Keterangan DPR mengenai Pengujian UU Terhadap UUD 1945

Keterangan DPR Perkara No. 21/PUU-XVI/2018 / 11-04-2018

No. 2/2018 tentang PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

Kerugian Konstitusional:
1. Bahwa menurut Pemohon berlakunya Pasal 73 ayat (3) dan ayat (4) huruf a dan c UU MD3 adalah merugikan hak konstitusional Pemohon untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 karena berpotensi dialami oleh Pemohon untuk dilakukan pemanggilan paksa.(Vide Permohonan hlm. 6 poin 1)

2. Bahwa Pemohon beranggapan Pasal 122 huruf l UU MD3 berpotensi merugikan hak konstitusional Pemohon untuk mendapatkan kemerdekaan mengeluarkan pendapat di depan umum baik dengan lisan ataupun tulisan, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2), Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28F dan Pasal 28I ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (Vide Permohonan hlm. 6 poin 2)

3. Bahwa berlakunya Pasal 245 ayat (1) UU MD3 Pemohon mengemukakan terhadap frasa “tidak” merugikan hak konstitusional Pemohon untuk mendapatkan persamaan kedudukannya di dalam hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 27

ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sehingga pasal a quo dapat ditafsirkan memberikan hak imunitas kepada anggota DPR. Pemohon menganggap hal ini jelas-jelas perlakuan yang bersifat deskriminatif dan menciderai rasa keadilan. (Vide Permohonan hlm. 6 poin 3)

Legal Standing:
1) Adanya hak konstitusional yang diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945:

Bahwa Pemohon dalam dalil permohonannya terhadap pasal-pasal a quo menyatakan memiliki hak konstitusional yang diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang sekaligus dijadikan batu uji yaitu Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3), Pasal 19 ayat (1), Pasal 20A ayat (1) dan (3), Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) Kemudian Pemohon Perkara 21 juga menyatakan memiliki hak konstitusonal dalam Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28F dan Pasal 28I ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2) Adanya hak konstitusional yang dianggap Pemohon telah dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang

Bahwa hak konstitusional yang diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana tersebut di atas sesungguhnya Pemohon tidak mengalami kerugian konstitusional apapun dari pasal-pasal a quo. Dalam posita, Pemohon menjelaskan pasal-pasal a quo bertentangan dengan hak untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil, untuk mendapatkan kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dst dan untuk mendapatkan persamaan kedudukannya di dalam hukum karena berpotensi dialami oleh Pemohon untuk dilakukan pemanggilan paksa atau dianggap merendahkan kehormatan DPR RI dan anggota DPR RI.


Bahwa oleh karena Pemohon tidak menguraikan secara jelas adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional atas berlakunya pasal-pasal a quo, maka Pemohon tidak memiliki kerugian konstitusional dengan berlakunya pasal-pasal a quo UU MD3.

3) Adanya kerugian hak konstitusional yang bersifat spesifik dan aktual, atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi

Bahwa Pemohon hanya menjelaskan kekhawatiran dilakukannya pemanggilan paksa pada saat Pemohon menyatakan aspirasinya kepada anggota MPR RI, DPR RI, DPD RI dan DPRD RI sebagaimana diuraikan diatas. Hal ini jelas Pemohon tidak mengalami kerugian hak konstitusional

yang bersifat spesifik dan aktual atau bahkan bersifat potensial dengan diberlakukannya pasal-pasal a quo UU MD3.

4) Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak konstitusional dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian

Bahwa Pemohon tidak menjelaskan secara spesifik mengenai keterkaitan kerugian yang didalilkan dengan akibat berlakunya pasal-pasal a quo. Peristiwa hukum yang berpotensi akan dialami Pemohon sesungguhnya bukanlah akibat langsung dari berlakunya pasal-pasal a quo, namun muncul akibat dari pelaksanaan tugas dan wewenang konstitusional DPR RI. Oleh karena itu tidak terdapat hubungan sebab akibat antara kerugian konstitusional Pemohon dengan berlakunya pasal-pasal a quo.

5) Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi

Bahwa sesungguhnya, berlakunya ketentuan pasal-pasal a quo sama sekali tidak menghalangi hak dan kerugian konstitusional Pemohon sebagai badan hukum, sehingga apabila pasal-pasal a quo diputuskan bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, maka tidak memberikan pengaruh apapun terhadap Pemohon.

Pokok Perkara:
b.1 HAK DPR UNTUK MELAKUKAN PANGGILAN PAKSA DAN SANDERA TERHADAP SETIAP ORANG DENGAN MENGGUNAKAN KEPOLISIAN (PASAL 73 AYAT (3), (4), (5) DAN (6) UU MD3)

1) Bahwa apabila melihat secara historis terhadap perumusan Pasal 73 dalam UU No. 17 Tahun 2014 dan mencoba melakukan perbandingan dengan Pasal 73 hasil perubahan sebagaimana UU a quo, maka secara sistematis dapat diuraikan dalam tabel sebagai berikut:

Berdasarkan tabel perbandingan tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya tidak terdapat perbedaan pengaturan yang substansial dalam Pasal a quo dengan rumusan Pasal 73 dalam UU No. 17 Tahun 2014, karena perubahan frasa “setiap orang”, menghilangkan perbedaan perlakuan penggunaan hak panggil paksa DPR RI (objek) dan penambahan tata cara panggil paksa serta amanat peraturan delegasi (Perkapolri) semata-mata ditujukan untuk memberikan penjabaran dan kepastian hukum. Apabila memahami pasal a quo UU MD3 secara sistematis dan gramatikal sebagaimana diuraikan diatas, maka penggunaan hak pemanggilan paksa oleh DPR RI dengan menggunakan Kepolisian Negara Republik Indonesia hanya dapat dilakukan:
a. dalam melaksanakan wewenang dan tugas DPR RI;
b. terhadap setiap orang yang dipanggil secara resmi/tertulis oleh DPR RI untuk hadir dalam rapat DPR RI;
c. apabila setiap orang tidak hadir memenuhi kewajibannya setelah dipanggil 3 (tiga) kali berturut- turut dengan tidak memberikan (tanpa) alasan yang patut dan sah; dan
d. dalam hal menjalankan panggilan paksa, Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menyandera setiap orang selama 30 (tiga puluh) hari.

Bahwa dengan demikian panggilan paksa dan sandera oleh DPR RI dilakukan berdasarkan hukum yaitu apabila setiap orang yang dipanggil tidak hadir sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut tanpa alasan yang patut dan sah dapat dipanggil paksa dengan menggunakan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Bahwa DPR RI

dalam melaksanakan Pasal 73 UU MD3 sesuai dengan wewenang dan tugas konstitusionalnya dalam rangka menjalankan fungsi pengawasan guna menyelenggarakan kedaulatan rakyat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bahwa oleh karena itu, Para Pemohon tidak perlu khawatir adanya/pemberlakuan ketentuan pasal a quo akan merugikan hak-hak konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2) Bahwa dalam rangka menjalankan fungsi pengawasan DPR RI diberikan hak untuk memanggil setiap orang sebagaimana diatur dalam pasal a quo UU MD3 sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 014/PUU- I/2003 yang dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa:
1. Khusus mengenai pemanggilan oleh DPR RI, …salah satu fungsi yang melekat dalam kelembagaan DPR adalah fungsi pengawasan. Dalam rangka fungsi pengawasan itu, DPR diberikan sejumlah hak.
2. Panggilan paksa maupun penyanderaan oleh DPR RI hanya berlaku/dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Artinya tindakan paksa badan maupun penyanderaan tidaklah dilakukan sendiri oleh DPR RI, melainkan diserahkan kepada mekanisme hukum (due process of law) yang bekerja sama dengan Kepolisian Republik Indonesia. Kepentingan DPR RI hanyalah sebatas mengenai cara agar pihak-pihak yang diperlukan kehadirannya dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan DPR melalui penggunaan hak angket dapat benar-benar hadir dalam persidangan.

3) Bahwa ketentuan pasal a quo mengenai hak memanggil paksa oleh DPR RI, merupakan implementasi konsep hak memanggil secara paksa seseorang yang dipandang perlu didengar keterangannya (hak subpoena) yang dapat dianut oleh lembaga legislatif. Bahwa sebagai perbandingan hak subpoena tersebut juga dimiliki oleh lembaga legislatif di beberapa negara lainnya, seperti di Amerika Serikat dan di Selandia Baru. Hak subpoena dirasa penting untuk dimiliki oleh DPR RI sebagai lembaga legislatif yang mewakili rakyat untuk melakukan upaya untuk penyelidikan terhadap suatu permasalahan yang berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, dimana penyelidikan tersebut bukan merupakan penyelidikan dalam ranah proses penegakan hukum (pro justicia).

4) Bahwa konsep hak subpoena tersebut telah dikenal sejak lama dan lazim digunakan oleh parlemen atau badan- badan perwakilan di banyak negara. Secara etimologi, terminologi “subpoena” berasal dari Middle English “suppena” dan bahasa Latin “sub poena” yang berarti “under penalty” atau di bawah ancaman pidana. (Webster's New Collegiate Dictionary, (8th ed. 1976), p. 1160). Dalam Kamus Merriam-Webster, Subpoena adalah a writ commanding a person designated in it to appear in court under a penalty for failure. (Lihat (online) https://www.merriamwebster.com/dictionary/subpoena). Pada umumnya terdapat dua jenis subpoena, yaitu:
1. Subpoena ad testificandum perintah kepada seseorang untuk bersaksi di depan lembaga yang berwenang yang dapat dikenai sanksi apabila tidak memenuhi.
2. Subpoena duces tecum perintah kepada seseorang atau organisasi untuk menyerahkan bukti-bukti fisik (physical evidence) kepada lembaga yang berwenang yang dapat dikenai sanksi apabila tidak memenuhi.

5) Bahwa selanjutnya subpoena diartikan sebagai surat panggilan yang dikeluarkan oleh lembaga pemerintah, terutama pengadilan, untuk memperoleh kesaksian dan bukti-bukti dari saksi dengan upaya paksa dan ancaman pidana apabila saksi tidak memenuhinya. Konsep pemanggilan seseorang dengan upaya paksa untuk hadir dan menyerahkan dokumen pada awalnya memang diperlukan untuk kepentingan pengadilan, namun konsep ini kemudian berkembang dan digunakan untuk lembaga-lembaga negara lainnya, termasuk badan legislatif. Di US Congress misalnya disebutkan:

“Congress has long been held to possess plenary authority to investigate any matter that is or might be the subject of legislation or oversight. And as the Supreme Court observed over 35 years ago, this authority includes the power to use compulsory processes, such as the issuance of subpoenas. See Eastland v. U.S. Serviceman’s Fund, 421 U.S. 491, 504 (1975). (Meyer Brown, Understanding Your Rights in Response to a Congressional Subpoena, p.2)”

“Kongres telah lama memiliki otoritas paripurna untuk menyelidiki masalah apa pun yang mungkin atau mungkin merupakan subjek dari legislasi atau pengawasan. Dan seperti yang dinyatakan oleh Mahkamah Agung lebih dari 35 tahun yang lalu, otoritas ini termasuk kekuatan untuk menggunakan

proses wajib, seperti penerbitan panggilan dari pengadilan (Meyer Brown, Understanding Your Rights in Response to a Congressional Subpoena, p.2)”

Dalam US Code TITLE 2 - THE CONGRESS CHAPTER 6
- CONGRESSIONAL AND COMMITTEE PROCEDURE;
INVESTIGATIONS § 192. Refusal of witness to testify or produce papers:

“Every person who having been summoned as a witness by the authority of either House of Congress to give testimony or to produce papers upon any matter under inquiry before either House, or any joint committee established by a joint or concurrent resolution of the two Houses of Congress, or any committee of either House of Congress, willfully makes default, or who, having appeared, refuses to answer any question pertinent to the question under inquiry, shall be deemed guilty of a misdemeanor, punishable by a fine of not more than $1,000 nor less than $100 and imprisonment in a common jail for not less than one month nor more than twelve months” (https://www.law.cornell.edu/uscode/pdf/uscode02/li i_usc_TI_02_CH_6_SE_192.pdf)

“Setiap orang yang dipanggil sebagai saksi oleh Konggres (Senat dan HoR) untuk memberikan kesaksian dan menyerahkan dokumen mengenai segala sesuatu yang berhubungan sedang diselidiki oleh Konggres (Senat dan HoR) atau Komisi Gabungan yang dibentuk melalui resolusi bersama dua Kamar, atau setiap komisi dari kedua kamar, yang dengan sengaja tidak hadir atau hadir namun menolak untuk menjawab pertanyaan yang berkaitan dalam rangka penyelidikan dapat dipidana karena perbuatan tidak patut (misdemeanour) dengan ancaman pidana denda paling banyak $1.000 dan paling sedikit $100 dan penjara paling sedikit 1 bulan dan paling lama 12 bulan.(https://www.law.cornell.edu/uscode/pdf/uscod e02/lii_usc_TI_02_CH_6_SE_192.pdf)

6) Bahwa Di Indonesia, bukan hanya DPR, Komnas HAM juga memiliki kewenangan ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 95 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM: “Apabila seseorang yang dipanggil tidak datang menghadap atau menolak memberikan keterangannya, Komnas HAM dapat meminta bantuan Ketua Pengadilan untuk pemenuhan panggilan secara paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan”. Untuk ketentuan pidananya, Pasal 224 Kitab Undang-undang Hukum Pidana menyebutkan “Barang siapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut undang-undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-undang yang harus dipenuhinya, diancam:
1. dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan;
2. dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam bulan.”

7) Bahwa penegakan hukum melalui lembaga sandera sudah diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor
1 Tahun 2000 tentang Lembaga Paksa Badan (selanjutnya disebut Perma 1 Tahun 2000). Dalam Perma
1 Tahun 2000 tersebut menyatakan bahwa gijzeling sebagai suatu alat paksa eksekusi yang secata psikis diberlakukan terhadap debitur untuk melunasi hutang pokok. Pasal 6 ayat (1) Perma 1 Tahun 2000 menyatakan “putusan tentang paksa badan ditetapkan bersama sama dengan putusan pokok perkara”. Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa permohonan paksa badan tidak dapat diajukan tanpa mengajukan pula gugatan terhadap debitur yang bersangkutan, namun sepanjang kewajiban debitur didasarkan atas pengakuan utang. Menurut Pasal 7 Perma 1 Tahun 2000 tersebut, paksa badan dapat diajukan tersendiri dan dilaksanakan berdasarkan penetapan ketua Pengadilan Negeri.

8) Bahwa selain itu, dalam hukum pidana juga dikenal istilah penahanan dan penangkapan yang juga merupakan tindakan pengekangan kebebasan seseorang (Pasal 1 butir 20 dan 21 KUHAP). Kedua tindakan pengekangan ini juga berbeda dengan gijzeling, karena tindakan tersebut dilakukan guna proses penyelidikan lebih lanjut, sedangkan gijzeling hanya dilakukan sementara sampai wajib pajak melunasi utang pajaknya, sehingga konsep pengekangan kebebasan gijzeling dalam hukum pajak berbeda dengan pengekangan kebebasan dalam hukum pidana. Tindakan penyanderaan bukan merupakan pengekangan kebebasan karena dilakukannya perbuatan pidana. Oleh karenanya terhadap tindakan penyanderaan, tidak dapat diberlakukan Praperadilan.

9) Bahwa konsep subpoena, sudah pernah ada dan diatur dalam berbagai undang-undang yaitu :

1) UU No. 22 Tahun 2003 (Pasal 30) dan UU No. 75 tahun 1954 tentang Acara Pidana Khusus untuk Anggota Dewan Perwakilan Rakyat
2) UU No. 13 Tahun 1970 Tentang Tata Cara Tindakan Kepolisian Terhadap Anggota-Anggota/Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Dan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong-Royong
“Yang dimaksud dengan tindakan kepolisian dalam Undang-undang ini ialah:
a. pemanggilan sehubungan dengan tindak pidana;
b. meminta keterangan tentang tindak pidana;
c. penangkapan;
d. penahanan;
e. penggeledahan;
f. penyitaan.”

10) Bahwa kekhawatiran Para Pemohon untuk
dipanggil/diundang oleh DPR RI untuk dimintai
keterangan dalam RDP yang berujung pada pemanggilan paksa dan dapat dianggap merendahkan kehormatan DPR RI dan/atau anggota DPR RI dapat dilakukan simulasi sebagai berikut:
a. Apabila Para Pemohon dilakukan pemanggilan pertama oleh DPR RI, namun Pemohon I tidak hadir dengan memberikan alasan yang patut dan sah kepada DPR (itikad baik), maka apabila tetap dipandang perlu maka DPR RI dapat mengagendakan pemanggilan ulang/kedua sesuai alasan Pemohon I dan pasal a quo tidak dapat diterapkan kepada Pemohon I; dan

b. Apabila Pemohon I telah dilakukan pemanggilan pertama dan kedua oleh DPR RI, namun Pemohon I tidak hadir tanpa alasan yang patut dan sah kepada DPR RI, maka apabila tetap dipandang perlu maka DPR RI dapat melakukan pemanggilan ketiga kepada Pemohon I. Apabila pada pemanggilan ketiga Pemohon I hadir dan/atau tidak hadir dengan memberikan alasan yang patut dan sah kepada DPR RI, maka pasal a quo tidak dapat diterapkan kepada Pemohon I.

Berdasarkan simulasi tersebut, maka pasal a quo tidak dapat serta merta diterapkan begitu saja kepada Para Pemohon tanpa alasan yang jelas, mengingat rumusan pasal a quo mengandung unsur prosedural yang harus dilaksanakan sesuai dengan hukum administrasi Negara.

11) Bahwa dalil Para Pemohon bukan didasarkan pada kerugian hak konstitusional, melainkan hanya merupakan sebuah asumsi (yang terlalu berlebihan dan sama sekali tidak tepat). Pasal a quo mengenai hak DPR RI merupakan ketentuan yang telah diatur dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan dijabarkan lebih lanjut dalam UU a quo. Dengan demikian, dalil Para Pemohon yang khawatir apabila ketidakhadiran atas panggilan DPR RI akan berujung pada panggilan paksa merupakan asumsi yang berlebihan dan keliru serta paradoxal. Para Pemohon sesuai dengan kedudukan dan kapasitasnya masing-masing justru perlu dipertanyakan mengapa tidak bersedia hadir memenuhi panggilan DPR RI. Seharusnya panggilan dari DPR RI kepada Para Pemohon dalam rapat DPR RI dijadikan kesempatan bagi Para Pemohon untuk menyumbangkan pemikiran dan aspirasinya.

12) Bahwa selain pandangan secara konstitusional, teoritis, dan yuridis, sebagaimana telah diuraikan di atas, terkait dengan pengujian Pasal 73 ayat (3), (4), (5) dan (6) UU MD3, dalam Rapat Kerja dengan Menkumham dan Mendagri pada Rabu, 7 Februari 2018 Pukul 19.30, Ketua Rapat Dr. H. Dossy Iskandar Prasetyo, S.H., M.Hum menyatakan bahwa :

“Pasal 73 terkait wewenang DPR RI melakukan pemanggilan paksa Pejabat Negara, Pemerintah meminta menghapuskan frasa pejabat negara dan ditawarkan menjadi setiap orang.” Hal tersebut dibenarkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Yasonna Laoly, S.H) yang menyatakan bahwa “Jadi supaya tidak ada diskriminasi jadi ini setiap orang Pak Ketua, jadi setiap warga negara dan setiap orang maupun siapa saja. Jadi ini bisa lebih genericnya lebih baik menurut saya.”

b.2 TUGAS MKD UNTUK MENGAMBIL LANGKAH HUKUM DAN/ATAU LANGKAH LAINNYA TERHADAP SETIAP ORANG YANG MERENDAHKAN KEHORMATAN DPR DAN/ATAU ANGGOTA DPR (CONTEMPT OF PARLIAMENT/CONGRESS) (PASAL 122 HURUF L)

1) Bahwa Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang merupakan alat kelengkapan DPR RI yang bersifat tetap. Memiliki tujuan untuk menjaga serta menegakan kehormatan dan keluhuran martabat DPR RI sebagai lembaga perwakilan rakyat. Sebagaimana tercantum dalam Pasal 119 ayat (2) UU MD3 yang berbunyi

“Mahkamah Kehormatan Dewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan menjaga serta menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat DPR RI sebagai lembaga perwakilan rakyat”. Oleh karena itu sudah menjadi tanggung jawab yang di amanatkan oleh undang- undang kepada Mahkamah Kehormatan Dewan untuk menjalankan fungsinya tersebut agar kehormatan DPR RI sebagai lembaga perwakilan rakyat tetap terjaga.

2) Bahwa MKD dalam melaksanakan fungsi dan kewenangannya sebagaimana tercantum dalam Pasal 121A UU MD3 yang menyatakan “Mahkamah Kehormatan Dewan melaksanakan fungsi: a. pencegahan dan pengawasan; dan b. penindakan”. Dalam melaksanakan fungsinya tersebut MKD tentunya tidak serta merta mengajukan langkah hukum seperti yang di dalilkan oleh Para Pemohon, tetapi MKD terlebih dahulu akan memeriksa bukti-bukti dugaan penghinaan yang merendahkan kehormatan DPR RI tersebut. Bahwa atas dasar ketentuan tersebut, MKD dalam menjalankan fungsinya menjaga kehormatan DPR RI dan anggota DPR RI apabila ditemukan suatu dugaan penghinaan tersebut MKD akan melakukan langkah-langkah penyelidikan terlebih dahulu untuk memeriksa bukti-bukti yang menunjukkan adanya unsur-unsur dugaan penghinaan yang merendahkan kehormatan lembaga DPR RI dan anggota DPR RI, yang untuk selanjutnya dapat diproses sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

3) Bahwa terhadap dalil Para Pemohon yang menyatakan kebebasan Para Pemohon untuk berpendapat kritis kepada DPR RI telah dikekang dengan berlakunya Pasal 122 huruf (l) UU MD3. DPR RI berpandangan bahwa dalil Para Pemohon a quo bukan permasalahan konstitusionalitas norma, karena pasal a quo UU MD3 tidak ada relevansinya dengan kerugian yang didalilkan Para Pemohon. Bahwa berlakunya UU a quo sama sekali tidak menghalangi, tidak mengurangi dan tidak melanggar hak konstitusional Para Pemohon untuk menyampaikan kritik dan aspirasinya kepada DPR RI sebagai bagian dari proses demokrasi.

4) Bahwa terkait dengan ketentuan yang mengatur “merendahkan kehormatan DPR RI” yang diatur dalam Pasal 122 huruf l UU MD3, ketentuan mengenai “merendahkan kehormatan DPR RI” ( atau contempt of parliament) diatur juga dalam Pasal 207 dan Pasal 208 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Bahwa

Pasal 207 KUHP berbunyi “Barang siapa dengan sengaja di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina suatu penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.” Selanjutnya Pasal 208 KUHP berbunyi “(1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum suatu tulisan atau lukisan yang memuat penghinaan terhadap penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia dengan maksud supaya isi yang menghina itu diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam pencariannya dan ketika itu belum lewat dua tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena kejahatan semacam itu juga, maka yang bersangkutan dapat dilarang menjalankan pencarian tersebut.” Adapun yang dimaksud dengan badan kekuasaan umum (badan umum) dalam ketentuan Pasal
207 dan Pasal 208 ayat (1) KUHP tersebut, menurut Wirjono Prodjodikoro antara lain Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negeri. (Wirjono Prodjodikoro, 2012: 218). Pendapat yang sama dikemukakan oleh R. Soesilo bahwa objek-objek yang dihina dalam Pasal 207 KUHP adalah sesuatu kekuasaan (badan kekuasaan pemerintah) seperti gubernur, presiden, polisi, bupati, dan camat atau majelis umum (badan umum) seperti parlemen dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. (R Soesilo, 2013: 164).

5) Bahwa frasa “langkah hukum” dalam Pasal 122 huruf l UU No. 2 Tahun 2018 tidak berarti hukum pidana menjadi primum remedium. Hukum pidana tetap menjadi upaya terakhir (ultimum remedium) dalam penyelesaian perkara contempt of parliament. Selain itu, rumusan frasa “langkah hukum” yang diikuti oleh frasa “dan/atau langkah lain” dalam Pasal 122 huruf l UU No. 2 Tahun 2018 bermakna kumulatif alternatif. Artinya, langkah hukum dapat dialternatifkan dengan langkah lain atau langkah hukum dikumulatifkan dengan langkah lain.

6) Bahwa dipandang perlu untuk membandingkan dengan negara lain yang memiliki pengaturan mengenai contempt of parliament agar dapat memahami ketentuan yang merendahkan kehormatan DPR RI atau lembaga perwakilan antara lain :

a. Dalam konteks Amerika Serikat disebut contempt of congress. Dalam sejarahnya sudah dikenal sejak tahun 1795 dalam kasus Robert Randall yang mencoba menyuap anggota Konggres AS William Smith. Tuduhan merendahkan kehormatan Konggres AS selain penyuapan, antara lain dalam kasus William Duane, seorang editor surat kabar yang menolak menjawab pertanyaan Senat pada tahun 1800 dan juga seorang editor surat kabar yang mengeluarkan informasi yang sensitif kepada pers pada tahun 1812. (Todd Garvey, Congress’s Contempt Power and the Enforcement of Congressional Subpoenas: Law, History, Practice; and Procedure, Congressional Research Service Report, May 12, 2017, p.4)

b. Di United Kingdom, disebut contempt of privilege
(penghinaan terhadap hak istimewa)
“is a term used to describe any act - or failure to act - that may prevent or hinder the work of either House of Parliament. A more specific offence against parliamentary privilege is known as a breach of privilege. http://www.parliament.uk/site- information/glossary/contempt/
The Joint Committee on Parliamentary Privilege, which reported in April 1999, considered what was meant by contempt of either House. After providing an overview, the Joint Committee listed a number of examples of activities that could be considered contempts:
264. Contempts comprise any conduct (including words) which improperly interferes, or is intended or likely improperly to interfere, with the performance by either House of its functions, or the performance by a member or officer of the House of his duties as a member or officer. The scope of contempt is broad, because the actions which may obstruct a House or one of its committees in the performance of their functions are diverse in character. Each House has the exclusive right to judge whether conduct amounts to improper interference and hence contempt. The categories of conduct constituting contempt are not closed. The following is a list of some types of contempt:
• interrupting or disturbing the proceedings of, or engaging in other misconduct in the presence of, the House or a committee
• assaulting, threatening, obstructing or intimidating a member or officer of the House in the discharge of the member's or officer's duty

• deliberately attempting to mislead the House or a committee (by way of statement, evidence, or petition)
• deliberately publishing a false or misleading report of the proceedings of a House or a committee
• removing, without authority, papers belonging to the House
• falsifying or altering any papers belonging to the House or formally submitted to a committee of the House
• deliberately altering, suppressing, concealing or destroying a paper required to be produced for the House or a committee
• without reasonable excuse, failing to attend before the House or a committee after being summoned to do so
• without reasonable excuse, refusing to answer a question or provide information or produce papers formally required by the House or a committee
• without reasonable excuse, disobeying a lawful order of the House or a committee
• interfering with or obstructing a person who is carrying out a lawful order of the House or a committee
• bribing or attempting to bribe a member to influence the member's conduct in respect of proceedings of the House or a committee
• intimidating, preventing or hindering a witness from giving evidence or giving evidence in full to the House or a committee
• bribing or attempting to bribe a witness

33 Commons Library Briefing, 2 June 2016
• assaulting, threatening or disadvantaging a member, or a former member, on account of the member's conduct in Parliament
• divulging or publishing the content of any report or evidence of a select committee before it has been reported to the House.

Additionally, in the case of members:
• accepting a bribe intended to influence a member's conduct in respect of proceedings of the House or a committee
• acting in breach of any orders of the House
• failing to fulfil any requirement of the House, as declared in a code of conduct or otherwise, relating to the possession, declaration, or registration of

financial interests or participation in debate or other proceedings.
The Joint Committee also reviewed the penalties that could be applied to anyone found guilty of a contempt. http://www.ourcommons.ca/procedure-book- livre/Document.aspx?sbdid=abbc077a-6dd8-4fbe-a29a- 3f73554e63aa&sbpid=9686d5b2-9075-4451-8082-
1446f8be3c5e

Penghinaan terdiri dari setiap perilaku (termasuk kata- kata) yang mengganggu, atau dimaksudkan atau mungkin tidak pantas yang ditujukan kepada Parlemen, atau mengganggu kinerja anggota Parlemen. Ruang lingkup penghinaan itu luas, karena tindakan-tindakan yang mungkin menghalangi Parlemen salah satu komite dalam bekerja melaksanakan fungsi meereka memiliki karakter yang beragam. Masing-masing komite memiliki hak eksklusif untuk menilai apakah tindakan tersebut merupakan gangguan yang tidak pantas dan karenanya penghinaan. Berikut ini adalah daftar beberapa jenis penghinaan:
• Mengganggu atau mengganggu proses, atau terlibat dalam pelanggaran lain di hadapan, parlemen atau komite.
• Menyerang, mengancam, menghalangi atau mengintimidasi seorang anggota atau pejabat parlemen dalam menjalankan tugas.
• Dengan sengaja mencoba menyesatkan DPR atau komite (melalui pernyataan, bukti, atau petisi).
• Dengan sengaja mempublikasikan laporan palsu atau menyesatkan tentang proses di parlemen atau komite.
• Menghapus, tanpa wewenang, makalah/kertas resmi milik parlemen.
• Memalsukan atau mengubah kertas apa pun milik parlemen atau secara resmi diserahkan ke komite parlemen.
• Dengan sengaja mengubah, menekan, menyembunyikan atau menghancurkan kertas yang diperlukan untuk diproduksi untuk parlemen atau komite
• Tanpa alasan yang masuk akal, gagal hadir di depan parlemen atau komite setelah dipanggil untuk melakukannya.
• Tanpa alasan yang masuk akal, menolak untuk menjawab pertanyaan atau memberikan informasi atau makalah yang secara resmi diminta oleh parlemen atau komite.

• Tanpa alasan yang masuk akal, tidak menaati perintah parlemen atau komite yang sah.
• Mengganggu atau menghalangi seseorang yang melaksanakan perintah yang sah dari parlemen atau komite.
• Menyuap atau mencoba menyuap seorang anggota Parlemen untuk mempengaruhi perilaku anggota Parlemen sehubungan dengan persidangan Parlemen atau komite.
• Mengintimidasi, mencegah atau menghalangi seorang saksi memberikan bukti atau memberikan bukti secara penuh kepada parlemen atau komite.
• Menyuap atau mencoba menyuap saksi.
• Menyerang, mengancam atau merugikan anggota, atau mantan anggota, karena perilaku anggota di Parlemen.
• Membocorkan atau mempublikasikan konten laporan atau bukti apa pun dari komite terpilih sebelum dilaporkan ke Parlemen.
• Menerima suap yang dimaksudkan untuk mempengaruhi perilaku seorang anggota sehubungan dengan persidangan Parlemen atau komite.
• Bertindak melanggar perintah apa pun dari Parlemen.
• Gagal memenuhi persyaratan apa pun dari Parlemen, sebagaimana dinyatakan dalam kode etik atau lainnya, terkait dengan kepemilikan, pernyataan, atau pendaftaran kepentingan keuangan atau partisipasi dalam debat atau proses lainnya.
• Komite Gabungan juga meninjau hukuman yang dapat diterapkan pada siapa saja yang terbukti bersalah.

c. Contempt Of Parliament juga diatur di New Zealand Parliamentary Privilege Act 2014 dan Australia Parliamentary Privileges Act No. 21, 1987.
Pasal 22 New Zealand Parliamentary Privilege Act 2014 mengatur “22. House may impose fine on person determined by House to have committed contempt of House. (1) The House may by resolution impose on a person, for a contempt of the House determined by the House to have been committed by that person, a fine not exceeding $1,000.” Selanjutnya ayat (4) mengatur “This section replaces all other powers, if any, of the the House, under any other laws, to impose a fine on a person for a contempt of the House

determined by the House to have been committed by that person, but does not limit or affect the House’s powers to penalise the person for the contempt otherwise than by imposing a fine on the person (whether the other penalty is instead of, or as well as, the imposition of a fine).”
• Parlemen dapat mengenakan denda pada orang yang ditentukan oleh Parlemen karena telah melakukan penghinaan parlemen. (1) Parlemen dapat memaksakan pada seseorang hukuman denda karena penghinaan terhadap Parlemen, denda tidak melebihi $ 1.000. ”
• Ayat (4), bagian ini menggantikan semua kekuatan lain, jika ada, dari Parlemen, di bawah undang- undang lainnya, untuk menjatuhkan denda pada seseorang karena penghinaan terhadap Parlemen yang ditentukan oleh Parlemen, telah dilakukan oleh orang yang bersangkutan, tetapi tidak membatasi atau mempengaruhi kekuatan Parlemen untuk menghukum orang atas penghinaan itu selain dengan menjatuhkan denda pada orang tersebut (apakah hukuman lain adalah sebagai ganti, atau juga pengenaan denda).

d. Australia Parliamentary Privileges Act No. 21, 1987 “3 Interpretation (3) In this Act, a reference to an offence against a House is a reference to a breach of the privileges or immunities, or a contempt, of a House or of the members or committees.” Selanjutnya Pasal 7 mengatur Penalties imposed by Houses (1) A House may impose on a person a penalty of imprisonment for a period not exceeding 6 months for an offence against that House determined by that House to have been committed by that person. (5) A House may impose on a person a fine: (a) not exceeding $5,000, in the case of a natural person; or (b) not exceeding $25,000, in the case of a corporation; for an offence against that House determined by that House to have been committed by that person. (7) A fine shall not be imposed on a person under subsection (5) for an offence for which a penalty of imprisonment is imposed on that person.

Australia Parliamentary Privileges Act 21, 1987 Pasal 3 mengatur bahwa: dalam Undang-Undang ini, referensi terhadap pelanggaran terhadap Parlemen adalah referensi untuk pelanggaran hak istimewa atau kekebalan, atau penghinaan Parlemen, atau anggota, atau komite.

Selanjutnya Pasal 7 mengatur bahwa: hukuman yang dikenakan oleh Parlemen dapat mengenakan hukuman penjara seseorang untuk jangka waktu tidak melebihi 6 bulan untuk pelanggaran terhadap Parlemen yang ditentukan oleh Parlemen yang telah dilakukan oleh orang tersebut. Parlemen dapat mengenakan denda bagi seseorang: (a) tidak melebihi $ 5.000, dalam kasus orang perorangan; atau (b) tidak melebihi $ 25.000, dalam hal korporasi; untuk pelanggaran terhadap Parlemen yang ditentukan oleh Parlemen yang telah dilakukan oleh orang itu. Sebuah denda tidak akan dikenakan pada seseorang di bawah ayat (5) untuk pelanggaran yang hukuman hukuman penjara dikenakan pada orang bersangkutan.

7) Bahwa berdasarkan perbandingan dengan negara-negara tersebut, ketentuan yang mengatur mengenai “merendahkan kehormatan DPR RI” pada dasarnya memang lazim diterapkan di berbagai negara untuk menjaga kehormatan lembaga perwakilan rakyat yang menyelenggarakan kedaulatan rakyat. Bahwa DPR RI sebagai lembaga negara yang menyelenggarakan kedaulatan rakyat tentu harus dijaga kehormatannya dalam menjalankan wewenang dan tugas konstitusionalnya untuk kepentingan rakyat, bangsa dan NKRI.

8) Bahwa pengaturan mengenai contempt of parliament dalam Pasal 122 huruf l UU No. 2 Tahun 2018 juga tidak melanggar sistem pemisahan kekuasaan (separation of powers) berdasarkan prinsip checks and balances karena meskipun MKD bertugas untuk mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR RI dan/atau anggota DPR RI, tidak berarti MKD melaksanakan fungsi yudikatif. Akan tetapi, MKD menjaga serta menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat DPR RI sebagai lembaga perwakilan rakyat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

9) Bahwa terkait dengan pengujian Pasal 245 ayat (1), dalam Rapat Kerja dengan Menkumham dan Mendagri pada Rabu, 7 Februari 2018 Pukul 13.00, Anggota DPR RI H. Arsul Sani, S.H., M.Si menyatakan bahwa “Ya pak ketua dan bapak ibu sekalian, jadi secara substansi perlu adanya pasal yang menegakkan kehormatan dewan itu PPP setuju. Karena kami juga punya prinsip juga termasuk yang tadi saya sampaikan di pansus angket KPK,

keamanan dan keselamatan boleh kita serahkan tetapi kalau kehormatan jangan sampai kita serahkan begitu.”

b.3 PEMANGGILAN DAN PERMINTAAN KETERANGAN KEPADA ANGGOTA DPR YANG HARUS MENDAPATKAN PERSETUJUAN TERTULIS DARI PRESIDEN SETELAH MENDAPAT PERTIMBANGAN DARI MAHKAMAH KEHORMATAN DEWAN (PARLIAMENTARY PRIVILLEGES) (PASAL 245 AYAT (1) UU MD3)

1) Bahwa Anggota DPR RI yang dipilih melalui pemilihan umum ialah wakil rakyat yang berkedudukan sebagai pejabat negara yang berlandaskan pada Pasal 20 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Bahwa dalam pelaksanaan kekuasaanya tersebut, anggota DPR RI diberikan sejumlah hak salah satunya ialah hak imunitas. Pelaksanaan fungsi dan hak konstitusional anggota DPR RI harus diimbangi dengan perlindungan hukum yang memadai dan proporsional, sehingga Anggota DPR RI tidak dengan mudah dan bahkan tidak boleh dikriminalisasi pada saat dan/atau dalam rangka menjalankan fungsi dan wewenang konstitusionalnya. Oleh karena itu hak imunitas anggota DPR RI diberikan oleh Pasal 20A UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2) Bahwa hak imunitas yang diatur dalam Pasal 224 jo Pasal
245 UU MD3 merupakan pengaturan lebih lanjut dari Pasal 20A ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dinyatakan bahwa “selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain, Undang-Undang Dasar ini, setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas”. Artinya, hak imunitas tersebut secara konstitusional telah diberikan kepada anggota DPR RI.

3) Bahwa pengaturan hak imunitas tersebut diatur dalam Pasal 224 (1) dan ayat (2) UU MD3 yang menyatakan : “Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR. (2) Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena sikap, tindakan, kegiatan di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang semata-mata karena hak dan kewenangan konstitusional DPR dan/atau anggota DPR”.

4) Bahwa diberikannya hak imunitas kepada anggota DPR RI oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan UU MD3 tersebut ialah untuk melindungi anggota DPR RI dalam menjalankan kewajiban-kewajibannya yang diperintahkan oleh UU MD3. Bahwa kewajiban-kewajiban anggota DPR RI diatur dalam Pasal 81 UU No. 17 Tahun 2014 yang menyatakan: “Anggota DPR berkewajiban: a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila; b. melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati ketentuan peraturan perundang-undangan; c. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; d. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan; e. memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat; f. menaati prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara; g. menaati tata tertib dan kode etik;
h. menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga lain; i. menyerap dan menghimpun aspirasi konstituen melalui kunjungan kerja secara berkala; j. menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat; dan k. memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada konstituen di daerah pemilihannya”.

5) Bahwa mengingat kewajiban anggota DPR RI yang harus dijalankan oleh setiap anggota DPR RI yang diatur dalam Pasal 81 UU No. 17 Tahun 2014 tersebut, sangatlah tepat dan berdasar kalau anggota DPR RI diberikan hak imunitas dalam menjalankan kewajiban yang diberikan undang-undang. Bahwa prinsip dasar dari pemberian imunitas kepada anggota DPR RI adalah untuk melindungi dan mendukung kelancaran anggota DPR RI sebagai wakil rakyat yang dipilih melalui pemilihan umum dalam menjalankan wewenang dan tugas konstitusionalnya memperjuangkan kepentingan rakyat, bangsa dan NKRI, sehingga ucapan dan tindakan anggota DPR RI sepanjang menjalankan wewenang dan tugas konstitusionalnya tersebut terhindar dari ancaman kriminalisasi yang justru dapat menghambat kelancaran dan kebebasan anggota DPR RI dalam memperjuangkan kepentingan rakyat, bangsa dan NKRI.

6) Bahwa terkait pengaturan hak imunitas parlemen atau lembaga legislatif diterapkan juga di beberapa sistem pemerintahan negara lain, seperti yang tercantum dalam English Bill of Rights yang menyatakan bahwa kebebasan untuk berbicara dan berdiskusi atau berdebat di parlemen, tidak dapat di impeach atau dipertanyakan dalam

persidangan di lembaga peradilan (Simon Wigley, Parliamentary Imunity: Protecting Democracy or Protecting Corruption, The Journal of Political Philosophy, Volume 11, Number 1, 2003). Bahwa pengaturan hak imunitas juga terdapat di Parlemen Australia yang disebut dengan “hak istimewa parlemen” (parliamentary privilege) untuk melindungi integritas dari para anggota parlemen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, sedangkan hak imunitas yang dimiliki oleh Parlemen Kanada bersifat terbatas, dalam arti anggota parlemen dapat diperiksa oleh pengadilan apabila hak imunitas yang dimilikinya tersebut melanggar ketentuan dalam konstitusi atau undang- undang.

7) Bahwa terhadap pengujian Pasal 245 UU MD3, DPR RI memberikan pandangan bahwa substansi atau materi muatan yang ada di dalam Pasal 245 UU MD3 tidak bisa hanya dilihat atau dipahami secara parsial, melainkan harus secara komprehensif dengan melihat korelasi atau keterkaitan pengaturannya dengan pasal-pasal lain yaitu Pasal 121A, Pasal 122, dan Pasal 122A UU MD3 yang berketentuan sebagai berikut:

Pasal 121A
Mahkamah Kehormatan Dewan melaksanakan fungsi:
a. pencegahan dan pengawasan; dan
b. penindakan.

Pasal 122
Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121A, Mahkamah Kehormatan Dewan bertugas:
a. melakukan pencegahan terjadinya pelanggaran Kode Etik;
b. melakukan pengawasan terhadap ucapan, sikap, perilaku, dan tindakan anggota DPR;
c. melakukan pengawasan terhadap ucapan, cikap, perilaku, dan tindakan sistem pendukung DPR yang berkaitan dengan tugas dan wewenang anggota DPR.
d. melakukan pemantapan nilai dan norma yang terkandung dalam Pancasila, peraturan perundang- undangan, dan Kode Etik;
e. melakukan penyelidikan perkara pelanggaran Kode Etik;
f. melakukan penyelidikan perkara pelanggaran Kode Etik sistem pendukung yang berkaitan dengan pelanggaran Kode Etik yang dilakukan sistem pendukung DPR;
g. memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran Kode Etik;
h. memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran Kode Etik sistem pendukung yang berkaitan dengan Pelanggaran

Kode Etik sistem pendukung DPR, terkecuali sistem pendukung Pegawai Negeri Sipil;
i. menyelenggarakan administrasi perkara pelanggaran Kode Etik;
j. melakukan peninjauan kembali terhadap putusan perkara pelanggaran Kode Etik;
k. mengevaluasi pelaksanaan putusan perkarapelanggaran Kode Etik;
l. mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR;
m. mengajukan rancangan peraturan DPR mengenai kode etik dan tata beracara Mahkamah Kehormatan Dewan kepada Pimpinan DPR dan Pimpinan DPR selanjutnya menugaskan kepada alat kelengkapan DPR yang bertugas menyusun peraturan DPR; dan
n. menyusun rencana kerja dan anggaran setiap tahun sesuai dengan kebutuhan yang selanjutnya disampaikan kepada badan/panitia yang menyelenggarakan urusan rumah tangga DPR.

Pasal l22A
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122, Mahkamah Kehormatan Dewan berwenang:
a. melakukan kegiatan surat menyurat di internal DPR
b. memberikan imbauan kepada anggota DPR untuk mematuhi Kode Etik;
c. memberikan imbauan kepada sistem pendukung DPR untuk mematuhi Kode Etik sistem pendukung DPR;
d. melakukan kerja sama dengan lembaga lain untuk mengawasi ucapan, sikap, perilaku, dan tindakan anggota DPR;
e. menyelenggarakan sosialisasi peraturan DPR mengenai kode etik DPR;
f. menyelenggarakan sosialisasi peraturan DPR mengenai kode etik sistem pendukung DPR;
g. meminta data dan informasi dari lembaga lain dalam rangka penyelesaian perkara pelanggaran kode etik DPR dan sistem pendukung DPR;
h. memanggil pihak terkait dalam rangka penyelesaian perkara pelanggaran kode etik DPR;
i. memanggil pihak terkait dalam rangka penyelesaian perkara pelanggaran kode etik sistem pendukung DPR;
j. memeriksa dan memutus perkara pelanggaran kode etik DPR;
k. memeriksa dan memutus perkara pelanggaran kode etik sistem Pendukung DPR;

l. menghentikan penyelidikan perkara pelanggaran kode etik DPR;
m. menghentikan penyelidikan perkara pelanggaran kode etik sistem Pendukung DPR;
n. memutus perkara peninjauan kembali terhadap putusan pelanggaran kode etik DPR dan pelanggaran kode etik sistem pendukung DPR; dan
o. memberikan rekomendasi kepada pimpinan aparatur sipil negara terkait pelanggaran Kode Etik sistem pendukung yang berkaitan dengan pelanggaran Kode Etik anggota DPR.

Bahwa dengan adanya perubahan fungsi dan tugas dari Mahkamah Kehormatan Dewan dalam Pasal 121A, Pasal 122, dan Pasal 122A UU MD3, dan mengingat kewajiban- kewajiban anggota DPR RI dalam Pasal 81 UU No. 17 Tahun 2014 yang harus dijalankan, serta kedudukan anggota DPR RI selaku wakil rakyat hasil pemilihan umum dan sebagai pejabat negara, maka sudah tepat dan beralasan hukum diberikan perlindungan dan penegakkan hak imunitas kepada anggota DPR RI sebagaimana diatur dalam Pasal 245 UU MD3. Oleh karena fungsi dan tugas dari Mahkamah Kehormatan Dewan adalah untuk menjaga serta menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat DPR RI sebagai lembaga perwakilan rakyat.

8) Bahwa terhadap Pasal 245 ayat (1) UU MD3 tidak berarti anggota DPR RI memiliki imunitas hukum yang bersifat absolut. Hal tersebut dapat dilihat dalam ketentuan pada Pasal 245 ayat (2) UU MD3 yang menyatakan “Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila anggota DPR:

- Tertangkap tangan melakukan tindak pidana;
- Disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; atau
- Disangka melakukan tindak pidana khusus”

Bahwa atas dasar ketentuan Pasal 245 ayat (2) UU MD3 tersebut menegaskan bahwa hak imunitas anggota DPR RI tidak berlaku dalam keadaan-keadaan tertentu sehingga tidak diperlukan persetujuan Presiden. Artinya ketentuan Pasal 245 UU MD3 sejalan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan sesuai juga dengan due process of law.

21/ PUU -XVI/ 2018

Pasal 73 ayat (3), (4), (5) dan (6), Pasal 122 huruf l, dan Pasal 245 ayat (1) UU MD3

Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3), Pasal 19 ayat (1), Pasal 20A ayat (1), Pasal 20A ayat (3), Pasal 20A ayat (2), Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28 I ayat (2), Pasal 28 J ayat (1) UUD 1945