daerah dengan memberi saluran, sekaligus peran kepada daerah-daerah. Saluran dan peran tersebut dilakukan dengan memberikan tempat bagi daerah-daerah untuk menempatkan wakilnya dalam badan perwakilan tingkat nasional untuk memperjuangkan dan menyuarakan kepentingan-kepentingan daerahnya sehingga akan memperkuat kesatuan Negara Republik Indonesia. Perwakilan daerah dalam DPD mencerminkan prinsip representasi territorial atau regional (regional representation) dari daerah, dalam hal ini provinsi. Dengan demikian, keberadaan DPD tidak dapat dipisahkan dari adanya Utusan Daerah sebagai salah satu unsur MPR. Dengan ditetapkannya bahwa seluruh anggota MPR harus dipilih dalam Pemilihan Umum [vide Pasal 2 ayat (1) UUD 1945], maka Utusan Daerah pun harus dipilih dalam Pemilihan Umum.
5. … Keterwakilan anggota DPR dan anggota DPD yang sama-sama mewakili daerah di badan perwakilan tingkat nasional mengandung perbedaan, antara lain, anggota DPR dipilih berdasarkan daerah-daerah pemilihan dari seluruh Indonesia. Adapun anggota DPR dicalonkan dan berasal dari partai politik peserta pemilihan umum, yang dalam posisinya sebagai anggota DPR mewakili dua kepentingan sekaligus, yaitu kepentingan partai politik dan kepentingan rakyat daerah yang diwakilinya. Pada sisi lain, anggota DPD berasal dari perseorangan yang dipilih secara langsung oleh rakyat di daerah tersebut, sehingga anggota DPD hanya akan secara murni menyuarakan kepentingan-kepentingan daerahnya, yaitu seluruh aspek yang terkait dengan daerah yang diwakilinya. Berbeda dengan anggota DPR, yang oleh karena mewakili partai politik tertentu sering dibebani oleh misi partai politik yang bersangkutan. Selain itu, wakil rakyat yang duduk di DPR yang berasal dari partai politik dan terpilih dari suatu daerah pemilhan dapat saja berdomisili atau berasal dari daerah lain yang bisa saja tidak begitu mengenal daerah yang diwakilinya. Hal semacam itu sangat kecil kemungkinan terjadi bagi anggota DPD, karena mereka dipilih secara perseorangan dalam pemilihan umum secara langsung oleh rakyat didaerah yang bersangkutan;

Dengan pertimbangan yang menekankan pada hakikat keberadaan DPD serta perbedaan antara anggota DPD dan anggota DPR demikian tampak jelas bahwa Mahkamah tidak mengubah pendiriannya sebagaimana ditegaskan dalam putusan sebelumnya, in casu Putusan Mahkamah Kosntitusi Nomor 10/PUU-VI/22008, bahwa anggota DPD bukan berasal dari partai politik. Pendirian Mahkamah tersebu koheren dengan pendirian Mahkamah berkenaan dengan kewenangan legislasi yang dimiliki oleh DPD sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-XII/2014 yang pada intinya menegaskan bahwa DPD harus secara maksimal dilibatkan dalam proses pembentukan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah [vide lebih jauh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-XII/2014]

Dikatakan koheren sebab jika DPD tidak dilibatkan secara maksimal dalam proses penyusunan undang-undang yang berkai dengan soal-soal tersebut maka hakikat representasi daerah yang melekat dalam eksistensi DPD (yang anggota-anggotanya bukan berasal dari partai politik) akan terdegradasi karena keputusan politik yang diambil dalam soal-soal yang langsung berkait dengan kepentingan daerah tersebut akan lebih banyak ditentukan oleh lembaga yang merupakan representasi politik,yakni DPR (yang anggotanya berasal dari partai politi). Apalagi, anggota DPR yang berasal dari daerah provinsi tidaklah selalu sepenuhnya dapat dikatakan mewakili provinsi yang bersangkutan sebagaimana halnya anggota DPD karena basis pencalonan anggota DPR adalah berdasarkan daerah pemilihan (dapil) di suatu provinsi meskipun untuk provinsi tertetu, provinsi sekaligus menadi dapil karena berjumlah tidak lebih dari satu. Dengan demikian, dalam analisis selanjutnya, apabila keanggotaan DPD juga dimungkinkan berasal dari partai politik, in casu pengurus partai politik, maka keadaan demikian akan makin meneguhkan fenomena di mana keputusan politik yang berkait langsung dengan kepentingan daerah, khususnya dalam kebijakan legislasi, secara faktual menjadi berada di tangan pihak yang semata-mata merupakan representasi politik. Hal ini jelas tidak bersesuaian dengan semangat yang terkandung dalam Pasal 22D UUD 1945.

[3.15] Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan konteks historis perihal latar belakang atau dasar pemikiran pembentukan DPD dan kaitannya dengan perubahan sistem ketatanegaraan setelah dilakukan perubahan terhadap UUD 1945 serta pendirian Mahkamah berkenaan dengan keberadaan DPD yang dituangkan dalam sejumlah putusannya, khususnya yang berkenaan dengan cara pengisian keanggotaanya sebagaimana diuraikan pada paragraf [11] sampai dengan paragraph [14] di atas, maka pertanyaan yang kemudian timbul adalah apakah dasar pemikiran tersebut masih relevan dengan perkembangan masyarakat pada saat ini atau sebaliknya dasar pemikiran tersebut tidak relevan lagi seingga menurut Mahkamah untuk mengubah pendiriannya yang telah dituangkan dalam putusan-putusan Mahkamah terdahulu.Pertanyaan ini berkait langsung dengan dalil-dalil Pemohon yang pada hakikatnya berpegang pada dasar pemikiran dibentuknya DPD dan fungsi-fungsi DPD sebagaimana tercermin dalam kewenangan-kewenangan yang dimilikinya berdasarkan UUD 1945 beserta hak-hak yang diberikan kepada anggota-anggotanya dalam melaksanakan kewenangan tersebut.

Terhadap persoalan tersebut Mahkamah berpendapat tidak terdapat alasan kuat dan mendasar bagi Mahkamah untuk mengubah pendiriannya. Sebaliknya, justru terdapat kebutuhan bagi Mahkamah untuk menegaskan kembali pendiriannya yang berkait dengan keanggotaan DPD tersebut. Sebab, Pasal 182 UU Pemilu yang mengatur persyaratan perseorangan untuk menjadi calonanggota DPD tidak secara tegas menyebutkan adanya larangan bagi pengurus partai politik untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPD.Sebagai lembaga yang didirikan dengan fungsi mengawal Konstitusi dalamsistem ketatanegaraan yang menganut prinsip suoremasi konstitusi, Mahkamah berkewajiban untuk menjamin terealisasinya semangat yang terkandung dalam 22D UUD 1945, sehingga gagasan bahwa DPD merupakan representas daerah benar-benar terealisasi dan tidak terdistorsi dalam praktik kehidupan bernegara yang disebabkan tidak adanya pembatasan berkenaan dengan persyaratan pencalonan terutama yang terkait dengan pengurus partai politik.

Dengan tidak adanya penjelasan terhadap frasa “pekerjaan lain” yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPD sesuai dengan peraturan perudang-undangan” dalam Pasal 182 huruf l UU Pemilu, timbul ketidakpastian hukum apakah perseorangan warga negara Indonesia yang sekaligus pengurus partai politik dapat atau boleh menjadi calon anggota DPD, sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Jika ditafsirkan dpat atau boleh maka hal itu bertentangan dengan hakikat DPD sebagai wujud representasi daerah dan sekaligus berpotensi lahirnya perwakilan ganda (double representation) sebab, jika calon anggota DPD yang berasal dari pengurus partai politik tersebut terpilih, maka partai politik dari mana anggota DPD itu berasal secara factual akan memiliki wakil baik di DPR maupun di DPD sekalipun yang bersangkutan menyatakan sebagai perseorangan tatkala mendaftarkan diri sebagai calonanggota DPD. Hal ini berarti bertentangan dengan semangat Pasal 22D UUD 1945. Sebaliknya, jika ditafsirkan tidak dapat atau tidak boleh, larangan demikian tidak secara eksplisit disebutkan dalam UU Pemilu, khususnya Pasal 182 huruf l. Oleh karena itu Mahkamah penting menegaskan bahwa perseorangan warga negara Indonesia yang mencalonkan diri sebagai anggota DPD tidak boleh merangkap sebagai pengurus partai politik sehingga Pasal 182 huruf l UU Pemilu harus dimaknai sebagaimana tertuang dalam amar putusan ini.

[3.16] Menimbang bahwa oleh karena UU Pemilu, khususnya Pasal 182 tidak secara tegas melarang pengurus partai politik untuk mencalonkan diri sebagai calon anggota DPD maka secara a contratio pendirian Mahkamah sebagaimana tertuang dalam putusan-putusan sebelumnya yang pada intinya menyatakan bahwa calon anggota DPD tidak boleh berasal dari partai politik sesungguhnya tetap berlaku. Sebab, putusan Mahkamah memiliki kekuatan hukum mengikat sederajat dengan undang-undang, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 47 UU MK yang menyatakan”Putusan Mahkmah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbukan untuk umum.” Namun, demi kepastian hukum, Mahkamah memandang penting untuk menyatakan pendiriannya sebagaimana telah diuraikan pada paragraph [3.15] di atas.

Pertanyaan yang timbul kemudian bagaimana dengan adanya fakta bahwa saat ini terdapat anggota DPD yang juga pengurus partai politik? Dalam kaitan ini Pasal 58 UU MK menyatakan, “Undang-undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum ada putusan yang menyatakan bahwwa undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Norma yang termuat dalam Pasal 58 UU M tersebut mengandung dua pengertian. Pertama, bahwa dalam pengujian konstitusionalitas undang-undang berlaku prinsip presumption of constitutionality, artinya suatu undang-undang harus dianggap tidak bertentagan dengan konstitusi selama belum ada putusan pengadilan, in casu Putusan Mahkamah Konstitusi. Kedua, bahwa sebagaimana prinsip umum yang berlaku dalam pengundangan suatu undang-undan, suatu undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang (positive legislature) berlaku prospektif atau kedepan, tidak boleh berlaku surut (retroactive). Hal itu juga berlaku terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (selaku negative legislator), sehingga putusan Mahkamah pun keberlakuannya adalah prospektif, terlepas dari adanya praktik di negara lain yang memungkinkan disimpanginya prinsip ini dalam hal-hal tertentu. Dengan demikian, terhadap pertanyaan di atas, oleh karena anggota DPD yang juga pengurus partai politik tersebut terpilih menjadi anggota DPD sebelum adanya putusan ini maka sesuai dengan prinsip presumption of constitutionality keanggotaan yang bersangkutan kecuali yang bersangkutan mencalonkan diri kembagi sebagai anggota DPD setelah Putusan ini berlaku sesuai dengan Pasal 47 UU MK. Mahkamah penting menegaskan bahwa yang dimaksud dengan “pengurus Partai Politik” dalam putusan ini adalah pengurus mulai dari tingkat pusat sampai tingkat paling rendah sesuai dengan struktur organisasi partai politik yang bersangkutan.

[3.17] Menimbang bahwa untuk Pemilu 2019, karena proses pendaftaran calon anggota DPD telah dimulai, dalam hal terdapat bakal calon anggota DPD yang kebetulan merupakan pengurus partai politik terkena dampak oleh putusan ini, KPU dapat memberikan kesempatan kepada yang bersangkutan untuk tetap sebagai calon anggota DPD sepanjang telah menyatakan mengundurkan diri dari kepengurusan Partai Politik yang dibuktikan dengan pernyataan tertulis yang bernilai hukum perihal pengunduran diri dimaksud. Dengan demikian untuk selanjutnya, anggota DPD sejak Pemilu 2019 dan Pemilu-Pemilu setelahnya yang menjadi pengurus partai politik adalah bertentangan dengan UUD 1945.

[3.18] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat dalil Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 182 huruf l UU Pemilu adalah beralasan menurut hukum sepanjang frasa “pekerjaan lain” dalam Pasal 182 huruf l UU Pemilu dimaksud tidak dimaknai mencakup pula pengurus partai politik.


2. Bahwa dalam Amar Putusan, Mahkamah Konstitusi menyatakan sebagai berikut:
1) Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
2) Frasa “pekerjaan lain” dalam Pasal 182 huruf l Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai mencakup pula pengurus (ungsionaris) partai politik;
3) Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

3. Bahwa terhadap Putusan MK dalam Perkara Nomor 30/PUU-XVI/2018 sebagaimana diuraikan di atas, berdasarkan Pasal 10 ayat (1) huruf d, Pasal 10 ayat (2), dan Pasal 23 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan saran sebagai berikut:

1) Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018 sebagai bahan dalam penyusunan Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka.
2) Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018 sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan UU PEMILU.

Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan langsung dilaksanakan (self-executing) oleh seluruh organ penyelenggara negara, organ penegak hukum dan warga negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 30/PUU-XVI/2018 mengenai materi muatan pasal/ayat dalam UU PEMILU yang dinyatakan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan Perubahan UU PEMILU.

INFO JUDICIAL REVIEW PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 16/PUU-XVI/2018 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2018 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 / 28-06-2018

1. Bahwa pada hari Kamis, tanggal 28 Juni 2018, Pukul 14.16 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutuskan Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut UU MD3) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut dengan UUD NRI Tahun 1945) dalam Perkara Nomor 16/PUU-XVI/2018. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 16/PUU-XVI/2018, perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

2. Bahwa permohonan pengujian materiil UU MD3 dalam Perkara Nomor 16/PUU-XVI/2018 diajukan oleh Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK), Dr. Husdi Herman, S.H., M.M., dan Yudhistira Rifky Darmawan yang dikuasakan kepada Dr. A. Irmanputra Sidin, S.H., M.H., Iqbal Tawakkal Pasaribu, S.H., dkk yang kesemuanya adalah para advokat dan konsultan hukum pada “Firma Hukum Sidin Constitution, A. IRMANPUTRA SIDIN & ASSOCIATES, Advocates & Legal Consultant”. (selanjutnya disebut Para Pemohon)

3. Bahwa para Pemohon dalam permohonannya mengajukan pengujian materiil atas Pasal 73 ayat (3), (4), (5) dan (6), Pasal 122 huruf l dan Pasal 245 ayat (1) UU MD3 yang berketentuan sebagai berikut:

Pasal 73 ayat (3), (4), (5) dan (6)
(1) …
(2) …
(3) “Dalam hal setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak hadir setelah dipanggil 3 (tiga) kali berturut-turut tanpa alasan yang patut dan sah, DPR berhak melakukan panggilan paksa dengan menggunakan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(4) Panggilan paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Pimpinan DPR mengajukan permintaan secara tertulis kepada Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia paling sedikit memuat dasar dan alasan pemanggitan paksa serta nama dan alamat setiap orang yang dipanggil paksa;
b. Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib memenuhi permintaan sebagaimana dimaksud pada huruf a; dan
c. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia memerintahkan Kepala Kepolisian Daerah di tempat domisiti setiap orang yang dipanggil paksa untuk dihadirkan memenuhi panggilan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1)'
(5) Dalam hal menjalankan panggilan paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menyandera setiap orang untuk paling lama 30 (tiga puluh) Hari.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanggilan paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan penyanderaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia.”

Pasal 122 huruf l
Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121A, Mahkamah Kehormatan Dewan bertugas:
l. mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR;

Pasal 245 ayat (1)
“Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan”.

4. Bahwa Pasal 73 ayat (3), (4), (5) dan (6), Pasal 122 huruf l dan Pasal 245 ayat (1) UU MD3 dianggap para Pemohon bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3), Pasal 19 ayat (1), Pasal 20A ayat (1) dan (3), Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 karena telah merugikan dan melanggar hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon.

1. Mahkamah memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

a. Pendapat Umum UU MD3 (Paragraf [3.11]) hlm. 183 s.d 187

1) Bahwa MPR, DPR, DPD dan DPRD adalah lembaga-lembaga negara yang berkedudukan sebagai lembaga perwakilan merupakan bagian integral dari gagasan besar untuk mewujudkan negara demokrasi yang berdasar atas hukum dengan prinsip supremasi konstitusi sebagaimana diuraikan pada angka 2 di atas. Namun, meskipun sama-sama berkedudukan sebagai lembaga perwakilan, fungsinya berbeda-beda sesuai dengan kualifikasi atau karakter perwakilan yang diembannya yang kemudian melahirkan kewenangan dan tugas yang berbeda-beda pula. Oleh karena itu, pengaturan lembaga-lembaga perwakilan tersebut dalam undang-undang haruslah dipahami sebagai penegasan dan sekaligus pengejawantahan kualifikasi atau karakter perwakilan masing-masing lembaga tersebut yang diturunkan dari UUD 1945. Dengan demikian pengaturan dalam undang-undang mengenai fungsi, wewenang, maupun tugas dari masing- masing lembaga tersebut tidak boleh melampaui atau keluar dari kualifikasi atau karakter perwakilan lembaga-lembaga tersebut yang diberikan oleh UUD 1945 secara eksplisit maupun implisit.

2) Bahwa UU MD3, sebagai undang-undang yang mengatur tentang lembaga-lembaga negara yang berkedudukan sebagai lembaga perwakilan, secara hakiki haruslah dilandasi oleh semangat mendekatkan dirinya dengan pihak-pihak yang diwakili atau direpresentasikannya. Tanpa semangat itu, roh perwakilan yang seharusnya melekat pada lembaga-lembaga tersebut akan pudar, bahkan sirna, yang pada gilirannya akan menggerus legitimasinya sebagai lembaga perwakilan.

3) Bahwa UU MD3 sebagai undang-undang yang pada prinsipnya berkenaan dengan pengaturan perihal susunan dan kedudukan lembaga-lembaga perwakilan, yaitu MPR, DPR, DPD, dan DPRD, sehingga pada dasarnya seharusnya memuat norma yang berlaku secara internal dan bersifat organisatoris terhadap lembaga-lembaga tersebut. Adanya persinggungan dengan pihak-pihak eksternal memang acapkali tak terhindarkan sehingga juga harus ditegaskan dalam norma undang-undang itu. Namun, materi muatan pengaturan terhadap hal-hal yang bersifat eksternal tersebut haruslah sebatas pengaturan yang bersifat deklaratif guna menghindari kemungkinan terjadinya tumpang-tindih dengan, terlebih lagi mengambil-alih, materi muatan yang seharusnya merupakan materi muatan undang-undang lain.

b. Konstitusionalitas Pasal 73 ayat (3), (4), (5) dan (6) UU MD3 - Paragraf [3.12.1] Hlm. 188 s.d 197

1) Bahwa tindakan upaya pemanggilan paksa merupakan sebuah upaya yang secara esensi mengandung perampasan hak pribadi seseorang dan hanya dikenal dalam proses penegakan hukum yang konkretnya adalah hukum pidana yang salah satunya lembaga kepolisian mempunyai kewenangan untuk itu di samping lembaga penegak hukum lainnya, misalnya Kejaksaan dan KPK, sedangkan tindakan upaya sandera juga berada dalam proses penegakan hukum akan tetapi hampir semuanya berada dalam ranah hukum privat, kecuali yang berkaitan sandera dengan perintah hakim terhadap saksi atau ahli yang tanpa alasan yang sah menolak untuk bersumpah atau berjanji di persidangan [vide Pasal 161 ayat (1) KUHAP] yang kewenangannya bukan pada lembaga kepolisian.

2) Bahwa sebelum mempertimbangkan hal tersebut di atas, terlebih dahulu penting bagi Mahkamah untuk menjelaskan bahwa apabila ditelusuri lebih cermat, maka akan diperoleh fakta rumusan norma Pasal 73 ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) UU MD3 merupakan tindak lanjut dari rumusan norma dalam Pasal 73 ayat (1) dan ayat (2) UU MD3. Oleh karena itu memaknai rumusan norma yang ada pada Pasal 73 tersebut haruslah secara kumulatif yang berarti antara satu ayat dengan ayat yang lainnya mempunyai hubungan erat dengan konsekuensi hukum yang saling berkaitan. Dengan kata lain bahwa penjabaran yang berisi tentang teknis dari tata cara pemanggilan seseorang dalam sebuah rapat di DPR sebagaimana yang dikehendaki pada Pasal 73 ayat (1) dan ayat (2) diatur pada ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6). Dari penelusuran tersebut ditemukan fakta bahwa ternyata sepanjang masih sebatas pemanggilan seseorang untuk menghadiri suatu rapat DPR hal itu masih dalam rangka menjalankan wewenang dan tugas DPR. Akan tetapi dalam rumusan Pasal 73 ayat (1) UU MD3 tersebut tidak disebutkan secara tegas jenis rapat yang dimaksudkan dalam Pasal a quo, sehingga menurut Mahkamah tidak jelas identifikasi jenis rapat yang berkorelasi dan relevan atau tidak untuk menghadirkan seseorang dimintai keterangannya oleh DPR. Oleh karena itu dapat dimaknai seolah-olah dalam setiap kegiatan rapat, DPR dapat melakukan pemanggilan seseorang. Dalam batas penalaran yang wajar tatkala identifikasi tersebut tidak ditentukan secara jelas maka dimungkinkan untuk memanggil pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) UU MD3 untuk setiap jenis rapat yang dilakukan di DPR

3) Bahwa fenomena ini penting dikemukakan karena dari sinilah sebenarnya dapat dilakukan penelusuran tali-temalinya sejauhmana relevansinya DPR dapat menggunakan kewenangannya dalam setiap rapat untuk memanggil seseorang yang kewenangan itu kemudian dapat disubstitusikan kepada lembaga kepolisian, sehingga dapat dijadikan landasan oleh kepolisian untuk ditindaklanjuti dengan pemanggilan paksa, lebih-lebih diikuti dengan upaya penyanderaan. Terlepas dari soal apakah kewenangan pemanggilan paksa dan penyanderaan tersebut berkorelasi atau tidak dengan pelaksanaan kewenangan DPR yang memberi kemungkinan untuk memanggil setiap orang dalam setiap rapat DPR, yang lebih penting bagi Mahkamah adalah mempertimbangkan sejauhmana kewenangan DPR untuk memanggil setiap orang dalam setiap rapat yang di dalamnya melekat pula kewenangan pemanggilan paksa dan bahkan penyanderaan dimana kewenangan tersebut disubstitusikan kepada lembaga kepolisian.

4) Bahwa dengan mendasarkan pada deskripsi yang telah Mahkamah uraikan pada pertimbangan sebelumnya, di mana upaya pemanggilan paksa adalah sebuah proses yang ada dalam penegakan hukum pidana dan telah pula Mahkamah tegaskan yaitu di antaranya dalam proses penyidikan dan pemeriksaan persidangan, sedangkan upaya sandera juga merupakan proses penegakan hukum namun hampir semuanya berada dalam ranah hukum privat. Kalaupun ada tindakan sandera di dalam penegakan hukum pidana, hal demikian hingga saat ini yang sudah pasti ada pada kewenangan hakim untuk menyandera saksi atau ahli yang menolak bersumpah atau berjanji di hadapan persidangan [vide Pasal 161 ayat (1) KUHAP]. Fakta ini membuktikan bahwa adalah sulit bagi Mahkamah untuk menerima argumentasi yang dapat membenarkan bahwa DPR dapat melakukan pemanggilan paksa terhadap setiap orang dalam rapat apapun. Padahal hingga saat ini masih belum jelas apakah rapat DPR merupakan bagian dari proses penegakan hukum sehingga DPR diberi wewenang untuk melakukan panggilan paksa dan penyanderaan sekalipun hal demikian diserahkan kepada lembaga kepolisian. Penegasan demikian menjadi persoalan mendasar mengingat DPR adalah lembaga politik, bukan lembaga penegak hukum. Lebih lanjut Mahkamah mempertimbangkan bahwa sekalipun upaya pemanggilan paksa tersebut menggunakan kewenangan yang ada pada lembaga kepolisian, maka sekali lagi hal ini juga terbantahkan bahwa di samping proses rapat yang diselenggarakan DPR bukan bagian dari proses penegakan hukum, juga karena lembaga kepolisian sendiri sebagai institusi penegak hukum baru mendapatkan kewenangan untuk melakukan upaya pemanggilan paksa ketika ada laporan untuk adanya penyidikan yang menjadi kewenangan asli dari lembaga kepolisian.

5) Bahwa sebelum sampai pada kesimpulan Mahkamah tentang penilaian konstitusionalitas norma Pasal 73 ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) UU MD3, sebagaimana yang dipermasalahkan para Pemohon, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan keterangan DPR yang pada pokoknya menjelaskan bahwa konteks panggilan paksa dan sandera sudah ada sejak Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut UU 17/2014), sebelum ada perubahan yang tidak pernah dilakukan pengujian oleh Mahkamah Konstitusi. Bahkan DPR dalam keterangannya juga menjelaskan bahwa terhadap adanya ancaman panggil paksa dan sandera telah ada sejak Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut UU 22/2003) yang oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 014/PUU-I/2003 telah dinyatakan bahwa tindakan paksa badan maupun penyanderaan itu tidaklah dilakukan sendiri oleh DPR melainkan diserahkan kepada mekanisme hukum (due process of law). Kepentingan DPR hanyalah sebatas mengenai cara agar pihak-pihak yang diperlukan kehadirannya dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan DPR melalui penggunaan hak angket dapat benar-benar hadir dalam persidangan.

6) Terhadap keterangan DPR tersebut, setelah Mahkamah mencermati Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 014/PUU-I/2003, ternyata amar putusannya menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima dengan alasan bahwa para Pemohon dalam permohonan tersebut tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing) dan pertimbangan Mahkamah yang menyinggung mengenai upaya panggil paksa dan penyanderaan terbatas menjelaskan secara tekstual bunyi Pasal 30 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU 22/2003 yang pada saat itu norma dari pasal tersebut adalah menegaskan panggilan paksa dan penyanderaan dilakukan menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Boleh jadi apabila norma pasal yang mengatur tentang panggilan paksa dan penyanderaan tersebut sudah seperti yang ada pada saat ini, dimana telah secara rigid mengatur tentang tata cara pemanggilan paksa dan lembaga yang berwenang melakukan pemanggilan paksa dan penyanderaan, maka akan ditemukan beberapa kendala konstitusional sebagaimana pendapat Mahkamah yang telah diuraikan tersebut di atas. Terlebih penekanan pendapat Mahkamah dalam Putusan tersebut bahwa panggilan paksa dan penyanderaan pihak-pihak dalam persidangan DPR yang sedang melakukan fungsi pengawasan dengan hak angket. Hal ini jelas berbeda dengan norma Pasal 73 ayat (1) UU MD3 yang hakikatnya adalah pemanggilan setiap orang dalam rapat DPR tanpa ada penegasan dalam konteks rapat apa pemanggilan tersebut dilakukan. Dengan uraian pertimbangan tersebut di atas Mahkamah tidak sependapat dengan argumen keterangan DPR a quo. Begitu pula dengan keterangan DPR lainnya yang menjelaskan bahwa panggilan paksa dan penyanderaan tersebut merupakan implementasi konsep hak memanggil secara paksa seseorang yang dipandang perlu didengar keterangannya (hak subpoena) yang juga dianut oleh lembaga legislatif di beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Selandia Baru, di mana dengan alasan itu menurut DPR hak subpoena dirasa penting untuk dimiliki DPR sebagai lembaga legislatif yang mewakili rakyat untuk melakukan upaya penyelidikan terhadap suatu permasalahan yang berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, di mana penyelidikan tersebut bukan merupakan penyelidikan dalam ranah proses penegakan hukum (pro justicia) [sic!]. Terhadap argumentasi DPR tersebut Mahkamah berpendapat bahwa hak subpoena secara historis hanya diperuntukkan untuk panggilan di depan persidangan pengadilan dan itu jelas serta tegas dalam konsep penegakan hukum. Oleh sebab itu apabila kemudian DPR ingin menggunakan kewenangannya untuk memanggil setiap orang, tentunya konteksnya bukan pada rapat DPR akan tetapi yang masih mempunyai relevansi adalah ketika akan menggunakan penyelidikan dengan hak angket. Namun demikian tentang modus untuk menghadirkan setiap orang yang akan dimintai keterangan yang disertai dengan sanksi-sanksi, hal tersebut memerlukan kecermatan dan kehati-hatian mengingat mekanisme panggilan paksa dan sandera yang diatur dalam Pasal 73 ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) UU MD3 memiliki masalah konstitusionalitas, baik permasalahan mengenai status jenis-jenis rapat DPR sebagai forum yang seolah-olah bagian dari proses penegakan hukum maupun permasalahan kewenangan kepolisian yang hanya dapat memanggil seseorang sebagai saksi dalam rangka penegakan hukum. Sulitnya mengidentifikasi secara jelas apakah kewenangan panggilan paksa dan sandera sebagaimana diatur dalam Pasal 73 ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) UU MD3 adalah kewenangan DPR atau Kepolisian itulah yang menjadi dasar pertimbangan Mahkamah dalam menilai konstitusionalitas Pasal a quo. Bilamana DPR memang mempunyai kewenangan untuk itu, quod non, maka terlebih dahulu harus jelas apakah forum rapat tersebut menjadi bagian penegakan hukum atau bukan. Sebab kewenangan DPR untuk melakukan penyelidikan dalam hak angket sekalipun, harus dijernihkan terlebih dahulu apakah bagian dari proses penegakan hukum atau bukan, karena hasil penyelidikan melalui hak angket oleh DPR apabila ditemukan adanya indikasi atau dugaan tindak pidana tidak serta-merta dapat ditindaklanjuti untuk dilakukan penyidikan oleh penegak hukum karena tetap harus dilakukan penyelidikan terlebih dahulu. Sementara itu apabila kewenangan tersebut dilimpahkan kepada lembaga kepolisian, maka juga akan menimbulkan permasalahan baru sebagaimana yang telah dipertimbangkan oleh Mahkamah sebelumnya, yaitu bahwa kepolisian hanya dapat melakukan panggilan paksa dalam tindakan yang berkaitan dengan proses penegakan hukum dan merupakan bagian dari kewenangannya yang secara genuine memang kepolisian sedang melakukan proses penegakan hukum, bukan dalam konteks menerima kewenangan yang dilimpahkan dari lembaga lain yaitu DPR. Terlebih kewenangan kepolisian dalam tindakan penyanderaan, yang menurut Mahkamah hingga saat ini belum mendapatkan rujukan dasar kewenangan kepolisian untuk dapat melakukan penyanderaan dalam proses penegakan hukum.

7) Terhadap kekhawatiran DPR sebagaimana yang diuraikan dalam persidangan bahwa fungsi pengawasan adalah fungsi yang mendukung fungsi anggaran dan fungsi legislasi, yang dengan demikian diperlukan kesempatan yang terbuka bagi DPR untuk berinteraksi dengan rakyat sehingga Pasal a quo diperlukan sebagai penyeimbang untuk melawan absolutisme kekuasaan (eksekutif) yaitu dengan selalu melakukan pengawasan terhadap pemerintah serta Pasal ini penting memberi penguatan kepada lembaga Parlemen di tengah penguatan sistem presidensial akan tetapi selama ini lembaga atau orang yang dipanggil tidak menghadiri panggilan DPR tersebut, menurut Mahkamah kekhawatiran tersebut dapat dieliminir dengan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam setiap proses di DPR. Seandainya memang terdapat lembaga atau perorangan yang dengan itikad tidak baik, atau dengan sengaja tidak mendukung panggilan DPR dan hal tersebut terkategori sebagai perbuatan melanggar hukum, maka tidak terdapat hambatan apapun bagi DPR untuk melakukan langkah hukum sesuai dengan mekanisme hukum yang berlaku.

8) Mahkamah berpendapat kewenangan DPR meminta bantuan kepolisian untuk memanggil paksa setiap orang dan melakukan penyanderaan semakin jelas memiliki persoalan konstitusionalitas, sehingga kekhawatiran yang berujung pada rasa takut setiap orang akan berlakunya norma Pasal 73 ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) UU MD3 yang dapat menjauhkan hubungan kemitraan secara horizontal antara DPR dengan rakyat sebagai konstituennya dapat menjadi kenyataan. Oleh karena itu lebih jauh apabila hal ini dihubungkan dengan dalil para Pemohon sebagaimana terurai dalam permohonan a quo, maka menurut Mahkamah permohonan para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 73 ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) UU MD3 beralasan menurut hukum.

c. Konstitusionalitas Pasal 122 huruf l UU MD3 - Paragraf [3.12.2] Hlm. 197 s.d 207

1) Bahwa terkait dengan institusi MKD yang diberi tugas untuk “mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum”, hal demikian harus ditimbang dengan menjelaskan posisi atau sekaligus kedudukan MKD sebagai salah satu alat kelengkapan DPR. Dalam hal ini, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

a) Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 119 UU MD3, MKD merupakan salah satu alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap dan dibentuk untuk tujuan menjaga serta menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan. Secara universal, misalnya The Global Organization of Parliamentarians Against Corruption (GOPAC) menyatakan kode etik lembaga perwakilan atau lembaga legislatif adalah dokumen formal yang mengatur perilaku legislator dengan menetapkan apa yang dianggap sebagai perilaku yang dapat diterima dan apa yang tidak. Dengan kata lain, ini dimaksudkan untuk mempromosikan budaya politik yang sangat menekankan pada kepatutan, kebenaran, transparansi, dan kejujuran perilaku anggota parlemen. Namun, kode etik tidak dimaksudkan untuk menciptakan perilaku ini dengan sendirinya (a legislative code of conduct is a formal document which regulates the behavior of legislators by establishing what is to be considered to be an acceptable behavior and what is not. In other words, it is intended to promote a political culture which places considerable emphasis on the propriety, correctness, transparency, honesty of parliamentarians’ behavior. However, the code of conduct is not intended to create this behavior by itself). Selanjutnya ditegaskan, pada tingkat yang paling dasar, rezim etika dan perilaku harus memastikan bahwa anggota parlemen memahami dan mematuhi aturan dasar parlemen (the most basic level an ethics and conduct regime should ensure that MPs understand and adhere to the basic rules of parliament) (http://gopacnetwork.org). Sesuai dengan tujuan tersebut dan dikaitkan dengan Pasal 119 UU MD3, dalam batas penalaran yang wajar, lebih tepat untuk dikatakan bahwa pembentukan dan keberadaan alat kelengkapan DPR yang bernama MKD adalah merupakan lembaga untuk menegakkan standar perilaku/etik bagi anggota DPR.

b) Secara doktriner dan sistematis, penyusunan norma dalam Pasal 122 UU 17/2014, mulai dari tujuan sampai dengan pembentukan institusi penegak etik dinilai telah memenuhi satu kesatuan pengaturan. Namun ketika UU 17/2014 diubah menjadi UU MD3, ruang lingkup tugas MKD untuk menjaga kehormatan dan keluhuran martabat DPR diperluas sehingga mencakup tugas mengambil langkah hukum dan langkah lainnya terhadap orang perorangan dan badan hukum di luar DPR.

c) Bahwa perluasan ruang lingkup tugas MKD sebagai alat kelengkapan DPR merupakan kebijakan hukum yang tidak sejalan dengan konsep MKD sebagai lembaga penjaga dan penegak kode etik. Profesi atau pekerjaan mana pun yang mengatur standar kode etik tertentu, maka institusi yang diberi tugas menjaga dan menegakan etika dalam profesi/pekerjaan tersebut hanya memiliki kewenangan untuk menjaga etika dan perilaku anggota dan menegakkannya terhadap anggota yang melanggar kode etik. Dengan demikian, lembaga penegak kode etik yang dibentuk oleh suatu organisasi tidak dapat ditarik keluar menjangkau pihak lain. Lembaga penegak etik tetap dibatasi untuk bekerja terhadap anggota- anggotanya sendiri untuk menjaga batas demarkasi dan sekaligus untuk menjaga kepastian hukum sebagai lembaga penjaga etik internal organisasi.

d) Bahwa dalam praktik ketatanegaraan Indonesia, profesi dan lembaga- lembaga yang mengadopsi sistem etika profesi, lingkup tugas lembaga penegak etikanya hanya mencakup internal penyandang profesi. Etika profesi hakim misalnya, hanya diterapkan dan berlaku bagi hakim, etika profesi advokat juga hanya berlaku dan diterapkan bagi advokat. Begitu juga dengan profesi lainnya, etika yang disepakati hanya berlaku secara internal masing-masing profesi itu saja. Adapun pihak eksternal sama sekali tidak terikat dan tidak dapat dituntut berdasarkan norma etika oleh lembaga yang dibentuk untuk menegakkan kemungkinan terjadinya pelanggaran etik dalam organisasi profesi yang bersangkutan.

e) Bahwa adanya pembatasan ruang lingkup tugas lembaga penjaga dan penegak etika profesi adalah untuk memastikan bahwa tugas-tugas lembaga tersebut tidak berbenturan dengan tugas-tugas lembaga lainnya dalam penegakan hukum. Dalam konteks ini, bilamana terdapat pihak- pihak lain di luar penyandang profesi tertentu yang dianggap merusak kehormatan atau keluhuran profesi atau pekerjaan tertentu, maka terhadapnya tidak berlaku ketentuan etika yang menjadi kewenangan lembaga penegakan kode etik untuk menjalankannya, melainkan menjadi tugas lembaga penegak hukum menindaklanjutinya. Apabila tugas lembaga penjaga dan penegakan kehormatan lembaga tersebut diperluas hingga mencakup orang perorangan atau badan hukum yang berada di luar institusi tersebut, hal itu akan menyebabkan terjadinya tumpang tindih pemberlakuan norma dan tumpang tindih lembaga yang berwenang untuk menegakkannya. Sebab, dengan rumusan sebagaimana tertuang dalam Pasal 122 huruf l UU MD3 frasa “mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain ...” dapat ditafsirkan bahwa MKD melakukan langkah hukum terhadap pihak eksternal yang dianggap merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR, sehingga seolah-olah mengambil alih kewenangan penegak hukum. Penafsiran demikian bukan hanya telah keluar dari hakikat MKD sebagai lembaga penegak etik yang ditujukan bagi anggota DPR, tetapi juga menimbulkan pemahaman MKD menjadi lembaga penegak hukum itu sendiri.

2) Bahwa melalui Pasal 122 huruf l UU MD3, kepada MKD diserahi tugas untuk mengambil langkah hukum dan/atau langkah lainnya terhadap orang perorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang dinilai merendahkan martabat DPR dan anggota DPR. Terhadap hal ini Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut:

a) Bahwa sejalan dengan kedudukan MKD sebagai lembaga internal DPR yang dibentuk untuk menjaga dan menegakkan keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan, MKD bukanlah alat kelengkapan yang dimaksudkan sebagai tameng DPR untuk mengambil langkah hukum terhadap orang perorangan yang dinilai telah merendahkan martabat DPR atau anggota DPR. Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa MKD adalah lembaga penegak etik terhadap anggota DPR. Dengan menempatkan MKD sebagai alat kelengkapan yang akan mengambil langkah hukum terhadap orang perorangan atas tindakan yang dinilai merendahkan martabat DPR, maka hal itu tidak lagi sesuai atau sejalan dengan kedudukan MKD sebagai penjaga dan penegak etika kehormatan dan keluhuran martabat DPR. Sebab, hakikat sebuah lembaga penjaga martabat dan kehormatan atau lembaga etik institusi lembaga perwakilan bukanlah untuk pihak eksternal, melainkan untuk menjaga kehormatan institusi dari ancaman kerusakan internal. Dengan kata lain, fungsi MKD hanya terbatas pada wilayah penegakan etik dan tidak dapat dicampur- aduk dengan fungsi penegakan hukum, sebab bilamana DPR dan anggota DPR merasa direndahkan kehormatannya dan hendak mengambil langkah hukum maka secara personal atau kelembagaan tersebutlah yang secara genuine mempunyai hak untuk mengambil langkah hukum, misalnya dengan melaporkan kepada penegak hukum dan/atau mengajukan gugatan secara keperdataan.

b) Bahwa runtuh atau rusaknya martabat dan kehormatan suatu institusi sangat mungkin disebabkan oleh faktor internal maupun eksternal. Segala perbuatan/tindakan yang bertujuan untuk merusak martabat dan kehormatan suatu institusi dari pihak luar sesungguhnya telah tersedia norma hukum berikut mekanisme penegakannya, sedangkan untuk mengantisipasi kerusakan yang muncul dari internal, hal inilah yang membutuhkan peran institusi internal yang dibentuk untuk itu. Dalam konteks ini, MKD sebagai salah satu alat kelengkapan DPR adalah dibentuk dengan tujuan pokoknya menjaga martabat dan kehormatan DPR yang disebabkan dari internal DPR. Oleh karena itu, penambahan tugas MKD hingga dapat mengambil langkah hukum bagi pihak di luar anggota DPR dan pihak di luar sistem pendukung DPR yang dinilai telah merendahkan martabat DPR jelas tidak sesuai dengan fungsi pokok MKD sebagai penjaga dan penegak etik DPR dan anggota DPR. Selain itu, penambahan tugas MKD yang demikian dapat menimbulkan rasa takut bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam turut serta mencegah terjadinya pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota DPR.

c) Bahwa lebih jauh, pemberian tugas untuk mengambil langkah-langkah hukum/langkah lainnya pada MKD dapat menimbulkan ketidakpastian hukum bagi anggota DPR untuk menempuh upaya serupa apabila yang bersangkutan merasa dan menilai martabat dirinya telah dilanggar oleh pihak luar atau pihak eksternal. Dalam hal ini, tugas yang diberikan kepada MKD melalui Pasal 122 huruf l UU MD3 dapat menimbulkan dua kemungkinan, yaitu pertama, tugas MKD tersebut menyebabkan setiap tindakan yang merendahkan martabat DPR hanya dapat diproses melalui langkah-langkah yang diambil MKD, sementara anggota DPR yang bersangkutan, karena jabatan yang diembannya seolah-olah kehilangan kesempatan untuk menempuh langkah secara perorangan; kedua, tugas MKD dalam Pasal 122 huruf l UU MD3 menyebabkan terjadinya dualisme, di mana pada satu sisi, seorang anggota DPR menjadi sangat tergantung dari upaya yang dilakukan MKD, sementara di sisi lain, karena proses politik di internal, anggota DPR yang merasa dirugikan oleh tindakan yang dinilai merugikan martabatnya sebagai anggota DPR kehilangan kesempatan melakukan upaya, termasuk mengambil langkah hukum, karena misalnya proses politik di DPR yang tidak berpihak pada anggota yang merasa dirugikan tersebut. Terbukanya dua kemungkinan dalam implementasi Pasal 122 huruf l UU MD3, pada satu sisi, menunjukkan bahwa pemberian tugas kepada MKD dalam norma tersebut justru menimbulkan masalah tersendiri bagi anggota DPR karena seolah-olah menjadi kehilangan kemandirian untuk dapat mengambil langkah hukum maupun tidak terhadap tindakan yang dinilai merendahkan martabat mereka sebagai anggota DPR. Sementara di sisi lain, norma dalam pasal a quo potensial menimbulkan rasa takut bagi masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam mengawasi perilaku anggota DPR.

d) Bahwa sementara itu, dari konstruksi perumusan norma, apabila suatu perbuatan hendak diatur sebagai perbuatan yang dilarang dan terhadapnya dapat dikenakan sanksi hukum, maka norma hukum yang mengatur perbuatan tersebut harus memenuhi syarat kejelasan rumusan atau sesuai dengan prinsip lex stricta dan lex certa. Dalam arti, harus jelas dan tidak multitafsir. Ketika suatu jenis atau bentuk perbuatan tertentu hendak dilarang dan disertai ancaman sanksi hukum, maka bentuk perbuatan itu harus jelas dan tidak membuka ruang untuk ditafsirkan secara beragam sesuai kehendak pihak-pihak yang akan menerapkan atau menggunakannya terutama jika menimbulkan konsekuensi pidana.

e) Bahwa dengan menelaah secara seksama rumusan Pasal 122 huruf l UU MD3, khususnya frasa “merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR”, hal itu dirumuskan dengan norma yang sangat umum, tidak jelas dan multitafsir. Frasa “merendahkan kehormatan” sangat fleksibel untuk dimaknai dalam bentuk apapun. Bahkan bila ditelisik rumusan norma tersebut, tidak terdapat penjelasan yang memberikan ukuran dan batasan mengenai ihwal apa saja dari perbuatan atau perkataan yang dapat dikategorikan sebagai telah merendahkan kehormatan DPR.

f) Bahwa multitafsirnya rumusan norma tersebut dapat menjadi lebih merugikan bagi pihak eksternal jika disertai penafsiran yang terkait dengan fungsi penindakan yang dimiliki oleh MKD sebagaimana diatur dalam Pasal 121A huruf b UU MD3. Maksudnya, fungsi penindakan dalam pasal a quo yang sesungguhnya ditujukan terhadap anggota DPR yang melanggar etik potensial untuk ditafsirkan juga berlaku bagi pihak luar yang dinilai merendahkan martabat dan kehormatan DPR atau anggota DPR. Dengan kata lain, hal demikian akan membuka ruang terjadinya kesewenang-wenangan dalam penegakannya. MKD akan dengan leluasa menafsirkan perbuatan dan perkataan apa saja yang dinilai sebagai telah merendahkan martabat DPR dan anggota DPR, sehingga dapat mengancam hak konstitusional warga negara untuk menyampaikan kritik, pendapat, dan aspirasinya kepada DPR sebagai lembaga perwakilan. Adanya penafsiran yang mengandung potensi ancaman demikian bertentangan dengan hak setiap warga negara untuk mendapatkan kepastian hukum dari setiap regulasi yang diberlakukan bagi mereka dalam berhubungan dengan DPR.

g) Bahwa persoalan konstitusional lain yang tidak kalah mendasarnya dalam perumusan Pasal 122 huruf l UU MD3 adalah berkaitan dengan frasa “mengambil langkah hukum”. Apakah dengan frasa tersebut berarti MKD akan melakukan langkah hukum dengan menindaklanjuti sendiri semua tindakan atau ucapan masyarakat yang dinilai merendahkan martabat anggota DPR dan institusi DPR, atau MKD akan melaporkan kepada institusi penegak hukum. Secara normatif, tidak terdapat penjelasan yang pasti berkenaan dengan hal ini, dan bahkan Penjelasan Pasal 122 UU MD3 yang seharusnya dapat dijadikan pegangan sebagai penafsiran otentik pembentuk undang-undang hanya menyatakan “Cukup jelas”. Dalam hal ini, sekalipun DPR dalam keterangan yang pada pokoknya menyatakan bahwa frasa “mengambil langkah hukum” tersebut mengarah kepada fungsi hukum pidana yang dilaksanakan oleh penegak hukum, namun penjelasan demikian tidak cukup kuat karena secara normatif tidak ditemukan dalam penjelasan undang-undang sebagai penafsiran otentik pembentuk undang-undang. Bahkan, dalam pembahasan perumusan norma a quo yang sebagian risalahnya dilampirkan oleh DPR kepada Mahkamah pun tidak ditemukan adanya keterangan yang secara eksplisit menyatakan bahwa frasa “mengambil langkah hukum” tersebut adalah mengarah kepada fungsi hukum pidana yang dilaksanakan oleh penegak hukum.

h) Bahwa makna dari Pasal 122 huruf l UU MD3 tersebut dapat menimbulkan ketidakpastian hukum karena rumusan norma demikian dapat dipahami bahwa MKD dapat menjadi sebuah lembaga yang mengambil alih fungsi- fungsi penegakan hukum yang bukan menjadi domain lembaga MKD sehingga dikhawatirkan terjadi penyelundupan fungsi penegakan hukum sebagaimana yang terjadi terhadap Pasal 73 ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) UU MD3 yang telah dipertimbangkan sebelumnya. Terlebih lagi, apabila dicermati konstruksi rumusan norma Pasal 122 huruf l UU MD3 tersebut lebih mengedepankan langkah hukum daripada langkah lain. Dengan demikian, secara sistematis, seolah-olah langkah lain tersebut justru menjadi pilihan terakhir apabila langkah hukum tidak dapat dilakukan atau menemui kendala.

3) Bahwa selain alasan-alasan hukum yang didasarkan pada unsur-unsur rumusan norma Pasal 122 huruf l UU MD3, perubahan Pasal 122 UU MD3 dari rumusan yang terdapat dalam Pasal 122 UU 17/2014 menjadi rumusan dalam Pasal 122 UU MD3 tidak saja menggeser peran MKD dari awalnya sebagai lembaga penegak etik internal menjadi juga mencakup pihak eksternal, melainkan juga telah menyebabkan bergesernya subjek utama yang diatur sebagai pihak yang bertindak sebagai pelanggar etik DPR yang menyebabkan kehormatan DPR menjadi berkurang, yaitu anggota-anggota DPR. Dalam hal ini, Pasal 122 UU MD3 secara keseluruhan tidak lagi menjadikan anggota DPR sebagai subjek utama yang diatur, melainkan juga memasukkan pihak-pihak di luar DPR yang sama sekali tidak dapat dituntut oleh institusi yang keberadaan dan kedudukannya hanya untuk melaksanakan fungsi-fungsi DPR sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Bahkan, norma tersebut menempatkan orang perorangan atau badan hukum sebagai pihak yang dianggap juga dapat ikut merendahkan kehormatan dan martabat DPR. Padahal, sesuai Pasal 125 UU MD3, perorangan dan badan hukum adalah subjek hukum yang ikut membantu MKD dalam menjaga kehormatan DPR melalui pengaduan yang disampaikan kepada MKD. Dengan demikian, pergeseran peran MKD melalui perubahan Pasal 122 huruf l UU MD3 justru menimbulkan ketidaksinkronan antarnorma UU MD3, khusus materi muatan terkait MKD sehingga bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu, apabila hal demikian dihubungkan dengan sebagian yang dikemukakan oleh para Pemohon sebagaimana diuraikan dalam permohonan a quo, menurut Mahkamah permohonan para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 122 huruf l UU MD3 beralasan menurut hukum.

d. Konstitusionalitas Pasal 245 ayat (1) UU MD3 - Paragraf [3.12.3] Hlm. 207 s.d 219

1) Jika dihubungkan dengan Pasal 245 ayat (1) UU MD3, logika yang secara umum terkandung dalam rumusan Pasal 224 UU MD3 adalah bahwa hak imunitas seorang anggota DPR, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20A ayat (3) UUD 1945, benar-benar dijamin secara kuat. Selama pernyataan, pertanyaan, pendapat, sikap, tindakan, atau kegiatan seorang anggota DPR berkait dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR atau semata-mata merupakan hak dan kewenangan konstitusional DPR dan/atau anggota DPR, maka oleh undang-undang a quo hal itu bukan hanya dikesampingkan dari kemungkinan lahirnya tuntutan hukum tetapi juga dikesampingkan dari kemungkinan pergantian antarwaktu. Pertanyaannya kemudian, jika hak imunitas anggota DPR telah dijamin sedemikian kuat dalam undang-undang a quo, sebagaimana tampak dari analisis terhadap Pasal 224 UU MD3 di atas, apakah masih dibutuhkan keberadaan Pasal 245 ayat (1) UU MD3.

2) Bahwa Pasal 245 ayat (1) UU MD3 adalah perubahan dari Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang sebelumnya, yaitu UU 17/2014, yang menyatakan, “Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan.” Terhadap Pasal 245 ayat (1) UU 17/2014 tersebut telah dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya kepada Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi telah menyatakan pendiriannya sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-XII/2014. Meskipun dalam Putusan tersebut Mahkamah menegaskan pentingnya perlindungan hukum yang memadai dan proporsional bagi anggota DPR dalam melaksanakan hak-hak konstitusionalnya, yaitu perlunya persetujuan tertulis Presiden, bukan persetujuan tertulis Mahkamah Kehormatan Dewan, dalam hal seorang anggota DPR dipanggil dan dimintai keterangan berkait dengan suatu tindak pidana.

3) Berdasarkan pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-XII/2014 tersebut beberapa hal penting telah menjadi jelas, di antaranya:

a) Pertama, bahwa dalam melaksanakan hak-hak konstitusionalnya sebagai anggota DPR atau dalam melaksanakan fungsi-fungsi konstitusional kelembagaan DPR, anggota DPR tidak boleh dikriminalkan dan karena itu dibutuhkan perlindungan hukum yang memadai dan proporsional;

b) Kedua, bahwa perwujudan perlindungan hukum yang memadai dan proporsional itu ialah dalam hal seorang anggota DPR akan dipanggil dan dimintai keterangan dalam rangka penyidikan karena dugaan melakukan tindak pidana maka dibutuhkan persetujuan tertulis dari Presiden;

c) Ketiga, bahwa Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) tidak ada relevansinya dan tidak tepat dilibatkan dalam bentuk pemberian persetujuan tertulis terlebih dahulu dalam hal seorang anggota DPR dipanggil dan dimintai keterangan dalam rangka penyidikan karena dugaan melakukan tindak pidana karena MKD adalah lembaga etik yang keanggotaannya berasal dari dan oleh anggota DPR sehingga ada konflik kepentingan;

d) Keempat, secara a contrario, syarat persetujuan tertulis dari Presiden hanya berlaku atau dibutuhkan jika seorang anggota DPR dipanggil dan dimintai keterangan dalam rangka penyidikan jika yang bersangkutan diduga melakukan suatu tindak pidana, sehingga terhadap hal-hal lain di luar itu tidak dibutuhkan persetujuan tertulis dari Presiden.

4) Bahwa substansi dan pengertian yang terkandung dalam Pasal 245 ayat (1) UU MD3 sangat berbeda dengan Pasal 245 ayat (1) UU 17/2014 sebagaimana telah diputus konstitusionalitasnya berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-XII/2014 di atas.

5) Bahwa secara kontekstual, maksud pembentuk undang-undang merumuskan norma sebagaimana termuat dalam Pasal 245 UU MD3 adalah dalam konteks pemenuhan hak imunitas anggota DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20A ayat (3) UUD 1945. Dalam kaitan ini, meskipun secara tersirat telah disinggung dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-XII/2014, penting ditegaskan bahwa pemberian hak imunitas terhadap anggota DPR sebagai hak konstitusional bukanlah dimaksudkan melindungi anggota DPR yang melakukan tindak pidana dan membebaskannya dari tuntutan pidana melainkan semata-mata agar anggota DPR dalam melaksanakan hak, fungsi, maupun tugas konstitusionalnya tidak mudah dikriminalkan. Namun, dengan rumusan yang tertuang dalam Pasal 245 UU MD3 yang mengandung substansi dan pengertian sebagaimana diuraikan pada angka 3 di atas, pemberian hak imunitas sebagai hak konstitusional anggota DPR menjadi keluar dari filosofi dan hakikatnya sebab dengan rumusan demikian berarti:

a) hak imunitas tersebut juga mencakup atau berlaku terhadap bukan hanya jika seorang anggota DPR dipanggil dan dimintai keterangan dalam kerangka proses penyidikan sebagai tersangka suatu tindak pidana melainkan juga tatkala seorang anggota DPR dipanggil dan diminta keterangan untuk hal yang lainnya;

b) hak imunitas tersebut bukan hanya berlaku untuk proses penyidikan melainkan untuk semua proses dalam sistem peradilan pidana;

c) hak imunitas itu diejawantahkan bukan terutama oleh diharuskannya persetujuan tertulis dari Presiden terlebih dahulu untuk dapat memanggil dan meminta keterangan seorang anggota DPR (meski hanya sekadar sebagai saksi) dalam suatu tindak pidana melainkan diejawantahkan oleh keharusan adanya pertimbangan MKD. Dengan kata lain, tanpa adanya pertimbangan MKD, persetujuan tertulis dari Presiden tidak dapat dikeluarkan.

6) Konstruksi pengertian yang terbangun dari penafsiran tekstual terhadap Pasal 245 ayat (1) UU MD3 tersebut bukan hanya telah bertentangan dengan dasar pemikiran yang melandasinya, yakni sebagai pengejawantahan hak imunitas anggota DPR yang diturunkan dari Pasal 20A ayat (3) UUD 1945, melainkan juga:

a) bertentangan dengan fungsi MKD, sebagaimana diatur dalam Pasal 121A UU MD3 yang sama sekali tidak ada menyiratkan adanya fungsi demikian. Pasal 121A UU MD3 menyatakan,
Mahkamah Kehormatan Dewan melaksanakan fungsi:
a. pencegahan dan pengawasan; dan
b. penindakan.

b) bertentangan dengan tugas MKD, sebagaimana diatur dalam Pasal 122 UU MD3 yang sama sekali tidak menyebutkan adanya tugas demikian meskipun hanya secara implisit. Pasal 122 UU MD3 menyatakan:
Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121A, Mahkamah Kehormatan Dewan bertugas:
a. melakukan pencegahan terjadinya pelanggaran Kode Etik;
b. melakukan pengawasan terhadap ucapan, sikap, perilaku, dan tindakan anggota DPR;
c. melakukan pengawasan terhadap ucapan, sikap, perilaku, dan tindakan sistem pendukung DPR yang berkaitan dengan tugas dan wewenang anggota DPR;
d. melakukan pemantapan nilai dan norma yang terkandung dalam Pancasila, peraturan perundang-undangan, dan Kode Etik;
e. melakukan penyelidikan perkara pelanggaran Kode Etik;
f. melakukan penyelidikan perkara pelanggaran Kode Etik sistem pendukung yang berkaitan dengan pelanggaran Kode Etik yang dilakukan sistem pendukung DPR;
g. memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran Kode Etik;
h. memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran Kode Etik sistem pendukung yang berkaitan dengan Pelanggaran Kode Etik sistem pendukung DPR, terkecuali sistem pendukung Pegawai Negeri Sipil;
i. menyelenggarakan administrasi perkara pelanggaran Kode Etik;
j. melakukan peninjauan kembali terhadap putusan perkara pelanggaran Kode Etik;
k. mengevaluasi pelaksanaan putusan perkara pelanggaran Kode Etik;
l. mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR;
m. mengajukan rancangan peraturan DPR mengenai kode etik dan tata beracara Mahkamah Kehormatan Dewan kepada Pimpinan DPR dan Pimpinan DPR selanjutnya menugaskan kepada alat kelengkapan DPR yang bertugas menyusun peraturan DPR; dan
n. menyusun rencana kerja dan anggaran setiap tahun sesuai dengan kebutuhan yang selanjutnya disampaikan kepada badan/panitia yang menyelenggarakan urusan rumah tangga DPR.

c) bertentangan dengan kewenangan MKD, sebagaimana diatur dalam Pasal 122A UU MD3 yang juga sama sekali tidak menyebutkan adanya kewenangan demikian meskipun hanya secara implisit. Pasal 122A UU MD3 menyatakan:
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122, Mahkamah Kehormatan Dewan berwenang:
a. melakukan kegiatan surat menyurat di internal DPR;
b. memberikan imbauan kepada anggota DPR untuk mematuhi Kode Etik;
c. memberikan imbauan kepada sistem pendukung DPR untuk mematuhi Kode Etik sistem pendukung DPR;
d. melakukan kerja sama dengan lembaga lain untuk mengawasi ucapan, sikap, perilaku, dan tindakan anggota DPR; e. menyelenggarakan sosialisasi peraturan DPR mengenai kode etik DPR;
e. menyelenggarakan sosialisasi peraturan DPR mengenai kode etik sistem pendukung DPR;
f. meminta data dan informasi dari lembaga lain dalam rangka penyelesaian perkara pelanggaran kode etik DPR dan sistem pendukung DPR;
g. memanggil pihak terkait dalam rangka penyelesaian perkara pelanggaran kode etik DPR;
h. memanggil pihak terkait dalam rangka penyelesaian perkara pelanggaran kode etik sistem pendukung DPR;
i. memeriksa dan memutus perkara pelanggaran kode etik DPR;
j. memeriksa dan memutus perkara pelanggaran kode etik sistem pendukung DPR;
k. menghentikan penyelidikan perkara pelanggaran kode etik DPR;
l. menghentikan penyelidikan perkara pelanggaran kode etik sistem pendukung DPR;
m. memutus perkara peninjauan kembali terhadap putusan pelanggaran kode etik DPR dan pelanggaran kode etik sistem pendukung DPR; dan
n. memberikan rekomendasi kepada pimpinan aparatur sipil negara terkait pelanggaran Kode Etik sistem pendukung yang berkaitan dengan pelanggaran Kode Etik anggota DPR.

7) Dengan konstruksi rumusan norma sebagaimana tertuang dalam Pasal 245 ayat (1) UU MD3, telah terang bagi Mahkamah bahwa Pasal 245 ayat (1) UU MD3 bertentangan dengan UUD 1945 karena kontradiktif dengan filosofi dan hakikat pemberian hak imunitas anggota DPR yang secara kontekstual seharusnya menjadi dasar pemikiran atau latar belakang pembentukan MKD.

8) Meskipun Mahkamah sependapat dengan para Pemohon sehingga permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian yaitu bahwa norma yang terkandung dalam Pasal 245 ayat (1) UU MD3 bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat, tetapi Mahkamah memiliki pendapat dan pertimbangan sendiri selain apa yang menjadi argumentasi dalam sebagian posita dan sebagian petitum permohonan para Pemohon, namun demikian menurut Mahkamah hal tersebut sejalan dengan semangat atau hakikat yang dimohonkan oleh para Pemohon yang esensinya adalah bahwa syarat adanya pertimbangan MKD terlebih dahulu untuk memanggil anggota DPR dapat menjadi penghambat bahkan meniadakan syarat adanya persetujuan tertulis dari Presiden sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-XII/2014, sehingga terhadap persoalan inkonstitusionalitas norma Pasal 245 ayat (1) UU MD3, Mahkamah akan menjatuhkan putusan yang dipandang lebih tepat sebagaimana termuat dalam amar putusan ini.

2. Bahwa dalam Amar Putusan, Mahkamah Konstitusi menyatakan sebagai berikut:
1) Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
2) Pasal 73 ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6187) bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
3) Pasal 122 huruf l Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6187) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
4) Frasa “Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden” dalam Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6187) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai dalam konteks semata-mata pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang diduga melakukan tindak pidana; sementara itu, frasa “setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan” dalam Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6187) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6187) selengkapnya menjadi:
“Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden.”
5) Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia;
6) Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.

3. Bahwa terhadap Putusan MK dalam Perkara Nomor 16/PUU-XVI/2018 sebagaimana diuraikan di atas, berdasarkan Pasal 10 ayat (1) huruf d, Pasal 10 ayat (2), dan Pasal 23 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan saran sebagai berikut:
1) Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 16/PUU-XVI/2018 sebagai bahan dalam penyusunan Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka.
2) Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 16/PUU-XVI/2018 sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan UU MD3.

Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka Mahkamah Konstitusi dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan langsung dilaksanakan (self-executing). Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 16/PUU-XVI/2018 mengenai materi muatan pasal/ayat dalam UU MD3 yang dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan Perubahan UU MD3.

INFO JUDICIAL REVIEW PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 68/PUU-XV/2017 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG- UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK / 23-05-2018

1. Bahwa pada hari Rabu, tanggal 23 Mei 2018, Pukul 09.44 WIB, Mahkamah Konstitusi telah memutuskan Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU 11/2012) dalam Perkara Nomor 68/PUU-XV/2017. Dalam sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 68/PUU-XV/2017, perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

2. Bahwa permohonan pengujian materiil UU 11/2012 dalam Perkara Nomor 68/PUU-XV/2017 diajukan oleh 6 orang jaksa yaitu Dr. Noor Rochmad, S.H., M.H., Setia Untung Arimuladi, S.H., M.H., Febrie Ardiansyah, S.H., M.H., Narendra Jatna, S.H., LL.M., Dr. Reda Manthovani, S.H., M.H., LL.M, S.Kom., Dr. Yudi Kristiana S.H., M.H., yang dikuasakan kepada Ichsan Zikry, S.H. dan kawan-kawan.

3. Bahwa Pemohon dalam permohonannya mengajukan pengujian materiil atas Pasal 99 UU 11/2012, yang berketentuan sebagai berikut:

“Penuntut Umum yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun”.

4. Bahwa Pasal 99 UU 11/2012 dianggap Para Pemohon bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 karena telah merugikan dan melanggar hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon.

1. Bahwa pokok permasalahan konstitusional yang dipersoalkan oleh Para Pemohon adalah apakah Pasal 99 UU 11/2012 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.

a. Bahwa Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana [vide Pasal 1 angka 1 UU SPPA]. Dalam SPPA, penuntut umum merupakan salah satu pejabat khusus dalam proses SPPA. Pasal 99 UU 11/2012 mengatur mengenai ancaman pidana bagi penuntut umum apabila dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban mengeluarkan anak dari tahapan setelah dilakukan perpanjangan waktu penahanan. Terhadap ancaman pidana tersebut, Mahkamah, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 110/PUU-X/2012, bertanggal 28 Maret 2013, memberikan pertimbangan sebagai berikut:

[3.18] Menimbang bahwa Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 UU 11/2012 yang menentukan ancaman pidana kepada pejabat khusus dalam penyelenggaraan SPPA, yaitu hakim, pejabat pengadilan, penyidik, dan penuntut umum, menurut Mahkamah, bukan saja tidak merumuskan ketentuan-ketentuan konstitusional mengenai kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan independensi pejabat khusus yang terkait (hakim, penuntut umum, dan penyidik anak), yakni memberikan jaminan hukum bagi penyelenggaraan peradilan yang merdeka, tetapi lebih dari itu juga telah melakukan kriminalisasi terhadap pelanggaran administratif dalam penyelenggaraan SPPA yang tentu memberikan dampak negatif terhadap pejabat-pejabat khusus yang menyelenggarakan SPPA. Dampak negatif tersebut adalah dampak psikologis yang tidak perlu, yakni berupa ketakutan dan kekhawatiran dalam penyelenggaraan tugas dalam mengadili suatu perkara. Hal demikian menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan yang berarti bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan kontra produktif dengan maksud untuk menyelenggarakan SPPA dengan diversinya secara efektif dan efisien dalam rangka keadilan restoratif;

b. Bahwa setelah memeriksa secara cermat norma undang- undang yang dimohonkan para Pemohon a quo ternyata merupakan satu kesatuan yang saling berkorelasi yang tidak dapat dipisahkan dengan norma undang- undang yang telah diputuskan oleh Mahkamah sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 110/PUU-X/2012, bertanggal 28 Maret 2013, yang merupakan satu kesatuan dalam SPPA yang di dalamnya mengandung adanya sifat khusus dari keseluruhan proses dalam penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai tahap pembimbingan setelah menjalani pindana [vide Pasal 1 angka 1 UU SPPA]. Oleh karena itu dengan pertimbangan sebagaimana tersebut di atas tidaklah tepat bagi Mahkamah apabila memperlakukan pejabat yang terlibat dalam proses SPPA tersebut, termasuk dalam tindakan yang berkaitan dengan penahanan dalam perkara anak dalam hal ini jaksa/penuntut umum, dibedakan perlakuannya dengan hakim. Pertimbangan Mahkamah tersebut tidak terlepas dari pertimbangan yang didasarkan pada keharusan adanya sinergitas seluruh komponen penegak hukum yang tergabung dalam SPPA yang mempunyai sifat khusus, akan tetapi bukan berarti Mahkamah membenarkan alasan independensi dalam pengertian yang universal di dalam menerima dalil-dalil para Pemohon a quo. Dengan demikian penting ditegaskan bahwa sekalipun Mahkamah telah menyatakan pasal yang dimohonkan para Pemohon a quo inkonstitusional, hal itu tidak berarti memperbolehkan pejabat yang melakukan tugas untuk mengeluarkan tahanan anak dari RUTAN melanggar batas waktu yang telah ditentukan, sebab hal demikian sama halnya dengan sengaja merampas kemerdekaan seseorang. Dengan kata lain, kesengajaan tidak mengeluarkan tahanan anak pada waktunya tidak menghilangkan hak setiap orang yang dirugikan atas adanya tindakan yang disengaja oleh setiap pejabat termasuk di dalamnya penegak hukum atas adanya perampasan kemerdekaan untuk dapat mempersoalkan secara hukum tindakan tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 333 ayat (1) KUHP yang menyatakan, “Barang siapa dengan sengaja dan dengan melawan hukum merampas kemerdekaan seseorang, atau meneruskan perampasan kemerdekaan yang demikian, diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun”;

c. Keempat, bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum;

2. Bahwa dalam Amar Putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan sebagai berikut:
1) Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya.
2) Menyatakan Pasal 99 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5332) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
3) Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia.

3. Bahwa terhadap Putusan MK dalam Perkara Nomor 68/PUU-XV/2017 sebagaimana diuraikan di atas, berdasarkan Pasal 10 ayat (1) huruf d, Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 23 ayat (1) huruf b UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan saran sebagai berikut:

1) Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 68/PUU-XV/2017 sebagai bahan dalam penyusunan Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka.
2) Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 68/PUU-XV/2017 sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan UU 11/2012.

Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka Mahkamah Konstitusi dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan langsung dilaksanakan (self-executing). Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 68/PUU-XV/2017 mengenai materi muatan pasal/ayat dalam UU 11/2012 yang dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan Perubahan UU 11/2012.

INFO JUDICIAL REVIEW PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 10/PUU-XV/2017 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN DAN UNDANG- UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2013 TENTANG PENDIDIKAN KEDOKTERAN / 26-04-2018

1. Bahwa pada hari Kamis, tanggal 26 April 2018, Pukul 14.46 WIB, Mahkamah Konstitusi telah selesai menggelar Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran (UU Praktik Kedokteran) dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 Tentang Pendidikan Kedokteran (UU Pendidikan Kedokteran) dalam Perkara Nomor 10/PUU-XV/2017. Dalam sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 10/PUU-XV/2017, perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

2. Bahwa permohonan pengujian materiil UU Praktik Kedokteran Dan UU Pendidikan Kedokteran dalam Perkara Nomor 10/PUU-XV/2017 diajukan oleh 32 orang dokter spesialis yaitu Dr. dr. Judilherry Justam, MM, ME, PKK dan kawan-kawan (dkk), yang dikuasakan kepada Dr. A. Muhammad Asrun, S.H., M.H., dkk.

3. Bahwa Pemohon dalam permohonannya mengajukan pengujian materiil atas Pasal 1 angka 4, angka 12, angka 13, Pasal 14 ayat (1) huruf (a), Pasal 29 ayat (3) huruf d dan Pasal 38 ayat (1) huruf (c) UU Praktik Kedokteran dan Pasal 1 angka 20, Pasal 5 ayat (2), Pasal 7 ayat (8), Pasal 8 ayat (4), Pasal 11 ayat (1), Pasal 24 ayat (1), Pasal 36 ayat (2), Pasal 36 ayat (3), dan Pasal 39 ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran yang berketentuan sebagai berikut:

Pasal 1 angka (4) UU Praktik Kedokteran

“Sertifikat kompetensi adalah surat tanda pengakuan terhadap kemampuan seorang dokter atau dokter gigi untuk menjalankan praktik kedokteran di seluruh Indonesia setelah lulus uji kompetensi.”



Pasal 1 angka (12) UU Praktik Kedokteran

“Organisasi profesi adalah Ikatan Dokter Indonesia untuk dokter dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia untuk dokter gigi.”

Pasal 1 angka (13) UU Praktik Kedokteran

“Kolegium kedokteran Indonesia dan kolegium kedokteran gigi Indonesia adalah badan yang dibentuk oleh organisasi profesi untuk masing-masing cabang disiplin ilmu yang bertugas mengampu cabang disiplin ilmu tersebut.”

Pasal 14 ayat (1) huruf a UU Praktik Kedokteran
Jumlah anggota Konsil Kedokteran Indonesia 17 (tujuh belas) orang yang terdiri atas unsur-unsur yang berasal dari : “organisasi profesi kedokteran 2 (dua) orang”

Pasal 29 ayat (3) huruf d UU Praktik Kedokteran
“Untuk memperoleh data registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi harus memenuhi persyaratan: d. memiliki sertifikat kompetensi.”

Pasal 38 ayat (1) huruf c UU Praktik Kedokteran
Untuk mendapatkan surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, dokter atau dokter gigi harus :“memiliki rekomendasi dari organisasi profesi.”

Pasal 1 angka 20 UU Pendidikan Kedokteran
“Organisasi profesi adalah organisasi yang memiliki kompetensi di bidang kedokteran atau kedokteran gigi yang diakui oleh Pemerintah.”

Pasal 5 ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran
“Perguruan Tinggi dalam menyelenggarakan Pendidikan Kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkerja sama dengan Rumah Sakit Pendidikan dan Wahana Pendidikan Kedokteran serta berkoordinasi dengan Organisasi Profesi.”

Pasal 7 ayat (8) UU Pendidikan Kedokteran
“Program internsip sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diselenggarakan secara nasional bersama oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan, kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan, asosiasi institusi pendidikan kedokteran, asosiasi rumah sakit pendidikan, Organisasi Profesi, dan konsil kedokteran Indonesia.”

Pasal 8 ayat (4) UU Pendidikan Kedokteran
“Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi dalam menyelenggarakan program dokter layanan primer, dokter spesialis-subspesialis, dan dokter gigi spesialis-subspesialis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkoordinasi dengan Organisasi Profesi”

Pasal 11 ayat (1) UU Pendidikan Kedokteran
“Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi atas nama perguruan tinggi dalam mewujudkan tujuan Pendidikan Kedokteran bekerja sama dengan Rumah Sakit Pendidikan, Wahana Pendidikan Kedokteran, dan/atau lembaga lain, serta berkoordinasi dengan Organisasi Profesi.”

Pasal 24 ayat (1) UU Pendidikan Kedokteran
”Standar Nasional Pendidikan Kedokteran yang mengacu pada Standar Nasional Pendidikan Tinggi disusun secara bersama oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan, asosiasi institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi, asosasi rumah sakit pendidikan, dan Organisasi Profesi.”

Pasal 36 ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran
“Mahasiswa yang lulus uji kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperoleh sertifikat profesi yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi.”

Pasal 36 ayat (3) UU Pendidikan Kedokteran
“Uji kompetensi Dokter atau Dokter Gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Fakultas Kedokteran atau Fakultas Kedokteran Gigi bekerja sama dengan asosiasi institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi dan berkoordinasi dengan Organisasi Profesi.”

Pasal 39 ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran
“Uji kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Fakultas Kedokteran atau Fakultas Kedokteran Gigi bekerja sama dengan asosiasi institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi dan berkoordinasi dengan Organisasi Profesi.”

4. Bahwa Pasal-pasal a quo UU Praktek Kedokteran dan UU Pendidikan Kedokteran dianggap Para Pemohon bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 c ayat (2), Pasal 28d ayat (1), Pasal 28 e ayat (3), Pasal 31 ayat (1) UUD Tahun 1945 karena telah merugikan dan melanggar hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon.

1. Bahwa dalam Putusan Nomor 10/PUU-XV/2017, MK memberikan pertimbangan hukum terhadap pengujian Pasal-Pasal a quo UU Praktik Kedokteran dan UU Pendidikan Kedokteran sebagai berikut:
1) Sertifikat Kompetensi

a. Para Pemohon mendalilkan bahwa sertifikat kompetensi sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 1 angka 4 UU Praktik Kedokteran seharusnya tidak diberlakukan untuk lulusan baru Fakultas Kedokteran dan uji kompetensi dimaksud haruslah diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi dan berbentuk badan hukum pendidikan. Para Pemohon berpandangan bahwa setiap lulusan Fakultas kedokteran telah melalui uji kompetensi sesuai dengan Pasal 36 ayat (3) UU Pendidikan Kedokteran dan karena itu mendapatkan sertifikat profesi (ijazah dokter) sehingga tidak perlu lagi mendapat sertifikat kompetensi dari Kolegium Dokter Indonesia yang dibentuk IDI.

b. Terkait dengan dalil tersebut, mengingat pentingnya sertifikat Kompetensi dilihat dari perspektif peruntukan dan tujuannya, Mahkamah memandang perlu untuk menegaskan keberadaan sertifikat dimaksud. Secara normatif, menurut Pasal 36 ayat (1) UU Pendidikan Kedokteran, untuk menyelesaikan Program Profesi Dokter atau Dokter Gigi, mahasiswa harus lulus Uji Kompetensi yang bersifat nasional sebelum mengangkat sumpah sebagai Dokter atau Dokter Gigi; ayat (2) Mahasiswa yang lulus uji kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperoleh sertifikat profesi yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi; ayat (3) Uji kompetensi Dokter atau Dokter Gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Fakultas Kedokteran atau Fakultas Kedokteran Gigi bekerjasama dengan asosiasi institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi dan berkoordinasi dengan Organisasi Profesi.

c. Sertifikat Kompetensi sebagai surat tanda pengakuan seorang dokter atau dokter gigi untuk menjalankan praktik kedokteran di seluruh Indonesia setelah lulus uji kompetensi dan untuk memperoleh surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi yang harus memenuhi persyaratan:
1. Memiliki ijazah dokter, dokter spesialis, dokter gigi atau dokter gigi spesialis;
2. Mempunyai surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji dokter ataudokter gigi;
3. Memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental;
4. Memiliki sertifikat kompetensi; dan
5. Membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etikaprofesi.

d. Dengan demikian dalil para Pemohon yang menyamakan sertifikat profesidengan ijazah [vide Pasal 36 ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran] sebagaimana diuraikan dalam perbaikan permohonan (halaman 26) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara sertifikat profesi (ijazah) dengan sertifikat kompetensi, Sertifikat Profesi (ijazah) dikeluarkan oleh Perguruan Tinggi, sebagai bukti bahwa seorang dokter telah memenuhi semua persyaratan dan telah teruji secara akademik. Sertifikat Kompentesi dikeluarkan oleh organisasi profesi, sebagai bukti bahwa seorang dokter bukan hanya telah teruji secara akademik tetapi juga telah teruji dalam menerapkan ilmu yang diperoleh guna melakukan pelayanan kesehatan setelah melalui uji kompetensi Dokter atau Dokter Gigi yang dilakukan oleh Fakultas Kedokteran atau Fakultas Kedokteran Gigi bekerja sama dengan asosiasi institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi dan berkoordinasi dengan Organisasi Profesi [vide Pasal 36 ayat (3) UU Pendidikan Kedokteran]. Dengan demikian, sertifikat profesi (ijazah) sebagai salah satu syarat untuk memperoleh sertifikat kompetensi, sedangkan sertifikat kompentensi merupakan persyaratan untuk mendaftar ke KKI guna mendapatkan Surat Tanda Registrasi dokter (STR).Seorang dokter yang telah memperoleh STR, terlebih dahulu harus melakukan Program Internsip. Selanjutnya, untuk dapat melakukan praktik mandiri, seorang dokter harus memperoleh surat izin praktik (SIP) dari instansi yang berwenang.

e. Sertifikat Kompetensi tersebut menunjukkan pengakuan akan kemampuan dan kesiapan seorang dokter untuk melakukan tindakan medis dalam praktik mandiri yang akan dijalaninya dan hanya diberikan kepada mereka yang telah menjalani berbagai tahapan untuk menjadi seorang dokter yang profesional. Dengan demikian, memberikan sertifikat kompetensi kepada dokter yang tidak kompeten dapat membahayakan keselamatan pasien dan sekaligus mengancam kepercayaan masyarakat terhadap profesi dokter, yang pada akhirnya dapat mengancam jaminan hak konstitusional warga negara sebagaimana termaktub dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, sehingga negara dapat dianggap gagal menjalankan kewajiban konstitusionalnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3) UUD 1945.

f. Oleh karena itu telah terang bagi Mahkamah bahwa sertifikat profesi (“ijazah dokter”) tidak dapat disamakan dengan sertifikat kompetensi sebagaimana yang didalilkan para Pemohon. Sertifikat Profesi dan Sertifikat Kompetensi adalah dua hal yang berbeda yang diperoleh pada tahap yang berbeda sebagai syarat yang harus dipenuhi seorang dokter yang akan melakukan praktik mandiri. Mahkamah telah mencermati fakta persidangan yang ada dan menilai bahwa baik sertifikat profesi maupun sertifikat kompetensi merupakan upaya untuk menjaga dan mendorong peningkatan kompetensi dan kualitas keilmuan dokter sebagai komponen utama pemberi pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Proses uji tersebut akan memberikan penajaman dan peningkatan kompetensi sekaligus pengakuan atas penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menjadi landasan utama bagi dokter dalam melakukan tindakan medis. Melalui proses tersebut lulusan baru fakultas kedokteran akan teruji secara keilmuan sebelum melakukan praktik mandiri sebagai seorang dokter yang profesional. Kalaupun sertifikat profesi dan sertifikat kompetensi diberikan pada saat yang bersamaan dengan mekanisme yang ditentukan institusi pendidikan dan organisasi profesi kedokteran serta institusi terkait lainnya maka pengaturan demikian tidak dapat dianggap sebagai pengurangan atau pembatasan apalagi menghilangkan kesempatan atau pun hak para dokter lulusan baru untuk menjadi dokter yang akan melakukan praktik mandiri secara profesional sebab ketentuan demikian merupakan tuntutan profesi yang tak terhindarkan. Oleh karena itu tidak dapat dianggap merugikan hak konstitusional warga negara untuk mendapatkan pekerjaan sebagaimana dijamin oleh UUD 1945. Pertimbangan Mahkamah ini berlaku mutatis mutandis terhadap permohonan para Pemohon yang menguji konstitusionalitas ketentuan Pasal 29 ayat (3) UU Praktik Kedokteran dan Pasal 36 ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran.

g. Demikian juga untuk menjamin kompetensi seorang dokter agar tetap memenuhi standar dan perkembangan dunia kedokteran dan ilmu kedokteran termutakhir, maka resertifikasi secara periodik terhadap setiap dokter yang telah mempunyai Sertifikat Kompetensi menjadi kebutuhan yang tidak dapat dihindarkan. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 29 ayat (4) UU Praktik Kedokteran yang menyatakan, “Surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi berlaku selama 5 (lima) tahun dan diregistrasi ulang setiap 5 (lima) tahun sekali dengan tetap memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dan huruf d” juncto Pasal 14 ayat (1) Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 6 Tahun 2011 yang menyatakan, “Surat Keterangan Sehat Fisik dan Mental diterbitkan oleh Dokter yang memiliki SIP yang masih berlaku dan Dokter yang menerbitkan tersebut sehat fisik dan mental”. Resertifikasi tersebut dapat dilakukan dengan menilaiulang kompetensi atau dapat juga mengikuti program pengembangan dan pendidikan kedokteran berkelanjutan (P2KB) dengan perolehan satuan kredit khusus.Tanpa mengurangi kualitas tujuan dilakukannya resertifikasi, mekanismenya harus dilaksanakan secara sederhana sehingga memungkinkan setiap dokter dapat memenuhinya. Di samping itu, untuk menghindari kemungkinan adanya penyalahgunaan kewenangan, proses resertifikasi dilakukan secara transparan dan akuntabel. Oleh karena itu Pemerintah perlu mendorong dilakukan penyederhanaan proses resertifikasi dan sekaligus melakukan pengawasan terhadap proses dimaksud.

h. Dengan demikian, baik keberadaan sertifikat profesi maupun sertifikat kompetensi serta persyaratan untuk resertifikasi karena dimaksudkan untuk menjaga kompetensi dan kualitas keilmuan seorang dokter yang tujuan akhirnya adalah untuk melindungi masyarakat maka dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 1 angka 4, Pasal 29 ayat (3) UU Praktik Kedokteran, serta Pasal 36 ayat (2) dan ayat (3) UU Pendidikan Kedokteran bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.

2) Organisasi Profesi
a. Berkenaan dengan dalil mengenai organisasi profesi, para Pemohon meminta agar frasa organisasi profesi dalam ketentuan Pasal 1 angka 12 dan Pasal 38 ayat (1) huruf c UU Praktik Kedokteran dimaknai sebagai “meliputi juga” Perhimpunan Dokter Spesialis” yang berada dalam lingkungan IDI guna menjamin hak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat yang diatur dalam ketentuan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 serta hak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya sebagaimana diatur dalam Pasal 28C ayat (2) UUD 1945. Terhadap permohonan tersebut, menurut Mahkamah, tidak terdapat persoalan inkonstitusionalitas dalam ketentuan a quo.Perhimpunan Dokter Spesialis dengan sendirinya merupakan bagian dari IDI. IDI sebagai rumah besar profesi kedokteran diisi berbagai bidang keahlian kedokteran yang di dalamnya juga meliputi Perhimpunan Dokter Spesialis sebagai salah satu unsur yang menyatu dan tidak terpisah dari IDI.Justru apabila logika permohonan para Pemohon diikuti akan timbul ketidakpastian hukum karena dalam praktik menjadi tidak jelas pada saat bagaimana atau kapan organisasi profesi dimaksud dimaknai sebagai IDI dan pada saat bagaimana atau kapan organisasi profesi dimaknai sebagai Perhimpunan Dokter Spesialis.

b. Pertimbangan Mahkamah tersebut juga berlaku mutatis mutandis terhadap permohonan para Pemohon terkait pengujian ketentuan Pasal 38 ayat (1) huruf c UU Praktik Kedokteran.

c. Pasal 1 angka 13 UU Praktik Kedokteran yang menyatakan, “Kolegium Kedokteran Indonesia dan Kolegium Kedokteran Gigi Indonesia adalah badan yang dibentuk oleh organisasi profesi untuk masing-masing cabang disiplin ilmu yang bertugas mengampu cabang disiplin ilmu tersebut” menurut para Pemohon bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Para Pemohon meminta agar frasa “organisasi profesi” dihilangkan atau dihapuskan dari ketentuan tersebut sehingga Pasal 1 angka 13 UU Praktik Kedokteran menjadi berbunyi, “Kolegium Kedokteran Indonesia dan Kolegium Kedokteran Gigi Indonesia adalah badan yang dibentuk untuk masing-masing cabang disiplin ilmu yang bertugas mengampu cabang disiplin ilmu tersebut”. Terhadap dalil tersebut Mahkamah berpendapat bahwa undang-undang memungkinkan masing-masing kelompok tenaga kesehatan membentuk kolegium berdasarkan disiplin ilmu masing-masing. Dalam struktur IDI pun berdasarkan AD/ART IDI kolegium-kolegium yang berhimpun dalam Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia merupakan salah satu unsur dalam struktur kepengurusan IDI ditingkat Pusat yang bertugas untuk melakukan pembinaan dan pengaturan pelaksanaan sistem pendidikan profesi kedokteran. Dengan demikian maka Kolegium Kedokteran Indonesia dan Kolegium Kedokteran Gigi Indonesia merupakan unsur dalam IDI sebagai organisasi profesi kedokteran yang bertugas mengampu cabang disiplin ilmu masing-masing.Oleh karena itu, IDI dalam hal ini berfungsi sebagai rumah besar profesi kedokteran yang di dalamnya dapat membentuk kolegium-kolegium untuk melaksanakan kewenangan tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan dan AD/ART IDI.Penghapusan frasa “organisasi profesi” dalam ketentuan a quo menghilangkan unsur pembentuk kolegium yang adalah para dokter sendiri berdasarkan disiplin masing-masing yang pada akhirnya juga berhimpun dalam MKKI sebagai salah satu unsur pimpinan pusat IDI.Atas dasar pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon tidak beralasan menurut hukum.

d. Para Pemohon juga mengajukan pengujian atas frasa “organisasi profesi” yang disebutkan dalam ketentuan Pasal 1 angka 20, Pasal 5 ayat (2), Pasal 7 ayat (8), Pasal 8 ayat (4), Pasal 11 ayat (1), Pasal 24 ayat (1), Pasal 36 ayat (3) dan Pasal 39 ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran. Para Pemohon meminta agar frasa “organisasi profesi” dimaknai juga meliputi “Perhimpunan Dokter Spesialis” (Pasal 38 ayat (1) huruf c UU Praktik Kedokteran) dan dimaknai Kolegium Kedokteran/Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia [Pasal 1 angka 20, Pasal 5 ayat (2), Pasal 7 ayat (8), Pasal 8 ayat (4), Pasal 11 ayat (1), Pasal 24 ayat (1), Pasal 36 ayat (3) dan Pasal 39 ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran]. Terhadap dalil para Pemohon tersebut Mahkamah berpendapat bahwa Kolegium Kedokteran/Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia merupakan unsur yang terdapat dalam IDI dan bukan merupakan organisasi yang terpisah dari IDI.Sebagai rumah besar dokter Indonesia, IDI mewadahi profesi kedokteran dari berbagai disiplin ilmu.Dengan demikian, setiap unsur dalam IDI memiliki fungsi masing-masing sesuai dengan AD/ART IDI.Kolegium Kedokteran Indonesia/Majelis Kolegium kedokteran Indonesia merupakan unsur dalam IDI yang bertugas untuk melakukan pengaturan dan pembinaan pelaksanaan sistem pendidikan profesi kedokteran. Dalam melakukan fungsi ini, Kolegium/Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia tetap berkoordinasi dengan berbagai unsur terkait baik di dalam maupun di luar IDI untuk mewujudkan cita-cita nasional dalam meningkatkan derajat kesehatan rakyat Indonesia yang juga menjadi tujuan pembentukan IDI melalui penyelenggaraan pendidikan kedokteran. Dengan demikian, terkait penyelenggaraan pendidikan kedokteran, sebagaimana juga disebutkan dalam AD/ART IDI, merupakan fungsi Kolegium Kedokteran/Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia sebagai salah satu unsur dari IDI yang memiliki kompetensi di bidang pendidikan kedokteran. Tidaklah berlebihan bila menempatkan Kolegium/Majelis Kolegium sebagai academic body profesi kedokteran. Berkenaan dengan adanya disharmoni perihal kolegium sebagaimana dimaksudkan dalam UU Praktik Kedokteran yang hanya melibatkan Kolegium Kedokteran Indonesia dan Kolegium Kedokteran Gigi Indonesia, sementara itu dalam UU Pendidikan Kedokteran hanya menyebutkan organisasi profesi, hal demikian tidaklah dimaknai bahwa terjadi inkonstitusionalitas norma karena pada hakikatnya kolegium adalah bagian dari organisasi profesi dalam hal ini IDI. Dalam hal ini organisasi profesi (IDI) harus memberdayakan keberadaan unsur-unsur dalam struktur organisasi termasuk kolegium sesuai dengan fungsinya masing- masing.

e. Dengan demikian, dalil para Pemohon sepanjang berkenaan dengan inkonstitusionalitas frasa “organisasi profesi” dalam Pasal 1 angka 12, Pasal 1 angka 13, dan Pasal 38 ayat (1) huruf c UU Praktik Kedokteran dan dalam Pasal 1 angka 20, Pasal 5 ayat (2), Pasal 7 ayat (8), Pasal 8 ayat (4), Pasal 11 ayat (1), Pasal 24 ayat (1), Pasal 36 ayat (3), dan Pasal 39 ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran tidak beralasan menurut hukum.

3) Rangkap Jabatan anggota KKI yang berasal dari IDI
a. Berkenaan dengan dalil mengenai rangkap jabatan anggota KKI yang berasal dari IDI, para Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 14 ayat (1) huruf a UU Praktik Kedokteran, yang menyatakan “Jumlah anggota Konsil Kedokteran Indonesia 17 (tujuh belas) orang yang terdiri atas unsur-unsur yang berasal dari (a) organisasi profesi kedokteran 2 (dua) orang” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang frasa “organisasi profesi kedokteran” tidak dimaknai sebagai “yang tidak menjadi pengurus organisasi profesi kedokteran”. Terkait permohonan tersebut Mahkamah berpendapat bahwa pengisian anggota KKI harus mempertimbangkan tugas KKI yang berpotensi bersinggungan dengan kepentingan institusi asal anggota KKI.Berdasarkan ketentuan perundang-undangan, KKI memiliki tugas melakukan registrasi dokter sebagai dasar untuk menerbitkan STR, melakukan fungsi regulasi serta melaksanakan pembinaan terhadap penyelenggaraan praktik kedokteran. Organisasi profesi dokter, dalam hal ini IDI, sebagai salah satu institusi asal anggota KKI memiliki keterkaitan erat dengan tugas-tugas yang diemban KKI khususnya dalam fungsi regulasi karena para dokter yang merupakan anggota IDI merupakan objek dari regulasi yang dibuat oleh KKI. Di sisi lain, IDI, sebagai organisasi profesi dokter juga merupakan salah satu institusi asal anggota KKI. Keadaan ini menimbulkan potensi benturan kepentingan (conflict of interest) dari sisi IDI sebab IDI bertindak sebagai regulator dalam menjalankan fungsi sebagai anggota KKI, pada saat yang sama juga menjadi objek regulasi yang dibuat oleh KKI tersebut. Oleh karena itu, untuk mencegah potensi benturan kepentingan tersebut maka seyogianya anggota IDI yang duduk dalam KKI seharusnya adalah mereka yang bukan merupakan pengurus IDI untuk mencegah konflik kepentingan karena tugas KKI ada tiga yaitu fungsi registrasi dokter sebagai dasar menerbitkan STR, fungsi regulasi yang terkait dengan profesi dokter, dan fungsi pembinaan. Pada sisi lain organisasi profesi dokter adalah IDI dan oleh karena itu keberadaan pengurus IDI pada KKI potensial menimbulkan konflik kepentingan terutama dalam perumusan regulasi. Hal ini tidak sesuai dengan prinsip kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

b. Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut, dalil para Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas keanggotaan KKI dari unsur pengurus organisasi profesi kedokteran, dalam hal ini IDI, dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a UU Praktik Kedokteran adalah beralasan menurut hukum, sepanjang unsur “organisasi profesi kedokteran” tersebut tidak dimaknai tidak merangkap jabatan sebagai pengurus IDI.

2. Bahwa dalam Amar Putusan MK dalam Perkara Nomor 10/PUU-XV/2017, Mahkamah Konstitusi menyatakan:
1) Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
2) Menyatakan Pasal 14 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431) yang menyatakan, “Jumlah anggota Konsil Kedokteran Indonesia 17 (tujuh belas) orang yang terdiri atas unsur-unsur yang berasal dari : (a) organisasi profesi kedokteran 2 (dua) orang…”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang unsur “organisasi profesi kedokteran” tidak dimaknai sebagai tidak menjadi pengurus organisasi profesi kedokteran;
3) Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.
4) Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

3. Bahwa terhadap Putusan MK dalam Perkara Nomor 10/PUU-XV/2017 sebagaimana diuraikan diatas, untuk mengisi kekosongan hukum berdasarkan Pasal 10 ayat (1) huruf d, Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 23 ayat (1) huruf b UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan saran sebagai berikut:
1) Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 10/PUU-XV/2017 sebagai bahan dalam penyusunan Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka.
2) Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 10/PUU-XV/2017 sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan UU MK.

Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh seluruh organ penyelenggara Negara, organ penegak hukum dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 10/PUU-XV/2017 mengenai materi muatan pasal/ayat dalam UU Praktik Kedokteran yang dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, agar tidak menimbulkan kekosongan hukum, dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan Perubahan UU Praktik Kedokteran.

INFO JUDICIAL REVIEW PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 63/PUU-XV/2017 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2009 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN MENJADI UNDANG-UNDANG. / 26-04-2018

1. Bahwa pada hari Kamis, tanggal 26 April 2018, Pukul 15.21 WIB, Mahkamah Konstitusi telah selesai menggelar Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut UU KUP) dalam Perkara Nomor 63/PUU-XV/2017. Dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 63/PUU-XV/2017, perwakilan DPR RI dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

2. Bahwa permohonan pengujian UU KUP dalam Perkara Nomor 63/PUU-XV/2017 diajukan oleh Petrus Bala Pattyona, SH., MH., CLA., dalam hal ini diwakili oleh Kuasa Hukumnya yaitu Mehbob, SH., MH., CN., Julius Albert Hidelilo, SH., MH., dkk.

3. Bahwa Pemohon dalam permohonannya mengajukan pengujian materiil atas Pasal 32 ayat (3) huruf a UU KUP yang berketentuan sebagai berikut:




“Persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.”

4. Bahwa Pasal a quo UU KUP dianggap Pemohon bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28D ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, yang pada pokoknya mengatur Menteri Keuangan telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.03/2014 (selanjutnya disebut PMK 229) tanggal 18 Desember 2014. Pemohon beranggapan akibat dari terbitnya PMK 229 yang merujuk kepada ketentuan Pasal 32 ayat (3) huruf a UU KUP mengakibatkan Pemohon selaku kuasa hukum telah ditolak untuk memberikan bantuan hukum kepada Wajib Pajak dan telah menimbulkan kerugian konstitusional dan kerugian materiil yaitu tidak dapat menjalankan pekerjaan selaku Kuasa dari Wajib Pajak.

1. Bahwa dalam Putusan Nomor 63/PUU-XV/2017, MK memberikan pertimbangan hukum terhadap pengujian Pasal 32 ayat (3) huruf a UU KUP sebagai berikut:

a. Bahwa jika dibaca rasionalitas dan konteks keseluruhan dalil Pemohon, Mahkamah memahami bahwa substansi yang sesungguhnya dipersoalkan oleh Pemohon adalah masalah pendelegasian kewenangan oleh undang-undang, in casu Pasal 32 ayat (3a) UU KUP kepada Peraturan Menteri, sehingga persoalan konstitusional yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah, apakah pendelegasian kewenangan demikian bertentangan dengan UUD 1945, khususnya sebagaimana diatur lebih lanjut dalam Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan (UU 12/2011). Terhadap persoalan konstitusional tersebut Mahkamah selanjutnya mempertimbangkan sebagai berikut:

1. Bahwa dalam menjalankan pemerintahan negara, diperlukan pemerintahan yang berdaulat dan memiliki kewenangan secara hukum. Kewenangan harus dilandasi oleh ketentuan hukum yang ada (konstitusi), sehingga kewenangan tersebut merupakan kewenangan yang sah. Dengan demikian, pejabat (organ) dalam mengeluarkan keputusan adalah diturunkan dari kewenangan tersebut. Sumber kewenangan dapat diperoleh dengan cara atribusi, delegasi, dan mandat. Kewenangan organ (institusi) pemerintah adalah suatu kewenangan yang dikuatkan oleh hukum positif guna mengatur dan mempertahankannya. Tanpa kewenangan tidak dapat dikeluarkan suatu keputusan yuridis yang benar;

2. Bahwa, sebagaimana disinggung pada angka 1 di atas, salah satu sumber kewenangan adalah diperoleh dari pendelegasian kewenangan perundang- undangan (delegatie van wetgevingsbevoegdheid), yaitu pendelegasian kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Pendelegasian demikian dibutuhkan karena walaupun dalam pembentukan peraturan perundang-undangan diharapkan dapat dirumuskan ketentuan-ketentuan yang dapat langsung menyelesaikan permasalahan, namun demikian acapkali diperlukan adanya pelimpahan (pendelegasian) peraturan perundang-undangan. Hal itu disebabkan peraturan yang lebih tinggi biasanya hanya mengatur ketentuan yang sangat umum (garis besar) sehingga pengaturan yang lebih konkret didelegasikan kepada peraturan yang lebih rendah secara berjenjang sesuai hierarkinya. Pendelegasian suatu peraturan perundang-undangan pada dasarnya dilakukan secara berjenjang sesuai dengan hierarki yang berlaku, misalnya dari Undang-Undang ke Peraturan Pemerintah atau dari Peraturan Pemerintah. ke Peraturan Presiden. Pendelegasian Undang-Undang ke Peraturan Menteri seharusnya tidak terjadi dalam sistem pemerintahan Presidensial oleh karena pendelegasian tersebut meloncati dua peraturan perundang-undangan, yaitu Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden. Hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang secara konstitusional seharusnya didelegasikan ke Peraturan Pemerintah sesuai dengan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan undang- undang sebagaimana mestinya”. Namun, masalah pendelegasian tersebut diatur secara agak berbeda dalam UU 12/2011 yang berlaku saat ini, sebagaimana tertuang dalam Lampiran II khususnya Pedoman angka 198 sampai dengan angka 216 UU 12/2011. Pedoman angka 211 Lampiran II UU 12/2011 menyatakan, “Pendelegasian kewenangan mengatur dari undang- undang kepada menteri, pemimpin lembaga pemerintah nonkementerian, atau pejabat yang setingkat dengan menteri dibatasi untuk peraturan yang bersifat teknis administratif”. Dengan demikian, terlepas dari persoalan apakah secara doktriner dalam sistem pemerintahan Presidensial dapat dibenarkan adanya pendelegasian kewenangan mengatur langsung dari Undang-Undang kepada Peraturan Menteri, menurut hukum positif yang berlaku pada saat ini (in casu UU 12/2011) pendelegasian kewenangan demikian dimungkinkan sepanjang hal itu berkenaan dengan pengaturan yang bersifat teknis-administratif. Dengan kata lain, secara a contrario, pendelegasian kewenangan dari Undang-Undang langsung kepada Peraturan Menteri tidak dibenarkan jika materi muatannya berkenaan dengan hal-hal yang menurut hierarki peraturan perundang-undangan bukan merupakan materi muatan Peraturan Menteri;

3. Bahwa substansi yang diatur dalam UU 12/2011 terkait dengan pendelegasian kewenangan merupakan bagian dari sistem peraturan perundang-undangan Indonesia yang harus selalu menjadi acuan. Kepatuhan terhadap sistem peraturan perundang-undang dimaksud merupakan bagian dari upaya untuk memastikan bahwa setiap norma yang dibentuk memberikan jaminan kepastian hukum yang adil bagi setiap warga negara yang dikenai aturan dimaksud. Dalam konteks ini, untuk menilai keabsahan pendelegasian wewenang dari undang-undang kepada peraturan perundang-undangan lainnya, maka sistem pendelegasian kewenangan yang terdapat dalam UU 12/2011 tidak dapat dikesampingkan, dalam arti tidak dipertimbangkan sepanjang norma yang relevan yang termuat di dalamnya tidak dimohonkan pengujian;

4. Bahwa pada saat yang sama, pembatasan delegasi kewenangan dari undang- undang kepada menteri juga berhubungan dengan materi muatan undang- undang ditentukan secara eksplisit dalam UU 12/2011. Dalam kaitan ini, terhadap hal-hal yang terkait dengan pengaturan lebih lanjut dari ketentuan UUD 1945 yang merupakan pengakuan, penghormatan, pembatasan, pengurangan atau pencabutan hak-hak tertentu dari warga negara harus diatur dalam undang-undang. Karena itu, hanya hal-hal yang bersifat teknis- administratif dari pengakuan, penghormatan, pembatasan, pengurangan, pencabutan, atau perluasan hak itu saja yang dapat didelegasikan pengaturannya kepada menteri atau pejabat setingkat menteri. Dalam arti demikian, hal-hal yang bersifat pembatasan hak dan kewajiban yang belum diatur dalam undang-undang tidak dapat didelegasikan melalui sebuah Peraturan Menteri sebagai peraturan pelaksana atau peraturan teknis.

5. Bahwa dalam kaitannya dengan delegasi kewenangan dari UU KUP kepada menteri dalam permohonan a quo, keberadaan norma tersebut berhubungan dengan sejarah dan semangat perumusan Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU 6/1983). Melalui ketentuan tersebut, pembentuk undang-undang sesungguhnya membuka ruang bagi setiap orang atau badan hukum Wajib Pajak untuk dikuasakan oleh seorang kuasa dalam menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya. Pada saat pertama kali dirumuskan dan dimuat dalam UU 6/1983, dalam Pasal 32 ayat (3) dinyatakan bahwa Orang atau Badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Dalam penjelasan ketentuan tersebut diterangkan bahwa norma dimaksud adalah untuk memberikan kelonggaran dari kesempatan bagi Wajib Pajak untuk minta bantuan orang lain yang memahami masalah perpajakan sebagai kuasanya, untuk dan atas namanya membantu melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak. Bantuan tersebut meliputi pelaksanaan kewajiban formal dan material serta pemenuhan hak Wajib Pajak yang ditentukan dalam undang-undang perpajakan. Sesuai dengan ketentuan itu, hadirnya seorang kuasa dalam rangka membantu wajib pajak untuk melaksanakan hak dan kewajiban diperkenankan. Pada saat yang sama, Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang a quo secara implisit juga mengakui hak seseorang untuk menunjuk seorang kuasa guna membantunya menjalankan hak dan kewajiban perpajakan. Hanya saja, orang yang bertindak sebagai kuasa tersebut disyaratkan haruslah orang yang memahami masalah perpajakan. Pada saat UU 6/1983 diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU 9/1994), norma Pasal 32 ayat (3) UU 9/1994 juga ikut diubah, namun substansi yang dimuat di dalamnya tetap sama dengan substansi yang terdapat dalam UU 6/1983, di mana hak dan kesempatan Wajib Pajak untuk didampingi kuasanya tetap diakui. Penambahan ayat dalam Pasal 32 terjadi saat berlakunya Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas Undang- Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang menyisipkan satu ayat diantara ayat (3) dan ayat (4), yakni ayat (3a) yang menyatakan, “Kuasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan”. Dalam Penjelasan Pasal 32 ayat (3a) hanya menyatakan cukup jelas. Rumusan Pasal 32 ayat (3) yang terdapat dalam UU 9/1994 tetap dipertahankan.

6. Bahwa ketika UU 6/1983 diubah untuk ketiga kalinya dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), rumusan Pasal 32 ayat (3) yang terdapat dalam UU 9/1994 tetap dipertahankan. Norma tersebut berbunyi, “Orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan”. Dalam Penjelasan Pasal 32 ayat (3) UU KUP diterangkan kembali mengenai bentuk bantuan yang dapat diberikan dan siapa yang dimaksud dengan kuasa. Di mana, orang yang dapat menjadi kuasa dalam pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan adalah setiap orang yang memahami masalah perpajakan. Undang-Undang a quo hanya sebatas mengatur syarat umum dari seorang kuasa Wajib Pajak, yaitu orang yang memahami masalah perpajakan. Dalam hal ini, Undang-Undang tidak mengatur lebih jauh kriteria orang yang dapat bertindak sebagai kuasa. Undang-undang juga tidak mengatur apa standar pemahaman masalah perpajakan yang harus dimiliki seseorang untuk dapat bertindak sebagai kuasa Wajib Pajak. Undang-undang juga tidak mengatur bagaimana seorang kuasa menjalankan hak dan kewajibannya sebagai kuasa. Lebih jauh, Undang-undang juga tidak mengatur status kuasa Wajib Pajak sebagai profesi yang mandiri dalam menjalankan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak. Pengaturan persyaratan dan pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa tersebut, dalam UU KUP diadopsi satu norma baru berupa delegasi pengaturan terkait persyaratan dan pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa kepada Peraturan Menteri. Hal itu dimuat dalam Pasal 32 ayat (3a) UU KUP dengan rumusan berbunyi, “Persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan” yang menjadi objek permohonan dalam perkara a quo. Masalahnya, apakah pendelegasian tersebut telah memenuhi syarat bentuk hukum dan substansi kewenangan yang didelegasikan dapat dikatakan bersesuaian dengan kaidah pembentukan peraturan perundang-undangan. Jawaban terhadap pertanyaan ini sangat bergantung pada maksud dengan kata “persyaratan” dan frasa “pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa”.

7. Bahwa dalam keterangannya, pemerintah mengemukakan, salah satu alasan sosiologis pengaturan terkait Kuasa Wajib Pajak adalah karena faktor sulitnya melaksanakan suatu sistem perpajakan dengan baik jika tidak melibatkan penasehat atau konsultan perpajakan. Hal itu terjadi karena hampir sebagian besar Wajib Pajak sulit memahami seluruh peraturan perpajakan dengan tepat karena dinamis dan rumitnya peraturan perpajakan. Atas dasar itu, diperlukan seorang penasehat perpajakan/orang yang memahami masalah perpajakan menjadi Kuasa Wajib Pajak agar dapat memenuhi kewajiban perpajakannya dengan baik dan benar. Dalam konteks ini, keberadaan konsultan pajak sebagai kuasa menjadi penting bagi kepentingan publik pembayar pajak. Lebih jauh, dalam keterangannya, Pemerintah dan DPR menjelaskan pengaturan mengenai persyaratan serta hak dan kewajiban Kuasa Wajib Pajak merupakan ketentuan bersifat teknis sehingga didelegasikan pengaturannya kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, dalam hal ini Peraturan Menteri Keuangan. Pertanyaan mendasar yang harus dikemukakan: apakah dapat diterima bahwa persyaratan serta hak dan kewajiban Kuasa Wajib Pajak merupakan hal yang bersifat teknis administratif, sehingga pengaturannya dapat didelegasikan kepada sebuah peraturan pelaksana, in casu Peraturan Menteri.

8. Bahwa dari keterangan Pemerintah dan DPR dimaksud dapat dipahami pada satu sisi pengakuan terhadap hak Wajib Pajak untuk didampingi oleh seorang kuasa merupakan perlindungan terhadap kepentingan pembayar pajak (tax payer), sedangkan di sisi lain, persyaratan serta hak dan kewajiban kuasa diposisikan sebagai hal yang bersifat teknis administratif. Apabila ditelaah lebih jauh, sesungguhnya telah terdapat contradictio in terminis dari penjelasan tersebut, terutama dengan memosisikan pengaturan terkait persyaratan serta hak dan kewajiban kuasa sebagai sesuatu yang bersifat teknis administratif, sehingga pengaturannya didelegasikan kepada Menteri. Dalam hal ini, apabila pengaturan tentang persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa Wajib Pajak merupakan bentuk perlindungan terhadap kepentingan pembayar pajak, semestinya materi pengaturannya tidak diserahkan sepenuhnya kepada Menteri. Sebab, Menteri merupakan pihak yang melaksanakan Undang- Undang Perpajakan yang dalam praktik sangat mungkin “berhadapan” dengan Wajib Pajak dan/atau Kuasa Wajib Pajak. Bagaimana mungkin kepentingan hukum Wajib Pajak akan dapat terlindungi bilamana Kuasa Wajib Pajak diatur dan dibatasi melalui Peraturan Menteri yang tidak menjamin pelaksanaan hak dan kewajiban Penerima Kuasa Wajib Pajak secara bebas dan mandiri.

9. Bahwa selanjutnya, dibentuknya UU KUP memang merupakan perintah UUD 1945, di mana dalam Pasal 23A UUD 1945 dinyatakan bahwa Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. Dalam konteks itu, UU KUP mengatur hal-hal yang bersifat memaksa bagi warga negara yang memenuhi syarat, dalam hal ini pajak. Pajak merupakan kewajiban yang mesti dibayarkan oleh warga negara, di mana apabila tidak dipenuhi, maka sanksi hukum dapat dikenakan kepada yang bersangkutan. Sekalipun pajak merupakan sesuatu yang bersifat memaksa, di mana negara melalui Kementerian Keuangan dapat memaksa agar warga negara yang memenuhi kewajibannya, namun sifat memaksa pajak tidak serta-merta menghilangkan hak warga negara untuk mendapatkan kepastian hukum, kejelasan proses pemungutan pajak, dan hak untuk dikuasakan/didampingi oleh orang yang memahami perpajakan dalam melaksanakan hak dan kewajibannya sebagai Wajib Pajak. Hak untuk didampingi oleh orang yang memahami masalah perpajakan merupakan salah satu sarana bagi Wajib Pajak untuk dapat melaksanakan kewajiban dan hak perpajakannya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dan terhindar dari potensi penyalahgunaan wewenang. Hak tersebut akan betul-betul dapat dilindungi apabila orang atau pihak yang menjadi kuasa untuk mewakili atau mendampingi Wajib Pajak adalah orang yang bebas dan mandiri dalam menjalankan profesinya sebagai Kuasa Wajib Pajak, bukan orang yang berada di bawah tekanan atau dalam posisi tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai kuasa.

10. Bahwa oleh karena kewajiban membayar pajak tidak menghilangkan hak Wajib Pajak untuk dapat dikuasakan/didampingi oleh orang yang memahami masalah perpajakan, maka pengaturan mengenai Kuasa Wajib Pajak haruslah dapat menjamin bahwa yang bertindak sebagai kuasa adalah orang yang memahami perpajakan dan dapat menjalankan hak dan kewajibannya sebagai Kuasa Wajib Pajak. Demi untuk menjamin agar hak dan kewajiban Wajib Pajak terlaksana secara baik dan dikuasakan kepada/didampingi oleh kuasa yang menjalankan hak dan kewajibannya sebagai Kuasa Wajib Pajak, maka hal-hal yang berhubungan dengan persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban Kuasa Wajib Pajak tidak dapat diposisikan hanya sekedar hal yang bersifat teknis administratif. Persyaratan serta hak dan kewajiban Kuasa Wajib Pajak berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban Wajib Pajak. Terlaksana atau tidaknya hak dan kewajiban sesuai aturan serta adanya kepastian hukum yang adil bagi Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajibannya akan sangat bergantung pada bagaimana pengaturan terkait dengan hak Wajib Pajak untuk dikuasakan kepada/didampingi oleh kuasanya. Oleh karena itu, hal tersebut bukanlah sesuatu yang bersifat teknis administratif, melainkan lebih bersifat substantif karena berhubungan dengan pembatasan hak seseorang dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya sehingga seharusnya materi tersebut diatur dalam undang- undang. Dalam hal ini, Undang-Undang harus mengatur secara jelas mengenai persyaratan bagi orang yang akan bertindak sebagai Kuasa Wajib Pajak, baik syarat administratif maupun syarat kompetensi. Pada saat yang sama, undang-undang juga harus mengatur dan menjamin bahwa Kuasa Wajib Pajak harus dapat menjalankan hak dan kewajibannya secara bebas dan mandiri. Pengaturan tersebut akan menjadi instrumen hukum untuk melindungi dan menjamin bahwa hak dan kewajiban Wajib Pajak dapat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan terhindar dari kemungkinan adanya tindakan sewenang-wenang dan ketidakpastian hukum.

b. Bahwa pertimbangan Mahkamah yang bertumpu pada UU 12/2011, sebagaimana diuraikan pada paragraf [3.10] di atas, adalah dikarenakan undang-undang itulah yang memuat pengaturan lebih lanjut tentang pendelegasian kewenangan mengatur dari peraturan perundang-undangan dan tidak menjadi objek permohonan a quo. Sehingga, sesuai dengan prinsip presumption of constitutionality yang berlaku dalam pengujian konstitusionalitas undang-undang dan prinsip bahwa hakim atau pengadilan adalah zittende magistratur, maka UU 12/2011 khususnya Lampiran II Pedoman angka 198 sampai dengan angka 216 harus dianggap konstitusional sampai terbukti bertentangan dengan UUD 1945 melalui Putusan Mahkamah Konstitusi yang dijatuhkan atas dasar adanya permohonan untuk itu. Prinsip zittende magistratur menghalangi Mahkamah untuk secara aktif menguji konstitusionalitas suatu undang-undang jika undang-undang yang bersangkutan tidak dimohonkan pengujian. Namun demikian, prinsip zittende magistratur tidak menghalangi Mahkamah untuk mengesampingkan keberlakuan suatu Undang-Undang apabila ternyata norma undang-undang yang bersangkutan telah ternyata menghalangi kewenangan Mahkamah dalam menjalankan fungsi constitutional review-nya. Pengesampingan demikian dibenarkan berdasarkan doktrin hukum tata negara dan tidak bertentangan dengan ajaran pemisahan kekuasaan, sebab Mahkamah tidak menguji konstitusionalitas norma undang- undang yang tidak dimohonkan pengujiannya, melainkan Mahkamah hanya memutuskan untuk tidak menerapkannya. Artinya, norma Undang-Undang tersebut, baik teks maupun isi atau materi muatannya, tetap ada dan berlaku selama belum ada permohonan yang menguji konstitusionalitasnya dan belum ada Putusan Mahkamah berkenaan dengan hal itu. Hal ini pernah dipraktikkan oleh Mahkamah sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 004/PUU-II/2004, tanggal 13 Desember 2004.

c. Bahwa kendatipun Pemohon tidak memohonkan pengujian UU 12/2011 (terutama dalam hal ini Lampiran II khususnya Pedoman angka 198 sampai dengan angka 216 UU 12/2011) dan kendatipun titik berat Permohonan Pemohon adalah terletak pada substansi pendelegasian dari undang-undang kepada Peraturan Menteri, in casu PMK 229/2014, Mahkamah berpendapat bahwa, sesuai dengan sistem Pemerintahan Presidensial yang dianut oleh UUD 1945, pendelegasian kewenangan mengatur dari peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi kepada peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah secara doktriner tidak boleh bertentangan dengan materi muatan yang secara konstitusional seharusnya menjadi substansi materi muatan dari masing-masing jenis peraturan perundang-undangan tersebut sesuai dengan tingkatan atau hierarkinya. Dengan demikian, dalam konteks Permohonan a quo, sesuai dengan pertimbangan pada sub-paragraf [3.10.2] di atas, tanpa perlu mengesampingkan keberlakuan Lampiran II khususnya Pedoman angka 198 sampai dengan angka 216 UU 12/2011 dan tanpa harus menilai kasus konkret yang dialami Pemohon khususnya berkenaan dengan pemberlakuan PMK 229/2014, Mahkamah berpendapat bahwa memang terdapat kebutuhan untuk mengatur lebih tegas pendelegasian wewenang teknis-administratif “pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3a) UU KUP kepada Menteri Keuangan. Sesuai dengan sifatnya sebagai delegasi yang bersifat teknis-administratif maka, di satu pihak, pengaturan demikian tidak boleh mengandung materi muatan yang merugikan hak wajib pajak dalam memberi kuasa kepada pihak manapun yang dinilainya mampu memperjuangkan hak- haknya sebagai wajib pajak dan menurut undang-undang absah untuk menerima kuasa demikian serta, di lain pihak, tidak menghambat atau mengurangi kewenangan negara untuk memungut pajak yang diturunkan dari UUD 1945. Pendelegasian kewenangan mengatur hal-hal yang bersifat teknis-administratif bukan dimaksudkan untuk memberikan kewenangan yang lebih (over capacity of power) kepada Menteri Keuangan melainkan hanya untuk mengatur lebih lanjut mengenai “syarat dan tata cara pelaksanaan kuasa”. Artinya, pengaturan itu tidak boleh berisikan materi muatan yang seharusnya merupakan materi muatan peraturan yang lebih tinggi, lebih-lebih materi muatan undang-undang. Oleh karena itu, ada atau tidak ada kasus konkret sebagaimana dialami Pemohon, pendelegasian kewenangan mengenai “syarat dan tata cara pelaksanaan kuasa” sebagaimana diatur dalam Pasal 32 ayat (3a) UU KUP hanya dapat dinyatakan konstitusional jika materi muatannya semata-mata bersifat teknis-administratif.

d. Bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas telah ternyata bahwa dalil Pemohon mengenai inkonstitusionalitas materi muatan Pasal 32 ayat (3a) UU KUP adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian, yaitu sepanjang frasa “pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa” dalam Pasal 32 ayat (3a) UU KUP tidak dimaknai hanya berkenaan dengan hal-hal yang bersifat teknis- administratif, yaitu sepanjang tidak membatasi hak konstitusional warga negara dan bukan pembatasan dan/atau perluasan hak dan kewajiban.

2. Bahwa dalam Amar Putusan MK dalam Perkara Nomor 63/PUU-XV/2017, Mahkamah Konstitusi menyatakan:
1) Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian.
2) Menyatakan frasa “pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa” dalam Pasal 32 ayat (3a) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai hanya berkenaan dengan hal-hal yang bersifat teknis-administratif dan bukan pembatasan dan/atau perluasan hak dan kewajiban warga negara.
3) Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya.
4) Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

3. Bahwa terhadap Putusan MK dalam Perkara Nomor 63/PUU-XV/2017 sebagaimana diuraikan diatas, untuk mengisi kekosongan hukum berdasarkan Pasal 10 ayat (1) huruf d, Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 23 ayat (1) huruf b UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan saran sebagai berikut:
1) Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 63/PUU-XV/2017 sebagai bahan dalam penyusunan Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka.
2) Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 63/PUU-XV/2017 sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan UU KUP.

Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum dan bersifat erga omnes (berlaku bagi setiap orang) yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh seluruh organ penyelenggara Negara, organ penegak hukum dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 63/PUU-XV/2017 mengenai materi muatan pasal/ayat dalam UU KUP yang dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, agar tidak menimbulkan kekosongan hukum, dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan Perubahan UU KUP.

INFO JUDICIAL REVIEW PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 93/PUU-XV/2017 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI / 20-03-2018

1. Bahwa permohonan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK) dalam Perkara Nomor 93/PUU-XV/2017 diajukan oleh Abda Khair Mufti, Muhammad Hafidz, Abdul Hakim, yang dikuasakan kepada Eep Ependi, S.H

2. Bahwa Pemohon dalam permohonannya mengajukan pengujian materiil atas Pasal 55 UU MK, yang berketentuan: “Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang sedang dilakukan Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi”.

3. Bahwa Pasal 55 UU MK dianggap Para Pemohon bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 karena telah merugikan dan melanggar hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon.

4. Bahwa dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 93/PUU- XV/2017, perwakilan DPR dihadiri oleh
Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

1. Bahwa dalam Putusan Nomor 93/PUU-XV/2017, MK memberikan pertimbangan hukum terhadap pengujian Pasal 55 UU MK sebagai berikut:

a. Pertama, bahwa mengajukan permohonan pengujian peraturan perundang-undangan merupakan hak setiap warga negara atau badan hukum atau kesatuan masyarakat hukum adat yang merasa hak konstitusionalnya dan hak hukumnya terlanggar oleh berlakunya suatu norma. Secara konstitusional, permohonan pengujian tersebut dapat dilakukan melalui Mahkamah Konstitusi terhadap undang-undang, dan melalui Mahkamah Agung terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Dalam konteks ini, mekanisme pengujian peraturan perundang-undangan merupakan sarana bagi rakyat melalui pelaku kekuasaan kehakiman untuk mengontrol produk hukum yang dibentuk oleh pembentuk undang-undang atau peraturan perundang undangan di bawah undang-undang;

Bahwa oleh karena mekanisme pengujian peraturan perundang-undangan merupakan sebuah mekanisme kontrol untuk menjamin bahwa produk hukum yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan tidak melanggar hak asasi manusia atau hak konstitusional warga negara, maka keberadaan mekanisme judicial review haruslah dinilai dari sisi kepentingan warga negara sebagai pencari keadilan. Dalam hal ini, kepentingan orang atau badan hukum yang merasa hak konstitusional atau hak hukumnya terlanggar akibat keberlakuan sebuah norma yang harus menjadi prioritas ketika menentukan kepastian hukum mana yang harus didahulukan di antara beberapa dalil kepastian hukum yang muncul;

b. Kedua, bahwa keberadaan Pasal 55 UU MK sebagaimana telah disinggung sebelumnya adalah untuk memberikan kepastian hukum terhadap proses pengujian peraturan perundang-undangan, khususnya peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang undang-undang yang menjadi dasar pengujiannya sedang diuji di Mahkamah Konstitusi Kepastian hukum yang diinginkan dari penghentian pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang tidaklah perlu dipertentangkan dengan kepastian hukum bagi pencari keadilan ketika mengajukan permohonan uji materiil. Para pencari keadilan haruslah mendapatkan kepastian hukum atas permohonan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Kepastian tersebut dapat diperoleh dengan menghentikan sementara proses pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang hingga adanya putusan Mahkamah Konstitusi;

Bahwa dengan demikian, apabila Pasal 55 UU MK dilaksanakan dalam bentuk menghentikan sementara proses pengujian peraturan perundang- undangan di bawah undang-undang yang undang-undang sebagai dasar pengujianya sedang diuji Mahkamah Konstitusi, maka kepastian hukum proses pengujian dan juga kepastian hukum bagi pencari keadilan sesuai asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan juga dapat dipenuhi. Hanya saja, sebagaimana diterangkan Mahkamah Agung, Pasal 55 UU MK diterapkan dalam bentuk menghentikan proses pengujian peraturan perundang-undangan di mana undang-undang yang menjadi dasar pengujianya sedang diuji di Mahkamah Konstitusi dengan menjatuhkan putusan akhir dengan menyatakan bahwa permohonan pengujian materiil tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard, NO)

Bahwa secara tekstual, maksud rumusan Pasal 55 UU MK sesungguhnya adalah untuk menghentikan sementara. Hal itu dapat dipahami dari penggunaan kata “dihentikan” dan frasa “sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi”. Kedua rumusan dalam norma tersebut sesungguhnya bermakna bahwa penghentian proses pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang oleh Mahkamah Agung adalah untuk sementara waktu. Dengan konstruksi demikian, tidak ada putusan akhir bagi permohonan pengujian peraturan perundang-undang di bawah undang-undang yang undang-undang sebagai dasar pengujiannya sedang diuji di Mahkamah Konstitusi hingga adanya putusan Mahkamah Konstitusi. Hanya saja, kata “dihentikan” membuka peluang ditafsirkan untuk dijatuhkannya putusan akhir berupa permohonan tidak dapat diterima. Sehubungan dengan hal demikian, keberadaan kata “dihentikan” telah menyebabkan terjadinya ketidakpastian hukum. Ketidakpastian hukum tersebut baik terkait substansi norma Pasal 55 UU MK sendiri maupun ketidakpastian hukum bagi pencari keadilan untuk dapat mengikuti proses peradilan uji materiil sesuai dengan asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan;

Bahwa ketidakpastian hukum terhadap substansi norma a quo terjadi karena maksud yang terkandung dalam Pasal 55 UU MK hanya sebagai penghentian sementara sebagaimana dijelaskan Pemerintah dan Mahkamah Agung sebagai Pihak Terkait, ternyata tidak saja dapat dimaknai demikian. Norma tersebut juga mengandung pengertian bahwa permohonan dihentikan dengan putusan akhir dengan amar menyatakan permohonan uji materiil tidak dapat diterima oleh Mahkamah Agung. Putusan akhir dengan amar tidak dapat diterima yang demikian tentunya tidak lagi dapat dimaknai sebagai penghentian sementara, melainkan menghentikan proses pengujian secara tetap. Dengan demikian, apabila pengujian materiil hendak diajukan lagi, maka harus dengan cara mengajukan permohonan baru, di mana hal tersebut harus disertai dengan membayar biaya permohonan lagi, sebagaimana diterangkan oleh Pemohon yang dibenarkan oleh Pihak Terkait Mahkamah Agung dalam persidangan. Oleh karena itu, norma Pasal 55 UU MK, khususnya kata “dihentikan” telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan tidak sejalan dengan prinsip peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan sebagaimana yang menjadi amanat UU Kekuasaan Kehakiman;

Bahwa dalam konteks pemaknaan yang menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pencari keadilan sebagaimana telah diuraikan di atas adalah terjadi karena apabila permohonan uji materiil terhadap peraturan perundang-undangan yang undang-undang sebagai dasar pengujiannya sedang diuji Mahkamah Konstitusi dihentikan dengan putusan akhir yang menyatakan tidak dapat diterima Putusan tidak dapat diterima dapat dimaknai bahwa terdapat syarat formil semata yang tidak terpenuhi yang bukan disebabkan oleh kesalahan Pemohon. Dalam hal ini, pengujian terhadap undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang tidak berhubungan dengan kepentingan hukum pencari keadilan yang dijadikan sebagai penyebab terhadap dinyatakannya permohonan uji materiil peraturan perundang-undang di bawah undang-undang tersebut tidak dapat diterima. Artinya, pencari keadilan yang mengajukan permohonan uji materiil telah dirugikan oleh sesuatu yang bukan merupakan kesalahannya. Dengan demikian, Pemohon uji materiil harus menanggung risiko berupa permohonannya diputus dengan dinyatakan tidak dapat diterima hanya karena undang-undang yang menjadi dasar pengujian sedang diuji pula oleh Mahkamah Konstitusi;

Bahwa oleh karena sumber ketidakpastian hukum tersebut adalah keberadaan kata “dihentikan”, maka beralasan hukum untuk menyatakan kata tersebut inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai menjadi “ditunda pemeriksaannya”. Pemaknaan demikian juga sejalan dengan maksud awal perumusan norma Pasal 55 UU MK sebagaimana juga diterangkan Pemerintah. Bahkan, makna demikian jauh lebih memberikan kepastian hukum terhadap teks norma maupun kepastian hukum bagi proses uji materiil oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dan juga kepastian hukum bagi pencari keadilan yang mengajukan permohonan uji materiil peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang;

c. Ketiga, bahwa terkait kekhawatiran akan akibat hukum dimaknainya kata “dihentikan” sebagai “ditunda pemeriksaannya” terhadap terlampauinya tenggang waktu pemeriksaan permohonan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, Mahkamah berpendapat kekhawatiran demikian tidak perlu terjadi sebab waktu selama berlangsungnya penundaan tersebut tidak turut diperhitungkan;

Bahwa dengan menegaskan makna kata “dihentikan” adalah “ditunda pemeriksaan”, maka hal demikian sama sekali tidak akan bertentangan dan menyebabkan tidak pastinya jangka waktu proses uji materiil yang dilakukan oleh Mahkamah Agung. Dengan adanya norma undang-undang, dalam hal ini Pasal 55 UU MK, yang menyatakan bahwa proses pemeriksaan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang undang-undang sebagai dasar pengujiannya sedang diuji di Mahkamah Konstitusi, maka penghitungan jangka waktu proses pengujian permohonan oleh Mahkamah Agung disesuaikan dengan penundaan itu. Dalam arti, ketika penundaan dilakukan, makapenghitungan waktu uji materiil oleh Mahkamah Agung juga dihentikan sementara waktu hingga dimulai kembali proses pemeriksaan setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi;

Bahwa oleh karena itu, sekalipun kata “dihentikan” dimaknai menjadi “ditunda pemeriksaaannya”, hal itu sama sekali tidak akan menyebabkan terjadinya ketidakpastian hukum mengenai tenggang waktu pemeriksaan permohonan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang oleh Mahkamah Agung. Sehingga hal ini tidak dapat dijadikan dasar untuk memaknai bahwa kata “ditunda” harus dimaknai dengan menjatuhkan putusan akhir dengan menyatakan tidak dapat diterima terhadap permohonan uji materiil peraturan perundang-undangan yang undang-undang sebagai dasar pengujiannya sedang diuji oleh Mahkamah Konstitusi dengan alasan terlampauinya waktu;

d. Keempat, bahwa mengenai akibat hukum munculnya ketidakpastian hukum apabila kata “dihentikan” dimaknai “ditunda pemeriksaan”, sejalan dengan apa yang telah diuraikan sebelumnya, sekalipun kata “dihentikan” dimaknai dengan “ditunda pemeriksaannya”, sama sekali tidak akan terjadi pertentangan antara putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian undang-undang dengan putusan Mahkamah Agung dalam pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Dalam hal putusan pengujian undang-undang, misalnya ditolak oleh Mahkamah Konstitusi, maka Mahkamah Agung tinggal melanjutkan proses pengujian peraturan perundang-undangan di bahwa undang-undang berdasarkan undang-undang yang pengujiannya telah dinyatakan ditolak oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam konteks ini, tidak ada persoalan dan tidak ada peluang terjadinya pertentangan putusan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung dalam pengujian peraturan dalam satu jenjang hierarki norma. Seandainya putusan pengujian UU dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi, maka Mahkamah Agung juga tinggal melanjutkan proses pemeriksaan berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi sepanjang norma yang diuji ada kaitannya dengan norma peraturan perundang-undangan yang diuji oleh Mahkamah Agung. Apabila ternyata putusan Mahkamah Konstitusi menyebabkan batal atau hilangnya norma yang menjadi dasar pengujian, atas dasar itulah Mahkamah Agung menyatakan permohonan tidak dapat diterima atau ditolak. Dengan demikian, sama sekali tidak terdapat potensi pertentangan antara putusan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung ketika kata “dihentikan” dimaknai “ditunda pemeriksaannya”;

e. Kelima, bahwa mengenai akibat hukum memaknai kata “dihentikan” dengan “ditunda pemeriksaannya” terhadap penumpukan perkara di Mahkamah Agung. Ketidapastian hukum substansi norma maupun kepastian hukum bagi pencari keadilan dalam proses pengujian peraturan perundang-undangan tidak dapat dibandingkan atau ditukarkan dengan masalah administratif penumpukan perkara. Dalam arti, penumpukan perkara tidak dapat dijadikan alasan untuk membiarkan ketidakpastian hukum yang terjadi akibat kata “dihentikan” dalam Pasal 55 UU MK terus dibiarkan tanpa kepastian penafsiran;

Bahwa sekalipun seandainya terjadi penumpukan perkara pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang akibat undang-undang yang menjadi dasar pengujiannya sedang diuji oleh Mahkamah Konstitusi, quod non, masalah tersebut memiliki kemudaratan yang lebih sedikit dibandingkan bila membiarkan ketidakpastian hukum yang ditimbulkan norma Pasal 55 UU MK terus dipertahankan. Penumpukan hanya akan berdampak pada bertambahnya beban kerja lembaga, sementara ketidakpastian yang terkandung dalam norma akan menyebabkan hak-hak konstitusional dan hak hukum warga negara akan terlanggar;

2. Bahwa dalam Amar Putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan sebagai berikut:
1) Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
2) Menyatakan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Kontitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) yang menyatakan, “Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang sedang dilakukan Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi”, sepanjang mengenai kata “dihentikan” dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang sedang dilakukan Mahkamah Agung ditunda pemeriksaannya apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi”;
3) Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

3. Bahwa terhadap Putusan MK dalam Perkara Nomor 93/PUU-XV/2017 sebagaimana diuraikan diatas, untuk mengisi kekosongan hukum berdasarkan Pasal 10 ayat (1) huruf d, Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 23 ayat (1) huruf b UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan saran sebagai berikut:
1) Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 93/PUU-XV/2017 sebagai bahan dalam penyusunan Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka.
2) Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 93/PUU-XV/2017 sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan UU MK.

Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dan bersifat erga omnes (berlaku bagi seluruh pihak) yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh seluruh organ penyelenggara Negara, organ penegak hukum dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 93/PUU-XV/2017 mengenai materi muatan pasal/ayat dalam UU MK yang dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, agar tidak menimbulkan kekosongan hukum, dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan Perubahan UU MK.

INFO JUDICIAL REVIEW PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 53/PUU-XV/2017 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM / 11-01-2018

1. Bahwa pada Kamis, tanggal 11 Januari 2018, Pukul 11.58 WIB, Mahkamah Konstitusi telah selesai menggelar Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 (UU Pemilihan Umum) tentang Pemilihan Umum dalam Perkara Nomor 53/PUU-XV/2017 Perihal Verifikasi Partai Politik Peserta Pemilihan Umum.

2. Bahwa Permohonan Pengujian UU Pemilihan Umum dalam Perkara Nomor 53/PUU-XV/2017 diajukan oleh Partai Islam Damai dan Aman (Partai Idaman) pada tanggal 8 Agustus 2017 yang menguji Pasal 173 ayat (1) sepanjang frasa “telah ditetapkan/”, Pasal 173 ayat (3) dan Pasal 222 UU Pemilihan Umum yang dianggap Pemohon bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 6A ayat (2), Pasal 22E ayat (1), (2) dan (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan (3), serta Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, yang pada pokoknya mengatur mengenai pemberlakuan Ambang Batas Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden sebagai syarat keterpenuhan atau jumlah minimum perolehan suara Partai Politik atau gabungan Partai Politik untuk dapat mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, serta mengenai Verifikasi Partai Politik Peserta Pemilu.

3. Bahwa pada Kamis, tanggal 5 Oktober 2017, Pukul 11.00 WIB, dalam Agenda Sidang Pleno Mendengarkan Keterangan DPR, Tim Kuasa DPR yang diwakili oleh H. Arsul Sani S.H., M.Si dan Ir. H. M. Lukman Edy, M.Si., telah memberikan dan menyampaikan Keterangan DPR kepada Mahkamah terhadap Perkara Nomor 53/PUU-XV/2017.

4. Bahwa dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 53/PUU-XV/2017, perwakilan DPR dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

1. Bahwa dalam Putusan Nomor 53/PUU-XV/2017, MK memberikan pertimbangan hukum terhadap Pasal 173 ayat (1) frasa “telah ditetapkan/” dan ayat (3) UU Pemilihan Umum sebagai berikut:

a. bahwa keberadaan frasa “telah ditetapkan/” dalam Pasal 173 ayat (1) UU Pemilihan Umum mengandung ketidakpastian hukum, karena frasa “telah ditetapkan/” disejajarkan dengan frasa “lulus verifikasi” dengan menggunakan tanda baca “/” (garis miring). Frasa “telah ditetapkan/” merupakan tindakan administratif menetapkan, sedangkan lulus verifikasi hanya sebatas hasil pengecekan terhadap keterpenuhan sesuatu syarat yang ditentukan Undang-Undang, di mana hasil verifikasi itulah kemudian yang akan berujung dengan adanya tindakan penetapan. Keduanya merupakan 2 (dua) hal yang berbeda dan tidak dapat disetarakan sebagaimana dalam rumusan Pasal 173 ayat (1) UU Pemilihan Umum. Oleh karena itu benar bahwa keberadaan frasa “telah ditetapkan/” telah menimbulkan ketidakpastian dan dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya perlakuan berbeda antar partai politik peserta Pemilu sehingga tidak dapat dipertahankan;

b. bahwa frasa “tidak diverifikasi ulang dan” dalam Pasal 173 ayat (3) UU Pemilihan Umum dimaksudkan untuk memberikan pengecualian kepada partai politik peserta Pemilu sebelumnya yaitu Pemilu 2014, sehingga dengan hilangnya frasa tersebut, maka keseluruhan norma yang termuat dalam Pasal 173 ayat (3) UU Pemilihan Umum menjadi kehilangan relevansinya untuk dipertahankan. Selain itu, bilamana hanya frasa “tidak diverifikasi ulang dan” saja yang dinyatakan bertentangan, maka rumusan Pasal 173 ayat (3) UU Pemilihan Umum akan menjadi sama dengan rumusan norma yang terdapat dalam Pasal 179 ayat (1) UU Pemilihan Umum;

c. bahwa terkait pembedaan perlakuan terhadap calon peserta Pemilu, Mahkamah dalam Putusan terdahulu yaitu Putusan MK No. 52/PUU-X/2012/. Tanggal 29 Agustus 2012 telah menyatakan norma yang mengatur hal yang sama yaitu Pasal 8 ayat (1) UU 8/2012 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dengan pertimbangan bahwa pada ranah kepesertaan dalam kontestasi politik seperti Pemilu, perlakuan berbeda tidak dapat dibenarkan. Oleh karena itu perimbangan MK dalam Putusan MK No. 52/PUU-X/2012/ masih relevan, sehingga norma dalam Pasal 173 ayat (3) UU Pemilihan Umum secara jelas telah menghidupkan kembali norma yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh MK.

d. bahwa norma UU Pemilihan Umum tidak boleh memuat norma yang pada pokoknya mengandung perlakuan berbeda terhadap calon peserta Pemilu karena bertentangan dengan hak atas kesempatan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan. Kemudian MK juga memperhatikan keadilan bagi setiap calon peserta Pemilu, pemekaran daerah dan perkembangan demografi, partai politik sebagai badan hukum yang dinamis dan verifikasi menyeluruh terhadap keterpenuhan syarat peserta Pemilu. Oleh karena itu perlakuan berbeda dapat dihindari dengan cara setiap partai politik calon peserta Pemilu harus mengikuti verifikasi dalam rangka untuk menyederhanakan jumlah partai politik peserta Pemilu sesuai dengan desain konstitusional dalam UUD NRI Tahun 1945.

2. Bahwa dalam Amar Putusan MK dalam Perkara Nomor 53/PUU-XV/2017, Mahkamah Konstitusi menyatakan:
1) Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian,
2) Menyatakan Frasa “telah ditetapkan/” dalam Pasal 173 ayat (1) UU Pemilihan Umum bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
3) Menyatakan Pasal 173 ayat (3) UU Pemilihan Umum bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
4) Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya
5) Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

3. Bahwa terhadap Putusan MK dalam Perkara Nomor 53/PUU-XV/2017 sebagaimana diuraikan diatas, untuk mengisi kekosongan hukum berdasarkan Pasal 10 ayat (1) huruf d, Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 23 ayat (1) huruf b UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan saran sebagai berikut:

1) Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 53/PUU-XV/2017 sebagai bahan dalam penyusunan Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka.
2) Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 53/PUU-XV/2017 sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan UU Pemilihan Umum.

Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dan bersifat erga omnes (berlaku bagi seluruh pihak) yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh seluruh organ penyelenggara Negara, organ penegak hukum dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 53/PUU-XV/2017 mengenai materi muatan pasal/ayat dalam UU Pemilihan Umum yang dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, agar tidak menimbulkan kekosongan hukum, dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan Perubahan UU Pemilihan Umum.

INFO JUDICIAL REVIEW PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 61/PUU-XV/2017 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM / 11-01-2018

1. Bahwa pada Kamis, tanggal 11 Januari 2018, Pukul 14.10 WIB, Mahkamah Konstitusi telah selesai menggelar Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilihan Umum) dalam Perkara Nomor 61/PUU-XV/2017 dan 66/PUU-XV/2017 Perihal Kelembagaan Penyelenggaraan Pemilu di Aceh.

2. Bahwa Permohonan Pengujian UU Pemilihan Umum dalam Perkara Nomor 61/PUU-XV/2017 diajukan oleh Kautsar dan Samsul Bahri pada tanggal 22 Agustus 2017 yang menguji Pasal 557 ayat (1) huruf a dan b, Pasal 557 ayat (2) dan Pasal 571 huruf d dan dalam Perkara Nomor 66/PUU-XV/2017 diajukan oleh Tgk. H. Muharuddin, S.Sos. pada tanggal 28 Agustus 2017 yang menguji Pasal 557 dan Pasal 571 huruf d yang dianggap para Pemohon bertentangan dengan Pasal 18, Pasal 18A ayat (1), Pasal 18B ayat (1) dan Pasal 28C ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, yang pada pokoknya mengatur mengenai Kelembagaan Penyelenggaraan Pemilu di Aceh yang merupakan bagian dari kelembagaan penyelenggaraan Pemilu secara nasional dan bagian dari kekhususan atau keistimewaan Aceh dalam UU Pemerintahan Aceh, serta pelibatan DPRA dalam bentuk konsultasi dan pertimbangan pada proses pembentukan atau perubahan UU Pemilihan Umum oleh pembentuk undang-undang.

3. Bahwa pada Kamis, tanggal 5 Oktober 2017, Pukul 11.00 WIB dan Selasa, tanggal 14 November 2017, Pukul 15.00 WIB, dalam Agenda Sidang Pleno Mendengarkan Keterangan DPR, Tim Kuasa DPR yang diwakili oleh H. Arsul Sani S.H., M.Si dan Ir. H. M. Lukman Edy, M.Si., telah memberikan dan menyampaikan Keterangan DPR kepada Mahkamah terhadap Perkara Nomor 61/PUU-XV/2017 dan 66/PUU-XV/2017.

4. Bahwa dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 61/PUU-XV/2017 dan 66/PUU-XV/2017, perwakilan DPR dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

1. Pertimbangan Hukum dan Amar Putusan MK Nomor 61/PUU-XV/2017
Bahwa dalam Putusan Nomor 61/PUU-XV/2017, MK memberikan pertimbangan hukum terhadap Pengujian Pasal 557 ayat (2) UU Pemilihan Umum sebagai berikut:

a. bahwa meskipun tidak secara nyata disebutkan adanya pencabutan terhadap Pasal 56 UU Pemerintahan Aceh yang mengatur, klausul Pasal 557 ayat (2) UU Pemilihan Umum dengan sendirinya telah mencabut pasal yang berkenaan dengan Pemilihan Umum berlakunya Pasal 571 huruf d UU Pemilihan Umum telah mengubah substansi UU Pemerintahan Aceh yang berkenaan dengan kelembagaan penyelenggaraan pemilu di Aceh;

b. bahwa sesuai dengan UU Pemerintahan Aceh, meskipun KIP dan Panwaslih merupakan lembaga yang dibentuk sesuai dengan UU Pemerintahan Aceh, keberadaan lembaga-lembaga tersebut bukanlah bagian bagian dari lembaga yang menjalankan keistimewaan Aceh. Kemudian KIP sebagai penyelenggara Pemilu dan Pilkada di Aceh memiliki nama sendiri yang berbeda dengan dari penyelenggara Pemilu di daerah lain, demikian pula dengan keanggotaan KIP, termasuk prosedur atau tata cara pengisian keanggotaannya. Namun sekalipun terdapat perbedaan, hal itu bukanlah bagian dari keistimewaan Aceh itu sendiri. Berdasarkan Pasal 22E UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan hanya KPU yang memiliki kewenangan sebagai penyelenggara Pemilu, maka dapat dikonstruksikan secara konstutional bahwa KIP sebagai bagian dari KPU. Setelah KPU, KIP ditempatkan sebagai bagian dari KPU dimana KIP diberi kewenangan sesuai dengan UU Pemerintahan Aceh untuk menyelenggarakan Pemilu dan Pilkada di Aceh. Dalam konteks demikian, KIP Aceh dan KIP Kabupaten/Kota pada dasarnya sama dengan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota lainnya di Indonesia, demikian pula halnya dengan Panwaslih yang pada dasarnya sama dengan Bawaslu;

c. bahwa Pasal 1 angka 12 UU Pemerintahan Aceh telah menegaskan bahwa KIP Aceh dan KIP Kabupaten/Kota adalah bagian dari KPU. Oleh karena itu kewenangan KIP bukan diberikan oleh UU Pemerintahan Aceh, melainkan merujuk kepada konteks sejarah keberadaan KPU dan kelahiran serta keberadaan KIP aceh dan KIP Kabupaten/Kota; dan

d. bahwa jika hal-hal yang menyangkut nama dan komposisi keanggotaan serta prosedur pengisian keanggotaan KIP Aceh dan KIP Kabupaten/Kota hendak dilakukan perubahan hendak dilakukan perubahan, dan hal itu sesuai dengan hierarkis penyelenggara Pemilu yang bersifat nasional, perubahan itu memerlukan pelibatan dalam bentuk konsultasi dan pertimbangan DPRA. Dalam hal ini, apabila pembentuk undang-undang hendak mengubah ketentuan yang diatur dalam UU Pemerintahan Aceh, maka hal itu mengacu kepada UU Pemerintahan Aceh yaitu Pasal 8 ayat (2) juncto Pasal 269. Jika prosedur demikan tidak ditempuh, maka norma undang-undang yang substansinya berhubungan langsung dengan kekhususan atau keistimewaan yang diatur dalam UU Pemerintahan Aceh maupun yang mengubah ketentuan UU Pemerintahan Aceh akan berdampak pada terjadinya ketidakpastian hukum bagi pemerintahan Aceh maupun rakyat Aceh secara keseluruhan, yang berarti dengan sendirinya bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

Bahwa dalam Amar Putusan MK Perkara Nomor 61/PUU-XV/2017, Mahkamah Konstitusi menyatakan:
1) Mengabulkan Permohonan para Pemohon untuk sebagian.
2) Menyatakan Pasal 557 ayat (2) UU Pemilihan Umum yang berbunyi “Kelembagaan Penyelenggara Pemilu di Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendasarkan dan menyesuaikan pengaturannya berdasarkan Undang-Undang ini” bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
3) Menyatakan Permohonan para Pemohon sepanjang berkenaan dengan Pasal 571 huruf d UU Pemilihan Umum tidak dapat diterima.
4) Menolak Permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.
5) Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

2. Pertimbangan Hukum dan Amar Putusan MK Nomor 66/PUU-XV/2017
Bahwa dalam Putusan MK Nomor 66/PUU-XV/2017, MK memberikan pertimbangan hukum terhadap Pengujian Pasal 571 huruf d UU Pemilihan Umum sebagai berikut:

a. bahwa berlakunya Pasal 571 huruf d UU Pemilihan Umum telah mengubah substansi UU Pemerintahan Aceh yang berkenaan dengan kelembagaan penyelenggaraan pemilu di Aceh dimana MK telah menyatakan pendiriannya sebagaimana tertuang dalam Putusan MK Nomor 61/PUU-XV/2017;

b. bahwa meskipun kelembagaan penyelenggaraan Pemilu di Aceh bukan merupakan bagian dari kekhususan dan keistimewaan Aceh, namun konteks historis dari keberadaannya harus tetap dihormati. Oleh karena itu apabila hendak dilakukan perubahan berkenaan dengan nama maupun komposisi keanggotannya, maka proses atau tata caranya memerlukan konsultasi dan pertimbangan DPRA sebagaimana ditentukan dalam Pasal 8 ayat (2) juncto Pasal 269 UU Pemerintahan Aceh;

c. bahwa kelembagaan penyelenggaraan Pemilu di Aceh adalah bagian tak terpisahkan dari kelembagaan penyelenggaraan Pemilu secara nasional. Oleh karena itu, perubahan terhadapnya di masa yang akan datang sangat mungkin dilakukan apabila terdapat kebutuhan untuk itu. Namun perubahan itu pun dilakukan sesuai dengan proses dan tata cara dalam UU Pemerintahan Aceh; dan

d. bahwa MK tidak memperoleh cukup bukti yang dapat menyakinkan bahwa proses perumusan norma Pasal 571 huruf d UU Pemilihan Umum telah dilakukan konsultasi dan pertimbangan DPRA sesuai prosedur pembentukan dan perubahan UU Pemerintahan Aceh berdasarkan Pasal 8 ayat (2) juncto Pasal 269 UU Pemerintahan Aceh. Sehingga Pasal 571 huruf d UU Pemilihan Umum bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.

Bahwa dalam Amar Putusan MK dalam Perkara Nomor 66/PUU-XV/2017, Mahkamah Konstitusi menyatakan:
1) Mengabulkan Permohonan Pemohon untuk sebagian.
2) Menyatakan Pasal 571 huruf d UU Pemilihan Umum yang berbunyi “Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku: d. Pasal 57 dan Pasal 60 ayat (1), ayat (2), serta ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dicabut dan dinyatakan tidak berlaku” bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
3) Menyatakan Permohonan para Pemohon sepanjang berkenaan dengan Pasal 557 UU Pemilihan Umum tidak dapat diterima.
4) Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

3. Bahwa terhadap Putusan MK dalam Perkara Nomor 61/PUU-XV/2017 dan 66/PUU-XV/2017 sebagaimana diuraikan diatas, untuk mengisi kekosongan hukum berdasarkan Pasal 10 ayat (1) huruf d, Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 23 ayat (1) huruf b UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan saran sebagai berikut:
1) Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 61/PUU-XV/2017 dan 66/PUU-XV/2017 sebagai bahan dalam penyusunan Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka.
2) Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 61/PUU-XV/2017 dan 66/PUU-XV/2017 sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan UU Pemilihan Umum.

Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dan bersifat erga omnes (berlaku bagi seluruh pihak) yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh seluruh organ penyelenggara Negara, organ penegak hukum dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 61/PUU-XV/2017 dan 66/PUU-XV/2017 mengenai materi muatan pasal/ayat dalam UU Pemilihan Umum yang dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, agar tidak menimbulkan kekosongan hukum, dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan Perubahan UU Pemilihan Umum.

INFO JUDICIAL REVIEW PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 66/PUU-XV/2017 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM / 11-01-2018

1. Bahwa pada Kamis, tanggal 11 Januari 2018, Pukul 14.10 WIB, Mahkamah Konstitusi telah selesai menggelar Sidang Pengucapan Putusan Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilihan Umum) dalam Perkara Nomor 61/PUU-XV/2017 dan 66/PUU-XV/2017 Perihal Kelembagaan Penyelenggaraan Pemilu di Aceh.

2. Bahwa Permohonan Pengujian UU Pemilihan Umum dalam Perkara Nomor 61/PUU-XV/2017 diajukan oleh Kautsar dan Samsul Bahri pada tanggal 22 Agustus 2017 yang menguji Pasal 557 ayat (1) huruf a dan b, Pasal 557 ayat (2) dan Pasal 571 huruf d dan dalam Perkara Nomor 66/PUU-XV/2017 diajukan oleh Tgk. H. Muharuddin, S.Sos. pada tanggal 28 Agustus 2017 yang menguji Pasal 557 dan Pasal 571 huruf d yang dianggap para Pemohon bertentangan dengan Pasal 18, Pasal 18A ayat (1), Pasal 18B ayat (1) dan Pasal 28C ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, yang pada pokoknya mengatur mengenai Kelembagaan Penyelenggaraan Pemilu di Aceh yang merupakan bagian dari kelembagaan penyelenggaraan Pemilu secara nasional dan bagian dari kekhususan atau keistimewaan Aceh dalam UU Pemerintahan Aceh, serta pelibatan DPRA dalam bentuk konsultasi dan pertimbangan pada proses pembentukan atau perubahan UU Pemilihan Umum oleh pembentuk undang-undang.

3. Bahwa pada Kamis, tanggal 5 Oktober 2017, Pukul 11.00 WIB dan Selasa, tanggal 14 November 2017, Pukul 15.00 WIB, dalam Agenda Sidang Pleno Mendengarkan Keterangan DPR, Tim Kuasa DPR yang diwakili oleh H. Arsul Sani S.H., M.Si dan Ir. H. M. Lukman Edy, M.Si., telah memberikan dan menyampaikan Keterangan DPR kepada Mahkamah terhadap Perkara Nomor 61/PUU-XV/2017 dan 66/PUU-XV/2017.

4. Bahwa dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 61/PUU-XV/2017 dan 66/PUU-XV/2017, perwakilan DPR dihadiri oleh Pejabat dan Pegawai di Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI.

1. Pertimbangan Hukum dan Amar Putusan MK Nomor 61/PUU-XV/2017
Bahwa dalam Putusan Nomor 61/PUU-XV/2017, MK memberikan pertimbangan hukum terhadap Pengujian Pasal 557 ayat (2) UU Pemilihan Umum sebagai berikut:

a. bahwa meskipun tidak secara nyata disebutkan adanya pencabutan terhadap Pasal 56 UU Pemerintahan Aceh yang mengatur, klausul Pasal 557 ayat (2) UU Pemilihan Umum dengan sendirinya telah mencabut pasal yang berkenaan dengan Pemilihan Umum berlakunya Pasal 571 huruf d UU Pemilihan Umum telah mengubah substansi UU Pemerintahan Aceh yang berkenaan dengan kelembagaan penyelenggaraan pemilu di Aceh;

b. bahwa sesuai dengan UU Pemerintahan Aceh, meskipun KIP dan Panwaslih merupakan lembaga yang dibentuk sesuai dengan UU Pemerintahan Aceh, keberadaan lembaga-lembaga tersebut bukanlah bagian bagian dari lembaga yang menjalankan keistimewaan Aceh. Kemudian KIP sebagai penyelenggara Pemilu dan Pilkada di Aceh memiliki nama sendiri yang berbeda dengan dari penyelenggara Pemilu di daerah lain, demikian pula dengan keanggotaan KIP, termasuk prosedur atau tata cara pengisian keanggotaannya. Namun sekalipun terdapat perbedaan, hal itu bukanlah bagian dari keistimewaan Aceh itu sendiri. Berdasarkan Pasal 22E UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan hanya KPU yang memiliki kewenangan sebagai penyelenggara Pemilu, maka dapat dikonstruksikan secara konstutional bahwa KIP sebagai bagian dari KPU. Setelah KPU, KIP ditempatkan sebagai bagian dari KPU dimana KIP diberi kewenangan sesuai dengan UU Pemerintahan Aceh untuk menyelenggarakan Pemilu dan Pilkada di Aceh. Dalam konteks demikian, KIP Aceh dan KIP Kabupaten/Kota pada dasarnya sama dengan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota lainnya di Indonesia, demikian pula halnya dengan Panwaslih yang pada dasarnya sama dengan Bawaslu;

c. bahwa Pasal 1 angka 12 UU Pemerintahan Aceh telah menegaskan bahwa KIP Aceh dan KIP Kabupaten/Kota adalah bagian dari KPU. Oleh karena itu kewenangan KIP bukan diberikan oleh UU Pemerintahan Aceh, melainkan merujuk kepada konteks sejarah keberadaan KPU dan kelahiran serta keberadaan KIP aceh dan KIP Kabupaten/Kota; dan

d. bahwa jika hal-hal yang menyangkut nama dan komposisi keanggotaan serta prosedur pengisian keanggotaan KIP Aceh dan KIP Kabupaten/Kota hendak dilakukan perubahan hendak dilakukan perubahan, dan hal itu sesuai dengan hierarkis penyelenggara Pemilu yang bersifat nasional, perubahan itu memerlukan pelibatan dalam bentuk konsultasi dan pertimbangan DPRA. Dalam hal ini, apabila pembentuk undang-undang hendak mengubah ketentuan yang diatur dalam UU Pemerintahan Aceh, maka hal itu mengacu kepada UU Pemerintahan Aceh yaitu Pasal 8 ayat (2) juncto Pasal 269. Jika prosedur demikan tidak ditempuh, maka norma undang-undang yang substansinya berhubungan langsung dengan kekhususan atau keistimewaan yang diatur dalam UU Pemerintahan Aceh maupun yang mengubah ketentuan UU Pemerintahan Aceh akan berdampak pada terjadinya ketidakpastian hukum bagi pemerintahan Aceh maupun rakyat Aceh secara keseluruhan, yang berarti dengan sendirinya bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

Bahwa dalam Amar Putusan MK Perkara Nomor 61/PUU-XV/2017, Mahkamah Konstitusi menyatakan:
1) Mengabulkan Permohonan para Pemohon untuk sebagian.
2) Menyatakan Pasal 557 ayat (2) UU Pemilihan Umum yang berbunyi “Kelembagaan Penyelenggara Pemilu di Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendasarkan dan menyesuaikan pengaturannya berdasarkan Undang-Undang ini” bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
3) Menyatakan Permohonan para Pemohon sepanjang berkenaan dengan Pasal 571 huruf d UU Pemilihan Umum tidak dapat diterima.
4) Menolak Permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.
5) Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

2. Pertimbangan Hukum dan Amar Putusan MK Nomor 66/PUU-XV/2017
Bahwa dalam Putusan MK Nomor 66/PUU-XV/2017, MK memberikan pertimbangan hukum terhadap Pengujian Pasal 571 huruf d UU Pemilihan Umum sebagai berikut:

a. bahwa berlakunya Pasal 571 huruf d UU Pemilihan Umum telah mengubah substansi UU Pemerintahan Aceh yang berkenaan dengan kelembagaan penyelenggaraan pemilu di Aceh dimana MK telah menyatakan pendiriannya sebagaimana tertuang dalam Putusan MK Nomor 61/PUU-XV/2017;

b. bahwa meskipun kelembagaan penyelenggaraan Pemilu di Aceh bukan merupakan bagian dari kekhususan dan keistimewaan Aceh, namun konteks historis dari keberadaannya harus tetap dihormati. Oleh karena itu apabila hendak dilakukan perubahan berkenaan dengan nama maupun komposisi keanggotannya, maka proses atau tata caranya memerlukan konsultasi dan pertimbangan DPRA sebagaimana ditentukan dalam Pasal 8 ayat (2) juncto Pasal 269 UU Pemerintahan Aceh;

c. bahwa kelembagaan penyelenggaraan Pemilu di Aceh adalah bagian tak terpisahkan dari kelembagaan penyelenggaraan Pemilu secara nasional. Oleh karena itu, perubahan terhadapnya di masa yang akan datang sangat mungkin dilakukan apabila terdapat kebutuhan untuk itu. Namun perubahan itu pun dilakukan sesuai dengan proses dan tata cara dalam UU Pemerintahan Aceh; dan

d. bahwa MK tidak memperoleh cukup bukti yang dapat menyakinkan bahwa proses perumusan norma Pasal 571 huruf d UU Pemilihan Umum telah dilakukan konsultasi dan pertimbangan DPRA sesuai prosedur pembentukan dan perubahan UU Pemerintahan Aceh berdasarkan Pasal 8 ayat (2) juncto Pasal 269 UU Pemerintahan Aceh. Sehingga Pasal 571 huruf d UU Pemilihan Umum bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.

Bahwa dalam Amar Putusan MK dalam Perkara Nomor 66/PUU-XV/2017, Mahkamah Konstitusi menyatakan:
1) Mengabulkan Permohonan Pemohon untuk sebagian.
2) Menyatakan Pasal 571 huruf d UU Pemilihan Umum yang berbunyi “Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku: d. Pasal 57 dan Pasal 60 ayat (1), ayat (2), serta ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dicabut dan dinyatakan tidak berlaku” bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
3) Menyatakan Permohonan para Pemohon sepanjang berkenaan dengan Pasal 557 UU Pemilihan Umum tidak dapat diterima.
4) Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

3. Bahwa terhadap Putusan MK dalam Perkara Nomor 61/PUU-XV/2017 dan 66/PUU-XV/2017 sebagaimana diuraikan diatas, untuk mengisi kekosongan hukum berdasarkan Pasal 10 ayat (1) huruf d, Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 23 ayat (1) huruf b UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan saran sebagai berikut:
1) Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 61/PUU-XV/2017 dan 66/PUU-XV/2017 sebagai bahan dalam penyusunan Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka.
2) Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 61/PUU-XV/2017 dan 66/PUU-XV/2017 sebagai acuan dalam penyusunan Rancangan Perubahan UU Pemilihan Umum.

Bahwa Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat (tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh) serta langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dan bersifat erga omnes (berlaku bagi seluruh pihak) yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh seluruh organ penyelenggara Negara, organ penegak hukum dan warga Negara. Oleh karena itu, Putusan MK dalam Perkara Nomor 61/PUU-XV/2017 dan 66/PUU-XV/2017 mengenai materi muatan pasal/ayat dalam UU Pemilihan Umum yang dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, agar tidak menimbulkan kekosongan hukum, dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan Perubahan UU Pemilihan Umum.

← Sebelumnya 1 Selanjutnya →