Keterangan DPR mengenai Pengujian UU Terhadap UUD 1945

Keterangan DPR Perkara No. 60/PUU-XV/2017 / 04-10-2017

No. 7/2017 tentang Pemilihan Umum

KERUGIAN KONSTITUSIONAL PEMOHON
a. Bahwa Pemohon Perkara 60 beranggapan, bahwa Pasal 173 ayat
(3) jo. Pasal 173 ayat (1) UU PEMILU bersifat dikriminatif kepada partai
politik PSI. Diskriminatif ini timbul karena ketentuan Pasal 173 ayat (3) jo.
Pasal 173 ayat (1) UU PEMILU telah menimbulkan adanya standar ganda
dan karenanya bersifat tidak adil dan diskriminatif. (vide permohonan
Pemohon hal 10-11)
b. Bahwa Pemohon Perkara 60 beranggapan, bahwa Pasal 173 ayat
(2) huruf e UU PEMILU yakni ketentuan yang hanya mewajibkan
keterwakilan perempuan di tingkat pusat saja (tidak perlu diwajibkan
sampai tingkatan kabupaten/kota) telah menimbulkan ketidakpastian
hukum. Hal ini dikarenakan Pasal 173 ayat (2) huruf e UU PEMILU tidak
memberikan perlindungan hukum bagi partisipai perempuan di dalam
kepengurusan partai politik. Pemohon menginginkan agar di setiap
tingkatan (tidak hanya di tingkatan pusat saja) terdapat jaminan
pemenuhan keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik.
(vide permohonan Pemohon hal 10-11).
c. Bahwa pasal-pasal a quo oleh Pemohon Perkara 60 dianggap
bertentangan dengan) Pasal 22E ayat (1); Pasal 27 ayat (1); Pasal 28D
ayat (1) dan ayat (3); Pasal 28H ayat (2); Pasal 28I ayat (2); dan Pasal
28J ayat (2) UUD Tahun 1945.
LEGAL STANDING
Terhadap dalil-dalil yang dikemukakan Para Pemohon dalam perkara
Nomor 44, 53, 59, 60, 61, dan 62/PUU-XV/2017 terhadap kedudukan
hukum (legal standing) tersebut, DPR RI berpandangan bahwa Para
Pemohon a quo, harus membuktikan dahulu kedudukan hukum (legal
standing) mengenai adanya kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional atas berlakunya pasal a quo, Para Pemohon juga perlu
membuktikan secara logis hubungan sebab akibat (causal verband)
antara kerugian yang dialami Para Pemohon dengan berlakunya Pasal a
quo yang dimohonkan pengujian sebagaimana syarat-syarat yang harus
dipenuhi oleh ketentuan Pasal 51 ayat (1) dan Penjelasan UU MK, serta
memenuhi persyaratan kerugian konstitusional yang diputuskan dalam
putusan MK terdahulu.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, terhadap kedudukan hukum
(legal standing), DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis
Hakim Konstitusi Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan menilai
apakah Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing)
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK dan Putusan MK
Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan perkara Nomor 011/PUU-
V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional.
POKOK PERKARA
1. Pandangan DPR RI terhadap pengujian Pasal 222 UU PEMILU.

a) Bahwa Para Pemohon juga dalam perkara ini menguji Pasal 222 UU
PEMILU dengan mendalilkan bahwa ketentuan Pasal 222 UU PEMILU
mengakibatkan Ketua Umum Partai IDAMAN akan mengalami kerugian
yakni akan terhalangi hak konstitusionalnya untuk memajukan dirinya
sebagai calon Presiden karena ketentuan Pasal 222 UU PEMILU berarti
hanya partai peserta Pemilu di Tahun 2014 lah yang berhak untuk
memajukan calon presiden dan wakil presiden. Bahwa terhadap dalil
Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan bahwa hal yang didalilkan
Pemohon tersebut bersifat asumtif belaka. Oleh karena, Pemohon atau
Ketua Umum Partai Idaman tetap tidak dibatasi haknya untuk diusulkan
sebagai calon Presiden, apabila diusulkan oleh Partai Politik atau
gabungan Partai Politik yang memenuhi syarat berdasarkan ketentuan
Undang-undang ini;

b) Bahwa terkait dengan pengaturan bahwa calon presiden dan calon
wakil presiden diajukan oleh partai atau gabungan partai yang memenuhi
syarat sesuai ambang batas pencalonan presiden sebesar yakni 20% kursi
DPR atau 25% suara sah nasional dari acuan Pemilu yang sebelumnya.,
hal ini mengacu pada ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD Tahun 1945 yang
berbunyi bahwa “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan
oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum
sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. Sejatinya Pasal 6A ayat (2) UUD
Tahun 1945 ini memiliki tiga maksud yakni Pertama, yang menjadi
Peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden bukan partai politik atau
gabungan partai politik melainkan pasangan calon presiden dan wakil
presiden. Kedua, partai politik atau gabungan partai politik berperan
sebagai pengusul pasangan calon presiden dan wakil presiden. dan
Ketiga, pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden dilakukan
sebelum pelaksanaan pemilihan umum anggota DPR, dan DPD, serta
pemilihan umum presiden dan wakil presiden;

c) Bahwa Putusan MK No. 14/PUU-XI/2013 dalam pertimbangan
hukumnya menyatakan bahwa Pemilu Presiden dan Wakil Presiden harus
dilaksanakan secara serentak dengan Pemilu legislatif pada Tahun 2019.
Bahwa Pembentuk UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden
dan Wakil Presiden beralasan bahwa Pemilu legislatif didahulukan
daripada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden bertujuan untuk
memperkuat sistem presidensial, sehingga diperlukan ambang batas
(presidential threshold) bagi partai politik yang mengusulkan pasangan
calon Presiden dan Wakil Presiden, namun dengan dilaksanakannya
Pemilu serentak ini maka apakah alasan tersebut masih relevan.
Bahwa terkait masih adanya ambang batas dalam pasal a quo UU
PEMILU, DPR RI berpandangan bahwa tekait dengan diberlakukannya
presidential threshold itu konstitusional atau tidak dipandang perlu
merujuk Pendapat Mahkamah pada point [3.17] Putusan Mahkamah
Konstitusi No 51-52-59/PUU-VI/2008

60/PUU-XV/2017

Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
"Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik
Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit
20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua
puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu Anggota DPR
periode sebelumnya."

Pasal 22E ayat (1); Pasal 27 ayat (1); Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3);
Pasal 28H ayat (2); Pasal 28I ayat (2); dan Pasal 28J ayat (2) UUD
Tahun 1945.
Pasal 22E ayat (1)
"(1) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.";
Pasal 27 ayat (1)
"(1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya.";
Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3)
"(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan,
dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum.
(3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama
dalam pemerintahan";
Pasal 28H ayat (2)
"(2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus
untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai
persamaan dan keadilan";
Pasal 28I ayat (2)
"(2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif
atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap
perlakuan yang bersifat diskriminatif itu";
Pasal 28J ayat (2)
"(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib
tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang
dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi
tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,
keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis"