Keterangan DPR mengenai Pengujian UU Terhadap UUD 1945

Keterangan DPR Perkara No. 80/PUU-XV/2017 / 10-01-2018

KERUGIAN KONSTITUSIONAL PEMOHON :

1. Bahwa keberadaan Pasal a quo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (selanjutnya disebut UU PDRD)
telah merugikan hak konstitusional Pemohon karena tidak memberikan
perlindungan hukum yang adil bagi Pemohon dengan pengenaan pajak atas
penggunaan listrik yang dihasilkan sendiri;
(Vide perbaikan permohonan halaman 8).

2. Bahwa pengenaan pajak penerangan jalan dalam cakupan luas
(termasuk tenaga listrik yang dihasilkan sendiri meliputi seluruh pembangkit)
mengakibatkan ketidakadilan dalam perhitungan dan pembayaran pajak
penerangan jalan yang ditetapkan Pemerintah Daerah (official assesment);
(Vide perbaikan permohonan halaman 8).

3. Bahwa dengan berlakunya Pasal a quo UU tentang PDRD telah
menimbulkan ketidakpastian hukum dan menyebabkan Pemohon tidak
mendapat perlindungan yang adil sesuai dengan Pasal 28D ayat (1) UUD
1945. Pemohon menilai, seharusnya dalam menjalankan usahanya, Pemohon
tidak dikenakan pajak penerangan jalan. Jika harus dikenakan pajak, hanya
terbatas pada tenaga listrik yang bersumber dari negara dan digunakan untuk
kegiatan nonproduksi; (Vide permohonan halaman 10).

LEGAL STANDING :

Menanggapi permohonan Para Pemohon a quo, DPR RI berpandangan bahwa
Pemohon harus dapat membuktikan terlebih dahulu apakah APINDO sebagai
organisasi perkumpulan yang mewadahi pengusaha dan perusahaan terkait
dengan kepentingan pengusaha atau perusahaan dalam kaitan dengan
undang-undang atau pasal yang diajukan benar mewakili perusahaan-
perusahaan sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan
untuk diuji, khususnya dalam mengkonstruksikan adanya kerugian terhadap
hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagai dampak dari
diberlakukannya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji.

POKOK PERKARA :

1) Bahwa ciri dan corak dari sistem pemungutan pajak yang dilandasi
falsafah Pancasila dan UUD Tahun 1945 adalah (a) bahwa pemungutan pajak
merupakan perwujudan dari pengabdian kewajiban dan peran serta Wajib
Pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban
perpajakan yang diperlukan untuk pembiayaan negara dan pembangunan
nasional; (b) tanggung jawab atas kewajiban pelaksanaan pajak, sebagai
pencerminan kewajiban di bidang perpajakan berada pada anggota
masyarakat Wajib Pajak sendiri. Pemerintah, dalam hal ini aparat perpajakan
sesuai dengan fungsinya berkewajiban melakukan pembinaan, penelitian dan
pengawasan terhadap pelaksanaan kewajiban perpajakan Wajib Pajak
berdasarkan ketentuan yang digariskan dalam peraturan perundang-
undangan perpajakan; (c) anggota masyarakat Wajib Pajak diberi kepercayaan
untuk dapat melaksanakan kegotongroyongan nasional melalui sistem
menghitung, memperhitungkan, dan membayar sendiri pajak yang terhutang
(self assesment), sehingga melalui sistem ini pelaksanaan administrasi
perpajakan diharapkan dapat dilaksanakan dengan lebih rapi, terkendali,
sederhana dan mudah untuk dipahami oleh anggota masyarakat Wajib Pajak.

2) Bahwa untuk menyelenggarakan pemerintahan, Daerah berhak
mengenakan pungutan kepada masyarakat. Berdasarkan UUD Tahun 1945
yang menempatkan perpajakan sebagai salah satu perwujudan kenegaraan,
ditegaskan bahwa penempatan beban kepada rakyat, seperti pajak dan
pungutan lain yang bersifat memaksa diatur dengan Undang-Undang.
Dengan demikian, pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah harus
didasarkan pada Undang-Undang.

3) Bahwa UU a quo merupakan amanat yang diberikan konstitusi Pasal 23A
UUD Tahun 1945 “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk
keperluan negara diatur dengan undang-undang.” Hal ini berarti UU a quo
telah sesuai dengan konstitusi dan telah memenuhi asas kepastian hukum
terhadap subjek pajak dan objek pajak daerah.

4) Bahwa UU a quo dibentuk untuk memperluas objek pajak daerah dan
retribusi daerah dan pemberian diskresi dalam penetapan tarif, agar pajak
daerah dan retribusi daerah menjadi salah satu sumber Pendapatan Asli
Daerah (PAD) dan dapat meningkatkan local taxing power guna membiayai
pelaksanaan pemerintahan daerah, meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat, dan kemandirian daerah. Kebijakan pajak daerah dan retribusi
daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan,
peran serta masyarakat, dan akuntabilitas dengan memperhatikan potensi
daerah.

5) Bahwa dalam rangka pembiayaan pemerintah daerah dalam
melaksanakan tugas pemerintahan dan pembangunan senantiasa
memerlukan sumber penerimaan yang dapat diandalkan. Dengan adanya
otonomi, daerah dipacu untuk dapat berkreasi mencari sumber penerimaan
daerah yang dapat mendukung pembiayaan pengeluaran daerah. Sektor pajak
merupakan pilihan yang tepat, selain karena jumlahnya yang relatif stabil,
juga merupakan cerminan partisipasi aktif masyarakat dalam membiayai
pembangunan. Salah satu sumber pendapatan daerah yang dapat digali
dalam rangka peningkatan PAD adalah pajak daerah termasuk di dalamnya
pajak penerangan jalan. Hal inilah yang menjadikan Pajak Penerangan Jalan
merupakan salah satu jenis pajak yang dikenakan terhadap objek pajak di
kabupaten/kota.

6) Bahwa Pasal 28D UUD Tahun 1945 yang menyatakan: “setiap orang
berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”. Bahwa berdasarkan Pasal
28D UUD Tahun 1945 tersebut, justru pasal a quo UU PDRD memberikan
kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di hadapan hukum
kepada setiap Wajib Pajak Penerangan Jalan, termasuk Pemohon yang
dikenakan Pajak Penerangan Jalan yang karena menggunakan tenaga listrik
baik yang dihasilkan sendiri maupun yang diperoleh dari sumber lain. Hal ini
berdasarkan pada asas kesamaan yang artinya dalam kondisi yang sama
antara wajib pajak yang satu dengan yang lain harus dikenakan pajak dalam
jumlah atau diperlakukan yang sama.

7) Bahwa terhadap Objek Pajak Penerangan Jalan terdapat pengecualian
sebagaimana diatur dalam Pasal 52 ayat (3) UU PDRD yaitu:
a. Penggunaan tenaga listrik oleh instansi Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah;
b. Penggunaan tenaga listrik pada tempat-tempat yang digunakan oleh
kedutaan, konsulat, perwakilan asing, dan lembaga-lembaga internasional
dengan asas timbal balik;
c. Penggunaan tenaga listrik yang berasal dari bukan PLN dengan
kapasitas tertentu yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait;
dan
d. Penggunaan tenaga listrik lainnya yang diatur dengan Peraturan Daerah.

8) Bahwa dalam hukum pajak, subjek pajak berkewajiban membayar objek
pajak yang telah ditetapkan dan diatur dengan undang-undang. Tanpa objek
pajak yang terlebih dahulu ditetapkan dan diatur dengan undang-undang (bij
wet geregeld) tidak bakal ada subjek pajak (wajib pajak). Fiskus tidak boleh
memungut pajak atas suatu objek pajak yang tidak ditetapkan dan diatur
dengan undang-undang. Subjek pajak melekat pada objek pajak. Dalam Pasal
dalam Undang-Undang a quo telah ditetapkan dan diatur apa yang menjadi
objek pajak dan siapa yang menjadi subjek pajak.

9) Bahwa tarif Pajak Penerangan Jalan ditetapkan berdasarkan asas equality
(asas keseimbangan dengan kemampuan atau asas keadilan), pemungutan
pajak yang dilakukan oleh daerah harus sesuai dengan kemampuan dan
penghasilan wajib pajak. Daerah tidak boleh bertindak diskriminatif terhadap
wajib pajak. Oleh karena itu, Pasal 55 dalam UU PDRD mengatur dengan
menetapkan tarif maksimum dari jenis pajak, sehingga daerah dapat
menentukan besaran tarif sesuai dengan kondisi di daerahnya sepanjang
tidak melampaui tarif maksimum yang telah ditetapkan, yaitu:
a. Tarif Pajak Penerangan Jalan ditetapkan paling tinggi sebesar 10%
(sepuluh persen);
b. Penggunaan tenaga listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan
minyak bumi dan gas alam, tarif Pajak Penerangan Jalan ditetapkan paling
tinggi sebesar 3% (tiga persen);
c. Penggunaan tenaga listrik yang dihasilkan sendiri, tarif Pajak
Penerangan Jalan ditetapkan paling tinggi sebesar 1,5% (satu koma lima
persen).

10) Bahwa dalam pelaksanaannya terdapat dampak kebijakan yang berbeda
di daerah terkait besaran tarif Pajak Penerangan Jalan dikarenakan setiap
daerah memiliki potensi yang berbeda sehingga hal ini bukan merupakan
konstitusionalitas pasal a quo, tetapi merupakan penerapan UU a quo.

80/PUU-XV/2017

Pasal 1 angka 28 UU PDRD :

“Pajak Penerangan Jalan adalah pajak atas penggunaan tenaga listrik, baik
yang dihasilkan sendiri maupun diperoleh dari sumber lain.”

Pasal 52 ayat (1) UU PDRD :

“Objek Pajak Penerangan Jalan adalah penggunaan tenaga listrik, baik yang
dihasilkan sendiri maupun yang diperoleh dari sumber lain.”

Pasal 52 ayat (2) UU PDRD :

“Listrik yang dihasilkan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
seluruh pembangkit listrik.”

Pasal 55 ayat (2) UU PDRD :

“Penggunaan tenaga listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan
minyak bumi dan gas alam, tarif Pajak Penerangan Jalan ditetapkan paling
tinggi sebesar 3% (tiga persen).”

Pasal 55 ayat (3) UU PDRD :

“Penggunaan tenaga listrik yang dihasilkan sendiri, tarif Pajak Penerangan
Jalan ditetapkan paling tinggi sebesar 1,5% (satu koma lima persen).”

Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 :

“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.”