Keterangan DPR mengenai Pengujian UU Terhadap UUD 1945

Keterangan DPR Perkara No. 56/PUU-XV/2017 / 18-08-2017

No. 5/1969 tentang Pernyataan berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang-Undang.

Kerugian Konstitusional:
Para Pemohon dalam permohonannya mengemukakan bahwa hak
konstitusionalnya telah dirugikan dan dilanggar oleh
berlakunya ketentuan pasal-pasal a quo sebagaimana
dikemukakan dalam permohonannya yang pada intinya menyatakan
sebagai berikut:
1. Bahwa ketidakpastian dan ketidakjelasan norma dalam
ketentuan Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3 UU Penodaan Agama
mengakibatkan adanya ketidakpastian hukum yang telah
meniadakan hak untuk menganut aliran agama yang berada di
Indonesia oleh para penganutnya yang beribadah secara
internal yang merupakan bagian dari aliran-aliran yang telah
ada dan aktif menjalankan kehidupan keagamaannya yang dalam
wujud konkritnya Para Pemohon sulit beribadah karena tempat
ibadahnya dibakar, dirusak dan disegel yang diakibatkan oleh
pemberlakuan UU Penodaan Agama. (Vide Perbaikan Permohonan
halaman 10 dan 11)
2. Bahwa norma dalam Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3 UU Penodaan
Agama menjadi landasan dikeluarkannya Keputusan Bersama
Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri
Republik Indonesia Nomor: 3 Tahun 2008, Nomor:
KEP-033/A/JA/6/2008, Nomor: 199 Tahun 2008 tentang
Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau
Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), dan Warga
Masyarakat (selanjutnya disebut SKB Ahmadiyah) yang tidak
jelas kapan berakhirnya, yang membuat tidak terciptanya
kepastian hukum bagi Para Pemohon yang merupakan Warga
Negara Indonesia penganut agama Islam yang berada dalam
Komunitas Ahmadiyah dan dengan demikian mengakibatkan
terlanggarnya hak konstitusional Para Pemohon atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. (Vide
perbaikan permohonan halaman 17)

Legal Standing
Bahwa terhadap kedudukan hukum (Legal Standing) Para
Pemohon, DPR RI memberikan pandangan sebagai berikut:
1. Bahwa kerugian yang dialami Para Pemohon bukanlah
merupakan kerugian konstitusional atas penerapan pasal-pasal
a quo, namun lebih kepada kerugian materiil berupa tindakan
sewenang-wenang dari masyarakat tanpa proses peradilan atas
tetap beraktivitasnya kegiatan ibadah komunitas Ahmadiyah
pasca dikeluarkannya SKB Ahmadiyah.
2. Bahwa Para Pemohon tidak dapat membuktikan secara logis
hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian yang
dialami Para Pemohon dengan berlakunya pasal-pasal a quo
yang dimohonkan pengujian. Bahwa kerugian yang dialami Para
Pemohon, sesungguhnya bukanlah akibat langsung dari
berlakunya pasal-pasal a quo, namun kerugian tersebut muncul
karena Para Pemohon tetap melanggar Keputusan Bersama
Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri
Republik Indonesia Nomor: 3 Tahun 2008, Nomor:
KEP-033/A/JA/6/2008, Nomor: 199 Tahun 2008 Tentang
Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau
Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga
Masyarakat.
Berdasarkan pada hal-hal yang telah disampaikan tersebut DPR
RI berpandangan bahwa Para Pemohon tidak memiliki kedudukan
hukum (legal standing) karena tidak dapat menguraikan secara
konkrit mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya
yang dianggap dirugikan atas berlakunya ketentuan yang
dimohonkan untuk diuji, utamanya dalam mengkonstruksikan
adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionaInya
yang dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan
untuk diuji tersebut. Dengan demikian Para Pemohon tidak
memenuhi ketentuan Pasal 51 ayat (1) dan Penjelasan UU
Mahkamah Konstitusi, serta tidak memenuhi persyaratan
kerugian konstitusional yang diputuskan dalam putusan
Mahkamah Konstitusi terdahulu.

Pokok Perkara:
Bahwa terhadap pokok perkara dalam Permohonan a quo, DPR RI
berpandangan sebagai berikut:
1. Bahwa menurut bagian Penjelasan Umum angka 3 UU Penodaan
Agama, tujuan dibentuknya UU Penodaan Agama ini adalah agar
segenap rakyat diseluruh wilayah Indonesia ini dapat
menikmati ketenteraman beragama dan jaminan untuk menunaikan
ibadah menurut Agamanya masing-masing. Dengan adanya tujuan
untuk menciptakan ketenteraman beragama inilah maka dalam
Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 3 UU Penodaan Agama ditujukan
adanya pencegahan agar tidak terjadi
penyelewengan-penyelewengan dari ajaran-ajaran pokok agama
dari ulama-ulama agama tertentu. Selanjutnya dalam Pasal 4
UU Penodaan Agama ditujukan untuk melindungi ketenteraman
beragama tersebut dari penodaan/penghinaan serta dari
ajaran-ajaran untuk tidak memeluk agama yang bersendikan
Ke-Tuhanan Yang Maha Esa.
2. Bahwa sejak 9 Juni 2008, kepada penganut, anggota,
dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia
(sepanjang mengaku beragama Islam) telah diberi peringatan
dan diperintahkan untuk menghentikan penyebaran penafsiran
dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Agama
Islam yaitu penyebaran faham yang mengakui adanya nabi
dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW.
Peringatan dan Perintah tersebut dimuat dalam Keputusan
Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri
Republik Indonesia Nomor: 3 Tahun 2008, Nomor:
KEP-033/A/JA/6/2008, Nomor: 199 Tahun 2008 Tentang
Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau
Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga
Masyarakat (selanjutnya disebut SKB Ahmadiyah).
3. Bahwa sebelum dikeluarkannya SKB Ahmadiyah tersebut,
Pemerintah telah melakukan upaya persuasif melalui
serangkaian kegiatan dan dialog untuk menyelesaikan
permasalahan Jemaat Ahmadiyah Indonesia agar tidak
menimbulkan keresahan dalam kehidupan beragama dan
mengganggu ketenteraman dan ketertiban kehidupan
bermasyarakat, dan dalam hal ini Jemaat Ahmadiyah Indonesia
telah menyampaikan 12 (dua belas) butir Penjelasan pada
tanggal 14 Januari 2008. Namun dari hasil pemantauan
terhadap 12 (dua belas) butir Penjelasan Jemaat Ahmadiyah
Indonesia tersebut, Tim Koordinasi Pengawasan Aliran
Kepercayaan Masyarakat (PAKEM) menyimpulkan bahwa meskipun
terdapat beberapa butir yang telah dilaksanakan namun masih
terdapat beberapa butir yang belum dilaksanakan oleh
penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat
Ahmadiyah Indonesia sehingga dapat mengganggu ketenteraman
dan ketertiban kehidupan bermasyarakat.
4. Bahwa tindakan perusakan dan penyegelan tempat ibadah
komunitas Ahmadiyah oleh warga sekitar masuk ke dalam ranah
pidana yang tidak ada pengaturannya di dalam UU Penodaan
Agama, namun masuk dalam perbuatan pidana kekerasan dalam
Pasal 170 KUHP dan/atau perbutan pidana perusakan dalam
Pasal 460 KUHP. SKB Ahmadiyah yang mendasarkan pada UU
Penodaan Agama sebagai undang-undang organiknya, juga
memasukkan tindakan perusakan dan penyegalan tersebut dengan
mengantisipasi adanya tindakan dan/atau perbuatan melawan
hukum kepada anggota komunitas Ahmadiyah sebagaimana
disebutkan dalam Diktum Keempat dan Kelima. Sehingga dalil
Para Pemohon yang menyatakan bahwa tindakan perusakan dan
penyegelan tersebut adalah akibat dari penerapan UU Penodaan
Agama melalui SKB Ahmadiyah, pendapat tersebut adalah tidak
memiliki dasar karena baik dalam UU Penodaan Agama maupun
dalam SKB Ahmadiyah tersebut tidak ada ketentuan atau norma
perintah untuk melakukan tindakan perusakan tempat ibadah
komunitas Ahmadiyah.
5. Bahwa terkait penyataan Para Pemohon yang menyatakan
adanya ketidakjelasan dalam pasal-pasal a quo menyebabkan
kerugian secara faktual, pernyataan tersebut tidak memiliki
dasar karena dalam Penjelasan Pasal 1 UU Penodaan Agama
telah jelas disebutkan adanya 6 agama yang diakui di
Indonesia berdasarkan sejarah panjang perkembangan
agama-agama di Indonesia yakni Islam, Kristen, Katolik,
Hindu, Budha dan Khong Cu (Confusius). Dengan adanya
penetapan 6 agama yang diakui di Indonesia ini menjadikan
jelas perlindungan ketenteraman beragama dan jaminan untuk
menunaikan ibadah menurut agama-agama yang diakui di
Indonesia sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Umum angka
3 UU Penodaan Agama. Dengan demikian, pasal-pasal a quo sama
sekali tidak bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) dan
Pasal 28G ayat (1) UUD Tahun 1945. Adapun perbuatan melawan
hukum yang dilakukan oleh warga sekitar adalah termasuk
dalam rezim KUHP, bukan rezim UU Penodaan Agama.

56/PUU-XV/2017

Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor
1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan Atau
Penodaan Agama Jo. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang
Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan
Presiden Sebagai Undang-Undang

Pasal 1 ayat (3), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1),
Pasal 28E ayat (1), Pasal 28E ayat (2), Pasal 28G ayat (1),
Pasal 28I, Pasal 29 ayat (2) UUD Tahun 1945