Keterangan DPR mengenai Pengujian UU Terhadap UUD 1945

Keterangan DPR Perkara No. 91/PUU-XV/2017 / 31-01-2018

KERUGIAN KONSTITUSIONAL PEMOHON :

1. Bahwa ketentuan Pasal 4 huruf b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen (UU tentang Perlindungan Konsumen) yang
hanya mengatur hak untuk memilih serta mendapatkan barang dan/atau jasa
tanpa diberikan hak untuk memilih cara melakukan pembayaran atas barang
dan/atau jasa yang hendak dimiliki dan/atau digunakan, telah tidak
memberikan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh
kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan
bagi Pemohon.
2. Bahwa dengan ketiadaan hak bagi Pemohon untuk memilih maka pelaku
usaha dapat secara sewenang-wenang menentukan sendiri cara pembayaran
atas barang dan/atau jasa yang ditawarkannya, diantaranya, mengharuskan
konsumen untuk melakukan pembayaran menggunakan uang elektronik (e-
money) dan menolak pembayaran langsung/tunai dari konsumen yang
menggunakan uang kertas atau logam sebagai alat pembayaran yang sah;
3. Bahwa tindakan pelaku usaha tersebut merupakan tindakan monopoli
usaha, karena konsumen tidak memiliki alternatif lain untuk melakukan
pembayaran selain yang telah ditentukan secara sepihak oleh pelaku usaha.
Tindakan tersebut juga merupakan tindakan diskriminasi bagi konsumen
yang pada pokoknya hanya dapat melakukan pembayaran atas barang
dan/atau jasa yang ditawarkan menggunakan uang kertas atau logam sebagai
alat pembayaran yang sah.
4. Bahwa pelaku usaha penyelenggara jalan tol juga telah membuat rupiah
sebagai alat pembayaran yang sah menjadi tidak berlaku untuk para
pengguna tol dalam melakukan pembayaran.

LEGAL STANDING :

1. Bahwa tujuan pembentukan UU tentang Perlindungan Konsumen
sebagaimana tercantum dalam bagian Penjelasan Umum adalah upaya
pemberdayaan konsumen agar kepentingan konsumen dapat terlindungi
secara integratif dan komprehensif serta efektif di masyarakat dan
mendorong iklim berusaha yang sehat yang mendorong lahirnya perusahaan
yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan barang
dan/atau jasa yang berkualitas, sementara Pemohon selaku pengguna jalan
tol mendalilkan kerugian konstitusional yang dialami adalah karena pasal a
quo yang mengatur hak konsumen diantaranya hanya hak untuk memilih
serta mendapatkan barang dan/atau jasa, tanpa diberikan hak untuk memilih
cara melakukan pembayaran atas barang dan/atau jasa yang hendak dimiliki
dan/atau digunakan.

2. Bahwa penggagas awal mengenai hak konsumen dan perlunya
perlindungan konsumen adalah Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy
pada tahun 1962, menurutnya ada empat hak konsumen yang perlu
dilindungi secara hukum, yaitu:
1) hak memperoleh keamanan (the right to safety);
Aspek ini ditujukan pada perlindungan konsumen dari pemasaran barang
dan/atau jasa yang membahayakan keselamatan konsumen. Pada posisi ini,
intervensi, tanggung jawab dan peranan pemerintah dalam rangka menjamin
keselamatan dan keamanan konsumen sangat penting. Karena itu pula,
pengaturan dan regulasi perlindungan konsumen sangat dibutuhkan untuk
menjaga konsumen dari perilaku produsen yang nantinya dapat merugikan
dan membahayakan keselamatan konsumen.
2) hak memilih (the right to choose);
Bagi konsumen, hak memilih merupakan hak prerogatif konsumen apakah ia
akan membeli atau tidak membeli suatu barang dan/atau jasa. Oleh karena
itu, tanpa ditunjang oleh hak untuk mendapatkan informasi yang jujur,
tingkat pendidikan yang patut, dan penghasilan yang memadai, maka hak ini
tidak akan bayak artinya. Apalagi dengan meningkatnya teknik penggunaan
pasar, terutama lewat iklan, maka hak untuk memilih ini lebih banyak
ditentukan oleh faktor-faktor di luar dir konsumen.
3) hak mendapat informasi (the right to be informed); dan
Hak ini mempunyai arti yang sangat fundamental bagi konsumen bila dilhat
dari sudut kepentingan dan kehidupan ekonominya. Setiap keterangan
mengenai sesuatu barang yang akan dibelinya atau akan mengikat dirinya,
haruslah diberikan selengkap mungkin dan dengan penuh kejujuran.
Informasi baik secara langsung maupun secara umum melalui berbagai media
komunikasi seharusnya disepakati bersama agar tidak menyesatkan
konsumen.
4) hak untuk didengar (the right to be heard)
Hak ini dimaksudkan untuk menjamin konsumen bahwa kepentingannya
harus diperhatkan dan tercermin dalam kebijaksanaan pemerintah, termasuk
turut didengar dalam pembentukan kebijakan tersebut. Selain itu, konsumen
juga harus didengar setiap keluhannya dan harapannya dalam mengonsumsi
barang dan/atau jasa yang dipasarkan produsen.
(Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Kencana, 2013, hal 47).

3. Bahwa Hak konsumen dalam Pasal 4 UU tentang Perlindungan Konsumen
berupa hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan mengandung
pengertian bahwa konsumen berhak mendapatkan produk yang nyaman,
aman, dan yang memberi keselamatan. Oleh karena itu, konsumen harus
dilindungi dari segala bahaya yang mengancam kesehatan, jiwa, dan harta
bendanya karena memakai atau mengonsumsi suatu produk. Tidak
dikehendaki adanya produk yang dapat mencelakakan dan mencederai
konsumen. (Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia,
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2010, hal, 40).

4. Bahwa Pasal 4 huruf b UU tentang Perlindungan Konsumen mengatur salah
satu hak konsumen berupa setiap orang sebagai konsumen barang ataupun
jasa untuk memilih serta mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan
nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan merupakan norma yang
sifatnya umum berlaku untuk setiap orang serta tidak mengarah atau khusus
pada jasa tertentu saja. Dengan adanya ketentuan Pasal 4 UU tentang
Perlindungan Konsumen justru lebih memberikan jaminan kepastian hukum
akan hak-hak bagi konsumen mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai
dengan kehendaknya.
5. Bahwa Pemohon mendalilkan ketentuan Pasal 4 huruf b UU tentang
Perlindungan Konsumen telah menimbulkan kerugian konstitusional, karena
untuk menggunakan jasa jalan tol Pemohon harus menggunakan emoney
sebagai alat pembayaran. Sedangkan Pasal in casu berlaku secara umum
tidak hanya untuk pengguna jalan tol dan jasa jalan tol, melainkan seluruh
konsumen barang dan/atau jasa. Pemberlakuan emoney diterapkan di
seluruh jalan tol dan seluruh daerah di wilayah Negara Republik Indonesia
dengan tujuan lebih menjamin hak konsumen dalam mendapatkan pelayanan
yang lebih baik di pintu-pintu gerbang pembayaran jalan tol.
Upaya penyedia jasa jalan tol untuk memperbaiki pelayanannya bukan
tindakan yang bertentangan dengan konstitusi melainkan lebih untuk
menjamin hak konsumen dan menjalankan kewajiban selaku pelaku usaha
sebagaimana diatur dalam UU tentang Perlindungan Konsumen. Disamping
itu nyata tidak ada sebab akibat dengan pemberlakuan penggunaan emoney
terhadap mata pencaharian maupun hak-hak pemohon sebagai warga negara
dalam memperoleh layanan jasa. Meskipun pemberlakuan emoney dalam
pembayaran jalan tol menurut Pemohon potensial menimbulkan kerugian
bagi Pemohon, hal tersebut bukan akibat pemberlakuan ketentuan Pasal 4
huruf b UU tentang Perlindungan Konsumen. Sehingga pemberlakuan
tersebut tidak menimbulkan kerugian konstitusional secara langsung
terhadap Pemohon.
6. Bahwa Pemohon menguji Pasal 4 huruf b UU tentang Perlindungan
Konsumen bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) UUD Tahun 1945,
sedangkan konsep ketentuan Pasal 28H ayat (2) UUD 45 mengenai hak setiap
orang untuk mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh
kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan
keadilan”. Menurut Jimly Asshiddiqie, Pasal 28H ayat (2) UUD Tahun 1945
mengatur tentang hak untuk mendapatkan perlakuan khusus atau affirmative
action sebagai pengecualian atas ketentuan hak asasi manusia yang
antidriskiminasi dengan pertimbangan bahwa orang atau kelompok orang
yang bersangkutan berada dalam keadaan yang tertinggal dari
perkembangan masyarakat pada umumnya, sehingga kepadanya dibutuhkan
tindakan dan kebijakan yang bersifat khusus. Perlakuan khusus sebenarnya
bersifat diskriminatif juga, namun dalam makna yang positif untuk menolong
agar yang bersangkutan dapat mengejar ketertinggalan. Diskriminasi
tersebut dimaknai sebagai diskriminatif positif atau affirmative action sebagai
pelaksanaan dari affirmative policy. (Jimly Asshiddiqie, Komentar Atas
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta: SInar
Grafika, 2013, hal. 122).

7. Bahwa Lebih lanjut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun
2016 tentang Penyandang Disabilitas, sebagai ketentuan pelaksanaan Pasal
28H ayat (2) UUD Tahun 1945, menegaskan hak asasi manusia sebagai hak
dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia bersifat universal, perlu
dilindungi, dihormati, dan dipertahankan, sehingga pelindungan dan hak
asasi manusia terhadap kelompok rentan, khususnya penyandang disabilitas.
penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas
merupakan kewajiban negara. Kesamaan kesempatan adalah keadaan yang
memberikan peluang dan/atau menyediakan akses kepada penyandang
disabilitas untuk menyalurkan potensi dalam segala aspek penyelenggaraan
negara dan masyarakat. Penjelasan Umum Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas mengurai
bahwa dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang
Pengesahan Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi
Hak-Hak Penyandang Disabilitas) menunjukkan komitmen dan kesungguhan
pemerintah Indonesia untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak
penyandang disabilitas yang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan
kesejahteraan penyandang disabilitas, penyandang disabilitas berhak untuk
bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi,
merendahkan martabat manusia, bebas dari eksploitasi, kekerasan dan
perlakuan semena-mena, serta berhak untuk mendapatkan penghormatan
atas integritas mental dan fisiknya berdasarkan kesamaan dengan orang lain,
termasuk di dalamnya hak untuk mendapatkan Pelindungan dan pelayanan
sosial dalam rangka kemandirian, serta dalam keadaan darurat.

8. Bahwa dengan demikian antara kerugian konstitusional yang didalilkan
oleh Pemohon dengan berlakunya pasal a quo yang dimohonkan pengujian
tidak memiliki hubungan sebab akibat (causal verband).

Berdasarkan pada hal-hal yang telah disampaikan tersebut DPR RI
berpandangan bahwa Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal
standing) karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 51 ayat (1) dan Penjelasan
UU Mahkamah Konstitusi, serta tidak memenuhi persyaratan kerugian
konstitusional yang diputuskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi
terdahulu. Bahwa Pemohon dalam permohonan a quo tidak menguraikan
secara konkrit mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusionaInya yang
dianggap dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji,
utamanya dalam mengkonstruksikan adanya kerugian hak dan/atau
kewenangan konstitusionaInya yang dirugikan atas berlakunya ketentuan
yang dimohonkan untuk diuji tersebut.

Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, terhadap kedudukan hukum
(legal standing) Pemohon, DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada
Ketua/Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan
menilai apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing)
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang
Mahkamah Konstitusi dan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor
006/PUU-III/2005 dan Putusan perkara Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai
parameter kerugian konstitusional.

POKOK PERKARA :

1) Bahwa UU tentang Perlindungan Konsumen sebagai piranti hukum yang
melindungi konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha para
pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya perlindungan konsumen dapat
mendorong iklim berusaha yang sehat yang mendorong lahirnya perusahaan
yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan barang
dan/atau jasa yang berkualitas.

2) Bahwa UU tentang Perlindungan Konsumen dibentuk dengan mengacu
pada filosofi pembangunan nasional termasuk pembangunan hukum yang
memberikan perlindungan terhadap konsumen guna membangun manusia
Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah kenegaraan Republik
Indonesia yaitu dasar negara Pancasila dan UUD Tahun 1945.
Dalam Rapat Paripurna, Kamis 10 Desember 1999, Fraksi PPP mensyaratkan
agar perlindungan konsumen dapat terlaksana terdapat lima prinsip dasar
yang harus diperhatikan, yaitu:
a. Konsumen adalah setiap orang. Tidak ada orang yang tidak
mengonsumsi barang, termasuk pengusaha, sehingga konsep perlindungan
konsumen bukan merupakan gangguan terhadap kepentingan pengusaha.
Sehingga polarisasi konsumen versus pengusaha yang merupakan conditio
sine qua non dapat dinetralisisr dengan terbitnya perundangan yang
mengatur perlindungan terhadap konsumen.
b. Hak konsumen adalah hak konstitusional. Karena setiap orang adalah
konsumen maka setiap WNI adalah konsumen. Pasal 27 UUD Tahun 1945
menyebutkan dengan jelas dan tegas kesamaan kedudukan dari setiap warga
negara Indonesia dalam hukum dan pemerintahan.
c. Kesederajatan kedudukan antara konsumen dan pengusaha, ini
merupakan konsekuensi logis dari kedua prinsip terdahulu. Kesederajatan di
antara keduanya dalam hubungan jual beli (transaksi) secara ekonomis
sebenarnya akan menguntungkan kedua belah pihak.
d. Konsep perlindungan konsumen memerlukan pembinaan sikap,
walaupun perlindungan konsumen adalah hak konstitusional setiap orang.
Dalam aplikasi pengaturan perlindungan terhadap konsumen diperlukakn
perubahan orientasi sikap sehingga hak konsumen tersebut akan efektif.
Apresiasi si empunya hak terhadap hak yang dimilikinya merupakan orientasi
sikap yang penting dan perlu dikembangkan di masyarakat kita.
e. Perlindungan konsumen hanya akan berkembang dalam iklim hubungan
bisnis yang sehat. Tanpa iklim hubungan bisnis yang sehat mustahil
perlindungan terhadap konsumen dapat berkembang di masyarakat kita.

3) Bahwa Pemohon telah mendalilkan Ketentuan Pasal 4 huruf b UU
tentang Perlidungan Konsumen bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) UUD
Tahun 1945. Ketentuan dalam Pasal 4 huruf b UU tentang Perlindungan
Konsumen berisi hak untuk memilih, oleh pembentuk Undang-Undang hak
ini dimaknai bahwa sebagai setiap konsumen memiliki kebebasan untuk
memilih atas produk barang dan jasa yang ditawarkan produsen atau
pengusaha tanpa reserve.
Pemberian hak memilih dalam pasal a quo justru menguatkan jaminan negara
atas pelaksanaan hak konstitusional, dalam hal ini seluruh konsumen
pengguna jalan tol tanpa pengecualian, yang telah secara sadar memilih
menggunakan jasa jalan tol berhak memperoleh pelayanan sesuai yang
diperjanjikam untuk mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus
sebagaimana diatur dalam Pasal 28H ayat (2) UUD Tahun 1945.
Disamping adanya hak konsumen dalam Pasal 5 UU tentang Perlindungan
Konsumen juga menentukan kewajiban bagi konsumen meliputi:
a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan dan prosedur
pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan
keselamatan;
b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau
jasa;
c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
Seluruh kewajiban tersebut harus dipahami dan dipatuhi sebagai
penyeimbang atas hak-hak yang telah dilekatkan kepada konsumen dalam
Pasal 4, adanya keputusan konsumen memilih untuk menggunakan jalan tol
secara bersamaan kewajiban tersebut mengikat selaku konsumen pengguna
jasa.

4) Bahwa Pemohon mendalilkan ketentuan Pasal 4 huruf b yang hanya
mengatur hak untuk memilih serta mendapatkan barang dan/atau jasa, tanpa
diberikan hak untuk memilih cara pembayaran atas barang dan/atau jasa
yang hendak dimiliki dan/atau digunakan, telah tidak memberikan
kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan
manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan bagi Pemohon.
Kehendak konsumen untuk menggunakan fasilitas jalan tol merupakan
pilihan, penyelenggara jalan tol bahkan negara sekalipun tidak berhak untuk
memaksa konsumen harus masuk jalan tol. Ketika memutuskan untuk tidak
melewati jalan umum dan kemudian menggunakan jalan tol maka pada
prinsipnya konsumen tersebut telah menggunakan haknya untuk memilih
fasilitas jalan apa yang akan digunakan sesuai dengan kebutuhannya.
Di sisi lain, berdasarkan Pasal 6 huruf a UU tentang Perlindungan Konsumen
penyelenggara jalan tol selaku pelaku usaha berhak untuk menerima
pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai
tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. Selain hak, pelaku usaha
juga memikul kewajiban sebagaimana ketentuan Pasal 7 UU tentang
Perlindungan Konsumen yaitu:
a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barnag dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,
perbaikan dan pemeliharaan; dan
c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif;
d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa
yang berlaku;
e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau
mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau
garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian
akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang
dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan
perjanjian.

Penggunaan e-money sebagai alat pembayaran jalan tol diantaranya untuk
memperbaiki layanan di pintu-pintu tol agar lebih cepat tanpa ada kemacetan
karena panjangnya antrean mobil konsumen yang hendak membayar,
mempermudah transaksi dengan menggunakan teknologi guna meniadakan
salah perhitungan ongkos, dan menjadi salah satu langkah pendorong
budaya nontunai (cashless society).
Maksud dan tujuan utama penggunaan e-money sebagai alat pembayaran
yang sah di jalan tol lebih untuk memberikan kemudahan bagi konsumen
semata, tidak untuk menaikkan pendapatan atau memenuhi kebutuhan
pelaku usaha semata. Pewajiban tersebut dikenakan terhadap seluruh
konsumen yang memanfaatkan jalan tol tanpa membedakan konsumen satu
dengan yang lain. Artinya, penggunaan e-money sebagai alat pembayaran
yang sah untuk menggunakan fasilitas jasa jalan tol justru menjadi bukti
pelaksanaan secara konsisten antara hak dan kewajiban pelaku usaha dalam
kerangka perlindungan konsumen.

5) Bahwa Pemohon mendalilkan dengan ketiadaan hak bagi Pemohon
untuk memilih cara melakukan pembayaran maka pelaku usaha dapat secara
sewenang-wenang menentukan cara pembayaran atas barang dan/atau jasa
yang ditawarkannya, diantaranya menggunakan e-money dan menolak
pembayaran langsung/tunai dengan uang kertas atau logam sebagai alat
pembayaran yang sah bertentangan dengan Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 23
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.
Dalil Pemohon tersebut tidak beralasan karena penerapan penggunaan e-
money sebagai alat pembayaran tidak seketika. Pemerintah dan pelaku usaha
melakukan proses sosialisasi kepada seluruh konsumen secara masiv melalui
berbagai media, kemudian pemberlakuan secara bertahap pada beberapa
pintu tol sejak 1 September 2017, hingga pengumuman mengenai
pemberlakuan secara efektif kewajiban penggunaan e-money di seluruh
gardu tol per 31 Oktober 2017. Bahkan menjelang berlaku efektif, dari
tanggal 16 Oktober sampai 31 Oktober 2017 Badan Usaha Jalan Tol (BUJT)
membagikan 1,5 juta kartu uang elektronik secara gratis.

6) Bahwa sesuai Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009
tentang Uang Elektronik (PBI tentang Uang Elektronik) uang elektronik atau e-
money sah digunakan sebagai pengganti pembayaran tunai bagi Pemegang
(pihak yang menggunakan uang elektronik) kepada pedagang atau merchant
(penjual barang dan/atau jasa yang menerima transaksi pembayaran dari
pemegang), tanpa ada penggolongan kriteria terhadap pemegang atau
pedagang, sepanjang memenuhi ketentuan dalam PBI tentang Uang
Elektronik. Pasal 20 PBI tentang Uang Elektronik menentukan bahwa uang
elektronik dapat digunakan dengan ketentuan:

(1) Uang Elektronik yang diterbitkan wajib menggunakan uang rupiah
(2) Uang Elektronik yang digunakan di wilayah Negara Republik Indonesia
wajib menggunakan uang rupiah.

e-money tetap wajib menggunakan mata uang rupiah sehingga penggunaan
e-money tidak akan menegasikan keberadaan uang rupiah sebagai alat
pembayaran yang sah untuk digunakan di seluruh wilayah Indonesia,
sehingga penerapan penggunaan e-money tidak bertentangan dengan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.

7) Bahwa Pemohon mendalilkan tindakan pelaku usaha yang tidak
memberikan pilihan kepada konsumen untuk mendapatkan kemudahan
memilih cara melakukan pembayaran atas barang dan/atau jasa yang hendak
dimiliki dan/atau digunakan, merupakan tindakan monopoli usaha dan
diskriminasi bagi konsumen.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat mendefinisikan monopoli sebagai
penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas
penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku
usaha. Dalam hal ini Pemohon bekerja sebagai karyawan swasta bukan
sebagai sesama pelaku usaha jalan tol, Pemohon berada dalam posisi
pengguna jasa atau konsumen jasa jalan tol. Pelaku usaha jalan tol fokus
bertugas mengelola jalan tol, bukan pihak yang menguasai atas produksi,
pemasaran, atau penggunaan emoney. Sehingga tidak beralasan jika
Pemohon mendalilkan pelaku usaha jalan tol telah melakukan monopoli
terhadap Pemohon karena harus menggunakan emoney untuk memanfaatkan
jalan tol.
Selanjutnya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia Pasal 1 angka 3 menyatakan bahwa:

“Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengecualian yang
langsung ataupun tidak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas
dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status
ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat,
pengurangan, penyimpangan atau penghapusan, pengakuan, pelaksanaan
atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan
baik individual maupun kuloktif dalam bidang politik, ekonomi, hukum,
sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.”

Penentuan sistem pembayaran yang digunakan sebagai imbalan atas suatu
jasa, in casu penggunaan e-money untuk membayar fasilitas jalan tol,
bukanlah suatu bentuk diskriminasi sebagaimana telah ditentukan dalam
kedua pasal tersebut. Kebijakan ini tidak terkait untuk penguasaan suatu
penggunaan jasa tertentu tetapi untuk memberi kemudahan dan kenyamanan
membayar kepada seluruh konsumen tanpa ada pembedaan perlakuan,
termasuk kepada Pemohon, yang secara sukarela menggunakan jalan tol.

8) Bahwa terkait pengaturan hak dan kewajiban konsumen, pembentuk
UU tentang Perlindungan Konsumen menghendaki adanya keseimbangan
pengaturan antara hak dan kewajiban konsumen di satu pihak serta hak dan
kewajiban pelaku usaha di pihak lain. Hal ini dapat dilihat pada risalah
pembahasan Rancangan UU tentang Perlindungan Konsumen pada Rapat
Badan Musyawarah (Bamus) Kamis, 3 Desember 1998 dengan acara
Penjelasan Tim Pengusul Usul Inisiatif DPR RI:

a. Mayjen TNI Slamat Sugidjardjo (Juru Bicara Pengusul dari Fraksi ABRI)
Pencantuman hak dan kewajiban baik bagi konsumen maupun pelaku usaha
menunjukan bahwa RUU ini berusaha mengatur atau melindungi secara
seimbang antara kepentingan konsumen dan kepentingan pelaku usaha.
Dalam RUU ini tidak bermaksud untuk mempertentangkan kedua komponen
tersebut, melainkan bermaksud untuk menyerasikan hubungan keduanya dan
menegaskan bahwa kedua komponen tersebut saling tergantung dan saling
membutuhkan. Ditegaskan dalam Pasal 4, konsumen mempunyai 9 hak
termasuk hak-hak lain yangtelah diatur di dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Sementara Pasal 5 mengatur mengenai 5
kewajiban yang harus dipatuhi. Di pihak lain pelaku usaha mempunyai 5 hak
dan 7 kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 7 RUU ini.
b. Nikentari Musdiono (Juru Bicara Pengusul dari Fraksi KP)
Masalah perlindungan konsumen mempunyai dimensi yang sangat luas yaitu
menjangkau dan menjadi kepentingan semua lapisan masyarakat. Semua kita
adalah konsumen dan bahkan pelaku usaha pada dirinya pun melekta sebagai
konsumen. Disamping dimensi jangkauan yang luas, masalah konsumen
mempunyai nuansa global dan internasional.
Dalam proses pembentukan UU lazimnya ada 3 aspek yang dijadikan tolok
ukur kepentingan suatu UU dalam masyarakat yaitu:
Pertama, aspek filosofis, pembentukan perlindungan konsumen merupakan
bagian dari upaya untuk memformulasikan filosofi pembangunan yang
menempatkan konsumen sebagai salah satu pelaku kegiatan ekonomi dan
subyek pembangunan nasional. Sebagai konsumen, sudah selayaknya ia juga
ikut menentukan dalam setiap kegiatan perekonomian. Pertimbangan
kepentingan, keselamatan, peningkatan produktivitas, peningkatan nilai
produk haruslah berorientasi kepada kepentingan konsumen. Pengakuan
terhadap posisi sebagai subyek kegiatan ekonomi nasional maupun
internasional sekaligus berarti menempatkan konsumen sebagai subyek
pembangunan yang tidak dapat dieksploitasi untuk kepentingan pelaku
usaha. Peran konsumen dalam pembangunan nasional yang bersifat ideal
tersebut juga sejalan dengan tujuan pembangunan nasional yang
diamanatkan dalam UUD 1945, yaitu untuk menjadikan masyarakat adil dan
makmur yang merata baik materiil maupun spirituil dalam suatu sistem
perekonomian nasional yang demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD
1945.
Kedua, aspek sosiologis, globalisasi aktivitas perekonomian dan kemajuan
teknologi canggih dalam proses produksi merupakan lingkungan sosial
konsumen pada abad modern ini. Globalisasi telah membawa dampak pada
pergerakan barang dan jasa atau produk dari satu negara ke negara lain.
Globalisasi produk membawa dampak positif dan negatif. Dari sisi positif,
produk dari satu negara dapat dengan mudah diperoleh dan dinikmati oleh
konsumen di negara lain. Naumn di sisi lain globalisasi produk dapat
menimbulkan dampak negatif apabila tidak ada kontrol terhadap standar
kualitas yang layak untuk dikonsumsi sesuai dengan karakter konsumen di
suatu negara. Lingkungan sosial yang telah menggunakan teknologi canggih
dalam proses produksi telah pula membawa dampak positif ataupun negatif
yang perlu diantisipasi dengan suatu produk UU. Teknologi canggih pada
satu sisi menghasilkan berbagai jenis produk yang kadang-kadang
dibutuhkan oleh konsumen. Namun dari sisi lain, ternyata teknologi canggih
ini telah dimanfaatkan oleh pelaku usaha untuk memanipulasi dan
mengeksploitasi konsumen.
Ketiga, aspek yuridis, filosofi dari paradigma pembangunan nasional yang
meletakan konsumen sebagai pelaku kegiatan perekonomian dan subyek
pembangunan nasional menuntut pengakuan dan kepastian yuridis. Dengan
demikian persamaan kedudukan dalam fungsi yang berbeda antara
konsumen dan pelaku usaha perlu dituangkan dalam suatu UU. Tuntutan
tersebut juga didasarkan pada cita-cita sebagai negara hukum, terutama
dalam mewujudkan keadilan dalam hubungan hukum antara pelaku usaha
dan konsumen. Substansi dari berbagai UU yang telah ada kurang
menonjolkan kepentingan konsumen sehingga masih diperlukan UU khusus
yang menjadi “pengikat” dari ketentuan-ketentuan perlindungan konsumen
yang tersebar dalam berbagai UU.

9) Dengan demikian DPR berpendapat bahwa ketentuan Pasal 4 huruf b
UU tentang Perlindungan Konsumen justru bertujuan untuk menjamin hak
bagi konsumen dalam memilih serta mendapatkan barang dan/atau jasa yang
sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan tanpa
membatasi pilihan dalam melakukan cara pembayarannya. Sehingga Pasal 4
huruf b sejalan dengan penjaminan hak konstitusional berupa hak untuk
mendapatkan kemudahan guna memperoleh kesempatan serta kemanfaatan
yang sama dalam mencapai persamaan dan keadilan sebagaimana diatur
dalam Pasal 28H ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.

10) Berdasarkan hal tersebut DPR RI berpandangan bahwa Pasal 4 huruf b
UU tentang Perlindungan Konsumen tidak bertentangan dengan Pasal 28H
ayat (2) UUD Tahun 1945.

91/PUU-XV/2017

Pasal 4 huruf b UU Perlindungan Konsumen :
“Hak konsumen adalah:
a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan
yang dijanjikan;
c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai konsidi dan
jaminan barang dan/atau jasa;
d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa
yang digunakan;
e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian
atau tidak sebagaimana mestinya;
i. hak hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang undangan
lainnya.”

Pasal 28H ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 :

“Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk
memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan
dan keadilan”.