Analisis dan Evaluasi UU Berdasarkan Putusan MK

Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi : Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan / 01-05-2017

Salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945) adalah sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Merujuk dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), menyatakan bahwa salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir putusan yang bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.
Pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 dilakukan oleh Pemohon yang merupakan pihak yang dirugikan atas berlakunya suatu undang-undang. Dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK juga menyatakan bahwa pada intinya terhadap pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, maka kepadanya diberikan hak untuk mengajukan pengujian undang-undang tersebut kepada Mahkamah Konstitusi.
Dimulai dari sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) hingga saat ini, telah banyak dilakukan pengujian terhadap materinya di Mahkamah Konstitusi, baik pengujian formil maupun materiil. Berdasarkan data yang telah berhasil dikumpulkan oleh Penulis, sampai dengan saat ini telah terdapat 10 (sepuluh) perkara yang dikabulkan permohonan pengujiannya oleh Mahkamah Konstitusi.

1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal atau ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi?
2. Apa akibat hukum terhadap pasal atau ayat suatu undang-undang yang dinyatakan Mahkamah Konstitusi sebagai konstitusionalitas/ inkonstitusional bersyarat?
3. Apakah terjadi disharmoni norma dalam suatu undang-undang jika suatu pasal atau ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi berimplikasi terhadap norma pasal atau ayat lain yang tidak diujikan?

Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD Tahun 1945, salah satu kewenangan dari Mahkamah Konstitusi adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Ada 3 (tiga) ciri utama yang menandai prinsip supremasi konstitusi, yaitu:
1. pembedaan antara norma hukum konstitusi dan norma hukum lainnya;
2. keterikatan pembuat undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar; dan
3. adanya satu lembaga yang memiliki kewenangan untuk menguji konstitusionalitas undang-undang dan tindakan hukum pemerintah.
Dengan demikian, esensi dari produk putusan Mahkamah Konstitusi dalam menguji undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 ditempatkan dalam bingkai mekanisme check and balances antara lembaga negara. Pengujian terhadap substansi UU Ketenagakerjaan melalui pengujian materiil maupun proses pembentukannya melalui pengujian formil telah dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Hal ini untuk menjamin bahwa UU Ketenagakerjaan tidak bertentangan dan sesuai dengan jiwa UUD Tahun 1945.
Terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tidak dapat dilakukan upaya hukum dan putusan tersebut langsung mengikat sebagai hukum sejak diucapkan di persidangan dan tidak dapat dimohonkan pengujian kembali. Amar putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan satu permohonan pengujian undang-undang akan menyatakan satu pasal, ayat, atau bagian dari undang-undang, dan bahkan undang-undang secara keseluruhan bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Sebagai konsekuensinya maka undang-undang, pasal, ayat atau bagian dari undang-undang yang diuji tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Beberapa norma UU Ketenagakerjaan yang telah diputuskan Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dengan sendirinya telah batal dan tidak berlaku lagi. Putusan Mahkamah Konstitusi hanyalah sebagai solusi sementara terhadap beberapa materi UU Ketenagakerjaan yang telah diputuskan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 sampai pembentuk undang-undang melakukan perubahan atau penggantian terhadap UU Ketenagakerjaan.
Putusan Mahkamah Konstitusi terutama dalam pengujian undang-undang kebanyakan jenisnya adalah bersifat declaratoir constitutief. Artinya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menciptakan atau meniadakan satu keadaan hukum baru atau membentuk hukum baru sebagai negative legislature. Hal lain yang perlu dicermati lebih lanjut adalah adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) maupun inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional). Varian putusan Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan putusan yang menyatakan bahwa suatu ketentuan undang-undang tidak bertentangan dengan konstitusi dengan memberikan persyaratan pemaknaan dan keharusan kepada lembaga negara dalam pelaksanaan suatu ketentuan undang-undang untuk memperhatikan penafsiran Mahkamah Konstitusi atas konstitusionalitas ketentuan undang-undang yang sudah diuji tersebut. Dengan demikian, terdapat penafsiran sendiri dari Mahkamah Konstitusi agar suatu norma undang-undang tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap UU Ketenagakerjaan telah mempunyai 3 (tiga) kekuatan, yaitu: mengikat untuk semua orang (erga omnes), dapat digunakan sebagai alat bukti dengan kekuatan pasti secara positif, dan telah berlaku sebagai undang-undang meskipun belum dilakukan perubahan oleh pembentuk undang-undang.

1. Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 012/PUU-I/2003
a. Pendapat Hukum Mahkamah Konstitusi
Pada perkara pengujian udang-undang dengan nomor perkara 012/PUU-I/2003, ketentuan UU Ketenagakerjaan khususnya dalam Pasal 158, Pasal 170 sepanjang mengenai anak kalimat “.… kecuali Pasal 158 ayat (1), …”, dan Pasal 171 sepanjang menyangkut anak kalimat “…. Pasal 158 ayat (1) …” dinilai bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) a quo. Adapun Pasal 158 UU Ketenagakerjaan berbunyi:
(1) “Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alas an pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut :
a. melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan;
b. memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan;
c. mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja;
d. melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;
e. menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja;
f. membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
g. dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan;
h. dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;
i. membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau
j. melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
(2) Kesalahan berat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus didukung dengan bukti sebagai berikut :
a. pekerja/buruh tertangkap tangan;
b. ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau
c. bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
(3) Pekerja/buruh yang diputus hubungan kerjanya berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat memperoleh uang penggantian hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (4).
(4) Bagi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan Pasal 156 ayat (4) diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.”
Ketentuan pasal a quo dinilai telah melanggar prinsip-prinsip pembuktian terutama asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) dan kesamaan di depan hukum sebagaimana dijamin oleh UUD Tahun 1945. Seharusnya, bersalah tidaknya seseorang diputuskan lewat pengadilan dengan hukum pembuktian yang sudah ditentukan sesuai dengan KUHAP.
Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukum putusan perkara nomor 012/PUU-I/2003 menafsirkan bahwa Pasal 158 memberi kewenangan pada pengusaha untuk melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan buruh/pekerja telah melakukan kesalahan berat tanpa due process of law melalui putusan pengadilan yang independen dan imparsial. Di lain pihak, Pasal 160 menentukan secara berbeda bahwa buruh/pekerja yang ditahan oleh pihak berwajib karena diduga melakukan tindak pidana tetapi bukan atas pengaduan pengusaha, diperlakukan sesuai dengan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence). Hal tersebut dipandang sebagai perlakuan yang diskriminatif atau berbeda di dalam hukum yang bertentangan dengan UUD Tahun 1945 serta ketentuan Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, Mahkamah Konstitusi memutuskan Pasal 158 dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Selain itu, Pasal 159 juga menimbulkan kerancuan berpikir dengan mencampuradukkan proses perkara pidana dengan proses perkara perdata secara tidak pada tempatnya.
Akibat dari ketentuan Pasal 158 dan 159 UU Ketenagakerjaan dinyatakan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat maka hal ini juga berimbas kepada beberapa pasal dalam UU Ketenagakerjaan yang berhubungan langsung dengan Pasal a quo, yakni Pasal 160 ayat (1). Selanjutnya, ketentuan yang juga dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat adalah Pasal 186 UU Ketenagakerjaan sepanjang mengenai anak kalimat “… Pasal 137 dan Pasal 138 ayat (1) …”. Mahkamah berpendapat bahwa sanksi dalam Pasal 186 tersebut tidak proporsional karena mereduksi hak mogok yang merupakan hak dasar buruh yang dijamin oleh UUD 1945 (kebebasan menyatakan sikap dan mendapat imbalan yang adil dan layak dalam hubungan kerja).
b. Dissenting Opinion Hakim Mahkamah Konstitusi
Terdapat dissenting opinion dari 2 (dua) Hakim Mahkamah Konstitusi.
1) kebijakan “outsourcing” yang tercantum dalam Pasal 64-66 UU Ketenagakerjaan telah mengganggu ketenangan kerja bagi buruh/pekerja yang sewaktu-waktu dapat terancam pemutusan hubungan kerja dan men-downgrading-kan mereka sekadar sebagai sebuah komoditas sehingga berwatak kurang protektif terhadap buruh/pekerja.
2) kebijakan yang tercantum dalam Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, dan Pasal 106 UU Ketenagakerjaan merupakan kebijakan terselubung guna mengurangi hak buruh/pekerja untuk memperjuangkan hak-haknya dan mereduksi hakikat kebebasan berserikat/berorganisasi.
3) kebijakan prosedural administratif mengenai mogok kerja yang cenderung mereduksi makna mogok kerja sebagai hak dasar buruh/pekerja seperti yang tercantum dalam Pasal 137 sampai Pasal 140 UU Ketenagakerjaan.
Pembentukan UU Ketenagakerjaan dinilai harus sesuai dengan ketentuan UUD Tahun 1945 melalui berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada pada waktu itu serta harus memperhatikan asas-asas umum peraturan perundang-undangan yang baik. Dengan demikian, seharusnya yang dikabulkan dari permohonan tersebut lebih banyak dari pada sekadar yang disebutkan dalam amar putusan Mahkamah Konstitusi a quo.
c. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan Mahkamah Konstitusi telah menyatakan pasal a quo bertentangan dengan UUD 1945 dan meniadakan keadaan hukum berdasarkan norma yang dibatalkan sehingga dalam melakukan pemutusan hubungan kerja tidak mengenal adanya pemutusan hubungan kerja karena alasan kesalahan berat. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada tanggal 7 Januari 2005 menyikapi dengan menerbitkan Surat Edaran Nomor: SE.13/MEN/SJ-HK/I/2005.
2. Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 115/PUU-VII/2009
a. Pendapat Hukum Mahkamah Konstitusi
Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara nomor 115/PUU-VII/2009 merupakan perkara permohonan pengujian undang-undang terhadap Pasal 120 ayat (1) dan Pasal 121 UU Ketenagakerjaan. Ketentuan Pasal 120 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menyatakan bahwa “Dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh maka yang berhak mewakili pekerja/buruh melakukan perundingan dengan pengusaha yang jumlah keanggotaannya lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut”. Pasal 120 ayat (2) UU Ketenagakerjaan juga menentukan bahwa “Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak terpenuhi, maka serikat pekerja/serikat buruh dapat melakukan koalisi sehingga tercapai jumlah lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut untuk mewakili dalam perundingan dengan pengusaha.”
Menurut penafsiran Mahkamah Konstitusi, ketentuan tersebut dapat menimbulkan 3 (tiga) persoalan konstitusional yang terkait langsung dengan hak-hak konstitusional seseorang yang dijamin dan dilindungi oleh konstitusi, yaitu:
1) menghilangkan hak konstitusional serikat pekerja/serikat buruh untuk memperjuangkan haknya secara kolektif mewakili pekerja/buruh yang menjadi anggotanya dan tidak tergabung dalam serikat pekerja mayoritas;
2) menimbulkan perlakuan hukum yang tidak adil dalam arti tidak proporsional antara serikat pekerja/serikat buruh yang diakui eksistensinya menurut peraturan perundang-undangan; dan
3) menghilangkan hak pekerja/buruh yang tidak tergabung dalam serikat pekerja/serikat buruh mayoritas untuk mendapat perlindungan dan perlakuan hukum yang adil dalam satu perusahaan.
Menurut Mahkamah Pasal 120 ayat (1) UU Ketenagakerjaan melanggar hak-hak konstitusional Pemohon untuk mewakili pekerja/buruh dalam menyampaikan aspirasinya melalui perjanjian kerja bersama. Konsekuensi dari ketentuan yang terkandung dalam Pasal 120 ayat (2) sama dengan konsekuensi dari ketentuan dalam Pasal 120 ayat (1). Adapun ketentuan Pasal 120 ayat (3) justru dinilai sesuai dengan prinsip keadilan proporsional. Namun, karena ketentuan Pasal 120 ayat (3) merupakan rangkaian dari pasal sebelumnya maka untuk menghindari kekacauan makna. Oleh karena itu, ketentuan Pasal 120 ayat (3) UU Ketenagakerjaan adalah tidak bertentangan dengan konstitusi secara bersyarat (conditionally unconstitutional), yaitu tidak bertentangan dengan konstitusi sepanjang frasa “Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau ayat (2)” dihapus karena tidak relevan lagi.
Dengan dinyatakan tidak berlakunya Pasal 120 ayat (1) dan ayat (2), maka Pasal 120 ayat (3) UU Ketenagakerjaan harus dimaknai bahwa apabila dalam 1 (satu) perusahaan terdapat lebih dari satu serikat pekerja/serikat buruh, maka para serikat pekerja/serikat buruh terwakili secara proporsional dalam melakukan perundingan dengan pengusaha.
b. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi
Konsekuensi yuridis dari putusan tersebut adalah tidak berlakunya ketentuan atau persyaratan ambang batas 50% (lima puluh perseratus) jumlah anggota serikat pekerja/serikat buruh yang berhak mewakili pekerja dalam perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama dengan pengusaha. Ketentuan yang menarik dari putusan tersebut adalah adanya amar yang menyatakan konstitusionalitas bersyarat terhadap Pasal 120 ayat (3) UU Ketenagakerjaan guna menghindari kekosongan hukum yang terjadi apabila pasal tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Perlu dilakukan legislative review.
3. Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 19/PUU-IX/2011
a. Pendapat Hukum Mahkamah Konstitusi
Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara nomor 19/PUU-IX/2011 merupakan perkara permohonan pengujian undang-undang terhadap Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan terhadap Pasal 28D ayat (2) UUD Tahun 1945. Adanya ketentuan yang menyatakan perusahaan dapat melakukan pemutusan hubungan kerja karena perusahaan tutup untuk melakukan efisiensi sebagaimana diatur Pasal a quo dinilai tidak jelas dan dapat menimbulkan multitafsir, dikarenakan frasa “perusahaan tutup” dalam Pasal a quo bisa saja ditafsirkan tutup secara permanen atau hanya tutup sementara. Untuk menghilangkan ketidakpastian hukum tersebut guna menegakkan keadilan, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa frasa “perusahaan tutup” dalam Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan tetap konstitutional sepanjang dimaknai “perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk sementara waktu”. Frasa “perusahaan tutup” tersebut adalah bertentangan dengan UUD Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk sementara waktu”.
b. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan a quo telah memberikan tafsiran yang jelas terhadap Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan, sehingga perusahaan hanya dapat melakukan pemutusan hubungan kerja apabila perusahaan tutup secara permanen.
4. Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 27/PUU-IX/2011
a. Pendapat Hukum Mahkamah Konstitusi
Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara nomor 27/PUU-IX/2011 ini pada intinya adalah permohonan terhadap ketentuan Pasal 59 serta Pasal 64 sampai dengan Pasal 66 UU Ketenagakerjaan terhadap Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (2) UUD Tahun 1945. Norma dalam Pasal 59 mengatur mengenai perjanjian kerja waktu tertentu, sedangkan norma dalam Pasal 64 sampai dengan Pasal 66 mengatur mengenai ketentuan suatu perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau melalui penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis dengan syarat-syarat tertentu.
Frasa “…perjanjian kerja waktu tertentu” dalam Pasal 65 ayat (7) dan frasa “…perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b dinyatakan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
Pasal 59 UU Ketenagakerjaan yang diuji tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945 karena perjanjian kerja waktu tertentu ditujukan untuk jenis perjanjian kerja yang dirancang hanya untuk waktu tertentu saja. Selain itu, Mahkamah menilai bahwa frasa “…perjanjian kerja waktu tertentu” dalam Pasal 65 ayat (7) dan frasa “…perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b UU Ketenagakerjaan bertentangan secara bersyarat dengan UUD Tahun 1945 (conditionally unconstitutional) sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
Mahkamah Konstitusi menentukan perlindungan dan jaminan hak bagi pekerja/buruh melalui 2 (dua) model perlindungan.
1) mensyaratkan agar perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing tidak berbentuk PKWT, melainkan berbentuk “perjanjian kerja waktu tidak tertentu”; dan
2) menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja/buruh (Transfer of Undertaking Protection of Employment atau TUPE) yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing.

Perusahaan pemberi kerja harus mengatur agar pekerja outsourcing tersebut menerima fair benefits and welfare tanpa didiskriminasikan dengan pekerja pada perusahaan pemberi kerja sebagaimana ditentukan dalam Pasal 64 ayat (4) juncto Pasal 66 ayat (2) huruf c UU Ketenagakerjaan
b. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan Mahkamah Konstitusi perkara nomor 27/PUU-IX/2011 mengabulkan sebagian permohonan dari pemohon yang terkait dengan pelindungan terhadap hak-hak konstitusional pekerja outsourcing.
5. Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 37/PUU-IX/2011
a. Pendapat Hukum Mahkamah Konstitusi
Putusan Mahkamah Konstitusi perkara nomor 37/PUU-IX/2011 merupakan pengujian terhadap frasa “belum ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2) UU Ketenagakerjaan yang berbunyi, ”Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya.” Berdasarkan amar putusan Mahkamah Konstitusi perkara nomor 37/PUU-IX/2011, Frasa ”belum ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2) UU Ketenagakerjaan adalah bertentangan dengan UUD Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai belum berkekuatan hukum tetap.
Apabila frasa ”belum ditetapkan” dalam Pasal 155 ayat (2) UU Ketenagakerjaan dikaitkan dengan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial, maka terdapat potensi ketidakpastian hukum bagi para pihak. Menurut Mahkamah Konstitusi, perlu ada penafsiran yang pasti terkait frasa “belum ditetapkan” tersebut agar terdapat kepastian hukum yang adil bagi para pihak.
b. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan a quo telah memberikan kepastian hukum bagi pekerja/buruh dan pengusaha untuk menjalankan hak dan kewajibannya selama menyelesaikan proses perselisihan hubungan industrial.
6. Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 58/PUU-IX/2011
a. Pendapat Hukum Mahkamah Konstitusi
Menurut Mahkamah, dengan lewatnya waktu tiga bulan berturut-turut pengusaha tidak membayar upah secara tepat waktu kepada pekerja, sudah cukup alasan menurut hukum bagi pekerja untuk meminta pemutusan hubungan kerja. Merujuk kasus ketenagakerjaan yang dialami Pemohon dan praktik dalam hukum ketenagakerjaan, pembayaran upah tepat waktu merupakan hal yang sangat penting. Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 169 ayat (1) huruf c UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai: “Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha tidak membayar upah tepat waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih, meskipun pengusaha membayar upah secara tepat waktu sesudah itu”
b. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi
“Pengusaha membayar upah secara tepat waktu sesudah itu”; maka hak pekerja untuk mendapatkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tidak terhalang lagi oleh adanya tindakan pengusaha yang kembali membayar upah pekerja secara tepat waktu setelah adanya permohonan pemutusan hubungan kerja oleh pekerja ke Pengadilan, dengan ketentuan bahwa pekerja telah melakukan upaya yang diperlukan untuk mendapatkan haknya agar upah dibayarkan secara tepat waktu namun tidak diindahkan oleh pengusaha. Di sisi lain, maka dengan berdasarkan pada putusan Mahkamah Konstitusi ini, majelis hakim Pengadilan Hubungan Industrial tidak diperkenankan untuk menolak gugatan PHK oleh Pekerja dengan dasar tidak dibayarkan upahnya selama 3 (tiga) bulan, walau pengusaha telah kembali membayarkan upah pekerja tersebut.
7. Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 100/PUU-X/2012
a. Pendapat Hukum Mahkamah Konstitusi
Pemohon pada pokoknya menganggap Pasal 96 UU Ketenagakerjaan telah menghalang-halangi hak konstitusionalnya untuk melakukan tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja karena adanya ketentuan kadaluwarsa yaitu penuntutan tersebut tidak dapat dilakukan setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun sejak timbulnya hak. Menurut Mahkamah, Pasal 96 UU Ketenagakerjaan terbukti bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD Tahun 1945.
Upah dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja tidak dapat hapus karena adanya lewat waktu tertentu. Oleh karena apa yang telah diberikan oleh buruh sebagai prestatie harus diimbangi dengan upah dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja sebagai tegen prestatie. Upah dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja adalah merupakan hak milik pribadi dan tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun, baik oleh perseorangan maupun melalui ketentuan peraturan perundang-undangan.
b. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi
Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, maka dihapuskannya kadaluwarsa gugatan hak konstitusional untuk melakukan tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja dapat dilakukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial.

8. Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 67/PUU-XI/2013
a. Pendapat Hukum Mahkamah Konstitusi
Pasal yang diujikan adalah Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan dengan batu uji Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945. hak konstitusional yang dirugikan menurut Pemohon adalah ketentuan pasal yang dimaksud mengakibatkan adanya ketidakadilan terhadap pekerja. Ketidakadilan ini terjadi apabila perusahaan dinyatakan pailit maka pembayaran hak-hak pekerja tidak menjadi prioritas utama, karena adanya kewajiban perusahaan untuk menyelesaikan terlebih dahulu pembayaran terhadap (1) utang negara dan biaya kurator, (2) kreditor separatis pemegang jaminan gadai, fidusia, dan/atau hak tanggungan, (3) kreditor preferen, dan (4) kreditor konkuren.
Pengujian konstitusionalitas yang dimohonkan para Pemohon tersebut memiliki kesamaan substansi dengan pengujian konstitusionalitas Pasal 29, Pasal 55 ayat (1), Pasal 59 ayat (1) dan Pasal 138 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU PKPU) yang telah diputus oleh Mahkamah dalam Putusan Nomor 18/PUU-VI/2008, tanggal 23 Oktober 2008. Berdasarkan tujuan pembentukan negara dan ketentuan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah mempertimbangkan pokok permohonan, yaitu mengenai apa yang menjadi dasar hukum bagi adanya hak tagih masing-masing kreditor dan apa yang menjadi dasar hukum bagi adanya peringkat pembayaran, yang berdasarkan pertimbangan mengenai dua hal tersebut, Mahkamah dalam Putusan Nomor 18/PUU-VI/2008 tersebut menolak permohonan yang substansinya sama dengan permohonan a quo dan hak tagih atas upah pekerja/buruh tetap sebagaimana peringkat yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Terkait dengan peringkat kreditor dalam memperoleh pembayaran hak tagihnya dan praktiknya dalam ranah empirik ternyata terdapat permasalahan lain yang harus dipertimbangkan, yaitu mengenai kedudukan para kreditor. dasar hukum bagi adanya peringkat atau prioritas pembayaran sebagaimana pertimbangan Putusan Nomor 18/PUU-VI/2008 tersebut di atas, adalah karena adanya perbedaan kedudukan yang disebabkan oleh isi perjanjian masing-masing berhubung adanya faktor-faktor tertentu. Meskipun antara kreditor separatis dan pekerja/buruhdasar hukumnya adalah sama, yaitu perjanjian, namun manakala dilihat dari aspek lain, yaitu aspek subjek hukum yang melakukan perjanjian, objek, dan resiko, antara keduanya terdapat perbedaan yang secara konstitusional signifikan.
Dalam kasus ini manakah yang seharusnya menjadi prioritas, kepentingan manusia terhadap properti atau kepentingan manusia terhadap diri dan kehidupannya. Dalam perspektif tujuan negara dan ketentuan mengenai hak konstitusional, menurut Mahkamah kepentingan manusia terhadap diri dan kehidupannya haruslah menjadi prioritas, harus menduduki peringkat terdahulu sebelum kreditor separatis.
Upah pekerja/buruh secara konstitusional berdasarkan Pasal 28D ayat (2) UUD Tahun 1945 merupakan hak konstitusional yang oleh karenanya adalah hak konstitusional pula untuk mendapat perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
b. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi
Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai: “pembayaran upah pekerja/buruh yang terhutang didahulukan atas semua jenis kreditur termasuk atas tagihan kreditur separatis, tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah, sedangkan pembayaran hak-hak pekerja/buruh lainnya didahulukan atas semua tagihan termasuk tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah, kecuali tagihan dari kreditur separatis”; maka kewajiban perusahaan untuk pembayaran upah terhadap pekerja menjadi prioritas yang harus didahulukan.
9. Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 7/PUU-XII/2014
a. Pendapat Hukum Mahkamah Konstitusi
Dalam rangka pelaksanaan kewenangan untuk mengawasi pelaksanaan hukum ketenagakerjaan, pegawai pengawas ketenagakerjaan dapat mengeluarkan nota pemeriksaan dan/atau penetapan tertulis yang memiliki perbedaan signifikan. Ketentuan Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), dan Pasal 66 ayat (4) UU Ketenagakerjaan merupakan ketentuan yang mengatur mengenai perubahan status, yaitu dari perjanjian kerja untuk waktu tertentu menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu; hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan; dan hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.
Menurut Mahkamah, pegawai pengawas ketenagakerjaan berwenang untuk mengawasi pelaksanaan Pasal 59, Pasal 65, dan Pasal 66 UU Ketenagakerjaan termasuk menentukan terpenuhi atau tidak terpenuhinya persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 59 ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6); Pasal 65 ayat (2) dan ayat (3); serta Pasal 66 ayat (1), ayat (2) huruf a, huruf b, huruf d, dan ayat (3) UU Ketenagakerjaan dan karenanya berwenang pula mengeluarkan nota pemeriksaan dan/atau penetapan tertulis terkait hal tersebut.
Menurut Mahkamah, untuk menegakkan pelaksanaan ketentuan ketenagakerjaan serta memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi bagi pekerja/buruh, pengusaha, dan pemberi pekerjaan sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, pekerja/buruh dapat meminta pelaksanaan nota pemeriksaan pegawai pengawas ketenagakerjaan dimaksud kepada Pengadilan Negeri setempat. frasa “demi hukum” dalam Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), dan Pasal 66 ayat (4) UU Ketenagakerjaan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “Pekerja/buruh dapat meminta pengesahan nota pemeriksaan pegawai pengawas ketenagakerjaan kepada Pengadilan Negeri setempat dengan syarat: 1.Telah dilaksanakan perundingan bipartit namun perundingan bipartit tersebut tidak mencapai kesepakatan atau salah satu pihak menolak untuk berunding; dan 2.Telah dilakukan pemeriksaan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan berdasarkan peraturan perundang-undangan”.
b. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi
Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa Frasa “demi hukum” dalam Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), dan Pasal 66 ayat (4) UU Ketenagakerjaan inkonstitusional bersyarat, maka Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan berwenang untuk mengawasi pelaksanaan Pasal 59, Pasal 65, dan Pasal 66 UU Ketenagakerjaan. Pekerja juga dapat memintakan pelaksanaan nota pemeriksaan pegawai pengawas ketenagakerjaan tersebut kepada Pengadilan Hubungan Industrial setempat, dengan pertimbangan bahwa telah dilaksanakan perundingan bipartit namun perundingan bipartit tersebut tidak mencapai kesepakatan/salah satu pihak menolak untuk berunding, dan telah dilakukan pemeriksaan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
10. Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 7/PUU-XII/2014
a. Pendapat Hukum Mahkamah Konstitusi
Menurut Mahkamah, terdapat inkonsistensi norma antara Pasal 90 ayat (1) dan Pasal 90 ayat (2) UU Ketenagakerjaan dengan Penjelasan Pasal 90 ayat (2) UU Ketenagakerjaan. Inkonsistensi dimaksud telah menimbulkan penafsiran yang berbeda terkait penangguhan pembayaran upah minimum pengusaha kepada pekerja/buruh. Keadaan yang demikian bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum” yang menyebabkan buruh terancam haknya untuk mendapat imbalan yang adil dan layak dalam hubungan kerja, sehingga ketentuan a quo juga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) UUD Tahun 1945. untuk menghindari terjadinya ketidakpastian hukum serta mewujudkan keadilan bagi pengusaha dan pekerja/buruh, Mahkamah harus menegaskan bahwa Penjelasan Pasal 90 ayat (2) UU Ketenagakerjaan sepanjang frasa “tetapi tidak wajib membayar pemenuhan ketentuan upah minimum yang berlaku pada waktu diberikan penangguhan” bertentangan dengan UUD 1945.
b. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi
Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi, maka penangguhan pembayaran upah minimum sebagaimana diatur dalam Pasal 90 ayat (2) UU Ketenagakerjaan tidak menghilangkan kewajiban pengusaha untuk membayar selisih upah minimum dengan pembayaran yang dilakukan oleh pengusaha selama masa penangguhan tersebut.

Penyempurnaan terhadap UU Ketenagakerjaan perlu dilakukan agar materi dan substansinya sesuai dan tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945 serta dapat memberikan pemahaman yang utuh. Pembentuk undang-undang (DPR RI atau Presiden) perlu segera berinisiatif melakukan legislative review untuk menindaklanjuti substansi atau norma undang-undang yang telah dibatalkan tersebut. Selain itu, pendapat hukum yang tercermin dalam beberapa putusan Mahkamah Konstitusi perlu dicermati dan menjadi dasar dalam perubahan UU Ketenagakerjaan. Untuk mengisi kekosongan hukum serta untuk menghindari kekacauan hukum dalam masyarakat, Pemerintah menindaklanjuti dengan mengeluarkan surat edaran, yaitu terhadap putusan Makamah Konstitusi Nomor 012/PUU-I/2003 dan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011. Selain itu, tindak lanjut lain yang dilakukan Pemerintah adalah dengan mengadopsi isi putusan dalam materi peraturan menteri, yaitu terhadap putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 115/PUU-VII/2009.

Pada konteks UU Ketenagakerjaan, sampai saat ini, terdapat 10 (sepuluh) putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan pengujian undang-undang dengan menyatakan materi atau substansi UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Terdapat beberapa putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan suatu norma bersifat conditionally, baik conditionally constitutional maupun conditionally unconstitutional. Implementasi dari putusan yang bersifat conditionally. Idealnya putusan Mahkamah Konstitusi ditindaklanjuti dengan perubahan undang-undang oleh pembentuk undang-undang, tidak sekedar dengan tindak lanjut surat edaran, adopsi pada peraturan menteri, dan sebagainya.

Memperhatikan beberapa simpulan di atas maka terdapat beberapa hal yang direkomendasikan, yaitu:
1. Presiden dan DPR RI sebagai pembentuk undang-undang perlu segera berinisiatif untuk melakukan penyempurnaan terhadap materi UU Ketenagakerjaan, baik melalui revisi sebagian atau penggantian undang-undang. Hal ini perlu dilakukan sebagai tindak lanjut atas berbagai putusan Mahkamah Kontitusi dan juga agar substansi UU Ketenagakerjaan sesuai dengan jiwa UUD Tahun 1945. Selain itu, banyaknya materi UU Ketenagakerjaan yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat juga telah menyulitkan warga negara untuk memahami secara utuh UU Ketenagakerjaan.
2. Pembentuk undang-undang dalam melakukan legislative review perlu mencermati pendapat hukum Mahkamah Konstitusi dalam putusannya. Beberapa pertimbangan dan penafsiran yang substansial justru banyak dijelaskan oleh Mahkamah Konstitusi dalam pendapat hukumnya daripada yang tergambar dalam amar putusan. Dengan demikian, materi muatan undang-undang yang akan dilakukan perubahan dapat sejalan dengan penafsiran Mahkamah Konstitusi.