Keterangan DPR mengenai Pengujian UU Terhadap UUD 1945

Keterangan DPR Perkara No. 42/PUU-XV/2017 / 02-10-2017

No. 8/1981 tentang Hukum Acara Pidana.

KERUGIAN KONSTITUSIONAL PEMOHON
1) Bahwa pemohon berdasarkan Surat Penetapan Tersangka No.
25/F.2/Fd.1/2016 telah ditetapkan sebagai tersangka. Pemohon telah
mengajukan Permohonan Pra Peradilan yang kemudian permohonan
tersebut dikabulkandan memerintahkan penetapan tersangka atas nama
pemohon tidak sah dan tidak berdasar hukum dan memerintahkan
menghentikan penyidikan. Akan tetapi, meskipun permohonan
praperadilan pemohon dikabulkan, penyidik masih berpeluang
menerbitkan surat perintah penyidikan baru, maka pemohon
berpandangan masih memiliki kemungkinan untuk ditetapkan status
tersangka kembali. (Vide Perbaikan Permohonan hlm. 8)
2) Bahwa Pemohon berpandangan penerbitan surat perintah
penyidikan (sprindik) yang berulang kali tanpa dilengkapi 2 (dua) alat
bukti baru yang sah, yang belum pernah diajukan dalam sidang
praperadilan atau berbeda dari alat bukti sebelumnya yang berkaitan
dengan materi perkara, menurut Pemohon telah melanggar hak asasi
manusia dari Pemohon yang telah dijamin oleh konstitusi. (Vide Perbaikan
Permohonan hlm. 11)
3) Bahwa penerbitan sprindik yang berulang kali sebagaimana
dijelaskan pada poin 2 disebabkan oleh frasa “..tidak dapat dimintakan
banding” dalam pasal a quo yang menurut para Pemohon memiliki
penafsiran yang ambigu, tidak jelas dan multitafsir sehingga
menimbulkan ketidakpastian hukum dan menyebabkan terjadinya celah
hukum yang menyebabkan penyidik dapat berulang kali menerbitkan
sprindik dengan didasarkan pada alat bukti yang sama. (Vide Perbaikan
Permohonan hlm. 3)
LEGAL STANDING
a. Terkait hak konstitusional Pemohon yang didalilkan, adalah benar
Pemohon mempunyai hak konstitusional sebagaimana dikemukakan
dalam permohonan a quo. Tetapi hak konstitusional Pemohon tersebut
tidak ada yang dirugikan dengan berlakunya pasal a quo. Pemohon tidak
dapat membuktikan adanya hubungan sebab akibat (causal verband)
antara kerugian yang dialami Pemohon dengan berlakunya Pasal a quo
yang dimohonkan pengujian. Bahwa sejatinya “frasa tidak dapat
dimintakan banding” dalam Pasal a quomemiliki arti praperadilan tidak
dapat diajukan upaya hukum banding. Banding merupakan salah satu
bentuk upaya hukum, sehingga tidak ada kaitannya dengan penerbitan
sprindik yang berulangkali oleh penyidik karena penerbitan sprindik bukan
merupakan suatu upaya hukum sebagaimana terdapat dalam Pasal 1
angka 12 KUHAP yang menyatakan bahwa upaya hukum meliputi
banding, kasasi dan peninjauan kembali.
b. Bahwa kerugian terhadap hak konstitusional yang dialami Pemohon
bukan merupakan akibat dari berlakunya pasal a quo melainkan
penerapan atau pelaksanaan dari pasal a quo. Para Pemohon tidak
menguraikan kerugian atas berlakunya norma dalam pasal a quo yang
dimohonkan pengujian. Dalam permohonan pengujian ini hanya
menguraikan tentang kasus konkret yang tidak berkaitan dengan
konstitusionalitas norma pasal yang diujikan.
Berdasarkan pada hal-hal yang telah disampaikan tersebut DPR RI
berpandangan bahwa Pemohon secara keseluruhan tidak memiliki
kedudukan hukum (legal standing) karena tidak memenuhi ketentuan
Pasal 51 ayat (1) dan Penjelasan UU MK, serta tidak memenuhi
persyaratan kerugian konstitusional yang diputuskan dalam putusan MK
terdahulu. Akan tetapi, DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada
Ketua/Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan
menilai apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing)
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK dan Putusan MK
Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan perkara Nomor 011/PUU-
V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional
POKOK PERKARA
1) Bahwa dalil Pemohon yang menyatakan Pasal a quo bertentangan
dengan Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945 yang berbunyi “Negara
Indonesia adalah Negara hukum”, sangatlah tidak tepat. Bahwa pada
dasarnya setiap tindakan penyidik dan penuntut umum yang berupa
upaya paksa, seperti penangkapan, penggeledahan, penyitaan,
penahanan, dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan
perundang-undangan adalah suatu tindakan perampasan hak asasi
manusia, sehingga dengan adanya praperadilan diharapkan pemeriksaan
perkara pidana dapat berjalan sesuai dengan peraturan hukum yang
berlaku. Pengawasan oleh pengadilan negeri sebagai badan peradilan
tingkat pertama dimaksudkan untuk mengontrol, menilai, menguji, dan
mempertimbangkan secara yuridis, apakah dalam tindakan upaya paksa
terhadap tersangka/terdakwa oleh penyelidik/penyidik atau penuntut
umum telah sesuai dengan KUHAP. Bahwa putusan praperadilan yang
tidak dapat dimintakan banding sebagaimana diatur dalam Pasal a quo
yang dianggap Pemohon telah bertentangan dengan UUD Tahun 1945
adalah hal yang keliru, karena jika suatu putusan praperadilan dapat
dimintakan banding maka akan memperpanjang proses peradilan. Hal ini
justru memberikan ketidakpastian hukum bagi tersangka atau terdakwa
dan bertentangan dengan prinsip negara hukum yang mengedepankan
prinsip kepastian hukum dalam proses peradilan pidana.
2) Bahwa frasa “tidak dapat dimintakan banding” dalam Pasal a quo
merupakan perwujudan bentuk kepastian hukum atau asas litis finiri
oportet yang berarti bahwa setiap perkara harus ada akhirnya demi
menjamin kepastian hukum, sebagaimana dinyatakan dalam
pertimbangan Mahkamah Konstitusi pada Putusan Nomor: 34/PUU-
XI/2013 yang menyatakan:
“Menimbang bahwa benar dalam ilmu hukum terdapat asas litis finiri
oportet yakni setiap perkara harus ada akhirnya, namun menurut
mahkamah, hal itu berkaitan dengan kepastian hukum...”
3) Bahwa bentuk kepastian hukum tersebut dapat dilihat dari frasa “tidak
dapat dimintakan banding” dalam Pasal a quo yang bertujuan untuk
mempercepat proses sidang praperadilan. Acara pemeriksaan pra
peradilan harus dilaksanakan dengan acara cepat sebagaimana yang
terdapat dalam Pasal 82 ayat (1) huruf a dan c KUHAP.
Bahwa Pra Peradilan merupakan salah satu mekanisme kontrol terhadap
kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut
umum dalam melakukan upaya paksa dalam KUHAP. Bahwa apabila
sidang praperadilan dapat dimintakan upaya hukum lainnya seperti
banding, kasasi maupun peninjauan kembali maka akan menyebabkan
lamanya proses pemeriksaan praperadilan tersebut. Dengan demikian,
DPR RI berpandangan bahwa Pasal a quo telah memberikan kepastian
hukum dan tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945.
4) Bahwa dalil Pemohon menyatakan Pasal a quo bertentangan
dengan Pasal 27 ayat (1),Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1) UUD
NRI Tahun 1945. Pandangan Pemohon tersebut sangatlah tidak tepat.
Bahwa Pasal a quo¸ secara prinsip tidak membedakan kedudukan antara
terdakwa, tersangka, penyidik, penuntut umum maupun pihak ketiga
yang berkepentingan, karena masing-masing pihak tersebut wajib
mematuhi aturan bahwa terhadap putusan praperadilan yang diajukan
oleh masing-masing pihak tersebut tidak dapat dimintakan banding.
Terlebih lagi setelah munculnya Putusan MK No. 65/PUU-IX/2011 yang
telah membatalkan Pasal 83 ayat (2), terkait dengan pengaturan bahwa
putusan praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian
penyidikan dan penghentian penuntutan dapat dimintakan putusan akhir
ke pengadilan tinggi, maka dengan demikian semakin menegaskan bahwa
keberlakukan Pasal a quo telah mencerminkan prinsip persamaan
kedudukan dalam hukum dan pemerintahan serta jaminan, perlindungan
dan kepastian hukum yang adil. DPR berpandangan bahwa Pasal a quo
tidak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan
Pasal 28G ayat (1) UUD Tahun 1945;
5) Bahwa dalil Pemohon yang menyatakan Pasal a quo bertentangan
dengan Pasal 28I ayat (1) dan ayat (5) UUD Tahun 1945
sangatlah tidak tepat. Bahwa, sebagaimana telah dipaparkan diatas
bahwa tujuan dari pada praperadilan untuk mengawasi tindakan upaya
paksa yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap
tersangka, supaya tindakan itu benar-benar dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan Undang-undang dan tidak melanggar hak asasi tersangka atau
terdakwa. Bahwa perlindungan terhadap hak asasi tersangka atau
terdakwa merupakan wujud pembaharuan paradigma dalam pelaksanaan
hukum acara pidana di Indonesia, yang mana menekankan pada aspek
efisiensi proses peradilan pidana pada setiap tahap pemeriksaan. Bahwa
ketentuan mengenai putusan praperadilan yang tidak dapat dimintakan
banding dalam Pasal a quo, merupakan bentuk efisiensi peradilan, yang
mengutamakan pada tidak berlarut-larutnya proses peradilan pidana,
apalagi mengingat bahwa praperadilan bukan merupakan pemeriksaan
terhadap pokok perkara namun lebih bersifat administratif. Jika putusan
praperadilan dapat dimintakan banding maka mencederai prinsip hukum
yang demokratis dan hak asasi bagi tersangka dan terdakwa. Dengan
demikian, DPR berpandangan bahwa Pasal a quo tidak bertentangan
dengan Pasal 28I ayat (1) dan Pasal 28I ayat (5) UUD Tahun 1945;Bahwa
relevan dengan permohonan terhadap pasal a quo, DPR RI mengutip apa
yang dikemukakan dalam pertimbangan hukum oleh hakim terkait
efisiensi proses pra peradilan dalam putusan MK Nomor 65/PUU-IX/2011
sebagai berikut:
“Mahkamah berpendapat KUHAP telah mengatur pemeriksaan
permohonan praperadilan dilakukan secara cepat, yaitu paling lambat tiga
hari setelah permohonan diajukan, hakim tunggal yang ditetapkan
mengadili praperadilan yang bersangkutan sudah harus menetapkan hari
sidang [vide Pasal 82 ayat (1) huruf a KUHAP], dan dalam waktu paling
lama tujuh hari, hakim sudah harus menjatuhkan putusan [vide Pasal 82
ayat (1) huruf c KUHAP]. Keharusan mempercepat acara praperadilan
disusul lagi dengan ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP yang
menentukan bahwa apabila suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh
pengadilan negeri, sedangkan permintaan mengenai praperadilan belum
selesai, maka praperadilan tersebut gugur. Selain itu, asal 83 ayat (1)
KUHAP menentukan terhadap putusan praperadilan dalam hal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80, dan Pasal 81 KUHAP
tidak dapat dimintakan banding;
Menimbang bahwa menurut Mahkamah acara praperadilan adalah acara
cepat, sehingga seharusnya tidak dapat dimohonkan pemeriksaan
banding.
6) Bahwa dalam praktiknya, menurut Yahya Harahap hampir seluruh
putusan praperadilan tidak dapat dimintakan banding. Hal ini dianggap
sesuai dengan asas hukum acara yang menyangkut tata cara
pemeriksaan praperadilan. Demikian juga dari tujuan pelembagaan
praperadilan untuk mewujudkan putusan dan kepastian hukum dalam
waktu yang relatif singkat. Jika putusan praperadilan diperkenankan
upaya banding, hal ini tidak sejalan dengan sifat, tujuan, dan ciri dari
praperadilan yaitu dalam waktu yang singkat putusan dan kepastian
hukum sudah dapat diwujudkan. Lagipula jika ditinjau kewenangan
praperadilan yang bertujuan memberikan pengawasan horizontal atas
tindakan upaya paksa yang dilakukan aparat penyidik dan penuntut
umum, pada hakikatnya apa yang diperiksa dan diputuskan praperadilan
adalah diluar ruang lingkup perkara pidana. Selain itu, berdasarkan
perkembangan terbaru, khususnya setelah Putusan MK No. 65/PUU-
IX/2011 tertanggal 1 Mei 2012 mengenai pengujian KUHAP terhadap UUD
1945, seluruh putusan praperadilan termasuk yang dikecualikan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (2) tidak dapat lagi
dimintakan banding ke Pengadilan Tinggi;
7) Bahwa frasa “tidak dapat dimintakan banding” dalam Pasal a quo
telah memiliki makna yang jelas dan tidak menimbulkan multitafsir. Hal
tersebut dapat dilihat dari berbagai peraturan yang dikeluarkan
pemerintah dan putusan mahkamah konstitusi untuk memperjelas
mengenai larangan adanya upaya hukum terhadap putusan praperadilan,
diantaranya:
a. Putusan MK No. 65/PUU-IX/2011, mengenai penghapusan
pemberian hak banding kepada penyidik dan penuntut umum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (2) KUHAP sehingga putusan
praperadilan tidak dapat lagi diajukan upaya hukum banding.
“Menurut Mahkamah, oleh karena filosofi diadakannya lembaga
praperadilan sebagai peradilan yang cepat, untuk memberikan perlakuan
yang sama terhadap tersangka/terdakwa dan penyidik serta penuntut
umum maka yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 adalah
pemberian hak banding kepada penyidik dan penuntut umum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (2) KUHAP. Dengan
meniadakan hak banding kepada kedua pihak dimaksud maka pengujian
konstitusionalitas Pasal 83 ayat (2) KUHAP beralasan menurut hukum”.
b. Pasal 45A Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung
menentukan larangan diajukan kasasi terhadap putusan Praperadilan;
c. Peraturan Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2016 tentang Larangan
Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan.
Bahwa DPR RI berpandangan berdasarkan ketentuan tersebut Pasal a
quo telah memiliki makna yang jelas dan tidak multitafsir sehingga tidak
diperlukan adanya penafsiran hukum dari Mahkamah Konstitusi sebagai
penafsir tunggal UUD NRI Tahun 1945 (the sole interpreter of
constitution).
8) Bahwa Pemohon dalam permohonannya mengemukakan:
Bahwa berdasarkan bunyi ketentuan Pasal 83 ayat (1) KUHAP jo. Pasal
45A UU No. 5 Tahun 2004 jo. Perma No. 4 Tahun 2006 telah jelas
maksud dari pembuat undang-undang (original intent) bahwa putusan
praperadilan adalah bersifat final dan mengikat atau dengan perkataan
lain, tidak terdapat upaya hukum apapun terhadap putusan praperadilan.
Namun kemudian pada faktanya, penyidik dapat menerbitkan Sprindik
lebih dari satu atau berulang kali tanpa dasar yang jelas dan batasan
yang jelas. Hal ini secara substansi adalah tindakan yang menyerupai
upaya hukum. Dengan kata lain, tindakan tersebut adalah bentuk
penyelundupan hukum dan kemurnian tujuan penyidik menerbitkan
Sprindik lebih dari satu kali patut dipertanyakan. (Vide Perbaikan
Permohonan hlm.36).
Bahwa terhadap dalil Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan bahwa
surat perintah penyidikan (sprindik) yang dikeluarkan oleh penyidik bukan
merupakan suatu upaya hukum.
Bahwa berdasarkan ruang lingkup upaya hukum yang terdapat dalam
Pasal 1angka 12 KUHAP tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa sprindik
bukan merupakan bagian dari upaya hukum sehingga penerbitan sprindik
lebih dari satu atau berulang kali tanpa dasar yang jelas dan batasan
yang jelas merupakan kewenangan penyidik. Dengan demikian persoalan
sprindik yang berulangkali didalilkan Pemohon sama sekali tidak ada
kaitannya dengan upaya hukum yang diatur dalam Pasal 83 ayat (1)
KUHAP sehingga tidak ada kerugian konstitusional yang dialami Pemohon
oleh berlakunya Pasal a quo.
9) Bahwa frasa “..tidak dapat dimintakan banding” dalam Pasal a quo,
yang menurut para Pemohon bersifat multitafsir sehingga menyebabkan
penyidik mengeluarkan sprindik dengan alat bukti yang sama, tidaklah
memiliki relevansi dengan maksud dan tujuan pengaturan Pasal a quo,
karena penerbitan sprindik tersebut merupakan ranah kewenangan
penyidikan. Bahwa Pasal a quo tidak menimbulkan kerugian konstitusional
Pemohon karena kerugian yang dialami Pemohon tersebut sejatinya
adalah tidak ada korelasinya baik secara konstitusionalitas norma maupun
penerapannya.Dengan demikian, DPR RI berpendapatketentuan Pasala
quo telah jelas dan tidak bersifat multitafsir, sehingga tidak perlu
dinyatakan sebagai ketentuan yang bersifat conditionally constitutional
(konstitusional bersyarat).

42/PUU-XV/2017

Pasal 83 ayat (1) KUHAP “Terhadap putusan praperadilan dalam hal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 81 tidak dapat
dimintakan banding”.

Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (1),
Pasal 28I ayat (5) UUD Tahun 1945
1. Pasal 1 ayat (3):
“Negara Indonesia adalah negara hukum”.

2. Pasal 27 ayat (1):
“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya”.

3. Pasal 28D ayat (1):
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan
hukum”.

4. Pasal 28G ayat (1):
“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya,
serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan
untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”.

5. Pasal 28I ayat (1):
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan
hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui
sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas
dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak
dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.

6. Pasal 28I ayat (5):
“Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan
prinsip negara hukum yang demokratis maka pelaksanaan hak asasi
manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-
undangan”.