Keterangan DPR mengenai Pengujian UU Terhadap UUD 1945

Keterangan DPR Perkara No. 36/PUU-XV/2017 / 21-08-2017

No. 17/2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Kerugian Konstitusional:
Para Pemohon dalam permohonannya mengemukakan bahwa dalam pelaksanaan Pasal 79 ayat (3) UU 17 Tahun 2014 ternyata DPR RI memaknai lingkup Hak Angket lain dari apa yang diatur dalam norma a quo dan penjelasannya. Menurut Para Pemohon, DPR RI memaknai terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah adalah suatu pilihan (alternatif kumulatif) yakni pilihan antara pelaksanaan suatu undang-undang yang dimaknai adalah seluruh lembaga negara sebagai pelaksana undang-undang dan/atau pelaksana undang-undang (Pemerintah/Eksekutif) serta kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah. Oleh karena itu DPR RI membentuk Pansus Angket untuk melakukan penyelidikan kepada lembaga KPK karena dianggap sebagai pelaksana undang-undang.

Para Pemohon juga beranggapan bahwa perluasan lingkup Hak Angket yang dilakukan DPR kepada KPK jelas menabrak ketentuan serta prinsip-prinsip negara hukum dan konstitusionalisme yang menimbulkan ketidakpastian hukum oleh karenanya merugikan Para Pemohon. (Vide Perbaikan Permohonan halaman 14-18).

Legal Standing:
Terhadap dalil-dalil yang dikemukakan Para Pemohon dalam perkara Nomor 36/PUU-XV/2017 dan perkara Nomor 37/PUU-XV/2017 terhadap kedudukan hukum (legal standing) tersebut, DPR RI memberikan penjelasan bahwa terhadap kedudukan hukum (legal standing) Para Pemohon dalam perkara Nomor 36/PUU-XV/2017 dan perkara Nomor 37/PUU-XV/2017, DPR RI berpandangan bahwa Para Pemohon baik dalam Perkara Nomor 36/PUU-XV/2017 dan perkara Nomor 37/PUU-XV/2017 secara keseluruhan tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) karena Para Pemohon tidak menguraikan dan mengkonstruksikan secara jelas adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional atas berlakunya pasal a quo, Para Pemohon tidak dapat membuktikan secara logis hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian yang dialami Para Pemohon dengan berlakunya Pasal a quo yang dimohonkan pengujian, dan tidak memenuhi ketentuan Pasal 51 ayat (1) dan Penjelasan UU MK, serta tidak memenuhi persyaratan kerugian konstitusional yang diputuskan dalam putusan MK terdahulu.

Bahwa terkait hal tersebut, merujuk Pertimbangan Hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XIV/2016 yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada tanggal 15 Juni 2016, yang pada pertimbangan hukum [3.5.2] Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa menurut Mahkamah:

...Dalam asas hukum dikenal ketentuan umum bahwa tiada kepentingan maka tiada gugatan yang dalam bahasa Perancis dikenal dengan point d’interest, point d’action dan dalam bahasa Belanda dikenal dengan zonder belang geen rechtsingang. Hal tersebut sama dengan prinsip yang terdapat dalam Reglement op de Rechtsvordering (Rv) khususnya Pasal 102 yang menganut ketentuan bahwa “tiada gugatan tanpa hubungan hukum“ (no action without legal connection).

Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, terhadap kedudukan hukum (legal standing), DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK dan Putusan MK Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan perkara Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional.

Pokok Perkara:
1) Bahwa DPR RI berpandangan bahwa Para Pemohon perlu lebih memahami teknik penyusunan peraturan perundang-undangan terlebih dahulu. Tidak ada penjelasan suatu peraturan perundang-undangan yang mengandung norma. Oleh karena itu Para Pemohon perlu memahami Lampiran II UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Nomor 176-178:

176. Penjelasan berfungsi sebagai tafsir resmi pembentuk Peraturan Perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu, penjelasan hanya memuat uraian terhadap kata, frasa, kalimat atau padanan kata/istilah asing dalam norma yang dapat disertai dengan contoh. Penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma dalam batang tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dimaksud.
177. Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut dan tidak boleh mencantumkan rumusan yang berisi norma.
178.Penjelasan tidak menggunakan rumusan yang isinya memuat perubahan terselubung terhadap ketentuan Peraturan Perundangundangan.

2) Bahwa menurut Para Pemohon, perluasan dan penafsiran norma a quo yang tidak sama dengan penjelasan bertentangan dengan ide pokok Negara hukum yaitu pembatasan kekuasaan dan konstitusionalisme. Bahwa terhadap dalil Para Pemohon tersebut, DPR berpandangan bahwa sesuai dengan prinsip-prinsip Negara hukum dan Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945, dalam pembentukan Pansus Hak Angket KPK yang mendasarkan pada ketentuan norma Pasal 79 ayat (3) UU a quo yang menyatakan “Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang” justru dalam kerangka melaksanakan hukum dan undang-undang sesuai dengan prinsip-prinsip negara hukum yang dianut Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945. Artinya pembentukan Pansus Hak Angket KPK oleh DPR RI sudah berdasarkan hukum dan undang-undang, karena KPK merupakan lembaga Negara yang melaksanakan UU KPK. Adapun anggapan Para Pemohon bahwa norma ketentuan Pasal 79 ayat (3) UU a quo ditafsirkan secara limitatif sebagaimana yang ada di dalam Penjelasannya, hal ini merupakan tafsir dari Para Pemohon.

3) Bahwa Para Pemohon perlu memahami secara utuh ketentuan Pasal 79 ayat (3) UU a quo, yang menyatakan: “Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.”
Bahwa apabila diurai ketentuan Pasal 79 ayat (3) UU a quo Hak DPR untuk melakukan penyelidikan yaitu:
• pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau
• kebijakan Pemerintah
Kedua objek tersebut berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Bahwa frasa “dan/atau”, bersifat alternatif kumulatif yang mengandung 3 pengertian :
• Hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang.
• Hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap kebijakan Pemerintah.
• Hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan kebijakan Pemerintah.

4) Bahwa penjelasan demikian sesuai dengan angka 264 Lampiran II UU 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menyatakan bahwa “Untuk menyatakan sifat kumulatif sekaligus alternatif, gunakan frasa dan/atau.” Bahwa atas dasar UU 12 Tahun 2011 tersebut, pasal a quo tidak hanya ditujukan pada kebijakan Pemerintah saja, tapi juga terhadap pelaksanaan suatu UU. Oleh karena itu, sudah berdasarkan hukum jika KPK sebagai lembaga negara yang melaksanakan undang-undang dapat menjadi objek hak angket, karena:
a. KPK sebagai pelaksana undang-undang, dalam hal ini UU Nomor 30 Tahun 2002 dan undang-undang lain yang terkait dengan pemberantasan korupsi dan keuangan negara.
b. KPK merupakan lembaga negara pendukung penyelenggaraan pemerintahan dalam penegakan hukum, yaitu penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, yang tujuan dibentuknya sebagai trigger mechanism untuk Kejaksaan dan Kepolisian dalam pemberantasan korupsi.



c. KPK adalah mitra kerja dari alat kelengkapan DPR, yaitu Komisi III.

5) Bahwa ketentuan Pasal 79 ayat (3) UU a quo tidak mengatur norma yang bersifat limitatif yang membatasi terhadap lembaga tertentu yang melaksanakan undang-undang. Bahwa ketentuan Pasal 79 ayat (3) UU a quo, mengandung makna bahwa lembaga yang melaksanakan undang-undang tidak terbatas pada lembaga eksekutif (Pemerintah), tetapi juga lembaga negara selain lembaga eksekutif seperti KPK juga lembaga negara yang melaksanakan undang-undang. Bahwa terkait dengan hal tersebut, DPR RI juga pernah menggunakan hak angket untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan tugas KPU pada Hak Angket mengenai Daftar Pemilih dalam Pemilu 2009. Bahwa selain kepada KPK, hak angket juga pernah ditujukan kepada lembaga independen lainnya, yaitu kepada Bank Indonesia dalam Hak Angket Century. Padahal Bank Indonesia juga merupakan lembaga negara yang independen, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 23D UUD Tahun 1945 yang menyatakan, “Negara memiliki suatu bank sentral susunan, kedudukan, kewenangan, tanggungjawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang.” Bahwa atas dasar itu, objek dari hak angket juga dapat ditujukan kepada KPK, Bahwa berdasarkan Pasal 20A ayat (2) dan ayat (4) jo Pasal 79 ayat (3) UU a quo sudah tepat dan berdasar pembentukan Pansus Hak Angket DPR RI untuk menyelidiki KPK dalam melaksanakan UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 dan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

6) Bahwa DPR RI berpandangan, terkait dengan pelaksanaan undang-undang oleh lembaga yudikatif dalam kerangka pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang merdeka guna menegakkan hukum dan keadilan sebagaimana dimanatkan secara tegas dalam Pasal 24 UUD Tahun 1945 tentu kekuasaan kehakiman yang merdeka tersebut tidak dapat dicampuri oleh lembaga negara manapun, termasuk dalam penggunaan hak angket oleh DPR RI.

7) Bahwa Para Pemohon beranggapan penjelasan norma a quo dijelaskan secara eksplisit dan limitatif tentang siapa yang menjadi subjek hak angket dan apa objek hak angket. (Vide Perbaikan Permohonan hlm. 38-39 angka 3). Bahwa terhadap anggapan Para Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan bahwa secara teknik penyusunan peraturan perundang-undangan penggunaan kata ‘dapat berupa’ berarti tidak memberikan arti yang limitatif, melainkan dapat dimaknai lebih luas daripada sekedar yang tertuang dalam rumusan pasal atau penjelasan. Sebagai contoh dapat dilihat pada angka 66 Lampiran II UU 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bahwa: “Sanksi administratif dapat berupa, antara lain, pencabutan izin, pembubaran, pengawasan, pemberhentian sementara, denda administratif, atau daya paksa polisional. Sanksi keperdataan dapat berupa, antara lain, ganti kerugian”. Bahwa dengan demikian, penjelasan a quo secara gramatikal tidak terbatas pada subjek “Presiden, Wakil Presiden, menteri negara, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, atau pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian.”

8) Bahwa kedudukan Panitia Angket DPR sesungguhnya sangat kuat dilihat dari sudut hukum. Dalam sistem parlementer, keberadaan panitia angket tidaklah otomatis bubar dengan pembubaran parlemen. Seperti kita maklum dalam sistem parlementer, Pardana Menteri dapat membubarkan parlemen setiap waktu dan menentukan kapan akan diselenggarakan pemilihan umum. Meskipun parlemen dibubarkan, panitia angket terus bekerja sampai terbentuknya parlemen yang baru, yang akan menentukan nasib panitia angket tersebut. Dalam sistem presidensial, hal ini tidak mungkin terjadi, kecuali Presiden telah berubah menjadi diktator dengan membubarkan DPR. Hak-hak DPR yang diatur dalam Pasal 79 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD merupakan penjabaran dari ketentuan Pasal 20A ayat (2) UUD Tahun 1945 yang menyatakan dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat. Artinya hak angket dalam Pasal 20A ayat (1) Tahun 1945 merupakan hak DPR dalam rangka melaksanakan fungsinya sebagaimana disebutkan dalam Pasal 20A ayat (1) Tahun 1945, yaitu fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Dengan demikian, hak angket merupakan salah satu hak DPR yang dapat dijadikan sebagai sarana dalam melaksanakan fungsinya mewujudkan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang demokratis menurut UUD Tahun 1945;

9) Bahwa diberikannya hak angket kepada DPR oleh UUD Tahun 1945 dimaksudkan agar prinsip checks and balances dan prinsip kesetaraan kedudukan diantara lembaga negara terjaga dengan baik, sehingga DPR dapat melakukan pengawasan terhadap Pemerintah. Sejalan dengan prinsip checks and balances dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, dianut pula prinsip demokrasi dan accountability. Prinsip accountability berarti adanya pertanggungjawaban dari pihak yang diberi mandat untuk memerintah, kepada mereka yang memberi mandat. Dalam hal ini rakyatlah yang memberikan kekuasaan kepada Pemerintah untuk memerintah dan karenanya bertanggung-jawab kepada rakyat. Dalam konteks ini DPR RI sebagai lembaga yang merupakan representasi dari kedaulatan rakyat. Dalam pandangan Meriam Budiardjo, accountability atau pertanggung-jawaban dari pihak yang memerintah kepada rakyat merupakan suatu keharusan, bahkan sebagai syarat mutlak dari konsep kedaulatan rakyat. Dengan demikian, dalam suatu negara yang menganut faham atau asas kedaulatan rakyat (negara demokrasi), terselenggaranya accountability menjadi suatu keniscayaan;

10) Bahwa menurut A.D. Belinfante, agar suatu negara dapat disebut sebagai negara demokrasi, maka pengorganisasiannya harus memenuhi beberapa aturan dasar (grondregels). Salah satu diantaranya, tidak ada seorangpun dapat melaksanakan suatu kewenangan tanpa dapat mempertanggungjawabkannya atau pelaksanaan kewenangan itu tidak dapat dilaksanakan tanpa ada kontrol. Dalam makna kontrol itu sendiri terkandung makna pertanggungjawaban, artinya, setiap penyelenggara negara harus dapat mempertanggungjawabkan tindak tanduknya. Hal demikian merupakan salah satu asas penting dalam negara demokrasi, yaitu setiap orang yang diberi kekuasaan oleh rakyat harus dapat mempertanggungjawabkan hal-hal yang dilakukannya dan yang tidak dilakukannya. Untuk mendapatkan suatu tatanan kehidupan ketatanegaraan yang demokratis, maka institusi seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan instansi utama bagi terselenggaranya accountability, karena melalui DPR-lah kekuasaan rakyat dioperasikan. Pengoperasian kekuatan rakyat itu tercermin antara lain dari fungsi pengawasan yang dijalankan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dengan demikian, hak angket yang dimiliki oleh DPR merupakan salah satu wujud dari penyelenggaraan prinsip accountability yang dilaksanakan oleh DPR dalam negara yang berkedaulatan rakyat (demokrasi);

11) Bahwa apabila Pasal 79 ayat (3) UU a quo diterapkan pada Panitia Khusus Hak Angket KPK, maka dapat dilihat pemenuhan unsur-unsur tersebut sebagai berikut:















12) Bahwa dalam Rapat Dengar Pendapat di DPR pada 10 Juli 2017, Pukul 14.00-17.00 WIB konstitusional hak angket terhadap KPK menurut Prof. Yusril Ihza Mahendra dinyatakan bahwa:

o Hak Angket bukanlah istilah baru dalam ketatanegaraan Indonesia. Sejak 1954 telah ada Angket yang ditandai dengan diaturnya hak angket didalam undang-undang tersendiri, yaitu UU Nomor 7 Tahun 1954 tentang Angket




o Hanya saja ketika itu hak angket berada dalam parlemen yang menerapkan sistem parlementer bukan presidensial. Namun demikian, angket merupakan hak melekat di Dewan Perwakilan Rakyat, itulah mengapa hak angket juga diadopsi di dalam UU MD3. Terlebih pasca amandemen UUD 1945, hak angket disebutkan normanya dalam Pasal 20A ayat (2).

o Dapatkah DPR melakukan Angket terhadap KPK?
Pertama, karena KPK dibentuk oleh undang-undang, maka jawab saya iya, DPR dapat melakukan angket terhadap KPK untuk melihat sejauh mana pelaksanaan UU oleh KPK. Kedua, Yusril memandang KPK dapat dikategorikan sebagai lembaga eksekutif. Itu karena KPK melakukan sejumlah tugas yang seharusnya hanya dapat dilakukan oleh lembaga ekskutif, seperti melakukan supervise, penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. KPK independen tapi eksekutif. Ketiga, KPK dibiayai oleh APBN. Dan keempat, Yusril menyinggul pasal di UUD 1945 terkait alas an DPR dapat mengajukan angket kepada KPK dan dihubungkan soal Pansus Angket Century dahulu. Pasal 23 UUD 1945 menyebut BI independen dan independensinya diatur UU. DPR sudah angket Century yang berarti sedikit banyaknya mengangket BI.

13) Bahwa dalam permohonannya, Para Pemohon beanggapan bahwa “KPK bertanggungjawab kepada publik atas pelaksanaan tugasnya berdasarkan asas…” (vide Perbaikan Permohonan hlm. 31). Bahwa terhadap anggapan Para Pemohon tersebut, DPR RI berpandangan bahwa anggapan Para Pemohon tersebut keliru, karena jika memahami ketentuan pertanggungjawaban KPK yang sudah diatur dalam Pasal 20 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan bahwa:
(1) Komisi Pemberantasan Korupsi bertanggung jawab kepada publik atas pelaksanaan tugasnya dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan.
(2) Pertanggungjawaban publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan cara :
a. wajib audit terhadap kinerja dan pertanggungjawaban keuangan sesuai dengan program kerjanya;
b. menerbitkan laporan tahunan; dan
c. membuka akses informasi.

Bahwa KPK tidak hanya bertanggungjawab kepada publik saja, tetapi juga menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden, DPR RI, dan BPK. Bahwa dengan demikian, pembentukan panitia Khusus Hak Angket yang ditujukan kepada KPK telah sesuai dengan UUD Tahun 1945.

36/PUU-XV/2017

Pasal 79 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD

Batu Uji dalam permohonan ini adalah Pasal 1 ayat (3), Pasal 20A ayat (2), Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945